No Kode DAR2/Profesional/582/004/2018 PENDALAMAN MATERI FARMASI MODUL 004: PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEFARMASIAN. FARIDAH BAROROH, M.Sc., Apt.
|
|
- Sonny Santoso
- 5 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 No Kode DAR2/Profesional/582/004/2018 PENDALAMAN MATERI FARMASI MODUL 004: PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEFARMASIAN FARIDAH BAROROH, M.Sc., Apt. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2018 Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 1
2 Daftar isi Cover... i Daftar isi... 2 Pendahuluan... 1 Capaian pembelajaran... Error! Bookmark not defined. Pokok-pokok materi... 1 Materi 1. Undang-Undang dan Standar pelayanan Farmasi... 2 Materi 2. Kode Etik Tenaga Teknis Kefarmasian Indonesia Materi 3. Peredaran, Penyimpanan, Pelaporan, dan Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi Rangkuman... Error! Bookmark not defined. Daftar Pustaka Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 2
3 PENDAHULUAN Seorang tenaga teknis kefarmasian dalam pelayanan resep harus menguasai etika, hukum dan standar pelayanan farmasi sebagai landasan dalam memberikan Pelayanan Kefarmasian. Selain itu juga harus menguasai Kode Etik Tenaga Teknis Kefarmasian Indonesia, pengetahuan faktual tentang hukum dalam bidang Farmasi. Modul berjudul peraturan perundang-undangan kefarmasian ini membahas tentang kode etik, hukum atau peraturan dan standar pelayanan kefarmasian, khususnya untuk tenaga teknis kefarmasian dalam hal pengelolaan sediaan farmasi yang berkaitan dengan pelayanan resep. Tujuan dari pembuatan modul ini adalah 1. Peserta pendidikan pelatihan dapat mengetahui dan memahami etika, hukum dan standar pelayanan Farmasi sebagai landasan dalam memberikan Pelayanan Kefarmasian. 2. Peserta pendidikan pelatihan dapat mengetahui dan memahami Kode Etik Tenaga Teknis Kefarmasian Indonesia, pengetahuan faktual tentang hukum dalam bidang Farmasi serta contoh kasus yang mungkin terjadi terkait dengan pelanggaran kode etik. POKOK-POKOK MATERI a. Bagaimanakah Etika, hukum dan standar pelayanan Farmasi sebagai landasan dalam memberikan Pelayanan Kefarmasian? Dalam pelayanan kefarmasian pada umumnya dan khususnya pelayanan resep ada etika yang harus dipenuhi oleh tenaga teknis, selain itu juga ada hukum dan standar pelayanan farmasi yang berlaku sebagai landasan dalam pelayanan. b. Bagaimanakah Kode Etik Tenaga Teknis Kefarmasian Indonesia, pengetahuan faktual tentang hukum dalam bidang Farmasi? Dalam praktek pelayanan kefarmasian termasuk pelayanan resep ada kode etik antar tenaga teknis kefarmasian yang harus di taati. Maka dari itu tenaga teknis kefarmasian harus memahami dengan baik kode etik tenaga teknis Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 1
4 kefarmasian, dan begitu juga dengan faktual hukum yang terjadi dalam bidang farmasi. c. Bagaimanakah aturan pengelolaan sediaan farmasi yang merupakan tugas dari Tenaga Teknis Kefarmasian? Dalam praktek pelayanan kefarmasian termasuk pelayan resep tentunya ada sediaan farmasi yang harus dikelola, dimana pengelolaan sediaan farmasi oleh tenaga teknis kefarmasian tentunya ada batasan-batasan peraturan yang harus dipenuhi. Untuk itu tenaga teknis kefarmasian harus memahami peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan sediaan farmasi. MATERI 1. Undang-Undang dan Standar pelayanan Farmasi Sebelum kita pelajari bagaimana peraturan perundang-undangan kefarmasian, sebaiknya kita ketahui dulu hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hierarki peraturan perundang-undangan menurut Undang Undang Nomor.10 Tahun 2004 adalah 1. UUD Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti UU 3. Peraturan Pemerintah 4. Peraturan Presiden 5. Peraturan Daerah 1) Perda Provinsi 2) Perda Kabupaten/ Kota 3) Perdes/ Perturan yang setingkat Peraturan peundang-undangan kefarmasian tentunya akan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kefarmasian. Peraturan perundangundangan akan mengatur mulai dari pekerjaan kefarmasian untuk Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian, juga mengenai pengelolaan dari sediaan farmasi. Peraturan perundang-undangan pengelolaan dari sediaan farmasi akan mengatur mulai dari pengadaan sampai dengan pemusnahan dari sediaan farmasi. Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 2
5 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor.35 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, pada Pasal 1 telah dijelaskan beberapa pengertian sebagai berikut : 1. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. 2. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. 3. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. 4. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. 5. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. 6. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk penggunaan sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan kefarmasian ini merupakan bagian dari pekerjaan kefarmasian. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 3
6 penyaluran Obat, pengelolaan Obat, pelayanan Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat, serta pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional. Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan Obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan Obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Sedangkan Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker (menurut PMK 51 tahun 2009). Tenaga teknis kefarmasian tersebut masih berlaku sampai tahun 2020, namun setelah itu tenaga menengah farmasi/asisten apoteker bukan lagi tergolong tenaga teknis kefarmasian melainkan sebagai asisten tenaga kesehatan. Setiap Tenaga Kefarmasian dalam menjalankan Pekerjaan Kefarmasian wajib menyimpan Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian. Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian hanya dapat dibuka untuk kepentingan pasien, memenuhi permintaan hakim dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri dan/atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tenaga Kefarmasian melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki keahlian dan kewenangan dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada : 1. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik lain untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi dan pengawasan mutu. Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 4
7 2. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi dan alat kesehatan melalui Pedagang Besar Farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi Sediaan Farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. 3. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian melalui praktik di Apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama. Keahlian dan kewenangan Tenaga Kefarmasian dalam melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian harus dilaksanakan dengan menerapkan Standar Profesi. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut harus didasarkan pada Standar Kefarmasian, dan Standar Prosedur Operasional yang berlaku sesuai fasilitas kesehatan dimana Pekerjaan Kefarmasian itu dilakukan. Standar Profesi sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Setiap Tenaga Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi. Surat tanda registrasi diperuntukkan bagi Apoteker berupa Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dan Tenaga Teknis Kefarmasian berupa Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK). Apoteker yang menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki sertifikat kompetensi profesi. Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi, dapat memperoleh sertifikat kompetensi profesi secara langsung setelah melakukan registrasi. Sertifikat kompetensi profesi berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk setiap 5 (lima) tahun melalui uji kompetensi profesi apabila Apoteker tetap akan menjalankan Pekerjaan Kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker. Apoteker tersebut wajib memiliki STRA. Dalam melaksanakan tugas Pelayanan Kefarmasian tersebut, Apoteker dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK. Setiap Tenaga Kefarmasian yang melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat izin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian bekerja. Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 5
8 Surat izin tersebut adalah Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit, SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian sebagai Apoteker pendamping, Surat Izin Kerja (SIK) bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di fasilitas kefarmasian diluar Apotek dan instalasi farmasi rumah sakit, dan SIK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Kefarmasian. Surat izin dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di Kabupaten/Kota tempat Pekerjaan Kefarmasian dilakukan. Kriteria, tugas-tugas dan dasar hukum menjalankan tugas sebagai tenaga teknis kefarmasian tercantum pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014, sebagaimana yang tertulis di bawah ini: BAB I mengenai ketentuan umum tenaga kesehatan Pasal 1: 1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. 2. Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan di bawah jenjang Diploma Tiga. 3. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. 4. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 6
9 5. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional untuk dapat menjalankan praktik. 6. Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta didik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi bidang Kesehatan. 7. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap Kompetensi Tenaga Kesehatan untuk dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah lulus uji Kompetensi. 8. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi. 9. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Tenaga Kesehatan yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lain serta mempunyai pengakuan secara hukum untuk menjalankan praktik. 10. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga Kesehatan kepada Tenaga Kesehatan yang telah diregistrasi. BAB III mengenai kualifikasi dan pengelompokan tenaga kesehatan Pasal 8 Tenaga di bidang kesehatan terdiri atas Tenaga Kesehatan; dan Asisten Tenaga Kesehatan. Pasal 9 1. Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memiliki kualifikasi minimum Diploma Tiga, kecuali tenaga medis. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi minimum Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 7
10 Pasal 10 Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memiliki kualifikasi minimum pendidikan menengah di bidang kesehatan. Dasar hukum menjalankan tugas sebagai tenaga kefarmasian di rumah sakit diatur dalam Peraturan Menteri kesehatan nomor 72 tahun Pasal 1 Ayat 11. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Analis Farmasi. Pasal 2 Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk: a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian; b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Dasar hukum menjalankan tugas sebagai tenaga kefarmasian di apotek diatur dalam Peraturan Menteri kesehatan nomor 73 tahun BAB IV Pelayanan Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker, dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik Pasal 3 (1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar: a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan b. pelayanan farmasi klinik. (2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 8
11 a. perencanaan; b. pengadaan; c. penerimaan; d. penyimpanan; e. pemusnahan; f. pengendalian; dan g. pencatatan dan pelaporan. (3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. pengkajian Resep; b. dispensing; c. Pelayanan Informasi Obat (PIO); d. konseling; e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care); f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien. (2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. sumber daya manusia; dan b. sarana dan prasarana. Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 9
12 Pasal 5 (1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Apotek, harus dilakukan evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian. Pasal 6 Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau. MATERI 2. Kode Etik Tenaga Teknis Kefarmasian Indonesia Kode adalah tanda- tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan atau kesepakatan suatu organisasi. Kode juga berarti kumpulan peraturan yang sistematis. Kata etik (etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subjek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki individu ataupun sekelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Kode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Tetapi setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis. Supaya kode etik dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi pemerintah atau instansi-instansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh citacita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Kode etik Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 10
13 profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Profesi adalah suatu MORAL COMMUNITY (MASYARAKAT MORAL) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kode etik profesi dapat menjadi penyeimbang segi-segi negative dari suatu profesi, sehingga kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu dimata masyarakat. Apoteker adalah kesehatan profesional yang membantu individu dalampenggunaan terbaik dari obat. Kode etik ini, dipersiapkan dan didukung oleh apoteker,dimaksudkan untuk menyatakan secara terbuka prinsip-prinsip yang membentuk dasar fundamental dari peran dan tanggung jawab apoteker. Prinsip-prinsip ini, berdasarkan: kewajiban moral dan kebajikan, ditetapkan untuk membimbing apoteker dalamhubungan dengan pasien, profesional kesehatan, dan masyarakat. Macam-macam Kode Etik Tenaga Teknis Kefarmasian A. Kewajiban terhadap Profesi 1. Seorang asisten Apoteker harus menjunjung tinggi serta memelihara martabat, kehormatan profesi, menjaga integritas dan kejujuran serta dapat dipercaya. 2. Seorang Asisten Apoteker berkewajiban untuk meningkatkan keahlian dan pengetahuan sesuai dengan perkembangan teknologi. 3. Seorang Asisten Apoteker senantiasa harus melakukan pekerjaan profesinya sesuai dengan standar operasional prosedur, standar profesi yang berlaku, dan kode etik profesi. 4. Seorang Asisten Apoteker senantiasa harus menjaga profesionalisme dalam memenuhi panggilan tugas dan kewajiban profesi. B. Kewajiban Ahli Farmasi terhadap teman sejawat 1. Seorang ahli Farmasi Indonesia memandang teman sejawat sebagaimana dirinya dalam memberikan penghargaan. Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 11
14 2. Seorang ahli Farmasi Indonesia senantiasa menghindari perbuatan yang merugikan teman sejawat secara material maupun moral. 3. Seorang ahli Farmasi Indonesia senantiasa meningkatkan kerja sama dan memupuk keutuhan martabat jabatan kefarmasian, mempertebal rasa saling percaya didalam menunaikan tugasnya. C. Kewajiban terhadap Pasien atau Pemakai Jasa 1. Seorang asisten Apoteker harus bertanggung jawab dan menjaga kemampuannya dalam memberikan pelayanan kepada pasien secara professional. 2. Seorang asisten Apoteker harus menjaga rahasia kedokteran dan rahasia kefarmasian, serta hanya memberikan kepada pihak yang berhak. 3. Seorang asisten Apoteker harus berkonsultasi atau merujuk kepada teman sejawat untuk mendapatkan hasil yang akurat dan baik. D. Kewajiban terhadap Masyarakat 1. Seorang ahli Farmasi harus mampu sebagai suri teladan ditengah-tengah masyarakat. 2. Seorang ahli Farmasi Indonesia dalam pengabdian profesinya memberikan semaksimal mungkin pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. 3. Seorang ahli Farmasi Indonesia harus selalu aktif mengikuti perkebangan peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan khususnya dibidang farmasi. 4. Seorang ahli Farmasi Indonesia harus selalu melibatkan diri dalam usaha-usaha pembangunan Nasional khususnya dibidang kesehatan. 5. Seorang ahli Farmasi harus mampu sebagai pusat informasi sesuai bidang profesinya kepada masyarakat dalam pelayanan kesehatan. Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 12
15 E. Kewajiban Ahli Farmasi Indonesia terhadap Profesi Kesehatan lainnya 1. Seorang ahli Farmasi Indonesia senantiasa harus menjalin kerjasama yang baik, saling percaya, menghargai dan menghormati terhapa profesi kesehatan lainnya. 2. Seorang ahli Farmasi Indonesia harus mampu menghindarkan diri terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan, menghilangkan kepercayaan, penghargaan masyarakat terhadap profesi lainnya. Tujuan Kode Etik Tenaga Teknis Kefarmasian 1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi. 2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota. 3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi. 4. Untuk meningkatkan mutu profesi. 5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi. 6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi. 7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat. 8. Menentukan baku standarnya sendiri. Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan /melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian/kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati pasien. Seseorang Asisten apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik didalam lingkungan kerjanya, bersedia menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya. Asisten apoteker harus aktif mengikuti perkembangan perundang-undangan, juga menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya dan hendaknya menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan dirinya yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 13
16 kesehatan. Sedangkan asisten apoteker membentuk ikatan profesi yang berwarna PRAFI ( Persatuan Ahli Farmasi Indonesia) yang telah ada sebelum ISFI ( ikatan sarjana farmasi Indonesia) didirikan. Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan farmasi yang beredar. Pengamanan terhadap sediaan farmasi yang berupa narkotika,psikotropika,obat keras dan bahan berbahaya,dilaksanakan secara khusus sesuai UU yang berlaku. Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan,keluarga,masyarakat,dan lingkungannya. Bahan yang mengandung zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya atau masyarakat sekelilingnya. Produksi,peredaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standard dan atau persyaratan yang ditentukan. Penetapan standar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya obat palsu. Penetapan persyaratan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan orang lain. MATERI 3. Peredaran, Penyimpanan, Pelaporan, dan Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, pada Pasal 3, 4, 5 dinyatakan bahwa peredaran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi terdiri dari penyaluran dan penyerahan. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan mutu. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar dari Menteri. Untuk mendapatkan izin edar Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud harus melalui pendaftaran Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 14
17 pada BPOM dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor.3 Tahun 2015, pada pasal 1 telah dijelaskan beberapa pengertian sebagai berikut : 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang Narkotika. 2. Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 3. Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine / phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor.3 Tahun 2015, pasal 15 mengatur tentang Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi oleh Industri Farmasi kepada PBF hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi pemilik izin edar. Sedangkan Pasal 16, berisi uraian sebagai berikut 1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan untuk kebutuhan penelitian dan pengembangan. Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 15
18 2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk penyaluran kepada Instalasi Farmasi Pemerintah, surat pesanan dapat ditandatangani oleh Apoteker yang ditunjuk. 3) Dalam hal penyaluran Prekursor Farmasi dari PBF kepada Toko Obat, hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Tenaga Teknis Kefarmasian Pada Pasal 8 menyebutkan bahwa Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi wajib memenuhi Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan pada Pasal 9 menyebutkan bahwa: a. penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan berdasarkan: i. surat pesanan atau ii. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk pesanan dari Puskesmas. b. surat pesanan hanya dapat berlaku untuk masing-masing Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor Farmasi. c. surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis Narkotika. d. surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau Prekursor Farmasi. e. surat pesanan Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor Farmasi harus terpisah dari pesanan barang lain. Penyimpanan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi diatur pada Pasal 25 Ayat (1), (2), dan (3) di sebutkan bahwa : a. tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus. b. tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Narkotika. Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 16
19 c. tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Psikotropika. d. tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Prekursor Farmasi. Pasal 18 Ayat (1), (2), dan (3) menyebutkan bahwa : a. penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi. b. dalam hal penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan kepada pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian. c. penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan secara langsung sesuai dengan standara pelayanan kefarmasian. Pasal 19 Ayat (5) menyatakan bahwa Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada pasien berdasarkan resep dokter. Sedangkan Pasal 22 Ayat (3) menyatakan bahwa Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat keras kepada pasien berdasarkan resep dokter. Pasal 43 Ayat (1) dan (3) menyebutkan bahwa Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan atau, dokter praktik perorangan yang melakukan produksi, penyaluran, atau penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 17
20 Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya. Pasal 45 Ayat (6) dan (7) menyebutkan bahwa Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/ penggunaan Narkotika dan Psikotropika, setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat. Pelaporan pemasukan dan penyerahan/ penggunaan Narkotika dan Psikotropika paling sedikit terdiri atas: a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/ atau Prekursor Farmasi b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan c. jumlah yang diterima d. jumlah yang diserahkan Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan Obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor.3 Tahun 2015, pasal 37 mengatur tentang Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dimana pemusnahan hanya dilakukan dalam hal: Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 18
21 a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat diolah kembali; b. telah kadaluarsa; c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan; d. dibatalkan izin edarnya; atau e. berhubungan dengan tindak pidana. Pasal 40 menyatakan bahwa Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan menyampaikan surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada: 1. Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, bagi Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat; 2. Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Importir, Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi; atau 3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau Toko Obat. b. Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi. c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b. Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 19
22 d. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku, produk antara, dan produk ruahan harus dilakukan sampling untuk kepentingan pengujian oleh petugas yang berwenang sebelum dilakukan pemusnahan. e. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan pemusnahan. Pasal 42 Ayat (1), (2), dan (3) menyebutkan bahwa: 1) Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan yang melaksanakan pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus membuat Berita Acara Pemusnahan. 2) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat: a. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; b. tempat pemusnahan; c. nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan; d. nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/sarana tersebut; e. nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dimusnahkan; f. cara pemusnahan; dan g. tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan dan saksi. 3) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai. Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 20
23 Selain obat resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep, dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 Tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 889 tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor.3 Tahun 2015 tentang Peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor.35 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor.72 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor.73 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 21
24 Modul 004 Peraturan Perundang-undangan Kefarmasian 22
2015, No.74 2 Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 T
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.74, 2015 KEMENKES. Narkotika. Psikotropika. Prekursor Farmasi. Pelaporan. Pemusnahan. Penyimpanan. Peredaran. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK
BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN PELAPORAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinci2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144
No.206, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinci2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot
No.906, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Kefarmasian. Puskesmas. Standar Pelayanan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK DENGAN
Lebih terperinci2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (
No.276, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Apotek. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan citacita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Menurut Undang-undang Republik
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 58 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT
Lebih terperinciPERATURAN PERUNDANGAN PRAKTEK APOTEKER
PERATURAN PERUNDANGAN PRAKTEK APOTEKER Oleh Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya Disampaikan pada pertemuan Korwil PC Surabaya Tanggal 9,16 dan 23 April
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas kehidupan manusia. Pembangunan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPEKERJAAN KEFARMASIAN
PEKERJAAN KEFARMASIAN Makalh ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Undang-undang dan Etika Farmasi Di Susun Oleh : Kelompok VII A Finti Muliati : 14340104 Yolanta Mogi Rema : 14340105 Nora Novita
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak paling mendasar yang harus dipenuhi setiap orang dalam mencapai kesejahteraan sosial dalam masyarakat. Menurut World Health Organization (WHO),
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap masyarakat berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan terbaik bagi dirinya. Pengertian kesehatan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS DENGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan terus meningkat seiring perkembangan zaman. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat senantiasa diupayakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu tujuan dari pembangunan suatu bangsa. Kesehatan sendiri adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan aksesibilitas,
Lebih terperinciPeraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi.
Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi. Mengapa Perlu peraturan mengenai praktik kefarmasian Perangkat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, manfaat, perlindungan dan diarahkan untuk dapat meningkatkan
Lebih terperincisatu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia adalah kesehatan. Berdasarkan
Lebih terperinciAspek legal. untuk pelayanan kefarmasian di fasilitas kesehatan. Yustina Sri Hartini - PP IAI
Aspek legal penggunaan TIK untuk pelayanan kefarmasian di fasilitas kesehatan Yustina Sri Hartini - PP IAI Disampaikan dalam Annual Scientific Meeting Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta, 23 Maret 2017
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia dan kebutuhan hidup yang diwujudkan dan dilaksanakan dalam mencapai kesejahteraan kehidupan dalam masyarakat. Menurut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti dimaksud dalam Pancasila
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesejahteraan manusia tidak pernah terlepas dari kesehatan. Kesehatan merupakan keadaan yang sehat secara fisik, mental, spiritual dan sosial yang memungkinkan setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu unsur kesejahteraan dan hak asasi manusia adalah kesehatan. Kesehatan merupakan salah satu aspek yang harus dipenuhi karena termasuk kebutuhan pokok manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pada umumnya, mulai memperhatikan kesehatannya dengan cara mengatur pola makan serta berolahraga secara teratur. Kesadaran mengenai pentingnya kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha untuk mewujudkan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan merupakan visi dari Kementerian Kesehatan RI dan telah dirumuskan dalam UU RI No. 36 tahun 2009
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1010/MENKES/PER/XI/2008 TENTANG REGISTRASI OBAT
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1010/MENKES/PER/XI/2008 TENTANG REGISTRASI OBAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak memenuhi persyaratan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan setiap umat manusia karena aktivitasnya dapat terhambat apabila kondisi kesehatan tidak baik.
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk implementasi pengaturan
Lebih terperinciNomor : 1332/MENKES/SK/X/2002 TENTANG NOMOR. 922/MENKES/PER/X/1993
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 1332/MENKES/SK/X/2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NOMOR. 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia dalam melakukan segala aktivitas dengan baik dan maksimal yang harus diperhatikan salah satu hal yaitu kesehatan. Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia
Lebih terperinciBERITA NEGARA. No.1104, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pedoman. Prekursor Farmasi. Obat. Pengelolaan.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1104, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pedoman. Prekursor Farmasi. Obat. Pengelolaan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinci2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang
No.307, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Keperawatan. Pelayanan. Praktik. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5612) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciDUKUNGAN PEMERINTAH DALAM PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN
DUKUNGAN PEMERINTAH DALAM PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN Andrie Fitriansyah D I S A M PA I K A N PA D A : P E RT E M U A N P E N I N G K ATA N MUTU P E L AYA N A N K E FA R M A S I A N G O R O
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian kesehatan menurut Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No.36 tahun 2009 yaitu keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang sangat penting bagi setiap orang. Tanpa adanya kesehatan yang baik, setiap orang akan mengalami kesulitan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan, dimana kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendukung dan mempengaruhi pekerjaan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TAHUN 2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TAHUN 2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakikatnya kesehatan adalah hak dasar yang senantiasa dimiliki oleh setiap manusia, tak terkecuali seluruh rakyat Indonesia. Menurut Undang - Undang Republik
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN, Menimbang : a. bahwa pengaturan tentang Industri Farmasi yang komprehensif
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT
PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT
PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.1128, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Perekam Medis. Pekerjaan. Penyelenggaraan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN
Lebih terperinci1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap mahluk hidup didunia memiliki hak untuk hidup sehat. Kesehatan merupakan suatu keadaan dimana tubuh dan jiwa yang tiap orang miliki mampu melakukan kegiatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan yang esensial dari setiap individu, keluarga, dan masyarakat. Kesehatan juga merupakan perwujudan dari tingkat kesejahteraan suatu masyarakat
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1191/MENKES/PER/VIII/2010 TENTANG PENYALURAN ALAT KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang penting dan menjadi hak semua orang. Kesehatan yang dimaksud tidak hanya sekedar sehat secara fisik atau jasmani, tetapi juga secara mental,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009, kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang paling penting dan utama dalam kehidupan. Dengan menjaga kesehatan, manusia dapat memenuhi pekerjaan atau aktivitas sehari-hari dengan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah mempunyai standar dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya perkembangan dan perubahan pola hidup pada manusia (lifestyle) dapat berdampak langsung salah satunya pada kesehatan, sehingga kesehatan menjadi salah satu hal
Lebih terperinciBUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG IZIN PRAKTIK PERAWAT
BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG IZIN PRAKTIK PERAWAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : Mengingat : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 889/MENKES/PER/V/2011 TENTANG REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN IZIN KERJA TENAGA KEFARMASIAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 889/MENKES/PER/V/2011 TENTANG REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN IZIN KERJA TENAGA KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
Lebih terperinciPEDAGANG BESAR FARMASI. OLEH REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt
PEDAGANG BESAR FARMASI OLEH REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt Obat / Bahan Obat Ketersediaan Keterjangkauan Konsumen Aman Mutu Berkhasiat PBF LAIN PBF: Obat BBF INDUSTRI FARMASI 2 DASAR HUKUM Undangundang UU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara dengan status kesehatan yang masih tergolong rendah. Hal ini dapat disebabkan kurangnya kepedulian dan pemahaman masyrakat Indonesia akan
Lebih terperinciMAKALAH FARMASI SOSIAL
MAKALAH FARMASI SOSIAL KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DENGAN ASUHAN KEFARMASIAN DAN KESEHATAN DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 DIANSARI CITRA LINTONG ADE FAZLIANA MANTIKA JURUSAN FARMASI FAKULTASMATEMATIKA DAN ILMU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak asasi yang salah satunya adalah kesehatan. Pengertian dari kesehatan tidak hanya sebatas sehat secara jasmani dan rohani, namun sehat
Lebih terperincia. bahwa apotek dan pedagang eceran obat merupakan pelayanan kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh swasta;
BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2006 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK DAN PEDAGANG ECERAN OBAT (TOKO OBAT) WALIKOTA BOGOR, Menimbang: a. bahwa
Lebih terperinciTUJUAN. a. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian. b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
TUJUAN a. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan c. Melindungi pasiean dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan
Lebih terperinciBAB 11: PERBEKALAN FARMASI
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 FARMASI BAB 11: PERBEKALAN FARMASI Nora Susanti, M.Sc, Apk KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2016 BAB XI PERBEKALAN
Lebih terperinciBUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2015
BUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2015 IZIN PENYELENGGARAAN SARANA KESEHATAN DAN IZIN TENAGA KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciJalur Distribusi Obat
Jalur Distribusi Obat Berikut jalur distribusi obat: Apotik &Toko Obat Apotik & Toko Obat Pedagang Besar Farmasi RS dan Puskesmas Industri Registrasi BPOM Izin Edar Pedagang Eceran Dokter yg pny SIMO PBF
Lebih terperinciStabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit
Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia karena tanpa kesehatan yang baik, maka setiap manusia akan sulit dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sumber daya manusia yang baik dan berkualitas diperoleh dari tubuh yang sehat. Kesehatan sendiri merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan semakin berkembangnya zaman, pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan juga meningkat. Menurut Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN. Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG IZIN APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN I. U M U M Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
Lebih terperinciKode Etik Dokter, Perawat, dan Tenaga Kesehatan Lainnya di RS Tipe A
Kode Etik Dokter, Perawat, dan Tenaga Kesehatan Lainnya di RS Tipe A Oleh Auliyaa Rahmah Meyliana Primavita Asharie Pembimbing dr. Cort Darby Tombokan, SH, Sp.F Kode Etik Profesi Menurut Undang undang
Lebih terperinci2 1. Pelayanan Kesehatan Tradional Empiris adalah penerapan kesehatan tradisional yang manfaat dan keamanannya terbukti secara empiris. 2. Pelayanan K
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.369, 2014 KESRA. Kesehatan. Tradisional. Pelayanan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5643) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan setiap manusia dan menjadi suatu hal yang penting untuk dapat menjalankan segala bentuk aktifitas sehari-hari dengan baik. Menurut Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan penting dari setiap manusia. Hidup sehat bukan hanya tujuan dari setiap individu melainkan juga tanggung jawab dan tujuan dari setiap
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 889/MENKES/PER/V/2011
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 889/MENKES/PER/V/2011 TENTANG REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN IZIN KERJA TENAGA KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat pada umumnya semakin sadar akan pentingnya kesehatan dalam kehidupan. Kesehatan merupakan salah satu kunci utama bagi seseorang dalam melaksanakan
Lebih terperinci2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Nega
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2017 KEMENKES. Standar Pelayanan Kefarmasian Apotek. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciLAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan dalam masyarakat biasanya dilakukan dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan menentukan mutu kehidupan dalam pembangunan nasional. Menurut World Health Organization (WHO),
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.729, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Permohonan. Hasil Pengawasan. Impor. Ekspor. Narkotika. Persyaratan. Tata Cara. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEPERAWATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEPERAWATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan kesejahteraan umum sebagai
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG KESEHATAN NO. 36 TH. 2009
UNDANG-UNDANG KESEHATAN NO. 36 TH. 2009 Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN PEREKAM MEDIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN PEREKAM MEDIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk menunjang kesehatannya. Semua orang rela mengeluarkan uangnya untuk mendapatkan kesehatan, bahkan
Lebih terperinciPengelolaan Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi. Pelatihan Napza Prekursor - IAI Kota Surabaya Oleh BBPOM Surabaya, 09-April-17
Pengelolaan Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi Pelatihan Napza Prekursor - IAI Kota Surabaya Oleh BBPOM Surabaya, 09-April-17 RUANG LINGKUP Prekursor Farmasi Ephedrine Ergometrine
Lebih terperinciHERU SASONGKO, S.FARM.,APT.
HERU SASONGKO, S.FARM.,APT. PROFESI FARMASI DI MASYARAKAT 4/1/2013 2 SWOT ANALYSIS KEKUATAN : KECENDERUNGAN MAYORITAS WANITA BASIC KNOWLEDGE YANG DAPAT DIANDALKAN REGULASI YANG MENYANGKUT PROFESI FARMASI
Lebih terperinciLAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIK MENTERI KESEHATAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIK MENTERI KESEHATAN Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pelayanan apotik harus diusahakan agar
Lebih terperinci