6.6.9 Ind p PETUNJUK TEKNIS TATA LAKSANA KLINIS KO-INFEKSI TB-HIV

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6.6.9 Ind p PETUNJUK TEKNIS TATA LAKSANA KLINIS KO-INFEKSI TB-HIV"

Transkripsi

1 6.6.9 Ind p PETUNJUK TEKNIS TATA LAKSANA KLINIS KO-INFEKSI TB-HIV DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2012

2

3

4 6.6.9 Ind p PETUNJUK TEKNIS TATA LAKSANA KLINIS KO-INFEKSI TB-HIV DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2012

5 KATA PENGANTAR Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia yang berdampak pada meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada ODHA (orang dengan HIV-AIDS). Kolaborasi kegiatan bagi kedua program merupakan keharusan agar mampu mengendalikan kedua penyakit tersebut secara efektif dan efiisien. Dalam melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV maka telah disusun pedoman kebijakan pelaksanaan kolaborasi TB-HIV di Indonesia. Pedoman tersebut merupakan kebijakan tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV. Oleh karena itu, masih diperlukan petunjuk lebih lanjut dalam operasionalnya baik dalam aspek manajemen program maupun aspek tatalaksana klinis. Selain itu strategi dan kegiatan yang akan dilaksanakan dijabarkan dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Kolaborasi TB-HIV Penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada semua pihak, baik perorangan maupun lembaga yang terlibat dalam penyusunan dan penyempurnaan buku petunjuk teknis ini. Terutama kepada tim penyusun dan para kontributor yang telah memberikan sumbang saran sehingga buku ini dapat diterbitkan. Semoga dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Direktur Jenderal PP & PL, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama NIP i

6 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i ii v vii DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH... viii DAFTAR KONTRIBUTOR... x BAB I PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG... 1 B. DASAR HUKUM... 2 C. TUJUAN... 2 D. SASARAN... 2 E. RUANG LINGKUP... 3 BAB II PENGENDALIAN TB-HIV... 4 A. TUBERKULOSIS... 4 B. HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS... 7 C. KO-INFEKSI TB-HIV BAB III DIAGNOSIS TB PADA ODHA DEWASA A. PENDEKATAN DIAGNOSIS B. MANIFESTASI KLINIS C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAHAK D. PEMERIKSAAN PENUNJANG RADIOLOGI E. ALUR DIAGNOSIS ii

7 F. DIAGNOSIS BANDING BAB IV TATALAKSANA KLINIS PASIEN TB-HIV ANAK A. DIAGNOSIS TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV B. MANIFESTASI PENYAKIT TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV C. PENGOBATAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV D. PENCEGAHAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV E. INFEKSI HIV PADA TB ANAK F. PEMBERIAN ART BAB V DIAGNOSIS INFEKSI HIV PADA PASIEN TB DEWASA A. FAKTOR RISIKO HIV PADA PASIEN TB B. PENGENALAN TANDA KLINIS DARI INFEKSI HIV PADA PASIEN TB C. KONSELING DAN TES HIV (KTS Dan KTIPK) BAB VI PENGOBATAN KO-INFEKSI TB-HIV A. PRINSIP PENGOBATAN B. PENGOBATAN PENCEGAHAN KOTRIMOKSASOL (PPK) C. EFEK SAMPING DAN INTERAKSI OBAT (OAT DAN ARV) D. MEMANTAU KEMAJUAN PENGOBATAN PADA ORANG DEWASA E. PENGOBATAN PASIEN KO-INFEKSI TB MDR DAN HIV BAB VII PENCEGAHAN PENGENDALIAN INFEKS DAN KEWASPADAAN STANDAR DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN A. PENULARAN HIV DI FASYANKES B. PENULARAN TB DI FASYANKES C. PRINSIP KEWASPADAAN UNIVERSAL DAN PENGENDALIAN INFEKSI TB DI FASYANKES D. UPAYA MENURUNKAN RISIKO PENULARAN HIV DAN TB DI FASYANKES iii

8 E. KECELAKAAN KERJA DAN TATALAKSANA PAJANAN DI TEMPAT KERJA BAB VIII PENCATATAN DAN PELAPORAN TB-HIV A. PENCATATAN DAN PELAPORAN KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV B. MEKANISME PENCATATAN DAN PELAPORAN PASIEN TB-HIV C. VARIABEL PELAPORAN KOLABORASI TB-HIV iv

9 DAFTAR TABEL Tabel 1. Stadium klinis HIV dewasa Tabel 2. Stadium klinis HIV anak Tabel 3. Gambaran foto toraks tipikal atau tidak tipikal Tabel 4. Kemungkinan diagnosis yang dinilai berdasarkan kelainan pada foto toraks yang sering di interprestasikan sebagai TB Paru Tabel 5. Diagnosis banding TB meningen Tabel 6. Tampilan klinis yang biasa muncul dan pemeriksaan untuk penegakan diagnosis bentuk lain TB ekstraparu yang jarang ditemukan Tabel 7. Ringkasan petunjuk untuk suspek TB ekstraparu dan tanda utama TB ekstraparu untuk membantu diagnosis Tabel 8. Diagnosis dan Tatalaksana segera kasus suspek TB Ekstraparu Tabel 9. Manifestasi klinis dan gambaran foto toraks PCP dan TB Paru Tabel 10. Gambaran klinis dugaan terdapatnya ko-infeksi HIV pada pasien TB Tabel 11. Keuntungan dan kerugian dari tes antibodi HIV Tabel 12. Obyektifitas, strategi dan intrepretasi dari pemeriksaan HIV Tabel 13. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A Tabel 14. Memulai pengobatan TB pada ODHA di Puskesmas Tabel 15. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB Tabel 16. Pemberian Kotrimoksasol sebagai profilaksis primer Tabel 17. Protokol desensitisasi kotrimoksasol Tabel 18 Protokol desensitisasi cepat kotrimoksasol Tabel 19 Tatalaksana efek samping ringan untuk pasien TB yang tidak dalam pengobatan ARV Tabel 20. Tatalaksana efek samping berat untuk pasien TB yang tidak dalam pengobatan ARV v

10 Tabel 21. Tatalaksana Efek Samping Obat pada pasien dengan pengobatan ko-infeksi TB-HIV Tabel 22. Penyakit infeksi dan non infeksi penyebab SPI pada ODHA Tabel 23. Gejala dan Penanganan IRIS Tabel 24. Pemantauan klinis dan laboratorium yang dianjurkan selama pemberian paduan ARV Lini Pertama Tabel 25. Potensi toksisitas OAT MDR dan ART Tabel 26. Jadual Pemantauan Pengobatan ko-infeksi TB MDR/ HIV Tabel 27. Penatalaksanaan efek samping pengobatan OAT MDR dan ART Tabel 28. Lima Langkah Penatalaksanaan Pasien Untuk Mencegah Penularan TB di Fasyankes Tabel 29. Penilaian Pajanan untuk Profilaksis Pasca Pajanan HIV Tabel 30. Definisi Operasional pasien TB yang terdaftar Tabel 31. Definisi operasional data konseling dan tes HIV pada pasien TB yang belum periksa HIV Tabel 32. Definisi operasional Data konseling dan tes HIV pada pasien TB yang belum periksa HIV Tabel 33. Definisi Operasional Pelaporan kolaborasi TB-HIV dari Unit HIV vi

11 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Faktor Risiko Kejadian TB... 7 Gambar 2. Alur diagnosis TB paru pada ODHA dengan rawat jalan Gambar 3. Alur diagnosis TB paru pada ODHA dengan sakit berat Gambar 4. Tatalaksana umum anak terinfeksi HIV Gambar 5. Bagan Alur Pemerikaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa Gambar 6. Algoritma diagnosis MDR TB pada ODHA vii

12 DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH Low-level HIV epidemis Concentrated HIV epidemis Generalized HIV epidemis HIV AIDS PITC - PITC KTIPK - PITC VCT - KTS HIV KTS - VCT PDP ODHA WHO UNAIDS PMTCT UNGASS TB Tingkatan epidemi HIV yang rendah dengan prevalens secara tetap tidak pernah lebih dari 5% yang terbatas pada kelompok tertentu yang berperilaku berisiko seperti penjaja seks komersial, penasun dan LSL. Tingkatan epidemi HIV terkonsentrasi dengan prevalens lebih dari 5% secara tetap namun terbatas pada kelompok tertentu yang berperilaku berisiko seperti penjaja seks komersial, penasun dan LSL namun prevalens masih kurang dari 1% pada ibu hamil di daerah perkotaan. Tingkatan epidemi HIV meluas di masyarakat umum sebagai proksi dinyatakan apabila ditemukan prevalens lebih dari 1% secara menetap pada kelompok ibu hamil. Human Immunodeficiency virus Acquired Immunodeficiency Syndrome Provider Initiated HIV Testing and Counseling (lihat KTIPK) Konseling dan tes HIV atas Inisiasi Petugas Kesehatan (Lihat PITC) HIV Voluntary Counseling and Testing (lihat juga KTS) Konseling dan Tes HIV secara Sukarela (lihat juga VCT) Perawatan Dukungan dan pengobatan HIV Orang dengan HIV/ AIDS World Health organization - Organisasi Kesehatan Sedunia Joint United Nations Programme on HIV AND AIDS Prevention on Mother to Child Transmission United Nation General Assembly Special Session Tuberkulosis viii

13 three C KIA IMS ANC ART SDM DEPKES Azas dalam penyelenggaraan konseling dan tes HIV yang harus selalu diterapkan. Tes HIV hanya akan dilaksanakan setelah mendapatkan informed consent dari klien disertai dengan counselling terutama pada saat pemberian hasil tes HIV dan dengan menjaga confidentiality (hasil tes tidak akan diungkapkan kepada orang lain yang tidak terkait dengan perawatan klien tanpa seizin klien). Kesehatan Ibu dan Anak (lihat ANC) Infeksi menular secara Seksual Antenatal Care (lihat KIA) Antiretroviral Therapy terapi HIV dengan obat Antiretroviral Sumber Daya Manusia Departemen Kesehatan Republik Indonesia ix

14 DAFTAR KONTRIBUTOR TIM PENYUSUN Pengarah : Prof. dr. Tjandra Y Aditama, Sp.P (K), MARS, DTM&H, DTCE Dr. H. Muhammad Subuh, MPPM Penanggung jawab : Drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH Dr. Siti Nadia Tarmizi, MEpid Kontributor : 1. Dr. Toni Wandra, M.Kes, Phd 2. Dr. Nani Rizkiyati, M. Kes. (Dit Jen P2M & PL) 3. Dr. Asik Surya, MPPM (Dit Jen P2M & PL) 4. Dr. Triya Dinihari (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 5. Naning Nugrahini, SKM, MKM (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS) 6. Dr. Endang Budi Hastuti (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS) 7. Dr. Vanda Siagian (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 8. Dr. Endang Lukitosari (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 9. Dr. Novayanti (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 10. Dr. Ratih Pahlesia, Sp.P (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 11. Dr. Joan Tanumihardja (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 12. Dr. Retno Kusuma Dewi (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 13. Sulistyo, SKM, M. Epid (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 14. Munziarti, SKM, MM. (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 15. Suwandi, SKM, M. Epid. (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 16. Nurjanah, SKM, M.Kes (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS) 17. Dr. Nurhalina Afriana (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS) 18. Victoria Indrawati, SKM, MSc (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS) x

15 19. Dr. Indri Oktaria Sukmaputri (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS) 20. DR. Dr. Erlina Burhan, MSc, Sp.P(K) (PDPI) 21. Dr. Fathiyah Isbaniyah, Sp.P (PDPI) 22. Dr. Erwin Asta. T, Sp.PD (PAPDI) 23. Dr. H. Soedarsono, Sp.P(K) (PDPI) 24. Dr. Hedy Sampoerno, MPH. (TB Master Trainer) 25. Dr. Anna Uyaina, SpPD, K-P (Pokdisus AIDS - RSCM) 26. Dr. Sri Sudarwati, SpA(K) (UKK Respirologi, IDAI) 27. Dr. Nia Kurniati, Sp.A(K) (Satgas HIV, IDAI) 28. Dr. Darmawan Budi Setyanto, Sp.A(K) (UKK Respirologi, IDAI) 29. Dr. Nastiti Kaswandani, SpA(K) (UKK Respirologi, IDAI) 30. Dr. Carmelia Basri, M. Epid (Konsultan TB) 31. Dr. Sri Retna Irawati, Sp. A (KNCV) 32. Dr. Franky Loprang (WHO TB) 33. Dr. Janto Lingga, SpP (WHO) 34. Dr. Sri Pandam Pulungsih (WHO) 35. Dr. Atiek Anartati, MPH & TM (FHI 360) 36. Dr. Hendra Wijaya (FHI 360) 37. Dr. Niken (FHI 360) 38. Dr. Tiara Mahatmi Nisa, MS (FHI 360) 39. Rini Palupy, SKM (FHI 360) xi

16 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDG), beban ganda akibat peningkatan epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) akan mempengaruhi peningkatan kasus TB di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu kolaborasi antara program pengendalian TB dan pengendalian HIV/AIDS. Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi HIV merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB. Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV positif. Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) karena merupakan infeksi oportunistik terbanyak (49%) pada Orang dengan dengan HIV/AIDS (ODHA). Indonesia berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated epidemic) kecuali Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (penasun), hetero dan homoseksual (WPS, waria). Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir Desember 2010 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar kasus (49%). Dalam melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV maka telah disusun pedoman kebijakan pelaksanaan kolaborasi TB-HIV di Indonesia. Pedoman tersebut merupakan kebijakan tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV. Oleh karena itu, masih diperlukan petunjuk lebih lanjut dalam operasionalnya baik dalam aspek manajemen program maupun aspek tatalaksana klinis. Selain itu strategi dan kegiatan yang akan dilaksanakan dijabarkan dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Kolaborasi TB-HIV

17 B. DASAR HUKUM Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis ko infeksi TB-HIV di Indonesia berlandaskan pada: 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273); 2. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS; 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia; 4. Kepmenkes No. 1507/Menkes/SK/V/2005 tentang Pedoman Konseling dan Testing HIV dan AIDS secara sukarela (VCT); 5. Kepmenkes No 832/Menkes/SK/X/2006 tentang Penetapan RS Rujukan ODHA dan standar pelayanan rumah sakit rujukan ODHA dan satelitnya; 6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 7. Kepmenkes Republik Indonesia No. 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB); 8. Kepmenkes Republik Indonesia No 1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV; 9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 565/Menkes/Per/III/2011 tentang Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun ; 10. Kepmenkes No 782/Menkes/SK/IV/2011 tentang Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV AIDS (ODHA); 11. Kepmenkes No 1932/Menkes/SK/IX/2011 tentang Kelompok Kerja Pengendalian HIV/AIDS dan IMS 12. Kepmenkes No 2571/Menkes/SK/XII/2011 tentang Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) C. TUJUAN Buku Petunjuk teknis ini ditujukan sebagai panduan teknis klinis dalam tatalaksana kolaborasi TB-HIV di Indonesia, sesuai dengan Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV. D. SASARAN Sasaran Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Ko-infeksi ini ditujukan kepada petugas kesehatan yang melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV. 2

18 E. RUANG LINGKUP Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Ko-infeksi ini membahas aspek klinis kegiatan kolaborasi TB HIV. Ruang lingkup pembahasan meliputi gambaran umum ko-infeksi TB-HIV, Tatalaksana TB dan HIV baik untuk Dewasa dan Anak serta pencatatan dan pelaporan. 3

19 BAB II PELAKSANAAN PENGENDALIAN KO-INFEKSI TB-HIV A. TUBERKULOSIS 1. Pengertian Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. 2. Epidemiologi TB Pada tahun 1990-an, situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah: Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat seperti pada negara-negara yang sedang berkembang. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh: 99 Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan. 99 Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar dan sebagainya). 99 Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis). 99 Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas Bacillus Calmettee Guerin (BCG). 4

20 99 Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan. Dampak pandemi HIV. 3. Riwayat Alamiah TB Pasien TB dapat mengeluarkan kuman TB dalam bentuk droplet yang infeksius ke udara pada waktu pasien TB tersebut batuk (sekitar droplet) dan bersin (sekitar 1 juta droplet). Droplet tersebut dengan cepat menjadi kering dan menjadi partikel yang sangat halus di udara. Ukuran diameter droplet yang infeksius tersebut hanya sekitar 1 5 mikron. Pada umumnya droplet yang infeksius ini dapat bertahan dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Pada keadaan gelap dan lembab kuman TB dalam droplet tersebut dapat hidup lebih lama sedangkan jika kena sinar matahari langsung (sinar ultra-violet) maka kuman TB tersebut akan cepat mati. Pasien TB yang tidak diobati maka setelah 5 tahun akan: 50% meninggal. 30% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi. 20% menjadi kasus kronik yang tetap menular. (Tuberculosis, A Manual for medical students by Nadia ait-khaled and Donaldo. Enarson, WHO, 2003). 4. Patogenesis TB Seseorang akan terinfeksi kuman TB kalau dia menghirup droplet yang mengandung kuman TB yang masih hidup dan kuman tersebut mencapai alveoli paru (catatan: Seseorang yang terinfeksi biasanya asymptomatic/tanpa gejala). Sekali kuman tersebut mencapai paru maka kuman ini akan ditangkap oleh makrofag dan selanjutnya dapat tersebar ke seluruh tubuh. Orang yang terinfeksi kuman TB dapat menjadi sakit TB bila kondisi daya tahan tubuhnya menurun. Sebagian dari kuman TB akan tetap tinggal dormant dan tetap hidup sampai bertahun-tahun dalam tubuh manusia. Hal ini dikenal sebagai infeksi TB laten. Seseorang dengan infeksi TB laten tidak mempunyai gejala TB aktif dan tidak menular. Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Penularan TB Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemungkinan seorang yang terpajan dengan kuman TB menjadi terinfeksi, yaitu: Konsentrasi droplet-infeksius di udara. Ini dipengaruhi oleh jumlah droplet-infeksius yang dikeluarkan oleh pasien TB maupun keadaan ventilasi di area pajanan dan Lamanya pajanan tersebut terjadi. 5

21 Jika seorang hidup atau tidur sekamar dengan pasien TB maka mereka mempunyai risiko besar untuk menghirup droplet yang infeksius. Hanya droplet halus yang dapat mencapai alveoli paru. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan meningkatnya risiko penularan pasien TB: Lokasi penyakitnya (di paru, saluran napas atau laring). Terdapatnya batuk atau tenaga yang mendorong kuman tersebut keluar. Dahak BTA positif. Terdapatnya kavitas paru. Pasien tidak menutup mulut dan hidung pada waktu batuk atau bersin. Biasanya setelah pengobatan TB dimulai maka dalam waktu singkat pasien TB menjadi tidak menular (sekitar 2 minggu). Jadi, seorang petugas kesehatan dapat dikatakan turut berkontribusi pada penularan TB, bila: Terlambat memulai pengobatan pada pasien TB. Tidak memberi pengobatan TB dengan paduan obat yang memadai. Melakukan prosedur yang dapat merangsang batuk (misalnya bronkoskopi atau induksi sputum) tanpa memperhatikan pengamanan perorangan. Faktor-faktor lingkungan yang dapat meningkatkan penularan, adalah: Pajanan terjadi di ruangan yang relatif kecil dan tertutup. Kurangnya ventilasi untuk mengalirkan udara sehingga terjadi pengenceran dan pembuangan droplet infeksius. Jadi, makin dekat dan makin lama seorang kontak dengan pasien TB yang menular (Pasien TB paru BTA positif yang belum diobati) maka makin besar risiko yang bersangkutan terinfeksi TB. Risiko Berkembangnya Penyakit Setelah Infeksi Tidak semua orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis akan jadi sakit TB. Hanya sekitar 10% saja yang akan berkembang menjadi sakit TB aktif. Biasanya risiko menjadi sakit TB ini terjadi sebelum 1 tahun setelah terjadinya infeksi. Ada beberapa faktor yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga yang bersangkutan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif, misalnya: malnutrisi, kondisi yang menurunkan sistem imunitas (infeksi HIV, diabetes, penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif lain dalam jangkapanjang). Sekitar 60% ODHA yang terinfeksi dengan kuman TB akan menjadi sakit TB selama hidupnya. Seperti telah dijelaskan di atas maka pada orang dengan HIV negatif, risiko ini jauh lebih rendah yaitu hanya sekitar 10%. Faktor risiko kejadian TB secara ringkas digambarkan pada gambar berikut ini. 6

22 transmisi Jumlah kasus TB BTA+ Faktor lingkungan : Ventilasi Kepadatan Dalam ruangan Faktor Perilaku Risiko menjadi TB bila dengan HIV: 5-10% setiap tahun >30% lifetime HIV(+) PAJANAN INFEKSI 10% TB SEMBUH MATI Konsentrasi Kuman Lama kontak Malnutrisi Penyakit DM, immuno-supresan Keterlambatan diagnosis dan pengobatan Tatalaksana tak memadai Kondisi kesehatan Gambar 1. Faktor Risiko Kejadian TB B. HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS Sejak kasus AIDS pertama dilaporkan pada tahun 1981 maka para peneliti telah mengidentifikasi dua tipe HIV sebagai penyebab AIDS. Human immunodeficiency virus-i adalah tipe yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia sedangkan HIV-2 biasanya ditemukan di Afrika Barat dan kadangkadang di Afrika Timur, Eropa, Asia dan Amerika Latin. Kedua tipe ini menyebabkan AIDS dan cara penularannya sama. Meskipun demikian, penularan HIV-2 sedikit lebih sulit dibandingkan dengan HIV-1 dan progresifitas infeksi HIV-2 untuk berkembang menjadi AIDS lebih lambat. 1. Pengertian a. Human immunodeficiency virus Human immunodeficiency virus adalah virus RNA yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh pejamu. Untuk mengadakan replikasi (perbanyakan) HIV perlu mengubah ribonucleic acid (RNA) menjadi deoxyribonucleid acid (DNA) di dalam sel pejamu. Seperti retrovirus lain, HIV menginfeksi tubuh, memiliki masa inkubasi yang lama (masa laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala AIDS. Human immunodeficiency virus terdapat dalam cairan tubuh ODHA dan seseorang dapat terinfeksi HIV bila kontak dengan cairan tersebut. Meskipun virus terdapat dalam saliva, air mata, cairan serebrospinal dan urin tetapi cairan tersebut tidak terbukti berisiko menularkan infeksi karena kadar virus HIV sangat rendah. 7

23 b. Acquired Immune Deficiency Syndrome Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah gejala berkurangnya kemampuan pertahan diri yang disebabkan penurunan kekebalan tubuh karena virus HIV. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired : Tidak diturunkan dan dapat menularkan kepada orang lain Immune : Sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit Deficiency : Berkurangnya kurang atau tidak cukup Syndrome : Kumpulan tanda dan gejala penyakit Virus tersebut pertama-tama menyerang limfosit T-Helper dan makrofag yang mempunyai reseptor CD4 dalam tubuh. Sel-sel tersebut memegang peran penting dalam sistem imunitas manusia. Akibatnya, orang yang terinfeksi HIV menjadi rentan terhadap berbagai penyakit yang dikenal sebagai infeksi oportunistik (IO) karena rusaknya sistem imunitas tubuh. Orang terinfeksi virus tersebut menjadi infeksius sepanjang hidupnya dan dapat menularkan HIV melalui cairan tubuh mereka selama tidak mendapatkan terapi Anti Retroviral (ARV). 2. Epidemiologi HIV/AIDS Pada akhir tahun 2002, diperkirakan sejumlah 42 juta orang dewasa dan anak-anak hidup dengan HIV atau AIDS. Dari jumlah ini sekitar 28,5 juta (68%) tinggal di daerah sub Sahara Afrika dan 6 Juta (14%) hidup di Asia selatan dan Asia Tenggara. Pada tahun 2002, diperkirakan terdapat 5 juta orang dewasa dan anak-anak terinfeksi HIV dan 3,1 juta orang dewasa dan anak-anak meninggal karena HIV/ AIDS. Sekitar 2,4 juta (77,4%) dari 3,1 juta kematian ini terjadi di sub Sahara Afrika. Sub Sahara Afrika merupakan kawasan dengan angka seroprevalensi HIV tertinggi (9% pada akhir tahun 2002) pada populasi orang dewasa (15-49 tahun). Dari 25 negara dengan seroprevalensi pada orang dewasa di atas 5% pada tahun 2001, 24 negara diantaranya terdapat di kawasan sub Sahara Afrika. Satu-satunya negara di luar sub Sahara Afrika dengan angka seroprevalensi pada orang dewasa di atas 5% adalah Haiti. Di 9 negara (semuanya di Selatan Afrika) seroprevalensi HIV pada orang dewasa adalah 15% atau lebih. Dengan demikian, sub Sahara Afrika merupakan daerah dengan beban epidemi HIV/AIDS terbesar. Beberapa negara di kawasan lain juga mengalami dampak HIV yang berat dengan seroprevalensi HIV pada orang dewasa sektar 1-5% misalnya Kamboja, Myanmar dan Thailand (Asia Tenggara) dan Belize, Guatemala, Guyana, Haiti, Honduras, Panama dan Suriname (Amerika). Seroprevalensi HIV tampaknya stabil di kawasan Sub Sahara Afrika namun tetap meningkat di beberapa negara dengan populasi besar seperti Federasi Rusia. Data jumlah kasus HIV dan AIDS di Indonesia meningkat dari tahun 2005 yaitu sebanyak 859 kasus HIV dan 2639 kasus AIDS menjadi kasus HIV dan 4162 kasus AIDS pada tahun Sedangkan 3 Provinsi dengan jumlah kumulatif kasus AIDS terbanyak dari tahun adalah Provinsi DKI Jakarta sebanyak 5117 kasus AIDS, Provinsi Jawa Timur sebanyak 4598 kasus AIDS dan Provinsi Papua 8

24 sebanyak 4449 kasus AIDS dengan proporsi terbanyak menurut jenis kelamin yaitu pada laki-laki sebesar 80,8%, terbanyak pada kelompok umur tahun (46,8%) dengan faktor risiko terbanyak pada heteroseksual (71%). 3. Riwayat Alamiah infeksi HIV a. Infeksi HIV akut Infeksi HIV akut disebut juga infeksi HIV primer atau sindrom serokonversi akut. Sekitar 40% - 90% infeksi HIV baru, memiliki gejala. Jangka waktu sejak terpajan sampai timbulnya gejala penyakit biasanya sekitar 2-4 minggu. Beberapa orang mengalami gejala seperti mononukleosis infeksiosa (glandular-fever): demam, ruam, pegal-pegal dan limpadenopati. Terkadang pasien mengalami sindrom saraf akut yang sering kali sembuh sendiri. Sindrom ini mencakup meningitis aseptik, neuropati perifer, ensefalitis dan mielitis. Sebagian besar pasien yang memiliki gejala akan berusaha mencari pertolongan medis. Meskipin demikian, diagnosis jarang dapat ditegakkan karena petugas kesehatan tidak menyangka gejala-gejala tersebut adalah sebagai gejala infeksi HIV; gejala klinis nonspesifik sehingga dipikirkan disebabkan oleh penyebab lain misalnya malaria; tes serologi standar pada tahap infeksi akut ini biasanya negatif. Tes serologis positif biasanya terjadi setelah 4-12 minggu setelah terinfeksi dengan lebih dari 95% pasien serokonversi dalam waktu 6 bulan. Diagnosis infeksi HIV akut paling baik ditegakkan dengan pemeriksaan HIV RNA pada plasma. Infeksi HIV asimtomatis (tanpa gejala) Pada orang dewasa terdapat periode laten yang berlangsung lama dan bervariasi dari terinfeksi HIV hingga onset gejala HIV dan AIDS. Seseorang yang terinfeksi bisa tidak memiliki gejala sampai 10 tahun atau lebih. Sebagian besar anak terinfeksi HIV pada periode perinatal. Periode tanpa gejala pada anak-anak tidak diketahui. Beberapa bayi akan sakit di minggu-minggu pertama setelah lahir. Sebagian besar anak-anak mulai sakit sebelum mencapai usia 2 tahun. Hanya sedikit yang tetap sehat selama beberapa tahun awal kehidupan. Perjalanan sejak infeksi HIV sampai timbul penyakit terkait HIV dan AIDS Hampir semua orang yang terinfeksi HIV jika tidak diobati akan mengalami penyakit terkait HIV dan AIDS. Berapa orang mengalami ini lebih cepat dari yang lain. Laju perkembangan menjadi AIDS tergantung pada karakteristik virus maupun orang yang terinfeksi. Karakteristik virus adalah tipe dan subtipe HIV-1 dan beberapa subtipe HIV-1 bisa menyebabkan progresivitas yang lebih cepat. Karakteristik orang yang bisa mempercepat progresi ini antara lain berumur kurang dari 5 tahun, berumur lebih dari 40 tahun, terdapat ko-infeksi dan faktor genetik. Immunosupresi yang terus berlanjut Ketika infeksi HIV terus berkembang dan sistem kekebalan tubuh menurun maka pasien akan lebih rentan terkena infeksi termasuk TB, pneumonia, infeksi jamur pada kulit, orofaring dan herpes zoster. Infeksi ini bisa terjadi kapanpun dalam perjalanan infeksi HIV. Beberapa pasien dapat mengalami gejala konstitusional (demam dan penurunan berat badan dengan penyebab yang tidak jelas) dulu dikenal dengan nama AIDS-related complex (ARC). Beberapa pasien mengalami diare kronik dengan diikuti penurunan berat badan sering dikenal sebagai slim disease. 9

25 Beberapa penyakit terkait HIV terjadi terutama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang sangat berat. Hal ini termasuk beberapa infeksi oportunistik (misalnya meningitis kriptokokus) dan beberapa tumor (misalnya Sarkoma Kaposi). Pada stadium lanjut jika pasien tidak mendapat ART maka mereka biasanya meninggal dalam waktu kurang dari 2 tahun. Stadium lanjut ini kadang dikenal sebagai fullblown AIDS. b. Stadium Klinis Sistem klasifikasi stadium klinis WHO untuk infeksi HIV dan penyakit terkait HIV WHO telah mengembangkan sistem stadium klinis (awalnya untuk menentukan prognosis) berdasarkan kriteria klinis. Kondisi klinis menunjukkan apakah pasien berada pada stadium 1, 2, 3 atau 4. Stadium klinis merupakan hal yang penting sebagai kriteria untuk memulai terapi ARV. Dewasa Stadium klinis WHO dapat membantu untuk memperkirakan tingkat defisiensi kekebalan tubuh pasien. Pasien dengan gejala pada stadium klinis 1 atau 2 biasanya tidak mempunyai gejala defisiensi kekebalan tubuh yang serius. Pasien yang mempunyai gejala dan tanda stadium klinis 3 atau 4 biasanya mempunyai penurunan kekebalan tubuh yang berat dan tidak mempunyai cukup banyak sel CD4 sehingga memudahkan terjadinya infeksi oportunistik (IO). Beberapa kondisi IO memerlukan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut sehingga mungkin perlu dirujuk untuk penegakan diagnosis dan pengobatan yang sesuai. Kondisi tersebut diberi tanda bintang* di dalam tabel berikut ini. Tabel 1. Stadium klinis HIV dewasa Stadium klinis 1: Asimtomatik Stadium klinis 2: Sakit ringan Stadium klinis 3: Sakit sedang Stadium 4 : Sakit berat (AIDS) Gejala/ tanda Tidak ada gejala atau hanya: Limfadenopati generalisata persisten: Kelenjar multipel berukuran kecil tanpa rasa nyeri Berat badan turun 5-10% Luka pada sudut mulut (keilitis angularis) Dermatitis Seboroik: Lesi kulit bersisik pada batas antara wajah dan rambut serta sisi hidung Berat badan turun > 10% Kandidiasis mulut: Bercak putih yang menutupi daerah di dalam mulut Oral hairy leukoplakia: Garis vertikal putih di samping lidah, tidak nyeri, tidak hilang jika dikerok HIV wasting syndrome: Sangat kurus disertai demam kronik dan/ atau diare kronik Kandidiasis esofagus: Nyeri hebat saat menelan Lebih dari 1 bulan: Ulserasi Herpes simpleks: Luka lebar dan nyeri kronik di genitalia dan/ atau anus 10

26 Stadium klinis 1: Asimtomatik Stadium klinis 2: Sakit ringan Stadium klinis 3: Sakit sedang Stadium 4 : Sakit berat (AIDS) Prurigo: Lesi kulit yang gatal pada lengan dan tungkai Herpes zoster: Papul disertai nyeri pada satu sisi tubuh, wajah atau ekstremitas ISPA berulang: Infeksi tenggorokan berulang, sinusitis atau infeksi telinga Ulkus pada mulut berulang Lebih dari 1 bulan: Diare: kadang-kadang intermiten Demam tanpa sebab yang jelas: kadang-kadang intermiten Infeksi bakteri yang berat: Pneumonia, piomiositis dan lain-lain TB paru HB < 8 g, Lekosit < 500, Trombosit < Gingivitis/ periodontitis ulseratif nekrotikan akut Limfoma*: Sarkoma Kaposi: Lesi berwarna gelap (ungu) dikulit dan/ atau mulut, mata, paru, usus dan sering disertai edema Kanker serviks invasif*: Retinitis CMV Pneumonia pneumosistis*: Pneumonia berat disertai sesak napas dan batuk kering TB Ekstraparu*: Contoh : pada tulang atau meningitis Meningitis kriptokokus*: Meningitis dengan atau tanpa kaku kuduk Abses otak Toksoplasmosis* Ensefalopati HIV *: (Gangguan neurologis yang tidak disebabkan oleh faktor lain, seringkali membaik dengan pengobatan ARV) Catatan: Keadaan yang ditandai dengan tanda bintang (*) membutuhkan diagnosis dokter data didapat dari rekam medis sebelumnya. Piomiositis, pneumosistis atau pneumonia berat lainnya, toksoplasmosis, meningitis kriptokokus, dan TB ekstraparu adalah semua infeksi yang harus dirujuk untuk diagnosis dan perawatan di RS. 11

27 Tabel 2. Stadium klinis HIV pada anak Stadium Klinis 1 Asimtomatik Limfadenopati generalisata persisten Stadium Klinis 2 Hepatosplenomegali persisten tanpa penyebab yang jelas Papular pruritic eruptions Infeksi virus kutil yang meluas Moluskum kontagiosum yang meluas Ulserasi di mulut yang berulang Pembesaran parotis persisten tanpa penyebab yang jelas Lineal gingival erythema Hespeszoster ISPA kronis atau berulang (otitis media, otorea, sinusitis, tonsilitis) Infeksi jamur pada kuku Stadium Klinis 3 Malnutrisi sedang tanpa penyebab jelas dan tidak respon dengan baik terhadap terapi standar Diare persisten tanpa penyebab jelas (14 hari atau lebih) Demam persisten tanpa penyebab jelas (di atas 37.5º C, interminten atau konstan, lebih lama dari satu bulan Kandidiasis oral persisten (setelah usia 6 minggu) Oral hairy leukoplakia Acute necrotizing ul cerative gingivitis/periodontitis TB kelenjar Pneumonia bakteri rekuren berat Symptpmatic lymphoid interstitial pneumonitis Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk bronkiektasis Anemia tanpa penyebab jelas (<8.0 g/dl), neutropenia (<0.5x10 9 /L 3 ) atau trombositopenia kronik (<50x10 9 /L 3 ) 12

28 Stadium Klinis 4 Wasting, stunting tanpa penyebab jelas dan berat atau malnutrisi berat dan tidak respon terhadap terapi standar Penumosistis pneumonia Infeksi bakteri berat dan berulang (empyema pyomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis tidak termasuk pneumonia) Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, atau kutaneus selama lebih dari satu bulan, atau viseral) TB Ekstraparu Sarkoma kaposi Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis trakea, bronki atau paru) Toksoplamosis sistem saraf pusat (setelah periode neonatus) Ensefalopati HIV Sitimegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV yang mengenai organ lain, pada umur kurang dari satu bulan Kriptokokosis ektraparu termasuk meningitis Mikosis endemik meluas (histoplasmosis ekstraparu, koksidiodomikosis, penisiliosis) Kriptospori diosis jronik (dengan diare) Isosporidiosis kronik Infeksi mikrobakterium non-tb meluas Limfoma non-hodgkin sel B atau serebral Leukoensefalopati multifokal progresif Nefropati atau kardiomiopati terkait-hiv Beberapa keadaan spesifik tambahan dapat juga dimasukkan di dalam klarifikasi regional (misal, penisiliosis di Asia, fistula rektovagina terkait-hiv di Afrika Selatan, reaktivasi tipanosomiasis di Amerika Latin) Ref: 4. Imunopatogenesis Infeksi HIV Bagaimana HIV menyerang sel Human immunodeficiency virus menyerang sel yang mempunyai molekul antigen CD4 pada permukaannya. Sel ini pada dasarnya adalah subset sel limfosit T helper, yang sangat penting dalam respon imun yang dimediasi sel. Sel-sel ini disebut limfosit-t CD4+. Beberapa tahun belakangan juga diketahui bahwa HIV memerlukan molekul lain yang dikenal sebagai kemokin yang terdapat 13

29 pada permukaan sel dan berguna untuk masuk ke dalam sel. Pasien yang tidak memiliki beberapa kemokin spesifik ini (misalnya CCR5) lebih resisten terhadap infeksi HIV. Pada pasien lain yang memiliki perubahan molekul pada reseptor kemokin ini akan lebih lambat mengalami progresivitas menuju AIDS. Bagaimana HIV menghancurkan sistem kekebalan tubuh Akibat paling penting dari infeksi HIV adalah penurunan jumlah limfosit-t CD4+ yang progresif. Di samping itu limposit-t CD4+ yang tersisa tidak mempunyai kinerja yang sama seperti ketika belum terinfeksi. Dengan demikian infeksi HIV yang progresif akan mengakibatkan penurunan sistem kekebalan tubuh yang progresif pula. Transmisi HIV Transmisi HIV yang paling lazim di seluruh dunia adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual lainnya (terutama yang menyebabkan ulkus genital) akan meningkatkan risiko penularan HIV. Jalur penularan HIV sangat beragam. Penularan HIV di sub Sahara Afrika terutama adalah melalui hubungan seksual, darah dan dari ibu ke bayi. Di sebagian besar negara dengan pendapatan perkapita yang rendah, kira-kira jumlah laki-laki dan perempuan yang terinfeksi HIV seimbang. Virus ini juga dapat ditularkan melalui transfusi darah, injeksi dengan alat suntik yang terkontaminasi dan penggunaan peralatan tindik yang tidak steril, serta penggunaan napza suntik. Sekitar sepertiga bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi juga terinfeksi HIV dengan cara penularan yang terjadi terutama pada saat proses kelahiran. Risiko penularan pada saat menyusui tetap ada namun lebih kecil. Meskipun demikian, di banyak negara dengan pendapatan perkapita yang rendah ASI dianggap lebih aman dibandingkan susu formula. Tidak ada bukti bahwa HIV menular melalui kontak yang terjadi sehari-hari seperti berpelukan, berciuman, makanan atau minuman, gigitan nyamuk atau serangga lain. C. KO-INFEKSI TB-HIV 1. Pengertian Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB. Sebagian besar orang yang terinfeksi kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak menjadi sakit TB karena mereka mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem imunitasnya menurun misalnya ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya; 14

30 sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi HIV tentunya akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB dalam masyarakat. Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB; sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB. a. Tuberkulosis pada perjalanan infeksi HIV Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV. Risiko berkembangnya TB meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya sistem kekebalan tubuh. b. Konsekuensi ko-infeksi HIV dan M.tuberculosis Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV maka orang yang terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar untuk mendapatkan TB. Notifikasi TB telah meningkat pada populasi di mana infeksi HIV dan M.tuberculosis merupakan hal yang biasa. Seroprevalensi HIV pada TB pasien ini di atas 70%. c. Dampak pada pengendalian TB Prinsip pengendalian TB tetap sama meskipun terdapat banyak pasien ko-infeksi TB-HIV. Meskipun demikian, di populasi yang banyak terdapat pasien ko-infeksi TB-HIV maka layanan kesehatan berjuang untuk menanggulangi meluasnya dan meningkatnya jumlah pasien TB. Konsekuensinya sebagai berikut: Overdiagnosis TB paru BTA negatif (karena kesulitan dalam diagnosis). Underdiagnosis TB paru BTA positif (karena beban kerja petugas laboratorium). Pengawasan terhadap OAT tidak adekuat. Angka kesembuhan yang rendah. Angka kesakitan tinggi selama perawatan. Angka kematian tinggi selama perawatan. Angka kegagalan tinggi karena efek samping. Tingginya angka pasien TB yang kambuh. Meningkatnya penularan strain M.tb yang resisten obat pada pasien yang terinfeksi HIV pada lingkungan yang padat seperti lapas/rutan. 15

31 d. Pola ko-infeksi TB-HIV Ketika infeksi HIV berkembang maka jumlah dan fungsi limfosit-t CD4+ menurun. Sel-sel ini mempunyai peran yang penting untuk melawan kuman TB. Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang mampu untuk mencegah perkembangan dan penyebaran lokal kuman ini. Tuberkulosis ekstraparu dan diseminata (meluas) menjadi lebih lazim ditemukan. e. Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru masih merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada orang yang terinfeksi HIV. Gambaran klinisnya tergantung tingkat kekebalan tubuh. Tabel di bawah ini menunjukkan bagaimana gambaran klinis, hasil mikroskopis TB dan gambaran foto toraks seringkali berbeda antara stadium awal dan lanjutan infeksi HIV. f. Perbedaan TB Paru pada stadium awal dan lanjutan infeksi HIV TB Paru Awal Tahap infeksi HIV Lanjutan Gambaran klinis Sering menyerupai TB paru post-primer Sering menyerupai TB paru primer Hasil pemeriksaan dahak Sering positif Sering negatif Gambaran radiologi Sering tampak kavitas Infiltrat tanpa kavitas g. Tuberkulosis ekstraparu Bentuk yang paling sering ditemukan pada TB ekstraparu adalah efusi pleura, limpadenopati, penyakit perikardium, milier, meningitis, TB diseminata/meluas (dengan mikobakteriemia). h. TB-HIV pada anak Seperti pada orang dewasa, riwayat alamiah TB pada anak yang terinfeksi HIV tergantung pada stadium infeksi HIV. Pada awal infeksi HIV, ketika sistem kekebalan masih bagus maka gejala TB mirip dengan anak-anak yang tidak terinfeksi HIV. Ketika infeksi HIV berkembang dan kekebalan menurun maka penyebaran TB menjadi hal yang biasa terjadi. Dapat terjadi meningitis TB, TB milier dan limfadenopati TB yang meluas. i. Dampak TB pada HIV Pada individu yang terinfeksi HIV, terdapatnya infeksi lain termasuk TB dapat membuat virus HIV berkembang biak dengan lebih cepat sehingga progresivitas penyakit menjadi lebih cepat. 16

32 2. Strategi Pelaksanaan Kegiatan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia Indonesia berada pada tingkat epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated epidemic) kecuali Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (penasun), hetero dan homoseksual (WPS, waria). Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir Desember 2010, secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar kasus (49%). Sedangkan infeksi HIV pada pasien TB di Indonesia diperkirakan sekitar 3%; di Tanah Papua dan di populasi risiko tinggi termasuk populasi di Lapas/Rutan angkanya diperkirakan lebih tinggi. Strategi pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia, meliputi kegiatan sebagai berikut: a. Membentuk mekanisme kolaborasi Membentuk kelompok kerja. Melaksanakan surveilans HIV pada pasien TB. Melaksanakan perencanaan bersama TB-HIV. Melaksanakan monitoring dan evaluasi. b. Menurunkan beban TB pada ODHA Mengintensifkan penemuan kasus TB dan pengobatannya. Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat orang terkumpul (rutan/lapas, panti rehabilitasi napza). c. Menurunkan beban HIV pada pasien TB Menyediakan konseling dan tes HIV. Pencegahan HIV dan IMS. Pengobatan preventif dengan kotrimoksasol (PPK) dan IO lainnya. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) ARV untuk HIV/AIDS Kegiatan membentuk mekanisme kolaborasi TB-HIV Kolaborasi TB-HIV di Indonesia diinisiasi pada tahun 2004 oleh kelompok ahli TB dan HIV. Dengan berkembangnya isu terkait TB-HIV, pada tahun 2007 dikeluarkanlah buku Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV yang menjadi acuan pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia. Sejak tahun 2008 sampai saat ini telah dilakukan sosialisasi Kebijakan Kolaborasi TB-HIV ditandai dengan terbentuknya kelompok kerja TB-HIV di tingkat Pusat, Provinsi bahkan sampai tingkat Kabupaten/Kota. Koordinasi di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) dijalankan sesuai dengan model kolaborasi yang telah disepakati bersama. Beberapa rumah sakit (RS) menerapkan model pelayanan 17

33 kolaborasi secara paralel dan beberapa menggunakan model pelayanan secara terintegrasi (pelayanan satu atap). Pelatihan kolaborasi TB-HIV untuk petugas diawali dengan disusunnya Modul Pelatihan Kolaborasi TB-HIV untuk petugas KTS dan PDP. Menyusul kemudian dengan pelatihan untuk petugas TB dengan menggunakan modul pelatihan kolaborasi TB-HIV yang telah disusun bersama. Konselor, manajer kasus HIV dan kelompok penjangkau dari LSM yang bekerja pada komunitas risiko tinggi (misalnya pengguna napza suntik, waria, penjaja seks) telah mendapatkan pelatihan untuk mengenali dan mencari gejala dan tanda TB serta membantu mengawasi kepatuhan pengobatan TB pada ODHA melalui pelatihan TB-HIV dengan menggunakan modul khusus yang telah dikembangkan. Perencanaan bersama antara program pengendalian TB dan program pengendalian AIDS juga telah dilaksanakan yang menghasilkan luaran rencana kegiatan TB-HIV tahunan. Namun kegiatan monitoring evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV hingga saat ini belum dilaksanakan secara rutin di setiap tingkatan. Sebagai bahan edukasi kepada pasien TB dan ODHA maka telah dikembangkan dan didistribusikan media KIE TB-HIV berupa lembar balik, poster dan brosur. Pelaksanaan pemberian KIE TB-HIV dilaksanakan di masing-masing fasyankes Kegiatan menurunkan beban TB pada ODHA Kegiatan intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA yang dimulai dengan penerapan skrining gejala dan tanda TB pada ODHA telah dijalankan secara rutin di klinik Konseling dan tes HIV secara sukarela (KTS) dan PDP di beberapa RS rujukan ARV dan Puskesmas dengan menggunakan formulir skrining TB. Dari 18 provinsi yang telah melaporkan data TB-HIV pada tahun 2011, ditemukan bahwa sebanyak 63% ODHA telah diskrining untuk gejala dan tanda TB; 9,2% di antaranya didiagnosis TB. Untuk menjamin penegakan diagnosis TB yang berkualitas pada ODHA dengan suspek TB telah dibangun jejaring antara unit KTS/PDP dengan unit DOTS. Beberapa unit KTS/PDP sudah dapat memulai dan atau meneruskan pengobatan TB termasuk mengisi dan melengkapi formulir TB.01. Kebijakan nasional kolaborasi TB-HIV belum memasukkan pemberian Isoniazid preventive therapy (IPT) pada ODHA sebagai standar layanan rutin sehingga belum ada praktek pemberian IPT pada ODHA yang dilaporkan. Tetapi mulai bulan Mei 2012 telah dilaksanakan kegiatan pendahuluan pemberian INH profilaksis untuk ODHA di 2 Provinsi (Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat), 4 RS (RS Persahabatan, RS Cipto Mangunkusumo, RS Hasan Sadikin dan RS Marzuki Mahdi). Penerapan pengendalian infeksi TB di unit KTS/PDP dilakukan melalui penguatan tim pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) RS melalui pelatihan petugas yang diselenggarakan dengan kerjasama antara Subdit TB dengan Subdit RS Khusus Ditjen Bina Upaya Kesehatan Spesialistik dan Perdalin. Sedangkan Pengendalian Infeksi di Puskesmas dan Lapas/Rutan dimulai dengan melakukan assessment dan sosialisasi di 7 provinsi bekerja sama dengan Subdit Institusi Ditjen Bina Upaya Kesehatan Dasar dan Ditjen Pemasyarakatan. Pemasangan poster cara menutup mulut dan hidung pada waktu batuk/bersin dan penyediaan masker untuk klien dan ODHA yang mempunyai gejala batuk sudah diimplementasikan di beberapa fasyankes. 18

34 2.3. Kegiatan menurunkan beban HIV-AIDS pada pasien TB Walaupun berdasarkan kebijakan nasional pelaksanaan kolaborasi TB-HIV, konseling dan tes HIV dilakukan pada semua pasien TB di daerah epidemi HIV meluas tetapi data dari Provinsi Papua menunjukkan baru sekitar 22% pasien TB yang dikonseling dan tes HIV. Sedangkan di daerah dengan epidemi terkonsentrasi, konseling dan tes HIV yang dilakukan pada pasien TB dengan faktor risiko HIV bervariasi antar wilayah antara 0,1-6%. Provider Initiated Testing and Counselling (PITC) atau konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan (KTIPK) baru diterapkan di beberapa RS, BBKPM/BKPM dan puskesmas di Provinsi Papua, DKI Jakarta dan Jawa Timur, dimulai dengan pelatihan pada pertengahan tahun Cakupan pemberian PPK pada pasien ko-infeksi TB-HIV baru sekitar 63% dan sebanyak 29% mendapatkan ARV. Pemberian KIE pencegahan HIV dan IMS kepada pasien TB dilaksanakan di fasyankes dengan menggunakan media KIE yang telah disediakan. Penyediaan kondom di unit TB masih belum dapat diterapkan. 19

35 BAB III DIAGNOSIS TB PADA ODHA DEWASA A. PENDEKATAN DIAGNOSIS Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan pengendalian TB. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan dan penyembuhan pasien TB secara bermakna akan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada pemeriksaan mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil sputum BTA negatif. Di samping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana diagnosisnya sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan atau histologi spesimen yang didapat dari tempat lesi. Oleh karena itu, untuk mendiagnosis TB pada ODHA perlu menggunakan alur diagnosis TB pada ODHA. B. MANIFESTASI KLINIS Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Di samping itu, dapat juga diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, berkeringat pada malam hari tanpa aktifitas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise dan badan terasa lemas. Gejala sesak napas dan nyeri dada dapat ditemukan bila terdapat komplikasi (efusi pleura, pneumotoraks dan pneumonia). Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari 10%). Di samping itu, dapat ditemukan gejala lain terkait TB ekstraparu (TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB abdomen) seperti diare terus menerus lebih dari satu bulan, pembesaran kelenjar limfe di leher, sesak napas dan lain-lain. 20

36 C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAHAK 1. Mikroskopis Pada ODHA meskipun sulit menemukan kasus TB paru hanya dengan mengandalkan pemeriksaan mikroskopis dahak karena dahak dari ODHA yang menderita TB paru biasanya BTA negatif, namun pemeriksaan mikroskopis dahak tetap perlu dilakukan. Pemeriksaan mikroskopis dahak cukup dilakukan dengan dua spesimen dahak (Sewaktu dan Pagi = SP) dan bila minimal salah satu spesimen dahak hasilnya BTA positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan. 2. Biakan Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB. Ada dua macam media yang digunakan dalam pemeriksaan biakan yaitu media padat dan media cair. Waktu pemeriksaan dengan media cair lebih singkat dibandingkan dengan media padat. Namun, kuman TB merupakan kuman yang lambat dalam pertumbuhan sehingga biakan memerlukan waktu sekitar 6 8 minggu. Pemeriksaan biakan memerlukan waktu cukup lama sehingga bila penegakan diagnosis TB pada ODHA hanya mengandalkan pada pemeriksaan biakan maka dapat mengakibatkan angka kematian TB pada ODHA meningkat. Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopis dahaknya BTA negatif sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu penegakan diagnosis TB bila hasilhasil pemeriksaan penunjang lainnya negatif. Pemeriksaan biakan dahak dilakukan pada laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan (BPPM dan SK). Catatan: Pada saat ini untuk mendiagnosis TB pada ODHA, WHO merekomendasikan pemeriksaan Uji Cepat/Rapid Test, yang memerlukan waktu lebih singkat dan sekaligus dapat dimanfaatkan untuk mengetahui lebih awal kemungkinan ODHA resisten terhadap Rifampisin. Namun ketersediaan alat ini masih terbatas hanya pada beberapa Fasyankes dan belum menjadi kebijakan nasional. D. PEMERIKSAAN PENUNJANG RADIOLOGIS Pemeriksaan foto toraks pada ODHA memegang peranan penting dalam penegakan diagnosis TB paru khususnya BTA negatif. 1. Indikasi pemeriksaan foto toraks pada ODHA: a. BTA positif Foto toraks diperlukan pada: pasien sesak napas (pneumotoraks, efusi perikard atau efusi pleura). 21

37 pasien hemoptisis. pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya. b. BTA negatif Lakukan foto toraks pada pasien TB paru BTA negatif. Kelainan gambaran radiologis yang ditemukan pada TB Paru Tabel 3. Gambaran foto toraks tipikal atau tidak tipikal TIPIKAL Infiltrat di apeks paru Infiltrat bilateral Kavitas Fibrosis dan pengerutan/atelektasis TIDAK TIPIKAL Infiltrat di interstitial (selain apeks paru) Limfadenopati intratoraks Tidak terdapat kavitas PETUNJUK PRAKTIS Perubahan gambaran foto toraks pada pasien TB/HIV menggambarkan derajat tingkat kekebalan. Pada penurunan tingkat kekebalan tubuh yang ringan gambaran foto toraks masih menunjukkan gambaran tipikal (kavitas, infiltrat di apeks paru). Jika penurunan tingkat kekebalan sudah lebih berat maka gambaran foto toraks menjadi tidak tipikal. 2. Diagnosis banding berdasarkan foto toraks Gambaran foto toraks penyakit selain TB dapat juga memberikan gambaran foto toraks seperti TB. 22

38 Tabel 4. Kemungkinan diagnosis yang dinilai berdasarkan kelainan pada foto toraks yang sering dinterpretasikan sebagai TB Paru Hasil temuan foto toraks Kemungkinan Penyebab Kavitas Infeksi Pneumonia bakterial Nokardiosis Melioidosis Paragonimiasis Abses paru Beberapa infeksi jamur Penyakit non-infeksi Karsinoma bronkus Penyakit jaringan kolagen Penyakit paru akibat kerja Infiltrat satu sisi Infiltrat dua sisi Limfadenopati mediastinal Pneumonia Karsinoma bronkus Pneumonia Penyakit jaringan kolagen Penyakit paru akibat kerja Sarkoidosis Limfoma Karsinoma bronkus Sarkoidosis E. ALUR DIAGNOSIS 1. Diagnosis TB Paru pada ODHA Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain: Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi. Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotik 23

39 tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain. Hindarilah penggunaan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan respons terhadap M.tuberculosis dan dapat menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut. Pemeriksaan foto toraks Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam mendiagnosis TB pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut. Pemeriksaan biakan dahak Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu untuk konfirmasi diagnosis TB. Alur diagnosis TB Paru BTA negatif pada ODHA di bawah ini merupakan langkah kegiatan yang harus dilakukan dalam penegakan diagnosis TB di daerah dengan prevalens HIV tinggi dengan sarana terbatas. Alur diagnosis ini hanya untuk ODHA yang dicurigai menderita TB. Perlu diperhatikan, alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan (tanpa tanda bahaya) berbeda dengan pada ODHA rawat inap (dengan tanda bahaya). Alur diagnosis dimaksud dapat dilihat pada gambar 3 dan gambar 4. Gambar 2. Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA dengan rawat jalan 24

40 Keterangan: a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 39 0 C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa bantuan. b. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 2 sediaan hasilnya negatif. c. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK. d. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV. e. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangi sehingga mempercepat penegakan diagnosis. f. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri tipikal dan atipikal. g. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP. h. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan adalah sebagai berikut: Kunjungan pertama: Pemeriksaan mikroskopis dahak harus dikerjakan pada kunjungan pertama. Jika hasil pemeriksaan dahak BTA positif maka pengobatan TB dapat diberikan kepada pasien tersebut. Kunjungan kedua: Jika hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka pada kunjungan kedua perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya foto toraks, ulangi pemeriksaan mikroskopis dahak, lakukan pemeriksaan biakan dahak dan pemeriksaan klinis oleh dokter. Pemeriksaan pada kunjungan kedua ini sebaiknya dilakukan pada hari kedua dari kunjungan pasien di Fasyankes tersebut. Hasil pemeriksaan dari kunjungan kedua ini sangat penting untuk memutuskan apakah pasien tersebut perlu mendapat pengobatan TB atau tidak. Penentuan stadium klinis HIV harus dikerjakan dan pemberian PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional. Kunjungan ketiga: dilakukan secepat mungkin setelah ada hasil pemeriksaan pada kunjungan kedua. Pasien yang hasil pemeriksaannya mendukung TB (misalnya gambaran foto toraks mendukung TB) perlu diberi OAT. Pasien dengan hasil yang tidak mendukung TB perlu mendapat antibiotik spektrum luas (jangan menggunakan golongan fluorokuinolon) untuk mengobati infeksi bakteri lain atau pengobatan untuk PCP. Juga perlu dilakukan penentuan stadium klinis HIV dan PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional. Kunjungan keempat: Pada kunjungan ke empat ini haruslah diperhatikan bagaimana respons pasien pada pemberian pengobatan dari kunjungan ketiga. Untuk pasien yang mempunyai respons yang baik (cepat) terhadap pengobatan PCP atau pengobatan dengan antibiotik, lanjutkan pengobatannya untuk menyingkirkan terdapatnya juga TB 25

41 (superimposed tuberculosis). Bagi pasien yang mempunyai respons yang kurang baik atau tidak baik pada pengobatan PCP atau pengobatan pneumonia karena bakteri lainnya, perlu dilakukan pemeriksaan ulang untuk TB baik secara klinis maupun pemeriksaan dahak. Pasien dengan sakit berat dan batuk lebih 2 minggu disertai tanda kegawatan a Dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap Tidak mungkin untuk segera dirujuk Antibiotik suntikan untuk infeksi bakteri b,d Sputum BTA dan kultur b Foto toraks b Antibiotik suntikan untuk infeksi bakteri b,d Dipertimbangkan pengobatan untuk PCP e Sputum BTA dan kultur b Tes HIV b,c Bukan TB Diobati TB BTA positif g BTA negatif g Mendukung TB Perbaikan setelah 3-5 hari Tidak ada perbaikan Periksa ulang untuk penyakit-penyakit lain yg berhubungan dgn HIV Tidak mendukung TB Periksa ulang untuk TB h setelah 3-5 hari Mulai pengobatan TB Selesaikan antibiotik Rujuk ke unit layanan Gambar 3. Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA dengan Sakit Berat HIV dan TB Keterangan: a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 39 0 C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu. b. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan) untuk mengurangi jumlah kunjungan sehingga dapat mempercepat penegakan diagnosis. c. Untuk daerah dengan angka prevalens HIV pada orang dewasa > 1% atau prevalens HIV di antara pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk 26

42 tes HIV. Untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes HIV. d. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri tipikal dan atipikal. e. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP. f. Bila tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya pasien menolak untuk diperiksa) penentuan tingkat klinis HIV tergantung kebijakan nasional. g. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 2 sediaan hasilnya negatif. h. Periksa kembali untuk TB termasuk pemeriksaan BTA dan penilaian klinis. Jika di Puskesmas dijumpai ODHA yang menderita sakit berat (mempunyai salah satu dari tanda bahaya) maka pasien tersebut harus segera dirujuk ke Fasyankes yang mempunyai sarana lebih lengkap. Jika rujukan tidak dapat segera dilaksanakan, upaya berikut harus dilakukan: Segera berikan antibiotik spektrum luas suntikan selama 3 5 hari untuk mengatasi infeksi bakteri kemudian lakukan pemeriksaan mikroskopis dahak (BTA). Bila diagnosis TB ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis dahak (BTA positif), mulailah pengobatan TB dengan pemberian OAT. Pengobatan dengan antibiotik tetap terus dilanjutkan sampai selesai. Bila hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka harus diperhatikan bagaimana respons pemberian antibiotik suntikan setelah pengobatan 3 5 hari. Jika tidak ada perbaikan maka pengobatan TB dapat dimulai dengan pertimbangan dokter, misalnya kemungkinan terdapatnya TB ekstraparu. Penentuan stadium klinis HIV harus dilakukan dan selanjutnya pasien perlu dirujuk ke Fasyankes yang lebih lengkap untuk penegakan diagnosis TB maupun untuk layanan HIV. Bila tetap tidak memungkinkan untuk dirujuk maka pengobatan TB diteruskan sampai selesai. Bila rujukan ke Fasyankes yang lebih lengkap memungkinkan maka unit penerima rujukan harus memberikan tatalaksana pasien tersebut sebagai pasien gawat darurat dan semua pemeriksaan harus segera dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan untuk mendiagnosis TB. 2. Diagnosis TB Ekstraparu pada ODHA Diagnosis pasti TB ekstraparu sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan atau histologi spesimen yang didapat dari lesi. Tuberkulosis ekstraparu yang sering ditemukan diantaranya adalah TB Kelenjar limfe, TB Susunan saraf pusat, TB Abdomen, TB Pleura dan TB Perikard. Pemeriksaan spesimen untuk penegakan diagnosis TB ekstraparu dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, pemeriksaan biakan maupun histopatologi. Hasil biakan spesimen yang diperoleh dari TB ekstraparu jarang memberikan hasil positif. Untuk kasus yang hasil biakannya negatif atau kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diagnosis TB ekstraparu hanya dilakukan secara presumtif berdasarkan bukti klinis yang kuat atau dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. 27

43 Untuk pasien yang dicurigai TB ekstraparu yang pengobatan TB-nya sudah dimulai tanpa konfirmasi bakteriologi atau histopatologi (diagnosis secara presumtif), respons klinis dari pengobatan tersebut harus dinilai setelah 1 bulan. Jika tidak terjadi perbaikan maka harus dilakukan penilaian klinis ulang dan harus dipikirkan alternatif diagnosis lainnya. a. Tuberkulosis Kelenjar limfe Tuberkulosis kelenjar limfe dicurigai pada pasien dengan pembesaran kelenjar limfe, tidak simetris, kenyal, berdiameter > 2 cm, teraba fluktuasi atau terbentuk fistula dalam beberapa bulan. Pada umumnya menyerang kelenjar limfe di leher dan sulit dibedakan secara klinis dengan penyebabpenyebab lain pembesaran kelenjar limfe, misalnya pembesaran kelenjar limfe terkait HIV, keganasan dan infeksi kelenjar limfe lainnya. Aspirasi dengan jarum halus (Fine Needle Aspiration = FNA) perlu dilakukan segera saat ditemukan terdapatnya pembesaran kelenjar limfe. Spesimen yang didapat dari aspirasi ini dilakukan pemeriksaan bakteriologi dan sitologi karena mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dengan spesifisitas lebih dari 85%. b. Tuberkulosis Perikard, Tuberkulosis Pleura, Tuberkulosis Abdomen Infeksi TB dapat terjadi pada rongga tubuh yang mengandung cairan serosa seperti: rongga pleura, perikardial atau peritoneal. Hal ini lebih sering terjadi pada orang dewasa dengan HIV positif dibandingkan dengan HIV negatif. Penegakan diagnosis Tanda dan gejala klinis umumnya bersifat sistemik dan lokal. Pada pemeriksaan cairan aspirasi secara mikroskopis jarang ditemukan BTA karena cairan berasal dari reaksi peradangan. Tuberkulosis Perikard Bentuk TB ini lebih sering dijumpai pada ODHA dibandingkan pada orang dewasa dengan HIV negatif. Umumnya ditemukan gejala-gejala seperti: nyeri dada, sesak napas, batuk dan fatigue. Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan diantaranya adalah: Takikardia, tekanan darah rendah, pulsus paradoksus, meningkatnya tekanan vena jugular (JVP), bunyi jantung jauh dan tanda tanda gagal jantung kanan (seperti, hepatomegali, asites, edema tungkai) PETUNJUK PRAKTIS Tanda-tanda tersebut sering sulit dinilai. Lakukan pemeriksaan seksama pada setiap pasien dengan edema tungkai atau asites dengan kemungkinan efusi perikard. 28

44 Perikardiosentesis Perikardiosentesis diperlukan jika terdapat tamponade jantung (cardiac tamponade) dan harus dilakukan oleh pakar/dokter spesialis terkait. Tuberkulosis Pleura Gambaran klinis dapat bersifat sistemik dan lokal (nyeri dada; sesak napas; pergeseran trakea, pernapasan dangkal, penurunan pergerakan dada). Pada pemeriksaan fisis ditemukan terdapatnya fremitus yang melemah pada palpasi, redup pada perkusi dan penurunan suara pernapasan pada auskultasi). Gambaran foto toraks menunjukkan radiopaque pada satu atau dua sisi. Tuberkulosis pleura biasanya unilateral. Jika tersedia pemeriksaan ultrasonography (USG) dan terdapat penebalan pleura serta efusi yang terlokalisir dapat dilakukan pengambilan cairan dengan bantuan USG. Untuk membedakan apakah bayangan opaque tersebut cairan atau penebalan pleura atau massa maka dapat dilakukan foto dekubitus lateral. Sifat cairan aspirat TB pleura dapat dilihat pada tabel 8. Diagnosis dan Tatalaksana segera kasus suspek TB Ekstraparu Diagnosis Banding Diagnosis banding efusi pleura eksudat termasuk diantaranya adalah efusi pada keganasan dan abses amuba pada hati. pneumonia, Tuberkulosis Abdomen Tuberkulosis abdomen dapat bermanifestasi sebagai TB peritoneal atau TB intestinal. Gejala utama TB peritoneal berupa asites disertai pembesaran kelenjar limfe para-aorta dan mesenterik. Gejala TB abdomen umumnya bersifat kronik dan sebagian kecil menimbulkan keadaan akut abdomen. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa distensi abdomen, nyeri perut, mual, muntah, diare, konstipasi, perdarahan gastrointestinal (haemato-schezia lebih sering dibandingkan dengan hematemesis). Selain gejala TB peritoneal, ditemukan pula gejala sistemik TB. Cara penyebaran TB Abdomen adalah sebagai berikut: a) dari KGB yang terdapat di sepanjang mesenterium b) melalui darah c) secara perkontinuitatum (melalui organ terinfeksi yang terdekat) d) dari TB intestinal (pasien TB Paru dapat berkembang menjadi TB Usus karena tertelannya dahak yang infeksius) Penegakan diagnosis Pada aspirasi asites, cairan aspirasi biasanya berwarna keruh atau berdarah. Cairan ini merupakan eksudat, biasanya mengandung 300 leukosit per mm3 dan didominasi limfosit. Pemeriksaan foto 29

45 toraks dapat dilakukan untuk mencari kemungkinan terdapatnya TB Paru. Pada pemeriksaan USG, dapat ditemukan gambaran TB berupa pembesaran KGB mesenterik atau paraaorta dan ditemukannya cairan asites yang terlokalisir. Diagnosis Diagnosis biasanya bersifat presumtif. Diagnosis definitif berdasarkan pada biopsi peritoneal yang hanya tersedia pada beberapa RS. Biopsi peritoneal melalui kulit mempunyai nilai diagnostik yang rendah sedangkan melalui laparoskopi mempunyai nilai diagnostik yang tinggi. Diagnosis TB kolitis melalui biopsi kolon. Pemeriksaan tersebut sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis terkait. Diagnosis Banding Diagnosis banding TB abdomen tergantung pada jenis cairan asites: Transudat: gagal jantung, gagal ginjal, sirosis, hepatosplenic schitisomiasis, hipoproteinaemia, sindrom nefrotik; Eksudat: infeksi lain yang menyebabkan peritonitis. c. TB Susunan saraf pusat TB Susunan saraf pusat (SSP) dapat bermanifestasi menjadi 3 bentuk yaitu meningitis (paling banyak), tuberkuloma dan arakhnoiditis spinalis. Gejala klinis meningitis dibagi menjadi fase prodromal (selama 2-3 minggu berupa malaise, sefalgia, demam tidak tinggi, muntah, defisit neurologis) dan fase meningitis (gejala prodromal makin hebat) dan fase paralitik (penurunan kesadaran). Pada pemeriksaan ditemukan kaku kuduk tanda Kernig s positif dan kelumpuhan saraf kranial yang disebabkan oleh karena terdapatnya eksudat di dasar otak. Tuberkuloma dan penyumbatan pembuluh darah dapat menyebabkan gangguan neurologi. Dapat juga terjadi penyumbatan pada aliran cairan serebrospinal yang menyebabkan terjadinya hidrosefalus. Lesi TB pada spinal meningeal dapat menyebabkan paraplegia (spastic atau flaccid). Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasar gejala klinis dan pemeriksaan analisis cairan serebrospinal (CSS). Pada pemeriksaan cairan serebrospinal memberikan gambaran khas berupa penurunan kadar glukosa kurang dari 50% glukosa darah, peningkatan kadar protein > 100 mg/dl, hitung sel atau ditemukan M. tuberculosis. Diagnosis Banding 30

46 Tabel 5. Diagnosis banding TB meningen Kelainan pada CSS Penyakit Sel putih Protein Glukosa Mikroskopis TB meningen Meningitis Kriptokokkus* Meningkat L > PMN meningkat L > PMN Meningkat Menurun BTA Meningkat Menurun Indian ink spot positif Perawatan parsial meningitis bakterial* Meningkat Meningkat Menurun Ditemukan bakteri pada pewarnaan Gram (jarang) Meningitis virus Meningkat L > PMN Meningkat Normal (rendah pada parotitis atau H. simplex) Siphilis akut Meningkat L > PMN Meningkat Tripanosomiasis stadium akhir Tumor (Karsinoma/ limfoma) Leptospirosis Meningitis Amuba Meningkat L > PMN Meningkat L > PMN Meningkat L > PMN Meningkat L > PMN Meningkat Menurun Motile trypanosomes Meningkat Menurun Pemeriksaan sitologi menunjukkan terdapatnya sel ganas Meningkat Menurun Leptospira Meningkat Menurun Amuba PMN = polymorphonuclear leukocytes; L = lymphocytes *perbedaan diagnosis umum 31

47 d. Tuberkulosis Tulang Dapat bermanifestasi sebagai TB tulang belakang/spondilitis (paling sering), TB sendi panggul/koksitis dan TB sendi lutut/ghonitis. Selain gejala sistemik TB, dapat ditemukan gejala spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan dan nyeri pada pergerakan. Perjalanan penyakit bersifat kronik, sering ditemukan setelah terjadi trauma. Tuberkulosis tulang belakang disebut gibbus, berupa tonjolan pada tulang belakang berupa abses dingin. Tuberkulosis sendi panggul umumnya menunjukkan gejala berjalan pincang atau kesulitan berdiri. Tuberkulosis sendi lutut ditandai dengan sulit berjalan dan berdiri serta atrofi otot paha dan betis. Diagnosis banding Tuberkulosis tulang belakang adalah keganasan dan Infeksi bakteri lain. e. TB ekstra paru yang jarang ditemukan Tabel 6.Tampilan klinis yang biasa muncul dan pemeriksaan untuk penegakan diagnosis bentuk lain TB ekstraparu yang jarang ditemukan Area penyakit Tampilan klinis Diagnosis Tulang belakang Sakit punggung Gibbus Abses psoas Sakit pada radikular Kompresi saraf tulang belakang Foto toraks Magnetic Resonance Imaging (MRI) Biopsi jaringan Tulang Osteomielitis kronik Biopsi jaringan Peripheral joints Biasanya monoartritis khususnya pinggul atau lutut Foto toraks Biopsi sinovial Gastrointestinal Abdominal mass Diare Pemeriksaan barium Liver Nyeri kuadran kanan bagian atas USG Biopsi 32

48 Area penyakit Tampilan klinis Diagnosis Sistem ginjal dan urine Urinary frequency Disuria Hematuria Pinggang terasa sakit Piuria steril Biakan urine Intravena Pielogram USG Kelenjar adrenal Gambaran hipoadrenal (hipotensi, hiponatremia, hiperkalemia/ normal, uremia, hipoglikemia) Foto polos (kalsifikasi) USG Sistem pernapasan bagian atas Hoarseness dan stridor. Sakit pada telinga, sakit ketika menelan Biasanya akibat komplikasi penyakit paru Sistem kelamin wanita Ketidak suburan Penyakit peradangan pelvis Kehamilan ektopik Pemeriksaan pelvis Foto rontgen pada saluran genitalia wanita Ultrasound pelvis Biopsi jaringan Sistem kelamin laki-laki Epididimitis Seringkali terdapat bukti dari TB ginjal/tb saluran kemih 33

49 Tabel 7. Ringkasan petunjuk untuk suspek TB ekstraparu dan tanda utama TB ekstraparu untuk membantu diagnosis Suspek TB ekstraparu pada pasien-pasien dengan Pembesaran kelenjar limfe leher / aksila yang terkadang disertai batuk 2 minggu atau lebih atau Berat badan menurun dengan Berkeringat malam dan Suhu badan > 37,5 0 C atau merasa demam atau Sesak napas (efusi pleura/ perikarditis) Foto toraks: Bayangan milier atau difus Jantung besar (terutama jika simetris dan bundar) Efusi pleura Pembesaran kelenjar limfe dalam toraks atau Sakit kepala kronik atau gangguan mental Curigailah TB desiminata pada semua ODHA yang mengalami penurunan berat badan yang cepat dan nyata, demam dan berkeringat malam. Carilah: Terdapatnya pembengkakan kelenjar limfe pada leher atau aksila. Ini kemungkinan TB kelenjar limfe Tanda terdapatnya cairan di dada Hilangnya suara pernapasan Berkurangnya pergerakan dada Suara pekak pada perkusi Ini kemungkinan TB Pleuritis Tanda terdapatnya cairan di sekitar jantung Bunyi jantung menjauh Edema kaki dan/atau perut Pelebaran pembuluh darah vena pada leher dan lengan Ini kemungkinan TB Perikarditis Tanda dari meningitis Kaku kuduk Kesadaran menurun Gerakan mata yang abnormal Ini kemungkinan TB Meningitis 34

50 Pada tabel berikut diuraikan penatalaksanaan sederhana TB ekstraparu pada ODHA sehingga petugas kesehatan diharapkan tidak terlambat mendiagnosis dan mengobati TB ekstraparu. Tabel 8. Diagnosis dan Tatalaksana segera kasus suspek TB Ekstraparu TB Kelenjar Limfe Efusi Pleura TB Diseminata (TB Milier) Efusi Perikardium Meningitis TB Pemeriksaan penting Test HIV (Rapid Test) Periksa dahak jika batuk Aspirasi Jarum Halus (FNAB) Pemeriksaan penting Test HIV (Rapid Test) Foto toraks Periksa dahak jika batuk Pemeriksaan penting Test HIV (bila tersedia Rapid Test) Foto toraks Periksa darah Lakukan aspirasi, malaria amati sifat cairan Periksa dahak aspirat (jernih, jika batuk keruh, membeku) Biakan darah, Hitung jenis sel hitung sel darah leukosit dan lengkap, dan kandungan tes antigen protein aspirat Cryptococcus tersebut Pemeriksaan penting Test HIV (bila tersedia Rapid Test) Foto toraks Periksa dahak jika batuk USG jantung (ideal) EKG jika USG tidak ada. Pemeriksaan penting Test HIV (bila tersedia Rapid Test) Pungsi lumbal Pemeriksaan mikroskopis (pengecatatan Gram dan BTA)/ pemeriksaan protein dan gula pada cairan serebrospinal. Antigen Cryptococcus/ pengecatan Cryptococcus Periksa dahak jika batuk 35

51 TB Kelenjar Limfe Efusi Pleura TB Diseminata (TB Milier) Efusi Perikardium Meningitis TB Sangat curiga TB, jika Pembesaran > 2cm Asimetris Tidak nyeri Kenyal/ fluktuasi/fistula Daerah leher (servikal) Sangat curiga TB, jika Efusi unilateral Cairan aspirat: Jernih dan warna kuning-coklat seperti jerami (straw coloured) Membeku jika dibiarkan dalam tabung tanpa BB menurun, anti-koagulan keringat BB menurun, malam, demam keringat malam, demam Terdapatnya TB di organ lain Sangat curiga TB, jika BB menurun, demam dan batuk Foto toraks abonormal (termasuk gambaran milier) Pembesaran limpa/hati Keringat malam Anemia Sangat curiga TB, jika Gambaran paru bersih (tapi mungkin ada efusi pleura bilateral) BB menurun, keringat malam, demam Terdapatnya TB pada organ lain Sangat curiga TB, jika BB menurun, keringat malam, demam Cairan serebrospinal jernih dengan protein tinggi, glukosa rendah dan limfosit rendah Antigen Cryptococcus negatif di cairan serebrospinal Terdapatnya TB di organ lain 36

52 TB Kelenjar Limfe Efusi Pleura TB Diseminata (TB Milier) Efusi Perikardium Meningitis TB Curiga bukan TB, jika Sarkoma Kaposi di kulit atau mulut Simetris (mungkin limfoma atau limfadenitis HIV=PGL) Nyeri, meradang, bernanah (mungkin infeksi bakteri atau jamur) Lokasi selain dari daerah leher Curiga bukan TB, jika Efusi bilateral (gagal jantung atau pneumonia?) Klinis sarkoma kaposi atau keganasan lain Cairan aspirat Keruh/pus (empiema?) Gagal membeku (tidak menyingkirkan TB tetapi kirim aspirat tersebut utk pemeriksaan protein dan hitung jenis sel leukosit dan pikirkan gagal jantung) Kemungkinan bukan TB Pada HIV positif, pikirkan Salmonela, Pneumokokus, malaria, Cryptococcus kalau terdapat gejala/ tanda berikut: Kekakuan Sesak napas (frekuensi > 30 kali per menit) Diare berat Feses berdarah Antigen Cryptococcus positif, malaria positif atau kultur darah positif untuk kuman patogen Curiga bukan TB, jika Bayangan bercorak (streaky) pada paru dan/atau bentuk jantung tidak simetris (kemungkinan gagal jantung) Tekanan darah tinggi EKG menunjukan pembe-saran jantung oleh sebab lain (misalnya hipertensi, penyakit katup, kardiomiopati) Bising jantung (kemungkinan penyakit katup) Kekakuan (kemungkinan perikarditis bakteri) Sangat curiga bukan TB, jika Test HIV positif (lebih mungkin Penyakit Cryptococcus daripada TB) Cairan serebrospinal keruh atau pada pemeriksaan mikroskopis ada neutrofil (kemungkinan infeksi bakteri) Tes Cryptococcus positif Mulainya cepat Tekanan cairan serebrospinal sangat tinggi (mungkin infeksi Cryptococcus) 37

53 TB Kelenjar Limfe Efusi Pleura TB Diseminata (TB Milier) Efusi Perikardium Meningitis TB Tatalaksana segera Lakukan aspirasi untuk sitologi atau pemeriksaan BTA Lakukan biopsi bila aspirat tidak bernilai diagnostik, kecuali: HIV positif dengan kemungkinan TB milier, misalnya kli-nis cepat memburuk Tuberkulosis sangat mungkin secara klinis dan biopsi tidak mungkin didapat dalam 2 minggu Tatalaksana segera Kalau hanya terdapat gambaran TB --> mulai pengobatan TB Kalau bukan gambaran TB --> Kirim aspirat tersebut utk pemeriksaan protein dan hitung jenis sel leukosit dan bila tersedia lakukan pemeriksaan sitologi. Pikirkan TB bila limfosit >50% dan protein >30 g/l Beri pengobatan TB jika aspirat gagal membeku atau diagnosis lain tidak dapat ditegakkan dalam 7 hari Tatalaksana segera Kalau hanya gambaran TB --> mulai pengobatan TB (tambahkan antibiotik jika sakit berat) Kalau bukan gambaran TB --> Selidiki sebab lain Kalau sakit berat mulai pengobatan ganda (OAT dan antibiotik) Tatalaksana segera Kalau hanya gambaran TB --> mulai pengobatan TB Rujuk untuk aspirasi segera jika sangat sesak napas. Kalau bukan gambaran TB--> Selidiki sebab lain (periksa urea darah dan USG jantung) Mulai pengobatan TB jika USG menunjukan terdapatnya efusi dan diagnosis lain tidak dapat ditegakkan dalam 7 hari Tatalaksana segera Kalau hanya gambaran TB --> mulai pengobatan TB dan rawat inap Kalau bukan gambaran TB --> Jika test Cryptococcus positif atau test HIV positif dan tidak ada diagnosis lain --> obati penyakit Cryptococcus Dikutip dari buku: Improving the diagnosis and treatment of smear negative pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adult and adolescents, WHO, 2007 F. DIAGNOSIS BANDING Penyakit TB Paru maupun TB ekstraparu pada ODHA mempunyai kemiripan dengan penyakit lain yang mempunyai gejala seperti batuk, demam dan kadang nyeri dada serta kemiripan gambaran foto toraks. Pneumonia dapat terjadi sebagai ko-infeksi TB. Pada setiap kasus harus dilakukan pemeriksaan klinis yang cermat. Lakukan pemeriksaan mikroskopis BTA pada pasien yang batuk selama 2 minggu atau lebih. 38

54 Berikut ini adalah beberapa penyakit paru yang sering ditemukan pada ODHA: 1. Pneumonia Bakterial Pneumonia ini bisa menyerang bayi, usia lanjut, ketergantungan alkohol, pasien dengan retardasi mental, pasien pascaoperasi, pasien imunokompromais yang menderita penyakit pernapasan lain atau infeksi virus sangat rentan terhadap pneumonia bakterial. Bakteri penyebab pneumonia merupakan flora normal pada saluran napas atas. Pada saat daya tahan tubuh menurun maka bakteri akan bermultiplikasi dan merusak parenkim paru. Jika terjadi infeksi, sebagian besar parenkim paru terisi cairan dan infeksi dapat dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Pneumokokus adalah penyebab tersering pneumonia bakterial tersebut. Pneumonia bakterial didahului dengan infeksi saluran napas atas kemudian terjadi aspirasi lendir ke saluran napas bagian bawah sehingga menyebabkan bakteri saluran napas atas menginfeksi parenkim paru. Gejala klinis pada pneumonia berupa batuk produktif, demam yang dapat disertai menggigil, takikardia, takipneu sampai sianosis. Pada keadaan imunokompeten, tubuh mampu mengadakan perlawanan tetapi tidak pada keadaan imunokompro-mais sehingga gejala klinis yang terjadi tidak spesifik. Pneumonia bakterial sering menjadi penyebab infeksi sekunder pada ko-infeksi TB-HIV. Infeksi sekunder yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan sepsis. Hal ini sering ditemukan namun sulit didiagnosis. PETUNJUK PRAKTIS Jika pasien dengan asumsi awal pneumonia gagal terhadap pengobatan antibiotik, perlu dipertimbangkan kemungkinan M. tuberculosis. 2. Sarkoma Kaposi Sarkoma kaposi ditandai oleh lesi tipikal pada kulit dan membran mukosa berwarna biru kehitaman. Sarkoma kaposi pada membran mukosa saluran napas menimbulkan gejala batuk, demam, hemoptisis dan dispnea disertai lesi kulit di tempat lain. Foto toraks menunjukkan infiltrat nodular difus menyebar dari hilus atau gambaran efusi pleura. Pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat membantu penegakan diagnosis sarkoma kaposi. 3. Pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP) Pneumonia Pneumocystis jirovecii pada orang dewasa sering terjadi pada ODHA dengan stadium klinis 4 (AIDS). Gejala klinis berupa batuk tidak produktif, demam dan sesak napas progresif. Penyakit ini dapat dibedakan dengan TB paru berdasarkan gejala klinis dan foto toraks seperti tertera pada tabel 9. 39

55 Tabel 9. Manifestasi klinis dan gambaran foto toraks PCP dan TB Paru Gejala Tampilan tipikal PCP batuk tidak produktif demam dispnea Tampilan Tipikal TB Paru batuk produktif dahak purulen nyeri dada pleuritik Hemoptisis Pemeriksaan fisis Sering tidak ditemukan kelainan Pada keadaan lanjut bisa terdengar Fine inspiratory crackles Sering tidak ditemukan kelainan Pada keadaan tertentu, pemeriksaan fisis sesuai dengan kelainan yang terjadi Foto toraks Pada stadium awal, tidak dijumpai kelainan (gejala klinis berat tidak diikuti dengan gambaran kelainan pada foto toraks) Pada stadium berikutnya akan ditemukan kelainan di interstisial berupa noduler, retikuler atau linier Pada stadium lanjut akan ditemukan gambaran foto toraks seperti pneumonia/ TB Paru Gambaran foto toraks berupa kavitas, konsolidasi, infiltrat, efusi pleura, pneumotoraks Sering juga dijumpai limfadenopati intratoraks (seperti pada TB primer) pada keadaan imunokompromais Diagnosis pasti PCP ditegakkan atas dasar penemuan kista pada dahak yang didapat dari bilasan bronkoalveolar atau biopsi paru dengan pewarnaan methenamin silver. Diagnosis pada Fasyankes dengan sarana terbatas dilakukan atas dasar gejala klinis dan foto toraks. Pemeriksaan laboratorium sebagai penunjang diagnosis PCP adalah analisis gas darah dan pemeriksaan laktat dehidrogenase (LDH). Penggunaan PPK menurunkan kasus PCP pada ODHA. 40

56 4. Mycobacterium Avium Complex (MAC) Manifestasi klinis MAC umumnya berupa demam, keringat malam, penurunan berat badan, lemah/ fatique dan nyeri abdomen. Manifestasi yang terlokalisir berupa gejala-gejala limfadenitis servikal atau mesenterikal, pneumonitis, perikarditis, osteomielitis dan infeksi SSP. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali atau limfadenopati (di paratrakeal, retroperitoneal dan paraaorta). Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia, peningkatan alkali fosfatase. 5. Infeksi parasit Infeksi parasit yang sering ditemukan pada ODHA Cryptococcus sp. dan Nocardia sp. Gejala klinis Cryptococcosis sulit dibedakan dengan gejala klinis TB paru. Diagnosis Cryptococcosis paru ditegakkan dengan ditemukannya spora fungi pada apusan dahak. Gejala klinis Nocardiosis mirip TB paru seperti batuk produktif dapat disertai darah, demam, mual, malaise, sesak napas, keringat malam tanpa aktifitas, penurunan nafsu makan dan berat badan, nyeri sendi dan nyeri dada. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan ronki basah, suara napas melemah, limfadenopati, skin rash dan hepatosplenomegali. Kelainan pada foto toraks sering ditemukan pada lobus atas berupa kavitas. Organisme penyebab dapat ditemukan secara positif lemah pada pewarnaan tahan asam. Kecurigaan klinis meningkat dengan ditemukannya abses otak. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya batang pada sediaan dengan pewarnaan gram positif. 41

57 BAB IV TATALAKSANA KLINIS PASIEN TB-HIV ANAK A. DIAGNOSIS TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV B. MANIFESTASI PENYAKIT TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV 1. TUBERKULOSIS PARU DAN TB INTRATORAKAL LAIN 2. LIMFADENITIS TB 3. TUBERKULOSIS SUSUNAN SARAF PUSAT 4. TUBERKULOSIS ABDOMEN 5. TUBERKULOSIS KULIT 6. TUBERKULOSIS TULANG C. PENGOBATAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV 1. PADUAN OBAT DAN LAMA PENGOBATAN 2. DOSIS OAT 3. PEMBERIAN OAT BERSAMA ARV 4. PEMANTAUAN DAN EVALUASI PEMBERIAN OAT 5. EFEK SAMPING DAN PENANGANANNYA 6. IMMUNE RECONSTITUTION INFLAMMATORY SYNDROME (IRIS) D. PENCEGAHAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV 1. PELACAKAN KONTAK (SENTRIPETAL DAN SENTRIFUGAL) 2. PENGENDALIAN INFEKSI 3. PEMBERIAN INH PROFILAKSIS 4. VAKSINASI BCG E. INFEKSI HIV PADA TB ANAK 1. KECURIGAAN INFEKSI HIV PADA PASIEN TB 2. DIAGNOSIS INFEKSI HIV PADA ANAK 42

58 3. JENIS UJI HIV 4. STATUS HIV PADA ANAK 5. TATALAKSANA UMUM ANAK TERINFEKSI HIV F. PEMBERIAN ART Tuberkulosis merupakan IO yang juga paling sering ditemukan pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan angka kematian pada kelompok tersebut. Besarnya angka kejadian TB pada anak terinfeksi HIV sampai saat ini sulit diperoleh secara akurat. Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV disebabkan tingginya transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak (CD4 kurang dari 15%, umur di bawah 5 tahun). Meningkatnya kasus HIV pada orang dewasa telah berdampak terhadap peningkatan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada umur yang rentan sehingga anak-anak tersebut sangat mudah terkena TB terutama TB berat (milier dan meningitis). Dengan demikian diperlukan suatu strategi dalam pencegahan dan pengobatan TB terutama pada wilayah dengan jumlah kasus TB yang tinggi. PETUNJUK PRAKTIS Infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada anak terinfeksi HIV adalah TB. Sumber penularan TB pada anak adalah orang dewasa (terutama anggota keluarga) dengan sputum BTA positif. Jumlah kasus TB anak diperkirakan 10-20% dari seluruh kasus TB. Jumlah kasus TB anak dipengaruhi jumlah sumber penularan, kedekatan anak dengan sumber penularan dan umur anak ketika tertular TB. Hasil pemeriksaan BTA pada anak jarang positif sehingga secara umum anak bukan merupakan sumber penularan. Meningkatnya jumlah kasus TB anak merupakan gambaran kegagalan program pengendalian TB dewasa. Prioritas utama pengendalian TB adalah memberikan pengobatan yang adekuat pada kasus yang infeksius (dewasa) dan TB anak karena dapat mengurangi angka reaktivasi dan reinfeksi di kemudian hari. PETUNJUK PRAKTIS Program Pengendalian TB yang baik merupakan cara paling efektif untuk mencegah TB anak A. DIAGNOSIS TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV Diagnosis TB anak sampai saat ini masih banyak menghadapi tantangan akibat sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan bakteriologi serta rendahnya konfirmasi bakteriologi yang didapat. Pemeriksaan BTA aspirat lambung pada TB anak menunjukkan hasil positif pada 10-15% pasien saja. Namun demikian pemeriksaan bakteriologi (BTA dan biakan M.tuberculosis) tetap harus dilakukan pada setiap pasien. Konfirmasi bakteriologi dapat dilakukan dengan pengambilan spesimen dari beberapa tempat yang memungkinkan sesuai dengan manifestasi klinis penyakit TB-nya, antara lain sputum, 43

59 aspirasi cairan lambung, cairan pleura, induksi sputum, biopsi jarum halus pada kelenjar getah bening (KGB) yang membesar dan biopsi jaringan lainnya. Tanpa konfirmasi bakteriologi, diagnosis TB anak terutama berdasarkan 4 hal yaitu: 1) kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif; 2) uji tuberkulin positif ( 5 mm pada anak terinfeksi HIV); 3) gambaran sugestif TB secara klinis (misalnya gibbus) dan 4) gambaran sugestif TB pada foto toraks. Diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV lebih sulit dibandingkan yang tidak terinfeksi HIV karena: uji tuberkulin sering negatif. gagal tumbuh merupakan gejala utama anak terinfeksi HIV dan anak sakit TB. kelainan foto toraks pada anak terinfeksi HIV sering disebabkan gejala respiratori selain karena sakit TB. PETUNJUK PRAKTIS Diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV bersifat presumtif berdasarkan riwayat kontak dengan TB dewasa, uji tuberkulin 5 mm, klinis dan foto toraks sugestif TB. Riwayat kontak. Sumber penularan (kontak) yang paling sering ditemukan adalah ibu atau anggota keluarga lain yang turut mengasuh anak. Pertanyaan yang diajukan adalah adakah anggota keluarga yang sakit TB? Bagaimana gejala klinisnya? Kontak ini mungkin terjadi dalam 6 bulan sampai 2 tahun sebelumnya. Diagnosis TB pada sumber penularan sering baru ditemukan pada waktu anak didiagnosis. Uji tuberkulin. Tuberkulin merupakan protein kuman TB yang disebut purified protein derivative (PPD). Setelah terinfeksi kuman TB maka seseorang akan mengalami hipersensitivitas terhadap PPD ini. Dengan kata lain, uji tuberkulin positif pada seseorang yang pernah atau sedang terinfeksi kuman TB. Reaksi dibaca jam setelah penyuntikan intrakutan berupa diameter transversal terlebar indurasi. PETUNJUK PRAKTIS Uji tuberkulin positif menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi kuman TB, tidak menentukan tidak sakit/sakit TB aktif atau beratnya penyakit. Pada anak terinfeksi HIV, uji tuberkulin dikatakan positif bila diameter 5 mm. Bila hasilnya < 5 mm, TB belum dapat langsung disingkirkan karena ada beberapa keadaan yang menyebabkan negatif palsu. PETUNJUK PRAKTIS Kondisi yang menyebabkan negatif palsu adalah infeksi HIV, malnutrisi berat, infeksi bakteri berat, infeksi virus, obat imunosupresif dan prosedur penyuntikan yang salah. 44

60 Gejala klinis TB pada anak terinfeksi HIV sama dengan yang tidak terinfeksi HIV tetapi pada anak yang terinfeksi HIV lebih sering mengalami TB diseminata. Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV sering sulit dibedakan dengan kondisi lain akibat infeksi HIV seperti Lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP), pneumonia bakteri, PCP, bronkiektasis dan Sarkoma Kaposi. Gejala klinis umum TB pada anak terinfeksi HIV antara lain batuk persisten lebih dari 3 minggu yang tidak membaik setelah pemberian antibiotik spektrum luas, malnutrisi berat atau gagal tumbuh, demam lebih dari 2 minggu, keringat malam yang menyebabkan anak sampai harus ganti pakaian, gejala umum non-spesifik lainnya dapat berupa fatigue (kurang aktif, tidak bergairah). Indikator yang baik terdapatnya penyakit kronik dan TB anak adalah gagal tumbuh meskipun keadaan ini dapat pula disebabkan kurang nutrisi, diare kronik dan infeksi HIV. Bila anak mengalami gejala respiratori tetapi tidak tampak tanda-tanda penyakit akut dan pasien telah mendapat antibiotik spektrum luas maka dapat dicurigai TB. Beberapa kelainan jantung bawaan dan kardiomiopati mempunyai gejala klinis menyerupai TB paru. PETUNJUK PRAKTIS Periksalah kartu catatan kesehatan anak atau kartu menuju sehat (KMS) dan perhatikan grafik pertumbuhan berat badan anak bila anak dicurigai TB. Gambaran radiologi sugestif TB pada anak terinfeksi HIV sama dengan yang tidak terinfeksi, antara lain berupa pembesaran KGB hilus, efusi pleura, milier, gambaran pneumonia, atelektasis, kavitas dan bronkiektasis. Pada anak terinfeksi HIV, gambaran radiologi LIP menyerupai TB milier. Di antara berbagai gambaran radiologi tersebut, pembesaran KGB hilus merupakan gambaran yang paling sering ditemukan PETUNJUK PRAKTIS Pengobatan TB pada anak terinfeksi HIV diberikan bila gejala klinis, pemeriksaan foto toraks dan uji tuberkulin mendukung TB. Bila bukti klinis dan pemeriksaan penunjang tersebut lemah dan anak tidak tampak sakit akut maka dilakukan observasi terlebih dulu. Namun bila anak sakit berat maka dapat dicurigai TB meskipun bukti tidak kuat sehingga pengobatan TB dapat diberikan. Dalam keadaan meragukan dan tidak emergensi, treatment trial tidak dibenarkan karena menimbulkan beberapa masalah: 1. Rifampisin selain membunuh kuman TB juga membunuh bakteri lain sehingga respons terhadap rifampisin bisa jadi merupakan respons terhadap bakteri lain. 2. Terjadi kecenderungan untuk cepat memberikan pengobatan tanpa didahului pendekatan diagnosis yang teliti. 3. Menyebabkan dokter hanya fokus pada TB saja tanpa mempertimbangkan infeksi bakteri lain. 4. Bila pengobatan TB diberikan maka harus dilanjutkan sampai selesai sesuai paduan lama pengobatan. 45

61 Dampak HIV pada diagnosis TB anak: 1. Beberapa penyakit terkait HIV termasuk TB menunjukkan gejala klinis sama, misalnya pneumonia bakteri, LIP, bronkiektasis, PCP, Sarkoma Kaposi dan pneumonia virus. 2. Interpretasi uji tuberkulin sering membuat ragu-ragu dalam mendiagnosis TB. Pada anak terinfeksi HIV hasilnya sering negatif meskipun anak sakit TB (negatif palsu). 3. Anak dengan TB-HIV sering berasal dari orangtua yang sudah meninggal akibat HIV sehingga kepatuhan pengobatan TB anak kurang baik. PETUNJUK PRAKTIS Penyakit terkait HIV yang mempunyai gambaran foto toraks menyerupai TB milier adalah LIP. B. MANIFESTASI PENYAKIT TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV 1. Tuberkulosis Paru dan TB intratorakal lain Tuberkulosis intratorakal dapat bermanifestasi sebagai TB paru, efusi pleura, efusi perikardial dan TB milier. Tuberkulosis paru pada anak terinfeksi HIV menunjukkan gejala yang sama dengan anak yang tidak terinfeksi HIV. Gejala klinisnya sering menyerupai gejala klinis penyakit komorbid pada saluran napas misalnya LIP, PCP, pneumonia dan bronkiektasis. Gambaran radiologi TB milier menyerupai gambaran radiologi LIP. Tuberkulosis paru anak sering memberikan gambaran radiologi berupa atelektasis karena terdapat penekanan bronkus yang disebabkan oleh pembesaran KGB hilus sehingga terjadi kolaps alveoli. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan wheezing/mengi sehingga sering didiagnosis asma tetapi tidak membaik dengan pemberian bronkodilator. Tuberkulosis milier merupakan hasil penyebaran hematogen dengan jumlah kuman yang besar, yang tersangkut di ujung kapiler paru dan membentuk tuberkel dengan ukuran sama yang menyerupai butir-butir padi (millet sheed). Efusi pleura dapat berbentuk serosa (paling sering) atau empiema TB (jarang) terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman TB pada rongga pleura. Sebagian besar efusi pleura TB bersifat unilateral. Efusi perikardial TB jarang ditemukan pada anak, terjadi akibat invasi kuman secara langsung atau melalui drainase limfatik. 2. Limfadenitis TB Biasanya merupakan komplikasi dini TB primer, terjadi setelah 6 bulan terinfeksi akibat penyebaran hematogen atau limfogen. Manifestasi klinis tersering terjadi di KGB leher (limfadenitis colli), KGB di aksila dan inguinal. Limfadenitis colli umumnya terjadi di daerah anterior. Pembesaran KGB bersifat kenyal, tidak nyeri tekan, multipel atau membentuk massa akibat pembesaran beberapa kelenjar yang berlekatan menjadi satu (confluent). Pembesaran KGB generalisata dapat disebabkan oleh infeksi HIV. Pembesaran KGB aksila dapat disebabkan oleh immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) pada anak terinfeksi HIV yang sedang mendapat ART dalam 3-6 bulan pertama. Biakan MTB dari biopsi aspirasi jarum halus/fine-needle aspiration biopsy (FNAB) dapat membantu diagnosis. Gambaran 46

62 histopatologi dapat ditegakkan bila ditemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit dan sel datia Langhans. 3. Tuberkulosis susunan saraf pusat Merupakan komplikasi TB paling serius dan berakibat fatal bila tidak diberikan pengobatan yang tepat. Tuberkulosis SSP dapat bermanifestasi menjadi 3 bentuk yaitu meningitis (paling banyak), tuberkuloma dan arakhnoiditis spinalis. Gejala klinis meningitis TB pada anak dibagi menjadi fase prodromal (selama 2-3 minggu, berupa malaise, sefalgia, demam tidak tinggi dan muntah) dan fase meningitik (gejala prodromal makin hebat, defisit neurologis dan disfungsi nervus III, VI, VII) dan fase paralitik (penurunan kesadaran sampai sopor atau koma, hipertensi, hidrosefalus dan deserebrasi). Pada pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) memberikan gambaran khas berupa penurunan kadar glukosa kurang dari 50% glukosa darah, peningkatan kadar protein >100 mg/dl, hitung sel atau ditemukan MTB. Salah satu faktor yang memperburuk meningitis TB dan meningkatkan angka kematiannya adalah infeksi HIV. Meningitis TB jarang ditemukan pada bayi umur < 3 bulan kecuali pada bayi yang terinfeksi HIV. Tuberkuloma adalah massa seperti tumor yang terbentuk dari agregasi tuberkel perkijuan. Di wilayah endemis TB, tuberkuloma ditemukan pada 40% anak yang didiagnosis tumor otak. Pada anak umumnya infratentorial pada basis kranii di dekat serebelum sedangkan pada dewasa di supratentorial. Lesi dapat tunggal atau multipel. Gejala klinisnya berupa sakit kepala, muntah, kejang, kelumpuhan ekstremitas dan gejala umum TB. Uji tuberkulin umumnya positif dan foto toraks sering tidak ditemukan kelainan. Tindakan operasi tidak diperlukan karena tuberkuloma membaik dengan pemberian OAT. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan Computed Tomography (CT)-scan kepala atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). 4. Tuberkulosis Abdomen Tuberkulosis abdomen dapat bermanifestasi sebagai peritonitis, TB intestinal (enteritis TB) atau bentuk yang sangat jarang yaitu TB orofaring. Gejala utama peritonitis TB berupa asites disertai pembesaran kelenjar para-aorta dan mesenterik. Kadang terjadi perlekatan antara peritoneum, omentum dan KGB sehingga teraba sebagai massa ireguler, kasar dan tidak nyeri tekan. Selain gejala peritonitis TB, ditemukan pula gejala sistemik TB. Uji tuberkulin umumnya positif. Gejala TB abdomen umumnya bersifat kronik. Tuberkulosis enteritis dapat menimbulkan keadaan akut abdomen. Tuberkulosis enteritis merupakan hasil penyebaran hematogen atau tertelannya tuberkel kuman TB yang dibatukkan dari paru. Tempat yang paling sering terkena adalah jejunum dan ileum. Gejala yang dapat ditemukan berupa distensi abdomen, nyeri perut, mual, muntah, diare, konstipasi dan perdarahan gastrointestinal (hematosezia lebih sering dibandingkan dengan hematemesis). Bila ditemukan gejala kronik saluran cerna disertai hasil uji tuberkulin positif maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan untuk konfirmasi TB (pemeriksaan kolonoskopi dan Ultrasonografi/USG Abdomen). 5. Tuberkulosis Kulit Secara klinis, TB kulit yang paling sering ditemukan adalah skrofuloderma, terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar getah bening di bawahnya yang terinfeksi MTB. Sekret yang keluar 47

63 dapat berupa cairan purulen atau kaseosa. Selanjutnya akan membentuk jaringan parut dan dapat juga berupa massa yang fluktuatif. Gejala klinis sistemik dan pemeriksaan penunjang sama seperti TB paru. 6. Tuberkulosis tulang Dapat bermanifestasi sebagai TB tulang belakang atau spondilitis TB (paling sering), TB sendi panggul atau koksitis TB dan TB sendi lutut atau ghonitis TB. Selain gejala sistemik TB, dapat juga ditemukan gejala spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan, nyeri pada pergerakan. Perjalanan penyakit bersifat kronik, sering ditemukan setelah terjadi trauma. Tuberkulosis tulang belakang disebut gibbus yaitu berupa tonjolan pada tulang belakang yang merupakan abses dingin. Koksitis TB umumnya menunjukkan gejala berjalan pincang atau kesulitan berdiri. Ghonitis TB ditandai dengan sulit berjalan dan berdiri serta atrofi otot paha dan betis. Anak terinfeksi HIV lebih mudah terkena TB tulang dibandingkan yang tidak terinfeksi HIV. Pemeriksaan foto tulang belakang merupakan penunjang diagnosis yang utama. Gambaran foto tulang belakang berupa destruksi di antara korpus vertebra yang berdekatan dengan jarak antara dua korpus vertebra melebar, tepi korpus bagian anterior bergerigi, terbentuk gibbus dan kalsifikasi jaringan lunak di sekitar korpus. C. PENGOBATAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV 1. Paduan obat dan lama pengobatan Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping minimal, mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Saat ini, paduan obat TB pada anak yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO (2011) adalah INH (H), Rifampisin (R), PZA (Z) dan Etambutol (E) selama fase intensif 2 bulan pertama dilanjutkan dengan INH dan Rifampisin selama fase lanjutan. Pada TB milier dan meningitis TB diberikan INH, Rifampisin, PZA, Etambutol dan Streptomisin selama fase intensif selanjutnya INH dan Rifampisin selama fase lanjutan. PETUNJUK PRAKTIS Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV (selain TB milier, meningitis TB dan TB tulang) harus diberikan 4 macam obat (RHZE) selama 2 bulan pertama dilanjutkan RH sampai minimal 9 bulan. PETUNJUK PRAKTIS Pada meningitis TB dan TB milier diberikan RHZES selama 2 bulan pertama dilanjutkan RH sampai 12 bulan. 48

64 PETUNJUK PRAKTIS Pada TB tulang diberikan RHZE selama 2 bulan pertama, dilanjutkan RH sampai 12 bulan. Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps yang lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal ini maka pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu minimal 9 bulan sedangkan pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang selama 12 bulan. Mortalitas TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi karena tingginya ko-infeksi oleh patogen lain, absorpsi dan penetrasi OAT terhadap organ yang terkena pada anak terinfeksi HIV jelek, misdiagnosis, kepatuhan kurang, malnutrisi berat dan imunosupresi berat. 2. Dosis PETUNJUK PRAKTIS Dosis OAT yaitu INH 10 mg/kgbb/hari (maksimal 300 mg), Rifampisin 15 mg/kgbb/hari (maksimal 600 mg), PZA 35 mg/kgbb/hari (maksimal 2000 mg), Etambutol 20 mg/kgbb/hari (maksimal 1250 mg) dan Streptomisin 20 mg/kgbb/hari (maksimal 1000 mg). Pada meningitis TB, TB milier dengan distress pernapasan, efusi pleura dan efusi perikardial diberikan tambahan kortikosteroid berupa prednison 1 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis selama 6 minggu, selanjutnya di-tapering-off selama 6 minggu. 3. Pemberian OAT pada anak terinfeksi HIV Tuberkulosis sering didiagnosis sebelum status HIV seorang anak diketahui. Pemberian OAT pada anak terinfeksi HIV yang akan atau sedang mendapat ARV harus memperhatikan interaksi antar obat karena pemberian bersama-sama kedua obat ini dapat menyebabkan pengobatan menjadi tidak optimal serta meningkatkan risiko toksisitas. Apabila Rifampisin berinteraksi dengan beberapa Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) maka kadar plasma NNRTI turun sebesar 20 60%; sedangkan Protease inhibitor (PI) mmengakibatkan kadar plasma PI akan turun sebesar 80% atau lebih. Rifampisin dapat diberikan bersama-sama dengan semua jenis nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI). Rekomendasi pemberian OAT bersama ARV adalah 2 jenis NRTI dikombinasi dengan efavirenz (EFV). Dosis OAT tidak memerlukan penyesuaian karena tidak dipengaruhi oleh ARV. Pemberian ARV dapat dimulai bila anak telah mendapat OAT selama minimal 2-8 minggu selama syarat untuk pemberian ARV telah terpenuhi. PETUNJUK PRAKTIS Pemberian Rifampisin bersama antiretroviral PI dan NNRTI menurunkan kadar kedua ARV tersebut dalam darah dan menurunkan ambang toksik Rifampisin. 49

65 4. Pemantauan dan Evaluasi Pemberian OAT pada anak terinfeksi HIV Masalah yang sering dihadapi pada pengobatan TB anak terinfeksi HIV adalah respons pengobatan yang kurang baik dan angka relaps yang tinggi. Bila respons klinis dan radiologi kurang maka pemberian OAT dapat dilanjutkan sampai 9-12 bulan selanjutnya penyebab kegagalan pengobatan harus dievaluasi. Evaluasi respons klinis dan radiologi yang kurang setelah pemberian OAT 6 bulan meliputi kepatuhan minum obat, absorpsi obat yang kurang, resistensi obat dan kemungkinan diagnosis TB salah. PETUNJUK PRAKTIS Bila respons klinis dan radiologi kurang maka OAT boleh diberikan sampai 12 bulan selanjutnya evaluasi kepatuhan, absorbsi obat, resistensi dan diagnosis TB. Anti retroviral dan OAT sering menunjukkan gejala toksisitas yang sama sehingga sulit diidentifikasi obat mana yang menjadi penyebab toksisitas tersebut. Efek samping OAT lebih sering ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV. Efek samping OAT paling sering ditemukan pada 2 bulan pertama pengobatan. Meskipun pemberian INH pada anak jarang menimbulkan neuropati namun pemberian INH pada anak terinfeksi HIV dan mendapat ARV disarankan untuk ditambahkan piridoksin (vitamin B6). Rash merupakan efek samping pemberian OAT yang cukup sering ditemukan, umumnya ringan sehingga tidak perlu menghentikan pengobatan. Beberapa obat yang dapat menimbulkan rash antara lain kotrimoksazol, nevirapin, EFV dan abacavir. Bila rash hebat maka OAT harus dihentikan dulu, selanjutnya bila rash sudah hilang OAT dapat dimulai dengan cara desensitisasi. Efek lain OAT misalnya pada gastrointestinal (mual, muntah dan diare) umumnya tidak memerlukan penghentian obat. Apabila terdapat efek hepatotoksik (gangguan fungsi hati) yaitu SGOT/SGPT meningkat lebih dari 5X nilai normal tertinggi tanpa disertai ikterus; bilirubin total > 1,5 mg/dl tanpa disertai ikterus; gejala ikterus dengan Uji fungsi hati normal maka INH, Rifampisin dan PZA dihentikan kemudian diberikan Etambutol dan Streptomisin. Streptomisin dan Etambutol diberikan tidak lebih dari 2 bulan, sambil dipantau fungsi hati; apabila fungsi hati sudah normal, maka regimen pengobatan kembali ke INH, Rifampisin dan PZA. Apabila gejala gangguan fungsi hati tersebut berulang, perlu ditinjau ulang apakah OAT dan ARV dapat diberikan bersama-sama atau tidak. Sedangkan apabila dalam 2 bulan pemberian Etambutol dan Streptomisin ternyata fungsi hati masih tetap tinggi (> 5x batas normal tertinggi), maka sebaiknya pasien dirujuk. PETUNJUK PRAKTIS Pemantauan efek hepatotoksik pemberian OAT dan ARV dilakukan melalui pemeriksaan rutin SGOT dan SGPT setiap 1 bulan sekali. Obat Anti TB dihentikan bila SGOT/SGPT meningkat lebih dari 5x nilai normal tertinggi atau kadar bilirubin >1,5 mg/dl tanpa gejala ikterus serta bila terdapat gejala ikterus dengan tes fungsi hati normal. Untuk menghindari terjadinya tumpang tindih efek samping OAT dan ARV maka bila memungkinkan pemberian ARV ditunda sampai anak mendapat OAT 2 bulan tetapi apabila HIV sangat parah yaitu bila 50

66 TB disertai penyulit seperti batuk berdarah atau TB meningitis, maka ARV dapat dimulai setelah 2-8 minggu pemberian OAT walaupun kemungkinan terjadinya IRIS lebih besar. 5. Efek samping OAT dan penanganannya Infeksi HIV menyebabkan peningkatan terjadinya efek samping pada anak yang sedang mendapat OAT terutama efek samping pada kulit dan hepatotoksisitas karena OAT dan kotrimoksasol. Kulit Efek samping pada kulit dapat berupa nekrolisis epidermal toksik yang mengancam kehidupan maupun rash yang tersebar pada wajah, dada dan seluruh tubuh. Bila pasien mengalami gejala rash, gatal dan demam segera setelah makan OAT, menunjukkan terdapatnya reaksi hipersensitivitas. Apabila timbul rash ringan dan tidak ada rasa gatal maka OAT dilanjutkan; apabila disertai sedikit rasa gatal maka diberikan antihistamin. Penyebab gatal yang lain perlu dipertimbangkan misalnya skabies. Bila timbul rash disertai rasa gatal dengan atau tanpa efek samping berat yaitu nekrolisis epidermal toksik atau Steven Johnson syndrome maka semua jenis OAT harus dihentikan sampai klinis membaik. Bila rash sudah hilang maka OAT dapat diberikan lagi mulai dosis paling rendah (INH 50 mg, Rifampisin 75 mg) dinaikkan secara bertahap sampai mencapai dosis yang sesuai dalam waktu 3 hari. PETUNJUK PRAKTIS Bila ada efek samping rash maka OAT diberhentikan sampai tidak ada gejala. Selanjutnya dimulai lagi dari dosis rendah INH 50 mg dan rifampisin 75 mg ditingkatkan bertahap setiap hari selama 3 hari sampai dosis yang diinginkan. Hepatotoksik Pada anak sakit TB yang terinfeksi HIV maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan Uji fungsi hati sebelum pengobatan dimulai. Selanjutnya pemeriksaan Uji fungsi hati sebaiknya diperiksa rutin setiap bulan. Efek hepatotoksik OAT pada anak terinfeksi HIV lebih sering ditemukan dibanding anak yang tidak terinfeksi HIV. Obat Anti TB lini pertama yang menimbulkan efek hepatotoksisitas adalah INH, Rifampisin dan PZA. Karena ke-3 obat tersebut diberikan sebagai kombinasi maka agak sulit untuk menentukan obat mana yang menjadi penyebab gangguan fungsi hati. Pemberian kembali OAT tersebut setelah hepatotoksisitas hilang, umumnya tidak menimbulkan efek samping seperti sebelumnya. Streptomisin dan Etambutol jarang sekali menimbulkan hepatotoksisitas. Gejala klinis hepatotoksisitas bervariasi mulai dari gangguan fungsi hati ringan sampai kerusakan hati berat yang menyebabkan gagal hati. Gejala konstitusional berupa lemah, mual, muntah, demam, mialgia, artralgia dan sakit perut. Druginduced hepatitis (DIH) karena OAT ini harus didiagnosis banding dengan hepatitis virus. Bila ditemukan gejala klinis hepatotoksisitas maka OAT harus dihentikan kecuali bila tetap diperlukan pemberian OAT maka dapat diberikan Streptomisin dan Etambutol. Obat Anti TB dapat diberikan kembali 2 minggu setelah gejala klinis hepatotoksisitas hilang atau Uji fungsi hati normal kembali. 51

67 Gastrointestinal Efek gastrointestinal akibat OAT yang paling banyak ditemukan adalah mual, muntah, dehidrasi dan imbalans elektrolit. Efek samping gastrointestinal umumnya tidak memerlukan penghentian obat. Efek gastrointestinal sering merupakan gejala awal efek hepatotoksisitas sehingga diperlukan pemantauan klinis yang baik. Bila gejalanya ringan sampai sedang maka dapat diatasi dengan cara minum OAT bersamaan dengan makanan atau diminum segera sebelum tidur atau memberikan anti emetik. Bila gejala gartritis menonjol maka dapat diberikan antasid atau proton pump inhibitor (PPI) walaupun antasid akan mengurangi absorpsi rifampisin sebesar 20-40%. Antasid atau PPI sebaiknya diberikan 2 jam sebelum atau sesudah makan OAT. 6. Immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) Pemberian ART fase awal menyebabkan penekanan replikasi virus HIV secara cepat (90% virus dalam 1-2 minggu) sehingga terjadi pemulihan sistem imun, peningkatan CD4 yang besar pada fase inisial yang dilanjutkan dengan penurunan jumlah virus. Immune reconstitution inflammatory syndrome merupakan kumpulan gejala atau manifestasi klinis akibat respons imun yang meningkat secara cepat terhadap berbagai infeksi maupun antigen non infeksius setelah pemberian ARV fase inisial. Organisme yang paling sering menyebabkan IRIS adalah Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium avium, Cryptococcus neoformans dan Cytomegalovirus. Manifestasi klinis IRIS yang utama adalah: a. Munculnya lagi gejala penyakit infeksi yang pernah ada sebelumnya dan telah teratasi infeksinya. Penyebab terbanyak IRIS adalah TB. b. Munculnya infeksi yang sebelumnya asimtomatik, umumnya disebabkan oleh Mycobacterium avium, jarang oleh Mycobacterium tuberculosis. c. Penyakit autoimun dan inflamasi seperti Sarkoidosis. Gejala klinis IRIS bersifat sementara, misalnya demam, limfadenopati yang bertambah, tuberkuloma intraserebral menjadi muncul kembali, efusi pleura, sindrom distress pernapasan, infeksi subklinis menjadi manifest atau gejala klinis memburuk pada pengobatan TB yang adekuat. Perburukan klinis TB pada pemberian ARV selain disebabkan oleh IRIS, dapat pula disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap antigen Mycobacterium tuberculosis yang mati. Hal ini bukan suatu kegagalan pengobatan dan bersifat sementara. Immune reconstitution inflammatory syndrome dapat juga disebabkan oleh mikobakteria atipik, Pneumocystis jiroveci, Varicella zoster dan virus Herpes simpleks. Beberapa kriteria yang mendukung diagnosis IRIS pada TB-HIV (3 dari kriteria sebagai berikut): a. Manifestasi klinis atipikal setelah ARV mulai diberikan. b. Viral load menurun 1 log10 per ml. c. CD4 meningkat. d. Bukan TB relaps atau resisten OAT. e. Bukan karena ketidakpatuhan minum obat. 52

68 f. Bukan akibat efek samping obat. g. Bukan karena infeksi lain atau keadaan lain karena HIV. Immune reconstitution inflammatory syndrome umumnya terjadi pada pemberian OAT bersama-sama ARV selama 2 bulan pertama. D. PENCEGAHAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV 1. Pelacakan Kontak Upaya paling efektif untuk mencegah infeksi TB berulang pada anak adalah menutup lubang kran (tap) dengan cara pengendalian secara epidemiologis, yaitu diagnosis dan pengobatan segera terhadap kasus TB yang infeksius. Pada anak penggunaan sistem skoring dapat mengurangi keterlambatan diagnosis. Meskipun gejala TB pada anak sangat tidak spesifik namun gejala-gejala sugestif TB tersebut merupakan alat identifikasi yang cukup akurat pada kelompok berisiko misalnya anak yang terinfeksi HIV. Pelacakan kontak TB pada anak terinfeksi HIV sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya transmisi serta membuka kesempatan untuk pemberian INH profilaksis. Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan BTA sputum dan foto toraks (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya maka perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal yaitu mencari anak lain di sekitar sumber penularan tersebut yang kemungkinan juga tertular, yaitu dengan pemeriksaan uji tuberkulin. Demikian pula jika ditemukan pasien TB dewasa aktif maka anak disekitarnya atau yang kontak erat harus dilakukan pemeriksaan ada tidaknya infeksi maupun penyakit TB. 2. Pengendalian Infeksi Pengendalian infeksi TB terutama adalah diagnosis kasus TB dan pengobatan yang adekuat, serta mengikuti perkembangan pasien dengan baik (tidak terjadi drop-out) di tingkat pelayanan kesehatan manapun. Selain upaya di atas, diperlukan pula perbaikan lingkungan rumah seperti ventilasi (pintu dan jendela) yang baik dan masuknya sinar matahari ke dalam rumah secara efektif. Pengendalian transmisi TB di klinik HIV juga perlu diperhatikan karena anak terinfeksi HIV merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap infeksi apapun terutama TB dan apabila mereka sakit TB maka dapat menjadi sumber penularan selanjutnya. 3. Pemberian INH Profilaksis Pemberian INH profilaksis dapat mencegah terjadinya sakit TB pada anak terinfeksi HIV. Diagnosis infeksi TB laten pada anak terinfeksi HIV sangat penting karena kelompok ini berisiko besar mengalami reaktivasi. Meskipun faktor kepatuhan tetap menjadi perhatian besar namun pemberian INH profilaksis pada anak terinfeksi HIV tetap memberikan keuntungan. Isoniazid tidak menimbulkan drug-drug interactions bila diberikan bersama ART dan tidak pula memerlukan penyesuaian dosis pada pemberian kedua obat tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian INH profilaksis pada anak terinfeksi HIV dapat menurunkan angka kematian sampai setengahnya. 53

69 Kebijakan pemberian INH profilaksis adalah sebagai berikut: a. Anak dengan Infeksi laten TB Umur HIV Kontak erat dengan pasien TB paru dewasa Tata laksana Balita (+)/(-) Ya INH profilaksis Balita (+)/(-) Tidak Observasi > 5 th (-) Ya observasi > 5 th (+) Ya INH profilaksis > 5 th (-) Tidak observasi > 5 th (+) Tidak Observasi b. Anak bukan TB Umur HIV Kontak erat dengan pasien TB paru dewasa Tata laksana Balita (+)/(-) Ya INH profilaksis Balita (+)/(-) Tidak Pikirkan diagnosis lain, bila perlu dirujuk > 5 th (-) Ya Observasi > 5 th (+) Ya INH profilaksis > 5 th (-) Tidak Pikirkan diagnosis lain, bila perlu dirujuk > 5 th (+) Tidak Pikirkan diagnosis lain, bila perlu dirujuk Dosis INH profilaksis adalah 10 mg/kgbb/hari selama 6 bulan. 54

70 4. Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG) Vaksin BCG merupakan vaksin yang berisi M.bovis hidup yang dilemahkan. Efek proteksi sangat bervariasi mulai dari 0-80% bahkan di wilayah endemis TB diragukan efek proteksinya. Namun demikian, vaksin BCG memberikan proteksi yang cukup baik terhadap terjadinya TB berat (TB milier dan meningitis TB). Sebaliknya pada anak terinfeksi HIV maka vaksin BCG tidak banyak memberikan efek menguntungkan dan dikhawatirkan dapat menimbulkan BCG-itis diseminata, yaitu penyakit TB aktif akibat pemberian BCG pada pasien imunokompromais. World Health Organization menetapkan bahwa vaksinasi BCG merupakan kontraindikasi pada anak terinfeksi HIV yang bergejala. Hal ini sering menjadi dilema bila bayi mendapat BCG segera setelah lahir pada saat status HIV-nya belum diketahui. Bila status HIV ibu telah diketahui dan Preventing Mother to Child Transmission of HIV (PMTCT) telah dilakukan maka vaksinasi BCG tidak segera diberikan pada bayinya. Bayi baru lahir dengan ibu HIV positif dengan perlakuan pencegahan (PMTCT), maka BCG tidak diberikan pada saat jadwalnya. Pemberian BCG menunggu status bayi ditetapkan melalui pemeriksaan PCR (6 bulan) atau serologis pada umur sesudahnya. Sebaiknya didahului uji Tuberkulin. E. INFEKSI HIV PADA TB ANAK 1. Kecurigaan Infeksi HIV pada pasien TB Penyakit TB merupakan salah satu penyakit indikator untuk dilakukan Uji HIV. Infeksi HIV pada anak dapat bermanifestasi dalam spektrum klinis yang bervariasi. Gejala klinis infeksi HIV juga seringkali tidak spesifik. Sebagai contoh gejala penurunan berat badan, demam dan batuk sering dijumpai pada TB anak dengan atau tanpa HIV. PETUNJUK PRAKTIS Kondisi orangtua memberikan petunjuk penting tentang kemungkinan infeksi HIV pada anak mereka. Tanyakan kepada orangtua tentang status kesehatan mereka. Kadang orangtua menyembunyikan status HIV mereka. Di dalam panduan pelayanan untuk pelayanan anak di negara dengan sumber daya terbatas, tenaga kesehatan dapat secara aktif meminta dilakukan uji HIV bila pada kasus yang dihadapi ditemui hal-hal berikut: a. Gejala-gejala yang menunjukkan HIV masih mungkin Infeksi berulang: tiga atau lebih episode infeksi bakteri yang sangat berat (seperti pneumonia, meningitis, sepsis dan sellulitis) pada 12 bulan terakhir. Bercak putih di mulut (thrush): Eritema dengan bercak berwarna putih (pseudomembran) di langit-langit mulut, gusi dan mukosa pipi. Setelah masa neonatal ditemukannya bercak putih di mulut tanpa pengobatan antibiotik atau berlangsung lebih dari 30 hari walaupun telah diobati atau kambuh atau meluas melebihi bagian lidah kemungkinan besar merupakan imunodefisiensi. Juga khas apabila meluas sampai di kerongkongan yang menunjukkan Kandidiasis esofagus. 55

71 Parotitis kronik: terdapatnya pembengkakan parotis unilateral atau bilateral (tepat di depan telinga) selama 14 hari dengan atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam. Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran KGB pada dua atau lebih daerah ekstra inguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya. Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tidak terdapat infeksi virus lain seperti Sitomegalovirus (CMV). Demam yang menetap dan/atau berulang: demam (>38 C) berlangsung 7 hari atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari. Disfungsi Neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefali, keterlambatan dalam perkembangan, hipertonia atau bingung (mental confusion). Herpes zoster (shingles): ruam kemerahan yang nyeri dengan bisul kecil terbatas pada satu dermatom di satu sisi. Dermatitis HIV: Ruam yang eritematosa dan papular. Ruam kulit yang khas meliputi infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala serta Molluscum contagiosum (MC) yang ekstensif. Penyakit paru supuratif yang kronik (Chronic suppurative lung disease). b. Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV Otitis media kronik: cairan keluar dari telinga selama 14 hari. Diare Persisten: diare yang berlangsung 14 hari. Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau memburuknya pertambahan berat badan secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan pertumbuhan yang seharusnya, sebagaimana yang tercantum dalam Kartu Menuju Sehat (KMS). c. Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV Bila didapatkan: PCP, Kandidiasis esofagus, LIP atau Sarkoma Kaposi. Skema permintaan Uji ini dinamakan Provider Initiated Testing and Counseling /PITC atau Konseling dan tes HIV atas inisiatif petugas kesehatan/ktipk tanpa melihat faktor risiko perilaku. 2. Diagnosis infeksi HIV pada anak Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan pada masa perinatal dan pada anak kecil sangat sulit karena antibodi maternal terhadap HIV yang didapat secara pasif mungkin masih ada di dalam darah anak sampai anak berumur 18 bulan. Tantangan diagnostik meningkat bila anak sedang menyusu atau pernah menyusu. Meskipun infeksi HIV tidak dapat disingkirkan sampai umur 18 bulan pada beberapa anak, sebagian besar anak tidak lagi memiliki antibodi terhadap HIV pada umur 9 18 bulan. 56

72 PETUNJUK PRAKTIS Pada anak umur kurang dari 18 bulan, diagnosis infeksi HIV bergantung pada gambaran klinis dan hasil uji HIV yang positif pada ibu. Semua uji diagnostik HIV harus: rahasia. diikuti dengan konseling. dilakukan hanya dengan informed consent. Pada anak, hal ini berarti persetujuan orang tua atau pengasuh anak. Pada anak yang lebih tua biasanya tidak diperlukan persetujuan orang tua untuk uji/pengobatan akan tetapi untuk remaja lebih baik jika mendapat dukungan orangtua dan mungkin persetujuan diperlukan secara hukum. PETUNJUK PRAKTIS Ibu pasien diminta untuk mengajak ayah pasien dalam proses konseling. Biasanya lebih mudah memberitahukan tentang kemungkinan ibu HIV positif sebelum tes daripada memberitahukan setelah tes bahwa ibu HIV positif. 57

73 Bagan Penilaian dan Tata Laksana Awal Kecurigaan HIV Anak Anak sakit berat atau TB, pajanan HIV belum diketahui dan dicurigai terinfeksi HIV Identifikasi faktor risiko HIV: Status infeksi HIV pada ibu. Transfusi darah. Penularan seksual. Pemakaian narkoba suntik. Cara kelahiran spontan dan laktasi. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis serta evaluasi bila anak mempunyai tanda dan gejala klinis infeksi HIV atau IO. Lakukan pemeriksaan penunjang dan pengobatan yang sesuai. Identifikasi faktor risiko, tanda/gejala klinis infeksi HIV atau IO yang disebabkan HIV. Pertimbangkan uji diagnostik HIV dan konseling. Pilihan metode diagnostik tergantung umur anak. Jika status HIV ibu tidak dapat ditentukan dan uji virologi tidak dapat dikerjakan maka untuk diagnosis infeksi HIV pada anak umur < 18 bulan uji antibodi HIV harus dikerjakan. 3. Jenis Uji HIV Uji antibodi HIV (ELISA atau rapid Test/Uji cepat) Uji cepat makin tersedia dan aman, efektif, sensitif dan dapat dipercaya untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV pada anak mulai umur 18 bulan. Untuk anak berumur < 18 bulan, Uji cepat antibodi HIV 58

74 dapat dipercaya untuk mendeteksi bayi yang terpajan HIV dan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak yang tidak mendapat ASI. Uji cepat HIV dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak malnutrisi atau keadaan klinis berat lainnya di daerah dengan prevalens HIV yang tinggi. Untuk anak berumur < 18 bulan, semua uji antibodi HIV yang positif harus dipastikan dengan uji virologi sesegera mungkin. Jika hal ini tidak tersedia maka ulangi uji antibodi pada umur 18 bulan. Uji virologi Uji virologi untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode yang paling dipercaya untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak berumur < 18 bulan. Beberapa laboratorium khusus dapat melakukan uji ini. Jika anak pernah mendapatkan pencegahan dengan zidovudine (ZDV) selama atau sesudah persalinan, uji virologi tidak dianjurkan sampai 4 8 minggu setelah lahir karena ZDV mempengaruhi hasil. Satu uji virologi yang positif pada umur 4 8 minggu sudah cukup untuk membuat diagnosis infeksi pada bayi muda. Jika bayi tersebut masih mendapat ASI dan uji virologi RNA negatif maka uji tersebut perlu diulang 6 minggu setelah anak disapih untuk memastikan bahwa anak tidak terinfeksi HIV. 4. Status HIV pada Anak Anak dengan infeksi HIV diklasifikasikan berdasarkan kriteria klinis dan kriteria imunologis. A. Kriteria Klinis Klasifikasi WHO berdasarkan penyakit yang secara klinis berhubungan dengan HIV Klinis Stadium Klinis WHO Asimtomatik 1 Ringan 2 Sedang 3 Berat 4 Pedoman klinis secara lebih detail dapat dibaca pada Buku Pedoman Tata Laksana Infeksi HIV pada Anak di Indonesia. B. Kriteria Imunologis Klasifikasi WHO mengenai imunodefisiensi HIV menggunakan hitung CD4+ sebagai dasar menentukan klasifikasi 59

75 Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4+ Nilai CD4+ menurut umur Imunodefisiensi < 11 bulan (%) bulan (%) bulan (%) > 5 tahun (sel/mm 3 ) Tidak ada > 35 > 30 > 25 > 500 Ringan Sedang Berat < 25 < 20 < 15 <200 atau < 15% 5. Tatalaksana Umum Anak terinfeksi HIV Langkah awal dalam tatalaksana anak yang terdiagnosis HIV adalah memastikan agar tumbuh dan kembangnya terjaga. Selanjutnya mendiagnosis dan menatalaksana IO yang ada seperti TB. Pemberian profilaksis untuk TB, PCP dan malaria merupakan bagian penting terutama pada anak dengan kadar limfosit CD4 sangat rendah (< 15%) atau bayi. Selanjutnya dilakukan penilaian untuk pemberian ARV yang meliputi memastikan orang dewasa yang akan menjadi pemberi minum obat, kondisi sosial ekonomi secara keseluruhan dan kepatuhan terhadap obat-obatan lain yang digunakan sebelum memulai terapi ARV. Gambar 4. Tatalaksana umum anak terinfeksi HIV 60

76 Pemberian ARV bukan merupakan langkah segera. Oleh karena itu, dalam konteks ko-infeksi TB-HIV maka harus dipastikan OAT dimulai terlebih dahulu sebelum ARV dipertimbangkan. F. Pemberian ART Bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV dan terbukti terinfeksi HIV langsung diberikan ART tanpa mempertimbangkan kadar CD4. Pada anak yang terinfeksi HIV, pemberian ART dimulai setelah pasien mendapat pengobatan TB selama 2-8 minggu (lebih disukai adalah 8 minggu) untuk mengurangi terjadinya IRIS dan efek samping obat yang saling tumpang tindih. Hal yang paling penting diperhatikan pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi obat terutama golongan NNRTI dengan Rifampisin. Pilihan obat ARV lini pertama yang digunakan pada anak TB-HIV Anak umur > 3 tahun : 2 NRTI (Zidovudin dan Stavudin) Efavirenz Anak umur < 3 tahun : 2 NRTI (Zidovudin dan Stavudin) Nevirapin Anak semua umur : 3 NRTI (Zidovudin+Stavudin+Abacavir) Pemberian ART dapat bersinergi dengan INH profilaksis. Dengan demikian pemberian ART dapat dimulai bersama dengan pemberian INH profilaksis. PETUNJUK PRAKTIS Pilihan ARV untuk pasien TB-HIV anak usia 3 tahun adalah 2 NRTI (Zidovudin dan Stavudin) ditambah Efavirenz, anak usia >3 tahun adalah 2 NRTI (Zidovudin dan Stavudin) ditambah Nevirapin. Pada semua usia dapat pula diberikan 3 NRTI. 61

77 BAB V DIAGNOSIS INFEKSI HIV PADA PASIEN TB DEWASA A. FAKTOR RISIKO HIV PADA PASIEN TB Sebagian besar orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis tidak menjadi sakit TB karena mereka mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten.hanya sekitar 10% orang yang non HIV akan berkembang menjadi TB aktif selama hidupnya. Namun pada orang-orang dengan sistem imunitasnya menurun, misalnya pada ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi TB aktif (sekitar 60%). Dengan demikian epidemi HIV akan meningkatkan jumlah kasus TB di masyarakat. Pasien TB dengan HIV atau ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai pada ODHA (sekitar 50%) dibandingkan dengan penyakit oportunistik lain, misalnya kandidiasis, PCP, Toksoplasmosis, Kriptosporidiosis. Seseorang dengan kedua penyakit ini memiliki masalah kesehatan yang serius dan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, penatalaksanaan yang tepat dan cepat sangat diperlukan. Dari data-data yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa epidemi HIV sangat berpengaruh pada peningkatan kasus TB sehingga pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Petugas TB perlu mengetahui faktor risiko HIV agar dapat menunjang upaya pencegahan dan perawatan HIV. Faktor risiko HIV adalah: Berganti-ganti atau memiliki lebih dari satu pasangan seksual. Pengguna Napza suntik. Memiliki tindih berlebihan dan tato permanen. Memiliki riwayat Infeksi Menular Seksual (IMS). Memiliki jenis pekerjaan berisiko tinggi, misalnya orang yang karena pekerjaannya berpindah-pindah tempat (supir, pelaut), migran, tuna wisma, 62

78 pekerja bar/ salon, pekerja seks. Memiliki riwayat transfusi darah dan produk darah, transplantasi organ tubuh. B. PENGENALAN TANDA KLINIS INFEKSI HIV PADA PASIEN TB Tabel berikut menunjukkan gambaran klinis kemungkinan terdapatnya infeksi HIV pada pasien TB. Tabel 10. Gambaran klinis dugaan terdapatnya ko-infeksi HIV pada pasien TB Riwayat kesehatan Infeksi menular seksual Herpes zoster (penyakit ruam saraf) yang seringkali meninggalkan bekas luka Saat ini menderita pneumonia atau pneumonia kambuh kembali Infeksi akibat bakteri (sinusitis, bakteremia, piomiositis) Saat ini menjalani perawatan TB Gejala Penurunan berat badan (>10 kg atau > 20% dari BB sebelumnya) Diare (> 1 bulan) Sakit tenggorokan ketika menelan (diduga Kandidiasis esofagus) Sensasi terbakar pada kaki (sensori neuropati perifer) Tanda Bekas luka herpes zoster Pruritus (gatal)/ ruam popular pada kulit Sarkoma Kaposi Generalisasi limpadenopati simetris Oral kandidiasis Angular cheilitis Oral hairy leukoplakia Necrotizing gingivitis Giant aphthous ulceration Bisul/borok pada alat kelamin yang sakit terus menerus PETUNJUK PRAKTIS Pada pasien yang dicurigai lihat kelainan pada mulut. Luka yang banyak di mulut meningkatkan dugaan terdapatnya infeksi HIV. 63

79 Pemeriksaan darah lengkap yang menunjukkan terdapatnya infeksi HIV adalah anemia, leucopenia atau thrombocytopenia yang tidak terjelaskan penyebabnya Diagnosis pasti infeksi HIV didapatkan dari hasil tes HIV 3 metode yang positif. C. KONSELING DAN TES HIV (KTS dan KTIPK) 1. Konseling dan Tes HIV Dalam proses Konseling dan Tes HIV dapat dilakukan melalui dua pendekatan,yaitu: a. Pendekatan tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas kesehatan (KTIPK/Provider Initiated Testing and Counseling = PITC). b. Pendekatan konseling dan tes HIV atas inisiasi klien atau yang disebut konseling dan tes HIV sukarela (KTS-Voluntary Counselling and Testing/Client Initiated Counseling and Testing = CICT). Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIPK PITC = Provider-Initiated Testing and Counseling). Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan merupakan kebijakan Pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan menginisiasi tes HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi HIV (lihat tabel 10), pasien kelompok berisiko (penasun, PS-pekerja seks dan LSL lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak menjaga konfidensial (prinsip 3C counseling, consent, confidentiallity). Konseling dan tes HIV pada dasarnya merupakan tes sukarela. Pada pasien TB konseling dan tes HIV dapat dilakukan dengan pendekatan KTIPK maupun KTS. Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan merupakan layanan yang terintegrasi di Fasyankes. Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan ketika pasien datang berobat ke Fasyankes dan terindikasi terkait infeksi HIV. Apabila dijumpai pasien TB yang menunjukkan terdapatnya gejala yang mengarah ke AIDS (seperti di atas) maka petugas kesehatan di unit TB menginisiasi tes dan dilanjutkan dengan konseling HIV kepada pasien tersebut sebagai bagian dari tatalaksana klinis. Inisiasi tes HIV oleh petugas kesehatan harus selalu didasarkan atas kepentingan kesehatan dan pengobatan pasien. Untuk itu perlu memberikan informasi yang cukup sehingga pasien mengerti dan mampu mengambil keputusan menjalani tes HIV secara sukarela. Selain itu juga perlu diinformasikan bahwa konfidensialitas terjaga, terhubung dengan rujukan ke Pelayanan Dukungan dan Perawatan yang memadai. Tujuan utama KTIPK adalah agar petugas kesehatan dapat membuat keputusan 64

80 klinis dan/atau menentukan pelayanan medis secara khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang. Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan dilaksanakan tidak dengan cara mandatori atau wajib. Prinsip 3C (informed consent, confidentiality, counseling) dan 2 R (reporting and recording) tetap harus diterapkan dalam pelaksanaannya. Langkah KTIPK di unit DOTS meliputi: 1. Pemberian KIE mengenai kaitan TB dengan HIV. 2. Memeriksa tanda-tanda infeksi oportunistik lain pada kasus TB. 3. Identifikasi faktor risiko yang tampak, misalnya jejas suntikan, tindik berlebihan dan tato permanen. 4. Pemberian informasi dan motivasi pasien TB yang berisiko HIV untuk menjalani tes. 5. Rujukan pasien TB ke layanan tes HIV dengan menggunakan formulir rujukan. 6. Pemberian informasi tentang hasil tes HIV kepada pasien TB dan tindak lanjutnya. 7. Pengisian format pencatatan (rekam medis, register, dll) pada setiap akhir layanan. 8. Kompilasi data pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV. Pendekatan konseling dan tes HIV atas inisiasi klien atau yang disebut konseling dan tes HIV sukarela (Konseling dan Tes HIV-Voluntary Counselling and Testing/ Client Initiated Counseling and Testing = CICT). Konseling dan Tes HIV atas inisiasi klien (KTS) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV AIDS berkelanjutan. Konseling dan testing HIV sukarela adalah suatu prosedur diskusi pembelajaran antara konselor dan klien untuk memahami HIV AIDS beserta risiko dan konsekuensi terhadap diri, pasangan dan keluarga serta orang di sekitarnya. Tujuan utamanya adalah perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman. Strategi Konseling dan tes HIV pada pasien TB: a. Di wilayah dengan epidemi HIV yang meluas Seluruh pasien TB di unit DOTS dilakukan konseling dan tes HIV secara rutin. Di seluruh Fasyankes di daerah dengan prevalensi HIV pada pasien TB >5%, Konseling dan Tes HIV harus ditawarkan secara rutin pada semua pasien TB. Konseling dan tes HIV dapat dilaksanakan setiap saat selama pengobatan TB sehingga jika ada pasien yang pada awalnya menolak tes HIV maka dapat ditawarkan kembali setelah penyuluhan/penjelasan. b. Di wilayah dengan epidemi HIV yang rendah dan terkonsentrasi Dilakukan penilaian faktor risiko menggunakan formulir skrining (kuesioner) pada setiap pasien TB. 65

81 Pasien TB dengan faktor risiko ditawarkan untuk konseling dan tes HIV (oleh petugas TB atau dirujuk ke unit Konseling dan Tes HIV). Beberapa Prinsip Layanan Konseling dan Tes HIV: 1. Sukarela dalam melaksanakan tes HIV. Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan dan tanpa tekanan. 2. Saling membangun kepercayaan dan menjaga konfidensialitas. 3. Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien/pasien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Konfidensialitas dapat dibagi sesuai kebutuhan klien/pasien. 4. Mempertahankan hubungan relasi yang efektif. 5. Konselor/Petugas Medis mendorong klien/pasien untuk kembali mengambil hasil tes dan mengikuti konseling pasca tes untuk mengurangi perilaku berisiko. Di dalam Konseling dan Tes HIV dibicarakan juga respon dan perasaan klien ketika menerima hasil tes pada sesi tahapan penerimaan hasil tes positif. Tahapan Pelayanan Konseling dan Tes HIV dalam KTS 1. Konseling Pra Tes Konseling pra tes bertujuan membantu klien menyiapkan diri untuk pemeriksaan laboratorium, memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV. Di dalam Konseling pra tes seorang konselor harus dapat membuat keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian risiko dan merespons kebutuhan emosi klien. Kebutuhan emosi yang menonjol adalah rasa takut melakukan tes HIV karena berbagai alasan termasuk perlakuan diskriminasi dan stigmatisasi masyarakat dan keluarga. Bersama antara konselor dengan orang yang sedang mempertimbangkan untuk melakukan tes, cari tahu apakah orang: a) kemungkinan memiliki infeksi HIV, b) pengetahuan mengenai HIV, c) kemampuan untuk menghadapi dengan positif dari hasil tes. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam konseling pra tes : 1) Periksa ulang nomor kode klien dalam formulir 2) Perkenalan dan arahan. 3) Membangun kepercayaan klien pada konselor yang merupakan dasar utama bagi terjaganya konfidensialitas sehingga terjalin hubungan baik dan terbina sikap saling memahami. 4) Alasan kunjungan dan klarifikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV. 5) Penilaian risiko untuk membantu klien mengetahui faktor risiko dan menyiapkan diri untuk pemeriksaan darah. 6) Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi 66

82 diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV. 7) Di dalam konseling pra tes HIV seorang konselor harus dapat membuat keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian risiko dan merespons kebutuhan emosi klien. 8) Melakukan penilaian sistem dukungan. 9) Klien memberikan persetujuan tertulisnya (Informed Concent) sebelum dilakukan tes HIV. Jelaskan juga mengenai konfidensialitas berbagi untuk kepentingan kesehatan klien. 2. Penilaian risiko Penilaian risiko klinis bertujuan untuk melakukan umpan balik risiko klinis, melakukan diskusi terkait dengan topik yang sensitif serta menilai risiko dalam masa jendela (window periode). Dalam penilaian risiko konselor mengajukan pertanyaan yang eksplisit tentang berbagai kegiatan klien yang memiliki risiko akan terjadinya penularan HIV. Beberapa alasan mengapa perlu penilaian risiko klinis: 1) Mendorong peningkatan kewaspadaan akan infeksi menular seksual dan HIV. 2) Memberi kesempatan untuk konseling dan edukasi. 3) Pemeriksaan kesehatan lain yang diperlukan. 4) Umpan balik diberikan kepada klien agar klien memahami bahwa aktivitasnya berisiko. 5) Implikasi terapi. a) assessment dari risiko memiliki infeksi HIV berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seks. berhubungan seks dengan pekerja seks komersial. untuk laki-laki, berhubungan seks dengan sesama laki-laki. menindik dengan jarum yang tidak steril, tato. transfusi darah yang pernah dilakukan sebelumnya. penggunaan obat dengan cara suntik. pasangan seksual/suami atau istri merupakan orang dengan risiko. b) assessment pengetahuan tentang HIV apa saja yang malibatkan tes dan arti dari tes tersebut? bagaimana transmisi HIV terjadi? apa yang dimaksud dengan perilaku berisiko tinggi? c) assessment untuk menghadapi dengan positif hasil tes reaksi yang diharapkan dari seseorang yang melakukan tes siapakah yang akan menyediakan dukungan emosional? dampak dari hasil tes yang positif pada: 67

83 hubungan social. isu sosial, seperti pekerjaan. kesehatan di masa yang akan datang. 3. Konfidensialitas Persetujuan untuk mengungkapkan status HIV seorang individu kepada pihak ketiga seperti institusi rujukan, petugas kesehatan yang secara tidak langsung melakukan perawatan kepada klien yang terinfeksi dan pasangannya harus senantiasa diperhatikan. Persetujuan dituliskan dan dicantumkan dalam catatan medik. Konselor dan petugas kesehatan yang menginisiasi tes mengkomunikasikan secara jelas perluasan konfidensialitas yang ditawarkan kepada klien. Penjelasan rinci seperti ini dilakukan dalam konseling pra tes atau sebelum saat penandatanganan persetujuan pemeriksaan tes HIV. Berbagi konfidensialitas, artinya rahasia diperluas kepada petugas kesehatan yang akan membantu pemulihan kesehatan klien. Konfidensialitas juga dapat dibuka jika diharuskan oleh hukum (statutory) yang jelas. Contohnya ketika kepolisian membutuhkan pengungkapan status untuk perlindungan kepada korban perkosaan. Korban perkosaan dapat segera dirujuk ke layanan pengobatan untuk mendapatkan ART agar terlindung dari infeksi HIV. 4. Tes Dan Diagnosis HIV Hubungan antara HIV dan TB perlu disosialisasikan kepada anggota masyarakat sehingga pasien TB dapat waspada terhadap kemungkinan ko-infeksi HIV. Penting untuk menawarkan konseling dan tes HIV terhadap pasien TB. Keuntungan dari konseling dan tes HIV yang dicapai adalah: a. pasien bisa mendapatkan kesempatan mengetahui status HIV mereka. b. diagnosis yang lebih baik dan manajemen dari penyakit terkait HIV. c. penghindaran pemakaian obat yang diasosiasikan dengan risiko tinggi dari efek samping obat tersebut. d. meningkatkan pemakaian kondom dan menurunkan transmisi HIV. e. kemungkinan penggunaan kemoprofilaksis dengan kotrimoksasol untuk mencegah infeksi oportunistik dan mengurangi angka mortalitas. f. kemungkinan penggunaan ART untuk pengobatan HIV. g. kesempatan untuk berkonsultasi dengan pasien dan anggota keluarga mengenai infeksi HIV dan mengenai perkiraan kondisi. h. kesempatan untuk memberi saran kepada pasien dan anggota keluarganya mengenai cara yang tepat untuk mencegah transmisi HIV lebih jauh. Dianjurkan untuk melaksanakan konseling dan tes HIV pada hari yang sama menggunakan tes cepat. Hal ini juga penting untuk menjaga kerahasiaan klien. 68

84 Kebijakan untuk mewajibkan pasien TB melakukan tes HIV (bahkan walaupun hal ini adalah legal) bisa menjadi kontraproduktif. Tipe kebijakan seperti ini akan menimbulkan hasil sebagai berikut: a. pasien akan dihalangi dalam mencari pengobatan. b. akan terjadi penurunan penemuan kasus baru pada kelompok berisiko. c. turunnya kredibilitas dari pelayanan kesehatan. Infeksi HIV biasanya didiagnosis melalui deteksi dari antibodi terhadap virus. Produksi dari antibodi biasanya dimulai 6-12 minggu setelah infeksi. Periode setelah infeksi tetapi antibodi masih belum terdeteksi dikenal dengan istilah window period. Diagnosis dari infeksi HIV juga dimungkinkan dengan mendeteksi virus (p24 antigen, berbasis tes nucleic-acid atau pembiakan) namun alat ini belum tersedia luas dan cukup mahal. Strategi pemeriksaan antibody ataupun virus HIV secara lengkap terdapat dalam buku Pedoman Tes HIV. a. Tes antibodi HIV Cara luas yang tersedia dalam mendeteksi individu terinfeksi HIV adalah dengan deteksi antibodi HIV dengan serum atau contoh plasma. Tabel di bawah menunjukkan dua metode utama dari tes antibodi HIV. Tes serogikal tersedia untuk kedua HIV-1 dan HIV-2. Tes diagnosis HIV sangat bisa diandalkan, sangat sensitif dan spesifik. Kinerja dengan kualitas yang tinggi dari tes oleh staf laboratorium adalah hal yang penting. Tabel 11. Keuntungan dan kerugian dari tes antibodi HIV Metode tes HIV Keuntungan Kerugian EIA (secara resmi lebih dikenal dengan ELISA) Sederhana/ rapid (misalnya rapid immunobinding assay) Lebih murah dari pada immunoblot Jumlah sera yang lebih banyak dapat di tes setiap hari Sensitif dan spesifik Sederhana/ cepat Lebih murah dibandingkan immunoblot Tidak dibutuhkan peralatan khusus Dipasok sebagai penggunaan sendiri sehingga spesimen individu bisa di tes Dibutuhkan peralatan laboratorium khusus Staf teknis yang mempunyai kemampuan khusus (skill) Power pasokan yang harus selalu tersedia Keseluruhan kotak ( contoh) harus digunakan 69

85 b. Tes untuk mendeteksi virus HIV Tes pertama yang bisa mendeteksi sirkulasi bebas dari partikel HIV adalah antigen HIV p24 EIAs. Ukuran kuantitatif dari plasma HIV RNA (viral load) sekarang telah menggantikan tes EIAs ini. Pengukuran viral load saat ini merupakan hal yang standar pada negara maju untuk pentahapan dan monitoring merespons terapi antiretroviral. Bagaimanapun, beberapa faktor membatasi kegunaan dari metode ini pada negara-negara berkembang berupa mahalnya peralatan yang dibutuhkan dan diperlukan kondisi laboratorium, pengawasan kualitas dan staf yang sangat terlatih. c. Strategi untuk tes antibodi HIV pada pasien WHO merekomendasikan beberapa strategi tes HIV tergantung pada tujuan tes. Tujuan dari rekomendasi adalah akurasi dan minimalisasi biaya. Tabel di bawah menunjukkan strategi yang diperlukan untuk setiap obyektifitas dari tes. Tabel 12. Obyektifitas, strategi dan intrepretasi dari pemeriksaan HIV Obyektifitas Strategi tes Intrepretasi hasil Manajemen pasien individu Surveilans (pada populasi dengan prevalensi HIV > 10%) Tes sampel dengan menggunakan EIA atau dengan tes sederhana/cepat Tes sampel dengan menggunakan EIA atau dengan tes sederhana/cepat Tes pertama negatif = pasien HIV negatif atau tes harus diulang Tes pertama positif + tes kedua positif = pasien HIV positif Tes pertama positif dan tes kedua negatif ulangi kedua tes Hasil tetap terjadi perbedaan ulangi pengambilan sampel dan ulangi tes Tes negatif = pasien HIV negatif Tes positif = pasien HIV positif d. Pemeriksaan Laboratoris Untuk Tes HIV Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%) sedangkan untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%). 70

86 Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu - 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil negatif maka perlu dilakukan tes ulang terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko. Gambar 5. Bagan Alur Pemerikaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa Orang yang bersedia Menjalani tes HIV Tes Antibodi HIV A1 Antibodi HIV Positif? Ya Tes Antibodi HIV A2 Antibodi HIV Positif? Ya Adakah manifestasi klinis? Tidak Ulangi Tes A1 dan A2 Tidak Antibodi HIV Positif pada kedua nya Ya Tidak Antibodi HIV Positif pada salah satu? Ya Tes Antibodi HIV A3 A1 +, A2+, A3+? Ya Ya Tidak Tidak A1 +, dan sala satu A2/ Tidak A1 +, A2+, A3+? Tidak A3 +? Tidak A1 +, A2+, A3+? Ya Ya Anggap tidak ditemukan antibodi HIV Anggap indeterminate Diagnosis Pasti infeksi HIV 71

87 Tabel 13. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1 Hasil Interpretasi Tindak Lanjut A1 (-) atau A1 (-) A2 (-) A3 (-) A1 (+) A2 (-) A3 (-) Atau A1 (+) A2 (-) A3 (-) A1 (+) A2 (+) A3 (-) Atau A1 (+) A2 (-) A3 (-) A1 (+) A2 (+) A3 (+) Non-reaktif Indeterminate Indeterminate Reaktif atau Positif Bila yakin tidak ada faktor risiko dan atau perilaku berisiko dilakukan LEBIH DARI tiga bulan sebelumnya maka pasien diberi konseling cara menjaga tetap negatif. Bila belum yakin ada tidaknya faktor risiko dan atau perilaku berisiko dilakukan DALAM tiga bulan terakhir maka dianjurkan untuk TES ULANG dalam 1 bulan. Ulang tes dalam 1 bulan. Konseling cara menjaga agar tetap negatif ke depannya. Ulang tes dalam 1 bulan. Lakukan konseling hasil tes positif dan rujuk untuk mendapatkan paket layanan PDP. 5. Konseling Pasca Tes Konseling pasca tes membantu klien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes. Isi dari konseling paska tes tergantung dari hasil pemeriksaan HIV. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan hasil, berbagi informasi, menyediakan dukungan dan mendorong untuk perilaku seks yang aman di masa yang akan datang. Selalu pastikan kerahasiaan. Beritahu hasil secara terbuka dan dengan cara yang simpatik. Ketika seseorang mendapat hasil tes HIV reaktif, reaksi yang umum pada beberapa waktu yang berbeda bisa termasuk syok, marah, merasa bersalah dan depresi. Seseorang akan membutuhkan dukungan secara terus menerus. Konselor melakukan : a. Penjelasan hasil tes. b. Pembacaan hasil tes. c. Pemberian informasi selanjutnya. 72

88 d. Rujukan klien ke fasilitas layanan lain jika diperlukan. e. Diskusi strategi untuk menurunkan penularan HIV. Kunci utama dalam menyampaikan hasil tes: a. Periksa ulang seluruh hasil tes klien dalam data klien/catatan medik. Lakukan hal ini sebelum bertemu klien untuk memastikan kebenarannya. b. Sampaikan hasil hanya kepada klien secara tatap muka di ruang konseling. c. Seorang konselor tidak diperkenankan memberikan hasil pada siapapun di luar layanan kesehatan yang dibutuhkan klien tanpa seijin klien. d. Hasil tes tertulis tidak diberikan kepada klien/pasien. Jika klien memerlukan dapat diberikan salinannya dan dikeluarkan dengan tandatangan dokter. Bentuk dari konseling pasca tes tergantung dari hasil tes: a. Jika hasil tes antibodi HIV reaktif, konselor harus berusaha untuk menyampaikan hasil sedemikian rupa sehingga klien memahami arti hasil tes. Selanjutnya memberikan dukungan emosional dan membimbing klien untuk mengembangkan strategi-strategi mengatasi masalah. b. Jika hasil tes non reaktif, konseling tetap diperlukan untuk menekankan dan menjelaskan beberapa isu penting. Konselor dapat membimbing klien untuk membangun strategi berikutnya agar tes HIV dipertahankan tetap negatif. c. Jika klien kemungkinan berada dalam periode jendela, klien perlu diberi tahu tentang kebutuhan untuk mengikuti tes ulang pada tanggal dan bulan tertentu. Dasar keberhasilan konseling pasca tes dibangun pada saat konseling pra tes. Bila konseling pra tes berjalan baik maka dapat terbina hubungan baik antara konselor-klien. Dasar hubungan ini akan mempermudah untuk terjadinya perubahan perilaku di masa datang dan memungkinkan pendalaman akan masalah klien. Sangatlah diharapkan, konselor yang memberikan konseling pra tes dan konseling pasca tes adalah orang yang sama. 73

89 BAB VI PENGOBATAN KO-INFEKSI TB-HIV A. PRINSIP PENGOBATAN Kategori pengobatan TB tidak dipengaruhi oleh status HIV pada pasien TB tetapi mengikuti Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian TB (BPN PPTB). Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus diberikan segera sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB dapat ditoleransi dengan baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu. 1. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV Bila pasien belum dalam pengobatan ARV, pengobatan TB dapat segera dimulai. Jika pasien dalam pengobatan TB maka teruskan pengobatan TB-nya sampai dapat ditoleransi dan setelah itu diberi pengobatan ARV. Keputusan untuk memulai pengobatan ARV pada pasien dengan pengobatan TB sebaiknya dilakukan oleh dokter yang telah mendapat pelatihan tatalaksana pasien TB-HIV. 2. Pengobatan TB pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB dimulai minimal di RS yang petugasnya telah dilatih TB-HIV, untuk diatur rencana pengobatan TB bersama dengan pengobatan ARV (pengobatan ko-infeksi TB-HIV). Hal ini penting karena ada banyak kemungkinan masalah yang harus dipertimbangkan, antara lain: interaksi obat (Rifampisin dengan beberapa jenis obat ARV), gagal pengobatan ARV, IRIS atau perlu substitusi obat ARV. 74

90 Tabel 14. Memulai pengobatan TB pada ODHA di Puskesmas Kondisi Pasien TB-HIV yang dalam pengobatan ARV Tindakan Rujuk ke RS yang dapat memberikan layanan ARV untuk pengobatan ko-infeksi TB-HIV Pasien TB-HIV yang belum dalam pengobatan ARV Berikan pengobatan TB Rujuk ke RS yang dapat memberikan layanan ARV 3. Memulai pengobatan ARV pada pasien sedang dalam pengobatan TB Terapi ARV diberikan untuk semua ODHA yang menderita TB tanpa memandang jumlah CD4. Namun pengobatan TB tetap merupakan prioritas utama untuk pasien dan tidak boleh terganggu oleh terapi ARV. Seperti telah dijelaskan di atas, pengobatan ARV perlu dimulai meskipun pasien sedang dalam pengobatan TB. Perlu diingat, pengobatan TB di Indonesia selalu mengandung Rifampisin sehingga pasien dalam pengobatan TB dan mendapat pengobatan ARV bisa mengalami masalah interaksi obat dan efek samping obat yang serupa sehingga memperberat efek samping obat. Paduan pengobatan ARV yang mengandung Efavirenz (EFV) diberikan bila pengobatan ARV perlu dimulai pada pasien sedang dalam pengobatan TB. Di samping itu, ODHA dengan TB juga diberikan PPK. Jadi, jumlah obat yang digunakan bertambah banyak sehingga mungkin perlu beberapa perubahan dalam paduan ARV. Setiap perubahan tersebut harus dijelaskan secara seksama kepada pasien dan Pengawas Menelan Obat (PMO). Pada ODHA yang sedang dalam pengobatan ARV yang kemudian sakit TB maka pilihan paduan pengobatan ARV adalah seperti pada tabel di bawah ini: 75

91 Tabel 15. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB Paduan ARV Paduan ARV pada Saat TB Muncul Pilihan Terapi ARV Lini pertama 2 NRTI + EFV* Teruskan dengan 2 NRTI + EFV 2 NRTI + NVP** Ganti dengan EFV atau Teruskan dengan 2 NRTI + NVP. Triple NRTI dapat dipertimbangkan digunakan selama 3 bulan jika NVP dan EFV tidak dapat digunakan. Lini kedua 2 NRTI + PI/r Mengingat Rifampisin tidak dapat digunakan bersamaan dengan LPV/r, dianjurkan menggunakan paduan OAT tanpa Rifampisin. Jika Rifampisin perlu diberikan maka pilihan lain adalah menggunakan LPV/r dengan dosis 800 mg/200 mg dua kali sehari). Perlu evaluasi fungsi hati ketat jika menggunakan Rifampisin dan dosis ganda LPV/r Keterangan: *) EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan (risiko kelainan janin) sehingga penggunaan pada Wanita Usia Subur (WUS) harus mendapat perhatian khusus. Jika seorang ibu hamil trimester ke 2 atau ke 3 sakit TB, paduan ART yang mengandung EFV dapat dipikirkan untuk diberikan. **) Paduan yang mengandung NVP dapat digunakan bersama dengan paduan OAT yang mengandung Rifampisin, bila tidak ada alternatif lain. Pemberian NVP pada ODHA perempuan dengan jumlah CD4 > 250/mm3 harus hati-hati karena dapat menimbulkan gangguan fungsi hati yang lebih berat atau meningkatnya hipersensitifitas. Setelah pengobatan dengan Rifampisin selesai, NVP dapat diberikan kembali. Waktu mengganti kembali (substitusi) dari EFV ke NVP tidak diperlukan lead-in dose (langsung dosis penuh). Mengingat hal tersebut di atas, rencana pengobatan ko-infeksi TB-HIV seharusnya dilakukan minimal oleh dokter di RS yang telah dilatih TB-HIV. Pasien yang akan mendapat pengobatan ko-infeksi TB-HIV perlu diberi pengetahuan tentang efek samping pengobatan baik ringan maupun berat dan tindakan yang harus dilakukan selanjutnya. Petugas kesehatan di Puskesmas dapat melanjutkan pengobatan ko-infeksi TB-HIV setelah paduan pengobatan yang diberikan oleh dokter di RS dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien. 76

92 Seperti halnya pada semua pasien HIV, sebelum memulai pengobatan ARV perlu diberikan konseling kesiapan pasien untuk menerima pengobatan ARV dan implikasinya (pengobatan seumur hidup, kepatuhan pada pengobatan dan kemungkinan efek samping). Pada waktu memutuskan untuk memulai pengobatan ARV, penting juga difasilitasi untuk mendapatkan akses dukungan nutrisi, psikososial, keluarga dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) untuk menjamin kesinambungan perawatan dan pengobatan. Di bawah ini diberikan contoh pengobatan ko-infeksi TB-HIV: Contoh: Mulai pengobatan ARV segera setelah pengobatan TB ditoleransi. TB Tahap Awal Tahap Lanjutan HIV ART Kotrimosakzol Tahap Awal Pengobatan TB - sampai ditoleransi Sampai akhir Tahap Awal Selama Tahap Lanjutan Setelah pengobatan TB selesai (HRZE): (HRZE): (HR) 3 kali seminggu AZT+3TC (FDC) Pagi* AZT+3TC (FDC) AZT+3TC (FDC) Atau diganti dengan AZT+3TC (FDC) + NVP CTX: CTX: CTX: CTX: 77

93 Tahap Awal Pengobatan TB - sampai ditoleransi Sampai akhir Tahap Awal Selama Tahap Lanjutan Setelah pengobatan TB selesai AZT+3TC (FDC) +EFV AZT+3TC (FDC) +EFV AZT+3TC (FDC) Malam* Atau diganti dengan AZT+3TC (FDC) + NVP Catatan: * interval waktu pagi dan malam adalah 12 jam. Selama pengobatan ko-infeksi TB-HIV diperlukan dukungan terhadap kepatuhan pengobatan sebab banyaknya jumlah tablet yang harus ditelan, kemungkinan efek samping lebih banyak dan tumpang tindih serta dapat terjadi IRIS atau dikenal juga sebagai Sindroma Pulih Imun/SPI. Pada IRIS/SPI, gejala klinis TB bertambah buruk yang membuat pasien dan keluarga merasa tidak nyaman. Hal ini tidak berarti bahwa terjadi penurunan efektifitas obat TB sehingga pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan. Penjelasan ini harus diberikan kepada pasien dan selanjutnya pasien dirujuk ke klinik PDP untuk penanganan lebih lanjut. Pilihan NRTI: Sama untuk semua ODHA. Tidak ada interaksi obat antara NRTI dan Rifampisin. Pilihan NNRTI: EFV adalah pilihan pertama dari NNRTI. Kadar EFV dalam darah akan menurun bila diberikan bersama dengan Rifampisin. Dosis standar EFV adalah 600 mg per hari. Kadar NVP juga menurun bila diberikan bersama Rifampisin. Namun dianjurkan pemberian NVP tetap dengan dosis standar. Tetapi karena kemungkinan terdapatnya efek hepatotoksik, paduan berisi NVP hanya digunakan bila tidak ada alternatif lain terutama pada perempuan yang mendapat paduan OAT yang mengandung Rifampisin dengan jumlah CD4 > 250/mm3. 78

94 B. PENGOBATAN PENCEGAHAN KOTRIMOKSASOL (PPK) Beberapa IO pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder. Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita. Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas PPK dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidens infeksi oportunistik. Penyakit oportunistik yang risikonya dapat dicegah dengan PPK: Pneumonia Pneumocystis (PCP) dulu disebut Pneumocystis carinii pneumonia sekarang disebut Pneumonia Pneumocystis Jirovecii. Gejala yang timbul: sesak napas bila beraktivitas, batuk kering, demam dan hipoksemia (kadar oksigen dalam darah menurun). Prognosis sering kali buruk. Abses otak toksoplasmosis: penyakit ini menyebabkan hemiparesis (kelemahan atau kelumpuhan satu sisi tubuh) disertai sakit kepala dan demam. Pneumonia yang disebabkan oleh S. pneumoniae. Isospora belli: tipe mikroorganisme yang menyebabkan diare kronik yang disertai dengan penurunan berat badan. Salmonella sp.: gejala gastrointestinal dan demam. Malaria. 79

95 Tabel 16. Pemberian Kotrimoksasol sebagai profilaksis primer Indikasi Saat penghentian Dosis Pemantauan Bila tidak tersedia pemeriksaan jumlah sel CD4, semua pasien diberikan Kotrimoksasol segera setelah dinyatakan HIV positif Bila tersedia pemeriksaan jumlah sel CD4 dan terjangkau, kotrimoksasol diberikan pada pasien dengan jumlah CD4 < 200 sel/mm3 2 tahun setelah penggunaan kotrimoksasol jika mendapatkan ARV Bila sel CD4 naik > 200 sel/mm3 pada pemeriksaan dua kali interval 6 bulan berturut-turut jika mendapatkan ARV 960 mg/ hari dosis tunggal Efek samping berupa tanda hipersensitivitas seperti demam, rash, sindrom Steven Johnson, tanda penekanan sumsum tulang seperti anemia, trombositopenia, leukopenia, pansitopenia Interaksi obat dengan ARV dan obat lain yang digunakan dalam pengobatan penyakit terkait HIV Semua bayi lahir dari ibu hamil HIV positif berusia 6 minggu Dihentikan pada usia 18 bulan dengan hasil test HIV negatif Jika test HIV positif dihentikan pada usia 18 bulan jika mendapatkan terapi ARV Trimetropim 8 10 mg/kg BB dosis tunggal ODHA yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3; dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal tersebut berguna untuk 1) tes kepatuhan pasien dalam minum obat dan 2) menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol. 80

96 Desensitisasi Kotrimoksasol Dalam keadaan terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap Kotrimoksasol dan kemudian akan memulai lagi maka perlu dilakukan desensitisasi obat. Angka keberhasilan desensitisasi kotrimoksasol cukup tinggi yaitu 70% ODHA yang pernah mengalami reaksi alergi yang ringan hingga sedang. Desensitisasi jangan dicobakan pada ODHA dengan riwayat mengalami reaksi alergi yang berat (derajat hipersensitivitas 3 atau 4), berarti ODHA tidak memperoleh terapi profilaksis. Untuk itu perlu pengawasan ketat sebelum timbul infeksi oportunistik terkait dan mulai pemberian ARV untuk mencegah pasien masuk dalam fase lanjut. Tabel 17. Protokol desensitisasi kotrimoksasol Langkah Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Dosis 80 mg SMX + 16 mg TMP (2 ml sirup) 160 mg SMX + 32 mg TMP (4 ml sirup) 240 mg SMX + 48 mg TMP (6 ml sirup) 320 mg SMX + 64 mg TMP (8 ml sirup) 1 tablet dewasa SMX - TMP (400 mg SMX + 80 mg TMP) 2 tablet dewasa SMX - TMP atau 1 tablet forte (800 mg SMX mg TMP Keterangan: Setiap 5 ml sirup Kotrimoksasol mengandung 200 mg SMX + 40 mg TMP Selain protokol desensitisasi tersebut, terdapat desensitisasi cepat kotrimoksasol yang dapat dilakukan dalam waktu 5 jam (dilakukan pada pasien rawat jalan) dengan protokol sebagai berikut: Tabel 18. Protokol desensitisasi cepat kotrimoksasol. Waktu (jam) Dosis (TMP/SMX) Dilusi (Pengenceran) 0 0,004/0,02mg 1: (5mL) 1 0,04/0,2mg 1:1.000 (5 ml) 2 0,4/2mg 1:100 (5mL) 3 4/20mg 1:10 (5 ml) 4 40/200mg Tidak diencerkan (5mL) 5 160/800mg 1 tablet forte 81

97 C. EFEK SAMPING DAN INTERAKSI OBAT (OAT DAN ARV) 1. Mengenal dan Menangani Efek Samping OAT Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu, pemantuan kemungkinan terjadinya efeksamping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Petugas kesehatan dapat mengenal efek samping obat melalui: Penjelasan kepada pasien gejala efek samping sehingga pasien dapat segera melapor bila terjadi efek samping OAT. Melihat dan menanyakan terdapatnya tanda dan gejala efek samping pada waktu pasien mengambil OAT. 2. Efek samping OAT Efek samping ringan yaitu efek samping yang menyebabkan perasaan tidak nyaman. Gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat simptomatik atau obat sederhana tetapi kadang menetap untuk beberapa waktu selama pengobatan. Dalam hal ini, pemberian OAT diteruskan. Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat mengancam jiwa pasien sampai fatal. Pada pasien dengan efek samping berat, pemberian OAT harus dihentikan. Tabel di bawah ini menjelaskan tatalaksana efek samping dengan pendekatan gejala untuk pasien TB yang tidak dalam pengobatan ARV. Tabel 19. Tatalaksana efek samping ringan untuk pasien TB yang tidak dalam pengobatan ARV Efek Samping Penyebab Penanganan Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut INH, Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur, atau sesudah makan Nyeri sendi Pirasinamid Beri aspirin atau parasetamol Kesemutan sampai rasa terbakar di kaki Warna kemerahan pada air seni (urine) INH Rifampisin Beri vitamin B6 (piridoksin) 100mg per hari Jelaskan ke pasien bahwa itu tidak berbahaya hanya warna dari obat. 82

98 Tabel 20. Tatalaksana efek samping berat untuk pasien TB yang tidak dalam pengobatan ARV Efek Samping Penyebab Penanganan Gatal dan kemerahan kulit*) Semua jenis OAT Ikuti petunjuk penatalaksanaan di bawah *) Tuli/gangguan pendengaran, Gangguan keseimbangan Streptomisin Hentikan streptomisin Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OAT Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang Muntah**) berulang (permulaan ikterus karena obat) Hampir semua obat Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin Catatan: *) Penatalaksanaan pasien dengan efek samping gatal dan kemerahan kulit : Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan antihistamin sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal tersebut pada sebagian pasien hilang namun pada sebagian pasien terjadi kemerahan kulit. Bila terjadi keadaan seperti ini maka hentikan semua OAT dan tunggu sampai kemerahan kulit hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat maka pasien perlu dirujuk **) Muntah berulang harus segara dirujuk ke RS spesialistik. Muntah dengan gangguan kesadaran merupakan masalah serius karena itu adalah tanda dari gagal hati (liver failure). Di Fasyankes rujukan (RS spesialistik) penanganan pasien efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui maka pemberian kembali OAT harus dengan cara drug challenging yaitu dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat yang merupakan penyebab efek samping tersebut. Bila jenis obat penyebab efek samping diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin maka pengobatan TB dapat dilanjutkan tanpa obat tersebut. Lamanya pengobatan perlu diperpanjang untuk menurunkan risiko terjadinya kambuh. Kadang-kadang, pada pasien terjadi reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap INH atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT utama dalam pengobatan TB jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap INH atau Rifampisin tersebut HIV negatif, dapat dilakukan desensitisasi. 83

99 Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat. Desensitisasi tidak dianjurkan dilakukan di Puskesmas. Efek samping utama Streptomisin adalah: Kerusakan nervus kranialis VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan pertama dengan gejala telinga berdenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Risiko ini lebih meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin. Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi, berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai dengan sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Hentikan pengobatan dan segera rujuk pasien ke RS spesialistik. Pada pasien yang menerima pengobatan ko-infeksi TB-HIV, penanganan efek samping obat dijelaskan pada tabel di bawah ini: Tabel 21. Tatalaksana Efek Samping Obat pada pasien dengan pengobatan ko-infeksi TB-HIV Tanda / Gejala Anoreksia, mual dan nyeri perut Nyeri sendi Rasa kesemutan pada kaki Kencing warna kemerahan / oranye Tatalaksana Telan obat setelah makan. Jika paduan obat ARV mengandung ZDV, jelaskan kepada pasien bahwa gejala ini akan hilang sendiri. Atasi keluhan secara simptomatis. Tablet INH dapat diberikan malam sebelum tidur. Makanan yang dianjurkan adalah makanan lunak, porsi kecil dan frekuensinya sering. Beri analgetik, misalnya aspirin atau parasetamol. Efek ini jeias dijumpai bila INH diberi bersama ddi atau d4t, substitusi ddl atau d4t sesuai pedoman. Berikan tambahan tablet vitamin B6 (piridoksin) 100 mg per hari. Jika tidak berhasil, gunakan amitriptilin atau rujuk ke RS spesialistik. Jelaskan pada pasien bahwa itu adalah warna obat, jadi tidak berbahaya. 84

100 Tanda / Gejala Sakit kepala Diare Kelelahan Tegang, mimpi-buruk Kuku kebiruan/ kehitaman Perubahan dalam distribusi lemak Gatal atau ruam kulit Gangguan pendengaran/ keseimbangan Ikterus Tatalaksana Beri analgetik (misalnya aspirin atau parasetamol). Periksa tanda-tanda meningitis. Bila dalam pengobatan dengan ZDV atau EFV, jelaskan bahwa ini biasa terjadi dan biasanya hilang sendiri. Berikan EFV pada malam hari. Jika sakit kepala menetap lebih dari 2 minggu atau memburuk, pasien dirujuk. Beri oralit atau cairan pengganti dan ikuti petunjuk penanganan diare. Yakinkan pada pasien bahwa kalau disebabkan oleh obat ARV itu akan membaik setelah beberapa minggu. Pantau dalam 2 minggu, kalau belum membaik, pasien dirujuk Pikirkan anemi terutama bila paduan obat mengandung ZDV. Periksa hemoglobin. Kelelahan biasanya berlangsung selama 4 6 minggu setelah ZDV dimulai. Jika berat atau berlanjut (lebih dari 4-6 minggu), pasien dirujuk. Ini mungkin disebabkan oleh EFV. Lakukan konseling dan dukungan (biasanya efek samping berakhir kurang dari 3 minggu). Rujuk pasien jika depresi berat, usaha bunuh diri atau psikosis. Masa sulit pertama biasanya dapat diatasi dengan amitriptilin pada malam hari. Yakinkan pasien bahwa hal ini biasa terjadi pada pengobatan dengan AZT. Diskusikan dengan pasien, apakah dia dapat menerima kenyataan ini, karena hal ini tidak bisa disembuhkan. Ini merupakan salah satu efek samping dari d4t. Oleh sebab itu, jika tidak terjadi efek samping setelah 2 tahun pengobatan d4t, lakukan substitusi d4t dengan TDF Jika menyeluruh atau mengelupas, stop obat TB dan obat ARV dan pasien dirujuk. Jika dalam pengobatan dengan NVP, periksa dengan teliti: apakah lesi nya kering (kemungkinan alergi) atau basah (kemungkinan Steven Johnson Syndrom). Mintalah pendapat ahli Hentikan streptomisin, kalau perlu rujuk ke unit DOTS (TB). Lakukan pemeriksaan fungsi hati, hentikan OAT dan obat ARV. Mintalah pendapat ahli atau pasien dirujuk 85

101 Tanda / Gejala Ikterus dan nyeri perut Muntah berulang Penglihatan berkurang Demam Pucat, anemi Batuk atau kesulitan bernapas Limfadenopati Tatalaksana Hentikan OAT dan obat ARV dan periksa fungsi hati (bila tersedia sarana). Mintalah pendapat ahli atau pasien dirujuk. Nyeri perut mungkin karena pankreatitis disebabkan oleh ddi atau d4t. Periksa penyebab muntah, lakukan pemeriksaan fungsi hati. Kalau terjadi hepatotoksik, hentikan OAT dan obat ARV, mintalah pendapat ahli atau pasien dirujuk. Hentikan etambutol, mintalah pendapat ahli atau pasien dirujuk Periksa penyebab demam, mungkin karena efek samping obat, IO atau infeksi baru atau IRIS/SPI*. Beri parasetamol dan mintalah pendapat ahli atau pasien dirujuk. Ukur kadar hemoglobin dan singkirkan IO. Bila pucat sekali atau kadar Hb sangat rendah (< 8 gr/dl; < 7gr/dL pada ibu hamil), pasien dirujuk (dan stop ZDV/diganti d4t). Mungkin SPI* atau suatu IO. Mintalah pendapat ahli. Mungkin SPI* atau suatu IO. Mintalah pendapat ahli. Catatan: *) SPI adalah singkatan dari Sindroma Pulih Imun (Immune Reconstitution Inflamatory Syndrom = IRIS) 99 Contoh tersering dari manifestasi SPI adalah herpes zoster atau TB, yang segera terjadi setelah dimulai obat ARV 99 Mintalah pendapat ahli atau rujuk pasien untuk penanganannya. 3. Desensitisasi pengobatan TB-HIV Jarang sekali pasien bereaksi hipersensitif terhadap dua OAT yang terkuat, yaitu INH dan Rifampisin. Kedua obat ini merupakan obat dasar pengobatan jangka pendek. Jika pasien HIV negatif menunjukkan reaksi (tetapi bukan reaksi berat) terhadap isoniazid atau rifampisin maka dapat dilakukan desensitisasi pasien terhadap obat tersebut. Namun, perlu pertimbangan khusus untuk desensitisasi pada pasien TB-HIV karena berisiko tinggi untuk terjadi efek samping serius. Oleh karena itu, desensitisasi harus dilakukan di fasyankes (rawat inap di RS) yang mempunyai fasilitas penanganan gawat darurat. 86

102 Cara desensitisasi berikut mungkin dapat digunakan. Mulai desensitisasi dengan memberi obat sebesar sepersepuluh dosis normal. Kemudian tingkatkan sepersepuluh dosis setiap hari, sampai mencapai dosis penuh pada hari ke sepuluh. Setelah selesai desensitisasi, berikan obat tersebut sebagai bagian dari paduan pengobatan biasa. Bila mungkin, selama desensitisasi berikan pasien tersebut dua macam OAT yang belum pernah didapatnya. Hal ini untuk mengurangi risiko terjadi resistensi obat selama desensitisasi. D. MEMANTAU KEMAJUAN PENGOBATAN TB-HIV PADA ORANG DEWASA 1. Monitoring Pasien dalam Terapi Antiretroviral a. Monitoring klinis Frekuensi monitoring klinis tergantung dari respons ART. Sebagai batasan minimal, monitoring klinis perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai ART dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil. Setiap kunjungan dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi bakterial, kandidiasis dan atau IO lainnya) ditambah konseling untuk membantu pasien memahami ART dan dukungan kepatuhan. b. Monitoring laboratorium Direkomendasikan untuk melakukan monitoring CD4 secara rutin setiap 6 bulan atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC = total lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk digunakan memonitor terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi. Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia. Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan tetapi bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara sel/mm3 maka perlu dilakukan monitoring enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai ART (bila memungkinkan) maka dilanjutkan dengan monitoring berdasarkan gejala klinis. Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF. Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada beberapa pasien yang mendapatkan NRTI terutama d4t atau ddi. Tidak direkomendasi untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara rutin, hanya bila pasien menunjukkan tanda dan gejala yang mengarah pada asidosis laktat. Diharapkan terdapatnya sarana pemeriksaan kadar asam laktat di RS rujukan. 87

103 Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi metabolisme glukosa dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan monitoring kimia serum secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk dilakukan atas dasar tanda dan gejala. Pengukuran Viral Load (VL = HIV RNA) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk memonitor pasien dalam ART dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan pasien. Pemeriksaan HIV DNA perlu dipertimbangkan untuk diagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan HIV di usia di bawah 18 bulan. Untuk dewasa, pemeriksaan VL digunakan untuk membantu diagnosis gagal terapi. Hasil VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan hanya menggunakan monitoring klinis dan pemeriksaan jumlah CD4. c. Monitoring lain Enam bulan sejak memulai ART merupakan masa yang kritis dan penting. Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi perbaikan klinis dan imunologis, kadang terjadi toksisitas obat. Selain itu bisa juga terjadi suatu SPI. Pada keadaan tersebut, pasien seolah-olah mengalami perburukan klinis yang sebetulnya merupakan suatu keadaan pemulihan respons imunitas (yang kadang sampai menimbulkan gejala peradangan/inflamasi berlebihan). Sindrom Pulih Imun adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons inflamasi berlebihan pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian terapi antiretroviral. Sindrom pulih imun mempunyai manifestasi dalam bentuk penyakit infeksi maupun non infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini didefinisikan sebagai timbulnya manifestasi klinis atau perburukan infeksi akibat perbaikan respons imun spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik terhadap ARV. Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari organisme penyebab. Organisme yang paling sering menyebabkan IRIS adalah M.tuberculosis, M.avium, Cryptococcus neoformans dan Cytomegalovirus. Manifestasi klinis IRIS yang utama adalah: a. Munculnya lagi gejala penyakit infeksi yang pernah ada sebelumnya dan telah teratasi infeksinya, penyebab terbanyak adalah TB. b. Munculnya infeksi yang sebelumnya asimtomatik, umumnya disebabkan oleh M.avium, jarang oleh M.tuberculosis. c. Penyakit autoimun dan inflamasi seperti sarkoidosis. Gejala klinis IRIS bersifat sementara misalnya demam, limfadenopati yang bertambah, tuberkuloma intraserebral menjadi muncul kembali, efusi pleura, sindrom distress pernapasan, infeksi subklinis menjadi manifest atau gejala klinis memburuk pada pengobatan TB yang adekuat. Perburukan klinis TB pada pemberian ARV selain disebabkan oleh IRIS, dapat pula disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap antigen M.tuberculosis yang mati. Hal ini bukan suatu kegagalan pengobatan dan bersifat sementara. IRIS dapat juga disebabkan oleh mikobakteria atipik, PCP, Varicella zoster, virus herpes simplex. Beberapa kriteria yang mendukung diagnosis IRIS pada TB-HIV (3 dari kriteria sebagai berikut): a. Manifestasi klinis atipikal setelah ARV mulai diberikan. 88

104 b. Viral load 1 log10 per ml. c. CD4 meningkat. d. Bukan TB relaps atau resisten OAT. e. Bukan karena ketidakpatuhan minum obat. f. Bukan akibat efek samping obat. g. Bukan karena infeksi lain atau keadaan lain karena HIV. Tabel 22. Penyakit infeksi dan non infeksi penyebab SPI pada ODHA Penyakit Infeksi Penyakit non Infeksi Mycobacteria Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium avium complex Mycobacteria lainnya Cytomegalovirus Herpes viruses Guillain- Barre syndrome Herpes zoster Herpes simpleks Sarkoma Kaposi s Cryptococcus neoformans Pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP) Histoplasmosis capsulatum Toksoplasmosis Hepatitis B Hepatitis C Leukoensefalitis multifokal progresif Parvovirus B19 [110] Strongyloides stercoralis infection Infeksi parasit lainnya Molluscum contagiosum & kutil genital Sinusitis Folikulitis Penyakit rematologi/ otoimun Artritis rematoid Systemic lupus erythematosus (SLE) Graves disease Penyakit tiroid otoimun Sarkoidosis & reaksi granulomatus Tinta tato Limfoma terkait AIDS Guillain-Barre syndrome Pneumonitis limfoid intersisial Sumber : Murdoch D. Immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS): review of common infectious manifestations and treatment options. AIDS Research and Therapy 2007, 4:9 doi: / Gejala yang muncul dan terkait dengan TB antara lain demam, pembesaran limfonodi, infiltrat meluas, distres pernapasan, nyeri kepala berat dan paralisis. Bila terjadi IRIS maka pemberian obat-obatan OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) seperti Ibuprofen akan sangat membantu bila kasusnya ringan. Pemberian kortikosteroid seperti Prednison dapat diberikan bila kasusnya berat. Dosis Prednison adalah 0,5mg/kgBB yang diberikan selama 21 hari. Tidak disarankan untuk menghentikan ART tanpa berkonsultasi kepada dokter spesialis di unit layanan HIV yang ada di RS. 89

105 Tabel 23. Gejala dan Penanganan IRIS Gejala Penanganan Demam Batuk yang memburuk dan sesak napas Nyeri kepala hebat, Paralisis Pembesaran kelenjar limfe Distensi Abdominal Pemberian Ibuprofen Pemberian Prednison Curiga terjadi meningitis, lakukan pungsi lumbal Teruskan pemberian OAT dan ART Pemberian Prednison, bila sangat parah maka dipertimbangkan penghentian ART 2. Pemantauan Pemulihan jumlah sel CD4 Dengan dimulainya ART, sebagian besar pasien akan menunjukkan peningkatan jumlah sel CD4 dan akan berlanjut bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Kadang keadaan tersebut tidak terjadi terutama pada pasien dengan jumlah sel CD4 yang sangat rendah pada saat mulai terapi. Meskipun demikian, pasien dengan jumlah sel CD4 yang sangat rendah tetap dapat mencapai pemulihan imun yang bagus tetapi kadang memerlukan waktu yang lebih lama. Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah sel CD4 > 100 sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah sel CD4 yang tinggi tetapi kemudian turun secara progresif (turun lebih dari ½ nilai tertinggi atau kembali ke jumlah awal sel CD4) tanpa ada penyakit/kondisi medis lain maka perlu dicurigai terdapatnya keadaan gagal imunologis. Data jumlah CD4 saat mulai ART dan perkembangan CD4 yang dievaluasi tiap 6 bulan sangat diperlukan untuk menentukan terdapatnya kegagalan imunologis. Pada sebagian kecil pasien dengan stadium lanjut dan jumlah CD4 yang rendah pada saat mulai ART, jumlah CD4 tidak meningkat atau sedikit turun meski terjadi perbaikan klinis. 90

106 Tabel 24. Pemantauan klinis dan laboratorium yang dianjurkan selama pemberian paduan ARV Lini Pertama Evaluasi Minggu ke 2 Minggu ke 4 Minggu ke 8 Minggu ke 12 Minggu ke 24 Setiap 6 bulan Jika diperlukan (tergantung gejala) Klinis Evaluasi klinis Berat badan Penggunaan obat lain Cek kepatuhan (adherence) Laboratorium Tes antibodi HIV [a] CD4 Hb [b] Tes kehamilan [c][d] VDRL/RPR Kimia darah Asam laktat serum Viral load (RNA)[e] Keterangan: [a] Hasil tes HIV (+) yang tercatat (meskipun sudah lama) sudah cukup untuk dasar memulai terapi ARV. Bila tidak ada dokumen tertulis, dianjurkan untuk dilakukan tes HIV sebelum memulai terapi ARV. [b] Bagi pasien yang mendapat AZT: perlu di periksa kadar hemoglobin sebelum terapi AZT dan pada minggu ke 4, 8 dan 12, dan bila diperlukan (misal ada tanda dan gejala anemia atau terdapatnya obat lain yang bisa menyebabkan anemia). [c] Lakukan tes kehamilan sebelum memberikan EFV pada ODHA perempuan usia subur. Bila hasil tes positif dan kehamilan pada trimester pertama maka jangan diberi EFV. [d] Bila hasil tes kehamilan positif pada perempuan yang sudah terlanjur mendapatkan EFV maka segera ganti dengan paduan yang tidak mengandung EFV. [e] Pengukuran viral load (HIV RNA) tidak dianjurkan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk memulai terapi ARV atau sebagai alat pemantau respons pengobatan pada saat tersebut. Dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis dini terdapatnya kegagalan terapi atau menilai terdapatnya ketidaksesuaian antara hasil CD4 dan keadaan klinis dari pasien yang diduga mengalami kegagalan terapi ARV. 91

107 E. PENGOBATAN PASIEN KO-INFEKSI TB MDR DAN HIV Kegiatan kolaborasi TB-HIV yang dilaksanakan di Indonesia diterapkan juga pada kegiatan Programmatic Management Drug-resistance Tuberculosis (PMDT) untuk memberikan layanan pengobatan pada pasien ko-infeksi TB MDR dan HIV. Adaptasi kegiatan kolaborasi TB-HIV dalam kerangka kerja PMDT di Indonesia dapat diwujudkan ke dalam kerangka kerja sebagai berikut : a) Upaya memperkuat kolaborasi TB-HIV harus dilakukan terlebih dahulu sebelum memulai penanganan ko-infeksi TB MDR dan HIV. b) Melaksanakan kegiatan Provider initiative testing and counseling (PITC) pada semua suspek TB MDR yang status HIV-nya belum diketahui. c) Penggunaan standar alur dari WHO untuk menetapkan diagnosis TB pada pasien HIV. d) Pemeriksaan dahak dengan rapid test untuk TB bila tersedia. e) Melakukan uji kepekaan (Drug Susceptibility Testing/DST) M.tuberculosis terhadap pasien koinfeksi TB HIV yang hasil pemeriksaan rapid test menunjukkan hasil positif TB. f) Melakukan kegiatan surveilens resistensi terhadap OAT yang melibatkan pula populasi pasien dengan HIV positif. g) Pemberian ART sesegera mungkin setelah OAT TB MDR bisa ditoleransi (sekitar 2-8 minggu). h) Mempertimbangkan pemberian pengobatan standar TB MDR bagi pasien HIV yang hasil uji kepekaan M.tuberculosis dengan metode rapid test menunjukkan resistensi tanpa menunggu konfirmasi metode konvensional. i) Pemberian PPK. j) Pengobatan Profilaksis Kotrimoksasol sangat direkomendasikan untuk diberikan kepada pasien HIV dengan TB aktif sebagai bagian dari manajemen komprehensif pasien HIV. Belum ada laporan mengenai interaksi antara kotrimoksasol dengan OAT yang dipakai dalam pengobatan TB MDR. Tetapi dapat dipastikan akan muncul overlapping toksisitas antara ART, PPK dan OAT TB MDR sehingga monitoring efek yang tidak diinginkan (adverse drug reaction) harus mendapat perhatian khusus. k) Untuk menangani pasien ko-infeksi TB MDR dan HIV maka Tim Ahli Klinis (TAK) sejak awal harus melibatkan ahli yang memahami manajemen pasien HIV terutama pada manajemen efek samping, monitoring kondisi pasien dan penilaian respons pengobatan. l) Pemberian dukungan kepada pasien ko-infeksi TB MDR dan HIV mengikuti skema serta mekanisme yang sudah berjalan di program HIV. m) Upaya PPI TB yang terpadu dan efektif harus dilaksanakan baik di sarana pelayanan TB MDR maupun di sarana pelayanan HIV. n) Keterlibatan semua pemangku kepentingan (stakeholder) dalam jejaring pengendalian TB MDR dan HIV. Internal Fasyankes : Unit PMDT tidak dapat bekerja sendiri untuk penanganan pasien TB MDR/HIV ataupun pasien TB MDR yang dicurigai HIV. Harus ada kerja sama yang baik antara unit PMDT dan Unit HIV. 92

108 Eksternal Fasyankes : Badan koordinasi yang selama ini terlibat dalam kolaborasi TB-HIV juga harus diikutsertakan dalam penanganan kasus TB MDR/HIV. Keterlibatan dan kemitraan dengan unsur masyarakat dan LSM peduli TB dan HIV juga perlu dikembangkan. 1. Diagnosis ko-infeksi TB MDR dan HIV a. Tes HIV bagi pasien TB MDR Semua pasien TB MDR terkonfirmasi yang status HIV-nya belum diketahui akan ditawari untuk menjalani pemeriksaan HIV sesuai konsep KTIPK. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan besarnya kemungkinan kegagalan pengobatan TB MDR bila ternyata juga mengalami ko-infeksi HIV yang tidak diketahui. b. Uji kepekaan M.tuberculosis bagi ODHA Semua ODHA dengan ko-infeksi TB adalah suspek TB MDR, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan uji kepekaan. Catatan : Gambar 6. Algoritma diagnosis MDR TB pada ODHA Bila fasilitas tersedia maka ODHA yang dicurigai menderita TB juga akan menjalani pemeriksaan rapid diagnostic TB misalnya menggunakan GeneXpert. Pemeriksaan tersebut selain mendeteksi terdapatnya M.tuberculosis juga mengetahui resistensi terhadap Rifampisin, bila hasilnya positif M.tuberculosis dan resisten rifampisin maka pasien akan ditatalaksana dengan pengobatan standar TB MDR. \ 93

109 2. Persiapan Pengobatan Ko-infeksi TB MDR dan HIV Evaluasi tambahan yang harus dilakukan sebagai persiapan pengobatan untuk ODHA yang terkonfirmasi TB MDR adalah : a) Detail mengenai riwayat penyakit TB termasuk terapi yang pernah didapatkan, lama pengobatan dan hasil pengobatan TB. b) Detail mengenai riwayat penyakit HIV, termasuk IO yang pernah dialami dan penyakit lain terkait HIV yang pernah dialami. c) Data pemeriksaan CD4 terkini dan viral load (bila ada). d) Riwayat penggunaan ART. e) Riwayat rawat inap, tinggal di congregate setting (penjara, asrama, barak militer) atau kontak dekat dengan pasien TB MDR yang terkonfirmasi. f) Pemeriksaan fisis yang menjadi bagian dari evaluasi awal harus difokuskan pada upaya mencari tanda terdapatnya imunosupresi, melakukan penilaian mengenai status nutrisi dan neurologis pasien serta mencari tanda terdapatnya penyakit TB ekstra paru. Sebelum memulai pengobatan TB MDR pada pasien dengan status HIV positif maka dilakukan pemeriksaan baseline standar dengan ditambahkan pemeriksaan khusus yaitu : Pemeriksaan CD4. Pemeriksaan Viral load (bila ada fasilitas dan kemampuan ekonomi). Pemeriksaan penapisan siphilis. Pemeriksaan serologi Hepatitis B dan C. 3. Pengobatan Ko-infeksi TB MDR dan HIV Pada dasarnya prinsip pengobatan pasien ko-infeksi TB MDR dan HIV tidak berbeda dengan pengobatan TB MDR pada pasien bukan HIV. Tetapi ada beberapa prinsip dasar yang harus diingat dan diaplikasikan dalam pengobatan kasus TB MDR/HIV yaitu : a) Semua ODHA dengan gejala TB harus mendapatkan PPK dengan tujuan untuk mencegah infeksi bakteri, PCP, Toksoplasmosis, Pnemonia dan Malaria. b) ART bukan alasan untuk menunda pengobatan TB MDR. Pemberian ART sangat penting pada pasien TB MDR dengan HIV positif. Bila ART tak diberikan angka kematian sangat tinggi sekitar %. c) Bila ART belum diberikan maka ART harus segera diberikan secepatnya setelah pengobatan TB MDR dapat ditoleransi (sekitar 2-8 minggu). d) Paduan ART yang direkomendasikan untuk pasien TB MDR adalah ART lini pertama : AZT-3TC-EFV, atau ART lini kedua : TDF-3TC-LPV/r. 94

110 e) OAT TB MDR yang diberikan adalah paduan standar yaitu Km-Lfx-Eto-Cs-Z-(E). Paduan OAT dapat disesuaikan dengan hasil DST. f) Untuk mengurangi kemungkinan efek samping maka direkomendasikan pemberian obat dengan dosis terbagi (obat yang memungkinkan : etionamid, sikloserin dan PAS). g) Pengawasan menelan obat baik untuk ART dan OAT harus dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aturan minum obat maupun faktor interaksi obat. Untuk ART diminum sesuai mekanisme yang sudah ada. Untuk OAT MDR yang diminum pagi hari diberikan di depan petugas Fasyankes. Konseling kepatuhan sebelum dan selama minum obat harus diperkuat. h) Efek samping akan bertambah dengan pemberian ART secara bersamaan dengan OAT MDR. Perlu monitoring lebih ketat baik untuk efek samping maupun respons pengobatan. i) Kemungkinan terjadinya SPI bisa menambah kompleksitas terapi. a. Pengobatan ko-infeksi TB MDR dan HIV yang belum mendapatkan ART Pemberian ART pada ODHA dengan TB terbukti meningkatkan kemungkinan bertahan hidup baik untuk pasien TB biasa maupun TB yang sudah kebal terhadap OAT. Namun kemungkinan terjadi efek samping yang berat akan meningkat bila pemberian ART dan OAT dimulai pada saat yang bersamaan. Penundaan pemberian ART bisa meningkatkan risiko kematian pada ODHA terutama pada stadium lanjut. Rekomendasi pemberian ART pada pasien TB MDR setelah OAT MDR ditoleransi sekitar 2-8 minggu. b. Pengobatan ko-infeksi TB MDR dan HIV yang sudah mendapatkan ART Bila pengobatan TB MDR akan dimulai sementara pasien tersebut sudah mendapatkan ART yaitu: a) Perlu dipertimbangkan modifikasi paduan ART yang diberikan, mengingat interaksi antar obat dan kemungkinan terjadinya overlapping toksisitas obat. b) Perlu dipastikan apakah munculnya TB MDR menunjukkan kegagalan pengobatan ART sebelumnya. Bila hasil analisa menunjukkan terjadi kegagalan pengobatan ART maka tidak direkomendasikan untuk memulai pengobatan baru menggunakan ART lini kedua pada waktu yang bersamaan dengan dimulainya pengobatan TB MDR. Untuk situasi ini direkomendasikan untuk meneruskan paduan ART yang telah didapat dan melakukan perubahan paduan menggunakan ART lini kedua sekitar 2-8 minggu setelah pengobatan TB MDR dimulai. c. Contoh pemberian OAT TB MDR dan ART Kasus Mr. X: Mr. X adalah pasien TB MDR/HIV yang akan menjalani pengobatan dengan OAT TB MDR dan akan mendapatkan ART begitu pengobatan TB MDR bisa ditoleransi. Pasien juga akan mendapatkan 95

111 PPK. Berat badan Mr.X adalah 60 kg. Paduan OAT TB MDR yang didapatkan adalah: OAT MDR : Kapreomisin 1000mg (1 1gr) Levofloksasin 1000mg (4 250mg) Etionamid 750mg (3 250mg) Sikloserin 750mg (3 250mg) Pirazinamid 1750mg (3,5 500mg) PAS 8gr (2 4gr) Piridoksin 150 mg (3 50mg) ART : AZT-3TC : 2 300mg ZDV+150mg 3TC -EFZ : 1 tab 600mg PPK : 1 tab kotrimoksasol double strength ( 960mg) Maka pengaturan pengobatan Mr.X adalah sebagai berikut : TB MDR HIV PPK 2-8 mgg OAT MDR sampai ditoleransi OAT Tahap Awal Sampai akhir tahap awal Kotrimoksasol OAT Tahap Lanjutan ART Tahap lanjutan sampai selesai Setelah OAT MDR selesai Pagi Selisih 12 Jam CM : 1 vial Lfx : 4 tab Eto : 1 tab Cs : 1 tab Z : 3,5 tab PAS : 1 sac CM : 1 vial Lfx : 4 tab Eto : 1 tab Cs : 1 tab Z : 3,5 tab PAS : 1 sac CXT : 1 tab AZT-3TC : 1 tab Lfx : 4 tab Eto : 1 tab Cs : 1 tab Z : 3,5 tab PAS : 1 sac CXT : 1 tab AZT-3TC : 1 tab CXT : 1 tab AZT-3TC : 1 tab Malam Eto : 2 tab Cs : 2 tab PAS : 1 sac B6 : 3 tab Eto : 2 tab Cs : 2 tab PAS : 1 sac B6 : 3 tab AZT-3TC : 1 tab EFV : 1 tab Eto : 2 tab Cs : 2 tab PAS : 1 sac B6 : 3 tab AZT-3TC : 1 tab EFV : 1 tab AZT-3TC : 1 tab EFZ : 1 tab 96

112 4. Potensi interaksi obat antara OAT MDR dan ART yang dipakai di Indonesia a. Etionamid dengan ART Etionamid dimetabolisme oleh sitokrom P450, sebagaimana juga pada beberapa jenis ART sehingga diduga terjadi interaksi obat. Mengingat masih terbatasnya informasi mengenai hal tersebut terutama mengenai enzim mana yang berperan maka belum dapat dipastikan apakah etionamid ataukah ART yang harus mengalami penyesuaian dosis. b. Klaritromisin dengan Ritonavir dan Nevirapine/Efavirenz Klaritromisin merupakan golongan OAT grup lima yang kemungkinan akan dipakai dalam pengobatan TB XDR. Obat ini merupakan substrat dan inhibitor enzim CYP3A serta memiliki interaksi ganda dengan Protease Inhibitor (ritonavir) dan NNRTI (nevirapine, efavirenz). Pemberian klaritromisin dengan ritonavir akan meningkatkan kadar klaritromisin dalam darah meskipun hanya pada pasien dengan klirens kreatinin < 60ml/menit yang memerlukan penyesuaian dosis. Nevirapine/ efavirenz akan menginduksi metabolisme klaritromisin sehingga kadar dalam plasma akan berkurang yang akan menyebabkan efektifitasnya akan jauh berkurang. Oleh karena itu, pemakaian klaritromisin untuk pengobatan pasien ko-infeksi TB MDR HIV sedapat mungkin dihindari karena efektifitas yang lemah dan banyak interaksi dengan obat lain. 5. Potensi toksisitas obat dalam pengobatan pasien TB MDR/ HIV Secara umum angka kejadian reaksi obat yang tidak diinginkan akibat pengobatan TB pada pasien HIV positif lebih tinggi dibanding pasien dengan status HIV negatif. Angka tersebut semakin meningkat bila sistem imun semakin menurun. Identifikasi obat mana yang menjadi penyebab terjadinya efek samping merupakan hal yang sulit karena baik OAT maupun ARV memiliki efek samping yang sama dan overlapping. Penanganan kasus bila terjadi efek samping obat menjadi semakin kompleks. Pada pengobatan dengan ART tidak memungkinkan dilakukan trial satu per satu untuk mengetahui obat mana yang menimbulkan efek samping karena potensi resistensi yang besar. Tabel di bawah ini dapat dipakai untuk memperkirakan penyebab efek samping. Tabel 25. Potensi toksisitas OAT MDR dan ART Toksisitas ART OAT Keterangan Neuropati perifer d4t, ddi Cs,H, Km, Eto, E Hindari pemakaian d4t dan ddi bersamaan dengan Cs karena secara teoritis bisa menimbulkan neuropati perifer. Bila terpaksa digunakan bersamaan dan timbul neuropati, ganti ART dengan yang kurang neurotoksis. 97

113 Toksisitas ART OAT Keterangan Toksisitas pada saraf pusat EFV Cs, H, Eto, fluoroquinolon Efavirenz (EFV) mempunyai toksisitas besar terhadap saraf pusat (gejala : bingung, penurunan konsentrasi, depersonalisasi, mimpi abnormal, sukar tidur dan pusing) pada 2-3 minggu pertama pengobatan yang akan sembuh dengan sendirinya. Bila tidak hilang, perlu dipikirkan penggantian EFV. Psikosis jarang dijumpai pada penggunaan EFV sendiri. Cs mempunyai efek samping yang serupa dengan EFV, pada beberapa pasien pemakaian Cs akan dampak cukup berat berupa psikosis. Saat ini sangat sedikit informasi mengenai pemakaian EFV dan Cs secara bersamaan. Depresi EFV Cs, fluoroquinolon, H, Eto 2,4 % dengan EFV menunjukkan depresi berat. EFV perlu diganti bila ditemukan depresi berat. Pemberian Cs bisa memicu terjadinya depresi yang berat sampai kecenderungan bunuh diri. Tetapi keadaan sosial ekonomi buruk dengan penyakit menahun dan ketidaksiapan psikis menjalani pengobatan dapat juga memberikan kontribusi terjadinya depresi. 98

114 Toksisitas ART OAT Keterangan Sakit kepala AZT, EFV Cs Kesampingkan penyebab lain dari sakit kepala sebelum menetapkan sakit kepala sebagai akibat ART dan OAT. Sakit kepala karena AZT, EFV dan Cs biasa tidak berkepanjangan. Beri analgesik seperti ibuprofen atau parasetamol. Mual dan Muntah RTV, d4t, NVP Eto,PAS, H, E, Z Mual dan muntah adalah efek samping yang sering terjadi dan dapat diatasi dengan baik. Bila muntah berkepanjangan disertai nyeri perut, kemungkinan besar karena asidosis laktat dan/ atau hepatitis sekunder karena pengobatan. Nyeri perut Semua pengobatan dengan ART menyebabkan nyeri perut. Eto, PAS Nyeri perut merupakan efek samping yang banyak dijumpai, biasanya tidak membahayakan. Tetapi perlu diwaspadai sebab nyeri perut dapat sebagai gejala permulaan dari efek samping lain seperti pankreatitis, hepatitis dan asidosis laktat. Diare Semua PI, ddl (dengan bufer Eto, PAS, fluroquinolon Diare merupakan efek samping umum baik ART maupun OAT. Pada pasien HIV, Pertimbangkan terdapatnya IO sebagai penyebabnya atau karena infeksi Clostridium difficile (penyebab kolitis pseudomembran). 99

115 Toksisitas ART OAT Keterangan Hepatotoksisitas NVP,EFV, semua PI, semua NRTI (RTV> dari PI yang lain). E, Z, PAS, Eto, Fluoroquinolon Laksanakan pengobatan untuk hepatotoksistas. Pikirkan penyebab lain seperti kotrimoksasol. Singkirkan juga penyebab infeksi virus seperti hepatitis A, B, C dan CMV. Skin rash ABC, NVP, EFV, d4t dan lainnya Z, PAS, Fluroquinolon Tidak boleh dilakukan rechallenge dengan ABC karena dapat menyebabkan syok anafilaktik yang dapat fatal. Tidak boleh dilakukan rechallenge obat yang terbukti menimbulkan Steven- Johnson Syndrome. Kotrimoksasol bisa menjadi penyebab skin rash bila pasien juga mendapatkan obat ini. Tiasetason tidak boleh diberikan kepada pasien HIV. 100

116 Toksisitas ART OAT Keterangan Nefrotoksisitas TDF Km, Cm -TDF dapat menyebabkan kelainan ginjal berupa sindrom Fanconi, hipofosfatemia, hipourisemia, proteinuria, normoglikemik glikosuria, dan gagal ginjal akut. Belum ada data tentang efek penggunaan TDF bersamaan dengan Km/Cm, perlu pengawasan khusus bila pasien mendapat keduanya. Meskipun tanpa TDF, pasien HIV mempunyai risiko nefrotoksisitas lebih tinggi bila mendapatkan Km dan Cm. Perlu pemantauan serum kreatinin dan elektrolit lebih rutin pada pasien HIV yaitu setiap 1-3 minggu sekali selama tahap intensif. Dosis ARV dan OAT yang nefrotoksik harus disesuaikan bila sudah terjadi insufisiensi ginjal. Gangguan elektrolit TDF Cm, Km Diare dan / atau muntah dapat menyebabkan gangguan elektrolit. Meski tanpa TDF, pasien HIV mempunyai risiko terjadinya gangguan ginjal serta gangguan elektrolit sekunder yang disebabkan pemakaian Cm dan Km. Neuritis optikal Ddl E, Eto (jarang) Hentikan dan ganti obat penyebab neuritis optikal. 101

117 Toksisitas ART OAT Keterangan Gangguan regulasi kadar gula darah PI Eto PI cenderung menyebabkan resistensi insulin dan hiperglikemia. Eto cenderung menyebabkan kadar insulin pada pasien DM sulit diatur dan dapat menyebabkan hiporglikemia dan kadar gula darah sulit diatur. Hipotiroidisme d4t Eto, PAS Ada kemungkinan terjadi reaksi saling menguatkan bila diberikan bersamaan tetapi data yang ada belum jelas. Beberapa penelitian menyebutkan terdapatnya hipotiroidisme subklinis yang berkaitan dengan pemberian Stavudine. Kombinasi PAS dan Eto dapat menyebabkan hipotiroidisme. 6. Monitoring pengobatan koinfeksi TB MDR dan HIV Pengobatan HIV dan TB MDR diberikan secara teratur setiap hari tanpa kecuali untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap ART maupun XDR TB. Pada ODHA yang sudah mendapatkan ART, pengobatan TB MDR akan menimbulkan permasalahan tambahan karena kompleksitas yang ditimbulkan akibat perbedaan tata cara minum obat. Secara klinis pengobatan TB MDR dan ART akan menimbulkan tantangan karena masing-masing obat memiliki toksisitas dan interaksi antar obat (drug to drug interaction). Oleh karena itu, diperlukan pengawasan keteraturan minum obat, efek samping serta pemeriksaan klinis untuk memantau kemajuan pengobatan. Pada petunjuk teknis penatalaksanaan pasien TB MDR telah diatur jadual konsultasi klinis dan pemeriksaan laboratorium untuk memantau kemajuan pengobatan dan indikasi kegagalan pengobatan TB MDR. Hal ini berlaku pada ko-infeksi TB MDR dan HIV (lihat Tabel). Selain itu pemberian dua pengobatan secara bersamaan seringkali menimbulkan permasalahan psikis bagi pasien. Stigma mengenai kedua penyakit menjadi hambatan karena pasien memperoleh 102

118 perlakuan berbeda. Penyebab hambatan psikis lainnya adalah angka mortalitas yang tinggi dari dua penyakit tersebut. Oleh karena itu, pasien TB MDR/ HIV memerlukan dukungan sosioekonomis, nutrisi dan psikologis yang lebih besar untuk menyelesaikan pengobatannya. Tabel 26. Jadual Pemantauan Pengobatan ko-infeksi TB MDR/ HIV Pemantauan Bulan pengobatan Evaluasi Utama Pemeriksaan dahak dan biakan dahak Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada fase lanjutan Evaluasi Penunjang Evaluasi klinis : Pengobatan konkomitan, Setiap kali kunjungan BB, gejala klinis, kepatuhan berobat Uji kepekaan obat Berdasarkan indikasi Foto toraks Ureum, Kreatinin 1-3 minggu sekali selama suntikan Elektrolit (Na, Kalium, Cl) EKG v Setiap 3 bulan sekali Thyroid stimulating hormon (TSH) Enzim hepar (SGOT, Evaluasi secara periodik SGPT) Tes kehamilan Berdasarkan indikasi Darah Lengkap Berdasarkan indikasi Audiometri Berdasarkan indikasi Kadar gula darah Berdasarkan indikasi Asam Urat Berdasarkan indikasi Test HIV v Bila ada faktor risiko Evaluasi tambahan untuk pasien HIV positif Sifilis (VDRL) Berdasarkan indikasi Pap Smear v Berdasarkan indikasi Hepatitis B dan C v Berdasarkan indikasi CD4 Viral load Berdasarkan indikasi 103

119 a. Manajemen Efek Samping Pengobatan OAT MDR dan ART Penanganan efek samping yang adekuat merupakan salah satu upaya untuk memastikan kepatuhan pasien TB MDR/HIV terhadap pengobatan yang diberikan. Tabel di bawah ini menjelaskan mengenai beberapa efek samping yang mungkin terjadi dan cara penatalaksanaannya. Tabel 27. Penatalaksanaan efek samping pengobatan OAT MDR dan ART Gejala dan Tanda Nyeri Perut Penatalaksanaan Bisa disebabkan oleh beberapa obat ART dan OAT. Obat diberikan sesudah makan (kecuali untuk ddi). Pemberian terapi simptomatis biasanya membantu. Mual dan Muntah Bisa disebabkan OAT (Eto, PAS) dan ART (AZT). Bila disebabkan OAT biasanya kronik, bila penyebabnya ART biasanya terjadi pada awal pengobatan dan biasanya membaik dalam beberapa minggu. Disarankan untuk memberikan OAT dalam dosis terbagi. Bila gejala ringan minta pasien menelan obat dengan makanan lunak dan berikan pengobatan simptomatis. Bila gejala berat berikan pengobatan simptomatis dan rehidrasi (oral atau IV). Bila pasien mendapat d4t mengalami mual, muntah dan sesak napas pertimbangkan kemungkinan terjadi asidosis laktat. Periksa kadar laktat pasien. Diare Bisa disebabkan oleh ART dan OAT (terutama PAS). Bila disebabkan PAS biasanya bersifat persisten. Pertimbangkan pula penyebab diare persisten akibat infeksi kronik yang sering dijumpai pada pasien HIV, bila terbukti karena infeksi kronik maka beri terapi empiris. Tingkatkan asupan cairan dan berikan rehidrasi (oral atau IV) bila dijumpai tanda dehidrasi. Berikan obat yang menyebabkan konstipasi kecuali dijumpai ada lendir/darah, demam dan pasien lansia. Lakukan perawatan paliatif untuk daerah rektal pasien. Berikan terapi diet suportif untuk pasien dengan diare persisten. 104

120 Gejala dan Tanda Letih/ Lesu Penatalaksanaan Pertimbangkan kemungkinan terjadi hipokalemia atau gagal ginjal, periksa kreatinin dan kadar kalium. Pertimbangkan terjadinya anemia, periksa kadar Hb. Pertimbangkan terjadinya hipotirodisme bila pasien mendapatkan Eto dan PAS, periksa kadar TSH. Depresi, kecemasan, mimpi buruk, psikosis Banyak penyebab gangguan kejiwaan yang dialami pasien, salah satunya adalah efek samping obat. Obat yang bisa menyebabkan adalah EFV dan Sikloserin. Bila disebabkan EFV biasanya gejala tidak terlalu berat dan akan berkurang setelah tiga minggu, bisa dipertimbangkan penggantian dengan NVP. Bila penyebabnya adalah sikloserin gejala biasanya berupa serangan panik, waham, paranoia, depresi berat, koma dan kecenderungan bunuh diri. Pengurangan dosis bisa dilakukan bila gejala ringan sampai menengah tetapi harus dipertimbangkan karena akan mempengaruhi efektivitas pengobatan. Hentikan segera bila muncul gejala psikotik dan percobaan bunuh diri, ganti dengan obat lain seperti PAS. Gatal dan skin rash Bila gejala ringan berikan antihistamin dan lakukan monitoring ketat. Waspada mungkin pertanda terjadinya SJS. Bila pasien baru memulai pengobatan dengan NVP dan tidak memberikan respons terhadap antihistamin maka pertimbangkan penggantian NVP ke EFV. Bila timbul gejala berat seperti gatal di seluruh tubuh, kemerahan yang merata, kulit terkelupas dan keterlibatan mukosa maka hentikan semua obat baik ART, OAT maupun PPK. Bila gejala diatas telah terkendali maka proses reintroduksi obat dilakukan dengan sangat hati-hati. 105

121 Gejala dan Tanda Ikterus Penatalaksanaan Hentikan sementara semua pengobatan dan lakukan pemeriksaan fungsi hati (SGOT, SGPT, Bilirubin). Ikterus bisa disebabkan oleh EFV, NVP, Pirasinamid dan etionamid. Obat lain juga bisa menimbulkan gangguan pada hati tetapi kemungkinannya tidak sebesar 4 obat di atas. Singkirkan terlebih dahulu penyebab yang lain. Ikuti panduan mengenai bagaimana memulai kembali pengobatan setelah masalah terkendali. Anemia Anemia mungkin disebabkan oleh IO yang tidak terdiagnosis, kurangnya asupan nutrisi maupun efek dari pengobatan. Lakukan pemeriksaan Hb sesuai dengan jadual pemeriksaan atau pada saat pasien tampak pucat dan anemia. AZT bisa menimbulkan anemia, biasanya terjadi pada enam minggu pertama pengobatan. Bila Hb < 8g/dl maka ganti AZT dengan d4t/ TDF. Neuropati perifer Bisa disebabkan oleh ART (ddi, d4t) dan OAT (sikloserin dan obat injeksi). ART yang paling sering menimbulkan neuropati perifer adalah d4t, ganti dengan AZT. Pemberian amitriptilin 25 mg pada malam hari akan sangat membantu bagi pasien yang keluhannya tidak berkurang setelah penggantian ART. Bila penyebabnya adalah OAT maka tingkatkan dosis vitamin B6 yang diberikan menjadi 200 mg/hari sampai gejala hilang. Kejang otot Kemungkinan disebabkan oleh electrolyte wasting terutama kalium. Cek kadar kalium segera. Penggantian kalium dengan pemberian makanan kaya kalium seperti pisang ambon atau pemberian suplemen kalium. 106

122 Gejala dan Tanda Nyeri kepala Berikan parasetamol. Penatalaksanaan Lakukan assessment mengenai kemungkinan meningitis. Bila pasien mendapatkan AZT/ EFV yakinkan kembali bahwa hal tersebut adalah efek samping yang biasa dan biasanya akan sembuh dengan sendirinya. Bila disebabkan oleh sikloserin biasanya kronik. Gangguan ginjal (gagal ginjal, edema, retensi urin, hipertensi) Lakukan pemeriksaan ureum, kreatinin. Lakukan penatalaksanaan bersama dengan ahli nefrologi. Bila berat pengobatan yang bersifat nefrotoksik seperti obat-obat injeksi, kuinolon dan TDF dihentikan sementara. Pengobatan dimulai sesuai dengan kondisi ginjal pasien, dilakukan dengan pengaturan dosis dan frekuensi pemberian. Demam Bisa disebabkan penyakit lain yang umum, IO, IRIS dan efek samping obat. Bila terjadi setelah pasien menjalani terapi ART kemungkinan terjadi IRIS. Berikan parasetamol, hindari dosis yang berlebihan. Berikan cairan untuk menghindari dehidrasi. 107

123 BAB VII PENCEGAHAN PENGENDALIAN INFEKSI DAN KEWASPADAAN STANDAR DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN Kewaspadaan standar merupakan salah satu upaya dalam mengendalikan infeksi di Fasyankes terutama terkait penyakit TB, HIV dan infeksi nosokomial. Pencegahan Pengendalian infeksi TB perlu diperhatikan karena TB merupakan IO terbanyak pada ODHA. Selain itu usaha pengendalian IO juga penting karena dapat memberikan perlindungan kepada pasien lain dan petugas kesehatan di Fasyankes. Infeksi Nosokomial dapat menyebar dari pasien kepada petugas, pasien lain, pengunjung atau sebaliknya, melalui kontak langsung atau tidak langsung baik melalui udara maupun dari bahan yang sudah terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh lainnya. Strategi pencegahan infeksi HIV menitikberatkan pada upaya pencegahan infeksi melalui darah dan cairan tubuh (Blood and Body Fluid Precautions) tanpa memandang status infeksi pasien. Strategi tersebut juga menekankan pada pengelolaan limbah yang tepat termasuk limbah tajam. Sementara strategi pengendalian infeksi TB ditekankan pada pencegahan infeksi melalui udara. Kedua strategi ini merupakan bagian dari strategi pengendalian infeksi secara umum. Keberhasilan pencegahan pengendalian infeksi di Fasyankes sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan perilaku petugas kesehatan sehingga dalam upaya pencegahan penularan perlu ditekankan untuk merubah perilaku petugas dalam memberikan pelayanan. Untuk informasi yang lebih lengkap, dapat merujuk ke pedoman pengendalian infeksi TB dan kewaspadaan standar yang sudah ada. 108

124 A. PENULARAN HIV DI FASYANKES Petugas kesehatan dalam melayani pasien TB dengan HIV dapat terpajan HIV. Beberapa hal yang dapat menyebabkan petugas TB tertular HIV di Fasyankes yaitu melalui perlukaan di kulit, tusukan jarum dan alat tajam lainnya yang telah tercemar dengan darah atau cairan tubuh terinfeksi HIV, percikan darah atau cairan tubuh terinfeksi HIV yang mengenai selaput mukosa, mulut, hidung atau mata. Pasien TB juga berisiko tertular HIV di Fasyankes melalui alat kesehatan yang tercemar yang dipakai ulang tanpa didisinfeksi atau disterilisasi, melalui tranfusi darah, cangkok kulit, cangkok organ dan kontak dengan darah/cairan tubuh lainnya yang terinfeksi HIV. B. PENULARAN TB DI FASYANKES Penularan TB di Fasyankes dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: Konsentrasi droplet infeksius di udara yang dikeluarkan oleh pasien TB Paru dan ventilasi udara di area pajanan yang tidak sesuai standar PPI. Lamanya pajanan dengan droplet infeksius. Seorang pasien TB paru lebih mungkin menularkan TB tergantung pada keadaan di bawah ini: Lokasi penyakitnya (di paru, saluran napas atau laring). Dahak mengandung kuman TB. Ada kavitas pada paru. Tidak menutup mulut dan hidung pada waktu batuk atau bersin. Petugas kesehatan dapat juga berperan pada penularan TB apabila: Terlambat mendiagnosis dan memulai pengobatan pada pasien TB. Tidak memberikan paduan OAT yang standar. Tidak memperhatikan standar prosedur pengamanan perorangan ketika melakukan pemeriksaan pasien TB (misalnya bronkoskopi atau induksi sputum). Faktor sarana dan lingkungan yang dapat meningkatkan penularan, adalah: Paparan terjadi di ruangan yang relatif kecil dan tertutup. Kurangnya ventilasi untuk mengalirkan udara. Laboratorium yang tidak memenuhi syarat misalnya tidak tersedia air mengalir, kurangnya cahaya matahari yang masuk, dll. 109

125 C. PRINSIP KEWASPADAAN STANDAR DAN PENGENDALIAN INFEKSI TB DI FASYANKES 1. Prinsip utama Prosedur Kewaspadaan Standar di Fasyankes Prinsip utama Prosedur Kewaspadaan standar pelayanan kesehatan adalah menjaga kebersihan individu, kebersihan ruangan dan sterilisasi peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi 5 (lima) kegiatan pokok yaitu: a. Cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir. b. Pemakaian alat pelindung (misal: pemakaian sarung tangan). c. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai. d. Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan. e. Pengelolaan limbah dan kebersihan ruangan. Fasyankes yang memiliki sumber daya terbatas harus lebih menitikberatkan pada upaya perbaikan sarana cuci tangan dengan deterjen cair dan lap kertas. 2. Prinsip PPI TB di Fasyankes Prinsip pengendalian infeksi TB terdiri dari 4 pilar, yaitu: Dukungan Manajerial Komitmen, kepemimpinan dan dukungan manajemen yang efektif dalam kegiatan PPI TB Fasyankes berupa pembuatan rencana kerja, SOP, pelaksanaan sosialisasi, surveilans dan monitoring evaluasi. Pengendalian Administratif Perilaku kerja yang baik dan penerapan kebijakan yang efektif dengan tujuan mengurangi droplet nuclei di udara berupa pemisahan kasus potensi infeksius, etika batuk dan mempersingkat waktu pasien di Fasyankes. Pengendalian Lingkungan Upaya pengendalian lingkungan dengan mengutamakan pengaturan ventilasi dan pengkondisian udara yang menyalurkan droplet nuclei kearah udara terbuka yang bebas dari lalu lintas orang. Penggunaan Perlindungan Diri Perlindungan diri bertujuan untuk melindungi petugas kesehatan yang harus bekerja di lingkungan dengan kontaminasi droplet nuclei di udara yang tidak dapat dihilangkan seluruhnya dengan pengendalian administrasi dan lingkungan. Dari keempat pilar PPI TB di atas, upaya pengendalian administratif yang di dalamnya termasuk 110

126 perilaku kerja merupakan prioritas pertama dalam implementasi PPI TB karena mempunyai dampak yang paling besar dalam pencegahan penularan TB di Fasyankes dan tidak tergantung dengan sarana yang ada. Upaya ini dapat mencegah terjadinya penyebaran droplet infeksius sehingga dapat menurunkan pajanan kuman TB pada pasien dan petugas. Namun demikian, jika dengan upaya pengendalian administratif tidak mungkin untuk menghilangkan semua pajanan maka upaya pengendalian lingkungan harus dilakukan untuk menurunkan konsentrasi droplet infeksius dalam ruang pelayanan. Upaya pengendalian lingkungan adalah memaksimalkan ventilasi alami dan mengatur/mengendalikan arah angin. Meskipun beberapa upaya pengendalian lingkungan ini memerlukan sumber daya tetapi sebagian upaya dapat dilaksanakan di Fasyankes dengan sarana terbatas, misalnya membuka jendela untuk meningkatkan ventilasi alami dan penggunaan kipas angin untuk mengendalikan arah angin. D. UPAYA MENURUNKAN RISIKO PENULARAN HIV DAN TB DI FASYANKES Untuk menurunkan risiko penularan di Fasyankes, semua petugas kesehatan harus selalu waspada serta menerapkan perilaku dan upaya yang dapat menurunkan risiko tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan: 1. Perilaku dan upaya menurunkan risiko penularan HIV Risiko terbesar petugas TB tertular HIV adalah saat mengambil darah untuk tes HIV. Untuk menguranginya dilakukan upaya kewaspadaan universal berupa: a. Cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir sebelum dan sesudah mengambil darah. b. Menggunakan sarung tangan bersih yang sekali pakai (disposable). Bekas sarung tangan dibuang ke tempat sampah infeksius. c. Saat penggunaan jarum untuk pengambilan darah, petugas jangan sampai melukai dirinya. Jarum dan alat tajam yang telah dipakai dibuang ke dalam wadah tahan tusukan tanpa menutupnya kembali atau jika harus ditutup kembali gunakan metode satu tangan. d. Jika terjadi tumpahan/percikan darah di meja atau lantai bersihkan dengan tisu kemudian tuang atau semprotkan bekas tumpahan tersebut dengan hipoklorit 0,5%, diamkan selama 10 menit kemudian bilas dengan lap basah. e. Limbah infeksius (jarum dan sarung tangan bekas pakai) dimusnahkan dengan cara dimasukkan ke dalam insinerator. Jika tidak ada fasilitas insinerator, limbah dikumpulkan pada wadah tahan tusukan dan dikirim ke tempat yang memiliki fasilitas insinerator. 2. Perilaku dan upaya menurunkan risiko penularan TB Seperti dijelaskan di atas bahwa upaya penurunan risiko penularan TB ada 4 pilar yaitu dukungan 111

127 manajerial, pengendalian administratif, pengendalian lingkungan dan penggunaan perlindungan diri. a. Dukungan Manajerial Dukungan manajerial dimulai dengan membangun komitmen seluruh petugas Fasyankes dalam menjalankan PPI TB. Membangun komitmen dapat dilakukan melalui sosialisasi PPI TB pada petugas Fasyankes sehingga petugas dapat meningkatkan pelaksanaan PPI TB. Untuk melaksanakan dukungan manajerial, kepala Fasyankes perlu membentuk tim pelaksana PPI di mana salah satu tugasnya melaksanakan PPI TB. Tim ini terdiri dari ketua dan anggota sekurang-kurangnya 1 orang dari tiap unit. Tim ini mempunyai tugas pokok dan fungsi: 1. Membuat rencana kerja terpadu PPI termasuk PPI TB di Fasyankes. 2. Membuat SOP PPI termasuk PPI TB di Fasyankes (mengacu pada standar). 3. Mensosialisasikan kegiatan PPI termasuk PPI TB di Fasyankes. 4. Melaksanakan kegiatan surveilans. 5. Melakukan monitoring dan evaluasi. b. Pengendalian administratif Upaya pengendalian administratif merupakan prioritas pertama dalam implementasi PPI TB karena mempunyai dampak yang paling besar dalam pencegahan penularan TB di Fasyankes dan tidak tergantung dengan sarana yang ada. Upaya ini dapat mencegah terjadinya penyebaran droplet infeksius, dengan demikian akan menurunkan pajanan kuman TB pada pasien dan petugas. Upaya ini mencakup: Melaksanakan triase dan pemisahan kasus berpotensi infeksius. Menerapkan etika batuk untuk mencegah penyebaran kuman patogen. Mempersingkat waktu pasien berada di Fasyankes dengan mensegerakan pelayanan terhadap pasien yang batuk. 112

128 Pengendalian administratif tertuang dalam lima langkah penatalaksanaan pasien seperti tabel di bawah ini: Tabel 28. Lima Langkah Penatalaksanaan Pasien Untuk Mencegah Penularan TB di Fasyankes Langkah Tindakan Uraian I Triase Pemisahan pasien yang batuk atau sudah didiagnosis TB dari pasien lainnya yang tidak batuk. Ini dapat dilaksanakan dengan anamnesis singkat saat pendaftaran. Pasien dengan batuk > 2 minggu harus didahulukan penanganannya. II Penyuluhan Mengajarkan etika batuk kepada pasien untuk menutup mulut dan hidung pada waktu batuk atau bersin dengan lengan baju. Bila tersedia, berikan tisu atau masker. III Pemisahan Suspek dan pasien TB dianjurkan untuk menunggu di ruang tunggu poli DOTS yang mempunyai ventilasi yang baik (sesuai standar PPI). IV Pemberian Layanan Segera Mendahulukan pasien kunjungan ulang TB agar mengurangi waktu pajanan terhadap pasien lain. V Pemeriksaan untuk TB atau Rujukan Pemeriksaan untuk diagnosis TB sebaiknya dilakukan di Fasyankes setempat. Apabila tidak tersedia pemeriksaan laboratorium TB maka pasien dapat dirujuk ke Fasyankes terdekat yang memiliki Fasilitas tersebut (PRM). c. Pengendalian Lingkungan Upaya pengendalian lingkungan di area yang berisiko tinggi diperlukan jika risiko pajanan droplet infectious tidak mungkin dihilangkan sama sekali. Jadi pengendalian lingkungan merupakan pertahanan lini kedua untuk mencegah penyebaran TB. Perlu diketahui bahwa jika pengendalian administrasi (lini pertama) tidak dilaksanakan secara adekuat maka kontrol lingkungan ini tidak akan dapat menghilangkan risiko tersebut. 113

129 Upaya-upaya pengendalian lingkungan, termasuk: Mengatur ventilasi (secara alami atau secara mekanis). Filtrasi. Ultra Violet. Upaya pengendalian lingkungan tidak selalu memerlukan sumber daya berteknologi tinggi dan mahal tetapi pada Fasyankes dengan fasilitas terbatas dapat dilakukan dengan membuka pintu dan jendela untuk memungkinkan udara dari luar masuk ke dalam ruangan (meningkatkan ventilasi alami) dan penggunaan kipas angin untuk mengendalikan arah angin dan mengarahkan pergerakan udara sehingga terjadi pengenceran dan pemindahan udara. Dari penelitian menunjukan bahwa kuman TB akan mati bila terpajan sinar ultra-violet yang cukup misalnya dari sinar matahari langsung atau UVGI (Ultra Violet Germicidal Irradition). Efek samping dari penggunaan UVGI yang tidak sesuai standar adalah efek samping berupa gangguan kulit akut maupun kronik dan gangguan mata yang disebabkan oleh pajanan berlebihan dengan sinar ultra violet. d. Penggunaan Perlindungan Diri Perlu diketahui perlindungan diri untuk petugas kesehatan dengan menggunakan respirator, bukanlah merupakan intervensi prioritas untuk pencegahan penularan TB. Penggunaan respirator hanya terbatas di area Fasyankes yang berisiko tinggi, misalnya ruang pelayanan spirometri atau bronkoskopi atau ruangan khusus untuk pelayanan pasien TB MDR. Bila perlu penggunaan respirator maka yang dianjurkan adalah N95 atau FFP2. Respirator berbeda dengan masker yang terbuat dari kain atau kertas. Penggunaan masker kain/ kertas tidak melindungi petugas atau pasien atau pengunjung terhadap TB karena masker kain/ kertas tersebut tidak dapat menyaring droplet yang infeksius tersebut. Oleh sebab itu, tidak dianjurkan petugas dan pengunjung klinik HIV untuk menggunakan masker kain/kertas. Masker kain/kertas berguna bila digunakan oleh pasien TB karena masker tersebut dapat menangkap/menahan droplet infeksius di dekat mulut/ hidung pasien karena droplet yang terpencar dari batuk/bersin merupakan droplet basah yang berukuran besar tetapi begitu berkontak dengan udara maka droplet tersebut cepat menjadi kering dan menjadi halus (diameter sekitar 1 5 mikron). Oleh sebab itu, masker kain/kertas ini tidak cukup melindungi terhirupnya droplet infeksius yang berukuran halus. 114

130 Respirator mempunyai pori halus yang dapat menyaring droplet infeksius dan mempunyai seal udara yang ketat sekali sepanjang pinggirnya. Masker kain/kertas mempunyai pori yang besar dan tidak mempunyai seal udara yang ketat di sepanjang pinggirnya. E. KECELAKAAN KERJA DAN TATALAKSANA PAJANAN DI TEMPAT KERJA 1. Kecelakaan kerja Keselamatan petugas adalah hal yang sangat penting dan kecelakaan kerja harus dicegah. Apabila terjadi kecelakaan harus dilaporkan kepada atasan dan didokumentasikan sehingga dapat dilakukan tindakan selanjutnya. Kecelakaan kerja dapat terjadi ketika ada pajanan dari darah atau cairan tubuh pasien kepada petugas melalui: a. Parenteral berupa tusukan, luka dll. b. Percikan pada mukosa mata, hidung atau mulut. c. Percikan pada kulit yang tidak utuh (pecah-pecah, lecet). 2. Tatalaksana pajanan di tempat kerja Jika terjadi pajanan maka perlu dilakukan langkah berikut: a. Segera setelah terjadi pajanan Jika terjadi luka tusukan jarum suntik atau luka iris, segera cuci dengan sabun dan air mengalir. 115

131 Jika jari tertusuk, segera cuci dengan sabun dan air mengalir, tidak boleh dihisap dengan mulut seperti kebanyakan tindakan refleks untuk menghisap darah atau ditekan-tekan. Jika terjadi percikan pada mukosa hidung, segera hembuskan udara sekuat tenaga. Jika terkena mulut, ludahkan segera dan kumur dengan air bersih. Jika terkena kulit, segera bilas dengan guyuran air yang mengalir. Jika terkena mata, segera lakukan irigasi dengan air bersih, larutan garam fisiologis atau air steril. b. Laporan pajanan Setiap pajanan harus diperlakukan sebagai keadaan darurat oleh karena petugas yang terpajan segera melaporkan kepada atasan langsung dan bagian pengendalian infeksi Nosokomial atau bagian keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Laporan sangat diperlukan agar pemberian profilaksis pasca pajanan dapat dimulai secepat mungkin dalam waktu kurang dari 4 jam dan tidak lebih dari 72 jam. Semakin cepat pemberian profilaksis pasca pajanan, semakin bermanfaat dan sebaliknya. c. Konseling dan tes HIV Bila terjadi kecelakaan kerja, pada petugas yang terpajan dilakukan penilaian apakah mempunyai potensi tertular atau tidak. Jika di tempat layanan tidak ada dokter/petugas yang dapat melakukan penilaian tersebut maka petugas yang terpajan tadi dirujuk. Apabila pada hasil penilaian terdapat potensi tertular maka dilakukan konseling dan tes HIV baik pada petugas maupun pasien yang menjadi sumber pajanan (jika belum diketahui status HIV-nya). d. Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) Petugas yang terpajan harus dinilai apakah perlu mendapat profilaksis pasca pajanan dengan ARV atau tidak sehingga setiap Fasyankes harus tahu di mana tempat rujukan ARV agar bila terjadi kecelakaan kerja dapat segera dirujuk. Keputusan untuk memberikan profilaksis pasca pajanan didasarkan atas derajat pajanan, status HIV dari sumber pajanan dan ketersediaan ARV. 116

132 Tabel 29 : Penilaian Pajanan untuk Profilaksis Pasca Pajanan HIV Status infeksi sumber pajanan Jenis Pajanan Kurang berat (y.i. jarum buntu, luka di permukaan) Lebih berat (y.i. jarum besar berlubang, luka tusuk dalam, tampak darah pada alat atau jarum bekas dipakai pada arteri atau vena) Volume sedikit (beberapa tetes) Volume banyak (tumpahan banyak darah) HIV positif Tingkat 1 Dianjurkan Pengobatan dasar 2 obat PPP Pengobatan dengan 3 obat PPP HIV positif Tingkat 2 Anjuran pengobatan dengan 3 obat PPP Anjuran pengobatan dengan 3 obat PPP Perlukaan kulit Tidak diketahui status HIV-nya Umumnya Tidak perlu PPP, pertimbangkan 2-obat PPP bila sumber berisiko Umumnya Tidak perlu PPP pertimbangkan 2-obat PPP bila sumber berisiko Tidak diketahui sumbernya Umumnya Tidak perlu PPP. pertimbangkan (e) 2-obat PPP bila terjadi di daerah dengan risiko tinggi HIV Umumnya Tidak perlu PPP. Pertimbangkan 2-obat PPP bila terjadi di daerah dengan risiko tinggi HIV Pajanan pada lapisan mukosa atau pajanan pada luka di kulit Pertimbang kan Pengobatan dasar 2 obat PPP Dianjurkan Pengobatan dasar 2 obat PPP Anjuran pengobatan dengan 3 obat PPP Anjuran pengobatan dengan 3 obat PPP Umumnya Tidak perlu PPP pertimbangkan 2-obat PPP bila sumber berisiko Umumnya Tidak perlu PPP pertimbangkan 2-obat PPP bila sumber berisiko Umumnya Tidak perlu PPP Pertimbangkan 2-obat PPP bila terjadi di daerah dengan risiko tinggi HIV Umumnya Tidak perlu PPP Pertimbangkan 2-obat PPP bila terjadi di daerah dengan risiko tinggi HIV HIV negatif Tidak perlu PPP Tidak perlu PPP Tidak perlu PPP Tidak perlu PPP 117

133 Catatan: i. HIV Asimptomatis atau diketahui viral load rendah (y.i. <1500 RNA/mL). ii. HIV Simptomatis, AIDS, serokonversi akut atau diketahui viral load tinggi, bila dikhawatirkan terdapatnya resistensi obat, konsultasikan kepada ahlinya. Pemberian PPP tidak boleh ditunda dan perlu tersedia sarana untuk melakukan perawatan lanjutan secepatnya. iii. Contoh pasien meninggal dan tidak dapat dilakukan pemeriksaan darah. iv. Contoh jarum dari tempat sampah. v. Pernyataan Pertimbangkan PPP menunjukkan bahwa PPP merupakan pilihan tidak mutlak dan harus diputuskan secara individual tergantung dari orang yang terpajan dan keahlian dokternya. Namun, pertimbangkanlah pengobatan dasar dengan 2-obat PPP bila ditemukan faktor risiko pada sumber pajanan atau bila terjadi di daerah dengan risiko tinggi HIV. vi. Bila diberikan PPP dan diterima serta sumber pajanan kemudian diketahui HIV negatif maka PPP harus dihentikan. vii. Pada pajanan kulit, tindak lanjut hanya diperlukan bila ada tanda-tanda kulit yang tidak utuh (seperti, dermatitis, abrasi atau luka). e. Pemberian PPP dengan ARV Pemberian PPP dimulai sesegera mungkin setelah pajanan. Pengobatan kombinasi dianjurkan karena lebih efektif dibandingkan pengobatan tunggal. Kombinasi dan dosis yang direkomendasi adalah: 2 Obat : AZT + 3TC --> Duviral 3 Obat : AZT + 3TC + EFV ( Efavirens ) atau AZT + 3TC + LPV/r Anjuran pengobatan selama 4 minggu dengan dosis: 99 ZDV 300 mg 2x per hari (setiap 12 jam) 99 3TC (Lamivudin) 150 mg 2x per hari (setiap 12 jam) 99 EFV ( Efavirens ) 600 mg setiap 24 jam 99 LPV/r: 400 mg/100 mg 2 x per hari (setiap 12 jam) Penting sekali tersedia jumlah ARV yang cukup untuk pemberian satu bulan penuh sejak awal pemberian PPP. Pengobatan dianjurkan diberikan dalam jangka minimal 2 minggu dan paling lama sampai 4 minggu. NVP tidak dianjurkan untuk PPP. EFV tidak diberikan pada wanita hamil trimester 1 atau bila diberikan ke WUS selama pemberian ARV harus dipastikan tidak akan hamil (KB) 118

134 BAB VIII PENCATATAN DAN PELAPORAN TB-HIV A. PENCATATAN DAN PELAPORAN KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV Salah satu komponen penting dari monitoring dan evaluasi yaitu pencatatan dan pelaporan. Pencatatan dan pelaporan berguna untuk mendapatkan data kegiatan. Kemudian data tersebut diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan. Data yang dikumpulkan harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu) sehingga memudahkan dalam pengolahan dan analisis. Data kolaborasi TB-HIV dapat diperoleh dari pencatatan di semua unit pelayanan kesehatan dengan menggunakan satu sistem yang baku. Laporan kolaborasi TB- HIV terdiri atas variabel TB dan variabel HIV. Laporan tersebut harus dilaporkan oleh petugas TB dan petugas HIV tiap 3 bulan mulai dari Fasyankes, Kabupaten/ Kota, Provinsi sampai ke tingkat Pusat. Formulir Pencatatan dan pelaporan TB dan HIV dijelaskan berikut ini: 1. Formulir Pencatatan dan Pelaporan di Fasyankes Fasyankes (Puskesmas, Rumah Sakit, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)/BP4, klinik dan dokter praktek swasta dll) dalam melaksanakan pencatatan menggunakan formulir: a. HIV Formulir KT HIV Sukarela (KTS) Adalah formulir yang digunakan untuk mencatat proses KT HIV oleh Konselor di layanan KTS. Formulir Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan (KTIPK) Adalah formulir yang digunakan untuk mencatat proses KT HIV oleh Petugas kesehatan di layanan kesehatan. 119

135 Formulir Ikhtisar perawatan HIV dan Terapi Antiretroviral (ART) Adalah formulir yang berisi informasi pasien yang dicatat untuk semua pasien HIV yang terdaftar di layanan PDP. Formulir ini terdiri dari dua halaman yaitu: 1) Halaman pertama berisi informasi ringkasan identifikasi penting, sosiodemografi, klinis dan pengobatan. 2) Halaman dua berbentuk tabel yang berisi data kunjungan follow up pasien. Buku Register Pra ART Adalah buku yang digunakan untuk mencatat informasi penting dari formulir ikhtisar perawatan HIV dan Terapi ART dari semua pasien HIV yang masuk dalam perawatan dan belum memulai ART di layanan PDP. Buku Register ART Adalah buku yang digunakan untuk mencatat informasi penting dari formulir ikhtisar perawatan HIV dan Terapi ART dari semua pasien HIV yang masuk dalam perawatan dan sudah memulai ART di layanan PDP. Formulir Laporan Bulanan Perawatan HIV dan ART Adalah formulir pendokumentasian indikator utama mengenai akses perawatan HIV, akses ke ART dan kesinambungan ART di layanan PDP yang dilakukan oleh Petugas HIV. b. TB Buku Daftar Suspek yang Diperiksa Dahak SPS (TB.06) Adalah buku yang berisi tentang suspek TB yang diperiksa dahak SPS yang dilaksanakan di Fasyankes. Di dalam buku tersebut juga berisi nomor sediaan dahak untuk diisi pada formulir TB.05. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05) Adalah formulir permohonan pemeriksaan dahak yang terdiri dari dua bagian: 1) Bagian atas berisi identitas suspek atau pasien TB dan nomor sediaan dahak untuk dikirmkan ke bagian laboratorium. 2) Bagian bawah berisi hasil pemeriksaan dahak yang diisi oleh petugas laboratorium untuk dikembalikan ke bagian yang merujuk. Buku Register Laboratorium TB (TB.04) Adalah buku yang berisi hasil pemeriksaan dahak suspek dan dahak ulang pasien TB (follow up) di laboratorium TB yang melakukan pewarnaan dan pembacaan sediaan dahak. Kartu pengobatan pasien TB (TB.01) Adalah kartu pengobatan pasien yang mendapat pengobatan TB, terdiri dari dua bagian: 1) Bagian depan, berisi data pasien, riwayat pengobatan, hasil pemantauan pemeriksaan dahak 120

136 dan pemantauan pengobatan tahap awal. 2) Bagian belakang, berisi pemantauan pengobatan tahap lanjutan, data HIV dan status akhir pengobatan pasien. Kartu identitas pasien TB (TB.02) Adalah kartu berisikan perjanjian pengambilan obat dan pemeriksaan dahak ulang untuk pegangan pasien. Buku Register TB UPK (TB.03 UPK) Adalah buku rekapitulasi dari seluruh data pengobatan pasien (TB.01), terdiri dari empat rangkap: 1) Lembar 1 berwarna putih digunakan sebagai pertinggal di Fasyankes. 2) Lembar 2 berwarna merah muda digunakan sebagai laporan penemuan pasien ke Kabupaten/ Kota. 3) Lembar 3 berwarna kuning digunakan sebagai laporan konversi dahak ulang pasien ke Kabupaten/Kota. 4) Lembar 4 berwarna hijau digunakan sebagai laporan hasil akhir pengobatan pasien ke Kabupaten/Kota. Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09) Adalah formulir yang digunakan untuk merujuk/pindah pasien yang masih dalam pengobatan ke Fasyankes yang dirujuk baik dalam satu Kabupaten maupun antar Kabupaten/Kota atau antar Provinsi. Formulir ini terdiri dari dua bagian: 1) Bagian atas diisi oleh Fasyankes yang merujuk untuk dikirimkan ke Fasyankes yang dirujuk. 2) Bagian bawah diisi oleh Fasyankes yang menerima rujukan untuk kemudian dikirim kembali ke Fasyankes yang merujuk sebagai informasi pasien sudah diterima. Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10) Adalah formulir yang berisi hasil akhir pengobatan pasien yang dirujuk/dipindah ke Fasyankes yang merujuk/memindahkan. c. TB-HIV Formulir rujukan kolaborasi TB-HIV Adalah formulir yang digunakan untuk merujuk pasien TB dari unit DOTS ke Unit KTS/PDP atau klien dari Unit KTS/PDP ke Unit DOTS. Formulir ini terdiri dari dua rangkap, yaitu : 1) Lembar 1 (berwarna putih) diisi oleh unit yang merujuk kemudian dikirimkan ke unit yang dirujuk (unit DOTS atau KTS/PDP). Lembaran ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian atas yang berisi identitas dan alasan rujukan dan bagian bawah yang berisi jawaban rujukan yang berisi hasil untuk dikirimkan kembali ke bagian yang merujuk. 2) Lembar 2 (berwarna hijau) merupakan salinan dari lembar 1 dan lembar pertinggal unit yang merujuk. 121

137 Formulir skrining gejala dan tanda TB Adalah formulir yang digunakan untuk menilai gejala dan tanda TB pada ODHA di layanan PDP. Formulir Penilaian faktor risiko HIV Adalah formulir yang digunakan untuk menilai faktor risiko HIV pada pasien TB di layanan DOTS. Buku bantu kolaborasi TB-HIV Adalah buku yang digunakan untuk mencatat hasil pemeriksaan dan pengobatan TB pada ODHA di layanan PDP. Buku bantu ini berisi data yang digunakan untuk membantu pengisian laporan dalam rangka kegiatan kolaborasi TB-HIV di bagian HIV. Untuk memudahkan proses pembuatan laporan pencapaian kegiatan kolaborasi TB-HIV di bagian HIV sudah disediakan dalam bentuk elektronik beserta petunjuk penggunaannya. Laporan triwulan pencapaian kegiatan kolaborasi TB-HIV Adalah laporan berisikan variabel yang berkaitan dengan capaian kegiatan kolaborasi TB-HIV dalam rangka menurunkan beban TB pada ODHA dan beban HIV pada TB. B. MEKANISME PENCATATAN DAN PELAPORAN PASIEN TB-HIV 1. Mekanisme Pencatatan dan Pelaporan TB-HIV di Fasyankes a. Model layanan Terintegrasi Pada model ini, layanan TB dan HIV terpadu dalam satu unit di satu Fasyankes. 1) Pasien ODHA 99 Semua ODHA dinilai apakah menunjukkan gejala dan tanda TB dengan menggunakan formulir skrining gejala dan tanda TB. Hasilnya dicatat di kolom status TB pada Iktisar Perawatan HIV dan ART (follow-up). 99 Mereka yang menunjukkan gejala dan tanda TB dicatat di buku daftar suspek TB (TB.06) untuk kemudian dilakukan penegakan diagnosis TB (pemeriksaan mikroskopis dahak, dll). 99 Jika hasil pemeriksaan positif TB, pengobatan diberikan di unit layanan terintegrasi ini dengan menggunakan OAT sesuai dengan program TB dan dicatat di kartu pengobatan pasien TB (TB.01), TB03 UPK serta di Iktisar Perawatan HIV dan ART. 99 Bila bukan TB, petugas tetap melakukan skrining gejala dan tanda TB secara berkala pada setiap kunjungan. 99 Pengobatan ART dan follow up pasien juga diberikan di unit ini dan dicatat di Iktisar Perawatan HIV dan ART (follow-up). 2) Pasien TB 99 Semua pasien TB dinilai apakah memiliki faktor risiko HIV (tinggal di daerah dengan epidemi HIV meluas, mempunyai perilaku berisiko, mempunyai gejala klinis terkait HIV) dengan 122

138 menggunakan formulir penilaian faktor risiko HIV. Pasien TB yang memiliki faktor risiko ditawarkan KT HIV oleh petugas. Jika pasien tidak menolak, petugas memberikan informasi mengenai HIV atau melakukan pra-test HIV kemudian mengisiformulir KTS/KTIPK dan TB.01 di bagian layanan KT HIV sukarela pada kolom tanggal dianjurkan dan tanggal pra-tes konseling. Sebelum merujuk ke laboratorium untuk pemeriksaan HIV, petugas mengisi formulir rujukan ke laboratorium. Setelah mendapatkan hasil tes HIV pasien TB, petugas mengisi hasil tes HIV di formulir KTIPK/ KTS dan TB.01 di kolom tempat tes, tanggal tes, hasil tes serta tanggal pasca tes konseling. Jika hasil tes HIV positif, petugas mulai mengisi di iktisar perawatan HIV dan ART kemudian diisikan ke register pra-art. Petugas melakukan tatalaksana TB dan HIV sesuai dengan pedoman. Pasien dengan hasil tes HIV negatif dipantau terus faktor risiko HIV. Dengan mengingat terdapatnya window period, pertimbangkan untuk konseling dan tes HIV ulang. Petugas melakukan tatalaksana TB sesuai dengan pedoman. b. Model Layanan Paralel Pada model ini,layanan TB dan layanan HIV berdiri sendiri-sendiri di Fasyankes yang sama atau berbeda. Masing-masing layanan melaksanakan kolaborasi melalui sistem rujukan yang disepakati. 1) Pasien TB di Unit DOTS 99 Semua pasien TB di Unit DOTS dinilai apakah menunjukkan faktor risiko HIV (tinggal di daerah dengan epidemi HIV meluas, mempunyai perilaku berisiko, mempunyai gejala klinis terkait HIV) dengan menggunakan formulir penilaian faktor risiko HIV. Pasien TB yang menunjukkan faktor risiko ditawarkan KT HIV oleh petugas TB atau dirujuk ke layanan KT HIV mengunakan formulir rujukan kolaborasi TB-HIV. Jika pasien TB dirujuk ke KT HIV maka KT HIV harus memberikan umpan balik hasil tes HIV ke unit DOTS. 99 Setelah mendapatkan hasil tes HIV pasien TB, petugas di layanan DOTS mencatat hasilnya di Formulir TB.01 dan Register TB.03 UPK. 99 Pasien dengan hasil tes HIV positif dirujuk ke layanan PDP di RS rujukan ARV. 99 Pasien dengan hasil tes HIV negatif dipantau terus faktor risiko HIV. Dengan mengingat terdapatnya window period, pertimbangkan untuk KT HIV ulang. 99 Pengobatan pasien TB tetap dilanjutkan oleh tim DOTS dan petugas TB di unit DOTS mencatat di kartu pengobatan pasien TB (TB.01) dan register TB.03 UPK. 2) Klien di Layanan KT HIV 99 Semua klien di layanan KT HIV dinilai apakah menunjukkan gejala dan tanda TB dengan menggunakan formulir skrining gejala dan tanda TB. Mereka yang menunjukkan gejala dan 123

139 tanda TB dirujuk dengan menggunakan formulir rujukan kolaborasi TB-HIV untuk dilakukan penegakan diagnosis TB (pemeriksaan dahak, dll). Hasil pemeriksaan oleh unit DOTS harus diberitahukan ke layanan KT HIV. Bila didiagnosis TB, pengobatan TB dilakukan di Unit DOTS dan dicatat oleh petugas TB di formulir TB.01 serta di register TB.03 UPK. Petugas di layanan KTS tetap memantau keadaan pasien TB dengan risiko HIV. Dengan terdapatnya window period, pertimbangkan KT HIV ulang. Jika dilakukan KT HIV ulang dan hasilnya positif HIV maka pengobatan TB dilakukan di unit DOTS dan penatalaksanaan selanjutnya dilakukan di layanan PDP. 3) ODHA di Layanan PDP 99 Semua ODHA di layanan PDP dinilai apakah menunjukkan gejala dan tanda TB dengan menggunakan formulir skrining gejala dan tanda TB. Hasilnya dicatat di kolom status TB pada Iktisar Perawatan HIV dan ART (follow-up). Orang dengan HIV AIDS yang menunjukkan gejala dan tanda TB dirujuk dengan menggunakan formulir rujukan kolaborasi TB-HIV untuk dilakukan penegakan diagnosis TB (pemeriksaan mikroskopis dahak, dll). Hasil pemeriksaan oleh unit DOTS harus diberitahukan ke layanan PDP. 99 Bila didiagnosis TB, pengobatan TB dilakukan di Unit DOTS dan dicatat oleh petugas TB di formulir TB.01 serta di register TB.03 UPK. Petugas di layanan PDP mencatat pengobatan TB pasien di Iktisar Perawatan HIV dan ART. Petugas di layanan PDP dapat ikut memantau dan berkoordinasi dengan unit DOTS mengenai pengobatan TB pasien, juga melakukan tatalaksana selanjutnya untuk ODHA. Hasil follow-up selama pasien di dalam perawatan HIV/ ART dicatat di Iktisar Perawatan HIV dan ART (follow-up). 99 Bila bukan TB, petugas tetap melakukan skrining gejala dan tanda TB secara berkala pada setiap kunjungan. Fasyankes TB dan HIV membuat laporan triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-HIV. Fasyankes TB akan membuat laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-HIV penurunan beban HIV pada TB. Fasyankes HIV akan membuat laporan Triwulan Pencapaian Kegiatan Kolaborasi TB-HIV penurunan beban TB pada ODHA. Fasyankes TB dan HIV akan mengumpulkan Laporan tersebut paling lambat tanggal 5 setiap awal triwulan berikutnya. C. VARIABEL PELAPORAN KOLABORASI TB-HIV Pelaporan kolaborasi TB-HIV terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pelaporan kolaborasi TB-HIV dari unit TB dan bagian pelaporan kolaborasi TB-HIV dari Unit HIV. 1) Pelaporan kolaborasi TB-HIV dari Unit TB Bagian Pelaporan kolaborasi TB-HIV dari TB terdiri dari 10 variabel, format pelaporan dapat dilihat 124

140 pada lampiran 1, dibawah ini: Lampiran

INFORMASI TENTANG HIV/AIDS

INFORMASI TENTANG HIV/AIDS INFORMASI TENTANG HIV/AIDS Ints.PKRS ( Promosi Kesehatan Rumah Sakit ) RSUP H.ADAM MALIK MEDAN & TIM PUSYANSUS HIV/AIDS? HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala akibat penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Lebih terperinci

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru 1.1 Pengertian Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis

Lebih terperinci

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI TUBERKULOSIS DAN KEJADIANNYA Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016 Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016 TEMA 1 : Tuberkulosis (TB) A. Apa itu TB? TB atau Tuberkulosis adalah Penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberkulosis. Kuman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia terutama negara berkembang. Munculnya epidemik Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency

Lebih terperinci

MATERI INTI 1 INFORMASI TENTANG TB, HIV DAN KOINFEKSI TB-HIV

MATERI INTI 1 INFORMASI TENTANG TB, HIV DAN KOINFEKSI TB-HIV MATERI INTI 1 INFORMASI TENTANG TB, HIV DAN KOINFEKSI TB-HIV POKOK BAHASAN 1 INFORMASI TB BEBAN PERMASALAHAN TB DI INDONESIA 2016* 5 Indikator Tingkat Jumlah Rate /100.000 Insidensi (pertahun) Global

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etiologi dan Patogenesis Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

Lebih terperinci

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 33 TAHUN 2016 SERI B.25 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KOLABORASI TB-HIV (TUBERKULOSIS-HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS) KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome HIV merupakan virus Ribonucleic Acid (RNA) yang termasuk dalam golongan Retrovirus dan memiliki

Lebih terperinci

MANAJEMEN PELAKSANAAN KOLABORASI TB-HIV DI INDONESIA

MANAJEMEN PELAKSANAAN KOLABORASI TB-HIV DI INDONESIA 616 Ind p MANAJEMEN PELAKSANAAN KOLABORASI TB-HIV DI INDONESIA DIREKORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2012 1 2 KATA PENGANTAR Perkembangan

Lebih terperinci

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU Penemuan PasienTB EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU 1 Tatalaksana Pasien Tuberkulosis Penatalaksanaan TB meliputi: 1. Penemuan pasien (langkah pertama) 2. pengobatan yang dikelola menggunakan strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) adalah suatu jenis retrovirus yang memiliki envelope, yang mengandung RNA dan mengakibatkan gangguan sistem imun karena menginfeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan dunia. Pada tahun 2012 diperkirakan 8,6 juta orang terinfeksi TB dan 1,3 juta orang meninggal karena penyakit ini (termasuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan pada peningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

Lebih terperinci

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). 10,11 Virus ini akan

Lebih terperinci

HIV AIDS. 1. Singkatan dan Arti Kata WINDOW PERIOD DISKRIMINASI. 2. Mulai Ditemukan

HIV AIDS. 1. Singkatan dan Arti Kata WINDOW PERIOD DISKRIMINASI. 2. Mulai Ditemukan HIV AIDS 1. Singkatan dan Arti Kata HIV WINDOW PERIOD AIDS STIGMA ODHA OHIDHA VCT DISKRIMINASI 2. Mulai Ditemukan 1981 1987 1993 3. Cara Infeksi - Sex yang tidak aman - Napza suntik 4. Cara Pencegahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno Deficiency Syndrome(AIDS) saat ini telah menjadi masalah kesehatan global. Selama kurun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI Tuberkulosis A.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini ditemukan pertama kali oleh Robert

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA RSAU Dr.M.SALAMUN TENTANG KEBIJAKAN PANDUAN RUJUKAN PASIEN HIV/AIDS. DI RSAU Dr.M.SALAMUN

KEPUTUSAN KEPALA RSAU Dr.M.SALAMUN TENTANG KEBIJAKAN PANDUAN RUJUKAN PASIEN HIV/AIDS. DI RSAU Dr.M.SALAMUN DINAS KESEHATAN ANGKATAN UDARA RSAU Dr.M.SALAMUN KEPUTUSAN KEPALA RSAU Dr.M.SALAMUN Nomor : Skep/ /IX/20 TENTANG KEBIJAKAN PANDUAN RUJUKAN PASIEN HIV/AIDS DI RSAU Dr.M.SALAMUN KEPALA RSAU Dr.M.SALAMUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. global.tuberkulosis sebagai peringkat kedua yang menyebabkan kematian dari

BAB I PENDAHULUAN. global.tuberkulosis sebagai peringkat kedua yang menyebabkan kematian dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama global.tuberkulosis sebagai peringkat kedua yang menyebabkan kematian dari penyakit menular di seluruh dunia

Lebih terperinci

Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS. Astrid Wiratna

Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS. Astrid Wiratna Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS Astrid Wiratna Psikologi dan HIV-AIDS HIV-AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV Virus HIV bisa menginfeksi tubuh seseorang karena perilakunya Psikologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang pada umumnya menyerang jaringan paru, tetapi dapat menyerang organ

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui aktivitas seksual dengan pasangan penderita infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab sekumpulan gejala akibat hilangnya kekebalan tubuh yang disebut Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan dapat mengenai berbagai organ tubuh. Penyakit tuberkulosis terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular menjadi masalah dalam kesehatan masyarakat di Indonesia dan hal ini sering timbul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menyebabkan kematian penderitanya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis 1. Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman tuberkulosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan masyarakat di seluruh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) & Acquired Immunodeficieny Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang

Lebih terperinci

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh adanya infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan masyarakat yang yang dialami Indonesia saat ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan masyarakat yang yang dialami Indonesia saat ini sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah kesehatan masyarakat yang yang dialami Indonesia saat ini sangat kompleks dan menjadi beban ganda dalam pembiayaan pembangunan kesehatan. Pola penyakit yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang bagian paru, namun tak

Lebih terperinci

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH HIV/AIDS Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH 1 Pokok Bahasan Definisi HIV/AIDS Tanda dan gejala HIV/AIDS Kasus HIV/AIDS di Indonesia Cara penularan HIV/AIDS Program penanggulangan HIV/AIDS Cara menghindari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintah Indonesia, berbeda dengan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) semakin nyata menjadi masalah kesehatan utama di seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan merupakan penyebab kematian bagi penderitanya. Penyakit menular adalah penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) secara global masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah kesehatan yang

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR TENTANG HIV/ AIDS. HIV yang merupakan singkatan dari HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS adalah Virus

PENGETAHUAN DASAR TENTANG HIV/ AIDS. HIV yang merupakan singkatan dari HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS adalah Virus PENGETAHUAN DASAR TENTANG HIV/ AIDS Apakah HIV itu? HIV yang merupakan singkatan dari HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS adalah Virus Penyebab AIDS. Virus ini menyerang dan merusak sistem kekebalan tubuh sehingga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV dapat menyebabkan penderita

Lebih terperinci

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1 Mengapa Kita Batuk? Batuk adalah refleks fisiologis. Artinya, ini adalah refleks yang normal. Sebenarnya batuk ini berfungsi untuk membersihkan tenggorokan dan saluran napas. Atau dengan kata lain refleks

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan yang penting saat ini. WHO menyatakan bahwa sekitar sepertiga penduduk dunia tlah terinfeksi kuman Tuberkulosis.

Lebih terperinci

KOLABORASI TB-HIV PELATIHAN BAGI PETUGAS KTS DAN PDP MODUL G:

KOLABORASI TB-HIV PELATIHAN BAGI PETUGAS KTS DAN PDP MODUL G: KOLABORASI TB-HIV PELATIHAN BAGI PETUGAS KTS DAN PDP MODUL G: MONITORING DAN EVALUASI KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV DI SARANA PELAYANAN KESEHATAN Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksius yang menular yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksius yang menular yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksius yang menular yang terutama menyerang parenkim paru yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (Brunner & Suddarth,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit ini termasuk salah satu prioritas nasional

Lebih terperinci

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 8 Anak menderita HIV/Aids. Catatan untuk fasilitator. Ringkasan Kasus:

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 8 Anak menderita HIV/Aids. Catatan untuk fasilitator. Ringkasan Kasus: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Bab 8 Anak menderita HIV/Aids Catatan untuk fasilitator Ringkasan Kasus: Krishna adalah seorang bayi laki-laki berusia 8 bulan yang dibawa ke Rumah Sakit dari sebuah

Lebih terperinci

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4 PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS Edwin 102012096 C4 Skenario 1 Bapak M ( 45 tahun ) memiliki seorang istri ( 43 tahun ) dan 5 orang anak. Istri Bapak M mendapatkan pengobatan TBC paru dan sudah berjalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 48 TAHUN 2004 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) telah menjadi masalah yang serius bagi dunia kesehatan. Menurut data World Health

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB/HIV

KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB/HIV KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB/HIV edisi pertama Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2007 1 Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV di Indonesia Departemen Kesehatan Kesehatan Republik Indonesia 2 SURAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (Tb) merupakan penyakit menular bahkan bisa menyebabkan kematian, penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis

Lebih terperinci

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Disampaikan pada Lecture Series Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA ATMAJAYA: Peranan Bidan dalam Mendukung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian penderitanya. Departemen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada akhir tahun 2009 terdapat lebih dari kasus Acquired

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada akhir tahun 2009 terdapat lebih dari kasus Acquired I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada akhir tahun 2009 terdapat lebih dari 1.000.000 kasus Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) terjadi di Amerika Serikat disebabkan oleh Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2015, United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan bahwa secara global sekitar 36.7 juta orang hidup dengan HIV dan 2.1 juta orang baru terinfeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. tanah lembab dan tidak adanya sinar matahari (Corwin, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. tanah lembab dan tidak adanya sinar matahari (Corwin, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Price & Wilson, 2006). Penyakit ini dapat menyebar melalui

Lebih terperinci

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 201 Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 1 Puskesmas Bulupoddo, 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquaired Immunodefeciency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquaired Immunodefeciency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquaired Immunodefeciency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodefeciency Virus (HIV). AIDS telah dilaporkan oleh lebih dari 93 negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis ( mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang

Lebih terperinci

INFORMASI TENTANG HIV/ AIDS. Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU

INFORMASI TENTANG HIV/ AIDS. Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU INFORMASI TENTANG HIV/ AIDS TAMBAR KEMBAREN Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU 1 PENGENALAN HIV(Human Immunodeficiency Virus) ad alah virus yang menyerang SISTEM KEKEBALAN tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan satu penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1.1 Latar Belakang Penyakit human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu retrovirus yang berasal dari famili

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Data kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan dari tahun Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. Data kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan dari tahun Menurut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Data kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan dari tahun 2008-2009. Menurut data per 31 Desember 2008 dari Komisi Penanggulangan AIDS Pusat, di 10 Propinsi jumlah kasus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penularan langsung terjadi melalui aerosol yang mengandung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang kita kenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health issue. HIV/AIDS telah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TB Paru adalah salah satu masalah kesehatan yang harus dihadapi masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta kematian, dan diperkirakan saat

Lebih terperinci

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e. Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB XXV. Tuberkulosis (TB) Apakah TB itu? Bagaimana TB bisa menyebar? Bagaimana mengetahui sesorang terkena TB? Bagaimana mengobati TB?

BAB XXV. Tuberkulosis (TB) Apakah TB itu? Bagaimana TB bisa menyebar? Bagaimana mengetahui sesorang terkena TB? Bagaimana mengobati TB? BAB XXV Tuberkulosis (TB) Apakah TB itu? Bagaimana TB bisa menyebar? Bagaimana mengetahui sesorang terkena TB? Bagaimana mengobati TB? Pencegahan TB Berjuang untuk perubahan 502 TB (Tuberkulosis) merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi dapat

Lebih terperinci

S T O P T U B E R K U L O S I S

S T O P T U B E R K U L O S I S PERKUMPULAN PELITA INDONESIA helping people to help themselves * D I V I S I K E S E H A T A N * S T O P T U B E R K U L O S I S INGAT 4M : 1. MENGETAHUI 2. MENCEGAH 3. MENGOBATI 4. MEMBERANTAS PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (AIDS) pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan. (UNAIDS) dalam laporannya pada hari AIDS sedunia tahun 2014,

BAB I PENDAHULUAN. (AIDS) pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan. (UNAIDS) dalam laporannya pada hari AIDS sedunia tahun 2014, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak ditemukannya penyakit Aqcuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan gobal. Menurut data dari United Nations

Lebih terperinci

CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV. Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi

CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV. Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang paling sering mengenai organ paru-paru. Tuberkulosis paru merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus RNA yang dapat menyebabkan penyakit klinis, yang kita kenal sebagai Acquired Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS (Accquired Immunodeficiency Syndrom) adalah stadium akhir pada serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis yang dikenal sebagai spektrum infeksi Human Immunodificiency

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Imunnodeficiency Syndrome (AIDS) HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun dan sejak tahun 2000 sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Penyakit Tuberkulosis paru Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut biasanya masuk ke dalam

Lebih terperinci

Dasar Determinasi Pasien TB

Dasar Determinasi Pasien TB Dasar Determinasi Pasien TB K-12 DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI FK USU Klasifikasi penyakit dan tipe pasien Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB memerlukan defenisi kasus yang meliputi 4 hal, yaitu:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah besar yang mengancam banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara

Lebih terperinci

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993 memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis masih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAULUAN. menyerang system kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immune

BAB 1 PENDAULUAN. menyerang system kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immune BAB 1 PENDAULUAN 1.1 Latar Belakang HIV (Human Immune Deficiency Virus) merupakan virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah sindrom kekebalan

Lebih terperinci