PENERAPAN TEKNOLOGI ROOTER SYSTEM UNTUK MENINGKATKAN DAYA SERAP AIR PADA LAHAN RAWAN BANJIR DI KELURAHAN TIMBANG DELI, KECAMATAN MEDAN AMPLAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENERAPAN TEKNOLOGI ROOTER SYSTEM UNTUK MENINGKATKAN DAYA SERAP AIR PADA LAHAN RAWAN BANJIR DI KELURAHAN TIMBANG DELI, KECAMATAN MEDAN AMPLAS"

Transkripsi

1 PENERAPAN TEKNOLOGI ROOTER SYSTEM UNTUK MENINGKATKAN DAYA SERAP AIR PADA LAHAN RAWAN BANJIR DI KELURAHAN TIMBANG DELI, KECAMATAN MEDAN AMPLAS SKRIPSI ALDY BAGUS PRAYOGA DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN MEDAN 219

2 PENERAPAN TEKNOLOGI ROOTER SYSTEM UNTUK MENINGKATKAN DAYA SERAP AIR PADA LAHAN RAWAN BANJIR DI KELURAHAN TIMBANG DELI, KECAMATAN MEDAN AMPLAS SKRIPSI ALDY BAGUS PRAYOGA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN MEDAN 219

3

4 PERNYATAAN ORISINALITAS Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Aldy Bagus Prayoga NIM : Judul Skripsi : Penerapan Teknologi Rooter System Untuk Meningkatkan Daya Serap Air pada Lahan Rawan Banjir di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Medan, Agustus 219 Aldy Bagus Prayoga NIM ii

5 ABSTRACT ALDY BAGUS PRAYOGA Implementation of Rooter System Technology to improve water absorption on vulnerable area of flood in Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas, supervised by BUDI UTOMO and AFIFUDDIN DALIMUNTHE City development every year generate changes in land use. This lead to increased surface flow and decreased water quantities become absorbed into the ground and turn into waterlogged. Rooter System Technology is a technology adapted from improvement of infiltration wells and soil biopori implementation that are used to hold and absorb water into the ground through 2 meters depth inserted pipe into the ground with 45 degrees slope. The purpose of this research is to compare the result of water absorbtion on vulnurable area of flood before and after implementation rooter system technology. The method that used in this research are observation, data collection and data analysis. From the observation that have been done, there is significant difference result between land that using rooter system technology and the ordinary land. The land that does not using rooter system technology need approximately 3 minutes to absorb m³ of water. At the same time, the land that using rooter system technology need approximately 15 minutes to absorb m³ of water. Therefore, implementation of rooter system technology is three times faster to accelerate the absorption of the flooding. Keyword: Flood, Water Absorbtion, Soil, Rooter System Technology iii

6 ABSTRAK ALDY BAGUS PRAYOGA: Penerapan Teknologi Rooter System Untuk Meningkatkan Daya Serap Air pada Lahan Rawan Banjir di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas, dibimbing oleh BUDI UTOMO dan AFIFUDDIN DALIMUNTHE Pertumbuhan kota setiap tahun menyebabkan perubahan pada tata guna lahan. Hal ini menyebabkan peningkatan aliran permukaan dan menurunnya kuantitas air yang meresap kedalam tanah yang menyebabkan terjadinya genangan air. Teknologi rooter system merupakan sebuah teknologi yang diadaptasi dari pengembangan penerapan sumur resapan dan biopori tanah yang digunakan untuk menampung dan meresapkan air kedalam tanah melalui pipa yang ditanam sedalam 2 meter dengan kemiringan 45. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil penyerapan air pada lahan sebelum menggunakan teknologi rooter system dan sesudah menggunakan teknologi rooter system. Metode yang digunakan adalah pengamatan, pengambilan data, dan analisis data. Dari pengamatan yang dilakukan diperoleh hasil perbandingan yang sangat signifikan antara lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system dan lahan yang menggunakan teknologi rooter system. Lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system rata-rata membutuhkan waktu 3 menit untuk menyerap m³ air. Sedangkan lahan yang menggunakan teknologi rooter system rata-rata membutuhkan waktu 15 menit untuk menyerap m³ air. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemasangan teknologi rooter system 3 kali lebih cepat untuk mempercepat penurunan genangan air. Kata kunci: Genangan air, Penyerapan air, Tanah, Teknologi rooter system iv

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bah Birung Ulu, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun pada tanggal 29 Juni Penulis merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara oleh pasangan Bapak Edy Prayetno dan Ibu Mulia Ningsih. Penulis memulai pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Bah Birung Ulu pada tahun 22 28, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Islam Bah Birung Ulu pada tahun , dan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Perguruan Taman Siswa Cabang Pemantangsiantar pada tahun Pada tahun 214, penulis lulus di Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara melalui jalur undangan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis memilih minat Departemen Budidaya Hutan. Selama mengikuti masa perkuliahan, penulis merupakan anggota organisasi Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU. Penulis mengikuti Pelatihan Dasar dan Pengkaderan Rimbawan pada tahun 215. Penulis juga telah mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan pada tahun 216. Pada tahun 217, penulis menjadi Asisten Praktikum Ekologi Hutan dan menjadi Asisten Koordinator Praktikum Ekologi Hutan pada tahun 218. Pada bulan Januari - Februari 218, penulis juga telah menyelesaikan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Tahun 218 penulis memulai penelitian Penerapan Teknologi Rooter System Untuk Meningkatkan Daya Serap Air pada Lahan Rawan Banjir di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas di bawah bimbingan Dr. Budi Utomo, S.P., M.P. dan Afifuddin Dalimunthe, S.P., M.P. v

8 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Karunia-Nya penulis masih diberikan pengetahuan, pengalaman, kekuatan dan kesempatan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Penerapan Teknologi Rooter System Untuk Meningkatkan Daya Serap Air pada Lahan Rawan Banjir di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas yang merupakan salah satu syarat untuk menjadi Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Budi Utomo, S.P., M.P. dan Afifuddin Dalimunthe, S.P., M.P. selaku komisi pembimbing serta Dr. Anita Zaitunah, S.Hut., M.Si. dan Dr. Apri Heri Iswanto, S.Hut., M.Si. selaku dosen penguji yang telah membimbing dan mengarahkan penulis serta memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang teristimewa Ayahanda Edy Prayetno, Ibunda Mulia Ningsih serta Abangda Joko Ali Permady dan Adinda Sukmawanty Nur Azizah yang selalu memberikan doa, nasehat, semangat, dan kasih sayang serta dukungan moril dan materil kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada sahabat istimewa Suryani Dwi Cahya, Muhammad Taufiq, Adam Dominggus Alfiandi Simanjuntak, Benny Raja Bonar serta seluruh teman-teman di Fakultas Kehutanan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kelurahan Timbang Deli yang telah memberi ijin sebagai lokasi penelitian dan atas semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat ke berbagai pihak. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih Medan, Agustus 219 Aldy Bagus Prayoga vi

9 DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN... i PERNYATAAN ORISINALITAS... ii ABSTRACT... iii ABSTRAK... iv RIWAYAT HIDUP... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... x DAFTAR LAMPIRAN... xi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA Banjir Beserta Dampak Banjir... 3 Faktor Terjadinya Banjir... 4 Pengendalian Banjir... 5 Daerah Resapan Air... 6 Sumur Resapan... 7 Teknologi Rooter System... 7 Manfaat Teknologi Rooter System... 9 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian... 1 Alat dan Bahan Penelitian... 1 Prosedur Penelitian... 1 Siapkan Alat dan Bahan... 1 Pemasangan Rooter System Penentuan Titik di Lokasi Pembuatan Lubang Pemasangan Pipa Cara Kerja Teknologi Rooter System Pengamatan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Lokasi Pengamatan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran vii

10 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii

11 DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1. Akar tunggang yang menjadi inspirasi pada pembuatan teknologi rooter system Pipa yang akan digunakan untuk teknologi rooter system Sketsa pemasangan dan tata letak lokasi pipa untuk pemasangan teknologi rooter system Proses pembuatan lubang rooter system dengan menggunakan mesin bor modifikasi (kiri), mesin bor manual (kanan) Pemasangan pipa 2 meter untuk penerapan teknologi rooter system Gambaran tekstur tanah yang kurang mampu untuk menyerap air dipermukaan tanah di lokasi penelitian Hasil perbandingan tinggi genagan air pada waktu yang sama antara lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system dengan lahan yang menggunakan teknologi rooter system... 2 ix

12 DAFTAR TABEL No Teks Halaman 1. Sifat fisik tanah pada kedalaman 2 cm Sifat fisik tanah pada kedalaman 1 cm Hasil pengamatan penurunan volume air tanpa pemasangan teknologi rooter system di Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas Hasil pengamatan penurunan volume air dengan pemasangan teknologi rooter system di Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas x

13 DAFTAR LAMPIRAN No. Teks Halaman 1. Pengamatan penurunan volume air di lokasi penelitian Dokumentasi penelitian xi

14 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kota Medan berada di dataran rendah (2,5 5 mdpl) dengan kemiringan tanah yang bervariasi antara 3% (cenderung datar) dan dilalui oleh 4 (empat) sistem sungai: Sungai Belawan, Sungai Deli, Sungai Kera, dan Sungai Percut Sei Tuan. Keempat sungai ini memerlukan pengelolaan drainase secara baik untuk mengatasi permasalahan banjir dan genagan air pada musim hujan. Kota Medan memiliki hari hujan rata-rata perbulan 19 hari dengan rata-rata curah hujan perbulan berkisar antara 211,67 mm 23,3 mm. Kondisi saat ini menunjukkan bahwasannya terdapat 9 titik kawasan rawan banjir dengan total luas kawasan rawan banjir di Kota Medan seluas Ha. Salah satu faktor penyebab banjir di Kota Medan adalah banyaknya titik-titik genagan yang merupakan Daerah Cekungan sehingga sulit untuk mengalirkannya dengan konsep drainase yang sederhana (Perda, 215). Pertumbuhan kota setiap tahun menyebabkan perubahan tata guna lahan. Salah satu dampaknya adalah meningkatnya aliran permukaan langsung dan menurunnya kuantitas air yang meresap ke dalam tanah, sehingga terjadi banjir pada musim hujan. Selama ini, konsep drainase yang banyak diterapkan di kotakota adalah sistem drainase pengaturan kawasan. Konsep ini pada prinsipnya menyebutkan bahwa seluruh air hujan yang jatuh di suatu wilayah harus secepatnya dibuang ke sungai. Filosofi membuang air genangan secepatnya ke sungai mengakibatkan sungai akan menerima beban dari anak-anak sungai yang melampaui kapasitasnya, sementara tidak banyak air yang dapat meresap ke dalam tanah (Wahyuningtyas et al., 211). Persoalan banjir di kota Medan ternyata kini sudah berulang setiap tahun. Sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan, dan tidak terhitung dana yang telah dikeluarkan melalui berbagai proyek penanggulangan banjir di kota ini, namun sampai sekarang banjir masih saja menghantui masyarakat kota Medan. Hal ini disebabkan karena banjir yang terjadi sekarang tidak hanya disebabkan karena jika hujan turun di hulu sungai Deli, hujan di kota Medan pun bisa menyebabkan banjir

15 2 dan genangan-genangan air di mana-mana. Begitu pula sejumlah kawasan permukiman padat penduduk yang menjadi langganan rendaman banjir, terutama kalau hujan deras mengguyur di bagian hulu sungai-sungai yang melintas kota Medan (Natalia, 214). Untuk menuntaskan banjir, pihak Pemerintah Kota Medan pernah memakai jasa tim konsultan dari Belanda untuk menemukan jalan keluar untuk air yang selama ini membanjiri kota Medan. Dari penelitian tersebut, antara lain diidentifikasi masalah sedimentasi. Penelitian ini lebih difokuskan pada banjir di daerah Kelurahan Timbang Deli yang terletak di jalan Pertahanan Medan Amplas dan bisa juga di akses melalui jalan Balai Desa. Kelurahan Timbang Deli tepatnya berada di daerah perbatasan antara kota Medan dengan Kabupaten Deli Serdang sehingga pembangunan industri-industri besar tumbuh dengan sangat pesat yang menyebabkan pembuatan drainase yang kurang baik. Teknologi Rooter System adalah teknologi yang digunakan untuk menampung dan meresapkan air ke dalam tanah melalui pipa yang dirancang seperti akar pohon. Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian dengan tujuan utama dari teknologi rooter system ini adalah mempercepat masuknya air ke dalam tanah sebagai air resapan (infiltrasi). Dengan demikian, air akan lebih cepat masuk ke dalam tanah dan sedikit yang mengalir sebagai aliran permukaan (run off). Semakin banyak air yang mengalir ke dalam tanah berarti akan banyak tersimpan air tanah di bawah permukaan bumi. Air tersebut dapat dimanfaatkan kembali melalui sumur-sumur masyarakat. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil penyerapan air pada lahan yang menggunakan teknologi rooter system dan lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai seberapa penting teknologi rooter system untuk pengendalian dan mengurangi banjir.

16 3 TINJAUAN PUSTAKA Banjir Beserta Dampak Banjir Banjir dan genangan air dapat mengganggu aktivitas suatu kawasan, sehingga mengurangi tingkat kenyamaan penghuninya. Dalam kondisi yang lebih parah, banjir dan genangan dapat menimbulkan suatu bencana yang mengancam keamanan. Pada umumnya, banjir selalu terkait dengan kondisi lingkungan daerah aliran sungai (DAS) dan sistem drainasenya. Banjir yang semula musibah berubah menjadi hal yang biasa, karena kerap kali terjadi dan bahkan menjadi rutinitas yang terjadi setiap musim hujan. Salah satu faktor yang menyebabkan banjir dan menurunnya permukaan air tanah di kawasan perumahan adalah proses alih fungsi lahan. Proses alih fungsi lahan dari lahan pertanian atau hutan ke perumahan akan dapat menimbulkan dampak negatif, apabila tidak diikuti oleh upaya-upaya menyeimbangkan kembali fungsi lingkungan. Disisi lain dipicu oleh pengembangan fisik bangunan rumah yang terlalu pesat ke arah horizontal yang menyebabkan tidak adanya lagi area terbuka sebagai resapan air, sehingga air yang meresap kedalam tanah menjadi kecil dan memperbesar volume aliran air permukaan (Parhusip, 213). Selama periode tahun 1991 sampai 1995, bencana banjir di Indonesia telah menimbulkan kerugian triliunan rupiah dengan korban jiwa sebanyak meninggal, luka-luka, dan sekitar 7 juta menderita serta rumah mengalami kerusakan. Perkiraan kerugian tersebut belum memperhitungkan bencana banjir dalam skala kecil, kerugian immaterial dan kerugian tidak langsung yang tidak sedikit jumlahnya (Rosyidie, 213). Kota Medan dilalui oleh 3 (tiga) sungai besar yaitu Sungai Belawan, Sungai Deli, dan Sungai Denai, yang tersebar di wilayah Kota Medan. Bencana banjir di Kota Medan terjadi setiap tahunnya. Pada tahun 211 sampai tahun 216 terdapat sekitar 8 kejadian bencana banjir di Kota Medan. Akibat bencana tersebut, 17 orang meninggal, 5.15 orang mengungsi, rumah terendam banjir serta kerusakan fasilitas umum lainnya. Berdasarkan hasil analisis SIG, seluruh kecamatan di Kota Medan memiliki kategori areal rawan banjir dengan kelas sangat tinggi berjumlah rata-rata 31,7% (Tampubolon, 218).

17 4 Faktor Terjadinya Banjir Banjir dapat disebabkan oleh faktor alam, meliputi curah hujan yang tinggi, kapasitas alur sungai yang tidak mencukupi, aliran anak sungai yang tertahan oleh aliran induk sungai, terjadinya akumulasi debit puncak sungai induk dan anak sungai di pertemuan sungai pada waktu yang sama, terjadi pembendungan air sungai di muara akibat pasang dari laut, adanya penyempitan alur sungai atau ambang alam, adanya hambatan aliran oleh faktor geometri alur sungai berupa belokan-belokan sungai, endapan material di alur sungai dan kemiringan dasar sungai yang landai, yang memungkinkan terjadinya agradasi dasar sungai juga penyebab alamiah yang menimbulkan banjir. Banjir juga dapat disebabkan oleh perilaku manusia. Misalnya aktifitas manusia mengembangkan daerah pemukiman di sepanjang tepi alur sungai, adanya perubahan tata guna lahan di Daerah Pengaliran Sungai (DPS). Kota-kota besar di Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk karena laju pertumbuhan penduduk dan migrasi yang cukup besar. Lahan-lahan yang sebelumnya menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dijadikan area permukiman dan berbagai fasilitas lain. Letak geografis juga sangat mempengaruhi keadaan lingkungan suatu daerah. Faktor ini menyebabkan keuntungan dan kerugian bagi penduduk yang bertempat tinggal pada daerah tersebut. Salah satunya yang banyak merugikan manusia pada saat ini adalah bencana banjir yang secara matematis tidak dapat terelakkan yang menyebabkan meningkatnya aliran permukaan. Bantaran sungai yang dimanfaatkan sebagai tempat permukiman dan ditanami tanaman keras dapat pula menjadi faktor penyebab banjir (Natalia, 214). Adapun beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya banjir pada suatu daerah adalah sebagai berikut: perubahan guna lahan, pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh di sepanjang sungai, sistem pengendalian banjir yang tidak tepat, curah hujan tinggi, fisiografi sungai, kapasitas sungai yang tidak memadai, pengaruh air pasang, penurunan tanah, bangunan air, kerusakan bangunan pengendali banjir. Terjadinya banjir juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia atau pembangunan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan. Banyak pemanfaatan ruang yang kurang memperhatikan kemampuannya dan melebihi kapasitas daya dukungnya. Di wilayah perkotaan,

18 5 ruang terbuka hijau dan taman kota luasnya masih banyak yang dibawah luas yang ideal untuk sebuah kota, kini semakin berkurang terdesak oleh permukiman maupun penggunaan lain yang dianggap mampu memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi (Kodoatie dan Sjarief, 26). Pengendalian Banjir Hutan adalah salah satu cara yang paling efektif dalam mencegah terjadinya erosi dan banjir. Hal ini dikarenakan vegetasi-vegetasi yang tumbuh rapat di atas permukaan tanah dalam area hutan tersebut. Untuk pencegahan erosi dan banjir paling sedikit 7% tanah harus tertutup vegetasi. Pengaruh vegetasi terhadap erosi dan banjir antara lain: (1) menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan tanah; (2) menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi; (3) penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh transpirasi (penguapan air) melalui vegetasi (Hardjowigeno, 1987). Program pengendalian banjir sudah banyak dilakukan namun banjir (frekuensi, lamanya, intensitas, luas genangan) terus meningkat. Perubahan tata ruang atau guna lahan lebih banyak pengaruh atau kontribusinya terhadap terjadinya banjir dibandingkan dengan pembangunan fisik pengendali banjir. Perencanaan tata ruang wilayah dan kota serta upaya kerjasama berbagai pihak dan daerah diharapkan dapat berkontribusi dalam pengelolaan bencana banjir khususnya memperkecil kemungkinan dampak negatif yang terjadi serta memanfaatkan potensi dan peluang yang tersedia di kawasan bencana banjir dengan tetap memperhatikan kondisi masyarakat setempat (Rosyidie, 213). Secara sederhana sumur resapan diartikan sebagai sumur gali yang berbentuk lingkaran. Sumur resapan berfungsi untuk menampung dan meresapkan air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah baik melalui atap bangunan, jalan dan halaman (Bisri dan Prastya, 29). Salah satu upaya untuk menanggulangi banjir yaitu dengan cara membuat sumur resapan. Sumur resapan merupakan sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah. Sumur resapan ini kebalikan dari sumur air minum. Sumur resapan merupakan lubang untuk memasukkan air ke dalam tanah, sedangkan sumur air minum berfungsi untuk menaikkan air tanah ke permukaan. Dengan demikian konstruksi

19 6 dan kedalamannya berbeda. Sumur resapan digali dengan kedalaman di atas muka air tanah. Sumur air minum harus digali lebih dalam lagi atau di bawah muka air tanah (Kusnaedi, 2). Daerah Resapan Air Daerah permukiman sebenarnya sangat tergantung dengan sumber daya alam berupa air yang diperlukan untuk kelangsungan hidup orang banyak, bahkan semua makhluk hidup yang berada di suatu kawasan tersebut. Keperluan air di daerah permukiman semakin lama akan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Namun, air permukaan secara kuantitatif semakin lama ketersediaannya semakin terbatas dan secara kualitatif semakin lama semakin menurun (Siswanto, 21). Selama ini penanaman pohon merupakan salah satu kegiatan untuk mengurangi banjir. Tetapi untuk pemukiman yang terus berkembang, menjadikan lahan untuk penanaman pohon tidak mencukupi dalam pengendalian banjir. Salah satu solusi yang memungkinkan untuk mengurangi pasokan air banjir ini adalah dengan pembuatan sumur resapan. Daerah resapan air adalah tempat dimana air hujan dapat masuk ke dalam tanah dan selanjutnya mengisi atau menambah cadangan air tanah. Tidak semua lokasi mempunyai kemampuan yang sama dalam meresapkan air sehingga pemilihan lokasi pembuatan sumur resapan harus dilakukan secara sistematis dan terarah berdasarkan kajian ilmiah sesuai dengan tingkat penyerapan airnya (BLI, 213). Secara umum peresapan air merupakan proses masuknya air hujan ke dalam tanah sebagai akibat adanya gaya kapiler dan gaya gravitasi dengan cara infiltrasi maupun perkolasi ke lapisan tanah yang lebih dalam. Dengan pengaruh gaya gravitasi air hujan akan masuk ke dalam tanah melalui pori-pori tanah dan gaya kapiler akan mengalirkan air tersebut ke atas ke bawah dan ke arah horizontal. Sedangkan laju peresapan air adalah kecepatan masuknya air hujan ke dalam tanah selama hujan berlangsung karena faktor alam maupun berkat adanya campur tangan manusia. Laju peresapan air dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: tekstur tanah, bahan organik tanah, kepadatan tanah, jenis dan jumlah vegetasi (Asdak, 214).

20 7 Sumur Resapan Sumur resapan pada umumnya dianggap efektif untuk mengurangi limpasan permukaan jika dibuat pada tanah yang permeabilitasnya tinggi. Tampilan bentuk sumur resapan pada umumnya dibuat tanpa tinjauan estetika, sehingga apabila digunakan pada taman yang relatif luas tidak terasakan dominasi kehadirannya. Dalam kondisi dimana tekstur tanah cukup padat dan masif yang berarti volume pori relatif kecil dan permeabilitasnya rendah, maka pemanfaatan sumur resapan sebenarnya masih sangat berarti dalam mengurangi volume limpasan permukaan. Hal ini tentunya jika tinjauan dilakukan terhadap besarnya volume air hujan yang dapat ditampung sementara (Kustamar, 28). Beberapa alasan kenapa lubang resapan menjadi alternatif dalam pengelolaan air dikawasan urban adalah: (1) Daerah yang sempit sehingga tidak memungkinkan untuk pembuatan danau-danau buatan; (2) Praktis serta dapat dibuat oleh siapa saja; (3) Salah satu cara untuk memperbaiki kondisi tanah; (4) Metode murah meriah serta dapat menumbuhkan semangat gotong royong di setiap lingkungan daerah urban. Pengambilan air tanah yang tidak diimbangi dengan memasukkan air hujan ke dalam tanah akan berakibat pada berkurangnya ketersediaan air tanah. Apalagi pada daerah yang baru terbangun, dengan mengubah ground cover dari bahan yang tidak ramah pada sumberdaya air, dari sawah atau tegalan menjadi permukiman dengan segala bentuk bahan perkerasan halamannya, membuat debit air larian meningkat (Yohana et al., 217). Teknologi Rooter System Teknologi Rooter System adalah teknologi yang digunakan untuk menampung dan meresapkan air ke dalam tanah melalui pipa dimana pipa tersebut ditanamkan kedalam tanah. Teknologi rooter system hanya menampung air hujan bukan air limbah, sehingga teknologi rooter system merupakan sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah. Teknologi rooter system adalah teknologi yang diadopsi dari sistem perakaran tumbuhan. Akar pada umumnya memiliki fungsi untuk penyerapan air dan unsur hara yang terlarut di dalam tanah. Akar juga memiliki tugas untuk memperkuat berdirinya tumbuhan serta terkadang sebagai tempat untuk menimbun makanan. Saat biji berkecambah, akar lembaga atau calon akar memperlihatkan

21 8 sistem perakaran yang berbeda antara tumbuhan dikotil dan monokotil. Akar pada tumbuhan dikotil merupakan akar tunggang. Sedangkan akar pada tumbuhan monokotil merupakan akar serabut. Pohon Puspa (Schima wallichi) memiliki bentuk akar menjari diagonal kebawah dan bergelombang, pola perakaran primer yang tumbuh secara horizontal kemudian bercabang dengan kemiringan 45 dari bidang rata tanah dan ditumbuhi akar sekunder yang tumbuh halus dengan pertumbuhan mengelilingi setiap akar primernya. Akar puspa memiliki warna coklat muda menuju orange dengan kulit bersisik yang tumbuh menjari dan bergelombang dengan diameter akar mencapai 1,16 cm. Perakaran sudah mulai terdapat pada kedalaman 1 cm dari permukaan tanah. Dalam penggalian akar hanya ditemukan hingga pada kedalaman 193 cm, pada kedalaman ini akar sudah tidak ditutupi tanah lagi atau bisa disebut menggantung (Sitanggang, 216). Gambar 1. Akar tunggang yang menjadi inspirasi pada pembuatan teknologi rooter system Teknologi Rooter System ini merupakan modifikasi dari sumur resapan dan biopori tanah. Dalam pembuatan teknologi rooter system perlu diperhitungkan beberapa faktor dimana faktor yang diperhitungkan sama dengan faktor yang diperhitungkan dalam pembuatan sumur resapan, antara lain sebagai berikut : a. Faktor iklim: Semakin besar curah hujan di suatu wilayah berarti semakin besar atau banyak sumur resapan yang diperlukan. b. Kondisi air tanah: Pada kondisi permukaan air tanah yang dalam, sumur resapan perlu dibuat secara besar-besaran karena tanah benar-benar memerlukan suplai air melalui sumur resapan.

22 9 c. Kondisi tanah: Sifat fisik yang langsung berpengaruh terhadap besarnya infiltrasi (resapan air) adalah tekstur dan pori-pori tanah. Tanah berpasir dan porus lebih mampu merembeskan air hujan dengan cepat. d. Kondisi sosial ekonomi masyarakat: Perencanaan sumur resapan harus memperhatikan kondisi sosial perekonomian masyarakat. e. Ketersediaan bahan: Perencanaan konstruksi sumur resapan harus mempertimbangkan bagaimana ketersediaan bahan-bahan yang ada di lokasi (Kusnaedi, 211). Manfaat Teknologi Rooter System Teknologi rooter system adalah sebuah teknologi yang di adaptasi dari pengembangan penerapan sumur resapan dan biopori tanah yang pada dasarnya memiliki bentuk dan proses kerja yang hampir sama. Maka dari itu, teknologi rooter system mempunyai kegunaan yang hampir sama dengan sumur resapan dan biopori tanah, dimana kegunaannya sebagai berikut : 1. Pengendali banjir. Sumur resapan mampu memperkecil aliran permukaan sehingga terhindar dari penggenangan aliran permukaan secara berlebihan yang menyebabkan banjir. 2. Konservasi air tanah. Sumur resapan sebagai konservasi air tanah, diharapkan agar air hujan lebih banyak yang diresapkan ke dalam tanah menjadi air cadangan dalam tanah. Air yang tersimpan dalam tanah tersebut akan dapat dimanfaatkan melalui sumursumur atau mata air. Dengan adanya perubahan tata guna tanah tersebut akan menurunkan kemampuan tanah untuk meresapkan air. Hal ini mengingat semakin banyaknya tanah yang tertutupi tembok, beton, aspal dan bangunan lainnya yang tidak meresapkan air. 3. Menekan laju erosi. Dengan adanya penurunan aliran permukaan maka laju erosi pun akan menurun. Bila aliran permukaan menurun, tanah-tanah yang tergerus dan terhanyut pun akan berkurang. Dampaknya, aliran permukaan air hujan kecil dan erosi pun akan kecil. Dengan demikian adanya sumur resapan yang mampu menekan besarnya aliran permukaan berarti dapat menekan laju erosi (Kusnaedi, 2).

23 1 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di 3 lokasi berbeda pada lahan yang kurang mampu menyerap air milik warga di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 218. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pipa paralon berdiameter 4 inchi dengan panjang 2 m sebanyak 14 pipa, mesin bor tanah yang telah di modifikasi, mesin genset 7 kva, bor pelubang, cangkul, galian tanah, palu, meteran, dan kamera. Bahan yang digunakan untuk penelitian ini antara lain lahan yang rentan terdampak banjir, dimana lahan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki ukuran luas lahan sebesar 2 m x 15 m, kriteria dari pada lahan tersebut yaitu lahan yang tidak mampu untuk menyerap air yang ada di permukaan tanah. Prosedur Penelitian 1. Siapkan Alat dan Bahan Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pipa paralon 4 inchi dengan panjang 2 m dimana sisi dari pada pipa tersebut dilubangi 4 arah mata angin dan jarak antar lubang sebesar 1 cm dengan menggunakan mesin bor pelubang berdiameter 1 mm sebanyak 14 pipa, mesin bor tanah yang telah di modifikasi, mesin genset 7 kva, cangkul, galian tanah, ember, palu. Bahan yang digunakan untuk penelitian ini antara lain lahan yang rentan terdampak banjir, dimana lahan yang digunakan dalam penelitian ini memiki ukuran luas lahan sebesar 2 m x 15 m dengan kriteria lahan kurang mampu menyerap air. Pipa yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Pipa yang akan digunakan untuk teknologi rooter system

24 11 2. Pemasangan Rooter System 1. Penentuan Titik di Lokasi Pemasangan teknologi rooter system di lokasi penelitian dilakukan dengan menentukan suatu titik lokasi pemasangan dengan 14 pipa yang akan digunakan. Jarak antara satu titik dengan titik lainya sejauh 5 meter dengan penentuan titik mengelilingi satu petak lahan tersebut berdasarkan kondisi lahan yang paling sering terkena banjir dengan penentuan sudut yang tepat. Rekayasa peletakan pipa dapat dilihat pada gambar 3. 2 m 15 m Gambar 3. Sketsa pemasangan dan peletakan pipa untuk pemasangan tekologi rooter system 2. Pembuatan Lubang Pembuatan lubang teknologi rooter system pada tanah dapat menggunakan cara manual dan juga memakai mesin bor tanah yang telah dimodifikasi. Namun untuk mempermudah, mempercepat, dan menghasilkan lubang yang bagus, pembuatan lubang harus menggunakan mesin bor. Dalam penelitian ini, proses pembuatan lubang tanah menggunakan mesin bor yang telah dimodifikasi dengan kemiringan 45 dengan kedalaman 2 meter dan diameter lubang 4 inchi. Pembuatan lubang dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Peroses pembuatan lubang rooter system dengan menggunakan Mesin bor modifikasi (kiri), mesin bor manual (kanan).

25 12 Proses pembuatan lubang teknologi rooter system dengan menggunakan mesin bor tanah yang telah dimodifikasi sangat disarankan. Hal ini dikarenakan perbandingan waktu antara penggunaan bor tanah manual dengan mesin bor tanah yang telah dimodifikasi sangat signifikan. Dalam proses pengeboran tanah ini sering terjadi kesalahan-kesalahan yang menyebabkan longsornya lubang pada tanah akibat dari pengeboran dengan tingkat kemiringan 45. Longsor ini menyebabkan lubang tanah tidak sesuai dengan ukuran pipa sehingga pipa yang digunakan untuk teknologi rooter system tidak dapat masuk pada lubang yang disediakan. Maka dari itu, proses pembuatan lubang ini harus dikerjakan dengan keterampilan dan tanah ketelitian agar proses pemasangan pipa menjadi mudah. 3. Pemasangan Pipa Pemasangan pipa dilakukan dengan cara memasukan pipa paralon dengan panjang 2 meter dan diameter 4 inchi yang sekeliling sisinya telah dilubangi ke dalam tanah yang telah di bor dengan posisi kemiringan 45. Kemudian, bagian lubang pipa yang berada di permukaan tanah ditutup dengan menggunakan penutup yang terbuat dari bahan plastik yang sudah dilubangi untuk mencegah masuknya sampah atau kotoran lain yang dapat menyumbat. Pemasangan pipa dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Pemasangan pipa sepanjang 2 meter untuk penerapan teknologi rooter system 3. Cara Kerja Teknologi Rooter System Cara kerja teknologi rooter system ini adalah dengan menampung serta mengalirkan air masuk ke dalam tanah. Teknologi rooter system ini hanya menampung air hujan dan air genangan, bukan air limbah serta air yang lainnya. Air akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat lebih rendah. Dengan mengacu

26 13 pada prinsip ini, titik teknologi rooter system ini sebaiknya dibuat pada lokasi yang lebih rendah sehingga air dapat berkumpul pada titik-titik rooter system. 4. Pengamatan Metode yang digunakan adalah metode visual yaitu dengan cara melihat dan mengamati bagaimana pengaruh penggunaan teknologi rooter system dengan tidak menggunakan rooter system terhadap daya serap air di lapangan. Adapun pengamatan yang dilakukan meliputi analisis tanah lokasi penelitian, tinggi permukaan genangan air dilokasi penelitian, lama waktu tanah menyerap air yang tidak menggunakan teknologi rooter system, lama waktu tanah menyerap air yang menggunakan teknologi rooter system. Pengamatan tinggi permukaan genangan air dilakukan pada selang waktu 15 menit dengan perlakuan lahan menggunakan terpal plastik yang berfungsi sebagai dinding untuk menahan genangan air. 5. Analisis Data Adapun tujuan dari pada analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu untuk melihat seberapa cepat air yang masuk ke dalam tanah dengan menggunakan teknologi rooter system dan seberapa cepat air yang masuk ke dalam tanah dengan tidak menggunakan teknologi rooter system. Rumus yang digunakan dalam analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Volume = Panjang x Lebar x Tinggi

27 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Lokasi Penelitian Pemasangan teknologi rooter system ini dilakukan di 3 lokasi yang berbeda yaitu Lingkungan II, Lingkungan V, dan Lingkungan VII di Kelurahan Timbang Deli, Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan, Sumatera Utara. Berdasarkan pengamatan dan pengambilan data, lokasi merupakan daerah yang memiliki intensitas curah hujan tinggi, pengembangan kota yang tidak terkendali, tidak sesuai tata ruang daerah serta tidak berwawasan lingkungan sehingga menyebabkan berkurangnya daerah resapan dan penampungan air sehingga seringnya terjadi banjir yang membuat masyarakat sekitar khususnya petani mengalami kerugian. Masalah banjir di lokasi tersebut sudah sangat sering terjadi yang disebabkan lahan yang terbatas untuk proses irigasi atau pembuangan air. Tabel 1. Sifat Fisik Tanah pada kedalaman 2 cm No. Parameter Lokasi ke-i Lokasi ke-ii Lokasi ke-iii 1. Tekstur Lempung Berpasir Lempung Berpasir Lempung Berpasir 2. Bulk Density 1,19 g/cm³ 1,16 g/cm³ 1,14 g/cm³ 3. Porositas 55% 56% 56% 4. Permeabilitas 8,15 cm/jam 7,26 cm/jam 7,38 cm/jam 5. Kriteria Agak cepat Agak cepat Agak cepat Tabel 2. Sifat Fisik Tanah pada kedalaman 1 cm No. Parameter Lokasi ke-i Lokasi ke-ii Lokasi ke-iii 1. Tekstur Liat Liat Liat Berpasir 2. Bulk Density 1,42 g/cm³ 1,34 g/cm³ 1,41 g/cm³ 3. Porositas 46% 49% 46% 4. Permeabilitas 2,29 cm/jam 1,91 cm/jam 2,42 cm/jam 5. Kriteria Sedang Agak lambat Sedang Keterangan : Lokasi I (Lingkungan II, Timbang Deli) Lokasi II (Lingkungan V, Timbang Deli) Lokasi III (Lingkungan VII, Timbang Deli) Porositas Permeabilitas 1% (sangat halus) 8-6% (porous) 6-5% (baik) 5-4% (kurang baik) 4-3% (jelek) <3% (sangat jelek) <,125 (sangat lambat),125-,5 (lambat),5-2, (agak lambat) 2,-6,25 (sedang) 6,25-12,5 (agak cepat) 12,5-25, (cepat) >25, (sangat cepat) Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa pada lokasi I, II, dan III untuk kedalaman 2 cm dan 1 cm memiliki perbedaan kriteria permeabilitas. Adapun ketiga lokasi pada kedalaman 2 cm memiliki kriteria permeabilitas agak cepat.

28 15 Sedangkan pada kedalaman 1 cm, lokasi I dan II memiliki kriteria sedang dan pada lokasi II memiliki kriteria agak lambat. Jenis dan kondisi tanah di lokasi penelitian sangat berperan dalam upaya peresapan air. Kawasan resapan air merupakan tempat meresapnya air hujan ke dalam tanah yang selanjutnya menjadi air tanah. Kondisi yang sangat berpengaruh terhadap laju peresapan air adalah sifat fisik tanah. Oleh karena itu, sebelum pemasangan teknologi rooter system perlu diketahui bahwasannya faktor yang dipehitungkan untuk teknologi rooter system ini memiliki kesamaan dengan faktor yang diperhitungkan untuk sumur resapan. Kusnaedi (2) menyatakan bahwa Sifat fisik tanah yang langsung berpengaruh terhadap besarnya infiltrasi (resapan air) adalah tekstur dan pori-pori tanah. Tanah berpasir lebih mampu merembeskan air hujan dengan cepat. Menurut Hardjowigeno (1987), bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah. Makin tinggi nilai padat suatu tanah makin tinggi bulk density, yang berarti tanah makin sulit untuk meneruskan air atau ditembus oleh akar tanaman. Apabila tanah mengandung terlalu banyak liat, maka tanah tersebut dapat menyimpan air dalam jumlah yang besar, akan tetapi air tidak mudah meresap kedalam tanah tersebut karena air akan mengalir pada permukaan tanah dan menyebabkan erosi. Atau apabila tanah berpasir, air akan mudah meresap tetapi tidak dapat disimpan lama karena akan infiltrasi kelapisan bawahnya. Dengan demikian, tanah yang ideal adalah tanah yang mempunyai tekstur yang kandungan liat, pasir, dan debunya seimbang disebut lempung (loam) (Rachmiati, 213). Gambar 6. Gambaran tektur tanah yang kurang mampu untuk menyerap air dipermukaan tanah di lokasi penelitian Penerapan teknologi rooter system ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan luas lubang pori yang terbentuk kesegala arah di dalam tanah. Dengan bertambahnya jumlah lubang pori tersebut, maka jumlah (volume) untuk peresapan

29 16 air masuk ke dalam tanah akan meningkat. Untuk itu, perlu penanaman lubang rooter system yang lebih banyak lagi agar memperoleh jumlah daya tampung volume air yang lebih banyak. Pengamatan Pengamatan teknologi rooter system dilakukan di 3 lokasi pemasangan yang berbeda dengan pengulangan sebanyak 3 kali, baik pada lahan yang menggunakan teknologi rooter system maupun yang tidak menggunakan teknologi rooter system dengan tujuan sebagai pembanding. Pengamatan volume air yang masuk ke dalam tanah di 3 lokasi tanpa pemasangan teknologi rooter system dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengamatan penurunan volume air tanpa pemasangan teknologi rooter system di Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas Waktu (Menit) Lokasi I Volome (m³) Lokasi II Volume (m³) Lokasi III Volume (m³) ,9 7,6 1,8 13,4 16,8 22,9 27,4 34,2 38,4 42,3 47,1 56,1 6,9 67,1 69, ,6 7,9 11,6 16,1 2,4 24,6 28,4 33,8 37,5 43,5 47,9 5,4 54, ,9 66,1 69, ,3 7,9 12,3 16,3 2,8 25,1 29,3 32,4 35,5 37,8 41,6 45,4 48,4 51,7 55,7 59,3 63,7 67,2 71,3 Penurunan volume air yang diserap oleh tanah tanpa pemasangan teknologi rooter system berlangsung sangat lama, baik pengamatan yang dilakukan di lokasi ke-i, lokasi ke-ii, maupun di lokasi ke-iii. Pada lokasi ke-i, untuk menghabiskan genangan air sebanyak m³ membutuhkan waktu selama 24 menit. Pada lokasi ke-ii, untuk menghabiskan genangan air sebanyak m³ membutuhkan waktu selama 27 menit. Sedangkan pada lokasi ke-iii, untuk menghabiskan genangan air

30 17 sebanyak m³ membutuhkan waktu selama 3 menit. Semakin banyak volume air yang tertampung di atas permukaan tanah tersebut, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menyerap air masuk ke dalam tanah. Asdak (214) menyatakan bahwa resapan air dikatakan baik apabila air dapat dengan lancar masuk ke dalam lapisan tanah dan air yang masuk menjadi cadangan air tanah. Resapan air berperan sebagai penyaring air tanah, ketika air masuk ke daerah resapan maka akan terjadi proses penyaringan air dari partikel-partikel yang terlarut di dalamnya. Hal ini dimungkinkan karena perjalanan air dalam tanah sangat lambat dan oleh karenanya memerlukan waktu yang relatif lama. Kondisi lahan di lokasi ini sangat mempengaruhi dalam kemampuan tanah untuk melakukan penyerapan air masuk ke dalam tanah. Pada lokasi penelitian ini, kondisi tanah tidak memiliki vegetasi-vegetasi yang mampu untuk membantu menyerap air masuk ke dalam tanah dan kondisi tanah pada lokasi penelitian ini, khususnya di lokasi I dan lokasi II cenderung memiliki fraksi liat yang tinggi. Pada lahan dengan kondisi seperti ini sangat mempengaruhi daya serap tanah terhadap genangan air yang ada dipermukaan tanah. Ichwana dan Erida (28) menyatakan bahwa pada areal yang bervegetasi mempunyai kelas tekstur tanah lempung berdebu mempunyai kemampuan infiltrasi yang lebih besar dibandingkan di areal yang cenderung memiliki fraksi liat lebih banyak sehingga memyebabkan kemampuan infiltrasi yang kecil. Pada lokasi III dapat dilihat bahwa volume genagan air yang ada di lokasi ini lebih banyak dari lokasi-lokasi yang lainnya sehingga menyebabkan peningkatan waktu penurunan tinggi permukaan genangan air dari permukaan tanah yang ada di lokasi tersebut. Hal ini disebabkan karena kondisi tanah yang merupakan bekas rawa-rawa yang memiliki tekstur tanah lumpur, dimana tekstur tanah lumpur ini memiliki pori-pori tanah yang rapat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardjowigeno dan Reyes (25), bahwa pelumpuran secara keseluruhan menyebabkan sifat tanah menjadi: (1) semua agregat tanah hancur sehingga tanah tidak berstruktur, (2) pori-pori kasar jumlahnya berkurang sedangkan pori- pori halus jumlahnya meningkat, (3) daya menahan air meningkat karena meningkatnya jumlah pori-pori mikro dalam tanah. Darwia et al. (217) menyatakan semakin banyak jumlah pori-pori tanah maka kemampuan tanah untuk

31 18 menyerap air semakin tinggi (infiltrasi) dan sebaliknya semakin sedikit jumlah poripori tanah maka semakin rendah kemampuan tanah menyerap air. Pengamatan volume genangan air yang masuk ke dalam tanah dengan menggunakan teknologi rooter system dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4. Hasil pengamatan penurunan volume air dengan pemasangan teknologi rooter system di Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas Waktu (Menit) Lokasi I Volume (m³) Lokasi II Volume (m³) Lokasi III Volume (m³) ,5 21, , ,3 22, ,8 57,2 69,9 1,7 23,1 36,9 5,1 58,4 66,7 Pada Tabel 4 menunjukkan kecepatan waktu penyerapan genagan air yang masuk ke dalam tanah. Jika dibandingkan antara lahan yang tidak menggungakan teknologi rooter system dengan lahan yang menggunakan teknologi rooter system, maka terjadi perbedaan yang sangat signifikan untuk peningkatan waktu penyerapan. Pada lokasi ke-i, untuk menghabiskan genangan air sebanyak m³ hanya membutuhkan waktu selama 9 menit. Pada lokasi ke-ii, untuk menghabiskan genangan air dengan jumlah m³ membutuhkan waktu selama 15 menit. Sedangkan pada lokasi ke-iii, dengan genangan air sebanyak m³ hanya membutuhkan waktu selama 15 menit. Hal ini membuktikan bahwa untuk mengalirkan genagan air yang ada dipermukaan tanah memerlukan pembuatan lubang yang lumayan besar serta memperbanyak pori-pori tanah agar seluruh air yang ada dipermukaan tanah dapat mengalir masuk ke dalam tanah. Menurut Pungut dan Widyastuti (213), air meresap ke dalam tanah melalui permukaan resapan. Permukaan resapan dapat diperluas dengan membuat lubang secara vertikal ke dalam tanah. Dengan adanya lubang ini, maka permukaan resapan menjadi bertambah karena adanya dinding lubang yang akan dapat meresapkan air ke samping melalui permukaan dinding lubang tersebut. Dalam pengukuran teknologi rooter system, hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran adalah intensitas hujan. Pengukuran dapat dilakukan saat intensitas hujan tinggi sehingga air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah

32 19 tertahan masuk ke dalam tanah. Menurut BBSDLP (26), infiltrasi merupakan interaksi kompleks antara intensitas hujan, karakteristik dan kondisi permukaan tanah. Intensitas hujan berpengaruh terhadap kesempatan air untuk masuk ke dalam tanah. Bila intensitas hujan lebih kecil dibandingkan dengan kapasitas infiltrasi, maka semua air mempunyai kesempatan untuk masuk ke dalam tanah. Sebaliknya, bila intensitas hujan lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas infiltrasi, maka sebagian dari air yang jatuh di permukaan tanah tidak mempunyai kesempatan untuk masuk ke dalam tanah, dan bagian ini akan mengalir sebagai aliran permukaan. Penutupan dan kondisi permukaan tanah sangat menentukan tingkat atau kapasitas air untuk menembus permukaan tanah, sedangkan karakteristik tanah, khususnya struktur internalnya berpengaruh terhadap laju air saat melewati masa tanah. Unsur struktur tanah yang terpenting adalah ukuran pori dan kemantapan pori. Disamping itu, pemasangan teknologi rooter system harus dibor sesuai dengan kebutuhan lahan agar mendapatkan hasil yang optimal. Teknologi rooter system ini diadopsi dari bentuk proyeksi akar pohon dengan kemiringan 45, kedalaman 2 meter, serta diameter 1,16 cm atau 4 inchi sehingga teknologi ini diharapkan sebagai pengganti akar pohon untuk proses penyerapan air. Jarak yang digunakan pada pemasangan teknologi ini diambil dari jarak tanam untuk reboisasi dan pengayaan hutan, yaitu 5 m x 5 m. Menurut PERMENHUT (21), kegiatan reboisasi dan pengayaan vegetatif dilakukan di kawasan hutan lindung yang terdegradasi. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan berupa satu paket pekerjaan yang meliputi penyediaan bibit, penamanan dan pemeliharaan tanaman tahun berjalan. Jarak tanam yang dikembangkan bervariasi sesuai dengan kondisi lapangan, misalnya: 5m x 5m; 5m x 2,5m; 3m x 3m; 3m x 2m; dan lainnya. Sitanggang et al. (216) menyatakan bahwa bentuk akar tanaman menjari diagonal kebawah dan bergelombang, pola perakaran primer yang tumbuh secara horizontal kemudian bercabang dengan kemiringan 45 dari bidang rata tanah dan ditumbuhi akar sekunder yang tumbuh halus dengan pertumbuhan mengelilingi setiap akar primernya. Akar puspa memiliki warna coklat muda menuju orange dengan kulit bersisik yang tumbuh menjari dan bergelombang dengan diameter akar mencapai 1,16 cm. Perakaran sudah mulai terdapat pada kedalaman 1 cm dari

33 2 permukaan tanah. Dalam penggalian akar hanya ditemukan hingga pada kedalaman 193 cm, pada kedalaman ini akar sudah tidak ditutupi tanah lagi atau bisa disebut menggantung Berikut ini merupakan hasil perbandingan lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system dengan lahan yang menggunakan teknologi rooter system ,4 66,7 Volume (m³) ,1 36,9 29,96 25,56 23,1 2,4 16,26 1,7 12,4 8,53 4, Waktu (Menit) Tanpa Teknologi Rooter System Dengan Teknologi Rooter System Gambar 7. Hasil perbandingan penurunan tinggi genangan air pada waktu yang sama antara lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system dengan lahan yang menggunakan teknologi rooter system Grafik di atas menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan antara lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system dengan lahan yang menggunakan teknologi rooter system. Pada waktu 15 menit, lahan yang tidak menggunakan hanya mampu mengalirkan air sebanyak 29,96 m³. Sedangkan untuk lahan yang menggunakan teknologi rooter system mampu mengalirkan air masuk ke dalam tanah sebanyak m³. Maka dari itu, penggunaan teknologi rooter system dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi genangan-genangan yang berada di perkotaan dengan kondisi tanah yang sudah tertutup aspal maupun beton sehingga mampu mengatasi banjir yang sering terjadi akhir-akhir ini. Teknologi rooter system sangat berpengaruh besar terhadap proses penurunan genangan air dimana teknologi ini dirancang seperti akar pohon yang berguna untuk mengalirkan air di atas permukaan tanah agar masuk ke dalam tanah secara efektif.

34 21 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan teknologi rooter system di lahan yang terdampak banjir sangat efektif untuk mempercepat daya serap air oleh tanah dibandingkan dengan lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system. Lahan yang menggunakan teknologi rooter system menyerap air di permukaan tanah 3 kali lebih cepat dibandingkan lahan yang tidak menggunakan teknologi rooter system. Teknologi rooter system sangat berpengaruh besar terhadap proses penurunan tinggi genangan air dimana teknologi ini dirancang seperti akar pohon yang berguna untuk mengalirkan air dipermukaan tanah agar dapat masuk ke dalam tanah secara cepat. Saran Untuk penelitian selanjutnya diharapkan untuk menggunakan pipa yang cukup tebal agar pipa yang digunakan tidak mudah rusak dalam jangka waktu yang singkat; memperbaiki sistem kerja mesin pengeboran agar dalam proses pembuatan lubang tidak mengalami kendala-kendala teknis; serta dalam proses pengamatan diharuskan untuk melakukan pemeliharaan agar teknologi rooter system dapat berfungsi dengan baik.

35 22 DAFTAR PUSTAKA Asdak C Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. [BBSDLP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 26. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Departemen Pertanian. Jakarta. [BLI] Badan Litbang dan Inovasi Sumur Resapan Salah Satu Teknologi yang Paling Memungkinkan dalam Menanggulangi Banjir di DAS Ciliwung. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta. Bisri M, Prasetya TAN. 29. Imbuhan Air Tanah Buatan Untuk Mereduksi Genangan (Studi Kasus Di Kecamatan Batu Kota Batu). Jurnal Rekayasa Sipil, 3(1): Darwia S, Ichwana, Mustafril Laju Infiltrasi Lubang Resapan Biopori (LRB) Berdasarkan Jenis Bahan Organik Sebagai Upaya Konservasi Air dan Tanah. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Unsyiah, 2(1): Hardjowigeno S Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Hardjowigeno S, Reyes ML. 25. Tanah Sawah: Karakteristik, Kondisi, dan Permasalahan Tanah Sawah di Indonesia. Bayumedia. Malang. Ichwana dan Erida N. 28. Teknik Pembuatan Lubang Resapan Biopori untuk Meningkatkan Kapasitas Infiltrasi. Fakultas Pertanian Unsyiah. Banda Aceh. Kodoatie RJ dan Sjarief R. 26. Pengelolaan Bencana Terpadu. Yayasan Watampone. Jakarta. Kusnaedi. 2. Sumur Resapan Untuk Pemukiman Perkotaan Dan Pedesaan. Penebar Swadaya. Jakarta. Kustamar. 28. Memaksimalkan fungsi taman sebagai media resapan air hujan. Jurnal Spectra, 6(12): Natalia M Banjir Di Perkotaan (Studi Kasus Kampung Aur Kecamatan Medan Maimun Kota Medan). Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan. Parhusip NV Penerapan Sumur Resapan Pada Perencanaan Drainase Wilayah di Kecamatan Tarutung. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

36 23 [Perda] Peraturan Daerah Kota Medan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Medan Tahun Pemerintah Kota Medan. Medan. [Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. 21. Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta. Pungut, Widyastuti S Pengaruh Artificial Recharge Melalui Lobang Resap Biopori Terhadap Muka Air Tanah. Jurnal Teknik Waktu, 11(1): Rachmiati, Y Hubungan Iklim dan Tanah. Pusat Penelitian Teh dan Kina. Gambung. Rosyidie A Banjir: Fakta dan Dampaknya, Serta Pengaruh dari Perubahan Guna Lahan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 24(3): Sitanggang D, Utomo B, Dalimunthe A Morfologi Perakaran Tumbuhan Monokotil dan Tumbuhan Dikotil. Peronema Forestry Science Journal, 5(3): Siswanto J. 21. Sistem Drainase Resapan Untuk Meningkatkan Pengisian (Racharge) Air Tanah. Jurnal Natur Indonesia, 3(2): Tampubolon K Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) Sebagai Penentuan Kawasan Rawan Banjir di Kota Medan. Jurnal Pembangunan Perkotaan, 6(2): Wahyuningtyas A, Hariyani S, Sutikno FR Strategi Penerapan sumur Resapan Sebagai Teknologi Ekodraenase di Kota Malang (Studi Kasus: SUB DAS METRO). Jurnal Tata Kota dan Daerah, 3(1): Yohana C, Griandini D, Muzambeq S Penerapan Pembuatan Teknik Lubang Biopori Resapan Sebagai Upaya Pengendaian Banjir. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Madani (JPMM), 1(2):

37 24 LAMPIRAN Lampiran 1. Pengamatan penurunan volume air di lokasi penelitian Tabel 1. Pengamatan penurunan volume air di Lingkungan II, Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas. (Tanpa Teknologi Rooter System) Waktu (Menit) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Rataan 15 3,9 3,3 4,5 3,9 3 8,1 6,9 7,8 7, ,4 9,9 11,1 1,8 6 13,5 12,6 14,1 13,4 17,4 16,2 16,8 16,8 9 23,1 23,1 22,5 22, ,2 27,3 26,7 27, ,3 34,2 35,1 34, ,8 38, , ,4 4,8 41,7 42, ,5 45,6 46,2 47, ,1 54,3 54,9 56, ,2 58,8 59,7 6, ,7 64,8 67,8 67, , ,6 69,6 24 Tabel 2. Pengamatan penurunan volume air di Lingkungan II, Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas. (Dengan Teknologi Rooter System) Waktu (Menit) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Rataan ,3 23,4 37,2 47,4 57,3 1,5 19, ,2 56,1 11,7 22,2 37, ,6 11,5 21, ,2 57 Tabel 3. Pengamatan penurunan volume air di Lingkungan V, Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas. (Tanpa Teknologi Rooter System) Waktu (Menit) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Rataan ,1 7,8 11,7 15,9 19,8 23,7 29,1 5,1 8,4 13,2 16,8 21,9 25,2 27 3,6 7,5 9,9 15,6 19,5 24,9 29,1 4,6 7,9 11,6 16,1 2,4 24,6 28,4

38 ,5 33,6 39,3 44,1 46, ,9 58,5 62,7 66,6 35,7 4,2 45,6 49,8 52,2 56,7 64,2 68,4 69,3 7,8 34,2 38,7 45,6 49,8 52,8 56,7 57,9 61,8 66,3 7,2 33,8 37,5 43,5 47,9 5,4 54, ,9 66,1 69,2 Tabel 4. Pengamatan penurunan volume air di Lingkungan V, Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas. (Dengan Teknologi Rooter System) Waktu (Menit) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Rataan ,4 22,2 34, ,6 69,3 1,8 21,6 34,5 47,1 57,3 69,3 11,7 22,8 35,7 48,3 56,7 71,1 11,3 22, ,8 57,2 69,9 Tabel 5. Pengamatan penurunan volume air di Lingkungan VII, Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas. (Dengan Teknologi Rooter System) Waktu (Menit) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Rataan ,8 24,9 36,9 51,9 58,8 67,2 9,6 21,9 35,4 48,3 58, ,7 22,5 38,4 5,1 57,6 66,9 1,7 23,1 36,9 5,1 58,4 66,7 Tabel 6. Pengamatan penurunan volume air di Lingkungan VII, Kelurahan Timbang Deli, Medan Amplas. (Tanpa Teknologi Rooter System) Waktu (Menit) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Volume (m 3 ) Rataan ,2 8,4 12,9 17,1 21,6 25,8 29,4 32,7 3,9 6 9,9 14,1 18,6 23,4 27,6 29,7 4,8 9,3 14,1 17,7 22,2 26,1 3,9 34,8 4,3 7,9 12,3 16,3 2,8 25,1 29,3 32,4

39 ,2 39,6 43,8 47,1 51,6 53,7 57,3 6,6 64,8 68,4 72,9 32,4 34,2 37,8 41,4 43,8 47,7 52,2 56,4 6,9 65,1 69,6 36,9 39,6 43,2 47,7 49,8 53,7 57,6 6,9 65,4 68,1 71,4 35,5 37,8 41,6 45,4 48,4 51,7 55,7 59,3 63,7 67,2 71,3 Lampiran 2. Dokumentasi penelitian Gambar 1. Genangan air di lokasi I Gambar 2. Genangan air di Lokasi II Gambar 3. Genangan air di lokasi III Gambar 4. Kondisi tanah di lokasi penelitian Gambar 5. Lubang rooter system Gambar 6. Pemasangan pipa

40 27 Gambar 7. Tutup pipa rooter system Gambar 8. Pipa yang digunakan Gambar 9. Mesin bor tanah modifikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Pengertian Sumur Resapan Sumur resapan merupakan sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah. Sumur resapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir dan genangan air dapat mengganggu aktifitas suatu kawasan, sehingga mengurangi tingkat kenyamaan penghuninya. Dalam kondisi yang lebih parah, banjir dan genangan

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG Titik Poerwati Leonardus F. Dhari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Nasional Malang ABSTRAKSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengembangan perumahan di perkotaan yang demikian pesatnya,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengembangan perumahan di perkotaan yang demikian pesatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan perumahan di perkotaan yang demikian pesatnya, mengakibatkan makin berkurangnya daerah resapan air hujan, karena meningkatnya luas daerah yang ditutupi

Lebih terperinci

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan DIPRESENTASIKAN OLEH : 1. MAGDALENA ERMIYANTI SINAGA (10600125) 2. MARSAHALA R SITUMORANG (10600248) 3. SANTI LESTARI HASIBUAN (10600145) 4. SUSI MARIA TAMPUBOLON

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMANFAATAN AIR HUJAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa air hujan merupakan sumber air yang dapat dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan hasil analisa terhadap kawasan Kampung Sindurejan yang berada di bantaran sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup seluruh makhluk, terutama manusia. Dua pertiga wilayah bumi terdiri dari lautan

Lebih terperinci

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*) MODEL PENANGGULANGAN BANJIR Oleh: Dede Sugandi*) ABSTRAK Banjir dan genangan merupakan masalah tahunan dan memberikan pengaruh besar terhadap kondisi masyarakat baik secara social, ekonomi maupun lingkungan.

Lebih terperinci

SOLUSI MENGATASI BANJIR DAN MENURUNNYA PERMUKAAN AIR TANAH PADA KAWASAN PERUMAHAN

SOLUSI MENGATASI BANJIR DAN MENURUNNYA PERMUKAAN AIR TANAH PADA KAWASAN PERUMAHAN SOLUSI MENGATASI BANJIR DAN MENURUNNYA PERMUKAAN AIR TANAH PADA KAWASAN PERUMAHAN Oleh: Rachmat Mulyana P 062030031 E-mail : rachmatm2003@yahoo.com Abstrak Banjir dan menurunnya permukaan air tanah banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air dan sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

BAB I PENDAHULUAN. Air dan sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air dan sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga kelestarian dan pemanfaatannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai Pasal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan menunjukkan bahwa manusia dengan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat-sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut (Triatmodjo, 2008:1).Hidrologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya. Penerapan ilmu hidrologi

Lebih terperinci

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Tipe-Tipe Tanah Longsor 1. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2. Longsoran Rotasi Longsoran

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEMANFAATAN AIR HUJAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifatsifatnya dan hubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang curah hujannya cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang curah hujannya cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang curah hujannya cukup tinggi, dengan curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun. Air merupakan sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; WALIKOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN WALIKOTA MAKASSAR NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN KONSERVASI AIR TANAH MELALUI SUMUR RESAPAN DAN LUBANG RESAPAN BIOPORI Menimbang DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat pesat di berbagai bidang, baik sektor pendidikan, ekonomi, budaya, dan pariwisata. Hal tersebut tentunya

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik Latar Belakang: Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk menyukseskan

Lebih terperinci

PERBEDAAN LAJU INFILTRASI PADA TANAH HUTAN DAN BUKAN HUTAN

PERBEDAAN LAJU INFILTRASI PADA TANAH HUTAN DAN BUKAN HUTAN PERBEDAAN LAJU INFILTRASI PADA TANAH HUTAN DAN BUKAN HUTAN SKRIPSI Oleh: Muhammad Iqbal Muttaqin Harahap 131201115/Budidaya Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017

Lebih terperinci

TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN

TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 12 Tahun 2009 Tanggal : 15 April 2009 TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN I. Pendahuluan Dalam siklus hidrologi, air hujan jatuh ke permukaan bumi,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, dimana hampir semua aktifitas ekonomi dipusatkan di Jakarta. Hal ini secara tidak langsung menjadi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium Sentraldan Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Lebih terperinci

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Genangan merupakan dampak dari ketidakmampuan saluran drainase menampung limpasan hujan. Tingginya limpasan hujan sangat dipengaruhi oleh jenis tutupan lahan pada

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kadar Air Tanah Air merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan oleh tanaman baik pohon maupun tanaman semusim untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Air yang

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama

Lebih terperinci

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang 62 BAB VII PERENCANAAN 7.1 KONSEP PERENCANAAN 7.1.1 Konsep Dasar Perencanaan Penelitian mengenai perencanaan lanskap pasca bencana Situ Gintung ini didasarkan pada tujuan mengembalikan fungsi situ mendekati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi dan pusat pembangunan di Provinsi Sumatera Utara yang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi dan pusat pembangunan di Provinsi Sumatera Utara yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kota Medan yang menyandang status sebagai Pusat Pemerintahan, pusat pertumbuhan ekonomi dan pusat pembangunan di Provinsi Sumatera Utara yang menuntut kota

Lebih terperinci

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011)

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) Artikel OPINI Harian Joglosemar 1 MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) ŀ Turunnya hujan di beberapa daerah yang mengalami kekeringan hari-hari ini membuat

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN. temuan dan analisis terhadap area rawa yang direklamasi menjadi kawasan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN. temuan dan analisis terhadap area rawa yang direklamasi menjadi kawasan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN 5.1 Kesimpulan Penelitian Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan analisis terhadap area rawa yang direklamasi menjadi kawasan

Lebih terperinci

Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN

Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN Novitasari,ST.,MT. TIU & TIK TIU Memberikan pengetahuan mengenai berbagai metode dalam penanganan drainase, dan mampu menerapkannya dalam perencanaan drainase kota:

Lebih terperinci

11/26/2015. Pengendalian Banjir. 1. Fenomena Banjir

11/26/2015. Pengendalian Banjir. 1. Fenomena Banjir Pengendalian Banjir 1. Fenomena Banjir 1 2 3 4 5 6 7 8 Model koordinasi yang ada belum dapat menjadi jembatan di antara kelembagaan batas wilayah administrasi (kab/kota) dengan batas wilayah sungai/das

Lebih terperinci

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daur hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut, air tersebut akan tertahan (sementara)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir sudah menjadi masalah umum yang dihadapi oleh negaranegara di dunia, seperti di negara tetangga Myanmar, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapore, Pakistan serta

Lebih terperinci

DRAINASE PERKOTAAN BAB I PENDAHULUAN. Sub Kompetensi

DRAINASE PERKOTAAN BAB I PENDAHULUAN. Sub Kompetensi DRAINASE PERKOTAAN BAB I PENDAHULUAN Sub Kompetensi Mengerti komponen-komponen dasar drainase, meliputi : Pengantar drainase perkotaan Konsep dasar drainase Klasifikasi sistem drainase Sistem drainase

Lebih terperinci

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

BAB II METODOLOGI PENELITIAN BAB II METODOLOGI PENELITIAN Flow Chart Pengerjaan Tugas Akhir PERMASALAHAN Perlunya kajian mengenai permasalahan terkait dengan perubahan tata guna lahan, berkurangnya volume air tanah dan permasalahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian hilir. Air hujan

Lebih terperinci

Analisis Dampak Kawasan Resapan Terhadap Kebutuhan Air Bagi Masyarakat Di Kota Surakarta Oleh : Bhian Rangga JR K Prodi Geografi FKIP UNS

Analisis Dampak Kawasan Resapan Terhadap Kebutuhan Air Bagi Masyarakat Di Kota Surakarta Oleh : Bhian Rangga JR K Prodi Geografi FKIP UNS Analisis Dampak Kawasan Resapan Terhadap Kebutuhan Air Bagi Masyarakat Di Kota Surakarta Oleh : Bhian Rangga JR K 5410012 Prodi Geografi FKIP UNS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya air merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi 2 TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi Infiltrasi didefinisikan sebagai proses masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. Umumnya, infiltrasi yang dimaksud adalah infiltrasi vertikal, yaitu gerakan ke

Lebih terperinci

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE TL 4001 Rekayasa Lingkungan 2009 Program Studi Teknik Lingkungan ITB Pendahuluan o Sekitar 80% air minum yang digunakan oleh manusia dibuang atau menjadi air limbah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kota besar yang ada di Indonesia dan banyak menimbulkan kerugian. Banjir merupakan bencana

BAB I PENDAHULUAN. kota besar yang ada di Indonesia dan banyak menimbulkan kerugian. Banjir merupakan bencana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang setiap tahunnya dilanda banjir, fenomena tersebut merupakan permasalahan yang harus segera diselesaikan, sebab telah menjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan Curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu (Arsyad, 2010). Menurut Tjasyono (2004), curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai komunitas tumbuhan juga memiliki fungsi hidrologis dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai peran yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN KOMPOS PADA TANAH UNTUK MENGURANGI GENANGAN DI KELURAHAN BULAK, KECAMATAN KENJERAN, KOTA SURABAYA

PENGARUH PENAMBAHAN KOMPOS PADA TANAH UNTUK MENGURANGI GENANGAN DI KELURAHAN BULAK, KECAMATAN KENJERAN, KOTA SURABAYA ISSN : 2460-8815 PENGARUH PENAMBAHAN KOMPOS PADA TANAH UNTUK MENGURANGI GENANGAN DI KELURAHAN BULAK, KECAMATAN KENJERAN, KOTA SURABAYA Sulistiya Nengse Program Studi Teknik Lingkungan, Universitas Islam

Lebih terperinci

menyebabkan kekeringan di musim kemarau,

menyebabkan kekeringan di musim kemarau, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.1.1 Pengertian Drainase dan Perubahan Konsep Drainase Drainase adalah lengkungan atau saluran air di permukaan atau di bawah tanah, baik yang terbentuk secara

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015 EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015 SKRIPSI Oleh: Chandra Pangihutan Simamora 111201111 BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Setelah dilakukan penelitian dengan mengumpulkan data skunder dari instansi terkait, dan data primer hasil observasi dan wawancara maka dapat diperoleh

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Kerangka Pemikiran

III. METODOLOGI Kerangka Pemikiran III. METODOLOGI 11 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai Agustus 2009. Penelitian dilakukan di lapang dan di laboratorium konservasi tanah dan air. Pada penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini Abstract Key words PENDAHULUAN Air merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam, dari daratan sampai pegunungan serta lautan. Keragaman ini dipengaruhi

Lebih terperinci

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE MI 3205 Pengetahuan Lingkungan 2013 D3 Metrologi ITB Pendahuluan o Sekitar 80% air minum yang digunakan oleh manusia dibuang atau menjadi air limbah o Air limbah

Lebih terperinci

ABSTRAK PENDAHULUAN. Latar Belakang

ABSTRAK PENDAHULUAN. Latar Belakang PENGARUH SUMUR RESAPAN TERHADAP SISTEM HIDROLOGI DAN APLIKASINYA TERHADAP PEMUKIMAN DI JAKARTA BARAT Syampadzi Nurroh, R Rodlyan Ghufrona, dan Ana Dairiana Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan proses penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh tenaga erosi (presipitasi, angin) (Kusumandari, 2011). Erosi secara umum dapat disebabkan

Lebih terperinci

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian hidrosfer dan siklus hidrologi.

Lebih terperinci

Pemanfaatan Lubang Resapan Biopori (LRB) dan Perhitungan Permeabilitas Untuk Setiap Titik Lubang Resapan di Rawa Makmur Permai Bengkulu

Pemanfaatan Lubang Resapan Biopori (LRB) dan Perhitungan Permeabilitas Untuk Setiap Titik Lubang Resapan di Rawa Makmur Permai Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 12 No. 1 Januari 2016: 1149-1152 Pemanfaatan Lubang Resapan Biopori (LRB) dan Perhitungan Permeabilitas Untuk Setiap Titik Lubang Resapan di Rawa Makmur Permai Bengkulu Halauddin *,Suhendra,Refrizon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS SUMUR RESAPAN DALAM MEMPERCEPAT PROSES LAJU INFILTRASI

EFEKTIFITAS SUMUR RESAPAN DALAM MEMPERCEPAT PROSES LAJU INFILTRASI EFEKTIFITAS SUMUR RESAPAN DALAM MEMPERCEPAT PROSES LAJU INFILTRASI Siswanto *, Lita Darmayanti *, Polo Tarigan** Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau, Pekanbaru 28293 Abstrak Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Kali Tuntang mempuyai peran yang penting sebagai saluran drainase yang terbentuk secara alamiah dan berfungsi sebagai saluran penampung hujan di empat Kabupaten yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Umum Latosol Tanah Latosol adalah tipe tanah yang terbentuk melalui proses latosolisasi. Proses latosolisasi memiliki tiga proses utama, yaitu (1) pelapukan intensif yang

Lebih terperinci

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN Spectra Nomor 11 Volume VI Januari 008: 8-1 KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN Ibnu Hidayat P.J. Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN Malang ABSTRAKSI Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah sebagian

Lebih terperinci

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK Nama Kelompok : IN AM AZIZUR ROMADHON (1514031021) MUHAMAD FAISAL (1514031013) I NENGAH SUMANA (1514031017) I PUTU MARTHA UTAMA (1514031014) Jurusan

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Peil Banjir Peil Banjir adalah acuan ketinggian tanah untuk pembangunan perumahan/ pemukiman yang umumnya di daerah pedataran dan dipakai sebagai pedoman pembuatan jaringan drainase

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim menyebabkan musim hujan yang makin pendek dengan intensitas hujan tinggi, sementara musim kemarau makin memanjang. Kondisi ini diperparah oleh perubahan penggunaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

JIME, Vol. 3. No. 1 ISSN April 2017 ANALISA PENYEBAB BANJIR DAN NORMALISASI SUNGAI UNUS KOTA MATARAM

JIME, Vol. 3. No. 1 ISSN April 2017 ANALISA PENYEBAB BANJIR DAN NORMALISASI SUNGAI UNUS KOTA MATARAM ANALISA PENYEBAB BANJIR DAN NORMALISASI SUNGAI UNUS KOTA MATARAM Wardatul Jannah & Itratip Wenk_84@yahoo.co.id, itratip80@gmail.com Dosen Teknik Lingkungan Universitas Nahdatul Ulama (UNU) NTB Abstrak;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia seiring dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia seiring dengan perkembangan teknologi saat ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan permukiman sedangkan

Lebih terperinci

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993).

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993). batas topografi yang berarti ditetapkan berdasarkan aliran air permukaan. Batas ini tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian

Lebih terperinci

Surface Runoff Flow Kuliah -3

Surface Runoff Flow Kuliah -3 Surface Runoff Flow Kuliah -3 Limpasan (runoff) gabungan antara aliran permukaan, aliran yang tertunda ada cekungan-cekungan dan aliran bawah permukaan (subsurface flow) Air hujan yang turun dari atmosfir

Lebih terperinci

PENENTUAN BESARNYA LAJU INFILTRASI AIR OLEH TANAH DENGAN METODE SINGLE RING INFILTROMETER. ABSTRACT

PENENTUAN BESARNYA LAJU INFILTRASI AIR OLEH TANAH DENGAN METODE SINGLE RING INFILTROMETER. ABSTRACT PENENTUAN BESARNYA LAJU INFILTRASI AIR OLEH TANAH DENGAN METODE SINGLE RING INFILTROMETER Widia Wati 1, Juandi 2, G. Moriza 3 1Mahasiswa Program Studi S1Fisika 2Dosen Jurusan Fisika 3Staf Dinas Pertambangan

Lebih terperinci

Seva Darwia, Ichwana, Mustafril Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Seva Darwia, Ichwana, Mustafril Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala Laju Infiltrasi Lubang Resapan Biopori (LRB) Berdasarkan Jenis Bahan Organik Sebagai Upaya Konservasi Air dan Tanah (Infiltration Rate of Absorption Holes Biopore Based on Type of Organic Material as Water

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA Disampaikan dalam Kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) Dosen: PELATIHAN DAN SOSIALISASI PEMBUATAN

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan manusia, air tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik saja, yaitu digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

Studi Campuran Tanah dan Kompos sebagai Media Resapan pada Daerah Genangan

Studi Campuran Tanah dan Kompos sebagai Media Resapan pada Daerah Genangan 1 Studi Campuran Tanah dan Kompos sebagai Media Resapan pada Daerah Genangan Sulistiya Nengse, Didik Bambang Supriyadi, dan Mas Agus Mardyanto Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

KONSEP DRAINASE DI LAHAN RAWA Oleh: Rusdi HA

KONSEP DRAINASE DI LAHAN RAWA Oleh: Rusdi HA KONSEP DRAINASE DI LAHAN RAWA Oleh: Rusdi HA Perumahan yang dibangun di Banjarmasin dan daerah rawa sekitarnya, tidak terlihat adanya penataan drainase lahan yang sistematis. Keadaan tanah pada daerah

Lebih terperinci

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA 1 ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : EDRA SEPTIAN S 121201046 MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Banjir sebagai fenomena alam terkait dengan ulah manusia terjadi sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi daerah hulu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang rawan akan bencana dapat dilihat dari aspek geografis, klimatologis, dan demografis. Letak geografis Indonesia di antara dua Benua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Uraian Umum Banjir besar yang terjadi hampir bersamaan di beberapa wilayah di Indonesia telah menelan korban jiwa dan harta benda. Kerugian mencapai trilyunan rupiah berupa rumah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga dapat terjadi di sungai, ketika alirannya melebihi kapasitas saluran air, terutama di kelokan sungai.

Lebih terperinci