BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengembangan wilayah merupakan strategi memanfaatkan dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengembangan wilayah merupakan strategi memanfaatkan dan"

Transkripsi

1 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah merupakan strategi memanfaatkan dan mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan tantangan) yang ada sebagai potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi wilayah akan barang dan jasa yang merupakan fungsi dari kebutuhan baik secara internal maupun eksternal wilayah. Faktor internal ini berupa sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya teknologi, sedangkan faktor eksternal dapat berupa peluang dan ancaman yang muncul seiring dengan interaksinya dengan wilayah lain. Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu di mana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk

2 kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2011) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2010) berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi: 1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan. 3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional

3 (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development). Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model

4 pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002). Menurut Alkadri (2001) pengembangan adalah kemampuan yang ditentukan oleh apa yang dapat dilakukan dengan apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup. Kata pengembangan identik dengan keinginan menuju perbaikan kondisi disertai kemampuan untuk mewujudkannya. Pendapat lain bahwa pengembangan adalah suatu proses untuk mengubah potensi yang terbatas sehingga mempengaruhi timbulnya potensi yang baru, dalam hal ini termasuk mencari peluang yang ada dalam kelompok-kelompok yang berbeda yang tidak semuanya mempunyai potensi yang sama (Budiharsono, 2002). Prod homme dalam Alkadri (2001) mendefinisikan pengembangan wilayah sebagai program yang menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumber daya yang ada dan kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah. Pendapat lain menyebutkan pengembangan wilayah adalah upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya dan geografis yang berbeda

5 antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Pada dasarnya pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi dan permasalahan wilayah yang bersangkutan (Riyadi dalam Ambardi dan Socia, 2002). Lebih jelas Zen dalam Alkadri (2001) menggambarkan tentang pengembangan wilayah sebagai hubungan yang harmonis antara sumber daya alam, manusia, dan teknologi dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan dalam memberdayakan masyarakat, seperti terlihat pada Gambar 2.1. Teknologi Pengembangan Wil h Sumber Daya Alam Sumber Daya Manusia Sumber: Zen, Gambar 2.1. Hubungan Antar Elemen Pembangunan Pada umumnya pengembangan wilayah mengacu pada perubahan produktivitas wilayah, yang diukur dengan peningkatan populasi penduduk, kesempatan kerja, tingkat pendapatan, dan nilai tambah industri pengolahan. Selain definisi ekonomi, pengembangan wilayah mengacu pada pengembangan sosial, berupa aktivitas kesehatan, pendidikan, kualitas lingkungan, kesejahteraan dan

6 lainnya. Pengembangan wilayah lebih menekankan pada adanya perbaikan wilayah secara bertahap dari kondisi yang kurang berkembang menjadi berkembang, dalam hal ini pengembangan wilayah tidak berkaitan dengan eksploitasi wilayah. Tujuan pengembangan wilayah mengandung 2 (dua) sisi yang saling berkaitan yaitu sisi sosial dan ekonomis. Dengan kata lain pengembangan wilayah adalah merupakan upaya memberikan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana dan pelayanan logistik dan sebagainya (Triutomo, 2001). Pengembangan wilayah dalam jangka panjang lebih ditekankan pada pengenalan potensi sumber daya alam dan potensi pengembangan lokal wilayah yang mampu mendukung (menghasilkan) pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial masyarakat, termasuk pengentasan kemiskinan, serta upaya mengatasi kendala pembangunan yang ada di daerah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam rencana pembangunan nasional, pengembangan wilayah lebih ditekankan pada penyusunan paket pengembangan wilayah terpadu dengan mengenali sektor strategis (potensial) yang perlu dikembangkan di suatu wilayah (Friedmann & Allonso, 2008). Sedangkan pengembangan wilayah sangat dipengaruhi oleh komponenkomponen tertentu seperti (Friedman and Allonso, 2008): a) Sumber daya lokal. Merupakan kekuatan alam yang dimiliki wilayah tersebut seperti lahan pertanian, hutan, bahan galian, tambang dan sebagainya. Sumber

7 daya lokal harus dikembangkan untuk dapat meningkatkan daya saing wilayah tersebut. b) Pasar. Merupakan tempat memasarkan produk yang dihasilkan suatu wilayah sehingga wilayah dapat berkembang. c) Tenaga kerja. Tenaga kerja berperan dalam pengembangan wilayah sebagai pengolah sumber daya yang ada. d) Investasi. Semua kegiatan dalam pengembangan wilayah tidak terlepas dari adanya investasi modal. Investasi akan masuk ke dalam suatu wilayah yang memiliki kondisi kondusif bagi penanaman modal. e) Kemampuan pemerintah. Pemerintah merupakan elemen pengarah pengembangan wilayah. Pemerintah yang berkapasitas akan dapat mewujudkan pengembangan wilayah yang efisien karena sifatnya sebagai katalisator pembangunan. f) Transportasi dan Komunikasi. Transportasi dan komunikasi berperan sebagai media pendukung yang menghubungkan wilayah satu dengan wilayah lainnya. Interaksi antara wilayah seperti aliran barang, jasa dan informasi akan sangat berpengaruh bagi tumbuh kembangnya suatu wilayah. g) Teknologi. Kemampuan teknologi berpengaruh terhadap pemanfaatan sumber daya wilayah melalui peningkatan output produksi dan keefektifan kinerja sektor-sektor perekonomian wilayah.

8 Pengembangan wilayah adalah upaya pembangunan dalam suatu wilayah administratif atau kawasan tertentu agar tercapai kesejahteraaan (people property) melalui pemanfaatan peluang-peluang dan pemanfaatan sumber daya secara optimal, efisien, sinergi dan berkelanjutan dengan cara menggerakkan kegiatan-kegiatan ekonomi, penciptaan iklim kondusif, perlindungan lingkungan dan penyediaan prasarana dan sarana. Pada dasarnya komponen utama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah adalah kemajuan ekonomi wilayah bersangkutan Pengembangan Wilayah Sistem Top Down Sistem pengembangan wilayah di Indonesia sebelum otonomi daerah dilaksanakan secara top down, baik kebijakan perluasan wilayah administratif maupun pembentukan wilayah kawasan ekonomi. Hal yang sama juga dilakukan dalam pembentukan kawasan khusus yang mengutamakan landasan kepentingan nasional yang mencerminkan karakteristik pendekatan regionalisasi sentralistik. Dalam hal ini aspek pengambilan keputusan dilaksanankan secara top down (Abdurrahman, 2005). Rondinelli dalam Rustiadi (2006) mengidentifikasikan tiga konsep pengembangan kawasan, yakni (1) konsep kutup pertumbuhan (growth pole), (2) integrasi (keterpaduan) fungsional-spasial, dan (3) pendekatan decentralized territorial. Di Indonesia konsep growth pole dirintis mulai tahun delapan puluhan yaitu dengan menekankan investasi massif pada industri-industri padat modal di pusat-pusat urban terutama di Jawa di mana banyak tenaga kerja, dengan harapan

9 dapat menciptakan penyebaran pertumbuhan (spread effect) atau efek tetesan ke bawah (trickle down effect) dan berdampak luas terhadap pembangunan ekonomi wilayah. Indikator ekonomi nasional sangat bagus hingga tahun 1997, namun dampaknya bagi pembangunan daerah lain sangat terbatas. Kenyataannya teori ini gagal menjadi pendorong utama (prime over) pertumbuhan ekonomi wilayah. Sebaliknya kecenderungan yang terjadi adalah penyerapan daerah sekelilingnya dalam hal bahan mentah, modal, tenaga kerja dan bakat-bakat enterpreneur. Hal ini menyebabkan kesenjangan antar daerah. Perencanaan dan aplikasi pembangunan dengan paradigma top down (sentralistik) tidak dapat membuat perubahan sehingga mulai dievaluasi dan secara bertahap berubaah menjadi sistem bottom up, dimulai sejak tahun 1998 dengan diundangkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 1999 yang baru diaplikasikan pada tahun Perubahan dari paradigma sentralistik pasca otonomi daerah tidak serta merta hilang, namun secara berangsur-angsur mulai beralih pola ke arah bottom up. Peluang pembangunan wilayah secara nonstruktural, berdasarkan inisiatif lokal dan dikelola tanpa memiliki keterikatan struktural administratif terhadap hirarki yang diatasnya Pengembangan Wilayah Sistem Bottom Up Pendekatan teknis kewilayahan melalui pendekatan homogenitas atau sistem fungsional mengalami proses yang lebih kompleks karena pelaksanaannya meliputi aspek kesepakatan atau komitmen para aktor regional dalam memadukan kekuatan

10 endogen (Abdurrahman, 2005). Kemudian Rustiadi (2006) menambahkan bahwa konsep integrasi fungsional-spasial seperti yang pernah dicetuskan oleh Rondinelli berupa pengembangan pusat-pusat pertumbuhan dengan berbagai ukuran dan karakteristik fungsional secara terpadu perlu dikembangkan untuk memfasilitasi dan memberi pelayanan regional secara lebih luas. Salah satu bentuk konsep ini adalah wilayah agropolitan yang dirancang pertama kali oleh Friedman, Mc Dauglas, 1978 yang merupakan rancangan pembangunan dari bawah (development from below) sebagai reaksi dari pembangunan top down (development from above). Agropolitan merupakan distrik atau region selektif yang dirancang agar pembangunan digali dari jaringan kekuatan lokal ke dalam yang kuat baru terbuka keluar (Sugiono, 2002). Namun dimensi ruang (spatial) memiliki arti yang penting dalam konteks pengembangan wilayah, karena ruang dapat menciptakan konflik dan pemicu kemajuan bagi individu dan masyarakat. Secara kuantitas ruang adalah terbatas dan secara kualitas ruang memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda-beda. Maka dari itu intervensi terhadap kekuatan pasar (planning) yang berwawasan keruangan memegang peranan yang sangat penting dalam formulasi kebijakan pengembangan wilayah. Sehingga keserasian berbagai kegiatan pembangunan sektor dan wilayah dapat diwujudkan, dengan memanfaatan ruang dan sumber daya yang ada didalamnya guna mendukung kegiatan kehidupan masyarakat (Riyadi dalam Ambardi, 2002). Sebagai suatu sistem yang kompleks perlu intervensi isolasi dalam proses integrasi kedalam dengan kontrol dan subsidi yang mencegah proses infiltrasi dari

11 luar (Sugiono, 2002). Namun karena penerapan program agropolitan yang berjalan seiring dengan proses globalisasi maka proteksi wilayah sulit dilakukan. Jadi ada dua sisi yang saling tarik menarik dan keduanya juga saling bertolak belakang. Di mana satu sisi dibutuhkan kemandirian dalam pengembangkan wilayah sementara disisi lainnya dibutuhkan proteksi atau kekuatan central agar satu dan lain hal dapat dikondisikan untuk mencapai tujuan yang ideal. Sementara itu hal lain yang juga berpengaruh besar adalah adanya kekuatan globalisasi yang tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk mengatur segala sesatunya sesuai dengan konsep yang dicanangkan. Ada beberapa perubahan yang terjadi sesuai dengan berjalannya proses pembangunan itu sendiri Konsep Pendekatan Pembangunan Desa Pendekatan pembangunan dapat dilihat dari dua sisi, pertama Pembangunan yang bertitik tolak pada pembangunan manusia (people centerred development), konsep pembangunan ini menekankan bahwa manusia adalah subjek pembangunan, sehingga memandang manusia bukan hanya sebagai faktor produksi namun memandang manusia sebagai individu yang harus ditingkatkan kapabilitasnya agar dapat menentukan pilihan-pilihan hidupnya (Indratno, 2006). Kedua, pendekatan pembangunan yang berorientasi pada produksi (fisik) atau production centered development, konsep pembangunan ini menekankan bahwa keberhasilan pembangunan hanya diukur seberapa besar peningkatan produksi setiap periode dan memandang bahwa manusia sebagai objek pembangunan artinya manusia

12 hanya dipandang sebagai faktor produksi, sehingga peningkatan keterampilan atau keahlian manusia hanya dipandang salah satu peningkatan faktor produksi agar output yang dihasilkan meningkat (Dirjen Cipta Karya, 2007). Oleh karena itu ukuran keberhasilan pembangunan yang didasarkan pada peningkatan produksi atau yang biasa disebut peningkatan pertumbuhan ekonomi hanya merupakan necessery condition namun bukan sufficient condition. Dengan kata lain pembangunan secara utuh harus mencakup pembangunan secara fisik yang diindikasikan sebagai peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang diindikasikan sebagai peningkatan derajat kesehatan dan pendidikannya. Upaya pembangunan desa antara lain diwujudkan dengan dilakukannya pemilihan Kawasan Terpilih Pusat Pengembangan Desa (KTP2D) (cek image 020). KTP2D adalah satu satuan kawasan perdesaan sebagaimana tercantum dalam UU No. 24/1992, yang terdiri dari desa pusat dan desa-desa lain sebagai desa pendukungnya, yang memiliki keunggulan strategis berupa: a. Peran kawasan ini bagi pertumbuhan dan pengembangan potensi kawasan perdesaan lain di sekitamya, b. Keuntungan ekonomis (economic scale) guna mengembangkan potensi andalannya, c. Memiliki fasilitas pelayanan sosial ekonomi serta tingkat aksesibilitas yang relatif lebih baik di bandingkan dengan kawasan perdesaan disekitarnya.

13 Minat yang makin besar pada pusat wilayah perdesan adalah akibat dari strategi kebutuhan pokok yang memberikan perhatian yang besar pada pemerataan dalam pembagian hasil usaha pembangunan nasional. Strategi kebutuhan pokok itu bukan hanya meliputi kebutuhan sosial seperti pendidikan dan kesehatan saja, tetapi mengusahakan juga perbaikan pendapatan bagi penduduk miskin di wilayah perdesaan (Dirjen Cipta Karya, 2007). Rural Centre Planning (Perencanaan Pusat Wilayah Perdesaan) bertujuan untuk mengadakan perbaikan dalam hal sosial-ekonomi. Titik berat pada Perencanaan Pusat Wilayah Perdesaan adalah: perencanaan dan penyebaran, yang harus diperhatikan adalah (Jayadinata, 1999): 1. Pengembangan wilayah perdesaan dapat berjalan lancar, jika fasilitas dan pelayanan yang mendorong produksi berlokasi di pusat wilayah perdesaan. 2. Pengembangan perdesaan macam ini, didasarkan akan hirarki pusat perdesaan, misalnya: ibukota propinsi, ibukota kabupaten, ibukota kecamatan dan pusat wilayah perdesaan. 3. Perencanaan dilakukan untuk tiap satuan wilayah (yang mungkin dapat dibagibagi lagi) yang ditentukan dengan batas menurut keadaan faktor geografis atau faktor administratif atau faktor ekonomi. Pusat-pusat perdesaan (rural centres) direncanakan dengan hubungan hirarki permukiman dari sistem perkotaan, menurut teori tempat memusat, atau centre place. Pusat-pusat wilayah perdesaan dibentuk di tempat-tempat tertentu (kota, kecamatan atau beberapa pusat dalam satu kecamatan atau satu pusat untuk dua

14 kecamatan). Dengan pembentukan pusat-pusat antara wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan akan terdapat interaksi yang lebih baik. Karena model pusat wilayah perdesaan itu berfungsi untuk memperbaiki ketidak seimbangan, maka perencana cenderung untuk menyebar pusat-pusat sebanyak mungkin. Dengan sistem central place dalam wilayah perdesaan terdapat pemusatan dari usaha pengembangan. Menurut keterangan Rodinelli dan Ruddl (1979) dalam Indratno (2006): 1. Penempatan kegiatan sosial-ekonomi yang terpusat dalam suatu pusat wilayah perdesaan tertentu, keuntungannya lebih tinggi dan penjalaran pembangunan berlaku lebih baik. 2. Pusat wilayah perdesaan yang menghubungkan dengan perekonomian di wilayah hinterland, seperti: pasar, kantor pesanan, dan sebagainya, menambah kesempatan kerja. 3. Pusat wilayah perdesaan yang mempunyai prasarana yang lengkap dapat menarik orang-orang yang ingin maju dan wiraswasta yang berbobot, sehingga dapat terciptakan lingkungan yang baik bagi investasi baru. 4. Keuntungan dari investasi yang dari waktu dahulu, dapat membentuk modal baru dan memungkinkan pertumbuhan. 5. Investasi dalam prasarana dan utilitas dapat menarik kegiatan ekonomi baru. 6. Pemusatan prasarana sosial-ekonomi mendorong pembuatan jalan-jalan baru dan hal ini menarik kegiatan sosial ekonomi baru. 7. Lokasi kegiatan ekonomi, fasilitas sosial dan bermacam-macam prasarana yang terdapat dalam suatu pusat wilayah pedesaan mendorong terbentuknya pemasaran

15 baru bagi bahan mentah serta barang setengah jadi, dan memberikan keuntungan bagi para produsen. Terkait dengan pemenuhan kebutuhan terhadap basic need bagi masyarakat perdesaan, baik secara ekonomi maupun social, maka fungsi dan peranan rural center planning tersebut meliputi: 1. Pemasaran/koleksi dari surplus produksi pertanian (sebagai kebalikan dari distribusi). 2. Penyediaan/distribusi input-input pertanian yang penting, seperti pupuk, perlengkapan peralatan, kredit, fasilitas reparasi. 3. Penyediaan fasilitas pengolahan hasil pertanian baik untuk kebutuhan subsisten maupun untuk tujuan pemasaran. 4. Penyediaan pelayanan sosial 2.3. PNPM-PISEW Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah PNPM-PISEW adalah salah satu program inti dari PNPM yang memiliki kriteria berorientasi pada konsep "Community Driven Development (CDD)" dan "Labor Intensive Activities (LIA)". Sebagai bagian dari PNPM, PISEW memiliki 3 (tiga) tujuan utama, yaitu pertama, mengurangi kesenjangan antarwilayah dengan cara membentuk dan membangun Kawasan Strategis Kabupaten (KSK), kedua, memperkuat lembaga Pemerintah Daerah dan institusi lokal di tingkat desa, yang akan dilaksanakan melalui pelaksanaan diseminasi, sosialisasi dan pelatihan di

16 berbagai tingkatan pemerintahan serta pelaksanaan musyarawarah, forum-forum konsultasi dan pendampingan yang melibatkan masyarakat, dari tingkat desa sampai kecamatan, dan ketiga, sebagai tujuan akhir adalah mengurangi tingkat kemiskinan dan angka pengangguran. Kesemua tujuan tersebut akan diupayakan melalui pendekatan percepatan pembangunan ekonomi masyarakat yang berbasis sumberdaya lokal melalui pembangunan sarana prasarana sosial dan ekonomi dasar di perdesaan (Dirjen Cipta Karya, 2008). Tujuan kegiatan PNPM-PISEW terdiri dari dua komponen, yaitu kegiatan penyediaan infrastruktur dasar perdesaan skala kecil, dan penyelenggaraan pelatihan dan pendampingan masyarakat dan aparat pemerintah daerah. Infrastruktur dasar perdesaan skala kecil mencakup 6 (enam) kategori, yaitu: (i) transportasi; (ii) peningkatan produksi pertanian; (iii) peningkatan pemasaran pertanian; (iv) air bersih dan sanitasi lingkungan; (v) pendidikan; dan (vi) kesehatan. Pembentukan dan penguatan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) diarahkan sebagai pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, sehingga PNPM- PISEW juga diharapkan dapat menjadi bagian dari pelaksanaan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada akhirnya, kegiatan PNPM-PISEW diharapkan dapat membuka dan mengembangkan potensi lokal, sehingga kegiatan ekonomi dan sosial perdesaan yang terbangun dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan demikian diharapkan tingkat kemiskinan dan angka pengangguran, khususnya di wilayah perdesaan, dapat menurun sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat perdesaan setempat.

17 Dalam pelaksanaan program, proses perencanaan PNPM-PISEW yang dilakukan secara partisipatif, diarahkan sebagai wujud pelaksanaan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) sebagaimana tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN. Usulan kegiatan partisipatif PNPM-PISEW akan dapat mengisi dan merupakan bagian dari pelaksanaan Rencana Strategis Daerah (Renstrada) dari masing-masing kecamatan dan kabupaten peserta. Dengan demikian diharapkan kegiatan PNPM-PISEW dapat bersinergi dengan kegiatan lainnya dari program pembagunan daerah terkait, dan memiliki kontribusi dalam pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan penjabaran dari RPJM Nasional. Dari sisi penyelenggaraan pemerintahan daerah, penguatan proses penyusunan renstrada kecamatan dan kabupaten oleh PNPM-PISEW ini diharapkan dapat memperkuat proses Otonomi Daerah dan Desentralisasi sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana perihal renstrada kecamatan secara khusus tertuang dalam PP No.19 Tahun 2008 tentang Kecamatan Transportasi dan Interaksi antar Wilayah Suatu wilayah tertentu bergantung pada wilayah lain. Demikian juga wilayah lain memiliki ketergantungan pada wilayah tertentu. Diantara wilayah-wilayah tersebut, terdapat wilayah-wilayah tertentu yang memiliki kelebihan dibanding yang lain sehingga wilayah tersebut memiliki beberapa fasilitas yang mampu melayani kebutuhan penduduk dalam radius yang lebih luas, sehingga penduduk pada radius

18 tertentu akan mendatangi wilayah tersebut untuk memperoleh kebutuhan yang diperlukan. Morlok (2005) mengemukakan bahwa akibat adanya perbedaan tingkat pemilikan sumberdaya dan keterbatasan kemampuan wilayah dalam mendukung kebutuhan penduduk suatu wilayah menyebabkan terjadinya pertukaran barang, orang dan jasa antar wilayah. Pertukaran ini diawali dengan proses penawaran dan permintaan. Sebagai alat bantu proses penawaran dan permintaan yang perlu dihantarkan menuju wilayah lain diperlukan sarana transportasi. Sarana transportasi yang memungkinkan untuk membantu mobilitas berupa angkutan umum. Dalam menyelenggarakan kehidupannya, manusia mempergunakan ruang tempat tinggal yang disebut permukiman yang terbentuk dari unsur-unsur working, opportunities, circulation, housing, recreation, and other living facilities (Coley, 1994). Unsur circulation adalah jaringan transportasi dan komunikasi yang ada dalam permukiman. Sistem transportasi dan komunikasi meliputi sistem internal dan eksternal. Jenis yang pertama membahas sistem jaringan yang ada dalam kesatuan permukiman itu sendiri. Jenis yang kedua membahas keadaan kualitas dan kuantitas jaringan yang menghubungkan permukiman satu dengan permukiman lainnya di dalam satu kesatuan permukiman. Perpindahan manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lain selalu melalui jalur-jalur tertentu. Tempat asal dan tempat tujuan dihubungkan satu sama lain dengan suatu jaringan (network) dalam ruang. Jaringan tersebut dapat berupa jaringan jalan, yang merupakan bagian dari sistem transportasi. Transportasi

19 merupakan hal yang penting dalam suatu sistem, karena tanpa transportasi perhubungan antara satu tempat dengan tempat lain tidak terwujud secara baik (Schipper, 2002). Hurst (1974) dalam Rustiadi, dkk (2011) mengemukakan bahwa interaksi antar wilayah tercermin pada keadaan fasilitas transportasi serta aliran orang, barang, maupun jasa. Transportasi merupakan tolok ukur dalam interaksi keruangan antar wilayah dan sangat penting peranannya dalam menunjang proses perkembangan suatu wilayah. Wilayah dengan kondisi geografis yang beragam memerlukan keterpaduan antar jenis transportasi dalam melayani kebutuhan masyarakat. Pada dasarnya, sistem transportasi dikembangkan untuk menghubungkan dua lokasi guna lahan yang mungkin berbeda. Transportasi digunakan untuk memindahkan orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain sehingga mempunyai nilai ekonomi yang lebih meningkat. Dengan transportasi yang baik, akan memudahkan terjadinya interaksi antara penduduk lokal dengan dunia luar. Keterisolasian merupakan masalah pertama yang harus ditangani. Transportasi berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan produsen dengan konsumen dan meniadakan jarak diantara keduanya. Jarak tersebut dapat dinyatakan sebagai jarak waktu maupun jarak geografis. Jarak waktu timbul karena barang yang dihasilkan hari ini mungkin belum dipergunakan sampai besok. Jarak atau kesenjangan ini dijembatani melalui proses penggudangan dengan teknik tertentu untuk mencegah kerusakan barang yang bersangkutan.

20 Transportasi erat sekali dengan penggudangan atau penyimpanan karena keduanya meningkatkan manfaat barang. Angkutan menyebabkan barang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain sehingga bisa dipergunakan di tempat barang itu tidak didapatkan. Dengan demikian menciptakan manfaat tempat. Penyimpanan atau penggudangan juga memungkinakan barang disimpan sampai dengan waktu dibutuhkan dan ini berarti memberi manfaat waktu (Coley, 1994). Pembangunan suatu jalur transportasi maka akan mendorong tumbuhnya fasilitasfasilitas lain yang tentunya bernilai ekonomis. Perbedaan sumberdaya yang ada di suatu daerah dengan daerah lain mendorong masyarakat untuk melakukan mobilitas sehingga dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam proses mobilitas inilah transportasi memiliki peranan yang penting untuk memudahkan dan memperlancar proses mobilitas tersebut. Proses mobilitas ini tidak hanya sebatas oleh manusia saja, tetapi juga barang dan jasa. Dengan demikian nantinya interaksi antar daerah akan lebih mudah dan dapat mengurangi tingkat kesenjangan antar daerah. Kebutuhan akan pergerakan bersifat kebutuhan turunan. Pergerakan terjadi karena adanya proses pemenuhan kebutuhan. Pergerakan tidak akan terjadi seandainya semua kebutuhan tersebut menyatu dengan permukiman. Namun pada kenyataannya semua kebutuhan manusia tidak tersedia di satu tempat. Atau dengan kata lain lokasi kegiatan tersebar secara heterogen di dalam ruang. Dengan demikian perlu adanya pergerakan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan.

21 Dalam melakukan pergerakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, penduduk mempunyai dua pilihan yaitu bergerak dengan moda transportasi dan tanpa moda transpotasi (berjalan kaki). Pergerakan tanpa moda tranportasi biasanya berjarak pendek, sedangkan pergerakan dengan moda transportasi berjarak sedang atau jauh. Transportasi merupakan penghubung utama antara dua daerah yang sedang berinteraksi dalam pembangunan. Tanpa adanya jaringan transportasi tidak mungkin pembangunan dapat diperkenalkan ke luar daerah. Jalan merupakan akses transportasi dari suatu wilayah menuju ke wilayah. Aktivitas penduduk yang meningkat perlu dijadikan perhatian dalam merumuskan kebijakan di bidang transportasi karena manusia senantiasa memerlukan transportasi. Hal ini merupakan sesuatu hal yang merupakan ketergantungan sumberdaya antar tempat. Hal ini menyebabkan proses interaksi antar wilayah yang tercermin pada fasilitas transportasi. Transportasi merupakan tolok ukur interaksi antar wilayah. Salah satu hal yang penting tentang transportasi dengan perkembangan wilayah adalah aksesibilitas. Yang dimaksud aksesibilitas adalah kemampuan atau keadaan suatu wilayah, region, ruang untuk dapat diakses oleh pihak luar baik secara langsung atau tidak langsung. Pembangunan perdesaanpun menjadi kian lambat dan terhambat hanya karena minimnya sarana transportasi yang ada (Margaretta, 2000). Dengan adanya transportasi dapat membuka jalan komunikasi antar daerah sehingga terjadi aliran barang, jasa, manusia, dan ide-ide sebagai modal bagi suatu daerah untuk maju dan berkembang.

22 Transportasi dapat menjadi fasilitator bagi suatu daerah untuk maju dan berkembang karena transportasi meningkatkan aksesibilitas suatu daerah. Transportasi sering dikaitkan dengan aksesibilitas suatu wilayah. Dalam pembangunan perdesaan keberadaan prasarana dan sarana transportasi tidak dapat diabaikan dalam suatu rangkaian program pembangunan. Terjadinya proses produksi yang efisien, selalu didukung oleh sistem transportasi yang baik, investasi dan teknologi yang memadai sehingga tercipta pasar dan nilai. Aksesibilitas yang baik juga akan mendorong minat swasta dan masyarakat untuk menanamkan modalnya dalam rangka pengembangan wilayah. Dengan demikian akan memajukan kegiatan perekonomian masyarakat, dan dapat mengentaskan atau setidaknya dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah yang memiliki potensi sama atau berbeda. Menurut Santosa (2005) agar perencanaan aksesibilitas berjalan dengan baik dan dapat dimanfaatkan secara optimal maka dapat dipakai pedoman antara lain: (a) Perencanaan tersebut diintegrasikan dengan mempertimbangkan semua aspek kebutuhan rumah tangga, baik kebutuhan hidup sehari-hari, ekonomi, maupun kebutuhan sosial. (b) Perencanaan tersebut berdasarkan pada sistem pengumpulan data yang cermat (c) Menggunakan rumah tangga sebagai fokus dalam proses perencanaan (d) Mengembangkan seperangkat set informasi yang komprehensif pada semua aspek infrastruktur perdesaan

23 (e) Mengidentifikasi intervensi-intervensi antara perbaikan sistem transportasi lokal (jalan dan pelayanan transportasi lokal) dan untuk lokasi pelayanan yang paling cocok (f) Perencanaan tersebut mudah diaplikasikan (g) Perencanaan tersebut murni menggunakan perencanaan pendekatan sistem bottom-up Pendapatan Mayarakat Dalam mengukur kondisi ekonomi seseorang atau rumah tangga, salah satu konsep yang paling sering digunakan adalah tingkat pendapatan. Pendapatan menunjukkan seluruh uang atau hasil material lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan atau jasa yang diterima oleh seseorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu pada suatu kegiatan ekonomi (Winardi, 1998). Dengan kata lain pendapatan dapat juga diuraikan sebagai keseluruhan penerimaan yang diterima pekerja, buruh atau rumah tangga, baik berupa fisik maupun non fisik selama ia melakukan pekerjaan pada suatu perusahaan instansi atau pendapatan selama ia bekerja atau berusaha. Setiap orang yang bekerja akan berusaha untuk memperoleh pendapatan dengan jumlah yang maksimum agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendapatan masyarakat dapat berasal dari bermacam-macam sumber, yaitu: dari sektor formal, maupun informal. Masyarakat pedesaan pada umumnya adalah petani. Petani sebagai pihak yang mengusahakan pertanian memperoleh pendapatan

24 dari hasil usahataninya, yaitu berupa hasil penjualan dari produk-produk pertanian yang dihasilkannya. Dalam hal ini pendapatan petani dipengaruhi oleh jumlah produksi yang dihasilkan serta harga jual hasil produksi setelah dikurangi dengan biaya-biaya produksi. Biaya produksi usahatani timbul dari penggunaan sejumlah faktor produksi, diantaranya tenaga kerja, bibit, pupuk, pestisida dan teknologi pengolahan. Oleh karena itu tingkat pendapatan petani tergantung dari efisiensi penggunaan faktorfaktor produksi tersebut, termasuk juga dalam hal harga dari faktor-faktor produksi tersebut (Mubyarto, 2007). Dalam hubungannya dengan penelitian ini, bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan kegiatan penunjang pertanian akan meningkatkan pendapatan masyarakat, karena pada umumnya sumber mata pencaharian masyarakat adalah sebagai petani. Pembangunan infrastruksut jalan akan memperlancar akses masyarakat terhadap sumber faktor produksi sehingga dapat mengurangi harga faktor produksi tersebut, di mana selain dipengaruhi oleh jarak, harga juga dapat dipengaruhi kondisi sarana dan prasaran jalan untuk sampai di tingkat petani. Demikian juga halnya dengan penjualan hasil produksi pertanian akan dipengaruhi kelancaran aksesibilitas transaksi antara petani dengan pedagang. Oleh karena itu dalam upaya pembangunan pedesaan, pemerintah berusaha untuk meningkatkan ketersediaan infrastruktur fisik diantaranya jalan desa, selain peningkatan kualitas sumber daya manusia petani melalui pemberdayaan masyarakat.

25 2.6. Penelitian Sebelumnya Indratno (2006) melakukan kajian Pengembangan Pusat Pertumbuhan Dalam Rangka Pengembangan Kawasan Perdesaan: Studi Kasus Kawasan Terpilih Pusat Pertumbuhan Desa (KTP2D) di Bandung. Hasil analisis menunjukkan bahwa perkembangan desa dipengaruhi oleh infrastruktur desa, salah satu diantaranya adalah jalan desa. Kondisi jalan desa mempengaruhi pertumbuhan desa, di mana semakin baik kondisi jalan desa maka pertumbuhan desa cenderung semakin meningkat. Panggabean (2008), melakukan studi tentang Peranan Pertanian Dalam Ekonomi Pedesaan. Hasil studi menunjukkan bahwa pertanian memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi, di mana pembangunan pertanian merupakan prasyarat adanya kemajuan dalam tahapan-tahapan pembangunan selanjutnya. Pembangunan pertanian merupakan penentu utama dalam pertumbuhan ekonomi pedesaan, di mana salah satu kendala dalam pertumbuhan ekonomi pedesaan adalah kurang infrastruktur yang memada di pedesaan. Setiawan (2008) melakukan penelitian dengan judul Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Dengan Partisipasi Masyarakat di Kabupaten Indragiri Hulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat cukup tinggi dalam pembangunan infrastruktur pedesaan. Hal ini berhubungan dengan harapan masyarakat desa agar aksesibilitas dari dan ke desa menjadi lancar sehingga akan memperlancar pemasaran hasil-hasil produksi pertanian, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat desa, yang pada umumnya adalah petani. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa pertanian

26 memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat desa. Perkembangan desa dipengaruhi oleh infrastruktur desa, salah satunya adalah jalan desa. Sehubungan dengan penelitian, maka pembangunan jalan desa di Desa Kuta Rayat diharapkan akan meningkatkan pembangunan ekonomi masyarakat desa Kerangka Berpikir Dalam rangka meningkatkan percepatan pembangunan pedesaan, maka pemerintah melakukan PNPM PISEW yang bertujuan untuk meningkatkan infrastruktur sosial ekonomi wilayah pedesaan. Program ini terdiri dari tiga kelompok kegiatan utama, yaitu investasi untuk pengembangan infrastruktur desa, investasi untuk kegiatan penunjang produksi pertanian, serta investasi untuk peningkatan saran pendukung. Infrastruktur desa (terutama jalan) yang memadai dapat meningkatkan aksesibilitas masyarakat desa, yang dapat dilihat dari kelancaran pengangkutan barang dan orang, waktu tempuh, penurunan biaya angkut hasil pertanian, serta manfaat jalan bagi masyarakat sehari-hari. Pembangunan kegiatan penunjang peningkatan produksi pertanian berarti juga membangun ekonomi pedesaan sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat di desa, baik dari segi harga produksi maupun dari segi ketersediaan sarana produksi. Selain itu masyarakat desa juga membutuhkan prasarana pendukung lainnya, seperti air bersih dan sanitasi lingkungan, prarsana pendukung pendidikan maupun kesehatan. Di mana pembangunan prasarana pendukung ini akan meningkatkan kualitas lingkungan dan sumber daya manusia pendesaan.

27 Peningkatan pendapatan masyarakat desa dengan ketersediaan aksesibilitas desa yang memadai akan meningkatkan pengembangan wilayah. Hubungan ini diperlihatkan dalam skema pada Gambar 2.2. Program Pembangunan Pedesaan Peningkatan Jalan Desa melalui PNPM PISEW Pendapatan Masyarakat Peningkatan harga lahan Aksesibilitas Masyarakat - Kelancaran pengangkutan - Waktu tempuh - Penurunan biaya angkut Pengembangan Wilayah Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian

28 2.8. Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan jalan desa memberikan dampak positif terhadap peningkatan aksesibilitas masyarakat di Desa Kuta Rayat Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo. 2. Peningkatan jalan desa memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di Desa Kuta Rayat Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo. 3. Peningkatan jalan desa memberikan dampak positif terhadap peningkatan harga lahan di Desa Kuta Rayat Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo. 4. Peningkatan jalan berkorelasi positif terhadap pengembangan wilayah di Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo.

Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang

Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geogra is beserta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kawasan Pedesaan Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan kawasan pedesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Istilah pembangunan atau development menurut Siagian (1983) adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang

Lebih terperinci

TRANSPORTASI DAN AKSESIBILITAS PEDESAAN

TRANSPORTASI DAN AKSESIBILITAS PEDESAAN TRANSPORTASI DAN AKSESIBILITAS PEDESAAN Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan terutama dalam mendukung kegiatan perekonomian masyarakat tak terkecuali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya adalah: PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya adalah: PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang dilaksanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pedesaan merupakan salah satu titik berat pembangunan Indonesia, karena sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di pedesaan. Namun demikian hingga

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah memajukan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah memajukan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Salah satu tujuan Nasional Republik Indonesia yang ada pada Pembukaaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum. Namun dalam upaya mencapai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dengan melihat karakteristik Kabupaten Garut bagian selatan dapat dilihat bagaimana sifat ketertinggalan memang melekat pada wilayah ini. Wilayah Garut bagian selatan sesuai

Lebih terperinci

SKRIPSI DUKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JENELATA DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS SEKTOR UNGGULAN DI KECAMATAN MANUJU KABUPATEN GOWA.

SKRIPSI DUKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JENELATA DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS SEKTOR UNGGULAN DI KECAMATAN MANUJU KABUPATEN GOWA. SKRIPSI DUKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JENELATA DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS SEKTOR UNGGULAN DI KECAMATAN MANUJU KABUPATEN GOWA Oleh NUR AMINI ADSAH NIM. 60800060 JURUSAN TEKNIK PERENCANAAN

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KOTA TANGERANG SELATAN

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KOTA TANGERANG SELATAN Bab I Pendahuluan 1.1. LatarBelakang Pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu proses yang berkesinambungan antara berbagai dimensi, baik dimensi sosial, ekonomi, maupun lingkungan yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa setiap daerah harus menyusun rencana pembangunan daerah secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut Undang-Undang Nomor 24

I. PENDAHULUAN. lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut Undang-Undang Nomor 24 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kerangka pengembangan wilayah, perlu dibatasi pengertian wilayah yakni ruang permukaan bumi dimana manusia dan makhluk lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut

Lebih terperinci

1. Berdasarkan analisis tipologi gabungan kinerja sistim agropolitan dan kinerja

1. Berdasarkan analisis tipologi gabungan kinerja sistim agropolitan dan kinerja 156 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan analisis tipologi gabungan kinerja sistim agropolitan dan kinerja pembangunan ekonomi daerah di wilayah Kabupaten Banyumas dapat dikelompokkan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. A. Kesimpulan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. A. Kesimpulan BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari berbagai uraian dan hasil analisis serta pembahasan yang terkait dengan imlementasi kebijakan sistem kotakota dalam pengembangan wilayah di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH Penyelenggaraan otonomi daerah sebagai wujud implementasi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memunculkan berbagai konsekuensi berupa peluang,

Lebih terperinci

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH Strategi pembangun daerah adalah kebijakan dalam mengimplementasikan program kepala daerah, sebagai payung pada perumusan program dan kegiatan pembangunan di dalam mewujdkan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh kegiatankegiatan produksi yang dilakukan di satu tempat atau terkonsentrasi di suatu lokasi (Sitorus 2012), didekati dengan menganalisis

Lebih terperinci

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH BAB IV VISI DAN MISI DAERAH Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Lebak 2005-2025 disusun dalam rangka mewujudkan visi dan misi pembangunan daerah yang diharapkan dapat dicapai pada

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sebagai negara agraris dengan berbagai produk unggulan di setiap daerah, maka pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan perikanan di Indonesia harus berorientasi pada

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah 7 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah Wilayah menurut UU No. 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

2.1. Pendekatan Pengertian KTP2D

2.1. Pendekatan Pengertian KTP2D BAB II KONSEP KTP2D 2.1. Pendekatan 2.1.1. Pengertian KTP2D 1. Kawasan Terpilih Pusat pengembangan Desa (KTP2D) adalah satu kesatuan kawasan perdesaan yang terdiri dari desa pusat dan desadesa lain sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Desentralisasi sebagai suatu fenomena yang bertujuan untuk membawa kepada penguatan komunitas pada satuan-satuan pembangunan terkecil kini sudah dicanangkan sebagai

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN BAB V. PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN Visi pembangunan daerah dalam RPJMD adalah visi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih yang disampaikan pada waktu pemilihan kepala daerah (Pemilukada)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Pusat Pertumbuhan Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Pusat Pertumbuhan Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah 14 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Pusat Pertumbuhan Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan

Lebih terperinci

Artikel Perencanaan Pembangunan Daerah Karya : Said Zainal Abidin BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Artikel Perencanaan Pembangunan Daerah Karya : Said Zainal Abidin BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Artikel Perencanaan Pembangunan Daerah Karya : Said Zainal Abidin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Didalam melakukan pembangunan, setiap Pemerintaah Daerah memerlukan perencanaan yang akurat serta diharapkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih jauh dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih jauh dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Agribisnis Sering ditemukan bahwa agribisnis diartikan secara sempit, yaitu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam suatu proses pembangunan, selain dipertimbangkan aspek pertumbuhan dan pemerataan, juga dipertimbangkan dampak aktivitas ekonomi terhadap kehidupan sosial masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang terjadi secara alamiah atau dengan sendirinya, dapat menimbulkan berbagai

BAB I. PENDAHULUAN. yang terjadi secara alamiah atau dengan sendirinya, dapat menimbulkan berbagai 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu wilayah akan tumbuh dan berkembang melalui dua proses, yaitu proses alamiah dan proses perencanaan. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah yang terjadi secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan pertanian dewasa ini telah berorientasi bisnis (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut usahatani (on-farm agribusiness)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan selama orde baru yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sangat bernuansa top-down karena

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan selama orde baru yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sangat bernuansa top-down karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan selama orde baru yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sangat bernuansa top-down karena ditunjang oleh sistem pemerintahan yang desentralisasi.

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU ISU STRATEGIS 4.1 Permasalahan Pembangunan Capaian kinerja yang diperoleh, masih menyisakan permasalahan dan tantangan. Munculnya berbagai permasalahan daerah serta diikuti masih banyaknya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Wilayah dan Pembangunan wilayah Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ruang atau kawasan sangat penting dalam pembangunan wilayah.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA KERJA PEMERINTAH DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tahun 2002 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mengeluarkan kebijakan baru dalam upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA Wilayah TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang

Lebih terperinci

[Laporan Akhir] 1.1 Latar Belakang

[Laporan Akhir] 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara historis sebagian besar wilayah daratannya memiliki karakteristik sebagai daerah pertanian. Daerah pertanian yang sering diidentikkan

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Pada bagian perumusan isu strategi berdasarkan tugas dan fungsi Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan mengemukakan beberapa isu strategis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang banyak memiliki wilayah perbatasan dengan negara lain yang berada di kawasan laut dan darat. Perbatasan laut Indonesia berbatasan

Lebih terperinci

Konsep paradigma development from below sebagai suatu strategi. pembangunan bottom up planning. Pengembangan dari bawah pada

Konsep paradigma development from below sebagai suatu strategi. pembangunan bottom up planning. Pengembangan dari bawah pada 4.1. KONSEP DASAR PENGEMBANGAN WILAYAH 4.1.1. Pengembangan Dari Bawah Konsep paradigma development from below sebagai suatu strategi pembangunan bottom up planning. Pengembangan dari bawah pada dasarnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengembangan Wilayah Pada dasarnya pengembangan adalah proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi dan masyarakat meningkatkan kemampuannya

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar dalam konteks sistem perkotaan wilayah Jawa Tengah dan DIY. Ada empat pertanyaan yang ingin dijawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program pengentasan kemiskinan pada masa sekarang lebih berorientasi kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak program pengentasan

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN V.1. Visi Menuju Surabaya Lebih Baik merupakan kata yang memiliki makna strategis dan cerminan aspirasi masyarakat yang ingin perubahan sesuai dengan kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan desa merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, dengan demikian pembangunan desa mempunyai peranan yang penting dan bagian yang tidak terpisahkan

Lebih terperinci

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN Untuk memberikan gambaran yang jelas pada visi tersebut, berikut ada 2 (dua) kalimat kunci yang perlu dijelaskan, sebagai berikut : Masyarakat

Lebih terperinci

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional I. LATAR BELAKANG Wacana kemiskinan di Indonesia tetap menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan dan dicarikan solusi pemecahannya.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN DAERAH

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN DAERAH BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN DAERAH 5.1 VISI DAN MISI KOTA CIMAHI. Sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di banyak negara, fenomena kesenjangan perkembangan antara wilayah selalu ada sehingga ada wilayah-wilayah yang sudah maju dan berkembang dan ada wilayah-wilayah yang

Lebih terperinci

Bab 5. Rencana Program dan Kegiatan Prioritas Daerah

Bab 5. Rencana Program dan Kegiatan Prioritas Daerah Bab 5 Rencana Program dan Kegiatan Prioritas Daerah Untuk menetapkan rencana program dan prioritas daerah maka dilakukan sebuah proses panjang mulai dari pelaksanaan musyawarah tingkat dusun yang kemudian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

RPJMD Kabupaten Jeneponto Tahun ini merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Bupati dan Wakil Bupati Jeneponto terpilih

RPJMD Kabupaten Jeneponto Tahun ini merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Bupati dan Wakil Bupati Jeneponto terpilih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dan regional, juga bermakna sebagai pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS 3.1 Identifikasi Faktor Lingkungan Berdasarkan Kondisi Saat Ini sebagaimana tercantum dalam BAB II maka dapat diidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016

RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016 PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016 DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR JL. GAYUNG KEBONSARI NO. 167 SURABAYA

Lebih terperinci

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 VISI KABUPATEN BENGKULU TENGAH

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 VISI KABUPATEN BENGKULU TENGAH BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 VISI KABUPATEN BENGKULU TENGAH Bengkulu Tengah yang Lebih Maju, Sejahtera, Demokratis, Berkeadilan, Damai dan Agamis 1. Maju, yang diukur dengan : (a) meningkatnya investasi;

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan provinsi yang berada di ujung selatan Pulau Sumatera dan merupakan gerbang utama jalur transportasi dari dan ke Pulau Jawa. Dengan posisi

Lebih terperinci

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung Ardhana Januar Mahardhani Mahasiswa Magister Kebijakan Publik, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya Abstract Implementasi

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor tidak terlepas

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) BAB V PEMBAHASAN Pembahasan ini berisi penjelasan mengenai hasil analisis yang dilihat posisinya berdasarkan teori dan perencanaan yang ada. Penelitian ini dibahas berdasarkan perkembangan wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

BAGAIMANA MENAKAR PEMBANGUNAN EKONOMI LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH*)

BAGAIMANA MENAKAR PEMBANGUNAN EKONOMI LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH*) BAGAIMANA MENAKAR PEMBANGUNAN EKONOMI LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH*) Oleh M. RUSMIN NURYADIN, SE.M.Si I. PENDAHULUAN Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi sudah berjalan selama 11 tahun. Seperti kita

Lebih terperinci

Perluasan Lapangan Kerja

Perluasan Lapangan Kerja VII Perluasan Lapangan Kerja Perluasan lapangan kerja untuk menciptakan lapangan kerja dalam jumlah dan mutu yang makin meningkat, merupakan sebuah keniscayaan untuk menyerap angkatan kerja baru yang terus

Lebih terperinci

SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH Strategi populis dalam pengembangan wilayah merupakan strategi yang berbasis pedesaan. Strategi ini muncul sebagai respon atas

Lebih terperinci

KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas

KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas I. Pendahuluan UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan di daerah lebih efektif dan efisien apabila urusan-urusan di

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan di daerah lebih efektif dan efisien apabila urusan-urusan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia otonomi daerah sangat penting bagi daerah otonom untuk mengembangkan potensi daerahnya. Seperti tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2004, Otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

DOKUMEN RENCANA PROGRAM PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR SOSIAL EKONOMI WILAYAH

DOKUMEN RENCANA PROGRAM PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR SOSIAL EKONOMI WILAYAH DOKUMEN RENCANA PROGRAM PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR SOSIAL EKONOMI WILAYAH BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Gambaran Umum dan Konsep Program PISEW Berbagai upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI KABUPATEN REJANG LEBONG BUPATI REJANG LEBONG,

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI KABUPATEN REJANG LEBONG BUPATI REJANG LEBONG, PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI KABUPATEN REJANG LEBONG BUPATI REJANG LEBONG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong percepatan

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Terwujudnya Masyarakat Bengkulu Utara yang Mandiri, Maju, dan Bermartabat Visi pembangunan Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011-2016 tersebut di atas sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 98 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bagian ini akan dikemukakan hasil temuan studi yang menjadi dasar untuk menyimpulkan keefektifan Proksi Mantap mencapai tujuan dan sasarannya. Selanjutnya dikemukakan

Lebih terperinci

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN Visi dan misi merupakan gambaran apa yang ingin dicapai Kota Surabaya pada akhir periode kepemimpinan walikota dan wakil walikota terpilih, yaitu: V.1

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN. Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN. Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa misi terpenting dalam pembangunan adalah untuk

Lebih terperinci

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sasaran Pembangunan Millennium (Millennium Development Goals atau disingkat dalam bahasa Inggris MDGs) adalah delapan tujuan yang diupayakan untuk dicapai pada tahun

Lebih terperinci