4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 25 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Kondisi Perairan Banten Melalui Undang-undang Nomor 23 tahun 2000, status Karesidenan Banten Provinsi Jawa Barat berubah menjadi Provinsi Banten. Posisi Geografis Provinsi Banten berada antara 5 o 7'50" 7 o 1'11" LS dan 105 o 1'11" 106 o '7 12" BT, dengan luas wilayah 9.160,70 Km 2. Wilayah terluas adalah Kabupaten Pandeglang dengan luas 3.746,90 Km 2 dan wilayah terkecil adalah Kota Tangerang dengan luas 164,21 Km 2. Di bagian Utara, wilayah Provinsi Banten berbatasan dengan Laut Jawa. Batas sebelah Barat adalah Selat Sunda, sebelah Timur adalah Samudera Hindia dan batas sebelah Timur adalah Provinsi Jawa Barat. Oleh karena dikelilingi oleh laut, maka Provinsi Banten memiliki sumber daya laut yang potensial. Salah satunya yaitu berada di daerah Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten ( Secara administrasi, Labuan merupakan salah satu kota kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang disebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Serang, ditimur dengan Kecamatan Jiput, disebelah selatan dengan Kecamatan Pagelaran dan di sebelah barat berbatasan langsung dengan selat sunda. Selain wisata pantai, Labuhan juga dikenal dengan kegiatan perikanannya, bahkan sebagai sentra bagi kegiatan perikanan laut dipesisir barat Provinsi Banten. Dengan ditetapkannya Labuhan sebagai sentra perikanan laut maka perlu dibangunnya saran penunjang untuk kegiatan perikanan seperti zona pelabuhan yang terdiri dermaga, TPI, depot es, SPBM, dll. Zona bisnis dan usaha terdiri pusat bisnis, restoran, perbankan, perkantoran dll. Zona permukiman terdiri fasilitas umum, sosial dan utilias umum ( Iklim wilayah Labuan, Banten sangat dipengaruhi oleh Angin Monson (Monson Trade) dan Gelombang La Nina atau El Nino. Saat musim hujan (November - Maret) cuaca didominasi oleh angin barat (dari Sumatera Hindia sebelah selatan India) yang bergabung dengan angin dari Asia yang melewati Laut Cina Selatan. Pada musim kemarau (Juni - Agustus), cuaca didominasi oleh angin timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan yang keras

2 26 terutama di wilayah bagian selatan, terlebih lagi bila berlangsung El Nino. Suhu perairan Labuan, Banten berkisar 22 0 C hingga 32 0 C( Kondisi Perikanan Kuniran di PPI Labuan, Banten Salah satu pusat perikanan di provinsi Banten terletak di daerah Labuan. PPI Labuan memiliki 3 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda. TPI 1 bernama TPI kursin dengan karakteristik kapal-kapal yang mendaratkan ikan demersal di TPI tersebut merupakan kapal-kapal yang berukuran kecil, biasanya kapal yang berukuran kurang dari 10 GT. Sedangkan TPI 2 bernama TPI Pasar dengan karakteristik ikan-ikan yang didaratkan di TPI ini merupakan golongan ikan-ikan pelagis dengan ukuran kapal kurang dari 10 GT. Adapun TPI 3 bernama TPI Pantai dengan karakteristik ikan-ikan yang didaratkan di TPI ini merupakan golongan ikan-ikan pelagis dengan ukuran kapal yang besar yaitu lebih dari 10 GT. Pada umumnya kapal-kapal yang mendaratkan ikan di TPI 1 dan TPI 2 memiliki ukuran kapal yang tidak besar yaitu < 10 GT. Hal ini terkait dengan ketersediaan tempat pendaratan yang cukup sempit dan cukup dangkal sehingga kapal-kapal yang berukuran besar tidak dapat masuk ke TPI tersebut. Sumberdaya ikan di Labuan cukup berlimpah dan beraneka ragam. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sumberdaya ikan di Labuan terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal. Ikan-ikan pelagis yang ditangkap oleh nelayan di Labuan ini contohnya seperti ikan kembung, tongkol, tenggiri, ekor kuning, layang, banjar, bentong, tembang, selar, dan lain sebagainya. Sedangkan ikan-ikan demersal yang ditangkap oleh nelayan contohnya seperti ikan kuniran, kurisi, raja gantang, kapasan, layur, manyung, kuwe, dan lain sebagainya. Sumberdaya ikan tersebut ditangkap oleh nelayan disekitar Pulau Rakata, Pulau Pole, Pulau Sebesi, Pulau Panaitan, Pulau Leukecang, Krakatau, dan Selat Sunda. Nelayan yang menangkap sumberdaya ikan yang telah disebutkan di atas berbeda-beda dalam waktu penangkapan. Ada nelayan yang menangkap dalam satu hari penangkapan, ada juga yang menangkap dalam tiga hari penangkapan, satu minggu penangkapan, dua minggu penangkapan, bahkan sampai satu bulan penangkapan. Ikan kuniran merupakan salah satu contoh ikan yang ditangkap dalam satu hari penangkapan.

3 27 Ikan kuniran merupakan ikan terbanyak ke dua setelah ikan kurisi yang mendominasi ikan-ikan demersal yang ditangkap oleh para nelayan Labuan. ikan kue menduduki 15 % sehingga ikan kurisi merupakan ikan terbanyak yang ditangkap oleh para nelayan ikan demersal. Sedangkan Ikan kuniran menduduki 14 % sehingga ikan kuniran merupakan ikan terbanyak ke dua yang ditangkap oleh para nelayan ikan demersal Labuan, kemudian diikuti oleh ikan kurisi dengan persentase yang sama yaitu sebesar 14 %, ikan kapasan 8 %, ikan raja gantang 5 %, ikan jolod 4 %, ikan tedeng dan ikan gerik 3 %, ikan remang 2 %, dan ikan lainnya sebesar 24 %. Berikut merupakan komposisi hasil tangkapan ikan demersal yang disajikan pada Gambar 5. 44% 5% 15% 14% 14% 8% Kue Kuniran Kurisi Kapasan Raja Gantang Ikan Lainnya Gambar 5 Diagram proporsi ikan demersal di PPI Labuan. Sumber: DKP Kab. Pandeglang-Banten 2011 Ikan-ikan demersal ditangkap dengan alat tangkap yang bernama cantrang. Ikan kuniran merupakan salah satu ikan yang tertangkap dengan alat tangkap cantrang. Di Labuan, alat tangkap cantrang yang digunakan oleh para nelayan dioperasikan dengan menggunakan kapal motor berukuran < 10 GT yaitu sekitar kurang lebih 5-6 GT. Mengingat besarnya potensi perikanan, hasil dari tangkapan ikan oleh para nelayan dijual sebagai ikan segar, ikan asin, dan produk olahan lainya. Pemasaran produk perikanan tersebut mencakup pasar Labuan, Kabupaten Pandeglang dan bahkan sampai ke Jakarta (

4 Sebaran Frekuensi Panjang Untuk mengetahui sebaran kelompok umur, sebelumnya kita harus mencari terlebih dahulu distribusi frekuensi panjang baik untuk contoh ikan kuniran betina maupun contoh ikan kuniran jantan. Total contoh yang diambil sebanyak 679 dengan komposisi ikan betina sebanyak 384 dan ikan jantan sebanyak 295. Berikut merupakan gambar histogram distribusi frekuensi panjang total keseluruhan untuk ikan kuniran betina, ikan kuniran jantan, dan gabungan antara keduanya yang disajikan pada Gambar 6. Frekuensi Batas Kelas Gambar 6 Histogram frekuensi total contoh ikan kuniran (betina dan jantan). Sedangkan grafik histogram yang menggambarkan distribusi frekuensi panjang total ikan betina contoh disajikan pada Gambar 7: Frekuensi Batas Kelas Gambar 7 Histogram frekuensi total contoh ikan kuniran betina. Sedangkan grafik histogram yang menggambarkan distribusi frekuensi panjang total ikan jantan contoh disajikan pada Gambar 8.

5 29 60 Frekuensi Batas Kelas Gambar 8 Histogram frekuensi total contoh ikan kuniran jantan. Dari grafik diatas untuk total secara keseluruhan terlihat bahwa frekuensi panjang ikan kuniran selama pengambilan contoh menyebar dari batas kelas panjang 60.5 mm hingga mm, sedangkan untuk total ikan kuniran betina menyebar dari batas kelas panjang 80.5 mm hingga mm. Untuk total ikan kuniran jantan menyebar dari batas kelas panjang 60.5 mm hingga mm. Jika dilihat pada grafik di atas, baik untuk total keseluruhan, total betina, maupun total jantan dapat disimpulkan bahwa ikan kuniran baik betina maupun jantan memiliki lebih dari satu kelompok umur Parameter Pertumbuhan Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan kuniran menggunakan metode NORMSEP disajikan pada Gambar 9: t 3 t 2 t 1 Gambar 9 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan kuniran betina bulan Maret- September 2011.

6 30 Sedangkan pergeseran modus frekuensi panjang untuk ikan kuniran jantan diperlihatkan pada Gambar 10: t 3 t 2 t 1 Gambar 10 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan kuniran jantan bulan Maret- September Berdasarkan pada Gambar 9 dan Gambar 10 terlihat bahwa telah terjadinya pergeseran frekuensi modus yang menandakan bahwa telah terjadi pertumbuhan pada ikan kuniran. Selain itu terlihat juga pada gambar adanya garis umur yang merupakan penentuan dari ukuran panjang ikan pada umur tertentu. Adapun hasil analisis kelompok ukuran ikan kuniran betina, yaitu nilai tengah, standar deviasi (SD), dan indeks separasi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Sebaran kelompok ukuran ikan kuniran betina Pengambilan Contoh Kelompok Ukuran Nilai Tengah SD Indeks Separasi Maret 2011 April 2011 Mei 2011 Juni n.a n.a n.a n.a Juli n.a Agustus n.a September n.a

7 31 Sedangkan hasil analisis kelompok ukuran ikan kuniran jantan, yaitu panjang rata-rata, jumlah populasi, dan indeks sparasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Sebaran kelompok ukuran ikan kuniran jantan Pengambilan Contoh Kelompok Ukuran Nilai Tengah SD Indeks Separasi n.a Maret , ,42 April n.a , n.a Mei , ,69 Juni n.a Juli n.a Agustus n.a ,05 September n.a Hasil analisis mengenai parameter pertumbuhan berupa koefisien pertumbuhan (K), panjang asimtotik (L ), dan umur teoritik ikan pada saat panjang ikan nol (t 0 ) dapat dilihat pada Tabel 4. Adapun tabelnya adalah sebagai berikut: Tabel 4 Parameter pertumbuhan berdasarkan model Von Bertalanffy (K, L, dan t 0 ) ikan kuniran (Maret September 2011) Parameter Betina Nilai Jantan K (bulan) L (mm) t0 (bulan) Berdasarkan Tabel 4 diperoleh persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy untuk ikan kuniran betina sebagai berikut: L t = (1 e (t ) ) (37)

8 32 Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy untuk ikan kuniran jantan adalah sebagai berikut: L t = (1 e (t ) ) (38) Kurva pertumbuhan ikan kuniran betina di PPI Labuan, Banten disajikan pada Gambar 11 yang diperoleh dengan memplotkan umur (tahun) dan panjang total ikan (mm) sampai ikan berumur 7 tahun. Adapun grafiknya adalah sebagai berikut: Lt (mm) t (tahun) Gambar 11 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kuniran betina. Begitu pula halnya dengan kurva pertumbuhan ikan kuniran jantan di PPI Labuan, Banten yang disajikan pada Gambar 12 yang diperoleh dengan memplotkan umur (tahun) dan panjang total ikan (mm) sampai ikan berumur 7 tahun. Adapun grafiknya adalah sebagai berikut: Lt (mm) t (tahun) Gambar 12 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kuniran jantan Hubungan Panjang Bobot dan Faktor Kondisi Hubungan panjang bobot merupakan salah satu parameter penting untuk mengetahui pertumbuhan, baik populasi maupun stok. Salah satu contohnya yaitu

9 33 menduga pola pertumbuhan ikan yang didapat dari hubungan panjang bobot. Berikut merupakan Gambar 13 dan Gambar 14 yang menyajikan hasil analisis hubungan panjang bobot yang disertai dengan keputusan pola pertumbuhan ikan kuniran secara total keseluruhan ikan contoh yang diambil. Adapun tabelnya adalah sebagai berikut: Bobot (gr) W = 3E-05 L 2,869 R² = 0,944 n = Panjang (mm) Gambar 13 Hubungan panjang bobot ikan kuniran betina pada setiap pengambilan contoh di PPI Labuan, Banten (Maret September 2011). Bobot (gr) W = 6E-05 L 2,722 R² = 0,909 n = Panjang (mm) Gambar 14 Hubungan panjang bobot ikan kuniran jantan pada setiap pengambilan contoh di PPI Labuan, Banten (Maret September 2011). Berdasarkan pada Gambar 13 dan Gambar 14 diatas, hubungan panjang bobot pada ikan kuniran bersifat allometrik negatif baik untuk ikan betina contoh maupun ikan jantan contoh yang menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang pada ikan tersebut lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan bobotnya. Sedangkan Gambar 15 merupakan gambar dari faktor kondisi setiap bulannya dari ikan kuniran betina dan jantan.

10 Gambar 15 Grafik faktor kondisi ikan kuniran betina dan jantan di setiap pengambilan contoh (Maret September 2011). 34

11 Mortalitas dan Laju Eksploitasi Pendugaan mortalitas total (Z) ikan kuniran diperoleh dari kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang yang digambarkan pada Gambar 16 dan Gambar 17: Ln (f/ t) Ln (f/ t) = (t (L1/L2) /2) R² = t (L1/L2)/2 Gambar 16 Kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang ikan kuniran betina. Ln (f/ t) Ln (f/ t) = (t (L1/L2) /2) R² = t (L1/L2)/2 Gambar 17 Kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang ikan kuniran jantan. Tabel 5 merupakan tabel hasil analisis yang dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang, menyajikan informasi mengenai mortalitas total, mortalitas alami, dan mortalitas penangkapan, serta laju eksploitasi.

12 36 Tabel 5 Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kuniran di PPI Labuan, Banten Parameter Nilai (per tahun) Betina Jantan Total Laju Mortalitas Total (Z) Laju Mortalitas Alami (M) Laju Mortalitas Penangkapan (F) Laju Eksploitasi (E) Laju mortalitas total yang diperoleh untuk ikan betina sebesar 0.81 dan jantan sebesar 0.68 sedangkan total sebesar Laju mortalitas alami pada ikan betina sebesar 0.22 dan jantan sebesar 0.36 sedangkan total sebesar Laju mortalitas penangkapan untuk ikan betina diperoleh sebesar 0.59 dan ikan jantan sebesar 0.32 sedangkan total sebesar Laju eksploitasi untuk ikan betina sebesar 0.73 dan jantan sebesar 0.47 sedangkan total sebesar Model Produksi Surplus Ikan Kuniran Data hasil tangkapan (Catch), upaya penangkapan (effort), dan CPUE (Catch per Unit Effort) di perairan Banten dan didaratkan di PPI Banten yang ditangkap menggunakan alat tangkap cantrang berdasarkan Statistik Perikanan PPP Labuan dari tahun disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil tangkapan (ton), upaya penangkapan (unit), CPUE, Ln CPUE Tahun Hasil Tangkapan (ton) Upaya Tangkap (unit) CPUE Ln CPUE Sumber: DKP Banten 2011 Hasil Tangkapan (ton), Upaya Penangkapan (unit), CPUE, Ln CPUE dapat dianalisis menggunakan pendekatan model dari Schaefer dan Fox untuk menduga nilai hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Berikut disajikan grafik beserta tabel hasil analisis dari model tersebut yaitu menggunakan model Fox.

13 37 Grafik dan tabel hasil analisis MSY dengan menggunakan model Fox dapat disajikan pada Gambar 18 dan Tabel 7. Model Fox menggunakan hubungan hasil tangkapan dengan CPUE yang dilogaritmanaturalkan. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut: Ln CPUE Ln CPUE = f R² = f (unit) Gambar 18 Grafik hubungan effort dan Ln CPUE dengan pendekatan model Fox. Tabel hasil analisis f MSY dan MSY dengan menggunakan model Fox disajikan pada Tabel 7: Tabel 7 Hasil pendugaan f MSY dan MSY menggunakan pendekatan model Fox Model Fox a 3.46 b Upaya Optimum ( ) (unit) Maximum Sustainable Yield (MSY) (ton/th) Potensi Lestari (PL) (ton/th) Total Allowable Catch (TAC) (ton/th) Pembahasan Sebaran Frekuensi Panjang Metode pengelompokkan umur ikan pada perairan tropis pada umumnya menggunakan analisis frekuensi panjang. Hal ini dikarenakan pada perairan tropis sulit ditentukan lingkaran-lingkaran tahun pada ikan tersebut sehingga kemungkinan terjadinya bias dalam penentuan kelompok umur cukup tinggi. Metode numerik mulai dikembangkan dan memungkinkan dilakukannya konveksi atas data frekuensi panjang dalam komposisi umur sehingga pendugaan stok spesies tropis adalah

14 38 analisis frekuensi panjang total ikan. Tujuan analisis data berdasarkan sidik frekuensi panjang untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre dan Venema 1999). Dari hasil yang diperoleh dapat terlihat bahwa secara keseluruhan baik jantan maupun betina frekuensi maksimumnya berada pada batas kelas mm dengan jumlah frekuensi sebesar 101 dari jumlah total ikan contoh yang diambil sebanyak 679 ikan contoh. Jika dilihat dari ikan contoh betina, frekuensi terbanyak berada pada selang kelas yang sama halnya dengan total keseluruhan yaitu dari batas kelas dengan jumlah frekuensi sebesar 60 dari jumlah total contoh ikan betina yang diambil sebanyak 384 contoh. Begitu pula halnya dengan contoh total ikan jantan yang terdistribusi terbanyak pada batas kelas dengan jumlah frekuensi sebesar 41 dari jumlah total contoh ikan jantan yang diambil sebanyak 295 contoh. Penentuan umur harus menggunakan contoh yang banyak dengan selang waktu yang lebar, diperoleh dari hasil tangkapan awal sehingga dapat diketahui kelompok umur pertama (Sparre dan Venema 1999). Menurut Boer (1996), penggunaan histogram frekuensi panjang sering dianggap teknik yang paling sederhana diterapkan untuk mengetahui tingkatan stok ikan, tetapi yang perlu dicatat bahwa struktur data panjang sangat bervariasi tergantung letaknya baik secara geografis, habitat, maupun tingkah laku. Pernyataan di atas sesuai dengan penelitian ini yang membuktikan bahwa adanya perbedaan struktur data panjang yang dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Syamsiyah pada tanggal 7 Februari 2010 sampai 27 Maret 2010 di perairan Utara Jawa menjelaskan bahwa ikan yang dominan tertangkap di perairan Utara Jawa berkisar mm dan mm, sedangkan panjang ikan yang paling sedikit tertangkap berkisar mm. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ruth pada bulan Oktober hingga Desember 2010 di Teluk Jakarta menjelaskan bahwa ukuran ikan yang tertangkap di perairan tersebut berkisar mm. Berbeda halnya dengan penelitian ini, pada penelitian ini kisaran ikan yang tertangkap yaitu mm.

15 39 Dari ke tiga penelitian yang dibandingkan di atas terlihat bahwa adanya perbedaan struktur data panjang dari masing-masing penelitian. Perbedaan struktur data panjang pada ke tiga penelitian tersebut dikarenakan waktu pengambilan contoh yang berbeda dengan lokasi yang berbeda pula sehingga menghasilkan struktur data panjang yang berbeda. Syamsiyah (2010) menduga bahwa pada bulan maret terbentuk individu-individu baru yang berupa ikan-ikan kuniran berukuran kecil. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini, bahwa pada awal penelitian yaitu bulan Maret struktur data panjang yang diperoleh berukuran kecil-kecil yaitu sekitar 60 mm yang diduga merupakan masukan individu-individu baru ke dalam stok ikan kuniran tersebut. Kemudian pada bulan-bulan selanjutnya struktur data panjang yang diperoleh terus meningkat karena ikan mengalami pertumbuhan. Perbedaan struktur data panjang yang terjadi di tiga penelitian tersebut dikarenakan perbedaan pertumbuhan di masing-masing lokasi. Setiap perairan memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik dari faktor lingkungan, faktor makanan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan Effendie (2002) yang menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan berupa suhu air, kandungan oksigen terlarut, ammonia, salinitas, dan fotoperiod (panjang hari). Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan faktor lainnya seperti kompetisi, jumlah, dan kualitas makanan, umur, serta tingkat kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan. Faktor dalam yang umumnya sangat sulit dikontrol antara lain keturunan, umur, parasit, dan penyakit. Sehingga dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa struktur data panjang yang diambil dari lokasi yang berbeda kemungkinan besar struktur data panjangnya akan berbeda Parameter Pertumbuhan Pertumbuhan individu merupakan suatu pertambahan ukuran panjang atau berat pada periode waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan populasi adalah pertambahan jumlah, yang kemudian sering disebut bahwa pertumbuhan merupakan proses biologi kompleks yang secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor yang berasal dari luar maupun dari dalam (Effendie 2002). Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya merupakan penentuan ukuran badan sebagai suatu fungsi umur (Sparre dan Venema 1999).

16 40 Selain dengan menggunakan grafik histogram untuk melihat pergeseran modus dari sebaran frekuensi panjang disetiap bulannya (sebaran kelompok ukuran), dapat juga dilihat dari gambar hasil perhitungan dengan menggunakan metode NORMSEP yang terdapat dalam program FISAT II. Terlihat pada hasil (Gambar 9 dan Gambar 10) bahwa adanya pergeseran kurva pada setiap pengambilan contoh menunjukkan bahwa telah terjadinya pertumbuhan yang dialami oleh ikan kuniran tersebut disetiap bulannya sehingga gambar kurva menunjukkan pergeseran modus yang cukup signifikan ke arah kanan. Pengambilan contoh awal yaitu pada bulan Maret baik jantan maupun betina memiliki struktur data panjang yang relatif kecil, namun pada dua bulan berikutnya yaitu bulan April dan Mei mengalami pergeseran kurva ke arah kanan yang menunjukkan adanya pertumbuhan pada bulan-bulan tersebut. Sedangkan pada bulan Juni dan September kurva mengalami pergeseran ke arah kiri yang sangat signifikan melebihi titik awal pada bulan Maret. Hal ini terjadi diduga adanya masukan individu-individu baru (recruitment) ke dalam stok ikan kuniran tersebut yang menggantikan stok ikan kuniran yang lama atau dewasa sedangkan ikan-ikan yang sudah dewasa atau matang gonad telah mengalami pemijahan dan tertangkap. Namun ikan kuniran tersebut mengalami pertumbuhan kembali pada bulan selanjutnya yaitu pada bulan Juli dan Agustus yang ditandai dengan adanya pergeseran kurva ke arah kanan. Perubahan pergeseran modus tersebut terjadi pada ikan betina maupun ikan jantan. Dari grafik pergeseran modus dapat diduga bahwa ikan kuniran di perairan banten mengalami pergantian modus yaitu pergantian ikanikan dewasa dengan ikan-ikan muda setiap 3 bulan sekali. Dari hasil analisis yang disajikan pada Tabel 2, diperoleh kelompok ukuran untuk ikan betina sebanyak dua kelompok ukuran dari tiap pengambilan contoh. Namun hanya pada bulan juli dan September yang terdapat satu kelompok umur dan Indeks separasi dari keseluruhan contoh betina yang memilki dua kelompok ukuran diperoleh nilai di atas dua. Sedangkan untuk contoh ikan jantan yang diperoleh setiap bulannya lebih banyak terdapat satu kelompok ukuran. Pada bulan Maret dan bulan Mei masing-masing terdapat tiga kelompok ukuran, sedangkan pada bulan April dan bulan Agustus terdapat dua kelompok ukuran. Nilai indeks separasi yang diperoleh pada ikan kuniran jantan contoh yang memiliki dua dan tiga kelompok

17 41 ukuran, nilainya yaitu berada di atas dua sehingga dapat disimpulkan ikan kuniran jantan contoh pada bulan-bulan tersebut memiliki lebih dari satu kelompok ukuran. Indeks sparasi menggambarkan kualitas pemisahan dua kelompok umur yang berdekatan. Bila indeks sparasi kurang dari dua (I<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan diantara dua kelompok umur, karena terjadi tumpang tindih yang besar antara keduanya atau modus yang diperoleh berupa modus palsu (Haselblad 1966, McNew dan Summerfelt 1978, serta Clark 1981 in Sparre dan Venema 1999). Parameter pertumbuhan dengan metode Von Bertalanffy yaitu parameter K, L, dan t 0 diduga dengan menggunakan metode Ford Walford. Metode ini merupakan salah satu metode yang cukup sederhana untuk menduga parameter pertumbuhan dari contoh yang diambil dalam interval waktu yang sama. Untuk mendapatkan data inputan yang akan digunakan dalam metode Ford Walford, sebelumnya dilakukan analisis dalam program FISAT II dengan metode NORMSEP setelah itu baru diperoleh data masukan untuk digunakan dalam metode Ford Walford. Panjang total maksimum ikan yang tertangkap di perairan selat sunda dan didaratkan di PPI Labuan untuk ikan betina dan jantan masing-masing adalah 180 mm dan 160 mm. Kedua masing-masing panjang tersebut kurang dari panjang asimtotiknya yaitu untuk ikan betina sepanjang mm dengan koefisien pertumbuhan sebesar 0.12 dan untuk ikan jantan sepanjang mm dengan koefisien pertumbuhan sebesar Semakin cepat laju pertumbuhannya maka semakin cepat pula ikan tersebut mendekati panjang asismtotik dan semakin cepat pula ikan tersebut mati. Menurut Sparre dan Venema (1999), semakin rendah koefisien pertumbuhan maka semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh spesies tersebut untuk mendekati panjang asimtotik begitupun sebaliknya semakin tinggi koefisien pertumbuhan maka akan semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk mendekati panjang asimtotik. Cepatnya pertumbuhan dan pendeknya umur ikan kuniran menunjukkan laju kematian yang cukup tinggi. Sehingga dari hasil tersebut diduga bahwa laju pertumbuhan ikan jantan lebih cepat dibandingkan dengan ikan betina sehingga ikan jantan lebih cepat mencapai panjang asimtotik dan lebih cepat mati dibandingkan dengan ikan betina, sehingga menyebabkan komposisi ikan betina lebih banyak

18 42 dibandingkan dengan ikan jantan. Hal ini dibuktikan dengan data pengambilan contoh di setiap bulan yang menunjukkan bahwa dominansi komposisi ikan betina yang tertangkap lebih banyak dibandingkan dengan ikan jantan. Dari kurva pertumbuhan terlihat bahwa laju pertumbuhan ikan kuniran tidak sama selama rentang hidupnya. Ikan yang berumur muda laju pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan ikan yang berumur tua. Berdasarkan kurva pertumbuhan ikan kuniran (disajikan pada Gambar 11 dan Gambar 12), ketika umur ikan mencapai sekitar 8 tahun, secara teoritis panjang total ikan adalah mm untuk ikan betina dan ketika umur ikan mencapai sekitar 5 tahun, secara teoritis panjang total ikan jantan adalah mm. Diduga waktu yang dibutuhkan pada ikan kuniran betina dan jantan untuk mencapai pertumbuhan maksimumnya masingmasing selama 8 tahun dan 5 tahun. Hasil analisis serupa dari beberapa penelitian tentang ikan kuniran disajikan pada Tabel 10. Tabel 8 Parameter pertumbuhan ikan kuniran dari beberapa hasil penelitian Sumber Lokasi Koefisien Pertumbuhan (K) per tahun (mm) Ingles & Pauly (1984) Perairan Utara Jawa Syamsiyah (2010) Perairan Utara Jawa Ruth (2011) Perairan Teluk jakarta Penelitian ini (2012) Perairan Selat Sunda Penelitian lain menyebutkan bahwa nilai K yang diperoleh berbeda dengan nilai K yang diperoleh pada penelitian ini. Nilai K juga berbeda di setiap penelitian satu dengan yang lainnya. Begitu pula halnya dengan nilai L yang berbeda dari penelitian yang satu dengan yang lainnya. Nilai K terlihat semakin mengecil di setiap penelitian baik dari tahun 1984, 2010, 2011, dan terakhir Meskipun dari empat penelitian yang dilakukan menggunakan ikan kuniran yang sama dengan spesies yang berbeda, namun ternyata dari keempat penelitian tersebut memperoleh nilai K dan L yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan panjang maksimum dari contoh yang diambil dari tiap-tiap penelitian tersebut. Selain itu perbedaan waktu dan lokasi pengambilan contoh juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan terhadap nilai K dan L yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan Effendie (2002) yang menyatakan bahwa

19 43 pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan berupa suhu air, kandungan oksigen terlarut, ammonia, salinitas, dan fotoperiod (panjang hari). Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan faktor lainnya seperti kompetisi, jumlah, dan kualitas makanan, umur, serta tingkat kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan. Faktor dalam yang umumnya sangat sulit dikontrol antara lain keturunan, umur, parasit, dan penyakit. Dari pernyataan tersebut dapat memperkuat kesimpulan bahwa perbedaan lokasi pengambilan contoh atau perbedaan kondisi lingkungan perairan kemungkinan besar mengakibatkan adanya perbedaan parameter pertumbuhan yang diestimasi. Hal mengenai aspek pertumbuhan ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana pengelolaan agar tingkat pemanfaatan dapat lestari dan berkelanjutan Hubungan Panjang Bobot dan Faktor Kondisi Dalam perhitungan untuk menduga suatu pertumbuhan terdapat dua model yang dapat digunakan yaitu model yang berhubungan dengan bobot dan model yang berhubungan dengan panjang (Effendie 1979). Model-model tersebut menggunakan persamaan matematik untuk menggambarkan suatu pertumbuhan. Analisis pola pertumbuhan menggunakan data panjang bobot. Persamaan hubungan panjang bobot ikan dimanfaatkan untuk berat ikan melalui panjangnya dan menjelaskan pola pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang (Effendie 1979). Berdasarkan pada Gambar 13 dan Gambar 14 hubungan panjang bobot pada ikan kuniran bersifat allometrik negatif baik untuk ikan betina maupun ikan jantan. Hal ini dikarenakan pada keseluruhan pengambilan contoh bersifat allometrik negatif. Diperoleh hasil pola pertumbuhan pada masing-masing analisis yaitu bersifat allometrik negatif. Jika dilihat dari nilai (b), maka hasil analisis hubungan panjang bobot yang diperoleh sama dengan konsep yang mengatakan bahwa pola pertumbuhan ikan yang isometrik memiliki nilai b=3 dan pola pertumbuhan ikan yang allometrik memiliki nilai b 3. Seperti yang dikemukakan oleh Effendie (2002), bahwa Ikan

20 44 yang memiliki pola pertumbuhan isometrik (b=3), pertambahan panjangnya seimbang dengan pertumbuhan bobot. Sebaliknya pada ikan dengan pola pertumbuhan allometrik (b 3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobotnya. Pertumbuhan allometrik positif (b>3) menyatakan pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan allometrik negatif (b<3) menyatakan pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot. Perbedaan terhadap beberapa nilai (b) yang diperoleh dengan nilai (b) pada pustaka terjadi karena setelah diuji menggunakan uji t (uji parsial) pada nilai b pada masing-masing bulan baik untuk ikan betina maupun ikan jantan memperoleh hasil yang berbeda dengan hasil sebenarnya, sehingga didapat keputusan untuk tolak H 0 yang berarti harus menerima H 1 berupa pola pertumbuhan allometrik. Hal ini juga diperkuat dari nilai (b) yang berada di dalam atau tidak berada di dalam selang kepercayaan yang dibuat untuk nilai (b), selang kepercayaan dibuat agar lebih meyakinkan nilai (b) bersifat isometrik atau allometrik. Sehingga dari hal tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pola pertumbuhan ikan kuniran (Upeneus moluccensis) memiliki pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif. Pola pertumbuhan yang diperoleh dalam penelitian ini berbeda dengan pola pertumbuhan yang diperoleh dari penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Sjafei dan Susilawati (2001) di perairan Teluk Banten. Sjafei dan Susilawati (2001) memperoleh hasil pola pertumbuhan yang bersifat isometrik yang sebelumnya memperoleh nilai b yang bersifat allometrik negatif, namun setelah dilakukan ujit (uji parsial) menunjukkan hasil bahwa pola pertumbuhan ikan kuniran yang sebenarnya adalah isometrik. Perbedaan hasil pola pertumbuhan tersebut diduga bahwa telah terjadi perubahan pada pola pertumbuhan ikan kuniran pada tahun 2001 hingga Selain itu perbedaan pola pertumbuhan yang terjadi diduga karena perbedaan kondisi lingkungan perairan. Walaupun perairan Teluk Banten dan perairan Selat Sunda berdekatan, belum tentu adanya kesamaan kondisi lingkungan perairan diantara keduanya, ditambah dengan selang waktu kurang lebih 11 tahun dalam perbedaan penelitian yang dilakukan, sehingga perbedaan pola pertumbuhan ikan kuniran dapat terjadi. Penelitian lain pernah dilakukan terhadap ikan kuniran (Upeneus sulphureus) yang dilakukan oleh Syamsiyah (2010) dan Ruth (2011) yang

21 45 memperoleh hasil pola pertumbuhan yang sama dengan penelitian ini yaitu pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif. Perbedaan pola pertumbuhan tersebut diduga karena ada perbedaan faktor internal berupa perbedaan spesies atau genetik dan faktor eksternal berupa kondisi lingkungan perairan, baik suhu, salinitas, ketersediaan makanan, waktu penangkapan, dan lain sebagainya (Effendie 2002). Dari hasil analisis tentang faktor kondisi ikan kuniran betina dan jantan dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa dari setiap bulannya ikan kuniran betina menunjukkan suatu keadaan yang lebih baik (montok) dibandingkan dengan ikan jantan. Dapat terlihat pada Gambar 15, grafik faktor kondisi ikan kuniran betina selalu berada di atas grafik faktor kondisi ikan jantan yang menunjukkan bahwa kemontokkan ikan kuniran betina lebih baik dibandingkan dengan ikan jantan. Jika dilihat dari morfologi, ikan kuniran betina memang lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan dan bobot ikan betina pun lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Hasil analisis menunjukkan faktor kondisi ikan kuniran bernilai rata-rata 1 dengan bentuk tubuh ikan kuniran yang bentuknya kurang pipih. Hal ini sesuai dengan Effendie (1997) yang menyatakan bahwa nilai K yang berkisar antara 2-4 menunjukkan bahwa badan ikan tersebut berbentuk agak pipih. Sedangkan nilai K yang berkisar antara 1-3 menunjukkan bahwa badan ikan tersebut berbentuk kurang pipih Mortalitas dan Laju Eksploitasi Penurunan terhadap stok disebabkan oleh dua faktor, yaitu karena mortalitas alami dan eksploitasi spesies yang berupa mortalitas penangkapan. Mortalitas penangkapan disebabkan oleh kegiatan penangkapan, sedangkan mortalitas alami disebabkan oleh kematian ikan yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan faktor terbesar yaitu predasi (King 1995). Stok ikan yang ada di alam ada yang dieksploitasi ada juga yang tidak. Stok yang telah dieksploitasi sangat diperlukan informasi mengenai mortalitas total, mortalitas alami, dan mortalitas penangkapan. Hal ini dikarenakan dengan mengetahui informasi-informasi tersebut maka akan dengan mudah menentukan laju eksploitasi sehingga dapat ditentukan perairannya sudah over eksploitasi ataukah belum.

22 46 Untuk menentukan laju eksploitasi diperlukan data mengenai mortalitas total dan mortalitas alami. Mortalitas total (Z) didapat dari konversi kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang. Sedangkan untuk memperoleh mortalitas alami (M) diperlukan data mengenai parameter pertumbuhan Von Bertalanffy yaitu K dan L. Ikan yang memiliki nilai K yang besar maka akan memiliki nilai M yang besar karena semakin besar laju pertumbuhan dari suatu ikan maka akan semakin cepat ikan tersebut mendekati L sehingga ikan akan semakin cepat mati. Namun jika L semakin panjang maka nilai M akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan ikan tersebut semakin lama untuk mencapai L dan diduga kematian yang paling dominan bukan dari kematian secara alami melainkan akibat penangkapan. Laju mortalitas total (Z) ikan betina lebih besar dibandingkan dengan laju mortalitas total (Z) pada ikan jantan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kematian total dari ikan betina jauh lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan sehingga stok terhadap ikan betina lebih rentan dibandingkan dengan ikan jantan. Jika dilihat dari laju mortalitas alaminya, laju mortalitas alami (M) ikan jantan lebih besar dibandingkan dengan ikan betina. Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan (K) ikan jantan lebih besar dibandingkan dengan ikan betina sehingga ikan jantan lebih cepat mencapai panjang asimtotik (L ) dan lebih cepat mati. Oleh karena itu laju mortalitas alami (M) ikan jantan lebih besar dibandingkan dengan ikan betina. Selain itu menurut Sparre dan Venema (1999), mortalitas alami juga disebabkan akibat pemangsaan, penyakit, stress, pemijahan, kelaparan, dan usia tua. Berbanding terbalik dengan laju mortalitas alami (M), laju mortalitas penangkapan (F) ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Hal ini mengindikasikan bahwa tertangkapnya ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Selain itu keberadaan ikan betina di alam relatif lebih banyak dibandingkan dengan ikan jantan terkait dengan laju mortalitas alami pada ikan jantan lebih tinggi dibandingkan dengan ikan betina. Sehingga ikan betina lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan ikan jantan. Selanjutnya laju eksploitasi (E) yang didapat dari perbandingan antara laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) pada ikan betina yaitu adalah sebesar 0.73 sedangkan pada ikan jantan sebesar Hal ini berarti 73.03%

23 47 kematian ikan kuniran betina dari mortalitas total keseluruhan disebabkan oleh aktivitas penangkapan sedangkan pada jantan hanya sebesar 46.93%. Sehingga laju eksploitasi (E) pada ikan betina telah melewati nilai optimum suatu sumber daya yaitu sebesar 0.5 (Gulland 1971 in Paully 1982). Berarti ikan kuniran betina telah mengalami over eksploitasi karena telah melewati nilai eksploitasi optimum. Tingginya tingkat eksploitasi pada ikan kuniran betina mengindikasikan adanya tekanan penangkapan yang sangat tinggi terhadap stok ikan kuniran yang berada di perairan Banten atau Selat Sunda. Laju eksploitasi (E) sangat dipengaruhi oleh laju mortalitas penangkapan (F). Semakin tinggi tingkat laju mortalitas penangkapan (F) maka akan semakin tinggi pula laju eksploitasi (E). Akibat dari tingginya laju mortalitas penangkapan (F) terhadap ikan kuniran betina akan menurunkan laju mortalitas alami (M). King (1995) mengemukakan bahwa spesies yang dieksploitasi akan berdampak pada tereduksinya ikan-ikan dewasa sehingga ikan dewasa tersebut lebih dulu ditangkap oleh aktivitas penangkapan sebelum sempat untuk bereproduksi. Sehingga hal tersebut mengakibatkan tidak adanya rekruitmen yang masuk ke dalam stok dan pada akhirnya stok akan menipis sehingga lama kelamaan stok akan habis Dugaan Stok Ikan Kuniran Model surplus produksi merupakan suatu model yang menjelaskan tentang pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan yang lestari dan berkelanjutan. Model ini mengatur tentang upaya tangkap yang diperbolehkan untuk menangkap sumberdaya ikan dengan tidak melebihi batas hasil tangkapan lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY). Model ini diperkenalkan pertama kalinya oleh Schaefer dan Fox dengan menggunakan konsep hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan. Schaefer memperkenalkan model ini dengan konsep mengetahui hasil tangkapan per upaya tangkap atau Catch Per Unit Effort (CPUE) untuk menduga seberapa besar MSY nya. Berbeda dengan Schaefer, Fox memperkenalkan model ini dengan konsep mengetahui CPUE yang di logaritma naturalkan untuk menduga seberapa besar nilai MSY nya (Sparre dan Venema 1999). Berdasarkan data statistik perikanan dari DKP, Banten pada Tabel 1, dapat terlihat bahwa aktivitas penangkapan telah mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan jumlah hasil tangkapan dari tahun ke tahun cenderung mengalami

24 48 penurunan yang diduga karena keterkaitan dengan laju eksploitasi yang cukup tinggi sehingga keberadaan ikan kuniran menjadi semakin sedikit dari tahun ke tahun. Hasil analisis model stok ikan kuniran yang mengikuti model stok dengan pendekatan model Fox diperoleh nilai f MSY sebesar 172 unit per tahun dan MSY sebesar ton per tahun dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,78 atau 78 % yang mewakili keadaan yang sebenarnya. Jika dilihat dari nilai koefisien determinasinya, pendekatan dengan model Fox lebih cocok digunakan untuk menduga f MSY dan MSY karena lebih mewakili keadaan yang sebenarnya. Jika dilihat dari data statistik perikanan tangkap yang dikaitkan dengan model Fox maka pada tahun 2000 ikan kuniran sudah hampir mencapai titik kritis MSY. Pada tahun 2001 dengan jumlah upaya tangkap yang sama, hasil tangkapan sudah melebihi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dan pada tahun 2002 ketika upaya penangkapannya ditambah namun hasil tangkapan yang diperoleh semakin berkurang dari tahun sebelumnya. Begitu pun dengan tahun-tahun berikutnya dari tahun hasil tangkapan cenderung menurun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penangkapan terhadap ikan kuniran di duga telah mengalami growth over fishing. Menurut Widodo & Suadi (2006) in Syamsiyah (2010) beberapa ciri yang menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju upaya tangkap lebih adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil diiringi dengan penurunan produktivitas hasil tangkapan persatuan upaya Pengelolaan Ikan Kuniran Stok sumberdaya ikan di lautan belum tentu aman dengan tanpa melakukan penangkapan, akan tetapi dalam kondisi yang berkesinambungan usaha penangkapan terhadap sumberdaya ikan dapat dilakukan dalam volume penangkapan terbesar yang tidak melebihi tangkapan maksimum lesatari (MSY) sehingga kegiatan penangkapan dan pencegahan dalam rangka mempertahankan sumberdaya ikan di lautan dapat dilakukan secara berkesinambungan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, menghasilkan beberapa indikasi tingginya tekanan penangkapan terhadap sumberdaya ikan kuniran. Hal ini dibuktikan dengan hasil laju eksploitasi yang diperoleh dalam penelitian ini telah

25 49 melebihi laju eksploitasi optimumnya. Gulland (1971) in Pauly (1982) menyatakan bahwa laju mortalitas penangkapan yang seimbang atau sama dengan laju mortalitas alami menghasilkan laju eksploitasi optimalnya sebesar 0,5. Akibat tingginya tekanan penangkapan terhadap sumberdaya ikan kuniran maka sangat dimungkinkan ikan-ikan yang masih muda juga ikut tertangkap. Apabila ikan-ikan muda ikut tertangkap dikhawatirkan stok sumberdaya ikan kuniran ini semakin menipis. Hal ini ditunjukkan dari panjang asimtotik sumberdaya ikan kuniran yang semakin kecil karena ikan tersebut tidak memiliki waktu pulih yang cukup untuk pertumbuhannya. Hal ini juga dibuktikan dari ukuran ikan contoh yang diambil dalam penelitian ini. Ikan contoh yang teramati bahkan sampai ada yang berukuran 65 mm. Secara ekonomi, ikan yang berukuran kecil tersebut tidak bernilai ekonomis bahkan seringkali ikan yang berukuran kecil ini dibuat pakan bahkan dibuang lagi ke laut. Selain secara ekonomis tidak memberikan keuntungan, secara ekologis ikan muda ini seharusnya masih perlu tumbuh dan bereproduksi sehingga stok ikan kuniran dapat tetap terjaga. Oleh karena itu dapat diduga bahwa stok sumberdaya ikan kuniran yang ditangkap di kawasan perairan Selat Sunda telah mengalami kondisi growth overfishing, yaitu ikan-ikan kuniran yang berukuran kecil banyak tertangkap oleh nelayan sebelum ikan tersebut mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Terjadinya penurunan potensi sumberdaya ikan kuniran di kawasan perairan Selat Sunda dapat dihindari dengan melakukan pengaturan dan pengelolaan terhadap sumberdaya ikan tersebut. Strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pemanfaatan sumberdaya ikan kuniran yang berlebihan dan bersifat destruktif adalah pengelolaan sehingga dapat menjamin produktivitas serta pemanfaatan sumberdaya ikan kuniran agar tetap lestari. Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa, dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari (Boer dan Aziz 2007). Pengelolaan yang tepat terhadap permasalahan sumberdaya ikan kuniran dilakukan dengan cara mengurangi upaya penangkapan agar dapat menghasilkan produksi yang tinggi dan ketidakpastian produksinya rendah. Pengelolaan dapat dilakukan dengan cara

26 50 penentuan daerah penangkapan pada musim pemijahan, pengaturan upaya penangkapan, dan pengaturan ukuran mata jaring. Selain itu agar tidak terjadi perselisihan atau konflik diantara pemerintah, pelaku perikanan atau pengguna sumberdaya, serta stakeholder lainnya maka diperlukan suatu bentuk kerjasama yang terintegritas diantara pihak-pihak terkait untuk memahami pentingnya sumberdaya ikan, bukan hanya sumberdaya ikan kuniran saja melainkan seluruh sumberdaya ikan yang ada agar keberadaan sumberdaya ikan tetap terjaga kelestariannya demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Selat Sunda secara geografis menghubungkan Laut Jawa serta Selat Karimata di bagian utara dengan Samudera Hindia di bagian selatan. Topografi perairan ini secara

Lebih terperinci

3.3 Pengumpulan Data Primer

3.3 Pengumpulan Data Primer 10 pada bagian kantong, dengan panjang 200 m dan lebar 70 m. Satu trip penangkapan hanya berlangsung selama satu hari dengan penangkapan efektif sekitar 10 hingga 12 jam. Sedangkan untuk alat tangkap pancing

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum PPP Labuan, Banten Wilayah Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6 0 21-7 0 10 Lintang Selatan dan 104 0 48-106 0 11 Bujur Barat dengan luas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP Labuan secara administratif terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. PPP Labuan memiliki batas administratif,

Lebih terperinci

KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT

KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang yang didirikan

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Selat Sunda Perairan Selat Sunda terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa sehingga perairan ini merupakan pertemuan antara perairan

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN VISKA DONITA PRAHADINA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) 58 Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II 59 Lampiran 1. (lanjutan)

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengembangan Sistem Sistem analisa dan informasi akan pengkajian stok ikan ini bernama CIAFISH (Calculation, Information, and Analysis of Fisheries). Program CIAFISH dirancang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 14 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan April tahun 2012. Pengambilan data primer dilakukan pada bulan April tahun 2012 sedangkan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan dangkal Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengambilan contoh ikan dilakukan terbatas pada daerah

Lebih terperinci

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang KAJIAN STOK IKAN LAYANG (Decapterus russelli) BERBASIS PANJANG BERAT DARI PERAIRAN MAPUR YANG DIDARATKAN DI TEMPAT PENDARATAN IKAN PELANTAR KUD KOTA TANJUNGPINANG Length-Weight based Stock Assesment Of

Lebih terperinci

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT Umi Chodrijah 1, Agus Arifin Sentosa 2, dan Prihatiningsih 1 Disampaikan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat (Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perikanan Layur di PPN Palabuhanratu Secara geografis, Teluk Palabuhanratu ini terletak di kawasan Samudera Hindia pada posisi 106 10-106 30 BT dan 6 50-7 30 LS dengan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi perairan pesisir Banten yaitu perairan PLTU-Labuan Teluk Lada dan Teluk Banten Bojonegara, Provinsi Banten.

Lebih terperinci

Febyansyah Nur Abdullah, Anhar Solichin*), Suradi Wijaya Saputra

Febyansyah Nur Abdullah, Anhar Solichin*), Suradi Wijaya Saputra ASPEK BIOLOGI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN KUNIRAN (Upeneus moluccensis) YANG DIDARATKAN DI TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) TAWANG KABUPATEN KENDAL PROVINSI JAWA TENGAH Aspects of Fish Biology and Utilization

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian dibagi dalam 2 tahapan berdasarkan waktu kegiatan, yaitu : (1) Pelaksanaan penelitian lapangan selama 2 bulan (September- Oktober

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru. 3 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli 009 di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar - Perairan Selat Bali, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Perairan Selat Bali terletak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Organ Pencernaan Ikan Kuniran Ikan kuniran merupakan salah satu jenis ikan demersal. Ikan kuniran juga merupakan ikan karnivora. Ikan kuniran memiliki sungut pada bagian

Lebih terperinci

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT SUNDA GAMA SATRIA NUGRAHA

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT SUNDA GAMA SATRIA NUGRAHA STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT SUNDA GAMA SATRIA NUGRAHA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Palabuhan Ratu Perairan Palabuhan Ratu merupakan teluk semi tertutup yang berada di pantai selatan Jawa Barat, termasuk kedalam wilayah

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun Kepulauan Seribu (Gambar 2). Lokasi pengambilan contoh dilakukan di perairan yang

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Pengumpulan Data

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Pengumpulan Data 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Model dan Simulasi, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Institut Pertanian Bogor. Waktu pelaksanaan dimulai

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19 Dimana : Log m = logaritma dari panjang pada kematangan yang pertama Xt = logaritma nilai tengah panjang ikan 50% matang gonad x = logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang pi = jumlah matang

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Kota Serang 4.1.1 Letak geografis Kota Serang berada di wilayah Provinsi Banten yang secara geografis terletak antara 5º99-6º22 LS dan 106º07-106º25

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier, 1817) DI PERAIRAN SELAT SUNDA

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier, 1817) DI PERAIRAN SELAT SUNDA STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier, 1817) DI PERAIRAN SELAT SUNDA MUHAMMAD SYAHLI INDRA MULIA NUSANTARA SIREGAR DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Pola Rekrutmen, Mortalitas, dan Laju Eksploitasi Ikan Lemuru (Amblygaster sirm, Walbaum 1792) di Perairan Selat Sunda

Pola Rekrutmen, Mortalitas, dan Laju Eksploitasi Ikan Lemuru (Amblygaster sirm, Walbaum 1792) di Perairan Selat Sunda Pola Rekrutmen, Mortalitas, dan Laju Eksploitasi Ikan Lemuru (Amblygaster sirm, Walbaum 1792) di Perairan Selat Sunda Recruitment Pattern, Mortality, and Exploitation rate of Spotted Sardinella (Amblygaster

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palabuhanratu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup tinggi di Jawa Barat (Oktariza et al. 1996). Lokasi Palabuhanratu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun Cacth (ton) 46 4 HASIL 4.1 Hasil Tangkapan (Catch) Ikan Lemuru Jumlah dan nilai produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru yang didaratkan di PPP Muncar dari tahun 24 28 dapat dilihat pada Gambar 4 dan

Lebih terperinci

2. METODOLOGI PENELITIAN

2. METODOLOGI PENELITIAN 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terdiri dari lokasi pengambilan udang mantis contoh dan lokasi pengukuran sumber makanan potensial udang mantis melalui analisis

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 10 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian adalah di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Ikan yang didaratkan di PPP Labuan ini umumnya berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian. 31 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan data untuk kebutuhan penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 hingga Mei 2011 bertempat di Sibolga Propinsi Sumatera Utara (Gambar 3).

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Februari 2012 dengan interval waktu pengambilan sampel 1 bulan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan

Lebih terperinci

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Kota Serang Kota Serang adalah ibukota Provinsi Banten yang berjarak kurang lebih 70 km dari Jakarta. Suhu udara rata-rata di Kota Serang pada tahun 2009

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN TERI PEKTO (Stolephorus Waitei) DI PERAIRAN BELAWAN KOTA MEDAN SUMATERA UTARA

PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN TERI PEKTO (Stolephorus Waitei) DI PERAIRAN BELAWAN KOTA MEDAN SUMATERA UTARA PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN TERI PEKTO (Stolephorus Waitei) DI PERAIRAN BELAWAN KOTA MEDAN SUMATERA UTARA Growth and the rate exploitation of Anchovy Pekto (Stolephorus waitei) in the sea of

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

The study of Sardinella fimbriata stock based on weight length in Karas fishing ground landed at Pelantar KUD in Tanjungpinang

The study of Sardinella fimbriata stock based on weight length in Karas fishing ground landed at Pelantar KUD in Tanjungpinang KAJIAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) BERBASIS PANJANG BERAT DI PERAIRAN KARAS YANG DI DARATKAN DI TEMPAT PENDARATAN IKAN PELANTAR KUD KOTA TANJUNGPINANG The study of Sardinella fimbriata stock

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus Cuvier 1829) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG YANG DIDARATKAN DI TPI CILINCING JAKARTA AUSTIN EFFLIN WINDA RUTH SKRIPSI

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT. 3. METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Februari hingga Agustus 2011. Proses penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari dilakukan pengumpulan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA YOGI MAULANA MALIK PERDANAMIHARDJA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

STATUS STOK DAN ANALISIS POPULASI VIRTUAL IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NERI SRIBENITA SIHOMBING

STATUS STOK DAN ANALISIS POPULASI VIRTUAL IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NERI SRIBENITA SIHOMBING STATUS STOK DAN ANALISIS POPULASI VIRTUAL IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NERI SRIBENITA SIHOMBING DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL ANALISIS PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN KELURAHAN TENDA KECAMATAN HULONTHALANGI KOTA GORONTALO

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Biji Nangka 2.1.1. Klasifikasi Ikan biji nangka merupakan anggota dari famili Mullidae yang dikenal dengan nama goatfish. Menurut Cuvier (1829) in www.fishbase.org (2009)

Lebih terperinci

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia.

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia. Latar Belakanq Indonesia adalah negara maritim, lebih dari 70% dari luas wilayahnya, seluas 3,l juta km2, terdiri dari laut. Setelah deklarasi Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) pada tanggal 21 Maret

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Ikan kurisi merupakan salah satu ikan yang termasuk kelompok ikan demersal. Ikan ini memiliki ciri-ciri tubuh yang berukuran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

Hardiyansyah Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP, UMRAH,

Hardiyansyah Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP, UMRAH, Kajian Stok Ikan Selar Kuning (Selaroides leptolepis) di Tempat Pendaratan Ikan Barek Motor Kelurahan Kijang Kota Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan Hardiyansyah Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan,

Lebih terperinci