STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR TEJUN MORAMO, KECAMATAN MORAMO, KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA
|
|
- Handoko Budiono
- 3 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 STUDI MORFOLOGI DAN PETROGRAFI TRAVERTIN DI AIR TEJUN MORAMO, KECAMATAN MORAMO, KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA Roni Cahya Ciputra 1* M Arba Azzaman 1 Srijono 2 1 Program S1 Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 2 Dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta *corresponding author: ronicahya@gmail.com ABSTRAK Travertin merupakan batuan karbonat yang terbentuk di darat akibat pelepasan CO 2 pada air jenuh karbonat. Travertin dapat terbentuk oleh air panas (termogen) maupun air dingin yang berasosiasi dengan daerah karst (meteogen). Air Terjun Moramo merupakan tempat wisata terkenal di Sulawesi Tenggara yang tersusun oleh travertin yang masih aktif. Air Terjun ini terletak pada perbatasan morfologi pegunungan tinggi dan morfologi karst. Batuan dasar dari endapan travertin adalah metabatugamping dan marmer Formasi Laonti di bagian hulu serta batulempung pasiran Formasi Boepinang di hilir. Karakterisasi morfologi travertin serta contoh petrografi yang diambil pada tiga titik, masing-masing di bagian belakang dan depan dam dilakukan untuk mengetahui genesa batuan. Morfologi travertin pada Air Terjun Moramo adalah makrodam dengan jarak antardam yang membesar ke arah hilir akibat pengaruh kelerengan. Pada bagian depan dam, terdapat kenampakan sarang larva yang menggantung serta kenampakan nodular, dengan banyak lumut, ranting, serta dedaunan yang telah terkerakkan oleh kalsit dan mengeras. Fasies yang terlihat pada travertin baik secara megaskopis maupun mikroskopis adalah fasies phytoherm (bryophytes). Secara megaskopis, dam tersusun oleh perulangan gelap-terang melengkung atau kurang teratur karena adanya gangguan substrat lain. Laminasi terang tersusun oleh kristal kalsit memanjang-bercabang, sedangkan gelap tersusun oleh mikrit. Bagian depan dam memiliki penyusun yang lebih kristalin dibandingkan bagian belakang dam yang lebih bersifat mikritik. Berdasarkan hal tersebut travertin di Air Terjun Moramo termasuk travertin meteogen dari air jenuh kalsium karbonat hasil pelarutan batuan morfologi karst dengan pengaruh biogenik berupa lumut yang terjebak pada saat pengendapan bersama daun dan ranting tumbuhan serta sarang larva serangga air. Kata kunci : Air Terjun Moramo, karst, morfologi makrodam, meteogen, phytoherm bryophytes 1. Pendahuluan Air Terjun Moramo merupakan salah satu tempat wisata terkenal di Sulawesi Tenggara dengan kondisi geologi yang unik karena tersusun oleh travertin yang masih aktif terbentuk. Air terjun ini memiliki tujuh tingkatan utama yang terbagi menjadi sekitar 34 tingkatan kecil dengan tinggi 0,3 3 meter. Penelitian mengenai travertin pada daerah ini belum pernah dilakukan sehingga menarik untuk diteliti secara ilmiah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi travertin Air Terjun Moramo dari segi morfologi maupun petrografi, sehingga jenis, fasies, dan genesanya dapat diketahui. Travertin sendiri adalah batuan karbonat yang terendapkan di darat secara kimiawi akibat reaksi pelepasan CO2 pada air yang jenuh karbonat, baik pada suhu yang panas maupun dingin Proses ini dapat terjadi pada rembesan air, mata air, atau di sepanjang aliran sungai (Pentecost, 2005). Travertin dapat terbentuk oleh air panas (termogen) maupun air dingin yang berasosiasi dengan daerah karst (meteogen). Beberapa penulis seperti Pedley (1990), Riding (1991), Ford dan Pedley (1996), serta Gandin dan Capezzuoli (2008) memiliki penyebutan travertin meteogen disebut dengan tufa, 1182
2 sedangkan travertin termogen disebut travertin. Perbedaan kedua jenis travertin ini secara petrologi dan petrografi telah dirangkum oleh Ciputra dkk (2017) pada Tabel 1. Pada penelitian ini istilah travertin akan digunakan dalam pengertian umum, sedangkan untuk penyebutan jenis travertin akan digunakan istilah travertin meteogen dan termogen. Sebagai morfologi konstruktif, travertin menarik karena morfologinya akan mencerminkan lingkungan pengendapannya. Lingkungan pengendapan travertin menurut Ozkull dkk (2002) dan Pedley (1990), dan Pentecost (2005) dapat dirangkum menjadi lima, yakni lingkungan mound dan fissure ridge, lereng, fluvial, lakustrin, serta shrub flat dan rawa. Lingkungan lereng dibagi lagi menjadi lereng halus, lereng berteras atau dam, dan air terjun. 2. Geologi Regional Sungai Biskori, di Daerah Sumber Sari, Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan bagian dari lengan tenggara Sulawesi bagian selatan (Surono, 2013). Surono (2013) membagi satuan morfologi lengan tenggara Sulawesi bagian selatan menjadi lima satuan (Gambar 1), yaitu Satuan Pegunungan, Satuan Perbukitan Tinggi, Satuan Perbukitan Rendah, Satuan Dataran Rendah dan Satuan Karst. Daerah penelitian terletak di perbatasan dua satuan morfologi. Bagian barat laut dari lokasi penelitian termasuk dalam satuan morfologi Perbukitan Tinggi. Sedangkan bagian tenggara termasuk dalam Satuan Karst. Sebagian besar batuan penyusunnya didominasi oleh batugamping berumur Paleogen dan selebihnya batugamping berumur Mesozoikum. Batugamping ini merupakan bagian dari Formasi Tampakura, Formasi Laonti, Formasi Tamborasi, dan bagian atas Formasi Meluhu. Sebagian batugamping penyusun morfologi ini sudah terubah menjadi marmer. Struktur geologi yang terbentuk di lengan tenggara Sulawesi diakibatkan oleh tumbukan antara keeping keeping benua, dan ofiolit yang terjadi sebelum Miosen Awal. Struktur geologi yang terbentuk akibat tumbukan tersebut antara lain sesar naik dan struktur imbrikasi serta lipatan (Surono, 2013). 3. Metode Penelitian Peta geomorfologi yang dibuat dalam penelitian ini mengacu pada pembagian morfologi menurut Surono (2013) dengan delineasi lebih rinci berdasarkan analisis peta topografi 1: dengan mempertimbangkan peta geologi lembar Kolaka 1: menurut Simandjuntak, dkk (1993). Penelitian dilakukan dengan pengamatan lapangan berupa pengamatan morfologi bentukan travertin serta pengamatan petrologi batuan. Pengamatan dilakukan pada 3 STA yang mewakili tiga bagian dari tingkatan air terjun Moramo secara ketinggian yakni STA 1 pada bagian atas, STA 2 pada bagian tengah, dan STA 3 pada bagian bawah. Pada masing-masing STA dilakukan pengambilan sampel masing-masing 2 yakni pada bagian depan (1A, 2A, dan 3A) dan belakang dam (1B, 2B, dan 3B) (lihat Gambar 2). Keenam sampel ini kemudian dibuat sayatan tipis dan diamati menggunakan mikroskop polarisasi. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Morfologi Travertin Travertin ditemukan di daerah lembah, sepanjang aliran Sungai Biskori secara menerus (Gambar 3). Travertin ditemukan pada satuan morfologi karst menuju perbatasannya dengan satuan dataran. Sungai Biskori memiliki air dengan suhu dingin, di sekitarnya tidak terlihat adanya manifestasi panas bumi seperti adanya air panas, fumarol, dan lain-lain atau adanya intrusi batuan beku. Hal ini menandakan 1183
3 bahwa pelarutan batuan karbonat pada morfologi karst menjadi penghasil utama air jenuh kalsium karbonat yang berperan dalam pembentukan travertin. Morfologi travertin pada Air Terjun Moramo merupakan morfologi dam atau lereng berteras (Ozkul dkk, 2002). Hal ini dikarenakan setiap tingkatan air terjun terdiri atas kolam yang terbendung oleh tubuh travertin sehingga membentuk kenampakan berteras. Karena adanya kolam yang berada dibelakangnya, morfologi travertin pada daerah penelitian tidak dapat disebut sebagai air terjun secara langsung. Morfologi ini menempati sebuah lereng yang masih dialiri oleh aliran Sungai Biskori sehingga aliran air pada tingkatan-tingkatan dam terus meluap dari kolam ke bagian tubuh dam. Tubuh dam sendiri berbentuk melengkung seperti busur, dan pada satu tingkatan yang sama dapat terbentuk beberapa busur dam. Sebaran morfologi dam travertin pada sistem ini seperti dapat dilihat pada Gambar 3 semakin sempit ke arah hulu. Pengamatan morfologi yang dilakukan pada ketiga STA dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa dam pada Air Terjun Moramo pada ketiga STA termasuk pada kategori makrodam karena memiliki jarak antardam lebih dari 1 meter (Pentecost, 2005). Perbedaan dari kriteria morfologi dam pada ketiga STA adalah ukuran dam pada sistem ini semakin menyempit ke bagian hilir, dengan ketinggian dam yang juga memendek. Selain itu, jarak antardam membesar ke arah hilir (Gambar 4). Perbedaan ini tentu dipengaruhi oleh faktor tertentu pada saat proses pembentukan dam. Faktor tersebut adalah kelerengan. Pentecost (2005) mengemukakan bahwa jarak antardam akan semakin melebar semakin landai suatu lereng. Hal ini sesuai dengan keadaan pada Air Terjun Moramo, sehingga dapat diartikan bahwa permukaan awal sebelum travertin terendapkan memiliki kelerengan yang semakin landai ke bagian hilir. Kelerengan juga dapat mempengaruhi kecepatan air. Bagian hulu yang memiliki kecepatan air paling tinggi karena kelerengan yang lebih terjal akan membentuk kondisi hidrolika dimana proses pelepasan CO2 menjadi lebih besar. Proses yang dimaksud antara lain turbulensi dengan permukaan dasar sungai, keluarnya gas terlarut (aerasi) akibat penurunan tekanan air, serta meluasnya kontak air dengan udara akibat aliran yang berubah menjadi terpisah-pisah, tetesan, atau percikan air (Zhang dkk, 2001 dalam Pentecost, 2005). Hal ini dapat menyebabkan pembentukan travertin yang lebih masif pada bagian hulu yang lebih terjal sehingga membentuk tingkatan travertin dengan dam yang lebih tinggi, sementara pada bagian hilir yang memiliki kelerengan landai, dam terbentuk lebih pendek. Perbedaan lain yang tampak dari sistem dam ini adalah bagian hulu memiliki lebih banyak lengkungan atau busur dam pada satu tingkatan, sedangkan pada bagian hilir pada satu tingkatan hanya ada 1 2 busur saja. Hal ini secara relatif terbentuk karena adanya penghalang awal pada saat pertama terbentuk travertin. Bagian hulu memiliki lebih banyak penghalang yang kemudian menginisiasi pembendungan aliran sungai karena kelerengannya lebih terjal sedangkan pada bagian hilir, penghalang aliran sungai lebih sedikit, misalnya pohon Jenis dan Karakter Petrografi Travertin Secara megaskopis, travertin pada Air Terjun Moramo memiliki warna putih kecokelatan, terdiri atas perulangan gelap-terang dengan tebal 0,2 3,5 1184
4 cm. Laminasi tersusun oleh mineral karbonat (reaksi positif terhadap fizz test) yakni mikrit (gelap) dan kristal kalsit (terang) dengan porositas batuan sedang. Pada permukaan dam travertin dijumpai permukaan kasar yang merupakan lumut yang terkerakkan oleh kalsit (Gambar 5A) serta ada pula jatuhan daun dan ranting yang ikut terkerakkan pada dinding dam (Gambar 5B). Kenampakan ini sangat umum dijumpai sebagai pengaruh yang tinggi pada saat pembentukan travertin pada lingkungan dam (Pedley, 1990). Selain itu, pada dinding dam dijumpai pula bentukan memanjang yang menggantung dan berlubang seperti sarang larva serangga air (Gambar 5B). Aktivitas larva pada lingkungan pengendapan travertin sangat umum dijumpai terutama tropis yang memiliki aliran air yang relatif hangat (Carthew dkk, 2003). Larva dapat meninggalkan rongga bekas penggalian yang kemudian terkalsifikasi dan mengkerak dengan bentuk yang menggantung (Carthew, 2006) seperti yang terlihat pada daerah penelitian. Permukaan berbentuk nodular (Gambar 5C) juga tampak pada beberapa bagian. Permukaan ini dapat terbentuk oleh kondisi aliran pada bagian tersebut membalut permukaan atau memercik (Carthew, 2006) Travertin ini tergolong travertin meteogen karena memiliki beberapa kriteria travertin meteogen menurut Gandin dan Capezzuoli (2008) serta Capezzuoli dkk (2014) pada Tabel 1. Parameter yang terpenuhi antara lain proses deposisi utama yang biotik yang tinggi ditunjukkan oleh adanya lumut, daun, dan ranting yang terkerakkan serta adanya sarang larva serangga air. Parameter lain adalah perlapisan yang kurang laminar dan kurang teratur dengan tebal 0,2 3,5 mm, serta kenampakannya cenderung porous. Kenampakan petrografi dari masing-masing sampel travertin telah dirangkum pada Tabel 3. Penyusun pada travertin terdiri atas berbagai macam ukuran dan bentuk kristal kalsit, yakni dendrit (calcite dendrites), mikrit, dan mikrospar. Sparit syn-deposisi maupun hasil diagenesis tidak ditemukan pada sampel. Dendrit merupakan kristal kalsit dengan kenampakan bercabang seperti percabangan pada rumput atau semak, atau dapat pula bercabang membentuk kipas (Pentecost, 2005). Dendrit pada dijumpai pada sampel yang diambil pada bagian depan dam. Kenampakan dendrit yang diamati berbentuk seperti semak dan mengikuti di bawahnya (Gambar 6A), serta membentuk kenampakan yang menyerupai kipas (Gambar 6B). Terdapat pula dendrit yang terbentuk kurang teratur (Gambar 6C). Pada travertin meteogen, dendrit umumnya terbentuk akibat nukleasi kristal kalsit pada substrat, dalam hal ini lumut, sehingga kristal kalsit yang dihasilkan akan berbentuk bercabang seperti lumut pada kenampakan petrografis (Turner dan Jones, 2005). Nukleasi ini terjadi karena adanya EPS (extracellular polymetric substance) pada jaringan daun lumut. Proses ini masih berjalan hingga sekarang sehingga pada permukaan sering dijumpai lumut yang terkerakkan. Mikrit teramati pada setiap sampel petrografi. Mikrit memiliki ukuran mineral < 0,005 mm (Folk, 1965 dalam Flugel, 2010), pada kenampakan PPL berwarna coklat, relief rendah dan tidak ada pleokroisme. Sementara itu, mikrospar berukuran 0,005 0,030 mm (Folk, 1965 dalam Flugel, 2010). Mikrospar merupakan hasil neomorfisme dari mikrit. Pada kenampakan PPL, mikrospar berwarna putih, memiliki relief rendah tanpa pleokroisme. Mikrit ditemukan membentuk tersendiri setebal 0,1 0,5 mm, terkadang tidak kontinyu (Gambar 7A). Selain itu, mikrit bersama mikrospar menjadi pengisi utama pada sampel bagian 1185
5 belakang dam, beberapa membentuk yang laminar, namun kebanyakan mikrit dan mikrospar mengisi yang cukup tebal 1 2,5 mm dengan membentuk konfigurasi yang dendritik (Gambar 7B). Proses pembentukan konfigurasi dendritik yang tersusun oleh mikrit dan mikrospar sendiri kurang lebih sama dengan pembentukan kristal dendritik, hanya saja kristal hasil nukleasi yang terbentuk tidak besar dan hanya berukuran mikrit-mikrospar. Apabila proses pengkerakan terjadi lebih lanjut, konfigurasi ini akan lenyap karena kristal tumbuh semakin besar hingga berukuran sparit dan menjadi dendrit (Turner dan Jones, 2005). Pori pada travertin yang ditemukan antara lain pori interkristalin dan ireguler (Gambar 7A). Pori interkristalin ditemukan di sekitar batas perlapisan atau tersebar di dalam di sekitar mikrit dan mikrospar. Pori interkristalin yang berada di sekitar mikrit dan mikrospar terkadang memperjelas kenampakan mikrit dan mikrospar yang membentuk konfigurasi dendritik (Gambar 7B). Sementara itu, pori yang ireguler tersebar acak dengan bentuk yang tidak teratur diduga terbentuk karena kesalahan pada saat preparasi sayatan tipis sehingga beberapa bagian dari sayatan batuan hilang meninggalkan pori ireguler. Perbandingan karakter petrografis pada sampel yang diambil antara lain sampel yang diambil pada bagian depan dam tersusun oleh yang tersusun oleh dendrit, tipis mikrit, serta mikrit dan mikrospar. Sementara itu travertin pada bagian belakang tersusun oleh material kerbonat yang lebih halus yang terdiri atas mikrit dan mikrospar yang membentuk konfigurasi dendritik dengan beberapa sisipan mikrit tipis. Hal ini dapat dikarenakan bagian depan dari dam kecepatan aliran air lebih tinggi dan membentuk terjunan sehingga pelepasan CO2 lebih efektif terjadi dibandingkan pada bagian belakang dam sehingga nukleasi pada lumut dapat terjadi lebih lanjut menjadi kristal dengan ukuran lebih besar. Berdasarkan kenampakan megaskopis dan pengamatan petrografi, fasies travertin adalah fasies phytoherm (bryophytes) yang dapat dibagi lagi menjadi fasies phytoherm (bryophytes) untuk bagian depan dam dan micritic phytoherm (bryophytes) untuk bagian belakang dam. Fasies ini dicirikan oleh adanya tumbuhan, dalam hal ini lumut, yang terjebak saat pembentukan travertin. 5. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Travertin pada Air Terjun Moramo memiliki morfologi makrodam yang bertingkattingkat berbentuk busur yang terpengaruh oleh kelerengan. Sistem dam menerus dari bagian hulu hingga hilir, dengan tinggi dam yang mengecil dan jarak antardam membesar ke arah hilir. Selain itu pada bagian hulu pada satu tingkatan dapat terbentuk lebih banyak busur dam sedangkan pada bagian hilir hanya 1 2 saja. 2. Karakter petrografis dari travertin yang teramati antara lain yang tersusun oleh dendrit, mikrit, serta mikrit dan mikrospar untuk bagian depan dam, sedangkan bagian belakang dam tersusun oleh mikrit dan mikrospar yang membentuk konfigurasi dendritik dengan beberapa sisipan mikrit tipis. 3. Travertin Air Terjun Moramo berjenis meteogen yang termasuk ke dalam fasies phytoherm (bryophytes) yang terbentuk akibat adanya lumut beserta daun dan ranting 1186
6 serta aktivitas larva yang terjebak pada saat pembentukan travertin oleh air jenuh kalsium karbonat hasil pelarutan batuan morfologi karst. Acknowledgements Ucapan terima kasih diberikan kepada pihak yang membantu dalam pengambilan data, La Ode Amri Rizal, Muhammad Ridwan, Galdencia, dan Sidiq Al Mubaraq. Ucapan terima kasih juga diberikan Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan kesempatan preparasi sayatan tipis secara mandiri di Laboratorium Geologi Pusat maupun pengamatan sayatan tipis di Laboratorium Geologi Optik. Daftar Pustaka Capezzouli, E., Gandin, A., dan Pedley M Decoding tufa and Travertine (Fresh Water Carbonates) in the Sedimentary Record: The State of Art. Sedimentology, v.61, hal.1-21, doi: /sed Carthew, K.D., M.P. Taylor, dan R.N.Drysdale. (2006). An environmental model of fluvial tufas in the monsoona; tropics, Barkly Karst, northern Australia. Geomorphology 73 (2006) p Carthew, K.D., M.P. Taylor, dan R.N. Drysdale. (2003). Are current models of tufa sedimentary environments applicable to tropical systems? A case study from the Gregory River. Sedimentary Geology. Vol. 162 p Ciputra, R.C., M.I. Novian, dan Srijono. (2017). Petrogenesa Travertin Daerah Widuri, Desa Kemadohbatur, Kecamatan Tawangharrjo, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Skripsi S1 Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Flugel, E. (2010). Microfacies of Carbonate Rocks. Springer; New York, 976 p. Gandin, A, dan E. Capezzuoli. (2008). Travertine versus Calcareous Tufa: Distinctive Petrologic Features and Stable Isotopes Signatures. Italian Journal of Quarternary Sciences 21 (B) p Özkul, M, B Varol, dan M C Alcicek. (2002). Depositional Environments and Petrography of Denizli Travertine. Mineral Resources Exploration Buletin, 125 (2002) p Pedley, H.M., (1990). Classification and Environmental Models of Cool Freshwater Tufas. Sedimentary Geology Vol. 68(1990) p Pentecost, A Travertine. Springer; Berlin, 446 p Simandjuntak, T.O., Surono dan Sukido. (1993) Peta Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi; Bandung Surono. (2013). Geologi Lengan Tenggara Sulawesi. Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Bandung Turner. E. C., dan Jones, B. (2005). Microscopic Calcite Dendrites in Cold-Water Tufa: Implications for Nucleation of Micrite and Cement. Sedimentology Vol. 52 hal
7 Gambar 3. Satuan morfologi bagian selatan lengan tenggara Sulawesi dari citra IFSAR (Surono, 2013 dengan modifikasi). Gambar 2. Titik pengambilan sampel pada masing-masing STA: di depan dam (A) dan di belakang dam (B) 1188
8 Gambar 3. Peta geomorfologi dengan sebaran travertin pada daerah penelitian serta lokasi STA pengambilan sampel travertin. Travertin ditemukan pada Satuan Karst. 1189
9 Gambar 4. Kenampakan morfologi travertin pada STA 1 pada bagian hulu, STA 2 pada bagian tengah, dan STA 3 pada bagian hilir. Pada STA 1 terlihat dam yang lebih tinggi dengan jarak antardam yang besar, serta pada satu tingkatan dapat terbentuk beberapa busur dam, sedangkan semakin ke hilir, tinggi dam semakin mengecil dengan jarak antardam yang membesar. 1190
10 Gambar 5. Kenampakan permukaan dam. (A) Kenampakan lumut yang terkerakkan oleh kalsit. (B) kenampakan sarang larba dan daun yang terkerakkan oleh kalsit. (C) kenampakan permukaan berbentuk nodular. 1191
11 Gambar 6. Kenampakan kristal kalsit dendritik atau dendrit. (A) Dendrit berbentuk seperti semak. (B) Dendrit berbentuk kipas. (C) Dendrit dengan arah tidak teratur. Pori berwarna putih (PPL) dan hitam (XPL). Keterangan: dt = dendrit, mi = mikrit, dan ms = mikrospar. Gambar 7. Kenampakan mikrit dan mikrospar pada sayatan tipis. (A) Perulangan mikrit dengan mikrit dan mikrospar, pori terlihat ireguler dan interkristalin. (B) Kenampakan mikrit dan mikrospar yang membentuk konfigurasi dendritik, pori terlihat 1192
12 interkristalin di sekitar konfigurasi dendritik. Pori berwarna putih (PPL) dan hitam (XPL). Keterangan:, mi = mikrit, dan ms = mikrospar. Tabel 1. Perbedaan karakter utama travertin menurut Gandin dan Capezzuoli (2008) dan Capezzuoli dkk (2014) yang dirangkum dalam Ciputra dkk (2017) No. Parameter Karakter utama travertin (Gandin dan Capezzuoli, 2008; Capezzuoli dkk, 2014) Travertin Meteogen 1 Proses deposisi utama Biotik Abiotik 2 Mineral pembentuk Kalsit Kalsit, Aragonit Travertin Termogen 3 Ukuran kristal kalsit Mikritik-mikrosparitik, meskipun Makro (bladed, acicular) hingga tidak menutup kemungkinan untuk mikritik ukuran yang makro 4 Tekstur utama Porous, chalky, terdapat sisipan Kristalin tebal dan keras pasir-lempung lentikuler 5 Perlapisan / Jarang membentuk perlapisan / Membentuk perlapisan / yang yang laminar, kurang teratur laminar dan teratur 6 Ketebalan perlapisan Umumnya membentuk tipis Dapat terbentuk dengan sangat tebal (1 10 mm) (10 >100 mm) 7 Konten biologis Sangat besar (makrophytes hingga Bakteri dan sianobakteri microphytes), fauna 8 Porositas primer Tinggi Rendah Tabel 2. Kriteria morfologi travertin yang terbentuk pada masing-masing STA No. Kriteria Morfologi STA 1 (Atas) STA 2 (Tengah) STA 3 (Bawah) 1 Jumlah dam pada STA Jumlah dam pada satu tingkatan 2 sampai 4 1 sampai 2 1 sampai 2 3 Lebar dam 5-15 m 10 m 10 m 4 Tinggi dam 1-3 m 0,5-1 m 0,3-0,5 m 5 Jarak antardam 1-4 m 3-6 m 5-10 m 6 Bentukan permukaan dam Permukaan kasar berbentuk nodular atau bentukan panjang menggantung akibat sarang larva, terdapat pula lumut dan daun yang terkerakkan Permukaan kasar berbentuk nodular atau bentukan panjang menggantung akibat sarang larva, terdapat pula lumut dan daun yang terkerakkan Permukaan kasar berbentuk nodular kecil atau bentukan menggantung pendek-pendek, serta lumut yang terkerakkan 1193
13 Tabel 3. Karakter petrografis travertin pada masing-masing sampel Parameter STA 1A (depan) STA 1B (belakang) STA 2A (depan) STA 2B (belakang) STA 3A (depan) STA 3B (belakang) Komposisi Mineral Utama Laminasi bervariasi, 0,2-1,5 mm Kristal kalsit dendritik Mikrit + Mikrospar Kalsit Kalsit Kalsit Kalsit Kalsit Kalsit Ada, ukuran 1-1,5 mm, tidak kontinyu, beberapa seperti kipas Ada, membentuk 1-2 mm; diselingi mikrit 0,1-0,2 mm Tidak ada Ada, beberapa membentuk konfigurasi dendritik dalam satu bervariasi, 0,2-1,5 mm Ada, ukuran 1-3,5 mm, tidak kontinyu, beberapa tidak teratur, beberapa seperti kipas Ada, membentuk 1-2 mm; diselingi mikrit 0,1-0,4 mm Tidak ada Ada, beberapa membentuk konfigurasi dendritik dalam satu Pori Interkristalin Interkristalin Interkristalin Interkristalin, ireguler bervariasi, 0,2-1,5 mm Ada, tetapi tidak banyak, ukuran 0,5-1,5 mm, tidak kontinyu, beberapa seperti kipas Ada, membentuk Interkristalin 1-2,5 mm; diselingi mikrit 0,1-0,2 mm tidak kontinyu Tidak ada Ada, beberapa membentuk konfigurasi dendritik dalam satu Interkristalin Sparit diagenesis Fasies Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Phytoherm (bryophytes) Micritic Phytoherm (bryophytes) Phytoherm (bryophytes) Micritic Phytoherm (bryophytes) Phytoherm (bryophytes) Micritic Phytoherm (bryophytes) 1194
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 6-7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA
STUDI PETROGRAFI TRAVERTIN DI SUNGAI WIDURI, DESA KEMADOHBATUR KECAMATAN TAWANGHARJO, KABUPATEN GROBOGAN, PROVINSI JAWA TENGAH Roni Cahya Ciputra 1* M Ilyasa Satyadharma 1 Srijono 2 1 Program S1 Departemen
Lebih terperinciGeologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /
BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah
Lebih terperinciBAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA EVOLUSI POROSITAS DENGAN KARAKTERISTIK DIAGENESIS FORMASI WONOSARI DI KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DIY
Abstrak HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI POROSITAS DENGAN KARAKTERISTIK DIAGENESIS FORMASI WONOSARI DI KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DIY Muhamad Rizki Asy ari 1*, Sarju Winardi 1 1 Jurusan
Lebih terperinciBAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN
BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN 5.1 Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi antara batuan dengan fluida hidrotermal. Proses yang
Lebih terperinciIII.1 Morfologi Daerah Penelitian
TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses
Lebih terperinciBAB IV FASIES BATUGAMPING GUNUNG SEKERAT
BAB IV FASIES BATUGAMPING GUNUNG SEKERAT Satuan batugamping Gunung Sekerat tersingkap dengan baik, dengan penyebaran kurang lebih 10% dari luas daerah penelitian, dalam Peta Geologi (Lampiran G-3) satuan
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana
Lebih terperinciGambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat )
Gambar 3.12 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang, dibeberapa tempat terdapat sisipan dengan tuf kasar (lokasi dlk-12 di kaki G Pagerkandang). Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya
Lebih terperinciGeologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan
Lebih terperinciPEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta
PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta ABSTRAK Daerah penelitian terletak di daerah Gunung Bahagia, Damai, Sumber Rejo, Kota Balikpapan,
Lebih terperinciBAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi mum Daerah Penelitian ecara umum morfologi daerah penelitian merupakan dataran dengan punggungan di bagian tengah daerah
Lebih terperinciGeologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /
Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.
Lebih terperinci1 BAB I PENDAHULUAN. lainnya tidak selalu sama. Bentukan khas pada bentang alam ini disebabkan
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Bentang alam karst merupakan suatu bentang alam yang memiliki bentukan yang sangat unik dan khas. Bentang alam karst suatu daerah dengan daerah yang lainnya
Lebih terperinciKONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH
KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas
Lebih terperinciPENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH
PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH Rikzan Norma Saputra *, Moch. Indra Novian, Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi,
Lebih terperinciCiri Litologi
Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan
Lebih terperinciBab III Geologi Daerah Penelitian
Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.
Lebih terperinciFoto 32. Singkapan batugamping fasies foraminifera packestone yang berlapis.
besar Lepidocyclina spp., Amphistegina spp., Cycloclypeus spp., sedikit alga, porositas buruk berupa interpartikel, intrapartikel dan moldic, berlapis baik. Pada sayatan tipis (Lampiran A-5: analisis petrografi)
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung
Lebih terperinciSubsatuan Punggungan Homoklin
Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL
BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian
Lebih terperinciBAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian
BAB 3 Tatanan Geologi Daerah Penelitian 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Analisis morfologi yang dilakukan pada daerah penelitian berdasarkan pengamatan tekstur yang tercermin dalam perbedaan ketinggian,
Lebih terperinciFoto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)
Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah
Lebih terperinci// - Nikol X - Nikol 1mm
Sampel lain yang mewakili mikrofasies ini adalah D 34 D, merupakan batugamping packstone, klastik, terpilah buruk, kemas terbuka, disusun oleh butiran (50%), terdiri dari fragmen fosil berupa alga, foraminifera
Lebih terperinciBAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,
BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen adalah prosesproses yang
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses
Lebih terperinciBAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN
BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih
Lebih terperinciBAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan bentang alam yang ada di permukaan bumi dipengaruhi oleh proses geomorfik. Proses geomorfik merupakan semua perubahan baik fisik maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan sejarahnya (termasuk perkembangan kehidupan), serta proses-proses yang telah
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang penelitian Geologi adalah ilmu pengetahuan bumi mengenai asal, struktur, komposisi, dan sejarahnya (termasuk perkembangan kehidupan), serta proses-proses yang telah
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan
Lebih terperinci3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan
3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur
Lebih terperinciBENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani
http://pelatihan-osn.blogspot.com Lembaga Pelatihan OSN BENTANG ALAM KARST By : Asri Oktaviani Pengertian tentang topografi kars yaitu : suatu topografi yang terbentuk pada daerah dengan litologi berupa
Lebih terperinciBAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Daerah penelitian memiliki pola kontur yang relatif rapat dan terjal. Ketinggian di daerah penelitian berkisar antara 1125-1711 mdpl. Daerah penelitian
Lebih terperincidan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).
dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut
Lebih terperinciBAB III Perolehan dan Analisis Data
BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III PEROLEHAN DAN ANALISIS DATA Lokasi penelitian, pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000, terletak di Formasi Rajamandala. Penelitian lapangan berupa
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses
Lebih terperinciMetamorfisme dan Lingkungan Pengendapan
3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras
Lebih terperinciBAB V DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI CIMAPAG
BAB V DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI CIMAPAG 5.1 Metode Penelitian Analisis data dilakukan berdasarkan pengamatan lapangan dan pendekatan petrografi menggunakan mikroskop polarisasi terhadap 27 sampel
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batuan karbonat menyusun 20-25% batuan sedimen dalam sejarah geologi. Batuan karbonat hadir pada Prakambrium sampai Kuarter. Suksesi batuan karbonat pada Prakambrium
Lebih terperinciACARA IV POLA PENGALIRAN
ACARA IV POLA PENGALIRAN 4.1 Maksud dan Tujuan Maksud acara pola pengaliran adalah: 1. Mengenalkan macam-macam jenis pola pengaliran dasar dan ubahannya. 2. Mengenalkan cara analisis pola pengaliran pada
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian. Analisis geomorfologi dilakukan untuk mempelajari bagaimana bentang alam terbentuk secara konstruksional (yang diakibatkan oleh gaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai
BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penting dan bernilai sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai 60.000 km 2 dan
Lebih terperinciGambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).
(Satuan Breksi-Batupasir) adalah hubungan selaras dilihat dari kemenerusan umur satuan dan kesamaan kedudukan lapisan batuannya. Gambar 3.5 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (Bouma, A. H., 1962). Gambar
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah
Lebih terperinciHALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN UCAPAN TERIMAKASIH KATA PENGANTAR SARI DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB 1 PENDAHULUAN
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMAKASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR TABEL... xvii BAB
Lebih terperinciberukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.
berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan
Lebih terperinciBAB 2 TATANAN GEOLOGI
BAB 2 TATANAN GEOLOGI Secara administratif daerah penelitian termasuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Sinjai Utara, dan temasuk dalam
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses
Lebih terperinci3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9
3.2.2.4 Mekanisme pengendapan Berdasarkan pemilahan buruk, setempat dijumpai struktur reversed graded bedding (Gambar 3-23 D), kemas terbuka, tidak ada orientasi, jenis fragmen yang bervariasi, massadasar
Lebih terperinciFoto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono
Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah Padang dan sekitarnya terdiri dari batuan Pratersier, Tersier dan Kwarter. Batuan
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan
Lebih terperinciBAB 3 GEOLOGI SEMARANG
BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.
Lebih terperinciACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN
ACARA IX MINERALOGI OPTIK I. Pendahuluan Ilmu geologi adalah studi tentang bumi dan terbuat dari apa itu bumi, termasuk sejarah pembentukannya. Sejarah ini dicatat dalam batuan dan menjelaskan bagaimana
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.
Lebih terperinci07. Bentangalam Fluvial
TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi 07. Bentangalam Fluvial Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada 2010 Pendahuluan Diantara planet-planet sekitarnya, Bumi
Lebih terperinciGeologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27
memiliki ciri-ciri berwarna abu-abu gelap, struktur vesikuler, tekstur afanitik porfiritik, holokristalin, dengan mineral terdiri dari plagioklas (25%) dan piroksen (5%) yang berbentuk subhedral hingga
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),
Lebih terperinciDAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.
DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latar belakang penelitian ini secara umum adalah pengintegrasian ilmu dan keterampilan dalam bidang geologi yang didapatkan selama menjadi mahasiswa dan sebagai syarat
Lebih terperinciBAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan
BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM
BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman
Lebih terperinciBAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN
BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN Fasies adalah suatu tubuh batuan yang dicirikan oleh kombinasi ciri litologi, ciri fisik dan biologi yang membedakannya dengan tubuh batuan yang berdekatan (Walker,
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses eksogen dan endogen yang membentuk
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa
Lebih terperinciDinamika Sedimentasi Formasi Prupuh dan Paciran daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan, Jawa Timur
Dinamika Sedimentasi Formasi Prupuh dan Paciran daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan, Jawa Timur Farida Alkatiri 1, Harmansyah 1 Mahasiswa, 1 Abstrak Daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan merupakan lokasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karakterisasi Reservoar Batuan Karbonat Formasi Kujung II, Sumur FEP, Lapangan Camar, Cekungan Jawa Timur Utara 1
BAB I PENDAHULUAN Karakterisasi reservoar adalah bentuk usaha dalam menentukan kualitas reservoar (Sudomo, 1998). Kualitas reservoar dikontrol oleh faktor pembentukan batuan karbonat, yaitu tekstur dan
Lebih terperinciANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG
ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG R. Andy Erwin Wijaya. 1,2, Dwikorita Karnawati 1, Srijono 1, Wahyu Wilopo 1 1)
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Analisa geomorfologi merupakan sebuah tahapan penting dalam penyusunan peta geologi. Hasil dari analisa geomorfologi dapat memudahkan dalam pengerjaan
Lebih terperinciBAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN
BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan
Lebih terperinciBAB IV TEORI DASAR DIAGENESIS KARBONAT
BAB IV TEORI DASAR DIAGENESIS KARBONAT 4.1 Tinjauan Umum Diagenesis meliputi perubahan fisik atau kimia suatu sedimen atau batuan sedimen yang terjadi setelah pengendapan (tidak termasuk proses-proses
Lebih terperinciKecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur
Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah
Lebih terperinciBAB II GEOLOGI REGIONAL
BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Pulau Buton yang terdapat di kawasan timur Indonesia terletak di batas bagian barat Laut Banda, Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis, Pulau Buton terletak
Lebih terperinciFoto 3.6 Singkapan perselingan breksi dan batupasir. (Foto diambil di Csp-11, mengarah kehilir).
Apabila diperhatikan, hasil analisis petrografi dari sayatan batupasir kasar dan sayatan matriks breksi diperoleh penamaan yang sama. Hal ini diperkirakan terjadi karena yang menjadi matriks pada breksi
Lebih terperinciBAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar
Lebih terperinciPAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK
PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK Nama Kelompok : IN AM AZIZUR ROMADHON (1514031021) MUHAMAD FAISAL (1514031013) I NENGAH SUMANA (1514031017) I PUTU MARTHA UTAMA (1514031014) Jurusan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Daerah Rembang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang terdiri dari endapan Neogen silisiklastik dan karbonat. Stratigrafi daerah
Lebih terperinciGeologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan
Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada
Lebih terperinciBAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI Berdasarkan pembagian fisiografi Jawa Tengah oleh van Bemmelen (1949) dan Pardiyanto (1979) (gambar 2.1), daerah penelitian termasuk ke dalam
Lebih terperinci