BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan (machtsstaat). 1 Dalam Negara hukum semua
|
|
- Ridwan Sasmita
- 5 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum di Indonesia saat ini banyak mengalami kemajuan yang salah satu perkembangannya adalah berkaitan dengan praperadilan yang diajukan kepada pengadilan atas penetapan seseorang menjadi tersangka. Seperti putusan hakim Sarpin yang mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan mengenai penetapannya sebagai tersangka. Dengan adanya putusan tersebut akan berdampak pada banyaknya pengajuan praperadilanatas penetapan tersangka kasus-kasus korupsi lainnya yang ditangani KPK, ataupun penetapan tersangka dalam kasus-kasus pidana yang lain, baik yang ditetapkan oleh Penyidik ataupun oleh Penuntut Umum, dengan alasan bahwa penetapan tersangka tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan. Indonesia merupakan Negara hukum dimana telah diamanatkan dalam UUD 1945 pra amandemen, yaitu dalam undang-undang dasar tahun 1945 Pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa Negara Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan (machtsstaat). 1 Dalam Negara hukum semua orang baik warga negara, segala badan dan alat-alat hukum perlengakapan Negara maupun pejabat negara harus tunduk kepada hokum. 2014, hlm.1. 1 Teguh Prasetyodan Arie Purnomosidi,membangun hukum berdasarkan Pancasila, Nusa Dua, Bandung 1
2 Terkait dengan Negara Hukum, Ariestoteles menjelaskan bahwa Negara hukum adalah Negara yang berdiri diatas hukum dan menjamin keadilan kepada warga negaranya. 2 Dari penjelasan Aristoteles tersebut, maka maka dapat diketahui bahwa tindakan apapun yang dilakukan oleh negara harus berdasarkan hukum(asas legalitas) dan negara mempunyai kewajiban untuk mewujudkan keadilan bagi warga negaranya. Indonesia sebagai Negara hukum yang menunjung tinggi hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 huruf (D) menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum.ketentuan tersebut berlaku bagi seluruh warga Indonesia meskipun warga negara tersebut berstatus sebagai tersangka ataupun sebagai terdakwa, hak asasinyatetap diakui, mereka berhak untuk mendapatkan jaminan dan kepastian di depan hukum dalam proses hukum yang dijalaninya. Para penegak hukum pidana dalam mejalankan tugasnya harus berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana didalamnya mengandung asas praduga tak bersalah. Asas ini harus diperhatikan dalam penegakkan hukum pidana, karena dengan asas ini salah satunya dimaksudkan un tuk menghindarkan terjadinya tindakan sewenang-wenang dalam penegakkan hukum pidana. Terkait dengan hal ini Zulkarnain, SH, mengatakan sebegai berikut : Dimana untuk mencegah perlakuan kesewenang-wenangan tersebut, KUHAP menyediakan ruang bagi tersangka dan terdakwa untuk melakukan pembelaan atas kesewenang-wenangan aparatur Negara dan ruang itu disebut Pra-peradilan. Dalam Pasal 1 butir 10 menegaskan bahwa Praperadilan adalah wewenang dari pengadilannegri untuk memeriksa dan memutuskan sah tidaknya suatu penangkapan dan penahanan, sah tidaknya 2 2
3 penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, dan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajuakan ke pengadilan. Kewenangan pelaksanaan praperadilan menjadi wewenang mutlak pengadilan negri. 3 Untuk mengoreksi tindakan aparat penegak hukum pidana, khususnya atas tindakan yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum, KUHAP mengintrodusir lembaga praperadilan terkait dengan tiga hal yaitu : sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan; sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan atau penghentian penuntutan dan tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi, sebagaimana dapat dibaca pada Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP. Dalam Pasal tersebut tidak mengatur tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka. Keberadaan praperadilan bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan horizontal, 4 atau dengan kata lain diadakannya praperadilan mempunyai maksud sebagai sarana pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka. Dengan alasan untuk perlindungan hak asasi manusia, walaupun dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP tidak mengatur alasan praperadilan terkait dengan sah atau tidaknya penetapan tersangka, ternyata ada yang mecoba untuk mengajukan praperadilan dengan menggunakan alasan tersebut, dan oleh pengadilan ternyata dikabulkan. Salah satu contoh kasus praperadilan yang berkaitan dengan penetapan tersangka adalah kasus degan tersangka Budi Gunawan (BG) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Dalam kasusnya tersebut BG mengajukan praperadilan atas penetapannya sebagai 3 Zulkarnain. S.H., M.H., praktik peradilan pidana. Malang: setara press, 2013, hlm.60 4 HMA Kuffal, Penerapan KUHAP dalam praktik Hukum,, malang: UMM Press 2010, hlm.253 3
4 tersangka di Pengadilan Negri Jakarta Selatan.Atas permohonan praperadilan tersebut hakim Sarpin mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh BG yaitu bahwa penetapan tersangka yang menjadi dasar penangkapan BG tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, oleh karenanya penyidikan atas kasus yang disangkakan terhadap BG juga dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada dasarnya penetapan tersangka bukanlah obyek praperadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP Pasal 1 butir 10 yang dipertegas dalam Pasal 77 yang menjelaskan bahwa: pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, b. penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan; c. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. 5 Permohonan praperadilan ini adalah satu upaya memperluas cakupan praperadilan. Upaya tersebut pernah di ajukan oleh Bahtiar Abdul Fatah terdakwa korupsi kasus biomediasi PT. Chevron yang mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait penetapannya sebagai tersangka,yang di dalam gugatan tersebut mengacu pada putusan praperadilan hakim sarpin yang mengabulkan gugatan praperadilan BG. 5 M. Yahya Harahap,pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm 2. 4
5 Dalam kasus bachtiar abdul fatah mengajukan gugatan praperadilan mengenai penetapannya sebagai tersangka tersebut tersebut ditolak oleh hakim yang menanganinya karena penetapannya sebagai tersangka bukanlah obyek praperadilan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 77 KUHAP. Terkait dengan tidak dikabulkannya permohonan praperadilan tersebut, Bahtiar Abdul Fatah mengajukan permohonan kepada Mahkamah konstitusi berkaitan dengan perluasan obyek dalam praperadilan dan mengenai kejelasan tetang frasa bukti permulaandan bukti permulaan yang cukup dalam peraturan perundang-undangan. Atas permohonan tersebut kemudian dalam putusannya MK memberikan penjelasan tentang bukti permulaan adalah keadaan,perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana. 6 Sedangkan dalam Pasal 17 bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan sesui dengan bunyi pasal 1 angka14 dan 77 huruf a mengenai sah tidaknya penangkapan dan penahanan yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5), dan Pasal 28J ayat (2) UUD Rumusan Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 dalam frasa bukti permulaan dan bukti permulaan yang cukup tidak di sertai parameter yang jelas maka menimbulkan ketidakpastian hukum sehubungan dengan syarat yang harus dipenuhi oleh penyidik sebelum menyatakan seseorang sebagai tersangka. Begitupun dalam Pasal 77 huruf a yang terbatas memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan jelas tidak sepenuhnya dapat 6 PMK Nomor 202/PMK.03/2007 Pasal 1 angka 5 5
6 memberikan perlindungan yang cukup kepada seorang tersangka dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh penyidik. Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014, mengabulkan permohonan uji materi terkait dengan bunyi Pasal 77 KUHAP, yaitu dalampasal 77 KUHAP tentang objek Praperadilan. permohonan praperadilan tersebut menyangkut penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, selain itu mahkamah konstitusi mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menambahkan frasa 'minimal dua alat bukti' dalam proses penetapan tersangka dalam penyidikan. Menurut Prof. Moeljatno, tiap-tiap proses pidana bagian yang paling terpenting adalah persoalan mengenai pembuktian, karena dari jawaban soal inilah tergantung apakah tertuduh akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan. 7 Menurut Ratna Nurul Afiah, KUHAP mengatur mengenai alat bukti, bahwa untuk menentukan tindak pidana kepada terdakwa, harus : 1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; 2. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 8 Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU- XII/2014mengenai penetapan tersangka merupakan obyek praperadilan dan dalam penetapan tersangka telah diperjelas dalam putusannya bahwa dalam penetapan tersangka 7 Moeljatno, Hukum Acara Pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum U.G.M, hlm Ratna Nurul Afiah, barang bukti dalam proses persidangan, Jakarta: Sinar Grafika 1988, hlm 19. 6
7 dibutuhkan minimal dua alat bukti, dapat memberikan keadilan dalam tingkat penyidikan serta kejelasan atas sah atau tidaknya penetapan seseorang tersangka dalam penyidikan.putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dijadikan sebagai acuan para hakim dalam memutuskan perkara praperadilan terkait dengan permohonan sah atau tidaknya penetapan sebagai tersangaka, penggeledahan ataupun penyitaan. Dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014 tentag perluasan obyek praperadilan terkait penetapan tersangka hakim memberi pertimbangan yaitupermasalah utama permohonan adalah pengujian pasal 1 angka 2, pasal 1 angka 14, dan pasal 77 huruf a, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209 selanjutnya di sebut KUHAP). Dalam hal ini frasa dan guna menemukan tersangkanya dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip due process of law serta melanggar hakatas kepastian hukum yang adil. Bahwa berdasarkan asas keadilan, Profesor Satjipto Raharjo telah mencoba mendefinisikan keadilan. Dikatakan bahwa menurut ulpianus; keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya, untuknya. 9 Perlu diketahui bahwa dalam frasa bukti permulaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 14 dan frasa bukti permulaan yang cukup sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 yang tanpa disertai parameter yang jelas menimbulkan ketidak pastian 9 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Cet. Keenam, Cintra Adyta Bakti, Bandung 2006, hal
8 hukum. Dalam asas kepastian hukum, dimana disenutkan tujuan hukum ada tiga yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Tujuan hukum pidana adalah melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan masyarakat dan Negara dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan/ tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di pihak lain 10. Sehingga dengan adanya kepastian hukum seorang terdakwa mendapatkan keadilannya dan juga kemanfaatannya dalam sebuah peradilan pidana. Bahwa konsep praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP yang terbatas memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, jelas tidak sepenuhnya memberikan perlindungan yang cukup bagi tersangka sehingga menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Apa yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 21/PU-XXI/2014 berkaitan dengan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan? Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, semarang, 8
9 C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan Mahkamah Kosntitusi dalam putusan nomor 21/PU-XXI/2014 berkaitan dengan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan D. Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis : Menambah wawasan dalam bidang hukum acara pidana, khususnya terkait dengan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan 2. Manfaat Praktis : Dengan adanya putusan tersebut diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara praperadilan terkait dengan penetapan tersangka E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian: Dalam rangka untuk mencapai tujuan hukum penelitian diatas, maka jenis penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif, yakni penelitian yang di fokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif hlm Ibrahim jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, malang, 9
10 Dalam hal ini penulis ingin menganalisi pertimbangan hakim putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU/XXI/14 Tentang Perluasan Objek Praperadilan. 2. Pendekatan Masalah Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan ini di lakukan dengan menelaah seluruh peraturan perundang-undangan dan regulasi yang memiliki sangkut paut dengan isu hukum yang sedang di bahas dalam penelitian ini. 12 Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. 13 Dan juga menggunakan pendekatan kasus dimana pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi(case Approach). Kasus yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi. 3. Sumber Data Yaitu fakta yang relevan atau actual yang diperoleh untuk membuktikan atau meguji suatu kebenaran atau ketidak benaran suatu masalah yang menjadi obyek penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sekunder yaitu dengan studi kepustakaan, peratuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan lain sebagainya terutama yang berkaitan dengan permasalahan mengenai praperadilan maupun tujuan penelitian sehingga dengan sumber data hukum tersebut dapat 2006, hlm Marzuki, piter Mahmud, Penelitian Hukum,kencana, Jakarta, 2005, hal Ibrahim jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, malang, 10
11 menjawab tujuan penelitian. Sumber data hukum tersebut dapat di bedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan sekunder. 14 a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa peraturan perundang-undangan. 15 Peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan penelitian yang dilakukan. Bahan hukum primer terdiri dari, perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 16 Dalam hal ini yang menjadi bahan hukum primer adalah : 1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, 2) Undang Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, 3) Undang-undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi 4) Undang-undang No 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi 5) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara 6) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XXI/ Marzuki, piter Mahmud, Penelitian Hukum,kencana, Jakarta, 2005, hal Peter Mahmud Marzuki, 2006 : Ibid
12 b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder biasanya berupa pendapat hukum / doktrin/ teoriteori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, maupun website yang terkait dengan penelitian. Bahan hukum sekunder pada dasarnya digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dengan adanya bahan hukum sekunder maka peneliti akan terbantu untuk memahami/menganalisis bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini diperoleh dari literatur, jurnal, dokumentasi tertulis lainnya berkaitan dengan penangkapan dan penahanan yaitu Putusan MK No. 21/PUU/XXI/14 Tentang Perluasan Objek Praperadilan 4. Cara Memperoleh Data Pengolahan bahan hukum dengan studi kepustakaan yaitu dengan melakukan studi dalam rangka pemahaman perundang-undangan, arsip, buku / literature, artikel, dan lain sebagainya terutama yang berkaitan dengan permasalahan mengenai pertimbangan putusan mahkamah kosntitusi nomor 21/PUU-XXI/2014 Tentang Perluasan Obyek Praperadilan, dengan bahan hukum tersebut di klasifikasikan sesuai permasalahan maupun tujuan penelitian sehingga dengan bahan hukum tersebut dapat menjawab tujuan penelitian 5. Unit Amatan dan Unit Analisis a. unit amatan dalam penelitian dalam penelitian ini adalah putusan 21/PUU- XXI/2014 Tentang Perluasan Obyek Praperadilan 12
13 b. Unit analisis dalam penelitian ini adalah pertimbanagn Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XXI/2014 terkait Perluasan Obyek Praperadilan 6. Sistematika Penulisan Penulisan ini akan disajikan dalam bentuk pembagian atas 4 (empat) bab, yang masing-masing bab terbagi menjadi sub-sub bab dengan susunan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini penulis akan mengemukakan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, baik secara teoritis maupun praktis, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II PEMBAHASAN A. Mekanisme penetapan tersangaka B. Praperadilan C. Pemeriksaan Persidangan di Mahkamah Konstitusi D. Hal-Hal Yang Harus Dipertimbangkan Dalam Memutus Perkara Pengujian Undang-Undang E. Gambaran Kasus Permohonan Praperadilan oleh Pemohon Bachtiar Abdul Fatah F. Permohonan Judicial Review dalam perkara Nomor 21/PUU- XXI/2014 G. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 21/PUU-XXI/
14 H. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 21/PUU- XXI/2014 I. Analisis BAB III PENUTUP Bab ini akan menguraikan tesis penulis mengenai pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU-XXI/2014 tentang perluasan obyek praperadilan telah sesuai dengan hukum pidana di Indonesia. 14
BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana
Lebih terperinciProsiding Ilmu Hukum ISSN: X
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan
Lebih terperinciBAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam
BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari
Lebih terperinciRESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006
RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum
1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Merumuskan hukum pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan Undang-undang Dasar 1945 membawa perubahan yang sangat mendasar ke dalam kehidupan negara hukum Indonesia, di antaranya adanya pengakuan hak asasi manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat), seperti yang dicantumkan dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara
Lebih terperinciBAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Lebih terperinciTINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:
TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.
Lebih terperinciPresiden, DPR, dan BPK.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi
Lebih terperinciPRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS
PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS Tri Wahyu Widiastuti Endang Yuliana S Fakultas Hukum UNISRI Surakarta ABSTRAK Wewenang Pengadilan Negeri dalam
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI I. Pemohon 1. Iwan Budi Santoso S.H. 2. Muhamad Zainal Arifin S.H. 3. Ardion
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem peradilan pidana secara sederhana merupakan proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana. Kepolisian, kejaksaan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.
Lebih terperinciLATAR BELAKANG MASALAH
LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XIII/2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DAN UNDANG- UNDANG
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum
Lebih terperinciPERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti
Lebih terperinciPernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI
Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas
I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu Negara di dunia yang merupakan Negara hukum yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan I. PEMOHON Organisasi Masyarakat Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), diwakili
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan
Lebih terperinciRINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk
RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Lebih terperinciBAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak
BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan
Lebih terperinciV. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra
90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan I. PEMOHON Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), diwakili oleh: 1. Victor Santoso Tandiasa, SH. MH.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjadi tumpuan harapan unuk mencari keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam suatu negara hukum, pengadilan adalah suatu badan atau lembaga peradilan yang menjadi tumpuan harapan unuk mencari keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana I. PEMOHON Sri Royani, S.S. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Penipuan yang berasal dari kata tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohong, palsu dan sebagainya dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang diterapkan dapat sesuai dengan hukum positif dan nilai keadilan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di negara Indonesia merupak hal yang terpenting demi terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Sebagai negara demokrasi dan menjunjung
Lebih terperinciBAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum
BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum Indonesia mempunyai kewajiban
Lebih terperinciBAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)
BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi
Lebih terperinciPRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA
PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada
Lebih terperinciLex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017
PENETAPAN PENGADILAN TENTANG BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP UNTUK DIMULAINYA PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT PASAL 26 UNDANG- UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 JUNCTO PERPU NOMOR 1 TAHUN 2002 1 Oleh :
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 117/PUU-XII/2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 117/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana [Pasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD
Lebih terperinciPraperadilan Sebagai Upaya Hukum Bagi Tersangka
Praperadilan Sebagai Upaya Hukum Bagi Tersangka Tumian Lian Daya Purba Faculty Of Law, Cenderawasih University Jl. Kamp Wolker, Waena, Jayapura, 99358, Papua Indonesia Tel./Fax : +62-967-585470 E-mail:
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai
Lebih terperinciJURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION MATTER ABOUT DEMAND FOR REHABILITATION TO ILLEGAL ARREST AND RESTRAINT (Verdict Number : 01/Pid.PRA/2002/PN.
SKRIPSI ANALISIS YURIDIS PERKARA PRAPERADILAN TENTANG PERMINTAAN REHABILITASI TERHADAP TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN (Putusan Nomor : 01/Pid.PRA/2002/PN.Spg) JURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Perkumpulan Hisbut Tahrir Indonesia, organisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disebut UUD 1945). Sesuai dengan pendapat Julius Stahl, negara hukum
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Sesuai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Hukum dibuat untuk ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat.hukum merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal budi, kearifan dan keadilan.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Praperadilan 2.1.1 Pengertian Praperadilan : Secara harfiah pengertian praperadilan dalam KUHAP memiliki arti yang berbeda, Pra memilik arti mendahului dan praperadilan sama
Lebih terperinciGANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2
GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi alasan ganti kerugian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang memberikan hak yang dapat digunakan oleh para pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan pengadilan. Hak tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah mengalami beberapa kali revisi sejak pengajuannya pada tahun 2011, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30
Lebih terperinciLex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016
PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak
Lebih terperinciVol 10 No. 2 Oktober 2014 ISSN
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENYIDIKAN DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA Setiyo 1, Heni Hendrawati 2, Agna Susila 3 * 123 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang agnasusila@ummgl.ac.id
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasar
Lebih terperinciMANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu
MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang
Lebih terperinci