4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN"

Transkripsi

1 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Potensi Sumberdaya Perikanan Wilayah perairan Provinsi Sulawesi Selatan merupakan bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Laut Flores dan Selat Makassar (WPP-4) dengan posisi geografis kurang lebih 2 o 7 o LS dan 115 o 123 o BT. Berdasarkan hasil pengkajian stok ikan di perairan Indonesia yang dilaksanakan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2001 diperoleh data bahwa pada WPP-4 tersebut memiliki total potensi sumberdaya ikan sebesar 929,72 ribu ton/tahun, dengan produksi mencapai 655,45 ribu ton/tahun sehingga tingkat pemanfaatannya mencapai 70,50%. Berdasarkan data tersebut secara umum masih terdapat peluang pemanfaatan sumberdaya ikan di WPP-4, namun demikian untuk komoditas cumi-cumi, udang penaid, dan ikan demersal di WPP tersebut sudah terindikasi tangkap lebih. Pada Tabel 10 diperlihatkan potensi lestari dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di WPP-4 dan WPP lainnya di perairan Indonesia. 4.2 Keragaan Pembangunan Perikanan Tangkap Pada Tahun 2002, realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sulawesi Selatan dari sektor perikanan mencapai Rp ,- yang bersumber dari retribusi penjualan produksi usaha Daerah, retribusi pemakaian kekayaan Daerah, retribusi pelayanan jasa ketatausahaan, serta dana bergulir (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, 2002). Konsumsi ikan perkapita di provinsi Sulawesi Selatan dalam Tahun 2002 mencapai 44,4 kg/kapita/tahun, sedangkan pada tahun 2001 tercatat 44,2 kg/kapita/tahun sehingga terjadi peningkatan sebesar 4,5%. Memperhatikan tingkat konsumsi ikan yang telah dicapai, jika dibandingkan dengan konsumsi ikan nasional maka secara keseluruhan konsumsi ikan di daerah ini relatif besar meskipun tidak

2 merata, khusus pada daerah-daerah yang jauh dari pantai masih jumpai kondisi rawan gizi.

3 Tabel 10. Potensi Lestari dan Peluang Pengembangan Masing-Masing Kelompok Sumberdaya Ikan Laut Pada Setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Kelompok Wilayah Pengelolaan Perikanan Perairan Sumber Daya Indonesia Ikan Pelagis Besar Potensi (10 3 ton/tahun) 7,67 66,08 55,00 193,60 104,12 106,51 75,26 50,86 386, ,36 Produksi (10 3 ton/tahun) 5,27 35,16 137,82 85,10 29,10 37,46 53,43 34,55 188,28 736,17 Pemanfaatan (%) >100 53,21 >100 43,96 27,95 35,17 87,54 67,93 48,74 63,17 Ikan Pelagis Kecil Potensi (10 3 ton/tahun) 47,30 621,50 340,00 605,44 132,00 379,44 384,75 468,66 526, ,66 Produksi (10 3 ton/tahun) 32,70 205,53 507,53 333,35 146,47 119,43 62,45 12,31 264, ,33 Pemanfaatan (%) 90,15 33,07 >100 55,06 >100 31,48 16,23 2,63 50,21 49,49 Ikan Demersal Potensi (10 3 ton/tahun) 82,40 334,80 75,20 87,20 9,32 83,84 54,86 202,34 135, ,09 Produksi (10 3 ton/tahun) 146,23 54,69 34,92 167,38 43,20 32,14 15,31 156,80 134, ,50 Pemanfaatan (%) >100 16,34 89,26 >100 >100 38,33 27,91 77,49 99,78 79,52 Ikan Karang Konsumsi Potensi (10 3 ton/tahun) 5,00 21,57 9,50 34,10 32,10 12,50 14,50 3,10 12,88 145,25 Produksi (10 3 ton/tahun) 21,60 7,88 48,24 24,11 6,22 4,63 2,21 22,58 19,42 156,89 Pemanfaatan (%) >100 36,53 >100 70,70 19,38 37,04 15,24 >100 >100 >100 Udang Penaeid Potensi (10 3 ton/tahun) 11,40 10,00 11,40 4,80 0,00 0,90 2,50 43,10 10,70 94,80 Produksi (10 3 ton/tahun) 49,46 70,51 52,86 36,91 0,00 1,11 2,18 36,67 10,24 259,94 Pemanfaatan (%) >100 >100 >100 >100 0,00 >100 87,20 85,08 95,70 >100 Lobster Potensi (10 3 ton/tahun) 0,40 0,40 0,50 0,70 0,40 0,30 0,40 0,10 1,60 4,80 Produksi (10 3 ton/tahun) 0,87 1,24 0,93 0,65 0,01 0,02 0,04 0,16 0,16 4,08 Pemanfaatan (%) >100 >100 >100 92,86 2,50 6,67 10,00 >100 10,00 85,00 Cumi-cumi Potensi (10 3 ton/tahun) 1,86 2,70 5,04 3,88 0,05 7,13 0,45 3,39 3,75 28,25 Produksi (10 3 ton/tahun) 3,15 4,89 12,11 7,95 3,48 2,85 1,49 0,30 6,29 42,51 Pemanfaatan (%) >100 >100 >100 >100 >100 39,97 >100 8,85 >100 >100 Total Potensi (10 3 ton/tahun) 76, ,05 96,64 929,72 277,99 590,62 632,72 771, , ,21 Produksi (10 3 ton/tahun) 389,28 379, ,41 655,45 228,48 197,64 237,11 263,37 623, ,42 Pemanfaatan (%) >100 35,94 >100 70,50 82,19 33,46 7,47 34,14 57,92 63,49 Sumber : DKP, 2002 Catatan: 1. Selat Malaka, 2. Laut Cina Selatan, 3. Laut Jawa, 4. Selat Makassar dan Laut Flores, 5. Laut Banda, 6. Laut Seram dan Teluk Tomini, 7. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, 8. Laut Arafura, 9. Samudera Hindia Overfishing Lebih besar dari MSY Belum optimal

4 Tercatat tujuh Kabupaten/Kota di provinsi Sulawesi Selatan bagian Selatan telah memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan perikanan tangkap di provinsi Sulawesi Selatan. Ketujuh Kabupaten/Kota tersebut yaitu Makassar, Takalar, Jeneponto, Bulukumba, Bantaeng, Sinjai, dan Selayar. Berdasarkan data statistik perikanan provinsi, pada tahun 2003 produksi perikanan tangkap provinsi Sulawesi Selatan adalah ,5 ton, dimana ,4 ton atau 46,2%-nya dihasilkan dari tujuh Kabupaten/Kota tersebut. Sisanya 53,8% dihasilkan dari 12 Kabupaten/Kota lainnya di provinsi Sulawesi Selatan. Produksi sebesar ,4 ton dari tujuh Kabupaten/Kota tersebut berturut-turut dihasilkan dari Jeneponto (26,7%); Takalar (24,2%); Bulukumba (14,6%); Sinjai (13,2%); Makassar (11,0%); Selayar (8,3%); dan Bantaeng (2,0%). Alat penangkapan ikan yang dioperasikan nelayan di Sulawesi Selatan cukup beragam. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan (2004), sejak tahun 1979 sampai dengan 2003 terdapat sekitar 13 jenis alat tangkap dominan yang digunakan. Alat tangkap tersebut adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring klitik, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan tancap, rawai tetap, pancing tonda, sero dan bubu. Keseluruhan alat tangkap tersebut tidak sepenuhnya ditemukan di setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini dikarenakan penggunaan alat tangkap tersebut disesuaikan dengan kondisi perairan Kabupaten/Kota tersebut. (1) Kotamadya Makassar Jenis alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Kotamadya Makassar adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring klitik, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan tancap, rawai tetap, pancing tonda, sero dan bubu. Sejak tahun 1979 sampai dengan 2003, dari keseluruhan alat tangkap yang ada, terdapat 3 (tiga) alat tangkap yang mengalami peningkatan dalam hal jumlah yakni Pukat cincin, Jaring klitik dan Pancing tonda. Walaupun memiliki kecenderungan yang meningkat, namun ketiga alat tersebut juga memiliki kecenderungan yang berfluktuasi terutama pada kurun waktu tahun 1980-

5 an. Adapun untuk alat lainnya, memiliki kecenderungan untuk mengalami penurunan periode tahun 1979 sampai dengan Alat tersebut umumnya banyak digunakan sekitar tahun 1979 sampai dengan Namun mulai tahun 1984 hingga 2003 penggunaan alat tangkap tersebut sangat berfluktuatif dan memiliki kecenderungan menurun. Secara keseluruhan, alat tangkap yang paling dominan digunakan oleh masyarakat nelayan di Kotamadya Makassar secara berurutan adalah jaring klitik rata-rata sebanyak 191 unit per tahun, bagan tancap rata-rata sebanyak 152 unit per tahun, jaring insang tetap rata-rata sebanyak 124 unit per tahun, sedangkan alat tangkap dengan jumlah penggunaan paling sedikit adalah bubu yakni rata-rata sebanyak 13 unit per tahun. Data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan (2004) juga memperlihatkan besarnya produksi tangkapan dengan menggunakan ke-13 alat tangkap tersebut. Umumnya, jumlah produksi alat tangkap tersebut mengalami peningkatan dalam kurun waktu 24 tahun, kecuali untuk alat tangkap jaring insang hanyut dan bubu yang jumlah produksinya cenderung menurun. Secara rata-rata, urutan jumlah produksi terbanyak adalah untuk alat tangkap pukat cincin yakni sebesar ton per tahun, jaring insang hanyut sebesar ton per tahun, bagan tancap sebesar ton per tahun, dan jumlah produksi terendah adalah alat tangkap bubu sebanyak 45 ton per tahun. (2) Kabupaten Takalar Jenis alat tangkap yang umum digunakan masyarakat nelayan di Kabupaten Takalar umumnya sama dengan yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Kotamadya Makassar, kecuali alat tangkap bagan perahu dan pancing tonda. Keseluruhan alat tangkap yang ada cenderung mengalami peningkatan dalam hal jumlah (unit) sejak tahun 1979 sampai dengan Peningkatan tersebut mengalami fluktuasi naik turun pada periode tahun 1990-an. Terdapat 2 (dua) alat tangkap yang justru mengalami penurunan kuantitas yakni sero dan bubu. Secara rata-rata, alat tangkap yang dominan digunakan adalah rawai tetap yakni sebanyak

6 1.292 unit per tahun, jaring insang hanyut sebanyak 480 unit per tahun, jaring insang tetap sebanyak 424 unit per tahun dan yang paling sedikit digunakan adalah jaring lingkar sebanyak 67 unit per tahun. Dalam hal jumlah hasil tangkapan (produksi), alat tangkap bubu justru menghasilkan produksi dalam jumlah besar walaupun dengan kuantitas yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Produksi alat tangkap bubu yakni rata-rata sebanyak ton per tahun, diikuti oleh rawai tetap sebanyak ton per tahun, dan yang paling sedikit memperoleh hasil tangkapan adalah sero yakni sebanyak 134 ton per tahun. (3) Kabupaten Jeneponto Alat tangkap yang umum digunakan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Jeneponto adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, bagan tancap, rawai tetap, dan bubu. Beberapa alat tangkap yang pernah digunakan namun pada akhirnya tidak dimanfaatkan lagi yakni jaring lingkar, jaring klitik dan sero (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Berdasarkan ke-8 jenis alat tangkap tersebut, 4 (empat) diantaranya mengalami penurunan, 3 (tiga) mengalami peningkatan sedangkan 1 (satu) diantaranya berfluktuasi naik turun dalam hal kuantitas selama periode 24 tahun. Alat tangkap yang mengalami peningkatan yakni pukat cincin, jaring insang tetap dan rawai tetap, yang mengalami penurunan adalah payang, jaring insang hanyut, bagan tancap serta bubu, dan yang mengalami fluktuasi adalah pukat pantai. Secara rata-rata, jumlah alat tangkap yang dominan digunakan adalah jaring insang tetap yakni sebanyak 491 unit per tahun, rawai tetap sebanyak 315 unit per tahun dan jaring insang hanyut sebanyak 288 unit per tahun. Sedangkan alat tangkap yang paling sedikit digunakan adalah pukat pantai yakni berkisar 93 unit per tahun. Pukat cincin sebagai alat tangkap yang penggunaannya mengalami peningkatan, berdampak pada hasil tangkapan (produksi) yang diperoleh yakni ton per tahun, diikuti oleh jaring insang tetap sebagai alat tangkap yang paling

7 dominan digunakan. Alat yang memperoleh hasil tangkapan terendah adalah payang yakni sebanyak 422 ton per tahun. (4) Kabupaten Bantaeng Penggunaan alat tangkap oleh nelayan di Kabupaten Bantaeng berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, cenderung dalam jumlah yang lebih kecil (sedikit) dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya. Alat tangkap yang umum digunakan adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, bagan tancap, rawai tetap, pancing tonda dan bubu. Beberapa diantara alat tangkap tersebut mengalami peningkatan dan penurunan. Kedua kondisi tersebut disertai dengan kenaikan dan penurunan yang cukup fluktuatif selama periode 24 tahun. Namun secara keseluruhan, alat tangkap dominan yang digunakan adalah jaring insang hanyut sebanyak 170 unit per tahun, jaring insang tetap yakni rata-rata sebanyak 115 unit per tahun, rawai tetap sebanyak 81 unit per tahun dan pukat cincin sebanyak 64 unit per tahun. Untuk alat yang paling minim digunakan adalah payang yakni rata-rata hanya 19 unit per tahun. Berdasarkan alat tangkap dominan yang digunakan berdampak pada hasil tangkapan (produksi) alat tangkap tersebut, yakni untuk alat tangkap jaring insang hanyut sebagai alat tangkap dominan memperoleh hasil tangkapan sebanyak ton per tahun. Namun demikian, alat tangkap yang paling produktif adalah pukat cincin dengan perolehan hasil tangkapan terbesar yakni ton per tahun. Hasil tangkapan dengan menggunakan pukat cincin pada dasarnya adalah mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan periode tahun 1980 hinga 1990-an. Selanjutnya adalah pukat pantai sebanyak 783 ton per tahun. (5) Kabupaten Bulukumba Jumlah alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Bantaeng beberapa mengalami peningkatan dan beberapa pula mengalami penurunan. Alat tangkap yang mengalami peningkatan jumlah adalah pukat pantai, pukat cincin, jaring insang tetap, bagan perahu, rawai tetap dan bubu. Alat tangkap yang

8 mengalami penurunan adalah payang, jaring insang hanyut, jaring lingkar, bagan tancap dan pancing tonda. Salah satu alat tangkap yakni jaring klitik bahkan digunakan hanya pada satu periode yaitu pada tahun 1983 dan setelah itu tidak digunakan lagi oleh masyarakat nelayan. Secara rata-rata alat tangkap yang paling dominan selama kurun waktu tahun 1979 hingga 2003 adalah jaring insang hanyut (240 unit per tahun), jaring insang tetap (192 unit per tahun), pancing tonda (174 unit per tahun) dan yang paling sedikit digunakan adalah bubu (28 unit per tahun). Alat tangkap yang paling produktif adalah Pukat cincin dengan besar produksi yang dapat dihasilkan adalah rata-rata ton per tahun, diikuti oleh alat tangkap jaring lingkar rata-rata sebanyak ton per tahun dan jaring insang tetap rata-rata sebesar ton per tahun. Alat tangkap dengan hasil tangkapan yang lebih rendah adalah bubu yakni rata-rata sebesar 96,9 ton per tahun. (6) Kabupaten Sinjai Berdasarkan ke-13 alat tangkap yang dominan digunakan oleh masyarakat nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan, hampir keseluruhan alat tangkap tersebut digunakan oleh masyarakat nelayan Kabupaten Sinjai kecuali alat tangkap rawai tetap selama periode tahun 1979 sampai dengan 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Khusus untuk alat tangkap pukat cincin, baru digunakan oleh masyarakat pada tahun 1991 dan terus mengalami peningkatan hingga tahun Peningkatan alat tangkap tersebut diikuti pula oleh alat tangkap lainnya yakni payang, pukat pantai, jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring insang tetap serta bagan perahu. Selain alat tangkap tersebut, terdapat pula alat tangkap lain yang mengalami penurunan yakni jaring klitik, bagan tancap, pancing tonda, sero dan bubu. Apabila ditinjau secara rata-rata, maka penggunaan alat tangkap yang terbanyak adalah jaring insang hanyut yakni sebanyak 272 unit per tahun, bagan perahu sebanyak 234 unit per tahun, sedangkan penggunaan yang paling sedikit adalah jaring lingkar yakni rata-rata sebanyak 30 unit per tahun. Adapun alat tangkap yang paling produktif di Kabupaten Sinjai adalah bagan perahu dengan besar rata-rata hasil tangkapan yakni ton per tahun, diikuti oleh

9 alat tangkap jaring insang hanyut sebanyak ton per tahun dan pukat cincin sebanyak ton per tahun. Alat tangkap yang paling rendah tingkat produktivitasnya adalah jaring klitik dengan hasil tangkapan sebanyak 86 ton per tahun. (7) Kabupaten Selayar Jenis alat tangkap yang digunakan masyarakat nelayan di Kabupaten Selayar selama 24 tahun adalah payang, jaring insang hanyut, bagan perahu, bagan tancap dan sero. Adapun untuk alat tangkap pukat cincin digunakan oleh masyarakat nelayan sejak tahun 1993 dan terus mengalami peningkatan dalam hal kuantitas hingga tahun Peningkatan ini diikuti pula oleh alat tangkap lainnya yakni payang, jaring insang hanyut, bagan perahu dan sero. Untuk alat tangkap bagan tancap mengalami penurunan hingga tahun 2003, dan bahkan untuk alat tangkap pancing tonda dan bubu memiliki kecenderungan tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat nelayan. Namun secara keseluruhan, rata-rata penggunaan alat tangkap yang dominan adalah jaring insang hanyut sebanyak 412 unit per tahun, diikuti oleh sero sebanyak 199 unit per tahun. Alat tangkap yang paling sedikit digunakan adalah pancing tonda yakni 8 unit per tahun. Berdasarkan keseluruhan alat tangkap yang ada, alat tangkap yang paling produktif adalah jaring insang hanyut dengan rata-rata hasil tangkapan sebanyak ton per tahun, diikuti oleh pukat cincin sebanyak ton per tahun. Alat tangkap dengan hasil tangkapan terendah adalah pancing tonda sebanyak 14,9 ton per tahun selama periode tahun 1979 sampai dengan Kondisi Perekonomian Secara Umum Pada tahap awal pembangunan di Indonesia, sektor pertanian memegang peranan penting seperti ditunjukkan oleh penyerapan tenaga kerja paling tinggi dibanding sektor lainnya (Tabel 11). Misalnya, pada tahun 1981 pertanian menyerap 31,6 juta pekerja atau 54,7% dari total pekerja dan diikuti oleh sektor keuangan (14,8%). Sebaliknya, sektor industri hanya menyerap 0,4 juta tenaga kerja (0,7%)

10 pada tahun yang sama. Selama periode laju pertumbuhan penyerapan sektor pertanian adalah yang paling rendah (2,69%) dibanding sektor lainnya. Perdagangan tumbuh paling pesat (9,34%), diikuti oleh sektor industri (3,75%). Secara absolut jumah tenaga kerja yang diserap sektor pertanian masih yang paling besar, tetapi perannya semakin berkurang dan peranan sektor lain semakin penting. Pada periode berikutnya ( ) sektor pertanian mengalami pertumbuhan negatif sedangkan sektor lainnya mengalami pertumbuhan positif dengan sektor angkutan merupakan yang paling tinggi (9,50%) diikuti sektor jasa (8,81%) di urutan kedua. Selama periode , sektor bangunan, keuangan, petambangan dan utility mengalami pertumbuhan negatif dalam penyerapan tenaga kerja.

11 Tabel 11. Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Perekenomian, (orang) Sektor Tahun Pertumbuhan (%/thn) Pertanian ,69-2,29 2,61 (%) 54,66 53,92 41,18 43,77 2. Industri ,75 8,01 91,61 (%) 0,68 0,74 1,03 13,31 3. Bangunan ,81 5,91-23,52 (%) 10,42 10,40 12,88 4,23 4. Perdagangan ,34 7,56 194,18 (%) 0,11 0,20 0,27 19,24 5. Pengangkutan ,28 9,50 1,44 (%) 3,71 3,19 4,83 4,90 6. Keuangan ,94 7,07-49,41 (%) 14,80 14,96 19,78 1,24 7. Jasa ,33 8,81 27,70 (%) 3,11 3,26 4,75 12,12 8. Lainnya *) ,48 4,53-46,48 (%) 12,52 13,34 15,28 1,20 TOTAL ,83 2,19 1,06 (%) 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS ( ) *) Pertambangan dan utiliti Secara nominal pangsa sektor pertanian dalam PDB meningkat dari Rp milyar pada tahun 1971 menjadi Rp milyar pada tahun 2002 atau lebih dari dua kali. Tetapi pada periode yang sama PDB meningkat dari Rp menjadi Rp atau lebih dari lima kali (Tabel 12). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian rata-rata lebih rendah daripada sektor lainnya. Peran sektor pertanian pada tahun 1971 adalah yang terbesar, yaitu 38,5%, tetapi terus menurun menjadi 15,0% pada tahun Pada periode berikutnya, yaitu , atau selama krisis ekonomi peranan sektor pertanian meningkat lagi tetapi menurun lagi pada tahun-tahun berikutnya. Berbeda dengan sektor pertanian, sektor industri pada awalnya memiliki pangsa yang relatif rendah, yaitu 7,0 persen pada tahun 1971, dan dua dasawarsa berikutnya (19,9%) melampaui peran sektor pertanian (Tabel 13). Hal ini merupakan indikasi bahwa pembangunan di Indonesia lebih mengarah ke industrialisasi.

12 Tabel 12. PDB Berdasaran Harga Konstan Tahun 1993, (Rp milyar) Sektor Pertanian , , , , , , , ,3 Tnmn Pangan , , , , , , , ,1 Perkebu nan 3.380, , , , , , , ,9 Peternakan 2.565, , , , , , ,3 7.53,0 Kehutanan 7.938, , , , , , , ,3 Perikanan 1.934, , , , , , , ,0 2. Industri 5.523, , , , , , , ,3 3. Pertambangan , , , , , , , ,1 4. Bangunan 6.374, , , , , , , ,7 5. Listrik, air 369, , , , , , , ,6 6. Perdagangan , , , , , , , ,2 7. Angkutan 2.689, , , , , , , ,5 8. Keuangan 1.852, , , , , , , ,2 9. Jasa 9.475, , , , , , , ,6 Total , , , , , , , ,5 Sumber: BPS ( ), data diolah Tabel 13. PDB Berdasaran Harga Konstan Tahun 1993, (%) Sektor Pertanian 38,47 21,58 19,26 15,59 15,00 16,64 15,94 Tanaman Pangan 18,54 12,06 10,59 8,22 7,73 8,68 8,07 Perkebunan 4,26 2,56 2,86 2,52 2,52 2,69 2,65 Peternakan 3,23 1,85 1,91 1,74 1,74 1,77 1,77 Kehutanan 10,00 3,63 2,22 1,56 1,48 1,61 1,56 Perikanan 2,44 1,48 1,69 1,54 1,53 1,89 1,89 2. Industri 6,96 10,70 19,85 23,55 24,10 23,59 23,63 3. Pertambangan 14,42 12,00 10,50 9,18 8,93 9,77 9,32 4. Bangunan 8,03 16,45 8,06 9,48 9,51 8,64 8,93 5. Listrik, air 0,47 0,71 0,95 1,18 1,27 1,65 1,76 6. Perdagangan 13,98 19,34 16,64 16,95 17,11 15,95 16,24 7. Angkutan 3,39 4,39 5,84 5,97 6,09 7,30 7,89 8. Keuangan 2,33 2,86 4,06 4,86 4,82 6,90 7,02 9. Jasa 11,94 11,97 14,84 13,22 13,17 9,56 9,28 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS ( ), data diolah Dalam sektor pertanian, pangsa sub sektor tanaman pangan adalah yang paling menonjol sejak tahun 1971 (18,5%) hingga tahun 2002 (15,9%). Pangsa sub

13 sektor kehutanan menduduki peringkat kedua pada tahun 1971 (10,0%), tetapi turun tajam pada dasawarsa berikutnya dan periode selanjutnya. Sub sektor peternakan meiliki pangsa 3,2% atau yang keempat pada tahun 1971, turun menjadi 1,9% pada dasawarsa berikutnya dan berfluktuasi pada periode berikutnya. Pada tahun 1999 pangsa sub sektor perikanan melampaui sub sektor peternakan. Selama dasawarsa pertama ( ) pertumbuhan PDB adalah sebesar 9,14% per tahun. Pertumbuhan tersebut terutama dipengaruhi oleh sektor bangunan, utility, industri, angkutan dan jasa masing-masing 17,25%, 13,79%, 13,94%, 12,00%, dan 19.17%. Di pihak lain, pada periode yang sama pertumbuhan sektor pertanian hanya 3,01%. Pangsa pertumbuhan sub sektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan lebih besar dari pertumbuhan sektor pertanian tetapi sub sektor kehutanan tumbuh negatif (Tabel 14). Pertumbuhan PDB pada periode berikutnya turun menjadi 4,11% per tahun. Sebaliknya, sektor industri tumbuh relatif tinggi, yaitu 10.74% sedangkan sektor pertanian hanya tumbuh 2,93%. Sub sektor peternakan, perkebunan, dan perikanan mengalami pertumbuhan positif masingmasing sebesar 4,44%, 5,26%, dan 5,53%, atau lebih tinggi dari pertumbuhan sektor pertanian. Selama periode , atau sebelum krisis ekonomi menerpa Asia Tenggara termasuk Indonesia, PDB tumbuh lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya, yaitu 7,01% per tahun. Pertumbuhan tersebut terutama dipengaruhi oleh sektor non pertanian, kecuali pertambangan. Selama periode ini sektor pertanian hanya tumbuh relatif kecil, yaitu 2,65% per tahun, sedangkan sub sektor peternakan mengalami pertumbuhan jauh lebih besar dari periode sebelumnya, yaitu 4,44% per tahun. Pertumbuhan PDB selama masa krisis ekonomi yang berlangsung selama turun menjadi -2,36% per tahun. Hampir semua sektor non pertanian, yaitu industri, pertambangan, bangunan, perdagangan dan jasa mengalami pertumbuhan negatif. Di pihak lain, sektor pertanian tumbuh positif walaupun pada laju yang lebih rendah, yaitu 1,06% per tahun. Kecuali sub sektor perkebunan dan peternakan yang mengalami pertumbuhan negatif masing-masing sebesar -0,15% and

14 -1,65% per tahun, semua sub sektor dalam sektor pertanian tumbuh positif. Selama periode pasca krisis ( ), PDB tumbuh pada laju 3,55% per tahun. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya pertumbuhan sektor lain, kecuali sektor pertanian yang hanya tumbuh rata-rata 1,06%. Kecuali sub sektor tanaman pangan, semua sub sektor mengalami pertumbuhan positif.

15 Tabel 14. Pertumbuhan PDB Berdasarkan Harga Konstan 1993 (%/tahun) Sektor Pertanian 3,01 2,93 2,65 1,06 1,36 Tanaman Pangan 4,55 2,76 1,54 1,48-0,13 Perkebunan 3,71 5,26 4,80-0,15 2,79 Peternakan 3,23 4,44 5,31-1,65 3,31 Kehutanan -1,38-0,91 0,10 0,23 2,03 Perikanan 3,81 5,53 5,29 4,57 3,65 2. Industri 13,94 10,74 10,53-3,05 3,64 3. Pertambangan 7,15 2,72 4,17 0,62 1,11 4. Bangunan 17,25-3,06 10,00-5,41 5,23 5. Listrik, air 13,79 7,27 12,21 6,54 7,13 6. Perdagangan 12,74 2,56 7,51-4,61 4,47 7. Angkutan 12,00 7,13 7,76 3,74 7,58 8. Keuangan 11,40 7,81 10,10 10,05 4,43 9. Jasa 9,17 6,38 4,90-12,25 2,01 Total 9,14 4,11 7,01-2,36 3,55 Sumber: BPS ( ), data diolah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Propinsi Sulawesi Selatan didominasi oleh sektor pertanian yang mencapai Rp 3,5 triliun (34,8%) pada tahun 2000 (Tabel 15). Sektor yang memberikan sumbangan PDRB kedua terbesar adalah perdagangan, yaitu Rp 1,7 triliun (16,8%) dan ketiga adalah sektor industri sebesar Rp 1,3 triliun (12,9%). Didalam sektor pertanian, sumbangan sub sektor perikanan menempati urutan kedua sebesar Rp 796 milyar (7,9%) setelah sub sektor tanaman pangan yang mencapai Rp 1,9 triliun (19,5%). Pada tahun 2003 sumbangan sektor pertanian meningkat menjadi Rp 3,7 triliun tetapi pangsanya turun menjadi 31,9%. Kecuali sub sektor peternakan yang meningkat, sumbangan sub sektor perikanan juga turun menjadi 7,0% dan sumbangan sub sektor tanaman pangan turun menjadi 17,7%. Sektor bangunan dan perdagangan masing-maisang meningkat menjadi 12,5% dan 18,6%. Secara total PDRB Propinsi Sulawesi Selatan meningkat dari Rp 10,1 triliun pada tahun 2000 menjadi Rp 11,7 trilun pada tahun 2003.

16 Tabel 15. PDRB Sulawesi Selatan Tahun 2003 Berdasarkan Harga Konstan 1993 (Rp juta) Sektor 2000 % 2003 % 1. Petanian ,06 34, ,30 31,88 Tanaman Pangan ,49 19, ,89 17,68 Perkebunan ,33 6, ,61 5,88 Peternakan ,00 0, ,85 1,02 Kehutanan ,96 0, ,10 0,26 Perikanan ,28 7, ,85 7,04 2. Industri ,60 12, ,52 12,49 3. Pertambangan ,29 4, ,15 4,56 4. Bangunan ,06 4, ,52 12,49 5. Listrik, air ,26 1, ,14 1,44 6. Perdagangan ,34 16, ,82 18,56 7. Angkutan ,15 7, ,17 8,90 8. Keuangan ,58 4, ,95 5,82 9. Jasa ,30 12, ,67 11,76 Total ,63 100, ,15 100,00 Sumber: BPS (2003)

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan melalui tahap-tahap : persiapan dan pengumpulan data pada bulan September 2003 sampai dengan Desember 2004, dilanjutkan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan ekonomi adalah peningkatan pendapatan nasional dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dikembangkan dan dikelola sumberdaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2006

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2006 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2006 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara maritim dengan luas wilayah laut

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km 2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km 2 dan daratan 5,779.123 Km 2. Dengan luas

Lebih terperinci

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4.1 Provinsi Maluku Dengan diberlakukannya Undang-Undang RI Nomor 46 tahun 1999 tentang pemekaran wilayah Provinsi Maluku menjadi Provinsi Maluku Utara dan Provinsi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi

Lebih terperinci

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung 6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung Supaya tujuh usaha perikanan tangkap yang dinyatakan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 6 0.57`- 7 0.25`

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perairan yang mencapai 5,8 juta km 2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Hal ini membuat Indonesia memiliki

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2011

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2011 KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2011 TENTANG ESTIMASI POTENSI SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN Pada bab IV ini Penulis akan menyajikan Gambaran Umum Obyek/Subyek yang meliputi kondisi Geografis, kondisi ekonomi, kondisi ketenagakerjaan, kondisi penanaman modal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi Perikanan Indonesia dapat diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 telah mencapai 4.383.103 ton, dan tahun 2004 tercatat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang dapat menunjang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang dapat menunjang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur. Sektor perikanan memiliki dua jenis perikanan yakni perikanan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2011 MENCAPAI 5,11 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2011 MENCAPAI 5,11 PERSEN BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN NGADA No. 08/08/Th.IV, 3 Agustus 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2011 MENCAPAI 5,11 PERSEN Ekonomi Kabupaten Ngada pada tahun 2011 tumbuh

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu wilayah yang termasuk ke dalam pesisir laut di Sumatera Utara adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah 5.625 km 2. Posisinya sangat strategis

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN ARU

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN ARU 48 IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN ARU 4.1 Geografi dan Pemerintahan 4.1.1 Geografi Secara geografi Kabupaten Kepulauan Aru mempunyai letak dan batas wilayah, luas wilayah, topografi, geologi dan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012 BPS KABUPATEN SIMALUNGUN No. 01/08/1209/Th. XII, 1 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Simalungun tahun 2012 sebesar 6,06 persen mengalami percepatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kelautan dengan kekayaan laut maritim yang sangat melimpah, negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi PENGANTAR ILMU PERIKANAN Riza Rahman Hakim, S.Pi Bumi Yang Biru begitu Kecilnya dibandingkan Matahari Bumi, Planet Biru di antara Planet lain The Blue Planet 72 % Ocean and 28 % Land Laut Dalam Al Qur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 38/08/14/Th.XIV, 2 Agustus 2013 PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau Tanpa Migas Triwulan II Tahun 2013 mencapai 2,68 persen Ekonomi Riau termasuk migas pada triwulan II tahun 2013, yang diukur dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena termasuk dalam Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Namun

BAB I PENDAHULUAN. karena termasuk dalam Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Namun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari ± 17.504 pulau, dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 Km dan luas laut sekitar 3.273.810 Km². Sebagai negara

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2012 MENCAPAI 5,61 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2012 MENCAPAI 5,61 PERSEN BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN NGADA No.05/08/Th.V, 1 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2012 MENCAPAI 5,61 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Ngada yang diukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia masih didominasi oleh perikanan rakyat dengan menggunakan alat tangkap yang termasuk kategori sederhana, tidak memerlukan

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara 58 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado terletak antara 0 15 5 34 Lintang Utara dan antara 123 07 127 10 Bujur Timur,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH No.12/02/33/Th.VII, 5 Februari 2013 PERTUMBUHAN PDRB JAWA TENGAH TAHUN 2012 MENCAPAI 6,3 PERSEN Besaran PDRB Jawa Tengah pada tahun 2012 atas dasar harga berlaku mencapai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12 BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan

Lebih terperinci

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2012

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2012 BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH No. 01/07/1204/Th. XII, 5 Juli 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2012 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 2012 sebesar 6,35 persen mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia

I. PENDAHULUAN. Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang dan masalah Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia menjadi sebuah negara industri yang tangguh dalam jangka panjang. Hal ini mendukung Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No. 47/08/72/Thn XVII, 05 Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 06/05/72/Thn XIV, 25 Mei 2011 PEREKONOMIAN SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2011 MENGALAMI KONTRAKSI/TUMBUH MINUS 3,71 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 24/05/14/Th.XV, 5 Mei 2014 PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau termasuk migas pada triwulan I tahun 2014, yang diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, mengalami

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 4.1. Gambaran Umum inerja perekonomian Jawa Barat pada tahun ini nampaknya relatif semakin membaik, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 06 /11/33/Th.I, 15 Nopember 2007 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PDRB JAWA TENGAH TRIWULAN III TH 2007 TUMBUH 0,7 PERSEN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Tengah pada

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari pulau-pulau yang memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar

Lebih terperinci

DAYA PERAIRAN. Fisheries Department UMM

DAYA PERAIRAN. Fisheries Department UMM EKSPLORASI SUMBER DAYA PERAIRAN RizaRahman Hakim, S.Pi Fisheries Department UMM Pendahuluan Kontribusi produksi perikanan nasional sampai saat ini masih didominasi usaha perikanan tangkap, khususnya perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk menopang perekonomian nasional dan daerah, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang dialami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. LKPJ Gubernur Sulawesi Selatan Tahun

BAB I PENDAHULUAN. LKPJ Gubernur Sulawesi Selatan Tahun BAB I PENDAHULUAN LKPJ Tahun 2011 ini merupakan LKPJ tahun keempat dari pelaksanaan RPJMD Sulawesi Selatan tahun 2008-2013. Berangkat dari keinginan Pemerintah agar Sulawesi Selatan sebagai Provinsi sepuluh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM. 25 o -29 o C, curah hujan antara November samapai dengan Mei. Setiap tahun

4 KEADAAN UMUM. 25 o -29 o C, curah hujan antara November samapai dengan Mei. Setiap tahun 4 KEADAAN UMUM 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Keadaan geografis, topografis, iklim, dan penduduk 1) Geografis dan topografis Kabupaten Banyuwangi terletak diantara koordinat 7 o 43` 8 o 46`

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan

I. PENDAHULUAN. Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan besar untuk menggerakkan roda perekonomian. Pada saat usaha besar tidak mampu mempertahankan eksistensinya,

Lebih terperinci

STUDI TENTANG PRODUKTIVITAS BAGAN TANCAP DI PERAIRAN KABUPATEN JENEPONTO SULAWESI SELATAN WARDA SUSANIATI L

STUDI TENTANG PRODUKTIVITAS BAGAN TANCAP DI PERAIRAN KABUPATEN JENEPONTO SULAWESI SELATAN WARDA SUSANIATI L STUDI TENTANG PRODUKTIVITAS BAGAN TANCAP DI PERAIRAN KABUPATEN JENEPONTO SULAWESI SELATAN SKRIPSI WARDA SUSANIATI L 231 7 2 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dilakukannya penelitian, batasan masalah dalam penelitian, serta pada bagian akhir sub bab juga terdapat sistematika penulisan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN BPS PROVINSI MALUKU No. 01/05/81/Th.XV, 05 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN PDRB Maluku pada triwulan IV tahun 2013 bertumbuh

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 26/05/73/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN I 2014 BERTUMBUH SEBESAR 8,03 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki kontribusi terhadap pembangunan terutama di daerah, salah satunya di Provinsi Jawa Barat. Pembangunan ekonomi daerah erat kaitannya dengan industrialisasi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008 BADAN PUSAT STATISTIK No.43/08/Th. XI, 14 Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II- Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan II-

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan daerah di Indonesia pada dasarnya didasari oleh kebijaksanaan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan daerah. Kebijaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu bidang produksi dan lapangan usaha yang paling tua di dunia yang pernah dan sedang dilakukan oleh masyarakat. Sektor pertanian adalah sektor

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 No.05/02/33/Th.III, 16 Februari 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 PDRB Jawa Tengah triwulan IV/2008 menurun 3,7 persen dibandingkan dengan triwulan III/2007 (q-to-q), dan bila dibandingkan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013 BPS PROVINSI LAMPUNG No.06/02/18/Th.XIV, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013 EKONOMI LAMPUNG TUMBUH 5,97 PERSEN SELAMA TAHUN 2013 Sebagai dasar perencanaan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 No. 28/05/72/Thn XVII, 05 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 Perekonomian Sulawesi Tengah triwulan I-2014 mengalami kontraksi 4,57 persen jika dibandingkan dengan triwulan

Lebih terperinci

BAB IV. SUMATERA UTARA : KEADAAN UMUM DAN PEREKONOMIAN. Daerah provinsi Sumatera Utara terletak diantara 1-4 o Lintang Utara (LU)

BAB IV. SUMATERA UTARA : KEADAAN UMUM DAN PEREKONOMIAN. Daerah provinsi Sumatera Utara terletak diantara 1-4 o Lintang Utara (LU) 104 BAB IV. SUMATERA UTARA : KEADAAN UMUM DAN PEREKONOMIAN 4.1. Keadaan Umum Daerah provinsi Sumatera Utara terletak diantara 1-4 o Lintang Utara (LU) dan 98-100 o Bujur Timur (BT), merupakan bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana Pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana Pemerintah Daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) BAB VIII INDIKATOR MAKRO DAERAH 8.1 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) Esensi pembangunan pada hakikatnya adalah upaya untuk peningkatan kualitas manusia itu sendiri dilihat dari berbagai dimensi. Salah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA No. 52/ V / 15 Nopember 2002 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA INDONESIA TRIWULAN III TAHUN 2002 TUMBUH 2,39 PERSEN Indonesia pada triwulan III tahun 2002 meningkat sebesar 2,39 persen terhadap triwulan II

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 No.43/08/33/Th.V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 PDRB Jawa Tengah pada triwulan II tahun 2011 meningkat sebesar 1,8 persen dibandingkan triwulan I tahun 2011 (q-to-q).

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2010

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2010 No. 01/02/53/Th. XIV, 07 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2010 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT tahun 2010 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas

Lebih terperinci

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah) 3.14. KECAMATAN NGADIREJO 3.14.1. PDRB Kecamatan Ngadirejo Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Ngadirejo selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.14.1

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS :

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS : BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS : Katalog BPS : 9302008.53 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 KINERJA PEREKONOMIAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50/KEPMEN-K P/2017 TENTANG ESTIMASI POTENSI, JUMLAH TANGKAPAN YANG DIPERBOLEHKAN, DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PENGELOLAAN

Lebih terperinci

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR Oleh : FRANSISKUS LAKA L2D 301 323 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 07/08/53/TH.XVI, 2 AGUSTUS PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA TIMUR LAJU PEREKONOMIAN NTT TRIWULAN I - 5,42 % (Y on Y) atau 4,67 % (Q to Q) 5,42

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya produksi total suatu daerah. Selain itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta meningkatnya kesejahteraan

Lebih terperinci

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013 BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH No. 1/8/124/Th. XIII, 25 Agustus 214 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 213 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 213 sebesar 6,85 persen mengalami

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK No. 07/02/53/TH.XVII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA TIMUR 5,62 Y on Y 2,37 Q to Q Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan IV 2013 Tumbuh sebesar 5,62% (Y on Y) dan 2,37%

Lebih terperinci

ASESMEN SUBSEKTOR EKONOMI

ASESMEN SUBSEKTOR EKONOMI Produksi Minyak Mentah Produksi Kondensat Penjualan Minyak Diesel Konsumsi Semen Produksi Kendaraan Non Niaga Penjualan Kendaraan Non Niaga Produksi Kendaraan Niaga Penjualan Kendaraan Niaga Produksi Sepeda

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI ADRIANI GUHAR L231 07 032 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci