BAB I PENDAHULUAN. yang dikatakan oleh Undang-undang, tanpa menggunakan/mempertimbangkan nilai

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. yang dikatakan oleh Undang-undang, tanpa menggunakan/mempertimbangkan nilai"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini hendak mengkritisi praktek ajudikasi atau peradilan oleh hakim yang legisme, dimana hakim yang legisme tidak akan mampu memberikan rasa keadilan dalam putusannya, sebab dalam putusan hakim hanya melihat pada apa yang dikatakan oleh Undang-undang, tanpa menggunakan/mempertimbangkan nilai keadilan. Praktek kehakiman seringkali dipandang oleh masyarakat hanya sebatas penerapan Undang-undang pada perkara konkret secara rasional belaka (legisme). Pada hakekatnya hakim dalam menjatuhkan putusannya dipengaruhi oleh 2 (dua) aliran yakni: a. Aliran Konservatif yaitu putusan hakim yang didasarkan semata-mata ada ketentuan hukum tertulis (Peraturan Perundang-undangan). Karakter ini dipengaruhi oleh aliran legisme. 1 Selanjutnya aliran ini menyatakan pula bahwa Undang-undang (kodifikasi), diadakan untuk membatasi hakim, yang kerena kebebasannya telah menjurus kearah kesewenanganwenangan. 2 Berdasarkan hal tersebut maka hakim dalam menjatuhkan putusannya harus mengikuti apa yang tertulis dalam hukum (Lex dura tamest 1 Legisme yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum yang tidak tertulis/undang-undang. Menurut aliran ini hukum identik dengan undang-undang, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan hukum lainnya dapat diakui sebagai hukum apabila undang-undang menunjuknya (Sudikno Mertokusumo & A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, hal.10) 2 J.A Pontiner, Penemuan Hukum ( Rechtsvinding). Diterjemahkan oleh Arief Sdharta, Bandung, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katoloik Parahayangan,

2 suntscripta), biarpun in concreto menurut rasa keadilan masyarakat, putusan hakim tersebut dinilai merupakan suatu ketidakadilan. b. Aliran Progresif yaitu putusan hakim yang tidak semata-mata mendasarkan pada ketentuan hukum tertulis tetapi hakim harus pula mendasarkan pada pengetahuan dan pengalaman empiris. Oleh sebab itu hakim tidak lagi sebagai corong Undang-undang tetapi hakim harus menemukan nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini hakim harus menjadi otonom, bukan lagi heteronom. 3 Begitupun juga gagasan tentang hukum Represif yang digagas oleh Philippe Nonet dan Philippe Selzinick, bahwa tertib hukum tentu dapat berupa ketidak-adilan yang benar-benar parah. Keberadaan hukum semata tidak akan menjamin tegaknya keadilan, apalagi keadilan subtantif, sebaliknya tertib hukum memiliki potensi reprasif sebab hingga tingkat tertentu Ia akan selalu terikat pada status quo dan memberikan jubah otoritas pada penguasa, membuat kekuasaan menjadi makin efektif. 4 Rezim represif adalah rezim yang menempatkan seluruh kepentingan dalam bahaya, dan khususnya kepentingan yang tidak dilindungi oleh sistem yang berlaku dalam hak keistimewaan dan kekuasaan. 5 Para penegak hukum (hakim) sendiri dihadapkan oleh dua situasi, yaitu: penerapan hukum beresiko rendah dan penerapan hukum beresiko tinggi. Penerapan hukum berisiko rendah, bahwa hakim sebagai corong Undang-undang, dengan demikian semua putusan yang dibuat hakim, hanya berdasarkan pada pertimbangan undang-undang saja. Penerapan hukum beresiko 3 Van Eikeme Hommes, Logica en Rechtsvinding(reneografie), Vrije Universiteit,1999, hal Philippe Nonet & Philippe Selzinick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2010, hal Ibid.,hal

3 tinggi, dimana hakim tidak hanya melihat hukum sebagai Undang-undang saja, akan tetapi hukum yang ada diluar Undang-undang juga. Dalam hal ini hukum yang hidup didalam masyarakat. Cicero mengatakan ubi societas ibi ius, dimana ada masyarakat disitu ada hukum.tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian, idealnya hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya.dalam putusan hakim harus mempertimbangkan ketiga hal itu.akan tetapi Bismar Siregar mengatakan, bila untuk menegakan keadilan maka dia akan korbankan kepastian hukumdan tujuannya adalah keadilan. 6 Dalam rangka menyeimbangkan konflik kepentingan dalam masyarakat tersebut maka hukum negara harus berhakekat pada keadilan dan kekuatan moral, sebab tanpa adanya keadilan dan moralitas maka hukum akan kehilangan supremasi dan ciri independennya, sebaliknya ide keadilan dan moralitas akan penghargaan terhadap kemanusiaan hanya akan memiliki nilai dan kemanfaatan jika terwujud dalam hukum formal dan materil serta diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan tersebut sebenarnya merupakan suatu keadaan keseimbangan dan keselarasan yang membawa ketentraman didalam hati orang. Sebuah tatanan yang tidak berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang tidak aman dan berbahaya. 7 Dengan teknik inferensial Peter Mahmud Marzuki merumuskan esensi dari pengertian keadilan yang berpangkal pada moral manusia yaitu rasa cinta kasih dan kebersamaan. Pandangan tersebut sangat berguna jika 6 Bismar Siregar, Rasa Keadilan, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1995, hal.7. 7 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum: Sejarah,Aliran dan Pemaknaan, Gadjah Madah University Pres, 2006, hal

4 misalnya, dikaitkan dengan maxim klasik tentang keadilan yang dikemukakan oleh Ulpianus yaitu justitia est perpetua et constansnvoluntas jus suum cuique tribuendi (atau keinginan yang terus menerus dan tetap memberikan kepada orang yang menjadi haknya). 8 Prespektif tersebut seyogianya menjadi sumber inspirasi bagi hakim untuk mempertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Istilah positive dimaksudkan bahwa hukum itu ditetapkan dengan pasti, tegas dan nyata, dan pengunaan istilah ini juga untuk membedakannya dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan moral yang bersifat abstrak dan tidak nyata. Karena telah begitu dibedakannya maka positivisme sendiri memandang perlunya memisahkan antara hukum dan moral atau antara hukum yang berlaku (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen). 9 Dalam kacamata aliran hukum positif, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa atau dengan kata lain, inti dari dari aliran positivisme adalahnorma hukum dikatakan sah apabila ia ditetapkan oleh lembaga atau otoritas yang berwewenang dan didasarkan pada aturan yang lebih tinggi, bukan digantungkan pada nilai atau moral. Norma hukum yang ditetapkan itu tidak lain adalah undang-undang yang adalah sumber hukum dan diluar undang-undang tidak dapat dikatakan sebagai hukum. Teori hukum positif mengakui adanya norma hukum yang sebenarnya bertentangan dengan nilai dan moral tetapi tidak mengurangi keabsahan norma hukum tersebut. 8 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi, Kajian Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2016, hal Erwin Muhamad,Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal

5 Dalam positivisme hukum, pandangan yang paling berpengaruh adalah Hans Kelsen dengan teori hukum murni. Kelsen mangatakan bahwa hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda sehingga keadilan itu harus dipisahkan dari hukum (law and justice are two different). Tidak mungkin memakai keadilan, karena keadilan itu bukan urusan hukum tetapi urusan politik. 10 jika dalam teori hukum murni, adil dipisahkan dari hukum maka hal ini berbanding terbalik dengan tujuan dari hukum itu sendiri, maka sudah pasti keadilan tidak akan dipertimbangkan oleh hakim dalam menegakan hukum. Sebab positivisme itu bebas nilai, keadilan ada didalam nilai, oleh sebab itu keadilan tidak bisa dimasukan ke dalam positivisme sehingga hukum tidak akan membicarakan keadilan itu sendiri.aliran positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan bahwa tidak ada hukum diluar Peundang-undangan.Hakim legisme merupakan hakim yang dipengaruhi oleh mazhab atau aliran positivisme hukum. H. L. A. Hart, yang berpandangan sebagai berikut. 11 a. Hukumadalah perintah. b. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, historis, dan penilaian kritis. c. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturanperaturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas. 10 Ibid., hlm Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal

6 d. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian. e. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan dan diinginkan. 12 Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah Undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit. 13 Undang-undang dan hukum diidentikkan. 14 Hakim positivis juga dapat dikatakan sebagai corong Undang-undang. Hakim yang menganut positivisme hukum sejalan dengan pengutamaan kepastian hukum, yang beranggapan bahwa apabila hakim diberikan wewenang menafsirkan undang-undang atau menemukan hukum sendiri langsung ke masyarakat, maka kepastian hukum akan terganggu. 15 Hakim dalam memutus perkara dapat dianggap tidak perlu memperhatikan tujuan penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kemanfaatan. Hakim yang legisme tentu akan menganut ajaran-ajaran positivisme yang selalu mengutamakan bunyi pasal dalam Undang-undang atau dengan kata lain hakim merupakan corong Undang-undang. Sebagai contoh hakim yang legisme, terlihat dalam putusan pencurian tiga biji kaka yang dilakukan oleh Nenek Minah dengan 12 Muhamad Erwin, Op.,Cit, hal Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, hal Ibid., hal Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Sapta Artha Jaya, Jakarta,1996, hal

7 nomor perkara 247/PID.B/2009/PN.PWT.dan kasus pencurian 6 piring yang dilakukan oleh Rasmina, Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1346/Pid.B/2010/PN.TNG menyatakan Rasminah bebas. Akan tetapi Putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Mei 2011 mengabulkan kasasi Nomor 653K/Pid.2011 dan menyatakan Rasminah bersalah dan dihukum penjara 4 Bulan 10 hari. kasus pencurian dua ekor ayam atas nama Arman. putusan no K/Pid/2010. Kasus pencurian hasil hutan (kayu) atas nama Doni Setyo Jatmiko. No putusa perkara, 132/Pid.sus/2011/PN.MLG. kasus pencurian kayu bakar dengan putusan no 2615 K/Pid.Sus/201. Atas nama Muhammd Mufid. Contoh-contoh kasus diatas menggambarkan kedudukan hakim yang legisme, dimana hakim memutuskan dengan hanya merujuk berdasarkan pada unsurunsur(formil) perbuatan pidana yang telah tepenuhi. Dalam kasus ini, menurut penulis hakim tidak mencoba menggali nilai keadilan, dimana nilai keadilan itu tidak serta merta melekat pada bunyi Undang-undang, tetapi yang perlu dipahami oleh hakim secara mendalam adalah bahwa keadilan harus dimaknai secara filosofis sehingga tujuan sesungguhnya dari hukum dapat tercapai. Berbicara mengenai keadilan, maka sedang membicarakan mengenai tujuan yang esensi dari hukum 16 yaitu untuk memberikan rasa keadilan, selain kemanfaatan dan kepastian. Keadilan sudah dijamin dan tertuang secara eksplisit dalam Pancasila yang disebut sebagai staats fundamental norm/ rechtsideesekaligus berfungsi sebagai 16 Teguh Prasetyo,Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2015, hal

8 norma dasar dalam keseluruhan peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Oleh sebab itu putusan yang dibuat oleh hakim wajib menjiwai nilainilai yang ada dalam Pancasila.Pancasila yang merupakan norma fundamental dalam proses penegakan hukum seharusnya menjadi guiding star dalam setiap putusan hakim, artinya bahwa dalam memutuskan suatu perkara hakim tidak seharusnya hanya melihat pada apa yang dikatakan oleh Undang-undang saja tetapi hakim juga harus menggali nilai-nilai keadilan yang ada dalam Pancasila.Hakekat dari norma dasar adalah syarat bagi berlakunya suatu Kontitusi, norma dasar terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau Undang-undang Dasar. 17 Oleh sebab sebab itu posisi hakim yang positivis tidak akan mampu memberikan rasa keadilan dalam setiap putusannya, sebab dalam pertimbangan hakim hanya menggunakan Undang-undang sebagai tolok ukur saja, tanpa menggunakan moral untuk melihat penyebab seseorang melakukan pencurian. B. Rumusan Masalah. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah; 1. Bagaimana posisi hakim dalam sistem peradilan pidana? 2. Bagaimana hakim menyikapi kasus Mina dan Rasmina dalam rangka mengupayakan keadilan? C. Tujuan Penelitian. 17 Teguh Praseryo, Hukum Dan System Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa, Yogyakarta, 2013, hal

9 Untuk menganalisis posisi hakim dalam sistem peradilan pidana dan, Bagaimana hakim menyikapi kasus Mina dan Rasmina dalam rangka mengupayakan keadilan. D. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu: a. Manfaat teoritis,hasil Penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam kajian pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana. b. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala pikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi para hakim yang positivis supaya dapat mempertimbangkan keadilan melalui putusannya. E. Kerangka Pemikiran:Peran filsafat hukum dalam putusan pengadilan. Dalam hal ini filsafat hukum berkedudukan sebagai metateori bagi teori interpretasi yuridis secara umum. Fungsionalitas dari beragam teori itu untuk menjembatani antara proses dan produk ajudikasi supaya dihasilkan putusan yang tepat atau benar sehingga finalitasnya tidak diganggu gugat atau dipertanyakan. Teori Adjudikasi Teori Adjudikasisebagai metateori interpretasi.dipengaruhi oleh aliran atau tradisi filsafat hukum tertentu, metateori interpretasi yang ada telah lazim dikategorikan menjadi teori formalisme, teori realisme dan teori normativisme. Teoriteori tersebut pada hakekaknya merupakan bentuk penerapan aliran filsafat hukum tertentu ke dalam ajudikasi sehingga konsekuensi lebih dikenal dengan predikat teori 9

10 ajudikasi yaitu theories of how judges do or should decide cases 18 atau lebih tepatnya tentang how should a judge decide what law governs the case before her? 19 dalam arti demikian maka yang menjadi fokus teori-teori tersebut adalah judicial reasoning sebagai spesies dari legal reasoning.teori-teori tersebut sangat penting dalam rangka fungsionalitas badan yudisial dan hakim terutama hakikak fungsi hakim dan makna atau hakikak hukum di dalamnya. 20 Menurut Thomas, a basic understanding of legal theory is a essential for the complete performance of the judicial function.to fulfil their judicial function, and to be able to assess whether they are fulfilling that function, judge must explore, examine and know the theoretical framework for their judicial thingking. Pernyataan ini sangat tepat sasaran manakala diyakini bahwa ajudikasi dan interpretasi adalah aktivitas intelektual yang sophisticated. 21 Makna atau hakikat dalam fungsi hakim adalah isu teoritis sangat penting dalam rangka membekali hakim ketika melakukan ajudikasi.isu ini merupakan salah satu bidang kajian filsafat hukum maupun teori hukum yang lebih konkrit. Untuk lebih memahami pemahaman isu filsafat hukum tentang makna atau hakekak hukum dapat dikategorikan secara dikotomis dengan mengacu pada Alexy yaitu konsep yang positivistik: there are only two defining elements:that of issuance in accordance with the system, or authoritative issuance, and that of social efficacy.common to 18 Brian Leiter, Legal Formalism and Legal Realism: What is the Issue?, 16 Legal Theory, 2010, hal Robert Justun Lipkin, conventionalism, pragmatism and contutional Revolutions, 21 Uc Davis Law Review, 1988, hal Titon Slamet Kurnia, Kontitusi HAM, Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 2014, Hlm Ibid. Hlm

11 all of the variations is the notion what law is depends solely on what has been issued and/or is effication. Correctness of content-however achieved-count for nothing dan konsep yang non positivistik defend the connection thesis, which says that the concept of law is to be defined such that moral element are included. No serious nonpositivis is thereby excluding from the concept of law either the element of authoritative issuance or the element of social efficacy. Rather, what distinguishes the non-positivist from the positivist is the view that the concept of law is to be defined such that, alongside these fact-oriented properties, moral elements are also included. 22 Formalisme, realisme dan normativisme pada hakekaknya adalah teori tentang makna atau hakekak hukum dalam ajudikasi, mengandung dimensi penerapan atas study filsafat hukum, yang bertujuan menghasilkan postulat-postulat mengenai makna atau hakikat hukum sebagai pendirian, word view bagi hakim ketika melakukan ajudikasi tentang bagaimana hakim memutuskan atau seyogianya memutus kasus dalam lingkup tugas yudisialnya. Menurut D Amato: the way judges decide a case is informed by their own conception of what the law is-not just what a statute might say, or a previous case might have held, but what the law is in the sense of how they should interpret those statutes or cases. Aliran atau tradisi filsafat hukum tertentu membentuk dan menetukan makna atau hakekak hukum tertentu, dan yang pada analisis akhir menentukan hakim tentang bagaimana mengembannya ketika memeriksa, menggali dan memutuskan Ibid., hal Ibid.,hal

12 a. Formalisme Teori ajudikasi paling dominan dalam praktek ajudikasi. Tentang keampuhan teori ini, Thomas memberikan gambaran At the turn of the twentieth century a basic from of positivism dominated legal thinking. The law was perceived as closed and cloisterd edifice, an independent and authonomous discipline, and a sovereign, selfcontained system of internally rational and predictable rules to which the judge, having no or little discretion, would mechanically apply deductive reasoning. Such dogmatic formalism embraced the declaratory theory of law and fostered the belief that law could be determined with quasi-mathematical precision. Idolatry of certainty and predictabililyin the law displaced the search for justice and relevance. Justice, if justice was to be done, would be systemic-the product ot adhering to rules of form. Secara lebih spesifik Tamanaha menyimpulkan sebagai generalisasi inti dari teori formalisme yaitu: formalism entails rule-bound judging that prohibits considerations of purposes or consequences. Dengan demikian ajudikasi adalah bebas nilai. Teori formalisme hukum dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung, atau merupakan penerapan, pemikiran filsafat positivisme yuridis (legal positivism). Obsesi utama positivme yuridis adalah konsepsi hukum yang benarbenar hukum dan validitas sumber-sumbernya. Atas dasar premis tersebut maka positivisme yuridis membedakan secara tegas antara law as it dan law as it ought to be, antara hukum dan nilai atau moral. Konsisten dengan itu, pembuktian utama eksistensi hukum adalah pada sumbernya, yaitu sumber-sumber hukum positif dari negara, dengan demikian pengaruhnya ke dalam ajudikasi, yang disebut formalisme 12

13 adalah semata-mata penerapan sumber-sumber hukum positif (law as it is) secara subtantif. b. Realisme Secara genelogis, teori realism sebagai teori ajudikasi merupakan reaksi terhadap teori formalisme, Formalism offers us right and wrong answers, it encourages rigidity and a dismissive attitude to any analysis of the impact of nonlegal factors on the law, in other word it treats law as an isoled, closed an logical system. dengan kata lain, kritik terhadap formalisme adalah kritik terhadap terhadap doktrin separation thesis dari teori positivisme yuridis yang menghasilkan regiditas terhadap konsep hukum (khusus menyangkut teori sumber hukum yang dimonopoli oleh produk-produk hukum positif atau hukum yang ditetapkan oleh penguasa) dalam ajudikasi. Teori realisme pada hakikatnya masih teramasuk dalam bilangan positivisme, seperti halnya teori formalisme sebagai teori ajudikasi dari filsafat legal positivism. Teori realisme merupakan kritikan atas kelemahan pendirian dari teori formalisme yang memiliki kecenderungan kuat pada rule application tanpa dibantu interpretasi. Menurut pandangan realisme hal tidak mungkin terjadi pada situasi hard cases dimana existing rules mengandung pengertian atau makna panubra. Tanpa referensi pada pertimbangan-pertimbangan factual, judicial reesoning berdasarkan formalisme akan berubah menjadi legalistik,legisme. Dalam kaca mata realisme, isu 13

14 utama teori formalisme adalah kegagalan untuk menjembatangi pengunaan kata-kata dalam ketentuan hukum sebagai premis mayor tersebut berlaku secara presisi. 24 c. Teori Normativisme. Pada teori normativisme, bahwa memutus menurut lex dengan memutus menurut ius tidak selalu sama maknanya. Sehingga, legal reasoning serta judical reasoning yang lebih dari sekedar merujuk pada peraturan perundang-undangan (formalism) adalah esensi yang menjadikan teori normativisme khas, termasuk dengan realism (memutus dengan mempertimbngkan social demands). Normativisme berbeda dengan formalisme menyangkut isu hubungan antara hukum dengan moral: although we do separate law and morals, we do not separate them entirely. Normtivisme juga berbeda dengan realisme walaupun sama-sama bertolak dari tesis indeterminate legas rules. Normativisme lebih berorientasi pada nilai (morality, justice, fairns) namun realism kebalikannya, lebih berorientasi pada fakta.normativisme hadir sebagai kritik terhadap formalisme maupun realisme, formalisme dikritik karena penderian bebas nilainnya.sementara realisme dikritik karena kecendurungan metamtis dan prakmatisnya.pendiri normativisme kontenporer adalah Ronald Dworkin.Filsuf hukum yang teorinya secara khusus beroperasi di ranah ajudikasi.pemikiran Dworkin sangat penting kontribusinya bagi pengembangan teori norvativisme dalam ajudikasi, kontribusi utamanya adalah menunjukan bahwa ajudikasi merupakan interpretasi dan interpretasi tersebut memiliki landasan moralitas yang kuat.dengan demikian maka Dworkin menggugurkan tesis positivisme yuridis dan formalism yaitu separation of law and morals dan unsure 24 Ibid.,hal

15 ajudikasi yang semata-mata adalah penerapan sumber-sumber hukum positif secara bebas nilai. 25 Jadi dapat disimpulkan bahwa ketiga teori ini beranjak dari hukum itu norma, akan tetapi ketiga teori ini melihat sumber dari norma itu berbeda-beda. Orang yang berbicara hukum mempunyai keyakinan tentang filsafat hukum.oleh peran filsafat hukum sebagai dasar berpikirnya hakim dalam pengambilan keputusan. Menurut penulis, hakim yang positivis tidak akan mampu memberikan rasa keadilan melalui putusannya. 25 Ibid., 15

16 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum (legal research) yaitu untuk mencari dan menemukan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang mengatur status, yang hendak dikemukakan adalah kecocokan antara aturan hukum dengan norma hukum. 26 Dengan demikian penelitian ini hendak mencari, menemukan dan menjelaskan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip berkaitan dengan keadilan dalam ruang-ruang pengadilan. 2. Jenis pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) karena akan menelaah dan melihat kembali fungsi dan kewenangan hakim dalam memutuskan perkara pidana, serta pendekatan konsep (conceptual approach) teoritis karena akan mengkaji konsep keadilan dalam putusan hakim, berdasarkan konsep maupun teori yang ada dalam praktek adjudikasi. Dan pendekatan kasus (case approach) G. Bahan Hukum a. Bahan hukum Primer, yakni bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdapat dalam unit amatan, yaitu: 1) Pancasila 26 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana Prenanda Media Grup, Jakarta, 2013, hal

17 2) UUD ) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 4) Putusan Mahkamah Agung Nomor 247/PID.B/2009/PN.PWT 5) Putusan Mahkama Agung Nomor 1346/Pid.B/2010/PN.TNG b. Bahan hukum sekunder, yakni yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum perimer. Misalnya hasil-hasil penelitian dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. H. Unit Analisa Yang menjadi unit analis dalam penelitian ini adalah kedudukan hakim dalam sistem peradilan pidana dan hakim dalam hal menyikapi kasus Mina dan Rasmina. 17

DAFTAR PUSTAKA. A. Gunawan Setiarja, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Penerbit Kanisus, Yogyakarta, 2001.

DAFTAR PUSTAKA. A. Gunawan Setiarja, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Penerbit Kanisus, Yogyakarta, 2001. DAFTAR PUSTAKA A. Buku A. Gunawan Setiarja, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Penerbit Kanisus, Yogyakarta, 2001. A. Mukthie Fadjar, Teori Hukum Kontemporer (Edisi Revisi),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga tidak jarang apabila sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana terhadap harta benda yang sering terjadi dalam masyarakat. Modus yang digunakan dalam tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian, perkawinan, perceraian, pengesahan anak dan pengakuan anak.

BAB I PENDAHULUAN. kematian, perkawinan, perceraian, pengesahan anak dan pengakuan anak. BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil merupakan salah satu instansi pemerintah yang bertugas melayani masyarakat dalam hal pencatatan kelahiran, kematian, perkawinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum Civil Law

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum Civil Law BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum Civil Law (Eropa Continental) yang diwarisi selama ratusan tahun akibat penjajahan Belanda. Salah satu karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui salah satu asas yang dianut oleh KUHAP adalah asas deferensial fungsional. Pengertian asas diferensial fungsional adalah adanya pemisahan

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Pande I Putu Cahya Widyantara A. A. Sri Indrawati Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Assessing criminal law,

Lebih terperinci

Pandangan tokoh Teori Sociological Jurisprudence mengenai hukum yang baik dalam. masyarakat

Pandangan tokoh Teori Sociological Jurisprudence mengenai hukum yang baik dalam. masyarakat MAKALAH TEORI HUKUM/KELAS A REGULE Pandangan tokoh Teori Sociological Jurisprudence mengenai hukum yang baik dalam masyarakat DISUSUN OLEH: MARIA MARGARETTA SITOMPUL,SH 117005012/HK PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum yang diterapkan di Indonesia saat ini kurang memperhatikan kepentingan korban yang sangat membutuhkan perlindungan hukum. Bisa dilihat dari banyaknya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip prinsip hukum, maupun doktrin doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang sedang dihadapi. Penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 24

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 24 III. METODE PENELITIAN Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi dapat dipastikan tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA FAKTA, NORMA, MORAL,DAN DOKTRIN HUKUM DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM

HUBUNGAN ANTARA FAKTA, NORMA, MORAL,DAN DOKTRIN HUKUM DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM HUBUNGAN ANTARA FAKTA, NORMA, MORAL,DAN DOKTRIN HUKUM DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM I. LATAR BELAKANG Undang-Undang Dasar 1945 mengatur Kekuasaan Kehakiman, merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau memiliki persamaan dengan penelitian doktrinal (doctrinal research).

Lebih terperinci

filsafat meliputi ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Adapun filsafat hukum merupakan kajian terhadap hukum secara menyeluruh hingga pada tataran

filsafat meliputi ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Adapun filsafat hukum merupakan kajian terhadap hukum secara menyeluruh hingga pada tataran ix Tinjauan Mata Kuliah F ilsafat hukum merupakan kajian terhadap hukum secara filsafat, yakni mengkaji hukum hingga sampai inti (hakikat) dari hukum. Ilmu hukum dalam arti luas terdiri atas dogmatik hukum,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 64 BAB III METODE PENELITIAN Menurut Peter Mahmud, Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.

Lebih terperinci

KEWENANGAN MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN DAERAH TERHADAP UUD 1945

KEWENANGAN MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN DAERAH TERHADAP UUD 1945 KEWENANGAN MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN DAERAH TERHADAP UUD 1945 Oleh : Indah Permatasari 1 ABSTRACT The local government is given authority by the constitution to establish local regulations.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Suatu penelitian agar dapat dipercaya kebenarannya, harus disusun dengan menggunakan metode yang tepat. Sebuah penelitian, untuk memperoleh data yang akurat dan valid diperlukan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN Oleh : Wajihatut Dzikriyah I Ketut Suardita Bagian Peradilan, Fakultas Hukum Program Ekstensi Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan, 49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tindak pidana terhadap harta kekayaan yang merupakan suatu penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Penipuan yang berasal dari kata tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohong, palsu dan sebagainya dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN Oleh : I Gusti Ngurah Ketut Triadi Yuliardana I Made Walesa Putra Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

Filsafat. Filsafat Hukum. Aturan Hukum (Hukum In Abstracto) Putusan Hakim (Hukum In Concreto)

Filsafat. Filsafat Hukum. Aturan Hukum (Hukum In Abstracto) Putusan Hakim (Hukum In Concreto) Filsafat Filsafat Hukum Teori Hukum Politik Hukum Asas-asas Hukum General Norm Individual Norm Aturan Hukum (Hukum In Abstracto) Putusan Hakim (Hukum In Concreto) Praktek Hukum Teori Hukum Pendapat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR 2.1 Pengertian penegakan hukum. Mengenai pengertian dari penegakan hukum menunjuk pada batasan pengertian dari para sarjana. Identifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan penyeimbang masyarakat dalam berperilaku. Dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan penyeimbang masyarakat dalam berperilaku. Dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan penyeimbang masyarakat dalam berperilaku. Dimana terdapat sekelompok masyarakat maka dapat dipastikan di situ ada sebuah aturan atau hukum yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan tersebut diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 1 ayat (3). Sebagai konsekuensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

NILAI-NILAI POSITIF DAN AKIBAT HUKUM DISSENTING OPINION DALAM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

NILAI-NILAI POSITIF DAN AKIBAT HUKUM DISSENTING OPINION DALAM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA NILAI-NILAI POSITIF DAN AKIBAT HUKUM DISSENTING OPINION DALAM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Oleh : Ni Luh Kadek Rai Surya Dewi I Dewa Made Suartha Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum, Indonesia menjujung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan serta hal paling utama untuk dapat menentukan dapat atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tentang isi keadilan sukar untuk memberi batasannya. Aristoteles

BAB I PENDAHULUAN. Tentang isi keadilan sukar untuk memberi batasannya. Aristoteles BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentang isi keadilan sukar untuk memberi batasannya. Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo dalam bukunya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Tidak terkecuali terjadi terhadap anak-anak, hal ini disebabkan karena seorang anak masih rentan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era Globalisasi dan seiring dengan perkembangan zaman, tindak pidana kekerasan dapat terjadi dimana saja dan kepada siapa saja tanpa terkecuali anak-anak. Padahal

Lebih terperinci

Jl. AriefRachman Hakim 51 Surabaya Website : KONRAK PERKULIAHAN

Jl. AriefRachman Hakim 51 Surabaya Website :  KONRAK PERKULIAHAN KONRAK PERKULIAHAN Mata Kuliah Fakultas/Program Studi Dosen Pengampu Bobot SKS Semester : Teori : Magister Kenotariatan : Prof. Dr. Afdol, S.H., M.S. Dr. Woro Winandi, S.H., M.Hum. Rusdianto Sesung, S.H.,

Lebih terperinci

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK Oleh : Made Agus Indra Diandika I Ketut Sudantra Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The paper is titled

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan adanya jaminan kemandirian dan kemerdekaan seseorang dalam menyampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara tegas tercantum dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. secara tegas tercantum dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan secara tegas bahwa Indonesia merupakan Negara Hukum. Maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19945. Salah satu prinsip penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Suatu penelitian memiliki arti ilmiah apabila menggunakan metodologi yang sesuai dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai. Metode penelitian merupakan bagian yang terpenting

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia adalah negara yang termasuk dalam kategori negara berkembang dan tentunya tidak terlepas dari permasalahan kejahatan. Tindak

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Pande I Putu Cahya Widyantara A. A. Sri Indrawati Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT To determine fault someone

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kodratnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan haruslah hidup bersama dengan manusia lainnya. Proses tersebut dikenal dengan istilah bermasyarakat, dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap pelanggaran kaedah hukum pada dasarnya harus dikenakan sanksi : setiap pembunuhan, setiap pencurian harus ditindak, pelakunya harus dihukum. Tetapi

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM Diajukan oleh: Ignatius Janitra No. Mhs. : 100510266 Program Studi Program Kehkhususan : Ilmu Hukum : Peradilan dan Penyelesaian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakim adalah aktor utama penegakan hukum (law enforcement) di

BAB I PENDAHULUAN. Hakim adalah aktor utama penegakan hukum (law enforcement) di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aktor utama penegakan hukum (law enforcement) di pengadilan yang mempunyai peran lebih apabila dibandingkan dengan jaksa, pengacara, dan panitera. Pada

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY SKRIPSI PENGUJIAN TERHADAP UNDANG - UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris. Menurut Abdulkadir Muhammad yang dimaksud sebagai penelitian hukum normatifempiris (applied

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang salah satu kewenangannya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 5 disebutkan

Lebih terperinci

11 Secara umum, diartikan bahwa kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan meng

11 Secara umum, diartikan bahwa kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan meng 10 BAB II Landasan Teori 2.1. Uraian Teori Teori adalah suatu butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan dengan tujuan untuk mengatur tatanan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi setiap komponen yang berada dalam masyarakat. Dalam konsideran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan ketiga. Hal ini berarti bahwa di dalam negara Republik

Lebih terperinci

1 Pasal 105 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 2 Salinan Putusan nomor 0791/ Pdt.G/2014/PA.Kab.Mlg, h. 4.

1 Pasal 105 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 2 Salinan Putusan nomor 0791/ Pdt.G/2014/PA.Kab.Mlg, h. 4. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada dasarnya apabila hubungan perkawinan antara suami dan istri telah terputus karena perceraian, maka akan ada beberapa hukum yang berlaku sesudahnya. Salah satu di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBICARA. The Rule of Law dan Hak Asasi Manusia. Oleh: Ifdhal Kasim

MAKALAH PEMBICARA. The Rule of Law dan Hak Asasi Manusia. Oleh: Ifdhal Kasim TRAINING TINGKAT LANJUT RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Jakarta, 3-6 Juni 2015 MAKALAH PEMBICARA The Rule of Law dan Hak Asasi Manusia Oleh: Ifdhal Kasim Ifdhal Kasim HAM menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Untuk memperoleh data atau bahan yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian hukum dengan metode yang lazim digunakan dalam metode penelitian hukum dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 perpustakaan.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen yang seharusnya dimiliki dan diakui oleh pelaku usaha 2. Oleh karena itu, akhirnya naskah

Lebih terperinci

KEHARUSAN PENDAMPINGAN PENASEHAT HUKUM DALAM PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

KEHARUSAN PENDAMPINGAN PENASEHAT HUKUM DALAM PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM KEHARUSAN PENDAMPINGAN PENASEHAT HUKUM DALAM PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM Oleh I Dewa Agung Ayu Paramita Martha I Made Pujawan Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Rampai Kolom dan Artikel Pilihan dalam. Bidang Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2008.

DAFTAR PUSTAKA. Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Rampai Kolom dan Artikel Pilihan dalam. Bidang Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2008. DAFTAR PUSTAKA A. BUKU-BUKU : Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Rampai Kolom dan Artikel Pilihan dalam Bidang Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2008. Achmad Rivai, Penemuan Hukum oleh Hakim : dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang sangat pesat ini mengakibatkan meningkatnya berbagai tindak pidana kejahatan. Tindak pidana bisa terjadi dimana saja dan kapan saja.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk di dalamnya perkembangan aktivitas ekonomi. Masyarakat Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk di dalamnya perkembangan aktivitas ekonomi. Masyarakat Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Keberadaan hukum selalu berhubungan dengan keberadaan manusia oleh sebab itu dikenal istilah ubi societas ibi ius yang artinya dimana ada manusia,disitu ada hukum. Terdapat

Lebih terperinci

FILSAFAT HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga

FILSAFAT HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga FILSAFAT HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Tujuan Perkuliahan Mehamami signifikansi HAM Memahami pembenaran

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan pengujian yuridis Peraturan Daerah Kabupaten/Kota oleh Mahkamah Agung belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup kompleks di seluruh dunia. Berbagai pandangan seperti kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

KEADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM: JOHN RAWL

KEADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM: JOHN RAWL KEADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM: JOHN RAWL SERI FILSAFAT ILMU - Bagaimana hukum memandang keadilan Oleh : Abdul Fickar Hadjar Untuk dapat melihat bagaimana hukum memandang keadilan, maka kita tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Prinsip Negara hukum menjamin kepastian,

Lebih terperinci

PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PENGADILAN. Drs. ARPANI, S.H., M.H. (Hakim PA Bontang- Kaltim)

PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PENGADILAN. Drs. ARPANI, S.H., M.H. (Hakim PA Bontang- Kaltim) PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PENGADILAN Drs. ARPANI, S.H., M.H. (Hakim PA Bontang- Kaltim) A. Pendahuluan Kekuasaan Kehakiman dengan para Hakimnya

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke IV yang

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PUTUSAN MK No. 21/PUU-XII/2014 TENTANG PENETAPAN TERSANGKA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEADILAN

IMPLEMENTASI PUTUSAN MK No. 21/PUU-XII/2014 TENTANG PENETAPAN TERSANGKA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEADILAN IMPLEMENTASI PUTUSAN MK No. 21/PUU-XII/2014 TENTANG PENETAPAN TERSANGKA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEADILAN (Studi Kasus Perkara No. 04/Pid.Pra/2016/PN.Bwi) Dr. Y.A. Triana Ohoiwutun, S.H., M.H. Fakultas

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. pengaturan dibidang perkawinan yang dirumuskan kedalam Undang-Undang

BAB III PENUTUP. pengaturan dibidang perkawinan yang dirumuskan kedalam Undang-Undang BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Salah satu pengaturan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah pengaturan dibidang perkawinan yang dirumuskan kedalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk politik (zoonpoliticon). Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berhubungan dengan sesamanya, dan sebagai makhluk politik

Lebih terperinci

PELAKSANAAN CONTRA LEGEM

PELAKSANAAN CONTRA LEGEM PELAKSANAAN CONTRA LEGEM OLEH HAKIM PENJABARAN NILAI HUKUM PROGRESIF Oleh : Luh Gede Siska Dewi Gelgel I Made Sarjana Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Basically the judge

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam Pasal 28

BAB I PENDAHULUAN. serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam Pasal 28 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan dari Negara Indonesia yakni melindungi segenap bangsa Indonesia. Hal ini tertuang di dalam alinea ke-empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA Oleh: Hafrida 1 Abstrak Perekaman persidangan sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULA DA SARA

BAB V KESIMPULA DA SARA 152 BAB V KESIMPULA DA SARA 5.1 Kesimpulan Bertitik tolak dari uraian dalam bab III dan IV yang merupakan analisa terhadap beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian UU No. 10 tahun 2008 dan

Lebih terperinci