DAYASAING USAHATANI MELON APOLLO DI KOTA CILEGON MONICA BELLA ADIPUTRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAYASAING USAHATANI MELON APOLLO DI KOTA CILEGON MONICA BELLA ADIPUTRI"

Transkripsi

1 i DAYASAING USAHATANI MELON APOLLO DI KOTA CILEGON MONICA BELLA ADIPUTRI DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2 2

3 iii 1 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dayasaing Usahatani Melon Apollo di Kota Cilegon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Monica Bella Adiputri NRP H Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

4 4

5 v ABSTRAK MONICA BELLA ADIPUTRI. Dayasaing Usahatani Melon Apollo di Kota Cilegon. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS. Melon Apollo merupakan salah satu varietas melon unggul. Kota Cilegon sengaja dipilih menjadi lokasi penelitian karena merupakan penghasil melon Apollo terbesar di Provinsi Banten. Tujuan penelitian ini yaitu : (1) menganalisis dayasaing usahatani melon Apollo di Kota Cilegon, (2) menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah dan pengaruh perubahan faktor eksternal terhadap keuntungan dan dayasaing usahatani melon Apollo. Penelitian ini dianalisis menggunakan metode Matriks Analisis Kebijakan (PAM) dan analisis sensitivitas. Hasil analisis menunjukan bahwa usahatani melon Apollo di Kota Cilegon memiliki dayasaing karena memiliki nilai PCR < 1 (0.526) dan DRCR < 1 (0.572). Secara keseluruhan, kebijakan input-output yang diterapkan oleh pemerintah sudah efektif dalam meningkatkan dayasaing. Analisis sensitivitas menunjukan bahwa produktivitas output sensitif mempengaruhi dayasaing, sedangkan harga output, harga input, dan kurs rupiah tidak sensitif dalam mempengaruhi dayasaing melon Apollo. Kata kunci : Melon Apollo, Dayasaing, Matriks Analisis Kebijakan, Kebijakan Pemerintah, Analisis Sensitivitas ABSTRACT MONICA BELLA ADIPUTRI. Competitiveness of Melon Apollo s Farming in Cilegon. Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS. Melon Apollo is one of the superior varieties of melon. Cilegon city was purposively selected as a location of the research because this city is the largest producer of melon Apollo in Banten Province. The purpose of this study are: (1) to analyze the competitiveness of melon Apollo's farming in Cilegon City, (2) to analyze the policies effect which applied by the government and to analyze the changes effect of external factors for profits and competitiveness of melon Apollo's farming. The method that used in this research are Policy Analysis Matrix (PAM) and sensitivity analysis. The results of the analysis showed that melon Apollo's farming in Cilegon City has a competitiveness because it has a value of PCR <1 (0.526) and DRCR <1 (0.572). Overall, input-output policies that implemented by the government have been effective to improving competitiveness. Sensitivity analysis showed that the output productivity was sensitive to influence competitiveness, meanwhile the output prices, input prices, and exchange rates were not sensitive to influence compatitiveness of melon Apollo. Keyword : Melon Apollo, Competitiveness, Policy Analysis Matrix, Government Policy, Sensitivity Analysis

6 6

7 vii DAYASAING USAHATANI MELON APOLLO DI KOTA CILEGON MONICA BELLA ADIPUTRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

8 8

9 ix

10 10

11 xi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah dayasaing, dengan judul Dayasaing Usahatani Melon Apollo di Kota Cilegon. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr M. Firdaus, SP, MSi, selaku pembimbing, Ibu Tintin Sarianti SP, MM, selaku dosen evaluator kolokium, Ibu Dr. Ir Netti Tinaprilla, MM selaku dosen penguji utama, Bapak Rahmat Yanuar, SP, MSi selaku dosen penguji akademik, serta Ibu Yanti Nuraeni M, SP, M.Agb sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dan saran menghadapi dunia perkuliahan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Soeparman Bachsan, Ibu Cholisoh, Mahesa Berry Adibakas, Aldrian Nuranda Fikri serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh sahabat, rekan-rekan Studymate, rekan-rekan Alih Jenis Agribisnis Angkatan 5, dan alumni Diploma MAB angkatan 48. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2016 Monica Bella Adiputri

12 12

13 xiii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xiv DAFTAR GAMBAR xv DAFTAR LAMPIRAN xv PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 6 Ruang Lingkup Penelitian 6 TINJAUAN PUSTAKA 6 Studi Mengenai Dayasaing Komoditas Buah 6 Studi Mengenai Kebijakan Pemerintah 8 KERANGKA PEMIKIRAN 9 Kerangka Pemikiran Teoritis 9 Keunggulan Komparatif 9 Keunggulan Kompetitif 10 Analisis Kebijakan Pemerintah 12 Kebijakan terhadap Output 14 Kebijakan terhadap Input 16 Policy Analysis Matrix (PAM) 17 Analisis Keuntungan 18 Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif 19 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah 19 Kebijakan Output 19 Kebijakan Input 20 Kebijakan Input - Output 20 Harga Bayangan (Social Opportunity Cost) 21 Konsep Sensitivitas 22 Kerangka Pemikiran Operasional 22 METODE PENELITIAN 24 Lokasi dan Waktu Penelitian 24 Jenis dan Sumber Data 25 Metode Penentuan Responden 26 Metode Analisis 26 Analisis Dayasaing 26 Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing 27 Penentuan Harga Bayangan 28 Analisis Sensitivitas 34 GAMBARAN UMUM PENELITIAN 34 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 34 Karakteristik Petani Responden 35 Gambaran Umum Sistem Usahatani Melon Apollo di Kota Cilegon 38 Proses Budidaya Melon Apollo 39 Pemasaran Melon Apollo 40 HASIL DAN PEMBAHASAN 41

14 14 Analisis Keuntungan Komoditas Melon Apollo 41 Kebijakan Input pada Sistem Komoditas Melon Apollo 42 Kebijakan Output pada Sistem Komoditas Melon Apollo 43 Keuntungan Privat dan Sosial 43 Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Komoditas Melon Apollo 45 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keuntungan dan Dayasaing Usahatani Melon Apollo 46 Dampak Kebijakan terhadap Output 47 Dampak Kebijakan terhadap Input 49 Dampak Kebijakan terhadap Input-Output 50 Analisis Sensitivitas 52 SIMPULAN DAN SARAN 55 Simpulan 55 Saran 55 DAFTAR PUSTAKA 56 LAMPIRAN 59 RIWAYAT HIDUP 73 DAFTAR TABEL 1 Konsumsi buah-buahan masyarakat Indonesia tahun 2010 sampai Perkembangan produksi buah melon Indonesia tahun 2010 sampai Produksi melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2010 sampai Volume ekspor impor buah-buahan nasional tahun 2009 sampai Klasifikasi kebijakan pemerintah terhadap harga komoditas 12 6 Tabel analisis matriks kebijakan 18 7 Rincian data primer dayasaing usahatani melon Apollo di Kota Cilegon tahun Rincian data sekunder dayasaing usahatani melon Apollo di Kota Cilegon 25 9 Keragaan petani responden pada sistem komoditas melon Apollo Karakteristik petani responden berdasarkan usia Karakteristik petani responden berdasarkan luas lahan Karakteristik petani responden berdasarkan pendidikan Karakteristik petani responden berdasarkan pengalaman bertani Karakteristik petani responden berdasarkan mata pencaharian Hasil analisis keuntungan pada sistem usahatani melon Apollo (Rupiah per hektar per musim) tahun Hasil analisis PAM keuntungan privat dan sosial pada usahatani melon Apollo di Kota Cilegon (Rupiah per hektar per musim) tahun Hasil analisis PAM nilai PCR dan DRCR pada sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon tahun Hasil analisis PAM nilai TO dan NPCO pada sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon tahun Hasil analisis PAM nilai TI, NPCI, dan TF pada sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon tahun

15 xv 20 Hasil analisis PAM untuk nilai TB, EPC, PC, dan SRP pada sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon tahun Nilai keuntungan berdasarkan analisis sensitivitas (skenario tunggal) pada komoditas melon Apollo di Kota Cilegon (Rupiah per hektar per musim) tahun Nilai indikator dayasaing (DRCR) berdasarkan analisis sensitivitas (skenario tunggal) pada komoditas melon Apollo di Kota Cilegon tahun Nilai indikator dayasaing (DRCR) berdasarkan analisis sensitivitas (pengaruh kurs dan skenario ganda) pada komoditas melon Apollo di Kota Cilegon tahun DAFTAR GAMBAR 1 (a) Dampak subsidi positif untuk produsen barang impor dan (b) dampak subsidi positif untuk konsumen barang impor Dampak kebijakan hambatan perdagangan pada barang ekspor dan impor 16 3 Dampak kebijakan subsidi dan pajak pada input tradable 16 4 Kerangka pemikiran operasional 24 DAFTAR LAMPIRAN 1 Alokasi komponen biaya domestik dan asing pada sistem komoditas melon Apollo di Kota Cilegon tahun Perhitungan Standard Convertion Factor dan Shadow Exchange Rate tahun Harga privat dan harga sosial benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan, serta input lainnya yang digunakan pada sistem usahatani komoditas melon Apollo di Kota Cilegon tahun Biaya penyusutan peralatan yang digunakan dalam sistem usahatani komoditas melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 (pada tingkat harga privat dan harga sosial) 65 5 Analisis keuntungan usahatani melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 (Rupiah per hektar per musim) 66 6 Hasil analisis PAM terhadap keuntungan privat (finansial) dan keuntungan sosial (ekonomi) pada sistem usahatani komoditas melon Apollo di Kota Cilegon tahun Dokumentasi penelitian 72

16 16

17 xvii

18

19 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Melon (Cucumis melo L) merupakan jenis buah yang termasuk ke dalam suku labu-labuan atau family Cucurbitaceae. Melon merupakan tamanan yang cocok tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi dengan ketinggian 200 hingga 2000 mpdl. Suhu yang dibutuhkan untuk tumbuh berkisar antara 12 0 C hingga 35 0 C dengan paparan sinar matahari 10 hingga 12 jam per hari, dan membutuhkan curah hujan sebanyak mm hingga 200 mm per bulan. Melon dikenal dengan dua tipe, yaitu tipe manis dan tipe tidak manis. Tipe melon yang manis biasanya dikonsumsi sebagai buah segar, sedangkan melon tipe tidak manis dikonsumsi untuk sayur, olahan, campuran minuman, dan lain-lain (Setiadi dan Parimin 2006). Varietas melon di Indonesia juga memiliki keragaman tipe, ada yang tipe net (kulit berjaring), no net (kulit tanpa jaring) dan rock melon (kulit berjaring dengan daging buah berwarna). Ketiga tipe varietas tersebut dapat beradaptasi baik dengan kondisi agroklimat di Indonesia. Data statistik menunjukkan melon memiliki laju pertumbuhan rata-rata konsumsi per tahun yang positif yaitu sebesar 3.23 persen (Tabel 1). Peningkatan konsumsi melon dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti peningkatan kesadaran untuk mengkonsumsi buah dan semakin banyaknya pilihan varietas melon yang tersedia. Peningkatan konsumsi melon mengakibatkan produksi melon nasional ikut meningkat. Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan melon dalam negeri sekaligus untuk menangkap peluang bisnis yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku agribisnis melon. Produksi melon dalam negeri mengalami peningkatan sebesar persen atau meningkat dari ton pada tahun 2010 menjadi ton pada tahun 2014 (Kementerian Pertanian 2015). Data statistik mengenai konsumsi buah-buahan per kapita per tahun dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Konsumsi buah-buahan masyarakat Indonesia tahun 2010 sampai 2014 Komoditas buahbuahan Konsumsi per kapita per tahun (Kilogram) Laju pertumbuhan rata-rata konsumsi per tahun (Persen) Belimbing Durian Jeruk Mangga Melon Semangka Nanas Sumber : BPS 2015

20 2 Budidaya melon tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Data statistik menunjukkan bahwa pulau Jawa merupakan sentra produksi buah melon dengan pusat terbesar terdapat di Jawa Timur dengan total produksi pada tahun 2013 sebesar ton. Selain Jawa Timur, diperoleh informasi bahwa Provinsi Banten merupakan daerah yang produksinya mengalami peningkatan sebesar persen dari tahun 2010 hingga tahun 2013 dengan produksi pada tahun 2013 sebesar ton (BPS 2014). Produksi tanaman melon menurut provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perkembangan produksi buah melon Indonesia tahun 2010 sampai 2013 Provinsi Produksi tanaman (Ton) Sumatera utara Jawa Barat Jawa Tengah DIYogyakarta Jawa timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Papua Sumber : Badan Pusat Statistik 2014 Banten merupakan sentra baru penghasil buah melon. Jenis melon yang umumnya dibudidayakan di Banten adalah melon Apollo. Melon Apollo merupakan salah satu varietas melon unggul yang dapat dikembangkan di Indonesia. Banten memiliki empat wilayah penghasil melon Apollo yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kota Serang, dan Kota Cilegon. Dari keempat wilayah tersebut, Kota Cilegon merupakan wilayah terbesar penghasil melon Apollo dengan kontribusi produksi sebesar persen atau sebesar kwintal dari total produksi sebesar kwintal pada tahun 2012 (Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten 2013). Produksi melon Apollo di Kota Cilegon cenderung mengalami peningkatan tiap tahunnya dengan wilayah produksi yang tersebar di delapan kecamatan yaitu Kecamatan Cilegon, Kecamatan Pulomerak, Kecamatan Ciwandan, Kecamatan Cibeber, Kecamatan Jombang, Kecamatan Citangkil, Kecamatan Purwakarta, dan Kecamatan Grogol. Dari tahun 2010 hingga 2014 terjadi peningkatan produksi sebesar persen atau meningkat sebesar kwintal dan daerah penghasil terbesar yaitu Kecamatan Jombang dengan jumlah produksi sebesar kwintal pada tahun Rincian data mengenai produksi melon di Kota Cilegon dapat dilihat pada Tabel 3. Peningkatan produksi melon Apollo mengindikasikan adanya permintaan yang tinggi terhadap melon Apollo. Saat ini produksi melon Apollo di Kota Cilegon baru mampu memenuhi 30 persen dari total permintaan yang masuk ke wilayah Kota Cilegon (Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cilegon 2016). Melon Apollo memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis melon lain,

21 3 sehingga membuat melon jenis ini diminati. Kelebihan tersebut yaitu : (1) dari segi penampilan, melon Apollo memiliki penampilan yang menarik dengan warna kulit buah kuning cerah dan kulit yang halus (tanpa jaring) (2) dari segi harga dan bobot buah, melon Apollo memiliki harga (di tingkat konsumen) yang bersaing yaitu berkisar antara Rp sampai Rp per kg untuk grade A dengan bobot buah mencapai 1.8 kg hingga 2 kg per buah (3) dari segi rasa, melon Apollo memiliki rasa yang manis dengan tingkat kemanisan 11 o sampai dengan 12 o briks dan tekstur daging buah yang lebih renyah dibandingkan dengan jenis melon lain. Tabel 3 Produksi melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2010 sampai 2014 Tahun (Kwintal) No Kecamatan Cilegon Pulomerak Ciwandan Cibeber Jombang Citangkil Purwakarta Grogol Jumlah (Kwintal) Sumber : Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cilegon 2015 Pemaparan diatas menunjukan bahwa Kota Cilegon memiliki potensi untuk mengembangkan melon Apollo. Dengan kondisi iklim dan geografis yang mendukung seharusnya Kota Cilegon dapat menghasilkan buah melon yang berdayasaing tinggi. Namun, buah melon menjadi salah satu komoditas yang terkena dampak perdagangan bebas. Jika hal ini tidak diimbangi dengan alternatif solusi yang baik maka dapat membawa dampak negatif baik bagi petani maupun negara. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan dayasaing buah melon adalah dengan mengembangkan varietas melon unggul, seperti melon Apollo. Varietas melon Apollo diharapkan akan mampu meningkatkan dayasaing buah melon lokal sehingga diharapkan nantinya dapat meningkatkan pendapatan petani melon dan memberikan kontribusi besar terhadap PDRB maupun devisa negara. Oleh sebab itu, perlu dilakukan analisis untuk mengetahui dayasaing usahatani dari komoditas melon Apollo tersebut. Perumusan Masalah Arus globalisasi telah menyebabkan adanya sistem perdagangan bebas yang mengakibatkan persaingan perdagangan yang semakin ketat baik secara domestik maupun internasional. Kondisi ini mendesak setiap negara untuk memiliki keunggulan baik kompetitif maupun komparatif dari setiap produk yang dihasilkan, tak terkecuali untuk produk buah-buahan. Namun terdapat sejumlah masalah yang dihadapi oleh petani buah lokal yaitu masih rendahnya produktivitas, lokasi usahatani yang terpencar, skala usaha

22 4 kecil dan belum efisien, kebijakan dan regulasi di bidang perbankan, transportasi, ekspor dan impor belum sepenuhnya mendukung pelaku agribisnis buah nasional (Kementerian Pertanian 2012). Permasalahan tersebut menyebabkan perkembangan agribisnis buah di Indonesia menjadi lambat. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat Indonesia memiliki potensi iklim dan geografis yang mendukung untuk memproduksi buah yang memiliki kualitas, kuantitas, dan kontinuitas yang baik secara mandiri. Berdasarkan pemaparan diatas, agribisnis buah Indonesia dihadapkan oleh sejumlah tantangan baik yang berasal dari pasar domestik maupun pasar internasional. Di pasar domestik produk buah lokal di ancam kedudukannya oleh buah impor. Sedangkan di pasar internasional, produk buah Indonesia yang berhasil diekspor harus bersaing dengan buah yang diekspor oleh negara lain dan buah lokal negara pengimpor. Ketatnya persaingan yang dihadapi Indonesia dapat tercermin dari data ekspor impor buah nasional (Tabel 4). Agar buah lokal Indonesia mampu bersaing di pasar domestik maupun internasional, maka Indonesia harus menghasilkan buah yang memiliki kualitas dan kontinuitas yang baik, serta kuantitas yang mampu memenuhi permintaan pasar. Tabel 4 Volume ekspor impor buah-buahan nasional tahun 2009 sampai 2013 Keterangan Tahun (Ton) Ekspor Impor Sumber : Badan Pusat Statistik 2014 Pada Tabel 4 terlihat bahwa, peningkatan volume impor buah nasional masih lebih besar dibandingkan dengan peningkatan volume ekspornya. Pada tahun 2013 volume ekspor buah nasional sebesar ton sedangkan volume impornya mencapai ton. Kondisi seperti ini menyebabkan neraca perdagangan buah nasional terutama melon, semangka, dan jeruk mengalami defisit (BPS 2013). Oleh sebab itu, pengembangan agribisnis buah di Indonesia perlu terus dilakukan agar dalam jangka panjang tidak semakin merugikan negara. Melon merupakan salah satu komoditas yang perlu untuk dikembangkan, karena hingga kini volume produksi buah melon lokal belum mampu memenuhi permintaan buah melon nasional. Kondisi tersebut menyebabkan pemerintah Indonesia melakukan impor buah melon segar dari negara lain. Pada tahun 2013, nilai impor buah melon segar dan semangka lebih besar yaitu US$ , sementara nilai ekspornya hanya US$ (Direktorat Jenderal Hortikultura 2014). Melon impor yang masuk ke Indonesia berasal dari berbagai negara seperti Amerika, Taiwan, Jepang, Thailand, dan China. Jenis melon yang diimpor pun beragam seperti melon Honey, Andros Red, Red Sweet, melon Golden, dan lain sebagainya. Untuk meningkatkan dayasaing melon Apollo, serta untuk mengantisipasi persaingan yang datang dari melon impor maupun melon lokal lainnya, diperlukan upaya pengembangan dan perbaikan pada sistem usahatani dengan memperhatikan prinsip efisiensi, agar biaya operasional tidak menjadi tinggi. Selain itu, untuk mendukung pengembangan melon Apollo di Kota Cilegon,

23 5 pemerintah Kota Cilegon melakukan program diantaranya, pada tahun 2012 mengadakan program pengembangan melon Apollo untuk meningkatkan kesejahteraan petani melon dalam bentuk memberikan bantuan berupa benih melon Apollo, pupuk, pestisida, dan alat pengecek manis (refractometer). Kemudian tahun 2014 sampai dengan tahun 2016 pemerintah kota melalui Dinas Pertanian dan Kelautan (Disperla) Kota Cilegon memberikan pelatihan kepada para petani terkait cara budidaya tanaman melon Apollo, serta memiliki program untuk meningkatkan kapasitas setiap UPTD pertanian yang ada di tiap kecamatan se-kota Cilegon, yakni dengan cara pengembangan depot melon dimana sebelumnya para pegawai UPTD sudah diberikan bimbingan tentang cara budidaya melon Apollo. Adanya berbagai program pengembangan melon Apollo di Kota Cilegon menunjukkan bahwa melon Apollo merupakan komoditi yang potensial untuk meningkatkan pendapatan petani, dan diharapkan program tersebut akan dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas melon Apollo yang dihasilkan. Selain kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah, terdapat sejumlah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang berdampak pada sektor hortikultura. Kebijakan pemerintah pusat tersebut meliputi : (1) Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2007 mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar sepuluh persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk, dan obatobatan, dan (2) Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 yang menaikkan bea masuk (pajak impor) sebesar lima persen atas produk bahan baku pertanian seperti pupuk dan obat-obatan. Kebijakan-kebijakan tersebut menyebabkan harga input menjadi lebih tinggi sehingga biaya produksi meningkat. Adanya kebijakan yang dibuat baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah akan membawa dampak pada pembangunan pertanian, khususnya pengembangan usahatani melon Apollo. Maka untuk mengetahui dampak yang dihasilkan, perlu dilakukan analisis mengenai dayasaing usahatani melon Apollo di Kota Cilegon. Diharapkan, hasil dari penelitian tersebut mampu menemukan alternatif-alternatif kebijakan yang dapat mendukung pengembangan usahatani melon Apollo di Kota Cilegon, sehingga mampu meningkatkan dayasaing melon Apollo di pasar domestik maupun dunia. Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah komoditas melon Apollo memiliki dayasaing untuk dikembangkan di Indonesia? 2. Bagaimana pengaruh kebijakan input-output yang diterapkan oleh pemerintah terhadap dayasaing melon Apollo? 3. Bagaimana sensitivitas dayasaing melon Apollo apabila ada perubahan faktor eksternal? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis dayasaing usahatani melon Apollo di Kota Cilegon.

24 6 2. Menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan dayasaing melon Apollo di Kota Cilegon. 3. Menganalisis pengaruh perubahan faktor eksternal terhadap keuntungan dan dayasaing komoditas melon Apollo di Kota Cilegon. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : 1. Bagi petani melon Apollo berguna untuk mengetahui dayasaing usahatani buah yang mereka jalankan dan sejauh mana kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap keberlangsungan usahatani mereka. 2. Bagi pemerintah Kota Cilegon maupun instansi terkait berguna sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan bagi perkembangan agribisnis melon Apollo di wilayahnya. 3. Bagi peneliti berguna sebagai bahan referensi dan informasi lebih lanjut untuk penelitian selanjutnya. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini, antara lain : (1) komoditas buah yang dipilih adalah melon Apollo, karena melon Apollo merupakan produk pertanian unggulan Kota Cilegon dan melon Apollo merupakan varietas melon unggul, (2) daerah penelitian mencakup lima kecamatan di Kota Cilegon yaitu Kecamatan Jombang, Kecamatan Grogol, Kecamatan Purwakarta, Kecamatan Citangkil, dan Kecamatan Ciwandan. Kecamatan Cilegon, Kecamatan Cibeber, dan Kecamatan Pulomerak tidak menjadi lokasi penelitian karena saat ini sudah tidak terdapat petani melon Apollo yang aktif berproduksi, (3) menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM) untuk menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif melon Apollo di Kota Cilegon. Analisis ini dilakukan untuk memperoleh informasi efisiensi serta dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani melon Apollo di Kota Cilegon, dan (4) harga input dan harga output yang dihasilkan dalam usahatani melon Apollo menggunakan harga yang berlaku pada tahun 2015 sampai dengan tahun TINJAUAN PUSTAKA Studi Mengenai Dayasaing Komoditas Buah Dayasaing merupakan suatu kriteria yang menentukan komoditas dari suatu negara dalam bersaing dengan komoditas dari negara lain dalam suatu perdagangan internasional. Suatu komoditas dianggap memiliki dayasaing jika memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Penelitian mengenai analisis dayasaing telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Dewanata (2011) tentang dayasaing jeruk siam di Kacamatan

25 Samarang Kabupaten Garut, Dhiany (2008) tentang dayasaing mangga gedong gincu di Kabupaten Indramayu, Puspitasari (2011) tentang dayasaing belimbing dewa di Kota Depok, Manalu (2014) tentang dayasaing komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Andriani dan Hanani (2010) tentang dayasaing apel di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, Pradipta dan Firdaus (2014) tentang posisi dayasaing dan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor buahbuahan Indonesia, Wahyuni (2012) tentang dayasaing buah naga di Yogyakarta, Setiawan et al. (2014) tentang dayasaing kelapa di Kabupaten Kupang, dan Farizal (2015) tentang dayasaing komoditas buah unggulan Jawa Barat. Penelitian yang dilakukan oleh (Dewanata 2011; Dhiany 2008; Puspitasari 2011; Manalu 2014; Andriani dan Hanani 2010; Farizal 2015; Setiawan et al. 2014) menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM) dengan pertimbangan bahwa metode ini dapat menjawab tujuan yang ingin dicapai yaitu dapat mengetahui keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah terhadap suatu komoditas. Selain menggunakan analisis PAM, Andriani dan Hanani (2010) menambahkan analisis Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) untuk dapat memperkirakan bahwa sumberdaya yang dimanfaatkan untuk memproduksi komoditi tertentu mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Berbeda hal nya dengan penelitian yang dilakukan oleh (Dewanata 2011; Dhiany 2008; Puspitasari 2011; Manalu 2014; Andriani dan Hanani 2010; Farizal 2015; Setiawan et al. 2014) yang menggunakan PAM sebagai alat analisis, Wahyuni (2012) menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif untuk mengetahui kekuatan dayasaing pada komoditas buah naga di Kecamatan Pakem, Sleman. Analisis deskriptif dilakukan dengan mengamati kondisi pasar buah naga yang dibadingkan dengan komoditas lainnya. Sedangkan, analisis kuantitatif menggunakan analisis tingkat pendapatan dan efisiensi usahatani buah naga. Namun analisis ini memiliki kelemahan yaitu tidak dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan komparatif. Selain itu, Pradipta dan Firdaus (2014) menggunakan metode analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menunjukkan dayasaing suatu produk negara berdasarkan keunggulan komparatif di pasar internasional dan negara tujuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pradipta adan Firdaus (2014) menunjukan bahwa dayasaing ekspor melon masih berada di posisi lemah namun berada pada posisi pangsa pasar ekspor paling ideal. Dewanata (2011) melakukan penelitian untuk menganalisis dayasaing satu komoditas dengan dua metode penanaman yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Dewanata (2011) menunjukan bahwa pengusahaan jeruk siam dengan menggunakan teknologi modern memiliki keunggulan komparatif yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan teknologi tradisional, dengan nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR) sebesar 0.71 dan Keuntungan Sosial sebesar Rp Menurutnya, pengusahaan jeruk siam dengan menggunakan teknologi modern perlu ditingkatkan jika pemerintah berorientasi terhadap ekspor. Sedangkan Farizal (2015) melakukan penelitian untuk menganalisis dayasaing tiga komoditas buah yang terdiri dari mangga, durian, dan pisang di Provinsi Jawa Barat. Hasil analisis Farizal (2015) menunjukan bahwa sistem komoditas buah unggulan Jawa Barat sudah layak baik secara finansial maupun ekonomi. Namun, komoditas mangga adalah komoditas yang paling unggul karena menghasilkan nilai PCR dan 7

26 8 DRCR yang paling besar. Sedangkan, hasil penelitian Setiawan et al. (2014) menunjukan bahwa usahatani kelapa di Kabupaten Kupang hanya memiliki keunggulan komparatif dan tidak memiliki keunggulan kompetitif dilihat dari nilai PP yang negatif dan PCR > 1. Menurutnya, dayasaing komoditas ini masih dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan value added dari komoditas tersebut. Studi Mengenai Kebijakan Pemerintah Hasil penelitian dampak kebijakan pemerintah terhadap output yang dilakukan oleh (Dewanata 2011; Farizal 2015) menunjukan bahwa nilai NPCO yang kurang dari satu dan nilai Transfer Output (TO) yang negatif. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa harga domestik komoditas yang diteliti lebih rendah daripada harga dunia, yang artinya tidak adanya kebijakan pemerintah mengenai proteksi harga output. Akibatnya, masyarakat atau konsumen membeli dengan harga yang lebih murah dari harga yang seharusnya dibayarkan dan produsen menerima harga yang lebih kecil dari harga yang seharusnya diterima. Sedangkan terdapat perbedaan antara hasil penelitian Dewanata (2011) dan Farizal (2015) mengenai dampak kebijakan pemerintah terhadap input. Hasil penelitian Dewanata (2011) menunjukan nilai Transfer Input (TI) yang negatif mengindikasikan bahwa terdapat subsidi terhadap input tradable. Kebijakan tersebut berupa subsidi dan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk pupuk anorganik. Sebaliknya, hasil penelitian Farizal (2015) menunjukan nilai TI yang positif, yang artinya terdapat kebijakan pemerintah yang berpihak kepada produsen input tradable. Menurut hasil penelitian (Andriani dan Hanani 2010; Dewanata 2011; Farizal 2015) secara keseluruhan kebijakan pemerintah baik terhadap input maupun output dianggap belum efektif dalam meningkatkan dayasaing masingmasing komoditas yang mereka teliti. Sedangkan hasil penelitian (Manalu 2014; Puspitasari 2011) menunjukan hasil yang berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh (Andriani dan Hanani 2010; Dewanata 2011; Farizal 2015). Secara keseluruhan kebijakan pemerintah telah mampu mendorong dayasaing dari belimbing dewa dan komoditas kentang (Manalu 2014; Puspitasari 2011). Menurut Puspitasari (2011) kebijakan pemerintah terhadap output mendukung peningkatan keunggulan kompetitif. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah terhadap output mampu mendukung peningkatan dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Namun, pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Dhiany (2008) ditemukan bahwa kebijakan pemerintah pada output berupa distorsi harga berdampak pada berkurangnya penerimaan petani. Pada dasarnya keberhasilan atau kegagalan dari diterapkannya suatu kebijakan bergantung pada banyak faktor yang berbeda antara kondisi yang satu dengan yang lainnya. Kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan aktual di lapang akan mampu mendorong dayasaing suatu komoditas, begitu juga sebaliknya. Selain itu diperlukan pengawasan dari implementasi kebijakan agar kebijakan tersebut mampu mencapai tujuan yang ditetapkan. Sebagai contohnya adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiawan et al. (2014). Berdasarkan kondisi aktual yang terjadi di lapang, pemerintah dirasa

27 9 perlu membantu petani kelapa dalam kegiatan permodalan dan memfasilitasi pengembangan usaha pengolahan produk kelapa dan turunannya dengan teknologi dan sarana prasarana pengolahan. Karena dayasaing produk kelapa pada saat ini terletak pada industri hilirnya, tidak lagi pada produk primer. Penerapan kebijakan baik input maupun output yang sesuai dengan kebutuhan di lapang diharapkan akan mampu meningkatkan keunggulan baik komparatif maupun kompetitif. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Keunggulan Komparatif Istilah keunggulan komparatif (comparative advantage) pertama kali dikenalkan oleh David Ricardo, yang menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien dibanding dengan negara lain dalam memproduksi dua komoditi, namun masih dapat melakukan perdagangan yang saling menguntungkan untuk kedua belah pihak,dengan asumsi proporsi kerugian absolut satu negara pada komoditi tersebut tidak sama (Salvaltore 1997). Sedangkan, menurut Sudaryanto dan Simpatupang (1993) dalam Daryanto (2009) menyebutkan bahwa konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran dayasaing (keunggulan potensial dalam artian dayasaing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi). Dengan kata lain komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki keunggulan efisiensi secara ekonomi. Menurut Soekartawi dan Soeharjo (1986) prinsip keunggulan komparatif dalam usahatani menjelaskan hubungan antara hasil dengan lokasi produksi pertanian. Setiap komoditas memiliki syarat tumbuh yang berbeda-beda, sehingga harus diusahakan pada lokasi dengan sumberdaya memadai. Ada beberapa faktor yang dapat mengubah keunggulan komparatif, yaitu : 1. Pengembangan pola usahatani baru atau perbaikan teknologi. 2. Perubahan biaya produksi dan harga relatif berbagai komoditi usahatani. 3. Perubahan biaya angkutan atau biaya distribusi. 4. Perbaikan kualitas lahan karena drainase, irigrasi, dan sebagainya. 5. Pengembangan komoditas substitusi yang lebih murah. Selain itu, Pearson et.al. (2005) mengemukakan bahwa keunggulan komparatif bersifat dinamis, dengan kata lain keunggulan komparatif tidak stabil dan dapat diciptakan karena dipengaruhi oleh perubahan dalam sumberdaya alam, perubahan faktor-faktor biologi, perubahan harga input, perubahan teknologi, dan biaya transportasi. Namun, teori keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo memiliki kelemahan yaitu teori ini hanya didasarkan pada perbedaan produktivitas setiap tenaga kerja saja. Pada kenyataanya, tenaga kerja bukanlah satu-satunya faktor produksi yang berpengaruh dalam menentukan keunggulan komparatif melainkan masih terdapat faktor lain seperti teknologi, modal, tanah, dan sumberdaya lainnya. Kelemahan lainnya adalah teori ini tidak menjelaskan mengenai pengaruh perdagangan internasional terhadap pendapatan yang diperoleh faktor produksi. Oleh sebab itu, teori keunggulan komparatif perlu

28 10 disempurnakan dengan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Teory). Teori ini berdasarkan biaya imbangan, biaya sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama, artinya setiap negara yang memiliki biaya imbangan lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditi akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam kondisi kedua (Salvaltore 1997). Heckscher dan Ohlin melakukan perbaikan terhadap hukum keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo pada tahun Heckscher dan Ohlin menyatakan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang banyak menyerap faktor produksi yang tersedia di negara itu dalam jumlah dan harga yang relatif murah, serta mengimpor komoditi yang padat dengan faktor produksi yang mahal dan langka (Salvaltore 1997). Pada tahun 1936, Haberler menjelaskan teori keunggulan komparatif pada teori biaya oportunitas sehingga disebut juga sebagai hukum biaya komparatif. Menurut biaya oportunitas, biaya suatu komoditas adalah sejumlah komoditas kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditas pertama. Negara yang memiliki oportunitas lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditas yang akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditas tersebut (dan memiliki kerugian komparatif dalam komoditas kedua). Biaya oportunitas yang konstan timbul ketika (1) sumberdaya atau faktor produksi bersifat substitusi sempurna atau digunakan dalam proporsi yang sama dalam memproduksi kedua komoditas, (2) semua unit dari faktor produksi yang sama bersifat homogen atau memiliki kualitas yang tepat sama (Salvatore 1997). Suatu daerah yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain. Keunggulan komparatif suatu komoditas dapat diukur berdasarkan harga bayangan (shadow price) atau berdasarkan analisis kelayakan ekonomi. Artinya kelayakan ekonomi menilai aktivitas ekonomi bagi masyarakat secara general atau menyeluruh, tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut. Pada dasarnya, konsep keunggulan komparatif masih bisa diterapkan jika kondisi perekonomian tidak terdistorsi oleh kebijakan pemerintah. Namun pada kenyataanya, hampir di setiap negara khusunya Indonesia pemerintah menerapkan intervensi kebijakan. Oleh sebab itu, konsep keunggulan komparatif tidak dapat dipakai untuk mengukur dayasaing suatu kegiatan produksi pada kondisi perekonomian aktual. Jika melihat dari sudut pandang badan atau orang yang berkepentingan langsung dalam suatu proyek, konsep keunggulan kompetitif dirasa lebih cocok untuk mengukur kelayakan secara finansial. Keunggulan Kompetitif Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Michael Porter pada tahun Menurut Porter dalam Daryanto (2009), dalam era persaingan global saat ini suatu negara yang memiliki keunggulan kompetitif dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki empat faktor penentu. Faktor pertama yaitu, factor conditions yakni posisi negara dalam pengusaan faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur. Faktor kedua yaitu,

29 demand conditions berupa besarnya permintaan pasar domestik untuk produkproduk dan jasa-jasa industri. Faktor ketiga, relating and supporting industries, berupa kehadiran industri pemasok atau pendukung dan lain-lain dalam suatu negara sangat berkaitan dengan kemampuan dayasaing industri-industri di pasar internasional, dan faktor keempat adalah firm strategy, structure and rivalary, yakni kondisi permerintahan di dalam suatu negara begaimana perusahaan diciptakan, diorganisasi dan dikelola, sebaik persaingan domestik secara ilmiah. Keunggulan kompetitif suatu komoditas dapat dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku, atau berdasarkan analisis finansial yang akan menggambarkan manfaat suatu aktivitas dari sudut lembaga atau individu yang melibatkan diri secara langsung dalam aktivitas ekonomi tertentu. Hal ini berbeda dengan konsep keunggulan komparatif yang mengukur manfaat aktivitas ekonomi dari segi masyarakat keseluruhan atau general. Konsep keunggulan kompetitif merupakan hasil pengembangan dari konsep keunggulan komparatif sehingga keberadaan kedua konsep ini adalah complementer atau saling melengkapi. Menurut Gray (1985) dalam Novianti (2003), terdapat perbedaan antara analisis ekonomi (yang digunakan dalam konsep keunggulan komparatif) dengan analisis finansial (yang digunakan dalam konsep keunggulan kompetitif). Secara garis besar Gray menjelaskan perbedaan tersebut sebagai berikut : 1. Pembayaran transfer a. Pajak Pajak adalah bagian dari hasil bersih suatu aktivitas ekonomi yang diserahkan kepada pemerintah untuk kepentingan masyarakat umum. Oleh karena itu, dalam analisis ekonomi pembayaran pajak tidak dikurangkan dalam perhitungan keuntungan suatu aktivitas ekonomi. Hal ini disebabkan oleh, pajak tidak dianggap sebagai biaya, tetapi merupakan transfer penerimaan dari sekelompok orang kepada kelompok lainnya, sedangkan dalam analisis finansial pajak merupakan unsur biaya. b. Subsidi Subsidi merupakan transfer penerimaan dari masyarakat. Dalam analisis ekonomi, harga pasar harus disesuaikan untuk menghilangkan efek subsidi. Jika subsidi akan menurunkan harga input, maka besarnya subsidi harus ditambahkan pada harga pasar input tersebut. Sedangkan dalam analisis finansial, subsidi mengurangi biaya produksi sehingga akan menambah keuntungan suatu proyek. c. Bunga modal Dalam analisis ekonomi (sosial), bunga atas pinjaman dalam negeri tidak dimasukkan sebagai biaya, sedangkan bunga atas pinjaman dari luar negeri diperhitungkan sebagai biaya. Berbeda halnya dengan analisis ekonomi, dalam analisis finansial bunga pinjaman yang berasal dari dalam maupun luar negeri dimasukkan sebagai komponen biaya. 2. Harga Pada analisis ekonomi, digunakan harga bayangan yang menggambarkan nilai ekonomi atau nilai sosial sesungguhnya daripada unsur biaya maupun hasil. Sedangkan, dalam analisis finansial harga yang digunakan adalah harga pasar atau harga aktual. 11

30 12 Analisis Kebijakan Pemerintah Intervensi pemerintah yang berupa kebijakan hingga saat ini masih banyak dipraktikan oleh berbagai negara, khususnya Indonesia dalam perdagangan internasional. Tujuan dipraktikannya kebijakan pemerintah untuk meningkatkan ekspor atau sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Monke dan Pearson (1989) memberi istilah khusus untuk kebijakan pemerintah yang terkait dengan perdagangan dengan istilah kebijakan harga (price policy). Hal ini dikarenakan setiap instrumen kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah selalu ditujukan untuk mempengaruhi harga suatu komoditas, baik di pasar domestik maupun internasional. Selain itu Monke dan Pearson (1989) mengklasifikasikan pengaruh kebijakan kedalam delapan tipe kebijakan subsidi dan dua tipe kebijakan perdagangan. Klasifikasi kebijakan pemerintah menurut Monke dan Pearson dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Klasifikasi kebijakan pemerintah terhadap harga komoditas Instrumen Dampak pada produsen Dampak pada konsumen Kebijakan subsidi : Subsidi pada produsen : Subsisdi pada konsumen : 1. Tidak merubah 1. Pada barang-barang 1. Pada barang-barang harga di pasar substitusi impor substitusi impor domestik 2. Merubah harga di (S+PI; S-PI) 2. Pada barang-barang (S+CI; S-CI) 2. Pada barang-barang pasar domestik orientasi ekspor orientasi ekspor (S+PE; S-PE) (S+CE; S-CE) Kebijakan perdagangan Hambatan pada barang Hambatan pada barang (merubah harga pasar impor (TPI) ekspor (TCE) domestik) Sumber : Monke dan Pearson (1989) Keterangan: S+ : Subsidi S- : Pajak PE : Produsen barang orientasi ekspor PI : Produsen barang subsidi impor CE : Konsumen barang orientasi ekspor CI : Konsumen barang substitusi impor TCE : Hambatan barang ekspor TPI : Hambatan barang impor Tabel 5 menunjukkan bahwa kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga kriteria. Pertama : tipe instrumen yang berupa subsidi atau kebijakan perdagangan. Kedua : kelompok penerima, meliputi produsen atau konsumen, dan

31 13 ketiga : tipe komoditas yang berupa komoditas dapat di impor atau dapat di ekspor. 1. Tipe instrumen Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap suatu komoditas terdiri dari dua instrumen, yaitu kebijakan perdagangan dan subsidi. Kebijakan perdagangan meliputi tarif dan kuota. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada ekspor atau impor suatu komoditas. Pembatasan dapat diterapkan baik terhadap harga komoditas yang diperdagangkan (dengan suatu pajak perdagangan) atau dengan pembatasan jumlah komoditas (dengan kuota perdagangan) untuk menurunkan jumlah yang diperdagangkan secara internasional dan mengendalikan antara harga internasional (harga dunia) dengan harga domestik (harga dalam negeri). Kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk membatasi jumlah yang di ekspor melalui penekanan baik pajak ekspor maupun pembatasan jumlah ekspor sehingga harga domestik lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Sedangkan, kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak). Subsidi adalah pembayaran langsung dari atau untuk pemerintah. Pembayaran langsung dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran langsung untuk pemerintah disebut subsidi negatif atau biasa disebut pajak. Pada dasarnya, subsidi positif dan negatif bertujuan untuk menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional untuk melindungi konsumen atau produsen dalam negeri. Kebijakan subsidi dan perdagangan berbeda dalam tiga aspek. Pertama, yang berimplikasi pada anggaran pemerintah, kedua berupa alternatif kebijakan dan ketiga adalah kemampuan penerapan. a. Implikasi pada anggaran pemerintah Kebijakan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah dan subsidi negatif (pajak) akan menambah anggaran pemerintah. Sedangkan kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah. b. Tipe alternatif kebijakan Ada delapan tipe subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang orientasi ekspor (PE) dan barang substitusi impor (SI) yaitu : 1. Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI) 2. Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) 3. Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI) 4. Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) 5. Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI) 6. Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) 7. Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI) 8. Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE) Subsidi positif yang diterapkan pada produsen maupun konsumen membuat harga yang diterima menjadi lebih tinggi bagi produsen dan lebih rendah bagi konsumen. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan tanpa ada kebijakan subsidi positif sedangkan penerapan subsidi negatif (pajak) membuat harga yang diterima produsen lebih rendah dan jika

32 14 diterapkan pada konsumen akan menyebabkan harga lebih tinggi. Kondisi ini bagi produsen dan konsumen menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi sebelum subsidi negatif (pajak) diterapkan. Terdapat dua tipe dalam kebijakan perdagangan yaitu hambatan perdagangan pada barang impor (TPI) atau hambatan perdagangan pada barang ekspor (TPE). Menurut Monke dan Pearson (1989), aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau kebijakan kuota selama pemerintah dapat memiliki mekanisme yang efektif untuk mengontrol penyelundupan. Dampak dari perluasan ekspor atau impor tidak dapat diciptakan oleh kebijakan perdagangan. Negara hanya dapat melakukan subsidi impor atau ekspor dan memperluas perdagangan. c. Tingkat kemampuan penerapan Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas baik komoditas tradable maupun komoditas non tradable, sedangkan kebijakan perdagangan hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (tradable). 2. Kelompok penerima Penerima kebijakan dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok, yaitu apakah kebijakan yang diterapkan dimaksudkan untuk produsen atau konsumen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer diantara produsen, konsumen dan keuangan pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer, ketika produsen memperoleh keuntungan dan konsumen mengalami kerugian, dan sebaliknya ketika konsumen memperoleh keuntungan dan produsen mengalami kerugian. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa keuntungan yang didapatkan oleh satu pihak hanya menjadi pengganti dari kerugian yang dialami pihak lain, tetapi dengan adanya transfer yang diikuti oleh efisiensi ekonomi yang hilang. Maka keuntungan yang diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita. Oleh karena itu, manfaat yang diperoleh kelompok tertentu (konsumen, produsen atau keuangan pemerintah) adalah lebih kecil dari jumlah yang hilang dari kelompok yang lain. 3. Tipe komoditas Tujuan dari pengklasifikasian komoditas adalah untuk membedakan antara komoditas yang dapat di ekspor dan komoditas yang dapat di impor. Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik adalah sama dengan harga di pasar internasional, dimana untuk barang yang di ekspor digunakan harga FOB (free on board) yaitu harga di pelabuhan ekspor dan untuk barang yang dapat di impor digunakan harga CIF (cost, insurance, freight) atau harga pelabuhan impor. Kebijakan harga yang ditetapkan pada input dapat berupa kebijakan subsidi baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak) dan kebijakan hambatan perdagangan yang berupa tarif dan kuota. Kebijakan terhadap Output Kebijakan harga yang ditetapkan pada output dapat berupa kebijakan subsidi (subsidi positif maupun negatif) dan kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Kebijakan subsidi pada harga output menyebabkan harga dan jumlah barang, surplus produsen dan konsumen berubah. Subsidi positif akan

33 15 memberikan dampak baik pada produsen dan konsumen barang impor maupun barang ekspor. Dampak dari adanya subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 (a) Dampak subsidi positif untuk produsen barang impor dan (b) dampak subsidi positif untuk konsumen barang impor. Sumber : Monke dan Pearson (1989) Gambar 1 (a) menunjukan subsidi positif untuk produsen barang impor dimana harga barang yang diterima di pasar domestik (Pd) lebih tinggi dari harga di pasar internasional (Pw). Subsidi ini merupakan insentif bagi produsen sehingga dapat meningkatkan output produksinya. Hal ini dibuktikan dengan bergesernya output produksi (Q) dari Q 1 ke Q 2, sedangkan konsumsi tetap berada di Q 3 pada tingkat subsidi sebesar (Pd Pw). Subsidi ini tidak merubah harga barang impor di pasar domestik sehingga harga yang diterima oleh konsumen di pasar domestik sama dengan harga di pasar internasional. Sedangkan, Gambar 1 (b) menunjukan subsidi positif untuk konsumen barang impor dimana harga barang impor yang diterima di pasar domestik, menjadi lebih rendah dari harga di pasar internasional (dunia). Kebijakan subsidi sebesar (Pw Pd) menyebabkan konsumsi naik dari Q 3 ke Q 4 sedangkan produksi mengalami penurunan dari Q 1 ke Q 2. Peningkatan konsumsi akan diikuti dengan peningkatan barang impor dari (Q 3 - Q 1 ) menjadi (Q 4 Q 2 ). Pada kondisi tersebut,telah terjadi dua transfer yaitu transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ABHG dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar PwABPd. Dengan demikian, kehilangan efisiensi ekonomi terjadi pada produksi dan konsumsi. Pada sisi produksi, output turun dari Q 1 menjadi Q 2 menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Q 2 AF Q 1 atau sebesar (Pw x (Q 1 - Q 2 )), sedangkan besarnya input yang dihemat adalah sebesar Q 2 BF Q 1 sehingga terjadi inefisiensi sebesar AFB. Sedangkan dari sisi konsumsi menunjukan opportunity cost akibat meningkatnya konsumsi dari Q 3 ke Q 4 adalah sebesar (Pw x (Q 4 Q 3 )) atau sebesar Q 3 EGHQ 4 dengan kemampuan membayar konsumen sebesar Q 3 EHQ 4 sehingga inefisiensi sebesar EGH. Sehingga total inefisiensi sebesar AFB dan EGH. Selain kebijakan subsidi, kebijakan perdagangan juga memberikan dampak bagi barang-barang impor. Gambar 2 (a) menunjukan adanya kebijakan hambatan perdagangan pada barang impor dimana terdapat tarif impor sebesar (Pd Pw) sehingga menyebabkan peningkatan harga di pasar domestik baik untuk produsen maupun konsumen. Output domestik meningkat dari Q 1 ke Q 2, sedangkan konsumsi mengalami penurunan dari Q 3 ke Q 4. Penurunan konsumsi

34 16 akan diikuti oleh penurunan impor dari (Q 3 Q 1 ) menjadi (Q 4 Q 2 ). Maka akan terjadi transfer pendapatan dari konsumen ke produsen sebesar ((Pd Pw) X Q 2 ) atau PdEFPw. Selain itu, akan terjadi transfer dari anggaran pemerintah ke produsen sebesar ((Pd Pw) x (Q 4 Q 2 ) atau sebesar FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi konsumen adalah sebesar ABC dan pada produsen sebesar EPG. Sementara untuk Gambar 2 (b) adalah kebalikan dari Gambar 2 (a). Gambar 2 Dampak kebijakan hambatan perdagangan pada barang ekspor dan impor Sumber : Monke dan Pearson (1989) Keterangan : TPI : Kebijakan hambatan perdagangan pada produsen barang impor TCE : Kebijakan perdagangan pada konsumen untuk barang ekspor Kebijakan terhadap Input Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable (input impor) dan input non tradable (input domestik). Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi positif dan subsidi negatif (pajak) sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (non tradable) karena input non tradable diproduksi dan di konsumsi di dalam negeri. 1. Kebijakan input tradable Kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3 Dampak kebijakan subsidi dan pajak pada input tradable Sumber : Monke dan Pearson (1989)

35 17 Keterangan : S II : Pajak untuk input impor S + II : Subsidi untuk input impor Gambar 3 (a) menunjukan pengaruh pajak terhadap input tradable yang digunakan. Adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama. Output domestik turun dari Q 1 ke Q 2 dan kurva supply bergeser ke kiri atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q 1 CA Q 2 dengan biaya produksi dari output Q 2 BC Q 1. Sedangkan Gambar 3 (b) menunjukan dampak subsidi input yang menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva supply bergeser ke kanan bawah dan produksi naik dari Q 1 ke Q 2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi yang bertambah dengan meningkatnya output dengan peningkatan nilai input. 2. Kebijakan input non-tradable Pada input non-tradable kebijakan pemerintah meliputi kebijakan pajak dan subsidi karena input non-tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Sedangkan kebijakan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input nontradable. Policy Analysis Matrix (PAM) Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial (finansial), analisis dayasaing yang membahas keunggulan komparatif dan kompetitif, serta analisis dampak kebijakan pemerintah. Asumsi yang digunakan dalam penelitian PAM adalah komoditas yang diteliti merupakan barang tradable serta biaya input komoditas tersebut bisa dibagi ke dalam biaya faktor domestik dan biaya input tradable. Penggunaan harga pasar dan harga sosial dalam metode PAM, menunjukan bahwa analisis ini mencakup analisis finansial dan analisis ekonomi. Analisis finansial bertujuan untuk mengamati aktivitas pelaku ekonomi secara individu atau privat, sedangkan analisis ekonomi bertujuan untuk mengamati suatu aktivitas ekonomi dari sudut yang general atau menyeluruh. Selain itu, dalam menggunakan metode PAM terdapat sejumlah asumsi yang harus diperhatikan. Asumsi-asumsi tersebut dijelaskan pada sub bab metode analisis data. Policy Analysis Matrix (PAM) terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama untuk mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Baris kedua untuk mengestimasi keunggulan ekonomi atau dayasaing dalam keunggulan komparatif. Istilah ekonomi mengacu pada penerimaan dan biaya berdasarkan harga efisien dimana kegagalan pasar dan intervensi pemerintah tidak ada. Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang menggambarkan adanya divergensi akibat adanya kebijakan pemerintah. Matriks PAM juga terdiri dari empat kolom yang secara berurutan terdiri dari kolom

36 18 penerimaan, kolom biaya input tradable, kolom biaya input domestik, dan kolom keuntungan yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya. Rincian tabel PAM dapat dilihat pada Tabel 6. Uraian Nilai finansial (Harga privat) Nilai ekonomi (harga sosial) Tabel 6 Tabel analisis matriks kebijakan Penerimaan Input tradable Biaya Faktor domestik Keuntungan A B C D = A B C E F G H = E F G Efek Divergensi I J K Sumber : Monke dan Pearson (1989) dan Pearson et al. (2005) L = D H atau I J K Keterangan : 1. Keuntungan privat (PP) : D = A - B - C 2. Keuntungan sosial (PS) : H = E - F - G 3. Transfer output (TO) : I = A E 4. Transfer input untuk input tradable (TI) : J = B F 5. Transfer faktor untuk non-tradable (TF) : K = C G 6. Transfer bersih (TB) : L = D H atau I - J K 7. Rasio biaya privat (PCR) : = C/ (A - B) 8. Rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) : = G / (E - F) 9. Koefisien proteksi output nominal (NPCO) : = A / E 10. Koefisien proteksi input nominal (NPCI) : = B / F 11. Koefisien proteksi efektif (EPC) : = (A - B) / (E - F) 12. Koefisien keuntungan (PC) : = D / H 13. Rasio subsidi bagi produsen (SRP) : = L / E Berdasarkan matriks PAM yang telah ditampilkan pada Tabel 6, perlu dilakukan beberapa analisis untuk mengetahui dayasaing suatu sistem komoditas. Analisis tersebut meliputi : Analisis Keuntungan Keuntungan Privat (PP); D = A (B + C) Keuntungan privat merupakan indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input, dan transfer kebijakan pemerintah. Apabila PP > 0 maka sistem komoditas itu mendapatkan keuntungan diatas normal yang memiliki implikasi bahwa komoditas tersebut mampu berkespansi, kecuali apabila sumberdaya yang dimiliki terbatas atau adanya komoditas lain yang lebih menguntungkan. Keuntungan Sosial (PS); H = E (F + G) Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada atau tidak dipengaruhi oleh divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien. Apabila PS > 0 dan nilainya semakin besar, maka sistem komoditas tersebut semakin efisien atau memiliki keunggulan komparatif. Sebaliknya jika PS < 0, berarti sistem komoditas tersebut

37 19 tidak memiliki keunggulan komparatif atau tidak mampu bertahan jika tidak ada intervensi atau bantuan dari pemerintah. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif 1. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR); DRCR = G / (E F) Nilai DRCR merupakan indikator kemampuan sistem komoditas membiayai faktor domestik pada tingkat harga sosial. Apabila DRCR < 1, maka sistem komoditas tersebut sudah efisien atau mampu membiayai faktor domestiknya, serta memiliki keunggulan komparatif atau mampu berjalan meskipun tanpa bantuan atau intervensi dari pemerintah. Sebaliknya jika DRCR < 1, berarti sistem komoditas tersebut tidak mampu membiayai faktor domestiknya sehingga membutuhkan intervensi atau bantuan dari pemerintah agar mampu bertahan. 2. Rasio Biaya Privat (PCR); PCR = C / (A B) Nilai PCR merupakan indikator kemampuan sistem komoditas untuk membiayai faktor domestik pada tingkat harga privat. Apabila PCR > 1, maka sistem komoditas tersebut mampu membiayai faktor domestiknya pada tingkat harga privat atau dengan kata lain memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR > 1 juga dapat menggambarkan bahwa kebijakan pemerintah secara efektif mampu mendorong peningkatan keunggulan kompetitif suatu sistem komoditas. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Kebijakan Output 1. Transfer Output (TO); I = A E Transfer output merupakan selisih antara penerimaan yang diterima pada tingkat harga privat dengan penerimaan yang diterima pada tingkat harga sosial (harga bayangan). Nilai TO digunakan untuk menganalisis seberapa besar kebijakan yang dibuat oleh pemerintah mampu memberikan keuntungan atau insentif bagi pelaku ekonomi. Nilai TO juga menggambarkan besar insentif yang diberikan oleh masyarakat selaku konsumen kepada petani (produsen). Apabila nilai TO > 0, berarti konsumen membeli atau produsen menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya. Jika TO < 0, maka berarti sebaliknya. 2. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO); NPCO = A / E NPCO merupakan rasio penerimaan yang dihitung pada tingkat harga privat dengan penerimaan yang dihitung pada tingkat harga sosial (harga bayangan). Nilai NPCO digunakan untuk menganalisis seberapa besar perbedaan antara harga privat dengan harga sosial. Apabila NPCO > 1, berarti pemerintah memberlakukan kebijakan yang bersifat protektif, sehingga menyebabkan harga output di pasar domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga dunia (harga efisiensinya). Apabila NPCO < 1, maka pemerintah memberlakukan kebijakan yang bersifat disprotektif seperti menurunkan tarif impor produk pertanian, maka secara bertahap akan menurunkan penerimaan pada tingkat harga privat karena penurunan harga output di pasar domestik, sehingga secara bertahap akan menurunkan nilai NPCO.

38 20 Kebijakan Input 1. Transfer Input untuk Input Tradable (TI); J = B F TI merupakan selisih antara biaya input tradable (input yang dapat diperdagangakan) pada tingkat harga privat dengan biaya input pada tingkat harga sosial. Nilai TI digunakan untuk mengetahui adanya kebijakan pemerintah yang diterapakan pada input tradable. Apabila TI > 0, maka menunjukan besar transfer (insentif) yang diberikan oleh petani selaku produsen kepada pemerintah melalui penerapan kebijakan tarif impor. 2. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI); NPCI = B / F NPCI merupakan rasio antara biaya input tradable yang dihitung pada tingkat harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung pada tingkat harga sosial (harga bayangan). Apabila NPCI > 1, berarti pemerintah menaikkan harga input tradable di pasar domestik diatas harga dunia (harga efisiensinya). Hal ini berimplikasi pada sektor yang menggunakan harga input tersebut karena harga input yang digunakan menjadi lebih tinggi. Penurunan tarif impor secara bertahap akan menurunkan biaya input tradable, sehingga akan menurunkan nilai NPCI. Sebaliknya jika NPCI < 1, berarti kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah telah membuat harga input tradable di pasar domestik berada di bawah harga efisiensinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya hambatan ekspor input, sehingga proses produksi dilakukan dengan menggunakan input dalam negeri. 3. Transfer Faktor untuk Non Tradable (TF); K = C G TF merupakan selisih antara harga privat dengan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai TF digunakan untuk mengetahui adanya kebijakan yang diterapkan pada input non tradable. Apabila TF bernilai > 0, maka terdapat kebijakan pemerintah yang melindungi produsen faktor domestik dengan pemberian subsidi positif pada input non tradable. Kebijakan Input - Output 1. Transfer Bersih (TB); L = D H atau I - J K TB merupakan selisih antara kentungan privat dengan keuntungan sosial dari sistem komoditas yang diteliti. Nilai TB digunakan untuk melihat berapa besar tambahan atau pengurangan surplus yang diperoleh produsen dari sistem komditas yang diusahakan akibat adanya kebijakan pemerintah. Apabila nilai TB > 0, berarti ada tambahan surplus yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapakan pada input dan output. Jika TB < 0, maka berarti sebaliknya. 2. Koefisien Proteksi Efektif (EPC); EPC = (A B) / (E F) EPC digunakan untuk menganalisis sejauh mana suatu kebijakan pemerintah mampu melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Apabila EPC > 1, berarti kebijakan pemerintah telah menyebabkan harga output atau input yang diperdagangkan di domestik berada diatas harga efisiensinya. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk

39 21 melindungi produsen domestik berjalan secara efektif. Sebaliknya jika EPC < 1, berarti sebaliknya. Penurunan tarif impor secara simultan untuk output dan input akan menurunkan nilai EPC. Namun sama halnya dengan NPCO dan NPCI, nilai EPC juga mengabaikan efek transfer dari kebijakan pasar faktor. Oleh karena itu, koefisien tersebut bukan merupakan indikator yang lengkap mengenai insentif. 3. Koefisien Keuntungan (PC); PC = D / H PC merupakan rasio antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Apabila PC > 1, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Nilai PC akan turun jika terdapat penurunan simultan terhadap tarif impor secara bertahap pada output dan input yang diperdagangkan serta adanya subsidi. Sedangkan kebijakan yang efisien pada faktor domestik (terutama bunga bank) akan meningkatkan nilai PC. Jika nilai PC < 1, menunjukan kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima oleh produsen lebih kecil dibandingkan tanpa ada kebijakan. 4. Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP); SRP = L / E SRP merupakan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk menggantikan seluruh kebijakan komoditas dan ekonomi makro. Apabila nilai SRP > 0, menunjukan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari biaya imbangan (opportunity cost) dan berlaku sebaliknya jika SRP < 0. Harga Bayangan (Social Opportunity Cost) Harga bayangan adalah harga yang akan menghasilkan alokasi sumberdaya terbaik sehingga akan memberikan pendapatan nasional tertinggi (Pearson et al. 2005). Kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar akan sangat sulit ditemukan, maka untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku (Gittinger 1986). Alasan penggunaan harga bayangan adalah: 1. Harga bayangan tidak mencerminkan korbanan yang dikeluarkan jika sumber daya tersebut dipakai untuk kegiatan lainnya. 2. Harga yang berlaku di pasar tidak menunjukkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui suatu produksi dari aktivitas tersebut. Pearson et al. (2005) mengemukakan bahwa ada empat cara dalam menentukan harga paritas (harga internasional) dari suatu barang (input/output) yang tradable, yaitu : (1) nilai FOB (Free On Board) atau CIF (Cost Insurance Freight) yang implisit, yakni dengan membagi total nilai ekspor/impor dengan total kuantitas. Tetapi nilai ini bias karena perusahaan umumnya tidak akan melaporkan yang sebenarnya untuk meminimalisir pajak; (2) nilai FOB atau CIF di negara tetangga yang sudah diketahui secara jelas; (3) nilai FOB atau CIF berdasarkan informasi yang diperoleh dari industri, agensi pemerintah atau organisasi internasional; dan (4) world price indirectly yakni dengan mengurangkan efek dari kebijakan pemerintah (menambahkan subsidi atau mengurangkan pajak).

40 22 Sedangkan untuk barang-barang non-tradable, penentuan harga bayangannya ditentukan berdasarkan langkah-langkah berikut Pearson et al. (2005) : (1) mengoreksi ada tidaknya divergensi baik yang disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah atau kegagalan pasar, (2) apabila dampak divergensi tidak dapat diestimasi maka gunakan harga substitusinya, (3) jika langkah tersebut juga sulit untuk dilakukan maka gunakan harga barang atau substitusinya di negara tetangga, (4) mendekomposisikan biaya produksi input non-tradable tersebut kedalam unsur input tradable dan non-tradable, (5) menggunakan matriks input-output pendapatan nasional untuk mengalokasikan pangsa tenaga kerja dan modal dari input non-tradable pada tingkat harga privat. Sesuaikan biaya privat untuk mendapatkan nilai sosial, dan (6) apabila tabel input output tidak tersedia maka alokasikan sepertiga biaya non-tradable kedalam biaya modal, tenaga kerja dan input tradable. Konsep Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui dampak perubahan faktor eksternal terhadap dayasaing suatu komoditas. Analisis ini akan mensubstitusi kelemahan metode PAM yang bersifat statis. Analisis sensitivitas dapat melihat dan menguji perubahan dari suatu kelayakan ekonomi bila pada kondisi aktual terdapat variabel ekonomi yang berubah. Menurut Kadirah (1988) dalam Nurmalina et.al. (2010), analisis sensitivitas dilakukan dengan beberapa cara: (1) mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut, dan (2) menentukan seberapa besar faktor yang berubah sehingga hasil perhitungan membuat proyek tidak dapat diterima. Analisis sensitivitas membantu menentukan unsur-unsur penting yang berperan dalam menentukan hasil akhir. Analisis sensitivitas mengubah suatu faktor kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan dari analisis sensitivitas adalah: 1. Tidak digunakan untuk pemilihan proyek karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah suatu parameter pada saat tertentu. 2. Hanya mencatat apa yang terjadi jika faktor berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek. Kerangka Pemikiran Operasional Melon merupakan salah satu buah yang neraca perdagangannya masih mengalami defisit, atau dengan kata lain nilai impor buah melon segar lebih besar dibandingkan dengan nilai ekspornya. Hal ini mengindikasikan bahwa dayasaing melon lokal masih rendah. Jika hal ini dibiarkan maka dalam jangka panjang akan dapat merugikan negara. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan dayasaing melon lokal yaitu dengan mengembangkan varietas melon unggul seperti melon Apollo. Kota Cilegon merupakan wilayah yang menghasilkan melon Apollo terbesar di Provinsi Banten. Kota Cilegon memiliki kondisi iklim dan geografis yang mendukung untuk melakukan budidaya melon Apollo, atau dengan kata lain

41 Kota Cilegon memiliki potensi untuk dapat mengembangkan melon Apollo. Melon Apollo yang dihasilkan di Kota Cilegon memiliki kualitas yang baik. Namun, dalam segi kuantitas dan kontinuitas produksi masih cenderung lambat. Kondisi ini menyebabkan gap yang cukup besar antara penawaran dan permintaan. Hingga saat ini Kota Cilegon baru mampu memenuhi sekitar 30 persen dari total permintaan pasar, atau dengan kata lain jumlah permintaan terhadap melon Apollo masih lebih besar dibandingkan dengan jumlah penawarannya. Dalam menyikapi kondisi tersebut, pemerintah Kota Cilegon telah melakukan berbagai upaya berupa intervensi untuk meningkatkan produksi melon Apollo di daerahnya. Intervensi tersebut diantaranya pemberian bantuan input produksi seperti benih, pupuk, pestisida, dan alat pengecek manis, serta memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada petani melon Apollo. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi komoditas buah-buahan, termasuk melon, saat ini sedang dihadapkan dengan berbagai permasalahan, khususnya dalam segi dayasaing. Selain pemerintah Kota Cilegon, pemerintah pusat juga telah berupaya untuk membenahi masalah dayasaing. Salah satunya adalah pada tahun 2010, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembangunan pertanian agar perkembangan pertanian dapat semakin cepat. Hal ini dilakukan agar mampu mendorong dayasaing buah nasional sehingga dapat bersaing di pasar domestik maupun internasional. Bentuk intervensi lain yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan dayasaing melon Apollo yaitu dengan membuat berbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut seperti penetapan tarif impor dan ekspor, penetapan nilai tukar atau tingkat suku bunga, pemberian subsidi atau pajak, penanaman investasi publik, serta terus melakukan penelitian dan pengembangan. Berbagai kebijakan tersebut akan berdampak pada terjadinya perbedaan harga input dan output, sehingga berpengaruh terhadap biaya produksi dari hulu hingga hilir. Analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Melalui analisis PAM, akan dapat diketahui nilai-nilai yang dapat menunjukan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif serta alternatif kebijakan. Analisis keunggulan komparatif ditunjukan oleh nilai keuntungan sosial dan rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR). Sedangkan, keunggulan kompetitif ditunjukan oleh nilai keuntungan privat dan rasio biaya privat (PCR). Dari nilai-nilai tersebut akan dapat diketahui apakah melon Apollo di Kota Cilegon akan mampu bersaing di pasar internasional atau tidak. Namun, analisis PAM memiliki kelemahan yaitu bersifat statis. Oleh sebab itu, digunakan analisis sensitivitas untuk menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif jika terjadi perubahan pada harga output, harga input, dan nilai tukar rupiah baik yang disebabkan oleh kebijakan atau lainnya. Analisis sensitivitas dapat mempengaruhi matrix PAM sehingga keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif akan mengalami perubahan. Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. 23

42 24 Dayasaing melon nasional yang masih rendah, ditandai dengan neraca perdagangan melon yang defisit (BPS 2013). Pengembangan varietas melon Apollo diharapkan dapat meningkatkan daya saing melon nasional. Kota Cilegon memiliki potensi untuk mengembangkan melon Apollo karena memiliki kondisi iklim dan geografis yang mendukung, dan merupakan wilayah penghasil melon Apollo terbesar di Provinsi Banten Kota Cilegon sebagai sentra produksi melon varietas unggul yaitu melon Apollo perlu meningkatkan dayasaing komoditas buahnya. Kebijakan pemerintah : Perdagangan (tarif dan kuota) Moneter (nilai tukar dan suku bunga) Subsidi atau pajak Investasi publik Penelitian dan pengembangan (R&D) Analisis Dayasaing Komoditas Melon Apollo di Kota Cilegon (Analisis PAM) Simulasi kebijakan pemerintah (Analisis Sensitivitas) Implikasi Kebijakan Dayasaing : 1. Keunggulan komparatif Keuntungan sosial Sumber daya domestik 2. Keunggulan kompetitif Keuntungan privat Rasio biaya privat 3. Dampak kebijakan Transfer output Transfer input Transfer faktor Transfer bersih Koefisien proteksi Koefisien keuntungan Rasio subsidi produsen Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kota Cilegon merupakan kota yang memproduksi melon Apollo tertinggi di Provinsi Banten. Waktu penelitian dilakukan selama satu bulan (Maret sampai dengan April 2016). Waktu tersebut digunakan untuk memperoleh data dari petani dan data-data dari instansi terkait seperti Dinas Pertanian Provinsi Banten dan Kota Cilegon, serta instansi pemerintahan lainnya. Penelitian dilakukan di lima kecamatan di Kota Cilegon yaitu Kecamatan Jombang, Kecamatan Purwakarta, Kecamatan Grogol, Kecamatan Citangkil, dan Kecamatan Ciwandan.

43 25 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari petani melalui teknik wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner terstruktur yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Rincian mengenai data primer dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Rincian data primer dayasaing usahatani melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 Sumber Data Primer Petani responden Karakteristik petani responden dan gambaran usahataninya Kebutuhan input seperti benih, pupuk, obatobatan, tenaga kerja, dan biaya lainnya Kebutuhan investasi usaha seperti lahan, peralatan, dan mesin Informan : Pedagang Biaya tataniaga melon Apollo pengumpul dan pedangang besar Importir Harga CIF melon Apollo Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai literatur dan kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini meliputi buku, jurnal, skripsi, thesis, dan berbagai instasi dan lembaga yang berkaitan dengan penelitian. Rincian data sekunder yang digunakan untuk penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Rincian data sekunder dayasaing usahatani melon Apollo di Kota Cilegon Sumber Buku, jurnal, thesis, skripsi, instansi dan lembaga pemerintah (Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Departemen Keuangan RI, Direktorat Jenderal Hortikultura, Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten, Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cilegon). Data Sekunder Konsep keunggulan kompetitif dan komparatif, konsep analisis dayasaing, Policy Analysis Matrix (PAM), dan analisis sensitivitas. Penelitian sebelumnya mengenai analisis dayasaing komoditas buah, studi mengenai pengaruh kebijakan pemerintah. Data konsumsi dan produksi melon nasional. Data nilai ekspor impor melon nasional Produksi melon Apollo di Provinsi Banten dan Kota Cilegon Total nilai ekspor impor Indonesia tahun 2015 Realisasi penerimaan negara tahun 2015

44 26 Metode Penentuan Responden Penentuan petani responden dilakukan dengan menggunakan metode sensus karena setiap anggota populasi menjadi responden. Jumlah petani melon Apollo yang masih aktif menanam melon Apollo hingga saat ini sebanyak 19 petani. Pengambilan jumlah responden dilakukan dengan pertimbangan bahwa dalam metode Policy Analysis Matriks (PAM) jumlah sampel yang digunakan tidak harus memenuhi syarat sebaran normal statistika (tidak harus minimal 30 responden). Menurut Pearson et al. (2005) data yang dimasukan ke dalam PAM merupakan modus (central tendency), bukan parameter yang diestimasi melalui model ekonometrik dengan jumlah contoh yang valid secara statistik. Metode Analisis Penelitian ini terdiri dari dua tahap kegiatan yaitu pertama, analisis dayasaing komoditas melon Apollo dengan menggunakan PAM, dan kedua analisis sensitivitas untuk menghitung perubahan dayasaing komoditas buah akibat adanya perubahan variabel ekonomi. Analisis Dayasaing Metode yang digunakan untuk menganalisis dayasaing adalah dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM). Metode PAM pada dasarnya secara ringkas dapat digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau intervensi pemerintah serta dampaknya pada sistem komoditas secara keseluruhan dengan sistematis. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi beberapa aktivitas, yaitu aktivitas usahatani (on farm), pengolahan, serta pemasaran. Selain itu analisis ini juga dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai daerah, tipe usahatani, dan teknologi. Dengan menggunakan metode PAM, efisiensi ekonomi dan insentif intervensi pemerintah dapat dihitung secara menyeluruh, sistematis, dan dengan output yang sangat beragam. Ada empat langkah yang harus dilakukan untuk menganalisis dayasaing dengan menggunakan metode tersebut. Langkah pertama adalah penentuan input usahatani melon Apollo seperti benih, pupuk, obat-obatan, peralatan, tenaga kerja, dan input lainnya. Langkah kedua yaitu mengidentifikasikan input kedalam komponen input tradable dan non tradable. Input tradable yakni input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional baik ekspor maupun impor. Sedangkan input non tradable adalah input yang dihasilkan pasar domestik dan tidak diperdagangkan secara internasional. Langkah ketiga, pemisahan seluruh biaya kedalam komponen domestik dan asing (tradable) berdasarkan Tabel Input Output tahun Langkah keempat, penentuan harga bayangan input dan output, kemudian dianalisis menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analisis PAM dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah komoditas melon Apollo memiliki dayasaing atau tidak, berdasarkan kebijakan input-output yang berlaku. Metode PAM juga dapat menunjukan bagaimana suatu kebijakan mampu memperbaiki dayasaing melalui penciptaan efisiensi usaha dan

45 27 pertumbuhan pendapatan. Adapun asumsi yang digunakan dalam analisis PAM ini adalah : 1. Harga pasar adalah harga yang benar-benar diterima petani yang di dalamnya terdapat kebijakan pemerintah (distorsi pasar). 2. Harga bayangan adalah harga pada kondisi pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. Pada komoditas tradable, harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar dunia (internasional). 3. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisahkan berdasarkan faktor asing (tradable) dan faktor domestik (non tradable). 4. Eksternalitas dianggap sama dengan nol. Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Mengalokasikan biaya kedalam dua komponen yaitu komponen biaya domestik dan asing merupakan langkah yang harus dilakukan dalam menggunakan metode PAM. Menurut Pearson et al. (2005), terdapat dua pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan total (total approach) dan pendekatan langsung (direct approach). Pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi kedalam komponen biaya domestik dan asing dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut mempunyai kemungkinan untuk di produksi di dalam negeri. Pendekatan ini lebih tepat digunakan dalam analisis dampak kebijakan pemerintah atau untuk memperkirakan biaya ekonomi atau sosial dari struktur proteksi yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan pendekatan langsung mengasumsikan seluruh biaya input tradable baik impor maupun yang di produksi di dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan total (total approach) dengan menggunakan bantuan Tabel Input Output tahun Alokasi komponen biaya domestik dan asing pada usahatani melon Apollo di Kota Cilegon dapat dilihat pada Lampiran 1. Alokasi komponen biaya domestik dan asing pada sistem komoditas melon Apollo (Lampiran 1) menunjukan bahwa yang termasuk kedalam komponen biaya 100 persen domestik yaitu pupuk kandang, kapur dolomit, tali majun, tali blabar, kompos, ajir (bambu), palang ajir, tenaga kerja, sewa lahan, dan bunga modal. Dasar penentuannya adalah karena input-input tersebut sepenuhnya tersedia dan diproduksi di dalam negeri. Sedangkan, benih melon Apollo yang diproduksi oleh PT Known You Seed termasuk ke dalam 100 persen komponen biaya asing, karena benih yang di produksi oleh PT Known You Seed merupakan produk impor dari Taiwan. Selain itu, terdapat input yang tidak diperdagangkan akan tetapi komponen pembentukanya termasuk barang-barang yang tradable atau disebut indirectly traded. Input-input tersebut antara lain : 1. Pupuk kimia (SP 36, KCL, ZA, Phonska, NPK Mutiara, ZK, Phosfor). Pupukpupuk tersebut terbagi kedalam 76.5 persen domestik dan 23.5 persen asing. 2. Obat-obatan yang terdiri dari insektisida (Curacron, Tridamex, Paket Keriting, Pegasus, Biomex, dan Furadan), fungisida (Antracol, Scor, Tandem,

46 28 Cabriotop, Delsen, Equation Pro, Dtrust), dan obat-obatan lainnya (Humus Star, Nordox, Hi Gross Calcium, dan Nutrisi). Keseluruhan obat-obatan tersebut terbagi kedalam persen domestik dan persen asing. 3. Input-input yang terbuat dari bahan plastik seperti mulsa, tali rapia, piring semai (tray), paranet, ember besar, ember sedang, dan dirigen, memiliki komponen biaya persen domestik dan persen asing. 4. Input-input yang merupakan alat pertukangan dan terbuat dari logam seperti cangkul, golok, arit, gunting memiliki komponen biaya persen domestik dan persen asing. 5. Input-input yang merupakan mesin listrik seperti sprayer elektrik dan mesin air memiliki komponen biaya persen domestik dan persen asing. 6. Sprayer manual dalam Tabel Input-Output tahun 2010 termasuk kedalam kategori mesin lainnya memiliki komponen biaya domestik sebesar persen dan asing sebesar persen. 7. Bahan bakar (premium) memiliki komponen biaya persen domestik dan persen asing. Perhitungan presentase komponen biaya input-input yang tergolong kedalam indirectly traded didasarkan pada Tabel Input-Output tahun 2010 yang di rilis oleh Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS). Penentuan Harga Bayangan Menurut Pearson et al. (2005), penentuan harga sosial (harga bayangan) hanya bisa dilakukan dengan pendugaan (approximation). Banyak komoditas di pasar internasional yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan harga. Proteksi dan subsidi di negara-negara kaya telah membuat excess supply dan menekan harga dunia komoditas-komoditas pada tingkat harga lebih rendah dari harga seharusnya, seandainya tidak ada kebijakan-kebijakan tersebut. Meskipun harga dunia tersebut telah terdistorsi namun tetap merupakan aproksimasi yang baik untuk mengukur social opportunity cost bagi negara berkembang seperti Indonesia. Harga sosial (harga bayangan) dapat diduga dengan melihat publikasi atau statistik perdagangan internasional. Bila harga dunia tidak dapat diperoleh dari publikasi di pusat statistik dalam negeri maka dapat dicari di pusat statistik negara tetangga, kelompok industri, atau lembaga-lembaga internasional. Selain itu, harga bayangan dapat diduga dengan harga ekspor di tingkat pelabuhan (FOB) untuk komoditas yang exportable dan harga impor di tingkat pelabuhan (CIF) untuk komoditas yang importable. Untuk harga paritas impor, biaya transportasi dan handling di dalam negeri harus ditambahkan pada harga CIF karena barang impor tersebut harus dibawa ke pasar pedagang besar terdekat untuk berkompetisi dengan produk dalam negeri. Sebaliknya, untuk harga paritas ekspor, biaya transportasi dan handling domestik harus dikurangkan dari harga FOB, karena produk dalam negeri harus dibawa ke pelabuhan dari pasar pedagang besar terdekat untuk bisa diekspor. 1. Harga Bayangan Output Harga bayangan untuk komoditas ekspor atau berpotensi ekspor menggunakan harga di pelabuhan ekspor atau FOB (Free On Board). Sedangkan untuk komoditas impor atau berpotensi impor menggunakan harga di pelabuhan

47 29 impor atau CIF (Cost Insurance Freight). Kemudian harga di pelabuhan tersebut dikonversikan dengan nilai tukar bayangan dan biaya tataniaganya. Output yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah buah melon Apollo (segar). Melon Apollo merupakan komoditas berpotensi impor, sehingga perhitungan harga bayangannya menggunakan harga di pelabuhan impor (CIF) yaitu sebesar US$ 0.53 per kg. Selanjutnya, nilai CIF ini dikalikan dengan Nilai Tukar Bayangan (SER) pada tahun 2015 yaitu sebesar Rp per US Dollar. Sehingga diperoleh nilai sebesar Rp7 266 per kg, nilai ini kemudian ditambahkan dengan biaya transportasi dan handling dari pelabuhan ke pedagang besar terdekat dengan biaya Rp507.1 per kg. Sehingga diperoleh harga bayangan melon sebesar Rp7 773 per kg. 2. Harga Bayangan Input dan Peralatan Perhitungan harga bayangan input tradable menggunakan harga FOB untuk input yang exportable dan CIF untuk input yang importable. Sedangkan perhitungan harga bayangan input non tradable (tenaga kerja, lahan, dan bunga modal) digunakan harga aktual atau efisiensi tergantung dari ada atau tidaknya divergensi sebagai akibat dari adanya kegagalan pasar atau distorsi kebijakan yang terjadi berdasarkan observasi yang terjadi di lapangan. Harga Bayangan Benih Benih melon Apollo merupakan komoditas impor, karena benih yang digunakan oleh petani di lokasi penelitian seluruhnya merupakan benih produksi PT Known You Seed yang berasal dari Taiwan. Penentuan harga bayangan benih melon Apollo seharusnya didekati dengan harga di pelabuhan impor (CIF), namun karena keterbatasan informasi yang dihadapi peneliti, perhitungan harga bayangan benih melon Apollo menggunakan pengaruh bea masuk lima persen dan PPN sepuluh persen. Sehingga harga bayangannya diperoleh dari pengurangan harga privat dengan bea masuk dan PPN. Berdasarkan hasil perhitungan, maka diketahui harga bayangan benih melon Apollo adalah sebesar Rp per kg atau Rp per pack (20 gram). Harga Bayangan Pupuk Pupuk yang digunakan petani di lokasi penelitian terdiri dari pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang. Harga bayangan pupuk kandang ditentukan berdasarkan harga privatnya yaitu Rp1 505 per kg karena intervensi pemerintah dalam perdagangan pupuk kandang hampir tidak ada. Sehingga cukup layak untuk diabaikan dan menganggap pasar mendekati pasar persaingan sempurna. Sedangkan pupuk anorganik yang digunakan petani di lokasi penelitian meliputi pupuk SP 36, ZA, Phonska, NPK Mutiara, KCL, ZK, dan Phosfor. Terdapat beberapa pupuk yang menggunakan harga perbatasan Free On Board (FOB) seperti pupuk SP 36 dan ZA karena kedua pupuk ini merupakan komoditas ekspor dengan nilai FOB masing-masing sebesar US$ 0.23 dan US$ 0.35 per kg. Nilai ini kemudian dikalikan dengan nilai tukar bayangan tahun 2015 sebesar Rp (Lampiran 2), sehingga diperoleh nilai dalam mata uang domestik masing-masing sebesar Rp dan Rp per kg. Nilai tersebut selanjutnya dikurangi dengan biaya transportasi dan handling eksportir sebesar

48 30 Rp untuk kedua jenis pupuk tersebut, dan biaya distribusi dan handling di tingkat petani yaitu masing-masing sebesar Rp782.9 dan Rp1 270 per kg. Sehingga diperoleh harga bayangan pupuk SP 36 sebesar Rp per kg dan pupuk ZA sebesar Rp per kg. Perhitungan harga bayangan pupuk Phonska mengacu pada Hoeridah dan Tintin Sarianti (2011) dan Farizal (2015). Harga bayangan pupuk Phonska dihitung berdasarkan perbedaan rasio antara subsidi dan non subsidi dikalikan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk Phonska, kemudian dikurangi dengan biaya distribusi di tingkat petani. Perhitungan ini berdasarkan pupuk Phonska lebih banyak digunakan untuk produksi di domestik dibandingkan untuk diekspor dan hanya diproduksi oleh satu perusahaan yaitu PT Pertrokimia Gresik. Perbedaan rasio antara subsidi dan non subsidi yaitu 3 5 kali dari HET. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:87/Permentan/SR.130/12/2011 HET pupuk Phonska sebesar Rp2 300 per kg. Sehingga diperoleh harga bayangan pupuk Phonska sebesar Rp per kg. Nilai ini diperoleh dari 3 kali nilai HET pupuk Phonska dikurangi dengan biaya distribusi ditingkat petani sebesar Rp232.9 per kg. Pupuk anorganik lainnya yang digunakan petani di lokasi penelitian adalah pupuk KCL, NPK Mutiara, ZK, dan Phosfor. Penentuan harga bayangan pupukpupuk tersebut dihitung dengan cara mengurangkan harga privat masing-masing pupuk dengan bea masuk sebesar lima persen dan PPN sebesar sepuluh persen. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh harga bayangan untuk pupuk KCL sebesar Rp6 800 per kg, NPK Mutiara sebesar Rp8 500 per kg, pupuk ZK sebesar Rp per kg, dan Phosfor sebesar Rp per kg. Harga Bayangan Pestisida dan Obat-obatan Pestisida yang umum digunakan oleh petani di lokasi penelitian adalah insektisida dan fungisida. Insektisida yang digunakan antara lain Curacron, Tridamex, Paket Keriting, Pegasus, Biomex, dan Furadan. Sedangkan fungisida yang digunakan terdiri dari beberapa merk dagang seperti Antracol, Scor, Tandem, Cabriotop, Delsen, dan Equation Pro. Selain itu terdapat obat-obatan lain yang digunakan oleh petani dalam budidaya melon Apollo yaitu kapur dolomit, Dtrust, Humus Star, Nordox, Hi Gross Calcium, dan Nutrisi (R Biogen). Untuk menentukan harga bayangan input input tersebut seharusnya didekati dengan nilai FOB masing-masing negara eksportirnya. Namun nilai tersebut hanya mencakup bahan baku untuk pembuatan produk tersebut. Selain itu, tingkat konversi penggunaan bahan baku terhadap pestisida dan obat-obatan tidak diketahui secara pasti. Oleh karena itu, untuk mempermudah proses perhitungan harga bayangan pestisida dan obat-obatan mengacu pada hasil penelitian Saptana (2009) dalam Rahmi (2014) dan Saptana et al. (2004) dalam Rahmi (2014). Menurut Saptana (2009) dalam Rahmi (2014) bahwa harga bayangan insektisida dapat didekati dengan harga aktual di lokasi penelitian kemudian dikurangi dengan tarif impor sebesar sepuluh persen dan PPN sebesar sepuluh persen. Sehingga berdasarkan perhitungan diperoleh harga bayangan untuk Curacron sebesar Rp per liter, Tridamex sebesar Rp per liter, Paket Keriting sebesar Rp per liter, Pegasus sebesar Rp per liter, Tridamex sebesar Rp per liter, dan Furadan sebesar Rp per kg.

49 31 Sedangkan, untuk perhitungan harga bayangan fungisida mengacu pada hasil penelitian Saptana (2009) dalam Rahmi (2014) yaitu ditentukan berdasarkan harga rata-rata aktual di lokasi penelitian dikurangi dengan bea masuk sebesar lima persen dan PPN sebesar sepuluh persen. Sehingga diperoleh harga bayangan untuk Antracol sebesar Rp per kg, Scor sebesar Rp per liter, Tandem sebesar Rp per liter, Cabriotop sebesar Rp per kg, Delsen sebesar Rp per kg, dan Equation Pro sebesar Rp per kg. Selain itu metode yang sama juga digunakan untuk menghitung obatobatan lainnya seperti Humus Star, Nordox, Hi Gross Calcium, dan Nutrisi (R Biogen). Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh harga bayangan untuk Dtrust sebesar Rp per liter, Humus Star sebesar Rp per kg, Nordox sebesar Rp per kg, Hi Gross Calcium sebesar Rp per kg, dan Nutrisi (R Biogen) sebesar Rp per liter. Sedangkan, untuk kapur dolomit didekati dengan harga aktualnya yaitu sebesar Rp7 00 per kg. Harga Bayangan Input Operasional Lainnya Selain benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan, terdapat sejumlah input lain yang digunakan dalam proses budidaya melon Apollo. Input-input tersebut adalah mulsa, tali majun, tali blabar, tali rapia, dan kompos. Harga bayangan input-input tersebut didekati dengan harga aktualnya, karena divergensi kebijakan pemerintah hampir tidak ada. Selain itu, input-input tersebut diproduksi dan digunakan di dalam negeri. Sehingga, diperoleh harga bayangan untuk mulsa sebesar Rp1 000 per meter, tali majun sebesar Rp75 per meter, tali blabar Rp50 per meter, tali rapia sebesar Rp per kg, dan kompos sebesar Rp600 per kg. Harga Bayangan Peralatan Peralatan yang digunakan oleh petani di lokasi penelitian untuk menunjang proses budidaya melon Apollo diantaranya piring semai (tray), ajir (bambu), palang ajir, sprayer manual, sprayer electric, mesin air, paranet, cangkul, golok, arit, gunting, ember besar, ember sedang, dan dirigen. Penentuan harga bayangan peralatan dalam penelitian ini didekati dengan menggunakan nilai penyusutan per tahunnya. Nilai tersebut diperoleh dengan menggunakan metode garis lurus dengan formulasi sebagai berikut : Penyusutan = Sebelum perhitungan penyusutan dilakukan, harga privat (nilai beli) yang dijadikan dasar perhitungan terlebih dahulu dikurangi dengan PPN sebesar sepuluh persen. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang mengintervensi produksi dan perdagangan alat-alat tersebut secara langsung, kecuali beban biaya PPN terhadap peralatan. Cara yang sama telah dilakukan oleh Farizal (2015) untuk menghitung penyusutan peralatan pada sistem komoditas buah unggulan Jawa Barat. Rincian harga bayangan dapat dilihat pada Lampiran 4.

50 32 Harga Bayangan Bahan Bakar Minyak (BBM) Bahan bakar yang digunakan petani untuk mendukung proses budidaya berjenis premium. BBM premium digunakan petani untuk menjalankan mesin air (alcon) untuk menunjang kegiatan pengairan. Perhitungan harga bayangan BBM premium tidak didekati dengan besarnya rasio subsidi dan non-subsidi karena saat ini subsidi untuk BBM jenis premium telah dihapuskan. Maka dari itu, perhitungan harga bayangan BBM premium didekati dengan harga CIF nya. Harga CIF BBM premium diketahui sebesar US$ 2.36 per liter. Nilai ini kemudian dikalikan dengan nilai tukar bayangan pada tahun 2015 sebesar Rp dan ditambahkan dengan biaya distribusi ke pedagang besar dan petani masing-masing sebesar dua persen. Sehingga diperoleh harga bayangan sebesar Rp6 045 per liter. Harga Bayangan Tenaga Kerja Menurut Pearson et al. (2005), distorsi kebijakan terhadap tenaga kerja seperti peraturan upah minimum, tunjangan pensiun, dan kesehatan dalam bidang pertanian di negara berkembang seperti Indonesia hampir tidak ada, kecuali di perkebunan besar dan pabrik pengolahan hasil pertanian. Dengan hampir tidak adanya distorsi, maka harga bayangan untuk tenaga kerja di lokasi penelitian didekati dengan upah tenaga kerja pada tingkat harga privatnya. Harga Bayangan Modal Menurut Pearson et al. (2005), harga bayangan modal dapat didekati dengan menambahkan harga privat bunga modal dengan tingkat inflasi. Inflasi merupakan faktor koreksi terhadap suku bunga. Suku bunga sendiri sebenarnya sudah menghitung nilai inflasi, namun tetap harus dikoreksi. Nilai suku bunga yang sudah dikoreksi merupakan cerminan biaya bunga sosial. Harga Bayangan Lahan Penentuan harga bayangan lahan, menurut Pearson et al. (2005) dapat didekati dengan beberapa cara : (1) menerapkan prinsip social opportunity cost lahan di daerah penelitian (menghitung kerugian yang hilang akibat lebih memilih menanam komoditas di lokasi penelitian dibandingkan dengan menanam komoditas lain), (2) didekati dengan nilai sewa lahan di daerah penelitian, (3) tidak memasukkan biaya sewa lahan baik ditingkat harga privat maupun sosial, sehingga nilai keuntungan tidak hanya merupakan balas jasa untuk manajemen tetapi juga untuk lahan (return to management and land). Alternatif-alternatif perhitungan harga bayangan lahan tersebut bisa saja diterapkan namun tergantung dengan kemampuan peneliti dalam melakukan observasi data di lapangan. Pada sistem komoditas melon Apollo harga bayangan lahan didekati dengan nilai aktual rata-rata sewa lahan di daerah penelitian yaitu sebesar Rp per tahun per Ha. Harga Bayangan Nilai Tukar Harga bayangan nilai tukar adalah harga atau nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing yang terjadi pada saat pasar nilai tukar uang berada pada kondisi persaingan sempurna dan seimbang. Pendekatan untuk menghitung harga bayangan nilai tukar ini dapat dilakukan dengan menggunakan Standard

51 SER t = OER t SCF t 33 Conversion Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku. Dengan demikian, dapat diketahui nilai tukar mata uang domestik pada kondisi seimbang. Squire dan Van Der Tak (1975) dalam Gittinger (1986), memformulasikan rumus untuk menghitung harga bayangan sebagai berikut : Dimana : SER t : Nilai Tukar Bayangan (Rp / US$) untuk tahun ke-t OER t : Nilai Tukar Resmi (Rp / US$) untuk tahun ke-t SCF t : Faktor Konversi Standard untuk tahun ke-t Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut : SCFt = Dimana : SCF t : Faktor Konversi Standard untuk tahun ke-t X t : Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) M t : Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) T xt : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp) : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp) T mt Nilai SER tahun 2015 dihitung berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perdagangan RI, dan Departemen Keuangan RI, dimana total nilai ekspor Indonesia (X t ) pada tahun 2015 yaitu sebesar Rp milyar, nilai impor Indonesia (M t ) sebesar Rp milyar, penerimaan pemerintah dari pajak ekspor (T xt ) sebesar Rp milyar, penerimaan pemerintah dari pajak impor (T mt ) sebesar Rp milyar. Nilai Tukar Resmi Rata-Rata (OER) mata uang Rupiah terhadap US Dollar pada tahun 2015 adalah sebesar Rp per US Dollar. Dari data tersebut, maka diperoleh Nilai Faktor Konversi Standard (SCF) pada tahun 2015 sebesar 0.994, sehingga diperoleh Nilai Tukar Bayangan (SER) mata uang Rupiah terhadap US Dollar sebesar Rp per US Dollar. Rincian perhitungan Nilai Tukar Bayangan (SER) dapat dilihat pada Lampiran 2. Selain dapat menganalisis dayasaing secara menyeluruh, sistemastis, dan dengan output yang beragam, metode PAM memiliki kelemahan yaitu PAM merupakan alat analisis yang kaku. Sehingga untuk mengatasinya dengan melakukan analisis sensitivitas. Analisis ini dilakukan untuk mengatasi kelemahan PAM yang dalam analisisnya hanya memberlakukan satu tingkat harga padahal keadaan sebenarnya harga tersebut sangat bervariatif. Metode PAM dan analisis sensitivitas diolah dengan menggunakan Microsoft Excel.

52 34 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui dampak yang terjadi akibat adanya perubahan variabel ekonomi (harga input, harga output, jumlah output yang dihasilkan, dan nilai tukar) secara sistematis terhadap dayasaing komoditas melon Apollo yang diteliti di Kota Cilegon. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, analisis ini akan membantu kelemahan matriks PAM yang bersifat statis padahal pada kondisi sebenarnya memungkinkan terjadinya perubahan pada variabel-variabel ekonomi. Selain itu, analisis sensitivitas juga perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh perubahan harga input-input yang digunakan dan produksi output terhadap keuntungan dan dayasaing usahatani komoditas melon Apollo di Kota Cilegon. Analisis sensitivitas dilakukan dengan menggunakan metode switching value, yang bertujuan untuk mengetahui batas toleransi perubahan masing-masing variabel dan kombinasi variabel yang menyebabkan keuntungan menjadi negatif atau tidak memiliki saya saing (PCR > 1 dan DRCR > 1). Metode ini juga telah dilakukan oleh Farizal (2015) pada komoditas buah unggulan Jawa Barat. GAMBARAN UMUM PENELITIAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kota Cilegon termasuk dalam wilayah Provinsi Banten dengan luas wilayah Ha. Berdasarkan letak geografisnya Kota Cilegon berada di ujung barat laut Pulau Jawa, di tepi Selat Sunda dan terletak pada posisi 5 52'24" '07" Lintang Selatan (LS), '05" '11" Bujur Timur (BT). Secara administratif wilayah, Kota Cilegon sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bojonegara (Kabupaten Serang), sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Anyer dan Kecamatan Mancak (Kabupaten Serang), dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kramatwatu (Kabupaten Serang). Selain itu berdasarkan kondisi iklim dan morfologinya, Kota Cilegon memiliki suhu rata-rata berkisar antara 22 o C sampai 33 o C dengan curah hujan sebesar 100 mm per bulan dan berada pada 0 meter sampai 553 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kota Cilegon terdiri dari delapan kecamatan dan 43 keluruhan. Kecamatan-kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Cilegon, Kecamatan Cibeber, Kecamatan Jombang, Kecamatan Citangkil, Kecamatan Grogol, Kecamatan Purwakarta, Kecamatan Ciwandan, dan Kecamatan Pulomerak. Dengan jumlah penduduk mencapai jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak jiwa dan perempuan sebanyak jiwa pada tahun Kota Cilegon memiliki julukan sebagai Kota Industri atau Kota Baja karena merupakan penghasil baja terbesar di Asia Tenggara yang dihasilkan di Kawasan Industri Krakatau Steel. Namun selain memiliki sektor industri, sektor pertanian juga merupakan sektor primer dalam struktur perekonomian Kota Cilegon, karena kegiatannya masih mengekstraksi langsung sumber daya alam, hanya sebagian kecil yang terlibat di industri pengolahan dan jasa. Masyarakat Kota Cilegon yang bermata pencaharian di sektor ini terdiri atas kepala

53 35 keluarga. Dengan luas lahan menurut penggunaan per kecamatan sebanyak 9.89 persen sebagai lahan sawah, persen sebagai pekarangan, 2.67 persen sebagai lahan atau huma, persen sebagai tegal atau kebun, persen lahan kering, 4.28 persen sebagai hutan negara dan persen lainnya (Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cilegon 2012). Berdasarkan keadaan geografis, iklim, morfologi, serta luasan wilayah, Kota Cilegon cocok untuk kegiatan usahatani melon. Karakteristik Petani Responden Karakteristik petani mampu mempengaruhi keberhasilan usahatani yang ditekuninya. Petani responden dalam penelitian ini adalah petani yang hingga kini masih aktif menanam melon Apollo dengan jumlah 19 orang. Petani-petani ini berasal dari lima kecamatan, yaitu Kecamatan Jombang, Kecamatan Purwakarta, Kecamatan Grogol, Kecamatan Citangkil, dan Kecamatan Ciwandan. Petani responden akan dibagi kedalam beberapa kelompok karakteristik, yaitu karakteristik berdasarkan usia, karakteristik berdasarkan luas lahan, karakteristik berdasarkan pendidikan, karakteristik berdasarkan pengalaman usahatani, dan karakteristik berdasarkan mata pencaharian. Alasan peneliti membagi petani responden berdasarkan kelompok-kelompok tersebut karena perbedaan dari usia, luas lahan, pendidikan, pengalaman bertani, dan menjadikan bertani sebagai mata pencaharian utama atau sampingan akan mempengaruhi gaya bertani, proses pengambilan keputusan dalam bertani, hingga akan mampu mempengaruhi hasil produksi. Keragaan dari petani responden dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Keragaan petani responden pada sistem komoditas melon Apollo No Nama Responden Luas Lahan (m 2 ) Produksi per musim (Kg) Produktivitas per Musim (Kg / Ha) 1 Budi Sugianto Sutisna Mas Andang Eka Pria Abas Lutfi Ali Muiz Rohmani Rohidi Rouf Sofi Satiri Hasbunah Mas Hadi Hermansyah Atohillah Syarifudin Suharyadi Yusuf Supriatna Ahmad Zaenudin

54 36 Tabel 9 menunjukan bahwa petani melon Apollo memiliki luas lahan yang beragam yaitu dengan luas lahan antara 1100 m 2 sampai dengan 5000 m 2. Selain itu, terlihat bahwa terdapat perbedaan jumlah produksi per musim dari masingmasing petani. Produktivitas per musim paling tinggi yaitu 2.42 kg / Ha dan yang paling rendah yaitu 1.4 kg / Ha. Perbedaan jumlah produksi ini disebabkan karena banyak faktor diantaranya perbedaan luas lahan, perbedaan jenis lahan yang digunakan (lahan basah, lahan kering, lahan lama, lahan baru), dan perbedaan cara budidaya dari masing-masing petani. Proses budidaya yang baik dan mengikuti SOP yang ada akan menghasilkan produktivitas tinggi, begitu juga sebaliknya. Jika dilihat dari faktor usia, petani yang berusia lebih muda umumnya memiliki kemampuan fisik yang lebih baik dibandingkan dengan petani yang berusia lebih tua. Selain itu, petani responden yang berusia lebih muda cenderung lebih cekatan baik dalam melakukan pekerjaan atau lebih cekatan dalam proses pengambilan keputusan, sehingga hal ini akan mempengaruhi kinerja usahatani. Rincian mengenai karakteristik petani responden berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 10. Kelompok Usia (Tahun) Tabel 10 Karakteristik petani responden berdasarkan usia Jumlah Responden (Orang) Presentase (Persen) Rata-Rata Umur (Tahun) Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat bahwa kelompok usia yang paling dominan yaitu usia 31 sampai 40 tahun dengan jumlah responden sebanyak tujuh orang (37 persen) dengan rata-rata umur 38 tahun. Urutan kedua kelompok usia terbanyak adalah 41 sampai 50 tahun dengan umur rata-rata 45 tahun dan 51 sampai 60 tahun dengan umur rata-rata 56 tahun. Kedua kelompok umur tersebut memiliki jumlah responden masing-masing sebanyak empat orang atau dengan presentase 21 persen. Sedangkan kelompok usia paling sedikit yaitu 21 sampai 30 tahun dengan umur rata-rata 26 tahun dan 61 sampai 70 tahun dengan umur ratarata 63 tahun. Jumlah responden masing-masing sebanyak dua orang (11 persen). Karakteristik petani responden selanjutnya dilihat dari luas lahan. Jika dilihat dari faktor luas lahan, semakin luas lahan yang digunakan maka petani memiliki kesempatan untuk menanam lebih banyak, namun tentunya dibutuhkan input yang lebih banyak dan manajemen yang lebih baik. Karakteristik petani berdasarkan luas lahan dapat dilihat pada Tabel 11.

55 37 Tabel 11 Karakteristik petani responden berdasarkan luas lahan Luas Lahan (m 2 Jumlah Responden Presentase Rata-Rata Luas ) (Orang) (Persen) Lahan (m 2 ) < > Berdasarkan Tabel 11, luas lahan yang dominan digunakan adalah dengan luas sampai m 2 dengan jumlah responden sebanyak 15 orang (78.95 persen). Sedangkan petani yang menggunakan lahan kurang dari m 2 berjumlah dua orang dengan presentase persen dan rata-rata luas lahan 1400 m 2. Selain itu, terdapat petani yang menggunakan lahan yang berkisar natar hingga m 2 dan lebih dari m 2 dengan jumlah masing-masing sebanyak satu orang. Sehingga dari Tabel 11 dapat disimpulkan bahwa rata-rata luas lahan yang paling banyak digunakan di lokasi penelitian yaitu m 2. Selain faktor usia dan luas lahan, karakteristik lainnya adalah pendidikan, pengalaman bertani, dan mata pencaharian. Pendidikan, pengalaman bertani, dan mata pencaharian akan mempengaruhi cara berbudidaya hingga mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam proses budidaya. Ketiga hal ini akan dapat berdampak pada hasil yang didapatkan. Petani yang memiliki pendidikan dan pengalaman bertani yang lebih baik, serta fokus terhadap usahanya cenderung akan mendapatkan hasil yang lebih baik. Tabel 12 Karakteristik petani responden berdasarkan pendidikan Tingkat Pendidikan Jumlah Responden (Orang) Presentase (Persen) SD / Sederajat 2 11 SMP/ Sederajat 4 21 SMA / Sederajat 5 26 Perguruan Tinggi 8 42 Berdasarkan Tabel 12, terlihat bahwa pendidikan dominan bagi petani responden adalah perguruan tinggi yaitu sebanyak delapan orang dengan presentase sebesar 42 persen. Hal tersebut dapat terjadi karena komoditas melon Apollo merupakan komoditas yang dianggap eksklusif. Melon Apollo merupakan buah yang dihasilkan dari benih unggul dan belum banyak daerah yang berhasil untuk membudidayakannya. Untuk dapat menjalankan usahatani komoditas ini diperlukan modal yang cukup besar dan pengetahuan yang baik tentang melon. Meskipun memerlukan modal yang besar, namun sistem komoditas ini mampu menghasilkan keuntungan yang besar apabila dijalankan dengan baik. Untuk itu banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi tertarik untuk menjalankan usaha ini. Urutan selanjutnya adalah petani dengan pendidikan terakhir tingkat SMA / sederajat yaitu sebanyak lima orang (26 persen), SMP / sederajat sebanyak empat orang (21 orang), dan SD / sederajat sebanyak dua orang (11 persen). Karakteristik petani responden selanjutnya dilihat dari pengalaman bertani. Berdasarkan Tabel 13, terlihat bahwa sebesar 58 persen responden memiliki pengalaman bertani melon Apollo selama 5 sampai 10 tahun. Sedangkan sisanya

56 38 sebesar 42 persen atau sebanyak delapan orang memiliki pengalaman bertani melon Apollo kurang dari lima tahun. Atau dengan kata lain, mayoritas petani telah memiliki banyak pengalaman dalam usahatani melon Apollo. Tabel 13 Karakteristik petani responden berdasarkan pengalaman bertani Jumlah Rata-Rata Pengalaman Bertani Presentase Responden Pengalaman (Tahun) (Persen) (Orang) Bertani (Tahun) < Karakteristik petani responden yang terkahir adalah berdasarkan mata pencaharian. Petani melon Apollo di Kota Cilegon banyak yang memiliki mata pencaharian lain selain bertani. Dari Tabel 13 dapat terlihat bahwa sebanyak sepuluh orang responden (53 persen) memilih bertani melon Apollo sebagai mata pencaharian sampingan, dan sebanyak sembilan orang (47 persen) memilih bertani melon Apollo sebagai mata pencaharian utama. Bagi petani yang memilih bertani sebagai mata pencaharian sampingan, pekerjaan utama mereka mayoritas sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merangkap sebagai penyuluh pertanian yaitu sebanyak enam orang (32 persen). Selanjutnya sebanyak dua orang atau sebesar 11 persen berprofesi sebagai penyuluh pertanian (non- PNS), dan masingmasing sebanyak satu orang berprofesi sebagai guru honorer dan pekerja proyek. Rincian mengenai karakteristik petani responden berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 14 Tabel 14 Karakteristik petani responden berdasarkan mata pencaharian Presentase Bertani Sebagai Mata Pencaharian Jumlah Responden (Orang) (Persen) Utama 9 47 Sampingan Mata Pencaharian di Luar Bertani PNS dan Penyuluh Pertanian 6 32 Penyuluh Pertanian 2 11 Guru Honorer 1 5 Pekerja Proyek 1 5 Gambaran Umum Sistem Usahatani Melon Apollo di Kota Cilegon Melon Apollo merupakan komoditas unggulan Kota Cilegon. Melon ini mulai dibudidayakan di Kota Cilegon sejak tahun 2005 dan terus berkembang hingga saat ini. Trend usahatani melon Apollo menunjukan trend yang positif. Hal ini terlihat dari jumlah luas panen melon Apollo yang meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2013 luas panen melon Apollo di Kota Cilegon sebesar Ha dan

57 39 meningkat pada tahun 2014 menjadi 21.3 Ha, atau terjadi peningkatan luas panen sebesar persen (Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cilegon, 2015). Melon Apollo yang dihasilkan di Kota Cilegon terkenal memiliki kualitas yang baik. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yaitu benih melon yang digunakan merupakan benih melon unggul yang berasal dari Taiwan, Kota Cilegon memiliki kondisi morfologi dan iklim yang mendukung untuk membudidayakan melon Apollo, dan sudah banyak petani yang menggunakan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam melakukan budidaya. Selain itu, petani memiliki pengetahuan yang baik dalam menanam melon Apollo. Hal ini tidak terlepas dari peran pemerintah Kota Cilegon dalam mendukung perkembangan melon Apollo. Pemerintah secara rutin memberikan pelatihan (magang) dan penyuluhan tentang melon Apollo, mulai dari cara budidaya, penanggulangan hama dan penyakit, hingga penyebaran informasi mengenai harga input dan output terbaru kepada petani yang telah atau baru ingin memulai usahatani melon Apollo. Proses Budidaya Melon Apollo Saat ini budidaya melon Apollo di Kota Cilegon masih dilakukan secara konvensional (tidak menggunakan green house). Cara ini dipilih oleh petani karena membutuhkan modal yang lebih sedikit. Hingga kini pemerintah kota sedang melakukan uji coba menanam melon Apollo menggunakan green house, namun belum menghasilkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan metode konvensional. Proses budidaya melon Apollo terdiri dari beberapa kegiatan produksi diantaranya : 1. Pengolahan lahan Tahap pertama yang dilakukan dalam budidaya melon Apollo adalah pengolahan lahan atau pembuatan bedengan. Bedengan dibuat dengan lebar satu sampai dengan dua meter dengan kedalaman 20 hingga 30 cm. Kemudian bedengan diberi kapur dolomit, pupuk kandang, dan pupuk dasar lainnya seperti SP 36, ZA, KCL, dan Furadan. Setelah itu bedengan disiram dengan air dan ditutup dengan mulsa. Setelah mulsa terpasang, proses selanjutnya adalah pembuatan lubang tanam dengan jarak antar baris 65 cm dan jarak dalam barisan 80 cm. 2. Penyemaian Kegiatan penyemaian dilakukan bersamaan dengan pengolahan lahan agar pada saat kegiatan pengolahan lahan selesai, bibit melon Apollo dari hasil persemaian sudah siap tanam. Sebelum disemai, benih melon Apollo direndam air hangat terlebih dahulu selama dua sampai dengan enam jam. Setelah itu, keringkan benih dengan menggunakan kain dan diamkan selama 20 jam sampai 36 jam hingga benih melon Apollo mengeluarkan kecambah. Benih melon yang telah berkecambah ditanam didalam piring semai (tray) dengan media tanam kompos yang dicampur dengan tanah halus, SP 36, dan Furadan. Proses penyemaian membutuhkan waktu enam sampai dengan tujuh hari. 3. Penanaman Bibit melon Apollo yang telah berumur tujuh hari siap untuk dipindahkan dari media semai ke lahan. Cetakan tanah yang telah berisi bibit melon, diletakkan pada lubang tanam. Cetakan tanah diusahakan tidak hancur, karena hal

58 40 tersebut dapat mengakibatkan kerusakan akar. Kegiatan penanaman dilakukan pada sore hari hingga petang. Waktu ini dipilih petani karena dianggap dapat menghasilkan tanaman melon yang baik. 4. Pemangkasan Kegiatan pemangkasan bertujuan agar tanaman melon Apollo dapat tumbuh secara optimum dan menghasilkan buah yang berkualitas baik. Ada tiga jenis pemangkasan yang dilakukan, yaitu pemangkasan tunas utama (topping), pemangkasan tunas cabang (rompes), dan pemangkasan buah. Pemangkasan tunas utama (topping) dilakukan pada saat tanaman berumur 36 hari setelah tanam (HST). Sedangkan pemangkasan cabang (rompes) dilakukan pada saat tanaman berumur 10 HST sampai 12 HST hingga tanaman berumur 25 HST. Pemangkasan buah dilakukan pada saat tanaman berumur 27 atau 28 HST. 5. Pemupukan Pemupukan dilakukan dalam rentang waktu lima hari sekali atau seminggu sekali. Pemupukan dilakukan pada hari ke sembilan atau sepuluh HST. Pemupukan dilakukan hingga tanaman berumur 48 HST sampai dengan 52 HST. 6. Pengairan Pengairan dilakukan untuk menjaga kelembaban tanah. Frekuensi pengairan tergantung dari jenis lahan yang digunakan. Jika lahan yang digunakan adalah lahan basah atau lahan sawah, maka pengairan dilakukan seminggu dua kali. Namun, jika lahan yang digunakan adalah jenis lahan kering, maka pengairan dilakukan dua hari sekali. Kegiatan pengairan dilakukan hingga tanaman berumur 52 HST sampai dengan 54 HST. 7. Pengendalian OPT Pengendalian OPT dilakukan pada saat tanaman berumur tujuh HST hingga tanaman berumur 52 HST atau 53 HST. Frekuensi penyemprotan pestisida dan obat-obatan yaitu dua hingga tiga hari sekali. 8. Panen dan pasca panen Buah melon Apollo dapat dipanen ketika tanaman berumur 55 HST sampai dengan 58 HST. Buah melon yang telah matang memiliki ciri-ciri yaitu kulitnya berubah warna menjadi kuning, terbentuk lapisan pemisah pada cincin atau tangkal buah di sekitar tangkai dan kelopak mulai menguning serta agak lunak jika ditekan dan aromanya mulai tercium. Pemanenan dilakukan dengan cara memetik tangkai buah dengan menggunakan gunting. Buah-buah melon yang sudah dipetik tidak boleh ditumpuk satu sama lain. Buah melon yang sudah di petik sebaiknya diletakkan di tempat yang kering, sejuk, dan angin leluasa keluar masuk. Jika ada buah yang rusak atau mulai busuk harus dipisahkan dari tempat penyimpanan. Pemasaran Melon Apollo Pemasaran melon Apollo cukup mudah karena 95 persen petani memasarkan hasil panennya ke PT Hari Buah. Pemasaran dilakukan dengan cara pembeli (PT Hari Buah) datang langsung ke lokasi panen, serta proses sortasi dan grading dilakukan bersama-sama dan disaksikan oleh ketiga belah pihak yaitu petani, pembeli, dan pedagang pengumpul dengan harga yang transparan. Sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan, dan petani tidak perlu menanggung risiko penjualan akibat kerusakan buah pada saat dalam perjalanan

59 41 atau akibat tingginya biaya transportasi. Sedangkan, sebanyak lima persen petani memasarkan hasil panennya ke PT Sewu Segar. Sistem pembelian yang dilakukan oleh PT Sewu Segar berbeda dengan PT Hari Buah, karena petani yang mengantar sendiri hasil panennya ke PT Sewu Segar dengan harga jual yang lebih tinggi. Namun, pembeli tidak menanggung risiko apabila terjadi kerusakan buah pada saat dalam perjalanan. Saat ini produksi melon Apollo di Kota Cilegon baru mampu memenuhi sekitar 30 persen dari total permintaan. Hal ini menyebabkan hasil panen petani sangat mudah terjual dengan harga yang baik. Dengan melihat potensi yang dimiliki oleh komoditas melon Apollo, pemerintah Kota Cilegon memasukan komoditas ini kedalam salah satu komoditas Rencana Strategis (Renstra) pemerintah kota tahun Pemerintah menargetkan produksi melon Apollo pada tahun 2016 sebesar kwintal atau meningkat 1.96 persen dari produksi pada tahun 2015 yang mencapai kwintal. Renstra tersebut diharapkan dapat dicapai dengan cara penggunaan benih unggul yang bermutu, pengolahan tanah yang intensif, penggunaan pupuk yang berimbang, pengendalian organisme pengganggu tanaman secara intensif, pengairan dan budidaya pertanian yang lebih intensif. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Keuntungan Komoditas Melon Apollo Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan (revenue) dengan biaya yang dikeluarkan (cost). Keuntungan usahatani terdiri atas keuntungan terhadap biaya tunai dan biaya total. Hasil analisis keuntungan pada sistem komoditas Melon Apollo dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil analisis keuntungan pada sistem usahatani melon Apollo (Rupiah per hektar per musim) tahun 2016 Uraian Nilai Penerimaan (Rupiah) Biaya tunai (Rupiah) Biaya non-tunai (Rupiah) Total Biaya (Rupiah) Keuntungan (Rupiah) R/C Ratio 1.66 Berdasarkan Tabel 15, dapat dilihat bahwa komoditas melon Apollo menghasilkan penerimaan sebesar Rp per hektar per musim. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan terdiri dari biaya tunai sebesar Rp per hektar per musim dan biaya non-tunai sebesar Rp per hektar per musim. Sehingga diperoleh total biaya sebesar Rp per hektar per musim. Komponen biaya tunai terdiri dari benih, pupuk, obat-obatan dan pestisida, mulsa, tali majun, tali blabar, tali rapia, kompos, tenaga kerja, biaya sewa lahan, dan biaya bahan bakar jenis premium. Biaya tunai terbesar berasal

60 42 dari biaya tenaga kerja (TKLK dan tenaga kerja borongan) dengan presentase sebesar persen dari total biaya. TKLK digunakan untuk kegiatan penyemaian, penanaman, pengairan, pengikatan dan pemangkasan, sanitasi kebun, pemupukkan, pengendalian OPT, dan panen. Sedangkan tenaga kerja borongan digunakan untuk pengolahan lahan. Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat terlihat bahwa usahatani melon Apollo merupakan sistem komoditas yang masih menggunakan tenaga kerja manusia secara intensif (insentive labour). Komponen biaya tunai yang terbesar selanjutnya adalah pupuk anorganik dengan presentase sebesar persen dan benih melon Apollo sebesar persen. Pupuk anorganik yang digunakan diantaranya SP 36, KCL, ZA, Phonska, NPK Mutiara, ZK, dan Phosfor. Sedangkan komponen biaya non-tunai terdiri dari penyusutan peralatan yang digunakan untuk menunjang kegiatan operasional. Penerimaan tersebut kemudian dikurangkan dengan total biaya sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp per hektar per musim dengan nilai R/C Ratio sebesar Ini berarti, setiap Rp1 biaya yang dikeluarkan oleh petani akan menghasilkan tambahan penerimaan sebesar Rp1.66. Berdasarkan hasil analisis keuntungam tersebut, terlihat bahwa sistem komoditas melon Apollo mampu menghasilkan keuntungan bagi petani dan layak untuk terus diusahakan. Untuk mengetahui lebih lengkap, rincian perhitungan analisis keuntungan pada sistem komoditas melon Apollo di Kota Cilegon dapat dilihat pada Lampiran 5. Kebijakan Input pada Sistem Komoditas Melon Apollo Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah kota yang berpengaruh pada usahatani melon Apollo antara lain : (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar sepuluh persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk, dan obat-obatan, (2) Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 yang menaikkan bea masuk (pajak impor) sebesar lima persen atas produk bahan baku pertanian seperti pupuk dan obat-obatan, (3) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60/Permentan/SR.310/12/2015 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2016, (4) Peraturan Walikota Cilegon Nomor 53 Tahun 2014 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian di Wilayah Kota Cilegon Tahun Anggaran Kebijakan pada poin (1) dan (2) adalah kebijakan yang menjadi dasar penetapan bea masuk sebesar lima persen dan PPN sebesar sepuluh persen atas input-input produksi seperti benih, peralatan, pupuk, dan obat-obatan. Dampak dari kebijakan ini adalah terjadinya peningkatan harga input-input yang digunakan di lokasi penelitian. Sedangkan kebijakan pada poin (3) dan (4) pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu menjaga stabilitas harga pupuk dan pemakaian pupuk agar tidak berlebih. Kebijakan pada poin (3) dijabarkan secara lebih spesifik oleh pemerintah Kota Cilegon melalui poin (4). Untuk subsektor hortikultura, pemerintah Kota Cilegon mengalokasikan pupuk Urea sebesar 15 ton, pupuk SP-36 sebesar lima ton, pupuk NPK sebesar sebelas ton, dan pupuk organik sebesar satu ton.

61 43 Kebijakan Output pada Sistem Komoditas Melon Apollo Kebijakan pemerintah pusat yang berpengaruh terhadap output (buahbuahan) yaitu : (1) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86/Permentan/ OT.014/8/2013 tetang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura, (2) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71/M-DAG/PER/9/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Produk Hortikultura, (4) Peraturan Menteri Pertanian No. 42/2012 tentang Tindakan Karantina Tumbuhan terhadap Pemasukan Buah dan Sayuran Segar ke Indonesia. Kebijakan pada poin (1) dan (2) merupakan kebijakan yang saling berkaitan. Dalam kebijakan pada poin (1) Kementan mengeluarkan rekomendasi kuantitas (kuota) impor dan dialokasi pada importir terdaftar (IT) yang memenuhi syarat-syarat sesuai dengan Permendag No.71/2015. Selain itu, dalam kebijakan pada poin (1) diatur tentang importasi produk hortikultura. Terdapat 10 jenis buah-buahan yang kuota impornya dibatasi yaitu pisang, nanas, mangga, jeruk, anggur, pepaya, apel, durian, kelengkeng, dan melon. Bahkan khusus untuk komoditas cabai, pisang, nanas, mangga, pepaya, dan melon selama periode Januari sampai dengan Juni 2015 keran impor ditutup karena sedang masa panen raya. Kebijakan pada poin (3) menetapkan bea masuk untuk komoditas sayuran, buah-buahan, dan kacang sebesar 20 persen. Sedangkan kebijakan pada poin (4) bertujuan untuk membatasi pintu masuk impor buah di Indonesia. Pintu masuk impor buah dari Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta) dialihkan ke lima pintu masuk antara lain Pelabuhan Belawan (Medan), Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya), Bandara Soekarno Hatta, dan Pelabuhan Batam. Keempat kebijakan output tersebut bertujuan untuk memberikan proteksi terhadap produk hortikultura yang dihasilkan di dalam negeri. Sehingga diharapkan dapat membawa keuntungan baik bagi petani secara individu maupun bagi negara. Keuntungan Privat dan Sosial Analisis keuntungan petani melon Apollo dibedakan menjadi dua yaitu keuntungan privat (finansial) dan keuntungan sosial (ekonomi). Analisis keuntungan privat yaitu keuntungan petani yang dihitung pada tingkat harga privat (harga aktual yang terjadi di lapang). Sedangkan, keuntungan sosial merupakan keuntungan petani yang dihitung pada tingkat harga sosial (bayangan). Selain itu, nilai keuntungan privat dan keuntungan sosial akan dapat menunjukan performance sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon. Jika nilai keuntungan privat dan keuntungan sosial positif berarti sistem usahatani tersebut menguntungkan, begitu juga sebaliknya. Hasil analisis PAM keuntungan privat dan sosial pada usahatani melon Apollo di Kota Cilegon dapat dilihat pada Tabel 16.

62 44 Tabel 16 Hasil analisis PAM keuntungan privat dan sosial pada usahatani melon Apollo di Kota Cilegon (Rupiah per hektar per musim) tahun 2016 Uraian Penerimaan (Rp) Input Tradables Biaya (Rp) Faktor Domestik Keuntungan (Rp) Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi Berdasarkan Tabel 16, dapat terlihat bahwa penerimaan privat yang dihasilkan oleh sistem komoditas melon Apollo sebesar Rp per hektar per musim dan penerimaan sosial sebesar Rp per hektar per musim. Penerimaan privat lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan sosial disebabkan karena harga jual melon Apollo pada tingkat harga privat lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual melon jenis lainnya. Harga melon Apollo yang tinggi disebabkan karena komoditas tersebut dianggap bersifat ekslusif karena masih jarang petani yang membudidayakan jenis melon ini. Selain itu, sistem pemasaran melon Apollo di Kota Cilegon dianggap sangat mudah dan menguntungkan bagi petani. Petani menerima informasi harga yang transparan dari tengkulak dan distributor buah, dimana harga untuk grade A Rp9 500 sampai Rp per kg, grade B Rp7 000 sampai Rp7 500 per kg, dan harga untuk grade C Rp4 000 per kg. Sedangkan, penerimaan sosial lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan privat disebabkan karena harga bayangan (harga CIF) melon jenis ini lebih rendah dibandingkan harga aktualnya. Harga CIF melon Apollo pada tahun 2015 adalah sebesar US$ 0.53 per kg. Kemudian nilai CIF ini dikalikan dengan Nilai Tukar Bayangan (SER) pada tahun 2015 yaitu sebesar Rp per US Dollar dan ditambahkan dengan biaya transportasi dan handling dari pelabuhan ke pedagang besar terdekat dengan biaya Rp507.1 per kg. Sehingga diperoleh harga bayangan sebesar Rp7 773 per kg. Harga bayangan ini berlaku untuk grade A, grade B, dan grade C karena harga bayangan merupakan harga terbaik yang berlaku di pasar internasional atau harga ketika harga tersebut bebas dari distorsi kebijakan. Selain penerimaan, terdapat komponen lain yang berpengaruh terhadap keuntungan yaitu biaya. Biaya usahatani melon Apollo dibedakan menjadi dua, yaitu biaya input tradable dan faktor domestik. Biaya input tradable pada tingkat harga privat sebesar Rp per hektar per musim dan pada tingkat harga sosial sebesar Rp per hektar per musim. Sedangkan untuk biaya faktor domestik pada tingkat harga privat pada komoditas melon Apollo sebesar Rp per hektar per musim, dan pada tingkat harga sosial sebesar Rp per hektar per musim. Berdasarkan pengurangan antara penerimaan dan biaya, maka diperoleh nilai keuntungan pada tingkat harga privat sebesar Rp per hektar per musim, dan keuntungan sosial sebesar Rp per hektar per musim. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, usahatani melon Apollo di Kota Cilegon secara keseluruhan layak untuk dijalankan. Rincian mengenai hasil analisis PAM keuntungan privat dan sosial dapat dilihat pada Lampiran 6.

63 45 Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Komoditas Melon Apollo Keunggulan kompetitif pada sistem komoditas melon Apollo diukur dari Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio / PCR). PCR didapatkan dari biaya faktor domestik pada tingkat harga privat dibagi dengan selisih antara penerimaan privat dengan biaya input tradable pada tingkat harga privat. Nilai PCR < 1 menunjukan sistem suatu komoditas yang diteliti memiliki keunggulan kompetitif. Sedangkan, keunggulan komparatif diukur dari Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost Ratio / DRCR). DRCR merupakan rasio antara biaya domestik dengan nilai tambah output dari biaya input tradable pada tingkat harga sosial (bayangan). Harga sosial yang dimaksud adalah kondisi harga ketika tidak ada intervensi dari pemerintah atau harga yang mendekati pasar persaingan sempurna. Nilai DRCR < 1 menunjukan sistem komoditas tersebut memiliki keunggulan komparatif. Berdasarkan hasil analisis PAM pada usahatani melon Apollo di Kota Cilegon, didapatkan nilai PCR sebesar 0.526, artinya untuk meningkatkan nilai tambah output melon Apollo di Kota Cilegon sebesar satu satuan pada tingkat harga privat, maka dibutuhkan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu atau sebesar satuan. Hasil tersebut menunjukan bahwa sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon memiliki keunggulan kompetitif. Atau dengan kata lain, sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon sudah mampu membiayai faktor domestiknya pada tingkat harga privat. Hasil analisis PAM nilai PCR dan DRCR pada sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Hasil analisis PAM nilai PCR dan DRCR pada sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 Uraian Nilai Keterangan PCR Memliki keunggulan kompetitif DRCR Memiliki keunggulan komparatif Selain memiliki keunggulan kompetitif, berdasarkan Tabel 17 dapat terlihat bahwa sistem usahatani komoditas yang diteliti juga memiliki keunggulan komparatif karena menghasilkan nilai DRCR < 1 atau sebesar Artinya, jika melon Apollo diproduksi di dalam negeri khususnya di Kota Cilegon, maka akan membutuhkan biaya sebesar satu satuan, atau telah terjadi penghematan biaya sebesar satu satuan. Dengan demikian, biaya yang diperlukan untuk memproduksi melon Apollo di dalam negeri khususnya di Kota Cilegon lebih murah dibandingkan dengan jika mengimpor dari negara lain. Semakin kecil nilai DRCR yang dihasilkan (nilai DRCR semakin mendekati 0) maka sistem komoditas yang diteliti memiliki keunggulan komparatif yang semakin kuat begitu juga sebaliknya. Jika dilihat secara keseluruhan, sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon, memiliki nilai PCR lebih baik dibandingkan dengan nilai DRCR nya, yaitu berbanding Artinya, sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon memiliki keunggulan kompetitif yang lebih tinggi dibandingkan dengan keunggulan komparatifnya. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebijakan

64 46 pemerintah yang bersifat protetktif terhadap output, sehingga menyebabkan harga bayangan melon Apollo lebih rendah dari harga privatnya yang berdampak pada penerimaan sosial lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan privat. Dengan kata lain, kebijakan output yang diberlakukan oleh pemerintah telah mampu meningkatkan dayasaing melon Apollo di Kota Cilegon. Nilai PCR yang lebih baik dari nilai DRCR juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh (Ratna et al ; Najarzadeh et al ; Oguntade 2011) mengenai dayasaing komoditas kedelai, permadani Persia, dan padi menunjukan bahwa ketiganya memiliki keunggulan kompetitif yang lebih besar dibandingkan dengan keunggulan komparatifnya. Hal ini dapat terjadi karena pada komoditas kedelai, komoditas padi, dan produk permadani Persia terdapat intervensi dari pemerintah berupa kebijakan yang bersifat protektif terhadap output. Sehingga menyebabkan produsen menerima harga lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh (Andirani dan Hanani 2010 ; Kustiari et al ; Adegbite et al ; Suryana dan Agustian 2014) mengenai dayasaing komoditas apel, manggis, nenas, dan jagung menunjukan hasil yang sebaliknya, yaitu memiliki nilai DRCR lebih baik dibandingkan dengan nilai PCR nya. Atau dengan kata lain komoditas apel, manggis, nenas, dan jagung yang diteliti memiliki keunggulan komparatif lebih besar dibandingkan dengan keunggulan kompetitifnya. Salah satu penyebab terjadinya perbedaan nilai PCR dan nilai DRCR yang dihasilkan, yaitu akibat adanya dampak dari implementasi kebijakan pemerintah baik pada input maupun output pada suatu sistem komoditas di suatu wilayah. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiawan et al. (2014) pada sistem komoditas kelapa di Kupang, Nusa Tenggara Timur, menunjukan bahwa komoditas yang ia teliti hanya memiliki keunggulan komparatif, tanpa memiliki keunggulan kompetitif (PCR > 1). Akan tetapi, dayasaing komoditas yang ia teliti masih dapat dikembangkan, dengan cara meningkatkan nilai tambah melalui pengolahan kelapa. Namun, proses pengolahan belum tentu dapat berhasil meningkatkan dayasaing pada setiap komoditas. Hal terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Sinngu dan Antwi (2014) mengenai dayasaing komoditas jeruk Afrika Selatan. Penelitian yang mereka lakukan menunjukan, dayasaing jeruk Afrika Selatan menurun ketika diolah menjadi jus jeruk. Hal tersebut mengindikasikan bahwa upaya untuk meningkatkan dayasaing jeruk Afrika Selatan melalui kegiatan pengolahan tidak membawa dampak positif. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keuntungan dan Dayasaing Usahatani Melon Apollo Kebijakan pemerintah merupakan sebuah upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencapai sasaran atau tujuan tertentu. Dalam sektor pertanian, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah ada yang bersifat protektif maupun disprotektif. Contoh kebijakan pemerintah di bidang pertanian yang bersifat protektif yaitu pembatasan kuota impor produk pertanian. Kebijakan seperti ini bertujuan untuk melindungi produk dan produsen dalam negeri. Sehingga diharapkan produk dalam negeri dapat meningkatkan dayasaingnya, dan

65 47 membawa keuntungan bagi petani. Sedangkan kebijakan pemerintah yang bersifat disprotektif berupa peningkatan bea masuk input pertanian, sehingga menyebabkan harga-harga input pertanian naik yang berdampak pada peningkatan biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani yang menggunakan input-input tersebut. Selain itu, kebijakan pemerintah juga dapat dijadikan instrument untuk meningkatkan pendapatan negara atau daerah. Kebijakan pemerintah di bidang pertanian dapat berpengaruh terhadap keuntungan dan daya saing usahatani suatu komoditas. Dampak kebijakan pemerintah dalam penelitian ini diidentifikasi melalui efek divergensi yang disajikan dalam tabel PAM. Divergensi menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga privat dan harga sosial. Divergensi dapat terjadi karena adanya kegagalan pasar atau distorsi pemerintah. Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon antara lain, nilai Transfer Output (TO), Koefesien Proteksi Output Nominal (NPCO), Transfer Input (TI), Koefesien Proteksi Input Nominal (NPCI), Transfer Faktor (TF), Transfer Bersih (TB), Koefesien Proteksi Efektif (EPC), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Pembahasan lebih rinci mengenai dampak kebijakan pemerintah akan dijelaskan pada sub subab dibawah ini. Indikator yang sama juga digunakan pada penelitian yang dilakukan oleh (Andirani dan Hanani 2010 ; Kustiari et al ; Suryana dan Agustian 2014 ; Ratna et al.2013 ; Adegbite et al ; Najarzadeh et al ; Oguntade 2011; Ugochukwu dan Ezendinma 2011). Indikator-indikator tersebut digunakan untuk melihat apakah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah baik kebijakan input maupun output, dapat meningkatkan dayasaing komoditas yang mereka teliti atau justru sebaliknya. Dampak Kebijakan terhadap Output Indikator yang digunakan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah terhadap output yaitu TO dan NPCO. TO dan NPCO bertujuan untuk mengukur apakah kebijakan output yang diterapkan oleh pemerintah sudah efektif sehingga dapat berpengaruh meningkatkan dayasaing usahatani suatu sistem komoditas. Hingga saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang secara langsung mengatur harga output melon Apollo. Namun, terdapat sejumlah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pusat sebagai upaya proteksi terhadap produk hortikultura dalam negeri. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain : (1) pembatasan kuota impor produk hortikultura salah satunya adalah buah melon, (2) adanya pembebanan tarif bea masuk terhadap sayuran, buah-buahan, dan kacang sebesar 20 persen, (3) pembatasan pintu masuk impor buah dengan cara mengalihkan pintu masuk impor ke lima pintu masuk yaitu Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta), Pelabuhan Belalawan (Medan), Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya), Bandara Soekarno Hatta, dan Pelabuhan Batam, serta kebijakan output lainnya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Kebijakan-kebijakan ini akan berpengaruh terhadap harga sosial melon Apollo dan harga privatnya secara tidak langsung. Adapun nilai TO dan NPCO yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 18.

66 48 Tabel 18 Hasil analisis PAM nilai TO dan NPCO pada sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 Uraian Nilai TO Rp NPCO 1.11 Berdasarkan Tabel 18, nilai TO yang dihasilkan adalah sebesar Rp per hektar per musim, artinya harga output melon Apollo di pasar domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga internasionalnya. Dalam penelitian ini harga rata-rata aktual melon Apollo grade A yaitu Rp9 686 per kg, grade B Rp7 063 per kg, dan grade C Rp4 065 per kg. Sedangkan harga bayangan untuk grade A, grade B, dan grade C sama yaitu sebesar Rp7 773 per kg karena harga tersebut merupakan harga terbaik yang terjadi di pasar internasional. Perbedaan harga tersebut menyebabkan konsumen membeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan kepada produsen. Sehingga menyebabkan, penerimaan privat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan sosialnya (Lampiran 6). Hal yang sama terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh (Manalu 2014 ; Ratna et al ; Najarzadeh et al ; Oguntade 2011) bahwa TO yang bernilai positif menggambarkan harga output di domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga internasionalnya. Analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap output juga dapat dilihat dari nilai NPCO. Nilai NPCO merupakan rasio antara penerimaan pada tingkat harga privat dengan penerimaan pada tingkat harga sosial (bayangan). Penerimaan privat dalam penelitian ini adalah sebesar Rp per hektar per musim dan penerimaan sosialnya sebesar Rp per hektar per musim. Sehingga diperoleh nilai NPCO sebesar Nilai NPCO yang dihasilkan lebih dari satu (NPCO > 1), artinya sejumlah kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melakukan proteksi terhadap output sudah berpihak pada produsen, sehingga menyebabkan petani melon Apollo di Kota Cilegon menerima insentif dari konsumen. Menurut Manalu (2014), Nilai NPCO lebih dari satu merepresentasikan kebijakan output yang berpihak kepada petani sehingga menyebabkan petani mendapatkan insentif dari konsumen. Akan tetapi, masih diperlukan kebijakan lain yang dapat memberikan jaminan harga output (harga stabil) dan memberikan jaminan pasar. Diperlukan kerjasama dari setiap pihak agar petani memperoleh keuntungan yang lebih layak, konsumen memperoleh harga yang terjangkau, dan komoditas tersebut mampu bersaing dengan komoditas impor. Secara keseluruhan, kebijakan output yang diterapkan oleh pemerintah sudah berjalan efektif. Kebijakan output tersebut meliputi pengaturan kuota impor melon, pembebanan tarif bea masuk untuk buah-buahan sebesar 20 persen, dan pengalihan pintu masuk impor buah. Kebijakan-kebijakan tersebut mampu meningkatkan dayasaing (keunggulan kompetitif) sehingga penerimaan yang diterima petani melon Apollo lebih tinggi dibandingkan penerimaan tanpa adanya kebijakan tersebut. Namun, menurut penelitian yang dilakukan oleh (Andirani dan Hanani 2010 ; Kustiari et al ; Suryana dan Agustian 2014 ; Adegbite et al ; Ugochukwu dan Ezendinma 2011 ; Setiawan et al. 2014) nilai NPCO dalam

67 49 penelitian yang mereka lakukan masih menghasilkan nilai NPCO < 1. Artinya, kebijakan output yang diterapkan oleh pemerintah belum sepenuhnya efektif dalam memberikan insentif bagi produsen. Bahkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Setiawan et al. (2014) mengenai dayasaing komoditas kelapa di Kupang, Nusa Tenggara Timur menunjukan bahwa, belum ada kebijakan output yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk meningkatkan dayasaing komoditas kelapa yang diteliti. Dampak Kebijakan terhadap Input Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya yang berkaitan dengan output saja. Pemerintah juga membuat kebijakan lain yang berkaitan dengan input khusunya input pertanian. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain : (1) pembebanan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar sepuluh persen atas inputinput produksi seperti peralatan, pupuk, dan obat-obatan, (2) pembebanan bea masuk (pajak impor) sebesar lima persen atas produk bahan baku pertanian seperti pupuk dan obat-obatan, (3) kebijakan Menteri Pertanian yang mengatur HET untuk pupuk bersubsidi dan (4) peraturan mengenai kebutuhan dan HET untuk pupuk bersubsidi yang dikeluarkan oleh Walikota Cilegon. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat dari nilai TI, NPCI, dan TF. Nilai TI merupakan selisih antara biaya input tradable pada tingkat harga privat dengan biaya input pada tingkat harga sosial. Sedangkan NPCI merupakan rasio antara biaya input tradable pada tingkat harga privat dengan biaya input tradable pada tingkat harga sosial. Indikator selanjutnya yang diukur adalah TF, TF merupakan selisih antara biaya faktor domestik pada tingkat harga privat dengan biaya faktor domestik pada tingkat harga sosial. Nilai TI, NPCI, dan TF dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil analisis PAM nilai TI, NPCI, dan TF pada sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 Uraian Nilai TI Rp NPCI TF Rp Berdasarkan Tabel 19, nilai TI yang dihasilkan dalam penelitian ini sebesar Rp (TI > 0), artinya pada usahatani melon Apollo di Kota Cilegon harga input tradable yang dikeluarkan pada tingkat harga privat lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya (harga bayangan). Sehingga petani mengeluarkan biaya untuk input tradable lebih besar yaitu Rp daripada kondisi seharusnya akibat adanya intervensi dari pemerintah. Hal ini terjadi karena petani input-input pertanian yang mereka beli telah dibebankan PPN sebesar sepuluh persen dan bea masuk sebesar lima persen (untuk input-input yang diimpor). Kondisi ini juga menggambarkan terjadi transfer (insentif) dari produsen ke pemerintah melalui pajak dan bea masuk. Nilai indikator selanjutnya adalah NPCI. Nilai NPCI yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih dari satu yaitu sebesar Nilai ini menunjukan bahwa terdapat proteksi terhadap produsen input tradable, atau dengan kata lain

68 50 kebijakan input yang diterapkan pemerintah telah menyebabkan harga input tradable di pasar domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga efisiensinya (harga dunia). Hal ini menguntungkan produsen input tradable, namun berimplikasi merugikan petani yang menggunakan input-input tersebut karena mengeluarkan biaya produksi lebih tinggi. Hal yang sama juga terjadi dalam penelitian yang dilakukan oleh (Andirani dan Hanani 2010 ; Adegbite et al ; Najarzadeh et al ; Oguntade 2011). Nilai NPCI yang dihasilkan dalam penelitian yang telah mereka lakukan yaitu lebih dari 1. Nilai NPCI > 1 disebabkan karena adanya kebijakan pemerintah berupa pembebanan pajak pada input tradable atau akibat dari terjadinya kegagalan pasar. Namun, hasil yang berbeda ditunjukan oleh penelitian yang dilakukan oleh (Kustiari et al ; Suryana dan Agustian 2014 ; Ratna et al ; Ugochukwu dan Ezendinma 2011). Dalam penelitian yang mereka lakukan mengenai dayasaing komoditas manggis Indonesia di pasar dunia, dayasaing jagung di Indonesia, dayasaing kedelai di Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep, dan dayasaing padi di Nigeria bagian tenggara, menghasilkan nilai NPCI < 1. Nilai NPCI < 1 disebabkan karena adanya kebijakan pemerintah berupa pemberian subsidi pada beberapa jenis input tradable. Pemberian subsidi menyebabkan petani membayar lebih rendah dari harga yang seharusnya. Sehingga biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk membeli input tradable menurun. Indikator yang ketiga adalah TF, TF digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya kebijakan yang diterapkan pada input non tradable (faktor domestik). Pada penelitian ini nilai TF yang dihasilkan adalah sebesar Rp (TF > 0). Artinya, terdapat kebijakan pemerintah untuk melindungi produsen input non tradable (faktor domestik) dengan pemberian subsidi positif. Dampak Kebijakan terhadap Input-Output Analisis dampak kebijakan terhadap input-output digunakan untuk melihat dampak kebijakan input dan kebijakan output terhadap pelaku ekonomi dan sistem usahatani melon Apollo secara bersamaan. Indikator yang digunakan untuk melihat dampak kebijakan terhadap input-output yaitu Transfer Bersih (TB), Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Hasil analisis PAM untuk nilai TB, EPC, PC, dan SRP dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Hasil analisis PAM untuk nilai TB, EPC, PC, dan SRP pada sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 Uraian Nilai TB Rp EPC PC SRP Nilai TB merupakan selisih antara keuntungan pada tingkat harga privat dengan keuntungan pada tingkat harga sosial. Pada Tabel 20, dapat terlihat bahwa nilai TB yang dihasilkan dalam penelitian ini sebesar Rp (TB > 0),

69 51 artinya petani melon Apollo di Kota Cilegon menerima tambahan keuntungan sebesar Rp per hektar per musim akibat adanya kebijakan yang diterapkan baik pada input maupun output. Nilai EPC digunakan untuk menganalisis sejauh mana penerapan kebijakan pemerintah mampu melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Nilai EPC yang dihasilkan dalam penelitian ini sebesar (EPC > 1), artinya kebijakan input-output yang diterapkan oleh pemerintah telah menyebabkan harga input tradable dan output di domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga efisiensinya. Atau dengan kata lain, kebijakan pemerintah untuk melindungi dan mendukung produsen domestik untuk meningkatkan dayasaing sudah berjalan secara efektif. Hasil (EPC >1) juga dihasilkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Ratna et al. (2013). Nilai EPC > 1 yang dihasilkan pada sistem komoditas kedelai di Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep menyebabkan nilai tambah yang diterima petani pada kondisi aktual lebih besar dari nilai tambah sosialnya. Dengan kata lain, secara keseluruhan kebijakan pemerintah telah mampu melindungi dan mendukung petani kedelai di Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep. Indikator yang ketiga adalah PC, nilai PC digunakan untuk mengetahui apakah secara keseluruhan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Berdasarkan Tabel 20, nilai PC yang dihasilkan dalam penelitian ini sebesar (PC > 1). Artinya, secara keseluruhan kebijakan pemerintah mampu memberikan insentif kepada petani melon Apollo di Kota Cilegon. Dengan demikian, petani menerima keuntungan lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan pemerintah. Nilai PC yang berbeda dihasilkan dalam penelitian yang dilakukan oleh (Kustiari et al ; Oguntade 2011). Nilai PC yang dihasilkan oleh (Kustiari et al ; Oguntade 2011) bernilai kurang dari 1. Artinya, secara keseluruhan kebijakan yang diterapkan belum memberikan insentif kepada petani manggis di Indonesia dan petani padi di Nigeria. Atau dengan kata lain, terdapat kerugian bagi petani manggis di Indonesia dan petani padi di Nigeria dibandingkan dengan tanpa adanya kebijakan. Selain ketiga indikator yang telah dijelaskan diatas, terdapat indikator lainnya yang digunakan untuk mengukur dampak kebijakan input-output, indikator tersebut adalah SRP. Nilai SRP yang dihasilkan dalam penelitian ini sebesar (SRP >0). Nilai ini menunjukan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku menyebakan petani mengeluarkan biaya produksi lebih kecil sekitar delapan persen dari biaya imbangan (opportunity cost). Atau dengan kata lain, kebijakan pemerintah yang diterapkan telah menguntungkan bagi petani dan mampu mendukung upaya peningkatan dayasaing komoditas melon Apollo di Kota Cilegon. Penelitian yang dilakukan oleh Ratna et al. (2013) juga menghasilkan nilai SRP > 0 yaitu sebesar Nilai SRP yang positif menunjukan adanya proteksi pemerintah yang menurunkan biaya produksi, sehingga petani mengeluarka biaya produksi lebih kecil dari biaya imbangan (opportunity cost).

70 52 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk menutupi kekurangan metode PAM yang bersifat statis. Selain itu, analisis sensitivitas juga dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh perubahan harga input, harga output, jumlah produksi output, dan perubahan nilai tukar terhadap keuntungan dan dayasaing usahatani melon Apollo di Kota Cilegon. Analisis sensitivitas juga telah dilakukan oleh (Andirani dan Hanani 2010 ; Ratna et al.2013 ; Adegbite et al. 2014) pada sistem komoditas apel di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, komoditas kedelai di Kecamatan Ganding Kabupeten Sumenep, dan komoditas nanas di Osun State, Nigeria. Pada penelitian ini dilakukan beberapa skenario sensitivitas yang terdiri dari skenario tunggal dan skenario ganda. Skenario tunggal yang dilakukan antara lain : (1) harga jual output turun sebesar 39.8 persen, (2) produktivitas output turun sebesar 39.8 persen, (3) harga tenaga kerja baik TKLK maupun tenaga kerja borongan naik sebesar 180 persen, (4) harga pupuk anorganik naik sebesar persen, (5) harga benih melon Apollo naik sebesar persen, dan (6) penurunan nilai tukar rupiah sebesar 40 persen (terhadap dollar Amerika). Berdasarkan skenario-skenario tersebut, dapat terlihat perubahan tingkat keuntungan dan indikator utama dayasaing (DRCR) pada sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon. Adapun hasil tabulasi dari perubahan keuntungan dan indikator dayasaing melon Apollo di Kota Cilegon akibat perubahan variabel yang diskenariokan dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Nilai keuntungan berdasarkan analisis sensitivitas (skenario tunggal) pada komoditas melon Apollo di Kota Cilegon (Rupiah per hektar per musim) tahun 2016 No Skenario Keuntunga n Privat (Rp) Kondisi Normal Keuntungan Sosial (Rp) Keuntunga n Privat (Rp) Setelah Simulasi Keuntungan Sosial (Rp) Harga jual output turun persen Produktivitas turun 39.8 persen Harga TKLK naik 180 persen Harga pupuk anorganik naik persen Harga benih naik persen Berdasarkan hasil analisis tersebut, diperoleh bahwa pada skenario kesatu (harga jual output turun 39.8 persen), sistem usahatani melon Apollo menghasilkan keuntungan privat sebesar Rp ( ) per hektar per musim dan keuntungan sosial sebesar Rp ( ) per hektar per musim. Pada skenario kedua (produktivitas turun 39.8 persen), diperoleh keuntungan privat sebesar Rp ( ) per hektar per musim dan keuntungan sosial sebesar Rp ( ) per hektar per musim. Pada skenario ketiga (harga TKLK naik sebesar 180 persen), diperoleh keuntungan privat sebesar Rp ( ) per hektar per musim dan keuntungan sosial sebesar Rp ( ) per hektar per musim. Pada skenario keempat (kenaikan harga pupuk anorganik sebesar persen),

71 53 diperoleh keuntungan privat sebesar Rp ( ) per hektar per musim dan keuntungan sosial sebesar Rp ( ) per hektar per musim. Sedangkan, pada skenario kelima (kenaikan harga benih melon Apollo sebesar persen), diperoleh keuntungan privat sebesar Rp ( ) per hektar per musim dan keuntungan sosial sebesar Rp ( ) per hektar per musim. Selain itu, analisis sensitivitas juga digunakan untuk melihat sejauh mana perubahan pada variabel-variabel yang diskenariokan memberi pengaruh pada dayasaing usahatani melon Apollo (hingga komoditas tersebut tidak memiliki dayasaing). Indikator yang menjadi perhatian penting DRCR yang merupakan indikator utama dayasaing. Hasil analisis sensitivitas terhadap indikator dayasaing sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Nilai indikator dayasaing (DRCR) berdasarkan analisis sensitivitas (skenario tunggal) pada komoditas melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 No Skenario Tunggal Kondisi Normal DRCR Setelah Simulasi DRCR 1 Harga jual output turun 39.8 persen Produktivitas turun 39.8 persen Harga TKLK naik 180 persen Harga pupuk anorganik naik persen Harga benih naik persen Pada Tabel 22, dapat terlihat bahwa skenario kesatu (penurunan harga jual output) dan kedua (penurunan produktivitas) memiliki batas toleransi perubahan yang paling kecil dibandingkan dengan skenario kenaikan harga input, dengan presentase toleransi masing-masing sebesar 39.8 persen. Skenario kedua (penurunan produktivitas sebesar 39.8 persen) merupakan variabel peubah yang paling sensitif dalam mempengaruhi dayasaing usahatani melon Apollo karena variabel ini merupakan variabel yang paling mungkin terjadi di lokasi penelitian. Proses produksi atau kegiatan budidaya melon Apollo merupakan proses yang paling berisiko. Risiko produksi berasal dari beberapa sumber risiko seperti kondisi alam, hama, penyakit, hingga kualitas SDM. Sehingga merupakan hal yang memungkinkan jika terjadi penurunan produktivitas sebesar 39.8 persen, apabila sumber-sumber risiko tersebut tidak mampu ditangani dengan baik. Sedangkan skenario kesatu (penurunan harga jual output) merupakan hal yang belum pernah terjadi di lokasi penelitian, sehingga dapat dikatakan bahwa variabel ini tidak sensitif dalam mempengaruhi dayasaing usahatani melon Apollo. Harga jual melon Apollo di Kota Cilegon belum pernah turun bahkan cenderung terus mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan karena jumlah penawaran masih lebih kecil dibandingkan dengan jumlah permintaan melon Apollo kepada petani di Kota Cilegon. Selain dilakukan analisis sensitivitas terhadap lima skenario tunggal diatas, dilakukan juga analisis sensitivitas menggunakan variabel nilai tukar rupiah (kurs turun sebesar 40 persen) dan beberapa skenario ganda meliputi : (1) kurs turun sebesar 21 persen dan harga jual output turun sebesar 27 persen, (2) kurs turun sebesar 31 persen dan produktivitas turun sebesar 11.5 persen, (3) kurs

72 54 turun sebesar 30 persen dan harga TKLK naik sebesar 47 persen, (4) kurs turun sebesar 35 persen dan harga pupuk anorganik naik sebesar 39 persen, dan (5) kurs turun sebesar 36 persen dan harga benih melon Apollo naik sebesar 37.5 persen. Hal ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh nilai tukar dan untuk melihat pengaruh perubahan dua variabel ekonomi yang terjadi secara bersamaan terhadap dayasaing usahatani melon Apollo di Kota Cilegon. Indikator yang menjadi perhatian penting yaitu DRCR karena nilai tukar berpengaruh secara langsung terhadap harga sosial. Pengaruh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dayasaing usahatani melon Apollo dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Nilai indikator dayasaing (DRCR) berdasarkan analisis sensitivitas (pengaruh kurs dan skenario ganda) pada komoditas melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 No Skenario Kondisi Normal DRCR Setelah Simulasi DRCR 1 Kurs turun sebesar 40 persen Kurs turun 21 persen, harga jual output turun 27 persen Kurs turun 31 persen, produktivitas turun 11.5 persen Kurs turun 30 persen, harga TKLK naik 47 persen Kurs turun 35 persen, harga pupuk anorganik naik 39 5 persen Kurs turun 36 persen, harga benih naik 37.5 persen Berdasarkan Tabel 23, dapat terlihat bahwa penurunan nilai tukar rupiah (terhadap Dollar Amerika) sebesar 40 persen akan menaikan nilai DRCR menjadi (DRCR>1) atau menjadikan sistem komoditas melon Apollo tidak memiliki dayasaing. Tabel 23 juga menunjukan bahwa perubahan nilai dayasaing (DRCR) dapat disebabkan oleh perubahan dua variabel ekonomi sekaligus, seperti yang terjadi pada skenario poin dua hingga poin enam. Ketika terjadi penurunan kurs sebesar 21 persen dan diikuti oleh penurunan harga jual output sebesar 27 persen, maka nilai DRCR akan menjadi (DRCR > 1). Ketika terjadi penurunan kurs sebesar 31 persen dan diikuti oleh penurunan produktivitas sebesar 11.5 persen, maka nilai DRCR akan menjadi (DRCR > 1). Ketika terjadi penurunan kurs sebesar 30 persen dan diikuti oleh kenaikan harga TKLK sebesar 47 persen, maka nilai DRCR akan menjadi (DRCR > 1). Selain itu, ketika terjadi penurunan kurs sebesar 35 persen dan diikuti oleh kenaikan harga pupuk anorganik sebesar 39 persen, maka nilai DRCR akan menjadi (DRCR > 1). Serta, ketika terjadi penurunan kurs sebesar 36 persen dan diikuti oleh kenaikan harga benih melon Apollo sebesar 37.5 persen, maka nilai DRCR akan menjadi (DRCR > 1). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, penurunan nilai tukar rupiah akan mampu menurunkan dayasaing usahatani melon Apollo, dan nilai dayasaing (DRCR) akan semakin mendekati 1 bila penurunan kurs diikuti oleh penurunan harga jual output dan produktivitas, atau diikuti oleh kenaikan harga input.

73 55 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian mengenai analisis dayasaing usahatani melon Apollo di Kota Cilegon adalah sebagai berikut : 1. Sistem usahatani melon Apollo di Kota Cilegon memiliki dayasaing karena memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. 2. Secara keseluruhan, kebijakan input-output yang diterapkan oleh pemerintah sudah efektif dalam meningkatkan dayasaing usahatani melon Apollo di Kota Cilegon. 3. Hasil analisis sensitivitas menunjukan bahwa produktivitas output sensitif mempengaruhi dayasaing, sedangkan harga output, harga input (harga TKLK, harga pupuk anorganik, harga benih), dan nilai tukar tidak sensitif dalam mempengaruhi dayasaing melon Apollo di Kota Cilegon. Saran Berdasarkan kesimpulan dan hasil analisis yang diperoleh, maka dapat dirumuskan beberapa saran, yaitu : 1. Bagi petani, sebaiknya petani melakukan proses budidaya sesuai dengan SOP agar meminimalisir tingkat mortalitas tanaman dan menghasilkan buah yang berkualitas baik (grade A atau grade B). Selain itu, petani sebaiknya meningkatkan produksi dan menjaga kontinuitas produksi karena mengingat banyak peluang yang dapat dimanfaatkan (masih banyaknya permintaan yang belum terpenuhi ), dan usahatani melon Apollo layak untuk dijalankan karena menghasilkan keuntungan positif. Selain itu, petani sebaiknya rutin untuk mengikuti pelatihan dan penyuluhan yang diadakan oleh pemerintah dengan tujuan memperbaharui informasi terkait dengan melon Apollo (baik informasi mengenai budidaya, pemasaran, harga input, dan harga jual) 2. Bagi pemerintah pusat, membuat kebijakan untuk menjaga kestabilan harga dan kepastian pasar komoditas buah-buahan khususnya melon, sebagai upaya untuk mengimbangi dampak dari kebijakan input-output yang telah dibuat. Selain itu, pemerintah perlu untuk membuat kebijakan yang bertujuan untuk menjaga kestabilan harga input produksi sebagai upaya untuk melindungi petani. Bagi pemerintah daerah, membuat lebih banyak program yang mendukung pengembangan usahatani melon Apollo. Sehingga diharapkan tidak hanya meningkatkan jumlah produksi, tetapi juga akan memperbaiki kontinuitas produksi melon Apollo. 3. Bagi akademisi, disarankan untuk melakukan penelitian dayasaing lanjutan terhadap komoditas melon Apollo dengan memperhatikan aspek jenis dan kualitas buah (lokal dan internasional), agar dapat mengetahui posisi dayasaing melon Apollo baik di pasar domestik maupun di pasar internasional.

74 56 DAFTAR PUSTAKA Adegbite O, Oni O, Adeoye I Competitiveness of Pineapple Production in Osun State, Nigeria. Journal of Economics and Sustainable Development 5 (2). Andriani DR dan Hanani R Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Apel (Malus sylvestris Mill) di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Jurnal AGRISE 10 (1). [BPS] Badan Pusat Statistik Konsumsi Buah-buahan Masyarakat Indonesia Tahun Jakarta (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Neraca Perdagangan Buah Nasional Tahun Jakarta (ID) : Badan Pusat Statistik. [BPS]Badan Pusat Statistik Perkembangan Produksi Buah Melon Indonesia Tahun Jakarta (ID): BPS. [BPS]Badan Pusat Statistik Realisasi Penerimaan Negara (Milyar Rupiah) Tahun Jakarta (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Tabel Input Output Indonesia Jakarta (ID) : BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Volume Ekspor Impor Buah-Buahan Nasional Tahun Jakarta (ID) : BPS. Daryanto, Arif Posisi Dayasaing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatannya. Di dalam Seminar Nasional :Peningkatan Dayasaing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Bogor, 14 Oktober Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. [Depkeu] Departemen Keuangan Realisasi Penerimaan Negara (Milyar Rupiah) Tahun Jakarta (ID) : Depkeu. Dewanata OP Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dhiany SA Analisis Dayasaing Usahatani Mangga Gedong Gincu (Mangifera indica L.). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Dirjenhorti] Direktorat Jenderal Hortikultura Nilai Ekspor Impor Melon dan Semangka Segar Tahun Jakarta (ID) : Dirjenhorti. [Disperla] Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cilegon Jumlah Permintaan Melon Apollo Tahun Cilegon (ID) : Disperla. [Disperla] Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cilegon Luas Lahan Menurut Penggunaan per Kecamatan di Kota Cilegon Tahun Cilegon (ID) : Disperla. [Disperla] Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cilegon Luas Lahan untuk Usahatani Melon Apollo di Kota Cilegon Tahun Cilegon (ID) : Disperla. [Disperla] Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cilegon Produksi Melon Apollo di Kota Cilegon Tahun Cilegon (ID) : Disperla. [Distanak] Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten Produksi Melon Apollo di Provinsi Banten Tahun Serang (ID) : Distanak.

75 Farizal F Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keuntungan dan Keunggulan Komparatif Komoditas Buah Unggulan Jawa Barat. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gittinger JP Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan. Edisi Kedua. Jakarta(ID): UI-Press dan John Hopkins. [Kemendag] Kementerian Perdagangan Total Nilai Ekspor dan Impor Indonesia Tahun Jakarta (ID) : Kemendag. [Kementan] Kementerian Pertanian Permasalahan yang dihadapi Petani Buah Nasional Tahun Jakarta (ID) : Kementan. [Kementan] Kementerian Pertanian Produksi Melon Nasional Tahun Jakarta (ID) : Kementan. Kustiari R, Purba H.J, Hermanto Analisis Daya Saing Manggis Indonesia di Pasar Dunia (Studi Kasus di Sumatera Barat). Jurnal AGRO EKONOMI 30 (1). Manalu DST Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa tengah. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Monke EA dan Pearson SR The Policy Analysis Matrix of Agriculture Development. London(GB): Cornell University Press. Najarzadeh et. al The Impact of Trade Liberalization of Persian Rugs : A Policy Analysis Matrix Approach. Journal of Food Distribution Research Kenya 42 (1). Novianti T Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Dayasaing Komoditas Unggulan Sayuran. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nurmalina R, Sarianti T, Karyadi A Studi Kelayakan Bisnis. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Oguntade AE Assessment of Protection and Comparative Advantage in Rice Processing In Nigeria. Journal Departement of Agricultural and Extension 11 (2). Oktaviani R, Novianti T, Widyastutik Bagian I Teori Perdagangan Internasional dan Aplikasinya di Indonesia. Bogor(ID): Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB. Pearson S, Gotsch C, Bahri S Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Jakarta(ID): Yayasan Obor Indonesia. Pradipta A dan Firdaus M Posisi Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Buah-Buahan Indonesia. Jurnal Manajemen & Agribisnis 11 (2). Puspitasari E Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahmi PP Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Teh (Studi Kasus : PTPN VIII Afdeling Rancabali III). [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Ratna P, Santosa R, Wahyudi D Daya Saing Kedelai di Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep. Jurnal CEMARA FAKULTAS PERTANIAN 10 (1). Salvatore D Ekonomi Internasional. Jakarta(ID): Erlangga. 57

76 58 Setiadi dan Parimin SP Bertanam Melon. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya. Setiawan K, Hartono S, Suryantini Analisis Dayasaing Komoditas Kelapa di Kabupaten Kupang. Jurnal AGRITECH 34 (1). Sinngu T, Antwi M Competitiveness of the South African Citrus Fruit Industry Relative to Its Southern Hemisphere Competitors. Journal of Agricultural Science 6 (12). Soekartawi dan Soeharjo A Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Dillon JL, Hardaker, penerjemah; Jakarta (ID) :UI Pr. Terjemahan dari : Farm Management Research for Small Development. Sudaryanto, Simatupang TP Arah Pengembangan Agribisnis : Suatu Catatan Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Suryana A, Agustian A Analisis Dayasaing Usahatani Jagung di Indonesia. Jurnal AGRO EKONOMI 12 (2). Ugochukwu AI, Ezedinma CI Intensification of Rice Production Systems in Southeastern Nigeria: A Policy Analysis Matrix Approach. International Journal of Agricultural Management and Development 1 (2) : Wahyuni DE Analisis Dayasaing Komoditas Buah Naga terhadap Komoditas Hortikultura Lain di Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

77 LAMPIRAN 59

78 60

79 61 Lampiran 1 Alokasi komponen biaya domestik dan asing pada sistem komoditas melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 No Jenis Domestik (Persen) Asing (Persen) A. Penerimaan Buah melon Apollo (segar) B. Biaya Produksi 1 Benih Pupuk (a) Pupuk Kandang (b) Kapur Dolomite (c)sp (d) KCL (e) ZA (f) NPK Phonska (g) NPK Mutiara (j) ZK (k) Phosfor Obat obatan > Insektisida (a) Curacron (b) Tridamex (c)paket Keriting (d) Pegasus (e) Biomex (f) Furadan >Fungisida (g) Antracol (h) Scor (i) Tandem (j) Cabriotop (k) Delsen (l) Equation Pro (m) Dtrust > Obat-obatan lainnya (n) Humus Star (o) Nordox (p) Hi Gross Calcium (q) Nutrisi (R Biogen)

80 62 No Jenis Domestik (Persen) Asing (Persen) 4 Tenaga Kerja (a) Pengolahan lahan (b) Penyemaian (c)penanaman (d) Pengairan (e) Pengikatan dan pemangkasan (f) Sanitasi kebun (g) Pemupukan (h) Pengendalian OPT (i) Panen Mulsa Tali Majun Tali Blabar Tali Rapia Kompos Bensin Biaya Listrik Sewa lahan Peralatan (a) Piring semai (b) Ajir (Bambu) (c)palang Ajir (d) Sprayer manual (e) Sprayer elektrik (f) Mesin air (g) Cangkul (h) Golok (i) Arit (j) Gunting (k) Paranet (l) Ember besar (m) Ember sedang (n) Dirigen Bunga modal Biaya Tataniaga 100 0

81 63 Lampiran 2 Perhitungan Standard Convertion Factor dan Shadow Exchange Rate tahun 2015 Uraian Nilai (Milyar Rupiah) Total Nilai Ekspor (Xt) Total Nilai Impor (Mt) Penerimaan Pajak Ekspor (TXt) Penerimaan Pajak Impor (TMt) Nilai Tukar Rupiah/ US$ Xt + Mt Xt TXt Mt + TMt SCFt SER (Rp / US$) Sumber : 1. Total Nilai Ekspor dan Impor Indonesia Tahun 2015, Kementerian Perdagangan (2016) 2. Realisasi Penerimaan Negara (Milyar Rupiah) Tahun 2015, Departemen Keuangan (2016)

82 64 Lampiran 3 Harga privat dan harga sosial benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan, serta input lainnya yang digunakan pada sistem usahatani komoditas melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 No Input Satuan Harga Privat (Rupiah) Harga Sosial (Rupiah) 1 Benih Kg Pupuk 1) Pupuk Kandang Kg ) SP 36 Kg ) KCL Kg ) ZA Kg ) NPK Phonska Kg ) NPK Mutiara Kg ) ZK Kg ) Phosfor Liter Pestisida dan Obat-obatan 1) Kapur Dolomit Kg ) Antracol Kg ) Cabriotop Kg ) Delsen Kg ) Equation Pro Kg ) Furadan Kg ) Nordox Kg ) Hi Gross Calcium Kg ) Nutrisi (R Biogen) Liter ) Curacron Liter ) Tridamex Liter ) Paket Keriting Liter ) Pegasus Liter ) Biomex Liter ) Scor Liter ) Tandem Liter ) Dtrust Liter Input Lainnya 1) Mulsa Meter ) Tali Majun Meter ) Tali Blabar Meter ) Tali Rapia Kg ) Kompos Kg

83 65 Lampiran 4 Biaya penyusutan peralatan yang digunakan dalam sistem usahatani komoditas melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 (pada tingkat harga privat dan harga sosial) No Input Satuan Harga Privat (Rupiah) Harga Sosial (Rupiah) 1 Piring semai Unit Ajir (Bambu) Batang Palang Ajir Unit Sprayer Manual Unit Sprayer Listrik Unit Mesin Air Unit Paranet Meter Cangkul Unit Golok Unit Arit Unit Gunting Unit Ember besar Unit Ember sedang Unit Dirigen Unit

84 66 Lampiran 5 Analisis keuntungan usahatani melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 (Rupiah per hektar per musim) No Uraian Nilai Rata Nilai Rata-Rata (Rupiah) Presentase (Persen) A Penerimaan B Biaya B1 Biaya Tunai Benih Melon Apollo Pupuk Kandang SP KCL ZA NPK Phonska NPK Mutiara ZK Phosfor Kapur Dolomit Antracol Cabriotop Delsen Equation Pro Furadan Nordox Hi Gross Calcium Nutrisi (R Biogen) Curacron Tridamex Paket Keriting Pegasus Biomex Scor Tandem Dtrust Mulsa Tali Majun Tali Blabar Tali Rapia Kompos Sewa lahan Tenaga Kerja TKLK Tenaga Kerja Borongan

85 67 No Uraian Nilai Rata Nilai Rata-Rata (Rupiah) Presentase (Persen) Bahan bakar B2 Biaya Tidak Tunai Penyusutan Peralatan Total Biaya Tunai Total Biaya Tidak Tunai Total Biaya Keuntungan R/C Ratio 1.66 *Total presentase pupuk anorganik 17.49% *Total presentase pestisida dan obat-obatan 10.96% *Total presentase tenaga kerja (TKLK dan borongan) 36.67%

86 68 68 Lampiran 6 Hasil analisis PAM terhadap keuntungan privat (finansial) dan keuntungan sosial (ekonomi) pada sistem usahatani komoditas melon Apollo di Kota Cilegon tahun 2016 Privat Sosial Jenis Input Satuan Jumlah Harga (Rp/satuan) Nilai (Rp) Domestik / Non Tradable (Rp) Asing / Tradable (Rp) Harga (Rp/satuan) Nilai (Rp) Domestik / Non Tradable (Rp) Asing / Tradable (Rp) Penerimaan Grade A Kg Grade B Kg Grade C Kg Total Penerimaan Pengeluaran Benih Melon Apollo (Known You Seed) Kg Pupuk Kandang Kg Pupuk Kimia SP 36 Kg KCL Kg ZA Kg NPK Phonska Kg NPK Mutiara Kg ZK Kg Phosfor Liter Obat-obatan

87 69 69 Privat Sosial Jenis Input Satuan Jumlah Harga (Rp/satuan) Nilai (Rp) Domestik / Non Tradable (Rp) Asing / Tradable (Rp) Harga (Rp/satuan) Nilai (Rp) Domestik / Non Tradable (Rp) Asing / Tradable (Rp) Kapur Dolomit Kg Antracol Kg Cabriotop Kg Delsen Kg Equation Pro Kg Furadan Kg Nordox Kg Hi Gross Calcium Kg Nutrisi (R Biogen) Liter Curacron Liter Tridamex Liter Paket Keriting Liter Pegasus Liter Biomex Liter Scor Liter Tandem Liter Dtrust Liter Input lainnya Mulsa Meter Tali Majun Meter

88 70 70 Privat Sosial Jenis Input Satuan Jumlah Harga (Rp/satuan) Nilai (Rp) Domestik / Non Tradable (Rp) Asing / Tradable (Rp) Harga (Rp/satuan) Nilai (Rp) Domestik / Non Tradable (Rp) Asing / Tradable (Rp) Tali Blabar Meter Tali Rapia Kg Kompos Kg Penyusutan Alat Piring semai Unit Ajir (Bambu) Batang Palang Ajir Unit Sprayer Manual Unit Sprayer Listrik Unit Mesin Air Unit Paranet Meter Cangkul Unit Golok Unit Arit Unit Gunting Unit Ember besar Unit Ember sedang Unit Dirigen Unit Sewa lahan Rupiah/Ha Tenaga Kerja

89 71 71 Privat Sosial Jenis Input Satuan Jumlah Harga (Rp/satuan) Nilai (Rp) Domestik / Non Tradable (Rp) Asing / Tradable (Rp) Harga (Rp/satuan) Nilai (Rp) Domestik / Non Tradable (Rp) Asing / Tradable (Rp) TKLK HOK / Ha Tenaga Kerja Borongan Rupiah/ Ha Bahan bakar Liter Total Biaya Keuntungan

90 72 Lampiran 7 Dokumentasi penelitian Kegiatan on farm Kegiatan panen dan pasca panen

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Perdagangan Internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Menurut penelitian Fery (2013) tentang analisis daya saing usahatani kopi Robusta di kabupaten Rejang Lebong dengan menggunakan metode Policy Analiysis

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM VI ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan kemampuan jeruk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam

Lebih terperinci

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRAK... xiii ABSTRACT...

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI Daya saing usahatani jambu biji diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang baik dan biaya produksi

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan 33 III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG VI. 6.1 Analisis Dayasaing Hasil empiris dari penelitian ini mengukur dayasaing apakah kedua sistem usahatani memiliki keunggulan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 45 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan daerah tersebut dilakukan secara purposive

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 83 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem dengan lokasi sampel penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu. Penentuan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERNGK PEMIKIRN 3.1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis berisi teori-teori dan konsep yang berkaitan dengan penelitian analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jambu biji. kerangka

Lebih terperinci

ANALISIS SENSITIVITAS

ANALISIS SENSITIVITAS VII ANALISIS SENSITIVITAS 7.1. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari perubahan kurs mata uang rupiah, harga jeruk siam dan harga pupuk bersubsidi

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif analitis. Menurut Nazir (2014) Metode deskriptif adalah suatu metode dalam

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 email: mardianto.anto69@gmail.com ABSTRAK 9 Penelitian tentang Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cilembu (Kecamatan Tanjungsari) dan Desa Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Struktur Biaya Produksi Usahaternak Sapi Perah

KERANGKA PEMIKIRAN Struktur Biaya Produksi Usahaternak Sapi Perah III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Faktor-faktor Produksi Usahaternak Sapi Perah Produksi adalah suatu proses penting dalam usahaternak, menurut Raharja (2000), produksi adalah

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Krisna Setiawan* Haryati M. Sengadji* Program Studi Manajemen Agribisnis, Politeknik Pertanian Negeri

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sukaresmi dan Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purpossive

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Sapi Potong di Kabupaten Indrgiri Hulu 5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Sapi Potong Usaha peternakan sapi

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) Novi Itsna Hidayati 1), Teguh Sarwo Aji 2) Dosen Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan ABSTRAK Apel yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai iklim tropis, berpeluang besar bagi pengembangan budidaya tanaman buah-buahan, terutama buah-buahan tropika.

Lebih terperinci

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP PURWATI RATNA W, RIBUT SANTOSA, DIDIK WAHYUDI Fakultas Pertanian, Universitas Wiraraja Sumenep ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Perdagangan Internasional Teori perdagangan internasional merupakan teori yang digunakan untuk mengkaji dasar-dasar terjadinya perdagangan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis terhadap tujuan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Daya Saing Dalam sistem perekonomian dunia yang semakin terbuka, faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan dunia (ekspor dan impor)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kabupaten Indragiri Hulu terdiri

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 51 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga tempat di Provinsi Bangka Belitung yaitu Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Barat, dan Kabupaten Belitung.

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN 8.1. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Harga Input terhadap Penawaran Output dan Permintaan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009

Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 Uraian Jumlah (Rp) Total Ekspor (Xt) 1,211,049,484,895,820.00 Total Impor (Mt) 1,006,479,967,445,610.00 Penerimaan

Lebih terperinci

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini, RINGKASAN Kendati Jambu Mete tergolong dalam komoditas unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari dan kerapkali mengalami guncangan pasar, yang akhirnya pelaku (masyarakat) yang terlibat dalam

Lebih terperinci

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008) 1 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PENGUSAHAAN KOMODITI JAGUNG DI KABUPATEN GROBOGAN A. Faroby Falatehan 1 dan Arif Wibowo 2 1 Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan

Lebih terperinci

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI Pendahuluan Sebelum melakukan analisis, data yang dipakai harus dikelompokkan dahulu : 1. Data Parametrik : data yang terukur dan dapat dibagi, contoh; analisis menggunakan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 28 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Bulan Pebruari sampai April 2009, mengambil lokasi di 5 Kecamatan pada wilayah zona lahan kering dataran rendah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas Dayasaing sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu industri karena dayasaing merupakan kemampuan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program pengembangan agribisnis. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang sangat berpotensi untuk dikembangkan. Pertanian merupakan salah

Lebih terperinci

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010 Volume 12, Nomor 1, Hal. 55-62 ISSN 0852-8349 Januari - Juni 2010 DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING DAN EFISIENSI SERTA KEUNGGULAN KOMPETITIF DAN KOMPARATIF USAHA TERNAK SAPI RAKYAT DI KAWASAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) 58 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF KAIN TENUN SUTERA PRODUKSI KABUPATEN GARUT Dewi Gustiani 1 dan Parulian Hutagaol 2 1 Alumni Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen - IPB

Lebih terperinci

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang 131 Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II No Jenis Uji Satuan 1 Cemaran Binatang 2 Warna 3 Kadar Benda Asing (b/b) 4 Kadar Biji Enteng (b/b) 5 Kadar Cemaran Kapang 6 Kadar Warna Kehitam-hitaman

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen III METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan

Lebih terperinci

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena analisis dalam metode

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR 350 PARTNER, TAHUN 21 NOMOR 2, HALAMAN 350-358 ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR Krisna Setiawan Program Studi Manajemen Agribisnis Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jalan

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Dayasaing Dayasaing merupakan kemampuan usaha suatu industri untuk menghadapi berbagai lingkungan kompetitif. Dayasaing dapat diartikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah dan kondisi alam yang subur untuk pertanian. Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Kerangka pemikiran teoritis terdiri dari dua hal. Pertama, kebijakan

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Kerangka pemikiran teoritis terdiri dari dua hal. Pertama, kebijakan 3.1. Kerangka emikiran Teoritis III. KERNGK EMIKIRN Kerangka pemikiran teoritis terdiri dari dua hal. ertama, kebijakan pemerintah terhadap output dan input. Kedua, konsep keunggulan komparatif dan kompetitif

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia 58 V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH 5.1. Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia Bawang merah sebagai sayuran dataran rendah telah banyak diusahakan hampir di sebagian besar wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut. 7.1 Simpulan 1. Dari

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO Policy Impact of Import Restriction of Shallot on Farm in Probolinggo District Mohammad Wahyudin,

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.a. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata/signifikan terhadap produksi usahatani jagung

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun 2012... 5 2. Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun 2010-2012... 6 3. Luas panen, produktivitas, dan produksi manggis

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO COMPETITIVENESS ANALYSIS OF SHALLOTS AGRIBUSINESS IN PROBOLINGGO REGENCY Competitiveness analysis of shallot business in Probolinggo

Lebih terperinci

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur ) Oleh : Apollonaris Ratu

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR Syahrul Ganda Sukmaya 1), Dwi Rachmina 2), dan Saptana 3) 1) Program

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Subsektor hortikultura merupakan bagian dari sektor pertanian yang mempunyai peran penting dalam menunjang peningkatan perekonomian nasional dewasa ini. Subsektor ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dalam mendukung perekonomian nasional, terutama sebagai sumber bahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang luas dan kaya akan komoditas pertanian serta sebagian besar penduduknya adalah petani. Sektor pertanian sangat tepat untuk dijadikan sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk Studi mengenai jeruk telah dilakukan oleh banyak pihak, salah satunya oleh Sinuhaji (2001) yang melakukan penelitian mengenai Pengembangan Usahatani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Permintaan Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu (Pappas & Hirschey

Lebih terperinci

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe Jurnal EKONOMI PEMBANGUNAN Kajian Ekonomi Negara Berkembang Hal: 141 147 EFISIENSI EKONOMI DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA PENANGKAPAN LEMURU DI MUNCAR, JAWA TIMUR Mira Balai Besar Riset

Lebih terperinci

Bab 5 H O R T I K U L T U R A

Bab 5 H O R T I K U L T U R A Bab 5 H O R T I K U L T U R A Komoditas hortikultura yang terdiri dari buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman obat mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai usaha agribisnis. Pengelolaan

Lebih terperinci

Objek akan menjadi suci apabila hati nurani mampu menghayati sebagai yang tersuci dan Sesuatu menjadi indah apabila matahati merasakan keindahan.

Objek akan menjadi suci apabila hati nurani mampu menghayati sebagai yang tersuci dan Sesuatu menjadi indah apabila matahati merasakan keindahan. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS SAYURAN UNGGULAN (Kasus Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung Dan Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat) Oleh : ENCEP ZACKY KOERDIANTO

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH 93 VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH 7.1. Justifikasi Harga Bayangan Penelitian ini, untuk setiap input dan output ditetapkan dua tingkat harga, yaitu harga

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR Dede Haryono 1, Soetriono 2, Rudi Hartadi 2, Joni Murti Mulyo Aji 2 1 Program Studi Agribisnis Program Magister

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Ekspor Buah-Buahan Indonesia Tahun Volume (Kg) Nilai (US $) Volume (Kg)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Ekspor Buah-Buahan Indonesia Tahun Volume (Kg) Nilai (US $) Volume (Kg) I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki potensi yang besar dalam menghasilkan produksi pertanian. Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran dibentuk dengan mendekatkan permasalahan dan tujuan penelitian dengan teori-teori yang relevan serta penelitian empiris yang telah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Samarang. Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan perekonomian nasional dan menjadi sektor andalan serta mesin penggerak pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU Habitat Volume XXIV, No. 2, Bulan Agustus 2013 ISSN: 0853-5167 KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU COMPARATIVE ADVANTAGE

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan, tanaman hias, hortikultura, perkebunan dan kehutanan. Potensi ekonomi

I. PENDAHULUAN. pangan, tanaman hias, hortikultura, perkebunan dan kehutanan. Potensi ekonomi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan. Sebagian besar penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani. Peningkatan

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup) Oleh: MERIKA SONDANG SINAGA A14304029 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Sambutan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad Dimyati pada acara ulang tahun

I. PENDAHULUAN. 1 Sambutan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad Dimyati pada acara ulang tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Buah merupakan salah satu komoditas pangan penting yang perlu dikonsumsi manusia dalam rangka memenuhi pola makan yang seimbang. Keteraturan mengonsumsi buah dapat menjaga

Lebih terperinci

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI I Made Tamba Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Jagung, ketela pohon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan negara karena setiap negara membutuhkan negara lain untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya

Lebih terperinci

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya)

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya) Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya) Tirsa Neyatri Bandrang, Ronnie S. Natawidjaja, Maman Karmana Program Magister

Lebih terperinci

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA Handewi P.S. Rachman, Supriyati, Saptana, Benny Rachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output

VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN 7.1. Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output Perubahan-perubahan dalam faktor eksternal maupun kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara

Lebih terperinci

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih 1.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA Kustiawati Ningsih Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Madura, Kompleks Ponpes Miftahul Ulum Bettet, Pamekasan,

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A14105570 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMENAGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI Denti Juli Irawati*), Luhut Sihombing **), Rahmanta Ginting***) *) Alumni

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima tahun ke depan (2010-2014), Kementerian Pertanian akan lebih fokus pada

Lebih terperinci