BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan. 1 Indonesia
|
|
- Susanti Kartawijaya
- 5 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap kehidupan bernegara tidak mungkin terlepas dari hukum, masing-masing negara tentu memiliki aturan hukumnya sendiri yang berfungsi untuk mengatur kehidupan warga negaranya. Pengertian hukum itu sendiri adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan. 1 Indonesia merupakan negara hukum, hal ini di buktikan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Salah satu hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum pidana. Hukum pidana merupakan keseluruhan peraturan hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan yang pelaku-pelakunya seharusnya dipidana dan pidana-pidana yang seharusnya dikenakan. 2 Moeljatno memberikan definisi hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 3 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai 1 J.C.T Simorangkir, S.H., dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hlm Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Renika Cipta, Jakarta, 2008, Hlm. 1
2 2 ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya. 2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut. Menurut pemberlakuannya, hukum pidana dapat dibedakan menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus yang mana dalam penulisan ini lebih difokuskan kepada hukum pidana umum. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang berlaku untuk umum dan hanya terbatas pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan perundangundangan terkait saja. 4 Menurut Andi Zainal Abidin, hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu. 5 Sementara itu, yang dimaksud dengan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang terletak di luar KUHP dan memiliki sejumlah ketentuan khusus terhadap KUHP. Pada dasarnya, hukum pidana tidak hanya berkaitan dengan penentuan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana serta kapan orang yang melakukan perbuatan pidana itu dijatuhi pidana, tetapi hukum pidana juga berkaitan dengan proses peradilan yang harus dijalankan seseorang. Proses penegakan hukum pidana diwujudkan melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan prosedur pelaksanaannya 4 Frans Maramis, Op.Cit., Hlm. 9 5 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 18
3 3 diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hasil akhir dari proses penegakan hukum pidana adalah dengan dijatuhkannya putusan pengadilan dalam suatu persidangan di peradilan. Putusan pengadilan sebagai kaidah hukum bersifat kongkret berfungsi untuk menegakan kaidah-kaidah hukum abstrak ketika apa yang seharusnya sesuai dengan kaidah-kaidah tersebut tidak terjadi. 6 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal tiga macam putusan pengadilan yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Jenis-jenis putusan hakim pidana yang diatur dalam KUHAP yaitu: 1. Putusan Bebas (Vrijspraak) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). 2. Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). 3. Putusan Pemidanaan 6 Titon Slamet Kurnia, Sistem Hukum Indonesia: Sebuah Pemahaman Awal, Mandar Maju, Bandung, 2016, Hlm. 48
4 4 Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Putusan pengadilan lahir dari suatu proses pengadilan terhadap suatu kasus yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Lembaga peradilan dalam menjalankan kewenangannya memutus suatu kasus, didasarkan pada asas independensi dan asas imparsialitas peradilan. Independensi berarti bahwa kekuasaan mengadili adalah kekuasaan lembaga peradilan yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga negara lain, sedangkan asas imparsialitas peradilan merupakan dimensi khusus dari asas independensi peradilan menyangkut kapasitas lembaga peradilan dalam menempatkan dirinya di antara para pihak dimana hal itu harus tercermin dalam putusannya. 7 Lembaga peradilan dalam menjalankan kewenangannya memutus suatu kasus dipresentasikan dalam suatu persidangan yang proses pelaksanaannya diketuai oleh hakim. Pengertian hakim di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Hakim adalah salah satu elemen dasar 7 Ibid., Hlm. 53
5 5 dalam sistem peradilan selain jaksa, polisi, dan penasehat hukum. Struktur dari kekuasaan kehakiman di Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dikatakan Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam mengadili dan menegakkan hukum. 8 Hakim memiliki kebebasan untuk menjatuhkan suatu putusan pengadilan sesuai dengan kewenangannya. Bebas dalam konsep kekuasaan hakim disini adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan tidak boleh melanggar dan merugikan kebebasan orang lain. Kebebasan seorang hakim terbagi dalam dua jenis kebebasan yaitu kebebasan eksistensial hakim dan kebebasan sosial hakim. Kebebasan eksistensial adalah kebebasan hakiki yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa melihat predikat yang melekat padanya. Pada profesi hakim kebebasan eksistensial menegaskan bahwa seorang hakim harus mampu menentukan dirinya sendiri dalam membuat putusan pengadilan. 9 Akan tetapi, seorang hakim dalam memutuskan sebuah putusan tetap harus memperhatikan dan melibatkan unsur manusiawi di dalamnya. Sementara 8 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, Hlm H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, Hlm. 170
6 6 itu, kebebasan sosial merupakan ruang gerak bagi kebebasan eksistensial, kita hanya dapat menentukan sikap dan tindakan kita sendiri sejauh orang lain membiarkan kita. 10 Hakim diberi kebebasan dalam menjalankan kekuasaannya menjatuhkan putusan dalam suatu persidangan. Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu 11 : 1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan. 2. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. 3. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. Hakim dalam menjalankan tugasnya haruslah dilindungi dan dijamin dalam undang-undang. Hal ini bertujuan agar hakim dapat menjalankan profesinya secara profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintahan. Seorang hakim dalam menjalankan tugasnya dan membuat putusan haruslah bebas dari pengaruh-pengaruh 12 : 1. Lembaga-lembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif maupun legislatif, dan lain-lain. 2. Lembaga-lembaga internal di dalam jajaran kekuasaan kehakiman sendiri. 3. Pengaruh-pengaruh pihak yang berperkara. 4. Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional maupun internasional. 5. Pengaruh-pengaruh yang bersifat trial by the press. 10 Ibid., Hlm Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm Ibid., Hlm. 169
7 7 Kekuasaan kehakiman yang merdeka tentu selalu seiringan dengan konsep kemandirian hakim, yang dimaksud dengan kemandirian hakim adalah mandiri, tidak tergantung dan tidak terpengaruh terhadap apapun atau siapa pun. Hakim atau peradilan sebagai tempat orang mencari keadilan haruslah mandiri dan independen. Mandiri dalam arti tidak tergantung atau terikat pada siapa pun, sehingga tidak harus memihak kepada siapa pun agar putusannya itu objektif, sehingga putusan yang dijatuhkan tersebut dapat menciptakan keadilan bagi para pihak yang berperkara. Hans Kelsen di dalam bukunya mengatakan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya. 13 Memuaskan dalam arti keputusan yang diberikan Hakim dalam putusannya telah memenuhi keinginan para pihak yang berperkara sehingga baik penuntut umum maupun penasihat hukum merasa bahwa mereka telah merasakan keadilan yang seadil-adilnya. Akan tetapi, tidak seluruh putusan pengadilan yang dijatuhkan dalam persidangan untuk menyelesaikan suatu perkara dianggap bersifat objektif dan dapat memberikan rasa keadilan bagi masing-masing pihak yang berperkara, oleh karena itu masing-masing pihak yang berperkara, baik terdakwa maupun penuntut umum, dapat mengajukan upaya hukum terhadap putusan yang dirasa belum memenuhi rasa keadilan. 13 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung 2011, Hlm. 7
8 8 Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 12 KUHAP). Upaya hukum dibedakan menjadi dua, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Menurut KUHAP, upaya hukum biasa dapat berupa: 1. Banding, yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk diperiksa ulang pada pengadilan yang lebih tinggi karena tidak puas atas putusan pengadilan negeri (Pasal 67 jo Pasal 233 KUHAP). 2. Kasasi, yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk meminta pembatalan putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi karena: a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. c. Proses peradilan tidak dijalankan sesuai Undang-Undang. Sedangkan upaya hukum luar biasa dapat berupa: 1. Kasasi demi kepentingan hukum. 2. Peninjauan Kembali Upaya hukum banding diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sedangkan upaya hukum kasasi diatur dalam Pasal 244 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Permohonan banding dan kasasi dapat diajukan oleh terdakwa atau penuntut umum terhadap semua putusan Pengadilan Negeri
9 9 kecuali putusan tersebut merupakan putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Undang-Undang memberi kesempatan upaya hukum sebagai tindakan koreksi atau perbaikan atas Putusan Pengadilan Negeri. Pemeriksaan banding kemudian dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dengan tujuan agar Putusan Pengadilan Negeri tersebut dikembalikan ke arah ketentuan Undang-Undang yang sebenarnya dan diharapkan dapat memberi rasa keadilan bagi para pihak berperkara yang sebelumnya tidak dirasakan dalam Putusan Pengadilan Negeri. Jika dalam putusan banding para pihak masih merasa belum mendapat keadilan, terhadap putusan banding tersebut dapat dimohonkan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Seperti kasus yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.JktSel. dengan terdakwa Andro Suprianto dan Nurdin Prianto. Dalam putusan tersebut terdakwa Andro Suprianto dan terdakwa Nurdin Prianto yang bekerja sebagai pengamen didakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 338 KUHP Jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP terhadap korban yang bernama Dicky Maulana dan dituntut pidana masing-masing selama 13 tahun dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar para terdakwa tetap ditahan. Dalam persidangan baik penuntut umum dan penasihat hukum menghadirkan saksi-saksi dari masing-masing pihak, akan tetapi tidak ada satu pun saksi yang melihat langsung bahwa terdakwa telah
10 10 melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah didakwakan oleh penuntut umum. Penasihat hukum para terdakwa dalam pembelaannya menyatakan bahwa para terdakwa tidak melakukan perbuatannya sebagaimana didakwa oleh penuntut umum dan bahwa penyidikan bertentangan dengan hukum yang kemudian mengakibatkan berita acara pemeriksaan cacat hukum sehingga berita acara pemeriksaan, surat dakwaan, dan surat tuntutan batal demi hukum serta tidak bisa dijadikan dasar untuk memenjarakan para terdakwa dan mengajukan eksepsi atas surat dakwaan tersebut pada tanggal 9 Oktober 2013 dan Majelis Hakim menolak eksepsi penasehat hukum terdakwa. Pada Putusan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.JktSel. pada amar putusannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan bahwa para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pembunuhan secara bersama-sama dan menjatuhkan pidana 7 tahun penjara kepada masing-masing terdakwa. Pada putusan pengadilan negeri tersebut, baik penuntut umum maupun penasehat hukum merasa belum mendapatkan keadilan yang selayaknya dan memohon upaya hukum banding kepada Pengadilan Tinggi terhadap putusan tersebut, yang kemudian oleh Pengadilan Tinggi dikeluarkan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor:50/PID/2014/PT.DKI yang pada amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Dakwaan Primair maupun Subsidair dari Dakwaan Penuntut Umum, majelis hakim pengadilan tinggi DKI Jakarta dalam pertimbangannya mengatakan
11 11 kurangnya bukti yang menunjukan bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana dikatakan oleh penuntut umum dalam dakwaannya, sehingga majelis hakim pengadilan tinggi DKI Jakarta kemudian membebaskan kedua terdakwa dari seluruh dakwaan tersebut. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terkait pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan cara sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undangundang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. 14 Alat bukti mempunyai fungsi yang sangat penting dalam persidangan, karena alat bukti merupakan salah satu elemen dasar yang dapat mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Penuntut umum kemudian memohon upaya hukum kasasi terhadap putusan banding tersebut dan oleh Mahkamah Agung dikeluarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1055 K/PID/2014. Pada pertimbangannya, majelis hakim agung mengatakan bahwa Judex Facti Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah tepat dan benar serta tidak bertentangan dengan hukum sehingga para terdakwa harus dibebaskan dari semua dakwaan. 14 M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke2, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 253
12 12 Pada praktik peradilan, baik di tingkat Pengadilan Negeri atau di tingkat Pengadilan Tinggi, hakim bisa saja memberikan putusan bersalah atau putusan bebas kepada terdakwa. Apabila pada putusan hakim menyatakan bahwa terdakwa bersalah, maka terdakwa dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan kemungkinan terdakwa tersebut dapat memperoleh keringanan berdasarkan pertimbangan majelis hakim, namun bisa juga putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa menyatakan lepas dari segala tuntutan hukum jika perbuatan yang didakwakan tidak merupakan suatu tindak pidana, atau menyatakan bebas, yang artinya terdakwa tidak terbukti bersalah dan akan dibebaskan dari segala tuntutan hukum, atau dengan kata lain hakim menolak dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum. Pada kasus ini Hakim Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa. Pengertian dan ketentuan mengenai putusan bebas itu sendiri diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yaitu Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. Dalam kasus ini, karena kurangnya bukti yang menunjukan bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana dikatakan oleh penuntut umum dalam dakwaannya, sehingga
13 13 akhirnya majelis hakim pengadilan tinggi DKI Jakarta kemudian membebaskan kedua terdakwa dari seluruh dakwaan tersebut. Hakim Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara banding tidak selalu memberikan putusan yang sama dengan putusan hakim Pengadilan Negeri. Seringkali putusan hakim Pengadilan Tinggi tersebut kemudian mengubah, memperbaiki, atau bahkan membatalkan putusan hakim Pengadilan Negeri, begitu pula dengan Hakim Mahkamah Agung yang mengadili pada tingkat kasasi. Hal ini terjadi dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.JktSel. Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Vonis Bebas Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel Jo. Putusan Nomor:50/PID/2014/PT.DKI Jo. Putusan Nomor:1055K/PID/2014). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah yang akan diketengahkan yaitu, apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan vonis bebas terhadap tindak pidana pembunuhan dalam studi kasus Putusan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel Jo. Putusan Nomor:50/PID/2014/PT.DKI Jo. Putusan Nomor:1055K/PID/2014?
14 14 C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan Hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap tindak pidana pembunuhan dalam studi kasus Putusan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel Jo. Putusan Nomor:50/PID/2014/PT.DKI Jo. Putusan Nomor:1055K/PID/2014. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dengan adanya penelitian ini maka diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pidana terutama pembuktian dan pertimbangan hakim dalam memutus tindak pidana pembunuhan. 2. Manfaat Praktis Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran yuridis yang berkaitan dengan alasan pertimbangan Hakim Tinggi dan Hakim Agung yang menjatuhkan putusan bebas terhadap tindak pidana pembunuhan.
15 15 E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya, maka jenis penelitian yang dipakai adalah Yuridis Normatif, karena yang diteliti ialah pertimbangan hakim dan penelitian dilakukan dengan menelaah putusan hakim dikaitkan dengan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hukum yang sedang penulis amati Jenis Pendekatan Adapun pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yang bertitik fokus pada kasus (Case Approach) dimana yang akan diteliti adalah berdasarkan fakta kasus yang terjadi dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel Jo. Putusan Nomor:50/PID/2014/PT.DKI Jo. Putusan Nomor:1055K/PID/ Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Untuk menjawab pertanyaan dan mencapai tujuan penelitian dibutuhkan data berupa: 15 Peter Mahmud M., Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, Hlm. 136
16 16 a. Bahan Hukum Primer 1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)/ Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 4) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel 5) Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor:50/PID/2014/PT.DKI 6) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1055K/PID/2014 7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010 b. Bahan Hukum Sekunder Bahan sekunder yang dipakai dalam penulisan ini adalah literatur, buku-buku, koran-koran dan wacana-wacana sebagai refrensi yang terkait untuk penulisan skripsi ini. 4. Unit Amatan dan Analisa a. Unit amatan Adapun yang menjadi unit amatan dalam penulisan ini adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
17 17 Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor:50/PID/2014/PT.DKI, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1055K/PID/2014, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Unit analisa Adapun yang menjadi unit analisa dalam penulisan ini adalah pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan bebas pada perkara Putusan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel Jo. Putusan Nomor:50/PID/2014/PT.DKI Jo. Putusan Nomor:1055K/PID/2014.
BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum
Lebih terperinciAbstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:
Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan I. PEMOHON 1. Elisa Manurung, SH 2. Paingot Sinambela, SH, MH II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 1
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)
BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas
I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal penerapan hukum sebab kehidupan suatu bangsa dipengaruhi oleh susunan masyarakat dan tingkat perkembangan
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA
NASKAH PUBLIKASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Diajukan Oleh : Nama : Yohanes Pandu Asa Nugraha NPM : 8813 Prodi : Ilmu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk
Lebih terperinciPenerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)
Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang
BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi
Lebih terperinciBAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui
BAB I LATAR BELAKANG Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh warga masyarakat.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara mengenai penegakan hukum pidana di Indonesia, tentunya berbicara mengenai 2 (dua) tonggaknya, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Penipuan yang berasal dari kata tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohong, palsu dan sebagainya dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana terhadap harta benda yang sering terjadi dalam masyarakat. Modus yang digunakan dalam tindak pidana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada warga. organ pemerintah yang melaksanakan tugas dan kewenangannya agar
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada warga negaranya. Di dalam menjalankan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, digariskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum. Dengan demikian, segala
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. A. Simpulan
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil peneletian dan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis terhadap Putusan Mahakamah Agung Nomor: 1818 K/Pid.Sus/2014, maka diperoleh simpulan sebagai berikut:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana
Lebih terperinciTinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia merupakan kewajiban mutlak dari Bangsa Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Negara Indonesia adalah Negara yang
Lebih terperinciRancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon
I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan adanya jaminan kemandirian dan kemerdekaan seseorang dalam menyampaikan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh
16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Ini berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009.... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan hal yang penting saat pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena berdasarkan tahapan pembuktian inilah terjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum yang diterapkan di Indonesia saat ini kurang memperhatikan kepentingan korban yang sangat membutuhkan perlindungan hukum. Bisa dilihat dari banyaknya
Lebih terperinciMANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.
MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan
Lebih terperinciBAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.
Lebih terperinciselalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman di berbagai bidang kehidupan membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Keberhasilan yang dicapai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar utama dalam setiap negara hukum, jika dalam suatu negara hak manusia terabaikan atau dilanggar
Lebih terperinciToddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak
Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa Abstrak Penelitian ini mengkaji dan menjawab beberapa permasalahan hukum,pertama, apakah proses peradilan pidana konsekuensi hukum penerapan asas praduga tidak bersalah
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon
I. PEMOHON RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH.,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP A. Simpulan
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan penjelasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka dapat ditarik simpulan seperti berikut : 1. Kesesuaian pengajuan Peninjauan Kembali
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.3, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA NEGARA. MAHKAMAH AGUNG. Badan Peradilan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan
Lebih terperinciTUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM
TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Ini berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus
Lebih terperinciPENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak
PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan
Lebih terperinciINDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013
LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan
Lebih terperinciBAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa :
61 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis menyimpulkan bahwa : 1. Dalam memperoleh suatu keyakinan oleh hakim, ia harus mendasarkan keyakinannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjaga kelestarian hutan merupakan hal yang sangat penting dengan dasar pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan manusia, baik secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa
Lebih terperinciperadilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk
BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya berdasarkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tujuan dari negara yang menganut sistem
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP A. Simpulan
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 1405 K/Pid.Sus/2013 yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis menyimpulkan sebagai
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui salah satu asas yang dianut oleh KUHAP adalah asas deferensial fungsional. Pengertian asas diferensial fungsional adalah adanya pemisahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu masyarakat tertentu atau dalam Negara tertentu saja, tetapi merupakan permasalahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama
Lebih terperinciMakalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN
Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada
Lebih terperinciyang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
Menimbang UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciFUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA
FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Lebih terperincidikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.
12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan
Lebih terperinciP U T U S A N No K / Pid / DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara pidana pada
1 P U T U S A N No. 1299 K / Pid / 2004.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara pidana pada tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut : Mahkamah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang memberikan hak yang dapat digunakan oleh para pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan pengadilan. Hak tersebut
Lebih terperinciProsiding Ilmu Hukum ISSN: X
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum. dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang UUD 1945 pada Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum.negara Indonesia menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
Lebih terperinci