Keragaman Jenis dan Genetik Amfibia di Ekosistem Buatan Ecology Park Kampus LIPI Cibinong

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Keragaman Jenis dan Genetik Amfibia di Ekosistem Buatan Ecology Park Kampus LIPI Cibinong"

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR Keragaman Jenis dan Genetik Amfibia di Ekosistem Buatan Ecology Park Kampus LIPI Cibinong Oleh : Dra. Hellen Kurniati Dr. Dwi Astuti DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 1

2 Format B LAPORAN AKHIR TAHUN 2009 KEGIATAN PROGRAM INSENTIF BAGI PENELITI DAN PEREKAYASA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Keragaman Jenis dan Genetik Amfibia di Ekosistem Buatan Ecology Park Kampus LIPI Cibinong Dra. Hellen Kurniati Pusat Penelitian Biologi-LIPI Jenis Insentif : Riset Dasar Bidang Fokus : Sumber Daya Alam dan Lingkungan Cibinong, Desember

3 KATA PENGANTAR Studi secara komprehensif yang mengupas keragaman jenis dan genetik untuk kelompok kodok di habitat buatan manuasia belum banyak dilakukan di Indonesia, karena sebagian besar para peneliti di bidang herpetologi memfokuskan penelitiannya di areal hutan primer atau sekunder. Dengan adanya dana insentif penelitian yang bersumber dari DIKTI, maka dapat dipelajari pengaruh ekosistem buatan manusia yang penuh dinamika terhadap keragaman jenis dan genetik kodok yang hidup di areal tersebut. Lokasi yang dipilih adalah danau yang terdapat di Ecology Park kampus LIPI Cibinong, yang merupakan lokasi sangat tepat sebagai laboratorium alam dalam mempelajari suksesi ekosistem dan komunitas lahan kritis dengan keragaman jenis rendah menuju ekosistem hutan tropis yang kaya akan keragaman jenis fauna. Studi ini tidak mungkin mendapatkan hasil penelitian yang komprehensif hanya untuk satu tahun waktu penelitian. Diharapkan dana insentif penelitian yang bersumber dari DIKTI dapat berlanjut untuk tahun-tahun berikutnya. Cibinong, 11 Desember 2009 Tim Peneliti: 1. Dra. Hellen Kurniati 2. Dr. Dwi Astuti 3

4 Keragaman Jenis dan Genetik Amfibia di Ekosistem Buatan Ecology Park Kampus LIPI Cibinong (Species and Genetic Diversity of Amphibians in Ecology Park Area, LIPI Campus Cibinong) ABSTRAK Selama penelitian 5 bulan yang dimulai dari Juli sampai November 2009 di lokasi "Ecology Park, sebelas jenis kodok dari 4 suku (Bufonidae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae) merupakan penghuni areal lahan basah yang merupakan danau buatan di lokasi Ecology Park, Kampus LIPI Cibinong. Anggota jenis dari suku Bufonidae yang dijumpai adalah Bufo biporcatus dan B. melanostictus; dari suku Microhylidae dijumpai jenis Microhyla achatina dan Kaloula baleata; sedangkan dari suku Ranidae dijumpai Fejervarya cancrivora, F. limnocharis, Occidozyga lima, Rana chalconota, R. erythraea dan R. nicobariensis; untuk suku Rhacophoridae hanya dijumpai jenis Polypedates leucomystax. Dari kesebelas jenis tersebut, jenis yang dominan adalah O. lima, R. erythraea dan R. nicobariensis; tetapi R. erythraea adalah jenis yang paling dominan. Kesebelas jenis yang hidup di areal danau Ecology Park merupakan jenis non hutan, yaitu jenis yang telah mampu beradaptasi dengan habitat yang telah dimodifikasi manusia. Penelitian keragaman genetik amfibia kodok di lokasi "Ecology Park" difokuskan pada satu jenis kodok yaitu R. nicobariensis. Alasannya, kodok ini merupakan satu dari jenis kodok yang mendominasi di lokasi "Ecology Park" dan belum pernah dikaji keragaman genetik populasinya dari daerah Mitochondria control region atau dikenal dengan nama D-loop. Hasil analisis sekuen 10 individu R. nicobariensis untuk panjang basa 397 bp didapatkan 6 haplotype. Melihat dari hasil ini menunjukkan keragaman genetik populasi kodok R. nicobariensis sangat beragam di areal "Ecology Park". Hasil monitoring dinamika populasi pada 100 meter panjang transek menunjukkan mikrohabitat, kelembaban udara dan temperatur lingkungan berpengaruh sangat kuat terhadap dinamika populasi dari 9 jenis kodok (B. biporcatus, B. melanostictus, F. cancrivora, F. limnocharis, O. Lima, R. chalconota, R. erythraea, R. nicobariensis dan P. Leucomystax) yang dijumpai di dalam transek. Keberadaan jenis R. chalconota, R. erythrae dan R. nicobariensis berasosiasi kuat dengan tanaman berbentuk rumput-rumputan; sedangkan O. Lima berasosiasi kuat dengan tanaman air. Kata Kunci : keragaman jenis, keragaman genetik, amfibia, ekosistem buatan. ABSTRACT Study on frog diversity and population genetic in Ecology Park, LIPI Campus Cibinong were conducted in July-November Eleven frog species of 4 families (Bufonidae, Microhylidae, Ranidae and Rhacophoridae) were found; two species of Bufonidae (Bufo biporcatus and B. melanostictus), two species of Microhylidae (Kaloula baleata and Microhyla achatina), six species of Ranidae (Fejervarya cancrivora, F. limnocharis, Occidozyga lima, Rana chalconota, R. erythraea and R. nicobariensis and one species of Rhacophoridae (Polypedates leucomystax). Among eleven frog species, O. lima, R. erythraea and R. nicobariensis were dominant species in the area. All frog species in Ecology Park are non-forest species that have ability to live in man made habitat. Study of population genetic was focused on R. nicobariensis, because sequence data of Mt-DNA D- loop for this species is still lack. Sequence analysis for 397 bp of 10 individuals' R. nicobariensis showed six haplotypes were found from the analysis. This result indicates that genetic diversity of R. nicobariensis in "Ecology Park" area is very diverse. Monitoring results on population dynamic along 100 meter transect distant showed that microhabitats, humidity and air temperature gift strong effect to population dynamic of nine frog species (B. biporcatus, B. melanostictus, F. cancrivora, F. limnocharis, O. Lima, R. chalconota, R. erythraea, R. nicobariensis and P. leucomystax). Occurrences of R. chalconota, R. erythrae and R. nicobariensis have strong association with vegetation type of the habitats. Key Words : species diversity, population genetic, Amphibia, man made ecosystem. 4

5 DAFTAR ISI I. LAPORAN TEKNIS... 8 A. PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Tujuan dan Sasaran Hipotesa... 9 B. METODOLOGI Keragaman jenis Kelimpahan jenis amfibia Data lingkungan Tipe habitat, kelimpahan dan pengaruh lingkungan Keragaman genetik Kegiatan lapangan Pengambilan contoh darah atau jaringan tubuh Kegiatan laboratorium Ekstraksi DNA Elektroforesis dan Visualisasi DNA Polymerase Chain Reaction (PCR) Proses Sekuensing Analisis data sekuen DNA C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian Rawa berumput tinggi Tanah rawa berumput Perairan dengan tanaman air Perairan tepi berlumpur Keragaman jenis kodok Suku Bufonidae 13 a. Bufo biporcatus.. 13 b. Bufo melanostictus Suku Microhylidae a. Kaloula baleata.. 14 b. Microhyla achatina Suku Ranidae 15 a. Fejervarya cancrivora 15 b. Fejervarya limnocharis.. 15 c. Rana chalconota d. Rana erythraea e. Rana nicobarienesis f. Occidozyga lima Suku Rhacophoridae a. Polypedates leucomystax Keragaman genetik populasi kodok jenis terpilih (Rana nicobariensis) Monitoring D. KESIMPULAN DAN SARAN E. DAFTAR PUSTAKA

6 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Danau buatan yang terdapat di dalam areal Ecology Park. (A) Garis merah adalah transek sepanjang 100 meter; (B) Habitat yang menjadi lokasi transek sepanjang 100 meter 11 Gambar 2. (A) Habitat rawa berumput tinggi; (B) Penampang melintang habitat rawa berumput tinggi 12 Gambar 3. (A) Habitat tanah rawa berumput; (B) Penampang melintang habitat tanah basah berumput Gambar 4. (A) Habitat perairan dengan tanaman air; (B) Penampang melintang habitat perairan yang ditumbuhi tanaman air. 12 Gambar 5. (A) Habitat perairan dengan tepi berlumpur; (B) Penampang melintang habitat perairan dengan tepi berlumpur Gambar 6. Bufo biporcatus. 13 Gambar 7. Bufo melanostictus 14 Gambar 8. Kaloula baleata Gambar 9. Microhyla achatina Gambar 10. Fejervarya cancrivora Gambar 11. Fejervarya limnocharis Gambar 12. Rana chalconota Gambar 13. Rana erythraea Gambar 14. Rana nicobariensis Gambar 15. Occidozyga lima.. 18 Gambar 16. Polypedates leucomystax. 18 Gambar 17. Hasil ekstraksi yang menggambarkan kualitas dan kuantitas DNA dari tiap-tiap individu R. nicobariensi Gambar 18. Fragmen DNA yang diamplifikasi melalui proses PCR dengan menggunakan primer DNA 327-L dan 885-H pada beberapa individu R. nicobariensis Gambar 19. Pohon filogeni dengan menggunakan neigborg-joining berdasarkan panjang basa 397 bp dari MtDNA D-loop jenis R. nicobariensis Gambar 20. Tipe habitat dalam lokasi transek untuk 10 meter Gambar 21. Tipe habitat dalam lokasi transek untuk 10 meter DAFTAR GRAFIK Grafik monitoring tanggal 9 Juli Grafik monitoring tanggal 16 Juli Grafik monitoring tanggal 23 Juli Grafik monitoring tanggal 6 Agustus Grafik monitoring tanggal 13 Agustus Grafik monitoring tanggal 20 Agustus Grafik monitoring tanggal 3 September Grafik monitoring tanggal 10 September Grafik monitoring tanggal 24 September Grafik monitoring tanggal 15 Oktober Grafik monitoring tanggal 29 Oktober Grafik monitoring tanggal 12 November Grafik monitoring tanggal 19 November

7 DAFTAR TABEL Tabel 1. Haplotipe dari 17 individu R. nicobariensis pada 3 lokasi berbeda, yaitu "Ecology Park" (EPn), Taman Nasional Gunung Halimun (Hal) dan Sibolga (Sib) DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lembar data monitoring kodok

8 I. LAPORAN TEKNIS A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Areal lahan kritis di Indonesia dipastikan akan semakin bertambah, sejalan dengan maraknya pengrusakan hutan yang berlangsung dari waktu ke waktu. Usaha pemerintah dalam menangani lahan kritis sejauh ini hanya memfokuskan pada penanaman kembali vegetasi pada areal bekas HPH, bekas tambang atau bukit-bukit gundul, tanpa mempedulikan pengaruhnya kepada keanekaragaman hayati dan genetiknya. Keragaman fauna terutama amfibia di lahan kritis sudah dipastikan paling rendah (Gardner, 2001), sehingga keragaman genetik amfibia diperkirakan rendah juga; dan yang sudah pasti tidak akan dijumpai jenis-jenis asli penghuni hutan, baik hutan primer maupun hutan sekunder (Inger dan Lian, 1996). Studi yang mengupas masalah keanekaragaman amfibia umumnya hanya dilakukan pada habitat berupa hutan primer dan hutan terganggu oleh aktivitas manusia. Kali ini penelitian yang mendalam mengenai bagaimana suksesi dari perubahan habitat dan pengaruhnya kepada keragaman jenis dan genetik amfibia akan dilakukan. Dengan semakin berkembangnya teknik-teknik molekular mejadi semakin mudahnya dilakukan penelitian di tingkat molekuler untuk mengkaji keragaman genetik amfibia. Di kawasan hutan Buatan seperti Ecology Park, diharapkan bahwa semakin meningkatnya kualitas ekosistem di kawasan tersebut, akan semakin meningkatkan keragaman jenis fauna khususnya amfibia. Peningkatan populasi dapat juga berakibat meningkatnya sumber daya dan keragaman genetik amfibia, yang selanjutnya bisa meningkatkan tingkat heterogenitas di kalangan populasi amfibia. 2. Permasalahan Informasi tentang keragaman genetik amfibia di dalam dan antar jenis akan dikaji. Dalam mempelajari keragaman genetik, gen atau fragmen DNA dari mitokhondria sudah banyak digunakan pada banyak jenis fauna. Karena, DNA mitokhondria sudah membuktikan dan diyakini oleh banyak peneliti dapat digunakan sebagai penanda molekuler yang dapat membedakan keragaman genetik, baik pada tingkat individu, populasi, maupun pada level taxonomi yang lebih tinggi pada hewan. Seperti dikatakan oleh Kocher et al. (1989), bahwa DNA mitokondria merupakan suatu material yang sangat baik sebagai penanda DNA setelah diketahui memiliki kecepatan evolusi yang tinggi dan memiliki nilai untuk memahami genetic diversity, proses evolusi, dan hubungan antar individu, populasi, dan jenis satwa. DNA mitokondria terdiri dari beberapa fragmen; diantaranya daerah control region dan ND4. Maka pada penelitian ini salah satu fragmen DNA tersebut akan diamplifikasi dan dianalisa. Lahan kritis yang sekarang dibuat sebagai Ecology Park di areal LIPI-Cibinong merupakan lokasi penelitian yang sangat ideal untuk mempelajari proses suksesi tersebut, karena pada kondisi saat ini (tahun 2009) areal tersebut merupakan lahan kritis yang akan dihijaukan kembali secara bertahap. Proses perubahan bertahap dari lahan kritis kepada hutan buatan dipastikan akan berpengaruh langsung terhadap keragaman jenis dan genetik amfibia di areal tersebut. 3. Tujuan dan Sasaran a. Melakukan monitoring yang berkelanjutan selama 8 bulan terhadap keragaman jenis amfibia dan dinamika populasinya di ekosistem buatan Ecology Park, kampus LIPI Cibinong. b. Mendapatkan keragaman genetik pada jenis-jenis amfibia yang mampu beradapatasi terhadap dinamika lingkungan di ekosistem buatan. 8

9 4. Hipotesa Ekosistem buatan manusia seperti areal Ecology Park merupakan lahan kritis yang umum terdapat di Indonesia. Keragaman jenis kodok di lahan seperti itu sudah pasti sedikit dan kemungkinan besar keragaman genetiknyapun kecil. Untuk membuktikan hipotesa ini maka dilakukan uji keragaman genetik melalui analisis DNA untuk melihat bagaimana keragaman haplotype dari jenis-jenis kodok yang ada di Ecology Park. B. METODOLOGI 1. Keragaman jenis Metode yang akan dipakai dalam keragaman jenis reptilia adalah dengan cara : -Penyinaran lampu: Metode ini digunakan untuk menangkap kodok di malam hari. Dengan menggunakan lampu senter 6 baterai, kodok yang dijumpai disorotkan lampu pada matanya, sehingga kodok tersebut menjadi silau; dalam kondisi silau kodok akan menjadi buta sementara, sehingga akan mudah ditangkap. 2. Kelimpahan jenis amfibia Metode ini mengikuti Jaeger (1994), yaitu dengan menghitung jumlah individu kodok untuk jenis-jenis yang dijumpai disepanjang tepi perairan yang disurvai. Untuk menentukan derajat kelimpahan mengikuti cara Budden (2000), yaitu : a. Berlimpah: apabila jumlah individu jenis yang dijumpai lebih dari 30 ekor/hari b. Banyak: apabila jumlah individu jenis yang dijumpai antara ekor/hari. c. Cukup banyak: apabila jumlah individu jenis yang dijumpai lebih dari 10 ekor/hari dalam sebagian besar jumlah hari pengamatan. d. Jarang: apabila jumlah individu jenis yang dijumpai lebih dari 5 ekor/hari dalam beberapa hari pengamatan. e. Langka: apabila jumlah individu jenis yang dijumpai hanya 1 ekor sepanjang waktu pengamatan. 3. Data lingkungan Data lingkungan yang dicatat adalah kelembaban udara, temperatur udara, temperatur air dan kondisi bulan (purnama, sabit atau gelap bulan) pada setiap waktu pengamatan. Data ini dipakai untuk melengkapi data ekologi jenis kodok yang ditemukan. 4. Tipe habitat, kelimpahan dan pengaruh lingkungan Metode yang digunakan untuk mengetahui pengaruh habitat dengan kelimpahan jenis kodok terhadap lingkungan adalah metode transek. Transek yang digunakan sepanjang 100 meter yang direntang di salah satu sisi danau yang mempunyai tipe habitat yang beragam. Dari 100 meter panjang transek dibagi menjadi 10 bagian yang masing-masing bagian panjangnya 10 meter. Setiap 10 meter dicatat tipe habitat, jenis kodok yang dijumpai dan jumlahnya. Lembaran pengambilan data tersebut dapat dilihat pada Lampiran Keragaman genetik 5.1. Kegiatan lapangan Penelitian keragaman genetik amfibia kodok hanya difokuskan pada satu jenis kodok dari marga Rana, yaitu Rana nicobariensis. Alasannya, kodok ini merupakan satu dari jenis kodok yang mendominasi di area "Ecologi Park" Cibinong dan belum pernah dikaji keragaman genetiknya dari hasil sekuen Mt-DNA D-loop. Daerah non-coding yang biasa disebut Control Region atau D-loop mengandung sinyal untuk replikasi dan transkripsi DNA (Wolstenholme, 1992). D-loop di dalam 9

10 mtdna merupakan bagian yang memiliki kecepatan evolusi tinggi (Brown, 1985), juga memilki fragmen pendek yang konservatif (Clayton, 1992). Jumlah individu R. nicobariensis dari"ecology Park" yang dipakai dalam studi ini berjumlah 11 individu. Diilakukan 5 kali survey, penangkapan dan pengambilan material genetik, berupa jaringan tubuh liver dari R. nicobariensis. Sebelas (11) sampel liver dari R. nicobariensis yang dikoleksi masing-masing dipreservasi di dalam ethanol abosolute (99 %) pada tabung plastik ukuran 2 ml dan disimpan dalam refrigerator Pengambilan contoh darah atau jaringan tubuh Liver (sebagai material DNA) akan diambil dari 11 individu R. nicobariensis secukupnya. Masing-masing contoh liver tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml yang telah diisi dengan ethanol absolut (90 %). Setiap contoh liver yang dikoleksi, dilengkapi dengan informasi-informasi penting yang diperlukan untuk data base, yaitu nomor contoh, nama jenis, perkiraan umur, status breeding, tanggal koleksi, nama lokasi koleksi, GPS, latitude, longitude, nama kolektor/ pemilik Kegiatan laboratorium Seluruh contoh darah amfibia yang telah dikoleksi di lapangan, disimpan di laboratorium genetika molekuler, Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi-LIPI Cibinong. Selanjutnya dilakukan ekstraksi DNA, elektroforesis dan visualisasi DNA total, amplifikasi fragmen DNA dengan PCR (Polymerase Chain Reaction), elektroforesis dan visualisasi produk PCR, purifikasi produk PCR dan sekuensing Ekstraksi DNA Prinsipnya, ekstraksi DNA dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu penghancuran sel, penghilangan protein dan RNA serta pemanenan DNA dengan menggunakan metode phenolkhloroform atau mengunakan KIT DNA Isolation. Dalam penelitian ini ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan DNA Mini QIAGEN KIT dan metode phenol chloroform. Prosedur ekstraksi yang dipakai mengikuti standar protokol yang dianjurkan QIAGEN KIT, dengan sedikit modifasi pada tahapan tertentu. DNA total yang telah diekstrak kemudian diseparasi dengan proses elektroforesis, kemudian divisualisasi dengan sinar UV dan difoto. Larutan DNA yang diperoleh disimpan dalam freezer atau refrigerator Elektroforesis dan Visualisasi DNA Proses elekstroforesis adalah proses untuk memisahkan fragmen-fregmen DNA melalui gel agarose. Proses ini dilakukan untuk memunculkan fragmen-fragmen DNA hasil ekstrasi maupun produk PCR. Selanjutnya, visualisasi DNA untuk mengetahui ada tidaknya DNA pada contoh yang diukur, dilakukan dengan Ultra Violet (UV) foto Polymerase Chain Reaction (PCR) Pada penelitian ini, proses PCR dilakukan untuk mengamplifikasi fragmen DNA target dari DNA mitikondria D-loop. Upaya amplifikasi fragmen DNA pada daerah D-loop telah dilakukan berkali-kali dengan menggunakan 2 pasang primer, yaitu: 327-L (5-CTGTCCATATCATGACTACTTG ) dan 885-H (5 -GGTCTTAGCTTGTAGAGGTC-3 ) (Zhong et al., 2008), Komponen PCR terdiri dari 10X Taq Buffer, dntps, MgCl2, DNA Taq Polimerase, sepasang primer, dan air nano-pure. Amplifikasi fragmen DNA dengan primer 327-L/885-H, dilakukan pada kondisi PCR: 96 ºC-4 menit, 30 siklus dari (94 ºC-1 menit, 50 ºC- 1 menit, 72 ºC- 1, 5 menit), 72 ºC- 7 menit. 10

11 Proses Sekuensing. Untuk membandingakn status keragaman genetika populasi R. nicobariensis, maka dilakukan juga analisis contoh jaringan untuk individu R. nicobariensis yang berasal dari Taman Nasional Gunung Halimun di Jawa Barat dan Sibolga di Sumatra Utara. Contoh jaringan dari lokasi di luar "Ecology Park" berupa liver, daging dan kulit. Jumlah total individu yang masuk proses sekuensing adalah 25 individu yang berasal dari "Ecology Park", Taman Nasional Gunung Halimun dan Sibolga Analisis data sekuen DNA Urutan basa pada daerah D-loop hasil dari proses sekuensisng, kemudian dianalisis alignment dengan menggunakan perangkat lunak ProSequen. Sedangkan untuk mengetahui variasi sekuen, haplotipe dan keragaman genetik di antara individu R. nicobariensis dikalkulasi dengan menggunakan MEGA-2 C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Lokasi penelitian Lokasi penelitian (Gambar 1) merupakan danau buatan yang terdapat di dalam areal Ecology Park, Kampus LIPI Cibinong. Danau ini terletak pada posisi GPS : S ; E Keliling dari danau buatan ini sekitar 800 meter; dengan ketinggian tempat 165 meter dari permukaan laut (dpl). Danau buatan di dalam Ecology Park merupakan lahan basah dan habitat dari beberapa jenis amfibia dari kelompok Anura atau kodok yang telah beradapatasi dengan lingkungan buatan manusia. Gambar 1. Danau buatan yang terdapat di dalam areal Ecology Park. (A) Garis merah adalah transek sepanjang 100 meter; (B) Habitat yang menjadi lokasi transek sepanjang 100 meter (Sumber peta: Google Earth). Di dalam transek sepanjang 100 meter terdapat 4 tipe habitat di bagian tepi danau yang merupakan habitat kodok, yaitu: 1.1. Rawa berumput tinggi (Gambar 2). Tipe habitat ini terdapat pada transek 2, 3,4, 7, 8, 9 dan 10. Macam rumput yang tumbuh tinggi di transek ini adalah rumput alang-alang dan rumput teki; sedangkan rumput gajah mendominasi areal terbuka. Lebar bagian tanah basah (rawa) kurang lebih 5 meter, yang diukur mulai dari tepi perairan ke arah daratan. Dalam dari rawa ini rata-rata 30 cm. Jenis kodok yang dominan di tipe habitat ini adalah Rana erythraea dan R. nicobariensis. 11

12 Gambar 2. (A) Habitat rawa berumput tinggi; (B) Penampang melintang habitat rawa berumput tinggi Tanah rawa berumput (Gambar 3). Tipe habitat ini ada pada transek 1, 5 dan 6. Tipe habitat ini hanya sebagian kecil terdapat di dalam tiga transek tersebut. Rumput yang dominan adalah rumput gajah yang tumbuh di atas rawa. Keragaman jenis dan jumlahnya paling kecil di tipe habitat ini, tapi yang kerap dijumpai adalah kodok jenis R. erythraea. Gambar 3. (A) Habitat tanah rawa berumput; (B) Penampang melintang habitat tanah basah berumput Perairan dengan tanaman air (Gambar 4). Tipe habitat ini ada pada transek 6 dan 7. Di bagian daratan dari tipe habitat ini sama dengan tipe habitat tanah rawa berumput, hanya pada bagian perairan ditumbuhi tanaman air seperti Hydrilla yang tumbuh di dalam air dan teratai yang mengapung di permukaan air. Jenis kodok yang kerap dijumpai berada di atas tanaman air tersebut adalah R. erythraea. Gambar 4. (A) Habitat perairan dengan tanaman air; (B) Penampang melintang habitat perairan yang ditumbuhi tanaman air Perairan tepi berlumpur (Gambar 5). Tipe habitat ini ada pada transek 7 dan 8. Tipe habitat ini sama dengan tanah rawa berumput, hanya pada bagian tepi perairan terdapat bagian berair yang dangkal dengan dasarnya berupa lumpur halus. Jenis kodok yang kerap dijumpai di bagian berlumpur ini adalah Occidozyga lima. 12

13 Gambar 5. (A) Habitat perairan dengan tepi berlumpur; (B) Penampang melintang habitat perairan dengan tepi berlumpur. 2. Keragaman jenis kodok Didapatkan 11 jenis amfibia untuk kelompok kodok yang terdiri dari 4 famili atau suku, yaitu suku Bufonidae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae. Suku Bufonidae terdiri dari 2 jenis, yaitu Bufo biporcatus dan B. melanostictus. Untuk suku Microhylidae terdiri dari 2 jenis, yaitu Kaloula baleata dan Microhyla achatina. Suku Ranidae terdiri dari 6 jenis, yaitu Fejervarya cancrivora, F. limnocharis, Rana chalconota, R. erythraea, R. nicobariensis dan Occidozyga lima. Dari suku Rhacophoridae hanya terdiri dari 1 jenis, yaitu Polypedates leucomystax. Jenis-jenis kodok yang dijumpai melimpah adalah R. erythraea dan R. nicobariensis; tetapi jenis R. erythraea adalah jenis yang paling melimpah. Uraian dari 11 jenis yang dijumpai beserta kelimpahannya adalah sebagai berikut: 2.1. Suku Bufonidae a. Bufo biporcatus (Gambar 6). Jenis kodok ini di lokasi Ecology Park jumlahnya tidak banyak. Jenis ini bersifat semiakuatik. Pemilihan habitat di dalam transek, jenis ini kerap dijumpai pada tipe habitat perairan dengan tanaman air (Gambar 4). Dari hasil monitoring, B. biporcatus pada waktu bulan purnama dan kelembaban udara rendah (63%), dewasanya kerap dijumpai di bagian tanah basah; sedangkan pada waktu tidak ada sinar bulan dan kelembaban udara tinggi (94%), dewasanya lebih memilih bagian perairan yang terdapat banyak tumbuhan air, sedangkan anakannya lebih sering dijumpai di bagian tepi danau yang berumput. Gambar 6. Bufo biporcatus. 13

14 b. Bufo melanostictus (Gambar 7). Jenis kodok ini di lokasi sekitar danau tidak banyak dijumpai. Jenis ini termasuk bersifat terrestrial, lebih menyukai daerah yang lebih kering. Pemilihan habitat di dalam transek, B. melanostictus kerap dijumpai di tipe habitat tanah basah berumput (Gambar 3). Dewasanya lebih sering dijumpai di daerah tanah kering berumput yang berada sekitar 10 meter dari batas perairan danau; sedangkan anakannya kerap dijumpai di habitat tanah basah berumput di dalam transek. Gambar 7. Bufo melanostictus Suku Microhylidae a. Kaloula baleata (Gambar 8). Jenis kodok ini bersifat akuatik penuh, jarang sekali dijumpai keluar dari perairan. Pada areal Ecology Park di lokasi sekitar danau kodok ini tidak banyak dijumpai. Habitat yang disukainya adalah perairan tenang sedikit tanaman air dengan kedalaman sekitar 40 cm dan dasar perairan berupa lumpur; tipe habitat ini berada disekitar jembatan yang melintasi danau. Di dalam transek jenis ini dijumpai pada subtransek 3 sebanyak satu individu. Pada subtransek 3, kodok ini berada di atas tanaman rumput yang tumbuh di tepi perairan, sekitar 30 cm di atas air. Keberadaan K. baleata paling mudah diketahui setelah hujan deras; jantan kodok ini mengelurkan suara yang khas dan sangat keras. Gambar 8. Kaloula baleata. b. Microhyla achatina (Gambar 9). Jenis kodok ini di sekitar danau tidak banyak dijumpai. Jenis ini bersifat semi-akuatik. Habitat yang disukainya adalah perairan dangkal yang banyak ditumbuhi rumput-rumputan rendah. Di dalam transek jenis ini tidak dijumpai. Di lokasi danau, M. achatina dijumpai di bagian utara 14

15 jembatan kayu di mana tumbuh rumputan pendek. Umumnya jantan akan mengelurkan suara setelah hujan; suara yang dikelurkan mirip dengan suara jangkrik. Gambar 9. Microhyla achatina Suku Ranidae a. Fejervarya cancrivora (Gambar 10). Jenis kodok ini di lokasi Ecology Park dijumpai di dalam periran danau yang banyak terdapat tanaman air (Gambar 4). Jenis ini bersifat semi-akuatik. Di dalam transek, F. cancrivora dijumpai hanya satu individu di subtransek 7. Berdasarkan pengamatan dari jumlah suara khas yang dikeluarkan individu jantan, jumlah kodok ini di dalam danau tidak banyak. Kodok ini dikenal dengan Kodok Sawah dan dagingnya umum dikonsumsi manusia. Gambar 10. Fejervarya cancrivora. b. Fejervarya limnocharis (Gambar 11). Jenis kodok ini dijumpai cukup banyak di areal Ecology Park. Jenis ini bersifat semi-akuatik. Di areal danau jenis ini dijumpai pada tipe habitat yang sama dengan jenis F. cancrivora, yaitu perairan yang terdapat tanaman air (Gambar 4). Di dalam transek, F. limnocharis dijumpai satu individu pada subtransek 6; di danau jenis ini menempati habitat sekitar 10 meter dari batas perairan ke arah dalam danau di mana terdapat tanaman teratai dan gulma air. Keberadaan kodok ini dicirikan dari suara khas yang dikeluarkan individu jantan. Kadangkala kodok ini dijumpai berada di areal daratan tidak jauh dari perairan, tapi selama pengamatan jenis ini belum dijumpai berada di daratan. Jenis ini juga termasuk umum dikonsumsi manusia. 15

16 Gambar 11. Fejervarya limnocharis. c. Rana chalconota (Gambar 12). Jenis kodok ini di areal Ecology Park terutama di sekitar danau dijumpai tidak banyak. Jenis ini bersifat semi-akuatik. Di dalam transek kodok ini menempati habitat rawa berumput tinggi (Gambar 2). Pada habitat ini, R. chalconota kerap dijumpai pada bagian tepi perairan, duduk di atas daun-daun rumputan sekitar 10 cm di atas permukaan air. Kadang-kadang jenis ini dijumpai pada areal daratan sekitar 1 meter dari tepi perairan. Gambar 12. Rana chalconota. d. Rana erythraea (Gambar 13). Jenis kodok ini paling banyak dijumpai dan hampir mendominasi seluruh tipe habitat yang terdapat di danau. Jenis ini bersifat semi-akuatik. Di dalam transek, ke 4 tipe habitat kerap dijumpai R. erythraea; tipe habitat yang paling disukainya adalah habitat rawa berumput tinggi (Gambar 2). Jenis ini dijumpai paling jauh 5 meter ke arah darat dari tepi perairan dan 2 meter dari tepi perairan ke arah air di mana terdapat tanaman air, seperti teratai dan gulma air. 16

17 Gambar 13. Rana erythraea. e. Rana nicobariensis (Gambar 14). Jenis kodok ini di areal Ecology Park jumlahnya banyak dijumpai. Jenis ini bersifat semiakuatik. Di dalam transek, jenis ini menempati habitat rawa berumput tinggi (Gambar 2). Kodok ini menyukai tanaman rumput alang-alang yang tumbuh tinggi sebagai tempat bersembunyi di sela-sela batang rumput alang-alang tersebut. Dari dalam rumpun alang-alang, individu jantan bersuara keras bersaut-sautan dengan individu jantan lainnya. Ketinggian maksimum di mana jenis ini berada di antara batang tanaman rumput adalah 50 cm dari permukaan tanah. R. nicobariensis jarang sekali ditemukan pada areal daratan terbuka ataupun di atas perairan terbuka. Gambar 14. Rana nicobariensis. f. Occidozyga lima (Gambar 15). Jenis kodok ini di lokasi sekitar danau tidak banyak dijumpai. Jenis ini bersifat akuatik penuh, jarang sekali dijumpai berada di luar perairan. Di dalam transek, jenis ini dijumpai pada tipe habitat perairan dengan bagian tepi berlumpur (Gambar 5). Kebiasaan O. lima pada habitat yang disukainya adalah berdiam diri dengan memendamkan badannya ke dalam air, hanya matanya berada di permukaan air. Pada transek jenis ini selalu tetap berada pada habitatnya, tidak dijumpai berpindahpindah pada lokasi lain. 17

18 Gambar 15. Occidozyga lima Suku Rhacophoridae a. Polypedates leucomystax (Gambar 16). Jenis kodok ini termasuk kelompok kodok pohon. Jenis ini bersifat arboreal, yaitu berdiam pada pohon, tetapi tetap tidak jauh dari perairan. Di dalam transek jenis ini dijumpai pada bagian transek yang dekat dengan pohon kayu yang tumbuh sekitar 10 meter dari tepi perairan. Pada transek, P. leucomystax dijumpai hanya individu betina. Mereka dijumpai pada habitat rawa berumput tinggi (Gambar 2) dan tanah rawa berumput (Gambar 3). Pada rawa berumput tinggi, individu betina dijumpai berada di sela-sela rumput alang-alang pada ketinggian 40 cm dari permukaan tanah; sedangkan di tanah rawa, individu betina dijumpai di atas rumput pendek. Gambar 16. Polypedates leucomystax. 3. Keragaman genetik populasi kodok jenis terpilih (Rana nicobariensis) Hasil survey menyebutkan bahwa di Ecologi Park Cibinong, terdapat 11 jenis kodok. Penelitian keragaman genetik ini hanya difokuskan pada satu jenis kodok dari marga Rana, yaitu Rana nicobariensis. Alasannya, kodok ini merupakan satu dari jenis kodok yang mendominasi di area Ecology Park, Cibinong. Maka pada tahap ini telah dilakukan 3 kali survey, penangkapan dan pengambilan material genetik, berupa jaringan tubuh liver dari R. nicobariensis dari polpulasi di Ecology Park, dan diperoleh sebanyak 11 sampel jaringan liver dari R. nicobariensis. Keragaman genetik R. nicobariensis di Ecology Park, akan dibandingkan dengan keragaman genetik populasi dari Taman Nasional Gunung Halimun di Jawa Barat dan Sibolga di Sumatra Utara. Konsentrasi DNA dari tiap individu R. nicobariensis, dapat dilihat dari foto yang ditampilkan dalam Gambar 17. Beberapa contoh sangat sedikit konsentrasi DNA-nya. Kemungkinannya adalah 18

19 contoh liver sangat kecil atau contoh dalam bentuk jaringan kulit atau daging sudah tersimpan terlalu lama di dalam bahan pengawet ethanol Gambar 17. Hasil ekstraksi yang menggambarkan kualitas dan kuantitas DNA dari tiap-tiap individu R. nicobariensis. Angka 1-13 adalah nomor DNA individu-individu contoh. M M 750 bp 500 bp 250 bp Gambar 18. Fragmen DNA yang diamplifikasi melalui proses PCR dengan menggunakan primer DNA 327-L dan 885-H pada beberapa individu R. nicobariensis. Huruf M adalah marka DNA, angka 1-9 adalah individu-individu kodok. Amplifikasi fragmen D-loop dengan menggunakan sepasang primer 327-L dan 885-H tidak mudah dilakukan dan hasil amplifikasinya tidak stabil. Namun demikian pada beberapa individu, D- loop dapat diampliikasi dan menghasilkan fragmen DNA sekitar 700-bp (Gambar 18), sementara pada beberapa individu lain hasil amplifikasi fragmennya pada posisi sekitar 600-bp (gambar tidak ditujukan di sini). Penggunaan primer-primer ini tampaknya kurang bagus untuk mengamplifikasi daerah D-loop pada R. nicobariensis. Pada awalnya, primer ini dipilih karena pada publikasi sebelumnya (Zhong Jing et al., 2008) fragmen D-loop yang dihasilkan menunjukkan adanya variasi sekuen DNA yang tinggi diantara individu-individu maupun populasi pada jenis Fejervarya multistriata. Tahap selanjutnya untuk mendapatkan primer yang tepat yang mengamplifikasi fragmen D-loop pada R. nicobariensis diperlukan rekonstruksi primer khusus dengan memodifikasi urutan basa 19

20 primer yang dipakai untuk jenis F. multistriata, sehingga bisa mengamplifikasi fragmen D-loop R. nicobariensis dengan mudah. Proses sekuensing dari tiap fragmen DNA D-loop pada R. nicobariensis tidak menghasilkan data sekuen yang jelas pada semua produk PCR yang dianalisis, sehingga pada proses analisis data selanjutnya, tidak semua individu dianalisis data sekuennya. Dari proses analisis data sekuen yang didapat pada 20 individu R. nicobariensis, hanya sekitar 397-bp yang dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui variasi, jumlah haplotipe, dan keragaman genetiknya. Haplotipe yang didapatkan dari analisis sekuen 17 individu R. nicobariensis yang berasal dari "Ecology Park", Taman Nasional Gunung Halimun dan Sibolga dapat dilihat pada Tabel 1. Dari 10 individu yang berasal dari "Ecology Park" didapatkan 6 haplotipe (Hap-1R sampai Hap-6R), sedangkan dari 4 individu dari Taman Nasional Gunung Halimun dan 3 individu dari Sibolga didapatkan masing-masing 4 haplotipe (Hap-7R sampai Hap-10R) dan 3 haplotipe (Hap-11R sampai Hap-13R). Dari hasil ini mendindikasikan keragaman genetika populasi kodok R. nicobariensis yang berasal dari "Ecology Park" sangat tinggi; data ini didukung pula dari populasi Taman Nasional Gunung Halimun dan Sibolga yang mengindikasikan keragaman genetika populasi yang tinggi berdasarkan didapatkannya 4 haplotipe dari 4 individu asal Taman Nasional Gunung Halimun dan 3 haplotipe dari 3 individu asal Sibolga. Tabel 1. Haplotipe dari 17 individu R. nicobariensis pada 3 lokasi berbeda, yaitu "Ecology Park" (EPn), Taman Nasional Gunung Halimun (Hal) dan Sibolga (Sib). No. Kode contoh jaringan Posisi basa nukleotida Kode haplotype (Hap) EPn1 EPn2 EPn3 EPn4 EPn5 EPn7 EPn8 EPn11 EPn12 EPn6 Hal5 Hal2 Hal3 Hal7 Sib2 Sib4 Sib6 A A G C A T T C T A A C A G C C... T T.... T T.... T... T T.... T T.... T.. C T A T... T.... C. T... A T.. C T T... A T.. C T T... A T T.... T G.. T C. C G T G.. T.. C G.. T. G A. T G C. T.. C G.. T. G.. T G C. T.. C... T T G.. T G. C T C A.. C T T T.. A. G C C T. A.. C T T T.. A T G C C T. A.. C T T T... T Hap-1R Hap-2R Hap-3R Hap-2R Hap-3R Hap-4R Hap-5R Hap-6R Hap-6R Hap-3R Hap-7R Hap-8R Hap-9R Hap-10R Hap-11R Hap-12R Hap-13R Hasil rekontruksi pohon filogeni dengan mengunakan neiborg joining (Gambar 19) memperlihatkan tiga kelompok atau cluster populasi R. nicobariensis yang berasal dari tiga lokasi, yaitu "Ecology Park", Taman Nasional Gunung Halimun di Jawa Barat dan Sibolga di Sumatra Utara. Populasi dari "Ecology Park" sangat dekat dengan populasi dari Taman Nasional Gunung Halimun yang memang terdapat dalam satu regional, yaitu regional Jawa Barat; sedangkan populasi dari Sibolga terpisah jauh dengan kelompok populasi yang terdapat di regional Jawa Barat. 20

21 49 61 R.nicobariensis-EPn5 R.nicobariensis-EPn6 R.nicobariensis-EPn R.nicobariensis-EPn1 R.nicobariensis-EPn2 R.nicobariensis-EPn4 "Ecology Park" R.nicobariensis-EP R.nicobariensis-EPn R.nicobariensis-EPn11 R.nicobariensis-EPn7 R.nicobariensis-Hal R.nicobariensis-Hal7 R.nicobariensis-hal2 Taman Nasional Gunung Halimun 63 R.nicobariensis-Hal R.nicobariensis-Sib2 R.nicobariensis-Sib4 R.nicobariensis-Sib6 Sibolga 100 AY612276RanaD-loop AY612275RanaD-loop Out Groups 0.01 Gambar 19. Pohon filogeni dengan menggunakan neigborg-joining berdasarkan panjang basa 397 bp dari MtDNA D-loop jenis R. nicobariensis. Angka pada pohon adalah nilai analisis boostrap dari 1000 ulangan. 4. Monitoring Monitoring keragaman jenis dan jumlahnya di dalam transek sepanjang 100 meter dilakukan sebulan 3 kali, mulai dari bulan Juli-November Setiap monitoring, selalu dilakukan pengambilan data temperatur udara, temperatur air, kelembaban udara dan kondisi bulan dan cuaca. Lembar data dari monitoring dapat dilihat pada Lampiran 1. Kondisi habitat setiap 10 meter panjang subtransek transek cukup beragam; gambaran habitat setiap transek adalah sebagai berikut dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19 dibawah ini: Gambar 20. Tipe habitat dalam lokasi subtransek

22 Gambar 21. Tipe habitat dalam lokasi subtransek Subtransek transek 1 : habitat didominasi rumput Axonopus compressus. -Subtransek transek 2-5 : habitat didominasi rumput A. compressus, Leersia hexandra dan Eleocharis dulcis. -Subtransek transek 6-8 : habitat didominasi rumput A. compressus dan tanaman Ludwigia adscendens. Tanaman air yang mendominasi adalah Hydrilla verticillata. -Subtransek transek 9 : habitat didominasi oleh A. compressus dan Oryza rufipogon. -Subtransek transek 10 : habitat merupakan papan kayu yang disekitarnya ditumbuhi rumput A. compressus. Hasil monitoring dinamika populasi kodok yang terdapat dalam areal transek adalah sebagai berikut : 1. Grafik monitoring tanggal 9 Juli 2009 GPS : S ; E Temperatur udara: 27,5 0 C; temperatur air: 26,7 0 C; kelembaban udara: 63%; kondisi bulan: purnama; cuaca: langit berawan. Lima jenis kodok dijumpai pada 100 meter panjang transek. Jenis Rana erythraea selalu ditemukan di 10 subtransek; terlihat paling tinggi jumlahnya pada subtransek 2, sedangkan paling sedikit pada subtransek 7. Tiga jenis kodok didapatkan pada subtransek 8. Jenis R. nicobariensis jumlahnya paling banyak pada subtransek 9. Kondisi terang bulan penuh jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo melanostictus Bufo biporcatus 22

23 2. Grafik monitoring tanggal 16 Juli 2009 Temperatur udara: 26,5 0 C; temperatur air: 26,0 0 C; kelembaban udara: 72%; kondisi bulan: gelap; cuaca: langit cerah. Enam jenis kodok dijumpai pada 100 meter panjang transek. Tambahan jenis yang dijumpai adalah P. leucomystax. Jumlah R. erythraea paling banyak pada subtransek 2 dan 3; sedangkan nol pada subtransek 6. Jumlah R. nicobariensis paling banyak pada subtransek 2, kemudian menyebar merata pada subtransek Jenis O. lima banyak dijumpai hanya pada subtransek 7 dan tidak dijumpai pada subtransek lain. Kondisi gelap bulan jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo melanostictus Bufo biporcatus Polypedates leucomystax 3. Grafik monitoring tanggal 23 Juli 2009 Temperatur udara: 26,4 0 C; temperatur air: 26,1 0 C; kelembaban udara: 94%; kondisi bulan: gelap, tertutup awan; cuaca: setelah hujan deras, langit berawan. Tujuh jenis kodok telah dijumpai pada 100 meter panjang transek selama tiga kali monitoring. Tambahan jenis yang dijumpai adalah R. chalconota. Jumlah jenis pada monitoring saat ini adalah enam; jenis P. leucomystax tidak dijumpai. Lima jenis dijumpai pada subtransek 2-4. Pada subtransek 7 dijumpai hanya 2 jenis kodok dan jumlahnya paling kecil dibandingkan subtransek lainnya. Jenis O. lima dijumpai lebih menyebar, yaitu pada subtransek 6-8. Pada subtransek 1 hanya dijumpai jenis R. erythraea. 23

24 Kondisi setelah hujan, langit berawan, gelap bulan jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo melanostictus Bufo biporcatus Rana chalconota 4. Grafik monitoring tanggal 6 Agustus 2009 Temperatur udara: 27,3 0 C; temperatur air: 28,8 0 C; kelembaban udara: 73%; kondisi bulan: purnama, langit tertutup awan; gulma air diangkut ke luar dari dalam danau. Tujuh jenis kodok dijumpai pada 100 meter panjang transek selama empat kali monitoring. Jumlah jenis pada monitoring saat ini adalah empat; jenis P. leucomystax, R. chalconota dan B. melanostictus tidak dijumpai. Terjadi perubahan mikrohabitat pada transek, yaitu gulma air diangkut ke luar dari dalam air dan diletakkan disepanjang transek. Jenis R. erythraea dijumpai menyebar hamper merata pada subtransek 1-6 dan nol pada transek 7. Jenis O. lima hanya dijumpai pada subtransek 6; pada subtransek ini dijumpai 3 jenis; sedangkan pada subtransek 9 hanya 2 jenis. Gulma air dibersihkan dari danau, langit berawan, purnama jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo biporcatus 5. Grafik monitoring tanggal 13 Agustus 2009 Temperatur udara: 27,7 0 C; temperatur air: 28,2 0 C; kelembaban udara: 77%; kondisi bulan: gelap, langit tertutup awan; gulma air diangkut ke luar dari dalam danau; rumput dipangkas dibagian selatan danau; angin bertiup cukup kuat. 24

25 Tujuh jenis kodok dijumpai pada 100 meter panjang transek selama lima kali monitoring. Jumlah jenis pada monitoring saat ini adalah tujuh. Terjadi gangguan pada habitat di dekat transek, yaitu rumput jenis Axonopus compressus dipangkas. Di sini terlihat jumlah R. erythraea bertambah banyak, terutama pada subtransek 1-5. Jenis O. lima menyebar mulai dari subtransek 3-6 dan didapatkan jenis R. chalconota menyebar pada subtransek 2, 4, dan 6. Lima jenis kodok dijumpai pada subtransek 3 dan 6; sedangkan pada subtransek 7 dan 10 hanya dijumpai satu jenis saja. Rumput dipangkas bagian selatan danau, langit berawan, bulan gelap, angin cukup kencang jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo melanostictus Bufo biporcatus Polypedates leucomystax Rana chalconota 6. Grafik monitoring tanggal 20 Agustus 2009 Temperatur udara: 27,8 0 C; temperatur air: 28,4 0 C; kelembaban udara: 68%; kondisi bulan: gelap, langit tertutup awan; rumput dipangkas dibagian daratan areal transek. Tujuh jenis kodok dijumpai sepanjang 100 meter panjang transek selama enam kali monitoring. Jumlah jenis yang dijumpai pada saat ini adalah tujuh. Terjadi perubahan mikrohabitat pada transek, yaitu rumput jenis A. compressus yang terdapat di dalam areal transek dipangkas. Pada subtransek 6 dijumpai 6 jenis kodok, kemudian pada subtransek 7 yang biasanya sedikit sekali dijumpai jenis kodok, pada saat ini didapatkan 3 jenis. Terlihat jenis menyebar hampir merata pada hampir semua tipe mikrohabitat di subtransek 1-8. Jenis O. lima juga terlihat menyebar lebih luas, yaitu pada subtransek 1-8. Jenis R. erythraea didapatkan pada semua subtransek; begitu pula pada jenis R. nicobariensis didapatkan menyebar hampir merata pada setiap subtransek, kecuali subtransek 7. Bulan gelap, langit berawan, bagian daratan transek rumput dipangkas jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo melanostictus Bufo biporcatus Polypedates leucomystax Rana chalconota 25

26 7. Grafik monitoring tanggal 3 September 2009 Temperatur udara: 27,3 0 C; temperatur air: 29,3 0 C; kelembaban udara: 73%; kondisi bulan: purnama, langit cerah; rumput tinggi pada transek 3 dipangkas sebagian. Delapan jenis kodok dijumpai pada 100 meter panjang transek selama tujuh kali monitoring. Tambahan jenis adalah Fejervarya limnocharis. Jumlah jenis pada monitoring saat ini adalah tujuh; jenis B. melanostictus tidak dijumpai. F. limnocharis dijumpai hanya satu individu di subtransek 6. Perubahan mikrohabitat yang terjadi adalah sebagian rumput jenis Leersia hexandra dan Eleocharis dulcis yang terdapat di subtransek 3 dipangkas. Terlihat di sini jumlah R. erythraea di subtransek 3 menurun. Jumlah jenis maksimum yang dijumpai hanya 4, yaitu pada subtransek 3, 4 dan 6; sedangkan pada subtransek 5 dan 7 hanya dijumpai satu jenis. Bulan purnama, langit cerah, rumput tinggi di transek 3 dipangkas sebagian jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo biporcatus Polypedates leucomystax Rana chalconota Fejervarya limnocharis 8. Grafik monitoring tanggal 10 September 2009 Temperatur udara: 25,8 0 C; temperatur air: 28,0 0 C; kelembaban udara: 90%; kondisi bulan: gelap, langit berawan; sehabis hujan. Sembilan jenis kodok dijumpai pada 100 meter panjang transek selama delapan kali monitoring. Tambahan jenis adalah F. cancrivora yang dijumpai pada subtransek 7. Hasil monitoring pada saat ini dijumpai enam jenis; jenis P. leucomystax, F. limnocharis dan B. melanostictus. Jumlah jenis terbanyak dijumpai hanya pada subtransek 2, yaitu tiga jenis. Pada subtransek 9 dan 10 yang biasanya sedikit dihuni sedikit jenis, tetapi pada saat ini dijumpai tiga jenis. Jumlah R. erythraea tetap paling banyak pada subtransek 2, 3 dan 4; dan hampir merata pada subtransek 1, 5, 8, 9 dan 10. Jenis R. nicobariensis dijumpai cukup menyebar pada sebagian besar subtransek, kecuali subtransek 6, 7 dan 8. 26

27 Bulan gelap, langit berawan, sehabis hujan jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo biporcatus Rana chalconota Fejervarya cancrivora 9. Grafik monitoring tanggal 24 September 2009 Temperatur udara: 24,7 0 C; temperatur air: 27,8 0 C; kelembaban udara: 96%; kondisi bulan: gelap, langit berawan; sehabis hujan; saat monitoring gerimis; rumput tinggi di subtransek 2, 3 bagian atas rumput tinggi dipangkas; di subtransek 3, 20% rumput tinggi dipangkas habis. Sembilan jenis kodok dijumpai pada 100 meter panjang transek selama sembilan kali monitoring. Jumlah jenis yang dijumpai pada monitoring saat ini adalah lima; jenis P. leucomystax, F. limnocharis, F. cancrivora dan B. melanostictus tidak dijumpai. Terjadi perubahan mikrohabitat pada subtransek 2 dan 3; bagian atas A. Compressus dan Leersia hexandra dipangkas, sedangkan 20% A. Compressus dan Leersia hexandra dipangkas habis pada subtransek 3. Jumlah jenis terbanyak pada subtransek 2. Jumlah individu R. erythraea meningkat tajam pada subtransek 8 dan 9; sedangkan penyebaran O. lima pada subtransek 6 meningkat. Bulan gelap, langit berawan, sehabis hujan deras, kondisi gerimis, rumput tinggi dipangkas jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo biporcatus Rana chalconota 27

28 10. Grafik monitoring tanggal 15 Oktober 2009 Temperatur udara: 25,3 0 C; temperatur air: 26,8 0 C; kelembaban udara: 90%; kondisi bulan: gelap, langit berawan; sehabis hujan deras; saat monitoring gerimis; rumput yang dipangkas mulai tumbuh; tumbuh rumput baru sekitar 5 meter ke arah daratan di sepanjang transek; air naik sampai sekitar 5 meter ke arah daratan. Sepuluh jenis kodok dijumpai pada 100 meter panjang transek selama sepuluh kali monitoring. Jenis tambahan yang dijumpai adalah Kaloula baleata. Jumlah jenis yang dijumpai pada monitoring saat ini adalah enam; jenis tidak dijumpai adalah P. leucomystax, F. limnocharis dan F. cancrivora. Terjadi perubahan mikrohabitat pada subtransek 2 dan 3; A. compressus dan Leersia hexandra dipangkas mulai tumbuh. Tumbuh rumput tinggi pada pagian daratan sekitar 5 meter ke arah daratan, jenis ini didominasi oleh L. hexandra. Tanaman Ludwigia adscendens tumbuh rapat pada subtransek 8 dan 7. Terjadi banjir pada seluruh jalur transek, air masuk ke arah daratan sekitar 5 meter. Jumlah jenis terbanyak pada subtransek 2, 7 dan 8 dikarenakan tanaman L. adscendens tumbuh subur. Jumlah individu R. erythraea rata-rata menurun tajam pada subtransek 2, 3 dan 4. Penyebaran O. lima sampai 1 meter ke arah daratan yang disebabkan banjir. Bulan gelap, langit berawan, sehabis hujan deras, kondisi gerimis, air naik sampai 5 meter ke arah daratan, rumput mulai tumbuh jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo melanostictus Bufo biporcatus Rana chalconota Kaloula baleata 11. Grafik monitoring tanggal 29 Oktober 2009 Temperatur udara: 26,6 0 C; temperatur air: 29,3 0 C; kelembaban udara: 84%; kondisi bulan: separuh purnama, langit cerah; rumput dipangkas sekitar 5 meter ke arah daratan di sepanjang transek; air naik sampai sekitar 5 meter ke arah daratan. Sepuluh jenis kodok dijumpai pada 100 meter panjang transek selama sebelas kali monitoring. Jumlah jenis yang dijumpai pada monitoring saat ini adalah enam; jenis tidak dijumpai adalah Rana chalconota, P. leucomystax, F. limnocharis dan Kaloula baleata. Terjadi perubahan mikrohabitat pada subtransek 1-10, rumput A. compressus dipangkas pada sekitar 5 meter dari batas air. Tanaman Ludwigia adscendens tumbuh rapat pada subtransek 8 dan 7. Terjadi banjir pada seluruh jalur transek, air masuk ke arah daratan sekitar 5 meter. Jumlah jenis terbanyak pada subtransek 8, yaitu sebanyak 5 jenis; dikarenakan tanaman L. adscendens tumbuh semakin subur, tetapi jumlah individu setiap jenis sedikit. Jumlah individu R. erythraea rata-rata menurun tajam pada subtransek 1, 2, 3 dan 4. 28

29 Purnama separuh, langit cerah, air naik sampai 5 meter ke arah daratan, rumput dipangkas jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo melanostictus Bufo biporcatus Fejervarya cancrivora 12. Grafik monitoring tanggal 12 November 2009 Temperatur udara: 25,4 0 C; temperatur air: 27,9 0 C; kelembaban udara: 88%; kondisi bulan: gelap, langit cerah; sehabis hujan, rumput yang dipangkas sekitar 5 meter ke arah daratan di sepanjang transek mulai tumbuh; air naik sampai sekitar 5 meter ke arah daratan. Serasah rumput yang dipangkas minggu-minggu sebelumnya mulai membusuk dan menimbulkan bau khas yang tajam. Sepuluh jenis kodok dijumpai pada 100 meter panjang transek selama dua belas kali monitoring. Jumlah jenis yang dijumpai pada monitoring saat ini adalah lima; jenis tidak dijumpai adalah Bufo melanostictus, P. leucomystax, F. cancrivora, F. limnocharis dan Kaloula baleata. Rumput yang dipangkas pada bagian daratan mulai tumbuh. Terjadi banjir pada seluruh jalur transek, air masuk ke arah daratan sekitar 5 meter. Jumlah jenis terbanyak pada subtransek 1, 3, 4, yaitu sebanyak 3 jenis. Jumlah individu R. erythraea rata-rata menurun tajam pada subtransek 1, 2, 3 dan 4. Bulan gelap, langit cerah, air naik sampai 5 meter ke arah daratan, rumput dipangkas mulai tumbuh jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo biporcatus Rana chalconota 29

30 13. Grafik monitoring tanggal 19 November 2009 Temperatur udara: 25,3 0 C; temperatur air: 26,1 0 C; kelembaban udara: 91%; kondisi bulan: gelap, langit berawan; sehabis hujan, gerimis, rumput yang dipangkas sekitar 5 meter ke arah daratan di sepanjang transek tumbuh tinggi; air naik sampai sekitar 5 meter ke arah daratan. Serasah rumput yang dipangkas minggu-minggu sebelumnya mulai membusuk dan menimbulkan bau khas yang tajam. Vegetasi pada subtransek 10 dipangkas habis. Sepuluh jenis kodok dijumpai pada 100 meter panjang transek selama tiga belas kali monitoring. Jumlah jenis yang dijumpai pada monitoring saat ini adalah lima; jenis tidak dijumpai adalah Bufo biporcatus, P. leucomystax, Fejervarya cancrivora, F. limnocharis dan Kaloula baleata. Rumput yang dipangkas pada bagian daratan tumbuh tinggi. Terjadi banjir pada seluruh jalur transek, air masuk ke arah daratan sekitar 5 meter. Jumlah jenis terbanyak pada subtransek 1, 3, 5, 8, yaitu sebanyak 3 jenis. Jumlah individu R. erythraea rata-rata menurun tajam pada semua subtransek, kecuali subtransek 3. Kemungkinan besar kondisi ini disebabkan pembusukan dari tumpukan daun rumput mati yang berada di sepanjang yang terdapat pada subtransek 2, 4, 5 yang menghasilkan bau menusuk. Bulan gelap, sehabis hujan, gerimis, air naik sampai 5 meter ke arah daratan, rumput dipangkas tumbuh tinggi 25 jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo melanostictus Rana chalconota 14. Grafik monitoring tanggal 25 November 2009 Temperatur udara: 23,7 0 C; temperatur air: 27,2 0 C; kelembaban udara: 97%; kondisi bulan: purnama separuh, langit berawan; rumput yang dipangkas sekitar 5 meter ke arah daratan di sepanjang transek tumbuh tinggi; air naik sampai sekitar 5 meter ke arah daratan. Serasah rumput yang dipangkas minggu-minggu sebelumnya makin membusuk dan menimbulkan bau khas yang tajam. Sepuluh jenis kodok dijumpai pada 100 meter panjang transek selama tiga belas kali monitoring. Jumlah jenis yang dijumpai pada monitoring saat ini adalah empat; jenis tidak dijumpai adalah Bufo melanostictus, P. leucomystax, Fejervarya cancrivora, F. limnocharis dan Kaloula baleata, Rana chalconota. Rumput yang dipangkas pada bagian daratan tumbuh semakin tinggi. Terjadi banjir pada seluruh jalur transek, air masuk ke arah daratan sekitar 5 meter. Jumlah jenis terbanyak pada subtransek 6, yaitu sebanyak 4 jenis. Jumlah individu R. erythraea rata-rata menurun tajam pada semua subtransek. Kemungkinan besar kondisi ini disebabkan pembusukan dari tumpukan daun rumput mati yang berada di sepanjang yang terdapat pada subtransek 2, 4, 5 yang menghasilkan bau menusuk. 30

31 Bulan purnama separuh, air naik sampai 5 meter ke arah daratan, rumput dipangkas tumbuh tinggi jumlah individu Transek Rana erythraea Rana nicobariensis Occidozyga lima Bufo biporcatus D. KESIMPULAN DAN SARAN A. Karagaman jenis kodok Dari hasil penelitian keragaman jenis dan monitoring dinamika populasi dapat ditarik kesimpulan: 1. Jumlah jenis kodok yang menghuni habitat terdegradasi seperti Ecology Park di Kampus LIPI Cibinong adalah 11 jenis; yang terdiri dari 4 suku (famili), yaitu Bufonidae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae. Dari Suku Bufonidae didapatkan 2 jenis, yaitu Bufo biporcatus dan B. melanostictus; Suku Microhylidae 2 jenis, yaitu Kaloula baleata, Microhyla achatina; Suku Ranidae 6 jenis, yaitu Fejervarya cancrivora, F. limnocharis, Occidozyga lima, Rana chalconota, R. erythraea dan R. nicobariensis; Suku Rhacophoridae 1 jenis, yairu Polypedates leucomystax. 2. Jenis yang dominan untuk cuplikan 100 meter panjang transek di habitat terdegradasi Ecology Park adalah R. erythraea, R. nicobariensis dan O. lima. 3. Populasi kodok pada cuplikan 100 meter panjang transek tidak menyebar rata. Penyebaran dipengaruhi kuat oleh tipe vegetasi di tepi perairan. Tipe vegetasi yang disukai berdasarkan banyaknya jenis R. erythraea dan R. nicobariensis yang dijumpai adalah tipe vegetasi rumputrumputan atau tumbuhan yang menyerupai rumput, yaitu jenis Leersia hexandra dan Eleocharis dulcis yang terdapat pada sub transek 1, 2, 3, 4 dan Faktor lingkungan yang berpengaruh kuat kepada pola penyebaran vertikal dan horizontal jenis R. erythraea dan R. nicobariensis adalah temperatur udara dan kelembaban udara. Faktor intensitas sinar bulan tidak berpengaruh kepada dinamika populasi ke dua jenis kodok tersebut. Kelembaban antara 90%-96% dan temperatur udara antara 24 0 C-25 0 C didapatkan jumlah individu R. erythraea dan jumlah jenis paling banyak pada 100 meter panjang transek. 5. Faktor ancaman yang disebabkan oleh kegiatan manusia yang berpengaruh negatif kepada populasi jenis R. erythraea, R. nicobariensis dan O. lima adalah pemangkasan rumput di bagian tepi perairan, pembersihan kolam dengan mengambil hampir semua tanaman Hydrylla verticillata dari dalam perairan, proses pembusukan tanaman rumput-rumputan dari hasil pangkas dan pembusukan tanaman H. verticillata yang ditumpuk di bagian tepi perairan. B. Karagaman genetik kodok Rana nicobariensis Dari hasil penelitian keragaman genetik populasi kodok R. nicobariensis dapat disimpulkan sebagai berikut: 31

32 1. Genetik populasi kodok R. nicobariensis di areal "Ecology Park" sangat beragam yang ditunjukkan dengan didapatkannya 6 haplotipe dari 10 individu yang dianalisis. 2. Populasi kodok R. nicobariensis yang terdapat di areal "Ecology Park" sangat dekat dengan populasi yang berasal dari Taman Nasional Gunung Halimun yang merupakan satu regional Jawa Barat dibandingkan populasi dari Sibolga di Sumatra Utara. Saran-saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian keragaman jenis dan genetik serta dinamika populasi kodok adalah sebagai berikut: 1. Penumpukan hasil pangkas rumput dan tanaman air H. verticillata di bagian tepi perairan harus dilarang, karena sangat berpengaruh pada keberadaan jenis-jenis kodok setelah tumpukan tersebut membusuk dan menimbulkan bau tak sedap. 2. Pemangkasan rumput dan pengurasan danau dengan membuang hampir semua tanaman air untuk tujuan keindahan danau di areal Ecology Park harus dihentikan, karena berpengaruh kuat terhadap menurunnya jumlah individu kodok yang berasosiasi kuat dengan vegetasi lahan basah. Biarkan vegetasi lahan basah di sekitar danau tumbuh secara alami. 3. Habitat berupa lahan basah di areal "Ecology Park" harus tetap dijaga keutuhannya sebagai habitat kodok dan satwa perairan lainnya. Hasil dari keragaman genetik populasi kodok R. nicobariensis mengindikasikan populasi jenis ini sangat sehat di areal "Ecology Park" dan membentuk kelompok populasi sendiri yang terpisah dari kelompok populasi yang berasal dari Taman Nasional Gunung Halimun. E. DAFTAR PUSTAKA Brown, W.M Evolution of the animal mitokondrial genome. In Molecular Evolutionary Genetics. Plenum Press. New York. Pp Buden, D.W The reptiles of Pohnpei, federal States of Micronesia. Micronesica 32 (2): Clayton, D.A Replication of animal mitochondrial DNA. Cell 28: Gardner, T Declining amphibian populations: a global phenomenon in conservation biology. Animal Biodiversity and Conservation 24 (2): Inger, R.F and T.F. Lian The natural history of amphibians and reptiles in Sabah. Natural History Publication (Borneo). Kota Kinabalu. Jaeger, R.G Transect sampling. In : Heyer, W.R., M.A. Donnely, R.W. McDiarmid, L.C. Hayek and M.S. Foster (editors). Measuring and monitoring biological diversity, standard method for amphibians. Pp Smithsonian Institution Press. Washington. 364 pp. Kocher, T.D, W.K. Thomas, A. Meyer, S.V. Edwar, S. Paabo, F.X. Villablanca and A.C. Wilson Dynamics of mtdna evolution in animals: amplification and sequencing with conserved primers. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 86: Wolstenholme, D.R Animal mitochondrial DNA: structure and evolution. Mitochondrial Genomes. Academi Press. New York. Pp Zhong, J., Liu Z.Q and Wang Y.Q Phylogeography of Rice Frog, Fejervarya multistriata (Anura: Ranidae), from China Based on mtdna D-loop Sequences. Zoological Science 25:

33 Lampiran 1. Lembar data monitoring kodok. 33

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK Oleh: Hellen Kurniati Editor: Gono Semiadi LIPI PUSAT PENELITIAN BIOLOGI LIPI BIDANG ZOOLOGI-LABORATORIUM HERPETOLOGI Cibinong, 2016

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Biologi FMIPA-UR 2 Bidang Zoologi Jurusan Biologi FMIPA-UR Fakultas

Lebih terperinci

Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak

Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak Jurnal Biologi Indonesia 7(2): 331-340 (2011) Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak Hellen Kurniati Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Gedung Widyasatwaloka-LIPI,

Lebih terperinci

Berita Biologi 10(3) - Desember 2010

Berita Biologi 10(3) - Desember 2010 Berita Biologi 10(3) Desember 010 KERAGAMAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK SERTA HUBUNGANNYA DENGAN VEGETASIPADA LAHAN B ASAH "ECOLOGY PARK", KAMPUS LIPICIBINONG 1 [Diversity and Abundance of NonForest Frogs

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Struktur Komunitas Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum

Lebih terperinci

KEPADATAN KODOK FEJERVARYA CANCRIVORA DI PERSAWAHAN DAERAH KABUPATEN KERAWANG, JAWA BARAT PADA TAHUN 2016

KEPADATAN KODOK FEJERVARYA CANCRIVORA DI PERSAWAHAN DAERAH KABUPATEN KERAWANG, JAWA BARAT PADA TAHUN 2016 KEPADATAN KODOK FEJERVARYA CANCRIVORA DI PERSAWAHAN DAERAH KABUPATEN KERAWANG, JAWA BARAT PADA TAHUN 2016 Oleh: Hellen Kurniati*& Eko Sulistyadi Laboratorium Ekologi-Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI

Lebih terperinci

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati

Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram. Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati Identifikasi Jenis Amphibi Di Kawasan Sungai, Persawahan, dan Kubangan Galian Di Kota Mataram Mei Indra Jayanti, Budiono Basuki, Susilawati Abstrak; Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

The Origin of Madura Cattle

The Origin of Madura Cattle The Origin of Madura Cattle Nama Pembimbing Tanggal Lulus Judul Thesis Nirmala Fitria Firdhausi G352080111 Achmad Farajallah RR Dyah Perwitasari 9 Agustus 2010 Asal-usul sapi Madura berdasarkan keragaman

Lebih terperinci

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis) di Ecology Park, Cibinong Berdasarkan Sekuen DNA dari Mitokondria d-loop

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis) di Ecology Park, Cibinong Berdasarkan Sekuen DNA dari Mitokondria d-loop Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 405-414 (2010) Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis) di Ecology Park, Cibinong Berdasarkan Sekuen DNA dari Mitokondria d-loop Dwi Astuti & Hellen Kurniati

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI (ORDO ANURA) DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SURANADI - LOMBOK BARAT*

KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI (ORDO ANURA) DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SURANADI - LOMBOK BARAT* KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI (ORDO ANURA) DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SURANADI - LOMBOK BARAT* Oleh: Noar Muda Satyawan HMPS Biologi FKIP Unram, Jl. Majapahit 62 Mataram, Email : noarmudasatyawan@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Amfibi Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti hidup. Secara harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam, yakni dunia darat

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION (TWNC) TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS) PESISIR BARAT LAMPUNG

KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION (TWNC) TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS) PESISIR BARAT LAMPUNG JURNAL HUTAN LESTARI (217) KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DI KAWASAN TAMBLING WILDLIFE NATURE CONSERVATION (TWNC) TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS) PESISIR BARAT LAMPUNG (The Diversity Herpetofauna

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS AMPIBI (Ordo Anura) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity of Amphibians Species (Ordo Anura) in Gunung Ambawang Protected Forest

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 29 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan Teluk Tomini (Gambar

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK KAMBING BOER BERDASARKAN ANALISIS SEKUEN DNA MITOKONDRIA BAGIAN D-LOOP. Skripsi

KERAGAMAN GENETIK KAMBING BOER BERDASARKAN ANALISIS SEKUEN DNA MITOKONDRIA BAGIAN D-LOOP. Skripsi KERAGAMAN GENETIK KAMBING BOER BERDASARKAN ANALISIS SEKUEN DNA MITOKONDRIA BAGIAN D-LOOP Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan di Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total DNA total yang diperoleh dalam penelitian bersumber dari darah dan bulu. Ekstraksi DNA yang bersumber dari darah dilakukan dengan metode phenolchloroform,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

DAMPAK DEFORESTASI PADA LAJU PENURUNAN KERAGAMAN JENIS KODOK DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALlMUN

DAMPAK DEFORESTASI PADA LAJU PENURUNAN KERAGAMAN JENIS KODOK DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALlMUN DAMPAK DEFORESTASI PADA LAJU PENURUNAN KERAGAMAN JENIS KODOK DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALlMUN Hellen Kurniati Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LlPI Jalan Raya Jakarta Bogor Km 46, Cibinong 16911, Jawa Barat

Lebih terperinci

MIKROHABITAT KODOK Hylarana chalconota PADA SUNGAI BERARUS DERAS DI LAHAN TERDEGRADASI KAKI GUNUNG SALAK

MIKROHABITAT KODOK Hylarana chalconota PADA SUNGAI BERARUS DERAS DI LAHAN TERDEGRADASI KAKI GUNUNG SALAK MIKROHABITAT KODOK Hylarana chalconota PADA SUNGAI BERARUS DERAS DI LAHAN TERDEGRADASI KAKI GUNUNG SALAK MICROHABITATS OF Hylarana chalconota ALONG FAST FLOWING WATER STREAMS IN DEGRADED LAND IN GUNUNG

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk serta variabilitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2-

I. PENDAHULUAN. dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2- 1 I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Gunungapi Merapi merupakan salah satu gunung aktif paling aktif di dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2-7 tahun sekali merupakan

Lebih terperinci

KUNCI IDENTIFIKASI AMFIBI

KUNCI IDENTIFIKASI AMFIBI KUNCI IDENTIFIKASI AMFIBI Februari 12, 2011 oleh Noar Muda Satyawan KUNCI IDENTIFIKASI FAMILI AMFIBI 1a Tubuh seperti cacing, tanpa tungkai....ichthyophiidae Satu genus dan species Ichthyophis hypocyaneus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

JENIS-JENIS KATAK (AMPHIBI: ANURA) DI DESA KEPENUHAN HULU KECAMATAN KEPENUHAN HULU KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

JENIS-JENIS KATAK (AMPHIBI: ANURA) DI DESA KEPENUHAN HULU KECAMATAN KEPENUHAN HULU KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU JENIS-JENIS KATAK (AMPHIBI: ANURA) DI DESA KEPENUHAN HULU KECAMATAN KEPENUHAN HULU KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU Egi Yudha Winata 1), Arief Anthonius Purnama 2) dan Ria Karno 3) 1 Fakultas Keguruan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember 2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas PRAKATA Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas segala nikmat dan karunia-nya, penulisan Tugas Akhir dengan judul Keragaman Genetik Abalon (Haliotis asinina) Selat Lombok

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan sampel berupa akar rambut, ekstraksi mtdna melalui proses lisis akar rambut, amplifikasi

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi berperan sebagai

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Telaga Warna ABSTRAK

Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Telaga Warna ABSTRAK Karakterisik dan Kepadatan Populasi Genus Microhyla Di Wilayah Cagar Alam dan Taman Wisata Alam (CA-TWA) Miftah Hadi Sopyan 1), Moerfiah 2), Rouland Ibnu Darda 3) 1,2,3) Program Studi Biologi Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. I. Ekologi Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) baik di daerah tropis (15 LU - 15 LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di

TINJAUAN PUSTAKA. I. Ekologi Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) baik di daerah tropis (15 LU - 15 LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di TINJAUAN PUSTAKA I. Ekologi Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15 LU - 15 LS). Tanaman ini tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

MIKROHABITAT KODOK Hylarana chalconota PADA SUNGAI BERA- RUS DERAS DI LAHAN TERDEGRADASI KAKI GUNUNG SALAK

MIKROHABITAT KODOK Hylarana chalconota PADA SUNGAI BERA- RUS DERAS DI LAHAN TERDEGRADASI KAKI GUNUNG SALAK MIKROHABITAT KODOK Hylarana chalconota PADA SUNGAI BERA- RUS DERAS DI LAHAN TERDEGRADASI KAKI GUNUNG SALAK MIROHABITATS OF Hylarana chalconota ALONG FAST FLOWING WATER STREAMS IN DEGRADED LAND IN GUNUNG

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian

III. METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 sampai bulan Januari 2016 di kebun salak Tapansari, Candibinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Luas

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2014 di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: (http://www.google.com/earth/) Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: (http://www.google.com/earth/) Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat sumber: (http://www.google.com/earth/) Lampiran 2. Data spesies dan jumlah Amfibi yang Ditemukan Pada Lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Eleotridae merupakan suatu Famili ikan yang di Indonesia umum dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Eleotridae merupakan suatu Famili ikan yang di Indonesia umum dikenal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eleotridae merupakan suatu Famili ikan yang di Indonesia umum dikenal sebagai kelompok ikan bakutut atau belosoh. Secara morfologis, anggota Famili ini mirip dengan

Lebih terperinci

INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI

INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI Lutfi Aditia Pratama 1), Moerfiah 2), Rouland Ibnu Darda 3) 1,2,3) Program Studi Biologi FMIPA Universitas Pakuan Jalan Pakuan PO.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

1. Kualitas DNA total Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) Hasil. Tangkapan dari Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah dengan

1. Kualitas DNA total Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) Hasil. Tangkapan dari Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah dengan Lampiran 1. Data dan analisis karakterisasi genetik Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) Hasil Tangkapan dari Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. 1. Kualitas DNA total Udang Jari (Metapenaeus

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh kokoh, leher pendek, paruh ramping dan cere berdaging. Distribusi burung Famili Columbidae tersebar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat serbaguna dalam kehidupan. Selain sebagai sumber daya penghasil kayu dan sumber pangan yang diperlukan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati adalah seluruh keanekaan bentuk kehidupan di bumi, merujuk pada keberagaman bentuk-bentuk kehidupan tanaman, hewan dan mikroorganisme, termasuk

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN ANGGOTA ORDO ANURA DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA ANURA DIVERSITY IN YOGYAKARTA STATE UNIVERSITY

KEANEKARAGAMAN ANGGOTA ORDO ANURA DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA ANURA DIVERSITY IN YOGYAKARTA STATE UNIVERSITY 62 Journal Biologi Vol5 No 6 Tahun 2016 KEANEKARAGAMAN ANGGOTA ORDO ANURA DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA ANURA DIVERSITY IN YOGYAKARTA STATE UNIVERSITY Penulis 1 : Titis Adhiaramanti Penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

Inventarisasi Jenis-jenis Amfibi (Ordo Anura) di Areal Lahan Basah Sekitar Danau Sebedang Kecamatan Sebawi Kabupaten Sambas

Inventarisasi Jenis-jenis Amfibi (Ordo Anura) di Areal Lahan Basah Sekitar Danau Sebedang Kecamatan Sebawi Kabupaten Sambas Inventarisasi Jenis-jenis Amfibi (Ordo Anura) di Areal Lahan Basah Sekitar Danau Sebedang Kecamatan Sebawi Kabupaten Sambas Rino Saputra 1, Ari Hepi Yanti 1, Tri Rima Setyawati 1 1 Program Studi Biologi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Karakterisasi genetik Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) hasil tangkapan dari Laguna Segara Anakan berdasarkan haplotipe

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling sel folikel akar rambut. Sampel kemudian dilisis, diamplifikasi dan disekuensing dengan metode dideoksi

Lebih terperinci

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid. TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 7. PUSTAKA GENOM DAN ANALISIS JENIS DNA Konstruksi Pustaka DNA Pustaka gen merupakan sumber utama isolasi gen spesifik atau fragmen gen. Koleksi klon rekombinan dari

Lebih terperinci

Hellen Kurniati*& Eko Sulistyadi

Hellen Kurniati*& Eko Sulistyadi Jurnal Biologi Indonesia 13(1): 71-83 (2017) Kepadatan Populasi Kodok Fejervarya cancrivora di Persawahan Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Population density of Fejervarya cancrivora on Paddy Field in Karawang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting dan Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Jepara Jenis ruang terbuka hijau yang dikembangkan di pusat kota diarahkan untuk mengakomodasi tidak hanya fungsi

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai September tahun 2011. Sampel ikan berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa (Jawa Barat), Sumatera (Jambi),

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Terpadu,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI DI KAWASAN HUTAN LARANGAN ADAT KENEGERIAN RUMBIO KECAMATAN KAMPAR KABUPATEN KAMPAR

KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI DI KAWASAN HUTAN LARANGAN ADAT KENEGERIAN RUMBIO KECAMATAN KAMPAR KABUPATEN KAMPAR KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI DI KAWASAN HUTAN LARANGAN ADAT KENEGERIAN RUMBIO KECAMATAN KAMPAR KABUPATEN KAMPAR AMPHIBIAN SPECIES DIVERSITY IN PROHIBITION FOREST AREA OF KENEGERIAN RUMBIO COSTUMARY KAMPAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia masuk dalam urutan ketiga dari ketujuh negara dunia lainnya sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa atau sekitar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. DNA Genom

HASIL DAN PEMBAHASAN. DNA Genom IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi DNA Metode isolasi dilakukan untuk memisahkan DNA dari komponen sel yang lain (Ilhak dan Arslan, 2007). Metode isolasi ini sesuai dengan protokol yang diberikan oleh

Lebih terperinci

PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax)

PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) PENGAMATAN AKTIVITAS HARIAN DAN WAKTU AKTIF KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) Desy Natalia Sitorus (E34120011), Rizki Kurnia Tohir (E34120028), Dita Trifani (E34120100) Departemen Konservasi

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat. B. Alat

Lebih terperinci

JENIS- JENIS AMPHIBIA YANG DITEMUKAN DI KEBUN KELAPA SAWIT KANAGARIAN KUNANGAN PARIK RANTANG KABUPATEN SIJUNJUNG

JENIS- JENIS AMPHIBIA YANG DITEMUKAN DI KEBUN KELAPA SAWIT KANAGARIAN KUNANGAN PARIK RANTANG KABUPATEN SIJUNJUNG 1 JENIS- JENIS AMPHIBIA YANG DITEMUKAN DI KEBUN KELAPA SAWIT KANAGARIAN KUNANGAN PARIK RANTANG KABUPATEN SIJUNJUNG,, Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat Jurusan Biologi Universitas

Lebih terperinci

PERSEBARAN DAN KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DALAM MENDUKUNG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KAMPUS SEKARAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

PERSEBARAN DAN KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DALAM MENDUKUNG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KAMPUS SEKARAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG PERSEBARAN DAN KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DALAM MENDUKUNG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KAMPUS SEKARAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG Margareta Rahayuningsih dan Muhammad Abdullah Jurusan Biologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang mudah dikenali dan distribusinya tersebar luas di dunia. Dominan hidupnya di habitat terestrial. Kelimpahan

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 1. Berikut ini yang tidak termasuk kegiatan yang menyebabkan gundulnya hutan adalah Kebakaran hutan karena puntung

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER VII Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami iklim Junghuhn dan iklim Schmidt Ferguson. 2. Memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen : Dr Ir Agus Priyono Kartono, M.Si KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar Peta Lokasi Tapak

BAB III METODOLOGI. Gambar Peta Lokasi Tapak 12 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi ini dilaksanakan pada wilayah pemakaman Tanah Kusir di jalan Bintaro Raya Jakarta Selatan, DKI Jakarta. Tapak yang berada di sebelah timur Kali Pesanggrahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci