RESPONSIBILITY TO PROTECT : SUATU TANGGUNG JAWAB DALAM KEDAULATAN NEGARA. Santa Marelda Saragih

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RESPONSIBILITY TO PROTECT : SUATU TANGGUNG JAWAB DALAM KEDAULATAN NEGARA. Santa Marelda Saragih"

Transkripsi

1 RESPONSIBILITY TO PROTECT : SUATU TANGGUNG JAWAB DALAM KEDAULATAN NEGARA Santa Marelda Saragih Abstract The time of absolute sovereignty has passed; its theory was never matched by reality. Boutros Boutros-Ghali Violations of human rights which occur in several countries engender a question pertaining to legality of humanitarian intervention. Doctrine of Humanitarian intervention conflicts with the fundamental principle of state sovereignty. The conflict between the principle of state sovereignty and humanitarian intervention has constructed a dilemma condition in conducting the enforcement of human rights. Humanitarian intervention aims to protect civilians from the violation of human rights, The foregoing notion is a challenge to the efforts of civilian protection as a part of the subjects of international law and international community. As the answer of this challenge, a new concept is required to bridge the principle of state sovereignty and the enforcement of human rights. That new concept is Responsibility to Protect which adhere in state sovereignty. In the 2005 World Summit, Member States included R to P in the Outcome Document agreeing to Paragraphs 138 and 139. These paragraphs gave final language to the scope of R to P and to whom the responsibility actually falls. In April 2006, the United Nations Security Council reaffirmed the provisions of paragraphs 138 and 139 in resolution (S/RES/1674), thereby formalizing their support for the norm. The next major advancement in R to P came in January 2009, when UN Secretary-General Ban Ki-moon released a report called Implementing the Responsibility to Protect. This report argued for the implementation of R to P and outlined the three principles of R to P. The norm of Responsibility to Protect has changed the paradigm of state sovereignty from an absolute authority to a primary responsibility for giving protection to civilians. Pendahuluan Negara sebagai subyek hukum internasional memiliki unsur istimewa yang tidak dimiliki oleh subyek-subyek hukum internasional lainnya dan unsur tersebut adalah kedaulatan. 87 Kedaulatan merupakan dasar utama yang menjadi acuan prinsip non intervensi dalam praktek hukum internasional. 88 Seiring dengan perkembangan hukum internasional, kedaulatan negara mengalami konflik dengan intervensi kemanusiaan yang menimbulkan suatu pertanyaan tentang legalitas keterlibatan negara negara lain untuk melakukan intervensi kemanusiaan di wilayah territorial suatu negara. Dalam 87 Konvensi Montevideo 1933 Pasal 1 ayat Dalam hukum internasional terdapat suatu prinsip umum yang dinamakan dengan "Par Imparem Non Hebet Imperium" yang berarti "Tidak ada suatu negara berdaulat manapun yang dapat menaklukkan negara berdaulat lainnya". Prinsip ini mendasari persamaan kedaulatan antar negara negara dalam hukum internasional.

2 International Conference On New Conflicts And The Challenge Of The Protection Of The Civilian Population yang diadakan oleh International Institute of Humanitarian Law (IIHL) bekerjasama dengan Istituto Affari Internazionali (IAI) pada tanggal 14 Desember 2010, di Kementerian Luar Negeri Italia, masalah di atas menjadi salah satu topik yang didiskusikan dan para ahli hukum humaniter internasional menyatakan bahwa konflik antara kedaulatan dengan intervensi kemanusiaan merupakan tantangan baru bagi upaya perlindungan terhadap masyarakat sipil. Pada tahun 1994 terjadi suatu kasus genosida (genocide) di Rwanda yang memakan korban sebanyak orang suku Tutsi. Pembunuhan massal (mass murder) terhadap suku Tutsi tersebut dikomando oleh Akazu yang merupakan kelompok mayoritas suku Hutu di Rwanda. Menanggapi kasus genosida di Rwanda dan kegagalan komunitas internasional untuk melakukan intervensi kemanusiaan, Sekjen PBB Kofi Annan memberikan suatu pertanyaan, "Kapankah komunitas internasional dapat melakukan intervensi untuk melindungi masyarakat sipil?" Pertanyaan ini secara implisit memberikan wacana tentang tanggung jawab komunitas internasional untuk melindungi masyarakat sipil dari pelanggaran pelanggaran hak asasi manusia serta mempertanyakan legalitas intervensi kemanusiaan yang selama ini bertentangan dengan kedaulatan negara. Selain kasus genosida di Rwanda terdapat beberapa kasus lain yang menjadi landasan bagi pertanyaan Kofi Annan di atas, kasus kasus tersebut, yaitu Genosida terhadap suku Kurdi di Irak pada tahun 1987, konflik di Kosovo pada tahun 1998 sampai dengan 1999, dan konflik Darfur pada tahun Berkaitan dengan kasus Kosovo, Kofi Annan berpendapat bahwa prinsip kedaulatan negara di satu sisi menghalangi Dewan Keamanan untuk melakukan intervensi, namun di sisi lain terdapat kewajiban moral dari komunitas internasional untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Kedua pandangan tersebut menimbulkan suatu kondisi yang dilematis dalam penegakan hak asasi manusia. Meresponi kondisi ini, Kofi Annan menyatakan bahwa perlu adanya prinsip prinsip universal yang dapat menjadi dasar atas legitimasi intervensi kemanusiaan untuk mendukung penegakan hak asasi manusia. 89 Intervensi kemanusiaan mengandung makna "campur tangan" atau keterlibatan negara lain terhadap permasalahan kemanusiaan yang terjadi di wilayah kedaulatan negara tertentu dan hal ini bertentangan dengan kedaulatan negara yang bersangkutan. Untuk menghubungkan kewajiban untuk melindungi masyarakat sipil dari pelanggaran hak asasi manusia di satu sisi dengan kedaulatan negara di sisi lain dibutuhkan suatu konsep tindakan kemanusiaan (humanitarian action) dalam format yang baru. Format baru dari tindakan kemanusiaan yang sedang menjadi pembahasan negara negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa saat ini adalah "Responsibility to Protect" atau tanggung jawab untuk melindungi. Prinsip Responsibility to Protect (RtoP) tercantum dalam paragrapf 138 dan 139 dari the 2005 World Summit Outcome Document. Prinsip ini kemudian ditegaskan kembali oleh Dewan Keamanan PBB (United 89 Pernyataan asli Kofi Annan : "Just as we have learned that the world cannot stand aside when gross and systematic violations of human rights are taking place, so we have also learned that intervention must be based on legitimate and universal principles if it is to enjoy the sustained support of the world's peoples. This developing international norm in favour of intervention to protect civilians from wholesale slaughter will no doubt continue to pose profound challenges to the international community." Dikutip dari Humanitarian Action And State Sovereignty, International Institute of Humanitarian Law, 2001, hal.38.

3 Nations Security Council) dalam Resolusi S/RES/1674 dan diuraikan kembali pada bulan Januari 2009 oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, Ban Ki moon, dalam laporannya yang dinamakan dengan Implementing the Responsibility to Protect. Legitimasi Kedaulatan Negara Dalam Hukum Internasional Dalam hukum internasional, kedaulatan negara merupakan prinsip yang mendasari hubungan antar negara dan juga merupakan landasan dari tatanan dunia. Prinsip ini merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law) yang tercantum dalam Piagam PBB (United Nations Charter) serta menjadi komponen penting dalam upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia. Kedaulatan negara menunjukkan kompetensi, independensi dan kesetaraan hukum antar negara negara. Dengan demikian setiap negara yang berdaulat memiliki kebebasan untuk bertindak dalam lapangan hukum internasional tanpa gangguan atau campur tangan dari negara negara berdaulat lainnya. Kebebasan bertindak ini mencakup pilihan sistem politik, ekonomi, sosial, budaya dan pembentukan kebijakan luar negeri. Ruang lingkup dari kebebasan di atas bersifat tidak terbatas, tergantung pada perkembangan hukum internasional dan hubungan internasional. Dasar hukum internasional yang menjadi landasan prinsip kedaulatan negara adalah perjanjian Westhpalia 1648 yang dibentuk oleh negara negara Eropa. 90 Perjanjian Westphalia 1648 meletakkan dasar dasar masyarakat internasional modern dimana setiap negara memiliki kedaulatan penuh yang dilandasi oleh kemerdekaan dan persamaan derajat dalam praktek hukum internasional dan hubungan internasional. Unsur unsur negara yang berdaulat dikodifikasikan dalam Konvensi Montevideo 1933 Tentang Hak hak dan Kewajiban Negara ( Montevideo Convention on the Rights and Duties of States ). Unsur unsur tersebut terdiri dari populasi yang permanen ( permanent population ), wilayah territorial ( defined territory ) dan pemerintah yang berdaulat (sovereign government). Komponen terpenting dari kedaulatan terwujud dalam kekuasaan negara negara untuk bertindak di wilayah territorial negara negara tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Piagam PBB, organisasi dunia didasarkan atas prinsip persamaan kedaulatan dari semua negara negara anggota. Disamping menjadi dasar dalam hubungan internasional, prinsip persamaan kedaulatan ini juga menjadi dasar pembentukan organisasi antar pemerintah yang diberikan kapasitas untuk bertindak dalam hubungan antar negara negara sesuai dengan kerangka kerja yang ditetapkan oleh organisasi tersebut. Pada tahun 1949, Mahkamah Internasional (International Court of Justice) mengamati bahwa diantara negara negara merdeka, penghormatan terhadap wilayah kedaulatan merupakan suatu pondasi utama dari hubungan internasional. Tiga puluh tahun kemudian, Mahkamah Internasional menjadikan prinsip kedaulatan negara sebagai prinsip fundamental dalam menyelesaikan sengketa antar negara. Prinsip non intervensi dalam lingkup yurisdiksi nasional negara negara merupakan jangkar bagi kedaulatan negara dalam sistem hubungan internasional dan kewajiban kewajiban internasional. Yurisdiksi merupakan kekuasaan, otoritas dan kompetensi dari suatu negara untuk memerintah warga negara dan seluruh kekayaan negara yang berada di wilayah negara yang bersangkutan. Yurisdiksi terdiri dari dua 90 Stephen John Stedman, Alchemy for a New World Order: Overselling Preventive Diplomacy, Foreign Affairs 74, no. 3 (May June 1995), pp

4 kategori yang dinamakan dengan prescriptive jurisdiction dan enforcement jurisdiction. Prescriptive jurisdiction berkaitan dengan kekuasaan dari suatu negara untuk memberlakukan hukum baik di dalam maupun di luar wilayah teritorialnya dan enforcement jurisdiction adalah kekuasaan negara untuk melakukan penegakan hukum di dalam wilayah teritorialnya. Yurisdiksi berasal dari kedaulatan negara atas wilayah teritorialnya, namun dapat diperluas diluar batas teritorial tersebut. 91 Perserikatan Bangsa Bangsa secara eksplisit menyatakan larangan untuk melakukan tindakan intervensi terhadap urusan domestik negara negara anggotanya. Ketentuan mengenai hal tersebut tercantum dalam Article 2 (7) UN Charter yang mengatur bahwa tidak ada satupun ketentuan dalam Piagam PBB (UN Charter) yang memberikan kuasa kepada PBB untuk melakukan intervensi dalam masalah masalah yang berkaitan dengan yurisdiksi nasional negara negara anggotanya atau mengharuskan negara negara anggota untuk mengajukan permohonan apabila hendak menyelesaikan masalah masalah yang sedang mereka hadapi dengan menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam UN Charter. 92 Ada beberapa batas batas penting dari kedaulatan negara dan yurisdiksi nasional yang diterima secara meluas dalam hukum internasional. Batasan pertama adalah ketegangan yang terjadi antara kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan kedudukan diantara negara negara di satu sisi dan kewajiban internasional yang bersifat kolektif untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional di sisi lain. Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Bab VII UN Charter, kedaulatan bukanlah suatu penghalang bagi Dewan Keamanan untuk melakukan upaya upaya untuk menyikapi suatu ancaman terhadap perdamaian, suatu pelanggaran terhadap perdamaian atau suatu tindakan agresi. 93 Dengan kata lain, kedaulatan negara negara sebagaimana yang diatur dalam UN Charter akan mendukung upaya upaya perwujudan keamanan dan perdamaian internasional. Status dari persamaan kedaulatan negara akan berjalan dengan efektif ketika negara negara berada dalam tatanan internasional yang stabil dan damai. Batasan ke dua berkaitan dengan kedaulatan negara yang dibatasi oleh kebiasaan dan kewajiban perjanjian (treaty obligation) baik dalam hubungan internasional maupun hukum internasional. Negara negara bertanggung jawab secara hukum atas pelaksanaan kewajiban internasional mereka dan kedaulatan negara tidak dapat dijadikan alasan dari kelalaian mereka dalam pemenuhan kewajiban internasional tersebut. Kewajiban yang dipikul oleh negara sebagai konsekuensi keanggotaan mereka di PBB mensyaratkan suatu pembatasan dari kedaulatan negara negara anggota sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam UN Charter. Secara khusus Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa untuk menjamin seluruh hak dan manfaat dari keanggotaan, negara negara anggota harus 91 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Yurisdiksi merupakan prima facie yang bersifat eksklusif atas wilayah territorial suatu negara beserta populasi yang ada di wilayah negara tersebut dan kewajiban non intervensi dalam urusan dalam negeri yang melindungi baik kedaulatan territorial maupun yurisdiksi nasional negara negara dalam suatu basis yang sama. 92 Article 2 (7) UN Charter : [n]othing contained in the present Charter shall authorise the United Nations to intervene in matters that are essentially within the domestic jurisdiction of any State or shall require the Members to submit suchmatters to settlement under the present Charter. 93 Christopher M. Ryan, Sovereignty, Intervention, and the Law: A Tenuous Relationship of Competing Principles, Millennium: Journal of International Studies 26 (1997), p. 77; and Samuel M. Makinda, Sovereignty and International Security: Challenges for the United Nations, Global Governance 2, no. 2(May August 1996), hal. 149.

5 memenuhi kewajiban kewajiban yang mereka pikul dengan niat baik sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UN Charter. Lebih lanjut lagi, sesuai dengan tujuan dan prinsip prinsip yang berlaku, pasal di atas juga mewajibkan negara negara anggota untuk mewujudkan kerja sama internasional dalam mengatasi masalah masalah ekonomi, sosial, budaya, mempromosikan serta mendukung penghormatan terhadap hak hak asasi manusia dan untuk kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa dan agama. Pasal ini lebih lanjut mengakui PBB sebagai pusat harmonisasi dari tindakan tindakan negara pada akhir pencapaian tujuan. Dengan demikian UN Charter mengangkat solusi ekonomi, sosial, budaya, kemanusiaan serta hak asasi manusia untuk lingkup internasional. Sesuai dengan lingkup internasional, masalah masalah di atas tidak dapat dianggap sebagai masalah yang bersifat domestik dan solusi tidak dapat hanya diterapkan secara eksklusif dalam kedaulatan negara. Kedaulatan yang dimiliki oleh negara negara pada hakikatnya memuat tanggung jawab dasar untuk melindungi individu individu, harta benda dan untuk menjalankan fungsi pemerintahan di wilayah terirorial masing masing negara tersebut. Cakupan dari tanggung jawab dari pemerintahan telah membawa perubahan yang signifikan terhadap kedaulatan negara sejak tahun Khususnya, sejak penandatanganan UN Charter, terdapat suatu jaringan yang meluas dari kewajiban kewajiban di bidang hak asasi manusia. Hal ini membentuk serangkaian kewajiban kewajiban negara untuk melindungi individu dan harta bendanya serta untuk mengatur hubungan politik dan ekonomi. Perkembangan ini memberikan suatu paradigm baru dalam hukum internasional bahwa kedaulatan negara tidak dapat dijadikan dasar atau alasan untuk melindungi pelanggaran hak asasi manusia dalam lingkup internal yang bertentangan dengan kewajiban kewajiban internasional. Seiring dengan perkembangan hukum internasional dan hubungan internasional, kedaulatan telah terkikis oleh faktor faktor ekonomi, lingkungan dan budaya. Intervensi yang sebelumnya dianggap sebagai hubungan internal oleh negara negara lain, sektor swasta dan aktor bukan negara (non state actor) telah menjadi suatu rutinitas. Namun, yang menjadi masalah bukanlah rutinitas tersebut melainkan suatu potensi ketegangan ketika prinsip kedaulatan negara dan penderitaan umat manusia berada dalam posisi yang berdampingan. 94 Perdebatan Mengenai Intervensi Kemanusiaan Keberadaan kedaulatan negara sebagai prinsip yang bersifat fundamental dalam hukum internasional melahirkan prinsip lain yang dinamakan prinsip non intervensi. Prinsip non intervensi merupakan kewajiban setiap negara berdaulat untuk tidak melakukan tindakan mencampuri urusan dalam negeri dari negara lain dalam relasi antar negara. 95 Dalam hukum internasional, doktrin intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) telah menimbulkan suatu perdebatan. Perdebatan ini timbul karena doktrin 94 Seperti yang dikatakan oleh Kofi Annan dalam kata sambutannya pada General Assembly Tahun 1999: States bent on criminal behaviour[should] know that frontiers are not the absolute defence. In this respect, events in thelast decade have broken new ground." 95 Dalam kasus Corfu Channel ( United Kingdom v. Albania :1946), International Court of Justice meneguhkan prinsip non intervensi dengan mengatakan: "Between independent states, respect for territorial sovereignty is an essential foundation of international relations."

6 tersebut berhadapan langsung dengan prinsip kedaulatan negara dan prinsip non intervensi. Ketentuan Pasal 2 (1), Pasal 2 (4), Pasal 2 (7) Piagam PBB dengan jelas menyatakan bahwa dalam hubungan antar negara tidak diperbolehkan adanya intervensi. Pengaturan tentang hal ini semakin dipertegas dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) yang dikeluarkan pada tanggal 24 Oktober Resolusi ini kemudian diterima sebagai Deklarasi Majelis Umum Tentang Prinsip Prinsip Hukum Internasional Mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerja Sama Antar Negara yang berkaitan dengan Piagam PBB (Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations). Dengan demikian terjadi suatu pertentangan atau konflik antara kedaulatan negara dengan intervensi kemanusiaan. Para pendukung konsep intervensi kemanusiaan berargumen bahwa Intervensi kemanusiaan memperoleh legitimasinya berdasarkan penafsiran atas Pasal 2 (4) Piagam PBB yang menyatakan: "All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations." Ketentuan pasal di atas bukanlah sebuah larangan absolut melainkan suatu batasan agar suatu intervensi tidak melanggar kesatuan wilayah (territorial integrity), kebebasan politik (political independence) dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB (in any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations). Menurut hasil penelitian D'Amato, kesatuan wilayah dimaksudkan jika sebuah negara kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi kemanusiaan, pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah negara secara permanen, tindakan tersebut hanya untuk melakukan penegakan hak asasi manusia. Intervensi kemanusiaan dapat dikatakan sah secara hukum internasional apabila tidak melanggar batasan yang ditentukan oleh ketentuan Pasal 2(4) Piagam PBB di atas. Legalitas intervensi kemanusiaan kemudian juga dihubungkan dengan tujuan PBB untuk menghormati hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1(3) Piagam PBB yang menyatakan: To achieve international co-operation in solving international problems of an economic, social, cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion. Sejak lahirnya Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 dan Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide pada tahun 1949, kedaulatan negara menjadi suatu entitas yang memuat kewajiban internasional dalam bidang penegakan hak asasi manusia. Hans Kelsen menyatakan bahwa tujuan adanya hukum internasional adalah untuk membatasi kedaulatan negara itu sendiri. Sejak individu menjadi subyek hukum internasional, maka pada hakikatnya kedaulatan negara itu diperoleh dari individu individu yang mendelegasikan kewenangannya kepada negara. Jadi, ketika negara telah melanggar hak hak individu, maka individu tersebut dapat meminta bantuan kepada pihak lain untuk memulihkan hak hak mereka. Dalam kondisi ini, intervensi kemanusiaan terjadi dan timbul kewajiban negara untuk melakukan kerja sama antar negara negara untuk melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia. Praktek praktek yang dilakukan oleh negara negara saat ini juga telah menimbulkan sebuah preseden, bahwa intervensi kemanusiaan dapat dianggap sebagai kebiasaan internasional.

7 Doktrin intervensi kemanusiaan lahir ketika terjadi suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Intervensi tersebut dapat dilakukan baik secara individual maupun kolektif. Koalisi pasukan militer Amerika Serikat, Inggris dan Perancis yang dikirimkan ke Irak pada tahun 1991 merupakan salah satu praktek negara dalam intervensi kemanusiaan. Koalisi ini dibentuk sebagai respon terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB No 688 yang mengutuk tindakan pemerintah Irak kepada suku Kurdi. 96 Dalam resolusi tersebut, Dewan Keamanan tidak menyebutkan baik suatu tindakan bersenjata kolektif maupun intervensi dengan menggunakan senjata. Namun, beberapa bulan kemudian, ketiga negara di atas melakukan " Operation Provide Comfort " 97 di Irak Utara dengan alasan kemanusiaan. Javier Perez de Cuellar, Sekretaris Jenderal PBB pada saat itu menyebutkan bahwa operasi tersebut dapat melanggar kedaulatan Irak apabila tidak ada izin dari pemerintah Irak atau otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Namun, di sisi lain Javier juga mengungkapkan pentingnya tindakan atas dasar tujuan moral dan kemanusiaan. Untuk melegalisasi tindakan koalisi tersebut, akhirya Irak memberikan izinnya kepada PBB untuk mengirim bantuan kemanusiaan ke Irak Utara. Pengaturan mengenai intervensi kemanusiaan tidak diatur secara eksplisit dalam Piagam PBB. Disamping itu juga tidak terdapat Putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang melegitimasi suatu intervensi kemanusiaan. Putusan Mahkamah Internasional dalam kasus Nikaragua melawan Amerika, membatalkan alasan Amerika yang mendasari bahwa kekuatan bersenjata yang dilakukan oleh negara tersebut merupakan suatu tindakan legal atas dasar perlindungan terhadap hak asasi manusia. Mahkamah Internasional menolak alasan pembelaan Amerika Serikat karena tindakan bersenjata yang dilakukan dengan alasan kemanusiaan oleh negara tersebut tidak relevan dengan kenyataan yang terjadi. Amerika Serikat telah melakukan peledakan dermaga dan instalasi minyak yang tidak memiliki korelasi dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Namun, Mahkamah Internasional tidak menyatakan secara eksplisit bahwa intervensi kemanusiaan bertentangan dengan hukum internasional. Dari uraian uraian di atas dapat dikatakan bahwa kedaulatan negara yang bersifat fundamental dalam hukum internasional masih mengalami benturan atau pertentangan dengan intervensi kemanusiaan. Responsibility to Protect Sebagai Tanggung Jawab Dalam Kedaulatan Negara Konflik atau pertentangan antara prinsip kedaulatan negara dengan intervensi kemanusiaan telah menciptakan suatu kondisi yang dilematis dalam penegakan hak asasi manusia. Seperti yang telah dikemukakan dalam pokok bahasan sebelumnya, intervensi kemanusiaan mengandung makna suatu tindakan negara lain yang melibatkan diri dalam masalah kemanusiaan atau pelanggaran hak asasi manusia dalam lingkup domestik yang terjadi di wilayah kedaulatan negara lain. Tindakan intervensi ini di satu sisi memiliki tujuan moral untuk melindungi masyarakat sipil, namun di sisi lain melanggar prinsip kedaulatan yang sangat fundamental dalam hukum internasional. Hal di atas merupakan tantangan bagi upaya perlindungan warga sipil yang merupakan bagian dari subyek hukum internasional maupun komunitas internasional. Sebagai jawaban dari tantangan ini perlu adanya suatu konsep baru yang dapat menjadi penghubung antara prinsip 96 RESOLUTION 688 (1991) Adopted by the Security Council at its 2982nd meeting on 5 April 1991, 97 Operation Provide Comfort,

8 kedaulatan negara dan penegakan hak asasi manusia dalam lingkup internasional. Konsep baru tersebut adalah konsep Responsibility to Protect atau tanggung jawab untuk melindungi yang terkandung dalam kedaulatan negara. Dalam World Summit 2005, konsep Responsibility to Protect dimasukkan dalam dokumen yang merupakan hasil dari pertemuan ini. Konsep Responsibility to Protect (R to P) tercantum dalam paragraf 138 dan paragraf 139 yang menyatakan sebagai berikut: 138. Each individual State has the responsibility to protect its populations from genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity. This responsibility entails the prevention of such crimes, including their incitement, through appropriate and necessary means. We accept that responsibility and will act in accordance with it. The international community should, as appropriate, encourage and help States to exercise this responsibility and support the United Nations in establishing an early warning capability The international community, through the United Nations, also has the responsibility to use appropriate diplomatic, humanitarian and other peaceful means, in accordance with Chapters VI and VIII of the Charter, to help protect populations from genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity. In this context, we are prepared to take collective action, in a timely and decisive manner, through the Security Council, in accordance with the Charter, including Chapter VII, on a case by case basis and in cooperation with relevant regional organizations as appropriate, should peaceful means be inadequate and national authorities manifestly fail to protect their population from genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity and its implications, bearing in mind the principles of the principles of the Charter and international law. We also intend to commit ourselves, as necessary and appropriate, to helping States build capacity to protect their populations from genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity and to assisting those which are under stress before crises and conflict break out. Pada bulan April 2006, Dewan Keamanan PBB menegaskan kembali ketentuan ketentuan dalam paragraph 138 dan 139 di atas dalam Resolusi S/Res/1674 sebagai bentuk dukungan formal terhadap norma Responsibility to Protect di atas. Perkembangan norma Responsibility to Protect selanjutnya terjadi pada bulan Januari 2009, ketika Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki moon mengeluarkan suatu laporan yang disebut Implementing the Responsibility to Protect. Laporan ini berisi tentang perdebatan mengenai implementasi R to P dan mencantumkan tiga prinsip dari R to P. Prinsip Prinsip tersebut adalah sebagai berikut : 1. Prinsip pertama menekankan bahwa negara negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi warga negaranya dari genosida (genocide), kejahatan perang, penghapusan etnis (ethnic cleansing) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (mass atrocities); 2. Prinsip kedua menyatakan komitmen komunitas internasional untuk memberikan bantuan kepada negara negara dalam peningkatan kapasitas untuk melindungi warga negara atau populasinya dari kejahatan terhadap kemanusiaan (mass atrocities ) dan membantu upaya perlindungan tersebut, yang difokuskan pada masa sebelum krisis terjadi dan pada saat konflik terjadi;

9 3. Prinsip ketiga memfokuskan pada tanggung jawab komunitas internasional untuk mengambil tindakan yang tepat pada waktunya untuk mencegah dan menghentikan kejahatan terhadap kemanusiaan (mass atrocities ), ketika suatu negara gagal untuk melindungi populasinya. Secara garis besar, Responsibility to Protect mencakup tiga tanggung jawab yang terdiri dari : 1. Tanggung jawab untuk mencegah (responsibility to prevent), merupakan tanggung jawab untuk menyikapi akar penyebab dan penyebab penyebab langsung dari konflik internal serta krisis yang disebabkan oleh perbuatan manusia, yang mengakibatkan resiko terhadap populasi. 2. Tanggung jawab untuk bereaksi ( responsibility to react), merupakan tanggung jawab untuk meresponi situasi situasi yang memaksa dilakukannya langkah langkah yang tepat demi kepentingan kemanusiaan, yang dapat berupa upaya paksa seperti sanksi sanksi dan penuntutan internasional, dan dalam kasus yang ekstrim dapat berupa intervensi militer. 3. Tanggung jawab untuk pemulihan ( responsibility to rebuild), tanggung jawab pemulihan (responsibility to rebuild) merupakan tanggung jawab untuk memberikan bantuan dalam proses rekonstruksi dan rekonsiliasi yang dilakukan setelah intervensi militer. Responsibility to React Responsibility to Protect Responsibility to Prevent Responsibility to Rebuild Konsep R to P yang telah dirumuskan dalam dokumen 2005 World Summit, Resolusi Dewan Keamanan PBB 1674 dan Laporan Sekretaris Jenderal PBB (Implementing the Responsibility to Protect) merupakan konsep yang lahir dari prinsip dasar prinsip yang menyatakan bahwa: Kedaulatan negara mengandung suatu tanggung jawab pokok untuk melindungi warga negaranya yang berada dalam wilayah kedaulatan negara tersebut; 98 International Commision On Intervention and State Sovereignty, The Responsibility to Protect,

10 2. Ketika suatu populasi berada dalam keadaan bahaya akibat dari perang internal (internal war), pemberontakan (insurgency), penindasan atau kegagalan negara, dan negara tersebut berada dalam suatu kondisi tidak "berkehendak " (unwilling) atau "tidak berdaya" (unable) untuk menghentikan atau mencegahnya, prinsip non intervensi membenarkan tanggung jawab intenasional untuk melindungi (international responsibility to protect). Hal hal yang menjadi pondasi dari R to P, sebagai pedoman bagi komunitas internasional yang terdiri dari negara negara berdaulat antara lain: 1. Kewajiban kewajiban yang melekat dalam konsep kedaulatan; 2. Tanggung jawab dari Dewan Keamanan PBB yang tercantum dalam Pasal 24 dari Piagam PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional; 3. Kewajiban kewajiban hukum khusus yang tercantum dalam deklarasi deklarasi hak asasi manusia, kovenan, perjanjian internasional, hukum humaniter internasional dan hukum nasional; 4. Praktek yang berkembang yang dilakukan oleh negara negara, organisasi regional dan Dewan Kewamanan PBB. Pemaparan tentang konsep Responsibility to Protect di atas telah memberikan jawaban terhadap suatu tantangan baru dalam hukum internasional. Paradigma kedaulatan negara telah mengalami perubahan dari suatu unsur yang bersifat absolut dan tidak dapat digugat menjadi suatu tanggung jawab mutlak untuk melindungi warga negaranya. Negara dan warga negara memiliki hubungan hukum yang bersifat timbal balik dalam wujud "kewarganegaraan". Kewarganegaraan menimbulkan suatu kewajiban dan hak yang seimbang antar negara dengan warga negaranya. Rasio hukum ini semakin memperkuat dasar untuk mengimplementasikan konsep Responsibility to Protect. Kegagalan komunitas internasional untuk melakukan intervensi kemanusiaan dalam kasus Genosida di Rwanda (1994), Bosnia (1994) dan Kosovo (1999) akibat pertentangan antara prinsip kedaulatan negara dengan intervensi kemanusiaan telah terjawab oleh suatu konsep baru yang dinamakan dengan Responsibility to Protect, suatu tanggung jawab dalam kedaulatan negara. Simpulan 1. Konflik atau pertentangan antara prinsip kedaulatan negara dengan intervensi kemanusiaan telah menciptakan suatu kondisi yang dilematis dalam penegakan hak asasi manusia. Konflik ini merupakan tantangan baru bagi upaya perlindungan terhadap masyarakat sipil dan diperlukan suatu konsep baru yang dapat menghubungkan kedaulatan negara dengan intervensi kemanusiaan. 2. Konsep baru tersebut adalah konsep Responsibility to Protect (R to P) atau tanggung jawab untuk melindungi yang melekat pada kedaulatan negara. Konsep R to P yang telah dirumuskan dalam dokumen 2005 World Summit, Resolusi Dewan Keamanan PBB 1674 dan Laporan Sekretaris Jenderal PBB (Implementing the Responsibility to Protect) merupakan konsep yang lahir dari prinsip dasar prinsip yang menyatakan bahwa kedaulatan negara mengandung suatu tanggung jawab

11 pokok untuk melindungi warga negaranya yang berada dalam wilayah kedaulatan negara tersebut.ketika suatu populasi berada dalam keadaan bahaya akibat dari perang internal (internal war), pemberontakan (insurgency), penindasan atau kegagalan negara, dan negara tersebut berada dalam suatu kondisi tidak "berkehendak " (unwilling) atau "tidak berdaya" (unable) untuk menghentikan atau mencegahnya, prinsip non intervensi membenarkan tanggung jawab intenasional untuk melindungi (international responsibility to protect). R to P secara garis besar terdiri dari responsibility to prevent, responsibility to react dan responsibility to rebuild. 3. Paradigma kedaulatan negara telah mengalami pergeseran dari suatu unsur yang bersifat absolut dan tidak dapat digugat menjadi suatu tanggung jawab mutlak untuk melindungi warga negaranya. Negara dan warga negara memiliki hubungan hukum yang bersifat timbal balik dalam wujud "kewarganegaraan". Kewarganegaraan menimbulkan suatu kewajiban dan hak yang seimbang antar negara dengan warga negaranya. Rasio hukum ini semakin memperkuat dasar untuk mengimplementasikan konsep Responsibility to Protect. Rekomendasi 1. Diseminasi mengenai R to P perlu diperluas dan dapat dimulai dari organisasi organisasi antar pemerintah yang bersifat regional. Dengan demikian prinsip R to P dapat diterima secara universal dalam praktek hukum internasional. 2. Keberadaan prinsip Responsibility to Protect sebagai norma dalam hukum internasional perlu ditindaklanjuti dengan merancang aturan hukum mengenai prinsip ini dalam bentuk dokumen internasional berupa kovenan yang memiliki kekuatan hukum sehingga harmonisasi serta unifikasi hukum internasional berkaitan dengan R to P dapat terwujud.

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Dani Budi Satria Putu Tuni Cakabawa Landra I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL 1 BATASAN SENGKETA INTERNASIONAL Elemen sengketa hukum internasional : a. mampu diselesaikan oleh aturan HI b. mempengaruhi kepentingan vital negara c. penerapan HI

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

EKSISTENSI PRINSIP 'RESPONSIBILITY TO PROTECT' DALAM HUKUM INTERNASIONAL

EKSISTENSI PRINSIP 'RESPONSIBILITY TO PROTECT' DALAM HUKUM INTERNASIONAL EKSISTENSI PRINSIP 'RESPONSIBILITY TO PROTECT' DALAM HUKUM INTERNASIONAL Rahayu Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang Jalan Prof. Soedarto, SH tembalang, Semarang Email : rahayu_undip@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN Oleh: Sulbianti Pembimbing I : I Made Pasek Diantha Pembimbing II: Made Mahartayasa Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB IV KONTRIBUSI UNI EROPA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK GEORGIA DAN RUSIA TAHUN 2008

BAB IV KONTRIBUSI UNI EROPA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK GEORGIA DAN RUSIA TAHUN 2008 BAB IV KONTRIBUSI UNI EROPA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK GEORGIA DAN RUSIA TAHUN 2008 Dalam bab IV penulis akan membahas tentang beberapa hal yang menjadi alasan organisasi internasional Uni Eropa untuk

Lebih terperinci

Abstract. Keywords ; Military Attack, NATO, Libya, Civilian

Abstract. Keywords ; Military Attack, NATO, Libya, Civilian JUSTIFIKASI PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DALAM SERANGAN MILITER PAKTA PERTAHANAN ATLANTIK UTARA (THE NORTH ATLANTIC TREATY ORGANIZATION/NATO) TERHADAP LIBYA Oleh: Veronika Puteri Kangagung I Dewa Gede Palguna

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS, 1997) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Kedaulatan Wilayah H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

Kedaulatan Wilayah H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Kedaulatan Wilayah H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI Kedaulatan Negara Berasal dari kata : sovereignty (Inggris) superanus (Latin) Berarti : yang teratas kekuasaan tertinggi Pengertian Kedaulatan: Pengertian

Lebih terperinci

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengantarkan negara-negara terhadap banyaknya perubahan, misalnya seperti

BAB I PENDAHULUAN. mengantarkan negara-negara terhadap banyaknya perubahan, misalnya seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia internasional yang sangat panjang telah berhasil mengantarkan negara-negara terhadap banyaknya perubahan, misalnya seperti semakin banyaknya

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA Oleh : Nandia Amitaria Pembimbing I : Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH.,MH Pembimbing II : I Made Budi

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

Prinsip Jus Cogens dalam Hukum Internasional Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo "Adalah norma yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional" Prinsip jus cogens oleh

Lebih terperinci

SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB III SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL Minggu III, Pertemuan ke-3 I. Pendahuluan a. Tujuan Instruksional Khusus: Tujuan Instruksional Khusus (TIK) : 1. Membuat mahasiswa mengerti jenis-jenis dan macam-macam

Lebih terperinci

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM TRAKTAT PERDAMAIAN (PEACE TREATY) TAHUN 1947 ANTARA ITALIA DAN JERMAN BERDASARKAN PRINSIP JUS COGENS DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN WARGA NEGARA DARI DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS. Triyanto Prodi PPKn FKIP Universitas Sebelas Maret

PERLINDUNGAN WARGA NEGARA DARI DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS. Triyanto Prodi PPKn FKIP Universitas Sebelas Maret PERLINDUNGAN WARGA NEGARA DARI DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS Triyanto Prodi PPKn FKIP Universitas Sebelas Maret E-mail: try_uns@yahoo.com ABSTRACT All human beings are born free and equal in dignity and rights.

Lebih terperinci

RESPONSIBILITY TO PROTECT SEBAGAI DOKTRIN ATAU NORMA YANG BERKEMBANG DALAM HUKUM INTERNASIONAL

RESPONSIBILITY TO PROTECT SEBAGAI DOKTRIN ATAU NORMA YANG BERKEMBANG DALAM HUKUM INTERNASIONAL Lily Husni Putri No. 65, Th. XVII (April, 2015), pp. 151-171. RESPONSIBILITY TO PROTECT SEBAGAI DOKTRIN ATAU NORMA YANG BERKEMBANG DALAM HUKUM INTERNASIONAL RESPONSIBILITY TO PROTECT AS A DOCTRINE OR EMERGING

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR GRAFIK... iii DAFTAR SINGKATAN... iii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

BAGIAN KEDUA NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL BABV EKSISTENSI NEGARA DALAM MASYARAKATINTERNASIONAL

BAGIAN KEDUA NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL BABV EKSISTENSI NEGARA DALAM MASYARAKATINTERNASIONAL BAGIAN KEDUA NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL BABV EKSISTENSI NEGARA DALAM MASYARAKATINTERNASIONAL A. Negara sebagai Subyek Hukuin Internasional 1. Pengertian Negara: - H Kelsen = Negara adalah identik

Lebih terperinci

BAB VII. KEPRIBADIAN HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL (International Personality of International Organization)

BAB VII. KEPRIBADIAN HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL (International Personality of International Organization) BAB VII KEPRIBADIAN HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL (International Personality of International Organization) Suatu organisasi internasional yang dibentuk melalui suatu perjanjian dengan bentuk-bentuk instrumen

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM HAK AZASI MANUSIA Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri Latar Historis dan Filosofis (1) Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

Kompetensi. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. hukum dengan HTSdP.

Kompetensi. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. hukum dengan HTSdP. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Andhika Danesjvara & Nur Widyastanti Kompetensi 1. Mampu menjelaskan pengertian tentang Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. 2. Mampu

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM YANG BERAT Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan

Lebih terperinci

PENGAKUAN. Akibat: Permasalahan: Pasal 3, Deklarasi Montevideo 1933: politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain.

PENGAKUAN. Akibat: Permasalahan: Pasal 3, Deklarasi Montevideo 1933: politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain. PENGAKUAN Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com Pasal 3, Deklarasi Montevideo

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-6 INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAM Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Universal Declaration of Human Rights, 1948; Convention on

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan antara satu dengan yang lain, baik berupa kepentingan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan antara satu dengan yang lain, baik berupa kepentingan ekonomi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan dan interaksi internasional berbagai bangsa memiliki ketergantungan antara satu dengan yang lain, baik berupa kepentingan ekonomi, politik dan berbagai

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh Pande Putu Swarsih Wulandari Ni Ketut Supasti Darmawan

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

perkebunan kelapa sawit di Indonesia

perkebunan kelapa sawit di Indonesia Problem HAM perkebunan kelapa sawit di Indonesia Disampaikan oleh : Abdul Haris Semendawai, SH, LL.M Dalam Workshop : Penyusunan Manual Investigasi Sawit Diselenggaran oleh : Sawit Watch 18 Desember 2004,

Lebih terperinci

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR Oleh Elinia Reja Purba I Gede Pasek Eka Wisanajaya I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

URGENSI DAN EFEKTIVITAS PENGATURAN PENCEGAHAN PENDANAAN PROLIFERASI SENJATA PEMUSNAH MASSAL DISAMPAIKAN OLEH: DR. DIAN EDIANA RAE WAKIL KEPALA PPATK

URGENSI DAN EFEKTIVITAS PENGATURAN PENCEGAHAN PENDANAAN PROLIFERASI SENJATA PEMUSNAH MASSAL DISAMPAIKAN OLEH: DR. DIAN EDIANA RAE WAKIL KEPALA PPATK URGENSI DAN EFEKTIVITAS PENGATURAN PENCEGAHAN PENDANAAN PROLIFERASI SENJATA PEMUSNAH MASSAL DISAMPAIKAN OLEH: DR. DIAN EDIANA RAE WAKIL KEPALA PPATK INDONESIA, RESOLUSI DK PBB, DAN FATF RESOLUSI DK PBB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara di dalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. negara di dalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Internasional secara tegas melarang intervensi yang dilakukan suatu negara di dalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip kedaulatan negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

INTERVENSI KEMANUSIAAN (HUMANITARIAN INTERVENTION) MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KONFLIK BERSENJATA

INTERVENSI KEMANUSIAAN (HUMANITARIAN INTERVENTION) MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERVENSI KEMANUSIAAN (HUMANITARIAN INTERVENTION) MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KONFLIK BERSENJATA Emi Eliza Fakultas Hukum Universitas Lampung Email : emieliza92@gmail.com Heryandi

Lebih terperinci

Perspektif Hukum Internasional atas Tragedi Kemanusiaan Etnis Rohingya Hikmahanto Juwana

Perspektif Hukum Internasional atas Tragedi Kemanusiaan Etnis Rohingya Hikmahanto Juwana Perspektif Hukum Internasional atas Tragedi Kemanusiaan Etnis Rohingya Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UI 1 Cycle of Violence Tragedi kemanusiaan atas etnis Rohingnya berulang

Lebih terperinci

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit :

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : RESENSI BUKU Judul : Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : Bahasa : Inggris Jumlah halaman : x + 478 Tahun penerbitan : 2012 Pembuat resensi

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sengketa Internasional Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional merupakan suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan

Lebih terperinci

PENGAKUAN. AKIBAT: PERMASALAHAN: PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: POLITIK SUATU NEGARA, BEBAS DARI PENGAKUANNYA OLEH NEGARA LAIN

PENGAKUAN. AKIBAT: PERMASALAHAN: PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: POLITIK SUATU NEGARA, BEBAS DARI PENGAKUANNYA OLEH NEGARA LAIN PENGAKUAN. AKIBAT: PERMASALAHAN: PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: POLITIK SUATU NEGARA, BEBAS DARI PENGAKUANNYA OLEH NEGARA LAIN PENGAKUAN Iman Prihandono, Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 25 TAHUN 1989 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HAK CIPTA ANTARA DAN AMERIKA SERIKAT PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa di Washington, Amerika Serikat, pada tanggal

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

Point penting dari diskusi Panel Dalam First Session IGWG Meeting on Binding Treaty for TNCs (6-10 July 2015):

Point penting dari diskusi Panel Dalam First Session IGWG Meeting on Binding Treaty for TNCs (6-10 July 2015): Point penting dari diskusi Panel Dalam First Session IGWG Meeting on Binding Treaty for TNCs (6-10 July 2015): Panel 1 Intinya tidak ada pertentangan antara The GP dengan legally binding treaty process,

Lebih terperinci

Responsibility to Protect: Informasi tentang Prinsip ini dan Langkah-langkah Implementasi

Responsibility to Protect: Informasi tentang Prinsip ini dan Langkah-langkah Implementasi Responsibility to Protect: Informasi tentang Prinsip ini dan Langkah-langkah Implementasi Dokumen ini menyajikan informasi umum tentang Responsibility to Protect, sebuah prinsip yang telah berkembang sejak

Lebih terperinci

H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si

H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: Keberadaan politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain. PERMASALAHAN: 1. Recognition is a political act with legal consequences.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2005

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2005 PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN AMENDMENT TO THE BASEL CONVENTION ON THE CONTROL OF TRANSBOUNDARY MOVEMENTS OF HAZARDOUS WASTES AND THEIR DISPOSAL ( AMENDEMEN

Lebih terperinci

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI HUKUM INTERNASIONAL INTERNATIONAL LAW : 1. PUBLIC INTERNATIONAL LAW ( UNITED NATIONS LAW, WORLD LAW, LAW of NATIONS) 2. PRIVATE INTERNATIONAL LAW 2 DEFINISI "The Law of Nations,

Lebih terperinci

PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Gita Wanandi I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis

Lebih terperinci