BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara umum individu atau kelompok yang bisa dilihat dari segi sosial, ekonomi, psikologi,

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Well-being secara umum sering dikaitkan dengan kesejahteraan, yang berarti kondisi secara umum individu atau kelompok yang bisa dilihat dari segi sosial, ekonomi, psikologi, kesehatan atau spiritual (wikipedia.com). Individu yang well-being-nya tinggi cenderung memiliki kondisi yang positif, dan sebaliknya well-being rendah dikaitkan dengan kondisi yang negatif. Di dalam ilmu filsafat, istilah well-being (eudaimonia) merupakan tujuan dari tindakan yang dilakukan, tujuannya adalah untuk memiliki kehidupan yang baik (Bernstein, 1998). Baik atau buruknya well-being individu ditentukan oleh fenomena yang dialaminya. Brey (2012) membahas definisi well-being dalam tiga teori umum dalam ilmu filsafat. Teori pertama adalah hedonism yang melihat well-being akan muncul jika kehidupan individu berjalan dengan baik, dapat mengakumulasi kesenangan (pleasure), dan menghindari rasa sakit (pain). Teori kedua adalah desire fulfillment yang melihat well-being individu akan muncul jika keinginan individu dapat terpenuhi sehingga akan merasakan kepuasan. Teori terakhir adalah objective list dimana well-being merupakan hasil dari tujuan-tujuan individu yang dapat dicapainya, dan tujuan tersebut dapat meningkatkan nilai hidupp individu tersebut. Pada ilmu ekonomi, pendapatan yang semakin tinggi diasosiasikan dengan tingginya well-being (Fuentes & Rojas, 2001). Semakin tinggi pendapatan individu maka semakin banyak kebutuhan yang bisa dipenuhi, sehingga individu bisa merasakan well-being semakain tinggi. Well-being dalam ilmu psikologi biasa dikenal dengan subjective wellbeing (SWB).

2 Menurut Diener (2000) subjective well-being merupakan evaluasi individu terhadap kehidupannya secara afektif juga kognitif. Individu mengalami SWB yang tinggi ketika mereka merasakan perasaan nyaman lebih banyak daripada perasaan tidak nyaman, ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang menarik, ketika mereka mengalami banyak kesenangan, dan ketika mereka merasa puas dengan kehidupannya (Diener, 2000). Mereka yang mengalami pengalaman positif lebih banyak akan memiliki tingkat SWB lebih tinggi. Menurut Stone (dalam Weiten, Hammer, & Dunn, 2015) usia individu memiliki hubungan dengan tingkat SWB individu tersebut. Individu di usia tahun cenderung memiliki tingkat SWB yang relatif tinggi, mengalami penurunan pada usia tahun, dan kembali meningkat secara stabil di usia 60 tahun ke atas. Hal tersebut diduga karena individu pada usia muda memiliki harapan yang lebih tinggi dibanding orang dewasa (Ulloa, Moller, & Sousa-Poza, 2013). Namun, dalam penelitian lainnya menunjukkan bahwa mahasiswa dalam usia muda memiliki tingkat SWB dan kepuasan hidup yang lebih rendah daripada orang dewasa (Vaez, Kristenson, & Laflamme, 2004). Menurut Ehrlich dan Isaacowitz (2002) SWB mahasiswa cenderung rendah karena mahasiswa lebih sering mengalami halhal yang tidak dapat dikontrol sehingga mahasiswa cenderung mengalami emosi negatif, hal tersebut membuat tidak adanya afek positif yang muncul dalam penelitan tersebut. Pada penelitian Jaafar dkk. (2008) SWB orang Malaysia dan Indonesia cenderung tinggi, 97% subjek dalam penelitiannya merasakan kebahagiaan. Namun, jika dibandingkan SWB subjek Indonesia masih lebih rendah daripada subjek Malaysia. Faktor-faktor yang mempengaruhi SWB orang Indonesia menurut penelitian Jaafar dkk. (2012) dan Landiyanto dkk. (2011) adalah keluarga, karir, hubungan sosial, kesehatan, pendidikan, aset, kebutuhan, rekreasi, usia, kesejahteraan nasional, dan keagamaan. Faktor keagamaan ini memiliki hubungan dengan rasa syukur, individu yang religius akan memiliki kecenderungan untuk bersyukur lebih banyak (Emmons & Kneezel, 2005).

3 Rasa syukur muncul ketika individu menyadari dan fokus pada hal-hal baik dalam hidupnya, dan mensyukuri hal tersebut (Weiten, Hammer, & Dunn, 2012). Menurut Emmons (dalam Froh, dkk., 2009) bersyukur dapat diartikan sebagai rasa terima kasih dan kegembiraan sebagai respon dari suatu pemberian, berupa barang yang memberi manfaat nyata atau berupa kejadian yang memberikan rasa damai dari keindahan alam. Namun, sering kali individu lupa dan kurang menyadari berkat yang diterima sehingga tidak mengalami rasa syukur. Sesuai dengan definisinya, rasa syukur akan menimbulkan perasaan yang positif pada diri seseorang. Apakah rasa syukur dapat meningkatkan SWB individu? Sebelumnya, peneliti melakukan observasi pada mahasiswa di sekitarnya dan mendapatkan bahwa banyak keluhan yang terdengar dari mahasiswa. Mulai dari hal kecil, seperti mengenai lapangan parkir yang penuh, cuaca panas, kondisi fisik dan lainnya, sampai hal besar ketika seperti banyaknya tugas kuliah atau ujian, penyakit yang diderita, hubungan pertemanan, dan masalah lainnya. Keluhan ini membuat individu merasakan perasaan yang negatif karena mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan. Selain observasi peneliti juga melakukan survey dengan menyebarkan angket secara online kepada mahasiswa. Hasil yang didapat juga menunjukkan kesamaan, bahwa banyak mahasiswa yang lebih sering mengeluh daripada bersyukur. Hal-hal yang sering dikeluhkan adalah permasalah seputar perkuliahan, seperti sulit bertemu dosen, banyaknya tugas dan ujian, sampai ada yang merasa salah memilih jurusan. Perasaan negatif ini memiliki efek terhadap kehidupan perkuliahan seperti dalam kehadiran kuliah, adaptasi perkuliahan, kecemasan dan depresi, penggunaan zat adiktif, tidak dapat menerima materi perkuliahan dengan baik, dan drop-out (Nickerson, Diener, & Schwarz, 2010). Bagaimana agar mahasiswa bisa lebih mengalami perasaan yang positif? Penelitian yang dilakukan McCullough dan Emmons (2003) mengkaji pengaruh bersyukur terhadap SWB individu dengan melakukan eksperimen. Eksperimen dilakukan

4 dengan membagi pertisipan ke dalam tiga kelompok, masing-masing kelompok memiliki perlakuan eksperimen berbeda. Kelompok pertama diminta untuk menuliskan lima hal yang disyukuri secara individu, kelompok kedua diminta untuk menuliskan lima hal yang mengecewakan secara individu, dan kelompok ketiga diminta untuk menuliskan kejadian yang memberi dampak dalam hidupnya secara individu. Eksperimen tersebut dilakukan tiga kali. Eksperimen yang pertama dilakukan selama 10 minggu, dengan menuliskan hal-hal sesuai perlakuan satu kali setiap minggu dengan subjek mahasiswa dengan hasil eksperimen pertama menunjukkan subjek dalam kelompok gratitude merasakan perasaan yang lebih baik terhadap kehidupannya dan merasa lebih optimis dibanding kelompok lainnya. Namun dalam eksperimen ini efek bersyukur akan lebih dirasakan jika dilakukan lebih intens karena perlakukan eksperimen pertama tidak mempengaruhi afek positif atau negatif subjek. Maka dilakukan eksperimen yang kedua, dilakukan setiap hari selama 2 minggu dengan subjek mahasiswa. Hasil eksperimen yang kedua menyatakan bahwa subjek dalam kelompok gratitude mengalami afek positif lebih tinggi dibanding kelompok lain juga subjek lebih banyak melakukan tindakan prososial dengan menolong orang lain. Eksperimen yang ketiga dilakukan setiap hari selama 3 minggu dengan subjek dewasa dengan neuromuscular disease (NMD) dilakukan untuk mengetahui efek jika eksperimen diperpanjang. Hasil eskperimen ketiga sama dengan eksperimen pertama dan kedua, juga dengan bersyukur kualitas tidur subjek kelompok gratitude lebih baik dibanding dengan kelompok lainnya. Namun, ketiga eksperimen ini tidak melakukan follow-up, sehingga perlu dilakukannya follow-up untuk melihat efek jangka panjang pada individu. Apakah eksperimen ini memiliki jangka panjang terhadap SWB seseorang? Penelitian lainnya dilakukan oleh Froh, Sefick, dan Emmons (2008) dengan prosedur yang sama. Eksperimen ini dilakukan selama dua minggu setiap hari, dengan subjek adalah

5 siswa sekolah menengah. Hasil dari penelitian Froh dkk. (2008) ini sama seperti yang dilakukan oleh Emmons dan McCullough (2003) dengan subjek mahasiswa dan dewasa. Follow-up yang dilakukan setelah tiga minggu dalam penelitian Froh dkk (2008). menunjukkan bahwa rasa syukur berhubungan dengan optimisme, kepuasan hidup secara keseluruhan, dan kepuasan hidup pada domain terntentu (sekolah, pengalaman, residency). Efeknya cenderung kecil sampai sedang, namun terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok gratitude dan hassles. Eksperimen ini melakukan follow-up yang menunjukkan bahwa afek positif yang dialami subjek pada kelompok gratitude lebih tinggi dibadingkan dengan subjek pada kelompok hassles. Penelitian lainnya dilakukan oleh Martinez-Marti, Avia, dan Hernandez-Lloreda (2010). yang juga dilakukan selama dua minggu, subjeknya adalah mahasiswa dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, yaitu Spanyol. Hasil dari penelitian ini adalah afek positif pada kelompok hassles mengalami penurunan dari awal sampai akhir eksperimen, sedangkan afek positif pada kelompok gratitude meningkat. Selain afek positif, kualitas hubungan subjek kelompok gratitude juga lebih tinggi (persepsi terhadap hubungan lebih baik) dibanding dua kelompok lainnya, namun tidak signifikan. Subjek dalam kelompok gratitude memiliki tingkat SWB lebih tinggi dibanding dua kelompok lainnya. Bagaimana jika eksperimen tersebut dilakukan kepada mahasiswa di Indonesia? Apakah bersyukur memberi dampak yang sama terhadap SWB mahasiswa seperti pada penelitian sebelumnya? B. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh metode bersyukur menghitung berkat terhadap tingkat SWB seseorang. Apakah cara bersyukur dengan menghitung berkat membuat SWB individu akan meningkat? Penelitian ini juga dilakukan untuk melihat pengaruh metode bersyukur menghitung berkat pada individu

6 dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Juga untuk mengetahui apakah bersyukur dengan cara tersebut dapat memberi efek jangka panjang bagi SWB seseorang. 1. Manfaat Teoritis C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi juga masukan bagi perkembangan ilmu psikologi dan menambah kajian ilmu psikologi, khususnya di bidang klinis dengan tema subjective well-being. 2. Manfaat Praktis Metode bersyukur ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan dan evaluasi untuk meningkatkan subjective well-being mahasiswa.