BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. PDRB per kapita, pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah, kesehatan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. PDRB per kapita, pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah, kesehatan"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan membahas gambaran variabel dan data yang digunakan dalam penelitian ini, hasil analisis statistik dan ekonomi berdasarkan hasil penelitian pada PDRB per kapita, pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah, kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup, tingkat pengangguran terbuka, dan upah minimum terhadap tingkat kemiskinan selama tahun 2010 hingga 2015 di Provinsi Jawa Tengah. Analisis ekonometrik digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel independen mempengaruhi variabel dependen sedangakan analisis statistik digunakan untuk melihat sejauh mana variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen serta untuk melihat tingkat signifikansi dalam penelitian melalui pengujian statistik terhadap model yang digunakan. Analisis ekonomi akan menjelaskan arti dari parameter-parameter yang didapat melalui hasil perkiraan yang meliputi keseuaian arah parameter yang diteliti dengan hipotesis-hipotesis yang telah ditetapkan berdasarkan teori ekonomi, serta melihat seberapa besar pengaruh perubahan variabel independen terhadap variabel dependen Gambaran Variabel dan Data Penelitian Pada bagian ini akan diuraikan deskripsi secara umum terhadap berbagai variabel yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini dalam kurun waktu tahun 2010 hingga Variabel yang diteliti tersebut adalah tingkat kemiskinan, PDRB per kapita, pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah, kesehatan yang 68

2 diukur dengan angka harapan hidup, tingkat pengangguran terbuka, dan upah minimum pada 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Berikut merupakan deskripsi statistik dari seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4.1. Hasil Deskripsi Statistik Variable Obs Mean Std. Dev Min Max POV GRDPCap Educ Health Unem MinWage Sumber: Hasil pengolahan data Tingkat Kemiskinan Tingkat kemiskinan adalah persentase jumlah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data pada Tabel 4.1. secara umum tingkat kemiskinan yang ditunjukkan oleh variabel POV antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu tahun rata-rata sebesar 14,23%. Tingkat kemiskinan paling rendah selama periode penelitian terdapat di Kota Semarang pada tahun 2015 yakni sebesar 4,97% sedangkan tingkat kemiskinan yang paling tinggi selama periode penelitian terdapat di Kabupaten Purbalingga pada tahun 2010 yakni sebesar 25,58%. Grafik 4.1. menunjukkan keadaan tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah di mana rata-rata kabupaten/kota memiliki tingkat kemiskinan yang cenderung mengalami penurunan dari tahun 2010 hingga tahun Kota Semarang merupakan kota dengan tingkat kemiskinan yang paling rendah dibanding kabupaten/kota lainnya dengan tingkat kemiskinan sebesar, kemudian disusul dengan Kota Salatiga yang memiliki tingkat kemiskinan kedua terendah 69

3 Kabupaten Cilacap Kabupaten Banyumas Kabupaten Purbalingga Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Kebumen Kabupaten Purworejo Kabupaten Wonosobo Kabupaten Magelang Kabupaten Boyolali Kabupaten Klaten Kabupaten Sukoharjo Kabupaten Wonogiri Kabupaten Karanganyar Kabupaten Sragen Kabupaten Grobogan Kabupaten Blora Kabupaten Rembang Kabupaten Pati Kabupaten Kudus Kabupaten Jepara Kabupaten Demak Kabupaten Semarang Kabupaten Temanggung Kabupaten Kendal Kabupaten Batang Kabupaten Pekalongan Kabupaten Pemalang Kabupaten Tegal Kabupaten Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Kemiskinan (%) selama periode penelitian. Adapun daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi selama periode penelitian adalah Kabupaten Wonosobo. Grafik 4.1. Tingkat Kemiskinan per Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun Kabupaten/Kota, Tahun Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah) PDRB Per Kapita Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita digunakan untuk mengetahui tingkat perekonomian suatu daerah secara nyata per kapita. PDRB per kapita didapat dengan membagi PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tinggal disuatu wilayah. PDRB yang digunakan adalah PDRB harga konstan berdasarkan lapangan usaha. PDRB atas dasar harga konstan adalah penghitungan PDRB berdasarkan harga tetap atau konstan pada tahun tertentu. PDRB dari sisi lapangan usaha merupakan penjumlahan seluruh komponen nilai tambah bruto yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktivitas produksinya. Berdasarkan data pada Tabel 4.1. secara umum PDRB per kapita yang 70

4 ditunjukkan oleh variabel GRDPCap antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu tahun rata-rata sebesar Rp ,56. PDRB per kapita paling tinggi selama periode penelitian terdapat di Kabupaten Kudus pada tahun 2015 yakni Rp ,71 sedangkan PDRB per kapita yang paling rendah selama periode penelitian terdapat di Kabupaten Purbalingga pada tahun 2010 yakni sebesar Rp ,62. Grafik 4.2. menunjukkan kondisi perekonomian yang digambarkan dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. Berdasarkan Grafik 4.2. dapat dilihat bahwa nilai PDRB per kapita di masing-masing kabupaten/kota cenderung mengalami peningkatan selama periode penelitian. Nilai PDRB per kapita yang paling tinggi di Jawa Tengah adalah Kabupaten Kudus dan selanjutnya ada Kota Semarang. Sedangkan nilai PDRB per kapita yang paling rendah berada di Kabupaten Pemalang. Untuk melihat hubungan antara PDRB per kapita dengan tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sepanjang tahun dapat terlihat scatter plot yang menunjukkan korelasi yang negatif sebagaimana dapat dilihat pada Grafik

5 Tingkat Kemiskinan (%) Kabupaten Cilacap Kabupaten Banyumas Kabupaten Purbalingga Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Kebumen Kabupaten Purworejo Kabupaten Wonosobo Kabupaten Magelang Kabupaten Boyolali Kabupaten Klaten Kabupaten Sukoharjo Kabupaten Wonogiri Kabupaten Karanganyar Kabupaten Sragen Kabupaten Grobogan Kabupaten Blora Kabupaten Rembang Kabupaten Pati Kabupaten Kudus Kabupaten Jepara Kabupaten Demak Kabupaten Semarang Kabupaten Temanggung Kabupaten Kendal Kabupaten Batang Kabupaten Pekalongan Kabupaten Pemalang Kabupaten Tegal Kabupaten Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal PDRB Per Kapita (Rp) Grafik 4.2. PDRB per Kapita per Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun Kabupaten/Kota, Tahun Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah) Grafik 4.3. Keterkaitan Tingkat Kemiskinan dan PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah PDRB Per Kapita (Rp) Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah) Rata-rata Lama Sekolah Rata-rata lama sekolah menurut Badan Pusat Statistik rata-rata jumlah tahun belajar yang telah diselesaikan oleh penduduk yang berusia 25 tahun ke atas dan 72

6 tidak termasuk tahun yang mengulang. Rata-rata lama sekolah dihitung untuk usia 25 tahun ke atas dengan asumsi pada umur 25 tahun proses pendidikan sudah berakhir. Penghitungan rata-rata lama sekolah pada usia 25 tahun ke atas juga mengikuti standar internasional yang digunakan oleh UNDP. Rata-rata lama sekolah merupakan salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berdasarkan data pada Tabel 4.1. secara umum pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah dan ditunjukkan oleh variabel Educ antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu tahun rata-rata sebesar 7,05 tahun. Rata-rata lama sekolah paling tinggi selama periode penelitian terdapat di Kota Surakarta pada tahun 2015 yakni 10,36 tahun sedangkan rata-rata lama sekolah yang paling rendah selama periode penelitian terdapat di Kabupaten Pemalang pada tahun 2010 yakni 4,94 tahun. Grafik 4.4. menggambarkan keadaan tingkat pendidikan di kabupaten/kota di Jawa Tengah yang diwakili oleh rata-rata lama sekolah. Angka rata-rata lama sekolah di setiap kabupaten/kota di Jawa Tengah menunjukkan kecenderungan peningkatan setiap tahunnya selama periode penelitian. Daerah perkotaan menempati 4 urutan terbesar dari angka rata-rata lama sekolah yakni Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Semarang, dan Kota Salatiga. Sementara Kabupaten Brebes menempati urutan yang paling rendah dalam angka rata-rata lama sekolah. 73

7 Tingkat Kemiskinan (%) Kabupaten Cilacap Kabupaten Banyumas Kabupaten Purbalingga Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Kebumen Kabupaten Purworejo Kabupaten Wonosobo Kabupaten Magelang Kabupaten Boyolali Kabupaten Klaten Kabupaten Sukoharjo Kabupaten Wonogiri Kabupaten Karanganyar Kabupaten Sragen Kabupaten Grobogan Kabupaten Blora Kabupaten Rembang Kabupaten Pati Kabupaten Kudus Kabupaten Jepara Kabupaten Demak Kabupaten Semarang Kabupaten Temanggung Kabupaten Kendal Kabupaten Batang Kabupaten Pekalongan Kabupaten Pemalang Kabupaten Tegal Kabupaten Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) Grafik 4.4. Rata-rata Lama Sekolah per Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun Kabupaten/Kota, Tahun Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah) Untuk melihat hubungan antara pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah dengan tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sepanjang tahun dapat terlihat scatter plot yang menunjukkan korelasi yang negatif sebagaimana dapat dilihat pada grafik berikut ini. Grafik 4.5. Keterkaitan Tingkat Kemiskinan dan Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah) 74

8 Angka Harapan Hidup Angka harapan hidup menurut Badan Pusat Statistik adalah perkiraan ratarata jumlah tahun yang akan dijalani seseorang sejak orang tersebut lahir. Angka harapan hidup merupakan salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencerminkan derajat kesehatan. Berdasarkan data pada Tabel 4.1. secara umum kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup dan ditunjukkan oleh variabel Health antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu tahun rata-rata sebesar 74,31 tahun. Angka harapan hidup paling tinggi selama periode penelitian terdapat di Kota Sukoharjo pada tahun 2015 yakni 77,46 tahun sedangkan angka harapan hidup yang paling rendah selama periode penelitian terdapat di Kabupaten Brebes pada tahun 2010 yakni 67,29 tahun. Grafik 4.6. menunjukkan keadaan tingkat kesehatan pada masing-masing kabupaten/kota di Jawa Tengah yang diwakilkan oleh angka harapan hidup. Setiap tahunnya, angka harapan hidup cenderung mengalami peningkatan di masingmasing kabupaten/kota pada periode penelitian. Kabupaten Sukoharjo menempati urutan pertama dalam angka harapan hidup tertinggi, selanjutnya Kota Semarang menempati urutan berikutnya. Sedangkan Kabupaten Brebes memiliki angka harapan hidup yang paling rendah di Jawa Tengah pada periode penelitian. Untuk melihat hubungan antara kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup dengan tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sepanjang tahun dapat terlihat scatter plot yang menunjukkan korelasi yang negatif sebagaimana dapat dilihat pada Grafik

9 Tingkat Kemiskinan (%) Angka Harapan Hidup (Tahun) Grafik 4.6. Angka Harapan Hidup per Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun Kabupaten/Kota, Tahun Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah) Grafik 4.7. Keterkaitan Tingkat Kemiskinan dan Angka Harapan Hidup Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Angka Harapan Hidup (Tahun) Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah) Tingkat Pengangguran Terbuka Tingkat pengangguran terbuka menurut Badan Pusat Statistik merupakan persentase pengangguran dari angkatan kerja. Pengangguran terbuka meliputi 76

10 penduduk yang tidak punya pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan, atau sedang mempersiapkan suatu usaha, atau merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, atau sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Berdasarkan data pada Tabel 4.1. secara umum tingkat pengangguran terbuka yang ditunjukkan oleh variabel Unem antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu tahun rata-rata sebesar 5,99%. Tingkat pengangguran terbuka paling rendah selama periode penelitian terdapat di Kabupaten Temanggung pada tahun 2015 yakni sebesar 1,5% sedangkan tingkat pengangguran yang paling tinggi selama periode penelitian terdapat di Kota Tegal pada tahun 2010 yakni sebesar 14,22%. Grafik 4.8. menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di setiap kabupaten/kota di Jawa Tengah. Tingkat pengangguran terbuka untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Tengah mengalami fluktuasi pada periode penelitian. Kabupaten Temanggung memiliki rata-rata tingkat pengangguran paling rendah di Jawa Tengah pada periode penelitian, selanjutnya Kabupaten Wonogiri pada urutan berikutnya. Sedangkan Kota Tegal memiliki rata-rata tingkat pengangguran tertinggi di Jawa Tengah selama periode penelitian. Untuk melihat hubungan antara tingkat pengangguran terbuka dengan tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sepanjang tahun dapat terlihat scatter plot yang menunjukkan korelasi yang negatif, tetapi tidak terlalu curam dan hampir tidak menunjukkan korelasi yang negatif sebagaimana dapat dilihat pada grafik berikut ini. 77

11 Tingkat Kemiskinan (%) TIngkat Pengangguran Terbuka (%) Kabupaten Cilacap Kabupaten Banyumas Kabupaten Purbalingga Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Kebumen Kabupaten Purworejo Kabupaten Wonosobo Kabupaten Magelang Kabupaten Boyolali Kabupaten Klaten Kabupaten Sukoharjo Kabupaten Wonogiri Kabupaten Karanganyar Kabupaten Sragen Kabupaten Grobogan Kabupaten Blora Kabupaten Rembang Kabupaten Pati Kabupaten Kudus Kabupaten Jepara Kabupaten Demak Kabupaten Semarang Kabupaten Temanggung Kabupaten Kendal Kabupaten Batang Kabupaten Pekalongan Kabupaten Pemalang Kabupaten Tegal Kabupaten Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Grafik 4.8. Tingkat Pengangguran Terbuka per Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun Kabupaten/Kota, Tahun Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah) Grafik 4.9. Keterkaitan Tingkat Kemiskinan dan Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tingkat Pengangguran Terbuka (%) Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah) Upah Minimum Upah Minimum menurut Badan Pusat Statistik adalah upah minimum bulanan yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap yang berlaku di suatu daerah dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota. Berdasarkan data pada 78

12 Kabupaten Cilacap Kabupaten Banyumas Kabupaten Purbalingga Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Kebumen Kabupaten Purworejo Kabupaten Wonosobo Kabupaten Magelang Kabupaten Boyolali Kabupaten Klaten Kabupaten Sukoharjo Kabupaten Wonogiri Kabupaten Karanganyar Kabupaten Sragen Kabupaten Grobogan Kabupaten Blora Kabupaten Rembang Kabupaten Pati Kabupaten Kudus Kabupaten Jepara Kabupaten Demak Kabupaten Semarang Kabupaten Temanggung Kabupaten Kendal Kabupaten Batang Kabupaten Pekalongan Kabupaten Pemalang Kabupaten Tegal Kabupaten Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Upah Minimum (Rp) Tabel 4.1. secara umum Upah Minimum yang ditunjukkan oleh variabel MinWage antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu tahun rata-rata sebesar Rp ,7. Upah minimum paling tinggi selama periode penelitian terdapat di Kota Semarang pada tahun 2015 yakni Rp ,- sedangkan upah minimum yang paling rendah selama periode penelitian terdapat di Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2010 yakni sebesar Rp ,- Grafik menunjukkan Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Kecenderungan upah minimum di Jawa Tengah selama periode penelitian meningkat untuk setiap kabupaten/kota setiap tahunnya. Upah minimum tertinggi di Jawa Tengah selama periode penelitian adalah Kota Semarang, kemudian urutan berikutnya adalah Kabupaten Demak. Sedangkan Upah Minimum yang terkecil di Jawa Tengah selama periode penelitian adalah Kabupaten Banjarnegara. Grafik Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun Kabupaten/Kota, Tahun Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah) 79

13 Tingkat Kemiskinan (%) Untuk melihat hubungan antara upah minimum dengan tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sepanjang tahun dapat terlihat scatter plot yang menunjukkan korelasi yang negatif sebagaimana dapat dilihat pada grafik berikut ini. Grafik Keterkaitan Tingkat Kemiskinan dan Upah Minimum Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Upah Minimum (Rp) Sumber: Badan Pusat Statistik (data diolah) 4.2.Hasil Estimasi Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah random effect model untuk melihat pengaruh dari variabel independen PDRB per kapita, pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah, kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup, tingkat pengangguran terbuka, dan upah minimum terhadap tingkat kemiskinan. Sebelum melakukan estimasi, untuk menentukan apakah model dalam penelitian ini menggunakan pooled least square, fixed effect model, atau random effect model, maka dilakukan beberapa pengujian untuk menentukan hasil estimasi yang terbaik. Berikut adalah perbandingan hasil estimasi dengan menggunakan pooled least square, fixed effect model, dan random effect model. 80

14 Tabel 4.2. Perbandingan Hasil Estimasi VARIABLES Pooled Least Square Fixed Effect Model Random Effect Model lngrdpcap *** *** *** (0.643) (2.152) (1.163) Educ (0.278) (0.366) (0.326) Health *** ** *** (0.147) (0.611) (0.274) Unem *** (0.122) (0.0334) (0.0338) lnminwage *** *** (1.257) (0.791) (0.488) Constant 216.7*** 264.7*** 185.4*** (20.36) (38.57) (20.09) Observations R-squared Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1 Sumber: Hasil pengolahan data Uji Chow Uji Chow dilakukan untuk mengetahui mdoel manakah antara pooled least square atau fixed effect model yang lebih baik digunakan dalam penelitian ini. Hasil dari uji chow adalah sebagai berikut: Tabel 4.3. Hasil Uji Chow Prob > F Signifikansi α Sumber: Hasil pengolahan data Berdasarkan hasil dari uji Chow, dapat dilihat bahwa model ini memiliki nilai probabilitas sebesar yang mana angka tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai α yaitu sebesar Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa fixed effect model lebih baik digunakan dalam penelitian ini. 81

15 Uji Hausman Pada uji Chow yang dilakukan sebelumnya, disimpulkan bahwa fixed effect model lebih baik digunakan dalam penelitian ini. Akan tetapi perlu dilakukan pengujian kembali untuk mengetahui model manakah yang lebih baik antara fixed effect model dan random effect model yang diuji dengan uji Hausman. Adapun hasil dari uji Hausman adalah sebagai berikut: Tabel 4.4. Hasil Uji Hausman Prob > χ 2 Signifikansi α Sumber: Hasil pengolahan data Berdasarkan hasil uji Hausman dapat dilihat bahwa nilai probabilitasnya adalah sebesar sedangkan angka tersebut lebih besar dari pada signifikansi α sebesar 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang lebih baik digunakan dalam penelitian ini adalah random effect model Uji Breusch-Pagan Lagrangian Multiplier Setelah dilakukan uji Hausman pada bagian sebelumnya, kesimpulan yang didapat adalah model yang lebih baik digunakan dalam penelitian ini adalah random effect model. Namun, perlu dilakukan pengujian kembali untuk mengetahui model mana yang lebih baik antara random effect model dengan pooled least square. Adapun pengujiannya dilakukan dengan uji Breusch-Pagan Lagrangian Multiplier. Hasil dari uji tersebut adalah sebagai berikut. Tabel 4.5. Hasil Uji Breusch-Pagan Lagrangian Multiplier Prob > χ 2 Signifikansi α Sumber: Hasil pengolahan data 82

16 Berdasarkan hasil uji Breusch-Pagan Lagrangian Multiplier terlihat bahwa nilai probabilitasnya adalah sebesar , lebih kecil dibandingkan dengan signifikansi α yaitu sebesar 0.05 maka dapat dikatakan bahwa model yang lebih baik digunakan dalam penelitian ini adalah random effect model. Setelah dilakukan proses regresi dengan menggunakan random effect model, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4.6. Hasil Estimasi VARIABLES POV lngrdpcap *** (1.163) Educ (0.326) Health *** (0.274) Unem (0.0338) lnminwage *** (0.488) Constant 185.4*** (20.09) Observations 210 Number of Code 35 R-Squared Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1 Sumber: Hasil pengolahan data 4.3. Pengujian Masalah dalam Regresi Linear Uji Multikolinearitas Multikolinearitas merupakan masalah yang terdapat pada variabel independen yang memiliki ikatan erat atau hubungan yang saling berpengaruh. Multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat korelasi antar variabel 83

17 independen. Apabila korelasi antar variabel lebih dari 0,8 maka dapat dikatakan terjadi masalah multikolinearitas dalam model (Gujarati & Porter, 2009). Tabel 4.7. Hasil Penghitungan Koefisien Korelasi lngdrpcap Educ Health Unem lnminwage lngdrpcap Educ Health Unem lnminwage Sumber: Hasil pengolahan data Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai koefisien korelasi pada setiap variabel independen tidak menunjukkan angka yang lebih dari 0,80. Sehingga model penelitian ini menunjukkan tidak terdapat masalah multikolinearitas Uji Heteroskedastisitas Masalah heteroskedastisitas lebih sering terjadi pada data cross section dibandingkan dengan data time series. Untuk mengatasi permasalahan kemungkinan adanya heteroskedastis ini, maka digunakan estimasi GLS (Generalized Least Square). Menurut Gujarati & Porter (2009) pada hasil regresi menggunakan random effect model merupakan estimasi yang dilakukan dengan generelize least square (GLS) yakni transformasi variabel sehingga memenuhi asumsi standar kuadrat terkecil, dimana hasil estimasi dari GLS yakni homoskedastis sehingga pada metode GLS tidak terdapat masalah heteroskedastisitas, di mana persebaran data menjadi konstan atau tidak terdapat outlier pada data. Pada random effect model juga terbebas dari masalah asumsi klasik lainnya di mana pada random effect model, estimasi yang dihasilkan 84

18 konsisten dan terdistribusi dengan normal atau menghasikan estimasi yang tidak bias (Wooldridge, 2012) Uji Autokorelasi Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui adanya korelasi antara anggota observasi yang satu dengan yang lain yang berlainan periode/waktu. Metode random effect model menurut Wooldridge (2012) memiliki keunggulan dibandingkan dengan fixed effect model dan pooled least square dimana tidak terdapat korelasi antara error term, yakni error terms pada periode tertentu tidak berkorelasi dengan variabel yang ada pada periode lain sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Sedangkan menurut Gujarati & Porter (2009) pada model random effect tidak terdapat korelasi dari error secara individual dan tidak ada autokorelasi antara unit cross section dan time series Pengujian Statistik Koefisien Determinasi (R 2 ) Penggunaan koefisien determinasi adalah untuk mengukur seberapa besar kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen pada model. Hasil estimasi menunjukkan nilai R 2 pada model memiliki nilai sebesar 0,5310 atau 53,10% yang artinya bahwa adanya perubahan variabel independen (PDRB per kapita, pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah, kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup, tingkat pengangguran terbuka, dan upah minimum) dalam model ini mampu menjelaskan 53,10% dari variabel 85

19 dependennya (tingkat kemiskinan), sedangkan sisanya sebesar 46,90% dijelaskan oleh faktor lain di luar model yang tidak digunakan dalam penelitian ini Uji Signifikansi Simultan Pada hasil estimasi random effect model dalam software STATA 13, digunakan uji Wald Chi-Square untuk melihat apakah semua variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan (StataCorp, 2013). Berikut adalah tabel hasil pengujian signifikansi simultan dengan uji Wald χ 2 yang didapat dari hasil estimasi software STATA 13. Tabel 4.8. Hasil Pengujian dengan Uji Wald χ 2 Prob > χ 2 Signifikansi α Sumber: Hasil pengolahan data Berdasarkan hasil uji Wald χ 2 terlihat bahwa nilai probabilitasnya adalah sebesar , lebih kecil dibandingkan dengan signifikansi α yaitu sebesar 1%. Artinya, variabel independen yang terdiri dari PDRB per kapita, pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah, kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup, tingkat pengangguran terbuka, dan upah minimum secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan di provinsi Jawa Tengah pada tahun Uji Signifikansi Parsial Pada hasil estimasi random effect model pada software STATA 13 digunakan uji z untuk melihat pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel 86

20 dependen (StataCorp, 2013). Berikut merupakan tabel hasil pengujian signifikansi parsial dengan uji z: Tabel 4.9. Hasil Pengujian Signifikansi Parsial dengan Uji Z Variabel Prob z H 0 Keterangan lngdrpcap H 0 ditolak Signifikan pada α = 1% Educ H 0 tidak dapat ditolak Tidak signifikan Health H 0 ditolak Signifikan pada α = 1% Unem H 0 tidak dapat ditolak Tidak signifikan lnminwage H 0 ditolak Signifikan pada α = 1% Sumber: Hasil pengolahan data Berdasarkan hasil pengujian, variabel PDRB per kapita, kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup, dan upah minimum secara parsial mempengaruhi tingkat kemiskinan secara signifikan pada tingkat signifikansi 1%. Sedangakan variabel pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah dan tingkat pengangguran secara parsial tidak mempengaruhi tingkat kemiskinan secara signifikan Analisis Model Pengaruh PDRB Per Kapita terhadap Tingkat Kemiskinan Koefisien dari PDRB per kapita terhadap tingkat kemiskinan adalah sebesar -3,940 dan signifikan pada tingkat signifikansi 1%. Hal ini menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikkan satu persen pada PDRB per kapita, maka tingkat kemiskinan akan mengalami penurunan sebesar 3,940% dengan asumsi ceteris paribus. 87

21 Pengaruh Pendidikan terhadap Tingkat Kemiskinan Koefisien dari pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah terhadap tingkat kemiskinan adalah sebesar -0,363 namun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa ketika lamanya pendidikan bertambah satu tahun, maka tingkat kemiskinan akan mengalami penurunan sebesar 0,363% dengan asumsi ceteris paribus Pengaruh Kesehatan terhadap Tingkat Kemiskinan Koefisien dari kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup terhadap tingkat kemiskinan adalah sebesar -0,875 dan signifikan pada tingkat signifikansi 1%. Hal ini menunjukkan bahwa ketika harapan hidup bertambah satu tahun, maka tingkat kemiskinan akan mengalami penurunan sebesar 0,875% dengan asumsi ceteris paribus Pengaruh Pengangguran terhadap Tingkat Kemiskinan Koefisien dari pengangguran terhadap tingkat kemiskinan adalah sebesar 0,0140 namun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikkan satu persen pada pengangguran, maka tingkat kemiskinan akan mengalami kenaikkan sebesar 0,0140% dengan asumsi ceteris paribus Pengaruh Upah Minimum terhadap Tingkat Kemiskinan Koefisien dari upah minimum terhadap tingkat kemiskinan adalah sebesar - 2,744 dan signifikan pada tingkat signifikansi 1%. Hal ini menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikkan satu persen pada upah minimum, maka tingkat kemiskinan akan mengalami penurunan sebesar 2,744% dengan asumsi ceteris paribus. 88

22 4.6. Analisis Ekonomi Pengaruh PDRB Per Kapita terhadap Tingkat Kemiskinan Berdasarkan hasil estimasi, variabel PDRB per kapita berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah dan memiliki koefisien sebesar -3,940. Angka tersebut menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikkan sebesar 1% pada PDRB per kapita maka tingkat kemiskinan akan menurun sebesar 3,940%, dalam keadaan ceteris paribus. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Miranti (2017) yang menyebutkan bahwa kenaikkan PDRB per kapita akan menurunkan kemiskinan. Jika dibandingkan dengan penelitian tersebut, pengaruh dari PDRB per kapita dalam mengurangi kemiskinan sebesar 0,203, artinya setiap terjadi kenaikkan PDRB per kapita sebesar 1%, maka akan menurunkan kemiskinan sebesar 0,203%. Pengaruhnya lebih kecil dibandingkan penelitian ini, yakni sebesar 3,940%. Rata-rata PDRB per kapita dalam penelitian ini adalah sebesar 22,2 juta rupiah, angka ini lebih besar dibandingkan penelitian sebelumnya di mana rata-rata PDRB per kapita pada penelitian sebelumnya sebesar 8,83 juta rupiah. Rata-rata PDRB per kapita yang lebih besar pada penelitian ini memungkinkan penurunan kemiskinan yang disebabkan oleh meningkatnya PDRB per kapita dalam penelitian ini pengaruhnya lebih besar dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Berdasarkan hasi estimasi, dapat disimpulkan bahwa PDRB per kapita memiliki hubungan negatif terhadap tingkat kemiskinan. Semakin tinggi PDRB per kapita menggambarkan bahwa provinsi Jawa Tengah memiliki kinerja ekonomi yang cukup baik sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan. Olavaria-Gambi 89

23 (2003) menyebutkan bahwa kenaikkan PDB per kapita sejalan dengan penurunan kemiskinan. Pradeep Agrawal (2008) mengatakan bahwa daerah dengan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan berdampak pada penurunan kemiskinan yang lebih cepat. Adapun peningkatan pada pengeluaran yang dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan, yang disebabkan oleh peningkatan PDRB, juga berpengaruh signifikan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Pendapatan per kapita merupakan salah satu ukuran kemakmuran bagi tiap daerah. Semakin tinggi pendapatan tersebut maka semakin tinggi daya beli penduduk, dan daya beli yang bertambah ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Sukirno, 2006) Pengaruh Pendidikan terhadap Tingkat Kemiskinan Berdasarkan hasil estimasi, variabel pendidikan yang diukur dengan ratarata lama sekolah tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel tingkat kemiskinan. Hasil dari penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Olavarria-gambi (2003) yang mengatakan meningkatnya tingkat pendidikan akan menyebabkan penurunan tingkat kemiskinan secara signifikan. Meskipun pada hasil estimasi variabel pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, variabel pendidikan memiliki hubungan yang berkebalikan terhadap tingkat kemiskinan. Berdasarkan teori yang dikemukan oleh Arsyad (1999) mengatakan bahwa pendidikan (baik formal maupun non formal) dapat berperan penting dalam mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang, baik secara tidak langsung, yaitu 90

24 melalui perbaikan produktivitas dan efisiensi secara umum, maupun secara langsung, yaitu melalui pelatihan golongan miskin dengan bekal keterampilan yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas mereka yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan pendapatan mereka. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas seseorang. Pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Ditemukan tidak adanya pengaruh rata-rata lama sekolah terhadap tingkat kemiskinan menandakan bahwa meningkatnya ratarata lama sekolah kurang berdampak bagi tingkat produktivitas. Hal ini sesuai dengan penelitian Balisacan, dkk (2003) yang menyatakan bahwa perlunya ada peningkatan kualitas sekolah sehingga kualitas sumber daya manusia dan produktivitas meningkat. Rata-rata lama sekolah penduduk Provinsi Jawa Tengah tahun 2015 masih tergolong rendah sebesar 7,03 tahun atau setara dengan Sekolah Menengah Pertama dan belum menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) serta belum mencapai target pendidikan 15 tahun yang telah diusulkan United National Development Program (UNDP). Rata-rata lama sekolah yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri menjadi terbatas sehingga tidak berpengaruh signifikan terhadap pengurangan kemiskinan di Jawa Tengah. 91

25 Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan penduduk di Provinsi Jawa Tengah minim akan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya, sebagian besar penduduk Provinsi Jawa Tengah memilih bekerja di sektor-sektor yang tidak membutuhkan pendidikan tinggi dan keahlian khusus. Sektor yang mendominasi di Provinsi Jawa Tengah yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta sektor pertanian Pengaruh Kesehatan terhadap Tingkat Kemiskinan Berdasarkan hasil estimasi, variabel kesehatan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah. Kesehatan memiliki koefisien sebesar -0,875. Angka ini menunjukkan bahwa setiap kenaikkan angka harapan hidup selama satu tahun maka tingkat kemiskinan akan turun sebesar 0,875%, tanpa dipengaruhi oleh variabel lain. Hal ini mengindikasikan bahwa kesehatan yang diukur dengan angka harapan hidup memiliki hubungan yang negatif terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah selama periode penelitian, yaitu tahun 2010 hingga Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bakhtiari & Meisami (2010) yang menyebutkan bahwa kenaikkan angka harapan hidup akan menurunkan tingkat kemiskinan. Jika dibandingkan dengan penelitian tersebut, pengaruh dari angka harapan hidup dalam mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 0,15, artinya setiap angka harapan hidup meningkat satu tahun, maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,15%. Pengaruhnya lebih kecil dibandingkan penelitian ini, yakni sebesar 0,875%. Rata-rata angka harapan hidup 92

26 yang digunakan dalam penelitian ini adalah 74,3 tahun. Rata-rata angka harapan hidup pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yakni sebesar 66,4 tahun. Perbedaan rata-rata angka harapan hidup yang mana dalam penelitian ini rata-rata angka harapan hidupnya lebih tinggi memungkinkan penurunan kemiskinan yang disebabkan oleh peningkatan angka harapan hidup dalam penelitian ini pengaruhnya lebih besar dibandingkan penelitian sebelumnya. Olavaria-Gambi (2003) menyebutkan bahwa adanya peningkatan di bidang kesehatan akan berpotensi menurunkan tingkat kemiskinan. Strauss dan Thomas (1998) berpendapat bahwa ada keterkaitan yang kuat antara kesehatan dengan kemiskinan. Kesehatan individu menentukan produktivitas sehingga semakin rendah tingkat kesehatan, semakin besar kemungkinan individu untuk terjebak dalam kemiskinan. Upaya pemerintah dalam memperbaiki sarana dan prasarana kesehatan cukup penting dalam mengentaskan kemiskinan (Arsyad, 1999). Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dalam jangka panjang akan meningkatkan produktivitas, khususnya bagi masyarakat yang tergolong kurang mampu Pengaruh Pengangguran terhadap Tingkat Kemiskinan Berdasarkan hasil estimasi, variabel pengangguran tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel tingkat kemiskinan. Hasil dari penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pradeep Agrawal (2008) yang mengatakan bahwa bertambahnya tingkat pengangguran akan menyebabkan peningkatan pula terhadap tingkat kemiskinan secara signifikan. Meskipun pada 93

27 hasil estimasi variabel pengangguran tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, variabel pengangguran memiliki hubungan yang searah terhadap tingkat kemiskinan. Menurut Brady (2005) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pengangguran tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Hal tersebut disebabkan karena adanya transfer jaminan sosial yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Lim (1994) menyebutkan bahwa tidak selalu orang yang menganggur adalah miskin, melainkan mereka mempunyai sumber pendapatan lain (bukan bekerja) yang dapat mendukung keuangan mereka. Pemerintah Indonesia memberi bantuan sosial kepada masyarakat miskin melalui Program Keluarga Harapan (PKH) yang sudah dimulai dari tahun Pada tahun 2017, bantuan sosial yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sebesar Rp ,-. Arsyad (1999) menyatakan belum tentu setiap orang yang tidak mempunyai pekerjaan adalah miskin. Hal ini karena kadang kala ada pekerja di perkotaan yang tidak bekerja secara sukarela karena mencari pekerjaan yang lebih baik yang lebih sesuai dengan tingkat pendidikannya. Mereka menolak pekerjaan yang mereka rasakan lebih rendah dan mereka bersikap demikian karena mereka mempunyai sumber lain yang bisa membantu masalah keuangan mereka Pengaruh Upah Minimum terhadap Tingkat Kemiskinan Berdasarkan hasil estimasi, variabel upah minimum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah. Kesehatan memiliki 94

28 koefisien sebesar -2,744. Angka ini menunjukkan bahwa setiap kenaikkan upah minimum sebesar satu persen maka tingkat kemiskinan akan turun sebesar 2,744%, tanpa dipengaruhi oleh variabel lain. Hal ini mengindikasikan bahwa upah minimum memiliki hubungan yang negatif terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah selama periode penelitian, yaitu tahun 2010 hingga Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Stevans dan Sessions (2001) yang menyebutkan bahwa kenaikkan upah minimum akan menurunkan kemiskinan. Jika dibandingkan dengan penelitian tersebut, pengaruh dari upah minimum dalam mengurangi kemiskinan sebesar 1,20, artinya setiap terjadi kenaikkan upah minimum sebesar 1%, maka akan menurunkan kemiskinan sebesar 1,20%. Pengaruhnya lebih kecil dibandingkan penelitian ini, yakni sebesar 2,744%. Penelitian Stevans dan Sessions (2001) menggunakan data upah minimum Amerika Serikat. Berikut adalah perbandingan upah minimum di Amerika Serikat dengan di Indonesia. Tabel Upah Minimum di Amerika Serikat, Indonesia, dan Provinsi Tahun Jawa Tengah Tahun Amerika Serikat (dalam Dolar AS per jam) Indonesia (dalam Rupiah per bulan) Jawa Tengah (dalam Rupiah per bulan) , , , , , , , , , ,

29 2006 5, , , , , , , , , , Sumber: United States Department of Labor dan Badan Pusat Statistik Penentuan upah minimum di Indonesia didasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi serta mengalami penyesuaian upah minimum setiap tahun. Penyesuaian upah minimum di Indonesia dilakukan supaya menjaga daya beli masyarakat agar terhindar dari kemiskinan. Sedangkan di Amerika Serikat penyesuaian upah minimum tidak diberlakukan setiap tahun. Perbedaan inilah yang memungkinkan pengaruh penurunan kemiskinan yang disebabkan oleh peningkatan upah minimum dalam penelitian ini pengaruhnya lebih besar dibandingkan penelitian sebelumnya. ]Stevans dan Sessions (2001) menyebutkan bahwa upah minimum mempunyai hubungan terbalik dengan tingkat kemiskinan. Jika upah minimum meningkat, maka tingkat kemiskinan akan turun. Kaufman (2000) menyebutkan bahwa meningkatkan tingkat upah minimum akan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga kesejahteraan juga meningkat dan sehingga terbebas dari kemiskinan. Tujuan dari diberlakukannya upah minimum yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, sehingga terbebas dari kemiskinan. Penetapan upah minimum yang mendekati KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) dan di atas garis kemiskinan telah tepat karena mampu menurunkan tingkat kemiskinan di Jawa Tengah. 96

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Uji Kualitas Data 1. UJI Heteroskedastisitas Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi imi terjadi heterokedastisitas atau tidak, untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang kemiskinan ini hanya terbatas pada kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007-2011. Variabel yang digunakan dalam menganalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengangguran merupakan masalah yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi mengikuti pola yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Gambaran Umum Subyek penelitian Penelitian ini tentang pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah merupakan Provinsi yang termasuk ke dalam Provinsi yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Asumsi Klasik 1. Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan uji Park, nilai probabilitas dari semua variabel independen tidak signifikan pada tingkat 5%. Keadaan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi jangka panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya kemampuan suatu negara untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian hipotesisinya yang meliputi uji serempak (ujif), uji signifikansi paramerer individual (uji T), dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah 44 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat ditentukan menggunakan indeks Williamson yang kemudian dikenal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab. Demak 25. Kab.

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab. Demak 25. Kab. BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek dan Subyek Penelitian Dalam penelitian ini daerah yang digunakan adalah seluruh kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai gambaran persebaran IPM dan komponen-komponen penyususn IPM di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor. Akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan suatu perubahan struktur ekonomi dan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejaheraan penduduk atau masyarakat. Kemiskinan,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mengenai situasi dan kondisi latar penelitian. Menurut Arikunto (1989),

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mengenai situasi dan kondisi latar penelitian. Menurut Arikunto (1989), BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Subjek dan Objek Penelitian Menurut Moleong (2010:132), subjek penelitian sebagai informan, yang berarti orang pada latar penelitian yang dapat memberikan informasi mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kehidupan yang layak, (menurut World Bank dalam Whisnu, 2004),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.42/06/33/Th.X, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Jawa Tengah Tahun 2015 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian Hasil analisa Deskripsi Obyek Penelitian dapat dilihat pada deskriptif statistik dibawah ini yang menjadi sampel penelitian adalah

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penelitian

Lampiran 1. Data Penelitian Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelan g Lampiran 1. Data Penelitian Kab / Kota Tahun Kemiskinan UMK TPT AMH LnUMK (%) (Rb Rp) (%) (%) 2010 18.11 698333 13.4565 9.75

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK A. Gambaran Umum Objek/Subjek Penelitian 1. Batas Administrasi. Gambar 4.1: Peta Wilayah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Metode penelitian merupakan cara penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Sugiyono (2010:2) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Peta Provinsi Jawa Tengah Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 2. Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S -- BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Letak dan Luas Wilayah Jawa Tengah terletak di antara 108 30 B.T -- 111 30 B.T dan 6 30 L.S -- 8 30 L.S. Propinsi ini terletak di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah tahun 2011-2013 yang seluruh data keuangannya telah di terbitkan dan dilaporkan kepada

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. LAMPIRAN Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap 15.24 6.68 22.78 1676090 2 Kab. Banyumas 18.44 5.45 21.18 1605580 3 Kab. Purbalingga 20.53 5.63 21.56 879880 4 Kab. Banjarnegara

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah, No.26/04/33/Th.XI, 17 April 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Jawa Tengah Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Tengah pada tahun 2016 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Persebaran Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kabupaten atau kota sejumlah 35 kabupaten dan kota (BPS,

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga-lembaga sosial. Perubahan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No.1/3307/BRS/11/2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 Pembangunan manusia di Wonosobo pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi. BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Dimasa pergantian era reformasi pembangunan manusia merupakan hal pokok yang harus dilakukan oleh pemerintah di Indonesia, bahkan tidak hanya di Indonesia di negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksplanasi, karena dalam penelitian ini menggunakan dua variabel. Metode eksplanasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah suatu proses dalam melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Proses pembangunan yang mencakup berbagai perubahan mendasarkan status sosial,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. industri kecil di Jawa Tengah yang terdiri dari dua puluh sembilan kabupatendan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. industri kecil di Jawa Tengah yang terdiri dari dua puluh sembilan kabupatendan BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Subjek Penelitian 1. Objek Penelitian. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah penyerapan tenaga kerja industri kecil di Jawa Tengah yang terdiri dari dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam meningkatkan pendapatan suatu pembangunan perekonomian di Indonesia, tentunya diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN No. 62/11/33/Th.V, 07 November 2011 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2011 mencapai 16,92 juta

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab analisis dan pembahasan ini akan jelaskan tentang pola persebaran jumlah penderita kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kemudian dilanjutkan dengan pemodelan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGANGGURAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGANGGURAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGANGGURAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013-2015 Disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar strata I pada Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan menggunakan data Tingkat Pengangguran Terbuka, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Upah Minimum dan Jumlah Penduduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang dinamakan dengan nawacita.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Daerah) di seluruh wilayah Kabupaten/Kota Eks-Karesidenan Pekalongan

BAB III METODE PENELITIAN. Daerah) di seluruh wilayah Kabupaten/Kota Eks-Karesidenan Pekalongan BAB III METODE PENELITIAN A. Obejek Penelitian Obyek kajian pada penelitian ini adalah realisasi PAD (Pendapatan Asli Daerah) di seluruh wilayah Kabupaten/Kota Eks-Karesidenan Pekalongan yang terdiri dari

Lebih terperinci

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah)

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) LAMPIRAN LAMPIRAN A 1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah) NO. KOTA/KABUPATEN PAD DAU DAK BELANJA MODAL PDRB 1 Kab. Banjarnegara 71.107 562.288 65.367

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Data Agregat per K b t /K t PROVINSI JAWA TENGAH Penutup Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan.

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 No. 50/08/33/Th. VIII, 4 Agustus 2014 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 145,04 RIBU TON, CABAI RAWIT 85,36 RIBU TON, DAN BAWANG

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.70 /11/33/Th.VIII, 05 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,68 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2014 yang sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia dianggap sebagai titik sentral dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan dikendalikan oleh sumber

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.31 /05/33/Th.VIII, 05 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,45 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Februari 2014 yang sebesar 17,72

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No. 66/11/33/Th.VI, 05 November 2012 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2012: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,63 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2012 mencapai 17,09

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 56 TAHUN 201256 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TENAGA KERJA DI JAWA TENGAH TAHUN 2014

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TENAGA KERJA DI JAWA TENGAH TAHUN 2014 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TENAGA KERJA DI JAWA TENGAH TAHUN 2014 NASKAH PUBLIKASI Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Ekonomi Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandangan pembangunan ekonomi modern memiliki suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan ekonomi modern tidak hanya

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH No. 56/08/33 Th.IX, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 167,79 RIBU TON, CABAI RAWIT SEBESAR 107,95 RIBU TON,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertanian merupakan salah satu basis perekonomian Indonesia. Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris, maka pembangunan pertanian akan memberikan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH TAHUN

Lebih terperinci

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah 36 BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 4.1 Kondisi Geografis Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak

Lebih terperinci

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN No Kelompok Pola Harapan Nasional Gram/hari2) Energi (kkal) %AKG 2) 1 Padi-padian 275 1000 50.0 25.0 2 Umbi-umbian 100 120 6.0

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 447 60 8 364 478 2.632 629 4.618 57.379 8,05 2 Purbalingga 87 145 33 174 119 1.137

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH No.69 /11/33/Th.VII, 06 November 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 6,02 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Jawa Tengah Agustus 2013 mencapai 16,99

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat yang dilaksanakan secara berkelanjutan berdasarkan pada kemampuan nasional, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. Data Variabel Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Berlaku. Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun

DAFTAR LAMPIRAN. Data Variabel Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Berlaku. Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Data Variabel Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2015 1 Kab. Banjarnegara 10,56 13,03 10,99 2 Kab. Batang 10,26 12,26

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/01/33/Th.II, 2 Januari 2008 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2007 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Tengah pada Agustus 2007 adalah

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang BAB III PEMBAHASAN Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Asumsi-asumsi dalam analisis cluster yaitu sampel

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 05/12/33/Th.III, 1 Desember 2009 KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2009 Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dilaksanakan dua kali dalam setahun,

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur,

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, BAB III METODELOGI PENELTIAN A. Obyek/Subyek Penelitian Obyek dalam penelitian ini meliputi seluruh wilayah atau 33 provinsi yang ada di Indonesia, meliputi : Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,

Lebih terperinci

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU BULAN : KABUPATEN/KOTA IUD MOW MOP KDM IMPL STK PILL JML PPM PB % 1 Banyumas 748 34 3 790 684 2,379 1,165 5,803 57,379 10.11 2 Purbalingga 141 51 10 139 228

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah 63 III. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Belanja Barang dan Jasa (BBJ) terhadap pembangunan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 78 TAHUN 2013 TAHUN 2012 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional, guna mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci

DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2 Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1 ISSN (Online):

DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2 Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1  ISSN (Online): DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2 Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 1 ISSN (Online): 2337-3814 ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PDRB SEKTOR PERTANIAN 35 KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Industrialisasi pada negara sedang berkembang sangat diperlukan agar dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. wisata, jumlah wisatawan dan Produk Domestik Regional Bruto terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. wisata, jumlah wisatawan dan Produk Domestik Regional Bruto terhadap BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan analisis mengenai pengaruh jumlah obyek wisata, jumlah wisatawan dan Produk Domestik Regional Bruto terhadap retribusi daerah

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar penelitian yang digunakan ialah metode penelitian eksplanatoris. Penelitian eksplanatoris merupakan penelitian yang bersifat noneksploratif,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Komoditi TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012 Produksi Penyediaan Kebutuhan Konsumsi per kapita Faktor Konversi +/- (ton) (ton) (ton) (ton) (kg/kap/th) (100-angka susut)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 71 A TAHUN 201356 TAHUN 2012 TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU BAGIAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dilakukan analisis model Fixed Effect beserta pengujian hipotesisnya yang meliputi uji serempak (uji-f), Uji signifikansi parameter individual (Uji

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. 1. Analisis Model Regresi dengan Variabel Dependen PAD. a. Pemilihan Metode Estimasi untuk Variabel Dependen PAD

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. 1. Analisis Model Regresi dengan Variabel Dependen PAD. a. Pemilihan Metode Estimasi untuk Variabel Dependen PAD BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data 1. Analisis Model Regresi dengan Variabel Dependen PAD a. Pemilihan Metode Estimasi untuk Variabel Dependen PAD Cross-section F Pemilihan model estimasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, time series triwulan dari

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, time series triwulan dari 34 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, time series triwulan dari tahun 2005-2012, yang diperoleh dari data yang dipublikasikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS Sejarah Jawa Tengah. Hingga tahun 1905, Jawa Tengah terdiri atas 5 wilayah (gewesten) yakni Semarang,

BAB IV HASIL DAN ANALISIS Sejarah Jawa Tengah. Hingga tahun 1905, Jawa Tengah terdiri atas 5 wilayah (gewesten) yakni Semarang, BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 4.1.1 Sejarah Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai provinsi dibentuk sejak zaman Hindia Belanda. Hingga tahun 1905, Jawa Tengah terdiri atas 5 wilayah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 2002). Penelitian ini dilakukan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

BAB III METODE PENELITIAN. 2002). Penelitian ini dilakukan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengumpulan Data Panel Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. Data yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dekade 1970, pembangunan identik dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi lebih menitikberatkan pada kemampuan suatu negara untuk mengembangkan outputnya

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 08/05/33/Th.I, 15 Mei 2007 TINGKAT PENGANGGURAN DI JAWA TENGAH MENURUN 0,1% Tingkat Penganguran Terbuka di Jawa Tengah pada Februari 2007 adalah 8,10%. Angka ini 0,10% lebih

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Kuncoro (2014), dalam jurnal Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran dan Pendidikan terhadap Tingkat Kemiskinan

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. semua variabel independen tidak signifikan pada tingkat 1%.

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. semua variabel independen tidak signifikan pada tingkat 1%. A. Uji Kualitas Data 1. Uji Heteroskedastisitas BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidakstabilan varians dari residual

Lebih terperinci

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal LP2KD Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Kendal TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL TAHUN 2012 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini menganalisis pengaruh UMK (Upah Minimum Kabupaten), TPT

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini menganalisis pengaruh UMK (Upah Minimum Kabupaten), TPT BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menganalisis pengaruh UMK (Upah Minimum Kabupaten), TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) dan AMH (Angka Melek Huruf) pada kabupaten/ kota di Provinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan BPS Provinsi Maluku Utara.

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR : 561.4/69/2010 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci