BAB I PENDAHULUAN. Daerah menjadi babak baru otonomi daerah di Indonesia. Pasal 1 bab 1 ayat 5

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengesahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi babak baru otonomi daerah di Indonesia. Pasal 1 bab 1 ayat 5 dalam undang-undang tersebut menjelaskan bahwa otonomi daerah merupakan hak, kewajiban, dan wewenang yang diberikan pada daerah otonom untuk mengelola urusan pemerintah di luar urusan pemerintah pusat dan kepentingan masyarakat secara mandiri sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah. Selain memiliki wewenang mengatur kebijakan pemerintahannya, daerah otonom memiliki andil untuk mengelola keuangan daerahnya yang diakomodasi Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Pengelolaan keuangan daerah merupakan seluruh kegiatan yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah (PP No 58 tahun 2005, pasal 1, bab 1, ayat 6). Pengelolaan keuangan daerah yang menjadi pusat perhatian adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Halim 2007). Berdasarkan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 1 bab 1 ayat 8, APBD merupakan hasil dari proses penyusunan rencana keuangan tahunan oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta Peraturan Daerah yang telah ditetapkan. APBD terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran

2 belanja, dan anggaran pembiayaan (UU No 17 tahun 2003, pasal 16, bab 4, ayat 2). Anggaran tersebut merupakan hasil kebijakan ekonomi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara (Penjelasan UU No 17 tahun 2003, 24). Mengingat pentingnya peran APBD, pemerintah daerah dituntut untuk mengelolanya secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat (PP 58 tahun 2005, pasal 4, bab 1, ayat 2). Sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas penggunaan APBD, pemerintah daerah menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang mengacu pada Sistem Akuntansi Pemerintah. Salah satu elemen dari LKPD adalah Laporan Realisasi Anggaran. Laporan Realisasi Anggaran menyediakan informasi mengenai realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit, dan pembiayaan yang dikomparasikan dengan anggarannya untuk mengevaluasi keputusan pemerintah daerah terkait alokasi sumber daya ekonomi, akuntabilitas, serta ketaatan terhadap anggaran ( PSAP No 2, Paragraf 9 ). Salah satu elemen dalam LRA adalah sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA). SiLPA merupakan selisih lebih dari realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran dalam satu periode anggaran yang mencakup sisa dana untuk mendanai kegiatan lanjutan, uang pihak ketiga yang belum diselesaikan, penghematan karena proses lelang dan pelampauan target pendapatan daerah(pp No 58, pasal 1, bab 1, ayat 31). Menurut Mahmudi (2016,

3 172), SiLPA adalah penjumlahan dari selisih realisasi pendapatan dan belanja dengan selisih realisasi penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Berdasarkan Deskripsi dan Analisis APBD tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Dirjen Perimbangan Keuangan Indonesia, sumber penerimaan pembiayaan di seluruh Kota/Kabupaten dan Provinsi di Indonesia didominasi oleh SiLPA. Di tingkat provinsi rasio SiLPA terhadap total penerimaan pembiayaan adalah 96.02%. Di tingkat Kota/Kabupaten prosentase SiLPA terhadap total penerimaan pembiayaan adalah 94.18%. Terbentuknya SiLPA bernilai besar dapat mengindikasikan adanya gangguan dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang membuat belanja daerah yang kurang terserap optimal (DJPK RI 2014, 91). Kondisi SiLPA di suatu daerah dipengaruhi oleh kinerja pemerintah (Bali 2013, 5). Bali (2013, 5) mengungkapkan bahwa SiLPA tidak dapat dilihat hanya dari besar atau kecilnya saja namun harus diidentifikasi apakah SiLPA disebabkan oleh kinerja pemerintah yang baik atau kinerja buruk. Lebih lanjut, Suharna (2015, 5) menyatakan bahwa SiLPA tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu, SiLPA harus dilihat dan dikaji secara mendalam penyebab terbentuknya. Identifikasi penyebab SiLPA telah dilakukan dalam berbagai penelitian, Bali (2013, 16) mengungkapkan bahwa manajemen keuangan daerah menentukan kesuksesan pengelolaan keuangan daerah. Penelitiannya mengklasifikasikan penyebab terjadinya SiLPA menurut elemen dalam manajemen keuangan daerah dan menyimpulkan bahwa manajemen belanja daerah merupakan penyumbang SiLPA terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 (Bali, 2013). Di

4 wilayah yang berbeda, Suharna (2015, 95 97) menemukan bahwa SiLPA di Provinsi Kalimantan Utara dipengaruhi oleh perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sumber daya manusia, dan regulasi. Dalam penelitiannya juga diungkapkan bahwa elemen APBD yang berkontribusi pada peningkatan dan penurunan SiLPA adalah Pendapatan transfer, Pendapatan Asli Daerah, Belanja Modal, dan Belanja Operasional (Suharna 2015, 95 97). Berbeda dengan dua penelitian sebelumnya, Samaloisa (2014, 83 85) menemukan bahwa SiLPA di Kabupaten Mentawai yang disebabkan oleh perencanaan anggaran yang buruk memiliki nilai prioritas untuk diperbaiki. Penelitian Hakim (2016, 63) mengemukakan bahwa SiLPA yang tercipta di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonporogo disebabkan oleh komitmen penyusun anggaran dan kebijakan pemerintah pusat. Melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya, penulis memfokuskan pada identifikasi SiLPA APBD Kota Salatiga tahun 2015 karena memiliki rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah tertinggi dibandingkan dengan Kota dan Kabupaten di Jawa Tengah (BPK RI 2016) seperti tertera pada Tabel 1.1.

5 Tabel 1.1 Rasio Realisasi SILPA Terhadap Realisasi Belanja Daerah Tahun Anggaran 2015 Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah No Kota/Kabupaten SILPA/ Belanja Daerah 1 Kota Semarang 37% 2 Kota Salatiga 50% 3 Kab. Jepara 18% 4 Kab. Cilacap 21% 5 Kab. Purbalingga 20% 6 Kota Magelang 27% 7 Kab. Temanggung 14% 8 Kab. Wonosobo 18% 9 Kota Pekalongan 15% 10 Kab. Banyumas 21% 11 Kab. Kendal 22% 12 Kab. Tegal 21% 13 Kota Tegal 15% 14 Kab. Pemalang 15% 15 Kab. Semarang 12% 16 Kab. Pati 19% 17 Kab. Demak 13% 18 Kab. Kudus 29% 19 Kab. Rembang 38% 20 Kota Surakarta 14% 21 Kab. Boyolali 14% 22 Kab. Klaten 22% 23 Kab. Sukoharjo 22% 24 Kab. Wonogiri 16% 25 Kab. Blora 8% 26 Kab. Grobogan 15% 27 Kab. Karanganyar 19% 28 Kab. Sragen 12% 29 Kab. Banjarnegara 24% 30 Kab. Kebumen 13% 31 Kab. Magelang 28% 32 Kab. Purworejo 16% 33 Kab. Pekalongan 14% 34 Kab. Batang 13% 35 Kab. Brebes 20% Sumber: LHP BPK RI LKPD TA 2015 (data diolah).

6 Rasio SiLPA terhadap belanja menunjukkan menunjukkan bahwa Kota Salatiga memiliki penggunaan dana yang tertunda atau tidak terserap yang paling tinggi dibandingkan dengan Kota/Kabupaten lain di Jawa Tengah. Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Kota Salatiga dalam Tabel 1.1 menunjukkan adanya kemungkinan hampir separuh alokasi belanja daerah bersumber dari SiLPA. Tabel 1.2 Realisasi Anggaran Kota Salatiga 2015 KETERANGAN ANGGARAN PERUBAHAN (Rp) REALISASI (Rp) Serapan Anggaran Pendapatan ,45% Belanja Daerah ,92% Surplus (Defisit) ( ) Penggunaan SiLPA tahun lalu ,06% Sumber: LHP BPK RI LKPD Kota Salatiga TA 2015 (data diolah). Fokus penelitian di Kota Salatiga diperkuat dengan penyerapan belanja daerah tahun 2015 yang hanya terealisasi 66.92% dari anggaran yang telah ditetapkan seperti tertera pada Tabel 1.2 (BPK RI 2016). Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian tersebut, Penulis termotivasi untuk melakukan penelitian yang berjudul Identifikasi Faktor Penjelas Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Pada Pemerintah Kota Salatiga Tahun Anggaran Rumusan Masalah Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah di Kota Salatiga yang besar dipandang sebagai indikasi kurang cermatnya perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Namun demikian nilai SiLPA sendiri tidak dapat digunakan untuk

7 mengindikasikan efisiensi dan efektivitas kinerja pemerintah daerah, sehingga kita perlu mengetahui apa yang menjadi penyebab terjadinya SiLPA. Untuk mengetahui terjadinya SiLPA, maka rumusan masalahnya adalah apa faktor-faktor penjelas terjadinya sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) di Kota Salatiga tahun Pertanyaan Penulisan Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka pertanyaan penelitian adalah apa yang menjadi faktor penjelas sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) Kota Salatiga pada tahun 2015? 1.4 Batasan Masalah Penelitian berfokus pada faktor penjelas terjadinya sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) di Kota Salatiga tahun Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengeksplorasi faktor penjelas terjadinya sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) di Kota Salatiga pada tahun anggaran Manfaat Penelitian Manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini dapat menambah referensi penelitian

8 mengenai pengelolaan keuangan daerah khususnya sisa lebih perhitungan anggaran. 2. Bagi Pemerintah Kota Salatiga, hasil penelitian ini dapat memberi penjelas mengenai faktor terjadinya SiLPA sehingga dapat menjadi masukan bagi kegiatan pengelolaan keuangan daerah yang optimal Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab I menjelaskan latar belakang masalah yang dijadikan dasar bagi penulis untuk merumuskan masalah, pertanyaan penelitian, batasan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka Bab II berisi teori-teori yang melandasi penelitian dan menjadi dasar analisis sisa lebih perhitungan anggaran Bab III Metodologi Penelitian Bab III berisi jenis penelitian, metode penelitian, lokasi penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi sisa lebih perhitungan anggaran. Bab IV Pembahasan Bab IV berisi hasil penelitian melalui wawancara maupun dokumentasi dan pembahasan menganai faktor yang menyebabkan sisa lebih

9 perhitungan anggaran. Bab V Penutup Bab V merangkum kesimpulan yang didapatkan dari bab-bab sebelumnya, keterbatasan penelitian, dan saran untuk memperbaiki pengelolaan sisa lebih perhitungan anggaran dalam APBD.