Catatan Akhir Tahun 2010

Transkripsi

1 Press Release Catatan Akhir Tahun 2010 Tahun Pembajakan Anggaran Daerah Keuangan daerah diterpa masalah. Pertama, komitmen pemerintah pusat terhadap anggaran daerah hanya sebatas tebar pesona semata. Kedua, penurunan diskresi fiskal dan semakin terbatasnya ruang fiskal daerah dari tahun ke tahun. Ketiga, terjadi pembajakan anggaran publik oleh elit daerah. 1. Porsi Belanja Daerah Terbatas, Abaikan Kesejahteraan Rakyat. Meskipun Pemerintah pusat selalu mengklaim anggaran ke daerah terus ditingkatkan, faktanya sampai tahun 2010 porsinya tidak beranjak dari angka 30% dibandingkan dengan belanja Negara yang terus meningkat. Hal ini membuktikan belum adanya komitmen pemerintah dalam upaya mensejahterakan rakyat yang secara nyata pelayanannya menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Grafik 1 Persentase Transfer ke Daerah terhadap Pendapatan Dalam Negeri PERSENTASE TRANSFER KE DAERAH DARI JUMLAH PENDAPATAN DALAM NEGERI 40,0% 35,0% 35,6% 35,9% 30,0% 30,5% 29,9% 32,6% 34,0% 25,0% 20,0% 15,0% 10,0% 5,0% 0,0% Satu dasawarsa pemberlakukan otonomi daerah yang ditandai dengan penyerahan 70% urusan ke Pemerintah Daerah, tidak diiringi dengan desentralisasi fiskal yang justru berbanding terbalik dengan penyerahan urusan. D.ana Tugas Pembantuan dan Dekonsentrasi yang dimandatkan harus dijadikan belanja transfer daerah, pada prakteknya, masih dibajak oleh Kementerian/Lembaga di tingkat Pusat. Urusan diserahkan, anggaran tetap berada di Pusat 2. Krisis Diskresi, Kreatifitas Kebijakan Daerah Dikebiri. Keleluasaan pemerintah daerah dalam mengelola anggaran semakin terbatas. Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah pusat yang menaikkan belanja pegawai sebesar 15% dan rekrutmen pegawai negeri sipil yang tidak bisa dihindari dan harus dibiayai oleh APBD, sehingga diskresi fiskal dan ruang fiskal daerah semakin menurun.

2 Grafik 2 Tren diskresi fiskal kab/kota Berdasarkan propinsi % 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Prov. Nanggroe Aceh Darussalam Prov. Sumatera Utara Prov. Sumatera Barat Prov. Riau Prov. Jambi Prov. Sumatera Selatan Prov. Bengkulu Prov. Lampung Prov. DKI Jakarta Prov. Jawa Barat Prov. Jawa Tengah Prov. DI Yogyakarta Prov. Jawa Timur Prov. Kalimantan Barat Prov. Kalimantan Tengah Prov. Kalimantan Selatan Prov. Kalimantan Timur Prov. Sulawesi Utara Prov. Sulawesi Tengah Prov. Sulawesi Selatan Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Bali Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Nusa Tenggara Timur Sumber: Seknas Fitra 2010 Prov. Maluku Prov. Papua Prov. Maluku Utara Prov. Banten Prov. Bangka Belitung Prov. Gorontalo Prov. Kepulauan Riau Prov. Papua Barat Prov. Sulawesi Barat Grafik 3 Tren Ruang Fiskal Sumber: DJPK 2010 Akibatnya kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik semakin melambat. Sehingga implementasi program program akselerasi seperti pembangunan pendidikan, kesehatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan hanya bersifat residual atau hanya kebagian sisa sisanya saja, karena sebagian besar sudah dibelanjakan untuk kepentingan belanja pegawai dan birokrasi. 3. Pembajakan Anggaran, Khianati Kepentingan Rakyat. Di tengah segala macam keterbatasan yang melanda keuangan daerah, masih saja terjadi praktek pembajakan anggaran yang dilakukan para elit daerah. Hal itu terjadi pada pos anggaran yang rendah tingkat akuntabilitasnya dan memiliki kerawanan terhadap penyimpangan sebagai berikut:

3 Grafik 4. Pos Anggaran Rawan Pembajakan RpJuta Bansos BPO KDH/DPRD Perjalanan Dinas Banpol a. Bancakan Bantuan Sosial. Pada laporan realisasi APBD tahun 2009 ditemukan penyimpangan penggunaan bantuan sosial yang tersebar di 19 propinsi sebesar Rp765,3 miliar. Dari sisi proses, penetapan alokasi bansos tidak melalui usulan kebutuhan masyarakat secara partisipatif sehingga orientasi peruntukkannya tidak jelas. Kecenderungannya bansos hanya dibagikan oleh elit daerah kepada jaringan politik dan pengikutnya saja. Modus penyimpangan yang dilakukan diantaranya adalah pemberian bantuan tanpa adanya pengajuan, pemberian lebih dari alokasi terhadap satu organisasi, terdapat potongan pada setiap item bantuan dan tidak adanya pertanggungjawaban atas penggunaan dan terindikasi adanya bantuan fiktif. Belanja bantuan social terkini, cendurung menjadi ajang pembajakan elit local kepala daerah dan DPRD sebagai dana aspirasi. b. Plesiran Mahal Elit Daerah. Jika dilihat dari fungsinya, pelaksana kebijakan di tingkat daerah semestinya dapat mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Sehingga intensitas pekerjaan yang dilakukan seharusnya lebih banyak mendekati masyarakat untuk menyerap kebutuhan riil dan membuat rencana pembangunan yang efektif. Dari penelusuran Fitra ditemukan Rp50,8 miliar belanja perjalanan dinas yang dibiayai dengan uang rakyat disalahgunakan oleh elit elit darah dengan modus perjalanan fiktif dan tidak adanya pertanggungjawaban yang memadai. Dana plesiran menjadi ajang tambahan uang penghasilan baru. c. Belanja Penunjang Operasional; Legalisasi Pencurian Uang Rakyat. Di tengah krisis otoritas keuangan daerah yang terjadi, ternyata modus modus pencurian uang rakyat yang berkedok belanja penunjang operasional terus saja dianggarkan setiap tahunnya. Di samping alokasinya yang besar, ternyata ditemukan terjadinya penyimpangan sebesar Rp58,4 miliar dengan indikasi utama bahwa pemberian penunjang Kepala Daerah dan SKPD tindak sesuai dengan peraturan dan masih adanya penunggakan tunjangan TKI pada DPRD. d. Penyalahgunaan Bantuan Parpol. Terdapat Rp24,6 miliar penyimpangan bantuan yang dilakukan oleh partai politik. Bantuan ini telah menjadi beban baru anggaran daerah dan tidak bermanfaat apapun bagi masyarakat. Jika terjadi penyimpangan dengan nominal yang besar, maka sesungguhnya partai politik hanya menyumbang masalah dan merugikan rakyat. Lahirnya UU Parpol baru yang meningkatkan batas keuangan sumbangan Parpol

4 dari badan usaha menjadi Rp7,5 miliar, dipastikan menjadi lahan baru penyimpangan. Mengingat bantuan yang berasal dari anggaran publik pun rendah tingkat akuntabilitasnya. Tantangan Kebijakan Anggaran Daerah 2011 Saat ini pemerintah daerah sedang dalam proses pembahasan menuju penetapan anggaran tahun Pemerintah daerah diharapkan mampu mengadaptasi terhadap tantangan baru yang akan mempengaruhi kebijakan anggaran kedepan sebagai berikut: 1. Pemberlakuan UU 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi daerah mengamanatkan BPHTB dikelola secara langsung oleh pemerintah daerah. Sehingga optimalisasi pada dua sumber utama PAD ini selayaknya diproyeksikan optimis untuk menutupi kesenjangan fiskal yang berasal dari dana alokasi umum. Daerah juga harus berhati hati dalam memungut pajak dan restribusi yang tidak diperbolehkan selain yang tertera dalam UU 28/2009 (Closing List), karena memiliki konsekuensi di potongnya jatah DAU daerah. 2. Ada potensi tertutupnya ruang partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan daerah akibat terlalu dikendalikan secara teknis dalam Permendagri 54 tahun 2010 tentang pelaksanaan tahapan, tatacara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah. Lahirnya aturan ini dikhawatirkan menjadi kitab suci baru dalam hal perencanaan pembangunan sebagaimana Permendagri 13 tahun Berubahnya dana BOS menjadi dana transfer berpotensi menjadi arena penyalahgunaan oleh kepala dinas dan kepala sekolah yang pada akhirnya merugikan rakyat miskin sebagai pemilik hak atas dana tersebut. Pencatatan BOS pada APBD, diperkirakan terjadinya perluasan actor korupsi dana BOS mulai dari Kepala Dinas hingga Kepala Sekolah Untuk menghindari terulangnya kesalahan pengelolaan anggaran daerah, maka pemerintah dan pemerintah daerah dituntut untuk melakukan hal hal sebagai berikut: 1. Merumuskan system perimbangan keuangan yang berkeadilan dengan mengajukan perubahan UU perimbangan Keuangan Pusat Daerah dengan memberikan kewenangan fiskal yang lebih luas dan alokasi yang lebih besar kepada daerah. 2. Melakukan moratorium rekrutmen PNSD daerah dan meredisain reformasi biorkasi tingkat daerah, untuk dilakukan kajian kepastian kebutuhan PNSD tiap daerah, mengingat Belanja Pegawai terus meningkat menjadi beban APBD dan mengurangi belanja publik. 3. Memperketat pengaturan penggunaan Bantuan Sosial, Parpol, operasional dan perjalanan dinas. Jakarta, 19 Desember 2010 Ttd Hadi Prayitno Kepala Divisi Pengembangan Jaringan Daerah

5 Lampiran: Tabel Penyimpangan Belanja Subsidi, Hibah, Bansos, Banpol, Belanja Tidak Terduga dan BPO No Nama Daerah Subsidi Hibah Bansos Banpol Tak Terduga Penunjang Operasional KDH, DPRD, SKPD 1 PROP. NAD PROP. SUMUT PROP. SUMBAR PROP. RIAU PROP. JAMBI PROP. SUMSEL PROP. BENGKULU PROP. LAMPUNG PROP. KEP. BABEL PROP. KEPULAUAN RIAU PROP. JAWA BARAT PROP. JAWA TENGAH PROP. DIY PROP. JAWA TIMUR PROP. BANTEN PROP. BALI PROP. NTB PROP. NTT PROP. KALBAR PROP. KALTENG