BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN KEPERDATAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN KEPERDATAAN"

Transkripsi

1 BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN KEPERDATAAN A. Tanggung Jawab Hukum Dilihat dari aspek lingkup bidang hukum, maka secara umum konsep tanggung jawab hukum (liability) akan merujuk pada tanggung jawab hukum dalam ranah hukum publik dan tanggung jawab hukum dalam ranah hukum privat. Tanggungjawab hukum dalam ranah hukum publik misalnya tanggung jawab administrasi Negara dan tanggung jawab hukum pidana. Sedangkan tanggungjawab dalam ranah hukum privat, yaitu tanggung jawab hukum dalam hukum perdata dapat berupa tanggungjawab berdasarkan wanprestasi dan tanggungjawab berdasarkan perbuatan melawan hukum. 1 tort /onrechtmatige daad (Belanda) (selanjutnya disingkat PMH). Tanggung jawab hukum perdata berdasarkan wanprestasi diawali dengan adanya perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban. Perjanjian diawali dengan adanya janji. Apabila dalam hubungan hukum berdasarkan perjanjian tersebut, pihak yang melanggar kewajiban (debitur) tidak melaksanakan atau melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya maka ia dapat dinyatakan lalai (wanprestasi) dan atas dasar itu ia dapat dimintai pertanggungjawaban hukum berdasarkan wanprestasi. 1 Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum,Jakarta: Pradnya Paramita, 1979., hal. 13

2 Sementara tanggungjawab hukum perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum didasarkan pada adanya hubungan hukum, hak dan kewajiban, yang bersumber pada hukum. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dapat dijumpai baik dalam ranah hukum pidana (publik) maupun dalam ranah hukum perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah perbuatan melawan hukum pidana begitupun perbuatan melawan hukum perdata. Dalam konteks itu jika dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan perbedaan. Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk dikatakan melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua perbuatan melawan hukum tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum. Perbedaan pokok antara kedua perbuatan melawan hukum tersebut, apabila perbuatan melawan hukum pidana lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan. Sementara perbuatan melawan hukum perdata lebih memberikan perlindungan kepada private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies). B. Tanggungjawab Hukum Yang Berdasar Wanprestasi

3 Tanggung jawab hukum dengan dasar wanprestasi didasari adanya perikatan. Perikatan timbul baik karena perjanjian atau karena undang-undang. 2 Aturan mengenai hukum perjanjian di Indonesia terdapat dalam KUHPerdata buku ketiga tentang perikatan. Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata definisi persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 3 Apabila ada salah satu pihak tidak menghormati janjijanji (kewajiban) yang sudah disepakati berarti ada pihak yang kepentingannya dilanggar maka hukum memberikan perlindungan atas kepentingan para pihak yang dilanggar janjinya tersebut. Kepentingan yang dilindungi dalam hukum perjanjian adalah kepentingan ekonomi. Tanggung jawab ini lahir dari adanya pelanggaran terhadap sebuah perjanjian (breach of promises). Janji-janji dalam konsep hukum perikatan adalah prestasi. Rumusan prestasi dalam hukum perikatan Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu berupa: 1. Memberikan sesuatu; 2. Berbuat sesuatu; 3. Tidak berbuat sesuatu. Dalam hukum perikatan, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya maka dikatakan wanprestasi. Kata wanprestasi diresap dari kata wanprestasie (bahasa Belanda) 2 Kitab Undang Undang Hukum Perdata [Bugerlijke Wetboek], Ps Ibid., Ps. 1313

4 diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai non-performance of contract atau breach of contract. Wanprestasi adalah keadaan dimana seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian. Wanprestasi dapat berupa suatu keadaan dimana pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasi: 1. Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan; 2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, namun tidak tepat seperti apa yang dijanjikan; 3. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena kesengajaan, kelalaian atau tanpa kesengajaan. Konsekuensi keadaan wanprestasi adalah pihak yang dirugikan dapat menuntut pihak yang melakukan wanprestasi berupa penggantian kerugian dengan perhitungan-perhitungan tertentu berupa biaya, rugi dan bunga dan/atau pengakhiran perjanjian. Yang dimaksud dengan biaya adalah setiap pengeluaran yang dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan sebagai akibat adanya wanprestasi. Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian adalah berkurangnya nilai kekayaan debitur sebagai akibat adanya wanprestasi dari pihak debitur. 4 4 Munir Fuady. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Cetakan ke-ii,bandung: PT. Citra Aditya Bekti, 2001,hal.138

5 Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka dia dapat dituntut untuk: 1. pemenuhan perjanjian; 2. pemenuhan perjanian ditambah ganti rugi; 3. ganti rugi 4. pembatalan perjanjian; 5. pembatalan dengan ganti rugi. Kewajiban membayar ganti rugi (schade vergoeding) tersebut tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan baru efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling) dan tetap tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata. 5 Sedangkan bentuk pernyataan lalai diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan: 6 1. Pernyataan lalai tersebut harus berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis, yaitu suatu salinan daripada tulisan yang telah dibuat lebih dahulu oleh juru sita dan diberikan kepada yang bersangkutan. 2. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri. 5 Kitab Undang Undang Hukum Perdata [Bugerlijke Wetboek], op. cit., Ps Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan 6 Kitab Undang Undang Hukum Perdata [Bugerlijke Wetboek], op. cit., Ps Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

6 3. Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan atau aanmaning yang biasa disebut sommasi. C. Tanggung Jawab Hukum Berdasar Perbuatan Melawan Hukum Pengertian perbuatan melawan hukum pada awalnya mengandung pengertian sempit namun sekarang pengertian meluas yang digunakan. Pengertian perbuatan melawan hukum yang sempit tersebut dipengaruhi oleh ajaran legisme. Berdasarkan faham ini bahwa perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Sehingga pengertian onrechtmatigedaad sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad). Terdapat tiga Arrest Hoge Raad yang memiliki nilai historis yang menggambarkan terhadap pemahaman istilah melawan hukum. Arest pertama adalah Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Arest kedua adalah Arrest Hoge Raad 10 Juni 1910 dalam perkara kasus Zutphenese Juffrouw. Arest ketiga adalah Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum vs. Cohen. Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. 7 7 Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer perbuatan Melawan Hukum, cet. 1 Bandung: Binacipta, 1991., hal. 9. Bahwa untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, pada 11 Januari 1911 diajukan rancangan reqout untuk merubah dan menambah redaksi Pasal 1401 BW dengan perumusan PMH yang lebih luas, yaitu perbuatan malawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang karena kesalahan para pembuat bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaaan baik atau kewajiban

7 Perkara bermula dari seorang pedagang menjual mesin jahit merek Singer yang telah disempurnakan. Padahal mesin itu sama sekali bukan produk dari Singer. Kata-kata Singer ditulis dengan huruf-huruf yang besar, sedang katakata yang lain ditulis kecil-kecil sehingga sepintas yang terbaca adalah Singer saja. Ketika pedagang itu digugat di muka pengadilan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata (1401 B.W Belanda), Hoge Raad menolaknya karena pada waktu itu tidak ada peraturan perundang-undangan yang melindungi hak terhadap merek dagang. 8 Secara umum, ada 5 (lima) prinsip-prinsip tanggung jawab hukum dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability base on fault) Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya jika ada unsur kesalahan yang dilakukan. Prinsip ini dalam pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dipegang secara teguh. Pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal 1365 KUHPerdata sebagai bapak rumah tangga yang baik rancangan ini tidak disahkan sebagai undang-undang. Menurutnya rumusan ini kemudian dipertimbangkan dalam putusan Lindenbaum vs Cohen 8 R.Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003, hal.346.

8 yang dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhi empat unsur pokok yaitu : a. Adanya perbuatan melanggar hukum b. Perbuatan melawan hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain 9 c. Adanya unsur kesalahan 10 d. Pengertian kesalahan adalah pengertian dalam hukum perdata, bukan dalam hukum pidana. Kesalahan dalam pasal 1365 KUHPerdata ini mengandung semua gradasi dari kesalahan dalam arti sengaja sampai pada kesalahan dalam arti tidak sengaja atau lalai. e. Adanya kerugian yang diderita f. Pengertian menurut Niuewenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau 9 Purwahid Patrick Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Undang-undang) Bandung Mandar maju,1994,hal Ibid.

9 membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain. 11 g. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. h. Prinsip ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita oleh oranglain. Dan beban pembuktiannya ada pada pihak yang mengakui mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat. 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability) Prinsip ini mengatakan, tergugat selalu dianggap bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Beban pembuktian ada pada tergugat. Ini dikenal dengan istilah beban pembuktian terbalik. Dalam prinsip beban pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum pidana. Menurut prinsip ini ditekankan selalu bertanggungjawab atas setiap kerugian yang timbul, tetapi jika dapat membuktikan bahwa dia tidak 11 Niuewenhuis Pokok-Pokok Hukum Perikatan,terjemahan Djasadin Saragih,Surabaya,Universitas Airlangga,1985,Hal.57.

10 bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan. Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum. Namun jika diterapkan dalam kasus perlindungan konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat. Prinsip tersebut seiring dengan perkembangan kemudian dikenal dengan prinsip caveat emptor ke caveat vendor, dimana ingin meletakkan aspek keadilan dalam perlindungan konsumen. Prinsip ini pernah diterapkan dalam hukum Pengangkutan, khususnya pengangkutan udara, yang dapat dilihat dalam Pasal 17, 18 ayat (1), 19 jo 20 konvensi Warsawa 1929 atau Pasal 24, 25, 28, jo 29 Ordonansi Pengangkutan Udara No.100 Tahun 1939 kemudian dalam perkembangannya dihapuskan dengan Protokol Guatemala Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, cet 4 Bandung : PT Citra Aditya Abadi, hal 40-41

11 3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability) Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contohnya dapat dilihat dalam hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi cabin atau tangan yang biasa dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggungjawab dari penumpang, dalam hal ini pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawabannya Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability) kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi diatas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada 13 Rahayu Hartini, Hukum Pengangkutan, Pengangkutan Darat Melalui Jalan Umum dan Kereta Api, Pengangkutan Laut Serta Pengangkutan Udara di Indonesia, Malang, UMM Press, 2007

12 pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Pada strict liability hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolut liability dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam). Dalam Black s Law Dictionary, strict liability diartikan Liability that does not depend on actual negligence or intent to harm, but that is baseb on the breach of an absolute duty to make something safe. Strict liability most often applies either to ultrahazardous activities or in products liability cases Menurut Richard A. Posner, melalui konsep ultrahazardous, tort lawb membebankan strict liability pada aktivitas yang melibatkan bahaya dalam derajat yang tinggi yang tidak dapat dicegah oleh pihak yang telah bertindak hati-hati atau pihak yang mungkin menjadi korban. 14 Menurutnya, contoh yang baik untuk strict liability ialah kerugian yang diakibatkan oleh tetangga yang memelihara macan di rumahnya. Area strict liability telah mendorong pihak yang menjalankan 14 Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Canada: Little Brown & Company, 1986 p. 163.

13 kegiatan yang digolongkan extrahazardous untuk membuat beberapa alternatif yang dapat mengurangi derajat bahaya. 15 Injurer akan melakukan tindakan pencegahan pada level yang optimal karena bila ia melakukan tindakan pencegahan di bawah level yang optimal maka akan ada total accident cost yang harus ditanggungnya. Strict liability masuk dalam konsep hukum tentang tort secara umum (the tort law in general). Perbuatan melawan hukum menurut sistem hukum common law dapat dibagi menjadi tiga perbuatan: a. Intentional Torts: suatu tort yang mensyaratkan bahwa pelaku mempunyai kesengajaan yang menyebabkan kerugian (injury) dan itu dapat dianggap perbuatan melawan hukum. b. Negligent Torts: sikap tindak yang dilakukan secara unreasonably yang mengakibatkan kerugian kepada pribadi sesorang atau kebendaan seseorang. c. Strict Liability Torts: Behavior that is tortious because it causes unlawful personal/property damage to another, regardless of fault, reasonableness. Perilaku yang menyakitkan karena menyebabkan kerusakan melanggar hukum pribadi / properti lain, terlepas dari kesalahan, kewajaran. Pertanggungjawaban hukum strict liability walaupun tidak dikenal dalam hukum perlindungan 15 Ibid

14 konsumen, namun dikenal dan digunakan dalam hukum penerbangan dan hukum lingkungan. Hukum Lingkungan Indonesia mengenal dan mengadopsi konsep strict liability. Diterapkannya konsep pertanggung jawaban tersebut dapat dilihat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 88 bunyinya Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Di dalam penjelasan pasal 88 Yang dimaksud dengan bertanggungjawab mutlak atau strict liability adalah unsur kesalahan yang tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Tanggung Jawab Produk (Product liability) di beberapa sistem hukum berbeda-beda penerapannya. Ada yang menerapkan tanggung jawab atas produk berdasarkan kesalahan. Artinya pelaku usaha dapat dimintakan pertanggung jawab apabila memang dapat dibuktikan bahwa ada kesalahan. Namun ada juga yang menerapakan tanggung jawab pelaku usaha pembuat

15 (produsen), menggunakan tanggung jawab strict liability, terhadap barang yang diproduksinya. Dengan demikian pelaku usaha akan bertanggung jawab terhadap kerugian (injuries) yang disebabkan atas produk yang cacat (defect). Konsep Product liability mengacu pada kewajiban setiap atau semua pihak sepanjang rantai pembuatan produk apapun atas kerusakan yang disebabkan oleh produk tersebut. 5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability) Adalah prinsip tanggung jawab dengan pembatasan yang sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan, bila film yang ingin dicuci/dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas) maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu roll film baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. (Dalam UUPK yang baru seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya, jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang jelas.

16 Selain peranggungjawaban di atas ada juga sistem pertanggungjawaban yang dilakukan oleh organ/badan hukum. D. Sistem Pertanggungjawaban Pada Badan Hukum Selain manusia alami, badan hukum juga dipandang sebagai subyek hukum. Menurut Prof. Wirjono Projodikoro, badan hukum adalah suatu badan yang di samping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perbuatan hukum terhadap orang lain atau badan lain. 16 Istilah badan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, rechtspersoon. Selain diterjemahkan sebagai badan hukum, beberapa sarjana menerjemahkan istilah rechtspersoon menjadi purusa hukum, awak hukum, dan pribadi hukum. 17 Menurut R. Subekti, Badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan suatu perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau mengugat di depan hakim. 18 Badan hukum dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai organisasi atau perkumpulan yang didirikan dengan akta yang otentik dan dalam hukum diperlakukan sebagai orang yang memiliki hak dan kewajiban atau disebut juga dengan subyek hukum. Subyek hukum dalam ilmu hukum 16 P.N.H Simanjuntak, Pokok pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009, Hlm Chidir Ali, Badan Hukum,Bandung: Alumni, 1987, hal Ibid hal 19

17 ada dua yakni, orang dan badan hukum. Disebut sebagai subyek hukum oleh karena orang dan badan hukum menyandang hak dan kewajiban hukum. Sebagai subyek hukum, badan hukum juga memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana subyek hukum orang atau individu. Namun, oleh karena bentuk badan hukum yang merupakan himpunan dari orang-orang, maka dalam pelaksanaan perbuatan hukum tersebut, suatu badan hukum diwakili oleh pengurusnya. Sebagai konsekuensinya, maka subyek hukum juga dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam hukum perdata, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum menjadi tanggung jawab badan hukum tersebut yang dalam pelaksanaannya juga diwakili oleh pengurusnya. E. Teori-teori Badan Hukum Untuk mengetahui hakikat badan hukum, berikut ini dikemukakan 5 (lima) teori tentang badan hukum yang sering dikutip oleh penulis-penulis ahli hukum kita Teori fiksi Teori ini dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny ( ).Teori ini dianut di beberapa negara antara lain dianut oleh Opzomer, Diephuis, Land dan Houwing serta Langemeyer. 19 Chidir Ali,op.cit, hlm 31-31

18 Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fiksi, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang yang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Dengan kata lain sebenarnya menurut alam hanya manusia selaku subjek hukum, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya, badan hukum selaku subyek hukum diperhitungkan sama dengan manusia. Jadi, orang bersikap seolah-olah ada subyek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan, sehingga yang melakukan ialah manusia sebagai wakil-wakilnya. Sehingga badan hukum bila akan bertindak harus dengan perantaraan wakilnya yaitu alat-alat perlengkapannya, misalnya: direktur atau pengurus dalam suatu perseroan terbatas atau korporasi. 2. Teori Kekayaan Bertujuan Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun ada kekayaan (vermorgen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyai dan terikat kepada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum. Kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya (onpersoonlijk/subjectloos). Disini yang penting bukan siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan tersebut diurus dengan tujuan tertentu. Karena itu, menurut teori

19 ini tidak perduli manusia atau bukan, tidak perduli kekayaan itu merupakan hak-hak yang normal atau bukan, pokoknya adalah tujuan dari kekayaan tersebut. 3. Teori organ Teori ini dikemukakan oleh sarjana Jerman, Otto von Gierke ( ), pengikut aliran sejarah dan di negeri Belanda dianut oleh L.G.Polano. Ajarannya disebut leer der volledige realiteit ajaran realitas sempurna. Menurut teori ini badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum yaitu Eine Leiblichgeistige Lebensein Heit. Badan hukum itu menjadi suatu verbandpersoblich keit yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang mereka (organen) putuskan, adalah kehendak dari badan hukum. 4. Teori kekayaan bersama (Propriete Collective Theory) Teori ini dikemukakan oleh Rudolf von Jhering ( ) srjana Jerman pengikut aliran/mazhab sejarah tetapi keluar. Pengikut teori ini adalah Marcel Pleiniol (Prancis) dan Molengraaff (Belanda), kemudian diikuti Star Busmann, Kranenburg, Paul Scolten dan Apeldoorn.

20 Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah milik (eigendom) bersama seluruh anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis saja. Pada hakikatnya badan hukum itu sesuatu yang abstrak. 5. Teori Kenyataan Yuridis Teori ini dikemukakan oleh sarjana Belanda E.M. Meijers dan dianut oleh Paul Scholten, serta sudah merupakan de heersende leer. Menurut Meijers badan hukm itu merupakan suatu realitas, konkrit, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers menyebut teori tersebut sebagai teori kenyataan sederhana ( eenvoudige realiteit), karena menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia itu terbatas sampai pada bidang hukum saja. Jadi menurut teori kenyataan yuridis badan hukum adalah wujud yang riil, sama riilnya dengan manusia. Sebagai Organ ada beberapa doktrin mengenai pertanggung jawaban organ/ badan hukum diantaranya sebagai berikut : 1. Doktrin Ultra Vires

21 Definisi Ultra vires menurut Black s Law Dictionary 20 adalah: an act performed without any authority to act on subject. Ultra Vires didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan tanpa otoritas untuk bertindak sebagai subjek. Dalam Bahasa Latin, ultra vires berarti di luar atau melebihi kekuasaan (outside the power) yaitu kekuasaan yang diberikan hukum terhadap suatu badan hukum (dalam hal ini badan hukum Perseroan diwakili oleh Organ Perseroan dalam melakukan tindakan hukumnya). Istilah lain yang seringkali digunakan untuk mendefinisikan ultra vires adalah pelampauan wewenang 21. Ultra vires diterapkan dalam arti luas yakni tidak hanya kegiatan yang dilarang oleh Anggaran Dasarnya, tetapi termasuk juga tindakan yang tidak dilarang, tetapi melampaui kewenangan yang diberikan. Doktrin ultra vires memiliki mempunyai basis teori keagenan. Konstruksi hubungan hukum terjadi antara pihak principal pada satu sisi dan agent pada sisi yang lain. Dalam hal ini Organ Perseroan merupakan agent dan Perseroan merupakan principal. Agent harus melakukan tindakan dalam batas kewenangannya (intra vires). Apabila ia bertindak di luar batas kewenangannya maka Organ Perseroan tersebut melakukan tindakan ultra vires. 20 Henry Campbell Black, Black s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, 1990, hal Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 102

22 Akibat hukum dari tindakan ultra vires adalah tindakan tersebut batal demi hukum (null and void), karena tindakan tersebut tidak memenuhi salah satu syarat objektif sahnya perjanjian yaitu kausa yang halal. 2. Pertanggungjawaban Vicarious Liability Secara umum seseorang hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tetapi dalam hukum juga dikenal konsep bahwa seseorang bertanggungjawab terhadap perbuatan orang lain, undang-undang mengatur dan menetapkan orang yang dipandang bertanggung jawab sebagai pembuat. Konsep mempertanggungjawabkan perbuatan orang lain dalam hukum dikenal dengan istilah Vicarious liability (atau disebut juga respondent superior atau let the master answer) Undang-undang dapat menentukan Vicarious liability, jika terjadi hal-hal sebagai berikut; a. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila perbuatan itu telah didelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain. Dalam hal ini diperlukan suatu syarat atau prinsip tanggung jawab yang bersifat dilimpahkan (the delegation principle)

23 b. Seorang majikan dapat diminta pertanggungjawaban atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan buruhnya atau pekerjanya, jika menurut hukum perbuatan buruh itu dipandang sebagai perbuatan majikan (the servants act is the master s act in law) KUHPerdata juga menganut sistem pertanggungjawaban Vicarious liability. Sebagaimana diketahui bahwa dalam KUHPer tanggung jawab terhadap PMH dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: a. tanggung jawab diri sendiri (Pasal 1365 KUHPerdata), b. tanggung jawab terhadap orang-orang yang menjadi tanggungannya (Pasal 1367 KUHPerdata), yaitu tanggung jawab orang tua/wali, tanggung jawab majikan terhadap bawahan dan tanggungjawab guru, kemudian c. tanggung jawab terhadap Gedung dan binatang yang ada dalam pengawasannya. Pasal tersebut merupakan pengecualian dari tanggung jawab vicarious liability di Indonesia. Namun untuk hubungan majikan dan bawahannya tidak ada pengecualiannya dari pembuat undang-undang. Hubungan majikan dan bawahan adalah hubungan trust sehingga majikan dianggap selalu bertanggungjawab terhadap bawahan sepanjang bahwa kesalahan itu dapat dibebankan kepada bawahannya. Artinya sepanjang kesalahan tersebut dapat dikenakan kepada bawahannya

24 maka majikan selalu bertanggung jawab, kecuali bawahan tidak dapat dikenakan tanggung jawab, misalkan karena adanya overmacht, maka si majikan pun dibebaskan dari tanggung jawab. Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama dengan vicarious liability. Karena menurut doktrin ini, lembaga (korporasi) yang menaungi suatu pekerja atau kelompok pekerja bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh para pekerjanya. Latar belakang penerapan konsep ini adalah bahwa dibalik dinding, suatu korporasi itu adalah sebagai satu kesatuan. 3. Prinsip Tanggung Jawab Terbatas (Limit Liability) Badan hukum memiliki keistimewaan dengan dianutnya prinsip tanggung jawab terbatas. Tanggung jawab terbatas berperan sebagai defensive asset partitioning yang berbeda dari affirmative asset partitioning dalam personalitas hukum. 22 Ini merupakan konsekuensi dari status perseroan sebagai badan hukum yang terpisah dari pemilik dan pengurusnya. Pembatasan tanggung jawab dibebankan kepada para pemegang saham bahwa tanggung jawab hanya sebatas sebesarnilai saham yang disetorkannya kepada perseroan. Dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perseroan Terbatas diatur, bahwa 22 Khairandy Ridwan, Perseroan Terbatas,2009 Kreasi Total Media. Hlm.14.

25 pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan: a. Bahwa perseroan merupakan subyek hukum mandiri yang terpisah dari pribadi para pemegang sahamnya, bertindak atas nama dan untuk kepentingannya dan bertanggung jawab sendiri terhadap tindakannya tersebut. b. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan yang dibuat oleh perseroan atas nama perseroan. c. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi terhadap perseroan melebihi nilai saham yang dimilikinya. d. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa pemegang saham, pada prinsipnya tidak bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan yang dibuat atas nama perseroan juga atas kerugian yang dialami oleh perseroan. Tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas modal yang disetorkannya kepada perseroan. Timbulnya prinsip tanggung jawab terbatas berkaitan erat dengan didapatnya status perseroan sebagai badan hukum. Sebelum perseroan menjadi badan hukum, maka sesuai dengan Pasal 39 KUHD, masing-masing

26 pengurusnya bertanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan. 23 Hal ini juga berlaku bagi pemegang saham, seperti yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2), yang menentukan bilamana persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum terpenuhi, maka ketentuan mengenai tanggung jawab pemegang saham yang hanya terbatas pada besarnya nilai saham yang disetorkan tidaklah berlaku. 24 Badan hukum melindungi pemiliknya dari tanggung jawab pribadi atas utang dan kewajiban organisasi. Pemilik/pemegang saham dilindungi dari tanggung jawab secara pribadi atas utang bisnis perseroan. Meskipun, pemilik kemudian menjadi pengurus perseroan, tetap mendapatkan perlindungan dari tanggung jawab pribadi. Dari kedua hal di atas dapat disimpulkan bahwa para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi 23 H.M.N. Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid II,1989, Jaakarta: PT Djambatan. Hlm Pasal 3 ayat (2) UU No 40 tahun 2004 tentang Perseroan Terbatas Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila: a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatanmelawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, Yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan

27 terhadap utang maupun kewajiban perseroan yang timbul dari perikatan maupun tindakan hukum lain yang dilakukan oleh perseroan atas nama perseroan. Tanggung jawab terbatas memberikan tabir perlindungan bagi setiap pemegang saham, sehingga terlepas dari tuntutan pihak ketiga yang timbul atas kontrak atau perikatan yang dilakukan oleh perseroan. 25 Keterpisahan tanggung jawab hukum antara perseroan dengan pribadi pemegang saham tersebut mempertegas ciri dari perseroan terbatas bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas nilai saham yang dimilikinya dan tidak meliputi kekayaan pribadinya. 26 Kelebihan dari adanya prinsip tanggung jawab terbatas adalah dalam menarik investor atau pemodal, terutama para investor yang memiliki sedikit informasi atau memiliki keterbatasan dalam pengawasan kegiatan dan aktivitas perseroan/badan hukum. 25 M. Yahya Harahap. Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, hlm Rustamaji Purnomo : Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil Pada Perseroan Terbatas (studi kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia) Hlm. 49.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Tanggung Jawab Tanggung jawab pelaku usaha atas produk barang yang merugikan konsumen merupakan perihal yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, saat ini hampir setiap orang dalam satu ruang lingkup keluarga memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK 43 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean BAB I PENDAHULUAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean BAB I PENDAHULUAN AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perseroan Terbatas (PT) sebelumnya diatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

Andria Luhur Prakoso Universitas Muhammadiyah Surakarta

Andria Luhur Prakoso Universitas Muhammadiyah Surakarta Prosiding Seminar Nasional ISBN: 978-602-361-036-5 PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN BARANG DALAM PENGANGKUTAN DI DARAT

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN BARANG DALAM PENGANGKUTAN DI DARAT BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN BARANG DALAM PENGANGKUTAN DI DARAT A. Pengirim Barang dan Hubungannya dengan Pengguna Jasa. Pengangkutan merupakan salah satu hal

Lebih terperinci

TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENYEDIA JASA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA OUTSOURCING

TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENYEDIA JASA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA OUTSOURCING TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENYEDIA JASA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA OUTSOURCING Dhevy Nayasari Sastradinata *) *) Dosen Fakultas hukum Universitas Islam Lamongan ABSTRAK Iklim

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENGANGKUTAN, TANGGUNG JAWAB HUKUM DAN PENGIRIMAN BARANG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENGANGKUTAN, TANGGUNG JAWAB HUKUM DAN PENGIRIMAN BARANG BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENGANGKUTAN, TANGGUNG JAWAB HUKUM DAN PENGIRIMAN BARANG 1.1 Hukum Pengangkutan 2.1.1 Pengertian Pengangkutan Dalam dunia perniagaan masalah pengangkutan memegang peranan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL Muchamad Arif Agung Nugroho Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang agungprogresif@gmail.com ABSTRAK Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan

Lebih terperinci

BAB II MENGENAI PERJANJIAN JUAL BELI YANG DIATUR DALAM BUKU III KUH PERDATA

BAB II MENGENAI PERJANJIAN JUAL BELI YANG DIATUR DALAM BUKU III KUH PERDATA BAB II MENGENAI PERJANJIAN JUAL BELI YANG DIATUR DALAM BUKU III KUH PERDATA A. Tinjauan Perjanjian 1. Definisi Perjanjian Perjanjian dalam KUHPerdata diatur dalam Buku III tentang Perikatan, Bab Kedua,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB, KERUGIAN DAN PENGGUNA JALAN. tanggung jawab dapat dikelompokkan menjadi tiga dalam arti accountability,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB, KERUGIAN DAN PENGGUNA JALAN. tanggung jawab dapat dikelompokkan menjadi tiga dalam arti accountability, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB, KERUGIAN DAN PENGGUNA JALAN 2.1. Tanggung Jawab 2.1.1. Pengertian tanggung jawab Pengertian tanggung jawab sangat luas, menurut Peter Salim, pengertian tanggung

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan Direksi sebagai organ yang bertugas melakukan pengurusan terhadap jalannya kegiatan usaha perseroan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Tanggungjawab terbatas..., Ronald U.P. Sagala, FH UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Tanggungjawab terbatas..., Ronald U.P. Sagala, FH UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum orang beranggapan bahwa tanggung jawab pemegang saham perseroan terbatas hanya terbatas pada saham yang dimilikinya. Menurut asasnya, dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Jasa Konstruksi 1. Pengertian Jasa Konstruksi Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dijelaskan, Jasa Konstruksi adalah layanan jasa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Ekspedisi Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum keperdataan yang adil dan koheren kiranya penting bagi kelancaran lalu lintas hukum dan sebab itu pula menjadi prasyarat utama bagi tumbuhkembangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

PERBEDAAN WANPRESTASI DENGAN PENIPUAN DALAM PERJANJIAN HUTANG PIUTANG

PERBEDAAN WANPRESTASI DENGAN PENIPUAN DALAM PERJANJIAN HUTANG PIUTANG PERBEDAAN WANPRESTASI DENGAN PENIPUAN DALAM PERJANJIAN HUTANG PIUTANG Oleh : I Ketut Gde Juliawan Saputra A.A Sri Utari Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan yang berjudul Perbedaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, mereka harus

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, mereka harus 1 BAB I PENDAHULUAN Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, baik dalam segi sosial maupun segi ekonomi. Untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. pajak, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: dengan adanya beberapa teori yaitu Doctrine of strict liability atau

BAB V PENUTUP. pajak, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: dengan adanya beberapa teori yaitu Doctrine of strict liability atau BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan diatas mengenai permasalahan pertanggungjawaban korporasi, juga pertanggungjawaban direksi sebagai representasi korporasi dan kendala-kendala yang

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB DIREKSI BERDASARKAN PRINSIP FIDUCIARY DUTIES DALAM PERSEROAN TERBATAS

TANGGUNG JAWAB DIREKSI BERDASARKAN PRINSIP FIDUCIARY DUTIES DALAM PERSEROAN TERBATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BERDASARKAN PRINSIP FIDUCIARY DUTIES DALAM PERSEROAN TERBATAS Abstrak : Oleh: Putu Ratih Purwantari Made Mahartayasa Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Udayana Direksi adalah

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur baik material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan pembangunan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia Penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana

BAB V PENUTUP. pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang didapat oleh penulis dari penyelesaian sengketa pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS CACAT TERSEMBUNYI PADA OBJEK PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL YANG MEMBERIKAN FASILITAS GARANSI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya adalah usaha jasa pencucian pakaian atau yang lebih dikenal dengan jasa laundry. Usaha ini banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifatsifat hakiki yang dimaksud di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1.

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perseroan Terbatas ( PT ) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian kontrak, tetapi menurut Para pakar hukum bahwa kontrak adalah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS A. Kedudukan Direksi Sebagai Pengurus dalam PT Pengaturan mengenai direksi diatur dalam Bab VII dari Pasal 92 sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM. Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM. Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari tahun ke tahun terus berupaya untuk melaksanakan peningkatan pembangunan di berbagai

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : I Made Aditia Warmadewa I Made Udiana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan ini berjudul akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kita sadari atau tidak, perjanjian sering kita lakukan dalam kehidupan seharihari. Baik perjanjian dalam bentuk sederhana atau kompleks, lisan atau tulisan, dalam jangka

Lebih terperinci

[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH]

[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH] BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan arus globalisasi ekonomi dunia dan kerjasama di bidang perdagangan dan jasa berkembang sangat pesat. Masyarakat semakin banyak mengikatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga kiranya dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM Oleh : Ni Made Astika Yuni I Gede Pasek Eka Wisanjaya Bagian

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN ANAK PERUSAHAAN. A. Status Badan Induk perusahaan dan Anak Perusahaan

BAB II HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN ANAK PERUSAHAAN. A. Status Badan Induk perusahaan dan Anak Perusahaan BAB II HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN ANAK PERUSAHAAN A. Status Badan Induk perusahaan dan Anak Perusahaan Pasal 1 angka 1 UUPT, elemen pokok yang melahirkan suatu Perseroan sebagai badan hukum,

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan 2.1.1 Pengertian Lembaga Pembiayaan Istilah lembaga pembiayaan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA (PMHP/OOD) disampaikan oleh: Marianna Sutadi, SH Pada Acara Bimbingan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI Tanggal 9 Januari 2009 Keputusan Badan/Pejabat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

Pengantar Ilmu Hukum. Disampaikan oleh : Fully Handayani R, SH,M.Kn

Pengantar Ilmu Hukum. Disampaikan oleh : Fully Handayani R, SH,M.Kn Pengantar Ilmu Hukum Pengertian Pokok dalam Sistem Hukum Disampaikan oleh : Fully Handayani R, SH,M.Kn Subjek Hukum Adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS. Oleh : Raffles, S.H., M.H.

EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS. Oleh : Raffles, S.H., M.H. EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS Oleh : Raffles, S.H., M.H. 1 Abstrak Direksi adalah organ perseroaan yang bertanggung jawab penuh

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2 AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah akibat hukum yang timbul dari kelalaian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Asuransi 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Menurut

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS PRODUK YANG MERUGIKAN KONSUMEN 1 Oleh : Louis Yulius 2

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS PRODUK YANG MERUGIKAN KONSUMEN 1 Oleh : Louis Yulius 2 TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS PRODUK YANG MERUGIKAN KONSUMEN 1 Oleh : Louis Yulius 2 ABSTRAK Industrialisasi di dunia saat ini sangat penting, dimana masyarakat saling menopang satu sama lain dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya salah

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP JASA PENGIRIMAN BARANG MENURUT KUH PERDATA DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP JASA PENGIRIMAN BARANG MENURUT KUH PERDATA DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN PUSTAKA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP JASA PENGIRIMAN BARANG MENURUT KUH PERDATA DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian dan Syarat

Lebih terperinci

WEWENANG DIREKSI DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PERSEROAN TERBATAS

WEWENANG DIREKSI DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PERSEROAN TERBATAS WEWENANG DIREKSI DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PERSEROAN TERBATAS (Dipublikasikan dalam Jurnal Al-Buhuts, ISSN: 1410-184 X, Seri B, Vol. 6 No. 1, September 2001, Lembaga Penelitian Universitas Islam Malang,

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB MUTLAK ( STRICT LIABILITY ) DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

TANGGUNG JAWAB MUTLAK ( STRICT LIABILITY ) DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA 1 TANGGUNG JAWAB MUTLAK ( STRICT LIABILITY ) DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA Oleh Ade Risha Riswanti Pembimbing : 1. Nyoman A. Martana. 2. I Nym. Satyayudha Dananjaya. Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG GUGAT NOTARIS TERHADAP LAPORAN AUDIT YANG DIBUATNYA

BAB III TANGGUNG GUGAT NOTARIS TERHADAP LAPORAN AUDIT YANG DIBUATNYA BAB III TANGGUNG GUGAT NOTARIS TERHADAP LAPORAN AUDIT YANG DIBUATNYA 1. Teori Tanggung Gugat Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan prinsip kebersamaan, efisiensi,berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

BAB I PENDAHULUAN. dengan prinsip kebersamaan, efisiensi,berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan berlandaskan pada Undang- Undang

Lebih terperinci

BAB 3 MASALAH PERTANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM KASUS MIS-SELLING

BAB 3 MASALAH PERTANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM KASUS MIS-SELLING 35 BAB 3 MASALAH PERTANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM KASUS MIS-SELLING 3.1. Tanggung Jawab Hukum dalam Ranah Hukum Publik dan Privat Dilihat dari aspek lingkup bidang hukum, maka secara umum konsep tanggung

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG PADA PT. KERTA GAYA PUSAKA (KGP) DAN AKIBAT HUKUMNYA JIKA TERJADI WANPRESTASI MOH ANWAR Fakultas Hukum, Universitas Wiraraja Sumenep Mohanwar752@yahoo.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

Dengan adanya pengusaha swasta saja belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini antara lain karena perusahaan swasta hanya melayani jalur-jalur

Dengan adanya pengusaha swasta saja belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini antara lain karena perusahaan swasta hanya melayani jalur-jalur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia pembangunan meningkat setiap harinya, masyarakat pun menganggap kebutuhan yang ada baik diri maupun hubungan dengan orang lain tidak dapat dihindarkan.

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN 2.1 Pengertian Perjanjian Buku III KUHPerdata Indonesia mengatur tentang Perikatan, terdiri dari dua bagian yaitu peraturan-peraturan umum

Lebih terperinci

ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN: SUATU LANDASAN DALAM PEMBUATAN KONTRAK

ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN: SUATU LANDASAN DALAM PEMBUATAN KONTRAK ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN: SUATU LANDASAN DALAM PEMBUATAN KONTRAK M. Muhtarom Dosen Jurusan Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. Ahmad Yani, tromol pos I Pabelan Kartasura

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN BAKU DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI PERUSAHAAN ANGKUTAN DARAT PADA PT ARVIERA DENPASAR

PELAKSANAAN PERJANJIAN BAKU DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI PERUSAHAAN ANGKUTAN DARAT PADA PT ARVIERA DENPASAR PELAKSANAAN PERJANJIAN BAKU DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI PERUSAHAAN ANGKUTAN DARAT PADA PT ARVIERA DENPASAR Oleh: I Gusti Agung Lina Verawati Ngakan Ketut Dunia A.A Ketut Sukranatha Bagian

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten)

KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten) KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten) I WANPRESTRASI 1. Prestasi adalah pelaksanaan sesuatu

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi

BAB I P E N D A H U L U A N. merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi BAB I P E N D A H U L U A N 1.1. Latar Belakang Masalah Anak adalah anugrah Allah kepada manusia, sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori digilib.uns.ac.id 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Tanggung Jawab Hukum a. Pengertian Tanggung Jawab Hukum Menurut Kamus Bahasa Indonesia tanggung jawab adalah keadaan wajib

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, ditegaskan bahwa setiap

Lebih terperinci

SOAL JAWAB 110 : HUKUM DAN ASURANSI 26 SEPTEMBER 2000

SOAL JAWAB 110 : HUKUM DAN ASURANSI 26 SEPTEMBER 2000 SOAL JAWAB 110 : HUKUM DAN ASURANSI 26 SEPTEMBER 2000 BAGIAN I 1. Uraikan 2 (dua) bidang usaha perasuransian menurut UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Dalam Bab II yang berjudul Bidang Usaha

Lebih terperinci

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2 SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi syarat syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat sudah dikenal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat sudah dikenal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat sudah dikenal sejak masyarakat mengenal hukum itu sendiri, sebab hukum itu dibuat untuk mengatur kehidupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN LAUT, TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM ANGKUTAN LAUT DAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGANGKUTAN LAUT

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN LAUT, TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM ANGKUTAN LAUT DAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGANGKUTAN LAUT BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN LAUT, TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM ANGKUTAN LAUT DAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGANGKUTAN LAUT 2.1 Pengangkutan Laut 2.1.1 Pengertian Pengangkutan Laut Pengangkutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Bondan Kanumoyoso, Tesis: Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Bondan Kanumoyoso, Tesis: Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pendirian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada awalnya merupakan wadah bisnis dari asset asing yang dinasionalisasi. Seperti yang dicatat oleh Bondan Kanumoyoso, nasionalisasi

Lebih terperinci