4. HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Agus Budiono
- 5 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Komposisi Jenis Berdasarkan hasil pengambilan sampel yang telah dilakukan selama 3 bulan, ditemukan 3 jenis kepiting pasir yang terdiri dari jenis Famili Hippidae yaitu Emerita emeritus dan Hippa ovalis, sedangkan jenis dari Famili Albunidae yaitu Albunea sp. Berikut ini merupakan gambar spesies yang ditemukan selama penelitian berlangsung yang disajikan pada Gambar 8 dan komposisi jenis yang didapatkan selama penelitian disajikan pada Gambar 9. (a) (b) (c) Gambar 8. (a) Emerita emeritus (b) Hippa ovalis (c) Albunea 25 N= 27 ekor 2 15 Jumlah 1 5 Albunea Emerita emeritus Hippa ovalis Gambar 9. Jumlah kepiting pasir yang tertangkap 17
2 18 Berdasarkan Gambar 9, terlihat bahwa jenis Emerita emeritus lebih mendominasi dibandingkan dua jenis lainnya yaitu Albunea dan Hippa ovalis. Dari total kepiting pasir sejumlah 27 ekor yang ditemukan selama penelitian, kepiting pasir jenis Emerita emeritus ditemukan paling banyak yaitu 23 ekor, kemudian jenis Hippa ovalis sebanyak 56 ekor, dan Albunea 11 ekor Hubungan panjang karapas dengan berat total Perbandingan panjang dan berat kepiting pasir jenis Emerita emeritus disajikan pada gambar 1, sedangkan jenis Hippa ovalis disajikan pada gambar 11. Berattotal(gram) W=,2CL2,379 R2=,727 N= Berattotal(gram) W =,1CL2,413 R² =,651 N = Berattotal(gram) W =,2CL2,426 R2 =,728 N= Panjang Karapas (mm) Gambar 1. Perbandingan hubungan panjang karapas dan berat Emerita emeritus yang bertelur, tidak, dan total 18
3 19 Berdasarkan Gambar 1, menjelaskan mengenai hubungan panjang karapas dan berat Emerita emeritus yang bertelur, tidak bertelur, dan total. Didapatkan nilai b yang berbeda. Nilai b Emerita emeritus yang bertelur menunjukkan nilai 2,379, tidak bertelur yaitu 2,413, dan total yaitu 2,426. Berdasarkan nilai b tersebut, pola pertumbuhan kepiting pasir jenis Emerita emeritus yaitu allometrik negatif yang berarti pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan pertumbuhan berat. Berattotal(gram) W =,CL2,93 R2 =,81 N = Berattotal(gram) W =,2CL1,677 R2 =,559 N = Berattotal(gram) W =,x2,656 R2 =,882 N = Panjang Karapas (mm) Gambar 11. Perbandingan hubungan panjang karapas dan berat Hippa ovalis bertelur, tidak bertelur, dan total. 19
4 2 Berdasarkan Gambar 11, menjelaskan mengenai perbandingan hubungan panjang karapas dan berat Hippa ovalis yang bertelur, tidak bertelur, dan total. Didapatkan perbedaan pada ketiganya. Hal ini terlihat dari nilai b yang berbeda. Nilai b Hippa ovalis yang bertelur menunjukkan nilai 2,93, tidak bertelur yaitu 1,677, dan total yaitu 2,656. Berdasarkan nilai b tersebut, didapatkan pola pertumbuhan kepiting pasir jenis Hippa ovalis yaitu allometrik negatif. Hal ini dikarenakan nilai b yang kurang dari 3 yang berarti pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan pertumbuhan berat Distribusi Ukuran Selang Kelas Panjang Distribusi ukuran selang kelas panjang merupakan sebaran jumlah kepiting pasir pada setiap selang kelas panjang yang dihitung per satuan panjang karapas. Distribusi frekuensi panjang Emerita emeritus dan Hippa ovalis akan disajikan pada Gambar 12 dan Jumlah(ekor) N= 23 Maret April Mei Ukuran selang kelas panjang karapas (mm) Gambar 12. Distribusi ukuran selang kelas panjang Emerita emeritus 2
5 Jumlah(ekor) 15 1 N= 56 Maret April Mei ukuran selang kelas panjang karapas (mm) Gambar 13. Distribusi frekuensi panjang Hippa ovalis Gambar 12 dan 13 menunjukkan sebaran ukuran selang kelas panjang Emerita emeritus dan Hippa ovalis selama penelitian. Jumlah total Emerita emeritus sebanyak 23 ekor yang tersebar dengan panjang karapas minimum yaitu 19 mm dan panjang karapas maksimum yaitu 34 mm. Jumlah terbanyak berada pada selang kelas panjang 3-31 mm. Ukuran terkecil spesies yang bertelur yaitu 22 mm dan yang terbesar yaitu ukuran 34 mm. Sementara itu, Hippa ovalis didapatkan sebanyak 56 ekor dengan panjang karapas minimum yaitu 15 mm dan panjang karapas maksimum yaitu 39 mm. Jumlah terbanyak pada selang kelas panjang mm, ukuran terkecil spesies yang bertelur yaitu 22 mm dan yang terbesar yaitu 39 mm Nisbah Kelamin Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah kepiting pasir jantan dibandingkan dengan jumlah kepiting pasir betinanya. Idealnya untuk populasi dialam rasionya adalah 1 yang bererti 1 jantan, 1 betina. Nisbah kelamin Emerita emeritus dan Hippa ovalis akan disajikan pada Tabel 1 dan 2. 21
6 22 Table 1. Nisbah kelamin Emerita emeritus Selang Kelas (mm) Betina Jantan Jantan/Betina X 2 Hitung X 2 Tabel , 2,5 3, , 5,2 3, , 14,7 3, ,235 16,12 3, ,13 25,4 3, ,86 44,6 3, ,34 26,17 3, ,333 1,25 3,8 Total ,13 134,12 3,8 Tabel 1 menjelaskan nisbah kelamin kepiting pasir jenis Emerita emeritus selama penelitian. Berdasarkan analisis chi-square dengan uji lanjut dengan koreksi Yate, pada selang kelas panjang 19-2 mm dan selang kelas panjang mm terlihat nilai X 2 hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai X 2 tabel. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan secara nyata antara jumlah jantan dengan jumlah betinanya. Akan tetapi secara total, hasil analisis menunjukkan bahwa nilai X 2 hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai X 2 tabel. Hal ini berarti terdapat perbedaan secara nyata antara jumlah jantan dengan jumlah betinanya. Table 2. Nisbah kelamin Hippa ovalis Selang kelas (mm) Betina Jantan Jantan/Betina X 2 Hitung X 2 Tabel ,,8 3, ,29 1,78 3, ,56,7 3, ,56,64 3, ,,5 3, ,,5 3, , 4, 3,8 Total 3 26,87,16 3,8 Tabel 2 menjelaskan nisbah kelamin kepiting pasir jenis Hippa ovalis selama penelitian. Berdasarkan analisis chi-square dengan uji lanjut dengan koreksi Yate, pada selang kelas panjang 39-4 mm terlihat nilai X 2 hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai X 2 tabel. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan secara 22
7 23 nyata antara jumlah jantan dengan jumlah betinanya. Akan tetapi secara total, hasil analisis menunjukkan bahwa nilai X 2 hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai X 2 tabel. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan secara nyata antara jumlah jantan dengan jumlah betinanya Reproduksi Beberapa aspek reproduksi yang dianalisis yaitu komposisi kepiting pasir yang bertelur dengan yang tidak bertelur, hasil identifikasi stadia telur, komposisi stadia telur kepiting pasir, dan hubungan panjang karapas kepiting pasir dengan jumlah telur (fekunditas). Komposisi kepiting pasir jenis Emerita emeritus yang bertelur dengan yang tidak bertelur disajikan pada Gambar 14, dan jenis Hippa ovalis disajikan pada Gambar 15. Hasil identifikasi stadia telur disajikan pada Gambar 16. Komposisi stadia telur kepiting pasir jenis Emerita emeritus disajikan pada Gambar 17, dan jenis hippa ovalis disajikan pada Gambar 18. Hubungan panjang karapas dengan jumlah telur kepiting pasir jenis Emerita emeritus disajikan pada Gambar 19, dan jenis Hippa ovalis disajikan pada Gambar N= 53 N= 3 N= 11 1 %Betinaberteluratautidakbertelur Betina tidak Bertelur Betina Bertelur Maret April Mei Gambar 14. Komposisi betina Emerita emeritus Gambar 14 menunjukkan komposisi kepiting pasir betina jenis Emerita emeritus. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada bulan Maret, April, dan Mei komposisi kepiting pasir betina yang bertelur mendominasi dibandingkan dengan kepiting pasir betina yang tidak bertelur. 23
8 24 12 N= 13 N= 4 N= 13 1 %Betinaberteluratautidakbertelur 8 6 Betina tidak bertelur 4 Betina bertelur 2 Maret April Mei Gambar 15. Komposisi betina Hippa ovalis Gambar 15 menunjukkan komposisi betina kepiting pasir jenis Hippa ovalis. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada bulan Maret jumlah betina yang bertelur cenderung mendominasi, kemudian pada bulan April jumlah betina yang bertelur dengan yang tidak bertelur seimbang, sedangkan pada bulan Mei komposisi betina yang tidak bertelur yang lebih mendominasi. Berikut ini merupakan hasil identifikasi stadia telur kepiting pasir baik Emerita emeritus maupun Hippa ovalis. Hasil identifikasi stadia telur kepiting pasir akan disajikan pada Gambar 16. (a) Stadia 1 (b) Stadia 2 (c) Stadia 3 Gambar 16. Stadia telur kepiting pasir jenis Emerita emeritus dan Hippa ovalis Gambar 16 menunjukkan stadia telur kepiting pasir. Stadia 1 ditandai dengan bentuk bulat penuh dan berwarna kuning telur. Stadia 2 ditandai dengan bentuk 24
9 25 sudah tidak bulat penuh dan sudah terdapat selaput yang menyelimuti telur. Stadia 3 ditandai dengan warna yang sudah transparan dan sudah terdapat bintik mata. 12 N= 48 N= 27 N= %StadiaTelur Stadia 1 Stadia 2 Stadia 3 Maret April Mei Gambar 17. Komposisi stadia telur Emerita emeritus Gambar 17 menunjukkan komposisi stadia telur kepiting jenis Emerita emeritus. Dari gambar tersebut terlihat bahwa setiap bulannya telur stadia 1 cenderung mendominasi dibandingkan dengan stadia 2 dan stadia N= 12 N= 2 N= %StadiaTelur 6 4 Stadia 1 Stadia 2 Stadia 3 2 Maret April Mei Gambar 18. Komposisi stadia telur Hippa ovalis Gambar 18 menunjukkan komposisi stadia telur kepiting jenis Hippa ovalis. Dari gambar tersebut terlihat bahwa setiap bulannya telur stadia 1 cenderung 25
10 26 mendominasi dibandingkan dengan stadia 2 dan stadia 3. Bahkan pada bulan Mei hanya ditemukan kepiting pasir jenis Hippa ovalis yang memiliki stadia telur 1. Jumlahtelur(butir) y = 417,x - 731, r =, 549 N = Panjang karapas (mm) Gambar 19. Hubungan panjang karapas dengan jumlah telur Emerita emeritus Jumlahtelur(butir) y = 221,x , r =,54 N= Panjang karapas (mm) Gambar 2. Hubungan panjang karapas dengan jumlah telur Hippa ovalis Gambar 19 dan 2 menunjukkan hubungan panjang karapas dengan jumlah telur Emerita emeritus dan Hippa ovalis. Berdasarkan hasil regresi terlihat nilai korelasi antara panjang karapas dan jumlah telur menujukkan hubungan yang erat. Hal ini terlihat dari nilai r yang bernilai lebih dari,5 baik pada Emerita emeritus maupun pada Hippa ovalis. 26
11 Pembahasan Kabupaten Kebumen merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang letaknya berada di pantai selatan pulau Jawa, yaitu Kebumen langsung berbatasan dengan Samudera Hindia. Keberadaan kepiting pasir sering dijumpai hampir di semua wilayah pesisir pantai berpasir di Kebumen. Akan tetapi, lokasi penelitian diambil di Pantai Bocor berdasarkan informasi kelimpahan kepiting pasir terbanyak dibandingkan dengan pantai-pantai lainnya yang ada di Kebumen. Kepiting pasir di Kebumen dijadikan jajanan khas pantai yang sangat di gemari. Salah satu hasil olahan kepiting pasir atau yang dikenal dengan sebutan yutuk yaitu rempeyek atau peyek yutuk. Satu buah peyek yutuk dijual dengan kisaran harga Rp 15, Rp 2,. Harga kepiting pasir segar dijual dengan harga Rp 15., Rp 3., per kilogram. Menurut informasi dari bapak Sarno yang didapatkan melalui komunikasi pribadi (18 Maret 212), keberadaan kepiting pasir di pantai tempat penelitian baru terlihat kembali dua tahun belakangan ini setelah bertahun-tahun keberadaannya menghilang. Hal ini di duga akibat penurunan stok yang drastis akibat penangkapan. Awalnya penangkapan kepiting pasir menggunakan alat yang sudah modern seperti menggunakan jaring yang dapat mengeruk pasir sampai kedalaman tertentu, sehingga stok kepiting pasir menurun sampai keberadaannya tidak terlihat. Pada penelitian ini, pengambilan sampel menggunakan alat tradisional yang cara pengoperasiannya serupa dengan garuk yang digunakan untuk menjemur padi. Hal ini terkait dengan struktur pasir yang keras dan ombak yang besar, agar lebih mudah untuk mendapatkan kepiting pasir tersebut. Berdasarkan hasil pengambilan sampel, terdapat tiga jenis kepiting pasir yang ditemukan di pantai Kebumen ini. Setelah diidentifikasi, tiga jenis tersebut yaitu Emerita emeritus, Hippa ovalis, dan Albunea. Selama tiga bulan pengambilan sampel, ketiga jenis ini selalu di temukan meskipun dengan jumlah yang berbedabeda. Secara keseluruhan, didapatkan 27 ekor kepiting pasir yang terdiri dari Albunea 11 ekor, Emerita emeritus 23 ekor, dan Hippa ovalis 56 ekor. Jumlah Emerita emeritus terlihat mendominasi dibandingkan dengan jenis lain. Hal ini dapat dikarenakan habitat Emerita emeritus cenderung pada bagian pasir yang paling atas. Hal ini dikuatkan oleh Phasuk dan Boonruang (1975) yang 27
12 28 melakukan penelitian di pantai berpasir di Thailand, bahwa habitat Emerita emeritus cenderung berada di lapisan pasir atas sekitar -15 cm. Dominasi jenis Emerita emeritus yang didapatkan di Kebumen dapat terjadi karena pada saat sampling alat yang digunakan hanya menyusur diatas pasir dengan kedalaman pasir tidak lebih dari 1 cm, sehingga didapatkan Emerita emeritus yang lebih mendominasi. Berdasarkan habitatnya, Emerita emeritus dan Hippa ovalis berada di zona intertidal. Sementara Albunea terdapat di zona sub-tidal, zona yang lebih dalam. Sehingga jumlah Albunea yang tertangkap sangat sedikit dibandingkan Emerita emeritus ataupun Hippa ovalis. Selain itu, dominasi Emerita emeritus dapat dikaitkan dengan ketahanan fisiknya. Pada umumnya, Emerita emeritus ditemukan baik di daerah tropis maupun daerah sub-tropis. Oleh karena itu, daya tahan tubuh Emerita emeritus cenderung lebih kuat dibandingkan dengan Hiipa yang hanya ditemukan di daerah tropis. Hal ini dikuatkan oleh Hanson (1965) yang menyatakan bahwa Emerita ditemukan baik di daerah tropis maupun di daerah sub-tropis, sedangkan Hippa hanya ditemukan di daerah tropis saja. Keberadaan 3 jenis kepiting pasir ini juga didukung oleh kondisi perairan yang masih sehat. Dalam penelitian ini tercatat bahwa nilai parameter fisika-kimia perairan pantai selatan Kebumen masih sehat. Nilai ph yang dihasilkan adalah berkisar antara 7,5 sampai 8,29. Nilai ph menunjukkan seberapa besar derajat keasaman suatu perairan. Hal ini akan berkaitan dengan kondisi fisiologis dari suatu biota. Keadaan ph yang sangat tinggi maupun terlalu rendah akan berpengaruh terhadap biota yang ada di dalam perairan tersebut, dalam hal ini kepiting pasir. Berdasarkan pernyataan Nybakken (1988) bahwa kondisi lingkungan perairan laut memiliki ph yang bersifat relatif stabil serta berada dalam kisaran yang sempit yaitu antara 7,5-8,4. Oleh karena itu, kondisi perairan pantai selatan Kebumen dapat dikatakan masih sehat. Kadar salinitas yang didapatkan berkisar antara 3,4 o /oo sampai 34 o /oo. Sementara itu, suhu yang dihasilkan adalah berkisar antara 28 o C sampai 29 o C. Suhu permukaan laut di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28 o C-31 o C (Nontji 1993 in Hasyim et al. 21). Tingginya nilai suhu permukaan laut di perairan Indonesia dapat disebabkan oleh posisi geografi Indonesia yang terletak di wilayah 28
13 29 ekuator yang merupakan daerah penerima panas matahari terbanyak (Hasyim et al. 21). Hasil analisis kualitas perairan di tempat penelitian kurang cocok untuk larva kepiting pasir. Menurut Hanson (1965) kisaran suhu yang cocok untuk larva yaitu 25,5 o C, salinitas 34,4 35,8 %o. Sementara itu, kondisi di tempat penelitian kisaran suhu C dan salinitas 3-34 %o. Dari hasil ini, didapatkan bahwa pada saat larva, kepiting pasir berada di laut atau zona yang lebih dalam sementara kepiting pasir yang sudah dewasa akan ke zona yang dekat pantai. Pertumbuhan merupakan perubahan panjang, berat, maupun volume dalam satuan waktu tertentu. Berdasarkan analisis perhitungan korelasi antara panjang karapas dengan berat total, didapatkan tipe pertumbuhan kepiting pasir baik Emerita emeritus maupun Hippa ovalis yaitu Allometrik negatif. Hal ini dapat dilihat dari nilai b yang kurang dari 3. Hal ini berarti pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan pertumbuhan berat (Effendie 25). Pertumbuhan kepiting pasir cenderung lebih kearah panjang. Hal ini dapat dikaitkan dengan morfologi kepiting pasir yang cenderung memanjang tidak melebar. Terlihat dari rasio panjang dan lebar kepiting pasir yaitu cenderung lebih besar panjangnya. Berdasarkan ukuran panjang karapas, didapatkan hasil bahwa yang ditemukan sepanjang pengambilan sampel, ukuran panjang karapas untuk Emerita emeritus berkisar mm, sedangkan untuk Hippa ovalis berkisar mm. Berdasarkan hasil rata-rata panjang karapas, spesies Emerita emeritus yang memiliki jenis kelamin betina dan bertelur memiliki panjang karapas minimum 22 mm. Hal dikuatkan dengan pernyataan Phasuk dan Boonruang (1975) yang mengatakan bahwa ukuran Emerita emeritus yang sudah dewasa memiliki panjang karapas lebih dari 12 mm, sedangkan untuk yang berjenis kelamin jantan, ukuran panjang karapas kurang dari 12 mm. Nisbah kelamin kepititng pasir merupakan perbandingan jumlah kepiting pasir jantan dibandingkan dengan jumlah betinanya. Idealnya, suatu populasi di alam rasio jantan dan betinanya yaitu 1:1. Hal ini berarti 1 jantan, untuk 1 betina. Hal ini agar tidak terjadi dominansi jenis kelamin. Berdasarkan hasil analisis yang terlihat pada tabel 1, perbandingan jantan dengan betina Emerita emeritus dari bulan 29
14 3 maret sampai mei ternyata betina Emerita emeritus lebih mendominasi. Hal ini terlihat dari nilai rasio yang nilainya kurang dari 1. Berdasarkan hasil perhitungan rasio jantan dengan betina yang di uji dengan uji Chi-square dengan koreksi Yate, pada selang kelas panjang 19-2 mm dan selang kelas panjang mm terlihat nilai X 2 hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai X 2 tabel. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan secara nyata antara jumlah jantan dengan jumlah betinanya. Akan tetapi secara total, hasil analisis menunjukkan bahwa nilai X 2 hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai X 2 tabel. Hal ini berarti terdapat perbedaan secara nyata antara jumlah jantan dengan jumlah betinanya. Berdasarkan analisis tersebut, keadaan populasi Emerita emeritus pada lokasi penelitian dapat dikatan tidak stabil. Hal ini dikarenakan perbandingan jantan dan betinanya tidak sama. Hasil analisis perbandingan jantan dan betina Hippa avalis berdasarkan analisis uji chi-square dengan koreksi Yate yaitu pada selang kelas panjang 39-4 mm terlihat nilai X 2 hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai X 2 tabel. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan secara nyata antara jumlah jantan dengan jumlah betinanya. Akan tetapi secara total, hasil analisis menunjukkan bahwa nilai X 2 hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai X 2 tabel. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan secara nyata antara jumlah jantan dengan jumlah betinanya. Oleh karena itu, keberadaan populasi kepiting pasir jenis Hippa ovalis masih stabil. Berdasarkan analisis kepiting pasir yaitu betina bertelur dan betina tidak bertelur, didapatkan lebih banyak betina yang sedang bertelur. Hal ini dapat diduga karena pada saat kepiting pasir sedang bertelur, habitat yang lebih disukai yaitu zona pantai yang dekat dengan aktivitas manusia. Setelah dilakukan analisis stadia telur, didapatkan stadia 1 lebih mendominasi baik untuk jenis Emerita emeritus maupun Hippa ovalis. Stadia 1 ditandai dengan telur berwarna orange, bentuk telur bulat padat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel yang didapatkan baik Emerita emeritus maupun Hippa ovalis sedang dalam kondisi bertelur. Hal ini dapat terjadi karena pada saat bertelur, kepiting pasir membutuhkan banyak makanan untuk memenuhi nutrisi dalam tubuhnya. Di daerah intertidal, terdapat nutrisi yang diperlukan oleh kepiting pasir, sehingga kepiting pasir yang sedang bertelur cenderung ke daerah intertidal dan cenderung ke bagian pasir atas untuk mencari 3
15 31 makan. Oleh karena itu hasil pengambilan sampel ditemukan kepiting pasir yang sedang bertelur. Selain itu, Deglado & Defeo (26) menjelaskan bahwa musim bertelur untuk kepiting pasir yaitu pertengahan Oktober pertengahan April. Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan pada saat musim bertelur. Sehingga sampel yang didapatkan didominansi kepiting pasir yang bertelur. Hasil penelitian ini menunjukkan ditemukannya kepiting pasir bertelur yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan kepiting pasir yang tidak bertelur. Hal ini dapat menunjukkan bahwa adanya regenerasi yang baik pada kepiting pasir. Dan dapat juga digunakan sebagai indikator bahwa sedang terjadi rekruitmen. Hal ini dijelaskan oleh Defeo et al. (21) menjelaskan bahwa ketika populasi kepiting pasir yang sedang bertelur ditemukan lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak bertelur, hal ini menunjukkan adanya regenerasi populasi kepiting pasir yang baik dan sedang ada rekruitmen kepiting pasir yang baru. Penentuan stadia telur menganalogikan dengan spesies yang masih dalam satu ordo yaitu ordo decapoda. Hal ini dikarenakan belum adanya literatur yang menjelaskan mengenai stadia telur kepiting pasir. Masing-masing stadia telur memiliki ciri-ciri tersendiri. Stadia 1 memiliki ciri umum berwarna kuning telur dan bentuk yang masih bulat penuh. Stadia 2 sudah memiliki selaput yang mengitari telur dan memiliki warna kuning pudar serta bentuk yang sudah tidak bulat penuh. Stadia tiga memiliki warna kuning kecoklatan dan sudah memiliki bintik mata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi stadia 1 lebih mendominasi, baik bulan maret, april, maupun mei. Hal ini diduga pada saat bulan maret-mei sedang terjadi rekruitmen baik untuk Emerita emeritus maupun Hippa ovalis. Selain itu, diduga bahwa kepiting pasir memiliki masa pertumbuhan stadia telur yang cukup lama, sehingga antara bulan maret-mei masih dalam satdia yang tidak jauh berbeda. Berdasarkan analisis panjang karapas dan jumlah telur baik Emerita emeritus maupun Hippa ovalis menmpunyai korelasi yang erat. Nilai korelasi erat apabila nilai r mendekati +1 atau -1 (Steel & Torrie 198). Hasil analisis regresi panjang karapas dan jumlah telur kepiting pasir jenis Emerita emeritus dan Hippa ovalis menunjukkan nilai r lebih dari,5. Oleh karena itu, dapat dikatakan memiliki hubungan yang erat antara panjang karapas dan fekunditas. Hal ini dapat berarti 31
16 32 bahwa korelasi panjang karapas dan jumlah telur yang ada berbanding lurus. Semakin panjang karapas yang dimiliki oleh kepititng pasir, jumlah telur yang ada juga semakin meningkat. Sehingga berbanding lurus antara panjang karapas dengan fekunditasnya. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Trijoko (1988) in Mursyidin (27) yang mengatakan bahwa kepiting pasir di pantai selatan Yogyakarta yaitu hubungan fekunditas berbanding lurus dengan panjang dan berat tubuhnya. Hasil korelasi antara panjang karapas dengan jumlah telur menunjukkan hubungan linear. Hal ini berarti pada saat panjang karapas semakin panjang, ruang untuk menyimpan telur lebih besar, sehingga jumlah telur yang di produksi semakin banyak. Hal ini terkait dengan ruang untuk menempel dan meletakkan telur yang ada di bawah telson. Semakin panjang karapasnya, ruang atau benang yang ada di bawah telson juga semakin panjang, sehingga telur yang dapat menempel atau menempati ruang tersebut juga semakin luas, sehingga telur yang diproduksi juga banyak. Pada penelitian ini, tercatat bahwa jumlah telur untuk Emerita emeritus berkisar anatara butir telur, sedangkan Hippa ovalis butir telur. Perbedaan jumlah telur antara Emerita emeritus dan Hippa ovalis terjadi karena perbedaan besar kepiting pasir yang tertangkap. Seperti yang sudah dijelaskan, jumlah telur berbanding lurus dengan panajang karapas. 4.3 Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Pasir Pengelolaan sumberdaya perikanan dalam hal ini kepiting pasir merupakan suatu aspek yang sangat menojol disektor perikanan dan ketidakmampuan dalam mengelola suatu sumberdaya perikanan dapat berakibat menurunnya pendapatan sektor perikanan yang berasar dari sumber perikanan yang ada. Menurut Guidline no 4 CCRF in Mallawa (28) pengelolaan perikanan merupakan suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya, dalam upaya menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan. Pada umumnya, pengelolaan perikanan berkelanjutan yang dianjurkan yaitu pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Pengelolaan SDI yang berkelanjutan 32
17 33 tidak melarang aktifitas penangkapan yang bersifat komersial, tetapi menganjurkan penangkapan yang tidak melebihi daya dukung perairan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini, pengelolaan perikanan yang dianjurkan yaitu tidak melakukan penangkapan pada bulan Maret. Hal ini dikarenakan pada bulan Maret kepiting yang tertangkap sedang bertelur, sehingga penangkapan tidak dilakukan. Selain itu, hasil analisis hubungan panjang karapas dan berat total menunjukkan pola pertumbuhan allometrik negatif. Pada umumnya pola pertumbuhan allometrik negatif disukai oleh pembudidaya, sehingga bisa dianjurkan untuk melakukan budidaya kepiting pasir agar keberadaannya tetap ada. Penangkapan selektif juga dapat dilakukan, misalnya spesies yang sedang bertelur dikembalikan lagi ke alam
STUDI BEBERAPA ASPEK BIOLOGI KEPITING PASIR DI KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMEN ENI MEGAWATI SKRIPSI
STUDI BEBERAPA ASPEK BIOLOGI KEPITING PASIR DI KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMEN ENI MEGAWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Pasir
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Pasir Klasifikasi Emerita emeritus menurut Zipcodezoo (2012) dan Hippa ovalis menurut crust.biota.biodiv.tw (2012) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48
Lebih terperinciESTIMASI PRODUKTIVITAS SEKUNDER KEPITING PASIR
ESTIMASI PRODUKTIVITAS SEKUNDER KEPITING PASIR Emerita emeritus DAN Hippa ovalis PADA MARET SAMPAI MEI 2012 DI PANTAI BERPASIR, KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH RANI NURAISAH SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN
Lebih terperincioaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI
&[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda
Lebih terperinciGambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh
14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi
3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :
Lebih terperinciASPEK PERTUMBUHAN UNDUR-UNDUR LAUT, Emerita emeritus DARI PANTAI BERPASIR KABUPATEN KEBUMEN Ali Mashar* dan Yusli Wardiatno
ASPEK PERTUMBUHAN UNDUR-UNDUR LAUT, Emerita emeritus DARI PANTAI BERPASIR KABUPATEN KEBUMEN Ali Mashar* dan Yusli Wardiatno Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai Tulang Bawang. Pengambilan sampel dilakukan satu kali dalam satu bulan, dan dilakukan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat (Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)
11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kalibaru mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan Teluk Jakarta
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes
Lebih terperinciTUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti
TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan
Lebih terperincibio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek
II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)
12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-September 2011 dengan waktu pengambilan contoh setiap satu bulan sekali. Lokasi pengambilan ikan contoh
Lebih terperinciBeberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari
RINGKASAN SUWARNI. 94233. HUBUNGAN KELOMPOK UKURAN PANJANG IKAN BELOSOH (Glossogobircs giuris) DENGAN KARASTERISTIK HABITAT DI DANAU TEMPE, KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN. Di bawah bimbingan Dr. Ir.
Lebih terperinciPenentuan Parameter Desain Alat Penangkap Undur-Undur Laut di Cilacap dan Kebumen
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Lampung 08 September 2016 ISBN 978-602-70530-4-5 halaman 248-255 Penentuan Parameter Desain Alat Penangkap Undur-Undur Laut
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang yang didirikan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari
Lebih terperinciBIOLOGI REPRODUKSI UNDUR-UNDUR LAUT EMERITA EMERITUS DI KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH DEWI AYU KUSUMAWARDANI
BIOLOGI REPRODUKSI UNDUR-UNDUR LAUT EMERITA EMERITUS DI KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH DEWI AYU KUSUMAWARDANI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU
Lebih terperinciBAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.
Lebih terperinciANALISIS HUBUNGAN PANJANG BERAT IKAN HIMMEN (Glossogobius sp) DI DANAU SENTANI KABUPATEN JAYAPURA ABSTRAK
ANALISIS HUBUNGAN PANJANG BERAT IKAN HIMMEN (Glossogobius sp) DI DANAU SENTANI KABUPATEN JAYAPURA Annita Sari 1 1 Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan Uniyap ABSTRAK Ikan
Lebih terperinciBIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF
BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perairan Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan samudera Hindia dan mempunyai tatanan geografi laut yang rumit dilihat dari topografi
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk industri atau pemukiman dan masalah pasar bagi produk pertanian. Oleh
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian di Pulau Jawa dihadapkan pada masalah konversi lahan untuk industri atau pemukiman dan masalah pasar bagi produk pertanian. Oleh karena itu, tantangan
Lebih terperinci3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara 1. Kondisi Goegrafis Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Provinsi Gorontalo dengan luas yang
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Organ Pencernaan Ikan Kuniran Ikan kuniran merupakan salah satu jenis ikan demersal. Ikan kuniran juga merupakan ikan karnivora. Ikan kuniran memiliki sungut pada bagian
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap
Lebih terperinciKOMPOSISI JENIS DAN ASPEK BIOLOGI IKAN PARI LAMPENGAN (Mobulidae) YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA
KOMPOSISI JENIS DAN ASPEK BIOLOGI IKAN PARI LAMPENGAN (Mobulidae) YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA RIA FAIZAH DAN DHARMADI faizah.ria@gmail.com PUSAT RISET PERIKANAN JAKARTA, 28-29 MARET 218 Jenis
Lebih terperinci3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan
12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang
17 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Perairan Selat Malaka memiliki kedalaman sekitar 30 meter dengan lebarnya 35 kilometer, kemudian kedalaman meningkat secara gradual hingga 100 meter sebelum continental
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013
18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014 agar dapat mengetahui pola pemijahan. Pengambilan sampel dilakukan
Lebih terperinciIII. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga
III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di perairan Way Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga September 2013.
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten
Lebih terperinciKARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR
KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-
PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinci3. METODE PENELITIAN
13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Cirebon yang merupakan wilayah penangkapan kerang darah. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan
Lebih terperinciV ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN
49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat
I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
14 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika Kimia Perairan dan Substrat Estuari mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda dengan sungai dan laut. Keberadaan hewan infauna yang berhabitat di daerah estuari
Lebih terperinci2. METODOLOGI PENELITIAN
2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terdiri dari lokasi pengambilan udang mantis contoh dan lokasi pengukuran sumber makanan potensial udang mantis melalui analisis
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam. perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan budidaya perikanan saat ini mengalami kendala dalam perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan. Permasalahan yang sering dihadapi adalah tingginya
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Produksi Menurut Rahardja (2006) dalam aktivitas produksinya, produsen mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan hubungannya dengan tingkat produksi,
Lebih terperinciAspek biologi reproduksi ikan layur, Trichiurus lepturus Linnaeus 1758 di Palabuhanratu
Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Aspek biologi reproduksi ikan layur, Trichiurus lepturus Linnaeus 1758 di Palabuhanratu Nur ainun Muchlis, Prihatiningsih Balai Penelitian Perikanan Laut, Unit Pelaksana
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di
Lebih terperincigenus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda
116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Objek dan Lokasi Penelitian 1. Profil Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah jenis zooplankton yang ada di estuari Cipatireman pantai Sindangkerta Kecamatan
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 41/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG VANAME SEBAGAI VARIETAS UNGGUL
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 41/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG VANAME SEBAGAI VARIETAS UNGGUL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperkaya
Lebih terperinciASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C
ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN
Lebih terperinciSTUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI
STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat
Lebih terperinci2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kurau Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus eleutheronema dan Species Eleutheronema
Lebih terperinci2.2. Struktur Komunitas
5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil
Lebih terperinciSEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA
SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis 2.1.1. Pengertian dan Konsep Dasar Prahasta (2001) menyebutkan bahwa pengembangan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah informasi
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Kejer Hasil tangkapan jaring kejer selama penelitian menunjukkan bahwa proporsi jumlah rajungan tertangkap adalah 42,07% dari total hasil
Lebih terperinciLampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian
Lampiran 1. Ilustrasi Peta Lokasi Penelitian 42 Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian Lampiran 3. Alat yang Digunakan GPS (Global Positioning System) Refraktometer Timbangan Digital
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi 2.1.1. Klasifikasi Tiram merupakan jenis bivalva yang bernilai ekonomis. Tiram mempunyai bentuk, tekstur, ukuran yang berbeda-beda (Gambar 2). Keadaan tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Lokasi penelitian berada di sungai Brantas di mana pengambilan sampel dilakukan mulai dari bagian hilir di Kota Surabaya hingga ke bagian hulu di Kecamatan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan Juaro (Pangasius polyuranodon) menurut Kottelat dan Whitten (1993) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Lobster Air Tawar Menurut Holthuis (1949) dan Riek (1968), klasifikasi lobster air tawar adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mencapai 20 mm per hari) begitu pula dengan produksi bijinya. Biji gulma
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Gulma siam (Chromolaena odorata) tercatat sebagai salah satu dari gulma tropis. Gulma tersebut memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat cepat (dapat mencapai 20 mm per
Lebih terperinci2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama
Lebih terperinciAPLIKASI PAKAN BUATAN UNTUK PEMIJAHAN INDUK IKAN MANDARIN (Synchiropus splendidus)
APLIKASI PAKAN BUATAN UNTUK PEMIJAHAN INDUK IKAN MANDARIN (Synchiropus splendidus) Oleh Adi Hardiyanto, Marwa dan Narulitta Ely ABSTRAK Induk ikan mandarin memanfaatkan pakan untuk reproduksi. Salah satu
Lebih terperinciBIOLOGI POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT (CRUSTACEA: HIPPIDAE) DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH ALI MASHAR
BIOLOGI POPULASI UNDUR-UNDUR LAUT (CRUSTACEA: HIPPIDAE) DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH ALI MASHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis
Lebih terperinci