( Edisi Revisi Ke-3 )

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "( Edisi Revisi Ke-3 )"

Transkripsi

1 ( Edisi Revisi Ke-3 )

2 B

3 ( Edisi Revisi Ke-3 ) A

4 B

5 i

6 ii

7 iii

8 iv

9 v

10 vi

11 vii

12 viii

13 ix

14 x

15 xi

16 xii

17 xiii

18 xiv

19 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Perkebunan Berdasarkan Undang-Undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) bahwa tahun memasuki periode jangka menengah tahap III yang difokuskan dalam memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan IPTEK yang terus meningkat. Implementasi fokus perencanaan jangka menengah tersebut diakomodir dalam dokumen Rencana Strategis. Rencana Strategis Ditjen. Perkebunan tahun disusun dengan mengacu pada arah dan kebijakan pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam RPJMN sesuai amanat Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun Arah kebijakan umum pembangunan nasional tahun adalah 1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan; 2) meningkatkan pengelolaan dan nilai tambah sumber daya alam yang berkelanjutan; 3) mempercepat pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan dan pemerataan; 4) meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mitigasi bencana alam dan penanganan perubahan iklim; 5) penyiapan landasan pembangunan yang kokoh; 6) meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan; dan 7) mengembangkan dan memeratakan pembangunan daerah. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan 9 Agenda Prioritas NAWACITA sebagai jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Pada tahun , sub sektor perkebunan masih menjadi sub sektor penting dalam peningkatan perekonomian nasional. Peran strategis sub sektor perkebunan baik secara ekonomis, ekologis maupun sosial budaya ini digambarkan melalui kontribusinya dalam 1

20 penyumbang PDB; nilai investasi yang tinggi dalam membangun perekonomian nasional; berkontribusi dalam menyeimbangkan neraca perdagangan komoditas pertanian nasional; sumber devisa negara dari komoditas ekspor; berkontribusi dalam peningkatan penerimaan negara dari cukai, pajak ekspor dan bea keluar; penyediaan bahan pangan dan bahan baku industri; penyerap tenaga kerja; sumber utama pendapatan masyarakat pedesaan, daerah perbatasan dan daerah tertinggal; pengentasan kemiskinan; penyedia bahan bakar nabati dan bioenergy yang bersifat terbarukan, berperan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca serta berkontribusi dalam pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan mengikuti kaidah-kaidah konservasi. Sejalan dengan berbagai kontribusi sub sektor perkebunan tersebut maka segala bentuk usaha budidaya perkebunan harus mengedepankan keseimbangan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan alat/sarana prasarana input produksi melalui kegiatan penyelenggaraan perkebunan yang memenuhi kaidah pelestarian lingkungan hidup. Hal tersebut dijelaskan dalam Undang- Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan menyatakan bahwa perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budidaya, panen, pengolahan dan pemasaran terkait tanaman perkebunan. Dengan pengertian yang luas tersebut, penyelenggaraan perkebunan mengemban amanat dalam mendukung pembangunan nasional. Amanat tersebut mengharuskan penyelenggaraan perkebunan ditujukan untuk (1) meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; (2) meningkatkan sumber devisa negara; (3) menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (4) meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing dan pangsa pasar; (5) meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri; (6) memberikan perlindungan pada pelaku usaha perkebunan dan masyarakat; (7) mengelola dan mengembangkan sumber daya perkebunan secara optimal, bertanggung jawab dan lestari; dan (8) meningkatkan pemanfaatan jasa perkebunan. Upaya-upaya yang dilakukan untuk memenuhi amanat penyelenggaraan perkebunan harus didasarkan pada asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, 2

21 kebersamaan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal dan kelestarian lingkungan hidup. Sejarah panjang penyelenggaraan perkebunan di bumi nusantara yang mengedepankan asas-asas tersebut membuktikan bahwa amanat yang diemban dapat dilaksanakan dengan baik, tepat sasaran, berdaya dan berhasil guna bagi peningkatan kesejahteraan pekebun. Amanat pembangunan nasional dalam 9 Agenda Prioritas NAWACITA yang wajib dilaksanakan Ditjen. Perkebunan dalam pengembangan perkebunan tahun sebagaimana tercantum dalam RPJMN mencakup 2 agenda prioritas diantaranya 1) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional dengan sub agenda prioritas akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan agroindustri berbasis komoditas perkebunan; dan 2) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik dengan sub agenda peningkatan kedaulatan pangan. Selain itu, agenda prioritas terkait membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah (perbatasan, daerah tertinggal dan daerah kawasan timur Indonesia) dan desa dalam kerangka negara kesatuan menjadi salah satu arah kebijakan yang akan diprioritaskan Ditjen. Perkebunan melalui kegiatan tematik. Sasaran pokok sub agenda prioritas peningkatan agroindustri adalah peningkatan produksi komoditas andalan dan prospektif ekspor perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kakao, teh, kopi dan kelapa serta mendorong berkembangnya agroindustri di perdesaan. Sedangkan sasaran pokok sub agenda prioritas peningkatan kedaulatan pangan adalah tercapainya peningkatan ketersediaan pangan dari tebu yang bersumber dari produksi dalam negeri untuk memenuhi konsumsi gula rumah tangga dan industri rumah tangga. Secara umum pengembangan komoditas perkebunan difokuskan pada 16 komoditas unggulan yaitu Tebu, Kelapa Sawit, Karet, Kelapa, Kakao, Kopi, Lada, Teh, Pala, Cengkeh, Jambu Mete, Sagu, Kemiri Sunan, Kapas, Tembakau dan Nilam. Penentuan komoditas tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang jenis komoditas tanaman binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura serta Keputusan Menteri Pertanian nomor 3

22 3599/Kpts/PD.310/10/2009 tentang perubahan lampiran I dari Keputusan Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006. Arah pengembangan komoditas-komoditas tersebut dicapai melalui program peningkatan produksi komoditas perkebunan berkelanjutan dengan implementasi kegiatan seperti rehabilitasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi yang didukung oleh penyediaan benih bermutu, pemberdayaan pekebun dan penguatan kelembagaan, pembangunan dan pemeliharaan kebun sumber benih, penanganan pascapanen, pengolahan, fasilitasi pemasaran, standarisasi mutu, pembinaan usaha dan perlindungan perkebunan serta pemberian pelayanan berkualitas dibidang manajemen dan kesekretariatan. Komoditas-komoditas unggulan perkebunan yang masih dalam tahap inisiasi tetap dikembangkan dan difasilitasi Ditjen. Perkebunan yang diarahkan untuk pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM) yang meliputi penyediaan benih/ varietas unggul, pembangunan/ pemeliharaan kebun sumber benih (demplot, kebun induk, kebun entres dan lain-lain), pengendalian OPT, penanganan pascapanen, pemberdayaan pekebun, peningkatan kapasitas sumber daya insani (SDI) dan penguatan kelembagaan. Sedangkan dalam tahap penumbuhan/ pengembangan selain penguatan aspek budidaya dan perlindungan perkebunan juga difasilitasi aspek pengolahan, standarisasi mutu dan pemasarannya. Pemerintah Daerah didorong untuk memfasilitasi dan melakukan pembinaan komoditas spesifik dan potensial di wilayahnya masingmasing. Strategi pengembangan komoditas unggulan perkebunan kedepan perlu ditekankan, diintensifkan dan difokuskan pada peningkatan kualitas komoditas unggulan baik pada penerapan teknologi produksi, teknologi pascapanen, efisiensi biaya produksi, standarisasi mutu, pengolahan sampai dengan pemasaran. Pemberdayaan pekebun dengan fokus pembinaan, pendampingan dan pelatihan kelompok tani dalam optimalisasi komoditas unggulan daerah perlu dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat pekebun secara berjenjang dan berkelanjutan agar terwujud komoditas unggulan nasional yang berkualitas, tangguh dan mampu bersaing dalam era pasar bebas baik pasar global maupun pasar ASEAN. Selain itu aspek penyuluhan akan memegang peranan penting dalam peningkatan kapasitas pengetahuan dan inovasi petani/pekebun. 4

23 Arah kebijakan pembangunan nasional dalam dokumen RPJMN diimplementasikan dalam 11 (sebelas) sasaran strategis Kementerian Pertanian. Sesuai tugas pokok dan fungsinya, Ditjen. Perkebunan bertanggungjawab dalam mendukung pencapaian 7 (tujuh) sasaran strategis yang terbagi kedalam 3 (tiga) sasaran strategis utama dan 4 (empat) sasaran strategis pendukung. Sasaran strategis Ditjen. Perkebunan juga mengacu pada Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) yang fokus dalam hal optimalisasi sumber daya alam (sumber daya lahan, sumber daya genetika dan sumber daya iklim); pengembangan sumber daya insani yang kompeten dan berkarakter (insan berkualitas, modal sosial dan modal politik) pertanian; sistem inovasi science and bio-engineering; infrastruktur pertanian/ perkebunan; sistem usaha tani bio/agro industri dan bio/agro-services terpadu; klaster rantai nilai bio-industri; dan lingkungan pemberdayaan bio-bisnis melalui pendekatan Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan. Sasaran strategis utama Ditjen. Perkebunan tahun yang selaras dengan kebijakan Kementerian Pertanian sebagaimana tertuang dalam Renstra Kementerian Pertanian tahun (edisi revisi) adalah mendukung: 1) pemenuhan penyediaan bahan baku tebu dalam rangka peningkatan produksi gula nasional; 2) peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan yang difokuskan pada pengembangan produk segar dan olahan dari 16 komoditas unggulan perkebunan; 3) pemenuhan penyediaan bahan baku bio-energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bio-industry dengan fokus pengembangan komoditas kelapa sawit baik melalui kegiatan budidaya dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas maupun melalui kegiatan integrasi tanaman perkebunan dengan ternak dan tumpang sari dengan komoditas pertanian lainnya serta penyediaan benih kemiri sunan. Sedangkan sasaran strategis pendukung Ditjen. Perkebunan tahun adalah mendukung: 1) Peningkatan kualitas sumber daya insani perkebunan; 2) Penguatan kelembagaan pekebun dan kemitraan usaha perkebunan; 3) Akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik dengan menerapkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, supremasi hukum, keadilan, integritas/ komitmen, kejujuran, konsistensi dan bebas KKN di lingkungan organisasi Ditjen. Perkebunan; dan 4) Peningkatan 5

24 pendapatan keluarga pekebun yang merupakan resultan dari pencapaian sasaran strategis lainnya. Sasaran strategis tersebut, dituangkan dalam dokumen Renstra Direktorat Jenderal Perkebunan tahun edisi revisi yang substansinya secara garis besar meliputi 1) kondisi umum yang meliputi kinerja pendanaan, makro dan mikro pembangunan perkebunan; 2) potensi dan tantangan; 3) arah kebijakan, sasaran strategis dan strategi Direktorat Jenderal Perkebunan; 4) visi, misi dan tujuan Direktorat Jenderal Perkebunan; 5) program, implementasi agenda prioritas NAWACITA dan kegiatan Direktorat Jenderal Perkebunan; 6) proyeksi kebutuhan investasi dan ketersediaan APBN Direktorat Jenderal Perkebunan tahun dalam ruang lingkup kerangka pendanaan; 7) kerangka regulasi dan kerangka kelembagaan Direktorat Jenderal Perkebunan tahun ; dan 8) dukungan Kementerian/Lembaga dalam pembangunan perkebunan tahun Dokumen Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan tahun ini diharapkan dapat menjadi acuan perancangan/ perencanaan dan pedoman pelaksanaan kebijakan di bidang perkebunan secara nasional baik pusat maupun daerah, menjangkau kemitraan lintas bidang, lintas sektor, lintas program, lintas pelaku dan lintas Kementerian/Lembaga dalam membuka ruang solusi yang lebih lapang seiring dengan semakin luasnya rentang potensi, kelemahan, peluang, tantangan dan permasalahan yang melingkupi penyelenggaraan perkebunan saat ini dan kedepan termasuk dalam menghadapi dinamika lingkungan strategis yang berimplikasi terhadap pengembangan sub sektor perkebunan tahun Dasar Hukum Penyusunan Dasar hukum penyusunan Renstra Ditjen. Perkebunan tahun adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 2. Undang-Undang nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman; 6

25 3. Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 4. Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; 5. Undang-Undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 6. Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; 7. Undang-Undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN); 8. Undang-Undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 9. Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; 10. Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; 11. Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; 12. Undang-Undang 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; 13. Undang-Undang nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial; 14. Undang-Undang nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial; 15. Undang-Undang nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; 16. Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa; 17. Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 18. Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan; 19. Undang-Undang nomor 2 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 20. Undang-Undang nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 21. Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional; 7

26 22. Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi tahun ; 23. Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK); 24. Peraturan Presiden nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; 25. Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal; 26. Peraturan Presiden nomor 97 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu 1 Pintu; 27. Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun ; 28. Peraturan Presiden nomor 45 tahun 2015 tentang Kementerian Pertanian; 29. Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (CPO Supporting Fund); 30. Peraturan Presiden nomor 44 tahun 2016 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal; 31. Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional; 32. Instruksi Presiden RI nomor 3 tahun 2003 tentang e-government; 33. Inpres nomor 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Bio-Fuel) sebagai Bahan Bakar Lain; 34. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 35. Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman; 36. Peraturan Pemerintah nomor 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional; 37. Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan; 8

27 38. Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; 39. Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga; 40. Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2006 tentang Tatacara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional; 41. Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; 42. Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2007 tentang Indikasi Geografis (IG); 43. Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPI); 44. Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil; 45. Peraturan Pemerintah nomor 65 tahun 2012 tentang Makna Bekerja dan Nilai-Nilai Kementerian Pertanian; 46. Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa; 47. Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2015 tentang Penanganan Konflik Sosial (peraturan perundangan turunan Undang-Undang nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial); 48. Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2015 tentang Perubahan atas PP nomor 60 tahun 2014 tentang dana Desa yang bersumber dari APBN; 49. Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan; 50. Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah; 51. Peraturan Menteri Keuangan nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar; 52. Peraturan Menteri Keuangan nomor 113/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (CPO fund); 9

28 53. Peraturan Menteri Keuangan nomor 28/PMK.07/2016 tentang Penggunaan, Pemantauan, Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT); 54. Permen PPN/Kepala Bappenas nomor 5 tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan dan Penelaahan Renstra K/L tahun ; 55. PermenPAN-RB nomor 1 tahun 2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB); 56. Peraturan Menteri Pertanian nomor 58 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Sistem Standardisasi Nasional di Bidang Pertanian; 57. Peraturan Menteri Pertanian nomor 08/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Surabaya; 58. Peraturan Menteri Pertanian nomor 09/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Medan; 59. Peraturan Menteri Pertanian nomor 10/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Ambon; 60. Peraturan Menteri Pertanian nomor 11/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPTP Pontianak; 61. Peraturan Menteri Pertanian nomor 7 tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan; 62. Peraturan Menteri Pertanian nomor 23 tahun 2009 tentang Pedoman Umum SPI; 63. Peraturan Menteri Pertanian nomor 44/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian Asal Tanaman yang Baik (Good Handling Practises); 64. Peraturan Menteri Pertanian nomor 20/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian; 65. Peraturan Menteri Pertanian nomor : 56/Permentan/RC.040/11/2016 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian; 66. Peraturan Menteri Pertanian nomor 79/Permentan/ OT.140/12/2012 tentang Pedoman Pembinaan dan Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A); 67. Peraturan Menteri Pertanian nomor 64 tahun 2013 tentang Sistem Pertanian Organik; 10

29 68. Peraturan Menteri Pertanian nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan; 69. Peraturan Menteri Pertanian nomor 105/Permentan/PD.300/8/2014 tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan Usaha Budidaya Sapi Potong; 70. Peraturan Menteri Pertanian nomor 14.1/Permentan/RC.220/4/2015 tentang Pedoman Upaya Khusus Percepatan Swasembada Pangan dan Peningkatan Produksi Komoditas Strategis melalui APBN-P tahun 2015; 71. Peraturan Menteri Pertanian nomor 11/Permentan/ OT.140/ 3/ 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ ISPO); 72. Peraturan Menteri Pertanian nomor 22/Permentan/HK.140/4/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian nomor 44/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian Asal Tanaman yang Baik (Good Handling Practises); 73. Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian; 74. Peraturan Menteri Pertanian nomor 08/Permentan/KB.400/2/2016 tentang Pedoman Perencanaan Perkebunan Berbasis Spasial; 75. Peraturan Menteri Pertanian nomor: 18/ Permentan/KB.330/5/2016 tentang Pedoman Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit; 76. Peraturan Menteri Pertanian nomor 29/Permentan/KB.410/5/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanin nomor: 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan; 77. Peraturan BNPP nomor 1 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara tahun ; 78. Keputusan Menteri Pertanian nomor 803/Kpts/OT.210/7/1997 tentang Sertifikasi dan Peredaran Benih Bina; 79. Keputusan Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura; 11

30 80. Keputusan Menteri Pertanian nomor 3599 tahun 2009 tentang Perubahan Lampiran Keputusan Menteri Pertanian nomor 511 Tahun 2006 tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura; 81. Keputusan Menteri Pertanian nomor 4472/Kpts/OT.160/7/2013 tentang Tim Penilai dan Pelepas Varietas (TP2V) Tanaman Pangan, Perkebunan dan Tanaman Pakan Ternak; 82. Keputusan Menteri Pertanian nomor 830/Kpts/RC.040/12/2016 tentang Lokasi Pengembangan Kawasan Pertanian Nasional; 83. Keputusan Menteri Pertanian nomor 584/Kpts/OT.050/10/2015 tentang Kelompok Kerja Pengembangan Seribu Desa Pertanian Organik; 84. Peraturan Direktur Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan nomor PER-3/ AG/ 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Penelitian dan Penelaahan Informasi Kinerja Hasil Penataan Arsitektur dan Informasi Kinerja (ADIK) Kementerian Negara/ Lembaga; 85. SNI 6729:2010 tentang Sistem Pangan Organik; 86. SNI 6729:2013 tentang Sistem Pertanian Organik Kondisi Umum Pembangunan Perkebunan Sub sektor perkebunan sejak berdirinya NKRI bahkan jauh sebelumnya telah memainkan peranan penting dalam pembangunan di Nusantara yang secara garis besar meliputi 3 aspek utama yaitu ekonomi, sosial budaya dan ekologi. Gambaran kontribusi sub sektor perkebunan dalam ketiga aspek dimaksud pada jangka menengah dapat dilihat dari kinerjanya baik secara makro maupun mikro selama periode sebagai berikut: Kinerja Pendanaan Pembangunan Perkebunan Tahun Realisasi pendanaan Direktorat Jenderal Perkebunan melalui APBN untuk pembiayaan pembangunan perkebunan pada Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Perkebunan Berkelanjutan tahun disajikan pada Tabel 1. 12

31 Tabel 1. Realisasi Penyediaan Dana APBN Untuk Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Perkebunan Berkelanjutan Tahun No. Kegiatan 1. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Semusim 2. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan 3. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Rempah dan Penyegar 4. Dukungan Penanganan Pascapanen dan Pembinaan Usaha realisasi APBN (milyar rupiah) per tahun ,78 231,58 779,58 511,36-78,05 218,89 209,87 173, ,55 728,03 354,23 325,71-3,62 25,19 36,14 37,08 5. Dukungan Perlindungan Perkebunan - 25,66 28,70 77,47 76,81 6. Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Ditjen. Perkebunan 7. Dukungan Pengujian dan Pengawasan Mutu Benih serta Penerapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan (Surabaya, Medan dan Ambon) - 194,86 183,42 134,49 129,09-73,99 72,95 181,03 66,60 8. Peningkatan Ketahanan Pangan 32, Pengembangan Agribisnis 273, Peningkatan Kesejahteraan Petani 78, Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara 0, Penyelenggaraan Pemerintah yang Baik 70, Jumlah 454, , , , ,62 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Kinerja Makro Pembangunan Perkebunan Tahun Gambaran kinerja makro pembangunan perkebunan yang telah dicapai selama periode disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kinerja Makro Pembangunan Perkebunan tahun No. Indikator 1. Pertumbuhan PDB a. Harga Berlaku (Rp. Milyar) b. Harga Konstan 2010 (Rp. Milyar) Capaian 2010 Capaian 2011 capaian makro per tahun Capaian 2012 Capaian 2013 Capaian 2014 Laju Pertumb. (%) , ,99 13

32 No. 2. Tenaga Kerja Indikator a. Keterlibatan (juta orang) b. Pendapatan Pekebun (US$/KK) 3. Ekspor Capaian 2010 Capaian 2011 capaian makro per tahun Capaian 2012 Capaian 2013 Capaian 2014 Laju Pertumb. (%) 20,58 20,94 21,12 22,51 22,16 1, ,31 a. Volume (ribu ton) , , , , ,01 8,09 b. Nilai (US$ milyar) 24,73 32,22 29,96 26,77 26,78 3,17 4. Impor a. Volume (ribu ton) 1.704, , , , ,12 26,50 b. Nilai (US$ milyar) 1,51 2,87 4,19 4,13 3,94 32,49 5. Investasi (Rp. Triliun) 6. Neraca Perdagangan Perkebunan (US$ milyar) 0,45 1,98 1,49 1,77 1,32 77,16 23,23 29,36 25,77 22,63 22,84 0,73 7. NTP Perkebunan Rakyat 106,50 109,58 108, ,38 100,86-1,31 8. Penerimaan Negara Lainnya (Rp. Milyar) : a. Cukai Hasil Tembakau , , , , ,00 15,28 b. Bea Keluar CPO dan turunannya 4.157, , , , ,24 *) 49,66 c. Bea Keluar Biji Kakao 510,37 354,00 123,07 231,48 176,04 *) -7,93 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Keterangan: *) Angka sementara Tabel 2 memperlihatkan bahwa capaian pertumbuhan PDB selama berdasarkan harga berlaku dan harga konstan menunjukkan pola pertumbuhan yang positif. Pola pertumbuhan PDB ini menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh penguatan kondisi perekonomian global. Walaupun terdapat sumber sentimen negatif atas perlambatan ekonomi Tiongkok dan Jepang yang selama ini menjadi mitra dagang utama Indonesia baik ekspor maupun impor tetapi pola ekspor komoditas perkebunan ke negara Uni Eropa, ASEAN dan Amerika Serikat diyakini berpengaruh positif terhadap pola pertumbuhan PDB yang juga berpengaruh terhadap trend positif volume dan ekspor komoditas perkebunan serta peningkatan neraca perdagangan. Faktor lainnya adalah peningkatan produksi dari beberapa komoditas unggulan 14

33 perkebunan terutama komoditas andalan ekspor seperti komoditas kelapa sawit, karet, kelapa, tebu, kakao dan kopi. Berdasarkan lapangan usaha, keterlibatan tenaga kerja perkebunan masih menunjukkan pertumbuhan positif. Rata-rata penyerapan tenaga kerja selama adalah 21,46 juta orang dengan pertumbuhan sebesar 1,91%. Kemampuan sub sektor perkebunan dalam menarik minat tenaga kerja sebagian besar dipengaruhi penyerapan tenaga kerja dari komoditas kelapa sawit yang memberikan potensi ekonomi yang cukup tinggi bagi masyarakat pekebun. Impor komoditas perkebunan masih membanjiri pasar dalam negeri dengan peningkatan pertumbuhan yang tinggi yaitu 26,50% dari sisi volume dan 32,49% dari sisi nilai. Hal ini menjelaskan bahwa produsen nasional masih belum dapat memenuhi kebutuhan dan ketersediaan produk perkebunan olahan di dalam negeri baik dalam hal volume, kualitas dan daya saing harga. Direktorat Jenderal Perkebunan terus berupaya meningkatkan pengembangan komoditas ekspor perkebunan melalui fasilitasi anggaran dan regulasi tetapi perlu didukung oleh Kementerian/Lembaga dan pemangku kepentingan perkebunan lainnya. Peran Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian BUMN dan Kementerian/Lembaga terkait lainnya sangat besar terutama dalam hal peningkatan produksi gula nasional di aspek hilir karena impor tebu (molasses) masih mendominasi impor komoditas perkebunan dengan volume impor sampai dengan tahun 2014 mencapai 2,99 juta ton dan nilai impor sebesar US$ 1,33 milyar. Capaian laju pertumbuhan pendapatan pekebun selama menunjukan trend positif dengan persentase pertumbuhan rata-rata mencapai 4,31%. Hal ini membuktikan bahwa komoditas perkebunan baik di pasar internasional maupun dalam negeri mampu menyediakan jaminan harga yang bersaing. Para pekebun sebagian besar sudah mengembangkan sistem budidaya yang baik melalui penerapan Good Agriculture Practice (GAP) serta pengembangan sistem pertanian polikultur, terpadu dan terintegrasi dengan ternak atau tanaman lain sehingga memiliki nilai tambah bagi pendapatan pekebun. Hal yang menggembirakan di sub sektor perkebunan adalah masuknya investasi yang menunjukkan pola positif dengan tumbuh sebesar 77,16% selama 5 tahun, hal ini didukung oleh iklim usaha perkebunan yang mendukung usaha budidaya perkebunan, jaminan pasar dan besarnya dukungan 15

34 pemerintah dalam hal regulasi terhadap komitmen dunia usaha untuk berinvestasi. Penerimaan negara lainnya seperti cukai hasil tembakau dan bea keluar CPO selama 5 tahun mengalami pola pertumbuhan yang meningkat signifikan. Laju pertumbuhan cukai hasil tembakau sampai dengan tahun 2014 sebesar 15,28%, sedangkan untuk bea keluar CPO dan turunannya sebesar 49,66%. Industri Hasil Tembakau mempunyai peran cukup besar terhadap penerimaan negara melalui pajak dan cukai, penyerapan tenaga kerja, penerimaan ekspor dan perlindungan terhadap petani tembakau dan dampak ganda lainnya. Namun disisi lain, industri hasil tembakau juga memberikan efek negatif bagi aspek kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, setiap kebijakan terhadap industri hasil tembakau sepatutnya mempertimbangkan beberapa aspek yang saling bertolak belakang tersebut. Dalam hal ini, pemerintah telah memiliki Roadmap Industri Hasil Tembakau yang disusun para stakeholder yang berkepentingan. Dalam road map tesebut, arah kebijakan Industri Hasil Tembakau tahun diprioritaskan pada aspek kesehatan masyarakat, tenaga kerja dan penerimaan negara. Pada tabel 2 menunjukkan peningkatan laju pertumbuhan cukai hasil tembakau mengindikasi semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat Indonesia pada komoditas tembakau (sebagian besar kebutuhan turunannya berupa rokok) baik kebutuhan dalam negeri maupun kebutuhan ekspor. Industri Hasil Tembakau memiliki sumbangan yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja yang merupakan salah satu objek sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang berkaitan dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT). Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau setiap tahun terus meningkat. Secara berturut-turut pada 5 tahun terakhir diperoleh data bahwa pada tahun 2011 sebesar 73,3 triliun rupiah, tahun 2012 sebesar 90,6 triliun rupiah, tahun 2013 sebesar 100,7 triliun rupiah, tahun 2014 sebesar 111,4 triliun rupiah dan tahun 2015 sebesar 139,5 triliun rupiah (Sumber: Ditjen. Bea Cukai). Industri Hasil Tembakau (IHT) memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap cukai negara. Kontribusi rokok terhadap cukai tahun 2015 sebesar 139,5 triliun rupiah atau 95% dari penerimaan cukai total. IHT juga berkontribusi langsung terhadap penerimaan daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil-Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) yang besarnya 2% dari total cukai nasional yang didistribusikan ke daerah-daerah penghasil tembakau. Selain cukai hasil tembakau terdapat pajak rokok 16

35 yang nilainya sebesar 10% dari cukai per batang rokok yang hasilnya dibagikan ke semua provinsi sesuai proporsi populasi tiap provinsi. Pajak rokok mulai dijalankan sejak bulan Januari Realisasi total produksi rokok pada tahun 2013 sebesar 341,9 miliar batang dan di tahun 2014 di proyeksikan mencapai milyar batang (Ditjen. Beacukai, 2014). Dengan jumlah produksi sebesar itu, konsumsi rokok rata-rata masyarakat Indonesia tahun 2013 mencapai 302 milyar batang dan bila dikonversikan dengan jumlah konsumen maka terdapat sekitar 77,8 juta orang (dengan asumsi rata-rata perokok menghabiskan 1 bungkus/hari). Landasan kebijakan pemerintah dalam mengendalikan ekspor minyak sawit adalah dengan mengenakan pajak ekspor dalam bentuk Bea Keluar. Tujuan utamanya untuk menjaga stabilitas harga di pasaran domestik. Kebijakan Bea Keluar mampu mengubah komposisi produksi dan ekspor kelapa sawit Indonesia. Dominasi ekspor produk hulu secara bertahap digantikan produk hilir kelapa sawit sehingga nilai tambah pengolahan produk perlahan dapat dinikmati stakeholder kelapa sawit domestik. Laju pertumbuhan rata-rata BK CPO dan turunannya tahun cenderung meningkat signifikan tetapi jika dilihat pada tabel 2 dari tahun , pertumbuhan BK CPO dan turunannya cenderung menurun. Hal ini diakibatkan oleh sepanjang tahun harga CPO sulit untuk terdongkrak naik karena harga minyak nabati lain seperti kedelai, rapeseed dan biji bunga matahari juga mengalami penurunan karena melimpahnya stok. Sepanjang tahun 2014 negara tujuan ekspor CPO terbesar Indonesia masih diduduki India, negara Uni Eropa dan Tiongkok. Ekspor CPO ke India cenderung menurun karena berbagai faktor seperti melambatnya pertumbuhan ekonomi India akibat inflasi di dalam negeri yang tinggi, lemahnya nilai tukar rupee terhadap dollar AS pada pertengahan hingga akhir tahun. Hal ini juga diperparah dengan jatuhnya harga minyak dunia. Untuk mengatasi jatuhnya harga CPO dunia, pemerintah menetapkan Bea Keluar minyak sawit mentah (crude palm oil/cpo) untuk ekspor. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, jika harga referensi CPO di bawah US$ 750 per metrik ton (MT) maka tidak dikenai BK (0%), sedangkan jika harga bergerak ke kisaran US$ per MT akan dikenai 7,5% dan ketika harga referensi menyentuh US$ per MT akan dipungut 17

36 22,5%. Kebijakan penghapusan Bea Keluar akan mendorong meningkatnya ekspor CPO. Disisi lain, CPO akan semakin unggul dalam persaingan dengan minyak nabati lain di perdagangan global. Kebijakan tarif Bea Keluar untuk hilirisasi industri sawit bersifat eskalatif yang artinya tarif produk hulu dari minyak sawit dikenakan Bea Keluar lebih tinggi dibandingkan produk hilirnya. Hal ini bertujuan memberikan insentif bagi pelaku usaha dalam mengembangkan industri hilir di dalam negeri yang pada gilirannya nilai tambah (value added) pengolahan minyak sawit diharapkan dapat dinikmati ekonomi domestik. Di sisi lain, Pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan kembali struktur tarif Bea Keluar dengan skema baru. Struktur Bea Keluar nantinya didesain untuk memaksa agar produsen berinovasi dalam pengembangan dan penciptaan produk baru dari kelapa sawit yang bernilai tambah tinggi. Melihat anomali iklim di Indonesia, Industri sawit dalam negeri kedepan akan berada pada level yang stagnan dan bahkan cenderung menurun akibat harga CPO yang terus merosot. Namun, dengan mandatori biodiesel 10% (B10) yang diterapkan sejak tahun 2014 dan akan dinaikkan menjadi 20% (B20) pada tahun 2016 hingga B30 pada tahun 2020, maka akan ada peralihan dari bahan baku yang sesungguhnya akan diekspor dipergunakan untuk pasokan dalam negeri dengan tujuan pemenuhan bahan baku bio-diesel. Terkait penerimaan negara lainnya yang sampai dengan tahun 2014 cenderung menurun adalah bea keluar biji kakao dengan laju pertumbuhan selama 5 tahun sebesar -7,93%. Penurunan penerimaan negara dari BK kakao disebabkan oleh melemahnya harga internasional untuk komoditas kakao sehingga ekspor kakao cenderung menurun. Disamping itu kakao Indonesia kurang dapat bersaing di pasar Internasional karena kualitas internasional lebih menginginkan kakao fermentasi, sedangkan pekebun kakao Indonesia masih sulit melakukan pascapanen biji kakao dalam bentuk fermented karena margin harga yang tidak jauh berbeda dengan biji kakao non fermented. Faktor eksternal yang juga jadi pengaruh besar yaitu Pantai Gading dan Ghana sebagai Negara produsen utama kakao dunia sudah memasuki panen raya sehingga biji coklat dari dua negara ini membanjiri pasar internasional dan harga kakao dunia cenderung turun. Kebijakan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar menetapkan BK biji kakao yaitu mematok tarif Bea Keluar (BK) sebesar 0-15% atas ekspor 18

37 biji kakao dengan melihat patokan harga referensi biji kakao dunia. Untuk harga referensi sampai dengan US$ tidak dikenakan tarif BK (0%), harga referensi US$ ditetapkan tarif BK sebesar 5%, harga referensi US$ ditetapkan tarif BK sebesar 10% dan harga referensi lebih dari US$ ditetapkan tarif BK sebesar 15%. Kebijakan ini diambil untuk menghambat ekspor biji mentah dan mendorong hilirisasi industri kakao. Dengan demikian diharapkan industri kakao nasional lebih berdaya saing dan memberikan nilai tambah lebih bagi ekonomi nasional Kinerja Mikro Pembangunan Perkebunan Tahun Berikut ini adalah kinerja mikro pembangunan yang telah dicapai dalam upayanya mengembangkan komoditas perkebunan selama tahun yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kinerja Luas Areal Komoditas Perkebunan tahun No Komoditas Capaian 2010 capaian luas areal (hektar) per tahun Capaian 2011 Capaian 2012 Capaian 2013 Capaian 2014 Laju Pertumb. (%) 1. Karet ,15 2. Kelapa Sawit ,45 3. Kelapa ,86 4. Kopi ,42 5. Kakao ,18 6. Jambu Mete ,76 7. Lada ,37 8. Cengkeh ,07 9. Teh , Jarak Pagar , Kemiri Sunan , Tebu , Kapas , Tembakau , Nilam ,55 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Tabel capaian luas areal komoditas perkebunan sampai dengan tahun 2014 berfluktuasi tetapi sebagian besar menunjukkan laju pertumbuhan yang positif. Sampai dengan tahun 2014, berdasarkan analisis 19

38 perhitungan bahwa luas areal 15 komoditas perkebunan rata-rata tumbuh sebesar 2,89%. Trend pertumbuhan luas areal tertinggi di capai oleh komoditas kelapa sawit yang berada di atas 6%. Komoditas kelapa sawit masih menjadi daya tarik pekebun dalam meningkatkan luas areal termasuk bukaan baru, terlebih banyaknya perusahaan perkebunan swasta yang berinvestasi untuk penanaman kelapa sawit. Kontribusi ekonomi cukup menarik pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dalam meningkatkan luas areal pengembangannya walaupun fasilitasi Direktorat Jenderal Perkebunan hanya terbatas pada kegiatan sosialisasi penggunaan benih unggul, perluasan areal pada wilayah perbatasan/ daerah tertinggal, pengendalian OPT dan model pengembangan karena adanya pelimpahan tupoksi kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Selain komoditas kelapa sawit, komoditas perkebunan lainnya yang berorientasi ekspor juga menunjukkan pola pertumbuhan positif seperti cengkeh, tebu, karet, kakao, kopi dan tembakau. Sedangkan sampai dengan tahun 2014, komoditas kelapa, jambu mete, lada, teh, jarak pagar dan kapas menunjukkan pola negatif. Berbagai faktor menjadi penyebab terjadinya penurunan luas areal komoditas-komoditas tersebut, salah satu diantaranya adalah konversi ke komoditas lain yang lebih ekonomis. Tabel 4. Kinerja Produksi Komoditas Perkebunan tahun No Komoditas 1. Karet (karet kering) 2. Kelapa Sawit (CPO) 3. Kelapa (kopra) 4. Kopi (kopi berasan) 5. Kakao (biji kering) 6. Jambu Mete (gelondong kering) 7. Lada (lada kering) 8. Cengkeh (bunga kering) Capaian 2010 capaian produksi (ton) per tahun Capaian 2011 Capaian 2012 Capaian 2013 Capaian 2014 Laju Pertumb. (%) , , , , , , , ,22 20

39 No Komoditas 9. Teh (daun kering) 10. Jarak Pagar (biji kering) 11. Kemiri Sunan (biji kering) Capaian 2010 capaian produksi (ton) per tahun Capaian 2011 Capaian 2012 Capaian 2013 Capaian 2014 Laju Pertumb. (%) , , , Tebu (gula) , Kapas (serat berbiji) 14. Tembakau (daun kering) 15. Nilam (minyak nilam) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, , , ,49 Tabel capaian produksi komoditas perkebunan sampai dengan tahun 2014 menunjukan pola fluktuatif tetapi sebagian besar menunjukkan laju pertumbuhan yang positif. Berdasarkan analisis perhitungan bahwa pertumbuhan produksi 15 komoditas perkebunan sampai dengan tahun 2014 tumbuh cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 5,60%. Perkembangan produksi komoditas perkebunan umumnya di dorong oleh kondisi pasar yang kondusif, di samping komitmen pemerintah dan pelaku usaha yang turut berkontribusi dalam mengembangkan komoditas tersebut. Usaha perkebunan tembakau didominasi oleh perkebunan rakyat. Tingginya laju produksi rata-rata tembakau menunjukkan besarnya kekuatan sumber daya pekebun dalam mengembangkan suatu komoditas yang dapat memberikan jaminan harga yang remuneratif meskipun dibatasi oleh berbagai peraturan dan tanpa adanya bantuan input produksi dari APBN. Namun demikian, peran Pemerintah dalam upaya peningkatan produksi tembakau, masih tetap dilakukan terutama dalam hal pembinaan dan pengawalan serta pemberdayaan petani baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Adanya alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) kepada daerah penghasil tembakau, memungkinkan Pemerintah Daerah membina para pekebun tembakau di wilayahnya secara lebih intensif. DBH-CHT mulai diberikan pada tahun 2008 dengan realisasi sekitar 200 milyar rupiah dan sampai dengan tahun 2016 mengalami peningkatan realisasi sebesar 2,79 triliun rupiah atau mengalami pertumbuhan setiap 21

40 tahunnya sebesar 67,4%. Pada tahun 2016, telah terbit Permenkeu nomor: 28/PMK.07/2016 tanggal 19 Februari 2016 tentang Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Bagi Hasil-Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT). Pada Bab II penggunaan DBH-CHT (pasal 2) menyatakan prinsip penggunaan DBH-CHT ditentukan sebagai berikut: a. Paling sedikit 50% untuk mendanai program/ kegiatan yang terdiri dari peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai dan pemberantasan barang kena cukai illegal. b. Paling banyak 50% untuk mendanai program/ kegiatan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah. Program peningkatan kualitas bahan baku dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian dalam hal ini dilaksanakan oleh Ditjen. Perkebunan. Program peningkatan kualitas bahan baku meliputi kegiatan standarisasi kualitas bahan baku, pembudidayaan bahan baku berkadar nikotin rendah, penyediaan sarana laboratorium uji dan pengembangan metode pengujian, penanganan panen dan pasca panen bahan baku, pembinaan dan fasilitasi pembentukan dan/ atau pengesahan badan hukum kelompok tani tembakau serta pengembangan bahan baku alternative untuk tembakau Virginia. Usaha perkebunan kelapa sawit, meskipun didominasi oleh perusahaan perkebunan besar (±59%) namun kontribusi perkebunan rakyat dalam peningkatan produksi kelapa sawit nasional tidak dapat diabaikan. Laju peningkatan produksi rata-rata selama periode dapat lebih ditingkatkan apabila berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pekebun kelapa sawit, seperti dominannya tanaman tua di pertanaman dan buruknya infrastruktur, dapat diselesaikan dalam skala yang lebih luas. Fasilitasi Direktorat Jenderal Perkebunan melalui APBN untuk pengembangan komoditas kelapa sawit dilakukan melalui kegiatan demplot model peremajaan kelapa sawit, penanganan OPT, perluasan areal di daerah perbatasan/ daerah tertinggal, pergantian benih tidak bersertifikat dengan benih unggul bermutu dan bersertifikat dalam skala terbatas, serta mendorong lebih banyak pekebun untuk dapat memanfaatkan fasilitas subsidi bunga perbankan yang disalurkan melalui program skim Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) dalam rangka pengembangan usaha perkebunan kelapa sawitnya. Fasilitasi Direktorat Jenderal Perkebunan untuk komoditas cengkeh, karet, jambu mete dan lada selama 5 tahun ini cukup berhasil. Hal ini 22

41 dibuktikan sampai dengan tahun 2014, laju pertumbuhan produksi ratarata keempat komoditas tersebut mencapai 1-8%. Selama ini kegiatan peremajaan, rehabilitasi, intensifikasi dan perluasan tanaman cengkeh, jambu mete dan lada serta kegiatan peremajaan, intensifikasi dan perluasan tanaman karet di wilayah khusus (perbatasan, daerah tertinggal, pasca bencana dan pasca konflik) cukup mengangkat tingkat produksi tanaman. Dalam usaha perkebunan tebu, selama periode terjadi peningkatan produksi tebu yang cukup signifikan. Rasionalisasi atau penataan varietas tebu untuk mendapatkan komposisi varietas tebu unggul dan penerapan sistem tebangan Manis, Bersih dan Segar (MBS) menjadi salah satu pengungkit peningkatan produksi tebu. Peran pemerintah pusat dalam APBN diwujudkan dalam bentuk penyediaan benih unggul bermutu melalui pembangunan Kebun Benih Induk (KBI) dan Kebun Benih Datar (KBD) menggunakan teknik kultur jaringan, bantuan alat dan mesin pertanian, bongkar ratoon, rawat ratoon dan perluasan areal pada daerah potensial pengembangan tebu. Komoditas kemiri sunan, kapas, jarak pagar, kakao, kopi, kelapa dan teh menunjukkan laju pertumbuhan produksi dengan pola negatif yang cukup tinggi sampai dengan tahun 2014 yaitu berturut-turut sebesar - 37,50%, -23,65%, -10,43%, -3,16%, -1,44%, -1,28% dan -0,28%. Untuk Kemiri Sunan, secara umum hal ini disebabkan kegiatan pengembangan Kemiri Sunan selama periode baru dimulai rintisannya tahun 2011 dan diarahkan pada perluasan areal penanaman sehingga diproyeksikan baru berproduksi pada tahun Adapun biji kemiri sunan dari pohon-pohon kemiri sunan yang tumbuh secara alami tidak dipanen karena fasilitas unit pengolahannya belum cukup tersedia. Untuk komoditas kapas, rendahnya trend produksi antara lain disebabkan jaminan pasar dan harga yang kurang bersaing untuk menarik minat petani dalam membudidayakan kapas. Untuk komoditas jarak pagar, masih diperlukan penelitian lebih lanjut agar dapat dihasilkan varietas unggul baru, teknik budidaya jarak pagar yang produktivitasnya tinggi dan mekanisme usahanya ditingkat petani yang dapat menghasilkan keuntungan. Pada komoditas kakao, walaupun program Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (Gernas) Kakao cukup memberikan dampak bagi kinerja komoditas kakao tetapi persoalan serangan OPT dan banyaknya tanaman tua/ rusak menjadi faktor penyebab terbesar dari penurunan produksi. Kendala lahan dan produktivitas masih menjadi simpul kritis 23

42 pengembangan kopi ditengah meningkatnya permintaan dunia akan biji kopi berkualitas. Untuk komoditas kelapa, banyaknya tanaman tua/ rusak dan rendahnya produktivitas, persoalan lahan cukup berpengaruh terhadap penurunan produksi. Kendala peningkatan produksi komoditas teh sebagian besar disebabkan produktivitas tanaman yang menurun akibat banyaknya tanaman tua/rusak sehingga kedepan perlu adanya kegiatan peremajaan tanaman. Tabel 5. Kinerja Produktivitas Komoditas Perkebunan tahun No Komoditas Capaian 2010 capaian produktivitas (kg/ha) per tahun Capaian 2011 Capaian 2012 Capaian 2013 Capaian 2014 Laju Pertumb. (%) 1. Karet ,72 2. Kelapa Sawit ,12 3. Kelapa ,49 4. Kopi ,23 5. Kakao ,30 6. Jambu Mete ,16 7. Lada ,66 8. Cengkeh ,48 9. Teh , Jarak Pagar , Kemiri Sunan , Tebu , Kapas , Tembakau , Nilam ,96 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Berdasarkan analisis perhitungan bahwa trend pertumbuhan produktivitas rata-rata 15 komoditas perkebunan sampai dengan tahun 2014 mengalami pola negatif sebesar -0,52%. Walaupun demikian, sebagian besar komoditas yang menunjukkan laju pertumbuhan produktivitas yang positif. Komoditas cengkeh, nilam, jambu mete, kakao, teh, tembakau, karet, tebu, lada dan kelapa sawit menunjukkan trend pertumbuhan produktivitas yang positif dengan persentase range antara 0,12-7,48% sampai dengan tahun 2014 sedangkan laju pertumbuhan produktivitas komoditas kapas, jarak pagar, kopi dan kelapa menunjukkan pola negatif. 24

43 Laju pertumbuhan produksi beberapa komoditas perkebunan diiringi dengan meningkatnya produktivitas tanaman. Hal ini ditunjukkan pada komoditas tembakau, cengkeh, kelapa sawit, karet, jambu mete, tebu, lada dan nilam. Kedelapan komoditas tersebut menunjukkan trend positif yang disebabkan oleh kontribusi kegiatan-kegiatan yang dialokasikan Direktorat Jenderal Perkebunan pada sentra-sentra produksi untuk memacu produktivitas tanaman seperti 1) kegiatan peremajaan dan perluasan areal pada komoditas karet dan jambu mete; 2) intensifikasi dan rehabilitasi pada komoditas cengkeh dan lada, 3) kegiatan pengendalian OPT dan SL-PHT, 4) kegiatan rawat ratoon, bongkar ratoon, perluasan areal dan bantuan peralatan pada komoditas tebu; 5) kegiatan pengembangan komoditas nilam dan tembakau dalam skala terbatas; 6) pengembangan komoditas kelapa sawit yang meliputi pergantian benih bersertifikat, model pengembangan dan perluasan daerah khusus; dan 7) pemberdayaan petani yang secara tidak langsung membina petani untuk meningkatkan produktivitas tanamannya. Laju pertumbuhan produktivitas kapas dan jarak pagar menunjukkan pola negatif yang cukup besar. Rendahnya produktivitas jarak pagar pada dasarnya disebabkan belum adanya varietas tanaman yang dapat menghasilkan produksi yang maksimal dengan rendemen yang layak untuk bahan baku sumber bahan bakar nabati (BBN). Selain itu keterbatasan lahan masih menjadi kendala budidaya. Kedepan, pengembangan komoditas jarak pagar dititikberatkan pada penelitian untuk menghasilkan varietas-varietas unggul dan peran Badan Litbang Pertanian akan sangat penting dalam menciptakan varietas-varietas unggul komoditas jarak pagar. Berkaitan dengan hal tersebut, komoditas jarak pagar tidak lagi menjadi komoditas perkebunan unggulan nasional pada Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan periode Ketidakpastian iklim menjadi salah satu faktor yang turut mempengaruhi penurunan produktivitas tanaman kapas. Disamping itu penurunan animo para pekebun untuk mengusahakan kapas terkait harga jual serat kapas berbiji yang dianggap tidak memberikan keuntungan juga menjadi faktor penyebab penurunan produktivitas kapas. 25

44 1.4. Potensi dan Tantangan Sebagai salah satu institusi pelaksana pembangunan perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan harus dapat merumuskan kebijakan, menyusun strategi, program serta kegiatan yang dapat mengoptimalkan potensi dan menjawab tantangan pembangunan perkebunan selama 5 tahun kedepan Potensi Pembangunan Perkebunan Pembangunan perkebunan kedepan akan tetap berfungsi sebagai salah satu pilar ekonomi yang akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini dimungkinkan apabila kita dapat memanfaatkan peluang-peluang yang ada baik peluang secara umum maupun peluang secara khusus menyangkut kondisi Direktorat Jenderal Perkebunan sebagai berikut: A. Potensi Pembangunan Perkebunan secara umum Berikut ini akan dijabarkan beberapa potensi pembangunan perkebunan yang secara umum berkaitan dengan kondisi sumber daya alam, lahan dan air, sumber daya insani, inovasi teknologi, lingkungan, demografi, bahan baku biologi/ benih, sistem infomasi manajemen, partisipasi masyarakat, semangat desentralisasi, anggaran, kelembagaan, pasar dan aspek kepemerintahan/ reformasi birokrasi dalam membangun perkebunan kedepan. 1) Keanekaragaman hayati melimpah sebagai Negara Tropis Kondisi alam Indonesia merupakan salah satu keunggulan komparatif yang dapat dieksplorasi untuk menjadi modal penting pembangunan perkebunan. Sebagai negara tropis maka Indonesia secara alami merupakan kawasan dengan efektivitas dan produktivitas yang tinggi dalam pemanenan dan transformasi energi matahari menjadi bio-massa dan feedstock bio-industry. Kondisi ini juga dapat menjadi basis keunggulan kompetitif dalam bio-economic. Bio-economic adalah semua aktivitas ekonomi yang menggunakan sumberdaya hayati untuk menghasilkan bahan kimiawi, material dan bahan bakar nabati untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan. Indonesia merupakan salah satu negara mega biodiversity yang mempunyai jumlah keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Walaupun luas daratannya hanya 1,3% dari seluruh daratan bumi tetapi Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat 26

45 berlimpah. Sekitar 10% varietas bunga, 12% spesies mamalia, 16% spesies reptil dan amphibia, 17% spesies burung serta 25% spesies ikan terdistribusi di Indonesia. Sebagian spesies bahkan tidak terdapat di belahan bumi lain. Potensi sumber hayati berasal dari tumbuhan ada sekitar yang terdiri dari jenis jamur, 400 jenis tanaman penghasil buah, 370 jenis tanaman penghasil sayuran, 70 jenis tanaman berumbi, 60 jenis tanaman penyegar dan 55 jenis tanaman rempah. Melimpahnya keanekaragaman flora merupakan potensi sumber daya genetik untuk menghasilkan klon/varietas unggul perkebunan disamping dapat dimanfaatkan sebagai bahan bio-fuel, bio-pesticide, bio-fertilizer atau untuk tujuan komersial lainnya. Selain itu, keanekaragaman hayati tersebut merupakan tumpuan hidup manusia karena setiap orang membutuhkannya untuk menopang kehidupan, sebagai sumber pangan, pakan, bahan baku industri, farmasi dan obat-obatan. Salah satu pemanfaatan keanekaragaman hayati adalah melalui perdagangan tanaman obat dengan nilai perdagangan tanaman obat dan produk berasal dari tumbuhan termasuk suplemen. Selain berfungsi untuk menunjang kehidupan manusia, keanekaragaman hayati memiliki peranan dalam mempertahankan keberlanjutan ekosistem. Lebih berkembang lagi, beberapa tanaman merupakan komoditas spesifik perkebunan yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga sangat berpotensi untuk mengisi pasar baik dalam negeri maupun luar negeri. Dalam bidang pengendalian organisme penganggu tanaman (OPT) perkebunan adanya potensi hayati dari organisme berupa jamur, bakteri, virus, nematode, mikroplasma, protozoa atau jasad renik lainnya (mikroorganisme antagonistic), serta golongan hewan dan serangga yang bersifat predator (parasitoid). Organisme tersebut keberadaannya di alam memegang peran yang sangat penting dan ikut menentukan keseimbangan alam, oleh karena itu sering disebut musuh alami untuk pengendalian hama, penyakit dan organisme penganggu tanaman perkebunan. Keberadaan musuh alami ini sering mengalami goncangan bahkan hampir menghilang, hal ini sebagai konsekuensi logis dari perubahan bioekosistem, khususnya agroekosistem akibat tindak kelola yang dijalankan manusia atau tata perubahan alami yang terjadi di lingkungan karena pengaruh biotik dan abiotik sehingga potensinya tidak optimal dan jauh tertinggal dari populasi OPT-nya. Hal ini menjadikan sering muncul program OPT dan bumerang bagi manusia itu sendiri. Oleh 27

46 karena itu dengan adanya Undang-Undang Budidaya Tanaman nomor 12 Tahun 1992 dapat dipakai sebagai landasan, mengingat pada pasal 60 menyebutkan bahwa barang siapa yang merusak sumber daya alam/kelestarian lingkungan akan dikenai pidana dan denda cukup berat (dipidana penjara 5 tahun dan denda 250 juta rupiah). Pada pasal 20 lebih ditegaskan lagi bahwa di dalam usaha perlindungan tanaman agar dilaksanakan melalui Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dimana pemanfaatan musuh alami yang berupa organisme (Agensia Hayati) menjadi prioritas utama. Hal ini terlihat betapa besar perhatian pemerintah dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati serta sekaligus mengoptimalkan potensinya dalam budidaya tanaman. Indonesia juga memiliki sumberdaya biofisik yang cukup beragam untuk mendukung pengembangan pertanian antara lain adalah ketersedian tanah, hara, dataran rendah dan tinggi, curah hujan yang merata di sebagian wilayah, sinar matahari yang terus menyinari sepanjang tahun, kelembaban udara dan organisme-organisme serta setidaknya memiliki 47 ekosistem alami yang berbeda. Kita bisa menjumpai padang es dan padang rumput dataran tinggi di Papua. Beragam hutan basah dataran rendah di Kalimantan dan Sumatera. Adapula ekosistem danau yang dalam dan rawa dangkal. Untuk itu, agar keanekaragaman hayati dan agoekosistem tidak terancam kelestariannya, maka kita harus arif dan bijaksana dalam memanfaatkannya, dengan mempertimbangkan aspek aspek manfaat dan kelestariannya. 2) Pengembangan bio-economic Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati dalam bentuk komoditas pangan dan perkebunan sebagai sumber pemanfaatan bio-economic. Bio-economic mengacu pada semua aktivitas ekonomi menggunakan sumberdaya hayati untuk menghasilkan bahan kimiawi, material dan bahan bakar nabati untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan. Pengembangan bio-economic dipacu oleh semakin tingginya tuntutan atas produk pangan berkualitas termasuk functional food. Pengembangan bio-economic juga telah berkontribusi nyata pada peningkatan harga komoditas pangan utama dunia selama 5 tahun terakhir. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) memperkirakan kedepan era harga bahan pangan murah telah berakhir, dan ini salah satunya dipicu karena makin beragamnya pemanfaatan pangan, termasuk untuk sumber energi dan produk turunan lainnya yang terkait dengan bio-economic. 28

47 Bio-economic berbasis dari pemanfaatan dan pengembangan pemanenan energi matahari melalui proses hayati. Keunggulan alam tropika dalam penyediaan proses hayati dalam pemanenan energi matahari harus dimanfaatkan sebesar-besarnya. Iklim tropika dan kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia harus dimanfaatkan sebesar-besarnya melalui pengembangan teknologi dan kelembagaan yang mampu mengembangkan bio-economic tropical. Agar tidak tertinggal dari negara lain maka kedepan pembangunan pertanian harus didasarkan pada konsep bio-economic yang membuka peluang pemanfaatan semua bio-massa yang dihasilkan kegiatan pertanian pada produk yang bernilai ekonomi tinggi. 3) Peningkatan permintaan dunia terhadap 4F Crops (Food, Feed, Fiber and Fuel) Indonesia memiliki peluang yang sangat besar karena keunggulan komparatif Indonesia sebagai negara agraris dan memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah, selain itu komoditas unggulan perkebunan yang dapat ditanam diberbagai kondisi. Tetapi, untuk menjadikan komoditas unggulan perkebunan ini unggul secara kompetitif maka diperlukan penanganan yang baik seperti budidaya yang baik dan ramah lingkungan, penanganan pascapanen serta penggunaan benih unggul dan sarana produksi yang berkualitas. Komoditas perkebunan di Indonesia memiliki peluang untuk dimanfaatkan sebagai sumber pangan manusia (food), sumber pakan ternak (feed), kebutuhan serat pangan (fiber) untuk pupuk organik dan bahan bakar bio-massa dan kebutuhan minyak nabati (fuel) untuk kebutuhan bahan bakar nabati (BBN). Peluang ini perlu dimanfaatkan karena semakin tingginya permintaan dunia akan produk 4F Crops yang ramah lingkungan sebagai implikasi dari menipisnya cadangan fosil didunia. Kedepan pemanfaatan komoditas perkebunan sebagai sumber 4F Crops akan bertransformasi kedalam pemanfaatan komoditas/produk sebagai sumber 4-bio-F Crops (bio-food, bio-feed, bio-fiber and biofuel). Berkaitan dengan potensi fuel untuk menggantikan bahan bakar minyak (BMM) dan bahan bakar gas (BBG) yang berasal dari sumber daya fosil yang dari masa ke masa jumlahnya semakin terbatas dan akan habis, karena sumber energi tersebut memiliki sifat irreneweble (tidak dapat diperbaharui) meskipun sampai dengan saat ini dipakai sebagai sumber energi penggerak utama transportasi, industri dan juga pertanian. Sejak dieksploitasi mulai abad 20-an diperkirakan sumberdaya ini fosil 29

48 semakin langka. Dengan terbatasnya ketersediaan energi dan fosil, maka harus dicarikan sumber energi alternatif lain. Dari hasil penelitian beberapa komoditas pertanian khususnya tanaman perkebunan yang dapat diolah menjadi sumber energi, seperti 1) komoditas kelapa sawit, kelapa, kemiri sunan, jarak pagar, nyamplung dan lain-lain sebagai sumber pemanfaatan bio-disel; 2) komoditas tebu, sagu, aren, nipah dan lain-lain sebagai sumber pemanfaatan bio-ethanol dan 3) limbah/ sisa tanaman dan kotoran ternak dapat diolah menjadi sumber biomassa. Ketiga sumber energi dari hayati tersebut dapat disebut Bahan Bakar Nabati (BBN) dan dapat dikembangkan dengan baik karena bersifat renewable (dapat diperbaharui). Yang menjadi tantangan kedepan adalah bagaimana pola budidaya yang tepat, menemukan varietas yang dapat meningkatkan produktivitas dan sistem pascapanen yang baik sehingga akan meningkatkan permintaan terhadap BBN dan pada akhirnya akan memberikan peluang pasar baru bagi produk hasil perkebunan bagi pekebun. 4) Kecenderungan baru penghargaan atas jasa lingkungan dan jasa amenity Lahan perkebunan tidak hanya penghasil bahan makanan, serat dan energi tetapi juga mempunyai multifungsi yang menghasilkan jasa lingkungan dan jasa amenity. Jasa lingkungan dan jasa amenity lahan perkebunan antara lain penyedia sumber air tanah dan oksigen, pengendali banjir, pencegah erosi/ longsor dan sedimentasi, mempertahankan suhu udara, mendaur ulang limbah, menjaga kualitas udara/ purifikasi, pengatur tata air dan menjaga keberadaan sumber daya air, memitigasi perubahan iklim, sumber keindahan dan kenyamanan, pelestari keanekaragaman hayati, pelestari budaya pedesaan, dan sebagainya. Nilai manfaat jasa lingkungan dan amenity lahan perkebunan sudah mempunyai pasar, dan ini dapat dilihat dari berkembangnya beragam eco-tourism atau wisata alam di wilayah perkebunan dengan harga jual yang kompetitif. Berbagai jasa pariwisata ke kawasan sentra perkebunan (misalnya perkebunan teh) yang memberi pengunjung keindahan areal perkebunan serta kesempatan merasakan kehidupan pekebun telah berkembang sebagai paket pariwisata yang ditawarkan berbagai resort wisata. Kedepan dengan makin besarnya kecenderungan urbanisasi maka kebutuhan akan amenity atau kenyamanan lingkungan yang didapat dari wilayah perdesaan dengan lahan pertanian akan semakin besar sehingga nilai tambah dari 30

49 kegiatan perkebunan akan semakin kompetitif. Seiring dengan berkembangnya sistem nilai dan kelembagaan, di masa datang, jasajasa amenity dan lingkungan dari kegiatan perkebunan akan semakin dapat diperdagangkan dan diinternalisasikan dalam mekanisme pasar. Selain itu, jasa-jasa amenity yang lain adalah dipergunakannya sentrasentra pengembangan komoditas perkebunan baik model pengembangan maupun kawasan budidaya sebagai pusat pendidikan, penelitian dan pelatihan di kalangan pegawai swasta, pelajar sekolah menengah, mahasiswa perguruan tinggi, para peneliti dan stakeholder lainnya. Secara umum, berbagai praktek perkebunan bisa menghasilkan jasa lingkungan dan multifungsi yang negatif (negative externalities), namun sistem perkebunan yang dikelola secara berkelanjutan akan memberikan positive externalities. Sistem perkebunan berbasis pohon/ tanaman tahunan, terutama sistem multistrata seperti agroforestry, cenderung memberikan berbagai jasa lingkungan yang positif. Sebaliknya sistem pertanian lahan kering berbasis tanaman semusim yang dikelola secara intensif di lahan berlereng curam, cenderung memberikan berbagai eksternalitas yang negatif. Kesemuanya tergantung pengelolaan dan strategi untuk mengubah negative externalities menjadi positive externalities atau strategi mempertahankan positive externalities. Pendekatan yang dilakukan dalam peningkatan jasa lingkungan antara lain: 1) pendekatan hukum untuk meningkatkan insentif praktek perkebunan yang memberikan fungsi lingkungan positif dan dis-insentif untuk praktek perkebunan yang berdampak negatif terhadap fungsi lingkungan; 2) pendekatan sektoral yang aktivitasnya berdampak mengurangi atau menghilangkan kemampuan sektor pertanian dalam menghasilkan jasa lingkungan, seperti Undang-Undang 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan 3) insentif finansial dan bantuan teknis untuk mengembangkan sistem pertanian yang memberikan peningkatan nilai ekonomi dan sekaligus jasa lingkungan. Berikut ini pada Tabel 6 menunjukkan jasa lingkungan sub sektor perkebunan dan strategi peningkatan nilai positif jasa lingkungan. 31

50 Tabel 6. Jasa Lingkungan Sub Sektor Perkebunan dan Strategi Peningkatan Nilai Positif Jasa Lingkungan No. Jasa Lingkungan Positif Jasa Lingkungan Negatif Strategi Peningkatan Nilai Positif Jasa Lingkungan 1. Tanaman pohonpohonan: a. Mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan CO 2 yang relatif tinggi b. Meningkatkan daya infiltrasi tanah dan mengurangi erosi/ tanah longsor 2. Tanaman semusim (annual) dan 2 musim (biennial): a. Penyedia sumber oksigen b. Pengendali banjir c. Eco-tourism jika dikelola dengan baik dan terintegrasi dengan usaha agribisnis lain berbasis keindahan alam perdesaan d. Sarana pendidikan, pelatihan dan penelitian Tanaman pohonpohonan: a. Memiliki biodiversitas yang rendah bila dalam bentuk monokultur Tanaman semusim (annual) dan 2 musim (biennial): a. Sumber erosi dan sedimentasi b. Pencemaran oleh residu bahan agrokimia Strategi: a. Memperbanyak keberadaan sistem pertanian berbasis pohon-pohon melalui rehabilitasi lahan terlantar/ sub optimal menjadi sistem pertanian berbasis pohon b. Meningkatkan biodiversitas melalui system multistrata/ agroforestry c. Pemgembangan usaha pertanian polikultur Strategi: a. Penerapan inovasi teknologi konservasi tanah dan agroforestry b. Mendaur ulang sisa tanaman c. Peningkatan efisiensi pemupukan dan penggunaan pestisida organik (pertanian organik) d. Integrasi dengan ternak (nilai tambah) e. Penerapan model pengembangan komoditas perkebunan dengan basis penelitian dan pendidikan 32

51 No. Jasa Lingkungan Positif 3. Pertanian dilahan gambut: a. Sumber keanekaragaman hayati Jasa Lingkungan Negatif Pertanian dilahan gambut: a. Sumber emisi CO 2 melalui GRK dan terganggunya tata air Sumber: Renstra Kementerian Pertanian, Strategi Peningkatan Nilai Positif Jasa Lingkungan Strategi: a. Pengaturan tata air dan mengurangi kedalaman saluran drainase b. Intensifikasi pertanian pada areal eksisting di lahan gambut agar tekanan terhadap perluasan areal dapat di kurangi c. Meminimalkan penggunaan lahan gambut untuk perluasan areal pertanian dan mengutamakan penggunaan lahan mineral d. Inovasi dan teknologi pemanfaatan lahan gambut yang diarahkan pada sistem penggunaan dan pengelolaan lahan yang dapat meningkatkan daya adaptabilitas dan ketangguhan (resilience) sistem tersebut dan sekaligus memberikan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan yang lebih tinggi 5) Perkembangan inovasi dan ilmu pengetahuan teknologi pertanian/ perkebunan Perkembangan penerapan inovasi teknologi secara umum masih harus dioptimalkan. Perkembangan diseminasi teknologi kepada petani/ pekebun lebih mudah dilakukan karena umumnya petani/ pekebun tertarik kepada hal-hal yang bersifat inovatif, namun tingkat adopsi masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena produk yang dihasilkan 33

52 dengan mengadopsi teknologi baru tidak mendapatkan insentif atau nilai tambah artinya harga yang diterima tidak berbeda jauh dengan harga produk tanpa teknologi baru. Hal lain adalah tidak adanya jaminan pasar untuk teknologi tersebut berkembang di masyarakat. Contoh adalah produk kakao yang di fermentasi dan tanpa fermentasi dengan selisih harga jual yang sangat kecil. Perkembangan inovasi dan ilmu pengetahuan teknologi pertanian/ perkebunan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan komoditas pertanian/ perkebunan dan bio-industry spesifik lokasi melalui pengembangan sistem budidaya, perbenihan dan pascapanen dengan modal dasar lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pertanian minimal harus dapat menjawab 2 hal, pertama bagaimana teknologi dapat menjawab berbagai hal terkait dengan dampak perubahan iklim, dan yang kedua bagaimana teknologi dapat menjawab berbagai keterbatasan pada sumberdaya yang ada di tengah perkembangan kebutuhan manusia yang tanpa batas. Untuk menjawab kedua hal di atas, diperkirakan ada 3 revolusi di bidang sains yang diperlukan dan saat ini sedang terjadi di dunia, yaitu revolusi di bidang bio-technology, nano-technology dan information-technology. Salah satu ciri pertanian yang berkebudayaan industri adalah adanya pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk pengambilan keputusan, pemakaian kemajuan teknologi sebagai instrumen utama pada pemanfaatan sumber daya dan perekayasaan untuk meningkatkan nilai tambah dan meminimalkan ketergantungan terhadap alam. Oleh karena itu pertanian/ perkebunan di sini sangat terbuka dan responsif terhadap inovasi dan ilmu pengetahuan teknologi tetapi selaras dengan lingkungan lokal. Pada masa depan tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi tinggi dalam bidang bio-technology dan telekomunikasi harus dimanfaatkan seoptimal mungkin guna meningkatkan produktivitas, mutu dan nilai tambah produk pertanian. Kementerian Pertanian turut mendukung inovasi pengelolaan sumberdaya pertanian/ perkebunan diantaranya pedoman identifikasi dampak dan arahan antisipasi, adaptasi serta mitigasi perubahan iklim pada sektor pertanian; roadmap strategi sektor pertanian menghadapi perubahan iklim; teknologi sistem pertanian terpadu lahan kering iklim kering; teknologi pengelolaan tanah, air dan pupuk untuk mendukung peningkatan produktivitas tanaman; teknologi pengelolaan lahan sub optimal melalui penerapan pengelolaan hara terpadu dan konservasi 34

53 tanah; teknologi pemberdayaan agens hayati tanah untuk pemulihan kesuburan tanah terdegradasi; teknologi mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui pengelolaan tanaman terpadu; teknologi optimalisasi pemanfaatan lahan rawa; berbagai formula pupuk organik, anorganik, hayati dan pembenah tanah; serta berbagai tools/kit seperti perangkat uji hara tanaman tebu dan sawit, alat pengukur ph, testkit digital perangkat uji pupuk organik, perangkat uji tanah rawa, dan alat analisis residu pestisida. Inovasi dan teknologi pertanian juga berhububungan erat terhadap pengembangan alat dan mesin pertanian. Upaya yang selama ini dilakukan Kementerian Pertanian adalah melalui pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA). Pengembangan dengan pendekatan UPJA ini diharapkan akan membantu peredaran alat dan mesin pertanian/ perkebunan di masyarakat. Selama tahun telah dikembangkan UPJA mandiri sebanyak paket dan menyalurkan alat dan mesin pertanian kepada beberapa kelompok masyarakat sebanyak unit. Penyaluran ini lebih berfungsi sebagai stimulan untuk menggerakkan swadaya petani/ pekebun. 6) Ketersediaan sumber daya lahan dan kesesuaian agro-ecosystem Indonesia memiliki potensi ketersediaan lahan yang cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Total luas daratan Indonesia sebesar 192 juta hektar, terbagi atas 123 juta hektar (64,6%) kawasan budidaya dan 67 juta hektar sisanya (35,4%) merupakan kawasan lindung. Dari total luas kawasan budidaya di daratan yang berpotensi untuk areal pertanian seluas 101 juta hektar, meliputi lahan basah 25,6 juta hektar; lahan kering tanaman semusim 25,3 juta hektar dan lahan kering tanaman tahunan 50,9 juta hektar. Sampai saat ini dari areal yang berpotensi untuk pertanian, yang sudah dibudidayakan menjadi areal pertanian sebesar 47 juta hektar sehingga masih tersisa 54 juta hektar yang berpotensi untuk perluasan areal pertanian. Potensi lahan untuk pengembangan pertanian secara biofisik masih cukup luas sekitar 30 juta hektar, dimana 10 juta hektar di antaranya berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) dan 20 juta hektar di kawasan kehutanan (Badan Litbang Pertanian, 2007). Apabila dari 10 juta hektar lahan yang belum dimanfaatkan itu terdapat lahan dengan vegetasi hutan primer dan kawasan gambut maka tukar guling bisa dilakukan dengan kawasan kehutanan yang lahannya sesuai untuk pengembangan pertanian di areal 20 juta hektar. Disisi lain, dalam menyediakan lahan-lahan tersebut perlu juga memperhatikan 35

54 penerapan Undang-Undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang mengamanatkan upaya pengendalian alih fungsi lahan pangan menjadi lahan-lahan non pangan (contoh: perkebunan non pangan/ industry dan permukiman). Selain itu, jumlah luasan dan sebaran hutan, sungai, rawa dan danau serta curah hujan yang cukup tinggi, sesungguhnya merupakan potensi alamiah untuk memenuhi kebutuhan air pertanian apabila dikelola dengan baik. Waduk, bendungan, embung dan air tanah serta air permukaan lainnya sangat potensial untuk mendukung pengembangan usaha pertanian. Potensi ini apabila dapat dimanfaatkan secara optimal merupakan peluang bangsa kita untuk menjadi lebih maju dan sejahtera. Masih tersedia areal pertanian dan lahan potensial belum termanfaatkan secara optimal seperti lahan kering/rawa/lebak/ pasang surut/gambut dan lahan sub optimal lainnya yang merupakan peluang bagi peningkatan produksi tanaman perkebunan. Potensi sumberdaya ini harus dirancang dengan baik pemanfaatannya untuk produksi komoditas tanaman perkebunan dan meningkatkan pendapatan pekebun. Potensi lainnya dalam pembangunan perkebunan adalah kondisi agroecosystem. Komponen agro-ecosystem yang meliputi kondisi geografis, penyinaran matahari, intensitas curah hujan yang hampir merata sepanjang tahun di beberapa wilayah dan keanekaragaman jenis tanah menjadi faktor yang sangat mendukung dan potensial untuk pengembangan komoditas perkebunan. Komponen agro-ecosystem lainnya yaitu tanaman perkebunan selain bernilai ekonomis juga mempunyai potensi ekologis yaitu sebagai pemfiksasi CO 2 dan sebagai tanaman yang berfungsi konservasi lahan dan air. Selain itu komoditas perkebunan juga berpotensi menurunkan emisi CO 2 terutama bila komoditas perkebunan dikembangkan untuk merehabilitasi lahan semak belukar/alang-alang. 7) Distribusi dan aksesibilitas pemanfaatan sumber daya air Ketersediaan sumber daya air nasional (annual water resources/awr) masih sangat besar, terutama di wilayah barat, akan tetapi tidak semuanya dapat dimanfaatkan. Sebaliknya di sebagian besar wilayah timur yang radiasinya melimpah dan curah hujan rendah (<1.500 mm per tahun) hanya terdistribusi selama 3-4 bulan. Total pasokan atau ketersediaan air wilayah (air permukaan dan air bumi) di seluruh Indonesia adalah mm per tahun setara dengan m 3 per detik. Indonesia dikategorikan sebagai negara kelompok 3 berdasarkan 36

55 kebutuhan dan potensi sumber daya airnya yang membutuhkan pengembangan sumberdaya % dibanding kondisi saat ini. Berdasarkan analisis ketersediaan air, dapat diproyeksi bahwa kebutuhan air sampai tahun 2020 untuk Indonesia masih dapat dipenuhi dari air yang tersedia saat ini. Proyeksi permintaan air untuk tahun 2020 hanya sebesar 18% dari total air tersedia, digunakan sebagian besar untuk keperluan irigasi (66%), sisanya 17% untuk rumah tangga, 7% untuk perkotaan dan 9% untuk industri. Oleh karena itu, kedepan perlu ada upaya antisipatif terhadap fenomena kelangkaan sumber daya air yang disebabkan karena kerusakan lingkungan ataupun karena persoalan pengelolaan sumber daya air yang tidak baik. Selain itu perlu terus dikembangkan sumber baku air yang berasal dari air laut atau sumber lain yang selama ini belum dimanfaatkan dengan baik. Pengelolaan sumber daya air dilaksanakan melalui pembangunan sumber daya air, pengembangan/ pembangunan jaringan irigasi, pembangunan/ pembangunan embung dan dam parit serta pengembangan kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Pengembangan pengelolaan air di tingkat petani melalui P3A didasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian nomor 79/Permentan/ OT.140/12/2012 tentang Pedoman Pembinaan dan Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Selama tahun telah dilakukan pengembangan kelembagaan P3A sebanyak unit. Selama tahun telah dilakukan pengembangan sumber daya air sebanyak unit dan unit, namun selama tahun 2013 hanya dikembangkan sebanyak 432 unit. Dalam pengembangan jaringan irigasi, selama tahun alokasi anggarannya terbagi pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Pertanian. Sejalan dengan semangat Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bahwa pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pengembangan sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Pada kenyataannya, tidak semua petani/ P3A mampu untuk memperbaiki sistem irigasi tersier. Oleh karena itu Kementerian Pertanian membantu untuk memperbaiki jaringan irigasi yang rusak. Selama tahun seluas hektar jaringan irigasi telah diperbaiki. Sedangkan untuk pengembangan embung dan dam parit yang meliputi unit pada tahun 2011; unit selama tahun

56 dan 328 unit pada tahun 2013 serta sebanyak unit pada tahun ) Pengembangan Sumber Daya Insani (SDI) Sebagaimana amanat dari dokumen Strategi Induk Pembanguan Pertanian (SIPP) bahwa pilar penopang yang ditekankan untuk mewujudkan kokohnya fondasi sistem pertanian bio-industry berkelanjutan adalah pengembangan sumber daya insani berkualitas, modal sosial dan modal politik. SDI Indonesia begitu melimpah dan diproyeksikan akan terus bertambah. SDI ini dapat menjadi salah satu keunggulan kompetitif perkebunan Indonesia yang merupakan pelaksana penggerak proses produksi dan pengembangan rantai nilai. Pengembangan SDI perkebunan harus memperhatikan beberapa hal agar mampu meningkatkan daya saing di tataran Internasional diantaranya: 1) pendidikan dan kemampuan/skills; 2) keberadaan usia SDI yang produktif; 3) adopsi inovasi dan teknologi; 4) kreativitas; 5) peluang pelatihan, penelitian, pemberdayaan dan pendidikan; 6) migrasi tenagakerja ke sektor lain; 7) ketimpangan pendapatan dan sosial ekonomi lainnya; 8) sosial budaya dan karakteristik SDI perkebunan; 9) ketersediaan sarana prasarana kerja dan lingkungan kerja; dan 10) aksesibilitas, konektivitas dan minat. SDI juga dapat berupa potensi tenaga kerja yang bekerja di sub sektor perkebunan. Sampai saat ini, lebih dari 22 juta tenaga kerja nasional atau sebesar 1,91% pertumbuhan keterlibatan tenaga kerja yang bekerja di sub sektor perkebunan selama tahun masih menggantungkan hidupnya pada sub sektor perkebunan. Besarnya jumlah tenaga kerja tersebut belum tersebar secara proporsional sesuai dengan sebaran luas potensi lahan serta belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk pengembangan pertanian yang berdaya saing. Apabila keberadaan penduduk yang besar di suatu wilayah dapat ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya untuk dapat bekerja dan berusaha di aspek produksi, pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan, maka dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas produksi aneka komoditas perkebunan bagi pemenuhan kebutuhan pasar nasional dan dunia. Peningkatan kapasitas penduduk dalam hal pengetahuan dan keterampilan pertanian/ perkebunan dapat juga dilakukan melalui penempatan tenaga kerja pertanian/ perkebunan terlatih di daerah yang masih kurang penduduknya dan penyediaan fasilitasi perkebunan dalam bentuk faktor 38

57 produksi, bimbingan teknologi, permodalan/ kredit usaha serta pemberian jaminan pasar yang baik. 9) Bonus Demografi Indonesia mempunyai peluang untuk dapat menikmati bonus demografi yaitu percepatan pertumbuhan ekonomi akibat berubahnya struktur umur penduduk yang ditandai dengan menurunnya rasio ketergantungan penduduk non usia kerja kepada penduduk usia kerja. Perubahan struktur ini memungkinkan bonus demografi tercipta karena meningkatnya suplai angkatan kerja (labour supply), tabungan (saving) dan kualitas sumber daya insani (human capital). Penduduk usia produktif Indonesia menyumbangkan 38% dari total penduduk produktif di ASEAN. Tingginya jumlah dan proporsi penduduk usia kerja di Indonesia selain meningkatkan angkatan kerja dalam negeri juga membuka peluang untuk mengisi kebutuhan tenaga bagi negara-negara yang proporsi penduduk usia kerja menurun seperti Singapura, Korea, Jepang dan Australia. Bonus demografi akan dapat dirasakan dengan arah kebijakan yang tepat seperti penyiapan sumber daya insani yang akan masuk ke angkatan kerja melalui pelatihan dan pendidikan; menjaga penurunan fertilitas, menyiapkan ketrampilan dan kompetensi tenaga kerja; kebijakan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja; fleksibilitas pasar tanaga kerja; keterbukaan perdagangan serta dukungan sarana prasarana. Bonus demografi lain yang dirasakan Indonesia yang disertai dengan dinamika penduduk antara lain meningkatnya jumlah penduduk, penuaan penduduk yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk lanjut usia, urbanisasi yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk perkotaan dan migrasi yang ditandai dengan meningkatnya perpindahan penduduk antar daerah. 10) Perkembangan struktur, perilaku dan kinerja pasar Perdagangan komoditas perkebunan di Indonesia telah berkembang dengan pesat, terutama didorong oleh peningkatan rasio pendapatan masyarakat, peningkatan jumlah penduduk, adanya dukungan regulasi dan akses pasar yang semakin terbuka. Peningkatan tersebut terutama didominasi oleh perdagangan produk olahan komoditas perkebunan baik yang ditujukan untuk ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. 39

58 Dominasi perusahaan besar dalam perdagangan produk/ komoditas perebunan olahan di Indonesia sulit dihindari. Untuk itu perlu adanya upaya yang sistematis memanfaatkan keberadaan perusahaan multinasional ini dalam membawa produk perkebunan olahan Indonesia ke pasar global contohnya dalam bentuk kerjasama dan kemitraan. Untuk mendorong terjadinya kerjasama dan kemitraan diperlukan kebijakan sistematis untuk memperkuat kelembagaan petani/pekebun sehingga mampu bermitra dengan para pelaku usaha yang lebih kuat. Selain itu, inovasi dan pemanfaatan teknologi perlu terus didorong untuk meningkatkan produktivitas, kualitas dan daya saing usaha tani skala kecil. Beberapa langkah yang diperlukan untuk membangun jejaring pasar diantaranya: 1) meningkatkan akses petani terhadap pasar, baik pasar domestik maupun pasar internasional; 2) kebijakan harga, pemantauan dan tataniaga yang memihak pekebun dalam pengembangan komoditas strategis; 3) pengembangan pasar melalui kegiatan promosi dan sosialisasi; 4) penyediaan sarana prasarana dan pemasaran; 5) penguatan kelembagaan pasar; 6) pengembangan kerjasama dan kemitraan; 7) penguatan aspek distribusi; 8) perlindungan pekebun dari kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat; 9) dukungan analisis dan informasi pasar (PIP/pengembangan informasi pasar) yang memberikan nilai tambah bagi pelaku pasar yang berbasis pada teknologi informasi yang maju; 10) pemberdayaan pekebun dan penguatan SDI terkait aspek pemasaran dan advokasi pasar; 11) dukungan pendanaan dan regulasi yang tepat; 12) pembangunan pasar melalui sub terminal agribisnis, pasar tani, unit pemasaran poktan/ gapoktan, pasar lelang, dll; 12) dukungan investasi di sektor hulu dan hilir untuk peluang penguatan pasar ekspor; dan 13) dukungan instansi terkait dalam pengembangan pasar. Sejalan dengan era globalisasi dan pemberlakuan pasar bebas, produk pertanian/ perkebunan Indonesia juga berpeluang untuk dipasarkan ke pasar internasional, baik produk segar maupun olahan. Apabila peluang pasar dalam negeri dan luar negeri dapat dimanfaatkan, maka hal ini akan menjadi pasar yang sangat besar bagi produk pertanian/ perkebunan Indonesia. Pada tahun 2015, kesepakatan ASEAN untuk mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN akan terealisasikan. Pilar utama dalam AEC (Asean Economic Community) adalah mewujudkan ASEAN sebagai pasar tunggal yang didukung dengan aliran barang, jasa, modal, dan tenaga kerja yang lebih bebas. 40

59 Lebih bebas yang dimaksudkan adalah adanya pengurangan hambatan tarif maupun non tarif dalam perdagangan antar negara ASEAN. AEC akan membuka peluang bagi Indonesia untuk memperluas pangsa pasar, mendorong daya saing serta berpotensi menyerap tenaga kerja Indonesia. Indonesia yang jumlah penduduknya 40% dari total jumlah penduduk kawasan menjadikan Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara yang produktif dalam pasar ASEAN. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 247 juta jiwa maka diharapkan dapat menjadi pasar potensial tenaga kerja. Saat ini, tingkat konsumsi aneka produk hasil pertanian/ perkebunan Indonesia, kecuali beras, gula dan minyak goreng, masih relatif rendah. Rendahnya tingkat konsumsi produk pertanian ini, terutama disebabkan masih rendahnya tingkat pendapatan per kapita penduduk Indonesia sehingga mempengaruhi daya beli. Sejalan dengan era globalisasi dan pemberlakuan pasar bebas, produk pertanian/ perkebunan Indonesia juga berpeluang untuk dipasarkan ke pasar internasional, baik produk segar maupun olahan. Apabila peluang pasar dalam negeri dan luar negeri dapat dimanfaatkan, maka hal ini akan menjadi pasar yang sangat besar bagi produk pertanian/ perkebunan Indonesia. Jika dilihat dari sisi potensi ekonomi, Indonesia merupakan salah satu emerging country yang saat ini menjadi salah satu kekuatan ekonomi ASEAN. Prospek Indonesia sebagai negara dengan perekonomian nomor 16 di dunia, nomor 4 di Asia setelah China, Jepang dan India, serta terbesar di Asia Tenggara, semakin menjanjikan karena didukung oleh melimpahnya sumber daya alam dan sumber daya insani, pertumbuhan ekspor komoditas dan iklim investasi yang makin kondusif serta berkembangnya struktur, perilaku dan kinerja pasar domestik. Dengan masyarakat ekonomi ASEAN, Indonesia akan berkesempatan mengenjot pasar ke berbagai negara, di sisi lain bila tidak siap, dunia usaha dalam negeri akan tergulung diterpa produk impor. Selain itu masyarakat ekonomi ASEAN akan membuat pertukaran tenaga kerja, modal dan perdagangan berlangsung terbuka antar negara ASEAN. Dengan karakter seperti itu, persaingan tidak lagi semata-mata dalam konteks antar negara, tetapi juga antar daerah (region) dan bahkan antar individu. 11) Momentum gerakan desentralisasi pemerintahan Pemanfaatan momentum gerakan desentralisasi pemerintahan dan partisipasi masyarakat dapat menjadi peluang besar bagi pembangunan perkebunan apabila diarahkan untuk pengembangan sistem politik 41

60 perkebunan yang digerakkan oleh/dan berorientasi pada pekebun/petani kecil. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 2000, telah terjadi beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan peran pemerintah pusat dan daerah. Peran pemerintah yang sebelumnya sangat dominan, saat ini berubah menjadi fasilitator, stimulator atau promotor pembangunan pertanian/ perkebunan. Pembangunan pertanian/ perkebunan pada era otonomi daerah lebih mengandalkan kreativitas rakyat/ masyarakat pekebun di setiap daerah. Selain itu, proses perumusan kebijakan juga berubah dari pola top down dan sentralistik menjadi pola bottom up dan desentralistik. Perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan perkebunan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah pusat menangani aspekaspek pembangunan pertanian/ perkebunan yang tidak efektif dan efisien bila ditangani oleh pemerintah daerah. Pada era otonomi daerah, pengelolaan ketahanan pangan menjadi semakin kompleks dimana ketahanan pangan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah namun tidak mudah mengkoordinasikannya. Dalam pelaksanaannya saat ini, desentralisasi lebih dominan sebagai kegiatan transfer kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Euforia ini disikapi secara salah oleh beberapa daerah dengan memunculkan penguasaan birokrasi dan juga aset daerah oleh fenomena "putra daerah". Berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah telah berhasil mengatasi fenomena ini. Kedepan proses desentralisasi akan terus menguat dengan pemberian kewenangan yang semakin besar kepada pemerintah desa. Hal ini senada dengan terbitnya Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang mana peraturan perundangan tersebut semakin menguatkan posisi kelembagaan desa yang akan terus berkembang dan dimatangkan serta akan menjadi wadah bagi otonomi pemerintahan desa. Undang-undang tersebut juga mengamanatkan desa untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan desa, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/ atau hak tradisional dan arah pembangunan yang akan dituju adalah memberdayakan masyarakat desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat 42

61 yang adil, makmur, dan sejahtera. Secara umum, undang-undang ini mengatur materi mengenai asas pengaturan, kedudukan dan jenis desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa, peraturan desa, keuangan desa dan aset desa, pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, badan usaha milik desa, kerjasama desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa, serta pembinaan dan pengawasan. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk desa adat. Pada undang-undang tersebut, pengaturan desa bertujuan 1) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; 3) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; 4) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama; 5) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; 6) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; 7) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; 8) memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan 9) memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. Adapun turunan dari Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa adalah diterbitkannya 2 (dua) buah PP yaitu 1) Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa; dan 2) Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2014 tentang dana Desa yang bersumber dari APBN. Tetapi untuk PP nomor 60 tahun 2014 dilakukan revisi melalui Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2015 tentang perubahan atas PP nomor 60 tahun 2014 tentang dana Desa yang bersumber dari APBN. Revisi PP ini karena pengaturan dana Desa pada PP nomor 60 tahun 2014 melebihi amanat UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. 43

62 Terkait kelembagaan desa terdapat kecenderungan dinamika dan perubahan lingkungan strategis yang menghendaki pergeseran peranan masyarakat desa secara lebih besar. Kecenderungan tersebut menuntut adanya rekonstruksi kelembagaan pemerintahan publik berdasarkan prinsip tata kelola pembangunan yang baik dengan 3 karakteristik utama yaitu kredibilitas, akuntabilitas dan transparansi. Kebijakan pembangunan dirancang secara kredibel melalui debat publik, dilaksanakan secara transparan sedangkan pejabat pelaksana bertanggung jawab penuh atas keberhasilan dari kebijakan tersebut dengan semangat akuntabilitas. Kebijakan pembangunan diharapkan akan lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat banyak dan dapat menekan terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Demokratisasi kebijakan pembangunan dan pencegahan KKN melalui tata kelola pembangunan yang baik sangat bermanfaat untuk meminimalkan biaya ekonomi tinggi dan distorsi pasar akibat kesalahan kebijakan. Dengan demikian, perekonomian akan lebih efisien dan pertumbuhan kegiatan bisnis sepenuhnya berdasarkan pada keunggulan kompetitif, bukan karena proteksi atau dukungan pemerintah. 12) Partisipasi masyarakat pekebun Pembangunan perkebunan pada dasarnya dilaksanakan oleh masyarakat dan dunia usaha sedangkan fungsi pemerintah lebih bersifat fasilitator, pembinaan dan pendampingan. Terwujudnya peran masyarakat, pekebun dan dunia usaha pada pembangunan perkebunan yang sinergi di semua tingkatan perlu didorong secara maksimal. Untuk itu ditempuh upaya terencana melalui konsultasi, koordinasi dan pengembangan jejaring kerja yang baik dalam suatu sistem yang terintegrasi. Peran serta masyarakat adalah suatu usaha untuk menumbuhkan semangat dan rasa memiliki terhadap berbagai kegiatan pembangunan masyarakat berdasarkan atas keterlibatannya dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan sedangkan menurut peran serta seseorang/masyarakat diartikan sebagai bentuk penyerahan sebagian peran dalam kegiatan dan tanggung jawab tertentu dari suatu pihak ke pihak lain. Faktor yang mempengaruhi peran serta adalah semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) dan mempunyai pengaruh terhadap program. Pengaruh disini adalah kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh stakeholder atas program berupa kekuatan 44

63 untuk mengendalikan keputusan yang dibuat dan memfasilitasi pelaksanaan program. Paradigma pembangunan pada era otonomi daerah memposisikan masyarakat sebagai subjek pembangunan yang secara dinamik dan kreatif didorong untuk terlibat dalam proses pembangunan sehingga terjadi perimbangan kekuasaan (power sharing) antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini, kontrol dari masyarakat terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan menjadi sangat penting untuk mengendalikan hak pemerintah untuk mengatur kehidupan masyarakat yang cenderung berpihak kepada pengusaha dengan anggapan bahwa kelompok pengusaha memiliki kontribusi yang besar dalam meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan nasional. Oleh karena itu perlu dilakukan re-orientasi terhadap strategi pembangunan masyarakat yang lebih mengedepankan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Kaitan partisipasi dengan pembangunan adalah sebagai berikut: 1. Keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat pekebun tersebut dapat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah. 2. Keterlibatan dalam memikul beban dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembangunan perkebunan. Hal ini dapat berupa sumbangan dalam memobilisasi sumber-sumber pembiayaan dalam pembangunan perkebunan, kegiatan produktif yang serasi, pengawasan sosial atas jalannya pembangunan dan lain-lain; 3. Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Bagian-bagian daerah ataupun golongangolongan masyarakat tertentu dapat ditingkatkan keterlibatannya dalam bentuk kegiatan produktif melalui perluasan kesempatankesempatan kerja dan pembinaan tertentu. Dalam hal partisipasi masyarakat pekebun hendaknya perlu dilibatkan dalam tiap proses pembangunan perkebunan, yaitu: (1) identifikasi permasalahan, dimana masyarakat bersama perencana ataupun pemegang otoritas kebijakan pembangunan perkebunan dalam mengidentifikasi persoalan dalam diskusi kelompok, identifikasi peluang, potensi dan hambatan, (2) proses perencanaan, dimana masyarakat pekebun dilibatkan dalam penyusunan rencana dan strategi dengan berdasar pada hasil identifikasi, (3) pelaksanaan proyek pembangunan perkebunan, (4) evaluasi yaitu masyarakat dilibatkan untuk menilai hasil pembangunan perkebunan yang telah dilaksanakan, apakah 45

64 pembangunan memberikan hasil guna bagi masyarakat ataukah justru masyarakat dirugikan dengan proses yang telah dilakukan, (5) mitigasi yakni kelompok masyarakat pekebun dapat terlibat dalam mengukur sekaligus mengurangi dampak negatif pembangunan perkebunan, (6) monitoring, tahap yang dilakukan agar proses pembangunan perkebunan yang dilakukan dapat berkelanjutan. Dalam tahap ini juga dimungkinkan adanya penyesuaian-penyesuaian berkaitan dengan situasi dan informasi terakhir dari program pembangunan perkebunan yang telah dilaksanakan. Pendekatan partisipatif mendorong munculnya partisipasi yang lebih besar dari masyarakat pekebun mulai dari perencanaan sampai implementasi. Selain tentunya, partisipasi juga dapat mengembangkan kemandirian, mengurangi ketergantungan serta mewujudkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat pekebun. Salah satu teknik upaya peningkatan peran serta masyarakat pekebun dalam perencanaan pembangunan adalah Particapatory Rural Appraisal. Tujuan utama Participatory Rural Appraisal adalah menghasilkan rancangan program yang relevan dengan aspirasi dan keadaan masyarakat. Orientasi Participatory Rural Appraisal adalah untuk memfasilitasi atau meningkatkan kesadaran masyarakat dan kemampuan mereka untuk menangkap isu dan persoalan. Perhatian khusus diberikan agar masyarakat pekebun dapat melakukan analisi secara mandiri serta menyampaikan temuan-temuannya. Peran pihak luar atau peneliti hanya sebagai katalis, bukan sebagai ahli. Peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat pekebun juga ditujukan untuk membantu memberdayakan masyarakat lainnya. Secara umum, strategi yang perlu dilakukan dalam mendorong proses partisipasi menuju good government di Indonesia adalah peningkatan Kesadaran (Awareness Raising), advokasi Kebijakan (Policy Advocacy), pengembangan Institusi (Institution Building) dan pengembangan Kapasitas (Capacity Building). Menyadari bahwa potensi dan kemampuan masyarakat pekebun yang tidak merata maka perlu dirumuskan arah dan kebijakan pembangunan perkebunan dalam kerangka pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui strategi pemberdayaan dan pemihakan masyarakat pekebun menuju masyarakat pekebun yang maju, mandiri, sejahtera dan berkeadilan. Untuk mencapainya maka perlu disusun kebijaksanaan dasar yang memuat beberapa unsur penting yaitu: pertama, penerapan mekanisme pasar yang bersahabat yaitu yang sesuai dengan pemahaman sosial politik serta tujuan pembangunan nasional; kedua, 46

65 pemberdayaan masyarakat pekebun sebagai pelaku utama ekonomi baik sebagai produsen maupun konsumen sehingga masyarakatlah yang merasakan langsung dampak pembangunan perkebunan; dan ketiga, penggunaan inovasi, ilmu pengetahuan dan teknologi maju sebagai suatu upaya transformasi sistem produksi dari perilaku tradisional ke perilaku modern yang lebih kompetitif berbasis komoditas perkebunan. Pemberdayaan masyarakat pekebun berarti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat pekebun. Dalam kerangka pembangunan nasional, upaya pemberdayaan masyarakat pekebun dapat dilihat dari beberapa sisi pandang: pertama, menciptakan suasana atau iklim usaha yang memungkinkan masyarakat pekebun berkembang; kedua, meningkatkan kemampuan masyarakat pekebun dalam membangun melalui berbagai pemberian bantuan dana, pelatihan, pembangunan prasarana dan sarana baik fisik maupun sosial serta pengembangan kelembagaan di daerah; ketiga, melindungi melalui keberpihakan kepada yang lemah untuk mencegah berlangsungnya persaingan yang tidak seimbang, namun sebaliknya diupayakan menciptakan kemitraan perkebunan yang saling menguntungkan. 13) Dinamika tata kelola dan reformasi birokrasi Kebijakan reformasi birokrasi secara nasional telah tercantum dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang menyebutkan pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Beberapa isu dan agenda yang tengah berkembang dalam kaitan dengan reformasi birokrasi adalah (1) modernisasi manajemen kepegawaian, (2) restrukturisasi, downsizing dan rightsizing, perubahan manajemen dan organisasi, (3) rekayasa proses administrasi pemerintahan, (4) anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif, serta (5) hubungan baru yang sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan. Kebijakan reformasi birokrasi yang digariskan pemerintah diharapkan akan menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, mampu melayani publik, netral, 47

66 sejahtera, berdedikasi serta memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Sasaran ideal yang ingin dicapai adalah terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat serta meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Secara garis besar kebijakan tatakelola pemerintahan yang dijalankan Ditjen. Perkebunan selama ini lebih menekankan pada pengembangan kapasitas institusi yang meliputi 1) pengembangan sumber daya aparatur dan kompetensinya; 2) penguatan organisasi; 3) reformasi penataan kelembagaan; 4) pemberian pelayanan yang berkualitas; 5) pengadaan dan perbaikan sarana prasarana dan lingkungan kerja; dan 6) koordinasi, pendampingan dan pembinaan pembangunan perkebunan di pusat dan daerah. Dengan prioritas tatakelola tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan transparansi penyelenggaraan organisasi dan pembangunan sub sektor perkebunan yang mengedepankan prinsip clean government dan good governance. B. Potensi Pembangunan Perkebunan secara khusus Berikut ini akan dijabarkan beberapa potensi pembangunan perkebunan yang secara khusus berkaitan dengan kondisi Direktorat Jenderal Perkebunan baik kondisi kebijakan maupun kondisi program dan regulasi dalam membangun perkebunan kedepan. 1) Tersedianya Norma, Standar, Prosedur, Kriteria, Pedoman Umum, Pedoman Teknis, Regulasi dan Kebijakan Pelaksanaan pembangunan perkebunan mempunyai landasan hukum yang kuat berupa Undang-Undang nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan Perundang-undangan turunannya, Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dan Peraturan Perundang-undangan turunannya yang didukung dengan Peraturan Presiden nomor 45 tahun 2015 tentang Kementerian Pertanian. Landasan hukum tersebut merupakan salah satu potensi yang bisa digali dalam mengembangkan perkebunan secara menyeluruh dan terpadu. Selain itu terdapat peraturan perundangan lainnya tentang pengembangan kawasan, perizinan usaha perkebunan, ISPO dan terkait pembangunan perkebunan lainnya. Agar kegiatan pembangunan perkebunan lebih praktis dan mudah dilaksanakan serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku perlu didukung dengan pedoman umum/teknis dan 48

67 standar biaya keluaran yang diperlukan. Pedoman umum/teknis yang tersedia seperti pedoman perencanaan program dan anggaran, pedoman perencanaan pengajuan usulan kegiatan pembangunan perkebunan melalui e-proposal, pembakuan statistik perkebunan dan buku saku, pelaksanaan program dan anggaran (Renja dan RKA-KL), satuan biaya pengembangan perkebunan, pedoman teknis kegiatan budidaya dan pedoman lainnya masih dapat diperluas dan berpotensi untuk lebih didayagunakan. 2) Sistem informasi manajemen dan teknis lainnya Semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadikan batas antar daerah maupun antar negara semakin kecil dan jelas. Akses terhadap data dan informasi serta penyebarannya sangat mudah dilaksanakan dan cepat tersebar kepada masyarakat yang membutuhkannya. Perangkat teknologi informatika yang telah dimiliki Direktorat Jenderal Perkebunan adalah website, Sistem Informasi Manajemen Pegawai (SIMPEG), Sistem Akuntansi Instansi (SAI), Sistem Monitoring dan Evaluasi (Simonev) dan Geographic Information System (GIS) merupakan teknologi informasi. Selain informasi yang disajikan dalam bentuk softcopy/maya, informasi juga disajikan dalam bentuk hardcopy/fisik seperti buku statistik perkebunan, majalah media perkebunan, ruang display, pusat informasi perkebunan, rencana strategis dan lainnya. Teknologi informasi dan komunikasi Direktorat Jenderal Perkebunan tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka implementasi Instruksi Presiden RI (Inpres) nomor 3 tahun 2003 tentang e-government dan seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi. Selain informasi manajemen, pelaksanaan kegiatan pembangunan perkebunan dilaksanakan dengan prinsip sinergi antara pola top down policy dan bottom up planning melalui aplikasi e-proposal. Dengan pola ini sangat diharapkan bahwa kegiatan yang dilakukan benar-benar sesuai dengan tujuan nasional, potensi, kebutuhan dan kesiapan daerah sebagai pelaksananya. Mekanisme pengajuan usulan kegiatan dilaksanakan dalam kerangka pelaksanaan reformasi birokrasi yaitu mewajibkan K/L membangun dan mengembangkan sistem elektronik pemerintah (e-goverment) dengan rencana aksi antara lain pelaksanaan e-office, e-planning, e-budgetting, e-procurement, e-performance dan e- audit. Implementasi pelaksanaan e-planning dalam rangka mengefektifkan dan mengefisienkan pengajuan usulan kegiatan dari daerah adalah dalam bentuk e-proposal (elektronik proposal). 49

68 Sebagai amanat dari Peraturan Presiden nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah bahwa setiap instansi pemerintah perlu menerapkan suatu rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat, prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan atau pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran dan palaporan kinerja pada instansi pemerintah dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah. SAKIP ini memuat 1) perencanaan kinerja (Renstra, Perjanjian Kinerja dan Rencana Kerja); 2) pengukuran kinerja (penetapan Indikator Kinerja Program dan Indikator Kinerja Kegiatan; 3) pengelolaan data kinerja (baseline data, perbandingan realisasi kinerja tahun berjalan dengan target/ sasaran dalam Renstra); 4) pelaporan kinerja (Laporan Kinerja/LAKIN interim dan tahunan); dan 5) reviu dan evaluasi kinerja oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). 3) Tersedianya anggaran pembangunan perkebunan Bila diakumulasikan selama periode , total APBN Ditjen. Perkebunan sekitar Rp. 7,02 triliun. Anggaran tersebut digunakan untuk menjalankan program pembangunan perkebunan dengan prioritas terbesar pada pengembangan kakao (Gernas dan non Gernas) yaitu kurang lebih sebesar Rp. 2,50 triliun atau sebesar 35,66% dari total anggaran Ditjen. Perkebunan selama Anggaran terbesar lainnya adalah anggaran peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman tebu dengan target swasembada gula nasional tahun 2014 yaitu sebesar Rp. 1,75 triliun atau sebesar 24,93% dari total anggaran Ditjen. Perkebunan selama Secara garis besar, proporsi APBN Ditjen. Perkebunan tahun dalam membiayai prioritas kegiatan strategis dapat disajikan pada Gambar 1 berikut ini. 50

69 Proporsi APBN Ditjen. Perkebunan Untuk Prioritas Kegiatan Strategis 39% 36% Pengembangan kakao (Gernas dan non Gernas) Pengembangan Tebu (swasembada gula nasional 2014) 25% Pengembangan Komoditas lainnya serta dukungan manajemen dan teknis lainnya Gambar 1. Proporsi APBN Ditjen. Perkebunan tahun untuk membiayai Prioritas Kegiatan Strategis Selain anggaran yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) bahwa dana perbankan dan dana masyarakat lainnya juga tersedia untuk pengembangan perkebunan. Kredit yang tersedia berupa (1) Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) untuk kelompok yang sudah bankable tetapi tidak feasible kalau dengan bunga komersial. Bunga yang dibayarkan petani hanya 7% dan sisanya disubsidi oleh pemerintah; (2) Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) untuk kelompok yang sudah bankable tetapi tidak feasible kalau dengan bunga komersial. Bunga yang dibayarkan petani hanya 7% untuk kelapa sawit dan kakao dan 6% untuk karet serta sisanya disubsidi oleh pemerintah; (3) Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk kelompok yang sudah feasible tetapi tidak bankable. Bunga yang dibayarkan petani maksimum 22% untuk kredit sampai dengan Rp. 5 juta dan maksimum 14% untuk kredit sampai dengan Rp. 500 juta. Persentase yang dijamin oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) sebesar 70% dari nilai kredit dan (4) Kredit komersial yang diberikan kepada kelompok yang sudah feasible dan bankable. Tetapi berdasarkan Surat Menteri Keuangan nomor S-5/MK.05/2015 tanggal 6 Januari 2015 perihal Pelaksanaan Kredit Program Skema Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) bahwa secara 51

70 umum Kementerian Keuangan mendukung adanya program Revitalisasi Perkebunan, namun berdasarkan evaluasi pelaksanaannya, skema pembiayaan tersebut harus dilakukan penyempurnaan lebih lanjut sehingga penyaluran kredit KUPS dan KPEN-RP untuk sementara dihentikan per 1 Januari 2015, namun subsidi bunga atas kredit yang telah disalurkan tetap dibayarkan sampai batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Terkait potensi penganggaran pengembangan komoditas perkebunan khususnya komoditas kelapa sawit, pemerintah membentuk BADAN PENGELOLA DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (CPO FUND) sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 113/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (CPO fund) sebagaimana amanat Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (CPO Supporting Fund). Badan tersebut menghimpun dana yang bersumber dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit; dana lembaga pembiayaan; dana masyarakat; dan dana lain yang sah untuk program: a. Replanting kebun sawit yang sudah tidak produktif/peremajaan. b. Pengembangan sumber daya manusia Perkebunan Kelapa Sawit. c. Penelitian dan pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit. d. Promosi Perkebunan Kelapa Sawit. e. Sarana dan prasarana Perkebunan Kelapa Sawit. f. Pangan berasal dari Kelapa Sawit. g. Hilirisasi industri Kelapa Sawit. h. Penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel. Pembiayaan perkebunan dipertegas lagi pada pasal 93 Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan yang mengatur tentang pembiayaan usaha perkebunan dengan implementasi melalui Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan. Peraturan Pemerintah tersebut bertujuan untuk 1) mendukung keberlanjutan pengembangan perkebunan melalui penyediaan dana bagi pengembangan usaha perkebunan; 2) meningkatkan kapasitas sumber daya manusia perkebunan; 3) mendorong pengembangan industri hilir perkebunan; 4) meningkatkan optimasi penggunaan hasil perkebunan untuk bahan baku industri, energi terbarukan, dan ekspor; 52

71 5) meningkatkan dan menjaga stabilitas pendapatan usaha perkebunan dengan mengoptimalkan harga di tengah fluktuasi harga komoditas Perkebunan dunia; dan 6) mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan keberlanjutan pekebun/perkebunan rakyat dari dampak negatif gejolak harga komoditas dunia. Pengelolaan dana dihimpun dari pelaku usaha perkebunan, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan/atau dana lain yang sah untuk pengembangan komoditas kelapa sawit, kelapa, karet, kopi, kakao, tebu dan tembakau dengan membentuk Badan Pengelola Dana. Badan pengelola dana bertugas melakukan perencanaan dan penganggaran; penghimpunan dana; pengelolaan dana; penyaluran penggunaan dana; penatausahaan dan pertanggungjawaban serta pengawasan. Dana Perkebunan yang dihimpun oleh Badan Pengelola Dana digunakan untuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia perkebunan; penelitian dan pengembangan perkebunan; promosi perkebunan, peremajaan perkebunan, dan sarana dan prasarana perkebunan. Disamping itu dana dapat digunakan pula untuk kepentingan pengembangan perkebunan dan pemenuhan hasil perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati (biofuel) dan hilirisasi industri perkebunan. Badan Pengelola Dana melakukan pengelolaan dana dari pelaku usaha perkebunan secara hati-hati dan memenuhi aspek akuntabilitas serta dapat melakukan penarikan kewajiban terhadap pungutan atas ekspor komoditas Perkebunan strategis dengan besaran dan tata caranya tertentu serta dari iuran pelaku usaha perkebunan. Dana yang bersumber dari dana lembaga pembiayaan berupa pembiayaan dari perbankan dan/atau lembaga keuangan bukan bank. Dana yang bersumber dari dana masyarakat berupa Dana yang berasal dari perseorangan, asosiasi, dan/atau lembaga masyarakat yang tidak mengikat. Dana yang bersumber dari sumber lain yang sah dapat berupa hibah, bantuan yang tidak mengikat dari pihak lainnya, dan/atau hasil pengelolaan Dana. 4) Penyediaan benih unggul bermutu Selain lahan dan air, dalam aspek budidaya ketersediaan benih unggul merupakan suatu hal yang sangat fundamental. Secara historis peran benih unggul telah dibuktikan melalui keberhasilan peningkatan produksi pada era Revolusi Hijau di tahun 1960-an. Benih merupakan salah satu input dasar dalam kegiatan produksi tanaman dan merupakan salah satu syarat untuk mewujudkan pembangunan perkebunan yang efisien dan berdaya saing tinggi. Seiring dengan 53

72 semakin meningkatnya tuntutan efisiensi dan daya saing usaha perkebunan maka semakin meningkat pula kebutuhan akan benih unggul dan sarana produksi bermutu. Secara umum, pengetahuan tentang berbagai aspek mutu benih sangat berperan dalam perkembangan komoditi perkebunan dan akan terus memainkan peran utama dalam peningkatan produksi tanaman perkebunan di masa mendatang. Penggunaan benih yang tidak memenuhi syarat dapat menurunkan hasil produksi, hal ini ditunjukkan oleh kondisi tanaman yang buruk karena rendahnya mutu fisik, genetik, fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap serangan hama dan penyakit pada tanaman. Proses untuk mendapatkan benih unggul, bermutu dan bersertifikat membutuhkan sinergitas antara ketersediaan produksi benih dengan kebutuhan di lapangan yang dikemas dalam manajemen sistem perbenihan. Selain itu, penguatan aspek perbenihan ini perlu diikuti dengan meningkatnya kesadaran konsumen tentang produk ramah lingkungan sehingga kedepan akan membuka peluang terhadap peningkatan permintaan sarana produksi yang bermutu dan berwawasan lingkungan. Di sisi lain dengan semakin berkembangnya dunia usaha perbenihan perkebunan yang dapat menghasilkan beragam produk dengan mutu yang baik, kebutuhan akan penggunaan benih unggul dan sarana produksi bermutu, optimis dapat dipenuhi. Direktorat Jenderal Perkebunan terus berupaya memperbaiki dan memperkuat sistem perbenihan nasional agar para pekebun terhindar dari berbagai kerugian akibat penggunaan benih yang tidak unggul, tidak bermutu dan tidak bersertifikat. Upaya yang dilakukan untuk memudahkan konsumen mendapatkan benih maka telah dibangun sistem usaha perbenihan yang berbentuk kelembagaan usaha perbenihan baik berupa Usaha Pembenih Besar (UPB) maupun Usaha Pembenih Kecil (UPK) yang memproduksi benih berupa biji/kecambah/stek maupun benih siap salur, dengan demikian benih yang dihasilkan merupakan benih yang berkualitas. Sedangkan untuk menjamin kualitas sumber benih, Ditjen. Perkebunan secara operasional mempunyai 3 unit pelaksana teknis pusat (UPT Pusat) untuk mengawasi dan menguji mutu benih di seluruh Indonesia. Ketiga UPT Pusat dimaksud adalah Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan, Surabaya dan Ambon. Pada tahun-tahun tertentu terdapat beberapa komoditas yang mengalami kekurangan benih, namun demikian kekurangan tersebut 54

73 diupayakan untuk dapat ditutupi dengan terus membangun sumbersumber benih/ kebun sumber bahan tanaman pada tahun berikutnya berupa kebun induk, kebun entres, blok penghasil tinggi, pohon induk terpilih dan kebun penangkaran. Selain itu dilakukan kegiatan dalam rangka merevitalisasi perbenihan perkebunan antara lain berupa pemeliharaannya serta penguatan kelembagaan perbenihan. Secara umum, kinerja pembangunan industri perbenihan perkebunan selama periode sudah cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan semakin besarnya peran swasta maupun masyarakat dalam mengembangkan usaha perbenihan perkebunan, namun demikian peran pemerintah baik pusat maupun daerah masih diperlukan dalam menfasilitasi pengembangan usaha perbenihan bagi komoditas perkebunan yang kurang diminati oleh swasta. Dukungan penguatan perbenihan melalui pihak swasta juga diatur melalui Undang-Undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dimana pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal asing yang berbentuk perseroan terbatas untuk memperoleh kemudahan pelayanan dan/atau perizinan berupa 1) hak atas tanah, 2) fasilitas pelayanan keimigrasian dan 3) fasilitas perizinan impor. Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas perizinan impor tersebut, salah satunya dapat diberikan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal/bahan baku untuk kebutuhan produksi sendiri serta mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri. Dalam rangka pengembangan tanaman perkebunan diperlukan ketersediaan benih unggul yang diproduksi dari varietas yang telah dilepas. Selain itu penyediaan benih unggul tanaman perkebunan hanya dapat dilakukan untuk jenis tanaman tertentu dan tidak dapat dilakukan untuk jenis tanaman lainnya karena belum tersedia varietas yang telah dilepas. Untuk jenis tanaman yang belum tersedia varietas yang telah dilepas maka pemenuhan kebutuhan benih dapat memanfaatkan varietas unggul lokal yang tersedia di sekitar lokasi pengembangan. Dalam kondisi benih varietas unggul untuk tanaman tertentu sulit disediakan pada kawasan pengembangan tertentu karena hambatan lokasi, waktu dan jarak yang tidak memungkinkan menggunakan benih varietas unggul dari sumber benih yang tersedia dapat menggunakan benih unggul lokal, sedangkan dalam kondisi pengembangan tanaman perkebunan di wilayah spesifik yang tidak sesuai dengan varietas unggul yang tersedia maka dapat menggunakan benih unggul lokal. Untuk itu, sebagai amanat melaksanakan ketentuan Pasal 31 ayat (3) 55

74 Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, maka menetapkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 50/Permentan/KB.020/9/2015 tentang Produksi, Sertifikasi, Peredaran dan Pengawasan Benih Tanaman Perkebunan. Tujuannya untuk menjamin ketersediaan benih secara berkelanjutan. Adapun pengaturan penting pada Permentan ini antara lain: a. Untuk menjamin ketersediaan benih tanaman perkebunan secara berkelanjutan dilakukan produksi benih melalui perbanyakan secara generatif dan vegetatif. Benih diklasifikasikan dalam Benih Penjenis (BS); Benih Dasar (BD); Benih Pokok (BP); dan Benih Sebar (BR). b. Perbanyakan benih tanaman secara generatif dilakukan untuk varietas bersari bebas, lini murni dan hibrida. Perbanyakan benih tanaman secara vegetatif dilakukan dengan metode konvensional dan/atau kultur jaringan. Sedangkan metode konvensional meliputi okulasi, cangkok, sambung, sucker dan setek. c. Usaha produksi benih tanaman perkebunan wajib memiliki izin usaha produksi benih dengan kriteria: memiliki dan/atau menguasai benih sumber; memiliki unit produksi benih yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai sesuai jenis tanaman; dan memiliki tenaga ahli dan/atau terampil dibidang perbenihan. d. Izin usaha produksi benih diterbitkan oleh gubernur dan diterbitkan dengan ditembuskan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Perkebunan. e. Untuk memperoleh izin usaha produksi benih, produsen benih mengajukan permohonan secara tertulis kepada gubernur atau pejabat yang ditunjuk, dilengkapi persyaratan sebagai berikut: memiliki akte pendirian usaha dan perubahannya (kecuali perseorangan); surat kuasa dari Pimpinan Perusahaan/pemilik (kecuali perseorangan); fotokopi KTP Pimpinan Perusahaan/pemilik atau yang dikuasakan; fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan e. Rekomendasi sebagai produsen benih yang diterbitkan oleh UPT Pusat/UPTD Provinsi yang menyelenggarakan tugas dan fungsi Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Perkebunan. f. Produsen benih wajib: menerapkan sistem manajemen mutu atau standar operasional prosedur untuk menjaga konsistensi benih yang dihasilkan; mendokumentasikan data benih yang diproduksi dan diedarkan; bertanggungjawab atas mutu benih yang diproduksi; dan memberikan keterangan kepada PBT apabila diperlukan. Produsen 56

75 benih tanaman perkebunan yang telah memiliki izin usaha produksi benih berhak mengedarkan benih tanaman yang diproduksi. g. Benih yang diproduksi sebelum diedarkan wajib disertifikasi dan diberi label. Proses sertifikasi diselenggarakan oleh: UPT Pusat dan UPTD Provinsi yang menyelenggaraan tugas dan fungsi Pengawasan dan Sertifikasi Benih; Produsen Benih yang mendapat sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu. Sertifikasi dilakukan oleh PBT. h. Peredaran benih antar provinsi dilakukan pengawasan oleh PBT yang berkedudukan di UPT Pusat/UPTD Provinsi penerima tanpa harus dilakukan sertifikasi ulang untuk benih yang sertifikatnya masih berlaku. Sedangkan peredaran benih antar kabupaten dalam provinsi dilakukan pengawasan oleh PBT yang berkedudukan di UPTD Provinsi. i. Pengawasan dilakukan terhadap setiap benih unggul/unggul lokal yang diedarkan didalam dan antar provinsi. Pengawasan peredaran benih unggul dan benih unggul lokal dilakukan oleh PBT yang berkedudukan di UPT Pusat/UPTD Provinsi/SKPD Provinsi. Hal lain adanya Peraturan Menteri Pertanian nomor 61/Permentan/OT.140/10/2011 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas dimaksudkan sebagai dasar dalam pelaksanaan pengujian, penilaian, pelepasan dan penarikan varietas, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian atas keunggulan varietas yang tidak merugikan masyarakat, dan/atau merusak lingkungan. Pengaturan tentang Pemasukan dan Pengeluaran Benih Tanaman diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian nomor 127/Permentan/SR.120/11/2014 yang mengatur tentang persyaratan pemasukan dan pengeluaran benih, tata cara memperoleh izin pemasukan dan pengeluaran benih, kewajiban pemegang izin pemasukan dan pengeluaran benih, pencabutan izin pemasukan dan pengeluaran benih, pengawasan di tempat pemasukan dan pemasukan, pengawasan ditempat pengeluaran, dan ketentuan umum lainnya. 5) Dukungan rakitan teknologi spesifik komoditas perkebunan Pada dasarnya keberhasilan atau kegagalan inovasi teknologi tergantung kepada beberapa aspek antara lain dukungan permodalan/anggaran, SDI, SDA, kelembagaan dan pengaruh iklim. Sejauh ini, Ditjen. Perkebunan melakukan berbagai upaya pendekatan teknologi didalam setiap kegiatan pembangunan perkebunan. Sesuai pendekatan yang ditempuh, untuk melakukan perubahan tradisi yang 57

76 sudah bertahun-tahun dilaksanakan petani, pada tahap awal dilakukan rintisan sebagai percontohan/ model, yang pada waktunya diharapkan dapat dilakukan petani secara swadaya. Perkembangannya adalah bahwa konsep perubahan sudah semakin dipahami dan upaya meniru sudah mulai ada walaupun secara umum perkembangannya masih harus dioptimalkan. Sistem teknologi budidaya tanaman tahunan mulai dalam tahap rintisan di beberapa daerah termasuk komitmen Ditjen. Perkebunan dalam mendukung terbitnya Peraturan Menteri Pertanian nomor: 105/Permentan/PD.300/8/2014 tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan Usaha Budidaya Sapi Potong. Selain itu, tersedianya berbagai rakitan teknologi terutama untuk mendukung peningkatan kuantitas dan kualitas hasil serta beberapa varietas benih unggul yang telah dilepas yang sesuai dengan masingmasing lokasi penanaman merupakan salah satu peluang yang dimanfaatkan untuk memfasilitasi pelaksanaan pembangunan perkebunan seperti ketersediaan teknologi budidaya, teknologi panen, pascapanen, pengolahan dan lembaga penyediaan teknologi dalam meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan yang ramah lingkungan. Selain itu didukung oleh hasil-hasil analisis dan kajian inovasi logistik dan distribusi sarana produksi. Hal lain mengenai terapan teknologi yang menjadi acuan pengembangan perkebunan adalah terkait langsung dengan fungsi komoditi perkebunan itu sendiri yaitu sebagai bahan baku industri dan ekspor. Melalui terapan teknologi maka harga jual produk perkebunan pada tingkat petani dapat bersaing walaupun terjadi fluktuasi harga di pasar internasional. Kedepan, perlunya penciptaan teknologi agribisnis perkebunan terkait langsung dengan tantangan global yaitu krisis pangan, krisis energi dan perubahan iklim, akibat pemanasan global yang mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat di dunia. Sebagai bagian pemecahan masalah pembangunan perkebunan dan dalam rangka menuju perkebunan masa depan maka inovasi paket teknologi yang diperlukan tidak sebatas peningkatan produktivitas saja, namun harus ada perubahan terapan teknologi yang substansial. Upaya-upaya terapan teknologi yang selama ini telah di capai oleh Ditjen. Perkebunan dalam mendukung tercapainya target kegiatan pembangunan perkebunan diantaranya: a. Inovasi teknologi perbenihan tanaman perkebunan melalui integrasi pengembangan sumber benih dan teknologinya dengan wilayah pengembangan komoditas perkebunan disertai pengembangan 58

77 sumber daya insani (SDI) perbenihan dan sarana produksi serta adanya dukungan dari pusat penelitian perbenihan dan perguruan tinggi dalam inovasi perbenihan. b. Inovasi teknologi penanganan pascapanen tanaman perkebunan yaitu melalui bimbingan pelatihan kepada petani tentang teknologi dan sarana pascapanen untuk mengatasi permasalahan keterbatasan teknologi pascapanen; sosialisasi penerapan Good Handling Practises (GHP) dengan baik dan benar sebagaimana Peraturan Menteri Pertanian nomor 44/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian Asal Tanaman yang Baik (Good Handling Practises) yang ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Menteri Pertanian nomor 22/Permentan/HK.140/4/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian nomor 44/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian Asal Tanaman yang Baik (Good Handling Practises) sehingga pekebun akan lebih memiliki struktur yang jelas tentang teknologi pascapanen dalam budidaya perkebunan; dan memberikan bantuan peralatan pascapanen, bantuan modal kerja kepada Gapoktan dan menyiapkan pedoman GHP. c. Inovasi teknologi pengendalian OPT tanaman perkebunan melalui 1) alokasi anggaran untuk pengendalian OPT didaerah yang rentan terserang; 2) pemberdayaan perangkat untuk laboratorium lapangan, laboratorium utama pengendali hayati, sub laboratorium hayati dan brigade proteksi tanaman; 3) pemberdayaan petani melalui SLPHT dan petugas pengamat OPT; 4) bekerjasama dengan balai proteksi/ balai penelitian OPT dalam menciptakan alat atau sarana pengendalian OPT, selain itu bagaimana menciptakan varietas-varietas tanaman perkebunan yang tahan terhadap jenis OPT tertentu; 5) kegiatan gerakan massal penanganan OPT dan penerapan GHP yang baik melalui sosialisasi dan bimbingan teknis pengendalian OPT; 6) penggunaan parasitoid tetrastichus brontispae untuk mengendalikan hama kumbang bibit kelapa; 7) penggunaan parasitoid telur leefmansia bicolor untuk mengendalikan hama belalang padang pada tanaman kelapa; 8) Feromon untuk pengendalian hama kopi (Hypothenemus Hampei), penggerek buah kopi (Conopomorpha Cramerella), kumbang sagu/nyiur (Oryctes Rhinoceros/Rynchoporus Ferrugineus), penggerek batang/pucuk tebu. 59

78 d. Inovasi teknologi antisipasi dampak perubahan iklim dan kebakaran lahan/kebun yang dilakukan melalui: 1) sosialisasi informasi dalam antisipasi perubahan iklim terkait usaha tani perkebunan; 2) bantuan peralatan dalam rangka kegiatan antisipasi dampak perubahan iklim dan kebakaran lahan/kebun; 3) pemberdayaan perangkat terkait brigade kebakaran; 4) pelaksanaan kegiatan sosialisasi PLTB (Pembukaan Lahan Tanpa Bakar), pemantauan kebakaran dan koordinasi pencegahan kebakaran; 5) pengembangan model perkebunan rendah emisi karbon pada perkebunan kopi rakyat; dan 6) pemberdayaan masyarakatnya. e. Inovasi teknologi alat dan mesin-mesin pertanian dengan mendorong peran swasta dan BUMN terkait anggaran dan juga peran Badan Litbang Pertanian, Balai Penelitian dan Perguruan Tinggi untuk menciptakan teknologi alsintan yang tepat guna dan dapat diadopsi mudah oleh petani/pekebun serta efektifitas dan keterjangkauannya dapat membantu petani/pekebun meningkatkan produktivitas tanaman perkebunan. f. Fasilitasi pengawasan dan pengujian mutu benih tanaman perkebunan dan teknologi proteksi tanaman perkebunan melalui peran BBP2TP (Balai Pengujian, Pengawasan Mutu Benih dan Penerapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan) yang berada di Medan, Surabaya dan Ambon serta BPTP (Balai Proteksi Tanaman Perkebunan) di Pontianak. g. Inovasi teknologi budidaya terapan yang baik yang dihasilkan oleh lembaga penyedia teknologi maupun individu praktisi perkebunan telah tersedia untuk dimanfaatkan dalam meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan antara lain teknologi somatic embryogenesis/kultur jaringan, sambung samping, sambung pucuk, pengendalian OPT dengan sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu), pengolahan limbah kebun sebagai pupuk organik dan teknologi budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim. Selain berperan meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan, teknologi terapan tersebut juga bersifat ramah lingkungan. Disamping teknologi budidaya terapan, teknologi pemuliaan tanaman juga telah dihasilkan antara lain melalui rekayasa genetika dalam rangka mendukung pengadaan varietas unggul guna menciptakan komoditas perkebunan berdaya saing tinggi. h. Integrated Farming System melalui pelaksanaan inovasi teknologi yang berbasis sistem pertanian terintegrasi baik dengan ternak 60

79 maupun dengan tanaman pangan/ perkebunan lainnya dan integrasi dengan cabang-cabang usaha tani lainnya seperti perikanan, dan lain-lain serta mengedepankan tipe sumber daya lahan (beriklim basah, beriklim kering dan lain-lain). Sistem pertanian yang diharapkan bukan sebatas diversifikasi, namun integrated farming system. i. Teknologi untuk mendukung pengembangan pola polikultur, tumpangsari, rotasi tanam, pola tanam dan/atau pola integrasi antar komoditas, dengan pendekatan pemanfaatan seluruh potensi sumber daya alam yang ada dalam sistem budidaya perkebunan. Pendekatan pengembangan model pertanian yang menggabungkan penerapan aplikasi teknologi maju namun ramah lingkungan dan dilakukan dengan menyelaraskan daya dukung ekosistem lokal dengan keragaman komoditas untuk diversifikasi dan integrasi dalam mengakomodasi kepentingan ekonomi, ekologi dan ketersediaan pangan disebut MODEL PERTANIAN TEKNO- EKOLOGIS. j. Teknologi pertanian masa depan melalui pengembangan sistem pertanian skala kecil, berkelanjutan dan ramah lingkungan, produktivitas usaha pertanian tinggi, bukan merupakan usaha monokultur tetapi merupakan sistem usaha pertanian aneka/diversifikasi, lentur terhadap ancaman perubahan iklim (adaptasi dan mitigasi) serta fleksibel terhadap kearifan lokal. 6) Tersedianya unit kelembagaan pelaksana teknis perkebunan Tersedianya unit kelembagaan pelaksana teknis perkebunan di seluruh Indonesia membuktikan bahwa dalam bidang penelitian, inovasi dan teknologi, Indonesia memiliki peluang untuk berkembang. Dalam rangka memfasilitasi terlaksananya pengawasan dan pengujian mutu benih, penerapan teknologi proteksi tanaman dan memberikan dukungan pelayanan organisasi yang berkualitas sebagai rujukan daerah telah dibentuk 4 unit pelayanan teknis (UPT) pusat yang meliputi Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan, Surabaya dan Ambon serta Balai Proteksi Tanaman Perkebunan (BPTP) Pontianak. Dukungan pengujian, pengawasan mutu benih dan penerapan teknologi proteksi tanaman perkebunan BBP2TP dimaksudkan untuk memfasilitasi terlaksananya pengawasan dan pengujian mutu benih, penerapan teknologi proteksi tanaman dan memberikan dukungan pelayanan organisasi yang berkualitas sebagai rujukan UPTD. Untuk 61

80 bidang Proteksi Tanaman Perkebunan Pontianak (BPTP Pontianak) memiliki tugas dalam melaksanakan analisis teknis dan pengembangan proteksi tanaman perkebunan dalam identifikasi dan penanganan OPT Tanaman Perkebunan, pengembangan teknologi agens hayati OPT Perkebunan, eksplorasi dan inventarisasi musuh alami OPT Perkebunan, pengembangan teknologi proteksi perkebunan yang berorientasi pada implementasi pengendalian hama terpadu, pemanfaatan pestisida nabati serta pengelolaan data, informasi dan analisis teknis dalam bidang proteksi tanaman perkebunan. Kedepan, agar pelayanan teknis kepada masyarakat lebih optimal dengan sebaran yang semakin luas maka jumlah dan fungsi UPT sangat berpotensi untuk ditingkatkan dan penyesuaian wilayah binaannya. Tersedianya sarana pendidikan yang kompeten untuk meningkatkan kapasitas sumber daya insani perkebunan sebagai institusi penelitian tanaman perkebunan seperti Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (Puslitbangbun) yang terdiri dari Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas), Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri), Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (Balitka) juga terdapat PT. Riset Perkebunan Nusantara (PT. RPN) yang terdiri dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Pusat Penelitian Karet (PPK), Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK), Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia) dan unit-unit riset dan pengembangan teknologi pada perusahaan industri berbasis tanaman perkebunan serta sejumlah tenaga peneliti yang sudah berpengalaman merupakan potensi yang dapat ditingkatkan lagi kontribusinya dalam rangka menunjang pembangunan perkebunan. Teknologi budidaya terapan baik yang dihasilkan oleh lembaga penyedia teknologi maupun individu praktisi perkebunan telah tersedia untuk dimanfaatkan dalam meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan antara lain teknologi somatic embryogenesis/kultur jaringan, sambung samping, sambung pucuk, pengendalian OPT dengan sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu), pengolahan limbah kebun sebagai pupuk organik dan teknologi budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim. Selain berperan meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan, teknologi terapan tersebut juga bersifat ramah lingkungan. Disamping teknologi budidaya terapan, teknologi pemuliaan tanaman juga telah dihasilkan antara lain melalui rekayasa genetika dalam rangka 62

81 mendukung pengadaan varietas unggul guna menciptakan komoditas perkebunan berdaya saing tinggi Tantangan Pembangunan Perkebunan Mencermati isu-isu strategis sebagaimana diungkapkan dalam Rancangan Teknokratik RPJMN yang meliputi bidang ekonomi, sumber daya alam dan lingkungan hidup, kesejahteraan rakyat, kewilayahan dan kedaerahan serta bidang politik, hukum, pertahanan dan keamanan, maka tantangan kedepan yang akan dihadapi dalam membangun perkebunan secara garis besar dikelompokkan menjadi 1) tantangan pembangunan perkebunan dalam ruang lingkup global; 2) tantangan pembangunan perkebunan dalam ruang lingkup sektor pertanian dan 3) tantangan pembangunan perkebunan dalam ruang lingkup sub sektor perkebunan. A. Tantangan Pembangunan Perkebunan dalam Ruang Lingkup Global Berikut ini dapat diklasifikasikan tantangan yang akan dihadapi pembangunan perkebunan kedepan dalam ruang lingkup global terutama berkaitan dengan liberalisasi pasar global. 1. Liberalisasi perdagangan global (implikasi pertemuan WTO, APEC, G20 dan kerjasama bilateral/multilateral/regional lainnya) Tantangan yang perlu diperhatikan dalam pembangunan perkebunan kedepan adalah yang terkait hasil pertemuan WTO-Konferensi Tingkat Menteri ke-9 pada bulan Desember 2013 di Bali yaitu munculnya kesepakatan paket pertanian (proteksi dan subsidi), LDCs (Least Developed Countries/fasilitasi perdagangan bagi negara miskin) dan fasilitasi perdagangan (kapasitas pelayanan, finance dan transfer teknologi). Di bidang keamanan pangan (food security), terdapat pertentangan dari kelompok negara maju dan kelompok grup negara berkembang tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan perdagangan bebas di sektor pertanian dan ketahanan pangan seperti penentuan tarif impor dan subsidi ekspor. Sektor pertanian dan ketahanan pangan ini selalu menjadi isu yang paling alot dibicarakan di WTO. Sebagian pihak ingin penghapusan hambatan di sektor itu harus diberlakukan secara merata, namun sebagian lagi ingin pemberlakuan secara proporsional sehingga memenuhi rasa keadilan. Ini yang selalu menjadi pertentangan antara kelompok negara maju dan negara berkembang di WTO. Kesepakatan utama lainnya meliputi 63

82 penyederhanaan prosedur kepabeanan yang menghambat perdagangan dan fasilitasi perdagangan untuk mempermudah akses ekspor negara-negara miskin ke pasar negara maju. Kesepakatan tentang keamanan pangan memberikan jeda kepada negara berkembang menggelontorkan subsidi pangan melebihi 10% dari output sesuai ketentuan WTO dimana pelonggaran tersebut berlaku untuk 4 tahun. Dengan pelonggaran ini, pemerintah negara berkembang boleh membeli produk pangan dari petani di atas harga pasar dan menjualnya dengan harga terjangkau untuk melindungi penduduk miskin. Selain itu, hasil pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC Economic Leaders Meeting pada bulan November 2014 di Beijing, Tiongkok, juga menjadi tantangan tersendiri bagi pembangunan pertanian khususnya sub sektor perkebunan di Indonesia. Hasil KTT APEC tersebut antara lain 1) pemberlakuan perjanjian fasilitas perdagangan hasil WTO Bali, sekaligus untuk menghilangkan sifat proteksi dan segala hambatan perdagangan; 2) upaya memberlakukan perjanjian perdagangan bebas pada tingkat bilateral, regional dan plurilateral sebagai pelengkap inisiasi liberalisasi tingkat global; 3) upaya realisasi area perdagangan bebas tingkat Asia Pasifik (Free Trade Area of the Asia-Pasific-FTAAP); 4) merancang konektivitas rantai pasok untuk melancarkan perdagangan bebas, dan 5) standarisasi keamanan pangan dan mengurangi kehilangan kualitas dan kuantitas pangan (food loss) dalam rantai nilai (value chain). Pada pertemuan KTT G20 (G20 Leaders Summit), bulan November 2014 di Brisbane, Australia, terdapat 3 topik utama pembahasan yang akan mewarnai pembangunan perkebunan kedepan, yaitu 1) penguatan sektor swasta untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi global dengan tekanan pada pembukaan lapangan kerja dan perdagangan terbuka, 2) memperkuat posisi ekonomi dunia terhadap tantangan pada masa depan dan 3) bagaimana menopang institusi global. 2. Kondisi perekonomian global yang menimbulkan gejolak harga dunia (implikasi negatif era pasar bebas ASEAN/AEC 2015) Kondisi global semakin meningkatkan persaingan di pasar domestik dan dunia akan mendorong bangkitnya kesadaran regionalisasi dan integrasi ekonomi. Salah satu contoh regionalisasi dan integrasi adalah terbentuknya Komunitas ASEAN yang memiliki 3 pilar utama, yaitu: ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community and 64

83 ASEAN Socio-Cultural Community. Terbentuknya AEC (Asean Economic Community) mengukuhkan terbentuknya pasar tunggal ASEAN. Manfaat dari peluang dan tantangan adanya AEC sejatinya akan diperoleh secara optimal apabila syarat dasar proses integrasi ekonomi dapat tercapai sehingga butuh kesiapan sub sektor perkebunan menghadapi AEC 2015 atau MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Jika sub sektor perkebunan tidak memiliki kesiapan tersebut maka akan berimplikasi negatif terhadap pembangunan perkebunan. Pelaksanaan MEA 2015 memberikan konsekuensi bagi Indonesia terhadap tingkat persaingan yang semakin terbuka dan tajam, terutama dalam perdagangan barang dan jasa di kawasan ASEAN. Pelaksanaan MEA 2015 telah didahului dengan penerapan ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992 yang implementasinya secara bertahap sejak 1 Januari 1993 sampai dengan tahun Tujuan akhir MEA 2015 adalah untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan dengan arus barang, jasa, investasi, pekerja terampil dan arus modal yang lebih bebas, mempunyai daya saing tinggi, dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata, serta terintegrasi dalam ekonomi global. Dengan semakin terbukanya pasar ASEAN bagi para negara anggotanya, tingkat persaingan pun akan semakin tinggi. Terdapat 4 hal yang harus diantisipasi dalam ASEAN Economic Community bagi Indonesia antara lain: a. Implementasi AEC berpotensi menjadikan Indonesia sekedar pemasok energi dan bahan baku bagi industrialisasi di kawasan ASEAN sehingga manfaat yang diperoleh dari kekayaan sumber daya alam kurang optimal. b. Melebarnya defisit perdagangan jasa seiring peningkatan perdagangan barang dan hal ini akan terjadi fluktuasi harga komoditas/produk dalam negeri. c. Implementasi AEC juga akan membebaskan aliran tenaga kerja ke Indonesia sehingga harus mengantisipasi dengan menyiapkan strategi yang tepat karena potensi membanjirnya Tenaga Kerja Asing (TKA) akan berdampak pada naiknya remitansi TKA yang saat ini pertumbuhannya lebih tinggi daripada remitansi TKI. Akibatnya, ada beban tambahan yaitu dalam menjaga neraca transaksi berjalan dan mengatasi masalah pengangguran. d. Implementasi AEC akan mendorong masuknya investasi ke Indonesia dari dalam dan luar ASEAN. 65

84 3. Tuntutan terhadap atribut mutu/kualitas produk (implikasi dari tuntutan daya saing komoditas) Atribut Mutu/ Kualitas Era perdagangan bebas baik secara global maupun dalam skema AEC tahun 2015 akan menuntut persaingan harga dan persaingan kualitas produk/barang. Pada kenyataannya, hasil perkebunan di Indonesia kerapkali kurang mampu bersaing di pasar internasional karena mutu hasil rendah yang disebabkan produk/ komoditas tidak sesuai dengan standar teknis yang dipersyaratkan, adanya kerusakan produk karena penyimpanan dan pengiriman, terkontaminasi dengan kotoran dan benda-benda asing serta proses panen dan pasca panen kurang sempurna (contoh proses pengeringan, dan lain-lain). Kenyataan ini menunjukkan bahwa budidaya tanaman dan penanganan pascapanen produk perkebunan belum dilakukan dengan optimal. Atribut mutu yang menjadi instrumen dalam peningkatan kualitas produk/komoditas pada perdagangan bebas antara lain: a. Atribut keamanan pangan (bebas dari bahan baku yang dapat menganggu kesehatan). b. Atribut halal (bebas dari bahan yang diharamkan untuk dikonsumsi menurut syariat islam). c. Atribut ramah lingkungan (bebas dari produk/komoditas yang selama proses budidaya tanaman sampai dengan pascapanen menggunakan bahan dan sarana produksi yang ramah lingkungan). d. Atribut fisik (bebas dari cacat fisik, kerusakan produk, kontaminasi kotoran dan sesuai standar teknis kualitas fisik). e. Atribut kimia (bebas dari bahan-bahan yang secara kimia mempengaruhi kualitas produk). f. Atribut nutrisi kesehatan (adanya kandungan bahan tertentu yang dibutuhkan untuk kesehatan, daya tahan, metabolisme dan pertumbuhan). g. Atribut mikrobiologi (bebas dari kandungan mikrobiologi tertentu yang mempengaruhi kualitas pangan). h. Atribut sensoris (berhubungan dengan ukuran, penampakan, rasa dan aroma yang disukai konsumen). i. Atribut budaya (bebas dari bahan-bahan yang secara budaya masyarakat tertentu dilarang untuk dikonsumsi). 66

85 Standarisasi Mutu/ Kualitas Kebijakan pemerintah mendesak produsen dalam menghasilkan barang dan jasa untuk menjamin mutu dari produk barang ataupun jasa yang dihasilkan dan telah memenuhi syarat untuk dipakai dan dikonsumsi oleh konsumen akhir mutlak diperlukan. Penerapan kebijakan mutu terhadap suatu produk bertujuan agar kualitas dari produk dan jasa tersebut memenuhi standarisasi, standar atau syarat mutu yang telah ditetapkan. Standarisasi yang berlaku tidak hanya standar dalam negeri tetapi memenuhi standar Internasional/ pasar dunia. Standardisasi mutu merupakan suatu spesifikasi teknis tentang mutu suatu komoditas/produk yang dapat digunakan untuk umum, yang dibuat dengan cara kerjasama dan konsensus dari pihak-pihak yang berkepentingan berdasarkan pada hasil konsultasi ilmu pengetahuan, teknologi dan pengalaman. Sedangkan sertifikasi mutu produk merupakan suatu pernyataan tertulis dari suatu lembaga yang kompeten dan berwenang yang berisi kebenaran mutu, fakta hasil pemeriksaan atau hasil pengujian berdasarkan metode yang sah, sehingga sertifikasi berisi pernyataan yang kebenarannya ditanggung oleh lembaga yang menerbitkan sertifikat tersebut. Standardisasi mutu sangat dibutuhkan terutama dalam perdagangan modern dewasa ini, karena standardisasi mutu produk berkaitan kepercayaan/ trust. Standarisasi mutu erat hubungannya dengan appeareance/kenampakan suatu produk, seperti ukuran besar/volume, warna, kandungan air dan sebagainya yang ditentukan oleh penjual dan pembeli. Selain itu, mutu produk juga dikaitkan dengan masalah keamanan pangan, keamanan bagi manusia, hewan dan tumbuhan serta lingkungan. Di Indonesia standarisasi mutu harus memenuhi standar SNI (Standarisasi Nasional Indonesia) yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Nasional (DSN) sejak tahun 1994 meliputi standar perdagangan, standar industri nasional, standar pertanian indonesia, dan lain-lain. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah nomor 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional disebutkan bahwa Standar Nasional Indonesia (SNI) merupakan satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia. SNI ini dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) yaitu suatu badan yang membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan dibidang standardisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Standar Nasional Indonesia berlaku di seluruh wilayah Republik 67

86 Indonesia. Standar Nasional Indonesia bersifat sukarela untuk diterapkan oleh pelaku usaha. Namun dalam hal Standar Nasional Indonesia berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau pertimbangan ekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau keseluruhan spesifikasi teknis dan atau parameter dalam Standar Nasional Indonesia. Adapun tata cara Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia tersebut telah diatur oleh instansi teknis sesuai dengan bidang tugasnya. Selain standarisasi Indonesia dalam bentuk SNI (Standar Nasional Indonesia) terdapat standarisasi yang dipakai oleh standarisasi pasar dunia. Standarisasi di era modern saat ini memasuki pasar globalisasi perdagangan bebas asia tenggara yang dikenal dengan standarisasi AFTA. Suatu badan dunia yang bergerak dalam pengembangan standarisasi mutu barang, yaitu International Standar Organization (ISO) menetapkan definisi tentang standarisasi mutu yaitu spesifikasi teknis tentang mutu suatu komoditas atau dokumen lain yang dapat digunakan untuk umum, yang dibuat dengan cara kerja yang sama dan konsensus dari pihak yang berkepentingan berdasarkan dari hasil konstitusi ilmu pengetahuan, teknologi dan pengalaman sehingga standarisasi mutuitu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal. Seri ISO terdiri dari seri ISO 9000, 9001, 9002, 9003, dan Selain itu FAQ dan WHO membentuk dewan Khusus untuk menangani kode standar dari suatu produk yakni CAC (codex alimentarius commission). Terkait standarisasi mutu produk/ komoditas perkebunan, yang menjadi tantangan kedepan adalah jika indonesia tidak sanggup memenuhi standarisasi untuk meningkatkan kualitas produk maka indonesia akan tertinggal oleh negara asia tenggara apalagi dunia. Standarisasi Mutu/ Kualitas Sektor Pertanian Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 58 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Sistem Standardisasi Nasional di Bidang Pertanian dan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian nomor 170/Kpts/OT.210/3/2002 tentang Pelaksanaan Standarisasi Nasional Bidang Pertanian, bahwa Sistem Standardisasi Nasional di bidang Pertanian yang selanjutnya disebut Sistem Standardisasi Pertanian (SSP) adalah tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional di bidang pertanian, yang meliputi penelitian dan pengembangan standardisasi, perumusan standar, penetapan standar, pemberlakuan standar, 68

87 penerapan standar, persiapan akreditasi, verifikasi, sertifikasi, pembinaan dan pengawasan standardisasi, kerjasama, informasi dan dokumentasi, pemasyarakatan, serta pendidikan dan pelatihan standardisasi. Standardisasi bidang pertanian adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merivisi standar di bidang pertanian, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak. Standar bidang pertanian adalah Standar Nasional Indonesia yang diartikan sebagai Persyaratan Teknis Minimal (PTM). PTM adalah batasan terendah dari spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tatacara dan metoda yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait, dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, dan/atau pertimbangan ekonomis, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, yang ketentuannya ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Standardisasi bidang pertanian dimaksudkan sebagai acuan dalam mengukur mutu produk dan/atau jasa didalam perdagangan, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan pada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup, meningkatkan daya saing dan kelancaran perdagangan. Adapun ruang lingkup pengaturannya meliputi perumusan dan penetapan standar, penerapan standar, kerjasama dan pemasyarakatan standardisasi, pembinaan dan pengawasan, penelitian dan pengembangan standardisasi serta pemberian sanksi Produk pertanian yang dapat disertifikasi SNI adalah berupa: (1) Barang, adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen; (2) Jasa, adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Adapun yang dimaksud dengan barang pertanian adalah setiap produk yang berbentuk benda pertanian baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diedarkan. Jasa pertanian adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi 69

88 di bidang pertanian yang disediakan bagi masyarakat untuk dapat melakukan sertifikasi. Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap barang dan/atau jasa. Adapun sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh laboratorium Penguji Mutu, Lembaga Sertifikasi, Lembaga Personel, atau Lembaga Inspeksi Mutu Pertanian yang telah diakreditasi atau ditunjuk untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel telah memenuhi standar dipersyaratkan. Produk yang sudah tersertifikasi dapat mencantumkan tanda standar SNI, yaitu tanda sertifikasi yang dibubuhkan pada barang kemasan atau label yang menyatakan telah terpenuhinya persyaratan Standar Nasional Indonesia atau tanda PTM yang menyatakan telah terpenuhinya Persyaratan Teknis Minimal. Persyaratan Teknis Minimal (PTM) yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian diberlakukan secara wajib. Barang pertanian dan/atau jasa pertanian, proses, sistem, dan/atau personel yang telah memenuhi spesifikasi teknis standar di bidang pertanian diberikan sertifikat mutu dan/atau dibubuhi tanda SNI atau PTM. Sertifikat tersebut diberikan oleh Laboratorium Penguji Mutu, Lembaga Sertifikasi, Lembaga Personel, Lembaga Pelatihan atau Lembaga Inspeksi yang telah terakreditasi atau ditunjuk. Penerapan SNI bidang pertanian sangat bermanfaat bagi semua pihak diantaranya: 1) adanya kepuasan pelanggan karena selalu mendapatkan produk pertanian dengan mutu konsisten; 2) efisiensi biaya operasional dan peningkatan kesinambungan produk pertanian; 3) kenyamanan produsen/ petani karena adanya standar yang menjadi target produksi; 4) memperkuat daya saing nasional dan internasional, meningkatkan transparansi dan efisiensi pasar pertanian; 5) upaya perlindungan terhadap produsen nasional dari persaingan usaha tidak sehat; 6) persyaratan pematuhan hukum dengan pemahaman bagaimana persyaratan suatu peraturan dan perundang-undangan tersebut mempunyai pengaruh tertentu pada suatu organisasi dan para pelanggan; 7) peningkatan terhadap pengendalian manajemen resiko dengan konsistensi secara terus menerus; dan 8) bermanfaat dari sisi ekonomi (Quality not Quantity), kesehatan (Quality Control) dan keselamatan (Safety Procedure) serta lingkungan hidup (Syarat kandungan tertentu). SNI di bidang pertanian antara lain mengatur SNI Lahan; SNI perbenihan; SNI produk; SNI Alat dan Mesin; dan SNI Metode Uji. 70

89 Standarisasi Mutu/ Kualitas Sub Sektor Perkebunan Mengingat pentingnya standardisasi nasional berupa SNI di terapkan untuk lahan, perbenihan, produk, alat dan mesin serta metode uji terutama untuk mengurangi atau mengantisipasi pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kelas kesesuaian lahan, mengurangi beredarnya benih-benih yang tidak berkualitas dan bukan benih bina, mencegah masuknya produk-produk benih dari luar negeri yang terindikasi terserang OPT dan/atau terdapat bahan kimia yang berbahaya baik bagi manusia maupun biota lainnya, memberikan jaminan mutu dan keamanan produk, memberikan hasil yang bermutu tinggi maka sudah selayaknya seluruh pemanfaatan lahan mengacu pada SNI, seluruh produk benih tanaman memiliki SNI serta seluruh produk olahan menerapkan SNI dan menggunakan alat mesin pengolah sesuai SNI. Sebagai contoh terkait SNI Biji Kakao. Standar Biji kakao yang bermutu tertuang dalam SNI 2323:2008 tentang Biji kakao. Dalam SNI biji kakao, dipersyaratkan bahwa biji kakao yang bermutu adalah biji kakao yang melewati proses fermentasi. Sementara ini diketahui masih banyak biji kakao yang beredar belum merupakan biji kakao fermentasi dan masih banyak juga pendapat yang meragukan keberhasilan program fermentasi biji kakao. Hal ini disebabkan harga biji kakao fermentasi dan non fermentasi pada tingkat petani belum signifikan perbedaan harganya. Padahal untuk melakukan fermentasi, petani akan menambah hari kerja, biaya dan tenaga sebelum mendapatkan uang. Dengan adanya pengaturan SNI Biji Kakao tersebut akan meningkatkan mutu sekaligus daya saing pasar dan nilai tambah biji kakao Indonesia; mendukung pengembangan industri berbahan baku kakao dalam negeri; memberikan perlindungan pada konsumen dari peredaran biji kakao yang tidak memenuhi persyaratan mutu; meningkatkan pendapatan petani kakao dan mempermudah penelusuran kembali kemungkinan terjadinya penyimpangan produksi dan peredaran. Begitu pula dengan komoditi lain yang menghasilkan produk pangan dan non pangan harus tetap memperhatikan standar baik SNI maupun standar yang dipersyaratkan oleh suatu negara tujuan ekspor sehingga mutu produk terjamin dan tetap tidak menyimpang dari rambu-rambu yang sudah ditetapkan dalam standar. Beberapa permasalahan spesifik komoditi perkebunan yang terkait dengan pemberlakuan SNI untuk komoditas perkebunan, antara lain: 71

90 1. Sebagian besar tanaman tua/rusak, belum menggunakan bibit unggul, kurangnya perawatan tanaman, dan serangan hama penyakit mendorong penurunan tingkat produktivitasnya; 2. Tingkat diseminasi teknologi masih rendah akibat minimnya tenaga penyuluh, luasnya cakupan wilayah, terbatasnya sarana dan prasarana pendukung penerapan GAP; 3. Terbatasnya akses permodalan dan informasi pasar; 4. Kelembagaan petani belum berfungsi secara optimal; 5. Penguasaan teknologi pascapanen dan pengolahan sangat kurang; 6. Tata niaga komoditas perkebunan sangat panjang/ tidak efisien dan masih didominasi oleh tengkulak; 7. Kemitraan antara pengusaha/industri dengan petani pekebun masih terbatas; 8. Kenaikan harga beberapa infut faktor khususnya biaya pupuk, pestisida dan tenaga kerja; 9. Diversifikasi produk belum berkembang. Penerapan SNI pada pengembangan komoditas perkebunan yang menjadi tantangan kedepan antara lain, belum sepenuhnya dapat terselenggara dengan baik karena berbagai persoalan. Selain itu, belum optimalnya sosialisasi SNI yang lebih tepat guna dan mudah dipahami kalangan pekebun dan pelaku pengolahan hasil perkebunan; kurangnya bimbingan teknis akibat minimnya tenaga penyuluh; adanya kondisi pasar belum mendukung perlakuan yang berbeda antara produk yang sudah SNI maupun yang belum SNI, termasuk perbedaan harganya, sehingga dipandang kurang memacu gairah pelaku usaha untuk menerapkan ketentuan SNI secara optimal; sulitnya merubah pola pikir petani untuk menerapkan produk sesuai pedoman teknis dan posisi tawar petani masih rendah akibat kelembagaan petani yang belum optimal, serta terbatasnya akses permodalan bagi petani. 4. Perubahan iklim akibat pemanasan global (implikasi terhadap munculnya bencana alam dan peningkatan serangan OPT) Perubahan iklim, El Nino, La Nina dan emisi GRK (Gas Rumah Kaca). Perubahan iklim akibat pemanasan global dihubungkan dengan peningkatan emisi dan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) sehingga terjadi perubahan pola curah hujan, perubahan suhu udara dan diikuti dengan naiknya tinggi permukaan air laut akibat pemuaian dan 72

91 pencairan es di wilayah kutub. Efek rumah kaca (green house effect) disebabkan naiknya konsentrasi gas CO 2 dan gas-gas lain yang ada di atmosfer (belerang oksida, nitrogen monoksida, nitrogen dioksida, gas metana, klorofluorokarbon/ CFC, dll) yang timbul karena kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan, pohon dan laut untuk menyerapnya sehingga energi yang timbul akan dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan dan permukaan bumi, tetapi sebagian besar inframerah yang dipancarkan bumi tertahan oleh gas CO 2 dan gas lain untuk dikembalikan ke permukaan bumi yang berbentuk seperti atap rumah kaca yang mengkilat. Naiknya tinggi permukaan air laut akan meningkatkan energi yang tersimpan dalam atmosfer sehingga mendorong terjadinya perubahan iklim, antara lain El Nino dan La Nina. Fenomena El Nino dan La Nina sangat berpengaruh terhadap kondisi cuaca/iklim di wilayah Indonesia dengan geografis kepulauan. El Nino adalah gejala gangguan iklim yang disebabkan oleh naiknya suhu permukaan laut Samudera Pasifik sekitar khatulistiwa bagian tengah dan timur yang mengakibatkan pola angin dan curah hujan yang ada diatasnya, sedangkan La Nina adalah gejala gangguan iklim yang diakibatkan suhu permukaan laut Samudera Pasifik dibandingkan dengan daerah sekitarnya sehingga mengakibatkan hujan turun lebih banyak di Samudera Pasifik sebelah barat Australia dan Indonesia. Dampak El Nino berhubungan dengan fenomena alam yang mengakibatkan kekeringan (musim kemarau yang panjang), peningkatan frekuensi dan luas kebakaran hutan serta penurunan ketersediaan air sedangkan La Nina yang banyak dirasakan antara lain fenomena alam yang mengakibatkan banjir pada sebagian wilayah yang berdataran rendah. Tetapi kedua fenomena tersebut berpengaruh terhadap penurunan produktivitas pertanian/ perkebunan yang mengakibatkan gagal panen. Dampak lanjutan dari perubahan iklim adalah perubahan keanekaragaman hayati, eksplosi hama dan penyakit tanaman dan hewan. Di tingkat lapangan, kemampuan para petugas lapangan dan petani dalam memahami data dan informasi prakiraan iklim masih sangat terbatas sehingga kurang mampu menentukan awal musim tanam serta melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang terjadi. 73

92 Perubahan iklim dan pengaruh indeks pertanaman (IP). Tinggi dan rendahnya intensitas musim hujan akan berpengaruh terhadap upaya meningkatkan indeks pertanaman (IP) apabila tidak tersedia varietas yang berumur lebih pendek dan tanpa rehabilitasi jaringan irigasi. Perubahan iklim dan serangan OPT yang eksplosif. Perubahan iklim dapat juga dilihat terhadap munculnya OPT yang populasinya sulit diproyeksi dan tanaman perkebunan rentan terhadap serangan OPT tersebut. Hal ini karena perubahan iklim mengganggu keseimbangan antara populasi serangga hama, musuh alaminya dan tanaman inangnya. Meski demikian, secara umum pengaruh perubahan iklim dapat dilihat dari tanaman yang mengalami tekanan/ stress. Dampak lainnya adalah serangga hama dan mikroba termofilik lebih diuntungkan dengan makin panjangnya musim panas/kemarau dan meningkatnya temperatur. Di sisi lain, organisme yang saat ini bukan sebagai OPT, suatu saat dapat menjadi OPT yang bisa berekspansi ke wilayah lain. Perubahan iklim dan bencana alam. Secara umum dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim akan terjadi bencana alam. Indonesia termasuk wilayah dengan frekuensi bencana alam sangat tinggi dan sering disebut sebagai wilayah rawan bencana. Sejumlah bencana alam kerap terjadi yang meliputi erupsi gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, kekeringan, angin kencang dan macam bencana alam lainnya. Semua bencana alam tersebut berpotensi mengganggu aktivitas perekonomian nasional mulai proses produksi, jalur distribusi, rehabilitasi ekonomi, masa panen dan pasca panen, mengakibatkan rusaknya infrastruktur pertanian yang meliputi bangunan bendung, dam, jaringan irigasi, jalan usaha tani/ jalan produksi, kerusakan tanaman dan ternak, hingga penurunan produktivitas dan produksi pertanian/ perkebunan dan akibat bencana lainnya adalah menimbulkan trauma bagi masyarakat korban bencana. Oleh karena itu, kemampuan untuk antisipasi bencana alam, penanganan korban bencana, serta kemampuan rehabilitasi ekonomi pasca bencana menjadi penting. Perubahan iklim dan bergesernya pola atau kalender tanam. Dari sisi budidaya tanaman perkebunan, perubahan iklim akan lebih banyak berpengaruh terhadap terjadinya penurunan produksi, produktivitas dan berubahnya agro-ecosystem mikro. Disisi lain, naiknya suhu permukaan bumi dan pergeseran pola curah hujan menyebabkan terjadinya pergeseran pola musim yang berdampak pada perubahan pola dan kalender tanam. Cuaca yang tidak menentu sering mengakibatkan petani/ pekebun sulit memperkirakan waktu untuk mengolah lahan dan 74

93 memanen. Akibat perubahan iklim, tidak kurang dari 50% wilayah pertanian/ perkebunan di Indonesia menghadapi musim hujan yang cenderung mundur dan musim kemarau yang cenderung maju dan lebih panjang sehingga musim tanam menjadi pendek. Kondisi ini akan sangat berdampak buruk terhadap intensitas tanam jika tidak ada terobosan inovasi dan teknologi yang mampu memecahkan masalah tersebut. Disisi lain teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bagi sub sektor perkebunan belum begitu berkembang dan juga kurang tersosialisasinya informasi dalam antisipasi perubahan iklim terkait usaha tani perkebunan. Hal yang perlu diperhatikan bahwa kerentanan suatu daerah terhadap perubahan iklim atau tingkat ketahanan dan kemampuan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim, bergantung pada struktur sosial-ekonomi, besarnya dampak yang timbul, infrastruktur dan teknologi yang tersedia. Perubahan iklim dan penegasan komitmen internasional. Tantangan penyelenggaraan perkebunan kedepan adalah terkait kewajiban Indonesia dalam menyepakati komitmen internasional dalam hal perubahan iklim. KTT Perubahan Iklim atau COP 21 UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang digelar selama 13 hari di Le Bourget, Paris, 30 November-12 Desember 2015 mencapai kesepakatan yang disebut dengan paris agreement. Sekitar 195 perwakilan negara menyepakati teks rancangan hasil pembahasan Comitte Paris. Hasil COP21 juga disebut-sebut sebagai langkah awal bagi upaya konversi energi dari bahan bakar fosil. Sejumlah komitmen dan negoisasi yang telah dirilis misalnya pengumpulan mobilisasi sumber pendanaan baru dimulai pada 2020 serta mengalir melalui mekanisme keuangan konvensi. Kesepakatan COP21 Paris ini, masih berdasarkan rancangan terakhir bakal di tandatangani secara terbuka di New York, Amerika Serikat, dalam rentang waktu 22 April 2016 hingga 21 April Berikut poin-poin penting hasil kesepakatan COP21 UNFCCC: 1. Menyepakati batas kenaikam suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius untuk pra industri dan berupaya menekannya hingga suhu 1,5 derajat celcius. Ini dianggap signifikan mengurangi risiko dampak perubahan iklim. 2. Para pihak yang terlibat dalam menekan emisi gas rumah kaca dilakukan secepat mungkin dengan cara mengembangkan teknologi hijau dan menyerap karbon. 75

94 3. Isi penting dalam poin kedua juga harus mendukung upaya pembangunan berkelanjutan dan pemberantasan kemiskinan serta dilakukan secara transparan. 4. Memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim dari kerusakan serta upaya adaptasi harus dilakukan dengan memperkuat kemampuan-kemampuan negara-negara di dunia untuk mengatasi dampak perubahan iklim. 5. Sebelum pertemuan COP selanjutnya pada 2025 secara kolektif bakal menetapkan pendanaan 100 miliar dolar AS per tahun untuk menekan perubahan iklim. Konferensi ini menghasilkan Persetujuan Paris yang diadopsi secara aklamasi oleh negara anggota. Persetujuan ini akan mengikat secara hukum jika setidaknya 55 negara yang mewakili 55 persen emisi gas rumah kaca global tahunan meratifikasi Persetujuan Paris atau mendaftarkan diri di New York dari 22 April 2016 hingga 21 April Diharapkan persetujuan ini dapat berlaku efektif Harapan utama dari COP21 adalah membatasi pemanasan global hingga maksimum 2 derajat Celcius hingga tahun 2100, meskipun dalam piagam persetujuan Paris tertulis target utamanya adalah maksimum 1,5 derajat Celcius. Berdasarkan analisis pakar, target 1,5 derajat Celcius dapat dicapai jika antara tahun 2030 hingga 2050 tidak ada emisi gas rumah kaca. Dalam kesempatan ini, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon 29 persen, demi mencapai tujuan bersama, yakni menghentikan suhu pemanasan bumi agar tidak melebihi 2 derajat Celsius. Secara singkat penugasan delegasi RI pada pertemuan ini adalah memperjuangkan kepentingan negara untuk menjalankan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim (climate resilience) dengan cara mengurangi secara signifikan tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim dan kemiskinan. Intended Nationally Determined Contribution (INDC) adalah agenda yang diperjuangkan. Tugas dilakukan melalui jalur negosiasi, jalur penjangkauan (outreach) dan kampanye (campaign). Indonesia juga memanfaatkan COP 21 di Paris untuk menginformasikan kepada komunitas internasional mengenai program Nawa Cita. 76

95 5. Dukungan terhadap optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup (implikasi terhadap pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan) Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Akan tetapi, lingkungan hidup di Indonesia mengalami tekanan hebat akibat kegiatan-kegiatan manusia seperti eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkontrol dan tidak ramah lingkungan sehingga diperlukan upaya pemanfaatan sumber daya perkebunan secara optimal sesuai dengan daya dukung sehingga pelestariannya dapat tetap terjaga. Munculnya isu pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan seiring dengan gagasan pembangunan berkelanjutan melalui penetapan strategi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sekitar tahun 1970-an seiring dengan merebaknya masalah lingkungan. Hal ini ditandai dengan paradigma pembangunan ekonomi konvensional dengan mengejar pertumbuhan ekonomi semata, namun melahirkan kerusakan lingkungan dan sumber daya alam. Karena itu, pembangunan berwawasan lingkungan hidup yang berkelanjutan menjadi penting untuk dikaji. Pentingnya pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Oleh karena itu, dalam pembangunan berwawasan lingkungan hidup yang berkelanjutan, setidaknya terdapat 3 hal yang perlu diperhatikan, yakni (1) pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana; (2) pembangunan berkesinambungan sepanjang masa; dan (3) peningkatan kualitas hidup generasi. Selama bertahun-tahun Komisi Eropa telah menjalin kerja sama dengan Indonesia di bidang lingkungan hidup. Sektor kehutanan dan sumber daya alam khususnya telah menjadi sektor prioritas dalam kerja sama Komisi Eropa dan Indonesia sejak tahun 1990-an. Tinjauan Tengah Waktu (Mid-Term Review) yang dimuat dalam Country Strategy Paper tahun menekankan pentingnya sektor lingkungan hidup terutama terkait isu perubahan iklim sebagai bagian dari kerja sama bilateral antara Komisi Eropa dan Pemerintah Indonesia. Masyarakat sipil juga merupakan mitra penting dalam kerjasama bidang lingkungan hidup Komisi Eropa di Indonesia dan oleh karena itu sejumlah proyek memperoleh dukungan yang didanai melalui Program Tematik Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam. 77

96 Isu pembangunan berwawasan lingkungan lainnya telah dicanangkan melalui pencapaian tujuan millennium (Millennium Development Goals/MDGs) yang merupakan Deklarasi Milenium dari hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada bulan September tahun 2000 dan ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York yaitu berupa 8 butir tujuan untuk dicapai pada tahun Target utamanya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada tahun Deklarasi ini berisi komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah tujuan pembangunan yang meliputi 1) menanggulani kemiskinan dan kelaparan; 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; 3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; 4) menurunkan angka kematian anak; 5) meningkatkan kesehatan ibu; 6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; 7) memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan 8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Dalam pencapaian tujuan millennium memastikan kelestarian lingkungan hidup dijalankan melalui strategi (1) mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap negara dan program serta mengurangi hilangnya sumber daya lingkungan; (2) pada tahun 2015 dengan mengurangi setengah dari jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang sehat, aman dan berkelanjutan serta fasilitasi sanitasi dasar; (3) mengurangi laju hilangnya keragaman hayati dan mencapai pengurangan yang signifikan; dan (4) pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai pengembangan yang signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya 100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh. Setelah target pencapaian tujuan millennium (Millennium Development Goals/MDGs) pada tahun 2015, muncullah kesepakatan lanjutan berupa Sustainable Development Goals (SDGs). Konsep SDGs dikemukakan pada tanggal September 2015 di markas besar PBB, New York yang dihadiri perwakilan dari 193 negara dengan mengadopsi konsep transforming our word: the 2030 agenda for sustainable development. SDGs tahun mengedepankan 3 tujuan yaitu 1) mengakhiri segala bentuk kemiskinan; 2) mengakhiri segala bentuk kelaparan melalui penciptaan ketahanan pangan, meningkatkan gizi masyarakat dan mendorong pertanian secara berkelanjutan; dan 3) menjamin adanya kehidupan yang sehat serta mendorong kesejahteraan masyarakat di semua usia. Indikator pencapaian SDGs adalah 78

97 pembangunan kualitas manusia, peningkatan pendidikan dan kesehatan serta kelestarian lingkungan dengan fondasi meliputi manusia, planet, kesejahteraan, perdamaian dan kemitraan sampai dengan tahun Untuk mencapai target pencapaian SDGs maka disusunlan 17 tujuan global dalam SDGs yaitu: 1) Tanpa kemiskinan dalam bentuk apapun diseluruh dunia; 2) Tanpa kelaparan dalam mencapai ketahanan pangan, perbaikan nutrisi, serta mendorong budidaya pertanian yang berkelanjutan; 3) Kesehatan yang baik dan kesejahteraan dengan menjamin kehidupan yang sehat serta mendorong kesejahteraan hidup untuk seluruh masyarakat di segala umur; 4) Pendidikan berkualitas dengan menjamin pemerataan pendidikan yang berkualitas dan meningkatkan kesempatan belajar untuk semua orang, menjamin pendidikan yang inklusif dan berkeadilan serta mendorong kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang; 5) Kesetaraan gender dan memberdayakan kaum ibu dan perempuan; 6) Air bersih dan sanitasi yang terjamin dan berkelanjutan untuk semua orang; 7) Energi bersih dan terjangkau yang terjamin, terpercaya dan berkelanjutan serta modern untuk semua orang; 8) Pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang layak dengan mendukung perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, lapangan kerja yang penuh dan produktif, serta pekerjaan yang layak untuk semua orang; 9) Industri, inovasi dan infrastruktur yang dibangun secara berkualitas, mendorong peningkatan industri yang inklusif dan berkelanjutan serta mendorong inovasi; 10) Mengurangi kesenjangan / ketidaksetaraan baik di dalam sebuah negara maupun di antara negara negara di dunia; 11) Keberlanjutan kota dan komunitas serta pemukiman yang dibangun secara inklusif, berkelanjutan, aman, berketahanan dan berkelanjutan; 12) Konsumsi dan produksi bertanggung jawab dengan menjamin keberlangsungan konsumsi dan pola produksi; 79

98 13) Aksi terhadap iklim dengan bertindak cepat untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya; 14) Kehidupan bawah laut dengan melestarikan dan menjaga keberlangsungan laut dan kehidupan sumber daya laut untuk perkembangan pembangunan yang berkelanjutan; 15) Kehidupan di darat dengan melindungi, mengembalikan, dan meningkatkan keberlangsungan pemakaian ekosistem darat, mengelola hutan secara berkelanjutan, mengurangi tanah tandus serta tukar guling tanah, memerangi penggurunan, menghentikan dan memulihkan degradasi tanah, serta menghentikan kerugian keanekaragaman hayati; 16) Institusi peradilan yang kuat dan kedamaian dengan meningkatkan perdamaian termasuk masyarakat untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses untuk keadilan bagi semua orang termasuk lembaga dan bertanggung jawab untuk seluruh kalangan, serta membangun institusi yang efektif, akuntabel dan inklusif di seluruh tingkatan; 17) Kemitraan untuk mencapai tujuan dengan memperkuat implementasi dan menghidupkan kembali kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan. Strategi pelestarian lingkungan dan sumber daya alam yang selama ini diterapkan belum menunjukkan hasil yang optimal diantaranya penerapan sistem pertanian konservasi pada wilayah perkebunan termasuk lahan kritis, lahan miring, lahan gambut, DAS (Daerah Aliran Sungai) hulu dan pengembangan perkebunan di kawasan penyangga yang mempunyai nilai konservasi tinggi belum sesuai dengan kaidahkaidah konservasi tanah dan air. Selain itu, kurangnya penerapan paket teknologi ramah lingkungan dan kurangnya kampanye peran perkebunan dalam kontribusi penyerapan karbon dan penyedia oksigen serta peran fungsi hidro-orologis masih menjadi tantangan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup kedepan. Upaya pelestarian lingkungan dan sumber daya alam yang berkelanjutan harus dicapai untuk mewujudkan integritas dan sinergi dalam pelaksanaan pembangunan pada kelestarian ekologi, ekonomi, sosial dan budaya dengan mengintegrasikan semua komponen. Upaya ini juga tidak hanya diperlukan saat pembukaan lahan dan penatagunaan tanah, tetapi selama kegiatan pembudidayaan sampai ke pengolahan hasil. Pelestarian lingkungan pada semua tahapan produksi perlu menjadi tekad masyarakat, terlebih dalam menghadapi semakin besarnya 80

99 tuntutan pada produksi hijau. Selain itu, tekad masyarakat dalam melestarikan lingkungan dapat menjadi perisai terhadap kecamankecaman tentang kerusakan lingkungan perkebunan. 6. Tingginya tingkat permintaan akibat ledakan jumlah penduduk dan urbanisasi (implikasi terhadap ketersediaan bahan baku) Ketersediaan pangan, energi dan sumber lainnya serta perlindungan pertanian dari gangguan iklim dan lingkungan akan menjadi isu strategis ditengah peningkatan jumlah penduduk dunia yang pada dasarnya tidak hanya menjadi kepentingan nasional, tetapi juga menjadi komitmen global. Untuk itu, penerapan teknologi tepat guna yang progresif menjadi suatu kewajiban dalam pengembangan pertanian/ perkebunan untuk menghasilkan produksi yang optimal dan memenuhi kebutuhan rakyat banyak. Produk dan prosedur yang inovatif dalam dunia usaha juga diharapkan memberi peluang untuk menghasilkan produksi yang berkelanjutan khususnya bagaimana menciptakan produk-produk perkebunan yang bermanfaat, aman, sehat dan bernilai tinggi. Tantangan bagi sub sektor perkebunan adalah bagaimana memanfaatkan dan pengalokasian sumber daya alam perkebunan dan ekosistem yang terbatas secara efektif dan adaptif dalam memproduksi pangan perkebunan serta menjamin keamanannya dan ketersediaan gizi yang cukup bagi penduduk ditengah peningkatan jumlah penduduk. Semakin meningkatnya laju pertumbuhan penduduk di dunia akan berimplikasi pada semakin tingginya tingkat permintaan akan produk/komoditas perkebunan baik kualitas maupun kuantitasnya. Implikasi dari semakin meningkatnya permintaan akan produk perkebunan baik produk ekspor maupun kebutuhan dalam negeri akan berpengaruh terhadap ketersediaan bahan baku. Walaupun keanekaragaman hayati dan sumber daya alam Indonesia melimpah jika pengelolaan terhadap budidaya tanaman perkebunan tidak optimal maka akan berpengaruh terhadap produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan, ditambah kedepan perubahan iklim, bencana alam dan serangan OPT masih menjadi tantangan pembangunan perkebunan. Permasalahan peningkatan jumlah penduduk juga berhubungan dengan laju urbanisasi. Laju urbanisasi yang tinggi dimana generasi muda cenderung meninggalkan perdesaan sebagai sentra pengembangan pertanian/ perkebunan. Sektor pertanian/ sub sektor perkebunan menjadi kurang diminati generasi penerus. Fenomena urbanisasi dipandang sebagai konsekuensi dari berkembangnya sektor industry 81

100 dan jasa di perkotaan yang memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi dibandingkan sektor tradisional perdesaan yang berbasis pertanian atau perkebunan. Kondisi ini mengakibatkan transfer tenaga kerja sektor pertanian/ sub sektor perkebunan perdesaan ke sektor industry dan jasa ke perkotaan. Laju urbanisasi ini juga berdampak pada semakin langkanya ketersediaan tenaga kerja muda di pertanian/ perkebunan karena diserap oleh kegiatan industry dan jasa di perkotaan dan semakin meningkatnya kebutuhan pangan di perkotaan sehingga untuk memenuhi ketersediaan pangan tersebut harus adanya transfer pangan dari perdesaan dan hal ini mengakibatkan tingginya harga pangan karena persoalan distribusi dan transportasi dari desa ke kota. Kondisi ini diperparah oleh makin dominannya petani/ pekebun berusia tua di pedesaan yang mengusahakan budidaya pertanian/ perkebunan. Oleh karena itu tantangan ke depan perlu menciptakan kegiatan pertanian/ perkebunan yang lebih diminati oleh generasi muda. Salah satunya adalah pengembangan agro-industri dan agro-wisata di pedesaan yang berbasis sumber daya/ potensi lokal. 7. Aspek distribusi/ pengangkutan dan pemasaran (implikasi dari globalisasi produksi dan pasar) Aspek distribusi dan pemasaran turut menjadi tantangan pembangunan perkebunan kedepan. Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan diperlukan aksesibilitas, konektivitas dan sarana transportasi yang lebih efisien. Distribusi pangan berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien, sebagai prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah maupun kualitas secara berkelanjutan, merupakan tantangan besar, mengingat masih ada sebagian masyarakat yang tidak mampu mengakses pangan yang cukup, penyebab utamanya adalah kemiskinan dan jangkauan/ keterisoliran. Sebagian besar penduduk miskin adalah petani di perdesaan yang berperan sebagai produsen dan sekaligus sebagai konsumen. Selain itu, Indonesia sebagai negara kepulauan, yang jarak/ jangkauan antar wilayah membutuhkan alat/sarana yang cukup dalam kelancaran distribusi pangan. Manajemen distribusi produk-produk agro-industry perkebunan merupakan bagian yang sangat penting dalam rangkaian usaha pengembangan produk yang bersangkutan maupun dalam pengembangan ekonomi secara keseluruhan, terutama dikaitkan 82

101 dengan aspek globalisasi produksi dan globalisasi pasar yang akhirnya akan menimbulkan persaingan global. Dalam globalisasi produksi, setiap negara dapat melakukan kegiatan produksi dimana saja yang paling menguntungkan baginya baik untuk seluruh komponen maupun sebagian komponen produknya; atau menurut bentuk agro-industry primer, setengah jadi maupun produk jadi (batasan produk agro-industry disini adalah produk-produk hilir pertanian/ perkebunan). Dalam era globalisasi maka akan terjadi proses integrasi pasar domestik dengan pasar dunia sehingga dengan demikian semua kegiatan harus berwawasan, competitiveness dan efisiensi, termasuk kegiatan distribusinya. Masalah distribusi erat kaitan dengan masalah transportasi yang belum optimal. Masalah infrastruktur distribusi; sarana dan prasarana pasca panen; pemasaran dan distribusi antar dan keluar daerah dan isolasi daerah; sistem informasi pasar; keterbatasan lembaga pemasaran daerah; hambatan distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi; kasus penimbunan komoditas oleh spekulan; dan adanya penurunan akses pangan karena terkena bencana menjadi masalah distribusi yang perlu penanganan tepat dan cepat. Selain itu, tata niaga produk dan komoditas pertanian/ perkebunan domestik masih mengandalkan pada pengiriman jalan darat dan masih memiliki hambatan dibidang transportasi yang belum efisien. Penyebab in-efisiensi masalah transportasi diantaranya: belum memadainya jumlah dan kapasitas alat angkut (truk dan kapal) dan minimnya kualitas sarana angkutan baik truk maupun kapal yang digunakan. Selain itu, belum semua pelabuhan memiliki fasilitas yang memadai untuk distribusi produk dan komoditas pertanian/ perkebunan. Kondisi ini diperburuk lagi dengan adanya retribusi selama proses pengangkutan mulai dari desa, kecamatan, kabupaten, provinsi sampai ke daerah tujuan. Untuk mengurangi masalah tersebut maka harus melakukan upaya-upaya khusus, salah satunya melalui koordinasi dengan Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pemerintah daerah dan Kementerian/Lembaga terkait lainnya. Sinergitas dengan Kementerian Perhubungan dalam mengatasi permasalahan distribusi, aksesibilitas dan konektivitas pengangkutan produk/ komoditas pertanian/ perkebunan diantaranya melalui 1) inefisiensi mobilitas usaha pertanian/ perkebunan dapat diatasi melalui fasilitasi moda transportasi khusus sarana produksi di daerah sentra produksi untuk kebutuhan pengadaaan input dan pemasarannya; 2) adanya pungutan liar terhadap angkutan moda transportasi komoditas 83

102 pertanian/ perkebunan dapat diatasi dengan penghapusan punggutan liar dan pengaturan khusus retribusi melalui label khusus angkutan komoditas/ produk pertanian/ perkebunan; 3) lamanya waktu proses bongkar muat di pelabuhan dan bandar udara dapat diatasi dengan menyusun jalur khusus fast track untuk memperpendek waktu bongkar muat produk pertanian/ perkebunan yang mudah rusak di pelabuhan dan di bandar udara yang ditunjang dengan fasilitas cold storage/ gudang transit; 4) tidak adanya standar kendaraan pengangkut komoditas pertanian/ perkebunan sesuai Good Distribution Practices (GDP) dapat diatasi dengan menyusun regulasi standar kendaraan pengangkut komoditas pertanian/ perkebunan lainnya; 5) tingginya tariff cargo untuk ekspor produk/ komoditas pertanian/ perkebunan dapat diatasi dengan berkoordinasi dengan maskapai untuk menyediakan cargo khusus untuk produk pertanian/ perkebunan dengan tarif yang kompetitif; 6) infrastruktur pelabuhan masih terbatas pada beberapa pelabuhan untuk pengangkutan CPO dapat diatasi dengan menambah infrastruktur pelabuhan yang layak untuk pengangkutan CPO; dan 7) masih terbatasnya sarana perkarantinaan pertanian dapat diatasi dengan pemberian slot di setiap pelabuhan dan bandara untuk kantor Pelayanan Perkarantina Pertanian. Dari sudut pandang produsen pangan dan produk pertanian/ perkebunan, pemasaran merupakan bagian hilir dari segala upaya yang dilakukan dalam kegiatan produksi. Dalam pasar dan pemasaran, faktor kualitas, kontinuitas dan kuantitas menjadi faktor kunci. Tantangan ke depan bagi produsen pertanian/ perkebunan atau petani/ pekebun adalah bagaimana memproduksi hasil pertanian/ perkebunan yang memenuhi standar mutu, kontinuitas pasokan yang terjamin serta dalam skala kuantitas yang memenuhi permintaan pelanggan. Dengan memenuhi syarat pemasaran tersebut maka daya saing dari suatu produk pertanian/ perkebunan akan lebih baik. Namun sebaliknya, bila produk dalam negeri tidak mampu memenuhi syarat kualitas, kontinuitas dan kuantitas yang diminta maka pasar dalam negeri akan diisi oleh produk sejenis yang berasal dari impor. Aspek pemasaran perlu mendapatkan perhatian agar tingkat keberhasilan agribisnis pertanian/ perkebunan lebih tinggi sehingga keuntungan yang diperoleh akan lebih besar. Strategi pemasaran yang tepat akan memperpendek sistem atau mata rantai perdagangan sehingga lost of benefit atau keuntungan yang hilang akibat panjangnya tataniaga perdagangan bisa dihindari. Kegiatan pemasaran berperan sebagai pembuka jalan bagi produk untuk sampai ke pasar. Bila 84

103 kegiatan ini sampai terhambat, produk akan tersendat-sendat memasuki pasar. Padahal, produk dari usaha agribisnis pertanian/ perkebunan mempunyai sifat yang mudah sekali rusak atau tidak tahan lama. Strategi pemasaran yang baik harus memahami tentang studi pemasaran, memperkirakan jumlah produksi, mempersiapkan produk, menentukan harga jual, menentukan distribusi dan menentukan kebijakkan promosi. B. Tantangan Pembangunan Perkebunan dalam Ruang Lingkup Sektor Pertanian Berikut ini dapat diklasifikasikan tantangan yang akan dihadapi pembangunan perkebunan kedepan dalam ruang lingkup sektor pertanian terutama berkaitan dengan kondisi pertanian secara umum. 1. Kondisi keberlangsungan kelembagaan petani/ pekebun (implikasi lemahnya posisi tawar lembaga petani/ pekebun) Kelembagaan petani yang kurang mempunyai posisi tawar yang kuat. Jumlah dan kualifikasi sumber daya insani (SDI) yang menangani bidang pertanian/ perkebunan masih sangat terbatas dan kurang memadai ditambah kurangnya pengetahuan/ketrampilan petani dan petugas lapangan pertanian/ perkebunan sehingga akan menghambat perkembangan pertanian/ perkebunan kedepan. Fakta ini didukung oleh pandangan bahwa pertanian/ perkebunan sebagai salah satu sektor/ sub sektor yang kurang menjanjikan bagi peningkatan perekonomian dan kesejahteraan hidup, selain kurangnya sumber daya insani (SDI) yang berkualitas ditambah lahan pertanian/ perkebunan yang semakin berkurang sehingga sangat menentukan dalam memperlemah kelembagaan petani/ pekebun. Lemahnya kelembagaan dan posisi tawar petani/ pekebun berakibat pada panjangnya tataniaga dan belum adilnya sistem pemasaran. Masalah kelembagaan petani, baik rendahnya kualitas sumber daya insani (SDI) petani/ pekebun maupun tidak ada atau tidak berfungsinya lembaga petani/ pekebun dan lembaga pendukung pertanian/ perkebunan di perdesaan telah melemahkan posisi tawar petani/ pekebun dan mempersulit dukungan pemerintah yang diberikan kepada petani/ pekebun. Lembaga petani/ pekebun yang dapat menjadi alat untuk meningkatkan skala usaha dan memperkuat posisi tawar banyak yang tidak berfungsi. Lembaga pendukung untuk petani/ pekebun terutama lembaga penyuluhan pertanian/ perkebunan kurang berfungsi sehingga menurunkan efektivitas pembinaan serta mengurangi dukungan dan 85

104 diseminasi teknologi dalam rangka meningkatkan penerapan teknologi dan efisiensi usaha petani/ pekebun. Selain itu, dengan berkembangnya otonomi daerah, semakin banyak peraturan daerah yang menghambat arus pemasaran komoditas, baik input produksi maupun output/hasil produksi. Kelembagaan petani yang kurang mengoptimalkan kemitraan usaha. Masalah kelembagaan juga menjadi tantangan yang serius diantaranya belum optimalnya kemitraan antara perusahaan perkebunan besar dan swasta dengan kelompok petani serta belum sempurnanya infrastruktur yang menunjang sistem distribusi dan transportasi hasil pertanian/ perkebunan rakyat. Kondisi ini kemudian membuat sistem pemasaran akan merugikan bagi petani/ pekebun produsen karena berada pada posisi yang paling lemah. Penguatan kelembagaan petani/ pekebun melalui Penumbuhan dan Penguatan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani dalam rangkaian program revitalisasi kelembagaan petani/ pekebun bisa menjadi alternatif kebijakan. Kelembagaan petani yang kurang memanfaatkan akses teknologi, permodalan dan peluang pasar. Kondisi lain terkait organisasi petani/ pekebun saat ini lebih bersifat sosial budaya dan sebagian besar berorientasi hanya untuk mendapatkan fasilitas pemerintah, belum sepenuhnya diarahkan untuk memanfaatkan peluang ekonomi melalui pemanfaatan peluang akses terhadap berbagai informasi teknologi, permodalan dan pasar yang diperlukan bagi pengembangan usahatani dan usaha perkebunan. Di sisi lain, kelembagaan ekonomi petani/ pekebun seperti koperasi belum dapat sepenuhnya mengakomodasi kepentingan petani/kelompok tani sebagai wadah pembinaan teknis. Berbagai kelembagaan petani/ pekebun yang sudah ada seperti Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Perhimpunan Petani Pemakai Air dan Subak dihadapkan pada tantangan untuk merevitalisasi diri dari kelembagaan yang saat ini lebih dominan hanya sebagai wadah pembinaan teknis dan sosial menjadi kelembagaan yang juga berfungsi sebagai wadah pengembangan usaha yang berbadan hukum atau dapat berintegrasi dalam koperasi yang ada di pedesaan. Kelembagaan petani yang kurang berkembang dalam aspek pendampingan dan penyuluhan. Dari sisi sumber daya insani, masih rendahnya kualitas SDI pertanian/ perkebunan merupakan kendala yang serius dalam penguatan kelembagaan petani/ pekebun karena 86

105 mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya adalah petani/ pekebun yang tinggal di daerah pedesaan. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kurangnya pendampingan penyuluhan pertanian/ perkebunan. Kondisi ini dapat ditekan dengan mengembangkan agroindustri pertanian/ perkebunan berbasis pendampingan dan penyuluhan yang kuat dalam sistem kelembagaan petani/ pekebun di pedesaan agar mampu menciptakan lapangan kerja baru dan peluang usaha agroindustri di pedesaan. Dalam hal ini peran dari Badan/ Balai Penyuluhan di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai pusat sangat diperlukan dalam memperkuat kelembagaan petani/ pekebun dalam menerima akses informasi, inovasi dan teknologi di bidang pertanian/ perkebunan. Perubahan konstalasi pemerintahan dari sentralistik menuju otonomi daerah tidak serta merta dapat mengaktualisasikan peran kelembagaan petani/ pekebun dan penyuluhan di daerah. Upaya nyata telah dilakukan oleh pemerintah pasca reformasi dan otonomi daerah namun belum dapat menunjukkan hasil yang benar-benar dapat memberikan jaminan berjalannya sistem budidaya dan penerapan teknologi untuk dapat mengakselerasi produksi. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mendorong program peningkatan produksi berbasis penyuluhan pertanian/ perkebunan melalui strategi 1) mengedepankan aspek penyuluhan, pendampingan dan pembinaan kepada petani/ pekebun dalam upaya peningkatan produktivitas pertanian/ perkebunan; 2) perluasan areal tanam produktif dengan melibatkan tenaga kerja petani/ pekebun yang aktif dengan pendampingan intensif; 3) memberikan penyuluhan kepada petani/ pekebun secara intensif dalam hal pengamanan produksi dari gangguan organisme pengganggu tanaman, dampak perubahan iklim dan kehilangan hasil pada saat panen dan pascapanen, dan 4) perbaikan kelembagaan petani/ pekebun dan pembiayaan. 2. Penurunan minat generasi muda terhadap budidaya pertanian/ perkebunan (implikasi terbatasnya sumber daya insani (SDI) pertanian/ perkebunan) Rendahnya minat generasi muda terhadap bidang pertanian/ perkebunan ini menyebabkan senjang regenerasi di sektor pertanian dan sub sektor perkebunan. Bidang pertanian/ perkebunan sebagai pemasok bahan pangan bagi manusia dimungkinkan tidak akan mengalami perkembangan, dan akan berimbas pada menurunnya jumlah bahan pangan yang dihasilkan. Hilangnya minat generasi muda 87

106 cerdas terdidik dari dunia pertanian/ perkebunan Indonesia akan menyulitkan sektor pertanian/ sub sektor perkebunan dalam melaksanakan mandat menjaga ketahanan pangan yang berkelanjutan. Secara umum, sektor pertanian/ sub sektor perkebunan belum mampu memberikan nilai tambah yang tinggi baik bagi pendapatan, kesejahteaan serta bagi pengembangan karir. Hal ini menjadi alasan bahwa minat generasi muda pada sektor pertanian/ sub sektor perkebunan menjadi sangat terbatas dan sulit bagi mereka untuk menekuninya. Tantangan kedepan adalah bagaimana mengubah pola pikir generasi muda kita terhadap pertanian/ perkebunan bahwa masih banyak potensi pertanian/ perkebunan yang masih belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tarik generasi muda pada sektor pertanian/ sub sektor perkebunan adalah meningkatkan persepsi generasi muda dalam membangun pertanian/ perkebunan lebih maju dan modern berbasis inovasi dan teknologi yang mampu menghasilkan produk yang bernilai ekonomi tinggi yang dibutuhkan pasar. Membangun pertanian/ perkebunan dalam konteks industri yang syarat dengan inovasi dan teknologi yang menangani hulu hingga hilir akan memberikan peluang yang besar dalam menghasilkan aneka produk pertanian/ perkebunan yang bernilai ekonomis tinggi. Pendekatan bioindustri pertanian/ perkebunan menjadi sangat penting dan strategis untuk mewujudkan upaya tersebut. Jika kondisi tersebut dibangun di perdesaan, tentu akan menciptakan kondisi perekonomian yang meningkat dan sangat menarik bagi generasi muda untuk tidak lagi pergi ke kota, bahkan generasi muda yang telah bekerja di perkotaan akan kembali ke perdesaan. Untuk itu beberapa hal penting harus dipersiapkan di perdesaan, yaitu (1) membangun dan memperbaiki infrastruktur pertanian/ perkebunan di perdesaan, (2) membuka seluas-luasnya sektor industri pertanian/ perkebunan di desa agar dapat menampung tenaga kerja dengan cara mendorong investasi yang efektif dan memihak petani/ pekebun; (4) meningkatkan kapasitas SDM generasi muda pertanian/ perkebunan yang lebih baik, dan (5) mendorong kebijakan dan regulasi yang tepat terutama dalam kaitannya dengan kepastian mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan para generasi muda. Langkah konkrit lainnya antara lain menjaring seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya siswa baru di sekolah-sekolah tinggi pertanian/ perkebunan lingkup Kementerian Pertanian, yang diikuti dengan perbaikan kurikulum dan 88

107 revitalisasi sarana prasarana belajar mengajar termasuk SDM pengajar yang mumpuni. 3. Kondisi permodalan dan akses kredit usaha (implikasi pengembangan usaha agribisnis pertanian/ perkebunan) Permodalan petani/ pekebun merupakan faktor yang mendukung keberhasilan pengembangan usahatani/ usaha perkebunan. Lemahnya permodalan masih merupakan kendala yang dihadapi oleh petani/ pekebun dalam memulai atau mengembangkan usahanya sehingga harus meminjam ke pihak lain. Sulitnya mengakses permodalan kepada perbankan atau lembaga keuangan resmi lainnya menyebabkan petani/ pekebun mencari pinjaman modal kepada para pemilik modal yang umumnya adalah pedagang hasil pertanian/ perkebunan dengan sistem ijon sehingga petani/ pekebun tidak leluasa menjual hasil panennya. Sebagian petani/ pekebun meminjam modal kepada rentenir dengan bunga pinjaman yang tinggi. Selain itu, dampak dari penerapan prudential perbankan dirasakan petani/ pekebun seperti sulitnya akses permodalan, persyaratan yang dianggap rumit dan waktu yang lama, masih diperlukan jaminan tambahan yang memberatkan petani/ pekebun berupa sertifikat lahan, terbatasnya sosilaisasi dan informasi keberadaan skema kredit serta terbatasnya pendampingan dan pengawalan petani/ pekebun yang membutuhkan permodalan dari perbankan. Kondisi petani/pekebun secara umum memiliki lahan sempit, skala usaha kecil dan letaknya yang menyebar dan lebih banyak sebagai buruh tani/ kebun sehingga lebih mudah dilayani oleh pelepas uang/sumber modal non formal meskipun suku bunga tinggi tetapi waktu perolehannya lebih cepat. Dengan terbatasnya pembinaan, pengawalan dan pendampingan bagi petani/ pekebun yang mengajukan kredit kepada perbankan untuk modal usaha tani/ usaha perkebunan serta tingkat kemauan membayar kembali kredit rendah merupakan salah satu faktor penghambat perbankan dalam menyalurkan kredit kepada petani/ pekebun. Meskipun pemerintah telah menyediakan kredit melalui skim kredit program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), Kredit Usaha Rakyat (KUR), maupun kredit komersial namun fasilitas kredit tersebut pada kenyataannya masih sulit diakses oleh petani/ pekebun. Kesulitan mengakses perbankan atau lembaga keuangan resmi lainnya disebabkan: (1) petani/ pekebun belum dapat memenuhi persyaratan administrasi perbankan, (2) resiko agribisnis pertanian/ 89

108 perkebunan cukup tinggi yang menyebabkan perbankan enggan memberikan kredit, (3) belum tersedianya lembaga keuangan dan perbankan yang khusus bergerak di bidang pertanian/ perkebunan, dan (4) belum tersedianya lembaga penjaminan resiko usaha pertanian/ perkebunan. Berdasarkan Surat Menteri Keuangan nomor S-5/MK.05/2015 tanggal 6 Januari 2015 perihal Pelaksanaan Kredit Program Skema Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) bahwa secara umum Kementerian Keuangan mendukung adanya program Revitalisasi Perkebunan, namun berdasarkan evaluasi pelaksanaannya, skema pembiayaan tersebut harus dilakukan penyempurnaan lebih lanjut sehingga penyaluran kredit KUPS dan KPEN-RP untuk sementara dihentikan per 1 Januari 2015, namun subsidi bunga atas kredit yang telah disalurkan tetap dibayarkan sampai batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Sedangkan program Revitalisasi Perkebunan tetap dilanjutkan dengan skema pembiayaan yang baru, untuk itu untuk mendorong percepatan penyelesaian skema pembiayaan yang baru seiring dengan skema kredit berpenjamin yang telah memperoleh komitmen bersama dari para Menteri terkait maka perlu disusun desain skema kredit baru melalui koordinasi lintas sektoral. Sampai dengan akhir tahun 2014, pemerintah telah memfasilitasi dengan Program Revitalisasi Perkebunan, kredit program KPEN-RP, dan pada tanggal 30 Desember 2015 berakhirnya KKPE, tetapi masih banyak petani yang memerlukan pembiayaan. Oleh karena itu, Kementerian Pertanian kembali mengusulkan kredit program lanjutan untuk penyediaan dana pembangunan tersebut. Kredit program untuk sub sektor perkebunan memiliki karakteristik, mengingat umur tanaman dan masa mulai berproduksi pada umumnya merupakan tanaman perennial sehingga memerlukan biaya yang lebih besar untuk pembangunan dan masa tenggang grace period. Untuk memfasilitasi kebutuhan dimaksud maka pemerintah telah merancang Kredit Usaha Rakyat. Kebijakan kedepan, seiring dengan terbitnya Undang-Undang nomor 19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani yang mengamanatkan Pemerintah untuk menugasi BUMN bidang perbankan dan pemerintah daerah untuk menugasi BUMD bidang perbankan agar melayani kebutuhan pembiayaan usahatani/ usaha perkebunan dengan membentuk unit khusus pertanian/ perkebunan sehingga pelayanan 90

109 kebutuhan pembiayaan dengan prosedur mudah dan persyaratan lunak serta memberikan perlindungan bagi petani/ pekebun dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, masalah kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi dan perubahan iklim. Strategi ini dilakukan melalui pengadaan prasarana dan sarana produksi pertanian/ perkebunan; dukungan kepastian usaha dan harga komoditas pertanian/ perkebunan yang mampu bersaing; penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa; pengembangan sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim; dan pembentukan asuransi pertanian (menangani kerugian petani akibat bencana alam; banjir; serangan organisme pengganggu tumbuhan; wabah penyakit hewan menular; dampak perubahan iklim; dan/atau jenis risiko-risiko lain). Kementerian Pertanian juga turut mendukung pembiayaan kegiatan usaha tani dan usaha lanjutannya melalui Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) dan penguatan Lembaga Kredit Mandiri Agribisnis (LKMA) yang pengembangannya sejalan dengan program PUAP. Pelaksanaan PUAP yang berada pada tupoksi Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) telah dirintis sejak 5 tahun terakhir dan dilaksanakan di desa baru sehingga ditargetkan semua desa yang berbasis kegiatan pertanian telah dapat dilayani oleh PUAP. Sementara itu pengembangan LKMA diharapkan dapat membantu penyediaan sumber pembiayaan bagi petani dengan mudah dan murah. Selama tahun telah dikembangkan kegiatan PUAP di desa dari yang ditargetkan. Gapoktan penerima PUAP diharapkan dapat berkembang dan pada tahun kedua gapoktan mendapat LKMA. Untuk periode sudah dilatih 162 gapoktan untuk menjadi LKMA. Selain itu diupayakan menyambungkan petani dengan beragam sumber pembiayaan lainnya seperti dana tanggung jawab sosial BUMN dan perusahaan swasta. Untuk melindungi petani dari kegagalan usaha juga telah diinisiasi pengembangan asuransi pertanian, yang dalam 3 tahun terakhir telah dilakukan dalam bentuk pilot project di berbagai lokasi. 4. Dukungan ketersediaan infrastruktur dan sarana prasarana pertanian/ perkebunan (implikasi terhadap daya dukung usaha agribisnis pertanian/ perkebunan) Untuk menggerakkan proses produksi dan pemasaran komoditas pertanian/ perkebunan diperlukan dukungan ketersediaan infrastruktur 91

110 dan sarana prasarana pertanian/ perkebunan. Dukungan infrastruktur yang sangat dibutuhkan sektor pertanian/ sub sektor perkebunan yang keberadaannya masih terbatas adalah jalan usahatani, jalan produksi, jaringan irigasi, embung, dam parit, pelabuhan yang dilengkapi dengan pergudangan. Tantangan yang harus dihadapi ke depan adalah bagaimana menyediakan semua prasarana yang dibutuhkan petani/pekebun ini secara memadai untuk dapat menekan biaya tinggi yang timbul akibat terbatasnya prasarana transportasi dan logistik pada sentra produksi komoditas pertanian/ perkebunan. Salah satu upaya yang telah dilaksanakan Kementerian Pertanian adalah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membiayai penyediaan infrastruktur dasar (pembangunan/ perbaikan prasarana dan sarana fisik) di bidang pertanian yang menjadi urusan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang merupakan kegiatan prioritas nasional. Pemanfaatan anggaran DAK digunakan untuk kegiatan pilihan dan dapat dilaksanakan sesuai dengan prioritas dan kebijakan daerah serta ketersediaan pagu anggaran. Untuk sub sektor perkebunan DAK di provinsi digunakan untuk pembangunan/ rehabilitasi/ renovasi UPTD/Balai Perbenihan dan Balai Proteksi Tanaman Perkebunan serta penyediaan sarana pendukung, sedangkan di kabupaten/kota digunakan untuk pembangunan/ rehabilitasi/ renovasi UPTD/Balai Perbenihan Tanaman Perkebunan dan penyediaan sarana pendukung. Perencanaan DAK menggunakan aplikasi e-proposal untuk pengusulan kegiatan dan anggaran serta terdapat kewajiban pengusulan kegiatan untuk melengkapi data teknis untuk menunjang proses perencanaan dan penganggaran yang akuntabel, transparan, efektif dan efisien. 5. Penurunan kehilangan hasil dan perbaikan mutu (implikasi penanganan pascapanen yang baik dan peningkatan mutu produk/ komoditas) Tantangan Penanganan Pascapanen yang Baik Usaha untuk meningkatkan produksi beberapa komoditas unggulan pertanian/ perkebunan telah berhasil dilakukan oleh pemerintah melalui program/kebijakan peningkatan produksi dan produktivitas namun belum diikuti dengan penanganan pascapanen dengan baik. Sasaran pembangunan pascapanen diarahkan kepada 3 hal yaitu 1) penurunan kehilangan hasil pascapanen, 2) peningkatan mutu hasil dan daya saing, serta 3) peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani/ pekebun. Disadari bahwa penanganan pascapanen secara tidak tepat 92

111 dapat menimbulkan susut atau kehilangan hasil produksi sehingga sangat berpengaruh terhadap ketersediaan hasil pertanian/ perkebunan serta pasokan bahan baku ekspor dan industri. Teknologi penekanan kehilangan hasil yang dipilih untuk diterapkan haruslah teknologi yang sesuai dengan spesifik lokasi, tersedia dan mudah penanganan. Teknologi tersebut tidak bertentangan dengan masyarakat pengguna, baik secara teknis, ekonomis maupun sosial budaya masyarakat setempat. Disisi lain, peningkatan mutu agar sesuai dengan standar mutu internasional adalah tantangan paling besar dalam pascapanen. Persoalan mutu menyangkut aspek yang sangat luas yang dimulai dari varietas, lahan, teknologi budidaya, perlindungan tanaman hingga cara panen dan perlakuan pascapanen berikutnya. Selain itu penanganan pascapanen diharapkan meningkatkan pendapatan petani/ pekebun. Kondisi yang terjadi dari penanganan pascapanen adalah masih kurangnya kesadaran dan pemahaman petani/ pekebun terhadap penanganan pascapanen yang baik (Good Handling Practises) sehingga mengakibatkan masih tingginya kehilangan hasil dan rendahnya mutu produk/komoditas. Selain itu pembinaan yang dilakukan pemerintah kurang intensif dan berkelanjutan; aksesibilitas petani/ pekebun pada teknologi pascapanen kurang optimal, penggunaan mutu peralatan pascapanen dan pemanfaatannya yang kurang optimal; serta kurang berkembangnya kelembagaan pascapanen dan balai penelitian/ pengembangan pascapanen. Tantangan peningkatan mutu produk/ komoditas Sebagai salah satu sub sektor yang paling mendominasi dan paling berpotensi di bidang pertanian, sub sektor perkebunan harus diupayakan untuk menghasikan produk-produk perkebunan yang memiliki mutu yang tinggi. Dalam upaya meningkatkan mutu produk perkebunan tersebut perlu didasrkan pada strategi pokok pengembangan mutu yang sebagai berikut: a. Mutu harus memenuhi permintaan dan keinginan konsumen akhir. b. Mutu harus memenuhi persyaratan dan kebijakan pemerintah dann persyaratan global. Contoh peraturan perundang-undangan tentang mutu. c. Mutu harus memiliki standarisasi mutu dan ekonomi usaha yang memadai. 93

112 Syarat mutu memuat kriteria mutu dan spesifikasi mutu yang diharuskan untuk terstandar pada komoditas yang bersangkutan. Mutu suatu produk harus memenuhi kriteria mutu eksternal, kriteria kehalalan, dan kriteria lingkungan. Mutu eksternal adalah mutu yang di indrakan, dilihat, diraba tanpa harus di cicip konsumen, contoh warna, bentuk, ukuran, dan aroma. Sementara mutu internal kriteria mutu yang dapat di ketahui setelah konsumen mencoba secara inderawiatau mengukur atau menganalisis produk tersebut. Contohnya: cita rasa, tekstur, kandungan zat gizi dan faktor keamanan pangan. Selain itu, produk perkebunan yang dihasilkan tidak harus mengandung bahan-bahan haram yang harus diperoses sesuai aturan agama, yang harus memenuhi kriteria halal. Dari aspek lingkungan, produk tidak berdampak terhadap pencemaran lingkungan, ramah lingkungan, produk bersih dan memenuhi syarat eco-labelling sehingga memenuhi mutu lingkungan. Salah satu program penting dalam pengawasan dan pengendalian mutu produk perkebunan adalah sistem standarisasi mutu, sistem standarisasi merupakan penetapan-penetapan norma dan aturan mutu produk yang ditetapkan bersama dengan tujuan menghasilkan produk dengan mutu yang dapat dideskripsikan dan diukur dengan perolehan mutu produk yang seragam. Standarisasi mutu dapat bersifat nasional maupun internasional, 6. Kecukupan pangan bergantung impor (implikasi kebijakan ketahanan dan kedaulatan pangan) Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber agraria yang melimpah. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar penduduk Indonesia terlibat dalam dunia pertanian/ perkebunan. Sekitar 46% penduduk Indonesia adalah petani/ pekebun. Namun ironisnya, sebagai negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi, saat ini Indonesia bukan saja belum mampu berswasembada pangan tetapi sebaliknya justru sebagian daerah di Indonesia mengalami krisis pangan, ditambah lagi sebagian kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor. Pola atau paradigma kebijakan pangan yang diterapkan selama ini yang berlandaskan pada konsep ketahanan pangan seharusnya mampu menghindari Indonesia dari ketergantungan impor tetapi kenyataannya masih jauh asap dari api. Krisis pangan dunia dimulai sejak tahun 2005 ketika negara-negara dunia mulai mengkhawatirkan kelangkaan bahan pangan yang menimbulkan kenaikan harga pangan. Laporan FAO menyebutkan bahwa diperkirakan sekitar 36 negara mengalami peningkatan harga 94

113 pangan yang cukup tajam berkisar yaitu dari %. Dalam 3 tahun terakhir, harga pangan dunia telah meningkat dua kali lipat dan disusul dengan peningkatan jumlah penduduk miskin yang tidak mampu mengakses bahan pangan. Krisis pangan dikhawatirkan terjadinya gejolak sosial dan politik bagi negara-negara yang mengalami krisis pangan. Dalam mengantisipasi krisis pangan dunia, kebijakan kedepan perlu mempertimbangkan dampak defisit produksi pangan global yang berpotensi menganggu perdagangan dan memicu gejolak harga. Atas dasar situasi dan pertimbangan di atas maka peningkatan produksi pangan menjadi jalan keluar mutlak yang tidak bisa ditawar. Dalam era globalisasi dewasa ini, persaingan pasar antar komoditas pangan semakin ketat termasuk pangan perkebunan. Komoditas impor sering membanjiri pasar dalam negeri dengan harga yang lebih murah. Hal ini dapat menghancurkan pengembangan pangan domestik. Produk impor lebih murah dari produk dalam negeri karena pemerintah negaranegara eksportir melindungi para petaninya secara baik dengan berbagai cara sehingga mampu menghasilkan kualitas yang lebih baik serta kontinuitas pasokan yang lebih terjamin. Konsep ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah ataupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dalam konsep ketahanan pangan sebagaimana yang dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 68 tahun 2002 tidak diatur bagaimana pangan itu diproduksi dan dari mana pangan tersebut berasal. Hal ini merupakan titik lemah dari konsep dan kebijakan ketahanan pangan nasional. Untuk mengatasi titik lemah dari konsep ketahanan pangan nasional maka harus ada usaha-usaha perbaikan sistem produksi pangan dan sistem dalam mengontrol masuknya pangan impor ke Indonesia. Tidak diaturnya mengenai dari mana pangan berasal telah pula mengakibatkan berkembangnya industri pangan di perkotaan, terutama investasi dari perusahaan agribisnis pangan trans-nasional. Hal ini kemudian mengakibatkan desa dan petani/ pekebun tidak lagi menjadi produsen pangan, melainkan sekadar penyedia bahan baku yang murah serta pasar bagi industri pangan perkotaan sehingga petani/ pekebun sebagai pemasok sejati bahan pangan tidak menjadi bagian integral dari konsep dan kebijakan ketahanan pangan nasional. Itulah sebabnya perlu adanya payung dan perlindungan hukum untuk menjamin kedaulatan petani/ pekebun dari serbuan impor pangan dari 95

114 luar maupun kekuatan kapitalisme industri pangan. Padahal tanpa petani yang kuat, ketahanan pangan nasional tidak mungkin bisa diwujudkan. Untuk itu dalam mewujudkan petani/ pekebun yang kuat diperlukan payung perlindungan hukum yang menjamin kedaulatan, nasib dan harkat petani/ pekebun. Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi utama dari sub sistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, dimana dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan apakah swasembada atau kecukupan. Dalam pencapaian swasembada perlu difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan. Dalam pengembangannya, teknologi pangan diharapkan mampu memfasilitasi program pascapanen dan pengolahan hasil pertanian/ perkebunan serta dapat secara efektif mendukung kebijakan strategi ketahanan pangan. Kebijakan ketahanan pangan nasional sangat penting artinya untuk menjamin kecukupan penyediaan pangan secara nasional. Tetapi karena kebijakan ketahanan pangan kurang menaruh perhatian terhadap upaya peningkatan kesejahteraan petani maka kebijakan tersebut belum mencukupi. Sebab, meskipun dalam kebijakan ketahanan pangan nasional petani bukan merupakan pilar satu-satunya bagi ketahanan nasional namun petani merupakan pilar terpenting. Singkatnya, kebijakan ketahanan pangan adalah perlu tetapi tidak cukup. Oleh karena itu sebagai penyempurnaan, untuk tidak mengatakan sebagai pengganti, kebijakan ketahanan pangan perlu dikembangkan dan diterapkan kebijakan kedaulatan pangan seperti yang selama ini didengungkan dalam agenda prioritas NAWACITA dalam peningkatan kedaulatan pangan pertanian seperti komoditas padi, jagung, kedelai, bawang merah, cabai, gula dan daging. Secara konseptual, kedaulatan pangan berarti hak setiap negara atau masyarakat untuk menentukan sendiri kebijakan pangannya, melindungi sistem produksi pertanian dan perdagangan untuk mencapai sistem pertanian yang berkelanjutan dan mandiri. Kedaulatan pangan mengatur produksi dan konsumsi pertanian yang berorientasi kepada kepentingan lokal dan nasional, bukan pasar global dan bukan impor. Kedaulatan pangan mencakup hak untuk memproteksi dan mengatur kebijakan pertanian nasional dan melindungi pasar domestik dari dumping dan kelebihan produksi negara lain yang dijual sangat murah. Oleh karena itu, petani kecil dan buruh tani harus diberikan akses 96

115 terhadap tanah, air, benih dan sumber-sumber agraria lainnya. Dengan demikian, kedaulatan pangan harus didahulukan di atas kepentingan pasar. 7. Desentralisasi pengembangan pertanian/ perkebunan (implikasi dari pemusatan pembangunan pertanian/ perkebunan di Pulau Jawa) Saat ini, di Indonesia terjadi konsentrasi kepadatan penduduk yang berpusat di Pulau Jawa. Hampir lebih dari 50% jumlah penduduk Indonesia mendiami Pulau Jawa. Hal ini menjadi masalah apabila pusat pemerintahan, informasi, transportasi, ekonomi dan berbagai fasilitas hanya berada di satu wilayah. Penduduk akan berusaha untuk melakukan migrasi dan akhirnya akan berdampak pada permasalahan pemerataan pembangunan. Dampak yang memiliki pengaruh besar terhadap pembangunan pertanian/ perkebunan yang disebabkan sentralisasi/ pemusatan pembangunan pertanian/ perkebunan di Pulau Jawa adalah kesenjangan ekonomi dan pemerataan pendapatan antara Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa sehingga pada akhirnya akan menimbulkan ketimpangan sosial, kriminalisasi, kemiskinan dan keterbelakangan bahkan mengakibatkan disintegrasi bangsa. Tantangan pembangunan perkebunan kedepan adalah bagaimana menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru untuk sentra pertanian/ perkebunan di luar Pulau Jawa melalui pengembangan kawasan sesuai amanat Peraturan Menteri Pertanian nomor 56/Permentan/RC.040/11/ 2016 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian. Untuk itu langkah yang harus diambil pemerintah adalah mengidentifikasi potensi daerah dalam pengembangan pertanian/ perkebunan seperti potensi sumber daya alam, ketersediaan sumber daya insani, penganggaran, dukungan sarana prasarana dan infrastruktur, komitmen daerah dan sarana pendukung lainnya. 8. Tuntutan atas penerapan otonomi daerah (implikasi terhadap pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota) Era otonomi daerah masih akan menjadi tantangan pembangunan perkebunan kedepan. Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa konsekuensi logis pada upaya perwujudan kemandirian daerah dalam mengatur rumah tangganya serta menggali berbagai potensi yang dimiliki untuk dapat dikelola secara optimal demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Otonomi dapat diartikan sebagai penyelenggaraan pemerintah otonom yang meliputi tahap perencanaan, 97

116 pelaksanaan hingga evaluasi hasil pembangunan. Tuntutan atas penerapan otonomi daerah adalah kesiapan dari pemerintah untuk mengelola dan menata secara baik semua perangkat organisasi dan manajemen yang dimiliki dan kemampuan untuk melakukan penyesuaian terhadap perkembangan dan perubahan lingkungan eksternal baik secara sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Era otonomi daerah memungkinkan kebijakan pemanfaatan lahan dan pembangunan pertanian/ perkebunan berada atas dasar kebijakan pemerintah daerah. Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut yaitu urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, sedangkan urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/ kota yang sekaligus menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Sementara, urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Pada Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 ini sebagai pengganti Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa urusan pertanian merupakan urusan pemerintahan pilihan yang bersifat konkuren sehingga urusan pertanian yang secara khusus meliputi sub sektor perkebunan dalam pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) akan menjadi tanggungjawab bersama dan didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi dan eksternalitas serta kepentingan strategis nasional. Undang-undang tersebut memasukkan bidangbidang terkait sub sektor perkebunan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah seperti tenaga kerja, statistik, pemberdayaan masyarakat dan desa, pangan, lingkungan hidup dan pertanahan sebagai urusan wajib yang tidak terkait pelayanan. Implikasi penetapan urusan pertanian sebagai urusan pemerintah bersifat pilihan khususnya sub sektor perkebunan yang memiliki kekhasan komoditas sesuai potensi unggulan daerah adalah akan membuka peluang negosiasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menentukan pembagian kewenangan sub sektor perkebunan yang tepat dan disesuaikan dengan kebijakan program, anggaran dan regulasi yang efektif dan efisien. 98

117 Hal-hal lain yang diatur dalam Undang-Undang ini terkait pembagian urusan pemerintahan bidang pertanian khususnya terkait sub sektor perkebunan adalah 1) penerapan standarisasi, penerbitan sertifikasi dan pengawasan peredaran benih tanaman pertanian/ perkebunan; 2) pengendalian dan penanggulangan bencana pertanian/ perkebunan; 3) perizinan usaha pertanian/ perkebunan dan 4) penentuan kebutuhan dan penataan prasarana pertanian/ perkebunan. Terbitnya Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut sampai dengan terbitnya dokumen Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan tahun ini, belum ada turunan peraturan perundangan yang bersifat lebih teknis dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menimbulkan sengketa politik khususnya pasal yang mengatur Tugas dan Kewenangan DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Perppu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang yaitu Undang-Undang nomor 2 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tindaklanjut Perppu tersebut berdasarkan persetujuan bersama antara DPR RI dan Presiden RI maka ditetapkanlah Undang-Undang nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang sebagian besar mengubah ketentuan tugas dan wewenang DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam mengatur pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Implikasi belum terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) dari Undang- Undang nomor 23 tahun 2014 adalah Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota masih tetap berlaku sepanjang mengatur substansi yang tidak diatur dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2015 dan Undang-Undang nomor 9 tahun Peraturan Pemerintah (PP) nomor 38 tahun 2007, mempertegas bahwa urusan sub sektor perkebunan merupakan urusan pemerintah pusat yang masuk dalam 31 bidang urusan pemerintah khususnya pada urusan pemerintah bidang pertanian dan ketahanan pangan, namun demikian semua urusan pemerintah terkecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta 99

118 agama dapat dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintah yang disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian. Ini artinya Pemerintah Daerah diberikan kesempatan untuk melakukan negosiasi dengan Pemerintah Pusat dalam hal pembagian kewenangan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Tentunya, selain urusan Pemerintah Pusat yang sepenuhnya menjadi kewenangannya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan yang signifikan terhadap pembentukan Perangkat Daerah, yakni dengan prinsip tepat fungsi dan tepat ukuran (rightsizing) berdasarkan beban kerja yang sesuai dengan kondisi nyata di masingmasing Daerah. Hal ini juga sejalan dengan prinsip penataan organisasi Perangkat Daerah yang rasional, proporsional, efektif, dan efisien. Implementasi Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait pembagian kewenangan, tugas pokok dan fungsi perangkat daerah adalah restrukturisasi perangkat daerah dalam ruang lingkup reformasi birokrasi daerah melalui penetapan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Dalam PP ini dijelaskan beberapa hal sebagai berikut: - Perangkat daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah. - Pembentukan perangkat daerah dilakukan berdasarkan asas urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, intensitas urusan pemerintah dan potensi daerah, efisiensi, efektivitas, pembagian habis tugas, rentang kendali, tata kerja yang jelas dan fleksibilitas. - Pemetaan urusan pemerintahan dan nomenklatur dilakukan untuk memperoleh informasi tentang intensitas urusan pemerintahan wajib dan potensi urusan pemerintahan pilihan serta beban kerja penyelenggaraan urusan pemerintahan. - Hasil pemetaan urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan hasil perhitungan nilai variabel urusan pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/ kota setelah dikalikan faktor kesulitan geografis sebagai berikut: (1) provinsi/ kabupaten/ kota di Jawa dan Bali dikalikan 1; (2) provinsi/ kabupaten/ kota di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan kota seluruh Indonesia dikalikan 1,1; (3) provinsi/ kabupaten/ kota di Nusa Tenggara dan Maluku dikalikan 1,2; (4) provinsi/ kabupaten/ kota di Papua dikalikan 1,4; (5) provinsi/ kabupaten/ kota bercirikan kepulauan dikalikan 1,4; (6) kabupaten/ 100

119 kota di perbatasan darat negara dikalikan 1,4; dan (7) kabupaten/ kota di pulau-pulau terluar daerah perbatasan dikalikan 1,5. - Pembentukan dan susunan perangkat daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda), yang berlaku setelah mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi perangkat daerah provinsi dan dari Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat bagi perangkat daerah kabupaten/kota. - Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, secretariat DPRD, inspektorat, dinas dan badan, sedangkan perangkat daerah kabupaten/ kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, inspektorat, dinas, badan dan kecamatan. - Untuk meningkatkan kualitas pelayanan perizinan dan non perizinan kepada masyarakat, daerah membentuk unit pelayanan terpadu 1 pintu daerah provinsi yang melekat pada dinas daerah provinsi yang menyelenggarkan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal. Penyelenggaraan unit pelayanan ini dibentuk tim teknis sesuai kebutuhan dan pelimpahan kewenangan ini ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. - PP ini berlaku bagi daerah yang memiliki status istimewa atau otonomi khusus sepanjang tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan daerah istimewa atau khusus. - Mencabut Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Pengaruh besar dari kewenangan, tugas pokok dan fungsi akan terjadi setelah penetapan PP ini yang dimulai bulai Januari 2017, salah satunya adalah restrukturisasi massif dari nomenklatur dan SDM SKPD di daerah. Peraturan Pemerintah ini menetapkan Perangkat Daerah dalam 3 (tiga) tipe, yaitu sekretariat Daerah, sekretariat DPRD, inspektorat, dinas dan badan tipe A (nilai variable > 800); tipe B (nilai variabel ) dan tipe C (nilai variabel < 600). Penetapan tipe Perangkat Daerah didasarkan pada perhitungan jumlah nilai variabel beban kerja. Variabel beban kerja terdiri dari variabel umum dan variabel teknis. Variabel umum, meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah anggaran pendapatan dan belanja Daerah dengan bobot sebesar 20% (dua puluh persen) dan variabel teknis yang merupakan beban utama dengan bobot sebesar 80% (delapan puluh persen). Pada tiap-tiap variabel, baik variabel umum maupun variabel teknis ditetapkan 5 (lima) kelas interval, dengan skala nilai dari 200 (dua ratus) sampai dengan (seribu). 101

120 Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan Urusan Pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, agar kebutuhan dasar masyarakat dapat terpenuhi secara optimal. Oleh karena itu, Perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan Pemerintahan wajib berkaitan dengan pelayanan dasar diwadahi dalam bentuk dinas utama minimal tipe C. Untuk urusan pemerintahan bidang pertanian, indikator yang ditetapkan pada pemetaan intensitas urusan pemerintahan dan penentuan beban kerja perangkat daerah pemerintah provinsi pada aspek teknis antara lain: a. Jumlah jenis pupuk yang beredar; b. Jumlah jenis alsintan yang beredar; c. Jumlah jenis benih tanaman yang beredar; d. Jumlah rumpun/galur ternak dan wilayah/ calon wilayah sumber bibit dalam satu daerah provinsi; e. Jumlah unit usaha benih/ bibit ternak, pakan, hijauan pakan ternak dan obat hewan; f. Jumlah jenis obat hewan yang beredar dalam satu daerah provinsi; g. Luas areal tanam hijauan pakan tenak lintas daerah kabupaten/ kota dalam satu provinsi; h. Luas lahan pertanian yang dialiri irigasi yang menjadi kewenangan provinsi; i. Populasi hewan ternak/ aneka ternak/kesayangan per ekor; j. Jumlah keterangan kesehatan hewan dan produk hewan, rekomendasi pemasukan, pengeluaran hewan dan produk hewan lintas daerah provinsi; k. Unit usaha hewan dan produk hewan; l. Luas lahan pertanian rakyat; m. Jumlah penyakit hewan yang menular pada lebih satu kabupaten/ kota dalam satu provinsi; n. Jumlah izin usaha pertanian dalam 5 tahun terakhir dalam satu daerah provinsi; Sedangkan indikator yang ditetapkan pada pemetaan intensitas urusan pemerintahan dan penentuan beban kerja perangkat daerah pemerintah kabupaten/ kota pada aspek teknis antara lain: 102

121 a. Jumlah pengecer/ kios sarana pertanian; b. Jumlah rumpun/galur ternak aseli lokal/ Indonesia dalam satu daerah kabupaten/ kota; c. Jumlah pakan yang beredar dalam 1 kabupaten/kota; d. Jenis sediaan obat hewan yang beredar; e. Jumlah jenis benih/ bibit hijauan pakan ternak yang sumbernya dari kabupaten/ kota; f. Luas lahan pertanian yang dialiri irigasi yang menjadi kewenangan kabupaten/kota; g. Populasi hewan ternak/ aneka ternak/kesayangan per ekor; h. Jumlah keterangan kesehatan hewan dan produk hewan, rekomendasi pemasukan, pengeluaran hewan dan produk hewan dari daerah kabupaten/kota; i. Jumlah rata-rata perbulan pemasukan dan pengeluaran hewan serta produk hewan di kabupaten/kota; j. Jumlah jenis pelayanan jasa laboratorium dan pelayanan jasa medik veteriner; k. Jumlah jenis usaha produk hewan; l. Jumlah peternak; m. Jumlah lahan pertanian di kabupaten/kota; n. Jumlah jenis penyakit hewan menular di kabupaten/kota; o. Jumlah izin usaha pertanian dalam 5 tahun terakhir dalam satu daerah kabupaten/kota; 9. Ketidaksinambungan kebijakan/ regulasi serta koordinasi lintas sektoral dan daerah (implikasi tumpang tindih kebijakan/ regulasi lintas sektor) Koordinasi didefinisikan sebagai suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan merupakan peluang lain yang bisa dikembangkan dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan dan kegiatan pada satuan yang terpisah untuk mencapai tujuan 103

122 organisasi secara efisien. Belum optimalnya koordinasi lintas sektor baik internal, institusi terkait maupun dengan daerah merupakan kelemahan yang harus mendapat perhatian serius. Dampak negatif dari otonomi daerah dirasakan oleh pelaku usaha pertanian/ perkebunan terutama kaitannya dengan beberapa kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah yang kurang selaras dengan kebijakan nasional seperti kebijakan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Konsekuensi dari hal tersebut adalah terjadinya kompetisi pemanfaatan sumber daya alam yang kurang menguntungkan bagi pembangunan pertanian/ perkebunan dan adanya ketimpangan antara Kabupaten/Kota yang satu dengan yang lain dalam satu Provinsi. Faktor lain adalah pemberlakuan beberapa peraturan daerah yang membebani pelaku perdagangan dalam negeri/antar daerah dengan berbagai pungutan atau retribusi yang mengakibatkan terjadinya hambatan dalam internal trade (desa-kota, antar daerah dan antar pulau) yang bermuara pada berkurangnya daya saing produk lokal di pasar domestik. Selain itu, lambatnya penyelesaian status aset pusat di daerah, optimalisasi potensi daerah yang belum sesuai dengan sasaran, pelayanan informasi dan pelaporan yang belum cepat dan akurat, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan pelaksanaan budidaya pertanian/ perkebunan serta ketidaksesuaian perencanaan kegiatan pusat dan daerah akan menjadi tantangan pembangunan pertanian/ perkebunan kedepan, selain itu koordinasi lintas sektoral dan daerah harus terus dioptimalkan. Pengembangan sektor pertanian dan sub sektor perkebunan yang bersandar pada pengelolaan sumberdaya alam saat ini dihadapkan dengan berbagai macam kebijakan dan regulasi/ peraturan perundangundangan. Untuk mencapai sasaran yang diharapkan perlu kebijakan dan regulasi untuk mensinergikan upaya yang saling mendukung untuk pencapaian sasaran dimaksud. Oleh karena itu, kebijakan dan regulasi dalam pembangunan perebunan mutlak diperlukan sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan dan peraturan perundangan dari masingmasing Kementerian/Lembaga. Kebijakan dan regulasi juga diperlukan untuk melindungi pengembangan komoditas usaha di bidang pertanian dan perkebunan. Pengembangan pertanian/ perkebunan memerlukan dukungan agar tercipta iklim yang kondusif melalui formulasi kebijakan dan pengamanan kebijakan fiskal dan moneter. Namun pada kenyataannya, beberapa kebijakan Pemerintah yang ditetapkan belum berjalan efektif dan belum berpihak pada sektor pertanian dan sub sektor perkebunan. 104

123 Langkah strategis yang harus dilakukan saat ini dan kedepan terkait kesinambungan kebijakan pusat-daerah adalah dengan menggerakkan seluruh elemen di daerah melalui peran strategis Pemimpin Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota, sampai ke tingkat Desa) sehingga program peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pertanian/ perkebunan berkelanjutan yang telah didukung dengan fasilitasi teknologi, sarana produksi dan dukungan pembiayaan manajemen dapat menjadi suatu Gerakan Nasional dengan satu komando kebijakan Pusat-Daerah untuk dapat mencapai dan mengawal peningkatan produksi komoditas unggulan pertanian/ perkebunan secara berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut dalam jangka pendek dan menengah peran Presiden dan pembantu-pembantunya (seperti Menteri Pertanian dan Menteri Dalam Negeri) secara sentral sangat penting dan dibutuhkan dalam menggerakkan Gubernur, Bupati/Walikota beserta seluruh jajarannya mengawal program peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pertanian/ perkebunan berkelanjutan. Selain itu diperlukan koordinasi dengan Forum APPSI (Asosiasi Pemerintah Provinsi seluruh Indonesia); APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia), serta keterlibatan aktif dunia usaha secara berkeadilan. Hal ini akan sangat besar perannya dalam membangun integrasi dan sinergi program pembangunan pertanian/ perkebunan. Dalam jangka panjang harus segera dirancang suatu regulasi yang mampu mengaktualisasikan pengembangan pertanian/ perkebunan sebagai kepentingan rakyat, bangsa dan negara serta menumbuhkan rasa nasionalisme seluruh komponen bangsa. C. Tantangan Pembangunan Perkebunan dalam Ruang Lingkup Sub Sektor Perkebunan Berikut ini dapat diklasifikasikan tantangan yang akan dihadapi pembangunan perkebunan kedepan dalam ruang lingkup sub sektor perkebunan terutama berkaitan dengan kondisi perkebunan secara khusus dari aspek hulu dan hilir. 1. Ketersediaan benih dan sarana produksi (implikasi peningkatan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan berkelanjutan) Upaya meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas perkebunan tidak terlepas dari kondisi benih yang digunakan dan penggunaan sarana produksi lainnya seperti pupuk dan pestisida. Masalah benih perkebunan menjadi penting, mengingat komoditas perkebunan merupakan investasi jangka panjang pada periode tanaman belum 105

124 menghasilkan, khususnya tanaman tahunan yang relatif lama. Dengan demikian pengunaan benih unggul akan memberikan dampak yang baik terhadap budidaya tanaman dari resiko kerugian yang cukup tinggi. Selain itu, pengadaan benih belum sesuai dengan musim tanam, biasanya benih sampai dilokasi setelah musim tanam dan kadangkala benih sudah kadaluarsa dan mengalami penurunan kualitas. Kondisi lain adalah persoalan infrastruktur yang menyokong sistem perbenihan sulit berkembang karena memerlukan investasi yang cukup besar. Tidak banyak swasta yang mau menanamkan investasi untuk usaha perbenihan/perbibitan. Di lain pihak, pemerintah kurang berdaya menangani perbenihan karena persoalan ketersediaan anggaran dan kendala di sistem perbenihan itu sendiri. Dalam rangka mengantisipasi permasalahan tersebut dan untuk mencapai sasaran yaitu tersedianya benih unggul yang bermutu (varietas, mutu, waktu, jumlah, lokasi dan harga) harus sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 44 tahun 1995 tentang perbenihan tanaman yang mempersyaratkan benih bina yang diedarkan harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Untuk menjamin mutu benih, produksi benih bina harus melalui Sertifikasi. Dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) nomor 803/Kpts/OT.210/7/1997 tentang Sertifikasi dan Peredaran Benih Bina telah ditetapkan bahwa sertifikasi harus dilakukan terhadap produksi benih, baik melalui perbanyakan secara vegetatif maupun generatif. Hal ini ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Menteri Pertanian nomor 02/Permentan/SR.120/1/2014 tentang Produksi, Sertifikasi dan Peredaran Benih Bina dengan tujuan 1) menjamin terselenggaranya sistem penyediaan Benih Bina yang berkesinambungan; 2) menjamin kebenaran jenis, Varietas bersari bebas, Varietas hibrida dan mutu benih yang diproduksi; 3) mempercepat sosialisasi dan pemanfaatan teknologi Varietas kepada pengguna; 4) menjamin kesesuaian mutu Benih Bina yang beredar; dan 5) memberikan kepastian usaha bagi produsen dan pengedar Benih Bina. Pada Permentan tersebut, perbanyakan Benih Bina secara generatif terdiri atas varietas bersari bebas dan/atau hibrida. Sedangkan, Benih Bina dapat diklasifikasikan dalam Benih Penjenis (BS); Benih Dasar (BD); Benih Pokok (BP); dan Benih Sebar (BR). Klasifikasi tersebut berlaku untuk tanaman semusim sedangkan tanaman tahunan hanya pada Benih Sebar. Untuk Benih Varietas hibrida disetarakan ke dalam kelas Benih Sebar. 106

125 Adanya Peraturan Menteri Pertanian nomor 08/Permentan/SR.120/3/ 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pertanian nomor 02/Permentan/SR.120/1/2014 tentang Produksi, Sertifikasi dan Peredaran Benih Bina, maka: - Klasifikasi benih untuk tanaman tebu yaitu Benih Pokok Utama (BPU), Benih Pokok (BP), Benih Nenek (BN), Benih Induk (BI) dan Benih Datar (BR). - Selain itu, untuk benih tanaman tebu, nilam, kapas dan tembakau dapat diperbanyak melalui pola perbanyakan benih berjenjang. - Produsen Benih yang akan memproduksi benih harus menguasai lahan, sarana pengolahan benih dan sarana penunjang yang memadai sesuai dengan jenis benihnya, serta tenaga yang mempunyai pengetahuan di bidang perbenihan. - Pada peredaran benih, izin atau tanda daftar diterbitkan oleh bupati/walikota yang ditembuskan kepada Menteri Pertanian melalui Direktur Jenderal dan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menyelenggarakan tugas dan fungsi Pengawasan dan Sertifikasi Benih. Izin atau tanda daftar paling kurang berisi keterangan pemilik, data lahan, identitas dan domisili pemilik, lokasi lahan, status kepemilikan lahan, luas areal, jenis Tanaman dan rencana produksi. Untuk Benih Tanaman perkebunan Izin atau tanda daftar diterbitkan oleh gubernur. - Untuk memproduksi Benih Bina mengikuti prosedur baku Sertifikasi Benih Bina atau sistem standardisasi nasional. Proses Sertifikasi Benih Bina meliputi: pemeriksaan (kebenaran Benih Sumber; lapangan dan pertanaman; isolasi Tanaman agar tidak terjadi persilangan liar; alat panen dan pengolahan benih; tercampurnya benih; dan pengolahan benih untuk tanaman pangan); pengujian laboratorium untuk menguji mutu benih (mutu fisik, fisiologis, dan/atau tanpa kesehatan benih, sedangkan untuk kemurnian genetik diambilkan dari hasil pemeriksaan lapangan); dan pengawasan pemasangan Label. - Proses Sertifikasi Benih Bina dapat diselenggarakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menyelenggarakan tugas dan fungsi Pengawasan dan Sertifikasi Benih; produsen Benih Bina yang mendapat sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu, kecuali untuk Benih Tanaman pakan ternak; atau unit Pelaksana Teknis Pusat yang menyelenggarakan tugas dan fungsi Pengawasan dan 107

126 Sertifikasi Benih Tanaman perkebunan atau Benih Tanaman pakan ternak. - Ketentuan lain dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Permentan/SR.120/1/2014 tentang Produksi, Sertifikasi, dan Peredaran Benih Bina, dinyatakan masih tetap berlaku. Hal mengenai tim pembina, pengawas dan sertifikasi benih (TP2S) tanaman pangan dan perkebunan diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian nomor 3517/Kpts/OT.160/10/2012. Masalah perbenihan lainnya adalah adanya keterbatasan sumber benih. Kebutuhan benih bermutu dan bersertifikat yang semakin meningkat ini perlu diikuti ketersediaan sumber benih, namun demikian belum semua wilayah mempunyai sumber benih. Keberadaan industri benih hanya di daerah tertentu dan belum tersebar di wilayah pengembangan komoditas perkebunan. Selain itu, upaya meningkatkan integrasi pengembangan sumber benih dengan wilayah pengembangan komoditas perkebunan belum dilakukan secara optimal terutama untuk pengembangan sumber daya insani (SDI) perbenihan dan sarana produksi. Dalam sistem perbenihan didukung oleh beberapa sub sistem yang terdiri dari: 1) sub sistem pengembangan varietas untuk mengantisipasi perubahan dan perkembangan selera masyarakat; 2) sub sistem produksi dan distribusi benih; 3) sub sistem perbaikan mutu melalui sertifikasi dan pelabelan; dan 4) sub sistem kelembagaan dan peningkatan SDI. Keberhasilan dalam menggerakkan seluruh komponen sub sistem perbenihan sangat dipengaruhi oleh komponen pendukung antara lain lembaga perbenihan, sumber daya insani, sarana dan prasarana, kebijakan pemerintah, sistem informasi, dan kesadaran konsumen dalam menggunakan benih bermutu. Dengan penerapan sub sistem perbenihan tersebut, berdasarkan penelitian dan praktek di lapangan, penggunaan benih/bibit unggul diakui telah menjadi satu faktor kunci keberhasilan peningkatan produksi komoditas perkebunan. Sarana produksi lain seperti pupuk dan pestisida dapat mempengaruhi keberhasilan budidaya tanaman perkebunan. Pupuk merupakan komoditas yang seringkali menjadi langka pada saat dibutuhkan, terutama pupuk bersubsidi. Sistem distribusi yang belum baik serta margin harga dunia yang relatif tinggi dibandingkan dengan harga pasar domestik mengakibatkan banyak terjadinya praktek penyelundupan pupuk bersubsidi ke luar negeri. Dengan keterbatasan penyediaan 108

127 pupuk kimia, ternyata pengetahuan dan kesadaran petani untuk menggunakan dan mengembangkan pupuk organik sendiri, sebagai pupuk alternatif juga masih sangat kurang. Langkanya sarana input pupuk dan pestisida dipengaruhi oleh harga, kualitas dan ketersediaan sehingga akan mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman. Peningkatan produktivitas tanaman perkebunan melalui penerapan Best Agricultural Practices (BAP) yang ramah lingkungan dirasa kurang lengkap. Untuk itu diperlukan suatu program yang dapat menggalakkan penerapan teknologi pemupukan dan penggunaan pestisida yang efisien dan berimbang. Selain berdampak pada penurunan produktivitas tanaman perkebunan, penggunaan pupuk dan pestisida yang tidak berimbang akan berdampak pada penurunan hasil produk yang drastis termasuk kualitas hasil tanaman perkebunan dan timbulnya hama yang resisten/munculnya eksplosif hama terbaru. Selama ini penerapan teknologi pemupukan, penggunaan pestisida, pengelolaan air dan teknologi budidaya belum berjalan optimal dalam meredam dampak negatif penggunaan pupuk dan pestisida yang tidak sesuai standar teknis. Upaya penggunaan pupuk organik maupun hayati di Indonesia yang bisa dijadikan alternatif kebijakan diantaranya melalui program SUPRADIN (Sistem Usahatani Perkebunan Rakyat Diversifikasi Integratif). Tantangan untuk mengembangkan sarana produksi pertanian kedepan adalah bagaimana mengembangkan penangkar benih/ bibit unggul dan bermutu, menumbuhkembangkan kelembagaan penyedia jasa alat dan mesin pertanian, mendorong petani memproduksi dan meningkatkan pemakaian pupuk organik, serta mendorong petani untuk menggunakan pestisida dan obat-obatan tanaman/hewan yang ramah lingkungan untuk perlindungan tanaman melalui sistem pengendalian hama terpadu (PHT). 2. Keterbatasan, penurunan kualitas, status kepemilikan, persaingan pemanfaatan, degradasi, konversi/ alih fungsi dan kebakaran lahan/ kebun (implikasi permasalahan umum sumber daya lahan berkelanjutan) Konversi/alih fungsi lahan. Konversi lahan perkebunan ke non perkebunan merupakan isu sentral pembangunan perkebunan yang dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap produksi, aspek sosial ekonomi dan aspek lingkungan. Fenomena konversi lahan ini pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan dengan sub sektor lain di sektor pertanian seperti tanaman 109

128 pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan yang muncul akibat adanya 3 fenomena ekonomi dan sosial yaitu keterbatasan sumber daya alam, pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, belum optimalnya instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yaitu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dimana selama ini pemberian izin pemanfaatan ruang hanya mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik RTRW pulau/ kepulauan, nasional, provinsi maupun kabupaten/ kota sehingga kurang operasional sebagai acuan perizinan dan pengendalian alih fungsi lahan. Berbagai kebijakan pengendalian alih fungsi lahan perkebunan dipertanyakan efektivitasnya, hal ini terutama diakibatkan oleh berbagai regulasi yang saling berkaitan tapi tidak berpihak pada petani/ pekebun, antara lain pengaturan tata niaga, kebijakan harga dan tarif ekspor-impor akibatnya, nilai tukar petani semakin kecil dan daya belinya menjadi kian lemah. Dengan kata lain selama mata pencaharian di bidang pertanian/ perkebunn dipandang tidak menguntungkan akan sulit mengendalikan alih fungsi lahan perkebunan. Dari sudut pandang ekologi, adanya konversi lahan dapat berdampak pada terganggunya ketahanan daya dukung lingkungan yaitu jika dilakukan secara terus menerus tanpa pengendalian dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan seperti longsor, banjir, erosi, penurunan penutupan lahan (vegetasi) dan sedimentasi. Konversi lahan merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan paling besar selain pembukaan lahan dengan pembakaran. Konversi lahan perkebunan sering disebabkan faktor ekonomi pekebun yang memaksa mereka menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian. Dampak lain yang akan timbul akibat konversi lahan adalah timbulnya masalah bagi ketahanan pangan, lingkungan, kesempatan kerja dan masalah sosial lainnya. Selama kebijakan pembangunan ditujukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, maka konversi lahan sulit dicegah. Persoalan konversi lahan ini harus melibatkan regulasi Pusat dan Daerah. Peran aktif pemerintah daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) terutama adalah dalam penyediaan peraturan perlindungan bagi lahan pertanian khususnya lahan perkebunan. Beragam kebijakan dikeluarkan Pemerintah untuk mendorong ketersediaan lahan pertanian berkelanjutan, termasuk memberikan insentif dan perlindungan, atau melarang konversi lahan pertanian produktif agar lahan pertanian tidak terus menerus berkurang tanpa 110

129 terkendali. Namun pada kenyataannya konversi lahan pertanian/ perkebunan ke perumahan dan industri terus berlangsung. Hal ini menjadi tantangan yang cukup berat bagi keberlanjutan produksi pertanian/perkebunan dan mewujudkan kedaulatan pangan. Oleh karena itu, sistem atau cara perlindungan yang diberikan terhadap petani mulai dari aspek proses produksi sampai aspek pemasaran hasil dan sistem perdagangannya perlu dikembangkan lebih lanjut dengan basis kelembagaan yang kuat. Selain itu peran yang sangat krusial melibatkan antar sektoral perlu terus dikoordinasikan terutama dalam keterlibatan dalam arah kebijakan pengembangan pertanian/ perkebunan pada lahan-lahan sub optimal dan kehutanan seperti dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam menekan laju konversi lahan pertanian ke depan adalah bagaimana melindungi keberadaan lahan pertanian melalui perencanaan dan pengendalian tata ruang; meningkatkan optimalisasi, rehabilitasi dan ekstensifikasi lahan; meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha pertanian serta pengendalian pertumbuhan penduduk. Keterbatasan lahan. Keterbatasan lahan untuk pengembangan komoditas unggulan perkebunan juga merupakan kendala kedepan diantaranya banyaknya lahan yang digunakan untuk penanaman kelapa sawit dan tanaman pangan, pembukaan lahan baru sebagai area permukiman karena banyaknya pemekaran wilayah, untuk keperluan industri, banyaknya lahan yang tidak produktif/marginal yang kurang dimanfaatkan serta inovasi dan teknologi yang tidak optimal dalam pemanfaatan lahan. Selain itu, masalah status penguasaan dan kepemilikan lahan akan menjadi tantangan pengembangan perkebunan kedepan. Dalam 10 tahun terakhir, luas lahan pertanian Indonesia tidak banyak berubah, masih sekitar 25 juta hektar. Kenyataan tersebut tidak berimbang dengan proyeksi pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2020 yang akan mencapai 293,88 juta jiwa. Namun, dilakukannya penambahan lahan di darat menimbulkan masalah baru salah satunya yakni laju deforestasi hutan untuk keperluan lahan pertanian semakin meningkat. Hal ini kemudian akan berdampak pada perkembangan produksi pangan. Konsep Agrocoastal's System akan menjadi solusi keterbatasan lahan yang dikembangkan dengan memanfaatkan wilayah 111

130 perairan di daerah pesisir sebagai daerah produktif pertanian pangan dan perkebunan. Upaya lain untuk mengatasi keterbatasan lahan produktif adalah ekstensifikasi pertanian/ perkebunan yang mengarah pada lahan-lahan marginal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan marginal yang dipilih, terutama oleh perkebunan besar karena relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta hektar, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian/ perkebunan. Dari total lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta hektar yang layak untuk pertanian/ perkebunan (Badan Litbang Pertanian, 2014). Persaingan pemanfaatan lahan. Dari aspek pemanfaatan lahan, peningkatan jumlah penduduk yang pesat dan distribusinya yang tidak merata mengakibatkan daya dukung lahan terlampaui. Kondisi demikian menimbulkan terjadinya kompetisi pemanfaatan lahan yang kurang sehat bagi kepentingan multi sektor yang sering kali menjadi pemicu terjadinya kasus Gangguan Usaha Perkebunan (GUP) khususnya untuk komoditas kelapa sawit. Dari sisi lain, sebagian lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman perkebunan belum diusahakan dalam usaha dan hamparan yang ekonomis sehingga dapat mengurangi efisiensi dan efektivitas usaha yang pada gilirannya mengurangi nilai tambah bagi petani/ pekebun. Konflik yang ditimbulkan oleh pemerintah dapat terjadi akibat peraturan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah tidak sejalan dengan kondisi lapangan. Dampaknya, terjadi tumpang tindih kepentingan penggunaan lahan seperti antara perebutan lahan antara perkebunan dengan tambang, perkebunan dengan perkebunan, dan perkebunan dengan hutan. Di daerah, konflik yang terjadi antar perusahaan perkebunan karena arahan yang dikeluarkan pemerintah daerah menunjuk lahan yang sebenarnya sudah dimiliki perusahaan perkebunan lain. Sebagai contoh, pengusaha yang mengajukan permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha lahan sawitnya tetapi prosesnya lambat di tingkat Badan Pertanahan Nasional dan lama dikeluarkan. Akibatnya, lahan tersebut berpotensi menjadi rebutan pihak 112

131 lain dan terancam diokupasi masyarakat setempat, karena status HGU lahan dianggap sudah tidak lagi diperpanjang. Faktor lainnya adalah pengawasan pemerintah terhadap kondisi lapangan sangatlah kurang. Pengawasan ini berkaitan dengan implementasi peraturan yang seringkali bertabrakan dengan regulasi lain. Dengan wewenang lebih besar di pemerintah daerah, idealnya konflik lahan perkebunan sawit dapat ditekan karena pemerintah setempatlah yang mengetahui lebih pasti kondisi di wilayahnya. Selain itu, faktor pemicu konflik diciptakan oleh perusahaan. Semisal ketika membuka lahan tidak mensosialisasikan kegiatan operasionalnya kepada masyarakat setempat. Padahal sosialisasi ini penting supaya perusahaan juga dapat memerhatikan aspek sosial dan lingkungan dengan mendengarkan masukan dari masyarakat sebagai contoh terdapat makam leluhur di lahan itu yang sebaiknya dapat dikonservasi oleh perusahaan. Tak hanya itu, tindakan perusahaan yang mengabaikan alokasi lahan plasma juga mendorong sikap resisten masyarakat terhadap kehadiran perkebunan kelapa sawit. Pemicu konflik juga berasal dari tindakan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Bentuknya seperti kasus penyerobotan areal perusahaan perkebunan sawit dan perusahaan perkebunan lainnya yang dilakukan masyarakat khususnya terhadap lahan yang belum diberikan perpanjangan HGU. Rendahnya kesejahteraan masyarakat petani ditengarai pula akibat tindakan mereka yang melakukan pemindahtanganan lahan plasma miliknya kepada pihak lain. Modus lain yang dilakukan masyarakat lewat menuntut pengembalian lahan yang telah diberikan ganti rugi. Tuntutan ini dilakukan oleh generasi sekarang padahal perjanjian jual beli lahan telah selesai dilakukan antara perusahaan dengan generasi sebelumnya. Upaya yang harus dilakukan pemerintah supaya memecahkan masalah sengketa lahan adalah dengan memperkuat dan memperjelas regulasi, sebagai contoh penuntasan tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/ kota. Konsistensi dan sinergi peraturan semestinya dijalankan pula mulai dari pemerintah pusat sampai daerah. Untuk perusahaan, solusi nya adalah supaya program kemitraan inti plasma dijalankan sungguhsungguh dan lebih transparan/ akuntabel. Program Corporate Social Responsability (CSR) diprioritaskan kepada masyarakat sekitar perkebunan dan harus menjawab apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Jadi, perusahaan membangun hubungan kemitraan yang saling menguntungkan dengan masyarakat. Dengan masyarakat yang 113

132 sejahtera secara ekonomi maka konflik pun dapat ditekan. Lebih lanjut lagi, penyelesaian konflik agraria di perkebunan kelapa sawit mesti diselesaikan dengan cara pemerintah mengatur skenario pembangunan road map kedaulatan dan kemandirian petani kelapa sawit. Langkah lain dapat pula membatasi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan skala besar dengan waktu satu siklus tanaman. Untuk itu, pemerintah diminta lebih tegas kepada perusahaan sawit yang terlibat berkonflik dengan masyarakat. Penurunan kualitas lahan. Sebagian besar lahan pertanian/ perkebunan di Indonesia sudah mengalami penurunan kualitas, bahkan banyak yang termasuk kategori kritis. Penurunan kualitas lahan berhubungan dengan 1) terganggunya fungsi hidrologi DAS (jumlah dan kualitas air); 2) menurunnya kesuburan tanah (rendahnya ketersediaan hara dan kandungan bahan organik tanah); 3) menurunnya kualitas udara akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca (CO 2, N 2 O, CH 4 ) melebihi daya serap daratan dan lautan; 4) berkurangnya tingkat keindahan landsekap; dan 5) berkurangnya tingkat biodiversitas flora dan fauna baik di atas tanah maupun dalam tanah. Penurunan kualitas lahan juga disebabkan oleh pemakaian bahan kimia anorganik berlebihan. Pemakaian pupuk kimia anorganik berlebihan menyebabkan struktur tanah menjadi padat dan daya dukung tanah bagi pertumbuhan tanaman menurun. Disamping itu, produk-produk kimiawi tersebut, selain mengandung bahan yang diperlukan tanaman, dapat juga mengandung bahan kimiawi yang berbahaya (seperti senyawa klorin dan merkuri) bagi lahan dan makhluk hidup. Pada tahun 1992 kurang lebih 18 juta hektar lahan di Indonesia telah mengalami degradasi atau penurunan kualitas lahan. Pada tahun 2002 luasan tersebut meningkat menjadi 38,6 juta hektar (BPS, 2002). Bila kondisi ini dibiarkan maka dapat menimbulkan kerusakan lahan semakin luas dan berakibat penurunan produktivitas lahan dan tanaman. Selain itu, penyebab terjadinya penurunan sumber daya lahan adalah adanya alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian (intensif) dengan masukan yang berlebihan. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan hilangnya beberapa grup fungsional organisme tanah karena berubahnya jenis dan kerapatan tanaman yang tumbuh di atasnya sehingga mengubah tingkat penutupan permukaan tanah yang berdampak pada perubahan iklim mikro, jumlah dan macam masukan bahan organik, dan jenis perakaran yang tumbuh dalam tanah. Pada lahan-lahan pertanian, umumnya ada 4 masalah pokok yang 114

133 berhubungan dengan penurunan kualitas lahan ini yaitu gangguan siklus atau ketersediaan hara (di tingkat lahan), rusaknya kondisi fisik tanah (porositas dan infiltrasi), gangguan fungsi hidrologi (tingkat DAS) serta serangan hama dan penyakit tanaman. Penurunan kualitas lahan ini mengakibatkan perubahan fungsi ekosistem terutama terjadi melalui penurunan kandungan bahan organik tanah (BOT) dan biodiversitas organisma tanah. Menurunnya fungsi ekosistem tersebut akan menurunkan produksi tanaman dan kualitas lingkungan seperti meningkatnya limpasan permukaan dan erosi, polusi udara, tanah dan air serta peledakan populasi hama. Langkah penanganan untuk mengatasi penurunan kualitas lahan melalui memanfaatkan produk bioteknologi, seperti pupuk dan pestisida hayati yang mengandung mikroba bersifat ramah lingkungan. Penggunaan mikroba sebagai pupuk hayati dapat membantu menyediakan unsur hara yang lengkap bagi tanaman, meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan juga sangat penting dalam memperbaiki struktur tanah. Sedangkan pemakaian pestisida hayati diharapkan selain dapat menanggulangi serangan hama dan penyakit dan mampu menjaga lingkungan tetap sehat. Kegiatan pengendalian OPT diharapkan melalui pendekatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Degradasi lahan. Degradasi sumber daya air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia lahan menjadi kendala utama dalam peningkatan ketersediaan pangan menuju kedaulatan pangan. Degradasi tanah di Indonesia yang paling dominan disebabkan oleh erosi. Proses ini sudah berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan pada lahan-lahan pertanian/ perkebunan. Degradasi lahan disebabkan oleh 3 (tiga) aspek, yaitu aspek fisik, kimia dan biologi. Degradasi secara fisik terdiri dari pemadatan, pengerakan, ketidakseimbangan air, terhalangnya aerasi, kebakaran hutan, aktivitas penambangan dan industri, konversi lahan pertanian ke non pertanian, aliran permukaan, dan erosi. Degradasi kimiawi terdiri dari asidifikasi, pengurasan unsur hara, pencucian, ketidakseimbangan unsur hara dan keracunan, salinisasi, dan alkalinisasi. Sedangkan degradasi biologis meliputi penurunan karbon organik tanah, penurunan keanekaragaman hayati tanah dan penurunan karbon biomassa. Faktor-faktor utama penyebab degradasi lahan adalah bahaya alami; perubahan jumlah populasi manusia; marjinalisasi tanah; kemiskinan; status kepemilikan tanah; ketidakstabilan politik dan masalah administrasi; kondisi sosial 115

134 ekonomi; masalah kesehatan; praktek pertanian yang tidak tepat, serta aktifitas pertambangan dan industri. Erosi merupakan suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Proses erosi ini dapat menyebabkan merosotnya produktivitas tanah, daya dukung tanah untuk produksi pertanian/ perkebunan dan kualitas lingkungan. Berdasarkan berbagai data yang diperoleh mengenai laju erosi di Indonesia, sekitar m 3 atau ton tanah/hektar lahan tererosi setiap tahun dengan laju peningkatan 7-14% atau 3-28 ton tanah/hektar/tahun. Data menunjukkan bahwa luas lahan kritis di Indonesia terus meningkat, yang diperkirakan telah mencapai 10,9 juta hektar. Penyebab utamanya adalah erosi dan longsor. Tingkat laju erosi tanah pada lahan pertanian di Indonesia yang berlereng 3-15% tergolong tinggi, yaitu berkisar 97,5-423,6 ton/hektar/tahun. Padahal banyak lahan pertanian yang berlereng lebih dari 15%, sehingga laju erosi bisa dipastikan sangat tinggi, terutama daerah yang memiliki curah hujan tinggi. Semakin meningkatnya jumlah tanah yang terdegradasi, bukan tidak mungkin mengakibatkan manusia akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar berupa bahan pangan maupun lahan untuk tempat tinggal. Kekhawatiran itu bukanlah hal yang tidak beralasan, karena dalam beberapa tahun terakhir banyak dilaporkan bahwa tanah di sebagian besar belahan bumi mengalami degradasi akibat erosi dan salinasi (penggaraman) pada tingkat yang mengkhawatirkan. Hal ini menjadikan erosi tanah sebagai salah satu masalah lingkungan yang paling serius di seluruh belahan bumi saat ini terutama di Indonesia. Untuk itulah diperlukan adanya suatu upaya yang mampu menciptakan budidaya pertanian berkelanjutan dengan memperhatikan kondisi tanah pertanian. Salah satu bagian penting dari budidaya pertanian yang sering diabaikan adalah konservasi tanah. Padahal tanpa tindakan konservasi tanah yang efektif dan produktivitas lahan yang tinggi, usaha pertanian sulit dijamin keberlanjutannya. Konservasi tanah penting dilakukan karena bertujuan untuk melindungi tanah dari pengrusakan oleh proses degradasi yang terjadi. Secara umum, konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Secara lebih khusus, konservasi tanah dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh 116

135 erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi. Tanah merupakan bahan padat yang juga terdiri dari air, bahan organik, bahan mineral dan udara, sehingga perubahan sifat dari air serta udara di dalam tanah akan berpengaruh terhadap tanah tersebut. Apabila tanah terairi oleh air, maka sifat kimia air tersebut akan mempengaruhi sifat tanah. Oleh karena itu, konservasi tanah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konservasi air. Rendahnya adopsi teknologi konservasi tanah dan air bukan karena keterbatasan teknologi, tetapi lebih utama disebabkan oleh masalah non teknis. Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan keberhasilan dalam upaya konservasi tanah dan air, baik dari segi kelembagaan maupun pendanaan. Selama ini, prioritas utama pembangunan pertanian lebih kepada peningkatan hasil produksi dan pertumbuhan ekonomi secara makro sehingga aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya lahan kurang terperhatikan. Padahal aspek tersebut berdampak bagi pembangunan pertanian di masa mendatang dalam jangka panjang. Upaya yang dilakukan untuk konservasi tanah dan air oleh pemerintah hanya mengandalkan pendekatan yuridis yang bersifat larangan. Namun peraturan yang ada tersebut terkesan tumpul karena adanya kelemahan pada peraturan itu sendiri, terutama yang terkait dengan masalah kekuatan hukum dan sanksi pelanggaran. Selain itu, peraturan-peraturan tersebut terkesan bertentangan dengan fenomena degradasi tanah dan air yang tidak mungkin dihindari selama pertumbuhan ekonomi masih merupakan tujuan pembangunan. Secara umum, proses degradasi lahan dan lingkungan ini mengancam keberhasilan program pembangunan pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani serta menjaga kelestarian sumber daya alam. Strategi yang bisa dilakukan antara lain : 1) meningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya lahan pertanian/ perkebunan; 2) penguatan kelembagaan penyuluhan pertanian/ perkebunan, termasuk pengadaan tenaga khusus konservasi tanah dan air; 3) penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian/ perkebunan; dan 4) melakukan penyuluhan dan memberikan penjelasan secara intensif kepada masyarakat luas bahwa penyelamatan sumber daya lahan dan lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh masyarakat. Status kepemilikan lahan. Luas penguasaan lahan petani/ pekebun semakin sempit sehingga menyulitkan upaya peningkatan 117

136 kesejahteraan petani/ pekebun. Pada tahun 2012, luas penguasaan lahan per petani yaitu 0,22 hektar dan diperkirakan akan menjadi 0,18 hektar pada tahun Hal ini menyulitkan upaya peningkatan kesejahteraan petani/ pekebun, penyempitan penguasaan lahan mengakibatkan tidak efisien dalam berusaha tani. Berdasarkan Sensus Pertanian tahun 2003, sejak tahun 1993 jumlah rumah tangga petani gurem yang kepemilikan lahannya kurang dari 0,5 hektar meningkat dari 10,9 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun Hasil penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian tahun 2008, rataan kepemilikan lahan petani di pedesaan sebesar 0,41 hektar dan 0,96 hektar masing-masing di Jawa dan Luar Jawa. Kondisi kepemilikan lahan ini disebabkan oleh: (1) meningkatnya konversi lahan pertanian/ perkebunan untuk keperluan pemukiman dan fasilitas umum, (2) terjadinya fragmentasi lahan karena proses pewarisan, dan (3) terjadinya penjualan tanah/ lahan pangan. Menurunnya rata-rata luas pemilikan lahan diikuti pula dengan meningkatnya ketimpangan distribusi pemilikan lahan terjadi pada agroekosistem di Pulau Jawa. Status penguasaan lahan oleh petani/ pekebun sebagian besar belum bersertifikat sehingga lahan belum bisa dijadikan sebagai jaminan memperoleh kredit perbankan. Pesatnya laju pembangunan ekonomi berbasis sumber daya lahan telah membawa implikasi terhadap pelanggaran tata ruang. Otonomi daerah juga membawa akses peningkatan pemanfaatan lahan multi sektoral. Kondisi tersebut pada kenyataannya sulit diimbangi dengan penyediaan lahan, baik melalui pemanfaatan lahan pertanian/ perkebunan yang ada maupun pembukaan lahan baru. Kebakaran lahan/ kebun. Kegiatan pembangunan perkebunan umumnya dilakukan melalui pengembangan perluasan areal pertanian/perkebunan. Dalam kegiatan pengembangan tersebut masyarakat masih melakukan dengan pembakaran lahan. Selain disebabkan oleh hal tersebut, kebakaran lahan dan kebun juga dapat meningkat akibat terjadinya iklim ekstrim yaitu musim kemarau yang berkepanjangan (El Nino). Berdasarkan data yang diperoleh, umumnya kejadian kebakaran di lahan budidaya khususnya perkebunan banyak diakibatkan oleh kelalaian aktivitas kehidupan manusia di saat kondisi lingkungan kering dan panas. Selain itu, masih terdapat bagian kecil dari komunitas pekebun yang beranggapan bahwa dengan membuka lahan dengan cara membakar disamping biayanya murah dan mudah, sisa hasil 118

137 bakarannya berupa abu dapat menjadi pupuk. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kebakaran apabila pembakarannya tidak dikendalikan. Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran lahan dan kebun sangat luas bagi manusia dan lingkungan hidup. Kerugian ekonomi, ekologi, kesehatan, dan aspek lainnya sudah pasti terjadi. Untuk melakukan pemulihan membutuhkan waktu yang lama. Menurut data kejadian kebakaran hutan dan lahan sejak tahun 1997 sampai tahun 2011, sekitar 70,8% kebakaran berada diluar kawasan hutan termasuk perkebunan dan penyebaran hotspot terbesar sebagian besar berada di provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan tengah, Riau dan Sumatera Selatan. Hal ini tentunya terkait dengan pembukaan lahan untuk komoditas tertentu seperti kelapa sawit dan pembukaan untuk lahan permukiman dan industri. Kebakaran lahan dan kebun yang tidak terkontrol bertanggungjawab terhadap 70% emisi CO 2 (emisi GRK) dan tentunya efek kebakaran lahan/ kebun ini akan menjadi isu strategis bagi pemerintah didalam usahanya dalam pembangunan perkebunan berwawasan lingkungan seperti yang telah disepakati dalam KTT perubahan iklim dan menjadi tugas pokok pemerintah dalam mengurangi batas emisi GRK sampai dengan 26% pada tahun 2020 dengan upaya sendiri dan sebesar 41% dengan bantuan asing (baca: Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca). Berikut ini pada Tabel 7 disampaikan mengenai rekapitulasi data kejadian kebakaran pada lahan perkebunan per provinsi pada tahun Tabel 7. Rekapitulasi Data Kejadian Kebakaran pada Lahan Perkebunan per Provinsi tahun No. Lokasi Provinsi 1. Kalimantan Timur (Kab. Kutai Barat, Kab. Kutai Kartanegara, Kab. Paser, Kab. Penajam Paser Utara) Luas Areal Terbakar (Hektar) di tahun 2014 Luas Areal Terbakar (Hektar) di tahun 2015 Jenis Komoditas Yang Terbakar 1.231,90 994,85 Kelapa sawit, APL, semak belukar Keterangan Perkebunan swasta, APL/ semak 119

138 No. Lokasi Provinsi 2. Riau (Kab. Kep. Meranti, Kab. Pelalawan, Kab. Bengkalis, Kab. Siak, Kab. Indragiri Hilir, Kab. Indragiri Hulu, Kab. Rokan Hilir, Kab. Kuantan Singingi, Kab, Kampar, Kota Dumai) 3. Kalimantan Barat (Kab. Landak, Kab. Kubu Raya, Kab. Ketapang, Kab. Sintang, Kab. Bengkayang, Kab. Pontianak/ Mempawah, Kab. Melawi, Kab. Kayomg Utara, Kota Singkawang, Kab. Sambas) 4. Jambi (Kab. Muaro Jambi, Kab. Tanjab Timur, Kab. Batanghari, Kab. Tebo, Kab. Tanjab Barat, Kab. Sarolangun, Kab. Bungo, Kab. Kerinci) 5. Sumatera Selatan (Kab. OKI, Kab. Musi Banyuasin, Kab. Muara Enim, Kab. Banyuasin, Kab. Musi Rawas Utara) Luas Areal Terbakar (Hektar) di tahun 2014 Luas Areal Terbakar (Hektar) di tahun 2015 Jenis Komoditas Yang Terbakar , ,58 Kelapa sawit, Sagu, Karet, Kelapa, semak belukar, lahan kosong 4.594,45 962,74 Kelapa sawit 205, ,74 Kelapa sawit, karet, lahan lain 2.091, ,55 Kelapa sawit, semak belukar Keterangan Kebun masyarakat, semak belukar, perkebunan swasta Kebun masyarakat, perkebunan swasta Kebun masyarakat, perkebunan swasta Kebun masyarakat, perkebunan swasta 120

139 No. Lokasi Provinsi 6. Sumatera Utara (Kab. Mandailing Natal, Kab. Tapanuli Selatan) 7. Kalimantan Tengah (Kab. Kotawaringin Timur, Kab. Ketapang, Kab. Pulang Pisau, Kab. Kapuas, Kab. Seruyan, Kab. Gunung Mas, Kab. Kotawaringin Barat) 8. Kalimantan Selatan (Kab. Tapin, Kab. Tabalong, Kab. Balangan, Kab. HSU, Kab. HST, Kab. Banjar, Kab. Barito Kuala) 9. Sulawesi Selatan (Kab. Pinrang) Luas Areal Terbakar (Hektar) di tahun 2014 Luas Areal Terbakar (Hektar) di tahun 2015 Jenis Komoditas Yang Terbakar 3.403,75 - Karet, kelapa sawit, kawasan hutan 4.614,15 548,98 Kelapa sawit, karet, semak belukar, lahan konservasi 1.254, ,70 Kelapa sawit, karet TOTAL , ,14 Keterangan Perkebunan swasta, perkebunan negara, hutan Perkebunan swasta, kebun masyarakat lahan hutan konservasi Perkebunan swasta kebun masyarakat 226,69 - Kakao Kebun masyarakat Sumber: Direktorat Perlindungan Perkebunan, 2015 (data sementara). Meningkatnya data kejadian kebakaran lahan/ kebun dari tahun 2014 sampai dengan 2015 membuktikan bahwa pembangunan perkebunan tidak menjunjung tinggi wawasan lingkungan baik dari aspek budidaya maupun aspek pengadaan lahan yang menuntut laju produksi yang semakin meningkat, akibatnya lahan kehutanan menjadi sasaran perluasan areal dengan pembakaran. Berbagai upaya kedepan diharapkan dapat mengurangi bahkan peniadakan kegiatan pembakaran lahan, kebun dan hutan. Salah satunya melalui kegiatan mitigasi-pencegahan dengan praktek pengelolaan lahan perkebunan secara lestari, peningkatan sistem 121

140 pencegahan dini pada kebakaran lahan/ kebun, pemadaman, penanggulangan dan dampaknya serta penanganan darurat bencana kebakaran. Selain itu melalui kegiatan fasilitasi pemantauan kebakaran lahan dan kebun dengan tujuan melakukan pemantauan hotspot dan kebakaran lahan dan kebun secara lebih dini di tingkat lokus. Pada tahap pembinaan SDM dengan membentuk brigade pengendalian kebakaran lahan dan kebun melalui dukungan inventarisasi sarana dan prasarana pengendalian kebakaran dan peningkatan kapasitas SDM dalam usaha pengendalian kebakaran. Pada tahap implementasi penanganan kebakaran akibat dari pembukaan lahan baru kehutanan terutama untuk komoditas kelapa sawit, pemerintah pada tahun 2016 menerapkan kebijakan moratorium alih fungsi hutan alam dikonversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit yang akan diterapkan dalam bentuk Instruksi Presiden (Inpres) sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian. Pada intinya, peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan lahan/ hutan/ kebun, pemberdayaan dan peningkatan partisipasi publik/ masyarakat/ pekebun dalam pencegahan dan penanganan kebakaran di lahan perkebunan menjadi kunci utama, selain itu peran dari instansi terkait (Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan/Balai Proteksi Perkebunan, Pusdalkarhutla, BLH, Manggala Agni, Kepolisian, BMKG, BPBD, Perusahaan Perkebunan dan instansi terkait lainnya) terutama dukungan kegiatan dan regulasi dalam mencegah dan menangani kebakaran di lahan masih menjadi suatu hal yang perlu diperkuat. 3. Pemberdayaan pekebun (implikasi peningkatan kemampuan pekebun dalam usaha agribisnis perkebunan) Pemberdayaan petani dilakukan dengan tujuan meningkatkan kemampuan petani dalam melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian/ perkebunan, penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi serta penguatan kelembagaan petani/ pekebun. Kelembagaan dan pemberdayaan pekebun dalam sistem kelembagaan merupakan 2 hal yang saling terkait dan masih menjadi permasalahan dalam proses pembangunan perkebunan kedepan. Pendekatan kelembagaan dalam memberdayakan pekebun telah menjadi strategi 122

141 penting dalam pembangunan perkebunan. Pengembangan kelembagaan perkebunan dalam ruang lingkup pemberdayaan baik formal maupun informal belum memberikan peran berarti di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh peran antar lembaga pendidikan, pelatihan dan penyuluhan belum terkoordinasi dengan baik. Fungsi, keberadaan, koordinasi, kinerja kelembagaan baik kelembagaan pekebun maupun kelembagaan keuangan harus seiring sejalan dengan meningkatnya usaha agribisnis perkebunan di desa. 4. Kondisi pertanaman perkebunan (implikasi banyaknya tanaman tua dan tanaman dengan produktivitas rendah) Berbagai kegiatan pembangunan perkebunan telah berhasil meningkatkan produktivitas dan mutu sebagian besar komoditas unggulan perkebunan. Meskipun demikian, secara umum produktivitas dan mutu komoditas perkebunan tersebut masih di bawah potensi yang seharusnya dicapai ditengah fasilitasi APBN terhadap pembangunan komoditas perkebunan cukup besar. Dalam upaya peningkatan produksi dan mutu tanaman perkebunan menghadapi kendala yaitu kondisi pertanaman yang masih dibudidayakan secara tradisional dan tidak memenuhi syarat penanaman yang baik, intensitas pemeliharaan rendah, usaha tani yang monokultur, sistem budidaya yang tidak optimal, penanganan pascapanen, kurangnya input produksi, kurang berkembangnya inovasi teknologi baik dalam hal pemanfaatannya, diseminasi maupun aksesbilitasnya, manajemen kelembagaan kurang optimal, infrastruktur kurang memadai, belum optimalnya penggunaan benih unggul dan sarana produksi, adanya serangan Organisme Penganggu Tanaman (OPT), dampak perubahan iklim dan Gangguan Usaha Perkebunan (GUP), belum terpenuhinya standar populasi tanaman per hektar dan didominasinya pertanaman oleh tanaman tua/rusak dan berproduktivitas rendah. Oleh karena itu pengembangan komoditas perkebunan kedepan perlu memperoleh perhatian yang lebih cermat, mengingat luas pertanaman eksisting diproyeksi akan mengalami penurunan yang salah satunya disebabkan oleh keterbatasan, penurunan kualitas, status kepemilikan, persaingan pemanfaatan, degradasi dan konversi/ alih fungsi lahan. Kebijakan pengembangan perkebunan yang ekstensif, sejauh ini telah mengesampingkan produktivitas, efisiensi dan product development. Dengan berbagai upaya pembangunan, secara umum beberapa komoditas mengalami kenaikan produktivitas, namun secara umum 123

142 produktivitas komoditas perkebunan masih rendah dan masih dapat ditingkatkan. Masih rendahnya produktivitas komoditas perkebunan dan produktivitas lahan itu sendiri merupakan tantangan bagi pengembangan perkebunan kedepan. 5. Tuntutan penerapan konsep pembangunan perkebunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (implikasi dari pemberlakuan ISPO) Hambatan teknis yang menjadi tantangan sub sektor perkebunan ke depan adalah isu lingkungan. Isu lingkungan ini mengakibatkan masingmasing negara/kawasan tujuan ekspor menetapkan sendiri standar untuk ekspor atau impor produk perkebunan yang dikaitkan dengan bagaimana produk yang sampai ke negara tersebut di budidayakan dengan baik tanpa merusak lingkungan mulai dari aspek pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, penggunaan pestisida/obat sampai penanganan pascapanen dan distribusinya. Sebagai contohnya pada komoditas kelapa sawit yang diekspor bahwa Uni Eropa mengkaitkan impor CPO (Crude Palm Oil) dengan isu pelestarian sumber daya alam lingkungan hidup berkelanjutan. ISPO adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. Pelaksanaan ISPO akan dilakukan dengan memegang teguh prinsip pembinaan dan advokasi serta bimbingan kepada pekebun/petani kelapa sawit yang merupakan tugas pemerintah. Oleh karena itu tahap pertama dari pelaksanaan sertifikasi ISPO adalah penilaian usaha perkebunan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 7 tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan sedangkan sertifikasi merupakan tuntutan perdagangan internasional yang dilaksanakan sesuai ketentuan internasional yang antara lain memenuhi kaedah International Standard Organization (ISO). Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 11/Permentan/ OT.140/ 3/ 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ ISPO) menyatakan bahwa penerapan ISPO dilakukan secara wajib oleh perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budidaya perkebunan 124

143 kelapa sawit (sesuai penetapan kelas kebun: kelas I, kelas II dan kelas III) terintegrasi dengan usaha pengolahannya. Penerapan ISPO secara sukarela dilakukan oleh usaha kebun plasma, usaha kebun swadaya dan preusahaan perkebunan yang memproduksi minyak kelapa sawit untuk energi terbarukan. Lebih lanjut, Ditjen. Perkebunan akan melaksanakan pembinan dan bimbingan untuk penerapan ISPO kepada kebun plasma dan kebun swadaya, sedangkan penilaian untuk sertifikasi ISPO secara transparan dan independen sampai dengan sertifikasi dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi yang terakreditasi. Setidaknya ada 7 Prinsip dan Kriteria ISPO Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan meliputi 1) sistem perizinan dan manajemen perkebunan; 2) penerapan pedoman teknis budidaya dan pengolahan kelapa sawit; 3) pengelolaan dan pemantauan lingkungan; 4) memiliki tanggung jawab terhadap pekerja; 5) memiliki tanggung jawab sosial dan komunitas; 6) pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat; dan 7) peningkatan usaha secara berkelanjutan. Berdasarkan data dari Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Ditjen. Perkebunan sampai dengan saat ini terdapat 184 perusahaan kelapa sawit di seluruh Indonesia yang sudah mendapatkan sertifikat ISPO dalam usaha budidaya komoditas kelapa sawit. Komitmen ISPO tersebut terus dilakukan Ditjen. Perkebunan, perusahaan perkebunan kelapa sawit, Lembaga Sertifikasi, pemerintah daerah dan masyarakat pekebun kelapa sawit sebagai bentuk dukungan penerapan budidaya perkebunan berwawasan lingkungan. 6. Tuntutan pengaturan perizinan usaha perkebunan (implikasi reformasi birokrasi perizinan dalam era otonomi daerah) Belum adanya sinergi antara kebijakan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota akan mempengaruhi pelaksanaan perizinan usaha perkebunan sehingga dapat menghambat pembangunan perkebunan di Indonesia. Selain itu masalah banyaknya tumpah tindih izin lokasi usaha perkebunan, reformasi birokrasi perizinan usaha perkebunan belum berjalan sebagaimana mestinya dan otonomi daerah belum sepenuhnya mendukung reformasi birokrasi. Terbitnya Peraturan Menteri Pertanian nomor 98 tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan mengatur beberapa hal penting, pertama adalah keharusan integrasi hulu dan hilir di industri perkebunan. Kedua, pabrik pengolahan harus memenuhi unsur minimal menggunakan bahan baku dari kebun sendiri serta kewajiban melepas 125

144 saham pabrik pengolahan tersebut minimum 30% kepada masyarakat secara bertahap selama 10 tahun. Ketiga adalah kewajiban membangun kebun plasma bagi petani minimal 20% dari luas lahan kebun milik perusahaan dan keempat, pembatasan luas maksimal lahan perkebunan yang dimiliki oleh satu grup usaha perkebunan yaitu sebesar hektar. Peraturan ini secara umum berdampak positif terutama terkait pembatasan lahan yang pada akhirnya berdampak pada pergerakan harga komoditas. Pengaturan perizinan usaha perkebunan juga berkaitan erat dengan kepentingan nasional kedepan artinya dengan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur izin usaha perkebunan maka penguasaan lahan perkebunan dan besarnya investasi asing masuk kedalam sub sektor perkebunan dapat dikendalikan dan menjadi tantangan yang harus dipikirkan bersama. Kedepan perlu adanya regulasi dan kebijakan yang jelas dan lebih kongkret dalam mengatur besarnya penguasaan lahan perkebunan untuk dimanfaatkan oleh perusahaan asing dan seberapa besarnya investasi yang boleh masuk ke Indonesia dengan pembagian keuntungan yang adil dengan pemerintah (pusat dan daerah) dan masyarakat pekebun. Hal ini penting karena dari penguasaan lahan dan investasi akan meronrong kebijakan nasional Indonesia terutama yang berhubungan dengan stabilitas politik, ekonomi dan pertahanan keamanan NKRI. Dengan adanya perubahan Undang-Undang Perkebunan dari Undang- Undang nomor 18 tahun 2004 menjadi Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 maka Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan perlu disesuaikan. Penyesuaian Permentan nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan adalah dengan diterbitkannya Permentan nomor 29/Permentan/KB.410/5/2016 tanggal 31 Mei 2016 yang diundangkan tanggal 6 Juni 2016 dengan Berita Negara RI tahun 2016 nomor 826. Substansi penyesuaian Permentan tersebut antara lain: a. Penyesuaian pengertian Unit Pengolahan Hasil Perkebunan pada Pasal 1 angka 4 yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan. b. Penghapusan Pasal 13 ayat 1, 2 dan 3 tentang: - Suatu wilayah perkebunan swadaya masyarakat belum ada usaha industri pengolahan hasil perkebunan dan lahan untuk penyediaan paling rendah 20% bahan baku dari kebun sendiri 126

145 tidak tersedia, dapat didirikan usaha industri pengolahan hasil perkebunan oleh perusahaan perkebunan. - Perusahaan perkebunan tersebut harus memiliki IUP-P. - Untuk mendapatkan IUP-P, perusahaan perkebunan harus memiliki pernyataan ketidaktersediaan lahan dari Dinas yang membidangi perkebunan setempat dan melakukan kerjasama dengan koperasi pekebun pada wilayah tersebut. c. Penghapusan Pasal 14 tentang perusahaan industri pengolahan kelapa sawit yang melakukan kerjasama dengan koperasi pekebun wajib melakukan penjualan saham kepada koperasi pekebun setempat paling rendah 5% pada tahun ke-5 dan secara bertahap menjadi paling rendah 15% pada tahun ke-15. d. Penghapusan Pasal 49 ayat 1 dan 2 tentang: - Perusahaan perkebunan yang memperoleh IUP-P, tidak melakukan penjualan saham akan dikenai sanksi peringatan tertulis sebanyak 3 kali dalam tenggang waktu 4 bulan untuk melakukan penjualan saham kepada koperasi pekebun. - Jika sampai dengan peringatan ke-3 tidak dipenuhi, IUP-P dicabut dan hak atas tanah diusulkan kepada instansi yanag berwenang untuk dibatalkan. 7. Besaran penanaman modal asing pada usaha perkebunan (implikasi kebijakan investasi untuk asas efisiensi-berkeadilan) Masuknya modal asing bagi perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh iklim ekonomi dan politik Indonesia dan tentunya akan berdampak positif maupun negatif tergantung dari sudut pandang dalam memahami aspek penting yang mempengaruhi penanaman modal asing. Penanaman modal mempunyai arti yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional sebagaimana tujuan yang hendak dicapai melalui Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal (UUPM). Dalam UUPM, penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Aturan dalam UUPM berlaku bagi penanaman modal di semua sektor wilayah Indonesia, dengan ketentuan hanya terbatas pada penanaman modal langsung, dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portfolio sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 UUPM beserta penjelasannya. 127

146 Berikut ini disampaikan beberapa aturan penting tentang tinjauan PMA berdasarkan Undang-Undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal: 1) Pengertian Modal Asing Pengertian Penanaman Modal Asing dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2007 tidak hanya diartikan direct invesment, tetapi juga meliputi pembelian saham (portopolio). Dengan demikian pintu masuk penanaman modal asing lebih diperluas. 2) Pihak Investor Undang-undang nomor 25 tahun 2007 membuka kesempatan bagi Negara, Perseorangan, Badan Usaha, Badan Hukum yang berasal dari luar negeri dapat menanamkan modalnya di Indonesia sehingga tidak hanya pihak asing yang berbentuk badan hukum yang dapat melakukan penanaman modal asing. 3) Perlakuan yang sama terhadap Investor Dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2007, Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal diindonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. 4) Pelayanan satu pintu Undang-Undang nomor 25 tahun 2007 memberikan kemudahan pelayanan satu pintu pada kepada investor asing. 5) Perizinan dan kemudahan masuknya tenaga kerja asing Pada Undang-undang nomor 25 tahun 2007 tenaga kerja asing lebih mudah masuk ke Indonesia. Memang tenaga kerja Indonesia harus tetap diutamakan, namun investor tetap mempunyai hak untuk menggunakan tenaga kerja ahli WNA untuk jabatan dan keahlian tertentu. 6) Pajak Pada Undang-undang nomor 25 Tahun 2007, investor asing tidak hanya mendapat fasilitas keringanan pajak berupa tax holiday namun juga fasilitas fiskal. Fiskal cakupannya lebih luas daripada pajak karena pajak 128

147 hanyalah bagian dari fiskal. Hal ini lebih menguntungkan bagi investor asing. 7) Negative List Kelonggaran jenis usaha untuk modal asing dapat ditemukan pada Undang-undang nomor 25 tahun 2007, karena tidak mencantumkan jenis usaha yang masuk dalam negative list. Negative list tersebut kemudian diatur oleh pemerintah dengan Peraturan Presiden nomor 44 tahun 2016 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Ini berarti jenis usaha yang dapat diberikan kepada investor asing lebih fleksibel dan lebih terbuka. 8) Peranan Daerah Dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2007, Pemerintah Daerah diberi otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan penyelenggaraan penanaman modal berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Selain itu, implementasi Undang-Undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal bahwa Presiden RI menetapkan Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dengan dasar pertimbangan sebagai berikut: a) bahwa untuk melaksanakan Pasal 12 ayat (4) dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal; b) bahwa untuk lebih meningkatkan kegiatan penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri untuk percepatan pembangunan dengan tetap meningkatkan perlindungan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta Koperasi dan berbagai sektor strategis nasional serta meningkatkan daya saing ekonomi dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN dan dinamika globalisasi ekonomi, dipandang perlu mengganti ketentuan mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal; c) bahwa sehubungan dengan hal sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b di atas, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. 129

148 Pemerintah RI melalui Perpres Nomor 44 Tahun 2016 membagi 3 (tiga) kelompok bidang usaha yaitu: a) bidang usaha yang tertutup, merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal; b) bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan untuk kegiatan penanaman modal dengan persyaratan, yaitu dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi, kemitraan, kepemilikan modal, lokasi tertentu, perizinan khusus dan penanam modal dari negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN); c) bidang usaha yang terbuka, merupakan bidang usaha yang dilakukan tanpa persyaratan dalam rangka penanaman modal. Salah satu materi muatan dalam Perpres Nomor 44 Tahun 2016 adalah mengenai batasan kepemilikan modal asing dalam bidang usaha perkebunan terutama pada daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu yang di dipersyaratkan PMA maksimal 95% dan kewajiban perkebunan plasma sebesar 20%, meliputi: 1) Usaha industri perbenihan dengan luas 25 hektar atau lebih; 2) Usaha perkebunan dengan luas 25 hektar atau lebih sampai luasan tertentu tanpa unit pengolahan; 3) Usaha perkebunan dengan luas 25 hektar atau lebih yang terintegrasi dengan unit pengolahan dengan kapasitas sama atau melebihi kapasitas tertentu. Selain itu pada usaha dengan kapasitas sama atau melebihi kapasitas tertentu dipersyaratkan PMA maksimal 95% dan bahan baku minimal 20% berasal dari kebun sendiri. Berdasarkan hal tersebut, baik Undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal maupun Perpres nomor 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal tampaknya lebih terbuka terhadap cara-cara penanaman modal asing masuk, besaran persentase PMA pada usaha perkebunan yang maksimal (95%), subjek investor yang semakin beragam, bidang usaha yang diusahakan, dan peranan daerah dalam mengundang penanaman modal asing secara langsung. Dengan kemudahan-kemudahan tersebut terkesan adanya upaya untuk menarik investor agar menanamkan modalnya di Indonesia. Namun demikian tanpa disadari bahwa kondisi tersebut akan menjadikan bangsa Indonesia bagaikan penjajahan baru. Disadari atau tidak dengan fasilitas yang diberikan kepada penanam modal asing menjadikan bangsa Indonesia bagaikan pembantu di negaranya sendiri. Hal lain terkait Undang-Undang Perkebunan yang dibentuk dengan latar belakang atau dasar pemikiran dari 3 aspek yaitu, aspek filosofis, bahwa 130

149 bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dimanfaatkan dan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; aspek sosiologis, bahwa perkebunan berperan penting dan memiliki potensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan; dan aspek yuridis, bahwa penyelenggaraan perkebunan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat. Perusahaan perkebunan menurut UU ini adalah badan usaha yang berbadan hukum, didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola Usaha Perkebunan dengan skala tertentu. Berikut ini adalah 2 hal utama terkait pengaturan penanaman modal asing menurut UU nomor 39 tahun 2014: 1. Pelaku usaha perkebunan Penanaman modal asing bisa berbentuk badan hukum dan perseorangan warga asing. Penanaman modal asing yang melakukan usaha perkebunan harus bekerjasama dengan pelaku usaha perkebunan dalam negeri dengan membentuk badan hukum Indonesia. 2. Pembatasan penanaman modal asing Menurut pasal 95 ini, usaha perkebunan dapat diselenggarakan melalui penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. Prioritas pengembangan usaha perkebunan diutamakan melalui penanaman modal dalam negeri. Sedangkan besaran penanaman modal asing wajib dibatasi dengan memperhatikan kepentingan nasional dan Pekebun serta dilakukan berdasarkan jenis Tanaman Perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu. Pengaturan ini selanjutnya ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah. Makna pembatasan kontribusi PMA pada usaha perkebunan pada dasarnya mengandung arti bahwa usaha perkebunan diselenggarakan salah satunya atas asas efisiensi berkeadilan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Dari asas efisiensi berkeadilan ini penyelenggaraan Perkebunan harus dilaksanakan secara tepat guna untuk menciptakan manfaat sebesarbesarnya dari sumber daya dan memberikan peluang serta kesempatan 131

150 yang sama secara proporsional kepada semua warga negara Indonesia sesuai dengan kemampuannya. Dalam rangka pelayanan terpadu 1 pintu sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 97 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu 1 Pintu yang merupakan pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu, maka diperlukan penetapan pendelegasian wewenang pemberian izin usaha dibidang pertanian dalam rangka penanaman modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melalui penetapan Keputusan Menteri Pertanian nomor 1312/Kpts/KP.340/12/2014. Pada Kepmentan tersebut, izin usaha di bidang pertanian dalam rangka penanaman modal meliputi izin usaha perkebunan, tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan obat hewan untuk produsen. Sebelum pemberian izin tersebut, terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi teknis dari Direktorat Jenderal Pembina Komoditas lingkup Kementerian Pertanian. Sedangkan untuk kelancaran penerbitan rekomendasi teknis, Direktorat Jenderal pembina komoditas menugaskan pejabat untuk bertugas pada loket Pelayanan terpadu 1 Pintu di BKPM. Selanjutnya ditetapkan peraturan penjelasan yaitu Peraturan Menteri Pertanian nomor 26/Permentan/HK.140/4/2015 tentang Syarat, Tatacara, Standar Operasional Prosedur Pemberian Rekomendasi Teknis Izin Usaha di Bidang Pertanian dalam rangka Penanaman Modal dengan izin usaha perkebunan meliputi usaha budidaya tanaman perkebunan (IUP-B), usaha industri pengolahan hasil perkebunan (IUP- P), usaha perkebunan yang terintegrasi antara budidaya dengan industri pengolahan hasil perkebunan (IUP) dan usaha produksi perbenihan tanaman perkebunan. 8. Konflik dan gangguan usaha perkebunan (implikasi keamanan, kenyamanan berusaha serta penciptaan minat dan iklim investasi) Pada umumnya yang dimaksud Gangguan Usaha Perkebunan (GUP) adalah suatu keadaan terjadinya gangguan yang dapat mempengaruhi penurunan kinerja usaha di bidang perkebunan. Konflik usaha perkebunan yang sering dan cukup banyak terjadi utamanya yang menyangkut kasus lahan sebanyak 80%, sedangkan non lahan 20% misalnya disebabkan oleh Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Berdasarkan Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, beberapa faktor penyebab terjadinya GUP antara lain: 132

151 1) Perusahaan Perkebunan tidak mengusahakan Lahan Perkebunan setelah pemberian status hak atas tanah (Pasal 16 UU 39/2014). 2) Pejabat yang berwenang menerbitkan izin Usaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat sebelum dicapai persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha Perkebunan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya (Pasal 17 UU 39/2014). 3) Kegiatan Usaha Perkebunan dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan sebelum mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin Usaha Perkebunan (Pasal 42 UU 39/2014). 4) Setiap Orang secara tidak sah (Pasal 55 UU 39/2014) : Mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan; Mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan; Melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau; Memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan. Gangguan kasus lahan atau non OPT lainnya yang berkaitan secara langsung dengan aspek sosial dan lingkungan diantaranya: a. Tumpang tindih lahan; b. Okupasi lahan/penyerobotan lahan; c. Tuntutan pengembalian lahan; d. Pembebasan lahan/tuntutan ganti rugi; e. Jual beli lahan/kebun; f. Pola kemitraan (pola yang diterapkan) dan kesepakatan kemitraan; g. Tuntutan masyarakat untuk dipekerjakan sebagai karyawan, maupun sebagai kontraktor dengan alasan sebagai Putra Daerah; h. Pendudukan tanah perkebunan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup; i. Lahan belum dibebaskan sudah di Land Clearing (LC); j. Kebun kas desa; 133

152 k. Pencurian/penjarahan (produksi); l. Penolakan salah satu lembaga atau pendirian perusahaan tertentu; m. Isu-isu negatif lain terkait lingkungan hidup tentang komoditas yang akan ditanam (contoh: kelapa sawit); n. Pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup; o. Sengketa tanah/lahan HGU lainnya. Berdasarkan data dari Direktorat Perlindungan Perkebunan, pada tahun 2015 penanganan Gangguan Usaha Perkebunan tercatat/terlaporkan dari 31 provinsi sebesar 690 kasus GUP (494 kasus lahan, 37 kasus kehutanan, 159 kasus non lahan). Berikut ini pada Tabel 8 disampaikan data identifikasi kasus Gangguan Usaha Perkebunan tahun per jenis GUP. Tabel 8. Data Kasus Gangguan Usaha Perkebunan (GUP) tahun per Jenis GUP NO. TAHUN JENIS GANGGUAN USAHA PERKEBUNAN (KASUS) GUP LAHAN GUP NON LAHAN GUP KEHUTANAN JUMLAH TOTAL Sumber: Direktorat Perlindungan Perkebunan, Keterangan: - Jenis GUP Lahan: tanah adat/ulayat, RTRW, penyerobotan lahan, klaim kepemilikan lahan, ganti rugi lahan, ganti rugi tanam tumbuh, lahan terlantar. - Jenis GUP Non Lahan: Tidak memiliki IUP, tuntutan kebun 20%, penetapan harga panen, ingkar janji kemitraan, pencurian produksi. - Jenis GUP Kehutanan: Lahan Perkebunan berubah status yang semula nonkawasan hutan (APL) menjadi Kawasan Hutan, usaha perkebunan dilakukan sebelum ada Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri Kehutanan. 134

153 Pada Tabel 9 disajikan data rekapitulasi kasus GUP tahun 2015 per provinsi Tabel 9. Data Kasus Gangguan Usaha Perkebunan (GUP) tahun 2015 per Provinsi NO. PROVINSI JENIS GANGGUAN USAHA PERKEBUNAN (KASUS) GUP LAHAN GUP NON LAHAN GUP KEHUTANAN JUMLAH 1. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Kep. Riau Kep. Bangka Belitung Riau Bengkulu Jambi Lampung Banten Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Gorontalo Papua Papua Barat

154 NO. PROVINSI JENIS GANGGUAN USAHA PERKEBUNAN (KASUS) GUP LAHAN GUP NON LAHAN GUP KEHUTANAN JUMLAH 27. Maluku Maluku Utara NTB NTT Bali TOTAL Sumber: Direktorat Perlindungan Perkebunan, Dari 31 provinsi yang menjadi lokasi kasus GUP tahun 2015, provinsi Sumatera Utara menjadi provinsi terbanyak dalam angka kasus GUP yaitu 86 kasus. Selain itu kasus GUP terbanyak ada di provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan. Beberapa kasus tersebut diidentifikasi karena adanya okupasi lahan oleh masyarakat, masyarakat menuntut pengembalian lahan, HGU telah berakhir dan perusahaan belum mendapat rekomendasi perpanjangan HGU dari Pemerintan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun kendala dan hambatan dalam penanganan kasus GUP adalah: a) Penanganan GUP melibatkan banyak pihak/ instansi terkait (lintas sektoral). b) Adanya provokator, LSM, dan pihak ketiga (oknum) yang memanfaatkan situasi konflik. c) Lemahnya penegakan hukum. d) Terjadi perbedaan pemahaman peraturan perundang-undangan. e) Terjadinya pergantian pimpinan/pejabat di daerah yang menangani usaha perkebunan. f) Kurangnya pemahaman petugas di Provinsi, Kabupaten/Kota dalam penanganan GUP. g) Dinas Perkebunan Provinsi, Kabupaten/Kota hanya berfungsi sebagai mediator/fasilitator, sedangkan pemberi izin usaha perkebunan Gubernur/Bupati/Walikota. Dampak dari gangguan usaha perkebunan jika tidak dikelola dan diselesaikan dengan mencari solusi terbaik maka konflik akan meluas 136

155 menjadi anarkis dan mengganggu aktivitas dan kinerja perusahaan dan pembangunan perkebunan. Konflik ini juga akan menurunkan minat dan iklim investasi dan yang lebih berbahaya adalah menimbulkan disintegrasi sosial. Peran pemerintah daerah (instansi terkait) selaku pengambil kebijakan/pemberi izin dan pembina perusahaan harus lebih dioptimalkan untuk menjembatani masalah dan memberikan solusi yang saling menguntungkan kepada petani/masyarakat dan perusahaan. Selain itu peran pemerintah pusat dalam hal ini Ditjen. Perkebunan dalam mengidentifikasi, menginventarisasi dan memfasilitasi penanganan gangguan usaha dan konfik usaha perkebunan sangat penting terutama dengan mendahulukan penyelesaian dengan cara kekeluargaan, diplomasi dan musyawarah untuk mufakat. Penyelesaian konfik dan gangguan usaha perkebunan yang sudah terjadi dapat dilakukan melalui koordinasi dengan aparat penegak hukum di wilayah setempat seperti Kepolisian RI dan TNI Angkatan Darat. Undang-Undang nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang ditindaklanjuti melalui Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2015 tentang Penanganan Konflik Sosial menyatakan bahwa dalam mencegah konflik beberapa strategi yang dapat di laksanakan antara lain: Memelihara kondisi damai dalam masyarakat dimana setiap orang berkewajiban mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati. Mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai dengan mengutamakan musyawarah untuk Mufakat yang mengikat para pihak. Selain itu, Pemerintah Daerah melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang memperhatikan aspirasi masyarakat. Meredam potensi konflik dengan mengintensifkan dialog antar kelompok masyarakat melalui Forum Komunikasi antar komunitas/ kelompok masyarakat. Membangun sistem peringatan dini terjadinya konflik/ kasus di masyarakat dimana peran Pemerintah Daerah melakukan penelitian dan pemetaan wilayah potensi konflik, penguatan dan pemanfaatan fungsi intelijen. Yang terpenting adalah dalam penanganan konflik/ kasus GUP dapat melibatkan tokoh agama, tokoh adat, dan/atau unsur masyarakat lainnya. 137

156 138

157 BAB II ARAH KEBIJAKAN, SASARAN DAN STRATEGI DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN Kerangka Berfikir Penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan tahun Sebagai dasar dalam mengembangkan perkebunan ke depan, Direktorat Jenderal Perkebunan merumuskan kerangka berfikir yang berbasis perencanaan. Kerangka berfikir ini memuat analisis perencanaan dalam memproyeksi target mikro pembangunan perkebunan kedepan yang meliputi proyeksi luas tanaman menghasilkan (TM), produksi dan produktivitas terhadap pemenuhan program ekstensifikasi, intensifikasi dan peremajaan tanaman. Selain itu memproyeksi kebutuhan investasi dan penyerapan tenaga kerja atas dasar pertumbuhan PDB. Berikut ini adalah kerangka berfikir penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan tahun yang disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Kerangka Berfikir Penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan tahun

158 Pada gambar 2 dapat dijelaskan bahwa perhitungan target atau sasaran produksi perkebunan tahun dihitung dengan menggunakan pendekatan bahwa pertumbuhan PDB dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB tahun sebelumnya, pertumbuhan produksi dan nilai net ekspor komoditas perkebunan. Hasil perhitungan pertumbuhan produksi tersebut diturunkan dari besaran pertumbuhan produksi komoditas perkebunan dan besaran pertumbuhan nilai net ekspor komoditas perkebunan. Mengingat produksi komoditas perkebunan merupakan perkalian antara luas panen atau luas tanaman menghasilkan dengan produktivitasnya, maka dilakukan proyeksi luas panen atau luas tanaman menghasilkan untuk memperoleh nilai produktivitas. Proyeksi luas tanaman menghasilkan dihitung dengan menggunakan metode analisis regresi deret waktu. Selanjutnya hasil analisis proyeksi tersebut digunakan untuk menghitung proyeksi produktivitas, dengan pendekatan hasil produksi dibagi dengan luas panen atau luas tanaman menghasilkan. Sinergitas TM, TBM dan TTR dapat dijelaskan untuk tanaman tahunan dan rempah penyegar. Sedangkan pada tanaman semusim, luas panen hasil proyeksi digunakan untuk menduga luas tanam berdasarkan rasio antara luas tanam dan luas panen selama periode 1970 hingga 2012 sehingga langsung dapat diperoleh luas panen dan luas tanam hasil proyeksi. Pada tanaman tahunan dan tanaman rempah penyegar, luas total tanaman perkebunan terdiri dari luas tanaman belum menghasilkan (TBM), luas tanaman menghasilkan (TM) menghasilkan dan luas tanaman tua atau rusak (TTR). Proyeksi luas TBM dihitung dengan metode analisis regresi deret waktu, sementara luas TTR dihitung dengan menggunakan pendekatan pertambahan luas TM dikurangi dengan pertambahan luas TBM pada saat umur tanam seharusnya menghasilkan pada masing-masing komoditas. Kelebihan luas TBM pada masing-masing tahun setelah dikurangi TBM pada saat seharusnya tanaman menghasilkan dianggap merupakan tambahan luas tanaman baru. Mengingat tanaman perkebunan terdiri dari Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS), maka perhitungan proyeksi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan rincian luas TBM, TM dan TTR pada ketiga pelaku usaha tersebut. Penggunaan dana pemerintah/apbn digunakan untuk pembangunan perkebunan rakyat, maka dalam program intensifikasi akan dapat diperkirakan luas areal intensifikasi perkebunan rakyat pada 140

159 TBM dan TM. Mengingat sumber pendanaan berasal dari petani/rakyat, pemerintah maupun swasta, maka program yang menggunakan dana dari pemerintah disesuaikan dengan kemampuan anggaran. Selebihnya diharapkan bersumber dari petani/rakyat sendiri dan dari swasta melalui program kemitraan usaha. Luas TTR merupakan penjumlahan dari luas tanaman yang telah memasuki usia habis masa produksinya/tanaman tua (TT) dan tanaman yang rusak karena terkena serangan OPT, tidak terawat atau terkena banjir dan kekeringan (TR). Luas TR merupakan luas TTR dikurangi dengan TT. Dengan pendekatan ini maka dapat diketahui berapa luas tanaman yang harus direhabilitasi sesuai dengan usia habis masa produktif masing-masing jenis tanaman dan berapa luas tanaman yang harus diremajakan serta berapa besaran kebutuhan luas tambahan tanaman baru untuk perluasan areal. Untuk memproyeksi kebutuhan investasi pembangunan perkebunan selama tahun menggunakan pendekatan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) sedangkan untuk memperkirakan penyerapan tenaga kerja menggunakan pendekatan ILOR (Incremental Labour Output Ratio). Proyeksi nilai ICOR dihitung berdasarkan rata-rata ICOR periode Porsi anggaran pemerintah, investasi oleh petani dan swasta (PMDN dan PMA, serta non fasilitas) merupakan rata-rata anggaran periode tersebut, dimana proyeksi nilai investasi petani dihitung dengan pendekatan nilai total investasi dikurangi dengan anggaran pemerintah dan swasta. Nilai kebutuhan investasi untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan PDB perkebunan merupakan nilai ICOR dikalikan dengan target pertumbuhan PDB Nilai ILOR juga diproyeksi dengan menggunakan rentang waktu data yang sama dan proyeksi penyerapan tenaga kerja dihitung dengan pendekatan nilai ILOR dikalikan dengan target pertumbuhan PDB Hasil proyeksi PDB dibagi dengan nilai proyeksi penyerapan tenaga kerja merupakan nilai perkiraan pendapatan per kapita perkebunan Arah Kebijakan Direktorat Jenderal Perkebunan Dalam rangka mendukung arah kebijakan Pembangunan Nasional tahun dan kebijakan Kementerian Pertanian tahun , maka Direktorat Jenderal Perkebunan menetapkan arah kebijakan Direktorat Jenderal Perkebunan tahun sebagai 141

160 dasar pelaksanaan strategi, program dan kegiatan Direktorat Jenderal Perkebunan tahun Arah kebijakan pembangunan perkebunan 5 tahun mendatang ditetapkan menjadi Arah Kebijakan Umum dan Arah Kebijakan Khusus. Arah kebijakan umum ditetapkan dalam rangka mendukung program Direktorat Jenderal Perkebunan tahun yaitu peningkatan produksi komoditas perkebunan berkelanjutan, sedangkan arah kebijakan khusus adalah arah kebijakan pembangunan perkebunan tahun yang ditetapkan dalam rangka mendukung pencapaian 7 sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun baik sasaran strategis utama maupun sasaran strategis pendukung. Implementasi dukungan Ditjen. Perkebunan tahun dalam pencapaian 7 sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun diantaranya meliputi: 1. Sasaran Strategis Utama Ditjen. Perkebunan tahun : a. Pemenuhan penyediaan bahan baku tebu dalam rangka peningkatan produksi gula nasional; b. Peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan yang difokuskan pada pengembangan produk segar dan olahan dari 16 komoditas unggulan perkebunan; c. Pemenuhan penyediaan bahan baku bio-energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bio-industry dengan fokus pengembangan komoditas kelapa sawit baik melalui kegiatan budidaya dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas maupun melalui kegiatan integrasi tanaman perkebunan dengan ternak dan tumpang sari dengan komoditas pertanian lainnya serta penyediaan benih kemiri sunan. 2. Sasaran Strategis Pendukung Ditjen. Perkebunan tahun : a. Peningkatan kualitas sumber daya insani perkebunan; b. Penguatan kelembagaan pekebun dan kemitraan usaha perkebunan; c. Akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik dengan menerapkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, supremasi hukum, keadilan, integritas/ komitmen, 142

161 kejujuran, konsistensi dan bebas KKN di lingkungan organisasi Ditjen. Perkebunan; dan d. Peningkatan pendapatan keluarga pekebun yang merupakan resultan dari pencapaian sasaran strategis lainnya. A. Arah Kebijakan Umum Berikut ini ditetapkan arah kebijakan umum pembangunan perkebunan tahun ) Pengembangan komoditas perkebunan strategis Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk memfokuskan pengembangan komoditas unggulan nasional perkebunan yang memiliki manfaat dan fungsi strategis dalam perekonomian nasional dan berkontribusi terhadap sumber penerimaan negara seperti komoditas tebu, kelapa sawit, karet, kelapa, kakao, kopi, teh, pala, lada dan cengkeh. Selain itu juga dikembangkan komoditas lain sesuai potensi lokal seperti nilam, kemiri sunan, kapas, jambu mete, tembakau dan sagu. Pengembangan komoditas unggulan perkebunan tersebut dipilih pada lahan-lahan eksisting dan bukaan baru yang sesuai dengan potensi, kebutuhan dan kesiapan daerah. Fokus pengembangan komoditas unggulan perkebunan yang memiliki manfaat dan fungsi strategis dipersyaratkan layak secara ekonomi, layak bio-fisik/agro-ecosystem, layak sosial, layak pasar dan layak pengembangan atau memiliki potensi keberlanjutan. Pengembangan komoditas tersebut diarahkan pada upaya-upaya untuk meningkatan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan melalui kegiatan rehabilitasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi yang didukung oleh penyediaan benih bermutu, pemberdayaan petani dan penguatan kelembagaan, pembangunan dan pemeliharaan kebun sumber benih, penanganan pascapanen, pembinaan usaha dan perlindungan perkebunan serta pemberian pelayanan berkualitas. Selain itu, arah kebijakan ini juga dimaksudkan untuk mendorong usaha agribisnis perkebunan dibudidayakan melalui sistem budidaya perkebunan yang baik dan berkelanjutan agar dihasilkan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan yang optimal. Terdapat 5 arah kebijakan yang dibangun melalui sistem budidaya yang baik ini diantaranya 1) akselerasi peningkatan produktivitas tanaman, 2) penerapan budidaya yang baik (GAP, GMP, SPS, dan lain-lain), 3) penerapan budidaya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, 4) 143

162 mewujudkan 7 Gema Revitalisasi (revitalisasi lahan, revitalisasi perbenihan dan perbibitan, revitalisasi infrastruktur pertanian, revitalisasi SDM petani, revitalisasi permodalan petani, revitalisasi kelembagaan petani dan revitalisasi teknologi dan industri hilir); serta 5) mendorong sistem pertanian polikultur, terpadu dan terintegrasi. Kebijakan Pengembangan Komoditas Unggulan Perkebunan Berdasarkan Fungsi Berikut ini adalah 8 kelompok fokus pengembangan komoditas unggulan perkebunan yang strategis menurut fungsinya. a. Bahan makanan pokok nasional adalah gula/tebu. b. Bahan makanan pokok lokal adalah sagu. c. Produk pertanian penting pengendali inflasi adalah CPO/minyak goreng. d. Bahan baku industri konvensional yaitu kelapa sawit, karet, kakao, kopi, lada, pala, teh, jambu mete, kapas, tembakau. e. Bahan baku industri lainnya yaitu minyak atsiri (nilam, pala, cengkeh). f. Produk industri pertanian prospektif yaitu pala, lada, cengkeh, sagu. g. Produk energi pertanian prospektif yaitu kemiri sunan, tebu, kelapa, kelapa sawit, sagu. h. Produk pertanian berorientasi ekspor dan substitusi impor yaitu kelapa sawit, karet, kakao, kopi, lada, pala, teh, jambu mete, kapas, tembakau. Kebijakan Penerapan Budidaya yang Baik (GAP) Berkaitan dengan kebijakan sistem budidaya yang baik, telah ditetapkan beberapa Peraturan Menteri Pertanian tentang pedoman teknis penerapan budidaya yang baik untuk komoditas unggulan perkebunan antara lain: - Peraturan Menteri Pertanian nomor 131/Permentan/OT.140/12/2013 tentang Pedoman Budidaya Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) yang Baik. - Peraturan Menteri Pertanian nomor 48/Permentan/OT.140/4/2014 tentang Pedoman Teknis Budidaya Kakao yang Baik (GAP on Cocoa). 144

163 - Peraturan Menteri Pertanian nomor 49/Permentan/OT.140/4/2014 tentang Pedoman Teknis Budidaya Kopi yang Baik (GAP on Coffee). - Peraturan Menteri Pertanian nomor 138/Permentan/OT.140/12/2014 tentang Pedoman Teknis Budidaya Nilam yang Baik (GAP on Patchouli). - Peraturan Menteri Pertanian nomor 53/Permentan/KB.110/10/2015 tentang Pedoman Budidaya Tebu Giling yang Baik (GAP on Sugar Cane). - Peraturan Menteri Pertanian nomor 50/Permentan/OT.140/4/2014 tentang Pedoman Teknis Budidaya Teh yang Baik (GAP on Tea). - Dan lain-lain. Yang menjadi kebijakan Ditjen. Perkebunan kedepan adalah menyusun pedoman teknis penerapan budidaya yang baik untuk semua komoditas unggulan perkebunan. Kebijakan Perkaretan Internasional (ITRC) Khusus untuk komoditas karet, kebijakan pengembangan areal produktif karet kedepan harus memperhatikan kesepakatan perjanjian internasional dalam ITRC (International Tripartie Rubber Council) antar produsen karet dunia yang beranggotakan Indonesia, Thailand dan Malaysia yang dibentuk setelah penandatanganan Bali Declaration pada tanggal 12 Desember 2001 di Bali. Kerjasama ITRC dilaksanakan dalam pendirian IRCo (International Rubber Consortium Limited). Kesepakatan yang tertuang adalah melakukan upaya-upaya pengendalian harga yang selalu berfluktuasi dengan mengatur pasokan karet alam sehingga komoditas karet mampu memberikan intensif yang wajar kepada petani. Kesepakatan negara ITRC tersebut dilakukan melalui 3 mekanisme yaitu: 1. Supply Management Scheme (SMS) yaitu pengendalian produksi karet di hulu/ditingkat pekebun untuk jangka panjang melalui peremajaan, diversifikasi kebun, peningkatan konsumsi di dalam negeri, menjarangkan frekuensi penyadapan pohon karet dan tidak ada pembukaan/penanaman kebun baru. 2. Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) yaitu pengetatan/pengurangan pasokan karet alam (RSS/ crumb rubber termasuk lateks) di pasar dunia pada saat terjadi kelebihan dibanding permintaan, dalam hal ini dilakukan pengendalian ekspor. 145

164 3. Strategic Market Operation (SMO) yaitu tindakan di pasar untuk menyerap kelebihan pasokan karet alam. Kedepan diharapkan pengembangan karet selain melalui mekanisme SMS, AETS dan SMO untuk stabilisasi harga maka dilakukan fokus kegiatan pada 1) peningkatan kapasitas melalui pelatihan; 2) memperluas penelitian dan pengembangan dibidang produksi, pemrosesan dan pemasaran; 3) penyusunan standar mutu; 4) penciptaan suatu mekanisme agar harga komoditi dapat stabil pada tingkat yang menguntungkan produsen melalui operation buffer stock dan export control; 5) mempromosikan produk-produk negara anggota melalui pameran-pameran; dan 6) membuka akses pasar (diversifikasi pasar ekspor komoditi). Mengingat pentingnya menjaga kestabilan harga karet dalam rangka memajukan usaha perkebunan karet, dan menimbang fungsi dari organisasi komoditi internasional (ITRC) sebagai stabilitator harga karet. Maka Indonesia menganggap pentingnya meningkatkan peranan dan posisi Indonesia di organisasi ITRC dan IRCo. Dengan kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia dan negara produsen karet dalam perdagangan komoditi global serta mampu meningkatkan kesejahteraan petani/ pekebun karet. Kebijakan Sinergitas BPDP Kelapa Sawit dan Peremajaan Kelapa Sawit Rakyat Untuk membangun usaha perkebunan kelapa sawit yang lebih efisien dan berkelanjutan, salah satu upaya dilakukan melalui peremajaan terhadap tanaman yang kurang produktif, tua dan atau rusak. Selama ini pendanaan kelapa sawit hanya terbatas difasilitasi pergantian benih sawit unggul dan bersertifikasi tanpa menyentuh aspek peremajaannya. Selain itu ketersediaan anggaran lebih diprioritaskan pada komoditas lain karena komoditas kelapa sawit dirasa sudah sangat berkembang tanpa intervensi APBN. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut data BPS terdapat sekitar 40% lahan perkebunan kelapa sawit merupakan perkebunan rakyat dan hal ini menjadi tanggungjawab pemerintah untuk mendukung pengembangan kelapa sawit rakyat melalui pendanaan APBN ataupun selain APBN. Dengan terbentuknya BPDP kelapa sawit sebagaimana PMK nomor 113/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, pendanaan kelapa sawit akan 146

165 terkonsentrasi dan terfokus untuk kegiatan pengembangan kelapa sawit dari hulu sampai hilir. Tupoksi BPDP kelapa sawit secara khusus memfasilitasi pendanaan kelompok tani kelapa sawit rakyat untuk kegiatan peremajaan/ replanting, pengembangan biodiesel, penelitian dan pengembangan, sarana dan prasarana, pengembangan SDM dan kegiatan promosi. Tetapi, setelah dibentuknya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit maka tupoksi Ditjen. Perkebunan dalam pengembangan areal produktif kelapa sawit akan sangat terbatas dan lebih banyak diprioritaskan dalam penyusunan norma, standar, prosedur, kriteria, regulasi dan kebijakan perkelapa sawitan di Indonesia. Kedepan terkait tupoksi perlu dipertegas secara tertulis bagaimana kewenangan Ditjen. Pekebunan karena masih ada beberapa persepsi terkait kegiatan pengembangan kelapa sawit. Sebagai acuan dalam pembinaan, pemberian pelayanan, dan pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit secara efisien dan berkelanjutan melalui peremajaan kelapa sawit, Kementerian Pertanian menetapkan Permentan nomor: 18/ Permentan/KB.330/5/2016 tentang Pedoman Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit. Tujuan penetapan Permentan ini adalah: a. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit untuk mencapai peningkatan produksi, produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan Pekebun Kelapa Sawit; b. Meningkatkan pemahaman para pihak terkait dalam menjalankan tugasnya mengawal keberhasilan pelaksanaan kegiatan Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit; c. Meningkatkan kemampuan pekebun dalam aspek usaha maupun kemitraan usahanya. Adapun kegiatan peremajaan kelapa sawit meliputi teknik peremajaan kelapa sawit, pengembangan kelembagaan pekebun dan unsur pendukung. Pada teknis peremajaan kelapa sawit (sistem tumpang serempak, sistem underplanting, sistem peremajaan bertahap dan sistem tumpang sari) meliputi pembukaan/pembersihan lahan, pengadaan benih, penanaman, pemupukan, pemeliharaan tanaman kelapa sawit terintegrasi dengan tanaman Tumpang sari pada periode TBM. Sedangkan pengembangan kelembagaan pekebun meliputi pelatihan tenaga pendamping dan pekebun; penguatan organisasi; 147

166 manajeman dan tata kelola kelompok tani/gapoktan/ koperasi; peningkatan kerjasama, dan kemitraan usaha. Untuk unsur pendukung meliputi Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budi daya (STD- B), Surat pernyataan pengelolaan lingkungan dan Sertifikasi lahan dan sertifikasi ISPO bagi yang memenuhi syarat sesuai aturan perundangundangan. Adapun ketentuan program peremajaan kelapa sawit seperti yang dikemukakan oleh Direktur Kemitraan, BPDP Kelapa Sawit adalah Petani Maksimum 4 hektar/ KK; Lahan telah/ berpotensi sertifikat ISPO; Per proposal hektar; Petani tergabung dalam Koperasi/ Kelompok Tani; Dana berbentuk hibah (grant); Dana Bantuan Program Rp. 25 juta/ hektar; Dianjurkan memiliki kerjasama dengan PKS (offtake) dan Memiliki kerjasama dengan Bank. Berkaitan dengan program peremajaan kelapa sawit rakyat tersebut, BPDP kelapa sawit mengajukan 3 skema pendanaan antara lain: a. Skema pendanaan yang 100% kebutuhan peremajaan didanai BPDP kelapa sawit dan pinjaman Bank yang di salurkan melalui Bank Kreditur; b. Skema pendanaan yang 100% kebutuhan peremajaan didanai BPDP kelapa sawit dan tabungan petani yang disalurkan melalui Bank Pengelola Dana; c. Skema pendanaan yang 100% kebutuhan peremajaan didanai BPDP kelapa sawit, tabungan petani dan pinjaman bank yang disalurkan melalui Bank Kreditur. Perkembangan penyaluran dana bantuan peremajaan kelapa sawit per Agustus 2016 yang didapat dari 36 usulan proposal adalah hanya 1 koperasi yang pada posisi sudah cair dengan lahan 254 hektar dan anggaran 6,35 milyar rupiah. Sedangkan 9 proposal telah disetujui Komite Pemberdayaan dan Peremajaan Petani dengan luas lahan 4.523,54 hektar dan anggaran sekitar 128,57 milyar rupiah. Untuk 26 proposal masih proses kelengkapan dokumen dengan luas lahan sebesar hektar dan anggaran sebesar 346,65 milyar rupiah. Beberapa kendala yang ditemui dalam pelaksanaan program peremajaan kelapa sawit adalah: a. Kondisi petani Indonesia yang masih belum siap untuk memenuhi standar kebijakan Perbankan antara lain lahan yang belum sertifikat, 148

167 sertifikat yang masih dijaminkan di perbankan dan tidak memiliki dana yang cukup. b. Belum efektifnya motor penggerak untuk melakukan koordinasi terhadap petani di lapangan. c. Perlunya peran kementerian teknis untuk menetapkan satuan biaya investasi pembangunan kebun kelapa sawit rakyat dan pemantauan program peremajaan. Dalam mendukung program peremajaan kelapa sawit rakyat, peran SKPD provinsi dan kabupaten/kota diharapkan dapat mengidentifikasi dan menetapankan CPCL Peremajaan Kelapa Sawit; penguatan kelembagaan Petani/ Kelompok Tani; mengevaluasi penyaluran dana kelapa sawit; sosialisasi mekanisme pendanaan kelapa sawit; seleksi petani yang layak mendapatkan dana kelapa sawit dan pengawasan penggunaan dana sawit. Mekanisme penyaluran dana kelapa sawit rakyat adalah petani/ kelompok tani mengusulkan proposal dalam bentuk RP3KS. Sebelum didanai oleh BPDP kelapa sawit, RP3KS tersebut diteliti dan dinilai kelayakannya oleh Komite Pemberdayaan dan Peremajaan Petani. Setelah dinyatakan lolos penilaian barulah dana tersebut disalurkan melalui Bank yang ditunjuk oleh BPDP kelapa sawit. Pendanaan kelapa sawit diharapkan dapat dimanfatkan juga untuk kegiatan proses pengajuan dan sertifikasi ISPO, pergantian benih kelapa sawit unggul dan bersertifikat (sedang dikaji), membangun PPKS mini, infrastrutur dasar per-kelapa sawit-an, menseleksi CPCL, penyusunan regulasi, dan lain-lain. Hal ini masih dalam tahap pengkajian dari BPDP kelapa sawit. Arah pengembangan kelapa sawit kedepan adalah pengembangan perkebunan kelapa sawit melalui penerapan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan menurut prinsip-prinsip lingkungan dalam rangka peningkatan produksi, produktivitas, mutu dan daya saing pasar serta kebijakan pengembangan SDM/ pemberdayaan petani, dukungan regulasi dan infrastruktur. Kebijakan umum pengembangan kelapa sawit antara lain: a. Melanjutkan dan meningkatkan pengembangan Kelapa Sawit dalam Bingkai Pembangunan Berkelanjutan (penerapan ISPO, RSPO, EU Directive dan lain-lain). 149

168 b. Meletakan Usaha Perkebunan Rakyat Sebagai Prioritas antara lain melalui peningkatan Akses Petani (revitalisasi perkebunan), meningkatkan kepatuhan kewajiban bermitra 20%, meningkatkan produktivitas, meningkatkan kesempatan memperoleh Sertifikat ISPO dan RSPO, meningkatkan infrastruktur, membuat Alternatif Model Peremajaan Perkebunan Rakyat. c. Meningkatkan Nilai Tambah dan Efisiensi Agribisnis Kelapa Sawit melalui pengembangan industri hilir, pemanfaatan potensi dan peluang, pengembangan infrastruktur (Jalan, Pelabuhan, Transportasi, Komunikasi) dan mendukung Program Pengembangan Energi Alternatif. d. Sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit Nasional Pemerintah mempunyai visi pembangunan perkebunan kelapa sawit 35: 26 pada tahun 2025 yang artinya produktivitas ditingkatkan menjadi 35 Ton TBS/Ha/Tahun dan rendemen CPO 26%. Upaya yang dilakukan adalah: - Program revitalisasi perkebunan; - Mendorong untuk dilakukan peremajaan kebun-kebun yang sudah berumur 25 tahun dan tidak produktif, khususnya untuk perkebunan rakyat, dengan menggunakan benih unggul bermutu, yang potensi produksinya lebih tinggi dan umur panen yang lebih pendek dari tanaman yang diremajakan; - Merintis fasilitasi penggantian benih tidak bersertifikat dengan benih unggul bermutu bersertifikat; Kebijakan Moratorium Alih Fungsi Hutan Alam dikonversi menjadi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Selain itu, Pengembangan komoditas kelapa sawit kedepan masih diwarnai oleh berbagai macam isu-strategis yang dapat menghambat peningkatan produksi dan produktivitas kelapa sawit, salah satunya isuisu peningkatan upaya pelestarian lingkungan. Hal yang masih mendominasi isu lingkungan adalah peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit karena pembukaan lahan kehutanan dengan cara pembakaran dan lahan-lahan lain dengan peruntukkan bukan untuk budidaya kelapa sawit. Pada tahun 2016, pemerintah menyusun Kebijakan Moratorium Alih Fungsi Hutan Alam dikonversi menjadi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit. Kebijakan ini akan ditetapkan dalam Instruksi 150

169 Presiden (Inpres). Kebijakan ini merupakan momen perbaikan pengelolaan lahan dan hutan. Ekspansi perkebunan sawit saat ini dinilai terlalu agresif dan tanpa kendali sehingga memicu masalah, seperti perambahan serta kebakaran hutan dan lahan. Langkah kebijakan moratorium tersebut diambil untuk menjaga keberlangsungan hutan dan ekonomi Indonesia di masa depan. Pokok penting moratorium tersebut adalah: - Pemerintah melarang pemberian izin baru pelepasan hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan sawit. Langkah ini berdampak positif bagi petani yang menguasai 40% luasan kebun sawit di Indonesia karena korporasi perkebunan tak bisa ekspansi sehingga meningkatkan pendampingan petani. - Pemerintah akan membatalkan izin lahan kelapa sawit yang belum dimanfaatkan. Upaya ini dilakukan karena terdapat indikasi bahwa pengusaha perkebunan memanfaatkan izin untuk menimbun lahan (land banking). - Pemerintah melakukan pembatasan siklus hak guna usaha (HGU) bagi perkebunan sawit. Dengan pembatasan ini, kedepan lahan perkebunan kelapa sawit yang sudah habis izin HGU-nya tidak boleh ditanami kembali (replanting). Sebelum bisa memperpanjang izin penggunaan lahan itu, pemerintah akan mengevaluasi pemanfaatan lahan sawit tersebut selama digunakan. Bila dari hasil evaluasi menyatakan HGU perkebunan sawit tersebut tidak layak untuk dilanjutkan, pemerintah akan menghentikan izinnya. Sebaliknya, kalau layak dilanjutkan, pemerintah akan memperpanjang izin HGU lahan sawit tersebut. - Jangka waktu kebijakan moratorium ini masih dalam pembahasan dengan Kementerian/ Lembaga terkait dengan opsi jangka waktu 2 tahun dan dapat diperpanjang menjadi 4-5 tahun kedepan. Kriteria lahan perkebunan yang menjadi sasaran moratorium antara lain pertama, pelepasan dan tukar menukar kawasan hutan untuk tujuan perkebunan kelapa sawit yang belum dikerjakan atau dibangun. Kedua, terindikasi tidak sesuai dengan tujuan pelepasan dan tukar menukar. Untuk mendukung kebijakan ini, Pemerintah juga ingin meningkatkan produktivitas perkebunan sawit serta mendorong pengembangan industri hilir, serta menyempurnakan standar Indonesian Suistainable Palm Oil (ISPO). Dalam Inpres tersebut, setiap Kementerian/Lembaga wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, 151

170 dan kewenangan masing-masing untuk mendukung moratorium dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit. Kebijakan Penanganan Standarisasi Mutu dan Pembinaan Usaha Perkebunan Kebijakan fasilitasi penanganan standarisasi mutu dan pembinaan usaha perkebunan dimaksudkan untuk memfasilitasi kegiatan penanganan peningkatan mutu hasil perkebunan dan pembinaan serta pengawasan perkebunan yang diperlukan untuk mewujudkan penyelenggaraan usaha perkebunan yang optimal, berdaya saing dan berkelanjutan sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Fokus kebijakan yang dijalankan Ditjen. Perkebunan dalam penanganan standarisasi mutu dan pembinaan usaha perkebunan adalah: a. Penanganan standarisasi, mutu dan pembinaan usaha perkebunan; b. Peningkatan keterampilan petani dan petugas dalam penanganan mutu. c. Penyusunan pedoman dalam penanganan mutu. d. Pertemuan teknis penanganan mutu. e. Pengembangan standar dan regulasi bidang perkebunan. f. Pembinaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan penilaian usaha perkebunan. g. Penyiapan regulasi sebagai acuan dalam pelaksanaan perizinan dan pengelolaan usaha perkebunan berkelanjutan. h. Pemantauan dan evaluasi, bimbingan teknis terhadap usaha perkebunan. i. Pembinaan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan untuk pengembangan komoditi perkebunan seperti sistem sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia (ISPO). j. Pembinaan, monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan pemenuhan kewajiban perusahaan perkebunan (kemitraan, pembangunan kebun masyarakat, CSR, penyiapan peta izin usaha perkebunan dan lain-lain). k. Penyiapan sistem database perizinan usaha perkebunan (satu informasi perizinan). 152

171 l. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kemitraan pada pola PIR. m. Penyusunan rencana kegiatan dan anggaran penanganan standarisasi mutu dan pembinaan usaha setiap tahun anggaran. Kebijakan Pengembangan Potensi Produk/ Komoditas Perkebunan Ter- Indikasi Geografis (IG) Dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 51 tahun 2007 tentang Indikasi Geografis (IG) bahwa IG didefinisikan sebagai suatu tanda dari produk yang dikarenakan pengaruh lingkungan geografisnya, baik itu faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari keduanya, memberikan ciri dan kualitas khusus pada produk tersebut. Sederhananya, IG adalah nama geografis dari produk yang hanya bisa diproduksi pada suatu daerah geografis tertentu. Manfaat utama dari perlindungan IG adalah untuk melindungi nama geografis dari suatu produk. Sedangkan manfaat lainnya antara lain sebagai jaminan keaslian asal suatu produk dan peningkatan penerimaan produsen. Terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi dalam penetapan IG suatu produk/ komoditas. Pertama, produk perkebunan yang dihasilkan mempunyai mutu yang khas, termasuk citra rasa spesifik. Suatu komoditas perkebunan mempunyai cita rasa yang khas dan spesifik. Kedua, produk perkebunan tersebut mempunyai reputasi atau ketenaran baik lokal dan nasional, maupun internasional yang tidak dapat diperoleh di wilayah lainnya. Ketiga, tanamannya diusahakan secara baik oleh pelaku usaha perkebunan. Hak Indikasi Geografis bersifat kolektif dan ditujukan khusus untuk melindungi nama asal suatu barang dan keterkaitan reputasi serta kualitas. Perlindungan berlaku selama ciri dan kualitas bisa dipertahankan. Hak IG dimiliki oleh setiap produsen dalam wilayah yang bisa memenuhi standar yang digunakan dalam buku persyaratan. Peningkatan perlindungan produk/ komoditas berpotensi IG juga tertuang dalam kesepakatan kerjasama antara Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian nomor : M.HH- 31.HM.05.02, Nomor: 510/611A/SJ, Nomor: 12/MOU/HK.230/M/12/ 2015, Nomor: NK.11/MENLHK-SETJEN/2015, Nomor 502/M-IBD/10/ 2015, Nomor: 888/M-DAG/MoU/11/2015, tanggal 30 Oktober 2015 tentang perlindungan dan pengembangan potensi produk IG. Sebagai catatan bahwa dari 45 IG yang dikeluarkan di lingkup Pertanian sekitar 26 berada di perkebunan. Kebijakan-kebijakan Ditjen. Perkebunan 153

172 dalam pengembangan potensi produk/ komoditas perkebunan terindikasi geografis (IG) yaitu: a. Mendorong peningkatan pemahaman hukum dan budaya masyarakat tentang potensi dan keunggulan produk perkebunan Indonesia. b. Fasilitasi pertemuan teknis pengembangan IG kepada petani dalam meningkatkan nilai jual, mutu dan nilai tambah bagi produk perkebunan. c. Mendorong sinergitas stakeholder dalam pengaturan regulasi, penganggaran dan kegiatan untuk penerapan produk/ komoditas perkebunan ter-indikasi geografis. 2) Pengembangan kawasan berbasis komoditas unggulan perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan sebagai implementasi dari Peraturan Menteri Pertanian nomor: 56/Permentan/RC.040/11/2016 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian yang mengamanatkan arah kebijakan pengembangan kawasan pertanian nasional termasuk pengembangan kawasan berbasis komoditas perkebunan. Adapun butir-butir amanat penting dari Permentan ini adalah: 1) lokasi kawasan pertanian terdiri dari kawasan nasional (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan) yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pertanian, kawasan provinsi yang ditetapkan gubernur dan kawasan kabupaten/ kota yang ditetapkan bupati/ walikota; 2) arah kebijakan, tujuan program dan sasaran kegiatan kawasan pertanian harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah, kelestarian sumber daya alam, sosial budaya masyarakat dan selaras dengan rencana pembangunan daerah; 3) satuan kerja yang menyelenggarakan urusan pertanian provinsi wajib menyusun masterplan kawasan pertanian ditingkat daerah provinsi; 4) satuan kerja yang menyelenggarakan urusan pertanian kabupaten/ kota wajib menyusun action plan/ rencana aksi kawasan pertanian ditingkat daerah kabupaten/ kota; 5) pendanaan pengembangan kawasan pertanian bersumber pada swadaya masyarakat, investasi swasta, perbankan, BUMN/BUMD, APBD provinsi/ kabupaten/ kota dan/ atau APBN; 6) pendanaan dari APBN untuk mendukung pengembangan kawasan pertanian nasional yang dirancang dalam kerangka pembiayaan jangka menengah sesuai tahaptahap rencana pelaksanaan program dan kegiatan yang tertuang dalam 154

173 masterplan dan actionplan serta kegiatan yang termasuk kategori kegiatan pengungkit percepatan pengembangan kawasan pertanian nasional dan kegitan penyelenggaraan standar pelayanan teknis minimal di bidang pertanian sesuai potensi, permasalahan dan kinerja pengembangan kawasan pertanian masing-masing daerah; 7) mendorong percepatan pengembangan kawasan pertanian nasional, Direktur Jenderal yang menyelenggarakan fungsi bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan sesuai dengan tugas dan fungsi melakukan koordinasi dan/ atau kerjasama dengan K/L, lembaga penggerak swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan/ atau koperasi; dan 8) aspek teknis kawasan masingmasing bidang diatur lebihlanjyt dengan petunjuk teknis. Pengembangan kawasan berbasis komoditas perkebunan harus diupayakan untuk mengembangkan dan membina kawasan-kawasan perkebunan rakyat agar menjadi kawasan perkebunan rakyat yang berwawasan agribisnis; meningkatkan peranan kelembagaan perkebunan, meningkatkan kemampuan usaha agribisnis masyarakat, meningkatkan populasi dan kapasitas produksi di setiap kawasan serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pekebun. Penanganannya diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi dan konservasi lahan, pemanfaatan sumber daya alam yang diperlukan oleh masyarakat pekebun, peningkatan pendapatan masyarakat, pemenuhan kebutuhan masyarakat akan protein nabati dan kelestarian lingkungan. Sasaran utamanya adalah mengembangkan wilayahwilayah yang berpotensi sebagai sentra-sentra perkebunan menjadi kawasan perkebunan rakyat yang berorientasi agribisnis berkelanjutan. Sedangkan strategi operasional pengembangan kawasan meliputi penguatan perencanaan, penguatan sumber daya insani, penguatan kelembagaan, percepatan adopsi teknologi penguatan sarana dan prasarana, penguatan kerjasama dan kemitraan serta penguatan industri hilir. Selain itu diharapkan dengan pengembangan kawasan dapat terbangun sentra-sentra kawasan pada tingkat nasional, tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan yang pada akhirnya terjadi INTEGRASI DAN REPLIKASI KAWASAN. Dasar hukum pelaksanaan pengembangan kawasan berbasis komoditas perkebunan selain Peraturan Menteri Pertanian nomor: 56/Permentan/RC.040/11/2016 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian adalah dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Pertanian nomor: 830/Kpts/RC.040/12/2016 tentang Lokasi Pengembangan Kawasan Pertanian Nasional. Kepmentan ini sebagai 155

174 dasar pelaksanaan kegiatan Ditjen. Perkebunan dalam menyusun masterplan dan actionplan/ rencana aksi pengembangan kawasan berbasis komoditas perkebunan didaerah sentra pengembangan perkebunan. Penetapan kawasan perkebunan per komoditas per kabupaten/ kota dapat dilihat pada bagian Lampiran. Secara umum, ada 4 paradigma perencanaan pengembangan kawasan yang menjadi arah kebijakan pengembangan kawasan Ditjen. Perkebunan tahun yaitu: a. Paradigma pewilayahan komoditas Paradima yang pertama harus dipahami bahwa pengembangan kawasan harus bisa ditetapkan sentra pengembangan komoditas sesuai kondisi agroekosistem-nya. Selain itu perlu juga melihat suatu daerah menjadi komoditas penting diwilayahnya jika dilihat adanya dukungan infrastruktur, layanan pengembangan, kontribusi ekonomi, dukungan stakeholder, penerimaan sosial dan potensi keberlanjutan. Implementasi paradigma pewilayahan komoditas ini untuk komoditas perkebunan ditetapkan dalam Keputusan Menteri Pertanian nomor 830/Kpts/RC.040/12/2016 tentang Lokasi Pengembangan Kawasan Pertanian Nasional. Dalam penetapan kawasan tersebut, terdapat sejumlah kebijakan dalam penetapan kawasan perkebunan sebagaimana Gambar 3 berikut ini: Gambar 3. Konsep Dasar Pemilihan Lokasi Kawasan Perkebunan 156

175 Pada gambar tersebut dijelaskan dasar pemilihan lokasi kawasan perkebunan yang terdiri dari 4 tahapan penapis yaitu: 1) penapis tahap ke-1 dalam rangka pemilihan lokasi kawasan berbasis komoditas perkebunan adalah menilai 2 hal dasar yaitu aspek historis dan aspek sosial budaya. Selanjutnya dilakukan 2) penapis tahap ke-2 dalam rangka pemilihan lokasi kawasan berbasis komoditas perkebunan adalah mengidentifikasi 7 kriteria kawasan (kriteria ini akan menjadi dasar analisis penetapan kawasan melalui AHP). Dalam rangka 3) penapis tahap ke-3 dilakukan oleh SKPD provinsi dengan menilai beberapa aspek yaitu: aspek sinkronisasi pada dokumen perencanaan daerah, aspek koodinasi dan sinkronisasi daerah dan aspek political will pemerintah daerah. Terakhir, 4) penapis tahap ke-4, setelah usulan dari SKPD provinsi maka akan dibahas lebih lanjut oleh Tim Perencanaan Direktorat teknis lingkup Ditjen. Perkebunan yang akan menilai beberapa aspek penyerapan anggaran, rencana kegiatan berkelanjutan dan adanya Kebijakan khusus di daerah kawasan tersebut hingga ditetapkan lokasi kawasan sebagai dasar penetapan kawasan perkebunan nasional dalam Keputusan Menteri Pertanian nomor 830/Kpts/RC.040/12/2016 tentang Lokasi Pengembangan Kawasan Pertanian Nasional. b. Paradigma data spasial Paradigma yang kedua harus dipahami adalah bahwa pengembangan kawasan harus di perkuat dengan ketersediaan data spasial karena data spasial mencerminkan kondisi lapangan dengan pendekatan yang hampir sama/ real time. Data spasial yang dimaksud adalah data yang mengacu pada posisi, objek dan hubungan diantaranya dalam ruang bumi dengan format dapat berupa vector (polygon, line, points) maupun raster. Secara umum, data spasial ini berupa data dalam bentuk peta. Berdasarkan Surat Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian nomor B- 2960/RC.040/A/08/2016 tanggal 18 Agustus 2016 perihal Percepatan Penyusunan Masterplan Kawasan Pertanian yang ditindaklanjuti dengan surat nomor B-3329/RC.040/A/09/2016 tanggal 7 September perihal Percepatan Penyusunan Actionplan Kawasan Pertanian menyampaikan bahwa seluruh provinsi agar menyelesaikan dokumen Masterplan pengembangan kawasan pertanian dan seluruh kabupaten/kota agar menyelesaikan dokumen Actionplan pengembangan kawasan pertanian. Dokumen masterplan diupayakan agar dapat ditetapkan melalui Keputusan Gubernur atau Peraturan Gubernur dalam rangka mengintegrasikan dukungan lintas sektor di daerah dan untuk memudahkan koordinasi dukungan K/L lainnya. 157

176 Selanjutnya, dokumen actionplan agar dilengkapi dengan pemetaan kawasan pertanian skala 1:50.000, apabila belum mempunyai peta kawasan pertanian skala 1: agar peta tersebut disiapkan pada tahun 2017 dengan pembiayaan APBD kabupaten/kota. Terakhir, alokasi anggaran APBN Kementerian Pertanian pada tahun 2017 sebanyak 65% fokus di kawasan dan 35% di non kawasan dari total anggaran non operasional. Dalam basis kawasan, sistem perencanaan perkebunan harus juga mendukung upaya-upaya dalam memperkuat data spasial. Untuk itu, dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan, perlu dilakukan perencanaan perkebunan berbasis spasial dengan bahan dan prosedur standar untuk memudahkan evaluasi dan monitoring, selain itu agar dalam perencanaan perkebunan berbasis spasial dapat dilakukan dengan benar, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pertanian nomor: 08/Permentan/KB.400/2/2016 tentang Pedoman Perencanaan Perkebunan Berbasis Spasial sebagai implementasi paradigma data spasial untuk komoditas perkebunan. Pada tanggal 12 Maret 2013 telah ditandatangan Nota Kesepakatan Bersama (NKB) tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia oleh Kementerian/Lembaga Non Kementerian yang disaksikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP- PPP). Sebagai tindak lanjut, telah disusun rencana aksi NKB dengan menunjuk Kementerian Pertanian sebagai penanggung jawab kebijakan perencanaan perkebunan berbasis spasial. Selain itu, sesuai dengan amanat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, bahwa perencanaan perkebunan dimaksudkan sebagai pedoman untuk memberikan arah dan alat pengendali dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan perkebunan. Pada amanat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2011 tentang Informasi Spasial, menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan berbagai aspek kehidupan masyarakat didorong untuk menggunakan informasi spasial. Sedangkan pada Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2013 tentang Jaringan Data Spasial Nasional, menyatakan bahwa penyelenggaraan pembangunan berbasis data spasial sangat diperlukan baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dalam berbagai aspek pembangunan nasional. Atas dasar pertimbangan tersebut di atas dan dalam rangka mendukung percepatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana tercantum dalam 158

177 NKB serta mengarahkan perencanaan pembangunan perkebunan secara efektif, efisien, terukur, akuntabel dan transparan diperlukan keterpaduan pelaksanaan pembangunan perkebunan melalui pemantapan Perencanaan Perkebunan Berbasis Spasial yang mencakup lingkup kegiatan, strategi dan indikator kinerja, pelaksanaan kegiatan, organisasi pelaksana, pendanaan, serta pengawasan dan pengendalian. Pelaksanaan perencanaan perkebunan berbasis spasial diselaraskan dengan amanat Peraturan Menteri Pertanian Nomor nomor 56/Permentan/RC.040/11/2016 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian, bahwa perencanaan pengembangan kawasan pertanian harus berdasarkan pendekatan kewilayahan dan selaras dengan rencana tata ruang dan tata wilayah serta berbasis data statistik dan spasial. c. Paradigma tata ruang Paradigma yang ketiga adalah terkait penataan ruang dalam pengembangan kawasan perkebunan. Penataan ruang yang dimaksud adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dengan struktur ruang tertentu meliputi susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Struktur ruang terdiri atas kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan perdesaan, kawasan agropolitan, kawasan perkotaan, kawasan metropolitan, kawasan megapolitan, kawasan strategis nasional/ provinsi/ kabupaten/kota, ruang terbuka hijau, dan lain-lain. Struktur ruang perlu dilengkapi dengan peta rencana tata ruang wilayah. Peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) berasal dari Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) dan Pemerintah Daerah. Data ini berisi peruntukan ruang masing-masing lahan, salah satunya peruntukan kawasan budidaya perkebunan. Implementasi paradigma tata ruang ini ditetapkan dalam Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. d. Paradigma perlindungan lahan pertanian berkelanjutan Paradigma yang terakhir adalah terkait perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, artinya pengembangan kawasan perkebunan harus menjunjung tinggi dan mempertimbangkan perlindungan lahan 159

178 pertanian berkelanjutan. Pertimbangan pengembangan kawasan perkebunan dalam rangka perlindungan lahan pertanian berkelanjutan adalah: Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional; Negara menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi setiap warga negara sehingga negara berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan; Makin meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan; Sesuai dengan pembaruan agraria yang berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria perlu perlindungan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. Lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah bidang lahan budidaya pertanian terutama wilayah perdesaan yang memiliki hamparan lahan pertanian berkelanjutan/ hamaparan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan yang yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Lahan pertanian pangan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat berupa lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut (lebak) serta lahan tidak beririgasi. Sedangkan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan pada 1) kawasan pertanian pangan berkelanjutan; 2) lahan pertanian pangan berkelanjutan; dan 3) lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan. Implementasi paradigma perlindungan lahan pertanian berkelanjutan ini ditetapkan dalam Undang-Undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. 160

179 3) Pengembangan dan penguatan sistem pembiayaan perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan mengembangkan sistem pembiayaan yang tepat untuk memudahkan penyerapan oleh masyarakat pekebun dalam kegiatan usaha perkebunan, kemudahan akses, persyaratan lunak dan tersedia dalam bentuk skim kredit program perkebunan untuk membiayai semua aktivitas budidaya perkebunan. Sasaran kedepan kebijakan ini adalah menumbuhkembangkan kelembagaan petani sebagai Channeling Agent lembaga keuangan formal di perdesaan baik perbankan maupun non bank untuk pembiayaan permodalan pekebun seperti Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A), koperasi dan lain-lain. Selain itu isu strategis kedepan adalah terkait bimbingan dan pendampingan teknis serta penguatan modal usaha bagi kelompok/gabungan kelompok melalui pemberian bantuan modal, serta memperkuat jaringan kelompok tani dengan penyuluh lapangan. Sampai dengan akhir tahun 2014, pemerintah telah memfasilitasi dengan Program Revitalisasi Perkebunan, kredit program KPEN-RP, dan pada tanggal 30 Desember 2015 berakhirnya KKPE, tetapi masih banyak petani yang memerlukan pembiayaan. Oleh karena itu, Kementerian Pertanian kembali mengusulkan kredit program lanjutan untuk penyediaan dana pembangunan tersebut. Kredit program untuk sub sektor perkebunan memiliki karakteristik, mengingat umur tanaman dan masa mulai berproduksi pada umumnya merupakan tanaman perennial sehingga memerlukan biaya yang lebih besar untuk pembangunan dan masa tenggang grace period. Untuk memfasilitasi kebutuhan dimaksud maka pemerintah telah merancang Kredit Usaha Rakyat. Program KUR adalah kredit/ pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada debitur usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup. Penyalur KUR adalah bank atau lembaga keuangan bukan bank yang disetujui oleh Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial debitur KUR oleh Perusahaan Penjamin. Pelaksanaan KUR bertujuan untuk meningkatkan dan memperluas penyaluran KUR kepada usaha produktif; meningkatkan kapasitas daya saing usaha mikro, kecil dan menengah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. 161

180 Penerima KUR adalah individu/perseorangan atau badan hukum yang melakukan usaha produktif berupa usaha mikro, kecil dan menengah; anggota keluarga dari karyawan/karyawati yang berpenghasilan tetap atau bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia; pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Usulan fitur Pengembangan Perkebunan, suku bunga KUR Perkebunan sebesar 9% efektif per tahun atau disesuaikan dengan suku bunga flat yang setara. Komoditas yang dibiayai tanaman tahunan, tanaman semusim, tanaman rempah dan penyegar, tumpang sari dengan tanaman pangan dan integrasi dengan ternak, pengolahan pasca panen di tingkat petani. Ditjen. Perkebunan memfasilitasi kegiatan Fasilitasi Program KUR Perkebunan yang pada intinya adalah melakukan sosialisasi dan koordinasi. Adapun Ruang lingkup kegiatan ini adalah: 1) Penyusunan Permentan Pedoman Kredit Program KUR Perkebunan; 2) Pertemuan Sosialisasi Kredit Program KUR perkebunan dengan instansi terkait; dan 3) Pertemuan Koordinasi dan sosialisasi kredit program KUR di beberapa Provinsi. KUR Perkebunan Langkah awal untuk mewujudkan penyempurnaan program KUR yaitu dengan menyusun regulasi terkait KUR. Pada tanggal 7 Mei 2015 telah diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Keppres ini menjadi payung hukum terbentuknya Komite Kebijakan untuk program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pada perkembangannya, Rapat Kabinet Terbatas tanggal 17 Juni 2015 memutuskan bahwa suku bunga KUR untuk debitur adalah maksimal 12% efektif per tahun, dengan alokasi plafon penyaluran sebesar Rp. 30 triliun. Hasil Rapat Terbatas tersebut ditindaklanjuti oleh Komite Kebijakan atas nama pemerintah melalui pemberian subsidi bunga. Perubahan jenis subsidi pemerintah dari IJP menjadi subsidi bunga dituangkan melalui Keppres Nomor 19 tahun 2015 tanggal 15 Juli 2015 tentang Perubahan atas Keppres 14 Tahun Selanjutnya Peraturan Menteri Keuangan nomor 146/PMK tentang Tata Cara Pembayaran Subsidi Bunga Kredit Usaha Rakyat diterbitkan tanggal 30 Juli untuk melengkapi ketentuan terkait pelaksanaan KUR skema baru. Sedangkan untuk dijadikan acuan para pihak dalam melaksanaan KUR, diterbitkan Peraturan Menko Perekonomian nomor 6 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan KUR yang meliputi lampiran I KUR Mikro, lampiran II KUR Ritel dan 162

181 lampiran III KUR TKI, pada tanggal 7 Agustus Permenko tersebut mengalami perubahan dengan adanya perluasan sektor yang dibiayai KUR, yaitu dengan terbitnya Permenko nomor 8 Tahun 2015, tanggal 26 Oktober Pada Permenko nomor 6 tahun 2015 sektor yang dibiayai KUR hanya meliputi sektor pertanian, perikanan, industri pengolahan, dan sektor perdagangan yang terkait ketiga sektor tersebut. Perluasan sektor pada Permenko 8/2015 yaitu sektor perdagangan tidak dibatasi lagi melainkan meliputi seluruh usaha di sektor perdagangan serta sebagian sektor jasa-jasa. Sebagai landasan hukum bagi penetapan suku bunga yang dibebankan pada debitur dari 12% menjadi 9% pada tahun 2016, diterbitkan Permenko nomor 13 tahun 2015 pada tanggal 30 Desember Penurunan suku bunga tersebut dimaksudkan untuk lebih mendorong usaha mikro, kecil dan menengah, serta menjadi katalis bagi terwujudnya rezim suku bunga kredit satu digit. KUR Skema Baru Tahun 2015 Rapat koordinasi Komite Kebijakan KUR tanggal 26 Juni 2015 menghasilkan keputusan besaran subsidi bunga yang ditanggung Pemerintah, yaitu 7% untuk KUR Mikro dan 3% untuk KUR Ritel. Besaran subsidi bunga tersebut sudah termasuk didalamnya komponen biaya untuk IJP. Selanjutnya besaran IJP akan dirumuskan secara business to business antara Penyalur dengan Perusahaan Penjamin berdasarkan kinerja dan pengelolaan risiko masing-masing bank. Penetapan besaran IJP yang diambil dari subsidi bunga KUR harus tetap menjaga efisiensi dan keberlangsungan usaha Bank Pelaksana dan Perusahaan Penjamin KUR yang sebaiknya telah mempertimbangkan risiko yang dijamin, biaya administrasi, biaya operasional, dan biaya pemasaran, serta keuntungan. Berdasarkan hasil diskusi dalam rapat tanggal 13 Juli 2015 disepakati besaran IJP KUR Mikro dan KUR Ritel yang merupakan salah satu komponen biaya dalam subsidi bunga KUR adalah sebesar minimal 1,75% (nett) per tahun yang dihitung dari plafon kredit dan jangka waktu kredit. Namun demikian, kesepakatan yang diambil oleh Bank Pelaksana dan Perusahaan Penjamin adalah sebesar 1,5% (nett) per tahun dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama (PKS) untuk pelaksanaan KUR tahun Bank pelaksana KUR untuk tahap pertama ditunjuk bank BRI, BNI dan Mandiri serta untuk perusahaan penjamin ditunjuk Perum Jamkrindo dan PT. Askrindo dengan Keputusan Menko Perekonomian nomor 170 Tahun 2015 tentang Bank Pelaksana dan Perusahaan Penjamin KUR. 163

182 Setelah ditandatanganinya Perjanjian Kerjasama Pembiayaan antara Bank Pelaksana denga Kuasa Pengguna Anggaran, serta Perjanjian Kerjasama Penjaminan KUR antara Bank Pelaksana dengan Perusahaan Penjamin pada tanggal 13 Agustus 2015, KUR skema baru telah dapat disalurkan. Penyalur KUR bertambah dengan terbitnya Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian nomor 188 tahun 2015 tentang Penetapan Penyalur Kredit Usaha Rakyat dan Perusahaan Penjamin KUR, tanggal 30 Oktober Adapun penambahan penyalur KUR yaitu: Bank Sinarmas, Maybank, BPD Kalimantan Barat, dan BPD Nusa Tenggara Timur. KUR Skema Baru Tahun 2016 Pemerintah menetapkan target penyaluran KUR tahun 2016 sebesar Rp triliun dengan suku bunga kredit yang dibebankan kepada debitur sebesar 9% efektif per tahun. Jumlah penyaluran tersebut merupakan peningkatan yang besar karena pada periode sebelumnya KUR hanya disalurkan paling banyak Rp. 40 triliun per tahun. Pemerintah telah menyiapkan subsidi bunga sebesar Rp. 10,5 triliun untuk mendukung program tersebut. Dana yang akan disalurkan sejumlah Rp triliun tersebut adalah 100% dana Penyalur KUR, bukan dana Pemerintah. Masih terdapat pemahaman yang salah di kalangan masyarakat yang menganggap dana KUR adalah dana Pemerintah, bahkan ada yang memahaminya sebagai dana hibah. Tentu saja hal ini akan memicu terjadinya moral hazard di dalam masyarakat. Penetapan plafon penyaluran KUR yang sangat besar dengan bunga yang relatif rendah dimaksudkan untuk meningkatkan akses usaha mikro, kecil dan menengah kepada kredit dari industri keuangan. Disamping itu, Pemerintah juga mendorong agar suku bunga kredit yang disalurkan kepada usaha mikro, kecil dan menengah dapat ditekan menjadi lebih rendah, mengingat persaingan yang makin terbuka setelah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). 4) Pengembangan sarana prasarana dan infrastruktur pendukung usaha agribisnis perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk mendukung penyediaan sarana prasarana dan infrastruktur pendukung usaha agribisnis perkebunan. Keterlibatan Kementerian/Lembaga lain sangat diperlukan dalam pengembangan infrastruktur ini, selain itu adanya dukungan regulasi dan pendanaan akan sangat bermanfaat terhadap pencapaian 164

183 pengembangan sarana prasarana usaha agribisnis perkebunan. Isu yang penting terkait kebutuhan infrastruktur dasar perkebunan adalah ketersediaan, kelayakan, pemanfaatan dan optimalisasi irigasi teknis, embung/dam/waduk dan jalan produksi. Pembangunan infrastruktur terkait pengembangan perkebunan yang sangat dibutuhkan dewasa ini meliputi jalan usaha tani dan jalan produksi, jaringan irigasi dan sarana prasarana terkait sumber air dan lain-lain. Pembangunan infrastruktur tidak hanya dilakukan oleh Kementerian Pertanian sendiri, tapi juga yang akan dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, Pemerintah Propinsi/Kabupaten/ Kota maupun oleh masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya koordinasi yang baik agar tepat lokasi dan sesuai kebutuhan. Kebijakan kedepan adalah memfasilitasi pengalokasian anggaran untuk pembangunan, perbaikan, pemeliharaan dan pengelolaan sarana prasarana/infrastruktur pendukung usaha agribisnis perkebunan baik dana APBD, APBN (Tugas Pembantuan) maupun DAK (Dana Alokasi Khusus). Secara umum dukungan kementerian/lembaga dalam pembangunan perkebunan tahun dapat dilihat pada Bab VII. 5) Perlindungan, pelestarian, pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan hidup Arah kebijakan ini dimaksudkan agar setiap usaha budidaya perkebunan selalu memperhatikan aspek lingkungan hidup mulai dari pembukaan lahan, penanaman, pemilihan bibit unggul, penggunaan pupuk dan pestisida, pengendalian OPT, penanganan pascapanen sampai pada aspek hilirnya. Kebijakan ini diupayakan agar dalam pemanfaatan sumber daya perkebunan harus dilakukan secara bijaksana dan optimal sesuai dengan kaidah daya dukung lingkungan sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga. Isu lingkungan hidup yang berkaitan dengan pembangunan perkebunan adalah pemanfaatan sumber daya genetik/benih, kebakaran dan pembakaran lahan/kebun, penggunan zat kimia dalam pupuk dan pestisida, pemanfaatan biotechnology modern yang tidak ramah lingkungan, dan lain-lain. Pengembangan usaha agribisnis perkebunan harus dilaksanakan terpadu, terintegrasi, berkelanjutan dan mengedepankan pengembangan inovasi teknologi dalam bingkai pelestarian lingkungan serta berbasis kawasan. Pasal 82 (UU 39/ 2014 tentang Perkebunan) menyatakan Penelitian dan pengembangan perkebunan dimaksudkan untuk menghasilkan IPTEK yang dibutuhkan dalam 165

184 pengembangan usaha perkebunan agar memberi nilai tambah, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan dengan menghargai kearifan lokal. Pengembangan inovasi dan teknologi yang dikaitkan dengan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup antara lain 1) Inovasi teknologi budidaya, panen dan pascapanen; 2) bidang perlindungan OPT, antisipasi, adaptasi perubahan iklim dan kebakaran lahan; 3) teknologi peningkatan produktivitas ditengah keterbatasan lahan; 4) teknologi saprodi, benih dan alat mesin pertanian dan pengolahan; 5) integrated farming system dan integrasi tanaman Perkebunan/ pangan/ ternak; 6) teknologi pemanfaatan limbah tanaman dan generasi ke-2/ biomassa; 7) teknologi Bioindustry dan pertanian masa depan; 8) teknologi komoditas perkebunan berbasis agrowisata; 9) model teknologi tekno-ekologi, dan lain-lain. Isu strategis yang saat ini menjadi penanganan utama pembangunan perkebunan yang berhubungan dengan isu lingkungan hidup salah satunya adalah persoalan kebakaran hutan, lahan dan kebun. Kebakaran merupakan salah satu penyebab kerusakan lahan/ kebun yang paling besar, bersifat sangat merugikan dan penyumbang utama gas rumah kaca (GRK). Perbaikan kerusakan lahan/ kebun akibat kebakaran memerlukan waktu yang lama, terlebih lagi untuk mengembalikannya menjadi lahan utuh kembali dengan unsur hara tanah dan mikroorganisme tanah yang baik. Oleh karena itu, kita perlu memperhatikan beberapa hal yang dapat menyebabkan kebakaran lahan/ kebun. Faktor alam biasa terjadi pada musim kemarau ketika cuaca sangat panas. Namun, sebab utama dari kebakaran adalah pembukaan lahan yang meliputi: Pembakaran lahan yang tidak terkendali sehingga merembet ke lahan lain. Pembukaan lahan tersebut dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun perusahaan. Namun bila pembukaan lahan dilaksanakan dengan pembakaran dalam skala besar, kebakaran tersebut sulit terkendali. Pembukaan lahan dilaksanakan untuk usaha perkebunan, HTI, pertanian lahan kering, sonor dan mencari ikan. Pembukaan lahan yang paling berbahaya adalah di daerah rawa/gambut. Penggunaan lahan yang menjadikan lahan rawan kebakaran, misalnya di lahan bekas HPH dan di daerah yang beralang-alang. Konflik antara pihak pemerintah, perusahaan dan masyarakat karena status lahan sengketa perusahaan-perusahaan kelapa sawit 166

185 kemudian menyewa tenaga kerja dari luar untuk bekerja dan membakar lahan masyarakat lokal yang lahannya ingin diambil alih oleh perusahaan, untuk mengusir masyarakat. Kebakaran mengurangi nilai lahan dengan cara membuat lahan menjadi terdegradasi, dan dengan demikian perusahaan akan lebih mudah dapat mengambil alih lahan dengan melakukan pembayaran ganti rugi yang murah bagi penduduk asli. Dalam beberapa kasus, penduduk lokal juga melakukan pembakaran untuk memprotes pengambil alihan lahan mereka oleh perusahaan kelapa sawit. Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, sehingga terpaksa memilih alternatif yang mudah, murah dan cepat untuk pembukaan lahan. Kurangnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar peraturan pembukaan lahan. Pencegahan kebakaran hutan, lahan dan kebun perlu dilakukan secara terpadu dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan petani/pekebun. Ada kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi-fungsi berikut ini: a) Mapping yaitu pemetaan wilayah melalui pembuatan peta kerawanan kebakaran hutan, lahan dan kebun yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu maupun hasil prediksi, adanya survai desa (Participatory Rural Appraisal) dan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) atau citra satelit. b) Informasi dan komunikasi yaitu penyediaan sistem informasi dan komunikasi terhadap kebakaran hutan, lahan dan kebun. Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap tingkat menurut analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah serta pengolahan data hasil pengintaian petugas lapangan. c) Sosialisasi yaitu pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat. Penyuluhan dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di setiap wilayah mengenai bahaya dan dampak, serta peran aktivitas manusia yang seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan, lahan dan kebun. Penyuluhan juga bisa menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap kebakaran dan 167

186 upaya pencegahannya. Pembinaan merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk dapat meminimalkan intensitas terjadinya kebakaran hutan, lahan dan kebun. Sementara, pelatihan bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar wilayah rawan kebakaran hutan/ lahan/ kebun untuk melakukan tindakan awal dalam merespon kebakaran. d) Standardisasi yaitu pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure). Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, lahan dan kebun, diperlukan standar yang baku dalam berbagai hal sebagai berikut meliputi metode/ sistem pelaporan, standar minimal ketersediaan peralatan, dan standarisasi Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan/ lahan/ kebun. e) Supervisi yaitu pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan hutan, lahan dan kebun. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah tindak lanjut dari hasil analisis pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan langsung dengan penyediaan data, kemudian pengawasan merupakan respon dari hasil olah data tersebut. Peningkatan supervisi peran Dinas/ SKPD yang membidangi perkebunan, kehutanan dan pertanian menjadi salah satu point penting dalam pemantauan dan pengawasan kebakaran hutan, lahan dan kebun. f) Pengembangan pastisipasi masyarakat dalam pembentukan Organisasi Penyelenggara Pencegahan Kebakaran Hutan, lahan dan kebun. Pencegahan Kebakaran Hutan, lahan dan kebun perlu dilakukan secara terpadu antar sektor, tingkatan dan daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan upaya pencegahan ini. Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu menyediakan fasilitas yang memadai untuk memungkinkan terselenggaranya Pencegahan Kebakaran Hutan, lahan dan kebun secara efisien dan efektif. g) Inovasi dan teknologi dalam pencegahan kebakaran hutan, lahan dan kebun. Salah satunya melakukan pengembangan Teknik Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB). h) Penerapan sanksi hukum bagi pengelola lahan yang lalai atau sengaja melakukan pembakaran sesuai ketentuan perundang- 168

187 undangan yang berlaku. Langkah pendahuluannya melakukan penertiban Perizinan/Penertiban perusahaan yang tidak aktif atau dalam usahanya untuk melakukan perluasan areal. Penguatan regulasi terhadap pencegahan kebakaran hutan, lahan dan kebun adalah diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian nomor 47/Permentan/OT.140/4/2014 tentang Brigade dan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan serta Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun. Beberapa butir penting pengaturan Permentan tersebut adalah 1) pengaturan pengendalian kebakaran yang terdiri atas pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran; 2) penegakan hukum; 3) peningkatan kemampuan SDM melalui pelatihan brigade pengendalian kebakaran lahan dan kebun, KTPA (Kelompok Tani Peduli Api) dan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil); 3) organisasi dan tata hubungan kerja dari brigade dan KTPA; 4) evaluasi dan pelaporan; 5) pembinaan dan pengawasan; dan 6) pendanaan. 6) Peningkatan upaya adaptasi, mitigasi bencana, perubahan iklim dan perlindungan perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan sebagai upaya menghindari kegagalan usaha perkebunan yang disebabkan oleh perubahan iklim akibat pemanasan global sehingga berimplikasi terhadap munculnya berbagai bencana alam (banjir, kekeringan dan kebakaran) dan tingginya serangan OPT. Kebijakan yang mendasar adalah bagaimana penerapan kegiatan adaptasi dan mitigasi bencana/ perubahan iklim melalui peningkatan pemantauan kualitas lingkungan, memperkuat kapasitas mitigasi bencana alam, mempercepat rehabilitasi lahan/kebun yang terkena dampak bencana serta memperkuat kapasitas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Yang lebih utama adalah menyiapkan SDI termasuk petani/pekebun dan teknologi untuk mencegah terjadinya bencana dan mengantisipasi dampak perubahan iklim pada zonasi daerah tertentu yang berpotensi tinggi/ rawan bencana dan rawan dampak perubahan iklim. Untuk membangun kemampuan petani dalam melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap dampak perubahan iklim (banjir, kekeringan dan kebakaran), salah satunya melalui Sekolah Lapang Iklim (SLI) serta membangun sistem informasi iklim dan penyesuaian pola dan kalender tanam yang sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah. Disamping itu, inovasi dan teknologi tepat guna sangat penting dan strategis untuk dikembangkan dalam rangka untuk upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim serta penanganan bencana alam/ 169

188 kebakaran lahan. Penciptaan varietas unggul baru (VUB) yang memiliki potensi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) rendah, toleran terhadap suhu tinggi maupun rendah, kekeringan, banjir/genangan dan salinitas menjadi sangat penting. Beberapa hal pokok terkait arah kebijakan dampak perubahan iklim, penanganan bencana alam dan perlindungan perkebunan diantaranya: a. Dalam mengantisipasi perubahan iklim, kebijakan pertanian/ perkebunan seyogyanya lebih mengutamakan prinsip adaptasi tanpa mengabaikan aksi mitigasi sehingga setiap aksi penurunan emisi GRK di sektor pertanian dan sub sektor perkebunan juga harus menjamin mendukung upaya peningkatan produksi dan produktivitas. b. Aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus memberikan manfaat dalam meningkatkan kesejahteraan petani/ pekebun sehingga kegiatan aksi yang akan dipilih harus disesuaikan dengan sistem dan usaha pertanian/ perkebunan rakyat. Aksi adaptasi dan mitigasi secara operasional dijabarkan di tiap-tiap eselon 1 serta di tingkat daerah. Dengan demikian sektor pertanian dan sub sektor perkebunan ikut berkontribusi kepada target nasional dalam penurunan emisi GRK sekitar 26% pada tahun 2020 dengan usaha sendiri dan penurunan sebesar 41% dengan dukungan Internasional (Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN- GRK). c. Kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bersifat spesifik lokasi dengan mempertimbangkan kondisi geografis masing-masing wilayah sehingga teknologi yang akan diterapkan harus bersifat teknologi tepat guna dan spesifik lokasi dengan mengadopsi sebesar-besarnya kearifan lokal. d. Operasionalisasi kegiatan adaptasi dan mitigasi harus melembaga ke dalam sistem perencanaan teknokratis yang didukung dengan basis data dan sistem informasi yang valid dan terverifikasi. e. Pemangku kepentingan yang terlibat dalam penanganan dampak perubahan iklim di lingkup pertanian/ perkebunan perlu melakukan pengarusutamaan penanganan dampak perubahan iklim yang didukung oleh sumber daya insani yang kompeten. Oleh karena itu, perumusan, negosiasi, konsensus dan sosialisasi kebijakan perubahan iklim harus dilakukan secara massif dan berkesinambungan. 170

189 f. Perlu adanya kebijakan manajemen bencana yang mendorong kemandirian daerah dalam penanganan bencana. Oleh karena itu bentuk intervensi pemerintah dan pemerintah daerah harus didasarkan pada besarnya potensi dampak bencana terhadap penurunan produksi pertanian/ perkebunan sehingga perlu dibangun kriteria besarnya kejadian bencana untuk masing-masing jenis intervensi yang dibutuhkan. g. Pembagian penanggungjawab terhadap bencana alam yang terjadi di skala nasional, skala provinsi dan skala kabupaten/kota. h. Perlindungan dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip ramah lingkungan, efisien dan diupayakan dilakukan dengan menggunakan musuh alami. 7) Peningkatan Penerapan dan Penanganan Pascapanen, Pengolahan dan Fasilitasi Pemasaran Komoditas Perkebunan Kebijakan ini dimaksudkan mewujudkan peningkatan penyediaan teknologi dan penerapan pascapanen dan pengolahan hasil perkebunan secara berkelanjutan serta mendorong pengembangan pemasaran produk perkebunan di tataran domestik dan internasional yang berkualitas dan berdaya saing. Kebijakan peningkatan penerapan dan penanganan pascapanen komoditas perkebunan Kegiatan penanganan pascapanen tanaman perkebunan didefinisikan sebagai suatu kegiatan penanganan produk hasil perkebunan, sejak pemanenan hingga siap menjadi bahan baku atau produk akhir siap dikonsumsi. Cakupan teknologi pascapanen dibedakan menjadi 2 kelompok kegiatan besar, yaitu pertama: penanganan primer yang meliputi penanganan komoditas hingga menjadi produk setengah jadi atau produk siap olah, dimana perubahan/transformasi produk hanya terjadi secara fisik (pascapanen=postharvest), sedangkan perubahan kimiawi biasanya tidak terjadi pada tahap ini. Kedua: penanganan sekunder, yakni kegiatan lanjutan dari penanganan primer, dimana pada tahap ini akan terjadi perubahan bentuk fisik maupun komposisi kimiawi dari produk akhir melalui suatu proses pengolahan (pengolahan=processing). Penanganan pascapanen mencakup pengeringan, pendinginan, pembersihan, penyortiran, penyimpanan dan pengemasan. Karena hasil pertanian yang sudah terpisah dari tumbuhan akan mengalami perubahan secara fisik dan kimiawi dan cenderung menuju proses pembusukan. Penanganan pascapanen 171

190 menentukan kualitas hasil pertanian secara garis besar, juga menentukan akan dijadikan apa bahan hasil pertanian setelah melewati penanganan pascapanen, apakah akan dimakan segar atau dijadikan bahan makanan lainnya. Perpektif kebijakan penerapan dan penanganan pascapanen komoditas perkebunan adalah dalam rangka 1) meningkatkan mutu hasil komoditas perkebunan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri; 2) meningkatkan rendemen produk; 3) penyediaan sarana dan teknologi pasca panen tepat guna; 4) peningkatan kemitraan usaha; 5) optimalisasi bantuan alat mesin pasca panen; dan 6) pengawalan, pembinaan dan pendampingan bagi kelompok petani/ petani pascapanen. Kebijakan kedepan adalah kegiatan penanganan pasca panen perlu dukungan dan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Selain itu fasilitasi bantuan alat dan mesin pasca panen hendaknya dinilai bersifat pemicu dan pemacu yang akan diharapkan dapat replikasi oleh petani/gapoktan di lapangan. Dengan semangat otonomi daerah, kegiatan penanganan pasca panen sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah daerah, sehingga diharapkan dapat difasilitasi oleh APBN, APBD dan Swasta secara berkelanjutan. Yang terpenting adalah bagaimana penanganan pasca panen merupakan upaya strategis untuk mendukung program Pengembangan Agribisnis yang terpadu di perdesaan berbasis kawasan dan program strategis Kementerian lainnya seperti ketahanan/kedaulatan/kemandirian pangan nasional menuju peningkatan kesejahteraan petani. Kebijakan peningkatan penerapan dan penanganan pengolahan komoditas perkebunan Cakupan teknologi pascapanen berupa penanganan sekunder, yakni kegiatan lanjutan dari penanganan primer, dimana pada tahap ini akan terjadi perubahan bentuk fisik maupun komposisi kimiawi dari produk akhir melalui suatu proses pengolahan merupakan definisi pengolahan=processing. Fasilitasi penanganan pengolahan komoditas perkebunan dimaksudkan untuk memfasilitasi kegiatan penanganan pengolahan melalui dukungan sarana pengolahan dan peningkatan kapabilitas petani. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menghasilkan bahan baku industri dan bahan olahan berbasis gapoktan serta penyediaan bahan baku bahan bakar nabati. Kegiatan pengolahan erat kaitannya dengan kegiatan agroindustri yaitu kegiatan yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, 172

191 merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Proses yang digunakan mencakup pengubahan dan pengawetan melalui perlakuan fisik atau kimiawi (fermentasi, oksidasi, ekstraksi buah, ekstraksi rempah, distilasi, dan lain-lain) penyimpanan, pengemasan dan distribusi. Kegiatan pengolahan merupakan perlakuan pascapanen tahap lanjut yang dapat digolongkan ke dalam teknologi proses untuk agroindustri, yaitu penerapan pengubahan (kimiawi, biokimiawi, fisik) pada hasil pertanian menjadi produk dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Produk agroindustri ini dapat merupakan produk akhir yang siap dikonsumsi ataupun sebagai produk bahan baku industri lainnya. Agroindustri merupakan bagian dari kompleks industri pertanian sejak produksi bahan pertanian primer, industri pengolahan atau transformasi sampai penggunaannya oleh konsumen. Agroindustri merupakan kegiatan yang saling berhubungan (interlasi) dengan aspek produksi, panen, pascapanen, pengangkutan, penyimpanan, pendanaan, pemasaran dan distribusi produk pertanian. Pandangan lain tentang agroindustri (pengolahan hasil pertanian) merupakan bagian dari lima subsistem agribisnis yang disepakati, yaitu subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usaha tani, pengolahan hasil, pemasaran, sarana dan pembinaan. Agroindustri dengan demikian mencakup Industri Pengolahan Hasil Pertanian (IPHP), Industri Peralatan Dan Mesin Pertanian (IPMP) dan Industri Jasa Sektor Pertanian (IJSP). Tantangan dan harapan bagi pengembangan pengolahan dan agroindustri di Indonesia adalah bagaimana meningkatkan keunggulan komparatif produk pertanian secara kompetitif menjadi produk unggulan yang mampu bersaing di pasar dunia. Dalam lingkup perdagangan, pengolahan hasil pertanian menjadi produk agroindustri ditunjukkan untuk meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut. Semakin tinggi nilai produk olahan, diharapkan devisa yang diterima oleh negara juga meningkat serta keuntungan yang diperoleh oleh para pelaku agoindustri juga relatif tinggi. Kebijakan-kebijakan dalam penerapan dan penanganan pengolahan komoditas perkebunan adalah: 1. Kebijakan-kebijakan/ regulasi serta insentif yang mendukung pengembangan agroindustri dan pengolahan hasil perkebunan. 2. Memberdayakan para petani, penerapan teknologi tepat guna serta kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah akses dan adaptasi petani terhadap inovasi dan teknologi pengolahan. 173

192 3. Perhatian yang lebih besar pada penelitian dan pembangunan teknologi pascapanen yang tepat serta pengalihan teknologi tersebut kepada sasaran pengguna. 4. Alur informasi penerapan dan penanganan pengolahan yang terbuka dan memadai. 5. Memelihara mutu dan daya dukung lingkungan sehingga penerapan teknologi pengolahan dan pembangunan agroindustri dapat berlangsung secara berkelanjutan. 6. Kerjasama dan sinergitas antara perguruan tinggi, lembaga penelitian, petani dan industri. Kebijakan peningkatan fasilitasi pemasaran komoditas perkebunan Sejalan dengan era globalisasi dan pemberlakuan pasar bebas, produk pertanian/ perkebunan Indonesia juga berpeluang untuk dipasarkan ke pasar internasional, baik produk segar maupun olahan. Apabila peluang pasar dalam negeri dan luar negeri dapat dimanfaatkan, maka hal ini akan menjadi pasar yang sangat besar bagi produk pertanian/ perkebunan Indonesia. Pada tahun 2015, kesepakatan ASEAN untuk mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN akan terealisasikan. Pilar utama dalam AEC (Asean Economic Community) adalah mewujudkan ASEAN sebagai pasar tunggal yang didukung dengan aliran barang, jasa, modal, dan tenaga kerja yang lebih bebas. Aspek pemasaran perlu mendapatkan perhatian pada era MEA/ AEC agar tingkat keberhasilan agribisnis pertanian/ perkebunan lebih tinggi di tataran pasar perdagangan Asean dan Internasional sehingga keuntungan agribisnis pekebunan nasional yang diperoleh akan lebih besar. Strategi pemasaran yang tepat akan memperpendek sistem atau mata rantai perdagangan sehingga lost of benefit atau keuntungan yang hilang akibat panjangnya tataniaga perdagangan bisa dihindari. Kegiatan pemasaran berperan sebagai pembuka jalan bagi produk untuk sampai ke pasar. Strategi pemasaran yang baik harus memahami tentang studi pemasaran, memperkirakan jumlah produksi, mempersiapkan produk, menentukan harga jual, menentukan distribusi dan menentukan kebijakkan promosi. Kebijakan pemasaran dalam membangun jejaring pasar kedepan diantaranya: 1) meningkatkan akses petani terhadap pasar, baik pasar domestik maupun pasar internasional; 2) kebijakan harga, pemantauan dan tataniaga yang memihak pekebun dalam pengembangan komoditas strategis; 3) pengembangan pasar melalui kegiatan promosi dan 174

193 sosialisasi; 4) penyediaan sarana prasarana dan pemasaran; 5) penguatan kelembagaan pasar; 6) pengembangan kerjasama dan kemitraan; 7) penguatan aspek distribusi; 8) perlindungan pekebun dari kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat; 9) dukungan analisis dan informasi pasar (PIP/pengembangan informasi pasar) yang memberikan nilai tambah bagi pelaku pasar yang berbasis pada teknologi informasi yang maju; 10) pemberdayaan pekebun dan penguatan SDI terkait aspek pemasaran dan advokasi pasar; 11) dukungan pendanaan dan regulasi yang tepat; 12) pembangunan pasar melalui sub terminal agribisnis, pasar tani, unit pemasaran poktan/ gapoktan, pasar lelang, dan lain-lain; 12) dukungan investasi di sektor hulu dan hilir untuk peluang penguatan pasar ekspor; dan 13) dukungan instansi terkait dalam pengembangan pasar. 8) Dukungan pengelolaan dan pelaksanaan program tematik pembangunan perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan sebagai bentuk dukungan Ditjen. Perkebunan untuk kegiatan yang secara langsung berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi sub sektor perkebunan di daerah. Program tematik yang berhubungan dengan sub sektor perkebunan diantaranya adalah: a. Pangarustamaan gender (PUG) Responsif gender mengarah kepada aspek kesetaraan dan keadilan petani (laki-laki dan perempuan) dengan memperhatikan kebutuhan, permasalahan, aspirasi, pengalaman, peran dan tanggung jawab serta dampaknya pada seluruh pelaku pembangunan. Telah menjadi komitmen Kementerian/Lembaga sejak diterbitkannya Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Kementerian/ Lembaga diwajibkan menerapkan PUG sebagai salah satu strategi dalam pencapaian program kerjanya. Strategi tersebut juga harus dilaksanakan pada kebijakan pembangunan tingkat provinsi maupun kabupaten/kota serta mendorong setiap penyusunan perencanaan kebijakan/program diawali dengan proses analisis gender melalui 4 aspek yaitu partisipasi, akses, kontrol dan manfaat yang diperoleh dari pelaku itu sendiri. Fasilitasi kegiatan Ditjen. Perkebunan dalam mendukung program tematik PUG adalah melalui kegiatan SL-PHT (sekolah lapang pengendali hama terpadu) tanaman perkebunan. SL-PHT merupakan salah satu model pelatihan yang sesuai untuk pemberdayaan petani yang bertujuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan 175

194 perilaku petani/kelompok tani agar mau dan mampu secara mandiri menerapkan PHT dalam pengelolaan kebunnya. Pendekatan teknisnya dilakukan dalam kelompok yang terdiri dari 25 petani baik laki-laki maupun perempuan yang mengusahakan komoditas yang sama. Materi yang disampaikan merupakan penjabaran dari 4 prinsip PHT yaitu budidaya tanaman sehat, pemanfaatan dan pelestarian musuh alami, pengamatan secara berkala dan petani menjadi manajer dikebun sendiri. b. Peningkatan penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ketrampilan petani (ketenagakerjaan) Arah kebijakan ketenagakerjaan di sub sektor perkebunan adalah dengan kontribusi tenaga kerja di aspek hulu diharapkan akan meningkatkan produktivitas komoditas perkebunan dan menurunkan jumlah pekebun yang hidup dalam kemiskinan karena aspek pemberdayaan akan meningkatkan ketrampilan pekebun dan aspek keterlibatan tenaga kerja berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan sekaligus penurunan pengangguran. Dengan demikian akan terjadi peningkatan kesejahteraan pekebun dan masyarakat perdesaan, yang akhirnya akan memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif sama dengan sektor industri dan jasa lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konsumsi belum banyak berdampak pada penciptaan lapangan kerja. Pemerintah perlu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menggenjot investasi sampai 5 tahun mendatang. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong terciptanya lapangan kerja dan pengurangan tingkat pengangguran dengan cara mendorong investasi pada sektor-sektor yang membutuhkan tenaga kerja dengan jumlah besar seperti sektor pertanian dan lebih khusus lagi sub sektor perkebunan. Berdasarkan sektor ekonominya, meningkatnya pengangguran disebabkan oleh berkurangnya jumlah pekerja di sektor pertanian secara signifikan. Sektor pertanian, meskipun masih jadi sektor penyumbang tenaga kerja tertinggi, namun perkembangan dalam setahun terakhir, sektor tersebut mengalami penurunan. Pelaku usaha sektor ekonomi yang mengalami penyusutan serapan tenaga kerja perlu menggiatkan hilirisasi. Selain untuk menambah jumlah tenaga kerja, hilirisasi juga akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Upaya untuk mengembalikan atau setidaknya menahan migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor lain menjadi prasyarat penting pengembangan ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah perlu menyiapkan insentif tenaga kerja. 176

195 Berikut ini beberapa kegiatan ketenagakerjaan yang dicetuskan oleh beberapa Kementerian/Lembaga dan menjadi arah kebijakan Ditjen. Perkebunan dalam penciptaan lapangan kerja melalui program peningkatan produksi komoditas perkebunan berkelanjutan. Kegiatan Perluasan Penciptaan Kesempatan Kerja dan Peningkatan Ketrampilan Pekerja Sektor Pertanian Kegiatan perluasan penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan keterampilan pekerja di sektor pertanian merupakan kegiatan yang dicetuskan Kantor Staf Presiden (KSP) sebagai implementasi dari 3 agenda prioritas (Nawa Cita) dalam peningkatan sumber daya manusia yaitu: (1) meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan; (2) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; dan (3) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor sektor strategis ekonomi domestik. Sasaran akhir yang ingin dicapai dari kegiatan tematik ketenagakerjaan adalah terwujudnya ketenagakerjaan yang berkualitas dan berdaya saing yang dapat meningkatkan kinerja Kementerian Pertanian dalam mencapai Kedaulatan Pangan. Ketenagakerjaan diupayakan untuk mendorong pemanfaatan sumber daya manusia dalam perekonomian nasional. Kegiatan perluasan penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan keterampilan pekerja harus dibarengi dengan kegiatan-kegiatan strategis yang memiliki nilai tambah tinggi. Sudah saatnya beranjak untuk tidak hanya mengandalkan komoditas yang rentan terhadap gejolak harga global. Pada akhirnya selain melalui peningkatan kemampuan dan keterampilan, antisipasi persaingan tenaga kerja sebagai dampak penerapan MEA tergantung bagaimana respon perbaikan di sektor pertanian itu sendiri. Kedepan, melalui kegiatan strategis ini, Kementerian Pertanian akan merumuskan langkah-langkah proaktif dalam bentuk penyusunan Rencana Aksi Ketenagakerjaan Sektor Pertanian (RA-KSP) tahun Kegiatan Pengembangan Sistem Informasi 10 Juta Kesempatan Kerja Dari 12 paket kebijakan ekonomi yang ditetapkan Pemerintah secara umum sampai dengan tahun 2016 ditujukan untuk menciptakan daya saing yang lebih kuat, menciptakan iklim investasi yang lebih menarik serta memberikan kepastian dan kemudahan dalam berusaha. Dampak kebijakan ini tentunya akan terlihat dari kesempatan kerja yang tercipta. Kebijakan perluasan kesempatan kerja yang dijalankan pemerintah perlu didukung oleh kontribusi pihak swasta dari berbagai sektor 177

196 terutama sektor pertanian. Berkaitan dengan hal tersebut, Kementerian Ketenagakerjaan yang memiliki tupoksi dalam penyusunan kebijakan dan regulasi terhadap penciptaan dan perluasan kesempatan kerja akan melakukan inisiasi terhadap salah satu prioritas program pemerintah dalam paket kebijakan ekonomi yaitu menciptakan 10 juta kesempatan kerja selama Sebagai langkah awal tercapainya sasaran prioritas program tematik ini, Kementerian Ketenagakerjaan melakukan identifikasi terhadap terciptanya 10 juta kesempatan kerja pada tahun 2015 dan tahun Identifikasi informasi tersebut dapat dikumpulkan dari institusi-institusi yang bekerja di bawah dan bertanggung jawab kepada pemerintah yang terdiri atas 34 Kementerian, 34 Lembaga Pemerintah non Kementerian dan 121 BUMN, salah satunya Kementerian Pertanian. Data dan informasi tenaga kerja yang terserap di masing-masing kegiatan K/L tersebut nantinya akan dikumpulkan melalui sebuah sistem database yang sistematis berupa SISTEM INFORMASI 10 JUTA KESEMPATAN KERJA. Data tenaga kerja yang terserap melalui berbagai kesempatan kerja yang nantinya akan ditampilkan pada database Sistem Informasi 10 Juta Kesempatan Kerja berupa: Informasi Primer deskripsi umum kegiatan yang menyerap tenaga kerja: nama kegiatan, lokasi, pelaksana, nilai kegiatan, jumlah tenaga kerja yang terserap, periode pelaksanaan dan jenis kegiatan. Informasi Sekunder sebaran pekerja menurut pendidikan, jabatan, jam kerja per minggu, status kepegawaian dan pengalaman pelatihan. Informasi Tersier informasi individu pekerja: nama, nomor KTP, nomor telepon/hp, jenis kelamin, tanggal lahir, pendidikan, jabatan, jam kerja per minggu, status kepegawaian, pengalaman pelatihan dan alamat. Fasilitasi kegiatan Ditjen. Perkebunan dalam mendukung program tematik ketenagakerjaan adalah 1) kegiatan perluasan tanaman perkebunan di lahan kering (tanaman semusim/ tebu, tanaman rempah penyegar dan tanaman tahunan); 2) kegiatan pemberdayaan pekebun (tanaman semusim dan rempah serta, tanaman tanaman tahunan dan penyegar); dan 3) mengidentifikasi data jumlah tenaga kerja yang terserap baik di pusat (tenaga kerja honorer/ kontrak) maupun di daerah (terkait kegiatan di daerah baik TP maupun dekonsentrasi). 178

197 c. Pengembangan kawasan perbatasan Kawasan Perbatasan merupakan kawasan tertentu yang secara nasional di nilai mempunyai dampak penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan. Pengelolaan kawasan dilakukan untuk 1) mendorong perkembangan kawasan agar dapat mengikuti perkembangan kawasan di wilayah nasional lainnya; 2) memanfaatkan potensi ekonomi dan sumber daya lainnya melalui kerjasama dengan negara tetangga dan 3) memelihara stabilitas pertahanan dan keamanan negara. Peran strategis kawasan perbatasan sebagai Belt of Security, secara sosial-ekonomi sebagai nasional image dan gateway dan secara lingkungan sebagai buffer zone. Paradigma baru penanganan kawasan perbatasan dari sebatas security approach menjadi lebih integrasi antara security dan prosperity approach. Sedangkan prioritas penanganan perbatasan berada pada perbatasan darat di kawasan Kalimantan-Sarawak-Sabah, NTT-Timor Leste dan Papua-PNG karena permasalahan sosial-ekonomi yang perlu diantisipasi segera. Pengembangan kawasan perbatasan diarahkan dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakatnya yang sebagian besar petani/ pekebun. Dengan demikian akan mengurangi kesenjangan ekonomi yang tinggi antara daerah perbatasan dengan daerah non perbatasan dan dengan negara tetangga sehingga akan mendorong utuhnya NKRI. Upaya-upaya yang dilakukan diantaranya meningkatkan potensi ekonomi di bidang pertanian/ perkebunan, meningkatkan perdagangan ekspor-impor, menurunnya kegiatan perdagangan produk pertanian/ perkebunan ilegal, serta memperkuat layanan perkarantinaan di perbatasan. Ditjen. Perkebunan turut mendukung pembangunan daerah perbatasan dengan pengembangan komoditas perkebunan yang spesifik lokasi dan sesuai agroekosistem di wilayah perbatasan seperti karet, kelapa sawit, pala, jambu mete, sagu, kelapa, kopi, lada, cengkeh dan lain-lain melalui fasilitasi kegiatan dan anggaran setiap tahun di lokasi-lokasi prioritas yang telah ditetapkan BNPP (Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan). Lokasi-lokasi prioritas pengelolaan daerah perbatasan negara tahun sebagaimana ditetapkan melalui Peraturan BNPP nomor 1 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara tahun dapat disajikan pada lampiran. 179

198 d. Pengembangan daerah tertinggal Pengembangan daerah tertinggal ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan, pemerataan pembangunan dan mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah tertinggal dengan daerah maju. Dalam pendekatan sektor pertanian/ sub sektor perkebunan, tidak terlepas dalam penyediaan sarana dan prasarana produksi yang memadai, mempercepat peningkatan kapasitas petani/ pekebun, pengembangan dan diseminasi teknologi spesifik lokasi, penguatan jaringan pasar produk pertanian/ perkebunan dan promosi potensi pertanian/ perkebunan daerah tertinggal. Untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dilakukan dengan lebih memberdayakan Orang Asli Papua di bidang produksi pertanian/ perkebunan. Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan relatif berdasarkan pada perhitungan 6 kriteria dasar dari 27 indikator utama yaitu: 1) perekonomian masyarakat (persentase keluarga miskin dan konsumsi per kapita); 2) sumber daya manusia (angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf); 3) prasarana infrastruktur (jumlah jalan aspal/ diperkeras/ beton, pengguna listrik, telepon, dll); 4) kemampuan keuangan daerah (celah fiskal); 5) aksesibilitas (rata-rata jarak ke pusat-pusat pelayanan dan pertumbuhan); dan 6) karakteristik daerah (persentase daerah rawan bencana, lahan kritis, rawan konfilk, kawasan hutan, dll). Pembangunan daerah tertinggal harus diperlakukan khusus sebagai model pembangunan yang mencoba membangun keterkaitan (linkage), keselarasan (harmony) dan kemitraan (partnership). Arah kebijakan pembangunan daerah tertinggal tahun dilakukan dengan mengembangkan perekonomian masyarakat melalui budidaya perkebunan yang sesuai potensi daerah, meningkatkan aksesibilitas, meningkatkan kualitas SDM, melakukan koordinasi lintas sektor dan penguatan regulasi. Ditjen. Perkebunan turut mendukung pembangunan daerah tertinggal dengan pengembangan 16 komoditas perkebunan yang sesuai dengan agroekosistem di daerah tertinggal melalui fasilitasi kegiatan dan anggaran setiap tahun. Isu-isu strategis pembangunan daerah tertinggal yang akan difokuskan penanganannya dalam 5 tahun kedepan adalah terkait pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar (standar pelayanan minimum/spm) dan aksesibilitas daerah tertinggal terhadap pusat-pusat pertumbuhan wilayah, hal ini didukung dengan terbitnya Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Pada Buku 3 RPJMN (Agenda 180

199 Pembangunan Wilayah) terdapat 122 Kabupaten yang dikategorikan daerah tertinggal. Jumlah tersebut merupakan hasil dari terentaskannya 70 Kabupaten/Kota dari 183 Kabupaten/Kota tertinggal pada periode RPJMN dan adanya 9 kabupaten tertinggal yang berasal dari Daerah Otonom Baru (DOB). Jumlah kabupaten tertinggal di kawasan timur Indonesia (KTI) mencapai 103 kabupaten (84,42%) dari total 122 kabupaten sedangkan sisanya sebanyak 19 kabupaten tertinggal (15,57%) berada di kawasan barat Indonesia (KBI). Pada akhir RPJMN ditargetkan paling tidak terentaskannya 80 kabupaten tertinggal. Lokasi-lokasi prioritas penanganan daerah tertinggal tahun berjumlah 122 Kabupaten/Kota dan dapat disajikan pada lampiran. e. Pengembangan kegiatan antisipasi dampak perubahan iklim Kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bersifat spesifik lokasi dengan mempertimbangkan kondisi geografis masing-masing wilayah sehingga teknologi yang akan diterapkan harus bersifat teknologi tepat guna dan spesifik lokasi dengan mengadopsi sebesar-besarnya kearifan lokal. Aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus memberikan manfaat dalam meningkatkan kesejahteraan petani/ pekebun sehingga kegiatan aksi yang akan dipilih harus disesuaikan dengan sistem dan usaha pertanian/ perkebunan rakyat. Ditjen. Perkebunan terus berupaya dalam mendukung kegiatan antisipasi dampak perubahan iklim yang ditargetkan menurunkan GRK hingga 26% (0,008 giga ton CO 2 e) dengan usaha sendiri dan 41% (0,011 giga ton CO 2 e) dengan bantuan internasional dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (bussines as ussual/bau) sebagaimana amanat dari Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Fasilitasi kegiatan Ditjen. Perkebunan dalam upaya antisipasi dampak perubahan iklim antara lain 1) kesiapsiagaan pencegahan kebakaran lahan dan kebun; 2) mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; 3) pengembangan model perkebunan rendah emisi karbon pada perkebunan kopi rakyat; 4) pemberdayaan masyarakat dalam rangka pencegahan dan pengendalian kebakaran lahan dan kebun; dan 5) pembinaan dan sertifikasi desa pertanian organik berbasis komoditi perkebunan. f. Pengembangan kawasan timur Indonesia (KTI) Program tematik pengembangan kawasan timur Indonesia, pada tahun pernah digagas oleh pemerintahan sebelumnya dengan membentuk UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan 181

200 Papua Barat) dengan status sebagai lembaga ad hoc di bawah Wakil Presiden sesuai amanat Peraturan Presiden nomor 66 tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Pada kabinet pemerintahan baru tahun , rencananya UP4B akan dijadikan lembaga permanen dengan upaya penguatan 3 unit di bawah Wakil Presiden yaitu selain UP4B, terdapat sekretariat wapres dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Sesuai arahan Agenda Prioritas NAWACITA dalam membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, dijabarkan lagi melalui sub agenda prioritas yaitu pemerataan pembangunan antar wilayah terutama kawasan timur Indonesia. Salah satu tantangan utama pembangunan wilayah nasional saat ini adalah masih besarnya kesenjangan antar wilayah, khususnya kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hal ini tercermin salah satunya dari kontribusi PDRB terhadap PDB, yang mana selama 30 tahun ( ), kontribusi PDRB KBI sangat dominan dan tidak pernah berkurang dari 80% terhadap PDB. Arah kebijakan Ditjen. Perkebunan terhadap pengembangan kawasan timur Indonesia adalah difokuskan untuk mempercepat pemerataan pembangunan antar wilayah KTI serta mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah KTI, yaitu Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara, Papua Barat dan Papua dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera. 9) Penguatan tata kelola kepemerintahan yang baik dan reformasi birokrasi sebagai dasar pelayanan prima Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk membangun aparatur negara yang berkualitas, profesional dan berdaya saing melalui sistem tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dari KKN, transparan dan akuntabel. Kebijakan reformasi birokrasi yang tercantum dalam Undang- Undang nomor 17 tahun 2007 tentang RPJPN menyebutkan bahwa pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan mewujudkan tata pemerintahan yang baik agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan berbagai bidang. 182

201 Reformasi Birokrasi Isu yang berkembang dalam kaitan reformasi birokrasi adalah modernisasi manajemen kepegawaian, restrukturisasi dan perubahan manajemen organisasi, rekayasa proses administrasi pemerintahan, anggaran berbasis kinerja, proses perencanaan partisipatif, pelayanan prima dan tata hubungan birokrasi antara pemerintah dan masyarakat. Kebijakan reformasi birokrasi yang digariskan diharapkan akan menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dari KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, memegang teguh nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Sasaran idealnya adalah terwujudnya pemerintah yang bersih dan bebas KKN, meningkatnya kualitas pelayanan publik serta meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Reformasi Kegiatan dan Anggaran Terkait reformasi kegiatan dan penganggaran, arahan Presiden pada Sidang Kabinet tanggal 10 Februari 2016 menyatakan bahwa 1) setiap Menteri dan Kepala Lembaga wajib mengendalikan anggaran di setiap K/L yang dipimpinnya. Tidak boleh masalah anggaran hanya diserahkan kepada Biro Perencanaan; 2) anggaran negara harus berorientasi manfaat untuk rakyat dan berorientasi pada prioritas untuk mencapai tujuan pembangunan nasional; 3) kebijakan anggaran belanja yang dilakukan tidak berdasarkan MONEY FOLLOW FUNCTION, tetapi MONEY FOLLOW PROGRAM PRIORITY. Tidak perlu semua tugas dan fungsi (tusi) harus dibiayai secara merata; 4) memangkas program yang nomenklaturnya tidak jelas dan tidak ada manfaatnya bagi rakyat. Semua nomenklatur proyek harus jelas, misalnya membeli jaring, membeli benih, dan seterusnya. Untuk itu, prioritas nasional kedepan dalam implementasi Money Follow Program Priority antara lain pembangunan kedaulatan pangan, pembangunan kedaulatan energi, pembangunan industri/ kawasan ekonomi khusus, pemerataan antar kelompok pendapatan, pembangunan perbatasan negara dan daerah tertinggal serta pembangunan perdesaan dan perkotaan (pemerataan). Reformasi Pengelolaan Data dan Informasi Kinerja Kebijakan utama dalam penguatan tata kelola kepemerintahan yang baik yang berkaitan dengan pengelolaan data dan informasi kinerja adalah: 183

202 1. Menerapkan SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) di lingkungan organisasi dengan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran harus terukur dan sesuai yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan seperti rencana strategis (Renstra). 2. Memfasilitasi penyajian data dan informasi publik (terkait kinerja) yang lengkap, akurat dan terpercaya serta didukung pemanfaatan teknologi dan SDM yang mumpuni. Dalam pengelolaan data dan informasi kinerja Ditjen. Perkebunan terutama data statistik tanaman perkebunan selama ini diperoleh dari data yang dilaporkan oleh petugas pengumpul data tingkat kecamatan (mantri perkebunan), setiap semester untuk tanaman tahunan dan per triwulanan untuk tanaman semusim secara manual dan elektronik (estatistikbun). Selain itu, masih ditemui kelemahan dalam sistem pengelolaan data komoditas Ditjen. Perkebunan yaitu Sarana prasarana serta SDM terbatas. Untuk itu diperlukan RENCANA PERBAIKAN PENGELOLAAN DATA KOMODITAS PERKEBUNAN. Kekuatan pengelolaan data komoditas Ditjen. Perkebunan selama ini adalah: 1) Memiliki Pedoman Pengelolaan Data Komoditas Perkebunan (PDKP); 2) Memiliki petugas pengumpul data tingkat Kecamatan (Mantri Perkebunan/Manbun) sejumlah orang; 3) Mekanisme pengumpulan data perkebunan secara berjenjang dari kecamatan, kabupaten, provinsi dan pusat, dengan mekanisme validasi dan sinkronisasi dan melibatkan instansi terkait; dan 4) Sistem pelaporan data berbasis web (e-statistikbun). Kebijakan kedepan dari reformasi pengelolaan data dan informasi kinerja Ditjen. Perkebunan yaitu: a. Melanjutkan komitmen Satu angka statistik perkebunan secara nasional yang valid, handal, mutakhir dan obyektif dimana statistik perkebunan harus menjadi prioritas utama bagi pimpinan/daerah (pengelonaan database perkebunan). b. Untuk meningkatkan akurasi pengumpulan data luas dan produksi perkebunan perlu dilakukan kegiatan pencatatan langsung pekebun secara bertahap di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, dalam rangka menindaklanjuti dan menyempurnakan metode pengumpulan data tanaman perkebunan rakyat, maka pada tahun 2017, Ditjen. Perkebunan akan melakukan uji coba kegiatan Pencatatan langsung pekebun. Tim Ditjen Perkebunan terpadu berasal dari Direktorat Teknis dan Sekretariat. 184

203 c. Diperlukan dukungan anggaran (honor mantri perkebunan, sarana dan prasarana) baik APBN maupun APBD dan sumber lainnya. d. Kaderisasi petugas statistik di daerah/ dan penguatan SDM (pejabat/petugas pengelola data tingkat provinsi, Kabupaten/Kota). e. Penerapan Pedoman Pengelolaan Data Komoditas Perkebunan (PDKP). f. Dibentuk forum koordinasi pada masing-masing tingkatan yaitu di pusat, provinsi dan kabupaten yang melibatkan institusi terkait (BPS, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Asosiasi, Dewan Komoditas, dan lain-lain) untuk menyamakan persepsi tentang angka statistik perkebunan. g. Memenuhi harapan dalam pelayanan data kepada masyarakat sebagai implementasi Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). h. Sistem pelaporan data berbasis web (e-statistikbun). i. Mendorong tercapainya persamaan persepsi mengenai metodologi pengumpulan data pekebun. B. Arah Kebijakan Khusus Berikut ini ditetapkan arah kebijakan khusus pembangunan perkebunan tahun ) Pemenuhan penyediaan bahan baku tebu dalam rangka peningkatan produksi gula nasional Arah kebijakan ini dimaksudkan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pangan berbasis tebu (gula) di dalam negeri baik dalam bentuk gula konsumsi langsung rumah tangga/gula kristal putih (GKP) maupun gula konsumsi yang diperuntukkan untuk industri/gula kristal rafinasi (GKR). Sesuai dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembangunan Pertanian tahun 2015 yang dilaksanakan pada tanggal November 2014 di Auditorium Kementerian Pertanian, arah kebijakan pengembangan tebu ditempuh dengan sasaran strategis peningkatan produksi gula nasional untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi bongkar ratoon, rawat ratoon, perluasan areal, pembangunan kebun benih induk (KBI) dan kebun benih datar (KBD), penataan varietas, database tebu sistem online, bantuan alat dan mesin pertanian, bantuan alat panen, dukungan 185

204 pengendalian OPT, SL-PHT tebu dan pemberdayaan petani tebu di sentra-sentra pengembangan tebu. Komitmen Kementerian Pertanian dalam peningkatan produksi gula nasional ditunjukkan melalui kebijakan Upaya Khusus (UPSUS) dengan terbitnya Peraturan Menteri Pertanian nomor 14.1/ Permentan/ RC.220/4/2015 tentang Pedoman Upaya Khusus Percepatan Swasembada Pangan dan Peningkatan Produksi Komoditas Strategis melalui APBN-P tahun Indikator kinerja UPSUS peningkatan produksi gula adalah pengembangan areal produktif tanaman tebu melalui bantuan benih tebu. Pencapaian program peningkatan produksi gula nasional mengisyaratkan terciptanya kedaulatan pangan bersumber dari tebu sehingga sistem pangan Indonesia berlandaskan kemandirian yang didukung oleh sub sistem yang terintegrasi berupa ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan berbasis tebu (gula). Secara umum pada Tabel 10 disajikan proyeksi mikro pengembangan tebu tahun yang dapat dikendalikan Kementerian Pertanian dalam pemenuhan konsumsi gula Kristal putih (GKP) yang meliputi luas tanam (hektar), produksi (ton) dan produktivitas (kg/hektar). Tabel 10. Proyeksi Mikro Pengembangan Tebu tahun yang dapat dikendalikan oleh Kementerian Pertanian No. Indikator Target per Tahun Laju Pertumb (%) 1. Luas Areal Tanam (Hektar) ,66 2. Produksi (ton) ,50 3. Produktivitas (Kg/Ha) ,75 Sumber: Roadmap Produksi Gula Nasional Arah kebijakan Ditjen. Perkebunan yang ditujukan untuk peningkatan produksi dan produktivitas tebu antara lain: 1) rasionalisasi atau penataan varietas tebu untuk mendapatkan komposisi varietas tebu unggul pada wilayah tertentu secara proporsional berdasarkan tingkat kemasakan sehingga masa giling optimal dapat dicapai dan pada gilirannya akan dapat meningkatkan rendemen melalui sinkronisasi varietas unggul dengan tipologi lahan pengembangan, komposisi kemasakan yang seimbang antara tebang awal, tengah dan akhir pada 186

205 suatu wilayah, ketersediaan bahan tanam yang sehat, murni dan tepat waktu pada saat dibutuhkan; 2) penerapan teknologi bududaya tebu yang sesuai GAP, GHP dan memperhatikan kondisi perubahan iklim dari masa tanam dan masa panen tebu; 3) percepatan kegiatan bongkar ratoon tebu karena pada dasarnya produktivitas tebu setelah 3-4 kali masa panen akan menurun ( 70 ton/ha) sehingga harus diremajakan dengan cara membongkar dan mengganti dengan tanaman baru dengan varietas unggul yang telah di rekomendasikan untuk mencegah rendemen tebu menurun sedangkan untuk percepatan kegiatan rawat ratoon tebu yaitu dengan pemeliharaan tanaman keprasan tebu secara lebih intensif dan efektif dalam penggunaan pupuk secara tepat, sesuai dan seimbang, selain itu dilakukan perluasan tebu pada daerah bukaan baru sesuai dengan kecocokan agroekosistem pengembangan tebu; 4) efisiensi hara dan penggunaan pupuk organik harus dipergunakan 1 kali pemupukan untuk 1 kali masa tanam yang diberikan di awal masa tanam sampai dengan masa panen dengan menggunakan pupuk organik dan pupuk majemuk yang memiliki sifat penguraian lamban dengan formulasi terdiri dari unsur mikro dan unsur makro; 5) suplesi air dengan membuat embung (tampungan air/waduk kecil terutama pada daerah tadah hujan) dan pengoperasionalan pompa air untuk mengangkat air dari sungai/sumur/waduk serta menyalurkannya ke lahan tebu; 6) penyediaan agro input dalam mendukung kegiatan bongkar ratoon dan rawat ratoon baik alat dan mesin pertanian maupun sarana produksi lainnya untuk digunakan dalam pengendalian OPT dengan pendekatan pengendalian hama terpadu/ hayati; 7) dukungan revitalisasi Pabrik Gula (PG) yang sudah ada guna meningkatkan kapasitas produksi dan inisiasi membangun PG baru dengan kapasitas produksi yang tinggi disertai peningkatan alat dan mesin modern serta inovasi teknologi PG; dan 8) penyiapan kebijakan/regulasi Pusat- Daerah dalam mendukung sistem pertebuan nasional terutama persoalan stabilitas harga. 2) Peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan dan memperkuat pengembangan komoditas perkebunan yang termasuk komoditas andalan ekspor dan komoditas perkebunan lainnya yang memiliki potensi dan prospektif untuk pasar ekspor serta peningkatan komoditas perkebunan yang berfungsi atau berorientasi sebagai nilai tambah bagi pekebun. Inti dari arah kebijakan ini adalah daya saing 187

206 artinya bagaimana membuat, menciptakan dan mengembangkan produk/komoditas yang orientasi di pasar ekspor, berkualitas, harga bersaing dan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Berkembangnya suatu produk di pasar bebas (ekspor) ditandai oleh banyaknya permintaan dan hal ini banyak berimplikasi kepada tingkat promosi, jangkauan pasar, harga dan kualitas. Kualitas produk berdaya saing dapat dilihat dari penerapan standar kualitas yang tinggi seperti sistem jaminan mutu budidaya, pascapanen dan pengolahan (GAP, GHP, GMP dan SPS) serta sistem jaminan mutu produk (HACCP, keamanan pangan dan lain-lain). Kebijakan/regulasi terkait ekspor, faktor iklim, biaya produksi, distribusi dan penyimpanan akan juga mempengaruhi harga pasar. Isu strategis dalam pengembangan komoditas ekspor kedepan adalah bagaimana budidaya perkebunan dijalankan dengan memperhatikan pelestarian lingkungan, untuk itu perlu diterapkan budidaya perkebunan yang baik dan berkelanjutan. Tujuan pengembangan komoditi unggulan perkebunan selain untuk penguatan ekspor di pasar internasional juga bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah, mutu dan daya saing produk/ komoditas dipasar domestik. Hal ini menggambarkan dari segi nilai, mutu dan kuantitas komoditas Indonesia di pasar dalam negeri cukup berperan dalam memenuhi konsumsi dalam negeri dan sumber penerimaan nasional. Upaya peningkatan nilai tambah komoditi perkebunan difokuskan pada 2 hal yakni pertama, peningkatan kualitas dan jumlah olahan produk perkebunan untuk mendukung peningkatan daya saing di pasar dalam negeri. Peningkatan kualitas produk/komoditas perkebunan (bahan mentah dan olahan) diukur dari peningkatan jumlah produk/komoditas perkebunan yang mendapat sertifikasi jaminan mutu. Kedua, upaya pengembangan produk yang punya daya saing di pasar internasional, baik segar maupun olahan, dimana kebutuhan di pasar dalam negeri sudah tercukupi. Pengembangan komoditi ekspor perkebunan menghadapi berbagai tantangan seperti perubahan lingkungan ekonomi regional dan internasional, baik karena pengaruh liberalisasi ekonomi maupun karena perubahan-perubahan fundamental dalam pasar produk pertanian global sebagai tuntutan pasar atas efisiensi usaha. Untuk itu diperlukan adanya upaya adopsi teknologi yang terus mengarah pada efisiensi pada industrialisasi perkebunan dan perdesaan. Tantangan lainnya dari pengembangan ekspor komoditas perkebunan Indonesia adalah kecenderungan penurunan harga dan permintaan pasar 188

207 internasional akibat krisis keuangan global; dan munculnya negaranegara pesaing (competitors) yang menghasilkan produk-produk hasil perkebunan yang sejenis dan pada musim yang sama serta produkproduk substitusi. Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu kebijakan yang harus dilakukan adalah memperkuat industi hilir. Industri hilir merupakan salah satu kunci sukses dalam meningkatkan daya saing produk perkebunan. Selain itu diperlukan peningkatan efisiensi produksi maupun distribusi produk melalui pengembangan dan penggunaan teknologi budidaya dan input yang lebih efisien, kelembagaan petani/pekebun yang menunjang efisiensi produksi, konsolidasi lahan perkebunan dengan tujuan untuk meningkatkan luas penguasaan lahan perkebunan per individu petani/pekebun. Lebih lanjut diperlukan penghapusan ekonomi biaya tinggi dengan menghilangkan inefisiensi dalam bidang pemasaran seperti pungutan liar dan perbaikan sarana infrastruktur informasi dan telekomunikasi. Kunci sukses lainnya adalah ketersediaan pasar, sinergitas kebijakan pusat-daerah, kegiatan promosi dan perilaku masyarakat dalam menghadapi era perdagangan bebas (MEA 2015) dengan mempersiapkan kemampuan individu/ skills dan mengobarkan semangat untuk mencintai produk dalam negeri. Yang terpenting adalah perbaikan tata niaga untuk menekan biaya inefisiensi yang timbul. Kebijakan tata niaga tarif/pajak/bk/regulasi ekspor dan impor dilakukan untuk melindungi produk pertanian/ perkebunan dalam negeri. Pengaturan bea masuk bagi produk-produk impor ke dalam negeri merupakan kebijakan sementara dalam jangka pendek sambil dilakukan pembinaan di dalam negeri terhadap produk sejenis agar nantinya memiliki standar kualitas sehingga bisa bersaing dengan kualitas produk impor. Selain itu dapat juga menerapkan kebijakan non tariff barrier yang tidak melanggar konvensi internasional terkait perdagangan. Dalam mendukung kebijakan peningkatan komoditas berorientasi nilai tambah serta komoditas andalan dan potensial/prospektif ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan, Ditjen. Perkebunan tetap berkomitmen menfasilitasi dalam pengembangan komoditas unggulan perkebunan yang berorientasi ekspor, selama ini eksis dan dijadikan sasaran penerimaan negara dari ekspor. Komoditas perkebunan yang sampai tahun 2014 memiliki kontribusi dalam peningkatan ekspor komoditas perkebunan antara lain komoditas 1) kelapa sawit (dalam bentuk CPO dan minyak sawit lainnya) dengan kontribusi 78,59% dari 12 komoditas andalan ekspor perkebunan; 2) karet dengan kontribusi 9% dari 12 komoditas andalan ekspor 189

208 perkebunan; 3) kelapa dengan kontribusi 5,87% dari 12 komoditas andalan ekspor perkebunan; 4) tebu dengan kontribusi 3,23% dari 12 komoditas andalan ekspor perkebunan; 5) kopi dengan kontribusi 1,32% dari 12 komoditas andalan ekspor perkebunan dan 6) kakao dengan kontribusi 1,14% dari 12 komoditas andalan ekspor perkebunan. Komoditas perkebunan lainnya yang berkontribusi terhadap peningkatan ekspor antara lain teh, jambu mete, kapas, tembakau, lada dan cengkeh dengan kontribusi keenam komoditas tersebut adalah sebesar 0,84% dari 12 komoditas andalan ekspor perkebunan tahun 2014 (Sumber: Ditjen. Perkebunan, 2015). Berikut ini disajikan pada Tabel 11 mengenai aspek-aspek kebijakan Ditjen. Perkebunan tahun dalam rangka peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan. Tabel 11. Aspek-aspek kebijakan Ditjen. Perkebunan tahun dalam rangka peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan No. Aspek-Aspek Kebijakan 1. Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas unggulan perkebunan yang selama ini berkontribusi dalam penerimaan negara dari ekspor seperti kelapa sawit (dalam bentuk CPO dan minyak sawit lainnya); karet; kelapa; tebu; kopi dan kakao. 2. Peningkatan produksi dan produktivitas melalui aspek penguatan perbenihan, pemberdayaan dan pendekatan standar pelayanan minimum (SPM) untuk komoditas unggulan perkebunan yang memiliki prospek/ potensi dalam meningkatkan ekspor perkebunan seperti teh, jambu mete, kapas, tembakau, lada dan cengkeh. 3. Penerapan sistem budidaya, pascapanen, pengolahan komoditas perkebunan yang baik (GAP, GHP, GMP dan SPS). 4. Pengembangan komoditas perkebunan yang berwawasan lingkungan 5. Pengembangan pasar dengan pendekatan kerjasama di forum-forum internasional, selain itu diperlukan pengayaan aspek promosi dan membangkitkan kesadaran dalam penggunaan produkproduk dalam negeri 6. Upaya pengembangan inovasi dan adopsi teknologi yang terus mengarah pada efisiensi industrialisasi perkebunan dan perdesaan 7. Memperkuat industi hilir dengan mendorong investasi di sub sektor perkebunan 8. Memperkuat aspek kelembagaan petani/pekebun yang menunjang efisiensi produksi dan kemitraan usaha 9. Penghapusan ekonomi biaya tinggi dengan menghilangkan inefisiensi dalam bidang pemasaran 10. Pembangunan dan perbaikan sarana prasarana dan infrastruktur dalam mendukung sistem budidaya, pascapanen, pengolahan dan pemasaran 11. Perbaikan tata niaga untuk menekan biaya inefisiensi yang timbul, selain itu diperlukan pengaturan bea masuk bagi produk-produk impor ke dalam negeri dan melalui kebijakan non tariff barrier 190

209 No. Aspek-Aspek Kebijakan 12. Sinergitas kebijakan pusat (antar K/L)-daerah dalam penganggaran dan dukungan regulasi yang kuat terkait ekspor impor 13. Mempersiapkan kemampuan SDI dengan bekal kemampuan, keahlian dan kemandirian yang kuat dibidang pertanian dalam menghadapi globalisasi (MEA) Sumber: Ditjen. Perkebunan, ) Pemenuhan penyediaan bahan baku bio-energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bio-industry Bio-Industry. Arah kebijakan pengembangan sistem pertanian bioindustry mengarah pada sistem pertanian masa depan yaitu Sistem Pertanian Bioindustri yang tercantum dalam Dokumen Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) Pada dasarnya, grand design SIPP adalah mengembangkan komoditas perkebunan sebagai sumber energi secara terintegrasi, yang menghubungkan kegiatan on farm dan pengolahan dalam satu wilayah (hulu-hilir), terintegrasi dalam sebuah rantai nilai, pendekatan zero waste management dan dalam penyediaan bahan baku tersebut sangat memerlukan dukungan sektor lain. Basis pengembangan bio-industri didasari oleh fungsi komoditas perkebunan. Disamping penghasil utama bahan pangan, perkebunan juga dituntut menjadi penghasil bahan non-pangan pengganti bahan baku hidrokarbon yang berasal dari fosil bagi industri. Era revolusi ekonomi yang digerakkan oleh revolusi teknologi industri dan informasi berbasis bahan fosil akan digantikan era revolusi bio-economic yang digerakkan oleh revolusi bio-technology dan bio-engineering yang mampu menghasilkan bio-massa sebesar-besarnya dan akan diolah menjadi bahan pangan, pakan, pupuk, energi, serat, obat-obatan, bahan kimia dan beragam bio-product lain yang berkelanjutan. Teknologi Revolusi Hijau yang selama ini menjadi basis pertanian harus ditransformasikan menjadi Revolusi Hayati (Biorevolution) yang memuat kesatuan kinerja seperti sub sistem pertanian terpadu hulu, sub sistem tata ruang, sub sistem usaha pertanian agro-ecology, sub sistem pengolahan bio-industry perdesaan, sub sistem pemasaran, sub sistem pembiayaan, sub sistem sumber daya insani (SDI), sub sistem infrastruktur hulu dan hilir serta sub sistem legislasi dan regulasi. Pembangunan bioindustri yang terpadu dengan sumber biomassa sesuai konsep biorefinery merupakan langkah awal strategis untuk meningkatkan nilai tambah hasil perkebunan dan sekaligus mengurangi ketergantungan pengolahan hasil perkebunan dari energi fosil melalui 191

210 pemanfaatan limbah perkebunan sebagai sumber energi untuk pengolahan. Kegiatan pembangunan perkebunan yang merupakan basis pendekatan pertanian bio-industry adalah integrasi tanaman perkebunan dan ternak karena pada dasarnya sistem pertanian integrasi ini menganut penggunaan biomassa pertanian dari sampah tanaman perkebunan (pelepah dan daun) sebagai sumber pakan dari ternak hingga pada akhirnya melalui proses kimia dan biologi feses dan urine ternak akan digunakan untuk memupuk tanaman kembali dan sebagai sumber pupuk organik serta penghasil energi (biogas). Tetapi perlu diperhatikan juga sistem budidayanya bahwa ternak harus dikandangkan. Jadi prinsip sistem pertanian integrasi tanaman perkebunan dan ternak adalah zero waste management. Keunggulan pembangunan perkebunan Indonesia haruslah didasarkan pada kesadaran diri yang tinggi dalam memahami potensi perkebunan untuk menghasilkan biomassa dan dijadikan sebagai basis keunggulan kompetitif dalam bio-economic. Untuk itu, pendekatan pembangunan perkebunan yang sesuai ialah pembangunan Sistem Pertanian/ Perkebunan-Bioindustri Berkelanjutan berdasarkan paradigma biokultura, yakni kesadaran, semangat, nilai budaya, dan tindakan (sistem produksi, pola konsumsi, kesadaran akan jasa ekosistem) memanfaatkan sumberdaya hayati bagi kesejahteraan manusia dalam suatu ekosistem yang harmonis. Bio-energy. Pengembangan penyediaan bahan baku bio-energy merupakan salah satu upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Pengembangan BBN (bio-energy) ini merupakan upaya perspektif dalam rangka kemandirian bahan bakar cair yaitu penyandingan serasi BBN dengan BBM. Lebih lanjut pengembangan BBN atau bio-energy harus berbasis kepada bahan baku lokal terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat khususnya diperdesaan dan mensubstitusi BBM. Berdasarkan Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional bahwa sasaran kebijakan energi nasional melalui bahan bakar nabati (biofuel) adalah terwujudnya energi (primer) mix yang optimal pada tahun 2025 menjadi lebih dari 5%. Kebijakan lainnya diperkuat melalui Inpres nomor 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Bio-Fuel) sebagai Bahan Bakar Lain dimana pengembangan komoditas bahan baku bioindustri dan bioenergi (Bahan Bakar Nabati) menjadi penting dalam memperkuat kebijakan 192

211 energi nasional. Berdasarkan Inpres tersebut, Menteri Pertanian diamanatkan untuk: a. Mendorong penyediaan tanaman bahan baku bakan bakar nabati (biofuel) termasuk benih dan bibitnya. b. Melakukan penyuluhan pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel). c. Memfasilitasi penyediaan benih dan bibit tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel). d. Mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pascapanen tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel). Amanat dari NAWACITA untuk berdikari secara ekonomi antara lain dalam 1) merelokasi sebagian subsidi BBN ke penyediaan biofuel dan 2) menyusun strategi cerdas energi baru terbarukan. Lebih lanjut, arah kebijakan bio-energy dimaksudkan sebagai upaya mencari alternatif sumber energi baru berbasis bio-energy dan bio-massa karena semakin langka dan mahalnya sumber daya fosil sehingga harus ada transformasi berbasis sumber energi serta bahan baku baru dan terbarukan, utamanya bahan hayati asal pertanian/perkebunan. Boks 1. NAWACITA berdikari dalam bidang ekonomi (terkait pengembangan Bahan Bakar Nabati) 1. Merelokasi sebagian subsidi BBM (sebagian besar dari impor) ke penyediaan biofuel (berbasis domestik). Realokasi subsidi ini akan memperbaiki keekonomian dari biofuel yang akan meningkatkan gairah industri biofuel. 2. Menyusun strategi yang cerdas energi baru terbarukan, melalui: a. Strategi Jangka Pendek, kontribusi terhadap pengurangan subsidi energi perlu dimasukan kedalam perhitungan keekonomian melalui penggunaan tenaga panas bumi dan tenaga air, biofuel dan biomassa yang diproduksi melalui pembentukan tata kelola energi terbarukan yang efisien dan efektif dan membentuk badan usaha khusus yg tugasnya memperkuat industri biofuel dan menjamin terjadinya perdagangan biofuel yang efisien melalui pembentukan tata kelola biofuel yang efisien dan efektif. b. Strategi Jangka Panjang, dengan merubah sistem harga beli energi terbarukan sehingga sesuai dengan nilai keekonomian atau sesuai dengan resiko investasi dalam sektor ini. Untuk itu, diperlukan kebijakan jangka pendek berupa penyediaan bahan baku untuk mengembangkan dan mengintensifkan komoditas yang sudah ditanam secara luas. Sampai dengan saat ini, komoditas perkebunan yang dirasa cukup siap dalam hal penyediaan benih, budidaya, produksi, produktivitas, penanganan pascapanen dan pasar adalah kelapa sawit (dalam bentuk CPO) sebagai tanaman bahan baku 193

212 bahan bakar nabati (biofuel) dengan sasaran mandatory BBN tahun 2020 sebesar 30% (B30). Komoditas lain yang memiliki potensi untuk dijadikan sumber BBN (biofuel) adalah kelapa, kemiri sunan dan jarak pagar. Ketiga komoditas tersebut selama ini tetap difasilitasi oleh Ditjen. Perkebunan yang diprioritaskan pada peremajaan kelapa rakyat, pengadaan kompor inti biji jarak pagar dan pengembangan tanaman kemiri sunan melalui perluasan areal serta pembangunan dan pemeliharaan kebun sumber bahan tanam (kebun induk dan kebun entres). Namun kendala dilapangan adalah komoditas kemiri sunan dan jarak pagar kurang memiliki aspek ekonomis untuk dibudidayakan, selain itu fakor ketersediaan lahan, banyaknya tanaman tua dan penanganan komoditas untuk dijadikan sumber BBN memerlukan waktu, tenaga dan anggaran yang cukup besar. Faktor varietas tanaman yang menghasilkan rendemen dan produktivitas tinggi sebagai sumber BBN belum dapat dikaji dari sisi efektifitas dan efisiensi ekonomi. Dan hal tersebut menuntut peran Badan Litbang Pertanian. Komoditas perkebunan lainnya yang dicanangkan untuk pengembangan BBN sebagai sumber bioethanol adalah tebu, aren dan sagu dengan sasaran mandatory BBN tahun 2020 sebesar 10% (E10). Dalam jangka menengah diupayakan untuk mengkaji dan mengembangkan komoditas potensial penghasil bioenergi, dan dalam jangka panjang ditekankan pada pemanfaataan biomassa limbah pertanian (generasi kedua). Untuk mendukung kebijakan tersebut yaitu dengan mengedepankan berbagai aspek seperti riset bioteknologi (pengembangan bibit varietas unggul bahan baku Bahan Bakar Nabati untuk menghasilkan jenis BBN biodiesel, bioetanol, biooil dan biogas); dukungan infrastuktur yang meliputi akses dari petani/ pekebun ke industri pengembangan BBN dan pasar; penciptaan pasar domestik yang didukung dengan mengoptimalkan diversifikasi sumber BBN; serta sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat agar beralih mengembangkan dan menggunakan BBN. Kebijakan pengembangan komoditas bahan baku BBN ini menjadi bagian dari kebijakan nasional dalam pengembangan energi baru terbarukan. Berikut ini disajikan pada Tabel 12 mengenai aspek-aspek kebijakan Ditjen. Perkebunan tahun dalam rangka pemenuhan penyediaan bahan baku bio-energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bio-industry. 194

213 Tabel 12. Aspek-aspek kebijakan Ditjen. Perkebunan tahun dalam rangka pemenuhan penyediaan bahan baku bioenergy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bioindustry No. Aspek-Aspek Kebijakan 1. Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas kelapa sawit (dalam bentuk CPO dan minyak sawit lainnya) sebagai penghasil bio-fuel melalui kegiatan-kegiatan 4-ASI, perlindungan perkebunan, pascapanen dan pemberdayaan. 2. Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas kemiri sunan melalui aspek penguatan perbenihan, pemberdayaan dan pendekatan standar pelayanan minimum (SPM). Selain itu dikembangkan juga komoditas penghasil bio-fuel seperti kelapa, dll serta komoditas penghasil bioethanol seperti tebu, sagu, dll 3. Kegiatan pengembangan integrasi tanaman perkebunan dan ternak serta sistem tumpangsari dengan tanaman lainnya yang merupakan basis pendekatan pertanian bio-industry. 4. Inisiasi pemanfaatan biomassa perkebunan dari sampah/ sisa tanaman perkebunan (pelepah dan daun) sebagai sumber pakan ternak dan sumber energy (biogas dan pupuk organik) dari feses/ urine ternak setelah mengkonsumsi biomassa pakan tersebut (zero waste management) 5. Upaya melakukan perluasan areal, rehabilitasi/ peremajaan, diversifikasi, pengembangan model serta pembangunan dan pemeliharaan kebun sumber bahan tanam (kebun induk dan kebun entres). 6. Menemukembangkan komoditas-komoditas perkebunan lainnya yang spesifik lokal sebagai sumber BBN dan kegiatan bio-industry 7. Penerapan sistem budidaya, pascapanen, pengolahan komoditas perkebunan yang baik (GAP, GHP, GMP dan SPS). 8. Upaya pengembangan inovasi dan adopsi teknologi yang terus mengarah dalam menemukan VUB yang berproduktivitas tinggi dan menghasilkan rendemen tinggi sebagai sumber bio-energy serta analisis ekonomi skala petani/pekebun. 9. Pengembangan komoditas perkebunan sumber BBN dan bio-industry yang berwawasan lingkungan 10. Pembangunan/ perbaikan unit pengolahan hasil, sarana prasarana dan infrastruktur pendukung sistem budidaya, pascapanen, pengolahan dan pemasaran BBN dan bio-industry. 11. Memperkuat aspek kelembagaan petani/pekebun yang menunjang efisiensi produksi dan kemitraan usaha untuk pengembangan BBN dan bio-industry. 12. Mendorong investasi untuk pengembangan BBN dan bio-industry. 13. Sosialisasi, koordinasi, pengawalan, pendampingan, pembinaan dan edukasi kepada masyarakat dalam mengembangkan dan menggunakan BBN 14. Penciptaan pasar domestik dan stabilitas harga yang didukung dengan mengoptimalkan diversifikasi sumber BBN. 15. Penyusunan peta jalan/ masterplan/ road map pengembangan komoditas perkebunan sumber BBN dan bio-industry. 16. Sinergitas kebijakan pusat (antar K/L)-daerah dalam penganggaran dan dukungan regulasi yang kuat terkait pengembangan komoditas perkebunan sumber BBN dan bio-industry. Sumber: Ditjen. Perkebunan,

214 4) Pengembangan sumber daya insani (SDI) perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa pembangunan perkebunan yang berbasis bio-industry dilaksanakan berorientasi pada kemampuan, kesiapan, kemandirian dan kedaulatan dari pekebun sesuai kapasitas pengetahuannya. Lebih jauh lagi kebijakan ini diharapkan mendukung berlangsungnya proses perubahan pembangunan dan penyelenggaran perkebunan guna terwujudnya sistem dan usaha agribisnis perkebunan yang bertumpu pada kemandirian dan kemampuan pelaku usaha. Perspektif kebijakan dalam pengembangan SDI perkebunan antara lain perspektif kewirausahaan, pespektif aksesibilitas terhadap sumberdaya dan teknologi, perspektif penumbuhan kebersamaan, perspektif penanganan dinamika kelompok, perspektif pemenuhan sistem informasi dan jenjang kinerja (pendidikan dan karir) dan perspektif daya saing. Pengembangan SDI perkebunan harus memperhatikan beberapa hal agar mampu meningkatkan daya saing di tataran Internasional diantaranya: 1) pendidikan dan kemampuan/skills; 2) keberadaan usia SDI yang produktif; 3) adopsi inovasi dan teknologi; 4) kreativitas; 5) peluang pelatihan, penelitian, pemberdayaan dan pendidikan; 6) migrasi tenagakerja ke sektor lain; 7) ketimpangan pendapatan dan sosial ekonomi lainnya; 8) sosial budaya dan karakteristik SDI perkebunan; 9) ketersediaan sarana prasarana kerja dan lingkungan kerja; dan 10) aksesibilitas, konektivitas dan minat. Berdasarkan arah kebijakan umum pembangunan nasional tahun dalam RPJMN , lebih menekankan kebijakan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Sumber daya manusia atau sumber daya insani menekankan pada manusia berkualitas, kompeten dan berkarakter yang memiliki integritas, komitmen, modal sosial dan modal politik pertanian tercermin dari peningkatan kemampuan/ketrampilan, kompetensi bidang dan akses pendidikan, pelayanan dasar dan kesehatan serta lingkungan. Selain itu sumber daya manusia yang berkompeten dan berintegritas tergantung pada ideologi bangsa sebagai penuntun, penggerak, pemersatu dan pengarah sebagaimana perwujudan TRISAKTI yaitu kedaulatan dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan kepribadian dalam kebudayaan. 196

215 Boks 2. Penjabaran TRISAKTI Penjabaran TRISAKTI dalam RPJMN : 1. Kedaulatan dalam politik diwujudkan dalam pembangunan demokrasi politik yang berdasarkan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kedaulatan rakyat menjadi karakter, nilai, dan semangat yang dibangun melalui gotong royong dan persatuan bangsa. 2. Berdikari dalam ekonomi diwujudkan dalam pembangunan demokrasi ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam pengelolaan keuangan negara dan pelaku utama dalam pembentukan produksi dan distribusi nasional. Negara memiliki karakter kebijakan dan kewibawaan pemimpin yang kuat dan berdaulat dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi rakyat melalui penggunaan sumber daya ekonomi nasional dan anggaran negara untuk memenuhi hak dasar warga negara. 3. Kepribadian dalam kebudayaan diwujudkan melalui pembangunan karakter dan kegotongroyongan yang berdasar pada realitas kebhinekaan dan kemaritiman sebagai kekuatan potensi bangsa dalam mewujudkan implementasi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi Indonesia masa depan. Prinsip dasar TRISAKTI ini menjadi basis sekaligus arah perubahan berdasarkan pada mandat konstitusi dan menjadi pilihan sadar dalam pengembangan daya hidup kebangsaan Indonesia, yang menolak ketergantungan dan diskriminasi, serta terbuka dan sederajat dalam membangun kerjasama yang produktif dalam tataran pergaulan internasional. 5) Penguatan kelembagaan pekebun dan kemitraan usaha perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian kelembagaan pekebun dalam memanfaatkan peluang usaha yang ada dan menjalin kerjasama usaha dengan mitra terkait melalui prinsip saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan antara petani, pengusaha, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan. Pengembangan kemitraan usaha perkebunan secara terpadu dilaksanakan pada sentra-sentra produksi yang memiliki potensi berkembang dengan ketersediaan bahan baku melalui kemitraan dengan investor baik dalam maupun luar negeri sehingga kedepan kelembagaan pekebun perlu memperluas jenis kelompok tani sesuai bidang usaha. Penguatan kelembagaan pekebun dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan pekebun untuk penyelesaian dinamika kelompok dan penguatan kemampuan baik aspek manajemen kelompok, kegiatan budidaya maupun aspek pengolahan dan pemasaran. 197

216 Lembaga petani/ pekebun yang dapat menjadi alat untuk meningkatkan skala usaha dan memperkuat posisi tawar kelembagaan petani itu sendiri. Lembaga pendukung untuk petani/ pekebun terutama lembaga penyuluhan pertanian/ perkebunan kedepan harus berfungsi sebagai motor penggerak penguatan kelembagaan petani dan kemitraan usaha petani. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mendorong program peningkatan produksi berbasis penyuluhan pertanian/ perkebunan melalui strategi 1) mengedepankan aspek penyuluhan, pendampingan dan pembinaan kepada petani/ pekebun dalam upaya peningkatan produktivitas pertanian/ perkebunan; 2) perluasan areal tanam produktif dengan melibatkan tenaga kerja petani/ pekebun yang aktif dengan pendampingan intensif; 3) memberikan penyuluhan kepada petani/ pekebun secara intensif dalam hal pengamanan produksi dari gangguan organisme pengganggu tanaman, dampak perubahan iklim dan kehilangan hasil pada saat panen dan pascapanen, dan 4) perbaikan kelembagaan petani/ pekebun dan pembiayaan. Aspek-aspek pengembangan SDM dan pemberdayaan usaha perkebunan dalam rangka penguatan kelembagaan pekebun dan kemitraan usaha perkebunan antara lain: 1) pendidikan dan pelatihan SDM perkebunan/ petani dan kelembagaannya; 2) fasilitasi sumber pembiayaan dan permodalan; 3) fasilitasi pelaksanaan ekspor hasil perkebunan; 4) menghindari pengenaan biaya yang tidak sesuai dengan perundang-undangan; 5) fasilitasi penguatan kelembagaan pekebun; 6) fasilitasi jaringan kemitraan antar pelaku usaha perkebunan; 7) mengutamakan hasil perkebunan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan bahan baku industry; 8) mengatur pemasukan dan pengeluaran hasil perkebunan; 9) fasilitasi aksesibilitas IPTEKS dan informasi dan 10) fasilitasi akses penyebaran informasi dan penggunaan benih unggul. Hasil akhir dari terlaksananya pemberdayaan usaha perkebunan adalah munculnya KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN dengan pola kerjasama meliputi: Penyediaan Sarana Produksi, Produksi, Pengolahan dan Pemasaran, Kepemilikan Saham dan Jasa Pendukung lainnya. Untuk itu kebijakan pentingnya penguatan kelembagaan pekebun dan kemitraan usaha perkebunan adalah memperhatikan aspek pengembangan perkebunan berkelanjutan (ekonomi, sosial budaya dan ekologi) dan terintegrasi dengan kawasan. 198

217 6) Akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan yang baik dalam memberikan kontribusi yang optimal untuk mendukung keberhasilan pembangunan dan peningkatan daya saing nasional/ internasional. Dalam kaitan ini tata kelola yang dimaksud adalah peningkatan integritas, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Peningkatan akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik ditandai dengan: a. Terwujudnya sistem pelaporan dan kinerja instansi pemerintah. b. Meningkatnya akses publik terhadap informasi kinerja instansi pemerintah. c. Makin efektifnya penerapan e-government untuk mendukung manajemen birokrasi secara modern. d. Meningkatnya implementasi open government pada seluruh instansi pemerintah. Arah kebijakan Ditjen. Perkebunan dalam mewujudkan akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah adalah meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kinerja birokrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi tahun dengan pokok-pokok kebijakan meliputi 1) akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme; 2) akuntabilitas dalam peningkatan kualitas pelayanan publik; 3) akuntabilitas dalam memperkuat kapasitas kinerja birokrasi; dan 4) akuntabilitas dalam hal profesionalisme SDI aparatur yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan dan mampu mendorong mobilitas aparatur antar daerah, antar pusat dan antara pusat dengan daerah, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan dan kesehatan yang sepadan. Secara umum disajikan pada Tabel 13 mengenai aspek-aspek kebijakan Ditjen. Perkebunan tahun dalam rangka akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik. 199

218 Tabel 13. Aspek-aspek kebijakan Ditjen. Perkebunan tahun dalam rangka akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik No. Aspek-Aspek Kebijakan 1. Penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Ditjen. Perkebunan melalui aspek perencanaan kinerja (penyusunan Renstra, perjanjian kinerja/pk dan rencana kinerja tahunan/rkt), pengukuran kinerja (penetapan IKP/IKU dan IKK), pengelolaan data kinerja, pelaporan kinerja (penyusunan Laporan Kinerja/Lakin/ Lakip), evaluasi kinerja (reviu terhadap kinerja oleh APIP) dan capaian kinerja (realisasi kinerja fisik dan keuangan). 2. Pemberian pelayanan yang prima dan berkualitas kepada masyarakat/publik secara konsisten dan berkelanjutan melalui pendekatan kebijakan 1 pintu dan 1 atap dalam bidang pengembangan perkebunan, pelayanan data dan informasi serta dukungan manajemen dan teknis lainnya lingkup Ditjen. Perkebunan (Perencanaan, Keuangan dan Perlengkapan, Umum serta Evaluasi dan Layanan Rekomendasi). Selain itu juga dengan mendorong inovasi pelayanan publik, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik serta penguatan kapasitas dan efektifitas pengawasan pelayanan publik. 3. Peningkatan penyelenggaran pemerintah yang bersih dan bebas KKN dengan menerapkan sistem keterbukaan dan akuntabilitas informasi publik (semangat WBK). 4. Pembinaan pegawai dalam penerapan prinsip tatanan pengelolaan manajemen keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, supremasi hukum, keadilan dan partisipasi. 5. Mendukung pengembangan teknologi informasi dan komunikasi terutama pengembangan infrastruktur, aspek pengelolaan, pemanfaatan, penerapan dan distribusi perluasan kesempatan ASN dalam menerima inovasi teknologi informasi dan komunikasi yang berkualitas 6. Melakukan koordinasi lintas sektoral dan bimbingan teknis terkait tata kelola kepemerintahan yang baik, reformasi birokrasi, pelayanan prima dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah seperti dengan KemenPAN-RB dan lain-lain. Sumber: Ditjen. Perkebunan, ) Peningkatan pendapatan keluarga pekebun Arah kebijakan ini merupakan resultan dari pencapaian semua sasaran strategis. Adapun prasyarat tercapainya peningkatan pendapatan keluarga pekebun diantaranya 1) peningkatan produksi dan produktivitas usaha tani pekebun dengan luas kepemilikan lahan yang terbatas melalui penerapan budidaya yang baik; 2) adanya jaminan harga yang bersaing dalam kerangka supply demand; 3) pekebun mampu meningkatkan nilai tambah terhadap usaha agribisnis perkebunan; 4) tersedianya jaminan pasar; 5) konektivitas terhadap ketersediaan infrastruktur; 6) aksesibilitas terhadap sumber pembiayaan; 7) penanganan adaptasi, mitigasi dampak perubahan iklim, bencana alam dan perlindungan perkebunan; 8) adopsi inovasi teknologi dan informasi yang tinggi; 9) dukungan ketersediaan benih, alsintan dan sarana produksi lainnya dan; 10) dukungan kegiatan penyuluhan, pelatihan dan pemberdayaan. 200

219 2.3. Sasaran Makro Pembangunan Perkebunan Secara umum strategi pembangunan nasional ditunjukan kedalam 3 dimensi pembangunan diantaranya 1) dimensi pembangunan manusia dan masyarakat dengan sasaran makro terkait kependudukan, keluarga berencana, pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, perlindungan anak dan pembangunan masyarakat; 2) dimensi pembangunan sektor unggulan terkait kedaulatan pangan, energi, maritim dan kelautan, pariwisata dan industri manufaktur serta ketahanan air, infrastruktur dasar dan konektivitas; dan 3) dimensi pemerataan dan kewilayahan yang meliputi penurunan kesenjangan antar kelompok ekonomi, perlindungan sosial, pelayanan dasar, daya saing tenaga kerja, kualitas dan ketrampilan tanaga kerja, pembangunan wilayah pulau dan desa, kawasan perbatasan, daerah tertinggal, pusat pertumbuhan ekonomi luar jawa dan pembangunan kawasan perkotaan. Dari ketiga dimensi tersebut, dimensi pembangunan sektor unggulan terkait kedaulatan pangan menjadi strategi pembangunan nasional yang terkait Ditjen. Perkebunan. Dalam pencapaian strategi pembangunan nasional tersebut dijabarkan lebih lanjut kedalam proyeksi makro pembangunan perkebunan tahun sebagaimana tercantum dalam Renstra Kementerian Pertanian tahun Tabel 14 menyajikan proyeksi makro pembangunan perkebunan tahun Tabel 14. Proyeksi Makro Pembangunan Perkebunan tahun No. Indikator proyeksi makro per tahun Laju Pertumb. (%) 1. Pertumbuhan PDB (%) 5,43 4,85 5,15 5,02 4,90 5,07 2. Neraca Perdagangan (juta US$) ,42 3. Nlai Ekspor (juta US$) ,00 Sumber: Renstra Kementerian Pertanian tahun Pada tabel 12 dapat dijelaskan bahwa proyeksi rata-rata pertumbuhan PDB perkebunan adalah sebesar 5,07%, sedangkan neraca perdagangan tumbuh sebesar 10,42% dan hal ini diiringi dengan semakin meningkatnya penerimaan ekspor komoditas unggulan perkebunan dengan rata-rata laju pertumbuhan nilai ekspor sebesar 10% sampai dengan tahun

220 2.4. Sasaran Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan Dalam RPJMN tahun ditetapkan 9 agenda prioritas NAWACITA yang menunjukkan sasaran prioritas pembangunan nasional dalam mewujudkan jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Perumusan agenda prioritas NAWACITA yang menjadi tupoksi Ditjen. Perkebunan adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik melalui peningkatan kedaulatan pangan dengan sasaran produksi gula tahun 2019 mencapai 3,26 juta ton. Selain itu agenda prioritas terkait akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan agroindustri berbasis komoditas perkebunan dengan sasaran produksi tahun 2019 untuk komoditas kelapa sawit sebesar 36,42 juta ton CPO; komoditas karet sebesar 3,81 juta ton karet kering; komoditas kakao sebesar 961 ribu ton biji kering; komoditas teh sebesar 162,7 ribu ton daun kering; komoditas kopi sebesar 778 ribu ton kopi berasan; dan komoditas kelapa sebesar 3,49 juta ton setara kopra. Sasaran pokok pembangunan nasional tersebut dijabarkan lebih lanjut kedalam 11 (sebelas) Sasaran Strategis Kementerian Pertanian tahun yang meliputi : 1) Meningkatnya produksi padi, jagung, kedelai, daging dan gula. 2) Terjaminnya distribusi pangan. 3) Meningkatnya akses dan pemanfaatan pangan dan gizi. 4) Meningkatnya konsumsi pangan lokal. 5) Stabilnya produksi cabai dan bawang merah. 6) Berkembangnya komoditas bernilai tambah dan berdaya saing. 7) Tersedianya bahan baku bioindustri dan bioenergy. 8) Meningkatnya kualitas sumber daya insani. 9) Meningkatnya pendapatan keluarga petani. 10) Meningkatnya kualitas aparatur dan layanan kelembagaan pertanian. 11) Meningkatnya akuntabilitas kinerja Kementerian Pertanian. Dari sebelas sasaran strategis tersebut, Ditjen. Perkebunan bertanggungjawab terhadap 7 sasaran strategis yaitu sasaran strategis yang berkaitan dengan 1) peningkatan produksi gula, 2) pengembangan 202

221 komoditas bernilai tambah dan berdaya saing, 3) Penyediaan bahan baku bioindustri dan bioenergy; 4) peningkatan kualitas sumber daya insani; 5) peningkatan kualitas aparatur dan layanan kelembagaan pertanian; 6) peningkatan akuntabilitas kinerja Kementerian Pertanian; dan 7) peningkatan pendapatan keluarga petani. Kesemua sasaran strategis Kementerian Pertanian tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan arah pembangunan pertanian sebagaimana tercantum dalam dokumen Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) tahun Untuk mendukung pencapaian sasaran strategis nasional dan sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun , sesuai tugas pokok dan fungsinya, Direktorat Jenderal Perkebunan menetapkan sasaran strategisnya untuk periode yang difokuskan pada peningkatan produksi dan produktivitas 16 komoditas strategis yang menjadi unggulan nasional perkebunan dengan target per tahun sebagaimana diuraikan dalam Tabel 12 untuk proyeksi luas tanaman menghasilkan (TM), Tabel 13 untuk proyeksi produksi dan Tabel 15 untuk proyeksi produktivitas. Tabel 15. Proyeksi Luas Tanaman Menghasilkan/TM (hektar) Komoditas Perkebunan tahun proyeksi luas TM (hektar) per tahun Laju No. Komoditas Pertumb (%) 1. Tebu ,66 2. Kelapa Sawit ,29 3. Karet ,61 4. Kelapa ,40 5. Kakao ,02 6. Kopi ,02 7. Teh ,25 8. Lada ,47 9. Cengkeh , Pala , Jambu Mete , Nilam , Kapas , Tembakau , Kemiri Sunan , Sagu ,00 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan,

222 Hasil analisis laju pertumbuhan rata-rata proyeksi luas tanaman menghasilkan (TM) dari 16 komoditas unggulan perkebunan tahun seperti pada Tabel 12 adalah sebesar 1,33%. Komoditas dengan proyeksi laju pertumbuhan tanaman menghasilkan (TM) yang tertinggi adalah komoditas pala, tebu dan kakao dengan laju pertumbuhan antara 2-4% selama 5 tahun mendatang. Hal ini membuktikan bahwa komoditas kakao masih menjadi primadona dalam pengembangannya setelah era program Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (Gernas Kakao) yang dicanangkan Direktorat Jenderal Perkebunan selama tahun Komoditas tebu akan terus difasilitasi pengembangannya melalui kegiatan yang ditujukan untuk peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman serta kegiatan pembukaan lahan baru pada daerah yang memiliki potensi pengembangan tebu secara agroekosistem. Sedangkan komoditas pala selama ini telah dibudidayakan oleh masyarakat secara tradisional di beberapa wilayah pengembangan (Provinsi Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat) walaupun begitu, persoalan budidaya yang baik dan penanganan pascapanen masih jadi tantangan kedepan. Komoditas kapas, kemiri sunan dan sagu sampai dengan tahun 2019, diproyeksikan luas tanam (TM) tetap, faktor ketersediaan lahan dan benih akan menjadi masalah utama pengembangan ketiga komoditas tersebut kedepan sehingga arah kebijakan Ditjen. Perkebunan lebih diprioritaskan pada kegiatan dalam rangka peningkatan produktivitas, memperkuat aspek perbenihan, kelembagaan dan pascapanen. Tabel 16. Proyeksi Produksi (ton) Komoditas Perkebunan tahun No. Komoditas proyeksi produksi (ton) per tahun Laju Pertumb. (%) 1. Tebu (gula) ,97 2. Kelapa Sawit (CPO) 3. Karet (karet kering) 4. Kelapa (kopra) 5. Kakao (biji kering) 6. Kopi (kopi berasan) 7. Teh (daun kering) , , , , , ,48 204

223 No. Komoditas 8. Lada (lada kering) 9. Cengkeh (bunga kering) 10. Pala (biji kering) 11. Jambu Mete (gelondong kering) 12. Nilam (minyak nilam) 13. Kapas (serat berbiji) proyeksi produksi (ton) per tahun Laju Pertumb. (%) , , , , , , Tembakau (daun kering) ,90 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Hasil analisis laju pertumbuhan rata-rata proyeksi produksi komoditas unggulan perkebunan tahun seperti pada tabel 13 adalah sebesar 4,15%. Komoditas dengan proyeksi laju pertumbuhan produksi yang tertinggi adalah komoditas tebu, tembakau, kakao, pala, kelapa sawit, kapas dan karet dengan kisaran pertumbuhan antara 3-6% selama 5 tahun mendatang. Untuk komoditas sagu dan kemiri sunan, 5 tahun mendatang belum bisa diproyeksikan angka produksinya. Komoditas sagu selama ini difasilitasi Ditjen. Perkebunan hanya dalam kegiatan penataan varietas, alat pengolahan dan perluasan areal dalam skala terbatas. Yang menjadi kendala adalah sebagian besar areal produktif sagu berada pada wilayah kehutanan sehingga untuk budidaya masih terkendala keterbatasan lahan dan teknologi pascapanen yang belum memenuhi aspek ekonomis pekebun sagu. Sedangkan komoditas kemiri sunan selama ini difasilitasi Ditjen. Perkebunan hanya dalam pengembangan areal dalam skala terbatas, kendala di lapangan adalah terbatasnya Unit Pengolahan Hasil, sempitnya jangkauan pasar dan varietas tanaman yang ada belum mampu menghasilkan produktivitas yang optimal sehingga daya tarik pekebun untuk budidaya kemiri sunan sangat kurang. Hal ini ditambah lagi umur panen kedua komoditas ini secara alami berkisar antara 4-7 tahun sehingga kurang memilki aspek ekonomis untuk dibudidayakan. Kedepan aspek budidaya, pengolahan, pemasaran dan penelitian/ teknologi akan memegang peranan yang penting dalam pengembangan komoditas ini. 205

224 Tebu sebagai salah satu komoditas unggulan perkebunan memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan secara nasional yaitu Gula. Hal ini sesuai dengan sasaran strategis Kementerian Pertanian dimana gula berbasis komoditas tebu menjadi komoditas strategis untuk pencapaian kedaulatan pangan nasional. Direktorat Jenderal Perkebunan pada periode terus berupaya mengembangkan komoditas tebu di wilayah sentra-sentra pengembangan tebu dan wilayah pengembangan/ bukaan baru melalui alokasi anggaran dan kegiatan yang ditujukan untuk peningkatan produksi dan produktivitas. Dalam usaha perkebunan tebu, pada 5 tahun mendatang diproyeksikan terjadi peningkatan produksi tebu yang cukup signifikan dengan laju pertumbuhan produksi sebesar 6,97%. Dukungan APBN Direktorat Jenderal Perkebunan untuk mendukung peningkatan produksi tebu diwujudkan dalam bentuk penyediaan benih unggul bermutu melalui pembangunan Kebun Benih Induk (KBI) dan Kebun Benih Datar (KBD) menggunakan teknik kultur jaringan, bantuan alat dan mesin pertanian, penyediaan agro-input, penguatan riset dan kelembagaan usaha tani tebu (KPTR), bongkar ratoon, rawat ratoon dan perluasan areal pada daerah potensial pengembangan tebu dan daerah bukaan baru. Selain itu inisiasi pembangunan dan revitalisasi Pabrik Gula (PG) melalui peningkatan kapasitas giling PG dan fasilitasi pembiayaan menjadi faktor penting dalam mendukung kebijakan pengembangan tebu. Terakhir, upaya keberpihakan kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pengaturan tata niaga pertebuan, stabilitas harga dan kebijakan pembangunan infrastruktur serta melalui diversifikasi produk akan menjadi faktor pengungkit dalam mendukung pengembangan tebu rakyat kedepan. Usaha perkebunan tembakau didominasi oleh perkebunan rakyat. Tingginya laju proyeksi produksi rata-rata tembakau menunjukkan besarnya kekuatan sumber daya pekebun dalam mengembangkan komoditas tembakau yang dapat memberikan jaminan harga yang remuneratif meskipun dibatasi oleh berbagai peraturan terutama peraturan tentang kesehatan dan intervensi tanpa adanya bantuan input produksi dari APBN. Namun demikian, peran Pemerintah dalam upaya peningkatan produksi tembakau, masih tetap dilakukan terutama dalam pembinaan, pengawalan dan pemberdayaan petani baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Adanya alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) kepada daerah penghasil tembakau, memungkinkan Pemerintah Daerah membina para pekebun tembakau di wilayahnya secara lebih intensif. 206

225 Kegiatan Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (Gernas Kakao) yang dicanangkan Direktorat Jenderal Perkebunan sejak tahun cukup menunjukkan kinerja yang memuaskan baik produksi maupun produktivitas. Semakin meningkatnya peran serta swasta dan pemerintah daerah baik melalui kontribusi anggaran maupun dukungan regulasi sangat membantu petani/pekebun kakao dalam usaha budidaya untuk peningkatan produksi. Kedepan Direktorat Jenderal Perkebunan tetap memfokuskan pengembangan kakao melalui kegiatan intensifikasi/ rehabilitasi/ peremajaan/ perluasan tanaman, pemberdayaan pekebun, penguatan kelembagaan pekebun, pembangunan/ pemeliharaan kebun sumber bahan tanam, bantuan alat pascapanen dan pengendalian OPT dengan 4 tujuan utama yaitu 1) peningkatan produksi, produktivitas dan mutu kakao nasional; 2) menjadi penghasil biji kakao nomor 1 dunia mengalahkan Ghana dan Pantai Gading; 3) peningkatan sumber devisa negara dari produk ekspor, dan 4) peningkatan kesejahteraan pekebun. Peningkatan luas TM komoditas pala yang diproyeksikan 5 tahun mendatang tumbuh sebesar 4,37% akan diikuti dengan peningkatan produksi sebesar 4,79%. Optimalisasi pemanfaatan lahan eksisting komoditas pala pada daerah sentra pengembangan melalui kegiatan rehabilitasi dan peremajaan diyakini akan mampu mencapai target produksi yang dicanangkan. Selain itu pola budidaya, pemberdayaan pekebun dan teknologi pascapanen harus menjadi kegiatan pengungkit dalam rangka peningkatan produksi komoditas pala pada kawasan pengembangan. Fasilitasi Direktorat Jenderal Perkebunan melalui APBN untuk pengembangan komoditas kelapa sawit tetap dilakukan melalui kegiatan demplot model peremajaan kelapa sawit, pergantian benih tidak bersertifikat dengan benih unggul bermutu dan bersertifikat dalam skala terbatas, serta mendorong lebih banyak pekebun untuk dapat memanfaatkan fasilitas subsidi bunga perbankan yang disalurkan melalui skim kredit program Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) dalam rangka pengembangan usaha perkebunan kelapa sawitnya. Walaupun saat ini telah ditetapkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang secara tupoksi lebih dominan untuk mengembangkan komoditas kelapa sawit melalui kegiatan peremajaan tanaman, pengembangan SDM, penelitian, promosi, sarana prasarana, pemanfaatan BBN sampai hilirisasi industri tetapi dalam skala terbatas Ditjen. Perkebunan tetap berkontribusi 207

226 dalam pengembangan kelapa sawit nasional seperti melalui dukungan kebijakan dan regulasi. Seiring dengan penetapan proyeksi luas tanam komoditas kapas 5 tahun mendatang lebih difokuskan pada peningkatan produktivitas pada lahan-lahan eksisting, maka diikuti dengan peningkatan proyeksi produksi kapas sampai dengan tahun 2019 meskipun anomali iklim dan aspek perbenihan masih menjadi kendala terbesar pengembangan kapas. Ditjen. Perkebunan terus berupaya mengalokasikan kegiatan dan anggaran di sentra-sentra produksi kapas meliputi penanaman kapas pada lahan-lahan eksisting ditambah melalui pelatihan petani untuk meningkatkan kapabilitas petani dalam memahami teknik budidaya dan pascapanen yang baik pada komoditi kapas dan pelaksanaan pengendalian OPT kapas. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan animo para pekebun untuk mengusahakan kapas menjadi tinggi sehingga akan mendongkrak harga jual serat kapas berbiji yang selama ini dianggap kurang memberikan keuntungan. Semakin meningkatnya permintaan dunia pada produk turunan komoditas karet mendorong negara penghasil karet dunia termasuk Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas karet secara nasional walaupun dibatasi oleh perjanjian kerjasama dalam forum ITRC dengan tujuan untuk stabilisasi harga karet dunia. Kebijakan Direktorat Jenderal Perkebunan tahun untuk pengembangan komoditas karet tetap difokuskan pada kegiatan peremajaan tanaman, perluasan areal secara terbatas di daerah tertinggal, perbatasan dan pasca konflik, pemberdayaan petani, penanganan pascapanen, pembangunan/ pemeliharaan kebun sumber bahan tanam dan pengendalian OPT. Tabel 17. Proyeksi Produktivitas (Kg/Ha) Komoditas Perkebunan tahun No. Komoditas proyeksi produktivitas (kg/ha) per tahun Laju Pertumb. (%) 1. Tebu ,75 2. Kelapa Sawit ,98 3. Karet ,86 4. Kelapa ,94 5. Kakao ,51 6. Kopi ,75 7. Teh ,24 8. Lada ,66 208

227 No. Komoditas proyeksi produktivitas (kg/ha) per tahun Laju Pertumb. (%) 9. Cengkeh , Pala , Jambu Mete , Nilam , Kapas , Tembakau ,85 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Tabel 14 menunjukkan proyeksi produktivitas yang akan dicapai dalam kurun waktu 5 tahun kedepan. Hasil analisis menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rata-rata proyeksi produktivitas komoditas unggulan perkebunan tahun adalah sebesar 2,37%. Komoditas dengan proyeksi laju pertumbuhan produktivitas yang tertinggi adalah komoditas tembakau, kapas, kakao, kelapa sawit, tebu dan karet yang berada pada kisaran 1-4% selama 5 tahun mendatang. Proyeksi peningkatan produktivitas 14 komoditas unggulan perkebunan diyakini sebagai dampak dari kegiatan-kegiatan yang akan dicanangkan Direktorat Jenderal Perkebunan pada sentra-sentra produksi komoditas perkebunan tahun seperti 1) kegiatan intensifikasi pada tanaman kelapa sawit, kakao, kopi, lada, cengkeh, pala dan teh 2) penggunaan benih unggul bermutu dan bersertifikat serta demplot peremajaan pada kelapa sawit, 3) bongkar ratoon, rawat ratoon dan penataan varietas pada tanaman tebu, 4) peremajaan pada komoditas karet, kelapa, jambu mete, kopi, pala dan kakao, 5) rehabilitasi pada komoditas kelapa, jambu mete, kopi, teh, kakao, lada, pala dan cengkeh, 6) kegiatan penanaman kapas dan tembakau; 7) kegiatan penataan tanaman sagu; 8) kegiatan pengendalian OPT dan SL-PHT, dan 9) pemberdayaan petani yang secara tidak langsung membina petani untuk secara swadaya mengimplementasikan teknik-teknik budidaya tanaman yang benar untuk meningkatkan produktivitas tanamannya Strategi Pembangunan Perkebunan Berikut ini adalah strategi pelaksanaan program dan kegiatan terhadap pencapaian arah dan kebijakan pembangunan perkebunan tahun yang ditetapkan Direktorat Jenderal Perkebunan. Strategi pembangunan perkebunan 5 tahun mendatang dapat dibagi menjadi Strategi Umum dan Strategi Khusus. 209

228 Strategi umum dirumuskan dalam rangka mendukung program Direktorat Jenderal Perkebunan tahun yaitu peningkatan produksi komoditas perkebunan berkelanjutan, sedangkan strategi khusus adalah strategi pembangunan perkebunan tahun yang dirumuskan dalam rangka mendukung pencapaian 7 sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun Strategi Ditjen. Perkebunan tahun dalam pencapaian 7 sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun diantaranya meliputi 1) strategi pemenuhan penyediaan bahan baku Tebu dalam rangka peningkatan produksi gula nasional; 2) strategi peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan; 3) strategi pemenuhan penyediaan bahan baku bio-energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bio-industry; 4) strategi pengembangan sumber daya insani perkebunan (SDI); 5) strategi penguatan kelembagaan pekebun dan kemitraan usaha perkebunan; 6) strategi akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik; dan 7) strategi peningkatan pendapatan keluarga pekebun. A. Strategi Umum Berikut ini adalah strategi umum pembangunan perkebunan 5 tahun mendatang: 1) Strategi pengembangan komoditas perkebunan strategis Strategi ini mencakup: a. Mengembangkan 16 komoditas unggulan perkebunan seperti tebu, kelapa sawit, karet, kelapa, kakao, kopi, teh, pala, lada, cengkeh jambu mete, kemiri sunan, sagu, nilam, kapas dan tembakau melalui penerapan budidaya yang baik (GAP). b. Mengembangkan komoditas perkebunan berdasarkan manfaatnya seperti sebagai bahan pangan pokok (tebu dan sagu) dan sumber energi prospektif (kemiri sunan, tebu, kelapa, kelapa sawit dan sagu). c. Mengembangkan komoditas perkebunan berdasarkan fungsinya seperti sebagai komoditas pengendali inflasi (minyak goreng/cpo), komoditas bahan baku industri (kelapa sawit, tebu, karet, kakao, kopi, lada, pala, teh, jambu mete, kapas dan tembakau), komoditas industri minyak atsiri (nilam, pala dan cengkeh), komoditas industri pertanian prospektif (pala, lada, cengkeh dan sagu) dan komoditas berorientasi ekspor (kelapa sawit, karet, kakao, kopi, lada, pala, teh, jambu mete, kapas dan tembakau). 210

229 d. Mengembangkan komoditas unggulan perkebunan pada lahanlahan (eksisting dan bukaan baru) dan wilayah pengembangan yang sesuai potensi agroekosistemnya. e. Mengembangkan komoditas unggulan perkebunan pada lahanlahan sesuai dengan kebutuhan kegiatan dan anggarannya seperti peremajaan, rehabilitasi dan lain-lain. f. Mengembangkan komoditas unggulan perkebunan pada lahanlahan sub optimal, bekas tambang, terlantar, lahan tidur dan lahan sub optimal lainnya melalui introduksi teknologi yang tepat baik terkait aspek kesesuaian lahan/ tanah maupun aspek perbenihan yang cocok/ sesuai dengan kondisi sub optimal. g. Mengembangkan komoditas unggulan perkebunan pada wilayah sentra pengembangan sesuai dengan kesiapan daerah dan petaninya seperti adanya dukungan regulasi kebijakan pemerintah daerah, penetapan CP/CL yang tepat sasaran dan lain-lain. h. Mengembangkan budidaya 16 komoditas unggulan perkebunan melalui penerapan IPTEK dan 4-ASI (Intensifikasi, Rehabilitasi, Ekstensifikasi dan Diversifikasi), yang didukung dengan sistem penyuluhan, pengawalan, pendampingan yang intensif dan keterkaitan antara aspek penelitian dan pengembangan sehingga teknologi pertanian mudah diakses. i. Mengembangkan komoditas perkebunan lainnya yang masih dalam tahap inisiasi yang diarahkan pada pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM) melalui penyediaan benih/ varietas unggul, pembangunan/ pemeliharaan kebun sumber benih (demplot, kebun induk, kebun entres, dan lain-lain), pemberdayaan pekebun, peningkatan kapasitas SDI dan penguatan kelembagaan. j. Mengoptimalkan dukungan penyediaan benih unggul bermutu/ bersertifikat, berpotensi hasil tinggi dan adaptif terhadap perubahan iklim, serangan OPT dan ramah lingkungan serta dukungan ketersediaan sarana produksi, alat dan mesin pertanian dan infrastruktur pendukung lainnya. k. Mengoptimalkan dukungan perlindungan perkebunan dalam mengatasi gangguan OPT perkebunan melalui inovasi teknologi yang ramah lingkungan. l. Memfasilitasi dukungan pembinaan usaha dan penanganan gangguan usaha perkebunan/konflik perkebunan serta dukungan manajemen dan teknis lainnya. 211

230 m. Mendorong penurunan penggunaan input eksternal sintesis melalui penggunaan input produksi dari bahan hayati atau organik atau penerapan pemakaian input eksternal secara bijaksana dan 5 T (tepat jumlah, tepat cara, tepat waktu, tepat jenis dan tepat tempat). n. Memfasilitasi pengembangan sarana prasarana pendukung seperti irigasi teknis, jalan produksi, alat mesin pertanian, dan lain-lain. o. Menyusun regulasi yang tepat dan pro pekebun terkait pengembangan 16 komoditas perkebunan di daerah seperti sertifikasi IG (Indikasi Geografis), pertanian organik, masterplan dan rencana aksi pengembangan kawasan, perizinan usaha, penerapan sertifikat ISPO dan lain-lain. p. Mendorong pengembangan usaha perkebunan berskala ekonomi dan terintegrasi dengan unit pengolahan dan pasar. q. Memfasilitasi peningkatan produksi komoditas perkebunan melalui akselerasi peningkatan produktivitas sehingga mengurangi tekanan terhadap penggunaan sumber daya lahan dan air yang semakin terbatas. r. Mengadvokasi petani/pekebun tentang bagaimana sistem budidaya yang baik melalui penerapan GAP (good agriculture practice), GMP (good manufacturing practice), GHP (good handling practice) dan SPS (sanitary and phytosanitary) dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas komoditas perkebunan dengan mengintensifkan peran petugas pusat dan daerah. s. Memfasilitasi penggunaan peralatan budidaya dan pascapanen yang efisien, ramah lingkungan, mudah pengoperasian dan bermanfaat. t. Menyusun pedum/juknis/juklak dengan substansi isi menjelaskan pengembangan sistem budidaya yang baik dan berkelanjutan. u. Mendorong pengembangan sistem pertanian polikultur dan sistem usaha tani terpadu dan terintegrasi. 2) Strategi pengembangan kawasan berbasis komoditas perkebunan unggulan nasional Strategi ini mencakup: a. Mengembangkan komoditas unggulan nasional dan lokal sesuai dengan peluang pasar, karakteristik dan potensi wilayah dengan penerapan teknologi budidaya yang baik. 212

231 b. Memfasilitasi pemanfaatan sumber daya lahan lainnya seperti lahan pekarangan, lahan pangan, lahan cadangan dan sisa aset lahan lainnya dengan pengembangan cabang usaha tani lain yang sesuai. c. Menumbuhkembangkan kawasan komoditas unggulan berbasis pedesaan dengan pengelolaan dari hulu sampai hilir dalam satu kawasan. d. Mengembangkan usaha budidaya tanaman perkebunan untuk mendukung penumbuhan sentra-sentra kegiatan ekonomi pada wilayah khusus antara lain wilayah perbatasan dan penyangga (buffer zone), wilayah konflik/pasca konflik, wilayah bencana alam serta wilayah pemekaran. e. Mendorong pengembangan aneka produk (products development) perkebunan serta upaya peningkatan mutu untuk memperoleh peningkatan nilai tambah. f. Mendorong penyediaan sarana dan prasarana pendukung pengembangan kawasan perkebunan. g. Mendukung pengelolaan kawasan berbasis komoditas perkebunan terhadap upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. h. Membangun database kawasan baik tabular maupun spasial yang lengkap dan akurat melalui inventarisasi sumber daya lahan perkebunan, tata ruang, pewilayahan komoditas serta mendorong penyusunan masterplan dan rencana aksi pengembangan kawasan perkebunan. 3) Strategi pengembangan dan penguatan sistem pembiayaan perkebunan Strategi ini mencakup: a. Mendorong penyempurnaan skim kredit program perkebunan untuk memudahkan penyerapan kredit oleh masyarakat pekebun, mudah diakses, prosedur yang sederhana dan persyaratan lunak. b. Menumbuhkembangkan kelembagaan petani sebagai Channeling Agent lembaga keuangan formal di perdesaan baik perbankan maupun non bank untuk pembiayaan permodalan pekebun seperti Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A), koperasi dan lainlain. 213

232 c. Mendorong pengembangan pola kerjasama petani dan swasta/pengusaha lokal sehingga ada yang menjadi avalis bagi petani dalam meminjam modal usaha perkebunannya. d. Meningkatkan fungsi penyuluh sebagai fasilitator pembiayaan petani. e. Mendukung penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya aparatur pemerintah dalam mendampingi dan mengawal petani untuk mengakses sumber permodalan yang tersedia, memantau, mengawasi dan melaporkan ketepatan dalam proses pengajuan, pencairan dan penggunaanya. f. Memfasilitasi pembiayaan bagi petani melalui program pengembangan usaha agribisis sesuai potensi wilayah. g. Mendorong pengembangan skim perlindungan usaha perkebunan dan mitigasi resiko usaha melalui asuransi pertanian seperti Bank Pertanian. Hal ini sesuai amanat Undang-Undang nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. h. Mendorong investasi di perdesaan sehingga mampu mendorong tumbuhnya sub sektor perkebunan di pedesaan. i. Mendorong penguatan status legalitas kepemilihan aset petani dan usaha taninya. j. Mendorong fasilitasi program KUR perkebunan baik melalui sosialisasi maupun identifikasi calon petani program KUR perkebunan beserta dengan pemerintah daerah. k. Mengembangkan kegiatan revitalisasi perkebunan untuk komoditas unggulan perkebunan yang efektif, efisien, tepat sasaran dan berkelanjutan. 4) Strategi pengembangan sarana prasarana dan infrastruktur pendukung usaha perkebunan Strategi ini mencakup: a. Mendorong pembangunan, perbaikan dan pemeliharaan infrastruktur pendukung usaha agribisnis perkebunan seperti jalan produksi, irigasi teknis, embung, DAM, waduk, dan lain-lain. b. Mendukung pemanfaatan fungsi jaringan irigasi dan infrastruktur pendukung lainnya secara efektif, efisien dan tepat guna. c. Memfasilitasi pengalokasian anggaran untuk pembangunan, perbaikan, pemeliharaan dan pengelolaan sarana 214

233 prasarana/infrastruktur pendukung usaha agribisnis perkebunan baik dana APBD, APBN (Tugas Pembantuan) maupun DAK (Dana Alokasi Khusus). d. Mendorong peningkatan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dibidang infrastruktur seperti Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat dan Pemerintah Daerah setempat untuk pembangunan, perbaikan, pemeliharaan dan pengelolaan sarana prasarana/infrastruktur pendukung usaha agribisnis perkebunan e. Melibatkan petani/pekebun dalam pengawasan dan pemeliharaan fasilitas infrastruktur pendukung usaha agribisnis perkebunan. 5) Strategi perlindungan, pelestarian, pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan hidup Strategi ini mencakup: a. Meningkatkan kampanye peran perkebunan dalam kontribusi penyerapan karbon, penyedia oksigen dan peningkatan peran serta fungsi hidro-orologis. b. Mendukung penerapan sistem pertanian konservasi pada wilayahwilayah perkebunan termasuk lahan kritis, DAS Hulu dan pengembangan perkebunan di kawasan penyangga sesuai kaidahkaidah konservasi tanah dan air. c. Meningkatkan pemanfaatan pupuk organik, pestisida nabati, agens pengendali hayati serta teknologi pemanfaatan limbah usaha perkebunan yang ramah lingkungan dan penggunaan yang berimbang. d. Meningkatkan penerapan paket teknologi ramah lingkungan. e. Mengembangkan kegiatan dalam pendekatan skala ekonomi terhadap upaya pelestarian, pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan hidup. f. Mengadvokasi petani dalam pengelolaan lahan perkebunan yang berwawasan lingkungan dalam kerangka pemberdayaan pekebun. g. Mendukung upaya pengendalian alih fungsi lahan dan pembukaan lahan baru dengan pembakaran melalui penerapan budidaya yang baik dan penyusunan/ penerapan perangkat peraturan perundangan. 215

234 h. Memfasiltasi kegiatan dalam rangka pencegahan kebakaran lahan dan kebun serta meningkatkan pemantauan lahan/kebun dengan melibatkan brigade pengendali kebakaran. i. Mendorong optimalisasi pemanfaatan lahan perkebunan yang terlantar dan sub optimal. j. Mendukung kegiatan dalam rangka mempertahankan kesuburan tanah pada lahan-lahan produktif dan intensif serta memperbaiki kondisi lahan marginal dengan melibatkan instansi terkait prasarana, penelitian dan pengembangan pertanian. k. Mendorong upaya reklamasi dan optimasi lahan pada lahan-lahan marginal dan sementara tidak diusahakan atau bernilai Indeks Pertanaman (IP) rendah. l. Mendorong penerapan sistem pertanian polikultur dan penanaman tanaman yang bergantian dalam 1 periode tanam untuk menjaga kesubuhan hara tanah tetap tersedia. m. Menerapkan budidaya tanaman perkebunan yang secara khusus berfungsi sebagai konservasi lingkungan dan penyerap CO 2. n. Memfasilitasi penyediaan informasi titik spot kebakaran lahan dan kebun yang didukung data analisis yang baik beserta ketersediaan alat pemantau. o. Mendorong pemanfaatan lahan terlantar, lahan marjinal, lahan di kawasan transmigrasi, bekas lahan pertambangan, serta memanfaatkan tumpangsari. p. Mendorong usaha budidaya perkebunan melalui upaya-upaya dalam rangka peningkatan kualitas air dan udara dari kemungkinan pencemaran, emisi gas rumah kaca dan kerusakan akibat limbah pertanian. 6) Strategi peningkatan upaya adaptasi, mitigasi bencana, perubahan iklim dan perlindungan perkebunan Strategi ini mencakup: a. Mengadvokasi dan mengedukasi petani/pekebun dalam pengelolaan lahan perkebunan terhadap upaya pencegahan kebakaran lahan perkebunan, adaptasi dan mitigasi bencana/perubahan iklim serta perlindungan tanaman melalui kegiatan pemberdayaan petani dan penguatan kelembagaan. 216

235 b. Memfasilitasi peningkatan sistem pengamatan, pemantauan, dan pengendalian OPT melalui Pemberdayaan Petugas Pengamat OPT dan Penanganan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Tanaman Perkebunan. c. Memfasilitasi antisipasi dampak perubahan iklim dan pencegahan kebakaran lahan dan kebun melalui Fasilitasi kesiapsigaan pencegahan kebakaran lahan dan kebun, mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim, dan Operasional Brigade Pencegahan kebakaran lahan dan kebun. d. Memfasilitasi penyediaan dan penyaluran bantuan input produksi bagi pekebun yang terkena bencana alam, serangan OPT dan perubahan iklim. e. Mendorong pemanfaatan benih unggul dengan varietas yang adaptif terhadap perubahan iklim dan gangguan OPT serta teknologi budidaya. f. Mendorong pemanfaatan agens pengendali hayati (APH)/musuh alami dalam pengendalian OPT. g. Menyusun SOP (standard operating procedure) dan SPM (standar pelayanan minimum) bagi pekebun dalam budidaya perkebunannya untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya bencana terutama untuk wilayah rawan bencana. h. Mendorong penerapan GAP (good agriculture practice) dan GHP (good handling practice) yang baik dan berkelanjutan dalam usaha budidaya perkebunan. i. Mendorong peningkatan koordinasi dengan instansi terkait dalam mengidentifikasi zonasi-zonasi daerah yang memiliki peluang terjadinya bencana yang tinggi sehingga tidak cocok untuk usaha perkebunan. j. Memperkuat kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia dalam penanggulangan bencana serta melibatkan brigade proteksi tanaman perkebunan dalam perlindungan tanaman. k. Memfasilitasi penyediaan sarana prasarana mitigasi, kesiapsiagaan, sistem peringatan dini dalam menghadapi bencana alam. l. Mendorong penerapan budidaya tanaman perkebunan yang secara khusus berfungsi sebagai pencegah erosi dan penahan banjir. m. Mengoptimalkan kebijakan dan regulasi penanggulangan bencana, adaptasi dan perubahan iklim. 217

236 n. Memfasilitasi penyediaan informasi iklim, kebencanaan yang akurat yang didukung data analisis yang baik beserta ketersediaan alat pemantau adaptasi, mitigasi bencana dan perubahan iklim. o. Mengembangkan kegiatan dalam pendekatan skala ekonomi terhadap upaya adaptasi dan mitigasi bencana/perubahan iklim p. Pemantapan jejaring dan kerjasama di bidang perlindungan dengan Puslit/Balit, Perguruan Tinggi, BBPPTP, BPTP, UPTD, Dinas Perkebunan, dan pihak terkait lainnya melalui Pemberdayaan Perangkat Perlindungan Perkebunan 7) Strategi Peningkatan Penerapan dan Penanganan Pascapanen, Pengolahan dan Fasilitasi Pemasaran Komoditas Perkebunan Strategi ini mencakup: a. Menumbuhkembangkan kelembagaan usaha pasca panen dan pengolahan berbasis gapoktan untuk mereposisi peran petani/gapoktan dari produsen menjadi pemasok bahan baku industri dan pasar. b. Penekanan susut pasca panen, meningkatkan rendemen dan mempertahankan mutu hasil serta mempertahankan daya simpan produk melalui pengadaan alat pascapanen berbasis komoditas perkebunan yang adaptif terhadap petani/pekebun. c. Mendorong peningkatan mutu, nilai tambah dan standarisasi mutu komoditas perkebunan melalui pengadaan alat pengolahan yang efisien. d. Memfasilitasi kebutuhan petani/gapoktan dalam memperoleh dan memanfaatkan alat mesin pasca panen dan pengolahan secara optimal dan sesuai kebutuhan (spesifik lokasi). e. Meningkatnya kemampuan dan ketrampilan petani/ gapoktan di bidang teknis dan manajemen pasca panen dan pengolahan melalui bimbingan teknis, pertemuan teknis, pendampingan dan pengawalan (peran penyuluhan). f. Mendorong pengembangan Kerjasama/ Kemitraan Usaha antara Gapoktan dengan Industri dan Pasar. g. Mendukung optimalisasi pemanfaatan sarana dan teknologi (Alat Mesin) panen, pascapanen dan pengolahan melalui peningkatan inovasi dan teknologi. 218

237 h. Penyusunan pedoman teknis pascpanen/inovasi teknologi pascpanen dan pengolahan yang dapat memayungi petani dalam aplikasi kegiatan penanganan pascapanen dan pengolagan komoditas perkebunan. i. Mendorong inventarisasi database penyediaan alat pascapanen dan pengolahan yang disalurkan dan dimanfaatkan dalam rangka pengembangan komoditas perkebunan. j. Mendorong anggaran APBD dan sumber lain dalam pengalokasian anggaran pemeliharaan dan pengadaan alat pascapanen dan alat pengolahan yang dapat mendukung usaha perkebunan. k. Dukungan pengembangan akses pemasaran domestik dan internasional melalui keterlibatan pada forum-forum internasional (diplomasi dan negosiasi). l. Meningkatkan pangsa pasar sekaligus memperkuat posisi tawar produk perkebunan melalui kegiatan promosi dan penyebaran informasi terkait dengan komoditi perkebunan strategis yang sesuai dengan standar nasional maupun internasional. m. Mendorong pengembangan infrastruktur dan kelembagaan pasar yang efektif dan adil. n. Meningkatkan pelayanan informasi pasar domestik dan internasional. o. Pengembangan kemitraan usaha antara kelembagaan petani dengan pihak terkait yang bertujuan memperluas akses pasar nasional dan internasional. p. Mendukung harmonisasi tarif Bea Masuk dan Keluar produk perkebunan strategis. q. Memfasilitasi kegiatan pertemuan teknis pengembangan pemasaran hasil perkebunan, pengawalan, pembinaan dan pendampingan kepada petani dalam rangka peningkatan akses pasar komoditas perkebunan. r. Penyampaian infomasi terkait hasil perundingan luar negeri kepada para pemangku kepentingan dalam rangka pertimbangan kebijakan pemasaran nasional dan internasional. 8) Strategi dukungan pengelolaan dan pelaksanaan program tematik pembangunan perkebunan 219

238 Strategi ini mencakup: a. Mendorong penyusunan perencanaan kebijakan/regulasi/usulan kegiatan di daerah diawali dengan proses analisis gender melalui aspek partisipasi, akses, kontrol dan manfaat. b. Memfasilitasi pengembangan kegiatan SL-PHT di sentra-sentra perlindungan perkebunan dengan pendampingan yang intensif. c. Mendukung penyusunan rencana aksi ketenagakerjaan sektor pertanian tahun d. Mendukung ketersediaan penyerapan tenaga kerja sub sektor perkebunan dalam rangka pengembangan sistem informasi 10 juta kesempatan kerja. e. Mendorong mekanisme koordinasi, sistem penyediaan data/muktahiran data gender serta penguatan lembaga/ jejaring PUG dipusat dan daerah, termasuk dengan perguruan tinggi, pusat studi wanita/ gender dan organisasi masyarakat. f. Mendorong penggunaan tenaga kerja pedesaan yang berada pada usia produktif, memiliki skill dan pengetahunan pada kegiatan budidaya tanaman perkebunan, panen dan pascapanen. g. Mendorong peningkatan kualitas tenaga kerja (pusat dan daerah) melalui kegiatan pelatihan, pendidikan, pemberdayaan dengan sektor/sub sektor terkait lainnya (BPPSDMP, Kementerian Ketenagakerjaan, dll) dalam meningkatkan daya saing tenaga kerja. h. Mendukung terciptanya lapangan-lapangan kerja baru terutama di aspek hilir pengembangan komoditas perkebunan sehingga dapat menahan migrasi tenaga kerja ke sektor lain (sektor jasa, tambang, dll) dan migrasi tenaga kerja ke luar negeri (TKW dan TKI Indonesia). i. Mendukung penyusunan regulasi yang pro terhadap pekerja dan penyiapan insentif bagi tenaga kerja disertai dengan pelayanan kesehatan, perlindungan dan asuransi pekerja di sub sektor perkebunan. j. Mendorong investasi sub sektor perkebunan di daerah perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI. k. Memfasilitasi kegiatan dan anggaran pengembangan komoditas perkebunan di daerah tertinggal, daerah perbatasan dan KTI sesuai dengan potensi daerah. 220

239 l. Mendorong penguatan aspek pertahanan keamanan, aspek perdagangan dan pembangunan infrastruktur/sarana prasarana, dan memperkuat layanan perkarantinaan di perbatasan/ daerah tertinggal dan KTI. m. Mengembangkan pusat pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI berbasis komoditas perkebunan sebagai penggerak utama pertumbuhan (engine of growth) berdasarkan karakteristik wilayah, potensi lokal, posisi strategis, produk unggulan daerah dan mempertimbangkan peluang pasar dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan keterkaitan antarkawasan yang meliputi aspek infrastruktur, manajemen usaha, akses permodalan dan inovasi. n. Mendorong pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang handal, pembinaan dan penguatan kelembagaan, kapasitas tata kelola kelembagaan pemerintahan serta pemanfaatan pusat informasi, pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam memanfaatkan dan mengelola potensi lokal untuk mewujudkan kawasan perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI yang berdaya saing dan berwawasan lingkungan. o. Mendukung terciptanya aksesibilitas dan konektivitas baik secara domestik maupun secara internasional (locally integrated, internationally connected) terkait simpul transportasi utama pusat kegiatan strategis nasional dengan pusat-pusat pelayanan dan pertumbuhan, dengan desa-desa di kecamatan lokasi prioritas perbatasan/ daerah tertinggal /KTI dan kecamatan disekitarnya, pusat kegiatan wilayah (ibukota kabupaten), pusat kegiatan nasional (ibukota provinsi), dan menghubungkan dengan negara tetangga/ daerah maju lainnya. p. Memfasilitasi peningkatan kedaulatan pangan berbasis komoditas perkebunan di daerah perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI. q. Mendorong peningkatan arus perdagangan ekspor-impor di perbatasan, kerjasama perdagangan, kerjasama sosial-budaya, dan kerjasama ekonomi lainnya dengan instansi terkait di daerah perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI. r. Mendukung peningkatan kualitas pengaturan, pembinaan pemanfaatan, dan pengawasan rencana tata ruang kawasan perbatasan, daerah tertinggal dan KTI yang sesuai untuk budidaya komoditas perkebunan. 221

240 s. Mendorong penerapan kebijakan desentralisasi asimetris untuk kawasan perbatasan negara/ daerah tertinggal/ KTI dalam memberikan pelayanan publik (infrastruktur dasar wilayah dan sosial dasar). t. Melakukan pengawalan dan pendampingan intensif terhadap program dan kegiatan pengembangan wilayah perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI untuk pembangunan perkebunan. u. Memfasillitasi pemenuhan aspek standar pelayanan minimum (SPM) di daerah tertinggal/ perbatasan/ KTI terutama terkait mata pencaharian seperti budidaya perkebunan. v. Melakukan penguatan regulasi serta pemberian insentif kepada pihak swasta dalam pengembangan iklim usaha di daerah perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI, salah satunya melalui harmonisasi peraturan perizinan antara pemerintah dan pemerintah daerah. w. Meningkatkan koordinasi dan peran serta lintas sektor dalam upaya mendukung pembangunan di daerah perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI melalui pengembangan kawasan perdesaan dan transmigrasi sebagai program pembangunan lintas sektor. x. Memfasilitasi penyiapan SDI dalam penerapan kegiatan adaptasi dan mitigasi bencana/ perubahan iklim melalui peningkatan pemantauan kualitas lingkungan, memperkuat kapasitas mitigasi bencana alam, mempercepat rehabilitasi lahan/kebun yang terkena dampak bencana serta memperkuat kapasitas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. y. Mendorong pengembangan sistem usaha tani/ model yang adaptif terhadap perubahan iklim beserta penerapan inovasi dan teknologinya. 9) Strategi penguatan tata kelola kepemerintahan yang baik dan reformasi birokrasi sebagai dasar pelayanan prima Strategi ini mencakup: a. Membina pegawai dalam penerapan prinsip tatanan pengelolaan manajemen keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, supremasi hukum, keadilan dan partisipasi. b. Mendorong peningkatan penyelenggaran pemerintah yang bersih dan bebas KKN dengan menerapkan sistem keterbukaan dan akuntabilitas informasi publik. 222

241 c. Meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui keterbukaan dengan memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat seperti pengelolaan website data/informasi dan pengelolaan perizinan lainnya (kebijakan 1 pintu dan 1 atap). d. Meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi melalui penerapan reward and punishment kepada pegawai. e. Mendorong penyusunan regulasi/peraturan yang mengikat dan pedoman teknis terkait tata kelola kepemerintahan yang baik (bersih dari KKN dan akuntabel). f. Menerapkan SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) di lingkungan organisasi dengan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran harus terukur dan sesuai yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan seperti rencana strategis (renstra). g. Menerapkan sistem kinerja pegawai dan SOP yang jelas mengenai tugas dan fungsi pegawai dalam menjalankan tugas kegiatan sehari-hari. h. Menerapkan disiplin pegawai dalam penataan manajemen sumber daya insani (SDI) yang profesional yang berkompentensi. i. Mendukung penataan dan pengawasan akuntabilitas kinerja secara berkala oleh atasan dan auditor. j. Memfasilitasi penyajian data dan informasi publik yang lengkap, akurat dan terpercaya serta didukung pemanfaatan teknologi yang mumpuni. B. Strategi Khusus Berikut ini adalah strategi khusus pembangunan perkebunan 5 tahun mendatang: 1) Strategi pemenuhan penyediaan bahan baku Tebu dalam rangka peningkatan produksi gula nasional Strategi ini mencakup: a. Meningkatkan ketersediaan bahan baku tebu untuk memenuhi konsumsi gula rumah tangga dan konsumsi industri melalui peningkatan produksi dan produktivitas tebu. 223

242 b. Memfasilitasi pengembangan kegiatan bongkar ratoon, rawat ratoon, perluasan dan intensifikasi melalui kegiatan massal dengan anggaran yang cukup tersedia dan efektif penggunaannya. c. Mendukung pembangunan dan peningkatan infrastruktur per-tebuan yang memadai seperti jalan produksi, pelabuhan, jembatan serta optimalisasi sarana prasarana yang mendukung budidaya pertebuan seperti ketersediaan sumber air melalui jaringan irigasi teknis, embung dan waduk. d. Mendukung revitalisasi Pabrik Gula (PG) yang sudah ada guna meningkatkan kapasitas produksi dan membangun PG baru dengan kapasitas produksi yang tinggi disertai peningkatan alat dan mesin modern serta inovasi teknologi PG. e. Mendukung pengembangan industri hilir berbasis tebu di sentra pengembangan budidaya tebu serta membantu pengolahan dan pemasaran gula rakyat dalam rangka kemitraan usaha agribisnis perkebunan. f. Mendukung peningkatan link and match antara lembaga riset dengan dunia usaha disertai dengan re-orientasi riset sesuai dengan kebutuhan dunia usaha serta penguatan dan optimalisasi lembaga riset per-tebuan. g. Melakukan fasilitasi pengawalan rendemen guna meningkatkan kualitas/ mutu tebu ditingkat on-farm dan off-farm. h. Penguatan sistem perbenihan nasional untuk varietas tebu yang cocok di lahan kering dan adaptif terhadap perubahan iklim dan gangguan OPT serta didukung pembangunan kebun benih dan kebun tebu giling. i. Mendukung ketersediaan sarana produksi lainnya seperti pupuk dan pestisida dengan penggunaan yang 5 tepat (tepat jenis, tepat dosis, tepat waktu, tepat tempat, tepat cara/metode) serta ramah lingkungan. j. Mendukung anggaran, fasilitas pendanaan dan sumber pembiayaan/skim kredit bagi petani tebu yang memadai dan dijamin aksesibilitasnya. k. Mendukung kemudahan dan percepatan penerbitan sertifikasi lahan petani dan HGU Perkebunan. l. Penerapan standar mutu komoditas tebu dan gula. 224

243 m. Mendukung kepastian hukum dan jaminan keamanan berusaha/iklim usaha kondusif. n. Mendorong penerapan kebijakan ekspor, proteksi impor/pembatasan serta pengaturan harga yang kondusif dan bersaing. o. Mendukung pemberdayaan petani tebu dan penguatan kelembagan tebu yang melatih para pekebun tebu memahami budidaya tebu yang sesuai dengan GAP. p. Mendukung pengendalian Organisme Penganggu Tanaman (OPT) tebu dengan memadukan berbagai metode pengendalian yang saling kompatibel, ramah lingkungan dan melakukan rekayasa sosial. q. Mendorong pengembangan inovasi dan teknologi tepat guna dalam mendukung usaha pertebuan seperti teknologi modern, alat dan mesin pertanian, dan lain-lain. r. Mengupayakan bantuan alat dan mesin pertanian yang mengarah kepada mekanisasi pertanian untuk mengefisiensi usaha budidaya tebu seperti traktor dan implement, grab loader, dump truck, alat pengukur rendemen/hand refractometer, alat tebang/harvester, cultivator, fertilizer applicator, alat putus akar, dan lain-lain. s. Mendukung ketersediaan lahan tebu untuk perluasan areal, salah satunya adalah melalui percepatan dan kemudahan pelepasan kawasan hutan. t. Menyiapkan kebijakan/regulasi Pusat-Daerah dalam mendukung sistem pertebuan nasional seperti permasalahan pembukaan lahan tebu dengan kehutanan, masalah HGU, regulasi yang mendorong masuknya dunia usaha/investor, masalah retribusi usaha yang memberatkan petani tebu dan pengusaha. 2) Strategi peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing komoditas perkebunan Strategi ini mencakup: a. Meningkatkan pengembangan diversifikasi usaha perkebunan secara intensif dan berkelanjutan. b. Mendorong pengembangan komoditas unggulan lokal yang prospektif ekspor. 225

244 c. Mengupayakan peningkatan produksi komoditas unggulan ekspor perkebunan melalui kegiatan yang dapat meningkatkan produktivitas seperti intensifikasi, peremajaan, pengendalian OPT, pascapanen dan lain-lain. d. Mengupayakan peningkatan mutu komoditas perkebunan melalui penerapan usaha budidaya perkebunan yang baik sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi petani. e. Mendorong berkembangnya industri hilir perkebunan di perdesaan dan unit pengolahan skala ekonomi petani/pekebun agar mampu menghasilkan produk turunan yang memberi nilai tambah. f. Mendorong kerangka regulasi komoditas ekspor perkebunan yang memihak komoditas lokal melalui penerapan kebijakan ekspor, proteksi impor/pembatasan serta pengaturan harga yang kondusif dan bersaing. g. Menginisiasi pengembangan komoditas substitusi impor. h. Mendorong peran Pemerintah Daerah-Swasta-Pusat dalam peningkatan komoditas ekspor perkebunan Indonesia melalui dukungan regulasi/kebijakan dan pendanaan. i. Mendorong promosi komoditas perkebunan yang layak diekspor. 3) Strategi pemenuhan penyediaan bahan baku bio-energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bio-industry Strategi ini mencakup: a. Mendorong peningkatan penyediaan protein hewani melalui integrasi cabang usaha tani ternak yang sesuai pada areal perkebunan. b. Mengidentifikasi komoditas dan cabang-cabang usaha tani perkebunan yang dapat menghasilkan bio-energy dan mendukung sistem pertanian bio-industry. c. Mendorong pengembangan tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan bakar nabati melalui inisiasi sistem perbenihan yang unggul. d. Mendorong penyediaan sumber tanaman bio-energy dan terintegrasi dengan kegiatan pascapanen melalui pola integrated farming. 226

245 e. Mendukung penyusunan peta jalan dan road map pengembangan penyediaan bahan baku bio-energy untuk mewujudkan sistem pertanian bio-industry. f. Pengembangan budidaya perkebunan melalui penerapan zero waste management baik sistem intergrasi ternak maupun sistem pengelolaan pascapanen dan pengendalian OPT-nya. g. Mendorong penerapan program massal pengembangan bio-energy dan sistem pertanian bio-industry. h. Mendorong pengembangan bidang pengolahan hasil perkebunan yang berteknologi menengah dan tinggi. i. Mendorong investasi dari dunia usaha dalam mengembangkan bioenergy untuk mewujudkan sistem pertanian bio-industry. j. Mengembangkan kegiatan di perdesaan yang berbasis bio-industry sederhana melalui pemanfaatan komoditas perkebunan lokal sebagai sumber bio-energy. 4) Strategi pengembangan sumber daya insani perkebunan (SDI) Strategi ini mencakup: b. Mengembangkan sistem informasi yang terstruktur mencakup kemampuan menyusun, memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai SDI, teknologi, peluang pasar, manajemen, permodalan, usaha perkebunan untuk mendorong dan menumbuhkan minat pelaku usaha, petani dan masyarakat. c. Menyediakan dan mengembangkan insan perkebunan yang kompeten, berkarakter bangsa, berkualitas, memiliki modal sosial dan modal politik. d. Meningkatkan jejaring kerja dengan institusi terkait pembangunan perkebunan baik di dalam maupun luar negeri. e. Mendorong peningkatan kerjasama dengan instansi terkait dalam rangka revitalisasi pendidikan perkebunan melalui: - Peningkatan kegiatan baik apresiasi maupun kerjasama dibidang promosi, pelatihan, pemberdayaan, penelitian dan pengembangan sumber daya insani (SDI). - Peningkatan intensitas penyuluhan bagi petani dan pendidikan pelatihan bagi aparat perkebunan. 227

246 - Peningkatan peran Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S). - Penajaman kurikulum pendidikan dan pelatihan petani sesuai dengan kebutuhan pasar kerja termasuk ketrampilan dalam aspek kewirausahaan. - Membangun sistem pendidikan dan pelatihan untuk mewujudkan pekebun yang tangguh. f. Mendorong pemberdayaan petugas pusat dan daerah melalui: - Peningkatan kualitas, moral dan etos kerja petugas. - Peningkatan lingkungan kerja yang kondusif dan membangun sistem pengawasan yang efektif. - Peningkatan penerapan sistem recruitment dan karir yang terprogram serta transparan untuk mewujudkan petugas yang profesional. - Peningkatan dan pengembangan kemampuan dan sikap prakarsa petugas yang pro-aktif dalam mewujudkan pelayanan prima sesuai kebutuhan dunia usaha. - Pemantapan aparatur pemerintah yang produktif, efisien dan berakhlak mulia. g. Mendorong pemberdayaan insani pekebun dan masyarakat melalui: - Peningkatan kemampuan dan kemandirian petani untuk mengoptimasikan usahanya secara berkelanjutan. - Pengembangan kewirausahaan pekebun dan pelaku usaha berdasarkan nilai-nilai dan kearifan luhur bangsa Indonesia. - Fasilitasi kemampuan pekebun untuk dapat mengakses berbagai peluang usaha dan sumberdaya dalam memperkuat/ mempertangguh usaha taninya. - Penumbuhan kebersamaan dan pengembangan kemampuan pekebun dalam mengelola kelembagaan pekebun dan kelembagaan usaha serta menjalin kemitraan usaha. 5) Strategi penguatan kelembagaan pekebun dan kemitraan usaha perkebunan 228

247 Strategi ini mencakup: a. Mendorong peningkatan kemampuan dan kemandirian kelembagaan petani untuk menjalin kerjasama usaha dengan mitra terkait serta mengakses berbagai peluang usaha dan sumberdaya yang tersedia. b. Membangun struktur kelembagaan petani dengan kualitas sumber daya insani (SDI) kepengurusan yang baik sesuai dengan bidangnya dan dibekali pengetahuan tentang bagaimana cara berorganisasi yang baik. c. Memperbaiki sistem dan kelembagaan petani berbasis perlindungan usaha yang dipengaruhi olah resiko kegagalan panen akibat bencana alam, serangan OPT dan perubahan iklim. d. Mendorong terbentuknya kelembagaan komoditas yang tumbuh dari bawah dan penumbuhan kelembagaan keuangan pedesaan yang berorientasi pasar. e. Meningkatkan fungsi pendampingan dan pengawalan kepada petani dan kelembagaan usahanya. f. Mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan antara petani, pengusaha, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan. g. Memfasilitasi pengembangan kemitraan usaha terpadu di sentrasentra produksi yang memiliki potensi berkembang dengan ketersediaan bahan baku melalui kemitraan investor. h. Mendorong penguatan kelembagaan usaha pekebun baik usaha perbenihan kecil dan besar serta kelembagaan UPJA (unit pelayanan jasa alsintan) perkebunan. i. Meningkatkan kegiatan pemberdayaan pekebun untuk penyelesaian dinamika kelompok dan penguatan kelembagaan. j. Memberikan bimbingan dan pendampingan teknis untuk memperkuat kemampuan kelompok tani baik aspek manajemen kelompok, kegiatan budidaya maupun aspek pengolahan dan pemasaran. k. Memperluas jenis kelompok tani sesuai bidang usaha dan memperkuat kemitraan dengan swasta seperti kelembagaan perbenihan/penangkar. 229

248 l. Mendorong penguatan modal usaha bagi kelompok melalui bantuan modal, penguatan jaringan Kelompok Tani dengan penyuluh lapangan dan kemitraan dengan swasta/bumn/pemerintah daerah. 6) Strategi akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik Strategi ini mencakup: a. Mendukung penataan manajemen pembangunan dan tata kelola pemerintahan di institusi Kementerian Pertanian melalui pengembangan sumber daya aparatur, penguatan organisasi dan reformasi kelembagaan sesuai prinsip clean government dan good governance. b. Mendukung identifikasi kesenjangan kapasitas institusi seluruh unit kerja melalui penciptaan keterpaduan antar unit kerja serta penataan unit kerja di pusat dan daerah (UPT). c. Menerapkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dari aspek perencanaan kinerja (penyusunan Renstra, perjanjian kinerja/pk dan rencana kerja), pengukuran kinerja (penetapan IKP/IKU dan IKK), pengelolaan data kinerja, pelaporan kinerja (penyusunan Laporan Kinerja/Lakin), evaluasi kinerja (reviu terhadap kinerja oleh APIP) dan capaian kinerja (realisasi kinerja fisik dan keuangan). Hal ini sesuai Peraturan Presiden nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. d. Mendukung pembinaan komitmen anti korupsi di tiap eselon 1 lingkup Kementerian Pertanian melalui gerakan WBK (wilayah bebas korupsi). e. Memberikan pemahaman kepada setiap aparatur negara mengenai pembinaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPI) sesuai amanah Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun f. Memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat/publik secara konsisten dan berkelanjutan dalam bidang pengembangan perkebunan, pelayanan data dan informasi serta dukungan manajemen dan teknis lainnya lingkup Ditjen. Perkebunan. Selain itu juga dengan mendorong inovasi pelayanan publik, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik serta penguatan kapasitas dan efektifitas pengawasan pelayanan publik. Hal ini sesuai amanat Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 230

249 g. Mendukung penciptaan teknologi informasi publik dan kehumasan dalam ruang lingkup e-government baik dalam bentuk web maupun sarana informasi lainnya sebagai amanat dari Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik seperti SIMPEG, SIMONEV, e-proposal, dll. h. Mendorong pengembangan teknologi informasi dan komunikasi terutama pengembangan infrastruktur, aspek pengelolaan, pemanfaatan, penerapan dan distribusi perluasan kesempatan ASN dalam menerima inovasi teknologi informasi dan komunikasi yang berkualitas. i. Mendorong penerapan, pemanfaatan, pembangunan infrastruktur mendukung teknologi informasi dan komunikasi serta perluasan distribusi kesempatan bagi ASN dalam menikmati inovasi teknologi informasi dan komunikasi. j. Menciptakan profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan dan mampu mendorong mobilitas aparatur antar daerah, antar pusat, antar pusat dan daerah serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan. k. Mendorong perbaikan sarana dan prasarana lingkungan kerja serta penerapan manajemen modern dalam penyelenggaraan kegiatan pembangunan perkebunan. l. Mendukung penyusunan/ pembentukan/ revisi peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. m. Mengembangkan mekanisme kontrol yang tepat, sinergi, realistis, inovatif, terukur, konsisten, efektif dan efisien terhadap sistem manajemen organisasi terhadap simpul-simpul kritis pelaksanaan organisasi dan dalam rangka menghadapi segala permasalahan dalam organisasi. n. Menanamkan mind set dan culture set kepada para aparatur negara (pusat dan daerah) melalui bimbingan teknis dalam berorganisasi untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang professional dengan karakteristik adaptif, berkomitmen, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas KKN, mampu melayani publik dengan baik dan prima, jujur, agamis, netral, sejahtera, berdedikasi dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. 231

250 o. Menerapkan reward dan punishment secara konsisten dan berkelanjutan terhadap pelaksanaan kinerja organisasi, pengembangan aparatur negara dan pelaksanaan anggaran/ kegiatan di pusat dan daerah. p. Melaksanakan reformasi birokrasi melalui program dan kegiatan yang berorientasi pada hasil dan penganggaran berbasis kinerja sehingga pencapaian sasaran program, kegiatan dan anggaran yang dapat terserap seluruhnya, memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (nasional dan daerah) dan penilaian laporan keuangan yang Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). q. Mendukung penyelesaian dalam menginventarisasi aset-aset pusat didaerah secara transparan dan adil. r. Mendukung penguatan pengawasan instansi pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 23 tahun 2009 tentang Pedoman Umum SPI, terbentuknya satlak SPIP, peningkatan peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) sebagai Quality Assurance (QA). s. Mendorong pelaksanaan monev reformasi birokrasi dengan melaksanakan Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) secara online berdasarkan PermenPAN-RB nomor 1 tahun t. Mendorong penataan sistem manajemen SDM aparatur pada kegiatan pelaksanaan analisis jabatan, analisis beban kerja, SOP kegiatan, evaluasi jabatan, standar dan profil kompetensi jabatan, penilaian prestasi kerja, disiplin pegawai, pendidikan/ pelatihan berbasis kompetensi melalui workshop, seminar dll, pengembangan jabatan fungsional, pengelolaan SIMPEG dan lain-lain. u. Melakukan koordinasi lintas sektoral dan bimbingan teknis terkait tata kelola kepemerintahan yang baik, reformasi birokrasi, pelayanan prima dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah seperti dengan KemenPAN-RB dan lain-lain. 7) Strategi peningkatan pendapatan keluarga pekebun Strategi peningkatan pendapatan keluarga pekebun dapat dijalankan dengan terlebih dahulu melaksanakan strategi-strategi yang ditetapkan dalam pencapaian 5 sasaran strategis Kementerian Pertanian lainnya karena pada dasarnya peningkatan pendapatan keluarga pekebun merupakan kondisi akhir yang diharapkan dalam pelaksanaan visi, misi, 232

251 tujuan, strategi dan pelaksanaan kinerja kegiatan dari pembangunan perkebunan tahun Indikator-indikator yang dapat memperlihatkan peningkatan pendapatan keluarga pekebun antara lain: a. Pendapatan pekebun per kepala keluarga. b. Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas perkebunan yang dibudidayakan pekebun. c. Semakin luasnya pasar, kebijakan harga dan regulasi yang memihak pekebun. d. Aksesibilitas pekebun terhadap sumber pembiayaan, asuransi pertanian dan lembaga keuangan/ perbankan lain. e. Semakin terbukanya industri hilir sub sektor pekebunan karena investasi terus meningkat. f. Pekebun mampu melakukan kegiatan diversifikasi perkebunan lainnya untuk peningkatan nilai tambah. g. Meningkatnya keterlibatan pekebun dalam usaha budidaya perkebunan di suatu daerah. h. Terciptanya pembangunan perkebunan lintas sektoral melalui pendekatan kawasan. i. Terpenuhinya segala aspek pelayanan dasar bagi pekebun seperti pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, papan dan lain-lain. j. Kemudahan dalam mengakses inovasi dan teknologi. k. Dukungan konektivitas dalam pengembangan perkebunan melalui ketersediaan sarana prasarana, bantuan bibit dan sapras lainnya, infrastruktur, dan lain-lain. 233

252 234

253 BAB III VISI, MISI DAN TUJUAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN Visi Direktorat Jenderal Perkebunan Dalam rangka mendukung Visi Pembangunan Nasional tahun yaitu Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong dan Visi Kementerian Pertanian tahun yaitu terwujudnya kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani maka Direktorat Jenderal Perkebunan menetapkan Visi Direktorat Jenderal Perkebunan tahun yaitu Menjadi Direktorat Jenderal yang profesional dalam mewujudkan peningkatan produksi komoditas perkebunan secara optimal, berdaya saing dan bernilai tambah tinggi untuk kesejahteraan pekebun. Perwujudan dari Visi Direktorat Jenderal Perkebunan tersebut dijabarkan lebih lanjut kedalam kisi-kisi perumusan visi yang memuat makna-makna dari visi itu sendiri. Tabel 18 menunjukkan kisi-kisi perumusan Visi Direktorat Jenderal Perkebunan tahun Tabel 18. Kisi-Kisi Perumusan Visi Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun No. Pokok-Pokok Visi Makna Visi 1. Profesional Menjadikan sikap/ kepribadian yang cakap untuk melakukan suatu kegiatan/ aktivitas sesuai kemahiran, kemampuan dan keahlian serta mengedepankan integritas dan komitmen berdasarkan tugas pokok dan fungsi organisasi serta peraturan perundang-undangan 2. Peningkatan Produksi Melakukan upaya strategis dalam menambah/ meningkatkan nilai guna tanaman perkebunan dari nilai guna sebelumnya 3. Komoditas Perkebunan Menjadikan barang dagangan utama, benda niaga, hasil bumi setelah melalui pengolahan, dijadikan produk ekspor dalam pengembangannya Menjadikan bahan mentah yang dapat digolongkan menurut mutunya sesuai dengan standar perdagangan nasional berupa tanaman perkebunan (baik semusim maupun tahunan yang ditetapkan sesuai Peraturan Perundangundangan dalam bentuk Kepmentan 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Ditjen. Perkebunan, Ditjen. Tanaman Pangan dan Ditjen. Hortikultura serta Kepmentan 3399/Kpts/PD.310/10/ 235

254 No. Pokok-Pokok Visi Makna Visi 2009 tentang perubahan Lampiran 1 dari Kepmentan 511/Kpts/PD.310/9/2006) yang unggul untuk dibudidayakan secara intensif pada usaha agribisnis perkebunan dengan persyaratan tertentu baik teknis budidaya maupun teknis non budidaya 5. Optimal Mencapai hasil yang ideal (nilai efektif yang dapat dicapai), efisien dan objektif baik produksi maupun produktivitas tanaman perkebunan 6. Berdaya Saing Mengoptimalkan pemanfaatan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif dari pengembangan tanaman perkebunan yang mencerminkan kesanggupan suatu komoditas untuk memasuki dan memenangkannya pasar ekspor yang ditandai dengan meningkatnya permintaan dan semakin luasnya jangkauan pasar, kontinuitas dan berkelanjutan dalam mempertahankan kualitas komoditas/ produk, selain itu bagaimana komoditas tersebut dapat bertahan terhadap gejolak ekonomi dan memberi kontribusi terhadap peningkatan perekonomian daerah dan nasional 7. Bernilai Tambah Tinggi Menciptakan atau menghasilkan aneka produk perkebunan lain selain produk segarnya/ produk utama dari hasil proses produksi, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran melalui penerapan teknologi berwawasan lingkungan menghasilkan bentuk produk olahan, produk turunan, produk samping, produk ikutan dan limbah/by-product 8. Kesejahteraan Pekebun Mewujudkan peningkatan pendapatan pekebun, lebih jauh lagi dalam meningkatkan kemampuan dan kemandirian pekebun dalam memenuhi segala kebutuhannya melalui penerapan budidaya dan pascapanen tanaman perkebunan yang baik berbasis agribisnis berkelanjutan Sumber: Ditjen. Perkebunan, Misi Direktorat Jenderal Perkebunan Dalam RPJMN , pemerintah menetapkan 7 Misi Pembangunan Nasional tahun diantaranya adalah: 1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan, wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai Negara Kepulauan. 2. Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis berlandaskan Negara Hukum. 3. Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai Negara Maritim. 4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera. 236

255 5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing. 6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional. 7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan. Mengacu pada Misi Pembangunan Nasional tahun , Kementerian Pertanian menetapkan Misi Kementerian Pertanian tahun diantaranya: 1. Mewujudkan ketahanan pangan dan gizi. 2. Meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian. 3. Mewujudkan kesejahteraan petani. 4. Mewujudkan Kementerian Pertanian yang transparan, akuntabel, professional dan berintegritas tinggi. Berkaitan dengan penetapan 7 Misi Pembangunan Nasional tahun dan memperhatikan Misi Kementerian Pertanian dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian tahun , maka Direktorat Jenderal Perkebunan menetapkan Misi Direktorat Jenderal Perkebunan tahun sebagai berikut: 1) Mewujudkan peningkatan produksi tanaman perkebunan secara berkelanjutan. 2) Mewujudkan pelayanan prima dan berkualitas dibidang manajemen dan kesekretariatan. 3) Mewujudkan peningkatan penyediaan teknologi dan penerapan pascapanen dan pengolahan hasil perkebunan secara berkelanjutan. 4) Menyediakan fasilitasi pembinaan dan penanganan usaha perkebunan berkelanjutan serta penanganan gangguan usaha dan konfik perkebunan. 5) Mewujudkan sistem perlindungan perkebunan dan penanganan dampak perubahan iklim yang terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan. 6) Mewujudkan integrasi antar pelaku usaha budidaya tanaman perkebunan dengan pendekatan kawasan. 7) Mendorong upaya pemberdayaan petani dan penumbuhan kelembagaan petani. 8) Mendorong upaya penerapan budidaya tanaman perkebunan dengan baik dan berwawasan lingkungan. 237

256 9) Mewujudkan sistem pertanian bio-industry berbasis pengembangan komoditas perkebunan. 10) Mendorong pengembangan pemasaran produk perkebunan di tataran domestik dan internasional yang berkualitas dan berdaya saing Tujuan Direktorat Jenderal Perkebunan Mengacu pada sasaran utama serta analisis yang hendak dicapai serta mempertimbangkan lingkungan strategis dan tantangan-tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia kedepan, maka tujuan pembangunan nasional yang diimplementasikan kedalam arah kebijakan umum tahun adalah: 1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan; 2. Meningkatkan pengelolaan dan nilai tambah sumber daya alam yang berkelanjutan. 3. Mempercepat pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan dan pemerataan. 4. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mitigasi bencana alam dan penanganan perubahan iklim. 5. Penyiapan landasan pembangunan yang kokoh. 6. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. 7. Mengembangkan dan memeratakan pembangunan daerah. Selanjutnya, sebagai penjabaran dari visi dan misi Kementerian Pertanian, maka tujuan pembangunan pertanian tahun yang ingin dicapai yaitu: 1. Terwujudnya swasembada padi jagung, kedelai serta meningkatnya produksi daging dan gula. 2. Terpenuhinya akses pangan masyarakat. 3. Bergesernya budaya konsumsi pangan. 4. Meningkatnya stabilisasi produksi dalam rangka stabilisasi harga. 5. Meningkatnya nilai tambah dan daya saing produk pertanian dalam memenuhi pasar dalam negeri dan ekspor. 6. Meningkatnya ketersediaan bahan baku bioindustri dan bioenergy. 238

257 7. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani. 8. Terwujudnya reformasi birokrasi Kementerian Pertanian. Untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional dan pembangunan pertanian pada periode jangka menengah tahun , maka Direktorat Jenderal Perkebunan menetapkan tujuan Direktorat Jenderal Perkebunan dalam pembangunan perkebunan tahun yang akan dicapai sesuai dengan penetapan Visi, Misi serta tugas pokok dan fungsi organisasi sebagai berikut: 1) Meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan melalui rehabilitasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi yang didukung oleh penyediaan benih unggul, bermutu dan bersertifikat, sarana produksi dan alat mesin pertanian/pengolahan/pascapanen, perlindungan perkebunan, pemberdayaan petani, penguatan kelembagaan serta pembangunan kebun sumber benih tanaman perkebunan. 2) Memberikan pelayanan yang berkualitas di bidang penyediaan perbenihan, penyelenggaraan budidaya, peningkatan pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil produksi tebu dan tanaman perkebunan lainnya, pengembangan bahan baku bioenergi, pembinaan usaha perkebunan berkelanjutan serta pengendalian hama penyakit dan perlindungan perkebunan; 3) Melakukan pengembangan komoditas unggulan perkebunan pada lahan-lahan eksisting dan lahan bukaan baru sesuai potensi kearifan lokal, kebutuhan pengembangan kawasan dan kesiapan daerah pengembangan melalui pendekatan kawasan yang terintegrasi antar sektor dan memperhatikan kelayakan ekonomi, agroekosistem, sosial, pasar dan pengembangan/ potensi berkelanjutan. 4) Mendorong usaha agribisnis perkebunan berkelanjutan yang dibudidayakan melalui sistem budidaya perkebunan yang baik dan memperhatikan isu-isu lingkungan terutama dalam penggunaan benih dan sarana produksi (pupuk dan pestisida). 5) Melakukan pengembangan komoditas perkebunan sumber bioenergy, sistem pertanian polikultur serta penerapan integrasi tanaman perkebunan dalam mendukung pengembangan sistem pertanian bio-industry melalui pendekatan zero waste management. 6) Melakukan pengembangan pemasaran produk unggulan perkebunan yang berdaya saing dan bernilai tambah tinggi yang 239

258 meliputi bidang informasi, pemantauan dan stabilitas harga, sarana dan kelembagaan pasar, jaringan pemasaran, analisis dan pengembangan ekspor, pemasaran bilateral/regional/ multilateral dan kerjasama komoditas. Secara lengkap disampaikan Indikator Kinerja Tujuan Direktorat Jenderal Perkebunan dalam penyelenggaraan perkebunan tahun pada bagian Lampiran. 240

259 BAB IV PROGRAM DAN KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN Program Direktorat Jenderal Perkebunan Pembangunan perkebunan saat ini dan dimasa yang akan datang menghadapi tantangan yang cukup berat baik dalam tataran liberalisasi perdagangan global maupun lingkup regional, terutama memasuki era AEC (Asean Economic Community) tahun Tuntutan pembangunan perkebunan di era AEC adalah bagaimana strategi pengembangan komoditas perkebunan yang berkelanjutan, berdaya saing baik kuantitas maupun kualitas dan ramah lingkungan serta mampu memecahkan masalah kesenjangan ekonomi (kemiskinan dan pengangguran). Selain itu bagaimana masalah pemerataan pembangunan perkebunan dan kesejahteraan pekebun perlu benarbenar menjadi prioritas program dan kegiatan Direktorat Jenderal Perkebunan tahun Keberhasilan pembangunan perkebunan di era AEC yang penuh persaingan ini tidak hanya memerlukan keterpaduan seluruh potensi sumber daya (SDI dan SDA) yang ada untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan tetapi yang justru lebih penting adalah bagaimana kebersamaan dan keterbukaan dari para stakeholder Pusat-Daerah dan masyarakat pekebun dalam menjaga kedaulatan dan kemandirian NKRI ditengah serbuan investasi asing dan produk-produk negara lain sehingga diperlukan pengamanan pasar domestik yang berefisiensi keadilan dan berbasis kearifan lokal untuk meningkatkan daya saing dan penguatan ekspor komoditas perkebunan agar mampu mencapai tujuan kebermanfatan dan keberlanjutan bagi perekonomian nasional dan kelestarian lingkungan hidup. Hal-hal tersebut merupakan asas penyelenggaraan perkebunan yang harus menjadi dasar pelaksanaan kegiatan dalam membangun dan menyelenggarakan perkebunan di Indonesia sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Adapun pengertian asas-asas penyelenggaraan perkebunan tersebut yaitu: a. Asas Kedaulatan adalah penyelenggaraan Perkebunan harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi kedaulatan Pelaku Usaha Perkebunan yang memiliki hak untuk mengembangkan dirinya. 241

260 b. Asas Kemandirian adalah penyelenggaraan Perkebunan harus dilaksanakan secara independen dengan mengutamakan kemampuan sumber daya dalam negeri. c. Asas Kebermanfaatan adalah penyelenggaraan Perkebunan dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. d. Asas Keberlanjutan adalah penyelenggaraan Perkebunan harus dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan dengan memanfaatkan sumber daya alam, menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, dan memperhatikan fungsi sosial budaya. e. Asas Keterpaduan adalah penyelenggaraan Perkebunan harus dilakukan dengan memadukan aspek sarana dan prasarana produksi Perkebunan, pembiayaan, budi daya Perkebunan, serta pengolahan dan pemasaran Hasil Perkebunan. f. Asas Kebersamaan adalah penyelenggaraan Perkebunan menerapkan kemitraan secara terbuka sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antar Pelaku Usaha Perkebunan. g. Asas Keterbukaan adalah penyelenggaraan Perkebunan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan pelayanan informasi yang dapat diakses oleh Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat. h. Asas Efisiensi-Berkeadilan adalah penyelenggaraan Perkebunan harus dilaksanakan secara tepat guna untuk menciptakan manfaat sebesar-besarnya dari sumber daya dan memberikan peluang serta kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya. i. Asas Kearifan Lokal adalah penyelenggaraan Perkebunan harus mempertimbangkan karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya serta nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat setempat. j. Asas Kelestarian Fungsi Lingkungan Hidup adalah penyelenggaraan Perkebunan harus menggunakan sarana, prasarana, tata cara, dan teknologi yang tidak mengganggu fungsi lingkungan hidup, baik secara biologis, mekanis, geologis, maupun kimiawi. Hal yang terpenting terkait reformasi kegiatan dan penganggaran Ditjen. Perkebunan sampai dengan tahun 2019 adalah kebijakan anggaran belanja yang dilakukan tidak berdasarkan MONEY FOLLOW 242

261 FUNCTION, tetapi MONEY FOLLOW PROGRAM PRIORITY. Artinya pengalokasian anggaran diprioritaskan pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas nasional, baru kemudian kegiatan lain yang bersifat reguler dan SPM dibiayai menurut kebutuhan sehingga tidak perlu semua tugas dan fungsi (tusi) harus dibiayai secara merata. Selanjutnya, berdasarkan hasil restrukturisasi program dan kegiatan sesuai surat edaran bersama Menteri Keuangan nomor SE- 1848/MK/2009 dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas nomor 0142/M.PPN/06/2009 tanggal 19 Juni 2009, setiap unit Eselon I mempunyai satu program yang mencerminkan nama Eselon I yang bersangkutan dan setiap unit Eselon II hanya mempunyai dan tanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian indikator kinerja unit Eselon I adalah outcome dan indikator kinerja unit Eselon II adalah output. Peraturan Presiden (Perpres) nomor 45 tahun 2015 tentang Kementerian Pertanian menyatakan bahwa Direktorat Jenderal Perkebunan mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan produksi tebu dan tanaman perkebunan lainnya. Dalam menjalankan tugas tersebut, Direktorat Jenderal Perkebunan menyelenggarakan fungsi: 1. Perumusan kebijakan di bidang penyediaan perbenihan, penyelenggaraan budidaya, peningkatan pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil produksi tebu dan tanaman perkebunan lainnya, pengembangan bahan baku bioenergi, pembinaan usaha perkebunan berkelanjutan serta pengendalian hama penyakit dan perlindungan perkebunan; 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang penyediaan perbenihan, penyelenggaraan budidaya, peningkatan pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil produksi tebu dan tanaman perkebunan lainnya, pengembangan bahan baku bioenergi, pembinaan usaha perkebunan berkelanjutan serta pengendalian hama penyakit dan perlindungan perkebunan; 3. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang penyediaan perbenihan, penyelenggaraan budidaya, peningkatan pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil produksi tebu dan tanaman perkebunan lainnya, pengembangan bahan baku bioenergi, pembinaan usaha perkebunan berkelanjutan serta pengendalian hama penyakit dan perlindungan perkebunan; 243

262 4. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi dibidang di bidang penyediaan perbenihan, penyelenggaraan budidaya, peningkatan pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil produksi tebu dan tanaman perkebunan lainnya, pengembangan bahan baku bioenergi, pembinaan usaha perkebunan berkelanjutan serta pengendalian hama penyakit dan perlindungan perkebunan; 5. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang penyediaan perbenihan, penyelenggaraan budidaya, peningkatan pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil produksi tebu dan tanaman perkebunan lainnya, pengembangan bahan baku bioenergi, pembinaan usaha perkebunan berkelanjutan serta pengendalian hama penyakit dan perlindungan perkebunan; 6. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perkebunan; 7. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan Menteri. Sesuai hasil analisa terhadap potensi, permasalahan, peluang dan tantangan pembangunan perkebunan ditetapkan bahwa program pembangunan perkebunan tahun yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Perkebunan adalah peningkatan produksi komoditas perkebunan berkelanjutan dengan 2 Indikator Kinerja Program (IKP) yaitu 1) Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Tebu dan 2) Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Perkebunan Unggulan Lainnya. Adapun proyeksi Indikator Kinerja Program Ditjen. Perkebunan tahun , disajikan pada tabel 19 berikt ini: Tabel 19. Indikator Kinerja Program (IKP) Peningkatan Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Berkelanjutan tahun No. Indikator 1. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Tebu (%) 2. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Kelapa Sawit (%) 3. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Karet (%) 4. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Kakao (%) target IKP per tahun Ratarata ,91 10,03 7,03 4,57 4,37 7,78 4,95 5,15 5, ,52 5,44 3,29 3,56 3,52 3,48 3,43 3,46 4,98 4,50 4,93 5,05 4,91 4,87 244

263 No. Indikator 5. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Kopi (%) 6. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Kelapa (%) 7. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Lada (%) 8. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Cengkeh (%) 9. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Pala (%) 10. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Teh (%) target IKP per tahun Ratarata 1,79 1,84 1,81 1,79 1,76 1,80 1,17 1,39 1,36 1,33 1,31 1,31 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,15 1,85 1,85 1,85 1,85 1,85 1,85 4,74 4,73 4,74 4,75 4,77 4,75 1,04 0,49 0,48 0,48 0,48 0, Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Jambu Mete (%) 12. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Kapas (%) 13. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Nilam (%) 14. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Tembakau (%) Sumber: Ditjen. Perkebunan, ,84 2,02 2,39 2,37 2,39 2,40 4,10 4,32 3,63 4,50 3,83 4,08 1,77 0,36 0,72 1,08 1,07 1,00 4,00 6,87 6,89 6,92 6,91 6,32 Pada tabel 17 dapat dijelaskan bahwa rata-rata proyeksi IKP rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Tebu diproyeksikan selama tahun sebesar 7,78%, sedangkan rata-rata proyeksi IKP rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Perkebunan Unggulan Lainnya diproyeksikan selama tahun sebesar 5,49%. Untuk mencapai proyeksi tersebut, program Direktorat Jenderal Perkebunan tahun lebih diprioritaskan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman unggulan perkebunan melalui rehabilitasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi yang didukung oleh penyediaan benih bermutu, pemberdayaan petani dan penguatan kelembagaan, pembangunan/ pemeliharaan kebun sumber benih, penanganan pascapanen, pengolahan, standarisasi mutu, fasilitasi pemasaran, pembinaan usaha dan perlindungan perkebunan serta pemberian pelayanan berkualitas. 245

264 Fasilitasi dan pembinaan baik dukungan kegiatan, pembinaan/ pengawalan/pendampingan, regulasi dan pendanaan didaerah perlu didukung oleh Pemerintah Daerah setempat melalui SKPD yang membidangi perkebunan di provinsi dan kabupaten/kota terhadap komoditas spesifik dan potensial di wilayahnya masing-masing selain dukungan terhadap pengembangan 16 komoditas unggulan perkebunan yang ditetapkan dalam Renstra ini yaitu Karet, Kelapa Sawit, Kelapa, Kakao, Kopi, Lada, Teh, Pala, Tebu dan Cengkeh, Jambu Mete, Sagu, Kemiri Sunan, Kapas, Tembakau dan Nilam Implementasi Agenda Prioritas NAWACITA NAWACITA sebagaimana tercantum dalam RPJMN mengamanatkan Kementerian Pertanian untuk berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap pencapaian sasaran pokok sub agenda prioritas peningkatan kedaulatan pangan dan peningkatan agroindustri tahun Adapun implementasi agenda prioritas tersebut dikelompokkan kedalam sasaran per kegiatan seperti disajikan pada tabel 20 berikut ini. Tabel 20. Implementasi Agenda Prioritas NAWACITA Kementerian Pertanian tahun NO. KEGIATAN PRIORITAS PENANGGUNGJAWAB 1. Perluasan 1 juta hektar lahan sawah baru - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian 2. Perluasan areal pertanian lahan kering 1 juta hektar di luar Jawa - Ditjen. Tanaman Pangan Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan 3. Rehabilitasi 3 juta hektar jaringan irigasi yang rusak - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian - Ditjen. Tanaman Pangan 4. Pembangunan pasar pertanian Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 5. Penyediaan kapal pengangkut ternak Ditjen. Peternakan dan Kesehatan Hewan 6. Pengendalian konversi lahan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian 7. Pemulihan kualitas kesuburan lahan yang airnya tercemar 8. Pengembangan Desa Mandiri Benih dan terintegrasinya dengan SL-Kedaulatan Pangan - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian - Badan Litbang Pertanian - Ditjen. Tanaman Pangan - Badan Litbang Pertanian 9. Pembangunan gudang dengan fasilitas pengolahan pasca panen di tiap sentra produksi Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 246

265 NO. KEGIATAN PRIORITAS PENANGGUNGJAWAB 10. Bank Pertanian, asuransi pertanian dan UMKM - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian 11. Peningkatan kemampuan petani melalui pengembangan 100 Agro Techno Park dan 34 Agro Science Park di 34 Provinsi - Sekretariat Jenderal - Badan Litbang Pertanian - BPPSDMP 12. Pengendalian impor pangan - Sekretariat Jenderal - Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan - Lintas sektoral 13. Reforma agraria 9 juta hektar - Sekretariat Jenderal - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian - Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan - Lintas sektoral 14. Pengembangan Desa Pertanian Organik Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan 15. Pengembangan areal pertanian melalui pemanfaatan lahan bekas tambang 16. Peningkatan Kemampuan Petani, Organisasi Petani dan Pola Hubungan Pemerintah 17. Pelibatan Perempuan Petani/Pekerja sebagai tulang punggung kedaulatan pangan 18. Penciptaan Daya Tarik Pertanian bagi Tenaga Kerja Muda 19. Pengembangan Inovasi Teknologi melalui Kerjasama Swasta, Pemerintah dan Perguruan Tinggi 20. Peningkatan Akses dan Aset Petani melalui distribusi _a katas tanah Petani dan Land Reform dan Program Penguasaan Lahan terutama bagi petani gurem dan buruh tani - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian - Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan - Lintas sektoral BPPSDMP BPPSDMP BPPSDMP Badan Litbang Pertanian - Sekretariat Jenderal - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian 21. Pengembangan food estate di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimatan Timur dan Kepulauan Aru 22. Pengembangan Kelapa Sawit di Wilayah Perbatasan di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimatan Timur 23. Pengembangan Tebu dan Pembangunan Pabrik Gula di luar Jawa (Sulawesi, NTB dan lainnya) Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan Ditjen. Perkebunan Ditjen. Perkebunan 24. Pengembangan sumber air Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian 247

266 NO. KEGIATAN PRIORITAS PENANGGUNGJAWAB 25. Peningkatan produksi dan ketersediaan beras, jagung, kedelai, tebu, cabai dan bawang merah Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan 26. Rehabilitasi 25 bendungan/waduk hingga tahun Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian 27. Integrasi Tanaman dengan Ternak Sapi Di Lahan Perkebunan Kelapa Sawit, Tanaman Pangan dan di Kawasan Hutan Sumber: Kementerian Pertanian, Lintas sektoral - Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan - Lintas sektor Dari Agenda Prioritas NAWACITA sebagaimana tercantum pada tabel 18 yang dijabarkan lebih lanjut kedalam kegiatan prioritas dimana Ditjen. Perkebunan mendapat amanat untuk melaksanakan kegiatan prioritas tahun sebagai berikut: 1. Pengembangan 150 desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan Sasaran kegiatan ini adalah terbangunnya kemandirian dalam penyediaan input produksi berbahan organik dan terbangunnya sistem pertanian organik di 150 desa yang siap disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) yang terakreditasi sampai dengan tahun Berdasarkan hal tersebut, mulai tahun 2016, Ditjen. Perkebunan memprioritaskan kegiatan desa organik ini pada tahap awal dengan melakukan pembinaan pada kelompok tani tentang bagaimana melakukan budidaya tanaman perkebunan secara organik sampai dengan fasilitasi sertifikasi organik berbasis kelompok tani pada lahan perkebunan tertentu. Adapun ruang lingkup kegiatan pengembangan pertanian organik berbasis komoditas perkebunan adalah: Penyediaan input sarana produksi untuk menghasilkan pupuk organik/kompos, pestisida nabati/botani dan agens pengendali hayati (APH). Penerapan budidaya tanaman yang ramah lingkungan dengan pola pemenuhan input sarana produksi secara mandiri berbasis kepada potensi ekosistem dan keanekaragaman hayati dan melakukan pengolahan limbah kebun sesuai prinsip zero waste management. Pengembangan sumber daya manusia (petani dan petugas pendamping) dalam memahami konsep pertanian organik. 248

267 Petunjuk kerja perkebunan berbasis pertanian organik melalui penerapan penggunaan lahan terkonversi baik tanaman tahunan maupun tanaman semusim. Pengawalan, pendampingan dan pembinaan monitoring pertanian organik. Sertifikasi produk perkebunan organik. Kegiatan pertanian organik Ditjen. Perkebunan menjadi tanggungjawab Direktorat Perlindungan Perkebunan dengan Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) adalah pembinaan dan sertifikasi desa pertanian organik berbasis komoditi perkebunan. Pertimbangan pelaksanaan pengembangan pertanian organik berbasis komoditas perkebunan berada pada kegiatan perlindungan perkebunan adalah: a. Telah membina kelompok-kelompok tani SL-PHT yang pada prinsipnya mengusung kaidah-kaidah pertanian organik dalam menyelenggarakan usaha perkebunannya sehingga pemilihan CP/CL desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan salah satunya berdasarkan lokasi-lokasi eks SL-PHT. b. Telah menginisiasi kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan model usaha perkebunan rendah emisi karbon pada tanaman kopi yang komponen-komponen kegiatannya bisa menjadi bagian dari pengembangan desa pertanian organik. Komoditas yang akan dikembangkan untuk desa pertanian organik adalah komoditas perkebunan yang dikonsumsi segar antara lain: kopi, pala, lada, kakao, kelapa, jambu mete, teh, dan aren. Pembinaan desa pertanian organik sampai dengan sertifikasi organik akan dilaksanakan bertahap dan berkelanjutan dengan sasaran 150 desa sampai dengan tahun 2019 sehingga pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan intervensi yang berbeda antara desa dengan kelompok tani yang sudah terlebih dahulu menginisiasi pengembangan desa pertanian organik dan kelompok tani baru. Tahapan pelaksanaan pengembangan desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan sebagai berikut: 1) Tahap persiapan meliputi identifikasi dan penetapan CP/CL. 2) Tahap inisiasi meliputi 1) koordinasi teknis pusat dan daerah, 2) apresiasi/sosialisasi kepada stakeholder, 3) fasilitasi bahan input dan sarana prasarana untuk sistem pertanian organik, 4) penyiapan fasilitator/pendamping organik tingkat pusat dan daerah, 5) pemberdayaan petani tentang pemahaman konsep pertanian organik dan 6) pengawalan dan pendampingan (intensif). 249

268 3) Tahap pengembangan meliputi 1) pendampingan kelompok tani dalam pemanfaatan input sarana produksi (mikro organisme lokal, kompos, APH dan pestisida nabati) dan sarana pendukung lainnya; 2) aplikasi budidaya organik dengan anggaran tertentu pertahun (continue) dan per provinsi; 3) pemeliharaan tanaman dengan penerapan GAP yang baik, pendampingan Sistem Manajemen Internal (SMI) dan penyusunan dokumen sistem mutu dalam penerapan pertanian organik di tingkat kelompok tani, pra inspeksi/audit dan 5) pengawalan dan pendampingan (semi intensif). 4) Pengajuan sertifikasi meliputi : 1) identifikasi pasar, 2) pemilihan LSO, 3) pengajuan sertifikasi organik kepada LSO bagi poktan/gapoktan yang sudah selesai pra inspeksi dan dinyatakan siap disertifikasi 5) Tahap pascapanen dan pengembangan pasar meliputi 1) bantuan pengadaan alat pascapanen; 2) pengembangan unit pengolahan produk dan sarana pendukung lainnya; 3) penyediaan pasar/mendorong mekanisme pasar untuk menyerap produk pertanian bekerjasama dengan sektor terkait Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Badan Koordinasi Penanaman Modal dan lain-lain (dimungkinkan melaksanakan pertemuan pemasaran skala nasional); 4) pertemuan rutin/temu bisnis dengan retailer, membuat outlet organik, pameran organik, dan 5) pengawalan dan pendampingan (semi intensif). Secara teknis tahapan ini akan dibahas pada Permentan/ Kepmentan tentang pedoman umum desa pertanian organik yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Sedangkan terkait proyeksi pengembangan 150 desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan tahun ditunjukkan pada lampiran. Dasar-dasar hukum pelaksanaan pengembangan desa pertanian organik ini adalah: a. Peraturan Menteri Pertanian nomor 64 tahun 2013 tentang Sistem Pertanian Organik menyatakan bahwa sistem pertanian organik merupakan sistem manajemen produksi yang holistik untuk mengembangkan agrosistem termasuk keragaman hayati, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah serta dapat dicapai dengan penggunaan budaya, metode biologi dan mekanik yang tidak menggunakan bahan kimia sintetis. 250

269 b. Peraturan Menteri Pertanian nomor 20/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian. c. Keputusan Menteri Pertanian nomor 584/Kpts/OT.050/10/2015 tentang Kelompok Kerja Pengembangan Seribu Desa Pertanian Organik. d. SNI 6729:2010 tentang Sistem Pangan Organik. e. SNI 6729:2016 tentang Sistem Pertanian Organik. 2. Perluasan areal perkebunan hektar di lahan kering Perluasan areal perkebunan di lahan kering bertujuan untuk mengembangkan komoditas perkebunan dilahan-lahan bukaan baru yang sesuai dengan agroekosistemnya dan dilahan-lahan sub optimal. Komoditas perkebunan yang diproyeksikan sampai dengan tahun 2019 seluas hektar adalah komoditas cengkeh, kakao, kopi, lada, pala, tebu, jambu mete, karet, kelapa, kelapa sawit dan kemiri sunan. Tanggungjawab pelaksanaan perluasan areal perkebunan di lahan kering ini berada pada Direktorat Tanaman Semusim dan Rempah dengan IKK perluasan tanaman semusim dan rempah dilahan kering, Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar dengan IKK perluasan tanaman tahunan dan rempah di lahan kering. Adapun target hektar kegiatan perluasan areal perkebunan dilahan kering disajikan pada Lampiran. 3. Pengembangan food estate Pengembangan food estate bertujuan untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan/ sentra pangan berbasis komoditas pertanian dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan, agar Indonesia sebagai bangsa dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara berdaulat. Pengembangan food estate dilaksanakan di daerah yang belum dapat dikategorikan sebagai daerah lumbung-lumbung pangan dan belum secara mandiri memenuhi pangan masyarakatnya. Pelaksanaan food estate bersamaan dalam mendukung kegiatan pengembangan 1 juta hektar kawasan pangan Merauke dan pengembangan rice estate dengan di provinsi Kalimantan Barat (8 Kabupaten/Kota) seluas hektar; provinsi Kalimantan Tengah (14 Kabupaten/Kota) seluas hektar; provinsi Kalimantan Utara (Kabupaten Bulungan) seluas hektar dan provinsi Maluku (Kab. Kepulauan Aru) seluas hektar. Fasilitasi dukungan Ditjen. Perkebunan dalam pengembangan food estate adalah melalui kegiatan yang dapat memacu/ mendorong 251

270 peningkatan produksi dan produktivitas komoditas perkebunan, kegiatan pascapanen dan perlindungan perkebunan. 4. Pengembangan kelapa sawit di wilayah perbatasan Sasaran kegiatan ini adalah pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat pada areal eksisting dan perluasan areal perkebunan kelapa sawit seluas 1 juta hektar di perbatasan negara terutama di provinsi Kalimantan Barat, provinsi Kalimantan Utara dan provinsi Kalimantan Timur melalui pola PIR (perkebunan inti rakyat). Diharapkan melalui kegiatan ini dapat menarik investor untuk membangun industri hilir kelapa sawit di daerah perbatasan. Yang perlu diperhatikan terkait kegiatan pengembangan kelapa sawit di wilayah perbatasan adalah permasalahan ketersediaan lahan dan tenaga kerja, ketersediaan sarana prasarana dan infrastruktur, kesiapan daerah dalam melaksanakan pola PIR, dukungan BUMN dan instansi terkait lainnya (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) serta sinergitas pelaksanaan RTRW nasional. Fokus kegiatan sub sektor perkebunan sesuai zonasi RTRW di wilayah perbatasan ditunjukkan pada bagian Lampiran. Langkah-langkah dasar pengembangan perbatasan antara lain: a. Pemetaan potensi umum wilayah perbatasan. b. Klasifikasi untuk mengelompokkan pilihan arah pengembangan yang sesuai: wilayah hutan tanpa penduduk/belum ada usahatani, ada usahatani sporadis, usahataninya sudah berkembang. c. Penyusunan Kerangka Pendekatan pelaksanaan untuk masingmasing kelompok (rapat-rapat/belum operasional). d. Penyusunan Kerangka Pelaksanaan (operasional): penganggaran dan pelayanan. e. Membangun kesiapan penyelenggaraan pelaksanaan (dibedakan yang bersumber dari APBN, APBD, dan partisipasi sektor dunia usaha). f. Penyiapan rencana kegiatan: - Penetapan paket kegiatan masing-masing kelompok: (APBN dan Pelayanan). - Penentuan bentuk peran serta dunia usaha. - Komponen kegiatan yang meliputi SID (survey identification and design), Bantuan Benih, Bantuan Sarana Produksi Lainnya: 252

271 Pupuk dan Pestisida/Herbisida, Pemberdayaan petani, Upah kerja, Pengawalan dan pendampingan. Kerangka pendekatan pengembangan wilayah perbatasan berbasis kelapa sawit pada areal baru adalah pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan pola PIR yang dikaitkan dengan program transmigrasi (Pola PIR-TRANS) yang hakekatnya merupakan kegiatan lintas fungsi, lintas sektor dan lintas wilayah (Pusat dan Daerah). Kerangka pelaksanaannya meliputi 1) komponen pembangunan kebun, pengaturan, pembinaan, pelayanan dan pengawasan menjadi tanggungjawab Kementerian Pertanian/Ditjen. Perkebunan; 2) pembangunan komponen pemukiman, termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosial, menjadi tanggung jawab Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; 3) pembangunan sarana dan prasarana, seperti jalan poros dll, menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; 4) perusahaan inti adalah perusahaan perkebunan yang sudah berhasil dan dipandang akan lebih membantu dan akan lebih mendukung capaian keberhasilan PIR-Trans (Inpres nomor 1 tahun 1986). 5. Pengembangan tebu dan inisiasi pembangunan pabrik gula baru Pengembangan tebu dimaksudkan dalam mendukung pemenuhan bahan baku tebu untuk peningkatan produksi gula nasional 3,26 juta ton pada tahun 2019 (pemenuhan gula Kristal putih/ GKP). Secara umum, berikut ini disampaikan beberapa permasalahan dan solusi dalam percepatan peningkatan produksi gula. - Permasalahan impor gula yang terus meningkat, solusinya adalah meningkatkan produksi bula (tebu) dan stop impor. - Penggunaan bibit produktivitas rendah 60 %, solusinya adalah penggunaan benih unggul 6 tepat (jenis, jumlah, harga, tempat, waktu dan mutu). - Peningkatan Hama-Penyakit yang dapat menurunkan produktivitas sampai 30%, solusinya adalah pengendalian hama penyakit terpadu. - Tenaga Kerja terbatas dan sulit, solusinya mekanisasi, pengadaan alsintan. - Produktivitas tebu rendah (kurang dari ton/hektar), solusinya adalah bongkar dan rawat ratoon. - Dampak perubahan iklim seperti kekeringan, solusinya pengairan, dengan pompanisasi. 253

272 - Pembiayaan dengan persyaratan perolehan KKP-E rumit, solusinya adalah kemudahan persyaratan petani. - Infrastruktur pengembangan tebu kurang, solusinya sinergitas dengan K/L lain untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur pendukung pengembangan tebu. - Rendahnya pemanfaatan inovasi dan teknologi, solusinya peningkatan inovasi teknologi dengan dukungan penganggaran dan keterlibatan pusat-pusat penelitian. - Kurang efisiennya tata niaga dan stabilitas harga tebu/ gula, solusinya perbaikan regulasi per-tebuan. - Pabrik sudah tua dengan efesiensi 69,3%, solusinya membangun PG baru (BUMN dan Swasta). Salah satu strategi yang di lakukan untuk peningkatan produksi gula adalah melalui perluasan areal tebu, sedangkan kegiatan inisiasi pembangunan pabrik gula baru dilakukan dengan merekomendasikan Kementerian/Lembaga terkait (BUMN, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan) dalam hal pemanfaatan lahan pengembangan tebu yang belum dilengkapi pabrik gula dengan target membangun/rehabilitasi 10 PG baru di Jawa dan Luar Jawa. Strategi lain dalam peningkatan produksi tebu nasional menuju swasembada gula (Roadmap Peningkatan Produksi Gula Nasional ): a) Penyediaan Lahan Clear and Clean seluas hektar, melalui percepatan deregulasi penyediaan lahan Perhutani/Inhutani (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ BPN). b) Peningkatan Produksi /Produktivitas Tebu pada Lahan Eksisting, dengan 1) pengelolaan kebun tebu dalam satu manajemen PG, melalui pemetakan lahan tebu, penentuan varietas tebu sesuai tingkat kemasakan, jadwal tanam, komposisi tanaman, jadwal tebang dan angkut, serta Analisa Rendemen Individu/ sistem beli putus Standarisasi bahan baku dan produk gula sesuai SNI; 2) penyediaan sarana irigasi; 3) penyedian benih unggul sesuai tipologi wilayah; 4) penyediaan mekanisasi; 5) pembangunan Kebun Benih Berjenjang; 6) pengembangan riset dan teknologi; 7) penguatan Kelembagaan petani; dan 8) pengembangan industri hilir (ethanol, Listrik). 254

273 c) Revitalisasi dan Regrouping PG BUMN (47 PG menjadi 27 PG), melalui peremajaan mesin dan/atau peralatan dan penutupan PG BUMN yang tidak efisien ke arah kapasitas PG > TCD serta standarisasi PG pada OR (efisiensi pabrik) 80% ke atas. d) Pembangunan PG Baru (29 PG), melalui penyediaan Lahan Clear and Clean, pembangunan sarana Infrastruktur (Jalan, Jembatan, Pelabuhan), pembangunan sarana irigasi dan pembangunan kebun Benih Berjenjang. e) Research and Development (RnD), melalui penguatan lembaga riset seperti P3GI dan perguruan tinggi, Puslit, Balit; prakitan varietas tebu unggul berdasarkan tipologi wilayah; pendampingan kepada PG; pengawalan pola tanam dan panen tebu; serta diversifikasi produk. f) Penataan kelembagaan dan Regulasi, melalui 1) penyusunan Perpres Kebijakan Gula Nasional; 2) industri gula dibawah kewenangan pembinaan satu kementerian melalui pengaturan dalam PP turunan UU Perindustrian; 3) pemberian fasilitas tax allowance, tax holiday, dan impor raw sugar bagi pabrik gula investasi baru (khususnya di luar Pulau Jawa Indonesia Bagian Timur); 4) penguatan kelembagaan petani (koperasi per PG), kelembagaan PG, P3GI, LPP dan pembentukan Dewan Gula Indonesia (DGI) independen; 5) dana pengembangan Gula Nasional sebesar 0,5% per kg harga gula di pabrik untuk pengembangan industri gula nasional (Riset, SDM, Dewan Gula). g) Penguatan SDM, melalui pemetaan dan Penyusunan Kebutuhan SDM (petani, peneliti, PG); pelatihan dan pengembangan kompetensi; sertifikasi kompetensi profesi dan sistem informasi kompetensi. h) Pengawasan Distribusi Gula, melalui penyempurnaan data konsumsi langsung rumah tangga, industri khusus (warung, hotel), Industri rumah tangga, dan Industri Makanan, minuman dan farmasi; peredaran gula berdasarkan mutu (SNI) dan PG berbasis tebu memproduksi gula kualitas industri dan memenuhi standar safety food. Sampai dengan saat ini, terdapat perusahaan investor yang akan membangun kebun baru dan pabrik gula di Indonesia yang terletak di provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan NTT. Rencana kapasitas pabrik gula adalah total TCD (tahap awal TCD) dengan perkiraan lahan yang diperlukan seluas ribu 255

274 hektar. Untuk mencapai target lahan sebesar tersebut diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan sektor lain yaitu: a. Penerbitan Inpres tentang penggunaan lahan kawasan hutan untuk percepatan peningkatan produksi gula nasional. b. Percepatan penyediaan dan pelepasan kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. c. Percepatan penerbitan hak atas tanah oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. d. Memfasilitasi penyediaan dana revitalisasi pabrik gula oleh Kementerian BUMN. e. Memfasilitasi penyediaan insentif untuk pelaku usaha oleh BKPM dan Kementerian Keuangan. 6. Integrasi tanaman perkebunan dengan ternak sapi di lahan perkebunan kelapa sawit dan integrasi tanaman pangan di lahan perkebunan kelapa sawit Integrasi ternak ruminansia-kelapa sawit Tujuan kegiatan ini adalah sebagai upaya dalam 1) mendukung swasembada daging dan pengembangan sapi berkelanjutan; 2) peningkatan produktivitas usahatani kelapa sawit melalui pemanfaatan kotoran padat dan cair ternak sapi sebagai pupuk organik dan 3) mendukung pemenuhan energi dalam bentuk biogas pada wilayah perkebunan kelapa sawit. Pelaksanaan kegiatan integrasi tanaman kelapa sawit dan ternak yang sudah menghasilkan TM seluas 20% dilaksanakan dengan pendekatan pemanfaatan potensi lestari sumber pakan berupa: pelepah dan daun kelapa sawit serta gulma sebagai pakan hijauan; serta bungkil dan solid sebagai bahan pakan konsentrat. Pelaku kegiatan ini adalah pekebun, perusahaan kelapa sawit dan kemitraan. Pengembangan integrasi sawit sapi oleh perkebunan dapat ditempuh dengan memanfaatkan/ mendorong tumbuhnya industri kegiatan pendukung, baik dalam negeri maupun luar negeri, seperti produsen bakalan/indukan, produsen pakan konsentrat, alat pencacah pelepah dan daun (chopper). Adapun komponen bantuan kepada pekebun antara lain bibit ternak sapi, kandang, padang penggembalaan, alat pengolah hasil samping kelapa sawit, alat pengolah limbah ternak dan pendampingan oleh tenaga pendamping dan tenaga ahli. Integrasi tanaman pangan-kelapa sawit, karet dan kelapa (tumpangsari) 256

275 Implementasi kebijakan ini melalui pemanfaatan lahan perkebunan khususnya pada areal Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dengan penanaman tanaman jagung hibrida dan diutamakan pada areal tanaman kelapa sawit, kelapa dan karet. Namun demikian, dimungkinkan dilakukan penanaman pada komoditas perkebunan lainnya. Menurut data BPS yang diolah Ditjen. Perkebunan ketersediaan lahan TBM kelapa sawit perkebunan rakyat tahun 2014 seluas 1,07 juta hektar dan hal ini merupakan potensi lahan yang bisa dimanfaatkan untuk tumpangsari tanaman jagung di lahan perkebunan kelapa sawit. Dari 1,07 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit rakyat yang bisa ditanam tumpangsari jagung, diasumsikan akan terjadi penambahan produksi jagung sebesar 4,2 juta ton pipilan kering (1x penanaman) dan 8,4 juta ton pipilan kering (2x penanaman) dalam 1 tahun. Sebagai informasi, dalam 1 Ha, areal perkebunan sawit yang dapat ditanami jagung secara tumpang sari seluas 60% dan untuk perkebunan rakyat, pengembangan jagung dilakukan dengan pendekatan kelompok yaitu 50 hektar/kelompok. Satuan biaya per Hektar tumpang sari jagung di lahan kelapa sawit membutuhkan bantuan input produksi (benih, dll) dengan kisaran 1,8-2,2 triliun rupiah. Tujuan kebijakan ini adalah 1) meningkatkan pendapatan pekebun sebelum tanaman pokok menghasilkan; 2) meningkatkan usaha tani para pekebun; 3) menjalin kemitraan pekebun dengan para Stakeholders dalam upaya penanganan pasca panen dan pemasaran hasil; 4) mendukung peningkatan swasembada pangan (jagung); dan 5) optimalisasi lahan perkebunan kelapa sawit untuk penanaman tanaman sela (jagung). Peran pemerintah daerah dalam kegiatan tumpangsari jagung di lahan perkebunan kelapa sawit yaitu: Inventarisasi potensi lahan di areal perkebunan dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan Kabupaten. Sedangkan inventarisasi dan pemantapan CP/CL dilaksanakan bersama dengan Dinas Pertanian (Tanaman Pangan) Kabupaten. Inventarisasi ini salah satunya memastikan lahan merupakan kawasan budidaya, memperhatikan kondisi lahan/ kepastian potensi lahan yang dapat ditanam tumpangsari, aspek umur tanaman (pada TBM), paket teknologi, penyediaan sarana produksi, peran kelembagaan petani dan persyaratan lain sesuai kondisi lapangan. Pengadaan paket bantuan (sarana produksi), distribusi serta bimbingan teknis dilaksanakan oleh Dinas Pertanian (Tanaman Pangan) Provinsi. 257

276 Pendampingan, Pengawalan, Monitoring dan Evaluasi dilakukan bersama Dinas Perkebunan Kabupaten & Provinsi dan Dinas Pertanian (Tanaman Pangan) Kabupaten & Provinsi, serta supervisi oleh Direktorat Jenderal Perkebunan dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Identifikasi lahan yang akan diikutsertakan merupakan areal pertanaman komoditi perkebunan yang masih termasuk dalam kategori TBM atau lahan kegiatan peremajaan dan masih memungkinkan ditanami jagung (tajuk tanaman belum saling menutup) serta diharapkan berada di satu hamparan kebun kelapa sawit, karet dan kelapa yang memenuhi skala ekonomis. Identifikasi kelompok tani penerima bantuan merupakan kelompok tani pekebun dengan jumlah anggota sekitar 25 orang dan penerima bantuan merupakan pekebun pemilik atau penggarap serta telah terdaftar di Bapeluh. Paket teknologi utama sebagai upaya peningkatan produksi jagung untuk mencapai swasembada jagung secara berkelanjutan, adalah: a. Penggunaan Benih Unggul untuk mendukung peningkatan produktivitas jagung nasional. b. Penggunaan Paket Teknologi Pupuk sesuai GAP melalui penerapan penggunaan pupuk sesuai rekomendasi, ketersediaan pupuk tepat waktu dan tepat jumlah dalam menentukan produktivitas. c. Penanganan pascapanen dan alsintan lainnya melalui penyediaan alat pascapanen seperti mesin pengering jagung. d. Penerapan teknologi pengaturan jarak tanam yang dikaitkan dengan umur tanaman. Strategi operasional dalam mempercepat pelaksanan kebijakan tumpangsari tanaman jagung di lahan perkebunan kelapa sawit antara lain: - Kegiatan integrasi tanaman pangan di lahan perkebunan kelapa sawit dilaksanakan dengan mengembangkan tanaman kedelai dan jagung sebesar 20-40% pada lahan kelapa sawit yang belum menghasilkan (TBM). - Memberikan insentif dan kemudahan lain kepada perusahaan kelapa sawit swasta yang melakukan pengembangan tanaman jagung dan kedelai pada lahan tanaman kelapa sawit yang belum menghasilkan secara penuh. 258

277 - Dukungan kegiatan pengembangan integrasi sawit sapi seluas 10% dari areal kebun kelapa sawit yang sudah menghasilkan. Tujuan utama kegiatan ini adalah dalam rangka mendukung sasaran strategis Kementerian Pertanian terhadap swasembada jagung dan kedelai sekaligus optimalisasi pengembangan kelapa sawit rakyat dalam mendukung pengembangan bio-industri dan bio-energy. - Tersusunnya pedoman umum (Pedum) kegiatan tumpangsari tanaman jagung di lahan kelapa sawit, karet dan kelapa sebagai landasan bagi daerah untuk melaksanakan kegiatan. - Diperlukan Instruksi Presiden kepada Kementerian BUMN untuk menugaskan BUMN perkebunan melakukan penanaman jagung dan kedelai sebesar 20-40% dari lahan perkebunan kelapa sawit belum menghasilkan (TBM), serta melakukan integrasi sawit sapi pada lahan yang tanaman yang sudah menghasilkan seluas 20%; - Pemerintah memberikan bantuan benih jagung dan pupuk kepada pekebun sesuai umur tanaman; - Memberikan insentif kepada pabrik pakan yang berasal dari hasil samping kelapa sawit (bungkil sawit). Dukungan fasilitasi penerapan komoditas perkebunan dengan sistem tumpang sari diharapkan dapat mengacu pada pedoman teknis pengembangan komoditas masing-masing di wilayah tertentu sehingga petani dapat melakukan perubahan orientasi dari upaya peningkatan produktivitas budidaya tanaman perkebunan MONOKULTUR menjadi peningkatan produktivitas usaha tani berbasis tanaman perkebunan (POLIKULTUR). Penguatan pertanian skala kecil pada perkebunan rakyat melalui peningkatan produktivitas usahatani berbasis tanaman perkebunan dengan cara pengembangan tanaman tumpangsari pangan, selain untuk meningkatkan pendapatan juga mempunyai dampak manfaat cukup besar seperti pemenuhan kebutuhan pangan dari hasil produksi sendiri, meningkatkan kondisi umum ketahanan pangan dan kecukupannya tidak bergantung impor. Selain itu memberikan kesempatan untuk menumbuhkan produksi di wilayahnya dan pemberdayaan SDM serta mengurangi ketergantungan input sintetis. Diversifikasi Integratif (Model Pertanian Tekno-Ekologis) Kegiatan usaha perkebunan selama ini masih dilakukan monokultur sehingga rentan dalam menghadapi resiko adanya penurunan harga, penurunan produksi dan produktivitas, penurunan kualitas unsur hara 259

278 tanah/lahan, serangan OPT, pemborosan lahan dan tenaga kerja serta keberlangsungan usaha agribisnis perkebunan (krisis pemenuhan kebutuhan pokok pangan). Untuk mendukung pengembangan pola polikultur, tumpangsari, rotasi tanam, pola tanam dan/atau pola integrasi antar komoditas, harus dilakukan pendekatan yang benar-benar memanfaatkan seluruh potensi sumber daya alam yang ada dalam sistem budidaya perkebunan. Pendekatan yang diambil yaitu pengembangan model pertanian yang menggabungkan penerapan aplikasi teknologi maju namun ramah lingkungan dan dilakukan dengan menyelaraskan daya dukung ekosistem lokal dengan keragaman komoditas untuk diversifikasi dan integrasi dalam mengakomodasi kepentingan ekonomi, ekologi dan ketersediaan pangan disebut MODEL PERTANIAN TEKNO-EKOLOGIS. Konsep model pertanian tekno-ekologis adalah: a. Adanya diversifikasi atau keragaman komoditas melalui Pengembangan komoditas tanaman pangan di lahan perkebunan (tumpang sari) sebagai cover crop pada periode TBM. b. Adanya pola integratif melalui pengembangan komoditas perkebunan untuk pakan ternak (integrasi kebun-ternak) dan komoditas lainnya (pangan dan hortikultura). c. Skala ekonomi kawasan yang didukung jaringan sarana dan prasarana yang menghubungkan ke unit pengolahan hasil dengan basis pengelolaan. d. Orientasi sumber daya lokal melalui optimalisasi pengelolaan sumber daya yang ada baik lahan maupun tenaga kerja petani dan keluarganya. e. Penerapan norma manajemen dan teknik budidaya yang baik (GAP) yang dimulai dari persiapan lahan, penggunaan benih/ saprodi yang baik sampai pengendalian hama terpadu (PHT). f. Pemanfaatan sumber daya lahan kering melalui pemanfaatan tanpa penggenangan, sumber air asasinya dari air hujan/ air irigasi dan luasan pemanfaatan lebih besar. g. Pemanfaatan kelestarian lingkungan dengan terbentuknya rantai ekosistem pemanfaatan zat-zat makanan secara tertutup yang berdampak untuk menekan penggunaan input sintetis (paradigma pertanian organik). 260

279 Adapun manfaat penerapan model pertanian tekno-ekologis adalah 1) memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri (mengurangi ketergantungan impor) terutama dari produksi pangan organik berkualitas, produksi pangan, hortikultura, perkebunan dan ternak serta produksi energi alternatif (bioenergy); 2) memperbaiki unsur hara tanah; 3) mengurangi resiko kemungkinan penurunan harga untuk komoditas perkebunan; 4) keberlangsungan usaha pekebun/ pondasi sumber pendapatan dan kesejahteraan petani; 5) penggerak ekonomi wilayah; 6) penghasil bahan baku industri dan ekspor; 7) penciptaan lapangan kerja dan menekan jumlah penduduk miskin; dan 8) efisiensi lahan sehingga pertanian lebih produktif, berkualitas dengan resiko kecil dan ramah lingkungan. Pendekatan dari model pertanian tekno-ekologis adalah melalui 1) Integrasi tanaman Pangan sebagai COVER CROP (penutup tanah) pada pengembangan baru atau peremajaan tanaman perkebunan; 2) pengganti kegiatan olah tanah dan agro input pada kegiatan intensifikasi dan rehabilitasi kelapa tua monokultur; dan 3) tanaman pangan sebagai pengganti tanaman pelindung bukan tanaman produktif pada kopi dan kakao dengan jenis tanaman pelindung produktif. Perubahan yang diharapkan dalam model pertanian tekno-ekologis adalah: - Usaha budidaya monokultur menjadi usaha tani diversifikasi perkebunan (pangan/hortikultura). - Perubahan menjadi praktek pertanian yang baik (GAP) dgn penerapan teknologi ramah lingkungan dan menekan input sintesis. - Perubahan usaha budidaya perkebunan menjadi usaha pertanian sistem tanaman-ternak (integratif). - Perubahan pengembangan pemberdayaan kebersamaan ekonomi (pelatihan/ pendampingan) dalam suatu kawasan. - Sesuai dengan kerangka konsepsi bahwa pengembangan sistem tumpangsari pangan, hortikultura, ternak dengan perkebunan harus menggunakan benih unggul bermutu/ bersertifikat dan agroinput sesuai rekomendasi. Berikut ini pada gambar dijelaskan mengenai salah satu model pertanian tekno-ekologis. 261

280 Gambar 4. Model Pertanian Tekno-Ekologis/ Diversifikasi Integratif (Sumber: Buku Panduan Pengembangan Pola Sistem Usaha Tani Perkebunan Rakyat Diversifikasi Integratif (Supra-Din) Berbasis Tanaman Perkebunan, 2012). Pada gambar tersebut dijelaskan berkenaan dengan keragaman komoditas (diversifkasi) pada usahatani dapat meningkat menjadi pola integratif, maka sebagai langkah kunci perlu dilanjutkan dengan mengintegrasikan cabang usaha tani ternak kepada sistem perkebunan rakyat yang dimaksud agar menjadi terbentuk pemanfaatan zat makanan secara tertutup oleh berlangsungnya proses pemanfaatan limbah. Limbah tanaman diolah untuk menjadi pakan ternak sedangkan limbah ternak diolah menjadi pupuk tanaman, oleh karena itu teknologi peralatan pengolahan limbah dan hasil samping tanaman serta pengolahannya untuk meningkatkan nutrisi menjadi sangat penting peranannya dalam sistem pertanian diversifikasi-integrasi sehingga masing-masing berperan optimal dalam proses berlangsung. Secara umum, pada kegiatan budidaya tanaman perkebunan selain tanaman pokok perkebunan, sudah dapat dikembangkan komoditas lain sebagai pohon pelindung, tanaman tumpang sari, hijauan pakan ternak dan lainlain sehingga menjadi ketersediaan limbah tanaman. Limbah tanaman yang sudah atau akan dapat dikembangkan ketersediaannya mempunyai ciri-ciri yang berbeda untuk setiap komoditas. Hal ini berarti pengembangan model pertanian berkelanjutan pola integrasi dapat langsung dimulai penerapannya dengan cara mengutuhkan kegiatan yang telah ada untuk masing-masing komoditas. Pada tahap awal pengembangannya dimulai dengan model integrasi yang sederhana, selanjutnya sesuai perkembangan dan kesiapan secara bertahap disempurnakan menjadi model integrasi yang lebih kompleks. Beberapa implementasi pengembangan usaha tani terintegrasi pangan dan ternak berbasis komoditas perkebunan: 262

281 1. Integrasi Tanaman Kelapa Tua Dengan Tanaman Padi Gogo dan Jagung Pada integrasi ini, pengaturan pola tanam yang dianjurkan adalah yang dapat menutup tanah sepanjang tahun dengan maksud sebagai tindakan konservasi tanah secara vegetatif. Pola tanam yang dianjurkan adalah pada awal musim hujan ditanami padi gogo atau jagung yang lebih banyak kebutuhan airnya, kemudian diikuti oleh jenis tanaman palawija atau kacang-kacangan yang kebutuhan airnya lebih sedikit. Penggunaan daun kelapa dan integrasinya dengan jagung pada akhirnya akan menambah ketersediaan pakan ternak baik dari daun maupun biji jagung serta dari limbah biomassa padi/ sisa daun/ biomassa jagung (pola integratif dengan ternak). Usaha budidaya kelapa dengan integrasinya harus mengacu pada pedoman teknis budidaya kelapa yang telah ditetapkan. Peluang pengembangan tanaman tumpang sari dengan kegiatan peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi kelapa memakai jarak tanam 16 meter x 6 meter sistem pagar, sedangkan model peremajaan memakai peremajaan sistem tebang bertahap. 2. Integrasi Tanaman Karet dengan Tanaman Padi Gogo, Jagung dan Palawija Kegiatan peremajaan karet dapat dilakukan pengembangan tanaman tumpangsari dengan melakukan uji coba pendekatan baru pola jarak tanaman karet beserta paket teknologinya. Pola jarak tanam yang bisa diadopsi pada sistem tumpang sari dengan kegiatan peremajaan karet adalah dari 7 meter x 3 meter menjadi 19 meter x 3 meter x 2,5 meter. Sesuai dengan kondisi faktor produksi yang ada, pengembangan tanaman pangan diantara tanaman karet dapat dikelompokkan menjadi: - Tanaman karet sampai berumur 3 tahun dimana pada 3 tahun pertama, cahaya matahari belum merupakan faktor pembatas sehinggga tanaman tumpangsari dapat dilakukan. Faktor air dan nutrisi dapat dioptimalkan dengan pengaturan pola tanam. - Tanaman karet setelah berumur 3 tahun dimana intensitas sinar matahari menjadi kurang sehingga pemilihan tanaman sela harus didasarkan pada kemampuan beradaptasi pada kondisi tersebut seperti jenis umbi-umbian. 3. Integrasi Tanaman Kelapa Sawit dengan Ternak Sapi Penerapan pola integratif perkebunan kelapa sawit dengan ternak sapi diharuskan memakai sistem dikandangkan sehingga bisa manajemen limbah ternak dengan baik sebagai pupuk tanaman kelapas sawit. 263

282 Selain itu dari siklus produksi tanaman kelapa sawit yang menghasilkan limbah tanaman (daun, tandan, dan lain-lain) dapat digunakan sebagai pakan ternak dengan pengolahan tertentu. Alat pengolahan limbah tanaman sawit menjadi pakan ternak diharuskan memiliki teknologi yang adaptif kepada petani dan nilai ekonomis yang tinggi. 4. Integrasi Tanaman Kakao dengan Ternak Kambing Pada sistem budidaya kakao berkelanjutan merupakan persyaratan adanya tanaman penaung/pelindung (produktif). Tanaman pelindung sementara dilakukan pada periode TBM untuk melindungi tanah dari erosi, meningkatkan kesuburan tanah dan tambahan bahan organik berasal dari penutup tanaman sementara dan menekan pertumbuhan gulma. Setelah memasukki masa TM maka dikembangkan tanaman pelindung tetap dari jenis tanaman produktif seperti lamtoro untuk mencegah berlangsungnya degradasi lahan yang akan mengancam keberlanjutan budidaya serta menjaga intensitas cahaya pada kondisi ideal untuk pertumbuhan kakao. Pemanfaatan lanjutannya adalah pola pemanfaatan limbah tanaman kakao sebagai sumber pakan pada ternak kambing. 5. Integrasi Tanaman Kopi dengan Tanaman Pelindung Produktif dan Ternak Kambing Budidaya kopi umumnya dilakukan di wilayah dataran medium hingga dataran tinggi. Kawasan ini secara umum merupakan agroekosistem lahan kering beriklim basah yang sekaligus merupakan kawasan hulu. Disamping sebagai sumber pendapatan, budidaya kopi dengan tanaman pelindung produktif juga berperan strategis dalam menyangga kawasan hidro-orologis (deposit air). Arah pengembangan kedepan bagaimana integrasi ini mendukung pengurangan bahkan meniadakan input produksi sintetis sehingga akan meningkatkan permintaan kopi organik yang memiliki cita rasa specialty dan menjamin keberlanjutan fungsi SDA. Pemanfaatan lanjutannya adalah pola pemanfaatan limbah tanaman kopi sebagai sumber pakan pada ternak kambing Kegiatan Direktorat Jenderal Perkebunan Sebagai penjabaran dari program, masing-masing unit Eselon II lingkup Direktorat Jenderal Perkebunan mempunyai 1 (satu) kegiatan utama. Dengan demikian di lingkup Direktorat Jenderal Perkebunan terdapat 9 kegiatan pembangunan perkebunan pada 9 eselon II sesuai Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, yaitu: 264

283 (1) Direktorat Tanaman Semusim dan Rempah dengan kegiatan pengembangan tanaman semusim dan rempah; (2) Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar dengan kegiatan pengembangan tanaman tahunan dan penyegar; (3) Direktorat Perbenihan Perkebunan dengan kegiatan dukungan perbenihan tanaman perkebunan; (4) Direktorat Pengolahan dan Pemasaran hasil Perkebunan dengan kegiatan dukungan pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan; (5) Direktorat Perlindungan Perkebunan dengan kegiatan dukungan perlindungan perkebunan; (6) Sekretariat Ditjen. Perkebunan dengan kegiatan dukungan manajemen dan dukungan teknis lainnya; (7) Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan dengan kegiatan dukungan pengujian dan pengawasan mutu benih serta penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan; (8) Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Surabaya dukungan pengujian dan pengawasan mutu benih serta penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan; (9) Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Ambon dukungan pengujian dan pengawasan mutu benih serta penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan Pengembangan Tanaman Semusim dan Rempah Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Direktorat Tanaman Semusim dan Rempah mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan produksi tanaman tebu, semusim dan rempah lain. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Tanaman Semusim dan Rempah menyelenggarakan fungsi: a) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang peningkatan produksi tanaman tebu dan pemanis lain, serat dan atsiri, lada, pala dan cengkeh serta rempah dan semusim lain; 265

284 b) Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan produksi tanaman tebu dan pemanis lain, serat dan atsiri, lada, pala dan cengkeh, serta rempah dan semusim lain; c) Penyusunan norma, standar, prosedur dan kreteria dibidang peningkatan produksi tanaman tebu dan pemanis lain, serat dan atsiri, lada, pala dan cengkeh, serta rempah dan semusim lain; d) Pengembangan bahan baku bio energi tanaman tebu; e) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang peningkatan produksi tanaman tebu dan pemanis lain, serat dan atsiri, lada, pala dan cengkeh, serta rempah dan semusim lain; f) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang peningkatan produksi tanaman tebu dan pemanis lain, serat dan atsiri, lada, pala dan cengkeh, serta rempah dan semusim lain; dan g) Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Tanaman Semusim dan Rempah. Prioritas pengembangan tanaman semusim dan rempah difokuskan pada 7 komoditas unggulan perkebunan yaitu Tebu, Lada, Pala, Cengkeh, Kapas, Tembakau dan Nilam. Selain itu difasilitasi pengembangan komoditas spesifik lokal seperti tanaman pemanis lain, tanaman serat, tanaman atsiri, tanaman rempah dan semusim lainnya. Sasaran peningkatan produksi tanaman semusim dan rempah adalah terlaksananya pengembangan tanaman semusim dan rempah dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah: 1) Pengembangan areal produktif tanaman tebu, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Tebu dan Pemanis Lain; 2) Pengembangan areal produktif tanaman rempah (Lada, Pala, Cengkeh, tanaman rempah dan tanaman atsiri lainnya), yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Lada, Pala dan Cengkeh; Sub Direktorat Tanaman Rempah dan Semusim Lain; dan Sub Direktorat Tanaman Serat dan Atsiri. 3) Pengembangan areal produktif tanaman semusim lainnya (kapas, tembakau, nilam, tanaman pemanis lain, tanaman serat dan semusim lain); yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Tebu dan Pemanis Lain; Sub Direktorat Tanaman Rempah dan Semusim Lain; dan Sub Direktorat Tanaman Serat dan Atsiri. 266

285 4) Perluasan tanaman semusim dan rempah di lahan kering; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Tebu dan Pemanis Lain; Sub Direktorat Tanaman Rempah dan Semusim Lain; Sub Direktorat Tanaman Lada, Pala dan Cengkeh; dan Sub Direktorat Tanaman Serat dan Atsiri. 5) Fasilitasi teknis pengembangan tanaman semusim dan rempah, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Tebu dan Pemanis Lain; Sub Direktorat Tanaman Rempah dan Semusim Lain; Sub Direktorat Tanaman Lada, Pala dan Cengkeh; Sub Direktorat Tanaman Serat dan Atsiri; dan Sub Bagian Tata Usaha serta kelompok jabatan fungsional. Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk pengembangan tanaman semusim dan rempah tahun disajikan pada tabel 21 sebagai berikut: Tabel 21. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Pengembangan Tanaman Semusim dan Rempah tahun No. Indikator 1. Pengembangan areal produktif tanaman tebu (Hektar) 2. Pengembangan areal produktif tanaman rempah (Hektar) 3. Pengembangan areal produktif tanaman semusim lainnya (Hektar) 4. Perluasan tanaman semusim dan rempah di lahan kering (Hektar) 5. Fasilitasi teknis pengembangan tanaman semusim dan rempah (Bulan) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, target IKK per tahun Pengembangan Tanaman Tahunan dan Penyegar Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan produksi tanaman tahunan dan penyegar. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar menyelenggarakan fungsi: 267

286 a) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang peningkatan produksi tanaman karet dan tanaman tahunan lain, tanaman kelapa sawit, tanaman kelapa dan palma lain, serta tanaman penyegar; b) Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan produksi tanaman karet dan tanaman tahunan lain, tanaman kelapa sawit, tanaman kelapa dan palma lain, serta tanaman penyegar; c) Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang peningkatan produksi tanaman karet dan tanaman tahunan lain, tanaman kelapa sawit, tanaman kelapa dan palma lain, serta tanaman penyegar; d) Pengembangan bahan baku bio energi kelapa sawit; e) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang peningkatan produksi tanaman karet dan tanaman tahunan lain, tanaman kelapa sawit, tanaman kelapa dan palma lain, serta tanaman penyegar; dan f) Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar. Prioritas pengembangan tanaman tahunan dan penyegar difokuskan pada 9 komoditas unggulan perkebunan yaitu Kelapa Sawit, Karet, Kelapa, Jambu Mete, Kemiri sunan, Sagu, Kakao, Kopi, dan Teh. Selain itu difasilitasi pengembangan komoditas spesifik lokal seperti tanaman palma lain, tanaman penyegar lain, tanaman tahunan lainnya. Sasaran peningkatan produksi tanaman tahunan dan penyegar adalah terlaksananya pengembangan tanaman tahunan penyegar dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah: 1) Pengembangan areal produktif tanaman kakao; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Penyegar. 2) Pengembangan areal produktif tanaman tahunan (Kelapa Sawit, Karet, Kelapa, Jambu Mete, Kemiri sunan dan Sagu); yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Karet dan Tanaman Tahunan lainnya; Sub Direktorat Tanaman Kelapa Sawit; dan Sub Direktorat Tanaman Kelapa dan Palma lain. 3) Pengembangan areal produktif tanaman penyegar lainnya (Kopi dan Teh); yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Penyegar. 4) Perluasan tanaman tahunan dan penyegar di lahan kering; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Karet dan Tanaman Tahunan lainnya; Sub Direktorat Tanaman Kelapa 268

287 Sawit; Sub Direktorat Tanaman Penyegar dan Sub Direktorat Tanaman Kelapa dan Palma lain. 5) Fasilitasi teknis pengembangan tanaman tahunan dan penyegar, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Karet dan Tanaman Tahunan lainnya; Sub Direktorat Tanaman Kelapa Sawit; Sub Direktorat Tanaman Penyegar; Sub Direktorat Tanaman Kelapa dan Palma lain; Sub Bagian Tata Usaha dan Kelompok Jabatan Fungsional. Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk Pengembangan Tanaman Tahunan dan Penyegar tahun disajikan pada tabel 22 sebagai berikut: Tabel 22. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Pengembangan Tanaman Tahunan dan Penyegar tahun No. Indikator 1. Pengembangan areal produktif tanaman kakao (Hektar) 2. Pengembangan areal produktif tanaman tahunan (Hektar) 3. Pengembangan areal produktif tanaman penyegar lainnya (Hektar) 4. Perluasan tanaman tahunan dan penyegar di lahan kering (Hektar) 5. Fasilitasi teknis pengembangan tanaman tahunan dan penyegar (Bulan) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, target IKK per tahun Dukungan Perbenihan Tanaman Perkebunan Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Direktorat Perbenihan Perkebunan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan penyediaan benih tebu dan tanaman perkebunan lain. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Perbenihan Perkebunan menyelenggarakan fungsi: a) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian varietas dan pengawasan mutu benih, peningkatan penyediaan benih tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar serta penguatan kelembagaan benih; 269

288 b) Pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian varietas dan pengawasan mutu benih, peningkatan penyediaan benih tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar serta penguatan kelembagaan benih; c) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penilaian varietas dan pengawasan mutu benih, peningkatan penyediaan benih tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar serta penguatan kelembagaan benih; d) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang penilaian varietas dan pengawasan mutu benih, peningkatan penyediaan benih tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar serta penguatan kelembagaan benih; e) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang penilaian varietas dan pengawasan mutu benih, peningkatan penyediaan benih tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar serta penguatan kelembagaan benih; dan f) Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Perbenihan Perkebunan. Sasaran kegiatan dukungan perbenihan tanaman perkebunan adalah terlaksananya penyediaan benih unggul tanaman perkebunan dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah; 1) Pengembangan sumber benih unggul tanaman perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Benih Tanaman Semusim dan Rempah; dan Sub Direktorat Benih Tanaman Tahunan dan Penyegar. 2) Pengawasan mutu benih tanaman perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Penilaian Varietas dan Pengawasan Mutu Benih. 3) Pengembangan Kelembagaan Perbenihan Tanaman Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Kelembagaan Benih. 4) Fasilitasi Teknis Penyediaan Benih Tanaman Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Benih Tanaman Semusim dan Rempah; Sub Direktorat Benih Tanaman Tahunan dan Penyegar; Sub Direktorat Penilaian Varietas dan Pengawasan Mutu Benih; Sub Direktorat Kelembagaan Benih, Sub Bagian Tata Usaha dan Kelompok Jabatan Fungsional. 270

289 Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk dukungan perbenihan tanaman perkebunan tahun disajikan pada tabel 23 sebagai berikut: Tabel 23. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Dukungan Perbenihan Tanaman Perkebunan tahun No. Indikator 1. Pengembangan sumber benih unggul tanaman perkebunan (Hektar) 2. Pengawasan mutu benih tanaman perkebunan (Provinsi) 3. Pengembangan Kelembagaan Perbenihan Tanaman Perkebunan (Provinsi) 4. Fasilitasi Teknis Penyediaan Benih Tanaman Perkebunan (Bulan) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, target IKK per tahun Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan pascapanen, pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan menyelenggarakan fungsi: a) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang peningkatan pascapanen, pengolahan, standardisasi, penerapan standar mutu, dan pembinaan usaha, serta pemasaran hasil perkebunan; b) Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan pascapanen, pengolahan, standardisasi, penerapan standar mutu, dan pembinaan usaha, serta pemasaran hasil perkebunan; c) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang peningkatan pascapanen, pengolahan, standardisasi, penerapan standar mutu, dan pembinaan usaha, serta pemasaran hasil perkebunan; d) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang peningkatan pascapanen, pengolahan, standardisasi, penerapan standar mutu, dan pembinaan usaha, serta pemasaran hasil perkebunan; 271

290 e) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang peningkatan pascapanen, pengolahan, standardisasi, penerapan standar mutu, dan pembinaan usaha, serta pemasaran hasil perkebunan; f) Koordinasi perumusan dan harmonisasi standar, serta penerapan standar mutu di bidang perkebunan; dan g) Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan. Sasaran kegiatan dukungan pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan adalah terlaksananya pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah: 1) Pengembangan Pascapanen Komoditas Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Pascapanen. 2) Pengembangan Pengolahan Hasil Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Pengolahan. 3) Pembinaan usaha perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Standarisasi, Mutu dan Pembinaan Usaha. 4) Pembinaan penerapan standar dan sistem jaminan mutu keamanan pangan bagi pelaku usaha perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Standarisasi, Mutu dan Pembinaan Usaha. 5) Pengembangan pemasaran hasil perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Pemasaran Hasil. 6) Fasilitasi Teknis Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Pascapanen; Sub Direktorat Pengolahan; Sub Direktorat Standarisasi, Mutu dan Pembinaan Usaha; Sub Direktorat Pemasaran Hasil; Sub Bagian Tata Usaha dan kelompok jabatan fungsional. Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk dukungan pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan tahun disajikan pada tabel 24 sebagai berikut: 272

291 Tabel 24. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan tahun No. Indikator 1. Pengembangan Pascapanen Komoditas Perkebunan (Kelompok Tani) 2. Pengembangan Pengolahan Hasil Perkebunan (Unit) target IKK per tahun Pembinaan usaha perkebunan (provinsi) Pembinaan penerapan standar dan sistem jaminan mutu keamanan pangan bagi pelaku usaha perkebunan (kegiatan) 5. Pengembangan pemasaran hasil perkebunan (kegiatan) 6. Fasilitasi Teknis Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (Bulan) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Dukungan Perlindungan Perkebunan Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Direktorat Perlindungan Perkebunan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian hama penyakit dan perlindungan perkebunan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Perlindungan Perkebunan menyelenggarakan fungsi: a) Pengelolaan data dan informasi organisme pengganggu tumbuhan; b) Peningkatan kapasitas kelembagaan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan; c) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar, serta penanggulangan gangguan usaha, dampak perubahan iklim dan pencegahan kebakaran; d) Pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar, serta penanggulangan gangguan usaha, dampak perubahan iklim dan pencegahan kebakaran; e) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan tanaman semusim 273

292 dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar, serta penanggulangan gangguan usaha, dampak perubahan iklim dan pencegahan kebakaran; f) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar, serta penanggulangan gangguan usaha, dampak perubahan iklim dan pencegahan kebakaran; g) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar, serta penanggulangan gangguan usaha, dampak perubahan iklim dan pencegahan kebakaran; dan h) Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Perlindungan Perkebunan. Sasaran kegiatan dukungan perlindungan perkebunan adalah terlaksananya penanganan Organisme Pengganggu Tumbuhan Tanaman Perkebunan dan terfasilitasinya Pencegahan Kebakaran Lahan dan Kebun, Bencana Alam, Dampak Perubahan Iklim dan Gangguan/ Konflik Usaha Perkebunan dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah: 1) Penanganan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) perkebunan; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Pengendalian OPT Tanaman Semusim dan Rempah; dan Sub Direktorat Pengendalian OPT Tanaman Tahunan dan Penyegar. 2) Antisipasi dampak perubahan iklim; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Gangguan Usaha, Dampak Perubahan Iklim dan Pencegahan Kebakaran. 3) Kesiapsiagaan pencegahan kebakaran lahan dan kebun, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Gangguan Usaha, Dampak Perubahan Iklim dan Pencegahan Kebakaran. 4) SL-PHT tanaman perkebunan; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Data dan Kelembagaan Pengendalian OPT. 5) Pembinaan dan sertifikasi desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Data dan Kelembagaan Pengendalian OPT. 274

293 6) Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Gangguan Usaha, Dampak Perubahan Iklim dan Pencegahan Kebakaran. 7) Fasilitasi Teknis Dukungan Perlindungan Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Data dan Kelembagaan Pengendalian OPT; Sub Direktorat Pengendalian OPT Tanaman Semusim dan Rempah; Sub Direktorat Pengendalian OPT Tanaman Tahunan dan Penyegar; Sub Direktorat Gangguan Usaha, Dampak Perubahan Iklim dan Pencegahan Kebakaran; Sub bagian Tata Usaha dan kelompok jabatan fungsional. Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk dukungan perlindungan perkebunan tahun disajikan pada tabel 25 sebagai berikut: Tabel 25. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Dukungan Perlindungan Perkebunan tahun No. Indikator 1. Penanganan organisme penganggu tanaman perkebunan (Hektar) target IKK per tahun Antisipasi dampak perubahan iklim (KT) Kesiapsiagaan pencegahan kebakaran lahan dan kebun (dokumen) SL-PHT tanaman perkebunan (KT) Penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan (kasus) 6. Pembinaan dan sertifikasi desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan (desa) 7. Fasilitasi teknis dukungan perlindungan perkebunan (Bulan) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Sekretariat Ditjen. Perkebunan mempunyai tugas memberikan pelayanan teknis dan administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan Direktorat Jenderal Perkebunan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Sekretariat Ditjen. Perkebunan menyelenggarakan fungsi: 275

294 a) Koordinasi, penyusunan rencana dan program, anggaran, serta kerja sama di bidang perkebunan; b) Pengelolaan urusan keuangan dan perlengkapan; c) Evaluasi dan penyempurnaan organisasi, tata laksana, pengelolaan urusan kepegawaian, dan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, dan pelaksanaan hubungan masyarakat serta informasi publik; d) Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kegiatan, serta pemberian layanan rekomendasi di bidang perkebunan; e) Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat Jenderal Perkebunan; dan f) Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Direktur Jenderal Perkebunan. Sasaran kegiatan dukungan manajemen dan dukungan teknis lainnya adalah Terlaksananya Pelayanan Teknis dan Administrasi Seluruh Unit Organisasi di Lingkungan Direktorat Jenderal Perkebunan dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah: 1) Jumlah Dokumen Perencanaan, Keuangan dan Perlengkapan, Umum, serta Evaluasi dan Layanan Rekomendasi, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Bagian Perencanaan; Bagian Keuangan dan Perlengkapan; Bagian Evaluasi dan Layanan Rekomendasi; dan Bagian Umum. 2) Dukungan kegiatan manajemen dan teknis lainnya, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Bagian Perencanaan; Bagian Keuangan dan Perlengkapan; Bagian Evaluasi dan Layanan Rekomendasi; dan Bagian Umum. Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk dukungan manajemen dan dukungan teknis lainnya tahun disajikan pada tabel 26 sebagai berikut: 276

295 Tabel 26. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya tahun No. Indikator 1. Jumlah dokumen perencanaan, keuangan, umum, perlengkapan, kepegawaian, hukum dan humas serta evaluasi dan pelaporan (dokumen) 2. Dukungan kegiatan manajemen dan teknis lainnya (bulan) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, target IKK per tahun Dukungan Pengujian dan Pengawasan Mutu Benih serta Penyiapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan, Surabaya dan Ambon Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 08/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Surabaya; Peraturan Menteri Pertanian nomor 09/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Medan; dan Peraturan Menteri Pertanian nomor 10/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Ambon, BBP2TP Medan, Surabaya dan Ambon melaksanakan fungsi dalam memfasilitasi terlaksananya pengawasan dan pengujian mutu benih, penerapan teknologi proteksi tanaman dan memberikan dukungan pelayanan organisasi yang berkualitas sebagai rujukan UPTD. Wilayah kerja BBP2TP Medan di bidang perbenihan meliputi Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Aceh, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Selatan. Sedangkan untuk bidang proteksi meliputi Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Aceh, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Lampung. Wilayah kerja BBP2TP Surabaya di bidang perbenihan meliputi Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi D.I Yogyakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi 277

296 Tengah, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Gorontalo, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Sedangkan untuk bidang proteksi meliputi Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi D.I Yogyakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah kerja BBP2TP Ambon di bidang perbenihan meliputi Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara sedangkan bidang proteksi meliputi Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo. Sasaran kegiatan dukungan pengujian dan pengawasan mutu benih serta penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan (BBP2TP) Medan, Surabaya dan Ambon adalah terlaksananya pengawasan dan pengujian mutu benih tanaman perkebunan dan penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah: 1) Sertifikasi dan pengujian mutu benih tanaman perkebunan; 2) Pembangunan kebun contoh, uji dempot dan uji koleksi tanaman perkebunan; 3) Rakitan teknologi spesifik lokasi proteksi tanaman perkebunan; 4) Eksplorasi, pemanfaatan, pengembangan, pengujian agensia pengendali hayati tanaman perkebunan; 5) Fasilitasi teknis dukungan pengawasan dan pengujian mutu benih dan teknologi proteksi tanaman perkebunan. Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk dukungan pengujian dan pengawasan mutu benih serta penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan (BBP2TP) Medan, Surabaya dan Ambon tahun disajikan pada tabel 27 sebagai berikut: 278

297 Tabel 27. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Dukungan Pengujian dan Pengawasan Mutu Benih serta Penyiapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan BBP2TP Medan, Surabaya dan Ambon tahun No. Indikator proyeksi IKK per tahun Sertifikasi dan pengujian mutu benih tanaman perkebunan (juta batang) 2. Pembangunan kebun contoh, uji dempot dan uji koleksi tanaman perkebunan (unit) 3. Rakitan teknologi spesifik lokasi proteksi tanaman perkebunan (paket teknologi) 4. Eksplorasi, pemanfaatan, pengembangan, pengujian agensia pengendali hayati tanaman perkebunan (jenis) 5. Fasilitasi teknis dukungan pengawasan dan pengujian mutu benih dan teknologi proteksi tanaman perkebunan (Bulan) 17,19 147,74 147,74 147,74 147, Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 11/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPTP Pontianak; BPTP Pontianak melaksanakan fungsi analisis teknis dan pengembangan proteksi tanaman perkebunan dalam identifikasi dan penanganan OPT tanaman perkebunan, pengembangan teknologi agens hayati OPT perkebunan, eksplorasi dan inventarisasi musuh alami OPT perkebunan, pengembangan teknologi proteksi perkebunan yang berorientasi pada implementasi pengendalian hama terpadu, pemanfaatan pestisida nabati serta pengelolaan data, informasi dan analisis teknis dalam bidang proteksi tanaman perkebunan. Wilayah kerja BPTP Pontianak ini meliputi Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Timur. Sasaran kegiatan dukungan penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan (BPTP) Pontianak adalah terlaksananya penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah 1) rakitan teknologi spesifik lokasi proteksi tanaman perkebunan; dan 2) eksplorasi, pemanfaatan, pengembangan, pengujian agensia pengendali hayati tanaman perkebunan. 279

298 Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk Dukungan Penyiapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan tahun disajikan pada tabel 28 sebagai berikut: Tabel 28. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Dukungan Penyiapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan tahun No. Indikator 1. Rakitan teknologi spesifik lokasi proteksi tanaman perkebunan (paket teknologi) 2. Eksplorasi, pemanfaatan, pengembangan, pengujian agensia pengendali hayati (jenis) 3. Fasilitasi teknis dukungan penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan (Bulan) Sumber: Ditjen. Perkebunan, Target per tahun

299 BAB V PROYEKSI KEBUTUHAN INVESTASI DAN KETERSEDIAAN APBN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN DALAM RUANG LINGKUP KERANGKA PENDANAAN 5.1. Kerangka Pendanaan Kebijakan anggaran merupakan acuan umum dari rencana kerja pembangunan dan merupakan bagian dari perencanaan operasional anggaran serta alokasi sumber daya. Kerangka pendanaan meliputi kebijakan pada belanja pemerintah pusat, transfer daerah serta kebijakan pembiayaan pembangunan. Pengelolaan Belanja Pusat/ Pendanaan APBN. Pengelolaan Belanja Pusat/APBN diarahkan mengoptimalkan sumber daya yang tersedia melalui penyusunan skala prioritas anggaran baik pada belanja di Kementerian/ Lembaga maupun di luar Kementerian Lembaga. Pada belanja Kementerian/Lembaga, alokasi anggaran difokuskan pada belanja prioritas. Belanja prioritas merupakan bagian belanja yang memegang peran penting dalam pencapaian sasaran prioritas pembangunan, oleh karenanya diarahkan berdasarkan pada strategi pembangunan nasional. Secara keseluruhan, efektivitas dan efisiensi dari belanja prioritas dan belanja aparatur terus didorong sehingga alokasi yang terbatas menjadi lebih berdaya guna. Disisi lain, upaya perkuatan monitoring dan evaluasi diperkuat melalui peningkatan keterkaitan antara hasil monitoring dan evaluasi dengan proses perencanaan dan penganggaran. Monitoring dan evaluasi bukan saja tentang penyerapan anggaran namun juga pada pencapaian sasaran dari program dan kegiatan. Untuk memperkuat efektivitas dan efisiensi belanja perlu dilanjutkan reformasi perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja (performance based budgeting), berjangka menengah (multi-term expenditure framework/mtef) dan sistem penganggaran terpadu (unified budgeting). Konsep ini mengintegrasikan kebijakan ekonomi makro dan fiskal dalam beberapa tahun anggaran, dan menghubungkan antara kebijakan (policy), perencanaan (planning) dan penganggaran (budgeting) secara komprehensif. 281

300 Khusus kewenangan di bidang pertanian yang merupakan kewenangan pilihan yang bersifat konkuren sesuai amanat UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa urusan pertanian yang secara khusus meliputi sub sektor perkebunan dalam pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) akan menjadi tanggungjawab bersama dan didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi dan eksternalitas serta kepentingan strategis nasional. Peran pemerintah dapat diberikan melalui regulasi, pelayanan publik dan pendanaan dalam bentuk APBN dana Dekonsentrasi dan dana Tugas Pembantuan. Selain itu pembagian urusan pemerintahan bidang pertanian khususnya terkait sub sektor perkebunan adalah 1) penerapan standarisasi, penerbitan sertifikasi dan pengawasan peredaran benih tanaman; 2) pengendalian dan penanggulangan bencana pertanian; 3) perizinan usaha pertanian dan 4) penentuan kebutuhan dan penataan prasarana pertanian. Pengelolaan Transfer ke Daerah/ Pendanaan APBD. Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal perencanaan dan penganggaran diamanatkan mengikuti pembagian kewenangan pusat dan daerah sesuai UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah pusat dan daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab masing-masing dalam pembangunan. Undang-undang tersebut memasukkan bidang-bidang terkait sub sektor perkebunan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah seperti tenaga kerja, statistik, pemberdayaan masyarakat dan desa, pangan, lingkungan hidup dan pertanahan sebagai urusan wajib yang tidak terkait pelayanan. Implikasi penetapan urusan pertanian sebagai urusan pemerintah bersifat pilihan khususnya sub sektor perkebunan yang memiliki kekhasan komoditas sesuai potensi unggulan daerah adalah akan membuka peluang negosiasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menentukan pembagian kewenangan sub sektor perkebunan yang tepat dan disesuaikan dengan kebijakan program, anggaran dan regulasi yang efektif dan efisien. Dengan terselenggaranya otonomi seluas-luasnya tersebut maka diperlukan suatu pengaturan secara adil dan selaras mengenai hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan antar pemerintah daerah. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah 282

301 pusat dan pemerintah daerah yang merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas atau sejalan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah menganut prinsip money follow function, yang bermakna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Saat ini prinsip tersebut berubah menjadi money follow programme priority. Keterkaitan keuangan daerah yang melekat dengan APBD merupakan pernyataan bahwa adanya hubungan antara dana daerah dan dana pusat atau dikenal dengan istilah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selanjutnya, perlu untuk diketahui bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Sumber pendapatan daerah dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pendapatan asli daerah, yang bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. 2. Dana perimbangan, yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan daerah dan antarpemerintah daerah. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). 3. Pendapatan lain-lain yang memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain yang berasal pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan pinjaman daerah. Adapun sumber pembiayaan lain-lain meliputi sisa lebih perhitungan anggaran daerah; penerimaan pinjaman daerah; dana cadangan daerah; dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Permasalahan penganggaran daerah dirasakan sangat berat karena berkaitan dengan fungsi: a. Otorisasi (anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan). b. Perencanaan (anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan). 283

302 c. Pengawasan (anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan). d. Alokasi (anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumberdaya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian). e. Distribusi (bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan). f. Stabilisasi (anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah). Disamping itu juga permasalahan penganggaran yaitu berkaitan dengan seringnya mengalami perubahan peraturan perundang-undangan dibidang penganggaran dan kemampuan daerah dalam mengoptimalkan penerimaan dan meminimalisir kesenjangan fiskal anggaran daerah. Kebijakan Pembiayaan Pembangunan Lainnya/ Pendanaan Swasta dan Swadaya Masyarakat. Kontribusi swasta terhadap pembiayaan pembangunan, antara lain melalui pembiayaan oleh perbankan, lembaga keuangan non bank, pasar modal (saham dan obligasi), dana luar negeri, dan lainnya. Selain itu peran investasi masyarakat merupakan sumber utama dalam pendanaan pembangunan. Untuk itu sangat diperlukan sinergi antara kerangka pendanaan dan kerangka regulasi baik Pusat maupun Daerah. Pengembangan potensi pembiayaan pembangunan dilakukan dengan meningkatkan pemanfaatan skema PPP (Public Private Partnership) atau Kerjasama Pemerintah dan Swasta dan CSR (Corporate Social Responsibility). Selain itu melalui pinjaman langsung (direct lending) dari mitra pembangunan kepada BUMN, Municipal Development Fund (MDF), dan penerbitan obligasi daerah untuk pembiayaan infrastruktur daerah. Kerjasama yang dimaksud dilaksanakan dalam rangka mempercepat pencapaian sasaran pembangunan nasional dengan melibatkan Swasta dalam penyediaan infrastruktur publik. Selain itu dari kerjasama tersebut diharapkan agar keahlian dan aset (sumber daya) masing-masing pihak (pemerintah dan swasta) dapat digunakan secara bersama untuk menyediakan jasa dan/atau fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat umum. Disamping itu memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak serta risiko yang proporsional. 284

303 Optimalisasi terhadap sumber-sumber pembiayaan pembangunan lainnya antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan efisiensi pemanfaatan pembiayaan pembangunan melalui penyempurnaan peraturan perundangan oleh Pemerintah Pusat, peningkatan persiapan perencanaan kegiatan dan penguatan pemantauan dan evaluasi. Dalam rangka optimalisasi, perlu dipertimbangkan karakteristik, keuntungan dan kelemahan (comparative advantage) masing-masing jenis pembiayaan, termasuk pertimbangan terhadap faktor biaya dan resiko. Pertimbangan tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu komposisi pembiayaan pembangunan yang dapat mewujudkan sasaran pembangunan yang lebih optimal Proyeksi Kebutuhan Investasi Pembangunan Perkebunan Investasi pembangunan perkebunan terdiri dari investasi petani/pekebun, pemerintah (APBN dan APBD) dan swasta. Investasi pembangunan perkebunan merupakan penggerak pertumbuhan PDB sub sektor perkebunan dimana makin tinggi investasi maka makin besar pertumbuhan PDB di sub sektor perkebunan. Kontribusi investasi sangat penting untuk keberlangsungan usaha agribisnis perkebunan karena berpengaruh terhadap pembiayaan input produksi pengembangan komoditas perkebunan. Peningkatan nilai investasi pembangunan perkebunan mencerminkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan sub sektor perkebunan. Pada tabel 29 disajikan proyeksi kebutuhan investasi pembangunan perkebunan tahun Pada tabel tersebut 5 tahun kedepan laju pertumbuhan kebutuhan investasi pembangunan perkebunan diproyeksikan sebesar 12,18%. Tabel 29. Proyeksi Kebutuhan Investasi Pembangunan Perkebunan tahun No. Komoditas proyeksi investasi (triliun rupiah) per tahun Laju Pertumb. (%) 1. Investasi 91,26 104,27 117,62 130,90 144,48 12,18 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Proyeksi Ketersediaan APBN Ditjen. Perkebunan Untuk dapat mencapai sasaran pembangunan perkebunan tahun dan menggerakkan semua input produksi melalui program dan kegiatan, Direktorat Jenderal Perkebunan membutuhkan sumber pendanaan yang optimal dan sesuai kebutuhan. Sumber pendanaan 285

304 yang dibutuhkan selain berasal dari APBN dan APBD, maka sektor swasta pun diharapkan berkontribusi dalam mendorong masuknya investasi di sub sektor perkebunan dari hulu sampai hilir dan berupa uang, barang dan jasa. Sebagian besar (hampir 95%) kebutuhan investasi tersebut diproyeksikan terpenuhi dari swadaya masyarakat, perbankan dan swasta. Sisanya dipenuhi dari anggaran pemerintah baik melalui APBN maupun APBD. Berdasarkan hasil proyeksi pendanaan Direktorat Jenderal Perkebunan melalui APBN bahwa besaran pembiayaan pembangunan perkebunan yang berasal dari APBN untuk membiayai Program Peningkatan Produksi Komoditas Perkebunan Berkelanjutan setiap tahunnya cenderung meningkat. Berikut ini proyeksi penyediaan dana APBN tahun yang disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Proyeksi Penyediaan Dana APBN Direktorat Jenderal Perkebunan tahun No. Kegiatan proyeksi APBN (milyar rupiah) per tahun Pengembangan Tanaman Semusim dan Rempah 2. Pengembangan Tanaman Tahunan dan Penyegar 3. Dukungan Perbenihan Tanaman Perkebunan 4. Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan 2.277,3 362,6 201,4 209,4 217, ,0 805,2 473,7 492,6 512,4 11,1 82,2 75,2 78,2 81,3 42,5 116,4 78,0 81,1 84,4 5. Dukungan Perlindungan Perkebunan 179,6 136,3 132,7 137,9 143,5 6. Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Ditjen. Perkebunan 7. Dukungan Pengujian dan Pengawasan Mutu Benih serta Penerapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan (Surabaya, Medan dan Ambon) 194,6 168,7 365,7 380,3 395,5 70,4 87,9 93,5 97,3 101,1 Jumlah 4.754, , , , ,1 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Catatan: 1. Kenaikan alokasi anggaran 4% per tahun untuk mengantisipasi laju inflasi yang besarnya diperkirakan sekitar 4%. 2. Alokasi anggaran dapat berubah disesuaikan dengan kebijakan serta dinamika lingkungan strategis. 286

305 Dengan mempertimbangkan kecilnya anggaran pemerintah dari APBN terhadap keseluruhan kebutuhan investasi untuk pembangunan perkebunan maka APBN hanya dimanfaatkan untuk kegiatan pengungkit yaitu penyediaan benih, sarana produksi, penanganan pascapanen, perlindungan perkebunan, pelayanan, pembinaan, pengawalan, operasional, pengawasan/monitoring, evaluasi dan pelaporan. 287

306 288

307 BAB VI KERANGKA REGULASI DAN KERANGKA KELEMBAGAAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN Kerangka Regulasi dalam Aspek Reformasi Kebijakan Dinamika proses perencanaan pembangunan nasional berpengaruh sangat signifikan terhadap pembangunan regulasi di semua sektor ekonomi. Fungsi regulasi sebagai alat atau dasar kebijakan yang seharusnya menjadi fokus dalam perencanaan pembangunan di bidang regulasi seakan terlupakan. Bahkan terdapat kecenderungan regulasi menjadi alat bagi masing-masing sektor untuk memperjuangkan kepentingannya. Akibatnya, peraturan perundang-undangan yang terbentuk, khususnya undang-undang seolah-olah hanya menjadi undang-undang bagi sektor tertentu, bukan lagi undang-undang bagi seluruh masyarakat Indonesia. Padahal, regulasi seharusnya justru dapat menjadi faktor integrasi, yang bukan hanya mengintegrasikan wilayah, namun juga mampu mengintegrasikan berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan negara khususnya kebijakan yang memiliki kontribusi terhadap peningkatan perekonomian nasional, salah satunya sub sektor perkebunan. Pembentukan regulasi/ peraturan-perundang-undangan (dalam bentuk UU, Perpres, Inpres, Kepres, PP dan peraturan pimpinan Kementerian/Lembaga lainnya) hanyalah merupakan salah satu alat untuk mengoperasionalkan kebijakan, terutama yang bersifat strategis. Isi regulasi itu sendiri adalah kebijakan-kebijakan yang hendak dioperasionalkan dengan regulasi. Dengan demikian, kesalahan pemilihan atau penuangan kebijakan dalam suatu regulasi akan berakibat timbulnya regulasi-regulasi bermasalah yang pada akhirnya akan menyulitkan pelaksanaannya. Mengingat hubungan kausal antara kebijakan dan regulasi tersebut, maka untuk terciptanya regulasi yang berkualitas, kebijakan-kebijakan yang dimuat dalam regulasi harus berkualitas pula. Berdasarkan gambaran tersebut, maka kualitas kebijakan dan sinergitas antara kebijakan (policy) dengan regulasi menjadi sangat penting guna tercapainya tujuan pembangunan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah 289

308 Indonesia.. Untuk itu, dibutuhkan perencanaan regulasi yang sinergis dengan kebijakan yang telah dirumuskan, holistik, futuristik sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan berbagai bidang pembangunan secara harmonis, dan disertai indikasi anggaran baik untuk pembentukan maupun pelaksanaannya. Perencanaan regulasi seperti ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional. Dalam aplikasinya, kerangka regulasi harus memenuhi berbagai macam sisi dari aspek kebijakan dan strategi atas kebijakan itu sendiri. Yang terpenting bagaimana regulasi yang ditetapkan mampu mengatur dan memayungi semua kepentingan. Dari tahun ke tahun, kita memerlukan penyesuaian dari kerangka regulasi terutama terkait pergantian kebijakan pimpinan bahkan perubahan organisasi dan perubahan rencana jangka menengah atau jangka panjang tidak luput dari penyesuaian yang cukup signifikan dalam aspek reformasi regulasi. Reformasi Regulasi adalah perubahan-perubahan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas regulasi dari kondisi-kondisi inefisiensi, bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi, menimbulkan konflik dengan regulasi yang sederajat, menimbulkan ketidakpastian hukum, menghambat hak-hak masyarakat dan pemberantasan korupsi, tumpang tindih, multi-tafsir, membebani pihak tertentu, mempersulit pengaplikasian, tidak mendukung pencapaian prioritas nasional, membebani anggaran, tidak proporsional, dan lain-lain. Secara umum terdapat 3 fungsi pokok reformasi regulasi adalah 1) sebagai sarana ketertiban dan pedoman perilaku untuk penyelenggaraan dinamika sosial; 2) sebagai instrumen pembangunan yang menggerakan sumberdaya untuk pencapaian tujuan; 3) sebagai faktor integrasi yang mengintegasikan wilayah maupun kebijakan dalam penyelenggaraan negara. Arahan Presiden pada Rapat Terbatas tanggal 13 April 2016 terkait sinkronisasi perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional menyatakan bahwa mulai tahun 2016 akan dilakukan upaya simplifikasi/ pemangkasan regulasi di pusat dan daerah secara bertahap. Beberapa stretegi dalam pencapaian arahan Presiden tersebut dalam kerangka reformasi regulasi yaitu: 1. Simplifikasi regulasi (Short Term) adalah penyederhanaan regulasi untuk mengendalikan kuantitas regulasi yang sedang berlaku. Langkah-langkahnya sebagai berikut: a. Inventarisasi regulasi (stocktaking). 290

309 b. Identifikasi masalah dan stakeholder. Pada langkah ini, Menteri Bappenas/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional telah membuat surat nomor: 0085/M.PPN/03/2016 tanggal 17 Maret 2016 kepada para Menteri Kabinet Kerja, Kepala LPNK/ Lembaga Pemerintahan non Kementerian, Gubernur dan Bupati/ Walikota se-indonesia perihal pelaksanaan simplifikasi regulasi untuk mendukung percepatan pelaksanaan RKP dan RKPD tahun 2016 dan nawacita. c. Evaluasi regulasi bermasalah. d. Mencabut regulasi yang tidak diperlukan, merevisi yang berkualitas buruk dan mempertahankan yang diperlukan. 2. Pembentukan regulasi dalam bentuk revisi/ amandemen/ penggantian (Middle and Long Term) dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Rekonseptualisasi tata cara pembentukan regulasi, dengan: - Review dan menata kembali tata cara pembentukan regulasi. - Sinergi kebijakan dan regulasi melalui integrasi kerangka regulasi dalam RPJMN dan RKP. - Mendorong proses evaluasi dan analisis dampak biaya dan manfaat dalam perumusan perencanaan kebijakan dan regulasi. b. Restrukturisasi kelembagaan pembentuk regulasi dengan cara mengintegrasikan perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi dari perspektif kelembagaan. c. Penguatan/ pemberdayaan SDM di bidang perumusan kebijakan dan perancang regulasi dengan cara peningkatan kualitas SDM pembentuk regulasi melalui pengangkatan fungsional khusus penyusun kebijakan, regulasi dan peraturan-perundangan. Reformasi regulasi akan mengarahkan proses perencanaan sesuai kebutuhan pembangunan, meningkatkan kualitas regulasi dalam rangka pencapaian prioritas nasional dan efisiensi penganggaran. Dalam reformasi regulasi ini, melibatkan tugas dan peran para pihak seperti Bappenas (Kedeputian Polhukhankam dan Kedeputian bidang Sektor) sebagai system integrator, sedangkan dari sisi K/L, tugas dan peran dari Biro Perencanaan, Biro Hukum dan Unit Kerje Teknis mutlak diperlukan. Biro Perencanaan pada dasarnya berfungsi sebagai focal point koordinasi dengan Bappenas, konsolidasi internal organisasi dan 291

310 identifikasi keterlibatan K/L lain. Biro Hukum berfungsi dalam hal konsolidasi koordinasi dengan Biro Perencanaan dan konsolidasi terhadap pelaksanaan simplifikasi regulasi. Sedangkan unit kerja teknis lingkup K/L berfungsi melakukan evaluasi regulasi, kajian analisa beban/ anggaran/ manfaat, serta koordinasi dan konsolidasi internal dan dengan Bappenas. Identifikasi kerangka regulasi yang diperlukan sampai dengan tahun 2019 antara lain regulasi revolusi mental, reformasi agraria, pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, perumahan dan permukiman, kedaulatan pangan, kedaulatan energi, kemaritiman dan kelautan, pembangunan pariwisata, percepatan pertumbuhan industri dan kawasan ekonomi khusus (KEK), antar kelompok pendapatan, daerah perbatasan, daerah tertinggal, desa dan kawasan perdesaan, perkotaan, peningkatan konektivitas nasional, kepastian dan penegakan hukum, stabilitas keamanan dan ketertiban, konsolidasi demokrasi, reformasi birokrasi, peningkatan iklim investasi, peningkatan ekspor non migas dan reformasi fiskal. Secara singkat dapat disampaikan pada Gambar 2 tentang mekanisme sinkronisasi kebijakan dan regulasi. Gambar 5. Mekanisme Sinkronisasi Kebijakan dan Regulasi (Sumber: RKP, 2017) Pada gambar tersebut diperlihatkan mengenai sinkronisasi kebijakan yang akan menjadi sebuah regulasi mengalami beberapa tahapan dari 292

311 usulan K/L yang dibahas dalam FGD analisis awal di Bappenas dengan melihat kebutuhan regulasi dalam RKP, penyusunan konsep program dalam menyusun PP dan Perpres di KemenkumHAM yang menjadi rencana Prolegnas Tahunan RUU, konsep prolegnas tahunan pemerintah dalam RKP bersama dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Sekretariat Negara hingga permohonan persetujuan dari Presiden dan pembahasan Prolegnas Tahunan dengan DPR Kerangka Regulasi Direktorat Jenderal Perkebunan Dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi serta kewenangan dan penjabaran peran Ditjen. Perkebunan dalam mencapai sasaran pembangunan perkebunan tahun diperlukan suatu kerangka regulasi baik dalam ruang lingkup regulasi utama yang mengatur kebijakan-kebijakan strategis maupun regulasi pelengkap yang dapat menjelaskan lebih detail atau melengkapi regulasi yang sudah ada. Penyusunan kebutuhan regulasi pembangunan perkebunan dalam kurun waktu 5 tahun kedepan memuat beberapa aspek diantaranya aspek perbenihan, aspek teknis budidaya, aspek pascapanen dan aspek perlindungan perkebunan. Berikut ini adalah beberapa regulasi yang dibutuhkan dalam pembangunan perkebunan kedepan: 1. Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perbenihan Tanaman Perkebunan sebagai implementasi dari UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 2. Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Budidaya Tanaman Perkebunan sebagai implementasi dari UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 3. Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Usaha Perkebunan sebagai implementasi dari UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 4. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Tata Hubungan Kerja antara UPTD Pusat dengan UPTD Perbenihan Perkebunan SKPD yang membidangi perkebunan di Provinsi. 5. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Pedoman Budidaya Tanaman Perkebunan yang Baik (GAP) untuk semua komoditas unggulan perkebunan. 293

312 6. Regulasi terkait kegiatan pascapanen diantaranya regulasi yang mengatur tentang tata cara kegiatan panen dan pascapanen yang baik. 7. Regulasi terkait perlindungan perkebunan diantaranya regulasi Revitalisasi Brigade Proteksi Tanaman, regulasi tentang Pestisida dan regulasi tentang Agens Pengendali Hayati (keamanan penggunaan pestisida biologi). 8. Regulasi terkait lainnya antara lain: a. Regulasi dalam bentuk Undang-Undang yang mendorong berkembangnya bioindustri dan pengolahan hasil pertanian. b. Regulasi dalam bentuk Undang-Undang yang mengatur budidaya pertanian organik berbasis komoditas perkebunan. c. Regulasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) mengenai implementasi UU nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. d. Peraturan Pemerintah tentang Sistem Peringatan Dini dan Penanganan Dampak Perubahan Iklim. e. Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah tentang kewajban melindungi usaha tani yang dilakukan petani dalam bentuk Asuransi Pertanian. f. Regulasi yang mendorong terbentuknya Bank bagi petani dan Lembaga Pembiayaan Mikro di bidang pertanian. Secara lengkap kebutuhan kerangka regulasi yang terkait dengan pembangunan perkebunan kedepan disajikan pada Lampiran Matriks Kerangka Regulasi. Kebutuhan regulasi pembangunan perkebunan kedepan seperti yang telah dijelaskan sangat terkait dengan kinerja perencanaan karena dalam penyusunan regulasi harus selaras dengan dokumen-dokumen perencanaan seperti RPJMN, Renstra dan RKP. Untuk itu diperlukan integrasi antara kebutuhan regulasi dengan dokumen-dokumen perencanaan. Dalam RPJMN , urgensi integrasi kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan bertujuan untuk: 1) mengarahkan proses perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai kebutuhan pembangunan; 2) meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan dalam rangka mendukung pencapaian prioritas pembangunan; dan 3) meningkatkan efisiensi pengalokasian anggaran untuk keperluan pembentukan peraturan perundang-undangan. Pada 294

313 akhirnya, kerangka regulasi dimaksudkan untuk memberi arahan dan landasan (regulasi) dalam melaksanakan kegiatan penyelenggaraan negara dan pembangunan, dengan muatan indikasi atau arahan kebijakan mengenai rancangan peraturan perundang-undangan yang diusulkan dalam kurun waktu tertentu (RPJMN ataupun RKP) Sinergitas Hubungan Kerangka Regulasi dan Kerangka Pendanaan Hubungan kerangka regulasi dan kerangka pendanaan bersifat mutual/ memiliki interaksi kegunaan artinya setiap anggaran yang dikeluarkan harus memiliki payung hukum (regulasi) sebagai bentuk legalitas. Di sisi lain, pembentukan dan pelaksanaan suatu regulasi hanya dapat dilakukan dengan dukungan pendanaan sehingga pada akhirnya hubungan mutual antara regulasi dan pendanaan akan terjadi sinergi antara pendanaan dan regulasi yang saling terkait kegunaannya. Salah satu upaya awal untuk mendorong sinergi antara pendanaan dan regulasi ini adalah dengan integrasi kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan pembangunan, yang memuat pagu indikatif anggaran untuk pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah dalam berbagai program pembangunan, termasuk di dalamnya adalah pembangunan regulasi. Integrasi kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan pembangunan ini sekaligus menunjukkan telah dilakukannya pengelolaan kerangka regulasi pada tahapan yang sangat awal, yakni tahapan perencanaan pembangunan secara keseluruhan. Dengan mempertimbangkan efisiensi anggaran yang terbatas serta berbagai dampak lain yang sangat signifikan bagi masyarakat dan penyelenggaraan pembangunan, maka proses penanganan kerangka regulasi harus dilakukan dengan baik sejak proses perencanaan. Di samping itu, pengelolaan kerangka regulasi sejak proses perencanaan juga dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas peraturan perundangundangan demi terwujudnya peraturan perundang-undangan nasional yang tertib sehingga memungkinkan setiap tindakan dapat memberikan manfaat yang lebih optimal. Inti dari kerangka regulasi adalah upaya mewujudkan tertib peraturan perundang-undangan sejak tahapan yang sangat awal, yaitu tahapan perencanaan dan penganggaran. 295

314 Pada gambar 6 berikut ini disajikan sinergitas hubungan kerangka regulasi dan kerangka pendanaan. Gambar 6. Sinergitas hubungan kerangka regulasi dan kerangka pendanaan (sumber: background study pengintegrasian kerangka regulasi dalam RPJMN , Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan BAPPENAS, 31 Desember 2013) 6.4. Kerangka Kelembagaan Penguatan kerangka kelembagaan merupakan salah satu amanat agenda reformasi birokrasi dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance). Penguatan kerangka kelembagaan pemerintah dimaksudkan untuk mewujudkan kelembagaan pemerintah yang efektif, efisien, akuntabel dan sinergis agar mampu melaksanakan programprogram pembangunan dengan efektif dan efisien. Kelembagaan merujuk kepada organisasi, pengaturan hubungan inter dan antar organisasi, serta sumber daya manusia aparatur. Organisasi mencakup rumusan tugas, fungsi, kewenangan, peran dan struktur. Pengaturan hubungan inter dan antar-organisasi mencakup aturan main dan/atau tata hubungan kerja inter dan antar-organisasi/lembaga pemerintah, sedangkan sumber daya manusia aparatur negara mencakup para pejabat negara dan aparatur sipil negara yang menjalankan organisasi tersebut. Langkah-langkah strategis perbaikan kepemerintahan yang baik diwujudkan melalui 8 agenda reformasi birokrasi sebagaimana diaur dalam Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi tahun yang meliputi: 1. Aspek kelembagaan dalam melahirkan organisasi yang proporsional, efektif dan efisien. 296

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Perkebunan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Perkebunan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Perkebunan Berdasarkan Undang-Undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) 2005-2025 bahwa tahun 2015-2019 memasuki

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan

KATA PENGANTAR Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii iv v vi DAFTAR TABEL vii viii DAFTAR GAMBAR ix x DAFTAR LAMPIRAN xi xii 1 PENDAHULUAN xiii xiv I. PENDAHULUAN 2 KONDISI UMUM DIREKTOAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2005-2009

Lebih terperinci

Edisi Revisi. Rencana Strategis (RENSTRA) Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun

Edisi Revisi. Rencana Strategis (RENSTRA) Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun Edisi Revisi 1 2 i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii erdasarkan UndangUndang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan angka Panjang Nasional RPP) 20052025 bahwa tahun 20152019 memasuki periode

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... I. Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan Perkebunan... 1

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... I. Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan Perkebunan... 1 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... i iii BAB I. Pendahuluan... 1 Latar Belakang Pembangunan Perkebunan... 1 II. Kontribusi Perkebunan Terhadap Perekonomian Nasional.... 5 2.1. Kinerja Makro Pembangunan

Lebih terperinci

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Direktur Jenderal Perkebunan disampaikan pada Rapat Kerja Revitalisasi Industri yang Didukung oleh Reformasi Birokrasi 18

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2011

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2011 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2011 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN Jakarta, Maret 2012 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...

Lebih terperinci

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional Berdasarkan Renstra Kementerian Pertanian Tahun 2010 2014 (Edisi Revisi Tahun 2011), Kementerian Pertanian mencanangkan

Lebih terperinci

Kementerian Pertanian KATA PENGANTAR Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2016

Kementerian Pertanian KATA PENGANTAR Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2016 KATA PENGANTAR Serangkaian proses restrukturisasi program dan kegiatan pembangunan perkebunan tahun 2015-2019 diawali dari penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan, yang selanjutnya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Ir. Gamal Nasir,MS Nip

KATA PENGANTAR. Ir. Gamal Nasir,MS Nip KATA PENGANTAR Serangkaian proses restrukturisasi program dan kegiatan pembangunan perkebunan tahun 2015-2019 diawali dari penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan, yang selanjutnya

Lebih terperinci

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA 2015-2019 Dalam penyusunan Rencana strategis hortikultura 2015 2019, beberapa dokumen yang digunakan sebagai rujukan yaitu Undang-Undang Hortikultura Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018 RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018 Disampaikan pada: MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN NASIONAL Jakarta, 30 Mei 2017 CAPAIAN INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN PERKEBUNAN NO.

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT TANAMAN REMPAH DAN PENYEGAR TAHUN 2015

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT TANAMAN REMPAH DAN PENYEGAR TAHUN 2015 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT TANAMAN REMPAH DAN PENYEGAR TAHUN 2015 DIREKTORAT TANAMAN REMPAH DAN PENYEGAR DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN Jakarta, Maret 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

Disampaikan pada: RAPAT KOORDINASI TEKNIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TAHUN 2018 Jakarta, Januari 2017

Disampaikan pada: RAPAT KOORDINASI TEKNIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TAHUN 2018 Jakarta, Januari 2017 Disampaikan pada: RAPAT KOORDINASI TEKNIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TAHUN 2018 Jakarta, 26-27 Januari 2017 Prioritas Nasional KETAHANAN PANGAN dengan 2 Program Prioritas yaitu: 1) PENINGKATAN PRODUKSI

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Februari 2013 Direktur Jenderal Perkebunan, Ir. Gamal Nasir,MS Nip

KATA PENGANTAR. Jakarta, Februari 2013 Direktur Jenderal Perkebunan, Ir. Gamal Nasir,MS Nip KATA PENGANTAR Serangkaian proses restrukturisasi program dan kegiatan pembangunan perkebunan tahun 2010-2014 diawali dari penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Perkebunan yang kemudian menjadi

Lebih terperinci

Direktorat Jenderal Perkebunan

Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR Laporan kinerja Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2013 merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Perkebunan, baik yang pembiayaannya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. DAFTAR ISI... ii. I. Pendahuluan. 1 A. Latar Belakang. 1 B. Maksud dan Tujuan. 2 C. Sasaran... 2 D. Dasar Hukum...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. DAFTAR ISI... ii. I. Pendahuluan. 1 A. Latar Belakang. 1 B. Maksud dan Tujuan. 2 C. Sasaran... 2 D. Dasar Hukum... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii Halaman I. Pendahuluan. 1 A. Latar Belakang. 1 B. Maksud dan Tujuan. 2 C. Sasaran...... 2 D. Dasar Hukum... 2 II. Arah Kebijakan Pembangunan 3 A. Visi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LAKIN DIREKTORAT TANAMAN TAHUNAN DAN PENYEGAR

BAB I PENDAHULUAN LAKIN DIREKTORAT TANAMAN TAHUNAN DAN PENYEGAR DIREKTORAT TANAMAN TAHUNAN DAN PENYEGAR DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN JAKARTA, JANUARI 2017 BAB I PENDAHULUAN LAKIN DIREKTORAT TANAMAN TAHUNAN DAN PENYEGAR BAB II PERENCANAAN DAN

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Rencana Strategis (Renstra) Dinas Provinsi Jawa Barat BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Dinas Dengan memperhatikan Visi dan Misi Pemerintah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Ir. Gamal Nasir, MS Nip

KATA PENGANTAR. Ir. Gamal Nasir, MS Nip KATA PENGANTAR Serangkaian proses restrukturisasi program dan kegiatan pembangunan perkebunan tahun 2010-2014 diawali dari penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Perkebunan yang kemudian menjadi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN STRATEGIS

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN STRATEGIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN STRATEGIS Disampaikan pada Rapat Kerja Akselerasi Industrialisasi dalam Rangka Mendukung Percepatan dan Pembangunan Ekonomi, Hotel Grand Sahid, 1 Pebruari 2012

Lebih terperinci

RANCANGAN PROGRAM DITJEN PERKEBUNAN PERIODE MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN ANDALAN

RANCANGAN PROGRAM DITJEN PERKEBUNAN PERIODE MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN ANDALAN RANCANGAN PROGRAM DITJEN PERKEBUNAN PERIODE 2015-2019 MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN ANDALAN Disampaikan pada : Musrenbangtan Nasional Tahun 2014 Jakarta, 13 Mei 2014 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Lebih terperinci

Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR

Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Laporan kinerja Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2012 merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Perkebunan, baik yang pembiayaannya

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 1 i DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI i ii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1.2. Maksud dan Tujuan... 1.3. Sasaran... 1.4 Dasar

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN DINAS PERKEBUNAN Jalan Perkebunan No. 7 Makassar Tujuan Penyelenggaraan Perkebunan 1. Meningkatkan

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013 DIREKTORAT TANAMAN SEMUSIM DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 0 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sistem akuntabilitas kinerja instansi

Lebih terperinci

STANDAR BAKU INDIKATOR KINERJA (SBIK) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TERKAIT INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) KEMENTERIAN PERTANIAN TAHUN

STANDAR BAKU INDIKATOR KINERJA (SBIK) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TERKAIT INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) KEMENTERIAN PERTANIAN TAHUN STANDAR BAKU INDIKATOR KINERJA (SBIK) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TERKAIT INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) KEMENTERIAN PERTANIAN TAHUN 2015-2019 MANUAL IKU (INDIKATOR KINERJA UTAMA) KEMENTERIAN PERTANIAN

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi dengan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Februari 2013 Direktur Tanaman Rempah dan Penyegar. IR. H. AZWAR AB, MSi. NIP

KATA PENGANTAR. Jakarta, Februari 2013 Direktur Tanaman Rempah dan Penyegar. IR. H. AZWAR AB, MSi. NIP KATA PENGANTAR Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) merupakan laporan kinerja tahunan yang berisi pertanggungjawaban kinerja suatu instansi dalam mencapai tujuan atau strategis instansi.

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN DI LAHAN GAMBUT

STRATEGI PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN DI LAHAN GAMBUT STRATEGI PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN DI LAHAN GAMBUT Oleh : Direktorat Jenderal Perkebunan *) Kementerian Pertanian ---------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

Program Pembangunan Perkebunan 2018

Program Pembangunan Perkebunan 2018 Program Pembangunan Perkebunan 2018 PENYELENGGARAAN PERKEBUNAN PERKEBUNAN= Segala kegiatan pengelolaan SDA, SDM, sarana produksi, alat dan mesin, budidaya, panen, pengolahan dan pemasaran terkait tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah,

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan umum pembangunan perkebunan sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Perkebunan 2010 sd 2014, yaitu mensinergikan seluruh sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi nasional abad ke- 21, masih akan tetap berbasis pertanian

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN Tahun 2015 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2015

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN. HIDUP. Sumber Daya Alam. Perkebunan. Pengembangan. Pengolahan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi PENDAHULUAN A. Tugas Pokok dan Fungsi Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 28 Tahun 2015 tentang rincian tugas, fungsi dan tata kerja Dinas Perkebunan Provinsi Riau, pada pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KAKAO Penyebaran Kakao Nasional Jawa, 104.241 ha Maluku, Papua, 118.449 ha Luas Areal (HA) NTT,NTB,Bali, 79.302 ha Kalimantan, 44.951 ha Maluku,

Lebih terperinci

Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR

Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR DIREKTORAT PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERKEBUNAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN JAKARTA, JANUARI 2017 KATA PENGANTAR Laporan Akuntabilitas Kinerja (LAKIN) Direktorat Pengolahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peranan pertanian antara lain adalah : (1) sektor pertanian masih menyumbang sekitar

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN ii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI iii I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 2 II. TUGAS POKOK DAN FUNGSI... 2

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 2001 berdasarkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang selanjutnya

Lebih terperinci

Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian

Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT} Ilirektorat lenderal Perkebunan Tahun 2013 Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian = :3 =3 ra = g l' ]' It 3 it = =3 =t 5 =t 3 3 I I :t =t I =t g =t =t =t I =t

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2016

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2016 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2016 Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun keberadaan tanaman ini telah masuk hampir ke semua sektor kehidupan. Kondisi ini telah mendorong semakin meluasnya

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

REVITALISASI PERTANIAN

REVITALISASI PERTANIAN REVITALISASI PERTANIAN Pendahuluan 1. Revitalisasi pertanian dan pedesaan, merupakan salah satu strategi yang dipilih oleh Kabinet Indonesia Bersatu dalam upayanya mewujudkan pembangunan masyarakat Indonesia,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI BERBASIS PERTANIAN

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI BERBASIS PERTANIAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI BERBASIS PERTANIAN Dr. Suswono, MMA Menteri Pertanian Republik Indonesia Disampaikan pada Seminar Nasional Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkebunan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

Revisi ke 02 Tanggal : 08 April 2015

Revisi ke 02 Tanggal : 08 April 2015 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN : Satu set DIPA Petikan A. Dasar Hukum: 1.UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. 2.UU No. 1 Tahun 24 tentang Perbendaharaan Negara. 3.UU No. 27 Tahun

Lebih terperinci

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan merupakan komitmen pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan Pangan nasional yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Subsektor perkebunan merupakan salah satu bisnis strategis dan andalan dalam perekonomian Indonesia, bahkan pada masa krisis ekonomi. Agribisnis subsektor ini mempunyai

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pelaksanaan lima tahunan pembangunan hortikultura yang diamanahkan kepada Direktorat Jenderal Hortikultura dari tahun 2010-2014 telah memberikan beberapa manfaat dan dampak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 [Type text] LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 BUKU I: Prioritas Pembangunan, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. Negara Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan bagian pokok didalam kehidupan dimana dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan pemenuhan sandang, pangan, maupun papan yang harus

Lebih terperinci

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi Perekonomian Indonesia Peran Pertanian pada pembangunan: Kontribusi Sektor Pertanian: Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Pemasok bahan pangan Fungsi

Lebih terperinci

R E N S T R A. Draft Revisi Rencana Strategis. Direktorat Jenderal Perkebunan

R E N S T R A. Draft Revisi Rencana Strategis. Direktorat Jenderal Perkebunan R E N S T R A Draft Revisi Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan 2010-2014 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN JAKARTA, 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kepada

Lebih terperinci

2

2 1 2 3 4 5 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan aparatur negara mencakup aspek yang luas. Dimulai dari peningkatan fungsi utama pemerintahan, kelembagaan yang efektif dan effisien dengan tata laksana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1.tE,"P...F.3...1!..7. INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II RENCANA STRATEJIK

BAB II RENCANA STRATEJIK Dinas Provinsi Jawa Barat 2016 BAB II RENCANA STRATEJIK 2.1 Rencana Stratejik Tahun 2013 2018 Rencana Stratejik (Renstra) Dinas Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018 telah dirumuskan pada pertengahan tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

Jakarta, Januari 2016 Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar. Dr.Ir. Dwi Praptomo Sudjatmiko, MS NIP

Jakarta, Januari 2016 Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar. Dr.Ir. Dwi Praptomo Sudjatmiko, MS NIP DIREKTORAT TANAMAN TAHUNAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN JAKARTA, JANUARI 2016 KATA PENGANTAR Laporan Kinerja (LAKIN) Direktorat Tanaman Tahunan Tahun 2015 adalah laporan kinerja

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN 2012-2016 Murjoko Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret email: murjoko@outlook.com Abstrak Indonesia merupakan negara yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agroindustri suatu daerah diarahkan untuk menjamin pemanfaatan hasil pertanian secara optimal dengan memberikan nilai tambah melalui keterkaitan antara budidaya,

Lebih terperinci

BAB V PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN

BAB V PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN BAB V PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN 5.1. TUGAS PEMBANTUAN YANG DITERIMA 5.1.1. Dasar Hukum Berdasarkan ketentuan umum pasal 1 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Tugas Pembantuan

Lebih terperinci

- Hibah Luar Negeri Langsung - Pinjaman Luar Negeri

- Hibah Luar Negeri Langsung - Pinjaman Luar Negeri KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN : Satu set DIPA Petikan A. Dasar : 1. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. 2. UU No. 1 Tahun 24 tentang Perbendaharaan Negara. 3. UU No. 19 Tahun

Lebih terperinci

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 1. Pendahuluan Sektor pertanian merupakan tumpuan ekonomi dan penggerak utama ekonomi nasional dan sebagian besar daerah, melalui perannya dalam pembentukan

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC)

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN

DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN EVALUASI CAPAIAN KINERJA PROGRAM DAN KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN I 2016 KEMENTERIAN PERTANIAN RI DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN 2015 Evaluasi Capaian Kinerja Pembangunan Tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA. Ketahanan Pangan. Dalam Kerangka Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan

KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA. Ketahanan Pangan. Dalam Kerangka Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan INDONESIA Ketahanan Pangan Dalam Kerangka Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan Harmonisasi Kebijakan & Program Aksi Presentasi : Pemicu Diskusi II Bp. Franky O. Widjaja INDONESIA BIDANG AGRIBISNIS,

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

KEGIATAN PRIORITAS PENGEMBANGAN PERKEBUNAN TAHUN Disampaikan pada: MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN NASIONAL Jakarta, 31 Mei 2016

KEGIATAN PRIORITAS PENGEMBANGAN PERKEBUNAN TAHUN Disampaikan pada: MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN NASIONAL Jakarta, 31 Mei 2016 KEGIATAN PRIORITAS PENGEMBANGAN PERKEBUNAN TAHUN 2017 Disampaikan pada: MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN NASIONAL Jakarta, 31 Mei 2016 PERKEMBANGAN SERAPAN ANGGARAN DITJEN. PERKEBUNAN TAHUN

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Harga Minyak Bumi Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi dunia. Oleh karenanya harga minyak bumi merupakan salah satu faktor penentu kinerja ekonomi global.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 RKT DIT. PPL TA. 2013 KATA PENGANTAR Untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan pertanian dewasa ini telah berorientasi bisnis (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut usahatani (on-farm agribusiness)

Lebih terperinci

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015 Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Perindustrian 2015 I. LATAR BELAKANG 2 INDUSTRI AGRO Industri Agro dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

FORMULIR 1 : RENCANA PENCAPAIAN SASARAN STRATEGIS PADA KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 1 : RENCANA PENCAPAIAN SASARAN STRATEGIS PADA KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA A. KEMENTRIAN : (18) KEMENTERIAN PERTANIAN FORMULIR 1 : RENCANA PENCAPAIAN SASARAN STRATEGIS PADA KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA TAHUN ANGGARAN : 215 B.

Lebih terperinci

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN (Dalam miliar Rupiah) Prioritas/ Rencana Prakiraan Rencana.

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN (Dalam miliar Rupiah) Prioritas/ Rencana Prakiraan Rencana. MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 Bidang: SUMBER DAYA ALAM dan LINGKUNGAN HIDUP I Prioritas: Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan A Fokus Prioritas:

Lebih terperinci