INOVASI PENGELOLAAN TERUMBU KARANG (Study Kasus Tentang Coral Governance) KABUPATEN WAKATOBI. Disusun dan diusulkan oleh LA RADU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INOVASI PENGELOLAAN TERUMBU KARANG (Study Kasus Tentang Coral Governance) KABUPATEN WAKATOBI. Disusun dan diusulkan oleh LA RADU"

Transkripsi

1 INOVASI PENGELOLAAN TERUMBU KARANG (Study Kasus Tentang Coral Governance) KABUPATEN WAKATOBI Disusun dan diusulkan oleh LA RADU Nomor Stambuk : PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2015

2 INOVASI PENGELOLAAN TERUMBU KARANG (Studi Kasus Tentang Coral Governance) KABUPATEN WAKATOBI SKRIPSI Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1). Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Disusun dan Diajukan Oleh LA RADU Nomor Stambuk : Kepada JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2015

3 ii M o t t o Lebih baik sukses dari hasil keringat sendiri dari pada sukses di buat orang lain maka pertanggung jawabkannlah karya ilmiahmu (skripsi) meskipun terlihat jelek namun tetap akan dihargai karena ia merupakan hasil keringatmu sendiri sehingga kita layak memperoleh gelar S1

4

5

6

7

8 v ABSTRAK LA RADU. Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Studi Kasus Tentang Coral Governance) Kabupaten Wakatobi (dibimbing oleh Parakkasi Tjaija dan Rudi Hardi) Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Studi Kasus Tentang Coral Governance) dan untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam inovasi pengelolaan terumbu karang yang dilakukan oleh pemerintah Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Wakatobi. Penelitian ini dilaksanakan di lokasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. Dengan tipe penelitiannya adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi wawancara lansung terhadap sebanyak 11 informan yang dianggap mampu memberikan keterangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti serta data lainya berupa dokumentasi yang dianggap mendukung. Kemudian data tersebut dikumpul disusun secara jelas dan sistematis dalam rangka menyusun skripsi dengan berpedoman pada teori-teori yang sesuai dalam perpustakaan. Teknik analisis data dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian tentang inovasi pengelolaan terumbu karang dapat di simpulkan yaitu: adanya keterlibatan stakeholder seperti aparat, tokoh adat dalam melakukan pengawasan dibidang konservasi DPL dan melakukan transplantasi karang, adanya pengetahuan lokal berupa kepercayaan cerita dari nilai adat yang ditakuti kemudian pengetahuan modern dari para ahli dan Universitas dalam memberikan motifasi penyelamatan terumbu karang, adanya kendali dari DKP serta pengendalian yang dilakukan oleh beberapa instansi terkait seperti pokmaswas, LSM, dalam pengawasan coral governance, adanya dana di SK-kan kepada pokmaswas dari dinas juga kades serta dana dari APBN dan APBD yang dianggarkan kepada kegiatan operasi pengawasan, pelatihan dan lain sebagainya, pilihan dan tujuan publik seperti terwujudnya surga nyata bawah laut sebagaimana telah tercantum dalam visi misi pemda, memiliki otoritas pengelolaan bagi sipengelola dengan mengacu kepada UU tentang PWP, perdes serta nilai adat yang tidak tertulis. Adapun terumbu karang berkelanjutan yaitu membentuk sistem penguatan kelembagaan serta berkolaborasi disemua instansi terkait terhadap coral governance. Namun masih menemukan kendala dalam meningkatkan inovasi pengelolaan terumbu karang yaitu kurangnya dana, kurangnya kesadaran dan dukungan dari masyarakat, terdapatnya kebiasaan yang masih menggunakan alat-alat yang dapat merusak serta masih adanya nelayang dari luar Wakatobi yang datang untuk menangkap ikan dengan cara illegal fishing. Keyword : Inovasi, Pengelolaan, Terumbu Karang, Coral, Governance.

9 vi KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Robbil Alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir skripsi yang berjudul Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Studi Kasus Tentang Coral Governance) Kabupaten Wakatobi. Di mana skripsi ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi akhir Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini disebabkan karena banyaknya hambatan dan kesulitan dalam tehnik penyusunan skripsi serta keterbatasan penulis sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima kritikan dan saran yang bersifat konstruktif dari pihak yang membaca skripsi ini. Terwujudnya penyusunan skripsi ini tentu adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak dimulai dari sejak persiapan, pelaksanaan hingga pembuatan skripsi setelah penelitian selesai. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan penghargaan setinggi-tingginya kepada almarhum Ayahanda (La Saleh T), Ibunda (Wa Samuria) tercinta yang tiada henti mendoakan anaknya. Dan juga saudara-saudara kakakku Samsudin, Muliadin, Hasiun, Salio, Wa Mara dan Adikku Wa Maa, maupun keluarga lainya yang siap membantu mendanai kuliah saya

10 vii sehingga dapat meringankan langkah penulis untuk menghadapi segala kesulitan yang menghadang serta bantuan berupa Beasiswa dari Kampus Universitas Muhammadiyah Makassar dan juga perhatian teman dekat Sekampus, teman Kelas, teman Seangkatan, teman KKP, teman Kos dan teman lainya yang tentunya saya tak bisa sebutkan satu persatu, yang selalu memberikan motivasi dan dorongan dalam menyelesaikan pendidikan. Kemudian tak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini, diantaranya yaitu: 1. Bapak Drs. H. Parakkasi Tjaija, M.Si selaku Pembimbing utama dan Bapak Rudi Hardi, S.Sos, M.Si selaku Pembimbing kedua yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. 2. Bapak Dr. H. Muhlis Madani, M.Si selaku Dekan dan seluruh Dekan I-IV Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar. 3. Bapak A. Luhur Prianto, S.IP., M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar. 4. Seluruh Dosen Fisipol, segenap Staf Tata Usaha dan Karyawan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar, yang telah banyak memberikan ilmu pelajaran di saat kuliah dan membantu penulis selama menempuh pendidikan di kampus tersebut. 5. Keluargaku Wa Suri di Wanci yang bersedia memberikan tempat tinggal dan kendaraan roda dua selama penulis di lokasi penelitian.

11 viii 6. Kepada Pemerintah Daerah Dinas Kelautan dan Perikanan, segenap Staf DKP, Coremap DKP Wakatobi, LSM Setia Karang Mandati 1 Kecamatan Wangi- Wangi Selatan, LSM FAMP Desa Liya Togo dan seluruh Masyarakat Nelayang di Desa Mola Selatan yang telah bersedia menjadi informan. Akhirnya dengan segenap kerendahan hati, penulis mengharapkan agar kiranya skripsi ini dapat menjadi salah satu bahan pembelajaran dan berguna bagi pembaca khususnya Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar. Dan semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Amin. Makassar,... Penulis La radu

12 ix DAFTAR ISI Motto... Halaman Persetujuan... Halaman Penerimaan Tim... Halaman Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah... Abstrak... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... i ii iii iv v vi ix xii xiii BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah... 7 C. Tujuan Penelitian... 8 D. Manfaat Penelitian... 8 BAB II.TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Inovasi Pengertian Inovasi Tahapan Inovasi Karakteristik Inovasi Adopsi Inovasi Prinsip-Prinsip Inovasi B. Konsep Terumbu Karang Pengertian Terumbu Karang Manfaat Terumbu Karang Ancaman Terumbu Karang C. Pengertian Governance D. Komponen dan Elemen Resources Governance E. Desentralisasi Pengelolaan dan Pesisir pada Aspek Coral Governance... 23

13 x 1. Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir F. Governance (Tata Kelola dalam Konteks Terumbu Karang) Elemen Kebijakan, Strategi dan Perencanaaan Aransemen dan Mekanisme Kelembagaan Legislasi dan Peraturan Perundang-Undangan Informasi dan Peningkatan Kesadaran Publik Mekanisme Pembiayaan Berkelanjutan Peningkatan Kapasitas G. Kerangka Pikir H. Fokus Penelitian I. Deskripsi Fokus Penelitian BAB III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penellitian B. Jenis dan Tipe Penelitian C. Sumber Data D. Informan Penelitian E. Teknik Pengumpulan data F. Teknik Analisis data G. Pengabsahan Data BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Objek Penelitian Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penyelenggaran Pemerintahan Kabupaten Wakatobi Sistem Dan Lembaga Serta Susunan Organisasi Kepemerintahan Kondisi Sosial Dan Budaya Kehidupan Masyarakat Wakatobi Kondisi dan Luas Terumbu Karang Kabupaten Wakatobi B. Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Studi Kasus Tentang Coral Governance) Keterlibatan Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Berdasarkan Pengetahuan Lokal dan Moderen... 64

14 xi 3. Ada Kendali Terhadap Segenap Aktifitas Alokasi Sumberdaya Pilihan Dan Tujuan Publik Ada Otoritas Pengelolaan di Dalamnya C. Faktor Pendukung dan Penghambat Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Studi Kasus Tentang Coral Governance) Faktor Pendukung Faktor Penghambat D. Terumbu Krang Berkelanjutan BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA... 85

15 xii DAFTAR TABEL Tabel 2.1 : Beberapa Defenisi Governance Tabel 2.2 : Menyajikan beberapa program peningkatan kapasitas pemangku kepentingan terkait dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Indonesia... 35

16 xiii DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 : Elemen Dasar Tata Kelola Terumbu Karang Gambar 2.2 : Kondisi Koasi Kebijakan Pembangunan Kelautan Indonesia Gambar 2.3 : Kerangka Pikir Gambar 4.1 : Peta Kabupaten Wakatobi Gambar 4.2 : Pusat Segitiga Karang Dunia Gambar 4.3 : Gugusan Karang/Atol di Kepulauan Wakatobi Gambar 4.4 : Pengawasan Keterlibatan Stakeholder Gambar 4.5 : Proses Transplantasi Terumbu Karang... 63

17 .BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dan memiliki lebih dari pulau membentang di khatulistiwa, garis pantai lebih dari km (Victor PH: 2013). Adapun, luas lautan 5,8 juta km (75% dari total luas wilayah Indinesia). Di wilayah daratan terdapat perairan umum (sungai, rawa, danau, waduk, dan genangan air lainnya) seluas 54 juta ha atau 0,54 juta km 2 (27% dari total wilayah daratan Indonesia). Dengan demikian, Indonesia adalah sebuah negara yang dikelilingi oleh air. (M. GhufranH. Kordi K, 2010: 1). Terumbu karang di perairan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi dan dianggap salah satu yang paling indah di dunia. Terumbu karang tidak hanya cantik karena mereka adalah rumah bagi ribuan spesies laut yang keduanya penting secara sosial dan ekonomis. Terumbu karang juga berfungsi sebagai perlindungan utama bagi garis pantai untuk mencegah erosi selama badai, dan lebih inshore habitat seperti hutan bakau dan padang lamun. (Victor PH: 2013). Terumbu karang merupakan habitat (tempat hidup) bagi berbagai biota bernilai ekonomi tinggi. Karena itu, habitat ini merupakan salah satu sumber pangan bagi umat manusia. Terumbu karang merupakan sumber kehidupan bagi jutaan nelayan dan masyarakat, serta sumber devisa bagi negara. Disamping itu, ekosistem 1

18 2 terumbu karang merupakan panorama bawah laut yang sangat indah, sehingga menjadi potensi wisata yang sangat besar. (M. Ghufran H. Kordi K, 2010: 3). Indonesia terletak di jantung Segitiga Terumbu Karang dan memiliki kawasan terbesar di negara manapun di dunia. Namun, aktivitas manusia telah menempatkan tekanan besar pada ekosistem yang rapuh dan telah menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang yang serius, terjadi eksploitasi secara berlebihan baik untuk sumberdaya ikan maupun habitat ikan, termasuk terumbu karang dan ekosistem perairan air laut lainnya serta sebagian besar melalui penangkapan ikan yang merusak, penangkapan ikan yang berlebihan, pemanasan global, penambangan karang, pencemaran, sedimentasi dan penipisan gizi. Akibatnya, hanya sekitar 6 persen dari terumbu karang di negara ini tetap dalam kondisi sangat baik. (Victor PH: 2013). Menurut hasil penelitian Pusat Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI yang dilakukan pada tahun 2000, kondisi terumbu karang Indonesia 41,78% dalam keadaan rusak, 28,30 % dalam keadaan sedang, 23,72 % dalam keadaan baik, dan 6,20 % dalam keadaan sangat baik. Hal ini menunjukkan telah terjadi tekanan yang cukup besar terhadap keberadaan terumbu karang di Indonesia pada umumnya oleh berbagai ancaman dan faktor-faktor penyebab kerusakan. Selanjutnya penelitian yang dikoordinir oleh World Resource Institute (WRI) di 14 negara di Asia Tenggara, dilakukan pada tahun 2002, menemukan bukti-bukti bahwa 88% dari sekitar km 2 terumbu karang telah berada pada posisi resiko kerusakan yang berat. Ancaman dan proses kerusakan ini disebabkan karena

19 3 pembangunan pesisir secara tidak terkendali dan terencana dengan baik, polusi yang berasal dari darat, sedimentasi yang disebabkan karena erosi di daratan, penangkapan ikan secara berlebihan, penggunaan teknologi destruktif dalam penangkapan ikan, dan perubahan iklim serta pemutihan karang (coral bleaching). Secara khusus di Indonesia, laporan ini mengemukakan kondisi rusak dan ancaman kerusakan terumbu karang sekitar 95% dari km 2 luasan terumbu karang Indonesia, sekitar 16% dari luasan terumbu karang dunia. Selain pada skala nasional, kerusakan terumbu karang dibuktikan dengan kondisinya di beberapa lokasi. Sebagai contoh, pada tahun 1982, terdapat sebanyak 226 spesies (56 genus) terumbu karang di Teluk Ambon, kemudian terdegradasi menjadi 176 spesies (54 genus) pada tahun Lima tahun kemudian yaitu pada tahun 2008, jumlah berkurang menjadi 169 spesies (53 genus). Demikian juga halnya dengan Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Kawasan ini juga mempunyai potensi sumber daya alam pesisir dan lautan serta jasajasa lingkungan khususnya terumbu karang, yang memiliki prospek perekonomian yang mampu untuk mendorong pertumbuhan dan pengembangan pemukiman dan kegiatan ekonomi serta sosial lainnya. Namun potensi sumberdaya alam berupa terumbu karang yang ada di Wakatobi belum sepenuhnya optimal dan pemanfaatan keindahan terumbu karang termasuk juga masih minimnya ketersediaan fasilitas untuk menopang dalam menjaga dan mengawasi kelestarian terumbu karang dari berbagai ancaman kegiatan manusia berupa penangkapan ikan secara berlebihan dengan menggunakan pemboman atau

20 4 hal-hal lain yang dapat menimbulkan degradasi tekanan (kerusakan) terhadap kondisi terumbu karang di kawasan tersebut sehingga membuat potensi keindahan karang semakin berkurang dan hancur pecah. Hal tersebut kurangnya kesadaran dari masyarakat dan pemerintah akan pentingnya pelestarian terumbu karang. Oleh karena itu pemerintah menjadi peran utama dalam membuat kebijakan baru untuk pembangunan perokonomian masyarakat dalam bentuk tata kelola terumbu karang seperti terdapat integras (kesatuan) antara institusi pemerintah dan sektor pembangunan atau terciptanya sebuah pendekatan kelembagaan baik pada level pusat maupun daerah untuk mendukung kebijakan pembangunan tata kelola terumbu karang. Upaya pengelolaan tersebut agar dapat berjalan dengan baik maka diperlukan pula penyediaan infrastruktur yang cukup memadai seperti infrastruktur dasar berupa kantor, rumah dinas, kendaraan dermaga dan lain sebagainya, berikutnya infrastruktur pengamanan seperti penyediaan kantor jaga, kapal patroli, dan menara pengintai, dan yang terakhir adalah infrastruktur komuniksi meliputi telepon, radio, handly talky dan lain-lain. Lahirnya kebijakan tesebut tentunya dalam rangka peningkatan pengelolaan terumbu karang maupun mengatasi hambatan-hambatan dalam pemanfaatan sumber daya terumbu karang tersebut. Maka pemerintah akan lebih serius mengatasi permasalahan yang ada sekarang ini dengan menghapus kebijakan atau peraturan yang lama yang dapat merugikan rakyat dalam pengembangan sumber daya alamnya dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang baru yang jelas dan bermanfaat bagi

21 5 pemanfaatan sumber daya alam sehingga menjadi lebih maksimal dan bernilai tambah, juga diperlukan pengawasan untuk setiap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dikeluarkan karena dengan pengawasan maka dapat menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan kebijakan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu karena keserakahan pribadi sehingga kebijakan untuk kegiatan inovasi pengelolaan terumbu karang ( Coral Governance) dapat mencapai sasaran bagi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu kebijakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan melalui pengelolaan terumbu karang merupakan jalan alternatif lain yang tidak bisa ditunda-tunda untuk mengatasi terjadinya kerusakan terumbu karang serta dapat kembali memproduktifkan terumbu karang atau meningkatkan penghasilan ekonomi rakyat dalam rangka tercapainya kesejahteraan ekonomi masyarakat. Jadi aspek yang akan di inovasikan oleh pemerintah daerah adalah terumbu karangnya/ tata kelola terumbu karang (Coral Governance), karena terumbu karang tersebut telah mengalami degradasi (kerusakan) yang dilakukan oleh pihak -pihak yang tidak bertanggung jawab dalam rangka potensi terumbu karang tersebut dapat dijadikan sebagai penghasil dan nilai ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. Disamping itu juga diperlukan inovasi di bidang teknologi karena dengan teknologi yang maju maka rakyat tidak perlu bergantung lagi dengan daerah luar atau negara lain dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian bahwa kesungguhan dari pihak pemerintah daerah dalam membuat inovasi untuk mengatasi masalah

22 6 sumber daya alam dan lingkungan maka rakyat daerah Indonesia bisa menjadi masyarakat yang makmur dan sejahtera. Kemudian dengan diterbitkanya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah setelah diubahnya UU No. 32/2004, maka kesempatan pemerintah lokal untuk memperoleh hak dalam membuat kebijakan untuk pengelolaan sumber daya alam berupa terumbu karang yang terdapat di wilayahnya. Namun harus disadari pula bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal (pemda) selain memberikan peluang juga menuntut adanya tanggung jawab dari masyarakat tersebut. Apabila masyarakat diberikan atau menuntut hak atau legitimasi terhadap pengelolaan sumberdaya terumbu karang di wilayahnya, maka mereka juga harus menerima dan menjalankan kewajiban atau tanggung jawabnya untuk mengelola sumberdaya tersebut secara berkelanjutan. Kewajiban atau tanggung jawab tersebut mempunyai arti bahwa masyarakat harus dapat turut memikul beban biaya yang diperlukan untuk memulihkan kembali sumberdaya tersebut agar tetap lestari. Biaya pengelolaan yang harus dipikul tersebut dapat meliputi berbagai hal seperti; penyediaan infrastruktur pengelolaan, pelaksanaan penegakan hukum, pemantauan kualitas sumberdaya, pengurangan unitunit penangkapan ikan, pengurangan daerah-daerah penangkapan ikan, berkurangnya pendapatan dalam waktu tertentu, bantuan-bantuan teknis, administrasi, penciptaan berbagai alternatif mata pencaharian, dan lain sebagainya. Terkait dengan permasalahan diatas, untuk dapat mengoptimalkan hal tersebut serta mengembalikan fungsi-fungsi dan berbagai manfaat lain dari ekosistem terumbu

23 7 karang sebagaimana di uraikan diatas, maka perlu kreatifitas dan upaya kebijakan inovasi pengelolaan terumbu karang yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah misal pembentukan kelembagaan baru atau kelompok pengawasan terumbu karang, penyediakan fasilitas berupa media inrformasi dan teknologi transportasi, terciptanya keterlibatan stakeholder dalam meningkatkan kolaborasi ditiap instansi terhadap pengelolaan terumbu karang dalam bentuk Tata Kelola Terumbu Karang ( Coral Governance) yang terpadu dan berkelanjutan yang berbasiskan pada pengelolaan masyarakat setempat. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, penulis kemudian terdorong untuk melakukan penelitian tentang Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Studi Kasus Tentang Coral Governance) di Kabupaten Wakatobi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengemukakan permasalahan yang akan dijadikan dasar analisis dalam penelitian inovasi pengelolaan terumbu karang (studi kasus tentang coral governance) Kabupaten Wakatobi sebagai berikut: 1. Bagaimana Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Studi Kasus Tentang Coral Governance) di Kabupaten Wakatobi? 2. Faktor-faktor apa yang dapat mendukung dan menghambat dalam inovasi pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Wakatobi?

24 8 C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui inovasi pengelolaan terumbu karang (studi kasus tentang coral governance) di Kabupaten Wakatobi. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mendukung dan menghambat dalam inovasi pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Wakatobi? D. Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan bermanfaat kepada: 1. Manfaat secara teoritis, yaitu sebagai bahan literatur atau hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bacaan dan memperluas wawasan keilmuan, khususnya dalam kajian ilmu pemerintahan. 2. Manfaat secara praktis yaitu sebagai bahan informasi atau menjadi bahan masukan bagi pemerintah daerah mengenai inovasi pengelolaan terumbu karang (studi kasus tentang coral governance) Kabupaten Wakatobi.

25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Inovasi 1. Pengertian Inovasi Inovasi mempunyai arti lebih luas daripada penemuan-penemuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), inovasi adalah pemasukan atau pengenalan hal-hal baru, pembaharuan, penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya. Dari pengertian inovasi tersebut dapat disimpulkan bahwa inovasi adalah proses kreatif dalam melakukan penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada. Menurut Roges dan Shoemaker (1971) mengartikan inovasi sebagai: ide -ide baru, praktik-praktik baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Sedangkan Lionbergen dan Gwin (1982) mengatakan Inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu. Pengertian baru disini, mengandung makna bukan sekedar baru diketahui oleh pikiran ( cognitive), akan tetapi baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap ( attitude), dan juga baru dalam pengertian belum diterima belum dilaksanakan dan atau diterapkan seluruh warga masyarakat setempat. 9

26 10 Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, prilaku, pola pikir, atau gerakan-gerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian, pengertian inovasi dapat semakin diperluas menjadi: sesuatu ide, produk, informasi teknologi, kelembagaan, prilaku, nilai-nilai, dan praktik-praktik baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan dan atau diterapkan/ dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan. (Mardikanto: 1988). Pengertian baru yang melekat pada istilah inovasi tersebut di atas bukan selalu berarti baru diciptakan, tetapi dapat berupa sesuatu yang sudah lama dikenal, diterima atau digunakan/diterapkan oleh masyarakat di luar sistem sosial yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih baru. Pengertian baru juga tidak selalu harus datang dari luar, tetapi dapat berupa teknologi setempat ( indigenous technology) atau kebiasaan setempat ( kearifan tradisional) yang sudah lama ditinggalkan dalam teori komunikasi, inovasi yang merupakan pesan-pesan pemberdayaan masyarakat, dapat dibedakan dalam bentukbentuk pesan yang bersifat: informative, persuasive, dan entertainment. Meskipun demikian, dalam proses pemberdayaan masyarakat, setiap pesan atau inovasi yang disampaikan harus bersifat inovatif dalam arti mampu mengubah atau mendorong

27 11 terjadinya perubahan-perubahan ke arah terjadinya pembaharuan dalam segala aspek kehidupan masyarakat penerima manfaat demi selalu terwujudnya perbaikanperbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan. 2. Tahapan Inovasi Ada lima tahap proses keputusan inovasi yakni: a. Tahap Pengetahuan Proses tahap inovasi dimulai dengan tahap pengetahuan, yaitu tahap pada saat seseorang menyadari adanya suatu inovasi dan ingin tahu bagaimana fungsi inovasi tersebut. b. Tahap Bujukan (Persuasi) Pada tahap persuasi dari proses keputusan inovasi, seseorang membentuk sikap menyenangi atau tidak menyenangi terhadap inovasi. Jika pada tahap pengetahuan proses kegiatan mental yang utama adalah di bidang kognitif, maka pada tahap persuasi yang berperan utama bidang afektif atau perasaan. c. Tahap Keputusan Tahap keputusan dari proses keputusan inovasi, berlangsung jika seseorang melakukan kegiatan yang mengarahkan untuk menetapkan menerima atau menolak inovasi. Menerima berarti sepenuhnya akan menerapkan inovasi. Menolak inovasi berarti tidak akan menerapkan inovasi d. Tahap Implementasi

28 12 Tahap implementasi dari proses keputusan inovasi terjadi apabila seseorang menerapkan inovasi. Pada tahap implementasi ini berlangsung keaktifan baik mental maupun perbuatan. Keputusan penerimaan gagasan atau ide baru dibuktikan dalam praktik. Pada umumnya implementasi tentu mengikuti hasil keputusan inovasi. Tetapi dapat juga terjadi karena sesuatu hal sudah memutuskan menerima inovasi tidak diikuti implementasi. Biasanya hal ini terjadi karena fasilitas penerapannya tidak tersedia. e. Tahap Konfirmasi Pada tahap konfirmasi ini seseorang mencari penguatan terhadap keputusan yang telah diambilnya dan ia dapat menarik kesimpulan kembali keputusannya jika memang diperoleh informasi yang bertentangan dengan informasi semula. 3. Karakteristik Inovasi Rogers mengemukakan karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi cepat atau lambatnya penerimaan inovasi, sebagai berikut (Everett M rogers, 1983): a. Keuntungan relative, yaitu sejauh mana inovasi dianggap menguntungkan bagi penerimanya. b. Tingkat keuntungannya dapat diukur berdasarkan nilai ekonominya, atau faktor status sosial, kesenangan, kepuasan, atau komponen yang sangat penting. c. Kompatibel, ialah tingkat kesesuaian inovasi dengan nilai, pengalaman lalu, dan kebutuhan dari penerima.

29 13 d. Kompleksitas, ialah tingkat kesukaran untuk memahami dan menggunakan inovasi bagi penerima e. Trialabilitas, ialah dapat dicoba atau tidaknya suatu inovasi oleh penerima f. Dapat diamati, ialah mudah tidaknya diamati suatu hasil inovasi. 4. Adopsi Inovasi Untuk melakukan pengadopsian maka dalam proses adopsi inovasi cenderung dimulai dari: a. Innovator Proses adopsi dimulai dari sedikit individu yang mempunyai visi dan imajinasi. Mereka umumnya memiliki waktu, energi dan kreativitas untuk mengembangkan ide dan atau perangkat baru. Hasil temuan mereka inilah yang kemudian disebar luaskan menjadi sesuatu yang baru di lingkungan tertentu. b. Early adopters Begitu keutungan suatu inovasi bisa terlihat, individu yang masuk kelompok early adopters akan segera menggunakannya baik untuk kebutuhan pribadi maupun bisnis. Individu dalam kelompok ini juga memiliki kemampuan untuk menghubungkan suatu inovasi dengan kebutuhan mereka. Mereka memiliki waktu dan uang untuk diinvestasikan dan sangat menyukai keuntungan yang mereka dapat dari peer group nya karena telah mengadopsi inovasi tertentu.

30 14 c. Early Majority Kelompok ini berisi individu-individu pragmatis, merasa nyaman dengan ide baru yang moderat tapi membutuhkan bukti yang kuat sebelum memutuskan untuk mengadopsi sebuah inovasi. Mereka umumnya jadi pengikut ketika sebuah inovasi sudah menjadi mode dan gaya hidup. Kebanyakan early majority sensitif terhadap harga dan menghindari risiko. Mereka lebih memilih sesuatu yang sederhana, sudah terbukti atau memilih tetap dengan segala sesuatu yang mereka miliki. Karenanya mereka butuh garansi, gangguan minimal, komitmen waktu yang juga minimal, termasuk pembelajaran yang minimal. Produk atau ide yang tidak rumit, murah dan membuat nyaman akan lebih dapat mereka terima. d. Late Majority Individu yang masuk dalam kelompok late majority tidak menyukai risiko dan merasa tidak nyaman dengan ide-ide baru. Hanya karena takut tidak lagi cocok dengan lingkungan, membuat mereka mengikuti arus utama dan standar yang berlaku e. Laggards adalah orang-orang yang selalu melihat risiko tinggi dalam mengadopsi suatu inovasi. Bisa saja apa yang mereka khawatirkan tersebut memang benar adanya dan bisa menjadi perhatian inovator untuk memperbaiki inovasi tersebut. Di awal penyebaran suatu inovasi, kehadiran laggards mungkin tidak perlu terlalu diperhatikan, namun ketika suatu produk sudah sampai

31 15 pada tahap late majority, laggards perlu didengarkan karena mereka dapat saja menyebarkan rasa takut mereka sehingga late majority terpengaruh dan tidak mengadopsi inovasi. (Rogers, 2005). 5. Prinsip-Prinsip Inovasi Pelaksanaan inovasi yang baik dan terarah adalah inovasi yang dihasilkan dari sesuatu yang kecil dan terfokus. Drucker (1985: ) membahas prinsip-prinsip inovasi meliputi petunjuk apa yang harus dilakukan, hal-hal yang harus dilakukan dan tiga persyaratan dalam melakukan inovasi. Hal-hal yang harus dilakukan dalam berinovasi adalah: a. Inovasi yang terarah dan sistematis. b. Inovasi meliputi hal yang konseptual maupun perceptual. c. Inovasi harus efektif, sederhana dan terfokus. d. Inovasi yang efektif dimulai dari hal yang kecil. e. Memerlukan komitmen dari pimpinan. Prinsip inovasi yang dikemukakan Druker ini menekankan bahwa inovasi dilakukan mulai dari sesuatu yang sederhana, kecil, terfokus, memenuhi kebutuhan sekarang yang dijalankan dengan didasari pengetahuan, mempertimbangkan berbagai aspek dan perlu komitment. B. Konsep Terumbu Karang 1. Pengertian Terumbu Karang Terumbu karang merupakan kelompok organisme yang hidup di dasar perairan laut dangkal, terutama di daerah tropis. Meskipun karang ditemukan hampir

32 16 di seluruh dunia, baik di perairan kutub maupun perairan ugahari, tetapi hanya di daerah tropik terumbu dapat berkembang. Karenanya pembentukan terumbu karang digunakan untuk membatasi lingkungan lautan tropik. (M. Ghufran H. Kordi K, 2010: 6). Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem perairan laut yang memiliki produktivitas primer yang sangat tinggi. Karena itu, terumbu merupakan salah satu ekosistem yang menjadi habitat dan aktivitas berbagai biota laut. Ribuan spesies, baik hewan maupun tumbuhan, menjadi bagian penting dalam ekosistem terumbu karang. Dan dari spesies-spesies tersebut sebagian memiliki nilai ekonomi penting, sebagai bahan pangan, bahan bangunan, hiasan (ornament) dan sebagainya. (M. Gufran H Kordi K, 2010:30). 2. Manfaat Terumbu Karang Keberadaan terumbu karang di suatu lokasi merupakan sumber daya alam yang menyediakan sejumlah potensi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Jenis-jenis sumber daya yang tersedia di terumbu karang di antaranya adalah ruang di terumbu karang, sosok fisik terumbu karang, biota di terumbu karang, material di karang, nilai estetika terumbu karang dan di sejumlah tempat peninggalan bersejarah di terumbu karang. Sebuah uraian yang rinci tentang manfaat terumbu karang ini telah dibuat oleh Yuni Ikawati dan Hening Parlan dalam sebuah buku yang berjudul Coral Reef in Indonesia yang diterbitkan oleh proyek COREMAP II bekerjasama dengan MAPIPTEK dan Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Ikawati, Y dan H. Parlan, 2009 dalam Victor, 2013: 75).

33 17 Terumbu karang mempunyai beberapa manfaat, diantaranya yaitu: a. Sebagai tempat hidupnya ikan-ikan yang banyak dibutuhkan manusia untuk pangan, seperti ikan kerapu, ikan baronang, ikan ekor kuning, dan lain-lain. b. Sebagai benteng pelindung pantai dari kerusakan yang disebabkan oleh gelombang atau ombak laut, sehingga manusia dapat hidup di daerah dekat pantai. c. Sebagai tempat untuk wisata. Karena keindahan warna dan bentuknya, banyak orang berwisata bahari. (Iyam, 2007: 20). 3. Ancaman Terumbu Karang Ancaman yang bersifat antropogenik (disebabkan oleh manusia) yaitu sebagai berikut: a. Kemiskinan dan peningkatan populasi manusia yaitu Ancaman utama terhadap terumbu karang adalah kemiskinan fisik dan pengetahuan serta populasi manusia yang terus meningkat. b. Kegiatan konstruksi dan pengerukan, yaitu kegiatan pembangunan fisik disepanjang pesisir seringkali dilaksanakan dengan mengeruk dan menghancurkan terumbu karang yang hidup, sedangkan kegiatan konstruksi sering menyebabkan peningkatan sedimentasi dan siltasi c. Sedimentasi yaitu deforestasi, pertambangan atau pertanian di daerah hulu dan penebangan hutan tropis menyebabkan peningkatan jumlah sediment secara dramatis dan tanah dan sediment tersebut terbawa ke perairan pesisir dan menuju terumbu karang. Lumpur, pasir, dan sediment lain dapat

34 18 menyebabkan keluhnya air dan menyekap karang tidak mendapatkan cukup cahaya untuk hidup. d. Polusi air dan pembuangan sampah e. Penangkapan ikan yang berlebih f. Penangkapan ikan menggunakan bom (bahan peledak) g. Penangkapan ikan dengan racun sianida untuk akuarium h. Pemanfaatan untuk obat-obatan tradisional i. Tambak ikan dan udang j. Pariwisata k. Polusi air l. Kurangnya kemauan-kemauan politik m. Ancaman dari alam yaitu ancaman yang dikenal dengan kejadian topan badai atau taifun yang menyebabkan gelombang yang sangat kuat di wilayah tropis sehingga gelombang tersebut menyebabkan pecahnya karang dan menyebarkan pecah-pecahnya disekitar terumbu karang. (Gunawan, Tiene dkk. 2006: 49-50) C. Pengertian Governance Kooiman et.al (2005) mendefenisikan tata kelola ( governance) sebagai keseluruhan interaksi antara sektor publik dan sektor privat untuk memecahkan persoalan publik ( societal problems) dan menciptakan kesempatan sosial ( social opportunities). Tata kelola sumberdaya tidak dapat dilepaskan dari filosofis

35 19 keterkaitan antara ekosistem, sumberdaya dan manusia yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya itu sendiri. (Victor PH, 2013: 27) Tata kelola tidak akan pernah ada apa bila ekosistem dan sumberdaya alam sebagai salah satu produk ekosistem alam (dalam hal ini ekosistem terumbu karang) mengalami degradasi atau punah. Dalam konteks ini, interaksi yang ada dalam sistem alam terumbu karang dan sistem manusia ( social agents and actors) serta prinsip-prinsip yang melatar belakangi bagaimana kedua sistem ini bekerja perlu diketahui dengan baik. Dasar pemahaman inilah yang menjadi latar belakang dari seluruh pola tata kelola sumberdaya ( resources governance). Pemahaman ini meletakkan pentingnya keseimbangan antara kualitas ekosistem, sumberdaya alam dan kualitas ekonomi sosial masyarakat. Dalam konteks kelautan, tata kelola dapat didefinisikan sebagai sejumlah peraturan-peraturan hukum, sosial, ekonomi, dan politik yang digunakan untuk mengatur sumberdaya kelautan dan pemanfaatannya untuk kesejahteraan bangsa. Tata kelola memiliki dimensi internasional, nasional dan lokal dan termasuk aturan-aturan yang mengikat secara hukum seperti halnya peraturan-peraturan sosial. ( FAO, 2001 dalam Victor, 2013: 28). Oleh karena itu, tata kelola kelautan dapat dipahami sebagai sebuah proses interaksi antara sektor publik dan sektor privat yang dilakukan untuk memecahkan persoalan kelautan dan menciptakan kesempatan sosial di bidang kelautan, seperti peningkatan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, pelestarian sumberdaya dan lain sebagainya.

36 20 Konsepsi ini menunjukkan bahwa tata kelola memiliki spektrum yang lebih luas dimana persoalan kelautan merupakan persoalan publik yang harus diselesaikan melalui interaksi komprehensif antara sektor publik dan privat, dimana sektor publik biasanya menjadi domain pemerintah sedangkan sektor privat menjadi domain pelaku pemanfaatan sumberdaya kelautan seperti pelaku pelayaran, wisata, pertambangan, perikanan dan lain sebagainya. Tata kelola kelautan ( ocean governance) dapat didefinisikan sebagai cara mengurus laut yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat lokal, industry, NGO dan pemangku kepentingan yang lain melalui perangkat hukum nasional dan internasional termasuk didalamnya kebiasaan lokal, tradisi dan budaya, institusi serta proses yang membentuknya. (Kullenberg, 2008 dalam Victor PH, 2013:29). Table 2.1 menyajikan beberapa defenisi governance dibawah ini. Table 2.1 Beberapa Defenisi Governance (Moore, 2011). Defenisi Tata kelola adalah sebuah eksperimen otoritas politik, ekonomi dan administratife dalam pengelolaan urusan negara pada semua tingkatan Tata kelola adalah proses pengambilan keputusan dan proses dimana keputusan diimplementasikan atau tidak Tata kelola adalah eksperimen ototritas politik, ekonomi administrative yang diperlukan untuk mengelola urusan negara Tata kelola yang baik adalah manajemen yang transparan dan Sumber United Nationas Development Program (UNDP) United Nationas Economic And Social Commissions For Asia And The Pacific (UNESCAP) Organizations For Economic Cooperation And Development (OECD) Council Of European Union (CEU)

37 21 akuntabel terkait dengan orang, sumber daya alam, dan sumberdaya finansial dengan tujuan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan Tata kelola terdiri dari proses pengelolaan urusan negara yang mencakup urusan tradisi dan institusi yang ada disebuah negara Tata kelola kelautan (ocean governance) dapat didefinisikan sebagai cara mengurus laut yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, lokal, industri, NGO, dan pemangku kepentingan yang lain melalui perangkat hukum nasional dan internasional termasuk di dalamnya kebiasaan lokal, tradisi dan budaya serta institusi serta proses yang membentuknya Bank Dunia Kullenberg (2008) D. Komponen Dan Elemen Resources Governance Secara teoritik filosofis, terdapat empat 4 komponen dari dasar governance yaitu: 1. Pemangku kepentingan (stakeholder) yaitu sebagai unsur utama sebagai obyek dan skaligus subyek dari tata kelola itu sendiri. 2. Legal baik yang bersifat formal maupun legal yang bersifat informal (adat) yaitu bahwa kedua unsur legal ini sangat penting sebagai komponen governance karena berperan sebagai dasar (foundation) dari komponen yang lain, yaitu pemangku kepentingan, institusi, dan proses. 3. Institusi, merupakan instrumen dalam pelaksanaan tata kelola.

38 22 4. Proses, yaitu bahwa dalam kerangka governance, psoses menjadi alat utama bagi institusi untuk menjalankan governance (tata kelola) dan sek aligus diperlukan untuk pengambilan keputusan serta untuk mengimplementasikan keputusan tersebut. (Moore, et al dalam Victor, 2013: 32-33) Berikut dalam perspektif tata kelola, terdapat 6 elemen dasar dari pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yaitu: a. Kebijakan, strategi dan perencanaan b. Aransemen dan mekanisme kelembagaan c. Legislasi dan peraturan perundang-undangan d. Informasi dan kesadaran publik e. Pembiyaan berkelanjutan f. Peningkatan kapasitas Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dalam konteks tata kelola terumbu karang (coral governance), paling tidak ditopang terdapat 6 elemen dasar yang perlu menjadi fokus dari tata kelola terumbu karang sebagai berikut: a. Keterlibatan pemangku kepentingan b. Berdasarkan pengetahuan lokal dan modern c. Ada kendali terhadap segenap aktivitas d. Alokasi sumberdaya e. Pilihan dan tujuan publik/masyarakat f. Ada otoritas pengelolaan di dalamnya.

39 23 Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini. Keterlibatan pemangku kepentingan Ada otoritas pengelolaan di dalamnya Pilihan dan tujuan publik/masyarakat Coral Governance Alokasi sumberdaya Berdasarkan pengetahuan lokal dan modern Ada kendali terhadap segenap aktivitas Gambar 2.1 Elemen Dasar Tata Kelola Terumbu Karang E. Desentralisasi Pengelolaan Dan Pesisir Pada Aspek Coral Governance Tata kelola wilayah pesisir sebagaimana diamanatkan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan bagi Pemerintah Kabupaten/Kota selanjutnya disebut sebagai Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola wilayah pesisir dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya termasuk terumbu karang, sesuai dengan karakteristik ditempat sejauh seperti dari wilayah kewenangan Pemerintah Provinsi. Melalui UU 23/2014 pasal 14 ayat 6 mengatur penentuan Daerah Kabupaten/ Kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/ atau ke arah perairan kepulauan. Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaimana

40 24 dimaksud pada ayat (6) kurang dari 4 (empat) mil, batas wilayahnya dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari Daerah yang berbatasan (ayat 7). UU 23/2014 Bab V Mengenai Kewenangan Daerah Propinsi Yang Berciri Kepulauan pada bagian ke satu mengenai kewenangan daerah propinsi di laut pasal 27 ayat 1 bahwa: Daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumberdaya alam di laut yang ada di wilayahnya, dan ayat 2 menyebutkan bahwa: Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi b. pengaturan administratif c. pengaturan tata ruang d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara. Kemudian pada bagian ke dua Mengenai Daerah Propinsi yang berciri Kepulauan pasal 28 ayat 1 bahwa :Daerah Provinsi yang berciri Kepulauan mempunyai kewenangan mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27. Selain mempunyai kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Daerah Provinsi yang berciri Kepulauan mendapat penugasan dari Pemerintah Pusat untuk melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat di bidang kelautan berdasarkan asas Tugas Pembantuan. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagianurusan

41 25 Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi (pasal 1 ayat 11). 1. Desentralisasi UU 23/2014 ayat 8 mendefinisikan bahwa Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Asas Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah. Sedangkan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Desentralisasi merupakan konsep yang secara luas telah digunakan dalam strategi pembangunan dan tata pemerintahan saat ini banyak diterapkan untuk pengelola sumber daya. Ada banyak defenisi desentralisasi dalam literatur yang melingkupi berbagai rentang perspektif dan dimensi. Keluwesan dan penghargaan terhadap kemajemukan serta keunikan lokal sangat berhubungan dengan popularitas desentralisasi, di samping kaitannya dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat (Thorburn 2002; Turner and Hulme 1997). Benang merah dari semua defenisi tersebut adalah pendelegasian kewenangan pengaturan dan pengelolaan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Diskursus desentralisasi lahir dari studi teoritis dan empiris tentang

42 26 tingkat efisiensi dan efektivitas dari desentralisasi, yang pada umumnya didominasi oleh teori-teori politik dan ekonomi (Faguet 1997). Di Indonesia desentralisasi juga tidak terlepas dari debat pro dan kontra. Desentralisasi di Indonesia juga mengalami pasang surut (M okhsen, N 2003) yang ditandai dengan bongkar pasang kebijakan, terutama yang berkaitan dengan kebijakan fiskal serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sebagai warisan kolonial, perjalanan desentralissi membebaskan pola pengawasan dan control yang kuat dari tingkatan pemerintahan yang tinggi. Dinamika desentralisasi di Indonesia juga ditandai dengan tarik ulur kedaulatan dan keutuhan nasional dengan pengakomodasian keberagaman regional. Kebijakan desentralisasi di Indonesia selalu harus dibingkai dengan konsep negara kesatuan yang terkadang terkesan gagap jika dibenturkan dengan konsep federasi. (Victor PH, 2013: 440). 2. Pengelolaan wilayah pesisir Diberlakukanya UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil setelah di ubahnya UU No. 27 tahun Sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1-5 yaitu dibawah ini sebagai berikut: 1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

43 27 2. wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. 3. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan km 2 (dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya. 4. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya non hayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir. 5. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas. Defenisi PWP ini melingkupi konsep pengelolaan dan pemantauan atas pemanfaatan sumber daya pesisir dari berragam aktivitas. Lebih lanjut PWP mencakup perizinan, pengaturan pembiyaan dan aktivitas pembangunan yang konsisten dengan kebijakan pengelolaan. Dalam konteks desentralisasi, Pemda diberikan mandat yang lebih luas untuk mengatur dan mengelola wilayah pesisir dan sumber daya yang terkandung didalamnya yang dibingkai dengan tata cara dan

44 28 mekanisme perencanaan dan pengelola wilayah pesisir untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah administrasinya. Siry (2009) mencatat tingginya keinginan Pe merintah Daerah untuk menjadikan wilayah pesisir dan sumber daya yang terkandung didalamnya sebagai entitas ekonomi bagi pembangunan daerah dan kemandirian lokal sebagai amanat pembagian kewenangan pengelolaan. Dalam konteks inilah desentralisasi PWP dipandang sebagai pilar bagi pengelolaan wilayah pesisir yang lebih baik dan diharapkan berkelanjutan. Namun dari berbagai kasus, desentralisasi PWP disalah pahami sebagai bentuk pembatasan kepemilikan dan pengurasa sumber daya pesisir atas nama peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) khususnya yang bernilai ekonomi tinggi. Minimnya koordinasi dan masih parsialnya pola PWP adalah contoh rendahnya tingkat kepedulian Pemda terhadap PWP. Hal ini merupakan cerminan masih perlunya pemberdayaan Pemda dalam desentralisasi PWP. Hal ini juga yang menjadi dasar pertimbangan untuk melakukan kajian ulang atas pembagian kewenangan dan tata kelola PWP. (Victor PH, 2013: 446). Saat ini Rancangan Perubahan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah mencantumkan perlunya melakukan penarikan kewenangan pengelolaan Pemerintah Kabupaten/Kota atas wilayah pesisir dan menyerahkannya kepada Pemerintah Provinsi. Bagian ketiga pasal 30 ayat 1 dari naskah rancangan perubahan tersebut menyatakan kewenangan pengelolaan sumberdaya laut sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah Provinsi. Kewenangan provinsi untuk mengelola sumberdaya di laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pangkal ke arah laut

45 29 lepas/atau keperairan kepulauan (pasal 30 aya t 3) dan kewenangan kabupaten/kota atas pengelolaan sumberdaya di wilayah laut sejauh maksimum 4 mil laut, menurut RUU ini dihilangkan. (Sidik, 2013). Kemudian untuk kelancaran jalannya pemerintahan daerah, maka kewenangan urusan pengelolaan urusan pemerintahan yang berdampak ekologis akan lebih efektif diserahkan ketingkat provinsi. Namun untuk menjamin keadilan, kabupaten/kota mendapatkan bagi hasil dari pemerintahan yang dihasilkan dari penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Jika Rancangan Perubahan Undang-Undang ini disyahkan menjadi Undang-Undang tentunya akan membawa perubahan fundamental berikutnya, karena dalam penjelasan rancangan tersebut menegaskan bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang merujuk UU 31/2004 untuk pembagian urusan, akan mengalami dampak yang cukup signifikan. (Victor PH, 2010: ). F. Governance (Tata Kelola) Dalam Konteks Terumbu Karang 1. Elemen Kebijakan, Strategi dan Perencanaaan Dalam konteks kondisi saat ini untuk Indonesia, kebijakan kelautan merupakan sebuah proses alamiah yang melekat pada pembangunan sektoral, belum dalam bentuk sebuah integrasi kebijakan yang menyeluruh dengan mempertimbangkan segenap kepentingan bangsa. Secara sektoral, kebijakan kelautan diterjemahkan sebagai sebuah arah dan tujuan pembangunan sektor masing-masing, seperti kebijakan pembangunan transportasi laut, kebijakan pembangunan perikanan, kebijakan pembangunan wisata bahari, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini

46 30 kebijakaan kelautan Indonesia dapat dikatakan sebagai kuasi kebijakan kelautan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.2 dibawah ini: Sektor Kelautan dan Perikanan Sektor Pendidikan Kelautan Kebijakan Pembangunan Sektor Energy Dan Sumberdaya Mineral Sektor Pertahanan Maritim Sektor Pariwisata Bahari Sektor Transportasi Laut Gambar 2.2 Kondisi Koasi Kebijakan Pembangunan Kelautan Indonesia 2. Aransemen dan Mekanisme Kelembagaan Sektor Infrastruktur Kelautan Dalam konteks Indonesia, saat ini arah mekanisme kelembagaan kelautan masih belum terkordinasi dengan baik. Semua institusi negara yang berkepentingan dengan laut membuat kebijakan lebih bersifat sektoral. Belum ada suatu mekanisme atau aransemen kelembagaan yang mampu mensinergikan dan memadukan kebijakan

47 31 pembangunan kelautan. Dampaknya, penanganan suatu kasus dalam pembangunan kelautan acapkali menimbulkan konflik kepentingan ketimbang solusi integral. Umpamanya, penyelesaian kasus pasir laut Riau yang menimbulkan problem antar institusi negara yakni antar Kementrian Energi dan Sumber daya Mineral, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dari kasus ini nampak jelas bahwa pembangunan kelautan memang membutuhkan mekanisme koordinasi dan aransemen kelembagaan yang mampu memadukan semua kepentingan institusi negara yang terlibat. Agar bidang kelautan menjadi sebuah bidang unggulan dalam perekonomian nasionl, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang bersifat terintegrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Guna mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan nasional (Ntional ocean development policy) yang nantinya menjadi payung dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua dominan dalam suatu sistem pemerintahan yakni eksekutif dan legislatif. Dalam konteks itu, maka kebijakan kelautan dan perikanan pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung jawab bersama pada semua level institusi eksekutif dan legislatif yang mempunyai keterkaitan kelembagaan maupun sektor pembangunan. Sementara pada level legislatif adalah bagaimana lembaga ini mampu menciptakan instrument kelembagaan (peraturan perundangan) pada level pusat maupun daerah untuk mendukung kebijakan pembangunan kelautan.

48 32 3. Legislasi dan Peraturan Perundang-Undangan Dalam konteks eksisting, Indonesia telah memiliki perangkat hukum kelautan yang saat ini ada dalam aristektur hukum Indonesia dan terkait langsung maupun tidak langsung dengan tata kelola terumbu karang di Indonesia. a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya Undang-undang ini disyahkan pada tanggal 10 Agustus Dalam Undangundang tersebut disebutkan bahwa, konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaanya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keaneka ragaman dan nilainya. b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keaneka Ragaman Hayati Undang-undang ini disahkan pada tanggal 1 Agustus Sebagaimana yang tercantum dalam penjelasan UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konversi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati, yang kemudian dikenal dengan sebutan Konvensi Keanekaragaman Hayati telah ditandatangani oleh 157 kepala negara dan/atau kepala pemerintahan atau wakil negara pada waktu naskah Konvensi ini diresmikan di Rio de Janeiro, Brazil. Penandatangan ini terlaksana selama penyelenggaran. United Nations Conference On Environment And Development (UNITED), pada tanggal 3 sampai dengan 14 juni Sementara

49 33 Indonesia sendiri merupakan negara kedelapan yang menandatangani konvensi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tanggal 5 juli c. Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 yang telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan UU No. 31 Tahun 2004 belum dianggap sepenuhnya mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan, maka pada tanggal 29 Oktober 2009 ditetapkan UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Pasal 2 UU No. 45 Tahun 2009 menyebutkan ada delapan asas dalam pengelolaan perikanan, yaitu: asas manfaat, keadilan, kebersamaan, kemitraan, kemandirian, pemerataan keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan pembangunan yang berkelanjutan. d. Undang-Undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007 diubah menjadi UU No. 1 tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil UU No. 27 Tahun 2007 diubah menjadi UU 1/ 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan undang-undang baru yang menata kegiatan diwilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil. Menurut pasal 1 disebutkan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah

50 34 Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 4. Informasi dan Peningkatan Kesadaran Publik Pada konteks elemen informasi dan peningkatan kesadaran publik, Indonesia telah mengadopsi berbagai mekanisme untuk peningkatan kualitas informasi tentang sumberdaya kelautan (termasuk didalamnya informasi tentang ekosistem terumbu karang) dan sekaligus peningkatan kesadaran publik. Secara legal, upaya ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional Indonesia karena sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), upaya peningkatan wawasan kebaharian menjadi salah satu misi nasional. 5. Mekanisme Pembiayaan Berkelanjutan Pembiayaan berkelanjutan merupakan elemen penting dalam tata kelola kelautan termasuk di dalamnya ekosistem terumbu karang. Mekanisme pembiyaan tersebut merupakan elemen pokok dalam governance menyangkut implementasi keputusan dituangkan dalam bentuk program kegiatan yang memerlukan dukungan pembiayaan yang berkelanjutan. Seperti implementasi rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan (KKP) dan pengelolaan wilayah pesisir (PWP) dan pulau -pulau kecil membutuhkan pendanaan yang cukup signifikan. Dengan target persen kawasan laut dunia dapat dikonservasi, maka estimasi kebutuhan dana mencapai 5 miliyar 19 miliyar USD pertahun dan membutuhkan setidaknya satu juta pekerja (Balmford et al., 2004 dalam Victor PH, 2013: 194).

51 35 Konservasi perairan tersebut memerlukan infrastruktur yang cukup memadai untuk berjalannya upaya-upaya pengelolaan. Infrastruktur ini dapat dibagi infrastruktur dasar, infrastruktur pengamanan, dan infrastruktur komunikasi. Beberapa infrastruktur dasar pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah kantor, rumah dinas, kendaraan dermaga, peralatan monitoring, papan informasi, GPS, dan kompas, sedangkan infrastruktur pengamanan meliputi kantor jaga, kapal patrol, menara pengintai, dan laboratorium. Terakhir infrastruktur komunikasi diantaranya SKRT kehutanan, handly talky, radio, SSB, dan telephon (Halim et al: 2013 dalam Victor PH, 2013: 194). 6. Peningkatan Kapasitas Elemen ini sangat esensial terkait dengan pelaksanaan dari hasil pengambilan keputusan yang diperoleh dari proses tata kelola kelautan. Proses peningkatan kapasitas terkait dengan ekosistem terumbu karang sudah banyak dilakukan. Table 2.2 menyajikan beberapa program peningkatan kapasitas pemangku kepentingan terkait dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Indonesia. No Program kegiatan Tipologi Peningkatan Kapasitas Pemangku Kepentingan 1 Program Pasca Sarjana COREMAP Pendidikan formal pasca sarjana tingkat master bagi Staf Dinas Kelautan Dan Perikanan 2 berbagai jenis pelatihan terkait dengan ekosistem terumbu karang (NGO, pemerintah, lembaga donor) Pendidikan non-formal bagi pengguna sumberdaya khususnya yang terkait dengan pelestarian ekosistem terumbu karang 3 Program Pendidikan Kelautan Pendidikan formal tingkat sarjana di bidang kelautan

52 36 G. Kerangka Pikir Terumbu karang merupakan objek wisata terindah dilaut yang ada di Kabupaten Wakatobi dan memiliki nilai ekonomi tinggi serta menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat nelayan dan juga menjadi sumber devisa bagi negara. Salah satu cara untuk mengembangkan dan memperkenalkan keindahan potensi tersebut adalah melakukan kegiatan inovasi pengelolaan terumbu karang (studi kasus tentang coral governance) dan dipasarkannya serta mempromosikan kepada masyarakat luas baik lokal, nasional maupun internasional sehingga dapat dikenal objek wisata yang ada di Kabupaten Wakatobi juga diperlukan fasilitas berupa sarana dan prasaranan sebagai faktor pendukung yang dapat menopang berhasilnya pencapaian pengelolaan terumbu karang untuk menarik perhatian para wisatawan serta mengatasi adanya faktor-faktor hambatan yang dapat merusak terumbu karang. Oleh karena itu, aspek yang akan di inovasikan oleh Pemerintah Daerah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan adalah Coral Governance menjadi peranan penting di daerahnya mampu melihat dan mendayagunakan potensi tersebut dalam melakukan sebuah inovasi terhadap pengelolaan terumbu karang yang terdiri atas enam (6) indikator yaitu: keterlibatan pemangku kepentingan, berdasarkan pengetahuan lokal dan modern, ada kendali terhadap segenap aktivitas, alokasi sumberdaya, pilihan dan tujuan publik/masyarakat, dan ada otoritas pengelolaan di dalamnya. Ke Enam aspek inovasi tersebut ini minimal digunakan sebagai sasaran indikator dalam pencapaian coral governance di Kabupaten Wakatobi sehingga keberlanjutan terumbu karang dapat terus berlanjut di kelola dan dimanfaatkan sumberdaya pesisir dan lautan baik

53 37 dalam perspektif keberlanjutan sistem ekologi dan sumberdaya, keberlanjutan sosial dan ekonomi, serta bagaimana mekanisme kelembagaan dapat menjamin keberlanjutan tersebut. Pada gambar 2.3 kerangka pikir ini menyajikan beberapa indikator dalam melakukan sebuah inovasi terhadap pengelolaan terumbu karang yaitu: Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Studi Kasus Tentang Coral Governance) Kabupaten Wakatobi Aspek Inovasi governance Coral governance Keterlibatan pemangku kepentingan Berdasarkan pengetahuan lokal dan modern Ada kendali terhadap segenap aktivitas Alokasi sumberdaya Pilihan dan tujuan publik/masyarakat Ada otoritas pengelolaan di dalamnya Faktor pendukung Terumbu karang berkelanjutan Faktor penghambat Gambar 2.3 Kerang Pikir, beberapa indikator dalam melakukan sebuah inovasi terhadap pengelolaan terumbu karang.

54 38 H. Fokus Penelitian Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Studi Kasus Tentang Coral Governance ) di Kabupaten Wakatobi meliputi: 1. Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang terhadap Studi Kasus tentang Coral Governance di Kabupaten Wakatobi. 2. Faktor pendukung dan penghambat inovasi pengelolaan terumbu karang (Studi Kasus tentang Coral Governance) di Kabupaten Wakatobi. I. Deskripsi Fokus Penelitian 1. Inovasi pengelolaan terumbu karang terhadap studi kasus tentang coral governance adalah upaya atau cara-cara yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan untuk mengoptimalkan pengelolaan terumbu karang dan sumber daya lainya agar bisa menjadi kas daerah juga menambah devisa bagi negara serta bermanfaat pula bagi kesejahteraan masyarakat dan juga terumbu karang dapat terselamatkan dari berbagai ancaman baik yang dilakukan oleh aktivitas manusia termasuk juga mengatasi fenomena alam lainnya. 2. Aspek sasaran inovasi terhadap pengelolaan terumbu karang terdiri enam (6) elemen yaitu: keterlibatan pemangku kepentingan (satakeholder involvement), berdasarkan pengetahuan lokal dan modern (modern and customary knowledged based), ada kendali terhadap segenap aktivitas ( control the activities), alokasi sumberdaya (allocation of the resources), pilihan dan

55 39 tujuan publik/masyarakat (societal-choice and objective), dan ada otoritas pengelolaan di dalamnya (set of authority). 3. Keterlibatan pemangku kepentingan ( stakeholders) adalah unsur utama sebagai obyek dan sekaligus subyek dari tata kelola terumbu karang (Coral Governance). Obyek tata kelola seperti misalnya ekosistem terumbu karang berujung pada kepentingan segenap pemangku kepentingan dari ekosistem terumbu karang tersebut. Sedangkan secara subyek misalnya bahwa segenap proses dan mekanisme tata kelola berasal dari stakeholders. 4. Berdasarkan pengetahuan lokal dan modern adalah pengetahuan yang dimaksud berupa unsur legal yang bersifat formal dan bersifat adat. Kedua unsur legal ini sangat penting sebagai elemen governance karena berperan sebagai dasar dari elemen yang lain, yaitu pemangku kepentingan, institusi dan proses. 5. Ada kendali terhadap segenap aktivitas yang terkait dengan ekosistem terumbu karang yaitu berupa kebijakan, strategi, dan perencanaan. Dalam kerangka tata kelola, elemen ini merupakan payung dari pelaksanaan tata kelola secara konprehensif. Secara normatif, kebijakan merupakan arah dari tujuan pembangunan kelautan hendak dicapai, sedangkan strategi merupakan cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan kelautan. Sementara itu, perencanaan merupakan sebuah proses interaktif antar pemangku kepentingan dalam merumuskan strategi yang tepat guna mencapai tujuan pembangunan kelautan.

56 40 6. Alokasi sumber daya yaitu pembiayaan yang merupakan salah satu elemen pokok dalam coral governance menyangkut implementasi dari keputusan yang dihasilkan oleh governance. Implementasi keputusan dituangkan dalam bentuk program kegiatan yang memerlukan dukungan pembiyaan yang berkelanjutan. 7. pilihan dan tujuan publik/masyarakat dalam tata kelola terumbu karang adalah peningkatan kesadaran publik yaitu: (a) meningkatkan tingkat kepercayaan, keyakinan, dan apresiasi dari proses serta pentingnya integrasi dalam pembangunan kelautan nasional, (b) meningkatkan perhatian terhadap isu, perubahan prilaku stakeholder, mempengaruhi pengambilan keputusan dan meningkatkan upaya penegakkan hukum. Menciptakan mekanisme kesadaran yang membuat stakeholder dapat terlibat aktif dalam rencana aksi dan menentukan kesepakatan pilihan terkait dengan pembangunan kelautan. 8. ada otoritas pengelolaan di dalamnya berupa adanya legislasi dan peraturan perundang-undangan yang merupakan basis pelaksanaan kebijakan kelautan melalui mekanisme kelembagaan yang telah ditetapkan. Dalam konteks ini, elemen legislasi mencakup perangkat hukum yang dihasilkan oleh badan legislatif maupun yang bersifat adat. 9. Faktor pendukung oleh Pemerintah Daerah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan dalam inovasi pengelolaan terumbu karang (coral governance) adalah faktor-faktor yang dapat membantu ataupun menunjang keberhasilan dalam inovasi pengelolaan terumbu karang terhadap studi coral governance.

57 Faktor penghambat oleh Pemerintah Daerah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan dalam inovasi pengelolaan terumbu karang ( coral governance) adalah faktor-faktor yang dapat menghambat ataupun merusak terumbu karang dalam tata kelola (governance) pengelolaan terumbu karang baik secara internal maupun secara eksternal dalam upaya pengelolaan pelestarian terumbu karang. 11. Terumbu karang berkelanjutan yang dimaksud adalah tata kelola terumbu karang ( coral governance) dalam pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang melalui sebuah kerangka pembangunan berkelanjutan dapat digunakan sebagai basis bagi peningkatan kualitas dari sumberdaya pesisir dan lautan baik dalam perspektif keberlanjutan sistem ekologi dan sumberdaya, keberlanjutan sosial dan ekonomi, serta bagaimana mekanisme kelembagaan dapat menjamin keberlanjutan tersebut.

58 BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, di mulai dari bulan Juni sampai dengan bulan Agustus tahun Adapun lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Wakatobi tepatnya di Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan, Coremap, LSM, dan Masyarakat Nelayan dengan alasan untuk meneliti dan mengetahui Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Studi Kasus Tentang Coral Governance). Alasan lain dipilih sebagai tempat penelitian karena disamping Kabupaten Wakatobi menjadi pusat perlindungan terumbu karang dan juga menjadi objek wisata keindahan lautan yaitu Terumbu Karang. B. Jenis dan Tipe Penelitian 1. Jenis penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah, sebagai lawannya adalah eksperimen, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, tehnik pengumpulan data dilakukan secara tringulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. 2. Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yakni suatu bentuk penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum berbagai macam data yang dikumpul dari lapangan secara objektif, sedangkan dasar 42

59 43 penelitiannya adalah survei yakni tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah menggambarkan mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dari Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Study Kasus Tentang Coral Governance) di Kabupaten Wakatobi. C. Sumber Data a. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Sumber data utama ini dicatat melalui catatan tertulis yang dilakukan melalui wawancara terhadap informan maupun pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti. b. Data Sekunder mencakup dokomen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Dalam hal ini yang menjadi data sekunder yaitu buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dokumen-dokumen yang berisi informasi penting. D. Informan Penelitian 1. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan 1 orang 2. Staf Dinas Kelautan dan Perikanan 2 orang 3. Coremap 2 orang 4. Lembaga Swadaya Masyarakat 3 orang 5. Masyarakat Nelayan 3 orang Jumlah 11 orang

60 44 E. Teknik Pengumpulan Data Teknik penelitian merupakan salah satu unsur penting dalam melakukan suatu penelitian. Teknik yang digunakan dalam menghimpun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Observasi, adalah penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung di lapangan yang berkaitan dengaan inovasi pengelolaan terumbu karang (study kasus tentang coral governance) di Kabupaten Wakatobi 2. Wawancara yang digunakan oleh peneliti adalah wawancara bebas terpimpin, artinya peneliti mengadakan pertemuan langsung dengan petugas pemerintah, dan wawancara bebas artinya peneliti bebas mengajukan pertanyaan kepada informan sesuai dengan jenis pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. 3. Dokumentasi, yaitu pemanfaatan informasi melalui dokumen-dokumen tertentu yang dianggap mendukung. Adapun manfaat penggunaan dokumen dalam hal ini adalah : a. Dokumen membantu pemverifikasian ejaan dan judul atau nama yang benar dari organisasi yang telah disinggung dalam wawancara. b. Dokumen dapat menambah rincian spesifik lainnya guna mendukung informasi dari sumber-sumber lain; jika bukti dokumenter bertentangan dan bukannya mendukung, peneliti mempunyai alasan untuk meneliti lebih jauh topik yang bersangkutan.

61 45 F. Teknik Analisis Data Analisis data ialah langkah selanjutnya untuk mengelola data dimana data yang diperoleh, dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menyimpulkan persoalan yang diajukan dalam menyusun hasil penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisa interakif. Dalam model ini terdapat komponen pokok. Menurut Miles dan Huberman terdapat tiga komponen dalam analisis data yaitu : a. Reduksi Data Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian, data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. b. Penyajian Data Dalam penelitian kualitatif, penyajian data merupakan rakitan informasi dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya agar makna peristiwa lebih mudah dipahami. c. Penarikan Kesimpulan Dalam penelitian kualitatif, penyajian data merupakan rakitan informasi dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya agar makna peristiwa lebih mudah dipahami.

62 46 Bagan III Model Analisis Interaktif Pengumpulan data Reduksi data Sajian data Penarikan kesimpulan G. Pengabsahan Data Setelah menganalisis data, peneliti harus memastikan apakah interpretasi dan temuan penelitian akurat. Validasi temuan menurut Creswell berarti bahwa peneliti menentukan keakuratan dan kredibilitas temuan melalui beberapa strategi, antara lain member checking, tringulasi dan auditing. 1. Member checking, adalah proses peneliti mengajukan pertanyaan pada satu atau lebih partisipan untuk tujuan seperti yang telah dijelaskan di atas. Aktivitas ini juga dilakukan untuk mengambil temuan kembali pada partisipan dan menanyakan pada mereka baik lisan maupun tertulis tentang keakuratan laporan penelitian. Pertanyaan dapat meliputi berbagai aspek dalam penelitian tersebut, misalnya apakah deskripsi data telah lengkap, apakah interpretasi bersifat representatif dan dilakukan tanpa kecenderungan. 2. Tringulasi, merupakan proses penyokongan bukti terhadap temuan, analisis dan interpretasi data yang telah dilakukan peneliti yang berasal dari: (1) individu

63 47 (informan) yang berbeda (guru dan murid), ( 2) tipe atau sumber data (wawancara, pengamatan dan dokumen), serta (3) metode pengumpulan data (wawancara, pengamatan dan dokumen). 3 External Audit, yaitu untuk menghindari bias atas hasil temuan penelitian, peneliti perlu melakukan cek silang dengan seseorang di luar penelitian. Seseorang tersebut dapat berupa pakar yang dapat memberikan penilaian imbang dalam bentuk pemeriksaan laporan penelitian yang akurat.

64 48 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Obyek Penelitian 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Wakatobi adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara di Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Wangi-Wangi, di bentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Kolaka Utara. Luas wilayahnya terdiri dari daratan dengan seluas ± 823 km² atau hanya sekitar 4,3 persen dari total wilayah Kabupaten Wakatobi secara keseluruhan. Sisanya merupakan wilayah perairan laut yang luasnya mencapai ± km 2. Jumlah penduduk Kabupaten Wakatobi pada 31 Desember 2014 adalah sebanyak menjadi Jiwa. Kabupaten Wakatobi terdiri dari 8 Kecamatan yaitu Binongko, Togo Binongko, Tomia, Tomia Timur, Kaledupa, Kaledupa Selatan, Wangi- Wangi, dan Wangi-Wangi Selatan serta memilik 75 desa dan kelurahan juga Terdapat suku bangsa yang terbanyak adalah Wakatobi 91,33%, Bajo 7,92%, dan suku lainnya yang berjumlah kurang dari 1%. Kemudian bila dilihat menurut lapangan usaha memiliki beberapa sektor sebagai mata pencaharian yaitu: sektor pertanian, sektor perdagangan, sektor jasa, industri, transportasi dan neyalang/melaut. Sektor lain yang sudah lama menjadi urat nadi kegiatan ekonomi Wakatobi adalah perikanan.

65 49 Makanan pokok mereka adalah ubi-ubian, yang biasa dibakar dan dimakan bersama ikan. Secara astronomis, Kabupaten Wakatobi berada di selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan di antara Lintang Selatan ( sepanjang ± 160 km ) dan membentang dari Barat ke Timur di antara Bujur Timur ( sepanjang ± 120 km ). Gambar 4.1 : Peta Kabupaten Wakatobi Secara administratif batas wilayah kawasan kabupaten Wakatobi adalah sebagai berikut : a. Batas sebelah Utara : Kabupaten Buton dan Muna b. Batas sebelah Selatan : Laut Flores c. Batas sebelah Barat : Kabupaten Buton d. Batas sebelah Timur : Laut Banda. Wakatobi juga merupakan nama kawasan Taman Wisata Alam Laut yang ditetapkan oleh Pemerintah RI melalui Menteri Kehutanan pada tahun 1995.

66 50 Kemudian pada tahun 1996 ditingkatkan statusnya menjadi wilayah konservasi dengan status Taman Nasional dengan luas keseluruhan 1,39 juta hektar, menyangkut keanekaragaman hayati laut, skala dan kondisi karang yang menempati salah satu posisi prioritas tertinggi dari konservasi laut di Indonesia. Kedalaman air di taman nasional ini bervariasi, bagian terdalam mencapai meter di bawah permukaan air laut. Taman tersebut bisa dijadikan tempat peneliti untuk meneliti terumbu karang. Salah satunya adalah Yayasan Pengembangan Wallacea lewat Operasi Wallacea. Secara historis sebelum menjadi daerah otonom wilayah Kabupaten Wakatobi lebih dikenal dengan sebutan Kepulauan Tukang Besi yang mempunyai 25 gugusan terumbu karang yang masih asli dengan spesies beraneka ragam bentuk. Terumbu karang menjadi habitat berbagai jenis ikan dan makhluk hidup laut lainnya seperti moluska, cacing laut, tumbuhan laut, Ikan hiu, lumba-lumba, dan paus juga menjadi penghuni kawasan ini. Kesemuanya menciptakan taman laut yang indah dan masih alami. Taman laut yang dinilai terbaik di dunia ini sering dijadikan ajang diving dan snorkling bagi para penyelam. 2. Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten Wakatobi Penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Wakatobi secara resmi dimulai pada tanggal 9 Januari Pejabat Bupati dan Wakil Bupati Wakatobi berturut-turut yaitu diantarannya: Sarifudin Safaa, S.Sos ( ), Mahufi Madra, SE ( ), Ir. Hugua dan Ediarto Rusmin BAE ( ), serta Ir. Hugua dan Arhawi Ruda, SE ( ).

67 51 Saat ini kepemimpinan daerah Kabupaten Wakatobi dijabat oleh pasangan Bupati dan Wakil Bupati Ir. Hugua dan Arhawi, SE Yang dilantik oleh Gubernur Sulawesi Tenggara H. Nur Alam, SE pada tanggal 28 Juni 2011 atas nama Menteri Dalam Negeri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : , Tanggal 30 Maret 2011 Tentang Pengesahan Pengangkatan Bupati Wakatobi Ir. Hugua dan Wakil Bupati Wakatobi H. Arhawi, SE untuk masa bhakti periode Adapun visi Pemerintah Kabupaten Wakatobi sebagaimana tercantum dalam Perda No. 3 Tahun 2013 tentang Rencana pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Wakatobi yaitu Terwujudnya Surga Nyata Bawah Laut di Pusat Segitiga Karang Dunia. Pada visi Kabupaten Wakatobi Tahun terdapat tiga kata kunci atau pokok visi, yaitu Surga nyata, Bawah laut, dan Pusat segi tiga karang dunia. Penjelasan dari ketiga pokok visi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Surga nyata adalah perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan hidup serta daya saing daerah yang didukung oleh situasi ketertiban dan ketentraman umum yang kondusif. 2. Bawah laut adalah perwujudan kemanfaatan dan kelestarian atas potensi sumberdaya bawah laut dan perairannya khususnya dalam hal kelautan, perikanan, pariwisata, dan lingkungan/kawasannya.

68 52 3. Pusat segi tiga karang dunia adalah aktualisasi posisi geostrategis Wakatobi, yakni pada pusat segitiga karang dunia yang mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Berikutnya dalam upaya mewujudkan Surga Nyata Bawah Laut di Pusat Segi Tiga Karang Dunia, dan memperhatikan perubahan paradigma dan isu-isu strategis serta kondisi yang akan dihadapi pada masa yang akan datang, maka ditetapkan misi pembangunan Wakatobi tahun , sebagai berikut: 1. Mendorong peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat; 2. Meningkatkan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam; 3. Meningkatkan kualitas dan daya dukung infrastruktur wilayah; 4. Meningkatkan kualitas pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan; dan 5. Mengembangkan situasi yang kondusif bagi kehidupan masyarakat yang inovatif. 3. Sistem dan Lembaga serta Susunan Organisasi Kepemerintahan di Kabupaten Wakatobi Sistem pemerintahan di Indonesia didasarkan pada kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif (T rias politika). Adapun sistem Kekuasaan legislatif di Wakatobi dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Wakatobi. Anggota DPRD dipilih melalui pemilu dan dilantik dalam masa jabatan lima tahun. Jumlah anggota DPRD Kabupaten Wakatobi periode sebanyak 25 orang. Lembaga eksekutif di Wakatobi terdiri dari bupati, wakil bupati, dan satuan kerja pemerintahan daerah. Bupati dan wakil bupati dipilih secara langsung oleh rakyat dan dilantik dalam masa jabatan lima tahun. Lembaga Yudikatif dijalankan

69 53 oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Lembaga yudikatif hanya berkantor di jakarta. Susunan organisasi kepemerintahan kabupaten Wakatobi adalah Bupati, Wakil Bupati, DPRD, Dinas, Badan, Kantor, serta Sekretariat Kecamatan, dan Desa. Pemerintahan daerah juga berkoordinasi pula dengan Kantor Kementrian di daerah, lembaga negara setingkat kementrian di daerah, lembaga pemerintahan non kementrian di daerah. Dinas-dinas terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Pendidikan Nasional, Pemuda Dan Olahraga, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan umum, Pertambangan, Dan, Energi, Dinas Perhubungan, Komunikasi Dan Informatika, Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, Dan Asset Daerah, Dinas Kesejahteraan Sosial, Tenaga Kerja, Dan Transmigrasi, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Dan Usaha Kecil Menengah, Dinas Kelautan Dan Perikanan, Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata, Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan & Peternakan, Dinas Tata Ruang, Kebersihan, Pertamanan, Pemakaman dan Pemadam Kebakaran, Kependudukan Dan Catatan Sipil. Badan-Badan terdiri dari Badan Perencanaan Pembangunan, Penanaman Modal, Penelitian, Dan Pengembangan Daerah, Badan Kepegawaian Daerah dan Pendidikan dan pelatihan, Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat, Badan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Badan Lingkungan Hidup, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Badan Ketahanan Pangan Dan Penyuluhan Pertanian, Peternakan dan Kehutanan, dan Inspektorat.

70 54 Kantor terdiri dari kantor Rumah Sakit Umum Daerah, kantor Satuan Polisi pamong Praja, Kantor Perpustakaan Daerah, Pengolahan Data Elektronika dan Arsip, Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu, Kantor Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Daerah,Kantor Penghubung, dan Kantor Dewan Korpri.Kantor Kementrian di daerah terdiri dari Kantor Kementrian Agama, Badan Konservasi Sumber daya Alam (Kementrian kehutanan), Kantor Penyelenggaraan Pelayanan Pelabuhan (Kementrian Perhubungan), Kantor Kesehatan Keselamatan Pelabuhan (Kemetrian Kesehatan). Lembaga negara setingkat kementrian di daerah terdiri dari Kejaksaan Negeri, Kepolisian Resor, Perwira Penghubung Kodim 1413 Buton, Dan kosal Angkatan Laut Lembaga pemerintahan non kementrian di daerah antara lain Badan Pusat Statistik, Badan Pertanahan Nasional, Badan Urusan Logistik. 4. Kondisi Sosial Dan Budaya Kehidupan Masyarakat Wakatobi Penduduk di Kabupaten Wakatobi tercatat sebanyak jiwa yang tersebar di 75 desa/kelurahan dan 8 kecamatan pada tahun Sebagian besar penduduk Wakatobi memanfaatkan sumberdaya laut yang ada di perairan kawasan Taman Nasional Wakatobi sebagai sumber pendapatan/mata pencahariannya yaitu sebagai nelayan tradisional, dan petani budidaya rumput laut. Sisanya sebagai pedagang atau berlayar dengan jarak berlayar hingga sampai ke Singapura atau Malaysia, selanjutnya adalah sebagai petani sederhana yang hanya berkebun singkong dan jagung karena kondisi tanah di pulau-pulau Wakatobi adalah bebatuan dan memiliki tanah yang sedikit.

71 55 Penduduk Wakatobi terdiri dari berbagai macam etnis yaitu etnis Wakatobi asli, Bugis, Buton, Jawa dan Bajau. Namun kebudayaan etnis asli masih kuat belum banyak mengalami akulturasi dan masing-masing etnis hidup dengan teratur, rukun dan saling menghargai. Etnis bajau merupakan etnis yang sangat unik, karena kehidupan mereka sangat tergantung pada kehidupan laut, mulai dari mata pencaharian sampai membangun pemukiman yang berada di atas pesisir laut dengan memanfaatkan batu karang. Masyarakat Wakatobi hampir 100 % memeluk agama Islam. Masyarakat asli Wakatobi terdiri dari 9 masyarakat adat/lokal, yaitu masyarakat adat/lokal wanci, masyarakat adat/lokal mandati, masyarakat adat/lokal Liya, dan masyarakat adat kapota yang terdapat di Pulau Wangi-wangi dan Kapota, selanjunya masyarakat adat/lokal kaledupa yang terdapat di pulau Kaledupa, masyarakat adat/lokal Waha, masyarakat adat/lokal Tongano dan masyarakat adat Timur yang terdapat di pulau Tomia, selanjutnya masyarakat adat/lokal mbeda-beda di pulau Binongko. Selain itu terdapat dua masyarakat adat/lokal yang merupakan pendatang yaitu masyarakat bajau dan masyarakat adat cia-cia yang berasal dari etnis Buton. Setiap masyarakat adat/lokal tersebut memiliki bahasa yang khas untuk adat/lokalnya masing-masing walaupn bahasa yang digunakan berbeda-beda tetapi di antara mereka tetap bisa saling memahami jika terjadi komunikasi. Disisi lain, keseluruhan kehidupan masyarakat Wakatobi tidak dapat dipisahkan dari laut. Kedekatan dengan laut inilah yang membentuk tradisi kehidupan

72 56 sebagai masyarakat kepulauan dan pesisir sehingga budaya masyarakat yang dimilikinya itu lebih bersifat budaya pesisir (marine antropologis). Ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap sumberdaya laut mendorong mereka untuk melakukan pengelolaan secara tradisional agar terjaga keberlanjutannya salah satunya di sekitar Pulau Hoga yang mensepakati sebuah daerah dilarang untuk areal penangkapan yaitu di sebelah barat Pulau Hoga (luas 500 x 300 m) yang sering disebut dengan tubba dikatutuang ( Tubba = habitat, tempat hidup, karang; dikatutuang = disayangi, dipelihara, dirawat; Bahasa Bajo) karena daerah tersebut menjadi wilayah pemijahan ikan. Masyarakat kepulauan Wakatobi juga kaya dengan kesenian tradisionalnya yang menunjukkan masih berlakunya tradisi lokal yang ada di masyarakat. Berbagai macam tarian yang masih sering disaksikan seperti tarian lariangi, tarian balumpa, tarian kenta-kenta, dll. Sementara itu aktifitas masyarakat sebagai tukang besi juga masih banyak yang melakukannya serta ibu-ibu juga masih membuat kain tenun khas Wakatobi. 5. Kondisi dan Luas Terumbu Karang Kabupaten Wakatobi Perairan Wakatobi berada di pusat segitiga karang dunia ( the heart of coral triangle centre), yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya tertinggi di dunia, yang meliputi Phillipina, Indonesia sampai Kepulauan Solomon.

73 57 Gambar 4.2 : Pusat Segitiga Karang Dunia (Sumber : Marthen Welly, 2008). Berdasarkan hasil citra satelit, diketahui bahwa luas terumbu karang di kepulauan Wakatobi adalah 8.816,169 hektar. Di kompleks Pulau Wangi-wangi dan sekitarnya (P. Kapota, P. Suma, P. Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter (jarak terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk P ulau Kaledupa dan Pulau Hoga, lebar terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Pada Pulau Tomia, rataan terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak terdekat. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa sekitar 48 kilometer. Atol Kaledupa merupakan atol terbesar yang ada di kawasan Wakatobi. Kemudian secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3 gosong dan 5 atol. Dari proses pembentukannya, atol yang berada di sekitar kepulauan Wakatobi berbeda dengan atol daerah lain. Atol yang berada di kepulauan ini terbentuk oleh adanya penenggelaman dari lempeng dasar. Terbentuknya atol dimulai dari adanya kemunculan beberapa pulau yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan

74 58 karang yang mengelilingi pulau. Terumbu karang yang ada di sekeliling pulau terus tumbuh ke atas sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol yang terlihat sekarang, antara lain Atol Kaledupa, Atol Kapota, Atol Tomia yaitu berikut gambar dibawah ini Gambar 4.3 : Gugusan Karang/Atol di Kepulauan Wakatobi. Kemudian juga wakatobi memiliki 396 spesies karang Scleractinia hermatipic terbagi 68 genus, 15 famili, serta rataan setiap stasiun pengamatan berkeragaman 124 spesies. Di antara luas terumbu karang di Kepulauan Wakatobi adalah 8.816,169 hektar dengan memiliki komponen utama yaitu: karang hidup (terdiri dari hard coral dan soft coral) dan karang mati (dead coral), serta organisme lain yang ber-simbiose dengan karang. Pada air laut dangkal 1 sampai 3 meter umumnya ditemukan jenis karang bercabang (Acropora) dan jenis karang masif. Lereng terumbu karang mempunyai kemiringan derajat dengan aneka karang hidup yang tidak terlalu rapat hingga kedalaman 40 meter dan karang yang tumbuh umumnya Acropora hyacinthus Echinopora mammiformis, Porites cylindrica dan beberapa Favia spp Menurut beberapa wisatawan asing.

75 59 B. Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Studi Kasus Tentang Coral Governance) Pengelolaan dalam konteks kelautan, tata kelola (governance) didefinisikan sebagai sejumlah peraturan-peraturan hukum, sosial, ekonomi, dan politik yang digunakan untuk mengatur sumberdaya kelautan (berupa terumbu karang) dan pemanfaatannya untuk kesejahteraan bangsa. (Fao, 2001). Sedangkan menurut kullenberg (2008) tata kelola k elautan ( ocean governance) adalah sebagai cara mengurus laut yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat lokal, industri, NGO, dan pemangku kepentingan yang lain melalui perangkat hukum nasional dan internasional termasuk didalamnya kebiasaan lokal, tradisi dan budaya, institusi serta proses yang membentuknya. Tata kelola terumbu karang (coral governance) adalah mengelola ekosistem terumbu karang berdasarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh Pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Masyarakat, Swasta, Perguruan tinggi, serta Organisasi non pemerintah. Untuk inovasi pengelolaan terumbu karang, yang dimaksud inovasi menurut Rogers dan shoemaker (1997) adalah sebagai ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Inovasi juga tidak hanya sebatas pada benda tetapi mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, pelaku, pola pikir atau

76 60 gerakan-gerakan menuju kepada proses perubahan didalam segala bentuk tata kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, aspek yang akan di inovasikan governance dalam hasil penelitian ini adalah coral governance dengan beberapa indikator dalam rangka pencapaian sebuah inovasi pengelolaan terumbu karang yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan adalah sebagai berikut: 1. Keterlibatan Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Stakeholder adalah unsur utama sebagai obyek dan sekaligus subyek dari tata kelola terumbu karang ( coral governance). Unsur ini dianggap penting sebagai indikator governance dalam pencapaian coral governance tersebut. Dalam UU No. 1/2014 tentang PWP dan Pulau-Pulau Kecil ayat 30 menyebutkan bahwa Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat. Jadi yang dimaksud stakeholder disini adalah orang-orang yang dianggap penting dan berpengaruh dalam menangani dibidang pengelolaan terumbu karang baik dari seluruh elemen masyarakat maupun pemerintah serta antar instansi terkait yang saling bersinergisitas dalam melakukan inovasi coral governance. Adapun keterlibatan stakehoder dalam melakukan pengawasan dibidang konservasi yang

77 61 berbasis pada masyarakat untuk inovasi pengelolaan terumbu karang sebagaimana yang di paparkan oleh Kepala Seksi Konservasi dan Tata Ruang Pesisir dari Dinas Kelautan dan Perikanan yaitu: Ia Jadi kalau keterlibatan stakeholder sebenarnya lebih kepada kepengawasanya ya. kita coba stering duduk bersama untuk membicarakan model pengawasannya ini. kita bersama-sama seluruh elemen stakeholder yang intens bergerak dibidang konservasi. diantaranya ada namanya lembaga-lembaga lokal misalnya LSM lokal kaya diwangiwangi yang namanya Komanangi (Komunitas Masyarakat Ne layang Wangi-Wangi), kalau di Kaledupa namanya Forkani ( Forum Kaledupa Tandani), terus ada di Tomia namanya komunto (komunitas nelayan tomia) kemudian dibinongko namanya FORNEB (Forum Nelayang Binongko). kemudian dengan unsur Balai Taman Nasional Wakatobi (BTNW), unsur WWF (Word Wide Fordations), kemudian unsur toko-toko adatnya yaitu adat dari 4 pulau ini. Ini kami duduk bersama memformulasi sebuah yang kami istilahkan dengan PROTOKOL MONITORING. Jadi diprotokol monitoring itu memuat misalnya panduan bagi tim yang tergabung dari beberapa elemen stakeholder tadi bagaimana dalam melakukan pengawasan, jadi disitu lengkap dan bagaimana kita turun, dari mana kita start, kemudian pada saat melakukan pengawasan itu kita bersikap seperti apa, kemudian siapa yang dianggap sebagai pimpinan disitu. Kemudian pada saat pelatihan kita juga libatkan stakeholder melalui perwakilannya. (Wawancara MJ, Tgl 3 Juli Hasil wawancara saya dengan bapak MJ tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa jelaslah ada keterlibatan stakeholder yang lebih mengarah kepada pengawasan dibidang konservasi ini bahwa seluruh LSM lokal maupun lembaga terkait seperti Adat, Taman Nasional dan sebagainya adalah duduk berkumpul bersama untuk memformulasikan dengan istilah Protokol Monitoring yang memuat sebagai panduan bagi tim untuk membahas bagaimana persiapan yang harus dilakukan, siapa pemimpinya, start dan turun kemana arah mulainya untuk melakukan pengawasan ini. Dan terakhir termasuk juga melibatkan masing-masing perwakilan dari stakeholder LSM, pokmaswas, toko adat dari 4 pulau termasuk juga Taman Nasional, ikut aktif

78 62 ketika ada program pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh Coremap dari Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan. Berikut gambar keterlibatan stakeholder dari Pemerintah dan Masyarakat dalam melakukan pengawasan dibawah ini: Gambar 4.4 : Pengawasan Keterlibatan Stakeholder Gambar yang tersebut diatas adalah gambar keterlibatan para stakeholder serta keterlibatan aparat polisi dalam melakukan pemantauan, pengawasan yang dimulai dari pertemuan rapat untuk membahas bagaimana persiapan yang harus dilakukan serta dimulai arah mana yang harus disepakati dalam rangka memantau/ mengawasi daerah tertentu untuk mencegah terjadinya degradasi terumbu karang yang dilakukan oleh para nelayan baik dari lokal maupun nelayan dari luar lokal/daerah. Disamping itu keterlibatan stakeholder dalam melakukan pengelolaan terumbu karang adalah melakukan transplantasi terumbu karang (pembibitan terumbu

79 63 karang) yaitu membibit rumput karang baru. Sebagaimana yang di kemukakan oleh SD selaku Kasi. Perikanan Tangkap sebagai Staf Dinas Kelautan dan Perikanan ia mangatakan: Transplantasi itu adalah proses penanaman terumbu karang buatan. Jadi kita disitu ada tata cara menanam bibit terumbu karang diambil dari cabang-cabang dari terumbu karang yg alami lalu kemudian cabang-cabang tersebut ditanam di suatu yang keras seperti tehnik buatan kaya batako. Artinya yg dibuat itu adalah stratnya Stratnya itu sebagai dudukan dari semen ditanam kesitu cabang terumbu karang tersebut. (Wawancara SD, tgl 31 juli 2015). Berdasarkan hasil wawancara saya dengan bapak SD tersebut diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa transplantasi terumbu karang adalah proses penanaman terumbu karang buatan yang bibit karangnya diambil dari cabang terumbu karang yang alamiah kemudian ditanam ditempat strat dudukan semen lalu disimpan didasar laut dalam rangka kembali membangun melestarikan terumbu karang yang telah terdegradasi. Berikut gambar transplantasi terumbu karang dibawah ini: Gambar 4.5 : Proses Transplantasi Terumbu Karang Gambar tersebut diatas adalah gambar proses transplantasi terumbu karang dimulai dari sejak pelatihan pembuatan transplantasi karang, pembuatan/pembikinan

80 64 media cor batako/strat sebagai dudukan semen yang ditanam, pengambilan bibit karang dilaut, hingga ditanam lalu disimpan didasar laut. Jadi yang disebut inovasi keterlibatan stakeholder dalam melakukan pengelolaan terumbu karang untuk pengawasan di bidang konservasi adalah melibatkan aparat polisi, seluruh elemen kelompok forum atau biasa disebut Pokmaswas/LSM serta tokoh adat mapun instansi terkait. Kemudian dibidang pembangunan karang yaitu melakukan kegiatan transplantasi (pembibitan terumbu karang). 2. Berdasarkan Pengetahuan Lokal Dan Moderen Indikator berikutnya adalah dengan berdasarkan pengetahuan lokal dan modern yaitu pengetahuan yang dimaksud berupa unsur legal yang bersifat formal dan bersifat adat. Pengetahuan modern yaitu dari kalangan para ahli ilmuan maupun intelektual, baik dari instansi universitas maupun instansi terkait lainya. Sedangkan yang bersifat adat berupa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bid. Usaha & Pemasarang dari Coremap Dinas Kelautan dan Perikanan: Iya saya kira bahwa banyak bentuk-bentuk kearifan lokal atau lokal lindung yang harus digali dalam rupa penyelamatan terumbu karang dan melakukan pengelolaan lindung yang sesuai pengetahuan mereka yang mereka anut karena disana memiliki sebuah historis kepercayaan yang ditakuti dan juga memiliki nilai adat yang dimana aturanya bisa mengembangkan sistem tata kelola yang ada di daerah perlindungan laut. Adapun pengetahuan modern di Coremap itu selalu bekerja sama dengan para ahli baik itu jasa tuntutan secara pribadi maupun bekerjasama dengan lembaga termasuk Universitas Haluholeo (UNHALU) Kendari utk memberikan motifasi dalam menyelamatkan terumbu karang terhadap nilai, nilai itu hanya bisa mampu orang cerdas, orang cerdas itu

81 65 tempatnya adalah di Universitas dan Akademik itu harus paham juga bahwa di Wakatobi ini masih terbatas sumberdayanya. (Wawancara ON, Tgl 01 Agustus 2015). Hasil wawancara saya dengan bapak ON tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan lokal yang tercantum dalam nilai-nilai kearifan lokal berupa adat yang memiliki sebuah kepercayaan terhadap cerita yang mereka takuti sehingga nilai tersebut dapat dikembangkan untuk dijadikan sebagai sistem tata kelola yang ada di Daerah Perlindungan Laut (DPL). Sedangkan pengetahuan modern yang dimana dalam program Coremap selalu bekerjasama dengan para ahli, kelembagaan termasuk juga Universitas Haluholeo Kendari Sulawesi Tenggara dengan tujuan untuk memberikan motifasi dalam penyelamatan terhadap terumbu karang. Motifasi dalam hal melakukan pencerahan dan penyadaran kepada masyarakat untuk merubah mainsetnya agar terdapat kesesuaian pengetahuan masyarakat dengan pemerintah adalah melakukan penyuluhan secara rutin untuk penyelamatan terumbu karang karena pemerintah beranggapan bahwa terjadinya kerusakan bukan saja karena faktor alamnya tetapi juga karena faktor manusianya Statemen tersebut dapat di dukung oleh kedua tokoh Masyarakat Nelayang Desa Mola Selatan Kecamatan Wanci Kabupaten Wakatobi yang mengatakan bahwa: a. Dari bapak DL sebagai Masyarakat Nelayan mengatakan; ya sesuai Karena kami pernah dipanggil oleh pemerintah jadi kami tahu tentang apa yg boleh dn tidak boleh serta kesesuaian keinginan dan pelarangan terhadap pelestarian terumbu karang. (Wawancara DL, Tgl 01 Agustus 2015). b. Berikut bapak GS sebagai Masyarakat Nelayan juga mengatakan.

82 66 Iya sangat sesuai dengan pengetahuan masyarakat karena kami tauh dan ingin melestarikan terumbu karang juga kami sepakat dengan pemerintah melarang pemboman, pembiusan karena kami tidak ingin terumbu karang ini hancur dikarenakan bom karena mata pencaharian kami adalah nelayang to. (Wawancara GS, Tgl 01 Agustus 2015). Kedua hasil wawancara saya dengan Masyarakat Nelayang yang bernama bapak DL & GS tersebut diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa masyarakat dapat menghadiri panggilan dari Pemerintah melalui pertemuan berupa pelatihan dan sosialisasi untuk membahas mufakat dalam melestarikan karang dan mencegah halhal yang dapat merusak terumbu karang seperti bom, bius dan lain sebagainya sehingga ternyata pengetahuan masyarakat sangat koherensi dengan tindakan pemerintah karena sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah nelayan dan mereka juga tidak ingin terumbu karang ini rusak akibat pemboman, pembiusan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, inovasi terhadap indikator pengetahuan lokal yaitu terdapatnya nilai-nilai kearifan lokal berupa cerita kepercayaan historis yang ditakuti oleh masyarakat sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan pengembangan sistem tata kelola terumbu karang. Adapun inovasi pengetahuan modern adalah terdapatnya kolaborasi antara instansi termasuk universitas serta para ahli dalam memberikan motifasi penyelamatan terumbu karang melalui transplantasi karang. 3. Ada Kendali Terhadap Segenap Aktifitas Yang dimaksud indikator kendali adalah berupa adanya kebijakan, strategi, dan perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan. Secara normatif, kebijakan adalah arah dari tujuan

83 67 pembangunan pengelolaan terumbu karang hendak dicapai. Sedangkan strategi merupakan cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut, kemudian yang terakhir adalah perencanaan yaitu sebuah proses interaktif antar pemangku kepentingan dalam merumuskan strategi yang tepat guna mencapai tujuan pembangunan pengelolaan terumbu karang. Jadi dalam kerangka tata kelola, ketiga elemen tersebut merupakan payung dari pelaksanaan tata kelola secara konprehensif. Oleh karena itu, dalam hasil penelitian bahwa program coremap lebih banyak kekonteks pengelolaan yang berbasis masyarakat. Artinya masyarakat juga bisa melakukan pengendalian untuk memonitoring serta melakukan patroli atau memantau pada kawasan wilayah daerah perlindungan laut. Sebagaimana yang dijelaskan oleh informan LA selaku Kasi. Bina Usaha & Kelembagaan dari Coremap Dinas Kelautan dan Perikanan berikut dibawah ini: Iya sistem pengawasannya berbasis masyarakat sehingga kita itu memonitoring semua melalui pengendalian kita secara terinci di dinas kelauatan dan perikanan (DKP), kemudian dgn stakeholder terus instansi tehnik seperti balai taman nasional pol airit dan polres itu semua bersinergi yang kita bentuk dalam tim pengawasan terpadu kabupaten, itu masuk dalam fungsional dipengawasan terpadu beserta pengendalianpengendaliannya. kemudian sebenarnya di coremap kita lebih banyak kekonteks berbasis masyarakatnya tapi kalau untuk pengawasan itu ada di instansi pengawasan dilakukan secara rutin satu tiga atau empat dalam satu bulan juga rutin secara bulanan terpadu, ada juga pengawasan yang tidak terduga pada adat yang terkadang ada informasi yang misal darurat itu kita komunikasi secepatnya dengan komunitas tehnik tersebut. (Wawancara LA, Tgl 31 Juli 2015). Berdasarkan Wawancara diatas peneliti dapat mendeskripsikan bahwa pengelolaan tersebut dapat dimonitoring melalui pengendalian oleh Dinas Kelautan

84 68 dan Perikanan juga dapat menfungsikan pengawasan secara rutin dalam satu bulan yang mungkin 3-4 kali yang diantaranya melibatkan seluruh instansi yang terkait dan mereka juga saling komunikasi dan bersinergi dalam memberikan informasi terhadap kasus hal-hal yang dapat merusak terumbu karang maupun hal-hal yang bersifat darurat lainya. Hal ini dapat didukung oleh penjelasan dari Lembaga LSM Setia Karang Mandati 1 Kecamatan Wangi-wangi Selatan Kabupaten Wakatobi berikut pemaparanya: Jadi begini dimasing-masing desa itu sebenarnya ada kelompok pengelola sekaligus pemantau lokasi dari perlindungan laut ini. Mereka ini sebenarnya sudah punya pesawat HT yang bisa langsung dimonitoring oleh dinas perikanan, taman nasional. Jadi memang mereka ini sudah pake frekuensi tertentu yang tidak bisa dimasuki oleh orang lain. HT ini semacam (pesawat komunikasi/alat komunikasi). ini terkhusus kpd mereka masyarakat. (Wawancara AL, Tgl 03 Agustus 2015). Berdasarkan hasil wawancara saya dengan bapak AL tersebut diatas penulis dapat menguraikan bahwa ternyata ditiap-tiap Desa sudah memiliki pesawat komunikasi yang dimonitoring/ dikendalikan langsung oleh Dinas Perikanan bahwa mereka sudah punya frekwensi tertentu yang tidak bisa dimasuki oleh orang lain. Jadi dengan demikian peneliti dapat simpulkan bahwa ternyata ada pengendalian yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini DKP dan seluruh lembaga masyarakat seperti LSM, pokmaswas, kelompok adat maupun para aktifitas lainya adalah sangat intens dan terus berkelanjutan dalam melakukan pengelolaan terumbu karang tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa inovasi pengendalian terhadap segenap aktifitas yaitu adanya pengendalian dari DKP juga dari pengendalian kelompok masyarakat yang masing masing telah diberi alat komunikasi.

85 69 4. Alokasi Sumberdaya Alokasi sumberdaya berupa anggaran yaitu pembiayaan yang merupakan salah satu elemen dalam capaian coral governance yang menyangkut implementasi dari keputusan dalam bentuk program kegiatan yang tentunya memerlukan pembiyaan yang berkelanjutan yang dihasilkan oleh governance. Alokasi sumberdaya berupa anggaran tersebut tentunya dialokasikan kepada kegiatan-kegiatan seperti pelatihan transplantasi karang, pos pengawasan, pelestarian dan lain sebagainya serta kepada kelembagaan yang dibentuk secara resmi dalam rangka pencapaian pengelolaan terumbu karang (coral governance). Sebagaimana diungkapkan oleh informan SD selaku Kasi. Perikanan Tangkap sebagai Staf di Dinas Kelautan dan Perikanan yaitu: Jadi untuk alokasi sumberdaya dana anggaran itu masuk melalui program coremap khusus untuk pengelolaan terumbu karang juga anggaranya bersumber dari pusat kemudian pelaku pelaksananya adalah dinas kelautan ditambah dengan masyarakat yang dianggap konpenten siap membantu. Jadi ada anggaran dari pusat termasuk juga yang lebih banyak disesuaikan dengan alokasi anggaran APBD selain itu ada lembagalembaga atau kelompok-kelompok antar organisasi dibentuk dengan resmi kemudian di SK-kan oleh kepala desa maupun oleh kepala dinas. Jadi masih menggunakan anggaran dari pusat tapi kalau APBD masih lebih banyak untuk meningkatkan sarana-prasarana masyarakat disekitar pesisir bisa secara ekonomi bisa berdaya misalnya berupa bantuan-bantuan alat prasarana perikanan. (Wawancara SD, Tgl 31 Juli 2015). Hal ini senada dengan yang dikemukakaan oleh informan RD selaku Bid. Pembangunan Perikanan sebagai Staf Dinas Kelautan dan Perikanan bahwa: Iya, kalau ada kegiatan yang masuk maka penganggaranya dianggarkan melalui Musrembang jika ada masyarakat mengusulkan bahwa ini perlu. Selanjutnya kita arahkan kesana seperti di pokmaswas kan biasanya kita bantu sarana dan prasarananya berupa bodi pengawas dan alat komunikasi sehingga mereka cepat komunikasi ke Dinas kalau ada hal-hal yang mencurigakan. Kemudian kepada kelompok masyarakat

86 70 pokmaswas di Wakatobi ada 63 kelompok disemua Desa itu sudah ada SK-nya di SK-kan oleh Kepala Dinas. (Wawancara RD, Tgl 01 Agustus 2015). Berdasarkan dari hasil wawancara saya dengan Bapak SD & RD tersebut diatas keduanya dapat disimpulkan bahwa alokasi sumberdaya berupa dana adalah bersumber dari pusat APBN dan APBD melaui program Coremap oleh Dinas Kelautan dan Perikanan yang menganggarkan kepada kegiatan operasi patroli dan pengawasan serta kepada lembaga-lembaga yang resmi maupun kelompok semua pokmaswas Kabupaten Wakatobi di SK-kan oleh Kepala Dinas dan Kepala Desa, juga anggaran tersebut menfasilitasi sarana prasarana berupa alat komunikasi, bodi pengawas kepada masyarakat yang mau mengusulkan. Hal ini dapat didukung oleh Masyarakat Nelayang di Desa Mola Selatan dan LSM Forum Aspirasi Masyarakat Pesisir (FAMP) di Desa Liya Togo diantaranya yaitu: 1. Dari LSM (FAMP) dari Desa Liya Togo ia mengatakan: Iya ada bantuan dari anggota DPRD juga pemerintah daerah untuk tranplantasi terumbu karang, dana tersebut juga kita gunakan untuk biaya transportasi darat dan laut serta bantuan semacam tali, rombong ini fungsinya untuk menangkap ikan tuna. (Wawancara AW & LT, Tgl 04 Agustus 2015). 2. Begitu juga pemaparan dari Masyarakat Nelayang dari Desa Mola Selatan mengatakan bahwa: Iya kami masyarakat nelayang yang saya dengar itu ada bantuan dana PNPM yang katanya itu dana bergilir berupa ketinting (bodi), jaring maupun bantuan lainya tapi hanya sebagian tertentu saja dan tidak semua yang dapat itu. Adapun kegiatan-kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh kapal-kapal putih itu kami sering lihat yang mereka memantau di laut terus kami pernah didatangi ditanyain dan menasehati kami mengenai ini yang boleh dan ini yang tidak boleh gitu. (Wawancara DL,GS, dan SE, Tgl 01 Agustus 2015).

87 71 Berdasarkan hasil wawancara saya dengan lembaga LSM FAMP maupun Masyarakat Nelayang yang kesemuanya penulis dapat menyimpulkan bahwa ternyata anggaran pernah dialokasikan kepada lembaga LSM (FAMP) serta Masyarakat Nelayang yang kemudian bantuan tersebut mereka menggunakanya untuk pengelolaan terumbu karang berupa transplantasi maupun untuk biaya transportasi laut dan darat bagi LSM (FAMP), begitu juga masyarakat nelayang menggunakan bantuan tersebut untuk nelayang/ nangkap ikan sekaligus ikut mengawasi kawasan laut yang apa bila melihat ada hal-hal yang mencurigakan seperti pemboman, pembiusan serta masuknya pendatang dari luar daerah yag datang untuk menangkap ikan dengan cara illegal fishing sehingga dengan demikian mereka segera lansung menginformasikan kepada Pemerintah Dinas Kelautan dan Perikanan. 5. Pilihan dan Tujuan Publik/ Masyarakat Pilihan dan tujuan publik dalam capaian coral governance adalah dengan cara meningkatkan kesadaran masyarakat, kepercayaan dan keyakinan. Maksudnya menciptakan mekanisme kesadaran yang membuat stakeholder dapat terlibat aktif dalam rencana aksi dan menentukan kesepakan pilihan terkait dengan coral governance serta dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan menciptakan upaya penegakan kebijakan hukum secara kolaboratif. Salah satu pilihan dan tujuan masyarakat yang telah diformulasikan dalam kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi sebagaimana tercantum dalam visi Perda No. 3 Tahun tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yaitu Terwujudnya Surga Nyata Bawah Laut di Pusat Segitiga

88 72 Karang Dunia. Adalah yang nilainya bersumber dari budaya lokal, pilihan dan tujuan masyarakat itu sendiri bahkan segala tindakan dan aturan pemerintah tentunya berdasarkan pilihan dan tujuan publik sehingga tindakan dan aturan tersebut dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bid. Usaha & Pemasarang dari Coremap Dinas Kelautan dan Perikanan yaitu: Saya kira visi misi pemerintah daerah adalah mewujudkan surga nyata bawa laut dijantung segitiga karang dunia. Kemudian muara basis dan modal itu ada pada sektor kelautan dan perikanan, makanya sektor kelautan perikanan dan pariwisata itu dijadikan sebagai sektor unggulan didaerah ini. Nah untuk mewujudkan itu saya kira koordinasi lintas stakeholder termasuk institusi harus dibangun untuk bisa mendukung bagaimana upaya pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan termasuk terumbu karangnya. jadi pilihan itu sangat tepat tidak mengada-ngada karena itu juga di dukung oleh sumberdaya lokal dan fakta-fakta lapangan yang sudah tercantum kedalam sistem. (Wawancara ON, Tgl 01 Agustus 2015). Berdasarkan hasil wawancara saya dengan bapak ON tersebut dapat disimpulkan bahwa memang pilihan dan tujuan publik telah tercantum dalam visi misi karena di dukung oleh budaya kearifan lokal termasuk sistem yang ada sehingga koordinasi lintas stakeholder dan seluruh institusi dapat dibangun dan saling bersinergi dalam upaya pelestarian pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Wakatobi karena salah satu sumber daya unggulannya adalah potensi keindahan terumbu karang beserta ribuan spesies yang hidup dikarang Wakatobi yang tentunya menjadi nilai ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. 6. Ada Otoritas Pengelolaan Di Dalamnya Otoritas pengelolaan dalam pencapaian coral governance adalah berupa adanya legislasi dan peraturan perundang-undangan yang merupakan basis

89 73 pelaksanaan kebijakan pembangunan coral governancce melalui mekanisme kelembagaan. Elemen legislasi mencakup perangkat hukum yang dihasilkan oleh badan legislatif maupun yang bersifat adat dari lembaga masyarakat. Adapun perangkat-perangkat hukum dalam melakukan pengelolaan terumbu karang dengan mengacu pada UU yang telah ditetapkan berikut dibawah ini: a. UU No. 1 Thn 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil b. UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. c. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 40/Permen-KP/2014 tentang Peran Serta dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. d. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 12/Permen-KP/2013 tentang Pengawasan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. e. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 34/Permen-KP/2014 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. f. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 35/Permen-KP/2013 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan. Itulah undang-undang yang dijadikan sebagai pedoman bagi Pemerintah Daerah maupun istansi terkait sehingga mereka memiliki otoritas dan kewenangan dalam melakukan pengelolaan di daerahnya sendiri. Dengan demikian pemerintah juga bisa membuat kebijakan baru yang tidak bertentangan dengan UU dari pusat yang tersebut diatas berupa Perda, Perdes bahkan aturan adat yang ada di masyarakat untuk dijadikan sebagai pedoman agar pihak sipengelola memiliki otoritas dalam

90 74 melakukan pengelolaan terumbu karang pada kawasan wilayah konservasi yang telah ditetapkan oleh adanya berbagai aturan tersebut seperti penetapan luas zona dan lain sebagainya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh informan SD selaku Kasi. Perikanan Tangkap sebagai Staf Dinas Kelautan dan Perikanan bahwa: Iya yang sudah ada sekarang itu adalah ditingkat desa yang namanya perdes peraturan desa tentang DPL yang di program oleh coremap atau surat/kebijakan bupati tentang DPL. Kemudan UU yang kita berpedoman itu pada UU perikanan, UU tentang pesisir No. 27 tahun 2007 di ubah dengan UU No. 1 thn 2014 tentang PWP dan pulau-pulau kecil. Adapun ditingkat desa mungkin selain aturan, kita lihat juga peraturan yg tidak tertulis yg mereka sepakati sendiri. Misalnya seperti di pulau runduma itu ada larangan untuk mengambil telur penyu nah itu yang mereka sepakati dan memang secara nasional dilarang jadi bagi mereka kapan ketika disitu ada hasil baru ada larangan dan ada sanksinya. (Wawancara SD, Tgl 31 Juli 2015). Begitu juga menurut informan RD selaku Bid. Pembangunan Perikanan dari Staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi ia mengatakan: Iya jadi aturannya banyak dimulai dari UU pusat tentang perikanan ada juga perda tentang alat tangkap yang biasa dapat digunakan dan tidak dapat digunakan kemudian ada lagi sekarang menyusun raperda tentang perikanan berkelanjutan dimana itu sudah jelas dilampirkan apa-apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan serta kita juga punya renstra (rencana strategi). Renstra pengelolaan terumbu karang ini sudah lama dibuat yang semuanya itu dilakukan dalam rangka menjadi payung hukum terhadap inovasi pengelolaan terumbu karang dikabupaten wakatobi. (Wawancara RD, Tgl 01 Agustus 2015). Hasil kedua wawancara saya dengan Bapak SD & RD tersebut diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa otoritas yang mereka miliki dalam melakukan pengelolaan terumbu karang adalah telah mengacu kepada UU yang telah ada dari Pusat maupun Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan serta kebijakan Pemerintah Daerah maupun Peraturan Adat dan aturan yang secara tidak tertulis yang mereka sepakati sehingga dengan keberadaan aturan tersebut menjadi payung otoritas dan

91 75 memiliki kewenangan bagi sipengelola dalam melakukan pengelolaan terumbu karang pada kawasan yang telah ditetapkan dalam aturan seperti lokasi daerah perlindungan laut (DPL) maupun wilayah Taman Nasional lainya. Selain mengacu kepada aturan pusat pemerintah daerah juga menetapkan aturan Perdes (Peraturan Desa) yang telah dibentuk dalam rangka menopang pengelolaan terumbu karang ditiap desa agar mereka memiliki otoritas dalam melakukan pengelolaan terumbu karang di wilayahnya masing-masing. Sebagaimana yang di kemukakan oleh beberapa informan berikut dibawah ini: a. Menurut SD selaku Kasi. Perikanan Tangkap sebagai Staf dari Dinas Kelautan dan Perikanan mengatakan: Iya, yang sudah ada sekarang itu adalah ditingkat desa yang namanya Peraturan Desa (Perdes) tentang DPL (Daerah Perlindungan Laut) pada waktu program Coremap. Jadi semua desa-desa dicoremap itu mereka membentuk peraturan desa tentang DPL atau surat Bupati tentang DPL. Cuman sekarang pelaksanaanya itu, sebenarnya di Perdes itu hanya mengatur ya, kalaupun ada larangan itu sudah sifatnya umum yang namanya membius membom itu memang tuntutan perdes itu dilarang. (Wawancara SD, Tgl 31 Juli 2015). b. Menurut AL dari LSM Setia Karang Mandati 1 Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kababupaten Wakatobi ia mangatakan bahwa: Untuk penetapan lokasi daerah lindung dimasing-masing desa adalah merujuk pada aturan permen yang turun dari pusat atau perda sehingga kemudian aturan yang muncul dari desa ini tidak bertumpang tindis dengan perda yang ada dari kabupaten. (Wawancara AL, Tgl 03 Agustus 2015). c. Menurut LA selaku Kasi. Bina Usaha dan Kelembagaan dari Coremap Dinas Kelautan dan Perikanan, berikut argumennya ia mengatakan:

92 76 kalau yang memperkuat masyarakat itu adalah kelembagaan desa hukum adat termasuk kearivan lokal terus peraturan desa yang melekat didesa itu sendiri. Peraturan desa yg secara tertulis seperti intinya didalam itu menyangkut luas kawasan konservasi kemudian sanksi hukuman dan semuanya itu. Sanksi bagi orang yg melanggar. (Wawancara LA, Tgl 31 Juli 2015). Ketiga argumen dari hasil wawancara tersebut diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa di masing-masing Desa telah memiliki aturan Desa yang bernama Perdes. Perdes ini adalah aturan yang secara tertulis dan tidak bertumpang tindis atau kontradiksi dengan aturan dari Permen/Pemda, dan juga aturan tersebut mengatur pada wilayah kawasan Daerah Perlindungan Laut, kemudian juga di berlakukan sebagai acuan dalam melakukan peningkatan pengelolaan terumbu karang melalui pengawasan serta memberi hukuman atau sanksi bagi yang melanggar terhadap aturan-aturan yang sudah ditetapkan di Perdes itu sendiri. C. Faktor Pendukung Dan Penghambat Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Study Kasus Tentang Governance) 1. Faktor Pendukung Faktor pendukung Pemerintah Daerah dalam melakukan inovasi pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Wakatobi adalah hal-hal yang dapat mendukung keberhasilan Pemerintah Daerah dalam meningkatkan penglolaan terumbu karang pada kawasan daerah yang telah di konservasi berupa DPL, wilayah Taman Nasional maupun zona-zona yang telah ditetapkan oleh aturan sebagaimana yang di ungkapkan oleh Kepala Seksi Konservasi & Tata Ruang Pesisir dari Dinas Kelautan dan Perikanan yaitu:

93 77 kalau bicara faktor pendukung jelaslah pasti yang pertama itu anggaran yang kedua sumberdaya baik kami disini pengelola stakeholdernya kemudian dukungan dari nelayang juga penting. Artinya apa yang kami berasumsi bahwa kalau ketiga elemen ini bersatu kemudian memiliki konsep yang jelas ini tentu sangat mendukung dan akan menjadi kekuatan Sehingga kegiatan pengelolaan terumbu karang ini menjadi aktif karena arahnya kesitu. Jadi adanya sinergi dari beberapa elemen dari stakeholder baik pemerintahnya kemudian LSM-nya, kemudian masyarakat dan lainya. (Wawancara MJ, Tgl 31 Juli 2015). Berdasarkan hasil wawancara saya dengan bapak MJ tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mendukung Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan adalah terdapatnya sinergisitas dan dukungan dari beberapa elemen stakeholder baik stakeholder dari Pemerintah, LSM, Masyarakat Adat dan Masyarakat Nelayang. Dengan demikian kegiatan pengelolaan terumbu karang menjadi terus aktif dan berkelanjutan, Hal tersebut senada dengan menurut informan RD selaku Bid. Pembangunan Perikanan sebagai Staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi ia mengatakan bahwa: Iya faktor-faktor yang mendukung itu pertama adanya kesadaran kelompok-kelompok masyarakat dalam rangka mereka mau menjaga lautnya itu. Yang kedua toko-toko adat juga mereka peduli dengan bagaimana mau menjaga agar budaya laut ini tetap terjaga dan tidak dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab kemudian pemerintah daerah utamanya visi-misinya itu sangat jelas bagaimana menjaga terumbu karang yang ada di kabupaten wakatobi dan terakhir fator pendukungnya ini lebih kepada konservasi laut gitu. (Wawancara RD, Tgl 01 Agustus 2015). Hasil dari wawancara saya dengan bapak RD tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang dapat mendukung Pemerintah Daerah adalah adanya kesadaran kelompok masyarakt, toko adat dan masyarakat nelayang dalam rangka bersama tetap menjaga laut dan tidak melakukan pengrusakan terumbu karang seperti pemboman, pembiusan dan lain sebagainya karena mereka tauh bahwa kerusakan

94 78 terumbu karang dapat mengakibatkan punahnya seluruh spesies yang hidup di laut karang. Oleh karena itu sangatlah penting adanya dukungan dari seluruh elemen stakeholder maupun instansi terkait dalam rangka menjaga dan meningkatkan pengelolaan terumbu karang agar keindahan karang tersebut tetap lestari keberadaanya. 2. Faktor Penghambat Adapun hambatan-hambatan dalam inovasi pengelolaan terumbu karang adalah hal-hal yang dapat menghambat kinerja Pemerintah Daerah dalam meningkatkan pengelolaan terumbu karang sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala Seksi Konservasi & Tata Ruang Pesisir dari Dinas Kelautan dan Perikanan yaitu: Ya hambatanya adalah sebenarnya kami menemui kebiasaan cara-cara menangkap yang masih menggunakan alat-alat merusak dan kami harus akui bahwa itu masih ada jadi ini juga termasuk menghambat kemudian kesadaran masyarakat kita perlu masih ditingkatkan lagi begitu. (Wawancara MJ, Tgl 31 Juli 2015). Wawancara saya dengan bapak MJ tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa masih adanya kebiasaan-kebiasaan dengan menggunakan alat-alat yang dapat merusak terumbu karang juga kurangnya kesadaran masyarakat dalam memahami akan pentingnya pelestarian terumbu karang sehingga pelaksanaan inovasi pengelolaan yang di programkan oleh Coremap di Dinas Kelautan dan Perikanan masih kurang efektif/belum semaksimal dalam meningkatkan inovasi pengelolaan terumbu karang. Faktor lain yang dapat menghambat adalah kurangnya dana dan sarana yang dapat menunjang inovasi pengelolaan terumbu karang serta luasnya lautan Kabupaten

95 79 Wakatobi sehingga relatif dijangkau oleh pihak Dinas Kelautan maupun instansi terkait yang intens dalam melakukan kegiatan operasi patroli pengawas untuk memantau daerah-daerah konservasi diwilayah tersebut. Sebagaimana yang dipaparkan oleh LSM Setia Karang Mandati 1 Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi ia mengatakan bahwa: Iya kalau kita melihat luasan wilayah perairan kabupaten wakatobi itu kan cukup luas sehingga biasanya nelayang dari luar itu menggunakan kapal-kapal yang kemudian habis membom pada lokasi daerah terumbu karang mereka lansung lari dan susah menangkap untuk dikejarnya karena setelah masyarakat nelayang menginformasikan kepada Dinas Kelautan kemudian mereka (Dinas) bertindak dengan segera, pas turun dilokasi mereka sudah tidak ada. Kemudian ada juga operasi pengawasan rutin setiap saat dilakukan tentunya sangat besar sekali bahan bakar yang diperlukan dalam memantau lautan luas di kawasan daerah perlindungan laut tersebut. (Wawancara AL, Tgl 03 Agustus 2015). Hasil wawancara saya dengan Bapak AL tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa ternyata masih ada nelayang dari luar Wakatobi yang berdatangan untuk menangkap ikan dengan cara illegal fishing seperti pemboman ikan lalu meninggalkan lokasi sehingga hal inilah yang tidak dapat dijangkau oleh Dinas Kelautan karena berhubung begitu luasnya laut wilayah Wakatobi serta terbatasnya bahan bakar untuk menjangkau dalam memantau pada wilayah Daerah Perlindungan Laut maupun zona-zona yang telah ditetapkan. Oleh karena itu dengan berbagai hambatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah tentunya terkadang di perhadapkan dengan berbagai macam tantangan situasi dalam melakukan inovasi pengelolaan terumbu karang seperti misal menemukan pelaku pengrusak kemudian diselidiki terkadang pelaku ini berani balik membantah

96 80 dan tidak mau di interogasi malah justru mereka melawan untuk melakukan hal-hal yang ironis seperti membom, menembak dan lain sebagainya agar mereka bisa selamat dari cengkeraman Pemerintah Daerah. D. Terumbu Karang Berkelanjutan Tata kelola terumbu karang ( coral governance) dengan melalui sebuah kerangka pembangunan berkelanjutan dapat digunakan sebagai basis bagi peningkatan kualitas dari sumberdaya pesisir dan lautan baik dalam perspektif keberlanjutan sistem ekologi dan sumberdaya, keberlanjutan sosial dan ekonomi, serta bagaimana mekanisme kelembagaan yang dapat menjamin keberlanjutan tersebut. Oleh karena itu, dalam hasil penelitian ini bahwa hal-hal keberlanjutan pengelolaan terumbu karang adalah dengan membentuk sistem penguatan kelembagaan Seperti yang dikatakan oleh informan ON selaku Bid. Usaha & Pemasarang dari Coremap Dinas Kelautan dan Perikanan berikut di bawah ini: Ia bisa mengembangkan sistem penguatan kelembagaan kerja sama dengan pokmaswas, bisa dinas kelautan dan perikanan menggaji para penjaga pantai dan sebagainya termasuk patroli terpadu seperti itu. (Wawancara ON, Tgl 01 Agustus 2015). Hasil wawancara saya dengan bapak ON tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk pembentukan sistem penguatan kelembagaan adalah dilakukan dengan cara kolaborasi ( kerja sama) antara lembaga dalam rangka meningkatkan pengelolaan terumbu karang yang ada di kawasan wilayah Daerah Perlindungan Laut atau wilayah Taman Nasional melalui aspek konservasi yaitu pelestarian, perlindungan, penjagaan dan melakukan pengawasan yang ada di kabupaten Wakatobi.

97 81 Kolaborasi (kerjasama) tersebut diantaranya adalah Pemerintah, LSM, Masyarakat Adat, Masyarakat Nelayang dan lain sebagainya dalam rangka meningkatkan keberlanjutan pengelolaan terumbu karang. Sebagaimana yang dipaparkan oleh informan AL dari LSM Setia Karang Mandati 1 Kecamatan Wangi- Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi ia mangatakan bahwa: Kalau kerangka pertama yg artinya dengan istilah kolaboratif antara pemda, taman nasional begitu pula dengan masyarakat, sebenarnya ini rutin mereka lakukan baik perencanaan kegiatan maupun pengawasanya. Jadi mekanismenya adalah kolaboratif. Dalam pembangunan berkelanjutan terumbu karang ini sebenarnya lebih menonjol dan lebih diperhatikan. Oleh karena itu kobolaratif tadi semua melakukan pengawasan artinya kalau taman nasional ingin melakukan suatu kegiatan maka pemerintah daerah dan masyarakat selalu dilibatkan kemudian apa yg mau dilakukan, kendala apa yg akan dihadapi itu selalu dilakukan secara bersama. (Wawancara AL, Tgl 03 Agustus 2015). Hasil dari wawancara saya dengan bapak AL tersebut diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa keberlanjutan terumbu karang salah satu kerangkanya adalah dengan melakukan mekanisme kolaborasi antara Pemerintah Daerah, Masyarakat Adat maupun Masyarakat Nelayang. Kolaborasi tersebut berperan kuat dalam melakukan kegiatan perencanaan dan pengawasan maupun pemanfaatan sumberdaya alam. Sehingga kegiatan pengelolaan terumbu karang menjadi rutin untuk terus melestarikan dan secara berkelanjutan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Kegiatan selanjutnya adalah untuk membantu membangun sistem tradisional adat dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan melalui pengelolaan penguatan kelembagaan Sara Adat, Toko Masyarakat, Kelompok Nelayang, Pihak Balai Taman Nasional dan Bappeda Wakatobi.

98 82 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di atas tentang Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Studi Kasus Tentang Coral Governance) diketahui bahwa aspek yang akan di inovasikan governance dalam hasil penelitian ini adalal coral governance dengan beberapa indikator dalam rangka pencapaian sebuah inovasi pengelolaan terumbu karang yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan adalah sebagai berikut: 1. a) Keterlibatan stakeholder diantara inovasinya adalah terlibatnya aparat polisi, tokoh adat serta pembentukan Pokmaswas dibidang konservasi pengawasan laut juga melakukan transplantasi terumbu karang. b) Berdasarkan pengetahuan lokal dan modern inovasinya adalah adanya cerita kepercayaan historis yang ditakuti oleh masyarakat sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan pengembangan sistem tata kelola terumbu karang. Sedangkan pengetahuan modernya adalah terdapatnya kolaborasi antar instansi termasuk universitas serta para ahli dalam memberian motifasi penyelamatan terumbu karang melalui transplantasi karang. c) Ada kendali terhadap segenap aktivitas yaitu adanya pengendalian yang dilakukan dari DKP juga dari pengendalian kelompok masyarakat yang masing masing telah diberi alat komunikasi. d) Alokasi sumberdaya yaitu dana yang di SK-kan kepada kelompok Pokmaswas terumbu karang dari Dinas juga dari kepala Desa serta anggaran yang bersumber dari APBN dan APBD yang dialokasikan

99 83 kepada kegiatan pelatihan, transplantasi, juga melakukan operasi patroli pengawasan. e) Pilihan dan tujuan publik/ masyarakat adalah Terwujudnya Surga Nyata Bawah Laut sebagaimana telah tercantum dalam visi misi pemda Wakatobi. f). Ada otoritas pengelolaan di dalamnya yaitu berupa seperangkat hukum yang mengacu kepada UU No.1/2014 tentang PWP, perdes, serta aturan yang sifatnya tak tertulis dari masyarakat terhadap coral governance menjadi otoritas dan memiliki kewenangan bagi sipengelola dalam melakukan pengelolaan tersebut. Adapun terumbu karang berkelanjutan adalah membentuk sistem penguatan kelembagaan, serta berkolaborasi antar instansi terkait terhadap coral governance. 2. Faktor pendukung dalam meningkatkan inovasi pengelolaan terumbu karang adalah adanya komitmen yang kuat dan terdapatnya kolaborasi dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat serta adanya dukungan dari seluruh komponen masyarakat adat, kelompok nelayang, stakeholder maupun instansi-instansi yang terkait yang konsen terhadap pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang di Kabupaten Wakatobi. Adapun faktor penghambatnya adalah masih kurangnya kesadaran dari sebagian masyarakat, terbatasnya sarana dan prasaranan serta kurangnya dana dalam menjalankan operasi pengawasan untuk memantau dan menjangkau pada kawasan daerah-daerah perlindungan laut mengingat laut Wakatobi begitu luas serta sulitnya untuk menangkap para nelayan-nelayan yang datang dari luar daerah yang melakukan penangkapan ikan dengan cara illegal fishing maupun hal-hal yang bersifat destruktif lainya.

100 84 B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah disimpulkan diatas, penulis mencoba memberikan saran yang kemudian bisa menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Wakatobi dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan dalam upaya memaksimalkan inovasi pengelolaan terumbu karang tersebut yaitu: 1. Pemerintah daerah harus menetapkan sistem penguatan kelembagaan yang sudah terbentuk dan terus meningkatkan kolaborasi antar instasi terkait sebagai kekuatan dalam melakukan penjagaan, pengawasan, pelestarian, pemanfaatan terhadap pengelolaan terumbu karang pada kawasan di daerah daerah perlindungan laut agar dapat mengurangi terjadinya deskruktif atau bahkan benar-benar tidak terjadi lagi kerusakan terumbu karang di Kabupaten Wakatobi. 2. Pemerintah daerah perlu memberikan insentif (ransangan) kepada masyarakat melalui sosialisasi penyadaran, pelatihan terhadap terumbu karang agar mereka bisa ikut berpartisipatif dalam pengelolaan terumbu karang yang ada diwilayahnya masing-masing sehingga pembangunan kesejahteraan ekonomi masyarakat dapat tercapai. 3. Pemerintah daerah harus betul-betul melestarikan, menjaga dan memperhatikan keindahan terumbu karang serta bertanggung jawab terhadap hal-hal yang dapat terjadinya degradasi terumbu karang maupun illegal fishing yang dilakukan oleh nelayang lokal maupun nelayang dari luar karena terumbu karang tersebut merupakan satu-satunya objek wisata yang ada di daerah Kabupaten Wakatobi.

101 85 DAFTAR PUSTAKA Fisipol Unismuh Makassar Pedoman Penulisan Proposal Penelitian Dan Skripsi. Faguet, J Decentralication and Lokal Government Performance. In technical Consultation on decentralization. Rome: FAO. Gunawan, Tiene, A. Noor, A. Wiyana pengenalan manfaat dan fungsi ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait, serta kondisi terumbu karang di indonesia. COREMAP II. Jakarta. Iyam Pemeliharaan Terumbu Karang. Percetakan ANGKASA. Bandung. Ikawati, Y. dan H. Parlan Coral reef in Indonesia. COREMAP II, MAPIPTEK dan Kemenko Kesra. Kooiman, et. al Fish for Life: Interactive Governanve for Fisheries. MARE Publications. University of Amsterdam Publishings. Lionberger, H.F. and P.H Gwin, Communication Strategies Illinois : The inter state Orienters & Publishers, Inc. M Ghufran H. Kordik K Ekosistem Terumbu Karang. PT Rineka Cipta, Jakarta Mardikanto H. Poerwoko Soebiato Pemberdayaan masyarakat dalam perspektif kebijakan publik. Alfabeta, Bandung. Mardikanto, T. dan Sri Sutarni. T Prosedur Penelitian Penyuluhan Pembangunan. Surakarta: Prima Theresia Pressindo. Mokhsen, N Decenralication in Indonesia. Thesis Ph D- Australian National University Olsen, S.B Crafting Coastal Governance in A Changing World. Coastal Resources Center. URI. Rogers, E. M. and F.F. Shoemaker, Communication of innovation New York : Free Press Sutherland, M. and S. Nichols Issues in the Governance of Marine Spaces.

102 86 Siry, H.Y Decentralized Coastal Zone Management in Malaysia and Indonesia: A Comparative Perspective. Coastal Management 34 (3) : DOI: / Siry, H.Y In search of appropriate approaches to coastal zone management in Indonesia, Ocean & Coastal Management 54 (2011) DOI: /j.ocecoaman Soediono, Gatot Analisis Pengelolaan Terumbu Karang Pada Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Randayan Dan Sekitarnya Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat, Universitas Diponegoro, Semarang. Sidik, A. S Kewenangan Atas Perairan Laut Pesisir Dalam Perfesktif Akademis. Makalah disampaikan pada Pertemuan Para Ahli dan Pihak Terkait tentang Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD),. Secretariat Kabupaten Berau, Tanjung Redep 1 Mei Pusat Kajian dan Inovasi Perikanan dan Sumberdaya Pesisir (PUSKIP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman. Sugiyono Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Susanto H.A Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi Perairan Indonesia: A Consultancy Report. Kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Coral Triangle Support Partnership (CTSP). Jakarta. Thorbun, C Regime change-prospects for community-based resource management in post- New Order Indonesia. Society and Natural Resources 15: Turner, M. M., and D Hulme Governance. Administration, and development: making the state work, kumarian Press books on international development. West Hartford, CT: Kumarian Press. Victor PH. Nikijuluw, dkk Coral Governance. IPB Press/ Kampus IPB. Taman Kencana Bogor

103 87 DOKUMEN-DOKUMEN Kondisi Terumbu Karang di Daerah perlindungan Laut (DPL) Tahun 2010 Program Coremap II Kabupaten Wakatobi Oleh: Hardin, S.KEL, Coral Reef Information And Training Center (CRITC) Kab. Wakatobi. Perencanaan Kegiatan Pengawasan Sumberdaya Perikanan pada Sinkronisasi Rencana Kerja Pengendalian SDKP Tahun 2015 Tanggal Maret 2014 oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya kelautan Dan Perikanan. Rencana Kerja SKPD oleh Dinas Kelutan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi Tahun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang pemerintahan Daerah.

104

105 LAMPIRAN I : DOKUMENTASI GAMBAR 1. Tranplantasi terumbu karang Kegiatan pembuatan transplantasi karang Pengambilan bibit karang di laut Pemasangan bibit terumbu karang terumbu karang ditanam kedasar laut

106 2. Keterlibatan stakeholder Rapat pemantapan persiapan untuk pengawasan Turun kelokasi DPL pengawasan Keterlibatan aparat Pemeriksaan dokumen

107 2. Pelatihan terumbu karang 3. Illegal fishing 4. Penambangan batu

108 5. Foto Bersama Staf Dinas Kelautan &Perikanan (DKP) Kabupaten Wakatobi

109 LAMPIRAN II : PEDOMAN WAWANCARA Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Makassar Jl. Sultan Alauddin KM. 7 Telp Makassar Bapak/ibu yang saya hormati, Saya atas nama La Radu mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Makassar. Dalam hal ini saya sedang mengadakan penelitian tugas akhir yang berhubungan dengan Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Study Kasus Tentang Coral Governance) Kabupaten Wakatobi. Dimana penelitian ini hanya untuk kepentingan penelitian semata dalam menyusun Skripsi. Atas bantuan, ketersediaan waktu, dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih. WAWANCARA DENGAN INFORMAN Hari/Tgl Lokasi :.... :.... A. Identitas Informan : 1. Nama : 2. Umur : 3. Alamat: 4. Jenis Kelamin : 5. Agama : 6. Jabatan/Pekerjaan : B. Inovasi Pengelolaan Terumbu Karang (Study Kasus Tentang Coral Governance) Di Kabupaten Wakatobi. Pertanyaan Wawancara: 1. Seperti apakah inovasi pengelolaan terumbu karang (study kasus tentang coral governance) yang dilakukan oleh pemerintah daerah baik dalam hal mengembangkan potensi keindahan terumbu karang maupun mengatasi

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat 1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Dengan luasnya wilayah perairan yang dimiliki oleh negara Indonesia

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.500 pulau dan memiliki garis panjang pantai terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN

DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN JUDUL REKOMENDASI Strategi Optimalisasi Unsur Unsur Positif Lokal untuk Mendukung Penerapan Prinsip Prinsip Blue Economy di Wilayah Coral Triangle SASARAN REKOMENDASI Kebijakan

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG Sri Endang Kornita Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Sinergi dalam kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, S A L I N A N KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa terumbu karang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa lingkungan laut beserta sumber

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.573, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Pertanahan. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penataan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2014 WILAYAH. Kepulauan. Pesisir. Pulau-Pulau Kecil. Pengelolaan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dari ketiga

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dari ketiga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bumi dan segala isinya yang di ciptakan oleh Allah SWT merupakan suatu karunia yang sangat besar. Bumi diciptakan sangat sempurna diperuntukan untuk semua makhluk baik

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2014 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2014 RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL PROVINSI NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 20, 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar,

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar, 34 I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki sekitar 17.504 pulau, dengan panjang garis pantai kurang lebih 91.524 km, dan luas perairan laut

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA Coral Triangle Wilayah Sasaran = Pulau Wangiwangi,

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG Misi untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang cerdas, sehat, beriman dan berkualitas tinggi merupakan prasyarat mutlak untuk dapat mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera. Sumberdaya manusia yang

Lebih terperinci

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Platform Bersama Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global Kami adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Pombo merupakan salah satu Pulau di Provinsi Maluku yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi sumber daya alam dengan kategori Kawasan Suaka Alam, dengan status

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG SALINAN PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENIMBUNAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENIMBUNAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA -1- PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENIMBUNAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANJUNGPINANG, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP Menimbang : a. bahwa terumbu karang merupakan sumber daya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Laut

Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Laut Desentralisasi dan Pengelolaan Sumber Daya Laut Suatu pemikiran dikaitkan dengan pembangunan daerah di Kepulauan Spermonde Makassar, 30 Agustus 2006 MATSUI Kazuhisa Institute of Developing Economies, JETRO

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH DAN PENATAAN FUNGSI PULAU BIAWAK, GOSONG DAN PULAU CANDIKIAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci