HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 32 HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Konsumsi Pangan Konsumsi Energi Untuk hidup sehat seseorang membutuhkan sejumlah zat gizi yang bersumber dari berbagai macam sumber pangan, baik pangan nabati maupun hewani. Zat gizi yang harus dipenuhi terutama adalah energi dan protein. Menurut Martianto (2004) kekurangan dua zat gizi tersebut dan berlangsung lama akan berpengaruh pada kualitas SDM-nya, diantaranya menurunkan produktivitas kerja, kecerdasan, imunitas, dan lainnya. Apabila kekurangan energi terus berlanjut dapat menimbulkan marasmus, kwashiorkor, ataupun marasmus kwashiorkor. Energi diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, dan aktivitas tubuh. Kebutuhan energi diperoleh terutama dari karbohidrat dan lemak. Meskipun protein mampu memberikan energi, akan tetapi pemanfaatannya lebih diutamakan untuk menyediakan asam amino bagi sintesis protein sel, hormon, dan enzim untuk mengatur metabolisme (Pudjiadi 2001). Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Kelebihan energi akan disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen dan dalam bentuk lemak. Sesuai dengan rekomendasi WNPG 2004, kecukupan energi per kapita per hari untuk tingkat konsumsi adalah sebesar kkal. Rata-rata konsumsi energi ketiga provinsi disajikan pada Tabel 2. Dari tabel tersebut tampak bahwa rata-rata konsumsi energi telah melebihi angka kecukupan kecuali di Provinsi Jawa Tengah, dengan tingkat kecukupan energi sebesar 98.57% (1.969 kkal). Meskipun tingkat konsumsi energi masih dalam batas normal kecuali di Sulawesi Tenggara (wilayah perkotaan) tetap perlu diwaspadai. Karena konsumsi energi yang berlebih dan berlangsung terus menerus menyebabkan menurunnnya kualitas kesehatan. Apabila dibedakan menurut wilayah, pada umumnya konsumsi energi di perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan kecuali di Sulawesi Tenggara. Fenomena tersebut dijelaskan oleh Regmi dan Dyck (2001), terdapatnya perbedaan kebutuhan energi antara perdesaan dan perkotaan diantaranya adalah:

2 33 perbedaan gaya hidup, ketersediaan pangan dan kemampuan untuk membeli pangan. Masyarakat perkotaan cenderung bergaya hidup sedentary sehingga memerlukan energi yang lebih sedikit, sedangkan aktivitas penduduk di perdesaan umumnya membutuhkan energi yang lebih besar. Pada umumnya beragam jenis pangan lebih banyak tersedia di perkotaan serta daya beli masyarakatnya lebih tinggi. Tabel 2. Tingkat kecukupan energi di Provinsi dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 Sumatera Barat, Jawa Tengah, No Provinsi/wilayah Konsumsi (kkal//kapita/hari) Tingkat Kecukupan (%AKE)* 1 Sumatera Barat - Perkotaan + perdesaan Perkotaan Perdesaan Jawa Tengah - Perkotaan + perdesaan Perkotaan Perdesaan Sulawesi Tenggara - Perkotaan+perdesaan Perkotaan Perdesaan *Angka Kecukupan Energi (AKE) = kkal/kapita/hari Konsumsi di perdesaan diduga berkaitan dengan kemampuan daya beli yang dicerminkan oleh rata-rata pendapatan di perdesaan yang lebih kecil daripada perkotaan (Lampiran 7). Sebagaimana diutarakan oleh Martianto, Ariani, dan Hardinsyah (2003), pada tingkat pendapatan yang terbatas, seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa ataupun prestise. Oleh karena itu mereka cenderung mengalokasikan pendapatannya untuk membeli pangan yang murah dan memberi rasa kenyang. Pada penelitian ini terlihat bahwa alokasi pengeluaran untuk pangan di perdesaan lebih besar daripada untuk bukan pangan. Sebaliknya di perkotaan, selain pendapatan yang lebih tinggi dan didukung oleh faktor pendidikan yang lebih baik serta kesadaran akan kesehatan dan faktor ketersediaan pangan lebih beragam, hal tersebut akan memudahkan dalam memilih pangan sesuai dengan kaidah gizi.

3 34 Selanjutnya berdasarkan klasifikasi yang digunakan oleh Departemen Kesehatan untuk menilai tingkat kecukupan energi disajikan pada Tabel 3. Klasifikasi tersebut adalah defisit berat (TKE <70%), defisit sedang (TKE: 70-79%), defisit tingkat ringan (TKE: 80-89%), dan normal (TKE: %), sedangkan kategori berlebih (TKE>120%). Meskipun secara umum tingkat kecukupan energinya di atas angka normal, tetapi bila dirinci lebih jauh masih terdapat lebih dari 20% rumah tangga di tiga provinsi yang mengalami defisit energi (TKE<90%). Seperti disebutkan di atas, kekurangan energi yang berkelanjutan dapat menimbulkan permasalahan yang serius. Apabila suplai energi sehari-hari dari makanan tidak mencukupi, maka terjadi sebagian protein dipergunakan sebagai sumber energi dan akan mengurangi bagian yang diperlukan bagi pertumbuhan (Pudjiadi 2001). Hal tersebut didukung oleh Soekirman (2004) yang menyatakan bahwa kurang gizi berdampak pada masa depan yang suram karena akan tertinggal baik dalam kesehatan, kecerdasan, maupun produktivitasnya, terutama bagi baduta. Tabel 3. Persentase rumah tangga menurut tingkat kecukupan energi di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 Provinsi/Klasifikasi Perkotaan+perdesaan Perkotaan Perdesaan % % % 1 Sumatera Barat - Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Normal Kelebihan T o t a l Jawa Tengah - Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Normal Kelebihan T o t a l Sulawesi Tenggara - Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Normal Kelebihan T o t a l

4 35 Mengacu data Tabel 3, di Jawa Tengah masih terdapat rumah tangga yang mengalami defisit energi (41.8%). Dari segi jumlah penduduk Jawa Tengah berpenduduk tertinggi diantara ketiga provinsi yang diteliti, hasil proyeksi penduduk tahun 2005 berjumlah ribu (Bappenas, BPS, UNFPA 2005). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa di Provinsi Jawa Tengah masih terdapat masalah pangan dan gizi. Masalah kecukupan zat gizi terutama energi dan protein berkait erat dengan masalah ketahanan pangan. Menurut Atmarita (2003) ketahanan pangan tingkat rumah tangga erat hubungannya dengan kemiskinan. Ketidakmampuan untuk membeli pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup menjadi salah satu penyebab defisit energi. Melihat kondisi tersebut menggambarkan bahwa masalah konsumsi pangan sebenarnya masih cukup luas dan perlu dicarikan jalan keluarnya. Upaya peningkatan konsumsi bagi mereka perlu diperhatikan. Barangkali kemampuan yang terbatas untuk membeli pangan, oleh karena itu program pemberian makanan tambahan bagi penduduk rawan pangan dan gizi perlu diberdayakan secara optimal. Demikian pula kegiatan Posyandu maupun PMTAS (Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah) perlu untuk ditingkatkan lagi aktivitasnya. Kedua kegiatan tersebut merupakan media yang dapat dimanfaatkan untuk membantu peningkatan konsumsi pangan. Dampak panjang dari kurang energi kronis (KEK) khususnya bagi ibu hamil dapat menyebabkan kelahiran bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). Hal itu ditunjukkan oleh penelitian Mustika yang diungkapkan oleh Hadi (2005), yaitu ibu hamil yang mengalami KEK mempunyai resiko melahirkan bayi BBLR lima kali lebih besar. Satu sisi konsumsi pangan tidak memenuhi kecukupan, akan tetapi di sisi lain terdapat rumah tangga di tiga provinsi mengkonsumsi energi melebihi kecukupan (TKE>120%). Di Sumatera Barat terdapat rumah tangga yang mengkonsumsi energi lebih dari kecukupan, mencapai 40.1%, di Sulawesi Tenggara dan Jawa Tengah masing-masing sebesar 38.6% dan 19.6%. Umumnya konsumsi energi yang berlebih adalah di perdesaan, akan tetapi yang terjadi di Sulawesi Tenggara, justru di wilayah perkotaan yang mengkonsumsi energi lebih dari cukup mencapai 53.9%. Kondisi konsumsi energi yang berlebih dapat menimbulkan masalah. Energi dapat disimpan dalam bentuk lemak dan selanjutnya dapat diubah kembali

5 36 menjadi energi. Konsumsi energi yang berlebihan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan kegemukan (Hardinsyah, Martianto 1992). Hal tersebut juga dikemukakan oleh Hadi (2005), ketidakseimbangan antara asupan dan energi yang digunakan/dikeluarkan dapat menjadi penyebab obesitas. Obesitas meningkatkan resiko kematian pada semua penyebab kematian. Sebagaimana penelitian Lew & Garfinkel yang dikutip oleh Hadi (2005) menunjukkan bahwa orang yang mempunyai berat badan 40% lebih berat dari berat badan rata-rata populasi mempunyai resiko kematian dua kali lebih besar. Baik kelebihan maupun kekurangan energi perlu diupayakan jalan keluarnya. Dalam hal ini pengetahuan gizi sangat diperlukan untuk diterapkan dalam praktek kehidupan sehari-hari guna mencapai hidup sehat. Meskipun faktor lain diperlukan pula untuk menanggulangi masalah gizi, seperti lingkungan tempat tinggal, sosial, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya. Konsumsi Protein Mengacu pada angka kecukupan protein menurut WNPG 2004 sebesar 52 gram/kapita/hari, secara umum konsumsi protein di tiga provinsi telah melebihi angka kecukupan (Tabel 4). Konsumsi protein di Sulawesi Tenggara cukup tinggi baik di perkotaan+perdesaan, perkotaan, maupun perdesaan. Besar konsumsi masing-masing adalah gram, gram, dan gram per kapita per hari. Konsumsi protein di Jawa Tengah, yaitu gram (perkotaan+perdesaan), gram (perkotaan), dan gram (perdesaan) per kapita per hari. Protein adalah salah satu zat gizi yang penting untuk pertumbuhan. Sebagai zat pembangun atau pertumbuhan, karena merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh terutama bagi bayi, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui dan orang yang baru sembuh dari sakit (Hardinsyah, Martianto 1992). Protein yang dimakan sehari-hari terdiri dari berbagai macam asam amino, setelah dicerna dan diserap oleh tubuh digunakan untuk sintesis protein sel, protein fungsional seperti hormon dan enzim, dan protein pengangkut seperti transferin. Jumlah protein yang diberikan dikatakan adekuat apabila mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Protein yang memenuhi syarat tersebut adalah protein yang berkualitas tinggi seperti

6 37 misalnya protein hewani (Pudjiadi 2001). Fungsi protein lainnya adalah untuk pertumbuhan dan pemeliharaan, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi, dan sebagai sumber energi. Tabel 4. Tingkat kecukupan protein di Provinsi dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 Sumatera Barat, Jawa Tengah, No Provinsi/wilayah Konsumsi (kkal//kapita/hari) Tingkat Kecukupan (%AKP)* 1 Sumatera Barat - Perkotaan + perdesaan Perkotaan Perdesaan Jawa Tengah - Perkotaan + perdesaan Perkotaan Perdesaan Sulawesi Tenggara - Perkotaan+perdesaan Perkotaan Perdesaan * Angka Kecukupan Protein (AKP) = 52 gram/kapita/hari Apabila dibedakan berdasarkan wilayah, pada umumnya konsumsi protein di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Selanjutnya jika dikaitkan dengan tingkat pendapatan, di perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan. Pendapatan yang lebih tinggi akan semakin tinggi pula daya beli. Dengan demikian rumah tangga akan mampu membeli makanan dalam jumlah yang lebih banyak dan dengan kualitas yang lebih baik, dan didukung oleh ketersediaan pangan di kota yang lebih beragam. Walaupun konsumsi protein telah melebihi dari kecukupan, tetapi perlu ditinjau kembali komposisi sumber pangan. Dikemukakan oleh Pudjiadi (2001), protein hewani lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan protein nabati. Selanjutnya Hardinsyah dan Martianto (1992), menjelaskan bahwa penilaian kualitas atau mutu protein didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu a). protein merupakan salah satu zat gizi makro yang bersumber dari berbagai pangan dan memberikan manfaat yang beragam bagi tubuh, umumnya manfaat protein

7 38 nabati lebih rendah daripada protein hewani; b). pangan hewani mengandung bermacam mineral yang dibutuhkan tubuh dan tersedia dalam bentuk mudah diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh; c). pangan yang kaya protein pada umumnya mengandung lemak yang relatif tinggi dan terasa gurih, pangan ini umumnya dimiliki oleh pangan hewani. Konsumsi pangan hewani akan memberikan asupan zat gizi esensial seperti protein dengan bioavailabilitas yang baik, vitamin, dan mineral mikro (B6, B12, zat besi, iodium, dan seng). Kekurangan zat gizi mikro akan berakibat resiko tinggi terhadap pertumbuhan dan keterbelakangan mental pada kelompok rawan pertumbuhan (janin, bayi, dan anak-anak), penyakit infeksi dan penurunan produktivitas (Martianto dan Ariani 2004). Komposisi protein yang dianjurkan adalah 80% nabati dan 20% hewani (BKP 2006). Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa konsumsi protein hewani di Jawa Tengah belum sesuai dengan anjuran, karena baru memenuhi 16.4% (wilayah perdesaan) dan 19.0% (wilayah perkotaan+perdesaan) dari 20% yang dianjurkan. (Tabel 5). Melihat kenyataan ini menunjukkan bahwa rata-rata kuantitas maupun kualitas konsumsi pangan penduduk di Jawa Tengah masih relatif rendah, hal itu didukung oleh adanya kasus defisit energi (TKE<90%) yang relatif besar (41.8%). Konsumsi protein hewani di Sumatera Barat dan Sulawesi Tenggara telah sesuai anjuran yaitu minimal 20% dari total konsumsi protein. Konsumsi protein hewani di Sulawesi Tenggara sebesar gram, di Sumatera Barat gram, dan Jawa Tengah gram/kapita/hari. Pada umumnya konsumsi protein hewani di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Sebagai pembanding dari penelitian ini adalah: Ariningsih (2002), menemukan kontribusi protein hewani di Jawa sekitar 18.32% pada tahun 1996, dan 14.05% pada tahun Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsumsi protein hewani di Jawa Tengah tahun 2005 sudah lebih baik daripada tahun Rincian konsumsi protein menurut jenis pangan dari masing-masing provinsi ditunjukkan oleh Lampiran Rendahnya konsumsi protein hewani di perdesaan diduga karena pangan hewani relatif lebih mahal daripada pangan nabati. Oleh karena pendapatan

8 39 terbatas, mereka akan lebih mengutamakan jenis pangan lain yang lebih murah harganya daripada untuk membeli pangan hewani. Disamping itu mereka telah merasa cukup atau kebutuhan minimum pangan hewani sudah terpenuhi. Tabel 5. Rataan konsumsi protein per kapita per hari menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 /Provinsi/Klasifikasi Perkotaan+perdesaan Perkotaan Perdesaan Gram % gram % gram % 1 Sumatera Barat - Nabati Hewani T o t a l Jawa Tengah - Nabati Hewani ,4 T o t a l Sulawesi Tenggara - Nabati Hewani T o t a l Susunan protein hewani yang disarankan adalah berasal dari ternak 6 gram dan ikan sebesar 9 gram (WNPG 2004). Pangan hewani yang dianjurkan adalah daging ruminansia dan unggas sebesar 65 gram atau terdiri atas 12 gram daging ruminansia, 22 gram daging unggas, 17 gram telur, dan 14 gram susu, sedangkan untuk ikan sebesar 85 gram. Berdasarkan sumber protein hewani ditunjukkan oleh Tabel 6. Di Sumatera Barat komposisi konsumsi protein hewani telah sesuai dengan anjuran. Konsumsi protein dari ikan bahkan telah melebihi anjuran, sedangkan konsumsi protein bersumber daging, di perdesaan masih kurang dari anjuran yaitu sebesar 5.3 gram/kapita/hari. Ikan memberikan kontribusi protein hewani >50% baik di perdesaan maupun perkotaan, dan dikonsumsi dalam bentuk ikan segar maupun ikan olahan. Berdasarkan jumlah pangan hewani yang dikonsumsi, maka ikan segar menempati urutan pertama baik di perdesaan maupun perkotaan, masing-masing sebesar 49 gram dan 54 gram/kapita/hari. Konsumsi terbesar kedua adalah telur (Lampiran 12). Di perdesaan jumlah konsumsi ikan olahan

9 lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging unggas maupun ruminansia. Sebaliknya konsumsi daging unggas lebih tinggi di perkotaan yaitu sekitar 15 gram/kapita/hari. Rata-rata konsumsi menurut jenis disajikan pada Lampiran pangan per kapita per hari Tabel 6. Rataan konsumsi protein hewani per kapita per hari menurut wilayah dan jenis pangan hewani di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 No Wilayah/jenis pangan Sumatera Barat Jawa Tengah Sulawesi Tenggara gram % Gram % gram % Perkotaan+perdesaan 1 Ruminansia & unggas: Daging unggas Daging ruminansia Telur , Susu Ikan Total Perkotaan 1 Ruminansia & unggas: Daging unggas Daging ruminansia Telur Susu Ikan Total Perdesaan 1 Ruminansia & unggas: Daging unggas Daging ruminansia Telur Susu Ikan , Total Atas dasar besarnya kontribusi protein dari pangan hewani, maka susunan konsumsi pangan hewani di Sumatera Barat wilayah perkotaan adalah ikan, daging unggas, telur, daging ruminansia dan susu. Di perdesaan adalah sebagai berikut: ikan, telur, daging unggas, dan daging ruminansia. Pada umumnya ikan dikonsumsi lebih tinggi dari daging, salah satu penyebabnya adalah harga ikan yang lebih murah daripada daging unggas maupun ruminansia. Konsumsi protein hewani di Jawa Tengah belum memenuhi anjuran kecuali di perkotaan (produk ternak), sedangkan konsumsi ikan masih di bawah angka anjuran baik di perdesaan maupun perkotaan. Ikan merupakan penyumbang terbesar konsumsi protein hewani di wilayah perdesaan yaitu sebesar 52.7% atau

10 41 setara 4.7 gram protein. Secara umum kuantitas konsumsi pangan hewani di Jawa Tengah masih rendah, yaitu rata-rata 53 gram per hari, atau menurut wilayah perkotaan sebesar 65 gram, dan di perdesaan sebesar 44 gram/hari, jumlah yang dianjurkan adalah 150 gram pangan hewani yang terdiri atas 65 gram daging ternak dan 85 gram ikan. Jumlah konsumsi per kapita per hari menurut jenis pangan ditunjukkan oleh Lampiran 13. Berdasarkan besarnya konsumsi pangan hewani, maka susunan konsumsi pangan hewani di perkotaan adalah ikan segar, telur, daging unggas, ikan olahan, susu, dan daging ruminansia. Susunan ini berbeda untuk perdesaan, di mana telur dikonsumsi lebih tinggi dibandingkan pangan hewani lainnya. Berturut-turut dengan susunan sebagai berikut: telur, ikan segar, ikan olahan, daging unggas, susu, dan daging ruminansia. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa telur dan ikan merupakan pangan hewani cukup besar dikonsumsi di Jawa Tengah (perkotaan+perdesaan), masing-masing sebesar 16 gram dan 23 gram per kapita per hari (Lampiran 13). Di Jawa Tengah baik perdesaan maupun perkotaan konsumsi pangan hewani yang telah memenuhi anjuran adalah konsumsi telur. Barangkali dapat dikatakan bahwa telur merupakan sumber pangan protein hewani yang murah atau mungkin dapat diterima oleh hampir semua rumah tangga. Keadaan tersebut dapat dipahami mengingat harga telur yang relatif murah dibandingkan pangan hewani lainnya terutama produk ternak, mudah dalam pengolahan dan penyajiannya. Telur memiliki rasa yang enak dan memiliki daya simpan relatif lama dan tingkat ketersediaannya relatif tinggi. Konsumsi protein hewani di Sulawesi Tenggara telah sesuai dengan anjuran. Protein hewani didominasi oleh ikan, kontribusi terhadap total protein hewani mencapai >80% baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal tersebut adalah wajar, karena provinsi ini banyak dikelilingi oleh lautan yang berpotensi untuk perikanan. Melihat besarnya kontribusi ikan terhadap konsumsi protein hewani, hal ini menunjukkan bahwa ikan telah menjadi bagian penting dalam konsumsi sehari-hari. Pada satu sisi konsumsi protein bersumber ikan telah mencapai sasaran, tetapi di sisi lain protein bersumber ternak belum terpenuhi. Protein terbesar berasal dari ikan yaitu mencapai 29.1 gram di wilayah perkotaan

11 42 sedangkan di perdesaan sebesar 18.0 gram atau secara keseluruhan (perkotaan+ perdesaan) sebesar 20.1 gram per kapita per hari (Tabel 6). Kuantitas pangan hewani di Sulawesi Tenggara sangat tinggi rata-rata sebesar 152 gram. Apabila dibedakan menurut wilayah maka di perkotaan sebesar 227 gram per hari dan 137 gram di perdesaan (Lampiran 14). Di wilayah perkotaan sebesar 50% pangan hewani berasal dari ikan segar, kemudian disusul oleh telur, susu dan ikan olahan. Di wilayah perdesaan setelah ikan segar konsumsi selanjutnya adalah telur, ikan olahan, dan susu. Hal yang menarik dari hasil penelitian di tiga provinsi adalah bahwa di perkotaan Jawa Tengah protein bersumber ternak terlihat mendominasi konsumsi protein hewani. Sebaliknya di perdesaan protein ikanlah yang dominan. Pendapatan yang relatif rendah dan kecenderungan untuk hidup sederhana, mendorong penduduk di perdesaan untuk mengkonsumsi lebih banyak protein ikan yang harganya relatif murah (Ariningsih 2002). Pada umumnya konsumsi ikan olahan lebih tinggi dikonsumsi di perdesaan. Menurut Ariningsih (2002), ikan olahan/awetan mempunyai daya jangkau lebih luas di wilayah perdesaan, dan dengan mudah didapat. Ikan tersebut mempunyai daya tahan yang relatif lama dan penanganannya relatif lebih sederhana. Di wilayah perdesaan pendapatan per kapita relatif lebih rendah daripada perkotaan, sehingga ikan olahan yang relatif murah harganya lebih banyak dikonsumsi dibanding daging unggas ataupun daging ruminansia. Keragaman Konsumsi Pangan Salah satu dari 13 pesan dasar gizi seimbang adalah makanlah aneka ragam makanan. Maksud dari pesan tersebut adalah bahwa tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung secara lengkap zat gizi sehingga seseorang yang mengkonsumsinya akan hidup sehat, tumbuh kembang secara normal dan produktif. Kekurangan satu zat gizi tertentu pada satu makanan akan terpenuhi atau dilengkapi oleh makanan lain yang memiliki zat tersebut. Diantara satu makanan dengan makanan lain terjadi aksi saling melengkapi asupan zat gizinya. Pola Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi sumbangan energi, baik secara absolut maupun relatif terhadap total

12 43 energi penyediaan atau konsumsi pangan yang mampu mencukupi kebutuhan pangan dan gizi penduduk, baik dalam jumlah kualitas maupun keragamannya. FAO RAPA mendefinisikan PPH sebagai komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya (Baliwati 2007). Melalui pendekatan PPH mutu/kualitas konsumsi pangan penduduk dapat dilihat dari nilai skor pangan (skor PPH). Semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Anwar (1996), disebutkan kelebihan pemakaian pendekatan PPH salah satunya adalah derajat kesehatan penduduk lebih terjamin, karena titik tolak pendekatan adalah kecukupan gizi. Dijelaskan oleh Hardinsyah et al (2001) bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Komposisi/susunan konsumsi ideal yang dianjurkan untuk tingkat konsumsi adalah: padi-padian 275 gram, umbi-umbian 100 gram, pangan hewani 150 gram, kacang-kacangan 35 gram, sayur dan buah 250 gram (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Susunan pangan sesuai kaidah PPH sebagaimana dikemukakan oleh Hardinsyah, tidak hanya memenuhi kecukupan gizi tetapi mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Selanjutnya melalui PPH dapat dinilai keberhasilan dari upaya diversifikasi pangan. Susenas tahun 2005 untuk tiga provinsi menunjukkan bahwa skor PPH telah sesuai dengan sasaran Kebijakan Umum Ketahanan Pangan yaitu untuk periode telah mencapai skor PPH minimal 80. Skor PPH tahun 2005 yang dicapai oleh Sumatera Barat (82.4) dan Jawa Tengah (80.5). Skor PPH untuk Sulawesi Tenggara hampir sama besarnya dengan Sumatera Barat yaitu Tabel 7 memperlihatkan secara terinci besarnya masing-masing skor dari kelompok pangan. Meskipun telah mencapai sasaran, secara umum konsumsi pangan tersebut belum seimbang karena masih jauh dari skor ideal. Meskipun proporsi energi dari padi-padian telah melebihi sumbangan yang diharapkan (50%), skor yang diperoleh dari kelompok ini hanya 25. Hal ini disebabkan

13 44 rating/bobot yang ditetapkan 0.5 dan skor maksimum adalah 25. Skor setiap kelompok pangan harus memperhatikan batas maksimum yang disarankan untuk dipenuhi. Ditinjau menurut jenis komoditas pada kelompok padi-padian, akan terlihat bahwa sumber utama energi di Sumatera Barat masih sangat tergantung pada satu jenis pangan yaitu beras. Beras memang telah menjadi pangan pokok di semua lapisan masyarakat termasuk wilayah yang sebelumnya berpola pangan pokok bukan beras (Martianto, Ariani, Hardinsyah, 2003). Di provinsi ini beras sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan energinya, sehingga konsumsi pangan sumber karbohidrat kurang beragam. Karena pola pangan yang cenderung tunggal kurang bermanfaat, dan riskan apabila suatu saat terjadi gejolak harga atau ketersediaan dari pangan tersebut mengalami gangguan. Apabila terus berlanjut, dikhawatirkan kemampuan daerah untuk menyediakan pangan beras akan menurun. Hal ini bisa terjadi karena permintaan pangan akan beras meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, sementara daya dukung lahan kurang memadai. Guna menghindari kejadian tersebut, sosialisasi/ pengenalan pangan sumber karbohidrat jenis lain harus terus digalakkan. Walaupun skor yang dicapai oleh Sumatera Barat telah sesuai dengan sasaran yang ditargetkan dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan , skor tersebut harus terus dipertahankan dan ditingkatkan lagi. Upaya yang diharapkan dapat dilakukan adalah: (a) dengan menurunkan konsumsi beras, hingga konsumsi dari kelompok padi-padian mencapai 50% dari total kecukupan energi; (b) meningkatkan konsumsi umbi-umbian, konsumsi hewani, konsumsi kacang-kacangan, serta meningkatkan konsumsi buah dan sayur. Melaksanakan upaya tersebut tentunya tidak mudah, meskipun ketersediaan ditingkatkan tetapi tidak diimbangi dengan daya beli, usaha tersebut akan sia-sia. Kemampuan daya beli ada tetapi tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang baik dan kesadaran untuk berperilaku hidup sehat, sehingga tujuan tidak tercapai. Masalah pangan dan gizi melibatkan semua sektor, tidak hanya pemerintah tetapi swasta/ masyarakat juga bertanggung jawab untuk mengatasinya. Bila dilihat secara umum (perkotaan+perdesaan), maka konsumsi minyak dan lemak telah berlebih (Sumatera Barat), namun tidak demikian dengan

14 Tabel 7. Keragaman kualitas konsumsi pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 No Kelompok pangan Sumatera Barat Jawa Tengah Sulawesi Tenggara Kkal %TKE Bobot Skor PPH Kkal %TKE Bobot Skor PPH Kkal %TKE Bobot Skor PPH Perkotaan+perdesaan 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak & lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lain-lain T o t a l Perkotaan 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak & lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lain-lain T o t a l

15 46 Lanjutan Tabel 7. No Kelompok pangan Sumatera Barat Jawa Tengah Sulawesi Tenggara Kkal %TKE Bobot Skor PPH Kkal %TKE Bobot Skor PPH Kkal %TKE Bobot Skor PPH Perdesaan 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak & lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lain-lain T o t a l % TKE = {(konsumsi energi aktual)/ake} x 100% = Kkal/2000 x 100% Skor PPH = %TKE x Bobot

16 47 konsumsi pangan hewani dan buah sayur. Sesuai dengan PPH Deptan 2001 untuk mencapai skor 100 pada tahun 2015, dari sembilan jenis pangan yang perlu ditingkatkan jumlahnya adalah pangan hewani, kacang-kacangan, sayur dan buah. Sumatera Barat perlu meningkatkan skornya masing-masing sebesar 6.8 point, 6.1 point, dan 3.4 point. Demikian pula Provinsi Jawa Tengah perlu meningkatkan konsumsi pangan hewani sebesar 12.4 point, kacang-kacangan 0.5 point, dan sebesar 5.5 point untuk sayur buah. Sulawesi Tenggara hendaknya meningkatkan lagi pangan hewani sebesar 6.1 point, dan 7.1 point untuk kacang-kacangan, serta 3.8 point untuk sayur buah. Dari ketiga provinsi, terlihat bahwa skor konsumsi umbi-umbian belum mencapai skor yang diharapkan (2.5) kecuali di Sulawesi Tenggara. Meskipun sedikit dikonsumsi, diharapkan pada masa mendatang konsumsinya meningkat. Upaya yang dilakukan adalah penganekaragaman produk olahan dari umbiumbian sehingga akan meningkatkan daya tarik untuk mengkonsumsinya. Bila melihat kontribusi energi dari masing-masing jenis pangan, Lampiran memperlihatkan bahwa beras merupakan penyumbang utama energi. Secara umum (perkotaan+perdesaan) di tiga provinsi, beras menyumbang energi lebih dari 50% total konsumsi energi kecuali di Jawa Tengah yaitu 48.3%. Penyumbang energi terbesar di Sumatera Barat setelah beras adalah minyak dan lemak (11.1%), kemudian terigu (7.1%). Penyumbang energi terbesar di Jawa Tengah untuk kedua dan ketiga adalah terigu (12.4%) dan kelompok minyak dan lemak (9.9%). Berbeda dengan kedua provinsi tadi, maka di Sulawesi Tenggara konsumsi pangan umbi-umbian (8.7%) merupakan penyumbang energi terbesar kedua, kemudian diikuti terigu (8.1%). Berdasarkan pangan sumber karbohidrat dan besarnya kontribusi terhadap total konsumsi energi, maka susunan konsumsi pangan di Sumatera Barat adalah beras-terigu, sedangkan di Jawa Tengah susunannya adalah beras-terigu. Susunan pangan di Sulawesi Tenggara jauh beragam dibanding dua lainnya, yaitu berasumbi-terigu. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah konsumsi terigu yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi umbi-umbian ataupun jagung. Terigu telah menggeser pola pangan lokal, dan sampai sekarang terigu masih merupakan barang impor. Tentunya kondisi ini akan memperberat tugas pemerintah karena

17 48 akan menguras devisa untuk mengimpor pangan khususnya terigu yang semestinya dapat dialihkan untuk kepentingan yang lain. Apabila dilihat menurut wilayah, maka kualitas konsumsi pangan di perkotaan lebih bagus daripada di perdesaan. Skor PPH di wilayah perkotaan Sulawesi Tenggara yaitu 93.3 selanjutnya Sumatera Barat 87.8 dan Jawa Tengah sebesar Bila Tabel 7 diamati lebih lanjut, terlihat bahwa beberapa kelompok pangan di Sulawesi Tenggara khususnya wilayah perkotaan telah mencapai nilai maksimum, dan ini berarti bahwa pangan tersebut hampir mencapai komposisi yang ideal. Selain kelompok pangan padi-padian, banyak kelompok pangan lain yang konsumsinya telah mencapai skor maksimum. Pangan tersebut adalah pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, gula, serta sayur dan buah. Sedangkan konsumsi di wilayah perkotaan yang perlu ditingkatkan skornya adalah kelompok pangan kacang-kacangan sebesar 6.5 point. Di wilayah perkotaan Sumatera Barat kelompok pangan yang telah mencapai skor maksimum adalah padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak, dan buah/biji berminyak. Konsumsi yang perlu ditingkatkan skornya hingga mencapai ideal adalah kacangkacangan sebesar 5.2 point, umbi-umbian 1.6 point, dan sayur buah sebesar 5.1 point. Dari ketiga provinsi khususnya untuk wilayah perkotaan, konsumsi pangan hewani telah mencapai kontribusi yang diharapkan menurut kaidah PPH kecuali di Jawa Tengah. Kualitas konsumsi pangan di Jawa Tengah perlu terus ditingkatkan, karena banyak konsumsi pangan yang masih jauh dari ideal. Pangan yang ditingkatkan skor PPHnya adalah umbi-umbian sebesar 1.4 point, pangan hewani 9.4 point, kacang-kacangan 0.4 point, dan sayur buah sebesar 6.2 point. Memperhatikan Lampiran 15-17, jenis pangan pokok yang dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat untuk ketiga provinsi adalah padi-padian. Dari kelompok padi-padian, beras yang dikonsumsi masing-masing lebih dari 45% kontribusinya terhadap total energi. Apabila dilihat berdasarkan wilayah perkotaan, di Sumatera Barat penyumbang energi terbesar setelah beras adalah minyak dan lemak (12.6%) dan terigu (8.9%). Sedangkan di Jawa Tengah adalah terigu (14.4%), minyak dan lemak (9.9%), serta gula (5.6%). Sementara itu di

18 49 Sulawesi Tenggara adalah terigu (10.9%), minyak dan lemak (8.9%) dan ikan segar (6.5%). Apabila dilihat sumber karbohidrat dan energi adalah padi-padian dan umbiumbian, maka dapat dikatakan bahwa penyumbang energi terbesar di wilayah perkotaan di ketiga provinsi adalah beras-terigu. Pola konsumsi yang mengarah ke terigu tentunya perlu dikritisi, karena pangan jenis ini masih impor. Terigu belum diproduksi di Indonesia. Pada umumnya terigu dikonsumsi dalam bentuk mie, maupun biskuit. Seperti kita ketahui umumnya pangan terigu dikonsumsi dalam bentuk mie, dan pangan ini telah dikenal secara luas sampai ke perdesaan. Kondisi mutu pangan di perdesaan tidak lebih baik dibandingkan perkotaan. Ketiga provinsi menunjukkan skor PPH kurang dari 80. Rendahnya skor PPH tergantung pada pencapaian sumbangan setiap kelompok pangan. Skor PPH Sumatera Barat dan Jawa Tengah masing-masing sebesar 79.8 dan 9.2, sedangkan skor PPH di Sulawesi Tenggara sebesar Meskipun proporsi kelompok padipadian, buah biji berminyak dan gula telah melebihi sumbangan yang diharapkan, akan tetapi setelah dinilai skornya masing-masing hanya diperoleh 25 untuk padipadian, satu untuk buah/biji berminyak, dan 2.5 untuk gula. Seperti dijelaskan di atas karena penentuan skor PPH harus memperhatikan batas maksimal yang disarankan untuk dipenuhi. Data yang tersaji pada Tabel 7 memperlihatkan skor PPH pangan hewani di perdesaan lebih rendah daripada perkotaan. Skor PPH dari kelompok pangan ini belum ada yang mencapai skor ideal. Analisis PPH ini mendukung pernyataan di atas, konsumsi pangan hewani lebih rendah di perdesaan daripada di perkotaan. Hal ini diduga berkaitan dengan kemampuan daya beli di perdesaan lebih rendah dari perkotaan. Pada umumnya pangan hewani lebih mahal daripada pangan nabati. Khusus wilayah perdesaan dari tiga provinsi ini masih perlu meningkatkan kualitas dan kuantitas konsumsi pangannya. Beragam pangan yang perlu ditingkatkan hingga mencapai nilai ideal, pangan tersebut diantaranya adalah pangan hewani, sayur buah, kacang-kacangan. Provinsi Sumatera Barat perlu meningkatkan pangan hewani sebesar 10 point, kacang-kacangan 6.4 point, dan sayur buah 2.6 point. Konsumsi pangan di Jawa Tengah yang perlu ditingkatkan

19 50 masing-masing 14.4 point (pangan hewani), 0.5 point (kacang-kacangan), dan 5.1 point (sayur buah). Konsumsi pangan di Sulawesi Tenggara yang perlu ditingkatkan adalah pangan hewani 8 point, kacang-kacangan 7.3 point, dan sayur buah 5.1 point. Seperti halnya konsumsi pangan di perkotaan, di wilayah perdesaan beras menyumbang energi paling besar daripada jenis pangan lain. Kontribusi beras terhadap total energi di Sumatera Barat cukup besar yaitu 56.7%, sedangkan di Jawa Tengah sebesar 49.7%. Berdasarkan besarnya kontribusi energi dari pangan sumber karbohidrat, maka susunan pangan di perdesaan Sumatera Barat dan Jawa Tengah yaitu beras-terigu, sedangkan di Sulawesi Tenggara adalah beras-umbiterigu. Pola konsumsi pangan beras-umbi tentunya perlu dipertahankan, karena selain beras ternyata umbi-umbian masih diandalkan sebagai penyumbang kebutuhan energinya. Di Sulawesi Tenggara umbi-umbian menyumbang sebesar 9.9% dari total energi (Lampiran 17). Penyumbang energi terbesar di Sumatera Barat setelah beras adalah minyak dan lemak (10.6%), buah/biji berminyak (6.6%), dan terigu (6.4%), di Jawa Tengah setelah beras adalah terigu (11.1%), minyak dan lemak (9.9%), dan di Sulawesi Tenggara adalah umbi-umbian (9.9%), selanjutnya disusul oleh terigu (7.4%), minyak dan lemak (7.3%). Tingginya kontribusi energi dari kelompok minyak dan lemak disebabkan kandungan energi per satuan berat dari kelompok pangan ini cukup besar, sebagai contoh 100 gram minyak kelapa mengandung energi 870 kkal sedangkan 100 gram beras menghasilkan 360 kkal. Menurut Statistik Pertanian 2006 produksi pangan di wilayah Jawa Tengah, untuk komoditas ubi kayu dan ubi jalar pada tahun 2005 cukup besar yaitu masing-masing sebesar ton dan ton dengan produktivitas masing-masing sebesar 165 kuintal per hektar dan 129 kuintal per hektar (Deptan 2006). Di Sulawesi Tenggara, pangan umbi-umbian cukup potensial dikembangkan di wilayah ini. Hal tersebut terlihat dari produksi tahun 2005 untuk ubi kayu sebesar ton dan ubi jalar sebesar ton dengan produktivitas masing-masing sebesar 173 kuintal per hektar dan 83 kuintal per hektar. Dengan potensi yang ada, sebenarnya pangan sumber karbohidrat di masing-masing daerah cukup beragam. Rupanya produksi yang besar tersebut

20 51 belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai sumber energi pangan, sehingga sumber energi konsumsi penduduk masih sangat bergantung pada beras. Dari hasil analisis dengan pendekatan PPH, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa: a) kelompok padi-padian telah mencapai skor makimum di semua provinsi baik perkotaan maupun perdesaan, b) konsumsi ideal dari kelompok pangan ini adalah 50% dari angka kecukupan dan skornya 25, c) tingkat kecukupan energi aktual dari pangan ini berkisar 59.6 (perkotaan di Jawa Tengah) dan 77.1% (perkotaan+perdesaan di Sumatera Barat). Atas dasar alasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa konsumsi pangan untuk padi-padian belum mencapai jumlah yang ideal. Diterangkan oleh Martianto dan Ariani (2004), konsumsi yang masih di bawah konsumsi harapan, memerlukan upaya-upaya serius untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas konsumsi pangan guna mencapai pola pangan ideal. Upaya yang dilakukan tidak terbatas pada penyediaan saja akan tetapi upayaupaya yang secara langsung dapat mempengaruhi perbaikan mutu gizi. Upaya ini diantaranya peningkatan pendapatan dan daya beli yang diikuti dengan perbaikan pengetahuan gizi. Peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan pengelolaan sumberdaya secara lebih baik, sehingga masyarakat dapat memilih jenis pangan bermutu gizi dengan harga yang terjangkau. Dalam rangka perbaikan kualitas konsumsi pangan perlu ditekankan di sini akan pentingnya pemahaman gizi seimbang. Menurut Soegianto (2008), konsep gizi seimbang adalah usaha untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan tubuh akan zat gizi dengan asupan yang didapat melalui makanan, serta mencapai keseimbangan antara berbagai macam zat gizi dalam makanan yang dikonsumsi. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dibutuhkan zat gizi dan energi. Zat gizi dan energi didapatkan dari makanan. Mengkonsumsi makanan dengan benar yaitu dalam jumlah yang seimbang akan menghasilkan tubuh yang sehat. Karena tidak ada satu jenis pangan yang lengkap kandungan zat gizinya kecuali ASI, sehingga disarankan untuk mengkonsumsi pangan yang beranekaragam. Menurut Madanijah (2006) kebiasaan atau perilaku mengkonsumsi pangan dapat secara perlahan diubah ke arah yang lebih baik yaitu melalui pendidikan gizi. Didukung oleh pendapat tersebut, kebiasaan makan di ketiga provinsi

21 52 tentunya dapat diperbaiki. Upaya tersebut diantaranya adalah pendidikan gizi yang diberikan sejak usia dini atau sejak di sekolah dasar. Pengetahuan yang diterima dapat merupakan dasar bagi pembinaan kebiasaan makannya (Soehardjo 1989) Berdasarkan pangan sumber karbohidrat, terlihat bahwa pemanfaatan pangan lokal masih kurang. Pemanfaatan umbi-umbian maupun jagung sebagai pangan sumber energi masih sedikit, hal ini tercermin dari skor PPHnya. Melihat kondisi ini kiranya perlu digalakkan usaha pemanfaatan pangan sumber karbohidrat non beras khususnya umbi-umbian. Termasuk dalam kelompok pangan ini diantaranya adalah ubi kayu, ubi jalar, kentang, sagu, talas, dan pangan olahan umbi-umbian lainnya. Umbi-umbian merupakan kelompok pangan lokal yang potensial untuk dikembangkan namun selama ini kurang tersentuh. Karenanya upaya pengembangan baik produksi, penanganan pascapanen, dan pemanfaatannya sebagai pangan olahan misalnya sebagai substitusi pangan pokok ataupun makanan jajanan perlu penanganan yang sungguh-sungguh. Dari segi pengolahan, telah kita ketahui bahwa mengolah pangan tersebut lebih rumit dan memakan waktu yang lama dibandingkan dengan mengolah beras, sehingga kini saat yang tepat untuk mengembangkan teknologi pengolahan pangan lokal. Elastisitas Konsumsi Pangan Koefisien Pendugaan Parameter Analisis elastisitas konsumsi pangan dibedakan menurut wilayah perdesaan dan perkotaan. Khusus untuk Sulawesi Tenggara, analisis tidak dibedakan menurut wilayah. Hal tersebut disebabkan jumlah yang dianalisa cukup banyak dan data yang tersedia tidak mencukupi, sehingga analisa AIDS di wilayah Sulawesi Tenggara tidak dapat dibedakan menurut tipe wilayah perdesaan dan perkotaan. Berdasarkan wilayah perkotaan dan perdesaan, analisa hanya meliputi dua provinsi yaitu Sumatera Barat dan Jawa Tengah. Hasil pendugaan parameter dari sistem permintaan dengan model AIDS digunakan untuk menghasilkan/menghitung angka elastisitas, baik elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, maupun elastisitas pendapatan. Pendugaan parameter dari sistem permintaan pangan disajikan pada Lampiran

22 53 Koefisien parameter harga sendiri pada beberapa jenis pangan menunjukkan tanda negatif, kecuali di Sulawesi Tenggara yang bertanda positif untuk semua kelompok pangan. Sementara itu koefisien harga silang ada yang menunjukkan tanda positif dan negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada pangan yang bersifat substitusi (pengganti) dan ada pula yang bersifat komplementer (saling melengkapi). Tanda koefisien parameter harga yang positif menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran suatu pangan akan meningkat apabila harga pangan tersebut (harga sendiri) atau harga pangan lain (harga silang) meningkat, dan sebaliknya bila koefisien parameter harga bertanda negatif. Seperti koefisien harga silang, koefisien pengeluaran juga beragam ada yang positif maupun negatif. Koefisien parameter pengeluaran bertanda negatif berarti bahwa meningkatnya pengeluaran pangan akan diikuti oleh penurunan pangsa pengeluaran kelompok pangan yang koefisien parameternya bertanda negatif tadi, yaitu di Sumatera Barat (perkotaan+perdesaan): padi-padian, terigu, daging unggas, daging ruminansia, ikan olahan, telur dan susu, minyak dan lemak, serta kacang-kacangan; di Jawa Tengah (perkotaan+perdesaan): padi-padian, terigu, daging ruminansia, ikan olahan, dan telur susu; dan di Sulawesi Tenggara (perkotaan+perdesaan): padi-padian, daging unggas, telur dan susu, minyak dan lemak, dan gula. Koefisien pengeluaran bertanda positif berarti bahwa meningkatnya pengeluaran pangan akan diikuti oleh meningkatnya pangsa pengeluaran kelompok pangan yang dugaan parameternya bertanda positif (Lumbantobing 2005). Elastisitas Harga Sendiri Tabel 8 memperlihatkan besaran elastisitas harga sendiri komoditas pangan di tiga provinsi menurut wilayah perkotaan+perdesaan, perkotaan, dan perdesaan. Elastisitas harga menunjukkan atau mencerminkan besarnya perubahan satu satuan permintaan akibat adanya perubahan satu satuan harga pangan itu sendiri. Dari sisi tanda, elastisitas harga sendiri sesuai dengan teori permintaan. Baik di wilayah perkotaan+perdesaan, perkotaan, maupun perdesaan memperlihatkan tanda negatif. Tanda negatif berarti bahwa naik turunnya harga pangan akan direspon dengan arah berlawanan terhadap jumlah yang diminta. Pada beberapa

23 54 penelitian juga menunjukkan hal yang sama, bahwa pada umumnya elastisitas sendiri menunjukkan nilai yang negatif (Ariani 1993, Martianto 1995, Rachman 2001, Ariningsih 2002, Lumbantobing 2005). Sebagian kecil komoditas pangan di Sumatera Barat bersifat elastis, yaitu gula (di perkotaan), sayur buah (semua wilayah), dan pangan lainnya (di perdesaan), sedangkan di Jawa Tengah hanya pangan lainnya yang bersifat elastis (di perkotaan+perdesaan, perkotaan). Kelompok pangan selain tersebut di atas umumnya bersifat inelastis. Fenomena ini dapat diinterpretasikan bahwa komoditas-komoditas tersebut merupakan barang kebutuhan. Respon terhadap perubahan jumlah yang diminta untuk pangan-pangan tersebut persentasenya lebih kecil dibanding persentase perubahan harga. Khusus untuk padi-padian di tiga provinsi bersifat inelastis, temuan ini mendukung hasil temuan sebelumnya untuk wilayah Kawasan Timur Indonesia (Rachman 2001). Nilai elastisitas harga sendiri di Sumatera Barat berkisar (ikan olahan di perkotaan) sampai dengan (sayur buah di perdesaan). Hal yang menarik dari Tabel 8 adalah di semua wilayah elastisitas padi-padian lebih lemah daripada daging ruminansia. Fenomena ini menunjukkan bahwa permintaan konsumsi daging ruminansia lebih reponsif terhadap perubahan harga daripada permintaan konsumsi padi-padian. Di wilayah perkotaan+perdesaan dan perdesaan, permintaan konsumsi daging ruminansia paling responsif terhadap perubahan harga dibandingkan pangan hewani lainnya (daging unggas, telur dan susu, ikan segar, ikan olahan). Di perkotaan, permintaan ikan paling responsif terhadap perubahan harga. Menurunnya respon pangan hewani terhadap harga di wilayah perkotaan dimungkinkan oleh beberapa hal yaitu: a) adanya usaha untuk mengurangi konsumsi pangan tersebut, atau b) karena konsumsi sudah mencukupi/telah memenuhi kebutuhan minimum, sehingga anggaran yang ada dialokasikan pada pengeluaran pangan yang lain. Dari aspek gizi dampak menurunnya permintaan konsumsi pangan hewani sebagai respon terhadap perubahan harga adalah tidak dikehendaki, karena akan menurunkan jumlah konsumsi pangan tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa protein hewani mempunyai kualitas yang lebih baik daripada protein nabati. Hasil analisis menunjukkan, konsumsi pangan hewani belum

24 mancapai skor PPH yang diharapkan. Guna mencapai skor 100, konsumsi pangan hewani di Sumatera Barat perlu ditingkatkan sebesar 6.8 point. 55 Tabel 8. Elastisitas harga sendiri menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 No Kelompok/jenis Pangan Perkotaan+ perdesaan Sumatera Barat Jawa Tengah Sulawesi Tenggara Perkotaan Perdesaan Perkotaan+ perdesaan Perkotaan Perdesaan 1 Padi-padian Terigu Umbi-umbian Daging unggas Daging ruminansia Ikan segar Ikan olahan Telur & susu Minyak & lemak Buah/bj berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur & buah Lainnya Respon dari kenaikan harga sayur buah adalah menurunnya permintaan konsumsi pangan tersebut. Sayur dan buah di Sumatera Barat bersifat elastis karena besarnya lebih dari satu. Elastisitas sebesar dapat diintepretasikan bahwa bila terjadi kenaikan harga sayur dan buah sebesar 10% maka akan menurunkan permintaan pangan tersebut sebesar 10.43%. Konsumsi pangan ini masih perlu ditingkatkan (3.4 point) untuk mencapai susunan pangan yang ideal. Sayur dan buah adalah pangan sumber utama vitamin dan mineral. Sriwijayanti (2004) melakukan analisis permintaan buah di DKI Jakarta mendapatkan elastisitas buah-buahan bersifat inelastis. Elastisitas buah tersebut berkisar (jeruk) dan (pisang). Menurutnya adanya gejolak harga buah tidak terlalu mempengaruhi konsumsinya. Namun sebaliknya yang terjadi di Sumatera Barat adalah gejolak harga buah dan sayur akan berpengaruh terhadap permintaan. Elastisitas permintaan pangan yang cukup besar di Jawa Tengah (perkotaan+perdesaan) adalah kelompok pangan lainnya. Termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah bumbu-bumbu, minuman, tembakau dan sirih. Elastisitas pangan selain tersebut di atas adalah sayur dan buah (-0.853), dan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain prospective study berdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008-2010. Pemilihan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Keadaan geografis Keadaan geografis Provinsi Papua terletak antara 2 0 25-9 0 Lintang Selatan dan 130 0-141 0 Bujur Timur. Di sebelah utara Provinsi Papua dibatasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Amang (1993), Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional

Lebih terperinci

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN A. KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI YANG DIANJURKAN Tabel 1. Komposisi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan Nasional % AKG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola Konsumsi adalah susunan tingkat kebutuhan seseorang atau rumahtangga untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam menyusun pola konsumsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan laut di Indonesia mengandung sumberdaya kelautan dan perikanan yang siap diolah dan dimanfaatkan semaksimal mungkin, sehingga sejumlah besar rakyat Indonesia

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PANDUAN PENGHITUNGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Skor PPH Nasional Tahun 2009-2014 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 Kacangkacangan Buah/Biji Berminyak 5,0 3,0 10,0 Minyak dan Lemak Gula 5,0 Sayur & buah Lain-lain

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling hakiki dan mendasar bagi sumberdaya manusia suatu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya 5 TINJAUAN PUSTAKA Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya Dikemukakan oleh Maslow, pangan merupakan salah satu kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup (Sumarwan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Ketahanan pangan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Pola Konsumsi Non Beras Sektor pertanian tidak akan pernah lepas dari fungsinya sebagai sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan masyarakat Indonesia, yang dilakukan secara terus menerus, berlandaskan kemampuan wilayah dengan

Lebih terperinci

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun DIVERSIFIKASI KONSUMSI MASYARAKAT BERDASARKAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN PADA LOKASI MKRPL DI KEC. KRAMATWATU KAB. SERANG Yati Astuti 1) dan Fitri Normasari 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun

Lebih terperinci

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN Pengantar Survei Konsumsi Pangan Tujuan Survei Konsumsi Pangan Metode berdasarkan Jenis Data yang diperoleh Metode berdasarkan Sasaran Pengamatan Neraca Bahan Makanan Pola

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Menurut Balitbang (2008), Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup, bergizi dan aman menjadi

Lebih terperinci

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011 BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR Menimbang : a.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Menurut Saliem dkk dalam Ariani dan Tribastuti (2002), pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN Tri Bastuti Purwantini PENDAHULUAN Banyak kemajuan telah dicapai dalam pembangunan pangan

Lebih terperinci

KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN PENDAHULUAN

KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN PENDAHULUAN P R O S I D I N G 69 KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN Condro Puspo Nugroho 1*, Fahriyah 1, Rosihan Asmara 2 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR

Lebih terperinci

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Oleh : Dr. Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian RI RINGKASAN Berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsumsi Pangan Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang, kelompok, atau penduduk untuk memenuhi kebutuhan gizinya (BKP, 2013). Menurut

Lebih terperinci

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI Pusat Penganekeragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal. No.397, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 43/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi asupan gizi dan sebagai faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak

Lebih terperinci

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008 KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA

Lebih terperinci

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) P R O S I D I N G 58 Fahriyah 1*, Rosihan Asmara 1 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya *E-mail ria_bgl@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pola konsumsi pangan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan. Harapan (PPH) merupakan rumusan komposisi pangan yang ideal yan g

BAB I PENDAHULUAN. Pola konsumsi pangan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan. Harapan (PPH) merupakan rumusan komposisi pangan yang ideal yan g xiv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola konsumsi pangan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan pola pangan harapan ideal seperti yang tertuang dalam PPH. Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan rumusan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DI KABUPATEN PURWOREJO Menimbang a. bahwa

Lebih terperinci

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang 121 V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA Dalam penelitian ini ketahanan pangan diukur berdasarkan ketersediaan pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang ketersediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pembangunan. Komponen ini memberikan kontribusi. dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pembangunan. Komponen ini memberikan kontribusi. dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan dan gizi merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan. Komponen ini memberikan kontribusi dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NO 1. Dipertahankannya ketersediaan pangan yang cukup, meningkatkan kemandirian masyarakat, pemantapan ketahanan pangan dan menurunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mendasar, dianggap strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. Terpenuhinya pangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi

PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi 53 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang berfungsi sebagai pemeliharaan, pertumbuhan, kerja dan penggantian jaringan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan 4 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Menurut UU No 7 tahun 1997, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah ataupun produk turunannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan salah satu kelompok usia yang memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi disaat masa pertumbuhan dan pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan

Lebih terperinci

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA A. Pengertian Pangan Asal Ternak Bila ditinjau dari sumber asalnya, maka bahan pangan hayati terdiri dari bahan pangan nabati

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) Tri Bastuti Purwantini, Handewi P.S. Rachman dan Yuni Marisa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA, Menimbang

Lebih terperinci

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PENELITIAN Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Studi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1 Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan daerah tropis yang kaya akan hasil sumber daya alam. Salah satu hasilnya adalah umbi-umbian, salah satunya adalah singkong yang mempunyai potensi

Lebih terperinci

PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi

PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi Tanggal 16 Oktober 2014 PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi PENDAHULUAN Usia 6 bulan hingga 24 bulan merupakan masa yang sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 1 I. Aspek Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2009 2013 Komoditas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM KARAKTERISTIK DAN ARAH PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA Oleh : Harianto

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah retrospektif. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan yaitu (1) Kabupaten Lampung Barat akan melakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Pra-Sekolah Anak pra-sekolah / anak TK adalah golongan umur yang mudah terpengaruh penyakit. Pertumbuhan dan perkembangan anak pra-sekolah dipengaruhi keturunan dan faktor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri pada dasarnya menunjukkan arah bahwa pengembangan agribisnis merupakan suatu upaya

Lebih terperinci

Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perkotaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung)

Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perkotaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung) Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perkotaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung) Nasriati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Jl. ZA. Pagar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN MELALUI KONSEP RUMAH PANGAN LESTARI BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK KABUPATEN PANDEGLANG TAHUN DIAN KARTIKASARI

ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK KABUPATEN PANDEGLANG TAHUN DIAN KARTIKASARI ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI PANGAN PENDUDUK KABUPATEN PANDEGLANG TAHUN 2011-2015 DIAN KARTIKASARI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN BAHASAN 1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN NUHFIL HANANI AR UNIVERSITAS BAWIJAYA Disampaikan

Lebih terperinci

ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO

ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO AGRISE Volume XV No. 1 Bulan Januari 2015 ISSN: 1412-1425 ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO (ANALYSIS OF FOOD BALANCE SHEET (FBS) AND DESIRABLE DIETARY

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. tahun 2004, konsumsi protein sudah lebih besar dari yang dianjurkan yaitu

PENDAHULUAN. tahun 2004, konsumsi protein sudah lebih besar dari yang dianjurkan yaitu 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia masih berada pada pola konsumsi tunggal, yaitu beras. Tingginya ketergantungan pada beras tidak saja menyebabkan ketergantungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI A. Pendahuluan Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Jumlah sampel dalam kecamatan (KK) Nama Desa. KK tidak

METODE PENELITIAN. Jumlah sampel dalam kecamatan (KK) Nama Desa. KK tidak 18 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah Descriptive Study. Penelitian ini bersifat prospektif untuk memproyeksikan kondisi yang akan datang. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan atau kelebihan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berlanjut hingga dewasa bila tidak diatasi sedari dini.

BAB 1 PENDAHULUAN. berlanjut hingga dewasa bila tidak diatasi sedari dini. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Periode emas tersebut dapat diwujudkan apabila pada masa ini, bayi dan anak mendapatkan asupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan dasar paling utama bagi manusia adalah kebutuhan pangan. Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun

Lebih terperinci

GIZI DAUR HIDUP. Rizqie Auliana, M.Kes

GIZI DAUR HIDUP. Rizqie Auliana, M.Kes GIZI DAUR HIDUP Rizqie Auliana, M.Kes rizqie_auliana@uny.ac.id Pengantar United Nations (Januari, 2000) memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2.1 Pola Konsumsi Pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2010). Pola

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Program Studi Diploma III (Tiga)

Lebih terperinci

ANALISIS KONSUMSI DAN KEBUTUHAN UNTUK KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN SULAWESI TENGGARA TAHUN

ANALISIS KONSUMSI DAN KEBUTUHAN UNTUK KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN SULAWESI TENGGARA TAHUN ANALISIS KONSUMSI DAN KEBUTUHAN UNTUK KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN SULAWESI TENGGARA TAHUN 2005-2015 SRI CATUR LESTARI WIDIASIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BUPATI BARITO UTARA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BARITO UTARA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BARITO UTARA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL BUPATI BARITO UTARA Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang di makan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilakan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Secara sempit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN 2.1 Tinjuan Pustaka Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) merupakan implementasi dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses Pertanian, yang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PERATURAN PRESIDEN NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI KETAHANAN PANGAN DAN GIZI disampaikan pada : Temu Ilmiah Internasional Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian November 2014 OUTLINE 1. Pendahuluan 2. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

Lebih terperinci

METODE. - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura - Dinas Peternakan dan Perikanan - Dinas Perkebunan b. Data NBM tahun (sekunder)

METODE. - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura - Dinas Peternakan dan Perikanan - Dinas Perkebunan b. Data NBM tahun (sekunder) 31 METODE Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah restrospektif. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan (Lampiran 1). Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci