II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh (Inderaja) 2.2. Peran Penginderaan Jauh Pada Sektor Pertanian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh (Inderaja) 2.2. Peran Penginderaan Jauh Pada Sektor Pertanian"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh (Inderaja) Penginderaan jauh merupakan ilmu untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan cara analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1979). Data penginderaan jauh dapat diperoleh melalui hasil rekaman sensor yang dipasang baik pada pesawat terbang, satelit, pesawat ulang alik, atau wahana lainnya. Sensor tersebut akan menghasilkan data yang berbeda-beda sesuai dengan letak ketinggian sensor maupun karakteristik obyek yang dikaji (Sutanto, 1986). Sensor yang digunakan dalam penginderaan jauh sangat tergantung dari energi gelombang elektromagnetik. Akan tetapi, gelombang elektromagnetik yang paling penting bagi penginderaan jauh adalah sinar matahari. Sensor yang menggunakan energi dari sinar matahari sebagai sumber gelombang elektromagnetik disebut sebagai sensor pasif (sensor optik). Sedangkan sensor yang menggunakan energi yang dipancarkan oleh sensor itu sendiri disebut sensor aktif (Syntetic Aperture Radar). Citra satelit yang menggunakan sensor pasif antara lain: citra satelit Landsat, SPOT, IKONOS, MODIS, ALOS sensor PRISM dan AVNIR. Adapun citra satelit yang menggunakan sensor aktif antara lain: citra satelit RADARSAT, ERS-SAR, ALOS PALSAR Peran Penginderaan Jauh Pada Sektor Pertanian Penginderaan jauh ini dapat digunakan untuk berbagai aplikasi seperti untuk bidang keamanan dan pertahanan negara, inventarisasi sumberdaya lahan, kehutanan, pertanian, perikanan, pemantauan bencana alam, hingga survei dan pemetaan. Untuk aplikasi di bidang pertanian, Van Niel dan McVicar (2001) mencatat ada enam aspek penting yang dapat ditunjang dari data penginderaan jauh, yaitu: identifikasi jenis tanaman, pengukuran area, estimasi hasil, identifikasi gangguan, pemetaan penggunaan air, dan manajemen efisiensi air.

2 Identifikasi Jenis Tanaman Aplikasi ini dapat menggunakan informasi yang diberikan oleh spektrum data penginderaan jauh yang dapat membedakan dan mengelompokkan vegetasi penutupan lahan. Aplikasi semacam ini salah satunya pernah dilakukan oleh Panuju dan Trisasongko (2008) dengan memanfaatkan data penginderaan jauh optik dan dengan menggunakan teknik klasifikasi terbimbing (supervised classification). Dalam kasus aplikasi untuk pemetaan padi, data penginderaan jauh dapat memberikan informasi tentang status pertumbuhan padi, diantaranya adalah: status bera kering atau tanah (menunjukkan kondisi habis panen), bera basah (menunjukkan awal musim tanam baru), fase vegetatif (pertumbuhan tanaman), awal bunting (akhir masa vegetatif dan awal fase generatif), serta status siap panen Pengukuran Area Tanaman Pengukuran area tanaman merupakan salah satu praktek umum dalam bidang pertanian. Teknik penginderaan jauh sering digunakan untuk tujuan ini karena keakuratannya dalam tingkat spasial, resolusi temporal, dan dengan biaya yang relatif murah. Dalam hal ini, identifikasi jenis tanaman akan mempengaruhi pengukuran area tanaman. Hal ini dikarenakan identifikasi jenis tanaman merupakan langkah pertama yang diperlukan sebelum estimasi. Namun, identifikasi jenis tanaman lebih identik dengan pengelompokkan semua jenis tanaman, sedangkan pengukuran area lebih berkaitan dengan beberapa target dari jenis tanaman saja. Pengukuran area ini lebih sering digunakan untuk menghitung kepentingan yang berhubungan dengan statistik seperti luas panen dan luas awal tanam Estimasi Hasil Panen Perkiraan hasil panen dalam aplikasinya sangat mempengaruhi tingkat keputusan manajemen pertanian, seperti aplikasi pupuk, penyaluran air, dan dapat menghitung pendapatan hasil pertanian. Oleh karena itu, masing-masing petani dan manajer pertanian pada tingkat kabupaten banyak yang menunjukkan minat

3 besar untuk dapat memproduksi cepat dan dapat melakukan estimasi hasil panen dengan akurat, baik lokal maupun regional. Standar analisis estimasi hasil yang dilakukan sebelumnya dicakup dalam analisis panen dalam plot contoh acak tanah saat panen (Murthy et al., 1996 dalam Van Niel dan McVicar, 2001), atau dengan model regresi meteorologi dengan menggunakan data curah hujan dan data panen sebelumnya (Karimi dan Siddique, 1992 dalam Van Niel dan McVicar, 2001). Namun demikian, metode-metode ini sering menghasilkan hasil yang tidak baik dan tidak akurat baik dari segi waktu maupun secara spasial. Meskipun masih digunakan, namun metode ini dapat digantikan dengan estimasi hasil panen dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, dikarenakan kemampuan teknologi ini dapat memproduksi hasil yang cepat dan mempunyai keakuratan dari aspek spasial. Dengan menggunakan teknologi ini, maka estimasi hasil panen dapat diketahui lebih awal satu sampai tiga bulan sebelum panen. Aplikasi semacam ini pernah dilakukan oleh Rasmussen (1997) dalam Van Niel dan McVicar (2001) yang memprediksi hasil pertanian millet di Senegal dengan menggunakan data NOAA-AVHRR. Namun, terdapat beberapa kendala dalam estimasi hasil panen semacam ini, yaitu terbatasnya data dengan kondisi fisiologi relatif tetap antar waktu, serta kondisi lingkungan sekitar seperti tanah (umumnya dikenal dengan istilah soil background problems) Identifikasi Kerusakan Tanaman Salah satu perhatian besar dalam bidang pertanian adalah menurunnya produktivitas tanaman karena kerusakan tanaman. Kerusakan padi dan penurunan hasil panen dapat terjadi karena berbagai alasan, seperti gangguan patogen, serangga, dan gulma. Kejadian seperti ini memiliki interaksi yang kompleks dengan praktek tanam (Savary et al., 1997 dalam Van Niel dan McVicar, 2001), maupun adanya perbedaan kedalaman air atau aplikasi pupuk yang dapat mempengaruhi besarnya produksi tanaman (Anbumozhi et al., 1998 dalam Van Niel dan McVicar, 2001). Dalam situasi tertentu, sumber kerusakan tanaman dapat diukur secara langsung dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Penelitian kerusakan

4 tanaman dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dapat disederhanakan menjadi dua kategori, yaitu dengan mengukur sumber kerusakan (pengukuran langsung), dan orang-orang yang mengukur efek dari sumber kerusakan (pengukuran tidak langsung). Teknologi ini juga dapat menghitung penilaian penggaraman, gulma, dan waterlogging. Diketahui bahwa deteksi gulma memerlukan data penginderaan jauh dengan resolusi spasial tinggi, peka terhadap tata ruang maupun kerapatan gulma, yang kesemuanya dapat mempengaruhi keakuratan hasil (Lamb et al., 1999 dalam Van Niel dan McVicar, 2001) Pemetaan Penggunaan Air Penggunaan air oleh tanaman dapat ditentukan melalui tanaman model empiris tertentu atau penggunaan model berbasis proses. Kedua pendekatan ini memerlukan akses tanah berdasarkan data meteorologi, dan biasanya memerlukan waktu harian. Sehingga pendekatan pemodelan semacam ini memerlukan akses ke jaringan-jaringan stasiun meteorologi. Sebuah metode yang umum digunakan untuk memperkirakan penggunaan air tanaman adalah metode dari Food and Agriculture Organisation (FAO) (Smith et al., 1991 dalam Van Niel dan McVicar, 2001). Untuk aplikasi metode FAO membutuhkan modifikasi koefisien tanaman dan peta penutupan lahan. Untuk itu, penginderaan jauh dapat digunakan untuk menyediakan peta penutupan lahan tersebut dengan tepat waktu dan biaya yang efektif Penggunaan Efisiensi Air Dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk akan menurunkan ruang hidup atau area lahan global per kapita. Dengan demikian, akan meningkatkan persaingan untuk memperoleh tanah dan sumberdaya air. Untuk dapat mempertahankan kebutuhan tersebut, maka harus ada upaya efisiensi terhadap penggunaan sumberdaya tersebut. Efisiensi penggunaan air (Water Use Efficiency, WUE) dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu: aspek hidrologi (rasio evapotranspirasi terhadap air potensial yang tersedia untuk tanaman) dan apek fisiologi (jumlah pertumbuhan tanaman yang didapat dari jumlah air tertentu) seperti yang pernah diteliti oleh Stanhill (1996) dalam Van Niel dan McVicar (2001). Teknologi

5 penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk menghitung evapotranspirasi regional, seperti yang telah dilakukan oleh Bella et al. (2000) dalam Van Niel dan McVicar (2001) yang menggunakan data NOAA AVHRR di wilayah pertanian Argentina Penginderaan Jauh untuk Prediksi Luas Panen Salah satu peran penginderaan jauh pada sektor pertanian adalah untuk prediksi luas panen. Prediksi luas panen dengan menggunakan penginderaan jauh dapat teridentifikasi melalui fase pertumbuhan padi mulai dari fase bera, awal tanam, vegetatif, sampai dengan generatif. Adapun fase pertumbuhan padi menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (1988), meliputi: Fase vegetatif Fase ini meliputi pertumbuhan tanaman mulai dari kecambah sampai dengan inisiasi primordial malai. Untuk suatu varietas berumur 120 hari yang ditanam di daerah tropik, maka fase vegetatif memakan waktu 60 hari. Fase pertumbuhan vegetatif merupakan fase penting yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan umur panen, sebab lama fase-fase reproduktif dan pemasakan tidak dipengaruhi oleh varietas maupun lingkungan. Selama fase pertumbuhan vegetatif, anakan bertambah dengan cepat, tanaman bertambah tinggi, dan daun tumbuh secara regular. Fase reprodukif Fase ini dimulai dari inisiasi primordia malai sampai berbunga (heading). Fase reproduktif memerlukan waktu kira-kira 30 hari setelah fase vegetatif. Stadia reproduktif ditandai dengan memanjangnya beberapa ruas teratas pada batang, yang sebelumnya tertumpuk rapat dekat permukaan tanah. Disamping itu, stadia reproduktif juga ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan (heading). Inisiasi primordial malai biasanya dimulai 30 hari sebelum heading. Stadia inisiasi ini hampir bersamaan dengan memanjangnya ruas-ruas yang terus berlanjut sampai berbunga. Oleh sebab itu, stadia reproduktif disebut juga stadia pemanjangan ruas-ruas.

6 Fase pemasakan Fase ini dimulai dari berbunga sampai masak panen. Pertumbuhan memasuki stadia pemasakan ditandai dengan masak susu dough (masak bertepung), menguning, dan masak panen. Periode pemasakan ini memerlukan waktu kira-kira 30 hari dan ditandai dengan penuaan daun. Suhu sangat mempengaruhi periode pemasakan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk menghitung luas panen dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, diantaranya dilakukan oleh Panigrahy et al. (1991) yang memperkirakan luas areal padi dengan menggunakan data digital penginderaan jauh Landsat MSS/TM/IRS-1A di negara bagian Orissa, India. Perkiraan luas areal dilakukan dengan menganalisis data 10 persen bagian negara melalui pendekatan stratified random sampling. Panigrahy et al. (1992) selanjutnya melakukan penelitian untuk memperkirakan estimasi areal padi di daerah tersebut dengan menggunakan data NOAA-AVHRR yang menghitung estimasi areal padi tersebut dengan menggunakan klasifikasi dari dua band NOAA (Band 1: 0,58-0,68 mikrometer dan Band 2: 0,73-1,10 mikrometer) dan menghitung NDVI dari kedua band tersebut. Penelitian ini dilanjutkan oleh Patel et al. (2004) yang menggunakan untuk multi data RADARSAT SCANSAR untuk memperkirakan luas areal Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) Gambar 1. Satelit ALOS (Sumber: NASDA, LAPAN)

7 Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS milik Jepang (Gambar 1). ALOS adalah satelit terbesar yang dikembangkan dan diluncurkan oleh JAXA di Tanegashima Space Center Jepang yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-IIA. Satelit ini didesain untuk dapat beroperasi selama 3 sampai 5 tahun pada ketinggian 691,65 km (di atas Khatulistiwa) dengan kemiringan 98,16 (JAXA, Japan Aerospace Exploration Agency, 1997). Periode kunjungan ulang (revisiting period) dari satelit ALOS adalah 46 hari. Akan tetapi, untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi darurat satelit ALOS ini mampu melakukan observasi dalam waktu dua hari. Karakteristik umum dari satelit ini disajikan pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Karakteristik ALOS No Tipe Spesifikasi 1 Tanggal Peluncuran 24 Januari Wahana Peluncuran H-IIA 3 Tempat Peluncuran Tanegashima Space Center 4 Massa Kendaraan Angkasa Approx. 4 ton 5 Power Approx. 7 kw (pada akhir operasional) 6 Waktu Operasional 3-5 tahun 7 Orbit Siklus kunjungan ulang : 46 hari Sumber : JAXA EORC, 1997 Sub Ketinggian siklus :: 2691,65 bulan km (di khatulistiwa) Inklinasi : 98,16 deg. ALOS adalah salah satu satelit untuk mengamati permukaan bumi yang dikembangkan dengan tujuan: 1. Menyediakan peta untuk Jepang dan negara-negara lain yang termasuk di wilayah Asia-Pasifik (Carthograpy). 2. Melakukan pengamatan daerah untuk "pembangunan berkelanjutan", harmonisasi antara lingkungan Bumi dengan pembangunan (Regional Observation). 3. Melakukan pemantauan bencana di seluruh dunia (Disaster Monitoring),

8 4. Survei sumber daya alam (Resources Surveying). 5. Mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk satelit pengamatan Bumi masa depan (Technology Development). Satelit ini dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju untuk memberikan kontribusi bagi dunia penginderaan jauh, terutama di bidang pemetaan, pengamatan tutupan lahan secara lebih persis dan akurat, sehingga untuk keperluan tersebut pada setelit ini dipasang dual frequency GPS receiver dan star tracker dengan presisi tinggi. Satelit ALOS memiliki tiga sensor, yaitu: (a) Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang mempunyai resolusi 2,5 meter; (b) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) yang mempunyai resolusi 10 meter; dan (c) Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang mempunyai dua resolusi, yaitu resolusi 10 meter dan 100 meter (Gambar 2). Gambar 2. Satelit ALOS (JAXA EORC, 1997) Sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) Sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) (Gambar 3) memiliki tiga sistem optis yang dapat merekam data pada saat yang bersamaan, yaitu melalui mode observasi dari arah tegak lurus (nadir), depan (forward) dan belakang (backward) (Gambar 4). Dengan kemampuan

9 seperti ini dimungkinkan untuk membangun data 3-D (three dimensional terrain data) dengan tingkat akurasi yang tinggi. Teleskop observasi pada arah nadir di sensor PRISM ini memiliki lebar sapuan 70 km, sedangkan teleskop observasi arah depan dan belakang (triplet mode) masing-masing mempunyai lebar sapuan 35 km. PRISM tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 82 derajat Lintang Selatan dan Lintang Utara. Gambar 3. Sensor PRISM (JAXA EORC, 1997) Gambar 4. Prinsip Geometri PRISM (JAXA EORC, 1997)

10 Karakteristik umum sensor PRISM disajikan pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Karakteristik PRISM No Tipe Spesifikasi 1 Jumlah Band 1 (Pankromatik) 2 Panjang Gelombang 0,52 0,77 mikrometer 3 Jumlah Optik 3 (nadir, depan, belakang) 4 Resolusi Spatial 2,5 m (at nadir) 5 Lebar Petak 70 km (hanya nadir) / 35 km (Triplet mode) 6 Jumlah Detektor / band (petak lebar 70 km) / band (petak lebar 35 km) 7 Pointing Angle -1,5 sampai 1,5 derajat (Triplet Mode, Cross-track direction) 8 Bit Length 8 bit Sumber : JAXA EORC, Sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) Sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1 (Gambar 5). Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor ini memungkinkan untuk dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas, yaitu km (Gambar 6). Pembangunan PALSAR adalah proyek kerjasama antara JAXA dan Japan Resources Observation System Organization (JAROS). Gambar 5. Sensor PALSAR (JAXA EORC, 1997)

11 Gambar 6. Prinsip Geometri PALSAR (JAXA EORC, 1997) Karakteristik umum sensor PRISM disajikan pada Tabel 3, namun demikian sensor PALSAR tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 87,8 Lintang Uatra dan 75,9 Lintang Selatan ketika off-nadir adalah sudut 41,5. Tabel 3. Karakteristik PALSAR No Mode Fine ScanSAR 1 Pusat Frekuensi 2 Chrip Bandwidth 1270 MHz (L-band) 28 MHz 14 MHz 14 MHz, 28 MHz 3 Polarisasi HH atau vv HH + hv atau vv + VH 4 Incident Angle 5 Range Resolution HH atau vv Polarimetric (Eksperiment al mode)* 14 MHz m m 100 m (multilook) HH + hv + VH + vv m 6 Observation Swath km km km km 7 Bit Length 5 bit 5 bit 5 bit 3 atau 5 bit 8 Data rate 240Mbps 240Mbps 120 Mbps 240 Mbps 9 Radiometric accuracy Sumber : JAXA EORC, 1997 Scene : 1 db / orbit : 1.5 db 240 Mbps

12 Sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type- 2) Sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (Gambar 7) dilengkapi dengan kemampuan khusus yang memungkinkan satelit dapat melakukan observasi tidak hanya pada arah tegak lurus lintasan satelit, tetapi juga mode operasi dengan sudut observasi (pointing angle) hingga sebesar + 44 o (Gambar 8). Kemampuan itu diharapkan dapat membantu dalam pemantauan kondisi suatu area yang diinginkan. Sensor ini dapat dimanfaatkan dalam penyusunan peta penggunaan lahan atau peta vegetasi terutama dengan menggunakan band cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared). Gambar 7. Sensor AVNIR-2 (JAXA EORC, 1997) Gambar 8. Prinsip Geometri AVNIR-2 (JAXA EORC, 1997) Karakteristik umum sensor AVNIR-2 disajikan pada Tabel 4, namun demikian sensor AVNIR-2 tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 88,4 Lintang Utara dan 88,5 Lintang Selatan.

13 Tabel 4. Karakteristik AVNIR-2 No Tipe Spesifikasi 1 Jumlah Band 4 2 Panjang Gelombang Band 1 : 0,42 0,50 mikrometer Band 2 : 0,52 0,60 mikrometer Band 3 : 0,61 0,69 mikrometer Band 4 : 0,76 0,89 mikrometer 3 Resolusi Spasial 10 m (at Nadir) 4 Lebar petak (Swath Width) 70 km (at Nadir) 5 Jumlah Detektor 7000/Band 6 Pointing Angle Bit Length 8 bit Sumber : JAXA EORC, Data Mining Data Mining merupakan teknik yang relatif baru yang sangat berguna untuk membantu analis data dalam menemukan informasi yang sangat penting dari gudang data para analis data. Data Mining dapat menjawab pertanyaanpertanyaan dari berbagai pihak atau kepentingan, baik di bidang bisnis, pertanian, logistik, maupun bidang lainnya, yang dengan cara tradisional memerlukan banyak waktu untuk menjawabnya (Moertini, 2002). Data mining merupakan suatu metode yang digunakan untuk mendeteksi hubungan antara atribut-atribut yang berbeda dalam kumpulan data yang besar (Fayyad et al, 1996). Salah satu keterbatasan metode ini adalah dalam penggunaannya, tetap saja mengharuskan pengguna untuk mengerti data dan mengerti metode-metode analisis data. Data mining membantu analis untuk menemukan pola dan relasi data akan tetapi tidak secara langsung mengatakan nilai dari pola tersebut. Lebih jauh lagi, pola-pola yang tidak diketemukan melalui data mining harus diverifikasi kembali dalam dunia nyata. Secara umum data mining dapat dibagi menjadi dua yaitu deskriptif dan prediktif. Deskriptif maksudnya bahwa data mining dilakukan untuk mencari pola-pola yang dapat dipahami manusia yang menjelaskan karakteristik data. Sedangkan prediktif maksudnya data mining dilakukan untuk membentuk sebuah

14 model pengetahuan yang akan digunakan untuk melakukan prediksi. Secara lebih spesifik data mining berdasarkan fungsionalitasnya adalah sebagai berikut: Mining Frequent Patterns, Associations, and Correlations : mencari polapola yang sering muncul dalam data. Pengetahuannya biasanya berupa rule yang menunjukkan pola-pola tersebut (biasanya disebut association rule). Teknik yang digunakan misalnya Apriori, FP-Growth, CLOSET. Classification and Prediction : mencari sebuah model yang mampu melakukan prediksi pada suatu data baru yang belum pernah ada. Decision tree, neural network, bayesian network, support vector machines, k-nearest neighbor adalah contoh alat yang digunakan untuk membentuk model tersebut. Classification digunakan untuk prediksi categorical data (diskrit), sedangkan untuk numerical data (numerik) biasanya menggunakan analisa regresi. Cluster Analysis : mengelompokkan data dalam sebuah cluster berdasarkan kemiripannya. Prinsipnya adalah memaksimalkan kemiripan dalam sebuah cluster, dan meminimalisasikan kemiripan antar-cluster. Jadi data-data yang berada pada sebuah cluster akan memiliki kemiripan yang tinggi, dan sebaliknya data akan memiliki nilai kemiripan yang rendah dengan data yang berada pada cluster yang berbeda. Beberapa teknik yang digunakan dalam cluster analysis ini misalnya k-means, k-medoids, SOM, CLARANS, ROCK, BIRCH, Chameleon. Outlier Analysis : mencari data object yang sifatnya anomali (berbeda dengan sifat umum data). Analisa ini berkaitan dengan fraud detection. Justru data anomali tersebut, yang jumlahnya relatif sedikit ini menarik untuk dianalisa. Misalnya deteksi fraud credit card. Evolution Analysis : mencari model atau tren untuk data-data yang sifatnya terus berubah. Analisa ini berkaitan dengan data time-series. Tasknya bisa meliputi clustering, classification, association dan correlation analysis (Prasetyo, 2006).

15 Dari sisi pendekatannya, metode data mining ini termasuk dalam pendekatan a posteriori. Dikenal ada dua pendekatan, yaitu a priori dan a posteriori. A priori dan a posteriori berasal dari bahasa Latin, A priori berarti dari apa yang terjadi sebelum, sedangkan a posteriori berarti dari apa yang terjadi kemudian. Secara harfiah, a priori berarti sebelum pengalaman dan a posteriori berarti setelah pengalaman. Pendekatan a priori ini dapat diketahui secara independen dari pengalaman dan didasarkan pada semua kemungkinan bentuk pengalaman dan pengetahuan, sedangkan pendekatan a posteriori bergantung pada pengalaman atau empiris bukti yang didasarkan pada isi pengalaman (Wikipedia, 2009). Hasil penelitian berdasarkan pendekatan a priori dapat berlaku pada semua daerah yang akan diteliti, sedangkan pendekatan a posteriori hanya dapat berlaku pada daerah yang sedang diamati saja. Decision Tree Decision tree merupakan teknik klasifikasi yang dihasilkan dari training data dari atas ke bawah, dari arah general ke khusus. Status awal dari suatu decision tree adalah akar tangkai pohon yang ditugaskan semua contoh dari training set (Apte dan Weiss, 1997). Teknik ini sangat bermanfaat bagi analisis data pendahuluan mengingat kesederhanaan pola pikir dalam pengembangan pembuatan keputusan (rule). Namun demikian, kesederhanaan ini tidak identik dengan ketidak-akuratan. Penelitian pendahuluan (Panuju dan Trisasongko, 2008) menunjukkan bahwa walaupun perbedaan kinerja algoritma pohon keputusan tidak terlalu signifikan, kinerja algoritma pohon keputusan secara konsisten selalu lebih baik dibandingkan dengan algoritma klasik seperti algoritma kemungkinan maksimum (maximum likekihood classification). uler Pohon keputusan ini dapat dipandang sebagai diagram alir dari titik titik pertanyaan yang menuju kepada sebuah keputusan. Pohon keputusan yang menggunakan pemisahan (split) univariate, mudah dipahami oleh pemakai karena bentuk representasinya yang sederhana. Akan tetapi, batasan-batasan yang diterapkan pada representasi aturan dan pohon tertentu dapat secara signifikan membatasi bentuk fungsional dari model. Analisis tersebut dapat pula digunakan

16 untuk pemodelan prediksi, keduanya untuk klasifikasi dan regresi. Selain itu, dapat digunakan juga untuk pemodelan deskripsi ringkasan (Fayyad et al, 1996). Kelebihan-kelebihan decision tree antara lain: menyediakan visual result, dibangun berdasarkan rule-rule yang dapat dimengerti dan dipahami, bersifat predictive, memungkinkan untuk melakukan prediksi, menampilkan apa yang penting. Kelebihan lainnya adalah kemampuan adaptasi (adaptability) metode ini terhadap missing data yang berasal dari gangguan awan dan haze, dimana kelebihan ini tidak dimiliki oleh metode maximum likekihood. Sedangkan kekurangan-kekurangan dari decision tree adalah model decision tree dapat melebar dan mengecil (Han dan Kamber, 2001) QUEST QUEST (Quick, Unbiased, Efficient Statistical Trees) diperkenalkan oleh Loh dan Shih (1997). QUEST merupakan algoritma pemisahan (split) biner decision tree untuk klasifikasi dan data mining. QUEST dapat digunakan dengan pemisahan (split) univariate atau pemisahan (split) kombinasi linear. Feature unik dari teknik ini adalah pemilihan seleksi atribut yang mempunyai penyimpangan yang tidak terlalu penting. Jika semua atribut tidak informatif berkenaan dengan atribut kelas, maka masing-masing atribut mempunyai perkiraan perubahan yang sama terpilih untuk pemisahan (split) suatu tangkai pohon (Loh dan Shih, 1997). Model ini juga dapat mengurangi ukuran pohon, mengembangkan prediksi kelas, dan membangun data visualisasi. Pengurangan ukuran pohon tersebut dapat terpenuhi melalui penggunaan model diskriminasi. Sebagai tambahan, model ini dapat meningkatkan ketelitian dalam hal penilaian. Hasil analisis juga menyatakan bahwa perolehan keputusannya juga lebih akurat (Panuju dan Trisasongko, 2008). Penggunaan QUEST pada penginderaan jauh sebelumnya telah disajikan oleh Pal dan Mather (2003) dan Panuju dan Trisasongko (2008) yang menggunakan metode decision tree untuk pemetaan lahan sawah.

17 CRUISE CRUISE (for Classification Rule with Unbiased Interaction Selection and Estimation) merupakan versi multivariasi decision tree lain yang dapat menggunakan unbiased multiway splits, seperti yang telah diperkenalkan oleh Kim dan Loh (2001), dan dengan menyatukan model tangkai pohon (node) bivariate linear discriminant (Kim dan Loh, 2003). Model ini mempunyai prediksi dengan ketelitian setidaknya setingkat dengan algoritma QUEST. Selain itu, perhitungan dalam model ini juga cepat karena model ini mempekerjakan multiway split yang dapat menghindari penggunaan dari metode pencarian yang tamak (greedy search) (Kim dan Loh, 2001).

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) LAMPIRAN 51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perubahan Penggunaan Lahan Pengertian lahan berbeda dengan tanah, namun dalam kenyataan sering terjadi kekeliruan dalam memberikan batasan pada kedua istilah tersebut. Tanah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 10 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2011 dan berakhir pada bulan Oktober 2011. Penelitian ini terdiri atas pengamatan di lapang dan analisis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA . II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu kebumian (earth sciences) yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi atau bentuklahan (landform). Perhatian geomorfologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi dengan SAR Polarisasi Tunggal Pada awal perkembangannya, sensor SAR hanya menyediakan satu pilihan polarisasi saja. Masalah daya di satelit, kapasitas pengiriman

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi adalah 133.300.543,98 ha (Kementerian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi Usahatani merupakan organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi lapangan pertanian (Hernanto, 1995). Organisasi

Lebih terperinci

G ~ QJ\Y~~\-rJl<~\ Vol. 15 No.2, Desember 2009

G ~ QJ\Y~~\-rJl<~\ Vol. 15 No.2, Desember 2009 ISSN: 0854-2759 Jurr1CJJ JJrrdCJ(-l G ~ QJ\Y~~\-rJl

Lebih terperinci

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak KAJIAN AWAL KEBUTUHAN TEKNOLOGI SATELIT PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUKUNG PROGRAM REDD DI INDONESIA Oleh : Dony Kushardono dan Ayom Widipaminto LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak menyampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia seringkali terjadi bencana alam yang sering mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Fenomena bencana alam dapat terjadi akibat ulah manusia maupun oleh

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT Oleh : DERY RIANSYAH A24103087 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan

Lebih terperinci

SISTEM PENGINDERAAN JAUH SATELIT ALOS DAN ANALISIS PEMANFAATAN DATA

SISTEM PENGINDERAAN JAUH SATELIT ALOS DAN ANALISIS PEMANFAATAN DATA SISTEM PENGINDERAAN JAUH SATELIT ALOS DAN ANALISIS PEMANFAATAN DATA Gokmaria Sitanggang Peneliti Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, LAPAN ABSTRACT The ALOS (Advanced Land Observing

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT Eksakta Vol. 18 No. 1, April 2017 http://eksakta.ppj.unp.ac.id E-ISSN : 2549-7464 P-ISSN : 1411-3724 PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH

Lebih terperinci

TEKNIK DAN METODE FUSI (PANSHARPENING) DATA ALOS (AVNIR-2 DAN PRISM) UNTUK IDENTIFIKASI PENUTUP LAHAN/TANAMAN PERTANIAN SAWAH

TEKNIK DAN METODE FUSI (PANSHARPENING) DATA ALOS (AVNIR-2 DAN PRISM) UNTUK IDENTIFIKASI PENUTUP LAHAN/TANAMAN PERTANIAN SAWAH TEKNIK DAN METODE FUSI (PANSHARPENING) DATA ALOS (AVNIR-2 DAN PRISM) UNTUK IDENTIFIKASI PENUTUP LAHAN/TANAMAN PERTANIAN SAWAH Gokmaria Sitanggang Peneliti Bidang Bangfatja, Pusat Pengembangan Pemanfaatan,

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS A. Pendahuluan Di bumi ini tersebar berbagai macam fenomena fenomena alam yang sudah diungkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS Oleh : Tresna Sukmawati Suhartini C64104020 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 3 September 2008:132-137 KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR Muchlisin Arief, Kustiyo, Surlan

Lebih terperinci

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar Spektrum Gelombang Pengantar Synthetic Aperture Radar Bambang H. Trisasongko Department of Soil Science and Land Resources, Bogor Agricultural University. Bogor 16680. Indonesia. Email: trisasongko@live.it

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PALSAR MULTI-POLARISASI DI DAERAH ACEH

KLASIFIKASI PALSAR MULTI-POLARISASI DI DAERAH ACEH KLASIFIKASI PALSAR MULTI-POLARISASI DI DAERAH ACEH M. Natsir *) *) Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN e-mail : mohnatsir@yahoo.com Abstract The determination of forest area in Aceh has been

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dikenal sebagai teknologi yang memiliki manfaat yang luas. Pemanfaatan yang tepat dari teknologi ini berpotensi meningkatkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian 19 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah G. Guntur yang secara administratif berada di wilayah Desa Sirnajaya, Kecamatan Tarogong, Kabupaten Garut, Provinsi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 ALOS PRISM Pemetaan baku sawah pada penelitian ini menggunakan citra ALOS PRISM dan citra radar ALOS PALSAR pada daerah kajian Kabupaten Subang bagian Barat. ALOS PRISM adalah

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Respon Polarimetri pada Tanaman Padi Varietas Ciherang 4.1.1. Analisis Data Eksploratif Hasil penerapan teori dekomposisi Cloude Pottier pada penelitian ini terwakili oleh

Lebih terperinci

SIMULASI PEMANFAATAN DATA LOSAT UNTUK PEMETAAN PADI

SIMULASI PEMANFAATAN DATA LOSAT UNTUK PEMETAAN PADI MAKARA, TEKOLOGI, VOL. 14, O. 2, OVEMBER 2010: 116-120 SIMULASI PEMAFAATA DATA LOSAT UTUK PEMETAA PADI Bambang H. Trisasongko 1*), Dyah R. Panuju 1, Boedi Tjahjono 1, Baba Barus 2, Hari Wijayanto 2, Mahmud

Lebih terperinci

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING Jarot Mulyo Semedi disampaikan pada: Workshop Continuing Professional Development (CPD) Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota Jakarta, 7 Oktober 2016 Isi Presentasi

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Synthetic Aperture Radar (SAR) untuk Mendukung Quick Response dan Rapid Mapping Bencana (Studi Kasus: Deteksi Banjir Karawang, Jawa Barat) Oleh: Fajar Yulianto, Junita

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA AKTUALITA DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari Anneke KS Manoppo dan Yenni Marini Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh e-mail: anneke_manoppo@yahoo.co.id Potret kenampakan bumi di malam hari (Sumber: NASA)

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM METODOLOGI DATA MINING

BAB IV GAMBARAN UMUM METODOLOGI DATA MINING BAB IV GAMBARAN UMUM METODOLOGI DATA MINING A. Metodologi Data Mining Metodologi Data Mining Komponen data mining pada proses KDD seringkali merupakan aplikasi iteratif yang berulang dari metodologi data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan dan Realisasi Antena Mikrostrip Polarisasi Sirkular dengan Catuan Proxmity Coupled

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan dan Realisasi Antena Mikrostrip Polarisasi Sirkular dengan Catuan Proxmity Coupled BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dikenal sebagai teknologi yang memiliki manfaat yang luas. Pemanfaatan yang tepat dari teknologi ini berpotensi meningkatkan

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

Heru Noviar dan Bambang Trisakti Peneliti Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusfatja, Lapan

Heru Noviar dan Bambang Trisakti Peneliti Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusfatja, Lapan Pemanfaatan Kanal... (Heru Noviar dan Bambang Trisakti) PEMANFAATAN KANAL POLARISASI DAN KANAL TEKSTUR DATA PISAR-L2 UNTUK KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KAWASAN HUTAN DENGAN METODE KLASIFIKASI TERBIMBING (UTILIZATION

Lebih terperinci

PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL ABSTRAK

PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL ABSTRAK PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL Rokhmatuloh Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia Kampus UI Depok 16424, Tel/Fax.

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: PiSAR-L2, Berbasis piksel, Berbasis obyek, Band tekstur

ABSTRAK. Kata kunci: PiSAR-L2, Berbasis piksel, Berbasis obyek, Band tekstur Perbandingan Metode Klasifikasi Penutup Lahan. (R. Johannes Manalu et al) PERBANDINGAN METODE KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN BERBASIS PIKSEL DAN BERBASIS OBYEK MENGGUNAKAN DATA PiSAR-L2 (COMPARISON BETWEEN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun (Seagrass) Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan mempunyai kemampuan beradaptasi untuk hidup dan tumbuh di lingkungan laut. Secara sepintas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi dan pada suatu obyek atau fenomena, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi diperlukan peran serta lembaga keuangan untuk membiayai pembangunan tersebut. Lembaga keuangan memegang peranan penting dalam

Lebih terperinci

PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR PERAIRAN KABUPATEN KENDAL)

PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR PERAIRAN KABUPATEN KENDAL) 54 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 hal. 54-60 PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian 7 II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai Bulan Oktober 2010 sampai dengan April 2011, yang meliputi kegiatan persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, pengolahan

Lebih terperinci

SATELIT ASTER. Oleh : Like Indrawati

SATELIT ASTER. Oleh : Like Indrawati SATELIT ASTER Oleh : Like Indrawati ADVANCED SPACEBORNE THERMAL EMISSION AND REFLECTION RADIOMETER (ASTER) ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) adalah instrumen/sensor

Lebih terperinci

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan 09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital by: Ahmad Syauqi Ahsan Remote Sensing (Penginderaan Jauh) is the measurement or acquisition of information of some property of an object or phenomena

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi MATA KULIAH : SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PERIKANAN KODE MK : M10A.125 SKS : 2 (11) DOSEN : SYAWALUDIN ALISYAHBANA HRP, S.Pi, MSc. SUB POKOK BAHASAN DEFINIS DAN PENGERTIAN TENAGA UNTUK PENGINDERAAN

Lebih terperinci

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT Oleh : DERY RIANSYAH A2103087 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. . iii PRAKATA DAFTAR ISI. . vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN.

DAFTAR ISI. . iii PRAKATA DAFTAR ISI. . vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL. i HALAMAN PENGESAHAN DISERTASI. ii PERNYATAAN. iii PRAKATA. iv DAFTAR ISI. vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN. xxiii INTISARI. xxiv

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya Kepala LAPAN Manfaat data satelit penginderaan jauh Perolehan

Lebih terperinci

PEMETAAN SAWAH BAKU KABUPATEN SUBANG BAGIAN BARAT DENGAN CITRA SATELIT ALOS NADIA INOVA SARI A

PEMETAAN SAWAH BAKU KABUPATEN SUBANG BAGIAN BARAT DENGAN CITRA SATELIT ALOS NADIA INOVA SARI A PEMETAAN SAWAH BAKU KABUPATEN SUBANG BAGIAN BARAT DENGAN CITRA SATELIT ALOS NADIA INOVA SARI A14052257 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FALKUTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologi. Awan hitam dan erupsi terus terjadi, 5.576 warga dievakuasi. Evakuasi diberlakukan setelah pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci