BAB II KAJIAN TEORI. keamanan, memberikan perlindungan, dan menciptakan ketertiban. dsb.), dan 2) anggota dari badan pemerintahan (pegawai negara yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN TEORI. keamanan, memberikan perlindungan, dan menciptakan ketertiban. dsb.), dan 2) anggota dari badan pemerintahan (pegawai negara yang"

Transkripsi

1 15 BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan tentang Polisi Lalu Lintas 1. Pengertian Polisi Polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan, memberikan perlindungan, dan menciptakan ketertiban masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, polisi diartikan: 1) sebagai badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar undang-undang dsb.), dan 2) anggota dari badan pemerintahan (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan, dsb.). Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau disebut dengan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa, Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa: 1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. 2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

2 16 Sadjijono mengemukakan bahwa polisi adalah organ atau lembaga pemerintah yang ada dalam negara (Sadjijono, 2008: 53). Istilah kepolisian sebagai organ dan juga sebagai fungsi. Polisi sebagai organ, yakni suatu lembaga pemerintah yang terorganisasi dan terstruktur dalam ketatanegaraan yang oleh undang-undang diberi tugas dan wewenang dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan kepolisian. Sebagai fungsi menunjuk pada tugas dan wewenang yang diberikan oleh undang-undang yakni fungsi preventif dan fungsi represif. Polisi lalu lintas merupakan unsur pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan, pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu lintas, registrasi dan identifikasi pengemudi atau kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas guna memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas (repository.usu.ac.id,2013). Pembagian wilayah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pada dasarnya didasarkan dan disesuaikan atas wilayah administrasi pemerintahan sipil. Komando pusat berada di Markas Besar Polri (Mabes) di Jakarta. Pada umumnya struktur komando Polri dari pusat ke daerah adalah: a. Pusat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) b. Wilayah Provinsi Kepolisian Daerah (Polda) c. Wilayah Kabupaten dan Kota 1) Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes)

3 17 2) Kepolisian Resor Kota (Polresta) 3) Kepolisian Resor Kabupaten (Polres) d. Tingkat kecamatan 1) Kepolisian Sektor Kota (Polsekta) 2) Kepolisian Sektor (Polsek) Menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor Pasal 1 angka (5) disebutkan bahwa, Kepolisian Resort yang selanjutnya disingkan Polres adalah pelaksana tugas dan wewenang Polri di wilayah kabupaten/kota yang berada di bawah Kapolda. Sedangkan dalam Pasal 1 angka (20) disebutkan bahwa, Satuan Lalu Lintas yang selanjutnya disingkat Satlantas adalah unsur pelaksana tugas pokok fungsi lalu lintas pada tingkat Polres yang berada di bawah Kapolres. Sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian kedudukan polres berada di ibukota kabupaten/kota di daerah hukum masing-masing. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian disebutkan bahwa, Polres terdiri dari: a. Tipe Metropolitan;

4 18 b. Tipe Polrestabes; c. Tipe Polresta; dan d. Tipe Polres. Tugas polres adalah menyelenggarakan tugas pokok Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dan melaksanakan tugas-tugas Polri lainnya dalam daerah hukum Polres, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Polres menyelenggarakan fungsi: a. pemberian pelayanan kepolisian kepada masyarakat, dalam bentuk penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan, pemberian bantuan dan pertolongan termasuk pengamanan kegiatan masyarakat dan instansi pemerintah, dan pelayanan surat izin/keterangan, serta pelayanan pengaduan atas tindakan anggota Polri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; b. pelaksanaan fungsi intelijen dalam bidang keamanan guna terselenggaranya deteksi dini (early detection) dan peringatan dini (early warning); c. penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum, serta pembinaan, koordinasi, dan pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS); d. pembinaan masyarakat, yang meliputi pemberdayaan masyarakat melalui perpolisian masyarakat, pembinaan dan pengembangan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan, terjalinnya hubungan

5 19 antara Polri dengan masyarakat, koordinasi dan pengawasan kepolisian khusus; e. pelaksanaan fungsi Sabhara, meliputi kegiatan pengaturan, penjagaan pengawalan, patroli (Turjawali) serta pengamanan kegiatan masyarakat dan pemerintah, termasuk penindakan tindak pidana ringan (Tipiring), pengamanan unjuk rasa dan pengendalian massa, serta pengamanan objek vital, pariwisata dan Very Important Person (VIP); f. pelaksanaan fungsi lalu lintas, meliputi kegiatan Turjawali lalu lintas, termasuk penindakan pelanggaran dan penyidikan kecelakaan lalu lintas serta registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dalam rangka penegakan hukum dan pembinaan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas; g. pelaksanaan fungsi kepolisian perairan, meliputi kegiatan patroli perairan, penanganan pertama terhadap tindak pidana perairan, pencarian dan penyelamatan kecelakaan di wilayah perairan, pembinaan masyarakat perairan dalam rangka pencegahan kejahatan, dan pemeliharaan keamanan di wilayah perairan; dan h. pelaksanaan fungsi-fungsi lain, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Polres memiliki beberapa unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolres. Salah satu unsur pelaksana tugas pokok adalah Satlantas. 2. Tugas dan Fungsi Polisi Lalu Lintas Satlantas bertugas melaksanakan Turjawali lalu lintas, pendidikan masyarakat lalu lintas (Dikmaslantas), pelayanan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum di bidang lalu lintas. Satlantas sesuai dengan Pasal 59 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Polres menyelenggarakan fungsi, yaitu:

6 20 a. pembinaan lalu lintas kepolisian; b. pembinaan partisipasi masyarakat melalui kerja sama lintas sektoral, Dikmaslantas, dan pengkajian masalah di bidang lalu lintas; c. pelaksanaan operasi kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka penegakan hukum dan keamanan, keselamatan, ketertiban, kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas); d. pelayanan administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta pengemudi; e. pelaksanaan patroli jalan raya dan penindakan pelanggaran serta penanganan kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum, serta menjamin Kamseltibcarlantas di jalan raya; f. pengamanan dan penyelamatan masyarakat pengguna jalan; dan g. perawatan dan pemeliharaan peralatan dan kendaraan. Berdasarkan Pasal 62 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Polres Satlantas dalam melaksanakan tugas dibantu oleh: a. Urusan Pembinaan Operasional (Urbinopsnal), yang bertugas melaksanakan pembinaan lalu lintas, melakukan kerja sama lintas sektoral, pengkajian masalah di bidang lalu lintas, pelaksanaan operasi kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka penegakan hukum dan Kamseltibcarlantas, perawatan dan pemeliharaan peralatan dan kendaraan; b. Urusan Administrasi dan Ketatausahaan (Urmintu), yang bertugas menyelenggarakan kegiatan administrasi dan ketatausahaan; c. Unit Pengaturan, Penjagaan, Pengawalan dan Patroli (Unitturjawali), yang bertugas melaksanakan kegiatan Turjawali dan penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas dalam rangka penegakan hukum; d. Unit Pendidikan Masyarakat dan Rekayasa (Unitdikyasa), yang bertugas melakukan pembinaan partisipasi masyarakat dan Dikmaslantas;

7 21 e. Unit Registrasi dan Identifikasi (Unitregident), yang bertugas melayani administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta pengemudi; dan f. Unit Kecelakaan (Unitlaka), yang bertugas menangani kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum. Polantas merupakan bagian dari Polri yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mencapai ketentraman terutama yang menyangkut lalu lintas. Pelayanan kepada masyarakat dalam bidang lalu lintas akan berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat karena dalam kehidupan masyarakat yang modern seperti saat ini lalu lintas merupakan faktor utama pendukung produktivitas. Banyaknya masalah atau gangguan dalam lalu lintas seperti kecelakaan lalu lintas, kemacetan, maupun tindak pidana yang berkaitan dengan kendaraan bermotor merupakan permasalahan yang mengganggu masyarakat. Terkait dengan pelayanan tersebut, adapun visi dan misi dari polisi lalu lintas yaitu: a. Visi Polisi Lalu Lintas Menjamin tegaknya hukum di jalan yang bercirikan perlindungan, pengayoman, pelayanan masyarakat yang demokratis sehingga terwujudnya keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas (Dit Lantas Polda D.I. Yogyakarta, 2012). b. Misi Polisi Lalu Lintas Mewujudkan masyarakat pemakai jalan memahami dan yakin kepada Polantas sebagai pelindung, pengayoman dan pelayanan masyarakat bidang lalu lintas, penegakan hukum lalu lintas, pengkajian masalah lalu lintas, registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi (Dit Lantas Polda D.I. Yogyakarta, 2012). Unit Lalu Lintas (Unitlantas) merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang bertugas melaksanakan Turjawali bidang lalu lintas,

8 22 penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum di bidang lalu lintas pada tingkat Kepolisian Sektor. Unitlantas dipimpin oleh Kanitlantas merupakan unsur pelaksana tugas pokok di bawah Kapolsek yang bertanggung jawab kepada Kapolsek dan dalam pelaksanaan seharihari berada di bawah kendali Wakapolsek (Wakil Kepala Kepolisian Sektor). Sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 23 Tahun 2010 Pasal 120 ayat (3), dalam melaksanakan tugasnya Unitlantas menyelenggarakan fungsi: a. pembinaan partisipasi masyarakat di bidang lalu lintas melalui kerja sama lintas sektoral dan Dikmaslantas; b. pelaksanaan Turjawali lalu lintas dalam rangka Kamseltibcarlantas; dan c. pelaksanaan penindakan pelanggaran serta penanganan kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum. B. Tinjauan tentang Siswa Siswa adalah murid (terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah) (KBBI, 2005: 1077). Siswa/Siswi merupakan istilah bagi peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Angka (4)). Sekolah menengah pertama (SMP) adalah jenjang pendidikan dasar pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus sekolah dasar. Sekolah menengah pertama ini ditempuh dalam waktu 3 tahun seperti pada tingkat sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan. Saat ini SMP tidak

9 23 lagi menggunakan istilah kelas 1, 2, dan 3 tetapi kelas 7, 8, dan 9. Bagi siswa kelas 9 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional yang mempengaruhi kelulusan siswa. Bagi siswa yang mampu lulus ujian nasional sekolah menengah pertama dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan, sedangkan bagi siswa yang belum lulus ujian dapat mengulang ujian nasional tahun berikutnya atau mengikuti program paket. Pada umumnya usia siswa sekolah menengah pertama berusia tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun. Pemerintah juga mengupayakan agar pendidikan dasar minimal 9 tahun ini dapat terselenggara dengan gratis secara menyeluruh. Dengan demikian akan mendorong tercapainya salah satu tujuan nasional Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah menengah pertama diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan sekolah menengah pertama negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota, sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, sekolah menengah pertama negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.

10 24 Sekolah menengah Atas (disingkat SMA;bahasa Inggris; Senior High School), adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (sederajat) (Wikipedia Bahasa Indonesia, 2014). Sekolah ini ditempuh dalam waktu tiga tahun, mulai dari kelas 10 sampai kelas 12. Pelajar SMA umumnya berusia tahun. SMA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah, sebab pemerintah hanya mewajibkan pendidikan dasar yaitu SD dan SMP. Meskipun sejak tahun 2005 telah mulai diberlakukan program wajib belajar 12 tahun yang mengikutsertakan SMA di beberapa daerah, contohnya di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. SMA diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan SMA negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah Kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural SMA negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota. C. Tinjauan tentang Upaya Menanggulangi Pelanggaran 1. Pengertian Pelanggaran Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia memuat pembagian atas tindak pidana yaitu buku Kedua mengatur tentang kejahatan dan buku Ketiga mengatur tentang pelanggaran. Setiap

11 25 perbuatan yang bertentangan dengan buku Kedua disebut kejahatan dan perbuatan yang bertentangan dengan buku Ketiga disebut sebagai pelanggaran. Antara kejahatan dengan pelanggaran tersebut pada hakekatnya tidak ada perbedaan yang tegas karena keduanya sama-sama delik atau merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Namun jika dilihat dari hukuman yang diterima orang yang melakukan kejahatan dan pelanggaran tentu saja berbeda, kejahatan diancam dengan hukuman yang jauh lebih berat daripada pelanggaran. Pelanggaran adalah perbuatan (perkara) melanggar, tindak pidana yang lebih ringan dari kejahatan (KBBI, 2005: 1634). Sedangkan kejahatan adalah perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis (KBBI, 2005: 450). Pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaan ditegaskan dalam Memorie van Toelichting. Kejahatan adalah delik hukum yakni peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asasasas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang, sedangkan pelanggaran adalah delik undang-undang yakni peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undangundang sebagai hal yang terlarang (G.W. Bawengan, 1973: 3). Menurut Utrecht yang dikutip oleh G.W. Bawengan menjelaskan bahwa kejahatan adalah perbuatan karena sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang oleh undang-undang dicap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan

12 26 ketertiban hukum. Sebagai contoh, pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan dan sebagainya, sebelum menjelma ke dalam KUHP telah lama ada, yaitu tersebut dalam 10 perintah Tuhan yang diterima oleh Nabi Musa. Perbuatan-perbuatan tersebut selain dicap sebagai sebuah kejahatan juga menimbulkan reaksi dari masyarakat terhadap pelakunya. Contoh tersebut hanya sebuah norma agama, namun keyakinan untuk jangan membunuh atau mencuri bukan saja dimiliki oleh sebuah agama tertentu, tetapi hidup juga dalam keyakinan setiap manusia (G.W. Bawengan, 1973: 4). Sedangkan contoh lain adalah pelanggaran lalu lintas sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun Pengemudi yang mengendarai kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM ditetapkan undang-undang sebagai sebuah pelanggaran karena melanggar Pasal 77 Ayat (1), padahal reaksi orang lain tidak selalu negatif terhadap orang yang tidak memiliki SIM. Namun, karena kepemilikan SIM dianggap sebagai bukti registrasi dan identifikasi seseorang yang telah memenuhi persyaratan administrasi, sehat jasmani dan rohani, memahami peraturan lalu lintas dan terampil mengemudikan kendaraan bermotor sehingga seseorang yang memiliki SIM dianggap layak mengemudikan kendaraan bermotor dan tidak membahayakan atau mengganggu ketertiban masyarakat. Secara prinsip perbedaan kejahatan dengan pelanggaran yaitu:

13 27 a. Kejahatan sanksi hukumnya berupa pidana penjara, sedangkan pelanggaran berupa pidana kurungan. b. Percobaan dalam melakukan kejahatan akan dikenai hukuman, sedangkan pada pelanggaran percobaan melakukan pelanggaran tidak dihukum. c. Tenggang waktu daluarsa bagi kejahatan lebih lama dari pada pelanggaran. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran adalah tindak pidana yang lebih ringan dari kejahatan dan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. 2. Upaya Menanggulangi Pelanggaran Sebelum menguraikan bagaimana menanggulangi suatu pelanggaran perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai tindak pidana. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan dipidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Bambang Poernomo, 1985: 130). Tindak pidana merupakan perbuatan yang melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana bagi yang melanggar. Sanksi yang dijatuhkan misalnya dapat berupa pidana penjara, pidana kurungan, dan denda. Tindak pidana baik merupakan kejahatan maupun pelanggaran pada hakekatnya melekat pada kehidupan dinamis masyarakat yang antara lain menyangkut aspek sosial budaya, ekonomi, ideologi, politik,

14 28 dan kemampuan atau efektifitas aparat negara serta masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut dalam menanggulangi tindak pidana hendaknya dilakukan secara menyeluruh dan dinamis mengikuti kehidupan masyarakat yang kompleks yaitu dengan upaya preventif, maupun represif. Menurut G.W. Bawengan di dalam upaya menanggulangi tindak pidana dapat dilakukan dengan tindakan preventif maupun represif. Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi suatu tindak kejahatan maupun pelanggaran, sedangkan tindakan represif adalah tindakan untuk memberantas adanya tindak pidana. Melihat dari pengertian kedua tindakan tersebut sulit untuk dipisah-pisahkan karena keduanya saling berkaitan. Tindakan represif sendiri memiliki ciri-ciri preventif, maksudnya tindakan represif terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana dengan pemberian sanksi pidana akan mempengaruhi orang lain untuk tidak melakukan tindak pidana (G.W. Bawengan, 1977: 197). Menurut Bambang Poernomo tindakan hukum pencegahan (preventif) adalah tindakan untuk melancarkan berlakunya hukum pada waktu sebelum terjadinya perubahan melanggar hukum secara riil. Penegakan hukum preventif adalah tindakan yang bersifat pencegahan oleh petugas hukum baik dengan menggunakan sarana hukum maupun sarana bukan hukum (sosiologis, psikologis, kriminologis, dan lain-lain). Dengan kata lain tindakan preventif merupakan pencegahan terhadap

15 29 tindak pidana kejahatan ataupun pelanggaran sehingga orang tersebut langsung mendapat sentuhan tentang arti pentingnya taat terhadap hukum bagi kepentingan masyarakat (Bambang Poernomo, 1988: 88). Bambang Poernomo juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan tindakan represif. Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah terjadinya pelanggaran hukum. Tindakan represif adalah tindakan petugas hukum terhadap perbuatan seseorang sesudah terjadinya pelangaran hukum. Penanggulangan tindak pidana secara represif dilakukan untuk menghukum pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Hukuman tersebut dapat berupa penjara atau denda atau bahkan keduanya (Bambang Poernomo, 1988: 90). Di lingkungan Polri istilah penanggulangan diartikan sebagai suatu usaha, tindakan maupun kegiatan untuk mencegah dan menindak suatu kejahatan dan pelanggaran. Selain itu untuk memelihara dan meningkatkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Penanggulangan dapat meliputi 2 usaha yaitu: usaha pencegahan dan pembinaan, usaha penindakan. Oleh karena itu penanggulangan dapat dimaksudkan sebagai segala tindakan yang terkait pada segi preventif maupun represif dalam upaya meniadakan gangguan terhadap kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) (Nurdjana, 2009: 28). Tindakan preventif merupakan tindakan pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran norma-norma yang berlaku yaitu dengan

16 30 mengusahakan agar faktor niat dan kesempatan tidak bertemu sehingga situasi kamtibmas tetap terkendali. Sedangkan tindakan represif merupakan tindakan yang dimulai dari penyelidikan, penindakan (pemanggilan, penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan), pemeriksaan, dan penyerahan perkara penuntut umum untuk dihadapkan di sidang pengadilan (Nurdjana, 2009: 28-29). Upaya penanggulangan tindak pidana baik kejahatan maupun pelanggaran secara preventif dan represif merupakan bagian dari politik kriminil secara umum. Politik kriminal artinya mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif penanggulangan yang efektif dalam menanggulangi masalah kejahatan dan pelanggaran. Politik kriminal dalam arti sempit diartikan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Sedangkan politik kriminal dalam arti yang lebih luas merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Dalam arti yang paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundangundangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat (Sudarto, 1986: 114). Menurut Barda Nawawi upaya untuk menangulangi tindak pidana dapat ditempuh dengan dua pendekatan yaitu pendekatan integral antara kebijakan penal dan non penal serta pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan sanksi pidana.

17 31 a. Pendekatan integral antara kebijakan penal dan non-penal Upaya nyata untuk menanggulangi tindak pidana (politik kriminil) dapat ditempuh dengan memadukan antara sarana penal (hukum pidana) dengan sarana non-penal. Kegiatan utama dalam upaya ini adalah mengintegrasikan dan mengharmoniskan kebijakan penal dan non-penal tersebut ke arah penekanan atau pengurangan faktor-faktor yang potensial untuk terjadinya tindak pidana. Dengan upaya ini diharapkan social defance planning dapat berhasil dan mewujudkan tercapainya tujuan kebijakan sosial. Usaha-usaha non-penal penal ini meliputi bidang yang cukup luas dari seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional. Usaha-usaha non-penal yang dapat dilakukan misalnya dengan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral dan agama; meningkatkan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja; serta kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara berkala oleh polisi dan aparat keamanan lainnya (Muladi dan Barda Nawawi, 1992: 159). Adanya sarana non-penal tersebut akan memberikan pengaruh preventif terhadap adanya tindak pidana (kejahatan dan pelanggaran) karena mampu memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu. Oleh karena itu, apabila dicermati dari segi politik kriminil seluruh upaya non-penal tersebut memiliki peran yang strategis

18 32 karena merupakan upaya preventif dalam mencegah terjadinya tindak pidana sehingga perlu diintensifkan dan diefektifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis itu justru akan berakibat fatal bagi usaha penanggulangan tindak pidana. b. Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan sanksi pidana Kebijakan kriminil dalam penggunaan sarana penal (hukum pidana) menyangkut permasalahan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya dikenakan bagi si pelanggar. Hal tersebut harus berorientasi pada kebijakan (policy aoriented approach) (Barda Nawawi, 2010: 36). Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan itu, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral tentang perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana yang sering disebut masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut: 1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menaggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat; 2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atau warga masyarakat; 3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit princiole);

19 33 4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) (Barda Nawawi, 2010: 36-37). 3. Hambatan Dalam Menanggulangi Pelanggaran Polisi terus berupaya menanggulangi berbagai bentuk tindak pidana baik kejahatan maupun pelanggaran termasuk pelanggaran lalu lintas. Hal tersebut untuk melindungi, menciptakan keamanan dan juga ketertiban di dalam masyarakat. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terkadang polisi mengalami kendala-kendala sehingga menghambat proses penanggulangan tindak pidana. Menurut Anton Tabah hambatan yang dialami oleh polisi antara lain: a. Belum memadainya mutu profesionalisme kepolisian di tubuh Polri, terutama apabila dihadapkan pada tugas-tugas dalam penyelidikan dan penyidikan. Kurangnya profesionalisme ini mengakibatkan polisi sering ragu-ragu dalam bertindak padahal profesionalisme itu sangat melekat pada fungsi dan tugas polisi. b. Lemahnya mutu dan kemampuan managerial Polri. Hal ini berakibat lemah dalam proses pengambilan keputusan dan lemah dalam mengantisipasi berbagai kendala yang dihadapi termasuk dalam menempatkan skala prioritas dan selektifitas. c. Instrumen hukum yang belum memadai. Maksudnya bahwa KUHP dan berbagai perundang-undangan banyak yang kurang antisipatif terhadap perkembangan yang terjadi. d. Sarana dan prasarana yang sangat minim. Maksudnya bahwa dari berbagai peralatan vital sampai peralatan pendukung, polisi masih dihadapkan pada kekurangan yang sangat serius. Termasuk biaya operasional. Hal ini sangat mempengaruhi kinerja dan profesionalisme polisi. e. Sumber daya manusia yang belum memadahi. f. Kesadaran dan disiplin masyarakat yang masih rendah. Hal ini mempengaruhi mekanisme penegakan hukum dalam masyarakat (Banurusman, 1995: 78).

20 34 D. Tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009 yang kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni Undang-undang ini lebih luas cakupannya dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 karena merupakan pengembangan yang signifikan dilihat dari jumlah clausul yang diaturnya, yakni yang sebelumnya terdiri dari 16 bab dan 74 pasal, menjadi 22 bab dan 326 pasal. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, transportasi memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara. Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 ini melihat bahwa lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum. Selanjutnya di dalam batang tubuh di jelaskan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Undang-Undang ini adalah: terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan modal

21 35 angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Undang-undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui: kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan; kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 secara tegas mengatur tentang pengemudi yang merupakan bagian dari lalu lintas. Berdasarkan Pasal 77 Ayat (1) setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki surat Izin Mengemudi (SIM) sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan. SIM adalah bukti registrasi dan identifikasi yang diberikan oleh Polri kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan administrasi, sehat jasmani dan rohani, memahami peraturan lalu lintas dan terampil mengemudikan kendaraan bermotor. SIM berfungsi sebagai: a. Bukti kompetensi mengemudi; b. Registrasi pengemudi kendaraan bermotor yang memuat identitas lengkap pengemudi; dan

22 36 c. Media untuk mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan identifikasi forensik kepolisian. Adapun jenis SIM yang terdapat di Indonesia adalah SIM kendaraan bermotor perseorangan dan SIM kendaraan bermotor umum. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 80 SIM untuk kendaraan bermotor perseorangan digolongkan menjadi: a. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi (tiga ribu lima ratus) kilogram; b. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari (tiga ribu lima ratus) kilogram; c. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari (seribu) kilogram; d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor; dan e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat. Sedangkan SIM untuk kendaraan bermotor umum sesuai Pasal 82 digolongkan menjadi: a. Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi (tiga ribu lima ratus) kilogram; b. Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan c. Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan Kendaraan penarik atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari (seribu) kilogram.

23 37 Untuk medapatkan SIM, calon pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan maupun belajar sendiri. Dalam Pasal 81 dijelaskan mengenai persyaratan seseorang untuk mendapatkan SIM. (1) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. (2) Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut: a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D; b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan c. usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II. (3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk; b. pengisian formulir permohonan; dan c. rumusan sidik jari. (4) Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan b. sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis. (5) Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ujian teori; b. ujian praktik; dan/atau c. ujian keterampilan melalui simulator. (6) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan: a. Surat Izin Mengemudi B I harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan b. Surat Izin Mengemudi B II harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan. E. Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Istilah yang dipakai HIR adalah perkara rol, ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa berlaku pula pada pemeriksaan cepat dengan kekecualian tertentu (Andi Hamzah, 2010: 246). Hal itu dapat dibaca dalam Pasal 210 KUHAP yang mengatakan bahwa ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian

24 38 Kedua, dan Bagian Ketiga bab ini (Bab 16) tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan paragraf ini. Pemeriksaan cepat dibagi dua menurut KUHAP, pertama Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan yaitu termasuk delik yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan. Kedua Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan yaitu termasuk pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan. Jadi, pelanggaran lalu lintas jalan diberlakukan pemeriksaan cepat. Penjelasan Pasal 211 KUHAP memberi uraian tentang apa yang dimaksud dengan perkara pelanggaran tertentu sebagai beriku: 1. Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas, atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan. 2. Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan (STNK), surat tanda uji kendaraan yang sah, atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkannya, tetapi masa berlakunya sudah kedaluwarsa. 3. Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang yang tidak memiliki SIM.

25 39 4. Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan, dan syarat penggandengan kendaraan lain. 5. Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan STNK. 6. Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan dan/atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada di permukaan jalan. 7. Pelanggaran terhadap ketentuan ukuran dan muatan yang diizinkan, cara menaikkan dan menurunkan penumpang, dan/atau cara memuat dan membongkar barang. 8. Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan tertentu. Beberapa hal yang diberlakukan dalam pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan adalah sebagai berikut: 1. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal. 2. Untuk perakara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan sesuai dengan Pasal 212 KUHAP. 3. Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang, hal ini berdasarkan Pasal 213 KUHAP. 4. Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa atau wakilnya (verstek atau putusan in absentia). Ini diatur dalam Pasal 214 KUHAP.

26 40 5. Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan, hal ini berdasarkan Pasal 214 ayat (4) KUHAP. 6. Berdasarkan Pasal 214 ayat (5) KUHAP disebutkan bahwa, dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu melakukan perubahan dalam kehidupannya, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu melakukan perubahan dalam kehidupannya, hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selalu melakukan perubahan dalam kehidupannya, hal ini terlihat dari banyaknya perubahan yang terjadi, terutama dalam bidang teknologi transportasi.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai upaya polisi dalam menanggulangi pelanggaran Undang-undang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai upaya polisi dalam menanggulangi pelanggaran Undang-undang 120 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan mengenai upaya polisi dalam menanggulangi pelanggaran Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. A. Gambaran Umum Polresta Bandar Lampung. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) meru pakan merupakan alat

IV. GAMBARAN UMUM. A. Gambaran Umum Polresta Bandar Lampung. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) meru pakan merupakan alat 57 IV. GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Polresta Bandar Lampung Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) meru pakan merupakan alat pertahanan negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keamanan dalam negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pifih Setiawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pifih Setiawati, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah menjadi rahasia umum apabila perkembangan lalu lintas pada saat ini begitu pesat hal ini beriringan pula dengan perkembangan jumlah penduduk yang semakin

Lebih terperinci

No Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan maupun secara berk

No Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan maupun secara berk TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5346 TRANSPORTASI. Kendaraan Bermotor. Pelanggaran. Pemeriksaan. Tata Cara. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 187) PENJELASAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas.

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas. Persoalan lalu lintas yang dihadapi oleh kota-kota besar antara lain, yaitu kemacetan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan;

Lebih terperinci

bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang

bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Penadahan 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu masalah sosial yaitu masalah yang timbul di dalam suatu kalangan masyarakat, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem transportasi adalah suatu hal yang penting bagi suatu kota,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem transportasi adalah suatu hal yang penting bagi suatu kota, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem transportasi adalah suatu hal yang penting bagi suatu kota, terutama di kota besar yang memiliki banyak aktivitas dan banyak penduduk. Selain itu sistem

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 28-1997 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 2, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MENGEMUDI KENDARAAN BERMOTOR

SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MENGEMUDI KENDARAAN BERMOTOR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MENGEMUDI KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepolisian Republik Indonesia 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Pasal 48 yang berbunyi :

Pasal 48 yang berbunyi : 41 BAB III PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM TERHADAP MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN A. Persyaratan Teknis Modifikasi Kendaraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pelaksanaan Pengujian Berkala Kendaran Bermotor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pelaksanaan Pengujian Berkala Kendaran Bermotor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Pengertian Pelaksanaan Pengujian Berkala Kendaran Bermotor Pelaksanaan berasal dari kata laksana yang berarti perbuatan untuk melakukan suatu kegiatan, sedangkan arti dari

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 273 (1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 8 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGAWASAN MUATAN ANGKUTAN BARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BINJAI,

PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 8 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGAWASAN MUATAN ANGKUTAN BARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BINJAI, PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 8 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGAWASAN MUATAN ANGKUTAN BARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BINJAI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka Penertiban Angkutan

Lebih terperinci

2012, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU

2012, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.187, 2012 TRANSPORTASI. Kendaraan Bermotor. Pelanggaran. Pemeriksaan. Tata Cara. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5346) PERATURAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KOTA SURABAYA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah masalah lalu lintas. Hal ini

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah masalah lalu lintas. Hal ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah masalah lalu lintas. Hal ini terbukti dari adanya indikasi angka-angka kecelakaan lalu lintas yang selalu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar

I. PENDAHULUAN. merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pada dasarnya bersifat mengatur atau membatasi setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap masyarakat (individu). Pada garis besarnya hukum merupakan peraturan-peraturan

Lebih terperinci

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG JALAN DAN PENGATURAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG JALAN DAN PENGATURAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG JALAN DAN PENGATURAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS, Menimbang : a. bahwa keamanan dan keselamatan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HSL RPT TGL 5 MART 09 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan;

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tata cara kita berperilaku atau

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tata cara kita berperilaku atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupan masyarakat selalu terdapat berbagai macam norma yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tata cara kita berperilaku atau bertindak.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 05 TAHUN 2009 SERI E NOMOR 01 PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 05 TAHUN 2009 TENTANG JARINGAN LINTAS ANGKUTAN BARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

BAB I PENDAHULUAN. (On-line),  (29 Oktober 2016). 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengaruh era globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini tidak dapat terelakkan dan sudah dirasakan akibatnya, hampir di semua negara,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN PENGAWASAN KEGIATAN KERAMAIAN UMUM, KEGIATAN MASYARAKAT LAINNYA, DAN PEMBERITAHUAN KEGIATAN POLITIK DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk yang terus bertambah, kebutuhan orang yang

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk yang terus bertambah, kebutuhan orang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepadatan penduduk yang terus bertambah, kebutuhan orang yang semakin banyak, serta kemajuan teknologi yang semakin canggih membawa implikasi semakin ramainya transportasi

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TERMINAL BARANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TERMINAL BARANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TERMINAL BARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT,

Lebih terperinci

STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR TENTANG TIPIRING

STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR TENTANG TIPIRING 1 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH KEPULAUAN BANGKA BELITUNG RESOR PANGKALPINANG STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR TENTANG TIPIRING I. PENDAHULUAN 1. UMUM a. Polri sebagai aparat negara yang bertugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum, dalam pelakasanaan pemerintahan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum, dalam pelakasanaan pemerintahan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, dalam pelakasanaan pemerintahan dan dalam kehidupan masyarakat diatur oleh hukum. Hukum di Indonesia dimuat dalam bentuk konstitusi,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG T E R M I N A L DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT NOMOR : 5 TAHUN 2007 T E N T A N G PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN ANGKUTAN BARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT NOMOR : 5 TAHUN 2007 T E N T A N G PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN ANGKUTAN BARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT NOMOR : 5 TAHUN 2007 T E N T A N G PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN ANGKUTAN BARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANGKAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka Penertiban

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 6 TAHUN 1997 TENTANG PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 6 TAHUN 1997 TENTANG PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 6 TAHUN 1997 TENTANG PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II BADUNG Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki wilayah yang sangat luas dan beraneka ragam budaya. Selain itu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. memiliki wilayah yang sangat luas dan beraneka ragam budaya. Selain itu Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak, memiliki wilayah yang sangat luas dan beraneka ragam budaya. Selain itu Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB III PRAKTIK MASYARAKAT KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN MEMILIKI MODA ANGKUTAN DAN KETAATAN TERHADAP LALU LINTAS

BAB III PRAKTIK MASYARAKAT KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN MEMILIKI MODA ANGKUTAN DAN KETAATAN TERHADAP LALU LINTAS BAB III PRAKTIK MASYARAKAT KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN MEMILIKI MODA ANGKUTAN DAN KETAATAN TERHADAP LALU LINTAS A. Gambaran Umum POLSEK Kecamatan Waru 1. Letak Lokasi Kepolisian Resort kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PONTIANAK

PEMERINTAH KABUPATEN PONTIANAK PEMERINTAH KABUPATEN PONTIANAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONTIANAK NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI TERMINAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PONTIANAK, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan ketiga. Hal ini berarti bahwa di dalam negara Republik

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia baik pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat maupun dari para

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia baik pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat maupun dari para BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pada saat ini banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Indonesia baik pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat maupun dari para penegak hukum dan aparat

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BAG OPS POLRES PARIAMAN

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BAG OPS POLRES PARIAMAN 1 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH SUMATERA BARAT RESOR PARIAMAN Jalan Imam Bonjol 37 Pariaman 25519 STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BAG OPS POLRES PARIAMAN Pariaman, 02 Januari 2012 2 KEPOLISIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia jangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia jangka panjang yang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia. Oleh sebab itu hampir

Lebih terperinci

Foto 5. public adress Foto 7. public adress

Foto 5. public adress Foto 7. public adress LAMPIRAN DAFTAR LAMPIRAN 1. Dokumentasi Penelitian 2. Pedoman wawancara 3. UU No.22 tahun 2009 4. Surat Telegram Kapolres Bantul No:ST/598/X/2011 5. Surat Ijin Penelitian DOKUMENTASI PENELITIAN Foto 1.

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA RENSTRA POLRES SIDOARJO TAHUN (PERUBAHAN)

INDIKATOR KINERJA UTAMA RENSTRA POLRES SIDOARJO TAHUN (PERUBAHAN) KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH JAWA TIMUR RESORT SIDOARJO INDIKATOR KINERJA UTAMA RENSTRA POLRES SIDOARJO TAHUN 2015-2019 (PERUBAHAN) 1 Terpenuhinya Alpalkam / Almatsus dan kapor Polri guna

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN http://images.hukumonline.com/ I. PENDAHULUAN Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan

Lebih terperinci

UPAYA MENEKAN TINGGINYA ANGKA KECELAKAAN LALU LINTAS MELALUI SOSIALISASI UU NO

UPAYA MENEKAN TINGGINYA ANGKA KECELAKAAN LALU LINTAS MELALUI SOSIALISASI UU NO UPAYA MENEKAN TINGGINYA ANGKA KECELAKAAN LALU LINTAS MELALUI SOSIALISASI UU NO. 22 TAHUN 2009 BAGI WARGA DESA TAMPINGAN KECAMATAN BOJA KABUPATEN KENDAL Anis Widyawati Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA SALINAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 22 TAHUN 2003 T E N T A N G PEMINDAHAN KENDARAAN BERMOTOR, KERETA TEMPELAN DAN KERETA GANDENGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU TAHUN : 2003 NOMOR : 68 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI TERMINAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI TERMINAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI TERMINAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah yang luas,

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 22-2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1992 (ADMINISTRASI. PERHUBUNGAN. Kendaraan. Prasarana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kehidupan bangsa Indonesia tidak bisa luput dari masalah hukum yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kehidupan bangsa Indonesia tidak bisa luput dari masalah hukum yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kehidupan bangsa Indonesia tidak bisa luput dari masalah hukum yang terjadi dalam masyarakat, hakikat keadilan dan hukum dapat dialami baik oleh ahli hukum maupun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM DALAM TRAYEK

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM DALAM TRAYEK S A L I N A N NOMOR 6/E, 2006 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM DALAM TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat tersebut, aturan-aturan tersebut disebut juga normanorma

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat tersebut, aturan-aturan tersebut disebut juga normanorma 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia menurut kodratnya adalah merupakan makhluk sosial, yang artinya setiap individu selalu ingin hidup dalam lingkungan masyarakat tertentu. Dalam kehidupan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR

PEMERINTAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR POLEWALI MANDAR SIPAMANDAQ S IPA M A N D AQ PEMERINTAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN JARINGAN PERLENGKAPAN JALAN KABUPATEN DAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 15 TAHUN 2012

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 15 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 15 TAHUN 2012 TENTANG KELAS JALAN, PENGAMANAN DAN PERLENGKAPAN JALAN KABUPATEN KARAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PEMELIHARA KEAMANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN (TIPIRING)

PERATURAN KEPALA BADAN PEMELIHARA KEAMANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN (TIPIRING) PERATURAN KEPALA BADAN PEMELIHARA KEAMANAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN (TIPIRING) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PEMELIHARA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1993 T E N T A N G PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA KOMISI III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 2015 [1] RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

WALI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 10 TAHUN 2015

WALI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 10 TAHUN 2015 WALI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA BALIKPAPAN,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2005 NOMOR 7 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BOGOR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang hampir semua aspek di

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang hampir semua aspek di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara hukum yang hampir semua aspek di dalamnya diatur oleh hukum. Tujuan dibuatnya hukum ini adalah untuk menciptakan suatu masyarakat yang

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP LAMPIRAN 392 LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 393 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

V. PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai upaya penanggulangan

V. PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai upaya penanggulangan 52 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai upaya penanggulangan terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh geng motor di Bandung Jawa Barat yang telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PONTIANAK

PEMERINTAH KABUPATEN PONTIANAK PEMERINTAH KABUPATEN PONTIANAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONTIANAK NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PARKIR DI TEPI JALAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PONTIANAK, Menimbang

Lebih terperinci

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SATUAN SABHARA

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SATUAN SABHARA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR BIMA KOTA STANDART OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SATUAN SABHARA T ENT ANG TINDAK PIDANA RINGAN (TIPIRING) DI W ILAYAH HUKUM POL R E S

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGGARAAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KUTAI NOMOR 9 TAHUN 1999 T E N T A N G

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KUTAI NOMOR 9 TAHUN 1999 T E N T A N G PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KUTAI NOMOR 9 TAHUN 1999 T E N T A N G IZIN BONGKAR MUAT BARANG DALAM WILAYAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KUTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo 17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo 1. Pengertian Tindak Pidana Kumpul Kebo Tindak Pidana kumpul kebo adalah perbuatan berhubungan antara laki-laki

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA BATU

PEMERINTAH KOTA BATU PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang : a. bahwa pembinaan, pengawasan dan pengendalian yang

Lebih terperinci