BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini tuberculosis menjadi perhatian utama dunia kesehatan,

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini tuberculosis menjadi perhatian utama dunia kesehatan, kasus-kasus baru penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycrobacterium tuberculosis ini bermunculan. Di perkirakan 9 juta orang terinfeksi dan 3 juta orang meninggal akibat penyakit tuberculosis setiap tahunnya. Hal ini di akibatkan oleh meningkatnya jumlah kasus TB Paru yang resisten terhadap beberapa antibiotik (Depkes RI, 2000). Berpacu dengan waktu merupakan ungkapan yang tepat bagi penanggulangan TB Paru, karena jika tidak segera dilakukan tindakan penyebaran penyakit ini akan semakin meluas dan tidak terkontrol. WHO memperkirakan setiap tahun di Indonesia terjadi kematian akibat TB Paru, pada tahun di Indonesia jumlah penderita TB Paru meningkat dari kasus (54%) menjadi (67%) kasus. Masalah TB Paru di Indonesia sangat besar karena tiap tahun bertambah kasus baru TB Paru karena itu Indonesia menduduki peringkat ke-3 terbesar setelah India dan Cina. Jumlah ini akan terus bertambah mengingat setiap orang yang terinfeksi TB Paru akan menularkan orang setiap tahunnya bahkan dinyatakan setiap detik seorang terinfeksi. Berdasarkan data survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 TB Paru merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit

2 2 saluran pernafasan dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (IDI online, 2006, RI baru bisa turunkan kesakitan TBC 15 per 100 penduduk, 3, diperoleh tanggal 24 Februari 2007). Ini menunjukkan penyakit TB Paru menjadi masalah yang benar-benar serius bagi Indonesia, sehingga diperlukan partisipasi aktif dari semua pihak termasuk peran serta masyarakat agar angka kesakitan dan kematian TB paru dapat ditekan. Jumlah penderita penyakit TB Paru di Jawa Tengah baru 50% yang ditemukan, pada tahun 2006 mulai bulan Januari sampai bulan Maret sudah ditemukan kasus TB Paru, diperkirakan penderita TB Paru di Jawa Tengah sebanyak kasus, tetapi yang ditemukan baru setengahnya. Dari jumlah tersebut wilayah Kabupaten Pekalongan yang berpenduduk jiwa, baru terdeteksi 444 kasus (42%) dari seharusnya kasus (Dinkes Jateng, 2006, Penderita TBC baru ditemukan 50 persen, 4, diperoleh tanggal 24 Februari 2007). Hal ini disebabkan karena perilaku masyarakat yang masih malu jika ketahuan menderita TB Paru dan menjadi kendala utama untuk memantau jumlah penduduk yang terkena penyakit TB Paru sehingga kini Dinas Kesehatan masih belum memiliki data pasti jumlah penderita TB Paru di Jawa Tengah, padahal jika ada warga yang terkena TB Paru tidak terpantau dan dibiarkan saja maka bisa menular kepada masyarakat. Menurut Depkes RI (2000), tujuan dari penanggulangan tuberculosis adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB Paru

3 3 dengan cara memutus rantai penularan, sehingga penyakit TB Paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Sedangkan tujuan jangka pendeknya tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru BTA positif yang ditemukan, tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap sehingga pada tahun 2005 dapat mencapai 70% perkiraan semua penderita baru BTA positif. Untuk menentukan angka kesakitan dan angka kematian TB Paru seperti yang tersebut diatas peran PMO sangat dibutuhkan dalam menerapkan fungsi mereka sebaik-baiknya sehingga angka kesembuhan minimal 85% bukan sesuatu yang mustahil dapat dicapai. Untuk memberantas penyakit tuberculosis di seluruh dunia pada tahun 1994 WHO memperkenalkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) yaitu strategi yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan dasar dunia terdiri dari lima komponen yaitu dukungan politik para pimpinan wilayah, tersedianya mikroskop, pengawas minum obat, pencatatan dan pelaporan, tersedianya OAT (Obat Anti Tuberculosis) dan pada tahun 1995 Indonesia mulai memperkenalkan strategi tersebut (Mansyur, 1999). Secara umum DOTS memang lebih mengarah kesuatu program yang bersifat Nasional, namun bila disimak dari uraian kata DOTS itu sendiri, pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB Paru yaitu dimulai dari memfokuskan perhatian dalam usaha menemukan atau mendiagnosis penderita secara baik dan akurat, utamanya melalui pemeriksaan mikroskopik, selanjutnya setiap penderita harus diawasi dalam meminum obatnya di depan pengawas dan inilah dikenal sebagai Directly Observed Therapy (DOT).

4 4 Pengobatan TB Paru memerlukan jangka waktu yang lama antara 6 sampai 9 bulan semua penderita mempunyai potensi tidak patuh bila dalam berobat dan memakai obat memerlukan waktu yang lama agar dapat disembuhkan, penderita harus minum obat teratur sesuai petunjuk, menghabiskan obat sesuai waktu yang ditentukan berturut-turut tanpa terputus, serta makan makanan yang bergizi dan melibatkan petugas kesehatan atau anggota keluarga untuk mengawasi dan memastikan penderita TB Paru minum obat dengan teratur dan benar (Nova, 2006, Sekilas layang tentang TBC, 4, diperoleh tanggal 5 Januari 2007). Masalah TB Paru perlu mendapat perhatian sehingga penemuan dan pengobatan penderita sampai sembuh merupakan salah satu kunci keberhasilan pemberantasan TB Paru. Penggunaan obat yang benar sesuai dengan jadwal (kepatuhan) sangat penting untuk menghindari timbulnya jenis TB Paru yang resisten agar memastikan kepatuhan, terutama pada fase lanjutan setelah kita merasa sembuh. WHO menerapkan Strategi DOTS (Directly Observed Therapy Short Course atau pengobatan dengan pengawas langsung). Pengawasan ini dilakukan oleh Pengawas Minum Obat atau PMO, yang bertugas untuk mendampingi pasien dalam menjalani pengobatan sampai tuntas. Seorang anggota keluarga atau petugas kesehatan yang mudah terjangkau oleh pasien TB Paru dapat mamainkan peranan sebagai PMO. Dengan didampingi PMO dalam setiap minum obat diharapkan angka kesembuhan minimal 85% dari kasus baru BTA Positif (Yayasan Spiritia, 2006, HIV dan TBC, 1, diperoleh tanggal 3 Januari 2007). Peran

5 5 PMO memang sangat dibutuhkan bagi penderita TB paru yang dapat menghindarkan penderita dari kejadian Droup Out dan dapat meningkatkan kepatuhan penderita dalam berobat dan meminum obatnya tanpa terputus sampai penderita dikatakan sembuh. Sesuai dengan program pemberantasan TB Nasional di Kabupaten Pekalongan mulai memperkenalkan strategi DOTS pada tahun 1997 dan tahun 1998 semua penderita TB Paru yang berobat di Puskesmas harus didampingi oleh pengawas minum obat (PMO). Penderita TB Paru yang berobat di Puskesmas Tirto Kabupaten Pekalongan, setelah didiagnosa TB Paru baik BTA Positif atau BTA Negatif tapi Rontgen Positif tidak langsung diberi obat, tapi harus datang lagi dengan membawa satu orang keluarga yang disegani dan tinggal satu rumah dengan penderita untuk menjadi pengawas minum obat setelah penderita datang lagi dengan calon PMO, kemudian disepakati tentang kesanggupan menjadi PMO dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan baik oleh PMO maupun penderita dalam menyelesaikan program pengobatan. PMO bersama penderita diberi penyuluhan tentang penyakit TB Paru, gejala-gejala, penularan, pencegahan, pengobatan, efek samping dari obat yang diminum, dan cara mengobati bila terjadi efek samping tersebut, serta tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh PMO. Dengan adanya PMO yang tinggal satu rumah dengan penderita dan disegani oleh penderita, maka diharapkan angka kepatuhan minum obat penderita TB Paru dalam berobat di Puskesmas Tirto Kabupaten Pekalongan

6 6 mencapai 100% dan angka kesembuhan minimal 85% dari seluruh penderita yang berobat. Hasil pendataan tahun 2006 di Puskesmas Tirto Kabupaten Pekalongan didapat penderita sebanyak 162 penderita TB Paru kasus BTA positif 97 penderita, BTA negatif tapi Rontgen positif 65 penderita dan yang mengalami kegagalan atau DO (Droup Out) 2 penderita. Dan jumlah penderita yang ada di Kecamatan Tirto ini merupakan data yang tertinggi di Kabupaten Pekalongan (Dinkes Kab Pekalongan, 2006). Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka peneliti ingin mengetahui sejauh mana hubungan antara peran pengawas minum obat dengan tingkat kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, maka peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara peran pengawas minum obat dengan tingkat kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan antara peran pengawas minum obat dengan tingkat kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan.

7 7 2. Tujuan khusus. a. Mengidentifikasi tingkat peran pengawas minum obat dalam program pengobatan TB Paru di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan. b. Mendiskripsikan tingkat kepatuhan penderita minum obat di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan. c. Menganalisa hubungan antara pengawas minum obat dengan tingkat kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan. D. Manfaat Hasil Penelitian 1. Bagi instansi pendidikan keperawatan Dengan penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pendidikan dalam pengembangan kurikulum mata ajar komunitas khususnya peran serta masyarakat (PSM) tentang peranan PMO terhadap penderita TB Paru. 2. Bagi Dinas Kesehatan a. Memberi informasi tambahan tentang pentingnya peran PMO dalam keberhasilan pengobatan TB Paru untuk meningkatkan pengelolaan program pemberantasan penyakit TB Paru. b. Sebagai bahan pertimbangan, dalam rangka meningkatkan kepatuhan penderita TB Paru dalam pengobatan dan sebagai salah satu usaha untuk menurunkan tingkat insidensi tuberculosis paru di Indonesia.

8 8 3. Bagi Profesi Keperawatan Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengelolaan pengobatan TB Paru dan keterampilan keperawatan bagi tenaga kesehatan pada penderita TB Paru dibidang ilmu keperawatan khususnya kepatuhan pasien minum obat. 4. Bagi Puskesmas Memberikan informasi tentang besarnya peran PMO bagi keberhasilan program TB Paru di Puskesmas sehingga dapat diambil langkah-langkah dan strategi yang positif bagi pengembangan program pengobatan kearah yang lebih baik antara lain dapat berupa: a. Memberi penyuluhan TB Paru kepada keluarga penderita. b. Mencari penderita-penderita dan menjalankan pengobatan pencegahan. c. Meningkatkan mutu pelayanan. d. Keteraturan minum obat sehari-hari diawasi oleh PMO. e. Pencatatan pelaporan dilaksanakan dengan teratur lengkap dan benar. 5. Bagi Masyarakat Dengan penelitian ini memberikan masukan bagi masyarakat dan diharapkan peran serta masyarakat dalam usaha meningkatkan kerjasama dengan para PMO demi keberhasilan, antara lain dapat berupa: a. Membantu penemuan penderita sedini mungkin adanya kasus dan sumber infeksi. b. Mendorong dan memberi semangat agar memeriksakan diri sedini mungkin, berobat dan minum obat secara teratur. c. Mengingatkan penderita untuk memeriksakan dahak ulang.

9 9 d. Memotivasi penderita agar tidak putus asa untuk minum obat secara teratur demi kesembuhanya. 6. Bagi Pasien TB Paru Memberikan informasi kepada penderita bahwa pentingnya peran PMO bagi kesembuhan mereka sehingga menumbuhkan motivasi yang lebih positif dalam melaksanakan program pengobatan TB Paru. 7. Bagi Peneliti Sebagai pengalaman dan latihan bagi penulis dalam mengadakan suatu penelitian serta mengkaji teori dari pendidikan dan belajar menemukan permasalahan yang ada dilapangan. E. Bidang Ilmu Dari segi keilmuan, literatur ini merupakan bidang ilmu keperawatan komunitas. Dimana PMO sebagai bagian dari komunitas memberikan kontribusi dalam meningkatkan kepatuhan obat pada penderita TB Paru.