Indra Kusumawardhana CV. Pustaka Ilmu Group

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Indra Kusumawardhana CV. Pustaka Ilmu Group"

Transkripsi

1

2

3 A N PE N G A N TA R A L I S I S KEBIJAKAN LUAR NEGERI Indra Kusumawardhana CV. Pustaka Ilmu Group

4 A N PE N G A N TA R A L I S I S KEBIJAKAN LUAR NEGERI Penulis: Indra Kusumawardhana Copyright Indra Kusumawardhana 2021 x+152 halaman; 14,5 x 21 cm Hak cipta ada Pada Penulis ISBN: Penulis: Indra Kusumawardhana Editor: Muhamad Fahrudin Yusuf Perancang Sampul: Nur Afandi Pewajah Isi: Tim Pustaka Ilmu Penerbit Pustaka Ilmu Griya Larasati No. 079 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta Telp/Faks: (0274) radaksipustakailmu@gmail.com Website: Layanan WhatsApp: Anggota IKAPI Cetakan I, November 2021 Marketing: Griya Larasati No. 079 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta Telp/Faks: (0274) radaksipustakailmu@gmail.com Website: Layanan WhatsApp: Hak Cipta dilindungi Undang-undang All Rights Reserved Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Penerbit Pustaka Ilmu Yogyakarta iv Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

5 Karya intelektual sederhana ini aku persembahkan kepada Almarhum Ayah Mertua "Ir. M.Karim Mustari, MSC". Kenangan dan tauladannya begitu membekas di lubuk sanubari, tentu tanpanya langkahku tidak akan sejauh ini. Kakek, Di setiap tetes keringatmu Di derai lelah nafasmu Di penuhi kasih sayang yang luar biasa. Aku bersaksi, Engkau adalah lelaki hebat yang sabar, Sosok yang Shalih dan berserah diri Pada setiap ketetapan Allah Maha Besar Engkau tetap berusaha menjadi pemimpin keluarga yang baik, di kala engkau sedang merasakan kesulitan bernafas.. Suri tauladan bahkan ketika ajal sudah mendekat. Senja hari ini, Ketika matahari perlahan tergelincir Menatap ke arah matahari, Engkau perlahan pergi, Doa terus kupanjatkan untukmu. Sebagai cahaya untuk menerangkan kuburmu, serta harapan semoga Allah memberikan tempat terbaik untuk engkau di Surga. Kembalilah ke pangkuan-nya dengan tenang. Biarkan aku menjaga Ismi Nurjayanti Karim, Nenek, Abang, dan Mas di sini. (Jakarta, 17 Oktober 2021) Indra Kusumawardhana v

6 PRAKATA Karya ini terinspirasi dari aktifitas penulis sebagai dosen di Universitas Pertamina yang mengampu mata kuliah Analisis Kebijakan Luar Negeri (AKLN). Karya ini bukan satu-satunya di Indonesia; ada banyak literatur serupa yang pernah ditulis dan dipublikasikan. Namun, buku ini sedikit berbeda dalam hal substansi dan sistematika penulisannya. Buku ini membahas topik-topik yang sebagian belum banyak ditulis di buku-buku ajar yang sudah ada misalnya peran gagasan, pendekatan idiosinkratisme, dan perubahan kebijakan luar negeri. Penulis merasa perlu menambahkan beberapa topik bahasan tersebut karena karya-karya ilmiah yang menganalisis kebijakan luar negeri dari tiga perspektif tersebut cukup banyak. Di kalangan mahasiswa, topik-topik tersebut juga banyak diteliti dalam bentuk skripsi. Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat membantu para dosen dan khususnya para mahasiswa yang mempelajari analisis kebijakan luar negeri. Tentu saja, penulis juga berharap karya ini memberikan manfaat bagi kalangan perumus kebijakan luar negeri tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan. Pengetahuan ini penting agar dalam proses perumusan kebijakan, para elit dapat mempertimbangkan banyak variabel sebelum memutuskan kebijakan apa yang akan diambil pemerintah. Dengan begitu, proses pengambilan kebijakan lebih bernuansa akademik dan intelektual. Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang turut berkontribusi membantu kelancaran penulisan buku vi Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

7 ini. Pertama, penulis mengucapkan terima kasih kepada Mohamad Rosyidin, dosen di Departemen Hubungan Internasional Universitas Diponegoro, yang sejak lama menjadi mitra diskusi serta mendorong penulis untuk menulis buku ini. Karya-karya beliau banyak menginspirasi penulis serta menjadi rujukan di dalam buku ini. Kedua, penulis mengucapkan terima kasih kepada penerbit Pustaka Ilmu, khususnya editor Ahmad Zayyadi yang telah bersedia menelaah naskah ini dengan cermat hingga berhasil dipublikasikan menjadi sebuah buku. Terakhir, penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada istri penulis Ismi Nurjayanti Karim serta dua buah hati kami Cahaya Kanaya Almeera Kusumawardhana dan Kanzou Qurtova Kusumawardhana atas segala karunia kasih sayang serta pengertian selama proses penulisan buku ini. Karya ini secara khusus penulis persembahkan kepada mereka bertiga. Jakarta, 5 Oktober 2021 Indra Kusumawardhana Indra Kusumawardhana vii

8 DAFTAR ISI PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii BAB 1 PENDAHULUAN... 1 Mengapa perlu mempelajari kebijakan luar negeri?. 2 Kedudukan APLN dalam studi HI...5 Petunjuk belajar...7 BAB 2 MEMAHAMI KEBIJAKAN LUAR NEGERI Mendefinisikan kebijakan luar negeri Tingkat-tingkat analisis kebijakan luar negeri Rangkuman Studi kasus Daftar pertanyaan Saran bacaan lebih lanjut BAB 3 TEORI PEMBUATAN KEPUTUSAN Teori pembuatan keputusan Snyder dkk Teori pembuatan keputusan Graham Allison Model I: Aktor Rasional Model II: Proses Organisasi Model III: Politik Birokrasi Rangkuman Studi kasus Daftar pertanyaan Saran bacaan lebih lanjut viii Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

9 BAB 4 REALISME KLASIK DAN NEOKLASIK Realisme Klasik...38 Realisme Neoklasik Rangkuman Studi kasus Daftar pertanyaan Saran bacaan lebih lanjut BAB 5 LIBERALISME Liberalisme sebagai teori HI Liberalisme sebagai teori kebijakan luar negeri Rangkuman Studi kasus Daftar pertanyaan Saran bacaan lebih lanjut BAB 6 KONSTRUKTIVISME Premis dasar konstruktivisme Identitas dan kebijakan luar negeri Norma dan kebijakan luar negeri Rangkuman Studi kasus Daftar pertanyaan...80 Saran bacaan lebih lanjut BAB 7 PERAN GAGASAN Konsep gagasan Gagasan dan kebijakan luar negeri Rangkuman Indra Kusumawardhana ix

10 Studi kasus Daftar pertanyaan Saran bacaan lebih lanjut BAB 8 PENDEKATAN IDIOSINKRATIK Pengertian idiosinkratik Teori Kode Operasional Teori Gaya Kepemimpinan Rangkuman Studi kasus Daftar pertanyaan Saran bacaan lebih lanjut BAB 9 PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI Dimensi perubahan dalam kebijakan luar negeri. 120 Faktor perubahan kebijakan luar negeri Rangkuman Studi kasus Daftar pertanyaan Saran bacaan lebih lanjut GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA TENTANG PENULIS x Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

11 B A B 1 PENDAHULUAN Buku ini merupakan buku ajar untuk mata kuliah Analisis Politik Luar Negeri (selanjutnya disingkat APLN). Mata kuliah ini diajarkan umumnya setelah mahasiswa menempuh mata kuliah Teori Hubungan Internasional (THI) atau diajarkan secara bersamaan supaya mahasiswa mampu mengaplikasikan pendekatan-pendekatan teoretis ke dalam studi kasus kebijakan luar negeri. APLN pada dasarnya adalah upaya menjelaskan kebijakan luar negeri menggunakan teori-teori hubungan internasional. Yang berbeda hanya bidang yang dikaji. Akan tetpi, seperti yang akan kita lihat nanti, APLN memiliki teori-teori khas yang barangkali tidak ada di THI, misalnya teori pembuatan keputusan. Bab ini memberikan pengantar ringkas tentang isi buku. Setelah membahas pentingnya mempelajari kebijakan luar negeri, bab ini selanjutnya mendiskusikan kedudukan APLN dalam studi Hubungan Internasional (HI). Hal ini berhubungan erat dengan bagaimana APLN menjadi salah satu sub-kajian (subfield) yang cukup penting ketika seseorang mempelajari disiplin HI. Berikutnya adalah apa Indra Kusumawardhana 1

12 yang ditawarkan buku ini dan perbedaannya dengan bukubuku teks sejenis yang sudah banyak beredar di kalangan mahasiswa. Selanjutnya, bab ini memberikan penjelasan tentang metode pembelajaran, yaitu petunjuk instruksional bagaimana mahasiswa mempelajari buku ini untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Terakhir, bab ini ditutup dengan sistematika penulisan yang memetakan pokok-pokok bahasan secara garis besar. Mengapa perlu mempelajari kebijakan luar negeri? Pada pertemuan G20 tingkat menteri luar negeri di Italia, 28 Juni 2021, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi melobi India untuk melonggarkan ekspor obat-obatan terapeutik ke Indonesia. Hal itu dilakukan karena India memberlakukan pembatasan ekspor obat-obatan dan vaksin di tengah pandemi yang memburuk di negara itu. Ketika berkunjung ke AS pada 3 Agustus 2021, Menlu Retno juga melobi pemerintahan Joe Biden untuk penguatan kerjasama bilateral di bidang kesehatan. Sebelum pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia gencar melakukan usaha-usaha mendamaikan pihakpihak yang berkonflik. Misalnya saja, Indonesia cukup aktif mengupayakan perdamaian di Myanmar menyusul aksi kekerasan terhadap kelompok etnis minoritas Rohingya. Indonesia juga secara kontinyu mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi Rohingya. Ketika kudeta militer melanda Myanmar awal Maret 2021, Indonesia merupakan negara ASEAN yang berada di garis depan untuk memulihkan situasi krisis. Dua contoh kasus di atas menggambarkan bahwa setiap negara pasti menjalankan kebijakan luar negeri. Tidak 2 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

13 ada satupun negara di dunia ini yang mengisolasi diri dari dunia internasional. Dengan demikian, kebijakan luar negeri adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalahnya, banyak kalangan yang memandang kebijakan luar negeri sebagai isu sekunder. Artinya, kebijakan luar negeri tidak lebih penting dibanding kebijakan dalam negeri. Salah satu alasannya adalah kebijakan luar negeri dianggap terlalu berjarak dari dimensi kehidupan masyarakat. Sebaliknya, politik domestiklah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Cara pandang ini jelas keliru. Baik politik domestik maupun politik luar negeri (istilah politik luar negeri dan kebijakan luar negeri maknanya sama saja dan bisa digunakan secara bergantian) sama-sama penting, saling terkait, dan saling melengkapi. Meskipun sering ada ungkapan politik luar negeri adalah kelanjutan dari politik domestik namun hal itu bukan berarti politik luar negeri adalah subordinasi politik domestik. Setidaknya ada empat alasan mengapa politik luar negeri penting dipelajari. Pertama, tidak ada satupun negara di dunia ini yang bisa hidup sendiri. Sama seperti individu manusia, negara juga butuh melakukan interaksi dengan negara lain. Kebutuhan akan interaksi ini terutama ditujukan untuk meraih apa yang dalam khasanah ilmu HI disebut dengan istilah kepentingan nasional. Secara sederhana, kepentingan nasional adalah tujuan yang hendak dicapai negara dalam hubungan luar negeri. Tujuan ini bisa beraneka ragam dari yang jangka pendek sampai yang jangka panjang, dari yang berupa keuntungan material sampai non-material. Kedua, dunia makin lama makin terkoneksi sehingga apa yang terjadi di luar negeri akan berdampak di dalam Indra Kusumawardhana 3

14 negeri. Kita mengetahui bagaimana dampak pandemi Covid-19 terhadap kondisi domestik negara-negara di seluruh dunia. Negara boleh jadi pada mulanya menganggap bahwa seseorang yang terjangkit suatu virus baru di daerah bernama Wuhan di China tak akan menularkannya ke orang di negara lain, apalagi negara yang secara geografis jaraknya jauh. Ternyata, dunia terkejut dengan dampak luas yang ditimbulkan wabah itu. Hampir seluruh sendi kehidupan saat ini tak ada yang kebal dari pandemi Covid-19. Fakta ini sekaligus menampik anggapan naif bahwa politik luar negeri tidak penting. Ketiga, negara perlu berkontribusi pada tata kelola global. Analoginya seperti kita sebagai warga masyarakat dan warga negara yang tidak hanya berfokus pada diri sendiri melainkan juga apa sumbangsih kita bagi masyarakat luas. Negara juga seperti itu. Politik luar negeri tidak melulu tentang pengejaran keuntungan pribadi melainkan juga tentang bagaimana negara dapat berkontribusi bagi penciptaan dunia yang lebih baik. Itulah sebabnya negara turut ambil bagian dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim, kerjasama mengatasai wabah penyakit menular, kemiskinan global, demokrasi dan lain-lain. Alasan yang mendasari sederhana saja; semua negara berada di kapal yang sama. Keempat, politik luar negeri juga penting karena hubungan antarnegara tak hanya diwarnai kerjasama melainkan juga persaingan. Persaingan tidak sama dengan konflik. Setiap negara tentu ingin menjadi aktor internasional yang berpengaruh. Untuk itu, negara-negara berlomba-lomba memposisikan diri di panggung politik internasional dengan menjadi yang terbaik. Hal ini dilakukan dengan upaya 4 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

15 membangun reputasi yang baik sehingga pada gilirannya akan memperoleh pengakuan (recognition) dari negara-negara lain. Status yang bagus akan membuat warga negara tersebut merasa bangga. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa belajar politik luar negeri itu sangat penting, terutama bagi mahasiswa HI. Dikotomi politik domestik-politik luar negeri saat ini sudah mengabur seiring dengan kian mengaburnya sekatsekat geografis antarnegara. Karena itu, setiap mahasiswa HI harus menumbuhkan kesadaran sebagai seseorang yang berwawasan global (global minded). Kedudukan APLN dalam studi HI Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, APLN adalah sub-kajian HI yang berfokus pada kebijakan luar negeri suatu negara. Bidang kajian ini idealnya dipelajari setelah mahasiswa menempuh mata kuliah THI yang memberikan pondasi teoretis bagi analisis studi kasus. Jika THI menitikberatkan pada pengetahuan teoretis maka APLN lebih banyak bicara tentang bagaimana penerapan teori ke dalam ranah empiris. Gambar di bawah ini menunjukkan di mana kedudukan APLN dalam disiplin ilmu HI. Ketika seorang mahasiswa pertama kali belajar HI, maka ada dua bidang ilmu yang harus ia kuasai yaitu Pengantar Ilmu Politik dan Pengantara Filsafat Ilmu. Mengingat ilmu HI adalah cabang dari ilmu politik maka mempelajari Pengantar Ilmu Politik sudah merupakan keharusan. Sementara Pengantar Filsafat Ilmu memberikan dasar-dasar berpikir ilmiah menyangkut aspek ontologi dan epistemologi keilmuan. Indra Kusumawardhana 5

16 Setelah itu, mahasiswa baru mulai memasuki dunia keilmuan HI dengan belajar Pengantar Ilmu HI. Di tahap ini mahasiswa belajar tentang tiga tema sentral yaitu sejarah sistem internasional, perdebatan besar (great debates), dan isu-isu penting HI. Apabila pelajaran ini telah dikuasai dengan baik, maka selanjutnya mahasiswa bisa belajar tentang Teori HI yang mengenalkan mereka pada perspektifperspektif teoretis untuk menganalisis fenomena-fenomena internasional. Mata kuliah ini boleh jadi yang paling sentral diantara lainnya karena memberi perangkat analisis, bukan sekadar fakta-fakta empiris. Bekal pengetahuan teoretis itu kemudian dapat dipakai mahasiswa untuk mempelajari bidang-bidang kajian HI yang lebih spesifik. Ada lima bidang kajian utama dalam studi HI di samping bidang-bidang pendukung lainnya seperti diplomasi, hukum internasional, dan studi kawasan. Dari lima bidang ini, APLN merupakan salah satu bidang kajian yang penting dan menjadi fokus pembahasan buku ini. Seperti telah disebutkan sebelumnya, penguasaan mahasiswa akan perspektif teoretis HI akan sangat berguna ketika mereka mempelajari APLN karena sebagian besar teori kebijakan luar negeri diturunkan dari teori-teori HI. Setelah menguasai teori, mahasiswa mulai belajar teknik-teknik melakukan penelitian. Keterampilan dalam meneliti ini diberikan melalui mata kuliah Metodologi HI. Jika THI menjawab pertanyaan, bagaimana menganalisis realitas internasional? maka di Metodologi HI yang ingin dijawab adalah, bagaimana melakukan penelitian tentang fenomena hubungan internasional? Pertanyaan kedua jelas lebih praktis dibanding pertanyaan pertama. Dengan belajar 6 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

17 Metodologi HI mahasiswa diharapkan mampu menganalisis fenomena internasional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah, termasuk bagaimana meneliti tentang kebijakan luar negeri suatu negara. Pengantar Ilmu Politik Pengantar Filsafat Ilmu Pengantar Ilmu Hubungan Internasional Teori Hubungan Internasional Ekonomi Politik Internasional Studi Keamanan Internasional Analisis Politik Luar Negeri Organisasi Internasional Studi Perdamaian Metodologi Hubungan Internasional Skripsi Gambar 1.1 Struktur kurikulum pembelajaran HI Petunjuk belajar Buku ini ditulis dengan filosofi untuk memudahkan mahasiswa dalam mempelajari APLN. Karena itu, buku ini disusun dengan sistematika tertentu. Setiap bab akan Indra Kusumawardhana 7

18 disusun menggunakan pola yang sama, yaitu pendahuluan, isi, rangkuman, studi kasus, daftar pertanyaan, dan daftar bacaan lebih lanjut. Pertama, bagian pendahuluan berisi alasan mengapa membahas suatu topik di bab tersebut. Pendahuluan ini juga berfungsi seperti pengantar sehingga tidak terkesan terlalu straight forward. Pendahuluan ibarat sesi pemanasan untuk masuk ke bagian inti. Unsur terpenting dari bagian ini adalah sasaran pembelajaran atau kompetensi yang diharapkan. Di awal bab mahasiswa akan mengetahui apa saja kompetensi yang dapat mereka capai setelah mempelajari bab tersebut. Ini sekaligus menjadi tolok ukur evaluasi dengan menjawab beberapa pertanyaan di akhir bab. Kedua, bagian isi yakni pokok bahasan utama. Bagian ini berbeda-beda di tiap bab tergantung apa yang dibahas. Teori-teori yang dibahas akan dipaparkan secara garis besar, tidak secara mendalam karena fokus buku ini lebih pada bagaimana mahasiswa mampu mengaplikasikan teori-teori itu untuk menganalisis kebijakan luar negeri. Ketiga, rangkuman yang berisi poin-poin utama dari bagian kedua. Rangkuman membantu mahasiswa mengingat kembali apa saja hal penting yang harus mereka pahami. Keempat, studi kasus yang akan memberikan contoh penerapan teori ke dalam studi kasus. Bagian ini barangkali yang paling penting bagi mahasiswa untuk memahami bagaimana cara menganalisis kebijakan luar negeri menggunakan teori yang baru saja dipelajari. Bagian ini tidak terlalu panjang karena hanya menunjukkan bagaimana cara kerja teori ketika diaplikasikan ke dalam studi kasus. 8 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

19 Kelima, daftar pertanyaan yang berfungsi sebagai alat evaluasi mandiri mahasiswa. Untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa memahami materi, maka ia dianjurkan untuk menjawab setiap pertanyaan. Meskipun tidak dinilai oleh dosen, aktifitas belajar mandiri ini akan menunjang pencapaian kompetensi mereka. Keenam, daftar bacaan lebih lanjut berfungsi memberikan rekomendasi beberapa literatur yang relevan dengan pokok bahasan. Mahasiswa dianjurkan membaca literatur-literatur tersebut guna memperdalam pemahaman mereka. Bacaanbacaan yang direkomendasikan akan berasal dari karyakarya primer yang terkait dengan pokok bahasan. Indra Kusumawardhana 9

20 MEMAHAMI KEBIJAKAN LUAR NEGERI B A B 2 Sebelum mempelajari teori-teori kebijakan luar negeri, pertama-tama mahasiswa harus memahami konsep kebijakan luar negeri. Istilah kebijakan luar negeri mungkin akrab di telinga banyak orang, terlebih lagi mahasiswa. Akan tetapi, tidak banyak orang memahami apa itu kebijakan luar negeri sebenarnya. Malahan, di kalangan mahasiswa kerap rancu antara konsep kebijakan luar negeri dan konsep-konsep lain yang mirip seperti hubungan internasional, politik internasional, dan diplomasi. Tanpa pemahaman yang baik akan konsep, mahasiswa akan kesulitan memahami pokokpokok bahasan lebih lanjut. Bab ini berisi penjelasan tentang definisi konseptual dari kebijakan luar negeri. Fokus bab ini ada dua pokok bahasan, yakni konsep kebijakan luar negeri dan tingkattingkat analisis. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu memahami konsep kebijakan luar negeri. Yang lebih penting, mahasiswa mampu membedakan antara konsep kebijakan luar negeri dan konsep-konsep lain seperti hubungan internasional, politik internasional, dan diplomasi. 10 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

21 Selain itu, mahasiswa diharapkan mampu memahami tingkattingkat analisis guna mencari sumber penjelasan kebijakan negara. Tingkat analisis yang akan dibahas ada empat yaitu tingkat struktur internasional, domestik, kelompok, dan individu. Mendefinisikan kebijakan luar negeri Apa itu kebijakan luar negeri? Definisi yang bagus sekali dikemukakan Christopher Hill yaitu the sum of official external relations conducted by an independent actor (usually a state) in international relations. 1 Kata kunci dari definisi ini adalah official external relations dan independent actor. Kebijakan luar negeri mencakup aktivitas melakukan hubungan dengan aktor-aktor di luar negara bersangkutan (tidak terbatas pada negara) oleh lembaga resmi pemerintah (biasanya kementerian luar negeri). Ini berarti bahwa aktivitas yang dilakukan lembaga non pemerintah tidak termasuk ke dalam lingkup kebijakan luar negeri. Misalnya kerjasama pemerintah daerah dengan negara bagian di negara lain yang lazim dikenal sebagai paradiplomasi bukan termasuk kebijakan luar negeri. Contoh lagi aktivitas bisnis sebuah perusahaan swasta yang melobi pemerintah negara lain untuk membuka pasar. Ini juga tidak masuk kategori kebijakan luar negeri. Jadi kebijakan luar negeri adalah eksklusif ranahnya negara (entitas bukan negara yang mempunyai otoritas menjalankan kebijakan luar negeri antara lain Tahta Suci Vatikan dan kelompok yang diakui komunitas internasional mewakili negara, misalnya PLO di Palestina). 1 Christopher Hill, The Changing Politics of Foreign Policy (New York: Palgrave Macmillan, 2003), hlm. 3. Indra Kusumawardhana 11

22 Sementara itu, Valerie Hudson mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai the strategy or approach choosen by the national government to achieve its goals in its relations with external entities. This includes decisions to do nothing. 2 Definisi ini agak berbeda dari definisi sebelumnya karena lebih menekankan pada strategi yaitu cara-cara yang ditempuh negara untuk mencapai tujuannya. Definisi ini, dengan demikian, rancu dengan konsep diplomasi yang akan kita diskusikan nanti. Strategi pada dasarnya tidak sama dengan kebijakan luar negeri sebab strategi adalah bagian dari kebijakan luar negeri. Dengan kata lain, kebijakan luar negeri lebih luas cakupannya ketimbang strategi. Akan tetapi, definisi Hudson tersebut yang menarik digarisbawahi adalah bahwa negara yang tidak melakukan apa-apa ketika menyikapi isu-isu internasional dapat dikategorikan sebagai kebijakan luar negeri. Dengan kata lain, diamnya suatu negara adalah kebijakan luar negeri itu sendiri. Kebijakan luar negeri harus dibedakan dengan hubungan internasional dimana konsep ini mengacu pada interaksi antaraktor di tingkat internasional. Yang membedakan ada dua hal. Pertama, hubungan internasional mempelajari interaksi sedangkan kebijakan luar negeri mempelajari tindakan negara individual. Kedua, hubungan internasional mempelajari perilaku semua aktor internasional sementara kebijakan luar negeri terbatas pada aktor negara (atau aktor yang dianggap negara). 2 Valerie Hudson, The history and evolution of foreign policy analysis, dalam Steve Smith, Amelia Hadfield, and Tim Dunne (eds.), Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, 3 rd edn (Clarendon: Oxford University Press, 2016), hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

23 Kebijakan luar negeri juga harus dibedakan dengan politik internasional dimana konsep ini mengacu pada interaksi antarnegara di tingkat internasional. Berbeda dengan hubungan internasional yang cakupannya lebih luas, politik internasional membatasi pada interaksi antarnegara sehingga aturan main yang berlaku seperti dikatakan oleh pakar realis klasik Hans Morgenthau, perjuangan meraih kekuasaan (struggle for power). Walaupun aktor-aktor lain juga melibatkan diri dalam politik internasional, namun konstelasinya tetap didominasi oleh negara. Terakhir, kebijakan luar negeri harus dibedakan dengan diplomasi dimana konsep ini mengacu pada strategi negara mencapai tujuan di tingkat internasional. Seperti sudah disinggung sebelumnya, istilah diplomasi lebih mengarah pada instrumen apa yang dipilih negara guna mengejar kepentingan nasionalnya. Instrumen ini beraneka ragam mulai dari yang bersifat lunak seperti pertukaran budaya, pendidikan, bantuan luar negeri; yang bersifat dialogis seperti diplomasi bilateraldan multilateral; yang bersifat agak memaksa seperti sanksi ekonomi; sampai yang bersifat keras seperti perang. Karena itu, diplomasi berbeda dengan negosiasi yang condong pada upaya-upaya persuasif atau non-koersif. Sementara penggunaan sarana militer atau perang itu adalah bagian dari diplomasi. Kebijakan luar negeri juga harus dibedakan dengan pembuatan kebijakan luar negeri (foreign policy decision making). Istilah ini mengacu pada proses perumusan kebijakan (luar negeri). Bidang kajian APLN kerap diasosiasikan dengan studi tentang proses perumusan kebijakan ini. Karena itu, teori-teori pembuatan keputusan dianggap Indra Kusumawardhana 13

24 yang paling relevan dan representatif untuk menjelaskan kebijakan luar negeri. Pandangan ini tidak salah namun kurang tepat. Kebijakan luar negeri adalah output dari proses perumusan kebijakan. Perbedaan ini dijelaskan lebih lanjut oleh Valerie Hudson bahwa perumusan kebijakan tak selalu berakhir dengan eksekusi kebijakan. Artinya, walaupun proses perumusan kebijakan sudah berlangsung hal itu tidak otomatis bermuara pada kebijakan yang aktual. 3 Berbicara tentang kebijakan luar negeri tentu tak dapat dilepaskan dari apa sebenarnya tujuan dari negara ketika memutuskan berhubungan dengan aktor lain di panggung internasional? Tujuan inilah yang kita kenal dengan istilah kepentingan nasional. K.J. Holsti menyebutkan secara umum kepentingan nasional suatu negara itu ada tiga kriteria; kepentingan vital, kepentingan jangka menengah, dan kepentingan jangka panjang. Kepentingan vital berkaitan dengan nilai-nilai inti (core values) suatu negara, misalnya kedaulatan dan ideologi. Kepentingan berjangka menengah berkaitan dengan kepentingan material misalnya kesejahteraan ekonomi. Sementara kepentingan jangka panjang menyangkut cita-cita negara di pentas internasional, misalnya ingin menjadi negara kuat (great power). 4 Sedangkan menurut Christopher Hill, kepentingan nasional negara yang dikejar melalui kebijakan luar negeri ada tujuh, yaitu melindungi warga negara di luar negeri, memproyeksikan identitas ke dunia internasional, mempertahankan integritas wilayah, meningkatkan kesejahteraan ekonomi, mencampuri 3 Valerie Hudson, Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory, 2 nd edn (Lanham: Rowman & Littlefield, 2014), hlm K.J. Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis (Bandung: Binacipta, 1987). 14 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

25 urusan dalam negeri negara lain, turut serta menciptakan tatanan dunia yang stabil, dan menjamin kepentingan umum global. 5 Tingkat-tingkat analisis kebijakan luar negeri Menjelaskan kebijakan luar negeri berarti seseorang mencari variabel yang paling berpengaruh di balik tindakan negara. Pemilihan variabel penjelas atau dalam bahasa metodologis variabel independen ini dipilah-pilah menjadi beberapa unit atau tingkat analisis. Tingkat analisis secara sederhana adalah unit yang digunakan peneliti sebagai sumber penjelasan mengenai suatu fenomena. Dinamakan tingkat karena variabel penjelas ini disusun secara bertingkat-tingkat berdasarkan luas cakupan atau ruang lingkupnya. Literatur HI kerap mengacu pada dua nama ketika berbicara tentang tingkat analisis ini yaitu Kenneth Waltz dan David Singer. Kenneth Waltz menulis buku berjudul Man, the State, and War pada 1954 dan hingga kini masih sering dirujuk sebagai literatur kunci memahami tingkat analisis hubungan internasional. Di buku itu, Waltz membagi variabel independen guna menjelaskan sebab perang menjadi tiga tingkatan yakni individu, negara, dan sistem internasional. Tingkat analisis individu meneliti mengenai faktor-faktor personal seorang pemimpin negara meliputi pemikiran, keyakinan, gaya kepemimpinan dan sejenisnya. Tingkat analisis negara meneliti karakteristik negara yang oleh Waltz ditekankan pada aspek ideologi negara tersebut. Tingkat analisis sistem internasional meneliti struktur 5 Christopher Hill, op.cit., hlm Indra Kusumawardhana 15

26 internasional yaitu aturan main yang mengatur bagaimana antarnegara saling berinteraksi. Aturan main ini kemudian disebut dengan anarki, yakni ketiadaan otoritas internasional yang dapat mengatur negara. 6 Sementara itu, David Singer dalam tulisannya tahun 1961 berjudul The Levels of Analysis Problem in International Relations menyebutkan ada dua tingkat analisis yaitu sistem internasional (systemic level) dan negara (state level). Tingkat analisis sistem berfokus pada pola-pola interaksi antarnegara. Pendekatan sistemik ini cenderung mengabaikan variasi kebijakan luar negeri. Sementara tingkat analisis negara berfokus pada karakteristik suatu negara untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional. Menurut Singer, pendekatan ini dianggap lebih memadai untuk menjelaskan hubungan internasional dibanding pendekatan sistemik semata-mata karena negara adalah aktor utama hubungan internasional. 7 Sayangnya, untuk menjelaskan kebijakan luar negeri, baik klasifikasi Waltz maupun Singer kurang memadai. Keduanya sama-sama kurang lengkap. Kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh banyak variabel sehingga diperlukan tingkat analisis yang lebih beragam. Namun secara umum, tingkat analisis kebijakan luar negeri dapat kita bagi menjadi empat yakni sistem internasional, negara atau level domestik, kelompok, dan individu. 6 Kenneth Waltz, Man, the State, and War (New York: Columbia University Press, 1954). Untuk karyanya yang berfokus pada tingkat analisis sistemik lihat Kenneth Waltz, Theory of International Politics (Reading, MA: Addison- Wesley, 1979). 7 J. David Singer, The Levels of Analysis Problem in International Relations, World Politics, Vol. 14, No. 1 (1961), pp Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

27 Pertama, menjelaskan kebijakan luar negeri menggunakan level sistemik berarti memfokuskan pada dinamika internasional (baik di tingkat global maupun regional) yang mempengaruhi tindakan negara. Teori-teori HI yang menggunakan pendekatan ini adalah neorealisme (ofensif dan defensif), Marxisme (teori ketergantungan dan varian baru Teori Kritis), konstruktivisme (struktural), dan poskolonialisme. Kita ambil contoh jika menggunakan teori Marxis, kebijakan luar negeri suatu negara akan dipengaruhi oleh struktur kapitalisme global, misalnya saja bagaimana negara-negara kaya mendominasi sistem perdagangan internasional sehingga cenderung merugikan negara-negara berkembang. Kedua, menjelaskan kebijakan luar negeri menggunakan level domestik berarti memfokuskan pada karakteristik suatu negara. Pendekatan ini memperlakukan negara sebagai unit tunggal (uniter), bukan terpilah-pilah berdasarkan aktoraktor domestik. Artinya, sekalipun yang memutuskan kebijakan luar negeri adalah presiden, perdana menteri, atau menteri luar negeri, hal itu dianggap sebagai kebijakan negara secara utuh. Teori HI yang menggunakan pendekatan ini adalah realisme klasik dan konstruktivisme (domestik). Misalnya kita ingin menjelaskan kebijakan luar negeri suatu negara memakai konstruktivisme, maka fokus analisis kita adalah identitas nasional atau norma domestik yang dianut negara tersebut. Ketiga, menjelaskan kebijakan luar negeri menggunakan level kelompok berarti memfokuskan pada dinamika aktoraktor domestik yang mempengaruhi proses perumusan kebijakan. Aktor-aktor domestik ini sangat bervariasi misalnya Indra Kusumawardhana 17

28 birokrasi, lembaga pemerintah, partai politik, kelompok kepentingan, media massa, lembaga non-pemerintah, dan sebagainya. Teori HI yang menggunakan pendekatan ini adalah liberalisme. Apabila kita ingin menganalisis memakai pendekatan kelompok ini, maka fokus kita adalah memilih aktor domestik mana yang paling berpengaruh terhadap keluarnya suatu kebijakan luar negeri. Misalnya saja kita ingin menganalisis mengapa Indonesia menjajaki kerjasama pembelian alutsista besar-besaran dari Rusia, maka fokus kita adalah meneliti (misalnya) sejauh mana Kementerian Pertahanan berperan di balik itu? Apakah pihak militer ikut terlibat? Atau misalnya kita ingin meneliti mengapa Indonesia membantu etnis Rohingya di Myanmar, maka kita bisa meneliti sejauh mana peran organisasi massa keagamaan di Indonesia di balik keterlibatan Indonesia tersebut. Keempat, menjelaskan kebijakan luar negeri menggunakan level individu berarti memfokuskan pada karakteristik personal elit (apakah itu presiden, perdana menteri, atau menteri luar negeri). APLN menyebut pendekatan ini dengan istilah pendekatan idiosinkratisme. Pendekatan ini meminjam teori-teori dari disiplin psikologi politik sehingga sering disebut dengan pendekatan kognitivisme. Peneliti biasanya akan menganalisis kepribadian, termasuk pemikiran, keyakinan, dan gaya kepemimpinan serta mengaitkannya dengan output kebijakan yang dihasilkannya. Misalnya kebijakan luar negeri Indonesia di forum-forum multilateral lebih banyak dipengaruhi oleh preferensi personal Presiden Jokowi yang berlatarbelakang pengusaha karena cenderung memprioritaskan pada pencapaian keuntungan ekonomi dibanding tujuan-tujuan strategis lainnya. 18 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

29 Tabel 2.1 Pembagian tingkat-tingkat analisis kebijakan luar negeri Sumber: Valerie Hudson, Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory, 2 nd edn (Lanham: Rowman & Littlefield, 2014), hlm. 34. Rangkuman Kebijakan luar negeri adalah sikap atau tindakan negara di luar batas wilayah kedaulatannya. Sikap atau tindakan ini dilakukan oleh pemerintah suatu negara dan atas nama negara. Aktor-aktor non-negara hanya mempengaruhi kebijakan luar Indra Kusumawardhana 19

30 negeri tetapi tidak menjalankannya. Kebijakan luar negeri harus dibedakan dengan diplomasi yang merupakan strategi negara mencapai kepentingan nasional. Untuk menjelaskan kebijakan luar negeri, seseorang perlu memfokuskan pada salah satu tingkat analisis dimana ia yakin di tingkatan itulah sumber penjelasan diperoleh secara memadai. Secara garis besar ada empat tingkatan analisis yaitu sistem internasional, negara, kelompok, dan individu. Studi kasus Studi kasus ini memberi contoh bagaimana penerapan empat tingkat analisis untuk menjelaskan kebijakan luar negeri Indonesia di ASEAN. Pada KTT ASEAN ke-34 di Thailand, Juni 2019, Indonesia mengajukan gagasan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific yang kemudian disepakati oleh seluruh anggota ASEAN. Gagasan ini mencerminkan sentralitas ASEAN dalam menghadapi tantangan dinamika kawasan. Jokowi mengatakan bahwa gagasan itu bertujuan agar ASEAN menjadi motor perdamaian dan satabilitas kawasan serta tidak menjadi ajang perebutan pengaruh negara-negara besar. Analisis kebijakan luar negeri Indonesia akan berangkat dari pertanyaan: Mengapa Indonesia memprakarsai gagasan ASEAN Oulook on the Indo-Pacific? Untuk menjawabnya, kita bebas memilih tingkat analisis mana yang akan kita gunakan. Apabila kita menggunakan tingkat analisis sistem internasional, maka jawaban atas pertanyaan itu bisa jadi Indonesia memprakarsai gagasan ASEAN Oulook on the Indo-Pacific dipengaruhi oleh rivalitas geopolitik antara China dan AS di kawasan Indo-Pasifik. Apabila menggunakan tingkat analisis negara, maka argumen 20 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

31 yang muncul bisa jadi Indonesia memprakarsai gagasan ASEAN Oulook on the Indo-Pacific dipengaruhi oleh identitas Indonesia sebagai peacemaker. Apabila menggunakan tingkat analisis kelompok, bisa jadi jawabannya adalah Indonesia memprakarsai gagasan ASEAN Oulook on the Indo-Pacific dipengaruhi oleh peran sekelompok pemikir di Kementerian Luar Negeri yang merumuskan konsep tersebut. Apabila menggunakan tingkat analisis individu, maka kemungkinan jawabannya adalah Indonesia memprakarsai gagasan ASEAN Oulook on the Indo-Pacific dipengaruhi oleh pemikiran Menlu Retno Marsudi yang sangat percaya pada pentingnya kerjasama multilateral. Daftar pertanyaan 1. Apa yang dimaksud dengan kebijakan luar negeri? Apa perbedaannya dengan hubungan internasional, politik internasional, diplomasi, dan proses pembuatan keputusan? 2. Apa saja tujuan kebijakan luar negeri? 3. Sebutkan empat tingkat analisis kebijakan luar negeri? 4. Apa saja faktor penjelas kebijakan luar negeri dari unsur domestik? Saran bacaan lebih lanjut 1. Untuk pengantar paling bagus tentang seluk-beluk kebijakan luar negeri lihat Christopher Hill, The Changing Politics of Foreign Policy (New York: Palgrave Macmillan, 2003). Indra Kusumawardhana 21

32 2. Untuk tingkat-tingkat analisis kebijakan luar negeri lihat Valerie Hudson, Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory, 2 nd edn (Lanham: Rowman & Littlefield, 2014). 3. Untuk pengantar komprehensif dan penerapan teori kebijakan luar negeri ke dalam studi kasus lihat Steve Smith, Amelia Hadfield, and Tim Dunne (eds.), Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, 3 rd edn (Clarendon: Oxford University Press, 2016). 4. Untuk memahami bagaimana teori-teori HI dipakai dalam menganalisis politik luar negeri Indonesia terhadap Malaysia lihat Abubakar Eby Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme Sampai Konstruktivisme, cet. 2 (Bandung: Nuansa Cendekia, 2019). 22 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

33 B A B 3 TEORI PEMBUATAN KEPUTUSAN APLN muncul sebagai bidang kajian HI terutama pasca Perang Dunia II. Pelopor bidang ini adalah Richard Snyder dkk yang merumuskan teori pembuatan keputusan (decision making theory). Teori ini kemudian berkembang lalu pada puncak Perang Dingin sekitar dekade 1960-an, Graham Allison menggagas teori pembuatan keputusan dengan menawarkan tiga model pembuatan keputusan. Teori ini cukup populer khususnya di kalangan mahasiswa Indonesia yang meneliti tentang politik luar negeri. Sampai-sampai ada anggapan bahwa penelitian tentang politik luar negeri identik dengan teori ini. Meskipun saat ini sudah mulai jarang mahasiswa meneliti menggunakan teori ini, namun karena peran yang dimainkan dan pengaruhnya, teori ini layak dikaji setiap mahasiswa yang belajar APLN. Bab ini membahas tentang paradigma pembuatan keputusan sebagai sebuah kerangka analisis kebijakan luar negeri. Lebih spesifik, bab ini mengkhususkan pada teori pembuatan keputusan Richard Snyder dkk dan Graham Allison. Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan Indra Kusumawardhana 23

34 mampu memahami asumsi-asumsi teori pembuatan keputusan versi Snyder dan Allison. Selain itu, mahasiswa juga diharapkan mampu menerapkannya ke dalam analisis studi kasus. Teori pembuatan keputusan Snyder dkk Teori pembuatan keputusan Snyder dkk muncul sekitar tahun 1960-an dengan terbitnya karya Richard Snyder, H.W. Bruck, dan Burton Sapin berjudul Foreign Policy Decision Making: An Approach to the Study of International Politics. Buku ini sejatinya bukan buku yang menganalisis politik luar negeri melainkan politik internasional. Di pembukaan buku tersebut mereka mengatakan bahwa, The primary purpose of this essay is to present a tentative formulation of an analytical scheme which we ho pe may serve as the core of a frame of reference for the study of international politics. 8 Snyder dkk tampaknya memandang bahwa politik luar negeri merupakan bagian dari politik internasional. Hal ini dikarenakan fitur pokok politik internasional adalah interaksi antarnegara, sementara interaksi itu sendiri dibangun dari tindakan negara. Gambar di bawah ini menunjukkan pola interaksi yang menggambarkan bagaimana politik internasional terbangun. Ada dua negara (X dan Y) yang saling berinteraksi. Tindakan masing-masing negara tersebut merupakan kebijakan luar negeri yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi domestik negara tersebut. 8 Richard Snyder, H.W. Bruck, and Burton Sapin, Foreign Policy Decision Making (revisited) (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2002), hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

35 Sumber: Richard Snyder, H.W. Bruck, dan Burton Sapin, Foreign Policy Decision Making (revisited) (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2002), hlm. 57. Gambar 3.1 Pola umum politik internasional Menurut Snyder dkk, menganalisis kebijakan luar negeri harus mempertimbangkan empat unsur yaitu aktor, tujuan, cara, dan situasi. Aktor dalam hal ini adalah negara. Tujuan adalah kepentingan nasional yang hendak dicapai negara tersebut. Cara adalah instrumen diplomatik apa yang dipilih negara untuk mencapai tujuan tadi. Situasi adalah konteks (baik internal dan eksternal) yang mempengaruhi bagaimana pembuat keputusan merumuskan kebijakan. Variabel konteks inilah yang menjadi ciri khas teori pembuatan keputusan Snyder dkk. Konteks ini memainkan peran penting karena kebijakan luar negeri tidak muncul dari ruang hampa. Gambar di bawah ini adalah skema lengkap dari Snyder dkk mengenai bagaimana kerangka kerja menganalisis kebijakan luar negeri menggunakan teori pembuatan keputusan. Asumsi dasar teori ini sebenarnya sederhana saja; kebijakan luar negeri merupakan hasil dari penafsiran (atau definisi situasi) dari pembuat kebijakan terhadap kondisi-kondisi internal dan eksternal yang melingkupinya. Dengan demikian, seorang analis politik luar negeri harus Indra Kusumawardhana 25

36 memperhatikan dengan seksama bagaimana pembuat kebijakan menafsirkan kondisi-kondisi tersebut. Ada empat komponen dalam analisis kebijakan luar negeri versi Snyder. Komponen A adalah kondisi internal yaitu lingkungan, masyarakat, budaya dan penduduk di negara yang sedang diteliti. Komponen B adalah kondisi internal yang diasosiasikan dengan aktor-aktor domestik termasuk kelompok, organisasi, dan opini publik. Komponen A dan B saling berinteraksi membentuk setting internal kebijakan luar negeri. Komponen C adalah proses perumusan kebijakan. Komponen D adalah tindakan negara atau kebijakan luar negeri. Komponen E adalah kondisi eksternal yaitu lingkungan, masyarakat, budaya dan penduduk di negara lain yang sedang dijalin interaksinya. Sumber: Richard Snyder, H.W. Bruck, dan Burton Sapin, Foreign Policy Decision Making (revisited) (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2002), hlm. 64. Gambar 3.2 Proses perumusan kebijakan luar negeri versi Snyder dkk 26 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

37 Kalau dilihat sekilas, tampak bahwa teori pembuatan keputusan versi Snyder dkk ini cukup rumit untuk diterapkan. Bagaimana tidak, seorang analis kebijakan luar negeri harus mempertimbangkan banyak sekali unsur yang mempengaruhi kebijakan luar negeri. Unsur-unsur itu meliputi kondisi-kondisi domestik negara bersangkutan, dimana hal ini menuntut peneliti untuk melihat sejauh mana dinamika politik, ekonomi, sosial dan budaya di negara tersebut saling berinteraksi sementara di saat yang sama ia juga harus mempertimbangkan unsur-unsur eksternal di negara lain. Yang paling menantang adalah bagaimana pembuat keputusan (umumnya Kementerian Luar Negeri dan elit pemerintah) menafsirkan kondisi-kondisi tersebut. Akibatnya, teori ini kurang praktis. Teori seharusnya bersifat parsimoni, yaitu dirumuskan sesederhana mungkin (artinya dengan mempertimbangkan sesedikit mungkin variabel penjelas) namun memiliki daya jangkau yang luas. Bagian berikutnya kita akan mendiskusikan teori pembuatan keputusan dari Graham Allison yang jauh lebih sederhana. Teori pembuatan keputusan Graham Allison Alternatif teori pembuatan keputusan adalah pemikiran Graham Allison yang meneliti kasus krisis misil Kuba berdasarkan tiga model pembuatan keputusan. Teori ini sangat berpengaruh dan menawarkan metode yang lebih simpel dibandingkan teori Snyder yang memasukkan bermacammacam variabel. Pemikiran Allison tertuang dalam bukunya Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis. Di buku itu, Allison menawarkan tiga pendekatan untuk menjawab pertanyaan: mengapa Uni Soviet memasang peluru kendali Indra Kusumawardhana 27

38 nuklir di Kuba? yaitu Model I Aktor Rasional, Model II Proses Organisasi, dan Model III Politik Birokrasi. Model I: Aktor Rasional Penjelasan dengan memakai Model I ini berarti peneliti kebijakan luar negeri memfokuskan pada unit analisis negara sebagai aktor utama. Allison menyebut Model I ini sebagai pendekatan klasik yang mengacu pada pendekatan realisme klasik versi Hans Morgenthau, Arnold Wolfers, Raymond Aron, Stanley Hoffman, Thomas Schelling, dan lain-lain yang menggarisbawahi premis bahwa negara merupakan aktor rasional, dalam pengertian bahwa negara mengejar keuntungan dan menghindari kerugian. Seorang analis yang meneliti kebijakan luar negeri menggunakan Model I harus memposisikan dirinya sebagai negarawan yang sedang memilih aneka opsi kebijakan. Allison mengutip pernyataan Morgenthau di buku Politics Among Nations sebagai berikut: We put ourselves in the position of a statesman who must meet a certain problem of foreign policy under certain circumstances, and we ask ourselves what the rational alternatives are from which a statesman may choose who must meet this problem under this circumstances (presuming always that he acts in a rational manner), and which of these rational alternatives this particular statesman, acting under this circumstances, is likely to choose. 9 Pada Model I ini, kebijakan apapun yang diambil negara dipandang sebagai hasil dari kalkulasi rasional. Allison menyatakan bahwa rasionalitas negara mengacu 9 Hans Morgenthau dalam Graham T. Allison, Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis (Boston: Little Brown, 1971), hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

39 pada prinsip ekonomi dimana seseorang bertindak dengan memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Ia melanjutkan bahwa kebijakan yang rasional merupakan hasil dari pertimbangan aktor terhadap beberapa opsi kebijakan yang tersedia dengan memperhitungkan akibat yang mungkin akan ditimbulkan dari pemilihan kebijakan tersebut. Ada empat unsur yang harus dipertimbangkan dalam penjelasan Model I ini. Pertama, tujuan (preference) atau bahasa sederhananya kepentingan. Seorang analis kebijakan luar negeri pertama-tama harus mengidentifikasi apa kepentingan yang hendak dicapai aktor (negara). Kedua, alternatif atau opsi tindakan. Seorang analis kebijakan luar negeri harus menelaah opsi kebijakan apa saja yang tersedia di atas meja untuk merespons isu tertentu. Ia harus memahami bahwa setiap permasalahan selalu menghasilkan banyak opsi tindakan. Nyaris tidak ada opsi tunggal dalam proses pengambilan kebijakan. Ketiga, akibat dari kebijakan. Seorang analis harus memahami hal apa saja yang kemungkinan bakal terjadi apabila satu opsi kebijakan diambil. Keempat, pilihan kebijakan. Seorang analis pada tahap terakhir harus mengidentifikasi opsi kebijakan mana yang diambil oleh aktor, kemudian membuat postulat bahwa pilihan kebijakan tersebut, betapapun tidak masuk akalnya, adalah hasil dari kalkulasi rasional. Model II: Proses Organisasi Allison beranggapan bahwa Model I adalah pendekatan klasik yang khas realis. Ia kemudian menyodorkan model alternatif yaitu Proses Organisasi. Dalam model ini, Indra Kusumawardhana 29

40 penjelasan mengenai kebijakan luar negeri diperoleh dengan memfokuskan pada unit yang lebih kecil dari negara yaitu institusi pemerintah. Asumsi dasar model ini yaitu bahwa kebijakan luar negeri merupakan hasil dari kerja-kerja organisasi di dalam suatu pemerintahan. Sebagai contoh, pengiriman tentara AS ke Timur Tengah adalah hasil dari kerja organisasi pemerintah AS yaitu Departemen Pertahanan yang melaksakan instruksi dari Gedung Putih. Departemen Pertahanan kemudian menginstruksikan pimpinan militer untuk mengatur jumlah pasukan, logistik, dan sebagainya sekaligus mengatur proses penerjunan ke medan perang. Model II ini memperlakukan kebijakan luar negeri dengan sangat kaku dan formalistik. Artinya, seorang analis hanya memfokuskan pada cara kerja lembaga-lembaga pemerintah yang terkait dengan kebijakan yang diambil. Misalnya seseorang meneliti kebijakan luar negeri Indonesia di Kepulauan Natuna, maka fokus analisisnya adalah lembaga yang hirau dengan isu tersebut, misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertahanan, atau Badan Intelijen Negara. Analis tinggal melihat seperti apa Standard Operating Procedure (SOP) yang diadopsi oleh lembaga-lembaga tersebut. Ia kemudian membuat semacam mekanisme bagaimana sebuah kebijakan diambil melalui serangkaian prosedur baku tadi. Karena suatu kebijakan adalah hasil dari proses yang mekanis dan kaku, maka kebijakan tidak dianggap sebagai suatu hal yang rasional. Maksudnya, berbeda dengan Model I dimana kebijakan yang diambil merupakan hasil dari kalkulasi untung-rugi, Model II semata-mata melihat kebijakan hanya sekadar mengikuti prosedur formal yang sudah baku (SOP). 30 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

41 Implikasinya, kebijakan luar negeri bukanlah sebuah pilihan politik, melainkan keputusan kelembagaan semata. Model III: Politik Birokrasi Jika Model I kebijakan luar negeri dipandang sebagai hasil kalkulasi untung-rugi, dan Model II memandang kebijakan luar negeri sebagai hasil kerja lembaga-lembaga pemerintah berdasarkan prosedur baku, maka Model III melihat kebijakan luar negeri secara berbeda yakni produk dari proses tawar menawar antar aktor domestik. Masingmasing aktor memiliki kepentingannya sendiri dan berusaha keras memperjuangkan kepentingan itu di panggung politik. Seorang analis kebijakan luar negeri yang menggunakan model penjelasan ini harus mampu menguak dinamika politik domestik. Ia harus mampu dengan jeli mengamati bagaimana aktor-aktor tersebut memperjuangkan kepentingannya. Yang difokuskan bukan kompetisi atau konflik antar aktor tersebut, melainkan bagaimana mereka saling bekerjasama mencapai suatu kompromi. Kebijakan luar negeri, dengan demikian, adalah hasil dari kompromi politik aktor-aktor domestik tadi. Model III ini memiliki sejumlah asumsi dasar. Pertama, obyek penelitiannya adalah dinamika kepentingan antar aktor. Misalnya peneliti ingin menganalisis kebijakan luar negeri Indonesia di Kepulauan Natuna. Peneliti harus memfokuskan pada kompromi politik antara presiden, legislatif, Kementerian Pertahanan, TNI, bahkan ormas tertentu. Kedua, pihak-pihak yang menduduki posisi kunci di setiap kelembagaan tersebut memainkan peran penting. Hal ini dikarenakan proses mencapai kompromi politik biasanya dilakukan antar pimpinan lembaga. Ketiga, masing- Indra Kusumawardhana 31

42 masing aktor berjuang agar kepentingannya diakomodasi pemerintah. Pemerintah dalam konteks ini seringkali tidak memutuskan suatu kebijakan secara independen, melainkan setelah mendengarkan aspirasi dari lingkaran luar kekuasaan. Hal ini dilakukan untuk memelihara hubungan baik antara pemerintah dan semua pihak yang ikut terlibat dalam proses-proses politik. Tentu saja, tidak semua aspirasi itu diakomodasi. Pemerintah terkadang hanya mengakomodasi aspirasi dari pihak tertentu dengan pertimbangan tertentu juga. Hal ini mengisyaratkan bahwa kebijakan luar negeri bisa sangat politis, bukan mencerminkan kepentingan nasional. Tabel 3.1 Tiga model pembuatan keputusan Graham Allison Aktor Rasional Proses Organisasi Unit analisis Negara Lembaga pemerintah Variabel utama Sifat pembuatan kebijakan Kepentingan nasional Standard Operating Procedure (SOP) Politik Birokrasi Aktor-aktor domestik Kepentingan sektoral Rasional Formal Politis Rangkuman Teori pembuatan keputusan adalah teori kebijakan luar negeri paling awal. Meskipun ada banyak teoretisi di bidang ini, dua orang paling menonjol adalah Richard Snyder dkk dan Graham Allison. Teori Snyder menjelaskan kebijakan 32 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

43 luar negeri dengan melihat pada dua variabel utama, yaitu variabel konteks domestik dan variabel konteks eksternal. Menurut Snyder, kebijakan luar negeri adalah hasil dari penafsiran aktor terhadap kedua variabel tersebut. Sementara teori Allison menawarkan penjelasan yang lebih berorientasi ke dalam (inward-looking). Allison mengemukakan tiga model pembuatan keputusan; aktor rasional, proses organisasi, dan politik birokrasi. Model aktor rasional menjadi ciri khas penjelasan realis yang menekankan bahwa negara bertindak berdasarkan kalkulasi untung-rugi. Model proses organisasi mendasarkan penjelasannya pada cara kerja lembagalembaga pemerintah yang memiliki prosedur baku. Model politik birokrasi memfokuskan pada proses tawar-menawar politik antar aktor domestik. Kebijakan luar negeri, menurut model politik birokrasi, adalah hasil kompromi politik antar aktor tersebut. Studi kasus Sikap Indonesia menyangkut isu pelanggaran HAM muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, China dipertanyakan banyak pihak. Mereka membandingkan sikap itu dengan komitmen Indonesia membantu muslim Rohingya di Myanmar. Pada bulan Desember 2019, pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan ikut campur urusan domestik negara lain (dalam hal ini China) karena prinsip nonintervensi adalah norma standar hubungan internasional. Bagaimana menjelaskan sikap Indonesia ini menggunakan teori pembuatan keputusan? Pertama, apabila seorang analis menggunakan teorinya Snyder dkk, maka ia harus mempertimbangkan dua hal yakni konteks internal dan Indra Kusumawardhana 33

44 eksternal. Konteks internal dalam hal ini bisa jadi adalah adanya pelbagai proyek strategis yang didanai China sehingga hal itu mendorong pemerintah untuk bersikap akomodatif terhadap China. Sementara konteks eksternal bisa jadi adalah kapabilitas power China yang teramat besar, sangat timpang bila dibandingkan dengan kapabilitas power Indonesia. Hal ini pada gilirannya membuat pemerintah tidak berani berseberangan dengan China terkait isu Uighur. Kedua, apabila seorang analis menggunakan teori pembuatan versi Allison, maka ia punya tiga pilihan model penjelasan. Model I menuntut analis untuk berfokus pada rasionalitas pemerintah Indonesia dalam isu tersebut. Sebagai aktor rasional, pemerintah Indonesia menilai sikap nonintervensionis itu merupakan upaya untuk mengamankan kepentingan nasional, yang dalam hal ini adalah kerjasamakerjasama strategis dengan China khususnya di bidang investasi dan infrastruktur. Selain itu, rasionalitas kebijakan ini bisa juga dikaitkan dengan persepsi Indonesia yang melihat pengaruh China yang sangat dominan di kawasan sehingga membuat Indonesia berpikir dua kali kalau mau menentang kebijakan nasional China. Model II menawarkan penjelasan yang menitikberatkan pada proses-proses kelembagaan di Kementerian Luar Negeri. Menentukan sikap untuk tidak ikut campur urusan domestik negara lain tentu sudah melewati serangkaian proses baku di lembaga tersebut. Hal ini dimulai dari rapat-rapat khusus, mencari kesamaan persepsi, sampai menyampaikannya secara publik melalui konferensi pers atau pernyataan resmi. Model III menawarkan penjelasan tentang proses politik di balik kebijakan non-intervensionis Indonesia tersebut. Seorang analis bisa mengidentifikasi 34 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

45 siapa saja aktor domestik yang berkepentingan dalam isu ini. Misalnya saja kementerian yang mengurusi bidang investasi. Bisa juga Kementerian Pertahanan. Lembaga-lembaga ini mendesak pemerintah untuk tidak ikut campur mengenai isu Uighur karena dapat menghambat urusan-urusan yang sedang mereka tangani bersama China, terutama bisnis dan investasi. Daftar pertanyaan 1. Apakah yang dimaksud dengan konteks internal dalam teori pembuatan keputusan Richard Snyder dkk? 2. Apakah yang dimaksud dengan konteks eksternal dalam teori pembuatan keputusan Richard Snyder dkk? 3. Bagaimana menjelaskan kebijakan luar negeri menggunakan Model I (aktor rasional)? 4. Bagaimana menjelaskan kebijakan luar negeri menggunakan Model II (proses organisasi)? 5. Bagaimana menjelaskan kebijakan luar negeri menggunakan Model I (politik birokrasi)? Saran bacaan lebih lanjut 1. Untuk karya utama Richard Snyder dkk silakan lihat Richard Snyder, H.W. Bruck, dan Burton Sapin, Foreign Policy Decision Making (revisited) (Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2002). 2. Untuk karya utama Graham Allison silakan lihat Graham Allison, Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis (Boston: Little Brown, 1971). Untuk versi yang lebih ringkas lihat artikelnya, Graham Allison, Conceptual Indra Kusumawardhana 35

46 Models and the Cuban Missile Crisis, American Political Science Review, Vol. 63, No. 33 (1969), pp Untuk karya terbaru teori pembuatan keputusan yang lebih komprehensif dan mudah dipahami, lihat Alex Mintz and Karl DeRouen, Understanding Foreign Policy Decision Making (Cambridge: Cambridge University Press, 2010). 36 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

47 B A B 4 REALISME KLASIK DAN NEOKLASIK Bagi sebagian mahasiswa, studi hubungan internasional identik dengan teori realisme. Realisme sangat dominan bahkan sudah menjadi semacam keyakinan guna memahami realitas internasional. Realisme juga identik dengan kebijakan luar negeri. Hal ini tak lepas dari konsep kepentingan nasional yang sangat lekat dengan realisme. Selama kepentingan nasional memperjuangkan kepentingan nasional, berarti hal itu sejalan dengan asumsi realisme. Padahal, keyakinan itu tidak sepenuhnya benar. Realisme tidak dapat direduksi hanya ke dalam konsep kepentingan nasional. Sebaliknya, konsep kepentingan nasional tidak menjadi monopoli teori realisme. Bab ini mendiskusikan teori realisme serta penerapannya untuk menganalisis kebijakan luar negeri. Namun, tidak semua varian realisme dibahas (neorealisme sebagai salah satu varian realisme bukan merupakan teori kebijakan luar negeri tetapi teori politik internasional). Dua varian realisme yang akan disoroti di bab ini adalah realisme klasik dan neoklasik. Lebih spesifik, bagian realisme klasik hanya Indra Kusumawardhana 37

48 menyoroti pemikiran tokoh terkemuka aliran ini yakni Hans J. Morgenthau. Sementara teori realisme neoklasik dibahas secara khusus karena teori ini memang khusus digunakan untuk menganalisis politik luar negeri. Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami asumsi-asumsi dasar realisme khususnya pemikiran Hans J. Morgenthau. Mahasiswa juga diharapkan mempu membedakan antara realisme klasik dan neoklasik dalam hal model penjelasannya. Terakhir, mahasiswa diharapkan juga mampu mengaplikasikan teori-teori tersebut untuk menganalisis studi kasus. Realisme Klasik Sebelum mendiskusikan realisme klasik, mahasiswa harus memahami terlebih dahulu asumsi-asumsi dasar realisme sebagai sebuah paradigma HI. Rosyidin merangkum tiga premis realisme. Pertama, aktor utama dalam politik internasional adalah negara (state centric). Aktor-aktor nonnegara bukan berarti tidak ada. Sebaliknya, realis mengakui keberadaan aktor-aktor tersebut, misalnya seperti organisasi internasional, perusahaan multinasional, kelompok teroris, dan sebagainya. Akan tetapi, realis meragukan signifikansi keberadaan aktor-aktor tersebut dalam mempengaruhi politik internasional. Kedua, sifat negara adalah rasional dalam arti negara berjuang mengejar kepentingannya sendiri (selfish). Kepentingan ini oleh kaum realis dipahami secara sempit sebagai pengejaran akan power dan keamanan (survival). Kepentingan ekonomi tidak terlalu menjadi concern realis. Isu keamanan (militer) adalah yang paling utama. Ketiga, karakter hubungan internasional adalah konfliktual 38 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

49 dan penuh rasa tidak saling percaya antarnegara. Kondisi suram ini merupakan konsekuensi logis dari sifat struktur internasional yang anarki, yakni tidak adanya otoritas di atas negara yang mampu memaksakan keputusan kepada negara. Oleh sebab itu, kaum realis sangat skeptis terhadap kerjasama. Hal ini bukan berarti kerjasama mustahil dilakukan. Realis menyatakan bahwa dalam kondisi anarki seperti itu, kerjasama sangat sulit dilakukan karena negara senantiasa menaruh curiga satu sama lain. 10 Salah satu aliran realisme adalah realisme klasik. Aliran ini mengacu pada teori realis yang dikemukakan Hans Morganthau. Sementara akar ideologisnya bisa dilacak sampai ke Thucydides, Niccolo Machiavelli, dan Thomas Hobbes. Ketiganya sama-sama meyakini bahwa sifat dasar manusia (human nature) adalah mementingkan diri sendiri, licik, jahat, kejam, pesimis, curiga, dan suka berkonflik. Manusia senantiasa dicekam ketakutan akan dicelakai, dibunuh, dikhianati, atau diserang orang lain. Hal ini mendasari motif manusia berperang. Seperti diceritakan Thucydides dalam The Melian Dialogue, penyebab perang antara Sparta dan Athena adalah rasa ketakutan Athena atas menguatnya Sparta. Begitupun dengan Machiavelli, yang semasa hidupnya sebagai diplomat mengalami situasi politik yang penuh intrik. Karena itu, ia menyarankan kepada para politisi dan diplomat untuk meniru perangai singa yang kuat dan rubah yang cerdik. Thomas Hobbes pun juga berpikir bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo 10 Mohamad Rosyidin, Teori Hubungan Internasional: Dari Perspektif Klasik Sampai Non-Barat (Depok: Rajagrafindo, 2020), hlm Indra Kusumawardhana 39

50 homini lupus). Filosofi inilah yang menjadi landasan berpikir kaum realisme klasik. Hans J. Morgenthau adalah proponen realisme klasik melalui karya besarnya Politics Among Nations. Bab pertama buku itu diawali dengan kalimat termasyhur, International politics, like all politics, is a struggle for power. 11 Ia sendiri mendefinisikan kekuasaan sebagai man s control over the minds and actions of other men. 12 Kekuasaan politik diraih apabila seseorang (dan negara) mampu mempengaruhi pikiran dan tindakan orang (dan negara) lain. Sekalipun tujuan negara adalah (misalnya) menguasai teritorial negara lain, outcome dari tujuan itu adalah kekuasaan politik dimana negara tersebut mampu mengendalikan pikiran dan tindakannya sesuai dengan yang negara itu kehendaki. Bagi Morgenthau, tidak ada bedanya antara politik domestik dan internasional. Keduanya sama-sama dilandasi logika struggle for power namun di ranah yang berbeda. 13 Morgenthau mendalilkan enam prinsip realisme yang terkenal. Prinsip-prinsip inilah yang nanti akan kita gunakan sebagai landasan teoretis menganalisis kebijakan luar negeri. Namun di sini hanya akan disinggung tiga prinsip yang relavan untuk menganalisis kebijakan luar negeri. Pertama, realisme percaya bahwa politik diatur oleh sifat dasar manusia. Sifat dasar ini menurut Morgenthau adalah rasional, dalam arti bahwa manusia bertindak selalu berdasarkan pertimbangan untung-rugi. Di bab sebelumnya prinsip ini sudah disinggung tapi ada baiknya dikutip kembali pernyataan Morgenthau ini: 11 Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (New York: Alfred Knopf, 1948), hlm Ibid., 13 Ibid., hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

51 We put ourselves in the position of a statesman who must meet a certain problem of foreign policy under certain circumstances, and we ask ourselves what the rational alternatives are from which a statesman may choose who must meet this problem under this circumstances (presuming always that he acts in a rational manner), and which of these rational alternatives this particular statesman, acting under this circumstances, is likely to choose. 14 Kedua, realisme menyatakan bahwa negara bertindak untuk meraih kepentingan yang didefinisikan sebagai kekuasaan (power). Hal ini membedakan ranah politik internasional dan ekonomi (misalnya) yang mana tujuan tertinggi adalah kesejahteraan (prosperity, wealth). Hal ini sekaligus menyangkal pendapat banyak kalangan (termasuk mahasiswa) bahwa kebijakan negara menurut realisme berorientasi pada kepentingan ekonomi. Menurut Morgenthau, realisme tidak berfokus pada motif pembuat kebijakan dan pilihan ideologisnya ketika menjelaskan kebijakan luar negeri. Hal ini dikarenakan realisme memandang negara sebagai unitary actor sehingga peran pembuat kebijakan sama sekali tidak masuk perhitungan. Artinya, kebijakan luar negeri mencerminkan tindakan negara sebagai entitas utuh. Tindakan negara ini, dengan demikian, dimotivasi oleh kepentingan memperjuangkan kekuasaan ketimbang mencerminkan preferensi individual pemimpin. Ketiga, kebijakan luar negeri tidak boleh dilandasi oleh prinsip-prinsip etis. Morgenthau mengatakan, Realism maintains that universal moral principles cannot be applied to the actions of states in their abstract universal formulation, but 14 Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, 6 th edn (Beijing: Peking University Press, 1997), hlm. 5. Indra Kusumawardhana 41

52 that they must be filtered through the concrete circumstances of time and place. 15 Hal ini bukan berarti realisme menyangkal keberadaan prinsip-prinsip moral universal itu. Yang benar adalah realisme menganjurkan para negarawan untuk tidak menggunakan prinsip-prinsip tersebut sebagai indikator menilai kebijakan luar negeri. Sederhananya, tujuan negara bukan memperjuangkan moralitas universal melainkan kekuasaan. Karena itu, moralitas dipandang bermanfaat oleh kaum realis sepanjang ia menunjang pengejaran kekuasaan. Selain tiga prinsip realisme di atas, Morgenthau juga mengemukakan tiga bentuk motif kebijakan luar negeri yaitu politik imperialisme, status quo, dan prestise. Morgenthau mengatakan, All politics, domestic and international, reveals three basic patterns; that is, all political phenomena can be reduced to one of three basic types. A political policy seeks either to keep power, to increase power, and to demonstrate power. 16 Pertama, kebijakan negara mempertahankan kekuasan disebut dengan politik status quo. Kebijakan ini bertujuan menjaga keseimbangan kekuasaan di lingkup internasional. Kerjasama keamanan melalui aliansi adalah contoh bagaimana negara-negara menjaga struktur keseimbangan kekuasaan ini. Kedua, kebijakan negara meningkatkan kekuasaan disebut dengan politik imperialisme. Kebijakan ini memiliki tujuan yaitu mendominasi atau menjadi kekuatan hegemonik di level global, regional, dan lokal. Perang untuk menduduki negara lain atau membangun pangkalan militer di banyak tempat adalah contoh kebijakan imperialisme. Ketiga, kebijakan negara menunjukkan kekuasaan disebut dengan politik 15 Ibid., hlm Ibid., hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

53 prestise. Kebijakan ini bertujuan untuk mencari pengakuan (struggle for recognition) dari negara lain. Morgenthau mengatakan, the desire for social recognition is a potent dynamic force determining social relations and creating social institutions. The individuals seeks confirmation, on the part of his fellows, of the evaluation he puts upon himself. It is only in the tribute others pay to his goodness, intelligence, and power that he becomes fully aware of, and can fully enjoy, what he deems to be his superior qualities. It is only through his reputation for exellence that he can gain the measure of security, wealth, and power he regards to be his due. 17 Realisme Neoklasik Realisme neoklasik adalah teori kebijakan luar negeri yang mengombinasikan neorealisme dan realisme klasik, liberalisme, dan konstruktivisme. Aliran ini menyempurnakan kelemahan neorealisme yang dianggap tidak cukup memadai untuk menjelaskan politik luar negeri. Hal ini dikarenakan neorealisme menjelaskan perilaku negara dari tingkat analisis struktur internasional (outside looking in approach). Menurut logika berpikir neorealisme, perilaku setiap negara merupakan respons dari kondisi eksternal, yakni anarki. Jadi baik negara besar maupun kecil, juga terlepas dari karakteristik masingmasing negara, akan bertindak secara seragam. Neorealisme, dengan demikian, mengabaikan fakta bahwa negara-negara memiliki karakter kebijakan luar negeri yang beragam. Keragaman ini dilatarbelakangi oleh faktor domestik negara tersebut. Karena itu, realisme neoklasik mencoba 17 Ibid., hlm. 87. Indra Kusumawardhana 43

54 meminjam teori-teori HI lain (terutama yang berfokus pada tingkat analisis domestik) untuk melengkapi penjelasan mengenai kebijakan luar negeri. Secara garis besar, teori ini berasumsi bahwa kebijakan luar negeri merupakan produk dari penafsiran faktor domestik terhadap kondisi-kondisi eksternal. Skema di bawah ini menunjukkan bagaimana alur berpikir realisme neoklasik. Ada tiga variabel yang perlu menjadi perhatian analis kebijakan luar negeri. Variabel pertama adalah stimulus sistemik yang didefinisikan sebagai konteks eksternal kebijakan luar negeri. Variabel ini identik dengan neorealis yang menekankan pentingnya struktur internasional untuk menjelaskan perilaku negara. Konkretnya, faktor eksternal ini terutama adalah pola keseimbangan kekuatan antar negara-negara besar, baik di tingkat global maupun regional. Variabel kedua adalah faktor domestik yang dalam hal ini terbagi menjadi tiga tahap yaitu persepsi, pembuatan keputusan, dan implementasi keputusan. Faktor domestik yang menjadi pusat perhatian realisme neoklasik adalah peran persepsi pembuat kebijakan. Persepsi elit ini memainkan peran kunci karena realisme berasumsi bahwa kebijakan luar negeri bersifat elitis dimana pemimpin suatu negara sangat mendominasi proses perumusan kebijakan. Di sini, persepsi elit dikaitkan dengan faktor eksternal tadi. Maksudnya, bagaimana persepsi elit terhadap konteks internasional akan sangat menentukan proses perumusan kebijakan. Variabel ketiga adalah respons kebijakan atau kita kenal dengan kebijakan luar negeri. Ini adalah output dari persepsi elit terhadap faktor eksternal tadi. 44 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

55 Sumber: Norrin Ripsman, Jeffrey Taliafero, and Steven Lobell, Neoclassical Realist Theory of International Politics (New York: Oxford University Press, 2016), hlm. 31. Gambar 4.1 Alur pemikiran realisme neoklasik Meskipun persepsi elit memainkan peran penting, akan tetapi itu bukan satu-satunya faktor domestik yang menjelaskan kebijakan luar negeri. Ada empat faktor domestik yang sangat krusial peranannya dalam proses perumusan kebijakan yaitu pemikiran atau keyakinan pemimpin, budaya strategis, relasi negara-masyarakat, dan institusi domestik. Pertama, pemikiran atau keyakinan pemimpin biasa dikenal dengan pendekatan idiosinkratisme menekankan pentingnya kepribadian pemimpin seperti bagaimana pemikirannya tentang hakikat politik (termasuk politik internasional), bagaimana pemikirannya tentang kerjasama, tentang cara mengelola konflik, dan sebagainya. Hal-hal semacam ini penting sekali karena penafsiran elit terhadap konteks eksternal akan ditentukan oleh filosofinya di dunia politik secara umum. Misalnya, seorang pemimpin yang percaya bahwa konflik hanya bisa diselesaikan dengan kekerasan akan melihat perang di negara lain sebagai potensi ancaman sehingga ia akan berpikir untuk meningkatkan kekuatan Indra Kusumawardhana 45

56 militer dan persiapan menuju peperangan. Sebaliknya, seorang pemimpin yang percaya bahwa kerjasama adalah solusi jitu bagi konflik maka ia akan melihat perang di negara lain dengan cara berbeda. Mungkin ia akan berupaya mendamaikan pihak-pihak yang terlibat perang misalnya dengan mengirimkan utusan khusus dan sebagainya. Kedua, budaya strategis yakni seperangkat ide, norma, dan aturan yang dianut oleh suatu negara atau lembaga negara yang mengandung konsepsi tentang hakikat ancaman serta bagaimana cara mengatasi ancaman tersebut. Jadi, budaya strategis mencakup dua elemen yakni konsep ancaman dan strategi menghadapi ancaman. Budaya strategis bisa muncul dari beberapa sumber misalnya ideologi nasional, sejarah bangsa, filsafat, atau doktrin politik atau militer. Negara dengan ideologi komunis memiliki budaya strategis yang berbeda dengan negara demokratis. Negara yang punya pengalaman pahit dijajah ratusan tahun memiliki budaya strategis yang berbeda dengan negara yang tidak pernah dijajah. Negara dengan tradisi filsafat yang kaya memiliki budaya strategis yang berbeda dengan yang tidak punya tradisi filsafat. Negara yang tentaranya ikut aktif terlibat dalam politik memiliki budaya strategis yang berbeda dengan negara yang tentaranya profesional. Ketiga, relasi negara-masyarakat mengacu pada bagaimana dinamika interaksi antara pemerintah dan publik mempengaruhi kebijakan luar negeri. Faktor ini biasanya hanya berlaku pada negara demokratis dimana peran masyarakat cukup luas untuk memberikan masukan kepada pemerintah. Ini berbeda dengan negara otoriter dimana 46 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

57 pemimpin adalah aktor dan faktor satu-satunya kebijakan luar negeri. Di negara demokrasi, keberadaan aktor-aktor domestik semacam kelompok kepentingan, LSM, organisasi masyarakat, dan media massa sangat diperhitungkan. Seringkali, meskipun tidak selalu, peran aktor-aktor tersebut lebih dominan dibanding pemerintah. Dengan kata lain, keputusan yang dibuat pemerintah hanya mencerminkan kepentingan aktor-aktor domestik tadi. Misalnya, kebijakan luar negeri mungkin dipengaruhi oleh hasil jajak pendapat di media massa. Bisa juga dipengaruhi oleh desakan kelompok kepentingan. Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah tindakan aktor-aktor domestik tadi merupakan respons terhadap konteks internasional, bukan dalam keadaan vakum. Misalnya, kebijakan mengirim bantuan kemanusiaan ke negara lain bisa jadi karena desakan LSM kemanusiaan di negara tersebut yang concern dengan krisis kemanusiaan di negara lain akibat konflik negara-negara besar. Keempat, institusi domestik yaitu peran lembaga atau organisasi. Kebijakan luar negeri kerapkali dipengaruhi oleh keberadaan lembaga-lembaga di luar eksekutif. Misalnya saja peran legislatif untuk mempengaruhi proses perumusan kebijakan luar negeri. Meskipun keputusan di tangan eksekutif (melalui presiden, perdana menteri, atau menteri luar negeri), namun dalam prosesnya pengaruh lembaga di luar eksekutif berperan penting. Hal ini berlaku terutama untuk sistem demokrasi yang mengenal mekanisme check and balances. Di negara otoriter, situasi semacam ini kecil kemungkinannya terjadi dikarenakan sistem yang terpusat. Indra Kusumawardhana 47

58 Rangkuman Realisme adalah teori HI yang jamak dipakai untuk menganalisis kebijakan luar negeri. Akan tetapi, kebanyakan penstudi kebijakan luar negeri mereduksi realisme ke dalam konsep kepentingan nasional yang, sayangnya, didefinisikan secara serampangan. Banyak kalangan memasukkan pelbagai elemen ke dalam konsep kepentingan nasional menurut realisme, khususnya kepentingan ekonomi (wealth). Padahal, konsep kepentingan nasional menurut realisme terbatas pada isu keamanan dan kekuasaan yang cenderung berhubungan erat dengan elemen militer. Realisme klasik adalah teori kebijakan luar negeri yang mendasarkan asumsinya pada konsep kekuasaan (power) sebagai alat sekaligus tujuan negara. Selain itu realisme memandang remeh etika atau moralitas internasional kecuali hal itu melayani kepentingan negara. Sementara itu, realisme neoklasik beranjak lebih jauh dengan mengombinasikan faktor eksternal dan internal untuk menganalisis kebijakan luar negeri. Teori ini lebih menekankan pada peran variabel-variabel domestik seperti keyakinan dan pemikiran elit, budaya strategis, relasi negaramasyarakat, dan institusi domestik sebagai faktor penjelas kebijakan luar negeri. Studi kasus Kasus empiris yang akan kita gunakan untuk menguji teori realisme klasik dan realisme neoklasik adalah kebijakan luar negeri Indonesia di perairan Natuna. Wilayah Natuna merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia namun bersinggungan dengan konflik di Laut China Selatan yang melibatkan China dan sejumlah 48 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

59 negara ASEAN. Selama pemerintahan Jokowi, kebijakan Indonesia di kawasan tersebut cenderung asertif dalam arti menegaskan status kedaulatan Natuna kepada China. Pada kunjungan kedua Menlu AS Mike Pompeo ke Indonesia, 29 Oktober 2020, Menlu Retno Marsudi mengundang AS untuk berinvestasi di Natuna. Langkah ini dianggap para pengamat mencerminkan strategi hedging Indonesia untuk mengurangi dominasi China di kawasan. Meski demikian, bukan berarti Indonesia melawan China. Indonesia tetap menjalin hubungan jarak dekat dengan China melalui kesepakatan di bidang perdagangan dan investasi. Dari sudut pandang realisme klasik, kebijakan Indonesia tersebut dilandasi oleh adanya kepentingan nasional yakni keamanan. Menguatnya pengaruh China di kawasan memberikan dampak langsung bagi tingkat kerawanan Indonesia terutama menyangkut kawasan terluar. Dengan mengundang AS berinvestasi di Natuna, Indonesia merasa mendapatkan payung keamanan dari AS sehingga China akan berpikir berkali-kali untuk bersikap agresif di Natuna. Sementara itu, apabila dianalisis menggunakan teori realisme neoklasik, maka fokus perhatian diarahkan pada variabel domestik, misalnya saja kita ambil contoh budaya strategis Indonesia yang menganut doktrin Wawasan Nusantara. Doktrin ini menegaskan wilayah geografis Indonesia serta ancaman-ancaman apa saja yang berpotensi mengganggu kedaulatan Indonesia. Alhasil, kebijakan Indonesia mengundang AS berinvestasi di Natuna dipandang sebagai interpretasi pemerintah terhadap dinamika keamanan di kawasan serta dikaitkan dengan doktrin Wawasan Nusantara. Indra Kusumawardhana 49

60 Daftar pertanyaan 1. Bagaimana peran kekuasaan dalam perspektif realisme klasik? 2. Bagaimana pandangan realisme klasik tentang moralitas internasional? 3. Sebutkan tiga bentuk kebijakan luar negeri menurut Hans Morgenthau! 4. Apa kelemahan neorealisme dalam menjelaskan kebijakan luar negeri? 5. Bagaimana peran variabel domestik dalam realisme neoklasik untuk menjelaskan kebijakan luar negeri? Saran bacaan lebih lanjut 1. Untuk rujukan utama realisme klasik lihat Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, 6 th edn (Beijing: Peking University Press, 1997). 2. Untuk uraian komprehensif tentang varian-varian realisme lihat William Wohlforth, Realism, dalam Christian Reus-Smit and Duncan Snidal (eds.), The Oxford Handbook of International Relations (Clarendon: Oxford University Press, 2008). 3. Untuk pengantar tentang realisme neoklasik lihat Gideon Rose, Neoclassical realism and theories of foreign policy, World Politics, Vol. 51, No. 1 (1998), pp Untuk uraian komprehensif tentang realisme neoklasik lihat Norrin Ripsman, Jeffrey Taliafero, and Steven Lobell, Neoclassical Realist Theory of International Politics (New York: Oxford University Press, 2016). 50 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

61 B A B 5 LIBERALISME Rival realisme adalah liberalisme. Teori ini menjelaskan kebijakan luar negeri dengan cara yang kontras dengan realisme. Bagi para mahasiswa, liberalisme selalu dikaitkan dengan fenomena kerjasama internasional atau isu ekonomi, misalnya perdagangan internasional. Meskipun ini tidak salah, namun asosiasi semacam itu keliru. Faktanya, liberalisme jauh lebih luas daripada sekadar dua kata kunci; kerjasama dan ekonomi. Liberalisme mencakup gagasan filosofis sejak era Pencerahan di Eropa yang hingga kini masih diadopsi oleh sebagian besar masyarakat dunia. Bahkan, proyek liberalisme banyak mewarnai corak kebijakan luar negeri banyak negara, khususnya negara-negara Barat. Bab ini membahas liberalisme sebagai teori politik luar negeri. Namun demikian, bab ini terlebih dahulu akan melacak akar pemikiran liberalisme berikut asumsiasumsi dasarnya di dalam kajian HI. Selain itu, bab ini juga membahas beberapa cabang pemikiran liberalisme HI yang juga nanti mempengaruhi kebijakan luar negeri. Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami asumsi dasar liberalisme sebagai teori HI dan bagaimana Indra Kusumawardhana 51

62 penerapannya dalam menganalisis kebijakan luar negeri. Selain itu, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan studi kasus dengan teori liberalisme. Liberalisme sebagai teori HI Liberalisme adalah pemikiran yang berakar dari sejarah Eropa. Pemikiran ini memiliki banyak pencetus, namun yang paling menonjol setidaknya ada tiga orang; John Locke, Immanuel Kant, dan Adam Smith. Locke adalah filsuf Inggris yang terkenal dengan teori kontrak sosialnya tentang hakikat negara dan pemerintahan. Menurutnya, negara dibangun atas dasar kebutuhan masyarakat untuk menjamin hak-hak dasar mereka, yaitu hak untuk hidup, hak untuk bebas, dan hak untuk memiliki. Hal ini membuatnya berseberangan dengan pemikiran Thomas Hobbes yang mengajukan teori bahwa negara ada sebagai Leviathan yaitu monster yang mengekang sisi gelap sifat alamiah manusia. Dari pemikiran Locke ini, berkembang teori tentang demokrasi dan HAM. Dua konsep ini adalah ujung tombak nilai yang dijunjung tinggi kaum liberal sepanjang masa. Sementara Immanuel Kant menyumbangkan ide tentang republikanisme, yakni sebuah gagasan tentang bagaimana membangun dunia yang damai. Teorinya sederhana saja; bahwa perdamaian akan tercipta manakala semua negara menganut prinsip-prinsip republikan dimana keputusan pemerintah harus mendapatkan persetujuan dari publik (respublica). Menurut Kant, pemerintahan republik cenderung damai karena sangat sulit memutuskan berperang. Mekanisme pembuatan keputusan dalam sistem republik itulah yang membuat perang relatif sulit dilakukan. Alhasil, 52 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

63 sistem republik dalam bentuk demokrasi secara inheren pasifis (suka damai). Hal ini berbeda dengan sistem otoriter dimana keputusan tidak memerlukan persetujuan publik. Negara yang dipimpin seorang diktator cenderung lebih mudah menabuh genderang perang karena sifat pembuatan keputusannya yang terpusat. Pemikiran ini nantinya diadopsi oleh liberalisme republikan yang mengusung agenda perluasan demokrasi. Terakhir, liberalisme juga berutang pada pemikiran Adam Smith. Smith bukanlah filsuf politik melainkan ahli ekonomi Inggris. Konon, Smith adalah pencetus gagasan laissez faire atau pasar bebas yang menuntut peran minimal negara dalam kegiatan perekonomian. Dalam bukunya The Wealth of Nations, Smith menyatakan bahwa alasan kenapa negara tidak perlu campur tangan adalah karena perekonomian itu sudah memiliki hukum besinya sendiri, yakni permintaan dan penawaran. Smith menyebut hukum ini dengan metafor tangan tak terlihat (invisible hand). Campur tangan negara dalam perekonomian justru akan merusak tatanan ekonomi itu sendiri. Di samping itu, Smith juga beranggapan bahwa perdamaian antarnegara dapat diciptakan melalui perdagangan bebas. Hal ini dikarenakan ketika setiap negara bertindak berdasarkan logika ekonomi (rasionalitas mencari keuntungan), maka perang dan konflik akhirnya menjadi tidak penting. Perdagangan bebas itu bekerja mirip dengan aktivitas jual beli di pasar, dimana pembeli dan penjual sama-sama dimotivasi oleh kepentingannya sendiri hingga tercapainya kesepakatan jual beli. Jika hal ini tercapai, maka akan tercipta suatu keadaan yang dinamakan harmoni sosial. Indra Kusumawardhana 53

64 Di ranah HI, liberalisme memiliki sejumlah asumsi dasar. 18 Pertama, kontras dengan realis, aktor internasional bukanlah negara melainkan individu dan kelompok. Liberalisme adalah teori yang berangkat dari ranah domestik (inside looking out), yaitu mempercayai asumsi bahwa tindakan negara hanyalah representasi dari tindakan individu-individu dan kelompok di dalam negara. Akan tetapi, sama dengan realis, liberalisme juga meyakini prinsip rasionalitas dimana aktoraktor domestik tadi bertindak berdasarkan kalkulasi untungrugi. Artinya, mereka mengejar kepentingannya sendiri sedangkan peran negara hanyalah menjadi penyambung lidah aktor-aktor tadi. Dengan kata lain, konsep negara kaum liberalis tidak bersifat uniter seperti realis. Akan tetapi, negara hanyalah alat kepentingan publik, sehingga signifikansinya dalam hubungan internasional hanya sekunder. Aktor-aktor domestik tadi yang memegang peranan kunci. Kedua, kepentingan nasional bukanlah kepentingan negara melainkan kepentingan aktor-aktor domestik tadi. Liberalisme percaya bahwa tindakan negara adalah representasi dari dinamika di dalam negeri. Aktoraktor domestik saling bersaing supaya kepentingannya diakomodasi oleh pemerintah. Keberadaan individu berpengaruh, kelompok kepentingan, organisasi masyarakat berpengaruh, media massa nasional, dan lain sebagainya menjadi begitu penting bagi kaum liberalis. Peran mereka begitu besar karena seringkali kebijakan negara tidak mewakili kepentingan publik secara umum tetapi hanya segelintir individu atau kelompok berpengaruh di negara 18 Mohamad Rosyidin, Teori Hubungan Internasional: Dari Perspektif Klasik Sampai Non-Barat (Depok: Rajagrafindo, 2020), hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

65 tersebut. Gagasan liberalisme sangat mencerminkan sistem demokrasi liberal Barat yang memberi ruang begitu besar bagi aktor-aktor domestik untuk berkontestasi. Ketiga, menurut kaum liberal hubungan internasional itu tidak konfliktual melainkan kolaboratif. Bagi kaum liberal, berkolaborasi adalah fitrah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Walaupun demikian, liberalis juga mengakui bahwa struktur internasional bersifat anarki, yaitu tidak ada otoritas di atas negara yang dapat memaksakan keputusannya kepada negara. Namun, berbeda dengan realis yang melihat konsekuensi anarki sebagai sesuatu yang penuh benturan antarnegara, liberal melihat secara lebih optimis bahwa sekalipun dalam kondisi anarki hubungan antarnegara tetap bisa berjalan secara harmonis dengan kerjasama saling menguntungkan. Bagi liberalis, kerjasama dapat dimungkinkan meskipun dalam suasana anarki karena negara memandang satu sama lain sebagai mitra bukan musuh. Mereka percaya bahwa hanya dengan kerjasama kepentingan mereka dapat tercapai. Liberalisme pecah menjadi beberapa aliran, diantaranya yang menonjol adalah liberalisme republikan, liberalisme interdependensi, dan neoliberal institusionalisme. Pertama, liberalisme republikan telah kita singgung sebelumnya terinspirasi dari ide Immanuel Kant. Di ranah HI, aliran ini identik dengan pemikiran Michael Doyle. Ia dikenal dengan teori perdamaian demokratis (democratic peace theory) yang menegaskan kembali ide Kant bahwa negara-negara demokrasi tidak saling berperang. Ia menyatakan: Republican representation and separation of powers are produced because they are the means by which the state is organized Indra Kusumawardhana 55

66 well to prepare for and meet foreign threats (by unity) and to tame the ambitions of selfish and aggressive individuals (by authority derived from representation, by general laws, and by non-despotic administration). States which are not organized in this fashion fail. Monarchs thus cede rights of representation to their subjects in order to strengthen their political support or to obtain tax revenue. This argument provides a plausible, logical connection between conflict, internal and external, and republicanism; and it highlights interesting associations between the rising incidence of international war and the increasing number of republics. 19 Kedua, liberalisme interdependensi terinspirasi dari ide Adam Smith (juga Richard Cobden dan David Schumpeter) mengenai rasionalitas ekonomi yang menciptakan perdamaian. Patrick McDonald berpendapat perdagangan bebas menciptakan perdamaian karena mencegah kelompokkelompok di dalam negeri mengambil keuntungan dari konflik dan peperangan. Ia menyatakan: Free trade reduces military conflict in the international system by undermining the domestic political power of interests that benefit from conflict and by limiting the state s ability to enact commercial policies to build domestic coalitional support for its war machine. 20 Penganut aliran ini, Richard Rosecrance dalam bukunya The Rise of Trading States, berpendapat bahwa andaikan perdagangan cukup bebas dan terbuka, mereka [negara] tak perlu menaklukkan wilayah baru untuk membangun perekonomian mereka dan menjamin daerah pasaran. Semakin menarik sistem 19 Michael Doyle, Liberal Peace: Selected Essays (New York: Routledge, 2012), hlm Patrick McDonald, Peace through trade or free trade? Journal of Conflict Resolution, Vol. 48, No. 4 (2004), hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

67 perdagangan, semakin sedikit bangsa-bangsa yang memilih sistem politik militer. 21 Ketiga, neoliberal institusionalisme merupakan sintesis antara neorealisme dan liberalisme. Teori ini berasumsi bahwa kerjasama antarnegara dimungkinkan meskipun dalam kondisi anarki dengan perantara rezim internasional. Proponen teori ini, Robert Keohane dalam bukunya After Hegemony menyatakan bahwa rezim internasional memfasilitas kerjasama antaranegara yang didorong oleh motif mementingkan diri sendiri. Keberadaan rezim internasional itu, dengan demikian, menjadi instrumen kepentingan nasional. Keohane lebih lanjut menguraikan alasan mengapa rezim internasional mampu memfasilitasi kerjasama internasional: International regimes perform the valuable functions of reducing the costs of legitimate transactions, while increasing the costs of illegitimate ones, and of reducing uncertainty. International regimes by no means substitute for bargaining; on the contrary, they authorize certain types of bargaining for certain purposes. Their most important function is to facilitate negotiations leading to mutually beneficial agreements among governments. Regimes also affect incentives for compliance by linking issues together and by being linked together themselves. Behavior on one set of questions necessarily affects others actions with regard to other matters. 22 Jadi dapat disimpulkan bahwa neoliberal institusionalisme sangat mementingkan keberadaan rezim internasional sebagai fasilitator kerjasama antarnegara. 21 Richard Rosecrance, Kebangkitan Negara Dagang: Perdagangan dan Penaklukan di Dunia Modern (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 20 dan Robert Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy (New Jersey: Princeton University Press, 1984), hlm Indra Kusumawardhana 57

68 Liberalisme sebagai teori kebijakan luar negeri Teori liberal HI akan kita turunkan untuk secara khusus menjelaskan kebijakan luar negeri. Tidak ada perbedaan signifikan antara liberalisme HI dan liberalisme kebijakan luar negeri. Perbedaannya barangkali hanya pada obyek penelitiannya. Namun, khusus teori neoliberal institusionalisme, kita tidak dapat memakai teori ini untuk kepentingan kita menganalisis kebijakan luar negeri sematamata karena teori ini merupakan teori politik internasional. Sementara teori liberalisme interdependensi tidak kita singgung di sini karena fokus kita bukan kebijakan luar negeri dalam isu ekonomi (foreign economic policy). Di bagian ini kita akan mendiskusikan dua karakter kebijakan luar negeri liberal yakni pendekatan berbasis domestik (domestic approach) untuk menjelaskan kebijakan luar negeri dan pendekatan berbasis nilai dalam praktik kebijakan luar negeri (value-based foreign policy). Pertama, karakter utama teori liberal yaitu menganalisis kebijakan luar negeri melalui pendekatan domestik. Seperti telah diuraikan di bagian sebelumnya, salah satu asumsi dasar liberalisme HI adalah memandang pentingnya keberadaan aktor-aktor domestik alih-alih memperlakukan negara sebagai aktor uniter. Andrew Moravscik mengatakan, Liberal theory rests on a bottom-up view of politics in which the demands of individuals and societal groups are treated as analytically prior to politics. Political action is embedded in domestic and transnational civil society, understood as an aggregation of boundedly rational individuals with differentiated tastes, social commitments, and resource endowments. Socially differentiated individuals define their material and ideational interests independently of politics and 58 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

69 then advance those interests through political exchange and collective action. 23 Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan luar negeri adalah cermin dari kepentingan aktoraktor domestik. Aktor-aktor tersebut memiliki kepentingannya masing-masing dan berusaha memperjuangkan kepentingan tersebut di dalam proses perumusan kebijakan. Moravscik menyebut negara bukan aktor kebijakan luar negeri melainkan sekadar pelaksana dari kepentingan aktoraktor domestik. Dengan demikian, aktor utama kebijakan luar negeri adalah aktor-aktor domestik tadi. Menurut Moravscik, In the liberal conception of domestic politics, the state is not an actor but a representative institution constantly subject to capture and recapture, construction and reconstruction by coalitions of social actors. 24 Pemerintah berperan sebagai penampung aspirasi publik untuk kemudian diolah menjadi produk kebijakan. Tentu saja, tidak semua aktor domestik memiliki peluang dan pengaruh yang sama terhadap proses perumusan kebijakan. Ada yang lemah, ada pula yang kuat pengaruhnya tergantung pada sumberdaya, strategi, dan koneksi dengan pemerintah. Aspirasi aktor domestik ini kemudian turut mendefinisikan konsep kepentingan nasional. Menurut Moravscik, kepentingan nasional dalam terminologi liberal disebut dengan preferensi yaitu a set of fundamental interests defined across states of the world. Preferences are by definition causally independent of the strategies of other actors and, therefore, prior to specific interstate political interactions, including 23 Andrew Moravscik, Taking preferences seriously: a liberal theory of international politics, International Organization, Vol. 51, No. 4 (1997), hlm Ibid., hlm Indra Kusumawardhana 59

70 external threats, incentives, manipulation of information, or other tactics. 25 Jadi, antara konsep preferensi dan kepentingan nasional sebenarnya sama saja; mengacu pada tujuan-tujuan aktor yang mendasari tindakannya. Kedua, karakter kebijakan luar negeri liberal adalah mengusung nilai-nilai fundamental yaitu demokrasi dan HAM. Kedua nilai ini merupakan nilai paling mendasar dalam filosofi liberalisme. Tak mengherankan apabila kebijakan luar negeri negara-negara Barat mencerminkan nilai-nilai ini karena liberalisme telah menjadi ideologi masyarakat Barat sejak ratusan tahun. AS dan Eropa adalah aktor internasional yang kerap memperjuangkan demokrasi dan HAM dan mengintegrasikannya ke dalam kebijakan luar negeri mereka. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa demokrasi dan HAM merupakan nilai universal (bukan spesifik untuk masyarakat liberal) yang harus diadopsi oleh semua negara. Mereka beranggapan bahwa perdamaian hanya bisa diwujudkan apabila kedua nilai itu dianut dan menjadi praktik politik negara-negara. Jelas asumsi ini merujuk pada pemikiran Immanuel Kant tentang konsep perdamaian abadi (perpetual peace) yang mensyaratkan prinsip republikanisme dan pemikiran Michael Doyle tentang teori perdamaian demokratis. Di jaman Perang Dunia I, prinsip ini diadopsi dan dikampanyekan Woodrow Wilson guna mengakhiri perang. Di tataran politik luar negeri, gagasan liberal ini mengejawantah ke dalam aliran kebijakan luar negeri khas AS yaitu liberal internasionalisme. Gagasan ini mengacu pada hasrat negara-negara liberal untuk menyebarluaskan 25 Ibid., hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

71 nilai-nilai liberal (khususnya demokrasi) ke seluruh dunia. Roland Paris mendefinisikan liberal internasionalisme sebagai an activist foreign policy that promotes liberal principles abroad, especially through multilateral cooperation and international institution. 26 Meskipun titik tekannya pada kerjasama multilateral dan lembaga-lembaga internasional, namun dalam praktiknya liberal internasionalisme kerap menggunakan instrumen koersif (militer). Secara umum, agenda menyebarluaskan nilai-nilai liberal dilakukan dengan dua cara yaitu mempromosikan demokrasi (democracy promotion) dan perubahan rezime (regime change). Mempromosikan demokrasi bisa dilakukan mulai dari cara-cara halus (misalnya bantuan luar negeri, pertukaran budaya, skema beasiswa, pertukaran pelajar dan mahasiswa, seminar, konferensi, penelitian, dan sebagainya) sampai yang memaksa (misalnya teknik naming and shaming dan sanksi ekonomi). Sementara pendekatan perubahan rezim biasanya dilakukan dengan instrumen militer yakni menginvasi negara non-demokratis dan menggantinya dengan pemerintahan demokratis. Invasi AS ke Afganistan tahun 2001 dan Irak tahun 2003 serta invasi NATO ke Libya tahun 2011 adalah contoh pendekatan ini. Selain itu, strategi perubahan rezim bisa juga dilakukan dengan cara tak langsung, yaitu mendukung kelompok pemberontak untuk menumbangkan rezim yang dianggap tidak bersahabat dengan negara-negara Barat yang liberal. AS dan Inggris dalam sejarahnya melakukan operasioperasi intelijen untuk mendukung kelompok pemberontak di banyak negara Dunia Ketiga sepanjang era Perang Dingin. 26 Roland Paris, Peacebuilding and the limits of liberal internationalism, International Security, Vol. 22, No. 2 (1997), hlm. 59. Indra Kusumawardhana 61

72 Semua ini adalah bagian dari upaya menciptakan zona damai dengan memerangi rezim-rezim non-demokratis. Karakter ini sekaligus menyangkal anggapan umum bahwa liberalisme tidak menyukai peperangan dan lebih memilih perdagangan bebas. Menurut kaum liberal internasionalis, perang demi demokrasi adalah sah dan dapat dibenarkan (legitimate and justified). Meskipun demikian, di kalangan penganut liberalisme sendiri, pendekatan ini dikritik dengan sebutan imprudence liberalism yaitu kecenderungan negara liberal berperang dengan negara nonliberal. Michael Doyle mengatakan, Peaceful restraint only seems to work in liberals relations with other liberals. Liberal states have fought numerous wars with non-liberal states. 27 Berbeda dengan prudence liberalism yang bersifat defensif (negara liberal membela diri dari agresi negara non-liberal), imprudence liberalism terjadi ketika negara liberal menginvasi negara nonliberal dengan motivasi menyebarluaskan demokrasi. 28 Rangkuman Liberalisme memandang kebijakan luar negeri sebagai produk dari dinamika politik domestik. Aktor-aktor domestik baik individu maupun kelompok memagang peranan penting di baliknya. Sementara negara hanyalah aktor pasif yang sekadar melaksanakan apa yang menjadi desakan aktor-aktor domestik tadi. Alhasil, apa yang kemudian dikenal dengan 27 Michael Doyle, Liberalism and world politics, American Political Science Review, Vol. 80, No. 4 (1986), hlm Pauline Kleingeld (ed.), Toward Perpetual Peace and Other Writings on Politics, Peace, and History (New Haven: Yale University Press, 2006), hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

73 kepentingan nasional hanyalah representasi dari kepentingan aktor-aktor domestik tadi. Selain itu, karakteristik menonjol dari kebijakan luar negeri liberal adalah adanya agenda menyebarluaskan demokrasi dan HAM ke seluruh dunia. Hal ini dilandasi prinsip republikanisme yang percaya bahwa perdamaian tercipta apabila demokrasi diadopsi sebagai prinsip universal. Kebijakan memerangi negara nondemokratis adalah representasi perang antara negara liberal dan non-liberal. Studi kasus Studi kasus ini akan mengambil dua contoh untuk menunjukkan bagaimana liberalisme menganalisis kebijakan luar negeri Indonesia. Contoh kasus pertama adalah kebijakan Indonesia di bawah pemerintahan B.J. Habibie meratifikasi International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) atau disingkat CERD. Ratifikasi itu tertuang dalam UU Nomor 29 Tahun Meskipun ini merupakan kebijakan domestik, namun meratifikasi norma internasional termasuk ke dalam dimensi kebijakan luar negeri. Menggunakan teori liberal, kebijakan tersebut dipengaruhi oleh desakan aktor-aktor domestik, yang dalam kasus itu adalah desakan dari masyarakat sipil pro-demokrasi yang berkepentingan terhadap jaminan perlindungan HAM dari negara. Contoh kasus kedua adalah pembentukan Bali Democracy Forum (BDF) di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). BDF dibentuk tahun 2008 yang bertujuan untuk mempromosikan demokrasi di kawasan. Indra Kusumawardhana 63

74 Indonesia menjadi inisiator forum multilateral ini karena di masa SBY berkuasa, demokrasi menjadi salah satu nilai yang sangat dijunjung tinggi. Indonesia bangga dengan reputasinya sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia yang menjadikannya merasa sebagai role model demokrasi di Asia. Menggunakan perspektif liberal, kebijakan SBY membentuk BDF dipandang sebagai bentuk kebijakan luar negeri liberal yang bertujuan mempromosikan demokrasi. Sebab dengan demokrasi, stabilitas keamanan dan kesejahteraan kawasan dapat diwujudkan. Daftar pertanyaan 1. Bagaimana liberalisme memandang peran negara dalam politik luar negeri? 2. Bagaimana konsep kepentingan nasional menurut teori liberal? 3. Apa asumsi dasar teori perdamaian demokratis? Bagaimana teori ini berkaitan dengan teori liberal internasionalisme? 4. Mengapa negara berhasrat menyebarluaskan nilainilai demokrasi dan HAM ke seluruh dunia? 5. Apakah demokrasi benar-benar menjamin perdamaian dan kesejahteraan? Saran bacaan lebih lanjut 1. Untuk memahami asumsi dasar liberalisme HI silakan baca Andrew Moravscik, Taking preferences seriously: a liberal theory of international politics, International Organization, Vol. 51, No. 4 (1997), pp Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

75 2. Untuk memahami dasar pemikiran teori perdamaian demokratis lihat Michael Doyle, Liberal Peace: Selected Essays (New York: Routledge, 2012). 3. Untuk analisis kebijakan luar negeri liberal internasionalis negara Barat lihat Rita Abrahamsen, Louise Riis Andersen, and Ole Jacob Sending, Introduction: Making liberal internationalism great again? International Journal, Vol. 41, No. 1 (2019), pp Indra Kusumawardhana 65

76 B A B 6 KONSTRUKTIVISME Dari sekian banyak ragam teori HI, konstruktivisme menjadi salah satu varian yang bisa dikatakan paling populer di kalangan mahasiswa. Konstruktivisme dianggap alternatif terhadap cara pandang kita tentang politik global. Riset-riset HI di Indonesia cukup banyak yang menggunakan konstruktivisme sebagai pisau analisis. Perkembangan ini menggembirakan karena menunjukkan keragaman cara berpikir penstudi HI Indonesia yang selama puluhan tahun didominasi oleh perspektif realis. Bab ini mendiskusikan konstruktivisme sebagai teori politik luar negeri. Sebelum mendiskusikan konsep-konsep kunci kontruktivisme, bagian pertama membahas premis dasar konstruktivisme dalam HI. Selanjutnya, bagian kedua membahas konsep identitas dan bagaimana ia menjelaskan kebijakan luar negeri. Bagian ketiga membahas konsep norma dan penerapannya untuk menganalisis kebijakan luar negeri. Bagian terakhir membahas konsep budaya dan aplikasinya untuk menganalisis kebijakan luar negeri. Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami premispremis dasar kontruktivisme serta konsep-konsepnya. 66 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

77 Mahasiswa juga diharapkan mampu menerapkan salah satu dari konsep-konsep tadi untuk menganalisis kebijakan luar negeri. Premis dasar konstruktivisme Konstruktivisme adalah teori HI yang meminjam pendekatan sosiologi dan psikologi sosial untuk menjelaskan politik global. Hal ini berbeda dari teori-teori lain semisal realisme dan liberalisme yang mengadopsi teori politik. Pendekatan sosiologis ini dianggap lebih memadai karena mampu menjangkau dimensi tak kasat mata yang cenderung diabaikan oleh teori-teori klasik. Alexander Wendt, salah satu proponen konstruktivisme paling menonjol, memberi judul bukunya Social Theory of International Politics. Buku itu adalah disertasinya yang ia tujukan untuk memfalsifikasi karya monumental Kenneth Waltz Theory of International Politics yang meletakkan dasar kemunculan teori neorealisme. Wendt mengatakan bahwa politik international bukan ditentukan oleh kapabilitas material (sebagaimana klaim neorealisme), melainkan gagasan: the character of international life is determined by the beliefs and expectations that states have about each other, and there are constituted largely by social rather than material structures. 29 Ada tiga asumsi dasar konstruktivisme. 30 Pertama, aktor internasional tidak hanya negara tetapi juga non-negara. Dalam memandang aktor ini, konstruktivisme terbelah antara 29 Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hlm Mohamad Rosyidin, Teori Hubungan Internasional: Dari Perspektif Klasik Sampai Non-Barat (Depok: Rajagrafindo, 2020), hlm Indra Kusumawardhana 67

78 mereka yang memandang negara sebagai aktor utama (state centric) dan mereka yang mementingkan aktor non negara. Alexander Wendt sendiri termasuk ke dalam kelompok yang beraliran state centric. Ia menyatakan, states are still the primary medium through which the effects of other actors on the regulation of violence are channeled into the world system. system change ultimately happens through states. 31 Sedangkan kelompok lain seperti Martha Finnemore lebih menekankan pada peran organisasi internasional. 32 Kathryn Sikkink memfokuskan pada organisasi transnasional. 33 Meskipun berbeda fokus penelitian, mereka sama-sama percaya bahwa yang menggerakkan aktor-aktor internasional tersebut adalah faktor gagasan ketimbang material. Kedua, konsep kepentingan nasional menurut konstruktivisme tercipta melalui proses-proses sosial (socially constructed), bukan sudah jadi (given). Artinya, apa yang menjadi keinginan atau tujuan aktor muncul melalui interaksi antaraktor. Konsepsi ini berbeda dengan realisme atau liberalisme yang berasumsi bahwa kepentingan sudah ada terlebih dahulu, negara tinggal mengejar tujuan itu. Bagi realis, kepentingan negara adalah power, sebagaimana dikatakan Morgenthau. Sementara bagi liberalis, kepentingan negara adalah wealth. Mereka beranggapan bahwa negara manapun, tidak peduli besar atau kecil, terlepas oleh ideologinya, akan mengejar kedua hal tersebut sebagai kepentingan nasional. Sebaliknya, bagi konstruktivis, tidak ada definisi baku tentang kepentingan. Tiap-tiap aktor punya kepentingannya 31 Op.cit., hlm Lihat misalnya, National Interest in International Society (Ithaca: Cornell University Press, 1996). 33 Lihat misalnya, Activists Beyond Borders: Advocacy Networks in International Politics (Ithaca: Cornell University Press, 1998). 68 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

79 masing-masing tergantung pada proses-proses sosial dimana ia terlibat. Alhasil, kepentingan nasional bagi konstruktivis tak dapat dilepaskan dari konteksnya. Ketiga, struktur internasional dicirikan dengan distribusi gagasan. Konstruktivis meyakini pandangan bahwa faktor gagasan atau dimensi non-material lebih penting daripada dimensi material. Inilah perbedaan pokok antara konstruktivisme dan realisme. Dalam mengkritik realisme yang terlalu mendewakan distribusi kapabilitas (militer), Alexander Wendt menunjukkan metafor bahwa 5 buah senjata nuklir Korea Utara jauh lebih menakutkan bagi AS dibanding 500 senjata nuklirnya Inggris. Jika menggunakan logika realis, tentu AS akan lebih takut pada senjata nuklirnya Inggris (karena jauh lebih banyak dan canggih). Namun ini bertentangan dengan fakta. Wendt menjelaskan bahwa ini terjadi karena rasa takut AS bukan disebabkan oleh kapabilitas material (jumlah senjata nuklir) melainkan penafsiran AS terhadap Korut dan Inggris; Korut dimaknai sebagai musuh sedangkan Inggris sebagai teman. 34 Hal ini bukan berarti konstruktivisme menolak keberadaan fakta-fakta material. Tanpa fakta material, interpretasi mustahil muncul. Wendt mengatakan bagi konstruktivis peran fakta-fakta material sekunder belaka; yang primer adalah interpretasi aktor. 35 Identitas dan kebijakan luar negeri Konsep pertama yang akan kita pakai untuk menganalisis kebijakan luar negeri adalah identitas. Wendt mendefinisikan identitas yaitu, a property of intentional actors that generates 34 Alexander Wendt, Constructing international politics, International Security, Vol. 20, No. 1 (1995), hlm Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, op.cit., hlm. 24. Indra Kusumawardhana 69

80 motivational and behavioral dispositions. 36 Identitas berfungsi sebagai atribut yang memberikan dasar pemaknaan bagi subyek (aktor negara) untuk menafsirkan lingkungan di sekitarnya. Ketika negara ingin merespons tindakan atau situasi di lingkungan internasional, ia akan melihat ke dalam jati dirinya terlebih dahulu. Pemahaman diri (selfunderstanding) negara ini pada gilirannya akan menciptakan suatu pemaknaan terhadap realitas eksternal. 37 Sebagai contoh, ketika Indonesia ingin merespons kasus konflik di Afganistan, Indonesia menyadari identitasnya sebagai pencipta perdamaian yang merasa ikut bertanggungjawab menyelesaikan konflik di negara itu. Contoh lagi misalnya ketika Jepang ingin merespons uji coba nuklir Korea Utara, ia mencoba melihat identitasnya sebagai stabilisator keamanan di Asia Timur. Jadi, negara menurut konstruktivis diperlakukan layaknya individu yang memiliki kesadaran akan siapa dirinya serta bagaimana ia akan bersikap terhadap lingkungan eksternalnya. Identitas adalah dasar bagi definisi tentang kepentingan, sementara kepentingan adalah dasar bagi tindakan. Berdasarkan cara berpikir ini, konstruktivis melihat bahwa kepentingan tercipta oleh identitas. Pemahaman diri negara pada gilirannya akan menentukan apa yang menjadi tujuannya. Misalnya seorang polisi (identitas) akan menyadari bahwa tujuannya adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kepentingan). Negara yang merasa identitasnya sebagai pencipta perdamaian akan menyadari bahwa kepentingannya adalah berusaha menciptakan 36 Ibid., hlm Mohamad Rosyidin, The Power of Ideas: Konstruktivisme dalam Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2015), hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

81 perdamaian dan mencegah konflik. Negara dengan identitas sebagai negara demokrasi akan merasa kepentingannya adalah mempromosikan nilai-nilai demokrasi ke seluruh dunia. Kepentingan ini kemudian mendasari kebijakan luar negeri. Misalnya, negara yang kepentingannya berusaha menciptakan perdamaian dan mencegah konflik maka kebijakan luar negerinya (misalnya) akan mengirimkan utusan khusus untuk menengahi konflik internasional. Negara yang kepentingannya mempromosikan nilai-nilai demokrasi maka kebijakan luar negerinya (misalnya) akan mendukung kelompok pro-demokrasi di negara otoriter. Jadi, konstruktivis tidak melihat kepentingan sebagai sesuatu yang sudah baku, kaku, dan permanen melainkan fleksibel, plastis, dan berubah-ubah tergantung konteks pemahaman diri negara. Sumber: Mohamad Rosyidin, The Power of Ideas: Konstruktivisme dalam Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2015), hlm. 49. Gambar 6.1 Hubungan logis antara identitas, kepentingan, dan tindakan Identitas negara ada bermacam-macam. Wendt membagi tipologi identitas menjadi empat yaitu identitas Indra Kusumawardhana 71

82 korporat, tipe, peran, dan kolektif. Pertama, identitas korporat adalah jenis identitas yang cenderung tetap dan mengacu pada ciri-ciri intrinsik negara tersebut. Identitas korporat menjadi pembeda antara satu negara dan negara lainnya. Unsur identitas ini bisa berupa unsur material seperti karakteristik geografis dan demografis maupun unsur nonmaterial seperti kesadaran berbangsa dan bernegara. Identitas ini keberadaannya juga tidak tergantung dengan lingkungan eksternal. Maksudnya, negara tidak memerlukan interaksi dengan pihak lain (significant other) untuk membentuk identitas jenis ini. Identitas ini murni terbentuk dari dalam diri negara sendiri atau identitas personal. Wendt mengatakan, corporate identities are personally exogenous to Otherness. 38 Contoh identitas ini adalah Indonesia merupakan negara kepulauan atau maritim, Indonesia negara majemuk, China adalah negara peradaban, India adalah bekas negara jajahan, dan sebagainya. Kedua, identitas tipe atau identitas golongan yaitu jenis identitas yang mengacu pada cap atau karakteristik intrinsik suatu negara. Identitas jenis ini berkaitan dengan klasifikasi negara berdasarkan unsur-unsur tertentu misalnya sistem politik, sistem ekonomi, ideologi, agama, karakter kebijakan luar negeri, dan sebagainya. Hal ini membuat jenis identitas ini mirip dengan identitas korporat karena keberadaannya tidak membutuhkan interaksi dengan pihak lain. Artinya, identitas tipe muncul semata-mata karena suatu negara mempunyai unsur-unsur intrinsik yang menjadikannya diklasifikasikan seperti itu. Contoh identitas tipe adalah 38 Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, op.cit., hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

83 Indonesia adalah negara demokrasi, China adalah negara komunis yang kapitalis, Arab Saudi adalah negara Islam, Kanada adalah negara kekuatan menengah (middle power), Jerman dan Jepang adalah negara pasifis, dan sebagainya. Ketiga, identitas peran merupakan jenis identitas yang mengacu pada kewajiban atau tanggung jawab negara di lingkungan internasional. Identitas jenis ini bukan karakteristik intrinsik dari suatu negara melainkan bagaimana negara memandang peran yang disandangnya berhadapan dengan negara-negara lain. Berbeda dari tipologi identitas sebelumnya, identitas ini tercipta melalui interaksi dengan aktor lain atau dinamakan identitas sosial. Wendt mengatakan, one can have these identities only by occupying a position in a social structure and following behavioral norms toward Others possessing relevant counter-identities. 39 Suatu negara misalnya menyandang peran sebagai pencipta perdamaian maka negara tersebut akan berperilaku demikian terhadap negara atau situasi yang tidak damai misalnya konflik, sengketa, atau perang. Dengan kata lain, kesadaran negara atas identitas perannya tidak dapat dipisahkan dari konteks eksternal atau significant others yang membentuk kesadaran tadi. Analogi sederhana misalnya seorang polisi akan merasa dirinya sebagai petugas penjaga keamanan dan ketertiban manakala dihadapkan pada situasi yang tidak aman dan tidak tertib. Keempat, identitas kolektif pemahaman kolektif antarnegara dimana mereka memiliki kesamaan dalam hal-hal tertentu. Sama seperti identitas peran, identitas ini 39 Ibid., hlm Indra Kusumawardhana 73

84 merupakan identitas sosial yang tercipta melalui interaksi dengan aktor lain. Dua negara yang sama-sama menganut sistem demokrasi cenderung punya pikiran dan kepentingan yang sama (shared identity and shared interest). Begitupun dua negara yang mengadopsi agama atau budaya yang sama. Kesamaan ini mengakibatkan mereka berperilaku layaknya tim. Menurut konstruktivis, Identitas jenis ini menganut logika kelompok yang berlandaskan rasa solidaritas. Dalam suatu kelompok yang terdiri dari kumpulan individu atau negara, masing-masing mengidentifikasi satu sama lain sebagai teman. Identifikasi positif ini menciptakan struktur pemahaman bersama yang mengikat mereka dalam satu identitas tunggal. 40 Komunitas keamanan adalah contoh klasik bagaimana identitas kolektif ini bekerja membentuk solidaritas antarnegara. Aliansi keamanan juga terkadang dilandasi identitas kolektif meskipun biasanya dimotivasi oleh ancaman bersama. Hubungan AS-Inggris bisa kita ambil sebagai contoh bagaimana identitas kolektif sebagai bangsa Anglo-Saxon memperkuat hubungan keduanya. Norma dan kebijakan luar negeri Konsep konstruktivis lain yang penting sebagai pisau analisis adalah norma. Norma adalah a standard of appropriate behavior for actors with a given identity. 41 Norma berhubungan dengan konsep baik-buruk, pantas-tidak pantas, yang disepakati oleh masyarakat. Menurut konstruktivis, Aktor- 40 Mohamad Rosyidin, The Power of Ideas, op.cit., hlm Martha Finnemore and Kathryn Sikkink, International norms dynamic and political change, International Organization, Vol. 52, No. 4 (1998), hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

85 aktor hubungan internasional, terutama negara, melakukan sesuatu tindakan karena mereka dituntun oleh aturan-aturan, prinsip-prinsip, norma-norma yang disepakati bersama, serta keyakinan bahwa kesemuanya menyediakan pengertian tentang hal-hal yang penting, berharga, dan baik, serta caracara yang efektif atau legitimate untuk merengkuhnya. 42 Pemahaman ini sepertinya bertentangan dengan logika kaum rasionalis dimana negara-negara senantiasa berperilaku berdasarkan untung-rugi. Namun, kaum konstruktivis percaya bahwa negara kadangkala atau bahkan seringkali bertindak tidak berdasarkan rasionalitas semata melainkan berdasarkan logika kepantasan (logic of appropriateness). Sama seperti konsep identitas yang sudah diuraikan sebelumnya, kepentingan nasional merupakan derivasi dari norma. Artinya, norma mendefinisikan apa tujuan yang hendak diraih negara. Kaum konstruktivis meyakini bahwa negara sebenarnya tidak tahu mengenai kepentingannya sampai kemudian diberitahu oleh norma. Martha Finnemore mengatakan, State interests are defined in the context of internationally held norms and understandings about what is good and appropriate. That normative context influences the behavior of decisionmakers and of mass publics who may choose and constrain those decisionmakers. 43 Pernyataan ini mengimplikasikan bahwa perilaku negara akan mengacu pada norma yang menyediakan dasar pengertian tentang kepentingan nasional. Di dalam karyanya yang lain, Finnemore mengatakan bahwa keberadaan organisasi-organisasi internasional 42 Mohamad Rosyidin, The Power of Ideas, op.cit., hlm Martha Finnemore, National Interest in International Society, op.cit., hlm. 2 Indra Kusumawardhana 75

86 penting karena, State policies and structures are influenced by intersubjective systemic factors, specifically by norms promulgated within the international system. 44 Ada dua fungsi norma. Pertama, norma regulatif yaitu norma yang secara langsung mendikte tindakan negara. Fungsi norma ini sama seperti rambu-rambu lalu-lintas yang mengarahkan pengguna jalan. Dalam konteks kebijakan luar negeri, fungsi norma ini memandu negara mengenai apa yang harus dan tidak harus dilakukan. Sebagai contoh, norma perubahan iklim mengatur negara bagaimana mengelola emisi dan menjaga kelestarian hutannya. Kedua, norma konstitutif yaitu norma yang mendefinisikan kepentingan dan identitas negara. Fungsi norma ini tidak seperti norma regulatif yang langsung berpengaruh pada tindakan negara melainkan terlebih dulu membentuk kesadaran diri negara. Finnemore mengatakan, constitutive norms, which create new actors, interests, or categories of action. 45 Konstruktivis beranggapan bahwa, Dengan mengikuti apa yang diperintahkan norma, negara memahami siapa dirinya serta apa yang hendak ia inginkan dalam sebuah konteks sosial Martha Finnemore, International organizations as teachers of norms: the United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization and science policy, International Organization, Vol. 47, No. 4 (1993), hlm Martha Finnemore and Kathryn Sikkink, op.cit., hlm Mohamad Rosyidin, The Power of Ideas, op.cit., hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

87 Sumber: Sumber: Mohamad Rosyidin, The Power of Ideas: Konstruktivisme dalam Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2015), hlm. 78. Gambar 6.2 Norma berfungsi menentukan kebijakan (regulatif) dan mendefinisikan kepentingan (konstitutif). Berdasarkan ruang lingkupnya, norma terbagi menjadi dua bentuk yaitu norma domestik dan norma internasional atau norma global. Norma domestik adalah norma yang berlaku di lingkup domestik suatu negara. Meskipun berlakunya terbatas hanya di dalam negeri, namun norma domestik mempengaruhi kebijakan luar negeri karena ia menyediakan landasan legal-formal, ideal, dan normatif mengenai bagaimana suatu negara berperilaku di level internasional. Dengan kata lain, ketika pemimpin negara ingin memutuskan kebijakan luar negeri, ia tentu akan mempertimbangkan hal-hal normatif yang sudah diadopsi dan diberlakukan di negaranya. Sebagai contoh, ketika Jepang ingin melibatkan diri dalam perang global melawan terorisme, ia akan mempertimbangkan Pasal 9 konstitusinya yang melarang Jepang pergi berperang kecuali untuk alasan kemanusiaan. Negara-negara di Skandinavia mengirimkan bantuan ekonomi dan kemanusiaan ke banyak negara di Indra Kusumawardhana 77

88 Afrika dengan dilandasi norma domestik mereka yaitu undang-undang tentang bantuan luar negeri. Sementara itu, norma internasional adalah norma yang berlaku di lingkup global. Norma ini biasanya lahir dari kesepakatan multilateral dan mengatur isu-isu global yang menyangkut hajat hidup umat manusia di seluruh dunia. Bentuk konkret norma ini adalah hukum internasional, misalnya konvensi, kovenan, perjanjian, dan sebagainya. Seringkali, norma ini terlembaga dalam organisasi internasional khususnya PBB dan badan-badan yang dimilikinya. Norma ini mempengaruhi kebijakan luar negeri karena negara-negara di dunia banyak mendukung dan menyepakati norma internasional. Jadi, pengaruh norma internasional terhadap kebijakan luar negeri ditentukan dari apakah norma tersebut telah diratifikasi atau minimal disepakati oleh negara tersebut. Artinya status negara tersebut sebagai negara pihak (state party) dari norma internasional tersebut. Sebagai contoh, Kanada berkomitmen untuk menerima para pengungsi dari Suriah dan Afganistan karena telah meratifikasi norma mengenai pengungsi tahun Negara-negara Barat menginvasi Libya karena didorong norma Responsibility to Protect (R2P) untuk melindungi warga sipil dari penindasan rezim Khadafi. Rangkuman Konstruktivisme percaya bahwa ada faktor-faktor tak kasat mata yang mempengaruhi tindakan negara. Beberapa faktor itu adalah identitas dan norma. Identitas mengacu pada pemahaman negara mengenai siapa dirinya sedangkan norma adalah standar perilaku yang pantas. Identitas dan 78 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

89 norma membentuk konsepsi tentang kepentingan nasional. Identitas ada empat jenis yaitu identitas korporat, tipe, peran, dan kolektif. Sedangkan norma dilihat dari fungsinya ada dua jenis yaitu norma regulatif dan konstitutif. Norma regulatif mempengaruhi kebijakan luar negeri dengan menyediakan pedoman normatif mengenai apa yang harus dilakukan negara. Norma konstitutif mendefinisikan kepentingan dan identitas negara sebelum kebijakan luar negeri diambil. Dari segi ruang lingkupnya, norma terbagi dua yaitu norma domestik yang berlaku di dalam negeri, dan norma internasional yang berlaku di tingkat global. Keberadaan norma ini membuat kebijakan luar negeri mengikuti prinsip yang disebut dengan logika kepantasan dimana negara berperilaku didasari oleh pertimbangan normatif (mengenai apa yang baik dan pantas dilakukan) dan bukan pertimbangan strategis-rasional (mengenai apa yang menguntungkan atau merugikan). Studi kasus Kasus yang akan kita ambil untuk menguji teori konstruktivis adalah kebijakan luar negeri Indonesia di Myanmar dalam kasus kudeta militer pada Maret Menyusul aksi kudeta junta militer dan ditahannya sejumlah pemimpin termasuk Aung San Suu Kyi, pemerintah Indonesia bereaksi atas peristiwa tersebut. Ditambah lagi pihak junta militer melakukan aksi kekerasan kepada para demonstran pro-demokrasi. Indonesia menyerukan supaya junta militer menghormati HAM dan demokrasi serta memulihkan keamanan. Indonesia melalui Menlu Retno Marsudi melakukan diplomasi ulang-alik (shuttle diplomacy) ke sejumlah negara ASEAN guna menyatukan persepsi. Indra Kusumawardhana 79

90 Indonesia juga menginisiasi KTT ASEAN di Jakarta untuk membahas isu tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa Indonesia terlihat begitu berkomitmen terhadap keadaan di Myanmar? Menggunakan perspektif konstruktivis, kita bisa mengambil salah satu konsep untuk menjawab pertanyaan ini. Contoh kita ambil konsep identitas. Jika menggunakan konsep ini, maka jawaban yang muncul adalah bahwa kebijakan Indonesia dalam krisis politik di Myanmar dipengaruhi oleh identitas perannya sebagai problem solver dan peacekeeper yang memikul tanggung jawab menciptakan perdamaian dan menyelesaikan permasalahan global dan regional. Kita bisa menyimak pelbagai pernyataan Presiden Jokowi maupun Menlu Retno Marsudi untuk membuktikan hal ini. Sedangkan apabila kita menggunakan konsep norma, maka jawaban yang muncul bisa jadi adalah kebijakan Indonesia itu dipengaruhi norma domestik yaitu konstitusi terutama Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia akan ikut serta dalam upaya mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial. Daftar pertanyaan 1. Mengapa konstruktivisme berasumsi bahwa faktor nonmaterial lebih penting daripada material? 2. Bagaimana konsruktivisme memandang kepentingan nasional? 3. Mengapa identitas dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri? 4. Apa perbedaan antara norma regulatif dan konstitutif? 80 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

91 5. Apa perbedaan antara kebijakan luar negeri yang berlandaskan logika konsekuensi dan logika kepantasan? Saran bacaan lebih lanjut 1. Untuk rujukan utama konstruktivisme terutama konsep identitas lihat Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), Bab Untuk rujukan tentang konsep norma lihat Martha Finnemore, National Interest in International Society (Ithaca: Cornell University Press, 1996). 3. Tentang logika konsekuensi dan kepantasan, lihat James March and Johan Olsen, The logic of appropriateness, ARENA Working Papers No. 9/2004, Centre for European Studies. Indra Kusumawardhana 81

92 B A B 7 PERAN GAGASAN Di bab sebelumnya, konstruktivisme menekankan pentingnya faktor non-material yang mempengaruhi kebijakan luar negeri. Di bab ini, dikusi tentang elemen non-material akan kita lanjutkan. Namun, berbeda dari bab sebelumnya yang menyoroti konsep identitas dan norma, bab ini mendiskusikan peran gagasan dalam politik luar negeri. Para elit politik merumuskan kebijakan luar negeri sering mengacu pada gagasan tertentu untuk menjustifikasi pilihan kebijakannya. Walaupun sama-sama memperlakukan gagasan sebagai variabel penting penelitian tentang kebijakan luar negeri, bab ini dibingkai dalam kerangka pemikiran rasionalis dan bukan konstruktivis karena gagasan hanya berfungsi sebagai instrumen mencapai kepentingan. Hal ini berbeda dengan konstruktivis yang memandang gagasan sebagai pencipta kepentingan. Kita akan mendiskusikan lebih lanjut perihal ini. Bab ini terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama membahas konsep gagasan serta kedudukannya dalam perdebatan kaum rasionalis dan konstruktivis. Bagian kedua membahas tipologi gagasan dan bagaimana ia mempengaruhi 82 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

93 kebijakan luar negeri. Ada tiga jenis gagasan yaitu worldview, principled belief, dan causal belief. Ketiga jenis gagasan tersebut mempengaruhi kebijakan luar negeri dengan tiga cara yaitu sebagai roadmap, focal point, dan institutionalized. Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tipologi gagasan dan pengaruhnya terhadap kebijakan luar negeri. Mahasiswa juga diharapkan mampu menerapkan pemahaman itu ke dalam studi kasus. Konsep gagasan Gagasan dalam kajian APLN didefinisikan sebagai beliefs held by individuals, help to explain political outcomes, particularly those related to foreign policy. 47 Definisi ini cenderung menyamakan antara gagasan dan keyakinan. Secara konseptual kedua terminologi ini berbeda. Gagasan merupakan pemikiran atau ide yang masuk ke dalam ranah kognitif seseorang. Sementara keyakinan merupakan nilai atau dogma yang dipercaya oleh seseorang tentang hal-hal tertentu. Karena berada di ranah kognitif, gagasan relatif mudah berubah. Seseorang berpikir tentang realitas yang berubah-ubah sehingga pada gilirannya akan mengubah pemikirannya. Hal ini berbeda dengan keyakinan dimana enderung sulit berubah karena keyakinan tidak berada di ranah kognitif melainkan di perasaan atau batin seseorang. Seseorang yang meyakini suatu nilai, ajaran, atau pemikiran cenderung akan mempertahankan keyakinan itu sekalipun realitas berubah. Sekalipun demikian, untuk mempermudah 47 Judith Goldstein and Robert Keohane (eds.), Ideas and Foreign Policy: Beliefs, Institutions, and Political Change (Ithaca: Cornell University Press, 1993), hlm. 3. Indra Kusumawardhana 83

94 pemahaman kita, buku ini memperlakukan keyakinan dan gagasan sebagai konsep yang sama dan akan dipakai secara bergantian. Dalam studi HI, peran gagasan menjadi andalan kaum konstruktivis dan teori-teori non-tradisionalis seperti Teori Kritis, postrukturalis, poskolonialis, dan feminis. Bagi pendukung teori-teori itu, realitas hubungan internasional tidak dapat dipahami tanpa menelisik dimensi gagasan yang berada di balik fenomena empiris. Konstruktivis, sebagaimana telah kita diskusikan di bab sebelumnya, menekankan pada pentingnya peran gagasan untuk menganalisis politik dunia. Gagasan oleh konstruktivis terejawantah dalam konsep identitas, norma, budaya, dan sebagainya. Bagi Teori Kritis, gagasan adalah komponen utama pembentuk hegemoni selain kapabilitas materiil. Tanpa gagasan, aktor internasional yang berkuasa tak mampu meyakinkan pihak lain agar menerima secara sukarela kepentingan dari penguasa. Begitupun dengan teori postrukturalis yang bahkan secara ekstrem menganggap gagasan sebagai realitas itu sendiri. Gagasan terejawantah dalam bahasa sehingga tanpa bahasa tak ada realitas sama sekali. Poskolonialis memfokuskan pada gagasan tentang Barat vs. Timur serta bagaimana diskursus tercipta melalui medium gagasan. Terakhir, feminis juga sangat mementingkan gagasan karena konsep kunci seperti gender tercipta melalui gagasan. Pemahaman ini kontras dengan teori-teori rasionalis HI semacam realis dan liberal yang memandang gagasan sebagai entitas yang kurang penting dibanding realitas material. Realis, terutama sekali aliran neorealisme, memandang bahwa satu-satunya unsur terpenting politik internasional adalah 84 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

95 kapabilitas material antarnegara. Dinamika internasional akan ditentukan oleh distribusi kapabilitas ini ketimbang distribusi gagasan. 48 John Mearsheimer, dalam bukunya The Tragedy of Great Power Politics, mengatakan bahwa teorinya, focuses on the great powers because these states have the largest impact on what happens in international politics. The fortunes of all states-great powers and smaller powers alike-are determined primarily by the decisions and actions of those with the greatest capability. Great powers are determined largely on the basis of their relative military capability. To qualify as a great power, a state must have sufficient military assets to put up a serious fight in an all-out conventional war against the most powerful state in the world. 49 Agak berbeda dengan realisme, liberalisme masih mengakui pentingnya dimensi gagasan dalam hubungan internasional. Neoliberal institusionalisme secara khusus menyoroti peran institusi internasional atau rezim internasional yang didefinisikan sebagai sets of implicit or explicit principles, norms, rules and decision-making procedures around which actors expectations converge in a given area of international relations [cetak tebal ditambahkan]. 50 Rezim internasional mengandung prinsip, norma, dan aturan yang tentu tidak berwujud secara material. Aliran liberal internasionalis juga meyakini bahwa nilai-nilai universal demokrasi lebih menentukan kebijakan luar negeri ketimbang pengejaran 48 Kenneth Waltz, Theory of International Politics (Reading, MA: Addison Wesley, 1979). 49 John Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics (New York: W.W. Norton, 2001), hlm Robert Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy (New Jersey: Princeton University Press, 1984), hlm. 57. Indra Kusumawardhana 85

96 keuntungan material. Kebijakan luar negeri bercorak liberal internasionalis didasari ajaran teori perdamaian demokratis dari pemikiran Immanuel Kant bahwa mempromosikan demokrasi adalah resep menciptakan perdamaian dunia. Perbedaan utama peran gagasan menurut aliran rasionalis dan konstruktivis adalah rasionalis memandang gagasan diperlakukan sebagai sarana mencapai tujuan (kepentingan). Golstein dan Keohane mengatakan, ideas matter for policy, even when human beings behave rationally to achieve their ends. 51 Pernyataan ini mengisyaratkan pandangan kaum rasionalis bahwa bagaimanapun juga aktor akan bertindak secara rasional. Gagasan di sini hanya memfasilitasi aktor mencapai kepentingannya. Kontras dengan itu, konstruktivis melihat bahwa gagasan bukan sekadar alat kepentingan melainkan lebih jauh, membentuk kepentingan itu sendiri. Sebagaimana sudah dipaparkan di bab sebelumnya, kepentingan menurut cara pandang konstruktivis muncul dari konstruksi aktor dalam konteks tertentu, bukan sesuatu yang sudah ada begitu saja (taken for granted). Bab ini, dengan demikian, memperlakukan gagasan sebagai sarana pencapaian kepentingan. Gagasan dan kebijakan luar negeri Kalau kita sudah memahami konsep gagasan dengan baik, sekarang kita akan beranjak membahas tipologi gagasan dan bagaimana gagasan dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri. Ada tiga jenis gagasan yaitu worldview, principled beliefs, dan causal beliefs. Pertama, worldview atau pandangan 51 Judith Goldstein and Robert Keohane (eds.), op.cit., hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

97 dunia adalah suatu gagasan mengenai hakikat sesuatu. Dalam bahasa sehari-hari kita menyebutnya dengan istilah paradigma yang mengacu pada cara pandang seseorang terhadap realitas. Cara pandang ini membentuk konsepsi diri aktor sehingga menciptakan perasaan emosional dan loyalitas mendalam. Agama, budaya, filsafat, ideologi, dan sistem-sistem pemikiran fundamental lainnya merupakan contohnya. Ideologi Indonesia Pancasila adalah termasuk ke dalam gagasan jenis ini. Begitupun dengan budaya Jawa yang seringkali diklaim sangat mempengaruhi dinamika politik di Indonesia. Contoh lagi misalnya gagasan Susilo Bambang Yudhoyono million friends zero enemy bisa dikategorikan sebagai worldview sebab mencerminkan cara pandang Yudhoyono tentang hakikat hubungan antarnegara. Kedua, principled beliefs adalah suatu gagasan normatif tentang baik-buruk, benar-salah, adil-tidak adil, dan pantas-tidak pantas. Gagasan jenis ini muncul sebagai akibat dari berubahnya cara berpikir manusia terhadap suatu fenomena. Sebagai contoh, sistem perbudakan saat ini sudah dilarang namun lazim terjadi di masa lalu. Sistem patriarki juga dahulu sangat dominan di banyak kultur masyarakat namun kini sudah mulai dikecam dan dianggap ketinggalan jaman. Ada perkembangan menarik di kalangan pegiat HI mengenai senjata nuklir. Di era Perang Dingin, senjata nuklir adalah arsenal andalan untuk menangkal ancaman negara lain sehingga negara-negara saling berlomba mendapatkannya. Kini, senjata nuklir perlahan-lahan mulai kehilangan pamornya. International Campaign to Abolish Nucear Weapons (ICAN) adalah organisasi yang memperjuangkan penghapusan senjata nuklir karena mengancam umat Indra Kusumawardhana 87

98 manusia. Organisasi ini dipengaruhi oleh gagasan normatif bahwa senjata nuklir bukan lagi sesuatu yang bagus atau membanggakan untuk dimiliki tetapi justru buruk dan berbahaya. Ketiga, causal beliefs yaitu gagasan tentang hubungan sebab-akibat dari pihak yang berwenang. Gagasan jenis ini semacam ajaran atau diktum tentang suatu hal yang kemudian diadopsi oleh masyarakat luas, termasuk elit pemerintahan. Teori-teori ilmiah yang dikemukakan para ahli merupakan contoh paling menonjol dari gagasan ini. Teori-teori itu memberikan penjelasan tentang fenomena dan menyediakan pedoman bagi tindakan. Dengan kata lain, causal beliefs provide guides for individuals on how to achieve their objectives. 52 Misalnya saja teori tentang efek rumah kaca membantu memahami faktor di balik meningkatnya suhu permukaan bumi sekaligus dampak-dampak yang ditimbulkannya. Pengetahuan ini pada gilirannya mendorong dilakukannya langkah-langkah strategis pengurangan emisi dari kendaraan bermotor dan penebangan hutan secara liar. Teori-teori epidemiologi mengungkap mengapa suatu virus dapat menyebar dengan begitu cepat di suatu wilayah. Pengetahuan ini bisa membantu pemerintah merumuskan kebijakan untuk melakukan pembatasan kegiatan masyarakat atau karantina wilayah. Pengalaman sejarah juga bisa dikategorikan sebagai causal beliefs. Misalnya saja demonstrasi anti pemerintahan otoriter di Tunisia bisa memicu gelombang demokratisasi di kawasan Timur Tengah. Hal ini dikarenakan masyarakat di negara lain belajar bahwa revolusi di negara lain bisa sukses menumbangkan rezim otoriter sehingga meniru cara-cara seperti itu. 52 Ibid., hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

99 Bagaimana gagasan tersebut mempengaruhi kebijakan luar negeri? Atau dengan kalimat berbeda, dengan cara apa gagasan tersebut mempengaruhi kebijakan luar negeri? Goldstein dan Keohane merumuskan tiga cara yaitu sebagai roadmap, focal point, dan institutionalized. Pertama, gagasan dapat berperan sebagai roadmap atau peta jalan yaitu ketika gagasan (worldview, principled beliefs, dan causal beliefs) memberikan pengetahuan kepada pembuat kebijakan tentang masalah yang sedang dihadapi, bagaimana membuat pilihan, dan mengetahui resiko dari pilihan kebijakannya. Asumsinya, pembuat kebijakan ketika merespons isu-isu internasional kurang begitu paham duduk perkaranya sebab sifat hubungan internasional adalah tidak pasti (uncertain). Sekalipun kepentingan nasional dapat dijadikan pedoman bagaimana negara harus bertindak, namun seringkali masalahnya begitu kompleks sehingga membuat kebijakan luar negeri bukan sesuatu hal yang gampang dirumuskan. Dengan demikian, peran gagasan di sini berfungsi layaknya peta yang memberikan gambaran kepada pembuat kebijakan tentang apa yang harus dilakukan. Kedua, gagasan dapat berperan sebagai focal point atau sederhananya sebagai instrumen perekat kerjasama. Dalam situasi dimana kerjasama internasional sulit dilakukan, gagasan dapat memfasilitasi kerjasama karena meyakinkan pihak-pihak yang terlibat untuk menyatukan persepsi dan kepentingan. Goldstein dan Keohane mengatakan, Ideas can serve as focal points, as solutions to problems associated with incomplete contracting, or as the means to counteract problems of collective action. 53 Ketika negara-negara ASEAN berbeda 53 Ibid., hlm Indra Kusumawardhana 89

100 pandangan dan kepentingan terhadap semakin kuatnya dominasi China di Laut China Selatan, Indonesia berusaha menyatukan pandangan ASEAN dengan gagasan ASEAN Outlook on Indo-Pacific. Uni Eropa barangkali dari luar tampak sebagai organisasi regional yang solid. Faktanya tidak demikian. Negara-negara anggotanya kerap berbeda pendapat tentang suatu isu. Misalnya dalam isu penjatuhan sanksi kepada Rusia terkait aksinya di Krimea, beberapa negara Uni Eropa berbeda pendapat apakah sanksi perlu dijatuhkan atau tidak. Namun setelah melalui upaya diplomasi dan pengaruh gagasan tentang HAM, kedaulatan, dan keseimbangan kekuatan, Uni Eropa akhirnya satu suara menyepakati pemberian sanksi kepada Rusia. Ketiga, gagasan dapat mempengaruhi kebijakan kalau ia terlembaga. Golstein dan Keohane mengatakan, the impact of some set of ideas may be mediated by the operation of institutions in which the ideas are embedded. Once ideas have influenced organizational design, their influence will be reflected in the incentives of those in the organization and those whose interests are served by it. 54 Begitu sebuah gagasan (apakah itu worldview, principled beliefs, atau causal beliefs) dilembagakan (misalnya dalam bentuk peraturan pemerintah, konstitusi, undang-undang, perjanjian internasional, dan sejenisnya), maka pengaruhnya akan sangat besar terhadap kebijakan luar negeri. Sebagai contoh, begitu dunia internasional menyepakati Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, banyak negara kemudian menyesuaikan kebijakan luar negerinya dengan kesepakatan itu. Dalam konteks Indonesia, begitu ide tentang demokrasi terlembaga ke dalam undang- 54 Ibid., hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

101 undang, kebijakan luar negeri Indonesia mengusung agenda promosi demokrasi melalui forum Bali Democracy Forum (BDF). Kebijakan penyesuaian kebijakan ini dilakukan karena gagasan yang terlembaga dianggap legitimate. Gambar di bawah ini menunjukkan bagaimana gagasan mempengaruhi kebijakan luar negeri. Masing-masing jenis gagasan dapat berperan sebagai roadmap, focal point, dan institutionalized. Sumber: Mohamad Rosyidin dan Shary Charlotte H.P., Regionalism under challenge: Ideas and Joko Widodo s foreign policy towards ASEAN, , Journal of ASEAN Studies, Vol. 8, No. 2 (2020), hlm Gambar 7.1 Peran gagasan dalam politik luar negeri Rangkuman Bab ini secara khusus menyoroti peran gagasan dalam politik luar negeri dari perspektif rasionalis. Artinya bab ini berasumsi bahwa gagasan diperlakukan sebagai sarana mencapai kepentingan nasional. Gagasan ada tiga jenis yaitu Indra Kusumawardhana 91

102 worldview, principled beliefs, dan causal beliefs. Worldview adalah pandangan filosofis tentang hakikat realitas. Principled beliefs adalah gagasan normatif tentang baik-buruk, benarsalah, dan adil-tidak adil. Causal beliefs adalah gagasan tentang sebab-akibat dari pihak yang punya otoritas atas pengetahuan tersebut. Masing-masing gagasan tersebut mempengaruhi kebijakan luar negeri melalui tiga peran yaitu roadmap, focal point, dan institutionalized. Sebagai roadmap, gagasan menyediakan gambaran jelas kepada pembuat kebijakan tentang masalah yang sedang dihadapi, bagaimana cara menghadapinya, serta bagaimana resiko yang bakal timbul dari kebijakan tersebut. Sebagai focal point, gagasan berperan sebagai instrumen perekat kerjasama atau fasilitator kerjasama antarnegara ketika timbul perbedaan pendapat dan kepentingan mengenai suatu isu. Gagasan juga mempengaruhi kebijakan manakala ia terlembaga karena gagasan itu akan dianggap legitimate. Studi kasus Studi kasus kali ini akan mengambil contoh hasil penelitian yang menganalisis kebijakan luar negeri Indonesia di periode pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terhadap ASEAN. Studi kasus ini dilatarbelakangi oleh fakta pemerintahan Jokowi yang terkesan mengesampingkan ASEAN. ASEAN tidak lagi dianggap penting dan lebih memilih pendekatan bilateralisme. Pertanyaan risetnya adalah mengapa ASEAN cenderung dianggap kurang penting dalam agenda kebijakan luar negeri Jokowi periode pertama ( )? Penelitian tersebut menggunakan konsep gagasan dari Goldstein dan Keohane yaitu jenis 92 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

103 gagasan causal beliefs dan peran sebagai roadmap. Penelitian itu berargumen bahwa berkurangnya komitmen kebijakan luar negeri Jokowi terhadap ASEAN disebabkan oleh causal beliefs dari para elit dan penasehat luar negeri Presiden. Gagasan itu berbeda-beda namun sama-sama percaya bahwa Indonesia harus memperluas cakupan geopolitik dan geostrategisnya di luar ASEAN atau gagasan post-asean foreign policy. Gagasan ini kemudian menyediakan referensi bagi pembuat kebijakan bahwa konteks politik dunia abad-21 lebih banyak bermain di skala kawasan yang lebih luas yakni Indo-Pasifik sehingga Indonesia harus beradaptasi dengan dinamika tersebut. Selain itu, ASEAN dipandang institusi yang lemah karena tidak solid secara internal selain tidak terlalu penting bagi pencapaian kepentingan nasional Indonesia. 55 Daftar pertanyaan 1. Mengapa mempelajari gagasan penting dalam menganalisis kebijakan luar negeri? 2. Apa perbedaan konsep gagasan menurut kaum rasionalis dan konstruktivis? 3. Jelaskan jenis-jenis gagasan dan berikan contohcontohnya! 4. Jelaskan bagaimana gagasan mempengaruhi kebijakan luar negeri? 5. Mengapa gagasan yang terlembaga cenderung mudah mempengaruhi kebijakan luar negeri? 55 Mohamad Rosyidin dan Shary Charlotte H.P., Regionalism under challenge: Ideas and Joko Widodo s foreign policy towards ASEAN, , Journal of ASEAN Studies, Vol. 8, No. 2 (2020), pp Indra Kusumawardhana 93

104 Saran bacaan lebih lanjut 1. Untuk rujukan utama tema bab ini lihat Judith Goldstein and Robert Keohane (eds.), Ideas and Foreign Policy: Beliefs, Institutions, and Political Change (Ithaca: Cornell University Press, 1993). 2. Untuk contoh penerapan konsep ini ke dalam studi kasus, lihat Mohamar Rosyidin, Memimpin koalisi: Peran gagasan dan politik luar negeri Perancis di Libya, makalah disampaikan dalam 3 rd Convention of European Studies, Universitas Gadjah Mada, Mei Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

105 B A B 8 PENDEKATAN IDIOSINKRATIK Sudah jamak diketahui, politik luar negeri adalah wilayah elit. Artinya, elitlah yang punya otoritas merumuskan dan melaksanakan kebijakan luar negeri. Sekalipun keberadaan aktor-aktor lain penting, namun pada akhirnya elit yang paling menentukan hasil akhirnya. Karena itu, memfokuskan penelitian pada peran elit ini sangat penting untuk mengungkap rahasia di balik pembuatan keputusan. Penelitian yang memfokuskan pada peran elit ini dikenal dengan pendekatan idiosinkratisme. Sebetulnya pendekatan ini masuk ke dalam ranah teori pembuatan keputusan yang sudah kita diskusikan di bab awal buku ini. Namun buku ini sengaja membahasnya secara terpisah supaya mahasiswa dapat memahami secara lebih detail dan tidak sepotongsepotong. Bab ini akan membahas beberapa sub pokok bahasan tentang pendekatan idiosinkratisme dalam analisis politik luar negeri. Bagian pertama membahas pendekatan idiosinkratisme itu sendiri, terutama bagaimana sumbangsih disiplin psikologi politik terhadap perkembangan teori Indra Kusumawardhana 95

106 ini. Bagian kedua membahas teori kode operasional dari Alexander George yang menyoroti bagaimana pemikiran elit mempengaruhi kebijakan luar negeri. Bagian ketiga membahas teori gaya kepemimpinan yang menyoroti bagaimana cara pemimpin suatu negara menjalankan kekuasaannya mempengaruhi kebijakan luar negeri. Bagian terakhir adalah teori kepribadian dari Margaret Hermann yang menyoroti sisi psikologis dan kepribadian pemimpin serta pengaruhnya terhadap kebijakan luar negeri. Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tiga teori dalam pendekatan idiosinkratisme serta mengaplikasikannya untuk menganalisis studi kasus. Pengertian idiosinkratik Idiosinkratik atau idiosinkratisme adalah pendekatan yang memfokuskan pada peran individu dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Karena memfokuskan pada peran individu, maka pendekatan ini menggunakan tingkat analisis individu. Tingkat analisis ini diklaim sangat efektif untuk menjelaskan kebijakan luar negeri. Alasannya sangat sederhana; kebijakan luar negeri dibuat dan dijalankan oleh elit. Valerie Hudson punya pendapat yang bagus sekali tentang hal ini: International relations (IR) as a field of study has a ground, as well. All that occurs between nations and across nations is grounded in human decision makers acting singly or in groups. In a sense, the ground of IR is thus the same ground of all the social sciences. Understanding how humans perceive and react to the world around them, and how humans shape and are 96 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

107 shaped by the world around them, is central to the inquiry of social scientists, including those in IR. 56 Memahami hubungan internasional dan kebijakan luar negeri berarti memahami pembuatan kebijakan. Memahami pembuatan kebijakan berarti memahami individu-individu yang membuatnya. Tingkat analisis individu pernah disinggung oleh Kenneth Waltz dalam bukunya Man, the State, and War yang mencoba menjelaskan sebab-musabab perang dari tiga tingkat analisis. Di tingkat individu, Waltz mengatakan bahwa perang terjadi karena keegoisan, keagresifan, dan ketidaktahuan. 57 Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa semua tatanan dan tindakan politik dapat ditemukan jawabannya dengan meneliti perilaku manusia. 58 Tak hanya Waltz, Robert Jervis dalam karya berbobot Perception and Misperception in International Politics juga punya pendapat sama bahwa apa yang dipikirkan dan diyakini elit pembuat keputusan sangat menentukan Tindakan negara. Ia mengatakan, it is often impossible to explain crucial decisions and policies without reference to the decision-makers beliefs about the world and their images of others. 59 Pentingnya faktor individu ini mengimplikasikan bahwa pemimpin yang berbeda akan menghasilkan kebijakan yang berbeda. Perubahan kebijakan luar negeri terjadi karena 56 Valerie Hudson, Foreign policy analysis: actor-specific theory and the ground of international relations, Foreign Policy Analysis, Vol. 1, No. 1 (2005), hlm Kenneth Waltz, Man, the State, and War: A Theoretical Analysis (New York: Columbia University Press, 1954), hlm Ibid., hlm Robert Jervis, Perception and Misperception in International Politics (New Jersey: Princeton University Press, 1976), hlm. 28. Indra Kusumawardhana 97

108 terjadi perubahan kepemimpinan. Hal ini dikarenakan setiap individu itu unik dengan karakter yang berbeda antara satu dengan lainnya. Tentang hal ini Jack Levy, penganut aliran kognitivisme dalam HI, mengatakan, individual leaders have a causal impact on outcomes. The counterfactual implication is that if a different individual with different characteristics had occupied a key leadership position, the outcome might very well have been different. 60 Pendekatan idiosinkratisme masuk ke kategori pendekatan kognitivis yang mengadopsi teori psikologi politik. Teori ini berasumsi bahwa ada dua dimensi yang patut diperhatikan seorang analis kebijakan luar negeri yaitu dimensi psikologis (gambaran dunia menurut sudut pandang elit) dan dimensi operasional (realitas dunia dimana kebijakan dijalankan). Teori ini juga berasumsi bahwa kebijakan luar negeri merupakan hasil dari tujuan, kalkulasi, dan persepsi individu pembuat kebijakan. 61 Dengan demikian, psikologi politik menawarkan penjelasan yang lebih humanistik terhadap fenomena hubungan internasional dengan menekankan pentingnya faktor-faktor psikologis dari individu pembuat kebijakan. 62 Walaupun pendekatan idiosinkratisme berfokus pada individu, namun ia sangat berbeda dengan teori pilihan rasional (rational choice). Teori pilihan rasional berasumsi 60 Jack Levy, Psychology and foreign policy decision making, dalam Leonie Huddy, David Sears, and Jack Levy (eds.), The Oxford Handbook of Political Psychology, 2 nd edn (New York: Oxford University Press, 2013), hlm Robert Jervis, op.cit., hlm Rose McDermott, Political Psychology in International Relations (Ann Arbor: University of Michigan Press, 2004), hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

109 bahwa individu dan aktor-aktor internasional lainnya (terutama negara) berperilaku dengan mempertimbangkan untung-rugi. Perilaku ini dituntun oleh prinsip ekonomi dengan memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Graham T. Allison, teoretisi pembuatan keputusan, mendefinisikan rasionalitas sebagai consistent, valuemaximizing choice within specific constraints. Ia menyebutkan ada empat unsur teori pilihan rasional yaitu tujuan, alternatif atau opsi kebijakan, konsekuensi dari pilihan kebijakan yang diambil, dan pemilihan kebijakan. 63 Menurut Duncan Snidal, teori pilihan rasional adalah: a methodological approach that explains both individual and collective (social) outcomes in terms of individual goal-seeking under constraints. The focus on goal-seeking presumes that explanation should proceed in terms of relevant actors, the goals they seek and their ability to do so. the goals are not restricted to self-regarding or material interests but could include other-regarding and normative or ideational goals. 64 Jadi teori pilihan rasional menekankan pada sikap dan perilaku aktor yang berupaya mengejar tujuannya dengan sumberdaya yang dimiliki. Tujuan-tujuan ini juga tidak terbatas pada elemen-elemen material (misalnya ekonomi dan militer) tetapi juga elemen-elemen ideasional dan normatif (misalnya prestise, reputasi, pengakuan, dan lain-lain). 63 Graham Allison, Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis (Boston: Little, Brown and Company, 1971), hlm Duncan Snidal, Rational choice and international relations, dalam Walter Carlnaes, Thomas Risse, and Beth Simmons (eds.), Handbook of International Relations (London: SAGE Publication, 2002). Indra Kusumawardhana 99

110 Teori Kode Operasional Konsep kode operasional (operational code) awalnya dikembangkan oleh lembaga think tank AS RAND Corporation dalam rangka menyusun strategi untuk mengalahkan Uni Soviet di era Perang Dingin. Konsep ini pertama kali ditemukan oleh Nathan Leites pada 1951 yang meneliti ideologi Bolsevik Uni Soviet. Pengetahuan tentang ideologi tersebut penting bagi AS guna memahami bagaimana Uni Soviet merumuskan strategi kebijakan luar negerinya. Ideologi itu berpusat pada pemikiran Lenin dan Stalin yang membentuk platform politik luar negeri Uni Soviet. 65 Alexander George kemudian mengembangkan lebih lanjut konsep tersebut lewat karyanya berjudul The Operational Code : A Neglected Approach to the Study of Political Leaders and Decision Making (1967). George mendefinisikan kode operasional sebagai A political leader s beliefs about the nature of politics and political conflict. 66 Dalam membuat suatu keputusan, termasuk kebijakan luar negeri, elit pertama-tama akan melakukan proses definisi situasi. Hal ini berhubungan dengan bagaimana elit tersebut memahami realitas politik internasional sebagai stimulus kebijakan luar negeri. Proses ini melibatkan pengalaman sebelumnya serta bagaimana ia memilih strategi yang tepat untuk mengambil keputusan. Aktor pengambil kebijakan akan cenderung melakukan simplifikasi terhadap situasi yang sedang ia hadapi supaya mempermudahnya dalam mengambil keputusan yang tepat. 65 Lihat lebih lengkap dalam Nathan Leites, The Operational Code of Politburo (New York: RAND Corporation, 1951). 66 Alexander George, The Operational Code : A Neglected Approach to the Study of Political Leaders and Decision Making (Santa Monica, CA: RAND Corporation, 1967), hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

111 Simplifikasi ini dipengaruhi oleh keyakinan atau pemikiran elit yang bersangkutan. Keyakinan atau pemikiran sebagai instrumen memahami realitas politik internasional inilah yang kemudian dinamakan kode operasional. Untuk meneliti kode operasional elit, George merumuskan dua kategori utama yaitu keyakinan filosofis (philosophical beliefs) dan keyakinan instrumental (instrumental beliefs). Keyakinan filosofis yaitu assumtions and premises he makes regarding the fundamental nature of politics, the nature of political conflict, the role of the individual in history, etc. 67 Sementara keyakinan instrumental berkaitan dengan beliefs about ends-means relationships in the context of political action. 68 Jadi, secara sederhana keyakinan filosofis adalah pemikiran aktor tentang hakikat politik dan konflik, sementara keyakinan instrumental adalah pemikiran aktor tentang bagaimana cara mencapai tujuan-tujuan politik. George merinci masing-masing kategori di atas dengan beberapa pertanyaan operasional. Keyakinan filosofis memiliki lima indikator. Pertama, bagaimana hakikat politik itu; apakah politik itu konfliktual atau harmoni? Bagaimana karakter dari seorang musuh politik itu? Pertanyaan ini akan menggiring pada pemikiran aktor tentang cara ia memahami politik. Seorang pemimpin umumnya memiliki pandangan yang khas tentang hakikat politik. Ada pemimpin yang memandang politik itu dalam kacamata Machiavellian; brutal, licik, culas, kejam, penuh permusuhan, persaingan, dan seterusnya. Ada pula pemimpin yang memandang sebaliknya; bahwa politik itu dituntun oleh etika dan moralitas 67 Ibid., hlm Ibid., Indra Kusumawardhana 101

112 sehingga ia cenderung melihat realitas politik sebagai hal yang penuh optimisme. Kedua, bagaimana pandangan tentang cita-cita politik yang diharapkan? Apakah pesimis atau optimis? Pertanyaan ini berkaitan dengan bagaimana harapan pemimpin suatu negara terhadap tujuan yang ia ingin capai. Ada pemimpin yang sangat optimis bahwa tujuannya akan tercapai. Namun ada pula yang pesimis karena mungkin dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu yang tragis atau lainnya. Pesimisme bisa juga muncul lantaran cara pandang pemimpin yang terlampau skeptis terhadap upaya-upaya untuk merealisasikan tujuan tersebut. Ketiga, apakah masa depan politik dapat diprediksi? Pertanyaan ini mengacu pada keyakinan elit terkait prospek politik internasional. Ada elit yang percaya bahwa masa depan dapat dipetakan jalannya sehingga ia cenderung memilih kebijakan yang mengantisipasi tantangan-tantangan di masa depan. Pemimpin negara seperti ini biasanya suka mengandalkan proyeksi yang dibuat oleh lembagalembaga riset terkemuka atau karya-karya dari tokoh-tokoh futuris kenamaan. Sebaliknya, tak jarang pemimpin lebih memprioritaskan pada realitas saat ini ketimbang masa depan. Baginya, masa depan serba tidak pasti sehingga tak ada gunanya memikirkan kebijakan-kebijakan untuk mengantisipasi masa depan. Pemimpin model ini lebih suka kebijakan jangka pendek dan reaksioner alih-alih visioner. Keempat, apakah seseorang bisa mengontrol jalannya sejarah? Apakah seseorang perlu menjadi pelopor perubahan atau sekadar penonton yang ikut arus perubahan itu? Pertanyaan ini berhubungan dengan keyakinan elit tentang 102 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

113 bagaimana peran negaranya dalam percaturan internasional. Ada pemimpin yang begitu yakin bahwa negaranya harus menjadi pelopor perubahan. Pemimpin model ini umumnya memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi di panggung politik global dan ingin selalu dipandang negara lain sebagai pemimpin dunia. Namun ada juga pemimpin yang cenderung enggan mengambil alih peran internasional dan lebih suka mengikuti arus politik internasional. Baginya, memilih peran sebagai penonton dianggap lebih aman dan tanpa resiko ketimbang mengambil peran global. Kelima, apakah politik dunia dapat dijelaskan oleh hukum-hukum absolut tertentu, ataukah politik dunia hanya digerakkan oleh kebetulan-kebetulan? Pertanyaan ini berkaitan dengan keyakinan pemimpin tentang sifat determinisme politik dunia. Ada pemimpin yang percaya bahwa politik dunia digerakkan oleh prinsip umum yang berlaku kapanpun dan di manapun. Setiap ada kejadian politik internasional selalu diasosiasikan dengan prinsip umum tersebut. Sebaliknya, ada pemimpin yang tidak percaya dengan teori-teori besar di balik segala kejadian internasional dan meyakini bahwa kejadian-kejadian tersebut disebabkan oleh kebetulan-kebetulan belaka. Implikasinya, kebijakan negara tak perlu dilandasi oleh prinsip-prinsip tersebut namun perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Lima pertanyaan di atas membentuk pemikiran elit. Pemikiran tersebut lantas memberikan landasan bagi strategi pembuatan kebijakan luar negeri. Strategi ini mengacu pada keyakinan instrumental yang dirumuskan ke dalam lima pertanyaan indiktor. Pertama, apa cara paling efektif untuk mencapai sebuah tujuan politik? Pertanyaan ini akan Indra Kusumawardhana 103

114 menggiring pada keyakinan aktor tentang strategi pencapaian kepentingan nasional. Tentu saja, pilihan kebijakan ada banyak sekali. Tetapi, setiap aktor akan memiliki keyakinan berbeda-beda tentang pilihan kebijakan mana yang dianggap paling efektif. Ada pemimpin yang memandang cara-cara koersif (misalnya sanksi ekonomi atau perang) sebagai cara yang efektif. Ada pula yang beranggapan justru cara-cara dialoglah yang paling menjanjikan. Kedua, bagaimana cara menerapkan strategi tersebut? Pertanyaan ini mengacu pada taktik untuk mencapai tujuan. Dalam dunia diplomasi dikenal ada dua macam gaya diplomasi yaitu gaya pedagang dan gaya ksatria. Gaya diplomasi pedagang (merchant) menganjurkan supaya negosiator membujuk lawan dengan tawaran-tawaran supaya tercapai kesepakatan. Seperti dalam aktifitas jual-beli, diplomat harus piawai memainkan harga agar dagangannya laku dan membuat pembeli akhirnya bersedia membeli dagangannya. Sebaliknya, gaya diplomasi ksatria (warrior) menganjurkan supaya diplomat menggunakan daya paksa untuk menekan pihak lawan agar mau menuruti keinginannya. Ibarat preman, gaya diplomasi ini menunjukkan karakter menekan, menyudutkan, intimidasi, dan tak mengenal kata kalah demi tercapainya suatu tujuan. 69 Ketiga, bagaimana memperhitungkan dan mengantisipasi resiko dari suatu kebijakan? Pertanyaan ini berkaitan dengan kesiapsiagaan aktor dalam memperhitungkan dan mengantisipasi resiko dari kebijakannya. Setiap keputusan politik selalu mengandung resiko, entah besar 69 Lihat Harold Nicolson, Diplomacy (New York: Oxford University Press, 1950). 104 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

115 atau kecil. Pembuat kebijakan yang hati-hati tentu selalu mempertimbangkan setiap resiko yang bakal timbul dari keputusan yang diambilnya. Karena itu, bagaimana seorang elit memikirkan dampak dari keputusannya sangat penting dalam menganalisis kebijakan luar negerinya. Ada pemimpin yang sangat hati-hati dalam mengambil keputusan. Sebaliknya, ada pemimpin yang terlalu ceroboh dalam mengambil keputusan sehingga banyak kebijakannya yang memicu dampak merugikan. Keempat, kapan waktu yang tepat untuk mengambil tindakan? Pertanyaan ini hampir sama dengan pertanyaan sebelumnya karena sama-sama berkaitan dengan manajemen resiko. Seorang pemimpin akan mempertimbangkan timing yang tepat ketika mengambil suatu kebijakan. Ada dua pilihan sikap tentang hal ini yaitu bereaksi secepatnya dan lihat dan tunggu dulu (wait and see). Sikap pertama cenderung reaksioner dimana kebijakan diambil sesegera mungkin seolah tanpa pikir panjang. Pemimpin model ini biasanya reaksioner dan cenderung ceroboh. Sikap kedua menjadi ciri kebijakan pemimpin yang pragmatis dimana ia akan melihat situasinya terlebih dahulu dan mempertimbangkan masakmasak implikasi dari kebijakannya. Pemimpin model ini umumnya akan dicap tidak jelas, peragu, dan plin-plan. Kelima, bagaimana strategi yang berbeda dapat menghasilkan kebijakan yang efektif? Pertanyaan ini menyangkut keyakinan elit tentang penggunaan dua atau lebih strategi berbeda untuk meraih kepentingan nasional. Ada pemimpin yang cenderung monolitik, yakni terlalu bersandar pada satu opsi kebijakan ketika menyikapi isu internasional. Misalnya seorang pemimpin ketika menyikapi Indra Kusumawardhana 105

116 isu genosida akan menggunakan pendekatan koersif misalnya sanksi ekonomi atau bahkan militer. Ada pula pemimpin yang eklektis yaitu cenderung memakai lebih dari satu pendekatan dalam merumuskan kebijakan luar negeri. Menurutnya, pendekatan eklektis jauh lebih efektif ketimbang hanya satu pendekatan. Misalnya, ketika menyikapi genosida di suatu negara, seorang pemimpin bisa memakai pendekatan halus dan paksaan sekaligus. Misalnya mengombinasikan antara pendekatan dialog bilateral dan sanksi ekonomi untuk menghentikan genosida. Teori Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan mengacu pada keyakinan pemimpin, cara-cara pemimpin membuat keputusan, dan bagaimana seorang pemimpin berinteraksi dengan orang lain. 70 Definisi Margaret Hermann lebih komprehensif yaitu the ways in which leaders relate to those around them whether constituents, advisers, or other leaders and how they structure interactions and the norms, rules, and principles they use to guide such interactions. 71 Analisis kebijakan luar negeri menaruh perhatian pada peran kepribadian pemimpin ketika merumuskan suatu kebijakan. Bagaimana seorang pemimpin mengelola negara, termasuk di dalamnya yang paling penting adalah bagaimana pendekatannya dalam memandang suatu persoalan, mencernanya sedemikian rupa, 70 Jonathan Keller, Leadership style, regime type, and foreign policy crisis behavior: a contingent monadic peace? International Studies Quarterly, Vol. 49, No. 2 (2005), hlm Margaret Hermann, Assessing leadership style: trait analysis, dalam Jerrold Post (ed.), The Psychological Assessment of Political Leaders (Ann Arbor: University of Michigan Press, 2003), hlm Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

117 mendiskusikannya dengan para bawahan dan penasehatnya, sampai bagaimana ia memilih satu diantara beberapa opsi kebijakan luar negeri merupakan elemen-elemen kunci untuk memahami gaya kepemimpinan. Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda, tergantung banyak faktor seperti latar belakang pendidikan, pengalaman karir, kepribadian, dan sebagainya. Memfokuskan pada gaya kepemimpinan akan memberikan penjelasan yang memadai tentang kebijakan luar negeri. Di sini kita akan membahas tiga karya tentang peran gaya kepemimpinan dalam kebijakan luar negeri. Pertama, karya Alexander George dan Eric Stern berjudul Presidential Management Styles and Models. George dan Stern menyebutkan tiga komponen yang membentuk gaya kepemimpinan. Pertama, cognitive style yaitu a set of beliefs about the environment, about the attributes of other actors, and about various presumed causal relationship that help the person to explain and predict, as best he can (correctly or incorrectly), events of interest to him. 72 Sederhananya, konsep ini mengacu pada bagaimana seorang pemimpin mencerna informasi dan memahami suatu persoalan. Cognitive style berperan penting membentuk persepsi pemimpin terhadap kejadian-kejadian di sekitarnya, cara memperoleh dan menafsirkan informasi, serta cara merumuskan dan mengevaluasi kebijakan. Kedua, kompetensi dalam manajemen kepemimpinan. Bagaimana seorang pemimpin menyadari kompetensinya akan menentukan bagaimana ia akan mengambil suatu kebijakan. Ketiga, orientasi terhadap konflik politik. Komponen ini berhubungan 72 Alexander George and Eric Stern, Presidential management styles and models, dalam Alexander George and Juliett George, Presidential Personality and Performance (Boulder, CO: Westview Press, 1998), hlm Indra Kusumawardhana 107

118 dengan bagaimana seorang pemimpin melihat hakikat konflik politik (terutama dengan para bawahannya) serta bagaimana ia menyelesaikan konflik tersebut. Komponen ini membentuk gaya kepemimpinan karena proses pembuatan keputusan melibatkan orang banyak sehingga konflik atau minimal perbedaan pendapat antarindividu kerap tak dapat dihindari. Berdasarkan tiga komponen di atas, George dan Stern membagi gaya kepemimpinan menjadi tiga yaitu formalistik, kompetitif, dan kolegial. Gaya kepemimpinan formalistik dicirikan dengan struktur hirarkis yang kaku dengan pola komunikasi yang cenderung satu arah (instruksional). Karena tidak ada diskusi apalagi perdebatan, gaya kepemimpinan ini menutup ruang bagi perbedaan pendapat dan konflik. Pemimpin-pemimpin dari negara otoriter cenderung menggunakan gaya kepemimpinan ini ketika menjalankan kekuasaan. Sementara itu, gaya kepemimpinan kompetitif justru berkebalikan dengan gaya formalistik dimana seorang pemimpin membuka ruang seluas-luasnya bagi perbedaan pandangan. Pemimpin seperti ini suka dengan perdebatan sehingga mengakibatkan proses pengambilan keputusan cenderung berlarut-larut dan sulit dicapai konsensus. Gaya kepemimpinan ini memungkinkan semua kalangan memiliki peluang untuk mempengaruhi pemimpin dalam pembuatan keputusan. Gaya kepemimpinan ketiga yaitu kolegial merupakan jalan tengah antara dua gaya kepemimpinan sebelumnya. Gaya kepemimpinan ini menyediakan ruang bagi para penasehat dan pejabat di bawah presiden (atau perdana menteri) untuk memberikan pandangannya dalam sebuah tim. Masukan dan pemikiran tim tersebut harus 108 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

119 sejalan dengan visi dan misi presiden sehingga menutup kemungkinan terjadinya kekacauan perspektif yang akan berakibat pada keputusan yang tidak efektif. 73 Literatur kedua tentang gaya kepemimpinan adalah karya Margaret Hermann dan Thomas Preston berjudul Presidents, Advisers, and Foreign Policy: The Effect of Leadership Style on Executive Arrangements. Keduanya mengembangkan teori gaya kepemimpinan untuk menganalisis kebijakan luar negeri dengan mengukur lima variabel yaitu keterlibatan dalam proses pembuatan kebijakan, kesediaan menoleransi konflik, motivasi untuk memimpin, cara mengelola informasi, dan cara menyelesaikan konflik. 74 Pertama, keterlibatan pemimpin dalam proses pembuatan kebijakan berkaitan dengan ketertarikan pemimpin pada isu kebijakan luar negeri, pengalaman dalam kebijakan luar negeri, dan kemauan pemimpin untuk memegang kendali kebijakan luar negeri ketimbang menyerahkannya kepada lembaga pemerintah (misalnya Kementerian Luar Negeri). Kedua, kesediaan menoleransi konflik berkaitan dengan seberapa terbuka seorang pemimpin terhadap perbedaan pandangan dalam proses pembuatan keputusan. Ada pemimpin yang terbuka dengan perbedaan, namun ada pula yang tidak suka dengan perdebatan. Ketiga, motivasi untuk memimpin berhubungan dengan motif yang 73 Ibid., hlm Margaret Hermann and Thomas Preston, Presidents, advisers, and foreign policy: the effect of leadership style on executive arrangements, Political Psychology, Vol. 5, No. 1 (1994), hlm. 81. Untuk argumen yang sama lihat juga Juliet Karboo, Prime minister leadership styles in foreign policy decision-making: a framework for research, Political Psychology, Vol. 18, No. 3 (1997), pp Indra Kusumawardhana 109

120 mendasari seorang pemimpin menjalankan kekuasaannya. Variabel ini menyangkut apakah seorang pemimpin punya komitmen untuk menyelesaikan dan menuntaskan suatu masalah? Ataukah ia tidak terlalu peduli dengan kebijakankebijakannya? Apakah kebijakannya didasari motif kekuasaan atau sekadar status dan popularitas? Apakah ia punya komitmen untuk membawa negaranya menjadi bermartabat di tingkat internasional? Keempat, cara mengelola informasi dan cara menyelesaikan konflik berhubungan dengan apakah seorang pemimpin memilih pendekatan yang otoriter atau demokratis. Pendekatan otoriter berarti seorang pemimpin ketika membuat keputusan cenderung menutup kanal-kanal informasi dan lebih mengandalkan pilihannya sendiri ketimbang mempertimbangkan saransaran dari para penasehat maupun pejabat di bawahnya. Sebaliknya, pendekatan otoriter berarti seorang pemimpin memilih mencapai konsensus berdasarkan diskusi dan musyawarah para para penasehat dan bawahannya. Variabel ini tampaknya serupa dengan tiga model gaya kepemimpinan sebelumnya yaitu formalistik, kompetitif, dan kolegial. Literatur ketiga tentang gaya kepemimpinan kita peroleh dari karya Margaret Hermann berjudul Explaining Foreign Policy Behavior Using the Personal Characteristics of Political Leaders. Karya ini menyebutkan enam variabel atau indikator untuk menentukan gaya kepemimpinan menggunakan metode kuantitatif. Enam variabel itu adalah nasionalisme, keyakinan pemimpin mengendalikan situasi, hasrat akan kekuasaan, kebutuhan untuk bekerjasama, cara menafsirkan segala sesuatu (conceptual complexity), dan kepercayaan kepada orang lain Margaret Hermann, Explaining foreign policy behavior using the 110 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

121 Pertama, nasionalisme berhubungan dengan bagaimana pandangan pemimpin terhadap negaranya, terutama posisi negara di panggung politik internasional. Indikator utama variabel ini adalah seberapa besar tingkat kecintaan dan kebanggaan seorang pemimpin terhadap negaranya. Semakin nasionalis seorang pemimpin, semakin independen kebijakan luar negerinya. Akan tetapi, variabel ini menyimpan sisi gelap yaitu semakin nasionalis seorang pemimpin, semakin agresif pula kebijakan luar negerinya. Sejarah menyediakan banyak contoh pemimpin-pemimpin nasionalis, terutama dari negaranegara bekas jajahan, yang menunjukkan nasionalisme yang berapi-api. Nasionalisme ekstrem, misalnya seperti ideologi fasisme yang memuja bangsa dan negara di atas segalanya, cenderung memiliki kebijakan ekspansionis (gemar berperang). Kedua, keyakinan pemimpin mengendalikan situasi mengacu pada tingkat kepercayaan diri seorang pemimpin dalam mengambil kebijakan. Indikator utama variabel ini adalah seberapa besar keyakinan pemimpin bahwa ia mampu mengendalikan situasi dan memecahkan persoalan dilihat dari pernyataan maupun sikap yang ditunjukkannya. Tinggi keyakinannya, semakin independen dan aktif kebijakan luar negerinya. Hal ini dikarenakan pemimpin tersebut merasa sangat percaya diri bahwa kebijakannya akan memberikan hasil maksimal bagi kepentingan nasionalnya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat keyakinannya, semakin pasif kebijakan luar negerinya. Negara yang dipimpin kepala negara yang tingkat personal characteristics of political leaders, International Studies Quarterly, Vol. 24, No. 1 (1980), pp Lihat juga Margaret Hermann, Assessing leadership style: trait analysis, dalam Jerrold Post (ed.), The Psychological Assessment of Political Leaders (Ann Arbor: University of Michigan Press, 2003), pp Indra Kusumawardhana 111

122 keyakinannya dalam mengendalikan situasi rendah kebijakan luar negerinya cenderung mengikuti arus besar dinamika internasional alih-alih menentukan sendiri arah kebijakan luar negerinya. Ketiga, hasrat akan kekuasaan merujuk pada ambisi seorang pemimpin terhadap kekuasaan. Indikator utama variabel ini adalah bagaimana pemimpin memandang kekuasaan serta bagaimana caranya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan tersebut. Semakin besar ambisi pemimpin terhadap kekuasaan, semakin independen dan agresif kebijakan luar negerinya. Negara-negara yang sangat aktif memainkan peran di tingkat global menunjukkan karakter pemimpin negaranya yang ambisius. Sebaliknya, semakin rendah ambisi kekuasaan seorang pemimpin (artinya ia hanya puas dengan kekuasaan yang dimilikinya), maka semakin besar niat negara tersebut untuk tidak berupaya mengubah tatanan internasional. Dengan kata lain, rendahnya ambisi kekuasaan pemimpin akan mempengaruhi kebijakan luar negeri yang cenderung kompromistis, berfokus pada status quo, dan pada tataran yang lebih rendah pasif. Keempat, kebutuhan untuk bekerjasama merupakan karakter seorang pemimpin yang menyukai kerjasama dan membangun jejaring. Indikator variabel ini adalah pernyataan maupun sikap yang menunjukkan kecenderungan seorang pemimpin terhadap hubungan baik dengan negara lain. Semakin tinggi kebutuhan untuk bekerjasama, semakin aktif kebijakan luar negerinya dan kurang agresif. Pemimpin yang menyukai kerjasama kemungkinan besar dipengaruhi oleh paradigma liberal. Sebaliknya, semakin rendah kebutuhan untuk bekerjasama, semakin agresif kebijakan luar negerinya. 112 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

123 Agresifitas ini berangkat dari cara pandang realis bahwa kerjasama sulit dilakukan karena negara lain tidak dapat dipercaya. Karena itu, pemimpin yang agresif selalu melihat negara lain sebagai sumber ancaman alih-alih mitra kerjasama. Kelima, cara pemimpin menafsirkan segala sesuatu (apakah itu peristiwa, gagasan, tempat, maupun orang). Variabel ini berkaitan dengan bagaimana seorang pemimpin menyederhanakan persoalan. Ada pemimpin yang melihat persoalan dengan cukup kompleks. Maksudnya realitas tidak bisa disederhanakan karena ada masing-masing fenomena memiliki keunikannya sendiri. Namun ada pula pemimpin yang melihat persoalan secara sederhana, bahkan cenderung menyederhanakan (simplistis). Ciri-ciri pemimpin dengan conceptual complexity yang rendah adalah suka melihat dunia secara hitam-putih, dikotomistis. Cara pandang Sukarno bahwa dunia terbagi menjadi dua kubu saling bermusuhan (NEFOS vs. OLDEFOS) menunjukkan karakter ini. Begitu juga dengan cara pandang George Bush dalam kampanye global melawan terorisme dengan memasukkan negaranegara yang tidak mendukung kebijakan luar negeri AS sebagai sponsor terorisme. Pemimpin dengan conceptual complexity yang rendah cenderung lebih menuruti intuisinya sendiri ketimbang mempertimbangkan sumber-sumber informasi yang beragam untuk memutuskan suatu kebijakan. Keenam, kepercayaan terhadap orang lain merupakan variabel tentang persepsi pemimpin terhadap negara lain. Pemimpin yang tingkat kepercayaan kepada orang lainnya tinggi cenderung menyukai kerjasama karena melihat negara lain sebagai mitra alih-alih musuh. Implikasinya, kebijakan luar negeri negara yang dipimpin seseorang dengan karakter Indra Kusumawardhana 113

124 seperti ini cenderung tidak konfrontatif. Berkebalikan dengan itu, tingkat kepercayaan terhadap orang lain yang rendah menunjukkan persepsi ancaman yang tinggi. Pemimpin seperti ini senantiasa curiga akan maksud negara lain dan memandangnya dalam logika ancaman. Implikasinya, kebijakan luar negerinya cenderung sangat berhati-hati, defensif, bahkan terkadang konfrontatif untuk mengantisipasi ancaman. Rangkuman Bab ini telah menunjukkan bahwa faktor kepribadian seorang pemimpin sangat berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri. Meskipun kebijakan luar negeri melibatkan banyak aktor domestik dan pengaruh dari lingkungan internasional, namun bagaimanapun juga peran pemimpin akan sangat dominan. Merekalah pemegang kendali kebijakan luar negeri. Corak dan orientasi kebijakan luar negeri akan ditentukan oleh aspek-aspek kepribadian seorang pemimpin. Dari sekian banyak teori tentang pendekatan idiosinkratik, bab ini merangkum ada dua teori utama yang kerap dipelajari analis kebijakan luar negeri yaitu teori kode operasional dan teori gaya kepemimpinan. Teori kode operasional beranggapan bahwa bagaimana keyakinan pemimpin terkait hakikat politik mempengaruhi corak kebijakan luar negerinya. Alexander George membagi keyakinan ini menjadi dua elemen yaitu keyakinan filosofis yang bersifat gagasan abstrak dan keyakinan instrumental yang bersifat teknis-strategis. Sementara itu, teori gaya kepemimpinan melihat bagaimana seorang pemimpin menjalankana kekuasaannya. 114 Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

125 Ada tiga gaya kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan luar negeri yaitu formalistik, kompetitif, dan kolegial. Gaya kepemimpinan formalistik identik dengan negara otoriter dimana kekuasaan dijalankan melalui struktur hirarkis yang ketat seperti rantai komando. Gaya kepemimpinan kompetitif identik dengan negara demokrasi liberal yang sangat terbuka dengan perbedaan pandangan dan perdebatan. Sementara gaya kepemimpinan kolegial cenderung diadopsi negaranegara demokrasi yang menempatkan musyawarah mufakat sebagai mekanisme pengambilan keputusan, walaupun keputusan itu pada akhirnya harus sejalan dengan visi dan misi pemimpin. Gaya kepemimpinan juga dapat diukur dari beberapa indikator. Pertama, seberapa besar tingkat nasionalisme yaitu pandangan pemimpin terhadap negaranya, terutama posisi negara di panggung politik internasional. Kedua, seberapa besar tingkat keyakinan pemimpin mengendalikan situasi. Ketiga, seberapa besar hasrat seorang pemimpin akan kekuasaan. Keempat, seberapa besar kebutuhan untuk bekerjasama dan membangun jejaring, yaitu kecenderungan seorang pemimpin untuk berhubungan baik dengan negara lain. Kelima, seberapa kompleks atau sederhana seorang pemimpin menafsirkan atau mengkategorikan sesuatu, apakah itu fenomena, gagasan, orang, tempat, dan sebagainya. Keenam, seberapa besar tingkat kepercayaan seorang pemimpin terhadap orang lain. Mahasiswa yang ingin menganalisis kebijakan luar negeri menggunakan teori gaya kepemimpinan ini tidak perlu mengukur seluruh variabel tersebut tetapi cukup mengambil beberapa variabel yang dianggap paling relevan, yaitu yang sekiranya paling cocok untuk menggambarkan karakter pemimpin yang sedang ia teliti. Indra Kusumawardhana 115

126 Studi kasus Studi kasus ini akan mengambil intisari dari karya Benedict Dyson tentang keputusan Inggris melibatkan diri dalam Perang Irak 2003 bersama AS. 76 Dyson menggunakan pendekatan idiosinkratik khususnya teori kepribadian pemimpin dari Margaret Hermann. Akan tetapi, Dyson tidak mengaplikasikan enam variabel melainkan hanya mengambil tiga diantaranya yakni tingkat keyakinan pemimpin dalam mengendalikan situasi, cara pemimpin menafsirkan segala sesuatu, dan ambisi akan kekuasaan. Dari hasil analisis, ditemukan bahwa Perdana Menteri Inggris Tony Blair memiliki tingkat keyakinan dalam mengendalikan situasi yang tinggi. Berdasarkan analisis terhadap pernyataan-pernyataan Blair, Dyson menyimpulkan bahwa Blair cenderung mengadopsi kebijakan luar negeri yang intervensionis dan aktivis. Selain itu, Blair juga sangat percaya diri mampu mempengaruhi AS dan PBB serta negara-negara lain seperti Jerman, Perancis, dan Rusia. Sementara analisis terhadap variabel cara pemimpin menafsirkan segala sesuatu, Dyson menemukan bahwa Blair cenderung melihat segala sesuatu secara hitam-putih, menyangkal informasi yang tidak sesuai dengan keyakinannya, serta pola pengambilan keputusan yang tegas dan kurang memberi ruang bagi perbedaan pendapat. Hal ini menunjukkan Blair memiliki tingkat conceptual complexity yang rendah. Implikasinya, kebijakan luar negeri Blair cenderung melihat Irak sebagai negara jahat, otoriter, dan mengancam perdamaian dunia. Blair juga percaya bahwa Irak mengembangkan senjata 76 Lihat lebih lengkap dalam Benedict Dyson, Personality and foreign policy: Tony Blair s Iraq decisisons, Foreign Policy Analysis, Vol. 2, No. 3 (2006), pp Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

127 pemusnah massal meskipun bukti-bukti yang ada menyangkal asumsi itu. Analisis terhadap variabel ketiga yaitu ambisi akan kekuasaan menunjukkan Blair cenderung memiliki ambisi kekuasaan yang tinggi. Ia cenderung memaksakan kebijakannya sendiri alih-alih mengakomodasi masukan dari orang lain. Implikasinya, ketika menyangkut Irak, Blair terlihat sangat dominan dan menunjukkan antusiasme yang tinggi. Ia juga enggan memperdebatkan masalah Irak karena menurutnya klaim bahwa Irak mengembangkan senjata pemusnah massal sudah final. Daftar pertanyaan 1. Apa yang anda ketahui tentang konsep idiosinkratisme? 2. Mengapa faktor kepribadian elit penting dalam menganalisis kebijakan luar negeri? 3. Apa yang anda ketahui tentang konsep kode operasional? 4. Jelaskan tipologi gaya kepemimpinan yaitu formalistik, kompetitif, dan kolegial serta bagaimana implikasinya terhadap kebijakan luar negeri! 5. Jelaskan enam variabel gaya kepemimpinan menurut Margaret Hermann dan implikasinya terhadap kebijakan luar negeri! Saran bacaan lebih lanjut 1. Tentang teori kode operasional lihat Alexander George, The Operational Code : A Neglected Approach to the Study of Political Leaders and Decision Making (Santa Monica, CA: RAND Corporation, 1967). Indra Kusumawardhana 117

128 2. Tentang tipologi gaya kepemimpinan lihat Alexander George and Eric Stern, Presidential management styles and models, dalam Alexander George and Juliett George, Presidential Personality and Performance (Boulder, CO: Westview Press, 1998). 3. Tentang faktor kepribadian dalam membentuk gaya kepemimpinan lihat Margaret Hermann, Explaining foreign policy behavior using the personal characteristics of political leaders, International Studies Quarterly, Vol. 24, No. 1 (1980), pp Pengantar Analisis Kebijakan Luar Negeri

129 B A B 9 PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI Teori-teori kebijakan luar negeri menjelaskan mengapa negara melakukan tindakan tertentu. Akan tetapi, teori perubahan kebijakan luar negeri mendiskusikan mengapa negara mengubah kebijakannya. Fenomena perubahan kebijakan luar negeri merupakan hal yang sangat lumrah. Perubahan ini tidak hanya terjadi antar rezim, melainkan juga di bawah pemerintahan yang sama. Apabila pemerintahan berganti, biasanya akan diikuti dengan pergantian kebijakan luar negeri. Namun, pemerintahan yang sama tak jarang melakukan perubahan kebijakan demi tujuan tertentu. Bab ini akan membahas dalam hal apa saja pemerintah melakukana perubahan kebijakan luar negeri serta apa saja faktor yang melatarbelakanginya. Setelah mendefinisikan konsep perubahan kebijakan luar negeri, bagian selanjutnya akan membahas bentuk-bentuk perubahan kebijakan luar negeri. Pokok bahasan selanjutnya adalah menguraikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan itu. Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan mampu Indra Kusumawardhana 119

Realisme dan Neorealisme I. Summary

Realisme dan Neorealisme I. Summary Realisme dan Neorealisme I. Summary Dalam tulisannya, Realist Thought and Neorealist Theory, Waltz mengemukakan 3 soal, yaitu: 1) pembentukan teori; 2) kaitan studi politik internasional dengan ekonomi;

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Six Party Talks merupakan sebuah mekanisme multilateral yang bertujuan untuk mewujudkan upaya denuklirisasi Korea Utara melalui proses negosiasi yang melibatkan Cina,

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia BAB 5 KESIMPULAN Dalam bab terakhir ini akan disampaikan tentang kesimpulan yang berisi ringkasan dari keseluruhan uraian pada bab-bab terdahulu. Selanjutnya, dalam kesimpulan ini juga akan dipaparkan

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM Sebelum PD I studi Hubungan Internasional lebih banyak berorientasi pada sejarah diplomasi dan hukum internasional Setelah PD I mulai ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang telah membangun mitra kerjasama dengan Tiongkok dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan. dalam mewujudkan tujuan perjuangan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan. dalam mewujudkan tujuan perjuangan nasional. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Ketahanan nasional adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa yang terdiri atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional

Lebih terperinci

ANALISIS PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PENYUSUNAN UU NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TNI : IMPLEMENTASI MODEL ANALISIS GRAHAM T.

ANALISIS PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PENYUSUNAN UU NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TNI : IMPLEMENTASI MODEL ANALISIS GRAHAM T. ANALISIS PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PENYUSUNAN UU NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TNI : IMPLEMENTASI MODEL ANALISIS GRAHAM T. ALLISON Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si Dosen Jurusan Hubungan Internasional

Lebih terperinci

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang Bab V KESIMPULAN Dalam analisis politik perdagangan internasional, peran politik dalam negeri sering menjadi pendekatan tunggal untuk memahami motif suatu negara menjajaki perjanjian perdagangan. Jiro

Lebih terperinci

Politik Global dalam Teori dan Praktik

Politik Global dalam Teori dan Praktik Politik Global dalam Teori dan Praktik Oleh: Aleksius Jemadu Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta 2008 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasca kekalahannya dalam Perang Dunia II, Jepang berusaha untuk bangkit kembali menjadi salah satu kekuatan besar di dunia. Usaha Jepang untuk bangkit kembali dilakukan

Lebih terperinci

Memahami Politik Luar Negeri Indonesia Era Susilo Bambang Yudhoyono secara Komprehensif: Resensi Buku

Memahami Politik Luar Negeri Indonesia Era Susilo Bambang Yudhoyono secara Komprehensif: Resensi Buku Indonesian Perspective, Vol. 2, No. 1 (Januari-Juni 2017): 77-81 Memahami Politik Luar Negeri Indonesia Era Susilo Bambang Yudhoyono secara Komprehensif: Resensi Buku Tonny Dian Effendi Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

Ruko Jambusari No. 7A Yogyakarta Telp. : ; Fax. :

Ruko Jambusari No. 7A Yogyakarta Telp. : ; Fax. : PELUANG & TANTANGAN DIPLOMASI PERTAHANAN Oleh : Parulian Simamora, M.Sc. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau

Lebih terperinci

ISU-ISU GLOBALISASI KONTEMPORER, oleh Ahmad Safril Mubah, M.Hub., Int. Hak Cipta 2015 pada penulis

ISU-ISU GLOBALISASI KONTEMPORER, oleh Ahmad Safril Mubah, M.Hub., Int. Hak Cipta 2015 pada penulis ISU-ISU GLOBALISASI KONTEMPORER, oleh Ahmad Safril Mubah, M.Hub., Int. Hak Cipta 2015 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283 Telp: 0274-882262; 0274-889398; Fax: 0274-889057; E-mail:

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang

BAB I. A. Latar Belakang BAB I A. Latar Belakang Keamanan pangan merupakan kebutuhan paling mendasar bagi setiap negara. World Trade Organization (WTO) adalah organisasi internasional yang sejak tahun 1995 memiliki peran sentral

Lebih terperinci

Sumber-sumber kemasyarakatan merupakan aspek dari non pemerintah dari suatu system politik yang mempengaruhi tingkah laku eksternal negaranya.

Sumber-sumber kemasyarakatan merupakan aspek dari non pemerintah dari suatu system politik yang mempengaruhi tingkah laku eksternal negaranya. Politik Luar Negeri Amerika Serikat Interaksi antarnegara dalam paradigma hubungan internasional banyak ditentukan oleh politik luar negeri negara tersebut. Politik luar negeri tersebut merupakan kebijaksanaan

Lebih terperinci

Sejak Edisi Pertama diterbitkan pada tahun 2008 sudah banyak perubahan yang terjadi baik

Sejak Edisi Pertama diterbitkan pada tahun 2008 sudah banyak perubahan yang terjadi baik Politik Global; Dalam Teori dan Praktik Edisi 2 oleh Aleksius Jemadu Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283 Telp: 0274-889398; Fax: 0274-889057; E-mail: info@grahailmu.co.id

Lebih terperinci

Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL

Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL 1 2 BAB I Memahami Ekonomi Politik Internasional A. Pendahuluan Negara dan pasar dalam perkembangannya menjadi dua komponen yang tidak terpisahkan.

Lebih terperinci

The Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan)

The Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan) The Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan) Tujuan utama buku ini adalah untuk menjawab tentang peran teori terkait permasalahan administrasi publik. Sebagaimana diketahui, tujuan utama

Lebih terperinci

Indonesia dalam Lingkungan Strategis yang Berubah, oleh Bantarto Bandoro Hak Cipta 2014 pada penulis

Indonesia dalam Lingkungan Strategis yang Berubah, oleh Bantarto Bandoro Hak Cipta 2014 pada penulis Indonesia dalam Lingkungan Strategis yang Berubah, oleh Bantarto Bandoro Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283 Telp: 0274-882262; 0274-889398; Fax: 0274-889057; E-mail:

Lebih terperinci

PENGANTAR KAJIAN STRATEGIS

PENGANTAR KAJIAN STRATEGIS PENGANTAR KAJIAN STRATEGIS Penulis : Anak Agung Banyu Perwita; Afrimadona; Bantarto Bandoro; Beni Sukadis; Fredy BL Tobing; Kusnadi Kardi; Prasojo; Yugolastarob Komeini Editor : AA Banyu Perwita Bantarto

Lebih terperinci

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika BAB V KESIMPULAN Amerika Serikat merupakan negara adikuasa dengan dinamika kebijakan politik luar negeri yang dinamis. Kebijakan luar negeri yang diputuskan oleh Amerika Serikat disesuaikan dengan isu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Transisi Indonesia menjadi negara demokratis pada 1998 merupakan sebuah perubahan besar. Krisis ekonomi yang melatar belakangi terjadinya transisi pemerintahan

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Akuntansi merupakan satu-satunya bahasa bisnis utama di pasar modal. Tanpa standar akuntansi yang baik, pasar modal tidak akan pernah berjalan dengan baik pula karena laporan

Lebih terperinci

Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak

Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak Dengan telah dimulainya ASEAN Community tahun 2015 merupakan sebuah perjalanan baru bagi organisasi ini. Keinginan untuk bisa mempererat

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin BAB IV KESIMPULAN Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin memiliki implikasi bagi kebijakan luar negeri India. Perubahan tersebut memiliki implikasi bagi India baik pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia berhak menentukan nasib bangsanya sendiri, hal ini diwujudkan dalam bentuk pembangunan. Pembangunan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Kepemilikan senjata nuklir oleh suatu negara memang menjadikan perubahan konteks politik internasional menjadi rawan konflik mengingat senjata tersebut memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Six Party Talks merupakan sebuah mekanisme multilateral yang bertujuan untuk mewujudkan upaya denuklirisasi Korea Utara melalui proses negosiasi yang melibatkan Cina,

Lebih terperinci

TEORI-TEORI POLITIK. P. Anthonius Sitepu. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012

TEORI-TEORI POLITIK. P. Anthonius Sitepu. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012 TEORI-TEORI POLITIK Penulis: P. Anthonius Sitepu Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012 Hak Cipta 2012 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I INTRODUKSI. Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang

BAB I INTRODUKSI. Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang BAB I INTRODUKSI Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang penelitian, permasalahan penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, dan tahapan-tahapan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah

BAB VI KESIMPULAN. Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah BAB VI KESIMPULAN Sampai pada saat penelitian lapangan untuk tesis ini dilaksanakan, Goenawan Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah Tempo dalam waktu yang relatif lama,

Lebih terperinci

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Daftar Isi i ii Demokrasi & Politik Desentralisasi Daftar Isi iii DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Oleh : Dede Mariana Caroline Paskarina Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta 2008 pada penulis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dudih Sutrisman, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dudih Sutrisman, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat telah melalui perjalanan sejarah panjang dalam kepemimpinan nasional sejak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17

Lebih terperinci

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang. BAB V KESIMPULAN Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi konflik di masa kini maupun akan datang. Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara di kawasan ini. Konflik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan pasca- perang dingin ini juga mempunyai implikasi strategis baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan pasca- perang dingin ini juga mempunyai implikasi strategis baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Internasional Runtuhnya Uni Soviet sebagai negara komunis utama pada tahun 1990-an memunculkan corak perkembangan Hubungan Internasional yang khas. Perkembangan pasca-

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. McNally and Company, Chicago, 1967

BAB I PENDAHULUAN. McNally and Company, Chicago, 1967 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Posisi Laut Cina Selatan sebagai jalur perairan utama dalam kebanyakan ekspedisi laut, yang juga berada diantara negara-negara destinasi perdagangan, dan terlebih lagi

Lebih terperinci

isu kebijakan dan dinamikanya. Kemudian pada bagian kedua kita akan Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah

isu kebijakan dan dinamikanya. Kemudian pada bagian kedua kita akan Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah 4 Isu Kebijakan Publik A. Pendahuluan Pada bagian ini, anda akan mempelajari konsep isu kebijakan publik dan dinamikanya dalam pembuatan kebijakan. Untuk itu, kita akan membagi uraian ini menjadi tiga

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan BAB V KESIMPULAN Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan intensitas diplomasi dan perdagangan jasa pendidikan tinggi di kawasan Asia Tenggara, yang kemudian ditengarai

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang. BAB I : Pendahuluan

1.1 Latar Belakang. BAB I : Pendahuluan BAB I : Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penarikan pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan barangkali merupakan salah satu kebijakan pemerintahan Obama yang paling dilematis. Keputusan untuk menarik pasukan

Lebih terperinci

Resensi Buku: Melawan Gurita Neoliberalisme. Oleh: Sugiyarto Pramono

Resensi Buku: Melawan Gurita Neoliberalisme. Oleh: Sugiyarto Pramono Resensi Buku Melawan Gurita Neoliberalisme Oleh: Sugiyarto Pramono Resensi Buku: Judul : Melawan Gurita Neoliberalisme Penulis : Budi Winarno Tebal : 174 halaman + x Penerbit : Erlangga Kota terbit : Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012.

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kerjasama ASEAN telah dimulai ketika Deklarasi Bangkok ditandatangani oleh Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filiphina pada tahun 1967. Sejak saat

Lebih terperinci

REALISM. Theoretical Intrepretations of World Politics. By Dewi Triwahyuni

REALISM. Theoretical Intrepretations of World Politics. By Dewi Triwahyuni REALISM Theoretical Intrepretations of World Politics By Dewi Triwahyuni Theory in Brief REALISM & NEOREALISM Key Actors View of the individual View of the state View of the international system Beliefs

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan dalam bab ini mencakup beberapa subbab antara lain Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Batasan Penelitian serta Sistematika Penulisan.

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor BAB 5 KESIMPULAN Sebagaimana dirumuskan pada Bab 1, tesis ini bertugas untuk memberikan jawaban atas dua pertanyaan pokok. Pertanyaan pertama mengenai kemungkinan adanya variasi karakter kapasitas politik

Lebih terperinci

Pidato Presiden RI mengenai Dinamika Hubungan Indonesia - Malaysia, 1 September 2010 Rabu, 01 September 2010

Pidato Presiden RI mengenai Dinamika Hubungan Indonesia - Malaysia, 1 September 2010 Rabu, 01 September 2010 Pidato Presiden RI mengenai Dinamika Hubungan Indonesia - Malaysia, 1 September 2010 Rabu, 01 September 2010 PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MENGENAI DINAMIKA HUBUNGAN indonesia - MALAYSIA DI MABES

Lebih terperinci

PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM. Tabrani. ZA., S.Pd.I., M.S.I

PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM. Tabrani. ZA., S.Pd.I., M.S.I PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM Tabrani. ZA., S.Pd.I., M.S.I Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM Tabrani. ZA., S.Pd.I., M.S.I ISBN: 978-602-71453-0-6 Editor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelola yang baik (good corporate governance) tidak hanya berlaku bagi. pertanggungjawaban kinerja organisasi.

BAB I PENDAHULUAN. kelola yang baik (good corporate governance) tidak hanya berlaku bagi. pertanggungjawaban kinerja organisasi. BAB I 1.1 Pengantar PENDAHULUAN Tuntutan mengenai pengelolaan suatu organisasi berdasarkan sistem tata kelola yang baik (good corporate governance) tidak hanya berlaku bagi organisasi di sektor pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini tantangan yang dihadapi lembaga-lembaga pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini tantangan yang dihadapi lembaga-lembaga pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keunggulan suatu bangsa tidak lagi bertumpu pada kekayaan alam, melainkan pada keunggulan sumber daya manusia (SDM), yaitu tenaga terdidik yang mampu menjawab

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut perspektif sebuah negara, diplomasi terdiri dari perumusan, pembentukan dan implementasi kebijakan luar negeri. Diplomasi adalah instrumen negara melalui

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian ini menekankan pada proses peredaan ketegangan dalam konflik Korea Utara dan Korea Selatan pada rentang waktu 2000-2002. Ketegangan yang terjadi antara Korea Utara

Lebih terperinci

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010.

BAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010. BAB 4 KESIMPULAN Korea Utara sejak tahun 1950 telah menjadi ancaman utama bagi keamanan kawasan Asia Timur. Korea Utara telah mengancam Korea Selatan dengan invasinya. Kemudian Korea Utara dapat menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Yofa Fadillah Hikmah, 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Yofa Fadillah Hikmah, 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perang merupakan suatu konflik dua pihak atau lebih dan dapat melalui kontak langsung maupun secara tidak langsung, biasanya perang merupakan suatu hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengarusutamaan Penanggulangan Bencana

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengarusutamaan Penanggulangan Bencana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Pengarusutamaan Penanggulangan Bencana Dengan adanya kesepakatan internasional untuk mengurangi risiko bencana (disaster risk reduction), maka sejak beberapa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER 145 BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER DAN POLITIK DI INDONESIA (Studi Tentang Kebijakan Dwifungsi ABRI Terhadap Peran-peran Militer di Bidang Sosial-Politik

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN 1. Umum. Pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara merupakan

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pd Prasetya dan Pelantikan Perwira TNI dan Polri, 2 Juli 2013, di Surabaya Selasa, 02 Juli 2013

Sambutan Presiden RI pd Prasetya dan Pelantikan Perwira TNI dan Polri, 2 Juli 2013, di Surabaya Selasa, 02 Juli 2013 Sambutan Presiden RI pd Prasetya dan Pelantikan Perwira TNI dan Polri, 2 Juli 2013, di Surabaya Selasa, 02 Juli 2013 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PRASETYA PERWIRA TENTARA NASIONAL INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meyampaikan pendapatnya di pertemuan rakyat terbuka untuk kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. meyampaikan pendapatnya di pertemuan rakyat terbuka untuk kepentingan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Media dan demokrasi merupakan dua entitas yang saling melengkapi. Media merupakan salah satu produk dari demokrasi. Dalam sejarah berkembangnya demokrasi, salah satu

Lebih terperinci

Sosialisme Indonesia

Sosialisme Indonesia Sosialisme Indonesia http://sinarharapan.co/news/read/140819049/sosialisme-indonesia 19 Agustus 2014 12:50 Ivan Hadar* OPINI Sosialisme-kerakyatan bisa diterapkan di Indonesia. Terpilihnya Jokowi sebagai

Lebih terperinci

TOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL

TOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL TOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL MENCIPTAKAN PERDAMAIAN DUNIA Salah satu langkah penting dalam diplomasi internasional adalah penyelenggaraan KTT Luar Biasa ke-5 OKI untuk penyelesaian isu Palestina

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. negara kepulauan yang beriklim tropis, dan bukan suatu yang aneh jika. pun dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia.

PENDAHULUAN. negara kepulauan yang beriklim tropis, dan bukan suatu yang aneh jika. pun dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang beriklim tropis, dan bukan suatu yang aneh jika pelbagai penyakit, baik

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990an merubah konstelasi politik dunia. Rusia

BAB V KESIMPULAN. Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990an merubah konstelasi politik dunia. Rusia BAB V KESIMPULAN Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990an merubah konstelasi politik dunia. Rusia berubah dari super power state menjadi middle-power state (negara dengan kekuatan menengah). Kebijakan luar

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. sekaligus (Abdullah, 2006: 77). Globalisasi telah membawa Indonesia ke dalam

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. sekaligus (Abdullah, 2006: 77). Globalisasi telah membawa Indonesia ke dalam BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Perubahan yang terjadi di Indonesia selama setengah abad ini sesungguhnya telah membawa masyarakat ke arah yang penuh dengan fragmentasi dan kohesi sekaligus (Abdullah,

Lebih terperinci

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini.

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini. PAPARAN WAKIL MENTERI LUAR NEGERI NILAI STRATEGIS DAN IMPLIKASI UNCAC BAGI INDONESIA DI TINGKAT NASIONAL DAN INTERNASIONAL PADA PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA JAKARTA, 11 DESEMBER 2017 Yang terhormat

Lebih terperinci

turut melekat bagi negara-negara di Eropa Timur. Uni Eropa, AS, dan NATO menanamkan pengaruhnya melalui ide-ide demokrasi yang terkait dengan ekonomi,

turut melekat bagi negara-negara di Eropa Timur. Uni Eropa, AS, dan NATO menanamkan pengaruhnya melalui ide-ide demokrasi yang terkait dengan ekonomi, BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dengan berbagai aspek yang telah dinilai oleh pembuat kebijakan di Montenegro untuk bergabung dalam NATO, terdapat polemik internal dan eksternal yang diakibatkan oleh kebijakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. baru dengan adanya terobosan Kebijakan Pembangunan Pangkalan Militer

BAB V KESIMPULAN. baru dengan adanya terobosan Kebijakan Pembangunan Pangkalan Militer BAB V KESIMPULAN Perjalanan sejarah strategi kekuatan militer China telah memasuki babak baru dengan adanya terobosan Kebijakan Pembangunan Pangkalan Militer China di Djibouti, Afrika pada Tahun 2016.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika Perang Dunia Pertama terjadi, tren utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua terjadi Amerika

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP Bab ini bertujuan untuk menjelaskan analisa tesis yang ditujukan dalam menjawab pertanyaan penelitian dan membuktikan hipotesa. Proses analisa yang berangkat dari pertanyaan penelitian dimulai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010. 100 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Rusia adalah salah satu negara produksi energi paling utama di dunia, dan negara paling penting bagi tujuan-tujuan pengamanan suplai energi Eropa. Eropa juga merupakan

Lebih terperinci

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL Politik, Ekonomi, Keamanan, dan Isu Global Kontemporer Oleh : Aprilia Restuning Tunggal, S.IP Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Kesimpulan hasil studi dan pengembangan model konseling aktualisasi diri

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Kesimpulan hasil studi dan pengembangan model konseling aktualisasi diri BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Kesimpulan hasil studi dan pengembangan model konseling aktualisasi diri untuk mengembangkan kecakapan pribadi mahasiswa dipaparkan sebagai berikut. 1. Model

Lebih terperinci

Menakar Arah Kebijakan Pemerintah RI Dalam Melindungi Hak Asasi WNI di Luar Negeri

Menakar Arah Kebijakan Pemerintah RI Dalam Melindungi Hak Asasi WNI di Luar Negeri MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA --------- POINTERS Dengan Tema : Menakar Arah Kebijakan Pemerintah RI Dalam Melindungi Hak Asasi WNI di Luar Negeri OLEH : WAKIL KETUA MPR RI HIDAYAT NUR

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. mempengaruhi sikap kedua negara terhadap negara-negara lain yang tidak terlibat.

BAB IV KESIMPULAN. mempengaruhi sikap kedua negara terhadap negara-negara lain yang tidak terlibat. BAB IV KESIMPULAN Terjadinya Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat turut mempengaruhi sikap kedua negara terhadap negara-negara lain yang tidak terlibat. Salah satunya adalah sikap yang ditunjukkan

Lebih terperinci

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n BAB IV KESIMPULAN Regionalisme Mercosur merupakan regionalisme yang telah mengalami proses yang panjang dan dinamis. Berbagai peristiwa dan upaya negara anggotanya terhadap organisasi ini telah menjadikannya

Lebih terperinci

Pengertian Dasar & Jenisnya. Mata Kuliah Studi Keamanan Internasional. By Dewi Triwahyuni

Pengertian Dasar & Jenisnya. Mata Kuliah Studi Keamanan Internasional. By Dewi Triwahyuni Pengertian Dasar & Jenisnya Mata Kuliah Studi Keamanan Internasional By Dewi Triwahyuni Definisi : Keamanan (security) secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan mempertahankan diri (survival) dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerja sama merupakan upaya yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok maupun negara untuk mencapai kepentingan bersama. Lewat bekerjasama, tentu saja seseorang, kelompok

Lebih terperinci

: Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si. Memahami Diplomasi

: Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si. Memahami Diplomasi Mata Kuliah Dosen : Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si Memahami Diplomasi Pada masa kini dengan berkembang luasnya isu internasional menyebabkan hubungan internasional tidak lagi dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. geografis. Kecenderungan inilah yang sering dinamakan regionalisme.

BAB I PENDAHULUAN. geografis. Kecenderungan inilah yang sering dinamakan regionalisme. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pada akhir abad ke 20 hingga awal abad ke 21 telah ditandai dengan adanya suatu proses penyatuan dunia yang menjadi sebuah ruang tanpa batasan tertentu. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia dan Thailand merupakan dua negara berkembang di kawasan Asia Tenggara yang sedang berusaha mengembangkan sektor industri otomotif negerinya. Kenyataan bahwa

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENGAJARAN ( SEJARAH DAN DIPLOMASI BUDAYA CHINA)

SATUAN ACARA PENGAJARAN ( SEJARAH DAN DIPLOMASI BUDAYA CHINA) SATUAN ACARA PENGAJARAN ( SEJARAH DAN DIPLOMASI BUDAYA CHINA) SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2014/2015 Dosen Pengampu : Indrawati, M.A A. Deskripsi Mata kuliah ini dirancang agar mahasiswa dapat mengetahui

Lebih terperinci

Misi ini kemudian agar terarah, diimplemantasikan dalam tujuan strategik Program Doktor Akuntansi Universitas Gadjah Mada:

Misi ini kemudian agar terarah, diimplemantasikan dalam tujuan strategik Program Doktor Akuntansi Universitas Gadjah Mada: PROGRAM STUDI AKUNTANSI Program Doktor Akuntansi Universitas Gadjah Mada memiliki jatidiri yang menjadi dua pilar utama eksistensinya. Pertama, program ini berorientasi pada pendidikan dan penelitian ilmu

Lebih terperinci

Profil Lulusan, Capaian Belajar, dan Bahan Kajian

Profil Lulusan, Capaian Belajar, dan Bahan Kajian Profil Lulusan, Capaian Belajar, dan Bahan Kajian a. Profil Lulusan 1. Perumus dan pelaksana hubungan untuk pemerintah (diplomat, staf kementerian luar negeri, staf pemerintah daerah, staf lembaga pemerintah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN BAB. II PANDUAN CRITICAL BOOK REVIEW / REPORT

BAB I. PENDAHULUAN BAB. II PANDUAN CRITICAL BOOK REVIEW / REPORT BAB I. PENDAHULUAN Dalam setiap perkuliahan, membaca buku yang menjadi bacaan wajib atau buku yang menjadi bahan rujukan yang direkomendasikan oleh dosen merupakan hal yang penting bagi setiap mahasiswa.

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sepanjang tahun 2013, media-media internasional gencar memberitakan dinamika yang terjadi berkaitan dengan situasi politik dan keamanan di Semenanjung Korea.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Eropa Barat membuat suatu kebijakan dengan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Eropa Barat membuat suatu kebijakan dengan memberikan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Skripsi ini akan mengupas mengenai alasan kebijakan luar negeri Uni Eropa memberikan dukungan terhadap Ukraina dalam kasus konflik gerakan separatisme pro-rusia di Ukraina.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat berlangsungnya Perang Dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur, Vietnam ikut terlibat dalam Perang Vietnam melawan Amerika Serikat (AS). Blok barat

Lebih terperinci

DOSEN : Dr. AGUS SUBAGYO, S.IP., M.SI

DOSEN : Dr. AGUS SUBAGYO, S.IP., M.SI DOSEN : Dr. AGUS SUBAGYO, S.IP., M.SI FISIP HI UNJANI CIMAHI 2011 Tinjauan Umum Teori Kepentingan Nasional Teori National Interest Versi Hans J. Morgenthau Teori National Interest Versi Donald Nuchterlin

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM. Penyunting Poltak Partogi Nainggolan

PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM. Penyunting Poltak Partogi Nainggolan PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM Penyunting Poltak Partogi Nainggolan Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI Tahun 2010 i PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pertahanan

Lebih terperinci

Seminar Pendidikan Matematika

Seminar Pendidikan Matematika Seminar Pendidikan Matematika TEKNIK MENULIS KARYA ILMIAH Oleh: Khairul Umam dkk Menulis Karya Ilmiah adalah suatu keterampilan seseorang yang didapat melalui berbagai Latihan menulis. Hasil pemikiran,

Lebih terperinci

dalam membangun kekuatan pertahanan mengedepankan konsep pertahanan berbasis kemampuan anggaran (capability-based defence) dengan tetap

dalam membangun kekuatan pertahanan mengedepankan konsep pertahanan berbasis kemampuan anggaran (capability-based defence) dengan tetap BAB V PENUTUP Sejak reformasi nasional tahun 1998 dan dilanjutkan dengan reformasi pertahanan pada tahun 2000 sistem pertahanan Indonesia mengalami transformasi yang cukup substansial, TNI sebagai kekuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini akan membahas mengenai kerja sama keamanan antara pemerintah Jepang dan pemerintah Australia. Hal ini menjadi menarik mengetahui kedua negara memiliki

Lebih terperinci

Keterangan Pers Presiden RI Terkait Surat Balasan PM. Australia, 26 Nov 2013, di Kantor Presiden Selasa, 26 November 2013

Keterangan Pers Presiden RI Terkait Surat Balasan PM. Australia, 26 Nov 2013, di Kantor Presiden Selasa, 26 November 2013 Keterangan Pers Presiden RI Terkait Surat Balasan PM. Australia, 26 Nov 2013, di Kantor Presiden Selasa, 26 November 2013 KETERANGAN PERS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA RAPAT TERBATAS TERKAIT SURAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini, terutama teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang dengan cepat,

Lebih terperinci

MATA KULIAH TEORI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL TEORI-TEORI AKTOR HI. Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP., M.Si

MATA KULIAH TEORI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL TEORI-TEORI AKTOR HI. Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP., M.Si MATA KULIAH TEORI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL TEORI-TEORI AKTOR HI Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP., M.Si TEORI STATE CENTRIS TEORI TRANSNASIONAL CENTRIS TEORI GLOBAL CENTRIS TEORI STATE CENTRIS TEORI STATE

Lebih terperinci

: Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman : PT. Remaja Rosda Karya

: Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman : PT. Remaja Rosda Karya REVIEW BUKU Judul : Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman Penerbit : PT. Remaja Rosda Karya Bahasa : Inggris Jumlah halaman : 554 Halaman Tahun

Lebih terperinci