STUDI PERBANDINGAN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG REMISI BAGI NARAPIDANA KORUPTOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI PERBANDINGAN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG REMISI BAGI NARAPIDANA KORUPTOR"

Transkripsi

1 STUDI PERBANDINGAN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG REMISI BAGI NARAPIDANA KORUPTOR Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : Ahmad Fakhrurrozi NIM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017 M/1438 H

2

3

4

5 ABSTRAK AHMAD FAKHRURROZI. NIM Studi Perbandingan Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia Tentang Remisi Bagi Narapidana Koruptor. Skripsi, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438H/2017M. (x halaman dan 84 halaman). Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis tentang pemberian remisi bagi narapidana koruptor menurut hukum pidana Islam dibandingkan dengan menurut hukum pidana Indonesia. Selain itu juga untuk menjawab beberapa pendapat selama ini beredar yang mengatakan bahwa seorang koruptor tidak pantas untuk mendapatkan remisi. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan pada pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi tentang suatu fenomena. Dalam menghimpun bahan yang dijadikan skripsi dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian yuridis normative (penelitian hukum normatif) dengan metode library research (kajian kepustakaan). Dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan perbandingan., yang dalam hal ini penulis membandingkan antara hukum Pidana Islam dengan hukum pidana Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia dalam pemberian remisi bagi narapidana koruptor terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya terdapat pada tujuan kemaslahatan, yaitu bahwa remisi bertujuan sebagai motivasi atau stimulasi serta apresiasi bagi narapidana yang telah berkelakuan baik dan bertaubat serta menghargai hak-hak narapidana, persamaan selanjutnya pada jenis tindak pidana yang mendapatkan remisi, dalam hal ini hukum pidana Islam maupun hukum pidana Indonesia tidak membeda-bedakan jenis tindak pidana yang mendapatkan remisi, artinya semua tindak pidana bisa mendapatkan remisi termasuk dalam hal ini tindak pidana korupsi. Sedangkan perbedannya terdapat pada siapa yang berhak memberikan remisi, dimana di dalam hukum pidana Islam yang berhak adalah hakim atau penguasa yang berhak mengadili, sedangakan di dalam hukum pidana Islam adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia setalah mendapatkan pertimbangan dari Direktur Jendral Pemasyarakatan. Jadi bisa disimpulkan bahwa pemberian remisi bagi narapidana koruptor tidak bertentangan dengan hukum pidana Islam maupun hukum pidana Indonesia. Kata Kunci Pembimbing Daftar Pustaka : : Remisi, Narapidana Koruptor, Korupsi. : Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, MA Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH v

6 بسم هللا الر حمن الر حيم KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT. Rabb semesta alam, yang telah memberikan limpahan rahmay dan karunia-nya kepada umat manusia di muka bumi ini, khususnya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan masa studi sarjana strata 1 di Program Studi Perbandingan Mazhab selam 4 tahun. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan para sahabatnya yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia. Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-nya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada: 1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum. 2. Abah Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab beserta Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., MA., Sekertaris Program Studi Perbandingan Mazhab yang telah banyak memberikan ilmu, pengalaman serta motivasi dan solusi kepada penulis dalam kepentingan akademik maupun sosial. 3. Bapak Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, M. Ag., beserta Bapak Ainul Syamsu, SH., MH., sebagai dosen pembimbing skripsi penulis yang vi

7 telah sabar dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini dengan sungguh-sungguh dan penuh kecintaan. 4. Bapak H. Ahmad Bisyri Abd Shomad, LC., MA. Sebagai dosen penasehat akademik penulis yang telah sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam merumuskan desain judul skripsi ini. 5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis. 6. Segenap bagian administrasi dan tata usaha serta pengelola perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Syarian dan Hukum, sekaligus kepada seluruh staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan secara maksimal. 7. Teristimewa dan tersayang untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda H. Muhammad Nursasi dan Ibunda Hj. Hafizoh yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya, memberikan dukungan secara formil dan materil dan tak pernah jenuh dan tanpa menyerah untuk memberikan dukungan serta tak henti-hentinya mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan, serta saudara kandung penulis yang telah memberikan dukungan baik dukungan spiritual maupun moril dengan segenap hati yang tulus dan ikhlas. vii

8 8. Cahya Kamila, terimakasih banyak telah menjadi partner yang telah memberikan partisipasi dan motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini dengan penuh suka dan kesabaran. 9. Rekan-rekan pengurus Himpunan Mahasiswa Program Studi Perbandingan Mazhab periode 2015 dan 2016 yang saling berbagi pengalaman dan saling bantu dalam menjalankan roda organisasi. Semoga seluruh proses yang dijalani bersama memberikan dampak positif bagi kehidupan kita nanti. 10. Sahabat/i Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Terimakasih telah memberikan pengalaman berorganisasi. 11. Kawan-kawan seperjuangan di Program Studi Perbandingan Mazhab angkatan 2013 yang selalu membantu, mendukung dan menemani selama proses pendidikan strata (S1) dari awal perkuliahan sampai akhir. 12. Rekan-Rekan di lembaga Klinik Etik dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum yang bekerjasama dengan Komisi Yudisial yang saling berbagi ilmu dan pengetahuannya. Semog skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah SWT., Aamiin. Jakarta, 15 Juni Ramadhan 1438 H AHMAD FAKHRURROZI viii

9 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI... LEMBAR PERNYATAAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... i ii iii iv v vi ix BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Identifikasi Masalah... 5 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ) Tujuan Penelitian ) Manfaat Penelitian... 6 E. Riview Kajian Terdahulu... 7 F. Signifikansi Masalah G. Metode dan Teknik Penelitian Jenis Penelitian Sumber Data dan Pengumpulan Data Analisis Data Teknik Penulisan H. Sistematika Penulisan ix

10 BAB II : REMISI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Pengertian Remisi B. Remisi Dikaitkan Dengan Tujuan Pemidanaan C. Dasar Hukum Pemberian Remisi D. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Dikaitkan Dengan Tujuan Pemidanaan E. Ketentuan Tentang Remisi Menurut Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden BAB III : KORUPSI DAN REMISI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi B. Dasar Hukum Larangan Korupsi C. Pengertian Remisi D. Dasar Hukum Remisi E. Tujuan Pemberian Remisi BAB IV : ANALISIS KOMPARATIF TERHADAP PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA KORUPTOR A. Remisi Bagi Narapidana Koruptor dalam Hukum Pidana Indonesia 60 B. Remisi Bagi Narapidana Koruptor dalam Hukum Pidana Islam C. Persamaan dan Perbedaan Remisi Bagi Narapidana Koruptor dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA x

11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan fenomena hukum yang sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan yang semakin sistematis serta lingkupannya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian Negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi dan kepentingan masyarakat. 1 Bukan hanya di Indonesia saja, juga dibelahan dunia yang lain tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus dibandingkan dengan tindak pidana yang lainnya. Fenomena atau gejala ini harus dapat dimaklumi, karena mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi 1 Asmawi. Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), h

12 2 yang dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara dari suatu Negara, bahkan juga terhadap kehidupan antarnegara. Korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih sudah sesuai prosedur. Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya memamerkan hasil korupsinya secara demonstartif. 2 Syariat Islam diberlakukan untuk menjaga jiwa manusia. Menjaga jiwa dan melindunginya dari berbagai ancaman berarti memelihara eksistensi kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Untuk mewujudkan hal itu, Islam menetapkan aturan hukum bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan pelaku delik penganiayaan. Apabila nyawa seorang muslim melayang atau anggota tubuh rusak dan terluka akibat tangan seseorang tanpa alasan hukum yang membolehkannya maka pelaku dikenakan sanksi qisas atau diyat. 3 Anjuran bersikap jujur dalam bermuamalah, bercermin dalam kisah masyarakat Nabi Syu aib, akan sangat baik apabila dijadikan sarana untuk ber- I tibar dan mengambil pelajaran bagi siapa pun yang biasa bertindak curang dan tidak amanat, baik dalam berbisnis maupun dalam melaksanakan dan mengemban tugas jabatan tertentu. Di Indonesia, masalah menjaga amanat masih perlu mendapat perhatian dari banyak pihak, lebih-lebih problem besar korupsi yang kini hampir terjadi di semua lini, baik kalangan eksekutif maupun legislatif, baik di pusat maupun di dareah. Masalah korupsi di negeri ini sudah memasuki seluruh 2 Ermansjah Djaja. Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta: Sinar Grafika 2013), Cet ke-2, h. 3 3 Alquran Surah al-maidah (5) : 45 dan al-baqarah (2) : 178, tentang sanksi qisas bagi pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anggota tubuh atau jiwa manusia.

13 3 bidang kehidupan sosial dan pemerintahan serta sudah bersifat sangat mengakar dalam budaya hidup, perilaku, dan cara berpikir. Sementara itu, hingga kini belum ada kemauan politik dan hukum yang serius dari pemerintah untuk menumpasnya. 4 Dalam pelaksanaan hukuman di dalam KUHP Indonesia diserahkan kepada perangkat hukum yang berkuasa (peradilan) setelah diputuskan dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka pihak yang dikalahkan harus mentaati putusan pengadilan secara sukarela, dan apabila putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka keputusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan hukum. 5 Sebaliknya di dalam hukum Islam pada hukuman takzir menjadi hak penguasa negara atau petugas yang ditunjuk olehnya, pada hukuman qishash diyat pelaksanaanya bisa dengan pengetahuan atau persetujuan korban sendiri atau walinya, sedangkan pada hukuman had, mengenai pelaksanaan hukumannya yang berhak menjalankan adalah penguasa atau wakilnya, karena hukuman had adalah hak Allah dan dijatuhkan untuk kepentingan masyarakat. 6 Remisi menurut Andi Hamzah di dalam bukunya adalah pengurangan pidana oleh negara bagi narapidana yang belakuan baik. 7 Menurut Soedarsono di dalam kamus hukumnya, remisi adalah pengampunan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dijatuhi hukuman pidana. 8 Selain itu di dalam Pasal 1 Ayat 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999, Remisi adalah 4 M. Nurul Irfan. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta : AMZAH 2012), Cet ke- 2, h R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung Bina Cipta, 1982), h A. Hanafi, azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), h Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013) h Soedarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rhineka Cipta, 1992) h. 402

14 4 pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan 9 Sedangkan di dalam hukum Islam tidak dikenal dengan istilah remisi, ada beberapa istilah yang hampir sama maknanya dengan remisi yaitu, al-afu (ampunan), ghafar (ampunan), syafa at (pertolongan), tahfif (pengurangan). Tetapi istilah yang sering digunakan dalam hukum Islam lebih dikenal dengan istilah tahfiful uqubah (peringanan hukuman). Peringanan atau pengampunan hukuman merupakan salah satu sebab pengurangan hukuman, baik diberikan oleh korban, wali, maupun penguasa. 10 Narapidana korupsi tidak akan bisa disamakan dengan dengan narapidana umum, sehingga pengistimewaan mereka adalah wujud ketidak berpihakan pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pemberian remisi untuk mereka yang syaratnya tidak lebih sulit dibanding dengan narapidana umum, merupakan wujud ketidakadilan bagi masyarakat yang menjadi korban para koruptor. Akibatnya jika remisi masih tetap diberikan kepada para koruptor maka akan mencederai rasa keadilan masyarakat. Maka berdasarkan hal tersebut, menurut hemat penulis akan timbul adanya perbedaan dan persamaan pandangan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia dalam pemberian remisi bagi narapidana koruptor, maka 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan 10 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Pidana Islam, (Jakarta : PT Kharisma Ilmu 2008), Jilid ke-3, h. 168

15 5 membandingkan merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Untuk itu penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk Skripsi yang berjudul STUDI PERBANDINGAN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA INDONESIA TENTANG REMISI BAGI NARAPIDANA KORUPTOR B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, beberapa masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Bagaimana pandangan hukum pidana Indonesia temtang remisi bagi narapidana koruptor? 2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan seorang narapidana mendapatkan remisi? 3. Bagaimana dampak dari adanya pemberian remisi bagi narapidana koruptor, terhadap orang lainnya? 4. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam tentang remisi bagi narapidana koruptor? 5. Di mana letak persamaan, perbedaan dan keterkaitan antara hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam tentang remisi bagi narapidana koruptor? C. Batasan Masalah Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam penelitian ini, maka penulis perlu membatasi masalahnya. Hal ini dimaksud supaya pembahasannya tidak terlalu melebar dan sesuai sasaran. Maka di dalam penelitian

16 6 penulis membatasi permasalahannya, yaitu pada studi perbandingan antara hukum Islam dan hukum positif tentang pemberian remisi bagi narapidana koruptor. D. Rumusan Masalah adalah: Adapun rumusan masalah yang akan menjadi fokus dalam skripsi ini 1. Bagaimana ketentuan hukum pidana Indonesia tentang remisi bagi narapidana koruptor? 2. Bagaimana ketentuan hukum pidana Islam tentang remisi bagi narapidana koruptor? E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1) Tujuan Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah : 1. Untuk mengetahui ketentuan pidana Indonesia tentang pemberian remisi bagi narapidana koruptor. 2. Untuk mengetahui ketentuan pidana Islam tentang pemberian remisi bagi narapidana koruptor. 2) Manfaat penelitian Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah : 1) Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah wawasan dan pengetahuan dalam memahami remisi bagi narapidana korupsi dalam hukum pidana Islam dan hukum

17 7 pidana Indonesia. Kemudian menambah literatur perpustakaan khususnya dalam bidang perbandingan mazhab dan hukum. 2) Manfaat Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang pemberian remisi bagi narapidana koruptor dalam hukum Islam dan hukum positif agar masyarakat bisa memahami dengan baik bagaimana perinsip serta persamaan dan perbedaannya menurut hukum pidana Islam maupun hukum pidana Indonesia. F. Review Kajian Terdahulu Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan dibahas oleh penulis lainnya, maka penulis me-review beberapa skripsi dan karya tulis terdahulu yang pembahasannya hampir sama dengan pembahasan yang penulis angkat. Dalam hal ini penulis menemukan beberapa skripsidan karya tulis terdahulu, yaitu : 1. Skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam terhadap Pemberian Remisi Pada Narapidana yang ditulis oleh Zaenal Arifin. 11 Dalam skripsinya, Zaenal Arifin menjelaskan bahwa maksud dan tujuan dari pemberian remisi dalam hukum pidana Islam bertujuan untuk kemaslahatan serta sebagai apresiasi atas taubat dan azam untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Di dalam skripsi Zaenal Arifin, 11 Zaenal Arifin, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Bagi Narapidana, Skripsi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009

18 8 membahas bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian remisi pada narapidana secara umum, tidak membahas secara khusus bagaimana pemberian remisi bagi narapidana luarbiasa yang dalam hal ini adalah koruptor. Sedangkan skripsi yang akan ditulis oleh penulis membahas lebih khusus lagi yakni pemberian remisi bagi narapidana koruptor dan tidak hanya menurut hukum Islam, tetapi penulis juga akan membandingkannya dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. 2. Skripsi yang berjudul Grasi Bagi Narapidana Korupsi dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam yang ditulis oleh Fathonah Uswatun Khasanah. 12 Dalam skripsinya, Fathomah Uswatun Hasanah menjelaskan tentang bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif atas pemberian grasi bagi narapidana korupsi. Dan Fathonah lebih membahas efek apa yang akan terjadi apabila grasi itu diberikan oleh para narapidana korupsi lalu apa analisisnya menurut hukum Islam. Sedangkan skripsi ini membahas bagaimana pandangan hukum positif dan hukum Islam atas pemberian remisi bagi narapidana korupsi, dengan metode komparatif membandingkan persamaan dan perbedaan dari pandangan hukum positif dan hukum Islam. Serta keterkaitan pandangan hukum positif dan hukum Islam dalam memandangnya. 3. Skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studdi Analisis Keppres RI 12 Fathonah Uswatun Hasanah, Grasi Bagi Narapidana Korupsi dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam, Skripsi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012

19 9 No 174 Tahun 1999 Tentang Remisi) yang ditulis oleh Muhamad Thohir. 13 Dalam skripsinya, Muhamad Thohir menjelaskan hukum islam lebih adil daripada hukum yang ada di Indonesia saat ini. Ini dapat terlihat dari diberikannya hak atau kewenangan melaksanakan ataupun tidak melaksanakan qishas oleh ahli waris khususnya pada jarimah pembunuhan, hal ini karena pada dasarnya di dalam perkara pidana umum korban dan walinya tidak mempunyai wewenang untuk memberikan remisi, tetapi lain halnya dalam pidana qishas dan diyat korban dan walinya diberikan wewenang untuk memberikan pengampunan kepada pelaku. Dalam skripsi Muhamad Thohir membahas pemberian remisi bagi narapidana pembunuhan menurut hukum Islam. Sedangkan skripsi ini membahas bagaimana pandangan hukum positif dan hukum Islam atas pemberian remisi bagi narapidana koruptor. 4. Skripsi yang berjudul Pemberian Remisi Terhadap Koruptor Dalam Sudut Pandang Fiqh Jinayah yang ditulis oleh Lasio. 14 Dalam skripsinya, Lasio menjelaskan bagaimana pandangan fiqh jinayah tentang remisi terhadap koruptor. Yang mana dia menjelaskan bahwa remisi khusus diberikan kepada narapidana bertakwa dan beriman menurut kepercayaannya sehingga bisa diterima masyarakat ketika sudah bebas nantinya dari lapas. Maka perlu dipahami dan diperhatikan pemberian remisi bukan kebijakan 13 Muhamad Thohir, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studdi Analisis Keppres RI No 174 Tahun 1999 Tentang Remisi), Skripsi Fakultas Syariah IAIN Wali Songo, Semarang, Lasio, Pemberian Remisi Terhadap Koruptor Dalam Sudut Pandang Fiqh Jinayah, Skripsi Fakultas Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011

20 10 yang bisa diberikan secara sewenang-wenang. Kalau narapidana korupsi yang telah menggelapkan uang rakyat dan uang Negara, maka remisi perlu di pertimbangkan lagi. Didalam skirpsi Lasio tidak membahas bagaimana perbandingan antara hukum Islam dan hukum positifnya. Sedangkan di skripsi yang penulis tulis membahas bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif serta analasis komparatifnya yaitu persamaan dan perbedaanya. Berdasarkan literatur di atas, penulis melihat saat ini belum ditemukan karya ilmiah dengan studi komparatif yang membahas secara khusus mengenai pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang pemberian remisi bagi narapidana korupsi. Oleh karena itu, maka penulis mencoba secara khusus menganalisis bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap pemberian remisi bagi narapida korupsi. G. Signifikansi Masalah Yang mendasari peneliti mengemukakan permasalahan ini adalah karena adanya suatu pendangan yang berpendapat bahwa remisi seharusnya tidak didapatkan oleh narapidana khusus yang dalam hal ini yaitu narapidana korupsi. Sehingga mereka berfikiran pemberian remisi bagi narapidana korupsi tidak akan membuat para koruptor jera justru akan membuat para koruptornya sendiri berfikir masih ada keringanan yang akan diberikan untuk mereka. Padahal pandangan itu belum tentu benar karena sudah di atur oleh Undang-Undang yang berlaku, baik menurut hukum Islam maupun hukum positif. Sehingga peneliti berpendapat bahwa hal ini sangat perlu untuk diteliti yang kemudian dijelaskan agar jelas pandangan

21 11 yang sebenarnya menurut hukum Islam dan Hukum positif tentang pemberian remisi bagi narapidana korupsi. H. Metode dan Teknik Penelitian Untuk penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yakni merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi tentang suatu fenomena; fokus dan multi metode, bersifat alami dan holistik, mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta disajikan secara naratif Jenis Penelitian Dalam menghimpun bahan yang dijadikan skripsi dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian yuridis normative (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneiliti bahan pustaka atau data sekunder belaka 16. Sesuai dengan karakteristik kajiannya, maka penelitian ini menggunakan metode library research (kajian kepustakaan) dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan perbandingan 17, yang dalam hal ini penulis membandingkan antara hukum Islam dengan hukum positif. 15 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan, (Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014),h Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana Prenada Media, 2014), h. 172

22 12 2. Sumber Data dan Pengumpulan Data Sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber dan rujukan dalam penelitian. Adapaun sumber data dalam penelitian ini penulis bagi ke dalam tiga jenis data, yaitu: a. Data Primer, yaitu semua sumber yang berhubungan langsung dengan objek penelitian. Dalam hal ini adalah kitab-kitab, bukubuku dan literature yang berkaitan dengan hukum Pidana Islam dan hukum pidana Indonesia. b. Data Skunder, yaitu data yang bersumber dari literatur-literatur dan artikel-artikel yang bersumber dari internet dan media cetak. c. Data Tersier, yaitu data non-hukum yang diharapkan mendukung dalam penulisan skripsi ini, seperti kamus, media elektronik, serta ensiklopedi yang berkaitan dengan pembahasan. Di dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pengumpulan data, yaitu menggunakan study pustaka (library research), memilih literatur dan referensi kepustakaan yang berhubungan dan berkenaan dengan judul skripsi ini. Studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan guna mengeskplorasi teori-teori tentang konsep dan pemahaman khususnya terkait dengan tema penelitian yakni pemberian remisi bagi narapidana korupsi dalam perspektif hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia.

23 13 3. Analisis Data Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian diklasifikasi. Setelah itu penulis mengalisis dengan menggunakan metode kualitatif 18, yaitu menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum dan argumentasi rasional. Kemudian data tersebut penulis paparkan dalam bentuk narasi sehingga menjadi kalimat yang jelas dan dapat dipahami. 4. Teknik Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun I. Sistematika Penulisan Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk memberikan gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan maka penulis menyusun skripsi ini dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut. BAB I PENDAHULUAN Bab I merupakan pendahuluan yang berisi penjelasan yang erat sekali hubungannya dengan masalah yang dibahas dalam bab-bab berikutnya. Penjelasan tersebut meliputi: latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, riview kajian terdahulu, 18 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan, (Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014),h. 400

24 14 signifikansi penelitian, metode dan teknik penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan. BAB II REMISI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Bab II menyajikan kajian yang membahas bagaimana teori dan landasan hukum menurut hukum pidana Indonesia tentang remisi bagi narapidana koruptor, yang dapat membantu penulis berpikir kritis dan analitis dalam memahami persoalan yang ada di dalam skripsi ini. BAB III KORUPSI DAN REMISI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM Bab III menyajikan kajian yang membahas bagaimana teori dan landasan hukum menurut hukum pidana Islam tentang remisi bagi narapidana koruptor. Serta pendapat Ulama tentang remisi itu sendiri, yang dapat membantu penulis berpikir kritis serta menganalisi dalam memahami pandangan hukum Islam dalam skripsi ini. BAB IV ANALISIS KOMPARATIF TERHADAP PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA KORUPTOR Bab IV yaitu menguraikan tentang analisis terhadap remisi bagi narapidana koruptor menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia, dan juga tentang analisis persamaan dan perbedaannya. BAB V PENUTUP Bab V berisi tentang kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan datang.

25 BAB II REMISI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Pengertian Remisi Kata remisi berasal dari bahasa Belanda remissie dan remissio dari bahasa latin yang keduanya mempunyai arti yang sama yaitu pengampunan/potongan/pengurangan hukuman. Dari pengertian tersebut, remisi adalah kata serapan yang diambil dari bahasa asing yang kemudian digunakan dalam pengistilahan hukum di Indonesia. Remisi merupakan salah satu sarana hukum yang diberikan kepada narapidana, yang mana sarana hukum ini sangat penting dalam rangka mewujudkan sistem pemasyaraktan. Di mana hakekat pembinaan adalah selain memberikan sanksi punitif, juga memberikan reward, sebagai salah satu upaya pembinaan dapat berjalan dan direspon oleh warga binaan pemasyarakatan, sedangkan tujuan dari pemasyarakatan adalah mengupayakan warga binaan untuk tidak mengulangi perbuatannya melanggar hukum yang pernah dilakukan sebagai warga masyarakat serta dapat berperan aktif sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Pengertian remisi menurut Andi Hamzah remisi pengurangan pidana oleh negara bagi narapidana yang berkelakuan baik. 1 Menurut Soedarsono di dalam kamus hukumnya, remisi adalah pengampunan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dijatuhi hukuman pidana. 2 Sedangkan menurut ketentuan 1 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakata : Sinar Grafika, 2013), h Soedarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rhineka Cipta, 1992) h

26 16 Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 Tentang Remisi, di dalam Pasal 1 Ayat 1 tidak memberikan pengertian remisi secara jelas, hanya di katakan bahwa : Setiap Narapidana dan Anak Pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana kurungan dapat dapat diberikan remisi apabila yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana 3 Selain itu di dalam Pasal 1 Ayat 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dari beberapa pengertian yang di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian remisi diartikan sebagai pengurangan hukuman terhadap narapidana dan anak pidana yang berkelakuan baik dengan tujuan untuk memotivasi narapidana yang bersangkutan dan narapidana yang lain untuk berbuat baik dan segera menjalani kehidupan seperti biasa di masyarakat. Remisi bisa dijadikan sebagai sarana untuk memotivasi narapidana melaksanakan program-program yang ada di lapas agar dijalankan dengan baik, dengan harapan yang bersangkutan mendapatkan pengurangan hukuman sehingga dapat menghirup udara bebas dan bisa kembali menjalani kehidupan dimasyarakat secara normal seperti biasa. 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1991 Tentang Remisi Pasal 1

27 17 B. Remisi Dikaitkan Dengan Tujuan Pemidanaan Tujuan diadakan pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dan dasar hukum dari pidana. Franz Von List mengajukan problematik sifat pidana di dalam hukum yang menyatakan rechtsguterschutz durch rechtsguterverletzung yang artinya melindungi kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan. Dalam konteks itu pula dikatakan Hugo De Groot malum passionis (quod ingligitur) propter malum actionis yaitu pendertitaan jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat. 4 Berdasarkan pendapat para ahli tampak adanya pertentangan mengenai tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana pembalasan atau teori absolut (retributive/vergeldings theorieen) dan mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif atau teori tujuan (utilitairan/doeltheorieen), serta pandangan yang menggabungkan dua tujuan pemidanaan tersebut (teori gabungan/verenigings theorieen). Muladi mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological theories dan teori gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa 4 Bambang Poernomo, Hukum Pidana Kumpulan Karangan Ilmiah, (Jakarta : Bina Aksara Jakarta, 1982), h.27

28 18 keadilan dapat dicapai apabila tujuan yang theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, misalnya bahwa penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku tindak pidana. 5 Hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarkat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Salah juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat. 6 Dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2013 yang dibuat oleh Tim RUU KUHP Kementerian Hukum dan HAM RI dalam Pasal 54 dirumuskan sebagai berikut : (1) Pemidanaan bertujuan untuk: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan 5 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung : Alumni 1985), h.49 6 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1874), h.22

29 19 (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Dalam pelaksanaan hak-hak Narapidana, pemerintah memberikan kesempatan kepada Narapidana yang dijatuhkan hukuman, baik hukuman beberapa tahun maupun hukuman seumur hidup untuk memperbaiki diri dan mempunyai harapan untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat melalui proses pemasyarakatan. Remisi juga diberikan untuk sebagai motivasi, stimulasi atau hadiah kepada narapidana yang telah berkelakuan baik. Selain hal-hal ini, maksud tujuan dengan adanya pemberian remisi adalah sebagai salah satu kebijakan hukum pidana dalam rangla mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan yang diharapkan. Dari pemaparan tersebut, pemidanaan yang mempunyai tujuan untuk sebuah proses pendidikan untuk menjadikan narapidana lebih baik lagi sehingga dapat diterima kembali dalam masyarakat. Hal ini memiliki hubungan yang erat dengan pemberian remisi. Yang mana tujuan pemberian remisi sebagai motivasi, stimulasi sekaligus hadiah yang diberikan kepada narapidana yang telah berkelakuan baik dan memenuhi persyaratan untuk mendapatkan remisi. Kedua hal ini mempunyai tujuan yang sama yakni sama-sama mempunyai tujuan untuk meningkatkan kualitas narapidana agar menjadi lebih baik sehingga bisa diterima kembali di masyarakat. C. Dasar Hukum Pemberian Remisi Dasar hukum pemberian remisi sudah mengalami beberapa kali perubahan, bahkan untuk tahun 1999 telah dikeluarkan Keppres No. 69 Tahun 1999 dan belum

30 20 sempat diterapkan akan tetapi kemudian dicabut kembali dengan Keppres No. 174 Tahun Remisi yang berlaku dan pernah berlaku di Indonesia sejak jaman Belanda sampai sekarang adalah berturut-turut debagai berikut: 1. Gouvernement Besluit tanggal 10 Agustus 1935 No. 23 Bijblad No jo. 9 Juli 1841 No. 12 dan 26 Januari 1942 No.22; Merupakan yang diberikan sebagai hadiah semata-mata pada hari kelahiran Sri Ratu Belanda. 2. Keputusan Presiden Nomor 156 tanggal 19 April 1950 yang termuat dalam Berita Negara No. 26 Tanggal 28 April 1950 jo. Peraturan Presiden RI No.1 Tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 dan Peraturan Menteri Kehakiman RI No. G.8/106 tanggal 10 Januari 1947 jo. Keputusan Presiden RI Nomor 120 Tahun 1055, Tanggal 23 Juli 1955 tentang Ampunan Istimewa. 3. Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1987 jo. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. 01.HN Tahun 1987 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No 5 Tahun 1987, Keputusan Menteri Kehakiman RI No. 04.HN Tahun 1988 tanggal 14 Mei 1988 tentang Tambahan Remisi Bagi Narapidana yang Menjadi Donor Organ Tubuh dan Donor Darah dan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. 03.HN tahun 1988 tanggal 10 Maret 1988 tentang Tata Cara Permohonan Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi pidana penjara sementara berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 1987.

31 21 4. Keputusan Presiden No. 69 Tahun 1999 tentang Pengurangan Masa Pidana (Remisi); 5. Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 jo. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No. M.09.HN Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 174 tahun 1999, Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan No. M.10 HN Tahun 1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Remisi Khusus. Ketentuan yang masih berlaku adalah ketentuan yang terbaru, yaitu Nomor lima (5), tetapi ketentuan tersebut masih ditambahkan dengan beberapa ketentuan yang lain, sehingga ketentuan yang masih berlaku untuk remisi saat ini adalah: 1. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 2. Keputusan Presiden RI No. 120 Tahun 1955, tanggal 23 Juli 1955 tentang Ampunan Istimewa. 3. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. 04.HN Tahun 1988 tanggal 14 Mei 1988 tentang Tambahan Remisi Bagi Narapidana yang Menjadi Donor Organ Tubuh dan Donor Darah. 4. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan RI No. M.09.HN Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999; 5. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan No. M.10.HN Tahun 1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Remisi Khusus.

32 22 6. Surat Edaran No.E.PS Tanggal 26 Mei 2000 tentang Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. 7. Surat Edaran No. W8-PK , tanggal 14 April 1993 tentang Pengangkatan Pemuka Kerja Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HN-01.PK.0202 Tahun 2010 Tentang Remisi Susulan. 9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan 10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemayarakatan. D. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Dikaitkan Dengan Tujuan Pemidanaan Di dalam Undang-Undang nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa lembaga Pemasyarakatan yang disingkat dengan LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana, anak didik Pemasyarakatan dan klien pemaysarakatan yang dikelompokkan dalam warga binaan pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan adalah unit pelaksanaan teknis di jajaran Departemen 7 Dwija Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Jakarta : Refika Aditama, 2006), Cet ke-1, h.135

33 23 Hukum dan hak Asasi Manusia yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan bimbingan kepada warga binaan pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung dari pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut diatas melalui pendidikan, rehabilitasi, reintegrasi. Sejalan dengan tujuan dan peran tersebut, maka tepatlah apabila petugas pemasyarakatan yang melaksanakan pembinaan dan bimbingan serta pengamanan warga binaan pemasyarakatan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ditetapkan sebagai pejabat fungsional penegak hukum. Pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan sebagaimana dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan diantaranya : 1. Pengayoman 2. Pendidikan 3. Persamaan perlakuan dan pelayanan 4. Pembimbingan 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia 6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan 7. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu. Konsep pemasyarakatan sebagai suatu sistem perlakuan terhadap narapidana, kini telah mendapatkan pengaturannya dalam bentuk undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yang

34 24 diundangkan pada tanggal 30 Desember Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang pemasyarakatan disebutkan ; Pasal 1 angka 1 Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menentukan bahwa yang dimaksud dengan warga binaan pemasyarakatan adalah meliputi narapidana, anak didik pemayarakatan dan klien pemasyarakatan. Anak pemasyarakatan terdiri atas anak pidana, anak negara dan anak sipil, sedangkan klien pemasyarakatan adalah mereka yang berbeda dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan (BAPAS). 8 LAPAS sebagai ujung tombak pelaksanaan tempat untuk mencapai tujuan tersebut diatas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi sehingga petugas pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan warga binaan pemasyarakatan benar-benar berkualitas dan mampu mengemban tugas tersebut karena dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan mereka disebut dengan nama Pejabat Fungsional Penegak Hukum. 8 Pasal 1 angka 5, angka 8, Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

35 25 Menurut Dwidja Priyanto, bahwa Sistem Pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. 9 Tujuan diselenggarakannya sistem pemasyarakatan dalam rangka membentuk Warga binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lengkup masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab. 10 Berdasarkan uraian diatas maka dalam sistem pemasyarakatan ini adalah pola pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan. Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan 11 Apabila berbicara tentang remisi, di dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang- Undang 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dijelaskan pada hruf I, bahwa hak narapidana salah satunya adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). 9 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Cet. Pertama, (Bandung : Refika Aditama), h Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan 11 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

36 26 Dalam pasal sebelumnya maupun pasal selanjutnya tidak dijelaskan golongan narapidana apa yang mendapatkan remisi, hanya dijelaskan narapidana secara umum. Maka dari penjelasan tersebut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan memberikan hak remisi kepada seluruh golongan narapidana tidak melihat tindak pidana apa yang dilakukannya termasuk tindak pidana korupsi. Dilihat dari website resmi Kementerian Hukum dan HAM pemberian remisi umum di LP. Kelas II A Denpasar Bali pada tanggal 17 Agustus 2016 sebanyak 902 narapidana dari 1438 narapidana yang ada di Bali. 12 Ini menunjukkan bahwasanya lebih dari 60% narapidana yang telah bekelakuan baik dan telah memenuhi syarat telah mendapatkan remisi umum pada tahun 2017, artinya sudah ada realisasi pemberian remisi secara merata yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan kepada narapidana yang telah memenuhi syarat untuk mendapatkannya. E. Ketentuan tentang Remisi Menurut Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden Undang-Undang Nomor 12 tahun 1955 tentang Pemasyarakatan memberikan landasan hukum bagi penyelenggaraan politik kriminal modern. Terdapat pergeseran paradigma dari pembalasan kearah pembinaan. Pergeseran pradigma pemidanaan ini mudah di pahami karena dinamika perkembangan 12 Kementerian Hukum dan HAM Bali, diakses pada 27 Mei 2017 dari

37 27 masyarakat ke arah yang lebih baik dan lebih beradab sehingga oleh karenanya hukum pidana sebagai norma yang juga berlaku dalam masyarakat juga mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat tersebut. Dengan pandangan bahwa narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. 13 Pasal 7 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi mengatur tentang penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagi dasar untuk menetapkan besarnya remisi yang akan diperoleh oleh narapidana dan Anak Pidana, yaitu: Pasal 7 (1) Penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagai dasar untuk menetapkan besarnya remisi umum dihitung sejak tanggal penahanan sampai dengan hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. (2) Penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagai dasar untuk menetapkan besarnya remisi khusus dihitung sejak tanggal penahanan sampai dengan hari besar kegamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan. 13 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Lemabaran Negara Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembar Negara Nomor 3614.

38 28 (3) Dalam hal masa penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) terputus, perhitungan penetapan lamanya masa menjalani pidana dihitung sejak penahanan yang terakhir. (4) Untuk penghitungan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, 1 (satu) bulan dihitung sama dengan 30 (tiga puluh) hari. (5) Penghitungan besarnya remisi khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan pada agama Narapidana dan Anak Pidana yang pertama kali tercatat dalam buku register Lembaga Pemasyarakatan. Ketentuan remisi telah diatur oleh Pemerintah di dalam Perundang- Undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi disebutkan bahwa remisi terdiri atas: 1. Remisi Umum Yaitu merupakan remisi yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus Tentang besarnya remisi umum yang dapat diperoleh narapidana, maka di dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi, yaitu : a. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan ; dan b. 2 (dua) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih.

39 29 (1) Pemberian remisi umum dilaksanakan sebagai berikut: a. Pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); Pada tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan; b. Pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat) bulan; c. Pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 5 (lima) bulan; d. Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam) bulan setiap tahun. 2. Remisi Khusus Yaitu merupakan remisi yang diberikan pada hari besar kegamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anakak Pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu agama yang dianut mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam satu tahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan. Tentang besarnya remisi khusus yang diberikan bagi narapidana, maka di dalam Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999, yaitu: a. 15 (lima belas) hari bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan ; dan b. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih. Pemberian remisi khusus dilaksanakan sebagai berikut:

40 30 a. Pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); b. Pada tahun kedua dan ketiga masing-masing diberikan remisi 1 (satu) bulan; dan c. Pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 1 (satu) bulan 15 (lima belas) hari; d. Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 2 (dua) bulan setiap tahun; Yang dimaksud sebagai hari raya keagamaan menurut Keputusan Menteri hukum dan Perundang-undangan Nomor M tahun 1999 Pasal 3 Ayat (2) adalah: 1. Hari Raya Idul Fitri bagi Narapidana atau Anak Pidana yang beragama Islam; 2. Hari Raya Natal bagi Narapidana atau Anak Pidana yang beragama kristen atau Katholik; 3. Hari Raya Nyepi bagi Narapidana atau Anak Pidana yang beragama Hindu 4. Hari Raya Waisak bagi Narapidana atau Anak Pidana yang beragama Budha; 5. Bari Narapidana dan Anak Pidana yang bergama selain tersebut diatas maka berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (3) keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999.

41 31 Pasal 12 Keputusan presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi memberikan pengecualian terhadap pemberian Remisi Umum dan Remisi Khusus bagi Narapidana maupun Anak Pidana yaitu bahwa remisi umum dan khusus tidak diberikan terhadap Narapidana dan Anak Pidana yang: a. Dipidana kurang dari 6 (enam) bulan; b. Dikenakan hukuman disiplin dan di daftar pada buku pelanggaran tata tertib Lembaga Pemasyarakatan dalam kurun waktu yang diperhitungkan pada pemberian remisi; c. Dijatuhi pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda; d. Sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas Remisi Tambahan Yaitu merupakan remisi yang diberikan apabila Narapidana dan Anak Pidana yang berangkutan selama menjadi pidana : a. Berbuat jasa kepada negara; b. Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusian; atau c. Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. 14 Berdasarkan penjelasan Pasal 41 Ayat (1) huruf-b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 tahun 199 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang dimaksud dengan cuti menjelang bebas adalah: a. Bentuk pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang telah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana sekurang-kurangnya telah menjalani 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik dengan lama cuti sama dengan remisi terkahir yang diterimanya paling lambat 6 (enam) bulan; b. Bentuk pembinaan Anak Negara yang pada saat mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun 6 (enam) bulan dan telah dinilai cukup baik.

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG 61 BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN A. Pengertian

Lebih terperinci

ANALISIS HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA Oleh: M. Fahmi Al Amruzi

ANALISIS HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA Oleh: M. Fahmi Al Amruzi ANALISIS HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA Oleh: M. Fahmi Al Amruzi Abstrak Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap orang yang hidup di dunia ini. Oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP Dasar Hukum Pemberian Remisi di Indonesia.

BAB II LANDASAN HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP Dasar Hukum Pemberian Remisi di Indonesia. BAB II LANDASAN HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP 2.1. Dasar Hukum Pemberian Remisi di Indonesia. Sebelum kita mengetahui landasan hukum tentang remisi terhadap Narapidana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG REMISI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG REMISI BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG REMISI 1.1. Pengertian Remisi dan Dasar Hukum Remisi Pengertian remisi diartikan sebagai berikut: Remisi menurut kamus hukum adalah pengampunan hukuman yang diberikan kepada

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INOONESIA NOMOR M.2.PK.04-10 TAHUN 2007 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN ASIMILASI,

Lebih terperinci

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.282, 2018 KEMENKUMHAM. Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM

Lebih terperinci

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA, SH., MH 1 Abstrak : Dengan melihat analisa data hasil penelitian, maka telah dapat ditarik kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum. Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pemerintahan suatu negara pasti diatur mengenai hukum dan pemberian sanksi atas pelanggaran hukum tersebut. Hukum merupakan keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DAN MACAM- MACAM HUKUMAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM SERTA CUTI BERSYARAT

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DAN MACAM- MACAM HUKUMAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM SERTA CUTI BERSYARAT BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DAN MACAM- MACAM HUKUMAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM SERTA CUTI BERSYARAT A. Pengertian Hukuman dan Macam-Macam Hukuman Menurut Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Hukuman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa remisi merupakan salah satu sarana hukum yang penting dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan rumah penjara secara berangsurangsur dipandang sebagai suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara menjamin atas ketertiban dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara menjamin atas ketertiban dan BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Berdasarkan Falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara menjamin atas ketertiban dan perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai pengurangan masa pidana (remisi)

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01.PK.04-10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

BAB IV. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana. Korupsi

BAB IV. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana. Korupsi BAB IV Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi A. Analisis Pemberian Remisi terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Prespektif Hukum Positif Pada dasarnya penjatuhan

Lebih terperinci

BAB III REMISI DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN maupun yang sudah tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

BAB III REMISI DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN maupun yang sudah tercantum dalam peraturan perundang-undangan. 55 BAB III REMISI DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999 A. Pengertian Remisi Pengertian Remisi memang tidak hanya terpaku dalam satu pengertian saja. Banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak kejahatan narkotika. Hal tersebut dapat dilihat dengan dibentuknya Undangundang Nomor 35 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, memandang narapidana sebagai individu anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narapidana sebagai warga negara Indonesia yang hilang kemerdekaannya karena melakukan tindak pidana pembunuhan, maka pembinaannya haruslah dilakukan sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyerukan manusia untuk mematuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyerukan manusia untuk mematuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama Islam, yang merupakan agama mayoritas yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah agama yang menyerukan manusia untuk menyerahkan diri hanya kepada Allah, dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 372 KUHP tindak pidana penggelapan adalah barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional tersebut

Lebih terperinci

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.810, 2016 KEMENKUMHAM. Remisi. Asimilasi. Cuti Mengunjungi Keluarga. Pembebasan Bersyarat. Cuti Menjelang Bebas. Cuti Bersyarat. Pemberian. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan.

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang kejahatan seakan tidak ada habis-habisnya, setiap hari selalu saja terjadi dan setiap media massa di tanah air bahkan mempunyai ruang khusus untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas

Lebih terperinci

1 dari 8 26/09/ :15

1 dari 8 26/09/ :15 1 dari 8 26/09/2011 10:15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan 1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT UU No. 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DAN PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA 1 Oleh: Benny Laos 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN A. Ketentuan tentang Remisi menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN A. Ketentuan tentang Remisi menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999 BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999 A. Ketentuan tentang Remisi menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999 1. Pengertian Remisi Pengertian Remisi memang tidak hanya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PK TAHUN 2010 TENTANG REMISI SUSULAN

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PK TAHUN 2010 TENTANG REMISI SUSULAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PK.02.02 TAHUN 2010 TENTANG REMISI SUSULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejarah kepenjaraan 1 di Hindia Belanda dimulai tahun 1872 dengan berlakunya wetboekvan strafrescht de inlanders in Nederlandsch Indie (Kitab Undang Undang

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D 101 10 002 ABSTRAK Dalam Hukum Pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA. Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aka dikenakan sangsi yang disebut pidana. mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam

BAB I PENDAHULUAN. aka dikenakan sangsi yang disebut pidana. mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum sebagai pedoman tingkah laku masyarakat. Aturan atau kaidah hukum tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat

Lebih terperinci

PENJATUHAN PIDANA PENJARA BAGI TERDAKWA PENYALAHGUNAAN NARKOBA

PENJATUHAN PIDANA PENJARA BAGI TERDAKWA PENYALAHGUNAAN NARKOBA PENJATUHAN PIDANA PENJARA BAGI TERDAKWA PENYALAHGUNAAN NARKOBA Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Strata Satu (S1) Bidang Ilmu Hukum Oleh : MUHAMMAD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 1 ayat (1) menyebutkan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Di tangan mereka peranperan strategis

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF TENTANG PEMIDANAAN BAGI PELAKU RECIDIVE TINDAK PIDANA PENCURIAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF SKRIPSI

STUDI KOMPARATIF TENTANG PEMIDANAAN BAGI PELAKU RECIDIVE TINDAK PIDANA PENCURIAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF SKRIPSI STUDI KOMPARATIF TENTANG PEMIDANAAN BAGI PELAKU RECIDIVE TINDAK PIDANA PENCURIAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

HUKUM MALPRAKTEK MEDIS

HUKUM MALPRAKTEK MEDIS HUKUM MALPRAKTEK MEDIS (Studi Komparatif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I dalam Ilmu Syari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa sistem pembinaan narapidana yang dilakukan oleh Negara Indonesia mengacu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum yang diterapkan di Indonesia saat ini kurang memperhatikan kepentingan korban yang sangat membutuhkan perlindungan hukum. Bisa dilihat dari banyaknya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang

Lebih terperinci

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAK Pro dan kontra terkait pidana mati masih terus berlanjut hingga saat ini, khususnya di Indonesia yang baru melakukan eksekusi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN A. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Prosedur Pelaksanaan Cuti Bersyarat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP CYBERBULLYING TAHUN 2016 TENTANG ITE

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP CYBERBULLYING TAHUN 2016 TENTANG ITE BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP CYBERBULLYING SEBAGAI KEJAHATAN SIBER (CYBERCRIME) MENURUT UU NO. 19 TAHUN 2016 TENTANG ITE A. Analisis Sanksi Cyberbullying Menurut UU No. 19 Tahun 2016 Tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945. Fungsi hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna. Salah satu buktinya bahwa manusia diberikan cipta, rasa,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan diperhatikan harkat, martabat dan hak-hak anak sebagai manusia seutuhnya. Hak yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, aliran neo-klasik, dan aliran modern menandai babak baru dalam wacana hukum pidana. Pergeseran

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011 PEMBERITAAN TINDAK KRIMINAL DIKAITKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA PELAKU TINDAK PIDANA S K R I P S I Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: PANGERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

BAB IV. Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan Negara yang merdeka untuk meyelenggarakan peradilan guna

BAB IV. Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan Negara yang merdeka untuk meyelenggarakan peradilan guna 65 BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO NO: 832/PID.B/2012/PN.Sda TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN A. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis tindak pidana dan modus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum, bukan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum, bukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum, bukan negara kekuasaan. Oleh sebab itu, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci