TESIS. Oleh: DEWI SUSANTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TESIS. Oleh: DEWI SUSANTI"

Transkripsi

1 PERSEPSI PEREMPUAN MINANG PARIAMAN TENTANG TRADISI UANG JEMPUTAN DALAM ADAT PERKAWINAN (STUDI KASUS PADA PEREMPUAN MINANG PARIAMAN YANG LAHIR DAN BESAR DI KOTA MEDAN) TESIS Oleh: DEWI SUSANTI M A G I S T E R I L M U K O M U N I K A S I FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

2 PERSEPSI PEREMPUAN MINANG PARIAMAN TENTANG TRADISI UANG JEMPUTAN DALAM ADAT PERKAWINAN (STUDI KASUS PADA PEREMPUAN MINANG PARIAMAN YANG LAHIR DAN BESAR DI KOTA MEDAN) TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Komunikasi dalam Program Magister Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Oleh: DEWI SUSANTI M A G I S T E R I L M U K O M U N I K A S I FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

3 PERSEPSI PEREMPUAN MINANG PARIAMAN TENTANG TRADISI UANG JEMPUTAN PADA ADAT PERKAWINAN (STUDI KASUS PADA PEREMPUAN MINANG PARIAMAN YANG LAHIR DAN BESAR DI KOTA MEDAN) ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah: (1). mengetahui cara pandang perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan; dan (2). mengetahui perubahan sikapnya setelah mempersepsikan tradisi tersebut. Teori yang menjadi pedoman adalah teori persepsi budaya oleh Samovar dan Porter. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan studi kasus. Subjek penelitian terdiri dari 8 (delapan) orang informan yang diperoleh dengan menggunakan teknik purposive, dengan kriteria: lahir dan besar di Kota Medan; telah menikah; dan mengalami perjodohan dengan tradisi uang jemputan. Analisis data menggunakan metode analisis kualitatif oleh Miles dan Huberman. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum menikah, persepsi informan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu (1). Faktor dari dalam diri (world view, pesan verbal/non verbal), di mana tradisi uang jemputan dianggap memberatkan pihak keluarga perempuan dan bertentangan dengan aturan pernikahan dalam agama Islam, karena seharusnya perempuanlah yang dilamar dan diberi uang lamaran (Dian, Leni, Netty, Ita, Dedek dan Shanti). Berbeda dengan Rina dan Nur yang beranggapan bahwa tradisi uang jemputan hanya merupakan kebiasaan masyarakat Pariaman saja, dan (2). Faktor dari luar diri, yaitu tidak adanya peranan keluarga dalam proses enkulturasi budaya, sehingga persepsi lebih dipengaruhi oleh lingkungan yang melahirkan stereotip negatif tentang perempuan Minang membeli laki-laki untuk menikah (Dian, Leni, Netty, Ita, Dedek dan Shanti). Namun stereotip tersebut tidak mempengaruhi Rina dan Nur, karena memiliki sumber referensi yang kompeten tentang makna tradisi uang jemputan, yaitu keluarga dan organisasi kesukuan. Setelah menikah, perubahan sikap terjadi pada Leni, Rina, Ita, Dedek dan Shanti yang mempersepsikan bahwa tradisi uang jemputan sudah tidak lagi sesuai diterapkan pada perjodohan generasi muda Minang. Sedangkan Dian, Netty dan Nur beranggapan bahwa tradisi ini masih mungkin dilestarikan pada perjodohan anak-anak mereka kelak. Kata Kunci: Persepsi Budaya, Komunikasi Keluarga, Perempuan dan Tradisi Uang Jemputan. i

4 FEMALE PARIAMAN MINANGESE'S PERCEPTION OF UANG JEMPUTAN TRADITION IN THE MARRIAGE CUSTOM (CASE STUDY OF THE FEMALE PARIAMAN MINANGESE WHO WERE BORN AND RAISED IN THE CITY OF MEDAN) ABSTRACT The objective of this research is : (1) to find out female Pariaman Minangese's point of view of uang jemputan tradition; and (2) to see if there is a change of behaviour after percepting the tradition. The main theory is the theory of culture perception of Samovar and Porter. Research method used is qualitative case study. Subject of the research consists of 8 (eight) informants obtained by purposive technique with criterias such as: born and raised in the city of Medan; married; and having a fixed marriage with uang jemputan tradition. Data gathering is done via in depth interview and documentation study. Data analysis using qualitative analysis by Miles and Huberman. The research shows that before marriage, informant's perception was influenced by two factors, which is (1). Inner factor (world view, verbal/non verbal message), where uang jemputan tradition is considered a burden to one side of the female family and against the law of marriage in Islam, because females are supposed to be proposed for a marriage and be given the money (Dian, Leni, Netty, Ita, Dedek and Shanti). On the contrary with Rina and Nur that assumed that uang jemputan tradition is just a common practice in the Pariaman society, and (2) Outside factor, which is the absence of the family in the enculturation of the culture, so that the perception is more influenced by the surroundings which brings out the negative stereotype about the female Minangese 'buying' male for a marriage (Diah, Leni, Netty, Ita, Dedek and Shanti). Furthermore, the stereotype doesn't affect Rina and Nur, for having the competent reference of the meaning of the uang jemputan tradition, which is the family and tribal organization. After marriage, the behavioral change occurred to Leni, Rina, Ita, Dedek and Shanti that percepted that uang jemputan tradition as a worn out tradition that no longer suitable for the matchmaking of the young Minangese. As for Dian, Netty and Nur assumed that this tradition is still compatible for their children matchmaking in the future. Keywords: Culture Perception, Family Communication, Female Pariaman Minangese and Uang Jemputan Tradition. ii

5 Judul Tesis : PERSEPSI PEREMPUAN MINANG PARIAMAN TENTANG TRADISI UANG JEMPUTAN DALAM ADAT PERKAWINAN (STUDI KASUS PADA PEREMPUAN MINANG PARIAMAN YANG LAHIR DAN BESAR DI KOTA MEDAN) Nama : Dewi Susanti Nomor Pokok : Program Studi : Ilmu Komunikasi Menyetujui, Komisi Pembimbing Ketua, Anggota, (Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA, Ph.D) (Drs. Safrin, M.Si) NIP NIP Ketua Program Studi, Dekan, (Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA, Ph.D) NIP (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) NIP Tanggal Lulus : 07 Januari 2016 iii

6 Telah diuji pada Tanggal: 07 Januari 2016 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Drs. Hendra Harahap, M.Si Anggota : 1. Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA, Ph.D 1. Drs. Safrin, M.Si 2. Dr. Nurbani, M.Si 3. Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm iv

7 PERNYATAAN PERSEPSI PEREMPUAN MINANG PARIAMAN TENTANG TRADISI UANG JEMPUTAN DALAM ADAT PERKAWINAN (STUDI KASUS PADA PEREMPUAN MINANG PARIAMAN YANG LAHIR DAN BESAR DI KOTA MEDAN) Dengan ini penulis menyatakan bahwa: 1. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik benar merupakan hasil karya penulis sendiri. 2. Tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doktor), baik di Universitas Sumatera Utara maupun di perguruan tinggi lain. 3. Tesis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Komisi Pembimbing dan masukan Tim Penguji. 4. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 5. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila ada dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksisanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Medan, Januari 2016 Penulis, (Dewi Susanti) v

8 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-nya kepada saya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat dan salam bagi Nabi Muhammad SAW, seluruh keluarganya, para sahabat-sahabatnya serta seluruh pengikutnya. Semoga kita semua mendapat syafaat beliau di Yaumil akhir kelak. Aamin. Rasa cinta dan terima kasih yang tak terhingga, senantiasa saya sampaikan kepada pendamping hidup saya, H. Indra Syahputra Munthe, S. HI serta buah hati tercinta, M. Fajri Haikal Munthe atas seluruh do a, kasih sayang dan pengertian yang tulus. Sembah sujud saya kepada kedua orang tua tercinta, Ibunda Syamsidar Tanjung dan Ayahanda St. Nazirman Koto, atas segala do a dan kasih sayang kepada ananda. Rasa terima kasih juga saya sampaikan kepada mertua saya, ibunda Salmah br. Sitorus dan ayahanda Payungan Munthe atas do a dan dukungannya. Selain itu saya juga banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya juga menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr.Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 3. Kementrian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia, khususnya Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, selaku pemberi dana beasiswa perkuliahan pada Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 4. Ibu Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA, Ph.D, selaku Ketua Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara serta sebagai Ketua Komisi Pembimbing. Terima kasih atas dukungan moril yang diberikan kepada saya selama menjalani perkuliahan. 5. Bapak Drs. Safrin, M.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada saya dalam penyusunan tesis ini. 6. Bapak Walikota dan Wakil Walikota Subulussalam serta Bapak Drs. Damhuri, S.P, M.M, selaku Sekretaris Daerah Pemerintahan Kota Subulussalam atas dukungan moril yang diberikan. 7. Ibu Dr. Nurbani, M.Si atas segala support dan bimbingannya dan Bapak Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm, selaku Komisi Pembanding. Bapak Drs.Hendra Harahap, M.Si, selaku Ketua Penguji dan Sekretaris Magister Ilmu Komunikasi. Seluruh Bapak/Ibu Dosen pengajar dan Staf Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, terkhusus kepada adinda Zikra Khasiah, S.Sos. vi

9 8. Bapak H.M. Ridwan, Bapak Prof. Usman Pelly, Ph.D, Prof. Dr. Hj. Chalida Fachruddin, MA serta seluruh informan penelitian. Terkhusus kepada Bapak Alm. St. Alamsyah Guci yang telah berpulang ke Rahmatullah (27 Juli 2015), semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan menerima amal ibadah beliau. Aamin. 9. Kepala Bagian Humas dan Protokol, Bapak Masyuri, SKM., serta seluruh rekan-rekan staf pegawai Humas dan Protokol, Kabag. Kepegawaian (Alm. Bapak Gembira Bancin) dan seluruh staf Kepegawaian Sekretariat Kota Subulussalam. Terkhusus kepada Bapak Jhoni Arizal, S.TP, M.Si atas dukungan moril (melebihi dukungan materi). 10. Kakak saya, Nirawati, A.md serta adik-adik, Dodi Syahputra, Andri Syahputra, Rospita Fitriani, Ardi Syahputra dan Atikah Nisaul Jannah. Adik-adik ipar penulis, Rahmawati, Hasan Basri, Muhammad Rifa i, Nurainun, Nurhabibah, Muhammad Desem, Darmansyah dan Nurhasanah. 11. Para sahabat saya Ledi H. Munthe, Rodliatan Naibaho, Harmailisa, Imelda Martiani atas peminjaman buku-bukunya. Rosidah, Mhd. Okawi, Erwina, Yuhani, Endah Puspita Sari, Naylul Husna, Ilyn Devi Diana, Ida Dharmawaty Daulay, Kk Susi dan Keluarga, Pak Suharsono dan Ibu Ani, Ustadz Rasyid Bancin dan keluarga, Kak Yulidar dan keluarga, Ante Fachrina, atas dukungan dan do anya. 12. Rekan-rekan seperjuangan di Magister Ilmu Komunikasi (Mejikom): Yusridha A. Batubara, Puty Siyamitri, Zulfi Pandapotan Nst, Donny Y. P, Hari Indrawan Srg, Adi Suroso, Astried W. Sari, Yan Oriza, Devi Dwi Yana Utami, Andri P. Meliala, Eninta Y. G. Manik, Chaspul Chairu Hasibuan, Rizka Firdahlia, Oktolina Simatupang, Erni Sinurat, Nurlenti Purba, Irfan Hakim, Wahyu Hidayat, Sriwahyuni Novalina, Tommy Andrian, Syamsul Adha, Satya D. Wijaya, Hermansyah, Mahmuddin, Yan K. Surbakti, Lisbon Pangaribuan dan Trianto Hutabalian. Semoga sahabat-sahabat menjadi orang-orang sukses dan membawa perubahan untuk Indonesia yang lebih baik. Aamin. Saya menyadari tesis ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan saya, semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberi keberkahan kepada kita semua. Aamin. Medan, Januari Penulis, (Dewi Susanti) vii

10 DAFTAR ISI Hal ABSTRAK...i ABSTRACT...ii LEMBAR PENGESAHAN TESIS...iii LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS...iv PERNYATAAN...v KATA PENGANTAR...vi DAFTAR ISI...viii DAFTAR GAMBAR...xi DAFTAR TABEL...xii DAFTAR LAMPIRAN...xiii BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fokus Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...14 BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Paradigma Penelitian Penelitian Sejenis Terdahulu Uraian Teoritis Komunikasi Antarbudaya (a). Pengertian Komunikasi Antarbudaya (b). Proses enkulturasi dan akulturasi dalam KAB Persepsi Budaya (a). Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Interpersonal (b). Elemen-elemen yang mempengaruhi Persepsi Budaya Komunikasi Keluarga Adat Perkawinan masyarakat Pariaman (a). Adat bagi masyarakat Minang (b). Perempuan dalam Adat Perkawinan Pariaman (c). Tradisi Uang Jemputan dalam Adat Perkawinan Pariaman Kerangka Pemikiran Penelitian...45 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Aspek Kajian Penelitian Deskripsi masyarakat Pariaman di Kota Medan viii

11 3.4. Subjek Penelitian Metode Pengumpulan Data Instrumen Pengumpulan Data Teknik Menjamin Keabsahan Data Metode Analisis Data...53 BAB IV. TEMUAN PENELITIAN 4.1. Proses Penelitian Temuan Penelitian Informan 1 (Dian) Informan 2 (Leni) Informan 3 (Rina) Informan 4 (Netty) Informan 5 (Ita) Informan 6 (Dedek) Informan 7 (Nur) Informan 8 (Shanti) Informan Tambahan Informan Tambahan Informan Tambahan Informan Tambahan Informan Tambahan Verifikasi Temuan Penelitian Perempuan Minang Pariaman yang menjalani Tradisi Uang Jemputan Informan Dian (a).Cara Pandang tentang tradisi uang jemputan (b).Perubahan sikap setelah mempersepsikan Informan Leni (a).Cara Pandang tentang tradisi uang jemputan (b).Perubahan sikap setelah mempersepsikan Informan Netty (a).Cara Pandang tentang tradisi uang jemputan (b).Perubahan sikap setelah mempersepsikan Informan Ita (a).Cara Pandang tentang tradisi uang jemputan (b).Perubahan sikap setelah mempersepsikan Informan Nur (a).Cara Pandang tentang tradisi uang jemputan (b).Perubahan sikap setelah mempersepsikan ix

12 Perempuan Minang Pariaman yang tidak menjalani Informan Rina (a).Cara Pandang tentang tradisi uang jemputan (b).Perubahan sikap setelah mempersepsikan Informan Dedek (a).Cara Pandang tentang tradisi uang jemputan (b).Perubahan sikap setelah mempersepsikan Informan Shanti (a).Cara Pandang tentang tradisi uang jemputan (b).Perubahan sikap setelah mempersepsikan BAB V. PEMBAHASAN 5.1. Cara pandang perempuan Minang tentang Tradisi Uang Jemputan Pandangan Dunia (Agama/Sistem Kepercayaan, Nilai dan Sikap Sistem Lambang (Verbal/Non verbal) Organisasi Sosial Perubahan sikap perempuan Minang setelah mempersepsikan Perubahan cara pandang tentang tradisi uang jemputan (a). Memutuskan menikah dengan laki-laki Pariaman (b). Memutuskan menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda Cara pandang tentang transmisi nilai-nilai dalam tradisi Peranan informan dalam perjodohan anak-anaknya kelak BAB IV. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

13 DAFTAR GAMBAR Gambar Hal 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Model Komunikasi ABX Model ABX pada komunikasi keluarga Dian Model ABX pada komunikasi keluarga Leni Model ABX pada komunikasi keluarga Rina Model ABX pada komunikasi keluarga Netty Model ABX pada komunikasi keluarga Ita Model ABX pada komunikasi keluarga Dedek Model ABX pada komunikasi keluarga Nur Model ABX pada komunikasi keluarga Shanti xi

14 DAFTAR TABEL Tabel Hal 4.1. Klasifikasi temuan penelitian berdasarkan aspek kajian dan kerangka pemikiran penelitian Klasifikasi temuan penelitian berdasarkan cara pandang tentang nilai-nilai dalam tradisi uang jemputan Klasifikasi temuan penelitian berdasarkan sikap perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan Klasifikasi temuan penelitian berdasarkan sikap informan yang dipengaruhi oleh pesan verbal dan non verbal Klasifikasi temuan penelitian berdasarkan perubahan sikap perempuan Minang Pariaman setelah mempersepsikan Klasifikasi tingkat generasi pada informan berdasarkan usia xii

15 DAFTAR LAMPIRAN 1. Glosari 2. Daftar Pedoman wawancara 3. Biodata Informan Utama 4. Biodata Informan Tambahan 5. Transkrip Hasil Wawancara Informan Utama 6. Transkrip Hasil Wawancara Informan Tambahan 7. Dokumentasi Penelitian 8. Biodata Penulis xiii

16 PERSEPSI PEREMPUAN MINANG PARIAMAN TENTANG TRADISI UANG JEMPUTAN PADA ADAT PERKAWINAN (STUDI KASUS PADA PEREMPUAN MINANG PARIAMAN YANG LAHIR DAN BESAR DI KOTA MEDAN) ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah: (1). mengetahui cara pandang perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan; dan (2). mengetahui perubahan sikapnya setelah mempersepsikan tradisi tersebut. Teori yang menjadi pedoman adalah teori persepsi budaya oleh Samovar dan Porter. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan studi kasus. Subjek penelitian terdiri dari 8 (delapan) orang informan yang diperoleh dengan menggunakan teknik purposive, dengan kriteria: lahir dan besar di Kota Medan; telah menikah; dan mengalami perjodohan dengan tradisi uang jemputan. Analisis data menggunakan metode analisis kualitatif oleh Miles dan Huberman. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum menikah, persepsi informan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu (1). Faktor dari dalam diri (world view, pesan verbal/non verbal), di mana tradisi uang jemputan dianggap memberatkan pihak keluarga perempuan dan bertentangan dengan aturan pernikahan dalam agama Islam, karena seharusnya perempuanlah yang dilamar dan diberi uang lamaran (Dian, Leni, Netty, Ita, Dedek dan Shanti). Berbeda dengan Rina dan Nur yang beranggapan bahwa tradisi uang jemputan hanya merupakan kebiasaan masyarakat Pariaman saja, dan (2). Faktor dari luar diri, yaitu tidak adanya peranan keluarga dalam proses enkulturasi budaya, sehingga persepsi lebih dipengaruhi oleh lingkungan yang melahirkan stereotip negatif tentang perempuan Minang membeli laki-laki untuk menikah (Dian, Leni, Netty, Ita, Dedek dan Shanti). Namun stereotip tersebut tidak mempengaruhi Rina dan Nur, karena memiliki sumber referensi yang kompeten tentang makna tradisi uang jemputan, yaitu keluarga dan organisasi kesukuan. Setelah menikah, perubahan sikap terjadi pada Leni, Rina, Ita, Dedek dan Shanti yang mempersepsikan bahwa tradisi uang jemputan sudah tidak lagi sesuai diterapkan pada perjodohan generasi muda Minang. Sedangkan Dian, Netty dan Nur beranggapan bahwa tradisi ini masih mungkin dilestarikan pada perjodohan anak-anak mereka kelak. Kata Kunci: Persepsi Budaya, Komunikasi Keluarga, Perempuan dan Tradisi Uang Jemputan. i

17 FEMALE PARIAMAN MINANGESE'S PERCEPTION OF UANG JEMPUTAN TRADITION IN THE MARRIAGE CUSTOM (CASE STUDY OF THE FEMALE PARIAMAN MINANGESE WHO WERE BORN AND RAISED IN THE CITY OF MEDAN) ABSTRACT The objective of this research is : (1) to find out female Pariaman Minangese's point of view of uang jemputan tradition; and (2) to see if there is a change of behaviour after percepting the tradition. The main theory is the theory of culture perception of Samovar and Porter. Research method used is qualitative case study. Subject of the research consists of 8 (eight) informants obtained by purposive technique with criterias such as: born and raised in the city of Medan; married; and having a fixed marriage with uang jemputan tradition. Data gathering is done via in depth interview and documentation study. Data analysis using qualitative analysis by Miles and Huberman. The research shows that before marriage, informant's perception was influenced by two factors, which is (1). Inner factor (world view, verbal/non verbal message), where uang jemputan tradition is considered a burden to one side of the female family and against the law of marriage in Islam, because females are supposed to be proposed for a marriage and be given the money (Dian, Leni, Netty, Ita, Dedek and Shanti). On the contrary with Rina and Nur that assumed that uang jemputan tradition is just a common practice in the Pariaman society, and (2) Outside factor, which is the absence of the family in the enculturation of the culture, so that the perception is more influenced by the surroundings which brings out the negative stereotype about the female Minangese 'buying' male for a marriage (Diah, Leni, Netty, Ita, Dedek and Shanti). Furthermore, the stereotype doesn't affect Rina and Nur, for having the competent reference of the meaning of the uang jemputan tradition, which is the family and tribal organization. After marriage, the behavioral change occurred to Leni, Rina, Ita, Dedek and Shanti that percepted that uang jemputan tradition as a worn out tradition that no longer suitable for the matchmaking of the young Minangese. As for Dian, Netty and Nur assumed that this tradition is still compatible for their children matchmaking in the future. Keywords: Culture Perception, Family Communication, Female Pariaman Minangese and Uang Jemputan Tradition. ii

18 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap kultur mempunyai aturan komunikasi sendiri-sendiri. Aturan ini menetapkan mana yang patut dan mana yang tidak patut (DeVito, 1997: 490). Seperti halnya kultur (budaya) perkawinan yang dianut oleh masyarakat suku Minang di daerah Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Sjarifoeddin (2011: 476) menyebutkan bahwa adat perkawinan antara satu daerah dengan daerah lainnya di Minangkabau memiliki perbedaan. Tata cara perkawinan di Pariaman, berbeda dari tata cara perkawinan di daerah lainnya seperti Payakumbuh, Bukittinggi dan lainnya. Pada masyarakat suku Minang yang menganut sistem matrilineal, posisi suami adalah sebagai urang sumando atau orang yang datang dalam keluarga istri. Oleh karena itu, untuk menghormati posisi laki-laki (suami), ibarat pepatah datang karano dipanggia, tibo karano dianta (datang karena dipanggil, tiba karena diantar), masyarakat Pariaman mewujudkannya dalam bentuk proses bajapuik pada adat perkawinan yang melibatkan barang-barang yang bernilai, seperti emas atau uang (Sjarifoedin, 2011: 477). Proses bajapuik atau menjemput laki-laki dengan melibatkan uang inilah yang disebut sebagai tradisi uang jemputan (japuik), pada adat perkawinan masyarakat Pariaman. Maihasni, Sumarti, Wahyuni dan Tjondronegoro (2010: 178), mengemukakan bahwa tradisi uang jemputan merupakan implementasi dari sistem

19 2 matrilineal suku Minang di Pariaman, di mana harta pusaka ditetapkan menjadi milik perempuan, sementara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa. Oleh karena itu, wajar bila laki-laki yang diterima sebagai menantu, diberikan uang jemputan sebagai modal bagi mereka untuk hidup berumah tangga. Sjarifoedin (2011: 474) menambahkan dalam adat perkawinan di Pariaman, pihak wanitalah yang melamar dan menjemput serta membayar pihak pria, ketika akan melangsungkan perkawinan. Karena itu adat perkawinan Pariaman, lebih dikenal dengan perkawinan bajapuik atau perkawinan berjemputan. Adat perkawinan Pariaman yang demikian adalah adat lokal Pariaman, tidak berlaku untuk seluruh wilayah Minangkabau Sumatera Barat. Uang jemputan umumnya terdapat di daerah Pariaman dan Kota Padang. Laki-laki dijemput oleh keluarga perempuan dengan sejumlah uang atau barang berharga lainnya pada saat peminangan. Jika keluarga laki-laki setuju, peminangan bisa diterima. Jika tidak, berarti batal. Semakin tinggi kedudukan sosial laki-laki, semakin tinggi pula uang jemputannya (Yaswirman, 2011: 135). Dari pernyataan tersebut, dapat digambarkan bahwa dalam tradisi uang jemputan, terdapat aturan komunikasi yang bersifat transaksional antar keluarga calon pengantin dalam mencapai kesepakatan mengenai jumlah uang jemputan, sebagai syarat perkawinan. Tidak tercapainya kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga tersebut dapat berakibat pada gagalnya rencana perkawinan, di mana hal ini menggambarkan tidak efektifnya proses komunikasi yang dilakukan. Seperti dikisahkan dalam sebuah cerpen yang dimuat pada harian Kompas Tahun 2007, berjudul Uang Jemputan karya Farizal Sikumbang. Cerpen ini mengisahkan Aku (penulis) yang terhalang kisah cintanya dengan

20 3 seorang gadis bernama Faraswati. Keluarga Faraswati tidak mampu memenuhi uang jemputan sebesar sepuluh juta rupiah, sebagai syarat perkawinan yang diminta oleh keluarganya. Tokoh Aku (penulis) sebenarnya menolak adanya tradisi tersebut. Keinginannya menikahi Faraswati terhalang, karena harus mematuhi adat istidat (sumber: Kisah tersebut menceritakan tentang, tidak efektifnya proses komunikasi yang dilakukan mengenai kesepakatan uang jemputan sebagai syarat perkawinan. Proses komunikasi yang tidak efektif pada pelaksanaan tradisi uang jemputan, juga dikisahkan dalam sebuah film pendek karya Ferdinand Almi, berjudul Salisiah Adaik yang artinya Selisih Adat. Film tersebut menceritakan tentang perjalanan cinta dua sejoli, bernama Muslim dan Rosa. Cinta keduanya tidak dapat bersatu, karena memiliki adat perkawinan yang saling bertentangan. Muslim adalah pemuda Pariaman, sedangkan Rosa adalah gadis Payakumbuh. Bagi keluarga Muslim, dalam adat perkawinan Pariaman mengharuskan adanya pemberian uang jemputan dari pihak perempuan. Sementara bagi keluarga Rosa, dalam adat perkawinan Payakumbuh mengharuskan adanya pelaksanaan tradisi sasuduik. Tradisi sasuduik adalah kewajiban calon suami untuk memenuhi tanggung jawab dalam memberikan perlengkapan kamar kepada perempuan yang akan dinikahi. Perselisihan adat tersebut membuat kisah cinta Muslim dan Rosa, sulit dipersatukan dalam sebuah ikatan perkawinan (sumber: Pada awalnya uang jemputan diberikan kepada laki-laki yang memiliki darah bangsawan, namun kini telah bergeser kepada laki-laki yang memiliki status

21 4 sosial tinggi, seperti gelar kesarjanaan. Sekarang ini uang jemputan bukan lagi untuk laki-laki yang dijemput, melainkan untuk ibunya (Navis, 1984: 201). Kuntjaraningrat mengemukakan bahwa penetapan besarnya uang jemputan, merupakan masalah sulit yang harus ditempuh oleh keluarga perempuan dalam melakukan peminangan. Uang jemputan telah berubah pelaksanaannya menjadi uang hilang. Istilah hilang berarti pemberian pihak keluarga perempuan, tidak dibalas oleh pihak keluarga laki-laki. Sementara dalam prosesi yang sebenarnya, pemberian uang jemputan seharusnya dibalas atau dikembalikan oleh pihak keluarga laki-laki dalam bentuk pemberian perhiasan atau benda berharga lainnya yang disebut panibo. Pemberian ini dilaksanakan pada saat anak daro (pengantin perempuan), datang mengunjungi mertua (manjalang mintuo) untuk pertama kali (dalam jurnal Depdikbud, 1978: 11). Pernyataan di atas didukung oleh Al Reza (2011: 72) yang menyebutkan, di dalam agama Islam hanya dikenal dengan mahar sebagai pemberian laki-laki untuk calon istrinya, bukan sebaliknya seperti yang berlaku pada tradisi uang hilang. Oleh karena itulah uang hilang bertentangan dengan hukum Islam. Meskipun demikian perkawinan yang tidak memakai uang jemputan itu tetap sah, karena pemberian uang jemputan itu adalah syarat tersendiri yang timbul karena kebiasaan masyarakat Pariaman. Perkawinan dapat dilakukan asalkan rukun dan syarat perkawinan terpenuhi, seperti terdapat dalam ketentuan Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Amir (2006: 172) mengemukakan, masyarakat Minang harus tunduk pada ketentuan peraturan yang terdapat dalam Tali Tiga Sepilin. Ke tiga peraturan yang disebut sebagai Tali Tiga Sepilin ini adalah adat Minang, agama Islam dan Undang-undang Negara. Pendapat senada disampaikan Ibrahim (1984: 15), bahwa adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah merupakan ungkapan yang mencerminkan masyarakat Sumatera Barat, di samping mereka teguh memegang adatnya, juga taat melaksanakan syariat agamanya. Di sisi lain, Abdullah

22 5 (1987: 104) mengemukakan, pada mulanya antara adat Minang dan Islam memang terjadi konflik, setidaknya demikian menurut peneliti-peneliti barat sejak masa penjajahan. Pendapat tersebut didukung Yaswirman (2011: 112), bahwa perbenturan persepsi antara adat dan Islam muncul dalam bidang sosial kemasyarakatan, terutama bidang kekerabatan. Adat Minangkabau menganut sistem matrilineal, sedangkan Islam menganut sistem patrilineal. Di Minangkabau, suami tinggal bersama di rumah keluarga istri, sedangkan dalam Islam sebaliknya, istri tinggal di rumah yang disediakan suami. Dampaknya meluas kepada sistem perkawinan, perwalian, kepemilikan harta dan pewarisan. Kendati telah ada konsensus adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, namun mewujudkan persentuhan adat dan Islam dalam persoalan ini, mengalami proses yang sangat panjang. Dalam urusan perjodohan generasi muda Minang, tidak hanya orang tua yang berperan, seorang mamak atau paman (saudara laki-laki ibu) juga ikut berperan. Mamak termasuk orang yang berkuasa terhadap keturunan. Keturunan yang dimaksud adalah kemenakan yang menjadi anak dalam keluarga inti. Jika tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya sampai mereka dewasa, maka tanggung jawab dan kekuasaan mamak terhadap kemenakannya, seakan-akan bukan dalam waktu terbatas. Kekuasaan itu mulai terlihat sejak kemenakan masih kecil, mencarikan jodoh sampai berumah tangga (Yaswirman, 2011: ). Sebuah novel berjudul Memang Jodoh karangan Marah Rusli, menceritakan tentang peranan keluarga dalam urusan perjodohan yang dikisahkan Rusli melalui novel semiautobiografi kehidupannya, dalam belenggu adat istiadat

23 6 perkawinan Minang. Hamli (tokoh utama dalam novel) selalu mendapat desakan dari para mamak (paman)nya untuk mau menerima pinangan, di antara beberapa perempuan sesama suku Minang yang akan memberinya uang jemputan. Hamli diperbolehkan melakukan poligami dengan alasan agar perempuan Minang yang akan ia nikahi, mendapat keturunan yang baik darinya, sebagai seorang keturunan bangsawan dari kerajaan Pagaruyung di Kota Padang. Sikap Hamli yang sangat menentang poligami dan tradisi uang jemputan, membuatnya memilih meninggalkan kampung halaman dan merantau ke Bogor untuk melanjutkan pendidikan. Akhirnya terjadi konflik antara Hamli dengan keluarga besarnya, disebabkan Hamli memutuskan menikahi seorang perempuan dari suku Jawa, yang kini menjadi istrinya. (Rusli, 2013: 10). Kisah lain tentang peranan keluarga dalam perjodohan dengan tradisi uang jemputan yang cukup menarik, ditulis oleh Desni Intan Suri dalam sebuah novel fiksi, berjudul Aku Tidak Membeli Cintamu. Novel tersebut menceritakan kisah seorang gadih gadang indak balaki (gadis yang telah dewasa, namun belum bersuami). Tokoh utama pada novel tersebut bernama Suci Intan Baiduri. Ia sangat menentang keinginan ibunya, untuk menikahkan dirinya kepada laki-laki Pariaman dengan sejumlah uang jemputan. Suci memandang sistem matrilineal, membuat perempuan Minang menjadi lebih berkuasa dari pada laki-laki, apalagi dengan adanya tradisi uang jemputan. Suci melihat hal tersebut pada karakter ibunya yang selalu memegang setiap keputusan dalam urusan rumah tangga. Suci berpendapat bahwa adat Minang yang sesungguhnya, bertujuan untuk melahirkan watak bundo kanduang bagi wanita Minang, yaitu sebuah watak kepemimpinan perempuan yang terampil, cermat dan bijaksana. Akhirnya Suci menerima

24 7 perjodohan tersebut setelah mengetahui bahwa laki-laki yang dijodohkan dengan dirinya adalah laki-laki yang ia kagumi selama ini dan memiliki prinsip, tidak menginginkan adanya tradisi uang jemputan dalam perkawinan (Suri, 2012: 70). Dari kedua kisah pada novel di atas, penulis mencoba menyampaikan adanya persepsi berbeda tentang tradisi uang jemputan. Persepsi tersebut digambarkan oleh tokoh Hamli dan Suci yang bersikap menolak tradisi uang jemputan, setelah keluarga berperan dalam memprakarsai perjodohan dengan tradisi uang jemputan. Berbeda dengan hasil penelitian Yunita, Muhammad dan Basri (2010) yang mendapati bahwa persepsi masyarakat Padang Pariaman di Kota Lampung, tentang tradisi uang jemputan adalah persepsi yang positif. Tradisi tersebut menurut responden, merupakan upaya untuk melestarikan adat istiadat Minang Pariaman (sumber: http//jurnal.fkip.unila.ac.id). Ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki cara pandang atau persepsi yang berbeda-beda dalam memaknai suatu budaya. Samovar & Porter (dalam Lubis, 2012: 63) menyebutkan, ada 3 (tiga) elemen-elemen pokok yang mempengaruhi persepsi budaya, yaitu: (1). pandangan dunia (world view) yang terdiri dari agama/sistem kepercayaan, nilai-nilai dan sikap perilaku; (2). sistem lambang (verbal dan non verbal); dan (3). organisasi sosial. Masyarakat Minangkabau, sebagaimana juga dengan masyarakat lainnya di Indonesia, sekarang ini sedang menghadapi goncangan-goncangan budaya (culture shocks) yang sangat hebat, akibat tantangan dan serangan yang datang dari berbagai penjuru dunia secara bertubi-tubi. Di samping itu juga akibat proses pelapukan yang terjadi dari dalam, yang semua ini bisa membahayakan eksistensi dan keberlanjutan budaya Minang sendiri (Naim, 2000: 10). Sering terjadi saat ini

25 8 pada orang Minang perantauan atau yang tinggal di perkotaan, tanpa mengenyampingkan adat, masalah uang jemputan dapat diatasi. Misalnya secara simbolis jumlahnya tetap dibunyikan, tapi dalam praktiknya tidak dilaksanakan. Kecuali di antara pihak itu, ada yang tidak mempunyai itikad baik dalam perkawinan. Kalau hal ini yang terjadi, memang lebih baik rencana perkawinan tersebut dibatalkan dini hari. Seperti pepatah kumbang tidak seekor, bunga tidak setangkai (Sjarifoedin, 2011: 481). Menurut Provencher, model migrasi masyarakat Minangkabau sering disebut merantau dalam bentuk perpindahan tradisional, institusional dan normatif (dalam Pelly, 2013: 9). Selanjutnya Thomas & Znaniecki menyebutkan, fungsi migrasi adalah sebagai cultural transmitter atau penyalur arus budaya (dalam Naim, 2013: 13). Kota Medan menempati urutan pertama, setelah Binjai, Tebing Tinggi, dan Kota lainnya di Sumatera Utara yang merupakan tempat tujuan perantau Minangkabau dengan jumlah yang besar, berdasarkan hasil sensus penduduk pada tahun 1930 (Naim, 2013: 105). Sementara itu pada tahun 1981, penduduk etnis Minangkabau, merupakan urutan ke lima sebagai penduduk terbanyak di Kota Medan, setelah etnis Jawa, Batak Toba, Tionghoa dan Mandailing (Pelly, 2011: 97). Kehadiran orang Minangkabau di Kota Medan dalam jumlah yang besar, merupakan faktor yang menempatkan mereka, tidak merasa tersudut oleh situasi atau merasa terasing sebagai pendatang. Orang Minang berprinsip seperti apa yang dikatakan pepatah dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang, yang artinya di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Orang Minang dapat berbaur dan beradaptasi dengan budaya tuan rumah. Mereka juga membentuk

26 9 organisasi berdasarkan daerah asal di Sumatera Barat, seperti Pariaman, Batu Sangkar, Maninjau, Pasaman dan sebagainya (Naim, 2013: ). Penelitian yang pernah peneliti lakukan pada tahun 2005, mendapati bahwa tradisi uang jemputan masih dilaksanakan orang Minang yang berasal dari daerah Tujuh Koto, Kabupaten Pariaman yang ada di Kota Medan, sebagai lokasi penelitian. Persepsi tentang tradisi uang jemputan oleh remaja putri Minang sebagai informan penelitian, cenderung bersifat subjektif, di mana perempuan sebagai pemberi uang jemputan dianggap tidak layak atau tidak pantas (Susanti, 2005: 73). Sedangkan di daerah asal tradisi ini, Bupati Padang Pariaman sendiri pernah menghimbau agar masyarakat Pariaman, menghapus tradisi uang japuik atau uang hilang. Pada tanggal 25 Januari 1990, dikeluarkan keputusan bersama antara Bupati, Lembaga Adat dan Lembaga Agama setempat untuk menghapus tradisi uang hilang (Al Reza, 2011: 1). Sementara itu masyarakat di luar suku Minang, sering mengartikan tradisi uang jemputan sebagai tradisi membeli laki-laki. Dahulu seluruh masyarakat di daerah Sumatera Barat, memakai tradisi uang jemputan pada adat pernikahan. Sekarang ini, Kota Pariaman adalah satu dari sedikit daerah di Sumatera Barat yang tetap mempertahankan adat tersebut. Tradisi membeli lakilaki dengan sejumlah uang ini, ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak keluarga (sumber: Adanya stereotip tentang tradisi uang jemputan sebagai tradisi membeli laki-laki, merupakan cara pandang atau persepsi yang berbeda dari ekspektasi sebenarnya tentang nilai-nilai tradisi uang jemputan, di mana pemberian uang jemputan dimaksudkan sebagai modal bagi laki-laki untuk hidup berumah tangga (Maihasni, et. al., 2010: 178).

27 10 Mulyana mengemukakan bahwa dalam komunikasi antarmanusia, stereotip umumnya akan menghambat keefektifan komunikasi, bahkan pada gilirannya akan menghambat integrasi manusia yang sudah pasti dilakukan lewat komunikasi (dalam Mulyana & Rakhmat, 2010: 236). Suatu kajian yang menarik mengenai perbedaan persepsi masyarakat, khususnya generasi muda Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan. Pelaksanaan suatu tradisi akan kuat, bila dilaksanakan di daerah asal. Bagaimanakah jika tradisi tersebut, dilaksanakan di luar daerah asal atau di perantauan?. Tradisi uang jemputan yang dilaksanakan di daerah rantau akan melewati proses enkulturasi dan akulturasi. Proses ini akan berpengaruh pada persepsi budaya generasi muda, khususnya yang lahir dan besar di perantauan, sebagai generasi penerus dalam proses transmisi nilai-nilai budaya. Sebagaimana Samovar, et al. (2010: 49) menyebutkan bahwa kita lebih dari budaya kita. Meskipun semua budaya memberikan referensi secara umum, manusia bukanlah tawanan dari budaya mereka atau tunduk pada semua hal dari budaya tersebut. Manusia berfikir, merasa, dan berperan dalam perilaku sosial kolektif mereka. Akibatnya, nilai dan perilaku dari budaya tertentu, mungkin bukanlah merupakan nilai dan perilaku semua individu dalam budaya tersebut. Sjarifoedin (2011: 477) mengemukakan, tradisi perkawinan dengan uang jemputan sering mengundang pro dan kontra dalam masyarakat, baik dari dalam maupun dari luar masyarakat Pariaman. Namun tradisi tersebut tetap langgeng dan eksis dilaksanakan. Proses yang dilalui individu untuk memperoleh aturan-aturan (budaya) komunikasi, dimulai pada masa awal kehidupan. Melalui proses sosialisasi dan

28 11 pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku kita. Proses belajar ini memungkinkan kita berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang memiliki pola-pola komunikasi serupa (Adler dalam Mulyana & Rakhmat, 2010: 138). Pada akhirnya proses komunikasi yang dilakukan dalam tradisi uang jemputan, berakibat pada berhasil atau tidaknya seorang perempuan Minang Pariaman untuk mendapatkan suami (menikah). Hal ini disebabkan, bahwa dalam suku Minang, merupakan aib besar bagi suatu keluarga, kalau mereka mempunyai gadih gadang indak balaki atau gadis yang telah dewasa, namun belum memiliki suami (Sjarifoedin, 2011: 471). Kelahiran anak perempuan, sebenarnya sangat didambakan oleh masyarakat Minang sebagai pelanjut kekerabatan dan pemegang hak atas kekayaan keluarga. Kedudukan perempuan menjadi sentral untuk urusan di dalam maupun di luar (Yaswirman, 2011: ). Berdasarkan seluruh paparan di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian komunikasi dalam adat perkawinan suku Minang, khususnya pada persepsi tentang tradisi uang jemputan oleh perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan. Alasan pemilihan permasalahan ini, disebabkan karena perempuan Minang Pariaman pada sistem matrilineal, merupakan pihak yang memiliki peranan utama dalam proses pelamaran dan pemberian uang jemputan. Hal ini dapat dikatakan pula bahwa pihak perempuan merupakan komunikator dalam proses pelamaran dengan tradisi uang jemputan. Budaya didefenisikan, dibentuk, ditransmisikan, dan dipelajari melalui komunikasi (Edward T. Hall dalam Ruben dan Stewart, 2013: 361). Ketika seorang perempuan dianggap layak untuk memasuki kehidupan pernikahan,

29 12 keluarga akan berperan dalam urusan perjodohan dan penyampaian pesan tentang adanya tradisi uang jemputan sebagai syarat perkawinan. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui lebih dalam, tentang persepsi dan perubahan sikap perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan, tentang tradisi uang jemputan sebagai adat perkawinan sukunya (intra culture) yang menerpa dirinya. Alasan pemilihan Kota Medan sebagai lokasi penelitian, dikarenakan Kota Medan merupakan Kota Metropolitan ketiga setelah Jakarta dan Surabaya (Pelly, 2013: 4) yang memiliki kedekatan geografis dengan Sumatera Barat sebagai daerah asal tradisi uang jemputan. Sebagaimana dikemukakan Mochtar Naim bahwa hubungan komunikatif yang relatif lancar, antara perantau di Kota Medan dengan kampung halaman, memungkinkan perantau Minangkabau rutin untuk pulang kampung (Naim, 2013: 109). Pada keluarga perantau Minang yang berasal dari Pariaman yang ada di Kota Medan, memungkinkan terjadinya proses komunikasi dalam pewarisan nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan, sebagai upaya menjalankan misi budaya. Pelly (2013: 3) mengemukakan bahwa, dengan meneliti misi budaya yang dibawa para perantau ke daerah perantauan, kita bisa melihat budaya tuan rumah yang dominan itu, dapat mempengaruhi konsep-konsep budaya yang dibawa para perantau dari daerah asal. Dalam era globalisasi informasi, suatu fenomena tidak hanya sekedar memerlukan pertimbangan nilai baik atau buruk, benar atau salah, indah atau jelek, tetapi memerlukan pertimbangan lain, apakah menguntungkan atau merugikan, layak atau tidak layak dan sebagainya (El Karimah dan Wahyudin, 2010: 52). Perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan sebagai Kota Metropolitan, akan dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam

30 13 kehidupan modern dan multikultural, sehingga turut pula membentuk persepsi budayanya tentang tradisi uang jemputan yang menarik untuk diteliti. Selain itu dalam referensi yang peneliti telusuri dan baca, peneliti belum mendapati penelitian sebelumnya yang meneliti persepsi perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan tentang tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan Pariaman. Oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian ini, untuk memberikan variasi terhadap penelitian sejenis Fokus Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, peneliti menetapkan fokus masalah penelitian sebagai berikut: Bagaimana cara pandang perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan tentang tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan? Bagaimana perubahan sikap perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: Mengetahui cara pandang perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan tentang tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan Mengetahui perubahan sikap perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan.

31 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: Secara akademis, diharapkan dapat menambah khasanah penelitian ilmu komunikasi, khususnya pada kajian komunikasi antarbudaya. Selain itu diharapkan dapat memberikan motivasi kepada peneliti-peneliti lain, untuk mengkaji lebih dalam penelitian komunikasi tentang tema-tema budaya Secara teoritis, diharapkan dapat menambah pemahaman masyarakat akademis mengenai penelitian yang berkaitan dengan tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan Pariaman di Kota Medan Secara praktis, diharapkan dapat menggambarkan terjadinya perubahan atau pergeseran nilai-nilai pada tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan Pariaman, melalui persepsi dan terlihat pada perubahan sikap perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan.

32 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Paradigma Penelitian Paradigma dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Morissan (2014: 165) mengemukakan, teori konstruktivisme (constructivism) yang dikembangkan oleh Jesse Delia, memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu komunikasi. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak, menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Sedangkan Creswell (2010: 11), menyebutkan bahwa konstruktivisme sosial meneguhkan asumsi bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia, di mana mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalamanpengalaman mereka, makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau bendabenda tertentu. Ardianto & Anees (2007: 154) menyebutkan bahwa paradigma konstruktivisme merupakan salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri. Prinsip dasar konstruktivisme menerangkan bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh konstruk diri, sekaligus juga konstruk lingkungan luar dari perspektif diri, sehingga komunikasi itu dapat dirumuskan dan ditentukan oleh diri di tengah pengaruh lingkungan luar. Sebagaimana Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007: 22-23), konstruktivis merupakan pendekatan yang menggunakan pola pikir

33 16 induktif yaitu berjalan dari spesifik menuju umum, dari yang konkret menuju abstrak, ilmu yang bersifat ideografis, nomotetis dan ilmu yang tidak bebas nilai. Sementara itu Hidayat (2003: 3) mengemukakan, paradigma konstruktivis sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci, terhadap pelaku sosial yang bersangkutan, menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial seseorang Penelitian Sejenis Terdahulu. Penelitian terdahulu tentang kajian persepsi budaya, khususnya penelitian tentang tradisi uang jemputan atau tradisi bajapuik, dapat dilihat pada beberapa penelitian berikut ini: (1). Matrilokal dan status perempuan: studi kasus tentang status perempuan dalam Tradisi Bajapuik di Pariaman Sumatera Barat. Penelitian tersebut dilakukan oleh Azwar Wilhendri (2000), dalam tesisnya pada Universitas Gajah Mada (UGM), Yokyakarta. Hasil penelitian menyebutkan bahwa dalam lembaga keluarga dengan pola kekerabatan patrilineal-patrilokal, merupakan wadah lahirnya sistem patriarki. Sistem patriarki sebagai analisis dalam studi perempuan, dianggap sebagai salah satu sebab timbulnya pensubordinasian dan penindasan terhadap hak-hak sosial perempuan dalam hubungan kesetaraan gender. Kota Pariaman secara kultural, merupakan salah satu wilayah di Minangkabau, dengan sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, status dan kedudukan perempuan dianggap sangat kuat. Ternyata pada tradisi bajapuik dengan sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal tersebut, status dan kedudukan perempuan tersubordinasi, baik dalam keluarga maupun dalam

34 17 hubungan sosial. Pada sistem patriarki, posisi perempuan berada di bawah otoritas bapak sebelum menikah dan dikuasai oleh suami setelah menikah. Sementara itu pada sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, seorang perempuan dikuasai oleh mamak (paman) dalam hubungan kerabat (extended family), sekaligus oleh suami di dalam keluarga inti (nuclear family). Hal tersebut dibuktikan dengan lemahnya akses perempuan, dalam pengambilan keputusan untuk menentukan terjadinya ikatan perkawinan, karena intervensi mamak. Posisi tawar (bargaining position) dalam menentukan nilai uang japuik juga lemah, ini juga berlaku pada pengelolaan uang japuik, penghargaan terhadap status sosial dan status perempuan dalam keluarga. Kesimpulannya bahwa tradisi bajapuik membuktikan bahwa sistem patriarki terlembaga dalam perkawinan. Penelitian ini membuktikan, sistem patriarki juga terjadi pada sistem kekerabatan matrilineal-matrilokal, di mana perempuan mengalami subordinasi berganda (Sumber: (2). Persepsi remaja tentang Tradisi Uang Jemputan dalam adat perkawinan suku Minang (Studi deskriptif pada Ikatan Keluarga VII Koto sekretariat Jalan Bromo Medan). Penelitian tersebut dilakukan Susanti (2005), dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana remaja khususnya gadis Minang, mempersepsikan tradisi uang jemputan pada adat perkawinan Pariaman. Dalam penelitian ini, juga dilakukan observasi pada sebuah pesta perkawinan, yang melaksanakan tradisi uang jemputan didalamnya. Hasil penelitian menunjukkan, tradisi uang

35 18 jemputan masih dilaksanakan dalam perkawinan masyarakat suku Minang yang berasal dari daerah Pariaman. Sementara itu seorang tokoh adat Minang Pariaman yang menjadi nara sumber (key informan) dalam penelitian mengatakan bahwa uang jemputan sebenarnya bermakna tanggung jawab mamak (saudara laki-laki ibu), dalam pencarian jodoh yang layak dan sesuai untuk keponakannya. Sedangkan gadis Minang yang merupakan informan dalam penelitian, umumnya mempersepsikan uang jemputan secara subjektif, yaitu perempuan sebagai pemberi uang jemputan dianggap tidak pantas atau tidak layak (Susanti, 2005: 73). (3). Perubahan Tradisi Bajapuik pada perkawinan orang Minang Pariaman di Kota Binjai. Penelitian tersebut dilakukan oleh Deliani (2005). Hasil penelitian menyebutkan bahwa di Kota Binjai, banyak anak-anak muda Pariaman yang memilih jodohnya sendiri. Sedikit sekali di antara anak-anak orang Minang Pariaman, yang mengikuti perkawinan melalui perjodohan. Keluarga dan para mamak (paman), dalam hal ini hanya mengikuti pilihan mereka dan membantu mempersiapkan kebutuhan pernikahan anak-anak mereka. Para ninik mamak menganggap, jika terjadi pergeseran pada adat itu lumrah, meskipun keinginan untuk memegang adat masih kuat. Deliani juga menemukan beberapa bentuk perubahan yang terjadi dalam tradisi Bajapuik di Kota Binjai. Perubahan tersebut adalah sebagai berikut: (1). Tradisi perkawinan bajapuik orang Minang Pariaman, berlangsung dengan sejumlah variasi dan penyederhanaan di dalamnya;

36 19 (2). Perubahan dalam struktur sosial orang Minang Pariaman, sedikitnya ditandai dengan bergesernya struktur dalam sistem kekerabatan mereka, dari konsep extended family ke arah bentuk nuclear family; dan (3). Perubahan yang terjadi dalam struktur sosial orang Minang tersebut, berimplikasi pada perubahan orientasi nilai budaya pada pelaksanaan tradisi bajapuik. Selain pengaruh dari luar sistem dan sosial budaya orang Minang Pariaman (faktor eksternal), perubahan tradisi bajapuik juga didorong oleh kebutuhan dari dalam (faktor internal). (4). Bentuk-bentuk perubahan pertukaran dalam perkawinan Bajapuik. Penelitian tersebut dilakukan oleh Maihasni, Titik Sumarti, Ekawati Sri Wahyuni dan Sediono MP. Tjondronegoro (2010: 190). Hasil penelitian mendapati perubahan pertukaran pada perkawinan bajapuik di Pariaman, melalui 4 (empat) bentuk perubahan pertukaran, yaitu: 1). Uang jemputan adalah uang yang diberikan pihak perempuan kepada pihak laki-laki, dan dikembalikan lagi kepada perempuan pada saat mengunjungi mertua untuk pertama kali. Bentuk pengembalian ini berwujud benda yang bernilai ekonomis, seperti emas dan benda lainnya; 2). Uang hilang adalah pemberian kepada pihak laki-laki, namun tidak dikembalikan kepada pihak perempuan. Pemberian tersebut dapat berwujud benda, khususnya uang yang dapat dipergunakan sepenuhnya oleh pihak keluarga laki-laki khususnya orang tua; 3). Uang selo adalah salah satu bentuk pengeluaran lain dari pihak perempuan, untuk membiayai adat perkawinan. Uang selo ini diberikan kepada ninik mamak pihak laki-laki, yang hadir pada saat pertunangan; dan 4) Uang tungkatan adalah uang tembusan dari benda-benda tungkatan yang

37 20 dibawa perempuan, sebagai persyaratan menjemput mempelai laki-laki untuk dinikahkan. (5). Uang Japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung. Penelitian tersebut dilakukan oleh Ririanty Yunita, Syaiful M dan Muhammad Basri (2012). Inti sari dalam penelitian ini berdasarkan rumusan masalah yaitu bagaimanakah persepsi orang-orang Padang Pariaman perantauan di Bandar Lampung tentang uang japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung, maka penelitian ini ditujukan untuk mencari tahu persepsi orang-orang Padang Pariaman perantauan di Bandar Lampung tentang uang japuik dalam adat perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 92 responden penelitian, sebanyak 7 responden atau 8%, mempunyai persepsi negatif mengenai uang japuik. Sementara itu sebanyak 85 responden atau 92% dari 92 responden termasuk dalam kategori persepsi yang positif mengenai uang japuik. Dapat disimpulkan bahwa persepsi para perantau asal kabupaten Padang Pariaman mengenai tradisi pemberian uang japuik pada adat perkawinan Padang Pariaman di Kota Bandar Lampung, termasuk dalam persepsi yang positif (sumber: (6). Persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin dalam upacara perkawinan masyarakat adat Batak Toba (Studi kualitatif terhadap masyarakat Batak Toba di Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai).

38 21 Penelitian mengenai persepsi budaya pada tradisi perkawinan suku Batak Toba tersebut dilakukan oleh Sahmaida Lubis (2011). Ada beberapa bentuk komunikasi simbolik yang digunakan dalam adat masyarakat Batak Toba. Bentuk komunikasi simbolik tersebut adalah dekke (ikan mas), mandar hela (sarung menantu laki-laki), boras (beras), dan ulos hela (ulos menantu laki-laki). Simbol-simbol tersebut mengandung makna berupa nilai-nilai perkawinan dan kehidupan masyarakat Batak Toba. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin, dalam upacara perkawinan adat Batak Toba dan untuk mengetahui persepsi, berupa pemahaman pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin pada saat upacara adat perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua pasangan suami-istri memahami makna komunikasi simbolik dalam upacara perkawinan adat Batak Toba, dikarenakan kurangnya proses sosialisasi budaya dan cara pandang yang berbeda dari pasangan suami-istri tersebut Uraian Teoritis Komunikasi Antarbudaya Hubungan manusia dalam proses komunikasi, tidak terlepas dari pengaruh budaya masing-masing pelaku komunikasi. Sebagaimana Edward T. Hall (dalam Syam, 2013: 84), mengemukakan bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi. Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) pandangan terhadap komunikasi, yaitu:

39 22 1). Komunikasi sebagai aktivitas simbolis. Aktivitas komunikasi menggunakan simbol-simbol bermakna, yang diubah ke dalam kata-kata (verbal) untuk ditulis dan diucapkan atau simbol non verbal untuk diperagakan. Simbol komunikasi itu dapat berbentuk tindakan dan aktivitas manusia, atau tampilan objek yang mewaliki makna tertentu. 2). Komunikasi sebagai proses. Komunikasi merupakan aktifitas yang dinamis, aktifitas yang terus berlangsung secara berkesinambungan, sehingga dia terus mengalami perubahan. 3). Komunikasi sebagai pertukaran makna. Para ahli mengatakan bahwa komunikasi adalah kegiatan pertukaran makna. Makna itu ada dalam setiap orang yang mengirimkan pesan. Jadi makna bukan sekedar kata-kata verbal atau perilaku non verbal, tetapi makna adalah pesan yang dimaksudkan pengirim dan diharapkan akan dimengerti pula oleh penerima (Liliweri, 2007: 5-6) (a). Pengertian Komunikasi Antarbudaya Samovar, et al. (2010: 55) menyebutkan komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya berbeda. Pendapat serupa juga dikemukakan Tubbs & Moss (2005: ), bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio-ekonomi). Penggolongan kelompok-kelompok budaya tidak bersifat mutlak. DeVito (1997: 480), mendefenisikan komunikasi antarbudaya secara luas sebagai bentuk komunikasi

40 23 di antara orang-orang yang berasal dari kelompok yang berbeda, selain juga secara lebih sempit mencakup bidang komunikasi antara kultur yang berbeda. Lubis (2012: 44) mengemukakan bahwa, komunikasi yang berlangsung di antara individu yang berbeda budaya, selalu mengalami hambatan-hambatan yang disengaja maupun tidak disengaja atau tanpa disadari. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar kalau ditinjau dari komunikasi antarbudaya. Dengan demikian terlihat adanya dinamika di antara para peserta yang berkomunikasi, dengan keragaman budaya yang melatarbelakanginya. Setiap orang berkomunikasi dengan kerangka pemikiran (frame of reference) dan keluasan pengalaman (field of experience) yang berbeda-beda satu sama lain, yang dipengaruhi oleh latar belakang budayanya. Oleh karena itu komunikasi antarbudaya menjadi penting dipelajari, tidak hanya untuk tujuan efektifitas berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya, melainkan juga untuk efektifitas pemahaman terhadap budaya sendiri. Sebagaimana disebutkan Litvin (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010), bahwa tujuan studi komunikasi antarbudaya bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk: 1) Menyadari bias budaya sendiri. 2) Lebih peka secara budaya. 3) Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain dan menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan dengan orang tersebut. 4) Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri. 5) Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang.

41 24 6) Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri. 7) Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya. 8) Membantu memahami kontak antarbudaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri: asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasankebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya. 9) Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antarbudaya. 10) Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan dan dipahami. Seseorang dari latar belakang budaya tertentu akan terlibat dalam situasi komunikasi antarbudaya, saat mengalami proses akulturasi dengan orang yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Cara kita berkomunikasi sebagian besar dipengaruhi oleh kultur, sehingga orang-orang dari kultur yang berbeda akan berkomunikasi secara berbeda (DeVito, 1997: 481). Brislin (dalam Samovar, et al., 2010: 44), menyebutkan bahwa nilai-nilai yang dianggap penting oleh suatu masyarakat yang sudah ada selama beberapa tahun, harus diturunkan dari satu generasi ke generasi yang lainnya dalam proses enkulturasi budaya (b). Proses Enkulturasi dan Akulturasi dalam Komunikasi Antarbudaya. Dalam mempelajari budaya, setiap individu yang lahir ke dunia, akan melewati proses enkulturasi dan akulturasi. Enkulturasi mengacu pada proses di mana kultur ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang tua, kelompok teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan

42 25 merupakan guru-guru utama di bidang kultur. Sedangkan akulturasi mengacu pada proses di mana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain (DeVito, 1997: 479). Sementara itu Samovar, et al. (2010: 479), mendefenisikan akulturasi sebagai proses pembelajaran bagaimana hidup dalam budaya yang baru. Sebagaimana Lubis (2012: 21), menyebutkan bahwa kita mempelajari kultur (budaya), bukan mewarisinya. Pada dasarnya manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Kebiasaan-kebiasaan, praktik-praktik dan tradisi-tradisi untuk terus hidup dan berkembang, diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. Pada gilirannya kelompok atau ras tersebut tidak menyadari dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi-generasi berikutnya terkondisikan untuk menerima kebenaran-kebenaran tersebut tentang kehidupan di sekitar mereka, pantangan-pantangan dan nilai-nilai tertentu ditetapkan dan melalui banyak cara orang-orang menerima penjelasan tentang perilaku yang dapat diterima untuk hidup dalam masyarakat tersebut. Budaya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh setiap fase aktifitas manusia (Haris dan Moran dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010: 55). Komunikasi antarbudaya terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu, memberikan pesan kepada anggota dari budaya yang lain. Lebih tepatnya, komunikasi antarbudaya melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya, cukup berbeda dalam suatu komunikasi (Samovar et. al, 2010: 13). Selanjutnya Gudykunst (2003: 316) menyebutkan, terdapat beberapa potensi masalah dalam proses akulturasi budaya, antara lain:

43 26 1. Stereotip. Stereotip biasa terjadi karena kita bertemu dengan banyak orang dan berhadapan dengan banyak hal yang tidak selalu sama dan tidak kita ketahui. Masalah timbul ketika kita tidak menyadari bahwa kita memiliki stereotip negatif. Stereotip dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dapat dijadikan alasan untuk bertindak diskriminatif. 2. Prasangka. Prasangka memberikan perasaan dan tingkah laku negatif yang melibatkan rasa marah, takut, keseganan dan perasaan gelisah. Brislin (dalam Gudykunst, 2003: 323) mengatakan prasangka adalah perasaan mengenai hal baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas dan lainlain. 3. Etnosentrisme. Nanda dan Warms (dalam Gudykunst, 2003: 331) menyebutkan, etnosentrisme merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih unggul dibandingkan budaya lain. Pandangan bahwa budaya lain, dinilai berdasarkan standar budaya kita. Kita menjadi etnosentris ketika kita melihat budaya lain melalui kacamata budaya kita atau posisi sosial kita. Sebagaimana (Samovar, et, al. dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010: 76), etnosentrisme adalah kecenderungan memandang orang lain, secara tidak sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk segala penilaian. Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme.

44 27 4. Culture shock (gegar budaya). Kalvero Aberg (dalam Gudykunst, 2003: 335), gegar budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah, sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Gegar budaya dapat menyebabkan rasa putus asa, lelah dan perasaan tidak nyaman Persepsi Budaya Adler (dalam Samovar, et al., 2010: 224) menyebutkan, persepsi merupakan suatu hal yang ditentukan oleh budaya. Kita belajar untuk melihat dunia dengan suatu cara tertentu yang didasarkan pada latar belakang budaya kita. Sebagaimana Wood (dalam Samovar, et al., 2010: 34), bahwa kita mempelajari pandangan dan pola budaya dalam proses komunikasi, ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kita mengerti tentang kepercayaan, nilai, norma, dan bahasa budaya kita. Persepsi sering dianggap sebagai inti komunikasi. Sedangkan penafsiran atau interpretasi adalah inti persepsi yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi (Riswandi, 2009: 50). Sementara itu hubungan manusia dalam proses komunikasi, tidak terlepas dari pengaruh budaya masing-masing pelaku komunikasi. Setiap kultur mempunyai aturan komunikasi sendiri-sendiri. Aturan ini menetapkan mana yang patut dan mana yang tidak patut (DeVito, 1997: 490). Samovar, et al. (2010: 221) menjelaskan bahwa persepsi merupakan suatu cara untuk membuat dunia fisik dan sosial menjadi masuk akal. Sementara Mulyana dan Rakhmat (2010: 25), mendefenisikan persepsi sebagai proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan

45 28 rangsangan dari lingkungan eksternal. Selanjutnya Sobur (2003: 445), mengemukakan persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Liliweri (2011: 153), menyebutkan persepsi merupakan proses di mana individu memilih, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan apa yang dibayangkan tentang dunia sekelilingnya. Sementara itu Matsumoto (2004: 60), mengungkapkan bahwa persepsi mengacu pada proses, di mana informasi inderawi diterjemahkan menjadi sesuatu yang bermakna. Desiderato (dalam Rakhmat, 2007: 51), menjelaskan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi dan memori. Selanjutnya Mulyana (2001: ) menjelaskan beberapa sifatsifat persepsi, sebagai berikut: 1) Persepsi bersifat selektif. Setiap orang menerima begitu banyak rangsangan inderawi, bila manusia harus menafsirkan semua, ia bisa gila. Karena itu persepsi bersifat selektif dalam menafsirkan rangsangan yang diterima tersebut. 2) Persepsi bersifat dugaan. Karena data yang kita peroleh mengenai objek melalui penginderaan tidak pernah lengkap, persepsi merupakan loncatan langsung pada kesimpulan.

46 29 3) Persepsi bersifat evaluatif. Orang menjalani kehidupan dengan perasaan bahwa apa yang mereka persepsi adalah nyata. Mereka berfikir menerima pesan dan menafsirkannya sebagai suatu proses yang alamiah. Akan tetapi terkadang alat-alat indera dan persepsi kita menipu, sehingga perlu mengevaluasinya kembali. 4) Persepsi bersifat kontekstual. Suatu rangsangan dari luar harus diorganisasikan. Dari semua pengaruh yang ada dalam persepsi kita, konteks merupakan salah satu pengaruh paling kuat. Konteks yang melingkungi kita ketika melihat suatu objek, orang atau suatu kejadian yang sangat mempengaruhi struktur kognitif, pengharapan dan juga persepsi kita (a). Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi interpersonal Rakhmat (2007: 89-91), menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi interpersonal, yaitu: (1). Pengalaman Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu lewat proses belajar formal. Pengalaman kita bertambah juga melalui rangkaian peristiwa yang pernah kita hadapi. (2). Motivasi Proses konstruktif yang mewarnai persepsi interpersonal sangat banyak melibatkan unsur-unsur motivasi. Telah banyak penelitian tentang pengaruh motivasi sosial terhadap persepsi, seperti motif biologis, ganjaran dan hukuman, karakteristik kepribadian, dan perasaan terancam

47 30 karena persona stimuli. motif personal lainnya yang mempengaruhi persepsi interpersonal adalah kebutuhan untuk mempercayai dunia yang adil. Menurut Lerner (dalam Rakhmat, 2007: 89), kita perlu mempercayai bahwa dunia ini diatur secara adil. Orang diganjar dan dihukum karena perbuatannya. Bila kita melihat orang sukses, kita cenderung menanggapinya sebagai orang yang memiliki karakteristik baik. Motif dunia ini, sering mendistorsi persepsi kita. (3). Kepribadian Dalam psikoanalisis, dikenal proyeksi, sebagai salah satu cara pertahanan ego. Proyeksi adalah mengeksternalisasikan pengalaman subjektif secara tidak sadar. Orang melemparkan perasaan bersalahnya kepada orang lain. Pada persepsi interpersonal, orang mengenakan pada orang lain, sifat-sifat yang ada pada dirinya, yang tidak disenanginya. Kepribadian otoriter adalah sindrom kepribadian yang ditandai oleh ketegaran berpegangan pada nilai-nilai konvensional, hasrat berkuasa yang tinggi, kekakuan dalam hubungan interpersonal, kecenderungan melemparkan tanggung jawab pada sesuatu di luar dirinya, dan memproyeksikan sebab-sebab dari peristiwa yang tidak menyenangkan pada kekuatan di luar dirinya (b). Elemen-elemen yang mempengaruhi persepsi budaya. Sebagaimana dikutip dari pandangan Samovar, et al. tentang hal-hal yang mempengaruhi persepsi budaya, oleh Mulyana dan Rakhmat (2010: 26) diterjemahkan sebagai unsur-unsur sosio-budaya yang mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna yang kita bangun dalam persepsi kita, yang terdiri dari: (1). sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude);

48 31 (2). pandangan dunia (world view); dan (3). organisasi sosial (social organization). Sementara itu Lubis (2012: 63), menterjemahkan pandangan Samovar, et al. tersebut sebagai elemen-elemen pokok yang mempengaruhi persepsi budaya, yang terdiri dari: (1). pandangan dunia (world view) yang terdiri dari agama/sistem kepercayaan, nilai dan perilaku; (2). sistem lambang; dan (3). organisasi sosial. Kedua pendapat tersebut, tidak terlalu memiliki perbedaan yang signifikan. Selanjutnya elemen-elemen yang membentuk persepsi budaya, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pandangan Dunia (world view) Paige & Martin (dalam Lubis, 2012:64) menjelaskan, pandangan dunia merupakan satu lensa dari pada pandangan manusia yang memandang realitas dunia dan tentang kehidupan dunia. Isu-isu pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling dasar dari pada suatu budaya. Mulyana dan Rakhmat (2010: 28) mengatakan, pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya, terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, dan masalahmasalah filosofis lainnya yang berkenaan dengan konsep makhluk. Pandangan dunia kita membantu kita untuk mengetahui posisi dan tingkatan kita dalam alam semesta. Sarbaugh (dalam Lubis, 2011: 81) menjelaskan, pandangan dunia sebagai sistem-sistem kepercayaan yang membentuk keseluruhan sistem berfikir tentang sifat-sifat sesuatu secara keseluruhan dan persepsinya terhadap lingkungan. Pandangan dunia (world view) orang Minang, seperti dikemukakan Navis (1984: 59), bahwa orang Minang menamakan tanah airnya sebagai Alam Minangkabau. Alam bagi mereka bukan hanya sebagai tempat lahir dan tempat

49 32 mati, tempat hidup dan berkembang, melainkan juga mempunyai makna filosofis, seperti pepatah mengatakan alam takambang manjadi guru yang artinya alam terkembang menjadi guru. Oleh karena itu, ajaran dan pandangan hidup mereka seperti yang dinukilkan dalam pepatah, petitih, pituah (nasehat), dan lain-lainnya mengambil ungkapan dari bentuk, sifat dan kehidupan alam. Alam dan segenap unsurnya bagi orang Minang, terdiri dari empat atau sering di sebut nan ampek (yang empat), atau dibagi dalam empat bentuk adat, yakni: (1) adat yang sebenarnya adat; (2) adat istiadat; (3) adat yang diadatkan; dan (4) adat yang teradat (Navis, 1984: 88-89). Berbeda budaya, akan berbeda pula keunikannya dan pandangan dunia yang terbentuk. Dalam pandangan dunia terdapat tiga unsur yang mempengaruhi yaitu : (a). Agama atau sistem kepercayaan. Agama mengikat orang bersama-sama dalam memelihara cara pandang budaya mereka (Samovar, et, al., 2010: 123). Peranan agama dalam suku manapun merupakan unsur utama, karena agama mengandung nilai-nilai universal yang berisikan pendidikan, pembinaan dan pembentukan moral dalam keluarga. Rogers dan Steinfatt (dalam Samovar, et al., 2010: 224), mengemukakan bahwa kepercayaan bekerja sebagai sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu, termasuk pemikiran, ingatan dan interpretasi terhadap suatu peristiwa. Kepercayaan dibentuk oleh budaya seseorang. Pandangan dunia (world view) yang dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan pada adat istiadat Minang, di mana sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Islam, seperti dikemukakan oleh Abdullah (1987: 104), bahwa

50 33 pada mulanya antara adat dan Islam memang terjadi konflik. Setidaknya demikian menurut peneliti-peneliti barat sejak masa penjajahan. Yaswirman (2011: 112) menyebutkan, perbenturan persepsi antara adat dan Islam muncul dalam bidang sosial kemasyarakatan, terutama bidang kekerabatan. Adat Minangkabau menganut sistem matrilineal, sedang Islam menganut parental bilateral atau menurut pemahaman para mujtahid menganut sistem patrilineal. Di Minangkabau suami tinggal bersama di rumah keluarga istri, sedang dalam Islam sebaliknya, istri tinggal di rumah yang disediakan suami. Dampaknya meluas kepada sistem perkawinan, perwalian, kepemilikan harta dan pewarisan. Kendati telah ada konsensus adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, namun mewujudkan persentuhan adat dan Islam dalam persoalan ini mengalami proses yang sangat panjang. (b). Nilai-nilai. Nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Nilai-nilai menjadi rujukan seorang anggota budaya tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang benar dan yang salah, yang sejati dan yang palsu, positif dan negatif, dan sebagainya (Mulyana dan Rakhmat, 2010: 27). Meskipun memiliki penilaian yang unik tentang nilai, tetapi nilai-nilai itu tidak bersifat universal, karena kecenderungannya berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya, dan nilai-nilai itu dipelajari (Lubis, 2012: 67). Pandangan dunia yang dipengaruhi unsur nilai dalam tradisi pemberian uang jemputan sebagai syarat perkawinan, menunjukkan norma yang menjadi suatu keharusan. Karena kesepakatan mengenai uang jemputan ini, menjadi penentu batal atau tidaknya suatu perjodohan sebelum berlangsungnya

51 34 perkawinan (Yaswirman, 2011: 135). Sementara itu nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap posisi laki-laki (suami) sebagai urang sumando atau orang yang datang ke keluarga istri, di mana uang jemputan tersebut, diberikan sebagai modal usaha bagi mereka untuk hidup berumahtangga (Maihasni, et. al, 2010: 178; dan Sjarifoedin, 2011: 477). (c). Sikap. Sikap adalah suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu konteks budaya. Bagaimanapun lingkungan kita, lingkungan itu akan turut membentuk sikap kita, kesiapan kita untuk merespons, dan akhirnya perilaku kita (Mulyana dan Rakhmat, 2010: 27). Sikap merupakan predisposisi mental individual untuk mengevaluasi suatu hal tertentu dalam beberapa derajat yang disukai atau yang tidak disukai. Secara umum setiap individu mempunyai sikap yang difokuskan kepada objek, orang atau institusi, bahkan peristiwa (Liliweri, 2011: 165). Sikap manusia terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: 1) Kognitif yang berkaitan dengan kepercayaan, teori, harapan, sebab dan akibat dari suatu kepercayaan, dan persepsi relatif terhadap objek tertentu; 2) Afektif yang menunjukkan perasaan, respek atau perhatian kita terhadap objek tertentu; dan 3) Konatif yang berisi kecenderungan untuk bertindak (memutuskan) atau mengimplementasikan perilaku sebagai tujuan terhadap objek (Liliweri, 2011: 166).

52 35 2. Sistem Lambang (verbal/non verbal). Forgas (dalam Lubis, 2012: 72), menyebutkan penggunaan sistem lambang seperti bahasa lisan sehari-hari mencatat suatu peristiwa komunikasi, di mana orang-orang setiap harinya saling berhubungan dari budaya yang sangat spesifik. Sedangkan Haviland (dalam Sihabuddin, 2013: 66) menyebutkan, bahasa adalah suatu sistem bunyi, yang digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa tersebut. Bahasa sebagai peta realitas budaya yang tidak dapat dialihkan secara sempurna ke dalam suatu bahasa lain. Bahasa sebagai wujud penyampaian pesan mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran. Sementara itu, kode verbal dalam pemakaiannya menggunakan bahasa. Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur, sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti (Cangara, 2011: 101). Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau kebudayaan. Bahasa merupakan suatu sistem tidak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan bergantung pada berbagai penafsiran (Porter dan Samovar dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010: 30). Perwujudan dari perilaku adalah melalui sistem lambang yang digunakan seperti melalui percakapan, tertulis dan melalui isyarat badan (bahasa tubuh), penampilan dan lainnya (Ruben dalam Lubis, 2012: 72). Makna kata bajapuik dalam tradisi bajapuik yang disepakati oleh masyarakat Pariaman, mengandung

53 36 makna menghormati posisi laki-laki (suami) yang melibatkan barang-barang yang bernilai seperti emas atau uang, sehingga secara umum diartikan sebagai tradisi uang jemputan (Sjarifoedin, 2011: 477). Kata bajapuik yang berasal dari bahasa Minang, menyajikan realitas secara simbolik sehingga makna kata bajapuik akan dipahami perempuan Minang Pariaman yang pada akhirnya, mempengaruhi persepsinya tentang tradisi tersebut. Pengaruh bahasa pada persepsi budaya seperti dikemukakan Lubis (2011: ), bahwa bahasa yang digunakan oleh orang tua suku Tionghoa di rumah, juga berdampak kepada anak-anak dan lingkungan sekitar. Berbahasa Indonesia tidak mengecilkan atau menghilangkan identitas sebagai suku Tionghoa. Sedangkan Listiyorini (2007: 4) mengungkapkan penggunaan bahasa asing makin mendapatkan tempat dalam kehidupan masa kini, sementara penggunaan bahasa daerah kian terdesak. Sementara itu Porter dan Samovar (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2010: 31) menyebutkan, sistem lambang juga mencakup lambang non verbal, seperti isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu dan suara. Cangara (2011: 105) mengatakan, manusia dalam berkomunikasi selain memakai kode verbal (bahasa), juga memakai kode non verbal. Kode non verbal biasanya disebut bahasa isyarat atau bahasa diam (silent language). 3. Organisasi Sosial (social organization) Organisasi sosial adalah cara bagaimana suatu kebudayaan dikomunikasikan kepada anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang berperan dalam membentuk individu, yaitu keluarga dan sekolah (Samovar, et al. dalam

54 37 Lubis, 2012:76). Organisasi sosial yang berperan dalam proses komunikasi pada tradisi uang jemputan adalah keluarga. Galvin dan Brommel (dalam Budyatna dan Ganiem, 2012: 169), menyebutkan keluarga adalah sebuah kelompok manusia yang memiliki hubungan akrab yang mengembangkan rasa berumah tangga, dan identitas kelompok, lengkap dengan ikatan yang kuat mengenai kesetiaan dan emosi serta mengalami sejarah dan menatap masa depan. Keluarga merupakan perwujudan dari institusi tidak formal. Peranan keluarga sangat penting, seiring perjalanannya dari waktu ke waktu yang mana budaya luar akan mempengaruhi anak. Melalui keluarga, individu belajar mengenal kebudayaannya dan menilai kebudaannya paling baik dibandingkan kebudayaan suku lain, dan lain sebagainya. Organisasi sosial juga mencakup lembaga formal seperti sekolah. Melalui pendidikan di sekolah, seorang individu mengenal kebudayaan-kebudayaan etnis-etnis yang ada di dunia. Selain sekolah, peranan organisasi kemasyarakatan seperti serikat tolong menolong (STM), kelompok perkumpulan, maupun tempat bekerja, individu-individu yang berbeda budaya dapat saling belajar dan memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing budaya (Lubis, 2012: 76-81) Komunikasi Keluarga Keluarga merupakan transmitor utama pengetahuan, nilai, perilaku, peranan dan kebiasaan dari generasi ke generasi. Melalui kata dan contoh, keluarga membentuk kepribadian seorang anak dan menanamkan pola fikir dan cara bertingkah laku, sehingga menjadi suatu kebiasaan (DeGenova dan Rice dalam Samovar, et al., 2010: 65). Hubungan antara perempuan Minang Pariaman dengan orang tua dan mamak (paman) adalah bentuk keluarga berdasarkan

55 38 hubungan darah, sebagaimana Djamarah (2004: 16) bahwa bentuk-bentuk keluarga berdasarkan dimensi hubungan darah, dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : a) Keluarga kecil (keluarga inti) di sebut juga sebagai nuclear family adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. b) Keluarga besar di sebut sebagai extended family adalah keluarga inti di tambah dengan keluarga lainnya yang masih memiliki hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi, dan sebagainya). Selanjutnya Budyatna dan Ganiem (2012: 169) menyebutkan, kebanyakan fungsi mengenai sistem keluarga merupakan produk dari komunikasi di dalam keluarga. Fitzpatrick mengidentifikasi pola komunikasi dalam 4 (empat) tipe keluarga. Empat tipe pola komunikasi keluarga tersebut adalah sebagai berikut : a) Tipe Konsensual. Yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, namun juga memiliki kepatuhan yang tinggi. Keluarga tipe ini suka sekali berkomunikasi secara terbuka dengan sesama anggota keluarga. Pemegang otoritas keluarga dalam hal ini orang tua adalah pihak yang membuat keputusan. b) Tipe Pruralistis. Yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, namun memiliki kepatuhan yang rendah. Anggota keluarga sering sekali berkomunikasi secara terbuka, tetapi setiap orang dalam keluarga akan membuat keputusan masing-masing. Orang tua tidak merasa perlu untuk mengontrol anak-anak

56 39 mereka karena setiap pendapat di nilai berdasarkan pada kebaikannya, yaitu pendapat mana yang terbaik dan setiap orang turut serta dalam pengambilan keputusan. c) Tipe Protektif. Yaitu keluarga yang jarang melakukan komunikasi, namun memiliki kepatuhan yang tinggi, jadi terdapat banyak sifat patuh dalam keluarga tetapi sedikit komunikasi. Orang tua tidak melihat alasan penting, mengapa mereka harus menghabiskan banyak waktu untuk berbicara atau mengobrol. Mereka juga tidak melihat alasan, mengapa mereka harus menjelaskan keputusan yang telah mereka buat. d) Tipe Leissez-Faire. Yaitu keluarga yang jarang berkomunikasi satu sama lain dan juga memiliki kepatuhan yang rendah. Adanya sikap tidak peduli dan lepas tangan dengan apa yang dilakukan oleh anggota keluarga lain (dalam Morissan, 2014: ). Wursanto (dalam Djamarah, 2004: 36), menyebutkan bahwa komunikasi dapat berlangsung setiap saat, di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja dan dengan siapa saja. Sejak lahir, seseorang sudah mengadakan hubungan dengan kelompok masyarakat sekelilingnya. Kelompok pertama yang dialami oleh individu yang baru lahir, ialah keluarga yaitu dengan ibu, bapak dan anggota keluarga lainnya. Makin bertambah umurnya, makin luas pula hubungan yang dapat dijangkau oleh individu itu. Selain sebagai makhluk individu, manusia adalah makhluk sosial dan makhluk bermasyarakat.

57 40 Umur ideal untuk perkawinan dalam tradisi Minang adalah usia tahun bagi wanita, dan usia tahun bagi pria. Orang yang belum menikah pada umurnya yang ideal, akan menderita perasaan batin, baik yang bersangkutan maupun keluarganya. Oleh karenanya gadih gadang (gadis dewasa) yang belum menikah merupakan aib, bukan saja aib mamak (saudara kandung laki-laki ibu), yang bertanggung jawab pada kemenakan atau keponakannya, tapi juga aib kedua orang tua, bahkan aib orang sekampung (Depdikbud, 1978: 30) Adat Perkawinan Masyarakat Pariaman (a). Adat bagi masyarakat Minang. Amir (2006: 172) mengemukakan, masyarakat Minang harus tunduk pada ketentuan peraturan yang terdapat dalam Tali Tiga Sepilin. Ketiga peraturan yang disebut sebagai Tali Tiga Sepilin ini adalah adat Minang, agama Islam dan Undang-undang Negara. Pada kehidupan nyata, penerapan hukum yang terdapat dalam Tali Tiga Sepilin ini tidak selalu berjalan mulus. Ketiga peraturan tersebut seharusnya saling seiring sejalan, saling mengisi dan saling menguatkan. Pada kenyataannya, tidak jarang pula saling bertentangan dan berpotensi untuk saling berbenturan. Navis (1984: 88), menyebutkan bahwa adat bagi orang Minang adalah kebudayaan secara utuh yang dapat berubah. Namun ada adat yang tidak dapat berubah, seperti kata pepatah : kain dipasang usang, adaik dipakai baru (kain dipakai usang, adat dipakai baru). Maksudnya sebagaimana pakaian bila dipakai terus akan usang, sedangkan adat yang dipakai terus menerus senantiasa awet. Oleh karena ada adat yang tetap tidak berubah di samping yang berubah.

58 41 Adat di bagi dalam empat kategori, yakni: (1). adat yang sebenarnya adat; (2). adat istiadat; (3). adat yang diadatkan; dan (4). adat yang teradat. Navis (1978: 89) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan empat kategori adat tersebut adalah: (1). adat yang sebenarnya ialah adat yang asli yang tidak berubah, yang tak lapuk oleh hujan yang tak lekang oleh panas. Kalau dipaksa dengan keras mengubahnya, ia dicabuik indak mati, diasak indak layua (dicabut tidak mati, dipindahkan tidak layu). Adat yang lazim diungkapkan dalam pepatah dan petitih ini, seperti hukum alam yang merupakan falsafah hidup orang Minang. (2). adat istiadat ialah kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat umum atau setempat, seperti acara yang bersifat seremoni atau tingkah laku pergaulan yang bila dilakukan akan dianggap baik dan bila tidak dilakukan tidak apa-apa. Adat ini dalam mamangan (pepatah) diibaratkan seperti : pohon sayuran yang gadang dek diambak, tinggi dek dianjuang (besar karena dilambuk, tinggi karena dianjung), yang artinya adat itu akan dapat tumbuh karena dirawat dengan baik. (3). adat yang diadatkan ialah apa yang dinamakan sebagai undang-undang dan hukum yang berlaku, seperti yang didapatkan pada undang-undang luhak dan rantau, undang-undang nan dua puluh. Terhadap adat ini berlaku apa yang diungkapkan mamangan (pepatah) : jikok dicabuik mati, jikok diasak layua (jika dicabut (ia) mati, jika dipindahkan (ia) layu), seperti pohon yang telah hidup berakar, yang dapat tumbuh selama tidak ada tangan yang mengganggu hidupnya. (4). adat teradat ialah peraturan yang dilahirkan oleh mufakat atau konsensus masyarakat yang memakainya, seperti yang dimaksud mamangan (pepatah): patah tumbuah, hilang baganti (patah tumbuh, hilang berganti). Ibarat pohon yang patah karena bencana, maka ia akan dapat tumbuh lagi pada bekas patahannya. Kalau ia hilang, ia diganti pohon lain pada bekas tempatnya hilang karena pohon itu perlu ada untuk keperluan hidup manusia. Menurut Nasrun, adat Minangkabau merupakan suatu sistem pandangan hidup yang kekal, segar dan aktual, oleh karena didasarkan pada: 1. Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan juga pada nilai positif, teladan baik serta keadaan yang berkembang. 2. Kebersamaan dalam arti seseorang untuk kepentingan bersama, dan kepentingan bersama untuk seseorang. 3. Kemakmuran yang merata.

59 42 4. Perimbangan pertentangan yakni pertentangan dihadapi secara nyata serta dengan mufakat berdasarkan alur dan kepatutan. 5. Meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menempuh jalan tengah. 6. Menyesuaikan diri dengan kenyataan. 7. Segala sesuatunya berguna menurut tempat, waktu, dan keadaan (dalam Soekanto, 1983: 72-73). Tradisi uang jemputan merupakan kategori adat yang teradat. Sebagaimana Sjarifoedin (2011: 477), tradisi perkawinan bajapuik di Pariaman, termasuk ke dalam kategori adat nan teradat karena hanya berlaku di Pariaman, sedangkan di daerah lain tidak mengenal tradisi bajapuik (b). Perempuan dalam adat perkawinan Pariaman. Dalam adat Minang, etika yang harus dimiliki seorang perempuan selain patuh dan hormat kepada kedua orang tua, salah satunya adalah mendengarkan nasehat dan perintah mamak/pamannya. Meskipun mamaknya itu, seorang lakilaki yang lebih muda dibandingkan dengan umurnya, tetapi kalau mereka sudah akhil baligh, patutlah dipandang sebagai mamak juga (Dirajo, 2003: 164). Demikianlah adat Minang menempatkan peranan seorang mamak yang harus dipatuhi oleh perempuan Minang. Di Kota Pariaman, istilah gadih gadang indak balaki membuat seorang mamak orang Pariaman, sangat peduli untuk menyelesaikan masalah tersebut. Begitu pedulinya para mamak di Pariaman terhadap isu gadih gadang indak balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve, menaik se-iring meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi penurunan tingkat suplai laki-laki yang mapan. Akibatnya merusak titik ekuilibrium dan memunculkan kolusi (dalam artian persaingan yang positif), artinya pihak keluarga anak gadis, siap memberikan kompensasi berapapun nilainya, asalkan anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami. Dari kondisi tersebut muncul istilah uang hilang yang dalam prakteknya samasama dijalankan dengan uang jemputan. Uang jemputan akan dikembalikan dalam bentuk pemberian, berupa emas yang nilainya setara dengan nilai

60 43 yang diberikan oleh keluarga pihak pengantin wanita. Terkadang pemberian itu melebih nilai yang diterima oleh pihak marapulai (pengantin pria) sebelumnya, karena pemberian tersebut menyangkut gengsi keluarga marapulai itu sendiri (sumber: Pendapat senada disampaikan Sjarifoedin (2011: 471) bahwa gadis gadang indak balaki (gadis dewasa, namun belum menikah) di Pariaman, merupakan aib bagi keluarga. Kondisi ini membuat pihak keluarga perempuan yang terdiri dari ibu-bapak, mamak/paman dan ninik mamak dari pihak ibu, berusaha sekuat tenaga untuk mencarikan suami bagi anak kemenakannya, bahkan bersedia untuk membayar kepada pihak calon mempelai laki-laki. Terkadang jumlah uang jemputan yang diminta, tidak masuk akal sehingga membebani pihak perempuan (c). Tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan Pariaman. Tradisi uang jemputan merupakan syarat terjadinya perkawinan yang berlaku bagi masyarakat di daerah Pariaman. Tradisi uang jemputan adalah memberikan sejumlah uang atau barang berharga lainnya oleh pihak perempuan, kepada pihak laki-laki sebagai syarat terjadinya perkawinan. Jumlah uang jemputan ditetapkan dengan kesepakatan bersama, antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Jika keluarga laki-laki setuju, peminangan bisa diterima. Jika tidak, berarti batal. Semakin tinggi kedudukan sosial laki-laki, semakin tinggi pula uang jemputannya. Uang jemputan diserahkan ketika acara manjapuik marapulai yaitu tradisi menjemput pengantin pria, sebelum melangsungkan akad nikah di rumah perempuan. Uang jemputan ini akan dikembalikan lagi oleh pihak laki-laki dalam bentuk perhiasan atau benda-benda berharga lainnya disebut panibo, yang diberikan saat manjalang mintuo yaitu pada saat perempuan berkunjung pertama kalinya ke rumah mertua (dalam Navis, 1984: 201; Maihasni,et. al., 2010: ; Yaswirman, 2011: 135; Sjarifoedin, 2011: 478; Naim, 2013: 329). Proses pelaksanaan tradisi uang jemputan seperti dikutip dalam Jurnal Depdikbud, Dirjen Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

61 44 Padang (2000: 29-59), berjudul Pola Hubungan Kekerabatan Masyarakat Pariaman dalam Upacara Perkawinan, adalah sebagai berikut : Bila ada orang Pariaman yang anak gadisnya telah siap menikah, maka orang tuanya akan mulai mencari jodoh untuk anak mereka. Saat mereka menemukan laki-laki yang dirasakan cocok, maka keluarga perempuan akan mengunjungi keluarga laki-laki tersebut, dinamakan marantak tanggo (menginjak tangga), acara ini sebagai tahap awal bagi seorang wanita mengenal calon suaminya, melalui pihak keluarganya. Bila dirasakan cocok, maka keluarga kedua belah pihak akan berunding dan melaksanakan acara mamendekkan hetongan, yaitu keluarga perempuan akan batandang (berkunjung) kembali, ke rumah calon mempelai laki-laki (marapulai), untuk melakukan musyawarah. Sebelum mamendekkan hetongan, orang tua anak daro (calon pengantin perempuan) akan menyampaikan maksud mereka, kepada mamak tungganai (paman anak daro dari pihak ibu yang paling tua). Biasanya mamak akan bertanya pada calon anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek (pesta) beserta isinya termasuk uang japuik (uang jemputan), akan dipersiapkan oleh keluarga perempuan. Bila keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan menjual harato pusako (harta pusaka), untuk membiayai pernikahan. Kemudian dalam acara mamendekkan hetongan, kedua belah pihak akan membicarakan tentang besarnya uang japuik dan berbagai persyaratan lainnya. Sementara itu, Fiony Sukmasari menyebutkan syarat-syarat perkawinan dalam adat Minangkabau sebagai berikut: 1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam. 2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari nagari atau luhak yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain. 3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak. 4. Calon suami (marapulai) sudah mempunyai sumber penghasilan (dalam Amir, 2006: 12-13).

62 Kerangka Pemikiran Penelitian berikut: Kerangka pemikiran dalam penelitian ini, dapat digambarkan sebagai Elemen-elemen yang membentuk persepsi: 1. Pandangan dunia (agama/sistem kepercayaan, nilai-nilai dan sikap 2. Sistem lambang 3. Organisasi sosial Persepsi perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian P E R U B A H A N S I K A P Dari bagan di atas, dapat dijelaskan alur pemikiran penelitian yang akan dilakukan. Persepsi budaya perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan, dibentuk oleh pandangan dunia (agama/sistem kepercayaan, nilai-nilai dan sikap); sistem lambang; dan organisasi sosial (dikembangkan dari pandangan Samovar dan Porter dalam Lubis, 2012: 61). Ketiga elemen tersebut, diasumsikan ikut berperan dalam proses pembentukan persepsi perempuan Minang Pariaman dan pada akhirnya akan terjadi perubahan cara pandang yang terlihat dalam sikap perempuan Minang Pariaman tersebut.

63 46 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan adalah jenis penelitian studi kasus dengan analisis data kualitatif. Bungin (2012: 132) mengemukakan, penelitian studi kasus merupakan studi yang mendalam hanya pada satu kelompok orang atau peristiwa. Teknik ini hanyalah sebuah deskripsi terhadap individu. Sebuah studi kasus adalah sebuah puzzle yang harus dipecahkan. Nawawi (1994) menyebutkan, studi kasus dalam penggunaan penelitian terapan, memusatkan diri secara intensif pada satu objek secara individual atau sebagai unit yang memiliki kekurangan, kelemahan, ketidakseimbangan, atau kepincangan untuk diperbaiki atau diatasi. Kasus itu dapat berupa seseorang, sekelompok orang atau suatu lingkungan sebagai unit (keluarga, desa, buruh, petani, dan lain-lain). Sebagaimana Arikunto (2002: 120) mengemukakan bahwa metode studi kasus sebagai salah satu jenis penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme (individu), lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit. Sementara itu Stake (dalam Creswell, 2010: 20) menyebutkan, penelitian studi kasus merupakan strategi penelitian di mana di dalamnya, peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktifitas, proses atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktifitas, dan peneliti

64 47 mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan Aspek Kajian Penelitian Yang menjadi aspek kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1).Perempuan Minang Pariaman adalah anak perempuan yang lahir dan besar di Kota Medan, yang merupakan anak dari orang tua bersuku Minang yang berasal dari daerah Pariaman. 2).Tradisi uang jemputan adalah tradisi pemberian sejumlah uang oleh pihak keluarga perempuan, kepada pihak keluarga laki-laki yang merupakan syarat perkawinan pada adat masyarakat Pariaman. 3).Panibo adalah bentuk balasan atau pengembalian uang jemputan. Pengembalian tersebut berupa perhiasan atau benda-benda berharga lainnya yang diberikan oleh pihak keluarga laki-laki kepada anak daro (pengantin perempuan) pada saat manjalang mintuo atau mengunjungi mertua untuk pertama kalinya. 4).Cara pandang perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan, adalah proses pembentukan persepsinya sebelum menikah dalam memaknai tradisi uang jemputan sebagai syarat perkawinan berdasarkan referensi yang dimiliki. 5).Perubahan sikap perempuan Minang Pariaman setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan adalah persepsinya setelah menikah yang terwujud dalam keputusan pemilihan jodohnya, sehingga dapat menggambarkan bertahan atau berubahnya (pergeseran nilai) tradisi uang jemputan.

65 48 6).Perubahan atau pergeseran nilai adalah berubahnya makna atau prosesi adat yang sebenarnya pada tradisi uang jemputan dalam pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Pariaman Deskripsi Masyarakat Pariaman di Kota Medan Kota Medan merupakan Kota Metropolitan ketiga setelah Jakarta dan Surabaya yang penduduknya merupakan masyarakat multikultural. Penduduk Kota Medan berasal dari berbagai suku dan budaya, seperti: Jawa, Tapanuli, Tionghoa, Mandailing, Minang, Melayu, Karo, dan Aceh. Hasil sensus penduduk tahun 2012 menyebutkan bahwa populasi penduduk Kota Medan sebesar Jiwa (Pemko Medan, 2013). Sejarah para perantau Minangkabau di Kota Medan, sebagaimana disebutkan Pelly (2013: ) bahwa pada tahun 1920-an, Kota Maksum dan Tegal Sari I, adalah pemukiman perantau Minang yang penting di Kota Medan. Terdapat kaitan yang langsung antara okupasi dan daerah asal para perantau Minangkabau di Sumatera Barat. Kehadiran orang Minangkabau di Kota Medan dalam jumlah yang besar, merupakan faktor yang menempatkan mereka tidak merasa tersudut oleh situasi atau merasa terasing sebagai pendatang. Orang Minang berprinsip seperti apa yang dikatakan pepatah dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang, yang artinya di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Orang Minang dapat berbaur dan beradaptasi dengan budaya tuan rumah. Mereka lebih banyak tinggal di kota yang lebih sederhana, seperti Kota Maksum, di mana 50% dari penduduknya diperkirakan adalah orang Minangkabau. Mereka juga membentuk organisasi berdasarkan daerah asal di Sumatera Barat, seperti Pariaman, Batu Sangkar, Maninjau, Pasaman dan sebagainya (Naim, 2013: ). Setelah melihat data penduduk Kota Medan, peneliti belum mendapati data yang kongkret mengenai daerah tempat tinggal masyarakat Pariaman. Namun demikian, peneliti berusaha mengunjungi salah satu organisasi masyarakat Pariaman, yaitu Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP) Kota Medan yang

66 49 memiliki kantor bersama dengan PKDP Provinsi Sumatera Utara, di Jalan Amaliun Nomor 36/68 Medan (kunjungan pada tanggal 04 April 2015). Peneliti mendapatkan informasi mengenai domisili masyarakat Minang Pariaman di Kota Medan, pada kunjungan tersebut melalui Bapak Haji Muhammad Ridwan (seorang tokoh masyarakat Minang Pariaman dan seorang akademisi) yang juga menjabat sebagai bendahara Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP) Provinsi Sumatera Utara. Menurut beliau, orang Minang yang berasal dari Pariaman, dominan berdomisi di daerah Medan Maimun, Medan Denai dan Medan Tembung. Beliau menyebutkan bahwa, data tersebut dilihat berdasarkan alamat keanggotaan organisasi dan banyaknya pelaksanaan perkawinan adat Pariaman yang dihadiri para ninik mamak atau orang tua-tua (pemuka masyarakat) dari PKDP Subjek Penelitian Dalam penelitian kualitatif, prosedur yang terpenting adalah bagaimana menentukan informan kunci (key informan). Untuk menentukan key informan lebih tepat dilakukan secara sengaja (purposive). Bila dalam proses pengumpulan data, sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi, maka peneliti tidak perlu lagi mencari informan baru, proses pengumpulan informasi dianggap selesai. Dengan demikian penelitian kualitatif tidak mempersoalkan jumlah sampel. Dalam hal ini jumlah sampel (informan) bisa sedikit, tetapi juga bisa banyak terutama tergantung dari: a) tepat tidaknya pemilihan informan kunci; dan b) kompleksitas dan keragaman fenomena sosial yang diteliti (Bungin, 2003: 53). Sudikin (2002: 11-12) mengemukakan bahwa sedikit banyaknya informan tidak menentukan akurat tidaknya suatu penelitian. Bahkan dalam

67 50 penelitian kualitatif bisa jadi informannya hanya satu orang saja. Kemudian pada referensi lain yang dikemukakan Bungin (2012: ) menyebutkan, prosedur purposive adalah salah satu strategi menentukan informan paling umum di dalam penelitian kualitatif, yaitu menentukan kelompok peserta yang menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian. Contoh dari penggunaan prosedur purposive ini adalah antara lain dengan menggunakan key person. Ukuran besaran individu key person atau informan yang mungkin atau tidak mungkin ditunjuk, sudah ditetapkan sebelum pengumpulan data tergantung pada sumber daya dan waktu yang tersedia serta tujuan penelitian. Kunci dasar penggunaan prosedur ini adalah penguasaan informasi dari informan. Adapun kriteria-kriteria informan yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan; 2. Telah menikah; dan 3. Mengalami perjodohan dengan tradisi uang jemputan. Berdasarkan kriteria-kriteria di atas, peneliti akan melakukan pencarian informan yang tepat untuk dapat menjawab permasalahan penelitian Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian, kita tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan rasional semata, karena seringkali apa yang terlihat atau terdengar tiap harinya berbeda dengan kenyataan di lapangan. Oleh karena itu penting untuk mencari dan menemukan fakta sebagai pengetahuan empiris, melalui pengumpulan data. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan metode-metode tertentu tergantung permasalahan yang dihadapi, walaupun tidak jarang dalam kasus-kasus tertentu,

68 51 justru metode yang mempengaruhi permasalahan, apakah karena sulit dan rumitnya permasalahan atau karena belum ada metode yang mampu digunakan terhadap suatu permasalahan (Silalahi, 2006). Adapun metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah sebagai berikut: 1). Metode wawancara mendalam (in-depth interview). Hariwijaya (2007), menyebutkan dalam penelitian dikenal teknik wawancara mendalam. Teknik ini biasanya melekat erat pada penelitian kualitatif. Sebagaimana Kriyantono (2007: 98) bahwa wawancara mendalam (in-depth interview) adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar mendapat data lengkap dan mendalam. Sementara itu Bungin (2012: 111), wawancara mendalam secara umum adalah proses memperolah keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Wawancara mendalam akan dilakukan secara terbuka kepada informan dengan cara berhadapan langsung. Sebagaimana Moleong (2011: 189) menyebutkan, sebaiknya dalam penelitian kualitatif menggunakan teknik wawancara terbuka, di mana subjeknya tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud dan tujuan wawancara itu. Metode ini akan dilaksanakan peneliti, saat menemukan informan yang tepat dan melakukan wawancara pada waktu-waktu yang tepat dengan pedoman wawancara tidak

69 52 terstruktur (terlampir). Sebagaimana Arikunto (2002: 202), pedoman wawancara tidak terstruktur yaitu pedoman wawancara yang hanya membuat garis besar yang akan ditanyakan. Diperlukan kreativitas peneliti sebagai pengemudi jawaban informan. Jenis wawancara ini cocok untuk penelitian kasus. 2). Metode Kepustakaan atau Dokumentasi. Studi kepustakaan, akan dilakukan baik sebelum maupun selama melakukan penelitian. Teknik ini dilakukan untuk melengkapi hal-hal yang dilihat belum cukup dari data-data yang diperoleh. Menurut Nawawi (1994: 30), metode kepustakaan adalah mempelajari serta menyimpulkan data-data, literatur dan sumber bacaan yang relevan untuk mendukung penelitian. Sebagaimana Arikunto (2002: 206) dan Creswell (2010: ), bahwa metode dokumentasi yaitu mencari data atau mengumpulkan dokumen-dokumen kualitatif mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, agenda, buku harian dan sebagainya Instrumen Pengumpulan Data Arikunto (2002: 136) menyebutkan bahwa instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti agar penelitian menjadi lebih mudah, lebih sistematis dan dapat diolah. Peneliti menggunakan daftar pedoman wawancara tidak terstruktur (terlampir), buku catatan kecil, alat perekam suara serta kamera sebagai instrumen dalam penelitian Teknik Menjamin Keabsahan Data Denzin (dalam Bungin, 2012: 264), mengemukakan salah satu cara paling penting dan mudah dalam uji keabsahan hasil penelitian adalah dengan menggunakan triangulasi peneliti, metode, teori, dan sumber data. Dalam

70 53 penelitian ini akan digunakan langkah pengujian keabsahan data adalah dengan memanfaatkan triangulasi sebagai berikut : 1. Triangulasi kejujuran peneliti. Cara ini dilakukan untuk menguji kejujuran, subjektivitas, dan kemampuan merekam data oleh peneliti di lapangan. Untuk itu instrumen penelitian seperti: kamera, alat perekam, dan catatan hasil wawancara, sangat diperlukan sebagai alat bukti. 2. Triangulasi sumber data. Triangulasi ini juga memberi kesempatan untuk dilakukannya hal-hal sebagai berikut: (1) penilaian hasil penelitian dilakukan oleh informan; (2) mengkoreksi kekeliruan oleh sumber data; (3) menyediakan tambahan informasi secara sukarela; (4) memasukkan informan dalam kancah penelitian, menciptakan kesempatan untuk mengikhtisarkan sebagai langkah awal analisis data; dan (5) menilai kecukupan menyeluruh data yang dikumpulkan. 3. Triangulasi dengan teori. Dilakukan dengan menguraikan pola hubungan dan menyertakan penjelasan yang muncul dari analisis untuk mencari tema atau penjelasan pembanding. Secara induktif dilakukan dengan menyertakan usaha pencarian cara lain, untuk mengorganisasikan data dengan jalan memikirkan kemungkinan logis dan melihat apakah kemungkinankemungkinan ini dapat ditunjang dengan data (Bungin, 2012: ) Metode Analisis Data Metode analisis data pada penelitian ini akan menggunakan metode analisis kualitatif yang kemukakan oleh Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2008: ; dan Sutopo & Arief, 2010: 10-14), bahwa analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas,

71 54 sehingga datanya sudah jenuh. Secara lebih rinci, analisis data dalam penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut: 1. Reduksi data (data reduction). Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, sehingga perlu dicatat secara teliti dan rinci. Semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data yang diperoleh akan semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Peneliti akan memilih data mana yang akan dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita-cerita apa yang sedang berkembang, semuanya itu merupakan pilihan-pilihan. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti melakukan pengumpulan data selanjutnya apabila diperlukan. 2. Penyajian data (data display). Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Penyajian data pada umumnya sering dilakukan secara naratif dalam bentuk uraian singkat, tabel, hubungan antar kategori dan sejenisnya. Dengan adanya penyajian data, maka akan mempermudah untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. 3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi (conclusion drawing/verification). Membuat kesimpulan terhadap temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang

72 55 sebelumnya masih remang-remang atau gelap, sehingga setelah diteliti menjadi jelas. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, mungkin juga tidak. Hal ini dikarenakan masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti berada di lapangan.

73 56 BAB IV TEMUAN PENELITIAN 4.1. Proses Penelitian Setelah melewati proses seminar kolokium pada tanggal 09 April 2015, peneliti mulai melakukan pengumpulan data dan informasi kongkret mengenai domisili dan gambaran masyarakat Pariaman yang ada di Kota Medan. Upaya peneliti untuk melakukan proses pengumpulan data, diawali dengan mendatangi sebuah perkumpulan masyarakat Minang Pariaman yang ada di Kota Medan, yaitu Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP). Sebelumnya pada tanggal 04 April 2015, peneliti telah mendatangi kantor sekretariat bersama Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP) Provinsi Sumatera Utara dan PKDP Kota Medan, di Jalan Amaliun Nomor 36/68 Medan untuk mencari informasi tersebut. Peneliti bertemu dengan seorang pria paruh baya yang menyambut kedatangan peneliti dengan sikap yang ramah. Penelitipun tidak kalah ramah, memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud serta tujuan penelitian kepada pria tersebut. Setelah berkenalan, peneliti mengetahui bahwa pria berusia 60 tahun itu adalah salah seorang pengurus PKDP Provinsi Sumatera Utara yang menjabat sebagai bendahara umum. Pria bernama Bapak Haji Muhammad Ridwan tersebut, merupakan salah seorang tokoh masyarakat Minang Pariaman yang juga berprofesi sebagai seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta terkenal di Kota Medan. Sebagai seorang akademisi, beliau menyampaikan ketertarikannya

74 57 terhadap permasalahan penelitian yang peneliti sampaikan, karena menurut beliau sedikit sekali generasi muda yang tertarik untuk meneliti budaya Minang. Kemudian Bapak Ridwan memberikan rekomendasi kepada peneliti, untuk mencari data konkret mengenai masyarakat Minang Pariaman yang ada di Kota Medan pada kantor sekretariat PKDP Kota Medan yang ternyata telah berpindah ke Jalan Bromo. Pada tanggal 09 Mei 2015, peneliti mendatangi lokasi yang dimaksud dan mendapati sebuah pamplet bertuliskan: Kantor Sekretariat Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP) Kota Medan yang berdiri tegak di halaman sebuah rumah. Ternyata rumah tersebut adalah rumah keluarga, milik Ketua PKDP Kota Medan, yaitu Bapak Agusmar Piliang. Beberapa kali peneliti mengalami kegagalan untuk menemui Bapak Agusmar, karena kesibukan beliau yang berprofesi sebagai pedagang dan sering melakukan perniagaan ke luar kota. Akhirnya pada tanggal 18 Mei 2015, peneliti dapat berbincang dengan beliau dan mendapati informasi bahwa PKDP sekretariat Kota Medan belum memiliki administrasi yang lengkap, sehingga peneliti kesulitan mendapatkan data yang dibutuhkan. Selanjutnya peneliti mengunjungi perpustakaan pribadi milik guru besar Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed), yaitu Prof. Usman Pelly, Ph.D di Jalan Pelajar Ujung Komplek Perumahan Dosen Universitas Negeri Medan (UNIMED). Peneliti berharap dapat mengumpulkan informasi tentang masyarakat Pariaman, karena beliau dikenal banyak menghasilkan penelitian tentang masyarakat Minang yang ada di Kota Medan. Pada tanggal 21 dan 22 Juni 2015, peneliti mendapatkan izin untuk mencari referensi bacaan di perpustakaan pribadi

75 58 milik beliau. Akhirnya pada tanggal 24 Juni 2015, peneliti berkesempatan untuk berbincang-bincang langsung dengan beliau, mengenai permasalahan penelitian. Prof. Usman Pelly adalah orang Minang, namun beliau bukan berasal dari Pariaman. Meskipun demikian, informasi dari beliau menyangkut permasalahan penelitian, turut menjadi referensi dalam penelitian ini. Dari hasil perbincangan serta kunjungan ke perpustakaan pribadi milik Prof. Usman Pelly, peneliti belum menemukan informasi kongkret mengenai gambaran masyarakat Pariaman yang ada di Kota Medan. Akhirnya pada tanggal 25 Juni 2015, peneliti memutuskan kembali menemui Bapak Haji Muhammad Ridwan (pengurus PKDP Provinsi Sumatera Utara) di rumahnya, Jalan Mantri Nomor 34/A Medan, untuk meminta kesediaan beliau sebagai sumber yang akan merujuk peneliti kepada informan yang tepat sebagai subjek penelitian. Berdasarkan informasi dari Bapak Ridwan, tepat pada tanggal 17 Mei 2015, peneliti mengawali upaya pencarian informan dengan cara menghadiri sebuah pesta pernikahan yang melaksanakan tradisi uang jemputan. Pernikahan antara Yunita Handayani dan April Mandani tersebut, dilaksanakan di Jalan Pertiwi Gang Ayahanda Nomor 12/A Medan Denai. Setelah mendapatkan izin dan menyampaikan tujuan penelitian kepada tuan rumah, peneliti akhirnya melakukan pencarian informan dengan cara berkenalan kepada beberapa orang perempuan Minang Pariaman yang peneliti temui pada pelaksanaan pesta pernikahan tersebut. Akhirnya setelah melakukan pendekatan, peneliti berhasil menemukan calon informan pertama yang dianggap tepat dan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Informan tersebut bernama Dian Anggraini yang hadir sebagai tamu undangan dan masih memiliki hubungan kekerabatan

76 59 dengan anak daro (mempelai wanita) yaitu Yunita Handayani. Perempuan yang terlihat ramah dan bersahabat itu, merupakan key informan (informan kunci) bagi peneliti untuk memulai pengumpulan data, berdasarkan pemahaman dan penguasaan informasi yang ia miliki mengenai permasalahan penelitian. Upaya pencarian informan juga dilakukan dengan cara mencari referensi, melalui orang Minang Pariaman yang peneliti kenal di lingkungan pergaulan peneliti. Kemudian melakukan proses seleksi sesuai kriteria-kriteria yang telah ditentukan, sampai terpenuhi jumlah informan yang tepat untuk dapat menjawab permasalahan penelitian. Akhirnya setelah melewati proses seleksi tersebut, ditemukan 8 (delapan) orang informan yang tepat sebagai subjek penelitian, yaitu: Dian, Leni, Rina, Netty, Ita, Dedek, Nur dan Shanti. Peneliti melakukan pendekatan hingga 2-3 kali pertemuan dengan masing-masing informan, sampai peneliti benar-benar mengenal informan lebih dekat. Kemudian akhirnya disepakati waktu yang tepat untuk melakukan proses wawancara mendalam, dalam upaya menggali berbagai informasi dari para informan menyangkut permasalahan penelitian. Proses wawancara kepada para informan, dilakukan dengan mendatangi rumahnya atau membuat janji bertemu, di tempat ia bekerja serta melakukan komunikasi melalui handphone, untuk meminta konfirmasi seputar hasil wawancara yang memerlukan pendalaman kembali. Hasil temuan penelitian mendapati bahwa tradisi uang jemputan dilaksanakan, apabila pilihan jodoh adalah laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman. Hal tersebut disebabkan karena, tradisi uang jemputan sebagai syarat perkawinan merupakan adat istiadat masyarakat Pariaman. Tradisi tersebut dilaksanakan pada saat pihak keluarga perempuan melakukan proses pelamaran

77 60 secara formal, ke rumah pihak keluarga laki-laki. Kemudian pihak keluarga lakilaki akan menyampaikan permintaan sejumlah uang jemputan, sebagai syarat penjemputan anak laki-laki mereka untuk dijadikan menantu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tradisi uang jemputan, tidak dilaksanakan pada pilihan jodoh pada laki-laki di luar suku Minang Pariaman. Oleh sebab itu, ke 8 (delapan) informan dalam penelitian ini, dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: (1). perempuan Minang Pariaman yang menjalani tradisi uang jemputan (Dian, Leni, Netty, Ita dan Nur); dan (2). perempuan Minang Pariaman yang tidak menjalani tradisi uang jemputan (Rina, Dedek dan Shanti). Proses pengumpulan data di lapangan dilakukan dalam kurun waktu + 5 bulan, yaitu selama Mei - September Peneliti cukup mengalami kendala dalam melakukan proses seleksi untuk menemukan informan yang tepat. Kendala tersebut seperti ketidakbersediaan mereka untuk diwawancarai, ketidakpahaman mereka tentang tradisi uang jemputan dan kesulitan dalam menetapkan jadwal bertemu untuk proses wawancara mendalam. Dalam proses penelitian ini, uji keabsahan data melalui triangulasi sumber, juga dilakukan dengan cara mewawancarai 4 (empat) orang informan tambahan sebagai sumber yang berkompeten, untuk memberikan informasi dan konfirmasi menyangkut temuan penelitian, sebagai berikut: 1). Bapak Haji Muhammad Ridwan (tokoh masyarakat Minang Pariaman); 2). Bapak Sutan Alamsyah Guci (tokoh adat Minang Pariaman). 3). Ibu Prof. Hj. Chalida Fachruddin, MA (tokoh perempuan Minang Pariaman dan Antropolog); dan

78 61 4). Bapak Prof. Usman Pelly, Ph.D (tokoh masyarakat Minang dan Antropolog) Temuan Penelitian Informan 1 Karakteristik Umum: 1. Nama : Dian Anggraini 2. Nama Panggilan : Dian 3. Usia : 35 Tahun 4. Suku Pasangan : Minang Pariaman 5. Pendidikan : S1 6. Pekerjaan : Wirausaha 7. Alamat : Jalan Sutrisno Gang Dame Nomor 15 Medan Area. Peneliti mengenal Dian di sebuah pesta pernikahan yang peneliti hadiri, pada tanggal 17 Mei Pemahaman dan penguasaan informasi yang ia miliki tentang tradisi uang jemputan, membuat Dian menjadi informan kunci (key informan) bagi peneliti untuk memulai penelitian. Dian juga memiliki pengalaman yang menarik tentang pelaksanaan tradisi uang jemputan. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang juga beraktivitas sebagai seorang wirausaha. Pada tahun 2008, saat berusia 28 tahun, Dian menikah dengan laki-laki berusia lebih muda darinya yang merupakan sesama suku Minang Pariaman dan melaksanakan tradisi uang jemputan. Perjodohan Dian dan suaminya, diprakarsai oleh keluarga mereka yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Suaminya bekerja sebagai pemilik sebuah bengkel spare part (suku cadang) sepeda motor.

79 62 Setelah menjalani rumah tangga hanya selama + 4 (empat) tahun, tepatnya di tahun 2012, suami Dian mengalami kecelakan yang terlihat kecil, namun berefek jangka panjang pada kesehatannya. Akibat terjatuh dari kamar mandi, menyebabkan benturan keras pada tulang kaki sang suami, hingga membuat syaraf-syaraf kakinya, tidak dapat berfungsi dengan baik. Meskipun telah berulang kali melakukan terapi pengobatan, suami Dian akhirnya mengalami kelumpuhan di usia muda, sehingga tidak dapat beraktivitas seperti biasanya. Sejak saat itu, Dian menjadi tulang punggung keluarga dalam memenuhi seluruh kebutuhan rumah tangga. Ia berwirausaha dengan menjual pakaian, sepatu, membuat aksesoris dan lainnya yang dijual secara on-line melalui media sosial, maupun secara langsung kepada konsumennya. Dian dan suaminya yang masih memiliki hubungan kekerabatan, telah saling mengenal dan memahami kepribadian masing-masing, sebelum akhirnya dijodohkan oleh keluarga. Hal ini menjadi suatu potensi yang baik untuk menjalani rumah tangga dalam keadaan susah maupun senang. Hal tersebut terlihat pada upaya memenuhi kebutuhan keluarga, Dian dibantu oleh suaminya yang meskipun dalam keadaan lumpuh, masih tetap produktif mengerjakan kerajinan tangan seperti pembuatan bros jilbab, pita rambut dan sebagainya untuk dipasarkan oleh sang istri. Proses wawancara mendalam, baru dapat dilakukan di rumah Dian pada tanggal 01 Juli Ketika peneliti menanyakan bagaimana pandangannya mengenai unsur agama dalam tradisi uang jemputan, ia mengemukakan bahwa tradisi uang jemputan tidak bertentangan dengan agama. Ibu yang memiliki satu orang anak perempuan berusia 6 (enam) tahun ini, memberi perumpamaan seperti

80 63 salah satu tradisi orang Minang, yaitu membuat lemang dan menjamu orang-orang untuk makan bersama pada bulan-bulan tertentu, sebagai bentuk bersedekah kepada orang lain: Uang jemputan itu udah tradisi atau kebiasaan aja. Aku tanya sama mamakku...mak kenapa kayak gitu, ya...kayak gitu juga yang terdahulu, kayak gitu jugalah kita buat. Tapi yang pasti nggak bertentangan dia dengan agama...tetap syariat Islam juga dijalankan dalam pernikahan. Uang jemputan itu kan faktor kebiasaan aja. Enggak sia-sia kayak yang dibilang pepatah, adat basandi syara', syara' basandi kitabullah...jadi sejalan dia. Istilahnya seperti kita melamang, kita masak lemang berartikan kita bersedekah, bulan baik kita bersedekah, manggil orang ke rumah...ngajak makan-makan". Menurut pandangan Dian, nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan adalah saling mendukung dan saling menutupi kekurangan antarkeluarga yang menikahkan anak-anak mereka. Ia memahami bahwa tradisi tersebut sebenarnya berbalasan, artinya uang jemputan yang diberikan pihak keluarga perempuan akan dibalas atau dikembalikan lagi oleh keluarga laki-laki, seperti penuturan Dian berikut: Untuk laki-laki aja kita kasi uang. Dian nggak tau...uang itu balik sama kita lagi. Bahkan bisa lebih...dikasi sama kita. Kalau suku lain itu cukup nggak cukup, dicukup-cukupkan aja. Kalau orang Minang ini saling mendukung, saling menutupi kekurangan. Istilahnya indak cukuik di ateh, cukuik di bawah (tidak cukup di atas...cukup di bawah). Artinya saling menutupi...saling membantulah. Ia juga menambahkan tentang berbalasan dalam tradisi uang jemputan yang ia pahami, sebagaimana kutipan wawancara berikut: Makanya orang Pariaman bilang...tau dek caro, tau dek adaik (tahu cara, tahu adat). Kalau ke rumah mertua bawa buah tangan. Bicara itu nggak bisa asal keluar aja, ada batasannya. Itu adab kepada mertua, soal balasan itu...misalnya kita ngasi sama dia Rp 10 juta, pestalah di tempat laki-laki, dapatlah untung paling banyak Rp. 5 juta misalnya, itu dibagi dua...dikasihlah kita Rp. 2,5 juta. Kita kalau manjalang mintuo kan nginap 1 hari, habis tu kita pulang...pas kita pulang itulah dikasi Rp. 2,5 Juta, tapi kita nanti di sana tau-tau udah dapat cincin dari ipar-ipar kita, dapat gelang, kalung. Uang jemputan itu dibalas

81 64 lagi oleh keluarga laki-laki. Istilahnya semua itu hanya untuk mengisi adat ajanya itu. Selanjutnya Dian juga menambahkan bahwa tradisi uang jemputan biasanya terjadi karena perjodohan, bukan karena berpacaran. Menurutnya ada pergeseran nilai dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan, apabila pasangan tersebut berpacaran atau telah saling mengenal sebelumnya. Ia mencontohkan hal tersebut terjadi pada dirinya saat menikah dengan suaminya dulu, seperti penuturannya berikut ini: Istilahnya gini...kalau kita pacaran podo-podo, masing-masing aja gitu. Tapi kalau dijodohkan enggaklah...harus ngikut adat. Udah diatur sama mamak (paman) kita. Selama ini di Pariaman, mamak yang berkuasa atas kemenakannya. Dulu pengantin nggak saling kenal, cuma kenal dipelaminan. Sekarang harus lihat dulu orangnya, kalau nggak mau...kita bisa menolak. Kalau di Medan, banyak yang bermain dibalik layar. Ada kan gini...masih ortodok lah orang tuanya, apalagi orang Pariaman sana. Kapan lagi kau balas budi sama orang tua, kata orang tuanya. Jadi si laki-laki bilang sama pacarnya, inilah abang kasih uang sama adek, adek kasihlah uang ini sama mamak abang. Dibalik layar gitu...untuk mengisi adat aja. Padahal uang itu dari laki-laki juga, tapi kalau di kampung masih murni. Enggak usah jauh-jauh...aku sama suamiku aja kayak gitu, makanya aku bisa cerita. Aku bilang aku begini...begini, sama suamiku. Jadinya dia yang ngasi uang jemputan itu, terus dikasih aku duit untuk isi kamar sama suamiku, orang Padang kan ngisi kamar harusnya kan orang tua kita yang belikan. Peneliti menanyakan apakah kesepakatan ia dan suaminya tentang mengisi adat uang jemputan tersebut, tidak menyebabkan terjadinya konflik dalam keluarga, Dian menjelaskan seperti kutipan wawancara berikut: Taunya keluarga semua, nggak ada masalah. Mertua...ipar-ipar juga baik kok sampai sekarang. Mungkin karena kami ada tutur saudara...jadi orang itu udah kenal Dian kayak mana orangnya. Keluarga Dian sederhana...nggak sanggup manjapuik. Dianpun menilai suami Dian itu baik orangnya, makanya Dian terima perjodohan keluarga itu kan. Buat apa kita terima, kalau calonnya nggak bagus. Jadi semua itu tergantung sama pasangan yang dinikahkan itu, kalau cocok jadikan. Iya kan...hehehee.

82 65 Selanjutnya Dian menuturkan bahwa sebagai wujud saling membantu dalam setiap pesta pernikahan, diadakan tradisi baetong yaitu pengumpulan dana dari sanak saudara, untuk membantu tuan rumah yang menyelenggarakan pesta. Dian menuturkan bahwa tradisi baetong ini sering dilaksanakan masyarakat Minang Pariaman di Kota Medan, seperti penuturannya berikut: Kalau di Medan ini, adanya tradisi baetong itulah yang meringankan, bahkan ada dikutip dari rumah ke rumah, jadi datang nggak datang waktu pesta tetap dikutip...ada buku catatannya itu, makanya kalau mau pesta nggak boleh bentrok dengan tujuan saling membantu, makanya orang Pariaman itu pestanya jarang rugi. Sebelum menikah, Dian mengakui memiliki pandangan berbeda tentang tradisi uang jemputan dan setelah menikah ia mengalami perubahan cara pandang terhadap tradisi tersebut, seperti penuturannya berikut: Dulu memang nggak suka, gini pikiran Dian kan...kalau uang jemputan untuk sekarang ini, sempatlah posisi kita lagi susah gitu, berarti nggak kawin-kawinlah kita. Kalau sempat orang tuanya minta uang jemputan banyak. Awak nggak mau kawin sama orang Minang, eh...rupanya kawin sama orang Minang juga, berarti kan kita nggak taulah kalau jodoh. Dulu sempat down juga karena pemikiran suku lain tentang uang jemputan, tapi setelah dijalani, rupanya adat ini saling menghargai dan saling mendukung antarkeluarga. Selanjutnya Dian menceritakan bagaimana akhirnya ia menikah dengan suaminya yang masih memiliki hubungan kerabat: Dulu pernah beberapa kali pacaran dengan suku lain, nggak jodoh. Kalau namanya orang Minang ini, orang tua sudah warning (resah) kan, oh...anakku udah umur sekian. Ada pula orang Pariaman yang nanya Dian, jadi keluarga abang (suami Dian) bilang sama mamak (ibu)...untuk apa capek-capek kali cari jodoh mak tuo...ini ada ini, anak awak. Jadi orang tua menjodohkan Dian dengan suami, kalau cocok silahkan, kalau nggak ya nggak apa-apa...kan tetap saudara. Setelah menjalani, Dian tengok ada iuran...sebenarnya yang dirugikan

83 66 itu nggak ada, sebenarnya kembali lagi sama yang memberi uang jemputan itu. Di dalam keluarga, orang tua Dian selalu berkomunikasi menggunakan bahasa Minang, meskipun sudah lama merantau di Kota Medan. Dian adalah anak ke 4 (empat) dari 6 (enam) bersaudara, mereka semua lahir dan besar di Kota Medan serta berbaur dengan lingkungan sekitar yang berbeda suku, sehingga bahasa Indonesia merupakan bahasa yang lebih sering digunakan sehari-hari. Dian menuturkan bahwa seharusnya bahasa Minang digunakan dalam keluarga, agar generasi muda Minang dapat memperlihatkan identitasnya sebagai orang Minang. Hal tersebut sebagaimana kutipan wawancara berikut: Perlu kalilah kita paham bahasa Minang tu, tengok orang China...di antara orang pribumi aja nggak malu dia ngomong-ngomong pakai bahasa China sama keluarganya, nggak peduli dia. Ini kita malu pula pakai bahasa Minang...takut dibilang etek-eteklah. Kalau di keluarga Dian nggak ada itu, orang tua selalu berbahasa Minang kalau di rumah, jadi terbiasa kami kan. Kadang kami pakai bahasa Minang...kadang bahasa Indonesia, tapi kami ngertilah bahasa Minang itu. Dian juga menuturkan bahwa adanya keinginan orang tua untuk mengajarkan adat istiadat kepada anak-anaknya, berawal dari kebiasaan menggunakan bahasa daerah di dalam keluarga, sebagaimana penuturannya berikut: Tergantunglah...kalau orang tuanya mau ngasi pemahaman tentang adat itu, bisalah anak-anaknya ngerti. Apalagi kalau anaknya aktif bertanya tentang adat istiadat sukunya. Tapi biasanya kalau bahasa daerah aja nggak mau diajarkan di rumah, apalagi untuk memberi tahu soal adat Minang itu, ya...anak-anak juga nggak open lah (tidak mau peduli) dengan adatnya. Kan banyak juga istilah-istilah adat itu pakai bahasa Minang, harus paham kita itu. Misalnya uang japuik...baetong, manjalang mintuo, banyak lagi istilah-istilahnya itu. Dian mengemukakan pendapatnya tentang perubahan peranan mamak atau paman dalam hal perjodohan:

84 67 Istilahnya udah ada perubahan...kalau dulu di kampung, paman yang berkuasa mencarikan jodoh. Kalau di Medan, orang tualah yang berperan, mamak itu hanya pelengkap aja. Saudara-saudaraku juga orang Pariaman...istilahnya dari pada membesarkan kabau (kerbau) orang, lebih bagus kabau awak yang dibesarkan. Saudara sendiri dinikahi...jadi uang jemputan itu nggak ke mana-mana. Dari pada anak orang, lebih bagus anak sendiri. Sama kayak orang Batak pulang ke impal atau pariban gitulah...jadi harta tu, nggak ke mana-mana. Untuk keponakan akunya itu nanti, nggak apa-apalah dikasi berlebih. Dian menambahkan, adanya stereotip tentang perempuan Minang membeli laki-laki untuk menikah yang sering ia dengar dari teman-teman sekolahnya dulu, ikut membentuk persepsinya bahwa tradisi tersebut memberatkan pihak perempuan. Ia juga mengakui sumber pengetahuannya tentang makna sebenarnya pada tradisi uang jemputan berasal dari pengalamannya sendiri, karena orang tua Dian tidak secara khusus mengkomunikasikan tradisi tersebut kepadanya: Karena kita nggak tau apa makna sebenarnya...makanya kita memandang negatif. Kawan-kawan sekolah dulu bilang, enaklah kau Dian ya...banyak duit, nanti kalau kawin beli laki-laki. Malu awak dengarnya ya kan. Jadi Dian berfikir, memberatkan kali uang japuik itu. Orang tua Dian dulu...memang nggak ngerti menjelaskan maknamakna tradisi itu kayak mana...tradisi ini kayak mana, jadi awak pahamnya setelah menjalaninya ya kan. Kami sering juga diajak pulang kampung waktu kecil-kecil dulu...kalau ada pesta saudara atau pulang hari raya. Jadi Dian lihat di sana...baru kuat kali adatnya. Pengalaman Dian yang sering pulang kampung, menyaksikan tradisi uang jemputan benar-benar dilaksanakan sesuai adat. Menurutnya tradisi uang jemputan tersebut perlu ditransmisikan oleh keluarga kepada generasi muda Minang, agar adat istiadat tersebut tidak punah, sebagaimana penuturannya berikut ini: Dian rasa nilai-nilai budaya dari tradisi uang jemputan itu perlu diwariskan kepada generasi-generasi muda, supaya bertahan adat istiadat Pariaman itukan, jangan sampai punah. Kalau Dian sama suami sama-sama orang Pariaman, anak kami juga perempuan...itu

85 68 tergantung jodohnya, nggak adalah lagi memang jamannya dijodohjodohkan. Tapi kalau dapat orang Pariaman, ya...kita lihatlah kayak mana orangnya, pantas nggak dikasi uang jemputan. Kalau mapan dia, terus baik pula keluarganya...cocoklah itu dikasi uang jemputan. Tapi kalau pacaran orang itu, biasanya lebih longgar adatnya...biasanya si laki-laki yang memberi uang jemputan itu. Menurut Dian, tradisi uang jemputan harus dilestarikan dan ditransmisikan kepada generasi muda Minang, khususnya kepada anak-anaknya kelak. Ia berpendapat bahwa perjodohan tidak mungkin dipaksakan kepada anaknya, namun ia mengakui apabila anaknya kelak menemukan pasangan sesama suku Minang Pariaman karena berpacaran, pelaksanaan tradisi uang jemputan dapat mengalami perubahan seperti yang ia alami ketika menikah dulu Informan 2 Karakteristik Umum: 1. Nama : Leni Muhafida 2. Nama Panggilan : Leni 3. Usia : 30 Tahun 4. Suku Pasangan : Minang Pariaman 5. Pendidikan : S1 6. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 7. Alamat : Jalan Denai Gang Mesjid Nomor 1 Medan Denai. Leni adalah seorang ibu rumah tangga yang merupakan anak ke 4 (empat) dari 6 (enam) bersaudara. Pada tahun 2011, ia dan suaminya menikah, namun hingga saat ini mereka belum dikarunia seorang anak. Saat ini mereka tinggal bersama di rumah keluarga Leni. Ia menikah dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman yang bekerja sebagai marketing sepeda motor di salah satu perusahaan swasta di Kota Medan. Sebelum menikah, mereka dijodohkan oleh

86 69 kedua belah pihak keluarga, kemudian melakukan proses pengenalan, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah dan menjalani tradisi uang jemputan. Proses wawancara dilakukan pada tanggal 02 Juli 2015 di rumahnya. Saat ditemui peneliti, ia sedang melakukan aktifitas memasak di dapur. Sambil menemani Leni melakukan aktifitasnya, peneliti menanyakan pandangannya mengenai unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan: Kalau secara agama, sebenarnya perempuan itu yang di pinang, di kasih mahar...tapi ku tengok orang Pariaman ini, laki-laki pula yang dipinangnya. Secara agama kayaknya udah menyalah juga itu...adatnya udah bertentangan. Soalnya lebih dimuliakan perempuan dalam pernikah itu ya kan, diberi mahar...diberi uang pinangan. Saat peneliti menanyakan lebih dalam, pandangan Leni mengenai alasan mengapa adat yang berlaku pada masyarakat Pariaman tersebut, menjadi tradisi turun temurun yang masih dipertahankan hingga saat ini. Leni menuturkan pandangannya sebagai berikut: Kalau jaman dulu dengan adanya tradisi uang japuik itu, sistem kita kan matrilineal...garis keturunan dari pihak ibu. Kalau anak laki-laki itu merasa bangga, merasa di hargai kalau di japuik itu. Tapi kalau nggak di japuik, merasa kayak nggak ada harga dirilah gitu. Sekarang ini masih ada juga kutenggok yang memakai adat itu. Leni menambahkan bahwa pemberian uang jemputan kepada laki-laki, dimaksudkan sebagai modal untuk memulai hidup berumahtangga, sebagaimana penuturannya berikut:

87 70 Mungkin laki-laki itu kepala rumah tangga, jadi nanti dialah yang memimpin keluarga...anak istrinya. Jadi apabila dia di japuik ya kan, istilahnya uang japuik itulah modalnya untuk memulai perkawinan. Itu udah bisa untuk sewa rumah iya kan, mungkin kayak gitulah. Peneliti kemudian menanyakan referensi Leni mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan sebelum ia menikah dan diterpa tradisi tersebut: Pamanku...Pak Adir namanya, dia itu kan...diam-diam menambah uang jemputan yang diminta keluarga kami sama keluarga istrinya. Waktu keluarga tahu...mereka kurang suka. Kenapa Pak Adir itu pula yang ngasi uang japuik itu, sebenarnya nggak gitu. Dulu itu wajib kali harus ada uang japuik itu, kalau jaman sekarang iyalah. Rumah tangganya sempat bermasalah juga, banyak keluarga yang nggak senang, kenapa adat itu nggak dijalankan. Di balik itu separuh uangnya, Pak Adir yang membantu...jadi ketahuan sama keluarga. Harusnya perempuan itu yang ngasi, untuk menghargai paman kami itukan. Tapi ku dengar, karena perempuan itu orang susah juga. Menurut Leni, tradisi uang jemputan dilaksanakan sesuai adat yang sebenarnya, apabila pasangan tersebut dijodohkan, bahkan tanpa saling mengenal satu sama lain. Namun jaman sekarang ini, menurutnya banyak pasangan yang menolak untuk dijodohkan oleh keluarga. Apabila ada perjodohan sekalipun, kedua pasangan diberi kesempatan untuk saling mengenal terlebih dahulu dan memutuskan apakah mau menjalankan perjodohan tersebut atau menolaknya. Ia menambahkan bahwa pengalaman pamannya tersebut, dikarenakan tidak adanya komunikasi yang baik antara kedua belah pihak keluarga dalam kesepakatan pelaksanaan tradisi uang jemputan, di mana paman Leni beserta istrinya berpacaran terlebih dahulu sebelum akhirnya melibatkan pihak keluarga untuk urusan pernikahan. Peneliti menanyakan keseringan Leni pulang ke kampung orang tuanya dan melihat bagaimana pelaksanaan tradisi uang jemputan di sana. Ia juga

88 71 menceritakan referensi lain yang ia ketahui mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan, berdasarkan pengalaman adik kandungnya sendiri yang lebih dahulu menikah dengan sesama orang Minang Pariaman: Sering juga pulang kampung kami waktu kecil-kecil dulu, kalau sekarang jarang. Kulihat adat japuik itupun, udah ada juga perubahannya. Pengalaman adikku menikah di kampung dulu. Adikku lulus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pariaman sebagai guru. Ada lakilaki...kerjanya wiraswasta gitu, mau sama adikku si Zahra ini. Adikku bilang...aku orang susah katanya, nanti orang tua abang minta uang japuik banyak-banyak pula. Karena si laki-laki itu memang mau sama si Zahra, dia yang ngasi uang jemputan itu setengahnya. Kalau dia cerita sama mamak (ibu)nya, dibilangnya gini, mak...orang tua si Zahra sanggupnya cuma Rp. 5 juta, keluarga kita mintanya Rp. 10 juta. Mamak si laki-laki bilang, ya udah tambahlah sama kau...kata mamaknya, kalau mamak menambah nggak mungkin. Jadi nggak apaapa sama mamak si laki-laki itu, karena keluarga laki-lakinya suka juga melihat si Zahra itu. Orang tuanya guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga disana, jadi sikap si laki-laki itu menghormati adat. Dari referensi lain mengenai tradisi uang jemputan yang diceritakan Leni di atas, memperlihatkan bahwa adanya komunikasi untuk membuat kesepakatan kedua belah pihak keluarga mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan, dapat menghindari terjadinya konflik. Leni juga menuturkan pandangannya mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan pada jaman sekarang ini, seperti kutipan wawancaranya berikut: Kalau jaman sekarang...kayaknya ini ya kan, udah nggak sesuai lagi. Orang sekarang pun...kayaknya udah banyak yang nggak mengikuti tradisi Minang ini...udah banyak bergeser. Mungkin dari segi agama, orang udah tau dalam agama yang dipinang itu perempuan. Jaman sekarang udah modern...orang udah banyak pengetahuannya, ilmu orang udah bertambah. Nilai-nilai budaya lama itu udah banyak yang ditinggalkan. Kenapa harus ada uang japuik...awak susah manjapuik pula. Kalau bisa nggak usah nyari orang yang bajapuik itu. Kita kan maunya kayak gitu ya kan...pasti kebanyakan orang kayak gitu. Berdasarkan penuturan Leni di atas, peneliti melihat adanya ketimpangan cara pandangnya dengan realita pernikahannya yang melaksanakan tradisi uang

89 72 jemputan pada saat pernikahannya dahulu. Peneliti menanyakan tentang alasan mengapa akhirnya ia menerima perjodohan dengan tradisi uang jemputan: Paksaan keluarga memang nggak ada soal jodoh, kalau orang tua maunya sesama orang Minang juga, karena sama-sama satu budaya. Kalau sama orang luar kan kurang ngerti kita adatnya. Suamiku itu ada tutur saudara dengan aku, dia anak dari ungku (kakek) sama kami. Jadi tuturnya dia itu pamanku...tapi saudara jauhlah gitu. Kami dikenalkan dulu, terus merasa cocok...akhirnya menikah. Yang penting...kutenggok baik orangnya, udah punya kerja tetap dia. Waktu pernikahanku itu, sebenarnya aku nggak mau ada uang japuik, masing-masing aja. Aku pesta, keluargaku yang keluar biaya. Dia pesta, dia juga yang keluar biaya. Tapi waktu itu sempat berdebat juga iya kan...dari mana dicari uang japuik itu, sementara ayahku udah meninggal tahun 2005, aku menikah akhir tahun Keluarganya tetap minta ada juga uang japuik, itulah mungkin merasa nggak dihargai orang itu kalau nggak dijapuik. Makanya keluargaku ngasi juga...cuma mereka ngerti keadaan kami, mereka minta nggak banyakbanyak...sebagai syarat ngisi adat aja. Waktu itu diminta merekalah Rp. 1 Juta uang japuiknya. Leni mengakui sebelum menikah dengan suaminya, ia merasa tidak percaya diri untuk berpacaran dengan lawan jenis, sehingga ia tidak punya pilihan calon suami yang bisa diperkenalkan kepada keluarganya. Leni juga menjelaskan bahwa ibunya tidak pernah memaksakan jodoh kepada dirinya. Namun pada tahun 2011, ketika ia sudah memasuki usia 26 tahun, ibunya yang telah menjadi orang tua tunggal, merasa resah karena anak gadisnya belum juga menikah. Oleh sebab itu, sang ibu meminta adiknya yang merupakan mamak (paman) Leni untuk membantu mencarikan jodoh. Akhirnya Leni menerima perjodohan dengan suaminya, setelah terlebih dahulu saling mengenal dan merasa ada kecocokan. Peneliti mencoba menggali lebih dalam mengenai persepsi Leni tentang tradisi uang jemputan. Saat peneliti menanyakan tentang bagaimana pandangannya mengenai proses transmisi nilai-nilai budaya yang terkandung

90 73 dalam tradisi uang jemputan kepada generasi muda saat ini, Leni mengemukakan pandangannya sebagaimana kutipan wawancara berikut: Kalau mamak (ibu) aku dulu, nggak ada itu...secara khusus ngasi tahu tentang makna uang japuik. Makanya dulu waktu kuliah, kawankawan bilang...kayak gitulah kalian ya Len, kalau kawin ngasi duit sama laki-laki. Aku jadi nggak suka dengarnya...malu aja. Harusnya laki-laki yang ngasi uang pinangan itu kan, itu menunjukkan tanggung jawabnya sama kita. Kalau nanti aku punya anakpun...misalnya dapat orang Pariaman, nggak usahlah pakai uang japuik itu. Leni menunjukkan sikap menolaknya pada tradisi uang jemputan dengan tidak ingin melaksanakan tradisi tersebut pada perjodohan anaknya kelak. Menurutnya tradisi uang jemputan sudah tidak lagi sesuai diterapkan pada perjodohan generasi muda Minang, karena dianggap memberatkan untuk pihak keluarga perempuan. Peneliti kembali menanyakan perubahan sikap Leni tentang tradisi uang jemputan setelah menjalaninya, ia menuturkan bahwa tradisi tersebut dilaksanakan sebagai upaya melaksanakan adat semata. Leni juga tidak mengetahui bahwa pelaksanaan tradisi uang jemputan sebenarnya berbalasan, sebagaimana penuturannya berikut: Mungkin udah jodoh ya, kalau bisa jangan menikah sama orang yang di japuik, ternyata...dapat jodohnya itu. Aku memang nggak pandai pacar-pacaran, terakhir ya udah...dijodohin orang tua jadinya. Karena ku tengok orangnya baik, jadi aku terima, apalagi mamak udah resah aku nggak kawin-kawin. Siap aku nikah dulu, ada juga aku ke rumah saudara-saudara suami...tapi nggak ada di kasi-kasi gitu, malah kita yang wajib bawa buah tangan ke rumah orang itu, keluar uang lagi jadinya kan. Selanjutnya Leni menuturkan peranan mamak atau paman dalam hal perjodohan dirinya, seperti penuturannya berikut: Karena ayahku udah meninggal, jadi kami kan dua perempuan lagi yang belum menikah, aku sama adikku si May yang masih kuliah dulu, tapi sekarang udah nikah juga dia. Makanya mamak-mamak (paman) akulah yang diminta bantuannya sama mamakku (ibuku)

91 74 untuk ngurusin pernikahan kami. Tapi adat itu nggak terlalu dipakai kali...nggak terlalu ketat. Leni juga menjelaskan kedua orang tuanya membiasakan berbahasa Minang di rumah, hal tersebut didukung oleh faktor lingkungan tempat tinggal mereka yang dominan dihuni oleh sesama orang Minang Pariaman. Ia mengakui tidak terlalu lancar berbahasa Minang, namun ia dapat memahami arti bahasa Minang, bila diucapkan oleh orang yang sedang berkomunikasi dengan bahasa Minang Informan 3 Karakteristik Umum: 1. Nama : Rinawati 2. Nama Panggilan : Rina 3. Usia : 34 Tahun 4. Suku Pasangan : Melayu 5. Pendidikan : Mahasiswa Pasca Sarjana Keperawatan USU 6. Pekerjaan : Dosen 7. Alamat : Jalan Denai Gang Durian Nomor 10 Medan Denai. Rina adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga dan merupakan anak sulung dari 5 (lima) bersaudara. Rina menikah dengan laki-laki dari suku Melayu yang berprofesi sebagai pegawai tata usaha di sebuah Sekolah Tinggi Swasta di Kota Medan. Rina pernah tinggal di Kota Pariaman selama + 5 (lima) tahun, untuk menjalani masa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan bekerja sebagai perawat di sebuah klinik. Almarhum ayahnya adalah seorang tokoh adat pada salah satu perkumpulan orang Minang Pariaman di Kota Medan. Pengalaman di

92 75 Kota Pariaman tersebut, menambah pemahamannya tentang tradisi uang jemputan, namun mempengaruhi persepsi Rina tentang sosok laki-laki Pariaman. Setelah berhenti bekerja di Kota Pariaman sebagai seorang perawat, Rina memutuskan melanjutkan perkuliahan jenjang S1 di tanah kelahirannya di Kota Medan. Ia menjalani perkuliahan jurusan keperawatan pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sumatera Utara (STIKESSU), di mana akhirnya ia diterima bekerja sebagai dosen di almamaternya tersebut. Saat duduk di bangku perkuliahan, Rina dan keluarganya tinggal di sebuah rumah gadang, tempat di mana masyarakat Minang Pariaman sering melaksanakan pesta perkawinan. Rumah gadang tersebut merupakan rumah adat perkumpulan orang-orang Minang yang berasal dari Batu Gadang Kabupaten Pariaman (kampung halaman ayahnya) yang kini berdomisili di Kota Medan. Ayah Rina beserta keluarga dipercayakan untuk mengurus dan menempati rumah gadang tersebut. Pengetahuan Rina tentang tradisi uang jemputan, bersumber dari pengalamannya yang sering menyaksikan pelaksanaan tradisi tersebut dalam pesta perkawinan yang dilaksanakan di rumah gadang. Rina juga memahami tentang makna tradisi uang jemputan, dari sang ayah yang sering memberikan menjelaskan, terhadap seluruh pertanyaan Rina tentang tradisi yang berlaku pada masyarakat Minang, khususnya pada tradisi uang jemputan. Pada tanggal 03 Juli 2015, peneliti menemui Rina pertama kali saat sedang menunggu dosen pembimbing untuk penyelesaian studi S2 nya di kampus. Wawancara secara mendalam baru dapat dilakukan pada tanggal 06 Juli 2015, saat ditemui peneliti di rumahnya ketika sedang bercengkerama bersama keluarga. Ketika peneliti menanyakan pandangannya

93 76 mengenai tradisi uang jemputan dipandang dari unsur agama, Rina mengemukakan bahwa tradisi tersebut tidak bertentangan dengan agama karena hanya merupakan kebiasaan orang Minang Pariaman. Hal tersebut seperti penuturannya berikut: Kalau menurut persepsi Rina, tradisi uang jemputan itu nggak ada masalah...karena kan di dalam tradisi itu tidak ada bertentangan dengan agama. Istilahnya itu kesepakatan dari kedua belah pihak aja. Jadi nggak ada yang dirugikan kalau kedua belah pihak sepakat. Yang jadi masalah mungkin kan...kalau udah memberatkan bagi satu pihak. Sama kayak suku Batak, anak perempuan menjadi tanggung jawab suaminya, makanya harta untuk anak laki-lakinya. Sebaliknya suku Minang, anak laki-laki dianggap mampu menghidupi dirinya sendiri, kalau perempuan itukan makhluk yang lemah, jadi perempuan itu yang harus dikasih persediaan gitu. Nggak usahlah dulu masalah perceraian, misalnya ditinggal mati oleh suaminya...terus banyak pula anaknya, sama apa mau dihidupinya anaknya itu. Selanjutnya Rina mengemukakan pendapatnya mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan: Istilahnya uang jemputan itu menunjukkan harkat atau martabat dari si laki-laki. Suatu kebanggaan bagi orang tuanya...kalau anaknya itu diberikan uang jemputan, jadi itu sebagai pengganti untuk menjaga anak perempuannya juga. Uang itu dapat dijadikan modal usaha dalam kehidupan rumah tangganya. Rina juga menambahkan nilai-nilai lain yang ada dalam tradisi uang jemputan sebagai bentuk saling tolong menolong antarkeluarga yang diwujudkan dalam tradisi baetong, yaitu pengumpulan dana bantuan dari pihak keluarga pengantin di akhir pesta: Kalau menikah...kan perempuan itu memberi uang jemputan, biaya pesta semuanya dia yang persiapkan. Jadi di akhir pesta nanti, ada acara di mana pihak keluarga perempuan semacam mendonor gitu...itu yang dinamakan malam baetong. Itu dilaksanakan di tempat perempuan, kalau di tempat laki-laki, nggak ada lagi tradisi baetong

94 77 itu, paling cuma meresepsikan aja...memperkenalkan menantu baru dalam keluarga. Ia kembali mengemukakan pandangannya mengenai adanya balasan atau pengembalian pada pelaksanaan tradisi uang jemputan: Setahu Rina...perempuan itu ngasi uang jemputan, ada dikasih lagi sama pihak laki-laki, itulah yang sering di sebut panibo. Kalau siap nikah...kita pergi ke tempat mertua, biasanya mertua itu ngasi lagi tu...berupa perhiasan atau pakaian baru. Tapi kalau uang hilang itu salah...itulah yang sering dibilang orang bara uang ilangnyo? (berapa uang hilangnya?). Uang itu untuk laki-laki atau keluarganya semua, nggak ada dibalikkan lagi sama perempuan. Tapi orang lebih sering mengatakannya uang hilang, bukan uang jemputan. Kalau di kampung mamak (ibu) Rina, orang sering itu bilang...oh enaklah anaknya dikasi uang hilang Rp. 40 juta, gitu misalnya. Rina menuturkan pemberian uang hilang adalah bentuk perubahan atau pergeseran nilai terhadap makna tradisi uang jemputan yang sebenarnya, di mana pemberian uang dari pihak keluarga perempuan tidak dibalas atau tidak dikembalikan oleh pihak keluarga laki-laki. Perubahan lainnya menurut Rina terjadi pada pola fikir generasi muda dalam hal pelaksanaan tradisi uang jemputan saat ini. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh faktor pendidikan: Tapi sekarang udah jarang terjadilah uang jemputan itu, kalau yang Rina lihat dari segi pendidikan, orang sekarang udah semakin berfikir...udah berbaur sama suku-suku lain. Kalau soal uang jemputan itu...dikaitkan lagi dengan unsur agama tadi kan...bukan menjadi wajib dalam agama kita uang jemputan itu. Kalau menurut Rina yang penting kita hidup inikan, agama yang kita perhatikan. Kalau nggak melanggar agama, kenapa nggak...gitu. Rina adalah sosok seorang perempuan yang aktif dan pekerja keras. Hal ini terlihat dari aktifitasnya yang padat dalam menjalani profesinya sebagai seorang dosen. Ia sering diminta untuk memberikan penilaian bagi mahasiswamahasiswa keperawatan yang sedang melakukan praktek kerja lapangan di beberapa rumah sakit di Kota Medan bahkan sampai ke luar kota, seperti di Kota

95 78 Binjai dan Kota Tebing Tinggi. Ibu dari dua orang anak ini, juga sedang menjalani kehamilan yang telah berusia 4 (empat) bulan. Namun kondisi tersebut, tidak menghalangi seluruh aktifitasnya sebagai seorang dosen yang tengah menempuh penyelesaian studi S2. Sebagai perempuan yang aktif dan pekerja keras, Rina tidak menyukai kemalasan. Rina mengakui prasangka negatif tentang kebiasaan laki-laki Pariaman yang sering ia lihat, mempengaruhi keputusannya dalam memilih jodoh: Rina memilih jodoh nggak ada hubungannya dengan tradisi uang hilang atau uang jemputan itu, memang sih ada stigma yang nggak suka Rina melihat laki-laki Pariaman ini. Ketidaksukaan Rina karena kebanyakan yang Rina lihat, nggak di kota...nggak di kampung, lakilaki Pariaman ini, suka kali duduk-duduk di lapau atau kedai kopi gitu...nggak suka aja nengoknya. Macam orang yang malas kerja jadinya...walaupun dia kerja gitu, tetap aja mesti kali nongkrongnongkrong di kedai kopi, nanti pulangnya malam...gedor-gedor pintu, kan capeklah istrinya itu bukakan pintu, ganggu tetangga lagi. Kalau mau bersosialisasi sama kawan-kawannya..nggak harus di kedai kopi. Kalau udah di kedai kopi taulah...ngomongnya ngawur aja, memang belum tentu dia mabuk-mabukkan...tapi nggak bermanfaat aja menurut Rina. Kepribadian Rina sebagai seorang perempuan yang aktif dan pekerja keras, mempengaruhi persepsinya terhadap prasangka negatif yang ia miliki tentang kebiasaan laki-laki Pariaman tersebut. Pada tahun 2000, Rina pernah dijodohkan dengan seorang laki-laki Pariaman yang bekerja sebagai polisi militer. Namun ia menolak dijodohkan, sebagaimana kutipan wawancara berikut: Di Padang dulu...rina pernah dijodohkan sama mamak (paman) Rina dengan polisi militer. Tapi kurang suka Rina lihatnya...rina tolak, karena kurang suka sama orang militer gitu. Akhirnya dijodohkanlah laki-laki itu sama saudara Rina, dia tamat SMA cuma...tapi keluarganya kaya, bisa ngasi uang jemputan banyak. Padahal waktu sama Rina, dia nggak minta banyak-banyak. Sama keluarga saudara Rina tadi...mereka rela ngasi uang jemputan banyak, karena senang dapat menantu orang militer. Waktu tahun 2000 itu...dijemputlah lakilaki itu Rp. 40 juta, udah banyak kali itu...waktu itu.

96 79 Peneliti menanyakan mengenai alasan Rina tidak menyukai laki-laki dengan profesi sebagai seorang polisi militer: Kayak mana ya...polisi ini kan kebanyakan bangga dia jadi polisi, jadi bukan lagi mengayomi masyarakat, tapi malah menakut-nakuti masyarakat kerjanya. Apalagi orang Pariaman pula abang itu...rina juga belum siap aja untuk menikah waktu itu, masih pengen kuliah. Itulah makanya Rina ke Medan...melanjutkan kuliah. Walaupun Rina memiliki prasangka negatif tentang kebiasaan laki-laki Pariaman, namun ia menilai tradisi uang jemputan secara positif karena menurutnya nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut adalah sebagai bentuk perlindungan terhadap kaum perempuan, di mana perhiasan atau benda berharga lainnya yang diterima seorang perempuan sebagai panibo, dapat menjadi simpanan untuk membiayai hidupnya, apabila ditinggal mati oleh suami ataupun terjadinya perceraian. Namun sikap Rina dalam keputusan memilih jodoh adalah tidak ingin menikah dengan laki-laki Pariaman, karena prasangka negatif yang ada dalam dirinya tentang kebiasaan laki-laki Pariaman yang suka duduk-duduk di kedai kopi, merupakan suatu kebiasaan yang tidak bisa diterima Rina, apabila hal tersebut terjadi pada suaminya kelak, seperti penuturannya berikut: Kalau tradisi uang jemputan itu...rina nilainya positif kali. Lantaran...perempuan itu dalam agama kan harus dilindungi, yang salah itu kalau dipaksa, padahal mereka nggak mampu. Kalaupun dikasi uang jemputan...bukan untuk modal mereka, malah sama orang tuanya. Nah...itu yang menjadi kurang enaknya. Tapi Rina menganggap memanglah semua suku itu kalau dilihat-lihat punya kekurangan, cuma mungkin karena Rina berbaur sama orang Minang, sering lihat kayak gitu. Menurut Rina kalau nanti kita menikah sama orang Minang atau sama suku lain, kita harus memikirkan bisa nggak kita menerima sesuatu yang nggak kita sukai dari suami kita itu

97 80 nantinya. Kalau Rina memang nggak siap menerima laki-laki yang suka duduk-duduk di kedai kopi, kesannya kayak pemalas aja gitu...karena kebanyakan Rina temui seperti itu. Pada tahun 2010, akhirnya Rina menikah dengan suaminya yang berasal dari suku Melayu. Ia juga mengetahui adanya stereotip negatif dari masyarakat yang menyebutkan bahwa orang Melayu pemalas. Saat peneliti menanyakan bagaimana ia akhirnya, memilih menikah dengan suaminya yang berasal dari suku Melayu, Rina menjelaskan sebagaimana kutipan wawancara berikut: Karena udah jodohnya...selama ini Rina tau bahwa stigma orang juga negatif tentang suku Melayu, katanya orang Melayu itu pemalas. Tapi Rina belum pernah pula lihat langsung kayak gitu...kalau kebiasaan laki-laki Pariaman itu memang Rina lihat sendiri. Sebenarnya orang nggak bisa dilihat perilakunya itu dari sukunya, tergantung kepribadian orangnya juga. Waktu kenal sama suami, kami nggak ada pacaran-pacaran, Rina berteman sama dia...sering main ke rumahnya. Dari situ Rina menilai kayak mana keluarganya, kepribadiaannya juga. Terus yang paling Rina suka...ayahnya itu penyayang, udah nampak sebelum kami menikahpun, apalagi setelah menikah. Rina senang mertua itu sayang sama kita. Sifat malas itu juga nggak Rina temukan sama suami. Peneliti mencoba mendalami kembali persepsi Rina tentang tradisi uang jemputan. Peneliti menanyakan bagaimana pandangannya mengenai transmisi nilai-nilai luhur pada tradisi uang jemputan yang ia persepsikan positif, perlu dilestarikan kepada generasi muda Minang Pariaman. Sedangkan ia sendiri menikah dengan laki-laki di luar suku Minang Pariaman. Rina menuturkan sebagaimana kutipan wawancara berikut: Kayak yang Rina bilang, tradisi uang jemputan Rina menilainya bagus kali, kalau betul-betul dilaksanakan sesuai makna yang sebenarnya ya. Sebagai bentuk melindungi perempuan...ngasi modal berumah tangga buat mereka yang dinikahkan. Tapi jodoh Rina ya...sama orang Melayu pula, iya kan. Memang Rina akui stigma negatif tentang kebiasaan laki-laki Pariaman itu, cukup membuat apa ya...iya nggak suka aja. Nggak ada hubungannya keputusan Rina itu dengan tradisi uang jemputan.

98 81 Peneliti kembali menanyakan bagaimana pandangan Rina tentang perjodohan anak-anaknya kelak, terkait dengan pewarisan nilai-nilai luhur pada tradisi uang jemputan: Makin tinggi pendidikan anak...makin berubah pola fikirnya, menikah itu yang penting hukum agama yang dijalankan, nggak harus ada uang jemputan kan. Tapi Rina juga akan menjelaskan sama anakanak Rina nanti, apa makna tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan Pariaman itu. Cuma nggak ikut campurlah orang tua kalau urusan jodoh anak-anaknya. Kayaknya udah nggak sesuai lagi tradisi uang jemputan itu dilaksanakan dalam perjodohan generasi muda, karena itu tadi...pola fikirnya juga udah berubah karena pendidikan juga udah semakin tinggi kan. Rina juga mengemukakan bahwa memahami bahasa daerah, tidak berpengaruh pada keinginan seseorang untuk mau mengenal adat istiadat sukunya, termasuk tentang tradisi uang jemputan. Hal yang paling penting menurut Rina adalah bagaimana keluarga mengkomunikasikan nilai-nilai budaya kepada anakanaknya, sebagaimana kutipan wawancara berikut: Nggak ada pengaruhnya menurut Rina, intinya bukan masalah bahasa, yang penting...kayak mana keluarga mengkomunikasikannya. Salah satu fungsi keluarga kan mentransmisikan nilai-nilai budaya itu. Contoh...kalau tiap hari berbahasa daerahpun di rumah, tapi orang tuanya juga nggak ngasi tau...nggak bisa juga. Ayah Rina berbahasa Minang sama anak-anaknya, tapi kalau Rina nggak nanya-nanya dan ayahpun nggak menjelaskan makna tradisi uang jemputan, nggak ngerti juga kan. Lihatlah orang-orang dari kampung itu...merantau dia ke Medan, malah malu dia berbahasa Minang, sok bahasa Indonesia pula dia. Kalau orang Minang bilang...ongeh (sombong)lah gitu, belum tentu juga mereka paham betul tentang tradisi itu kan...yang penting ada komunikasi dalam keluarga. Rina juga menambahkan bahwa saat ini, pergeseran juga terjadi pada peranan mamak atau paman: Tapi memang istilahnya paman ini, kalau di suku Minang itu ucapannya didengarkan kali. Apapun urusannya...bukan hanya dalam tradisi uang hilang atau uang jemputan, paman itu sangat dihargai.

99 82 Tapi anak-anak sekarang ini udah berfikir, kenapa kok paman pula yang ikut campur dalam perjodohan...harusnya orang tua kitalah. Ia juga menambahkan bahwa orang tuanya tidak memaksakan perjodohan, namun mereka memiliki harapan untuk mendapatkan menantu dari sesama suku, sebagaimana penuturannya berikut: Orang tua dari suku manapun...pasti ingin anaknya menikah dengan yang satu suku. Mereka ingin nggak mati keturunan...berkembang dia, jangan sampai adat itu nggak ada lagi. Termasuklah orang tua Rina...tapi kalau jodohnya sama suku lain nggak masalah, yang penting anaknya bahagia. Kalau Rina nggak menjalankan tradisi uang jemputan itu...karena memang jodohnya di luar suku Minang. Rina mengemukakan bahwa ia memiliki pengalaman ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), teman-teman sekolahnya memiliki stereotip negatif tentang perempuan Pariaman yang membeli laki-laki ketika akan menikah. Rina mengakui tidak terpengaruh terhadap stigma negatif tersebut, karena ia telah memiliki pemahaman tentang makna yang sebenarnya dari tradisi uang jemputan yang bersumber dari sang ayah Informan 4 Karakteristik Umum: 1. Nama : Syarmawati 2. Nama Panggilan : Netty 3. Usia : 56 Tahun 4. Suku Pasangan : Minang Pariaman 5. Pendidikan : D3 6. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 7. Alamat : Jalan Pintu Air IV Perumahan Politeknik Nomor 27 Medan Johor.

100 83 Netty adalah seorang ibu rumah tangga yang juga aktif dalam kegiatan sosial. Salah satu aktifitas sosialnya adalah menjabat sebagai Ketua POPTI (Persatuan Orang tua Penyandang Talasemia Indonesia) perwakilan Sumatera Utara. Beliau memiliki 4 (empat) orang anak yang terdiri dari 1 (satu) orang anak laki-laki dan 3 (tiga) orang anak perempuan. Anak perempuan bungsunya menyandang penyakit talasemia, yaitu suatu penyakit di mana tubuh penderitanya tidak dapat membentuk sel-sel darah merah. Hal inilah yang mendorong beliau untuk aktif dalam organisasi POPTI tersebut. Setelah berjuang selama bertahuntahun untuk pengobatan anaknya, akhirnya pada tahun 2013 sang anak meninggal dunia dalam usia 13 tahun. Proses wawancara dilakukan pada tanggal 03 Juli 2015, di ruang kerja suami Netty yang bekerja sebagai seorang dosen di Politektik Negeri Medan. Perempuan paruh baya yang berwajah keibuan tersebut, begitu terbuka dan bersahabat untuk menjawab segala pertanyaan peneliti. Beliau menikah pada tahun 1986, karena perjodohan orang tua dengan suaminya yang juga sesama suku Minang Pariaman dan melaksanakan tradisi uang jemputan saat pernikahannya dahulu. Ketika peneliti menanyakan pandangannya mengenai unsur agama dalam tradisi uang jemputan, beliau mengatakan bahwa tidak ada permasalahan dengan agama karena uang jemputan bukan mahar. Mahar sebagaimana ketentuan agama Islam tetap menjadi hak perempuan yang wajib diberikan oleh suami, sebagaimana penuturan beliau berikut: Tidak ada permasalahannya dengan agama, karena itu hanya merupakan tradisi semata. Uang jemputan berbeda dengan mahar, mahar harus si laki-laki yang memberikan kepada si perempuan, tetap yang dijalani syariat Islam itu, sah nikah itu memang harus lelaki yang memberi mahar. Saya kebetulan diterpa adat ini, tapi uang mahar tetap suami saya yang memberi.

101 84 Beliau kembali menjelaskan bahwa tradisi uang jemputan itu berbalasan dalam arti pemberian uang jemputan oleh pihak perempuan, nantinya akan dibalas atau dikembalikan lagi oleh pihak keluarga laki-laki pada saat manjalang mintuo. Pengetahuannya tentang hal tersebut, beliau dapat dari keseringannya menyaksikan pelaksanaan tradisi uang jemputan pada pernikahan kerabatnya di kampung maupun di perantauan, seperti kutipan wawancara berikut: Kalau seandainya tidak memberatkan bagi keluarganya, itu sangat baik. Uang jemputan ya, bukan uang hilang...itu berbeda. Hanya istilah saja, itu akan dikembalikan lagi kepada si perempuan. Malah dikembalikannnya lebih banyak lagi. Tapi kalau si perempuan ngunduh istilahnya atau istilah orang Minang manjalang...itu akan dikembalikan lebih banyak dari pada uang jemputan yang diberikan kepada si laki-laki. Saya sering pulang kampung, kalau di sana kuat sekali pelaksanaan adat japuik itu. Beliau memahami adanya perbedaan uang hilang dengan uang jemputan. Kedua hal tersebut menurutnya, tidak bertentangan dengan agama. Tradisi tersebut bermakna penghargaan terhadap laki-laki yang akan datang ke rumah perempuan: Uang hilang itu begini...kalau si lelaki itu misalnya lepas dari pendidikan, mungkin untuk masuk ke jenjang pekerjaan, mungkin belum ada modal, uang hilang itulah yang diperjuangkan. Biasanya uang hilang itu untuk si anak lelaki tersebut. Tapi ada juga kalau anaknya sudah mapan, untuk orangtuanya. Berbeda dengan uang hilang, kalau uang hilang memang untuk si laki-laki, kalau uang jemputan itu dikembalikan untuk wanita lagi. Saya pikir nggak bermasalah dengan agama kita. Uang jemputan menjadi syarat perkawinan...karena memang itu tradisi orang Pariaman, dulunya seperti itu. Kalau tidak ada uang jemputan, tidak ada uang hilang, dianggap mereka itu tidak bermartabat...tidak dihargai. Semacam perjuangan hidup laki-laki yang sudah dewasa itu, karena si laki-laki ini adalah orang yang datang ke keluarga istri. Netty mengungkapkan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam tradisi uang jemputan adalah perwujudan dari sistem matrilineal. Hal tersebut seperti kutipan wawancara berikut:

102 85 Karena kita kan di Minangkabau itu...di Pariaman itu memakai sistem matrilineal, kalau di suku lain patrilineal. Jadi memang ada saya rasa...segi positifnya, karena kalau mencari jodoh tersebut, orang tua tahu bibit, bebet, bobot si calon menantu mereka, jadi tidak sembarangan memilihnya. Netty menambahkan bahwa terkadang uang jemputan dan uang hilang, diminta kedua-duanya oleh pihak keluarga laki-laki. Hal tersebut terjadi, apabila si laki-laki memiliki status sosial yang tinggi. Bagi Netty, pelaksanaan uang hilang itu dapat menjadi masalah, bila tidak mempertimbangkan kemampuan ekonomi pihak keluarga perempuan, sebagaimana penuturannya berikut ini: Yang jadi masalah mungkin uang hilang itu, kalau uang jemputan itu saya rasa nggak masalah. Jadi saat kedua belah pihak bertemu atau membicarakan kelanjutan hubungan anaknya, mereka membicarakan apakah pakai uang jemputan atau pakai uang hilang, atau keduaduanya. Biasa kalau si anak lelakinya sudah berkedudukan atau berpendidikan atau segi sosialnya lebih tinggi, itu biasa orang tua menjalani kedua-duanya. Kalau dari segi keluarga pria minta uang hilang itu...istilahnya itu, dia merasa sudah membesarkan anaknya dengan jerih payahnya, jadi dia minta uang hilang itu. Saya pikir letak keberatan itu...kesepakatannya, kalau seandainya orang tua lelaki tidak mempertimbangkan kemampuan si perempuan, dia seolah-olah seperti menjual anaknya. Kalau seandainya jumlah uang hilang itu wajar, tidak ada masalah. Seharusnya dilihat juga sesuai kemampuan pihak perempuan. Netty mengakui pula bahwa pada awalnya ia kontra dengan tradisi uang jemputan karena ketidakpahamannya. Setelah menjalani pernikahan dengan melaksanakan tradisi uang jemputan, Netty memahami makna tradisi tersebut: Tadinya saya kontra...karena saya merasakan dan mengalami uang jemputan itu kembali kepada kami, jadi saya merasa oh...seperti ini. Karena saya dilahirkan di Medan, jadi saya nggak mengerti adat yang sebenarnya itu bagaimana saat itu. Sesudah saya alami...saya pikir uang jemputan itu hanya untuk menghormati atau memberi penghargaan terhadap keluarga si lelaki. Tapi memang...saya lebih cenderung ke orang Minang, karena kita kan kalau sesama etnis,

103 86 mungkin adat bisa lebih pengertian dari pada berlainan etnis. Karena kalau lain etnis, kita harus mempelajari budaya suami kita tersebut...jadi kita harus belajar lagi. Netty menambahkan bahwa adanya tradisi baetong yang dilaksanakan di akhir pelaksanaan pesta perkawinan, merupakan bentuk saling tolong menolong keluarga untuk membantu biaya pesta yang telah dikeluarkan tuan rumah: Kalau orang Minang ini...ada lagi yang khusus dimilikinya yaitu tradisi baetong. Baetong itu bahasa Indonesianya berhitung. Suku lain nggak ada itu tradisi itu. Jadi baetong itu...kumpul-kumpul dana dari sanak saudara, untuk bantu keluarganya yang sedang pesta. Itu biasanya dilaksanakan di akhir malam sesudah pesta. Dipimpin niniak mamak (orang yang dituakan) biasanya, digelar tikar...baru duduklah niniak mamak itu, terus disebutkan satu persatu pake mic (microfon), nama-nama yang nyumbang itu, berapa pula sumbangannya. Apa itu...semacam sumbangan dana dari tamu-tamu yang hadir. Kalau sekilas kita dengar, semacam pamer atau riya. Tapi makna sebenarnya saling memotivasi sanak saudara, untuk ikut menyumbang. Malu dia...kalau namanya nggak disebut, berarti dia tidak tahu bersaudara. Beliau juga mengatakan bahwa dalam hal pemilihan jodoh, ia lebih cenderung mengikuti kemauan orang tua, sebagaimana penuturannya berikut: Dan saya nggak ada pula berhubungan dengan laki-laki di luar etnis gitu. Saya dulu istilahnya menuruti orang tua saja. Kalau kita sudah di rantau, jodoh itu biasa nggak dipaksakan. Apalagi saat ini orang tua tidak bisa memaksakan kehendaknya, orang tua saya lebih demokratis terhadap anaknya. Kalau dia ingin bermenantukan orang Minang juga, biasanya dia memberitahukan kepada anaknya, diperkenalkan terlebih dahulu...cocok apa tidaknya. Kalau seandainya sudah kenal, baru ninik mamak yang berperan untuk proses adat. Saya seperti itu...diperkenalkan dahulu, sesudah itu baru ninik mamak dan orangtua saya yang berperan menjalankan adat. Ketika peneliti menanyakan mengenai peranan bahasa daerah dalam mentransmisikan nilai-nilai budaya di dalam keluarga, Netty menuturkan bahwa berbahasa daerah sangat penting diterapkan dalam keluarga. Kedua orang tua beliau selalu menggunakan bahasa Minang dalam berkomunikasi dengan anakanaknya, sehingga beliau memahami dan mahir berbahasa Minang. Namun Netty

104 87 mengakui sulit menerapkan berbahasa Minang kepada anak-anaknya saat ini, karena pengaruh lingkungan dan alat-alat komunikasi yang semakin canggih, membuat anak-anaknya lebih mengenal dan lebih tertarik dengan budaya asing dari pada budaya asal. Beliau menuturkan peranan keluarga dalam mentransmisikan nilai-nilai budaya yang ada dalam tradisi uang jemputan: Sebenarnya sosialisasi terhadap generasi baru, mungkin...orang tua dan ninik mamak kita agak kurang mensosialisasikan adat Pariaman itu. Ini lho...uang jemputan itu begini, uang hilang itu begini, jadi kita bisa memahami. Selain itu, Netty juga mengatakan bahwa peranan lingkungan juga turut membentuk persepsinya mengenai tradisi uang jemputan: Saya pernah kuliah dan pernah juga kerja. Di lingkungan kerja juga, pendidikan juga, kan pernah dibahas sesama teman begitu...kok membeli pula perempuan Minang kalau mau menikah. Jadi saya merasa...kita diberatkan, tapi sebenarnya kalau saya nilai sekarang tidak diberatkan. Peneliti menanyakan bagaimana Netty memandang proses transmisi nilainilai pada tradisi uang jemputan, kepada generasi muda Minang dan bagaimana pula keterlibatan ia sebagai orang tua dalam hal pencarian jodoh pada anakanaknya kelak, ia menuturkan sebagaimana kutipan berikut: Kalau saya pasti akan menjelaskan kepada anak-anak saya mengenai nilai-nilai luhur pada tradisi uang jemputan tersebut, karena saya selalu mengajak anak-anak saya, kalau ada saudara pesta dan mereka melihat tradisi tersebut dilaksanakan. Apalagi saya dan suami samasama suku Minang Pariaman, jadi harus kita kenalkan itu budaya asal kita kepada anak. Cuma masalahnya bagaimana pilihan anak...saat menikah nanti. Kalau sesama suku Minang Pariaman, mungkin tradisi itu bisa dipertahankan, tapi sesuai makna yang sebenarnya.

105 88 Netty juga menambahkan bahwa sebagai orang tua, ia ingin memiliki menantu dari sesama suku Minang Pariaman, sebagaimana penuturannya berikut: Anak gadis saya yang sulung sudah berusia 27 tahun...dia bekerja dan belum menikah. Sebenarnya kami para orang tua resah juga. Sebenarnya saya tidak mau memaksakan kehendak, ya...pastilah kalau ditanya, orang tua memiliki harapan punya menantu sesama suku. Namun semua itu tergantung jodoh si anak...sekarang ini ada keinginan untuk mengenalkan dengan laki-laki yang menurut kita, sebagai orang tua ini...baik dan layak untuk dijadikan menantu, tapi sampai saat ini kami juga belum mendapatkannya. Terus terang saya minta juga saudara-saudara saya mencarikan...tapi belum jodohnya mungkin. Di sela proses wawancara, suami Netty bernama Bapak Ibnu Hajar yang juga ikut mendengarkan wawancara peneliti bersama istrinya, memperlihatkan sebuah tulisan dari seorang temannya, bernama Bapak Yulfrinov yang merupakan ninik mamak orang Minang. Menurut suami Netty, tulisan tersebut perlu ia sampaikan kepada peneliti untuk menambah pemahaman mengenai adat istiadat Minang, sebagaimana penuturan beliau berikut: Ini...Bapak ada punya kawan, dia ninik mamak juga. Dia paham masalah adat istiadat Minang ini, tapi sekarang dia tinggal di Papua. Ada tulisannya dulu...di share (dibagikan) ke bbm kawan-kawan sesama orang Minang, termasuklah Bapak ni menerima. Menurut Bapak...penting juga ini untuk penelitian Dewi, supaya menambah pemahaman kita. Peneliti mengutip beberapa bagian dari tulisan tersebut yang berkenaan dengan permasalahan penelitian sebagai berikut: Mengapa wanita melamar laki-laki?. Ini adalah tuduhan yang ngawur. Dalam adat Minangkabau yang melamar bukan wanita, melainkan keluarga si wanita, Mengapa? Karena memang begitulah seharusnya orang tua, berkeinginan kuat agar anak perempuannya mendapatkan jodoh yang terbaik. Bukankah Umar bin Khattab juga antusias mencarikan suami untuk anak beliau, Hafshah binti Umar? Dan satu hal yang perlu diketahui bahwa ternyata, dahulu Rasulullah SAW juga dilamar oleh wanita, yaitu Siti Khadijah RA, istri pertama Rasulullah yang paling beliau cintai, yang tidak pernah beliau madu hingga beliau (Khadijah) meninggal. Untuk catatan, lamaran tersebut

106 89 melalui perantara, tidak dilakukan langsung oleh perempuan yang bersangkutan. Mengapa laki-laki tinggal di rumah istrinya setelah menikah?. Dalam Islam, tidak ada aturan ketat dalam urusan tempat tinggal. Seseorang boleh tinggal di mana saja, di rumah dia kah, di rumah suaminya kah, di rumah istrinya kah, ataupun di rumah mertua. Dalam adat Minangkabau, seorang lelaki setelah menikah harus tinggal di rumah mertua, meskipun tidak selamanya, karena banyak juga yang pindah setelah punya anak, karena rumah mertua tidak lagi mencukupi. Jika kita jeli, kita dapat melihat manfaat luar biasa dari aturan ini. Di awal berumah tangga, wanita yang belum terbiasa masak akan lebih intensif untuk belajar kembali dari ibunya. Keselamatan si wanita juga lebih terjaga, karena segala gerak-gerik suaminya diperhatikan. Tidak akan ada cerita KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), karena di rumah istri ada ayahnya, ada saudara laki-lakinya. Menurut beberapa penelitian, permasalahan rumah tangga banyak muncul saat wanita tinggal di rumah si laki-laki. Bukankah sering kita dengar, bahwa hubungan istri dan ibu adalah hubungan yang rumit dan kecemburuan antara keduanya adalah kecemburuan yang tidak bisa dijelaskan. Dan lagi, fakta yang tak bisa dibantah adalah bahwa Rasulullah SAW juga diboyong ke rumah Siti Khadijah setelah beliau berdua resmi menikah. Memang dalam adat Minangkabau, suku dan marga itu diturunkan oleh ibu. Di sini kita harus bedakan, mana yang suku, mana yang nasab (keturunan). Tidak ada istilah, bahwa pada suku Minang nasab (keturunan) anak, turun dari ibu. Tidak pernah sekalipun terdengar Fulan bin Ibunya. Yang ada hanyalah fulan bin ayahnya, seperti Fakhry Emil Habib bin Asra Faber (contoh). Dalam prakteknya juga demikian, bukankah anak perempuan di Minangkabau dinikahkan oleh ayahnya, bukan ibunya? Lalu siapa yang berani-beraninya mengatakan kalau nasab (keturunan) orang Minang itu dari ibu? Polanya tetap begitu dan akan selalu sama bahwa suku turun dari ibu, sedangkan nasab (keturunan) tetap turun dari ayah (sumber: tulisan Bapak Yulfrinov (tokoh adat Minang/ninik mamak) yang di share melalui handphone suami informan Netty dan di kan kepada peneliti). Tulisan tersebut menjadi masukan untuk lebih memahami tentang adat istiadat Minang, oleh karena itu peneliti merasa perlu mengutipnya dalam penelitian ini.

107 Informan 5 Karakteristik Umum: 1. Nama : Yunita Handayani 2. Nama Panggilan : Ita 3. Usia : 20 Tahun 4. Suku Pasangan : Minang Pariaman 5. Pendidikan : SMP 6. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 7. Alamat : Jalan Pertiwi Gang Ayahanda Nomor 12/A Medan Denai. Ita adalah mempelai wanita yang menikah pada tanggal 17 Mei 2015, di mana peneliti menghadiri pesta pernikahannya dalam upaya pencarian informan. Setelah selesai mengadakan pesta pernikahan, peneliti beberapa kali menemui Ita dan melakukan pendekatan kepadanya sebagai subjek penelitian. Setelah dua bulan menjalani pernikahannya, peneliti akhirnya dapat melakukan wawancara mendalam kepada Ita untuk proses penelitian. Proses wawancara tersebut dilakukan di rumah Ita pada tanggal 04 Juli Suami Ita bernama April Mandani, seorang laki-laki berusia 26 tahun dengan status duda tanpa anak yang bekerja sebagai penjahit sepatu. Istrinya meninggal sekitar 1 (satu) tahun yang lalu karena suatu penyakit. Mandani adalah teman abang Ita yang sering berkunjung ke rumah orang tua mereka. Orang tua Ita telah menganggap Mandani seperti anaknya sendiri. Melihat budi pekerti Mandani yang baik dan sopan, ibunya berkeinginan menjadikan Mandani sebagai menantu. Padahal saat itu, Ita sedang berpacaran dengan laki-laki lain yang juga sesama

108 91 orang Minang Pariaman. Pada awalnya Ita merasa terpaksa dijodohkan dan sempat berselisih paham dengan ibunya, karena telah memiliki kekasih atas pilihannya sendiri. Ternyata Mandani juga memiliki ketertarikan kepada Ita, sehingga Mandanipun melakukan pendekatan kepadanya. Mengetahui kedekatan mereka, ibu Ita yang sangat menyetujui kedekatan tersebut, akhirnya memutuskan datang bersama mamak (paman) Ita, untuk mengunjungi rumah keluarga Mandani dengan maksud meminangnya sebagai menantu. Pertemuan kedua keluarga tersebut membuahkan kesepakatan bahwa Mandani dijemput dengan sejumlah uang jemputan oleh keluarganya. Akhirnya Ita menerima untuk dinikahkan dengan Mandani, karena melihat kebaikan dan keseriusan Mandani kepadanya. Ita yang hanya berpendidikan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini, awalnya menolak untuk menjadi informan penelitian, karena malu dan takut untuk ditanya-tanya. Dengan melakukan pendekatan yang lebih dalam dan atas bantuan Informan 1 (Dian), akhirnya Ita bersedia menjadi informan penelitian. Selama proses wawancara, Ita masih tetap terlihat malu-malu menjawab pertanyaan peneliti. Ketika peneliti menanyakan pandangannya mengenai unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan, ia menuturkan sebagai berikut: Ya...kayak mana ya...kalau menurut awak, salah juga sebenarnya. Suku lain itu...laki-laki yang melamar, orang Minang kok perempuan pula. Kalau dari segi agamanya...ntah lah nggak tau juga awak Kak.

109 92 Ita juga mengemukakan pandangannya mengenai nilai-nilai dalam tradisi uang jemputan, sebagai upaya selektifnya keluarga dalam mencarikan jodoh yang baik untuk anaknya, sebagaimana penuturannya berikut ini: Awalnya awak nggak mau...udah duda pun abang itu. Kalau mamak mau menantunya orang Minang juga, karena lebih ngerti kita kalau adatnya sama katanya. Cowok awak dulu orang Minang juga...tapi menurut mamak, suami awak ini lebih baik dia orangnya. Lingkungan tempat tinggal awak memang banyak orang Minang Kak, makanya awak dapat cowokpun orang Minang juga yang dulu itu. Ketika peneliti menanyakan, apakah Ita terpaksa dinikahkan dengan sejumlah uang jemputan, kepada laki-laki yang berstatus duda tanpa anak, ia menuturkan sebagai berikut: Enggak tau juga lah Kak...awak tenggok baik dia orangnya, mudahmudahan sampai selamanya. Kalau uang jemputan itu kan keluarga awaknya yang ngasi. Nggak ngerti juga awak...katanya memang udah adat. Ita mengatakan sebelum menikah, ia tidak memahami makna tradisi uang jemputan. Orang tuanya tidak pernah menjelaskan makna tradisi tersebut kepadanya. Akhirnya setelah menikah, ia diterpa oleh tradisi uang jemputan dan memahami bahwa tradisi tersebut merupakan adat yang sudah menjadi syarat perkawinan, seperti penuturannya berikut ini: Ya..itu pula adatnya, udah syaratnya pula kayak gitu. Sebenarnya awak nggak ngerti-ngerti juga, mamak nggak pernah cerita-cerita sama kami, tapi banyak keluarga awak kayak gitu kalau nikah, katanya tradisi kita udah memang kayak gitu. Sikap Ita dalam memahami tradisi uang jemputan dan menerima perjodohan, cenderung pasrah pada keputusan dan pilihan orang tuanya yang

110 93 menjalankan tradisi uang jemputan sebagai upaya mengkekalkan adat. Sementara itu, ketika peneliti menanyakan mengenai penggunaan bahasa daerah dalam keluarga, Ita menuturkan sebagaimana kutipan wawancara berikut: Mamak sama ayah...bahasa Minang aja di rumah Kak, awak enggak lancar kali ngomongnya, tapi kalau dengar orang ngomong...awak tau artinya. Ita memiliki referensi mengenai tradisi uang jemputan yang bersumber dari pengalaman kerabatnya yang sering ia saksikan di Kota Medan. Ita mengakui orang tuanya jarang sekali membawanya pulang kampung, sehingga ia tidak memiliki pemahaman tentang pelaksanaan tradisi tersebut di kampung halaman orang tuanya: Jaranglah Kak...mamak sama ayah kalau pulang kampung sering berdua aja, hemat ongkos mungkin. Ada sesekali bawa kami...kalau pas ada rezekinya pulang pas lebaran. Awak tengok di sininya, kalau saudara-saudara awak...banyak yang nikah pakai uang jemputan itu. Kadang awak tanya juga berapa uang jemputannya, Rp. 10 juta...katanya. Ya Allah...banyaknya, awak bilang juga sama cowok awak yang dulu, bang...jangan minta uang banyak-banyak nanti ya, nggak sanggup keluarga awak. Eh...rupanya nggak jadi juga sama dia. Ia mengakui tidak pernah mendapatkan penjelasan langsung dari orang tuanya mengenai makna tradisi uang jemputan. Ita berkeyakinan bahwa pilihan orang tua merupakan pilihan yang terbaik: Awak tengokkan, mamak suka dia sama abang (suaminya)...katanya bagus itu orangnya. Akhirnya awak ikut pilihan orang tua aja Kak...mungkin ini yang terbaik. Padahal dulu awak tentang (bantah) juga mamak itu, masak sama duda dikawinkan awak. Kata mamak...abang itu dulu ada juga yang mau sama dia, jadi mamak ngasi aja uang jemputan yang diminta keluarga abang. Ada orang lain juga mau menjadikan abang ini menantu, berarti nggak salah mamak katanya...lihat dia itu baik orangnya.

111 94 Keputusan orang tua Ita untuk meminang Mandani, dikarenakan penilaian terhadap Mandani sebagai calon menantu yang baik dan layak diberi uang jemputan. Peneliti menanyakan pandangan Ita, terhadap proses transmisi nilainilai budaya pada tradisi uang jemputan dalam upaya pewarisan budaya kepada generasi muda Minang mendatang, ia menuturkan sebagaimana kutipan berikut: Nggak usahlah ada lagi ngasi uang jemputan itu...karena kadangkadang orang tua maksa anaknya. Iya...kalau dapat jodoh yang betulbetul baik, tapi kalau nggak...kasihan anaknya. Mudah-mudahan suami awak ini, sampai selamanya tetap baiklah dia. Ita berpandangan bahwa tradisi uang jemputan sudah tidak lagi sesuai, bila dilaksanakan dalam perjodohan generasi muda Minang. Peranan orang tua yang memaksakan perjodohan, dipandang merugikan bagi masa depan sang anak, apabila laki-laki yang dijodohkan tersebut ternyata tidak baik Informan 6 Karakteristik Umum: 1. Nama : Dedek Karmila 2. Nama Panggilan : Dedek 3. Usia : 33 Tahun 4. Suku Pasangan : Mandailing 5. Pendidikan : D3 6. Pekerjaan : Karyawan BPDSU (Bank SUMUT) 7. Alamat : Jalan Tangguk Bongkar Nomor 68 Mandala by Pass Medan Denai.

112 95 Proses wawancara dilakukan pada tanggal 05 Juli 2015, saat peneliti menemui Dedek di rumahnya. Pada tahun 2010, Dedek menikah dengan laki-laki yang berasal dari suku Mandailing. Ia dan suaminya memiliki profesi yang sama sebagai karyawan pada salah satu bank swasta di Kota Medan. Dari pernikahannya tersebut, ia dikaruniai dua orang anak. Dedek adalah anak ke 4 (empat) dari 7 (tujuh) bersaudara. Anak pertama di dalam keluarga Dedek adalah seorang laki-laki, sedangkan kakak nomor dua hingga adik bungsunya seluruhnya adalah perempuan. Kedua orang tua Dedek adalah orang Pariaman yang telah lama merantau di Kota Medan. Ayahnya mendidik mereka dengan keras dan melarang anak-anak perempuannya agar tidak berpacaran di masa-masa sekolah sebagai bentuk perlindungan dan menjaga kehormatan ke 6 (enam) anak perempuannya dari pengaruh pergaulan bebas. Dalam urusan jodoh, sang ayah tidak memaksakan anak-anaknya harus menikah dengan sesama suku Minang, asalkan saja si laki- laki tersebut harus beragama Islam dan bertanggung jawab. Berbeda dengan sang ibu yang mengharuskan anak-anaknya menikah dengan orang Minang Pariaman, dengan alasan saling memahami adat istiadatnya. Dedek mengakui keputusan ibunya dalam hal perjodohan, lebih mendominasi dari pada sang ayah. Ibu yang memiliki dua anak balita laki-laki yang lucu ini, mengemukakan pandangannya mengenai unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan: Ya itulah dia...sanggup dan nggak sanggupnya itu Wi. Makanya kutanya kayak mana?. Sah-sah aja kalau emang sanggup, tapi kalau nggak sanggup, dipaksakan kayak mana? Haram nggak? haramlah...kan gitu.

113 96 Dedek kembali mengemukakan pemahamannya tentang tradisi uang jemputan dan pandangannya mengenai perempuan yang melakukan pelamaran dalam tradisi Minang: Sebenarnya gini Wi, kalau pemahaman aku itu nggak ada perempuan yang melamar. Sebenarnya yang melamar di Pariaman itu, kalau menurut aku tetap si laki-laki, cuma jaman dahulu kalau yang aku tahu...uang jemputan itu, kita kasih untuk modal si laki-laki, tapi dalam ijab kabul...maharnya itu yang ngasi tetap si laki-laki, apa yang kita minta. Jadi adat ajanya itu...kecuali mahar juga dari si perempuan, itu udah menyimpanglah. Pengaruh yang kuat dari sang ibu dalam urusan perjodohan, dibuktikan dengan 4 (empat) orang anaknya menikah dengan sesama orang Minang Pariaman. Ketiga orang anak perempuannya dinikahkan dengan memberi sejumlah uang jemputan kepada pihak keluarga laki-laki. Sedangkan anak sulungnya yang merupakan anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga yang seharusnya menerima uang jemputan, namun malah menggantikan sang pacar yang juga merupakan sesama orang Minang Pariaman untuk mengisi adat, memenuhi uang jemputan yang diminta oleh keluarganya. Hal tersebut seperti kutipan wawancara dengan Dedek sebagai berikut: Tapi kalau abang aku malah dia yang ngisi adat itu. Dia kan pacaran sama ceweknya...ceweknya orang susahlah. Paman kami minta sekian, ya udah, uang dia dikasihkannya sama ceweknya itu, dibilanglah itu uang dari keluarga si perempuan. Kemudian peneliti menanyakan, apakah sikap abang Dedek tersebut memicu terjadinya konflik di dalam keluarga, Dedek menuturkan sebagaimana berikut:

114 97 Iya...sempat ribut juga mamak, katanya nggak punya harga diri kau, kalau nggak ada dijapuiknya. Ini malah kau pula yang ngasi uang japuik itu...kata mamakku sama abangku. Tapi kayak mana, namanya udah saling cinta ya kan...digantikannya posisi ngasi uang itu. Masalahnya kakak iparku itu...orang susah juga. Kan...memberatkan itu kalau dipaksakan. Tapi pandai-pandailah abangku mendekati mamak, kalau ayah setuju-setuju aja waktu itu. Eh...payahlah mamakku ini, fanatik kali sama adat. Udah dua anak abangku, barulah luluh juga dia lihat cucunya. Udah agak berubahlah sikit (sedikit) mamakku itu. Dedek menjelaskan pemahamannya tentang nilai-nilai budaya yang diwariskan generasi terdahulu dalam tradisi uang jemputan, sebagai modal bagi laki-laki untuk menghidupi anak istrinya kelak, seperti penuturannya berikut: Karenakan kebanyakan dulu, tahu lah orang Minangkan hobi merantau...iya kan. Ke sana...ke sana...nanti balik, sukalah sama anak orang di kampung itu, karena dia usaha nanti di sana, itulah untuk modal dia. Intinya sih, untuk memodalkan laki-laki dalam menghidupi anak istrinya nanti. Peneliti menanyakan tentang keseringan Dedek pulang kampung dan bagaimana pandangannya mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan di sana: Waktu kecil-kecil dulunya...orang tua rajin bawa anak-anaknya pulang kampung. Biar tau berkeluarga katanya...tapi kalau sekarang jaranglah. Dulu kalau ada pesta saudara, sering juga diajak mamak...tapi aku sibuk kerja, nggak ada waktunya. Kalau uang japuik itu...aku taunya dari pengalaman-pengalaman abang sama kakakku. Mereka kan pestanya di sini (Medan). Ya...itu tadi, ribet...yang banyak keluar uang, perempuannya. Selanjutnya pandangan Dedek mengenai penerapan nilai-nilai budaya dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan saat ini, telah mengalami perubahan sesuai kesepakatan orang yang menjalankannya. Ia menjelaskan hal tersebut berdasarkan pengalaman saudara-saudaranya, sebagaimana kutipan wawancara berikut:

115 98 Tergantung orangnya sih...waktu itu sepupu cewekku dapat orang Pariaman, orang tua si laki-laki nggak mau anaknya dijemput. Uang mahar dari si laki-laki...sedangkan masalah uang pesta mereka masing-masing aja. Sama-sama orang Pariaman lah itu, ya...kalau memang orang itu setuju, ya...terjadikan. Nggak ada keterpaksaan. Tapi yang lain-lain...kayak abangku, terus dua orang kakakku dan adikku...semua ngikutin adat Pariaman kali, pakai uang jemputan. Kalau kakak-kakakku dijodohin, tahulah orang Pariaman ini...suka kali jodoh-jodohin. Umpamanya nanti ketemulah paman si laki-laki dan paman si perempuan, dijodohkanlah anak-anaknya. Pada tahun 2005 ayah Dedek meninggal dunia. Sejak saat itu, ia menggantikan posisi sang ayah sebagai tulang punggung keluarga. Ia menafkahi sang ibu dan membantu biaya pendidikan dua orang adik perempuannya, hingga ke jenjang perguruan tinggi. Desakan kepada Dedek untuk segera menikah, sudah sangat sering diutarakan sang ibu, apalagi Dedek telah didahului oleh satu orang adik perempuannya yang menikah dengan sesama orang Pariaman. Desakan segera menikah tersebut, membuat Dedek enggan pulang ke Medan, di mana saat itu, ia ditempatkan di daerah Serdang Bedagai oleh kantor tempatnya bekerja. Dedek beberapa kali pernah dijodohkan dengan lelaki Minang Pariaman oleh ibunya, namun ia menolak karena tak ingin menikah dengan sesama suku: Aku memang berniat nggak milih orang Pariaman, karena orang Pariaman itu ribet (merepotkan). Ntahlah Wi...orang Pariaman ini nanti, udahlah kita yang manjapuik ya kan, terus nanti sampai seminggu itu antar makanan ke sana ke sini, aduh...capek deh. Ntah kapan lagi mau bulan madunya. Sepupu-sepupuku kalau dapat yang berprofesi gitu, Rp. 50 juta nggak kemana Wi. Sementara yang manggaleh (berdagang) aja Rp. 25 juta, apalagi yang berprofesi kan...akhirnya aku nggak mau dijodohkan. Udah 3 (tiga) orang kulihat kan Wi...abang sama kakak-kakakku. Kadang aku fikir ada yang nggak sesuai...memanglah mahar dari si laki-laki, aku bilang dari segi agama sah-sah aja. Pariaman kan memang dibebankan sama perempuan semua masalah pesta itu. Masalahnya awak kemaren tulang punggung, sejak ayah ku meninggal tahun Pernah waktu aku dijodohkan itu, nggak suka aja aku, dimintanya pula nanti Rp. 50 juta...ih dari mana?. Adalah uang misalnya...biaya kuliah adikku gimana?...jadi aku mikir panjanglah, sempat aku sama orang Pariaman juga...nyarikan uangnya itu Wi.

116 99 Saat peneliti menanyakan pandangan Dedek mengenai proses transmisi, kepada generasi muda Minang dalam upaya pewarisan dan pelestarian nilai-nilai budaya khususnya pada tradisi uang jemputan, Dedek menjelaskan pandangannya sebagaimana kutipan wawancara berikut: Aku rasa udah nggak pas lagi, kalau tradisi itu dipakai dalam perkawinan. Mampu kali pihak perempuannya...malah itu yang dijadikan alasan sama keluarga laki-laki, minta banyak pula dia uang jemputannya. Belum pernahlah kulihat...ada yang pengertian soal uang jemputan itu, mesti kali dilaksanakan. Melestarikan adat, kalau memberatkan buat apa iya kan...paling bisalah toleransi kalau mereka itu pacaran, tapi itupun belum tentu disetujui pihak keluarga. Awakpun malu, dengar orang bilang...ih, perempuan Minang itu kalau kawin laki-lakinya dibeli ya. Sempat aku dulu kayak gitu, ih...kurasa hancur kalilah. Awak mau juga berbakti sama orang tua iya kan...tapi mereka mau menang sendiri. Berdasarkan pernyataan Dedek di atas, peneliti menanyakan kembali apakah ia akan bersikap yang sama dalam hal perjodohan anak-anaknyanya kelak: Iyalah Wik...aku aja nggak setuju uang japuik itu. Kalau anakanakku nanti, ada yang sama orang Pariaman jodohnya, kalau bisa nggak usah pakai uang japuik, nasional ajalah. Itu tadi alasannya ribet (merepotkan) kali adat Pariaman ini. Aku rasa udah ditinggalkan orangpun adat istiadat japuik itu nantinya...karena udah berkembang pemikiran orang sekarang. Yang wajib itu hukum pernikahan dalam Islam yang dijalankan, nggak wajib ada uang japuik. Selanjutnya peneliti menanyakan mengenai penggunaan bahasa daerah serta proses komunikasi tentang tradisi uang jemputan di dalam keluarga: Bahasa daerah digunakan di dalam keluarga, mendiang ayahpun diwajibkannya kami berbahasa daerah. Dia memang menanamkan mau tinggal di manapun kalian, bahasa daerah kita jangan pernah ditinggalkan...jadi ngerti awak bahasa Minang itu kan. Mamakku totok (fasih) kali bahasa Minangnya...dari waktu kami udah mulai cocok untuk dikawinkan, mamakku udah menjelaskan tentang uang japuik itu, udah adat kita katanya. Kalau laki-laki dikasi uang japuik itu berarti menghargai dia sebagai menantu. Akhirnya pada tahun 2010, Dedek memilih menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda. Keputusan tersebut sempat tidak disetujui oleh ibu dan sanak

117 100 saudaranya. Oleh karena itu, Dedek berusaha memberi pengertian dan melakukan pendekatan kepada ibunya, sebagaimana kutipan wawancara berikut: Suamiku ini kawan kuliah abangku, udah dianggap kayak anaklah sama mamak...anak angkat gitu. Pas aku sama suamiku, dia orang Batak...mamakku agak nentang (melarang) juga, wajib orang Pariaman juga mau si mamak. Terakhir sempat bertengkar juga aku sama mamak, kayak mana ya...sampai nangis mamakku. Aku bilang pelan-pelan sama mamakku...aku bukan mau buat mamak nangis, cuma pahamilah kemauan anaknya...sampai kubilang kayak gitu. Nggak mesti kali orang Pariaman kan Mak?...wajib rupanya?...kalau wajib udah nggak apa-apa, tapi mamak tengok anak mamak, bahagia nggak?...senang mamak, kubilang kayak gitu. Harus kayak gitu kita ngomong baru ngerti. Ibu Dedek akhirnya memberi persetujuan untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, karena sebelumnya sang ibu telah mengenal kepribadiaan laki-laki tersebut dengan baik. Sikap fanatik sang ibu, mulai berubah menjadi lebih terbuka menerima adik-adiknya berpacaran dengan laki-laki dari suku yang berbeda, asalkan laki-laki tersebut memiliki kepribadian yang baik dan bertanggungjawab sebagai pasangan hidup anak-anaknya kelak Informan 7 Karakteristik Umum: 1. Nama : Nurhayati 2. Nama Panggilan : Nur 3. Usia : 53 Tahun 4. Suku Pasangan : Minang Pariaman 5. Pendidikan : SMP 6. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 7. Alamat : Jalan Pertiwi Gang Ayahanda Nomor 12/A Medan Denai.

118 101 Nur adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki 3 (tiga) orang anak. Anak sulungnya adalah satu-satunya anak laki-laki, sementara 2 (dua) anak lainnya adalah anak perempuan. Ke dua anak perempuannya telah ia nikahkan dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman. Nur adalah ibu dari informan 5 (Yunita Handayani), yang peneliti temui di pesta pernikahan anaknya pada tanggal 17 Mei 2015 yang lalu. Beliau begitu berperan utama dalam perjodohan anak-anaknya, sebagaimana orang tuanya dahulu memperlakukan hal yang sama kepada dirinya. Beliau dilahirkan dari keluarga perantau Minang dengan kehidupan yang sederhana. Namun ke dua orang tuanya begitu kental dengan adat istiadat Minang yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di perantauan. Nur juga sering diajak pulang kampung oleh kedua orang tuanya, sehingga ia juga memiliki referensi mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan dari pengalaman kerabatnya. Di dalam keluarga, bahasa Minang adalah bahasa utama yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari. Oleh sebab itu, Nur sangat mahir berbahasa Minang meskipun beliau lahir dan lebih banyak dibesarkan di Kota Medan. Saat berusia 18 tahun, orang tuanya menjodohkan Nur dengan seorang laki-laki Pariaman yang berprofesi sebagai seorang wirausaha pembuatan sepatu. Nur yang masih belia mengikuti keinginan orang tuanya, tanpa merasa terpaksa. Pada tahun 1980, Nur akhirnya menikah dengan jodoh pilihan orang tuanya tersebut serta melaksanakan tradisi uang jemputan pada pesta pernikahannya. Proses wawancara mendalam dilakukan di rumah Nur pada tanggal 03 Juli 2015, peneliti menanyakan pandangan beliau mengenai unsur agama dan kepercayaan

119 102 yang terkandung dalam tradisi uang jemputan, beliau menuturkan sebagaimana kutipan wawancara berikut: Kalau perempuan yang melamar nggak ada masalah, namanya udah adat kita. Kalau ibu senang, adat ibu...ibu jalani. Buktinya ibu udah dua orang menantu ibu orang Padang. Kalau perempuan ngasi uang jemputan nggak ada masalah...namanya adat, adat kita bersandar dengan agama juga. Kalau istilahnya adat basandi syara, syara basandi kitabullah. Itulah adat kita...agama itu kan tergantung orang masing-masing. Ada yang ngerti, ada juga yang nggak ngerti. Kadang mengerti kali agama itu nggak dijalani, untuk apa...iya kan. Ada yang kuat kali dengan adatnya...dijalaninya, saling menghargai aja. Beliau menambahkan, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut adalah sebagai bentuk penghargaan terhadap status laki-laki yang datang ke rumah keluarga istri dan sebagai modal usaha bagi laki-laki, seperti kutipan wawancara berikut: Uang japuik itu...menghargai laki-laki sebagai urang sumando (yang datang ke keluarga istri), jadi dikasi berapa uang japuiknya...sekian misalnya. Nanti uang itu dijadikan modal usaha itu...iya untuk hidup sama-sama istrinya. Waktu ibu dulu gitu...dia ini kami (Nur dan suami) dijodohkan. Kalau jaman dulu mana kayak sekarang, orang banyak pacar-pacaran. Tapi bukan sembarangan laki-laki yang dikasih sama kita. Bagus orangnya...bisa dia mencari (punya pekerjaan), makanya uang japuik itu untuk modal sama dia. Nur mengungkapkan bahwa sumber referensinya mengenai tradisi uang jemputan, bersumber dari pengalaman kerabatnya yang menikah dengan melaksanakan tradisi tersebut. Orang tua Nur tidak secara khusus menjelaskan tentang makna tradisi uang jemputan. Akhirnya saat menjalani pernikahan karena dijodohkan oleh keluarganya dan dibantu oleh paman (mamak)nya, Nur juga menjalani tradisi tersebut: Ya...dari saudara-saudara ibu, orang-orang dulukan banyak dijodohin dulu itu. Pendapat ibu nggak masalah, orang tua mencarikan jodoh pasti yang bagus untuk anaknya. Kalau cocok...mamak kita juga ikut berperan, dialah yang datang melamar ke keluarga laki-laki tadi. Kalau orang bilang...bisa pula orang Pariaman ini, perempuan yang

120 103 ngasi uang sama laki-laki, biarkan aja...kan orang itu nggak tahu adat itu kayak mana. Saling menghormati ajalah...nggak masalah itu. Beliau menambahkan pula bahwa pemberian uang jemputan oleh pihak keluarga perempuan, nantinya akan dibalas atau dikembalikan lagi oleh pihak keluarga laki-laki, selain itu Nur juga memahami adanya tradisi baetong sebagai bentuk solidaritas keluarga dalam membantu memberikan sumbangan untuk pengeluaran biaya pesta: Nanti itu...waktu kita pergi ke rumah keluarga laki-laki, kita dikasi panibo. Berapa uang japuik yang dikasi...segitu juga harganya panibo yang dikasi. Itu dia itu...bisa bentuk perhiasan, pakaian atau apalah yang cocok. Trus kalau orang Padang ni, pas hari pesta tu...malamnya diadakanlah baetong...niniak mamak itu yang memimpin. Nanti sanak keluarga kita menyumbang...ada yang ngasi duit, kain, emas, pakaian dan lain-lain untuk yang pesta. Jadi kalau orang Padang ini pesta nggak ada ruginya. Uang hasil baetong itu...biasanya bisa menutupi biaya pesta, bahkan bisa lebih. Nur menjelaskan bahwa pada masa sekarang ini telah terdapat perubahan pada pelaksanaan tradisi uang jemputan: Kalau sekarang anak-anak banyak yang pacar-pacaran. Susahlah misalnya si perempuan...enggak sanggup keluarganya manjapuik, si laki-laki bilang...nanti abang yang ngisi uang jemputan itu katanya. Jadi laki-laki itu mengganti untuk mengisi adat. Dari pada malu, nggak dijalankan adat istiadatnya. Tapi awak orang Padang ini enggak bisa pesta mengharapkan orang lain, harus ada jugalah uang kita. Peneliti mencoba menggali lebih dalam bagaimana sikap beliau dalam urusan perjodohan anak-anaknya, sebagai upaya transmisi nilai-nilai tradisi kepada generasi muda, Nur mengemukakan pendapatnya sebagaimana berikut: Pernahkan anak ibu cowoknya orang Padang, sesama keluarga udah saling kenal kalau ada acara di rumah kita...dia datang. Udah kayak anak sendirilah...orangnya baik. Tapi lama-lama ibu nilai, ada juga enggak bagus keluarganya, belum apa-apa...udah berani pinjam duit. Ibu nggak suka kali sama orang yang enak sama dia, nggak enak sama kita. Saling menghargailah...kita kalau udah menikahkan anak kita, kan menyatukan dua keluarga. Ibu kalau dapat...kawin anak awak, sama keluarga juga saling berbaikan. Ini...belum apa-apa udah berani

121 104 pinjam duit memaksa pula tu, udah ibu bilang enggak ada duitku...kakak ada barang emas, kita gadaikan aja yok...katanya, enggak suka pula ibu kayak gitu. Jadi memang ibu jodohkan sama pilihan ibu, tapi kita kenalkan lah dulu...biar dia menilai cocok nggaknya, dia juga yang mau berumahtangga...iya kan. Berdasarkan pernyataan Nur di atas, peneliti menanyakan bagaimana sikap anaknya ketika dijodohkan dengan pilihannya tersebut: Ibu bersyukur juga punya anak, masih bisa diatur...walaupun dulu ada yang menentang (membantah), akhirnya dinasehati nurut juga. Kalau anak itu menikah dengan pilihan orang tua, sakit senangnya orang tua ikut menanggung...iya kan. Tapi kalau anak itu nyari jodoh sendiri...kalau senang dialah itu, kalau terjadi yang buruk mau bilang apa, rasakanlah...itu juga pilihanmu, iya kan. Peneliti menanyakan, bagaimana beliau memandang proses transmisi nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan, beliau menjelaskan pandangannya berdasarkan pengetahuannya menyaksikan pelaksanaan tradisi tersebut di kampung halaman orang tuanya: Orang tua Ibu juga bukan ada ngasi tau adat japuik itu. Kita positif aja menilai tradisi itu kan. Kalau pulang kampung...kita tenggok kayak mana...saling membantu orang di kampung itu, kalau ada yang pesta. Ibu kan sering pulang kampung...jadi sering tenggok pesta-pesta saudara. Kalau di sini...kita pergi ke pesta saudara, tentu anak kita juga kita bawa, dari situlah dia tahu adat itu. Kalau khusus kali dikasi tahu, enggak ada. Yang penting, adat itu bukan untuk merugikan anak-anak kita. Kalau ibu yang penting anak ibu itu dididik untuk tahu sopan santun. Beliau juga mengemukakan bahwa dengan membiasakan berbahasa Minang di dalam keluarga, merupakan salah satu bentuk upaya melestarikan dan memperkenalkan budaya Minang kepada anak-anaknya. Namun Nur mengakui bahwa anak-anaknya tidak terlalu mahir berbahasa Minang, karena lebih banyak berbaur dengan orang-orang dari suku berbeda. Kedua orang tuanya juga membiasakan berbahasa Minang pada beliau, sehingga Nur mahir berbahasa Minang, walaupun tinggal diantara masyarakat yang berbeda budaya.

122 Informan 8 Karakteristik Umum: 1. Nama : Shanti Nazir 2. Nama Panggilan : Shanti 3. Usia : 33 Tahun 4. Suku Pasangan : Mandailing 5. Pendidikan : S1 6. Pekerjaan : Karyawan Swasta 7. Alamat : Jalan Bromo Gang Panjang Nomor 2 Medan Denai. Shanti menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari suku Mandailing yang berprofesi sebagai guru sekaligus sebagai seorang wirausaha. Pada bulan Desember tahun 2012, ia menikah dengan suaminya di usia yang telah menginjak 30 tahun dan dikaruniai seorang putra berusia 2 (dua) tahun. Shanti sangat terbuka menjawab pertanyaan yang peneliti ajukan, saat ditemui di rumahnya dalam proses wawancara pada tanggal 14 September Bagi Shanti membicarakan tentang tradisi uang jemputan adalah mengingat kembali masa sulit dirinya dalam pencarian jodoh. Sebelum akhirnya menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda, Shanti pernah mengalami kegagalan perjodohan yang diatur oleh keluarganya dengan seorang laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman. Peneliti mencoba menggali lebih dalam tentang pengalaman menarik yang pernah dialami oleh Shanti mengenai kegagalan perjodohan tersebut. Dua minggu setelah proses wisuda dan menyelesaikan perkuliahan pada awal Februari tahun 2005, Shanti langsung mendapat tawaran pekerjaan sebagai

123 106 karyawan di salah satu perusahaan swasta di Kota Medan. Kepribadian Shanti yang aktif dan pandai bergaul dengan siapa saja, membuat orang tuanya berharap Shanti segera menemukan jodoh. Namun Shanti adalah sosok pekerja keras yang memiliki prinsip tidak akan menikah, sebelum mampu membahagiakan kedua orang tua dan adik-adiknya. Shanti adalah anak ke 2 (dua) dari 5 (lima) bersaudara yang terlalu sibuk bekerja hingga menomorduakan urusan jodoh. Hal ini membuat kedua orang tuanya resah dan selalu berupaya mencarikan jodoh untuknya. Shanti memiliki satu kakak perempuan yang menikah dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman, sementara itu adik laki-lakinya juga telah dinikahkan dengan perempuan Minang Pariaman pula. Pada awal tahun 2009 di saat Shanti memasuki usia 27 tahun, kedua orang tuanya sudah resah, dikarenakan Shanti belum juga menikah dan terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Akhirnya kedua orang tuanya menjodohkan Shanti dengan seorang laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman yang berprofesi sebagai pengusaha optik di Palembang. Perjodohan tersebut diprakarsai orang tuanya dan dibantu oleh mamak (paman), adik laki-laki ibunya yang tinggal di Pariaman. Mamak tersebut berhubungan baik dengan orang tua dari laki-laki yang akan dijodohkan dengan Shanti, sehingga ia merasa cukup mengenal prilaku sang calon menantu dari orang tuanya yang juga tinggal di Pariaman. Shanti dan lakilaki tersebut hanya sekali bertemu dan berkomunikasi secara langsung, ketika laki-laki tersebut datang mengunjungi Shanti di Kota Medan. Pada awalnya Shanti menolak untuk dijodohkan, karena merasa masih belum mampu membahagiakan keluarganya dan dikarenakan ia tidak cukup mengenal kepribadian laki-laki tersebut.

124 107 Demi keinginan untuk berbakti kepada kedua orang tua yang sangat menginginkannya segera menikah, Shanti akhirnya menerima perjodohan tersebut. Saat proses pelamaran yang dilakukan oleh mamak (paman)nya di Pariaman, disepakatilah sejumlah uang jemputan yang sebenarnya tidak disetujui Shanti karena dirasakan memberatkan keluarganya, sebagaimana penuturannya berikut: Kasihan saya dengan orang tua, mereka sebenarnya tidak mampu secara ekonomi memenuhi uang jemputan yang diminta keluarga lakilaki itu...tapi mamak (paman) yang di kampung, mau membantu menambah uang jemputannya. Direncanakanlah pernikahan itu pada bulan Oktober Orang tua sebenarnya hanya ingin saya segera menikah. Saya sendiri masih mau berbakti sama mereka...membantu mereka menyekolahkan adik-adik. Saat itu sebenarnya, ada teman satu profesi dengan saya yang serius mau melamar, namun dia dari suku yang berbeda. Orang tua saya nggak setuju...mereka inginnya menantu dari sesama suku Minang juga, padahal laki-laki itu mau melamar saya dengan uang kasih sayang, berapapun yang saya minta...jadi orang tua saya, tidak perlu harus mengusahakan uang jemputan itu. Akhirnya pada pertengahan bulan Mei tahun 2009, perjodohan tersebut dibatalkan. Hal itu disebabkan oleh laki-laki yang akan dijodohkan dengan Shanti, tidak memiliki keseriusan dalam rencana pernikahan, sebagaimana penjelasan Shanti seperti kutipan wawancara berikut: Sejak lamaran bulan Februari sampai Mei 2009 itu, laki-laki itu tidak ada komunikasi dengan saya, padahal rencana pernikahan makin dekat. Setiap saya telpon tidak pernah diangkat dan saya sms, tidak ada balasan. Selama 3 bulan...saya merasa nggak ada keseriusannya, padahal kami jarak jauh, saya di Medan...dia di Palembang. Hati kecil saya merasa, laki-laki itu nggak serius ingin menikah dengan saya. Saya cuma ingin berusaha menciptakan komunikasi yang baik sama dia, sehingga terbiasa nanti kalau sudah berumah tangga. Seorang laki-laki seharusnya, berusaha lebih dekat dengan perempuan yang ia inginkan menjadi istrinya kan...ini malah nggak. Akhirnya suatu hari saya pinjam handphone kakak saya untuk menelponnya...ternyata dia angkat, susah payah saya memaksa dia untuk menjelaskan tentang alasan sikapnya selama ini kepada saya. Ternyata ia mengakui bahwa ia terpaksa menjalani perjodohan ini, karena permintaan orang tuanya dan sebenarnya ia juga telah memiliki pacar. Lalu saya tegaskan, saya

125 108 minta dia secara jantan dan bertanggungjawab datang ke paman saya untuk membatalkan rencana pernikahan itu, karena tidak ada gunanya bila tetap dilanjutkan dan sebelum akhirnya pernikahan tersebut menyakiti banyak pihak. Tadinya saya berfikir, dia masih menjadi seorang pengecut dan tidak berani mendatangi paman saya. Ternyata apa yang saya ucapkan padanya, mungkin mampu membuka fikirannya. Akhirnya ia dan keluarganya menemui paman saya di kampung sana. Bulan Mei 2009 itu...perjodohan itupun dibatalkan. Saya amat bersyukur kepada Allah...perjodohan yang nggak saya inginkan itu akhirnya batal. Shanti mengakui tidak bersedih dengan peristiwa itu, karena ia belum memiliki perasaan apapun kepada laki-laki tersebut. Namun Shanti mengaku kecewa pada keluarganya yang terlalu memaksakan kehendak kepada dirinya: Saya nggak punya perasaan apapun sama laki-laki itu, sampai saat inipun saya tidak merasa pernah gagal menikah. Saya menjalaninya karena berniat ingin berbakti pada orang tua. Dulu...ayah dan ibu saya menikah tanpa saling mengenal lebih dahulu dan mereka bahagia sampai saat ini. Namun jaman sekarang tidak bisa disamakan dengan jaman orang tua kita dulu kan. Seperti makan buah simalakama saya menjalani perjodohan itu, bila diputuskan...takut keluarga saya kecewa. Kalau diteruskan saya merasa menjerumuskan diri sendiri dalam pernikahan dengan orang yang salah. Saat peneliti menanyakan alasan Shanti menerima perjodohan tersebut, ia menuturkan sebagaimana kutipan wawancara berikut: Saya berprinsip pacar itu adalah suami kita, indahnya pacaran setelah menikah...mungkin pilihan orang tua adalah yang terbaik dalam pikiran saya. Mungkin dengan cara seperti itu, Allah mempertemukan saya dengan jodoh...saya berusaha positif menjalani itu. Ternyata pengalaman itu hanya perjalanan saya untuk mendapatkan jodoh yang terbaik. Dan ternyata orang tua juga bisa salah, yang mereka fikir terbaik untuk anaknya...ternyata bukan yang terbaik di mata Allah. Shanti mengakui bahwa orang tuanya memiliki sikap fanatik terhadap adat istiadat, di mana dalam urusan perjodohan, orang tuanya menginginkan anakanaknya menikah dengan sesama suku Minang Pariaman, seperti yang terjadi pada kakak perempuan dan adik laki-laki Shanti. Ia menuturkan pandangannya

126 109 mengenai unsur agama dan kepercayaan dalam tradisi uang jemputan, yang berbeda dengan suku lainnya: Kadang bisa menyalahi aturan agama juga menurut saya, dalam agama menikah itukan...jangan diberatkan dan harus saling cinta. Uang jemputan itu terkadang ditetapkan, tidak memperhitungkan kesanggupan pihak perempuan saya lihat. Kalau suku lain...pihak lakilaki yang melamar dan memberi uang kasih sayang kepada calon istrinya. Jadi...wajar orang bilang, ih...orang Minang ini, laki-laki pula yang dibeli. Terus terang...saya malu mendengarkannya. Shanti juga mengemukakan pendapatnya mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan: Uang jemputan itu untuk menghargai status sosial laki-laki, karena dia dianggap udah mapan, punya usaha optik, jadi dianggap mampu menghidupi keluarga nantinya. Makanya uang jemputan itu diberikan sebagai tambahan modal usahanya. Tapi karena pengalaman saya yang lalu, jadinya saya menilai...kalau dapat laki-laki dari suku yang sama, uang jemputan itu memberatkan. Kayak ada trauma bagi saya, kalau menikah dengan sesama orang Pariaman. Setelah kejadian itu, saya memang berkeinginan menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda...ternyata Alhamdulillah, Allah mengabulkan. Akhirnya orang tua juga terbuka fikirannya, laki-laki yang baik itu tidak dinilai dari suku. Saya dan suami dekat dengan keluarga...sehingga walaupun orang tua menilai saya telat menikah, namun mereka melihat kalau saya bahagia sekarang. Saya yakin, sebenarnya setiap orang tua itu hanya menginginkan kebahagiaan anaknya, tapi karena sikap fanatik terhadap kesukuan tadi...jadinya bisa salah juga. Ia juga menuturkan persepsinya tentang peranan keluarga dalam proses transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan kepada generasi muda Minang: Saya rasa nggak sesuai lagi tradisi uang jemputan itu dilaksanakan. Harusnya orang tua jangan bersikap fanatik pada adat istiadat, apalagi menyangkut perjodohan...bisa jadi anak berjodoh dengan laki-laki yang berbeda suku. Orang tua hanya perlu menasehati anak, agar tidak salah memilih pasangan hidup. Jangan gara-gara memaksakan adat itu dijalankan, hubungan orang tua dan anak tidak baik. Saya juga akan bersikap seperti itu kepada anak-anak saya kelak.

127 110 Peneliti menanyakan keseringan Shanti pulang kampung dan menyaksikan pelaksanaan tradisi uang jemputan di sana: Saya jarang ya pulang kampung...orang tua juga jarang pulang kampung, karena banyak kesibukan di sini kan. Paling-paling kalau ada pesta saudara, orang tua aja yang pergi. Jadi saya nggak banyak memahami tradisi itu kalau di kampung itu...bahkan waktu mamak (paman) saya mewakili orang tua saya untuk melamar laki-laki itu, saya dan orang tua tetap di Medan. Makanya saya nggak merasa pernah gagal menikah. Kalau saudara saya pesta...trus pakai uang jemputan, saya nggak terlalu memperhatikan juga. Pengalaman saya ya...saat gagal dijodohkan itu. Di dalam keluarga, bahasa Minang juga digunakan sebagai bahasa seharihari. Shanti mengakui tidak terlalu mahir berbahasa Minang, namun ia dapat memahami bila orang lain berkomunikasi menggunakan bahasa daerahnya tersebut. Ia juga menambahkan bahwa secara khusus tradisi ini tidak pernah dijelaskan makna yang sebenarnya oleh orang tuanya. Referensi Shanti tentang tradisi uang jemputan bersumber dari pengalamannya sendiri Informan Tambahan Informan Tambahan 1 Karakteristik Umum: 1. Nama : Haji Muhammad Ridwan 2. Usia : 60 Tahun 3. Jenis Kelamin : Laki-laki 4. Suku Pasangan : Minang bukan Pariaman 5. Pendidikan : S2 6. Pekerjaan : Dosen FKIP UMSU 7. Alamat : Jalan Mantri Nomor 34/A Kelurahan Kampung Aur Medan.

128 111 Ridwan adalah seorang akademisi yang juga aktif dalam hubungan kemasyarakatan pada organisasi masyarakat Minang Pariaman, yaitu Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP). Beliau juga menjabat sebagai Wakil Ketua pada Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) yang merupakan tempat berkumpul dan bermusyawarahnya seluruh organisasi masyarakat Minang yang ada di Sumatera Utara. Laki-laki yang telah berusia lebih dari setengah abad itu memperlihatkan antusiasnya, ketika berbicara perihal adat istiadat suku Minang. Beliau lahir dan besar di perantauan (Kota Siantar), namun hal tersebut tidak menghilangkan identitasnya sebagai putra Minang. Beliau memahami adat istiadat suku Minang bersumber dari keluarga dan interaksi sosial sesama suku Minang. Ridwan merupakan salah seorang niniak mamak atau orang yang dituakan yang menjadi tempat bermusyawarah mengenai hal-hal kemasyarakatan sesama orang Minang Pariaman, termasuk urusan pernikahan. Proses wawancara dengan beliau dilakukan pada tanggal 25 Juni 2015 di rumahnya. Menurut beliau, tradisi uang jemputan yang berlaku dalam adat perkawinan masyarakat Minang Pariaman tidak melanggar syariat Islam, karena tradisi uang jemputan merupakan urusan duniawi, di mana tradisi ini merupakan bentuk kasih sayang keluarga kepada anak-anak yang dinikahkan. Uang jemputan yang diberikan pihak perempuan akan dikembalikan lagi dalam bentuk benda-benda berharga oleh pihak keluarga laki-laki yang disebut panibo, sebagaimana kutipan wawancara berikut: Uang jemputan itu tidak melanggar syariat, itukan duniawi..tetap hukum munakahat dalam Islam yang dijalankan, ada wali, ada pengantin laki-laki dan perempuan, ada saksi, baru ada ijab kabul. Tapi kalau yang namanya manjapuik itu...itu duniawi. Suka dia kepada saya umpamanya, dikasih modal berupa uang japuik. Tapi ada juga istilahnya uang hilang...itu maknanya hilang sama sekali. Tapi

129 112 kalau uang jemputan itu balik lagi kepada si perempuan berupa benda. Kalaulah dia manjapuik Rp. 10 juta misalnya, ketika dia datang kepada keluarga laki-laki, keluarga yang laki-laki itu memberi semacam bingkisan, itu dinamakan panibo yaitu semacam uang kasih sayang kepada menantu, bahkan nanti kembalinya bisa lebih dari Rp. 10 juta, berbentuk pakaian, barang emas, atau lainnya. Itulah yang sebenarnya...tapi sekarang sudah banyak yang dipelesetkan orang, uang hilang namanya. Misalnya diberikan Rp. 10 juta, uang itu nggak balik lagi sama perempuan. Dari pernyataan di atas, beliau mengakui telah terjadi perubahan atau pergeseran nilai pada pelaksanaan tradisi uang jemputan yang berubah fungsi menjadi uang hilang. Ketika peneliti menanyakan mengapa uang hilang menjadi permasalahan, beliau menjelaskan bahwa uang hilang tidak dikembalikan lagi kepada pihak perempuan, sehingga pada awal penentuan jumlahnya sering memberatkan pihak keluarga perempuan. Selanjutnya beliau menambahkan bahwa prosesi yang sebenarnya, uang jemputan itu dikembalikan lagi kepada perempuan, ketika pertama kali datang ke rumah keluarga laki-laki dengan membawa makanan khas suku Minang, seperti juadah (sejenis kue) dan sebagainya, sebagaimana kutipan wawancara bersama beliau berikut ini: Si perempuan ini datang ke tempat mertua membawa juadah dan lainnya, makanan khas orang Minang dan dibawa ke tempat keluarga mertuanya. Sampai di rumah mertua...dibagi-bagilah kepada saudara keluarga laki-laki, kemudian saat mengambil tempat isi makanan tersebut sudah adalah diisi sesuatu, sama keluarga laki-laki tadi. Dalam agamapun disebutkan harus menghormati tamu. Seperti pepatah mengatakan...melenggang berbuah tangan, berjalan berbuah kaki, berjalan itu kan harus ada yang dibawa, tapi ada juga yang nggak ngasi...kebetulan keluarga laki-lakinya miskin misalnya. Tapi biasanya orang Pariaman malu, kalau tidak memberi sesuatu kepada menantunya pertama kali datang mengunjunginya, diusahakannya juga memberikan sesuatu kepada menantunya tadi. Ridwan kembali mengemukakan pandangannya mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan sebagai pemberian modal usaha untuk kedua pengantin setelah menikah. Apabila terjadi perpisahan, pihak laki-

130 113 laki tidak berhak mengambil harta pemberian keluarga istri, namun bila pasangan tersebut memiliki harta pencarian bersama, maka harta tersebutlah yang bisa dibagi sesuai kesepakatan. Beliau juga menjelaskan peranan mamak atau paman dalam proses perjodohan perempuan Minang, sebagaimana kutipan wawancara berikut: Kekuasaan mamak atau paman itu kuat kalau di kampung, jadi kalau ada keponakannya sudah gadis tua, sibuklah paman tadi bertanyatanya ke sana ke mari, untuk mencarikan jodohnya. Kalau sudah ketemu yang tepat, baru disampaikan kepada ayahnya. Kalau ayah si perempuan setuju, baru diadakan maresek, kalau setuju pihak lakilakinya...jadi lah itu. Di situlah nanti kumpul kedua belah pihak keluarga paman si laki-laki dan paman si perempuan atau utusannya masing-masing, berbicara atau bernegosiasi. Kalau sudah ada persetujuan dan kesepakatan, barulah ditetapkan jumlah uang jemputan. Pepatah mengatakan kalau paku asam balimbiang, tampuruang lenggok-lenggokkan. Anak dipangku, kamanakan dibimbiang. Urang kampuang tolong patenggangkan. Itu petatahpetitih, kalau ada musyawarah...seperti dalam adat manjapuik, musyawarah pembangunan desa atau yang lain-lain pasti ada seperti itu. Dalam segi demokrasinya orang Minang sangat-sangat demokrasi. Keputusan tidak bisa diambil sendiri...harus dimusyawarahkan dahulu. Untuk pesta pernikahan saja harus dimusyawarahkan...itu namanya bakampuang-kampuang artinya berkumpul menetapkan hari pesta, diundanglah para ninik mamak, orang tua-tua semuanya. Jangan sampai berbenturan dengan pesta lainnya supaya bisa saling membantu. Ketika peneliti menanyakan tentang bagaimana pelaksanaan tradisi uang jemputan pada masyarakat Minang Pariaman di Kota Medan saat ini, Ridwan mengatakan bahwa orang Pariaman selalu memegang teguh adat istiadatnya, namun adat itu bersifat dinamis dan dapat disesuaikan dengan lingkungan, sehingga dapat terjadi perubahan dalam pelaksanaannya, seperti penuturan beliau berikut: Saya melihat bukan orang Pariaman saja, termasuk orang Minang pada umumnya, kalau merantau...adat istiadatnya tetap dibawa. Seperti pepatah dima bumi dipijak, disinan langik di junjuang (di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung), artinya adat itu

131 114 menyesuaikan diri, bukan memaksakan adatnya di rantau. Makanya orang Minangkabau ini, di mana saja dia berada, dia tidak mengecewakan penduduk setempat. Bisa diterima oleh masyarakat sekitar. Perubahan dalam melaksanakan tradisi uang jemputan terjadi berdasarkan kerelaan kedua belah pihak. Orang Minang Pariaman juga telah berbaur dengan budaya setempat dalam pelaksanaan tradisi ini, hal tersebut sebagaimana kutipan wawancara bersama beliau berikut ini: Di Medan ini...ada yang melaksanakan tradisi uang jemputan, ada juga yang tidak. Seperti beberapa waktu lalu...saya menemukan suatu kasus, ada seorang laki-laki Pariaman suka sama perempuan Pariaman juga, malah laki-lakinya yang memberi Rp. 10 juta sama perempuan itu. Padahal keluarga perempuan itu kuat sekali adat Minangnya. Perubahan lain di Medan ini, karena terlalu banyak orang Minang, kadang pestanya ya berbenturan juga. Bisa juga satu hari itu ada 3, 4 bahkan 5 orang yang pesta, padahal sama-sama orang Pariaman semua. Bisa jadi seperti itu karena dia tidak satu puak (daerah). Kalau satu puak (daerah), biasanya tidak akan terjadi. Puak adalah sebutan untuk daerah di Pariaman se tingkat Kecamatan, sedangkan Luhak adalah sebutan untuk daerah se tingkat Kabupaten/Kota. Ridwan memiliki 4 orang anak yaitu satu orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan. Ridwan mengatakan bahwa ia tidak pernah memaksakan kehendak dalam pemilihan jodoh untuk anak-anaknya. Beliau menyebutkan bahwa ia rela memberikan uang jemputan untuk calon menantunya kelak, agar anak perempuannya mendapatkan jodoh yang mapan. Hal tersebut sebagaimana penuturan beliau yang dituliskan sebagai berikut: Kalau saya situasional saja...bila datang seseorang meminang anak saya, kalau anak saya setuju nggak masalah. Seandainya calon menantu saya Pegawai Negeri misalnya, ya saya rela juga memberi uang jemputan itu, kan...untuk anak saya juga istilahnya. Saya bilang kepada anak saya kalau suka sama suka, silahkan datangi orang tuanya, enggak perlu saya manjapuik. Dulu pernah anak saya yang sulung dilamar laki-laki Pariaman, dia pula yang mengutus pamannya kepada saya...untuk meminta agar anak perempuan saya menikah

132 115 dengannya. Tapi anak saya tidak suka...apa boleh buatlah, kalau seandainya anak saya terima, mungkin sudah sejahtera dia, karena laki-laki itu kepala sekolah SMA di Sabang...mungkin mereka nggak jodoh. Ridwan juga mengatakan bahwa tidak ada permasalahan dengan pelaksanaan tradisi uang jemputan, karena penetapan jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan pihak perempuan. Beliau memberi contoh seperti pengalaman dirinya bahwa walaupun ia sebagai laki-laki Pariaman, ia tidak berkeinginan dijemput oleh istrinya, sebagaimana kutipan wawancara berikut: Tidak ada terjadi selisih paham mengenai uang jemputan...karena itu disesuaikan dengan kemampuan, jangan dipaksakan...jangan sampai menggadai pula karena tidak mampu. Seperti saya sebagai orang Pariaman, saya tidak harus dijapuik. Kalau suka ya silahkan saja...istri saya bukan orang Pariaman, itu pilihan saya. Adat itu bisa jadi berlaku juga untuk orang yang bukan berasal dari Pariaman. Bisa jadi keluarga laki-laki, yang mengharuskan tradisi itu berlaku. Bisa juga tidak harus diberlakukan, sekarang masalahnya suka sama suka. Selanjutnya Ridwan menuturkan bahwa penggunaan bahasa daerah sekarang ini, sudah jarang dibiasakan di rumah keluarga Minang. Perbauran generasi muda Minang dengan suku lainnya, membuat penggunaan bahasa Indonesia menjadi bahasa utama dalam komunikasi keluarga, bahkan bahasa asing lebih disukai dari pada bahasa daerah asalnya. Menurut beliau, generasi muda Minang lebih banyak, hanya mampu memahami sedikit saja bahasa Minang. Beliau juga menuturkan bahwa pada kehidupan masyarakat Minang di rantau, mamak atau paman tidak lagi berperan utama dalam hal perjodohan: Jadi yang berperan dalam perjodohan perempuan-perempuan Minang adalah mamak-mamak (paman) yaitu adik atau abang ibunya. Tapi di rantau ini sekuat-kuatnya peranan paman, lebih kuat juga peranan ayah.

133 116 Ridwan melihat adanya kelemahan orang Minang yang memutuskan tali silaturahmi dalam berbesanan, karena merasa malu apabila terjadi perceraian dalam rumah tangga anak-anaknya. Beliau melihat hal tersebut dari beberapa pengalaman keluarga maupun sesama orang Pariaman yang beliau ketahui. Sementara itu Ridwan menambahkan bahwa anak-anaknya mengetahui tradisi uang jemputan sebatas pada pengalaman melihat para kerabat yang melaksanakan tradisi tersebut Informan Tambahan 2 Karakteristik Umum: 1. Nama : Sutan Alamsyah Guci 2. Jenis Kelamin : Laki-laki 3. Usia : 67 Tahun 4. Status Pasangan : Minang Pariaman 5. Pendidikan : SD 6. Pekerjaan : Wiraswasta 7. Alamat : Jalan Suka Budi Nomor 4 Simpang Limun Medan. Peneliti menemui Sutan Alamsyah di rumahnya pada tanggal 05 Juli 2015 untuk melakukan proses wawancara. Beliau merupakan seorang tokoh adat Minang yang dikenal aktif dalam hubungan kemasyarakatan orang Minang khususnya yang berasal dari Pariaman. Saat ditemui di rumahnya, beliau sedang terbaring lemah akibat penyakit paru-paru kronis yang telah dideritanya sejak lama. Dengan langkah tertatih sambil dituntun oleh istrinya, Sutan Alamsyah Guci menemui peneliti di ruang tamu. Beliau sangat antusias memberikan penjelasan terhadap setiap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Beliau

134 117 mengatakan bahwa ia amat senang, ketika melihat ada generasi muda yang mau bertanya tentang adat istiadatnya. Meskipun berulang kali batuk saat proses wawancara, beliau tidak terlihat lelah memberi penjelasan tentang adat istiadat Minang khususnya nilai-nilai budaya yang ada dalam tradisi uang jemputan, sebagaimana penuturan informan berikut: Adat Minang yang ada dalam tradisi uang jemputan itu dibuat untuk keselamatan perempuan. Keselamatan perempuan itu perlu...sebab Rasulullah Saw sendiri menjaga keselamatan perempuan. Coba bayangkan bila seorang perempuan diusir tengah malam dari rumah, ke mana dia akan pergi. Jadi itu makanya orang Minang itu menyusun adat istiadatnya. Pedoman adat itu ada 4 yaitu raso (rasa), pareso (perasa), malu dan sopan. Itu isi adat orang Minangkabau...kalau nggak ada yang 4 ini dalam dirinya, itu bukan orang Minang. Beliau menjelaskan tentang perumpamaan apabila terjadi pertengkaran dalam rumah tangga, hingga membuat seorang perempuan (istri) diusir dari rumah. Hal tersebut tidak akan terjadi dalam adat Minang, karena laki-laki (suami) adalah pihak yang datang ke rumah istri. Sebutan urang sumando bagi suami adalah menantu yang dihargai serta sebagai suami juga harus menghargai orang-orang yang ada di dalam rumah mertua, terutama istrinya. Oleh karena itu apabila terjadi pertengkaran atau perceraian, maka laki-lakilah yang harus pergi dari rumah. Selanjutnya beliau menjelaskan mengenai 4 (empat) isi adat Minangkabau yang ia maksud, sebagaimana penuturannya berikut: Yang dikatakan raso adalah perasaan kita kalau disakiti orang...makanya jangan menyakiti orang. Coba sama-sama kita pakai raso itu, makanya dikatakan orang Minang itu arif bijaksana. Pareso datang dari dalam batang tubuh, perasaan kita untuk maraso (merasa) itu tadi. Kalau malu adalah perasaan malu bila menyakiti orang dan melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan lainnya. Hadist nabi mengatakan malu adalah sebagian dari iman. Nah...kalau sopan adalah etika kita kepada orang lain, itulah kelebihan orang Minang tadi. Sebetulnya adat ini adalah akhlakul karimah (akhlak mulia)...misalnya seorang laki-laki sedang mengerjakan sholat, auratnya hanya sebatas pinggang sampai lutut..udah itu aja yang ditutup, nggak usah pakai

135 118 apa-apa lagi, karena syarat menutup aurat dalam sholat udah dilakukan, jadi udah sah. Tapi apakah ini sempurna?...tidak ada akhlak namanya kalau seperti itu aja, makanya dipakai baju, sarung, supaya lebih sopan...itu yang dinamakan akhlak. Sutan Alamsyah Guci menyebutkan bahwa suku Minang sangat menghargai perempuan, namun pada masa kini justru perempuan tidak tahu dihargai: Makanya adat Minang lebih berat kepada perempuan, sebab pernah bertanya para sahabat kepada Rasulullah SAW. Ya Rasulullah...siapa yang paling dihormati di muka bumi?. Rasul menjawab sampai 3 (tiga) kali...ibumu...ibumu...ibumu, baru yang ke empat ayahmu. Karena tiga kali diulang ibu, maka diambillah kesimpulan oleh orang Minang, bahwasanya suku harus menurut ke ibu, bukan menurut suku ayah. Surga di bawah telapak kaki ibu...perempuan itu adalah penghulu di dalam alam. Mana kala baik perempuan itu, maka baiklah seluruh alam. Apabila rusak perempuan...maka binasalah seluruh alam. Itu hadist itu...luar biasa perempuan ini. Tapi kadang-kadang perempuan Minang tidak tahu dihargai. Orang Minang itu harus menjaga malu dan sopan tadi. Menyangkut tradisi bajapuik dalam perkawinan, beliau mengakui bahwa tradisi tersebut hanya berlaku bagi orang Minang yang termasuk di dalam daerah rantau. Tradisi di Minangkabau mengenai nikah terbagi dua yaitu daerah darek (darat) dan rantau. Pariaman termasuk daerah rantau yang memberlakukan adanya tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan, sebagaimana penuturan beliau berikut: Jadi khusus kepada orang rantau Pariaman, itu khusus dia manjapuik lakilaki, tujuannya karena kita mengambil keturunan dari laki-laki. Kalau dulu orang mencari laki-laki yang punya asal usul yang baik untuk dinikahkan kepada perempuan Minang. Sekarangkan tidak...bebas saja, yang penting agamanya Islam. Dan juga kalau dulu asal usul si laki-laki ini benar-benar digali, kalau perlu tujuh turunannya, baru dia layak dipinang. Dipinang itu dulu berdasarkan gelarnya, ada 3 gelar di Pariaman yaitu sutan, bagindo dan sidi. Kalau di luar itu nggak dipinang...jadi yang dipinang itu, sebetulnya bukan dipinang...tapi dijapuik (dijemput) untuk datang ke rumah si perempuan.

136 119 Dengan kondisi yang lemah dan suara batuk yang tak henti-hentinya, beliau masih terlihat bersemangat memberikan penjelasan pada setiap pertanyaanpertanyaan yang peneliti ajukan. Sambil mencoba duduk bersandar di kursi, beliau menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan yang sangat berbeda dengan tradisi uang hilang, sebagaimana kutipan wawancara berikut: Orang Minang itu malu kalau tak menepati janji, jadi kalau sudah disepakati jumlah uang jemputan itu...harus dijalankan. Yang dijapuik itu nanti uangnya kembali, 2 (dua) kali lipat malah kembalinya waktu dia manjalang. Uang itu diperuntukkan kepada orang yang menikah tersebut. Tapi kalau uang hilang tidak kembali...istilahnya seperti uang kasih sayang. Kenapa seorang laki-laki diberi uang hilang, dulunya ada seorang laki-laki yang sudah yatim piatu...dibesarkan oleh mamak (paman)nya sampai dia sekolah tinggi. Terus ada orang tua seorang perempuan...karena melihat akhlak si laki-laki tersebut, sangat ingin menjadikannya menantu. Lalu datanglah ia kepada paman si laki-laki untuk menyampaikan keinginannya. Si paman lakilaki itu berkata...dia sedang sekolah, sebenarnya saya juga sudah kehabisan dana untuk menyekolahkannya sampai tergadai harta pusaka, tunggulah sampai ia berhasil dan bisa menebus harta pusaka yang tergadai, barulah pinangan ini dilanjutkan. Karena keinginan yang kuat oleh orang tua si perempuan tadi dan tak ingin laki-laki tersebut dipinang oleh orang lain, maka ia berkata kepada paman si laki-laki, saya bersedia menebus harta pusaka yang tergadai tadi dan membantu membiayai sekolahnya. Itulah awalnya kenapa ada uang hilang atau uang kasih sayang yang hanya diperuntukkan kepada lakilaki. Sekarang ini orang masih ada yang memakai adat itu...padahal yang berlaku sebenarnya itu uang jemputan, bukan uang hilang. Beliau menegaskan tentang kebenaran cerita asal usul terjadinya uang hilang yang akhirnya menjadi tradisi ini adalah folklore (cerita rakyat) yang berkembang dari mulut ke mulut orang-orang pada jaman dahulu saja. Selanjutnya Sutan Alamsyah juga mengatakan bahwa yang sebenarnya memiliki nilai-nilai budaya yang luhur adalah tradisi uang jemputan, dikarenakan ada bentuk kasih sayang antar keluarga dengan memberikan persiapan materi kepada kedua anak yang dinikahkan. Sementara itu beliau berpendapat bahwa sekarang

137 120 ini banyak terjadi perubahan dan pergeseran nilai-nilai adat yang sebenarnya, sebagaimana penuturannya berikut: Perubahannya banyak sekali, orang kebanyakan tidak tahu dengan adat...tidak mau kembali kepada adat yang sebenarnya. Kalau dulu orang tua itu tempat bermusyawarah, sekarang ini sudah tidak lagi seperti itu. Banyak anak-anak yang sudah tak menghormati orang tua, apalagi ninik mamak dia anggap enteng. Karena ninik mamak yang dulu, banyak yang tidak bersekolah. Jangan dikatakan pendidikan formal itu menentukan...tidak, pendidikan non formal itu terkadang yang menentukan. Banyak sekarang faham-faham orang berpendidikan yang sudah tergelincir. Orang Minang sekarang ini, sudah memberi kebebasan kepada anaknya Informan Tambahan 3 Karakteristik Umum: 1. Nama : Chalida Fachruddin 2. Usia : 74 Tahun 3. Jenis Kelamin : Perempuan 4. Suku Pasangan : Minang bukan Pariaman 5. Pendidikan : S3 6. Pekerjaan : Pensiunan Guru Besar Antropologi FISIP USU 7. Alamat : Jalan Setia Budi Nomor 74/D Kelurahan Tanjung Rejo Medan. Chalida adalah seorang Antropolog yang juga merupakan tokoh perempuan Minang Pariaman yang aktif dalam hubungan kemasyarakatan suku Minang, hal tersebut membuat beliau dipercaya sebagai Ketua Dewan Pakar pada Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP) Provinsi Sumatera Utara. Chalida adalah pensiunan guru besar jurusan Antropologi FISIP USU. Setelah pensiun, Beliau kini menetap di Jakarta. Proses wawancara dengan beliau dilakukan secara tidak langsung. Pada tanggal 10 Juli 2015, peneliti mengirimkan pedoman

138 121 wawancara melalui paket kiriman kilat dengan tujuan Jakarta, di mana beliau berdomisili saat ini. Selanjutnya peneliti memperoleh hasilnya melalui pada tanggal 16 Juli Peneliti juga melakukan komunikasi melalui handphone kepada beliau, untuk mempertanyakan jawaban-jawaban beliau yang perlu penjelasan lebih dalam. Chalida adalah seorang perempuan Minang Pariaman yang lahir di perantauan, tepatnya di Kota Pematang Siantar. Beliau mengemukakan bahwa pelaksanaan perkawinan adat Pariaman tidak menyimpang dari agama Islam, karena unsur agama masih menjadi prioritas dalam memilih calon menantu. Beliau juga menceritakan pengetahuan yang bersumber dari ibunya mengenai prosesi yang dilaksanakan dalam tradisi uang jemputan: Menurut ibu saya ketika penjemputan, pihak anak daro membawa benda berharga yang sudah disepakati waktu acara peminangan dari pihak perempuan. Biasanya uang emas yaitu ringgit ameh dan bendabenda berharga lainnya. Benda-benda berharga tersebut diberikan kepada pihak marapulai yang merupakan pelambang bahwa marapulai sebagai anak laki-laki seorang ibu atau keluarga di rumah tersebut tidak diambil begitu saja. Benda-benda tersebut sebagai tanda masih ada ikatan antara anak laki-laki yang sudah menjadi urang sumando dan menetap di lingkungan kerabat isteri. Fungsi lain dari benda-benda tersebut sebagai pernyataan bahwa marapulai adalah keturunan orang terhormat. Adat inilah yang disebut bajapuik dan marapulai adalah orang jemputan. Benda-benda berharga tersebut akan kembali kepada anak daro melebihi harga atau jumlahnya, minimal ditambah pakaian sapatagak (pakaian sepasang yang lengkap) yang disebut panibo. Panibo diberikan kepada anak daro ketika datang bersama marapulai saat manjalang mintuo atau mengunjungi mertua pertama kali. Chalida memahami bahwa tradisi uang jemputan ini dilakukan berbalasan, di mana uang jemputan yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan, akan dibalas atau dikembalikan oleh pihak keluarga laki-laki pada saat manjalang mintuo. Pemberian ini diberikan kepada anak daro (pengantin

139 122 perempuan), berupa benda-benda berharga atau pakaian yang disebut panibo. Beliau menambahkan tradisi uang jemputan sebagai syarat terjadinya perkawinan adalah merupakan perwujudan rasa saling menghargai kedua belah pihak keluarga pengantin untuk menunjukkan rasa kasih sayang kepada anak-anak yang dinikahkan, sebagaimana kutipan wawancara beliau yang dituliskan sebagai berikut: Bagi masyarakat Pariaman akan merasa tidak beradat kalau tidak melaksanakan tradisi uang jemputan, tetapi sebaiknya perkawinan sesama orang Pariaman saja. Kalau tidak dilaksanakan, orang Pariaman kehilangan tradisinya. Tradisi uang jemputan amat baik diberlakukan, apabila memang seperti yang seharusnya, kedua belah pihak yaitu pihak perempuan memberikan uang atau barang, sebaliknya pihak laki-laki membalasnya lagi yang disebut panibo, yaitu pemberian pihak keluarga laki-laki kepada menantu perempuannya, jadi dalam hal ini tidak ada unsur jual beli seperti yang dipersepsikan selama ini, tetapi saling menghargai antar dua keluarga yang masing-masing menyayangi anak. Chalida menyebutkan bahwa pelaksanaan tradisi uang jemputan sudah kehilangan makna yang sebenarnya. Fungsi adat jemputan sudah berubah menjadi fungsi ekonomi yang mengutamakan uang semata, sehingga menyebabkan terjadinya ketidaksepakatan mengenai penentuan jumlah uang jemputan karena ketidakmampuan ekonomi pihak keluarga perempuan. Beliau melanjutkan tentang pemahamannya mengenai peranan pihak perempuan dalam hal pelamaran: Sejak acara peminangan sampai acara perkawinan atas prakarsa pihak perempuan. Pengantin laki-laki atau marapulai adalah tamu terhormat kerabat pengantin perempuan atau anak daro yang kelak statusnya sebagai urang sumando atau pihak yang datang karena dijemput atau dijapuik secara adat. Peritiwa ini dirangkum oleh pepatah...sigai mancari anau...anau tatap sigai baranjak. Datang dek bajapuik...pai jo baanta. Ayam putiah tabang siang...basuluah matohari. Bagalanggang mato rang banyak...tangga mencari enau. Enau tetap tangga bapindah (datang karena dijemput...pergi dengan diantar. Bagai ayam putih terbang siang...bersuluh matahari, disaksikan mata orang banyak).

140 123 Chalida menyebutkan pula bahwa tradisi yang hanya dimiliki oleh masyarakat Pariaman ini, perlu dilestarikan dengan cara mendokumentasikannya sebagai suatu kearifan lokal, agar generasi muda Minang dapat memahami makna yang sebenarnya dalam tradisi tersebut, sebagaimana kutipan hasil wawancara beliau yang dituliskan sebagai berikut: Pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi terdahulu hanya melalui lisan saja. Nilai-nilai budaya tidak didokumentasikan, sehingga adat istiadat sangat mudah berubah menjadi adat yang diadatkan. karena manusia memang senantiasa berubah. Fenomena ini buat orang Minang bukan hal yang aneh, karena ada pepatah adat bahwa sakali aia gadang, sakali tapian barubah (sekali air besar, sekali tepiannya berubah). Seharusnya nilai-nilai budaya didokumentasikan dengan baik, apalagi adat di Minangkabau dikawal oleh adanya Kerapatan Adat. Tentunya nilai budaya dalam adat bajapuik yang merupakan kearifan lokal dapat menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat Pariaman. Perubahan pasti terjadi pada penerapan, namun nilai positif sebagaimana makna semula tetap utuh. Menurut beliau telah terjadi pergeseran nilai dalam tradisi uang jemputan pada saat ini, di mana pergeseran nilai tersebut menimbulkan stereotip terhadap masyarakat Minang Pariaman: Pergeseran nilai sudah pasti terjadi, seperti adanya istilah uang muncul dan menjadi baku. Fungsi adat beralih menjadi fungsi ekonomi. Perjodohan menjadi ajang jual beli, ada tawar menawar. Fenomena ini pula yang menjadi cap untuk orang Pariaman bahwa laki-laki dibeli atau perempuan membeli laki-laki untuk menikah. Perubahan sikap juga terjadi pada Chalida dalam mempersepsikan tradisi uang jemputan. Awalnya stereotip yang ada pada masyarakat Pariaman yang beliau gambarkan melalui kata cap atau istilah negatif yang melekat pada tradisi uang jemputan, mempengaruhi sikap beliau dalam mempersepsikan tradisi tersebut, seperti penuturan beliau yang dituliskan berikut ini:

141 124 Sebagai perempuan Minang yang lahir dan besar diperantauan, oleh cap tersebut ketika masih remaja, saya merasa disudutkan karena ada pula persepsi bahwa perempuan Pariaman pemegang kendali dalam rumah tangga. Saya bertanya kepada Ibu saya, beliau menjelaskan adat bajapuik yang dikenal dalam perkawinan masyarakat Pariaman bukan uang japuik atau uang jemputan. Persepsi saya menjadi positif karena saya sebagai seorang Antropolog, dapat memahami dari sejarahnya dan melihat ada fungsi lain dari tradisi uang jemputan yang dapat dilestarikan. Saya tidak setuju uang jemputan dengan fungsi ekonomi, tetapi saya mendukung tradisi japuik sebagai proses saling menghargai antar besan dan tidak terlepas dari sistem matrilineal ciri khas orang Minang. Dari pernyataan di atas, dapat dilihat perubahan sikap Chalida dalam mempersepsikan tradisi uang jemputan. Sebagai seorang Antropolog, perubahan sikap beliau terjadi saat beliau mempelajari tradisi tersebut dari sejarahnya. Beliau memiliki pengalaman mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan dari para kerabat yang menikah dan melaksanakan tradisi tersebut. Beliau juga mengemukakan sikapnya dalam memilih jodoh: Dalam keluarga saya ada beberapa yang melaksanakan tradisi uang jemputan, tetapi tujuannya murni untuk masa depan, kehidupan rumah tangga yang dijodohkan aman damai saja. Pengalaman saya sebagai kakak yang mempunyai beberapa adik perempuan, tradisi uang jemputan bisa digunakan tetapi bukan jual beli. Uang memang untuk masa depan mereka yang dijodohkan dan syarat mencari jodoh yang diajarkan agama. Saya menikah dengan orang dari Bonjol (Pasaman), tidak dijodohkan, karena itu merupakan pilihan saya sendiri. Pada awalnya orang tua tidak setuju karena bukan orang Pariaman, namun akhirnya disetujui juga dengan standar pilihan jodoh menurut Islam. Dari pernyataan di atas, Chalida menjelaskan bahwa orang tuanya lebih menginginkan beliau menikah dengan sesama orang Minang Pariaman, namun pada kenyataanya beliau memilih menikah dengan orang Minang yang bukan berasal dari Pariaman. Ketika peneliti menanyakan mengenai bagaimana penggunaan bahasa daerah di dalam keluarga, beliau menjelaskan bahwa

142 125 penggunaan bahasa daerah diperlukan untuk memudahkan generasi muda Minang dalam memahami nilai-nilai budaya, sebagaimana kutipan wawancara berikut: Pada umumnya di daerah perantauan, orang Minang yang tidak dominan budayanya, bahasa sehari-harinya adalah bahasa Indonesia. Keluarga Minang di dalam dan di luar rumah, berbahasa Indonesia saja...sehingga pemahaman nilai-nilai budaya Minang menjadi kurang bahkan tidak ada, apalagi tradisi uang jemputan yang bertolak belakang dengan tradisi sekitarnya. Akhirnya pemahaman generasi muda di rantau menjadi kabur. Tidak adanya pemahaman nilai budaya Minang yang lebih mudah transmisinya, selain melalui bahasa daerah, sehingga generasi muda memahami tradisi uang jemputan itu. Chalida juga menambahkan bahwa penggunaan bahasa daerah dalam keluarga, berpengaruh pada kecintaan generasi muda Minang untuk mempelajari adat istiadat Minang, seperti penuturan beliau yang dituliskan sebagai berikut: Sangat perlu saya rasa bahasa Minang diajarkan dalam keluarga, tapi bahasa yang baik-baik ya, karena anak-anak akan lebih mencintai suku asalnya ketika dia bisa berbahasa daerah. Karena ada dalam beberapa tradisi yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa Indonesia, misalnya petatah petitih...harus paham kita bahasa daerah kita itu. Sayangnya orang tua saya dahulu...kalau marah-marah saja baru berbahasa Minang. Saya paham bahasa daerah karena saya kuliah jurusan Antropologi, jadi saya juga mempelajari bahasa daerah saya Selanjutnya Chalida menuturkan bahwa pengetahuan adat hanya milik orang tua semata. Kedua orang tua beliau akhirnya memiliki peranan dalam transmisi nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan, ketika beliau mempertanyakan tentang makna sebenarnya dari pelaksanaan tradisi tersebut, sebagaimana penuturan beliau yang dituliskan berikut ini: Pengalaman saya sebagai orang rantau, pengetahuan adat hanya milik orang tua semata. Orang tua saya tidak pernah membicarakan mengenai adat termasuk tradisi yang kita bincangkan ini. Saya mengetahui tradisi uang jemputan secara tidak sengaja karena ada sepupu saya, orang tuanya mengalami masalah dan membicarakannya dengan ayah saya. Saya dibesarkan di lingkungan rantau dan berbaur dengan etnis lain. Selain itu seperti yang saya katakan, ketika saya

143 126 disudutkan sebagai orang Pariaman, akhirnya saya bertanya tentang makna tradisi tersebut kepada ibu saya. Beliau juga menuturkan mengenai peranan mamak atau paman dalam hal perjodohan di perantauan: Di perantauan, orang Minang tentu termasuk orang Pariaman tidak lagi berada dalam lingkungan keluarga luas. Tanggung jawab terhadap anak berada sepenuhnya di tangan orang tua, juga mengenai perjodohan sampai ke pesta perkawinan, orang tua yang memutuskan. Kalau ada mamakpun hanya sebagai panitia saja, mengenai perjodohan biasanya anak sudah ada pilihan. Andai kata bertemu jodoh sesama orang Pariaman, tergantung kedua orang tua untuk melaksanakan tradisi uang jemputan atau tidak Informan Tambahan 4 Karakteristik Umum: 1. Nama : Usman Pelly 2. Usia : 77 Tahun 3. Jenis Kelamin : Laki-laki 4. Suku Pasangan : Mandailing 5. Pendidikan : S3 6. Pekerjaan : Guru Besar Antropologi UNIMED 7. Alamat : Jalan Pelajar Ujung Komplek Perumahan Dosen UNIMED. Peneliti mengenal Prof. Usman Pelly sebagai seorang Antropolog yang banyak meneliti tentang masyarakat Minang, khususnya di Kota Medan. Beliau juga merupakan tokoh masyarakat Minang yang berasal dari daerah Maninjau, Sumatera Barat. Prof. Usman Pelly memiliki perpustakaan pribadi yang juga banyak dikunjungi masyarakat umum, khususnya dari kalangan akademisi. Oleh sebab itu, peneliti juga memanfaatkan sumber bacaan di perpustakaan pribadi

144 127 beliau, untuk mencari referensi seputar permasalahan penelitian. Pada tanggal 24 Juni 2015, peneliti berkesempatan untuk mewawancarai beliau menyangkut permasalahan penelitian. Saat peneliti menanyakan pemahaman beliau mengenai tradisi bajapuik pada adat perkawinan Pariaman, beliau menuturkan sebagaimana kutipan wawancara berikut: Karena adat Minang itu matrilineal, si laki-laki itu yang numpang kepada perempuan. Jadi adat Minang itu perempuan yang meminang dan itu satu-satunya. Jadi masalah kawin bajapuik ini...sebenarnya apa namanya itu...karena memang si laki-laki itu, ke rumah tempat perempuan, jadi namanya itu matrilokal dalam istilah antropologi kan. Jadi dialah yang dijapuik kesana, banyak hal-hal yang terkait dengan financial di sana, ada kawin bajapuik dalam pengertian...berapa jemputannya?. Seakan-akan kebalikan dari pada apa yang terjadi di Tapanuli. Ada istilah tuhor...artinya uang jemputan untuk perempuan, karena perempuan itu yang dibawa ke rumah laki-laki. Ini laki laki tu yang dibawa ke rumah perempuan. Jadi keluarga laki-laki tu seakanakan kehilangan...iya kan. Sama dengan adat Tapanuli seakan-akan perempuan tu dibawa...keluarganya kehilangan. Jadi ada tuhornya atau sebagai pengganti. Peneliti juga menanyakan pandangan beliau mengenai pelaksanaan uang jemputan oleh masyarakat Pariaman saat ini: Dan itu akhirnya kan dalam perkembangan zaman itu kan macammacam bajapuik itu. Jadi kalau bajapuik...istilahnya kalau tukang becak lain lah...dengan pegawai, kan begitu kan. Pegawai ini kan bertingkat-tingkat pula...kalau sarjana dia berapa, kalau dokter dia berapa, macam-macam dia kan. Kalau pedagang besar uang jemputan berapa...begitu ya. Kan jadi ada istilah oh...dia bajapuik satu becak, artinya becaklah yang dihargakan. Satu mobil ya kan, satu vespa, atau macam-macam benda yang berharga lainnya, itu kadang-kadang diidentifikasikan orang sebagai kualifikasi uang untuk si laki-laki itu berapa...ya kan. Beliau juga menambahkan bahwa ada 3 gelar bagi masyarakat Pariaman, yaitu sidi, bagindo dan sutan sebagai panggilan untuk menghargai seorang lakilaki:

145 128 Ada 3 gelar itu...sidi, sutan, bagindo. Memang gelar itu ada saja di Minang, darat juga ada...tapi tak se-eksis di Pariaman. Jadi gelar itu menunjukkan siapa dia ya kan. Tapi kalau di Agam, ada malah memilih datuak-datuak...iya kan, itu ada calon 5 orang, bagaimana memilihnya, bukan yang tertua, tapi sudah sampai mana rantaunya, jadi lebih egaliter soal itu...sampai pada gelar seseorang. Jadi egaliter itu yang menentukan seseorang dipandang atau tidak dipandang. Status sosial itu ditandai baik di bidang jabatan atau akademik. Jadi kita kalau pulang kampung itu ditanya apa yang dibawa, jikalau misalnya nggak bawa apa-apa iya kan...mungkin ada ilmu yang bisa kita sampaikan. Tapi kalau kita nggak bawa apa apa...dibilang lah kita pulang langkitang (sejenis bekicot), itu seperti bekicot itu...baitu kalua baitu masuak (seperti itu keluarnya...seperti itu pula masuknya). Prof. Usman Pelly mengakhiri wawancara bersama peneliti dan berpamitan untuk melakukan aktifitas di luar rumah. Peneliti hanya dapat melakukan wawancara singkat bersama beliau, selama + 15 menit karena kesibukan beliau yang begitu padat Verifikasi Temuan Penelitian. Verifikasi temuan penelitian akan dilakukan berdasarkan aspek kajian dan kerangka pemikiran penelitian dengan memperhatikan tujuan penelitian. Cara pandang perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan sebagai tujuan penelitian yang pertama, akan dilihat berdasarkan proses pembentukan persepsinya sebelum menikah. Sedangkan perubahan sikap perempuan Minang Pariaman, setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan sebagai tujuan penelitian yang ke dua, akan dilihat pada persepsinya setelah menikah, berdasarkan pengalaman menjalani atau tidak menjalani tradisi uang jemputan. Verifikasi temuan penelitian tersebut akan diuraikan melalui tabel 4.1, sebagai berikut:

146 Tabel 4.1. Klasifikasi temuan penelitian berdasarkan aspek kajian dan kerangka pemikiran penelitian No Nama/Usia Informan 1. Dian (35 Tahun) Agama&sistem kepercayaan - Tradisi uang jemputan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. - Memahami adanya panibo. - Memahami adanya tradisi baetong. Elemen-elemen yang membentuk persepsi perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan Pandangan dunia Sistem lambang Organisasi Perubahan sikap (respon terhadap sosial Nilai-nilai pesan verbal/non Sebelum menikah Setelah menikah verbal) (Keluarga) - Saling - Menjalani tradisi mendukung uang jemputan dan menutupi pada saat kekurangan pernikahannya. antar keluarga. - Sebagai bentuk selektifitas keluarga dalam mencarikan jodoh. - Merasa malu dengan stereotip tentang perempuan Minang membeli laki-laki untuk menikah. - Tidak suka dengan tradisi uang jemputan, karena memberatkan pihak perempuan. - Tidak ada pihak yang dirugikan, uang jemputan kembali kepada pasangan yang dinikahkan. - Menerima panibo dari keluarga suaminya. Menerima perjodohan, karena calon suami baik dan mapan. Adanya kesepakatan, di mana calon suami mau menggantikan posisi keluarganya untuk memberi uang jemputan sebagai upaya mengisi adat. - Keluarga informan tidak berperan dalam proses enkulturasi budaya. - Transmisi nilai-nilai budaya perlu dilakukan, namun informan tidak memaksakan perjodohan kepada anakanaknya kelak. Perubahan (Pergeseran nilai) - Laki-laki menggantikan posisi sebagai pemberi uang jemputan, seperti halnya pengalaman informan sendiri. - Adanya perubahan peranan mamak, di mana orang tua lebih berperan dalam perjodohan. 129

147 2. Leni (30 Tahun) 3. Rina (34 Tahun) - Tradisi uang jemputan menyalahi ajaran agama Islam, seharusnya perempuan yang dipinang dan diberi uang pinangan. - Tidak memahami adanya panibo. - Tradisi uang jemputan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. - Memahami adanya panibo. - Memahami adanya tradisi baetong. - Sebagai penghargaan terhadap status laki-laki. - Sebagai modal usaha untuk pasangan yang dinikahkan. - Menunjukkan harkat dan martabat lakilaki sebagai orang yang dijemput. - Sebagai modal usaha untuk pasangan yang dinikahkan. - Merasa malu dengan stereotip tentang perempuan Minang membeli laki-laki untuk menikah. - Tradisi uang jemputan memberatkan bagi pihak perempuan. - Positif mempersepsikan tradisi uang jemputan sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan. - Memiliki stigma negatif tentang kebiasaan lakilaki Pariaman. - Tidak ingin - Menjalani tradisi uang jemputan hanya sebagai upaya mengisi adat. - Tidak menerima panibo dari keluarga suaminya. - Tidak menjalani tradisi uang jemputan, karena menikah dengan laki-laki dari suku berbeda. Menerima perjodohan karena merasa ada kecocokan dan tidak memiliki pilihan lain. Namun sebenarnya tidak ingin ada uang jemputan dalam pernikahannya. Menolak perjodohan karena memiliki stigma negatif tentang kebiasaan laki-laki Pariaman yang suka duduk-duduk di warung kopi sebagai kebiasaan seorang pemalas. - Keluarga informan tidak berperan dalam proses enkulturasi budaya. - Trasmisi tidak perlu dilakukan dan informan tidak memaksakan perjodohan kepada anakanaknya. - Keluarga informan berperan dalam proses enkulturasi budaya. - Transmisi nilai-nilai budaya perlu dilakukan dan informan tidak memaksakan perjodohan - Adanya perubahan peranan mamak, di mana orang tua lebih berperan dalam perjodohan. - laki-laki menggantikan posisi sebagai pemberi uang jemputan. - Perubahan pada pola fikir generasi muda Minang yang dipengaruhi faktor pendidikan, bahwa tradisi uang jemputan tidak wajib dilaksanakan dalam suatu pernikahan. 130

148 4. Netty (56 Tahun) 5. Ita (20 Tahun) - Tradisi uang jemputan tidak bermasalah dengan ajaran Islam, karena uang jemputan bukan mahar. - Memahami adanya panibo. - Memahami adanya tradisi baetong. - Tradisi uang jemputan menyalahi ajaran agama Islam, karena seharusnya lakilaki yang melamar. - Sebagai penghargaan terhadap status sosial lakilaki. - Selektifitas keluarga dalam pencarian jodoh. Selektifitas orang tua dalam pencarian jodoh untuk anaknya. menikah dengan laki-laki Pariaman. Kontra dengan tradisi uang jemputan, karena memberatkan pihak perempuan. Tradisi uang jemputan memberatkan bagi pihak perempuan. - Menjalani tradisi uang jemputan saat pernikahannya. - Tradisi uang jemputan sebagai bentuk saling menghargai antar keluarga. - Menerima panibo dari keluarga suaminya. - Menjalani tradisi uang jemputan hanya sebagai upaya mengisi adat. - Tidak menerima Menerima perjodohan, karena merasa ada kecocokan dan keinginan mematuhi orang tua. Menerima perjodohan, karena sedikit paksaan dari sang ibu, namun informan juga melihat kebaikan calon suami sehingga kepada anakanaknya. - Keluarga tidak berperan dalam proses enkulturasi budaya. - Transmisi perlu dilakukan dan informan tidak memaksakan pilihan jodoh kepada anakanaknya. - Keluarga tidak berperan dalam proses enkulturasi budaya. - Transmisi tidak perlu - Adanya perubahan peranan mamak, di mana orang tua lebih berperan dalam keputusan pemilihan jodoh. Terjadi perubahan fungsi adat jemputan kepada fungsi ekonomi, terlihat pada pelaksanaan tradisi uang hilang, di mana uang jemputan tidak dikembalikan lagi kepada pasangan yang dinikahkan. Perubahan cara memilih pasangan hidup sesuai pilihan generasi muda Minang sendiri, bukan lagi berdasarkan 131

149 6. Dedek (33 Tahun) 7. Nur (63 Tahun) - Tidak memahami adanya panibo. - Tradisi uang jemputan menyalahi ajaran agama Islam, karena pemaksaan uang jemputan kepada pihak perempuan yang tidak mampu secara ekonomi adalah sesuatu yang haram. - Tidak memahami adanya panibo. - Tradisi uang jemputan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. - Memahami Sebagai modal usaha bagi pasangan yang dinikahkan. - Menghargai status sosial laki-laki. - Sebagai modal berumah tangga. - Prosesi dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan adalah sesuatu yang ribet dan memberatkan pihak perempuan. - Berkeinginan untuk tidak menikah dengan laki-laki Pariaman. Tradisi uang jemputan hanya merupakan adat (kebiasaan) masyarakat Pariaman saja. adanya panibo dari keluarga suaminya. Tidak menjalani tradisi uang jemputan, karena menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda. - Menjalani tradisi uang jemputan saat pernikahannya. - Tradisi uang jemputan sebagai mau dinikahkan. Menolak perjodohan karena tidak ingin menikah dengan laki-laki Pariaman. Menerima perjodohan karena merasa ada kecocokan dan keinginan untuk mematuhi orang tua. dilakukan, karena tidak lagi sesuai untuk generasi muda Minang. - Keluarga berperan dalam proses enkulturasi budaya. - Transmisi nilai-nilai budaya tidak perlu dilakukan dan informan tidak memaksakan perjodohan kepada anakanaknya kelak. - Keluarganya tidak berperan dalam proses enkulturasi budaya. - Transmisi perjodohan keluarga. - Laki-laki menggantikan posisi sebagai pemberi uang jemputan sebagai upaya mengisi adat. - Adanya perubahan peranan mamak, di mana orang tua lebih berperan dalam keputusan pemilihan jodoh. Laki-laki menggantikan posisi sebagai pemberi uang jemputan dalam upaya mengisi adat. 132

150 8. Shanti (33 Tahun) adanya panibo. - Memahami adanya tradisi baetong. - Tradisi uang jemputan terkadang bisa menyalahi aturan agama Islam, karena memberatkan pihak perempuan secara ekonomi. - Tidak memahami adanya panibo. - Sebagai bentuk selektifitas keluarga dalam mencarikan jodoh. - Menghargai status sosial laki-laki. - Sebagai modal usaha. - Tradisi uang jemputan memberatkan pihak perempuan. - Memiliki pengalaman kegagalan perjodohan dengan tradisi uang jemputan, sehingga berkeinginan untuk tidak menikah dengan laki-laki Pariaman. bentuk saling menghargai antar keluarga. - Menerima adanya panibo dari keluarga suaminya. Tidak menjalani tradisi uang jemputan, karena menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda. Awalnya menerima perjodohan, karena ingin mematuhi orang tua, namun akhirnya batal. Pengalaman tersebut akhirnya membuat informan tidak ingin menikah dengan laki-laki Pariaman. budaya tidak secara khusus dikomunikasikan. - Berperan dalam pemilihan jodoh anakanaknya. - Keluarga tidak berperan dalam proses enkulturasi budaya. - Transmisi tidak lagi relevan dilakukan pada generasi muda Minang. - Tidak memaksakan perjodohan pada anakanaknya kelak. - Generasi muda Minang sekarang ini tidak lagi mau dijodohjodohkan. - Orang tua lebih berperan dalam perjodohan, mamak hanya membantu. Sumber: Hasil analisis penelitian (2015). 133

151 136 Berdasarkan tabel 4.1 di atas, verifikasi temuan penelitian selanjutnya akan dibahas satu per satu sesuai dua kategori informan, yaitu: (1). Perempuan Minang Pariaman yang menjalani tradisi uang jemputan; dan (2). Perempuan Minang Pariaman yang tidak menjalani tradisi uang jemputan Perempuan Minang Pariaman yang menjalani tradisi uang jemputan. Terdapat 5 (lima) orang informan atau perempuan Minang Pariaman yang menjalani tradisi uang jemputan, yaitu Dian, Leni, Netty, Ita dan Nur. Verifikasi akan dilakukan terhadap hasil temuan data masing-masing informan, sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dibahas satu per satu, sebagai berikut: Informan Dian (a). Cara pandang tentang tradisi uang jemputan. Proses enkulturasi pada upaya mentransmisikan nilai-nilai dalam tradisi uang jemputan, tidak terjadi dalam keluarga Dian. Orang tuanya tidak secara khusus mengkomunikasikan tradisi tersebut kepada Dian, sehingga ia tidak memahami makna sebenarnya dari tradisi uang jemputan. Dian sering diajak pulang ke kampung dan berinteraksi dengan keluarga besarnya, khususnya pada saat pesta pernikahan kerabat yang melaksanakan tradisi uang jemputan. Cara pandang Dian dibentuk berdasarkan pengalamannya tersebut. Dian menafsirkan bahwa tradisi uang jemputan memberatkan pihak keluarga perempuan secara ekonomi. Persepsi tersebut juga dipengaruhi oleh adanya stereotip negatif dari teman-teman di lingkungan pendidikannya yang menyebutkan bahwa perempuan Minang Pariaman membeli laki-laki untuk menikah. Dian merasa malu dan tidak suka dengan stereotip negatif tersebut, hingga akhirnya ia berkeinginan untuk tidak menikah dengan laki-laki Pariaman.

152 (b). Perubahan Sikap setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan. Cara pandang Dian yang menilai tradisi uang jemputan sebagai tradisi yang memberatkan pihak keluarga perempuan, serta keinginannya untuk tidak menikah dengan laki-laki Pariaman, terwujud dalam sikapnya yang memilih berhubungan (berpacaran) dengan laki-laki dari suku yang berbeda. Meskipun demikian, ia selalu gagal berkomitmen dengan sang pacar untuk menuju jenjang pernikahan. Pada usia 28 tahun, orang tua Dian berperan dalam menjodohkannya dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. Dian akhirnya menerima perjodohan tersebut dengan alasan telah mengenal kepribadian calon suaminya dengan baik, serta telah memiliki pekerjaan yang mapan. Dian dan sang calon suami membuat kesepakatan bahwa pemberian uang jemputan, digantikan oleh calon suaminya sebagai upaya mengisi adat. Kesepakatan tersebut juga disetujui oleh kedua belah pihak keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Dian juga menerima panibo dari keluarga suaminya. Pemberian uang jemputan dan panibo tersebut, akhirnya juga untuk kedua pasangan yang dinikahkan, yaitu Dian dan suaminya. Sebagaimana ungkapan Dian dari pada membesarkan kabau (kerbau) orang, lebih baik membesarkan kabau sendiri, pemberian tersebut untuk anak kemenakan mereka juga. Keluarga calon suaminya tidak merasa berkeberatan dan tidak memicu terjadinya konflik, karena adat tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Perubahan sikap Dian terjadi setelah menerima perjodohan dan menjalani tradisi uang jemputan. Dian memiliki cara pandang bahwa tradisi uang jemputan adalah bentuk saling menghargai, saling mendukung dan saling menutupi

153 138 kekurangan antarkeluarga yang menikahkan anak-anaknya, seperti ungkapannnya indak cukuik di ateh, cukuik di bawah (tidak cukup di atas, dukup di bawah). Pengetahun Dian juga bertambah, dengan adanya pelaksanaan tradisi baetong di akhir malam pernikahannya. Tradisi baetong adalah bentuk penggalangan dana dari pihak keluarga, untuk membantu biaya pesta yang dikeluarkan tuan rumah. Pemahaman Dian tentang pepatah Minang di atas, juga dipengaruhi oleh kemampuan dan pemahamannya dalam berbahasa Minang yang diajarkan oleh orang tuanya. Dian berpendapat bahwa dengan mengajarkan bahasa daerah, orang tua akan menanamkan identitas kesukuan kepada anak-anaknya. Ia juga berpandangan bahwa tradisi uang jemputan tidak bertentangan dengan aturan pernikahan dalam agama Islam. Perubahan cara pandang Dian, juga terjadi pada persepsinya mengenai transmisi nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan yang perlu dilakukan kepada generasi muda Minang. Ia berpendapat bahwa orang tua, tidak seharusnya memaksakan perjodohan kepada anaknya kelak, namun apabila anaknya menemukan jodoh sesama suku Minang Pariaman, maka perlu dilaksanakan tradisi uang jemputan dalam upaya melestarikan adat Pariaman tersebut Informan Leni (a). Cara pandang tentang tradisi uang jemputan. Tidak adanya peranan keluarga dalam mengkomunikasikan nilai-nilai pada tradisi uang jemputan kepada Leni. Pengetahuannya bersumber dari pengalaman paman dan adiknya yang berpacaran, hingga akhirnya menikah dengan sesama suku Minang Pariaman dan menjalani tradisi uang jemputan. Pelaksanaan tradisi uang jemputan oleh paman dan adiknya tersebut telah

154 139 mengalami perubahan, di mana laki-laki (calon suami) menggantikan posisi pihak perempuan dalam memberikan uang jemputan. Dari pengalaman tersebut, Leni menilai bahwa dengan adanya komunikasi yang dilakukan oleh pasangan yang dinikahkan dengan keluarga, tentang kesepakatan tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya konflik. Persepsi Leni juga dipengaruhi oleh adanya stereotip negatif dari temanteman, di lingkungan pendidikannya yang menyebutkan bahwa perempuan Minang Pariaman membeli laki-laki untuk menikah. Ia mengaku tidak suka dan malu dengan adanya stereotip negatif tersebut, hingga akhirnya ia berkeinginan untuk tidak menikah dengan laki-laki Pariaman. Leni berpandangan bahwa tradisi uang jemputan memberatkan bagi pihak keluarga perempuan dan menyalahi aturan agama Islam, karena menurutnya perempuanlah yang harus dimuliakan dengan dipinang dan diberi mahar oleh pihak laki-laki (b). Perubahan sikap setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan. Pada tahun 2011 di saat Leni berusia 26 tahun, orang tuanya mulai berperan dalam pencarian jodoh. Leni adalah gadis pemalu yang tidak percaya diri untuk membina hubungan dengan seorang laki-laki, sehingga ia tidak punya calon suami atas pilihannya sendiri, untuk diperkenalkan kepada sang ibu. Ibunya yang telah menjadi orang tua tunggal, di bantu oleh mamak (paman) Leni, akhirnya menjodohkannya dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. Leni menerima perjodohan tersebut, karena tidak memiliki pilihan jodoh atas keinginan sendiri (tidak pernah berpacaran). Alasan lain Leni menerima perjodohan tersebut, karena melihat

155 140 karakter calon suaminya sebagai orang yang baik dan mapan. Akhirnya ia menikah dengan menjalankan tradisi uang jemputan pada pesta pernikahannya. Meskipun menjalani tradisi uang jemputan, Leni tidak mengalami perubahan sikap. Ia tetap pada persepsi yang negatif tentang tradisi uang jemputan. Sikapnya menerima pelaksanaan tradisi tersebut, hanya merupakan sikap patuhnya pada keluarga yang ingin melaksanakan adat istiadat. Leni sebenarnya tidak menginginkan adanya pelaksanaan tradisi uang jemputan pada pernikahannya. Ia berharap dapat membuat kesepakatan dengan sang calon suami untuk tidak adanya pemberian uang jemputan, karena ketidakmampuan keluarga mereka. Ternyata pihak keluarga calon suaminya, tetap menginginkan anak lakilaki mereka dijemput dengan sejumlah uang, walaupun dalam jumlah yang kecil. Leni juga tidak memahami adanya panibo dan tidak menerimanya dari pihak keluarga suaminya. Leni juga berpandangan bahwa transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan, tidak perlu dilakukan kepada generasi muda Minang. Menurutnya tradisi ini tidak lagi sesuai diterapkan pada perjodohan generasi muda Minang Informan Netty (a). Cara pandang tentang tradisi uang jemputan. Proses transmisi nilai-nilai pada tradisi uang jemputan, tidak dikomunikasikan oleh orang tua Netty. Referensinya tentang tradisi tersebut diperoleh melalui pengalaman dalam menyaksikan pesta pernikahan kerabat di kampung halaman orang tuanya maupun di Kota Medan. Di dalam keluarga, ke dua orang tua Netty juga memakai bahasa Minang untuk berkomunikasi seharihari, sehingga beliau memahami dan mahir berbahasa daerahnya tersebut.

156 141 Persepsi Netty juga dipengaruhi oleh adanya stereotip negatif dari temanteman di lingkungan pergaulannya (lingkungan pendidikan dan pekerjaan), yang menyebutkan bahwa perempuan Minang membeli laki-laki untuk menikah, sehingga ia merasa kontra dengan tradisi yang menjadi syarat perkawinan dalam sukunya sendiri (intra culture). Netty juga memandang tradisi uang jemputan sebagai tradisi yang memberatkan bagi pihak keluarga perempuan (b). Perubahan sikap setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan. Pada tahun 1986, Netty menikah atas perjodohan yang diprakarsai oleh ke dua orang tuanya, dengan seorang laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman. Beliau dijodohkan pada saat berusia 27 tahun, dengan memberikan sejumlah uang jemputan untuk menghargai status sosial sang calon suami. Perubahan sikap terjadi pada Netty, setelah menikah dan menjalani tradisi uang jemputan pada pesta pernikahannya. Netty menerima adanya panibo dari keluarga suaminya dan menjalankan tradisi baetong pada saat pesta pernikahannya dahulu. Hal tersebut ikut membentuk perubahan sikapnya dalam mempersepsikan tradisi uang jemputan. Setelah menjalani tradisi tersebut, beliaupun memiliki persepsi yang positif bahwa sebenarnya tradisi uang jemputan, tidak memberatkan dan uang jemputan kembali kepada pasangan yang dinikahkan. Beliau juga berpandangan bahwa tradisi uang jemputan tidak bertentangan dengan agama, karena uang jemputan bukanlah mahar. Tradisi tersebut memiliki nilai-nilai penghargaan terhadap status sosial laki-laki dan sebagai bentuk selektifitas keluarga dalam pencarian jodoh untuk anaknya. Perubahan sikap juga terjadi pada cara pandang Netty tentang transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan, yang perlu dilakukan pada anak-anaknya.

157 142 Meskipun ia berpandangan tidak akan memaksakan perjodohan kepada anakanaknya kelak, namun ia mengakui memiliki keinginan punya menantu sesama suku Minang Pariaman. Sikapnya tersebut terlihat pada keinginan dan usahanya dalam mencarikan jodoh dari sesama suku, untuk anak gadisnya yang telah berusia 27 tahun, namun belum juga menikah Informan Ita (a). Cara pandang tentang tradisi uang jemputan. Keluarga Ita tidak berperan dalam proses transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan, sehingga referensi Ita hanya bersumber dari pengalamannya menyaksikan pelaksanaan tradisi tersebut pada pesta pernikahan kerabatnya. Ke dua orang tua Ita membiasakan berbahasa Minang di dalam keluarga, sehingga ia dapat memahami arti bahasa daerahnya tersebut, meskipun tidak terlalu mahir mengkomunikasikannya. Ita dan keluarga tinggal di lingkungan yang dominan dihuni sesama etnis Minang Pariaman. Ia pernah berpacaran dengan seorang laki-laki Pariaman, karena sang ibu mengharuskan anak-anaknya menikah dengan sesama suku. Meskipun hidup di antara lingkungan tetangga yang dominan memiliki suku Minang Pariaman dan juga memiliki kekasih sesama suku Pariaman, Ita tidak terlalu peduli tentang makna tradisi uang jemputan. Pengalaman kerabatnya tentang tradisi uang jemputan, membentuk persepsi Ita bahwa permintaan sejumlah uang tersebut, memberatkan bagi keluarga pihak keluarga perempuan. Menurutnya, tradisi uang jemputan menyalahi aturan perkawinan dalam agama Islam, karena seharusnya pihak keluarga laki-lakilah yang melakukan pelamaran.

158 143 Persepsi Ita tentang tradisi uang jemputan, hanya sebatas pada pengkekalan adat yang sudah menjadi kebiasaan dalam adat perkawinan sukunya (b). Perubahan sikap setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan. Meskipun telah memiliki calon pendamping hidup, yaitu seorang laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman, hubungan Ita dengan sang pacar tidak sampai ke pelaminan. Ibunya lebih memilih, menjodohkan Ita dengan laki-laki Pariaman yang menurutnya lebih baik dari pada pacar sang anak. Walaupun merasa sedikit terpaksa dinikahkan dengan calon pilihan sang ibu yang telah berstatus duda, namun ia melihat ada kebaikan perilaku dari sang calon suami, sehingga ia mau menerima dan pasrah menjalankan perjodohan dengan melaksanakan tradisi uang jemputan. Dari perjodohan yang diprakarsai oleh orang tuanya tersebut, Ita berpandangan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan adalah sebagai bentuk selektifitas keluarga dalam mencarikan jodoh untuk anaknya. Namun persepsi Ita tentang transmisi nilai-nilai pada tradisi uang jemputan, tidak perlu dilakukan kepada generasi muda Minang mendatang, karena terkadang tradisi yang dilaksanakan karena perjodohan tersebut, menurutnya terkesan memaksakan kehendak orang tua kepada sang anak. Tidak terjadi perubahan cara pandang Ita, setelah menjalani tradisi uang jemputan. Persepsinya tetap pada persepsi yang negatif tentang pelaksanaan tradisi uang jemputan tersebut. Ita juga tidak memahami adanya panibo sebagai bentuk balasan atas pemberian uang jemputan tersebut, karena ia tidak menerima panibo tersebut dari keluarga suaminya saat menikah dulu.

159 Informan Nur (a). Cara pandang tentang tradisi uang jemputan. Referensi Nur tentang tradisi uang jemputan, bersumber dari pengalaman kerabatnya yang melaksanakan tradisi tersebut pada pesta pernikahan. Pengalaman tersebut sering ia saksikan di kampung halaman orang tuanya maupun di Kota Medan. Makna tradisi uang jemputan, tidak secara khusus dikomunikasikan oleh keluarga Nur, namun ia memiliki persepsi positif tentang tradisi uang jemputan. Pengetahuannya tentang nilai-nilai yang ada dalam tradisi tersebut adalah sebagai bentuk penghargaan terhadap status sosial laki-laki dan sebagai modal usaha. Nur beranggapan bahwa tradisi uang jemputan, tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, karena hanya merupakan suatu kebiasaan masyarakat Pariaman dalam adat perkawinan (b). Perubahan sikap setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan. Nur menikah dengan laki-laki Pariaman, karena perjodohan orang tuanya dan dibantu oleh paman (mamak)nya, di saat beliau berusia 18 tahun. Alasannya menerima perjodohan tersebut, dikarenakan keyakinannya bahwa orang tua akan memilihkan jodoh yang baik untuknya. Ia juga mengenal sang calon sebagai orang yang baik dan telah memiliki pekerjaan yang tetap. Tidak terjadi perubahan sikap pada Nur, setelah menjalani tradisi uang jemputan. Persepsinya tetap positif tentang tradisi uang jemputan, bahkan pengetahuannya bertambah dengan adanya tradisi baetong di saat pesta pernikahannya dahulu. Beliau beranggapan bahwa tradisi baetong tersebut menunjukkan solidaritas keluarga dalam membantu tuan rumah untuk meringankan biaya pesta. Nur juga mengetahui adanya perubahan yang terjadi

160 145 dalam tradisi uang jemputan, di mana bila pasangan tersebut berpacaran, laki-laki menggantikan posisi pemberi uang jemputan sebagai upaya mengisi adat. Namun Nur beranggapan, orang tua tetap harus mempersiapkan uang jemputan tersebut saat menikahkan anaknya kelak. Proses enkulturasi pada tradisi uang jemputan yang ia lakukan pada anakanaknya, mencontoh seperti yang dilakukan oleh orang tuanya dahulu. Ketika menghadiri dan menyaksikan pesta pernikahan kerabatnya, Nur beranggapan anak-anaknya telah memahami tradisi tersebut, tanpa harus secara khusus mengkomunikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut kepada anak-anaknya. Dalam urusan perjodohan anak-anaknya, beliau juga berperan besar, dengan mengharuskan pilihan jodoh sang anak kepada sesama suku Minang Pariaman Perempuan Minang Pariaman yang tidak menjalani tradisi uang jemputan. Terdapat 3 (tiga) orang informan atau perempuan Minang Pariaman yang tidak menjalani tradisi uang jemputan, yaitu Rina, Dedek dan Shanti. Verifikasi akan dilakukan terhadap hasil temuan data masing-masing informan, sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dibahas satu per satu, sebagai berikut: Informan Rina (a). Cara pandang tentang tradisi uang jemputan. Proses enkulturasi nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan, dikomunikasikan oleh keluarga Rina. Referensinya tentang tradisi uang jemputan, juga bersumber dari pengalamannya tinggal di rumah gadang serta pengalamannya hidup di Pariaman selama + 5 (lima) tahun dan menyaksikan

161 146 pelaksanaan tradisi tersebut dari kerabatnya. Persepsi Rina tentang tradisi uang jemputan adalah sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan sebagai makhluk yang lemah. Ia juga memahami adanya panibo sebagai bentuk balasan terhadap pemberian uang jemputan, sehingga Rina menilai pemberian tersebut adalah persiapan untuk perempuan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya, apabila kelak terjadi perceraian ataupun ditinggal mati suaminya. Rina juga berpandangan bahwa tradisi uang jemputan tidak bertentangan dengan agama, karena hanya merupakan kesepakatan untuk mempersiapkan pasangan yang akan dinikahkan secara materi. Menurutnya nilai-nilai yang ada dalam tradisi uang jemputan adalah menunjukkan harkat dan martabat laki-laki sebagai calon menantu dan sebagai modal usaha. Rina juga memiliki pengetahuan tentang adanya tradisi baetong, sebagai bentuk saling tolong menolong antar keluarga. Keingintahuan Rina cukup besar untuk mempelajari budayanya sendiri, termasuk tentang tradisi uang jemputan, kemudian mengkomunikasikannya kepada sang ayah yang merupakan seorang tokoh adat. Hal tersebut membuat ia tidak dipengaruhi oleh stereotip negatif dari lingkungan pergaulannya yang menyebutkan bahwa perempuan Minang membeli laki-laki untuk menikah. Namun Rina memiliki prasangka negatif terhadap kebiasaan laki-laki Pariaman yang suka duduk di warung kopi sebagai kebiasaan seorang pemalas, sehingga ia pernah menolak dijodohkan dengan seorang laki-laki Pariaman oleh mamak (paman)nya. Ia juga berkeinginan tidak ingin menikah dengan laki-laki Pariaman.

162 (b). Perubahan sikap setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan. Perubahan sikap Rina terjadi setelah ia memutuskan menikah dengan seorang laki-laki dari suku Melayu. Keputusannya dalam pemilihan jodoh, sangat dipengaruhi oleh prasangka negatifnya tentang sosok laki-laki Pariaman yang memiliki kebiasaan, suka duduk di warung kopi sebagai kebiasaan seorang pemalas. Kebiasaan tersebut sering ia temui pada laki-laki Pariaman di kampung maupun di Kota Medan. Meskipun ia juga mengetahui, adanya stigma negatif yang menyebutkan bahwa orang Melayu pemalas, namun kenyataannya ia tidak pernah menemui secara langsung. Sifat pemalas itu, juga tidak ia temui pada suaminya. Perubahan sikap juga terjadi pada cara pandang Rina tentang proses transmisi nilai-nilai budaya, pada tradisi uang jemputan. Meskipun memiliki persepsi positif tentang nilai-nilai tradisi tersebut dan ingin mentransmisikannya kepada anak-anaknya kelak, namun ia memandang tradisi tersebut sudah tidak lagi sesuai, bila diterapkan pada perjodohan generasi muda Minang di masa yang akan datang. Rina juga berpandangan ia tidak akan memaksakan perjodohan pada anak-anaknya kelak Informan Dedek (a). Cara pandang tentang tradisi uang jemputan. Keluarga Dedek berperan dalam proses enkulturasi budaya pada nilainilai tradisi uang jemputan. Orang tuanya mengkomunikasikan makna yang terkandung dalam tradisi uang jemputan, ketika anak-anaknya sudah memasuki usia yang layak untuk dinikahkan. Namun persepsi Dedek lebih banyak dibentuk oleh realita pelaksanaan tradisi tersebut dari abang dan kakak-kakaknya yang

163 148 dijodohkan dan menjalani tradisi uang jemputan. Ia berpandangan bahwa prosesi tradisi uang jemputan ribet (merepotkan) dan memberatkan bagi pihak perempuan. Dedek juga tidak memahami adanya panibo sebagai pengembalian uang jemputan. Andaipun keluarga perempuan memiliki kemampuan ekonomi, Dedek beranggapan pihak keluarga laki-laki malah makin memberatkan jumlah uang jemputan yang lebih besar sebagai syarat perkawinan. Berdasarkan referensinya tersebut, Dedek berkeinginan untuk tidak menikah dengan laki-laki Pariaman dan tidak menjalani tradisi uang jemputan. Memasuki usia 28 tahun, ibu Dedek yang telah menjadi orang tua tunggal merasa resah, karena ia belum juga menikah. Dedek selalu menolak keinginan orang tuanya, setelah beberapa kali dijodohkan dengan laki-laki Pariaman (b). Perubahan sikap setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan. Dedek tidak mengalami perubahan sikap setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan. Ia tetap pada persepsi yang negatif tentang tradisi uang jemputan. Keputusannya menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda, sempat membuat terjadinya konflik dengan keluarga. Kepribadian yang baik dari calon suami pilihannya, membuat hati sang ibu akhirnya luluh dan memberi restu kepada Dedek untuk menikah dengan pilihannya tersebut. Cara pandang Dedek terhadap tradisi uang jemputan tetap pada persepsi yang negatif, ia beranggapan bahwa pemaksaan sejumlah uang jemputan kepada pihak perempuan yang tidak memiliki kemampuan ekonomi adalah sesuatu yang haram. Cara pandang Dedek terhadap proses transmisi nilai-nilai pada tradisi uang jemputan tidak perlu dilakukan, karena tidak lagi sesuai diterapkan pada

164 149 perjodohan generasi muda Minang. Dedek juga tidak ingin melestarikan tradisi tersebut dalam perjodohan anak-anaknya kelak. Sebagai orang tua, ia tidak ingin memaksakan perjodohan kepada anak-anaknya kelak Informan Shanti (a). Cara pandang tentang tradisi uang jemputan. Proses enkulturasi dalam proses transmisi nilai-nilai pada tradisi uang jemputan, tidak dikomunikasikan dalam keluarga Shanti. Referensinya tentang pelaksanaan tradisi tersebut adalah berdasarkan pengalaman sanak saudaranya, termasuk kakak dan adik laki-lakinya yang menikah dengan sesama suku Minang Pariaman. Referensinya juga bersumber dari pengalamannya pernah gagal dalam perjodohan dengan tradisi uang jemputan. Pada usia 27 tahun, orang tua Shanti menjodohkannya kepada laki-laki sesama suku Minang Pariaman. Shanti menerima perjodohan tersebut, karena kepatuhan yang tinggi kepada orang tua, meskipun tidak menyetujui permintaan sejumlah uang jemputan dari pihak keluarga laki-laki, karena dirasakan memberatkan keluarganya. Dari pengalamannya tersebut, Shanti berkeingin tidak akan menikah dengan laki-laki Pariaman. Ia beranggapan, tradisi uang jemputan dapat menyalahi aturan pernikahan secara agama, karena adanya pemaksaan terhadap pemberian sejumlah uang yang memberatkan pihak keluarga perempuan. Shanti juga tidak memiliki pengetahuan tentang adanya panibo sebagai bentuk pengembalian uang jemputan (b). Perubahan sikap setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan. Tidak terjadi perubahan sikap pada Shanti setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan. Sebagai bentuk perilaku (tindakan) dari pilihan sikapnya yang

165 150 tidak ingin menikah dengan laki-laki Pariaman, ia wujudkan dalam keputusannya menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda. Persepsi Shanti tentang proses transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan, tidak perlu dilakukan karena tidak lagi sesuai bila diterapkan dalam perjodohan generasi muda Minang. Ia juga tidak ingin memaksakan perjodohan kepada anak-anaknya kelak. Menurut Shanti orang tua hanya perlu menasehati anak, agar tidak salah memilih pasangan hidup. Orang tua yang terlalu fanatik dalam upaya pelestarian adat, seharusnya tidak membuat terjadinya konflik antara anak dan orang tua dalam pemilihan jodoh. Shanti berpandangan bahwa orang tua, juga bisa salah dalam memilihkan jodoh buat anaknya, seperti halnya pengalamannya sendiri.

166 151 BAB V PEMBAHASAN Pada bab ini, peneliti akan membahas hasil temuan penelitian dengan menghubungkannya kepada kerangka pemikiran, aspek kajian penelitian, kajian teoritis serta kajian terdahulu. Pembahasan juga dilakukan dengan mengutip hasil wawancara nara sumber (informan tambahan). Cara pandang perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan, akan dilihat berdasarkan proses pembentukan persepsinya sebelum menikah. Sedangkan perubahan sikap perempuan Minang Pariaman setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan, akan dilihat pada persepsinya setelah menikah yang terwujud dalam keputusan pemilihan jodohnya, berdasarkan pengalaman menjalani atau tidak menjalani tradisi uang jemputan. Pembahasan tersebut akan diuraikan, sebagai berikut: 5.1. Cara Pandang Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan. Cara pandang informan adalah sikapnya sebelum menikah dalam mempersepsikan tradisi uang jemputan sebagai syarat perkawinan yang berlaku dalam sukunya sendiri (intra cultur). Seperti yang telah diuraikan pada tabel 4.1 sebelumnya, hasil temuan penelitian tentang pembentukan cara pandang informan akan dibahas dengan mempedomani pandangan Samovar dan Porter (dalam Lubis, 2012: 63), tentang elemen-elemen pokok yang mempengaruhi persepsi budaya, yaitu: (1). pandangan dunia (world view) yang terdiri dari agama/sistem kepercayaan, nilai dan sikap perilaku; (2). sistem lambang (verbal/non verbal); dan (3). organisasi sosial.

167 Pandangan Dunia (agama/sistem kepercayaan, nilai-nilai dan sikap). a. Agama/sistem kepercayaan. Pada lingkungan pergaulan (pendidikan, pekerjaan ataupun tempat tinggal) informan mengalami perbauran dengan orang-orang dari suku yang berbeda. World view (pandangan dunia) para informan yang hidup dalam budaya patrilineal di Kota Medan, serta referensinya tentang aturan perkawinan dalam agama Islam dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia, bahwa pihak laki-lakilah yang melakukan pelamaran dan pemberian mahar. Hal tersebut memiliki perbedaan dengan tradisi sukunya bahwa pihak perempuanlah yang melakukan pelamaran dan pemberian sejumlah uang jemputan, sehingga dianggap memberatkan bagi pihak perempuan. Adanya ketimpangan tersebut, mempengaruhi pembentukan persepsi informan bahwa tradisi uang jemputan bertentangan dengan aturan perkawinan menurut agama Islam (Dian, Leni, Netty, Ita, Dedek dan Shanti). Sedangkan dua informan lainnya yaitu: Rina dan Nur beranggapan bahwa tradisi tersebut, tidak bertentangan dengan aturan perkawinan yang berlaku dalam agama Islam, karena uang jemputan hanyalah kebiasaan masyarakat Pariaman dalam mempersiapkan kebutuhan materi pasangan yang akan dinikahkan. Referensi informan tentang tradisi uang jemputan, diperoleh berdasarkan pengalaman menyaksikan pelaksanaan pernikahan kerabat. Referensi ini kemudian dipersepsikan berdasarkan frame of reference (kerangka pemikiran) yang dipengaruhi oleh world view informan. Ke 8 (delapan) informan yang menganut agama Islam, mengalami pembentukan cara pandang tentang tradisi uang jemputan yang mengacu pada Tiga Tali Sepilin, seperti dikemukakan Amir

168 153 (2006: 172), bahwa masyarakat Minang harus tunduk pada ketentuan peraturan yang terdapat dalam Tali Tiga Sepilin. Ke tiga peraturan yang disebut sebagai Tali Tiga Sepilin ini adalah adat Minang, agama Islam dan Undang-undang Negara. Ternyata tiga tali sepilin tersebut, tidak dipedomani oleh ke 6 (enam) informan, yaitu Dian, Leni, Netty, Ita, Dedek dan Shanti yang memiliki persepsi bahwa tradisi uang jemputan, tidak sejalan dengan aturan pernikahan dalam agama Islam dan Undang-undang pernikahan yang berlaku di Indonesia. Persepsi tersebut turut dipengaruhi oleh tidak berperannya keluarga dalam proses enkulturasi budaya, serta adanya perbauran informan yang terakulturasi oleh orang-orang dengan budaya berbeda di lingkungan pergaulan (pendidikan dan tempat tinggal). Hanya 2 (dua) informan, yaitu Rina dan Nur yang memiliki persepsi, dipedomani berdasarkan tiga tali sepilin tersebut. Ke dua informan ini, hidup dalam keluarga yang kental dengan adat istiadat, di mana Rina memiliki ayah yang merupakan seorang tokoh adat. Sementara Nur memiliki orang tua yang aktif dalam organisasi kemasyarakatan, berdasarkan daerah asalnya. Hal tersebut turut mempengaruhi pembentukan persepsi positif ke dua informan yang memahami nilai-nilai budaya dalam tradisi tersebut. Dapat disimpulkan bahwa pada umumnya persepsi informan bersifat selektif dan berdasarkan dugaan (Dian, Leni, Netty, Ita, Dedek dan Shanti). Persepsi informan bersifat selektif, di mana begitu banyak rangsangan inderawi yang diterima sebagai pesan tentang tradisi uang jemputan, namun informan menafsirkannya hanya sebatas pada prosesi awal, di mana uang jemputan merupakan syarat perkawinan yang dibebankan kepada pihak keluarga

169 154 perempuan. Sedangkan persepsi informan bersifat dugaan, di mana pesan yang diperoleh tentang tradisi uang jemputan tidak pernah lengkap, maka persepsi merupakan loncatan langsung pada kesimpulan, hingga akhirnya melahirkan cara pandang bahwa tradisi uang jemputan dianggap memberatkan pihak perempuan. Sedangkan persepsi dua informan lainnya yaitu Rina dan Nur, bersifat selektif dan evaluatif, di mana begitu banyak rangsangan inderawi yang mereka terima sebagai pesan tentang tradisi uang jemputan, kemudian mengevaluasinya kembali untuk disimpulkan sebagai persepsi yang positif bahwa tradisi uang jemputan adalah bentuk perlindungan terhadap perempuan dan merupakan tradisi perkawinan yang menjadi kebiasaan masyarakat Pariaman sebagai bentuk selektifitas keluarga dalam pencarian jodoh untuk anaknya. Ke dua hal tersebut merujuk pada pandangan Mulyana (2001: ), bahwa sifat-sifat persepsi terbagi menjadi 4 (empat), yaitu: persepsi bersifat selektif; persepsi bersifat dugaan; persepsi bersifat evaluatif; dan persepsi bersifat konstektual. b. Nilai-nilai. Secara keseluruhan, cara pandang informan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan, bersumber dari penafsirannya berdasarkan pengalaman tentang tradisi tersebut, yang terdiri dari 4 (empat) cara pandang, yaitu: (1). sebagai bentuk penghargaan terhadap status sosial laki-laki; (2). saling menghargai dan saling mendukung antarkeluarga; (3). sebagai modal usaha bagi pasangan yang dinikahkan; dan (4). selektifitas keluarga dalam pencarian jodoh. Cara pandang informan tentang nilai-nilai dalam tradisi uang jemputan tersebut, dapat diklasifikasikan melalui tabel 5.1 berikut:

170 155 Tabel 5.1. Klasifikasi temuan penelitian berdasarkan cara pandang tentang nilai-nilai dalam tradisi uang jemputan No. Cara pandang tentang nilai-nilai Nama Informan Sebagai bentuk penghargaan terhadap status sosial laki-laki Sebagai modal usaha bagi pasangan yang dinikahkan Selektifitas keluarga dalam pencarian jodoh Saling menghargai dan saling mendukung antarkeluarga Sumber: Temuan Penelitian (2015). Leni, Rina, Netty, Nur dan Shanti Leni, Rina, Dedek, Nur dan Shanti Dian, Netty, Ita, Nur Dian dan Nur Berdasarkan tabel di atas, informan Nur memiliki pemahaman lebih banyak dari informan lainnya, tentang nilai-nilai dalam tradisi uang jemputan. Hasil konfirmasi peneliti kepada informan Nur, pada wawancara tanggal 16 September 2015, diketahui bahwa pemahamannya tentang nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan tersebut, dibentuk oleh rasa bangga terhadap identitas kesukuannya sebagai orang Minang yang ditanamkan oleh keluarga Nur sejak kecil. Hal tersebut melahirkan rasa ingin tahu beliau untuk mempelajari adat Minang. Beliau merupakan seorang generasi muda Minang yang juga aktif berbaur dalam kegiatan kemasyarakatan Minang Pariaman, di sekitar lingkungan tempat tinggalnya yang dominan dihuni masyarakat sesama suku. Hal tersebut menumbuhkan keinginan beliau untuk melestarikan adat istiadat sukunya, sebagaimana penuturan beliau berikut ini: Ibu paham, karena ibu sering lihat tetangga-tetangga ibu di sekitar sini, saudara-saudara ibu juga pakai uang japuik kalau pesta. Orang tua ibu juga sering bawa ibu pulang kampung, mereka bisa dibilang aktiflah di PKDP, dari kecilpun ibu udah berbaur sama orang-orang Pariaman...jadi taulah adat itu kayak mana. Walaupun kita di rantau, kita harus paham juga tradisi kita itu kayak mana...iya kan. Berbaur kita dengan orang-orang satu suku kita. Makanya, kalau nggak kita yang melestarikan adat kita itu siapa lagi?...iya kan.

171 156 Sementara itu informan lainnya, lebih banyak memiliki cara pandang tentang nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan adalah sebagai bentuk penghargaan terhadap status sosial laki-laki dan sebagai modal untuk hidup berumah tangga (Leni, Rina, Netty, Nur, Ita, Dedek dan Shanti). Temuan ini mendukung pernyataan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap posisi laki-laki (suami) sebagai urang sumando atau orang yang datang ke keluarga istri, di mana uang jemputan tersebut diberikan sebagai modal bagi mereka untuk hidup berumahtangga (Maihasni, et. al., 2010: 178 dan Sjarifoedin, 2011: 477). Sementara itu pengetahuan lain informan tentang nilai-nilai tradisi uang jemputan adalah sebagai bentuk selektifitas keluarga dalam pencarian jodoh dan sebagai bentuk saling menghargai dan saling mendukung antarkeluarga (Dian, Netty, Ita dan Nur), bersumber dari penafsiran pada pengalaman informan dalam menyaksikan pernikahan kerabat. c. Sikap. Cara pandang informan terwujud pada sikapnya (secara afektif) yang menunjukkan perasaan, respek atau perhatian terhadap tradisi uang jemputan, terbentuk melalui sumber referensinya tentang tradisi uang jemputan. Secara keseluruhan, temuan penelitian mengenai cara pandang yang terwujud dalam sikap informan dalam menafsirkan tradisi uang jemputan, dapat diklasifikasikan melalui tabel 5.2 berikut:

172 157 Informan Dian Leni Netty Ita Nur Rina Dedek Shanti Tabel 5.2. Klasifikasi temuan penelitian berdasarkan sikap perempuan Minang Pariaman tentang tradisi uang jemputan Sumber Proses Referensi Enkulturasi Peranan Lingkungan Keluarga tidak Tidak suka dan malu Pengalaman mengkomunikasikan dengan stereotip pernikahan makna perempuan Minang kerabat tradisi uang membeli laki-laki jemputan untuk menikah Keluarga tidak Tidak suka dan malu Pengalaman mengkomunikasikan dengan stereotip pernikahan makna perempuan Minang kerabat tradisi uang membeli laki-laki jemputan untuk menikah Keluarga tidak Tidak suka dan malu Pengalaman mengkomunikasikan dengan stereotip pernikahan makna perempuan Minang kerabat tradisi uang membeli laki-laki jemputan untuk menikah Keluarga tidak Tidak suka dan malu Pengalaman mengkomunikasikan dengan stereotip pernikahan makna perempuan Minang kerabat tradisi uang membeli laki-laki jemputan untuk menikah Keluarga tidak Tidak terpengaruh Pengalaman mengkomunikasikan dengan stereotip pernikahan makna perempuan Minang kerabat tradisi uang membeli laki-laki jemputan untuk menikah Keluarga Tidak terpengaruh Pengalaman mengkomunikasikan dengan stereotip pernikahan makna perempuan Minang kerabat tradisi uang membeli laki-laki jemputan untuk menikah Keluarga Dipengaruhi oleh Pengalaman mengkomunikasikan adanya stereotip pernikahan makna perempuan Minang kerabat tradisi uang membeli laki-laki jemputan untuk menikah Pengalaman Keluarga tidak Dipengaruhi oleh pernikahan mengkomunikasikan adanya stereotip kerabat dan makna perempuan Minang pengalaman tradisi uang membeli laki-laki sendiri jemputan. untuk menikah. Sumber: Temuan penelitian (2015). Sikap Tradisi uang jemputan memberatkan pihak keluarga perempuan Tradisi uang jemputan memberatkan pihak keluarga perempuan Tradisi uang jemputan memberatkan pihak keluarga perempuan Tradisi uang jemputan memberatkan pihak keluarga perempuan Sebagai bentuk selektifitas keluarga dalam pencarian jodoh untuk anaknya Tradisi uang jemputan sebagai perlindungan perempuan Tradisi uang jemputan ribet dan memberatkan perempuan Tradisi uang jemputan memberatkan pihak perempuan

173 158 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 6 (enam) informan, yaitu Dian, Leni, Netty, Ita, Dedek dan Shanti memiliki sikap bahwa tradisi uang jemputan memberatkan bagi pihak keluarga perempuan. Sikap ke enam informan lebih dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan (pendidikan, pekerjaan dan tempat tinggal) yang melahirkan adanya stereotip negatif tentang perempuan Minang membeli laki-laki untuk menikah. Dari enam informan tersebut, hanya keluarga Dedek yang memiliki peranan dalam proses transmisi nilai-nilai dalam tradisi uang jemputan. Meskipun demikian, ia lebih dipengaruhi oleh pergaulannya di dunia pendidikan dan pekerjaan, karena keseringannya berbaur dengan temanteman dari suku yang berbeda, sehingga Dedek merasa tidak suka dan malu terhadap adanya stereotip negatif tentang perempuan Minang tersebut. Sedangkan sikap lima informan lainnya juga dipengaruhi oleh tidak adanya peranan keluarga dalam proses enkulturasi budaya. Hanya 2 (dua) informan, yaitu Rina dan Nur yang memiliki sikap atau cara pandang yang positif tentang tradisi uang jemputan. Rina bersikap positif bahwa tradisi uang jemputan sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan. Pemahaman Rina tersebut, ia dapatkan melalui sumber yang relevan dan dekat dengannya, di mana ia aktif berkomunikasi dengan sang ayah yang merupakan tokoh adat Pariaman, sehingga tidak terpengaruh oleh adanya stereotip negatif yang menyebutkan, perempuan Minang membeli laki-laki untuk menikah. Sedangkan Nur, bersikap positif tentang tradisi uang jemputan, bahwa tradisi tersebut merupakan bentuk selektifitas keluarga dalam pencarian jodoh untuk anaknya, juga dibentuk oleh kedekatan Nur kepada komunitas sukunya, yaitu dalam aktivitasnya pada organisasi kemasyarakatan berdasarkan daerah asalnya.

174 Sistem Lambang (verbal/non verbal). Percakapan verbal antara keluarga dan informan dalam penyampaian pesan tentang perjodohan dengan tradisi uang jemputan, tidak dapat dideskripsikan secara langsung. Hal ini dikarenakan fokus penelitian tidak pada proses penyampaian pesan verbal tersebut, melainkan hanya pada respon (sikap) informan atas pesan verbal tentang perjodohan yang pernah diterima oleh informan, hingga akhirnya mempengaruhi keputusannya dalam menerima atau menolak perjodohan tersebut. Sistem lambang (verbal/non verbal) yang mempengaruhi cara pandang (sikap afektif) informan, dapat dilihat pada komunikasi yang terjadi dalam keluarga informan mengenai perjodohan, yang akan diuraikan melalui tabel 5.3 berikut: Tabel 5.3. Klasifikasi temuan penelitian berdasarkan sikap informan yang dipengaruhi oleh pesan verbal/non verbal dalam komunikasi keluarga tentang perjodohan Informan Dian Leni Rina Netty Ita Dedek Nur Shanti Verbal Penyampaian pesan tentang perjodohan informan, kepada lakilaki Pariaman dengan pemberian sejumlah uang jemputan (japuik) Sistem lambang Non verbal Sang calon memiliki kepribadian yang baik Sang calon memiliki kepribadian yang baik Laki-laki Pariaman memiliki kebiasaan pemalas Sang calon memiliki kepribadian yang baik Sang calon memiliki kepribadian yang baik Memiliki stigma negatif tentang uang japuik Sang calon memiliki kepribadian yang baik Memiliki stigma negatif tentang uang japuik, tapi mematuhi orang tua Sumber: Temuan penelitian (2015). Sikap Menerima perjodohan dan tradisi uang jemputan Menerima perjodohan, namun menolak uang jemputan Menolak perjodohan Menerima perjodohan dan tradisi uang jemputan Menerima perjodohan, namun menolak uang jemputan Menolak perjodohan Menerima perjodohan dan tradisi uang jemputan Menerima, namun akhirnya dibatalkan

175 160 Proses komunikasi yang terjadi, melalui percakapan keluarga tentang perjodohan, disampaikan melalui pesan verbal (lisan). Pada umumnya pihak keluarga menjodohkan informan dengan mempertimbangkan kemapanan sang calon, yang telah memiliki pekerjaan tetap, sehingga dianggap mampu memberi nafkah pada keluarganya kelak. Proses komunikasi tersebut dapat terjadi, dalam bentuk komunikasi interpersonal, yaitu antara orang tua dan informan, maupun dalam bentuk komunikasi kelompok kecil, disamping melibatkan orang tua dan informan, juga melibatkan mamak (paman). Dalam hal ini, keluarga (orang tua atau mamak/paman) dan informan, bertindak secara interaktif dan dua arah serta berganti peran sebagai komunikator dan komunikan dalam merespon pesan tentang perjodohan tersebut. Sementara itu perjodohan kepada laki-laki Pariaman (sang calon) dengan pemberian sejumlah uang jemputan, merupakan satu kesatuan isi pesan yang akan ditafsirkan oleh informan, kemudian membentuk cara pandangnya (persepsinya), hingga akhirnya kepada sikap menerima atau menolak pesan tersebut. Sebagaiman telah dipaparkan pada tabel 5.3 di atas, untuk mempermudah uraian pada pembahasan tentang cara pandang (sikap afektif dan behavioral) yang dipengaruhi oleh pesan verbal/non verbal (sistem lambang) tersebut, akan dijelaskan dengan merujuk pada model komunikasi ABX. Menurut Mulyana (dalam Djamarah, 2004: 38-39), Model ABX dikemukakan oleh Newcomb dari perspektif psikologi-sosial. Model ini menggambarkan bahwa seseorang (A) menyampaikan informasi (pesan) kepada seseorang lainnya (B), mengenai sesuatu (X). Model ini mengasumsikan bahwa orientasi sikap (A) terhadap (B) dan terhadap (X) saling bergantung, dan ketiganya merupakan suatu sistem yang

176 161 terdiri dari empat orientasi, yaitu 1). Orientasi A terhadap X, yang meliputi sikap terhadap X sebagai objek yang harus didekati atau dihindari dan atribut kognitif (kepercayaan dan tatanan kognitif); 2). Orientasi A terhadap B; 3). Orientasi B terhadap X; dan 4). Orientasi B terhadap A. Selanjutnya model ini dapat dijelaskan melalui gambar 5.1 berikut: X A B Gambar 5.1 : Model komunikasi ABX (Mulyana dalam Djamarah, 2004: 40). Bila A dan B mempunyai sikap positif terhadap satu sama lain dan terhadap X (orang, gagasan atau benda), hubungan itu merupakan simetri. Bila A dan B saling membenci, dan salah satu menyukai X, sedangkan yang lainnya tidak, hubungan itu juga merupakan simetri. Akan tetapi, bila A dan B saling menyukai, namun mereka tidak sependapat mengenai X atau bila mereka saling membenci, namun sependapat mengenai X, maka hubungan mereka bukan simetri (Mulyana dalam Djamarah, 2004: 39-41). Berdasarkan temuan penelitian yang telah diuraikan pada tabel 5.3 di atas, model ABX pada proses penyampaian pesan perjodohan dalam komunikasi keluarga masing-masing informan yang membentuk cara pandang (sikap afektif dan behavioral) informan, akan dibahas satu per satu sebagai berikut:

177 Komunikasi keluarga Dian. Proses penyampaian pesan melalui komunikasi keluarga Dian tentang perjodohan kepada laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman dengan pemberian sejumlah uang jemputan, dapat digambarkan sebagai berikut: Pesan tentang perjodohan + + = Hubungan Simetri Keluarga + Dian Gambar 5.2 : Model ABX pada komunikasi keluarga Dian. Keluarga Dian memiliki sikap positif terhadap tradisi uang jemputan, sehingga berkeinginan menjodohkan Dian dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman dalam upaya pelestarian adat istiadat. Keluarga dalam hal ini orang tua Dian, mengkomunikasikan keinginan perjodohan Dian dengan laki-laki Pariaman yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga mereka. Pesan verbal tersebut kemudian dipertimbangkan Dian, sebagai suatu pilihan untuk keputusan pemilihan jodohnya, karena pernah gagal membina hubungan dengan laki-laki dari suku yang berbeda. Hubungan yang positif antara orang tua dan Dian, membuat pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi tersebut bersifat persuasif, di mana Dian diberikan kesempatan untuk mengenali lebih dalam calon jodohnya tersebut. Sebagaimana disebutkan oleh Cangara (2011: 118), bahwa penyusunan pesan yang bersifat persuasif, memiliki tujuan untuk mengubah persepsi, sikap dan pendapat.

178 163 Dian yang telah mengenali kepribadian sang calon sebelumnya, mengabaikan persepsi negatifnya tentang tradisi uang jemputan. Ia akhirnya menerima perjodohan tersebut, karena melihat kepribadian yang baik sang calon pendamping hidupnya kelak sebagai pesan non verbal yang ia tafsirkan terhadap pesan perjodohan dirinya dengan sang calon. Pesan non verbal tersebut mempengaruhi tindakan (behavioral) sebagai wujud dari sikap Dian, yang terlihat pada keputusan pemilihan jodohnya, di mana ia akhirnya menerima perjodohan keluarga dan menjalani tradisi uang jemputan. Persepsi negatif Dian juga berubah menjadi persepsi yang positif terhadap tradisi uang jemputan. Proses komunikasi keluarga tersebut menciptakan hubungan yang simetri antara keluarga dan Dian. 2. Komunikasi Keluarga Leni. Proses penyampaian pesan dalam komunikasi keluarga Leni tentang perjodohan kepada laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman dengan pemberian sejumlah uang jemputan, dapat digambarkan sebagai berikut: Pesan tentang perjodohan + +/- = Hubungan Asimetri Keluarga + Leni Gambar 5.3 : Model ABX pada komunikasi keluarga Leni. Keluarga Leni memiliki sikap positif terhadap tradisi uang jemputan, sehingga berkeinginan menjodohkannya dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman, di usia Leni yang telah layak untuk dinikahkan. Keluarga

179 164 dalam hal ini orang tua dibantu oleh mamak (paman) Leni, mengkomunikasikan keinginan perjodohan Leni dengan laki-laki Pariaman yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga mereka. Pesan verbal tersebut kemudian dipertimbangkan Leni, sebagai suatu pilihan untuk keputusan pemilihan jodoh baginya, di mana ia tidak memiliki calon atas pilihannya sendiri. Hubungan yang positif antara keluarga dan Leni, membuat penyampaian pesan perjodohan tersebut dilakukan dengan cara persuasi, di mana Leni juga melewati masa pendekatan lebih dalam dengan sang calon jodoh. Setelah melewati masa perkenalan, Leni melihat kepribadian yang baik dari sang calon jodohnya, sebagai pesan non verbal yang ditafsirkan Leni terhadap perjodohan tersebut. Hal ini membuatnya mengabaikan persepsi negatif tentang tradisi uang jemputan dan akhirnya menerima perjodohan. Tindakan (behavioral) sebagai wujud sikap Leni, terlihat pada keputusannya yang menerima perjodohan tersebut (pada gambar dengan tanda positif/+), namun tidak sependapat dengan adanya pelaksanaan tradisi uang jemputan pada pernikahannya (pada gambar dengan tanda negatif/-). Ia tetap pada persepsi negatif bahwa tradisi tersebut memberatkan pihak keluarganya. Leni bersikap pasrah menerima keputusan orang tuanya dalam memenuhi permintaan keluarga calon suaminya, dengan memberi sejumlah uang jemputan. Proses komunikasi tersebut menciptakan hubungan yang tidak simetris (asimetris) pada keluarga Leni, karena sebenarnya ada perbedaan pendapat antara Leni dan keluarga dalam komunikasi yang dilakukan.

180 Komunikasi keluarga Rina. Proses penyampaian pesan dalam komunikasi keluarga Rina tentang perjodohan, dapat digambarkan sebagai berikut: Pesan tentang perjodohan + -/+ = Hubungan Asimetri Keluarga + Rina Gambar 5.4 : Model ABX pada komunikasi keluarga Rina. Keluarga Rina melalui peranan mamak (paman), mengkomunikasikan keinginan menjodohkan Rina dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman. Sikap positif keluarga terhadap tradisi uang jemputan, terlihat pada pilihan jodoh yang ditawarkan kepada Rina adalah laki-laki dari sesama suku. Hubungan yang positif antara keluarga dan Rina, membuat penyampaian pesan perjodohan tersebut dilakukan dengan cara persuasi, di mana Rina juga diberi kebebasan menentukan sikapnya sendiri tanpa adanya paksaan keluarga. Meskipun memiliki persepsi positif tentang tradisi uang jemputan (pada gambar dengan tanda positif/+), Rina bersikap menolak perjodohan (pada gambar dengan tanda negatif/-). Alasan penolak tersebut, karena stigma negatif Rina tentang sosok laki-laki Pariaman, yang memiliki kebiasaan duduk di warung kopi sebagai kebiasaan seorang pemalas. Hal tersebut merupakan pesan non verbal yang ditafsikannya sehingga membentuk sikapnya. Penolakan terhadap pesan

181 166 perjodohan tersebut menggambarkan hubungan tidak simetris (asimetris) antara Rina dan keluarganya. 4. Komunikasi keluarga Netty. Proses penyampaian pesan dalam komunikasi keluarga Netty tentang perjodohan kepada laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman dengan tradisi uang jemputan, dapat digambarkan sebagai berikut: Pesan tentang perjodohan + + = Hubungan Simetri Keluarga + Netty Gambar 5.5 : Model ABX pada komunikasi keluarga Netty. Keluarga Netty memiliki sikap positif terhadap tradisi uang jemputan, sehingga berkeinginan menjodohkan Netty dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman dalam upaya melestarikan adat istiadat. Keluarga dalam hal ini orang tua Netty, mengkomunikasikan keinginan perjodohan tersebut kepadanya. Hubungan yang positif antara Netty dan orang tuanya, membuat pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi tersebut bersifat persuasif, di mana ia diberikan kesempatan untuk mengenali lebih dalam, calon jodohnya tersebut. Sebagaimana disebutkan oleh Cangara (2011: 118), bahwa penyusunan pesan yang bersifat persuasif, memiliki tujuan untuk mengubah persepsi, sikap dan pendapat.

182 167 Dari proses perkenalan tersebut, Netty akhirnya menerima perjodohan, karena melihat kepribadian yang baik dari sang calon, sebagai pendamping hidupnya kelak. Melihat kepribadian yang baik dari sang calon merupakan pesan non verbal (tidak dibahasakan), yang ditafsirkan Netty terhadap pesan dalam komunikasi yang dilakukan, sehingga mempengaruhi tindakan (behavioral) sebagai wujud dari sikap Netty, dalam menerima perjodohan keluarga tersebut. Persepsi negatif Netty juga berubah menjadi persepsi yang positif terhadap tradisi uang jemputan, setelah menjalaninya. Proses komunikasi keluarga tersebut menciptakan hubungan yang simetri antara Netty dengan keluarganya. 5. Komunikasi keluarga Ita. Proses penyampaian pesan dalam komunikasi keluarga Ita tentang perjodohan kepada laki-laki Pariaman dengan pemberian sejumlah uang jemputan, dapat digambarkan sebagai berikut: Pesan tentang perjodohan + +/- = Hubungan Asimetri Keluarga - Ita Gambar 5.6 : Model ABX pada komunikasi keluarga Ita. Keluarga Ita memiliki sikap positif terhadap tradisi uang jemputan, sehingga berkeinginan menjodohkan Ita dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman sebagai wujud pelestarian adat. Keluarga dalam hal ini orang tua Ita, mengkomunikasikan keinginan perjodohan tersebut kepadanya. Hubungan

183 168 yang sempat terlibat konflik antara Ita dan orang tuanya, membuat penyampaian pesan perjodohan tersebut sedikit memaksakan kehendak orang tua. Ita sebelumnya telah memiliki calon atas pilihannya sendiri, namun orang tuanya memiliki pilihan jodoh sendiri untuk dinikahkan kepada Ita. Meskipun demikian, calon pilihan orang tua yang sebenarnya telah dikenali Ita sebagai teman abang kandungnya, diketahui Ita memiliki kepribadian yang baik. Oleh karena sikap patuh terhadap orang tua, membuat Ita akhirnya mengabaikan persepsi negatifnya tentang tradisi uang jemputan dan menerima perjodohan. Alasan kepatuhan terhadap orang tua dan keyakinan bahwa sang calon tersebut adalah orang yang baik, merupakan pesan non verbal (yang tidak dibahasakan), yang tafsirkan Ita terhadap isi pesan perjodohan, sehingga mempengaruhi sikapnya. Tindakan (behavioral) sebagai wujud sikap Ita, terlihat pada keputusannya dalam menerima perjodohan tersebut (pada gambar dengan tanda positif/+), namun tidak sependapat dengan adanya pelaksanaan tradisi uang jemputan pada pernikahannya (pada gambar dengan tanda negatif/-). Ia tetap pada persepsi negatif bahwa tradisi tersebut memberatkan pihak keluarga perempuan. Ita bersikap pasrah menerima keputusan orang tuanya yang tetap memenuhi permintaan keluarga calon suaminya, dalam memberi sejumlah uang jemputan. Proses komunikasi tersebut menciptakan hubungan yang tidak simetris (asimetris) pada keluarga Ita, karena sebenarnya ada perbedaan pendapat antara Ita dan keluarganya.

184 Komunikasi keluarga Dedek. Proses penyampaian pesan dalam komunikasi keluarga Dedek tentang perjodohan kepada laki-laki Pariaman dengan pemberian uang jemputan, dapat digambarkan sebagai berikut: Pesan tentang perjodohan + - = Hubungan Asimetri Keluarga - Dedek Gambar 5.7 : Model ABX pada komunikasi keluarga Dedek. Orang tua Dedek mengkomunikasikan keinginannya menjodohkan Dedek dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman dengan sejumlah uang jemputan sebagai syarat perkawinan. Sikap positif keluarga terhadap tradisi uang jemputan, terlihat pada pilihan jodoh yang ditawarkan kepada Dedek adalah lakilaki dari sesama suku. Hubungannya dengan orang tua, sempat terlibat konflik, karena Dedek menolak perjodohan tersebut. Sikapnya menolak perjodohan, karena dipengaruhi oleh persepsi negatifnya tentang prosesi tradisi uang jemputan, sebagai prosesi yang ribet (merepotkan) dan memberatkan pihak perempuan, sebagai pesan non verbal yang ia tafsirkan tentang tradisi tersebut. Respon (sikap) Dedek dipengaruhi oleh pesan non verbal, yang ia tafsirkan terhadap pesan perjodohan tersebut, sehingga melahirkan tindakan (behavioral) berupa penolakan. Hal tersebut membuat hubungan yang tidak simetris (asimetris) dalam proses komunikasi antara Dedek dengan keluarganya.

185 Komunikasi keluarga Nur. Proses penyampaian pesan dalam komunikasi keluarga Nur tentang perjodohan kepada laki-laki Pariaman dengan pemberian sejumlah uang jemputan, dapat digambarkan sebagai berikut: Pesan tentang perjodohan + + = Hubungan Simetri Keluarga + Nur Gambar 5.8 : Model ABX pada komunikasi keluarga Nur. Keluarga Nur memiliki sikap positif terhadap tradisi uang jemputan, sehingga berkeinginan menjodohkan Nur dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman, sehingga akan melestarikan adat istiadat sukunya. Orang tuanya mengkomunikasikan keinginan perjodohan tersebut kepada Nur. Hubungan yang positif antara Nur dan orang tua, membuat ia akhirnya menerima perjodohan tersebut. Karena melihat kepribadian yang baik dari sang calon, sebagai pendamping hidupnya kelak, membuat Nur menerima perjodohan. Alasan tersebut adalah respon (sikap) Nur yang dipengaruhi pesan non verbal (yang tidak dibahasakan) dalam komunikasi tentang perjodohan yang dilakukan oleh keluarganya. Tindakan (behavioral) sebagai wujud dari sikap Nur, terlihat pada keputusannya, ketika menerima perjodohan keluarga dan menjalani tradisi uang jemputan. Proses komunikasi keluarga tersebut menciptakan hubungan yang simetri antara keluarga dan Nur.

186 Komunikasi keluarga Shanti. Proses penyampaian pesan dalam komunikasi keluarga Shanti tentang perjodohan kepada laki-laki Pariaman dengan pemberian sejumlah uang jemputan, dapat digambarkan sebagai berikut: Pesan tentang perjodohan + +/- = Hubungan Asimetri Keluarga + Shanti Gambar 5.9 : Model ABX pada komunikasi keluarga Shanti. Keluarga dalam hal ini orang tua dibantu oleh mamak (paman), mengkomunikasikan keinginan untuk menjodohkan Shanti dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman dengan pemberian sejumlah uang jemputan. Sikap positif keluarga Shanti terhadap tradisi uang jemputan, terlihat pada pilihan jodoh yang ditawarkan kepadanya adalah laki-laki dari sesama suku. Hubungan positif Shanti dengan orang tuanya, membuat ia menerima perjodohan tersebut dengan alasan ingin mematuhi keputusan kedua orangtuanya tersebut. Meskipun sebenarnya memiliki persepsi negatif tentang tradisi uang jemputan serta belum mengenal kepribadian sang calon jodoh dengan baik (pada gambar dengan tanda negatif/-), Shanti akhirnya mau menjalani perjodohan tersebut (pada gambar dengan tanda positif/+), sesuai keinginan orang tuanya. Namun akhirnya perjodohan tersebut dibatalkan, dengan alasan tidak adanya keseriusan sang calon untuk menjalani rencana pernikahan. Sikap Shanti

187 172 dipengaruhi oleh pesan non verbal (tidak dibahasakan) yang ia tafsirkan terhadap pesan perjodohan tersebut, bahwa orang tua juga bisa tidak selektif dalam memilihkan jodoh untuk anaknya. Hubungan Shanti dan keluarganya berada pada hubungan yang tidak simetris (asimetris), karena sebenarnya memiliki perbedaan pendapat tentang isi pesan perjodohan tersebut. Selanjutnya akan dibahas mengenai keterkaitan pemahaman berbahasa Minang dengan pemahaman budaya oleh informan, sebagaimana Haviland (dalam Sihabuddin, 2013: 66), menyebutkan bahasa adalah suatu sistem bunyi, yang digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa tersebut. Bahasa sebagai peta realitas budaya yang tidak dapat dialihkan secara sempurna ke dalam suatu bahasa lain. Bahasa sebagai wujud penyampaian pesan mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran. Ditemukan bahwa pada umumnya para informan sebagai perempuan Minang Pariaman yang lahir dan besar di Kota Medan, tidak terlalu mahir berbahasa Minang. Peranan bahasa Minang sebagai identitas suku yang harus dipelajari oleh para informan sebagai generasi muda suku Minang, tidak berperan pada pemahaman mereka tentang budaya Minang, khususnya tradisi uang jemputan (Leni, Rina, Ita, Dedek dan Shanti). Sebagaimana disebutkan oleh nara sumber, prof. Chalida Fachruddin yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pakar pada Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP) Provinsi Sumatera Utara sekaligus sebagai seorang Antropolog dalam wawancara bersama peneliti, sebagai berikut: Sangat perlu saya rasa bahasa Minang diajarkan dalam keluarga, tapi bahasa yang baik-baik ya, karena anak-anak akan lebih mencintai

188 173 suku asalnya ketika dia bisa berbahasa daerah. Karena ada dalam beberapa tradisi yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa Indonesia, misalnya petatah petitih...harus paham kita bahasa daerah kita itu. Sayangnya orang tua dahulu...kalau marah-marah saja baru berbahasa Minang. Saya paham bahasa daerah karena saya kuliah jurusan Antropologi, jadi saya juga mempelajari bahasa daerah saya. Pada umumnya di daerah perantauan, orang Minang yang tidak dominan budayanya, bahasa sehari-harinya adalah bahasa Indonesia. Keluarga Minang di dalam dan di luar rumah, berbahasa Indonesia saja...sehingga pemahaman nilai-nilai budaya Minang menjadi kurang bahkan tidak ada, apalagi tradisi uang jemputan yang bertolak belakang dengan tradisi sekitarnya. Akhirnya pemahaman generasi muda di rantau menjadi kabur. Tidak adanya pemahaman nilai budaya Minang yang lebih mudah transmisinya selain melalui bahasa daerah, sehingga generasi muda memahami tradisi uang jemputan itu.. Pernyataan nara sumber di atas, juga dikuatkan oleh nara sumber lainnya yaitu Bapak H.M. Ridwan dalam penuturannya berikut: Penggunaan bahasa daerah sekarang ini, sudah jarang dibiasakan di rumah keluarga Minang. Perbauran generasi muda Minang dengan suku-suku lainnya membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa utama dalam komunikasi keluarga, bahkan bahasa asing lebih disukai dari pada bahasa daerah asalnya. Generasi muda Minang lebih banyak hanya mampu memahami sedikit saja bahasa Minang. Saya di rumah ini pake juga bahasa Minang itu, kalau bicara sama istri, sama keluarga dari kampung. Kalau. Sementara itu hanya 3 (tiga) informan, yaitu Dian, Netty dan Nur yang memahamami dan mahir berbahasa Minang. Hal ini juga mempengaruhi pemahaman dan persepsi mereka tentang tradisi uang jemputan Organisasi sosial. Pada umumnya keluarga informan tidak berperan dalam proses enkulturasi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan (Dian, Leni, Netty, Ita, Nur dan Shanti). Lima dari enam informan tersebut, juga tidak memiliki kedekatan dengan daerah asal (kampung halaman), karena kebiasaan pulang kampung hanya tradisi di waktu kecil saja, sehingga mereka tidak memiliki banyak referensi tentang tradisi uang jemputan dan melahirkan persepsi negatif

189 174 tentang tradisi tersebut. Hanya informan Nur yang memiliki kedekatan dengan kampung halaman, karena kebiasaan pulang kampung dan keaktifannya dalam organisasi kesukuan, sehingga meskipun makna tradisi tersebut, tidak secara khusus dikomunikasikan oleh keluarga, Nur memiliki persepsi yang positif. Sementara itu, dua informan lainnya yaitu Rina dan Dedek, memperoleh pemahaman tentang tradisi uang jemputan melalui proses enkulturasi yang diperankan oleh keluarga. Namun hanya Rina yang memahami nilai-nilai positif tradisi tersebut. Pemahamannya didukung oleh pengalamannya tinggal selama + 5 tahun di Pariaman dan sering menyaksikan tradisi uang jemputan, dilaksanakan pada pernikahan kerabatnya. Sementara itu Dedek jarang pulang kampung dan lebih sering menyaksikan pelaksanaan tradisi uang hilang pada pernikahan kerabatnya, di mana tidak adanya pengetahuan Dedek, mengenai pengembalian terhadap pemberian uang jemputan (panibo). Tidak adanya pemahaman tentang panibo tersebut, melahirkan persepsi negatif Dedek bahwa tradisi uang jemputan hanya memberatkan satu pihak saja, yaitu pihak keluarga perempuan. Referensi Dedek tentang tradisi uang jemputan sebenarnya adalah pelaksanaan tradisi uang hilang. Sebagaimana disebutkan bahwa keluarga merupakan transmitor utama pengetahuan, nilai, perilaku, peranan dan kebiasaan dari generasi ke generasi. Melalui kata dan contoh, keluarga membentuk kepribadian seorang anak dan menanamkan pola fikir dan cara bertingkah laku, sehingga menjadi suatu kebiasaan (DeGenova dan Rice dalam Samovar, et al., 2010: 65). Secara khusus temuan ini mendukung hasil penelitian Usman Pelly pada tahun 1980-an, yang menyebutkan bahwa pengetahuan anak-anak muda Minang mengenai adat,

190 175 terbatas pada cerita-cerita lisan atau upacara-upacara dengan keluarga dan tetangga, karena mereka dibesarkan dalam daerah rantau, mereka tidak memiliki ikatan perasaan yang kuat dengan rumah nenek moyang mereka dan orang tua (Pelly, 2013: 312). Sebelum membahas tentang perubahan sikap informan setelah menikah (menjalani atau tidak menjalani tradisi uang jemputan), terlebih dahulu akan dibahas mengenai pola komunikasi keluarga, dalam memprakarsai perjodohan dengan tradisi uang jemputan yang pada akhirnya menerpa para informan. Ketika informan telah memasuki usia yang layak untuk menikah, keluarga akan berperan dalam perjodohannya. Pola komunikasi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan yang diterapkan melalui perjodohan tersebut, akan dipersepsikan oleh informan dalam sikap menerima atau menolak perjodohan. Ditemukan bahwa orang tua seluruh informan mulai merasa resah, akan memiliki gadis gadang indak balaki, ketika anak gadisnya sudah memasuki usia di atas 18 tahun, sehingga berusaha mencarikan jodoh (Dian, Leni, Rina, Netty, Ita, Dedek, Nur dan Shanti), sebagaimana disampaikan Sjarifoedin (2011: 471) bahwa gadis gadang indak balaki (gadis dewasa namun belum menikah) di Pariaman, merupakan aib bagi keluarga. Kondisi ini membuat pihak keluarga perempuan yang terdiri dari ibu-bapak, mamak/paman dan ninik mamak dari pihak ibu, berusaha sekuat tenaga untuk mencarikan suami bagi anak kemenakannya, bahkan bersedia untuk membayar kepada pihak calon mempelai laki-laki. Terkadang jumlah uang jemputan yang diminta, tidak masuk akal sehingga membebani pihak perempuan.

191 176 Selanjutnya pola komunikasi keluarga akan dibahas, dengan merujuk pada pandangan Fitzpatrick (dalam Morissan, 2014: 292), yang mengidentifikasi pola komunikasi keluarga dalam empat tipe keluarga, yaitu tipe konsensual, pruralistis, protektif dan leissez faire. Dari ke empat tipe keluarga di atas, ditemukan 3 (tiga) tipe keluarga informan yang menggambarkan peranan keluarga dalam penyampaian pesan tentang tradisi uang jemputan melalui perjodohan. Sementara itu, tidak ditemukan tipe keluarga leissez faire dalam pola komunikasi keluarga informan penelitian. Ke 3 (tiga) tipe keluarga tersebut akan diuraikan sebagai berikut: 1). Tipe Konsensual. Yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, namun juga memiliki kepatuhan yang tinggi. Keluarga tipe ini suka sekali berkomunikasi secara terbuka, dengan sesama anggota keluarga. Pemegang otoritas keluarga, dalam hal ini orang tua. Orang tua adalah pihak yang membuat keputusan (Morissan, 2014: 292). Tipe ini terdapat dalam keluarga 3 (tiga) informan, yaitu Dian, Netty dan Nur. Keinginan orang tua untuk memiliki menantu sesama orang Minang, dipatuhi oleh anak-anaknya. Keterbukaan yang terjalin dalam keluarga informan membuat para informan, tidak merasa terpaksa untuk mematuhi keinginan orang tua tersebut. Alasan ke tiga informan menerima perjodohan tersebut, karena adanya kecocokan dan kemapanan yang dimiliki sang calon pilihan orang tua. Hal tersebut membuat ke tiga informan, mengabaikan persepsi negatif yang mereka miliki sebelumnya tentang tradisi uang jemputan. Alasan tersebut merupakan penafsiran dari pesan non verbal yang ditangkap oleh ke tiga informan dalam

192 177 memaknai perjodohan dengan tradisi uang jemputan, sehingga persepsi Dian dan Netty yang sebelumnya negatif, menjadi tidak berpengaruh dalam keputusan menerima perjodohan tersebut. 2). Tipe Pruralistis. Yaitu keluarga yang sangat sering melakukan percakapan, namun memiliki kepatuhan yang rendah. Anggota keluarga sering sekali berkomunikasi secara terbuka, tetapi setiap orang dalam keluarga akan membuat keputusan masingmasing. Orang tua tidak merasa perlu untuk mengontrol anak-anak mereka, karena setiap pendapat dinilai berdasarkan pada kebaikannya, yaitu pendapat mana yang terbaik, dan setiap orang turut serta dalam pengambilan keputusan (Morissan, 2014: 292). Tipe ini terdapat pada keluarga 3 (tiga) informan lainnya yaitu Rina, Dedek dan Shanti. Pada keluarga Rina dan Dedek, keluarga berperan dalam mentransmisikan nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan, namun anakanak berhak dalam keputusan pemilihan jodohnya. Tingkat kepatuhan yang rendah dalam memenuhi harapan orang tua, membuat informan mendapat tentangan dalam pemilihan jodoh menurut pilihan informan sendiri. Namun keterbukaan yang dijalin dalam keluarga dengan melakukan komunikasi yang baik, akhirnya dapat membuat orang tua menyetujui pilihan mereka untuk menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda. Sedikit berbeda dengan keluarga Shanti, yang pada awalnya pola komunikasi dalam keluarganya adalah tipe konsensual, namun setelah menikah pola komunikasi tersebut berubah kepada pola pruralistis. Awalnya Shanti menerima perjodohan dengan laki-laki Pariaman yang dilakukan oleh orang

193 178 tuanya. Tingkat kepatuhan yang tinggi pada diri Shanti, membuat ia menerima perjodohan tersebut, walaupun sebenarnya tidak menyukai adanya tradisi uang jemputan pada perjodohannya. Namun pesan non verbal yang dipersepsikan oleh Shanti, bahwa pernikahan dengan tradisi uang jemputan seharusnya tidak mengabaikan kecocokan pasangan yang dinikahkan, membuat ia memutuskan perjodohannya, karena melihat ketidakseriusan sang calon pilihan orang tua. Akhirnya pola komunikasi keluarga Shanti berubah kepada penerapan pola pruralistis, di mana akhirnya orang tuanya menghargai keputusan Shanti untuk menikah dengan jodoh pilihannya sendiri, yaitu dengan laki-laki dari suku yang berbeda. Teori tindakan beralasan atau theory of reasoned action, juga dapat digambarkan pada keputusan pemilihan jodoh oleh informan Rina, Dedek dan Shanti. Teori yang dikembangkan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzan (1975) ini mengungkapkan bahwa sikap merupakan jumlah dari afeksi atau perasaan yang dirasakan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek atau perilaku. Dalam teori tindakan beralasan, norma subjektif berkenaan dengan dasar perilaku seseorang yang merupakan fungsi dari keyakinan-keyakinan normatif dan keinginan untuk mengikuti keyakinan-keyakinan normatif itu (Fears, Sreedman dan Peplau, 1999). Dasar dari teori tindakan beralasan adalah tindakan atau tingkah laku (behavior) terjadi, disebabkan adanya niat atau kehendak yang merupakan hasil dari sikap. Menurut teori ini, niat atau kehendak seseorang untuk melakukan tindakan tertentu, ditentukan oleh sikapnya terhadap tindakan sendiri serta

194 179 seperangkat kepercayaan mengenai bagaimana orang lain menginginkan ia bertindak (Morissan, 2014: 94). Alasan bertindak yang diwujudkan dalam keputusan memilih jodoh oleh informan Rina yang menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda, disebabkan oleh adanya prasangka negatif yang bersumber dari pengalaman pribadinya dalam menilai kebiasaan laki-laki Pariaman yang suka duduk-duduk di warung kopi, diasumsikannya sebagai suatu kebiasaan yang memperlihatkan sifat kemalasan. Sehingga Rina berniat untuk tidak menikah dengan laki-laki Pariaman. Sedangkan tindakan beralasan pada informan Dedek dan Shanti dalam keputusan memilih jodoh kepada laki-laki dari suku yang berbeda pula, disebabkan adanya prasangka negatif berdasarkan pengalaman mereka, bahwa tradisi uang jemputan memberatkan bagi pihak keluarga perempuan. Prasangka negatif tersebut menyebabkan keduanya tidak ingin menikah dengan laki-laki Pariaman dengan tradisi uang jemputan yang memberatkan bagi pihak perempuan. 3). Tipe Protektif. Yaitu keluarga yang jarang melakukan komunikasi, namun memiliki kepatuhan yang tinggi, jadi terdapat banyak sifat patuh dalam keluarga tetapi sedikit komunikasi. Orang tua tidak melihat alasan penting, mengapa mereka harus menghabiskan banyak waktu untuk berbicara atau mengobrol. Mereka juga tidak melihat alasan, mengapa mereka harus menjelaskan keputusan yang telah mereka buat (Morissan, 2014; 292). Tipe ini terdapat pada keluarga informan Leni dan Ita, di mana komunikasi keluarga dalam mentransmisikan nilai-nilai tradisi uang jemputan tidak pernah dilakukan, namun orang tua informan menjadi pemegang keputusan

195 180 dalam pemilihan jodoh. Leni dan Ita juga memiliki kepatuhan yang tinggi dalam menerima dan menjalankan keputusan orang tua untuk menikah dengan laki-laki pilihannya. Meskipun tidak menyukai adanya tradisi uang jemputan, akhirnya ke duanya menerima perjodohan dengan tradisi uang jemputan, karena alasan melihat kepribadian yang baik serta kemapanan sang calon, sebagai pesan non verbal yang ditafsirkan oleh ke dua informan. Leni dan Ita mengalami disonansi kognitif dalam keputusan pemilihan jodoh dan penerimaannya terhadap tradisi uang jemputan, dilaksanakan pada pesta pernikahanya. Sebagaimana disebutkan dalam teori disonansi kognitif yang dikemukakan oleh Leon Festinger pada tahun Dalam teorinya, Festinger mengganti konsep konsistensi (keseimbangan) dengan konsonan (consonance) dan ketidakkonsistenan atau ketidakseimbangan dengan istilah disonan atau dissonance. Menurutnya adanya tekanan untuk menghasilkan hubunganhubungan konsonan, di antara kesadaran-kesadaran atau cognitions dan menghindarkan disonan (Budyatna & Ganiem, 2012: ). Teori disonansi kognitif menyatakan bahwa individu berusaha menghindari perasaan tidak senang dan ketidakpastian dengan memilih informasi yang cenderung memperkokoh keyakinannya, sembari menolak informasi yang bertentangan dengan kepercayaan yang diyakininya (Rakhmat, 2007: 198). Meskipun memiliki persepsi negatif (disonan) tentang tradisi uang jemputan, informan Ita dan Leni berusaha menilai positif dan berkeyakinan bahwa jodoh pilihan orang tua adalah pilihan yang terbaik untuk masa depannya (konsonan).

196 Perubahan Sikap perempuan Minang Pariaman setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan. Perubahan sikap informan, dilihat pada persepsinya setelah menikah yang terwujud dalam keputusan pemilihan jodohnya, ketika menjalani atau tidak menjalani tradisi uang jemputan yang akan diuraikan pada tabel 5.4 berikut: Tabel 5.4. Klasifikasi temuan penelitian berdasarkan perubahan sikap perempuan Minang Pariaman setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan Perubahan sikap setelah menikah Menjalani/ Persepsi (1) (2) (3) Informan tidak sebelum Proses menjalani menikah Persepsi transmisi Dian Leni Netty Ita Nur Rina Dedek Shanti Menjalani serta menerima panibo Menjalani, tidak menerima panibo Menjalani dan menerima panibo Menjalani namun tidak menerima panibo Menjalani serta menerima panibo Tidak menjalani Tidak menjalani Tidak menjalani Memberatkan pihak perempuan Memberatkan pihak perempuan Memberatkan pihak perempuan Memberatkan pihak perempuan Hanya kebiasaan masyarakat Pariaman bentuk perlindungan perempuan Ribet dan memberatkan perempuan. memberatkan pihak perempuan Tidak ada pihak yang dirugikan Tetap pada persepsi awal saling menghargai antar keluarga Tetap pada persepsi awal bentuk saling menghargai antar keluarga Tetap pada persepsi awal Tetap pada persepsi awal Tetap pada persepsi awal Sumber: Temuan penelitian (2015). Perlu dilakukan Tidak perlu dilakukan Perlu dilakukan Tidak perlu dilakukan Perlu dilakukan Perlu dilakukan Tidak perlu dilakukan Tidak perlu dilakukan Peranan pada perjodohan Tidak memaksakan perjodohan Tidak memaksakan jodoh Tidak memaksakan perjodohan Tidak memaksakan jodoh Memaksakan pilihan jodoh kepada sesama suku Tidak memaksakan jodoh Tidak memaksakan perjodohan Tidak memaksakan perjodohan

197 182 Berdasarkan tabel di atas, perubahan sikap informan sebagai realita persepsinya saat ini, akan dibahas ke dalam 3 bagian, yaitu: (1). perubahan cara pandang atau persepsinya tentang tradisi uang jemputan; (2). cara pandang tentang proses transmisi nilai-nilai tradisi uang jemputan kepada anak-anaknya sebagai generasi Muda Minang; dan (3). cara pandang terhadap peranan pada perjodohan anak-anaknya. Ke tiga bagian tersebut akan dibahas satu per satu, sebagai berikut: Perubahan cara pandang atau persepsi tentang tradisi uang jemputan. Perubahan cara pandang setelah mempersepsikan tradisi uang jemputan akan diuraikan berdasarkan keputusan pemilihan jodohnya. Keputusan pemilihan jodoh ke 8 (delapan) informan penelitian, dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (a). Memutuskan menikah dengan laki-laki Pariaman dan menjalani tradisi uang jemputan. Terdapat 5 (lima) informan memutuskan menikah dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman dan menjalani tradisi uang jemputan, yaitu Dian, Leni, Netty, Ita dan Nur. Ke lima informan menjalani pernikahan tersebut, melalui perjodohan keluarga. Setelah menjalani tradisi uang jemputan, hanya 2 (dua) informan, yaitu Dian dan Netty yang mengalami perubahan cara pandang, di mana persepsi negatif ke duanya tentang tradisi uang jemputan, berubah menjadi persepsi yang positif. Sedangkan 3 (tiga) informan, yaitu Leni, Ita dan Nur tidak mengalami perubahan cara pandang. Informan Leni dan Ita, tetap pada persepsi negatif bahwa bahwa tradisi uang jemputan, memberatkan bagi pihak keluarga perempuan. Meskipun menjalani tradisi tersebut, ke duanya sebenarnya tidak menyetujui adanya uang jemputan dalam pernikahannya. Sikap ke duanya

198 183 menerima pelaksanaan tradisi tersebut, hanya sebatas pada sikap patuh pada orang tua dalam mengkekalkan adat. Sedangkan Nur juga tidak mengalami perubahan cara pandang, di mana ia tetap pada persepsi positif tentang tradisi uang jemputan sebagai bentuk saling menghargai antar keluarga (b). Memutuskan menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda, sehingga tidak menjalani tradisi uang jemputan. Terdapat 3 (tiga) informan, memutuskan menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda, yaitu Rina, Dedek dan Shanti. Sebelum menikah, Rina memiliki persepsi positif tentang tradisi tersebut, sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan. Namun setelah menikah, Rina mempersepsikan bahwa tradisi tersebut tidak lagi sesuai bila diterapkan pada perjodohan generasi muda Minang di masa mendatang. Meskipun memiliki persepsi positif tentang tradisi tersebut, kenyataannya ia memutuskan menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda. Sementara itu Shanti dan Dedek, tetap pada cara pandang bahwa tradisi uang jemputan memberatkan bagi pihak keluarga perempuan. Rina beranggapan bahwa keputusan pemilihan jodohnya tidak berhubungan dengan tradisi uang jemputan, ia berkeinginan untuk tidak menikah dengan laki-laki Pariaman, karena stigma negatif yang ia miliki tentang kebiasaan laki-laki Pariaman. Sebagaimana Rakhmat (2007: 89-91), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi interpersonal adalah pengalaman, motivasi dan kepribadian. Faktor pengalaman dan kepribadian ikut membentuk persepsi Rina tersebut. Prasangka Rina terbentuk dari pengalamannya melihat kebiasaan lakilaki Pariaman yang suka duduk di warung kopi yang diasumsikan oleh Rina

199 184 sebagai laki-laki pemalas. Kepribadian Rina yang aktif dan pekerja keras juga mempengaruhi persepsinya untuk tidak menyukai laki-laki yang malas. Sedangkan persepsi interpersonal Dedek dan Shanti dipengaruhi oleh pengalaman dan motivasi. Dedek memiliki referensi (pengalaman) dari abang dan kakak-kakaknya, bahwa prosesi pada pelaksanaan tradisi uang jemputan adalah sesuatu yang ribet (merepotkan) dan memberatkan pihak perempuan secara finansial. Berdasarkan referensi tersebut, Dedek dipengaruhi oleh motivasinya bahwa ia tidak ingin menikah dengan laki-laki Pariaman. Sama halnya dengan Shanti yang memiliki pengalaman langsung tentang kegagalan perjodohan dengan laki-laki Pariaman, hingga akhirnya ia memiliki motivasi untuk tidak ingin menikah dengan laki-laki Pariaman. Temuan penelitian selanjunya mendapati bahwa cara pandang informan mengenai tradisi uang jemputan, dipandang dari unsur agama/sistem kepercayaan, terbagi pada dua cara pandang, yaitu bertentangan dan tidak bertentangan dengan aturan pernikahan dalam agama Islam. Terdapat 4 (empat) informan (Dian, Rina, Netty, dan Nur) memiliki cara pandang bahwa tradisi uang jemputan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, karena tradisi tersebut hanya sebagai syarat perkawinan yang merupakan kebiasaan masyarakat Pariaman. Tradisi tersebut bernilai saling menghargai antarkeluarga dengan saling memberikan persiapan materi kepada pasangan yang dinikahkan. Pemberian uang jemputan oleh keluarga pihak perempuan dibalas oleh keluarga pihak laki-laki dengan adanya panibo. Temuan di atas, didukung oleh pandangan seorang tokoh masyarakat Minang Pariaman dari Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP), bernama

200 185 H.M Ridwan, dalam wawancara beliau bersama peneliti yang dituliskan sebagai berikut: Uang jemputan itu tidak melanggar syariat, itukan duniawi...tetap hukum munakahat (perkawinan) dalam Islam yang dijalankan, ada wali, ada pengantin laki-laki dan perempuan, ada saksi, baru ada ijab kabul. Tapi kalau yang namanya manjapuik itu...itu duniawi. Suka dia kepada saya umpamanya, dikasi modal berupa uang japuik. Kalaulah dia manjapuik Rp. 10 juta misalnya, ketika dia datang kepada keluarga laki-laki, keluarga yang laki-laki itu memberi semacam bingkisan, itu dinamakan panibo yaitu semacam uang kasih sayang kepada menantu, bahkan nanti kembalinya bisa lebih dari Rp. 10 juta, berbentuk pakaian, barang emas, atau lainnya, itulah yang sebenarnya. Sementara itu 4 (empat) informan lainnya (Leni, Ita, Dedek dan Shanti), memiliki cara pandang berbeda bahwa tradisi uang jemputan dipandang sudah menyalahi aturan dalam hukum perkawinan dalam agama Islam. Menurut para informan, secara agama pihak laki-lakilah yang seharusnya melakukan pelamaran dan memberikan sejumlah uang kepada pihak perempuan. Pengalaman informan tentang tradisi uang jemputan sebenarnya adalah pelaksanaan tradisi uang hilang, di mana pemberian sejumlah uang tersebut tidak dikembalikan. Hal ini membentuk persepsi negatif informan bahwa pemberian uang jemputan memberatkan satu pihak saja, yaitu pihak perempuan. Dapat disimpulkan bahwa field of experience (keluasan pengalaman) ke 4 (empat) informan tentang tradisi uang jemputan, sebenarnya adalah pelaksanaan tradisi uang hilang. Perbedaan cara pandang berdasarkan agama ini, sebagaimana disebutkan Samovar, et. al. (2010: 123), bahwa agama mengikat orang bersama-sama dalam memelihara cara pandang budaya mereka. Temuan di atas mendukung pernyataan Kuntjaraningrat (dalam jurnal Depdikbud, 1978: 11), bahwa penetapan besarnya uang jemputan merupakan masalah sulit yang harus ditempuh oleh keluarga perempuan dalam melakukan

201 186 peminangan. Uang jemputan telah berubah pelaksanaannya menjadi uang hilang. Istilah hilang dalam tradisi uang hilang, berarti pemberian pihak keluarga perempuan, tidak dibalas oleh pihak keluarga laki-laki. Sementara dalam tradisi uang jemputan yang sebenarnya, pemberian uang jemputan dibalas oleh pihak keluarga laki-laki dalam bentuk perhiasan atau benda berharga lainnya yang disebut panibo. Untuk lebih menguatkan temuan tersebut, peneliti juga telah mewawancarai Sutan Alamsyah Guci yang menuturkan pandangannya mengenai sejarah adanya tradisi uang hilang: Tapi kalau uang hilang tidak kembali...istilahnya seperti uang kasih sayang. Kenapa seorang laki-laki diberi uang hilang, dulunya ada seorang laki-laki yang sudah yatim piatu...dibesarkan oleh mamak (paman)nya sampai dia sekolah tinggi. Terus ada orang tua seorang perempuan...karena melihat akhlak si laki-laki tersebut, sangat ingin menjadikannya menantu. Lalu datanglah ia kepada paman si laki-laki untuk menyampaikan keinginannya. Paman laki-laki itu berkata... dia sedang sekolah, sebenarnya saya juga sudah kehabisan dana untuk menyekolahkannya sampai tergadai harta pusaka, tunggulah sampai ia berhasil dan bisa menebus harta pusaka yang tergadai, barulah pinangan ini dilanjutkan. Karena keinginan yang kuat oleh orang tua si perempuan tadi dan tak ingin laki-laki tersebut dipinang oleh orang lain, maka ia berkata kepada paman si laki-laki... saya bersedia menebus harta pusaka yang tergadai tadi dan membantu membiayai sekolahnya. Itulah awalnya kenapa ada uang hilang atau uang kasih sayang yang hanya diperuntukkan kepada laki-laki. Sekarang ini orang masih ada yang memakai adat itu...padahal yang berlaku sebenarnya itu uang jemputan, bukan uang hilang. Dari pernyataan Alamsyah di atas, diketahui bahwa asal usul adanya pemberian uang hilang, disebabkan keluarga pihak perempuan memiliki kemampuan ekonomi untuk membantu mempersiapkan kebutuhan laki-laki yang dianggap baik dan layak dijadikan menantu, sampai akhirnya memiliki kemapanan untuk menafkahi rumah tangganya. Sedangkan pada pelaksanakan tradisi uang jemputan pada saat ini, terkadang tidak dapat berjalan efektif karena

202 187 tidak tercapainya kesepakatan bersama mengenai jumlah uang jemputan. Hal tersebut disebabkan oleh pihak keluarga perempuan, tidak memiliki kemampuan secara ekonomi dalam memenuhi jumlah uang jemputan, sesuai permintaan pihak keluarga laki-laki. Adanya permintaan sejumlah uang sebagai syarat perkawinan tersebut, menjadi sesuatu yang wajib sehingga mendahulukan keinginan pihak laki-laki, daripada memenuhi kewajibannya dalam pemberian mahar kepada calon istrinya, sebagaimana syarat perkawinan yang berlaku dalam agama Islam. Temuan ini mendukung hasil penelitian Al Reza (2011: 72), bahwa di dalam agama Islam hanya dikenal dengan mahar sebagai pemberian laki-laki untuk calon istrinya, bukan sebaliknya seperti yang berlaku pada tradisi uang hilang, oleh karena itulah uang hilang bertentangan dengan hukum Islam. Pendapat berbeda berkaitan dengan pemberian pihak perempuan yang tidak berbalasan tersebut, dijelaskan oleh Usman Pelly (tokoh masyarakat Minang sekaligus seorang Antrolopog) dalam wawancara beliau bersama peneliti, sebagai berikut: Jadi masalah kawin bajapuik ini, sebenarnya karena memang si lakilaki itu datang ke rumah perempuan, namanya matrilokal dalam istilah Antropologi...kan. Jadi dia yang dijapuik ke sana, banyak hal-hal yang terkait dengan finansial (uang). Ada kawin bajapuik dalam pengertian...berapa jemputannya?. Seakan-akan kebalikan dari pada apa yang terjadi di Tapanuli. Ada istilah tuhor...itu artinya uang jemputan untuk perempuan, karena perempuan itu yang dibawa ke rumah laki-laki. Kalau adat Minang, kan...laki laki itu yang dibawa ke rumah perempuannya. Jadi keluarga laki-laki itu seakan-akan kehilangan...iya kan. Sama dengan adat Tapanuli seakan-akan perempuan itu dibawa, kehilangan keluarganya...kan gitu. Jadi adanya tuhor itu dimaksudkan sebagai pengganti. Dari penjelasan Prof. Usman Pelly, uang jemputan diartikan sebagai pengganti atau kompensasi dari adanya tradisi bajapuik, di mana uang jemputan

203 188 diberikan sebagai pengganti kepada keluarga laki-laki untuk dibawanya anak lakilaki mereka, ke rumah keluarga istri. Selanjutnya pada temuan penelitian, didapati pula adanya pengetahuan informan mengenai tradisi baetong (Dian, Netty, Nur dan Rina) yang merupakan aktivitas penggalangan dana dari sanak saudara dengan tujuan membantu biaya pesta yang dikeluarkan oleh tuan rumah. Tradisi baetong tersebut dilakukan diakhir pesta. Adanya tradisi baetong tersebut dipandang sebagai bentuk solidaritas keluarga dalam membantu tuan rumah secara ekonomi untuk meringankan pengeluaran biaya pesta. Temuan ini mendukung hasil penelitian Harmailisa (2005: 73) bahwa tradisi baetong merupakan bentuk solidaritas kekeluargaan yang merupakan satu kekuatan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan sebagai perwujudan dari pepatah anak dipangku, kemenakan dibimbing Cara pandang tentang transmisi nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan. Terdapat 4 (empat) informan yang mempersepsikan bahwa transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan tidak perlu dilakukan, karena dianggap tidak lagi sesuai diterapkan pada perjodohan anak-anak informan kelak sebagai generasi muda Minang (Leni, Ita, Dedek dan Shanti). Hal tersebut terkait dengan elemen-elemen yang berperan dalam membentuk persepsi para informan tentang tradisi uang jemputan. Tidak adanya peranan keluarga sebagai wadah enkulturasi budaya kepada generasi muda Minang, sehingga persepsi tentang tradisi uang jemputan dianggap tidak lagi sesuai karena dipandang dari permasalahan ekonomi. Sementara itu, empat informan lainnya (Dian, Rina, Netty

204 189 dan Nur) mempersepsikan bahwa transmisi nilai-nilai tradisi uang jemputan, perlu dilakukan, dalam upaya pewarisan (enkulturasi) nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan. Namun informan Rina, juga berpandangan bahwa nilai-nilai budaya yang positif pada tradisi uang jemputan tersebut, sebenarnya tidak lagi sesuai bila diterapkan dalam hal perjodohan generasi muda Minang. Adanya pandangan dunia (world view) sebagian informan yang menyebutkan bahwa tradisi uang jemputan, tidak bertentangan dengan aturan pernikahan dalam hukum agama Islam, dikarenakan tradisi tersebut hanya merupakan kebiasaan masyarakat Pariaman yang dilakukan saling berbalasan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan secara ekonomi. Namun pada kenyataannya, lima informan berpersepsi bahwa tradisi uang jemputan tidak lagi sesuai diterapkan pada perjodohan generasi muda Minang di masa yang akan datang (Leni, Rina, Ita, Dedek dan Shanti). Aturan tentang adanya balasan atau pengembalian terhadap uang jemputan, hanya sebagai etika yang harus dilaksanakan oleh keluarga pihak lakilaki yang bersifat tertunda (dilaksanakan pada prosesi akhir pernikahan). Sementara pemberian uang jemputan sebagai syarat perkawinan adalah kewajiban yang harus dipenuhi pihak perempuan pada tahap awal pernikahan. Berkaitan dengan temuan ini, peneliti telah meminta konfirmasi dari Prof. Chalida Fachruddin, sebagaimana kutipan wawancara berikut: Pergeseran nilai sudah pasti terjadi seperti adanya istilah uang muncul dan menjadi baku. Fungsi adat beralih menjadi fungsi ekonomi. Perjodohan menjadi ajang jual beli, ada tawar menawar. Fenomena ini pula yang menjadi cap untuk orang Pariaman bahwa laki-laki dibeli atau perempuan membeli laki-laki untuk menikah. Pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi terdahulu hanya melalui lisan saja. Nilai-nilai budaya tidak didokumentasikan, sehingga adat istiadat sangat mudah berubah menjadi adat yang diadatkan. karena

205 190 manusia memang senantiasa berubah. Fenomena ini buat orang Minang bukan hal yang aneh, karena ada pepatah adat bahwa sakali aia gadang, sakali tapian barubah (sekali air besar, sekali tepiannya berubah). Seharusnya nilai-nilai budaya didokumentasikan dengan baik, apalagi adat di Minangkabau dikawal oleh adanya Kerapatan Adat. Tentunya nilai budaya dalam adat bajapuik yang merupakan kearifan lokal dapat menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat Pariaman. Perubahan pasti terjadi pada penerapan, namun nilai positif sebagaimana makna semula tetap utuh. Berdasarkan pernyataan di atas, beliau memiliki cara pandang bahwa tradisi uang jemputan merupakan kearifan lokal Pariaman yang dapat menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat Pariaman yang patut dilestarikan. Meskipun beliau mengakui perubahan pasti terjadi, namun apabila adat istiadat tersebut didokumentasikan dengan baik, akan lebih menjaga kelestarian nilai-nilai atau makna sebenarnya yang terkandung dalam tradisi tersebut. Pada temuan penelitian ini, disimpulkan bahwa upaya pelestarian terhadap nilai-nilai tradisi uang jemputan, sulit diwujudkan, karena informan dominan mempersepsikan tradisi uang jemputan sebagai tradisi usang, karena dianggap sudah tidak lagi sesuai diterapkan pada perjodohan generasi muda Minang (Leni, Rina, Ita, Dedek dan Shanti). Hal ini dikarenakan tradisi tersebut telah terakulturasi dengan budaya-budaya di luar suku Minang Pariaman, serta karena adanya pilihan jodoh kepada laki-laki di luar suku Minang Pariaman. Temuan tersebut mendukung pernyataan Naim (2000: 10), bahwa masyarakat Minangkabau, sebagaimana juga dengan masyarakat lainnya di Indonesia, sekarang ini sedang menghadapi goncangan-goncangan budaya (culture shocks) yang sangat hebat, akibat tantangan dan serangan yang datang dari berbagai penjuru dunia secara bertubi-tubi. Di samping itu juga akibat proses

206 191 pelapukan yang terjadi dari dalam, yang semua ini bisa membahayakan eksistensi dan keberlanjutan budaya Minang sendiri. Sementara itu hanya 3 (tiga) informan saja, yaitu Dian, Netty dan Nur yang memiliki cara pandang bahwa proses enkulturasi perlu dilakukan. Mereka juga berkeinginan memiliki menantu sesama suku Minang Pariaman yang memungkinkan dilaksanakannya tradisi uang jemputan dalam upaya pelestarian tradisi tersebut. Selanjutnya ke 8 (delapan) informan penelitian juga mempersepsikan bahwa telah terjadi perubahan pada peranan mamak (paman), di mana orang tua lebih berperan utama dalam urusan perjodohan, sedangkan mamak hanya bersifat membantu saja. Peranan mamak dalam urusan perjodohan seorang perempuan Minang, dijelaskan oleh Bapak Ridwan dalam wawancara bersama peneliti, sebagai berikut: Kekuasaan mamak atau paman itu kuat kalau di kampung, jadi kalau ada keponakannya sudah gadis tua, sibuklah paman tadi bertanyatanya ke sana kemari, untuk mencarikan jodohnya. Kalau sudah ketemu yang tepat, baru disampaikan kepada ayahnya. Kalau ayah si perempuan setuju, baru diadakan maresek, kalau setuju pihak lakilakinya...jadi lah itu. Disitulah nanti kumpul kedua belah pihak keluarga paman si laki-laki atau paman si perempuan atau utusannya masing-masing, berbicara atau bernegosiasi. Kalau sudah ada persetujuan dan kesepakatan, barulah ditetapkan jumlah uang jemputan. Pepatah mengatakan kalau paku asam balimbiang, tampuruang lenggok-lenggokkan. Anak dipangku, kamanakan dibimbiang. Urang kampuang tolong patenggangkan. Itu petatahpetitih...kalau ada musyawarah, seperti dalam adat manjapuik...musyawarah pembangunan desa atau yang lain-lain pasti ada seperti itu. Dalam segi demokrasinya orang Minang sangat-sangat demokrasi. Keputusan tidak bisa diambil sendiri...harus dimusyawarahkan dahulu. Untuk pesta pernikahan saja harus dimusyawarahkan...itu namanya bakampuang-kampuang artinya berkumpul menetapkan hari pesta, diundanglah para ninik mamak, orang tua-tua semuanya. Jangan sampai berbenturan dengan pesta lainnya supaya saling bisa membantu.

207 192 Pandangan berbeda tentang perubahan peranan mamak pada generasi muda Minang saat ini, diungkapkan Bapak Sutan Alamsyah Guci, sebagai berikut: Orang tua itu tempat bertanya...kalau generasi sekarang ini udah nggak tau sama orang tua lagi. Kalau dulu orang tua itu tempat bermusyawarah, sekarang ini sudah tidak lagi. Banyak anak-anak yang sudah tak menghormati orang tua, apalagi ninik mamak dia anggap enteng (remeh). Karena ninik mamak yang dulu, banyak yang tidak bersekolah. Melalui persepsi informan juga ditemukan, adanya perubahan atau pergeseran nilai pada pelaksanaan tradisi uang jemputan atau tradisi bajapuik, yaitu berubahnya fungsi adat jemputan menjadi fungsi ekonomi yang terlihat pada pelaksanaan tradisi uang hilang, di mana penentuan jumlahnya menjadi ajang jual beli atau tawar menawar dalam hal perjodohan yang mengutamakan nilai uang semata. Perubahan atau pergeseran nilai juga terjadi pada prosesi tradisi uang jemputan, di mana adanya kesepakatan bahwa laki-laki menggantikan posisi keluarga perempuan sebagai pemberi uang jemputan. Temuan tersebut mendukung pernyataan Sjarifoedin (2011: 481), bahwa sering terjadi saat ini pada orang Minang perantauan atau yang tinggal di perkotaan, tanpa mengenyampingkan adat, masalah uang jemputan dapat diatasi. Selain itu, temuan ini juga mendukung hasil penelitian Deliani yang menemukan beberapa bentuk perubahan yang terjadi dalam tradisi bajapuik di Kota Binjai. Perubahan tersebut adalah sebagai berikut: (1). tradisi perkawinan bajapuik orang Minang Pariaman, berlangsung dengan sejumlah variasi dan penyederhanaan didalamnya; (2). perubahan dalam struktur sosial orang Minang Pariaman, sedikitnya ditandai dengan bergesernya struktur dalam sistem kekerabatan mereka, dari konsep extended family (keluarga luas) ke arah bentuk nuclear family (keluarga inti); dan (3). perubahan yang terjadi dalam struktur sosial orang Minang tersebut, berimplikasi pada perubahan orientasi nilai budaya pada pelaksanaan tradisi bajapuik. Adanya perubahan atau pergeseran nilai tersebut, ikut mempengaruhi perubahan sikap informan yang telihat dalam keputusan pemilihan jodohnya.

208 193 Ternyata perjodohan yang diprakarsai oleh orang tua, masih ditemukan pada lima informan dalam penelitian ini. Harapan atau ekspektasi orang tua dalam mencarikan jodoh pilihannya yang dianggap baik dan sesuai untuk anaknya, dilakukan dengan terlebih dahulu memperkenalkan kedua calon pasangan, sehingga keputusan menikah tidak hanya sebelah pihak, namun pasangan yang dijodohkan dapat pula menerima dan menjalani perjodohan tersebut, seperti yang dialami oleh Dian, Leni, Netty, Ita dan Nur. Temuan ini membantah apa yang dikemukakan oleh Naim (2013: 206) bahwa kehidupan perkawinan di rantau, telah terjadi perubahan dalam cara memilih pasangan hidup. Pertentangan antara generasi tua dan generasi muda, biasanya berpuncak pada cara memilih pasangan hidup yang berbeda dengan ekspektasi (harapan) tradisional sang mamak dan anggota keluarga lainnya Peranan informan dalam perjodohan anak-anaknya sebagai generasi muda Minang. Ke 8 (delapan) informan memiliki cara pandang bahwa anak-anak muda suku Minang sekarang ini, telah memiliki keinginan untuk menentukan pilihan jodohnya sendiri. Pada umumnya informan juga berkeinginan untuk tidak memaksakan perjodohan kepada anak-anaknya kelak (Dian, Leni, Rina, Netty, Ita, Dedek dan Shanti). Hanya Nur yang berkeinginan memaksakan perjodohan sang anak kepada sesama suku Minang Pariaman. Temuan tersebut mendukung hasil penelitian Deliani (2005) yang menyebutkan bahwa di Kota Binjai, banyak anakanak muda Pariaman yang memilih sendiri jodohnya. Sedikit sekali di antara anak-anak orang Minang Pariaman yang mengikuti perkawinan melalui perjodohan. Keluarga dan para mamak (paman), dalam hal ini hanya mengikuti

209 194 pilihan mereka dan membantu mempersiapkan kebutuhan pernikahan anak-anak mereka. Para ninik mamak menganggap jika terjadi pergeseran pada adat itu lumrah, meskipun keinginan untuk memegang adat masih kuat. Selanjutnya informan akan diklasifikasikan ke dalam tingkat generasi berdasarkan usianya, untuk melihat peranan informan dalam perjodohan anakanaknya, sebagai generasi penerus budaya Minang, yang akan diuraikan pada tabel berikut: Tabel 5.5. Klasifikasi tingkat generasi pada informan berdasarkan usia Tentang persepsi mengenai peranan dalam perjodohan anak Peranan Informan Tingkat generasi (usia) Netty Generasi dahulu (di atas usia 50 tahun) Nur Generasi menengah (diatas usia tahun) Generasi sekarang (usia 30 tahun ke bawah) Dian Rina Dedek Shanti Leni Ita Proses transmisi Perlu dilakukan Perlu dilakukan Perlu dilakukan Perlu dilakukan Tidak perlu dilakukan Tidak perlu dilakukan Tidak perlu dilakukan Tidak perlu dilakukan Sumber: Temuan penelitian (2015). Peranan pada perjodohan Tidak memaksakan perjodohan Memaksakan perjodohan harus pada sesama suku Tidak memaksakan perjodohan Tidak memaksakan perjodohan Tidak memaksakan perjodohan Tidak memaksakan perjodohan Tidak memaksakan perjodohan Tidak memaksakan perjodohan Berdasarkan tabel 5.5 di atas, persepsi informan tentang peranannya dalam hal perjodohan anak-anaknya kelak, akan diuraikan sesuai tingkat generasi pada informan, sebagai berikut: (1). Generasi dahulu (di atas usia 50 tahun).

210 195 Netty dan Nur adalah termasuk tingkat generasi dahulu (tua). Namun hanya Nur yang memaksakan perjodohan anak, harus kepada sesama suku Minang Pariaman. Berbeda dengan Netty yang merupakan informan pada tingkat generasi yang sama dengan Nur, ia bersikap tidak ingin memaksakan perjodohan pada anak-anaknya, meskipun sebenarnya punya keinginan memiliki menantu dari sesama suku Minang Pariaman. Adanya perbedaan persepsi tersebut, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pergaulan Netty dan Nur. Sebagai sesama informan yang menikah dengan laki-laki dari sesama suku, Netty lebih berpendidikan dari pada Nur, ia juga memiliki suami yang berprofesi sebagai seorang pendidik (dosen). Netty juga lebih sering bergaul dengan orang-orang dari lintas budaya dalam kesibukannya sebagai Ketua POPTI (Persatuan Orangtua Penyandang Talasemia Indonesia) Perwakilan Sumatera Utara. Selain itu, ia juga aktif sebagai anggota Dharma Wanita Politeknik Negeri Medan, tempat di mana suaminya bekerja. Latar belakang pendidikan dan pergaulannya tersebut, membuat Netty lebih bersikap terbuka dan demokratis dalam hal perjodohan anak-anaknya. Lain halnya dengan Netty yang hanya berpendidikan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan lebih sering bergaul dengan sesama suku Minang Pariaman di lingkungan tempat tinggal dan di organisasi kedaerahan (PKDP) yang ia tekuni, membuat sikap fanatik kesukuannya lebih tinggi. (2). Generasi menengah (di atas usia Tahun). Ada 4 (empat) informan yang termasuk pada generasi menengah, yaitu Dian, Rina, Dedek dan Shanti. Keempatnya memiliki persepsi berbeda tentang proses transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan. Dian dan Rina

211 196 merupakan informan yang memiliki persamaan persepsi, bahwa perlu dilakukannya transmisi nilai-nilai pada tradisi uang jemputan dalam proses enkulturasi budaya kepada anak-anak mereka kelak. Sementara Dedek dan Shanti, memiliki persepsi bahwa transmisi nilai-nilai pada tradisi uang jemputan tidak perlu dilakukan. Namun ke 4 (empat) informan sepakat untuk tidak ingin memaksakan perjodohan kepada anak-anaknya. Persamaan persepsi ke empat informan dalam hal tidak ingin memaksakan perjodohan kepada anak-anaknya, dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan pergaulan mereka. Dian, Rina dan Shanti berpendidikan sarjana, sedangkan Dedek berpendidikan D3, hal ini membuat pola fikir mereka tidak terlalu kaku dan fanatik terhadap adat istiadat. Sementara itu hanya Dian yang masih memiliki keinginan untuk melestarikan tradisi uang jemputan sesuai makna sebenarnya pada perjodohan anaknya, apabila bertemu dengan jodoh sesama suku Minang Pariaman. Keinginan tersebut dipengaruhi oleh faktor pengalamannya yang mengalami perubahan cara pandang setelah menikah dan menjalani tradisi uang jemputan. Sementara itu Rina, justru tegas mengatakan bahwa tradisi uang jemputan tidak lagi sesuai diterapkan pada perjodohan generasi muda Minang. Ini berarti, Rina hanya berpersepsi bahwa perlu dilakukannya transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan, hanya sebagai pengetahuan lisan saja. Sedangkan pelestariannya dengan menikahkan sang anak kepada sesama suku, tidak ingin ia lakukan, seperti halnya pilihan sikapnya yang menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda. Pilihan sikap Rina tersebut, memiliki persamaan dengan sikap

212 197 Dedek dan Shanti yang juga memutuskan menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda. (3). Generasi sekarang (usia 30 tahun ke bawah). Leni dan Ita adalah informan dari tingkat generasi sekarang, di mana keduanya memiliki pandangan yang sama, bahwa transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan, tidak perlu dilakukan kepada anak-anaknya kelak, karena dianggap tidak lagi sesuai bila diterapkan untuk perjodohan sang anak. Keduanya juga tidak ingin memaksakan perjodohan kepada anak-anak mereka kelak. Meskipun keduanya dari tingkat generasi sekarang, ditemukan bahwa peranan keluarga ke dua informan begitu besar dalam hal perjodohan keduanya. Leni dan Ita dinikahkan dengan laki-laki Pariaman dan menjalankan tradisi uang jemputan pada pernikahannya, walaupun sebenarnya mereka tidak menyetujui dan berpersepsi negatif terhadap tradisi tersebut. Faktor kepribadian Leni yang pemalu serta tidak adanya aktivitas di luar rumah (tidak bekerja), walaupun ia adalah seorang sarjana, membuat ruang lingkupnya dalam pencarian jodoh semakin sempit. Oleh karena itu ibunya berperan dalam pencarian jodoh untuk Leni, di usianya yang sudah semakin dewasa. Sementara faktor pendidikan yang hanya sampai tingkat SMP serta lingkup pergaulan yang sempit (tempat tinggal dominan sesama suku), menjadi penyebab Ita masih dalam pengaruh yang besar dalam ikut campurnya keluarga untuk urusan pencarian jodoh.

213 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan temuan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Persepsi ke 6 (enam) informan (Dian, Leni, Netty, Ita, Dedek dan Shanti) dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: (1). Faktor dari dalam diri, yang terdiri dari world view/pandangan dunia mereka (agama/sistem kepercayaan, nilai-nilai dan sikap); serta sistem lambang (verbal/non verbal), dalam menafsirkan tradisi uang jemputan; dan (2). Faktor dari luar diri, yaitu pengaruh lingkungan pergaulan (pendidikan, pekerjaan dan tempat tinggal) yang melahirkan adanya stereotip negatif tentang perempuan Minang membeli laki-laki untuk menikah. Hanya dua informan, yaitu Rina dan Nur yang tidak terpengaruh pada stereotip negatif tersebut. Persepsi keduanya dibentuk oleh: (1). Faktor dari dalam diri, yang terdiri dari world view/pandangan dunia mereka (agama/sistem kepercayaan, nilai-nilai dan sikap); serta sistem lambang (verbal/non verbal); dan (2). Faktor dari luar diri, yaitu adanya peranan keluarga Rina, melalui sang ayah yang merupakan seorang tokoh adat, serta Nur yang memiliki keaktifan sejak kecil dalam organisasi daerah asalnya. Ke dua komponen tersebut, merupakan bentuk organisasi sosial yang menjadi sumber yang kompeten untuk mengetahui makna tradisi uang jemputan. 198

214 199 2) Ditemukan bahwa tidak adanya peranan keluarga dalam mengkomunikasikan makna tradisi uang jemputan, sehingga tidak berpengaruh pada proses pembentukan persepsi informan tentang tradisi uang jemputan (Dian, Leni, Netty, Ita, Nur dan Shanti). Hanya keluarga Rina dan Dedek yang berperan dalam mengkomunikasikan makna tradisi tersebut. Selanjutnya keluarga ke 8 (delapan) informan akan berperan dalam memprakarsai perjodohan, disaat informan telah memasuki usia 18 tahun ke atas. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya keresahan keluarga, yang takut akan memiliki gadih gadang indak balaki (gadis yang telah dewasa, namun belum menikah). 3). Proses pembentukan persepsi pada 6 (enam) informan (Dian, Leni, Ita, Netty, Dedek dan Shanti), bersifat selektif dan berdasarkan dugaan. Begitu banyak rangsangan inderawi melalui referensi (pengalaman) pernikahan kerabat, yang diterima sebagai pesan, namun diterima tidak secara lengkap, sehingga persepsi ke enam informan merupakan loncatan langsung kepada kesimpulan. Ke 6 (enam) informan mempersepsikan bahwa tradisi uang jemputan adalah tradisi yang memberatkan bagi pihak keluarga perempuan. Sedangkan persepsi dua informan lainnya yaitu Rina dan Nur, bersifat selektif dan evaluatif, di mana begitu banyak rangsangan inderawi yang mereka terima sebagai pesan, kemudian mengevaluasinya kembali untuk disimpulkan sebagai persepsi yang positif bahwa tradisi uang jemputan adalah bentuk perlindungan terhadap perempuan dan sebagai bentuk selektifitas keluarga dalam pencarian jodoh. 4). Dari 8 (delapan) informan, terdapat 5 (lima) informan (Dian, Leni, Netty, Ita dan Nur) yang akhirnya menikah dengan laki-laki Pariaman dan menjalani

215 200 tradisi uang jemputan pada pernikahannya. Sedangan 3 (tiga) informan lainnya (Rina, Dedek, dan Shanti), memutuskan menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda, sehingga tidak menjalani tradisi uang jemputan. 5). Setelah menjalani tradisi uang jemputan, terjadi perubahan cara pandang (persepsi) pada Dian, Netty dan Nur. Ke tiga informan berpersepsi bahwa tradisi uang jemputan sebagai bentuk saling menghargai dan saling mendukung antarkeluarga yang menikahkan anak-anaknya. Sedangkan Leni dan Ita, meskipun menjalani tradisi uang jemputan, keduanya tetap pada persepsi yang negatif bahwa mereka sebenarnya tidak menyetujui adanya uang jemputan pada pernikahannya dan beranggapan bahwa tradisi tersebut memberatkan. Sementara itu Rina, Dedek dan Shanti menikah dengan lakilaki dari suku yang berbeda, sehingga tidak menjalani tradisi uang jemputan dan memiliki cara pandang bahwa tradisi uang jemputan tidak lagi sesuai, bila diterapkan pada perjodohan generasi muda Minang. 6). Pada umumnya informan mempersepsikan tradisi uang jemputan sudah tidak lagi sesuai diterapkan pada perjodohan generasi muda Minang (Leni, Rina, Ita, Dedek dan Shanti). Hal ini dikarenakan tradisi tersebut telah terakulturasi dengan budaya di luar suku Minang Pariaman, serta adanya pilihan jodoh kepada laki-laki di luar suku Minang Pariaman. Sedangkan hanya 3 (tiga) informan yang beranggapan bahwa tradisi ini masih mungkin dilestarikan pada perjodohan anak-anak mereka kelak (Dian, Netty dan Nur). 7). Pada 5 (lima) informan yang menjalani tradisi uang jemputan (Dian, Leni, Netty, Ita dan Nur), ditemukan adanya perubahan atau pergeseran nilai dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan atau tradisi bajapuik, antara lain:

216 201 (1). Berubahnya fungsi adat jemputan menjadi fungsi ekonomi yang terlihat pada pelaksanaan tradisi uang hilang, seperti yang dialami Leni dan Ita; (2). Adanya perubahan berdasarkan kesepakatan bahwa laki-laki (calon suami), menggantikan posisi keluarga perempuan sebagai pemberi uang jemputan, seperti yang dialami Dian; dan (3). Adanya perubahan peranan utama mamak (paman) dalam hal perjodohan, di mana orang tua lebih berperan dalam keputusan pemilihan jodoh informan, mamak hanya bersifat membantu (terjadi pada ke 8 informan) Saran. 1). Secara Akademis. Diharapkan dapat menginspirasi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian komunikasi dengan tema-tema budaya, khususnya pada pewarisan nilai-nilai luhur suatu tradisi sebagai identitas dan keragaman suku bangsa di Indonesia. Penelitian sejenis ini juga diharapkan dapat menginformasikan, mengkaji lebih dalam, serta menumbuhkan pemahaman tentang latar belakang suatu kultur (budaya) yang pada akhirnya diperlukan untuk keefektifan melakukan komunikasi antarbudaya. 2). Secara Praktis. Diharapkan dapat menambah pemahaman masyarakat terhadap nilainilai luhur yang terkandung dalam tradisi uang jemputan sesuai makna yang sebenarnya, agar stereotip yang melekat tentang tradisi yang berlaku pada masyarakat Pariaman tersebut, tidak melahirkan prasangka negatif hingga akhirnya menimbulkan sikap etnosentrisme kesukuan.

217 202 Diharapkan pula adanya peranan para orang tua atau organisasi kedaerahan untuk mengkomunikasikan nilai-nilai luhur adat istiadat suku asal, kepada generasi muda dalam upaya menanamkan rasa bangga terhadap identitas suku yang menjadi keragaman khas bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai luhur dalam suatu tradisi tidak mengalami kepunahan yang pada akhirnya mengancam eksistensi budaya itu sendiri.

218 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. (1987). Sejarah dan masyarakat lintasan historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus. Al Reza, Afdhal Dzikri. (2011). Pantangan perkawinan di Kota Pariaman ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun Padang: Fakultas Hukum Universitas Andalas. Amir, M. S. (2006). Adat Minangkabau: Pola dan tujuan hidup orang Minang. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Ardianto, E. & Bambang, Q-Anees. (2007). Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur penelitian: Suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Budyatna, Muhammad. & Ganiem, Leila Mona. (2012). Teori komunikasi antarpribadi. Jakarta: Prenada Media Group. Bungin, Burhan. (2003). Analisis data penelitian kualitatif: Pemahaman filosofis dan metodologis ke arah penguasaan model aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada (2012). Penelitian kualitatif: Komunikasi, ekonomi, kebijakan publik, dan ilmu sosial lainnya. Jakarta: Prenada Media Group. Cangara, Hafied. (2011). Pengantar ilmu komunikasi (edisi revisi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Creswell, J.W. (2010). Research design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif dan mixed. Yokyakarta: Pustaka Pelajar. 203

219 204 Deliani. (2005). Perubahan tradisi bajapuik pada perkawinan orang Minang Pariaman di Kota Binjai. Tesis pada Departemen Sosiologi Unimed. Medan: Universitas Negeri Medan. [Depdikbud]. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1978). Upacara perkawinan adat Minangkabau. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah (2000). Pola hubungan kekerabatan masyarakat Padang Pariaman dalam upacara perkawinan. Padang: Dirjen Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. DeVito, Joseph A. (1997). Human communication. (terj) Komunikasi antarmanusia. (Ed. 5). Jakarta: Profesional Books. Dirajo, Ibrahim Dt. Sangguno. (2003). Curaian adat Minangkabau. Bukittinggi: Kristal Multimedia. Djamarah, Syaiful Bahri. (2004). Pola komunikasi orang tua dan anak dalam keluarga. Jakarta: Rineka Cipta. El Karimah, Kismiyati & Uud Wahyudin. (2010). Filsafat dan etika komunikasi: Aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dalam memandang Ilmu Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran. Fear, Sreedman dan Peplau. (1999). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Gudykunst, William B. (2003). Intercultural communication theory: Current perspectives. New Delhi: Sage Publication. Hariwijaya, M. (2007). Metodologi dan teknik penulisan skripsi, tesis, dan disertasi. Yogyakarta: elmatera Publishing. Harmailisa. (2005). Persepsi masyarakat tentang tradisi baetong dalam upacara perkawianan suku Minang (Tinjauan pada Ikatan Keluarga Gasan Saiyo (IKGS) Jalan Laksana Medan). (Skripsi tidak dipublikasikan). Medan: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

220 205 Hidayat, Dedi. N. (2003). Paradigma dan metodologi penelitian sosial empirik klasik. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. Ibrahim, Ahmad. (1984). Minangkabau-Minangkabau. Medan: PT. Madju. Kriyantono, Rachmat. (2007). Teknik praktis riset komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group. Liliweri, Alo. (2007). Makna budaya dalam komunikasi antarbudaya. Yokyakarta: LkiS Pelangi Aksara (2011). Komunikasi serba serba makna. Jakarta: Prenada Media Group. Listiyorini, Ari. (2007). Eksistensi bahasa daerah dan bahasa Indonesia Sebagai alat komunikasi dalam persaingan global. Yokyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Lubis, Lusiana, A. (2011). Persepsi kaum Tionghoa dan Pribumi terhadap interaksi komunikasi antarbudaya di Sumatera Utara: Studi kasus di Kota Medan. Malaysia: Pusat Pengajian Komunikasi University Sains Malaysia (2012). Pemahaman praktis komunikasi antarbudaya. Medan: USU Press. Lubis, Sahmaida. (2011). Persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin dalam upacara perkawinan masyarakat adat Batak Toba. (Skripsi tidak dipublikasikan). Medan:. Maihasni. Sumarti, Wahyuni, E.S. dan Tjondronegoro, Sediono. MP. (2010). Bentuk-bentuk perubahan pertukaran dalam perkawinan bajapuik. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. No. ISSN: Vol. 04 No. 02. Matsumoto, David. (2004). Pengantar psikologi lintas budaya. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.

221 206 Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi penelitian kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Morissan. (2014). Teori komunikasi: Individu hingga massa. Jakarta: Kencana. Mulyana, Deddy. (2001). Ilmu komunikasi suatu pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy & Rakhmat, J. (2010). Komunikasi antarbudaya: Panduan berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Naim, Mochtar. (2000). Konflik dan penyesuaian antara adat dan syara di Minangkabau. Makalah pada Seminar Reaktualisasi ABS-SBK, ICMI Organisasi Wilayah Sumatera Barat, di Bukittinggi, tanggal Januari (2013). Merantau: Pola migrasi suku Minangkabau. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Navis, A. A. (1984). Alam terkembang jadi guru: Adat dan kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT. Grafiti Pers. Nawawi, Hadari. (1994). Metode penelitian sosial. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press. Pemerintahan Kota Medan. (2013). Kota Medan dalam angka. Medan: Bappeda Kota Medan bekerjasama dengan BPS Kota Medan. Pelly, Usman. (2013). Urbanisasi dan adaptasi: Peranan misi budaya Minangkabau dan Mandailing di perkotaan. Medan: Universitas Negeri Medan (UNIMED) Press. Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Rakhmat, Jalaluddin. (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Riswandi. (2009). Ilmu Komunikasi. Jakarta: Mercu Buana.

222 207 Ruben, Brent D. & Stewart, Lea P. (2013). Komunikasi dan perilaku manusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Rusli, Marah. (2013). Memang Jodoh. Bandung: PT. Mizan Pustaka. Samovar, Larry A., Porter, Richard E & McDaniel, Edwin R. (2010). Komunikasi lintas budaya (terj). Jakarta: Salemba Humanika. Sihabudin, Ahmad. (2013). Komunikasi antarbudaya: Suatu perspektif multidimensi. Jakarta: Bumi Aksara. Silalahi, Ulber. (2006). Metode penelitian sosial. Bandung: UNPAR Press. Sjarifoedin, Amir. (2011). Minangkabau dari dinasti Iskandar Zulkarnain sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: PT. Gria Media Prima. Sobur, Alex. (2003). Semiotika komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Soekanto, Soerjono. (1983). Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Sudikin, Basrowi. (2002). Metode penelitian kualitatif (perspektif mikro). Surabaya: Insan Cendekia. Sugiyono. (2008). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Susanti, Dewi. (2005). Persepsi remaja minang tentang tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan suku Minang (Studi deskriptif pada Ikatan Keluarga VII Koto sekretariat Jalan Bromo Medan). (Skripsi tidak dipublikasikan). Medan: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Suri, Desni Intan. (2012). Aku tidak membeli cintamu. Jakarta: Jendela. Sutopo, Ariesto Hadi & Arief, Adrianus. (2010). Terampil mengolah data kualitatif dengan NVIVO. Jakarta: Kencana. Syam, Nina W. (2013). Model-model komunikasi: Perspektif pohon komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

223 208 Tubbs, Stewart L & Moss, Sylvia. (2005). Human communications: Kontekskonteks komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Yaswirman. (2011). Hukum keluarga: Karakteristik dan prospek doktrin Islam dan adat dalam masyarakat matrilineal Minangkabau. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Website: di akses pada tanggal 03 Maret di akses pada tanggal 03 Maret di akses pada tanggal 03 Maret =view&typ=html&buku_id=5346&obyek_id=4 di akses pada tanggal 06 Maret di akses pada tanggal 06 Maret di akses pada tanggal 08 April 2015.

224 GLOSARI 1. Mamak: paman atau saudara laki-laki dari ibu. 2. Anak Daro: mempelai wanita. 3. Marapulai: mempelai pria. 4. Urang Sumando: orang semenda atau orang yang datang ke keluarga istri. 5. Manjapuik Marapulai: tradisi penjemputan mempelai pria untuk dibawa ke tempat mempelai wanita yang sedang melaksanakan pesta perkawinan. 6. Baralek Gadang: perhelatan atau pesta perkawinan. 7. Uang jemputan atau uang japuik: pemberian sejumlah uang dari pihak keluarga perempuan, kepada pihak keluarga laki-laki sebagai syarat terjadinya perkawinan. 8. Panibo: Pembalasan atau pengembalian uang jemputan oleh pihak keluarga laki-laki, dengan memberikan emas atau benda berharga lainnya kepada mempelai wanita, pada saat mengunjungi mertua (manjalang mintuo) untuk pertama kalinya. 9. Manjalang Mintuo: mengunjungi mertua (orang tua dari pengantin pria).

225 LAMPIRAN 2 DAFTAR PEDOMAN WAWANCARA Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus pada perempuan Minang Pariaman yang Lahir dan Besar Di Kota Medan) A. Karakteristik Umum 1. Nama : 2. Nama Panggilan : 3. Usia : 4. Suku Pasangan : 5. Pendidikan : 6. Pekerjaan : 7. Alamat : B. Daftar Pedoman Wawancara 1. Pandangan Dunia. 1.1.Agama/Sistem Kepercayaan. 1.1.(a).Pandangan mengenai unsur agama/kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan. 1.1.(b).Pandangan mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan sebagai syarat terjadinya perkawinan dalam adat Pariaman. 1.2.Nilai-nilai. 1.2.(a).Pandangan mengenai nilai-nilai budaya yang diwariskan generasi terdahulu dalam tradisi uang jemputan.

226 1.2.(b).Pandangan mengenai penerapan nilai-nilai budaya dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan saat ini Sikap 1.3.(a).Sumber pemahaman tentang tradisi uang jemputan. 1.3.(b).Sikap tentang tradisi uang jemputan dalam urusan perjodohan. 1.3.(c).Keputusan dalam memilih jodoh. 2. Sistem Lambang (pesan verbal dan non verbal). 2.1.Proses komunikasi dalam upaya transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan melalui percakapan di dalam keluarga Penggunaan bahasa Minang dalam keluarga Alasan menolak atau menerima perjodohan dengan laki-laki dari sesama suku Minang Pariaman. 3. Organisasi Sosial. 3.1.Peranan keluarga (mamak atau orang tua) dalam mentransmisikan nilainilai tradisi uang jemputan dan menyangkut urusan pemilihan jodoh. 3.2.Peranan lingkungan sekitar dalam pemahaman tradisi uang jemputan.

227 LAMPIRAN 3 BIODATA INFORMAN UTAMA Informan 1 1. Nama : Dian Aggraini (Dian) 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 26 Juni Status : Menikah 4. Pendidikan : S1 5. Pekerjaan : Wirausaha 6. Alamat : Jl. Sutrisno Gg. Dame No. 15 Medan 7. No. HP : xx Informan 2 1. Nama : Leni Muhafida (Leni) 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 24 Oktober Suku Pasangan : Minang Pariaman 4. Pendidikan : S1 5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 6. Alamat : Jl. Denai Gg. Mesjid No. 1 Medan 7. No. HP : xx Informan 3 1. Nama : Rinawati (Rina) 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 27 Juli Status : Menikah 4. Pendidikan : Mahasiswa Pasca Sarjana Keperawatan USU 5. Pekerjaan : Dosen 6. Alamat : Jl. Denai/Jl. Rawa Gg. Durian No. Medan 7. No. HP : xx.

228 Informan 4 1. Nama : Syarmawati (Netty) 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 02 Juni Status : Menikah 4. Pendidikan : D3 5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 6. Alamat : Jl. Pintu Air IV Perum. Poltek No. 27 Medan 7. No. HP : xx Informan 5 1. Nama : Yunita Handayani (Ita) 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 05 Juni Status : Menikah 4. Pendidikan : SMP 5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 6. Alamat : Jl. Pertiwi Gg. Ayahanda No. 12/A Medan 7. No. HP : xx Informan 6 1. Nama : Dedek Karmila (Dedek) 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 04 November Status : Menikah 4. Pendidikan : D3 5. Pekerjaan : Karyawan BPDSU (Bank SUMUT) 6. Alamat : Jl. Tangguk Bongkar No. 68 Mandala by Pass 7. No. Hp : xx

229 Informan 7 1. Nama : Nurhayati (Nur) 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 25 Juli Status : Menikah 4. Pendidikan : SMP 5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 6. Alamat : Jl. Pertiwi Gg. Ayahanda No. 12/A Medan 7. No. HP : - Informan 8 1. Nama : Shanti Nazir 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 03 Januari Status : Menikah 4. Pendidikan : S1 5. Pekerjaan : Karyawan Swasta 6. Alamat : Jl. Bromo Gg. Panjang No. 2 Medan 7. No. HP : xx

230 LAMPIRAN 4 BIODATA INFORMAN TAMBAHAN Informan Tambahan 1 1. Nama : H.M. Ridwan 2. Tempat/Tanggal Lahir : Siantar, 17 Januari Jenis Kelamin : Laki-laki 4. Suku Pasangan : Minang bukan Pariaman 5. Pendidikan : S2 6. Pekerjaan : Dosen FKIP UMSU 7. Alamat : Jl. Mantri No. 34/A Kel. Kp. Aur Medan 8. No. HP : Informan Tambahan 2 1. Nama : Sutan Alamsyah Guci 2. Tempat/Tanggal Lahir : Pariaman, 15 Februari Suku Pasangan : Minang Pariaman 4. Pendidikan : SD 5. Pekerjaan : Wiraswasta 6. Alamat : Jl. Suka Budi No. 4 Simp. Limun Medan 7. No. HP : Informan Tambahan 3 1. Nama : Chalida Fachruddin 2. Tempat/Tanggal Lahir : Pematang Siantar, 24 Oktober Suku Pasangan : Minang bukan Pariaman 4. Pendidikan : S3 5. Pekerjaan : Pensiunan Guru Besar Antropolgi FISIP USU 6. Alamat : Jl. Setia Budi No. 74/D Kel. Tg. Rejo Medan. 7. No. HP :

231 Informan Tambahan 4 1. Nama : Usman Pelly 2. Tempat/Tanggal Lahir : Lhokseumawe, 12 Juli Suku Pasangan : Mandailing 4. Pendidikan : S3 5. Pekerjaan : Guru Besar Antropolgi UNIMED 6. Alamat : Jl. Pelajar Ujung Komplek Perumahan Dosen UNIMED 7. No. HP :

232 LAMPIRAN 5 TRANSKRIP HASIL WAWANCARA INFORMAN Informan 1: Dian Anggraini (35 Tahun) 1. Bagaimana pandangan Dian mengenai unsur agama dan sistem kepercayaan dalam tradisi uang jemputan? Uang jemputan itu udah tradisi atau kebiasaan aja. Aku tanya sama mamakku...mak kenapa kayak gitu, ya...kayak gitu juga yang terdahulu, kayak gitu jugalah kita buat. Tapi yang pasti nggak bertentangan dia dengan agama...tetap syariat Islam juga dijalankan dalam pernikahan. Uang jemputan itu kan faktor kebiasaan aja. Enggak sia-sia kayak yang dibilang pepatah, adat basandi syara', syara' basandi kitabullah...jadi sejalan dia. Istilahnya seperti kita melamang, kita masak lemang berartikan kita bersedekah, bulan baik kita bersedekah, manggil orang ke rumah...ngajak makan-makan". 2. Bagaimana menurut pandangan Dian mengenai nilai-nilai budaya yang ada dalam tradisi uang jemputan? Untuk laki-laki aja kita kasi uang. Dian nggak tau uang itu balik sama kita lagi. Bahkan bisa lebih...dikasi sama kita. Kalau suku lain itu cukup nggak cukup, dicukup-cukupkan aja. Kalau orang Minang ini saling mendukung, saling menutupi kekurangan. Istilahnya indak cukuik di ateh, cukuik di bawah (tidak cukup diatas...cukup di bawah). Artinya saling menutupi...saling membantulah. 3. Jadi apakah Dian memahami bahwa tradisi tersebut berbalasan dan apa pandangan Dian tentang nilai-nilai yang terkandung dalam pengembalian uang jemputan tersebut? Makanya orang Pariaman bilang tau dek caro, tau dek adaik (tahu cara, tahu adat). Kalau ke rumah mertua bawa buah tangan. Bicara itu nggak bisa asal keluar aja, ada batasannya. Itu adab kepada mertua, soal balasan itu...misalnya kita ngasi sama dia Rp 10 juta, pestalah di tempat laki-laki, dapatlah untung paling banyak Rp. 5 juta misalnya, itu dibagi dua...dikasihlah kita Rp. 2,5 juta. Kita kalau manjalang mintuo kan nginap 1 hari, habis tu kita pulang...pas kita pulang itulah dikasi Rp. 2,5 Juta, tapi kita nanti di sana tau-tau udah dapat cincin dari ipar-ipar kita, dapat gelang, kalung. Uang jemputan itu dibalas lagi oleh keluarga laki-laki. Istilahnya semua itu hanya untuk mengisi adat ajanya itu. 4. Apakah tradisi uang jemputan yang berbalasan tersebut dilaksanakan hanya pada pasangan yang dijodohkan dan bagaimana bila pasangan tersebut berpacaran atau telah saling mengenal sebelum menikah? Istilahnya gini...kalau kita pacaran podo-podo, masing-masing aja gitu. Tapi kalau dijodohkan enggaklah...harus ngikut adat. Udah diatur sama mamak (paman) kita. Selama ini di Pariaman, mamak yang berkuasa atas kemenakannya. Dulu pengantin nggak saling kenal, cuma kenal dipelaminan. Sekarang harus lihat dulu orangnya, kalau nggak mau...kita bisa menolak. 1

233 Kalau di Medan, banyak yang bermain dibalik layar. Ada kan gini...masih ortodok lah orang tuanya, apalagi orang Pariaman sana. Kapan lagi kau balas budi sama orang tua, kata orang tuanya. Jadi si laki-laki bilang sama pacarnya, inilah abang kasih uang sama adek, adek kasihlah uang ini sama mamak abang. Dibalik layar gitu...untuk mengisi adat aja. Padahal uang itu dari laki-laki juga, tapi kalau di kampung masih murni. Enggak usah jauh-jauh...aku sama suamiku aja kayak gitu, makanya aku bisa cerita. Aku bukan dari keluarga yang banyak duit juga, aku bilang aku begini...begini, sama suamiku. Jadinya dia yang ngasi uang jemputan itu, terus dikasih aku duit untuk isi kamar sama suamiku, orang Padang kan ngisi kamar harusnya kan orang tua kita yang belikan. 5. Bisa Dian menceritakan bagaimana Dian dan suami akhirnya menikah dan diterpa tradisi uang jemputan? Dulu pernah beberapa kali pacaran dengan suku lain, nggak jodoh. Kalau namanya orang Minang ini, orang tua sudah warning kan, oh...anakku udah umur sekian. Ada pula orang Pariaman yang nanya Dian, jadi keluarga abang (suami Dian) bilang sama mamak (ibu)...untuk apa capek-capek kali cari jodoh mak tuo...ini ada ini, anak awak. Jadi orang tua menjodohkan Dian dengan suami, kalau cocok silahkan, kalau nggak ya nggak apa-apa...kan tetap saudara. Setelah menjalani, Dian tengok ada iuran...sebenarnya yang dirugikan itu nggak ada, sebenarnya kembali lagi sama yang memberi uang jemputan itu. 6. Seperti apa iuran yang Dian maksud dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan tersebut? Kalau di Medan ini, adanya tradisi baetong itulah yang meringankan, bahkan ada dikutip dari rumah ke rumah, jadi datang nggak datang waktu pesta tetap dikutip...ada buku catatannya itu, makanya kalau mau pesta nggak boleh bentrok dengan tujuan saling membantu, makanya orang Pariaman itu pestanya jarang rugi. 7. Apakah kesepakatan Dian dan suami tentang pemberian uang jemputan dan perlengkapan kamar yang dilakukan oleh suami Dian tidak menyebabkan konflik dalam keluarga? Taunya keluarga semua, nggak ada masalah. Mertuaku...ipar-iparku juga baik kok sampai sekarang. Mungkin karena kami ada tutur saudara...jadi orang itu udah kenal aku kayak mana orangnya. Akupun menilai suamiku itu baik orangnya, makanya aku terima perjodohan keluarga itu kan. Buat apa kita terima, kalau calonnya nggak bagus. Jadi semua itu tergantung sama pasangan yang dinikahkan itu, kalau cocok jadikan. Iya kan...hehehee. 8. Bagaimana pandangan Dian mengenai tradisi uang jemputan, sebelum akhirnya Dian menikah dan menjalani tradisi tersebut? Dulu memang nggak suka, gini pikiran Dian kan...kalau uang jemputan untuk sekarang ini, sempatlah posisi kita lagi susah gitu, berarti nggak kawinkawinlah kita. Kalau sempat orang tuanya minta uang jemputan banyak. Awak nggak mau kawin sama orang Minang, eh...rupanya kawin sama orang Minang juga, berarti kan kita nggak taulah kalau jodoh. Dulu sempat down juga karena 2

234 pemikiran suku lain tentang uang jemputan, tapi setelah dijalani, rupanya adat ini saling menghargai dan saling mendukung antarkeluarga. 9. Apakah dalam perjodohan Dian dengan suami dahulu juga diprakarsai oleh mamak (paman) dan bagaimana akhirnya Dian dijodohkan dengan suami yang masih memiliki hubungan kerabat? Istilahnya udah ada perubahan...kalau dulu di kampung, paman yang berkuasa mencarikan jodoh. Kalau di Medan, orang tualah yang berperan, mamak itu hanya pelengkap aja. Saudara-saudaraku juga orang Pariaman...istilahnya dari pada membesarkan kabau (kerbau) orang, lebih bagus kabau awak yang dibesarkan. Saudara sendiri dinikahi...jadi uang jemputan itu nggak ke manamana. Dari pada anak orang, lebih bagus anak sendiri. Sama kayak orang Batak pulang ke impal atau pariban gitulah...jadi harta tu, nggak ke manamana. Untuk keponakan akunya itu nanti, nggak apa-apalah dikasi berlebih. 10. Apakah di dalam keluarga Dian, orang tua menganggap perlu mengajarkan bahasa Minang kepada anak-anaknya? Perlu kalilah kita paham bahasa Minang tu, tengok orang China...di antara orang pribumi aja nggak malu dia ngomong-ngomong pakai bahasa China sama keluarganya, nggak peduli dia. Ini kita malu pula pakai bahasa Minang...takut dibilang etek-eteklah. Kalau di keluarga Dian nggak ada itu, orang tua selalu berbahasa Minang kalau di rumah, jadi terbiasa kami kan. Kadang kami pakai bahasa Minang...kadang bahasa Indonesia, tapi kami ngertilah bahasa Minang itu. 11. Apakah menurut Dian memahami bahasa Minang, mempermudah kita dalam mempelajari nilai-nilai budaya Minang? Tergantunglah...kalau orang tuanya mau ngasi pemahaman tentang adat itu, bisalah anak-anaknya ngerti. Apalagi kalau anaknya aktif bertanya tentang adat istiadat sukunya. Tapi biasanya kalau bahasa daerah aja nggak mau diajarkan di rumah, apalagi untuk memberi tahu soal adat Minang itu, ya...anak-anak juga nggak open lah (tidak mau peduli) dengan adatnya. Kan banyak juga istilah-istilah adat itu pakai bahasa Minang, harus paham kita itu. Misalnya uang japuik...baetong, manjalang mintuo banyak lagi istilah-istilahnya itu. 12. Bagaimana menurut pandangan Dian mengenai transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan perlu dilakukan kepada generasi muda mendatang? Dian rasa nilai-nilai budaya dari tradisi uang jemputan itu perlu diwariskan kepada generasi-generasi muda, supaya bertahan adat istiadat Pariaman itukan, jangan sampai punah. Kalau Dian sama suami sama-sama orang Pariaman, anak kami juga perempuan...itu tergantung jodohnya, nggak adalah lagi memang jamannya dijodoh-jodohkan. Tapi kalau dapat orang Pariaman, ya...kita lihatlah kayak mana orangnya, pantas nggak dikasi uang jemputan. Kalau mapan dia, terus baik pula keluarganya...cocoklah itu dikasi uang jemputan. Tapi kalau pacaran orang itu, biasanya lebih longgar adatnya...biasanya si laki-laki yang memberi uang jemputan itu. 3

235 13. Adakah proses transmisi nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan tersebut dikomunikasikan dalam keluarga? Karena kita nggak tau apa makna sebenarnya...makanya kita memandang negatif. Kawan-kawan sekolah dulu bilang, enaklah kau Dian ya...banyak duit, nanti kalau kawin beli laki-laki. Malu awak dengarkannya ya kan. Jadi Dian berfikir, memberatkan kali uang japuik itu. Orang tua Dian dulu...memang nggak ngerti menjelaskan makna-makna tradisi ini kayak mana...tradisi ini kayak mana, jadi awak pahamnya setelah menjalaninya ya kan. Informan 2 : Leni Muhafida (30 Tahun) 1. Bagaimana menurut Leni mengenai unsur agama dan sistem kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan? Kalau secara agama, sebenarnya perempuan itu yang di pinang di kasih mahar...tapi ku tengok orang Pariaman ini, laki-laki pula yang dipinangnya. Secara agama kayaknya udah menyalah juga itu...adatnya udah bertentangan. Soalnya lebih dimuliakan perempuan dalam pernikah itu ya kan...di beri mahar, di beri uang pinangan. 2. Menurut pandangan Leni mengapa tradisi uang jemputan itu masih dipertahankan hingga saat ini? Kalau jaman dulu dengan adanya tradisi uang japuik itu, sistem kita kan matrilineal, garis keturunan dari pihak ibu, kalau anak laki-laki itu merasa bangga, merasa di hargai kalau di japuik itu. Tapi kalau nggak di japuik merasa kayak nggak ada harga dirilah gitu. Sekarang ini masih ada juga kutenggok yang memakai adat itu. 3. Jadi menurut pandangan Leni nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan adalah untuk menghargai posisi laki-laki? Mungkin laki-laki itu kepala rumah tangga, jadi nanti dialah yang memimpin keluarga, anak istrinya. Jadi apabila dia di japuik ya kan, istilahnya uang japuik itulah modalnya untuk memulai perkawinan. Itu udah bisa untuk sewa rumah iya kan, mungkin kayak gitulah. 4. Pernahkan Leni menyaksikan pelaksanaan tradisi uang jemputan pada pesta pernikahan orang Minang Pariaman, sehingga menambah referensi Leni tentang tradisi tersebut? Pamanku...Pak Adir namanya, dia itu kan...diam-diam menambah uang jemputan yang diminta keluarga sama keluarga istrinya. Waktu keluarga tahu...mereka kurang suka. Kenapa Pak Adir itu pula yang ngasi uang japuik itu, sebenarnya nggak gitu. Dulu itu wajib kali itu...kalau jaman sekarang iyalah. Rumah tangganya sempat bermasalah juga, banyak keluarga yang nggak senang, kenapa adat itu nggak dijalankan. Di balik itu separuh uang itu, Pak Adir yang membantu...jadi ketahuan sama keluarga. Harusnya perempuan itu yang ngasi, menghargai paman kami itukan. Tapi ku dengar, karena perempuan itu orang susah juga. 4

236 5. Kenapa rumah tangga mereka bermasalah dan apa alasan keluarga merasa kurang suka dengan hal tersebut? Dulu itukan wajib ada tradisi uang jemputan itu...keluarga merasa Pak Adir itu nggak dihargai keluarga istrinya. Jadi mereka merasa keluarga istrinya itu nggak tau adatlah...masak nggak ada dihargai Pak Adir kami. Padahal yang aku tahu keluarga perempuan itu orang susah jugalah. Tapi harusnya ada kesepakatan keluarga...pak Adir itu harus melunakkan keluarga, jadi nggak ada masalah kan. Pengalaman adikku menikah di kampung dulu. Adikku lulus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pariaman sebagai guru. Ada laki-laki...kerjanya wiraswasta gitu, mau sama adikku si Zahra ini. Adikku bilang...aku orang susah katanya, nanti orang tua abang minta uang japuik banyak-banyak pula. Karena si laki-laki itu memang mau sama si Zahra, dia yang ngasi uang jemputan itu setengahnya. Kalau dia cerita sama mamak (ibu)nya, dibilangnya gini, mak...orang tua si Zahra sanggupnya cuma Rp. 5 juta, keluarga kita mintanya Rp. 10 juta. Mamak si laki-laki bilang, ya udah tambahlah sama kau...kata mamaknya, kalau mamak menambah nggak mungkin. Jadi nggak apa-apa sama mamak si lakilaki itu, karena keluarga laki-lakinya suka juga melihat si Zahra itu. Orang tuanya guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga disana, jadi sikap si laki-laki itu menghormati adat. 6. Bagaimana menurut pandangan Leni pelaksanaan tradisi uang jemputan pada masa sekarang ini? Kalau jaman sekarang...kayaknya ini ya kan, udah nggak sesuai lagi. Orang sekarang pun...kayaknya udah banyak yang nggak mengikuti tradisi Minang ini...udah banyak bergeser. Mungkin dari segi agama, orang udah tau dalam agama yang dipinang itu perempuan. Jaman sekarang udah modern...orang udah banyak pengetahuannya, ilmu orang udah bertambah. Nilai-nilai budaya lama itu udah banyak yang ditinggalkan. Kenapa harus ada uang japuik...awak susah manjapuik pula. Kalau bisa nggak usah nyari orang yang bajapuik itu. Kita kan maunya kayak gitu ya kan...pasti kebanyakan orang kayak gitu. 7. Leni menikah dengan sesama orang Minang Pariaman dan menjalani tradisi uang jemputan. Kalau sebelumnya sikap Leni menolak tradisi tersebut, mengapa akhirnya Leni menerima untuk menjalani tradisi tersebut? Mungkin udah jodoh ya, kalau bisa jangan menikah sama orang yang di japuik, ternyata...dapat jodohnya gitu. Aku memang nggak pandai pacarpacaran, terakhir ya udah...dijodohin orang tua jadinya. Karena kutengok orangnya baik, jadi aku terima, apalagi mamak udah resah anak gadisnya nggak kawin-kawin. Karena memang kami ada tutur saudaranya, makanya keluarga suamiku tahu keadaan kami...nggak minta banyak-banyak orang itu. Kalau katanya uang japuik itu ada di balas keluarga laki-laki...siap aku nikah dulu, ada juga ke rumah saudara-saudara suami...tapi mana ada di kasi-kasi gitu, malah kita yang wajib bawa buah tangan ke rumah orang itu. 8. Apakah Leni memahami bahwa tradisi uang jemputan itu berbalasan, di mana pemberian uang jemputan itu nanti dibalikkan lagi oleh mertua kepada 5

237 perempuan berupa perhiasan atau benda-benda berharga lainnya yang disebut panibo. Leni memutuskan menikah dengan laki-laki dari sesama suku, harusnya menerima pengembalian itu? Mungkin udah jodoh ya, kalau bisa jangan menikah sama orang yang di japuik, ternyata...dapat jodohnya itu. Aku memang nggak pandai pacar-pacaran, terakhir ya udah...dijodohin orang tua jadinya. Karena ku tengok orangnya baik, jadi aku terima, apalagi mamak udah resah aku nggak kawin-kawin. Siap aku nikah dulu, ada juga aku ke rumah saudara-saudara suami...tapi nggak ada di kasi-kasi gitu, malah kita yang wajib bawa buah tangan ke rumah orang itu, keluar uang lagi jadinya kan. 9. Apakah saat menikah dan menjalani tradisi uang jemputan itu, Leni merasa dipaksa oleh keluarga? Paksaan keluarga memang nggak ada soal jodoh, kalau orang tua maunya sesama orang Minang juga, karena sama-sama satu budaya. Kalau sama orang luar kan kurang ngerti kita adatnya. Suamiku itu ada tutur saudara dengan aku, dia anak dari ungku (kakek) sama kami. Jadi tuturnya dia itu pamanku...tapi saudara jauhlah gitu. Kami dikenalkan dulu, terus merasa cocok...akhirnya menikah. Waktu pernikahanku itu, sebenarnya aku nggak mau ada uang japuik, masing-masing aja. Aku pesta, keluargaku yang keluar biaya. Dia pesta, dia juga yang keluar biaya. Tapi waktu itu sempat berdebat juga iya kan...dari mana dicari uang japuik itu, sementara ayahku udah meninggal tahun 2005, aku menikah akhir tahun Keluarganya tetap minta ada juga uang japuik, itulah mungkin merasa nggak dihargai orang itu kalau nggak dijapuik. Makanya keluargaku ngasi juga...cuma mereka ngerti keadaan kami, mereka minta nggak banyak-banyak...sebagai syarat ngisi adat aja. Waktu itu diminta merekalah Rp. 1 Juta uang japuiknya. 10. Apakah ada peranan mamak (paman) Leni dalam perjodohan dengan uang jemputan tersebut? Karena ayahku udah meninggal, jadi kami kan dua perempuan lagi yang belum menikah, aku sama adikku si May yang masih kuliah dulu, tapi sekarang udah nikah juga dia. Makanya mamak-mamak (paman) akulah yang diminta bantuannya sama mamakku (ibuku) untuk ngurusin pernikahan kami. Tapi adat itu nggak terlalu dipakai kali...nggak terlalu ketat. 11. Setelah menikah dan menjalani tradisi tersebut, apakah Leni mengalami perubahan sikap dalam mempersepsikan tradisi uang jemputan? Sebenarnya mengisi adat ajanya itu...kalau boleh nggak usahlah pake-pake uang jempuatan itu. Aku fikir...memang abang itu jodoh aku, udah cocok pula sama dia. Apalagi aku nggak ada pilihan lain...karena nggak minta banyakbanyak orang itu, ya udahlah...dikasi. Kalau perubahan sikap nggak ada ya...aku anggap untuk ngisi adat ajanya itu. 12. Bagaimana pandangan Leni mengenai transmisi nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan oleh keluarga kepada generasi muda Minang saat ini dan apakah Leni nantinya akan melestarikan tradisi tersebut pada perjodohan anakanak Leni kelak? 6

238 Kalau mamak (ibu) aku dulu, nggak ada itu...secara khusus ngasi tahu tentang makna uang japuik. Makanya dulu waktu kuliah, kawan-kawan bilang...kayak gitulah kalian ya Len, kalau kawin ngasi duit sama laki-lakinya. Aku jadi nggak suka dengarnya...malu aja. Kalau laki-laki ngasi uang pinangan itu kan, kayak menunjukkan tanggung jawabnya sama kita. Kalau nanti aku punya anakpun...misalnya dapat orang Pariaman, nggak usahlah pakai uang japuik itu. 13. Apakah orang tua Leni membiasakan berbahasa Minang di dalam berkomunikasi sehari-hari? Oooh...selalu, apalagi kalau merepet...lancarlah bahasa Minangnya itu. Aku pandai juga sedikit-sedikit bahasa Minang, tapi nggak terlalu lancar. Tapi kalau dengar orang ngomong pakai bahasa Minang...aku ngertilah, 14. Jadi, menurut pandangan Leni yang lebih berperan dalam perjodohan adalah mamak atau paman? Karena ayahku udah meninggal, jadi kami kan dua perempuan lagi yang belum menikah, aku sama adikku si May yang masih kuliah dulu, tapi sekarang udah nikah juga dia. Makanya mamak-mamak (paman) aku lah yang diminta bantuannya sama mamakku (ibuku) untuk ngurusin pernikahan kami. Tapi adat itu nggak terlalu dipakai kali...nggak terlalu ketat. Uang japuik itu juga mamakku kok yang menyediakan...paman-paman itu cuma membantu pesta aja. Informan 3: Rinawati (34 Tahun) 1. Bagaimana menurut pandangan Rina mengenai unsur agama dan sistem kepercayaan dalam tradisi uang jemputan? Kalau menurut persepsi Rina, tradisi uang jemputan itu nggak ada masalah...karena kan di dalam tradisi itu tidak ada bertentangan dengan agama. Istilahnya itu kesepakatan dari kedua belah pihak aja. Jadi nggak ada yang dirugikan kalau kedua belah pihak sepakat, yang jadi masalah mungkin kan..kalau udah memberatkan bagi satu pihak. Sama kayak suku Batak, anak perempuan menjadi tanggung jawab suaminya, makanya harta untuk anak lakilakinya. Sebaliknya suku Minang, anak laki-laki dianggap mampu menghidupi dirinya sendiri, kalau perempuan itu kan makhluk yang lemah, jadi perempuan itu yang harus dikasi persediaan gitu. Nggak usahlah dulu masalah perceraian, misalnya ditinggal mati oleh suaminya...terus banyak pula anaknya, sama apa mau dihidupinya anaknya itu. 2. Menurut pandangan Rina nilai-nilai apa yang ingin diwariskan generasi terdahulu dalam tradisi uang jemputan tersebut? Istilahnya uang jemputan itu menunjukkan harkat atau martabat dari si pihak laki-laki. Suatu kebanggaan bagi orang tuanya kalau anaknya itu diberikan uang, jadi itu sebagai pengganti untuk menjaga anak perempuannya juga. Uang jemputan itu dapat dijadikan modal usaha dalam kehidupan rumah tangganya. 7

239 Kalau menikah itu kan perempuan itu memberi uang jemputan, biaya pesta semuanya dia yang persiapkan. Jadi di akhir pesta nanti ada acara di mana pihak keluarga perempuan semacam mendonor gitu...itu yang dimaksud malam baetong itu. Itu dilaksanakan di tempat perempuan, kalau di tempat laki-laki nggak ada lagi tradisi baetong itu, paling cuma meresepsikan aja...memperkenalkan menantu baru dalam keluarga. 3. Apakah Rina juga mengetahui kalau tradisi uang jemputan tersebut dibalas oleh pihak laki-laki dalam bentuk panibo? Setahu Rina...perempuan itu ngasi uang jemputan, ada lah dikasi lagi sama pihak laki-laki, itulah yang sering disebut panibo. Kalau siap nikah...kita pergi ke tempat mertua, itu biasanya mertua itu ngasi lagi tu...berupa perhiasan atau pakaian baru. Tapi kalau uang hilang itu salah...itulah yang sering dibilang orang bara uang ilangnyo? (berapa uang hilangnya?). Uang itu untuk laki-laki atau keluarganya semua, nggak ada dibalikkan lagi sama perempuan. Tapi orang lebih sering mengatakannya uang hilang, bukan uang jemputan. Kalau di kampung mamak (ibu) Rina, orang sering itu bilang...oh enaklah anaknya dikasi uang hilang Rp. 40 juta, gitu misalnya. 4. Menurut Rina apakah tradisi uang jemputan saat ini masih dilaksanakan sesuai makna yang sebenarnya? Tapi sekarang udah jarang terjadilah uang jemputan itu, kalau yang Rina lihat dari segi pendidikan, orang sekarang udah semakin berfikir...udah berbaur sama suku-suku lain. Kalau soal uang jemputan itu...dikaitkan lagi dengan unsur agama tadi kan...bukan menjadi wajib dalam agama kita uang jemputan itu. Kalau Rina aja...menurut Rina yang penting kita hidup inikan agama yang kita perhatikan. Kalau nggak melanggar agama, kenapa nggak...gitu. Tapi yang pentingkan saling mencintai, apa salahnya nggak ada uang jemputan. 5. Pernahkan Rina memiliki pengalaman mengenai perjodohan dengan tradisi uang jemputan? Di Padang dulu...rina pernah dijodohkan sama mamak (paman) Rina dengan polisi militer. Tapi kurang suka Rina lihatnya...rina tolak, karena kurang suka sama orang militer gitu. Akhirnya dijodohkanlah laki-laki itu sama saudara Rina, dia tamat SMA cuma...tapi keluarganya kaya, bisa ngasi uang jemputan banyak...padahal waktu sama Rina, dia nggak minta banyak-banyak. Sama keluarga saudara Rina tadi...mereka rela ngasi uang jemputan banyak, karena senang dapat menantu orang militer. Waktu tahun 2000 itu...dijemputlah lakilaki itu Rp. 40 juta, udah banyak kali itu...waktu itu. 6. Mengapa Rina menolak dijodohkan keluarga? Kayak mana ya...polisi ini kan kebanyakan bangga dia jadi polisi, jadi bukan lagi mengayomi masyarakat, tapi malah menakut-nakuti masyarakat kerjanya. Apalagi orang Pariaman pula abang itu...rina juga belum siap aja untuk menikah waktu itu, masih pengen kuliah. Itulah makanya Rina ke Medan...melanjutkan kuliah. 8

240 7. Apa penilaian Rina tentang laki-laki Pariaman dan apakah Rina akan menerima nilai-nilai luhur yang terkandung pada tradisi uang jemputan dalam pernikahan Rina? Rina memilih jodoh nggak ada hubungannya dengan uang hilang atau uang jemputan itu, memang sih ada stigma yang nggak suka Rina melihat laki-laki Pariaman ini. Ketidaksukaan Rina karena kebanyakan yang Rina lihat, nggak di kota...nggak di kampung, laki-laki Pariaman ini suka kali duduk-duduk di lapau atau kedai kopi gitu...nggak suka aja nengoknya. Macamnya malas kerja jadinya...walaupun dia kerja gitu, tetap aja mesti kali nongkrong-nongkrong di kedai kopi, nanti pulangnya malam-malam...gedor-gedor pintu, kan capeklah istrinya itu bukakan pintu, ganggu tetangga lagi. Kalau mau bersosialisasi sama kawan-kawannya, kan...nggak harus di kedai kopi. Kalau udah di kedai kopi taulah...ngomongnya ngawur aja, memang belum tentu dia mabukmabukkan...tapi nggak bermanfaat aja menurut Rina. 8. Sebenarnya bagaimana pandangan Rina tentang nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan? Kalau tradisi uang jemputan itu...rina nilainya positif kali. Lantaran...perempuan itu dalam agama kan harus dilindungi, yang salah itu kalau dipaksa, padahal mereka nggak mampu. Kalaupun dikasi uang jemputan...bukan untuk modal mereka, malah sama orang tuanya. Nah...itu yang menjadi kurang enaknya. Tapi Rina menganggap memanglah semua suku itu kalau dilihat-lihat punya kekurangan, cuma mungkin karena Rina berbaur sama orang Minang, sering lihat kayak gitu...menurut Rina kalau nanti kita menikah sama orang Minang atau sama suku lain, kita harus memikirkan bisa nggak kita menerima sesuatu yang nggak kita sukai dari suami kita itu nantinya. Rina memang nggak siap menerima laki-laki yang suka duduk-duduk di kedai kopi, kesannya kayak pemalas aja gitu...karena kebanyakan Rina temui itu seperti itu. 9. Rina menikah dengan orang Melayu, pernah nggak Rina tahu bahwa ada stigma negatif tentang suku Melayu dan bagaimana akhirnya Rina memilih menikah dengan laki-laki dari suku Melayu tersebut? Karena udah jodohnya...selama ini Rina tau bahwa stigma orang juga negatif tentang suku Melayu, katanya orang Melayu itu pemalas. Tapi Rina belum pernah pula lihat langsung kayak gitu...kalau kebiasaan laki-laki Pariaman itu memang Rina lihat sendiri. Sebenarnya orang itu nggak bisa dilihat prilakunya dari sukunya, tergantung kepribadian orangnya juga. Waktu kenal sama suami, kami nggak ada pacaran-pacaran, Rina berteman sama dia...sering main ke rumahnya. Dari situ Rina menilai kayak mana keluarganya, kepribadiaannya juga. Terus yang paling Rina suka...ayahnya itu penyayang, udah nampak sebelum kami menikahpun, apalagi setelah menikah ini...kalau Rina senang mertua itu sayang sama kita. Sifat malas itu juga nggak Rina temukan sama suami. 10. Tadi Rina menilai tradisi uang jemputan itu positif, bagaimana pandangan Rina mengenai transmisi nilai-nilai luhur pada tradisi uang jemputan perlu 9

241 dilestarikan kepada generasi muda Minang Pariaman, sedangkan Rina sendiri menikah dengan laki-laki di luar suku Minang Pariaman? Kayak yang Rina bilang, tradisi uang jemputan Rina menilainya bagus kali kalau betul-betul dilaksanakan sesuai makna yang sebenarnya ya. Sebagai bentuk melindungi perempuan...ngasi modal berumah tangga buat mereka yang dinikahkan. Kalau mungkin Rina kenal laki-laki Pariaman yang berbeda dari laki-laki Pariaman kebanyakan yang Rina tengok, mungkin bisa jadi Rina sama dia, tapi jodohnya ya...sama orang Melayu pula, iya kan. Memang Rina akui stigma negatif tentang kebiasaan laki-laki Pariaman itu cukup membuat apa ya...iya nggak suka aja. Nggak ada hubungannya dengan tradisi uang jemputan...tapi kalau nggak ikut melestarikan adat itu, karena menikah dengan suku lain...iya lah Rina akui. 11. Bagaimana pandangan Rina tentang pewarisan nilai-nilai luhur dalam tradisi uang jemputan tersebut kepada anak-anak Rina nanti? Makin tinggi pendidikan anak kan...makin berubah pola fikirnya, menikah itu kan yang penting hukum agama yang dijalankan, nggak harus ada uang jemputan kan. Tapi Rina juga akan menjelaskan sama anak-anak Rina nanti apa makna tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan Pariaman itu. Cuma nggak ikut campurlah orang tua kalau urusan jodoh anak-anaknya. Kalau misalnya ketemu pula jodoh orang Pariaman, misalnya mintalah mereka adat itu dijalankan...kalau sesuai makna yang sebenarnya, dan yang paling penting bagus pula calon menantu itu kenapa nggak dilaksanakan. Itu tergantung situasional juganya itu. 12. Apakah bahasa Minang diajarkan oleh orang tua Rina dirumah dan apakah ada pengaruhnya memahami bahasa Minang dengan kemudahan memahami budaya Minang? Nggak ada pengaruhnya menurut Rina, intinya bukan masalah bahasa, yang penting...kayak mana keluarga mengkomunikasikannya. Salah satu fungsi keluarga kan...mentransmisikan nilai-nilai budaya kepada anak-anaknya, contohnya...kalau tiap hari berbahasa daerah pun di rumah, tapi kalau anakanaknya nggak mau tau dan orang tuanya juga nggak ngasi tau...nggak bisa juga kan. Ayah Rina nggak pernah bahasa Minang sama anak-anaknya, tapi kalau mamak iya...kalau Rina, nggak nanya-nanya dan ayahpun nggak menjelaskan makna tradisi uang jemputan, nggak ngerti juga kan. Lihatlah...orang-orang dari kampung itu...merantau ke Medan dia, malah malu dia berbahasa Minang, sok bahasa Indonesia pula dia, kalau orang Minang bilang...ongeh (sombong)lah gitu, belum tentu juga mereka paham betul tentang tradisi itu kan...yang penting ada komunikasi dalam keluarga. 13. Bagaimana peranan mamak atau paman menurut pandangan Rina dalam urusan perjodohan? Tapi memang istilahnya paman ini, kalau di suku Minang itu ucapannya didengarkan kali. Apapun urusannya...bukan hanya dalam tradisi uang hilang, paman itu sangat dihargai. Kadang sering terjadi perselisihan keluarga, anakanak sekarang ini udah berfikir, kenapa kok paman pula...harusnya orang tua kitalah. 10

242 14. Bagaimanakah perenan orang tua Rina dalam urusan perjodohan dan apaka orang tua mewajibkan anaknya menikah dengan sesama suku Minang Pariaman untuk melestarikan tradisi uang jemputan? Orang tua dari suku manapun...pasti ingin anaknya menikah dengan yang satu suku gitu. Istilahnya satu budaya...mereka kan ingin nggak mati keturunan...berkembang dia, jangan sampai adat itu nggak ada lagi. Termasuklah orang tua Rina...tapi kalau jodohnya sama suku lain nggak masalah, yang penting anaknya bahagia. Kalau Rina nggak menjalankan tradisi uang jemputan itu...karena memang jodohnya di luar suku Minang. Informan 4: Syarmawati (56 Tahun) 1. Bagaimana pandangan Ibu mengenai unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan? Tidak ada permasalahannya dengan agama, karena itu hanya merupakan tradisi semata. Uang jemputan berbeda dengan mahar, mahar harus si laki-laki yang memberikan kepada si perempuan, tetap yang dijalani syariat Islam itu, sah nikah itu memang harus lelaki yang memberi mahar. Saya kebetulan diterpa adat ini, tapi uang mahar tetap suami saya yang memberi. 2. Menurut Ibu, apakah uang jemputan tersebut tetap harus diberikan oleh pihak keluarga perempuan? Kalau seandainya tidak memberatkan bagi keluarganya, itu sangat baik. Uang jemputan ya, bukan uang hilang...itu berbeda. Hanya istilah saja, itu akan dikembalikan lagi kepada si perempuan. Malah dikembalikannnya lebih banyak lagi. Tapi kalau si perempuan ngunduh istilahnya, atau istilah orang Minang manjalang...itu akan dikembalikan lebih banyak dari pada uang jemputan yang diberikan kepada si laki-laki. 3. Apa perbedaan uang hilang dan uang jemputan tersebut dan bagaimana pandangan Ibu tentang uang jemputan tersebut dikembalikan lagi? Uang hilang itu begini...kalau si lelaki itu misalnya lepas dari pendidikan, mungkin untuk masuk ke jenjang pekerjaan mungkin belum ada modal, uang hilang itulah yang diperjuangkan, biasanya uang hilang itu untuk si anak lelaki tersebut...tapi ada juga kalau anaknya sudah mapan untuk orangtuanya. Berbeda dengan uang hilang, kalau uang hilang memang untuk si laki-laki, kalau uang jemputan itu dikembalikan untuk wanita lagi, saya pikir nggak bermasalah dengan agama kita. Uang jemputan menjadi syarat perkawinan...karena memang itu tradisi orang Pariaman, dulunya seperti itu. Kalau tidak ada uang jemputan, tidak ada uang hilang, dianggap mereka itu tidak bermartabat...tidak dihargai, semacam perjuangan hidup laki-laki yang sudah dewasa itu, karena si laki-laki ini adalah orang yang datang ke keluarga istri. 4. Bagaimana pandangan Ibu mengenai nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tradisi uang jemputan? 11

243 Karena kita kan di Minangkabau itu...di Pariaman itu memakai sistem matrilineal, kalau di suku lain patrilineal. Jadi memang ada saya rasa...segi positifnya, karena kalau mencari jodoh tersebut orang tua tahu bibit, bebet, bobot si calon menantu mereka, jadi tidak sembarangan memilihnya. 5. Apakah penentuan jumlah uang jemputan tersebut dapat menjadi permasalahan, apabila pihak si perempuan tidak memiliki kemampuan secara ekonomi? Yang jadi masalah mungkin uang hilang itu, kalau uang jemputan itu saya rasa nggak masalah. Jadi saat kedua belah pihak bertemu, atau membicaran kelanjutan hubungan anaknya, mereka disitu membicarakan apakah pakai uang jemputan atau pakai uang hilang, atau kedua-duanya. Biasa kalau si anak lelakinya sudah berkedudukan atau berpendidikan atau segi sosialnya lebih tinggi, itu biasa orang tua menjalani kedua-duanya. Kalau dari segi keluarga pria minta uang hilang itu...istilahnya itu dia merasa sudah membesarkan anaknya dengan jerih payahnya, jadi dia minta uang hilang itu. Saya pikir letak keberatan itu...kesepakatannya, kalau seandainya orang tua lelaki tidak mempertimbangkan kemampuan si perempuan, dia seolah-olah seperti menjual anaknya. Kalau seandainya jumlah uang hilang itu wajar, ya tidak masalah. Harusnya dilihat sesuai kemampuan pihak perempuan. 6. Bagaimana sikap Ibu dalam memaknai tradisi uang jemputan sebagai syarat terjadinya perkawinan dalam adat istiadat Pariaman? Tadinya saya kontra...karena saya merasakan dan mengalami uang jemputan itu kembali kepada kami, jadi saya merasa oh...seperti ini, karena saya dilahirkan di Medan, jadi saya nggak mengerti adat yang sebenarnya itu gimana saat itu. Sesudah saya alami...saya pikir uang jemputan itu hanya untuk menghormati atau memberi penghargaan terhadap keluarga si lelaki. Tapi memang...saya lebih cenderung ke orang Minang, karena kita kan kalau sesama etnis, mungkin adat bisa lebih pengertian dari pada berlainan etnis, karena kalau lain etnis, kita harus mempelajari budaya suami kita tersebut...jadi kita harus belajar lagi. 7. Sebelum menikah dan menjalani tradisi uang jemputan, apakah sikap kontra Ibu terhadap tradisi uang jemputan membuat Ibu tidak ingin menikah dengan sesama suku atau karena mungkin Ibu memiliki pilihan dari suku yang berbeda? Dan saya nggak ada pula berhubungan dengan di luar etnis gitu. Saya dulu istilahnya menuruti orang tua saja. Kalau kita sudah di rantau, jodoh itu biasa nggak pernah dipaksakan. Apalagi saat ini orang tua tidak bisa memaksakan kehendaknya, orang tua saya lebih demokratis terhadap anaknya. Kalau dia ingin...bermenantukan orang Minang juga, bisa dia memberitahukan kepada anaknya, diperkenalkan terlebih dahulu...cocok apa tidaknya. Kalau seandainya sudah kenal, baru ninik mamak yang berperan untuk proses adat. Saya seperti itu...diperkenalkan dahulu, sesudah itu baru ninik mamak dan orangtua saya yang berperan menjalankan adat. 12

244 8. Bagaimana dengan penggunaan bahasa Minang di dalam keluarga, apakah Ibu juga mengajarkan bahasa Minnag kepada anak-anak Ibu? Berbahasa daerah sangat penting diterapkan dalam keluarga. Kedua orang tua saya selalu menggunakan bahasa Minang dalam berkomunikasi dengan anakanaknya, sehingga saya memahami dan mahir berbahasa Minang. Namun saya mengakui sulit menerapkan berbahasa Minang kepada anak-anak saya saat ini, karena pengaruh budaya luar dari lingkungan pendidikan dan alat-alat komunikasi yang semakin canggih membuat anak-anak saya lebih mengenal dan lebih tertarik dengan budaya luar dari pada budaya asal mereka. 9. Apakah proses sosialisasi tentang tradisi uang jemputan dilakukan oleh keluarga kepada Ibu? Sebenarnya sosialisasi terhadap generasi baru mungkin...orang tua dan ninik mamak kita agak kurang mensosialisasikan adat Pariaman itu. Ini lho...uang jemputan itu begini, uang hilang itu begini, jadi kita bisa memahami. 10. Sebelum Ibu memahami makna tradisi uang jemputan yang sebenarnya, faktor apakah yang mempengaruhi persepsi Ibu tentang tradisi tersebut? Saya dan keluarga itu memang tinggal di lingkungan orang Pariaman juga. Jadi tidak banyak untuk mempengaruhi itu...dulu saya pernah kuliah dan pernah juga kerja. Di lingkungan kerja juga, pendidikan juga, kan pernah dibahas sesama teman begitu, kok membeli pula perempuan Minang kalau mau menikah. Jadi saya merasa...kita diberatkan, tapi sebenarnya kalau saya nilai sekarang tidak diberatkan. 11.Bagaimana Ibu memandang proses transmisi nilai-nilai tradisi uang jemputan harus dilakukan kepada generasi muda Minang, dan bagaimana pula keterlibatan Ibu sebagai orang tua dalam hal pencarian jodoh anak-anak Ibu? Kalau saya...pasti akan menjelaskan kepada anak-anak saya mengenai nilainilai luhur pada tradisi uang jemputan tersebut, karena saya selalu mengajak anak-anak saya kalau ada saudara pesta...dan mereka melihat tradisi tersebut dilaksanakan. Apalagi saya dan suami sama-sama suku Minang Pariaman, jadi harus kita kenalkan itu budaya asal kita kepada anak. Cuma masalahnya bagaimana pilihan anak kita...saat menikah nanti. Kalau sesama suku Minang Pariaman, mungkin tradisi itu akan dipertahankan. 12.Bagaimana sikap Ibu sebagai orang tua dalam pilihan calon menantu bagi anak-anak Ibu, apakah harus menikah dengan sesama suku Minang Pariaman, sehingga tradisi uang jemputan bisa dipertahankan? Anak gadis saya yang sulung sudah berusia 27 tahun...dia bekerja dan belum menikah. Sebenarnya kami para orang tua resah juga. Namun saya rasa tidak jaman Siti Nurbaya lagi sekarang ini...kebetulan dia belum ketemu jodoh yang cocok saja. Saya tidak mau memaksakan kehendak ya...pastilah kalau ditanya orang tua memiliki harapan punya menantu sesama suku. Namun semua itu tergantung jodoh si anak ya...sekarang ini ada keinginan untuk mengenalkan dengan laki-laki yang menurut kita, orang tua ini...baik dan layak untuk dijadikan menantu...tapi sampai saat ini kami juga belum 13

245 mendapatkannya. Terus terang saya minta juga saudara-saudara saya mencarikan...tapi belum jodohnya mungkin. Informan 5: Yunita Handayani (20 Tahun) 1. Bagaimana pandangan Ita mengenai unsur agama dan kepercayaan dalam tradisi uang jemputan? Ya...kayak mana ya...kalau menurut awak, salah juga sebenarnya. Suku lain itu...laki-laki yang melamar, orang Minang kok perempuan pula. Kalau dari segi agamanya...ntah lah nggak tau juga awak Kak. 2. Kalau nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan tersebut, bagaimana menurut pandangan Ita? Apa ya...orang tua berusaha dia...mencarikan jodoh yang baik untuk anaknya. Orang tua itu beranggapan mungkin anaknya bisa salah pilih, jadi ikut juga dia mencarikan. 3. Menurut Ita apa alasan orang tua menikahkan Ita dengan suami yang sudah berstatus duda? Awalnya awak nggak mau...udah duda pun abang itu. Kalau mamak, mau menantunya orang Padang juga, karena lebih ngerti kita kalau adatnya sama katanya. Cowok awak dulu orang Padang juganya...tapi menurut mamak suami awak ini lebih baik dia orangnya. Lingkungan tempat tinggal awak memang banyak orang Padang, makanya awak dapat cowokpun orang Padang. 4. Apakah Ita merasa terpaksa dinikahkan dengan laki-laki yang sudah berstatus duda dan memberikan uang jemputan? Enggak tau juga lah Kak...awak tenggok memang baik dia orangnya, mudahmudahan sampai selamanya. Kalau uang jemputan itu kan keluarga awaknya yang ngasi. Nggak ngerti juga awak...katanya memang udah adat. 5. Apakah orang tua Ita mengajarkan bahasa Minang dan pernah nggak orang tua Ita ngasi tahu sebenarnya makna tradisi uang jemputan itu seperti apa? Mamak sama ayah...bahasa Minang aja di rumah Kak, awak enggak lancar kali ngomongnya, tapi kalau dengar orang ngomong...awak taulah artinya. Kalau masalah uang japuik itu, nggak tau-tau awak kenapa kayak gitu tu Kak, mamak nggak pernah cerita-cerita sama kami, tapi banyak keluarga awak kayak gitu kalau nikah. Ya..itu pula adatnya, udah syaratnya pula kayak gitu. Sebenarnya awak nggak ngerti-ngerti juga, tapi yang ngasi uang jemputan itu kan keluarga awak...katanya tradisi kita udah memang kayak gitu. 6. Apakah Ita punya pengalaman sebelumnya tentang pelaksanaan tradisi uang jemputan itu? Kalau saudara-saudara awak...banyak yang nikah pakai uang jemputan itu. Kadang awak tanya juga berapa uang jemputannya, Rp. 10 juta...katanya. Ya 14

246 Allah...banyaknya, awak bilang juga sama cowok awak yang dulu, bang...jangan minta uang banyak-banyak nanti ya, nggak sanggup keluarga awak. Eh...rupanya nggak jadi juga sama dia. 7. Kalau transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan tidak pernah dilakukan orang tua, apa yang membuat Ita yakin menjalani perjodohan dengan memberikan uang jemputan tersebut? Awak tengokkan, mamak suka dia sama abang (suaminya)...katanya bagus itu orangnya. Akhirnya awak ikut pilihan orang tua aja kak...mungkin ini yang terbaik. Padahal dulu awak tentang (bantah) juga mamak itu, masak sama duda dikawinkan awak. Kata mamak...abang itu dulu ada juga yang mau sama dia, jadi mamak ngasi aja uang jemputan yang diminta keluarga abang. Ada orang lain juga mau menjadikan abang ini menantu, berarti nggak salah mamak katanya...lihat dia itu baik orangnya. 8. Bagaimana pandangan Ita tentang tradisi uang jemputan tersebut harus dilaksanakan dalam pernikahan generasi muda Minang sebagai bentuk pewarisan nilai-nilai budaya? Awak berfikir Kak, nggak usahlah ada lagi ngasi uang jemputan itu...karena kadang-kadang orang tua ini maksa anaknya. Iya kalau pas...dapat jodoh yang betul-betul baik, tapi kalau nggak...kasian anaknya. Alhamdulillah suami awak ini baik...memang awak kan baru nikah, mudah-mudahan sampai selamanya tetap baiklah. Informan 6: Dedek Karmila (33 Tahun) 1. Bagaimana pandangan Dedek mengenai unsur agama dan kepercayaan dalam tradisi uang jemputan? Ya itulah dia...sanggup dan nggak sanggupnya itu Wi. Makanya kutanya kayak mana?. Sah-sah aja kalau emang sanggup, tapi kalau nggak sanggup dipaksakan kayak mana? Haram nggak? haramlah...kan gitu. 2. Apakah menurut pandangan Dedek, perempuan yang melamar dalam adat Pariaman itu juga menyimpang secara agama? Sebenarnya gini Wi...kalau pemahaman aku itu nggak ada perempuan yang melamar. Sebenarnya yang melamar di Pariaman itu, kalau menurut aku tetap si laki-laki, cuma jaman dahulu kalau yang aku tahu...uang jemputan itu kita kasih untuk modal si laki-laki, tapi dalam ijab kabul...maharnya itu yang ngasi tetap si laki-laki, apa yang kita minta. Jadi adat ajanya itu...kecuali mahar juga dari si perempuan, itu udah menyimpanglah. 3. Apakah Dedek mempunyai pengalaman mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan, di mana pihak perempuan harus memberi sejumlah uang kepada laki-laki sebagai syarat terjadinya perkawinan? Tapi kalau abang aku malah dia yang ngisi adat itu. Dia kan pacaran sama ceweknya...ceweknya orang susahlah. Paman kami minta sekian, ya udah uang dia...dikasikannya sama ceweknya itu, dibilanglah itu uang dari keluarga si perempuan. 15

247 4. Apakah keputusan abang Dedek yang menggantikan posisi memberi uang jemputan itu, membuat terjadinya konflik dalam keluarga? Iya...sempat ribut juga mamak, katanya nggak punya harga diri kau, kalau nggak ada dijapuiknya. Ini malah kau pula yang ngasi uang japuik itu...kata mamakku sama abangku. Tapi kayak mana, namanya udah saling cinta ya kan...digantikannya posisi ngasi uang itu. Masalahnya kakak iparku itu...orang susah juga. Kan...memberatkan itu kalau dipaksakan. Tapi pandaipandailah abangku mendekatkan mamak, kalau ayah setuju-setuju aja waktu itu. Eh...payahlah mamakku ini orangnya, fanatik kali sama adat. Udah dua anak abangku, barulah luluh juga dia lihat cucunya kan. Udah agak berubahlah sikit (sedikit) mamakku itu. 5. Bagaimana pandangan Dedek memahami nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan tersebut? Karenakan kebanyakan dulu, tahu lah orang Minangkan hobi merantau...iya kan. Ke sana...ke sana...nanti balik, sukalah sama anak orang di kampung itu, karena dia usaha nanti disana, itulah untuk modal dia. Intinya sih, untuk memodalkan laki-laki dalam menghidupi anak istrinya nanti. 6. Apakah pelaksanaan tradisi uang jemputan sekarang ini masih sesuai dengan makna sebenarnya? Tergantung orangnya sih...waktu itu sepupu cewekku dapat orang Pariaman, orang tua si laki-laki nggak mau anaknya dijemput. Uang mahar dari si lakilaki...sedangkan masalah uang pesta mereka masing-masing aja. Sama-sama orang Pariaman lah itu, ya...kalau memang orang itu setuju, ya...terjadikan. Nggak ada keterpaksaan, tapi yang lain-lain...kayak abangku, terus dua orang kakakku dan adikku...semua ngikutin adat Pariaman kali, pakai uang jemputan. Kalau kakak-kakakku kan dijodohin, tahulah orang Pariaman ini...suka kali jodoh-jodohin. Umpamanya nanti ketemulah paman si laki-laki dan paman si perempuan, dan dijumpakanlah anak-anaknya. 7. Apakah pengetahuan Dedek tentang pelaksanaan tradisi uang jemputan yang dilaksanakan saudara-saudara Dedek mempengaruhi pilihan Dedek untuk memilih jodoh? Aku memang berniat nggak milih orang Pariaman, karena orang Pariaman itu ribet (merepotkan). Ntahlah Wi...orang Pariaman ini nanti udahlah kita yang manjapuik ya kan, terus nanti sampai seminggu itu antar makanan ke sana ke sini, aduh...capek deh. Ntah kapan lagi mau bulan madunya. Sepupusepupuku kalau dapat yang berprofesi gitu, Rp. 50 juta nggak kemana Wi. Sementara yang manggaleh (berdagang) aja Rp. 25 juta, apalagi yang berprofesi kan...akhirnya aku nggak mau dijodohkan. Udah 3 orang kulihat kan Wi...abang sama kakak-kakakku. Kadang aku fikir ada yang nggak sesuai...memanglah mahar dari si laki-laki, aku bilang dari segi agama sah-sah aja. Pariaman kan memang dibebankan sama perempuan semua masalah pesta itu. Masalahnya awak kemaren tulang punggung, sejak ayah ku meninggal tahun Sempatlah ku terima...dimintanya pula nanti Rp. 50 juta...ih dari mana, adalah uang misalnya...biaya kuliah adikku gimana?...jadi aku mikir 16

248 panjanglah Wi, sempat aku nyari orang Pariaman juga...nyarikan uangnya itu Wi. 8. Bagaimana pandangan Dedek mengenai proses transmisi nilai-nilai budaya, khususnya pada tradisi uang jemputan, apabila dilaksanakan sesuai dengan makna yang sebenarnya dan disesuaikan dengan kemampuan pihak perempuan? Aku rasa udah nggak pas lagi, kalau tradisi itu dipakai dalam perkawinan. Mampu kali pihak perempuannya...malah itu yang dijadikan alasan sama keluarga laki-laki, minta banyak-banyak pula dia uang jemputannya. Belum pernahlah kulihat...ada yang pengertian soal uang jemputan itu, mesti kali dilaksanakan. Melestarikan adat kalau memberatkan buat apa iya kan...paling bisalah toleransi kalau mereka itu pacaran, tapi itupun belum tentu disetujui pihak keluarga. Kayak kejadian abangku...jadinya diabaikan kecocokan pasangan itu kan...mana bisa dipaksa-paksakan lagi jodoh sama anak. Sempat aku dulu kayak gitu, ih...kurasa hancur kalilah. Awak mau juga berbakti sama orang tua iya kan...tapi mereka mau menang sendiri. 9. Apakah Dedek akan bersikap yang sama tentang perjodohan anak-anak Dedek nanti? Iyalah Wik...aku aja nggak setuju uang japuik itu. Kalau anak-anakku nanti ada yang sama orang Pariaman jodohnya, kalau bisa nggak usah pakai uang japuik, nasional ajalah. Itu tadi alasannya ribet (merepotkan) kali adat Pariaman ini. Aku rasa udah ditinggalkan orangpun adat istiadat japuik itu nantinya...karena udah berkembang pemikiran orang sekarang. Yang wajib itu hukum pernikahan dalam Islam yang dijalankan, nggak wajib ada uang japuik itu. 10. Apakah orang tua mengajarkan bahasa Minang di dalam keluarga? Bahasa daerah digunakan di keluarga, mendiang ayahpun diwajibkannya bahasa daerah. Dia memang menanamkan mau tinggal dimanapun kalian, bahasa daerah kita jangan pernah ditinggalkan. 11. Bagaimana akhirnya Dedek mendapat restu orang tua untuk menikah dengan laki-laki dari suku yang berbeda? Suamiku ini kawan kuliah abangku, udah dianggap kayak anaklah sama mamak...anak angkat gitu. Pas aku sama suamiku, dia orang Batak...mamakku agak nentang juga, wajib orang Pariaman juga mau si mamak. Terakhir sempat bertengkar juga aku sama mamak, kayak mana ya...sampai nangis mamakku. Aku bilang pelan-pelan sama mamakku...aku bukan mau buat mamak nangis, cuma pahamilah kemauan anaknya...sampai kubilang kayak gitu. Nggak mesti kali orang Pariaman kan Mak?...wajib rupanya?...kalau wajib udah nggak apaapa, tapi mamak tengok anak mamak bahagia nggak?...senang mamak, kubilang kayak gitu. Harus kayak gitu kita ngomong baru ngerti. 17

249 Informan 7: Nurhayati (63 Tahun) 1. Bagaimana pandangan Ibu tentang unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan? Kalau perempuan yang ngelamar nggak ada masalah, namanya udah adat kita...kalau ibu senang, adat ibu...ibu jalani. Buktinya ibu udah dua menantu ibu orang Padang. Kalau perempuan ngasi uang jemputan nggak ada masalah...namanya adat, adat kita bersandar dengan agama juga. Kalau istilahnya adat basandi syara, syara basandi kitabullah. Itulah adat kita...agama itu kan tergantung orang masing-masing. Ada yang ngerti, ada juga yang nggak ngerti. Kadang mengerti kali agama itu nggak dijalani untuk apa...ya kan. Ada yang kuat kali dengan adatnya...dijalaninya, saling menghargai aja. 2. Bagaimanakah pandangan Ibu mengenai nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tradisi uang jemputan? Uang japuik itu...menghargai laki-laki sebagai urang sumando (yang datang ke keluarga istri), jadi dikasi berapa uang japuiknya...sekian misalnya. Nanti uang itu dijadikan modal usaha itu...ya untuk hidup sama-sama istrinya. Waktu ibu dulu gitu...dia ini kami (Nur dan suami) dijodohkan ini. Kalau jaman dulu mana kayak sekarang, orang banyak pacar-pacaran. Tapi bukan sembarangan laki-laki, yang mana yang pantas dikasi uang japuik. Bagus akhlaknya...bisa dia mencari (punya pekerjaan), maka uang japuik untuk modal itu sama dia. 3. Darimanakah sumber pengetahuan Ibu tentang pelaksanaan tradisi uang jemputan tersebut? Ya...dari saudara-saudara ibu, orang-orang dulukan banyak dijodohin dulu itu...pendapat ibu nggak masalah, orang tua mencarikan jodoh pasti yang bagus untuk anaknya. Kalau orang bilang...bisa pula orang Pariaman ini, perempuan yang ngasi uang sama laki-laki, biarkan aja...kan orang itu nggak tahu adat itu kayak mana. Saling menghormati ajalah...nggak masalah itu. 4. Apakah Ibu mengetahui bahwa tradisi uang jemputan itu berbalasan? Nanti itu...waktu kita pergi ke rumah keluarga laki-laki, kita dikasi panibo. Itu namanya pemberian keluarga laki-laki sama menantunya. Jadi kan...nggak ada ruginya, yang penting keluarga kita akur (damai), saling menghargai. Berapa uang japuik yang dikasi...segitu juga harganya panibo yang dikasi. Itu dia itu...bisa bentuk perhiasan, pakaian atau apa yang cocoklah. 5. Bagaimana pandangan Ibu mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan pada saat ini? Kalau sekarang anak-anak banyak yang pacar-pacaran. Susahlah misalnya si perempuan...enggak sanggup keluarganya manjapuik, si laki-laki bilang...nanti abang yang ngisi uang jemputan itu katanya. Jadi laki-laki itu mengganti untuk mengisi adat. Dari pada malu nggak dijalankan adat istiadatnya. Tapi awak orang Padang ini enggak bisa pesta mengharapkan orang lain, harus ada jugalah uang kita. 18

250 6. Bagaimana sikap Ibu mengenai perjodohan anak-anak Ibu saat ini? Pernahkan anak ibu cowoknya orang Padang, sesama keluarga udah saling kenal kalau ada acara di rumah kita dia datang. Udah kayak anak sendirilah...orangnya baik. Tapi lama-lama ibu nilai ada juga enggak bagus keluarganya, belum apa-apa...udah berani pinjam duit. Ibu nggak suka kali sama orang yang enak sama dia, nggak enak sama kita. Saling menghargai lah...kita kalau udah menikahkan anak kita, kan menyatukan dua keluarga, ibu kalau dapat...kawin anak awak, sama keluarga juga saling berbaikan. Ini...belum apa-apa udah berani pinjam duit memaksa pula tu, udah ibu bilang enggak ada duitku...kakak ada barang emas, kita gadaikan aja yok...katanya, enggak suka pula ibu kayak gitu. Jadi memang ibu jodohkan sama pilihan ibu, tapi kita kenalkan lah dulu...biar dia menilai cocok nggaknya, dia juga yang mau berumahtangga...iya kan. 7. Bagaimana sikap anak-anak Ibu tentang perjodohan yang Ibu lakukan kepada mereka? Ibu bersyukur juga punya anak, masih bisa diatur...walaupun dulu ada yang menentang, akhirnya dinasehati nurut juga. Kalau anak itu menikah dengan pilihan orang tua, sakit senangnya orang tua ikut menanggung...iya kan. Tapi kalau anak itu nyari jodoh sendiri...kalau senang dialah itu, kalau terjadi yang buruk mau bilang apa, rasakanlah...itu juga pilihanmu, ya kan. Kalau orang tua pasti maunya dapat menantu sesama suku...kalau dapat suku lainpun nggak masalah, tapi kita lihat dulu kayak mana orangnya...iya kan. 8. Bagaimana pandangan Ibu mengenai pewarisan nilai-nilai luhur dalam tradisi uang jemputanm kepada generasi muda Minang saat ini? Kalau kita pergi ke pesta tempat saudara, tentu anak kita juga kita bawa, dari situlah dia tahu adat uang japuik itu. Kalau khusus kali dikasi tahu tentang adat itu enggak ada...yang penting, adat itu bukan untuk merugikan anak-anak sekarang. Tapi malah anak-anak jaman sekarang ini...udah mana mau tau tentang adat istiadat lagi. Kalau ibu yang penting anak ibu itu dididik untuk tahu sopan santun. MIsalnya...pacaran dia, asal orangnya bagus nggak apaapa, tapi terkadang salah pilih dia, yang rugi bukan dia aja...keluarganya juga. Makanya uang japuik itu...kan cuma adat aja, itupun dikasi bukan sama calon sembarangan. Masa...sama orang nggak bagus pula anak kita...kita kawinkan. Justru ditenggok kalau orangnya bagus, baru kita japuik. Informan 8: Shanti Nazir (33 Tahun) 1. Darimanakah sumber pengetahuan Shanti tentang tradisi uang jemputan? Saya sendiri pernah mengalami kegagalan perjodohan keluarga...malah udah sepakat dengan uang jemputan itu. 2. Bagaimanakah ceritanya Shanti punya pengalaman gagal menikah? Saya ini punya prinsip nggak mau menikah sebelum bisa membahagiakan keluarga. Ternyata kebahagian mereka justru kalau saya menikah. Waktu itu...mereka sibuk menjodoh-jodohkan, sedangkan saya sendiri memang punya prinsip nggak mau pacaran. Walaupun ada juga yang mau mendekati...tapi 19

251 orang tua berharap punya menantu sesama suku. Waktu itu rencana menikah bulan Oktober Apakah akhirnya Shanti dijodohkan dengan laki-laki Pariaman dengan memberikan sejumlah uang jemputan? Iya...kasihan saya dengan orang tua, mereka sebenarnya tidak mampu secara ekonomi memenuhi uang jemputan yang diminta keluarga laki-laki itu...tapi mamak yang di kampung, mau membantu menambah uang jemputannya. Orang tua sebenarnya hanya ingin saya segera menikah. Saya sendiri masih mau berbakti sama mereka...membantu mereka menyekolahkan adik-adik. Saat itu sebenarnya ada teman satu profesi dengan saya yang serius mau melamar, namun dia dari suku yang berbeda. Orang tua saya nggak setuju...mereka inginnya menantu dari sesama suku Minang juga, padahal laki-laki itu mau melamar saya dengan uang kasih sayang, seberapapun yang saya minta...sehingga saya merasa orang tua saya tidak perlu harus mengusahakan uang jemputan itu. 4. Bisakan Shanti ceritakan kenapa akhirnya pernikahan yang sudah direncanakan tersebut dibatalkan? Sejak lamaran bulan Februari sampai Mei 2009 itu, laki-laki itu tidak ada komunikasi dengan saya padahal rencana pernikahan makin dekat. Setiap saya telpon tidak pernah diangkat dan saya sms, tidak ada balasan. Selama 3 bulan itu...saya merasa nggak ada keseriusannya, padahal kami jarak jauh, saya di Medan...dia di Palembang. Paman saya selalu bilang...dia orangnya nggak banyak bicara, jadi jangan dituntut untuk selalu telpon-telponan. Hati kecil saya merasa laki-laki itu nggak serius ingin menikah. Jaman sekarang...sependiam bagaimanapun seorang laki-laki pastilah dia akan berusaha lebih dekat dengan perempuan yang ia inginkan menjadi istrinya. Akhirnya suatu hari saya pakai nomor telpon kakak saya untuk berkomunikasi dengannya...dia angkat telponnya dan dengan susah payah saya memaksanya untuk menjelaskan tentang alasan sikapnya selama ini kepada saya, ternyata ia juga mengakui terpaksa menjalani perjodohan ini dan sebenarnya telah memiliki perempuan lain yang lebih ia inginkan menjadi istri. Kemudian dengan tegas, saya memintanya secara jantan dan bertanggungjawab menemui paman saya untuk membatalkan rencana pernikahan itu, karena tidak ada gunanya bila tetap dilanjutkan dan sebelum akhirnya pernikahan tersebut menyakiti banyak pihak. Tadinya saya berfikir, dia masih menjadi seorang pengecut dan tidak berani mendatangi paman saya...dan saya akan sangat kecewa terhadap sikapnya itu. Ternyata apa yang saya ucapkan padanya, mungkin mampu membuka pola fikirnya, ia dan keluarganya menemui paman saya di kampung sana. Akhirnya pada bulan Mei rencana pernikahan itupun dibatalkan. Saya amat sangat bersyukur kepada Allah...rencana pernikahan yang nggak saya inginkan itu akhirnya batal, orang tua saya juga belajar dari peristiwa itu. 5. Bagaimana perasaan Shanti mengalami kegagalan menikah itu? Saya nggak punya perasaan apapun sama laki-laki itu, sampai saat inipun saya tidak merasa pernah gagal menikah. Saya menjalaninya karena berniat ingin 20

252 berbakti pada orang tua. Ayah dan ibu saya menikah tanpa saling mengenal lebih dahulu dan mereka bahagia sampai saat ini. Namun jaman sekarang tidak bisa disamakan dengan jaman orang tua dulu. Seperti makan buah simalakama saya menjalani perjodohan itu, bila diputuskan...takut keluarga saya kecewa. Kalau diteruskan saya merasa menjerumuskan diri sendiri dalam pernikahan dengan orang yang salah. Saya berprinsip pacar itu adalah suami kita, indahnya pacaran setelah menikah...mungkin pilihan orang tua adalah yang terbaik. Mungkin dengan cara seperti itu, Allah mempertemukan saya dengan jodoh saya...saya berusaha positif menjalani itu. Ternyata orang tua juga bisa salah. Si laki-laki itu mungkin juga tidak sepenuhnya salah, bisa saja dia juga terpaksa karena harus mematuhi orang tuanya. Tapi harusnya dia memikirkan perasaan saya dan sebagai laki-laki harusnya bersikap dewasa dan tegas kepada orang tuanya soal perjodohan. 6. Dari pengalaman Shanti tersebut, bagaimana Shanti memandang tradisi uang jemputan dalam kaitannya dengan unsur agama? Kadang bisa menyalahi aturan agama juga menurut saya, dalam agama menikah itukan jangan diberatkan dan harus saling cinta. Uang jemputan itu terkadang ditetapkan tidak memperhitungkan kesanggupan pihak perempuan saya lihat. 7. Hikmah apa yang Shanti dapatkan dari pengalaman gagal menikah dengan tradisi uang jemputan tersebut? Karena saya pernah gagal menikah dengan laki-laki Pariaman waktu dijodohkan keluarga, jadinya saya menilai, pertama...kalau dapat laki-laki dari suku yang sama lagi, ribet membahas uang jemputan. Yang kedua penilaian orang tua belum tentu benar, karena laki-lakipun saya rasa ada yang nggak mau di kasi uang jemputan itu, apalagi dijodoh-jodohkan. Kayak ada trauma bagi saya kalau menikah dengan sesama orang Pariaman. Saya berkeinginan menikah dengan laki-laki dari suku yang beda...ternyata Alhamdulillah, Allah mengabulkannya, dan akhirnya orang tua saya juga terbuka fikirannya bahwa laki-laki itu tidak selalu bisa dinilai dari sukunya. Sekarang ini saya dan suami dekat dengan keluarga...sehingga walaupun orang tua menilai saya telat menikah, namun mereka melihat saya bahagia dengan keluarga saya sekarang, dan itu merupakan kebahagian bagi orang tua saya. 8. Bagaimana menurut Shanti tentang nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan tersebut? Saya yakin...sebenarnya yang utama diharapkan orang tua, untuk perjodohan anaknya adalah kebahagiaan anak itu sendiri dengan pasangan hidup yang baik, jadi kalau mereka menjodohkan dengan pilihan mereka, itu karena keinginan ingin melihat anaknya bahagia...walaupun harus memberikan sejumlah uang jemputan. Mereka merasa calon tersebut sudah mapan dan mampu menafkahi anak perempuannya kelak. 9. Bagaimana persepsi Shanti tentang upaya transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan kepada generasi muda Minang saat ini? 21

253 Saya rasa nggak relevan lagi tradisi uang jemputan itu dipakai, karena anakanak muda jaman sekarang itu, tidak lagi mau dijodoh-jodohkan. Menurut saya harusnya orang tua jangan terlalu bersikap fanatik pada adat istiadat, apalagi menyangkut perjodohan...bisa jadi anak berjodoh dengan laki-laki yang berbeda suku dan hidupnya lebih bahagia. Karena jodoh itu tetap ditangan Tuhan, yang penting aturan agama yang dijalankan...orang tua hanya perlu menasehati anak agar tidak salah memilih pasangan hidupnya. Jangan hanya gara-gara memaksakan adat istiadat itu dijalankan, hubungan orang tua dan anak tidak baik. Untuk anak-anak saya di masa mendatang, sikap saya juga akan seperti itu. 10. Apakah di dalam keluarga, orang tua Shanti juga mengajarkan bahasa Minang kepada anak-anaknya? Iya...kalau orang tua selalu berbahasa Minang berdua, tapi kalau ke anakanaknya terkadang bahasa Minang juga...kadang bahasa Indonesia. Karena lingkungan tetangga banyak dari suku yang berbeda, ya...lebih sering bahasa Indonesia sajalah. Saya paham artinya...tapi tak terlalu lancar kalau berkomunikasi dengan bahasa Minang itu. 11. Apakah sebelumnya orang tua pernah menjelaskan makna tradisi uang jemputan tersebut kepada Shanti? Nggak ada...karena saya rasa orang tua kurang mau menjelaskan tentang adat istiadat. Kalau dibilang sang anak tidak peduli...itu karena mereka tidak memahami. Harusnya orang tua memberi penjelasan...jadi tidak negatif menanggapi tradisi itu. Kalaupun sang anak tidak menikah dengan sesama orang Minang Pariaman dan tidak menjalankan tradisi uang jemputan, setidaknya nilai-nilai luhur itu dapat dipahami oleh generasi muda Minang sekarang inikan. 22

254 LAMPIRAN 6 TRANSKRIP HASIL WAWANCARA NARA SUMBER (INFORMAN TAMBAHAN) 1. Haji Muhammad Ridwan (60 Tahun) 1.Bagaimana pandangan Bapak mengenai unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan? Uang jemputan itu tidak melanggar syariat, itukan duniawi..tetap hukum munakahat dalam Islam yang dijalankan, ada wali, ada pengantin laki-laki dan perempuan, ada saksi, baru ada ijab kabul. Tapi kalau yang namanya manjapuik itu...itu duniawi. Suka dia kepada saya umpamanya, dikasi modal berupa uang japuik. Tapi ada juga istilahnya uang hilang...itu maknanya hilang sama sekali. Tapi kalau uang jemputan itu balik lagi kepada si perempuan berupa benda. Kalaulah dia manjapuik 10 juta misalnya, ketika dia datang kepada keluarga laki-laki, keluarga yang laki-laki itu memberi semacam bingkisan, itu dinamakan panibo yaitu semacam uang kasih sayang kepada menantu, bahkan nanti kembalinya bisa lebih dari 10 juta, berbentuk pakaian, barang emas, atau lainnya. Itulah yang sebenarnya...tapi sekarang sudah banyak yang dipelesetkan orang, uang hilang namanya misalnya diberikan 10 juta, uang itu nggak balik lagi sama perempuan. 2. Menurut Bapak bagaimana pelaksanaan tradisi uang jemputan sebagai syarat terjadinya perkawinan dalam adat Padang Pariaman? Si perempuan ini datang ke tempat mertua membawa juadah dan lainnya...makanan khas orang Minang dan dibawa ke tempat keluarga mertuanya. Sampai di rumah mertua...dibagi-bagilah kepada saudara keluarga laki-laki, kemudian saat mengambil tempat isi makanan tersebut sudah adalah diisi sesuatu, sama keluarga laki-laki tadi. Dalam agamapun disebutkan harus menghormati tamu. Seperti pepatah mengatakan melenggang berbuah tangan, berjalan berbuah kaki... berjalan itu kan harus ada yang dibawa, tapi ada juga yang nggak ngasi...kebetulan keluarga laki-lakinya miskin misalnya. Tapi biasanya orang Pariaman malu kalau tidak memberi sesuatu kepada menantunya pertama kali datang mengunjunginya. Diusahakannya juga memberikan sesuatu kepada menantunya. 3. Kalau sekarang ini bagaimana mengenai nilai-nilai budaya yang diwariskan generasi terdahulu dalam tradisi uang jemputan Pak? Uang jemputan itu kan akhirnya untuk anaknya juga, untuk menjadi modal bersama...bisa jadi pegangan dia. Makanya konsekwensinya, kalau seandainya terjadi perpisahan...yang laki-laki itu yang berangkat dari rumah dengan benda yang ada dibadannya saja, dia tidak boleh mengambil barang-barang atau segala macam yang ada di rumah itu. Tapi kalau ada harta hasil pencarian bersama...diberlakukanlah hukum faraidh, di pengadilan terjadilah pembagian harta gono-gini. Tapi kalau di Sumatera Barat, laki-laki hanya mengelola harta perempuan, jadi bagaimana dia mau mengambil harta itu. Di sana ada yang namanya pusako tinggi (pusaka tinggi), ada pula yang namanya pusako randah 23

255 (pusaka rendah). Pusako tinggi adalah harta keluarga pihak perempuan. Kalau pusako randah...itu lah harta pencarian bersama...itu yang bisa dibagi. 4. Nah..kalau penerapan nilai-nilai budaya dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan saat ini bagaimana menurut Bapak? Kekuasaan mamak atau paman itu kuat kalau di kampung, jadi kalau ada keponakannya sudah gadis tua, sibuklah paman tadi bertanya-tanya kesana kemari, untuk mencarikan jodohnya. Kalau sudah ketemu yang tepat, baru disampaikan kepada ayahnya. Kalau ayah si perempuan setuju, baru diadakan maresek, kalau setuju pihak laki-lakinya...jadi lah itu. Disitulah nanti kumpul kedua belah pihak keluarga paman si laki-laki atau paman si perempuan atau utusannya masing-masing, berbicara atau bernegosiasi. Kalau sudah ada persetujuan dan kesepakatan, barulah ditetapkan jumlah uang jemputan. Pepatah mengatakan kalau paku asam balimbiang, tampuruang lenggoklenggokkan. Anak dipangku, kamanakan dibimbiang. Urang kampuang tolong patenggangkan. Itu petatah-petitih...kalau ada musyawarah, seperti dalam adat manjapuik...musyawarah pembangunan desa atau yang lain-lain pasti ada seperti itu. Dalam segi demokrasinya orang Minang sangat-sangat demokrasi. Keputusan tidak bisa diambil sendiri...harus dimusyawarahkan dahulu. Untuk pesta pernikahan saja harus dimusyawarahkan...itu namanya bakampuangkampuang artinya berkumpul menetapkan hari pesta, diundanglah para ninik mamak, orang tua-tua semuanya. Jangan sampai berbenturan dengan pesta lainnya supaya saling bisa membantu. Saya melihat bukan orang Pariaman saja, termasuk orang Minang pada umumnya, kalau merantau...adat istiadatnya tetap dibawa. Seperti pepatah dima bumi dipijak, disinan langik di junjuang, artinya adat itu menyesuaikan diri, bukan memaksakan adatnya di rantau. Makanya orang Minangkabau ini di mana saja dia berada, dia tidak mengecewakan penduduk setempat. Bisa diterima oleh masyarakat sekitar. Di Medan ini...ada yang melaksanakan tradisi uang jemputan, ada juga yang tidak. Seperti beberapa waktu lalu...saya menemukan suatu kasus, ada seorang laki-laki Pariaman suka sama perempuan Pariaman juga, malah laki-lakinya yang memberi 10 juta sama perempuan itu. Padahal keluarga perempuan itu kuat sekali adat Minangnya. Perubahan lain di Medan ini, karena terlalu banyak orang Minang, kadang pestanya ya berbenturan juga. Bisa juga satu hari itu ada 3, 4 bahkan 5 orang yang pesta, padahal sama-sama orang Pariaman semua. Bisa jadi seperti itu karena dia tidak satu puak. Kalau satu puak, biasanya tidak akan terjadi. 5. Bapak sendiri sebagai orang Minang yang besar di rantau, dari mana sumber pemahaman Bapak tentang tradisi uang jemputan? Saya memahami tradisi uang jemputan itu karena banyak bertanya kepada orang tua dan saya juga tinggal di lingkungan orang Pariaman jadi makin tau saya tentang tradisi uang jemputan itu...kalau ada yang pesta melaksanakan tradisi tersebut. 24

256 6. Kalau sikap Bapak sendiri sebagai orang tua bagaimana tentang tradisi uang jemputan dalam urusan perjodohan anak-anak Bapak? Kalau saya situasional saja...bila datang seseorang meminang anak saya, kalau anak saya setuju nggak masalah. Seandainya calon menantu saya Pegawai Negeri misalnya, ya saya rela juga memberi uang jemputan itu, kan...untuk anak saya juga istilahnya. Saya bilang kepada anak saya kalau suka sama suka silahkan datangi orang tuanya, enggak perlu saya manjapuik. Dulu pernah anak saya yang sulung dilamar laki-laki Pariaman, dia pula yang mengutus pamannya kepada saya...untuk meminta agar anak perempuan saya menikah dengannya. Tapi anak saya tidak suka...apa boleh buatlah, kalau seandainya anak saya terima, mungkin sudah sejahtera dia, karena laki-laki itu kepala sekolah SMA di Sabang...mungkin mereka nggak jodoh. 7. Pengalaman Bapak ketika menikah dulu, apakah ada terjadi konflik keluarga tentang keputusan Bapak dalam memilih jodoh? Tidak ada terjadi selisih paham mengenai uang jemputan...karena itu disesuaikan dengan kemampuan, jangan dipaksakan...jangan sampai menggadai pula karena tidak mampu. Seperti saya sebagai orang Pariaman, saya tidak harus dijapuik. Kalau suka ya silahkan saja...istri saya bukan orang Pariaman, itu pilihan saya. Adat itu bisa jadi berlaku juga untuk orang yang bukan berasal dari Pariaman. Bisa jadi keluarga laki-laki, yang mengharuskan tradisi itu berlaku. Bisa juga tidak harus diberlakukan, sekarang masalahnya suka sama suka 8. Bagaimana peranan keluarga (mamak atau orang tua) menurut Bapak dalam mentransmisikan nilai-nilai tradisi uang jemputan dan menyangkut urusan pemilihan jodoh? Jadi yang berperan dalam perjodohan perempuan-perempuan Minang adalah mamak-mamak (paman) yaitu adik atau abang ibunya. Tapi di rantau ini sekuat-kuatnya peranan paman, lebih kuat juga peranan ayah. 9. Bagaimana peranan lingkungan sekitar dalam pemahaman tradisi uang jemputan. Kalaupun saya pengurus PKDP kan...saya nggak terlalu memaksakan menikah dengan orang Pariaman kepada anak-anak saya. 10.Menurut Bapak, bagaimana penggunaan bahasa daerah sehari-hari dalam keluarga Minang sekarang ini? Penggunaan bahasa daerah sekarang ini, sudah jarang dibiasakan di rumah keluarga Minang. Perbauran generasi muda Minang dengan suku-suku lainnya membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa utama dalam komunikasi keluarga, bahkan bahasa asing lebih disukai dari pada bahasa daerah asalnya. Generasi muda Minang lebih banyak hanya mampu memahami sedikit saja bahasa Minang. Saya di rumah ini pake juga bahasa Minang itu, kalau bicara sama istri, sama keluarga dari kampung. Kalau. Didalam rumah tangga orang Minang, salah satu kelemahannya saya tengok, kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti perceraian anakanaknya...mereka putus berkeluarga, malu dia..kalau berpisah anaknya tadi. 25

257 Kalau masalah keseharian kelompok puak-puaknya tadi dia bagus, tapi di keluarga bermasalah. 2. Sutan Alamsyah Guci (67 Tahun) 1. Bagaimana pandangan Bapak mengenai unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan? Adat Minang yang ada dalam tradisi uang jemputan itu dibuat untuk keselamatan perempuan. Keselamatan perempuan itu perlu...sebab Rasulullah SAW sendiri menjaga keselamatan perempuan. Coba bayangkan bila seorang perempuan diusir tengah malam dari rumah, kemana dia akan pergi. Jadi itu makanya orang Minang itu menyusun adat istiadatnya. Pedoman adat itu ada 4 yaitu raso (rasa), pareso (perasa), malu dan sopan. Itu isi adat orang Minangkabau...kalau nggak ada yang 4 ini dalam dirinya, itu bukan orang Minang. Yang dikatakan raso adalah perasaan kita kalau disakiti orang...makanya jangan menyakiti orang. Coba sama-sama kita pakai raso itu, makanya dikatakan orang Minang itu arif bijaksana. Pareso datang dari dalam batang tubuh, perasaan kita untuk maraso (merasa) itu tadi. Kalau malu adalah perasaan malu bila menyakiti orang dan melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan lainnya, hadist nabi mengatakan malu adalah sebagian dari iman. Nah...kalau sopan adalah etika kita kepada orang lain, itulah kelebihan orang Minang tadi. Sebetulnya adat ini adalah akhlakul karimah (akhlak mulia)...misalnya seorang laki-laki sedang mengerjakan sholat, auratnya hanya sebatas pinggang sampai lutut..udah itu aja yang ditutup, nggak usah pakai apaapa lagi, karena syarat menutup aurat dalam sholat udah dilakukan, jadi udah sah. Tapi apakah ini sempurna?...tidak ada akhlak namanya, makanya dipakai baju, sarung supaya lebih sopan...itu yang dinamakan akhlak. Makanya adat Minang lebih berat kepada perempuan, sebab pernah bertanya para sahabat kepada Rasulullah Saw...ya Rasulullah, siapa yang paling dihormati dimuka bumi, Rasul menjawab sampai 3 kali...ibumu...ibumu...ibumu, baru yang keempat ayahmu. Karena tiga kali diulang ibu, maka diambillah kesimpulan oleh orang Minang bahwasanya suku harus menurut ke ibu, bukan menurut suku ayah. Surga dibawah telapak kaki ibu...perempuan itu adalah penghulu di dalam alam. Manakala baik perempuan itu, maka baiklah seluruh alam, apabila rusak perempuan...maka binasalah seluruh alam. Itu hadist itu...luar biasa perempuan ini. tapi kadang-kadang perempuan Minang tidak tahu dihargai. Orang Minang itu harus menjaga malu dan sopan tadi. 2. Jadi bagaimana pandangan Bapak mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan sebagai syarat terjadinya perkawinan dalam adat Padang Pariaman? Jadi khusus kepada orang rantau Pariaman, itu khusus dia manjapuik laki-laki, tujuannya karena kita mengambil keturunan dari laki-laki. Kalau dulu orang mencari laki-laki yang punya asal usul yang baik untuk dinikahkan kepada perempuan Minang. Sekarangkan tidak...bebas saja, yang penting agamanya 26

258 Islam. Dan juga kalau dulu asal usul si laki-laki ini benar-benar digali, kalau perlu tujuh turunannya, baru dia layak dipinang. Dipinang itu dulu berdasarkan gelarnya, ada 3 gelar di Pariaman yaitu sutan, bagindo dan sidi. Kalau diluar itu nggak dipinang...jadi yang dipinang itu, sebetulnya bukan dipinang...tapi dijapuik (dijemput) untuk datang ke rumah si perempuan. 3. Apa saja nilai-nilai budaya yang diwariskan generasi terdahulu dalam tradisi uang jemputan? Orang Minang itu malu kalau tak menepati janji, jadi kalau sudah disepakati jumlah uang jemputan itu...harus dijalankan. Yang dijapuik itu nanti uangnya kembali, 2 kali lipat malah kembalinya waktu dia manjalang, uang itu diperuntukkan kepada orang yang menikah tersebut. Tapi kalau uang hilang tidak kembali...istilahnya seperti uang kasih sayang. Kenapa seorang laki-laki diberi uang hilang, dulunya ada seorang laki-laki yang sudah yatim piatu...dibesarkan oleh mamak (paman)nya sampai dia sekolah tinggi. Terus ada orang tua seorang perempuan...karena melihat akhlak si laki-laki tersebut, sangat ingin menjadikannya menantu. Lalu datanglah ia kepada paman si lakilaki untuk menyampaikan keinginannya. Si paman laki-laki itu berkata...dia sedang sekolah, sebenarnya saya juga sudah kehabisan dana untuk menyekolahkannya sampai tergadai harta pusaka, tunggulah sampai ia berhasil dan bisa menebus harta pusaka yang tergadai, barulah pinangan ini dilanjutkan. Karena keinginan yang kuat oleh orang tua si perempuan tadi dan tak ingin laki-laki tersebut dipinang oleh orang lain, maka ia berkata kepada paman si laki-laki, saya bersedia menebus harta pusaka yang tergadai tadi dan membantu membiayai sekolahnya. Itulah awalnya kenapa ada uang hilang atau uang kasih sayang yang hanya diperuntukkan kepada laki-laki. Sekarang ini orang masih ada yang memakai adat itu...padahal yang berlaku sebenarnya itu uang jemputan, bukan uang hilang. 4. Bagaimana penerapan nilai-nilai budaya dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan saat ini menurut Bapak, apakah ada terjadi perubahan? Perubahannya banyak sekali, orang kebanyakan tidak tahu dengan adat...tidak mau kembali kepada adat yang sebenarnya. Kalau dulu orang tua itu tempat bermusyawarah, sekarang ini sudah tidak lagi seperti itu. Banyak anak-anak yang sudah tak menghormati orang tua, apalagi ninik mamak dia anggap enteng. Karena ninik mamak yang dulu, banyak yang tidak bersekolah. Jangan dikatakan pendidikan formal itu menentukan...tidak, pendidikan non formal itu terkadang yang menentukan. Banyak sekarang faham-faham orang berpendidikan yang sudah tergelincir. Orang Minang sekarang ini, sudah memberi kebebasan kepada anaknya. 5. Kalau Bapak sendiri, dari mana sumber pemahaman Bapak tentang tradisi uang jemputan. Saya lahir di Pariaman, udah lama juga merantau di Medan ini. Dulu saya lama jual nasi di samping yuki simpang raya itu, hotel melati itu dulu rumah kami tu. Dari asal tradisi itu...pariaman, saya udah memahami memang adat manjapuik itu kayak mana, di Medan pun...banyak bergaul sama niniak mamak yang di sini juga, ngurusin pesta-pesta orang. 27

259 6. Bapak sebagai orang tua, bagaimana sikap Bapak tentang tradisi uang jemputan dalam urusan perjodohan anak-anak Bapak sendiri? Dulu anak bapak, apa yang bapak katakan dia ikuti. Apa saja...bapak sampai heran..termasuk soal jodoh. Nilai pelajaran dalam tradisi uang japuik itu, belajar jujur pada diri, belajar jujur pada orang lain. janji yang sudah kita bikin, tidak akan mungkin kita tarik mundur gitu aja tanpa sebab. 7. Bagaimana dengan keputusan dalam pemilihan jodoh untuk anak-anak Bapak sendiri? Kalau untuk anak-anak saya harapan itu pasti ada...kalau bisa dia menikah sesama suku, iya kan...supaya adat istiadat itu tetap bisa dilestarikan. Saya sendiri menikah dengan istri saya orang Pariaman, tapi dia lahir dan besarbesar di Medan ini, memakai tradisi bajapuik juga ketika menikah dulu. 8. Bagaimana sebenarnya peranan keluarga (mamak atau orang tua) dalam mentransmisikan nilai-nilai tradisi uang jemputan dan menyangkut urusan pemilihan jodoh? Orang tua itu tempat bertanya...kalau generasi sekarang ini udah ga tau sama orang tua lagi. Kalau dulu orang tua itu tempat bermusyawarah, sekarang ini sudah tidak lagi. Banyak anak-anak yang sudah tak menghormati orang tua, apalagi ninik mamak dia anggap enteng. Karena ninik mamak yang dulu, banyak yang tidak bersekolah. Makanya bapak senang, kalau ada generasi muda yang mau bertanya tentang tradisi seperti ini. 3. Chalida Fachruddin (74 Tahun) 1. Bagaimana pandangan Ibu mengenai unsur agama dan kepercayaan yang terkandung dalam tradisi uang jemputan? Orang Minang termasuk orang Pariaman dengan tradisi uang jemputan yang tidak berlaku di daerah lain di Minangkabau. Seperti pepatah adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, sepengetahuan saya, unsur agama masih prioritas dalam hal memilih menantu atau perjodohan orang Pariaman. Syarat nikah tidak menyimpang dari yang ditetapkan agama, sehingga sampai saat ini tradisi uang jemputan masih terus dilaksanakan. Memang sudah berubah fungsi dan persepsi, masyarakat luar bahkan orang Pariaman sendiri negatif menilai laki-laki atau suami dibeli, ini dikarenakan mereka tidak memahami apa makna jemputan atau japuik tersebut 2. Menurut Ibu, bagaimana penerapan nilai-nilai budaya dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan saat ini? Menurut saya karena dalam pelaksanaan uang jemputan mengutamakan fungsi uang semata, bukan fungsi adat jemputan yang sebenarnya yang kini sudah kehilangan makna. Pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi terdahulu hanya melalui lisan saja. Nilai-nilai budaya tidak didokumentasikan, sehingga adat istiadat sangat mudah berubah menjadi adat yang diadatkan. karena manusia memang senantiasa berubah. Fenomena ini buat orang Minang bukan hal yang aneh, karena ada pepatah adat bahwa sakali aia gadang, sakali tapian barubah 28

260 (sekali air besar, sekali tepiannya berubah). Seharusnya nilai-nilai budaya didokumentasikan dengan baik, apalagi adat di Minangkabau dikawal oleh adanya Kerapatan Adat. Tentunya nilai budaya dalam adat bajapuik yang merupakan kearifan lokal dapat menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat Pariaman. Perubahan pasti terjadi pada penerapan, namun nilai positif sebagaimana makna semula tetap utuh. Pergeseran nilai sudah pasti terjadi seperti adanya istilah uang muncul dan menjadi baku. Fungsi adat beralih menjadi fungsi ekonomi. Perjodohan menjadi ajang jual beli, ada tawar menawar. Fenomena ini pula yang menjadi cap untuk orang Pariaman bahwa laki-laki dibeli atau perempuan membeli laki-laki untuk menikah. 3. Bagaimana pandangan Ibu mengenai nilai-nilai budaya yang diwariskan generasi terdahulu dalam tradisi uang jemputan? Sejak acara peminangan sampai acara perkawinan atas prakarsa pihak perempuan. Pengantin laki-laki atau marapulai adalah tamu terhormat kerabat pengantin perempuan atau anak daro yang kelak statusnya sebagai urang sumando atau pihak yang datang karena dijemput atau dijapuik secara adat. Peritiwa ini dirangkum oleh pepatah: Sigai mancari anau...anau tatap sigai baranjak. Datang dek bajapuik...pai jo baanta. Ayam putiah tabang siang...basuluah matohari. Bagalanggang mato rang banyak...tangga mencari enau. Enau tetap tangga bapindah (datang karena dijemput...pergi dengan diantar. Bagai ayam putih terbang siang...bersuluh matahari, disaksikan mata orang banyak). 4. Kalau Ibu sendiri, sebagai perempuan Minang Pariaman yang juga lahir dan besar di perantauan, dari mana sumber pemahaman Ibu tentang tradisi uang jemputan. Walau saya lahir dan dibesarkan di perantauan, tradisi uang jemputan saya ketahui dari kedua orang tua saya yang asli Padang Pariaman dan dari pemuka masyarakat Padang Pariaman. 5. Bagaimana Ibu menyikapi tradisi uang jemputan dalam urusan perjodohan? Sebagai perempuan Minang yang lahir dan besar diperantauan, oleh cap di atas ketika masih remaja, saya merasa disudutkan karena ada pula persepsi bahwa perempuan Pariaman pemegang kendali dalam rumah tangga. Saya bertanya kepada Ibu saya, beliau menjelaskan adat bajapuik yang dikenal dalam perkawinan masyarakat Pariaman bukan uang japuik atau uang jemputan. Persepsi saya menjadi positif karena saya sebagai seorang Antropolog, dapat memahami dari sejarahnya dan melihat ada fungsi lain dari tradisi uang jemputan yang dapat dilestarikan. Saya tidak setuju uang jemputan dengan fungsi ekonomi, tetapi saya mendukung tradisi japuik sebagai proses saling menghargai antar besan dan tidak terlepas dari sistem matrilineal ciri khas orang Minang. 29

261 6. Bagaimana keputusan Ibu dalam memilih jodoh? Dalam keluarga saya ada beberapa yang melaksanakan tradisi uang jemputan, tetapi tujuannya murni untuk masa depan, kehidupan rumah tangga yang dijodohkan aman damai saja. Pengalaman saya sebagai kakak yang mempunyai beberapa adik perempuan, tradisi uang jemputan bisa digunakan tetapi bukan jual beli. Uang memang untuk masa depan mereka yang dijodohkan dan syarat mencari jodoh yang diajarkan agama. Saya menikah dengan orang dari Bonjol (Pasaman) tidak dijodohkan, karena itu merupakan pilihan saya sendiri. Pada awalnya orang tua tidak setuju karena bukan orang Pariaman, namun akhirnya disetujui juga dengan standar pilihan jodoh menurut Islam 7. Bagaimana sebenarnya peranan keluarga (mamak atau orang tua) dalam mentransmisikan nilai-nilai tradisi uang jemputan dan menyangkut urusan pemilihan jodoh? Pengalaman saya sebagai orang rantau, pengetahuan adat hanya milik orang tua semata. Orang tua saya tidak pernah membicarakan mengenai adat termasuk tradisi yang kita bincangkan ini. Saya mengetahui tradisi uang jemputan secara tidak sengaja karena ada sepupu saya, orang tuanya mengalami masalah dan membicarakannya dengan ayah saya. Saya dibesarkan di lingkungan rantau dan berbaur dengan etnis lain. Selain itu seperti yang saya katakan, ketika saya disudutkan sebagai orang Pariaman, akhirnya saya bertanya tentang makna tradisi tersebut kepada ibu saya. 8. Menurut Ibu bagaimana peranan lingkungan sekitar dalam pemahaman tradisi uang jemputan? Di perantauan, orang Minang tentu termasuk orang Pariaman tidak lagi berada dalam lingkungan keluarga luas. Tanggung jawab terhadap anak berada sepenuhnya di tangan orang tua. Juga mengenai perjodohan sampai ke pesta perkawinan, orang tua yang memutuskan. Kalau ada mamakpun hanya sebagai panitia saja, mengenai perjodohan biasanya anak sudah ada pilihan. Andai kata bertemu jodoh sesama orang Pariaman, tergantung kedua orang tua untuk melaksanakan tradisi uang jemputan atau tidak. 9. Bagaimana penggunaan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari keluarga Minang di perantauan?. Pada umumnya di daerah perantauan, orang Minang yang tidak dominan budayanya, bahasa sehari-harinya adalah bahasa Indonesia. Keluarga Minang di dalam dan di luar rumah, berbahasa Indonesia saja...sehingga pemahaman nilai-nilai budaya Minang menjadi kurang bahkan tidak ada, apalagi tradisi uang jemputan yang bertolak belakang dengan tradisi sekitarnya. Akhirnya pemahaman generasi muda di rantau menjadi kabur. Tidak adanya pemahaman nilai budaya Minang yang lebih mudah transmisinya selain melalui bahasa daerah, sehingga generasi muda memahami tradisi uang jemputan itu. Persepsi saya menjadi positif karena saya sebagai seorang Antropolog dapat memahami dari sejarahnya dan melihat ada fungsi lain dari tradisi uang jemputan yang dapat dilestarikan. Sangat perlu saya rasa bahasa Minang diajarkan dalam keluarga, tapi bahasa yang baik-baik ya, karena anak-anak akan lebih mencintai suku asalnya ketika 30

262 dia bisa berbahasa daerah. Karena ada dalam beberapa tradisi yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa Indonesia, misalnya petatah petitih...harus paham kita bahasa daerah kita itu. Sayangnya orang tua saya dahulu...kalau marahmarah saja baru berbahasa Minang. Saya paham bahasa daerah karena saya kuliah jurusan Antropologi, jadi saya juga mempelajari bahasa daerah saya 10. Bagaimana transmisi nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan melalui percakapan dan implementasi tradisi uang jemputan melalui pengalaman dalam berumah tangga (diri sendiri atau orang lain). Menurut ibu saya ketika penjemputan, pihak anak daro membawa benda berharga yang sudah disepakati waktu acara peminangan dari pihak perempuan. Biasanya uang emas yaitu ringgit ameh dan benda-benda berharga lainnya. Benda-benda berharga tersebut diberikan kepada pihak marapulai, yang merupakan pelambang bahwa marapulai sebagai anak lakilaki seorang ibu atau keluarga di rumah tersebut tidak diambil begitu saja. Benda-benda tersebut sebagai tanda masih ada ikatan antara anak laki-laki yang sudah menjadi urang sumando dan menetap di lingkungan kerabat isteri. Fungsi lain dari benda-benda tersebut sebagai pernyataan bahwa marapulai adalah keturunan orang terhormat. Adat inilah yang disebut bajapuik dan marapulai adalah orang jemputan. Benda-benda berharga tersebut akan kembali kepada anak daro melebihi harga atau jumlahnya, minimal ditambah pakaian sapatagak (pakaian sepasang yang lengkap) yang disebut panibo. Panibo diberikan kepada anak daro ketika datang bersama marapulai manjalang mintuo atau mengunjungi mertua. 4. Usman Pelly (77 Tahun) 1. Bagaimana pengetahuan Bapak tentang tradisi uang jemputan sebagai syarat perkawinan dalam tradisi masyarakat Pariaman? Karena adat Matrilineal, si laki-laki itu yang numpang kepada perempuan. Jadi adat Minang itu perempuan yang meminang dan itu satu-satunya. Jadi masalah kawin bajapuik ini...sebenarnya apa namanya itu, karena memang si laki-laki itu ke rumah tempat perempuan, jadi namanya itu matrilokal, dalam istilah antropologi kan, jadi dialah yang dijapuik kesana, banyak hal-hal yang terkait dengan finansial, ada kawin bajapuik dalam pengertian...berapa jemputannya?. Seakan-akan kebalikan dari pada apa yang terjadi di Tapanuli. Ada istilah tuhor...itu artinya uang jemputan untuk perempuan karena perempuan itu yang dibawa ke rumah laki-laki. Ini laki laki tu yang dibawa ke rumah perempuan. Jadi keluarga laki-laki tu seakan-akan kehilangan...iya kan. Sama dengan Tapanuli seakan-akan perempuan tu dibawa, keluarganya kehilangan. Jadi ada tuhornya atau sebagai pengganti. 2. Kalau pelaksanaan tradisi uang jemputan bagi masyarakat Pariaman sendiri, bagaimana menurut Bapak? Dan itu akhirnya kan dalam perkembangan zaman itu kan macam-macam bajapuik itu. Jadi kalau bajapuik...istilahnya kalau tukang becak lain lah.. dengan pegawai, kan begitu kan. Pegawai ini kan bertingkat-tingkat pula kan.. 31

263 kalau sarjana dia berapa, kalau dokter dia berapa, macam-macam dia kan. Kalau pedagang besar berapa begitu ya. Kan jadi ada istilah oh...dia bajapuik satu becak, artinya becaklah yang dihargakan. Satu mobil ya kan, satu vespa, atau macam-macam benda yang berharga lainnya, itu kadang-kadang diidentifikasikan orang sebagai kualifikasi uang si laki-laki berapa ya kan. 3 gelar itu Pariaman aja..memang gelar itu ada saja di Minang, darat juga ada, tapi tak se-eksis di Pariaman. Jadi gelar itu menunjukkan siapa dia ya kan. Tapi kalau di Agam, ada malah memilih datuak-datuak, iya kan.. itu ada calon 5 orang, bagaimana memilihnya, bukan yang tertua, tapi sudah sampai mana rantaunya, jadi lebih egaliter soal itu...sampai pada gelar seseorang, jadi egaliter itu yang menentukan seseorang dipandang atau tidak dipandang. Status sosial itu ditandai baik dibidang jabatan atau akademik. Jadi kita tu kalau pulang kampung itu ditanya apa yang dibawa, jikalau misalnya nggak bawa apa-apa iya kan, mungkin ada ilmu yang bisa kita sampaikan, tapi kalau kita ndak bawa apa apa. dibilang lah kita pulang Langkitang, itu seperti bekicot itu, Baitu kalua baitu masuak (seperti itu keluarnya...seperti itu pula masuknya). 32

264 LAMPIRAN 4 DOKUMENTASI PENELITIAN Gambar 3. Wawancara peneliti bersama Dian Anggaraini Gambar 2. Wawancara peneliti bersama Leni Muhafida Gambar 3. Wawancara peneliti bersama Rinawati

265 Gambar 4.Yunita Handayani pada saat pesta perkawinannya tanggal 17 Mei Gambar 5. Wawancara peneliti bersama Dedek Karmila. Gambar 6. Wawancara peneliti bersama Syarmawati (Netty).

266 Gambar 7. Wawancara peneliti bersama Prof. Usman Pelly Gambar 8. Sutan Alamsyah Guci Gambar 9. Prof. Hj. Chalida Fachruddin, MA

TESIS. Oleh: DEWI SUSANTI

TESIS. Oleh: DEWI SUSANTI PERSEPSI PEREMPUAN MINANG PARIAMAN TENTANG TRADISI UANG JEMPUTAN DALAM ADAT PERKAWINAN (STUDI KASUS PADA PEREMPUAN MINANG PARIAMAN YANG LAHIR DAN BESAR DI KOTA MEDAN) TESIS Oleh: DEWI SUSANTI 137045035

Lebih terperinci

ANALISIS HERMENEUTIKA GAYA KOMUNIKASI DAI DI KOTA MEDAN TESIS. Oleh

ANALISIS HERMENEUTIKA GAYA KOMUNIKASI DAI DI KOTA MEDAN TESIS. Oleh ANALISIS HERMENEUTIKA GAYA KOMUNIKASI DAI DI KOTA MEDAN TESIS Oleh YAN ORIZA 137045036 M A G I S T E R I L M U K O M U N I K A S I FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan beragam etnis dan budaya. Terdiri

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan beragam etnis dan budaya. Terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan beragam etnis dan budaya. Terdiri dari ribuan pulau yang dipisahkan oleh lautan, menjadikan negara ini memiliki etnis serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perlawanan budaya merupakan perjuangan hak yang bertentangan agar terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan untuk melakukan perubahan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. (constructivism) yang dikembangkan oleh Jesse Delia, memberikan pengaruh

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. (constructivism) yang dikembangkan oleh Jesse Delia, memberikan pengaruh 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Paradigma Penelitian Paradigma dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Morissan (2014: 165) mengemukakan, teori konstruktivisme

Lebih terperinci

KOMUNIKASI BERMEDIA DAN PERILAKU PELAJAR (STUDI KORELASIONAL TENTANG PENGGUNAAN SMARTPHONE TERHADAP PERILAKU PELAJAR SMA NEGERI I MEDAN) TESIS.

KOMUNIKASI BERMEDIA DAN PERILAKU PELAJAR (STUDI KORELASIONAL TENTANG PENGGUNAAN SMARTPHONE TERHADAP PERILAKU PELAJAR SMA NEGERI I MEDAN) TESIS. 13 KOMUNIKASI BERMEDIA DAN PERILAKU PELAJAR (STUDI KORELASIONAL TENTANG PENGGUNAAN SMARTPHONE TERHADAP PERILAKU PELAJAR SMA NEGERI I MEDAN) TESIS Oleh RIA WURI ANDARY 117045027 M A G I S T E R I L M U

Lebih terperinci

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PT. WARUNA NUSA SENTANA TESIS. Oleh

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PT. WARUNA NUSA SENTANA TESIS. Oleh PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PT. WARUNA NUSA SENTANA TESIS Oleh RONNY EDWARD 127045007 M A G I S T E R I L M U K O M U N I K A S I FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KOTA MEDAN DALAM MEMASARKAN KOTA MEDAN SEBAGAI KOTA WISATA TESIS.

STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KOTA MEDAN DALAM MEMASARKAN KOTA MEDAN SEBAGAI KOTA WISATA TESIS. STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KOTA MEDAN DALAM MEMASARKAN KOTA MEDAN SEBAGAI KOTA WISATA TESIS Oleh : 147045024 INDAH CINDY SIMAMORA MAGISTER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

STRATEGI PROMOSI DAN POSITIONING (STUDI KORELASI STRATEGI PROMOSI PRODUK CLAVO TERHADAP POSITIONING PRODUK DI JEJARING SOSIAL TWITTER dan WEBSITE)

STRATEGI PROMOSI DAN POSITIONING (STUDI KORELASI STRATEGI PROMOSI PRODUK CLAVO TERHADAP POSITIONING PRODUK DI JEJARING SOSIAL TWITTER dan WEBSITE) STRATEGI PROMOSI DAN POSITIONING (STUDI KORELASI STRATEGI PROMOSI PRODUK CLAVO TERHADAP POSITIONING PRODUK DI JEJARING SOSIAL TWITTER dan WEBSITE) TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Lebih terperinci

RELASI LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN MENURUT PANDANGAN ISLAM DALAM NOVEL MAHA CINTA ADAM-HAWA KARYA MUHAMMAD EL-NATSIR: SOSIOLOGI SASTRA SKRIPSI OLEH:

RELASI LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN MENURUT PANDANGAN ISLAM DALAM NOVEL MAHA CINTA ADAM-HAWA KARYA MUHAMMAD EL-NATSIR: SOSIOLOGI SASTRA SKRIPSI OLEH: RELASI LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN MENURUT PANDANGAN ISLAM DALAM NOVEL MAHA CINTA ADAM-HAWA KARYA MUHAMMAD EL-NATSIR: SOSIOLOGI SASTRA SKRIPSI OLEH: SRI MULYATI 110701020 SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat. Perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat. Perkawinan merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan Indonesia tidak hanya memiliki pengaruh dalam keluarga, tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat. Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS DALAM PROSESI LAMARAN PADA PERKAWINAN ADAT JAWA (Studi Kasus Di Dukuh Sentulan, Kelurahan Kalimacan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PADA PERNIKAHAN CAMPURAN

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PADA PERNIKAHAN CAMPURAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PADA PERNIKAHAN CAMPURAN (Studi Kasus Tentang Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamakan kematian. Peristiwa hukum tersebut menimbulkan akibat

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamakan kematian. Peristiwa hukum tersebut menimbulkan akibat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai mahkluk hidup pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Peristiwa hukum tersebut menimbulkan akibat hukum yang berkaitan dengan pengurusan

Lebih terperinci

PENGARUH SOSIALISASI POLITIK KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA PEMATANGSIANTAR TERHADAP MINAT KELOMPOK PEMILIH PADA PEMILU LEGISLATIF 2014 TESIS.

PENGARUH SOSIALISASI POLITIK KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA PEMATANGSIANTAR TERHADAP MINAT KELOMPOK PEMILIH PADA PEMILU LEGISLATIF 2014 TESIS. PENGARUH SOSIALISASI POLITIK KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA PEMATANGSIANTAR TERHADAP MINAT KELOMPOK PEMILIH PADA PEMILU LEGISLATIF 2014 TESIS Oleh RUDI SAMOSIR 127045017 MAGISTER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

STUDI DESKRIPTIF KUALITATIF MENGENAI MODEL KOMUNIKASI PEMBELAJARAN PADA HOMESCHOOLING KOMUNITAS KAK SETO WILAYAH KOTA MEDAN TESIS.

STUDI DESKRIPTIF KUALITATIF MENGENAI MODEL KOMUNIKASI PEMBELAJARAN PADA HOMESCHOOLING KOMUNITAS KAK SETO WILAYAH KOTA MEDAN TESIS. STUDI DESKRIPTIF KUALITATIF MENGENAI MODEL KOMUNIKASI PEMBELAJARAN PADA HOMESCHOOLING KOMUNITAS KAK SETO WILAYAH KOTA MEDAN TESIS Oleh: 137045001 Natasia Simangunsong MAGISTER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkawinan pada dasarnya merupakan manifestasi keinginan manusia untuk hidup berkelompok. Keinginan itu tercermin dari ketidakmampuan untuk hidup sendiri.

Lebih terperinci

T E S I S. Oleh MAGISTER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014 FANOLO TELAUMBANUA

T E S I S. Oleh MAGISTER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014 FANOLO TELAUMBANUA PENGARUH KOMPETENSI KOMUNIKASI DAN PROFESIONALISME TERHADAP KUALITAS PELAYANAN APARATUR DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KABUPATEN NIAS UTARA T E S I S Oleh FANOLO TELAUMBANUA 127045021 MAGISTER

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 61 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Perkawinan Menurut Hukum Adat Minangkabau di Kenagarian Koto Baru, Kecamatan Koto Baru, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

LAMPIRAN HASIL WAWANCARA

LAMPIRAN HASIL WAWANCARA LAMPIRAN HASIL WAWANCARA 83 LAMPIRAN Wawancara Dengan Bapak Eriyanto, Ketua Adat di Karapatan Adat Nagari Pariaman. 1. Bagaimana Proses Pelaksanaan Tradisi Bajapuik? - Pada umumnya proses pelaksanaan perkawinan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK 1 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK FENOMENA PILIHAN HIDUP TIDAK MENIKAH (STUDI DESKRIPTIF PADA WANITA KARIR ETNIS BATAK TOBA DI KOTA MEDAN) SKRIPSI Diajukan Oleh PRIMA DAFRINA

Lebih terperinci

HAMBATAN KOMUNIKASI ANTARA MERTUA DAN MENANTU

HAMBATAN KOMUNIKASI ANTARA MERTUA DAN MENANTU HAMBATAN KOMUNIKASI ANTARA MERTUA DAN MENANTU (STUDI ETNOGRAFI TERHADAP HAMBATAN KOMUNIKASI ANTARA MERTUA DAN MENANTU YANG MASIH MELAKSANAKAN REBU PADA SUKU KARO DI DESA BATUKARANG KECAMATAN PAYUNG KABUPATEN

Lebih terperinci

Disusun Oleh : EVA NADIA KUSUMA NINGRUM Telah disetujui unuk mengikuti Ujian Skripsi. Menyetujui, Pembimbing Utama

Disusun Oleh : EVA NADIA KUSUMA NINGRUM Telah disetujui unuk mengikuti Ujian Skripsi. Menyetujui, Pembimbing Utama POLA KOMUNIKASI SUAMI ISTRI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI USIA PERNIKAHAN DI BAWAH 5 TAHUN ( Studi Kualitatif Deskriptif Tentang Pola Komunikasi Suami Istri Dalam Penyelesaian Konflik Di Usia Pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan

Lebih terperinci

ANALISA YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP AKTA NOTARIS YANG BATAL DEMI HUKUM (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI MEDAN) SKRIPSI

ANALISA YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP AKTA NOTARIS YANG BATAL DEMI HUKUM (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI MEDAN) SKRIPSI ANALISA YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP AKTA NOTARIS YANG BATAL DEMI HUKUM (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI MEDAN) SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I. PENGANTAR... 1

DAFTAR ISI BAB I. PENGANTAR... 1 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i PERNYATAAN... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR ISTILAH... viii DAFTAR TABEL DAN GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii INTISARI... xiv ABSTRACT... xv BAB I. PENGANTAR... 1

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Oleh : OK. SYAHPUTRA HARIANDA

SKRIPSI. Disusun Oleh : OK. SYAHPUTRA HARIANDA ANALISIS STRATEGI KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI YAYASAN PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (PKPA) DALAM MELAKUKAN PENDAMPINGAN ANAK JALANAN (Street Base) DI KOTA MEDAN (Studi Kasus Rumah Singgah Sanggar Kreatifitas

Lebih terperinci

MEDIA ONLINE DAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM MENINGKATKAN CITRA PEMERINTAH KABUPATEN NIAS UTARA. Oleh:

MEDIA ONLINE DAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM MENINGKATKAN CITRA PEMERINTAH KABUPATEN NIAS UTARA. Oleh: MEDIA ONLINE DAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM MENINGKATKAN CITRA PEMERINTAH KABUPATEN NIAS UTARA T E S I S Oleh: YAHMAN INDRIANUS TELAUMBANUA NIM. 127045020 MAGISTER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

ANALISIS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR (TINJAUAN DARI SEGI HUKUM ISLAM DAN UU PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974) SKRIPSI. Oleh

ANALISIS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR (TINJAUAN DARI SEGI HUKUM ISLAM DAN UU PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974) SKRIPSI. Oleh ANALISIS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR (TINJAUAN DARI SEGI HUKUM ISLAM DAN UU PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

aaakuntabilitas DAN TRANSPARANSI DALAM PELAYANAN PUBLIK S K R I P S I WIRDA WIDYA SANI

aaakuntabilitas DAN TRANSPARANSI DALAM PELAYANAN PUBLIK S K R I P S I WIRDA WIDYA SANI aaakuntabilitas DAN TRANSPARANSI DALAM PELAYANAN PUBLIK (Studi Kasus Pelayanan Pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) di Kampung Sungai Liput Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi dalam hidupnya. Kebutuhan akan komunikasi diawali dengan asumsi

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi dalam hidupnya. Kebutuhan akan komunikasi diawali dengan asumsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan komunikasi dalam hidupnya. Kebutuhan akan komunikasi diawali dengan asumsi bahwasanya komunikasi berhubungan

Lebih terperinci

IDENTITAS BUDAYA DAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

IDENTITAS BUDAYA DAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA IDENTITAS BUDAYA DAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (Studi Kasus Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di ) SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi

Lebih terperinci

ANALISIS PEMBINGKAIAN MEDIA PADA PROGRAM BINGKAI SUMATERA EPISODE RANAH MINANG NEGERI PEREMPUAN DI DAAI TV T E S I S. Oleh :

ANALISIS PEMBINGKAIAN MEDIA PADA PROGRAM BINGKAI SUMATERA EPISODE RANAH MINANG NEGERI PEREMPUAN DI DAAI TV T E S I S. Oleh : ANALISIS PEMBINGKAIAN MEDIA PADA PROGRAM BINGKAI SUMATERA EPISODE RANAH MINANG NEGERI PEREMPUAN DI DAAI TV T E S I S Oleh : CONNI ERVINA FRANSISKA 117045012 M A G I S T E R I L M U K O M U N I K A S I

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa dan Minangkabau) NASKAH PUBLIKASI

Lebih terperinci

SKRIPSI AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN ORANG TUA TERHADAP HAK ANAK LEGAL IMPLICATION OF MARIAGE CANCELLING BY THE PARENTS AGAINTS CHILDREN RIGHTS

SKRIPSI AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN ORANG TUA TERHADAP HAK ANAK LEGAL IMPLICATION OF MARIAGE CANCELLING BY THE PARENTS AGAINTS CHILDREN RIGHTS p SKRIPSI AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN ORANG TUA TERHADAP HAK ANAK LEGAL IMPLICATION OF MARIAGE CANCELLING BY THE PARENTS AGAINTS CHILDREN RIGHTS DONA PERMATASARI NIM. 070710101140 KEMENTERIAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam masyarakat, perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam

Lebih terperinci

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DI KALANGAN MAHASISWA. (Studi Analisis Etnografi Tentang Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DI KALANGAN MAHASISWA. (Studi Analisis Etnografi Tentang Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DI KALANGAN MAHASISWA (Studi Analisis Etnografi Tentang Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas

Lebih terperinci

PERBEDAAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA SUAMI YANG TINGGAL MANDIRI DENGAN YANG TINGGAL BERSAMA MERTUA SKRIPSI OLEH: ROVIANA LESTARY

PERBEDAAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA SUAMI YANG TINGGAL MANDIRI DENGAN YANG TINGGAL BERSAMA MERTUA SKRIPSI OLEH: ROVIANA LESTARY PERBEDAAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA SUAMI YANG TINGGAL MANDIRI DENGAN YANG TINGGAL BERSAMA MERTUA SKRIPSI OLEH: ROVIANA LESTARY FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIMRIAU PEKANBARU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Setiap suku biasanya memiliki tradisi yang menjadi keunikan tersendiri yang menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. garis keturunan berdasarkan garis bapak (patrilinial), sedangkan pada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. garis keturunan berdasarkan garis bapak (patrilinial), sedangkan pada masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada umunmya sistem kekerabatan suku bangsa yang ada di Indonesia menarik garis keturunan berdasarkan garis bapak (patrilinial), sedangkan pada masyarakat Minangkabau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan budaya Indonesia mengalami pasang surut, pada awalnya, Indonesia sangat banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang kita terdahulu, hal

Lebih terperinci

REPRESENTASI ETNIS TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIR. Diajukan Oleh : YOHANNA ILMU KOMUNIKASI

REPRESENTASI ETNIS TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIR. Diajukan Oleh : YOHANNA ILMU KOMUNIKASI REPRESENTASI ETNIS TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIR (Studi Analisis Wacana Tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir oleh Clara Ng) SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO. 42 BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.1/1974 Pelaksanaan Pernikahan Suku Anak Dalam merupakan tradisi

Lebih terperinci

THE ROLE OF WIFE IN BATAK TOBA S TRIBE TO FULFILL THE BASIC REQUIREMENTS IN FAMILY

THE ROLE OF WIFE IN BATAK TOBA S TRIBE TO FULFILL THE BASIC REQUIREMENTS IN FAMILY PERAN ISTRI SUKU BATAK TOBA DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN POKOK KELUARGA (Studi Deskriptif pada Keluarga Batak Jember Nahumaliang (PKBJN), Kabupaten Jember) THE ROLE OF WIFE IN BATAK TOBA S TRIBE TO FULFILL

Lebih terperinci

ORIENTASI DAN STATUS SOSIAL PEREMPUAN PELAKU PERKAWINAN TIDAK TERCATAT. M. Ridwan Nasution

ORIENTASI DAN STATUS SOSIAL PEREMPUAN PELAKU PERKAWINAN TIDAK TERCATAT. M. Ridwan Nasution UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK ORIENTASI DAN STATUS SOSIAL PEREMPUAN PELAKU PERKAWINAN TIDAK TERCATAT (Studi Kasus Kelurahan Tanjung Sari) SKRIPSI Diajukan Oleh : M. Ridwan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdullah, Taufik. (1987). Sejarah dan masyarakat lintasan historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus.

DAFTAR PUSTAKA. Abdullah, Taufik. (1987). Sejarah dan masyarakat lintasan historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. (1987). Sejarah dan masyarakat lintasan historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus. Al Reza, Afdhal Dzikri. (2011). Pantangan perkawinan di Kota Pariaman ditinjau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Istilah komunikasi bukanlah suatu istilah yang baru bagi kita. Bahkan komunikasi itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban umat manusia, dimana pesan

Lebih terperinci

KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG MEMILIKI PASANGAN BEDA AGAMA. Diajukan untuk memenuhi persyaratan. Ujian Seminar Psikologi Perkembangan.

KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG MEMILIKI PASANGAN BEDA AGAMA. Diajukan untuk memenuhi persyaratan. Ujian Seminar Psikologi Perkembangan. KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG MEMILIKI PASANGAN BEDA AGAMA Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Seminar Psikologi Perkembangan Oleh DEWINA ULFAH NST 061301075 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KOMUNIKASI MASYARAKAT BATAK TOBA DALAM UPACARA PERNIKAHAN ADAT

KOMUNIKASI MASYARAKAT BATAK TOBA DALAM UPACARA PERNIKAHAN ADAT KOMUNIKASI MASYARAKAT BATAK TOBA DALAM UPACARA PERNIKAHAN ADAT (Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba Pada Masyarakat di Kelurahan Lestari Kecamatan

Lebih terperinci

WARUNG KOPI SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI DAN SUMBER INFORMASI BAGI PROFESI WARTAWAN TESIS. Oleh

WARUNG KOPI SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI DAN SUMBER INFORMASI BAGI PROFESI WARTAWAN TESIS. Oleh WARUNG KOPI SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI DAN SUMBER INFORMASI BAGI PROFESI WARTAWAN TESIS Oleh NOVITAYANI 127045005 M A G I S T E R I L M U K O M U N I K A S I FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang terjadi didalam hidup bermasyarakat yang menyangkut nama baik keluarga ataupun masyarakat. Hal ini diterangkan dalam buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sangat membutuhkan adanya suatu aturan-aturan yang dapat mengikat manusia dalam melakukan perbuatan baik untuk diri sendiri dalam

Lebih terperinci

KEHAMILAN DI LUAR NIKAH DAN PUTUS SEKOLAH DI KALANGAN REMAJA PUTRI DI DESA PATUMBAK I

KEHAMILAN DI LUAR NIKAH DAN PUTUS SEKOLAH DI KALANGAN REMAJA PUTRI DI DESA PATUMBAK I KEHAMILAN DI LUAR NIKAH DAN PUTUS SEKOLAH DI KALANGAN REMAJA PUTRI DI DESA PATUMBAK I (Studi Kasus Pada Remaja Putri Desa Patumbak 1 Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang) SKRIPSI NOVIA KUMALA DEWI

Lebih terperinci

KOMUNIKASI ANTARPRIBADI SUAMI ISTRI. (Studi Kasus Kualitatif Pasangan Suami Istri Yang Menikah Tanpa Pacaran di Kota Medan) SKRIPSI

KOMUNIKASI ANTARPRIBADI SUAMI ISTRI. (Studi Kasus Kualitatif Pasangan Suami Istri Yang Menikah Tanpa Pacaran di Kota Medan) SKRIPSI KOMUNIKASI ANTARPRIBADI SUAMI ISTRI (Studi Kasus Kualitatif Pasangan Suami Istri Yang Menikah Tanpa Pacaran di Kota Medan) SKRIPSI Anggie Dahlia Simanjuntak 100904087 DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 32 ayat (1) dan

Lebih terperinci

PERANAN KEPEMIMPINAN WANITA DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN (Studi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota) SKRIPSI DISUSUN OLEH :

PERANAN KEPEMIMPINAN WANITA DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN (Studi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota) SKRIPSI DISUSUN OLEH : PERANAN KEPEMIMPINAN WANITA DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN (Studi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota) SKRIPSI DISUSUN OLEH : RINA FEBRIANI 130921037 Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus informasi dan teknologi yang canggih yang menuntut masyarakat untuk lebih berperan aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang menggambarkan ciri khas daerah tersebut. Seperti halnya Indonesia yang banyak memiliki pulau,

Lebih terperinci

KONFLIK PILKADES DAN PENYELESAIANNYA (Suatu Kajian Antropologi Terhadap Pilkades Periode 2008/2013 Di Desa Sosor Mangulahi Kabupaten Humbahas)

KONFLIK PILKADES DAN PENYELESAIANNYA (Suatu Kajian Antropologi Terhadap Pilkades Periode 2008/2013 Di Desa Sosor Mangulahi Kabupaten Humbahas) KONFLIK PILKADES DAN PENYELESAIANNYA (Suatu Kajian Antropologi Terhadap Pilkades Periode 2008/2013 Di Desa Sosor Mangulahi Kabupaten Humbahas) SKRIPSI Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberi nama. Meski demikian, Indonesia memiliki lima pulau besar yaitu

BAB I PENDAHULUAN. diberi nama. Meski demikian, Indonesia memiliki lima pulau besar yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah Indonesia terdiri atas gugusan pulau-pulau besar maupun kecil yang tersebar di seluruh wilayah

Lebih terperinci

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi. Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh FITRI ARIFAH

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi. Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh FITRI ARIFAH STATUS DAN HAK MEWARISI ANAK DARI HASIL PERKAWINAN LAKI-LAKI BATAK DENGAN PEREMPUAN MINANGKABAU DI NAGARI KOTO TANGAH, KECAMATAN TANJUNG EMAS, KABUPATEN TANAH DATAR, SUMATERA BARAT SKRIPSI Diajukan Untuk

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan guna memenuhi salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial DISUSUN OLEH: DWI KUNCORO WATI

SKRIPSI. Diajukan guna memenuhi salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial DISUSUN OLEH: DWI KUNCORO WATI BURUH NYEREP PEREMPUAN DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Studi Kasus pada Buruh Nyerep Perempuan di Afdeling V Unit Usaha Padang Matinggi PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) Kabupaten Simalungun) SKRIPSI Diajukan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM. Skripsi

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM. Skripsi TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Hukum Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

SKRIPSI KEDUDUKAN YURIDIS WALI HAKIM SEBAGAI PENGGANTI WALI MUJBIR DALAM PERKAWINAN BERDASARKAN HUKUM ISLAM

SKRIPSI KEDUDUKAN YURIDIS WALI HAKIM SEBAGAI PENGGANTI WALI MUJBIR DALAM PERKAWINAN BERDASARKAN HUKUM ISLAM SKRIPSI KEDUDUKAN YURIDIS WALI HAKIM SEBAGAI PENGGANTI WALI MUJBIR DALAM PERKAWINAN BERDASARKAN HUKUM ISLAM LEGAL STANDING OF WALI HAKIM AS A SUBTITUTE WALI MUJBIR IN MARRIAGE ACCORDING OF ISLAMIC LAW

Lebih terperinci

INTERAKSI SOSIAL KELUARGA POLIGAMI SUKU KARO

INTERAKSI SOSIAL KELUARGA POLIGAMI SUKU KARO UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK INTERAKSI SOSIAL KELUARGA POLIGAMI SUKU KARO (Studi Kasus di Desa Kutarakyat, Kec. Naman) SKRIPSI Oleh: ROSALINA LANASARI SEMBIRING 030901041

Lebih terperinci

PANDANGAN TIGA TOKOH UTAMA WANITA TENTANG EMANSIPASI DALAM NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN KARYA MARIA A. SARDJONO

PANDANGAN TIGA TOKOH UTAMA WANITA TENTANG EMANSIPASI DALAM NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN KARYA MARIA A. SARDJONO PANDANGAN TIGA TOKOH UTAMA WANITA TENTANG EMANSIPASI DALAM NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN KARYA MARIA A. SARDJONO SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sasrjana Sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan komunikasi. Dalam buku Komunikasi AntarBudaya, Jalaluddin Rakhmat dan Deddy

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan komunikasi. Dalam buku Komunikasi AntarBudaya, Jalaluddin Rakhmat dan Deddy BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Seluruh manusia tercipta sebagai makhluk sosial, yang dimana tak pernah terlepas dalam kegiatan komunikasi. Dalam buku Komunikasi AntarBudaya, Jalaluddin

Lebih terperinci

BENTUK-BENTUK KEKERASAN YANG DIALAMI OLEH CADDY PEREMPUAN DI LAPANGAN GOLF. (Studi Kasus Terhadap 5 (Lima) Caddy Yang Bekerja Di Lapangan

BENTUK-BENTUK KEKERASAN YANG DIALAMI OLEH CADDY PEREMPUAN DI LAPANGAN GOLF. (Studi Kasus Terhadap 5 (Lima) Caddy Yang Bekerja Di Lapangan Skripsi BENTUK-BENTUK KEKERASAN YANG DIALAMI OLEH CADDY PEREMPUAN DI LAPANGAN GOLF. (Studi Kasus Terhadap 5 (Lima) Caddy Yang Bekerja Di Lapangan Golf Graha Metropolitan Golf) DI SUSUN OLEH : ULYA JURIATI

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR TATA CARA PENAGIHAN UTANG PAJAK DENGAN SURAT PAKSA KEPADA WAJIB PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA BINJAI.

LAPORAN TUGAS AKHIR TATA CARA PENAGIHAN UTANG PAJAK DENGAN SURAT PAKSA KEPADA WAJIB PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA BINJAI. LAPORAN TUGAS AKHIR TATA CARA PENAGIHAN UTANG PAJAK DENGAN SURAT PAKSA KEPADA WAJIB PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA BINJAI Diajukan oleh Wanda Karisma NIM : 082600052 Untuk Memenuhi Salah Satu

Lebih terperinci

SKRIPSI KAJIAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK ANGKAT MENURUT HUKUM WARIS ADAT JAWA TENGAH

SKRIPSI KAJIAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK ANGKAT MENURUT HUKUM WARIS ADAT JAWA TENGAH SKRIPSI KAJIAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK ANGKAT MENURUT HUKUM WARIS ADAT JAWA TENGAH THE LEGAL STUDY ON THE ADOPTED CHILDREN STATUTES IN ADATLAW OF INHERITANCE OF CENTRAL JAVA Oleh: AISIYAH AYU SETYOWATI

Lebih terperinci

Skripsi. Komunikasi Antar Pribadi dan Peningkatan Kualitas Kerja Karyawan

Skripsi. Komunikasi Antar Pribadi dan Peningkatan Kualitas Kerja Karyawan Skripsi Komunikasi Antar Pribadi dan Peningkatan Kualitas Kerja Karyawan (Studi Deskriptif Peranan Komunikasi Antar Pribadi Team Leader pada PT. Infomedia Medan terhadap Peningkatan Kualitas Kerja Caroline

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR. TATA CARA PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI TETAP DI KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PRATAMA MEDAN PETISAH

LAPORAN TUGAS AKHIR. TATA CARA PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI TETAP DI KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PRATAMA MEDAN PETISAH LAPORAN TUGAS AKHIR TATA CARA PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI TETAP DI KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PRATAMA MEDAN PETISAH O L E H NAMA : ALDI FAISAL NIM : 102600044 Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DAN PERUBAHAN SIKAP NARAPIDANA SKRIPSI

KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DAN PERUBAHAN SIKAP NARAPIDANA SKRIPSI KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DAN PERUBAHAN SIKAP NARAPIDANA (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Komunikasi Antarpribadi Petugas Lembaga Pemasyarakatan Dalam Merubah Sikap Narapidana Di Cabang RUTAN Aceh Singkil)

Lebih terperinci

KONTRIBUSI PEREMPUAN DALAM EKONOMI KELUARGA

KONTRIBUSI PEREMPUAN DALAM EKONOMI KELUARGA KONTRIBUSI PEREMPUAN DALAM EKONOMI KELUARGA (Studi kasus Home Industri Kerupuk Ikan Ibu Sumarmi di Dusun Suko Desa Damarsi Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo) SKRIPSI Diakukan Kepada Universitas Negeri

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS PENGESAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN AKIBAT HUKUMNYA (STUDI PENETAPAN NO. 156/PDT.P/2010/PN.SKA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA) TESIS

ANALISIS YURIDIS PENGESAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN AKIBAT HUKUMNYA (STUDI PENETAPAN NO. 156/PDT.P/2010/PN.SKA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA) TESIS ANALISIS YURIDIS PENGESAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN AKIBAT HUKUMNYA (STUDI PENETAPAN NO. 156/PDT.P/2010/PN.SKA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA) TESIS Oleh YUDI PRANATA 147011141/M.Kn FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Dengan naluri mahluk, dan masing-masing

Lebih terperinci

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT SERTA KOMPILASI HUKUM ISLAM SKRIPSI.

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT SERTA KOMPILASI HUKUM ISLAM SKRIPSI. PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT SERTA KOMPILASI HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat

Lebih terperinci

POLA KOMUNIKASI REMAJA MASJID DENGAN PREMAN. (Studi Kualitatif Mengenai Pola Komunikasi Remaja Masjid dengan Preman di Daerah Kandangan Surabaya)

POLA KOMUNIKASI REMAJA MASJID DENGAN PREMAN. (Studi Kualitatif Mengenai Pola Komunikasi Remaja Masjid dengan Preman di Daerah Kandangan Surabaya) POLA KOMUNIKASI REMAJA MASJID DENGAN PREMAN (Studi Kualitatif Mengenai Pola Komunikasi Remaja Masjid dengan Preman di Daerah Kandangan Surabaya) SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia adalah Negara majemuk dimana kemajemukan tersebut mengantarkan Negara ini kedalam berbagai macam suku bangsa yang terdapat didalamnya. Keaneka ragaman suku

Lebih terperinci

KOMUNIKASI KELOMPOK KECIL MURABBI DAN BINAANNYA DALAM MENANAMKAN SIKAP TAAT. (Studi Kasus tentang Peranan Komunikasi Kelompok Kecil Murabbi dan

KOMUNIKASI KELOMPOK KECIL MURABBI DAN BINAANNYA DALAM MENANAMKAN SIKAP TAAT. (Studi Kasus tentang Peranan Komunikasi Kelompok Kecil Murabbi dan KOMUNIKASI KELOMPOK KECIL MURABBI DAN BINAANNYA DALAM MENANAMKAN SIKAP TAAT (Studi Kasus tentang Peranan Komunikasi Kelompok Kecil Murabbi dan Binaannya dalam Menanamkan Sikap Taat pada Anggota Halaqoh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan manusia, setiap pasangan tentu ingin melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan.

Lebih terperinci

KEBERLANJUTAN SISTEM MATRILINEAL KELUARGA MUDA MINANG DI ERA GLOBALISASI

KEBERLANJUTAN SISTEM MATRILINEAL KELUARGA MUDA MINANG DI ERA GLOBALISASI KEBERLANJUTAN SISTEM MATRILINEAL KELUARGA MUDA MINANG DI ERA GLOBALISASI Stella Zavera Monica Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia stellazavera@yahoo.com Abstrak Di seluruh dunia terdapat

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : Mevi Isnaini Rizkiyana NIM 080210201025

SKRIPSI. Oleh : Mevi Isnaini Rizkiyana NIM 080210201025 PENINGKATAN MINAT BACA ANAK MELALUI METODE BERCERITA DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA DI KELOMPOK B4 TAMAN KANAK-KANAK (TK) AL-AMIEN KECAMATAN PATRANG KABUPATEN JEMBER TAHUN PELAJARAN 2011/2012 SKRIPSI Oleh :

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERTUNANGAN MENURUT ADAT DI DESA KUALU NENAS KECAMATAN TAMBANG DITINJAU MENURUT HUKUM ISLAM SKRIPSI

PELAKSANAAN PERTUNANGAN MENURUT ADAT DI DESA KUALU NENAS KECAMATAN TAMBANG DITINJAU MENURUT HUKUM ISLAM SKRIPSI PELAKSANAAN PERTUNANGAN MENURUT ADAT DI DESA KUALU NENAS KECAMATAN TAMBANG DITINJAU MENURUT HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi dan MelengkapiSebagai Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tata krama yaitu jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah,

BAB I PENDAHULUAN. tata krama yaitu jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara garis besar, dalam aturan adat istiadat, tata cara perkawinan dapat dibagi atas dua bagian, yakni: perkawinan menurut syarak (agama) dan perkawinan menurut adat

Lebih terperinci

SKRIPSI PERAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI ORANG TUA TERHADAP ANAK DALAM MEMBENTUK PERILAKU POSITIF LAILA SYAFITRI LUBIS

SKRIPSI PERAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI ORANG TUA TERHADAP ANAK DALAM MEMBENTUK PERILAKU POSITIF LAILA SYAFITRI LUBIS SKRIPSI PERAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI ORANG TUA TERHADAP ANAK DALAM MEMBENTUK PERILAKU POSITIF (Studi Kasus Peran Komunikasi Orang Tua Terhadap Anak dalam Membentuk Perilaku Positif di Kelurahan Karang

Lebih terperinci

Doni Aripandi Saputra Harahap DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Doni Aripandi Saputra Harahap DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN Program Kekhususan Hukum Perdata BW PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN (STUDI PADA PENGADILAN AGAMA PANYABUNGAN KOTA KABUPATEN MANDAILING NATAL) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas

Lebih terperinci

INTERAKSI SOSIAL DALAM KELUARGAYANG BERPOLIGAMI (Studi kasus : Pada Sepuluh Keluarga Poligami di Kota Medan) Oleh: RIZKI ZULAIKHA PARLINA

INTERAKSI SOSIAL DALAM KELUARGAYANG BERPOLIGAMI (Studi kasus : Pada Sepuluh Keluarga Poligami di Kota Medan) Oleh: RIZKI ZULAIKHA PARLINA INTERAKSI SOSIAL DALAM KELUARGAYANG BERPOLIGAMI (Studi kasus : Pada Sepuluh Keluarga Poligami di Kota Medan) Oleh: RIZKI ZULAIKHA PARLINA 030901030 Dosen Pembimbing Dosen Pembaca : Drs. P. Anthonius Sitepu

Lebih terperinci

KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI IBU DAN REMAJA PUTRI TERHADAP PENGETAHUAN PENDIDIKAN SEKS REMAJA PUTRI FITRI NOVALINA SITORUS

KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI IBU DAN REMAJA PUTRI TERHADAP PENGETAHUAN PENDIDIKAN SEKS REMAJA PUTRI FITRI NOVALINA SITORUS 1 KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI IBU DAN REMAJA PUTRI TERHADAP PENGETAHUAN PENDIDIKAN SEKS REMAJA PUTRI (Studi Korelasional Pengaruh Komunikasi Antar Pribadi Ibu dan Remaja Putri terhadap Pengetahuan Pendidikan

Lebih terperinci

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP UPACARA ADAT KASAMBU DI DESA MASALILI KECAMATAN KONTUNAGA KABUPATEN MUNA

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP UPACARA ADAT KASAMBU DI DESA MASALILI KECAMATAN KONTUNAGA KABUPATEN MUNA PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP UPACARA ADAT KASAMBU DI DESA MASALILI KECAMATAN KONTUNAGA KABUPATEN MUNA Skripsi Ini Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah Pada Program Studi

Lebih terperinci

PEWARISAN TERHADAP ANAK LUAR KAWIN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

PEWARISAN TERHADAP ANAK LUAR KAWIN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA SKRIPSI PEWARISAN TERHADAP ANAK LUAR KAWIN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA INHERITANCE TOWARD THE CHILDREN THAT ARE BORN OUT OF MARRIAGE BASED ON THE BOOK OF THE CIVIL LAW NANCY DINNEKE LINUH

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PESAN DAN AKTIVITAS KOMUNIKASI PEMASARAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN PELANGGAN

PENGELOLAAN PESAN DAN AKTIVITAS KOMUNIKASI PEMASARAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN PELANGGAN PENGELOLAAN PESAN DAN AKTIVITAS KOMUNIKASI PEMASARAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN PELANGGAN (Studi Korelasional Pengaruh Pengelolaan Pesan dan Aktivitas Komunikasi Pemasaran PT. BPJS Ketenagakerjaan Wilayah

Lebih terperinci

DESKRIPSI KALIMAT BERITA, TANYA, DAN PERINTAH PADA JUDUL BUKU CERITA ANAK SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Guna mencapai derajat

DESKRIPSI KALIMAT BERITA, TANYA, DAN PERINTAH PADA JUDUL BUKU CERITA ANAK SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Guna mencapai derajat DESKRIPSI KALIMAT BERITA, TANYA, DAN PERINTAH PADA JUDUL BUKU CERITA ANAK SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia YULI ASTUTI

Lebih terperinci

PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP POLA MENGAJAR GURU

PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP POLA MENGAJAR GURU PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP POLA MENGAJAR GURU (Studi Deskriptif Tentang Persepsi Siswa Terhadap Pola Mengajar Guru Dengan Menggunakan Bahasa Inggris di Kelas Internasional SMA Yayasan Pendidikan Shafiyyatul

Lebih terperinci

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM KELUARGA MUSLIM (Studi pada Perempuan Karir di Kecamatan Sanden Bantul D.I.Yogyakarta) SKRIPSI

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM KELUARGA MUSLIM (Studi pada Perempuan Karir di Kecamatan Sanden Bantul D.I.Yogyakarta) SKRIPSI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM KELUARGA MUSLIM (Studi pada Perempuan Karir di Kecamatan Sanden Bantul D.I.Yogyakarta) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk

Lebih terperinci

SKRIPSI KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR TERHADAP HARTA WARISAN ORANG TUANYA MENURUT HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT SENDURO LUMAJANG

SKRIPSI KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR TERHADAP HARTA WARISAN ORANG TUANYA MENURUT HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT SENDURO LUMAJANG SKRIPSI KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR TERHADAP HARTA WARISAN ORANG TUANYA MENURUT HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT SENDURO LUMAJANG MINOR POSITION AGAINST THE ESTATE OF HIS PARENTS UNDER THE CUSTOMARY LAW

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DALAM PENGADAAN SUMBER DAYA APARATUR PEMERINTAH DAERAH

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DALAM PENGADAAN SUMBER DAYA APARATUR PEMERINTAH DAERAH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DALAM PENGADAAN SUMBER DAYA APARATUR PEMERINTAH DAERAH (Studi Pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Gunung Tua Kabupaten Padang Lawas Utara) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat menghormati adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. terjalinnya hubungan antar individu maupun kelompok.

BAB I PENDAHULUAN. sangat menghormati adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. terjalinnya hubungan antar individu maupun kelompok. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang penduduknya memiliki aneka ragam adat kebudayaan. Mayoritas masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di pedesaan masih berpegang teguh

Lebih terperinci

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS PENGANGKATAN ANAK TERHADAP BAGIAN WARIS ANAK ANGKAT MENURUT KETENTUAN HUKUM POSITIF INDONESIA

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS PENGANGKATAN ANAK TERHADAP BAGIAN WARIS ANAK ANGKAT MENURUT KETENTUAN HUKUM POSITIF INDONESIA SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS PENGANGKATAN ANAK TERHADAP BAGIAN WARIS ANAK ANGKAT MENURUT KETENTUAN HUKUM POSITIF INDONESIA THE LEGAL STUDY OF ADOPTION ON INHERITANCE PORTION THE ADOPTED CHILDREN ACCORDING

Lebih terperinci