BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Tinjauan Mengenai Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak. a. Pengertian Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Tinjauan Mengenai Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak. a. Pengertian Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat"

Transkripsi

1 27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Mengenai Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat a. Pengertian Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa : Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Jadi dalam pasal tersebut mendefinisikan monopoli sebagai suatu penguasaan atas sebuah usaha atau bisnis tertentu. Hal tersebut tentu dapat memperkuat posisinya dan melemahkan posisi pesaingnya, sehingga semakin lama ia akan semakin menguasai pasaran. Monopoli ini dapat dilakukan baik perseorangan maupun kelompok. Kata monopoli berasal dari kata Yunani yang berarti penjual tunggal. Disamping itu istilah monopoli sering disebut juga Antitrust untuk pengertian yang sepandan dengan istilah antimonopoli atau istilah dominasi yang dipakai oleh masyarakat Eropa yang artinya sepadan dengan arti istilah monopoli dikekuatan pasar. Dalam praktek keempat istilah tersebut yaitu istilah monopoli, antitrust, kekuatan pasar dan istilah dominasi saling ditukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar, dimana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk

2 28 subtitusi atau produk subtitusi yang potensial dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan pasar. 19 Jadi ketika seseorang telah mampu menguasai pasar atau berhasil melakukan monopoli, maka orang tersebut dapat menaikkan harga sesuai keinginannya tanpa melihat permintaan pasar, hal ini dapat dilakukan karena tidak adanya pesaing yang berarti baginya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pasal 1 ayat(6) UU menyatakan bahwa : Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Jadi persaingan usaha tidak sehat adalah suatu persaingan usaha dalam berbisnis yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau curang atau melawan hukum yang tindakannya tersebut telah menghambat pesaingnya dalam melakukan usaha yang serupa. b. Ruang Lingkup Aturan Hukum Antimonopoli Dalam Undang-undang Fair Trading di Inggris tahun 1973, istilah Monopoli diartikan sebagai keadaan di mana sebuah perusahaan atau sekelompok perusahaan menguasai sekurang- kurangnya 25 % penjualan atau pembelian dari produk-produk yang ditentukan. Sementara dalam Undang-Undang Anti Monopoli Indonesia, suatu monopoli dan monopsoni terjadi jika terdapatnya penguasaan 19 makalah antimonopoly dan persaingan curang, diakses pada tanggal 28 November 2013 pukul WIB.

3 29 pangsa pasar lebih dari 50 % (lima puluh persen ) pasal 17 ayat (2) juncto pasal 18 ayat (2) ) Undang-undang no 5 Tahun Dalam pasal 17 ayat (1) Undang- undang Anti Monopoli menyatakan bahwa: Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Kemudian dalam pasal 17 ayat (2) menyatakan bahwa : Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: bahwa : a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya;atau b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk kedalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama;atau c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha mengusasai lebih dari 50 % (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dalam pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Dalam sidang-sidang masyarakat di Eropa, mengartikan posisi dominan adalah sebagai berikut : 20 Ibid

4 30 1. Kemampuan untuk bertindak secara merdeka dan bebas dari pengendalian harga, dan 2. Kebergunaan pelanggan, pemasok atau perusahaan lain dalam pasar, yang bagi mereka perusahaan yang dominan tersebut merupakan rekan bisnis yang harus ada, 3. Dalam ilmu hukum monopoli beberapa sikap monopolistik yang mesti sangat dicermati dalam rangka memutuskan apakah suatu tindakan dapat dianggap sebagai tindakan monopoli. 21 Menurut William R. Andersen, sebagaimana dikutip dalam sebuah blog, Sikap monopolistik tersebut adalah : a. Mempersulit masuknya para pesaing ke dalam bisnis yang bersangkutan b. Melakukan pemasungan sumber suplai yang penting atau suatu outlet distribusi yang penting. c. Mendapatkan hak paten yang dapat mengakibatkan pihak pesaingnya sulit untuk menandingi produk atau jasa tersebut. d. Integrasi ke atas atau ke bawah yang dapat menaikkan persediaan modal bagi pesaingnya atau membatasi akses pesaingnya kepada konsumen atau supplier. e. Mempromosikan produk secara besar-besaran f. Menyewa tenaga-tenaga ahli yang berlebihan. g. Perbedaan harga yang dapat mengakibatkan sulitnya bersaing dari pelaku pasar yang lain h. Kepada pihak pesaing disembunyikan informasi tentang pengembangan produk, tentang waktu atau skala produksi. i. Memotong harga secara drastis. j. Membeli atau mengakuisisi pesaing- pesaing yang tergolong kuat atau tergolong prospektif. k. Menggugat pesaing-pesasingnya atas tuduhan pemalsuan hak paten, pelanggaran hukum anti monopoli dan tuduhan-tuduhan lainnya. 22 c. Tujuan Hukum Anti Monopoli Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat tujuan dari dibentuknya hukum anti monopoli. Pasal 3 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa : 21 Ibid 22 Ibid

5 31 Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk: a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. d. Perjanjan Yang Dilarang Untuk mencapai tujuan hukum anti monopoli, ada beberapa perjanjian yang dilarang dan kegiatan yang dilarang yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. bahwa : Dalam pasal1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatkan Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik secara tertulis maupun secara lisan. Perjanjian yang dilarang dalam hukum anti monopoli yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terdapat dalam bab III Undang-Undang Nomor 5 Tahun Perjanjian yang dilarang tersebut antara lain : 1. Oligopoli

6 32 Oligopoli adalah sebuah keadaan pasar dimana jumlah dari produsen dan pembeli barang hanya sedikit,sehingga mereka atau seseorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar. 23 bahwa: Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pasal 4 menyatakan (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersamasama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dari pasal 4 tersebut dapat kita ketahui bahwa perjanjian oligopoli yang dilarang adalah perjanjian oligopoli yang dapat menyebabkan adanya persaingan usaha tidak sehat. Indikator untuk membuktikan adanya oligopoli terdapat dalam ayat (2) pasal tersebut, yaitu apabila 2 atau 3 atau sekelompok pengusaha melakukan suatu perjanjian yang hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya penguasaan pangsa pasar lebih dari 75 %. adalah: Karakteristik barang- barang yang biasa diperdagangkan di pasar oligopoli a. Barang barang homogen, misalnya bensin, minyak mentah, tenaga listrik, batu bara, kaca, bahan bangunan, pupuk, pipa dan baja. 23 Op.Cit,

7 33 b. Struktur pasar oligopoly biasanya ditandai dengan kekuatan pasar pelaku usaha yang kurang lebih sebanding dengan pelaku usaha sejenis, baik dari segi modal maupun dari segi segmen c. Hanya sedikit perusahaan dalam industri. d. Pengambilan keputusan yang saling mempengaruhi e. Kompetisi nonharga. 24 Menurut Ayudha D. Prayoga sebagaimana dikutip dalam buku karangan Rachmadi Usman, menyatakan bahwa : Perjanjian oligopoli dilarang apabila dapat merugikan persaingan, jadi bukan per se illegal. Hal ini menarik karena larangan oligopoli hanya dimasukkan ke dalam perjanjian yang dilarang, yang dapat mempersempit cakupan larangan tersebut, mengingat keterbatasan arti perjanjian Penetapan Harga Perjanjian penetapan harga yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 meliputi empat jenis perjanjian yaitu: a. Penetapan harga (price fixing) Larangan perjanjian penetapan harga terdapat dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. 24 Ibid 25 Rachmadi Usman,2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hlm 43

8 34 Penetapan harga ini dilarang karena penetapan harga bersama sama akan menyebabkan tidak berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan. Larangan adanya penetapan harga ini tidak berlaku terhadap 2 hal. Yaitu sebagaimana terdapat dalam pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa : a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku. Jadi larangan adanya penetapan harga ini dikecualikan terhadap usaha yang dilakukan secara patungan dan Perjanjian yang didasarkan oleh UU yang berlaku, termasuk penetapan harga yang diizinkan atau dikordinasi terlebih dahulu dengan pemerintah. b. Diskriminasi harga (price discrimination) Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama. Jadi dalam pasal ini adalah adanya sebuah perjanjian antar pelaku usaha yang mengakibatkan adanya perlakukan yang berbeda antara pembeli satu dengan pembeli yang lain. Pembeli yang satu harus membayar lebih tinggi atau lebih murah dari pembeli yang lain terhadap barang atau jasa yang sama. Hal ini tidak

9 35 diperbolehkan karena akan menyebabkan adanya persaingan usaha yang tidak sehat antara pelaku usaha. Menurut Ayudha D. Prayoga sebagaimana dikutip dalam buku karangan Rachmadi Usman membagi diskriminasi harga kedalam 3 tingkatan. Dalam setiap tingkatan menuntut informasi yang berbeda mengenai konsumen, yaitu : 1. Diskriminasi harga sempurna, dimana produsen akan menetapkan harga yang berbeda untuk setiap konsumen. Setiap konsumen akan dikenakan harga tertinggi yang sanggup dibayarnya. Dengan menerapkan strategi ini hanya dapat di implementasikan pada kasus tertentu saja, karena menuntut produsen untuk mengetahui secara tepat berapa jumlah maksimum yang ingin dibayarkan oleh konsumen untuk jumlah barang yang ditawarkan. 2. Pada situasi dimana produsen tidak dapat mengidentifikasi maksimum harga yang dapat dikenakan untuk setiap konsumen, atau situasi dimana produsen tidak dapat melanjutkan struktur harga yang sama untuk tambahan unit penjualan, maka produsen dapat menetapkan strategi diskriminasi tingkat harga kedua, dimana produsen akan menerapkan sebagian dari surplus konsumen, pada strategi ini produsen menerapkan harga yang berbeda untuk setiap pembelinya berdasarkan jumlah barang yang dibeli, pembeli yang bersedia membeli barang lebih banyak diberikan harga per unit lebih murah. Makin sedikit yang dibeli, harga perunitnya makin mahal. Strategi ini banyak dilakukan pada penjual grosir atau pasar swalayan besar. 3. Bentuk terakhir diskriminasi harga umumnya diterapkan produsen yang mengetahui bahwa permintaan atas produk mereka beragam secara sistematik, berdasarkan karakteristik konsumen dan kelompok demografis. Pada kondisi ini produsen dapat memperoleh keuntungan dengan mengenakan tarif yang berbeda untuk setiap kelompok konsumen yang berbeda. 26 c. Penetapan harga dibawah harga pasar atau jual rugi (predatory price) Dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa : 26 Ibid, hlm 49-50

10 36 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pada satu sisi, penetapan harga dibawah biaya marginal akan menguntungkan konsumen dalam jangka pendek, tetapi di pihak lain akan sangat merugikan pesaing (produsen lain). Predatory pricing ini sebenarnya merupakan hasil dari perang harga tidak sehat antara pelaku usaha dalam rangka merebut pasar. Strategi yang tidak sehat ini pada umumnya beralasan bahwa harga yang ditawarkan merupakan hasil kinerja peningkatan efisiensi perusahaan. Oleh karena itu, hal itu tidak akan segera terdeteksi sampai pesaing dapat mengukur dengan tepat berapa harga terendah yang sesunguhnya dapat ditawarkan pada konsumen (dimana harga = biaya marginal). Strategi ini akan menyebabkan produsen menyerap pangsa pasar yang lebih besar, yang dikarenakan berpindahnya konsumen pada penawaran harga yang lebih rendah. Sementara produsen pesaing akan kehilangan pangsa pasarnya. Pada jangka yang lebih panjang, produsen pelaku predatory pricing akan dapat bertindak sebagai monopolis. 27 d. Pengaturan harga jual kembali (resale price maintenance) Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dalam pasal ini telah ditetapkan bahwa suatu perjanjian penetapan harga secara vertikal hanya dilarang apabila perjanjian tersebut mengakibatkan adanya persaingan usaha tidak sehat. 27 Ibid, hlm 50

11 37 Amerika Serikat dan Australia mengkategorikan baik price fixing maupun resale price maintenance sebagai per se illegal. Baik price fixing maupun resale price maintenance sama-sama merugikan persaingan dan konsumen. Salah satu perbedaan antara keduanya adalah di dalam resale price maintenance ada korban yang lebih langsung, yakni retailer yang tergeser karena tidak menyukai resale price maintenance. Pengalaman di Australia menunjukan bahwa resale price maintenance lebih mudah di buktikan dari pada price fixing, karena biasanya retailer (yang biasanya sukar memberikan diskon) tersebut akan melaporkan dan memberikan bukti-bukti langsung Pembagian Wilayah Dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan pasal 9 ini, perjanjian pembagian wilayah yang terkena larangan adalah jika isi perjanjian pembagian wilayah yang dimaksud bertujuan membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap suatu produk barang dan /atau jasa, dimana perjanjian itu dapat menimbulkan praktik monopoli dan /atau persaingan usaha tidak sehat. 29 Perjanjian ini dilarang karena dengan adanya pembagian wilayah maka dapat mentiadakan persaingan usaha antar pelaku usaha. Para pesaing dapat bersepakat untuk tidak memproduksi produk-produk tertentu atau meninggalkan 28 Ibid, hlm Ibid, hlm 52-53

12 38 wilayah-wilayah tertentu yang lain untuk mencapai economies of scale dan spesialis. Dengan kata lain efisiensi yang lebih besar akan tercapai. namun, efisiensi ini baru bisa tercapai dengan adanya perjanjian antar pesaing Pemboikotan Pemboikotan ini merupakan perjanjian horizontal antara pelaku usaha pesaing untuk menolak mengadakan hubungan dagang dengan pelaku usaha lain. 31 Dalam pasal 10 UU Nomor 5 Tahun 2010 menyatakan bahwa : 5. Kartel (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan. Larangan perjanjian kartel diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pasal 11 yang berbunyi: pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. 30 Ibid, Ibid, 54

13 39 Secara sederhana, kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya. Dengan kata lain, kartel (cartel) adalah kerjasama dari produsenprodusen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan, serta harga untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu. Praktik kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha untuk dapat memengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Mereka berasumsi apabila produksi mereka di dalam pasar dikurangi, sedangkan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap maka akan berakibat pada naiknya harga ke tingkat yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila di dalam pasar produk mereka melimpah, sudah tentu akan berdampak terhadap penurunan harga produk mereka di pasar. Membanjirnya pasokan dari produk tertentu di dalam sebuah pasar dapat membuat harga produk tersebut di pasar menjadi lebih murah, kondisi ini akan menguntungkan pihak konsumen, tetapi tidak sebaliknya bagi pelaku usaha (produsen atau penjual). Semakin murah harga produk mereka di pasar, membuat keuntungan yang akan di peroleh oleh pelaku usaha tersebut menjadi berkurang atau bahkan rugi apabila produk mereka tidak terserap oleh pasar. Agar harga produk di pasar tidak jatuh dan harga produk dapat memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha, pelaku usaha biasanya membuat perjanjian di antara mereka untuk mengatur jumlah produksi sehingga jumlah produksi mereka di pasar tidak berlebih. Tujuannya adalah agar tidak membuat harga produk mereka di pasar menjadi lebih murah. Namun

14 40 terkadang, praktik kartel tidak hanya bertujuan untuk menjaga stablitas harga produk mereka di pasar, tetapi juga untuk mengeruk keuntungan yang sebesarbesarnya dengan mengurangi produk mereka secara signifikan di pasar sehingga menyebabkan di dalam pasar mengalami kelangkaan. Akibatnya, konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk dapat membeli produk pelaku usaha tersebut di pasar, atau dapat di lakukan tujuan utama dari praktik kartel adalah untuk mengeruk sebanyak mungkin surplus konsumen ke produsen. 6. Trust Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Untuk dapat mengontrol produksi atau pemasaran produk di pasar, para pelaku usaha ternyata tidak hanya cukup dengan membuat perjanjian kartel di antara mereka, tetapi juga mereka terkadang membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar (trust), dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya. Trust merupakan wadah antar perusahaan yang di desain untuk membatasi persaingan dalam bidang usaha atau industri tertentu. Gabungan antara beberapa perusahaan dalam bentuk trust di maksudkan untuk mengendalikan

15 41 pasokan secara kolektif, dengan melibatkan trustee sebagai koordinator penentu harga. 7. Oligopsoni Pasal 13 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa : (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Oligopsoni adalah struktur pasar yang di dominasi oleh sejumlah konsumen yang memiliki kontrol atas pembelian. Struktur pasar ini memiliki kesamaan dengan struktur pasar oligopoli. Hanya saja struktur pasar ini terpusat di pasar input. Dengan demikian, distorsi yang di timbulkan oleh kolusi antar pelaku pasar akan mendistorsi pasar input. Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktik antipersaingan yang cukup unik. Hal ini karena dalam praktik oligopsoni, yang menjadi korban adalah produsen atau penjual, sedangkan biasanya untuk bentuk-bentuk praktik antipersaingan lain (seperti penetapan harga, diskriminasi harga, dan kartel) yang menjadi korban umum nya adalah konsumen. Dalam oligopsoni, konsumen membuat kesepaktan dengan konsumen lain dengan tujuan agar mereka secara bersama-sama dapat menguasai pembelian atau penerimaan pasokan yang pada akhirnya dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa

16 42 pada pasar yang bersangkutan. Dengan demikian, secara sederhana dapat di katakan bahwa ologopsoni adalah keadaan ketika dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam sebuah pasar komoditas. Dengan adanya praktik oligopsoni, produsen atau penjual tidak memiliki alternatif lain untuk menjual produk mereka selain kepada pihak pelaku usaha yang telah melakukan perjanjian oligopsoni. Tidak adanya pilihan lain bagi pelaku usaha untuk menjual produk mereka selain kepada pelaku usaha yang melakukan praktik oligopsoni, mengakibatkan mereka hanya dapat menerima harga yang sudah ditentukan oleh pelaku usaha yang melakukan praktik oligopsoni. Dalam oligopsoni, ada beberapa hal yang perlu di perhatikan, yakni kemungkinan-kemungkinan perjanjian tersebut memfasilitasi kolusi penetapan harga sehingga menimbulkan efek antipersaingan. Perjanjian tersebut tidak akan memfasilitasi kolusi harga apabila pembelian produk yang di lakukan dengan perjanjian ini hanya berjumlah relatif kecil terhadap total pembelian di pasar tersebut. Selain itu, apabila perjanjian tidak menghalangi anggotanya untuk melakukan pembelian kepada pihak lain secara independen maka joint purchasing tersebut tidak merugikan persaingan. 8. Integrasi Vertikal bahwa: Dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan

17 43 pelaku usaha di larang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tetentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat. Integrasi vertikal merupakan perjanjian yang terjadi antara beberapa pelaku usaha yang berada pada tahapan produksi atau operasi dan/atau distribusi yang berbeda, namun saling terkait. Bentuk perjanjian yang terjadi berupa penggabungan beberapa atau seluruh keigatan operasi yang berurutan dalam sebuah rangkaian produksi atau operasi. Mekanisme hubungan antara satu kegiatan usaha dengan kegiatan usaha lainnya yang bersifat integrasi vertikal dalam perspektif hukum persaingan, khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 di gambarkan dalam suatu rangkaian produksi atau operasi. Rangkaian ini merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam suau rangkaian langsung maupun tidak langsung (termasuk juga rangkaian produksi barang dan/atau jasa substitusi dan/atau komplementer). Lebih lanjut, mekanisme hubungan kegiatan usaha yang bersifat integrasi vertical dapat dilihat pada skema produksi yang menggambarkan hubungan dari atas ke bawah, yang sering di sebut juga dengan istilah dari suatu kegiatan usaha yang di kategorikan sebagai integrasi vertical ke belakang, yaitu apabila kegiatan tersebut mengintegrasikan beberapa kegiatan yang mengarah pada penyediaan bahan baku dari produk utama. 9. Perjanjian Tertutup

18 44 Larangan perjanjian tetutup diatur dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: (1) Pelaku usaha di larang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau jasa ke pada tempat tertentu. (2) Pelaku usaha di larang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. (3) Pelaku usaha di larang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok, b. Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang asama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok. Perjanjian tertutup adalah suatu perjanjian yang terjadi antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses produksi atau jaringan distribusi suatu barang atau jasa. Perjanjian tertutup ini terdiri atas exlusive distribution agreement dan tying agreement. 10. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri Peranjian dengan pihak luar negeri menjadi terlarang jika melakukan perjanjian yang dapat merusak persaingan usaha dan melakukan tindak monopoli. Larangan perjanjian dengan pihak luar negeri dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa :

19 45 Pelaku usaha di larang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan pasal tersebut, terdapat ketentuan khusus untuk melakukan perjanjian dengan pelaku usaha lain. Adapun pengguna pasal ini adalah pada kasus bilamana suatu perusahaan asing tidak melakukan kegiatan di pasar Indonesia, tetapi berpengaruh dengan pasar Indonesia melalui perjanjian. Dengan kata lain, pasal 16 Undang-Undang ini, tidak dapat di terapkan terhadap perjanjian bilamana kedua belah pihak berkedudukan di luar negeri, sedangkan dampaknya hanya terasa di Indonesia. e. Perjanjian-Perjanjian Yang Dikecualikan Selain mengadakan pengecualian berlakunya pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, UU ini juga memberikan pengecualian terhadap semua ketentuan yang ada dalam UU ini untuk perjanjian-perjanjian tertentu. Hal ini sebagaimana terdapat dalam pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah : a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa

20 46 dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya. Disayangkan bahwa penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan perjanjian-perjanjian tersebut lebih lanjut. Padahal pasal pengecualian ini penting, terutama bagi pelaku usaha yang ingin memanfaatkannya. Disamping ketidakjelasannya, dikhawatirkan hal ini juga dapat menimbulkan penyalahgunaan. 32 f. Kegiatan Yang Dilarang Menurut Gunawan Widjaja sebagaimana dikutip dalam buku karangan Rachmadi Usman mendefinisikan kegiatan sebagai berikut : Kegiatan adalah tindakan atau perbuatan hukum sepihak yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa ada keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha lainnya. 33 Dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat beberapa bentuk kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dumping, manipulasi biaya dan persengkokolan. 1. Monopoli 32 Ibid, hlm Ibid, hlm 67

21 47 Monopoli merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan pembentukan hukum persaingan usaha. Monopoli itu sendiri sebenarnya bukan merupakan suatu kejahatan atau bertentangan dengan hukum apabila diperoleh dengan cara-cara yang adil dan tidak melanggar hukum. Oleh karena itu,monopoli belum tentu dilarang oleh hukum persaingan usaha yang dilarang justru adalah perbuatan-perbuatan dari perusahaan yang mempunyai monopoli untuk menggunakan kekuatannya di pasar bersangkutan yang biasa disebut sebagai praktik monopoli. Sebuah perusahaan dikatakan telah melakukan monopoli apabila pelaku usaha mempunyai kekuatan untuk mengeluarkan atau mematikan perusahaan lain dan pelaku usaha tersebut telah melakukannya atau mempunyai tujuan untuk melakukannya adalah: Definisi monopoli dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Selanjutnya,peraturan mengenai monopoli diatur pasal 17 Undang- UndangNomor 5 Tahun 1999menyatakan bahwa : (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengsakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usah tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a. Barang dan jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya

22 48 b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan jasa yang sama c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang dan jasa tertentu. Pengertian monopoli secara umum adalah apabila ada satu pelaku usaha (penjual) yang ternyata adalah satu-satunya penjual bagi produk barang dan jasa tertentu dan pada pasar tersebut tidak terdapat produk substitusi (pengganti). Praktik monopoli merupakan pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan pemasaranbarang atau jasa tertentu sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. 34 Monopoli yang dilarang menurut pasal 17 ini jika monopoli tersebut memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : a. Melakukan kegiatan penguasaan atas penguasaan atas produk barang, jasa atau barang dan jasa tertentu; b. Melakukan kegiatan penguasan atas pemasaran produk barang, jasa atau barang dan jasa tertentu; c. Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli; d. Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 35 Pada dasarnya kemungkinan terjadinya monopoli tidak hanya pada pihak swasta saja melainkan juga badan usaha negara. Hal ini sebagaimana terdapat dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan dasar filosofis dan hukum kemungkinan monopoli dan/atau penguasaan atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta 34 Op. Cit 35 Op.cit, Rachmadi Usman, hlm 68

23 49 penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya oleh negara Monopsoni Monopsoni merupakan sebuah pasar di mana hanya terdapat seorang pembeli atau pembeli tunggal. Dalam pasar monopsoni,harga barang atau jasa biasanya akan lebih rendah dari harga pada pasar yang kompetitif. Pembeli tunggal ini pun biasanya akan menjual dengan cara monopoli atau dengan harga lebih tinggi. Pada kondisi inilah potensi kerugian masyarakat akan timbul karena pembeli harus membayar dengan harga yang mahal dan juga terdapat potensi persaingan usaha yang tidak sehat. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara khusus menyatakan bahwa : 1. Pelaku usaha dilarang mengusasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. 2. Pelaku usaha patit diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Berdasarkan isi pasal 18 tersebut, dapat dikatakan bahwa monopsoni merupakan suatu keadaan bilamana suatu kelompok usaha menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli sebuah produk sehingga perilaku pembeli tunggal tersebut akan dapat mengakikbatkan terjadinya praktik monopoli atau 36 Ibid hlm 71

24 50 persaingan tidak sehat dan apabila pembeli tunggal tersebut juga menguasai lebih dari 50% pangsa pasar suatu jenis produk atau jasa. 3. Penguasaan Pasar Penguasaan pasar merupakan keinginan dari hampir semua pelaku usaha. Hal ini karena penguasaan pasar yang cukup besar memiliki korelasi positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin dapat diperoleh oleh pelaku usaha. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur tentang penguasaan pasar. Dalam pasal tersebut menyatakan sebagai berikut : bahwa: Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa: 4. Dumping a. Menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan. b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha tertentu untuk melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu. c. Membatasi peredaran dan penjualan barang dan jasa pada pasar bersangkutan. d. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Dalam pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang atau jasa dengan cara melakukan jual beli atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di

25 51 pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam kamus hukum ekonomi ELIPS sebagaimana di kutip dalam buku karangan Rachmadi Usman menyatakan bahwa : Dumping dinyatakan sebagai praktik dagang yang dinyatakan sebagai praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual barang, jasa, atau barang dan jasa di pasar internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah dari pada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain. 37 Jadi dumping ini merupakan perbuatan pelaku usaha yang menjual barang atau jasanya dengan sangat murah atau banting harga, dengan harapan dapat mematikan usaha pesaingnya. bahwa: 5. Manipulasi Biaya Dalam pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Contoh pelanggaran pasal 21 UU Nomor 1999 menurut Insan Budi Maulana, sebagaimana di kutip dalam buku karangan Rachmadi Usman adalah melanggar Undang-Undang Perpajakan, karena konsekuensi penetapan biaya 37 Ibid, hlm 75

26 52 produksi dan biaya lainnya dalam menentukan harga barang dan/atau jasa yang dilakukan secara curang akan menimbulkan pengaruh terhadap jumlah besar atau kecilnya pajak yang harus dibayar. 6. Persekongkolan Pengertian Persekongkolan usaha yang diatur dalam pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: Sebagai bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Tiga bentuk kegiatan persekongkolan yang dilarang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut: 1. Persekongkolan tender Penjelasan pasal 22 UU Antimonopoli menyatakan bahwa tender merupakan tawaran untuk mengajukan harga, memborong suatu pekerjaan, mengadakan barang-barang, atau menyediakan jasa. 2. Persekongkolan untuk memperoleh rahasia perusahaan Sebagaimana diketahui yang namanya rahasia perusahaan adalah property dari perusahaan yang bersangkutan. Karena tidak boleh dicuri, dibuka atau dipergunakan oleh orang lain tanpa seijin pihak perusahaan yang bersangkutan. Ini adalah prinsip hukum bisnis yang sudah berlaku secara universal. Larangan bersekongkol mendapatkan rahasia perusahaan dalam Pasal 23 tersebut menekankan kepada rahasia perusahaan tersebut. Artinya apabila dapat dibuktikan ada rahasia perusahaan yang didapati secara bersekongkol, maka larangan oleh pasal pasal tersebut sudah dapat diterapkan, karena demi hukum telah dianggap adnya suatu persaingan usaha tidak sehat, tanpa perlu harus dibuktikan lagi persaingan usaha tidak sehat tersebut. 3. Persekongkolan untuk menghambat pasokan produk.

27 53 Salah satu strategi tidak sehat dalam berbisnis adalah dengan berupaya agar produk-produk dari si pesaing menjadi tidak baik dari segi mutu, jumlah atau ketetapan waktu ketersedianya atau waktu yang telah dipersyratkan. 38 Karena itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan tegas melarang terhadap setiap persekongkolan oleh pelaku usaha dengan pihak lain yang dibuat dengan tujuan untuk menghambat produksi dan atau pemasaran suatu produk dari pelaku usaha pesaingnya dengan harapan agar produk yang dipasok atau ditawarkan tersebut menjadi kurang baik dari segi kualitasnya, dari segi jumlahnya, maupun dari segi ketetapan waktu yang dipersyaratkan. 2. Tinjauan Umum Mengenai Waralaba a. Pengertian Waralaba Dalam Black s Law Dictionary yang juga diakui dalam Kamus Istilah Keuangan dan Investasi karya John Downes dan Jordan Elliot Goodman 39, Franchise atau Waralaba diartikan sebagai berikut: Suatu hak khusus yang diberikan kepada dealer oleh suatu usaha manufaktur atau organisasi jasa waralaba, untuk menjual produk atau jasa pemilik waralaba di suatu wilayah tertentu, dengan atau tanpa eksklusifitas. Pengaturan seperti itu kadang kala diresmikan dalam suatu FranchiseAgreement (perjanjian hak kelola), yang merupakan kontrak antara pemilik hak kelola dan pemegang hak kelola. Kontrak menggariskan bahwa yang disebutkan pertama dapat menawarkan konsultasi, bantuan promosional, pembiayaan dan manfaat lain dalam pertukaran dengan suatu persentase dari penjualan atau laba. 38 Op.Cit, 39 Gunawan Widjaja, 2001, Seri Hukum Bisnis: Waralaba, Raja Grafinda Persada, Jakarta, hlm.9

28 54 Bisnis dimiliki pemegang hak kelola yang biasanya harus memenuhi suatu persyaratan investasi tunai awal. Dari pengertian waralaba yang ada dalam kamus istilah dan investasi, dapat kita ketahui bahwa dalam waralaba adalah kerjasama antara pemilik hak kelola dan pemegang hak kelola untuk memasarkan produk atau jasa yang diwaralabakan dengan ketentuan adanya prosentase pembagian keuntungan atau royalty. Dalam buku Gunawan Widjaja menyatakan bahwa pengertian diatas lebih menekankan pada pemberian konsultasi, bantuan promosional dan pembiayaan serta manfaat lain yang diberikan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba dengan pertukaran atau suatu presentase dari penjualan atau laba (royalty) dari penerima waralaba kepada pemberi waralaba. 40 Jack P. Friedmann didalam dalam Dictionary of business term menjelaskan bahwa waralaba adalah suatu izin yang di berikan oleh sebuah perusahaan (franchisor) kepada seorang atau kepada perusahaan (franchisee) untuk mengoperasikan suatu outlet retail, makanan atau supermarket dimana pihak frenchisee setuju untuk menggunakan milik franchisor berupa nama, produk, servis, promosi, penjualan, distribusi, metode untuk display, dan yang lain-lain yang berkenaan dengan company support. Didalam kamus tersebut juga dijelaskan bahwa sebuah franchisee merupakan perseorangan dan atau perusahaan lain yang dipilih oleh franchisor atau yang disetujui permohonannya menjadi franchisee oleh pihak franchisor untuk menjalankan usaha dengan menggunakan nama dagang, merek, atau sistem usaha milik franchisor, dengan syarat imbalan kepada franchisor berupa uang dalam jumlah tertentu pada awal kerjasama dan atau pada selang waktu tertentu selama jangka waktu kerjasama (royalty). Selain itu, dalam kamus tersebut juga usaha waralaba di definisikan sebagai hak untuk memasarkan barang-barang atau jasa perusahaan (company s good and service) dalam suatu wilayah tertentu. Hak tersebut diberikan oleh perusahaan kepada seseorang atau kelompok individu, kelompok marketing, pengecer, atau grosir Ibid, hlm M. Fuady,1997, Pembiayaan Perusahaan masa kini : Tinjauan Hukum Bisnis, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm. 135

29 55 Pengertian dari waralaba dapat juga kita lihat dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba menyatakan bahwa: Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang dan atau jasa. Kemudian pada tahun 2007 Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 Tahun 1997 tersebut telah dicabut dan digantikan oleh Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Dalam Pasal 1 Angka 1 peraturan tersebut juga membahas mengenai pengertian waralaba, pasal tersebut menyatakan bahwa: Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa sebuah waralaba adalah sebuah hak khusus dibidang bisnis, yang telah mempunyai ciri khas tersendiri, dan penggunaan oleh pihak lain didasarkan atas perjanjian waralaba. Pada dasarnya waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk mempergunakan sistem, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang telah ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi melakukan kegiatan lain yang sejenis atau yang berada dalam suatu lingkungan yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba yang diperolehnya dari pemberi

30 56 waralabanon competition merupakan suatu issue yang sangat penting dalam waralaba. 42 Pengertian dari waralaba dapat juga kita jumpai dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket Dikota Yogakarta. Dalam pasal 1 ayat (10) menyatakan bahwa : Usaha Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha yang sudah mempunyai jaringan secara nasional terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Jadi dalam Peraturan Walikota tersebut menyatakan bahwa untuk dikatakan waralaba, sebuah usaha harus mempunyai ciri khas tertentu dan mempunyai jaringan secara nasional. Pengertian ini hanya mempunyai sedikit perbedaan dibandingkan dengan pengertian waralaba yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun Perbedaan tersebut adalah dalam adanya unsur jaringan secara nasional. Meskipun terdapat perbedaan dalam merumuskan definisi waralaba sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, tetapi pada umumnya, seperti dikemukakan oleh Jetro K. Libermenn dan George J. Siadel, waralaba memiliki unsur-unsur, yaitu sebagai berikut: 1. Franchise merupakan perjanjian timbal balik antara franchisor dan franchisee. 2. Franchisee mempunyai kewajiban membayar fee kepada franchisor. 3. Franchisee diizinkan menjual dan mendistribusikan barang atau jasa franchisor menurut cara yang telah ditentukan 42 Op.cit, Gunawan Widjaja, hlm. 12.

31 57 franchisor atau mengikuti metode bisnis yang dimiliki franchisor. 4. Franchisee menggunakan merek nama perusahaan atau juga simbol-simbol komersial franchisor. 43 b. Jenis-jenis Waralaba Waralaba dibedakan menjadi beberapa jenis. Para ahli pun mempunyai pendapat sendiri-sendiri terhadap pembagian jenis waralaba tersebut. Menurut buku yang berjudul aneka masalah hukum dan hukum acara perdata karangan setiawan, membagi jenis waralaba kedalam 3 jenis yaitu : 1. Distributorship (Product Franchise) Dalam waralaba ini, franchisor memberikan lisensi kepada franchise untuk menjual barang-barang hasil produksinya. Pemberian lisensi ini bisa bersifat eksklusif ataupun noneksklusif. Sering sekali terjadi franchise diberikan hak eksklusif untuk memasarkan di suatu wilayah tertentu. 2. Chain-Style Business Jenis waralaba inilah yang paling banyak dikenali masyarakat. Dalam jenis ini, franchisee mengoperasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai nama franchisor. Sebagai imbalan dari penggunaan nama franchisor, maka franchisee harus mengikuti metode-metode standar pengoperasian dan berada dibawah pengawasan Franchisor dalam hal bahan-bahan yang digunakan, pilihan tempat usaha, desain tempat usaha, jam penjualan, persyaratan para karyawan, dan lain-lain 3. Manufacturing atau Processing Plants Dalam waralaba jenis ini, franchisor memberitahukan bahanbahan serta tata cara pembuatan suatu produk, termasuk didalamnya formula-formula rahasianya. Franchisee memproduksi, kemudian memasarkan barang-barang itu sesuai standar yang ditetapkan franchisor F. Sinambela, 2000, Perana Perjanjian Kerja antara Pengusaha dan Pekerja pada perusahaan waralaba(frenchise) di Kotamadya Medan, tesis Universitas Sumatera Utara, hlm Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Masalah Hukum Acara Perdata, Bandung : PT Alumni, hlm 157

32 58 Menurut Juandir Sumardi sebagaimana dikutip dalam buku hukum waralaba Adrian Sutedi, usaha bisnis waralaba usaha bisnis waralaba dibagi menjadi dua jenis, yaitu waralaba format bisnis dan waralaba format distribusi pokok. Maksud dari kedua jenis waralaba tersebut adalah : 1. Waralaba Format Bisnis Dalam waralaba format bisnis, pemegang waralaba (franchisee) memperoleh hak untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik dengan menggunakan standar operasional dan pemasaran dari franchisor. Dalam bentuk ini terdapat 3 jenis waralaba, yaitu waralaba format pekerjaan, format usaha dan format investasi. a. Waralaba Format Pekerjaan Waralaba yang menjalankan usaha berupa format pekerjaan sebenarnya membeli dukungan untuk usahanya sendiri, misalnya bisnis penjualan jasa penyetelan mesin mobil dengan merek waralaba tertentu. Bentuk usaha waralaba seperti itu cenderung paling mudah dan umumnya membutuhkan modal yang kecil karena tidak menggunakan tempat dan perlengkapan yang berlebihan. b. Waralaba Format Usaha Waralaba format usaha termasuk bisnis waralaba yang berkembang paling pesat. Bentuknya berupa toko eceran yang menyediakan barang/jasa atau restoran cepat saji (fast food). Biaya yang dibutuhkan untuk waralaba format itu lebih besar dari waralaba format pekerjaan karena dibutuhkan temapt usaha dan peralatan khusus. c. Waralaba Format Investasi Ciri utama yang membedakan waralaba format ini dari waralaba format usaha dan pekerjaan adalah besarnya usaha, khususnya besarnya investasi yang dibutuhkan perusahaan yang menggunakan waralaba format investasi biasanya ingin melakukan diversifikasi atau penganekaragaman pengelolaan, tetapi karena menejemennya tidak berpengalaman dalam mengelola usaha baru sehingga ia memilih jalan dengan mengambil waralaba Format ini. Contoh waralaba format investasi adalah usaha hotel dengan menggunakan nama dan standar pelayanan hotel franchisor. 2. Waralaba Format Distribusi Pokok

33 59 Dalam waralaba format ini franchisee memperoleh lisensi untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi yang spesifik. Franchisor juga dapat memberikan franchisee wilayah tertentu, dimana franchisee wilayah mempunyai hak untuk menjual kepada sub-franchisee di wilayah geografis tertentu. Franchisee bertanggung jawab atas beberapa atau seluruh pemasaran sub-franchisee, melatih dan membentuk subfranchisee baru, dan melakukan pengendalian dukungan operasi, serta program penagihan royalty. 45 Stephen Fox mengemukakan ada 3 jenis waralaba format bisnis,yaitu waralaba pekerjaan, waralaba usaha dan waralaba investasi. 46 Pendapat ini adalah sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Juandir Sumardi. Berdasarkan jumlah usaha yang berhak dimiliki franchisee, ada beberapa format waralaba yaitu sebagai berikut : 1. Single Unit Franchisee Format ini adalah format yang paling sederhana dan paling banyak digunakan karena kemudahannya. Franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk menjalankan usaha atas nama usahanya serta dengan panduan prosedure yang telah ditetapkan sebelumnya. Franchisee hanya diperkenankan untuk manjalankan usahanya pada sebuah cabang atau unit yang telah disepakati. 2. Area franchisee Pada format ini franchisee memperoleh hak untuk menjalankan usahanya dalam sebuah wilayah tertentu, misalkan pada sebuah provinsi atau kota, dengan jumlah unit usaha/cabang yang lebih dari satu. 3. Master Franchise Format master Franchise memberikan hak kepada franchisee untuk menjalankan usahanya di sebuah wilayah atau sebuah negara negara dan bukan hanya membuka usaha. Franchiseedapat 45 Adrian Sutedi, 2008, Hukum Waralaba, Bogor : Ghalia Indonesia, Hlm S. Fox,1993, seri bisnis : membeli dan menjual bisnis dan franchise, Jakarta : Elex Media Komputindo, hlm 18.

34 60 menjual lisensi kepada sub-franchisee dengan ketentuan yang telah disepakati. 47 c. Karakteristik Waralaba Dalam bisnis waralaba terdapat 3 komponen pokok yaitu : 1. Franchisor yaitu pihak yang memiliki sistem atau cara berbisnis. 2. Franchisee yaitu pihak yang membeli waralaba atau sistem dari franchisor sehingga memiliki hak untuk menjalankan bisnis dengan cara yang dikembangkan oleh franchisor. 3. Franchise atau waralaba yaitu sistem dab cara bisnis itu sendiri yang merupakan pengetahuan atau spesifikasi usaha dari franchisor yang di jual kepada franchisee. 48 Suatu bisnis waralaba selain mempunyai tiga komponen diatas juga mempunyai cirri-ciri, yaitu adanya : 1. Franchisor yang menawarkan paket usaha, 2. Franchisee yang mempunyai unit usaha (outlet) yang memanfaatkan paket usaha milik franchisor. 3. Ada kerjasama antara franchisee dan franchisor dalam hal pengelolaan unit usaha 4. Ada kontrak tertulis yang mengatur kerjasama. 49 Ada empat faktor utama dalam bisnis waralaba yang tidak akan dijumpai dalam melakukan kegiatan usaha atau bisnis secara independen diluar bisnis secara waralaba, yaitu sebagai berikut : 1. Keberadaan franchisor dan franchisee dalam suatu hubungan yang terus-menerus. 2. Kewajiban untuk menggunakan nama dan sistem franchisor serta patuh pada pengendalinya. 3. Terdapat resiko yang dapat merusak bisnis waralaba yang terdapadt di luar kemampuan dan kesiapan franchisee untuk menghadapinya, misalnya kegagalan bisnis franchisor atau tindakan franchisee lain yang membuat reputasi waralaba tersebut menjadi buruk. 4. Kemampuan franchisor untuk tetap memberikn jasa sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, yang dianggap bernilai dan wajar yang bisa membuat bisnis waralaba itu berhasil Adrian sutedi, Op.Cit, Hlm Ibid, hlm Ibid, hlm 48-49

35 61 Menurut international franchise association sebagaimana dikutip dari buku Adrian Sutedi, menyatakan bahwa waralaba pada hakikatnya melibatkan tiga elemen, yaitu merek, sistem bisnis dan biaya. Maksud dari ketiga hal tersebut adalah : 1. Merek Dalam setiap perjanjian waralaba, franchisor selaku pemilik dari sistem waralaba memberikan lisensi kepada frenchisee untuk dapat menggunakan merek dagang atau jasa dan logo yang dimiliki franchisor. 2. Sistem bisnis Keberhasilan dari suatu usaha waralaba tergantung dari penerapan sistem atau metode bisnis yang sama antara franchisor dan franchisee. Sistem bisnis tersebut berupa pedoman yang mencakup standarisasi produk, metode untuk mempersiapkan atau mengolah produk atau metode jasa, standar rupa dari fasilitas bisnis, standar periklanan, sistem reservasi, sistem akuntansi, sistem control persediaan, kebijakan dagang dan lain-lain. 3. Biaya (fee) Dalam setiap format bisnis waralaba, franchisor baik secara langsung atau tidak langsung, menarik pembayaran dari Franchisee atau penggunaan merek dan atas partisipasi dalam sistem waralaba yang dijalankan. Biaya biasanya terdiri dari biaya awal, biaya royalty, biaya jasa, biaya lisensi, dan /atau biaya pemasaran berssama. Biaya lainnya juga dapat berupa biaya atas jasa yang diberikan kepada franchisee, misalnya biaya menejemen. 51 Jadi secara sederhana karakteristik bisnis waralaba tidak lain adalah penggunaan merek dagang dan identitas satu pihak ke pihak lainnya, yang disertai dengan pengawasan yang berkelanjutan dari franchisor dan kewajiban pembayaran biaya (fee) oleh franchisee yang disertai dengan ketaatan terhadap ketentuan-ketentuan dalam perjanjian waralaba yang telah disepakati Ibid, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm 50

36 62 Dari segi yuridis, dapat dikemukakan beberpa karakteristik yuridis dari suatu bisnis waralaba, yaitu sebagai berikut : 1. Unsur dasar a. Ada pihak franchisor b. Ada pihak franchisee c. Bisnis waralaba itu sendiri 2. Keunikan produk 3. Konsep bisnis total 4. Franchisee memakai atau menjual produk 5. Franchisor menerima fee atau royalty 6. Adanya pelatihan menejemen dan ketrampilan khusus 7. Pendaftaran merek dagang, paten, atau hak cipta 8. Bantuan pendanaan franchisee dari franchisor atau lembaga keuangan 9. Pembelian produk langsung dari franchisor 10. Bantuan promosi dan periklanan dari franchisor 11. Daerah pemasaran yang eksklusif 12. Pengendalian dan penyeragaman mutu 13. Mengandung unsur merek dan sistem bisnis tertentu 53 Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2007 dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 79 tahun 2010 memberikan kriteria waralaba yang sama. Yaitu sebagai berikut : a. memiliki ciri khas usaha; b. terbukti sudah memberikan keuntungan; c. memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis; d. mudah diajarkan dan diaplikasikan; e. adanya dukungan yang berkesinambungan; f. hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar. Jadi kriteria dari sebuah waralaba adalah adanya ciri khas atau keunikan tersendiri dari produk yang diwaralabakan, adanya dukungan berkesinambungan antara franchisor dengan franchisee, adanya hak kekayaan intelektual yang telah di waralabakan, yang dijadikan sebagai waralaba, serta terbukti telah memberikan sebuah keuntungan. 53 Ibid, hlm 51

37 63 3. Tinjauan Umum Mengenai Minimarket Minimarket adalah bagian dari pasar/toko modern, sehingga sebelum melihat definisi dari minimarket kita lihat dulu definisi dari toko medern. Dalam Pasal 1 ayat angka 5 Peraturan Presiden RI Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dikatakan bahwa : Toko modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan. Dari pasal tersebut kita ketahui bahwa pasar modern terdiri dari beberapa bentuk, dan minimarket merupakan salah satu bentuk dari pasar modern. Sedangkan dalam sebuah blog juga memberikan definisi mengenai minimarket. Dalam blog tersebut mengatakan bahwa: Minimarket adalah semacam toko kelontong atau yang menjual segala macam barang dan makanan, namun tidak selengkap dan sebesar sebuah supermarket. Berbeda dengan toko kelontong, minimarket menerapkan sistem swalayan, dimana pembeli mengambil sendiri barang yang dibutuhkan dari rak-rak dagangan dan membayar di kasir. 54 Pengertian yang serupa juga terdapat dalam Wikipedia yaitu : Sebuah minimarket sebenarnya adalah semacam "toko kelontong" atau yang menjual segala macam barang dan makanan, perbedaan nya disini biasa nya minimarket menerapkan sebuah sistem mesin kasir point of sale untuk penjualannya, namun tidak selengkap dan sebesar sebuah supermarket. Berbeda dengan toko kelontong, 54 http ://ridhass.blogspot.com/2011/03/perbedaan-minimarket.html diakses pada tanggal 8 Januari 2014 pukul 9.18 WIB

38 64 minimarket menerapkan sistem swalayan, dimana pembeli mengambil sendiri barang yang ia butuhkan dari rak-rak minimarket dan membayarnya di meja mesin kasir. Sistem ini juga membantu agar pembeli tidak berhutang. 55 Menurut Hendri Ma rufsebagaimana dikutip dalam buku karangan Laila Nurul Fajri, pengertian minimarket adalah: Toko yang mengisi kebutuhan masyarakat akan warung yang berformat modern yang dekat dengan permukiman penduduk sehingga dapat mengungguli toko atau warung. 56 Dalam Peraturan Walikota Yogyakarta nomor 79 tahun 2010 telah secara tegas memberikan definisi Minimarket. Dalam pasal 1 ayat (11) Peraturan tersebut menyatakan bahwa : Minimarket adalah toko modern dengan batasan luas lantai penjualan kurang dari 400 m2 (empat ratus meter persegi) Jadi dalam pasal ini telah secara jelas memberikan definisi tentang minimarket. Minimarket adalah sebuah toko modern yang mempunyai luas kurang dari 400 M2. Adanya penentuan luas ini tentunya bertujuan untuk memberikan perbedaan pendefinisian minimarket dengan pasar modern lain seperti supermarket, hypermarket, departemen store dan pasar modern lainnya Supermarket, diakses pada tanggal 21 Januari 2014, pukul WIB 56 Laila Nurul Fajri, 2012, Analisis Kesesuaian Lokasi Minimarket Di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, hlm.15.

39 65 4. Tinjauan Umum Mengenai Pasar a. Pengertian Pasar Dalam pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 tentang Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern mendifinisikan pasar sebagai berikut : Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plaza, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya; Jadi dalam pasal tersebut mendefinisikan pasar sebagai tempat dilakukannya jual-beli yang di dalam tempat tersebut penjualnya tidak hanya satu melainkan lebih dari satu, definisi pasar dalam pasal ini meliputi semua jenis atau bentuk pasar. Pengertian pasar atau definisi pasar dalam arti sempit adalah tempat bertemunya calon penjual dan calon pembeli barang dan jasa. Sedangkan dalam arti luas pasar adalah tempat bertemunya permintaan dan penawaran. Pasar adalah salah satu dari berbagai sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial, dan infrastruktur dimana usaha menjual barang, jasa, dan tenaga kerja untuk orangorang dengan imbalan uang. Barang dan jasa yang dijual menggunakan alat pembayaran yang sah seperti uang fiat. Kegiatan ini merupakan bagian dari perekonomian. Ini adalah pengaturan yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk item pertukaran. Persaingan sangat penting dalam pasar, dan memisahkan pasar dari perdagangan. Dua orang mungkin melakukan perdagangan, tetapi dibutuhkan setidaknya tiga orang untuk memiliki pasar, sehingga ada persaingan pada setidaknya satu dari dua belah pihak. Pasar bervariasi dalam ukuran, jangkauan, skala geografis, lokasi jenis dan berbagai komunitas manusia, serta jenis barang dan jasa yang diperdagangkan. Beberapa contoh termasuk pasar petani lokal yang diadakan di alun-alun kota atau tempat parkir, pusat perbelanjaan dan pusat perbelanjaan, mata uang internasional dan pasar

40 66 komoditas, hukum menciptakan pasar seperti untuk izin polusi, dan pasar ilegal seperti pasar untuk obat-obatan terlarang. 57 Jadi pada intinya pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli guna melakukan sebuah transaksi yang dilakukan dengan menggunakan alat pembayaran yang sah, serta dibutuhkan pula penjual yang lebih dari satu agar tercipta sebuah persaingan dalam pasar, yang tentunya persaingannya adalah persaingan yang sehat. Dalam ilmu ekonomi mainstream, konsep pasar adalah setiap struktur yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk menukar jenis barang, jasa dan informasi. Pertukaran barang atau jasa untuk uang adalah transaksi. Pasar peserta terdiri dari semua pembeli dan penjual yang baik yang memengaruhi harga nya. Pengaruh ini merupakan studi utama ekonomi dan telah melahirkan beberapa teori dan model tentang kekuatan pasar dasar penawaran dan permintaan. Ada dua peran di pasar, pembeli dan penjual. Pasar memfasilitasi perdagangan dan memungkinkan distribusi dan alokasi sumber daya dalam masyarakat. Pasar mengizinkan semua item yang diperdagangkan untuk dievaluasi dan harga. Sebuah pasar muncul lebih atau kurang spontan atau sengaja dibangun oleh interaksi manusia untuk memungkinkan pertukaran hak (kepemilikan) jasa dan barang. 58 Sedangkan jika dilihat dari segi historisnya, pasar biasanya berasal dari komunitas kecil para pedagang yang menjual barangnya dalam satu tempat secara bersama-sama, sehingga menarik para pembeli untuk datang dan melakukan transaksi yang kemudian berkembang menjadi sebuah pasar pada umumnya. Syarat-syarat untuk adanya sebuah pasar yaitu: 1. adanya penjual, 2. adanya pembeli, 3. tersedianya barang yang diperjualbelikan, 57 pengertian pasar dan macam-macam jenis pasar, diakses pada tanggal 21 Januari 2014 pukul WIB 58 Ibid

41 67 4. terjadinya kesepakatan antara penjual dan pembeli. 59 b. Fungsi Pasar Dilihat dari kegiatan yang dilakukan pasar mempunyai tiga fungsi yaitu: 1. Fungsi Distribusi Pasar memiliki fungsi distribusi menyalurkan barang-barang hasil produksi kepada konsumen. Dalam fungsi distribusi, pasar berperan memperlancar penyaluran barang dan jasa dari produsen kepada konsumen. Melalui transaksi jual beli, produsen dapat memasarkan barang hasil produksinya baik secara langsung maupun tidak langsung kepada konsumen atau kepada pedagang perantara lainnya. 2. Fungsi Pembentukan Harga Sebelum terjadi transaksi jual beli terlebih dahulu dilakukan tawar menawar, sehingga diperoleh kesepakatan harga antara penjual dan pembeli. Dalam proses tawar menawar itulah keinginan kedua belah pihak (antara pembeli dan penjual) digabungkan untuk menentukan kesepakatan harga, atau disebut harga pasar. 3. Fungsi Promosi Pelaksanaan promosi dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya memasang spanduk, membagikan leaflet atau brosur penawaran, membagikan sampel atau contoh produk kepada calon pembeli, dan sebagainya. 60 Jadi fungsi pasar yaitu sebagai tempat distribusi, pembentukan harga dan promosi. Hanya saja hampir dalam semua pasar modern tidak akan kita jumpai adanya fungsi kedua yaitu fungsi pembentukan harga, karena pada umumnya dalam pasar modern tidak ada tawar-menawar karena harganya sudah ditetapkan oleh penjual. c. Jenis-Jenis Pasar Pasar yang merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli di bedakan dalam beberapa jenis. Jenis-jenis pasar tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bentuk Pasar menurut Sifat/Wujud Barang dan Cara Penyerahannya 59 Pasar (Pengertian, Fungsi dan Bentuk), diakses pada tanggal 21 Januari 2014 pukul WIB. 60 Ibid

42 68 a. Pasar konkret Pasar konkret adalah pasar di mana barang yang diperjualbelikan benar-benar ada dan penjual dan pembeli bertemu langsung. Contoh dari pasar konkret adalah pasar tradisional, minimarket, dan mall. Ciri-ciri pasar konkret: 1. transaksi dilakukan secara tunai, 2. barang dapat dibawa/diambil saat itu juga, 3. barang yang diperjualbelikan benar-benar ada/nyata, 4. penjual dan pembeli bertemu langsung. 61 Jadi pasar kongkret adalah pasar yang benar-benar nyata dimana penjual dan pembeli bertemu langsung untuk melakukan transaksi jual beli, dan pada saat itu juga barang dapat langsung dibawa setelah melakukan pembayaran. b. Pasar abstrak Pasar abstrak, yaitu pasar di mana barang yang diperjualbelikan tidak tersedia secara langsung dan antara penjual dan pembelinya tidak bertemu secara langsung. Contoh pasar abstrak adalah pasar bursa saham dan pasar on-line. Ciri-ciri pasar abstrak: 1. penjual dan pembeli berada di tempat yang berbeda dan berjauhan jaraknya, 2. transaksi dilandasi oleh rasa saling percaya, 3. barang yang diperjualbelikan tidak tersedia, hanya contoh saja, 4. transaksi dilakukan dalam partai besar. 62 Jadi pasar abstrak ini adalah lewan dari pasar kongkret, yaitu dimana penjual dan pembeli tidak bertemu langsung, pembeli dan penjual berada ditempat yang berbeda, transaksi biasanya dilakukan via online, atau mungkin via telepon saja. 2. Bentuk Pasar menurut Luas Wilayah Kegiatannya 61 Ibid 62 ibid

43 69 a. Pasar lokal Pasar lokal adalah pasar yang daerah pemasarannya hanya meliputi daerah tertentu, dan pada umumnya menawarkan barang yang dibutuhkan masyarakat di sekitarnya. Misalnya Pasar Klewer di Solo yang menyediakan berbagai jenis kain batik, karena masyarakat di Solo dan sekitarnya banyak yang mengenakan batik. b. Pasar nasional Pasar nasional adalah pasar yang daerah pemasarannya meliputi wilayah satu negara. Pasar ini menjual barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat negara tersebut. c. Pasar regional Pasar regional adalah pasar yang daerah pemasarannya meliputi beberapa negara pada wilayah tertentu. Pasar ini biasanya di bawah naungan wadah kerja sama regional, misalnya di kawasan Asia Tenggara dibentuk AFTA. d. Pasar internasional Pasar internasional adala pasar yang daerah pemasarannya mencakup seluruh kawasan dunia. Pasar ini juga disebut pasar dunia, karena menjual produk-produk yang dibutuhkan oleh semua masyarakat dunia, misalnya pasar kopi di Brasil, pasar wol di Sidney, Australia Bentuk Pasar menurut Organisasi Pasar atau Hubungan antara Pembeli dan Penjual. a. Pasar persaingan sempurna(perfect competition market) Pasar persaingan sempurna adalah pasar yang terdapat banyak penjual dan pembeli, sehingga harga tidak bisa ditentukan oleh masing-masing penjual/pembeli. Ciri-ciri pasar persaingan sempurna yaitu: 1. penjual dan pembeli bebas keluar masuk pasar tanpa hambatan, 2. pengetahuan penjual dan pembeli tentang pasar sempurna, 3. penjual dan pembeli banyak, 4. barang yang diperjualbelikan bersifat homogen Ibid 64 Ibid

44 70 Dalam blog lain mendefinisikan pasar persaingan sempurna sebagai berikut : Pasar persaingan sempurna merupakan sebuah jenis pasar dengan jumlah penjual dan pembeli yang sangat banyak dan produk yang dijual bersifat homogen. Harga terbentuk melalui mekanisme pasar dan hasil interaksi antara penawaran dan permintaan sehingga penjual dan pembeli di pasar ini tidak dapat mempengaruhi harga dan hanya berperan sebagai penerima harga (price-taker). Barang dan jasa yang dijual di pasar ini bersifat homogen dan tidak dapat dibedakan. Semua produk terlihat identik. Pembeli tidak dapat membedakan apakah suatu barang berasal dari produsen A, produsen B, atau produsen C? Oleh karena itu, promosi dengan iklan tidak akan memberikan pengaruh terhadap penjualan produk. 65 Jadi dapat disimpulkan bahwa pasar persaingan sempurna adalah sebuah pasar yang menjual produk yang sejenis atau homogen, yang dalam pasar tersebut terdapat sangat banyak penjual dan pembeli. Mereka bersaing untuk menjual produknya masing-masing. Selain itu penjual dan pembeli tidak dapat menentukan harga, karena harga terbentuk melalui mekanisme pasar dari hasil penawaran dan permintaan. b. Pasar persaingan tak sempurna(imperfect competition market) Pasar persaingan tidak sempurna adalah pasar di mana jumlah pembeli lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penjualnya, sehingga pasar dikuasai oleh satu atau beberapa penjual saja. Ciri-cirinya pasar persaingan tidak sempurna yaitu: 1. terdapat hambatan untuk memasuki pasar, 2. pengetahuan pembeli tentang pasar terbatas, 3. jumlah penjual sedikit, 4. barang yang diperjualbelikan bermacam-macam Op. cit, 66 Op.cit,

45 71 Dalam pasar persaingan tidak sempurna, masih dapat digolongkan ke dalam beberapa bentuk lagi. Bentuk pasar yang termasuk pasar persaingan tidak sempurna adalah: 1. Pasar Monopoli Pasar monopoli ialah pasar yang dikuasai sepenuhnya oleh penjual. Contoh: PLN menguasai listrik di Indonesia, PT Pos Indonesia memonopoli penjualan benda-benda pos di Indonesia. 2. Pasar duopoli Ciri-ciri pasar monopoli, antara lain: 1. terdapat satu penjual dan banyak pembeli, 2. harga ditentukan secara sepihak oleh penjual, 3. tidak ada barang lain yang dapat menggantikan barang yang dijualbelikan dengan sempurna, 4. ada halangan yang kuat bagi penjual baru untuk masuk dalam pasar. Hambatan-hambatan yang sering terjadi pada pasar monopoli antara lain: 1. penetapan harga serendah mungkin, 2. adanya kepemilikan terhadap hak paten atau hak cipta dan hak eksklusif, 3. pengawasan yang ketat terhadap agen pemasaran dan distributor, 4. adanya skala ekonomis yang sangat besar, 5. memiliki sumber daya yang unik. Pasar duopoli, yaitu pasar di mana penawaran suatu barang dikuasai oleh dua perusahaan.contoh: penawaran minyak pelumas yang dikuasai oleh Caltex dan Pertamina. 3. Pasar oligopoli Ciri-ciri pasar duopoli, yaitu: 1. terdapat dua penjual dan banyak pembeli, 2. harga ditentukan secara sepihak oleh kedua penjual.

46 72 Pasar oligopoli ialah pasar di mana beberapa perusahaan menguasai penawaran satu jenis barang. Beberapa perusahaan yang menguasai pasar ini saling mempengaruhi satu sama lain. Sifat ini menyebabkan satu perusahaan harus mengambil keputusan secara hati-hati dalam mengubah harga, mengubah desain produk atau mengubah teknik produksi. Contoh: penawaran sepeda bermotor yang dikuasai oleh beberapa perusahaan di antaranya Honda, Suzuki, Yamaha, dan Kawasaki. Ciri-ciri pasar oligopoli, yaitu: 1. terdapat banyak pembeli di pasar, 2. hanya ada beberapa penjual, 3. produk yang dijual bersifat, 4. terdapat hambatan untuk memasuki pasar bagi perusahaan baru, 5. adanya saling ketergantungan, 6. penggunaan iklan sangat intensif. 4. Pasar monopolistik Pasar monopolistik adalah suatu struktur pasar di mana terdapat banyak produsen yang menjual produk yang sama, tetapi dengan berbagai macam variasi. Contoh: produsen elektronik seperti handphone, smartphone atau laptop. Ciri-ciri pasar monopolistik 1. Terdapat banyak produsen. 2. Produk yang dijualbelikan sama (homogen), tetapi dengan berbagai macam variasi Menurut Waktu Penyelenggaraannya a. Pasar harian 67 Ibid

47 73 Pasar harian adalah pasar yang dilakukan setiap hari. Contohnya pasarpasar tradisional di lingkungan rumah yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari, pasar induk, di Jakarta dan lain-lain. b. Pasar mingguan Pasar mingguan adalah pasar yang dilakukan hanya setiap seminggu sekali. Biasanya nama pasar ini diambil dari nama hari pelaksanaan, contohnya Pasar Senin, Pasar Minggu,Pasar Rebo, dan lain-lain. c. Pasar bulanan Pasar bulanan adalah pasar yang dilakukan sebulan sekali. Pasar bulanan biasanya terdapat di sekitar pabrik dan dibuka setiap kali karyawan pabrik tersebut menerima gaji. d. Pasar tahunan Pasar tahunan adalah pasar yang dilakukan setahun sekali. Pasar ini diselenggarakan berkaitan dengan acara atau kegiatan dan sering digunakan sebagai ajang pameran atau promosi. Contohnya Pekan Raya Jakarta (PRJ), Pasar Sekaten di Jogjakarta dan Solo. 68 Jadi pasar-pasar tersebut dilaksanakan dalam periode tertentu, dan untuk penggolongannya disesuikan dengan waktu pasar tersebut dibuka. 5. Menurut Jenis Barang yang Diperjual-belikan a. Pasar barang produksi Pasar barang distribusi adalah pasar yang menjual faktor-faktor produksi. Misalnya bursa tenaga kerja, pasar modal, pasar mesinmesin produksi, dan lain-lain. b. Pasar barang konsumsi 68 ibid

48 74 Pasar barang konsumsi adalah pasar yang menjual barangbarang yang secara langsung dapat dikonsumsi/dipakai. Contohnya pasar buah, pasar ikan, pasar pakaian, dan lain-lain Jenis pasar menurut cara transaksinya. Menurut cara transaksinya, jenis pasar dibedakan menjadi pasar tradisional dan pasar modern. a. Pasar Tradisional Pasar tradisional adalah pasar yang bersifat tradisional dimana para penjual dan pembeli dapat mengadakan tawar menawar secara langsung. Barang-barang yang diperjual belikan adalah barang yang berupa barang kebutuhan pokok. b. Pasar Modern Pasar modern adalah pasar yang bersifat modern dimana barang-barang diperjual belikan dengan harga pas dan denganm layanan sendiri. Tempat berlangsungnya pasar ini adalah di mal, plaza, dan tempat-tempat modern lainnya. 70 Dalam Peraturan Presiden nomor 112 tahun 2007 juga memberikan definisi mengenai pasar tradisional. Pasal 1 ayat (2) peraturan tersebut menyatakan bahwa : Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar; Dari dua definisi pasar tradisonal, semua menyatakan bahwa dalam pasar tradisional terdapat tawar-menawar. Karena memang hal tersebutlah yang menjadi unsur dan ciri khas dalam pasar tradisional. 69 ibid 70 jenis-jenis pasar, di akses pada tanggal 21 Januari 2014, pukul WIB

49 75 Perbedaan pasar tradisional dan pasar modern adalah : 1. Pasar modern menawarkan diskon sedangkan pasar tradisional tidak ada. 2. Pasar modern lebih bersih dari pasar tradisional. 3. Jenis-jenis barang yang dijual pada pasar tradisonal terfokus pada kebutuhan sandang-pangan sehari-hari dan kebutuhan premier, sedangkan pasar modern jenis-jenis barangyang di jual adalah beragam dari barang-barang premis, subtitusi bahkan ekslusif. 4. Pembeli yang datang pada pasar modern berasal dari masyarakat setempat danmasyarakat luar daerah sedangkan pasar tradisional pembelinya hanya dari masyarakatsetempat. 5. Penjual yang beraktifitas dalam pasar modern pada dasar nya telah memilikipengalaman dalam pengatahuan bisnis sedangkan penjual yang beraktifitas dalam pasar tradisional hanya berharap pada nasib keuntungan. 6. Modal yang di miliki oleh penjual di pasar modal jumlah nya relative besar sedang penjual di pasar tradisional memiliki modal yang relative rendah. 7. Pembeli yang datang pada pasar tradisional pada umumnya masyarakat menengahkebawah dan masyarakat berekonomi rendah. Sedangkan pembeli pada pasar modern umumnya masyarakat menengah ke atas dan masyarakat ekonomi tinggi. 8. Pasar modern tidak dapat tawar menawar sedangkan pasar tradisional dapat tawar-menawar. 71 Namun seiring perkembangan dari pasar tradisional, hal-hal tersebut sudah tidak sepenuhnya benar. Pasar tradisional perlahan-lahan memperbaiki kualitasnya. Kita lihat saja Pasar Beringharjo Yogyakarta, disana tempatnya bersih, menyediakan berbagai kebutuhan, pembelinya juga berasal dari berbagai daerah serta dari berbagai kalangan masyarakat. Hanya saja memang sebagian kecil pasar tradisional masih tertinggal dari perkembangan yang ada perbedaan pasar tradisional dan pasa rmodern, diakses pada tanggal 21 Januari 2014, pukul WIB.

50 76 5. Tinjauan Umum Mengenai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah a. Usaha Mikro Pengertian Usaha Mikro menurut Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003 adalah: Usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupiah) pertahun. Peraturan tersebut diperbarui dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang UMKMyang memberikan pengertian usaha mikro sebagai berikut : Usaha produktif milik orang perorang dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro, memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah). Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2008, Usaha Mikro adalah : Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, dilakukan oleh orang perorang atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp ,00, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp ,00sampai dengan paling banyak Rp ,00.

51 77 b. Usaha Kecil Dalam UU Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil pada pasal 1 ayat (1) memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan usaha kecil. Pasal tersebut menyatakan bahwa : "Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Pasal 5 ayat (1) UU nomor 9 tahun 1995 memberikan kriteria agar suatu usaha dapat dikatakan sebagai usaha kecil. Pasal tersebut menyakan bahwa : Kriteria usaha kecil adalah sebagai berikut: a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp ,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah). c. Milik warga negara indonesia d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah dan usaha besar, dan e. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi. Jadi pelaku usaha kecil adalah pelaku usaha yang menjalankan usahanya seperti pada pasal 1 ayat (1). Untuk dapat dikatakan sebagai usaha kecil harus memenuhi kriteria-kriteria dalam pasal 5 ayat (1) ini. c. Usaha Menengah Pengertian usaha menengah menurut Inpres No.10 tahun 1998 : Usaha Menengah adalah usaha bersifat produktif yang memenuhi kriteria kekayaan usaha bersih lebih besar dari Rp ,00

52 78 sampai dengan paling banyak sebesar Rp ,00,tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Dapat menerima kredit dari bank sebesar Rp ,00 sampai dengan Rp ,00. Pengertian usaha menengah Menurut UU Nomor 20 Tahun 2008, Usaha Menengah yaitu : Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorang atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp ,00 sampai dengan paling banyak Rp ,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp ,00 sampai dengan paling banyak Rp ,00. Tabel 2.1 Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Ukuran Usaha Kriteria Asset Omset Usaha Mikro Maksimal 50 juta Maksimal 300 juta Usaha Kecil > 50 juta 500 juta Maksimal 300 juta Usaha Menengah > 500 juta 10 milyar > 2,5 50 milyar Sumber : UU No.20 tahun 2008

53 79 d. Data Jumlah UMKM di Kota Yogyakarta Kondisi umum Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah Kota Yogyakarta saat ini adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah di Kota Yogyakarta Tahun No. Jenis Usaha Industri Perdagangan dan jasa Koperasi Sumber : data dari Disperindagkoptan Tabel 2.3 Jumlah Koperasi Aktif dan Pasif di Kota Yogyakarta Tahun No. Koperasi Aktif Pasif Jumlah Sumber : data dari Disperindagkoptan Tabel 2.4 Pertumbuhan Ekonomi dari Tahun No. Tahun

54 80 1. Pertumbuhan ekonomi (%) Sumber : data dari Disperindagkoptan Jumlah Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berizin pada tahun 2011 sebanyak orang. 6. Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Sumber : dinas.jogjakota.go.id A. Sejarah Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat, berdasarkan SE Mendagri NO 503/125/PUOD tahun 1997 perihal Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perijinan di Daerah Pemerintah Kota Yogyakarta membentukunit Pelayanan Terpadu Satu Atap dengan Keputusan Walikota Yogyakarta No 01 tahun 2000 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Yogyakarta. Lembaga UPTSA hanya merupakan front office sedangkan untuk proses perizinannya tetap di instansi/skpd tehnis. Untuk operasional UPTSA di tunjuk

55 81 Koordinator UPTSA diberi tunjangan Daerah yang disetarakan dengan eselon IIIB, sekretaris UPTSA disetarakan dengan Eselon IVB. Jenis pelayanan yang ada di UPTSA : Akta Capil, HO, TDI, TDG, SIUP, IMBB, SAL, SAK, In-gang, IPPT, IPL, Sewa alat berat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, Pemerintah Kota Yogyakarta membentuk lembaga pelayanan perizinan yang definitif berupa Dinas Perizinan. Dasar Pembentukan Dinas Perizinan adalah Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja DinasPerizinan, dengan susunan Organisasi : 1. Kepala Dinas 2. Kepala Bagian Tata Usaha yang membawahi : - Kasubbag Umum - Kasubbag Keuangan, Perencanaan dan Evaluasi 3. Kepala Bidang Pelayanan yang membawahi : - Kasie Administrasi Perizinan - Kasie Koordinasi dan Penelitian Lapangan 4. Kepala Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan yang membawahi : - Kasie Sistem Informasi - Kasie Pengaduan dan Advokasi 5. Kepala Bidang Data dan Pengembanga - Kasie Data dan Penelitian - Kasie Pengembangan Kinerja 72 Jenis Pelayanan Pada Dinas Perizinan berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 09 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Pada Pemerintah Kota Yogyakarta ada 35 jenis Izin. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta 72 Dinas perizinan kota Yogyakarta, diakses pada tanggal 1 Mei 2014 pukul WIB.

56 82 Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Dinas Daerah, Susunan organisasi Dinas Perizinan berubah menjadi : 1 Kepala Dinas 2. Sekretaris yang membawahi : - Kasubbag Umum dan Kepegawaian - Kasubbag Keuangan - Kasubbag Administrasi Data dan Pelaporan 3. Kepala Bidang Pelayanan yang membawahi : - Kasie Advis Planing dan Administrasi Perizinan - Kasie Koordinasi Lapangan dan Penelitian 4. Kepala Bidang Data dan Sistem Informasi yang membawahi : - Kasie Data - Kasie Sistem Informasi 5. Kepala Bidang Pengawasan dan Pengaduan Perizinan - Kasie Pengawasan - Kasie Pengaduan Perizinan dan Advokasi 6. Kepala Bidang Regulasi dan Pengembangan Kinerja - Kasie Regulasi - Kasie Pengembangan Kinerja 73 Jenis Pelayanan Pada Dinas Perizinan berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Pada Pemerintah Kota Yogyakarta ada 34 jenis Izin. B. Tujuan Dibentuknya Dinas PerizinanKota Yogyakarta Dinas Perizinan dibentuk adalah dengan tujuan: 1. Tidak adanya overlapping Pelayanan izin yang sama dari beberapa instansi; 2. Keterpaduan persyaratan dalam pelayanan izin; 3. Percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah; 4. Kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah; 5. Kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses pemberian perizinan sesuai dengan urutan prosedurnya; 6. Mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk dua atau lebih permohonan perizinan; 73 Data dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta

57 83 7. Pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan peyelenggaraan pelayanan. Dengan adanya Dinas Perizinan diharapkan dapat mempermudah masyarakat dalam memperoleh izin. Karena masyarakat jadi tidak perlu lagi datang berbagai dinas untuk memperoleh izin, cukup hanya di satu dinas saja. Jika untuk memperoleh izin mudah, masyarakat pun tidak segan untuk mengurus izin. C. Struktur Organisasi Dinas PerizinanKota Yogyakarta Struktur organisasi Dinas Perizinan Kota Yogyakarta adalah sebagai berikut: 74 Bagan 2.1 Struktur Organisasi Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Sumber : Data dari Dinas Perizinan 74 Ibid

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Helda Nur Afikasari

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Oleh: M. Hakim Nasution HAKIMDANREKAN Konsultan Hukum Asas Persaingan Usaha UU No. 5/1999 Larangan

Lebih terperinci

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1999 (5/1999) Tanggal: 5 MARET 1999 (JAKARTA) Tentang: LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Magisster Akuntasi www.mercubuana.ac.id Undang-undang Terkait Dengan Industri Tertentu, Undangundang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

HUKUM PERSAINGAN USAHA

HUKUM PERSAINGAN USAHA HUKUM PERSAINGAN USAHA Dosen Pengampu: Prof Dr Jamal Wiwoho, SH, MHum www.jamalwiwoho.com 081 2260 1681 -- Bahan Bacaan Abdulrahman: Ensiklopesi Ekonomi keuangan dan perdagangan, Jakarta, Pradnya Paramita,

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Pengantar Hukum Persaingan Usaha Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Topics to be Discussed Manfaat Persaingan Asas & Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif Pasal 47 (1) Komisi berwenang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan keuntungan atau menimbulkan kerugian. Apabila

Lebih terperinci

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Ethics in Market Competition Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Monopoli Monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY 62 BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY A. Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 1. Latar

Lebih terperinci

BAB 3 PERJANJIAN WARALABA DITINJAU DARI PERATURAN DIBIDANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (STUDI PERJANJIAN WARALABA DI PT.

BAB 3 PERJANJIAN WARALABA DITINJAU DARI PERATURAN DIBIDANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (STUDI PERJANJIAN WARALABA DI PT. BAB 3 PERJANJIAN WARALABA DITINJAU DARI PERATURAN DIBIDANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (STUDI PERJANJIAN WARALABA DI PT. X) 3.1. TINJAUAN UMUM MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Setiap Individu harus diberi ruang gerak tertentu dalam pengambilan keputusan

Lebih terperinci

Perjanjian yang Dilarang

Perjanjian yang Dilarang Perjanjian yang Dilarang Pasal 4 16 Defenisi Praktek Monopoli: pemusatan kekuatan ekonomi (penguasaan yang nyata atas suatu pasar yang relevan) sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa oleh

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba. Bab I: PENDAHULUAN

Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba. Bab I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman Pasal 50b Tentang Pengecualian Waralaba Bab I: PENDAHULUAN Perkembangan usaha waralaba di Indonesia telah mengalami kemajuan yang pesat di berbagai bidang, antara lain seperti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah franchise dalam Bahasa Prancis memiliki arti kebebasan atau freedom.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah franchise dalam Bahasa Prancis memiliki arti kebebasan atau freedom. 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Waralaba Istilah franchise dalam Bahasa Prancis memiliki arti kebebasan atau freedom. Namun dalam praktiknya, istilah franchise justru di populerkan di Amerika Serikat.

Lebih terperinci

KEGIATAN YANG DILARANG

KEGIATAN YANG DILARANG KEGIATAN YANG DILARANG Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Pendahuluan Perlunya pengaturan terhadap kegiatan pelaku usaha di dalam

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PT Pelindo II (Persero) Cabang Cirebon adalah salah satu cabang dari PT Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan perusahaan Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat ukur kemakmuran dari suatu negara. 1 Untuk mencapainya diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat ukur kemakmuran dari suatu negara. 1 Untuk mencapainya diperlukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingkat ekonomi yang tinggi adalah salah satu hal yang dapat dijadikan sebagai alat ukur kemakmuran dari suatu negara. 1 Untuk mencapainya diperlukan niat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan Usaha 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan adalah perlawanan dan atau upaya satu orang atau lebih untuk lebih unggul dari orang lain dengan

Lebih terperinci

Adapun...

Adapun... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Defenisi Praktek Monopoli: pemusatan kekuatan ekonomi (penguasaan yang nyata atas suatu pasar yang relevan) sehingga dapat menentukan harga barang dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perusahaan 1. Definisi Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat terusmenerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KOMISI NO. 57/2009. Tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba

KEPUTUSAN KOMISI NO. 57/2009. Tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba KEPUTUSAN KOMISI NO. 57/2009 Tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf b tentang Pengecualian Penerapan

Lebih terperinci

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf b tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah

Lebih terperinci

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA Oleh Ayu Cindy TS. Dwijayanti I Ketut Tjukup Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Tulisan yang berjudul Merger Perseroan

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK

Lebih terperinci

Franchise Bisnis dan Pengaturan Hukum Lintas Batas

Franchise Bisnis dan Pengaturan Hukum Lintas Batas Franchise Bisnis dan Pengaturan Hukum Lintas Batas Latar Belakang Globalisasi sebagai hal yang mau tidak mau akan mempengaruhi kegiatan perekonomian di Indonesia merupakan salah satu aspek pula yang harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia pada dewasa ini telah dikenal usaha franchise di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia pada dewasa ini telah dikenal usaha franchise di berbagai bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia pada dewasa ini telah dikenal usaha franchise di berbagai bidang baik makanan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Hal ini tergantung dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA. waralaba dapat diartikan sebagai usaha yang memberikan untung lebih atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA. waralaba dapat diartikan sebagai usaha yang memberikan untung lebih atau 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA A. Pengertian Waralaba (Franchise) Istilah franchise dipakai sebagai padanan istilah bahasa Indonesia waralaba. Waralaba terdiri atas kata wara dan laba. Wara artinya

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan

STUDI KELAYAKAN (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan LAPORAN AKHIR STUDI KELAYAKAN (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang KERJASAMA Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, Dan Aset (DPPKA) Kota Tarakan Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan Dan Pengembangan

Lebih terperinci

Struktur Pasar Pemasaran (TIN 4206)

Struktur Pasar Pemasaran (TIN 4206) Struktur Pasar Pemasaran (TIN 4206) Efisiensi dalam Persaingan Sempurna Tiga pertanyaan dasar dalam perekonomian kompetitif adalah : 1. Apa yang akan diproduksi? 2. Bagaimana cara memproduksinya? 3. Siapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA DI INDONESIA

KEDUDUKAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA DI INDONESIA KEDUDUKAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA DI INDONESIA oleh Ida Ayu Trisnadewi Made Mahartayasa Bagian Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Saat ini berbisnis dengan konsep

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 50 huruf d Tentang Pengecualian terhadap Perjanjian dalam Rangka Keagenan

Pedoman Pasal 50 huruf d Tentang Pengecualian terhadap Perjanjian dalam Rangka Keagenan Pedoman Pasal 50 huruf d Tentang Pengecualian terhadap Perjanjian dalam Rangka Keagenan Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Komisi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manajemen. Waralaba juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif

I. PENDAHULUAN. manajemen. Waralaba juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Waralaba pada hakekatnya adalah sebuah konsep pemasaran dalam rangka memperluas jaringan usaha secara cepat, sistem ini dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Hal ini sejalan dengan amanat dan cita-cita Pancasila

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah waralaba atau yang dalam bahasa asing disebut dengan franchise asal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah waralaba atau yang dalam bahasa asing disebut dengan franchise asal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep dan Perjanjian Waralaba 1. Pengertian Waralaba Istilah waralaba atau yang dalam bahasa asing disebut dengan franchise asal katanya berasal dari bahasa Perancis kuno yang

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DRAFT Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 2004 1 KATA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Dalam sebuah klaimnya, asosiasi perusahaan ritel Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam dinamika kehidupan manusia, karena manusia selalu mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. dalam dinamika kehidupan manusia, karena manusia selalu mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan ekonomi merupakan aktifitas yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, bahkan kegiatan ekonomi merupakan salah satu pilar penting dalam dinamika

Lebih terperinci

BAB III KARTEL DAN PERMASALAHANNYA

BAB III KARTEL DAN PERMASALAHANNYA BAB III KARTEL DAN PERMASALAHANNYA A. Tinjauan Umum Tentang Kartel 1. Pengertian Kartel Sebelum mengetahui pengertian dari kartel, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa, dalam pasar oligopolisytik hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktek persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum Anti Monopoli & SH PDT 1207 2 VI (Enam) Muhammad Fajar Hidayat, S.H., M.H. Persaingan Usaha Deskripsi Mata Kuliah

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Perlindungan Usaha Deskripsi Mata Kuliah Standar Kompetensi SH HK 1201 2 V (lima) Muhammad

Lebih terperinci

TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI. Hasan Jauhari )

TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI. Hasan Jauhari ) TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI Hasan Jauhari ) Abstrak Saat ini sekitar 60 negara dari 200an negara di dunia ini telah memiliki undang-undang anti monopoli

Lebih terperinci

ETIKA DAN HUKUM KEWIRAUSAHAAN oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH.

ETIKA DAN HUKUM KEWIRAUSAHAAN oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH. 1 ETIKA DAN HUKUM KEWIRAUSAHAAN oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH. I Istilah kewirausahaan secara umum dapat dikatakan sebagai suatu tindakan sadar dari seseorang yang memiliki sifat keunggulan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pengantar Pasal 35 huruf (f): Menyusun pedoman dan atau publikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara berkembang yang terus berproses untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara berkembang yang terus berproses untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara berkembang yang terus berproses untuk menjadikan negaranya menjadi negara maju dengan berbagai kegiatan demi tercapainya pembangunan

Lebih terperinci

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan KEDUDUKAN TIDAK SEIMBANG PADA PERJANJIAN WARALABA BERKAITAN DENGAN PEMENUHAN KONDISI WANPRESTASI Etty Septiana R 1, Etty Susilowati 2. ABSTRAK Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis antara para

Lebih terperinci

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Bahan Konsinyering, 06-02-17 MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Undang-Undang Nomor... Tahun... tentang RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS PEMBATASAN PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK OLEH UU NO

KAJIAN YURIDIS PEMBATASAN PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK OLEH UU NO KAJIAN YURIDIS PEMBATASAN PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK OLEH UU NO. 5 TAHUN1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Raja wahid Nur Sinambela Marlina ABSTRAK Negara

Lebih terperinci

memberi kebebasan kepada para pihak. Hakikat dari pengertian franchise adalah

memberi kebebasan kepada para pihak. Hakikat dari pengertian franchise adalah 2.1 Franchise 2.1.1 Pengertian Franchise Franchise berasal dari kata Perancis, yakni franchir, yang mempunyai arti memberi kebebasan kepada para pihak. Hakikat dari pengertian franchise adalah mandiri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang meliputi banyak variabel diantaranya jual beli, barter sampai kepada leasing,

BAB I PENDAHULUAN. yang meliputi banyak variabel diantaranya jual beli, barter sampai kepada leasing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di bidang perekonomian merupakan pembangunan yang paling utama di Indonesia. Hal ini dikarenakan keberhasilan di bidang ekonomi akan mendukung pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan bisnis waralaba di Indonesia tergolong sangat prospektif karena

I. PENDAHULUAN. Perkembangan bisnis waralaba di Indonesia tergolong sangat prospektif karena 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan bisnis waralaba di Indonesia tergolong sangat prospektif karena potensi pasarnya sangat besar dan tergolong pesat yang melibatkan banyak pengusaha lokal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena selalu terdapat kepentingan yang berbeda bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha

Lebih terperinci

PERJANJIAN YANG DILARANG

PERJANJIAN YANG DILARANG PERJANJIAN YANG DILARANG Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Bentuk-bentuk perjanjian secara umum 1. Horizontal dilakukan diantara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap Perusahaan memiliki tujuan untuk memperoleh laba dan. mendatang. Menurut Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), waralaba adalah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap Perusahaan memiliki tujuan untuk memperoleh laba dan. mendatang. Menurut Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), waralaba adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap Perusahaan memiliki tujuan untuk memperoleh laba dan mampu bertahan dalam dunia bisnis. Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan memiliki strategi bisnis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Kartel : Persaingan Tidak Sehat. Oleh Djoko Hanantijo Dosen PNS dpk Universitas Surakarta ABSTRAKSI

Kartel : Persaingan Tidak Sehat. Oleh Djoko Hanantijo Dosen PNS dpk Universitas Surakarta ABSTRAKSI Kartel : Persaingan Tidak Sehat Oleh Djoko Hanantijo Dosen PNS dpk Universitas Surakarta ABSTRAKSI Kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan.

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PASAR

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN tentang K A R T E L

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN tentang K A R T E L PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN 2010 tentang K A R T E L copyright@kppu.2011 DILARANG MENCETAK DAN MEMPERBANYAK ISI BUKU INI TANPA SEIJIN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dalam melaksanakan pembangunan Nasional, perlu melakukan perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang ekonomi yang mengarah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Dasar Hukum dan Pengertian Hukum Persaingan Usaha. terbitnya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UU No.

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Dasar Hukum dan Pengertian Hukum Persaingan Usaha. terbitnya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UU No. 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hukum Persaingan Usaha 1. Dasar Hukum dan Pengertian Hukum Persaingan Usaha Dalam perkembangan sistem ekonomi Indonesia, hukum persaingan usaha menjadi salah satu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment

BAB I PENDAHULUAN. Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment dalam Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi di Indonesia mengingat topik tersebut belum

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR KERJASAMA. Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan Dan Pengembangan Masyarakat Universitas Airlangga (LP4M UA)

LAPORAN AKHIR KERJASAMA. Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan Dan Pengembangan Masyarakat Universitas Airlangga (LP4M UA) LAPORAN AKHIR KERJASAMA Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, Dan Aset (DPPKA) Kota Tarakan Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan Dan Pengembangan Masyarakat Universitas Airlangga (LP4M UA) TAHUN

Lebih terperinci

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I LATAR BELAKANG. 2 BAB II TUJUAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 08 Tahun 2015 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG USAHA MIKRO DAN KECIL DI KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Persekongkolan Tender, Persaingan Usaha Tidak Sehat 56 LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Lebih terperinci

Bab 9 PASAR OLIGOPOLI

Bab 9 PASAR OLIGOPOLI Bab 9 PASAR OLIGOPOLI Pengertian PASAR Pasar adalah tempat atau sarana bertemunya penjual dan pembeli baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan transaksi jual/beli Sebuah pasar dapat terjadi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan andal sebagai usaha

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 10 Tahun 2017 Seri E Nomor 6 PERATURAN WALI KOTA BOGOR NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 10 Tahun 2017 Seri E Nomor 6 PERATURAN WALI KOTA BOGOR NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR Nomor 10 Tahun 2017 Seri E Nomor 6 PERATURAN WALI KOTA BOGOR NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN TOKO SWALAYAN Diundangkan dalam Berita Daerah Kota Bogor Nomor 10

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aditya Bakti, 2003), hlm 2. UNIVERSITAS INDONESIA. Perjanjian lisensi..., Maria Edietha, FH UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Aditya Bakti, 2003), hlm 2. UNIVERSITAS INDONESIA. Perjanjian lisensi..., Maria Edietha, FH UI, 2010. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENULISAN Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat merupakan hal yang baru bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan baru keluarnya Undang-Undang tentang Monopoli

Lebih terperinci

Definisi Pasar Monopoli

Definisi Pasar Monopoli Struktur Pasar Definisi Pasar Monopoli suatu bentuk pasar dimana dalam suatu industri hanya terdapat sebuah perusahaan dan produk yang dihasilkan tidak memiliki pengganti yang sempurna Karakteristik Pasar

Lebih terperinci

Prosedur dan Kebijakan Hukum Persaingan Usaha

Prosedur dan Kebijakan Hukum Persaingan Usaha Prosedur dan Kebijakan Hukum Persaingan Usaha Tujuan dan Aplikasi Pedoman Perilaku Bisnis menyatakan, CEVA berkomitmen untuk usaha bebas dan persaingan yang sehat. Sebagai perusahaan rantai pasokan global,

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN BISNIS

STUDI KELAYAKAN BISNIS STUDI KELAYAKAN BISNIS 2 Pendirian Usaha dan Pengembangan Usaha Bisnis: Siklus dan Pengembangan Orientasi pasar: yaitu memproduksi barang yang dibutuhkan masyarakat. Keputusan berdasar orientasi produk

Lebih terperinci

STRUKTUR PASAR. 1. Menurut segi fisiknya, pasar dapat dibedakan menjadi beberapa macam, di

STRUKTUR PASAR. 1. Menurut segi fisiknya, pasar dapat dibedakan menjadi beberapa macam, di STRUKTUR PASAR 1.1 Pengertian Pasar Pasar adalah suatu tempat atau proses interaksi antara permintaan (pembeli) dan penawaran (penjual) dari suatu barang/jasa tertentu, sehingga akhirnya dapat menetapkan

Lebih terperinci