*Abdussalam Moo, , **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "*Abdussalam Moo, , **Nur Rasdianah, S.Si., M.Si., Apt, ***Madania, S.Farm., M.Sc., Apt. Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG."

Transkripsi

1

2 Kajian Peresepan Obat Psikotropika di Apotek Kota Gorontalo Tahun 2014 The Study Of Psychotropic Drug Prescription On Chemists In Gorontalo 2014 Abdussalam Moo 1, Nur Rasdianah 2, Madania 3 1), Program Studi S1, Jurusan Farmasi, FIKK, UNG 2,3) Dosen Jurusan Farmasi, FIKK, UNG abdussalam_moo91@yahoo.com ABSTRAK Peresepan obat psikotropika harus dilakukan dengan tepat untuk menghindari kesalahan dalam pengobatan. Peresepan obat psikotropika meliputi aspek kelengkapan resep, legalitas, jenis obat yang diresepkan dan dosis obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peresepan obat psikotropika di apotek Kota Gorontalo tahun 2014, dengan data sekunder dari lembar resep bulan Januari-Maret 2014 yang diperoleh dari 8 apotek yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian, aspek kelengkapan resep meliputi resep yang lengkap sebanyak 61,61 % dan resep yang tidak lengkap sebanyak 38,69 %. Aspek legalitas resep obat psikotropika masih kurang karena sebanyak 1,44 % resep yang tidak mencantumkan nama dokter dan resep yang tidak mencantumkan paraf dokter sebagai keabsahan resep sebanyak 75,56, serta resep yang tidak mencantumkan SIP dokter sebesar 78,20 %. Jenis obat psikotropika yang paling banyak diresepkan adalah alprazolam (golongan benzodiazepine) dengan persentase 49,14 %. Dosis obat psikotropika yang sudah tepat persentasenya 28,65 % sedangkan dosis obat yang tidak jelas persentasenya 71,35 %. Kata Kunci : Kajian Peresepan, Obat Psikotropika Apotek sebagai sarana pelayanan kesehatan dapat menyediakan obat bagi pasien melalui pelayanan resep. Resep merupakan perwujudan akhir kompetensi dokter dalam medical care (Jas, 2007:1). Resep juga salah satu sarana interaksi antara dokter dan pasien (Akoria, Ambrose, 2008:295).Menurut Permenkes No. 919/Menkes/Per/X/1993 resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker pengelola apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang berhak menulis resep adalah dokter, dokter gigi dan dokter hewan sedangkan yang berhak menerima resep adalah apoteker pengelola apotek yang bila berhalangan tugasnya dapat digantikan apoteker pendamping/ apoteker pengganti atau asisten apoteker kepala di bawah pengawasan dan tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek (Rahmawati, Oetari, 2002:87). Menurut Michelle R. Colien kegagalan komunikasi dan salah interpretasi antara prescriber dengan dispenser merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya kesalahan medikasi (medication error) yang bisa berakibat fatal bagi penderita medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat, tindakan, dan

3 perawatan selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah (Cohen, 2000:1-8). Menurut jurnal internasional oleh Nair dan Srivastava (2012:72) 60 % kesalahan dalam peresepan psikotropika disebabkan oleh tulisan tangan dokter yang tidak dapat dimengerti, selain itu terdapat aspek kelengkapan resep yang tidak dicantumkan seperti alamat dan umur pasien. Masalah lain yaitu terkait dengan jumlah dan dosis obat psikotropika. Buruknya, hal ini sangat merugikan pasien bahkan menyebabkan kematian. Penelitian oleh Mamarimbing dkk tahun 2012 tentang evaluasi kelengkapan administratif resep dari dokter spesialis anak pada tiga apotek di kota Manado terdapat 88,63% tidak mencantumkan kelengkapan Surat Ijin Praktek (SIP) dokter, 46,3% resep tidak mencantumkan alamat pasien, 1,6% resep tidak mencantumkan tanggal penulisan resep, 72,5% resep tidak mencantumkan berat badan, dan 21,7% yang tidak mencantumkan umur pasien. Aspek ketelitian dan ketepatan merupakan aspek yang harus sangat diperhatikan dalam meresepkan obat psikotropika. Hal ini disebabkan dalam meresepkan obat psikotropika, dokter harus bertanggung jawab atas efek samping dan yang bisa terjadi kepada pasien karena jenis obat psikotropika yang diresepkan tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang Kajian peresepan psikotoropika di Apotek Kota Gorontalo tahun METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional dimana pengambilan pengamatan dilakukan secara sekaligus tanpa ada pengulangan. Data yang didapatkan berupa data retrospektif untuk mengetahui peresepan obat psikoropika di Apotek Kota Gorontalo tahun 2014 ditinjau dari segi kelengkapan dan legalitas resep, jenis obat yang diresepkan dan dosis obat. Pemeriksaan kualitatif dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kesalahan dalam peresepan meliputi kelengkapan dan legalitas resep tersebut. Pemeriksaan kuantitatif dilakukan untuk menggambarkan persentasi kelengkapan resep, jenis obat yang paling banyak diresepkan dan dosis obat. Waktu dan Tempat penelitian Penelitian ini telah di laksanakan di 8 Apotek yang ada di Kota Gorontalo dari tanggal 8 Mei-25 Mei Variabel Penelitian Variabel penelitian ini berupa variabel tunggal yaitu berupa kajian peresepan obat psikotropika yang meliputi aspek kelengkapan resep, aspek legalitas, jenis obat psikotropika yang paling banyak diresepkan dan dosis obat psikotropika Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini yaitu total seluruh apotek di Kota Gorontalo yaitu 60 apotek. Sampel dalam penelitian ini yaitu 8 Apotek yang dipilih dari 61 dengan indikator berdasarkan survey awal peneliti bahawa. Dari 8 Apotek ini diambil resep yang terdapat obat psikotropika yang merupakan resep dari bulan Januari-Maret 2014.

4 Pemilihan apotek berdasarkan teknik purposive sampling, dari 60 apotek di Kota Gorontalo dipilih 8 apotek berdasarkan pertimbangan tertentu stelah peneliti melakukan survey awal yaitu apotek tersebut merupakan apotek yang ramai, apotek yang banyak meresepkan obat psikotropika, apotek yang memiliki tempat praktek dokter. Untuk pengambilan sampel resep dilakukan secara retrospektif yaitu resep obat psikotropika dari bulan Januari- Maret Instrument Penelitian Penelitian ini menggunakan instrument berupa tabel data hasil kajian peresepan psikotropika di apotek Kota Gorontalo yang meliputi kelengkapan dan legalitas resep, jenis obat dan dosis obat. Kemudian data tersebut dihitung persentasenya. Selain itu untuk mengetahui tingkat legalitas dan keaslian resep maka dilakukan wawancara terhadap dokter, apoteker pengelola apotek dan asisten apoteker untuk mendukung data penelitian. Kemudian hasil wawancara akan ditampilkan dalam bentuk daftar wawancara. Definisi Operasional Variabel 1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian di Kota Gorontalo yang merupakan tempat bagi pasien untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter 2. Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, dokter hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada apoteker pengelola apotek untuk menyiapkan dan atau membuat, meracik serta menyerahkan obat kepada pasien 3. Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku 4. Kajian peresepan adalah melakukan kajian dan pemeriksaan terhadap resep yang meliputi aspek kelengkapan resep dan legalitas resep, jenis obat psikotropika yang paling banyak diresepkan dan dosis obat psikotropika. 5. Kelengkapan resep adalah aspek-aspek yang dapat menunjukan bahwa resep itu sudah lengkap dan sudah legal yang meliputi Keaslian identitas penulis resep/ prescriber (apakah dokter umum, dokter spesialis, bidan atau perawat (nama, alamat, nomor hp, nomor izin praktek); tanggal penulisan resep; tanda R/ untuk setiap penulisan resep; nama obat, komposisi serta aturan pakainya; tanda tangan atau paraf dokter sebagai keabsahan atau legalitas resep; keaslian identitas penerima resep (nama, alamat, umur, berat badan); tanda seru untuk resep yang melebihi dosis maksimum; tanda garis bawah dengan tinta biru jika resep mengandung psikotropika. Alat Ukur : Surat Keputusan Menkes Nomor 1027/menkes/sk/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang memuat tentang prosedur tetap skrining kelengkapan resep dan Literatur berupa buku Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi 6. Aspek legalitas adalah keaslian dari resep tersebut yang meliputi keaslian identitas dari pemberi resep dokter) yang dibuktikan dengan paraf asli dari dokter pemberi resep obat psikotropika.

5 Alat Ukur : form resep asli yang diminta langsung oleh peneliti dari dokter dan ditandatangani sendiri oleh dokter tersebut dibandingkan dengan resep yang diperoleh dari apotek. Selain itu dilakukan wawancara kepada dokter dan apoteker untuk mengetahui keaslian resep dan kejelasan identitas pemberi resep (dokter). 7. Jenis obat adalah jenis obat psikotropika yang diresepkan oleh dokter apakah psikotropika golongan I, II, III ataupun psikotropika golongan IV. Alat Ukur : Literatur berupa buku Farmakologi dan Terapi, ISO Fater dan ISO 8. Dosis obat adalah dosis obat psikotropika dalam resep tersebut apakah dosis tersebut tepat, dosis kurang ataupun dosis berlebih. Alat Ukur : Literatur berupa buku Farmasetika dan Hitungan Farmasi yan memuat tentang dosis obat, buku informasi spesialis obat sebagai pedoman pemberian dosis obat. Teknik Pengolahan data dan Analisis Data Setelah data diperoleh maka data diolah dan dianalisis dengan cara analisis univariat dimana peneliti menganalisis data tentang kelengkapan resep, aspek legalitas resep, jenis obat psikotropika dan dosis obat dengan cara menghitung persentase dari masing-masing aspek tersebut kemudian hasil persentase ini disajikan dalam bentuk grafik HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil rekapan jumlah seluruh resep obat psikotropika di 8 Apotek di Kota Gorontalo dapat dilihat pada tabel 4.1 Tabel 4.1 Rekapan Jumlah Resep Obat psikotropika dari bulan Januari- Maret 2014 di 10 Apotek Kota Gorontalo No Apotek Jumlah resep dalam Bulan (dalam tahun 2014) Januari Februari Maret 1 Apotek A Apotek B Apotek C Apotek D Apotek E Apotek F Apotek G Apotek H Jumlah Sumber : data sekunder yang diolah, 2014 Dari tabel 4.1 dipertoleh bahwa resep obat psikotropika yang paling banyak terdapat di Apotek A dan resep obat psikotropika yang paling sedikit yaitu di apotek H. Jumlah rekapan seluruh resep obat psikotropika dari bulan Januari- Maret 2014 di 8 Apotek di Kota Gorontalo kemudian dapat ditampilkan pada grafik dibawah ini :

6 Jumlah Bulan Januari 2014 Bulan Februari 2014 Bulan Maret Keterangan : 1. Apotek A 2. Apotek B 3. Apotek C 4. Apotek D 5. Apotek E 6. Apotek F 7. Apotek G 8. Apotek H Apotek Gambar 4.1 Grafik Jumlah Resep Obat Psikotropika Grafik di atas menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah persentase obat psikotropika dari bulan januari hingga maret Data rekapan seluruh aspek kelengkapan resep psikotropika yang ada di 8 Apotek di Kota Gorontalo dari bulan Januari- Maret 2014 kemudian dapat ditampilkan pada tabel di bawah ini : Tabel 4.2 Total Rekapan kelengkapan resep di 8 apotek No Apotek Aspek Kelengkaan Resep Apotek Apotek Apotek Apotek Apotek Apotek Apotek Apotek Sumber : data sekunder yang diolah, 2014 Keterangan : 1 : Resep yang tidak mencantumkan nama dokter 2 : Resep yang tidak mencantumkan alamat dokter 3 : Resep yang tidak mencantumkan SIP dokter

7 4 : Resep yang tidak mencantumkan tanggal resep 5 : Resep yang tidak mencantumkan nama pasien 6 : Resep yang tidak mencantumkan alamat pasien 7 : Resep yang tidak mencantumkan umur pasien 8 : Resep yang tidak mencantumkan jenis obat 9 : Resep yang tidak mencantumkan jumlah obat 10 : Resep yang tidak mencantumkan aturan pakai 11 : Resep yang tidak mencantumkan paraf dokter 12 : Resep yang tidak mencantumkan tanda garis bawah berwarna biru Tabel 4.3 menunjukan bahwa tidak ada apotek yang memenuhi semua aspek kelengkapan resep. Apotek 3 merupakan apotek yang paling tinggi kelengkapan resepnya karena hanya memiliki 2 aspek ketidak lengkapan resep yaitu tidak mencantumkan alamat dan umur pasien. Tabel 4.3 Persentase Kelengkapan Resep Pengelompokkan Jumlah Resep Persentase No kelengkapan resep psikotropika Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada 1 Nama dokter ,56 % 1,44 % 2 Alamat Dokter % 0 % 3 SIP dokter ,80 % 78,20 % 4 Tanggal Resep ,02 % 8,98 % 5 Nama Pasien % 0 % 6 Alamat Pasien ,46 % 90,54 % 7 Umur Pasien ,65 % 71,35 % 8 Berat Badan Pasien 0 % 100 % 9 Jenis Obat % 0 % 10 Jumlah Obat % 0 % 11 Aturan pakai % 0 % 12 Paraf dokter ,54 % 75,46 % 13 Garis bawah berwarna biru ,90 % 73,10 % Sumber : data sekunder yang diolah, 2014 Tabel 4.3 menunjukkan bahwa aspek jenis obat, jumlah obat dan aturan pakai memiliki persentase kelengkapan resep yang paling tinggi yaitu 100 %, sedangkan berat badan pasien memiliki persentase kelengkapan resep yang paling rendah yaitu 0 %. Persentase Tingkat kelengkapan setiap resep selanjutnya dapat ditampilkan pada grafik berikut ini :

8 Persentase Persentase Aspek Kelengkapan Resep 120,00% 100,00% 80,00% 60,00% 40,00% 20,00% 0,00% Aspek Kelengkapan Resep Keterangan: 1. Nama Dokter 2. Alamat Dokter 3. SIP Dokter 4. Tanggal Resep 5. Nama Pasien 6. Alamat Pasien 7. Umur Pasien 8. Berat badan Pasien 9. Jenis Obat 10. Jumlah Obat 11. Aturan pakai 12. Paraf Dokter 13. Garis Bawah Berwarna Biru Gambar 4.2 Grafik Persentase Aspek Kelengkapan Resep Data rekapan total aspek kelengkapan di 8 Apotek dapat ditampilkan pada tabel di bawah ini : Tabel 4.4 Persentase jenis obat yang paling banyak diresepkan No Jenis Obat psikotropika Jumlah Persentase 1 Zypras ,02 % 2 Alprazolam 0,5 mg ,46 % 3 Analsik ,29 % 4 Alprazolam 1 mg 3 0,09 % 5 Esilgan 252 7,82 % 6 Valisanbe 5 mg 233 7,23 % 7 Zolastin 31 0,96 % 8 Triheksilfenidil 102 3,17 % 9 Halloperidol 112 3,48 % 10 Proneurron 41 1,27 % 11 Xanax 52 1,61 % 12 Braxidin 156 4,84 % 13 Carbamzepin 18 0,56 % 14. Chlorpromazin 33 1,02 % 15 Sanmag 67 2,08 % 16 Diazepam 11 0,34 % 17 Proclozam 4 0,12 % 18 Clobazam 1 0,03 % 19 Luminal 2 0,06 % 20 Amitripillin 15 0,47 % 21 Stesolid Rectal 2 0,06 % Sumber : data sekunder yang diolah, 2014 Tabel 4.4 menunjukkan bahwa obat psikotropika yang paling banyak diresepkan yaitu zypras dengan persentase 35,02 %, sedangkan obat psikotropika yang paling sedikit diresepkan yaitu luminal dan stesolid rectal dengan persentase 0,06 %.

9 Persentase jenis obat yang paling banyak diresepkan dapat ditampilkan dalam grafik berikut ini : Persentase 40,00% 35,00% 30,00% 25,00% 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00% Persentase jenis obat psikotropika yang diresepkan KETERANGAN A. Zypras B. Alprazolam 0,5 mg C. Analsik D. Alprazolam 1 mg E. Esilgan F.Valisanbe 5 mg G.Zolastin H. Triheksifenidil I. Halloperidol J. Proneuron K. Xanax L. Braxidin M. Carbamazepim N. Chlorpromazin O. Sanmag P. Diazepam Q. Proclozam R. Clobazam S. Luminal T. Amitriptilin U. Stesolid Rectal A B C B D E F G H I J K L M N O P Q R S T U Nama Obat Gambar 4.3 Grafik persentase jenis obat psikotropika yang diresepkan Jenis obat psikotropika yang diresepkan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu psikotropika sediaan tunggal dan psikotropika sediaan ganda. Selanjutnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4.5 Psikotropika sediaan Tunggal No Sediaan Tunggal Psikotropika Jumlah Persentase 1 Zypras ,02 % 2 Alprazolam 0,5 mg ,46 % 3 Alprazolam 1 mg 3 0,09 % 4 Zolastin 31 0,96 % 5 Xanax 52 1,61 % 6 Esilgan 252 7,82 % 7 Diazepam 11 0,34 % 8 Valisanbe 5 mg 233 7,23 % 9 Triheksifenidil 102 3,17 % 10 Halloperidol 112 3,48 % 11 Amitriptilin 15 0,47 % 12 Proclozam 4 0,12 % 13 Clobazam 1 0,03 % 14 Chlorpromazin 33 1,02 % 15 Carbamazepin 18 0,56 % 16 Luminal 2 0,06 % 17 Stesolid Rectal 2 0,06 % Total ,52 % Sumber : data sekunder yang diolah, 2014

10 Tabel 4.6 Psikotropika Sediaan Ganda No Sediaan Ganda Psikotropika Jumlah Persentase 1 Analsik ,29 % 2 Braxidin 156 4,84 % 3 Sanmag 67 2,08 % 4 Proneuron 41 1,27 % Total ,48 % Sumber : data sekunder yang diolah, 2014 Perbandingan jumlah persentase psikotropika sediaan tunggal dan psikotropika sediaan ganda dapat dilihat pada grafik di bawah ini : Persentase 80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00% Persentase Psikotropika Sediaan Tunggal dan Psikotropika Sediaan Ganda A B Jenis Psikotropika Keterangan : A = Psikotropika Sediaan tungggal B = Psikotropika Sediaan Ganda Gambar 4.4 Grafik persentase psikotropika sediaan tunggal dan psikotropika sediaan ganda Untuk pemeriksaan dosis obat psikotropika dapat digambarkan pada tabel dibawah ini : Tabel 4.7 Dosis dalam persepan obat psikotropika No Kategori Dosis Jumlah Presentase 1 Dosis Tepat ,65 % 2 Dosis Tidak Jelas ,35 % Total % Sumber : data sekunder yang diolah, 2014 Dari tabel 4.7 diperoleh bahwa dosis tepat memiliki persentase 28,65 % sedangkan dosis tidak jelas memiliki persentase 71,35 %. Dikatakan dosis tidak jelas, karena dosis tidak dapat dihitung dengan rumus perhitungan dosis menurut umur karena resep sejumlah 2082 tidak mencantumkan umur pasien. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian dalam pemeriksaan kelengkapan resep obat psikotropika, banyak resep yang tidak memenuhi syarat kelengkapan resep dokter. Berdasarkan data penelitian didapatkan bahwa resep yang tidak mencantumkan nama dokter yaitu sebanyak 1,44 %, resep yang tidak mencantumkan SIP Dokter dan tanggal resep masing-masing sebanyak 78,20 % dan 8,98 %, resep yang tidak mencantumkan alamat pasien dan umur pasien masing-masing sebanyak 90,54 % dan 71,35 %. Resep yang tidak mencantumkan paraf dokter sebanyak 75,46 %

11 dan resep yang tidak diberi garis bawah berwarna biru sebagai tanda obat psikotropika sebanyak 73,10 % (dapat dilihat pada tabel 4.3). Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mamarimbing dan Bodhi pada tahun 2012 bahwa resep yang tidak lengkap mengalami peningkatan. Berdasarkan tabel 4.2 diperoleh bahwa tidak ada apotek yang mencantumkan seluruh aspek kelengkapan resep. Apotek 3 merupakan apotek yang paling tinggi kelengkapan resepnya karena tidak mencantumkan 2 aspek saja yaitu alamat dan umur pasien. Berdasarkan tabel 4.3 diperoleh bahwa resep yang tidak mencantumkan umur pasien persentasenya 71,35 %. Umur pasien merupakan salah satu aspek yang harus ditulis dalam resep karena berguna dalam perhitungan dosis obat serta untuk menafsirkan seberapa besar toleransi dan ketergantungan obat psikotropika yang diberikan. Menurut departemen pelayanan kesehatan Arizona (2014:4) pasien dengan umur 50 tahun keatas (lansia) akan lebih banyak mengalami toleransi dan ketergantungan dalam pemberian obat psikotropika. Data tersebut juga menunjukan bahwa persentase resep yang tidak mencantumkan alamat pasien juga sangat tinggi yaitu 90,54 % (tabel 4.3). Menurut Rahmawaty dan Oetari (2002:90) alamat pasien digunakan untuk konsultasi dengan dokter itu sendiri jika pasien ternyata mengalami efek yang tidak dinginkan dari obat yang diberikan, jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rivana (2013:37) maka persentase resep yang tidak mencantumkan alamat pasien meningkat dari 86,47 % menjadi 90,54 %. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nair dan Srivastava (2012:72) resep yang tidak memenuhi syarat kelengkapan resep menimbulkan potensi kesalahan dalam pengobatan yang dapat merugikan pasien bahkan dapat menyebabkan kematian. Aspek kedua yang diteliti oleh peneliti yaitu jenis obat psikotropika yang diresepkan. Pada tabel 4.4 menunjukan obat alprazolam (golongan benzodiazepin) memiliki persentase yang paling tinggi sebesar 49,14 % dengan rincian zypras (alprazolam) 35,02 %, alprazolam 0,5 mg 11,46 %, xanax (alprazolam) 1,61 %, zolastin (alprazolam) 0,96 % dan alprazolam 1 mg (0,09 %). Pada grafik 4.4 menunjukan persentase psikotropika sediaan tunggal 73,52 %, sedangkan persentase psikotropika sediaan ganda hanya 26,48 %. Penelitian yang sama dilakukan oleh Leo dkk (2004:1) menyebutkan bahwa persentase obat psikotropika yang paling banyak diresepkan yaitu golongan benzodiazepine sebesar 21 %. Menurut Ganiswara (2007:169) alprazolam merupakan obat psikotropika golongan benzodiazepin dengan daya sedatif yang digunakan untuk mengatasi gejala yang tidak menyenangkan, sensasi cemas, takut dan terkadang panik akan suatu bencana yang mengancam dan tidak terelakkan yang dapat atau tidak berhubungan dengan rangsang eksternal. Dari pengamatan langsung yang dilakukan oleh peneliti ditemukan bahwa ada resep dengan permintaan obat alprazolam sebanyak 10 tablet tetapi hanya dalam waktu 2 hari saja pasien kembali menebus obat tersebut, dan diketahui bahwa ada dokter yang meresepkan alprazolam sebanyak 100 tablet. Hal ini tidak diperbolehkan karena menurut Ganiswara (2007:145) penggunaan benzodiazepin dengan jumlah yang banyak dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan gejala putus obat yang akan menyebabkan pasien sangat tidak nyaman. Berdasarkan wawancara dari dokter yang memberikan resep psikotropika, pemberian obat dalam jumlah yang

12 banyak itu untuk pengobatan yang lama (selama 1 bulan), jika dihitung secara matematis alprazolam yang diberikan sebanyak 100 tablet dengan aturan pakai dosis tunggal berarti obat tersebut habis selama 100 hari (> 3 minggu) yang dapat menyebabkan ketergantungan. Hal ini diungkapkan oleh Ganiswara (2007:170) golongan obat benzodiazepin tidak boleh digunakan lebih dari 3 minggu karena bias menyebabkan toleransi dan ketergantungan fisik. Menurut Depkes (2008) dalam jurnal tanggung jawab apoteker terhadap keselamatan pasien, permintaan obat di resep dalam jumlah yang sangat banyak merupakan bentuk kesalahan dalam peresepan dalam hal improper doses/quantity. Selanjutnya, Depkes (2008) juga menyebutkan bahwa kesalahan dalam peresepan ini merupakan bentuk medication error yang disebabkan oleh apoteker yang tidak teliti dalam melakukan skrinning resep. Apoteker harus terlibat dalam semua aspek peresepan, sehingga kehadiran apoteker di apotek sangat diwajibkan untuk melaksanakan semua pekerjaan kefarmasian. Dalam hal melakukan skrinning resep apoteker tidak boleh melalaikan peraturan, kebijakan dan standarisasi. Apoteker harus melakukan cek list ulang terhadap resep yang diterima. Berdasarkan hasil penelitian terhadap resep di apotek, ditemukan obat triheksifenidil yang diresepkan dalam jumlah yang banyak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yulia (2011) menyebutkan bahwa triheksifenidil digunakan untuk mengobati penyakit parkinson, namun dijelaskan bahwa penggunaan triheksifenidil dalam jumlah yang banyak dan secara rutin tidak disarankan karena dapat menyebabkan kebutaan akibat komplikasi glaukoma. Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap resep obat psikotropika di apotek juga menunjukkan peresepan jumlah obat yang banyak pada haloperidol, chlorpromazin. Dokter seringkali meresepkan kedua obat tersebut sebanyak 100 tablet. Menurut Ganiswara (2007:163) kedua obat tersebut termasuk dalam obat psikotropika golongan antipsikosis tipikal yang jika digunakan dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal, sikap acuh tak acuh dan toleransi terhadap efek sedasi. Aspek dosis obat psikotropika dihitung dengan rumus dosis dewasa yaitu n+1/24 x dosis maksimum, dimana n merupakan umur pasien atau biasa menggunakan petunjuk dosis lazim maupun dosis maksimum yang tecantum dalam farmakope Indonesia. Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh bahwa dosis obat psikotropika sudah tepat sebanyak 836 resep dengan persentase 28,65 %, sedangkan dosis tidak jelas meiliki persentase 71,35 %. Dosis tidak jelas ini disebabkan oleh dosis yang tidak dapat dihitung karena di resep tidak dicantumkan umur pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Nair dan Srivatava (2012:75) bahwa dosis yang tidak tepat (wrong dose) sebanyak 30 % sedangkan dosis obat psikotropika yang sudah tepat persentasenya mencapai 70 %. Jadi, jika dibandingkan dengan penelitian ini, maka terdapat penurunan ketepatan dosis obat psikotropika dari 70 % menjadi 28,65 %. Dari hasil pengamatan peneliti terhadap resep yang ada di apotek diketahui bahwa ada pasien yang menebus obat psikotropika dalam jumlah yang banyak, namun, pasien tersebut kembali menebus obat hanya dalam waktu yang berjarak 2 hari saja. Hal ini menujukan pasien tersebut cenderung ingin meningkatkan dosis. Menurut Ganiswara (2007:145) pasien yang ingin meningkatkan dosis obat psikotropika harus dengan konsultasi

13 dokter. Peningkatan dosis obat menjadi lebih tinggi menyebabkan pasien akan mengalami gejala putus obat dan ketergantungan yang berat. Menurut Ganiswara (2007:145) penghentian penggunaan obat dan penurunan dosis obat alprazolam harus secara bertahap, jika dihentikan secara tiba-tiba maka penyakit yang akan diobati pada mulanya semakin bertambah parah. Pasien dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan obat psikotropika lainnya akan cenderung menyalahgunakan pemakaian obat psikotropika. Aspek terakhir yaitu aspek legalitas dari resep obat psikotropika tersebut. Dari data diatas ada 32 resep (1,44 %) yang tidak mencantumkan nama dokter dan hanya kepala resepnya ditulis dari rumah sakit. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati, Oetari (2002:89) resep yang tidak mencantumkan nama dokter sebanyak 0,2 % dan resep yang ditulis oleh bidan, tenaga medis lainnya sebesar 0,4 %. Berdasarkan hal itu jelas aspek legalitas dari resep tersebut masih diragukan. Hal ini merupakan kesalahan dalam persepan yang diakibatkan oleh kelalaian apoteker dalam melakukan pemeriksaan resep, karena menurut Permenkes No.26/Menkes/Per/1/1/1984 bahwa resep itu merupakan permintaan tertulis dari dokter kepada apoteker untuk membuatkan obat. Dan menyerahkannya kepada pasien Jadi, apoteker harus mengecek dan mengapprov segala sesuatu dalam resep termasuk aspek legalitas resep tersebut. Depkes (2008) menegaskan bahwa apoteker berada dalam posisi strategis untuk meminimalkan medication errors yang disebabkan oleh kesalahan dalam peresepan obat. Selanjutnya Depkes (2008) menjelaskan bahwa aspek legalitas resep yang kurang merupakan wujud nyata prescribing error yang disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam melakukan skrinning resep secara menyeluruh berdasarkan SOP, apoteker selalu berinterpretasi yang menyebabkan kekeliruan dalam pelaksanaan pekerjaan kefarmasian utamanya dalam pelayanan resep. Menurut WHO yang berhak menulis resep hanya dokter, dokter gigi dan dokter hewan. Berdasarkan data penelitian resep yang tidak mencantumkan paraf dokter dan SIP dokter juga persentasenya sangat tinggi yaitu 75,46 % dan 78,20 % (Tabel 4.3). Menurut Jas (2007:7) paraf dokter merupakan aspek keabsahan dan legalitas dari dokter. Penelitian yang dilakukan Rahmawati, Oetari (2002:90) menyebutkan Pencantuman nama prescriber dan paraf prescriber dengan jelas dan lengkap sangat diperlukan, terutama bila terdapat hal-hal yang tidak jelas/meragukan dalam resep yang perlu ditanyakan terlebih dahulu kepada penulis resep, menghindarkan penyalahgunaan resep dilingkungan masyarakat serta memperlancar pelayanan bagi pasien di apotek, sedangkan penulisan SIP (Surat Izin Praktek) dokter dalam resep diperlukan untuk menjamin keamanan pasien, bahwa dokter yang bersangkutan mempunyai hak dan dilindungi undang-undang dalam memberikan pengobatan bagi pasiennya. Berdasarkan hasil penelitian resep obat psikotropika di apotek Kota Gorontalo umumnya ditulis oleh dokter spesialis penyakit dalam, dokter ahli syaraf, bahkan dokter umum seringkali meresepkan obat psikotropika. Hal ini menunjukan bahwa ada ketidaksesuaian dengan kaidah peresepan obat psikotropika, seperti yang ditegaskan oleh departemen pelayanan kesehatan Arizona (2010:3) bahwa yang berhak menulis resep obat psikotropika adalah psikiatri maupun dokter spesialis kejiwaan.

14 SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Aspek kelengkapan resep meliputi resep yang lengkap sebanyak 61,61% dan resep yang tidak lengkap sebanyak 38,69 %. 2. Aspek legalitas resep obat psikotropika masih kurang karena sebanyak 1,44 % resep yang tidak mencantumkan nama dokter dan resep yang tidak mencantumkan paraf dokter sebagai keabsahan resep sebanyak 75,46 %, serta resep yang tidak mencantumkan SIP Dokter sebesar 78,20 % 3. Jenis obat psikotropika yang paling banyak diresepkan adalah alprazolam (golongan benzodiazepin) dengan persentase %. 4. Dosis obat psikotropika yang sudah tepat persentasenya 28,65 %, sedangkan dosis obat tidak jelas persentasenya 71,35 %. SARAN 1.Bagi dokter : diharapkan dalam meresepkan obat psikotropika harus memeprhatikan aspek kelengkapan resep, sehingga tidak akan terjadi kesalahan dalam pengobatan. 2.Bagi farmasis : diharapkan untuk lebih teliti dalam melakukan skrinning resep, pastikan bahwa resep tersebut berasal dari dokter yang tepat dan untuk pasien yang tepat. Jika ada resep yang obatnya sudah melewati dosis diharapkan agar apoteker lebih berani menjelaskan ke dokter agar dikurangi untuk mencegah ketergantungan. 3.Bagi pemerintah : diharapkan agar lebih meningkatkan pengawasan atas regulasi peredaran obat psikotropika dengan baik dan tepat serta dapat membuat rancangan undang-undang baru yang memuat kepastian hukum akan peredaran dan peresepan obat psikotropika yang baik dan benar. Pemerintah diharapkan agar lebih memperketat inspeksi pengawasan terhadap pelaporan psikotropika di tiap apotek untuk mencantumkan identitas dokter dan pasien secara jelas. 4.Bagi peneliti selanjutnya : diharapkan dapat dilakukan penelitian untuk peresepan obat psikotropika dengan ketentuan : a. Jumlah apotek tidak dibatasi b. Meliputi seluruh aspek peresepan dari skrinning resep sampai obat diserahkan pada pasien c. Data dikumpulkan secara retrospektif dan prospektif DAFTAR PUSTAKA Akoria, O. A. & Ambrose O. I., Prescription Writing in Public and Private Hospitals in Benin City, Nigeria : The Effect of an Educational Intervension. Can J Clin Pharmacol Vol 15 (2) Summer 2008; e295 Cohen, M Medication Error. Pharmacetuical Association. Jones and Bartlett Publisher. American.

15 Departemen Pelayanan Kesehatan Arizona, Psychotropic Medication: Prescribing and Monitoring. Arizona Department of Health Services Division of Behavioral Health Services. USA. Depkes Pedoman Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Depkes Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek (SK Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Ganiswara, S Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Jas, A., Perihal Resep & Dosis serta Latihan Menulis Resep. Ed. 1. Universitas Sumatera Utara Press. Medan. Leo, Stella, Spagnoli Prescription of Psychotropic Drugs in Geriatric institutions. International Journal of Geriatric Psychiatry. Access on 13 Oct Mamarimbing, M., Bodhi, W Evaluasi Kelengkapan Administratif Resep dari Dokter Spesialis Anak Pada Tiga Apotek di Kota Manado. unsrat.ac.id/index.php/pharmacon/ artide/download/485/378.[diakses 10 Maret 2013]. Nair, Srivastava Prescription Error in Psychiatry. International Journal of Medical Update. Departmen of Psychiatry, Institute of Medical Science. India. 8(2): Rahmawati, Oetari Kajian penulisan resep: Tinjauan aspek legalitas dan kelengkapan resep Di apotek-apotek kotamadya Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia. Fakultas Farmasi UGM. Yogyakarta Rivana, M Analisis Kelengkapan Resep Obat Psikotropika dan Narkotika di Apotek Era Sehat Kota Gorontalo. Jurnal Penelitian. Gorontalo. Yulia, M Efek samping penggunaan antispikotik terhadap sindrom parkinson pada pasien Schizophrenia di rsj. Prof. Hb. Sa anin padang. Jurnal Penelitian. Padang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Apotek sebagai sarana pelayanan kesehatan dapat menyediakan obat bagi pasien melalui pelayanan resep. Resep merupakan perwujudan akhir kompetensi dokter dalam medical

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Farmasi Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien,

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI Oleh : LINDA WIDYA RETNA NINGTYAS K 100 050 110 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI 5 APOTEK KABUPATEN KLATEN TAHUN 2007 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI 5 APOTEK KABUPATEN KLATEN TAHUN 2007 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI 5 APOTEK KABUPATEN KLATEN TAHUN 2007 SKRIPSI Oleh: DIAH PRAWITOSARI K 100 040 193 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2009 1 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI ANALISA KELENGKAPAN PENULISAN RESEP DARI ASPEK KELENGKAPAN RESEP DI APOTEK KOTA PONTIANAK TAHUN 2012

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI ANALISA KELENGKAPAN PENULISAN RESEP DARI ASPEK KELENGKAPAN RESEP DI APOTEK KOTA PONTIANAK TAHUN 2012 NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI ANALISA KELENGKAPAN PENULISAN RESEP DARI ASPEK KELENGKAPAN RESEP DI APOTEK KOTA PONTIANAK TAHUN 2012 Oleh: Marini NIM : I21109060 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

EVALUASI KELENGKAPAN ADMINISTRATIF RESEP DARI DOKTER SPESIALIS ANAK PADA TIGA APOTEK DI KOTA MANADO Marina Mamarimbing, Fatimawali, Widdhi Bodhi.

EVALUASI KELENGKAPAN ADMINISTRATIF RESEP DARI DOKTER SPESIALIS ANAK PADA TIGA APOTEK DI KOTA MANADO Marina Mamarimbing, Fatimawali, Widdhi Bodhi. EVALUASI KELENGKAPAN ADMINISTRATIF RESEP DARI DOKTER SPESIALIS ANAK PADA TIGA APOTEK DI KOTA MANADO Marina Mamarimbing, Fatimawali, Widdhi Bodhi. Program Studi Farmasi FMIPA UNSRAT Manado, 95115 ABSTRACT

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI LIMA APOTEK KOTA SURAKARTA SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI LIMA APOTEK KOTA SURAKARTA SKRIPSI TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI LIMA APOTEK KOTA SURAKARTA SKRIPSI Oleh : TANTRI RAHATNAWATI K100 040 196 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2010 1 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh : MAYA DAMAYANTI K 100 050 191 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

Kata Kunci : Medication Error, skrining resep, persentase ketidaklengkapan administrasi resep

Kata Kunci : Medication Error, skrining resep, persentase ketidaklengkapan administrasi resep INTISARI GAMBARAN KELENGKAPAN ADMINISTRASI RESEP DI PUSKESMAS LOKPAIKAT KABUPATEN TAPIN TAHUN 2014 Mochammad Arief Budiman 1 ; Erna Prihandiwati, S.F., Apt 2 ; Marliya Suta, A.Md., Far 3 Medication Error

Lebih terperinci

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI Oleh : DWI KURNIYAWATI K 100 040 126 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

karena selain komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan karena penanganan dan

karena selain komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan karena penanganan dan BAB 1 PENDAHULUAN Di Indonesia Bidang Farmasi relatif masih muda dan baru dapat berkembang secara berarti setelah masa kemerdekaan. Pada zaman penjajahan, baik pada masa pemerintahan Hindia Belanda maupun

Lebih terperinci

INTISARI. Rahminati ¹; Noor Aisyah, S.Farm., Apt ²; Galih Kurnianto, S.Farm., Apt³

INTISARI. Rahminati ¹; Noor Aisyah, S.Farm., Apt ²; Galih Kurnianto, S.Farm., Apt³ INTISARI EVALUASI KELENGKAPAN ADMINISTRATIF RESEP DI APOTEK KIMIA FARMA 383 PINUS SULTAN ADAM DAN APOTEK KIMIA FARMA HASAN BASRI BANJARMASIN PERIODE NOVEMBER 2013 OKTOBER 2014 Rahminati ¹; Noor Aisyah,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret 2012 di Apotek RSU

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret 2012 di Apotek RSU BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret 2012 di Apotek RSU Monompia Kotamobagu. Apotek RSU Monompia merupakan satu-satunya Apotek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

Lebih terperinci

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA KAJIAN PERESEPAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1197/MENKES/SK/X/2004 PADA RESEP PASIEN RAWAT JALAN DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN

Lebih terperinci

FITRIA MEGAWATI*, PUGUH SANTOSO* *Akademi Farmasi Saraswati Denpasar, Jalan Kamboja no. 11A, Denpasar

FITRIA MEGAWATI*, PUGUH SANTOSO* *Akademi Farmasi Saraswati Denpasar, Jalan Kamboja no. 11A, Denpasar PENGKAJIAN RESEP SECARA ADMINISTRATIF BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NO 35 TAHUN 2014 PADA RESEP DOKTER SPESIALIS KANDUNGAN DI APOTEK STHIRA DHIPA RECIPES FOR ADMINISTRATIVE ASSESSMENT BASED

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. secara ekonomi. Instalasi farmasi rumah sakit adalah satu-satunya unit di rumah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. secara ekonomi. Instalasi farmasi rumah sakit adalah satu-satunya unit di rumah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan obat menurut Siregar dan Amalia (2003) merupakan salah satu manajemen rumah sakit yang sangat penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan secara keseluruhan karena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini, semakin berkembangnya perekonomian telah memunculkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini, semakin berkembangnya perekonomian telah memunculkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada saat ini, semakin berkembangnya perekonomian telah memunculkan banyak pelaku-pelaku bisnis yang baru, baik yang bergerak di sektor yang sudah ada maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Rumah sakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya pelayanan kesehatan merupakan berbagai kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Rumah sakit merupakan institusi pelayanan

Lebih terperinci

Resep. Penggunaan obat berlabel dan tidak berlabel Aspek legal. Pengertian Unsur resep Macam-macam resep obat

Resep. Penggunaan obat berlabel dan tidak berlabel Aspek legal. Pengertian Unsur resep Macam-macam resep obat Resep Pengertian Unsur resep Macam-macam resep obat Penggunaan obat berlabel dan tidak berlabel Aspek legal Kewenangan bidan dalam pemberian obat selama memberikan pelayanan kebidanan pada masa kehamilan,

Lebih terperinci

Farmaka Volume 15 Nomor 4 1

Farmaka Volume 15 Nomor 4 1 Volume 15 Nomor 4 1 UPAYA PENGAWASAN BBPOM DI BANDUNG DALAM KEJADIAN POTENSI PENYALAHGUNAAN OBAT Silvi Wulandari, Resmi Mustarichie Progam Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI Oleh : HAPSARI MIFTAKHUR ROHMAH K 100 050 252 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI 4 APOTEK KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI 4 APOTEK KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI 4 APOTEK KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI Oleh : SUSI AMBARWATI K100 040 111 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI Oleh: ROSY MELLISSA K.100.050.150 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

EVALUASI KELENGKAPAN FARMASETIK RESEP UMUM POLI ANAK RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN PERIODE JANUARI - MARET TAHUN

EVALUASI KELENGKAPAN FARMASETIK RESEP UMUM POLI ANAK RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN PERIODE JANUARI - MARET TAHUN INTISARI EVALUASI KELENGKAPAN FARMASETIK RESEP UMUM POLI ANAK RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN PERIODE JANUARI - MARET TAHUN 2015 Hikmah Putrinadia 1 ; Noor Aisyah 2 ; Roseyana Asmahanie Resep

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengobatan adalah ilmu dan seni penyembuhan dalam bidang keilmuan ini mencakup berbagai praktek perawatan kesehatan yang secara kontinu terus berubah untuk mempertahankan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMESANAN OBAT, PENCATATAN OBAT

KEBIJAKAN PEMESANAN OBAT, PENCATATAN OBAT KEBIJAKAN PEMESANAN OBAT, PENCATATAN OBAT Pengadaan Perbekalan Farmasi Apotek anak sehat memperoleh obat atau perbekalan farmasi berasal dari Pedagang Besar Farmasi(PBF) atau dari apotek lain. Pedagang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian medication error (kesalahan pengobatan) merupakan indikasi

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian medication error (kesalahan pengobatan) merupakan indikasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kejadian medication error (kesalahan pengobatan) merupakan indikasi tingkat pencapaian patient safety, khususnya terhadap tujuan tercapainya medikasi yang aman. Menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Pada penelitian sebelumnya dengan judul pengaruh keberadaan apoteker terhadap mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah Kabupaten Banyumas berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang dilakukan oleh apoteker terhadap pasien dalam melakukan terapi pengobatan sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menjadi prioritas utama program pemerintah menuju masyarakat yang sehat dan sejahtera. Untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker PP 51 Tahun 2009 menyatakan bahwa tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian. Tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker

Lebih terperinci

KAJIAN PERESEPAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO

KAJIAN PERESEPAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO KAJIAN PERESEPAN BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO. 1197/MENKES/ SK/X/2004 PADA RESEP PASIEN RAWAT JALAN DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH WONOGIRI BULAN JUNI 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan keluhan yang dirasakan seseorang dan bersifat subjektif, sedangkan penyakit berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto Kabupaten Bone Bolango. Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dari latar belakang masalah di atas, maka pada bab ini akan dibahas lebih lanjut tentang ketaatan pasien dan obat serta resep dokter yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi perhatian adalah medication error. Medication error menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi perhatian adalah medication error. Medication error menimbulkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu permasalahan kesehatan yang sampai saat ini masih menjadi perhatian adalah medication error. Medication error menimbulkan berbagai dampak bagi pasien, mulai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN. Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN. Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG IZIN APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, manfaat, perlindungan dan diarahkan untuk dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/Per/X/1993

Lebih terperinci

MAKALAH FARMASI SOSIAL

MAKALAH FARMASI SOSIAL MAKALAH FARMASI SOSIAL KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DENGAN ASUHAN KEFARMASIAN DAN KESEHATAN DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 DIANSARI CITRA LINTONG ADE FAZLIANA MANTIKA JURUSAN FARMASI FAKULTASMATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

2016, No Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lemb

2016, No Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lemb BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1501, 2016 KEMENKES. Terapi Buprenorfina. Penyelenggaraan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN TERAPI BUPRENORFINA

Lebih terperinci

Lampiran 1 Hasil lembar ceklist Puskesmas Helvetia, Medan-Deli dan Belawan Bagian II Nama puskesmas Kegiatan

Lampiran 1 Hasil lembar ceklist Puskesmas Helvetia, Medan-Deli dan Belawan Bagian II Nama puskesmas Kegiatan Lampiran 1 Hasil lembar ceklist Puskesmas Helvetia, Medan-Deli dan Belawan Bagian II Nama puskesmas No Kegiatan Helvetia Medan- Belawan Deli A. Kebijakan pelayanan kefarmasian 1. Penanggung jawab Apotek/Instalasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat keberhasilan pembangunan suatu negara. Tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk mencapai derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strategi pemerintah dalam pembangunan kesehatan nasional 2015-2019 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode (Anonim. 2008 b ). 1. Periode zaman penjajahan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIK MENTERI KESEHATAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIK MENTERI KESEHATAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIK MENTERI KESEHATAN Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pelayanan apotik harus diusahakan agar

Lebih terperinci

EVALUASI PENYIMPANAN DAN DISTRIBUSI OBAT PSIKOTROPIKA DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. DR. V. L. RATUMBUYSANG MANADO

EVALUASI PENYIMPANAN DAN DISTRIBUSI OBAT PSIKOTROPIKA DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. DR. V. L. RATUMBUYSANG MANADO EVALUASI PENYIMPANAN DAN DISTRIBUSI OBAT PSIKOTROPIKA DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. DR. V. L. RATUMBUYSANG MANADO Jimbrif T. Lumenta 1), Adeanne C. Wullur 1), Paulina V. Y. Yamlean 1) 1) Program Studi Farmasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak asasi yang diatur dalam perundang-undangan, salah satunya yaitu hak mengenai kesehatan, sesuai dengan UU No. 36 tahun 2009 bahwa kesehatan

Lebih terperinci

Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman (GNPOPA) Edukasi terkait OBAT pada Remaja dan Dewasa

Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman (GNPOPA) Edukasi terkait OBAT pada Remaja dan Dewasa Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman (GNPOPA) Edukasi terkait OBAT pada Remaja dan Dewasa Samakah minum obat 3x1 dengan 1x3? Kadang masih ada pertanyaan dari masyarakat baik remaja maupun orang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Resep 2.1.1 Definisi Resep Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, dokter hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Lebih terperinci

KAJIAN PENULISAN RESEP: TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI APOTEK-APOTEK KOTAMADYA YOGYAKARTA

KAJIAN PENULISAN RESEP: TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI APOTEK-APOTEK KOTAMADYA YOGYAKARTA Majalah Farmasi Indonesia, 13(2), 86-94, 2002 KAJIAN PENULISAN RESEP: TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI APOTEK-APOTEK KOTAMADYA YOGYAKARTA PRESCRIPTION ANALYSIS: AN INVESTIGATION ON PRESCRIPTION

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Semakin berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, farmasis dituntut untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guna menyampaikan edukasi ke pasien

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA UMUM Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, Kemauan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,6 juta pada tahun

Lebih terperinci

Menurut PP 51 pasal 1 ayat 4 tahun 2009 tentang Pelayanan Kefarmasian yaitu suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang

Menurut PP 51 pasal 1 ayat 4 tahun 2009 tentang Pelayanan Kefarmasian yaitu suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang BAB 1 PENDAHULUAN Penyakit diare sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan dunia terutama di negara yang sedang berkembang. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka kesakitan dan kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak asasi manusia, setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di dalamnya mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat kesehatan demi peningkatan kualitas hidup yang lebih

Lebih terperinci

The Analysis of Jamkesmas Drug Planning Using Combination Methods ABC and VEN in Pharmacy Installation of RSUD Dr. M. M. Dunda Gorontalo 2013

The Analysis of Jamkesmas Drug Planning Using Combination Methods ABC and VEN in Pharmacy Installation of RSUD Dr. M. M. Dunda Gorontalo 2013 Analisis Perencanaan Obat Jamkesmas dengan Metode Kombinasi ABC dan VEN di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. M. Dunda Kabupaten Gorontalo Tahun 2013 The Analysis of Jamkesmas Drug Planning

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.I. Kesimpulan Setelah menjalankan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di apotek Kimia Farma 119 mulai tanggal 12 Oktober - 07 November 2015, dapat disimpulkan beberapa hal

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. SIMPULAN Hasil dari mengikuti Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Apotek Savira Surabaya sejak tanggal 25 Januari sampai dengan 27 Februari 2016 dapat disimpulkan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan penting dari setiap manusia. Hidup sehat bukan hanya tujuan dari setiap individu melainkan juga tanggung jawab dan tujuan dari setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Nasional (UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN) yang menjamin

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Nasional (UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN) yang menjamin 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persaingan global saat ini, khususnya dunia kesehatan mengalami kemajuan yang pesat dalam teknologi kesehatan, menajemen dan regulasi di bidang kesehatan.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA MENIMBANG : bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

2015, No.74 2 Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 T

2015, No.74 2 Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 T BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.74, 2015 KEMENKES. Narkotika. Psikotropika. Prekursor Farmasi. Pelaporan. Pemusnahan. Penyimpanan. Peredaran. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang menjadi masalah utama di dunia termasuk Indonesia karena angka prevalensinya dari tahun ketahun semakin

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI Oleh : DWI RETNO MURDIYANTI K 100 050 127 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

6. Dalam Praktek Kerja Profesi di apotek pro-tha Farma sebaiknya diwajibkan calon apoteker melakukan Home Care yaitu kunjungan terkait pelayanan

6. Dalam Praktek Kerja Profesi di apotek pro-tha Farma sebaiknya diwajibkan calon apoteker melakukan Home Care yaitu kunjungan terkait pelayanan BAB VI SARAN Setelah melaksanakan Praktek Kerja Profesi di Apotek Pro- Tha Farma, maka disarankan: 1. Sebelum melaksanakan PKP di Apotek, calon apoteker hendaknya benar-benar membekali diri terlebih dahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan

BAB I PENDAHULUAN. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah apoteker (PP 51, 2009 ; Permenkes RI, 2014). Apoteker sangat erat kaitannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan serta didukung dengan kesadaran masyarakat yang semakin tinggi memunculkan tantangan dan harapan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepatuhan Kepatuhan menyatakan kesesuaian perilaku dan pelaksanaan kegiatan terhadap ketentuan atau standar yang berlaku. Kepatuah dokter menulis resep dipengaruhi faktor-faktor

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING. Artikel yang berjudul Studi Pengelolaan Obat yang Mengandung Prekursor pada Apotek di Kabupaten Buol.

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING. Artikel yang berjudul Studi Pengelolaan Obat yang Mengandung Prekursor pada Apotek di Kabupaten Buol. LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING Artikel yang berjudul Studi Pengelolaan Obat yang Mengandung Prekursor pada Apotek di Kabupaten Buol Oleh : Dewi Sartika A. Usman Telah diperiksa dan disetujui untuk di uji

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 1.1 Definisi Sistem Sistem dapat diartikan dengan pendekatan prosedur dan pendekatan komponen. Melalui pendekatan prosedur, sistem dapat didefinisikan sebagai kumpulan dari prosedur-prosedur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Badan hukum yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Badan hukum yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaminan Kesehatan Nasional Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sumber daya manusia yang baik dan berkualitas diperoleh dari tubuh yang sehat. Kesehatan sendiri merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN EVALUATION OF THE IMPLEMENTATION OF THE MINISTER OF HEALTH No. 35 / MENKES/

Lebih terperinci

STUDI KELENGKAPAN RESEP OBAT PADA PASIEN ANAK DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN SUKOHARJO BULAN OKTOBER-DESEMBER TAHUN 2008 SKRIPSI

STUDI KELENGKAPAN RESEP OBAT PADA PASIEN ANAK DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN SUKOHARJO BULAN OKTOBER-DESEMBER TAHUN 2008 SKRIPSI STUDI KELENGKAPAN RESEP OBAT PADA PASIEN ANAK DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN SUKOHARJO BULAN OKTOBER-DESEMBER TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh : FITRIA DYAH AYU PRIMA DEWI K 100050019 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB 11: PERBEKALAN FARMASI

BAB 11: PERBEKALAN FARMASI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 FARMASI BAB 11: PERBEKALAN FARMASI Nora Susanti, M.Sc, Apk KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2016 BAB XI PERBEKALAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. (Peraturan Pemerintah no 51 tahun 2009). Sesuai ketentuan perundangan

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap mahluk hidup didunia memiliki hak untuk hidup sehat. Kesehatan merupakan suatu keadaan dimana tubuh dan jiwa yang tiap orang miliki mampu melakukan kegiatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Obat Obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan. Obat dalam arti luas ialah setiap

Lebih terperinci

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas

Lebih terperinci

8. Pelayanan pasien harus disertai dengan KIE untuk memastikan bahwa setiap perbekalan farmasi dan alat kesehatan dapat digunakan dengan maksimal

8. Pelayanan pasien harus disertai dengan KIE untuk memastikan bahwa setiap perbekalan farmasi dan alat kesehatan dapat digunakan dengan maksimal BAB V KESIMPULAN Berdasarkan hasil kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker yang telah dilakukan di Apotek Kimia Farma 119 pada tanggal 12 Oktober 07 November 2015 maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan terus meningkat seiring perkembangan zaman. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat senantiasa diupayakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PO TENTANG

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PO TENTANG KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR : PO.01.01.31.03660 TENTANG PENGATURAN KHUSUS PENYALURAN DAN PENYERAHAN BUPRENORFIN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : a. bahwa penyediaan

Lebih terperinci

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ( No.276, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Apotek. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN

Lebih terperinci

Perpustakaan Unika LAMPIRAN- LAMPIRAN

Perpustakaan Unika LAMPIRAN- LAMPIRAN LAMPIRAN- LAMPIRAN Perkiraan Biaya Istalasi dan Operasional Sistem Informasi akuntansi Berbasis Komputer Apotek Fatma Medika A. Investasi 1 Set Komputer Pentium IV Rp. 2.500.000,- 1 Set Printer Epson LX

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu kunci pokok suksesnya sistem kesehatan. Pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada

Lebih terperinci

a. bahwa apotek dan pedagang eceran obat merupakan pelayanan kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh swasta;

a. bahwa apotek dan pedagang eceran obat merupakan pelayanan kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh swasta; BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2006 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK DAN PEDAGANG ECERAN OBAT (TOKO OBAT) WALIKOTA BOGOR, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan setiap manusia dan menjadi suatu hal yang penting untuk dapat menjalankan segala bentuk aktifitas sehari-hari dengan baik. Menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DENAH APOTEK TIRTA FARMA

LAMPIRAN A DENAH APOTEK TIRTA FARMA LAMPIRAN A DENAH APOTEK TIRTA FARMA Keterangan : I : Lahan Parkir. 9 : Lemari Generik P-Z, Obat Tetes II : Musholla. Mata, Hidung dan Telinga, SalepS-Z. III : Ruang Praktek Dokter. 10 : Lemari Obat-obat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Rumah Sakit di Australia, sekitar 1 % dari seluruh pasien mengalami adverse

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Rumah Sakit di Australia, sekitar 1 % dari seluruh pasien mengalami adverse BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Medication error merupakan masalah yang cukup pelik dalam pelayanan kesehatan. Di Amerika Serikat, medication error diperkirakan membahayakan 1,5 juta pasien

Lebih terperinci

RESEP DAN KELENGKAPAN RESEP DR. APRILITA RINA YANTI EFF., M.BIOMED PRODI FARMASI-FIKES

RESEP DAN KELENGKAPAN RESEP DR. APRILITA RINA YANTI EFF., M.BIOMED PRODI FARMASI-FIKES RESEP DAN KELENGKAPAN RESEP DR. APRILITA RINA YANTI EFF., M.BIOMED PRODI FARMASI-FIKES KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menguraikan tentang resep, persyaratan dan kelengkapan resep, mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Profesi apoteker mempunyai tanggung jawab dalam pelayanan kefarmasian untuk mengoptimalkan terapi guna memperbaiki kualitas hidup pasien. Tetapi masih sering

Lebih terperinci

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa: I.PENDAHULUAN Apotek adalah suatu tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tempat dilakukannya praktik kefarmasian

Lebih terperinci