BAB V PEMBAHASAN. V.1 Komposisi Maseral Seam S

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V PEMBAHASAN. V.1 Komposisi Maseral Seam S"

Transkripsi

1 BAB V PEMBAHASAN V.1 Komposisi Maseral Seam S Dari hasil analisis maseral Seam S menunjukkan adanya kemiripan komposisi pada ketiga lokasi, dimana grup maseral yang paling dominan adalah vitrinite ( Ratarata pada lokasi 1 : 86,0%, lokasi 2 : 85,6% dan lokasi 3 : 77,6%), sedangkan maseral yang lain dijumpai hanya dalam jumlah kecil yaitu inertinite ( Ratarata pada lokasi 1 : 4,3%, lokasi 2 : 4,7% dan lokasi 3 : 10,5% ) serta liptinite ( Ratarata pada lokasi 1 : 2,4%, lokasi 2 : 5% dan lokasi 3 : 4%). V.1.1 Komposisi Maseral Seam S Lokasi 1 Pada lokasi 1 (Lapisan LandaiSB), subgrup maseral pada batubara yang paling dominan adalah telovitrinite dengan persentase kandungan mulai dari 40,4% sampai 73,8%. Tipe maseral yang dominan adalah telocolinite (13,6% 63,6%) dengan persentase kandungan lebih besar dari textinite (0% 20,6%) kecuali pada bagian atas seam (sampel SB1) dijumpai kandungan textinite (60,2%) lebih besar dari telocolinite (13,6%). Telocolinite adalah sisa sisa jaringan tumbuhan yang berasal dari batang, ranting, daun dan akar berbentuk fragmen fragmen besar yang tergelifikasi lemah dan langsung terawetkan ketika akumulasi gambut berlangsung (Falcon and Snyman, 1986), sedangkan textinite tidak mengalami gelifikasi sehingga masih memperlihatkan dinding dinding sel dari jaringan tumbuhan. Tingginya kandungan telocolinite dibanding textinite dengan nilai yang bervariasi (ratarata 40,10%) pada hampir seluruh sampel menandakan bahwa material pembentuk Seam S telah mengalami gelifikasi walaupun tidak secara intensif (lemah) sehingga terawetkan dalam kondisi gambut yang lembab namun tidak tergenangi oleh air. Hal ini disebabkan oleh kondisi rawa gambut selalu lembab namun cenderung tidak digenangi air yang diduga sebagai akibat dari naik turunnya muka air secara fluktuatif pada rawa gambut. Bab V 62

2 Kandungan detrovitrinite (17,4% 40,2%) dan gelovitrinite (0% 0,4%) didapati lebih kecil dari telovitrinite. Sub grup maseral detrovitrinite terdiri dari tipe maseral densinite (ratarata 18,7%) dan desmocolinite (ratarata 8,17%) dengan kandungan yang bervariasi secara vertikal. Densinite adalah komponen yang diyakini berasal dari tumbuhan perdu dan kayu yang mudah terdekomposisi dengan tingkat gelifikasi yang masih rendah (M.Teichmüller and R. Teichmüller, 1989). Sedangkan desmocolinite adalah maseral yang terutama tersusun oleh sisasisa tumbuhan yang berasal dari jaringan tumbuhan yang terurai menjadi butiran halus baik secara insitu maupun selama transportasi ketempatnya diendapkan (Falcon and Snyman, 1986). Proporsi desmocolinite yang rendah dibanding densinite pada seluruh sampel dapat menandakan bahwa proses gelifikasi dan proses penghancuran / penguraian material tumbuhan oleh bakteri tidak berlangsung intensif, sehingga material tumbuhan akan terawetkan. Subgrup maseral gelovitrinite yang ditunjukkan oleh corpogelinite dengan persentase sangat rendah pada seluruh sampel (ratarata 0,50%) menunjukkan bahwa pengaruh proses gelifikasi tidak begitu signifikan. Grup maseral inertinite didominasi oleh semifusinite (ratarata 2,05%) dan sclerotinite (ratarata 1,73%), sementara fusinite hadir dengan proporsi rendah sekali (ratarata 0,50%). Maseral inertinite merupakan komponen yang mengalami oksidasi akibat berkurangnya kelembaban gambut. Kandungan maseral ini yang relatif rendah dapat mengindikasikan bahwa batubara berasal dari lingkungan pengendapan yang cenderung basah dan tingkat oksidasi yang rendah (Stach et.al., 1982). Dari hal ini, maka dapat ditunjukkan bahwa kondisi kelembaban gambut pada saat terbentuknya Seam S pada lokasi 1 selalu terjaga dengan baik. Kandungan grup maseral liptinite yang dijumpai pada seluruh sampel sangat rendah dengan variasi vertikal tidak teratur yang didominasi secara berurutan oleh resinite (ratarata 1,45%), liptodetrinite (ratarata 0,80%), cutinite (ratarata 0,38%), sporinite (ratarata 0,23%), suberinite (ratarata 0,13%) dan alginite (ratarata 0,05%). Rendahnya kandungan liptinite membuktikan bahwa batubara terbentuk dari tumbuhan berkayu secara signifikan. Bab V 63

3 Kandungan mineral dijumpai dengan variasi tidak teratur secara vertikal dan jumlahnya relatif rendah, dimana komponen terbesar adalah mineral pirit (ratarata 3,35% ), mineral karbonat (rata rata 2,25%) kemudian mineral lempung (ratarata 1,33%). V.1.2 Komposisi Maseral Seam S Lokasi 2 Pada lokasi 2 (Lapisan CuramST), subgrup maseral pada batubara yang paling dominan adalah telovitrinite dengan persentase kandungan mulai dari 11,6% 65,2%. Tipe maseral yang dominan adalah telocolinite (10,8% 61%) dengan persentase kandungan lebih besar dari textinite (0% 27,6%) kecuali pada sampel ST2 dimana kandungan textinite (28%) lebih besar dari telocolinite (22,6%). Telocolinite adalah sisa sisa jaringan tumbuhan yang berasal dari batang, ranting, daun dan akar berbentuk fragmen fragmen besar yang tergelifikasi lemah dan langsung terawetkan ketika akumulasi gambut berlangsung (Falcon and Snyman, 1986), sedangkan textinite tidak mengalami gelifikasi sehingga masih memperlihatkan dinding dinding sel dari jaringan tumbuhan. Tingginya Kehadiran kandungan telocolinite dibanding textinite dengan nilai yang bervariasi (ratarata 38,81%) pada hampir seluruh sampel menandakan bahwa material pembentuk Seam S telah mengalami gelifikasi walaupun tidak secara intensif sehingga terawetkan dalam kondisi gambut yang lembab namun tidak tergenangi oleh air. Hal ini disebabkan oleh kondisi rawa gambut cenderung lembab namun tidak digenangi air yang diduga sebagai akibat dari naik turunnya muka air secara fluktuatif pada rawa gambut. Kandungan detrovitrinite (21,6% 32,8%) dan gelovitrinite (0,4% 4%) didapati lebih kecil dari kandungan telovitrinite kecuali pada sampel ST4 dan ST8 memiliki kandungan detrovitrinite lebih besar dari telovitrinite yaitu 40,4% dan 58,8%. Sub grup maseral detrovitinite terdiri dari tipe maseral densinite (ratarata 30,09%) dan desmocolinite (ratarata 4,38%) dengan kandungan yang bervariasi secara vertikal. Densinite adalah komponen yang diyakini berasal dari tumbuhan perdu dan kayu yang mudah terdekomposisi dengan tingkat gelifikasi yang masih rendah (M.Teichmüller and R. Teichmüller, 1989). Sementara desmocolinite Bab V 64

4 adalah maseral yang terutama tersusun oleh sisasisa tumbuhan yang berasal dari jaringan tumbuhan yang teurai menjadi butiran halus baik secara insitu maupun selama transportasi ketempatnya diendapkan (Falcon and Snyman, 1986). Proporsi desmocolinite yang rendah dibanding densinite pada seluruh sampel dapat menandakan bahwa proses gelifikasi dan proses penghancuran / penguraian material tumbuhan oleh bakteri tidak berlangsung intensif, sehingga material tumbuhan akan terawetkan. Subgrup maseral gelovitrinite yang ditunjukkan oleh corpogelinite dengan persentase sangat rendah pada seluruh sampel (ratarata 2,14%) menunjukkan bahwa pengaruh proses gelifikasi tidak begitu signifikan. Grup maseral inertinite terdiri dari semifusinite (ratarata 2,23%), sclerotinite (ratarata 1,90%) dan inertodetrinite (ratarata 0.58%). Maseral inertinite merupakan komponen yang mengalami oksidasi akibat berkurangnya kelembaban gambut. Kandungan maseral ini yang relatif rendah dapat mengindikasikan bahwa batubara berasal dari lingkungan pengendapan yang basah dan tingkat oksidasi yang rendah (Stach et.al., 1982), sehingga dapat menunjukkan bahwa kondisi kelembaban gambut pada saat terbentuknya Seam S pada lokasi 2 selalu terjaga dengan baik. Kandungan grup maseral liptinite adalah sangat kecil dengan variasi vertikal tidak teratur yang didominasi secara berurutan oleh resinite (ratarata 3,0%), cutinite (ratarata 0,63%), liptodetrinite (ratarata 0,40%), alginite (ratarata 0,33%), sporinite (ratarata 0,25%), exudatinite (ratarata 0,25%) dan suberinite (ratarata 0,08%). Rendahnya kandungan liptinite membuktikan bahwa batubara terbentuk dari tumbuhan berkayu secara signifikan. Kandungan mineral dijumpai dengan variasi tidak teratur secara vertikal dan jumlahnya relatif rendah, dimana komponen terbesar adalah mineral lempung (ratarata 2,80%) kemudian pirit (ratarata 1,55% ). Bab V 65

5 V.1.3 Komposisi Maseral Seam S Lokasi 3 Pada lokasi 3 (Daerah SesarSS), sub grup maseral pada batubara yang paling dominan adalah telovitrinite dengan persentase kandungan mulai dari 39% sampai 66,4%. Tipe maseral yang dominan adalah telocolinite (5164%) dengan persentase kandungan lebih besar dari textinite (0% 5%). Tingginya kehadiran kandungan telocolinite dibanding textinite dengan nilai yang bervariasi (ratarata 57,83%) pada hampir seluruh sampel menandakan bahwa material pembentuk Seam S telah mengalami gelifikasi lemah dan terawetkan dalam kondisi gambut yang lembab namun tidak tergenangi oleh air. Kandungan detrovitrinite (14,4% 37,8%) dan gelovitrinite (0% 3%) didapati lebih kecil dari telovitrinite. Sub grup maseral detrovitinite terdiri dari tipe maseral densinite (ratarata 17,57%), desmocolinite (ratarata 5,70%) dan sedikit terdapat atrinite (ratarata 2,27%). Atrinite dan densinite adalah komponen yang diyakini berasal dari tumbuhan perdu dan kayu yang mudah terdekomposisi dengan tingkat gelifikasi yang masih rendah (M.Teichmüller and R. Teichmüller, 1989). Sementara desmocolinite adalah maseral yang terutama tersusun oleh sisasisa tumbuhan yang berasal dari jaringan tumbuhan yang terurai menjadi butiran halus baik secara insitu maupun selama transportasi ketempatnya diendapkan (Falcon and Snyman, 1986). Proporsi desmocolinite yang rendah dibanding atrinite dan densinite pada seluruh sampel dapat menandakan bahwa proses gelifikasi dan proses penghancuran / penguraian material tumbuhan oleh bakteri tidak berlangsung intensif, sehingga material tumbuhan akan terawetkan. Subgrup maseral gelovitrinite yang ditunjukkan oleh corpogelinite dengan persentase sangat rendah pada seluruh sampel (ratarata 1,10%) menunjukkan bahwa pengaruh proses gelifikasi tidak begitu signifikan. Namun demikian tingginya kandungan telocolinite pada seluruh sampel menandakan bahwa proses gelifikasi tetap terjadi walaupun tidak secara intensif (lemah). Grup maseral inertinite terdiri dari semifusinite (ratarata 4,53%), sclerotinite (ratarata 4,10%) dan inertodetrinite (ratarata 1,73%). Maseral inertinite merupakan komponen yang mengalami oksidasi akibat berkurangnya kelembaban Bab V 66

6 gambut. Bila kandungan maseral ini relatif rendah dapat mengindikasikan bahwa batubara berasal dari lingkungan pengendapan yang relatif basah dan tingkat oksidasi yang rendah (Stach et.al., 1982). Kehadiran maseral inertinite yang ditunjukkan oleh tipe maseral semifusinite, sclerotinite (fungi) dan inertodetrinite yang lebih banyak pada bagian bawah seam diduga terjadi akibat peningkatan proses oksidasi akibat berkurangnya kelembaban gambut, masuknya material luar akibat kebakaran hutan dan proses biokimia oleh bakteri dan jamur (fungi). Sedangkan kehadiran inertodetrinite merupakan indikasi bahwa maseral mengalami transportasi kembali oleh air ataupun angin setelah sebelumnya terendapkan dan mengalami pembusukan oleh jamur. Pada kondisi ini, aktivitas jamur merupakan faktor penting dalam proses perubahan matrik organik menjadi humus (humifikasi). Kandungan grup maseral liptinite pada lokasi 3 sangat kecil dengan variasi vertikal tidak teratur yang didominasi secara berurutan oleh resinite (ratarata 2,53%), liptodetrinite (ratarata 0,53%), cutinite (ratarata 0,43%), suberinite (ratarata 0,40%), sporinite (ratarata 0,13%) dan alginite (ratarata 0,10%). Rendahnya kandungan liptinite membuktikan bahwa batubara terbentuk dari tumbuhan berkayu secara signifikan. Kandungan mineral dijumpai dengan variasi tidak teratur secara vertikal dan jumlahnya relatif rendah,, dimana komponen terbesar adalah mineral pirit (ratarata 4,57%), mineral lempung (ratarata 2,93%) kemudian mineral karbonat (ratarata 0,40%). Pada Gambar V.1 ditunjukkan bahwa komposisi maseral vitrinite pada lokasi 1,2 dan 3 memperlihatkan pola yang relatif sama walaupun memperlihatkan variasi tidak teratur secara vertikal, dimana kandungan vitrinite dari bagian bawah sampai bagian atas seam menunjukkan persentase yang tidak berbeda jauh. Vitrinite adalah bahan utama penyusun batubara di Indonesia (>80%). Bab V 67

7 Komposisi Maseral Lokasi 1 ( Sampel SB ) Komposisi Maseral Lokasi 2 ( Sampel ST ) SB 1 SB 2 SB 3 SB 5 SB 6 SB 7 SB9 SB11 ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 ST 6 ST 7 ST Vitrinite Liptinite Inertinite Vitrinite Liptinite Inertinite Komposisi Maseral Lokasi 3 ( Sampel SS ) SS 1 SS 3 SS 5 SS 6 SS 7 SS Vitrinite Liptinite Inertinite Gambar V.1 Komposisi maseral Seam S pada lokasi 1,2 dan 3 Grup maseral vitrinite pada ketiga lokasi didominasi oleh subgrup maseral telovitrinite yang selalu lebih besar dari detrovitrinite dan gelovitrinite. Hal ini merupakan indikasi bahwa seam S terutama terbentuk dari jenis tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody tissues) seperti batang, dahan, akar dan serat daun. Asumsi ini dapat didukung oleh perbandingan komposisi maseral yang berasal dari tumbuhan kayu dan perdu pada Seam S di lokasi 1,2 dan 3 (Gambar V.2). Sementara maseral liptinite dan inertinite pada ketiga lokasi tidak memperlihatkan pola yang teratur dan kandungannya relatif kecil dibandingkan vitrinite. Maseral yang diinterpretasikan berasal dari tumbuhan kayu ditunjukkan oleh kandungan telovitrinite, fusinite dan semifusinite yang tinggi. Dalam hal ini, suberinite dan resinite adalah sebagai maseral penyerta. Sementara maseral yang diinterpretasikan berasal dari tumbuhan perdu ditunjukkan oleh detrovitrinite, inertodetrinite, liptodetrinite, alginite, sporinite dan cutinite (Teichmüller, 1989). Bab V 68

8 Komposisi Maseral asal Kayu dan Perdu Lokasi 1 Komposisi Maseral asal Kayu dan Perdu Lokasi 2 SB 1 SB 2 Tumbuhan Perdu Tumbuhan Kayu ST 1 ST 2 Tumbuhan Perdu Tumbuhan Kayu Sampel (ply) SB 3 SB 5 SB 6 SB 7 SB9 SB11 Sampel (ply) ST 3 ST 4 ST 6 ST 7 ST Komposisi (%) Komposisi (%) Komposisi Maseral asal kayu dan Perdu Lokasi 3 SS 1 SS 3 Tumbuhan Perdu Tumbuhan Kayu Sampel (ply) SS 5 SS 6 SS 7 SS Komposisi (%) Gambar V.2 Komposisi maseral Seam S asal kayu dan perdu pada lokasi 1,2 dan 3 Pada gambar V.2 terlihat secara vertikal seluruh sampel lokasi 1,2 dan 3 terbentuk dari tumbuhan kayu yang jauh lebih besar dibandingkan tumbuhan perdu. Hal ini dapat mengindikasikan kondisi rawa gambut adalah oligotrophic yang diduga kuat sering mengalami perubahan muka air secara fluktuatif berdasarkan proporsi kehadiran tumbuhan kayu dan perdu yang memperlihatkan pola bervariasi. Secara keseluruhan kandungan mineral matter pada ketiga lokasi adalah juga rendah serta memperlihatkan variasi yang tidak teratur secara vertikal (Gambar V.3). Hal ini dapat disebabkan oleh tidak stabilnya kondisi cekungan atau terjadinya banjir besar atau transgresi sehingga mengakibatkan sering terjadinya perubahan lingkungan / naik turunnya muka air pada rawa gambut secara bergantian yang dicerminkan oleh bervariasinya komposisi mineral matter serta dibuktikan dengan kehadiran beberapa parting pada lapisan batubara secara vertikal (Bab IV : Gambar IV.1 IV.3). Bab V 69

9 SB1 ST1 SB2 SB3 SB5 SB6 SB7 SB9 ST2 ST3 ST4 ST6 ST7 SB11 ST Kandungan Mineral (%) Mineral matter Lempung Pirit Karbonat Kandungan Mineral (%) Mineral matter Lempung Pirit Karbonat Lokasi 1 (Lapisan Landai) Lokasi 2 (Lapisan Curam) SS1 SS3 SS5 SS6 SS7 SS Kandungan Mineral (%) Mineral matter Lempung Pirit Karbonat Lokasi 3 (Daerah Sesar) Gambar V.3 Diagram kandungan mineral matter (%) Seam S lokasi 1, 2 dan 3 V.2 Interpretasi Lingkungan Pengendapan Seam S Dalam menentukan lingkungan pengendapan Seam S, sampel diambil dari 3 (tiga) titik lokasi, yaitu : lokasi 1 pada lapisan landai, lokasi 2 pada lapisan curam dan lokasi 3 pada daerah sesar. Parameter yang digunakan dalam menginterpretasikan lingkungan pengendapan batubara adalah nilai TPI dan Bab V 70

10 GI yang kemudian diplot pada diagram TPI GI dari C.F.K Diessel (1986) serta parameter lain yang diperkenalkan oleh Calder (1991) yaitu pengaruh air tanah (GWI) dan indeks vegetasi (VI) untuk mengetahui tipe gambut (rheotrophic, mesotrophic dan ombrotrophic) yang secara tidak langsung mencerminkan faktor kelembaban, konsentrasi ion hidrogen (ph), suplai makanan dan aktifitas bakteri pada suatu rawa gambut. Komposisi maseral dan mineral pada lapisan batubara di lokasi 1 (lapisan landai), lokasi 2 (lapisan curam) dan lokasi 3 (daerah sesar) yang bervariasi secara vertikal cenderung memperlihatkan perubahan kondisi pada rawa gambut yang ditunjukkan oleh bervariasinya nilai TPI, GI, VI dan GWI. V.2.1 Lingkungan Pengendapan Seam S Lokasi 1 Hasil perhitungan TPI Seam S pada lokasi 1 menunjukkan nilai yang bervariasi secara vertikal dan umumnya relatif tinggi ke bagian atas seam yaitu antara 1,46 sampai 2,92. Nilai TPI yang tinggi (>1), selain dapat menunjukkan tingginya persentase kehadiran tumbuh tumbuhan kayu (dalam hal ini ditunjukkan dengan banyaknya persentase telovitrinite : tipe maseral telocolinite) juga menunjukkan jaringan tumbuhan yang terawetkan dengan baik. Nilai GI Seam S pada lokasi 1 cenderung memperlihatkan trend yang tidak beraturan dari bagian bawah ke atas namun pada umumnya menunjukkan nilai yang semakin besar ke bagian atas seam. Nilai GI yang cukup tinggi pada sampel menunjukkan bahwa proses oksidasi tidak berlangsung dominan yang ditunjukkan oleh rendahnya kandungan inertinite dan selalu terjaganya kelembaban gambut. Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini semakin besar harga GI menunjukkan tingkat oksidasi yang semakin kecil. Dengan demikian terlihat bahwa tingkat gelifikasi (kondisi reduksi) semakin bertambah pada bagian atas seam. Bab V 71

11 Tabel V.1 Hasil perhitungan nilai TPIGI dan VIGWI Seam S pada lokasi 1 LOKASI 1 LAPISAN LANDAI Kode Sampel TPI GI VI GWI SBR SB SB SB SB4 SB SB SB SB8 SB SB10 SB SBF LOKASI 1 Gambar V.4 Plot nilai TPIGI pada diagram Diessel, 1986 untuk sampel lokasi 1 (SB) Bab V 72

12 Nilai TPI dan GI setelah diplot pada diagram Diessel (1986), menunjukkan bahwa Seam S lokasi 1 terbentuk pada stadium telmatic (SB1, SB2, SB3, SB5, SB6, SB7 SB9 dan SB11) dalam lingkungan pengendapan upper delta plain. Dari hasil perhitungan nilai VI pada semua sampel, didapati bahwa komposisi maseral yang berasal dari tumbuhan kayu lebih besar dibandingkan tumbuhan perdu, sementara nilai GWI yang didapat menunjukkan nilai yang bervariasi. LOKASI 1 Gambar V.5 Plot nilai VIGWI pada diagram Calder et.al (1991) sampel lokasi 1 (SB) Dari nilai VI dan GWI yang didapat mengindikasikan bahwa maseral tidak tergelifikasi secara intensif yang disebabkan gambut terbentuk pada kondisi Bab V 73

13 yang cenderung asam (ph rendah) dan miskin nutrisi dimana muka air tanah sejajar dengan permukaan gambut. Tipe gambut untuk Seam S pada lokasi 1 setelah diplot pada diagram Calder et.al., 1991 menunjukkan bahwa semua sampel cenderung berada pada zona bogombrotrophic. Hasil plot pada diagram Calder et.al. (1991) ini mendukung terhadap hasil plot yang telah dilakukan pada diagram Diessel (1986) dan komposisi maseral Seam S. Dalam diagram Diessel diinterpretasikan bahwa Seam S pada lokasi 1 terendapkan pada lingkungan upper delta plain yang secara langsung tidak terpengaruh air laut. Dengan demikian dalam lingkungan ini tumbuh gambut yang bersifat oligotrophic (zona bogombrotrophic) dimana permukaan gambut cenderung selalu basah dan jarang mengalami periode kemarau dengan nilai TPI dan GI relatif tinggi serta didominasi oleh subgrup maseral telovitrinite. V.2.2 Lingkungan Pengendapan Seam S Lokasi 2 Nilai TPI Seam S pada lokasi 2 umumnya menunjukkan harga yang bervariasi yaitu mulai dari 0,33 sampai 2,04. Nilai TPI yang tinggi (>1) dapat menunjukkan tingginya persentase kehadiran tumbuh tumbuhan kayu (dalam hal ini ditunjukkan dengan banyaknya persentase telovitrinite : tipe maseral telocolinite). Pada bagian bawah seam nilai TPI kecil (<1) dapat menandakan tingginya muka air tanah yang dapat meningkatkan kadar ph. Hal ini juga dibuktikan dengan tingginya proporsi tumbuhan perdu dibanding tumbuhan kayu pada sampel ST8 (Gambar V.2) dan mineral matter (Gambar V.3). Nilai GI untuk Seam S pada lokasi 2 cenderung memperlihatkan variasi yang tidak beraturan dari bagian bawah ke atas. Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini semakin besar harga GI menunjukkan tingkat oksidasi yang semakin kecil. Nilai GI yang cukup tinggi pada sampel menunjukkan bahwa proses oksidasi tidak berlangsung dominan yang ditunjukkan oleh rendahnya kandungan inertinite sehingga kelembaban gambut selalu terjaga. Bab V 74

14 Tabel V.2 Hasil perhitungan nilai TPIGI dan VIGWI Seam S pada lokasi 2 LOKASI 2 LAPISAN CURAM Kode Sampel TPI GI VI GWI STR ST ST ST ST ST5 ST ST ST STF LOKASI 2 Gambar V.6 Plot nilai TPIGI pada diagram Diessel, 1986 untuk sampel lokasi 2 (ST) Bab V 75

15 Nilai TPI dan GI setelah diplot pada diagram Diessel (1986), menunjukkan bahwa Seam S lokasi 2 terbentuk pada lingkungan pengendapan upper delta plain (ST1, ST2, ST3, ST4, ST6, ST7 dan ST8) dalam stadium telmatic. Dari hasil perhitungan Nilai VI, didapati bahwa komposisi maseral yang berasal dari tumbuhan kayu lebih besar dibandingkan tumbuhan perdu kecuali pada bagian bawah seam. Nilai GWI yang didapat juga menunjukkan angka yang rendah dengan nilai bervariasi. Hal ini mengindikasikan bahwa maseral tidak tergelifikasi secara intensif yang disebabkan gambut terbentuk pada kondisi yang cenderung asam (ph rendah) dan tidak jenuh air dimana muka air tanah sejajar dengan permukaan gambut. Tipe gambut untuk Seam S pada lokasi 2 setelah diplot pada diagram Calder et.al., 1991 menunjukkan bahwa semua sampel cenderung berada pada zona bogombrotrophic. LOKASI 2 Gambar V.7 Plot nilai VIGWI pada diagram Calder et.al (1991) sampel lokasi 2 (ST) Bab V 76

16 Hasil plot pada diagram Calder et.al. (1991) ini mendukung terhadap hasil plot yang telah dilakukan pada diagram Diessel (1986) dan komposisi maseral Seam S. Dalam diagram Diessel diinterpretasikan bahwa Seam S pada lokasi 2 terendapkan pada lingkungan upper delta plain yang secara langsung tidak terpengaruh air laut. Dengan demikian dalam lingkungan ini tumbuh gambut yang bersifat oligotrophic dimana permukaan gambut cenderung selalu basah dan jarang mengalami periode kering dengan nilai TPI dan GI relatif tinggi serta didominasi oleh maseral telovitrinite. V.2.3 Lingkungan Pengendapan Seam S Lokasi 3 Nilai TPI Seam S pada lokasi 3 umumnya menunjukkan harga yang bervariasi yaitu mulai dari 1,01 sampai 2,55. Harga TPI yang besar (>1) dapat menunjukkan tingginya persentase kehadiran tumbuh tumbuhan kayu (dalam hal ini ditunjukkan dengan banyaknya persentase telovitrinite : tipe maseral telocolinite).. Nilai GI untuk Seam S pada lokasi 3 juga cenderung memperlihatkan trend yang tidak beraturan dari bagian bawah ke atas, namun pada umumnya menunjukkan nilai yang rendah kecuali pada bagian atas seam. Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini semakin besar harga GI menunjukkan tingkat oksidasi yang semakin kecil. Dengan demikian terlihat bahwa harga GI yang rendah pada hampir dari seluruh sampel terutama bagian bawah seam (sampel SS7 dan SS8) menunjukkan tingkat gelifikasi (kondisi reduksi) berkurang karena rendahnya muka air pada cekungan dan diduga terjadi proses dekomposisi akibat proses oksidasi pada periode kering ketika terbentuknya gambut yang ditunjukkan oleh tingginya kandungan maseral inertinite yang didominasi oleh subgrup maseral semifusinite dan sclerotinite. Selanjutnya pada bagian tengah dan atas seam tingkat oksidasi berkurang yang mengindikasikan gambut terakumulasi bersamaan dengan naiknya muka air tanah yang dibuktikan dengan kehadiran telocolinite yang lebih banyak pada bagian tengah serta atas seam. Secara umum kehadiran telocolinite pada batubara dalam jumlah Bab V 77

17 besar dapat merupakan indikasi bahwa adanya keseimbangan antara muka air tanah dan suplai material organik di dalam rawa gambut (Falcon and Snyman, 1986). Tabel V.3 Hasil perhitungan nilai TPIGI dan VIGWI Seam S pada lokasi 3 LOKASI 3 DAERAH SESAR Kode Sampel TPI GI VI GWI SSR SS SS2 SS SS4 SS SS SS SS SSF LOKASI 3 Gambar V.8 Plot nilai TPIGI pada diagram Diessel, 1986 untuk sampel lokasi 3 (SS) Bab V 78

18 Nilai TPI dan GI setelah diplot pada diagram Diessel (1986), menunjukkan bahwa Seam S lokasi 3 terbentuk pada lingkungan pengendapan upper delta plain dalam stadium wet forest swamp (SS3, SS7 dan SS8) dan telmatic (SS1, SS5 dan SS6). LOKASI 3 Gambar V.9 Plot nilai VIGWI pada diagram Calder et.al (1991) sampel lokasi 3 (SS) Dari hasil perhitungan Nilai VI, didapati bahwa komposisi maseral yang berasal dari tumbuhan kayu lebih besar dibandingkan tumbuhan perdu. Nilai GWI yang didapat juga menunjukkan angka yang rendah (<1) dengan nilai bervariasi. Hal ini mengindikasikan bahwa maseral tidak tergelifikasi secara intensif yang disebabkan gambut terbentuk pada kondisi yang cenderung asam (ph rendah) dan muka air tanah relatif sejajar dengan permukaan gambut. Tipe gambut untuk Seam S pada lokasi 3 setelah diplot pada diagram Calder et.al., 1991 menunjukkan bahwa semua sampel cenderung berada pada zona bogombrotrophic. Bab V 79

19 Hasil plot pada diagram Calder et.al. (1991) ini mendukung terhadap hasil plot yang telah dilakukan pada diagram Diessel (1986) dan komposisi maseral Seam S. Dalam diagram Diessel diinterpretasikan bahwa Seam S pada lokasi 3 terendapkan pada lingkungan upper delta plain yang secara langsung tidak terpengaruh air laut. Dengan demikian dalam lingkungan ini tumbuh gambut yang bersifat oligotrophic, dimana dalam awal prosesnya diduga kuat rawa gambut mengalami periode kering yang ditunjukkan oleh nilai GI relatif rendah dan ditandai dengan tingginya kandungan maseral inertinite pada bagian bawah seam dan rendahnya kandungan mineral matter. Pada proses selanjutnya, terjadi kenaikan muka air tanah pada gambut diduga yang diduga kuat akibat pengaruh banjir besar. Lingkungan pengendapan batubara Seam S pada ketiga lokasi secara umum adalah upper delta plain. Lingkungan Upper delta plain dicirikan oleh jenis tumbuhan yang bervariasi dengan dominasi ditunjukkan oleh jenis tumbuhan berkayu sehingga akan lebih banyak struktur jaringan yang terawetkan. Sedangkan dari aspek pengaruh air tanah dan indeks vegetasi dapat disimpulkan bahwa tipe gambut Seam S adalah ombrotrophic. Sementara nilai TPI dan GI yang bervariasi pada ketiga lokasi dapat mengindikasikan bahwa rawa gambut sering mengalami episode perubahan muka air secara bergantian. V.3 Variasi Kandungan Sulfur Seam S Berdasarkan hipotesis pada penelitian ini, analisis dilakukan pada lapisan batubara di daerah bukan sesar (lapisan landai dan curam) dan lapisan batubara di daerah sesar. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan lingkungan pengendapan dan struktur geologi terhadap variasi kandungan sulfur pada batubara Seam S. V.3.1 Kandungan Sulfur Seam S pada Daerah Bukan Sesar (Lokasi 1 dan 2) Analisis kandungan sulfur batubara Seam S pada daerah bukan sesar diwakili oleh lapisan landai (Lokasi 1) dan lapisan curam (Lokasi 2). Bab V 80

20 V Kandungan Sulfur Seam S Lokasi 1 Seam S lokasi 1 terletak pada sayap antiklin palaran bagian barat yang mewakili daerah bukan sesar dengan kemiringan lapisan relatif landai. Kandungan sulfur total, sulfur sulfat, sulfur piritik dan sulfur organik pada seam lapisan landai ini memiliki nilai yang rendah dengan distribusi hampir seragam secara vertikal. Pada gambar V.10 terlihat bahwa kandungan sulfur total pada seluruh sampel memiliki persentase di bawah 1%. GRAFIK KANDUNGAN SULFUR DAN DATA CLEAT LOKASI 1 : LAPISAN LANDAI (SB) Keterangan : ST : Sulfur Total (%) SP : Sulfur Piritik (%) SS : Sulfur Sulfat (%) SO : Sulfur Organik (%) 0 Data Cleat PROFIL Jumlah Jarak 40 cm SBR SB1 SB cm = cm = 10 ; 12 cm = 7 ST (%) SP(%) SS(%) SO(%) SB cm = 13 SB4 SB cm = SB cm = 26 SB cm = 15 ; 13 cm = SB8 SB9 SB ,52 cm = SB cm = 13 SBF Gambar V.10 Kandungan Sulfur Seam S dan Data Cleat pada lokasi 1 Bab V 81

21 Dari hasil rekonstruksi lingkungan pengendapan, batubara Seam S terendapkan dalam lingkungan upper delta plain yang tidak secara langsung dipengaruhi oleh air laut dengan tipe gambutnya yakni bersifat ombrotrophic. Hal ini yang membuat kandungan sulfur dalam batubara pada Seam S cenderung rendah dikarenakan letaknya jauh dari lingkungan laut. Nilai ratarata kandungan sulfur total Seam S pada lokasi 1 ini sangat rendah yaitu 0,37%. Pada Gambar V.10 juga ditunjukkan komponenkomponen dari kandungan sulfur total yang ada pada Seam S, dimana komponen sulfur yang mendominasi adalah sulfur organik dengan ratarata 0,21%. Sementara kandungan sulfur sulfat dan sulfur piritik tidak memiliki nilai kandungan yang besar, dengan kandungan sulfur piritik (ratarata 0,11%) lebih besar dibandingkan kandungan sulfur sulfat (ratarata 0,05%). V Kandungan Sulfur Seam S Lokasi 2 Seam S lokasi 2 terletak pada sayap antiklin palaran bagian timur yang mewakili daerah bukan sesar dengan kemiringan lapisan relatif curam. Kandungan sulfur total, sulfur sulfat, sulfur piritik dan sulfur organik pada seam ini memiliki nilai yang rendah tinggi dengan distribusi tidak teratur secara vertikal. Pada gambar V.11 terlihat bahwa kandungan sulfur total pada sampel batubara memiliki persentase di bawah 1% kecuali sampel ST1 dan ST2 yang memiliki kandungan sulfur total diatas 1 %. Bab V 82

22 GRAFIK KANDUNGAN SULFUR DAN DATA CLEAT LOKASI 2 : LAPISAN CURAM (ST) Keterangan : ST : Sulfur Total (%) SP : Sulfur Piritik (%) SS : Sulfur Sulfat (%) SO : Sulfur Organik (%) 0 Data Cleat PROFIL Jumlah Jarak 40 cm STR ST (%) SP(%) SS(%) SO(%) ST1 ST2 ST cm = 21 ; 23 cm = 5 01 cm = 30;12 cm = 8;23 cm=5 12 cm = 8; 23 cm = 9; 34 cm = 3; 45 cm = ST cm = 18; 23 cm=5 300 ST5 ST cm = 12; 23 cm = 6; 34 cm = ST cm = 14; 23 cm = 9; 45 cm = ST cm = 7 ;12 cm = 7; 34 cm = 5 STF Gambar V.11 Kandungan Sulfur Seam S dan Data Cleat pada lokasi 2 Dari hasil rekonstruksi lingkungan pengendapan, batubara Seam S terendapkan dalam lingkungan upper delta plain yang tidak secara langsung dipengaruhi oleh air laut dengan tipe gambutnya yakni bersifat ombrotrophic. Hal ini yang membuat kandungan sulfur dalam batubara pada Seam S cenderung rendah dikarenakan letaknya jauh dari air laut. Nilai ratarata kandungan sulfur total Seam S pada lokasi 2 juga rendah, namun lebih tinggi dari lokasi 1 yaitu 0,84%. Bab V 83

23 Pada Gambar V.11 juga ditunjukkan komponenkomponen dari kandungan sulfur total yang ada pada Seam S, dimana komponen sulfur yang mendominasi adalah sulfur organik dengan ratarata 0,60%. Sementara kandungan sulfur sulfat dan sulfur piritik tidak memiliki nilai kandungan yang besar, dengan kandungan sulfur piritik (ratarata 0,15%) lebih besar dibandingkan kandungan sulfur sulfat (ratarata 0,04%). V.3.2 Kandungan Sulfur Seam S pada Daerah Sesar (Lokasi 3) Seam S lokasi 3 terletak pada sayap antiklin palaran bagian barat daya yang mewakili daerah sesar dengan kemiringan lapisan relatif tegak. Kandungan sulfur total, sulfur sulfat, sulfur piritik dan sulfur organik pada seam ini memiliki nilai yang lebih tinggi dari lokasi 1 dan 2 dengan distribusi tidak teratur secara vertikal. Pada gambar V.12 terlihat bahwa kandungan sulfur total pada sampel memiliki persentase di atas 1%, bahkan pada beberapa sampel (SS1, SS5 dan SS6) memiliki persentase antara 2,82% 3,58%. Dari hasil rekonstruksi lingkungan pengendapan, seharusnya lapisan batubara pada lingkungan upper delta plain memiliki kandungan sulfur yang rendah, namun secara umum nilai ratarata kandungan sulfur total Seam S pada lokasi 3 tergolong tinggi bila dibandingkan dengan lokasi 1 dan 2 yaitu 2,26%. Pada Gambar V.12 juga ditunjukkan komponenkomponen dari kandungan sulfur total yang ada pada Seam S, dimana komponen sulfur yang mendominasi adalah sulfur organik dengan ratarata 1,66%. Sementara kandungan sulfur sulfat dan sulfur piritik tidak memiliki nilai kandungan yang besar dengan kandungan sulfur piritik (ratarata 0,40%) lebih besar dibandingkan kandungan sulfur sulfat (ratarata 0,20%). Namun dibandingkan lokasi 1 dan 2, sulfur piritik dan sulfur sulfat memiliki kandungan yang lebih besar. Bab V 84

24 GRAFIK KANDUNGAN SULFUR DAN DATA CLEAT LOKASI 3 : DAERAH SESAR (SS) Keterangan : ST : Sulfur Total (%) SP : Sulfur Piritik (%) SS : Sulfur Sulfat (%) SO : Sulfur Organik (%) 0 Data Cleat PROFIL Jumlah Jarak 40 cm SSR SS cm = 35 ; 12 cm = 5 ST (%) SP(%) SS(%) SO(%) SS2 SS cm = 44 ; 12 cm = SS4 SS cm = 26 ; 11.5 cm = cm = 6 ; 23 cm = 1 SS cm = 27 ; 12 cm = SS cm = SS cm = 27 ; 12 cm = SSF Gambar V.12 Kandungan Sulfur Seam S dan Data Cleat pada lokasi 3 Berdasarkan data kandungan sulfur Seam S pada ketiga lokasi, dijumpai perbedaan pada persentase kandungan sulfur, dimana terjadi peningkatan nilai kandungan sulfur total yang cukup signifikan antara lokasi 1 (lapisan landai) dan lokasi 2 (lapisan curam) dengan lokasi 3 (daerah sesar). Hal serupa juga terjadi terhadap komponen sulfur pada ketiga lokasi, dimana terjadi peningkatan pada kandungan sulfur organik, sulfur piritik dan sulfur sulfat dengan lokasi 1 memiliki persentase terendah, diikuti oleh lokasi 2 dan kemudian persentase terbesar adalah lokasi 3. Bab V 85

25 Bab V 86

26 Sementara kondisi alkali (ph tinggi) dapat mendukung aktivitas bakteri dan penghancuran / pembusukan material tumbuhan, yang ditunjukkan oleh rendahnya struktur tanaman yang terawetkan dan nilai TPI yang lebih rendah (Gentzis and Goodarzi, 1990). Bab V 87

27 0 50 Profil Jumlah Cleat TS (%) PS (%) SS (%) OS (%) 40 cm SBR SB1 SB SB SB4 SB SB6 SB SB8 SB9 SB SB11 13 SBF Lokasi 1 Bab V 88

28 LOKASI 2 0 Profil Jumlah Cleat TS (%) PS (%) SS (%) OS (%) 40 cm STR ST1 ST2 ST ST ST5 ST ST ST STF Bab V 89

29 LOKASI 3 0 Profil Jumlah Cleat TS (%) PS (%) SS (%) OS (%) 40 cm SSR SS1 SS2 SS SS4 SS SS SS SS8 SSF 36 Bab V 90

30 Detrovitrinite berasal dari tumbuhan yang mudah terdekomposisi (kaya akan selulosa) berupa pecahan/detrital dari maseral vitrinite akibat perusakan selsel tumbuhan oleh aktivitas bakteri dan media air. Sementara Harga GI yang relatif tinggi dan harga TPI yang rendah mencerminkan lingkungan pengendapan dengan muka air tanah dan kadar ph yang tinggi. Sementara harga GI yang relatif rendah dan TPI yang tinggi mengindikasikan rendahnya muka air tanah dan kadar ph pada gambut. Dalam hal ini kondisi alkali dapat mendukung aktifitas bakteri dalam proses dekomposisi jaringan tumbuhan yang telah mati dan terpendam dalam gambut. Secara umum terdapat korelasi yang baik antara sulfur total dengan sulfur organik pada seam S, sedangkan pada korelasi antara sulfur total dengan sulfur piritik dan sulfur sulfat sangat rendah Bab V 91

31 Hal ini disebabkan oleh rendahnya suplai besi reaktif Bab V 92

32 BAHAS SB : F (lempung karbonan) terendapkan pada lingkungan lower delta plain 11 upper delta : kandungan telovitrinite dan telocolinite dominan, MM rendah (6,6%) 10 lingkungan berubah Bab V 93

33 kembali menjadi lower delta akibat proses penurunan cekungan yang diikuti oleh transgresi (genang laut) yang ditandai oleh terbentuknya lapisan batuan sedimen berupa lanau karbonan dengan ketebalan cukup besar (92 cm) dengan kandungan MM : 81,8%, dasar cekungan stabil; detrovtrinite > telovitrinite yang mengindikasikan bertambahnya energi yang masuk ke dalam cekungan akibat subsidence ; namun akibat proses sedimentasi yang relatif cepat dibandingkan penurunan cekungan,maka terjadi regresi (susut laut) dari lingk.lower delta ke lingk.transisi upper delta; 9 upper delta : Nilai TPI 1,25 (tinggi) menandakan kondisi keasaman mire tinggi sehingga menekan aktivitas bakteri; nilai GWI yang kecil (0,17) membuktikan lemahnya proses gelifikasi yang diakibatkan berkurangnya suplai air akibat susut laut yang disertai dengan pengendapan gambut secara cepat (dibuktikan pada tipisnya lapisan batubara yang terbentuk pada sampel SB9 (23 cm) 8 lower delta : parting (lempung karbonan) dengan ketebalan tipis 13 cm dan MM yang cukup tinggi 51,4 % akibat masuknya material dari luar yang diinterpretasikan sebagai akibat banjir yang cukup besar. 7,6,5 Upper delta plain : terjadi keseimbangan biotektonik dengan dasar cekungan menjadi lebih stabil yang disertai dengan pengendapan gambut. Hal ini dibuktikan dengan tebalnya lapisan batubara yang terbentuk pada ply 7,6,5, Tingginya kandungan telovitrinite dan telocolinite serta rendahnya MM mengindikasikan berkembangnya tumbuhan berkayu (dibuktikan dengan nilai VI yang tinggi (1,10 3,04) dan nilai GWI yang rendah (0,31 0,59)). 4 : diinterpretasikan terjadi banjir besar akibat curah hujan yang tinggi sehingga rawa gambut tergenangi oleh air dan dikuti masuknya sedimen sehingga membentuk parting (lanau karbonan) sebagai sisipan tipis (6 cm) pada batubara 3,2,1 upper delta plain : setelah periode banjir berakhir, perlahan rawa gambut mengering (muka air tanah relatif sejajar dengan permukaan tanah) dan diikuti oleh akumulasi gambut. Semakin tingginya kandungan vitrinite dan rendahnya kandungan inertinite menandakan kondisi gambut tetap basah sehingga oksidasi tidak terjadi (nilai GI tinggi Bab V 94

34 Plot diagram diessel Bab V 95

35 BAHAS ST : F8 Lower delta plain (Mineral Matter khususnya lempung tinggi, telovitrinite lebih rendah dibanding ply lain, densinite & desmocolinite tinggi sebagai tanda proses gelifikasi cukup kuat akibat pengaruh suplai air sehingga mire tetap terjaga lembab/ basah 7 upper delta (5 : terdapat sisipan lanau krbn sebagai parting, MM kecil) 4 upper delta. Bab V 96

36 Vitrinite mendominasi (telovitrinite & telocolinite) : indikasi bahwa tumbuhan berkayu dominan dibanding tumb.perdu (bukti didukung oleh nilai VI (kecuali pada sampel ST8 karena terbentuk pada lingk.marsh, semifusinite hadir akibat oksidasi oleh bakteri. Nilai GWI relatif kecil yang ditunjukkan oleh rendahnya jaringan tumbuhan yang tergelifikasi kuat.dari hasil perhitungan GWIVI, secara umum sampel terendapkan dalam tipe gambut ombrothrophic. BAHAS SS F Lower delta plain & 8 transisi upper delta pada zona Fen: Harga TPI rendah (< 1) ; kondisi rawa lembab dibuktikan rendahnya vitrinite dibanding sampel lain dan kehadiran alginite (dari Floor pada lingk.limnic terjadi regresi sehingga terjadi proses oksidasi pada jaringan tumbuhan (8) akibat susutnya air : inertinite tinggi (18,6%) ) 7 upper delta plain : wet forest swamp ; diduga terjadi proses penurunan cekungan yang diimbangi oleh akumulasi gambut sehingga membentuk seam batubara yang cukup tebal (95 cm), dikuti oleh meningkatnya kandungan telovitrinite dan telocolinite kondisi cekungan relatif stabil diduga genang laut yang mengakibatkan terbentuknya sisipan material sedimen berupa batulanau (4) dan meningkat nya MM, berkembangnya tumbuhan perdu yang dicirikan oleh nilai VI yg rendah sebagai akibat tingginya kandungan detroviritinite dibanding telovitrinite ; penurunan cekungan sehingga menjadi lingk lower delta yang ditandai penebalan seam 3 terjadi transisi ke upper delta akibat mengeringnya rawa gambut diikuti dengan meningkatnya kembali telovitrinite dan telocolinite 2 terjadi banjir besar ( hadir parting) 1 upper delta, kandungan inertinite kecil menunjukkan bahwa saat pengendapan kelembaban gambut selalu terjaga dengan baik. Bab V 97

37 Bab V 98

38 Profil Litologi dan Data Cleat Lokasi 1 : Lapisan Landai (SB) Daerah Palaran, Kecamatan Loajanan, Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur Profil Jumlah cleat Jarak antar cleat 40 cm 0 SBR : batulanau karbonan, tebal 30 cm 50 SB1 : batubara, tebal 25 cm SB2 : batubara, tebal 40 cm cm = cm = 10 ; 12 cm = SB3 : batubara, tebal 40 cm cm = SB4 : lempung karbonan, tebal 6 cm 200 SB5 : batubara, tebal 123 cm cm = SB6 : batubara, tebal 62 cm cm = SB7 : batubara, tebal 131 cm cm = 15 ; 13 cm = SB8 : lempung karbonan, tebal 13 cm SB9 : batubara, tebal 23 cm 16 0,52 cm = SB10 : batulanau karbonan, tebal 92 cm 600 SB11 : batubara, tebal 43 cm cm = 13 SBF : lempung karbonan, tebal 21 cm Bab V 99

39 Profil Litologi dan Data Cleat Lokasi 2 : Lapisan Curam (ST) Daerah Palaran, Kecamatan Loajanan, Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur 0 Profil Jumlah cleat Jarak antar cleat 40 cm STR : batupasir halus, tebal 40 cm 50 ST1 : batubara, tebal 20 cm ST2 : batubara, tebal 10 cm cm = 21 ; 23 cm = 5 01 cm = 30 ; 12 cm = 8 ; 23 cm = ST3 : batubara, tebal 148 cm cm = 8 ; 23 cm = 9 ; 34 cm = 3 ; 45 cm = ST4 : batubara, tebal 85 cm cm = 18 ; 23 cm = ST5 : batulanau karbonan, tebal 5 cm 350 ST6 : batubara, tebal 105 cm cm = 12 ; 23 cm = 6 ; 34 cm = ST7 : batubara, tebal 168 cm cm = 14 ; 23 cm = 9 ; 45 cm = ST8 : batubara, tebal 45 cm cm = 7 ; 12 cm = 7 ; 34 cm = STF : batulanau karbonan, tebal 35 cm Perolehan data Seam S pada lokasi 2 : lapisan landai (Kode : ST) Bab V 100

40 Profil Litologi dan Data Cleat Lokasi 3 : Daerah Sesar (SS) Daerah Palaran, Kecamatan Loajanan, Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur 0 Profil Jumlah cleat Jarak antar cleat 40 cm SSR : batulanau, tebal 30 cm 50 SS1 : batubara, tebal 38 cm cm = 40 SS2 : batulanau karbonan, tebal 7 cm 100 SS3 : batubara, tebal 75 cm cm = 14 ; 12 cm = SS4 : batulanau karbonan, tebal 4 cm 200 SS5 : batubara, tebal 90 cm cm = 26 ; 11.5 cm = 2 ; 1.52 cm = 6 ; 23 cm = SS6 : batubara, tebal 85 cm cm = 27 ; 12 cm = SS7 : batubara, tebal 95 cm cm = SS8 : batubara, tebal 48 cm cm = 27 ; 12 cm = SSF : batulanau, tebal 35 cm Perolehan data Seam S pada lokasi 3 : Daerah Sesar (Kode : SS) Bab V 101

41 Bab V 102

42 V.4 Interpretasi Genesa Sulfur Seam S Menurut Howell & Ferm (1987) dan Levey (1985) dalam G.H Taylor et.al., 1998 : Batubara yang terendapkan pada lingkungan upper delta plain umumnya memiliki kandungan sulfur yang rendah dibanding batubara pada lingkungan lainnya. Namun pada Gambar V.13, dapat dilihat bahwa nilai rata rata kandungan sulfur total Seam S memiliki nilai bervariasi, dimana pada lokasi 1 dan lokasi 2 didapati rata rata kandungan sulfur yang rendah (<1%) sementara untuk lokasi 3 menunjukkan persentase yang cukup tinggi (>2%). Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kandungan sulfur pada daerah bukan sesar yang diwakili oleh lapisan landai dan lapisan curam adalah rendah, sedangkan kandungan sulfur pada daerah sesar cenderung tinggi. Ratarata Total Kandungan Sulfur Seam S Persentase Kandungan Sulfur TS SO SP SS (Lapisan Landai) 2 (Lapisan Curam) 3 (Daerah Sesar) Gambar V.13 Diagram Perbandingan Kandungan Sulfur Seam S lokasi 1,2 dan 3 V.4.1 Pengaruh Lingkungan Pengendapan terhadap Kandungan Sulfur Analisis maseral dapat digunakan untuk mengetahui lingkungan pengendapan pada saat pembentukan gambut, dimana komposisi maseral pada batubara diyakini dapat menunjukkan jenis tumbuhan pembentuk yang mengkontribusi pada saat pembentukan gambut serta dapat menggambarkan kondisi Bab V 86

43 pengendapannya (C.F.K Diessel, 1986). Kondisi pengendapan dapat digambarkan oleh tinggi muka air tanah, ph, suplai nutrisi serta aktivitas bakteri aerobik dan anaerobik. Pada lingkungan upper delta plain, ph umumnya sangat rendah. Sulfat terlarut juga rendah ( ± < 40 ppm), sehingga sulfur yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri juga rendah. Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan tergantung pada kondisi ph, oksigen, konsentrasi sulfat dan untuk pirit khususnya perlu kehadiran ion Fe dan aktivitas bakteri. Hal ini secara umum dapat terlihat dari rendahnya persentase sulfur sulfat dan piritik pada seam S lokasi 1 dan 2 (daerah bukan sesar) serta seam lokasi 3 (daerah sesar) yang terbentuk pada lingkungan upper delta plain. Menurut Casagrande (1987), secara umum batubara bersulfur rendah (<1%) mengandung lebih banyak sulfur organik daripada piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur tinggi mengandung lebih banyak sulfur piritik daripada organik. Berdasarkan data kandungan sulfur, batubara seam S secara umum didominasi oleh sulfur organik, dimana pada daerah sesar (lokasi 3) memiliki kandungan sulfur organik, piritik dan sulfat yang lebih tinggi dibanding daerah bukan sesar (lokasi 2 : lapisan curam dan lokasi 1 : lapisan landai). Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari material kayu dan pepohonan yang berhubungan dengan kandungan maseral vitrinite. Kelompok maseral ini berasal dari jenis tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody tissues) seperti batang, dahan, akar dan serat daun. Casagrande (1987) menyatakan bahwa sumber utama sulfur dalam batubara dengan kandungan sulfur rendah adalah berasal dari tumbuhan pembentuk gambut itu sendiri, yang pada umumnya terdapat dalam bentuk kulit kayu, resin dan asam amino. Hal ini dapat tercermin pada diagram komposisi material pembentuk batubara (Gambar V.1 dan V.2) yang menunjukkan dominasi kandungan tumbuhan yang berasal dari kayu (dicerminkan oleh maseral vitrinite khususnya tipe maseral telocolinite pada ketiga lokasi). Bab V 87

44 Analisis maseral dapat digunakan untuk mengetahui lingkungan pengendapan pada saat pembentukan gambut, dimana komposisi maseral pada batubara diyakini dapat menunjukkan jenis material pembentuk yang mengkontribusi pada saat pengendapan gambut dan juga menggambarkan kondisi pengendapannya (C.F.K Diessel, 1986). Bab V 88

45 0 Data Cleat PROFIL Jumlah Jarak 40 cm SBR ST (%) SP(%) SS(%) SO(%) Vitrinite (Lokasi 1) Liptinite (Lokasi 1) 10 0 Inertinite (Lokasi 1) 20 SB1 SB cm = cm = 10 ; 12 cm = SB3 SB4 SB5 SB6 SB7 SB8 SB9 SB cm = cm = cm = cm = 15 ; 13 cm = 4 0,52 cm = 16 LINGKUNGAN : UPPER DELTA PLAIN 600 SB cm = 13 SBF Gambar V.14 Grafik kandungan sulfur dan komposisi maseral pada lokasi 1 (Lapisan Landai) 88

46 0 Data Cleat PROFIL Jumlah Jarak 40 cm STR ST (%) SP(%) SS(%) SO(%) Vitrinite (Lokasi 2) Liptinite (Lokasi 2) 10 0 Inertinite (Lokasi 2) ST1 ST2 ST3 ST4 ST5 ST6 ST cm = 21 ; 23 cm = 5 01 cm = 30;12 cm = 8;23 cm=5 12 cm = 8; 23 cm = 9; 34 cm = 3; 45 cm = 7 12 cm = 18; 23 cm=5 12 cm = 12; 23 cm = 6; 34 cm = 3 01 cm = 14; 23 cm = 9; 45 cm = 3 LINGKUNGAN : UPPER DELTA PLAIN 600 ST cm = 7 ;12 cm = 7; 34 cm = 5 STF Gambar V.15 Grafik kandungan Sulfur dan komposisi maseral pada lokasi 2 (Lapisan Curam) 89

47 0 Data Cleat PROFIL Jumlah Jarak 40 cm SSR ST (%) SP(%) SS(%) SO(%) Vitrinite Liptinite (Lokasi 3) (Lokasi 3) Inertinite (Lokasi 3) 20 SS cm = 35 ; 12 cm = SS2 SS3 SS4 SS5 SS6 SS7 SS cm = 44 ; 12 cm = cm = 26 ; 11.5 cm = cm = 6 ; 23 cm = cm = 27 ; 12 cm = cm = cm = 27 ; 12 cm = 9 LINGKUNGAN : UPPER DELTA PLAIN 500 SSF Gambar V.16 Grafik kandungan sulfur dan komposisi maseral pada lokasi 3 (Daerah Sesar) 90

48 91

49 Pada Gambar V.14 V.16 terlihat bahwa kandungan sulfur total pada lokasi 1,2 dan 3 didominasi oleh sulfur organik. Hal ini dapat terlihat pada pola grafik yang cenderung sama antara sulfur total dan sulfur organik pada ketiga lokasi. Secara umum, pola kandungan sulfur secara vertikal pada lokasi 1,2 dan 3 juga memiliki trend yang sama dengan komposisi maseral vitrinite pada batubara, sementara liptinite dan inertinite memiliki pola yang berbeda dengan nilai bervariasi. Tabel V.4 Perbandingan tipe maseral telocolinite pada Seam S lokasi 1,2 dan 3 TELOCOLINITE Tumbuhan besar / kayu Daerah Bukan Sesar Daerah Sesar Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 40,10 % 38, 81 % 57,83 % Namun demikian, faktor yang mempengaruhi pembentukan sulfur organik pada lapisan batubara diyakini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor tumbuhan asal saja, melainkan terdapat faktorfaktor pendukung lainnya yang turut mempengaruhi. Selain faktor tumbuhan pembentuk, pembentukan sulfur Seam S juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pengendapan yang berhubungan dengan level air, jumlah sulfat, suplai oksigen dan suplai besi pada saat pembentukan gambut. Proses perubahan bentuk (transformasi) bahan organik dapat ditentukan oleh kenaikan level air tanah secara berangsur. Kenaikan muka air pada rawa gambut dapat mengurangi tingkat keasaman. Kondisi asam (ph rendah) dapat membatasi aktivitas bakteri dan penghancuran / pembusukan material tumbuhan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh melimpahnya struktur tanaman yang terawetkan dengan baik dan harga TPI yang tinggi pada Seam S di lokasi 1,2 dan 3. Namun bervariasinya nilai TPI dan GI pada ketiga lokasi dapat mencerminkan kondisi lingkungan pengendapan yang sering mengalami perubahan muka air tanah secara fluktuatif. Bab V 91

50 Dekomposisi tumbuhan asal dapat terjadi bila suatu lingkungan cenderung tergenang oleh air, karena aliran air secara kontiyu juga turut membawa oksigen terlarut yang secara tidak langsung dapat menyebabkan pembusukan / penghancuran bahan organik. Semakin banyak oksigen terlarut dalam air yang dihasilkan dalam kondisi reduksi, maka semakin banyak bahan organik yang terbentuk. Dengan jumlah oksigen yang tak terbatas dalam udara atau aliran air, bahan organik akan terdegradasi lebih sempurna. Bakteri aerobik dan jamur juga dapat mengambil bagian dalam proses pembentukan sulfur organik dengan memproduksi bahan humus yang ditunjukkan oleh maseral fusinite, semifusinite dan sclerotinite (maseral inertinite). Secara umum ratarata maseral inertinite pada lokasi 3 (daerah sesar) lebih tinggi dibanding lokasi 1 dan 2 (daerah bukan sesar). Hal ini juga diduga kuat dapat mendukung pembentukan sulfur organik pada batubara, karena maseral inertinite terbentuk dari material tumbuhan yang sama dengan maseral vitrinite namun dalam pembentukannya dipengaruhi oleh kondisi oksidasi. Berdasarkan hasil interpretasi lingkungan pengendapan, Seam S terendapkan pada lingkungan upper delta plain dengan komposisi maseral yang hampir seragam. Namun demikian terdapat perubahan komposisi tumbuhan (dicerminkan oleh kandungan maseral) secara vertikal walaupun tidak terlalu signifikan akibat pengaruh naik turunnya permukaan air secara cepat pada rawa gambut. Sementara fasies batubara Seam S yang dicerminkan oleh tipe dan kondisi gambut ombrotrophic cenderung tidak mengalami perubahan siklus yang berarti. Dengan demikian diyakini terdapat kaitan antara rumpun tumbuhan pembentuk dan kondisi lingkungan pengendapan dengan variasi vertikal kandungan sulfur batubara Seam S. Tingginya kandungan sulfur organik pada Seam S di daerah sesar (lokasi 3) dibanding daerah bukan sesar (lokasi 1 dan 2) diduga kuat selain dipengaruhi oleh faktor tumbuhan pembentuk (ditunjukkan oleh tumbuhan kayu) juga dapat disebabkan oleh relatif tingginya suplai oksigen dan jumlah sulfat yang terlarut dalam air. Sumber sulfat kemudian direduksi bakteri menjadi H 2 S dan selanjutnya Bab V 92

51 mengalami penggabungan menjadi matriks organik dalam gambut. Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H 2 S juga dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi antara H 2 S dengan asam humik inilah yang mempunyai peranan paling penting dalam menentukan kandungan sulfur organik dalam batubara (Meyers,1982). Iklim Tumbuhan Pembentuk Tumbuhan kayu (Maseral Vitrinite : Telocolinite) + Kondisi Lingkungan Pengendapan Suplai dari luar ph Bakteri sulfat Level Air Oksigen Topografi Sulfur Gambar V.17 Faktor faktor yang mempengaruhi pembentukan sulfur pada batubara Seam S Dalam prosesnya, pembentukan komponen sulfur (form of sulfur) dalam batubara sangat tergantung terhadap proses oksidasi hidrogen sulfida (H 2 S) untuk kemudian membentuk sulfur piritik atau organik. Semakin banyak sulfat dalam air, maka akan semakin banyak yang tereduksi menjadi hidrogen sulfida (H 2 S) dan kemudian mengalami oksidasi menjadi sulfur organik, sementara suplai besi reaktif dalam air tetap terbatas (Dikutip dari Widayat, 2005). Bab V 93

52 Pirit dalam batubara juga dapat dijadikan salah satu petunjuk dalam interpretasi lingkungan pengendapan batubara. Bila melihat kandungan pirit (sulfur piritik) yang rendah pada sampel batubara seam S yaitu < 1% dan didukung jarangnya kehadiran pirit syngenetik, maka dapat dihubungkan dengan letak dan kondisi lingkungan upper delta plain yang jauh dari pengaruh air laut. Akan tetapi, meskipun lingkungan pengendapan suatu seam relatif jauh dari pengaruh laut, naiknya muka air laut karena proses transgresi disamping menyebabkan bergesernya garis pantai ke arah daratan, juga mendorong naiknya muka air tanah pada daerah yang lebih ke darat dan relatif bebas dari pengaruh air laut. Naiknya muka air tanah bersamasama dengan suplai material organik dan inorganik serta aspek topografi secara tidak langsung akan menentukan pembentukan sulfur. Berdasarkan lingkungan pembentukan Seam S pada upper delta plain, maka dapat dikatakan proses pembentukan pirit lebih banyak dipengaruhi oleh suplai besi reaktif (goethite) yang datang dari wilayah lain (allochtonous) melalui aliran air tanah atau permukaan sehingga lebih bersifat variatif (Suits & Arthur, 2000). Jika komposisi kimia air banyak mengandung besi reaktif seperti mineral goethite (FeO.OH) maka akan banyak terjadi presipitasi pirit. Sebaliknya apabila komposisi kimia air sedikit mengandung besi reaktif maka hidrogen sulfida akan bereaksi dengan material organik membentuk sulfur organik. Proses terbentuknya sulfur piritik juga sangat dipengaruhi oleh kondisi ph, yaitu semakin tinggi harga ph maka akan mempercepat reaksi karena dalam suasana basa akan banyak ion besi yang terlepaskan. Dengan demikian rendahnya sulfur piritik dan tingginya sulfur organik di daerah penelitian disebabkan oleh rendahnya konsentrasi besi reaktif dalam aliran air. Besi reaktif yang terbatas, sementara kandungan H 2 S masih berlimpah akan menyebabkan rendahnya pembentukan pirit sehingga sulfida akan bereaksi dengan materi organik dan memperkaya kandungan sulfur organik pada batubara daerah penelitian. Sulfur organik mulai terbentuk pada saat diagenesa awal (Dikutip dari Widayat, 2005). Disamping itu kandungan sulfur organik yang tinggi hanya akan berasosiasi dengan lingkungan rawa gambut yang minim suplai Bab V 94

53 Fe (Gransh & Postuma, 1974 ; Bein et.al, 1990 ; Zaback & Pratt dalam Suits and Arthur, 2000). V.4.2 Pengaruh Struktur Geologi terhadap Kandungan Sulfur Kandungan sulfur dalam batubara dapat dipengaruhi oleh struktur geologi yang berkembang. Struktur geologi yang terdapat pada suatu lapisan batubara akan mempengaruhi penyebaran sulfur terutama dalam bentuk sulfur piritik epigenetik. (Widayat, 2005). Pirit (FeS 2 ) merupakan mineral yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan sulfur dalam batubara, atau lebih dikenal dengan sulfur piritik (Mackowsky, 1943 dalam Organic petrology, 1998). Berdasarkan genesanya, pirit pada batubara hadir sebagai pirit syngenetik dan epigenetik. Dalam penelitian ini tidak diperoleh data kuantitatif dari pirit syngenetik dan epigenetik karena dalam analisis SEM tidak terdapat alat counting. Namun dari hasil analisis mikroskopis mineral pirit yang diamati pada analisa petrografi dan analisa SEM, diperoleh informasi bahwa hampir seluruh sampel yang dianalisis didominasi oleh kandungan pirit epigenetik dengan bentuk kristal umumnya anhedral euhedral yang mengisi rekahan (cleat), rongga maupun terlepas dari permukaan maseral. Sedangkan pirit berupa inklusi halus berbentuk kristal subhedral euhedral yang menyatu dengan maseral maupun framboidal jarang dijumpai. Seam S pada daerah sesar (lokasi 3) memiliki proporsi kandungan pirit epigenetik lebih besar dibanding Seam S pada daerah bukan sesar (lokasi 1 dan 2). (Dapat dilihat pada Lampiran B dan C). Berdasarkan dominasi kandungan pirit epigenetik, diyakini bahwa struktur geologi yang terdapat pada lapisan batubara juga dapat mempengaruhi penyebaran sulfur, terutama dalam bentuk sulfur piritik (epigenetik) yang dalam hal ini ditunjukkan oleh mineral pirit sebagai pengisi rongga atau rekahan (cleat). Sementara sangat rendahnya kehadiran pirit syngenetik diyakini berhubungan dengan lingkungan pengendapan yang berada pada daerah upper delta plain yang jauh dari pengaruh air laut. Bab V 95

54 Secara umum, diduga kuat bahwa setelah batubara terbentuk terjadi proses perlipatan pada Seam S. Akibat pengaruh gaya (tegasan) yang masih bekerja atau kondisi cekungan yang kurang stabil, kemudian terjadi pensesaran pada lapisan batubara di lokasi 3 (sesar turun) yang dibarengi oleh transgresi air laut atau banjir besar. Pada lapisan batubara yang tersesarkan, dasar cekungan mengalami penurunan yang menyebabkan masuknya suplai material yang terbawa oleh aliran air ke dalam batubara sehingga menambah kandungan sulfur yang ada sebelumnya. Dalam prosesnya, perlipatan dan pensesaran selalu menimbulkan bidangbidang rekahan pada lapisan batubara atau yang kita sebut cleat, dimana dalam hal ini cleat pada batubara yang tersesarkan memiliki frekuensi lebih banyak dibandingkan batubara yang tidak tersesarkan (Gambar IV.1 IV.3 pada Bab IV). Menurut Rippon, 1996 : terbentuknya cleat, terutama dikontrol oleh aktivitas tektonik seperti pengangkatan, perlipatan dan pelepasan tekanan pada proses pembebanan. Pada daerah Palaran berkembang struktur lipatan antiklin asimetri yang membentang dengan arah barat daya timur laut. Foto V.1 Kenampakan cleat pada batubara di lokasi 1 (Lapisan Landai) Bab V 96

55 Foto V.2 Kenampakan cleat pada batubara di lokasi 2 (Lapisan Curam) Foto V.3 Kenampakan cleat pada batubara di lokasi 3 (Daerah Sesar) Bila kita perhatikan terdapat perbedaan jumlah cleat pada Seam S di ketiga lokasi, dimana pada lokasi 1 (lapisan landai) berjumlah 1327, lokasi 2 (lapisan curam) berjumlah 1942 dan lokasi 3 (daerah sesar) berjumlah Dari data jumlah cleat pada lokasi 3 yang relatif banyak dibanding lokasi 1 dan 2 dan ditunjang juga oleh banyaknya suplai besi reaktif (goethite) yang datang dari wilayah lain (allochtonous) melalui aliran air tanah atau permukaan, diyakini memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pembentukan sulfur piritik epigenetik. Walaupun demikian pengaruh jumlah cleat tidak berdiri sendiri, melainkan juga didukung oleh kondisi lingkungan pengendapan dan kehadiran batuan sedimen penutup (roof) serta parting pada seam S yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kandungan sulfur, karena sulfat dan unsur besi kemungkinan masuk ke dalam rawa yang terbawa dalam material sedimen. Bab V 97

56 Beberapa contoh kenampakan cleat di lokasi 1, 2 dan 3 dapat dilihat pada foto V.1 sampai V.3. Kontrol struktur geologi pada lapisan batubara yang dalam hal ini dicerminkan oleh cleat ternyata cukup memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penyebaran sulfur. Selain dapat menyediakan media berupa rekahan ataupun rongga bagi aliran air, material organik dan anorganik maupun unsur terlarut lainnya. Hal ini dibuktikan oleh meningkatnya kandungan sulfur piritik pada batubara di daerah sesar (lokasi 3), sedangkan pada lokasi 1 dan 2 yang merupakan lapisan batubara tidak tersesarkan, terlihat bahwa kandungan sulfur piritiknya rendah. Foto V.4 Inset kenampakan pirit yang diyakini terbentuk secara epigenetik dan dapat diamati secara megaskopis pada batubara di daerah sesar (lokasi 3) Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekuensi cleat karena kationkation yang terlarut (dalam hal ini ion Fe) akan terbawa ke dalam batubara Bab V 98

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Dalam menentukan lingkungan pengendapan batubara di Pit J daerah Pinang dilakukan dengan menganalisis komposisi maseral batubara. Sampel batubara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA 4.1 KOMPOSISI MASERAL BATUBARA Komposisi maseral batubara ditentukan dengan melakukan analisis petrografi sayatan sampel batubara di laboratorium (dilakukan oleh PT

Lebih terperinci

BAB III DASAR TEORI BATUBARA

BAB III DASAR TEORI BATUBARA BAB III DASAR TEORI BATUBARA III.1 Genesa Batubara Batubara adalah batuan sedimen ( padatan ) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA SEAM S DI DAERAH PALARAN KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS VARIASI KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA SEAM S DI DAERAH PALARAN KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR ANALISIS VARIASI KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA SEAM S DI DAERAH PALARAN KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

Bab V Pembahasan. Tabel V.1. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-01 dan peringkatnya

Bab V Pembahasan. Tabel V.1. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-01 dan peringkatnya Bab V Pembahasan V.1 Peringkat Batubara Peringkat batubara merupakan tahapan yang telah dicapai oleh batubara dalam proses pembatubaraan. Tahapan ini sangat dipengaruhi oleh proses diagenesa yang melibatkan

Lebih terperinci

BAB IV SAMPLING DAN UJI LABORATORIUM

BAB IV SAMPLING DAN UJI LABORATORIUM BAB IV SAMPLING DAN UJI LABORATORIUM IV.1 Pengambilan Sampel (Sampling) Pengambilan sampel batubara untuk penelitian ini dilakukan pada Seam S yang terletak pada daerah Palaran, Kecamatan Loajanan, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III DASAR TEORI 3.1. PEMBENTUKAN BATUBARA

BAB III DASAR TEORI 3.1. PEMBENTUKAN BATUBARA BAB III DASAR TEORI Tidak setiap tempat di bumi ini mempunyai endapan batubara dan tidak setiap waktu geologi menghasilkan endapan batubara yang ekonomis. Dua tahap penting yang dapat dibedakan untuk mempelajari

Lebih terperinci

BAB III ENDAPAN BATUBARA

BAB III ENDAPAN BATUBARA BAB III ENDAPAN BATUBARA 3.1 DASAR TEORI BATUBARA 3.1.1 Pengertian Batubara Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam,

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami

Lebih terperinci

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: 2460-6499 Kajian Mengenai Hubungan Karakteristik Batubara terhadap Kandungan Gas Metana Batubara (Coalbed Methane) dan Lingkungan Pengendapan di Daerah Ampah, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan tersier yang memiliki potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara dan sumber daya

Lebih terperinci

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat-hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses kimia dan fisika,

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SAMPEL

BAB IV ANALISIS SAMPEL BAB IV ANALISIS SAMPEL 4.1 PENGAMBILAN SAMPEL (SAMPLING) Pengambilan sampel batubara untuk penelitian dilakukan pada 2 daerah yang berbeda yaitu daerah Busui yang mewakili Formasi Warukin pada Cekungan

Lebih terperinci

Studi Komposisi Mikroskopis Dan Peringkat Batubara Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur

Studi Komposisi Mikroskopis Dan Peringkat Batubara Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur Studi Komposisi Mikroskopis Dan Peringkat Batubara Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur Basuki Rahmad 1, Komang Anggayana 2, Agus Haris Widayat 2 1 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN D. A. P. Pratama *, D. H. Amijaya Jurusan Teknik Geologi,

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

Petrologi Batuan Sedimen

Petrologi Batuan Sedimen Batuan Sedimen Batubara Batubara digolongkan pada batuan sedimen non-klastik, yaitu batuan sedimen organik. Batubara adalah batuan sedimen yang berasal dari tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam, yang

Lebih terperinci

TUGAS KULIAH GEOLOGI BATUBARA

TUGAS KULIAH GEOLOGI BATUBARA TUGAS KULIAH GEOLOGI BATUBARA Proses-proses Syn Depositional dan Post Depositional serta Kaitanya dengan Proses dan Geometri Batubara Disusun Oleh : Miftah Mukifin Ali 111.130.031 PROGRAM STUDI TEKNIK

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA PADA FORMASI SAJAU, BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI CEKUNGAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR

REKONSTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA PADA FORMASI SAJAU, BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI CEKUNGAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR REKONSTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA PADA FORMASI SAJAU, BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI CEKUNGAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh : Ahmad Helman Hamdani NIP. 195508281982031 FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMAKASIH... iv KATA PENGANTAR... vi ABSTRAK... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xvii

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN...

BAB 1. PENDAHULUAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR

Lebih terperinci

STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN PROS ID I NG 2 0 2 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT

BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT 5.1. Genesa Lateritisasi Proses lateritisasi mineral nikel disebabkan karena adanya proses pelapukan. Pengertian pelapukan menurut Geological Society Engineering Group Working

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

PENGANTAR GENESA BATUBARA

PENGANTAR GENESA BATUBARA PENGANTAR GENESA BATUBARA Skema Pembentukan Batubara Udara Air Tanah MATERIAL ASAL Autochton RAWA GAMBUT Dibedakan berdasarkan lingkungan pengendapan (Facies) Allochthon Material yang tertransport Air

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA TERHADAP KANDUNGAN SULFUR BATUBARA

ANALISIS PENGARUH LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA TERHADAP KANDUNGAN SULFUR BATUBARA ANALISIS PENGARUH LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA TERHADAP KANDUNGAN SULFUR BATUBARA Waterman Sulistyana B. * Dean Saputra** *Magister Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta **Dinas Pertambangan dan

Lebih terperinci

ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUSUI KALIMANTAN TIMUR DAN DI DAERAH SATUI KALIMANTAN SELATAN TUGAS AKHIR

ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUSUI KALIMANTAN TIMUR DAN DI DAERAH SATUI KALIMANTAN SELATAN TUGAS AKHIR ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUSUI KALIMANTAN TIMUR DAN DI DAERAH SATUI KALIMANTAN SELATAN TUGAS AKHIR Dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Pertambangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen yang terbentuk di permukaan bumi dari akumulasi sisa-sisa material organik dan anorganik. Material organik tumbuhan merupakan unsur

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

II. PEMBENTUKAN TANAH

II. PEMBENTUKAN TANAH Company LOGO II. PEMBENTUKAN TANAH Dr. Ir. Mohammad Mahmudi, MS Arief Darmawan, S.Si., M.Sc Isi A. Konsep pembentukan tanah B. Faktor pembentuk tanah C. Proses pembentukan tanah D. Perkembangan lapisan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis perkembangan urutan vertikal lapisan batuan berdasarkan data singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 9 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Kegiatan penelitian dilakukan di salah satu tambang batubara Samarinda Kalimantan Timur, yang luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 24.224.776,7

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1. Kesimpulan 1. Kandungan air bawaan batubara relatif menjadi turun pada setiap penurunan kedalaman dari lapisan bagian atas (roof) menuju lapisan bagian bawah (floor)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batubara merupakan bahan tambang yang berasal dari sedimen organik dari berbagai macam tumbuhan yang telah mengalami proses penguraian dan pembusukan dalam jangka waktu

Lebih terperinci

Bab IV Prosedur dan Hasil Penelitian

Bab IV Prosedur dan Hasil Penelitian Bab IV Prosedur dan Hasil Penelitian IV.1 Pengambilan Conto Sample atau conto adalah pengambilan sebagian kecil dari material untuk dapat mewakili keseluruhan material secara representatif yang diperlukan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA 5.1. Evaluasi Fuel Ratio Hubungan antara kadar fixed carbon dengan volatile matter dapat menunjukkan tingkat dari batubara, yang lebih dikenal sebagai fuel ratio. Nilai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

PROVENANCE BATUBARA KUARTER DAERAH INAMO KABUPETAN SORONG PROVINSI PAPUA BARAT

PROVENANCE BATUBARA KUARTER DAERAH INAMO KABUPETAN SORONG PROVINSI PAPUA BARAT PROVENANCE BATUBARA KUARTER DAERAH INAMO KABUPETAN SORONG PROVINSI PAPUA BARAT PROVENANCE QUATERNARY COAL IN INAMO REGION, SORONG REGENCY WEST PAPUA PROVINCE Aang Panji Permana, A.M.Imran, Sri Widodo Teknik

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Stratigrafi Daerah Nanga Kantu Stratigrafi Formasi Kantu terdiri dari 4 satuan tidak resmi. Urutan satuan tersebut dari tua ke muda (Gambar 3.1) adalah Satuan Bancuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI

BAB II TINJAUAN GEOLOGI BAB II TINJAUAN GEOLOGI II.1 GEOLOGI REGIONAL Kerangka tektonik Kalimantan Timur selain dipengaruhi oleh perkembangan tektonik regional yang melibatkan interaksi Lempeng Pasifik, Hindia-Australia dan Eurasia,

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 03: Batuan & Tanah

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 03: Batuan & Tanah Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 03: Batuan & Tanah Tanah Profil tanah Tanah yang kita ambil terasa mengandung partikel pasir, debu dan liat dan bahan organik terdekomposisi

Lebih terperinci

Karakteristik Lingkungan Pengendapan Batubara Formasi Haloq dan Formasi Batuayau, Cekungan Kutai Atas: Pendekatan Organik dan Anorganik

Karakteristik Lingkungan Pengendapan Batubara Formasi Haloq dan Formasi Batuayau, Cekungan Kutai Atas: Pendekatan Organik dan Anorganik Karakteristik Lingkungan Pengendapan Batubara Formasi Haloq dan Formasi Batuayau, Cekungan Kutai Atas: Pendekatan Organik dan Anorganik Oleh : Annisa 1 Mulyono Dwiantoro 2 Abstrak Batubara pada Formasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

Tumbuhan permukaan rawa yang tumbuh dengan sendirinya di areal rawa ini antara lain: Alternanthera pyloxiroides, Centela umbelata, Cynodon dactylon, Cyperaceae, Emilia sonchifolia, Erigeron sumatraensis,

Lebih terperinci

KESUBURAN TANAH DAN NUTRISI TANAMAN

KESUBURAN TANAH DAN NUTRISI TANAMAN KESUBURAN TANAH DAN NUTRISI TANAMAN Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman mengenai Pembentukan Tanah Entisol Yang disusun oleh: Agung Abdurahmansyah Anggita

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA 36 BAB IV ENDAPAN BATUBARA IV.1 Pembahasan Umum Batubara Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii SARI... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Maksud

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Formasi Latih tersusun dari perselang-selingan antara batupasir kuarsa, batulempung, batulanau dan batubara dibagian atas, dan bersisipan dengan serpih pasiran dan

Lebih terperinci

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri. Dari hasil perhitungan strain terdapat sedikit perbedaan antara penampang yang dipengaruhi oleh sesar ramp-flat-ramp dan penampang yang hanya dipengaruhi oleh sesar normal listrik. Tabel IV.2 memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Korelasi geokimia petroleum merupakan salah satu pendekatan untuk pemodelan geologi, khususnya dalam memodelkan sistem petroleum. Oleh karena itu, studi ini selalu dilakukan dalam

Lebih terperinci

LINGKUNGAN PENGENDAPAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS BATUBARA DAERAH MUARA UYA KABUPATEN TABALONG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

LINGKUNGAN PENGENDAPAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS BATUBARA DAERAH MUARA UYA KABUPATEN TABALONG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS BATUBARA DAERAH MUARA UYA KABUPATEN TABALONG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Hendra Takalamingan Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta SARI

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB

KARAKTERISTIK TANAH. Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB KARAKTERISTIK TANAH Angga Yuhistira Teknologi dan Manajemen Lingkungan - IPB Pendahuluan Geosfer atau bumi yang padat adalah bagian atau tempat dimana manusia hidup dan mendapatkan makanan,, mineral-mineral

Lebih terperinci

Bab V Pembahasan. Tesis

Bab V Pembahasan. Tesis Bab V Pembahasan V.1 Karakteristik Umum Batubara Seam T, R, dan Q yang menjadi objek penelitian, berdasarkan pengukuran nilai reflektan maseral vitrinitnya adalah termasuk batubara dengan peringkat subbituminous

Lebih terperinci

Jurnal SAINS Vol.4.No.1.Januari 2015 ISSN :

Jurnal SAINS Vol.4.No.1.Januari 2015 ISSN : FASIES PENGENDAPAN LIMNIC MARSH PADA KONDISI GAMBUT OMBROTROPHIC OLIGOTROPHIC RENGAT BARAT CEKUNGAN SUMATRA TENGAH INDONESIA Limnic Marsh Condition In Ombrotrophic-Oligotrophic Peat Type As The Origin

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

BAB IV EKSPLORASI BATUBARA

BAB IV EKSPLORASI BATUBARA BAB IV EKSPLORASI BATUBARA 4.1. Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI 4. 1 Pengambilan dan Pengolahan Data Pengukuran laju infiltrasi di daerah penelitian menggunakan alat berupa infiltrometer single ring. Hasil pengujian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil

Lebih terperinci

TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung

TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung HUBUNGAN KANDUNGAN DAN KOMPOSISI GAS DENGAN KOMPOSISI MASERAL DAN MINERAL PADA BATUBARA DI DAERAH BUANAJAYA, KUTAI KERTANEGARA, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infiltrasi Menurut Munaljid dkk. (2015) infiltrasi adalah proses masuknya air dari atas (surface) kedalam tanah. Gerak air di dalam tanah melalui pori pori tanah dipengaruhi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi dan Seleksi Mikrob pada A. malaccensis Populasi bakteri dan fungi diketahui dari hasil isolasi dari pohon yang sudah menghasilkan gaharu. Sampel yang diambil merupakan

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

BAB IV UNIT RESERVOIR

BAB IV UNIT RESERVOIR BAB IV UNIT RESERVOIR 4.1. Batasan Zona Reservoir Dengan Non-Reservoir Batasan yang dipakai untuk menentukan zona reservoir adalah perpotongan (cross over) antara kurva Log Bulk Density (RHOB) dengan Log

Lebih terperinci

KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA

KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA Usaha pelestarian dan pembudidayaan Kultivan (ikan,udang,rajungan) dapat dilakukan untuk meningkatkan kelulushidupan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambangan timah di Indonesia dimulai pada abad ke-18. Sejak tahun 1815 penambangan timah di pulau Bangka dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berlanjut sampai PT.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen, yang merupakan bahan bakar hidrokarbon, yang terbentuk dari tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN DISKUSI

BAB V ANALISIS DAN DISKUSI BAB V ANALISIS DAN DISKUSI Pada bab ini akan dibahas beberapa aspek mengenai Sesar Lembang yang meliputi tingkat keaktifan, mekanisme pergerakan dan segmentasi. Semua aspek tadi akan dibahas dengan menggabungkan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 1. Komponen tanah yang baik yang dibutuhkan tanaman adalah.... bahan mineral, air, dan udara bahan mineral dan bahan organik

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN 2.1 Tinjauan Umum Daerah penelitian secara regional terletak pada Cekungan Tarakan. Cekungan Tarakan merupakan cekungan sedimentasi berumur Tersier yang terletak di bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penting dan bernilai sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai 60.000 km 2 dan

Lebih terperinci

TRANSFORMASI BESI DAN MANGAN

TRANSFORMASI BESI DAN MANGAN TRANSFORMASI BESI DAN MANGAN Besi dan mangan merupakan unsur mikro esensial untuk tumbuhan tetapi toksik pada konsentrasi tinggi. Besi dan mangan merupakan logam-logam transisi pertama dan ketiga terbanyak

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR 4.1 Pendahuluan Kajian terhadap siklus sedimentasi pada Satuan Batupasir dilakukan dengan analisis urutan secara vertikal terhadap singkapan yang mewakili

Lebih terperinci

PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH. Oleh: Arif Nugroho ( )

PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH. Oleh: Arif Nugroho ( ) PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH Oleh: Arif Nugroho (10712004) PROGRAM STUDI HORTIKULTURA JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PANGAN POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2012 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Geokimia Minyak & Gas Bumi

Geokimia Minyak & Gas Bumi Geokimia Minyak & Gas Bumi Geokimia Minyak & Gas Bumi merupakan aplikasi dari ilmu kimia yang mempelajari tentang asal, migrasi, akumulasi serta alterasi minyak bumi (John M. Hunt, 1979). Petroleum biasanya

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

BAB V DISKUSI. 5.1 Keaktifan Patahan Lembang

BAB V DISKUSI. 5.1 Keaktifan Patahan Lembang BAB V DISKUSI Pengumpulan data untuk menelusuri perkembangan rawa sagpond berdasarkan analisis stratigrafi dan palinologi di daerah penelitian telah dilakukan dan hasilnya telah diuraikan dalam Bab IV.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci