Grand Strategy Marine Conservation Area Networks. Stretegi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Grand Strategy Marine Conservation Area Networks. Stretegi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut"

Transkripsi

1 Grand Strategy Marine Conservation Area Networks Stretegi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut

2

3 2006 Penanggungjawab : Yaya Mulyana Penyusun Editor : - Tim Penyusun Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut - Asdir Kebijakan dan Pengembangan MMA/MCA COREMAP II : Agus Dermawan, Suraji Desain & Tata Letak: Suraji Sumber Foto : Suraji, Coremap II Departeman Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II COREMAP II Jl. Medan Merdeka Timur No. 16, lt. 9 Jakarta Pusat Telp ext. 8924, Fax Jl. Tebet Raya No. 91 Jakarta Selatan Telp , Fax coremapii@dkp.go.id, coremap2@yahoogroups.com

4 Kata Pengantar Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Tingginya keaneka-ragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis melainkan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti variasi iklim musiman, arus atau massa air laut yang mempengaruhi massa air dari dua samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, meningkatnya jumlah penduduk serta faktor-faktor ekonomi lain, menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya alam laut dan ekosistemnya semakin meningkat pula. Hal tersebut semakin dipicu oleh kegiatan yang tidak mengacu pada kriteria-kriteria pembangunan berwawasan lingkungan serta pemanfaatan sumberdaya alam laut yang berlebihan. Oleh karenanya diperlukan upaya untuk menanggulangi hal tersebut. Salah satu bentuk upaya tersebut adalah perlindungan sumberdaya alam yang dapat dilakukan melalui konservasi dengan cara menetapkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis biota laut, gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya menjadi Kawasan Konservasi Laut (KKL) atau disebut juga Marine Conservation Area (MCA). KKL tersebut pada dasarnya merupakan gerbang terakhir perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya kelautan dan ekosistemnya. Melalui cara tersebut diharapkan upaya perlindungan secara lestari terhadap sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya serta pemanfaatan sumberdaya alam laut secara berkelanjutan dapat terwujud. Naskah Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut ini sebagai bahan masukan dalam rangka menentukan arah strategi yang tepat dalam pengelolaan jejaring KKL dalam jangka waktu 10 tahun. Akhir kata, saya mengucapkan puji syukur atas penerbitan buku ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada seluruh penyusun yang telah bekerja keras dalam menyelesaikan buku ini serta kepada semua pihak yang turut membantu menyumbang dan memperkaya materi hingga selesainya penyusunan buku ini. Semoga bermanfaat Direktur PMO/NCU Coremap II, Yaya Mulyana Grand Strategy MCA Networks

5

6 1.1. Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis melainkan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti variasi iklim musiman, arus atau massa air laut yang mempengaruhi massa air dari dua samudra, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, meningkatnya jumlah penduduk serta faktorfaktor ekonomi lain, menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya alam laut dan ekosistemnya semakin meningkat pula. Hal tersebut semakin dipicu oleh kegiatan yang tidak mengacu pada kriteriakriteria pembangunan berwawasan lingkungan serta pemanfaatan sumberdaya alam laut yang berlebihan. Oleh karenanya diperlukan upaya untuk menanggulangi hal tersebut. Salah satu bentuk upaya tersebut adalah perlindungan sumberdaya alam yang dapat dilakukan melalui konservasi dengan cara menyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis biota laut, gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya menjadi Kawasan Konservasi Laut (KKL). KKL tersebut pada dasarnya merupakan gerbang terakhir perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya kelautan dan ekosistemnya. Melalui cara tersebut diharapkan upaya perlindungan secara lestari terhadap sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya serta pemanfaatan sumberdaya alam laut secara berkelanjutan dapat terwujud. KKL merupakan wilayah perairan laut termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup tumbuhan dan hewan di 2 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

7 dalamnya, serta/atau termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya di bawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut (Definisi berdasarkan Komnas Kolaut, 2005). Di daerah tersebut diatur zona-zona untuk mengatur kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti penambangan minyak dan gas bumi, perlindungan ikan, biota laut dan ekologinya untuk menjamin perlidungan yang lebih baik. Pada tahun 2010 Departemen Kelautan dan Perikanan menargetkan untuk mengembangkan KKL seluas 10 juta ha. Berkaitan dengan target tersebut, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Management Programe/ COREMAP), sedang berupaya untuk mengembangkan KKL di Indonesia salah satunya melalui Kegiatan Penyusunan Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut yang selanjutnya akan di kembangkan menjadi Strategi Nasional Jejaring Kawasan Konservasi Laut. Strategi Nasional Jejaring Kawasan Konservasi Laut tersebut dituangkan dalam desain rancangan Jejaring KKL yang sangat dibutuhkan untuk menjadi acuan dalam pengembangan KKL dan nantinya diharapkan dapat menjadi payung kebijakan dan strategi pemerataan bagi pusat maupun daerah sesuai dengan perkembangan global kawasan koservasi laut mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Jejaring Kawasan Konservasi Laut 3

8 1.2. Tujuan dan Sasaran Tujuan dari Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut yaitu menyusun suatu strategi yang tepat dalam pengelolaan jejaring KKL dalam jangka waktu 10 tahun. Sedangkan sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai berikut : Menyusun prinsip-prinsip dan kriteria pengembangan jejaring KKL Menyusun pengembangan jejaring KKL dengan pendekatan Ekologis dan Manajemen. Memberikan arahan pengelolaan jejaring KKL. Menyusun acuan dalam pengembangan jejaring KKL. Memetakan sebaran jejaring KKL 1.3. Ruang Lingkup Kegiatan Ruang lingkup kegiatan penyusunan Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut meliputi: Studi pustaka/studi referensi dan tinjauan aspek hukum (UU, PP, Perpu, Kepmen, peraturan perundangan dan kebijakan lainnya); Pengumpulan data primer dan sekunder uji petik pada beberapa lokasi Coremap II. Lokasi kegiatan mencakup seluruh wilayah Indonesia yang berdasarkan pada uiji petik. Adapun lokasi uji petik dan pembelajaran pengelolaan MCA dilaksanakan di lokasi COREMAP II wilayah Timur (Sikka, Buton, Pangkep, Selayar, Raja Ampat, dan Biak) dan di lokasi MCA yang telah ada (Bunaken, Blongko, Talise). Lokasi kegiatan penyusunan Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut dapat dilihat pada Gambar 1. Selanjutnya, hasil uji petik dan pembelajaran dibahas melalui Diskusi kepakaran (melibatkan Komite Nasional Konservasi Laut) dan Workshop di tingkat daerah maupun pusat. Hasil akhir dari rangkain kegiatan tersebut adalah buku Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut ini. 4 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

9 1.4. Landasan Hukum Beberapa Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar kegiatan penyusunan Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut ini adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4). 2. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4). 3. Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on The Law of The Sea). 4. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 5. Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on The Law of The Sea). 6. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 7. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. 8. Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity). 9. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 10. Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air 11. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jejaring Kawasan Konservasi Laut 5

10 12. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. 13. Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 14. Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. 15. Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam Kawasan Pelestarian Alam 16. Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. 17. Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. 18. Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom. 19. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup; yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. 20. Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 21. Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perdagangan Spesies Flora dan Fauna yang Terancam Punah (Convention International on Trade of Endangered Species of Wild Flora and Fauna). 22. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. 6 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

11 1 Jejaring Kawasan Konservasi Laut 7

12 1.5. Metodologi Pendekatan Studi Garis besar metodologi kegiatan studi ini dapat dilihat pada Gambar 2. STUDI PUSTAKA DISKUSI KEPAKARAN KONSULTASI TIM TEKNIS WORKSHOP DAERAH PENENTUAN VISI DAN MISI JEJARING KKL PENGUMPULAN DATA/ IDENTIFIKASI KAWASAN KONSERVASI ANALISIS / ASSESMENT NETWORK KKL TIPE JEJARING KKL EKOLOGIS MANAJEMEN ISU DAN PERMASALAHAN JEJARING ANALISIS STRATEGI (STRATEGIC ANALYSIS) Workshop Pusat dan Daerah GRAND STRATEGY ISI DOKUMEN Strategi Pengelolaan Jejaring KKL program-program pelaksanaan Gambar 2. Garis Besar Metodologi Pelaksanaan 8 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

13

14 2.1. Pengertian Kawasan Konservasi Laut dan Jejaring Kawasan konservasi laut (KKL) secara individu maupun jaringan merupakan alat utama dalam melindungi keanekaragaman hayati laut. Walaupun pengetahuan tentang KKL terus berubahubah/meningkat tetapi penerapan dari teori teori untuk kawasan yang luas hampir belum ada. Beberapa teori merekomendasikan bahwa zona inti dalam KKL seharusnya melindungi lebih dari 20 %. Namum kesepakatan tentang seberapa besar habitat yang harus dilindungi keanekaragaman hayati lautnya dalam menjamin konektivitas ekologi belum ada. Salah satu contoh KKL yang dibentuk untuk menjamin konektivitas ekologi antara KKL adalah KKL Gulf of California yang meliptui 10 KKL dengan perbedaan habitat yang beranekaragam. Pengertian KKL diusulkan oleh KOMITE NASIONAL KONSERVASI LAUT (KOMNASLAUT) sebagai terjemahan resmi dari Marine Protected Area (MPA). Dengan mengadopsi definisi dari IUCN, KKL dibagi kedalam beberapa kategori yang dapat disetarakan dengan jenis KKL di Indonesia, definisi kategori tersebut adalah sebagai berikut : Kawasan Konservasi Laut adalah perairan pasang surut termasuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan didalamnya, serta termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut. 10 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

15 Jejaring adalah Merupakan keterkaitan antara kawasan konservasi laut (KKL) yang mempresentasikan daya lenting spesies dan habitatnya untuk mencapai keseimbangan ekosistem melalui pengelolaan bersama 2.2. Kedudukan KKL Dalam Konteks Nasional Undang-Undang UUD 1945 UU No. 5 / 1990 UU No. 41 / 1999 UU No. 31 / 2004 UU No. 32 / 2004 Kebijakan Nasional IBSAP Ekosistem Lahan Basah Ekosistem Laut Keanekaragaman Hayati Renstra DKP Potensi dan Kendala SDA Program KKP Revitalisasi Perikanan Pembagian WPP Draft RPP Konservasi SDI Konservasi SDI Konservasi Ekosistem Jejaring Konservasi Pendidikan Lembaga Konservasi Kawasan KKP Tawar dan Payau KKP Suistanable Fisheries KKL Gambar 3. Kedudukan KKL dalam Konteks Nasional Existing Kawasan Konservasi Metoda Penilaian Luas Potensial KKL sampai dengan Th Lokasi KKL Saat Ini Lojasi Potensial 2020 Jejaring Kawasan Konservasi Manajemen Ekologi Grand Strategy Strategy Rencana Aksi Jejaring Kawasan Konservasi Laut 11

16 2.3. Proses Pembentukan KKL di Indonesia Berdasarkan sejarah perkembangan kawasan konservasi laut di Indonesia, maka dapat dikelompokkan proses pembentukan KKL menjadi 3 kelompok: 1. Departemen Kehutanan (PHKA) 2. Proses Pembentukan Berdasarkan kriteria Departemen Kelautan dan Perikanan 3. Proses Pembentukan Berdasarkan usulan dari masyarakat Proses Pembentukan KKL Berdasarkan Kriteria Departemen Kehutanan (PHKA) Penetapan fungsi kawasan konservasi didasarkan pada kriteria yang tercantum pada pedoman penetapan kriteria baku kawasan konservasi laut yang dikeluarkan Ditjen PHKA (1995) digunakan sebelum terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan. Kriteria yang dipertimbangkan untuk menetapkan status kawasan konservasi laut teridiri dari 14 kriteria yaitu: keterwakilan, keaslian dan kealamian, keunikan, kelangkaan, laju kepunahan, keutuhan ekosistem, keutuhan sumberdaya, luasan kawasan, keindahan alam, kenyamanan, kemudahan pencapaian, nilai sejarah, kehendak politik, dan aspirasi masyarakat. Alur proses pembentukan KKL berdasarkan Departemen Kehutanan (PHKA) sebagaimana disajikan pada Gambar Jejaring Kawasan Konservasi Laut

17 - Keterwakilan - Keaslian Dan Kealamian - Keunikan - Kelangkaan - Laju Kepunahan - Keutuhan Ekosistem - Keutuhan Sumberdaya - Luasan Kawasan - Keindahan Alam - Kenyamanan - Kemudahan Pencapaian - Nilai Sejarah - Kehendak Politik - Aspirasi Masyarakat. 14 KRITERIA IDENTIFIKASI LOKASI PROSES PENILAIAN PENILAIAN KRITERIA KAWASAN PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Gambar 4. Proses Pebentukan KKL Berdasarkan PHKA Proses Pembentukan KKL Berdasarkan kriteria Departemen Kelautan dan Perikanan Proses pembentukan kawasan konservasi laut menurut Departemen Kelautan dan Perikan (DKP) didasarkan pada kriteria yang diadopsi dan dimodifikasi dari kawasan konservasi berdasarkan IUCN. Kriteria yang dinila terdiri dari kelengkapan spesies/habitat, luas kawasan, peluang untuk pengembangan pariwisata dan rekreasi serta pengaruh aktivitas manusia. Penentuan status kawasan konservasi terdiri dari 2 tahap yaitu (1) analisis kelayakan kawasan berdasarkan kriteria KKL, (2) penentuan kategori KKL berdasarkan prioritas obyek pengelolaan yang sesuai untuk masing-masing kategori. Kriteria kategori yang digunakan untuk menetapkan KKLD dapat dilihat pada tabel berikut ini: Jejaring Kawasan Konservasi Laut 13

18 Tabel 1. Kriteria Kategori Kawasan Konservasi Laut Daerah Berdasar DKP Kategori I (Konservasi Ekosistem dan Rekreasi) II (Konservasi Habitat dan Spesies) III (Konservasi Bentang Alam dan Rekreasi) IV (Pemanfaatan Secara Lestari Ekosistem Alami) Kriteria 1. Kelengkapan sumberdaya alam/spesies/habitat 2. Kawasan cukup luas 1. Mempunyai peranan penting terhadap perlindungan sumberdaya alam dan jenis (kelengkapan ekosistem) 2. Kesatuan habitat 3. Bebas pengaruh manusia 4. Ukuran kawasan sesuai dengan kebutuhan habitat 1. Memiliki bentang alam yang berasosiasi dengan habitat (flora dan fauna) 2. Peluang untuk pengembangan pariwisata dan rekreasi 1. Dua pertiga dari kawasan masih alami 2. kemampuan kawasan untuk pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam tanpa menimbulkan kerusakan 3. terdapat badan pengelola di kawasan tersebut - Kelengkapan spesies/habitat - Luasan Kawasan - Peluang pengembangan pariwisata dan rekreasi - Pengaruh akktivitas manusia 4 KRITERIA IDENTIFIKASI LOKASI ANALISIS KRITERIA KKLD PENENTUAN KATEGORI KKLD PENETAPAN FUNGSI KAWASAN PENETAPAN SK BUPATI Gambar 5 Proses Pembentukan KKLD Berdasarkan DKP 14 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

19 Proses Pembentukan KKL Berdasarkan Masyarakat Berbeda dengan proses pembentukan kawasan konservasi laut sebelumnya, proses ini merupakan inisiatif dari masyarakat. Kawasan pelestarian ini dikembangkan dari, untuk dan bersama masyarakat setempat dengan luas, tujuan dan cara pengaturan yang sangat beragam, tergantung dari kesepakatan yang dibangun bersama masyarakat setempat. Kebanyakan dari kawasan konservasi laut yang dibentuk atas dasar masyarakat ini berdasarkan adat istiadat, sosial budaya serta kesepakatan baru diantara masyarakat. - Adat Istiadat setempat - Sosial Budaya - Kesepakata Baru KOMUNITAS MASYARAKAT PESISI R USULAN PENETAPAN KKL PENETAPAN KKL SETEMPAT FASILITATOR Gambar 6. Proses Pembentukan KKL Berdasarkan Masyarakat Dari berbagai proses pembentukan kawasan konservasi laut di Indonesia jelas terlihat adanya berbagai perbedaan dalam menentukan fungsi kawasan. Sebagian besar penentuan kawasan masih bersifat hanya pada lokasi setempat atau belum menggambarkan keterkaitan dengan kawasan konservasi laut wilayah lainnya. Perbedaan-perbedaan ini dimungkinkan akan menimbulkan konfllik baik dari aspek biofisik maupun dari aspek pengelolaan. Jejaring Kawasan Konservasi Laut 15

20 Berdasarkan Rancangan Konservasi bahwa Kawasan Konservasi Perairan ditetapkan oleh menteri yang pengelolaan dan penyelenggaraannya terdiri dari 1. Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKP Nasional) meliputi ; a. Perairan diluar 12 mil laut dari garis pantai, terdiri dari perairan yang berada di perairan pedalaman, perairan kepulauan dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, b. Perairan didalam 12 mil laut yang memiliki karakteristik tertentu c. Perairan payau dan tawar yang memiliki karakteristik tertentu. Kawasan Konservasi Perairan Nasional didalam penetapannya melalui bererapa tahap antara lain : a. Identifikasi dan Inventarisasi b. Pencadangan KKP oleh Menteri c. Rekomendasi KKP dari Bupati / Walikota atau Gubernur d. Penetapan e. Penataan Batas 2. Kawasan Konservasi Perairan Provinsi (KKP Provinsi)meliputi; a. Perairan yang terletak pada wilayah perairan laut yang menjadi kewenangan provinsi b. Perairan yang merupakan kewenangan Kabupaten / Kota dan kewenangan Provinsi c. Perairan yang merupakan kewenangan lintas Kabupaten / Kota Kawasan Konservasi Perairan Provinsi didalam penetapannya melalui bererapa tahap antara lain : a. Identifikasi dan Inventarisasi b. Pencadangan KKP oleh Menteri c. Rekomendasi KKP dari Bupati / Walikota d. Pengajuan Usulan Penetapan KKP oleh Gubernur kepada Menteri e. Penetapan f. Penataan Batas 16 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

21 3. Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten / Kota (KKP Kabupaten / Kota) meliputi perairan yang terletak pada wilayah perairan laut, perairan payau dan perairan tawar yang menjadi kewenangannya. Kawasan Konservasi Perairan Provinsi didalam penetapannya melalui bererapa tahap antara lain : a. Identifikasi dan Inventarisasi b. Pencadangan KKP oleh Menteri c. Rekomendasi KKP dari Gubernur d. Pengajuan Usulan Penetapan KKP oleh Bupati / Walikota kepada Menteri e. Penetapan f. Penataan Batas 2.4. Model Pembentukan Kawasan Konservasi Laut Proses pembentukan kawasan konservasi laut berawal dari tingkat lokal (DPL, TKL, APL dll). Area KKL tingkat lokal yang melewati batas wilayah kabupaten maka akan menjadi kawasan konservasi laut daerah. Kawasan konservasi laut daerah (KKLD) merupakan kawasan konservasi dalam lingkup pemerintah kabupaten. Ketika KKLD melewati antar batas kabupaten maka kawasan tersebut dibawah lingkup nasional yang sering disebut taman nasional. Dengan demikian maka kawasan konservasi laut akan membentuk suatu jaringan dengan KKL lainnya. Kerangka pemikiran (model) pembentukan konservasi laut dapat dilihat pada gambar berikut ini: Jejaring Kawasan Konservasi Laut 17

22 Masyarakat Proses Pembentukan DPL, APL, TKL dll. Pemerintah Daerah Proses Pembentukan KKLD Batas dalam Kabupaten Batas Antar Kabupaten Nasional / Regional TAMAN NASIONAL KKLD DPL Nasional Proses Pembentukan Taman Nasional Laut Batas Antar Negara Internasional Proses Pembentukan Kawasan Konservasi Internasional Gambar 7 Kerangka Pemikiran Pembentukan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia 2.5. Pentingnya Kawasan Konservasi Laut Kawasan konservasi laut merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang terdapat di dalam kawasan tersebut dari berbagai gangguan. Berbagai gangguan terhadap kawasan konservasi laut yang terjadi semakin meningkat dalam beberapa tahun belakangan ini, baik gangguan dari alam maupun dari aktivitas kegiatan manusia. Salah satu langkah yang nyata dalam mengurangi berbagai gangguan tersebut adalah penetapan kawasan konservasi laut. Pada dasarnya upaya konservasi laut di indonesia telah dilakukan masyarakat sejak dahulu, hal ini terbukti dengan adanya berbagai aturan atau hukum adat dalam pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di kawasan tersebut. Akan tetapi pada 18 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

23 akhir-akir ini upaya penetapan kawasan konservasi laut banyak menghadapi berbagai tantangan, misalnya krisis ekonomi, sosial budaya yang menurun, pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan dll. Beberapa alasan penting dalam penetapan kawasan konservasi laut adalah sebagai berikut: 1. Perlindungan terhadap kelangsungan ekosistem pesisir laut dan pulau-pulau kecil dari berbagai ancaman baik dari alam maupun kegiatan manusia. 2. Perlindungan terhadap biota laut yang dilindungi dari ancaman kepunahan 3. Menjaga kelestarian sumberdaya laut dari eksploitasi yan berlebihan 4. Pemanfaatan aktivitas kegiatan yang tepat/sesuai dengan fungsi kawasan Pengelolaan Kawasan Konservasi berujuan untuk mewujudkan keseimbangan ekosistem, kelestarian sumberdaya ikan serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan. Untuk itu perlu upaya upaya dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti : 1. Pengembangan Data dan Informasi 2. Pengelolaan Batas dan Zonasi 3. Pengelolaan Sumberdaya Hayati dan Perikanan 4. Pengelolaan Sarana dan Prasarana 5. Pengelolaan Pariwisata, Pendidikan dan Penelitian 6. Pengendalian, Monitoring dan Pengawasan 7. Pemberdayaan Masyarakat 8. Penyadaran Masyarakat 9. Penguatan Kapasitas dan Sumberdaya Manusia 10. Pengembangan Jaringan Kerjasama dan Kemitraan Jejaring Kawasan Konservasi Laut 19

24 2.6. Pentingnya Jejaring (Network) Antar Kawasan Konservasi Laut Jejaring (network) antar kawasan konservasi laut mempunyai peranan yang penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Beberapa alasan dalam membuat jejaring antar kawasan konservasi laut diantaranya sebagai berikut: 1. Untuk menggambarkan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi laut 2. Untuk menjaga dan memeliharan keanekaragaman hayati 3. Untuk memberikan model pemanfaatan kawasan konservasi laut yang mendukung ekosistem setempat 4. Untuk menjaga atau melindungi tempat biota laut yang dilindungi dari berbagai ancaman 5. Menjaga keberadaan potensi sumberdaya perikanan laut 6. Untuk memperluas kawasan konservasi laut 2.7. Kriteria Jejaring Kawasan Konservasi Laut Sampai saat ini keberadaan kawasan konservasi laut (KKL) belum terintegrasi antara KKL satu dengan KKL lainnya. Pada dasarnya diantara beberapa KKL tersebut terdapat suatu keterkaitan jejaring yang sangat kuat baik dalam aspek ekologis maupun pengelolaan. Penyusunan keterkaitan jejaring KKL berdasarkan 2 (dua) kriteria dasar yaitu (1) Kriteria Ekologis dan (2) Kriteria Pengelolaan 20 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

25 Kriteria Ekologis Kriteria ini menunjukkan bahwa antara kawasan konservasi laut satu dengan lainnya terdapat keterkaitan dalam hal ekologis (Ekoregion), keterkaitan (network) ini berupa secara fisik dan biologis. Tabel 2., dibawah ini menunjukkan kriteria dalam membangun jejaring antar kawasan konservasi laut di Indonesia. Tabel 2 Kriteria untuk Jejaring KKL secara Ekologis KRITERIA KETERKAITAN JEJARING KAWASAN KONSERVASI LAUT Biologis Fisik Genetika Perikanan 1. Tipe Ekosistem 2. Gangguan Alam 3. Gangguan Aktivitas Kegiatan Manusia 1. Jenis Biota yang Dilindungi 2. Rantai Makanan 3. Pola Berkembang Biak 4. Pola Migrasi 1. Pola sebaran Pemijahan Ikan 2. Pola Migrasi Ikan 3. Pola Sebaran Penangkapan Kriteria Pengelolaan Kriteria ini menunjukkan bahwa antara kawasan konservasi laut satu dengan lainnya terdapat keterkaitan dalam hal pengelolaan. Bentuk jejaring pengelolaan berupa sistem pengelolaan bersama teradap kawasan konservasi laut. Dalam penelolaan KKL secara bersama beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan yaitu : 1. Stakeholders yang terlibat Keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan bersama kawasan konservasi laut sangat penting dalam mendukung terlaksananya pengelolaan yang baik. Masing-masing stakeholders mempunyai peran dan tugas dalam pengelolaan tersebut. Jejaring Kawasan Konservasi Laut 21

26 2. Bentuk Kelembagaan Dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi laut diperlukan suatu lembaga/badan/dinas pengelola yang akan menyusun program dan kegiatan kerja, pengusulan anggaran, pengelolaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan, penyelesaian permasalahan dan penyampaian informasi. Selain itu tugasnya adalah melibatkan berbagai stakeholders lain dalam pengelolaan kawasan konservasi laut. 3. Pendanaan Berbagai mekanisme pendanaan dapat dikelompokkan ke dalam tujuh kategori berdasarkan kesamaan ciri pendekatan yang mendasarinya, dan sesuai dengan prinsip kepraktisan penerapannya di Indonesia, seperti : Orientasi pada donor, Orientasi pada Pemerintah, Orientasi pada Pasar, Dana Lingkungan, Orientasi Komunikasi Publik atau Panggilan Nurani, Orientasi Usaha, Peraturan Pemerintah, Orientasi pada usaha Swasta Model Jejaring Kawasan Konservasi Laut Dari kriteria dan beberapa contoh kasus jejaring di kawasan konservasi laut Indonesia maka model dalam membentuk jejaring KKL dapat di bagi menjadi 2 jenis jejaring Model Jejaring Berdasarkan Ekologis Model jejaring KKL berdasarkan ekologis yang diusulkan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar Jejaring Kawasan Konservasi Laut

27 Gambar 8 Kerangka Pemikiran Pembentukan Jejaring KKL Berdasarkan Ekologis Jejaring Kawasan Konservasi Laut 23

28 9 24 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

29 Pada Gambar 9, dapat dilihat wilayah potensi kawasan konservasi laut di Indonesia. Potensi KKL ini dibagi menjadi 6 kawasan, dengan rincian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Luasan Wilayah Potensi KKL Wilayah Potensi EKOSISTEM LUAS (Ha) LUAS (Km 2 ) KKL I Penyu dan Paus II Penyu dan Terumbu Karang III Penyu, Dugong dan Paus IV Penyu, Dugong, Paus dan Terumbu Karang V Penyu Paus dan Terumbu Karang VI Penyu, Paus, Dugong dan Terumbu Karang Jumlah Total Wilayah Sumber : Hasil Analisa Tahun 2005 Jejaring Kawasan Konservasi Laut 25

30 Model Jejaring Berdasarkan Pengelolaan Model jejaring KKL berdasarkan pengelolaan yang diusulkan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Gambar 10. Kerangka Pemikiran Pembentukan Jejaring KKL Berdasarkan Pengelolaan 26 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

31 10 Jejaring Kawasan Konservasi Laut 27

32 Sedangkan untuk struktur dan bentuk kelembagaan jejaring kawasan konservasi laut dapat dilihat pada gambar berikut: KKL Dunia Pokja International Bilateral/Multilateral (international task force) Kawasan Konservasi Laut Ecoregion Bi/ Multi-lateral Pokja Nasional Pokja ekoregion Kawasan Konservasi Laut Nasional Pokja Provinsi (provincial task force) Unit Pelaksana teknis Pengelola KKLD Kawasan Konservasi Laut Daerah Forum/Klp Masyarakat DPL, APL, AKL Masyarakat Gambar 11. Struktur dan Bentuk Kelembagaan Jejaring KKL Arah transisi berkaitan dengan pola tata kelola atau governance. Tata kelola adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkatan dan mencakup proses, mekanisme, dan lembaga dalam masyarakat. Tata kelola yang baik adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh 28 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

33 pemerintah, masyarakat dan sektor swasta yang mempunyai ciriciri ; 1. Inklusif (mengikutsertakan semua) 2. Transparan dan bertanggung jawab 3. Efektif dan adil 4. Menjamin spremasi hukum 5. Menjamin penerapan prioritas berdasar konsensus 6. Mengakomodasi kepentingan kelompok yang paling lemah dalam pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumberdaya pembangunan Kawasan Konservasi Laut Kondisi Existing Kawasan Konservasi Laut Luas Kawasan Konservasi Laut Indonesia pada awal Tahun 2005 berdasarkan DKP memiliki luas ± ,26 Ha atau sebesar 7,2 Km 2 dari 75 kawasan konservasi. Hal tersebut berdasarkan pengelolaan dari PHKA dan DKP yang terbagi atas 8 tipe kawasan. Untuk mengetahui lebih jelas luasan masing masing kawasan dapat dilihat pada tabel 4. berikut : No A B Tabel 4. Luas Kawasan Konservasi Laut Indonesia Tipe Kawasan Jumlah Kawasan Luas (Ha) Inisiasi DepTan Cq Dep Hut 1. Taman Nasional Laut (TNL) ,00 2. Taman Wisata Alam Laut (TWAL) ,15 3. Cagar Alam Laut (CAL) ,45 4. Suaka Margasatwa Laut (SML) 6 71,310,00 DKP dan Pemerintah Daerah 1. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) ,53 2. Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah (CKKLD) ,00 3. Daerah Perlindungan Laut (DPL) / Daerah Perlindungan Mangrove (DPM) ,90 4. Suaka Perikanan (SP) ,23 Jumlah Total ,26 Sumber : DKP Tahun 2005 Jejaring Kawasan Konservasi Laut 29

34 Luas Kawasan Konservasi Laut Daerah , , , , , , ,90 453,23 TNL TWAL CAL SML KKLD CKKLD DPL / DPM SP Gambar 12. Luas Kawasan Konservasi Laurt Daerah Pada tahun 2010 Departemen Kelautan dan Perikanan menargetkan untuk mengembangkan Kawasan Konservasi Laut seluas 10 juta Ha dan pada tahun 2020 target luas KKL yang ingin dicapai adalah 20 juta Ha. Sampai dengan data tahun 2006, luas kawasan konservasi laut yang telah terbentuk adalah ,26 Ha atau 7,2 Km Jejaring Kawasan Konservasi Laut

35 13 Jejaring Kawasan Konservasi Laut 31

36 Arahan Luas Konservasi Laut Pengelolaan Kawasan Konsesi Konservasi merupakan inisiatif untuk mengganti konsesi yang diberikan pada kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi yang secara komersial dieksploitasi, menjadi kawasan untuk konservasi. Kawasan tersebut kemudian dikelola untuk kepentingan pembangungan berkelanjutan melalui berbagai kegiatan ekonomi berbasis masyarakat Luas kawasan konservasi laut Indonesia seluruhnya diusulkan adalah 62 juta Ha yaitu 20% dari luasan laut teritorial Indonesia (3,1 juta Km 2 ) mengacu pada hasil World Congress Berdasarkan luas kawasan konservasi laut yang telah ada saat ini dan peruntukkannya bagi memenuhi target luas kawasan konservasi yang mencapai 10 juta Ha pada tahun 2010 dan 20 juta Ha pada tahun 2020, maka dari segi kesamaan ekologis dan lokasilokasi kawasan konservasi yang sudah ada dilakukan perhitungan 20 % dari luas wilayah pengelolaan konservasi dijadikan sebagi daerah yang perlu di lindungi atau di protecsi sebagai lahan konservasi. Tabel 5. Arahan Luasan Potensi KKL Sampai Tahun 2020 Wilayah Potensi KKL Usulan Luas (Ha) Usulan Luas (Km 2 ) I II III IV V VI Jumlah Sumber : Hasil Analisis Tahun 2006 Untuk mengetahui sebaran luas arahan konservasi dalam memenuhi target konservasi tahun 2020 dapat dilihat pada gambar dibawah ini. 32 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

37 14 Jejaring Kawasan Konservasi Laut 33

38 34 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

39

40 3.1. Visi Visi dari Strategi Utama Jejaring Kawasan Koonservasi Laut, adalah; Terciptanya Jejaring Kawasan Konservasi Laut Untuk Mendukung Pengelolaan Sumberdaya Hayati Laut agar Fungsinya Lestari dan Manfaatnya Berkelanjutan 3.2. Misi Untuk mencapai visi tersebut maka misinya adalah; 1. Meningkatkan kepedulian, kemampuan, dan peran aktif masyarakat umum, swasta, dan pemerintah dalam mengelola dan memanfaatkan kawasan konservasi laut secara bijaksana dan lestari. 2. Meningkatkan kesepakatan para pemangku kepentingan baik masyarakat umum, swasta, dan pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi laut secara bijaksana dan lestari. 3. Memperkuat koordinasi lintas sektoral dan lintas daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi laut secara bijaksana dan lestari. 4. Menyiapkan data dan informasi serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi dengan mempertimbangkan kearifan tradisional dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi laut secara bijaksana dan lestari. 5. Meningkatkan dan memperkuat kerjasama regional dan internasional dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi laut secara bijaksana dan lestari. 36 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

41 3.3. Strategi Jejaring Kawasan Konservasi Laut Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Kawasan Konservasi laut ini disusun sedemikian rupa sehingga bersifat memayungi berbagai kegiatan pengelolaan di ekosistemekosistem oleh berbagai pemangku kepentingan, baik di tingkat nasional maupun lokal. Selain itu penyusunan Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut ini juga mengakomodasi isu-isu penting yang memiliki dampak secara internasional. Semua ini dimaksudkan agar para pemangku kepentingan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut, terutama di daerah, memiliki ruang gerak yang luas untuk melakukan pengelolaan sesuai kekhasan ekosistem-ekosistem di daerahnya dengan tetap mengacu pada kepentingan nasional maupun internasional. Strategi nasional dan rencana aksi ini terdiri dari Sepuluh kelompok strategi yang dijabarkan secara detail di bawah ini, termasuk tolok ukur untuk menilai keberhasilan penerapan ini. 1) Strategi Pembangunan dan Pengembangan Pangkalan Data Mutakhir Secara teknis kegiatan pendataan serta kemampuan dan pengalaman staf pelaksana di lapangan juga masih belum memadai. Selain itu kriteria data dan metode pendataan juga sangat beragam, dan biasanya tidak selaras antara metode yang satu dengan metode yang lain. Hal ini menjadi penyebab sulitnya kegiatan pendataan oleh staf operasional di lapangan. Berbagai kendala tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan hilangnya informasi khas KKL di setiap tempat karena tidak terakomodasi dalam kriteria data dan tidak ada metode pendataan yang sesuai. Jejaring Kawasan Konservasi Laut 37

42 2) Strategi Peningkatan Peran Stakeholders Peranan masyarakat (dalam arti luas: masyarakat lokal, masyarakat adat, akademisi, swasta) menjadi keharusan terutama jika: (1) akses terhadap sumberdaya dalam KKL adalah hal yang penting bagi mata pencaharian masyarakat lokal, keamanan, dan warisan budaya; (2) kebijakan sebelumnya gagal dalam mengelola KKL sehingga muncul ketidakharmonisan diantara pemangku kepentingan; (3) masyarakat menunjukkan minat yang kuat dalam upaya pengelolaan secara terpadu. Upaya-upaya pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat sangat gencar disuarakan oleh LSM. Hal ini menyebabkan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam secara partisipatif telah dikenal dan perlahan-lahan mulai dilaksanakan oleh berbagai institusi pemerintah. Berbagai kegiatan percontohan (pilot project) yang menempatkan masyarakat lokal sebagai salah satu pemangku kepentingan utama juga terbukti lebih efektif dan arif dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya alam. 3) Strategi Pengembangan Kebijakan, Hukum, dan Peningkatan Pentaatannya Pengelolaan KKL secara arif dan berkelanjutan memerlukan pendekatan dari berbagai aspek, termasuk aspek hukum. Selama ini, produk hukum langsung atau tidak langsung cukup efektif untuk mendorong pengelolaan KKL secara arif dan berkelanjutan. Meski demikian, disisi lain, produk hukum bisa juga menjadi kontra produktif dan berkontribusi terhadap legalitas perusakan KKL itu sendiri. Produk hukum yang berlaku di Indonesia dikeluarkan oleh berbagai hierarki pemerintahan dan departemen sektoral. Disamping itu, terdapat produk hukum lain yang di jalankan secara turuntemurun oleh masyarakat tertentu (hukum adat) untuk mengelola sumberdaya alam disekitarnya. 38 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

43 4) Strategi Penguatan Kelembagaan Mekanisme pengelolaan KKL yang berkaitan dengan sistem dan hierarki pemerintahan pusat dan daerah (provinsi, kabupaten/kota), termasuk bagaimana pembagian wilayah dan produk KKL antar pusat dan daerah, mekanisme koordinasi pada setiap tingkatan pemerintahan, dan mekanisme yang diterapkan dalam koordinasi lintas sektoral belum tersedia secara memadai. Dengan demikian, dibutuhkan kebijakan pengelolaan KKL nasional secara terpadu termasuk kelembagaannya, berupa komite nasional yang terdiri dari wakil-wakil pemangku kepentingan untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi yang efektif dalam pengelolaan KKL. Upaya penguatan kelembagaan saat ini terus dilaksanakan oleh pemerintah antara lain dengan pembentukan wadah koordinasi nasional pengelolaan ekosistem KKL tertentu, dan Komite Pengelolaan Ekosistem KKL untuk kawasan spesifik di tingkat daerah. Kegiatan koordinasi kelembagaan juga dilakukan oleh jaringan LSM untuk mengharmoniskan langkah-langkah dalam pengelolaan KKL. 5) Pendidikan dan Peningkatan Kepedulian Mengenai KKL Kegiatan-kegiatan pelatihan dan peningkatan kepedulian yang dilakukan oleh berbagai kalangan, hingga saat ini belum memadai untuk memotivasi masyarakat dan pemerintah dalam mengelola KKL berdasarkan nilai dan fungsinya secara ekologis, sosial, maupun ekonomis. Diperlukan upaya yang lebih sistematis dan harmonis antara semua institusi agar berhasil menjadikan nilai dan fungsi KKL sebagai bagian pertimbangan utama dalam pengelolaan suatu kawasan oleh masyarakat dan pemerintah. Kemajuan ke arah tersebut semakin terlihat, antara lain ditunjukkan dalam kerjasama Pemerintah dengan berbagai LSM dalam penyusunan Strategi Nasional Pendidikan Lingkungan Hidup. Jejaring Kawasan Konservasi Laut 39

44 6) Strategi Peningkatan Kerjasama dan Jaringan Internasional Isu utama yang merupakan bagian dari kerjasama internasional antara lain adalah: 1. Wilayah Kawasan Konservasi Laut yang melintasi batas negara; 2. Spesies yang bermigrasi; 3. Kerjasama dengan konvensi internasional lain yang terkait dengan KKL; 4. Pertukaran informasi dan pengalaman; 5. Bantuan internasional dalam mendukung upaya pengelolaan KKL secara bijaksana dan berkelanjutan; 6. Peraturan mengenai pengelolaan KKL oleh negara asing. Kerjasama internasional yang telah dilakukan oleh Indonesia antara lain dengan berpartisipasi dalam kerjasama multilateral dibawah payung konvensi internasional. Meski keikutsertaan ini berimplikasi pada munculnya berbagai kewajiban yang harus dipenuhi. Indonesia sebagai komitmen pada dunia internasional, keikutsertaan ini juga memungkinkan kita untuk mendapatkan dukungan dan perhatian internasional dalam pengelolaan KKL di tingkat nasional. Beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi dan memiliki keterkaitan langsung dengan pengelolaan KKL nasional adalah Konvensi Ramsar, Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), Konvensi Warisan Dunia (World Heritage Convention), Konvensi Spesies Bermigrasi (CMS, dalam proses ratifikasi), Konvensi Perdagangan Satwa yang Terancam Punah (CITES), Konvensi Perubahan Iklim (The United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC), dan Konvensi mengenai Penggurunan (the Convention to Combat Desertification). Pemberlakuan otonomi daerah dalam manajemen pemerintahan memunculkan tantangan baru dalam kerangka kerjasama internasional. Hal ini disebabkan oleh adanya kesenjangan antara aspirasi pemerintah daerah selaku pelaksana langsung komitmen internasional di tingkat 40 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

45 lapangan dengan keputusan-keputusan pemerintah pusat saat bernegosiasi dengan negara lain. 7) Strategi Pembiayaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Salah satu titik lemah dalam pengelolaan KKL nasional adalah kurangnya dukungan pendanaan terhadap pengembangan kegiatan pengelolaan KKL. Berbagai hasil perhitungan nilai dan fungsi KKL (valuasi ekonomi serta analisis biaya dan manfaat) menunjukkan bahwa KKL memiliki nilai ekonomis yang cukup besar. Sudah sewajarnya apabila para pemangku kepentingan mengalokasikan dana yang memadai untuk pengelolaan KKL secara terpadu dan berkelanjutan. Pengelolaan KKL secara arif pada akhirnya akan memberikan keuntungan jangka panjang, sebanding dengan investasi yang telah ditanamkan. Pengelolaan KKL dengan membebankan pembiayaan pada masyarakat pengguna jasa-jasa lingkungan KKL (user pays principle) juga memungkinkan untuk dilakukan. Selama ini pemanfaatan jasa lingkungan oleh masyarakat seringkali dianggap sebagai sesuatu yang tidak membutuhkan biaya (gratis). Padahal pemanfaatan jasa lingkungan KKL oleh individu/institusi akan menyebabkan penurunan nilai dan fungsi KKL yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Adalah wajar jika pengguna membayar kompensasi atas jasa lingkungan yang telah dimanfaatkannya untuk tujuan pengelolaan KKL. Dengan demikian, prinsip pengguna membayar (user pays principle) dan pencemar membayar (polluter pays principle) dapat menjadi salah satu sumber pembiayaan KKL yang potensial sepanjang dilakukan secara adil dan hati-hati. 8) Strategi Pemanfaatan Secara Arif dan Bijaksana Pengelolaan KKL secara arif dan bijaksana sendiri membutuhkan prinsip pengelolaan yang hati-hati termasuk keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya perlindungan terhadap nilai dan Jejaring Kawasan Konservasi Laut 41

46 fungsi KKL pada kawasan tertentu, pengetahuan mengenai tingkat pemanfaatan yang dibolehkan, dan pemahaman mengenai resiko atas pilihan metode pemanfaatan yang digunakan. Penelitian ilmiah yang mendalam dan penelusuran terhadap praktek-praktek pengelolaan yang baik yang diterapkan oleh masyarakat setempat merupakan upaya untuk menemukan metode terbaik dalam pengelolaan KKL secara arif dan bijaksana yang menjamin keberlanjutan pemanfaatan 9) Strategi Restorasi dan Rehabilitasi Eksosistem Restorasi dan rehabilitasi KKL seringkali membutuhkan waktu yang sangat lama dan biaya yang besar. Upaya yang dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah mengurangi tekanan kerusakan yang terjadi pada suatu kawasan. Hingga saat ini kegiatan restorasi dan rehabiliasti yang berhasil dilakukan umumnya pada KKL pesisir terutama mangrove. 10) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Perubahan Iklim diperkirakan akan menaikkan suhu global sekitar 2 o C dan menaikkan permukaan air laut sekitar 1,5 m dalam setengah abad kedepan. Kondisi ini akan mempengaruhi kondisi KKL nasional terutama berkaitan dengan terjadinya peningkatan permukaan laut, perubahan suhu badan air, dan perubahan daur hidrologis. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa KKL dipastikan akan mengalami dampak luar biasa akibat perubahan iklim sekaligus berdampak merubah iklim itu sendiri. Sehingga diperlukan upaya antisipasi dan mitigasi perubahan iklim melalui pengelolaan KKL. Pembiayaan kegiatan rehabilitasi KKL yang berkaitan dengan isu perubahan iklim membutuhkan dana yang besar. Berkaitan dengan hal tersebut, saat ini terdapat komitmen internasional untuk menurunkan laju emisi gas rumah kaca. 42 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

47 3.4. Tahapan Pelaksanaan Rencana Aksi Jejaring KKL Implementasi rencana kegiatan jejaring kawasan konservasi laut di laksanakan dalam kurun waktu 20 tahun. Kegiatan ini diharapkan mampu mencapai target-target tertentu dalam pengelolaan jejaring KKL. Tahapan Pelaksanaan Rencana Aksi Jejaring KKL selama 20 tahun dibagi menjadi 3 rentang waktu yaitu jangka pendek (5 tahun), menengah (10 tahun) dan panjang (20 tahun). Untuk lebih jelasnya mengenai rencana aksi dapat dilihat pada tabel berikut ini. Jejaring Kawasan Konservasi Laut 43

48 Tabel 6. Rencana Aksi Strategi Jejaring Kawasan Konservasi Laut Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun STRATEGI 1 STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN PANGKALAN DATA MUTAKHIR 1. Mengkaji ulang dan mengembangkan kriteria inventarisasi, pengkajian, dan pengawasanpengelolaan Kawasan Konservasi Laut yang praktis dan mudah. 1. Mengkaji dan menyebarluaskan panduan pendataan Kawasan Konservasi Laut. 2. Melakukan kajian rutin terhadap metode pendataan yang sudah ada. Terdapat panduan pendataan KKL secara nasional yang dapat diimplementasikan oleh masing masing pemangku kepentingan, serta ada upaya kerjasama yang rutin antar pemangku kepentingan dalam pengembangan metode pendataan. 2. Mengembangkan mekanisme yang memungkinkan pemutakhiran data secara efektif dan efisien. 1. Melanjutkan upaya kerjasama perdataan yang telah dirintis oleh beberapa institusi dalam kegiatan Asian Wetlands Inventory (AWI) Memprioritaskan upaya pendataan pada KKL yang memiliki arti penting secara lokal, nasional, dan internasional yang keberadaannya terancam. 3. Mengembangkan mekanisme balai kliring, website, dan meta data untuk memudahkan pengumpulan dan pemanfaatan data. 4. Mengoptimalkan sumber-sumber perdataan dari kegiatan lain yang telah berjalan 5. Meningkatkan upaya-upaya pendataan secara partisipatif di tingkat lokal (Pemda). Terbentuk sebuah mekanisme ditingkat nasional yang memungkinkan pemutakhiran data secara efisien dan mudah diakses oleh para pemangku kepentingan; misalnya dalam bentuk pangkalan data pada website yang dikelola khusus melalui koordinasi Komite Nasional Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut. 44 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

49 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur 3. Meningkatkan penggunakan data KKL oleh para pemangku kepentingan sebagai pertimbangan dalam melakukan kegiatan 1. Secara rutin menerbitkan status terkini dan nilai ekonomis KKL Indonesia dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh para pengambil keputusan. 2. Memotivasi para pengambil keputusan, pemangku kepentingan, dan kalangan lain agar senantiasa mengoptimalkan pemanfaatan data dalam pengambilan keputusan. Data KKL senantiasa digunakan sebagai salah satu dasar penyusunan kebijakan di berbagai departemen terkait. Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun STRATEGI 2 PENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT SECARA TERINTEGRASI DAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN KONDISI, STATUS, ISU- ISU DAN KEBUTUHAN KONSERVASI LAUT BERBASIS YARAKAT. 1. Penguatan Kelembagaan 1. Melakukan kajian terhadap mekanisme kerja lembaga, instasi, NGO, dan swasta terhadap mekanisme koordinasi yang efektif antar departemen sektoral di pusat dan daerah dalam penanganan kegiatan di KKL yang dikerjakan secara sektoral 2. Menguatkan peran Komite Naional KKL sebagai wadah koordinasi dan komunikasi. 3. Melakukan penataan struktur dan mekanisme kerja internal Komite Nasional KKL penataan mekanisme pembiayaan kegiatan komite, dan penataan mekanisme koordinasi Komite Nasional KKL dengan komite-komite nasional lainnya. 4. Melakukan penataan hubungan kerja antara Komite Nasional KKL dengan organisasi di tingkat daerah. Komite Nasional Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut terbentuk dan menjalankan fungsi-fungsinya sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh para pemangku kepentingan. Terdapat rekomendasi yang jelas dari Komite Naional KKL mengenai struktur dan tata hubungan kelembagaan di pusat dan daerah yang menjamin dihasilkannya kegiatan yang sinergis antar pemangku kepentingan. Jejaring Kawasan Konservasi Laut 45

50 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun 2. Pengkajian potensi lokal, isu-isu, status, permasalahan dan kebutuhan kawasan konservasi laut berbasi Kab/Kota dilaksanakan secara partisipatif 1. Pelatihan Tim Pusat dan Daerah dalam pelaksanaan pengembangan MCA Network; 2. Survei data dasar oleh Tim; 3. Identifikasi kelompok inti, kelompok fokus dan stake holders dan Instansi/ Lembaga terkait; 4. Pertemuan formal dan in formal untuk menggali temuan; 5. Identifikasi dan pengkajian keanekaragaman hayati laut dan kondisi oceanografi wilayah di daearah Kabupaten dan Kota; 6. Penyusunan draft profil dan status KKL; 7. Sosialisasi, konsultasi kepada masyarakat/kelompok masyarakat, DPRD Prov/Kab/Kot., Pemprov/Pemkab/Pemkot, Dinas Prov/Kab/Kota Terkait, dan secara teknis konsultasi dengan Direktorat KTNL Ditjen KP3K Dept. Kelautan dan Perikanan; Terbitnya buku tetang potensi lokal, isu-isu serta status kwasan konservasi laut d Indonesia 3. Pengkajian ukuran luas, bentuk-bentuk, zonasi dan status peruntukan kawasan konservasi laut yang tepat. 1. Membentuk Kelompok Kerja (Pokja) dari unsur Tokoh Masyarakat, Perguruan Tinggi, Pemda, instansi dan lembaga terkait, NGO s dan swasta untuk menganalisa dan menetapkan status dan kawasan. 2. Melaksanakan study untuk penentuan zona-zona peruntukan, seperti zona preservasi, zona konservasi dan zona penyangga atau pemanfaatan Adanya status yan jelas tentang kawasan konservasi laut diantaranya zonasi, luas zonasi serta status peruntukan yang sesuai dengan kondisi setempat. 46 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

51 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur 3. Melaksanakan seri diskusi dan workshop oleh tim pengembangan KKL yang melibatkan Pemerintah Daerah, Instansi/Lembaga, NGO s, Kelompok Masyarakat, Praktisi, Akademisi untuk mengkaji: 4. Ukuran, zonasi dan status kawasan; 5. Kriteria kawasan berdasarkan kriteria kimia, fisika, biologi dan ekologi; 6. Kriteria berdasarkan sosial, ekonomi, dan budaya 7. Kriteria berdasarkan kemapuan dan pengembangan SDM dan Sumber Daya Lokal. 8. Workshop mengenai tata ruang wilayah dalam penentuan zonasi KKL; Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun 4. Mengkaji kembali modelmodel pengelolaan kawasan konservasi laut di Indanesia dalam rangka mencari modelmodel yang tepat diterapkan di Indanesia. 1. Melaksanakan desk study dan field study tentang KKL yang saat ini diterapkan di Indonesia dan di negara-neraga lain. 2. Sosialisasi dan konsultasi kepada masyarakat/kelompok masyarakat, DPRD Prov/Kab/Kot., Pemprov/Pemkab/Pemkot, Dinas Prov/Kab/Kota Terkait, dan secara teknis konsultasi dengan Direktorat KTNL Ditjen KP3K Dept. Kelautan dan Perikanan; 3. Penetapan luas, status dan pengelola KKL oleh Bupati/Walikota. Adanya model penelolaan kawasan konservasi laut (KKL) di indonesia baik secara lokal, reional serta nasional Jejaring Kawasan Konservasi Laut 47

52 STRATEGI 3 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur PENGEMBANGAN JARINGAN KONSERVASI LAUT (NETWORKING MPA) DALAM SKALA NASIONAL DAN REGIONAL (EKOREGION). 1. Perencanaan sistem informasi tentang kawasan konservasi laut di Indanesia. 2. Pengembangan jaringan kawasan konservasi laut yang memiliki resiliensi yang kuat dalam berbagai ukuran besar dan kecil, dan menyebar di seluruh wilayah 3. Mengembangkan dan pengelolaan kawasan konservasi laut secara terpadu dengan melibatkan seluruh stakeholders. 1. Melakukan pelatihan pengembangan sistem infomasi; 2. Membuat sistem data base; 3. Membuat webb site KKL Kabupaten/Kota dan Jejaring KKL; 4. Membuat buku panduan pengelolaan sistem data base pusat/daerah. 1. Identifikasi, inventarisasi dan pemantauan; 2. Penelitian/Pengkajian/Pengembangan; 3. Publikasi; 4. Pembinaan spesies ekonomis penting dan dilindungi; 5. Pembinaan daerah pemijahan dan daerah migrasi. 1. Publikasi; 2. Seri diskusi; 3. Seri lokakarya (daerah/pusat); 4. Konvensi MCA Network (Tingkat Nasional/Internasional); 5. Penandatangan MoU antara Depaertemen, Lembaga/Instansi, NGO s (lokal dan internasional), Organisasi Massa, dan stakeholders lainnya. Tentang pengelolaan MCA Network Tersusunnya sistem informasi kawasan konservasi laut yan baik serta database yang lengkap tentang KKL. Terbentuknya jejaring kawasan konservasi laut di indonesia baik jejaring secara lokal, regional, nasional serta internasional Adanya kesepakatan pengelolaan kawasan konservasi laut denan melibatkan beberapa stakeholeders setempat. Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun 48 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

53 STRATEGI 4 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT DENGAN MELAKUKAN PERLINDUNGAN TERHADAP SPESIES- SPESIES YANG DILINDUNGI DAN KERAGAMAN GENETIK. 1. Inventarisasi dan identifikasi spesiesspesies yang termasuk dalam Red Data Book IUCN yang ada di seluruh wilayah perairan Indanesia. 2. Pengkajian potensi dan status spesies yang dilindungi undangundang (Red Data Book IUCN) dalam pengembangan konservasi laut. 3. Melakukan pemetaan genetik 4. Melakukan perlindungan terhadap spesies-spesies langka dan spesies endemik. 1. Identifikasi, inventarisasi dan pemantauan 2. Penelitian/Pengkajian/Pengembangan flora dan fauna; 3. Pembuatan peta penyebaran spesies spesifik; 4. Pembuatan data base; 5. Publikasi kondisi ekologis dan biologis; 6. Penyusunan bentuk pengelolaan. 1. Identifikasi, inventarisasi dan pemantauan; 2. Penelitian/Pengkajian/Pengembangan; 3. Publikasi; 4. Pembinaan populiasi/restocking/reintroduksi; 5. Pembinaan habitat; 1. Optimalisasi/Pengadaan peralatan lab. untuk rekayasa genetik; 2. Identifikasi, inventarisasi dan pemantauan; 3. Penelitian/Pengkajian/Pengembangan; 4. Pembinaan/Reintroduksi/Enrichment; 5. Pembinaan habitat; 1. Studi migratory species diperairan Indanesia; 2. Penguatan kelembagaan jaringan KKL; 3. Penyusunan bentuk perundangundangan. Tersusunnya database pemetaan teradap spesies-spesies yang dilindungi termasuk dalam red data book IUCN Tersusunnya potensispesiesspesies yang dilindungi termasuk dalam red data book IUCN Tersusunnya database pemetaan teradap spesies-spesies yang dilindungi termasuk dalam red data book IUCN Tersusunnya database pemetaan teradap spesies-spesies yang dilindungi termasuk dalam red data book IUCN Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun Jejaring Kawasan Konservasi Laut 49

54 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun STRATEGI 5 PENINGKATAN KAPASIFAS KELEMBAGAAN DAN SUMBERDAYA MANUSIA PENGELOLA KONSERVASI LAUT, BAIK KONSERVASI KAWASAN MAUPUN KONSERVASI SPESIES DAN GENETIK. 1. Penyusunan, penyempurnaan dan penyebarluasan informasi mengenai peraturan perundangan dan tentang kawasan konservasi laut dan konservasi spesies dan genetik. 2. Peningkatan kapasitas dun kapabilitas kelembagaan pemerintah daerah pengelola kawasan konservasi laut, spesies dan genetik di tingkat lokal. 1. Identifikasi kesenjangan pada peraturan yang sudah ada rnelalui proses konsultasi dengan pihak-pihak terkait dan anggota legislatif. 2. Mengernbangkan prioritas untuk rnenyusun instrumen hukum, konsep perundangan dan peraturan yang berlaku. 3. Mengkoordinasikan pelaksanaan dan penegakan hukum dengan pemerintah seternpat, instansi penegak hukum dan rnasyarakat lokal untuk rnengernbangkan sistern yang baik. 1. Mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan membuat dan mensosialisasikan berbagai produk hukum dan turunannya dalam rangka pengernbangan dan pengelolaan konservasi laut. 2. Restrukturisasi kelembagaan, fungsi dan wewenang pemerintah daerah dalam pengembangan dan pengelolaan konservasi laut. 3. Membuat jaringan kerjasama antara pemerintah daerah dengan lembaga nasional, regional dan internasional yang terkait dengan pengembangan dan pengelolaan konservasi laut. 4. Mempersiapkan kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan transformasi dan pengembangan IPTEK yang terkait dengan pengembangan dan pengelolaan konservasi laut daerah. informasi pada seluruh segmen masyarakat mengenai peraturan yang berlaku, tentang pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi laut, konservasi spesies dan konservasi genetik. Adanya kelembagaan yang kuat dalam pengelolaan kawasan konservasi laut di indonesia. 50 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

55 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur 3. Peningkatan kelembagaan daerah, masyarakat lokal, civil society organization dalam rangka pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi 1. Melakukan studi inventarisasi kelembagaan daerah yang terkait dengan pengembangan dan pengelolaan konservasi laut. 2. Melakukan pengkajian terhadap proyeksi pengembangan dan pembinaan kelembagaan pemerintan daerah dan masyarakat lokal. 3. Melakukan pelatihan dalam rangka menciptakan sinkronisasi kelembagaan, membangun sistem informasi, sistem dan mekanisme koordinasi yang jelas antara kelembagaan yang terkait dengan pengembangan dan pengelolaan konservasi laut di Indanesia. 4. Melakukan lokakarya nasional untuk memperjelas fungsi dan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan dan pengelolaan konservasi laut di Indanesia. Terbentuknya sistem kelembagaan yang kuat dalam pengelolaan KKL di Indonesia Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun STRATEGI 6 STRATEGI PENINGKATAN KERJASAMA DAN JARINGAN INTERNASIONAL 1. Meningkatkan pemanfaatan yang terkait dengan pengelolaan KKL (seperti UNFCCC, World Heritage, dan CITES) dalam bentuk kerjasama program yang didasarkan pada implementasi Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut 1. Focal Point Konvensi dibantu oleh Komite Nasional KKL melakukan koordinasi yang intensif dengan focal point-focal point konvensi internasional lainnya di tingkat nasional. 2. Komite Nasional Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KNKKL) bersama dengan focal point Konvensi lainnya secara rutin mengeluarkan informasi maupun panduan mengenai kerjasama dan harmonisasi isu pengelolaan KKL berkaitan dengan konvensi lainnya bagi para pemangku kepentingan. Terdapat diskusi rutin dan konsultasi antara komite nasional kawasan konservasi laut dengan komite lain atau lembaga yang sejenis termasuk focal point konvensi internasional lain untuk menghasilkan harmonisasi kegiatan pengelolaan di tingkat nasional dan daerah. Jejaring Kawasan Konservasi Laut 51

56 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur 2. Mengembangkan kerjasama bilateral, multilateral, regional, internasional dalam rangka peningkatan kemampuan pengelolaan KKL. 3. Meningkatkan koordinasi di tingkat nasional dalam rangka membangun hubungan kerjasama regional dan internasional. 1. Melanjutkan kerjasama internasional yang telah dilakukan selama ini dengan menitikberatkan pada pengelolaan KKL yang memiliki keterkaitan dengan negara lain (lintas batas, spesies migrasi, polusi), tukar-menukar informasi dan keahlian, perdagangan, dan pembiayaan pengelolaan KKL. 2. Komite Nasional Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan tatacara pengelolaan kawasan konservasi dengan baik. 1. Komite Nasional Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut membangun hubungan komunikasi yang harmonis dan intensif dengan pemangku kepentingan di daerah mengenai isu-isu global dan kemungkinan implikasinya ke daerah. 2. Melakukan inventarisasi terhadap seluruh stakeholder yang telah, sedang, dan akan melakukan kerjasama dengan mitra luar negeri. 3. Secara rutin melakukan komunikasi dengan semua pemangku kepentingan yang memiliki kerjasama dengan mitra luar negeri mengenai pengelolaan KKL nasional. Terdapat peningkatan dukungan internasional yang signifikan baik jumlah maupun kualitas dalam kegiatan pengelolaan KKL terutama yang dilakukan berdasarkan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut, termasuk kegiatan-kegiatan pemanenan dan perdagangan sumberdaya KKL secara bijaksana. Setiap pemangku kepentingan utama di tingkat provinsi memiliki dan memahami isi dokumen SNPKKL. Setiap provinsi memiliki semacam focal point untuk Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut berkomunikasi dengan KNKKL terutama untuk engembangan kegiatan yang lebih harmonis menyangkut isu KKL global. Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun 52 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

57 STRATEGI 7 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur STRATEGI PEMBIAYAAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT 1. Meningkatkan kepedulian pemerintah pusat maupun daerah dalam pengalokasian dana untuk kegiatan pengelolaan KKL. 2. Meningkatkan keterlibatan pihak non pemerintah dalam perlindungan dan pengelolaan KKL. 3. Mengkaji dan mengembangkan kemungkinan pembebanan biaya pengelolaan KKL terhadap masyarakat pemanfaat KKL. 1. Memastikan masuknya isu KKL dalam perencanaan pembiayaan kegiatan proyek pembangunan di pusat maupun daerah. 2. Memastikan kegiatan pengelolaan KKL (yang sesuai dengan SNPKKL) dapat tercantum dalam anggaran pemerintah APBN/APBD, Dana Reboisasi, dan anggaran-anggaran lainnya. 1. Mengkomunikasikan prioritas pengelolaan KKL dalam SNPKKL kepada pihak donor (swasta dan lembaga internasional) yang mungkin melakukan pembiayaan. 2. Meningkatkan pemahaman para pemangku kepentingan mengenai peluang dan prosedur pembiayaan pengelolaan KKL dari pihak non pemerintah, 3. Meningkatkan keterlibatan swasta dalam pembiayaan pengelolaan KKL 1. Mengembangkan dan menyebarluaskan prinsip pengguna membayar (User Pays Principle) dan pencemar membayar (Polluter Pays Principle). 2. Mengembangkan mekanisme pembagian biaya yang dapat diterima secara sosial untuk menutupi biaya pengelolaan KKL, seperti penerapan biaya untuk pemanfaatan sumberdaya air dan kegiatan pariwisata. 3. Mengembangkan mekanisme subsidi silang antara kegiatan pemanfaatan jasajasa lingkungan di suatu wilayah dengan pembiayaan perlindungan KKL di wilayah lain (misalnya antar wilayah hulu dan hilir). Tersedianya alokasi dana untuk kegiatan pengelolaan KKL di APBN dan APBD Provinsi - provinsi yang memiliki Kawasan Konservasi Laut penting. Terdapat peningkatan signifikan alokasi dana swasta bagi usaha perlindungan KKL, dan meningkatnya jumlah maupun kualitas dukungan masyarakat internasional dalam pengelolaan KKL Terdapat contoh-contoh yang berhasil dalam pembiayaan pengelolaan KKL yang diperoleh dari pemanfaatan jasa-jasa lingkungan di setiap provinsi. Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun Jejaring Kawasan Konservasi Laut 53

58 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun STRATEGI 8 PENGEMBANGAN KEBIJAKAN, HUKUM, DAN PENINGKATAN PENTAATANNYA 1. Mengkaji serta mengembangkan hukum dan kebijakan yang mendukung upaya pengelolaan KKL secara berkelanjutan dan berkeadilan bagi seluruh pemangku kepentingan 1. Melakukan kajian secara rutin melalui konsultasi publik, diskusi para ahli, dan mekanisme lainnya untuk memahami isuisu terkini dalam upaya pengembangan hukum dan kebijakan. 2. Mengkaji ulang dan menjamin terpenuhinya berbagai standar mutu lingkungan yang telah ada, dan mengembangkan standar mutu lingkungan bagi kegiatan-kegiatan lain yang juga berkontribusi terhadap kerusakan KKL. 3. Memperluas upaya valuasi ekonomi, analisis biaya dan manfaat, dan mekanisme valuasi KKL lainnya sebagai salah satu dasar kebijakan pengelolaan KKL. 4. Mengapresiasi peraturan lokal/tradisional yang mendukung pengelolaan KKL secara arif dan berkelanjutan. Terdapat upaya yang nyata (misalnya diskusi dan konsultasi) dalam mengharmoniskan implementasi hukum untuk meminimalkan perbedaan interpretasi dan mencegah munculnya kebijakan yang tidak produktif. Terdapat kebijakan standar mutu lingkungan baru untuk mencegah kerusakan KKL yang memastikan masuknya pertimbangan valuasi ekonomi KKL secara menyeluruh dan peraturan lokal/tradisional yang terbukti efektif melindungi KKL. 54 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

59 STRATEGI 9 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur PENDIDIKAN DAN PENINGKATAN KEPEDULIAN MENGENAI KKL 2. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran para pemangku kepentingan agar melakukan pengelolaan berdasarkan hukum, kebijakan, dan kesepakatan yang berlaku di tingkat daerah, nasional, dan internasional 3. Menegakkan hukum secara konsisten dan konsekuen 1. Meningkatkan kepedulian publik terhadap Kawasan Konservasi Laut. 1. Menyebarluaskan produk-produk hukum, kebijakan, dan kesepakatan pengelolaan KKL tingkat daerah, nasional, dan internasional kepada para pemangku kepentingan. 2. Menyelenggarakan pelatihan bagi para pemangku kepentingan mengenai metode pengembangan/penerapan kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan KKL. 1. Memastikan penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam setiap perencanaan pengelolaan KKL. Serta memastikan terlaksananya Rencana/Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL atau UKL/UPL) pada saat proyek tersebut berjalan. 2. Meningkatkan pemahaman para penegak hukum mengenai produk-produk hukum yang berkaitan dengan pengelolaan KKL, serta meningkatkan kemampuan mereka dalam upaya pentaatannya. 3. Mengembangkan advokasi mengenai kegiatan pengelolaan KKL secara arif dan berkelanjutan. 1. Melanjutkan upaya penerbitan dan penyebarluasan materi mengenai konservasi dan pemanfaatan KKL secara arif dan bijaksana. 2. Meningkatkan kerjasama dengan pelaku pendidikan lingkungan formal, non formal, dan informal untuk memasukkan aspek KKL ke dalam program pendidikan. Setiap kebijakan tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan KKL telah didasarkan pada berbagai produk-produk hukum, kebijakan, dan kesepakatan yang berlaku baik di tingkat daerah setempat, nasional, maupun internasional. AMDAL KKL menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap perencanaan pengelolaan yang berkaitan dengan KKL. Menurunnya secara signifikan tingkat pelanggaran di bidang lingkungan hidup, terutama pelanggaran yang berkaitan langsung dengan lingkungan KKL. Terbitnya materi-materi pendidikan lingkungan berbasis keunikan daerah di tingkat provinsi untuk diintegrasikan kedalam kegiatan-kegiatan pengelolaan KKL. Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun Jejaring Kawasan Konservasi Laut 55

60 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur 2. Meningkatkan kemampuan pemangku kepentingan dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Luat. 1. Mengkaji kebutuhan dan sasaran pelatihan di tingkat daerah dan nasional serta mengembangkan materi pelatihan. 2. Membuka dan mengembangkan pusat informasi dan pendidikan KKL di lokasi yang telah berhasil melakukan konservasi dan pemanfaatan secara arif. 3. Melanjutkan dan memperluas upaya pelatihan pengelolaan KKL dengan struktur dan kurikulum yang lebih rapih dan harmonis. 4. Menyebarluaskan pemahaman tentang KKL untuk tujuan penyusunan hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan nilai dan fungsi penting KKL. Terdapat sebuah kajian yang menghasilkan identifikasi kebutuhan dan sasaran serta materi pelatihan mengenai pengelolaan kawasan konservasi laut. Terdapat pusat informasi dan pendidikan yang berkaitan dengan KKL disetiap provinsi yang secara aktif melakukan kegiatan-kegiatan pendidikan mengenai pengelolaan KKL secara bijaksana, sehingga terbentuk sumberdaya manusia pengelola KKL yang berkualitas. Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun STRATEGI 10 STRATEGI MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM 1. Mengembangkan pengetahuan dan teknologi mengenai peranan dan dinamika KKL termasuk flora perairan dalam mengendalikan laju pemanasan global. 1. Mengembangkan teknologi untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas flora KKL dalam mengurangi (mitigasi) laju perubahan iklim. 2. Mengembangkan teknologi yang memungkinkan peningkatan kemampuan KKL dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim. Terdapat upaya-upaya signifikan berupa penelitian dan demonstrasi plot di setiap provinsi mengenai teknologi pengelolaan KKL untuk tujuan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. 56 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

61 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur 2. Mengembangkan teknologi pemanfaatan KKL bagi kesejahteraan masyarakat, tanpa merusak fungsinya. 1. Melakukan kajian mengenai sebaran dan status gambut di seluruh Indonesia, mencakup isu kondisi biofisik, kandungan karbon, dan potensi pengembangannya bagi implementasi Proyek Karbon Hutan 2. Mempelajari dan mengembangkan teknologi modern maupun kearifan tradisional dalam pengelolaan rawa gambut. 3. Mengimplementasikan berbagai pilot project hasil penelitian maupun praktekpraktek yang telah ada (Best Management Practice) mengenai pemanfaatan KKL secara arif dan berkelanjutan di berbagai tempat yang kondisinya sesuai. Terdapat peta sebaran gambut Indonesia beserta isu-isu pengelolaannya. Tersedia panduan teknis pengelolaan lahan gambut dan terdapat upaya implementasi secara luas praktek-praktek pengelolaan gambut secara bijaksana yang telah berjalan selama ini untuk kesejahteraan masyarakat lokal. Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun 3. Mengidentifikasi dampak perubahan iklim pada suatu kawasan KKL serta peranan KKL dalam meredam dampak tersebut. 1. Mengembangkan penelitian mengenai dampak perubahan iklim terhadap berbagai kawasan KKL, termasuk kemungkinan pengelolaan KKL untuk mengurangi dampak buruk perubahan iklim terhadap lingkungan secara keseluruhan. 2. Menyusun dan menyebarluaskan informasi kepada para pengambil keputusan mengenai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk menjadi dasar dalam pengelolaan KKL, sehingga fungsi KKL dalam meredam dampak perubahan iklim dapat termanfaatkan secara optimum oleh masyarakat. Terdapat dan tersebarluasnya data dan informasi di setiap provinsi mengenai KKL pentingnya masing-masing dalam kaitannya dengan peredaman laju perubahan iklim dan dampaknya. Jejaring Kawasan Konservasi Laut 57

62 Strategi Program Rencana Aksi Tolok Ukur 4. Menyusun langkah-langkah adaptasi dampak perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat melalui pengelolaan KKL secara terpadu. 1. Merumuskan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim pada masyarakat yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dengan memanfaatkan berbagai hasil penelitian KKL dan simulasi perubahan iklim. 2. Menyebarluaskan informasi mengenai penyebab dan dampak perubahan iklim seluas mungkin. 3. Mengefektifkan mekanisme serta kelembagaan pencegahan dan penanggulangan kerusakan ekosistem KKL Terdapat dokumen program aksi yang menggariskan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim di setiap provinsi berdasarkan kondisi obyektif di masing-masing wilayah yang disebarluaskan ke seluruh pemangku kepentingan di tingkat Kabupaten/kota. Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang 1-5 Tahun 5-10 Tahun Tahun 58 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

63

64 Bakosurtanal. Atlas Sumberdaya Lelautan Indonesia / 1998 Conservation International, Conservasi Earths Living Heritage, 2004 Choat, J.H., & D.R. Bellwood, Reef Fishes: Their History and Evolution. In: The Ecology of Fishes on Coral Reefs (Ed. P.F. Sale). Academic Press Inc., San Diego-Toronto. 754p. COREMAP-AMSAT, Riau Reef Health Monitoring Cruise BE00 September BME Reef Health Report. Secretariat COREMAP, Jakarta, Indonesia. 149 pp., 5 Annexes. COREMAP PSTK, Final Report: Ecological Assessment of the Spermode Archipelago, South Sulawesi. 131 hal. dan lamp. PSTK-Unhas, SulSel, Indonesia. Dokumen Regional Republik Indonesia, Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati 2003 sampai 2020 Nick Salafsky, Richard Margoluis, and Kent Redford. Adaptive Management. A tools for conservation practitioners Rohkmin Dahuri, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, M.J. Sitepu, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Jerzy Kozlowski, Pendekatan Ambang Batas Dalam Perencanaan kota, Wilayah dan Lingkungan, Universitas Indonesia Jakarta. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen 60 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

65 Kelautan dan Perikanan, Pedoman Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah, Yakarta. Supriharyono, M.S., Dr. Ir. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan, Jakarta Timothy H. Brown and Marc-Antoine Dunais. Pendanaan Konservasi Kelautan : Pedoman dasar bagi Indonesia. USAID Coastal Resources Management Project II Shield of the Indonesian Seas Foundation World Commission Protected Area (WCPA), Guidline for Marine Protected Area, Best Practice Protected Area Guidelines Series No. 3, Cardif University, IUCN World Commission Protected Area (WCPA), National System Planning for Protected Area, Best Practice Protected Area Guidelines Series No. 1, Cardif University, IUCN. WWF-SSME Program Framework for a network of Marine Protected Areas in the Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion. WWF Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion Conservation Program. Quezon City, Philippines, 48p. Website IUCN, Website WWF, Website Kompas, Website KLH, Website WALHI, Year Book of International Co-operation on Environment and Development. Html Jejaring Kawasan Konservasi Laut 61

66 62 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

67

68 Lampiran 1 Kawasan Konservasi Laut Daerah No Nama Kawasan Wilayah Pengelolaan Terumbu Karang, Kec. Senayang- Lingga, kab. Kepulauan Riau Taman Laut Selat Pantar dsk, Kab Alor Kawasan Konsaervasi dan Wisata Laut Pulau Penyu, Kab. Pesisir Selatan Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau Kawasan Konservasi dan Wisata Laut P. Biawak dsk, Kab. Indramayu Kawasan Wisata Laut Selat Tiworo, Kab. Muna Luas (Ha) Propinsi Potensi SK Bupati Keterangan PM'* Riau NTT Sumatera Barat Kalimantan Timur 720 Jawa Barat Sulawesi Tenggara Terumbu Karang & Hutan Bakau Jalur migrasi Ikan Paus dan Keanekaragam an ekosistem Terumbu Karang Penyu Hijau,Penyu Belimbing, Penyu Sisik, dan Terumbu Karang Terumbu Karang, Hutan Tropis dan Ekosistem Danau dengan biota yang unik (Uburubur dll) Terumbu Karang Terumbu Karang No.71/III/2002 Tgl No.5 Tahun 2002 Tgl No.53 Tahun 2003 Tgl No.31 Tahun 2005 Tgl No.556/Kep.528- Diskanla /2004 Tgl No.157 Tahun 2004 Tgl Dekon Sumber dana utk inv potensi dekon, Ada Management Plan Sumber dana utk inv potensi APBN Pusat, Ada Management Plan Pusat Sumber dana utk inv potensi APBN Pusat, Ada Management Plan Sumber dana utk inv potensi APBN Pusat, Ada Management Plan 64 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

69 No Nama Kawasan Kawasan Konservasi Laut Daerah Gili Sulat dan Gili Lawang, Kec. Sambelia, Kab. Lombok Timur Kawasan Konservasi Laut Daerah P. Randayan dan Pulaupulau Sekitarnya, Kab. Bengkayang Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Laut Barat- Selatan dan Pulau Sembilan, Kab. Kota Baru Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Liwutongkidi, Kab. Buton Konservasi Konservasi Laut Daerah P. Gili Banta Kab. Bima Kawasan Konservasi Laut Daerah Distrik Abun, Kab. Sorong Luas (Ha) Propinsi Potensi SK Bupati Keterangan NTB Sub Total ,533 Sumber : DKP Tahun 2005 Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Tenggara NTB ,533 PAPUA Terumbu Karang dengan dominasi Hard Coral Terumbu Karang dengan dominasi Hard Coral, Acropora & Non Acropora Terumbu karang, Vegatasi mangrove, Biota laut. Terumbu Karang Ekosistem Terumbu Karang Penyu belimbing No188.45/452/K P/2004 Tgl No.220 Tahun 2004 Tgl /918- PPPK/LAPERIK tgl Nov 2005 No. 578 Tahun 2005 tgl Kep. Bupati No 8 Tahun 2005 tgl 2 Jan 2005 Kep. Bupati No 142 Tahun 2005 tgl 8 Desember 2005 Pusat Sumber dana utk inv potensi APBN Pusat, Ada Management Plan Pusat Dekon Pusat APBD Jejaring Kawasan Konservasi Laut 65

70 Lampiran 2 Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah No Nama Kawasan Kawasan Suaka Margasatwa Laut P.Pasoso Kawasan Wisata Laut P.Togean dan P.Batudaka Kawasan Wisata Laut Selat Lembeh Kawasan Wisata Laut Teluk Ratotok Taman Laut Daerah Kab. Banggai Kepulauan Kawasan Bahari Cijulang Taman Bahari/Taman Laut dan Daerah Perlindungan Laut Kab. Buleleng Taman Wisata Bahari Sabang Taman Wisata Laut Simeulue Luas (Ha) Propinsi Potensi SK Bupati Keterangan Sulawesi Tengah Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Jawa Barat Bali NAD NAD Jenis karang yang dominan di kawasan tersebut adalah dari jenis Acropora Terdapat 267 Spesies Terumbu Karang Terumbu Karang Terumbu Karang Terumbu Karang dengan Banggai Cardinal Fish Mangrove dan Terumbu Karang Ekosistem Terumbu Karang, Vegetasi Mangrove, Ikan Hias Terumbu karang, Vegatasi mangrove, Biota laut. Terumbu karang, Vegatasi mangrove, Biota laut Pusat Pusat Pusat Pusat Pusat Pusat Pusat Pusat Pusat 66 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

71 No Nama Kawasan Suaka Perikanan Sambas Taman Wisata Laut Enggano Konservasi Sumberdaya Perikanan, Kab. Rokan Ilir Konservasi Sumberdaya Perikanan, Kota Dumai Konservasi Sumberdaya Perikanan, Kab. Bengkalis Konservasi Sumberdaya Perikanan, Kab. Siak Konservasi Sumberdaya Perikanan, Kab. Pelalawan Konservasi Sumberdaya Perikanan, Kab. Indragiri Hilir Luas (Ha) Propinsi Potensi SK Bupati Keterangan Sub Total ,74 Total Luas ,27 Sumber : DKP Tahun 2006 Kalimantan Barat Bengkulu Utara Provinsi Riau Provinsi Riau Provinsi Riau Provinsi Riau Provinsi Riau Provinsi Riau Penyu Terumbu Karang, Padang Lamun, Biota Laut Lola, Indikasi Paus Penyu Mangrove Mangrove Hutan Rawa Gambut Danau/Oxbow Mangrove Terdiri dari : - 10 KKLD SK Bupati - 11 Calon KKLD - - Pusat Pusat APBD APBD APBD APBD APBD APBD Jejaring Kawasan Konservasi Laut 67

72 Berdasarkan Marine Conservation Data Atlas dan PHKA ada beberap daerah / Kawasan yang dijadikan wilayah perlindungan. Untuk mengetahui secara jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Lampiran 3 Wilayah Perlindungan Berdasarkan Prioritas Pertama WILAYAH PERLINDUNGAN DENGAN PRIORITAS PERTAMA LOKASI Kategori YANG DILINDUNGI Kuartal Pertama 1985 IV (Seluruh Perariran Indonesia) 1.0 Suaka Margasatawa Ikan Paus Indonesia 1.1 TI. Cendarawasi. Kep.Auri IV-X (terumbu karang, kepiting besar, sarang penyu green dan hawksbill, dugong) 1.2 Aru Tenggara I (terumbu karang, rumput laut, dugong, sarang penyu) 1.3 Jamursba-mandi I (sarang penyu, leatherback dan green) 1.4 Wew Koor I (sarang penyu) 1.5 Kakabia I (sarang burung laut dan penyu, terumbu karang) 1.6 Ti. Bintuni I (Estuari, bakau) 1.7 Muara Gembong IV (Estuari, bakau) 1.8 Karimun Jawa II (terumbu karang, sarang burung laut dan penyu, green dan hawksbill) 1.9 Nusa Panida III (terumbu karang, sarang burung laut) Kuartal Kedua Muara kendawangan I (Estuari, Hutan pantai, bakau, burung pantai berpindah) 1.11 Perluasan Tg. Putting IV (Estuari, bakau) 1.12 P.P Bunakan III (terumbu karang, kepiting besar, pariwisata) 1.13 Arakan IV (terumbu karang, kepiting besar, dugong) 1.14 Moromaho I (terumbu karang, sarang burung laut ) 1.15 Suanggi I (sarang burung laut) 1.16 Tg. Sinebu-P Alang besar IV (Estuari, bakau) 1.17 Bakau muara Kaupas IV (bakau, hutan rawa) 1.18 Muara Bobos I (Estuari, bakau, tambak udang binaan ) 1.19 Muara Cimanuk I (Estuari, bakau, perikanan binaan ) Kuartal Ketiga Perairan Cikepuh- Cibanteng I ( daerah perkawinan penyu green) 68 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

73 WILAYAH PERLINDUNGAN DENGAN PRIORITAS PERTAMA 1.21 Perairan Bali Barat-P II (terumbu karang, pariwisata) Menjangan 1.22 Batugendang III (sarang burung laut, terumbu karang) 1.23 Perairan Komodo-padar- Rinca II (terumbu karang, selat, upwelling kecil, tempat makan Paus manta rays, hiu Paus) 1.24 Pamukan I (Estuari, bakau) 1.25 TI. Apar I (Estuari, bakau, tambak udang binaan) 1.26 TI. Adang I (Estuari, bakau, tambak udang binaan) 1.27 P. Pasoso III ( terumbu karang, sarang penyu green) 1.28 P.P Togian VIII (terumbu karang,teluk, kepiting besar, kepiting kelapa, bakau, sarang penyu green dan hawksbill) 1.29 Sangi Sangiang I (sarang burung laut, terumbu karang) 1.30 Korampa Tjadi I (sarang burung laut, terumbu karang) Kuartal Keempat P.P Penyu Lucipara I (Terumbu karang, sarang penyu green, terns) 1.32 P. Mapia IV (terumbu karang,teluk, kepiting besar, kepiting kelapa, bakau, sarang penyu green dan hawksbill) 1.33 Kuala Jambu Air I (Estuari, bakau) 1.34 Kuala langsa I (Estuari, bakau) 1.35 Pengumbahan VI (sarang dan tempat kawin penyu Green) 1.36 Hutan Sambas-Paloh I (sarang dan tempat kawin penyu Green) 1.37 Pearairan pleihari Tanah IV (tempat kawin penyu Green)) Laut 1.38 P. Penyu I (terumbu karang, kepiting besar, sarang penyu green dan hawksbill) 1.39 Perairan Krakatau III (terumbu karang) 1.40 Peairan Ujung Kulon P Panaitan II (terumbu karang,teluk, tempat kawin penyu green dan hawksbill) Kuartal Pertama Perairan Kangean Utara IV (cary, terumbu karang, rumput laut,dugong, sarang burung laut dan penyu green) 1.42 Panati barat kalimantan I (sarang penyu green) Selatan 1.43 Muara Kayan I (Estuari, bakau) 1.44 Kep. Peleng Banggai VIII (terumbu karang, penyu, dugong, kepiting besar) 1.45 Peariran Tg. Api I (Terumbu karang) Jejaring Kawasan Konservasi Laut 69

74 WILAYAH PERLINDUNGAN DENGAN PRIORITAS PERTAMA 1.46 Taka bone Rate VIII (terumbu karang, sarang penyu green dan hawksbil, dugong, kepiting besarl) 1.47 Kep. Kai Barat-Tayandu VIII (terumbu karang sarang burung laut mungkin kelapa kepting kelapa) 1.48 Raja ampat IV (terumbu karang, sarng penyu green dan hawksbill) 1.49 Kep, Sermata Barat. VIII (terumbu karang) 70 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

75 Lampiran 4 Wilayah Perlindungan Berdasarkan Prioritas Kedua WILAYAH PERLINDUNGAN DENGAN PRIORITAS KEDUA LOKASI KATEGORI YANG DILINDUNGI Kuartal Kedua Singkil Barat I ( hutan, pantai, hutan rawa pantai) 2.2 Kep. Banyak-Bangkaru IV (terumu karang, sarang penyu) 2..3 Sei Prapat I (bakau) 2.4 Lau Tapus I (hutan panati, hutan rawa pantai) 2.5 Perairan Kep. Batu VIII (terumbu karang, kepiting besar, sarang penyu) 2.6 Nusa Kembangan- Segaa I Estuari, bakau, tambak udang Anakan bianaan) 2.7 T.g Panjang IV (bakau, delta sarang burung air) 2.8 Ti. Lasolo- Ti.Dalam IV (terumbu karang, dugong, penyu) 2.9 Kep. Sambilan IV (terumbu karang, sarang penyu green dan hawksbill) 2.10 Perairan P. Manuk IV (terumbu karang) 2.11 Inggresau I (sarang penyu leatherback) 2.12 TI.Lelintah IV (terumbu karang, mungkin kepiting kelapa) Kuartal Ketiga Bakau selat Dumai IV (bakau) 2.14 Muara gunting I (lingkaran bakau) 2.15 Kep. Riau Seltan- lingga Utara VIII (terumbu karang, kepuluan bakau, sarang penyu green dan hawksbill) 2.16 P. Lengkuas-Kepayang IV (terumbu karang, sarang penyu green dan hawksbill) 2.17 P. Rotan- Peariran VIII (terumbu karang, sarang penyu Manggar Tenggara green dan hawksbill) 2.18 P. tikus I ( sarang penyu leatheback) 2.19 Gili Air p. Pemenang IIII (terumbu karang) 2.20 P.P tujuh belas IIII (terumbu karang) 2.21 Kep. Laut Kecil VIII (terumbu karang, sarang penyu green dan hawksbill 2.22 Pantai Samarinda- Muara VIII (delta, bakau) makam 2.23 Muara Sebuku I (estuari, bakau) 2.24 Lemikomiko I (bakau) Jejaring Kawasan Konservasi Laut 71

76 WILAYAH PERLINDUNGAN DENGAN PRIORITAS KEDUA Kuartal Keempat Perairan P. Semama P. Sangalaki IV (terumbu karang, tempat kawin penyu green) 2.26 Karang muaras- Maratua IV (terumbu karang, sarang penyu green) 2.27 P. Samolona-Spermonde II (terumbu karang, sarang penyu hawksbill, pariwisata) 2.28 P. Angwarmase I ( terumbu karang) 2.29 Perairan Selatan dan I (estuari, bakau, tambak udang barat Gn. Lorenz binaan Memberomo-Peg.Foja II (delta, rawa pantai, bakau ) 2.31 Perairan Nusa Barung I ( terumbu karang) 2.32 Perairan Menu Betiri II ( terumbu karang) 2.33 Djawi djawiu P. Panjang Simmal I ( sarang burung laut ) (lokasi yang tepat tidak ada pada peta) 2.34 Aruah I (sarang burung laut) 2.35 Muara Siberut VIIII (bakau, terumbu karang) 2.36 Kayu Ara I (sarang burung laut) Kuartal Pertama Mandariki I (sarang burung laut) 2.38 Tambelan VIII (sarang burung laut, penyu dan terumbu karang) 2.39 TI. Bolok-Kep.Lima VIII (terumbu karang, sarang penyu green dan hawksbill) 2.40 Benoa Sanur VIII (dataran lumpur, burung laut pindah, bakau) 2.41 Uluwatu I (sarang burung laut) 2.42 Kelompok hutan I ( lingkaran baku, rawa pantai) kahayan 2.43 P. Suwangi I (Kepulauan bakau) 2.44 P. Sebuku barat I (bakau) 2.45 Tg. Dewa barat I (bakau) 2.46 Madu IV (bakau) 2.47 Batu kapal I (sarang burung laut) 2.48 P. burung I (tempat singgah burung frigate) 2.49 Polewai IV (estuari, bakau) 2.50 Jef jus I (sarang burung laut) 72 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

77 Lampiran 5 Wilayah Perlindungan Berdasarkan Prioritas Ketiga WILAYAH PERLINDUNGAN DENGAN PRIORITASKETIGA LOKASI KATEGORI YANG DILINDUNGI Kuartal Kedua P. Sotonda IV (terumbu karang rumput laut) 3.2 Perairan tanah Perdauh I ( tempat kawin penyu green dan hawksbill) 3.4 Tukang Besi VIIII ( terumbu karang, penyu, dugong) 3.5 Pallima VI (estuari, dataran lumpur, dan perikanan binaan) 3.5 Keo. Asia-Kep. Aju IV ( tempat kawin penyu green dan hawksbill) 3.6 Perairan literal barat IV (dataran lumpur, burung pantai Wasur pindah) 3.7 Perairan P. Ramput I (terumbu karang habitat moluska) 3.8 Perairan Bokor I (terumbu karang) 3.9 Perairan litoral Way IV (dataran lumpur, burung pantai Kambas pindah) 3.10 Perairan Litoral Selatan IV (lingkaran bakau, rawa pantai karang Gading Langkar timur 3.11 Tg. Penghujan V (lingkaran bakau, rawa pantai) Terusan Dalam Dsk. IV (lingkaran bakau) Kuartal Ketiga P. bangka timur VIII (terumbu karang dan perikanan binaan, dugong) Tg. Sedari VI (bakau) P. Sangiang V (terumbu karang rekreasi) TI. Kupang- P. Kera VIIII (terumbu karang, cay, dugong, rekreasi) P. Dana IV ( sarang penyu green dan hawksbiil P. birah birahan I (sarang penyu green Sangihe- talaud VIII (kerumbu karang, mungkin kepiting kelapa) Perairan Tg. Mantop IV (terumbu karang, dugong penyu) Perairan P. Dolongan IV (terumbu karang, dugong penyu) Kep. Tengah Sabalana VIII (terumbu karang, sarang penyu hawksbill) P. Kobror IV (bakau, hutan rawa) Ti. anyer VI (bakau dan perikanan binaan0 Jejaring Kawasan Konservasi Laut 73

78 WILAYAH PERLINDUNGAN DENGAN PRIORITASKETIGA Kuartal Keempat Perairan Waigeo Barat I ( terumbu karang teluk) Perairan P. Sabuda- IV (terumbu karang, tempat kawin penyu tatagua green) Sausapor I (sarang penyu) Mubrani- Kaironi I (sarang penyu leatherback dan green dan olive ridley) Sidei- Wibain I (sarang penyu leatherback dan green) P. Pasir Panjang V ( pulau bakau, rekreasi) Tg. Datuk IV (bakau) Kebatu I (sarang burung laut, terumbu karang) Mawuk VI (estuari,bakau dan perikanan binaan) Zona Pesisir TI Banten VI (estuari, welad pantai, habitat benur) barat Muara porong -Welang VI (estuari, dataran limpur, habitat benur fry) 3.36 Gn. Jagatamu IV ( hutan pantai, bakau) Kuartal Pertama P. Panjang IV ( pulau bakau) 3.38 Tl. Pelikan-Bakau- IV (bakau) Pahatu 3.39 Perairan tangkoko-dua I (terumbu karang) Saudara 3.40 Tl. Gorotalo VIII (estuari,bakau) 3.41 P.P Tiga IV (terumbu karang, sarang penyu green dan hawksbill) 3.42 Wae Apo I (bakau) 3.43 TI. Kau V (teluk, kerangka kapal Perang Dunia II) 3.44 TI. Ambon VIII (bakau, terumbu karang, perikanan stolephorus) 3.45 P. Sayang IV (terumbukarang, sarang penyu) 3.46 P. Pombo I (pulau bakau, tempat hinggap imprial pigeon) 3.47 Keo. Balangan- P. Uwi VIII (terumbu karang, sarang penyu green dan hawksbiil) 3.48 Bakau Landu IV (bakau, cay, terumbu karang) 3.49 Kep. Anambas Selatan VIII (terumbu karang, sarang penyu hawksbill) 3.50 Kep. Kalukalukuang VIII 74 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

79 Lampiran 6 Wilayah Perlindungan Berdasarkan Prioritas Keempat WILAYAH PERLINDUNGAN DENGAN PRIORITAS KEEMPAT LOKASI KATEGORI YANG DILINDUNGIN Kuartal Kedua Perairan P. Weh V (terumbu karang) 4.2 Rongkop I (sarang burung laut) 4.3 Muara Pemili VI (estuari, dataaran lumpur, tambak udang bianaan, habitant benur fry) 4.4 Muara Pemalang VI (estuari, tambak udang binaan, habitant benur fry) 4.5 Muara s. Seang VI estuari, dataaran lumpur, tambak udang bianaan, habitant benur fry) 4.6 P. Panyengat V (pulau bakau, rekreasi) 4.7 Peairan Leweung I (tempat kawin penyu green) Sancang Kuartal Ketiga Perairan Pangandaran V (terumbu karang, rekreasi) 4.9 P. Merah V (hutan pantai, bakau, rekreasi) 4.10 Perairan P. noko I (terumbu karang) P.Nusa 4.11 P. Rakit V hutan pantai, terumbu karang, rekreasi)) 4.12 T.g Oisina IV (bakau) 4.13 P erairan P. Manipo IV (habitat pantai dangkal) 4.14 P. Sepanjang I (sarang penyu green) Kuartal Keempat Selat Muna IV (terumbu karang, bakau, dugong penyu green) 4.16 Yamdena I (terumbu karang, habitat benur fry) 4.17 Wae Bula I (estuari) 4.18 Muara Teunom VI (estuari, rawa pantai, tambak udang binaan) 4.19 Muara Wotya VI (estuari, rawa pantai, tambak udang binaan) 4.20 Muara Teripa VI (estuari, rawa pantai, tambak udang binaan) 4.21 Muara Toru VI (estuari, bakau, dataran limpur, tambak udang binaan) Jejaring Kawasan Konservasi Laut 75

80 WILAYAH PERLINDUNGAN DENGAN PRIORITAS KEEMPAT Kuartal Pertama Karimata III (terumbu karang) 4.23 Tg. Keluang V (rekreasi) 4.24 Perairan Bukit Barisan Selatan IV ( tempat kawin penyu green, terumbu karang) 4.25 Perairan baluran IV (terumbu karang, habitat benur fry) 4.26 Perairan Banyuwangi IV (terumbu karang, tempat kawin Selatan penyu green) 4.27 P. Perairan Moyo IV (terumbu karang, habitat benur fry) 4.28 Perairan Dataran Bena V (tempat kawin pwnyu) 4.29 Perairan P.P Maspopaya-Raja I (terumbu karang) 4.30 Selat Wowoni I (terumbu karang) 76 Jejaring Kawasan Konservasi Laut

81

82 Bab 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan dan Sasaran Ruang Lingkup Kegiatan Landasan Hukum Metodologi Pendekatan Studi Bab 2. JEJARING KAWASAN KONSERVASI LAUT (KKL) Pengertian Kawasan Konservasi Laut dan Jejaring Kedudukan MCA Dalam Konteks Nasional Proses Pembentukan KKL di Indonesia Proses Pembentukan KKL Berdasarkan Kriteria Departemen Kehutanan (PHKA) Proses Pembentukan KKL Berdasarkan kriteria Departemen Kelautan dan Perikanan Proses Pembentukan KKL Berdasarkan Masyarakat Model Pembentukan Kawasan Konservasi Laut Pentingnya Kawasan Konservasi Laut Pentingnya Jejaring (Network) Antar Kawasan Konservasi Laut Kriteria Jejaring Kawasan Konservasi Laut Kriteria Ekologis Kriteria Pengelolaan (management) Model Jejaring Kawasan Konservasi Laut Model Jejaring Berdasarkan Ekologis Model Jejaring Berdasarkan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Kondisi Existing Kawasan Konservasi Laut (KKL) Arahan Luas Konservasi Laut Bab 3. STRATEGI PENGEMBANGAN JEJARING KAWASAN KONSERVASI LAUT (KKL) Visi Misi Strategi Jejaring Kawasan Konservasi Laut Tahapan Pelaksanaan Rencana Aksi Jejaring KKL DAFTAR PUSTAKA iv Jejaring Kawasan Konservasi Laut

83 LAMPIRAN Lampiran 1. Kawasan Konservasi Laut Daerah Lampiran 2. Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah Lampiran 3. Wilayah Perlindungan Berdasarkan Prioritas Pertama Lampiran 4. Wilayah Perlindungan Berdasarkan Prioritas Kedua Lampiran 5. Wilayah Perlindungan Berdasarkan Prioritas Ketiga Lampiran 6. Wilayah Perlindungan Berdasarkan Prioritas Keempat Jejaring Kawasan Konservasi Laut v

84

85

86

87 2006 Ministry of Marine Affairs and Fisheries Directorate General of Marine, Coastal and Small Islands Coral Reef Rehabilitation and Management Project Phase II COREMAP II Jl. Medan Merdeka Timur No. 16, lt. 9 Jakarta Pusat Phone ext. 8924, Fax Jl. Tebet Raya No. 91 Jakarta Selatan Phone , Fax coremapii@dkp.go.id, coremap2@yahoogroups.com

88

89 1.1. Background Indonesia is in the centre of the Coral Triangle, which has the world s highest reef biodiversity. This high biodiversity is not only due to Indonesia s geographical location around the equator where the Pacific and Indian Oceans mix, but also by the complex currents and the high diversity in habitat types and ecosystems. Indonesia s increasing population and economic development are causing increased pressure on marine resources. Failure to adopt environmentally sound development criteria resulted in excessive and unsustainable use of marine resources (over-exploitation). Therefore, there is a need for management that results in a wise, planned and controlled marine resource use. One of the natural resource protection measures that may be applied is protected area management at sites with high biodiversity or with unique natural phenomena. Such protected areas, known as Marine Protected Areas (MPAs), Marine Conservation Areas (MCAs) or Kawasan Konservasi Laut (KKL), ensure sustainable use of marine organisms and their ecosystems. Furthermore MCAs preserve genetic sources (sumber plasma nutfah). An MCA is a marine area, including coastal areas and small islands, where plants, animals, and ecosystems, as well as historical and cultural heritage sites are protected by law or by any other effective means (definition based on KOMNASKOLAUT 2005). Within an MCA, use is regulated through a zoning system, which determines which uses are allowed and where they are allowed. Examples of regulated uses are fisheries, tourism and exploitation of oil and gas. 2 Strategies for MCA Networks

90 The Indonesian Ministry of Marine Affairs and Fisheries (Departemen Kelautan dan Perikanan / DKP) targets to establish MCAs with a combined area of 10 million hectares by In connection with this target, the Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) supports the development of MCAs in Indonesia by, among others, the preparation of the Grand Strategy for a Network of MCAs, which will be developed into the National Strategy for MCAs and MCA Networks. The Grand Strategy and the National Strategy are required as a basic reference to guide the development of MCAs and MCA networks. Furthermore, the National Strategy will form an umbrella for policies and strategies of central and regional governments that are aligned with global developments in this sector Goals and Targets The overall goal of the Grand Strategy is to outline an effective strategy towards development of MCA networks within a period of 10 years. The targets are: Identify principles and criteria for the development of networks of MCAs. Align the development of MCA networks with ecosystem-based management approaches. Provide guidance for the management MCA networks Prepare references for the development of MCA networks Map the distribution of MCA networks. Strategies for MCA Networks 3

91 4 Strategies for MCA Networks

92

93 2.1. Functions of Marine Conservation Areas (MCAs) Marine Conservation Areas (MCAs) are essential tools for the protection of marine biodiversity and for the management of fisheries and other uses. Individual MCAs are usually not sufficient to protect biodiversity and manage use in a large area, and therefore large areas require development of a network of MCAs. Even though the know-how on MCA networks has been improving, this tool still remains heavily under-used and there are only few agreed-upon design criteria. It is generally recommended that, to sustain fisheries, an MCA must have a core (no-take) zone of at least 20% of its total area. There is little agreement on design criteria that assure ecological connectivity within and between MCAs. An example of an MCA network designed to assure ecological connectivity between MCAs is the Gulf of California MCA network, which has 10 MCAs covering various habitats. The definition of an MCA was proposed by the National Committee for Marine Conservation (Komite Nasional Konservasi Laut or KOMNASKOLAUT), adapting the IUCN definition for Marine Protected Areas. An MCA is a marine area, including coastal areas and small islands, where plants, animals, and ecosystems, as well as historical and cultural heritage sites are protected by law or by any other effective means The Importance of Marine Conservation Areas An MCA is an area that is managed to preserve biodiversity and to sustain use. A form of MCA management in Indonesia has been implemented by communities for many generations through traditional ordinances (hukum adat), which 6 Strategies for MCA Networks

94 regulates use of resources around villages. Recently, efforts to uphold traditional management systems have been facing major challenges, e. g. economic crises, decreasing integrity of socio-cultural systems, and resource over-exploitation. Modern MCAs have the following functions: 1. Protection of marine, coastal, and small island ecosystems against natural and human-caused threats 2. Protection of marine biodiversity against extinction 3. Preservation of marine resources against overexploitation 4. Regulation of uses in compliance with the objectives of the area 2.3. The Importance of Networks of Marine Conservation Areas In a large area, an individual MCA is usually not sufficient to protect biodiversity and manage use. Large areas require development of a network of MCAs. Networks of MCAs have important roles in the preservation of biodiversity within such areas. Some reasons for the establishment of a network of MCAs are as follows: 1. Preserve biodiversity 2. Facilitate exchange of lessons learned between management units of MCAs 3. Protect habitats of protected species such as sea turtles and giant clams against threats 4. Sustain use of marine fisheries resources 5. Ensure that MCAs, as a network, protect biodiversity and sustain use over a much larger area than could be covered by a single MCA Strategies for MCA Networks 7

95 2.4. Types of Marine Conservation Area Networks Until recently, little attention has been given to integration among, or networking of, MCAs. Two types of MCA networks exist: (1) ecological networks, and (2) management networks Ecological Networks In ecological networks of MCAs, the MCAs are ecologically connected within a large area. These large areas are often referred to as ecoregions. The connectivity is defined in terms of physical and biological aspects. The following table shows the criteria for the design of Marine MCA networks in Indonesia. CRITERIA FOR DESIGN OF MCA NETWORKS Biological Physical 1. Ecosystem types 2. Natural disturbances 3. Disturbances caused by human activities Genetics and interactions within and between species 1. Protected species 2. Integrity of the food web 3. Patterns in reproduction 4. Migration patterns Fisheries 1. Spatial and temporal patterns in fish spawning grounds and nurseries. 2. Fish migration patterns 3. Spatial and temporal patterns in resource use Management Networks Management units of MCAs in a management network share management concepts and they exchange lessons learned. The preferred management concept is co-management. In comanagement, the following aspects need consideration: 8 Strategies for MCA Networks

96 1. Stakeholders involved The involvement of stakeholders in management of MCAs is paramount. Each stakeholder has his/her own role and responsibilities in management planning and implementation. 2. Institutional forms The management of MCAs requires a managing body (an institution, agency, or service) to prepare a work plan with proposed activities and budgets. Next, the managing body implements activities, monitors and evaluates the program, solves problems, and disseminates information. In addition, it involves stakeholders in MCA management. 3. Financing Financing mechanisms may be classified into 7 categories: (1) donor-oriented, (2) governmentoriented, (3) market-oriented, (4) environmental funds, (5) public communications / conscienceoriented, (6) business-oriented and (7) private business-oriented Design of Marine Conservation Area Networks Out of such criteria and examples of a network of Marine Conservation Areas/MCAs in Indonesia, the design of the establishment of such networks may be classified into 2 networks, namely: 1. Ecology-based network design 2. Management-based network design Strategies for MCA Networks 9

97 10 Strategies for MCA Networks

98

99 3.1. Vision The vision for the MCA network strategy is: The Creation of a Network of MCAs to Support Management of Marine Areas in a Sustainable Manner 3.2. Mission The missions to achieve the abovementioned vision are: 1. Increase the awareness, capability and active engagement of the public, private entities and government agencies in the management and sustainable use of MCAs 2. Establish agreements among stakeholders, the public, private entities and government agencies in the management and sustainable use of MCAs 3. Strengthen coordination among sectors and regions in the management and sustainable use of MCAs 4. Provide data, information, develop know-how and technology taking into consideration traditional policies in the management and sustainable use of MCAs 5. Increase and strengthen regional and international cooperation in the management and sustainable use of MCAs 12 Strategies for MCA Networks

100 3.3. Strategy and Action Plan The National Strategy and Action Plan for the Management of MCAs functions as an umbrella for a number of management activities by various stakeholders at national and local levels. Additionally, the preparation of a Grand Strategy for MCA Networks also addresses important international issues. This means that MCA management entities, especially those at the District (kabupaten) level, have a conducive environment to carry out management in line with national and international interests. This National Strategy and Action Plan consists of Ten Groups of Strategies as detailed below, including specific milestones to evaluate implementation success. 1. Establishment and Development of an Up-to-Date Data Base The technical capacity of field staff in data acquisition is not yet sufficient. Furthemore, many different data-acquiring methods are being used, and usually data collected with one method cannot be compared with data collected with another method. Such challenges will cause the loss of information on MCA management, and this will hinder successful management of MCAs. Hence, there is a need for standardized methodologies and an up-to-date database. 2. Increased Roles of Stakeholders The roles of stakeholders (in a wide sense: local communities, traditional communities, academicians, private sector) are absolutely paramount, especially where: (1) access to resources within an MCA is vital for local community livelihoods, security, and cultural heritage; (2) previous policies failed to manage an MCA, causing disharmony among stakeholders and (3) a community shows a strong interest in integrated management, Strategies for MCA Networks 13

101 Community-based resource management has been promoted by various NGOs. This has caused an increased awareness on participative resource management among a wide range of government institutions and agencies. Various pilot projects, which position local community as one of the main stakeholders, suggest that communitybased resource management may result in more effective natural resource management. 3. Development of Policies, Legislation, and Compliance Sustainable and wise management of an MCA requires a strong legal basis. Until now, legal products have been directly or indirectly effective in furthering wise management of MCAs. However, new laws and regulations may also be counterproductive if they contribute to the legalization of destructive practices. Laws and regulations in Indonesia are issued by various government levels (national, provincial, district, municipality) and departments / ministries. In addition, some communities have been applying other legal means (traditional ordinances or hukum adat) for generations to manage natural resources. 4. Institutional Empowerment Mechanisms for MCA management are not sufficiently detailed out in respect to levels of government authorities (national, province, district, municipality), allocation of responsibilities and mandates, intra-governmental coordination, and inter-sectoral coordination. Therefore, it is necessary to have policies for integrated and coordinated management of an MCA. Formulation of these policies requires formation of a national committee that consists of stakeholder representatives. The government currently strengthens institutions through national coordination of ecosystem-based management, and through the establishment of a committee for ecosystem-based 14 Strategies for MCA Networks

102 management of MCAs for specific regions. NGOs also play an important role in institutional coordination. 5. Education and Increased Awareness on MCAs So far, training and awareness programs have been insufficient to motivate communities and government agencies towards efficient management of MCAs. More systematic and better coordinated efforts are required so that government agencies and communities adopt MCAs as their tool of choice to manage marine natural resources. The National Strategy for Education of the Environment (Strategi Nasional Pendidikan Lingkungan Hidup), which was prepared by the government working together with NGOs, presents an important opportunity towards creating enhanced awareness about MCAs. 6. Increased Cooperation and International Networking The main issues that require international cooperation are: 1. Cross-boundary MCAs; 2. Migratory species; 3. International conventions related to MCAs; 4. Exchange of information and experiences; 5. International aid in support of the management and sustainable use of MCAs; and 6. Regulations on MCA management from other countries. Indonesia has been actively supporting multilateral cooperation and international conventions, and Indonesia is committed to comply with international regulations. This international participation also gives Indonesia access to international support for national-level management of MCAs. International conventions that are relevant to MCAs and that were already ratified include the Ramsar Convention, the Convention on Biodiversity (CBD), the World Heritage Convention (WHC), the Convention on Migrating Species (CMS, under ratification), the Convention Strategies for MCA Networks 15

103 on International Trade in Endangered Species (CITES), The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), and the Convention to Combat Desertification (CCD). Regional autonomy in governance has created new challenges in international cooperation. This is due to the gap between the decisions of the central government when negotiating with other countries and the aspirations of regional government as the direct executing agency of international commitments. 7. Funding for the management of MCAs One of the impediments to the establishment of national MCAs is lack of funding for MCA management. Economic valuations and cost-benefit analyses indicate that MCAs represent a valuable asset over the long term. Therefore, stakeholders should allocate sufficient funds to sustainable and integrated management of MCAs. This will prevent loss of ecosystem services, which will make up for earlier investments. MCA management can be partly funded by charging fees to users of environmental services provided by the MCA ( user pays principle). Some types of use may decrease the value of the MCA for other uses or for other user groups. Furthermore, some types of use may require intensive regulation to prevent loss of the resource. Therefore, it is fair for users to pay compensation for use of environmental services, so that these payments can be used to fund MCA management. Thus, the user pays principle and the polluter pays principle may become sustainable sources of funding for MCA management. 8. Wise Use Wise use of an MCA requires careful management, balancing use and conservation. Therefore, managers must have an understanding of allowable use rates, and of the 16 Strategies for MCA Networks

104 risks that are associated with certain uses. Studies on best management practices, applied by either communities or government agencies, are necessary to inform MCA management strategies that assure continued use. 9. Restoration and Rehabilitation of Ecosystems Restoration and rehabilitation of degraded ecosystems is often extremely costly in terms of time and money. However, in some situations restoration and rehabilitation may help to halt further degradation of ecosystems. Until now, restoration and rehabilitation has been successfully conducted in coastal ecosystems, especially mangroves. 10. Mitigation and Adaptation of Climatic Changes Climate change is estimated to cause a global temperature increase of about 2 o C and a sea level rise of about 1.5 m within the coming 50 years. This will have a serious effect on marine ecosystems, especially through sea level rise, increased sea surface temperature, and through hydrological changes. Therefore, MCA networks must be designed in such a way that they are resilient to climatic change. This will require additional resources. There is an international commitment to decrease the emission of greenhouse gases that cause climate change Action Plan for Establishment of MCA Networks Establishment of MCA networks requires an action plan that covers a period of 20 years. The Action Plan is divided in 3 parts: short-term (5 years), medium-term (10 years) and longterm (20 years). The Action Plan is outlined in the table below. Strategies for MCA Networks 17

105 TABLE ACTION PLAN FOR MARINE CONSERVATION AREA NETWORKS Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years LongTerm Years STRATEGY 1 ESTABLISHMENT AND DEVELOPMENT OF UP-TO-DATE DATA 1. Re-asses and develop criteria of inventory, assessment, and supervision for the practical and easy management of Marine Protected Area/MPA. 1. Assess and disseminate manual for data collection of MCAs. 2. Routinely assess existing data acquisition methods. Existence of manual for data collection of MCAs nationwide carried out by each stakeholder, and efforts to routinely cooperate among stakeholders in the development of data acquisition methods. 2. Develop mechanisms which enable effective and efficient data updating. 1. Continue cooperation on data provision already pioneered by some institutions in the activities of Asian Wetlands Inventory (AWI) Give priority to data acquisition of MCAs which have significance locally, nationally, and internationally in which these MCAs are threatened. 3. Develop mechanisms for houses of clearance, website, and meta data to facilitate data collection and uses. Establishment of a mechanism nationwide that enables data updating which are efficient and easily accessible by stakeholders; e.g. in the form of database on a website specially managed by the coordination of National Committee for Marine Protected Area/MPA Management. 4. Maximize data sources from other activities already in progress 5. Increase participative data handling in local level (Local Govts). 3. Increase uses of data on MCAs by stakeholders as considerations in the carrying out of activities 1. Routinely issue existing status and economic values of an Indonesian MPA in a language by Indonesia easily understood by decision makers. Data on MCAs are all the time used as one of references for the preparation of policies in various related departments. 18 Strategies for MCA Networks

106 Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years LongTerm Years 2. Motivate decision makers, stakeholders, and other parties in order to always maximize data uses in decision making. STRATEGY 2 DEVELOPMENT OF MARINE PROTECTED AREA/MPA IN INTEGRATED AND SUSTAINABLE MANNER IN VIEW OF CONDITIONS, STATUS, ISUES AND NEEDS FOR COMMUNITY-BASED MARINE CONSERVATION 1. Institutional Empowerment 1. Assess working mechanisms of institutions, agencies, NGOs, and private sectors by considering effective coordination mechanisms among sectoral departments in central and regional levels in the management of MPA activities carried out by sectors 2. Strengthen roles of the National Committee for MPA (KN KKL) as a means for coordination and communications. 3. Manage the structure and mechanism of internal works of the National Committee for MPA (KN KKL), manage the mechanism of funding for the activities of the Committee, and manage coordination mechanism of the National Committee for MPA (KN KKL) with other national committees. 4. Manage work relationships between the National Committee for MPA (KN KKL) and regional-level organizations. The National Committee for MPA (KN KKL) established and carries out its functions pursuant to agreements made by stakeholders. Distinct recommendations from the National Committee for MPA (KN KKL) regarding the structure and relationship of central and regional institutions which assures the implementation of activities in synergy among stakeholders. 2. Assessment of local potentialities, issues, statuses, problems and needs of a District/Municipalitybased Marine Protected Area/MPA in participative manner 1. Training of Central and Regional Teams in the implementation of MPA Network; 2. Baseline Data Survey by the Teams; 3. Identification of core groups, focused groups and stake holders and related Agencies/Institutions; Issuance of books on local potentialities, issues and statuses of MCAs in Indonesia Strategies for MCA Networks 19

107 Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years 3. Assessment of areas/sizes, forms, zoning and statuses of right uses of a Marine Protected Area/MPA. 4. Formal and informal meetings to probe findings; 5. Identification and assessment of marine biodiversity and the oceanographic conditions in areas of Districts and Municipalities; 6. Arrangement of draft profiles and statuses of MCAs; 7. Socialization, consultation with community/community groups, Provincial/District/Municpality Legislative Bodies, Provincial/ District/Municpality Governments, Provincial/District/Municpality Related Agencies, and technically consultation with Directorate of KTNL, DitJen KP3K of MMAF (Departemen Kelautan & n Perikanan); 1. Establishment of Working Groups (Pokja) from Community Leaders, Universities, Regional Governments, related agencies and institutions, NGOs and private sector to analyze and determine status and areas. 2. Undertake studies for the zoning of areas for special uses, such as preservation zone, conservation zone and buffer zone or use zone 3. Hold a series of discussion and workshops by MPA development team involving Regional Governments, Agencies/Institutions, NGOs, Community Group, Practinoners, Academicians for assessment: 4. Size, zoning and status of an area; 5. Criteria of an area based on chemical, physical, biological and ecological criteria; Distinct statuses of a Marine Protected Area/MPA, among others, zoning, zoning area and special use status in line with local conditions LongTerm Years 20 Strategies for MCA Networks

108 Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years 6. Socio, economic, and cultural criteria 7. Criteria based on capability and development of Human Resources and Local Resources. 8. Workshops on spatial management in the determination of MPA zones; LongTerm Years 4. Re-assess management models for Marine Protected Area/MPA in Indonesia to find suitable models to be used in Indonesia. 1. Carry out desk study and field study on MCAs which are currently applied in Indonesia and other countries. 2. Socialization, consultation with community/community groups, Provincial/District/Municipality Legislative Bodies, Provincial/District/Municipality Governments, Provincial/District/ Municipality Related Agencies, and technically consultation with Directorate of KTNL, DitJen KP3K of MMAF (Dep. Kelautan and Perikanan); 3. Determination of areas/width, statuses and management of MPA by District/Municipality Head. Existence of model management of an Marine Protected Area/MPA (KKL) in Indonesia locally, regionally and nationally STRATEGY 3 DEVELOPMENT OF MPA NETWORKING NATIONALLY AND REGIONALLY (ECOREGION). 1. Planning of information system on Marine Protected Area/MPA in Indonesia. 1. Arrange trainings for improvement of information system; 2. Provide data base system; 3. Provide website of District/ Municipality MCAs and a network MCAs 4. Prepare a manual for management of central/regional database systems. Establishment of information system of MCAs and complete database on MCAs. Strategies for MCA Networks 21

109 Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years 2. Development of a network of MCAs which have strong resilience in big and small sizes, and spreading throughout the area 1. Identification, inventory and monitoring; 2. Research/Assessment/Development; 3. Publication; 4. Management of protected and economically important species; 5. Management of spawning grounds and migrating areas. Establishment of a network of MCAs in Indonesia, also local, regional, national and international networks LongTerm Years 3. Develop and manage MCAs in an integrated manner which involve all stakeholders. 1. Publication; 2. Discussion series; 3. Workshop series (regional/central); 4. Conventions of MPA Network (National/International); 5. Signing of MoUs among Departments, Institutions/Agencies, NGOs (local and international), Mass Organizations, and other stakeholders regarding the management of MPA Network Agreements on the management of MCAs involving local stakeholders. STRATEGY 4 DEVELOPMENT OF MARINE CONSERVTION BY CARRYING OUT PROTECTIVE ACTIONS FOR PROTECTED SPECIES AND GENETIC VARIETIES. 1. Inventory and identification of species listed in IUCN Red Data Book, existing throughout the waters of Indonesia. 2. Assessment of the potentialities and status of protected species (Red Data Book IUCN) in the development of marine conservation. 1. Identification, inventory and assessment 2. Research/Assessment/Development of flora and fauna; 3. Mapping of specific species; 4. Database preparation; 5. Publication of ecological and biological conditions 6. Arrangement of management forms. 1. Identification, inventory and assessment; 2. Research/Assessment/Development; 3. Publication; 4. Management of population/ restocking/reintroduction; 5. Management of habitats; Organization of database for protected species including IUCN red data book Organization of protected potential species included in IUCN red data book 22 Strategies for MCA Networks

110 Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years 3. Carry out genetic mapping 1. Maximization/Procurement of lab tools and equipment for genetic engineering; 2. Identification, inventory and assessment; 3. Research/Assessment/Development; 4. Improvement/Reintroduction/ Enrichment; 5. Improvement of habitats; Organization of mapping database of protected potential species included in IUCN red data book LongTerm Years STRATEGY 5 INCREASED INSTITUTIONAL CAPACITY and HUMAN RESOURCES FOR THE MANAGEMENT OF MARINE CONSERVATION, BOTH AREA CONSERVATION AND SPECIES/GENETIC CONSERVATION. 4. Protect scarce species and endemic species. 1. Preparation, completion and distribution of information on regulations and on MCAs and species and genetic conservation. 1. Studies of migratory species in the waters of Indonesia; 2. Institutional strengthening of MPA network; 3. Preparation of regulations Identification of gaps among existing regulations through consulting processes with related parties and legislative members. 2. Develop priorities to prepare legal instruments, concepts of prevailing acts and regulations. 3. Coordinate the implementation and enforcement of laws with local governments, law-enforcing agencies and locals to develop good systems. Organization of mapping database of protected potential species included in IUCN red data book Inform all members of community regarding regulations in effect, and development and management of a Marine Protected Area/MPA, species and genetic conservation. Strategies for MCA Networks 23

111 Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years 2. Increased capacity and capability of institutions of regional governments who are the managing agents of MCAs, species and genetik conservation locally. 3. Improvement of regional institutions, local community, civil society organizations in order to develop and manage a conservation area 1. Implement Act No. 32/2004, by making and socializing various legal products and their derivations in order to develop and manage marine conservation. 2. Restructuring of institutions, functions and authorities of regional governments in the development and management of marine conservation 3. Prepare cooperation networks between regional government and national, regional and international institutions in connection with the development and management of marine conservation. 4. Prepare the capabilities of regional government in undertaking transformation and development of Sciences and Technology related to the development and management of regional marine conservation. 1. Carry out a study of inventory of regional institutions related to the development and management of marine conservation. 2. Carry out assessment on development projections and improvement of local government institutions and local community. 3. Carry out trainings to create synchronization among institutions, develop information system, distinct coordination system and mechanism among institutions yang terkait related to the development and management of marine conservation in Indonesia. Existence of strong institution in the management of a Marine Protected Area/MPA in Indonesia. Establishment of strong institutional system in MPA management in Indonesia LongTerm Years 24 Strategies for MCA Networks

112 STRATEGY 6 Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years INCREASED COOPERATION and INTERNATIONAL NETWORK 1. Increased uses related to MPA management (such as UNFCCC, World Heritage, and CITES) in the form of cooperation program based on the implementation of National Strategy for the Management of MCAs 2. Develop bilateral, multilateral, regional, and international cooperation to increase the management capability of an MPA. 4. Carry out national workshops to clarifiy functions and authorities between central and regional governments in the development and management of marine conservation di Indonesia. 1. The Focal Point of the Convention is assisted by the National Committee for MCAs (KNKKL) to carry out intensive coordination with other international focal points in national level. 2. The National Committee for MCAs (KNKKL), with other focal points of the Convention, routinely disseminates information and guidance on cooperation and harmonization of MPA management related to other conventions for stakeholders. 1. Continue international cooperation that have been made until now by emphasizing on MPA management which has relations with other countries (borderlines, migrating species, pollution), information and expertise exchanges, trade, and costs for management of an MPA. 2. The National Committee for MCAs (KNKKL) cooperates with several parties to develop the better management procedures of conservation areas. Routine discussions and consultation between the National Committee for MCAs (KNKKL) and other similar committees including focal points of other international conventions to give rise to harmonization of management activities in national and regional levels. Increased significant international supports in terms of quantity and quality of management activities of an MPA, especially those carried out based on the National Committee for MCAs (KNKKL), including activities of harvesting and trading of resources of MCAs in a wise manner. LongTerm Years Strategies for MCA Networks 25

113 Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years 3. Improve coordination in national level to develop regional and international cooperation relationships. 1. The National Committee for MCAs (KNKKL) develops harmonious and intensive communications relations with regional stakeholders regarding global issues and possible implications to regional level. 2. Carry out inventory of all stakeholders that already carried out, are carrying out and will carry out cooperation with overseas partners. 3. Routinely carry out communications with all stakeholders who have cooperation with overseas partners regarding the management of a national MPA. Each main stakeholder in provincial level has and understands the contents of documents of the National Strategy for the Management of Marine Protected Area/MPA (SNPKKL). Each province has a kind of focal point to communicate with the National Committee for MCAs (KNKKL), especially for the more harmonious development of activities regarding the global issue of MCAs. LongTerm Years STRATEGY 7 FINANCING OF THE MANAGEMENT OF A MARINE PROTECTED AREA/MPA 1. Increase the cares of central and regional governments in fund allocation for the management activities of an MPA. 1. Make sure the inclusion of MPA issues in the budget plan of activities of development projects in central and regional levels. 2. Make sure the management activities of an MPA (pursuant to the National Strategy for the Management of Marine Protected Area/SNPKKL) may be included in government financing of State Budget/Provincial Budget (APBN/APBD), Reforestation/ Regreening Funds, and other budgets. Availability of fund allocation for the management activities of an MPA in State Budget/ APBN and Provincial Budget/APBD Provinsi which has any important Marine Protected Area/ MPA. 2. Increase the involvement of nongovernment parties/organizations in the protection and and management of an MPA. 1. Communicate the priorities of management of an MPA in the National Strategy for the Management of Marine Protected Area/SNPKKL to donors (private parties and international institutions) who probably carry out the financing. There is increased significant allocation of private fund for protection efforts for MCAs, and increased quantity and quality of international community s supports in MPA management 26 Strategies for MCA Networks

114 Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years 3. Assess and develop possible charging of funds for MPA management for communities who make uses of MCAs. 2. Increase stakeholders understanding on the opportunities and and procedures of financing for MPA management in non-government parties, 3. Increase the involvement of private sector in the financing of MPA management. 1. Develop and disseminate User-Pays Principle and Polluter-Pays Principle. 2. Develop the mechanism of cost allocation that may be socially accepted to cover the costs for MPA management, such as the uses of costs for water resources and tourism activities. 3. Develop a cross-subsidy (subsidi silang) mechanism between the activities of environmental services in an area and the costs for MPA protection in other areas (for example, between upstream and downstream areas). There are examples that succeeded in the management funding of an MPA obtained from environmental services in each province. LongTerm Years STRATEGY 8 DEVELOPMENT OF POLICIES, REGULATIONS, AND THEIR INCREASED COMPLIANCES 1. Assess and develop laws and policies that support the MPA management efforts in sustainable manner and fair for all stakeholders 1. Carry out routine assessment through public consultation, expert discussions, and other mechanisms to understand current issues in the development of laws and policies. 2. Re-assess and assure the compliance with existing standard environment qualities, and develop standard environment qualities for other activities that also contribute to the destruction of an MPA. There are actual efforts (e.g. discussions and consultancy) in harmonizing law enforcement to minimize different interpretations and to avoid the onset of non-productive policies. Strategies for MCA Networks 27

115 Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years 3. Extend economic valuation efforts, cost and benefit analysis, and other mechanisms for MPA valuation as one of the principles for MPA management. 4. Appreciate local/traditional ordinances/regulations that support MPA management in wise and sustainable manners. There are new policies on standard environment qualities to prevent the destruction of MCAs by making sure the inclusion of economic valuation considerations of an MPA as a whole and local/ traditional ordinances/ regulations that are evidently effective in MPA protection. LongTerm Years 2. Increase the stakeholders understanding and awareness in order to carry out management in compliance with laws, policies, and agreements in effect in regional, national, and international levels. 3. Enforce laws in consistent and consequent manners 1. Disseminate the products of laws, policies, and agreements for MPA management in regional, national, and international levels to all stakeholders. 2. Hold trainings for stakeholders regarding the methods of development / law and policy application related to MPA management. 1. Make sure the application of Analysis for Environmental Impacts (AMDAL) in each planning of MPA management, and make sure the implementation of Environment Management and Assessment Plans/Efforts (RKL/RPL or UKL/UPL) when the project is in progress. 2. Increase the understanding of law enforcement officials in connection with legal products related to MPA management, and increase their capabilities in complying with the laws. Each written policy issued by the government in connection with MCAs has been based upon various products of laws, policies, and agreements in effect in regional, national, and international levels.. The Analysis for Environmental Impacts (AMDAL) for an MPA becomes an inherent part in each MPA-related management plan. Significantly decreasing rate of violations against the environment, especially violations directly related to MPA environment. 28 Strategies for MCA Networks

116 STRATEGY 9 Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years EDUCATION AND INCREASED CARE FOR MCAs 1. Increase public cares for MCAs. 3. Develop advocacy on management activities of an MPA in wise and sustainable ways. 1. Continue publishing and disseminating efforts for the materials of conservation and uses of MCAs in wise and sustainable ways. 2. Increase cooperation with individuals involved in formal and informal education on the environment, in order to include MPA aspects in educational programs. Issuance of materials on environment education based on regional specific features in provincial level to be integrated into MPA management activities. LongTerm Years 2. Increase stakeholders capabilities in the management of Marine Protected Areas. 1. Assess needs and targets of trainings in regional and national levels and develop training materials. 2. Open and develop centers for information and education on MCAs in sites that have succeeded in carrying out conservation and uses in a wise manner. 3. Continue and extend trainings on MPA management with more organized and harmonious structures and curricula. 4. Disseminate the understanding on MCAs in order to prepare regulations and policies related to the values and important functions of an MPA. There are assessments that result in the identification of needs and targets and training materials on the management of a Marine Protected Area/MPA. There are centers for information and education on MCAs in each province that actively carry out education activities on MPA management wisely, thus resulting in human resources who later manage quality MCAs. Strategies for MCA Networks 29

117 Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years STRATEGY 10 MITIGATION AND ADAPTATION OF CLIMATIC CHANGES 1. Developing the knowledge and technology concerning the role and the dynamics of Marine Conservation Area including the waters flora and controlled the rate of global warming 2. Developing the technology of Marine Conservation Area utilization for Community welfare, without damaging the function 1. Developing technology for improving the capability and capacity Marine Conservation Area flora in reduction the climatic change 2. Developing technology to improving capability in adaptation on climatic changes 1. Researching the distribution of wetland status in Indonesia and the potential development for the implementation of forest carbon project. 2. studying and developing modern and traditional technology in managing the wetlands. 3. Implementing the research s project and best management practice concerning Marine Conservation Area utilization in many appropriate places The significant initiatives, such as research and plot demonstration in each provinces concerning Marine Conservation Area technology for mitigation proposes and climate changes adaptation are provided Map of wetlands distribution and its management issues are provided. The technical management guideline of wetlands and the implementation effort are also provided for community welfare. LongTerm Years 3. Identifying the climate changes impact in Marine Conservation Area as well as the role of Marine Conservation Area in easing the climate changes impact. 1. Developing research concerning climate changes impact to Marine Conservation Areas 2. compiling and distributed the information to decision makers concerning mitigation and climate changes adaptation as based on Marine Conservation Area management, and the function of climate changes impact could be used optimum by community Data and information concerning Marine Conservation Areas in each provinces are provided to reduce the rate of climate changes and its impact 30 Strategies for MCA Networks

118 Short Term Medium Term Strategy Program Action Plan Milestones 1-5 Years 5-10 Years 4. compiling the adaptation steps in the climate changes impact to the community life s through integrated Marine Conservation Area Management. 1. formulating adaptation steps and climate changes impact mitigation to the community with involved the whole stakeholders. 2. distribute the information concerning the source and the climate changes. 3. Mechanism affectivity in prevention the Marine Conservation Area ecosystem damaging The document of action program which is concern in adaptation steps and climate changes impact mitigation in each LongTerm Years Strategies for MCA Networks 31

119 32 Strategies for MCA Networks

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PERMEN-KP/2014 TENTANG JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PERMEN-KP/2014 TENTANG JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PERMEN-KP/2014 TENTANG JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN KONSERVASI LAUT

PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN KONSERVASI LAUT PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN KONSERVASI LAUT Dalam rangka Sosialisasi, Apresiasi dan Pembinaan Teknis Lingkup Ditjen KP3K Tahun 2006 Pontianak, 26 28 April 2006 DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT (Mewujudkan Kawasan Suaka Perikanan Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya) Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIK DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2010

RENCANA STRATEGIK DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2010 RENCANA STRATEGIK DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2010-2014 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2010 VISI - KKP Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah. Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008

Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah. Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008 1 Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008 2 3 Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.41 /Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya 6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya Salah satu parameter yang berpengaruh bagi pengembangan kawasan konservasi laut adalah kandungan potensi kekayaan bawah laut yang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN KONSERVASI LAUT

PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN KONSERVASI LAUT PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN KONSERVASI LAUT Dalam rangka Sosialisasi, Apresiasi dan Pembinaan Teknis Lingkup Ditjen KP3K Tahun 2006 Semarang, 1 3 Agustus 2006 DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang :

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 Lima prinsip dasar Pengelolaan Konservasi 1. Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol 2. Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.17/MEN/2008 TENTANG KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.17/MEN/2008 TENTANG KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.17/MEN/2008 TENTANG KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kebijakan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DISAMPAIKAN OLEH Ir. Agus Dermawan, M.Si DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.17/MEN/2008 TENTANG KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.17/MEN/2008 TENTANG KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.17/MEN/2008 TENTANG KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

Review Terhadap Revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Review Terhadap Revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Conservation International - Indonesia Review Terhadap Revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Dr. Luky Adrianto dan Akhmad Solihin, MH 2014 1 Conservation International - Indonesia Pengantar

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka Konservasi Rawa, Pengembangan Rawa,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa dalam rangka Konservasi Rawa,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai tindak lanjut Pasal

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH DAN PENATAAN FUNGSI PULAU BIAWAK, GOSONG DAN PULAU CANDIKIAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DIBIDANG PENANGKAPAN IKAN UNTUK PERAIRAN UMUM DARATAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

MENJAWAB TANTANGAN KONSERVASI KELAUTAN,PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL ( MEMAHAMI MAKNA UNTUK MENGELOLA )

MENJAWAB TANTANGAN KONSERVASI KELAUTAN,PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL ( MEMAHAMI MAKNA UNTUK MENGELOLA ) MENJAWAB TANTANGAN KONSERVASI KELAUTAN,PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL ( MEMAHAMI MAKNA UNTUK MENGELOLA ) DISAMPAIKAN OLEH AGUS DERMAWAN DIREKTUR KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI *) PERLINDUNGAN PELESTARIAN MODERN Suatu pemeliharaan dan pemanfaatan secara bijaksana Pertama: kebutuhan untuk merencanakan SD didasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR 1-1

BAB 1 PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR 1-1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kabupaten Jayapura Tahun 2013-2017 merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah yang harus ada dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, -1- PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.74/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016... TENTANG PEDOMAN NOMENKLATUR PERANGKAT DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA YANG MELAKSANAKAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU PULAU KECIL

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU PULAU KECIL PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

Kajian Dampak Kebijakan UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah Terhadap Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan

Kajian Dampak Kebijakan UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah Terhadap Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Kajian Dampak Kebijakan UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah Terhadap Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Andie Wibianto/MPAG Luky Adrianto, PhD & Akhmad Solihin, S.Pi., MH 2014 Kata Pengantar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci