PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kakao (Theobrema cacao L.) merupakan salah satu komoditas unggul sub sektor perkebunan. Komoditas kakao berperan sebagai sumber devisa negara yang memberikan kontribusi yang begitu penting dalam struktur perekonomian di Indonesia (Arsyad et al., 2011). Indonesia merupakan negara produsen kakao ketiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pasar ekspor produk kakao berupa cocoa butter antara lain Amerika Serikat dan Eropa, sementara untuk cocoa powder atau bubuk cokelat untuk pasar Asia Pasifik seperti Malaysia, Thailand, Jepang, India, dan Tiongkok. Indonesia pun menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan kakao paling luas di dunia. Bahkan, perkembangan tanaman kakao semakin luas dalam kurun waktu lima tahun belakangan. Rata-rata setiap tahunnya, perkembangan perkebunan kakao mencapai 8 persen, yang 90 persen dianataranya adalah perkebunan milik rakyat. Kakao mulai masuk di Indonesia pada tahun 1560 di Sulawesi. Pada tahun , Indonesia mulai mengekspor kakao ke Manila sebanyak 92 ribu ton. Akibat adanya serangan hama, pada tahun 1928 ekspor kakao terhenti. Biji kakao berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri yang diharapkan mampu berperan sebagai salah satu komoditi yang akan menciptakan tricle down effect dalam perekonomian nasional dan daerah. Di sisi lain, komoditas biji kakao menempati peringkat ketiga pada ekspor sektor perkebunan dalam menyumbang devisa negara, setelah komoditas karet dan kelapa sawit. Pada 2006 ekspor biji kakao Indonesia mencapai US$ 975 juta atau meningkat 24.2 persen dibanding tahun 2005 (Suryanti et al., 2007). Apabila dilihat dari segi kualitas, biji kakao Indonesia tidak kalah dengan biji kakao terbaik dunia. Apabila dilakukan fermentasi dengan baik, kakao Indonesia dapat mencapai cita rasa setara dengan biji kakao yang berasal dari Pantai Gading. Biji kakao Indonesia memiliki kelebihan berupa tidak mudah meleleh, sehingga cocok dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang pasar biji kakao Indonesia terbuka luas baik untuk ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri biji kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka. Pemanfaatan tanaman kakao di Indonesia mengalami peningkatan dari sisi keragaman produk dan kegunaan. Salah satunya adalah berdasarkan penelitian yang

2 dilakukan oleh Dian Anggraeni Elizabeth dalam Tabloid Sinar Tani (2006) tentang pembuatan nata de kakao yang baik untuk kesehatan. Berdasarkan data International Cocoa Organization (ICCO) 2007 yang terdapat pada Tabel 1.1, Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Penurunan produksi biji kakao dunia disebabkan oleh menurunnya produksi biji kakao dari dua negara utama penghasil biji kakao yaitu Pantai Gading dan Ghana yang disebabkan oleh kemarau panjang yang melanda kedua negara tersebut (Junaedi, 2005). Tabel 1.1 Produksi Biji Kakao Dunia Berdasarkan Negara Penghasil ( ) Produksi Biji Kakao Dunia (Ribu ton) Negara Afrika Kamerun Pantai Gading Ghana Nigeria Lainnya Amerika Brazil Ekuador Republik Dominic Lainnya Asia & Oceania Indonesia Malaysia Papua Nugini Lainnya Total Dunia Sumber: Laporan Tahunan Asosiasi Kakao Indonesia

3 Tabel 1.2 Permintaan Biji Kakao Dunia Berdasarkan Negara ( ) Permintaan Biji Kakao Dunia (Ribu ton) Negara Eropa Jerman Belanda Lainnya Afrika Pantai Gading Lainnya Amerika Brazil Amerika Serikat Lainnya Asia & Oceania Indonesia Malaysia Lainnya Total Dunia Sumber: Laporan Tahunan Asosiasi Kakao Indonesia Berdasarkan data pada Tabel 1.2 permintaan biji kakao dunia cenderung meningkat tiap tahunnya terutama di negara-negara maju. Permintaan biji kakao terbesar pada tahun masih dipegang oleh negara-negara Eropa dengan rerata sebanyak 42,10 persen. Belanda menjadi negara dengan permintaan biji kakao tertinggi yang kemudian disusul Amerika Serikat dan Jerman. Pada tahun rata-rata permintaan biji kakao ketiga negara terhadap total permintaan biji kakao dunia sebagai berikut: Belanda (13,72 persen), Amerika Serikat (12,82 persen), dan Jerman (7,24 persen). Keseimbangan produksi dan permintaan biji kakao dunia tersebut diperkirakan akan terus berlanjut, bahkan cenderung mengalami defisit karena beberapa negara produsen utama biji kakao menghadapi berbagai kendala dalam upaya meningkatkan produksi biji kakao untuk mengimbangi kenaikan permintaan biji kakao dunia. Pantai Gading menghadapi masalah karena ada keharusan untuk mengurangi subsidi dan gangguan kestabilan politik dalam negeri. Begitu pula dengan Ghana dan Kamerun yang menghadapi masalah subsidi dan intensif harga dari pemerintah. Sedangkan Malaysia menghadapi serangan hama dan penyakit (Suryana, 2005). Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO, 2015) memperkirakan awal ekspor kakao nasional tahun 2016 akan turun sekitar 37 persen menjadi 25 ribu ton dari tahun 2015 sebesar 40 ribu ton. Ekspor kakao tesebut terus merosot, pada tahun 2014 ekspor

4 kakao nasional sempat mencapai 63,334 ton. Terpangkasnya ekspor kakao nasional disebabkan oleh adanya pemberlakuan bea keluar (BK) 10 persen, pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen, dan pajak penghasilan (PPH) 0,5 persen. Total pajak yang dibebakan kepada petani mencapai 20,5 persen. Saat tahun 2015, harga kakao di tingkat petani dalam negeri sekitar Rp ribu per kg. Apabila BK dihapuskan, harga di tingkat petani bisa mencapai Rp Rp per kg. Ekspor kakao didorong dari sisi permintaan, yakni adanya pertumbuhan konsumsi dunia akan kakao selama sepuluh tahun terakhir, yaitu sebesar rata-rata 3 persen per tahun (Damayanti, 2012). Jika konsumsi dunia meningkat, maka ekspor kakao Indonesia juga meningkat karena negara pengimpor kakao Indonesia akan meningkatkan impor yang disebabkan meningkatnya permintaan di negara mereka. Konsumsi kakao tertinggi tahun 2011/2012 berada di Eropa dan Amerika, yang menyebabkan 61 persen kakao dikonsumsi di dua kawasan ini (ICCO, 2012). Menurut data FAO (2003), konsumsi di kawasan ini diproyeksikan meningkat sebesar 2,2 persen setiap tahunnya, sehingga menjadi 2,3 juta ton pada tahun 2010 dan akan terus menjadi konsumen kakao terbesar di dunia. Namun demikian, produksi biji kakao dunia mencapai 3,99 juta ton sementara konsumsi mencapai 3,997 juta ton, sehingga terjadi defisit sekitar 7 ribu ton. Hal ini diperkirakan ICCO akan berlangsung pada tahun mendatang dengan pertumbuhan produksi kakao dunia yang cenderung menurun sekitar 8 persen per tahunnya. Dengan adanya kecenderungan penurunan produksi dunia, maka kenaikan konsumsi dunia dapat dilihat sebagai peluang yang dapat diisi oleh kakao Indonesia. Peningkatan jumlah ekspor biji kakao di Indonesia tidak lepas dari tingginya jumlah permintaan biji kakao di pasar Internasional yang tiap tahunnya semakin meningkat. Pada tahun 2001 jumlah permintaan biji kakao hanya sebesar 2,1 juta ton sedangkan pada tahun 2011 jumlah permintaan meningkat hingga sebesar 3,4 juta ton (International Trade Statistic, 2012). Hal ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan keuntungan dengan memenuhi permintaan biji kakao dunia Rumusan Masalah Peranan sektor pertanian cukup strategis dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Selama sepuluh tahun terakhir, peranan sektor pertanian terhadap PDB menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik yaitu rata-rata 4 persen per tahun. Salah satu sub-sektor di sektor pertanian adalah sub-sektor perkebunan. Keunggulan komparatif dari sub-sektor perkebunan dibandingkan dengan sektor non-migas lainnya

5 disebabkan antara lain oleh adanya lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal dan berada di kawasan dengan iklim yang menunjang serta adanya tenaga kerja yang cukup tersedia dan melimpah sehingga bisa dimanfaatkan. Kondisi tersebut merupakan suatu hal yang dapat memperkuat daya saing harga produk perkebunan Indonesia di pasaran dunia. Salah satu komoditi perkebunan yang sangat penting dalam menyumbang perolehan devisa negara adalah kakao. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran adanya peningatan pendapatan perkapita. Selain itu, dengan adanya pertumbuhan ekonomi berarti adanya peningkatan kapasitas produksi yang pada umumnya akan meningkatkan penggunaan faktor-faktor produksi baik yang berasal dari barang-barang domestik dan atau barang-barang input yang diperoleh dari impor. Dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan salah satu tolak ukur apakah perekonomian suatu negara menjadi lebih baik atau buruk. Dalam kegiatan perdagangan internasional, harga biji kakao negara pesaing ke negara pengimpor sangat berpengaruh bagi permintaan biji kakao Indonesia. Hal ini terjadi karena apabila harga biji kakao negara pesaing ke negara pengimpor meningkat maka akan menyebabkan negara pengimpor akan mengurangi permintaan eksopr biji kakao dari Indonesia. Sehingga dengan kenaikan harga biji kakao negara pesaing, akan menyebabkan penurunan jumlah permintaan ekspor biji kakao Indonesia oleh negara pengimpor. Secara teoritis, dalam teori permintaan terdapat suatu hukum permintaan yang mengatakan bahwa dalam keadaan ceteris paribus apabila harga barang naik mengakibatkan permintaan akan barang tersebut menjadi turun, dan sebaliknya (Nicholson, 1995). Harga biji kakao dari negara pesaing utama yaitu Pantai Gading merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi permintaan biji kakao Indonesia. Apabila harga biji kakao di negara pesaing (Pantai Gading) lebih tinggi maka akan menyebabkan negara pengimpor lebih cenderung untuk mengalihkan permintaannya ke biji kakao Indonesia sehingga akan meningkatkan permintaan biji kakao Indonesia oleh negara pengimpor. Penelitian ini bertujuan untuk mencari bukti empiris mengenai hubungan antara variabel dependen dengan beberapa variabel independen yang ada dalam penelitian analisis permintaan ekspor kakao Indonesia di pasar internasional. Variabel dependen yang diambil adalah volume ekspor permintaan biji kakao Indonesia. Sedangkan variabel independennya adalah Gross Domestic Product atau GDP riil

6 perkapita, inflasi, pertumbuhan penduduk, dan harga biji kakao negara pesaing (Pantai Gading). Meskipun sebagai negara eksportir terbsesar ketiga, Indonesia masih memiliki banyak permasalahan terkait komoditi kakao. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain rendahnya produktivitas tanaman (dibawah 900 kg/hektar), mutu biji kakao yang rendah, serta kebijakan di negara tujuan ekspor yang memberatkan Indonesia seperti negara-negara di Uni Eropa yang memberlakukan bea masuk kepada biji kakao asal Indonesia (Departemen Perindustrian, 2012). Dari perumusan masalah tersebut, terdapat dua permasalahan yang muncul dan akan diteliti, yaitu: 1. Bagaimana trend permintaan ekspor kakao Indonesia di pasar internasional? 2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor kakao Indonesia? 1.3. Tujuan Maksud diadakannya penelitian ini adalah: 1. Mengetahui trend permintaan ekspor kakao Indonesia di pasar internasional. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao Indonesia Kegunaan 1. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai media untuk menambah pengetahuan mengenai permintaan ekspor kakao di Indonesia dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. 2. Bagi pemerintah atau pihak-pihak terkait, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi atau pertimbangan dalam pengambilan kebijakan eskpor kakao. 3. Bagi eksportir dan produsen kakao, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi sarana yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan dalam manajemen usaha. 4. Bagi masyarakat umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi yang bermanfaat mengenai permintaan ekspor kakao Indonesia serta dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya.