ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA PESERTA PRIMATANI DI KOTA DEPOK JAWA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA PESERTA PRIMATANI DI KOTA DEPOK JAWA BARAT"

Transkripsi

1 ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA PESERTA PRIMATANI DI KOTA DEPOK JAWA BARAT SKRIPSI NUR YULISTIA H DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 RINGKASAN NUR YULISTIA. H Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Belimbing Dewa Peserta Primatani di Kota Depok Jawa Barat. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan DWI RACHMINA). Sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian di Kota Depok menjadi salah satu sektor yang dapat diandalkan. Sektor pertanian di perkotaan memiliki keunggulan spesifik dan sangat prospektif karena jaminan pangsa pasar dan permintaan akan produk pertanian segar dan olahan sangat beragam. Permasalahannya adalah perlu upaya pemilihan komoditas potensial yang dapat dikembangkan melalui pemanfaatan lahan terbatas dengan teknologi pertanian yang berwawasan agribisnis. Salah satu komoditas yang cukup potensial dan prospektif di Kota Depok adalah buah belimbing. Kini buah Belimbing Dewa telah dijadikan ikon Kota Depok. Upaya pengembangan Belimbing Dewa sebagai ikon Kota Depok pada kenyataannya masih ditemukan beberapa kendala dan permasalahan. Salah satu akar permasalahan dari pengembangan komoditas belimbing di Kota Depok adalah kapasitas produksi yang masih rendah dikarenakan lahan terbatas dan penerapan teknologi yang belum optimal. Hadirnya Primatani di Kota Depok diharapkan dapat memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengembangan komoditas belimbing, khususnya dalam hal penerapan teknologi. Inovasi teknologi yang diintroduksikan oleh Primatani tentunya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, kuantitas, kualitas serta kontinuitas produksi tanaman belimbing yang dihasilkan oleh petani. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis pengaruh Primatani terhadap tingkat pendapatan usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok, dan (2) menganalisis pengaruh Primatani terhadap tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok. Pengaruh hadirnya Primatani dianalisis dengan metode membandingkan tingkat pendapatan dan efisiensi produksi usahatani Belimbing Dewa antara petani Primatani dan non Primatani. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok untuk petani peserta Primatani dan untuk petani non peserta Primatani dipilih petani yang berasal dari Kelurahan Pancoran Mas, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Pemilihan petani responden dilakukan secara stratified random sampling dari populasi kelompok tani yang ada di lokasi penelitian. Petani responden dibagi menjadi dua kelompok (strata) yaitu petani yang memiliki umur pohon 5-9 tahun dan tahun. Total jumlah petani responden adalah 60 orang petani, terdiri dari 30 orang petani yang masingmasing adalah peserta Primatani dan non peserta Primatani. Berdasarkan hasil analisis pendapatan usahatani Belimbing Dewa dapat disimpulkan bahwa pengaruh hadirnya Primatani di Kota Depok belum memberikan dampak yang terlalu besar terhadap tingkat pendapatan petani peserta Primatani. Hal ini dapat dilihat dari pendapatan atas biaya tunai dan total pada petani non Primatani lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani Primatani. Pendapatan atas biaya total per hektar per tahun petani Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun dan tahun adalah sebesar Rp ,50 dan Rp ,10. Pendapatan atas biaya total per hektar per tahun pada petani

3 non Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun dan tahun adalah sebesar Rp ,80 dan Rp ,69. Hasil analisis R/C rasio pada usahatani Belimbing Dewa untuk Petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun menunjukkan bahwa usahatani ini memiliki penerimaan usahatani yang lebih besar dibandingkan dengan biaya usahatani. Nilai R/C rasio tunai petani Primatani dan non Primatani masing-masing adalah 3,14 dan 3,48. Ini berarti dari setiap satu rupiah biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp 3,14 untuk petani Primatani dan Rp 3,48 untuk petani non Primatani. Nilai imbangan penerimaan dan biaya atas biaya total pada petani Primatani adalah 2,38 dan untuk petani non Primatani 2,75. Nilai imbangan penerimaan dan biaya pada petani non Primatani dengan umur pohon tahun lebih besar jika dibandingkan dengan petani Primatani. Dari hasil perhitungan R/C rasio atas biaya tunai pada petani Primatani dan non Primatani masing-masing adalah 3,34 dan 3,45. Artinya dari setiap satu rupiah biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani Primatani dan non Primatani akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 3,34 dan Rp 3,45, sedangkan jika dilihat dari sisi biaya totalnya maka R/C rasio untuk petani Primatani adalah sebesar 2,52 dan untuk petani non Primatani 2,76. Artinya usahatani Belimbing Dewa yang diusahakan petani non Primatani lebih memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan petani Primatani. Model penduga fungsi produksi untuk petani Primatani dan non Primatani yang diajukan dalam penelitian ini adalah model fungsi produksi eksponensial dengan menggunakan metode penduga kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS). Variabel bebas yang digunakan dalam model penduga fungsi produksi petani Primatani adalah pupuk kandang, pupuk NPK, pupuk gandasil, pestisida, petrogenol dan tenaga kerja. Model penduga fungsi produksi petani non Primatani menggunakan variabel bebas pupuk kandang, pupuk gandasil, pestisida, petrogenol dan tenaga kerja. Pupuk NPK tidak dimasukkan ke dalam model dikarenakan akan menimbulkan masalah multikolinearitas pada fungsi produksi. Jumlah nilai elastisitas dalam model untuk petani Primatani dan non Primatani adalah 0,9879 dan 0,983. Hal ini menggambarkan bahwa usahatani Belimbing Dewa yang dilakukan petani Primatani dan non Primatani berada pada skala decreasing returns to scale. Hal ini menandakan bahwa, jika input yang digunakan petani Primatani dan non Primatani dalam proses produksi Belimbing Dewa secara bersama-sama ditambah sebesar satu persen, maka output yang diproduksi akan bertambah sebesar kurang dari satu persen, yakni 0,9879 persen pada petani Primatani dan 0,983 persen untuk petani non Primatani. Hadirnya Primatani ternyata belum memberikan pengaruh terhadap tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi pada petani peserta Primatani. Tingkat penggunaan faktor produksi pada petani Primatani belum mencapai kondisi yang optimal. Hal ini ditandai dari hasil rasio NPM/BKM pada seluruh input yang digunakan oleh petani Primatani dan non Primatani yang tidak sama dengan satu.

4 ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA PESERTA PRIMATANI DI KOTA DEPOK JAWA BARAT NUR YULISTIA H Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

5 Judul Skripsi Nama NRP : Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Belimbing Dewa Peserta Primatani di Kota Depok Jawa Barat : Nur Yulistia : H Disetujui, Pembimbing Ir. Dwi Rachmina, MSi NIP Diketahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP Tanggal Lulus :

6 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Belimbing Dewa Peserta Primatani di Kota Depok Jawa Barat adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Mei 2009 Nur Yulistia H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Kota Ambon, Propinsi Maluku pada tanggal 28 Juli Penulis adalah sulung dari dua bersaudara, putri Bapak H. Agus Suparta, SE. MM dan Ibu Hj. Uun Komariah. Penulis mengawali pendidikan formal pada tahun 1991 di Sekolah Dasar Negeri Kabluk 05 Semarang. Seusai menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 9 Semarang dan pada tahun 2003 lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Semarang. Penulis berkesempatan melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Program Studi Diploma III Teknologi Benih, Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan memperoleh gelar Ahli Madya pada tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada jenjang Strata Satu (S1) Program Sarjana Agribisnis Penyelenggaraan Khusus, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Semasa kuliah, penulis mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan diantaranya Badan Koordinasi Mahasiswa Diploma Perbenihan Institut Pertanian Bogor (BKMDP-IPB) dan Keluarga Muslim Ekstensi Institut Pertanian Bogor (KAMUS-IPB).

8 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT karena hanya dengan rahmat, anugerah, kasih sayang dan petunjuk Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Belimbing Dewa Peserta Primatani di Kota Depok Jawa Barat. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh Primatani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian) terhadap tingkat pendapatan petani dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Jawa Barat. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Namun dengan segala keterbatasan yang ada, skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak dan mampu memberikan kontribusi dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Bogor, Mei 2009 Nur Yulistia

9 UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1) Ir. Dwi Rachmina, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk mengarahkan, memberikan masukan, dan membimbing penulis sejak awal pemilihan topik penelitian hingga penyusunan skripsi ini selesai. 2) Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS sebagai dosen evaluator pada kolokium rencana penelitian yang telah memberikan masukan dan arahan sebelum pelaksanaan penelitian. 3) Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS dan Dra. Yusalina, MSi sebagai dosen penguji pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktu serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 4) Papa dan Mama yang setiap saat selalu mendoakan penulis agar Allah SWT selalu memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis dalam mengemban amanah ini. 5) Seluruh staf Dinas Pertanian Kota Depok dan tim Primatani Kota Depok atas bantuan dan informasi yang telah diberikan selama penelitian berlangsung. 6) Keluarga besar Kelompok Tani Makmur Sejahtera, Mekar Sejahtera, Sakati Makmur dan Usaha Jaya sebagai petani responden peserta Primatani dan keluarga besar Kelompok Tani Kali Licin sebagai petani responden non peserta Primatani yang telah memberikan informasi dan bantuan kepada penulis selama penelitian berlangsung. 7) Ajen Mukarom atas kesediaannya menjadi pembahas dalam acara seminar hasil penelitian. 8) Teman-teman di Program Penyelenggaraan Khusus Agribisnis IPB angkatan Mayor Minor I dan II atas kebersamaan, dukungan, keceriaan selama menjalani hari-hari penuh makna dan suka duka menjalani perkuliahan dan penyusunan skripsi. Semoga tali silaturahmi dan pertemanan kita tetap terjaga. Bogor, Mei 2009 Nur Yulistia

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 7 II TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Primatani Strategi dan Tujuan Pelaksanaan Primatani Keluaran dan Manfaat Primatani Tinjauan Studi Terdahulu III KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Fungsi Produksi Konsep Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Peningkatan Teknologi dalam Usahatani Ruang Lingkup Usahatani Konsep Pendapatan Usahatani Konsep Imbangan Penerimaan dan Biaya Kerangka Pemikiran Operasional IV METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Metode Penentuan Sampel Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis Pendapatan Usahatani dan R/C Rasio Analisis Fungsi Produksi Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Uji Beda Chi Square (X 2 ) Konsep Pengukuran Variabel V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Umum, Geografis dan Iklim Kota Depok Lokasi Petani Peserta Primatani Lokasi Petani Non Peserta Primatani Karakteristik Petani Responden Status Usahatani Belimbing Dewa Petani Responden Usia Petani Responden iv vii viii

11 VI Halaman Tingkat Pendidikan Petani Responden Status Kepemilikan Lahan Belimbing Dewa Petani Responden Pengalaman Berusahatani Petani Responden Kegiatan Budidaya Belimbing Dewa di Lokasi Penelitian Penanaman Tanaman Belimbing Dewa Pemupukan Tanaman Belimbing Dewa Pengairan Tanaman Belimbing Dewa Pemangkasan Tanaman Belimbing Dewa Sanitasi Kebun serta Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Belimbing Dewa Pembungkusan dan Penjarangan Buah Belimbing Dewa Panen Buah Belimbing Dewa Pelaksanaan Kegiatan Primatani di Kota Depok Inovasi Teknologi Inovasi Kelembagaan Diseminasi Teknologi ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA PESERTA PRIMATANI KOTA DEPOK Penggunaan Sarana Produksi dalam Usahatani Belimbing Dewa Penggunaan Pupuk Penggunaan Pestisida Penggunaan Bahan Pembungkus Buah Penggunaan Tenaga Kerja Penggunaan Alat Pertanian Biaya Usahatani Belimbing Dewa Biaya Variabel Biaya Tetap Penerimaan Usahatani Belimbing Dewa Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing Dewa Keterbatasan Penelitian VII ANALISIS FAKTOR PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI BELIMBING DEWA PESERTA PRIMATANI KOTA DEPOK Analisis Fungsi Produksi Model Penduga Fungsi Produksi Usahatani Belimbing Dewa Petani Primatani Model Penduga Fungsi Produksi Usahatani Belimbing Dewa Petani Non Primatani Analisis Elastisitas Faktor Produksi Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi VIII KESIMPULAN DAN SARAN

12 Halaman 8.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

13 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Nilai PDB Sektoral dan Kontribusinya terhadap PDB Nasional Tahun Nilai PDB Hortikultura Nasional berdasarkan Harga Konstan pada Tahun Luas Areal, Populasi, Produksi dan Produktivitas Tanaman Belimbing di Enam Kecamatan di Kota Depok Tahun Persentase Mata Pencaharian Utama Masyarakat di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok Tahun Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Mata Pencaharian di Kelurahan Pancoran Mas, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok Tahun Jumlah Petani Responden berdasarkan Kriteria Status Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun Jumlah Petani Responden berdasarkan Kriteria Usia di Kota Depok Tahun Jumlah Petani Responden berdasarkan Kriteria Tingkat Pendidikan Formal di Kota Depok Tahun Jumlah Petani Responden berdasarkan Kriteria Luasan Lahan Belimbing Dewa yang Dimiliki di Kota Depok Tahun Jumlah Petani Responden berdasarkan Kriteria Pengalaman Berusahatani di Kota Depok Tahun Dosis Pupuk Kandang dan NPK pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Ciri-Ciri Indeks Kematangan Buah Belimbing Dewa di Kota Depok Penggunaan Pestisida pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun Penggunaan Pestisida pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun

14 Nomor Halaman 15. Penggunaan Kertas Karbon dan Plastik Mulsa pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) Pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) Pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) Pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) Pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun Biaya Pupuk dan Pestisida pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun Biaya Pupuk dan Pestisida pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) Pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) Pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) Pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Tahun di Kota Depok Tahun Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) Pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Tahun di Kota Depok Tahun Biaya Penyusutan Peralatan Pertanian pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun Biaya Penyusutan Peralatan Pertanian pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun

15 Nomor Halaman 28. Biaya Bibit dalam Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun Hasil Panen dan Penerimaan pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun Hasil Panen dan Penerimaan pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing Dewa per Hektar per Tahun dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing Dewa per Hektar per Tahun dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun Hasil Uji Beda Chi Square terhadap Nilai R/C Rasio Usahatani Belimbing Dewa Petani Primatani dan Non Primatani Tahun Hasil Analisis Uji F terhadap Model Penduga Fungsi Produksi Petani Primatani Pengujian Beda Nyata Koefisien Regresi pada Model Penduga Fungsi Produksi Petani Primatani Hasil Analisis Uji F terhadap Model Penduga Fungsi Produksi Petani Non Primatani Pengujian Beda Nyata Koefisien Regresi pada Model Penduga Fungsi Produksi Petani Non Primatani Hasil Analisis Uji Beda Chi Square terhadap Ukuran Skala Usaha Petani Primatani dan Non Primatani Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) dari Produksi Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun

16 Nomor DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kurva Fungsi Produksi Total dan Hubungannya dengan Produk Marjinal dan Produk Rata-Rata Pengaruh Teknologi Baru terhadap Produksi Alur Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Pendapatan Efisiensi Produksi Usahatani Belimbing Dewa Peserta Primatani di Kota Depok Jawa Barat... 29

17 Nomor DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Penggunaan Lahan Kelurahan Pasir Putih Tahun Model Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) Primatani Kota Depok Tahun Model Sistem Usahatani Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID) Primatani Kota Depok Tahun Hasil Output Model Fungsi Produksi Linear Berganda Petani Primatani Hasil Output Model Fungsi Produksi Eksponensial Petani Primatani Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas pada Model Fungsi Produksi Eksponensial Petani Primatani Hasil Output Model Fungsi Produksi Linear Berganda Petani Non Primatani Hasil Output Model Fungsi Produksi Linear Berganda Petani Non Primatani (Tanpa Variabel Bebas Pupuk NPK) Hasil Output Model Fungsi Produksi Eksponensial Petani Non Primatani Koefisien Korelasi antar Peubah Bebas pada Model Fungsi Produksi Eksponensial Petani Non Primatani Hasil Output Model Fungsi Produksi Eksponensial Petani Non Primatani (Tanpa Variabel Bebas Pupuk NPK) Koefisien Korelasi antar Peubah Bebas pada Model Fungsi Produksi Eksponensial Tanpa Variabel Bebas Pupuk NPK pada Petani Non Primatani Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas pada Model Fungsi Produksi Eksponensial Tanpa Variabel Pupuk NPK pada Petani Non Primatani Nilai R/C Rasio Usahatani Belimbing Dewa Petani Primatani dan Non Primatani dengan Umur Pohon 5-9 Tahun pada Tahun Nilai R/C Rasio Usahatani Belimbing Dewa Petani Primatani dan Non Primatani dengan Umur Pohon Tahun pada Tahun Perhitungan Uji Beda Chi Square terhadap Ukuran Skala Usaha pada Petani Primatani dan Non Primatani

18 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peranan dan kontribusi yang diberikan oleh sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Nilai PDB dan kontribusi PDB setiap sektor perekonomian disajikan pada Tabel 1. Terlihat pada Tabel 1 bahwa PDB sektor pertanian termasuk perikanan dan kehutanan dari tahun 2002 hingga 2006 adalah 13 sampai 16 persen dari total nilai PDB nasional. Walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDB cenderung menurun tiap tahunnya namun angka ini masih cukup besar, karena kontribusi sektor pertanian tersebut menempati urutan ketiga setelah sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Tabel 1. Nilai PDB Sektoral dan Kontribusinya terhadap PDB Nasional Tahun Lapangan Usaha (Sektor) PDB Nominal (Triliun Rupiah) Pertanian, 298,8(16,0) 325,6(15,9) 329,1(14,3) 363,9(13,1) 430,5 (12,9) Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan 161,0 (8,6) 169,5 (8,3) 205,3 (8,9) 308,3(11,1) 354,6 (10,6) Penggalian Industri 553,8(27,9) 590,1(28,8) 644,3(28,1) 771,7(27,7) 936,4 (28,1) Pengolahan Listrik, Gas 15,4 (0,8) 19,5 (1,0) 23,7 (1,0) 26,7 (0,9) 30,4 (0,91) dan Air Bersih Bangunan 101,6 (5,5) 112,6 (5,5) 151,2 (6,6) 195,8 (7,0) 249,1 (7,5) Perdagangan, 314,6(16,9) 337,8(16,5) 368,6(16,0) 430,1(15,5) 496,3 (14,9) Hotel dan Restoran Keuangan, 154,4 (8,3) 174,3 (8,5) 194,4 (8,5) 230,6 (8,3) 271,6 (8,1) Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa 165,6 (8,9) 198,1 (9,7) 234,9(10,3) 276,8 (9,9) 338,4 (10,1) PDB Total 1.863,2(100) 2.045,8(100) 2.295,8(100) 2.785,0 (100) 2.976,7(89,2) Keterangan : Angka ( ) adalah persentase terhadap PDB Sumber : BPS (2007) Pertanian sebagai salah satu penggerak utama perekonomian, setidaknya mampu memecahkan masalah sosial ekonomi yang mendasar. Permasalahan mendasar tersebut khususnya terkait dengan memperluas lapangan kerja, memenuhi kebutuhan masyarakat, pemerataan pendapatan dan mempercepat pengentasan kemiskinan.

19 Sektor pertanian terbagi menjadi beberapa subsektor. Subsektor-subsektor tersebut diantaranya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Salah satu subsektor yang berpotensi untuk dikembangkan adalah subsektor hortikultura. Hal ini dapat dilihat dari nilai PDB hortikultura yang mengalami kenaikan tiap tahunnya seperti yang disajikan pada Tabel 2. Komoditas-komoditas yang termasuk dalam subsektor hortikultura adalah buah-buahan, sayuran, biofarmaka dan tanaman hias. Tabel 2 juga memberikan gambaran bahwa komoditas buah-buahan merupakan komoditas yang memberikan kontribusi paling tinggi pada PDB hortikultura di tahun 2003 hingga Oleh sebab itu, sudah selayaknya komoditas buah-buahan ini perlu mendapatkan perhatian khusus dalam upaya pengembangannya. Tabel 2. Nilai PDB Hortikultura Nasional berdasarkan Harga Konstan pada Tahun Komoditas Nilai PDB (Milyar Rupiah) Buah-Buahan Sayuran Biofarmaka Tanaman Hias Total Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura, Departemen Pertanian (2008) 1 Komoditas buah-buahan perlu dikembangkan seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran konsumen akan pentingnya mengkonsumsi buah dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi. Permintaan buah-buahan tidak hanya datang dari konsumen dalam negeri saja, namun juga datang dari permintaan pasar internasional atau untuk kepentingan ekspor. Tahun 2006 nilai ekspor hortikultura Indonesia sebesar ton dengan nilai sebesar US$ Ekspor buah-buahan menyumbang sekitar 50 persen dari total nilai ekspor hortikultura nasional tahun 2006 dengan nilai total sebesar US$ , sayuran US$ , tanaman hias US$ dan tanaman biofarmaka US$ Hanya saja, produk-produk hortikultura Indonesia khususnya buah- 1 Direktorat Jendral Hortikultura, Departemen Pertanian. Produk Domestik Bruto [13 Oktober 2008]. 2 Direktorat Jenderal Hortikultura Membangun Hortikultura berdasarkan Enam Pilar Pengembangan. Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian. Hal. 4.

20 buahan seringkali tidak dapat diterima di luar negeri, dikarenakan kualitasnya yang masih rendah dan tidak memenuhi standar kualitas ekspor. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam dan luar negeri serta dapat bersaing di pasar internasional, kualitas dan produktivitas akan komoditas buahbuahan dalam negeri perlu ditingkatkan. Petani sebagai produsen buah-buahan tentunya tidak dapat bekerja sendiri. Petani perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, khususnya pemerintah yang bertindak sebagai fasilitator, regulator dan motivator yang bersifat mendukung dan memberikan berbagai akses kemudahan bagi petani dalam memproduksi dan mengembangkan komoditi buahbuahan dalam negeri. Tentunya dengan adanya peran pemerintah ini, diharapkan kuantitas dan kualitas produk buah-buahan dalam negeri dapat meningkat sehingga pendapatan serta kesejahteraan petani turut dapat ditingkatkan. Saat ini penerapan teknologi dalam sektor pertanian masih tergolong rendah. Hal ini merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas serta kualitas komoditas pertanian termasuk buah-buahan. Oleh karena itu, pengembangan teknologi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses peningkatan daya saing sektor pertanian serta nilai tambah produk yang dihasilkan. Tingkat pengembangan teknologi di bidang pertanian akan menaikkan tingkat produktivitas di sektor pertanian yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Primatani) adalah salah satu bentuk langkah nyata pemerintah, yang dalam hal ini dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbang Pertanian). Balitbang Pertanian sebagai pelaksana program memiliki misi utama yaitu menemukan dan menciptakan inovasi pertanian yang maju dan strategis dari sisi teknologi, kelembagaan dan kebijakan, mengadaptasikannya menjadi tepat guna spesifik pemakai dan lokasi serta menginformasikan dan menyediakan materi dasarnya. Namun pada kenyataannya, inovasi yang dihasilkan oleh Balitbang Pertanian belum secara luas dimanfaatkan oleh praktisi

21 agribisnis khususnya petani 3. Oleh karena itu, tahun 2005 Balitbang Pertanian mulai melaksanakan Primatani. Primatani adalah suatu konsep baru diseminasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan penyebaran inovasi teknologi pertanian. Primatani berfungsi sebagai penghubung langsung antara Balitbang Pertanian sebagai penghasil inovasi dengan lembaga penyampaian maupun dengan pelaku agribisnis pengguna inovasi. Hal penting lain yang ingin dicapai dari pelaksanaan program ini adalah meningkatkan kesejahteraan petani, pertanian berkelanjutan dan melestarikan lingkungan. Adanya aktivitas adopsi inovasi teknologi yang dilakukan oleh petani dengan bantuan Primatani ini, merupakan salah satu langkah untuk dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas komoditas yang dihasilkan petani termasuk komoditas buah-buahan. Sehingga pada akhirnya pendapatan dan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Ishaq et al. (2007) bahwa hasil penerapan tujuh komponen teknologi budidaya yang dilakukan oleh petani di lokasi Primatani Kabupaten Cianjur pada komoditas pisang mampu meningkatkan produktivitas Pisang Rajabulu 28 sampai 57 persen. Inovasi teknologi lain yang telah berhasil meningkatkan hasil produksi petani juga terjadi di lokasi Primatani Kabupaten Sukabumi. Penerapan teknologi irigasi tetes pada kebun manggis dapat mengatasi masalah getah kuning yang menurunkan kualitas buah. Irigasi tetes yang diterapkan petani dapat meningkatkan produksi manggis kualitas Super sebesar 40 persen (Noviana & Sunandar 2007). Pada awal pelaksanaannya, Primatani hadir di 14 propinsi dan di tahun 2006 bertambah menjadi 25 propinsi yang meliputi 33 desa. Mulai tahun 2008, Primatani dilaksanakan di 212 desa yang tersebar di seluruh propinsi. Pelaksanaan Primatani di Jawa Barat berlangsung sejak 2005 di dua kabupaten yaitu Karawang dan Garut. Seiring dengan perkembangannya, di tahun 2007 penerapan Primatani di wilayah Jawa Barat diperluas ke 17 kabupaten dan tiga kota salah satunya adalah Kota Depok. 3 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Profil Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian. [13 Oktober 2008].

22 Sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian di Kota Depok menjadi salah satu sektor yang dapat diandalkan. Menurut Dinas Pertanian Kota Depok (2007a), sektor pertanian di perkotaan memiliki keunggulan spesifik dan sangat prospektif karena jaminan pangsa pasar dan permintaan akan produk pertanian segar dan olahan sangat beragam. Permasalahannya adalah perlu upaya pemilihan komoditas potensial yang dapat dikembangkan melalui pemanfaatan lahan terbatas dengan teknologi pertanian yang berwawasan agribisnis. Salah satu komoditas yang cukup potensial dan prospektif di Kota Depok adalah buah belimbing Perumusan Masalah Penerapan inovasi yang dilakukan oleh Primatani di Kota Depok dimulai pada awal tahun Salah satu komoditas utama dan andalan yang sesuai dengan keadaan agroekosistem wilayah penerapan Primatani yang berpotensi untuk dikembangkan adalah buah belimbing manis dengan varietas Dewa. Hal ini diketahui dari hasil penilaian dan survei awal yang dilakukan oleh tim Primatani Kota Depok pada tahun Kini buah Belimbing Dewa telah dijadikan ikon Kota Depok. Menurut Dinas Pertanian Kota Depok (2007a), dalam upaya pengembangan Belimbing Dewa sebagai ikon Kota Depok, masih ditemukan beberapa kendala dan permasalahan. Salah satu akar permasalahan dari pengembangan komoditas belimbing di Kota Depok adalah kapasitas produksi yang masih rendah dikarenakan lahan terbatas dan penerapan teknologi yang belum optimal. Lokasi yang terpilih menjadi lokasi penerapan Primatani di Kota Depok adalah Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan. Menurut Dinas Pertanian Kota Depok (2007a), Kelurahan Pasir Putih adalah salah satu sentra utama penghasil Belimbing Dewa di Kota Depok selain Kelurahan Pancoran Mas, Mampang, Rangkapan Jaya Baru dan Cipayung di Kecamatan Pancoran Mas serta Kelurahan Tugu dan Cilangkap di Kecamatan Cimanggis. Data yang tertera pada Tabel 3 menggambarkan bahwa Kecamatan Sawangan adalah kecamatan yang memiliki luas areal potensial paling tinggi yang belum dimanfaatkan bila dibandingkan dengan wilayah lain di Kota Depok. Dengan demikian, peluang pengembangan agribisnis dan usahatani Belimbing Dewa masih terbuka lebar.

23 Pada Tabel 3 juga dapat diamati tingkat produksi dan produktivitas tanaman belimbing di enam kecamatan Kota Depok. Rata-rata produktivitas tanaman belimbing pada tahun 2005 adalah sebesar 95,44 kilogram per pohon per tahun. Jumlah tersebut masih jauh dari yang diharapkan oleh Dinas Pertanian Kota Depok yang saat ini mengupayakan untuk meningkatkan produksi belimbing menjadi lebih dari 200 kilogram per pohon per tahun. Tabel 3. Luas Areal, Populasi, Produksi dan Produktivitas Tanaman Belimbing di Enam Kecamatan di Kota Depok Tahun 2005 Kecamatan Rata-Rata Luas Areal Produksi Produktivitas yang Telah Potensi Populasi (Ton/ Kg/ Diusahakan (Ha) (Pohon) Ton/Ha/ Tahun) Pohon/ (Ha) Tahun Tahun Sawangan 14, ,62 121,05 Pancoran 74, ,49 101,88 Mas Sukmajaya 1, Cimanggis 20, ,48 109,16 Limo 5, ,00 46,13 Beji 5, ,80 99,00 Total 119, ,88 95,44 Sumber : Dinas Pertanian Kota Depok (2007a) Hadirnya Primatani di Kota Depok diharapkan dapat memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengembangan komoditas belimbing, khususnya dalam hal penerapan teknologi. Inovasi teknologi yang diintroduksikan oleh Primatani tentunya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, kuantitas, kualitas serta kontinuitas produksi tanaman belimbing yang dihasilkan oleh petani. Dengan demikian, akan lebih meningkatkan pendapatan usahatani belimbing dan efisiensi dalam penggunaan input, karena petani selalu mengharapkan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal dari pengelolaan sumber daya yang dimilikinya. Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini antara lain adalah : 1) Bagaimana pengaruh Primatani terhadap tingkat pendapatan usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok? 2) Bagaimana pengaruh Primatani terhadap tingkat efisiensi penggunaan faktorfaktor produksi usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok?

24 1.3. Tujuan Penelitian Sehubungan dengan pertanyaan penelitian pada perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan guna : 1) Menganalisis pengaruh Primatani terhadap tingkat pendapatan usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok. 2) Menganalisis pengaruh Primatani terhadap tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Manfaat Penelitian 1) Sebagai bahan bacaan dan informasi bagi petani khususnya petani belimbing, mahasiswa, para peneliti maupun praktisi agribisnis mengenai penerapan Primatani dan usahatani belimbing. 2) Sebagai bahan informasi dan masukan bagi tim Primatani, khususnya tim Primatani Kota Depok dan Petugas Penyuluh Lapang khususnya di lokasi penelitian, untuk semakin meningkatkan kinerja program selanjutnya agar tujuan yang ingin dicapai dapat terlaksana secara maksimal. 3) Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah selaku pembuat kebijakan dalam menyempurnakan program-program selanjutnya untuk dapat lebih mensejahterakan petani.

25 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Dasar Primatani Primatani adalah kegiatan Departemen Pertanian yang diinisiasi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbang Pertanian). Primatani merupakan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian yang aktivitasnya bertujuan untuk mempercepat adopsi inovasi teknologi dan membangun kelembagaan agribisnis. Teknologi inovatif yang selama ini dihasilkan oleh Balitbang Pertanian sering kali belum dapat dimanfaatkan secara luas oleh praktisi agribisnis khususnya petani. Oleh karena itu, pada tahun 2005 Balitbang Pertanian mulai melaksanakan Primatani yang berfungsi sebagai penghubung langsung antara Balitbang Pertanian sebagai penghasil inovasi dengan pelaku agribisnis pengguna inovasi. Kegiatan Primatani pada intinya adalah membangun laboratorium agribisnis. Laboratorium agribisnis adalah model percontohan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) berbasis inovasi yang memadukan sistem inovasi teknologi dan kelembagaan pedesaan. Laboratorium ini dibangun bersama secara partisipatif oleh petani, pemerintah daerah, peneliti, penyuluh dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam kegiatan Primatani. Inovasi-inovasi yang diterapkan dapat dilakukan pada bidang komoditas yang meliputi aspek produksi, sarana produksi, pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil; bidang pemanfaatan sumber daya lahan dan air; bidang pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak dan pupuk serta bidang konservasi tanah dan air. Tahapan pelaksanaan kegiatan Primatani adalah sebagai berikut 4 : 1) Perencanaan yang meliputi penganggaran, penentuan lokasi dan pelatihan bagi pelaksana. 2) Pengorganisasian. 3) Sosialisasi yang dilaksanakan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten. 4) Pelaksanaan yang meliputi kegiatan survei dan pemetaan kesesuaian sumber daya lahan, pelaksanaan Participatory Rural Appraisal (PRA), survei 4 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pelaksanaan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian. [13 Oktober 2008].

26 pendasaran (baseline survey), penyusunan rancang bangun laboratorium agribisnis serta implementasi inovasi teknologi dan kelembagaan AIP dengan partisipatif, pemberdayaan dan sinergi antar pelaku kepentingan. 5) Monitoring dan evaluasi. 6) Koordinasi dan pembinaan Strategi dan Tujuan Pelaksanaan Primatani Primatani yang dilaksanakan secara partisipatif oleh semua pemangku kepentingan (stake holder) pembangunan pertanian dalam bentuk laboratorium agribisnis ini dilaksanakan dengan empat strategi, diantaranya adalah 5 : 1) Menerapkan teknologi inovatif tepat guna secara partisipatif berdasarkan paradigma penelitian untuk pembangunan. 2) Membangun model percontohan sistem dan usaha agribisnis berbasis teknologi inovatif yang mengintegrasikan sistem inovasi dan kelembagaan dengan sistem agribisnis. 3) Mendorong proses difusi dan replikasi model percontohan teknologi inovatif melalui demonstrasi lapang, disemenasi informasi, advokasi serta fasilitasi. 4) Mengembangkan agroindustri pedesaan berdasarkan karakteristik wilayah agroekosistem dan kondisi sosial ekonomi setempat. Keempat strategi pelaksanaan Primatani tersebut dilaksanakan dengan menggunakan lima pendekatan. Kelima pendekatan tersebut diantaranya adalah pendekatan agroekosistem, pendekatan agribisnis, pendekatan wilayah, pendekatan kelembagaan dan pendekatan pemberdayaan. Hasil yang ingin dicapai dari pelaksanaan Primatani dengan kelima pendekatan tersebut adalah terciptanya suatu model pengembangan pertanian dan pedesaan dalam bentuk unit Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) serta Sistem Usahatani Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID) di lokasi Primatani. Pendekatan agroekosistem berarti Primatani diimplementasikan dengan memperhatikan kesesuaian dengan kondisi biofisik lokasi yang meliputi aspek sumber daya lahan, air, wilayah dan komoditas dominan. Implementasi Primatani 5 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Konsep Dasar Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian. [13 Oktober 2008].

27 di lokasi terpilih juga memperhatikan struktur dan keterkaitan subsistem penyediaan input, usahatani, pascapanen, pemasaran dan penunjang dalam satu sistem. Hal inilah yang dimaksud dengan pendekatan agribisnis. Mengoptimalkan penggunaan lahan untuk pertanian dalam satu kawasan juga merupakan pendekatan pelaksanaan kegiatan Primatani. Kegiatan optimalisasi penggunaan lahan ini termasuk ke dalam pendekatan wilayah. Primatani juga dilaksanakan dengan pendekatan kelembagaan. Artinya pelaksanaan Primatani tidak hanya memperhatikan keberadaan dan fungsi suatu organisasi ekonomi atau individu yang berkaitan dengan input dan output, tetapi juga mencakup modal sosial, norma dan aturan yang berlaku di lokasi Primatani. Pendekatan yang terakhir dalam pelaksanaan Primatani adalah pendekatan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan ini menekankan perlunya penumbuhan kemandirian petani dalam memanfaatkan potensi sumber daya pedesaan Keluaran dan Manfaat Primatani Keluaran akhir Primatani adalah terbentuknya unit AIP dan SUID yang merupakan wujud nyata dari industri pertanian dan usahatani berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi di suatu kawasan pengembangan. Kawasan ini mencerminkan pengembangan agribisnis lengkap dan saling terkait antar subsistem yang berbasis agroekosistem dan mempunyai unsur teknologi dan kelembagaan lokal yang diperlukan. Primatani sebagai program pembangunan pertanian akan memberikan manfaat sebagai berikut 7 : 1) Meningkatkan muatan inovasi baru dalam sistem dan usaha agribisnis. 2) Meningkatkan efisiensi sistem produksi, perdagangan dan konsumsi komoditas pertanian Indonesia. 3) Meningkatkan akuntabilitas Departemen Pertanian dalam pembangunan pertanian melalui percepatan pemasyarakatan inovasi teknologi serta kelembagaan pertanian. 6 Loc.cit 7 Loc.cit

28 Terbentuknya masyarakat agribisnis dalam unit AIP merupakan keluaran yang akan dihasilkan oleh Primatani. Ada beberapa indikator keberhasilan yang harus dicapai oleh suatu masyarakat AIP, diantaranya adalah 8 : 1) Mampu menyesuaikan dan menjamin kualitas produk pertanian yang dipasarkan seperti yang diinginkan oleh konsumen akhir. 2) Mampu mengadopsi teknologi paling mutakhir pada seluruh fungsi atau proses transformasi produk pada alur vertikal, mulai dari usahatani hingga industri pengolahan. 3) Mampu tumbuh berkembang secara berkelanjutan atas kemampuan sendiri. 4) Mampu mengantisipasi, mengadopsi dan menyesuaikan diri terhadap goncangan ekonomi. 5) Mampu menghadapi persaingan yang ketat di pasar domestik maupun internasional Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian yang mengkaji tentang usahatani belimbing sebelumnya telah dilakukan oleh Husen (2006) dan Zamani (2008). Husen (2006) melakukan penelitian dengan judul Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Buah Belimbing Depok Varietas Dewa-Dewi. Analisis pendapatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan cara menghitung tingkat pendapatan usahatani belimbing dengan membandingkan sistem penjualan yang terjadi di lokasi penelitian. Sistem penjualan yang terjadi di lokasi penelitian adalah sistem penjualan per buah (SPB) dan sistem penjualan per kilogram (SPK). Analisis pendapatan dihitung berdasarkan hasil perhitungan rata-rata dari 30 orang responden yang ada di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Husen (2006) menyimpulkan bahwa pendapatan atas biaya total per 30 pohon per tahun pada umur pohon belimbing lima tahun untuk SPB adalah sebesar Rp ,67 dan untuk SPK adalah senilai Rp ,67. Adapun nilai R/C tunai dan total pada petani dengan sistem penjualan per buah masingmasing adalah sebesar 2,69 dan 2,29. Sedangkan pada petani yang menjual hasil produksinya dengan sistem per kilogram memperoleh penerimaan tunai dan total 8 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Indikator Keberhasilan Primatani. [13 Oktober 2008].

29 masing-masing sebesar Rp 4,36 dan Rp 3,60 untuk setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan. Penelitian Husen (2006) tersebut menunjukkan bahwa terdapat tiga rantai pasokan. Berdasarkan ketiga rantai pasokan tersebut diketahui bahwa terdapat 70 persen petani Belimbing Depok memasarkan produknya langsung ke tengkulak, 16,7 persen petani menjual Belimbing Depok ke pedagang besar dan 13,3 persen petani menjual Belimbing Depok langsung ke pedagang pengecer. Fungsi pemasaran yang dilakukan adalah fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas. Hasil analisis margin yang diterima petani (farmer s share) tidak tersebar secara merata antara ketiga rantai pasokan yang ada. Zamani (2008) juga mengkaji sistem usahatani buah belimbing yang kini menjadi ikon Kota Depok. Penelitian Zamani (2008) yang berjudul Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Belimbing Depok Varietas Dewa-Dewi dilakukan dengan metode membandingkan pendapatan usahatani Belimbing Dewa-Dewi yang menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan yang tidak menerapkan SOP. Responden dari penelitian ini adalah petani yang ada di enam kecamatan di Kota Depok. Analisis pendapatan usahatani Belimbing Dewa-Dewi dalam penelitian Zamani (2008) adalah analisis usahatani selama satu musim panen dengan luas lahan 1000 meter persegi. Hasil penelitian diperoleh bahwa pendapatan usahatani belimbing baik atas biaya tunai maupun total pada petani yang menerapkan SOP lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang tidak menerapkan SOP. Pendapatan usahatani belimbing atas biaya tunai petani SOP untuk luas kebun 1000 meter persegi per satu kali musim panen sebesar Rp dan pada petani non SOP sebesar Rp Sedangkan pendapatan usahatani atas biaya total sebesar Rp dan Rp masing-masing untuk petani yang menerapkan SOP dan yang tidak menerapkan SOP. Hasil analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) usahatani belimbing untuk petani SOP dan petani non SOP, menunjukkan bahwa usahatani belimbing ini menguntungkan untuk diusahakan. Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C rasio baik atas biaya tunai dan total yang lebih besar dari satu. Nilai R/C rasio atas biaya tunai petani SOP dan petani non SOP adalah sebesar 2,43 dan 2,42.

30 Analisis fungsi produksi yang dilakukan pada penelitian Zamani (2008) menggunakan fungsi produksi eksponensial. Peubah bebas yang digunakan yaitu pupuk NPK, pupuk kandang, insektisida Curacron, insektisida Decis, pupuk Gandasil dan tenaga kerja. Dari hasil pendugaan terhadap model I pada petani SOP dan non SOP, ditemukan masalah multikolinearitas yang ditandai dengan nilai VIF yang lebih besar dari 10. Oleh karena itu, untuk membuat model penduga II baik pada petani SOP dan non SOP digunakan metode best subsets. Dari metode ini maka akan dihasilkan model regresi terbaik dengan cara mengkombinasikan variabel-variabel bebas yang ada. Analisis yang dilakukan setelah menemukan model regresi terbaik adalah analisis skala usaha (returns to scale). Berdasarkan analisis ini diketahui bahwa usahatani belimbing dari masing-masing petani berada pada skala increasing returns to scale. Sedangkan untuk analisis efisiensi fungsi produksi, menurut Zamani (2008) tingkat penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani belimbing untuk petani SOP dan non SOP masih belum efisien yang ditandai dengan rasio NPM-BKM yang tidak sama dengan satu. Terdapat beberapa penelitian yang telah mengkaji mengenai aspek analisis pendapatan dan efisiensi faktor produksi usahatani terkait dengan penerapan suatu program. Nasution (2003), Disti (2006) dan Irawati (2006) melakukan penelitian mengenai pendapatan usahatani dan efisiensi faktor produksi padi pada program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2003) berjudul Studi Perbandingan Pendapatan dan Efisiensi Usahatani Padi Program PTT dengan Petani Non Program PTT. Penelitian yang mengambil kasus di Kabupaten Karawang ini bertujuan untuk menganalisis pendapatan dan efisiensi usahatani antara petani program PTT dibandingkan dengan petani non program PTT. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa produksi padi petani program PTT jauh lebih besar dibandingkan dengan petani non program PTT. Dari penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa usahatani petani program PTT lebih efisien dibandingkan dengan petani non program PTT. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan nilai R/C rasio atas biaya tunai dan biaya total. Untuk pengujian efisiensi produksi terhadap petani program maupun petani non program pada

31 selang kepercayaan 99 persen menunjukkan bahwa secara ekonomi, baik petani program PTT maupun petani non program PTT belum efisien dalam menggunakan faktor produksi. Disti (2006) melakukan penelitian dengan judul Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Padi Program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu di Kabupaten Subang. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi pelaksanaan beberapa teknologi dari program PTT yang dilakukan oleh petani di Desa Mulyasari dan Desa Cijengkol, menganalisis pendapatan usahatani padi di masing-masing desa PTT dan menganalisis efisiensi penggunaan faktor produksi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis pendapatan dan biaya usahatani menggambarkan biaya total yang dikeluarkan oleh petani program PTT di Desa Cijengkol lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya total petani program PTT di Desa Mulyasari. Kondisi ini disebabkan biaya sewa lahan yang berbeda diantara dua daerah yang mempunyai karakteristik geografis yang berbeda. Penggunaan faktor-faktor produksi baik petani PTT di Desa Mulyasari dan Desa Cijengkol belum mencapai kondisi optimal atau belum efisien. Adapula hasil analisis perbandingan tingkat pendapatan terlihat bahwa penggunaan faktor produksi usahatani masih bisa ditingkatkan. Hal ini ditunjukkan dengan R/C rasio pada biaya tunai lebih besar dibandingkan dengan R/C rasio aktual. Disti (2006) mencoba tiga model fungsi produksi dalam penelitian yang dilakukan antara lain adalah fungsi produksi linear, Cobb Douglas dan transcendental. Dari ketiga model tersebut, model fungsi produksi Cobb Douglas adalah model fungsi produksi yang dipilih untuk petani Desa Mulyasari dan Desa Cijengkol karena seluruh asumsi metode OLS terpenuhi. Penelitian lain yang mengkaji tentang analisis pendapatan petani program PTT adalah penelitian yang dilakukan oleh Irawati (2006). Penelitian yang berjudul Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Padi Program PTT dan Non-Program PTT ini mengambil kasus di kabupaten Karawang. Analisis data yang digunakan adalah analisis pendapatan, analisis R/C rasio, analisis fungsi produksi dan analisis faktor-faktor produksi. Berbeda dari

32 hasil penelitian Nasution (2003), hasil analisis pendapatan usahatani padi yang dilakukan oleh Irawati (2006), menunjukkan bahwa pada petani non program PTT pendapatan atas biaya tunai dan total lebih tinggi dibandingkan dengan petani program PTT. Hal ini disebabkan karena hasil produksi yang rendah akibat banyak tanaman yang rebah dan keterlambatan pemberian pupuk karena langkanya pupuk di pasaran pada saat itu. Jika dilihat dari nilai R/C rasio pada saat kondisi optimal, petani program memiliki nilai R/C rasio yang lebih besar dari pada petani non program. Analisis yang digunakan Irawati (2006) untuk mengetahui faktor-faktor produksi yang berpengaruh pada usahatani padi petani program PTT dan non program PTT adalah analisis faktor produksi model fungsi linear berganda dan Cobb Douglas dengan menggunakan penduga model OLS. Adapun untuk penggunaan faktor-faktor produksi, baik petani program maupun petani non program PTT belum efisien dalam menggunakan faktor produksinya. Hal ini dapat dilihat dari nilai NPM/BKM yang tidak sama dengan satu. Analisis pendapatan usahatani dan efisiensi faktor produksi juga dilakukan oleh Astuti (2007). Astuti (2007) mengkaji penerapan teknologi System of Rice Intensification (SRI). Analisis yang digunakan pada penelitian ini antara lain adalah analisis kualitatif yang meliputi keadaan umum usahatani padi dan evaluasi penerapan teknologi SRI serta analisis kuantitatif yakni analisis pendapatan usahatani, analisis R/C rasio, analisis penggunaan faktor-faktor produksi dan efisiensi faktor produksi. Alat analisis yang digunakan untuk menduga fungsi produksi adalah fungsi produksi Cobb Douglas. Variabel-variabel yang berpengaruh pada produksi padi SRI antara lain adalah luas lahan, benih, pupuk organik padat, mol pertumbuhan, mol buah, pestisida organik, tenaga kerja tanpa panen dan nilai penerapan teknologi. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terkait dengan alat analisis yang digunakan. Sama seperti penelitian terdahulu, analisis pendapatan usahatani dilakukan dengan mengukur tingkat pendapatan atas biaya tunai dan total serta nilai R/C rasio. Metode yang digunakan pada pemilihan

33 model penduga fungsi produksi juga sama seperti penelitian terdahulu yaitu menggunakan metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya, namun terdapat juga beberapa perbedaan. Penelitian ini mengkaji tentang usahatani belimbing di Kota Depok. Hal ini serupa dengan yang dilakukan Husen (2006) dan Zamani (2008). Hanya saja perbedaannya terletak pada metode pengambilan sampel yang digunakan. Pada penelitian ini metode pengambilan sampel yang digunakan adalah stratified random sampling dengan strata umur pohon belimbing, sedangkan Husen (2006) menggunakan metode simple random sampling dan Zamani (2008) menggunakan metode snow ball sampling. Selain terletak pada metode pengambilan sampel yang digunakan, perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yakni penelitian ini terkait dengan pelaksanaan Primatani di Kota Depok, sehingga terdapat juga bahasan mengenai penerapan inovasi teknologi dan kelembagaan yang dilakukan Primatani khususnya di Kota Depok.

34 III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Fungsi Produksi Produksi dapat didefinisikan sebagai proses menciptakan barang atau jasa ekonomi dengan menggunakan barang atau jasa lainnya. Dasar pemikiran ini memberikan pengertian bahwa untuk menghasilkan output suatu komoditas tertentu dibutuhkan dua atau lebih faktor produksi (input). Tidak ada suatu barang yang diproduksi dengan menggunakan satu faktor produksi saja. Halcrow (1992) mendefinisikan fungsi produksi sebagai hubungan teknis antara input dan output, yang ditandai jumlah output maksimal yang dapat diproduksikan dengan satu set kombinasi input tertentu. Menurut Doll dan Orazem (1978), dalam bentuk matematika sederhana, fungsi produksi dapat dituliskan sebagai berikut : Y = F(X 1, X 2, X 3,, X n ) Keterangan : Y = hasil produksi (output) X 1, X 2, X 3,, X n = faktor-faktor produksi (input) Berdasarkan fungsi di atas, petani dapat melakukan tindakan yang mampu meningkatkan produksi (Y) dengan cara menambah jumlah salah satu dari input yang digunakan atau menambah beberapa jumlah input (lebih dari satu) yang digunakan. Dalam produksi pertanian, hasil fisik dihasilkan oleh bekerjanya beberapa faktor produksi sekaligus, yaitu tanah, modal dan tenaga kerja. Untuk dapat menggambarkan fungsi produksi ini secara jelas dan menganalisis peranan masing-masing faktor produksi, maka dari sejumlah faktor-faktor produksi itu salah satu faktor produksi dianggap sebagai variabel yang berubah-ubah, sedangkan faktor-faktor produksi lainnya dianggap konstan. Berdasarkan fungsi produksi dapat digambarkan Marginal Products (MP) dan Average Products (AP). MP adalah tambahan produk yang dihasilkan dari setiap menambah satu-satuan faktor produksi yang dipakai, sedangkan AP adalah tingkat produktivitas yang dicapai oleh setiap satuan produksi. MP dan AP dapat dirumuskan sebagai berikut :

35 MP = = f (x) AP Output Input Y X Perubahan dari produk yang dihasilkan yang disebabkan oleh faktor produksi yang dipakai dapat dinyatakan dengan elastisitas produksi. Elastisitas produksi (Ep) adalah persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan input. Elastisitas produksi dapat dirumuskan sebagai berikut: Ep Y X Y X Y X. X Y MP AP Hubungan antar faktor produksi X dengan jumlah produksi Y dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 memperlihatkan bahwa berdasarkan elastisitas produksi, fungsi produksi dibagi menjadi tiga daerah produksi, yaitu : 1) Daerah I Daerah ini memiliki nilai Ep > 1. Dalam daerah ini penambahan input sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan output yang selalu lebih besar dari satu persen. Di daerah ini belum tercapai produksi optimal yang akan memberikan pendapatan yang layak. Oleh karena itu daerah ini adalah daerah yang tidak rasional (irrasional) dalam berproduksi. 2) Daerah II Daerah II ini memiliki nilai Ep antara 1 dan 0 (0 < Ep < 1). Dalam daerah ini penambahan input sebesar satu persen akan menghasilkan penambahan output paling tinggi sebesar satu persen dan paling rendah sebesar nol persen. Di daerah ini akan dicapai pendapatan maksimum. Daerah ini merupakan daerah rasional dalam berproduksi.

36 3) Daerah III Daerah ini memiliki nilai Ep < 0. Dalam daerah ini penambahan faktor produksi akan menyebabkan penurunan produksi, juga akan mengurangi pendapatan, karena itulah daerah ini dinamakan sebagai daerah irrasional. Y TP Y = f(x) MP/AP I II III X X1 X2 X3 AP 0 X1 X2 X3 X MP Keterangan : TP = Total Produksi MP = Marginal Product (Produk Marginal) AP = Average Product (Produk Rata-Rata) Y = Produksi X = Faktor Produksi Gambar 1. Kurva Fungsi Produksi Total dan Hubungannya dengan Produk Marjinal dan Produk Rata-Rata Sumber : Doll dan Orazem (1978)

37 Konsep Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Seorang petani dalam melakukan usaha pertanian selalu berpikir bagaimana mengalokasikan input seefisien mungkin untuk dapat memperoleh hasil yang maksimal. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa petani melakukan konsep memaksimumkan keuntungan. Peningkatan keuntungan dapat dicapai oleh petani dengan melakukan usahataninya secara efisien. Menurut Daniel (2004), konsep efisiensi ini dikenal dengan konsep efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga (price efficiency) dan efisiensi ekonomi (economic efficiency). Sama halnya yang diungkapkan oleh Daniel (2004), Soekartawi (1995) juga menyatakan bahwa konsep efisiensi mengandung tiga pengertian, yaitu efisiensi teknis, efisiensi harga dan efisiensi ekonomi. Efisiensi teknis merupakan konsep efisiensi yang menyatakan produk maksimal yang dapat diperoleh dengan penggunaan kombinasi masukan tertentu dalam fungsi produksi. Sedangkan efisiensi harga merupakan konsep efisiensi yang mengahasilkan nilai produk marjinal sama dengan opportunitas dari masukan. Efisiensi teknis dan efisiensi harga merupakan komponen dari efisiensi ekonomi. Menurut Soekartawi (1990), model pengukuran efisiensi tergantung dari model yang dipakai. Umumnya model yang dipakai adalah model fungsi produksi. Bila model fungsi produksi yang dipakai, maka kondisi efisiensi harga yang dipakai sebagai patokan, yaitu bagaimana mengatur penggunaan faktor produksi sedemikian rupa, sehingga nilai produk marjinal suatu input X sama dengan harga nilai produk (input) tersebut. Atau dengan kata lain efisiensi dengan keuntungan maksimal tercapai pada saat Nilai Produk Marjinal (NPM) sama dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM). Keuntungan merupakan pengurangan dari total penerimaan dengan total biaya. Secara sistematik keuntungan dapat ditulis sebagai berikut (Doll & Orazem 1978) : π Y. Py Px. X BTT

38 Keterangan : π = keuntungan Y = hasil produksi (input) Py = harga output per unit X i = faktor produksi ke-i yang dipakai dalam proses produksi Px i = harga faktor produksi ke-i BTT = Biaya Tetap Total i = 1, 2,, n Keuntungan maksimal tercapai pada saat turunan pertama dari fungsi keuntungan terhadap masing-masing faktor produksi sama dengan nol. Secara matematik dapat dituliskan sebagai berikut : Keterangan : dπ dy. Py Px dx dx 0. Py Px produk marjinal faktor produksi ke-i = PM Xi. P y = P Xi = NPM Xi = BKM Xi NPM Xi = Nilai Produk Marjinal X i BKM Xi = Biaya Korbanan Marjinal X i Apabila harga faktor produksi tidak dipengaruhi oleh jumlah pembelian faktor produksi, maka persamaannya dapat ditulis sebagai berikut : NPM Xi = BKM Xi apabila : NPMx BKMx 1 Untuk penggunaan lebih dari satu faktor produksi, maka efisiensi tercapai NPMx BKMx NPMx BKMx NPMx BKMx Peningkatan Teknologi dalam Usahatani Hernanto (1989) mengemukakan bahwa penggunaan teknologi baru atau adopsi teknologi baru pada pertanian akan berpengaruh terhadap biaya usahatani. Selain akan mempengaruhi biaya, penggunaan teknologi baru juga berpengaruh terhadap penerimaan petani. Peningkatan produksi yang terpenting pada dasarnya adalah adanya kenaikan produktivitas per satuan luas dan waktu. Bentuk-bentuk

39 teknologi tersebut dapat berupa cara budidaya yang lebih baik, introduksi teknologi kimia seperti pupuk dan obat-obatan, introduksi teknologi biologis seperti bibit-bibit unggul dan teknologi mekanis meliputi penggunaan alat-alat pertanian yang dapat meredusir tenaga kerja. Dengan demikian teknologi itu dapat menyentuh segenap aspek kegiatan produksi. Penggunaan teknologi pada dasarnya adalah akan memperbesar pengeluaran biaya tetap, biaya pemeliharaan dan tambahan kerja. Ini berarti dapat mengubah komposisi biaya tetap maupun variabel. Hal yang berbeda dikemukakan oleh Halcrow (1992), yang menyatakan bahwa ada dua kemungkinan yang dapat terjadi dari adanya pengaruh teknologi baru, yaitu : 1) Menaikkan fungsi produksi sehingga output yang lebih tinggi dapat dihasilkan dengan menggunakan input yang sama. 2) Menggeser ke kiri kurva Total Produksi (TP) (seperti yang disajikan pada Gambar 2) yaitu jumlah output yang sama dapat diperoleh dengan menggunakan sumberdaya yang lebih sedikit. Secara umum dapat dikatakan bahwa dari teknologi baru dapat dihasilkan output yang lebih besar dengan penggunaan input yang sama atau dalam kata lain dapat menaikkan produktivitas. Kenaikan ini tidak saja menyangkut kuantitas tetapi juga kualitas. Baik kualitas input maupun kualitas output. Teknologi baru secara kualitatif maupun kuantitatif dapat merubah fungsi produksi dan perubahan ini lebih menguntungkan pada berbagai tingkat sumberdaya. Hal terpenting dari penggunaan teknologi baru adalah menaikkan output pada penggunaan input yang sama (Gambar 2.A) atau penghematan sumberdaya untuk mencapai output tertentu (Gambar 2.B).

40 Y Y A Keterangan : 1 = TP (Teknologi Baru) 2 = TP (Teknologi Lama) Gambar 2. Pengaruh Teknologi Baru terhadap Produksi Sumber : Halcrow (1992) B Hadirnya teknologi baru tentunya akan mendorong seorang petani untuk dapat mencapai keuntungan yang maksimal. Petani yang selalu mengandalkan asas memaksimumkan keuntungan (profit maximization) menurut Soekartawi (1993) dapat dicirikan sebagai berikut : 1) Cepatnya mengadopsi inovasi hal-hal yang baru dan karenanya petani tersebut sering disebut sebagai adopters yang cepat (early adopters) dan karenanya petani yang demikian termasuk golongan petani maju yang relatif baik tingkat sosial ekonominya. 2) Derajat kosmopolitasnya tinggi, yaitu mobilitas yang cepat, pergi kesanakemari untuk memperoleh informasi. 3) Berani menanggung risiko dalam melakukan usahanya. 4) Mampu dan mau mencoba hal-hal atau teknologi yang baru, karenanya disamping mereka digolongkan sebagai petani maju juga umumnya petani komersial Ruang Lingkup Usahatani Usahatani didefinisikan sebagai satuan organisasi produksi di lapangan pertanian dimana terdapat unsur lahan yang mewakili alam, unsur tenaga kerja yang bertumpu pada anggota keluarga tani, unsur modal yang beraneka ragam jenisnya dan unsur pengelolaan atau manajemen yang peranannya dibawakan oleh

41 seorang yang disebut petani (Hernanto 1989). Keempat unsur ini tidak dapat dipisahkan karena kedudukannya dalam usahatani sama-sama penting. Pengenalan dan pemahaman keempat unsur pokok tersebut diperlukan karena berkaitan dengan kepemilikan dan penguasaan faktor produksi. Ilmu yang mempelajari tentang usahatani dikenal dengan ilmu usahatani. Menurut Soekartawi (1995) ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada di lapangan pertanian secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Hernanto (1989) berpendapat bahwa selalu ada empat unsur pokok dalam usahatani atau sering juga disebut sebagai faktor-faktor produksi. Keempat unsur tersebut antara lain adalah : 1) Lahan Lahan merupakan faktor produksi yang mewakili unsur alam dan merupakan jenis modal yang sangat penting. Lahan usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah dan sebagainya. Lahan tersebut dapat diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil, pemberian negara, warisan ataupun wakaf. Penggunaan lahan dapat diusahakan secara monokultur maupun polikultur ataupun tumpangsari. 2) Tenaga kerja Tenaga kerja dalam usahatani sangat diperlukan dalam menyelesaikan berbagai macam kegiatan produksi. Jenis tenaga kerja manusia dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan. Jika terjadi kekurangan tenaga kerja maka petani mempekerjakan buruh yang berasal dari luar keluarga dengan memberi balas jasa atau upah. Berdasarkan hal tersebut, menurut sumbernya tenaga kerja dalam usahatani dapat berasal dari dalam dan luar keluarga.

42 3) Modal Modal adalah faktor produksi dalam usahatani setelah lahan dan tenaga kerja. Penggunaan modal berfungsi membantu meningkatkan produktivitas, baik lahan maupun tenaga kerja untuk menciptakan kekayaan dan pendapatan usahatani. Modal dalam suatu usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit, warisan, usaha lain ataupun kontrak sewa. 4) Pengelolaan (manajemen) usahatani Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya dengan sebaik-baiknya sehingga memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Manajemen merupakan tindakan manusia (petani) dengan kemampuan dan keterampilannya mengkombinasikan faktorfaktor produksi lahan, tenaga kerja dan modal dalam proses produksi pertanian untuk tujuan menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan secara maksimum. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil, maka pemahaman terhadap prinsip teknik dan prinsip ekonomis menjadi syarat bagi seorang pengelola. Pengenalan dan pemahaman prinsip teknik meliputi perilaku cabang usaha yang diputuskan, perkembangan teknologi, tingkat teknologi yang dikuasai dan cara budidaya atau alternatif lain berdasar pengalaman orang lain. Pengenalan pemahaman prinsip ekonomis antara lain penentuan perkembangan harga, kombinasi cabang harga, pemasaran hasil, pembiayaan usahatani, penggolongan modal dan pendapatan serta ukuran-ukuran keberhasilan yang lazim. Panduan penerapan kedua prinsip itu tercermin dari keputusan yang diambil agar risiko tidak menjadi tanggungan si pengelola. Kesediaan risiko sangat tergantung kepada tersedianya modal, status petani, umur, lingkungan usaha, perubahan posisi, pendidikan dan pengalaman petani Konsep Pendapatan Usahatani Ada tiga variabel yang perlu diketahui saat melakukan analisis usahatani. Ketiga variabel tersebut antara lain adalah penerimaan, biaya dan pendapatan

43 usahatani. Cara analisis terhadap tiga variabel ini sering disebut dengan analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis). Menurut Soekartawi (1995), penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi dengan harga jual, biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani. Sedangkan yang dimaksud dengan pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Hernanto (1989) mengungkapkan bahwa biaya produksi dalam usahatani dapat dibedakan : 1) Berdasarkan jumlah output yang dihasilkan terdiri dari : a) Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, misalnya pajak tanah, sewa tanah, penyusutan alat-alat bangunan pertanian dan bunga pinjaman. b) Biaya variabel adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, misalkan pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan dan biaya tenaga kerja. 2) Berdasarkan yang langsung dikeluarkan dan diperhitungkan terdiri dari : a) Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya tetap misalnya pajak tanah dan bunga pinjaman, sedangkan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga luar keluarga. Biaya tunai ini berguna untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani. b) Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan milik sendiri (biaya tetap) dan tenaga dalam keluarga (biaya variabel). Biaya tidak tunai ini untuk melihat bagaimana manajemen suatu usahatani. Banyak cara untuk mengukur pendapatan (Soekartawi et al. 1986), diantaranya adalah pendapatan bersih usahatani dan pendapatan tunai usahatani. Pendapatan bersih usahatani diperoleh dari selisih antara penerimaan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Penerimaan kotor usahatani adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Sedangkan pengeluaran total usahatani adalah nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi. Pendapatan

44 bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dan penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Pendapatan tunai usahatani merupakan selisih antara penerimaan tunai usahatani dengan pengeluaran tunai usahatani. Penerimaan tunai usahatani didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Sedangkan pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani Konsep Imbangan Penerimaan dan Biaya Menurut Hernanto (1989), tingkat keuntungan relatif dari suatu kegiatan usahatani berdasarkan perhitungan finansial dapat diketahui dengan melakukan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio). Nilai R/C rasio total menunjukkan pendapatan kotor yang diterima untuk setiap rupiah yang dikeluarkan untuk berproduksi. Nilai R/C yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penambahan satu rupiah biaya akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar dari satu. Semakin besar nilai R/C maka semakin baik kedudukan ekonomi usahatani. Kedudukan ekonomi penting karena dapat dijadikan penilaian dalam mengambil keputusan dalam aktivitas usahatani Kerangka Pemikiran Operasional Sejak tahun 2005 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melaksanakan Primatani. Primatani adalah model disemenasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan penyebaran teknologi pertanian. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dari penyampaian teknologi tersebut adalah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Tahun 2007 Primatani mulai dilaksanakan di Kota Depok, Propinsi Jawa Barat. Lokasi yang terpilih sebagai lokasi penerapan kegiatan Primatani adalah Kelurahan Pasir Putih yang terletak di Kecamatan Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat. Tanaman belimbing adalah salah satu komoditas unggulan yang mendapat perhatian dalam kegiatan Primatani di Kota Depok. Sesuai dengan tujuan utama kegiatan Primatani yaitu meningkatkan pendapatan petani, memperbaiki sistem pertanian serta melestarikan lingkungan, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh hadirnya Primatani di Kota

45 Depok dalam meningkatkan pendapatan petani dan efisiensi penggunaan faktorfaktor produksi usahatani Belimbing Dewa. Untuk menganalisis pengaruh hadirnya Primatani, penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan tingkat pendapatan usahatani dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi antara petani Primatani dan petani non Primatani. Dalam memproduksi Belimbing Dewa, petani menggunakan beberapa faktor produksi. Faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh dalam produksi Belimbing Dewa antara lain adalah pupuk kandang, pupuk NPK, pupuk gandasil, pestisida, petrogenol dan tenaga kerja. Untuk memperoleh faktor-faktor produksi tersebut, petani akan dibebankan sejumlah biaya. Sedangkan dari produksi belimbing yang dihasilkan akan diperoleh penerimaan. Selisih dari penerimaan yang diterima petani dan biaya yang dikeluarkan disebut dengan pendapatan. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis pendapatan yang pada akhirnya akan dihasilkan tingkat pendapatan usahatani dan imbangan penerimaan dan biaya yang diperoleh petani Belimbing Dewa Primatani dan non Primatani. Selain analisis pendapatan, penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor produksi apa saja yang berpengaruh terhadap produksi Belimbing Dewa dan kombinasi optimal penggunaan faktor-faktor produksi yang dapat memaksimumkan keuntungan petani. Sehingga akan dilakukan pula analisis fungsi produksi dan analisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Hasil analisis pendapatan, analisis fungsi produksi dan analisis efisiensi faktor produksi dapat dibandingkan antara petani Primatani dan non Primatani. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan mengenai pengaruh Primatani terhadap usahatani Belimbing Dewa dan keberlanjutan pelaksanaan Primatani di Kota Depok. Alur kerangka pemikiran operasional dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

46 Pengaruh Adanya Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Produksi Belimbing Dewa Penggunaan Faktor Produksi Penerimaan Pendapatan Biaya Imbangan Penerimaan dan Biaya Faktor Produksi: Pupuk Kandang Pupuk NPK Pupuk Gandasil Pestisida Petrogenol Tenaga Kerja Tunai Total Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Tingkat Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Input sebagai Pengaruh Hadirnya Primatani di Kota Depok Gambar 3. Alur Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Belimbing Dewa Peserta Primatani di Kota Depok Jawa Barat

47 IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok untuk petani peserta Primatani. Petani non peserta Primatani dipilih petani yang berasal dari Kelurahan Pancoran Mas, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan Kelurahan Pasir Putih adalah wilayah yang terpilih menjadi lokasi penerapan Primatani di Kota Depok, sedangkan Kelurahan Pancoran Mas merupakan wilayah yang letaknya dekat dengan lokasi petani peserta Primatani dan memiliki keadaan agroklimat yang sama dengan Kelurahan Pasir Putih dalam hal budidaya Belimbing Dewa. Pelaksanaan kegiatan penelitian sejak awal pembuatan proposal hingga penyerahan skripsi terhitung dari bulan Oktober 2008 sampai Mei Metode Penetuan Sampel Pemilihan petani responden dilakukan secara stratified random sampling dari populasi kelompok tani yang ada di lokasi penelitian. Teknik sampling ini digunakan dengan alasan tingkat heterogenitas yang ada dalam populasi kelompok cukup besar. Untuk memperoleh homogenitas yang lebih nyata dalam masingmasing sub populasi, digunakan teknik sampling stratified random sampling atau pengambilan sampel secara acak bertingkat. Petani responden Primatani berasal dari Kelompok Tani Makmur Sejahtera, Mekar Sejahtera, Sakati Makmur dan Usaha Jaya di Kelurahan Pasir Putih, sedangkan petani responden non Primatani berasal dari Kelompok Tani Kali Licin di Kelurahan Pancoran Mas. Daftar nama petani serta informasi umur dan jumlah pohon yang dimiliki petani diperoleh dari Petugas Penyuluh Lapang (PPL) dan ketua kelompok tani di lokasi setempat. Petani responden dibagi menjadi dua kelompok (strata) yaitu petani yang memiliki umur pohon 5-9 tahun dan tahun. Responden dibagi menjadi dua strata yang dikelompokkan berdasarkan umur pohon. Hal ini dikarenakan untuk memudahkan pengamatan dan perhitungan atas biaya dan penerimaan usahatani.

48 Pada selang umur yang telah ditentukan tersebut, tingkat penggunaan input dan tingkat produktivitas pada masing-masing kelompok tidak jauh berbeda. Total jumlah petani responden adalah 60 orang petani, terdiri dari 30 orang petani yang masing-masing adalah peserta Primatani dan non peserta Primatani. Dari 30 orang petani Primatani, 17 orang petani diantaranya adalah responden yang memiliki tanaman belimbing dengan umur tanam 5-9 tahun dan 13 orang petani responden memiliki tanaman belimbing dengan umur tanam tahun. Sedangkan responden petani non Primatani yang memiliki tanaman dengan umur tanam 5-9 tahun berjumlah 11 orang petani dan 19 orang petani responden memiliki tanaman belimbing dengan umur tanam tahun Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari hasil pengamatan dan wawancara baik terstruktur menggunakan kuesioner maupun dari wawancara yang tidak terstruktur. Wawancara menggunakan kuesioner dilakukan kepada petani responden. Sedangkan wawancara tidak terstruktur dilakukan kepada pihak-pihak terkait seperti PPL di lokasi penelitian dan tim Primatani Kota Depok. Sedangkan untuk data sekunder diperoleh dari berbagai sumber literatur dan bahan bacaan seperti text book, skripsi, internet dan majalah. Selain itu data sekunder juga diperoleh dari instansi pemerintah seperti Kelurahan Pasir Putih Kota Depok, Kelurahan Pancoran Mas Kota Depok, Dinas Pertanian Kota Depok, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat, Klinik Agribisnis Pasir Putih serta Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul akan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan gambaran umum lokasi penelitian, karakteristik petani, gambaran umum usahatani Belimbing Dewa di lokasi penelitian dan pelaksanaan kegiatan Primatani di Kota Depok. Analisis kuantitatif yang dilakukan pada penelitian ini antara lain adalah analisis pendapatan usahatani, analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio), analisis fungsi produksi, analisis elastisitas faktor produksi dan analisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Data yang dianalisis secara

49 kuantitatif akan diolah dengan bantuan program Microsoft Excel 2007 dan Minitab 13.0 kemudian disajikan secara tabulasi dan diintrepetasikan serta diuraikan secara deskriptif Analisis Pendapatan Usahatani dan R/C Rasio Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan biaya yang telah dikeluarkan. Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan atas seluruh biaya tunai yang disebut sebagai pendapatan tunai dan pendapatan atas biaya total yang sering disebut sebagai pendapatan total. Tingkat pendapatan usahatani dapat dinyatakan dalam persamaan matematika sebagai berikut : I tunai NP - BT I total NP - (BT + BD) Keterangan : I tunai = Tingkat pendapatan bersih tunai I total = Tingkat pendapatan bersih total NP = Nilai produk, merupakan hasil perkalian jumlah output dengan harga BT = Biaya tunai BD = Biaya diperhitungkan Analisis pendapatan usahatani selalu disertai dengan pengukuran efisiensi pendapatan usahatani. Untuk mengetahui efisiensi suatu usahatani terhadap penggunaan satu unit input dapat digambarkan oleh nilai rasio penerimaan dan biaya yang merupakan perbandingan antara penerimaan kotor yang diterima usahatani dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi atau yang biasa dikenal dengan analisis imbangan penerimaan dan biaya atau analisis R/C rasio. Perhitungan R/C rasio dapat dirumuskan sebagai berikut : R C rasio atas biaya tunai = Total Penerimaan = Y.P y Total Biaya Tunai BT R C rasio atas biaya total = Keterangan : Y = Total produksi P y = Harga produk BT = Biaya tunai BD = Biaya diperhitungkan Total Penerimaan Total Biaya = Y.P y BT+ BD

50 Usahatani dapat dikatakan menguntungkan apabila nilai R/C rasio lebih besar dari satu, hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani memberikan penerimaan yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Semakin besar nilai R/C rasio, semakin menguntungkan usahatani tersebut Analisis Fungsi Produksi Soekartawi, et.al. (1986) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan analisis fungsi produksi adalah analisis atau pendugaan hubungan kuantitatif antara masukan (input) dan produksi (output). Ada berbagai macam bentuk aljabar fungsi produksi, diantaranya adalah fungsi produksi linear, kuadratik (polinominal kuadratik), eksponensial, CES (Constant Elasticity of Substitution), Transcendental dan Translog (Soekartawi, 1990). Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bentuk aljabar fungsi produksi, yaitu : 1) Bentuk fungsi produksi harus dapat menggambarkan dan mendekati keadaan yang sebenarnya. 2) Bentuk aljabar fungsi produksi yang dipakai harus mudah diukur atau dihitung secara statistik. 3) Fungsi produksi itu dapat dengan mudah diartikan, khususnya arti ekonomi dari parameter yang menyusun fungsi produksi tersebut. Sistematika yang lazim diikuti dalam pembentukan model (model building) fungsi produksi menurut Soekartawi (1995) adalah sebagai berikut : 1) Menentukan variabel yang difungsikan sebagai variabel tidak bebas (Y) dan variabel bebas (X). Hubungan Y dan X harus searah yaitu bahwa X mempengaruhi Y dan sebaliknya Y dipengaruhi oleh X. 2) Menetapkan variabel X sebanyak yang relevan dengan teori dan logik bahwa memang variabel X tersebut diduga mempengaruhi Y. 3) Membuat diagram sebaran titik (scatter diagram) antara masing-masing X dan Y. 4) Menetapkan variabel X yang mempunyai hubungan (korelasi) relatif tinggi dengan Y dan menetapkan bahwa X tersebut dipakai pada model. 5) Menetapkan bentuk fungsi produksi yang akan dipakai. Model fungsi produksi yang ditetapkan harus didasarkan pada sebaran titik yang diperoleh pada diagram sebaran titik tersebut.

51 adalah : Model penduga fungsi produksi yang akan digunakan dalam penelitian ini 1) Fungsi Produksi Linear Berganda Fungsi produksi linear berganda ini digunakan karena analisisnya mudah dilakukan dan hasilnya dapat lebih mudah diintrepetasikan. Secara matematis model fungsi produksi linear berganda dapat dirumuskan sebagai berikut : Y = a + b 1 X 1 + b 2 X b i X i + + b n X n Keterangan : a = intersep b = koefisien regresi X 1, X 2, X i, X n = variabel yang menjelaskan (faktor produksi) Y = variabel yang dijelaskan (produksi) 2) Fungsi Produksi Cobb Douglas Soekartawi, et.al. (1986) menganjurkan bahwa untuk menyelesaikan persamaan yang mempunyai variabel X lebih dari tiga sebaiknya menggunakan power function seperti fungsi Cobb Douglas. Soekartawi (1990) menambahkan bahwa ada tiga alasan pokok mengapa fungsi Cobb Douglas lebih sering digunakan, yaitu : 1) Penyelesaian fungsi Cobb Douglas relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi lain. Fungsi Cobb Douglas dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linear. 2) Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas. 3) Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan besaran returns to scale. berikut : Secara matematis fungsi produksi Cobb Douglas dapat ditulis sebagai Y = ax 1 b1 X 2 b2 X i bi e u Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan maka persamaan tersebut diubah menjadi bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut dan dapat dituliskan sebagai berikut : Keterangan : Y X 1, X 2, X i ln Y = ln a + b 1 ln X 1 + b 2 ln X b i ln X i + u = variabel yang dijelaskan (produksi) = variabel yang menjelaskan (faktor produksi)

52 a, b = besaran yang akan diduga e = bilangan natural (e = 2,7182) u = sisa (residual) Penyelesaian fungsi Cobb Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah dalam bentuk fungsi linear, sehingga Soekartawi (1990) menyatakan bahwa penggunaan fungsi produksi Cobb Douglas harus memenuhi beberapa persyaratan diantaranya adalah : 1) Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite) 2) Harus memenuhi asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan (non neutral difference in the respective technologies). Artinya jika fungsi Cobb Douglas yang digunakan sebagai model dalam suatu pengamatan dan jika diperlukan analisis yang memerlukan lebih dari satu model maka perbedaan antar model terletak pada intercept dan bukan pada slope model tersebut. 3) Tiap variabel X adalah perfect competition. 4) Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah tercakup pada faktor kesalahan (u). Pemilihan fungsi produksi yang baik dan benar dari berbagai fungsi produksi yang ada sebenarnya merupakan pendugaan subjektif. Namun Soekartawi, et.al. (1986) mengungkapkan bahwa ada beberapa pedoman yang perlu diikuti untuk mendapatkan fungsi produksi yang baik dan benar, yaitu : 1) Bentuk aljabar fungsi produksi yang dipilih harus dapat dipertanggungjawabkan. 2) Bentuk aljabar fungsi produksi yang dipilih mempunyai dasar yang logis secara fisik maupun ekonomi. 3) Mudah dianalisis. 4) Mempunyai implikasi ekonomi. Faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap produksi Belimbing Dewa yaitu pupuk kandang, pupuk NPK, pupuk gandasil, pestisida, petrogenol dan tenaga kerja. Variabel-variabel tersebut kemudian akan dicoba ke dalam model penduga fungsi produksi.

53 Pengujian hipotesis secara statistik dilakukan untuk hasil regresi dari model fungsi produksi yang dihasilkan dari pengolahan data. Dari analisis regresi akan diperoleh besarnya nilai t-hitung, F-hitung dan koefisien determinasi (R 2 ). Nilai t-hitung digunakan untuk menguji secara statistik apakah koefisien regresi dari masing-masing parameter bebas (X i ) yang dipakai secara terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap parameter tidak bebas (Y). Apabila nilai thitung lebih besar dari t-tabel berarti parameter yang diuji berpengaruh nyata terhadap parameter tidak bebas dan bila t-hitung lebih kecil dari t-tabel berarti parameter yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap parameter bebas. Nilai F-hitung digunakan untuk melihat apakah parameter bebas (X) yang digunakan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap parameter tidak bebas (Y), atau dengan kata lain apakah model penduga yang digunakan sudah layak untuk menduga parameter dalam fungsi produksi. Bila F-hitung lebih besar dari F-tabel maka secara bersama-sama parameter bebas berpengaruh nyata terhadap parameter tidak bebas. Sedangkan nilai R 2 digunakan untuk melihat sampai sejauh mana keragaman yang diterangkan oleh parameter bebas (X) terhadap parameter tidak bebas (Y). Pengujian hipotesis yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1) Pengujian terhadap model penduga Tujuan dari pengujian terhadap model penduga ini adalah untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter dan fungsi produksi. Hipotesis : H 0 : b 1 = b 2 = = b i = 0 H 1 : paling tidak ada satu b i 0 Pada pengujian terhadap model penduga ini, uji statistik yang digunakan adalah uji F, yaitu : F-hitung R 2 k-1 1- R 2 n-k F-tabel = F α (k-1,n-k) Keterangan : R 2 = Koefisien determinasi k = Jumlah variabel termasuk intersep n = Jumlah pengamatan

54 Kriteria Uji : F-hitung > F α (k-1,n-k), maka tolak H 0 F-hitung < F α (k-1,n-k), maka terima H 0 Apabila nilai F-hitung lebih besar dari F-tabel (tolak H 0 ) berarti secara bersama-sama parameter bebas dalam proses produksi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap hasil produksi (Y). Sebaliknya jika F-hitung lebih kecil dari F- tabel (terima H 0 ) berarti secara bersama-sama parameter bebas dalam proses produksi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil produksi (Y). Untuk memperhitungkan pengujian, maka perlu dihitung besarnya nilai koefisien determinasi (R 2 ), yang bertujuan untuk mengetahui berapa jauh keragaman yang dapat diterangkan oleh parameter bebas yang terpilih terhadap parameter tidak bebas (Y). Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut : R Jumlah Kuadrat Regresi Jumlah Kuadrat Total Keterangan : ei 2 = jumlah kuadrat unsur sisa (galat) yi 2 = jumlah kuadrat total 2) Pengujian untuk masing-masing parameter 1 Σei Σyi Pengujian ini bertujuan untuk menguji secara statistik apakah koefisien regresi dari masing-masing parameter bebas (X i ) yang digunakan secara terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap parameter tidak bebas (Y). Hipotesis : H 0 : b i = 0 H 1 : b i 0 Uji statistik yang digunakan adalah uji t, yaitu : t-hitung = t-tabel b i Se(b i ) = t α/2(n-k) Keterangan : b i = parameter penduga Se (b i ) = parameter penduga dari unsur sisa n = jumlah pengamatan k = jumlah koefisien regresi dugaan

55 Kriteria uji : t-hitung > t α/2(n-k), maka tolak H 0 t-hitung < t α/2(n-k), maka terima H 0 Jika t-hitung lebih besar dari t-tabel (tolak H 0 ) maka parameter yang diuji (faktor produksi) berpengaruh nyata terhadap parameter tidak bebas (hasil produksi). Sebaliknya t-hitung lebih kecil dari t-tabel (terima H 0 ) berarti parameter yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tak bebas. Metode penduga yang digunakan adalah metode kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS), sehingga ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi. Kelayakan model diuji berdasarkan asumsi OLS yaitu multikolinearitas, homoskedastisitas dan normalitas error. Peubah bebas yang dilibatkan dalam model fungsi produksi Belimbing Dewa petani Primatani dan non Primatani cukup banyak. Peubah-peubah bebas tersebut seharusnya saling bebas satu dengan yang lain sehingga model yang diperoleh tidak bias. Keterkaitan atau hubungan antar peubah bebas dikenal dengan istilah multikolinearitas. Uji multikolinearitas dilakukan dengan pendekatan Varians Inflation Factors (VIF). Nilai VIF digunakan sebagai indikator dalam uji tersebut. Nilai VIF lebih besar dari 10 berarti terdapat kolinear antar peubah bebas (Gujarati 1978). Asumsi OLS tentang heteroskedastisitas dan normalitas sisaaan diuji dengan pendekatan grafis Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Efisiensi kegiatan produksi dapat tercapai jika terjadi efisiensi teknis dan efisiensi harga. Jika dua komponen tersebut dapat tercapai maka akan tercapai efisiensi ekonomis. Menurut Doll dan Orazem (1978) efisiensi ekonomis harus memenuhi dua syarat yaitu syarat keharusan dan syarat kecukupan. Syarat keharusan yaitu produksi harus berada pada daerah rasional yaitu elastisitas produksi antara nol dan satu (daerah produksi II). Syarat kecukupan tercapai jika Nilai Produk Marginal (NPM) untuk faktor produksi sama dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM) atau telah mencapai kondisi efisien. Pengujian terhadap efisiensi ekonomis adalah untuk mengetahui tingkat pencapaian efisiensi ekonomi usahatani Belimbing Dewa petani Primatani dan non Primatani. Kondisi optimal dicapai pada saat rasio NPM/BKM sama dengan satu. Apabila nilai perbandingan NPM dan BKM tidak sama dengan satu (lebih

56 besar atau lebih kecil), maka penggunaan faktor produksi belum efisien. Jika nilai perbandingan lebih kecil dari satu, maka penggunaan faktor produksi harus dikurangi. Namun jika perbandingan NPM dan BKM lebih besar dari satu, maka penggunaan faktor produksi harus ditingkatkan Uji Beda Chi Square (X 2 ) Pengujian hipotesis dengan distribusi X 2 adalah pengujian hipotesis yang menggunakan distribusi X 2 sebagai uji statistik. Pada penelitian ini uji beda chi square digunakan untuk menguji secara statistik besaran R/C rasio yang dihasilkan dari analisis pendapatan dan nilai skala usaha yang diperoleh dari hasil analisis fungsi produksi antara petani Primatani dan non Primatani. Nilai R/C rasio dan nilai skala usaha antara petani Primatani dan non Primatani perlu diuji secara statistik untuk membuktikan nilai R/C rasio dan nilai skala usaha yang diperoleh sama atau berbeda (lebih besar atau lebih kecil). Pengujian hipotesis dengan X 2 yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengujian hipotesis satu varians. Pengujian hipotesis satu varians merupakan pengujian hipotesis varians suatu populasi yang didasarkan pada varians sampelnya. Menurut Hasan (2003) langkah-langkah pengujian hipotesis satu varians adalah : 1) Menentukan formulasi hipotesis sebagai berikut : a) H 0 : σ 2 2 = σ 0 H 1 : σ 2 2 > σ 0 b) H 0 : σ 2 2 = σ 0 H 1 : σ 2 2 < σ 0 c) H 0 : σ 2 2 = σ 0 H 1 : σ 2 2 σ 0 2) Menentukan taraf nyata dan nilai X 2 ditentukan dengan derajat bebas (db) = n-1 3) Menentukan kriteria pengujian sebagai berikut : H 0 diterima apabila X 2 0 X 2 α(n-1) H 0 ditolak apabila X 2 0 > X 2 α(n-1)

57 4) Menentukan nilai uji statistik sebagai berikut : X 2 = (n-1)s2 σ 0 2 Keterangan : n = jumlah responden S = simpangan baku Primatani = simpangan baku Non Primatani σ 0 5) Membuat kesimpulan yakni menyimpulkan H 0 diterima atau ditolak. Jadi, jika H 0 ditolak kesimpulan yang dapat diambil adalah nilai R/C rasio dan nilai skala usaha petani Primatani dan non Primatani adalah berbeda (lebih besar atau lebih kecil) secara statistik. Namun apabila disimpulkan H 0 diterima maka nilai R/C rasio dan nilai skala usaha petani Primatani dan non Primatani adalah sama secara statistik Konsep Pengukuran Variabel Variabel-variabel yang diukur atau dianalisis dalam analisis pendapatan usahatani Belimbing Dewa baik untuk petani Primatani maupun non Primatani di wilayah penelitian antara lain adalah : 1) Luas lahan adalah luas areal usahatani Belimbing Dewa yang diusahakan dalam satuan hektar. 2) Tenaga kerja adalah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi Belimbing Dewa baik yang berasal dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga yang dinyatakan dalam satuan Hari Orang Kerja (HOK). Tingkat upah berdasarkan tingkat upah per HOK yang berlaku di wilayah penelitian. 3) Produksi total adalah hasil belimbing yang didapat dari luas tertentu, diukur dalam satuan kilogram. 4) Biaya total adalah semua jenis pengeluaran dalam usahatani Belimbing Dewa, baik yang tunai maupun yang diperhitungkan dinyatakan dalam satuan Rupiah. 5) Biaya tetap adalah biaya yang tidak tergantung pada banyaknya produksi Belimbing Dewa yang dihasilkan dinyatakan dalam satuan Rupiah.

58 6) Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian sarana produksi yang jumlahnya berubah dengan perubahan produksi usahatani Belimbing Dewa yang dihasilkan dan dinyatakan dalam satuan Rupiah. 7) Biaya tunai adalah biaya faktor produksi untuk kegiatan usahatani Belimbing Dewa yang dibayarkan petani secara tunai dan dinyatakan dalam satuan Rupiah. 8) Biaya diperhitungkan adalah biaya faktor produksi milik sendiri yang digunakan dalam usahatani Belimbing Dewa. Biaya ini sebenarnya tidak dibayarkan secara tunai, namun hanya diperhitungkan saja untuk melihat pendapatan petani bila faktor produksi milik sendiri dibayar dan dinyatakan dalam satuan Rupiah. 9) Harga produk adalah harga Belimbing Dewa di tingkat petani. Satuan yang digunakan adalah Rupiah per kilogram. 10) Penerimaan usahatani Belimbing Dewa merupakan nilai produksi total Belimbing Dewa dalam satu tahun dikalikan dengan harga jual Belimbing Dewa yang diterima petani. Satuan yang dipakai adalah Rupiah. 11) Pendapatan usahatani Belimbing Dewa merupakan selisih antara penerimaan dan biaya usahatani Belimbing Dewa. Oleh karena ada dua macam biaya maka pendapatan terdiri dari pendapatan biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Untuk menganalisis penggunaan faktor-faktor produksi dalam usahatani Belimbing Dewa di wilayah penelitian digunakan variabel-variabel sebagai berikut : 1) Produksi Belimbing Dewa (Y) : jumlah total produksi Belimbing Dewa yang dihasilkan petani dalam satu tahun yang dihasilkan petani pada luasan lahan tertentu. Produksi Belimbing Dewa dinyatakan dalam satuan kilogram. Harga jual adalah harga yang diterima petani pada saat panen dan yang berlaku di daerah penelitian, dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram. 2) Jumlah pupuk kandang (X1) : jumlah pupuk kandang yang digunakan dalam proses produksi Belimbing Dewa dalam satu tahun dan diukur dalam satuan kilogram. Biaya korbanan marginalnya adalah harga pupuk kandang dalam satuan kilogram.

59 3) Jumlah pupuk NPK (X2) : jumlah pupuk NPK yang digunakan dalam proses produksi Belimbing Dewa dalam satu tahun dan diukur dalam satuan kilogram. Biaya korbanan marginalnya adalah harga pupuk NPK dalam satuan kilogram. 4) Jumlah pupuk Gandasil B (X3) : jumlah pupuk Gandasil B yang digunakan dalam proses produksi Belimbing Dewa dalam satu tahun dan diukur dalam satuan gram. Biaya korbanan marginalnya adalah harga pupuk gandasil B dalam satuan gram. 5) Jumlah pestisida (X4) : jumlah pestisida yang digunakan dalam proses produksi Belimbing Dewa dalam satu tahun dan diukur dalam satuan milliliter. Biaya korbanan marginalnya adalah harga pestisida dalam satuan milliliter. 6) Jumlah Petrogenol (X5) : jumlah petrogenol yang digunakan dalam proses produksi Belimbing Dewa dalam satu tahun dan diukur dalam satuan milliliter. Biaya korbanan marjinalnya adalah harga petrogenol dalam satuan milliliter. 7) Jumlah tenaga kerja (X6) : jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam satu tahun baik yang berasal dari dalam keluarga maupun luar keluarga. Biaya korbanan marginalnya adalah tingkat upah yang dikeluarkan dalam setiap HOK.

60 V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum, Geografis dan Iklim Kota Depok Letak geografis Kota Depok berada pada 6,19 sampai 6,28 derajat Lintang Selatan dan 106,43 derajat Bujur Timur. Kota Depok merupakan daerah bentangan dengan dataran rendah perbukitan dengan ketinggian antara 50 sampai 140 meter di atas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15 persen. Bentuk kemiringan wilayah ini sangat menentukan jenis penggunaan lahan diantaranya untuk keperluan pemukiman, industri dan pertanian. Kota Depok beribukota di Kecamatan Pancoran Mas, dengan luas wilayah 200,29 kilometer persegi yang mencakup enam kecamatan yaitu Beji, Limo, Cimanggis, Sawangan, Sukmajaya dan Pancoran Mas. Kota Depok memiliki batas geografis diantaranya : 1) Sebelah Utara : Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang dan wilayah Kecamatan Pasar Minggu, Pasar Rebo, Cilandak, Propinsi DKI Jakarta. 2) Sebelah Timur : Kecamatan Pondok Gede, Kabupaten Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. 3) Sebelah Selatan : Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor. 4) Sebelah Barat : Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Kondisi iklim di daerah Depok relatif sama. Wilayah Kota Depok termasuk beriklim tropis dengan perbedaan curah hujan cukup kecil yang dipengaruhi oleh angin muson. Musim kemarau jatuh pada periode April sampai September dan musim penghujan jatuh pada periode Oktober sampai Maret. Curah hujan rata-rata bulanan di Kota Depok sebesar 327 millimeter dan banyaknya hari hujan dalam satu bulan berkisar 10 sampai 20 hari. Kondisi iklim Depok yang tropis dan kadar curah hujan yang kontinu sepanjang tahun, mendukung pemanfaatan lahan di Kota Depok sebagai lahan pertanian. Temperatur rata-rata harian di Kota Depok 24,3 sampai 33 derajat Celcius. Kelembaban udara rata-rata 82 persen, penguapan udara rata-rata 3,9 millimeter per tahun, kecepatan angin rata-rata 3,3 knot dan penyinaran matahari rata-rata 49,8 persen.

61 Jenis tanah yang ada di wilayah penelitian yaitu tanah dengan jenis latosol merah dan latosol coklat kemerahan. Kualitas tanah di wilayah Kota Depok cukup bervariasi dan cenderung memiliki nilai kesesuaian lahan yang cocok untuk beberapa jenis tanaman. Dengan kondisi kemiringan lerengnya yang kecil, komoditas pertanian yang dapat dikembangkan diantaranya adalah tanaman buahbuahan dan beberapa jenis sayuran dataran rendah Lokasi Petani Peserta Primatani Responden peserta Primatani berasal dari wilayah Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok. Kelurahan Pasir Putih memiliki luas wilayah sebesar 462 hektar. Jarak tempuh ke ibukota kecamatan sejauh lima kilometer, sedangkan jarak tempuh ke ibu kota Depok sejauh 10 kilometer. Penggunaan lahan terbesar adalah kebun campuran yang merupakan lahan pekarangan yang terdapat di sekitar pemukiman dan kebun yang ditanami beberapa tanaman buahbuahan (belimbing, jambu, nangka dan rambutan) dan tanaman tahunan (cengkeh, sengon dan jati) seluas 166 hektar (35,90 persen) dan tegalan (lahan yang ditanami tanaman semusim, tanaman buah yang masih muda, sayuran, dan ubiubian) seluas 137 hektar (29,71 persen). Sedangkan lahan yang dimanfaatkan untuk sawah relatif sempit yaitu sekitar 10 hektar (2,08 persen). Peta penggunaan lahan di Kelurahan Pasir Putih dapat dilihat pada Lampiran 1. Batas wilayah geografis Kelurahan Pasir Putih sebagai berikut : 1) Sebelah Utara : Kelurahan Sawangan Baru 2) Sebelah Timur : Kelurahan Cipayung dan Rangkapan Jaya Baru 3) Sebelah Selatan : Kelurahan Rangkapan Jaya 4) Sebelah Barat : Kelurahan Bedahan Kelurahan Pasir Putih ini terdiri dari 52 RT (Rukun Tetangga) dan 10 RW (Rukun Warga). Jumlah penduduk Kelurahan Pasir Putih sebesar jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak jiwa dan penduduk perempuan jiwa. Penduduk di Kelurahan Pasir Putih yang termasuk usia produktif sebanyak jiwa yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dilihat dari jumlah penduduk usia produktif, dapat diketahui bahwa ketersediaan tenaga kerja di Kelurahan Pasir Putih mencukupi, termasuk tenaga kerja di bidang pertanian.

62 Mata pencaharian utama yang paling dominan di Kelurahan Pasir Putih adalah sebagai petani (40 persen), termasuk sebagai petani belimbing. Data mata pencaharian utama masyarakat di Kelurahan Pasir Putih disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Persentase Mata Pencaharian Utama Masyarakat di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok Tahun 2006 Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk (orang) Persentase (%) Petani Buruh Pegawai Negeri Wiraswasta Pedagang Industri Rumah Tangga 43 2 Jasa 43 2 Peternak 22 1 Total Sumber : Tim PRA Kota Depok (2006) Lokasi Petani Non Peserta Primatani Kelurahan Pancoran Mas yang terletak di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok adalah lokasi yang dipilih menjadi tempat penelitian untuk responden petani non peserta Primatani. Hal ini dikarenakan keadaan agroklimat untuk kesesuaian budidaya tanaman Belimbing Dewa di Kelurahan Pancoran Mas tidak jauh berbeda dengan Kelurahan Pasir Putih sebagai lokasi petani peserta Primatani. Luas wilayah Kelurahan Pancoran Mas adalah 473,55 hektar. Jarak tempuh ke ibu kota kecamatan sejauh 2,3 kilometer, sedangkan jarak tempuh ke ibu kota Depok sejauh 2,5 kilometer. Wilayah ini memiliki batas geografis diantaranya : 1) Sebelah Utara : Kelurahan Mampang dan Depok Jaya 2) Sebelah Timur : Kelurahan Depok 3) Sebelah Selatan : Kelurahan Cipayung 4) Sebelah Barat : Kelurahan Rangkapan Jaya Jumlah penduduk Kelurahan Pancoran Mas adalah sebesar jiwa dengan jumlah penduduk perempuan yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki. Jumlah penduduk perempuan sebesar jiwa, sedangkan penduduk laki-laki berjumlah jiwa. Kelurahan Pancoran Mas terdiri dari 128 RT dan 20 RW.

63 Jika dilihat dari jumlah penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian, penduduk di Kelurahan Pancoran Mas yang memiliki pekerjaan sebagai petani terhitung cukup besar, yaitu orang atau sebesar 13,73 persen dari total seluruh jumlah penduduk Kelurahan Pancoran Mas berdasarkan jenis mata pencaharian. Menurut data yang didapatkan dari Kantor Kelurahan Pancoran Mas, seperti yang disajikan pada Tabel 5, pekerjaan sebagai petani masih menjadi pilihan bagi masyarakat di wilayah ini selain sebagai pegawai, karyawan swasta dan pedagang. Tabel 5. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Mata Pencaharian di Kelurahan Pancoran Mas, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok Tahun 2007 Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk (orang) Persentase (%) Petani ,73 Pedagang ,74 Pegawai ,82 ABRI/TNI/Polri 323 2,49 Pegawai Negeri Sipil 721 5,55 Pensiunan/Purnawirawan ,75 Peternak 9 0,07 Pengusaha 22 0,17 Swasta ,52 Pengrajin 12 0,09 Penjahit 105 0,81 Bengkel 23 0,18 Seniman 10 0,08 Total ,00 Sumber : Kantor Kelurahan Pancoran Mas (2007) 5.2. Karakteristik Petani Responden Deskripsi karakteristik petani responden dilihat dari beberapa kriteria diantaranya adalah status usahatani, usia petani, tingkat pendidikan petani, status kepemilikan lahan dan pengalaman berusahatani Status Usahatani Belimbing Dewa Petani Responden Hampir seluruh responden petani peserta Primatani menganggap bahwa kegiatan usahatani yang mereka lakukan adalah sebagai pekerjaan utama. Ada 93 persen petani responden Primatani yang beranggapan bahwa pekerjaan utamanya adalah bercocok tanam. Sisanya yaitu tujuh persen menganggap bahwa aktivitas usahatani yang mereka lakukan hanya merupakan pekerjaan sampingan saja. Sama halnya dengan petani Primatani, petani responden non Primatani juga

64 hampir seluruhnya (96 persen) menganggap bahwa pekerjaan sebagai petani adalah pekerjaan utama yang mereka jalankan. Dengan demikian, dapat dikatakan petani responden Primatani dan non Primatani masih menggantungkan hidupnya pada usahatani Belimbing Dewa dan menganggap bahwa menjalankan usahatani Belimbing Dewa menguntungkan. Jumlah petani responden Primatani dan non Primatani berdasarkan kriteria status usahatani dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Petani Responden berdasarkan Kriteria Status Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun 2008 Status Usahatani Jumlah Responden (orang) Persentase (%) Primatani Non Primatani Primatani Non Primatani Pekerjaan utama Pekerjaan sampingan Total Dari 28 orang (93 persen) responden petani Primatani yang status usahataninya adalah pekerjaan utama, tujuh orang diantaranya memiliki pekerjaan sampingan yaitu sebagai pedagang dan guru honorer, sisanya hanya bekerja sebagai petani saja tanpa memiliki pekerjaan sampingan. Sedangkan pada petani responden non Primatani, dari 29 orang yang status usahataninya sebagai mata pencaharian utama, delapan orang memiliki pekerjaan sampingan yang sama dengan petani Primatani yaitu sebagai pedagang dan guru. Responden yang pekerjaan utamanya adalah petani dan memiliki pekerjaan sampingan serta responden yang menganggap kegiatan usahataninya adalah sebagai pekerjaan sampingan, tentunya akan memperoleh tambahan pendapatan dari luar kegiatan usahatani yang dijalankan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara di lapangan, tambahan pendapatan yang diperoleh responden dari pekerjaan sampingan mereka sebagai pedagang maupun guru honorer adalah sebesar Rp sampai Rp per bulan. Tambahan pendapatan ini dapat mereka gunakan sebagai modal dalam menjalankan aktivitas usahataninya untuk membeli sarana produksi pertanian yang dibutuhkan Usia Petani Responden Berdasarkan usia, petani responden Primatani dan non Primatani yang mengusahakan Belimbing Dewa dibagi menjadi tiga kelompok angkatan kerja, yaitu kelompok usia kurang dari 15 tahun, 15 sampai 55 tahun dan di atas 55

65 tahun. Jumlah dan persentase petani responden Primatani dan non Primatani dari masing-masing kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Petani Responden berdasarkan Kriteria Usia di Kota Depok Tahun 2008 Kisaran Usia Jumlah Responden (orang) Persentase (%) (tahun) Primatani Non Primatani Primatani Non Primatani < > Total Responden peserta Primatani yang melakukan kegiatan usahatani Belimbing Dewa sebagian besar didominasi oleh petani berusia 15 hingga 55 tahun yaitu sebesar 73 persen atau sebanyak 22 orang. Tidak jauh berbeda dengan petani responden Pimatani, petani responden non Primatani juga sebagian besar (83 persen) adalah petani berusia 15 sampai 55 tahun. Dengan demikian petani responden Primatani dan non Primatani berasal dari kalangan petani usia produktif Tingkat Pendidikan Petani Responden Data hasil wawancara menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tertinggi dari petani responden Primatani adalah lulusan Diploma (tiga orang) dan untuk petani responden non Primatani adalah lulusan Sarjana (satu orang). Data jumlah petani responden Primatani dan non Primatani berdasarkan tingkat pendidikan formal disajikan pada Tabel 8. Dari Tabel 8 diketahui bahwa petani responden Primatani dan non Primatani paling banyak adalah lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), yaitu sebanyak 37 persen petani Primatani dan 50 persen petani non Primatani. Tabel 8. Jumlah Petani Responden berdasarkan Kriteria Tingkat Pendidikan Formal di Kota Depok Tahun 2008 Tingkat Pendidikan Jumlah Responden (orang) Persentase (%) Primatani Non Primatani Primatani Non Primatani Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Diploma Sarjana Total

66 Menurut Mosher (1987), petani berperan sebagai pengelola. Petani sebagai pengelola akan berhadapan dengan berbagai alternatif yang harus diputuskan dan harus dipilih untuk diusahakan. Beberapa hal yang harus diputuskan oleh petani diantaranya adalah menentukan cara-cara berproduksi, menentukan cara-cara pembelian sarana produksi, menghadapi persoalan tentang biaya, mengusahakan permodalan dan sebagainya. Jika petani responden memiliki tingkat pendidikan yang tinggi maka akan memudahkan mereka dalam mengadopsi teknologi dan hal-hal baru dalam kegiatan usahatani yang dapat meningkatkan produktivitas serta pendapatan usahatani. Selain itu, tingkat pendidikan dan keterampilan serta pengalaman juga mempengaruhi petani dalam proses pengambilan keputusan dalam kegiatan usahatani yang dijalankan Status Kepemilikan Lahan Belimbing Dewa Petani Responden Lahan Belimbing Dewa yang dimiliki oleh seluruh petani responden Primatani dan non Primatani merupakan lahan milik pribadi. Dari hasil wawancara yang dilakukan, tidak ada satu pun petani responden yang status lahannya adalah lahan sewa. Dengan status kepemilikan lahan adalah milik pribadi, maka petani akan lebih mudah untuk menerapkan teknologi baru pada usahatani yang dijalankan. Hal ini dikarenakan petani berhak mengambil suatu kebijakan terkait dengan usahatani yang dijalankan termasuk dalam segi penerapan teknologi pada lahan pribadi miliknya. Tabel 9 menyajikan jumlah petani responden peserta Primatani dan non Primatani berdasarkan kriteria luas lahan Belimbing Dewa yang dimiliki. Menurut Hernanto (1989) ada empat golongan petani berdasarkan luas lahan yang dimiliki, yaitu golongan petani berlahan luas (lebih dari 2 hektar), golongan petani berlahan sedang (0,5 sampai 2 hektar), golongan petani berlahan sempit (kurang dari 0,5 hektar) dan golongan petani yang tidak memiliki lahan. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa responden petani Belimbing Dewa baik peserta Primatani maupun non peserta Primatani didominasi oleh golongan petani berlahan sempit.

67 Tabel 9. Jumlah Petani Responden berdasarkan Kriteria Luasan Lahan Belimbing Dewa yang Dimiliki di Kota Depok Tahun 2008 Luas Lahan (hektar) Jumlah Responden (orang) Persentase (%) Primatani Non Primatani Primatani Non Primatani < 0, , > Total Semakin luas lahan yang dimiliki oleh petani, maka kemungkinan akan semakin banyak jumlah pohon belimbing yang dapat ditanam sehingga memungkinkan petani untuk menghasilkan buah belimbing yang lebih banyak. Luas lahan yang dimiliki juga menggambarkan besarnya skala usahatani yang dijalankan Pengalaman Berusahatani Petani Responden Tabel 10 menggambarkan jumlah petani responden Primatani dan non Primatani jika dilihat dari kriteria lama pengalaman berusahatani. Dari total 30 petani responden Primatani, jumlah terbesar (33 persen) terdapat pada petani dengan lama pengalaman berusahatani 11 sampai 15 tahun. Pengalaman berusahatani paling lama yang dimiliki oleh petani responden Primatani yaitu selama 32 tahun. Lain halnya dengan petani Primatani, petani non Primatani didominasi oleh petani yang memiliki pengalaman berusahatani antara 6 sampai 10 tahun, yaitu sebesar 47 persen dari total seluruh petani responden non Primatani. Sedangkan pengalaman berusahatani yang paling lama adalah 30 tahun. Tabel 10. Jumlah Petani Responden berdasarkan Kriteria Pengalaman Berusahatani di Kota Depok Tahun 2008 Pengalaman Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) Berusahatani (Tahun) Primatani Non Primatani Primatani Non Primatani > Total

68 Pengalaman berusahatani yang dimiliki oleh petani menunjukkan lamanya petani berkecimpung dalam usahatani Belimbing Dewa. Semakin lama pengalaman berusahatani maka dapat disimpulkan bahwa petani sudah memahami betul teknik budidaya dalam kegiatan usahatani yang dijalankan Kegiatan Budidaya Belimbing Dewa di Lokasi Penelitian Usahatani belimbing telah lama diusahakan di Kota Depok dan merupakan usaha turun-temurun. Selain ditanam di kebun atau lahan tersendiri, tanaman belimbing juga ditanam di sekitar pekarangan rumah. Pada awalnya, kegiatan budidaya belimbing yang dilakukan masih bersifat tradisional dengan pemeliharaan yang seadanya. Namun, seiring dengan berkembangnya potensi usahatani belimbing dan besarnya keuntungan yang diperoleh, usahatani belimbing mulai mendapatkan perhatian. Terbukanya potensi dari usahatani belimbing ini, mendorong pemerintah Kota Depok untuk menjadikan belimbing dengan varietas unggul Dewa sebagai ikon Kota Depok. Kegiatan usahatani dan teknik budidaya belimbing di Kota Depok sebenarnya hampir sama antara petani belimbing satu dengan yang lain. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas buah belimbing yang dihasilkan oleh petani serta sebagai langkah dalam mewujudkan belimbing sebagai ikon Kota Depok, maka telah disusun Standar Operasional Prosedur (SOP) oleh Dinas Pertanian Kota Depok. SOP belimbing ini adalah panduan teknik budidaya belimbing yang dilakukan untuk meningkatkan mutu buah belimbing yang dihasilkan oleh petani. Teknik budidaya belimbing sesuai SOP telah disosialisasikan kepada para petani belimbing di Kota Depok termasuk di wilayah penerapan Primatani dan non Primatani mulai tahun Oleh sebab itu, teknik budidaya belimbing di Kota Depok hampir sama. Hanya saja ada petani yang telah menerapkan semua kegiatan budidayanya sesuai dengan SOP dan ada pula petani yang tidak sepenuhnya menjalankan budidaya belimbing sesuai SOP bahkan ada pula yang belum. Berikut ini kegiatan usahatani yang pada umumnya dilakukan oleh petani belimbing di Kota Depok sesuai dengan SOP Belimbing Dewa.

69 Penanaman Tanaman Belimbing Dewa Kegiatan penanaman diawali dengan kegiatan penyiapan lahan yaitu pembersihan lahan dan pembuatan lubang tanam. Pembersihan lahan dilakukan dengan maksud untuk memperoleh lahan yang siap ditanami dan terbebas dari gangguan fisik seperti batu-batuan besar dan gangguan biologis seperti gulma atau sisa-sisa tanaman. Kegiatan pembersihan lahan yang dilakukan antara lain adalah membersihkan semak, pohon kecil, cabang dan ranting pohon besar yang dapat menghalangi pertumbuhan tanaman muda. Persiapan lahan yang harus dilakukan setelah melakukan pembersihan lahan adalah pembuatan lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan pada kebun belimbing yang sesuai dengan SOP adalah (7 x 7) meter. Namun seluruh petani responden yang ada di lokasi Primatani maupun non Primatani menggunakan jarak tanam yang lebih rapat, yakni (4 x 4) meter, (5 x 5) meter ataupun (6 x 6) meter. Hal ini disebabkan karena pohon belimbing yang dimiliki oleh petani responden Primatani maupun non Primatani, ditanam 5-15 tahun yang lalu sebelum adanya SOP belimbing. Sehingga petani tidak menggunakan jarak tanam yang dianjurkan, karena ingin mengoptimalkan lahan yang dimilikinya dengan menanam pohon belimbing dengan jarak tanam yang lebih rapat Pemupukan Tanaman Belimbing Dewa Menyediakan kebutuhan hara dan nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman belimbing dilakukan melalui kegiatan pemupukan. Pupuk yang diberikan pada tanaman belimbing adalah pupuk organik (pupuk kandang), pupuk anorganik (pupuk NPK) dan pupuk daun (pupuk cair). Pupuk kandang dan NPK digunakan untuk menambah dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Sedangkan pupuk daun digunakan untuk merangsang pembungaan dan mendukung pertumbuhan daun. Kegiatan pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang dan NPK dilakukan tiap empat bulan sekali. Dosis pupuk kandang dan NPK per pohon belimbing disajikan pada Tabel 11.

70 Tabel 11. Dosis Pupuk Kandang dan NPK pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Waktu Pemupukan Dosis Pupuk Sekali Pemakaian (kilogram/pohon) Pupuk Kandang Pupuk NPK 3-12 bulan setelah tanam ,2-0,3 1-3 tahun setelah tanam ,4-0,6 >3 tahun setelah tanam ,7-1,0 Sumber : Dinas Pertanian Kota Depok (2007b) Prosedur pelaksanaan pemberian pupuk diantaranya sebagai berikut : 1) Menyiapkan alur lubang pupuk di bawah lingkaran tajuk sedalam 20 centimeter dan selebar cangkul. 2) Menyiapkan pupuk sesuai jenis dan dosis yang akan digunakan. 3) Memasukkan pupuk ke dalam lubang tanam kemudian menutupnya. Apabila pupuk daun yang akan diberikan, maka harus membuat larutan pupuk terlebih dahulu, kemudian pupuk disemprotkan ke tanaman dengan menggunakan hand sprayer atau power sprayer. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada petani responden peserta Primatani maupun non Primatani, pemberian pupuk pada tanaman belimbing ada kalanya tidak mengikuti dosis anjuran yang terdapat pada SOP Belimbing Dewa. Beberapa petani hanya melakukan pemupukan dua kali dalam setahun. Hal ini disebabkan karena saat ini harga pupuk sudah semakin mahal dan keberadaan pupuk terutama pupuk anorganik dinilai cukup langka. Oleh sebab itu kegiatan pemupukan tidak sesuai dengan dosis seperti yang tertera pada Tabel Pengairan Tanaman Belimbing Dewa Kegiatan pengairan dilakukan untuk menyediakan kebutuhan air bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman belimbing. Sebelum kegiatan pengairan dilakukan, hal yang harus diperhatikan adalah melihat kondisi tanaman dan tanah. Pengairan harus dihentikan jika kondisi tanah telah cukup lembab. Air yang digunakan sebagai sumber pengairan berasal dari air hujan, irigasi sederhana maupun sumur bor yang dimiliki oleh petani. Petani responden peserta Primatani maupun non Primatani, pada umumnya melakukan kegiatan pengairan hanya pada musim kemarau. Bahkan ada yang sama sekali tidak melakukan pengairan dengan alasan tanaman belimbing akan terus berproduksi walaupun dalam kondisi kering.

71 Pemangkasan Tanaman Belimbing Dewa Kegiatan pemangkasan dibagi menjadi dua jenis yaitu kegiatan pemangkasan bentuk dan kegiatan pemangkasan pemeliharaan. Kegiatan pemangkasan bentuk adalah kegiatan membentuk cabang atau ranting tanaman agar mempunyai tajuk yang diharapkan dan dengan tujuan agar lebih memudahkan petani dalam melakukan kegiatan pengelolaan, perawatan dan pemanenan. Sedangkan pemangkasan pemeliharaan adalah memotong cabang atau ranting tanaman yang tidak produktif dan tidak dikehendaki. Hal ini bertujuan untuk merangsang pembungaan, membuang ranting atau cabang yang mati, tunas air maupun cabang yang tidak produktif serta untuk memudahkan sinar matahari masuk sampai cabang-cabang terbawah. Kegiatan pemangkasan dilakukan pada saat setelah panen Sanitasi Kebun serta Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Belimbing Dewa Sanitasi kebun adalah kegiatan menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan kebun. Sanitasi kebun penting dilakukan untuk memberikan lingkungan tumbuh yang baik bagi pertumbuhan tanaman dan memutuskan siklus hidup Hama dan Penyakit Tanaman (HPT). Kegiatan ini meliputi pembersihan gulma yang tumbuh di sekitar tanaman dan membersihkan buah belimbing yang jatuh ke tanah dan yang tersangkut di pohon. Kegiatan sanitasi kebun dapat dikatakan sebagai kegiatan pencegahan terhadap datangnya HPT. Pengendalian HPT adalah tindakan yang dilaksanakan untuk mencegah kerugian seperti penurunan mutu dan produksi buah belimbing yang diakibatkan oleh hama dan penyakit tanaman. Sebelum melakukan kegiatan pengendalian HPT, petani harus melakukan pengamatan terhadap HPT di kebun secara teratur dan berkala. Dengan mengenali HPT yang menyerang dan gejala serangannya, maka petani dapat melakukan tindakan atau cara yang tepat untuk mengatasinya. Menurut Dinas Pertanian Kota Depok (2007b) ada beberapa hama dan penyakit yang dapat menyerang tanaman belimbing, diantaranya adalah : 1) Lalat buah (Batrocero carambolae atau Batrocero dorsalis)

72 Untuk menghindari serangan lalat buah, petani disarankan agar membungkus buah pada saat tiga sampai empat minggu setelah buah terbentuk. Jika ada buah yang terserang atau jatuh, maka harus dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam kantung plastik lalu dibenamkan ke dalam tanah sedalam 30 centimeter atau dibakar. Pengendalian menggunakan insektisida juga dapat dilakukan. Insektisida yang digunakan adalah insektisida sistemik atau kontak dengan bahan aktif dimethoate, melathion, fenthion atau maldison. Pengendalian juga dapat dilakukan dengan menggunakan perangkap lalat buah dengan memakai zat yang disebut feromon yaitu methyl eugenol yang biasanya ditemukan dengan merek dagang Petrogenol 800 L. Kerapatan perangkap yang dianjurkan adalah buah perangkap per hektar. Seluruh petani responden peserta Primatani maupun non Primatani telah menggunakan perangkap lalat buah untuk mengatasi serangan lalat buah yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas buah belimbing yang dihasilkan. 2) Jamur upas (Upasita salminicolor, Corticium salminicolor atau Pellicularia salminicolor) Penyakit ini menyerang bagian batang atau cabang tanaman. Jika serangan sudah berat maka dapat mengakibatkan batang mengering dan lapuk. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara menyemprot atau mengoleskan cabang yang sakit dengan fungisida Bubur Bordeaux atau Calixin. Atau dapat juga menggunakan jenis fungisida seperti Benlate. 3) Bercak daun cercospora Bercak daun ini disebabkan oleh jamur Cercospora averrhoae. Penyakit ini menyerang daun, tangkai daun dan batang muda. Penyakit yang disebabkan karena jamur ini menyebabkan terjadinya bercak-bercak daun dengan tepi daun berwarna coklat tua atau ungu. Serangan yang hebat dapat menyebabkan daun kuning hingga rontok. Pengendalian dapat dilakukan dengan menyemprotkan fungisida kaptafol atau fungisida lain seperti Difolatan Pembungkusan dan Penjarangan Buah Belimbing Dewa Pembungkusan buah dilakukan pada buah muda yang telah berukuran panjang 3 centimeter atau lebih tepatnya ketika buah telah berumur hari

73 sejak bunga mulai mekar. Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah buah dari gangguan hama dan meningkatkan mutu buah yaitu buah cepat besar, bersih dan berpenampilan menarik. Agar diperoleh buah yang besar maka dalam satu dompolan buah maksimal dipelihara sebanyak lima buah. Buah yang dibungkus dipilih buah yang memenuhi kriteria bentuk bagus (tidak bengkok), sehat (kulit buah tidak berbintik hitam), tidak cacat dan tangkai buah besar. Buah yang tidak sesuai dengan kriteria akan dibuang dan dilakukan penjarangan buah. Bahan pembungkus buah yang digunakan petani responden peserta Primatani maupun non Primatani adalah karbon dan plastik mulsa hitam perak. Namun, karena keberadaan karbon yang mulai langka di pasaran maka petani lebih beralih ke pembungkus berbahan plastik mulsa hitam perak. Penjarangan buah yaitu mengurangi jumlah buah pada tanaman. Kegiatan ini bertujuan guna meningkatkan ukuran dan mutu buah. Kegiatan penjarangan buah dilakukan bersamaan dengan kegiatan pembungkusan buah. Buah yang dibuang adalah buah yang bentuk dan ukurannya tidak normal, buah yang terserang HPT, buah yang terdapat di ujung ranting atau cabang serta buah yang memiliki tangkai buah yang kurus. Buah hasil penjarangan kemudian dikumpulkan dan ditimbun dalam tanah Panen Buah Belimbing Dewa Sebelum melakukan kegiatan pemanenan, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu pengamatan pada buah yang akan dipanen. Hal ini dilakukan untuk memperoleh buah yang sesuai tingkat kematangan dan waktu pemetikan yang tepat. Panen belimbing dilakukan tiga kali dalam satu tahun, yaitu pada bulan Januari hingga Februari, Mei hingga Juni dan September hingga Oktober. Pemanenan biasanya dilakukan saat buah berumur hari sejak bunga mekar. Buah sudah dapat dipanen saat telah memasuki indeks kematangan buah IV. Indeks kematangan IV dipilih dengan tujuan agar buah tidak cepat busuk dalam proses penyimpanan. Ciri indeks kematangan buah dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil buah yang dipanen dibagi menjadi tiga kelas (grade). Grade A adalah buah dengan berat lebih dari 250 gram. Grade B yaitu buah dengan berat 200 sampai 250 gram, sedangkan grade C adalah buah dengan berat kurang dari 200 gram.

74 Tabel 12. Ciri-Ciri Indeks Kematangan Buah Belimbing Dewa di Kota Depok Indeks Kematangan Buah Ciri-Ciri Buah Belimbing Dewa Indeks I Buah berwarna hijau keputihan Indeks II Buah berwarna putih kekuningan Indeks III Buah berwarna kuning kehijauan Indeks IV Buah berwarna kuning tua kehijauan Indeks V Buah berwarna kuning kemerahan Indeks VI Buah berwarna oranye kemerahan Indeks VII Buah berwarna oranye kemerahan, buah terlalu matang Sumber : Dinas Pertanian Kota Depok (2007b) 5.4. Pelaksanaan Kegiatan Primatani di Kota Depok Kegiatan Primatani di Kota Depok dilaksanakan dalam kurun waktu tiga tahun, yang dimulai pada tahun 2007 dan direncanakan akan berakhir pada akhir tahun Sebelum berlangsungnya program, dilakukan terlebih dahulu survei dan penilaian dasar terhadap keadaan awal lokasi yang dijadikan wilayah penerapan Primatani di Kota Depok. Survei awal yang dilakukan oleh tim Primatani disebut dengan baseline survey (survei pendasaran). Tujuan dilaksanakannya baseline survey adalah untuk memperoleh informasi awal secara lengkap mengenai kondisi biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan yang ada di lokasi penerapan Primatani. Pada awal pelaksanaan Primatani, tidak hanya informasi mengenai kondisi bio fisik, sosial ekonomi serta kelembagaan saja yang dibutuhkan, tetapi juga dibutuhkan informasi mengenai kondisi wilayah, keadaan sumberdaya, permasalahan serta potensi yang ada di lokasi penerapan Primatani. Oleh karena itu, selain dilakukan baseline survey, sebelum kegiatan Primatani dilaksanakan, dilakukan pula Participatory Rural Appraisal (PRA). PRA merupakan metode untuk menggali kondisi wilayah secara mendalam dengan melibatkan petani sejak perencanaan sampai pada evaluasi dalam suatu pelaksanaan program. Dari hasil pelaksanaan PRA akan diketahui masalah, kebutuhan teknologi serta cara pemecahan masalah yang sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki serta potensi dan peluang yang ada di lokasi penerapan Primatani. Tahapan lain yang dilakukan oleh tim Primatani sebelum kegiatan Primatani di lapangan dilakukan adalah menyusun rancang bangun laboratorium agribisnis. Tujuan pembuatan rancang bangun laboratorium agribisnis antara lain adalah memberikan acuan dan pedoman bagi pelaksanaan di lapang dalam

75 membangun laboratorium agribisnis, sebagai pedoman bagi pelaksana kegiatan dalam melakukan langkah-langkah operasional di lapangan agar kegiatan sesuai dengan arah, tujuan dan keluaran yang diharapkan serta untuk memudahkan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan yang sedang dilaksanakan. Rancang bangun ini disusun oleh manajer laboratorium agribisnis bersama peneliti serta penyuluh yang berada dalam satu tim Primatani Kota Depok. Berdasarkan rancang bangun yang disusun oleh tim Primatani Kota Depok, Kelurahan Pasir Putih yang menjadi lokasi penerapan Primatani di Kota Depok akan menjadi lokasi percontohan Agribisnis Industrial Pedesaan serta Sistem Usaha Intensifikasi dan Diversifikasi (AIP-SUID) sesuai dengan keluaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan Primatani. Model AIP dan SUID Primatani Kota Depok dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Hal ini yang menjadi perbedaan mendasar antara lokasi Primatani dan non Primatani. Walaupun secara teknis budidaya petani Primatani dan non Primatani dapat dikatakan sama, namun dengan dikembangkannya model AIP dan SUID dapat menjadi keunggulan tersendiri bagi lokasi petani Primatani. Sebagai lokasi percontohan AIP-SUID, ada beragam inovasi teknologi dan kelembagaan yang akan diintroduksikan oleh Primatani. Inovasi teknologi dan kelembagaan tersebut disesuaikan dengan permasalahan, kebutuhan dan sumber daya serta potensi yang ada di lokasi Primatani sesuai dengan hasil kegiatan PRA. Dengan adanya inovasi teknologi dan kelembagaan agribisnis tentunya diharapkan berdampak positif pada hasil usahatani, peningkatan pendapatan dan peningkatan kesempatan kerja. Selain itu, inovasi-inovasi yang diintroduksikan di lokasi Primatani direncanakan dapat semakin luas diterapkan oleh petani lain di lokasi non Primatani. Dengan kata lain, proses difusi inovasi berjalan dengan swadaya masyarakat sendiri. Berikut ini akan dijelaskan inovasi-inovasi teknologi dan kelembagaan yang diintroduksikan serta kegiatan diseminasi teknologi di lokasi Primatani Kota Depok Inovasi Teknologi Inovasi teknologi yang diintroduksikan pada lokasi Primatani Kota Depok diantaranya adalah : 1) Optimasi integrasi tanaman dan ternak, yang meliputi :

76 a) Pembuatan kompos dan pemanfaatannya. b) Perbaikan kandang dengan teknologi kandang panggung. c) Penggunaan Gamal atau Kihujan sebagai tanaman pagar. d) Penggunaan starbio untuk mengurangi bau ternak. e) Teknologi pembungkusan dan penjarangan buah. f) Pengelolaan kebun sehat atau sanitasi kebun. 2) Inovasi teknologi konservasi air dan irigasi hemat air. 3) Penanganan pasca panen, yang meliputi : a) Sortasi. b) Grading. c) Pengolahan buah. Berikut ini akan dijelaskan inovasi-inovasi teknologi yang diintroduksikan di lokasi Primatani, khususnya yang terkait dengan usahatani Belimbing Dewa Pembuatan Kompos dan Pemanfaatannya Dari hasil survei awal yang dilakukan sebelum kegiatan Primatani, selama ini pupuk kandang yang diberikan petani belimbing pada proses pemupukan tanaman belimbing, pada umumnya adalah pupuk kandang yang belum matang atau tanpa melalui proses pengomposan terlebih dahulu. Pupuk kandang yang baru diangkat dari kandang, biasanya temperaturnya tinggi sehingga tidak boleh langsung diberikan ke tanah dekat perakaran tanaman. Untuk menghindari gangguan pertumbuhan tanaman maka bahan organik sebaiknya dikomposkan terlebih dahulu. Sehingga di lokasi penerapan Primatani Kota Depok diintroduksikan teknologi pembuatan kompos. Bahan yang digunakan adalah limbah ternak baik sapi, kambing atau domba dan limbah tanaman dengan menggunakan bahan decomposer. Limbah ternak dan tanaman merupakan bahan pokok pembuatan kompos. Bahan decomposer atau bio aktifator merupakan mikro organisme yang berfungsi untuk mempercepat pengembangan bakteri pembusuk yang menguntungkan sehingga proses pembuatan kompos dapat lebih cepat. Bahan aktif pengomposan yang digunakan adalah orgadec dan promi. Kompos yang sudah matang dimanfaatkan sebagai pupuk kandang dalam budidaya belimbing dan dikombinasikan dengan

77 pupuk anorganik. Pemupukan dilakukan dengan meletakkan pupuk dalam alur yang dibuat melingkari batang di bawah kanopi tanaman yang akan dipupuk. Sosialisasi teknologi pembuatan kompos ini dilakukan dengan cara memberikan pelatihan kepada petani. Pelatihan pembuatan kompos sampai tahun 2008 baru dilaksanakan di dua unit yaitu Kelompok Tani Usaha Jaya dan Mekar Sejahtera. Kompos yang dihasilkan masih dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kebun sendiri dan belum dikomersialkan Reintroduksi Inovasi Teknologi Budidaya Belimbing sesuai SOP Reintroduksi inovasi teknologi budidaya belimbing sesuai SOP adalah lebih mensosialisasikan teknik budidaya yang sesuai dengan SOP Belimbing Dewa, yang bertujuan agar produksi belimbing yang dihasilkan petani semakin meningkat baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Kegiatan budidaya tanaman belimbing sesuai SOP yang diupayakan untuk direintroduksikan kepada petani di wilayah penerapan Primatani diantaranya adalah teknologi pembungkusan buah serta pengelolaan kebun sehat dengan melakukan sanitasi kebun. Pengelolaan kebun sehat diantaranya adalah pengendalian HPT serta kegiatan pemangkasan. Sebelum Primatani dilaksanakan di Kelurahan Pasir Putih, teknologi pembungkusan dan penjarangan buah yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan mutu buah sudah diterapkan oleh para petani. Hingga tahun 2006, petani pada umumnya masih menggunakan kertas karbon sebagai bahan pembungkus buah belimbing. Namun karena ketersediaan kertas karbon yang mulai langka di pasaran, maka diintroduksikan pembungkusan belimbing dengan menggunakan plastik mulsa hitam perak. Jika dilihat dari hasil buah belimbing yang diproduksi, maka buah belimbing yang dibungkus dengan menggunakan kertas karbon lebih mengkilat bila dibandingkan dengan yang dibungkus menggunakan plastik mulsa. Namun, keuntungan jika menggunakan plastik mulsa adalah mudah diperoleh dalam jumlah yang banyak dan lebih tahan lama dipakai dibandingkan dengan kertas karbon. Plastik mulsa bisa digunakan maksimal hingga tiga tahun atau selama sembilan kali musim panen. Sedangkan kertas karbon hanya dapat digunakan maksimal lima kali musim panen saja.

78 Saat ini petani di wilayah penerapan Primatani sebagian besar telah menggunakan plastik mulsa hitam perak sebagai bahan pembungkus buah. Namun kertas karbon masih tetap digunakan walaupun tidak dalam jumlah besar, mengingat kualitas hasil buah yang diperoleh masih lebih baik. Dengan telah diperkenalkannya teknologi pembungkusan buah belimbing dengan plastik mulsa, maka masalah keterlambatan kegiatan pembungkusan buah dan kelangkaan bahan pembungkus buah dapat diatasi. Teknologi pembungkusan dengan menggunakan plastik mulsa hitam perak juga ikut diterapkan di lokasi non Primatani. Petani di lokasi non Primatani mendapatkan arahan dari PPL lokasi setempat dalam mengatasi masalah kelangkaan kertas karbon sebagai bahan pembungkus buah. Reintroduksi inovasi teknologi lainnya yang dilakukan di lokasi penerapan Primatani adalah kegiatan pengelolaan kebun sehat. Kegiatan pengelolaan kebun sehat yang sesuai dengan SOP belimbing antara lain adalah pengendalian hama dan penyakit tanaman serta kegiatan pemangkasan. Pembinaan sanitasi kebun dilakukan melalui pertemuan kelompok dan kunjungan langsung ke kebun belimbing milik petani. Namun untuk kunjungan ke kebun balimbing milik petani tidak rutin dilaksanakan dan tidak semua petani mendapatkan bimbingan secara langsung, hal ini disebabkan keterbatasan tenaga kerja pada tim Primatani Kota Depok dan PPL di lokasi setempat. Bimbingan sanitasi tersebut meliputi pembersihan kebun dari gulma dan buah yang jatuh akibat hama dan penyakit atau faktor alam Teknologi Konservasi Air dan Irigasi Hemat Air Belimbing merupakan salah satu jenis tanaman buah dengan perakaran yang dangkal. Sehingga jika pada waktu tidak ada air terutama pada saat musim kemarau tiba, tanaman belimbing tidak mampu menyerap air tanah di bagian yang lebih dalam. Pada kondisi seperti ini maka diperlukan inovasi teknologi konservasi air dan irigasi hemat air. Teknologi ini mulai dilaksanakan di lokasi Primatani Kota Depok pada akhir Desember Sehingga pengaruh teknologi konservasi air dan irigasi hemat air terhadap produktivitas usahatani belimbing belum dapat dianalisis dalam penelitian ini.

79 Sosialisasi pengetahuan tentang irigasi hemat air atau irigasi tetes telah disampaikan pada pertemuan gabungan kelompok tani yang dihadiri oleh perwakilan dari seluruh kelompok tani yang ada. Adapun kebun yang digunakan untuk percontohan pelaksanaan irigasi tetes adalah kebun yang mememenuhi persyaratan mudah dilihat petani sehingga diprioritaskan yang berada di pinggir jalan yang biasa dilalui oleh petani. Percontohan irigasi tetes yang mulai dilaksanakan pada akhir tahun 2008 diterapkan pada 31 tanaman belimbing di salah satu kebun milik petani dari Kelompok Tani Makmur Sejahtera dan 32 pohon jambu biji merah milik petani dari Kelompok Tani Mekar Sejahtera Penanganan Pasca Panen Kegiatan yang diintroduksikan oleh Primatani mengenai penanganan pasca panen buah belimbing adalah sortasi, grading dan pengolahan buah. Kegiatan sortasi dan grading adalah kegiatan yang termasuk ke dalam SOP Belimbing Dewa, namun sebelum Primatani hadir, masih belum diterapkan sepenuhnya oleh petani. Hal ini dikarenakan pemasaran buah masih berdasarkan satuan buah dan pembeli tidak membedakan kualitas maupun ukuran buah. Pada akhir tahun 2007, Primatani mulai mengintroduksikan kegiatan sortasi dan grading serta berhasil mengubah pola penjualan dari satuan buah ke satuan berat (kilogram). Kegiatan sortasi sangat dipengaruhi oleh permintaan pasar. Sortasi yang dilakukan pada buah belimbing berdasarkan dua komponen yaitu tingkat kematangan buah dan ukuran buah. Sama halnya dengan kegiatan sortasi, kegiatan grading juga dilakukan sepenuhnya oleh petani mulai tahun 2007 saat Primatani diterapkan. Hasil panen belimbing dibedakan menjadi tiga kelas, yaitu grade A (lebih dari 250 gram), grade B (200 hingga 250 gram) dan grade C (kurang dari 200 gram). Pada tahun 2007, kegiatan sortasi dan grading ini dilakukan di tingkat gabungan kelompok tani. Mulai tahun 2008, sortasi dan grading buah belimbing dilakukan di tingkat koordinator wilayah pada Pusat Koperasi (Puskop) Belimbing Dewa yang saat itu baru didirikan sebagai lembaga pemasaran Belimbing Dewa yang dibentuk di tingkat Kota Depok. Dengan didirikannya Puskop Belimbing Dewa di tingkat Kota Depok, hal ini berarti kegiatan sortasi dan grading juga telah dilakukan di lokasi non Primatani, karena Puskop Belimbing Dewa menampung

80 hasil panen dari petani di seluruh Kota Depok yang telah menjadi anggota koperasi. Selain kegiatan sortasi dan grading, Primatani juga mengintroduksikan teknologi pengolahan buah belimbing untuk meningkatkan nilai tambah buah belimbing yang dihasilkan oleh petani. Teknologi pengolahan buah belimbing ini diintroduksikan di lokasi Primatani mengingat jika pada saat panen raya, hasil panen buah belimbing cukup melimpah. Pada saat seperti ini harga buah belimbing dapat mengalami penurunan. Dengan merubah bentuk buah belimbing segar menjadi olahan, diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dari buah belimbing tersebut. Buah belimbing segar diolah menjadi beragam jenis makanan dan minuman seperti dodol buah belimbing, manisan buah belimbing dan sari buah (jus) belimbing. Kegiatan pengolahan buah belimbing ini dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) yang ada di lokasi Primatani. Walaupun pemasaran olahan buah buah belimbing ini masih terbatas dan masih tergantung dari jumlah pesanan, kegiatan pengolahan buah belimbing ini dapat dijadikan peluang usaha bagi KWT dan tentunya dapat dijadikan sumber penghasilan Inovasi Kelembagaan Keberhasilan usahatani tidak hanya didukung oleh penerapan inovasi teknologi, akan tetapi terkait pula dengan sistem kelembagaan pendukung usahatani. Inovasi kelembagaan yang diterapkan di lokasi Primatani diantaranya adalah kelembagaan produksi (kelompok tani), input produksi, permodalan dan pemasaran Penumbuhan dan Pengembangan Kelompok Tani Pemberdayaan petani dan kelembagaan tani merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan sistem dan usaha agribisnis terutama terkait dengan peningkatan kemampuan dalam penguasaan teknologi, informasi dan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan serta pemasaran. Pemberdayaan petani yang ada di lokasi Primatani dilakukan terhadap petani baik secara individu maupun kelompok dengan sasaran peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Salah satu keluaran yang ingin dicapai Primatani adalah tercapainya model kelembagaan AIP. Untuk mencapai hal tersebut, maka pada tahap awal kegiatan

81 pelaksanaan Primatani di Kota Depok dimulai dengan penguatan kelompok tani yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan manfaat kelompok. Pada tahun pertama Primatani hadir di Kelurahan Pasir Putih, hal yang pertama kali dibenahi adalah keberadaan kelompok tani. Pelaksanaan pengembangan kelompok tani ini ditandai dengan pembentukan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dengan nama Gapoktan Patih Jaya. Pembinaan yang dilakukan pada kelompok tani meliputi tiga aspek diantaranya adalah aspek teknis, aspek manajemen dan aspek kerjasama. Pembinaan dalam aspek teknis bertujuan agar petani memahami dan melaksanakan teknologi yang diintroduksikan dan diarahkan pula agar petani mampu menyebarluaskan teknologi yang diintroduksikan tersebut kepada petani lainnya. Metode yang digunakan dalam pembinaan kelompok tani ini adalah melalui pendekatan individu yaitu kunjungan langsung ke kebun milik petani dan pendekatan kelompok melalui pertemuan rutin. Aspek manajemen juga merupakan salah satu aspek dalam kegiatan kelompok tani yang mendapat arahan dan pembinaan dari Primatani. Aspek manajemen ini meliputi pembinaan administrasi dan kepengurusan kelompok tani. Sedangkan aspek kerjasama adalah mengembangkan kerjasama antar anggota, antar kelompok tani dan gabungan kelompok tani. Selain membangun kerjasama antar petani, dibangun pula kerjasama dengan pihak lain yang saling menguntungkan seperti lembaga pemasaran dan lembaga permodalan Pengembangan Kerjasama antar Lembaga Agribisnis Pengembangan kerjasama antar lembaga agribisnis juga merupakan inovasi kelembagaan yang disampaikan Primatani kepada petani di lokasi penerapan Primatani Kota Depok. Lembaga-lembaga agribisnis tersebut antara lain adalah lembaga pasca panen dan pengolahan, lembaga pemasaran dan lembaga permodalan. Pengembangan dengan lembaga pasca panen dan pengolahan buah dilakukan melalui kerjasama dengan KWT yang melakukan kegiatan pengolahan buah belimbing menjadi beragam produk olahan. Agar produk olahan yang dihasilkan oleh KWT dapat memenuhi standar dan sesuai dengan permintaan pasar, maka Primatani Kota Depok menjalin kerjasama dengan beberapa instansi

82 terkait seperti Dinas Kesehatan, Balai Penelitian Pasca Panen, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Depok. Perizinan mengenai produk olahan buah belimbing dilakukan melalui Dinas Kesehatan. Kerjasama dengan Balai Penelitian Pasca Panen dilakukan dalam hal teknologi pengembangan produk olahan, analisis terhadap kandungan gizi dan umur simpan produk. Sedangkan kerjasama yang dilakukan oleh MUI dan Disperindag Kota Depok adalah dalam hal proses memperoleh label halal dan pemasaran produk. Pengembangan kerjasama juga dilakukan dengan lembaga pemasaran. Untuk meningkatkan posisi tawar petani maka perlu adanya kelembagaan pasar yang kuat di tingkat petani. Pada awal Primatani hadir di Kota Depok yakni di tahun 2007, sistem pemasaran di lokasi Primatani diupayakan untuk satu pintu pemasaran yaitu melalui Gapoktan. Pemasaran melalui satu pintu ini berjalan selama satu tahun. Awal tahun 2008, pemasaran satu pintu beralih ke Puskop Belimbing Dewa Kota Depok yang saat itu baru saja didirikan. Sejak saat itu lembaga pemasaran yang dibentuk oleh petani yakni melalui Gapoktan tidak berfungsi lagi, karena sebagian petani bekerjasama dengan Puskop Belimbing Dewa dalam memasarkan hasil panen mereka. Sedangkan petani yang tidak atau belum bergabung menjadi anggota Puskop, kembali menjual hasil panennya kepada tengkulak. Selain pengembangan dengan lembaga pengolahan dan pemasaran, petani di lokasi Primatani juga diarahkan untuk menjalin kerjasama dengan lembaga permodalan. Pada awal hadirnya Primatani di Kelurahan Pasir Putih, bersamaan dengan pengembangan kelompok tani dan pembentukan gapoktan, petani yang tergabung dalam kelompok tani dibina untuk melakukan kegiatan pengembangan pemupukan modal. Pemupukan modal ini dilakukan dalam lingkup kelompok tani melalui simpanan anggota yaitu simpanan wajib dan pokok serta keuntungan hasil pemasaran buah. Dalam perkembangannya, pemupukan modal melalui kelompok tani maupun gapoktan dinilai lambat dan modal yang diperoleh dari keuntungan hasil pemasaran buah juga tidak aktif lagi. Hal ini dikarenakan mulai tahun 2008,

83 petani telah bekerjasama dengan Puskop Belimbing Dewa dalam memasarkan hasil panen mereka. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut, Primatani mengarahkan petani yang tergabung dalam Gapoktan Patih Jaya untuk mengakses modal kepada lembaga permodalan baik lembaga pemerintah maupun swasta. Saat ini Gapoktan Patih Jaya telah menjalin akses kredit permodalan dengan Bank Mandiri Diseminasi Teknologi Diseminasi teknologi adalah kegiatan Primatani untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan teknologi kepada pengguna. Dengan kegiatan diseminasi diharapkan teknologi dapat segera diterapkan secara luas dan tepat oleh pengguna. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari manajer Primatani Kota Depok, pelaksanaan diseminasi teknologi dilakukan dengan metode pertemuan partisipatif dan pelayanan informasi melalui klinik agribisnis. Pertemuan partisipatif dilakukan oleh tim Primatani baik melalui pertemuan berkala kelompok tani atau gapoktan maupun pembinaan secara langsung ke kebun milik petani. Pembinaan yang dilakukan adalah seputar masalah teknis budidaya dan penanganan panen dan pasca panen. Selain pertemuan yang bersifat partisipatif, pelatihan juga diadakan oleh tim Primatani Kota Depok untuk memudahkan petani dalam mengadopsi teknologi, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani. Pelatihan diikuti oleh perwakilan dari masing-masing kelompok tani maksimal sebanyak 40 orang petani. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani, selain dengan pertemuan partisipatif dan pelatihan, Primatani Kota Depok juga membina petani dengan melakukan kegiatan studi banding. Studi banding dilakukan ke wilayah lain agar wawasan petani semakin bertambah baik dalam hal teknik budidaya maupun kelembagaan tani. Studi banding yang telah dilakukan oleh Gapoktan Patih Jaya meliputi dua kegiatan diantaranya adalah studi banding ke Balai Penelitian Tanaman Industri (Balittri) yang berlokasi di Pakuwon Kabupaten Sukabumi dan Primatani Desa Citarik, Kabupaten Karawang. Studi banding ke Balittri meliputi kegiatan lapangan dan laboratorium untuk melihat dan mempelajari proses pengolahan dan pemanfaatan tanaman jarak. Pelaksanaan

84 studi banding ini diikuti oleh perwakilan dari masing-masing kelompok tani, ketua Gapoktan Patih Jaya dan didampingi dengan PPL dari wilayah Kelurahan Pasir Putih. Kegiatan diseminasi lain yang dilakukan di lokasi Primatani adalah penumbuhan Klinik Agribisnis. Klinik Agribisnis adalah salah satu lembaga pelayanan jasa konsultan, diseminasi dan informasi yang terkait dengan pengembangan AIP. Klinik ini dapat dimanfaatkan oleh petani sebagai wadah untuk menampung permasalahan dan ketersediaan inovasi teknologi pertanian yang dibutuhkan oleh para pelaku agribisnis. Informasi yang diperoleh dari tim Primatani Kota Depok, pelayanan informasi melalui Klinik Agribisnis dilakukan dengan dua kegiatan utama. Diantaranya adalah penyebaran informasi teknologi dan pemberian jasa konsultasi usahatani. Penumbuhan Klinik Agribisnis yang terdapat di lokasi Primatani Kota Depok, dirancang dengan memanfaatkan sumberdaya setempat seoptimal mungkin. Menurut tim Primatani Kota Depok, Klinik Agribisnis dibangun secara swadaya agar petani merasa memiliki sarana tersebut. Klinik Agribisnis di lokasi Primatani Kota Depok juga berfungsi sebagai kantor Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Sawangan, Kota Depok dan sekretariat Gapoktan Patih Jaya. Hingga akhir tahun 2008, Klinik Agribisnis belum berfungsi secara optimal. Klinik Agribisnis baru difungsikan sebagai tempat konsultasi agribisnis, namun belum seluruh petani memanfaatkan sarana ini. Rintisan kawasan agrowisata di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan Kota Depok, juga merupakan salah satu kegiatan diseminasi teknologi yang dilakukan di lokasi Primatani. Kawasan agrowisata mulai dirintis sejak awal tahun Komoditas yang terpilih menjadi komoditas utama dan unggulan adalah belimbing dan jambu biji merah. Sebagai upaya untuk mewujudkan kawasan agrowisata di lokasi penerapan Primatani Kota Depok, Pemerintah Kota Depok melalui Dinas Pertanian Kota Depok telah membangun gapura yang berada di perbatasan antara Kelurahan Pasir Putih dengan Kelurahan Sawangan Baru sebagai pintu gerbang masuk ke kawasan agrowisata. Kawasan agrowisata di lokasi Primatani Kota Depok diciptakan dengan tujuan agar keberadaan kebun buah terutama belimbing dan jambu biji di

85 Kelurahan Pasir Putih tetap lestari dan tidak terjadi alih fungsi lahan pertanian. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh kegiatan Primatani yakni menciptakan lingkungan yang lestari. Selain itu, alasan lain di kembangkannya kawasan agrowisata ini adalah sebagai sarana bagi para pengunjung untuk dapat mempelajari teknologi-teknologi yang terkait dengan komoditas belimbing dan jambu biji merah.

86 VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA PESERTA PRIMATANI KOTA DEPOK Analisis pendapatan usahatani digunakan untuk mengetahui gambaran umum mengenai struktur biaya, penerimaan dan pendapatan dari kegiatan usahatani yang dijalankan. Metode yang digunakan dalam melakukan analisis pendapatan usahatani Belimbing Dewa ini adalah dengan cara membandingkan antara pendapatan petani peserta Primatani dengan petani non peserta Primatani yang masing-masing berjumlah 30 orang responden. Pembahasan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok umur pohon 5-9 tahun dan tahun. Analisis pendapatan usahatani ini menggunakan hasil perhitungan rata-rata dari responden petani Primatani dan non Primatani dengan luas lahan satu hektar dalam periode satu tahun atau tiga kali musim panen. Hasil dari analisis pendapatan Belimbing Dewa ini diharapkan dapat menjadi gambaran umum mengenai pengaruh inovasi teknologi di lokasi Primatani Kota Depok terhadap pendapatan yang diperoleh petani dari hasil budidaya Belimbing Dewa Penggunaan Sarana Produksi dalam Usahatani Belimbing Dewa Berikut ini akan dijelaskan penggunaan sarana produksi yang digunakan dalam usahatani Belimbing Dewa baik pada petani Primatani maupun non Primatani. Jenis sarana produksi yang digunakan antara petani Primatani dan non Primatani relatif sama. Sarana produksi yang digunakan adalah pupuk, pestisida, pembungkus buah, tenaga kerja dan alat-alat pertanian Penggunaan Pupuk Pupuk yang digunakan oleh petani responden peserta Primatani dan non Primatani antara lain adalah pupuk organik (pupuk kandang), pupuk anorganik (pupuk NPK) dan pupuk cair (Gandasil B). Ketiga jenis pupuk yang digunakan petani tersebut dibeli petani di kios penjualan sarana produksi pertanian yang ada di masing-masing lokasi penelitian. Dosis penggunaan pupuk kandang tiap-tiap petani responden Primatani dan non Primatani berkisar antara kilogram per pohon dalam satu kali pemupukan yang diberikan dua atau empat bulan sekali. Hal ini tergantung dari sumberdaya yang dimiliki oleh masing-masing petani responden. Sedangkan dosis

87 penggunaan pupuk kandang yang sesuai dengan SOP Belimbing Dewa adalah kilogram per pohon per sekali pemupukan yang diberikan tiap empat bulan sekali. Penggunaan rata-rata pupuk kandang untuk luas lahan satu hektar dalam satu tahun pada petani Primatani dan non Primatani tidak jauh berbeda. Petani Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun yang jumlah rata-rata pohon dalam satu hektarnya sebanyak 266 pohon, menggunakan pupuk kandang sebanyak ,05 kilogram per tahun. Sedangkan untuk petani non Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun, menggunakan pupuk kandang sebanyak ,83 kilogram per hektar per tahun (294 pohon). Jumlah pemakaian pupuk kandang dalam sekali kegiatan pemupukan yang dilakukan oleh petani Primatani lebih besar jika dibandingkan dengan petani non Primatani. Jumlah rata-rata pupuk kandang yang digunakan petani Primatani untuk satu pohon dalam sekali pemupukan adalah 36,20 kilogram, sedangkan pada petani non Primatani sebesar 32,07 kilogram. Sementara untuk pupuk NPK, penggunaan rata-rata per pohon per sekali pemupukan adalah 0,72 kilogram untuk petani Primatani dan 0,70 kilogram untuk petani non Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun. Pemakaian ini telah sesuai SOP Belimbing Dewa yaitu 0,7-1 kilogram per sekali pemupukan. Dalam satu tahun, untuk umur pohon 5-9 tahun, penggunaan pupuk NPK pada petani Primatani dan non Primatani masing-masing sebesar 577,72 kilogram dan 619,24 kilogram. Selain pupuk kandang dan pupuk NPK yang diberikan di dekat perakaran tanaman, petani di kedua lokasi penelitian juga rutin menyemprotkan pupuk cair pada tanaman belimbing. Pupuk cair yang digunakan adalah pupuk Gandasil B yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan bunga. Dosis pemakaian pupuk Gandasil B pada petani Primatani maupun non Primatani telah sesuai dengan dosis yang dianjurkan, yakni sebanyak satu gram per liter air. Pupuk ini disemprotkan ke tanaman belimbing tiap dua minggu sekali selama dua bulan berturut-turut dalam satu kali musim panen. Artinya dalam satu kali musim panen, penyemprotan pupuk Gandasil B dapat dilakukan sebanyak empat kali. Penggunaan pupuk Gandasil B pada petani Primatani dengan umur pohon 5-9

88 tahun dalam satu hektar per tahun adalah sebanyak 6.383,63 gram sedangkan untuk petani non Primatani sebanyak 7.061,92 gram. Jumlah penggunaan rata-rata pupuk kandang dan NPK untuk satu kali pemupukan pada tanaman belimbing dengan umur pohon tahun tidak jauh berbeda dengan tanaman belimbing yang berumur 5-9 tahun. Dari hasil perhitungan rata-rata, dalam satu hektar kebun belimbing petani Primatani dengan umur pohon tahun, terdapat pohon belimbing sejumlah 283 pohon. Sedangkan pada petani non Primatani, satu hektar kebun belimbing terdapat 420 pohon. Perbedaan ini disebabkan karena jarak tanam yang digunakan tiap-tiap petani pada responden non Primatani jauh lebih rapat. Petani Primatani dengan umur pohon belimbing tahun menggunakan pupuk kandang, pupuk NPK dan pupuk Gandasil B per tahun adalah sebanyak ,59 kilogram, 614,48 kilogram dan 6.785,79 gram. Sedangkan pupuk kandang, NPK dan Gandasil B yang digunakan oleh petani non Primatani dalam periode tiga kali musim panen sebesar ,26 kilogram, 774,35 kilogram dan ,91 gram Penggunaan Pestisida Pestisida adalah salah satu input atau sarana produksi yang digunakan pula oleh petani dalam kegiatan usahatani Belimbing Dewa baik oleh peserta Primatani maupun non Primatani. Pengaruh penggunaan pestisida yang tepat akan sangat terlihat pada penurunan populasi hama dan penyakit tanaman, termasuk pada tanaman Belimbing Dewa. Pestisida yang umumnya digunakan oleh petani peserta Primatani dan non Primatani diantaranya adalah dengan merek dagang Decis 2,5 EC, Curacron 500 EC dan Dursban 20 EC. Penggunaan ketiga jenis pestisida tersebut dilakukan dengan cara disemprotkan ke permukaan daun dan batang tanaman. Penyemprotan dilakukan pada pagi atau sore hari. Teknik budidaya dan perawatan tanaman belimbing antara petani Primatani dan non Primatani relatif hampir sama, begitu pula dengan frekuensi penyemprotan pestisida. Rata-rata penyemprotan pestisida di kedua lokasi penelitian dilakukan dua kali dalam satu minggu dan kegiatan tersebut berlangsung selama dua bulan berturut-turut dalam satu kali musim panen. Ini berarti, dalam satu kali musim panen petani Primatani dan non Primatani

89 melakukan penyemprotan pestisida sebanyak 16 kali dengan konsentrasi satu milliliter per satu liter air. Walaupun frekuensi penyemprotan yang dilakukan oleh petani Primatani dan non Primatani adalah sama, namun jenis pestisida yang digunakan berbeda-beda tergantung kebiasaan dari masing-masing petani. Cara penggunaan pestisida antara petani responden satu dengan petani responden yang lain juga tidak sama. Terdapat beberapa petani yang mencampur ketiga jenis pestisida yaitu Decis, Curacron dan Dursban dalam satu adukan kemudian disemprotkan, namun ada pula petani yang menggunakan beberapa jenis pestisida secara bergantian. Dari hasil wawancara dengan PPL di lokasi penelitian setempat, cara penggunaan pestisida yang tepat adalah dengan tidak mencampur beragam jenis pestisida dalam satu adukan. Pestisida yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan jenis serangan HPT yang terjadi pada tanaman. Mencampur beragam jenis pestisida dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Namun hal ini dilakukan oleh petani dengan alasan untuk lebih menghemat biaya pestisida yang dikeluarkan. Tabel 13 menyajikan data mengenai penggunaan pestisida oleh petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon belimbing 5-9 tahun. Dari Tabel 13 tersebut, petani Primatani lebih dominan menggunakan pestisida Decis dan Curacron. Sedangkan petani non Primatani lebih cenderung menggunakan pestisida Curacron dan Dursban. Tabel 13. Penggunaan Pestisida pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Pestisida Penggunaan (milliliter/hektar/tahun) Primatani Non Primatani Decis , ,84 Curacron , ,31 Dursban 1.998, ,54 Penggunaan pestisida oleh petani dengan umur pohon tahun dapat dilihat pada Tabel 14. Dalam tiga kali musim panen, penggunaan pestisida terbesar pada petani Primatani dan non Primatani adalah pestisida dengan merek Curacron. Sedangkan penggunaan pestisida terkecil pada petani Primatani yaitu pestisida Dursban dan petani non Primatani adalah pestisida Decis.

90 Tabel 14. Penggunaan Pestisida pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Pestisida Pemakaian (milliliter/hektar/tahun) Primatani Non Primatani Decis , ,04 Curacron , ,88 Dursban 1.883, ,70 Selain pestisida yang disemprotkan langsung ke tanaman belimbing, petani di lokasi Primatani dan non Primatani juga telah mulai menggunakan perangkap lalat buah dengan zat feromon yaitu methyl eugenol atau biasa dikenal dengan merek dagang Petrogenol 800 L. Satu kemasan Petrogenol yang dijual di pasaran dengan harga Rp 7000 berisi lima milliliter cairan methyl eugenol. Perangkap lalat buah dibuat dari kemasan air mineral ukuran 600 milliliter yang telah dilubangi dan diberi kapas yang telah ditetesi zat feromon (petrogenol). Kapas yang ditetesi zat feromon harus diganti secara rutin dalam dua minggu sekali. Namun pada kenyataannya, petani responden terutama petani peserta Primatani malas untuk mengganti kapas yang terdapat pada perangkap lalat buah tersebut, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kembali serangan lalat buah yang dapat menurunkan produksi Belimbing Dewa. Satu kemasan petrogenol lima milliliter dapat digunakan untuk membuat tiga perangkap lalat buah. Kerapatan perangkap lalat buah yang dianjurkan sesuai SOP Belimbing Dewa adalah buah perangkap per hektar. Rata-rata penggunaan petrogenol pada petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun per hektar dalam satu tahun adalah 310,33 milliliter dan 309,68 milliliter dengan jumlah perangkap per hektar masing-masing untuk petani Primatani dan non Primatani sebanyak 15 dan 16 buah. Sedangkan jumlah rata-rata perangkap buah yang digunakan petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon tahun adalah 28 dan 25 buah dengan total penggunaan petrogenol 556,48 milliliter dan 503,70 milliliter per tahun Penggunaan Bahan Pembungkus Buah Ada dua jenis bahan pembungkus yang digunakan oleh peserta Primatani dan non Primatani. Dua jenis bahan pembungkus buah itu antara lain adalah kertas karbon dan plastik mulsa hitam perak. Tabel 15 menyajikan data mengenai

91 penggunaan bahan pembungkus yang digunakan oleh petani responden peserta Primatani dan non Primatani. Tabel 15. Penggunaan Kertas Karbon dan Plastik Mulsa pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok pada Tahun 2008 Jenis Umur Pohon 5-9 Tahun (lembar/hektar/tahun) Umur Pohon Tahun (lembar/hektar/tahun) Pembungkus Primatani Non Primatani Primatani Non Primatani Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Karbon , , ,70 Mulsa , , ,30 Total , , , ,00 Dari Tabel 15, dapat dilihat bahwa petani Primatani baik yang memiliki pohon dengan umur 5-9 tahun maupun tahun, lebih dominan menggunakan plastik mulsa hitam perak sebagai bahan pembungkus buah. Berbeda halnya dengan petani peserta Primatani, petani responden non peserta Primatani masih mengandalkan kertas karbon sebagai bahan pembungkus buah. Plastik mulsa hitam perak mulai digunakan petani Primatani sejak tahun Salah satu permasalahan yang terjadi sebelum Primatani hadir di Kota Depok adalah mulai terbatasnya kertas karbon di pasaran sebagai bahan pembungkus buah belimbing. Oleh sebab itu, tim Primatani mengintroduksikan plastik mulsa hitam perak sebagai pengganti kertas karbon yang dapat digunakan dalam kegiatan pembungkusan buah belimbing. Plastik mulsa dipilih karena penggunaannya lebih ekonomis dan mudah ditemukan di pasaran. Menurut tim Primatani Kota Depok, plastik mulsa dapat digunakan maksimal selama tiga tahun atau dalam sembilan kali musim panen. Sedangkan kertas karbon hanya dapat digunakan maksimal lima kali musim panen saja. Disamping itu, jika dilihat dari segi kualitas buah yang dihasilkan juga tidak jauh berbeda antara buah yang dibungkus dengan kertas karbon dan buah yang dibungkus dengan plastik mulsa. Penggunaan plastik mulsa juga mulai diikuti oleh petani di lokasi non Primatani. Masalah keterbatasan kertas karbon sebagai bahan pembungkus buah, ternyata tidak hanya dialami oleh petani Primatani saja, namun juga menjadi kendala bagi petani non Primatani. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang telah diterima para petani peserta Primatani, Dinas Pertanian Kota Depok dibantu PPL setempat menyarankan kepada para petani non peserta Primatani untuk turut

92 mencoba menggunakan plastik mulsa sebagai bahan pembungkus buah belimbing dalam mengatasi kelangkaan kertas karbon Penggunaan Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan oleh peserta Primatani dan non Primatani adalah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK). Semua kegiatan budidaya Belimbing Dewa yang dilakukan di lokasi penelitian dikerjakan seluruhnya oleh tenaga kerja laki-laki. Penggunaan tenaga kerja baik TKDK maupun TKLK diperlukan dalam kegiatan pemupukan, pemangkasan, sanitasi kebun, penyemprotan pestisida, pembungkusan dan penjarangan buah serta pemanenan. Jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam analisis usahatani Belimbing Dewa menggunakan satuan HOK (Hari Orang Kerja). Jumlah jam kerja di lokasi Primatani dan non Primatani berkisar delapan jam per hari. Jam kerja dimulai dari pukul kemudian dilanjutkan pada pukul yang dihitung sebagai satu HOK. Upah untuk satu HOK di lokasi Primatani dan non Primatani sebesar Rp Pada Tabel 16 disajikan data mengenai penggunaan TKDK pada petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun. Penggunaan TKDK pada petani non Primatani lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan TKDK oleh petani Primatani. Hal ini disebabkan perbedaan jumlah pohon ratarata dalam luasan kebun satu hektar antara petani Primatani dan non Primatani. Jarak tanam yang digunakan petani non Primatani lebih rapat sehingga jumlah pohon yang ditanam dalam luasan kebun yang sama pun akan lebih banyak. Sedangkan persentase penggunaan TKDK yang terbesar pada petani Primatani dan non Primatani terdapat pada kegiatan pembungkusan buah dan penjarangan buah. Untuk kegiatan ini petani Primatani memerlukan 25,24 HOK dan petani non Primatani memerlukan 33,27 HOK dalam satu tahun dengan luasan lahan satu hektar.

93 Tabel 16. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Kegiatan Primatani Non Primatani HOK/hektar/tahun % HOK/hektar/tahun % Pemupukan 3,64 6,55 3,35 5,25 Pemangkasan 2,63 4,73 2,18 3,42 Sanitasi Kebun 2,96 5,33 3,34 5,24 Penyemprotan Pestisida 13,41 24,13 14,45 22,66 Pembungkusan dan Penjarangan Buah 25,24 45,42 33,27 52,16 Pemanenan 7,69 13,84 7,19 11,27 Total 55,57 100,00 63,78 100,00 Tidak jauh berbeda dengan petani yang memiliki pohon dengan umur 5-9 tahun, petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon tahun juga menggunakan TKDK paling banyak untuk kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah. Sedangkan untuk penggunaan TKDK terkecil pada petani Primatani, terdapat pada kegiatan sanitasi kebun (2,48 HOK) dan pada petani non Primatani terdapat pada kegiatan pemangkasan (3,05 HOK). Penggunaan TKDK pada petani responden dengan umur pohon tahun dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Kegiatan Primatani Non Primatani HOK/hektar/tahun % HOK/hektar/tahun % Pemupukan 3,21 5,25 3,51 4,89 Pemangkasan 2,60 4,26 2,19 3,05 Sanitasi Kebun 2,48 4,06 2,97 4,13 Penyemprotan Pestisida 12,46 20,40 15,16 21,09 Pembungkusan dan Penjarangan Buah 30,46 49,87 37,26 51,84 Pemanenan 9,87 16,16 10,78 15,00 Total 61,08 100,00 71,87 100,00 Selain menggunakan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga, petani Primatani dan non Primatani tentunya juga mempekerjakan orang dari luar kelurganya untuk membantu menyelesaikan kegiatan budidaya tanaman Belimbing Dewa. Pada Tabel 18, disajikan data mengenai penggunaan TKLK pada budidaya Belimbing Dewa dengan umur pohon 5-9 tahun.

94 Tabel 18. Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Kegiatan Primatani Non Primatani HOK/hektar/tahun % HOK/hektar/tahun % Pemupukan 38,24 4,55 32,14 3,77 Pemangkasan 28,07 3,34 20,50 2,40 Sanitasi Kebun 25,23 3,00 30,56 3,58 Penyemprotan Pestisida 95,02 11,32 115,64 13,56 Pembungkusan dan Penjarangan Buah 565,51 67,35 562,76 66,00 Pemanenan 87,61 10,43 90,99 10,67 Total 839,68 100,00 852,59 100,00 Serupa dengan penggunaan TKDK, penggunaan TKLK terbesar pada petani Primatani dan non Primatani terdapat pada kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah. Pada pohon belimbing dengan kisaran umur 5-9 tahun, dalam satu pohon terdapat 300 hingga 450 buah yang harus dibungkus. Untuk itu wajar jika petani membutuhkan banyak tenaga kerja pada saat kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah. Tenaga kerja yang telah mahir melakukan kegiatan tersebut dalam sehari dapat menyelesaikan rata-rata sebanyak 400 hingga 500 buah. Lebih dari 60 persen dari total penggunaan TKLK tercurahkan untuk kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah baik pada petani Primatani dan non Primatani. TKLK terbesar kedua digunakan dalam menyelesaikan kegiatan penyemprotan pestisida. Petani Primatani menggunakan 95,02 HOK dan petani non Primatani menggunakan 115,64 HOK dalam kegiatan penyemprotan pestisida yang dilakukan sebanyak 48 kali dalam satu tahun. Penggunaan TKLK pada petani Primatani dan non Primatani kelompok umur pohon belimbing tahun dapat dilihat pada Tabel 19. Total penggunaan TKLK pada petani Primatani adalah sebanyak 1.239,27 HOK dan pada petani non Primatani 1.541,02 HOK. Total buah yang harus dibungkus pada tanaman belimbing yang berumur tahun dalam satu pohon adalah sebanyak 450 hingga 600 buah. Jumlah ini tentu lebih banyak jika dibandingkan dengan tanaman belimbing pada umur 5-9 tahun. Hal ini disebabkan karena semakin tua umur pohon belimbing, maka buah yang dihasilkanpun akan semakin banyak. Inilah yang menyebabkan 70,56 persen (874,42 HOK) dari total penggunaan TKLK per hektar per tahun petani Primatani tercurahkan untuk kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah. Sedangkan

95 untuk petani non Primatani membutuhkan TKLK yang lebih banyak yaitu 1.050,26 HOK atau 68,15 persen dari total TKLK untuk menyelesaikan kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah belimbing dalam satu tahun. Tabel 19. Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Kegiatan Primatani Non Primatani HOK/hektar/tahun % HOK/hektar/tahun % Pemupukan 41,27 3,33 54,69 3,55 Pemangkasan 38,22 3,08 30,72 1,99 Sanitasi Kebun 34,13 2,75 37,47 2,43 Penyemprotan Pestisida 112,66 9,09 161,74 10,49 Pembungkusan dan Penjarangan Buah 874,42 70, ,26 68,15 Pemanenan 138,57 11,18 206,14 13,38 Total 1.239,27 100, ,02 100,00 Untuk luasan lahan yang sama yakni satu hektar, rata-rata petani Primatani dengan umur pohon tahun memiliki pohon dengan jumlah 283 pohon sedangkan petani non Primatani rata-rata pohonnya berjumlah 420 pohon. Maka tentu saja dari setiap kegiatan budidaya tanaman belimbing pada petani non Primatani membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Namun, jika dilihat pada Tabel 19, pada kegiatan pemangkasan petani Primatani mencurahkan TKLK yang lebih banyak (38,22 HOK) dibandingkan dengan petani non Primatani (30,72 HOK). Hal ini disebabkan karena masing-masing responden petani Primatani lebih rutin memangkas pohon belimbing mereka. Sebagian besar petani Primatani melakukan pemangkasan pohon belimbing di setiap kali musim panen atau tiga kali dalam satu tahun. Sedangkan pada responden petani non Primatani, beberapa petani melakukan kegiatan pemangkasan tidak di setiap musim panen tetapi hanya melakukannya dua kali dalam satu tahun Penggunaan Alat Pertanian Alat-alat pertanian yang digunakan pada usahatani Belimbing Dewa petani peserta Primatani maupun non Primatani antara lain adalah cangkul, parang, garu, gunting stek, hand sprayer, keranjang dan tangga. Peralatan yang digunakan oleh petani responden adalah milik sendiri. Petani tidak selalu membeli alat-alat pertanian yang mereka gunakan di setiap musim panen, hal ini dikarenakan alat pertanian tersebut masih dapat digunakan lebih dari satu kali musim panen.

96 Biaya penyusutan peralatan pertanian yang digunakan dalam usahatani Belimbing Dewa dibebankan ke dalam biaya diperhitungkan. Pembebanan penyusutan peralatan pertanian ini dihitung dengan menggunakan metode garis lurus (straight line method) dengan asumsi peralatan setelah umur teknis tidak dapat digunakan lagi dan tidak dapat dijual kembali Biaya Usahatani Belimbing Dewa Analisis biaya pada usahatani Belimbing Dewa petani Primatani dan non Primatani dibagi menjadi dua yaitu biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel adalah biaya yang nilainya dipengaruhi oleh besarnya produksi Belimbing Dewa yang dihasilkan. Sedangkan biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak ditentukan oleh besarnya produksi yang dihasilkan. Biaya variabel pada usahatani Belimbing Dewa baik pada petani Primatani dan non Primatani diantaranya adalah biaya pupuk, biaya pestisida, biaya bahan pembungkus buah dan biaya tenaga kerja (TKDK dan TKLK). Sementara yang digolongkan ke dalam jenis biaya tetap dalam usahatani Belimbing Dewa antara lain adalah biaya pajak lahan, biaya penyusutan alat-alat pertanian dan biaya bibit. Biaya variabel dan biaya tetap yang dibebankan kepada petani baik Primatani maupun non Primatani ada yang bersifat tunai dan ada yang bersifat tidak tunai (diperhitungkan). Pembagian jenis biaya tunai dan diperhitungkan ini dinilai penting karena analisis pendapatan yang dilakukan pada penelitian ini juga dibagi menjadi dua yaitu pendapatan berdasarkan biaya tunai dan pendapatan berdasarkan biaya total (biaya tunai dan biaya diperhitungkan). Biaya tunai dalam usahatani Belimbing Dewa ini terdiri dari biaya penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida, biaya penggunaan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga (TKLK) serta biaya pajak lahan yang dibebankan kepada petani tiap tahunnya. Sedangkan biaya yang termasuk biaya diperhitungkan diantaranya adalah biaya penyusutan bahan pembungkus buah, biaya tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga (TKDK), biaya penyusutan alat-alat pertanian dan biaya bibit. Besarnya biaya baik biaya variabel maupun biaya tetap tergantung dari jumlah pemakaian sarana produksi dan harga per satuan dari sarana produksi

97 tersebut. Harga yang digunakan dalam analisis biaya usahatani adalah biaya ratarata dari setiap responden Primatani dan non Primatani Biaya Variabel Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa biaya penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida termasuk jenis biaya variabel karena besarnya sangat ditentukan pada produksi buah Belimbing Dewa yang dihasilkan. Pada Tabel 20 disajikan data biaya pupuk dan pestisida per hektar per tahun yang dibebankan kepada petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun. Sedangkan biaya pupuk dan pestisida pada petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon tahun disajikan pada Tabel 21. Tabel 20. Biaya Pupuk dan Pestisida pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Sarana Produksi (satuan pemakai an) Pupuk Kandang (kg) Pupuk NPK (kg) Pupuk Gandasil B (gr) Pestisida Decis (ml) Pestisida Curacron (ml) Pestisida Dursban (ml) Petro genol (ml) Harga (Rp/ satuan) Jumlah (satuan/ hektar/ tahun) Primatani Biaya (Rp/hektar/ tahun) % Harga (Rp/ satuan Non Primatani Jumlah (satuan/ hektar/ tahun) Biaya (Rp/hektar/ tahun) 240, , ,00 38,72 261, , ,55 39, ,41 577, ,74 33, ,45 619, ,46 34,92 47, , ,66 1,68 46, , ,52 1,76 160, , ,20 10,46 160, , ,40 1,98 180, , ,60 11,84 180, , ,80 14,97 80, , ,60 0,89 80, , ,20 4, ,00 310, ,00 2, ,00 309, ,00 2,32 Total ,80 100, ,90 100,00 Total biaya pupuk dan pestisida yang dikeluarkan petani non Primatani pada usahatani Belimbing Dewa dengan umur pohon 5-9 tahun lebih besar bila dibandingkan dengan petani Primatani. Hal ini disebabkan karena jumlah pohon yang ditanam oleh petani non Primatani dalam luas lahan satu hektar (294 pohon) lebih banyak jika dibandingkan jumlah pohon yang ditanam oleh petani Primatani (266 pohon). Proporsi terbesar dari total biaya pupuk dan pestisida tersebut ada pada biaya penggunaan pupuk kandang. Pupuk kandang selain berfungsi %

98 memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah juga mengandung unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman Belimbing Dewa. Menurut Marsono dan Sigit (2001) pupuk kandang aman digunakan dalam jumlah besar untuk beragam jenis tanaman buah, bahkan dalam pertanian organik sumber utama hara berasal dari pupuk kandang. Jika untuk biaya pupuk yang harus dikeluarkan petani peserta Primatani maupun non Primatani yang terbesar adalah pada biaya pupuk kandang, maka untuk biaya pestisida yang paling besar persentasenya baik pada petani peserta Primatani dan non Primatani adalah biaya untuk pestisida Curacron. Hal ini menunjukkan bahwa pada petani responden di kedua lokasi lebih banyak menggunakan pestisida Curacron dibandingkan Decis dan Dursban untuk mengatasi HPT pada tanaman belimbing. Besarnya biaya pupuk dan pestisida rata-rata pada petani Primatani dan non Primatani per hektar per tahun dengan umur pohon tahun disajikan pada Tabel 21. Sama halnya dengan petani responden dengan umur pohon 5-9 tahun, total biaya pupuk dan pestisida petani non Primatani dengan umur pohon tahun lebih besar jika dibandingkan dengan petani Primatani. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan petani non Primatani untuk sarana produksi pupuk dan pestisida adalah Rp ,37, sedangkan untuk petani Primatani sebesar Rp ,99. Perbedaan biaya pupuk dan pestisida yang cukup besar antara petani peserta Primatani dan non Primatani ini disebabkan karena jarak tanam yang mereka gunakan dalam menanam pohon belimbing berbeda-beda. Peserta Primatani lebih dominan menggunakan jarak tanam (6 x 6) meter sedangkan petani non peserta Primatani lebih banyak menggunakan jarak tanam pohon yang lebih rapat, yakni (5 x 5) meter atau (4 x 4) meter. Perbedaan jarak tanam ini mengakibatkan jumlah pohon yang ditanam oleh petani non Primatani dalam satu hektar (420 pohon) lebih banyak dibandingkan dengan petani Primatani (283 pohon). Hal ini tentunya akan mempengaruhi jumlah biaya sarana produksi seperti pupuk dan pestisida yang dikeluarkan oleh petani. Jumlah biaya sarana produksi dipengaruhi banyaknya pohon yang ditanam oleh petani karena pada tanaman

99 buah seperti belimbing, pemeliharaan tanaman dan pemberian pupuk maupun pestisida dilakukan per pohon. Tabel 21. Biaya Pupuk dan Pestisida pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Sarana Produksi Pupuk Kandang (kg) Pupuk NPK (kg) Pupuk Gandasil B (gr) Pestisida Decis (ml) Pestisida Curacron (ml) Pestisida Dursban (ml) Petro genol (ml) Harga (Rp/ satuan) Jumlah (satuan/ hektar/ tahun) Primatani Biaya (Rp/hektar/ tahun) % Harga (Rp/ satuan) Non Primatani Jumlah (satuan/ hektar/ tahun) Biaya (Rp/hektar/ tahun) 240, , ,60 36,48 269, , ,05 40, ,31 614, ,65 32, ,05 774, ,07 31,46 46, , ,34 1,72 47,89 10, ,45 1,88 160, , ,40 8,89 160, , , , , ,20 14,98 180, , ,40 16,54 80, , ,80 0,83 80, , , ,00 556, ,00 4, ,00 503, , Total ,99 100, ,37 100,00 Persentase terbesar yang harus dikeluarkan oleh petani Primatani pada biaya pupuk dan pestisida dengan umur pohon tahun adalah untuk biaya pupuk kandang (Rp ,60). Sedangkan persentase terkecil adalah untuk pestisida Dursban (Rp ,80). Hal ini menunjukkan bahwa petisida Dursban lebih sedikit digunakan oleh petani Primatani. Petani peserta Primatani dengan umur pohon tahun lebih banyak menggunakan petisida Curacron dan Decis untuk mengatasi HPT belimbing seperti ulat daun dan kutu putih. Sama halnya dengan petani peserta Primatani, petani non peserta Primatani juga paling banyak mengeluarkan biaya untuk pupuk kandang. Dari total biaya pupuk dan pestisida yang dikeluarkan (Rp ,37), 40,67 persen diantaranya dikeluarkan untuk biaya pupuk kandang. Dari data yang tertera pada Tabel 20 dan 21, pupuk kandang adalah sarana produksi yang paling banyak digunakan pada budidaya Belimbing Dewa baik oleh petani Primatani maupun non Primatani. Hal ini serupa dengan yang dikemukakan Zamani (2008). Dalam penelitian Zamani (2008), biaya pupuk kandang dalam budidaya belimbing petani SOP dan non SOP merupakan biaya sarana produksi yang paling besar jika %

100 dibandingkan dengan biaya pupuk NPK dan insektisida. Biaya pupuk dan pestisida yang tergolong ke dalam biaya variabel ini, nantinya akan dimasukkan ke dalam biaya tunai dalam perhitungan analisis pendapatan usahatani. Selain pupuk dan pestisida, sarana produksi lain yang digunakan dalam usahatani Belimbing Dewa adalah bahan pembungkus buah. Biaya bahan pembungkus buah digolongkan ke dalam biaya variabel karena besarnya tergantung dari produksi Belimbing Dewa tiap tahunnya. Biaya pembungkus buah ini dihitung sebagai biaya penyusutan. Hal ini dikarenakan, tidak setiap musim panen petani membeli bahan pembungkus yang baru untuk membungkus buah belimbing. Jika bahan pembungkus buah dari musim panen sebelumnya masih dapat digunakan, maka petani masih menggunakan bahan pembungkus buah dari musim panen sebelumnya. Dari total seluruh buah yang harus dibungkus oleh petani Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun dalam satu tahun ( buah), petani Primatani dibebankan biaya penyusutan bahan pembungkus plastik mulsa sebesar Rp ,16 dan kertas karbon Rp ,64. Sedangkan untuk petani non Primatani yang dalam setahun terhitung membungkus buah dibebankan biaya penyusutan plastik mulsa sebesar Rp ,36 dan kertas karbon Rp ,32. Pada petani Primatani dengan umur pohon tahun, dari total seluruh buah yang dibungkus dalam satu hektar untuk satu tahun ( buah), biaya penyusutan untuk kertas karbon dan plastik mulsa masing-masing senilai Rp ,14 dan Rp Sedangkan pada petani non peserta Primatani dengan umur pohon tahun, rata-rata dari total buah yang dibungkus yaitu buah, biaya yang dibebankan untuk penyusutan kertas karbon dan plastik mulsa adalah senilai Rp ,05 dan Rp ,81. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa bahan pembungkus yang paling banyak digunakan oleh petani peserta Primatani adalah plastik mulsa hitam perak. Selain karena kertas karbon yang sudah mulai langka di pasaran, hal ini disebabkan juga karena tim Primatani Kota Depok menyarankan kepada petani untuk lebih memilih menggunakan plastik mulsa sebagai bahan pembungkus buah. Alasan plastik mulsa diintroduksikan oleh tim Primatani sebagai alternatif

101 pengganti kertas karbon dikarenakan plastik mulsa dinilai lebih ekonomis. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari tim Primatani Kota Depok, plastik mulsa dapat digunakan rata-rata maksimal selama tiga tahun (sembilan kali musim panen). Sedangkan kertas karbon hanya dapat digunakan maksimal untuk lima kali musim panen. Penggunaan plastik mulsa tidak hanya digunakan oleh peserta Primatani saja, melainkan non peserta Primatani juga mulai menggunakan bahan ini sejak keberadaan kertas karbon mulai sulit diperoleh. Petani non Primatani mendapatkan arahan dari PPL lokasi setempat mengenai penggunaan plastik mulsa yang telah lebih dahulu digunakan oleh petani peserta Primatani. Oleh karena itu, untuk menghindari keterlambatan kegiatan pembungkusan buah yang dapat mengakibatkan turunnya jumlah produksi belimbing, petani non Primatani juga mulai menggunakan bahan pembungkus buah dari plastik mulsa hitam perak walaupun sebagian petani masih ada yang memanfaatkan kertas kabon. Biaya penyusutan bahan pembungkus ini dalam analisis pendapatan usahatani Belimbing Dewa akan digolongkan ke dalam biaya diperhitungkan. Faktor produksi lain yang digolongkan ke dalam biaya variabel adalah biaya tenaga kerja baik TKDK maupun TKLK. Pada Tabel 22 disajikan informasi mengenai penggunaan biaya TKDK per hektar per tahun pada petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun. Tabel 22. Kegiatan Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun 2008 HOK/ hektar/ tahun Primatani Biaya (Rp/hektar/ tahun) % HOK/ hektar/ tahun Non Primatani Biaya (Rp/hektar/ tahun) Pemupukan 3, ,55 3, ,25 Pemangkasan 2, ,73 2, ,42 Sanitasi Kebun 2, ,33 3, ,24 Penyemprotan Pestisida 13, ,13 14, ,66 Pembungkusan dan Penjarangan Buah 25, ,42 33, ,16 Pemanenan 7, ,84 7, ,27 Total 55, ,00 63, ,00 Sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan input produksi tanaman belimbing sangat ditentukan dari jumlah pohon yang ditanam. Begitu pula halnya dengan penggunaan tenaga kerja, perbedaan biaya TKDK %

102 antara petani Primatani dan non Primatani diduga karena perbedaan jumlah pohon yang ditanam. Kegiatan budidaya tanaman belimbing seperti pemupukan, pemangkasan, penyemprotan pestisida, pembungkusan dan penjarangan buah serta pemanenan dilakukan pada tiap-tiap pohon. Dalam satu hektar kebun, petani Primatani menanam 266 pohon sedangkan petani non Primatani menanam 294 pohon. Hal ini menyebabkan biaya TKDK pada petani non Primatani lebih besar walaupun besarnya tingkat upah yang berlaku sama yakni Rp per HOK. Total biaya TKDK yang dikeluarkan petani Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun per hektar pada tahun 2008 adalah sebesar Rp sedangkan untuk petani non Primatani adalah sebesar Rp Persentase terbesar untuk biaya TKDK pada petani Primatani dan non Primatani adalah untuk kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah. Petani responden tidak dapat mengerjakan semua kegiatan budidaya secara individu atau hanya mengandalkan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga saja. Untuk dapat melakukan seluruh kegiatan budidaya Belimbing Dewa ini, baik petani Primatani maupun non Primatani mempekerjakan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga. Pada Tabel 23, disajikan besarnya biaya TKLK yang dibebankan kepada petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun untuk kebun belimbing seluas satu hektar. Tabel 23. Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Kegiatan HOK/ hektar/ tahun Primatani Biaya (Rp/hektar/ tahun) % HOK/ hektar/ tahun Non Primatani Biaya (Rp/hektar/ tahun) Pemupukan 38, ,55 32, ,77 Pemangkasan 28, ,34 20, ,40 Sanitasi Kebun 25, ,00 30, ,58 Penyemprotan Pestisida 95, ,32 115, ,56 Pembungkusan dan Penjarangan Buah 565, ,35 562, ,00 Pemanenan 87, ,43 90, ,67 Total 839, ,00 852, ,00 Dari Tabel 23 dapat dilihat besarnya biaya TKLK pada petani Primatani dan non Primatani relatif hampir sama. Biaya tenaga kerja paling banyak dicurahkan untuk kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah. Dari hasil wawancara dengan petani, kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah adalah %

103 kegiatan yang membutuhkan banyak tenaga khususnya yang berasal dari luar keluarga. Hal ini dikarenakan kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah tidak boleh dilakukan terlambat untuk mencegah serangan lalat buah sedini mungkin. Pengerjaan membungkus buah juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Satu pohon belimbing yang berumur 5-9 tahun rata-rata terdapat 300 hingga 450 buah yang harus dibungkus. Sedangkan tenaga kerja yang sudah mahir dalam satu hari hanya dapat membungkus 400 hingga 500 buah saja. Hal inilah yang menyebabkan TKDK maupun TKLK paling banyak tercurahkan untuk kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah. Data mengenai biaya TKDK pada petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon tahun disajikan pada Tabel 24. Dari Tabel 24 dapat diketahui bahwa persentase biaya TKDK paling besar pada petani Primatani dan non Primatani adalah biaya pembungkusan dan penjarangan buah. Tabel 24. Kegiatan Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun 2008 HOK/ hektar/ tahun Primatani Jumlah (Rp/hektar/ tahun) % HOK/ hektar/ tahun Non Primatani Jumlah (Rp/hektar/ tahun) Pemupukan 3, ,25 3, ,89 Pemangkasan 2, ,26 2, ,05 Sanitasi Kebun 2, ,06 2, ,13 Penyemprotan Pestisida 12, ,40 15, ,09 Pembungkusan dan Penjarangan Buah 30, ,87 37, ,84 Pemanenan 9, ,16 10, ,00 Total 61, ,00 71, ,00 Jika diamati pada Tabel 24, rata-rata biaya TKDK pada masing-masing kegiatan budidaya untuk petani non Primatani dengan umur pohon tahun lebih besar dibandingkan dengan dengan petani Primatani, kecuali pada kegiatan pemangkasan. Persentase biaya pemangkasan pada petani Primatani adalah sebesar 4,26 persen dari total biaya TKDK, sedangkan pada petani non Primatani sebesar 3,05 persen. Hal ini disebabkan karena sebagian besar petani Primatani melakukan pemangkasan lebih sering yaitu setiap masa panen buah berakhir (empat bulan sekali), sedangkan beberapa petani non Primatani hanya memangkas pohon belimbing mereka dua kali dalam satu tahun. Tim Primatani Kota Depok menyarankan agar selepas masa panen buah berakhir sebaiknya petani melakukan %

104 kegiatan pemangkasan. Menurut Dinas Pertanian Kota Depok (2007b) kegiatan pemangkasan pada buah belimbing bertujuan untuk merangsang pembungaan, membuang ranting atau cabang yang tidak produktif dan untuk memudahkan sinar matahari masuk. Biaya TKDK yang terbesar proporsinya pada petani dengan umur pohon tahun adalah biaya untuk kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah. Sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah adalah kegiatan yang membutuhkan banyak waktu dan tenaga kerja serta tidak boleh dilakukan terlambat untuk menghindari serangan lalat buah pada buah yang mulai tumbuh. Untuk biaya TKLK yang dikeluarkan oleh petani responden dengan umur pohon tahun dapat dilihat pada Tabel 25. Untuk luasan satu hektar dalam satu tahun, petani non Primatani mengeluarkan biaya TKLK yang lebih besar dibandingkan petani Primatani. Biaya TKLK petani Primatani adalah sebesar Rp , sedangkan untuk petani non Primatani adalah sebesar Rp Tabel 25. Kegiatan Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun 2008 HOK/ hektar/ tahun Primatani Jumlah (Rp/hektar/ tahun) % HOK/ hektar/ tahun Non Primatani Jumlah (Rp/hektar/ tahun) Pemupukan 41, ,33 54, ,55 Pemangkasan 38, ,08 30, ,99 Sanitasi Kebun 34, ,75 37, ,43 Penyemprotan 112, ,09 161, ,49 Pestisida Pembungkusan dan Penjarangan Buah 874, , , ,15 Pemanenan 138, ,18 206, ,38 Total 1.239, , , ,00 Perbedaan biaya ini sama halnya dengan yang terjadi pada petani reponden dengan umur pohon 5-9 tahun, disebabkan karena perbedaan jumlah pohon yang ditanam. Petani non Primatani dalam satu hektar kebun belimbing menanam 420 pohon sedangkan petani Primatani menanam 283 pohon. Hal inilah yang menyebabkan biaya tenaga kerja termasuk TKLK petani non Primatani lebih besar. %

105 Berdasarkan uraian mengenai biaya tenaga kerja pada petani Primatani dan non Primatani baik dengan umur pohon 5-9 tahun maupun tahun, diketahui bahwa biaya TKLK pada usahatani Belimbing Dewa lebih besar dibandingkan dengan biaya TKDK. Dari hasil wawancara di lapang, petani menyatakan bahwa untuk melakukan kegiatan budidaya belimbing diperlukan pula tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga. Terutama saat buah sudah harus dibungkus, petani memerlukan banyak tenaga kerja untuk melakukan pembungkusan dan sekaligus penjarangan buah. Tenaga luar keluarga pun digunakan jika tenaga yang berasal dari dalam keluarga kurang mencukupi. Biaya TKDK dalam analisis pendapatan akan dikelompokkan ke dalam biaya diperhitungkan dan biaya TKLK dikelompokkan ke dalam biaya tunai Biaya Tetap Pada analisis struktur biaya, yang termasuk ke dalam biaya tetap adalah biaya pajak lahan, biaya penyusutan alat-alat petanian dan biaya bibit yang digunakan pada kegiatan budidaya Belimbing Dewa. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, ada perbedaan pada besarnya pajak lahan di kedua lokasi penelitian. Pajak lahan untuk petani peserta Primatani rata-rata adalah sebesar Rp per hektar per tahun. Sedangkan besarnya pajak lahan untuk petani non peserta Primatani rata-rata adalah Rp per hektar per tahun. Biaya pajak lahan dalam analisis usahatani Belimbing Dewa akan dikelompokkan ke dalam kelompok biaya tunai. Biaya tetap yang dibebankan pada petani peserta Primatani maupun non Primatani selain pajak lahan adalah biaya penyusutan peralatan pertanian. Biaya penyusutan peralatan pertanian per hektar per tahun pada petani Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun adalah sebesar Rp ,43 sedangkan pada petani non Primatani adalah sebesar Rp ,55 (Tabel 26).

106 Tabel 26. Biaya Penyusutan Peralatan Pertanian pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Jenis Alat Harga per Unit (Rp) Jumlah Alat (buah) Umur Teknis (tahun) Jumlah (Rp) Biaya Penyusutan (Rp/tahun) Primatani Cangkul , , ,00 Parang , , ,00 Garu , , ,18 Gunting Stek , , ,53 Hand Sprayer , , ,76 Keranjang , , ,31 Tangga , , ,65 Total , ,43 Non Primatani Cangkul , , ,00 Parang , , ,00 Garu , , ,82 Gunting Stek , , ,73 Hand Sprayer , , ,55 Keranjang , , ,91 Tangga , , ,55 Total , ,55 Persentase biaya penyusutan terbesar pada petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun yaitu pada alat pertanian hand sprayer yang digunakan pada kegiatan penyemprotan pestisida dan pupuk cair. Biaya penyusutan hand sprayer pada petani Primatani adalah sebesar Rp ,76 dan Rp ,55 pada petani non Primatani. Biaya penyusutan peralatan petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon tahun disajikan pada Tabel 27. Biaya penyusutan peralatan pertanian dihitung dengan menggunakan metode garis lurus (straight line method) dengan asumsi peralatan setelah umur teknis tidak dapat digunakan lagi dan tidak dapat dijual kembali. Biaya penyusutan peralatan pada petani Primatani dengan umur pohon tahun adalah sebesar Rp ,38 sedangkan untuk petani non Primatani sebesar Rp ,65. Baik pada petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon tahun, biaya penyusutan terbesar adalah pada biaya penyusutan hand sprayer dan biaya penyusutan terkecil adalah pada biaya penyusutan alat pertanian parang.

107 Tabel 27. Biaya Penyusutan Peralatan Pertanian pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Jenis Alat Harga per Unit (Rp) Jumlah Alat Umur Teknis Jumlah (Rp) Biaya Penyusutan (Rp/tahun) Primatani Cangkul , , ,62 Parang , , ,31 Garu , , ,62 Gunting Stek , , ,00 Hand Sprayer , , ,69 Keranjang , , ,31 Tangga , , ,85 Total , ,38 Non Primatani Cangkul , , ,21 Parang , , ,58 Garu , , ,58 Gunting Stek , , ,53 Hand Sprayer , , ,89 Keranjang , , ,28 Tangga , , ,58 Total , ,65 Hal yang sama juga diungkapkan Zamani (2008) bahwa biaya penyusutan peralatan terbesar untuk petani SOP dan non SOP dalah biaya alat sprayer. Dari hasil analisis biaya untuk meter persegi dalam satu kali musim panen yang dilakukan Zamani (2008), biaya penyusutan untuk alat sprayer petani SOP senilai Rp ,55 sedangkan untuk petani non SOP senilai Rp ,42. Pupuk, pestisida, bahan pembungkus buah dan tenaga kerja adalah input dalam usahatani Belimbing Dewa yang penggunaannya akan menimbulkan biaya variabel karena tergantung dari besarnya produksi yang dihasilkan. Input lain yang perlu untuk diperhitungkan adalah bibit belimbing. Hanya saja biaya bibit ini digolongkan menjadi biaya tetap karena diperhitungkan sebagai investasi yang dikeluarkan dalam usahatani Belimbing Dewa. Pada Tabel 28 disajikan biaya bibit per hektar per tahun dalam usahatani Belimbing Dewa pada peserta Primatani dan non Primatani.

108 Tabel 28. Biaya Bibit dalam Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun 2008 Petani Responden Harga Bibit (Rp/bibit) Umur Pohon 5-9 Tahun Jumlah Bibit Biaya Bibit (Rp/hektar/ tahun) Umur Pohon Tahun Harga Bibit (Rp/bibit) Jumlah Bibit Biaya Bibit (Rp/hektar/ tahun) Primatani Non Primatani Harga bibit yang digunakan dalam perhitungan biaya bibit yang disajikan pada Tabel 28 adalah harga rata-rata dari masing-masing responden. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani dan PPL di lokasi penelitian, umur produktif tanaman Belimbing Dewa maksimal rata-rata 20 tahun. Sehingga perhitungan biaya bibit per hektar per tahun adalah besarnya investasi dalam usahatani Belimbing Dewa yang dikeluarkan untuk bibit belimbing setiap tahunnya. Dalam analisis usahatani Belimbing Dewa biaya bibit ini dikelompokkan ke dalam jenis biaya diperhitungkan Penerimaan Usahatani Belimbing Dewa Menurut Soekartawi (2002), yang dimaksud penerimaan usahatani adalah hasil kali antara produksi yang diperoleh dengan harga jual produk tersebut. Berikut ini akan dilakukan analisis terhadap penerimaan usahatani Belimbing Dewa pada petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun dan tahun. Buah belimbing yang dipanen oleh petani di lokasi penelitian adalah buah hasil dari kegiatan penjarangan dan pembungkusan. Namun, buah yang telah dibungkus tidak seluruhnya (100%) akan dapat dipanen. Diasumsikan dari kegiatan pembungkusan dan panjarangan buah terjadi penyusutan sebesar 10 persen. Asumsi ini disimpulkan dari informasi yang diperoleh dari petani responden dan PPL. Hal ini mengingat kondisi yang terjadi di lapangan adalah buah yang telah dibungkus tidak seluruhnya dapat dipanen dikarenakan pasti terdapat buah yang rontok disebabkan karena faktor alam seperti hujan dan angin serta serangan HPT. Panen belimbing dilakukan tiga kali dalam satu tahun, yaitu pada bulan Januari hingga Februari, Mei hingga Juni dan September hingga Oktober. Hasil panen Belimbing Dewa dibagi menjadi tiga kelas (grade), yaitu grade A, grade B dan grade C. Buah yang termasuk ke dalam grade A adalah buah dengan berat

109 lebih dari 250 gram per buahnya. Buah pada grade B adalah buah dengan berat 200 hingga 250 gram perbuahnya dan untuk grade C, berat buah adalah kurang dari 200 gram per buahnya. Semakin bagus kualitas buah maka akan semakin tinggi harga jualnya. Hasil panen dibagi dalam tiga grade karena saat ini penjualan belimbing tidak lagi dalam satuan buah namun sudah dalam satuan kilogram. Jalur pemasaran Belimbing Dewa petani peserta Primatani dan non Primatani yaitu: Jalur I : Petani Tengkulak Jalur II : Petani Pusat Koperasi (Puskop) Belimbing Dewa Kota Depok Harga jual di kedua lembaga pemasaran tersebut berbeda, sehingga harga jual yang digunakan dalam menganalisis penerimaan usahatani Belimbing Dewa ini akan menggunakan harga rata-rata dari jumlah responden yang ada. Harga jual buah Belimbing pada tahun 2008 di Puskop Belimbing Dewa untuk grade A adalah Rp per kilogram, untuk grade B dan C masing-masing Rp dan Rp per kilogram. Harga jual yang diterima petani jika mereka menjual hasil panennya ke tengkulak adalah Rp per kilogram untuk buah grade A dan B, sedangkan untuk grade C dihargai Rp per kilogram. Tengkulak di kedua lokasi penelitian pada tahun 2008 memiliki harga jual yang sama. Hasil penerimaan usahatani Belimbing Dewa petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun dapat dilihat pada Tabel 29. Hasil penerimaan total petani non Primatani lebih besar jika dibandingkan dengan petani Primatani. Penerimaan total petani non Primatani per hektar kebun belimbing dalam satu tahun adalah sebesar Rp , sedangkan untuk petani Primatani sebesar Rp ,50. Hasil panen per pohon dari masingmasing petani juga dapat dihitung dari jumlah produksi per hektar per tahun dibagi dengan jumlah pohon yang ditanam dalam satu hektar oleh petani Primatani dan non Primatani. Besarnya produksi per pohon per tahun pada petani Primatani dan non Primatani masing-masing sebesar 197,94 kilogram dan 203,78 kilogram.

110 Tabel 29. Hasil Panen dan Penerimaan pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Grade Produksi (kg/ hektar/ tahun) Harga Jual (Rp/kg) Primatani Penerimaan (Rp/hektar/ tahun) % Produksi (kg/ hektar/ tahun) Harga Jual (Rp/kg) Non Primatani Penerimaan (Rp/hektar/ tahun) Grade A , , ,61 60, , , ,82 58,69 Grade B , , ,84 33, , , ,81 35,45 Grade C 9.292, , ,07 5, , , ,36 5,85 Total , ,50 100, , ,00 100,00 Pada usahatani Belimbing Dewa dengan umur pohon tahun, penerimaan yang diterima oleh petani Primatani per hektar adalah sebesar Rp ,60 sedangkan untuk petani non Primatani sebesar Rp ,50. Hal ini berarti penerimaan yang diperoleh oleh petani non Primatani lebih besar dibandingkan dengan petani Primatani. Jumlah produksi Belimbing Dewa per pohon per tahun dapat dihitung dari jumlah produksi per hektar per tahun dibagi dengan jumlah pohon dalam satu hektar. Jumlah produksi per pohon per tahun pada petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon tahun masingmasing adalah 266,55 kilogram dan 238,16 kilogram. Hasil panen dan penerimaan petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon tahun dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Hasil Panen dan Penerimaan pada Usahatani Belimbing Dewa dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Grade Produksi (kg/ hektar/ tahun) Harga Jual (Rp/kg) Primatani Penerimaan (Rp/hektar/ tahun) % Produksi (kg/ hektar/ tahun) Harga Jual (Rp/kg) Non Primatani Penerimaan (Rp/hektar/ tahun) Grade A , , ,29 56, , , ,35 55,45 Grade B , , ,05 37, , , ,97 38,43 Grade C , , ,34 5, , , ,25 6,12 Total , , , , Baik petani Primatani dan non Primatani, persentase penerimaan terbesar berasal dari penjualan buah dengan grade A. Sedangkan persentase penerimaan terkecil berasal dari penjualan buah grade C. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas produksi yang dihasilkan oleh petani Primatani dan non Primatani relatif hampir sama. % %

111 Perbedaan penerimaan petani peserta Primatani dan non Primatani baik pada umur pohon 5-9 tahun dan tahun disebabkan karena faktor harga jual rata-rata yang berbeda. Selain itu, jumlah pohon rata-rata dalam satu hektar petani non Primatani yang lebih banyak dibandingkan petani Primatani, yang disebabkan karena penggunaan jarak tanam yang berbeda juga mempengaruhi produksi buah belimbing. Pohon belimbing yang ditanam dengan jarak tanam yang lebih rapat, tentunya akan menyebabkan keadan kebun menjadi lebih rimbun, terlebih lagi jika petani tidak rutin melakukan kegiatan pemeliharaan seperti pemangkasan. Kebun yang rimbun akan menyulitkan sinar matahari masuk sampai pada cabang terbawah. Keadaan seperti ini juga akan menyebabkan kebun menjadi lembab terlebih jika setelah turun hujan. Kondisi kebun yang lembab memungkinkan hama dan penyakit tanaman lebih cepat muncul sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman yang berakibat pada penurunan jumlah produksi. Namun jika diamati dari hasil panen antara petani Primatani dan non Primatani, jarak tanam tidak terlalu berpengaruh pada produksi yang dihasilkan. Hal ini disebabkan kegiatan pemangkasan dan sanitasi kebun juga dilakukan oleh petani non Primatani sehingga keadaan kebun tidak terlalu rimbun dan kebersihan kebun belimbing juga terjaga. Perbedaan hasil panen antara petani Primatani dan non Primatani tidak hanya karena perbedaan jumlah pohon yang disebabkan karena jarak tanam. Perbedaan produksi buah belimbing petani Primatani dan non Primatani juga disebabkan karena perbedaan kondisi ketersediaan air. Kondisi tanah di Kelurahan Pasir Putih cenderung lebih kering dibandingkan dengan kondisi tanah di Kelurahan Pancoran Mas. Namun tanaman Belimbing Dewa petani Primatani masih dapat tumbuh normal karena curah hujan di Kota Depok pada tahun 2008 masih normal. Tanaman belimbing akan mengalami kekeringan dan perlu dilakukan kegiatan penyiraman jika terjadi musim kemarau yang berkepanjangan yakni minimal tiga bulan berturut-turut tidak turun hujan Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing Dewa Analisis pendapatan usahatani Belimbing Dewa terdiri dari analisis pendapatan atas biaya tunai dan analisis pendapatan terhadap biaya total. Untuk

112 komponen biaya, pada analisis pendapatan ini dibagi menjadi dua kelompok, yakni biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai terdiri dari biaya sarana produksi seperti biaya pupuk dan biaya pestisida, biaya tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga (TKLK) serta biaya pajak lahan. Sedangkan yang termasuk biaya diperhitungkan antara lain biaya penyusutan bahan pembungkus, biaya tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga (TKDK), biaya penyusutan alat-alat pertanian dan biaya bibit. Pada akhir analisis pendapatan akan dilakukan perhitungan terhadap nilai R/C rasio atau nilai imbangan antara penerimaan dan biaya yang merupakan perbandingan antara penerimaan kotor yang diterima usahatani Belimbing Dewa dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi. Analisis pendapatan usahatani Belimbing Dewa dengan umur pohon 5-9 tahun dapat dilihat pada Tabel 31. Pendapatan atas biaya tunai dan biaya total petani non peserta Primatani lebih besar jika dibandingkan dengan petani peserta Primatani. Perhitungan pendapatan usahatani diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan biaya usahatani. Total penerimaan usahatani petani non peserta Primatani lebih besar jika dibandingkan dengan peserta Primatani, hal ini menjadi salah satu penyebab usahatani Belimbing Dewa dengan umur pohon 5-9 tahun pada petani non Primatani memberikan tingkat pendapatan tunai dan total yang lebih tinggi. Jika dilihat dari besarnya biaya, biaya tunai yang dikeluarkan petani non Primatani (Rp ,93) lebih besar dibandingkan dengan petani Primatani (Rp ,80). Dari Tabel 31, dapat diketahui komponen penyusun biaya tunai pada petani non Primatani selalu lebih besar dibandingkan dengan petani Primatani, kecuali pada biaya pestisida Decis. Persentase biaya pestisida Decis pada petani peserta Primatani adalah sebesar 2,27 persen dari total biaya, sedangkan pada petani non Primatani sebesar 0,45 persen dari total biaya usahatani. Hal ini dikarenakan Decis lebih sedikit digunakan oleh petani non Primatani dan lebih banyak menggunakan pestisida Curacron pada kegiatan pengendalian HPT dalam usahatani Belimbing Dewa. Persentase biaya yang terbesar dari biaya tunai adalah biaya TKLK. Dalam usahatani Belimbing Dewa, input tenaga kerja adalah input yang penting terutama untuk kegiatan

113 pembungkusan dan penjarangan buah, sehingga biaya TKLK memiliki proporsi yang besar dari seluruh biaya total usahatani Belimbing Dewa. Tabel 31. Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing Dewa per Hektar per Tahun dengan Umur Pohon 5-9 Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Uraian Primatani Non Primatani Penerimaan Nilai (Rp) % Nilai (Rp) % Penerimaan Grade A ,61 60, ,82 58,69 Penerimaan Grade B ,84 33, ,81 35,45 Penerimaan Grade C , ,36 5,86 Total Penerimaan ,50 100, ,00 100,00 Biaya Biaya Tunai Pupuk Kandang ,00 8, ,55 9,10 Pupuk NPK ,74 7, ,46 8,03 Pupuk Gandasil ,66 0, ,52 0,40 Pestisida Decis ,20 2, ,40 0,45 Pestisida Curacron ,60 2, ,80 3,44 Pestisida Dursban ,60 0, ,20 1,02 Petrogenol ,00 0, ,00 0,53 TKLK ,00 51, ,00 52,39 Pajak Lahan ,00 3, ,00 3,69 Total Biaya Tunai ,80 75, ,93 79,05 Biaya Diperhitungkan Penyusutan Kertas Karbon ,64 2, ,32 4,87 Penyusutan Plastik Mulsa ,16 16, ,36 10,08 TKDK ,00 3, ,00 3,92 Penyusutan Alat ,43 1, ,55 1,87 Biaya Bibit ,00 0, ,00 0,19 Total Biaya Diperhitungkan ,23 24, ,23 20,95 Total Biaya ,03 100, ,16 100,00 Pendapatan Atas Biaya Tunai , ,10 Pendapatan Atas Biaya Total , ,80 R/C Atas Biaya Tunai 3,14 3,48 R/C Atas Biaya Total 2,38 2,75 Berbeda dengan biaya tunai, untuk biaya diperhitungkan pada petani Primatani jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan petani non Primatani. Persentase biaya diperhitungkan yang paling besar pada petani Primatani dan non Primatani adalah pada biaya penyusutan plastik mulsa. Biaya penyusutan plastik mulsa petani Primatani jauh lebih besar jika dibandingkan dengan petani non Primatani. Petani peserta Primatani lebih dominan menggunakan bahan pembungkus buah yang terbuat dari plastik mulsa dikarenakan bahan pembungkus dari kertas karbon yang telah lebih lama digunakan kini sudah mulai sulit ditemukan di pasaran. Selain itu plastik mulsa juga merupakan inovasi yang diintroduksikan oleh tim Primatani Kota Depok untuk mengatasi kelangkaan kertas karbon.

114 Hasil analisis R/C rasio pada usahatani Belimbing Dewa untuk Petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon 5-9 tahun menunjukkan bahwa usahatani ini memiliki penerimaan usahatani yang lebih besar dibandingkan dengan biaya usahatani. Nilai R/C rasio tunai petani Primatani dan non Primatani masing-masing adalah 3,14 dan 3,48. Ini berarti dari setiap satu rupiah biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp 3,14 untuk petani Primatani dan Rp 3,48 untuk petani non Primatani. Sedangkan untuk nilai imbangan penerimaan dan biaya atas biaya total pada petani Primatani adalah 2,38 dan untuk petani non Primatani 2,75. Analisis pendapatan usahatani petani Primatani dan non Primatani dengan umur pohon tahun disajikan pada Tabel 32. Pendapatan usahatani atas biaya tunai dan total pada petani non peserta Primatani lebih besar dibandingkan dengan petani peserta Primatani. Pendapatan atas biaya tunai petani Primatani dan non Primatani masing-masing sebesar Rp ,60 dan Rp ,20. Jumlah tersebut diperoleh dari selisih antara penerimaan kotor dengan biaya tunai usahatani Belimbing Dewa. Sama halnya dengan pendapatan atas biaya tunai, pendapatan atas biaya total petani non Primatani jauh lebih besar dibandingkan petani Primatani. Perbedaan ini diduga disebabkan karena jumlah pohon yang ditanam non Primatani lebih banyak (420 pohon) dibandingkan dengan petani Primatani (283 pohon) karena jarak tanam yang digunakan petani non Primatani lebih rapat. Dengan jumlah pohon yang ditanam lebih banyak maka petani non Primatani akan meghasilkan buah Belimbing Dewa yang lebih banyak sehingga penerimaan usahataninya pun akan lebih besar. Jika diamati dari sisi biaya usahatani, biaya total petani non Primatani lebih besar dibandingkan petani Primatani. Biaya total adalah penjumlahan antara biaya tunai dengan biaya diperhitungkan. Biaya tunai petani non Primatani lebih besar dibanding petani Primatani, namun untuk biaya diperhitungkan petani Primatani memiliki biaya yang lebih besar. Pada biaya tunai yang dikeluarkan petani Primatani dan non Primatani, komponen yang terbesar adalah biaya TKLK dan pupuk kandang. Hal ini menunjukkan bahwa kedua input produksi tersebut adalah input yang penting dan

115 digunakan dalam jumlah yang besar. Pupuk kandang digunakan pada usahatani Belimbing Dewa untuk menambah dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Input tenaga kerja khususnya TKLK dibutuhkan pada setiap kegiatan budidaya Belimbing Dewa terutama saat kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah yang membutuhkan waktu dan tenaga kerja yang cukup banyak. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Zamani (2008). Zamani (2008) mengungkapkan bahwa dari biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani belimbing SOP di Kota Depok, persentase terbesar adalah pada biaya TKLK dan sarana produksi pupuk kandang. Namun hal yang berbeda diungkapkan oleh Husen (2006), biaya tunai terbesar pada usahatani Belimbing Depok varietas Dewa-Dewa di Kecamatan Pancoran Mas adalah pada biaya kertas karbon. Selain biaya tunai, biaya diperhitungkan juga merupakan penyusun biaya total pada usahatani Belimbing Dewa. Biaya diperhitungkan pada petani Primatani dengan umur pohon tahun lebih besar dibandingkan dengan petani non Primatani. Namun jika melihat uraian penjelasan sebelumnya, jumlah pohon yang ditanam petani Primatani jauh lebih sedikit dibandingkan dengan petani non Primatani. Hal ini terjadi karena petani Primatani mengeluarkan biaya penyusutan plastik mulsa yang jauh lebih besar. Plastik mulsa adalah bahan yang digunakan sebagai pembungkus buah Belimbing Dewa. Inovasi penggunaan plastik mulsa diintroduksikan oleh tim Primatani Kota Depok untuk mengatasi masalah keterbatasan kertas karbon sebagai bahan pembungkus buah, sehingga plastik mulsa dianggap sebagai alternatif bahan pembungkus buah selain kertas karbon. Nilai imbangan penerimaan dan biaya pada petani non Primatani lebih besar jika dibandingkan dengan petani Primatani. Dari hasil perhitungan R/C rasio atas biaya tunai pada petani Primatani dan non Primatani masing-masing adalah 3,34 dan 3,45. Artinya dari setiap satu rupiah biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani Primatani dan non Primatani akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 3,34 dan Rp 3,45. Sedangkan jika dilihat dari sisi biaya totalnya maka R/C rasio untuk petani Primatani adalah sebesar 2,52 dan untuk petani non Primatani 2,76. Artinya usahatani Belimbing Dewa yang diusahakan petani non Primatani lebih memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan petani Primatani.

116 Pengaruh hadirnya Primatani di Kota Depok khususnya di Kelurahan Pasir Putih ternyata belum memberikan dampak yang terlalu besar terhadap tingkat pendapatan petani peserta Primatani. Hal ini disimpulkan dari besarnya nilai R/C rasio antara petani peserta Primatani dan non peserta Primatani relatif tidak jauh berbeda bahkan petani non Primatani memiliki nilai yang lebih tinggi. Tabel 32. Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing Dewa per Hektar per Tahun dengan Umur Pohon Tahun di Kota Depok Tahun 2008 Uraian Primatani Non Primatani Penerimaan Nilai (Rp) % Nilai (Rp) % Penerimaan Grade A ,43 56, ,35 55,45 Penerimaan Grade B ,60 37, ,97 38,43 Penerimaan Grade C ,57 5, ,25 6,12 Total Penerimaan ,60 100, ,50 100,00 Biaya Biaya Tunai Pupuk Kandang ,60 6, ,05 7,92 Pupuk NPK ,65 5, ,07 6,13 Pupuk Gandasil ,34 0, ,45 0,37 Pestisida Decis ,40 1, ,40 0,57 Pestisida Curacron ,20 2, ,40 3,22 Pestisida Dursban ,80 0, ,00 0,73 Petrogenol ,00 0, ,00 0,53 TKLK ,00 56, ,00 58,49 Pajak Lahan ,00 2, ,00 2,28 Total Biaya Tunai ,99 75, ,40 80,25 Biaya Diperhitungkan Penyusutan Kertas Karbon ,14 3, ,05 5,13 Penyusutan Plastik Mulsa ,00 16, ,81 10,37 TKDK ,00 2, ,00 2,73 Penyusutan Alat ,38 1, ,65 1,45 Biaya Bibit ,00 0, ,00 0,06 Total Biaya Diperhitungkan ,52 24, ,51 19,75 Total Biaya ,50 100, ,90 100,00 Pendapatan Atas Biaya Tunai , ,20 Pendapatan Atas Biaya Total , ,69 R/C Atas Biaya Tunai 3,34 3,45 R/C Atas Biaya Total 2,52 2,76 Nilai R/C rasio yang diperoleh dari perhitungan analisis pendapatan usahatani Belimbing Dewa dengan umur pohon 5-9 tahun dan tahun pada petani Primatani dan non Primatani selanjutnya akan diuji secara statistik dengan uji beda chi square. Pengujian ini bertujuan untuk menguji secara statistik mengenai nilai R/C rasio antara petani Primatani dan non Primatani yang diperoleh tersebut sama atau berbeda (lebih besar atau lebih kecil). Hasil uji beda chi square terhadap nilai R/C rasio disajikan pada Tabel 33.

117 Tabel 33. Hasil Uji Beda Chi Square terhadap Nilai R/C Rasio Usahatani Belimbing Dewa Petani Primatani dan Non Primatani Tahun 2008 R/C Rasio Hipotesis Nilai X 2 hitung Nilai X 2 tabel (α,db) Kesimpulan Umur Pohon 5-9 Tahun Atas Biaya Tunai H 0 : σ 2 2 = σ 0 H 1 : σ 2 2 < σ 0 1,09 19,675 (db = 11) Terima H 0 Atas Biaya Total H 0 : σ 2 2 = σ 0 H 1 : σ 2 2 < σ 0 1,52 19,675 (db = 11) Terima H 0 Umur Pohon Tahun Atas Biaya Tunai H 0 : σ 2 2 = σ 0 H 1 : σ 2 2 < σ 0 12,91 30,144 (db = 19) Terima H 0 Atas Biaya Total H 0 : σ 2 2 = σ 0 H 1 : σ 2 2 < σ 0 11,08 30,144 (db = 19) Terima H 0 Nilai X 2 hitung petani dengan umur pohon 5-9 tahun dan tahun pada nilai R/C rasio atas biaya tunai dan total masing-masing lebih kecil dari nilai X 2 tabel. Hal ini berarti hipotesis awal diterima atau dapat dikatakan nilai R/C rasio atas biaya tunai dan total pada petani Primatani dan Non Primatani adalah sama secara statistik Keterbatasan Penelitian Analisis pendapatan yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh hadirnya Primatani di Kota Depok terhadap tingkat pendapatan petani dilakukan dengan membandingkan antara tingkat pendapatan petani Primatani dan non Primatani. Hal ini memiliki keterbatasan, karena tingkat pendapatan yang diperoleh antara petani Primatani dan non Primatani tidak hanya dipengaruhi oleh inovasi teknologi saja tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi awal sebelum Primatani hadir seperti jarak tanam yang digunakan sehingga berpengaruh pada jumlah pohon yang ditanam dan kondisi air tanah yang berbeda di kedua lokasi penelitian. Terdapat metode lain yang dapat digunakan untuk menganalisis tingkat pendapatan petani karena pengaruh hadirnya Primatani yaitu dengan menganalisis tingkat pendapatan sebelum dan setelah hadirnya Primatani. Hal ini tidak dilakukan dikarenakan petani tidak selalu mencatat biaya dan penerimaan usahatani untuk setiap musim panen, sehingga ada kemungkinan petani tidak memberikan informasi yang sebenarnya saat wawancara berlangsung. Sehingga untuk menghindari hal tersebut dipilih metode membandingkan tingkat pendapatan antara petani Primatani dan non Primatani untuk menganalisis hadirnya Primatani di Kota Depok pada usahatani Belimbing Dewa.

118 Faktor umur tanaman adalah hal penting lain yang menjadi kendala jika penelitian dilakukan dengan membandingkan tingkat pendapatan antara sebelum dan setelah Primatani diterapkan. Hal ini dikarenakan Belimbing Dewa adalah salah satu jenis tanaman tahunan. Artinya faktor umur berpengaruh pada tingkat produktivitas dan produktivitas sangat berpengaruh pada tingkat pendapatan petani. Jika penelitian dilakukan dengan cara menganalisis tingkat pendapatan sebelum dan setelah Primatani diterapkan maka dikhawatirkan peningkatan produktivitas yang menyebabkan peningkatan pendapatan lebih disebabkan karena bertambahnya umur tanaman bukan kerena inovasi teknologi yang diadopsi oleh petani.

119 VII ANALISIS FAKTOR PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI BELIMBING DEWA PESERTA PRIMATANI KOTA DEPOK 7.1. Analisis Fungsi Produksi Hasil pendataan jumlah produksi serta tingkat penggunaan input yang digunakan dalam proses budidaya Belimbing Dewa digunakan untuk menyusun suatu model fungsi produksi yang menggambarkan hubungan antara faktor-faktor produksi yang digunakan dengan output yang dihasilkan. Model penduga fungsi produksi untuk petani Primatani dan non Primatani yang diajukan dalam penelitian ini adalah model fungsi produksi eksponensial dengan menggunakan metode penduga kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS) Model Penduga Fungsi Produksi Usahatani Belimbing Dewa Petani Primatani Hasil output model penduga fungsi produksi eksponensial yang diajukan untuk petani peserta Primatani terdapat pada Lampiran 5. Dari model fungsi produksi eksponensial tersebut diperoleh koefisien determinasi terkoreksi (R 2 adj) sebesar 95 persen. Koefisien tersebut dapat diartikan bahwa 95 persen keragaman produksi Belimbing Dewa petani Primatani dapat dijelaskan oleh variasi faktor produksi yang digunakan dalam model. Sedangkan lima persen sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang tidak terdapat dalam model. Model fungsi produksi dapat dituliskan sebagai berikut : Y = 3,95 X1 0,0142 X2 0,0337 X3 0,177 X4-0,102 X5 0,111 X6 0,754 Keterangan : Y : Produksi Belimbing Dewa petani Primatani per luasan lahan X1 : Pupuk kandang per luasan lahan X2 : Pupuk NPK per luasan lahan X3 : Pupuk Gandasil per luasan lahan X4 : Pestisida per luasan lahan X5 : Petrogenol per luasan lahan X6 : Tenaga kerja per luasan lahan Pengujian pengaruh semua variabel bebas yang digunakan terhadap produksi dari model tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan uji F. Nilai F-hitung pada model penduga fungsi produksi tersebut adalah sebesar 93,46 persen. Nilai F-hitung yang lebih besar dari F-tabel (2,55) menunjukkan bahwa

120 semua faktor produksi yaitu pupuk kandang, pupuk NPK, pupuk gandasil, pestisida, petrogenol dan tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi Belimbing Dewa petani Primatani pada selang kepercayaan 95 persen. Berdasarkan hasil tersebut maka hipotesis awal ditolak. Hasil analisis uji F terhadap model penduga fungsi produksi petani Primatani disajikan pada Tabel 34. Tabel 34. Hasil Analisis Uji F terhadap Model Penduga Fungsi Produksi Petani Primatani Hipotesis F Kesimpulan H 0 : b 1 = b 2 = b 3 = b 4 = b 5 = b 6 = 0 H 1 : b 1 b 2 b 3 b 4 b 5 b 6 0 F-hitung : 93,46 F 0,05 (6,23) : 2,55 Tolak H 0 Hasil uji koefisien regresi secara parsial untuk petani Primatani dapat dilihat pada Tabel 35. Berdasarkan hasil uji tersebut diketahui bahwa koefisien regresi yang berpengaruh nyata pada taraf nyata satu persen adalah tenaga kerja. Pupuk gandasil dan petrogenol berpengaruh nyata terhadap produksi Belimbing Dewa pada taraf nyata lima persen, sedangkan pestisida berpengaruh nyata pada taraf nyata 10 persen. Koefisien regresi pupuk kandang dan pupuk NPK memiliki t-hitung yang lebih rendah dari t-tabel. Hal ini berarti variabel bebas pupuk kandang dan pupuk NPK tidak berpengaruh nyata pada produksi Belimbing Dewa petani Primatani. Tabel 35. Pengujian Beda Nyata Koefisien Regresi pada Model Penduga Fungsi Produksi Petani Primatani Peubah Koefisien Regresi Hipotesis t-hitung Kesimpulan Pupuk Kandang 0,0142 H 0 : b 1 = 0 H 1 : b 1 0 0,56 Terima H 0 Pupuk NPK 0,0337 H 0 : b 2 = 0 H 1 : b 2 0 0,42 Terima H 0 Pupuk Gandasil 0,177 H 0 : b 3 = 0 H 1 : b 3 0 1,74 Tolak H 0 Pestisida -0,102 H 0 : b 4 = 0 H 1 : b 4 0 1,42 Tolak H 0 Petrogenol 0,111 H 0 : b 5 = 0 2,36 Tolak H 0 Tenaga Kerja 0,754 Keterangan : t 0,01(n-7) = 2,500 t 0,05(n-7) = 1,714 t 0,10(n-7) = 1,319 H 1 : b 5 0 H 0 : b 6 = 0 H 1 : b 6 0 8,56 Tolak H 0

121 Kelayakan model penduga fungsi produksi Belimbing Dewa petani Primatani diuji berdasarkan asumsi OLS yaitu multikolinearitas, homoskedastisitas dan normalitas error. Uji multikolinearitas dapat dilihat dari nilai VIF (Variance Inflation Factors). Nilai VIF lebih besar dari 10 berarti terdapat multikolinearitas pada model. Nilai VIF pada model penduga fungsi produksi petani Primatani dapat dilihat pada Lampiran 5. Kenormalan unsur sisaan diuji dengan pendekatan grafik kenormalan sisaan dan diperkuat dengan uji Anderson-Darling. Asumsi kenormalan sisaan terpenuhi ditunjukkan dengan bentuk sebaran sisaan yang berupa garis lurus. Hasil uji tersebut diperkuat dengan hasil uji Anderson-Darling yaitu nilai-p sebesar 0,878 lebih besar dari taraf α lima persen. Berdasarkan pengujian kehomogenan sisaan (homoskedastisitas) pada model penduga, diketahui bahwa sebaran sisaan mempunyai pola acak. Hasil uji kenormalan dan kehomogenan sisaan dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil pendugaan fungsi produksi eksponensial pada petani Primatani secara statistik telah memenuhi asumsi OLS. Dengan telah terpenuhinya asumsi OLS maka model fungsi produksi tersebut dapat digunakan untuk menduga hubungan antara faktor-faktor produksi yang digunakan dalam usahatani Belimbing Dewa petani Primatani dengan produksi Belimbing Dewa yang dihasilkan petani Primatani Model Penduga Fungsi Produksi Usahatani Belimbing Dewa Petani Non Primatani Hasil output model penduga fungsi produksi eksponensial yang diajukan untuk petani non peserta Primatani terdapat pada Lampiran 11. Fungsi produksi ini terdiri dari beberapa variabel bebas yaitu pupuk kandang, pupuk gandasil, pestisida, petrogenol dan tenaga kerja. Model penduga fungsi produksi yang diperoleh adalah sebagai berikut : Y = 4,20 X1 0,0527 X2-0,201 X3 0,0797 X4 0,0316 X5 1,02 Keterangan : Y : Produksi Belimbing Dewa petani non Primatani per luasan lahan X1 : Pupuk kandang per luasan lahan X2 : Pupuk Gandasil per luasan lahan X3 : Pestisida per luasan lahan X4 : Petrogenol per luasan lahan

122 X5 : Tenaga kerja per luasan lahan Pada model penduga fungsi produksi untuk petani non Primatani yang diajukan tersebut tidak memasukkan variabel pupuk NPK sebagai variabel bebas. Hal ini dikarenakan dengan memasukkan pupuk NPK sebagai variabel bebas akan terjadi gejala multikolinearitas. Gejala multikolinearitas ini dapat diamati dari nilai VIF yang lebih besar dari 10 seperti yang disajikan pada model fungsi produksi yang terdapat pada Lampiran 9. Menurut Gujarati (1978), cara yang paling sederhana yang dilakukan untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah dengan mengeluarkan satu dari variabel yang berkolinear. Hubungan linear antar peubah bebas juga diamati berdasarkan nilai koefisien korelasinya. Hubungan linear yang kuat antar peubah bebas ditunjukkan dengan koefisien korelasi antar peubah bebas dapat dilihat pada Lampiran 10. Korelasi yang kuat terdapat antara peubah bebas pupuk kandang dan pupuk NPK yang ditandai dari nilai koefisien korelasi yang mendekati satu. Dalam model penduga fungsi produksi untuk petani non Primatani ini, variabel yang dicoba untuk dikeluarkan dari model adalah variabel pupuk NPK. Hal ini dipertimbangkan dari hasil pengamatan dan berdasarkan teknis budidaya Belimbing Dewa di lapang. Dari hasil pengamatan di lapang, penggunaan ratarata pupuk NPK jauh lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan pupuk kandang. Selain itu, fungsi dari pupuk NPK dapat digantikan dengan penggunaan pupuk kandang. Hal ini kemudian yang dijadikan alasan untuk mencoba mengeluarkan variabel pupuk NPK dalam mengatasi masalah multikolinearitas. Model fungsi produksi eksponensial petani non Primatani yang diajukan memiliki koefisien determinasi terkoreksi (R 2 adj) sebesar 95,6 persen. Koefisien tersebut dapat diartikan bahwa 95,6 persen keragaman produksi Belimbing Dewa petani non Primatani dapat dijelaskan oleh variasi faktor produksi yang digunakan dalam model. Sedangkan 4,4 persen sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang tidak terdapat dalam model. Pengujian pengaruh semua variabel bebas yang digunakan terhadap produksi dari model penduga fungsi produksi petani non Primatani dapat dilakukan dengan cara melakukan uji F. Nilai F-hitung pada model penduga fungsi produksi petani non Primatani adalah sebesar 127,42 persen. Nilai F-hitung

123 yang lebih besar dari F-tabel (2,62) menunjukkan bahwa semua faktor produksi yaitu pupuk kandang, pupuk gandasil, pestisida, petrogenol dan tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi Belimbing Dewa petani non Primatani pada selang kepercayaan 95 persen. Berdasarkan hasil tersebut maka hipotesis awal ditolak. Hasil analisis uji F terhadap model penduga fungsi produksi petani non Primatani disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Hasil Analisis Uji F terhadap Model Penduga Fungsi Produksi Petani Non Primatani Hipotesis F Kesimpulan H 0 : b 1 = b 2 = b 3 = b 4 = b 5 = 0 H 1 : b 1 b 2 b 3 b 4 b 5 0 F-hitung : 127,42 F 0,05 (5,24) : 2,62 Tolak H 0 Hasil uji koefisien regresi secara parsial untuk petani non Primatani dapat dilihat pada Tabel 37. Berdasarkan hasil uji tersebut diketahui bahwa koefisien regresi yang berpengaruh nyata pada taraf nyata satu persen adalah tenaga kerja, sedangkan pupuk gandasil dan pestisida berpengaruh nyata pada taraf nyata 10 persen. Koefisien regresi pupuk kandang dan petrogenol memiliki t-hitung yang lebih rendah dari t-tabel. Hal ini berarti variabel bebas pupuk kandang dan petrogenol tidak berpengaruh nyata pada produksi Belimbing Dewa petani non Primatani. Tabel 37. Pengujian Beda Nyata Koefisien Regresi pada Model Penduga Fungsi Produksi Petani Non Primatani Peubah Koefisien Regresi Hipotesis t-hitung Kesimpulan Pupuk Kandang 0,0527 H 0 : b 1 = 0 H 1 : b 1 0 1,04 Terima H 0 Pupuk Gandasil -0,201 H 0 : b 2 = 0 H 1 : b 2 0 1,68 Tolak H 0 Pestisida 0,0797 H 0 : b 3 = 0 H 1 : b 3 0 1,42 Tolak H 0 Petrogenol 0,0316 H 0 : b 4 = 0 0,47 Terima H 0 Tenaga Kerja 1,02 Keterangan : t 0,01(n-6) = 2,492 t 0,10(n-6) = 1,318 H 1 : b 4 0 H 0 : b 5 = 0 H 1 : b 5 0 9,27 Tolak H 0 Kelayakan model penduga fungsi produksi Belimbing Dewa petani non Primatani diuji berdasarkan asumsi OLS yaitu multikolinearitas, homoskedastisitas dan normalitas error. Uji multikolinearitas dapat dilihat dari

124 nilai VIF. Nilai VIF lebih besar dari 10 berarti terdapat multikolinearitas pada model. Nilai VIF pada model penduga fungsi produksi petani non Primatani dapat dilihat pada Lampiran 11. Kenormalan unsur sisaan diuji dengan pendekatan grafik kenormalan sisaan dan diperkuat dengan uji Anderson-Darling. Asumsi kenormalan sisaan terpenuhi ditunjukkan dengan bentuk sebaran sisaan yang berupa garis lurus. Hasil uji tersebut diperkuat dengan hasil uji Anderson Darling yaitu nilai-p sebesar 0,313 lebih besar dari taraf α lima persen. Berdasarkan pengujian kehomogenan sisaan (homoskedastisitas) pada model penduga, diketahui bahwa sebaran sisaan mempunyai pola acak. Hasil uji kenormalan dan kehomogenan sisaan dapat dilihat pada Lampiran 13. Hasil pendugaan fungsi produksi eksponensial pada petani Primatani secara statistik telah memenuhi asumsi OLS. Dengan telah terpenuhinya asumsi OLS maka model fungsi produksi tersebut dapat digunakan untuk menduga hubungan antara faktor-faktor produksi yang digunakan dalam usahatani Belimbing Dewa petani non Primatani dengan produksi Belimbing Dewa yang dihasilkan petani non Primatani Analisis Elastisitas Faktor Produksi Nilai koefisien regresi yang terdapat pada model penduga fungsi produksi yang digunakan untuk petani Primatani dan non Primatani sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas. Besaran elastisitas tersebut juga merupakan tingkat besaran returns to scale. Ukuran returns to scale dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai elastisitas pada model fungsi produksi dari masing-masing petani. Penjumlahan dari nilai elastisitas tersebut dapat digunakan untuk mengetahui keadaan skala usaha. Jumlah nilai elastisitas dalam model untuk petani Primatani dan non Primatani adalah 0,9879 dan 0,983. Hal ini menggambarkan bahwa usahatani Belimbing Dewa yang dilakukan petani Primatani dan non Primatani berada pada skala decreasing returns to scale. Hal ini menandakan bahwa, jika input yang digunakan petani Primatani dan non Primatani dalam proses produksi Belimbing Dewa secara bersama-sama ditambah sebesar satu persen, maka output yang

125 diproduksi akan bertambah sebesar kurang dari satu persen, yakni 0,9879 persen pada petani Primatani dan 0,983 persen untuk petani non Primatani. Ukuran skala usaha pada petani Primatani dan non Primatani yang diperoleh dari penjumlahan nilai elastisitas dapat dikatakan hampir sama. Tetapi hasil tersebut perlu diuji secara statistik. Uji statistik yang digunakan adalah uji beda chi square. Hasil uji chi square disajikan pada Tabel 38. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa X 2 hitung lebih kecil dari X 2 tabel maka dapat disimpulkan hipotesis awal diterima. Maka dapat dikatakan ukuran skala usaha pada petani Primatani dan non Primatani sama pada taraf lima persen. Tabel 38. Hasil Analisis Uji Beda Chi Square terhadap Ukuran Skala Usaha Petani Primatani dan Non Primatani Hipotesis X 2 Kesimpulan H 0 : σ 2 2 = σ 0 X 2 hitung : 17,62 H 1 : σ 2 2 σ 0 X 2 0,05 (29) : 42,557 Terima H 0 Elastisitas produksi adalah persentase perubahan output sebagai akibat persentase perubahan input. Berdasarkan model fungsi produksi yang digunakan, dapat dilihat nilai elastisitas input, sehingga dapat diketahui sejauh mana pengaruh input-input tersebut terhadap output. Pada usahatani Belimbing Dewa petani Primatani, input yang digunakan adalah pupuk kandang, pupuk NPK, pupuk gandasil, pestisida, petrogenol dan tenaga kerja. Sedangkan input yang digunakan oleh petani non Primatani sesuai model fungsi produksi yang digunakan adalah pupuk kandang, pupuk gandasil, pestisida, petrogenol dan tenaga kerja. Elastisitas tiap-tiap faktor produksi dijelaskan sebagai berikut : 1) Pupuk kandang Pupuk kandang adalah salah satu pupuk yang digunakan dalam budidaya Belimbing Dewa oleh petani peserta Primatani maupun non peserta Primatani. Penggunaan pupuk kandang berfungsi untuk menambah dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Akan tetapi, hasil pendugaan model fungsi produksi yang diajukan pada petani Primatani dan non Primatani tidak menunjukkan pengaruh nyata dari faktor produksi pupuk kandang. Nilai elastisitas pupuk kandang pada petani Primatani dan non Primatani adalah sebesar 0,0412 dan 0,0527. Karena pupuk kandang tidak berpengaruh nyata pada produksi Belimbing Dewa petani Primatani dan non Primatani maka penambahan atau

126 pengurangan pupuk kandang tidak berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan produksi Belimbing Dewa. Hal ini terlihat dari keadaan budidaya Belimbing Dewa di lokasi penelitian. Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan petani responden baik petani Primatani dan non Primatani adalah dosis penggunaan pupuk kandang antara petani satu dengan petani yang lain berbeda berkisar kilogram. Hal ini tergantung dari sumberdaya yang dimiliki petani. Petani tidak khawatir hasil produksinya akan turun karena penggunaan pupuk kandang yang diberikan tidak optimal atau sesuai dengan SOP yakni 40 sampai 60 kilogram per pohon yang diberikan setiap empat bulan sekali. Karena menurut petani dengan pemberian pupuk kandang dalam jumlah yang minim pun hasil buah Belimbing Dewa yang diproduksi tidak akan berbeda jauh dibandingkan dengan pemberian pupuk kandang sesuai dosis SOP. Hal yang terpenting menurut petani Primatani dan non Primatani adalah kegiatan pencegahan dan pengendalian HPT yang dapat mengurangi risiko turunnya produksi Belimbing Dewa. Jika terjadi serangan hama khususnya lalat buah maka petani Belimbing Dewa akan terancam gagal panen. 2) Pupuk NPK Pupuk NPK merupakan salah satu faktor produksi yang digunakan dalam model penduga fungsi produksi petani Primatani. Pupuk NPK berfungsi memberikan kebutuhan zat hara pada tanaman. Namun hasil pendugaan model fungsi produksi yang diajukan pada petani Primatani tidak menunjukkan pengaruh yang nyata dari faktor produksi pupuk NPK dengan elastisitas produksi sebesar 0,0337. Sehingga penambahan atau pengurangan pupuk NPK tidak berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan produksi Belimbing Dewa petani Primatani. Hal ini serupa seperti yang diungkapkan oleh Zamani (2008). Dalam penelitian Zamani (2008), penggunaan input pupuk NPK pada petani SOP tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil produksi belimbing. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PPL di lokasi penelitian, pupuk NPK lebih mempengaruhi kualitas dari buah belimbing. Pupuk NPK yang diberikan pada tanaman belimbing mempengaruhi kadar gula yang terkandung dalam buah belimbing. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab pupuk NPK tidak berpengaruh nyata pada produksi Belimbing Dewa.

127 3) Pupuk gandasil Hasil pendugaan fungsi produksi eksponensial yang digunakan pada petani Primatani dan non Primatani menunjukkan bahwa pupuk gandasil berpengaruh nyata pada produksi Belimbing Dewa petani Primatani dan non Primatani. Pupuk gandasil pada petani Primatani memiliki nilai elastisitas 0,177, sedangkan pada petani non Primatani nilai elastisitas pupuk gandasil -0,201. Hal ini berarti setiap penambahan pupuk gandasil sebesar satu persen sementara semua faktor produksi dianggap konstan maka akan menambah jumlah produksi Belimbing Dewa sebesar 0,177 persen untuk petani Primatani dan mengurangi jumlah produksi Belimbing Dewa sebesar 0,201 persen untuk petani non Primatani. Penggunaan pupuk gandasil pada petani Primatani berada pada daerah rasional karena mempunyai nilai elastisitas yang positif yakni antara nol dan satu. Sedangkan penggunaan faktor produksi pupuk gandasil petani non Primatani berada pada daerah irrasional kerena mempunyai elastisitas yang negatif. Penggunaan pupuk gandasil oleh petani bertujuan untuk merangsang pertumbuhan bunga. Berkurangnya produksi diduga karena bunga yang akan menjadi bakal buah gugur dikarenakan faktor angin dan hujan. 4) Pestisida Pestisida yang digunakan oleh peserta Primatani dan non Primatani adalah Decis, Curacron dan Dursban. Ketiga jenis pestisida tersebut berfungsi untuk mengatasi HPT pada tanaman Belimbing Dewa yakni ulat daun dan kutu putih. Dalam analisis penggunaan faktor produksi ini, nilai ketiga jenis pestisida tersebut diakumulasikan. Berdasarkan hasil analisis fungsi produksi, penggunaan faktor produksi pestisida pada petani Primatani dan non Primatani berpengaruh nyata pada produksi Belimbing Dewa. Nilai elastisitas faktor produksi pestisida untuk petani Primatani adalah sebesar -0,102, hal ini dapat diartikan bahwa jika penggunaan pestisida ditambah sebesar satu persen sedangkan penggunaan faktor produksi lain dianggap tetap, maka produksi yang dihasilkan petani Primatani akan berkurang sebesar 0,102 persen. Faktor produksi pestisida yang digunakan petani non Primatani memiliki nilai elastisitas sebesar 0,0797. Artinya apabila penggunaan

128 pestisida pada petani non Primatani ditambah sebesar satu persen maka produksi Belimbing Dewa yang dihasilkan akan meningkat sebesar 0,0797 persen. Penggunaan pestisida oleh petani Primatani berada pada daerah irrasional karena memiliki nilai elastisitas yang negatif. Sedangkan untuk petani non Primatani penggunaan pestisida berada pada daerah yang rasional dikarenakan nilai elastisitasnya berada diantara nol dan satu. Penggunaan pestisida pada petani Primatani memberikan pengaruh yang negatif terhadap produksi Belimbing Dewa dikarenakan banyak dari petani Primatani yang mencampur beberapa jenis pestisida ke dalam satu adukan untuk di semprotkan ke tanaman Belimbing Dewa. Aturan penyemprotan pestisida yang tepat menurut PPL di lokasi penelitian adalah tidak mencampur beragam jenis pestisida menjadi satu adukan. Jika ingin menggunakan lebih dari satu jenis pestisida sebaiknya dilakukan secara bergilir. 5) Petrogenol Berdasarkan hasil analisis fungsi produksi penggunaan faktor produksi petrogenol pada petani Primatani berpengaruh nyata sedangkan pada petani non Primatani tidak berpengaruh nyata. Nilai elastisitas faktor produksi petrogenol untuk petani Primatani adalah sebesar 0,111 dan untuk petani non Primatani adalah 0,0316. Artinya, setiap penambahan petrogenol sebesar satu persen sementara semua faktor produksi dianggap konstan, akan meningkatkan jumlah produksi belimbing petani Primatani sebesar 0,111 persen. Penggunaan petrogenol berada pada daerah rasional karena nilai elastisitasnya yang positif dan berada antara nol dan satu. Namun hal tersebut tidak terjadi pada petani non peserta Primatani. Hal ini dikarenakan input petrogenol tidak berpengaruh nyata pada produksi Belimbing Dewa yang dihasilkan oeh petani non Primatani. Sehingga penambahan ataupun pengurangan petrogenol tidak mempengaruhi peningkatan atau penurunan produksi belimbing petani Primatani. 6) Tenaga kerja Nilai elastisitas faktor produksi tenaga kerja untuk petani Primatani adalah sebesar 0,754 dan untuk petani non Primatani sebesar 1,02. Hal ini berarti setiap penambahan tenaga kerja sebesar satu persen sementara semua faktor produksi

129 dianggap konstan, akan meningkatkan produksi Belimbing Dewa sebesar 0,754 persen pada petani Primatani dan 1,02 persen pada petani non Primatani. Penggunaan tenaga kerja pada petani Primatani berada pada daerah rasional karena nilainya terletak antara nol dan satu. Sedangkan untuk petani non Primatani penggunaan tenaga kerja berada di daerah irrasional yakni bernilai lebih besar dari satu. Nilai koefisien tenaga kerja pada fungsi produksi petani Primatani dan non Primatani berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 99 persen. Tenaga kerja banyak dibutuhkan dalam kegiatan budidaya Belimbing Dewa terutama di saat melakukan kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah. Kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah tidak boleh dilakukan terlambat dikarenakan untuk menghindari serangan lalat buah sedini mungkin. Semakin cepat pengerjaan kegiatan pembungkusan buah, akan semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan dan akan semakin kecil risiko serangan lalat buah. Tidak hanya pada kegiatan pembungkusan dan penjarangan saja, budidaya Belimbing Dewa membutuhkan tenaga kerja untuk kegiatan lain seperti pemupukan, pemangkasan, sanitasi kebun, penyemprotan pestisida dan pemanenan Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Soekartawi (2002) menyebutkan bahwa efisiensi dapat diartikan sebagai penggunaan input yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan produksi yang sebesar-besarnya. Kondisi efisien tersebut akan terjadi jika nilai produk marjinal untuk suatu input sama dengan harga input tersebut. Doll dan Orazem (1978) menambahkan bahwa efisiensi ekonomis harus memenuhi dua syarat yaitu syarat keharusan dan syarat kecukupan. Syarat kecukupan tercapai jika Nilai Produk Marginal (NPM) untuk faktor produksi sama dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM). Besaran Produk Marjinal (PM) perlu diketahui terlebih dahulu untuk mendapatkan NPM. Hal ini dikarenakan NPM adalah hasil kali harga produk (Py) dengan PM. BKM adalah tambahan biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan penggunaan faktor produksi sebesar satu satuan dan nilainya merupakan harga beli dari masing-masing faktor produksi. Tingkat efisiensi ekonomi penggunaan faktor produksi dapat dianalisis dari besarnya rasio NPM/BKM.

130 Kondisi efisiensi produksi Belimbing Dewa untuk petani Primatani dan non Primatani dapat diketahui jika produksi rata-rata Belimbing Dewa dan harga Belimbing Dewa diketahui. Pada pembahasan ini, hasil produksi belimbing baik pada petani Primatani dan petani non Primatani untuk kelompok umur pohon 5-9 tahun dan tahun akan diakumulasikan. Produksi Belimbing Dewa untuk petani Primatani adalah sebesar ,94 kilogram dengan harga produk Rp 3.682,59 per kilogram. Nilai ini adalah hasil dari penerimaan petani dibagi dengan total produksi. Sedangkan produksi Belimbing Dewa yang dihasilkan oleh petani non Primatani adalah ,08 kilogram dengan harga produk sebesar Rp 3.679,53 per kilogram. Berdasarkan Tabel 38, dapat dilihat bahwa penggunaan faktor-faktor produksi petani Primatani dan non Primatani belum efisien secara ekonomi. Hal ini dikarenakan rasio NPM/BKM dari masing-masing petani tidak sama dengan satu. Faktor produksi yang memiliki rasio lebih dari satu diperlukan penambahan dari rata-rata jumlah faktor produksi sedangkan faktor produksi yang memiliki rasio kurang dari satu, diperlukan pengurangan rata-rata jumlah faktor produksi hingga rasio NPM/BKM sama dengan satu. Penggunan faktor-faktor produksi dalam tingkat efisien pada petani Primatani dan non Primatani juga disajikan pada Tabel 39. Tabel 39. Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) dari Produksi Belimbing Dewa di Kota Depok Tahun 2008 Faktor Produksi Input Rata-rata (Aktual) Koefisien Regresi NPM BKM Rasio NPM/ BKM Penggunaan Input Optimal Primatani Pupuk Kandang ,64 0, ,57 240,00 0, ,00 Pupuk NPK 1.192,20 0, , ,95 1, ,16 Pupuk Gandasil ,42 0, ,55 46,57 136, ,50 Petrogenol 866,81 0, , ,00 43, ,84 Tenaga Kerja 2.195,60 0, , ,00 3, ,00 Non Primatani Pupuk Kandang ,09 0, ,89 266,24 1, ,82 Pestisida ,31 0, ,89 145,26 4, ,43 Petrogenol 813,38 0, , ,00 16, ,30 Tenaga Kerja 2.529,26 1, , ,00 4, ,41 Nilai produk marjinal untuk pupuk kandang pada petani Primatani dan non Primatani adalah senilai 118,57 dan 462,89. Biaya korbanan marjinal dari input faktor produksi pupuk kandang pada petani Primatani adalah Rp 240,00 dan Rp

131 266,24 pada petani non Primatani. Hal ini memiliki arti bahwa setiap penambahan penggunaan pupuk kandang sebanyak satu kilogram akan meningkatkan penerimaan sebanyak Rp 118,57 untuk petani Primatani dan Rp 462,89 untuk petani non Primatani. Adapun rasio antara NPM dan BKM dari pupuk kandang pada petani Primatani dan non Primatani adalah sebesar 0,49 dan 1,74. Artinya pupuk kandang belum efisien dalam penggunaannya, baik pada petani Primatani dan non Primatani. Dengan demikian, untuk mencapai kondisi yang efisien pupuk kandang perlu dikurangi penggunaannya oleh petani Primatani dan perlu ditambah penggunaannya oleh petani non Primatani. Penggunaan pupuk kandang yang optimal pada petani Primatani dan non Primatani adalah kilogram dan ,82 kilogram. Faktor produksi pupuk NPK pada petani peserta Primatani memiliki biaya korbanan marjinal sebesar Rp ,95 dan nilai produk marjinal sebesar ,14. Nilai NPM ini menunjukkan penambahan satu kilogram pupuk NPK oleh petani Primatani, akan meningkatkan penerimaan petani Primatani sebesar Rp ,14. Rasio NPM/BKM diperoleh sebesar 1,32, artinya penggunaan pupuk NPK pada petani Primatani belum efisien. Untuk menjadi efisien, penggunaan pupuk NPK perlu ditambah hingga mencapai 1.574,16 kilogram. Nilai produk marjinal dari pupuk gandasil pada petani Primatani adalah 6.339,55, artinya setiap penambahan penggunaan pupuk gandasil oleh petani Primatani sebanyak satu gram akan menambah penerimaan sebesar Rp 6.339,55. Biaya korbanan marjinal untuk pupuk gandasil petani Primatani sebesar Rp 46,57, sehingga diperoleh rasio NPM/BKM sebesar 136,13. Oleh karena itu petani Primatani disarankan menambah penggunaan pupuk gandasil dari ,42 gram menjadi ,50 gram karena penggunaan pupuk gandasil belum efisien. Rasio NPM/BKM dari input pestisida pada petani non Primatani adalah 4,71, sedangkan nilai produk marjinalnya adalah ,91. Tambahan biaya yang harus dikeluarkan petani non Primatani adalah Rp 145,26. Hal ini berarti penambahan satu milliliter pestisida akan menambah penerimaan petani non Primatani sebesar Rp ,91. Rasio NPM/BKM yang lebih dari satu menandakan penggunaan faktor produksi yang belum efisien. Sehingga, jumlah

132 penggunaan pestisida pada petani non Primatani perlu ditambah hingga mencapai ,43 milliliter agar menjadi efisien. Petrogenol yang digunakan petani Primatani dan non Primatani memiliki nilai produk marjinal masing-masing sebesar ,91 dan ,38. Hal ini berarti setiap penambahan penggunaan satu milliliter petrogenol akan menambah penerimaan sebanyak Rp ,91 pada petani Primatani dan Rp ,38 pada petani non Primatani. Pengorbanan untuk memperoleh input tersebut adalah Rp 1.400,00 baik pada petani Primatani maupun non Primatani. dengan demikian, nilai rasio NPM/BKM dari petrogenol untuk petani Primatani dan non Primatani adalah sebesar 43,14 dan 16,33. Hal ini menandakan penggunan petrogenol belum efisien. Untuk menjadi efisien, penggunaan petrogenol oleh petani Primatani perlu ditambah dari 866,81 milliliter menjadi ,84 milliliter. Hal serupa juga disarankan dilakukan oleh petani non Primatani, agar mencapai efisien, petani non Primatani perlu menambah penggunaan input petrogenol dari 813,38 milliliter menjadi ,30 milliliter. Tenaga kerja pada petani Primatani dan non Primatani mempunyai nilai produk marjinal masing-masing sebesar ,11 dan ,54. Hal ini dapat diartikan setiap penambahan penggunaan tenaga kerja akan meningkatkan penerimaan sebesar Rp ,11 untuk petani Primatani dan Rp ,54 untuk petani non Primatani. Biaya korbanan yang harus dikeluarkan untuk tenaga kerja adalah Rp baik oleh petani Primatani maupun non Primatani. nilai rasio NPM/BKM yang diperoleh petani Primatani dan non Primatani adalah sebesar 3,23 dan 4,75. Rasio NPM/BKM yang lebih besar dari satu mengindikasikan penggunaan tenaga kerja oleh petani Primatani dan non Primatani belum efisien. Dengan demikian penggunaan tenaga kerja perlu ditambah hingga mencapai HOK untuk petani Primatani dan ,41 untuk petani non Primatani. Hadirnya Primatani ternyata belum memberikan pengaruh terhadap tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi pada petani peserta Primatani. Tingkat penggunaan faktor produksi pada petani Primatani belum mencapai kondisi yang optimal. Hal ini ditandai dari hasil rasio NPM/BKM yang tidak sama dengan satu.

133 VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Kesimpulan dari analisis pendapatan dan efisiensi produksi usahatani Belimbing Dewa petani peserta Primatani di Kota Depok adalah : 1) Pengaruh hadirnya Primatani di Kota Depok khususnya di Kelurahan Pasir Putih belum memberikan dampak yang terlalu besar terhadap tingkat pendapatan petani peserta Primatani. Hal ini disimpulkan dari pendapatan usahatani Belimbing Dewa per hektar per tahun atas biaya tunai dan biaya total petani non peserta Primatani pada tahun 2008 lebih besar jika dibandingkan dengan petani peserta Primatani. Usahatani Belimbing Dewa yang dijalankan petani peserta Primatani dan non peserta Primatani sudah menguntungkan bagi petani. Hal ini terlihat dari nilai R/C rasio pada petani Primatani dan non Primatani yang lebih besar dari satu. 2) Hadirnya Primatani ternyata belum memberikan pengaruh terhadap tingkat efisiensi penggunaan pupuk kandang, pupuk NPK, pupuk gandasil, pestisida, petrogenol dan tenaga kerja pada petani peserta Primatani. Tingkat penggunaan faktor produksi pada petani Primatani belum mencapai kondisi yang optimal. Hal ini ditandai dari hasil rasio NPM/BKM yang tidak sama dengan satu Saran 1) Kegiatan penyuluhan dan bimbingan kepada petani peserta Primatani perlu ditingkatkan kembali oleh tim Primatani dan PPL setempat. Kegiatan ini sebaiknya tidak hanya diikuti oleh perwakilan dari kelompok tani saja tetapi oleh seluruh petani anggota kelompok tani. Hal ini dimaksudkan agar tim Primatani lebih mengetahui masalah-masalah yang dialami petani secara keseluruhan sehingga teknologi yang diterapkan di lapang sesuai dengan permasalahan yang dialami petani. Selain itu, peninjauan yang dilakukan tim Primatani secara langsung ke kebun petani perlu dilakukan secara lebih intensif. Hal ini bertujuan untuk memantau dan memberikan arahan dalam pelaksanaan kegiatan budidaya Belimbing Dewa yang lebih optimal agar hasil yang diperoleh petani dapat lebih maksimal.

134 2) Penelitian selanjutnya yang mengkaji mengenai pengaruh pelaksanaan program pemerintah di bidang pertanian diharapkan dapat dilaksanakan dengan metode menganalisis kondisi sebelum dan setelah program dilaksanakan. Hanya saja kendala yang seringkali ditemui adalah petani lupa akan hal yang khususnya menyangkut biaya dan penerimaan usahatani pada periode sebelum hadirnya program. Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan kemampuan khusus dari peneliti untuk menggali informasi lebih dalam dan saat melakukan wawancara dengan petani. 3) Pengaruh hadirnya Primatani di Kota Depok tidak hanya dapat dianalisis dari segi pendapatan dan efisiensi usahatani Belimbing Dewa seperti pada penelitian ini saja. Terlebih lagi, penelitian ini berlangsung pada tahun 2008, yakni tahun kedua pelaksanaan Primatani di Kota Depok. Sehingga masih banyak inovasi teknologi dan kelembagaan lainnya yang dapat dianalisis dari pengaruh pelaksanaan Primatani khususnya di Kota Depok yang direncanakan berakhir pada akhir tahun Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat lebih mengkaji dan menganalisis pengaruh Primatani dari segala aspek dan komoditas unggulan lainnya di Kota Depok.

135 DAFTAR PUSTAKA Astuti RB Penerapan teknologi System of Rice Intensification (SRI) di Desa Margahayu Kabupaten Tasikmalaya [skripsi]. Bogor: Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Pertumbuhan Ekonomi Tahun Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Rancang Bangun Laboratorium Agribisnis Primatani Kota Depok. Lembang: BPTP Jawa Barat. Daniel M Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Bumi Aksara. Dinas Pertanian Kota Depok Profil Belimbing: Potensi Investasi Hortikultura Kota Depok. Depok: Dinas Pertanian Kota Depok. Dinas Pertanian Kota Depok Standar Operasional Prosedur Belimbing Dewa Kota Depok. Depok: Dinas Pertanian Kota Depok. Disti CV Analisis pendapatan dan efisiensi produksi usahatani padi program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu di Kabupaten Subang [skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Doll JP, Orazem F Productions Economics: Theory with Applications. Ohio: Grid Inc. Columbus. Gujarati D Ekonometrika Dasar. Sumarno Z, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Basic Econometric. Halcrow HG Ekonomi Pertanian. Armand S, penerjemah; Malang: UMM Press. Terjemahan dari: Economics of Agriculture. Hasan MI Pokok-Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensif). Jakarta: Bumi Aksara. Hernanto F Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. Husen HA Analisis pendapatan usahatani dan pemasaran buah belimbing Depok varietas Dewa-Dewi (Averrhoa carambola L.) : kasus Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Propinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Irawati IN Analisis pendapatan dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani padi program PTT dan non program PTT : kasus penerapan program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) di Kabupaten Karawang [skripsi]. Bogor: Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ishaq I, Rokayah E, Yuliana R Produksi buah pisang meningkat > 40% pada kelompok tani binaan Prima Tani kabupaten Cianjur. Prima Tani Jabar Vol 1 No 2 Semester II:53.

136 Marsono, Sigit P Pupuk Akar : Jenis dan Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya. Mosher AT Menggerakkan dan Membangun Pertanian : Syarat-Syarat Pokok Pembangunan dan Modernisasi. Krisnandhi dan Bahrin S, penerjemah; Jakarta: CV Yasaguna. Terjemahan dari: Getting Agriculture Moving. Nasution MI Studi perbandingan pendapatan dan efisiensi usahatani padi program PTT dengan petani non program PTT : kasus implementasi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) di Kabupaten Karawang [skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Noviana I, Sunandar N Teknik irigasi tetes untuk mengatasi getah kuning manggis. Prima Tani Jabar. Vol 1 No 2 Semester II:52. Soekartawi Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian : Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada Analisis Usahatani. Jakarta: UI Press Agribisnis : Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada Teori Ekonomi Produksi : dengan Pokok Bahasan Khusus Fungsi Produksi Cobb-Douglas. Jakarta: CV Rajawali. Soekartawi, Soeharjo A, Dillon JL, Hardaker JB Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta: UI Press. Tim PRA Kota Depok Laporan Pelaksanaan Participatory Rural Appraisal (PRA) Program Rintisan dan Akselerasi Inovasi Teknologi Pertanian (Primatani) Kota Depok. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Zamani A Analisis pendapatan dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani belimbing Depok varietas Dewa-Dewi (Averrhoa carambola L.) [skripsi]. Bogor: Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

137 LAMPIRAN

138 Lampiran 1. Peta Penggunaan Lahan Kelurahan Pasir Putih Tahun 2006 Lampiran 4. Hasil Output Model Fungsi Produksi Linear Berganda Petani Primatani The regression equation is PRODUKSI = PUKAN NPK GANDASIL PESTISIDA PETROGENOL TK Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant PUKAN NPK GANDASIL PESTISID PETROGEN TK S = 3186 R-Sq = 96.4% R-Sq(adj) = 95.5% PRESS = R-Sq(pred) = 89.64% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total Durbin-Watson statistic = 2.27 Sumber : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2007)

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L)

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L) ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L) Oleh : AKBAR ZAMANI A. 14105507 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting bagi perekonomian Negara Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan kehidupan mereka pada sektor

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda dengan pendapatan yang diterima oleh petani lainnya. Bahkan seorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda dengan pendapatan yang diterima oleh petani lainnya. Bahkan seorang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Status Petani Pendapatan yang diterima seorang petani dalam satu musim/satu tahun berbeda dengan pendapatan yang diterima oleh petani lainnya. Bahkan seorang petani yang mengusahakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Subsektor hortikultura merupakan bagian dari sektor pertanian yang mempunyai peran penting dalam menunjang peningkatan perekonomian nasional dewasa ini. Subsektor ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas Dayasaing sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu industri karena dayasaing merupakan kemampuan suatu

Lebih terperinci

DAN PEMASARAN NENAS BOGOR BOGOR SNIS SKRIPSI H

DAN PEMASARAN NENAS BOGOR BOGOR SNIS SKRIPSI H ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN PEMASARAN NENAS BOGOR Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor SKRIPSI ERIK LAKSAMANA SIREGAR H 34076059 DEPARTEMEN AGRIBIS SNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

PERAN KOPERASI DALAM PENGEMBANGAN SISTEM AGRIBISNIS BELIMBING DEWA (Studi Kasus Pusat Koperasi Pemasaran Belimbing Dewa Depok, Jawa Barat)

PERAN KOPERASI DALAM PENGEMBANGAN SISTEM AGRIBISNIS BELIMBING DEWA (Studi Kasus Pusat Koperasi Pemasaran Belimbing Dewa Depok, Jawa Barat) PERAN KOPERASI DALAM PENGEMBANGAN SISTEM AGRIBISNIS BELIMBING DEWA (Studi Kasus Pusat Koperasi Pemasaran Belimbing Dewa Depok, Jawa Barat) SKRIPSI ERNI SITI MUNIGAR H34066041 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris memiliki hasil pertanian yang sangat berlimpah. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang memiliki posisi penting di Indonesia. Data Product

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat strategis dalam pembangunan perekonomian negara Indonesia. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia yaitu sekitar

Lebih terperinci

: NUSRAT NADHWATUNNAJA A

: NUSRAT NADHWATUNNAJA A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PAPRIKA HIDROPONIK DI DESA PASIR LANGU, KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BANDUNG Oleh : NUSRAT NADHWATUNNAJA A14105586 PROGRAM SARJANA

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA

BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA 6.1. Analisis Fungsi Produksi Model fungsi produksi yang digunakan adalah model fungsi Cobb- Douglas. Faktor-faktor produksi yang diduga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia terutama dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto). Distribusi PDB menurut sektor ekonomi atau

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian Indonesia memiliki potensi yang besar dalam segi sumberdaya dan kualitas, sehingga dapat menjadi sektor unggulan dalam meningkatkan pendapatan negara. Saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dalam mendukung perekonomian nasional, terutama sebagai sumber bahan

Lebih terperinci

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA 7.1. Analisis Fungsi Produksi Hasil pendataan jumlah produksi serta tingkat penggunaan input yang digunakan dalam proses budidaya belimbing dewa digunakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor pertanian, sektor ini meliputi aktifitas pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan.

Lebih terperinci

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai struktur biaya, penerimaan dan pendapatan dari kegiatan usahatani yang dijalankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi pusat perhatian dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyuluhan pertanian mempunyai peranan strategis dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (petani) sebagai pelaku utama usahatani. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa

I. PENDAHULUAN. kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buah-buahan merupakan salah satu komoditi hortikultura yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, PDB komoditi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki peluang besar dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah untuk memajukan sektor pertanian. Salah satu subsektor

Lebih terperinci

Salah satu tanaman hortikultura yang memiliki peranan cukup penting adalah

Salah satu tanaman hortikultura yang memiliki peranan cukup penting adalah ROZFAULINA. ' Analisis Pendapatan dan Produksi Usahatani Cabai Merah Keriting, kasus Tiga Desa di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI). Salah satu tanaman

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi BAB 1.

ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi BAB 1. ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi ABSTRAK Tanaman pangan yang berkembang di Kabupaten Bekasi adalah padi, jagung, ubi kayu,

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI PESTISIDA DAN NON PESTISIDA DI DESA PURWASARI, KECAMATAN DARMAGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT. Oleh: VERRA ANGGREINI A

ANALISIS USAHATANI PADI PESTISIDA DAN NON PESTISIDA DI DESA PURWASARI, KECAMATAN DARMAGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT. Oleh: VERRA ANGGREINI A ANALISIS USAHATANI PADI PESTISIDA DAN NON PESTISIDA DI DESA PURWASARI, KECAMATAN DARMAGA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT Oleh: VERRA ANGGREINI A14101021 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur ) Oleh : Apollonaris Ratu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana strategis tahun 2010-2014 adalah terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN PRODUKSI CABANG USAHATANI CABAI MERAH. Oleh : EKO HENDRAWANTO A

ANALISIS PENDAPATAN DAN PRODUKSI CABANG USAHATANI CABAI MERAH. Oleh : EKO HENDRAWANTO A ANALISIS PENDAPATAN DAN PRODUKSI CABANG USAHATANI CABAI MERAH Oleh : EKO HENDRAWANTO A14105535 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN EKO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai iklim tropis, berpeluang besar bagi pengembangan budidaya tanaman buah-buahan, terutama buah-buahan tropika.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan daerah dalam era globalisasi saat ini memiliki konsekuensi seluruh daerah di wilayah nasional menghadapi tingkat persaingan yang semakin tinggi secara langsung

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki peranan sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011] BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sumber mata pencaharian masyarakat Indonesia. Sektor pertanian yang meliputi pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan kegiatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian unggulan yang memiliki beberapa peranan penting yaitu dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN BELIMBING DEWA DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK JAWA BARAT OLEH : SARI NALURITA A 14105605 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tugu Kelapa Dua Kecamatan Cimanggis Kota Depok dengan memilih Kelompok Tani Maju Bersama sebagai responden.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan beras di Indonesia pada masa yang akan datang akan meningkat. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi dengan besarnya konsumsi beras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang beriklim tropis dan relatif subur. Atas alasan demikian Indonesia memiliki kekayaan flora yang melimpah juga beraneka ragam.

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A14105570 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMENAGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki berbagai macam potensi sumber daya alam yang melimpah serta didukung dengan kondisi lingkungan, iklim, dan cuaca yang

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor)

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) Skripsi AHMAD MUNAWAR H 34066007 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah) 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Sektor pertanian adalah salah satu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... PENDAHULUAN P ada dasarnya pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN H. ISKANDAR ANDI NUHUNG Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian di masa depan. Globalisasi dan liberalisasi

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Skripsi SRI ROSMAYANTI H 34076143 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional adalah pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dan

Lebih terperinci

USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT. Oleh: DAVID ERICK HASIAN A

USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT. Oleh: DAVID ERICK HASIAN A USAHATANI DAN TATANIAGA KACANG KAPRI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG, CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT Oleh: DAVID ERICK HASIAN A 14105524 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan. Pengembangan hortikuktura diharapkan mampu menambah pangsa pasar serta berdaya

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A

ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A14104684 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

EVALUASI PETANI PESERTA PROGRAM SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL - PTT) PADI DI KABUPATEN NGAWI TESIS

EVALUASI PETANI PESERTA PROGRAM SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL - PTT) PADI DI KABUPATEN NGAWI TESIS EVALUASI PETANI PESERTA PROGRAM SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL - PTT) PADI DI KABUPATEN NGAWI TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peranan penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bruto (PDB) Indonesia, dan berperan penting dalam perekonomian nasional

BAB I PENDAHULUAN. Bruto (PDB) Indonesia, dan berperan penting dalam perekonomian nasional 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang memberikan kontribusi strategis dalam menyumbang nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber pertumbuhan ekonomi yang sangat potensial dalam pembangunan sektor pertanian adalah hortikultura. Seperti yang tersaji pada Tabel 1, dimana hortikultura yang termasuk

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAGING SAPI POTONG DOMESTIK

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAGING SAPI POTONG DOMESTIK FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAGING SAPI POTONG DOMESTIK SKRIPSI MARUDUT HUTABALIAN A14105571 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dan mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dan mempunyai keanekaragaman sumberdaya hayati yang berlimpah. Terdapat banyak sekali potensi alam yang dimiliki oleh

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Pendapatan Usahatani Suratiyah (2006), mengatakan bahwa usahatani sebagai ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian di Bali. Sektor ini menyumbang sebesar 14,64% dari total Produk

I. PENDAHULUAN. perekonomian di Bali. Sektor ini menyumbang sebesar 14,64% dari total Produk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian memegang peran strategis dalam upaya peningkatan perekonomian di Bali. Sektor ini menyumbang sebesar 14,64% dari total Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL PRODUKSI PEMBENIHAN IKAN GURAMI PETANI BERSERTIFIKAT SNI

ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL PRODUKSI PEMBENIHAN IKAN GURAMI PETANI BERSERTIFIKAT SNI ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL PRODUKSI PEMBENIHAN IKAN GURAMI PETANI BERSERTIFIKAT SNI (kasus di desa Beji Kecamatan Kedung Banteng Kabupaten Banyumas,Jawa Tengah) Oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang,

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor pertanian tanaman pangan, merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan telah terbukti memberikan peranan penting bagi pembangunan nasional,

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. hingga sekarang. Keragaan kebun belimbing di Kota Depok tersebar di enam

V. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. hingga sekarang. Keragaan kebun belimbing di Kota Depok tersebar di enam V. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN 5.1 Profil Belimbing di Kota Depok 5.1.1 Keragaan Kebun dan Pertanaman. Budidaya belimbing di Kota Depok telah dilakukan sejak tahun 1970-an hingga sekarang. Keragaan

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT. Oleh NORA MERYANI A

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT. Oleh NORA MERYANI A ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT Oleh NORA MERYANI A 14105693 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STRATEGI BAURAN PEMASARAN DENGAN PENERAPAN METODE PROSES HIERARKI ANALITIK DI AGROWISATA LITTLE FARMERS LEMBANG, BANDUNG

STRATEGI BAURAN PEMASARAN DENGAN PENERAPAN METODE PROSES HIERARKI ANALITIK DI AGROWISATA LITTLE FARMERS LEMBANG, BANDUNG STRATEGI BAURAN PEMASARAN DENGAN PENERAPAN METODE PROSES HIERARKI ANALITIK DI AGROWISATA LITTLE FARMERS LEMBANG, BANDUNG SKRIPSI IMAM WAHYUDI H34066064 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TERNAK KAMBING PERAH (KASUS : TIGA SKALA PENGUSAHAAN DI KABUPATEN BOGOR)

ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TERNAK KAMBING PERAH (KASUS : TIGA SKALA PENGUSAHAAN DI KABUPATEN BOGOR) ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA TERNAK KAMBING PERAH (KASUS : TIGA SKALA PENGUSAHAAN DI KABUPATEN BOGOR) SKRIPSI DEWINTHA STANI H34066033 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU BIJI DESA CIMANGGIS KECAMATAN BOJONG GEDE KABUPATEN BOGOR

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU BIJI DESA CIMANGGIS KECAMATAN BOJONG GEDE KABUPATEN BOGOR ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU BIJI DESA CIMANGGIS KECAMATAN BOJONG GEDE KABUPATEN BOGOR SKRIPSI FELIX BOB SANFRI SIREGAR H 34076064 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor pertanian Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor pertanian Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian. Ekspor negara Indonesia banyak dihasilkan dari sektor pertanian, salah satunya hortikultura

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sub sektor peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian yang sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan sub sektor peternakan perlu untuk dilakukan karena sub

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kelompok tani Suka Tani di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, propinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi

Lebih terperinci

program yang sedang digulirkan oleh Badan Litbang Pertanian adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian yang

program yang sedang digulirkan oleh Badan Litbang Pertanian adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian yang PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian di Indonesia telah mengalami perubahan yang pesat. Berbagai terobosan yang inovatif di bidang pertanian telah dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Usahatani Padi di Indonesia Padi merupakan komoditi pangan utama masyarakat Indonesia. Pangan pokok adalah pangan yang muncul dalam menu sehari-hari, mengambil porsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB. I. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus di Komunitas Petani Jamur Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus di Komunitas Petani Jamur Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor) ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus di Komunitas Petani Jamur Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor) SKRIPSI PUSPA HERAWATI NASUTION H 34076122 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM KREDIT KEPADA KOPERASI PRIMER UNTUK ANGGOTANYA (KKPA) TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI KELAPA SAWIT

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM KREDIT KEPADA KOPERASI PRIMER UNTUK ANGGOTANYA (KKPA) TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI KELAPA SAWIT DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM KREDIT KEPADA KOPERASI PRIMER UNTUK ANGGOTANYA (KKPA) TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI KELAPA SAWIT ( Studi : PT Sinar Kencana Inti Perkasa, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV. METODE PENELITIAN

BAB IV. METODE PENELITIAN BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Gapoktan Tani Bersama Desa Situ Udik Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan

I. PENDAHULUAN. Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan besar untuk menggerakkan roda perekonomian. Pada saat usaha besar tidak mampu mempertahankan eksistensinya,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani tomat dan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor utama yang menunjang perkembangan perekonomian Indonesia. Pada saat ini, sektor pertanian merupakan sektor penghasil devisa bagi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN (%) (%) (%) Buahbuahan , , , ,81

I PENDAHULUAN (%) (%) (%) Buahbuahan , , , ,81 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki potensi yang besar dalam menghasilkan produksi pertanian. Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Subsektor hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang memberikan kontribusi strategis dalam menyumbang nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan berperan

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI KECIL DAN KERAJINAN RUMAH TANGGA (IKKR) DI INDONESIA

ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI KECIL DAN KERAJINAN RUMAH TANGGA (IKKR) DI INDONESIA ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI KECIL DAN KERAJINAN RUMAH TANGGA (IKKR) DI INDONESIA OLEH DIAH ANANTA DEWI H14084022 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah pengembangan hortikultura untuk meningkatkan pendapatan petani kecil. Petani kecil yang dimaksud dalam pengembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan proses produksi yang khas didasarkan pada proses

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan proses produksi yang khas didasarkan pada proses I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan proses produksi yang khas didasarkan pada proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Pembangunan pertanian diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju,

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi risiko produksi jagung manis dilakukan di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mawar merupakan salah satu tanaman kebanggaan Indonesia dan sangat

BAB I PENDAHULUAN. Mawar merupakan salah satu tanaman kebanggaan Indonesia dan sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mawar merupakan salah satu tanaman kebanggaan Indonesia dan sangat populer di mata dunia karena memiliki bunga yang cantik, indah dan menarik. Selain itu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mendapatkan perhatian cukup besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam rangka pembangunan ekonomi jangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya perubahan secara terencana seluruh dimensi kehidupan menuju tatanan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Sebagai perubahan yang terencana,

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOPI DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN SUMATERA UTARA

STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOPI DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN SUMATERA UTARA STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOPI DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN SUMATERA UTARA SKRIPSI TIUR MARIANI SIHALOHO H34076150 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

ANALISIS TOTAL FAKTOR PRODUKTIVITAS PADA INDUSTRI TANAMAN PANGAN DI INDONESIA PERIODE OLEH: DIYAH KUSUMASTUTI H

ANALISIS TOTAL FAKTOR PRODUKTIVITAS PADA INDUSTRI TANAMAN PANGAN DI INDONESIA PERIODE OLEH: DIYAH KUSUMASTUTI H ANALISIS TOTAL FAKTOR PRODUKTIVITAS PADA INDUSTRI TANAMAN PANGAN DI INDONESIA PERIODE 1985 2004 OLEH: DIYAH KUSUMASTUTI H14101088 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci