BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka"

Transkripsi

1 1. Belajar a. Hakikat Belajar BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Belajar merupakan suatu proses yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku seseorang yang dilakukan secara sadar ataupun tidak disadari. Belajar sudah bukan merupakan tuntutan melainkan suatu kebutuhan yang penting bagi diri seseorang. Proses belajar sangat dipengaruhi oleh keaktifan pribadi peserta didik itu sendiri. Berkaitan dengan keaktifan, Budiningsih berpendapat bahwa, Keaktifan siswa menjadi unsur amat penting dalam menentukan kesuksesan belajar. Aktifitas mandiri adalah jaminan untuk mencapai hasil yang sejati (2005: 5). Banyak definisi pengertian belajar yang diungkapkan oleh para ahli. Salah satu definisi belajar dijelaskan melalui teori behavioristik. Berdasarkan teori behavioristik pengertian belajar adalah sebagai berikut: Perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ditunjukkan perubahan tingkah lakunya (Budiningsih, 2005: 20). Watson dalam Budiningsih (2005: 22) mengatakan bahwa, Belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang harus diamati (observabel) dan dapat diukur. Respon stimulus tersebut hendaknya dapat meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Berkaitan dengan peningkatan tiga kemampuan tersebut, Dimyati dan Mudjiono memberikan penguatan bahwa proses belajar dianggap sebagai kegiatan peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik untuk lebih baik (2002). Belajar yang merupakan kegiatan untuk merubah tingkah laku seseorang yang lebih baik, baik itu secara keseluruhan maupun sebagian. Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto mengenai konsep belajar. Berkaitan dengan hal ini, Slameto mengungkapkan bahwa belajar merupakan bentuk perubahan pribadi sebagai hasil dari pengalaman diri dengan lingkungan (2010). Dalam proses belajar hendaknya akan terjadi suatu perubahan dimana perubahan sikap dan tingkah laku serta pola inilah yang 9

2 10 menjadi suatu hasil dari proses belajar. Berkaitan dengan perubahan tingkah laku, Slameto menjelaskan ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar antara lain perubahan dalam belajar terjadi secara sadar, bersifat kontinu dan fungsional, bersifat positif dan aktif, bukan bersifat sementara, bertujuan dan terarah serta mencakup seluruh aspek tingkah laku untuk menjadi pribadi yang lebih baik (2010). Selanjutnya menurut Sadiman (2007: 21), Belajar itu sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga, psiko-fisik untuk menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Berdasarkan dari uraian dari beberapa pengertian atau definisi dari belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon yang mengakibatkan perubahan tingkah laku menuju ke pribadi yang lebih baik dan bermakna bagi siswa sehingga dapat meningkatkan kemampuan ranah kognitif, psikomotor dan afektif. Selain itu juga menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa pada pribadi manusia seutuhnya. b. Tujuan Belajar Setiap proses pasti ada suatu muara yang merupakan tujuan dari proses tersebut. Begitu pula proses belajar, belajar diidentikkan dengan proses yang kontinyu, terarah dan merubah tingkah laku untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan belajar ini akan menghasilkan kemampuan siswa dalam ranah kognitif, ranah psikomotor dan ranah afektif. Tujuan belajar yang dikemukakan oleh Bloom dan Krathwohl dirangkum dalam tiga kawasan yang dikenal dengan Taksonomi Bloom. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom tersebut adalah domain kognitif, domain psikomotor, dan domain afektif. Pada domain kognitif terdiri dari 6 tingkatan, antara lain pengetahuan, pemahaman, aplikasi, sintesis, dan evaluasi. Domain psikomotor mempunyai 5 tingkatan yaitu peniruan, penggunaan, ketepatan, perangkaian, dan melakukan gerak yang tidak semestinya. Kemudian domain afektif meliputi 5 tingkatan yaitu pengenalan, merespon, penghargaan, penghargaan, pengorganisasian, dan pengalaman yang bernilai (Budiningsih, 2005).

3 11 Sedangkan tujuan belajar menurut Sadiman dibagi menjadi tiga jenis yaitu (1) Untuk mendapatkan pengetahuan. Kemampuan berpikir menjadi dasar dari suatu proses belajar, tanpa adanya media pengetahuan yang memadai kemampuan berpikir tidak akan berkembang, sebaliknya juga demikian. Maka dari itu pengetahuan dan kemampuan berpikir sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan; (2) Penanaman konsep dan ketrampilan. Suatu proses belajar sangat erat hubungannya dengan ketrampilan. Keterampilan meliputi ketrampilan jasmani dan rohani yang dapat diasah denagn banyak melatih kemampuan; (3) Pembentukan sikap. Dari proses pembentukan mental atau nilai-nilai diharapkan dapat terjadi penghayatan terhadap nilai-nilai yang baik. Hal ini bertujuan supaya siswa mampu mempraktikan nilai-nilai tersebut secara nyata (2007). Berdasarkan uraian dari berbagai penjelasan dari tujuan belajar tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan belajar adalah suatu hasil dari suatu proses belajar yang menghasilkan tiga ranah kemampuan siswa yaitu ranah kognitif, ranah psikomotor dan ranah afektif. Dimana tiga ranah tersebut mengandung ketrampilan, cara berpikir dan bersikap. Selain itu tujuan belajar dapat menghasilkan suatu pengetahuan, ketrampilan dan penanaman sikap ataupun mental serta nilai-nilai pada pribadi yang melakukan proses belajar. c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi belajar Jenis faktor-faktor yang mempengaruhi belajar pada umumnya beraneka ragam. Tetapi untuk mempermudah dalam mempelajarinya, faktor-faktor ini dikelompokkan. Banyak pengelompokan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dilakukan oleh para ahli. Secara umum, faktor-faktor yang dominan dalam mempengaruhi hasil belajar adalah faktor yang mempengaruhi dari dalam diri siswa dan dari luar diri siswa. Berkaitan dengan pengelompokan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar, Syah memberikan tiga kelompok faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa. Faktor-faktor itu antara lain adalah faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), faktor eksternal (faktor dari luar siswa) dan faktor pendekatan belajar. Faktor internal siswa meliputi aspek fisiologis yang bersifat jasmaniah dan aspek psikologis yang bersifat rohaniah. Kondisi jasmani yang sehat dan bugar akan mempengaruhi semangat dan intensitas dalam mengikuti pelajaran. commit Sedangkan to user tingkat kecerdasan/ intelegensi,

4 12 sikap, bakat, minat dan motivasi siswa merupakan aspek rohaniah yang paling umum dipandang lebih penting untuk diperhatikan (2009). Pengelompokan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar oleh Syah diperkuat Slameto. Slameto (2010) mengelompokan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar menjadi dua golongan saja yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern yaitu faktor jasmaniah yang meliputi kesehatan dan cacat tubuh; faktor psikologis yang meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan; dan faktor kelelahan yang meliputi kelelahan jasmani dan rohani. Sedangkan faktor Ekstern adalah faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat. Faktor keluarga meliputi cara orang tua mendidik, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan. Faktor sekolah yang meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah. Faktor masyarakat yang meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat. Berdasarkan pengelompokan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dari dua ahli tersebut, faktor-faktor psikologi dalam belajar merupakan faktor yang sangat dominan dalam belajar. Mengenai masalah faktor psikologi ini, Sadiman berpendapat, Faktor-faktor psikologi akan senantiasa memberikan landasan dan kemudahan dalam mencapai tujuan belajar secara optimal. Sebaliknya, tanpa kehadiran faktor-faktor psikologis, bisa jadi memperlambat proses belajar, bahkan dapat pula menambah kesulitan dalam mengajar (2007: 39). Bertolak penjelasan dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi belajar adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berhubungan dengan aspek pribadi dan faktor eksternal berhubungan dengan aspek lingkungan pribadi. d. Masalah Masalah Pengajaran Setiap proses pengajaran yang berlangsung di sebuah tempat pastilah ada hambatannya. Hamalik memberikan beberapa commit jenis to user masalah dalam pembelajaran yaitu

5 13 masalah arah atau tujuan, tujuan suatu pengajaran kurang dimengerti oleh siswa sehingga para siswa mencoba menduga gurunya. Banyak pertanyaan yang menunjukkan bahwa apa-apa yang diberikan tidak relevan. Kemudian masalah evaluasi, masalah ini lebih mengarah pada prosedur evaluasi yang tidak dikenal oleh siswa. Sehingga prosedur kenaikan dan pengujian tidak adil dan tidak memuaskan para siswa. Masalah isi dan urutan pelajaran, masalah ini timbul karena isi pelajaran tidak jelas dan urutannya tidak logis. Sehingga materi pengajaran (course) dipandang tidak serasi dan tidak terorganisasi. Masalah metode, metode dirasa kurang mendorong dan tidak memajukan belajar sehingga para siswa tidak terotivasi dan tidak belajar. Kemudian yang terakhir masalah hambatan, sumber-sumber seperti ketrampilan guru, kemampuan siswa, dan sumber-sumber sekolah tidak dikenal sehingga guru dan siswa tidak mampu menggunakan sumber-sumber yang tersedia (2003). Berdasarkan penjelasan tersebut, masalah pengajaran dapat terjadi dikarenakan berbagai sebab, antara lain karena tujuan yang kurang tersampaikan, evaluasi tidak jelas, isi materi pengajaran, metode yang digunakan dalam pegajaran dan masalah hambatan lainnya yang mendasar adalah terbatasnya sumber belajar yang digunakan guru dan siswa. e. Teori Belajar Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang diharapkan menjadi lebih baik. Perubahan tersebuh meliputi sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan akibat pengalaman individu. Banyak teori belajar yang berkembang di masyarakat, berikut ini beberapa landasan teori belajar yang melandasi pembelajaran kontekstual yang berkaitan dengan penelitian pengembangan. Teori belajar tersebut antara lain; 1) Teori Belajar Konstruktivisme Kumpulan dari teori-teori belajar baru psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivisme. Teori belajar konstruktivisme ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan menstransformasikan informasi komplek, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha commit dengan to susah user payah dengan ide-ide. Teori ini

6 14 berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8). Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan pada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan didalam pikirannya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa kepemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut (Nur, 2002: 8). Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sejalan dengan teori belajar kontruktivisme, pembelajaran yang diterapkan dengan basis Contextual Teaching and learning (CTL) atau pembelajaran kontekstual mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman nyata. 2) Teori Pembelajaran Piaget Piaget cit. Paul Suparno (2006) menyebutkan, menurut filsafat kontruktivisme, pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) sendiri yang sedang menekuninya. Bila yang sedang menekuni adalah siswa maka pengetahuan itu adalah bentukan siswa sendiri. Teori perkembangan Piaget mewakili kontruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. Belajar pengetahuan menurut Piaget cit. Dimyati dan Mudjiono (2002) ada tiga fase antara lain: 1) fase eksplorasi, siswa mempelajari gejala dengan bimbingan; 2) fase pengenalan, konsep siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala; 3) fase aplikasi, konsep siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut. Secara singkat Piaget cit. Dimyati dan Mudjiono (2002) menyarankan agar dalam pembelajaran guru memilih masalah yang berciri kegiatan prediksi, eksperimentasi dan eksplanasi. Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru dilahirkan sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif.

7 Tabel 2.1 Tahap tahap Perkembangan Kognitif Piaget Tahap Perkiraan Usia Kemampuan-kemampuan utama Sensorimotor Lahir sampai 2 tahun Terbentuknya konsep kepermanenan obyek dan kemajuan gradual dari prilaku refleksif ke prilaku yang mengarah kepada tujuan. Pra operasional Operasi Kongkrit Operasi Formal 2 sampai 7 tahun Perkembangan kemampuan menggunakan simbol-simbol untuk menyatakan obyek-obyek dunia. Pemikiran masih egosentris dan sentrasi. 7 sampai 11 tahun Perbaikan dalam kemampuan untuk berfikir secara logis. Kemampuankemampuan baru termasuk penggunaan operasi-operasi yang yang dapat balik pemikiran tidak lagi sentrasi tetapi desentrasi, dan pemecahan masalah tidak begitu dibatasi oleh keegosentrisan. 11 tahun sampai Pemikiran abstrak dan murni simbolis dewasa mungkin dilakukan. Masalah-masalah dapat dipecahkan melalui penggunaan eksperimentasi sistematis. Berdasarkan teori Piaget tersebut, penerapan pendekatan pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL) sangat tepat diterapkan pada siswa SMA karena siswa telah memiliki kemampuan berfikir abstrak dan logis yang dapat digunakannya untuk memecahkan permasalah yang berkaitan dengan kehidupan seharihari siswa. Hal ini berdasarkan siswa SMA kelas X rata-rata berusia 15 tahun termasuk anak yang memiliki kemampuan berfikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berfikir tersebut siswa mempunyai kemampuan untuk memecahkan permasalahan. 3) Teori Pembelajaran Bruner Salah satu model intruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan. Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna dalam. (dalam Trianto, 2008: 56). Bruner dalam Hamid (2011: 11) menyatakan belajar adalah bagaimana seorang memilih, mempertahankan, dan mentrasformasikan informasi secara aktif. Selama proses belajar berlangsung murid dibiarkan mencari dan menemukan 15

8 16 sesuatu yang dipelajarinya.menurut Bruner, proses belajar siswa tersebut melibatkan tiga hal yang berlangsung hampir bersamaan, yaitu: 1) memperoleh informasi baru, 2) transformasi informasi, 3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, serta mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen yang mengijinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri. Pembelajaran berbasis kontekstual sesuai dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Bruner. Pada pembelajaran kontekstual dengan komponen inquiri siswa diajak berpartisipasi aktif dari percobaan sederhana dalam memahami konsep-konsep dan memperoleh pengalaman nyata. Pada bagian inkuiri merupakan inti dari pembelajaran kontekstual, siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. 4) Teori Pembelajaran Vygotsky Vygotsky berpendapat seperti Piaget, bahwa siswa membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Teori Vygotsky ini lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka disebut dengan zone of proximal development, yaitu daerah tingkat perkembangan sedikit di atas daerah perkembangan seseorang saat ini (Rodi, 2015: 23). Kurniawan (2013: 17) menerangkan bahwa Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang-orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik, dan serta dialog/ komunikasi verbal dengan individu lain. Penerapan teori pembelajaran Vygotsky bertolak pada pentingnya interaksi sosial dengan orang-orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik yaitu siswa yang belajar dalam kelompok kecil dapat mengkonstruksikan gagasan-gagasan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi. Para siswa dalam tahap ini diharapkan dapat bertukar pendapat atau pemikiran selama proses pembelajaran berlangsung, sehingga akan diperoleh solusi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

9 17 Penerapan pembelajaran berbasis kontekstual sejalan dengan teori belajar Vygotsky karena dalam kontekstual siswa dituntut untuk bertukar informasi dalam dan antar kelompok kecil. Siswa mendapat kesempatan memecahkan masalah dalam kelompok-kelompok kecil yang juga dikembangkan keterampilan psikomotorik dan keterampilan sosial seperti mengemukakan pendapat, pendengar aktif, dan menyampaikan kembali. 2. Modul a. Arti Modul Modul merupakan bahan ajar mandiri (cetak/software) yang dirancang atau disusun secara sistematis dan menarik (Diktat Bimtek KTSP, 2009). Mengenai pengertian modul lainnya, Daryanto mengatakan bahwa modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistematis, didalamnya memuat seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan didesain untuk membantu peserta didik menguasai tujuan belajar yang spesifik (2013: 9). Mulyasa (2006:43) mengungkapkan bahwa modul merupakan suatu proses pembelajaran mengenai pokok bahasan tertentu yang disusun secara sistematis, operasional, dan terarah untuk digunakan oleh siswa, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para guru. Sebuah modul merupakan pernyataan satuan pembelajaran dengan tujuan kompetensinya. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa modul merupakan alat bantu belajar peserta didik yang berfungsi mempermudah aktivitas dan mencapai tujuan belajar siswa, dimana modul mengandung pokok bahasan tertentu yang sistematis, operasional dan terarah. b. Kemandirian belajaristik Modul Kemandirian belajaristik modul merupakan aspek yang sangat penting dalam proses pengembangan modul. Berikut ini adalah Kemandirian belajaristik yang perlu diperhatikan dalam penyusunan atau pengembangan modul, Daryanto (2013) menjelaskan dalam 5 komponen yaitu: 1) Intruksi Pribadi (Self-instruction) Dengan Kemandirian belajaristik ini, modul mampu memungkinkan peserta didik mampu belajar secara mandiri dan commit tidak tergantung to user pada pihak lain. Peserta didik

10 18 dapat terjun secara langsung dalam proses pembelajaran. Untuk memenuhi aspek Selfinstruction, sebuah modul harus memuat tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, contoh dan liustrasi, soal-soal latihan, kontekstual, bahasa yang sederhana dan komunikatif, rangkuman, instrumen penilaian, umpan balik dan yang terakhir adalah informasi rujukan/ pengayaan/ referensi. 2) Berisi Lengkap (Seft Contained) Modul dikatakan Seft Contained bila seluruh materi pembelajaran yang dibutuhkan termuat dalam modul tersebut. Tujuan dari modul tersebut adalah membuat siswa belajar secara tuntas dan menyeluruh. Materi pembelajaran dikemas menjadi suatu kesatuan yang utuh. 3) Berdiri Sendiri (Stand Alone) Berdiri sendiri merupakan Kemandirian belajaristik modul yang tidak bergantung dengan media lain dan tidak harus digunakan bersama-sama dengan media lain. Dengan menggunakan modul, peserta didik tidak perlu menggunakan bahan ajar/ media lain untuk mengarjakan tugas pada modul tersebut. Jika peserta didik masih menggunakan dan bergantung dengan bahan lain selain menggunakan modul, maka bahan ajar tidak dikategorikan sebagai modul berdiri sendiri. 4) Adaptif (Adaption) Modul hendaknya memiliki daya adapsi yang tinggi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Dikatakan adaptif jika modul dapat menyesuaiakan perkembangan ilmu pengetahuan dan tegnologi, serta fleksibel/ luwes digunakan di berbagai perangkat keras (hardware). 5) Bersahabat/ Akrab (User Friendly) Modul juga hendaknya memenuhi Kemandirian belajaristik kaidah bersahabat/ akrab dengan pemakainya. Setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan pemakainya, salah satunya adalah kemudahan pemakai dalam meres[on dan mengakses sesuai dengan keinginan. Pengunaan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, serta menggunakan istilah yang umum digunakan merupakan salah satu bentuk dari user frindly. Kemandirian belajaristik modul dapat diketahui dari formatnya yang disusun atas dasar:

11 19 1) prinsip-prinsip desain pembelajaran yang berorientasi kepada tujuan (objective model) 2) prinsip belajar mandiri 3) prinsip belajar maju berkelanjutan (continuous progress) 4) penataan materi secara modular yang utuh dan lengkap (self contained) 5) prinsip rujuk silang (cross referencing) antar modul dalarn rnata pelajaran 6) penilaian belajar mandiri terhadap kemajuan belajar (self-evaluation). c. Tujuan Penulisan Modul Menurut Subdit Pembelajaran Direktorat Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (2008), tujuan penulisan modul adalah: 1) memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal; 2) mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik siswa maupun guru; 3) dapat digunakan secara tepat dan bervariasi, seperti: meningkatkan motivasi dan gairah belajar bagi siswa, mengembangkan kemampuan siswa dalam berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya, memungkinkan siswa belajar mandiri sesuai kemampuan dan minatnya, memungkinkan siswa dapat mengukur atau mengevaluasi sendiri hasil belajarnya. d. Teknik Pengembangan Modul Ada tiga teknik yang dapat dipilih dalam menyusun modul. Ketiga teknik tersebut menurut Sungkono, dkk.(2003:10), yaitu menulis sendiri, pengemasan kembali informasi, dan penataan informasi: 1) Menulis Sendiri (Starting from Scratch) Penulis/guru dapat menulis sendiri modul yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Asumsi yang mendasari cara ini adalah bahwa guru adalah pakar yang berkompeten dalam bidang ilmunya, mempunyai kemampuan menulis, dan mengetahui kebutuhan peserta didik dalam bidang ilmu tersebut.. 2) Pengemasan Kembali Informasi (Information Repackaging) Penulis/guru tidak menulis modul sendiri, tetapi memanfaatkan buku-buku teks dan informasi yang telah ada di pasaran untuk dikemas kembali menjadi modul yang memenuhi Kemandirian belajaristik modul yang baik. Modul atau informasi yang sudah ada dikumpulkan berdasarkan commit to kebutuhan user (sesuai dengan kompetensi,

12 20 silabus dan RPP/SAP), kemudian disusun kembali dengan gaya bahasa yang sesuai. Selain itu juga diberi tambahan keterampilan atau kompetensi yang akan dicapai, latihan, tes formatif, dan umpan balik. 3) Penataan Informasi (Compilation) Cara ini mirip dengan cara kedua, tetapi dalam penataan informasi tidak ada perubahan yang dilakukan terhadap modul yang diambil dari buku teks, jurnal ilmiah, artikel, dan lain-lain. Dengan kata lain, materi-materi tersebut dikumpulkan, digandakan dan digunakan secara langsung. Materi-materi tersebut dipilih, dipilah dan disusun berdasarkan kompetensi yang akan dicapai dan silabus yang hendak digunakan. e. Komponen-komponen Modul Untuk menghasilkan modul pembelajaran yang mampu memerankan fungsi dan perannya dalam pembelajaran yang efektif, maka modul sebaiknya berkualitas. Kualitas modul dinilai dari empat aspek, yaitu: aspek-aspek yang didasarkan pada standar penilaian bahan ajar oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (2008) yang antara lain adalah aspek kelayakan isi, kelayakan bahasa, kelayakan penyajian dan kelayakan kegrafikaan. 1) Aspek Kelayakan Isi Aspek kelayakan isi mencakup: a) Kesesuaian Uraian Materi dengan SK dan KD; b) Keakuratan Materi; c) Kemutakhiran Materi; d) Mendorong Keingintahuan. 2)Aspek Kelayakan Bahasa Aspek kelayakan bahasa mencakup: a) Lugas; b) Komunikatif, c) Dialogis dan Interaktif; d) Kesesuaian dengan Perkembangan Siswa. 3)Aspek Kelayakan Penyajian Aspek kelayakan penyajian meliputi: a) Teknik Penyajian; b) Pendukung Penyajian; c) Penyajian Pembelajaran; d) Koherensi dan Keruntutan Alur Pikir. 4)Aspek Kelayakan Kegrafikaan Aspek kelayakan kegrafikaan mencakup: a) Ukuran Modul; b) Desain Kulit Modul; c) Desain Isi Modul. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan modul adalah penyusunan struktur atau kerangka modul. commit Depdiknas to user (2008) menyebutkan bahwa

13 21 modul berisi: 1) Petunjuk Belajar (Petunjuk Siswa/Guru); 2) Kompetensi yang akan dicapai; 3) Content atau isi Materi; 4) Informasi Pendukung; 5) Latihan-latihan; 6) Petunjuk Kerja, atau Lembar Kerja (LK); 7) Evaluasi; 8) Balikan terhadap evaluasi. f. Prosedur Pengembangan Modul Penulisan modul yang disarikan oleh Depdiknas (2008) melalui tahapan sebagai berikut: 1) Analisis Kebutuhan Modul Analisis kebutuhan modul merupakan kegiatan menganalisis kompetensi/tujuan untuk menentukan jumlah dan judul modul yang dibutuhkan untuk mencapai kompetensi. Analisis kebutuhan modul menurut Depdiknas (2008:12) sebagai berikut: (a) Menetapkan kompetensi yang terdapat di dalam garisgaris besar program pembelajaran yang akan disusun modulnya; (b) Mengidentifikasikan dan menentukan ruang lingkup unit kompetensi tersebut; (c) Mengidentifikasikan dan menentukan aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang disyaratkan; (d) Menentukan judul modul yang akan ditulis; (e) Kegiatan analisis kebutuhan modul dilaksanakan pada tahap awal pengembangan modul. 2) Penyusunan Draft Penyusunan draft modul merupakan proses penyusunan dan pengorganisasian materi pembelajaran dari suatu kompetensi menjadi satu kesatuan yang sistematis. Kegiatan penyusunan draft modul menurut Depdiknas (2008:13) sekurang-kurangnya mencakup: (a) Judul modul; (b) Kompetensi atau sub kompetensi yang akan dicapai; (c) Tujuan; (d) Materi pelajaran; (e) Kegiatan belajar siswa; (f) Tugas dan latihan soal yang harus dikerjakan siswa; (g) Evaluasi atau penilaian; (h) Kunci jawaban. 3) Validasi Validasi adalah proses permintaan persetujuan atau pengesahan terhadap kesesuaian modul dengan kebutuhan. Validasi perlu dilakukan dengan melibatkan pihak praktisi yang ahli sesuai dengan bidang-bidang terkait dalam modul untuk mendapatkan pengakuan kesesuaian tersebut. Validasi modul bertujuan untuk memperoleh pengesahan kesesuaian modul dengan kebutuhan sehingga modul tersebut layak dan cocok digunakan commit dalam to pembelajaran. user Validasi modul meliputi

14 22 validasi isi materi, penggunaan bahasa, serta penggunaan metode instruksional. Berdasarkan kegiatan validasi draft modul akan dihasilkan draft modul yang mendapat masukan dan persetujuan dari para validator, sesuai dengan bidangnya. Masukkan tersebut digunakan sebagai bahan penyempurnaan modul. 4) Revisi Revisi atau perbaikan merupakan proses penyempurnaan modul setelah memperoleh masukan dari kegiatan validasi. Kegiatan revisi draft modul bertujuan untuk melakukan penyempurnaan yang komprehensif terhadap modul, sehingga modul sesuai dengan masukan yang diperoleh dari kegiatan sebelumnya. 5) Uji Coba Uji coba draft modul adalah kegiatan penggunaan modul pada peserta terbatas (kelompok kecil), untuk mengetahui keterlaksanaan dan manfaat modul dalam pembelajaran sebelum modul tersebut digunakan secara umum. Berdasarkan hasil uji coba diharapkan diperoleh masukan sebagai bahan penyempurnaan draft modul yang diujicobakan. 3. Pembelajaran Kontekstual a. Pengertian Kontekstual Konteks berasal dari kata kerja Latin contextere yang berarti menjalin kerja sama. Kata konteks merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan yang berhubungan dengan diri, yang terjalin bersamanya. Pendekatan kontekstual merupakan sebuah strategi pembelajaran yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan dari benaknya sendiri. Jadi CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi yang terdapat di sekitar siswa, sehingga mendorong siswa dapat membuat hubungan antara pengetahuan yang telah dimilikinya dengan menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini dikuatkan oleh Suprijono (2013), pembelajaran CTL merupakan suatu konsep yang mengaitkan materi dengan kehidupan nyata supaya mendorong peserta didik membangun pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan mereka sehari-hari dalam masyarakat.

15 Menurut sebagai berikut: Elaine B. Johnson, pengertian Contextual Teaching and Learning Contextual teaching and learning is an educational process that aims to help student see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily live, that is, with context of their personal, social, and cultural circumstance. To archive this aim, the system encompasses the following eight components: making meaningful connections, doing significant work, selfregulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching high standards, using authentic assessment. (Elaine B. Johnson,2009:19) Pernyataan di atas mempunyai arti bahwa CTL merupakan proses pendidikan yang membantu siswa melihat makna dalam materi-materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yakni dengan konteks keadaan pribadi, sosial, budaya mereka. Untuk mencapainya, sistem ini memiliki 8 komponen yakni: 1) Membuat keterkaitan-keterkaitan tersebut bermakna. 2) Melakukan pekerjaan yang berarti. 3) Pembelajaran yang mandiri. 4) Kerja sama. 5) Berpikir kritis dan kreatif. 6) Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang. 7) Mencapai standar yang tinggi. 8) Menggunakan penilaian yang autentik. b. Komponen-Komponen Kontekstual Komponen pembelajaran kontekstual memiliki 7 komponen penting yaitu kontruktivisme, inkuiri, bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning comunity), pemodelan (modelling), refleksi, penilaian auntentik, (Suprijono, 2013). 1) Konstruktivisme (Constructivism) Merupakan landasan berpikir pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit). Pengetahuan dibangun secara asimilasi dan akomodasi. Belajar secara kontruktivisme menekankan pada pengetahuan yang menggiring siswa mempersiapkan kegiatan belajar seperti mengembangkan ide dalam bertanya dan menjelaskan pengetahuan yang didapat (Garbett, 2011). 23

16 24 2) Menemukan (Inquiry) Menemukan merupakan inti dari kegiatan pembelajaran yang berbasis CTL. Belajar penemuan merujuk pada proses dan hasil belajar. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ripandelli (2003) bahwa pertanyaan- pertanyaan inquiry menggiring siswa membuat kesimpulan dan prekdisi menggunakan perkiraan dan pengukuran terhadap data-data seperti diagram, grafik, dan persamaan sesuai dengan fakta. 3) Bertanya (Quetioning) Pembelajaran kontekstual dibangun dari dialog interaktif melalui tanya jawab oleh keseluruhan yang unsur yang terlibat dalam komunitas belajar. Bertanya dalam pembelajaran yang berbasis CTL dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dengan bertanya siswa dapat menggali informasi, mengkonfirmasi hal-hal yang telah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. 4) Masyarakat belajar (Learning Community) Konsep masyarakat belajar ditujukan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain sebagai proses sosial sehingga lebih bermakna.. Kerjasama dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik dalam kelompok belajar formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Kelompok tersebut dapat dalam kelompok besar dan kelompok kecil dengan mendatangkan ahli didalamnya. 5) Pemodelan (Modelling) Pembelajaran kontekstual menekankan arti penting pendesmonstrasian terhadap hal yang dipelajarai oleh peserta didik. Dalam pendekatan CTL guru bukanlah satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Siswa yang terlibat ini, dapat dikatakan sebagai model. 6) Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan cara berpikir tentang hal-hal yang baru dipelajari atau berpikir hal-hal yang telah dilakukan. Refleksi merupakan upaya untuk melihat kembali, mengorganisir kembali, menganalisis kembali, mengklarifikasi kembali, dan mengevaluasi kembali hal-hal yang telah commit dipelajari. to user

17 7) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment) Penilaian autentik adalah upaya pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar peserta didik. Penilaian autentik menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa. c. Perbedaan Pembelajaran CTL dengan Pembelajaran Tradisional Pembelajaran CTL dibandingkan dengan pembelajaran traditional cukup berbeda. Hal ini dikemukaan Blanchard, membandingkan pola pembelajaran tradisional dengan CTL sebagai berikut: Tabel 2.1. Perbedaan Pengajaran Tradisional dan Pengajaran Kontekstual Pengajaran Tradisional Menyandarkan pada hafalan Pengajaran Kontekstual Menyandarkan pada memori spasial Mengintegrasikan berbagai bidang disiplin atau multidisiplin Nilai informasi bergantung pada peserta didik Menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik Penilaian autentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan problem nyata (Sumber: Suprijono, 2013: 83) Pembelajaran secara tradisional sudah termasuk di dalam pembelajaran CTL, Berfokus pada satu bidang disiplin Nilai informasi bergantung pada guru Memberikan informasi kepada peserta didik sampai pada saatnya dibutuhkan Penialaian hanya akademik formal berupa ujian hal ini diperkuat dengan pernyataan Smith. Smith berpendapat, The characterizing Contextual Theaching and Learning were then aligned and compared with thoose of traditional methods of teaching. Traditional methods of theaching include, but are not limited to lecture, discussion and questioning, and drill and practice (2010: 25). Pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL) berdasarkan penjelasan diatas dapat diterapkan dengan berbagai langkah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini: 1) kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; 2) laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik; 3) kembangkan sifat ingin tahu commit siswa dengan to user bertanya; 4) ciptakan masyarakat 25

18 belajar (belajar dalam kelompok-kelompok); 5) hadirkan model sebagai contoh pembelajaran; 6) lakukan refleksi di akhir pertemuan; 7) lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara yang betul-betul menunjukan kemampuan siswa. Pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL), suatu kompetensi dapat dicapai ketika guru melakukan langkah-langkah pembelajaran seperti yang ditunjukan pada Tabel 2.2 sebagai berikut. Tabel 2.2 Sintaks/Tahapan Pembelajaran Melalui Pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) di Kelas. Tahap Kegiatan Pendahuluan Inti Aktivitas Guru Aktivitas Siswa CTL 1. Menyampaikan tujuanpembelajar an. 2. Menyampaikan prasyarat. 3. Menyampaikan motivasi 4. Menyampaikan materi dan memberikan contoh. 5. Menjelaskan dan medemonstrasika n suatu percobaan yang berkaitan dengan materi. 6. Mengorganisasika n siswa ke dalam kelompok belajar yang heterogen. 7. Membimbing siswa menjawab pertanyaan yang ada di LKS. 8. Meminta perwakilan dari setiap kelompok mempersentasika n hasil diskusi di depan kelas. 1. Mendengarkan tujuan pembelajaran yang disampaikan guru. 2. Menjawab prasyarat dari guru 3. Menjawab motivasi dari guru. 4. Mendengar dan mencatat penjelasan dari guru 5. Memperhatikan demostrasi guru. 6. Membentuk kelompok. Melakukan percobaan yang ada di LKS 7. Menjawab pertanyaan yang ada di LKS 8. Mempersentasikan hasil percobaan kelompok yang diperoleh. Questionig Contructivim Inquiry Learning Community Modeling 26

19 Tahap Kegiatan Penutup Aktivitas Guru Aktivitas Siswa CTL 9. Membimbing siswa menyimpulkan semua materi yang telah dipelajari. 10. Memberikan tes 4. Kemampuan Berpikir Kritis a. Pengertian Berpikir Kritis 9. Menyimpulkan materi yang telah dipelajari. 10. Mengerjakan soalsoaltes. Reflection Authentic Assesment (Sumber: Rodi, 2015: 34) Berpikir kritis adalah kemampuan yang sangat mempengaruhi suatu pembelajaran bagi seorang peserta didik. Proses berpikir kritis sangat diperlukan dalam pemahaman materi yang dipelajari. Ada beberapa pendapat mengenai pengertian kemampuan berpikir kritis. Menurut Afrizon dkk (2012) menjelaskan pengertian berpikir kritis dari berbagai yang dirangkum dari pendapat beberapa ahli merupakan suatu sikap yang bergantung pada perilaku berkarakter yang dianggap sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Ennis dalam Afrizon dkk, menjelaskan kemampuan berpikir kritis sebagai suatu proses pemikiran yang logis dan reflektif yang berfokus pada sebuah tujuan yang dilengkapi alasan yang tegas tentang suatu kepercayaan atau kegiatan yang telah dilakukan. Berdasarkan penjelasan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari berpikir kritis adalah suatu proses menenmukan atau inquiri dalam menghadapi suatu masalah yang muncul untuk menentukan suatu keputusan melalui suatu pemikiran yang logis dan mencapai suatu tujuan. b. Tahapan Berpikir Kritis Menurut Ennis dalam Afrizon, dkk (2012) dalam Goal for A Critical Thinking Curiculum, terdapat lima tahap berpikir dengan masing-masing indikatornya sebagai berikut: 1) Memberikan penjelasan sederhana, meliputi: memfokuskan pertanyaan, menganalisis pernyataan, dan bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan. 27

20 2) Membangun keterampilan dasar, meliputi: mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya/ tidak, dan mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi. 3) Menyimpulkan, meliputi: mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi, membuat dan menentukan nilai pertimbangan. 4) Memberikan penjelasan lanjut, meliputi: mendefinisikan istilah dan pertimbangan dalam tiga dimensi, dan mengidentifikasi asumsi. 5) Mengatur strategi dan taktik, meliputi: a) menentukan tindakan, b) berinteraksi dengan orang lain. Berdasarkan tahapan tersebut, dapat dijelaskan bahwa tahapan berpikir kritis dimulai dari pemikiran sederhana, kemudian membangun ketrampilan dasar, menyimpulkan, memberikan penjelasan lanjut dan mengatur strategi dan taktik. c. Indikator Berpikir Kritis Kemampuan berpikir kritis penting untuk dikembangkan, diterapkan serta diintegrasikan dengan kurikulum agar peserta didik terlibat dalam pembelajaran yang aktif. Menurut Ennis dalam Poppy (2011:4) terdapat empat indikator kemampuan berpikir kritis yaitu: 1) memberikan penjelasan sederhana terdiri dari keterampilan memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, bertanya dan menjawab pertanyaan 2) membangun keterampilan dasar terdiri dari menyesuaikan dengan sumber, mengamati dan melaporkan hasil observasi 3) menyimpulkan terdiri dari keterampilan mempertimbangkan kesimpulan, melakukan generalisasi dan melakukan evaluasi 4) membuat penjelasan lanjut contohnya mengartikan istilah dan membuat definisi 5) mengatur strategi dan taktik contohnya menentukan suatu tindakan dan berinteraksi dengan orang lain dan berkomunikasi. Kemampuan berpikir kritis dapat diukur dengan tahapan berpikir secara ilmiah. Menurut Wahab (2013:104), indikator keterampilan berpikir kritis disajikan pada tabel 2.3 sebagai berikut: 28

21 29 Tabel 2.3. Indikator-Indikator Keterampilan Berpikir Kritis Indikator keterampilan berpikir kritis 1. Merumuskan masalah 2. Memberikan argument 3. Melakukan deduksi 4. Melakukan induksi 5. Melakukan evaluasi Deskriptor keterampilan berpikir kritis a) Memformulasikan pertanyaan yang mengarahkan investigasi jawaban dengan penjelasan sederhana a) Argument sesuai dengan kebutuhan b) Menunjukan persamaan dan perbedaan c) Argument yang diajukan orisinil dan utuh a) Mendeduksi secara logis b) Menginterprestasi secara tepat a) Menganalisis data b) Membuat generalisasi c) Menarik kesimpulan a) Mengevaluasi berdasarkan fakta b) Memberikan alternative lain 6. Mengambil keputusan dan a) Menentukan jalan keluar b) Memilih kemungkinan yang akan menentukan tindakan dilaksanakan ( Sumber: Wahab.2013:104) Berdasarkan Philips, dkk dalam Afrizon, dkk (2012: 12), menjabarkan alat ukur atau tes kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan dari lima subskala sebagai berikut ini: 1) Analisis (analysis), subskala analisis mengukur apakah seseorang dapat memahami dan menyatakan maksud atau arti dari suatu data yang bervariasi, pengalaman, dan pertimbangan. 2) Evaluasi (evaluation), subskala evaluasi mengukur kemampuan seseorang untuk melihat informasi dan kekuatan nyata atau relasi kesimpulan, kemampuan untuk menyatakan hasil pemikiran seseorang. 3) Kesimpulan (inference), subskala kesimpulan mengukur kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi dan mengamankan informasi yang diperlukan untuk menggambarkan kesimpulan. 4) Pemikiran deduktif (deductive reasoning), subskala pemikiran sesuktif mengukur kemampuan seseorang dimulai dari hal yang bersifat umum atau premis yang dianggap benar, sampai pada kesimpulan yang bersifat khusus. 5) Pemikiran induktif (inductive reasoning), subskal pemikiran induktif mengukur kemampuan seseorang commit to dimulai user dari premis dan aplikasi yang

22 terkait dengan pengetahuan dan pengalaman, menjangkau kesimpulan yang umum. Menurut Facione, (dalam Muanisah,2010) ada enam kecakapan berpikir kritis utama yang terlibat di dalam proses berpikir kritis seperti pada tabel 2.4 berikut: Tabel 2.4 Aspek Kemampuan Berpikir Kritis 30 Aspek keterampilan Interpretasi Analisis Inference Evaluasi Penjelasan Definisi Ahli Untuk memahami dan mengekspresikan makna dari keberartian berbagai macam pengalaman, representasi, situasi, data, kejadian, penilaian, kaidah-kaidah, aturan, prosedur atau criteria Untuk mengenali hubungan inferensial yang diharapkan dan yang sesungguhnya antara pernyataan, pertanyaan, deskripsi, atau hubunganhubungan representasi lain yang diharapkan dapat mengekspresikan keyakinan, penilaian, pengalaman, alasan, informasi atau pilihan. Mengenali dan memperoleh unsur yang diperlukan untuk menarik kesimpulan yang masuk akal; merumuskan dan memecahkan dugaan hipotesis; mempertimbangkanstrategi mencari informasi yang relevan; dan mengurangi konsekuensi yang ditimbulkan dari data, pernyataan, prinsip, bukti, penilaian, keyakinan, opini, konsep, deskripsi, pernyataan, atau bentuk-bentuk representasi lainnya. Menilai kredibilitas pernyataan atau representasi lainnya yaitu catatancatatan atau deksripsi tentang persepsi, pengalaman, situasi, penilaian, keyakinan atau opini, konsep, deskripsi, pertanyaan, atau bentuk-bentuk representasi seseorang. Menyatakan dan membenarkan bahwa pertimbangan dalam kaitannya dengan pertimbangan bukti, konseptual, metodologi, anterologi, commit dan to kontekstual user Sub Keterampilan Mengelompokka n signifikansi pengkodean mengklarifikasi makna mengkaji gagasan mendeteksi agumen analisis argumen menanyakan bukti dugaan alternatif menyusun kesimpulan menyatakan hasil membenarkan prosedur menyajikan argumen menyatakan hasil mendukung prosedur menyajikan

23 31 yang menjadi dasar dari hasil seseorang; dan untuk menyajikan pertimbangan seseorang dalam bentuk pendapatpendapat yang kuat. Regulasi Diri Secara sadar seseorang memantau pengetahuannya, unsur-unsur yang digunakan dalam kegiatan tersebut, dan hasilnya direduksi denga menerapkan keterampilan dalam menganalisis dan mengevaluasi penilaian inferensial pada dirinya dengan sebuah pandangan kearah pertanyaan yang menegaskan, memvalidasi atau pertimbangan orang lain. argumenargumen pemantauan diri perbaikan diri Tabel 2.5 Aspek keterampilan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian. Aspek keterampilan berpikir kritis Indikator Interpretasi Menyajikan informasi kedalam konversi bahasa,angka,grafik,gambar,simbol Membuat deskripsi atau penjelasan informasi tentang ide,kata-kata,gambar,angka atau peristiwa Analisis Mengidentifikasi masalah Mengenali hubungan antar representasi disertai alasan Inference Merumuskan dugaan atau hipotesis Strategi mencari informasi yang relevan Membuat kesimpulan Evaluasi Menentukan kebenaran argumen Menggunakan prinsip atau konsep untuk memecahkan masalah Penjelasan mempresentasikan penalaran seseorang dalam bentuk argumen-argumen atau alasan yang kuat. Regulasi Diri mengoreksi baik penalarannya atau hasilhasilnya. d. Cara Meningkatkan Berpikir kritis Di dalam kelas atau ketika berinteraksi dengan orang lain, cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan berpikir kritis adalah: 1) Membaca dengan kritis

24 32 Berpikir secara kritis seseorang harus membaca dengan kritis pula. Dengan membaca secara kritis, diterapkan keterampilan-keterampilan berpikir kritis seperti mengamati, menghubungkan teks dengan konteksnya, mengevaluasi teks dari segi logika dan kredibilitasnya, merefleksikan kandungan teks dengan pendapat sendiri, membandingkan teks satu dengan teks lain yang sejenis. 2) Meningkatkan daya analisis Suatu diskusi dicari cara penyelesaian yang baik, untuk suatu permasalahan, kemudian mendiskusikan akibat terburuk yang mungkin terjadi. 3) Mengembangkan kemampuan observasi atau mengamati Dengan mengamati akan didapat penyelesaian masalah yang misalnya menghendaki untuk menyebutkan kelebihan dan kekurangan, pro dan kontra akan suatu benda, kejadian atau hal-hal yang diamati. Dengan demikian memudahkan seseorang untuk menggali kemampuan kritisnya. 4) Meningkatkan rasa ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi Pengajuan pertanyaan yang bermutu, yaitu pertanyaan yang tidak mempunyai jawaban benar atau salah atau tidak hanya satu jawaban benar, akan menuntut siswa untuk mencari jawaban sehingga mereka banyak berpikir. 5. Kreativitas a. Pengertian Kreativitas Pengertian kreativitas secara tradisional berhubungan dengan penemuan sesuatu yang baru dengan menggunakan sesuatu yang telah ada. Sesuatu yang baru itu mungkin berupa perbuatan atau tingkah laku (Slameto,2010:145). Sedangkan menurut Moreno dalam Slameto (2010:146), kreativitas bukan penemuan sesuatu yang belum pernah diketahui orang sebelumnya, melainkan sesuatu yang baru bagi diri sendiri dan tidak harus merupakan sesuatu yang baru bagi orang lain atau dunia pada umumnya. Menurut Munandar (2012:14), kreativitas adalah hasil dari interaksi antara individu dengan lingkungannya. Seseorang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan dimanapun berada, dengan demikian perubahan di dalam individu atau lingkungan dapat menunjang atau menghambat upaya kreatif. Sedangkan menurut Semiawan (1988) dalam Harsono (2009:45), kreativitas adalah bentuk aktualisasi diri

25 33 manusia yang paling hakiki didalamnya melibatkan kemampuan rasional, kemampuan emosional atau perasaan, bakat khusus, kemampuan imajinasi, intuisi, dan fantasi. Kreativitas dapat dipandang sebagai proses memikirkan berbagai gagasan atau pemecahan masalah. Berpikir kreatif bersifat holistik dan imajinatif dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Dalam berpikir kreatif, pikiran akan menjelajahi semua persoalan untuk mencari jawaban terhadap suatu persoalan. Menurut Cameron dalam Johnson (2009), kreativitas adalah ciptaan alami dari suatu kehidupan, dimana ciptaan tersebut adalah diri pribadi seseorang yang mempunyai takdir meneruskan kreativitas dengan menjadikan diri yang kreatif. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk mengembangkan kemampuan alamiah yang sudah ada pada diri pribadi seseorang dengan berbagai potensi diri yang sudah ada menjadi sesuatu yang baru sebagai suatu proses pribadi kreatif b. Ciri-ciri Individu Kreatif Menurut Sund (1975), individu dengan potensi kreatif dapat dikenal melalui pengamatan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) Hasrat keingintahuan yang cukup besar; (2) Bersikap terbuka terhadap pengalaman baru; (3) Panjang akal; (4) Keinginan untuk menemukan dan meneliti; (5) Cenderung lebih menyukai tugas yang berat dan sulit; (6) Cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan; (7) Memiliki dedikasi bergairah serta aktif dalam melaksanakan tugas; (8) Berpikir fleksibel; (9) Menanggapi pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi jawaban lebih banyak; (10) Kemampuan membuat analisis dan sintesis; (11) Memiliki semangat bertanya serta meneliti; (12) Memiliki daya abstraksi yang cukup baik; (13) Memiliki latar belakang membaca yang cukup luas (Slameto, 2010: ).

BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN Contextual Teaching and Learning

BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN Contextual Teaching and Learning BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu teori belajar yang cukup dikenal dan banyak implementasinya dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu teori belajar yang cukup dikenal dan banyak implementasinya dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kontekstual Salah satu teori belajar yang cukup dikenal dan banyak implementasinya dalam proses pembelajaran adalah teori belajar konstruktivisme. Piaget (Suherman

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS 5 BAB II KAJIAN TEORITIS A. Kajian Teori Kesadaran perlunya pendekatan kontekstual dalam pembelajaran didasarkan adanya kenyataan bahwa siswa sebagian besar tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Pembelajaran merupakan proses komunikasi du arah, mengajar dilakukan oleh

BAB II KAJIAN TEORI. Pembelajaran merupakan proses komunikasi du arah, mengajar dilakukan oleh 7 BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran IPA di SD 1. Pembelajaran Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Metode discovery adalah suatu prosedur mengajar yang menitikberatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Metode discovery adalah suatu prosedur mengajar yang menitikberatkan 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Penemuan (Discovery Method) Metode discovery adalah suatu prosedur mengajar yang menitikberatkan studi individual, manipulasi objek-objek dan eksperimentasi oleh siswa.

Lebih terperinci

PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.)

PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.) PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.) 1. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DALAM PENDIDIKAN IPS DI SMP 1.1. Latar Belakang Pembelajaran Kontekstual Ada kecenderungan dewasa ini utnuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran IPA di SD Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL) 10 BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Suprijono Contextual Teaching and Learning (CTL)

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL. contextual teaching and learning

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL. contextual teaching and learning PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL contextual teaching and learning Strategi Pembelajaan Kontekstual Strategi pembelajaran CTL (contextual teaching and learning) merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan kognitif, antara lahir dan dewasa yaitu tahap sensorimotor, pra

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan kognitif, antara lahir dan dewasa yaitu tahap sensorimotor, pra BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Belajar Piaget Menurut Jean Piaget, seorang anak maju melalui empat tahap perkembangan kognitif, antara lahir dan dewasa yaitu tahap sensorimotor, pra operasional, opersional

Lebih terperinci

PENDEKATAN CTL (Contextual Teaching and Learning)

PENDEKATAN CTL (Contextual Teaching and Learning) PENDEKATAN CTL (Contextual Teaching and Learning) Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP Universitas Pendidikan Indonesia KONSEP CTL Merupakan Konsep Belajar yang dapat Membantu Guru Mengaitkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara umum pengertian pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang

BAB II LANDASAN TEORI. Secara umum pengertian pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Hakekat Pembelajaran 1. Pengertian Pembelajaran Secara umum pengertian pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa sehingga peserta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruggiero (Johnson, 2007:187) mengartikan berfikir sebagai segala aktivitas mental

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruggiero (Johnson, 2007:187) mengartikan berfikir sebagai segala aktivitas mental II. TINJAUAN PUSTAKA A. Berpikir Kritis Ruggiero (Johnson, 2007:187) mengartikan berfikir sebagai segala aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Belajar Proses belajar mengajar merupakan kegiatan paling pokok dalam seluruh proses pendidikan di sekolah. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) PBL merupakan model pembelajaran yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan

BAB I PENDAHULUAN. Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran kontekstual Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengkaitkan konten mata

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari bahan yang dipelajari (Winkel, 1996). Menurut Bloom dalam Winkel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari bahan yang dipelajari (Winkel, 1996). Menurut Bloom dalam Winkel 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pemahaman Pemahaman merupakan kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari (Winkel, 1996). Menurut Bloom dalam Winkel (1996) pemahaman termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1. Pengertian Belajar Para pakar pendidikan mengemukakan pengertian yang berbeda antara satu dengan yang lainnya mengenai pengertian belajar, namun demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Inayah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Inayah, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Standar Nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori Dalam Bab II ini akan diuraikan kajian teori yang merupakan variabel dalam penelitian yang dilakukan yaitu hasil belajar, pendekatan CTL, dan alat peraga. 2.1.1 Hasil

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh seseorang untuk

BAB II LANDASAN TEORI. suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh seseorang untuk 8 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Membaca Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui bahasa tulis.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Modul 1. Pengertian Modul Menurut Suprawoto (2009:2) modul adalah sarana pembelajaran dalam bentuk tertulis/cetak yang disusun secara sistematis, memuat materi pembelajaran,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Hasil Belajar Seseorang akan mengalami perubahan pada tingkah laku setelah melalui suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. yang dikenal dengan sebutan Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah

BAB II KAJIAN TEORI. yang dikenal dengan sebutan Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah 14 BAB II KAJIAN TEORI A. PENDEKATAN KONTEKSTUAL 1. Pengertian Pendekatan Kontekstual Pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang dikenal dengan sebutan Contextual Teaching

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Belajar 1. Pengertian Belajar Perubahan seseorang yang asalnya tidak tahu menjadi tahu merupakan hasil dari proses belajar. Belajar merupakan berbuat, memperoleh pengalaman tertentu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu pengetahuan universal yang mendasari perkembangan teknologi modern dan memiliki peranan penting yang dapat diterapkan dalam berbagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Belajar Jean Piaget Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar

Lebih terperinci

BAB 1I KAJIAN PUSTAKA Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)

BAB 1I KAJIAN PUSTAKA Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) BAB 1I 2.1. Kajian Teori KAJIAN PUSTAKA 2.1.1. Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Belajar Aunurrahman ( 2012 : 35 ) belajar adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,

Lebih terperinci

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari,

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan umum pendidikan di Indonesia tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003 adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Media pembelajaran didefinisikan oleh Heinich (dalam Daryanto, 2010: 4) kata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Media pembelajaran didefinisikan oleh Heinich (dalam Daryanto, 2010: 4) kata 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Media Maket Media pembelajaran didefinisikan oleh Heinich (dalam Daryanto, 2010: 4) kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Medium dapat didefinisikan sebagai perantara

Lebih terperinci

PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKS (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)

PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKS (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKS (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) Pengertian Pembelajaran Kontekstual 1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Belajar merupakan kebutuhan manusia. Dengan belajar manusia dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Belajar merupakan kebutuhan manusia. Dengan belajar manusia dapat 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Belajar Belajar merupakan kebutuhan manusia. Dengan belajar manusia dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, nilai, sikap, dan tingkah laku.

Lebih terperinci

Prinsip Pemelajaran KBK

Prinsip Pemelajaran KBK 7/25/2011 Prinsip Pemelajaran KBK Student Centered Siswa menjadi subyek dan perbedaan kecepatan belajar dihargai/diperhatikan Integrated Learning Pengelolaan Pemelajaran secara Integratif bermuara kepada

Lebih terperinci

SERI MATERI PEMBEKALAN PENGAJARAN MIKRO 2013 PUSAT LAYANAN PPL & PKL. Pembelajaran Kontekstual Contextual Teaching & Learning (CTL)

SERI MATERI PEMBEKALAN PENGAJARAN MIKRO 2013 PUSAT LAYANAN PPL & PKL. Pembelajaran Kontekstual Contextual Teaching & Learning (CTL) SERI MATERI PEMBEKALAN PENGAJARAN MIKRO 2013 PUSAT LAYANAN PPL & PKL Pembelajaran Kontekstual Contextual Teaching & Learning (CTL) PENGERTIAN CTL merupakan suatu proses pendidikan yang holistik bertujuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Pada kajian teori dijabarkan berbagai landasan sebagai pendukung penelitian, permasalahan dan variabel penelitian yang diteliti semua ditulis pada kajian teori. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan masyarakat yang cenderung bersifat terbuka memberi kemungkinan munculnya berbagai pilihan bagi seseorang dalam menata dan merancang kehidupan masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan menengah dan merupakan salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah pendekatan (approach) dalam pembelajaran memiliki kemiripan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah pendekatan (approach) dalam pembelajaran memiliki kemiripan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendekatan Kontekstual Istilah pendekatan (approach) dalam pembelajaran memiliki kemiripan dengan strategi. Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan

TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan dan sasarannya. Sutikno (2005 : 7) mengemukakan bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:7), belajar merupakan tindakan dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:7), belajar merupakan tindakan dan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Belajar dan Pembelajaran Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:7), belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan maka belajar hanya dialami oleh siswa

Lebih terperinci

Model Pembelajaran Konstekstual dalam Bidang Studi Ekonomi Pendahuluan

Model Pembelajaran Konstekstual dalam Bidang Studi Ekonomi Pendahuluan Model Pembelajaran Konstekstual dalam Bidang Studi Ekonomi Pendahuluan Ruang lingkup Ekonomi tersebut merupakan cakupan yang amat luas, sehingga dalam proses pembelajarannya harus dilakukan bertahap dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya

Lebih terperinci

TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET

TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET A. Pengertian Kognitif Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara umum kognitif diartikan potensi intelektual yang terdiri dari tahapan: pengetahuan

Lebih terperinci

DASAR FILOSOFI. Manusia harus mengkontruksikan pengetahuan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

DASAR FILOSOFI. Manusia harus mengkontruksikan pengetahuan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. DASAR FILOSOFI Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit), dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara

I. TINJAUAN PUSTAKA. tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara I. TINJAUAN PUSTAKA A. Belajar Menurut Gegne dalam Suprijono (2009 : 2), belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi tersebut bukan diperoleh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Belajar merupakan aktivitas

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Belajar merupakan aktivitas 7 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme Belajar merupakan komponen penting dalam setiap usaha penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Belajar merupakan aktivitas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian IPA Menurut H. W. Fowler (Trianto 2010:136), IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dapat diketahui hasilnya melalui penilaian proses dan penilaian hasil. Hasil

BAB II KAJIAN TEORI. dapat diketahui hasilnya melalui penilaian proses dan penilaian hasil. Hasil 9 BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Tentang Hasil Belajar 1. Pengertian Hasil Belajar Segala upaya yang dilakukan seorang guru dalam proses pembelajaran dapat diketahui hasilnya melalui penilaian proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ingin terus belajar. Hal tersebut didukung oleh pendapat Sardiman (2007 : 76)

II. TINJAUAN PUSTAKA. ingin terus belajar. Hal tersebut didukung oleh pendapat Sardiman (2007 : 76) 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis 1. Minat Minat selalu berkaitan dengan soal kebutuhan atau keinginan. Dalam belajar mengajar, penting menciptakan kondisi tertentu agar siswa selalu butuh dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Belajar Para ahli dalam bidang belajar pada umumnya sependapat bahwa perbuatan belajar itu adalah bersifat komplek, karena merupakan suatu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Media pembelajaran dalam Satyasa (2007:3) diartikan sebagai semua benda

TINJAUAN PUSTAKA. Media pembelajaran dalam Satyasa (2007:3) diartikan sebagai semua benda II. TINJAUAN PUSTAKA A. Media Maket Media pembelajaran dalam Satyasa (2007:3) diartikan sebagai semua benda yang menjadi perantara dalam terjadinya pembelajaran. Sadiman, dkk. (2008: 17-18) mengatakan

Lebih terperinci

Pembelajaran Berbasis Kontekstual 2

Pembelajaran Berbasis Kontekstual 2 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL Pembelajaran Berbasis Kontekstual 2 Ada sesuatu yang salah dengan proses pendidikan Sebelum Sekolah 1. Anak lincah 2. Selalu belajar apa yang diinginkannya dengan gembira,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pendidikan dan pembelajaran merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mengembangkan potensi manusia agar mempunyai dan memiliki kemampuan nyata dalam perilaku kognitif,

Lebih terperinci

II. KERANGKA TEORETIS. Sesuatu yang telah dimiliki berupa pengertian-pengertian dan dalam batasan

II. KERANGKA TEORETIS. Sesuatu yang telah dimiliki berupa pengertian-pengertian dan dalam batasan 6 II. KERANGKA TEORETIS A. Tinjauan Pustaka 1. Berpikir Kritis Sesuatu yang telah dimiliki berupa pengertian-pengertian dan dalam batasan tertentu dapat dikatakan berpikir dimana dapat dikatakan berpikir

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. sendiri. Sedangkan Sinaga dan Hadiati (2001:34) mendefenisikan kemampuan

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. sendiri. Sedangkan Sinaga dan Hadiati (2001:34) mendefenisikan kemampuan 9 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Hakekat Kemampuan Menurut Zain (dalam Milman Yusdi, 2010:10) mengartikan bahwa Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penalaran menurut ensiklopedi Wikipedia adalah proses berpikir yang bertolak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penalaran menurut ensiklopedi Wikipedia adalah proses berpikir yang bertolak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Kemampuan Penalaran Matematis Penalaran menurut ensiklopedi Wikipedia adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori perkembangan Kognitif Piaget. dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori perkembangan Kognitif Piaget. dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori-Teori Belajar yang Relevan 1. Teori perkembangan Kognitif Piaget Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Peningkatan Pembelajaran Istilah peningkatan diambil dari kata dasar tingkat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990) makna kata peningkatan itu sendiri adalah proses,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perilakunya karena hasil dari pengalaman.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perilakunya karena hasil dari pengalaman. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Belajar Banyak ahli pendidikan yang mengungkapkan pengertian belajar menurut sudut pandang mereka masing-masing. Berikut ini kutipan pendapat beberapa ahli pendidikan tentang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Belajar Seseorang dapat dikatakan belajar jika dalam diri orang tersebut terjadi suatu aktifitas yang mengakibatkan perubahan tingkah laku yang dapat diamati dalam waktu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran ialah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran ialah 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis 1. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran ialah menentukan model atau metode mengajar tentang

Lebih terperinci

dapat dialami langsung oleh siswa, hal ini dapat mengatasi kebosanan siswa dan perhatiannya akan lebih baik sehingga prestasi siswa dapat meningkat.

dapat dialami langsung oleh siswa, hal ini dapat mengatasi kebosanan siswa dan perhatiannya akan lebih baik sehingga prestasi siswa dapat meningkat. PENDAHULUAN Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia adalah dengan perbaikan sistem pendidikan. Dengan adanya perombakan dan pembaharuan kurikulum yang berkesinambungan, mulai

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER OLEH MAHASISWA CALON GURU FISIKA

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER OLEH MAHASISWA CALON GURU FISIKA PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER OLEH MAHASISWA CALON GURU FISIKA Susilawati Program Studi Pendidikan Fisika, IKIP PGRI Semarang Jln. Lontar No. 1 Semarang susilawatiyogi@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keterkaitannya dan mampu menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keterkaitannya dan mampu menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Belajar Mata Pelajaran IPS bertujuan agar siswa mampu menguasai saling keterkaitannya dan mampu menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembicaraan tentang pembelajaran atau pengajaran tidak bisa dipisahkan dari

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembicaraan tentang pembelajaran atau pengajaran tidak bisa dipisahkan dari BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Pembelajaran Pembicaraan tentang pembelajaran atau pengajaran tidak bisa dipisahkan dari istilah kurikulum dan pengertiannya. Hubungan keduanya dapat dipahami sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wita Aprialita, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wita Aprialita, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangnya zaman, persaingan-persaingan ketat dalam segala bidang kehidupan saat ini, menuntut setiap bangsa untuk mampu menghasilkan Sumber

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Problem Based Learning (PBL) 1. Pengertian Problem Based Learning (PBL) Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu model pembelajaran yang berbasis pada masalah, dimana masalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses

BAB II KAJIAN TEORITIS. Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses BAB II KAJIAN TEORITIS A. Kajian Teori 1. Kemampuan Berpikir Kritis Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran terutama dalam pembelajaran matematika, salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpikir yang melibatkan berpikir konkret (faktual) hingga berpikir abstrak tingkat

BAB I PENDAHULUAN. berpikir yang melibatkan berpikir konkret (faktual) hingga berpikir abstrak tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi kehidupan manusia diera global seperti saat ini menjadi kebutuhan yang amat menentukan bagi masa depan seseorang dalam kehidupannya, yang menuntut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran Matematika 2.1.2 Pengertian Matematika Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau mathema yang berarti belajar atau hal yang dipelajari.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori Hasil Belajar. Sudjana, (2004:22) berpendapat hasil Belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori Hasil Belajar. Sudjana, (2004:22) berpendapat hasil Belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori 2.1.1. Hasil Belajar. Sudjana, (2004:22) berpendapat hasil Belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar mempunyai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Berbasis Masalah Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun 1970-an. Model Problem Based Learning berfokus pada penyajian suatu permasalahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia akan mampu mengembangkan potensi diri sehingga akan mampu mempertahankan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA. bersifat membentuk atau merupakan suatu efek.

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA. bersifat membentuk atau merupakan suatu efek. 11 II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA 1. Tinjauan Pustaka A. Konsep Pengaruh Menurut Hugiono, 1987:47 pengaruh merupakan dorongan atau bujukan dan bersifat membentuk atau merupakan suatu

Lebih terperinci

Teori Belajar. Oleh : Putri Siti Nadhiroh Putrinadhiroh.blogs.uny.ac.id

Teori Belajar. Oleh : Putri Siti Nadhiroh Putrinadhiroh.blogs.uny.ac.id Teori Belajar Oleh : Putri Siti Nadhiroh Putrinadhiroh.blogs.uny.ac.id Pengertian Teori Belajar Teori belajar merupakan suatu kegiatan seseorang untuk mengubah perilaku mereka. Seluruh kegiatan belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berpikir merupakan tujuan akhir dari proses belajar mengajar. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Berpikir merupakan tujuan akhir dari proses belajar mengajar. Menurut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berpikir merupakan tujuan akhir dari proses belajar mengajar. Menurut Arifin et al. (2000: 146) bertanya merupakan salah satu indikasi seseorang berpikir.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. membujuk, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis

II. TINJAUAN PUSTAKA. membujuk, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Kemampuan Berpikir Kritis Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam dunia yang terus berubah dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang pesat, manusia dituntut memiliki kemampuan berpikir kritis, sistematis,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Matematika

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Matematika 4 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Hakekat Pembelajaran Matematika 2.1.1. Pengertian Belajar Belajar adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching And Learning (CTL)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching And Learning (CTL) 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching And Learning (CTL) CTL merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI) Pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari seseorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan

Lebih terperinci

A. Lingkungan Sekitar Sekolah sebagai Sumber Pembelajaran. Lingkungan menyediakan rangsangan (stimulus) terhadap individu dan

A. Lingkungan Sekitar Sekolah sebagai Sumber Pembelajaran. Lingkungan menyediakan rangsangan (stimulus) terhadap individu dan 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lingkungan Sekitar Sekolah sebagai Sumber Pembelajaran Belajar pada hakikatnya adalah suatu interaksi antara individu dan lingkungan. Lingkungan menyediakan rangsangan (stimulus)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Modul 1. Pengertian Modul merupakan alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode, batasan-batasan dan cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis dan menarik

Lebih terperinci

BAB I TUJUAN UMUM MODEL PEMBELAJARAN A. MODEL PEMBELAJARAN

BAB I TUJUAN UMUM MODEL PEMBELAJARAN A. MODEL PEMBELAJARAN MODEL PEMBELAJARAN TERPADU dalam TEORI DAN PRAKTEK BAB I TUJUAN UMUM MODEL PEMBELAJARAN A. MODEL PEMBELAJARAN Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematik dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata pelajaran matematika di tingkat Sekolah Menengah Pertama adalah agar peserta didik memiliki

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdahulu yang relevan dengan variabel-variabel yang diteliti sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdahulu yang relevan dengan variabel-variabel yang diteliti sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan Berdasarkan kajian teori yang dilakukan, berikut ini dikemukakan beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan variabel-variabel yang diteliti sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pemecahan Masalah (Problem Solving) Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran yang berlandaskan teori konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan

Lebih terperinci

BAB II PEMBELAJARAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PADA MATERI SEGI EMPAT. A. Hakikat Belajar dan Pembelajaran Matematika

BAB II PEMBELAJARAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PADA MATERI SEGI EMPAT. A. Hakikat Belajar dan Pembelajaran Matematika BAB II PEMBELAJARAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PADA MATERI SEGI EMPAT A. Hakikat Belajar dan Pembelajaran Matematika Menurut (Suyono dan Hariyanto, 2011: 75) Hakikat belajar menurut teori

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Model Cooperative Learning Tipe Make A Match 2.1.1 Model Pembelajaran Model pembelajaran merupakan salah satu pendekatan yang digunakan oleh guru untuk mencapai keberhasilan dalam

Lebih terperinci