Gea Aryo Wijanarko 1* I Gde Budi Indrawan 2 1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gea Aryo Wijanarko 1* I Gde Budi Indrawan 2 1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK GEOLOGI TEKNIK DAN ZONA KEMAMPUAN GEOLOGI TEKNIK UNTUK PEMUKIMAN DESA PAGERHARJO DAN DESA NGARGOSARI, KECAMATAN SAMIGALUH, KABUPATEN KULON PROGO, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Gea Aryo Wijanarko 1* I Gde Budi Indrawan 2 1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2 Kampus UGM, Yogyakarta *geaaryowijanarko@gmail.com *igbindrawan.ugm@gmail.com ABSTRAK Peningkatan jumlah penduduk Desa Pagerharjo dan Desa Ngargosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo tiap tahunnya (0,01%, BPS Kulon Progo, 2014 dan 2015) menuntut peningkatan kebutuhan pemukiman, namun Desa Pagerharjo dan Desa Ngargosari termasuk dalam daerah yang memiliki indeks bahaya tanah longsor sedang hingga tinggi (BPBD, 2015). Data geologi teknik yang tersedia untuk wilayah Kulon Progo saat ini hanya terbatas pada peta geologi teknik regional dengan skala 1: yang kurang detail untuk suatu rencana pembangunan pemukiman pada kondisi geologi yang cukup kompleks. Metode penelitian yang digunakan yaitu penyelidikan sifat fisik dan keteknikan batuan dan tanah, analisis kerentanan bencana geologi, kemiringan lereng dan pengukuran kedalaman muka airtanah. Satuan geologi teknik daerah penelitian yaitu tersusun oleh Satuan Andesit, Satuan Batugamping dan Satuan Breksi. Daya dukung batuan dan tanah dibedakan menjadi zona batuan pada perbukitan dan zona tanah keras pada dataran. Kedalaman muka airtanah dibagi menjadi 3 yaitu muka airtanah dangkal (<1 m), muka airtanah sedang (1 3 meter) dan muka airtanah dalam (>3 m). Kemiringan lereng daerah penelitian yaitu kemiringan sangat rendah (0 o 8 o ), rendah (8 o 30 o ) dan menengah (30 o 70 o ). Berdasarkan hasil proses overlay, parameter zona kemampuan geologi teknik dibedakan menjadi zona kemampuan geologi teknik tinggi, zona kemampuan geologi teknik sedang dan zona kemampuan geologi teknik rendah. Parameter kerentanan bencana geologi memberikan pengaruh yang signifikan dalam pembagian zona kemampuan geologi teknik. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa beberapa wilayah di daerah penelitian memiliki kemampuan geologi teknik tinggi untuk dapat dikembangkan menjadi wilayah pemukiman. 1. Pendahuluan Desa Pagerharjo dan Desa Ngargosari berada di daerah perbukitan yang memiliki ketinggian antara 262 meter hingga 937 meter diatas permukaan laut. Menurut Novianto dkk. (1997) Desa Pagerharjo dan Desa Ngargosari termasuk dalam Satuan Geomorfologi Perbukitan Tinggi dengan kemiringan lereng yang sedang hingga curam. Batuan yang menyusun Desa Pagerharjo dan Desa Ngargosari didominasi oleh Formasi Jonggrangan, Formasi Kebobutak serta batuan intrusi Andesit (Rahardjo dkk. 1995). Desa Pagerharjo dan Desa Ngargosari termasuk dalam daerah yang memiliki indeks bahaya tanah longsor sedang hingga tinggi (BPBD, 2015), namun sebagian penduduknya memilih untuk tetap tinggal walaupun longros terjadi di beberapa tempat yang juga memakan korban jiwa. Pertambahan jumlah penduduk di kedua desa tersebut membuktikan sebagian penduduknya memilih untuk tetap tinggal dimana total jumlah penduduk Desa Pagerharjo dan Desa Ngargosari pada tahun 2015 sebesar 8307 mengalami kenaikan dari yang sebelumnya pada tahun 2014 hanya berjumlah 8248 penduduk atau bertambah 0,01% (BPS Kulon Progo, 2014 dan 2015). Seiring dengan bertambahnya penduduk maka akan bertambah pula 290

2 kebutuhan akan pembangunan untuk pemukiman, oleh karena itu pengembangan kawasan pemukiman di kedua desa tersebut harus mempertimbangkan kemampuan geologi teknik untuk menjamin keberlangsungan konstruksi pemukiman serta mencegah kerugian harta maupun kehilangan nyawa. Data geologi teknik yang tersedia untuk wilayah Kulon Progo saat ini hanya terbatas pada peta geologi teknik regional dengan skala 1: Peta geologi teknik dengan skala tersebut kurang detail untuk suatu rencana pembangunan yang memiliki kondisi geologi yang cukup kompleks, sehingga kemudian pemetaan geologi teknik dengan skala yang lebih mendetail akan lebih bermanfaat untuk rencana pembangunan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik geologi teknik Desa Pagerharjo dan Desa Ngargosari dengan hasil berupa peta geologi teknik dengan skala 1: yang kemudian dari peta geologi teknik tersebut dapat dikembangkan untuk pembuatan zona kemampuan geologi teknik Desa Pagerharjo dan Desa Ngargosari. 2. Metode Penelitian Pemetaan geologi teknik skala 1: dilakukan untuk memperoleh parameter parameter yang digunakan dalam zonasi kemampuan geologi teknik untuk pemukiman, meliputi kemiringan leren, daya dukung batuan dan tanah, kemudahan penggalian batuan dan tanah, kedalaman muka airtanah dan kerentanan bencana geologi. Masing masing parameter tersebut diberikan bobot menggunakan analytical hierarchy process (AHP). Bobot tertinggi diberikan pada parameter kerentanan bencana geologi berdasarkan pertimbangan bahwa kerentanan tinggi terhadap salah satu atau lebih bencana geologi mengurangi kemampuan wilayah untuk dijadikan pemukiman secara signifikan, sebaik apapun kondisi parameter lainnya. Biaya pekerjaan rekayasa mitigasi bencana geologi diperkirakan jauh lebih tinggi dibandingkan biaya pekerjaan rekayasa untuk memperbaiki kondisi buruk parameter lainnya. Masing masing parameter diklasifikan menjadi tiga sub parameter, dengan nilai 1 untuk kondisi sub parameter terburuk hingga 3 untuk kondisi sub parameter terbaik. Skor tiap sub parameter diperoleh dari perkalian nilai sub parameter dan bobot parameter. Kemiringan lereng terkait dengan kemudahan pengerjaan konstruksi dan dikelompokkan menurut klasifikasi kemiringan lereng berdasarkan tingkat kemudahan pekerjaan keteknikan yang diusulkan oleh Novianto dkk (1997). Besarnya beban tiap meter persegi bangunan rumah sederhana menurut Pedoman Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung (Departemen Pekerjaan Umum, 1987) adalah sekitar 20 kpa. Batuan dan tanah umumnya (kecuali jenis tanah lempung atau lanau sangat lunak, gambut, tanah organik, dan tanah urugan) memiliki kisaran nilai daya dukung izin lebih tinggi daripada beban bangunan rumah sederhana (Bienawski, 1993 dalam Singh dan Goel, 2011; BSI, 1986). Dengan demikian, parameter daya dukung batuan dan tanah untuk pemukiman dikelompokkan menjadi batuan, tanah keras dengan daya dukung izin > 20 kpa, dan tanah sangat lunak dengan daya dukung izin < 20 kpa. Daya dukung izin tanah di daerah penelitian dihitung dengan persamaan yang diusulkan oleh Terzaghi (1943; dalam Budhu, 2010) menggunakan nilai sudut fraksi dalam (φ) tanah yang diperoleh melalui uji dynamic cone penetrometer (DCP) hingga kedalaman 1 meter. Kemudahan penggalian batuan dan tanah untuk pemasangan pondasi konstruksi ditentukan berdasarkan kekuatan batuan utuh (hasil uji point load) dan jarak rata rata antar diskontinuitas yang diusulkan oleh Pettifer dan Fookes (1994) dalam Gurocak dkk. (2007). 291

3 Kedalaman muka airtanah terkait dengan kedalaman pondasi konstruksi dan tangki septik yang umumnya berada pada kedalaman 1 meter. SNI no (2002) (Badan Standarisasi Nasional, 2002) mensyaratkan kedalaman muka airtanah yang aman untuk konstruksi tangki septik ukuran kecil (untuk melayani satu keluarga) minimum 1,5 meter. Semakin dalam kedudukan muka airtanah, semakin baik daya dukung tanah dalam menopang pondasi konstruksi dan semakin mudah pemasangan atau pembangunan pondasi konstruksi. Selain itu, semakin dalam kedudukan muka airtanah, semakin kecil kemungkinan pencemaran airtanah oleh limbah dalam tangki septik. Parameter kedalaman muka airtanah dalam penelitian ini dikelompokkan menurut klasifikasi yang disusun oleh Umi dan Sutarjan (2000). Menurut syarief (2013), informasi bencana geologi digunakan untuk memperkirakan bencana geologi yang bisa menjadi kendala pada rekayasa teknik dan wilayah yang mungkin terdampak. Parameter kerentanan bencana geologi dalam penelitian ini didasarkan pada peta kerentanan bencana geologi longsoran dan gempa bumi yang telah disusun oleh Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA) Provinsi Darah Istimewa Yogyakarta (2008). Kedua bencana geologi tersebut dianggap paling berpotensi terjadi di daerah penelitian. Kedua peta kerentanan bencana geologi diberi nilai dan bobot sesuai dengan tingkat kerentanannya di daerah penelitian (kerentanan sedang hingga tinggi terhadap bencana longsor dan kerentanan rendah hingga sedang terhadap gempabumi) dan selanjutnya dilakukan proses overlay. Kerentanan bencana tertinggi (nilai terendah) dipilih pada zona dimana terdapat dua atau lebih kerentanan bencana yang bertampalan. Dengan menggunakan metode ini, bobot kerentanan bencana geologi tidak perlu mengalami perubahan untuk daerah lain dengan jenis atau jumlah kerentanan bencana berbeda. Interval kelas zona kemampuan geologi teknik dibagi terutama mempertimbangkan parameter kerentanan bencana geologi karena diberikan bobot tertinggi (39%). Zona kemampuan geologi teknik (ZKGTT) memiliki interval kelas 2,61 3,00. Mengacu pada definisi yang diusulkan oleh Novianto dkk. (1997), ZKGTT merupakan zona dengan tingkat kerentanan bencana geologi rendah dan diizinkan untuk dilakukan pembangunan konstruksi pemukiman. Pada ZKGTT dapat dilakukan rekayasa keteknikan bila diperlukan namun lebih sedikit, karena keadaan geologi teknik yang memadai. Zona kemampuan geologi teknik sedang (ZKGTS) memiliki interval kelas 2,22 2,61. ZKGTS merupakan zona dengan tingkat kerentanan bencana geologi sedang (meskipun parameter daya dukung batuan dan tanah, kedalaman muka airtanah, kemiringan lereng, kemudahan penggalian tanah dapat bernilai tinggi) sehingga dapat dilakukan pembangunan konstruksi pemukiman namun membutuhkan penyelidikan lebih detail dan rekayasa keteknikan pada lokasi yang akan dibangun konstruksi. Zona kemampuan geologi teknik rendah (ZKGTR) memiliki interval kelas 1,00 2,22. ZKGTR merupakan zona dengan tingkat kerentanan bencana geologi tinggi dan membutuhkan rekayasa keteknikan yang tinggi sehingga tidak direkomendasikan dibangun konstruksi. 3. Karakteristik Geologi Teknik 3.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi Desa Pagerharjo dan Ngargosari secara umum berupa perbukitan dan dataran. Proses geomorfik yang berlangsung berupa pelapukan dan erosi batuan di lereng perbukitan dan pengendapan material terutama pada daerah dataran. Berdasarkan tingkat kemudahan pekerjaan rekayasa, kemiringan lereng di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas kemiringan lereng yaitu sangat rendah (0 8 o ), rendah (8 30 o ) dan menengah (30 70 o ) seperti terdapat di Gambar 2. Pelamparan dari kelas kemiringan lereng sangat rendah memiliki luas sebesar 4,03 km 2 atau 23,98%, kemiringan rendah memiliki luas sebesar 2,56 292

4 km 2 atau 15.36% dan kelas kemiringan menengah memiliki luas 10,19 km 2 atau dengan prosesntase sebesar 60,66% dari luas Desa Pagerharjo dan Ngargosari. 3.2 Karakteristik Batuan dan Tanah Desa Pagerharjo dan Ngargosari tersusun oleh 3 satuan geologi teknik seperti dapat dilihat di Gambar 1 yaitu Satuan Batugamping, Satuan Andesit dan Satuan Breksi Andesit. Satuan Breksi Andesit merupakan anggota dari Formasi Andesit Tua. Pada bagian permukaan teramati diskontinuitas berupa rekahan dengan jarak antar diskontinuitas sekitar 1,5 m hingga 2 m. Kekuatan batuan (UCS) pada satuan batuan ini berkisar antara 0,67 Mpa hingga 1,37 Mpa dengan densitas sekitar 1,7 g/cm 3. Tingkat kemudahan penggalian pada satuan ini berkisar dari sulit hingga sangat baik. Satuan Andesit merupakan anggota Formasi Andesit Tua (Rahardjo dkk.m 1977; Novianto dkk., 1997) dan tersusun oleh batuan andesit berwarna abu abu, sedikit lapuk hingga lapuk sedang. Kekuatan batuan (UCS) pada satuan Andesit berkisar antara 525 Mpa hingga 775 Mpadengan densitas rata rata 3,08 gr/cm 3. Tingkat kemudahan penggalian pada satuan Andesit ini berkisar dari Sangat Sulit Dibajak hingga Perlu Peledakan. Satuan Batugamping termasuk dalam Formasi Jonggrangan yang tersusun atas batugamping berwarna putih hingga putih keabu abuan, ukuran butir halus, umumnya telah terkristalisasi dan telah mengalami pelarutan sehingga terbentuk lubang lubang. Batugamping pada satuan ini berstruktur masif, memiliki kekuatan batuan sekitar 60,4 Mpa dengan densitas 2,3 g/cm 3. Tingkat kemudahan penggalian pada satuan ini merupakan perlu peledakan. Hasil pengukuran Dynamic Cone Penetrometer (DCP) pada tanah hingga kedalaman 1 m menunjukan daya dukung izin tanah di daerah penelitian berkisar antara 106,17 kpa hingga 379,13 kpa. Dengan demikian daya dukung izin tanah di daerah penelitian lebih dari beban rumah sederhana (beban >20 kpa). 3.3 Kondisi Struktur Geologi Tidak ditemukan struktur geologi pada daerah ini baik itu struktur geologi berskala mayor maupun struktur geologi berskala minor. 3.4 Kondisi Hidrogeologi Kedalaman muka airtanah pada daerah penelitian dibagi menjadi tiga, yaitu dangkal (<1 m), menengah (1 3 m), dan dalam (>3 m) (Gambar 4). Menurut PokJa Sanitasi Kabupaten Kulon Progo (2012), airtanah di wilayah perbukitan di daerah penelitian terdapat pada kedalaman lebih dari 25 m dan hanya ditemukan pada rekahan rekahan batuan. Kemiringan lereng terjal pada wilayah ini menyebabkan air hujan yang jatuh di saluran saluran sungai dan mengalir ke daerah hilir, sehingga wilayah ini memiliki potensi airtanah yang rendah. Sesuai hasil penelitian kedalaman muka airtanah dangkal pada daerah ini memiliki luas sekitar 0,12 km 2 atau 0,73%, kedalaman muka airtanah menengah memiliki luas sekitar 2,2 km 2 atau 13,1% dan kedalaman muka airtanah dalam memiliki luas 14,47 km 2 atau 86,17% dari luas desa Pagerharjo dan Ngargosari. 3.5 Kerentanan Bencana Geologi Peta kerentanan bencana geologi didapatkan hanya dari peta kerentanan bencana longsor saja dikarenakan hanya faktor bencana berupa longsor saja yang memiliki kerawanan bencana tingkat sedang hingga tinggi. Kerentanan bencana gempabumi, bencana banjir, bencana gunungapi serta bencana tsunami hanya memiliki tingkat kerawanan rendah pada daerah ini sehingga hanya kerawanan bencana longsor saja yang digunakan. Terdapat 3 tingkat kerawan 293

5 bencana longsor pada daerah ini yaitu rendah, sedang dan tinggi yang dapat dilihat di Gambar Hasil dan Pembahasan Zonasi kemampuan geologi teknik untuk pemukiman di daerah penelitian terdiri dari zona kemampuan geologi teknik tinggi (ZKGTT), zona kemampuan geologi teknik sedang (ZKGTS) dan zona kemampuan geologi teknik rendah (ZKGTR). ZKGTS memiliki luas paling dominan dengan prosentase sebesar 62,76% karena kondisi geologi teknik daerah penelitian yang umumnya tersusun oleh batuan yang memiliki daya dukung tinggi dan kedalaman muka airtanah yang dalam yang aman untuk pembuatan pondasi walaupun memiliki kemiringan lereng yang menengah hingga tinggi yang dapat menyulitkan pengerjaan konstruksi dan memiliki potensi bencana longsor. ZKGTT merupakan daerah dengan faktor geologi yang baik untuk pembangunan rumah sederhana. Faktor geologi teknik yang menyebabkan zona ini memiliki kemampuan tinggi antara lain kemiringan lerengnya yang berkisar dari rendah hingga menengah sehingga pembangunan konstruksi relatif mudah dilakukan. Daya dukung izin pada zona ini pada umumnya sangat tinggi karena hampir seluruh wilayah zona ini tersusun oleh batuan. Tingkat kemudahan penggalian pada zona ini yaitu sulit digali sehingga penggalian pada zona ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat berat berspesifikasi rendah. Kedalaman muka airtanah pada zona ini yaitu sedang (1 3m) hingga dalam (>3m) sehingga zona ini relatif aman utuk konstruksi pondasi dangkal dan relatif rendah kemungkinan terjadinya pencemaran airtanah oleh limbah tangki septik. Bencana geologi pada zona ini memiliki tingkat kerawanan rendah. Sebagian besar faktor geologi yang menjadi parameter dalam zonasi kemampuan lahan untuk wilayah permukiman pada zona ini sangat mendukung untuk pembangunan rumah sederhana sehingga relatif tidak memerlukan atau hanya sedikit memerlukan upaya dan biaya rekayasa. Dengan demikian zona ini sangat disarankan dan direkomendasikan untuk dijadikan wilayah pemukiman. ZKGTS merupakan daerah yang memiliki keseimbangan antara faktor geologi teknik yang baik dan tidak baik untuk bangunan pemukiman. Faktor geologi teknik yang baik untuk pembangunan rumah sederhana pada zona ini antara lain sebagian besar wilayah pada zona ini tersusun oleh batuan yang mampu untuk mendukung bangunan rumah sederhana. Kedalaman muka airtanah pada zona ini yaitu dangkal (<1m), sedang (1 3m) hingga dalam (>3m). Tingkat kemudahan penggalian pada zona ini berkisar dari sulit digali hingga sangat sulit dibajak sehingga untuk melakukan penggalian dapat menggunakan alat berat dengan spesifikasi rendah. Pada zona ini terdapat daerah dengan kemiringan lereng rendah dengan pelamparan cukup luas. Faktor geologi teknik yang menjadi kendala pada ZKGTS yaitu tingkat kerawanan bencana longsor yang tinggi pada sebagian besar wilayah zona ini. Kemiringan lereng menengah hingga tinggi juga menjadi kendala di zona ini pada saat melakukan pembangunan konstruksi pada daerah ini. Kedalaman muka airtanah yang dangkal dan menengah juga menjadi kendala dimana kemungkinan untuk terjadi pencemaran airtanah oleh limbah tangki septik lebih besar dan tidak terlalu aman untuk konstruksi pondasi. Pembangunan pemukiman pada zona ini tetap dapat dilakukan namun dibutuhkan penelitian yang lebih merinci yang juga membutuhkan lebih banyak upaya dan biaya rekayasa keteknikan dibandingkan pada ZKGTT. 294

6 ZKGTR merupakan daerah yang memiliki faktor geologi teknik yang buruk untuk dijadikan wilayah pemukiman rumah sederhana. Kendala pada zona ini antara lain kemiringan lereng yang rendah (8 o 30 o ) hingga menengah (30 o 70 o ), kerawanan bencana geologi berupa longsor yang tinggi serta kemudahan penggalian yang berkisar dari sulit digali hingga butuh peledakan sehingga diperlukan alat berat serta peledak untuk menggali pada zona ini. Zona ini memiliki kelebihan antara lain tersusun oleh batuan yang umumnya memiliki kualitas massa bataun baik sehingga mampu untuk mendukung beban bangunan rumah sederhana, kedalaman muka airtanah juga merupakan salah satu kelebihan dari zona ini dimana kedalaman muka airtanah pada zona ini termasuk dalam kelompok dalam (>3m). Kendala pada zona ini lebih banyak daripada kelebihannya sehingga zona ini tidak direkomendasikan untuk dijadikan wilayah pemukiman. 5. Kesimpulan Morfologi Desa Pagerharjo dan Ngargosari secara umum berupa perbukitan dan dataran dengan kemiringan lereng berkisar antara 0 o 70 o. Satuan Breksi Andesit, Satuan Andesit dan Satuan Batugamping menjadi litologi penyusun dari kedua desa. Daya dukung izin tanah di kedua desa lebih tinggi dari beban rumah sederhana. Tingkat kemudahan penggalian massa batuan di kedua desa berkisar antara sulit digali hingga perlu peledakan. Struktur geologi tidak dapat ditemukan di daerah ini. Kedalaman muka airtanah di sebagian besar wilayah kedua desa ini cukup dalam. Kedua desa rentan terkena bencana geologi berupa longsor. Secara umum Desa Pagerharjo dan Desa Ngargosari didominasi oleh kelompok ZKGTS dan ZKGTR. Kelompok ZKGTS memiliki luas 10,53 km 2 dimana pada zona ini agak besar kemungkinan untuk dikembangkan namun membutuhkan penyelidikan lebih detail, sedangkanzkgtr yang tidak direkomendasikan untuk dibangun sebagai pemukiman memiliki luas 6,04 km 2, daerah yang termasuk ZKGTT dan disarankan untuk digunakan untuk pemukiman hanya memiliki luas sekitar 0,21 km 2 atau hanya memiliki prosentase sebesar 1,23%, Acknowledgements Penelitian ini didanai oleh Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM melalui Hibah Penelitian Dosen Tahun Daftar Pustaka Bieniawski, Z.T..(1989).Engineering Rock Mass Classifications: A Complete Manual For Engineers and Geologist in Mining, Civil, and Petroleum Engineering. A Wiley- Interscience publication, New York, hal.250. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo. (2014&2015). Samigaluh Dalam Angka BPS Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Dearman, W.R..(1991).Engineering Geological Mapping.Butterworth-Heinemann Ltd., Oxford, hal.413. Fauzian G., Indrawan I.G.B.. (2016). Zona Kemampuan Geologi Teknik Untuk Pemukiman Desa Purwoharjo dan Gerbosari Yogyakarta. Proceeding, Seminar Nasional Kebumian Ke-9. Novianto, M.W.A., Djadja, Wahyudin, dan Hermawan. (1997).Peta Geologi Teknik Lembar Yogyakarta. skala 1: , 1 lembar.direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung. 295

7 Rahardjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, H.M.D.. (1995).Peta Geologi Lembar Yogyakarta. skala 1: , 1 lembar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Gambar 1. Peta Geologi Teknik 296

8 Gambar 2. Peta Kemiringan Lereng 297

9 Gambar 3. Peta Kerawanan Bencana Geologi 298

10 Gambar 4. Peta Kedalaman Muka Airtanah 299

11 Gambar 5. Peta Tingkat Kemudahan Penggalian 300

12 Gambar 6. Zona Kemampuan Geologi Teknik 301

13 Tabel 1. Kriteria penilaian zonasi kemampuan geologi teknik untuk pemukiman Parameter Sub-Parameter Kelas Bobot Skor Batuan segar-sangat lapuk 3 0,66 Daya dukung batuan dan Batuan lapuk ekstrim, tanah tanah padat 2 0,22 0,44 Tanah lunak 1 0,22 Mudah digali 3 0,24 Kekuatan material Sulit digali-luar biasa sulit terhadap kemudahan 2 0,08 0,16 dibajak penggalian Perlu peledakan 1 0,08 Kemiringan lereng terhadap kemudahan pengerjaan konstruksi ( ) Kedalaman muka airtanah terhadap pondasi dan septic tank (m) Kerentanan bencana geologi <8 3 0, ,14 0,28 >30 1 0,14 > 3 3 0, ,17 0,34 <1 1 0,17 Rendah 3 1,17 Sedang 2 0,39 0,78 Tinggi 1 0,39 302

BAB I PENDAHULUAN. Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta

BAB I PENDAHULUAN. Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta yang disusun oleh Novianto dkk. (1997), desa ini berada pada Satuan Geomorfologi Perbukitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wisata Pantai Parangtritis yang merupakan pantai selatan Pulau Jawa masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. wisata Pantai Parangtritis yang merupakan pantai selatan Pulau Jawa masih menjadi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah wisatawan di Desa Parangtritis selama tahun 2011 hingga 2015 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan objek wisata Pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat merugikan manusia. Kebencanaan geologi mengakibatkan kerusakan infrastruktur maupun korban manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), kepadatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Sleman mencapai 1.939 jiwa/km 2. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di Kecamatan Salaman mencapai 68.656 jiwa dengan kepadatan penduduk 997 jiwa/km 2. Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan adanya kondisi geologi Indonesia yang berupa bagian dari rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan adanya kondisi geologi Indonesia yang berupa bagian dari rangkaian 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Tanah longsor adalah salah satu bencana yang berpotensi menimbulkan korban jiwa masal. Ini merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang

BAB I PENDAHULUAN. Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki daerah dengan potensi gerakan massa yang tinggi. Salah satu kecamatan di Banjarnegara,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah PENDAHULUAN 1.1 Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI 13-7124-2005 Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi yang baik dan tahan lama. Bandara merupakan salah satu prasarana

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi yang baik dan tahan lama. Bandara merupakan salah satu prasarana I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dewasa ini, transportasi memiliki peranan yang penting dalam perkembangan suatu negara, sehingga kegiatan perencanaan dalam pembangunan sarana dan prasarana perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana longsor lahan (landslide) merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Longsor lahan mengakibatkan berubahnya bentuk lahan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah 15 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah Bangunjiwo yang merupakan lokasi ini, merupakan salah satu desa di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut PT. Mettana (2015), Bendungan Jatigede mulai dibangun pada

BAB I PENDAHULUAN. Menurut PT. Mettana (2015), Bendungan Jatigede mulai dibangun pada BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut PT. Mettana (2015), Bendungan Jatigede mulai dibangun pada tahun 2008. Bendungan jenis urugan batu (rockfill) ini memiliki tinggi 110 m dan kapasitas tampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Menurut Asdak (2010), daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terhadap barang ini pun kian meningkat seiring bertambahnya jumlah

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terhadap barang ini pun kian meningkat seiring bertambahnya jumlah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air memegang peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan kebutuhan terhadap barang ini pun kian meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk di suatu

Lebih terperinci

DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 3 1.3 Tujuan & Sasaran... 3 1.3.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang berada pada iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi memiliki tingkat kerawanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen.

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kimia airtanah menunjukkan proses yang mempengaruhi airtanah. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen. Nitrat merupakan salah

Lebih terperinci

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Tipe-Tipe Tanah Longsor 1. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2. Longsoran Rotasi Longsoran

Lebih terperinci

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT Suranta Sari Bencana gerakan tanah terjadi beberapa

Lebih terperinci

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1: RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:250.000 OLEH: Dr.Ir. Muhammad Wafid A.N, M.Sc. Ir. Sugiyanto Tulus Pramudyo, ST, MT Sarwondo, ST, MT PUSAT SUMBER DAYA AIR TANAH DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar yang dibangun di atas suatu tempat yang luasnya terbatas dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. besar yang dibangun di atas suatu tempat yang luasnya terbatas dengan tujuan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bendungan adalah suatu konstruksi atau massa material dalam jumlah besar yang dibangun di atas suatu tempat yang luasnya terbatas dengan tujuan untuk menahan laju

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 13 PERENCANAAN TATA RUANG BERBASIS MITIGASI BENCANA GEOLOGI 1. Pendahuluan Perencanaan tataguna lahan berbasis mitigasi bencana geologi dimaksudkan untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. butiran batuan atau rekahan batuan yang dibutuhkan manusia sebagai sumber air

BAB I PENDAHULUAN. butiran batuan atau rekahan batuan yang dibutuhkan manusia sebagai sumber air BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Airtanah merupakan air yang tersimpan dan mengalir dalam ruang antar butiran batuan atau rekahan batuan yang dibutuhkan manusia sebagai sumber air bersih. Badan Pusat

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) Nandian Mareta 1 dan Puguh Dwi Raharjo 1 1 UPT. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Jalan Kebumen-Karangsambung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Yogyakarta, 21 September 2012 BAPPEDA DIY Latar Belakang UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Seluruh

Lebih terperinci

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006 LANDSLIDE OCCURRENCE, 4 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA 6 Maret 4, Tinggi Moncong, Gowa, Sulawesi Selatan juta m debris, orang meninggal, rumah rusak, Ha lahan pertanian rusak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana alam merupakan peristiwa alam yang disebabkan oleh proses yang terjadi alami atau diawali oleh tindakan manusia dan menimbulkan risiko atau bahaya terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN I-1

BAB 1 PENDAHULUAN I-1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Barat memiliki potensi tinggi dalam bahaya-bahaya alam atau geologis, terutama tanah longsor, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Direktorat Geologi Tata Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Geologi lingkungan merupakan suatu interaksi antara manusia dengan alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedang diproduksi di Indonesia merupakan lapangan panas bumi bersuhu

BAB I PENDAHULUAN. sedang diproduksi di Indonesia merupakan lapangan panas bumi bersuhu BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut Munandar and Widodo (2013), lapangan panas bumi yang sedang diproduksi di Indonesia merupakan lapangan panas bumi bersuhu tinggi. Lapangan panas bumi bersuhu

Lebih terperinci

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya gravitasi. Tanah longsor sangat rawan terjadi di kawasan

Lebih terperinci

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Rencana pengembangan kawasan pantai selatan Pulau Jawa yang membentang dari Jawa Timur sampai Jawa Barat, tentu akan memberi dampak perkembangan penduduk di daerah-daerah

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. I Putu Krishna Wijaya 11/324702/PTK/07739 BAB I PENDAHULUAN

Bab I. Pendahuluan. I Putu Krishna Wijaya 11/324702/PTK/07739 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu wilayah di Indonesia yang sering mengalami bencana gerakan tanah adalah Provinsi Jawa Barat. Dari data survei yang dilakukan pada tahun 2005 hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian banjir, air baku 300 liter/ detik dan energi listrik 535 KWH (Wicaksono,

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian banjir, air baku 300 liter/ detik dan energi listrik 535 KWH (Wicaksono, BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bendungan Kuningan merupakan bendungan tipe urugan yang mampu menampung air sebesar 25,955 juta m 3. Air dari bendungan ini akan menjadi sumber air bagi Daerah Irigasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Gorontalo merupakan salah satu kota di Indonesia yang rawan terjadi banjir. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi berkisar antara 106 138mm/tahun,

Lebih terperinci

- : Jalur utama Bandung-Cirebon BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

- : Jalur utama Bandung-Cirebon BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Sumedang merupakan kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia dengan Ibukotanya adalah Sumedang, terletak sekitar 45 km Timur Laut kota Bandung. Kabupaten

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG. pedataran menempati sekitar wilayah Tappanjeng dan Pantai Seruni. Berdasarkan

BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG. pedataran menempati sekitar wilayah Tappanjeng dan Pantai Seruni. Berdasarkan BAB IV GEOLOGI PANTAI SERUNI DAERAH TAPPANJENG 4.1 Geologi Lokal Daerah Penelitian Berdasarkan pendekatan morfometri maka satuan bentangalam daerah penelitian merupakan satuan bentangalam pedataran. Satuan

Lebih terperinci

KRITERIA DAN TIPOLOGI PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH

KRITERIA DAN TIPOLOGI PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH - 1 - LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 02/PRT/M/2016 TENTANG PENINGKATAN KUALITAS TERHADAP PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH KRITERIA DAN TIPOLOGI PERUMAHAN KUMUH

Lebih terperinci

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG merupakan wilayah dengan karateristik geologi dan geografis yang cukup beragam mulai dari kawasan pantai hingga pegunungan/dataran tinggi. Adanya perbedaan karateristik ini menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam yang kompleks sehingga menjadikan Provinsi Lampung sebagai salah satu daerah berpotensi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

Pemetaan Daerah Risiko Banjir Lahar Berbasis SIG Untuk Menunjang Kegiatan Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Gunung Semeru, Kab.

Pemetaan Daerah Risiko Banjir Lahar Berbasis SIG Untuk Menunjang Kegiatan Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Gunung Semeru, Kab. C6 Pemetaan Daerah Risiko Banjir Lahar Berbasis SIG Untuk Menunjang Kegiatan Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Gunung Semeru, Kab. Lumajang) Zahra Rahma Larasati, Teguh Hariyanto, Akbar Kurniawan Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan infiltrasi. Kecepatan infiltrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan infiltrasi. Kecepatan infiltrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan terinfiltrasi masuk ke dalam tanah. Banyaknya air yang masuk ke dalam tanah sangat ditentukan oleh kecepatan infiltrasi.

Lebih terperinci

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA PENENTUAN ZONA ANCAMAN GERAKAN TANAH PADA JALAN TOL SEMARANG SOLO RUAS SEMARANG UNGARAN KM 5+600 KM 8+500 MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Devina Trisnawati 1,2*, Wahyu Wilopo 2, Agung

Lebih terperinci

PERENCANAAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA AMBON Hertine M. Kesaulya¹, Hanny Poli², & Esli D. Takumansang³

PERENCANAAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA AMBON Hertine M. Kesaulya¹, Hanny Poli², & Esli D. Takumansang³ PERENCANAAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA AMBON Hertine M. Kesaulya¹, Hanny Poli², & Esli D. Takumansang³ 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Universitas Sam Ratulanggi Manado 2

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah 1. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3241-1994, membagi kriteria pemilhan loasi TPA sampah menjadi tiga, yaitu: a. Kelayakan regional Kriteria yang digunakan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. American Standard Testing and Material. 2001, C128-1: Standard Test Method for

DAFTAR PUSTAKA. American Standard Testing and Material. 2001, C128-1: Standard Test Method for 139 DAFTAR PUSTAKA American Standard Testing and Material. 2001, C128-1: Standard Test Method for Density, Relative Density (Specific Gravity), and Absorption of Fine Aggregate, 100 Barr Harbor Drive:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG

ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG R. Andy Erwin Wijaya. 1,2, Dwikorita Karnawati 1, Srijono 1, Wahyu Wilopo 1 1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok

BAB I PENDAHULUAN. Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah propinsi yang terdiri dari 2 (dua) pulau utama yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kecamatan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Kecamatan Gedangsari merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kecamatan ini memiliki luas

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Di Indonesia, kejadian longsor merupakan bencana alam yang sering terjadi. Beberapa contoh kejadian yang terpublikasi adalah longsor di daerah Ciregol, Kabupaten

Lebih terperinci

PEMETAAN POTENSI AIRTANAH DI DAS JUWET KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PEMETAAN POTENSI AIRTANAH DI DAS JUWET KABUPATEN GUNUNGKIDUL PEMETAAN POTENSI AIRTANAH DI DAS JUWET KABUPATEN GUNUNGKIDUL Ahmad Cahyadi 1, Abdur Rofi 2 dan Rika Harini 3 1 Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, ahmadcahyadi@geo.ugm.ac.id

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI 1) Ika Meviana; 2) Ulfi Andrian Sari 1)2) Universitas Kanjuruhan Malang Email: 1) imeviana@gmail.com;

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah pertemuan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Saat ini pendirian suatu konstruksi terus berkembang seiring dengan kebutuhan manusia terhadap kegiatan tersebut yang terus meningkat. Lebih lanjut lagi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pangan saat ini sedang dialami oleh masyarakat di beberapa bagian belahan dunia.

BAB I PENDAHULUAN. pangan saat ini sedang dialami oleh masyarakat di beberapa bagian belahan dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia senantiasa berkembang dari masa ke masa, konsekuensinya kebutuhan primer semakin bertambah terutama pangan. Krisis pangan saat ini sedang dialami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geologis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan berbagai lempeng tektonik

Lebih terperinci

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tugas akhir merupakan mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tingkat sarjana (S1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

POTENSI AIR TANAH DANGKAL DAERAH KECAMATAN NGEMPLAK DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SLEMAN, D.I. YOGYAKARTA

POTENSI AIR TANAH DANGKAL DAERAH KECAMATAN NGEMPLAK DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SLEMAN, D.I. YOGYAKARTA POTENSI AIR TANAH DANGKAL DAERAH KECAMATAN NGEMPLAK DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SLEMAN, D.I. YOGYAKARTA Imam Fajri D. 1, Mohamad Sakur 1, Wahyu Wilopo 2 1Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Air merupakan kebutuhan utama setiap makhluk hidup, terutama air tanah. Kebutuhan manusia yang besar terhadap air tanah mendorong penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang berada pada iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Definisi banjir ialah aliran air sungai yang tingginya melebih muka air normal, sehinga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geologis Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan berbagai lempeng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Potensi longsor di Indonesia sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2008, tercatat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi air di bumi terdiri atas 97,2% air laut, 2,14% berupa es di kutub, airtanah dengan kedalaman 4.000 meter sejumlah 0,61%, dan 0,0015% air pemukaan (Fetter, 2000).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelongsoran Tanah Kelongsoran tanah merupakan salah satu yang paling sering terjadi pada bidang geoteknik akibat meningkatnya tegangan geser suatu massa tanah atau menurunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ilmu tentang bencana semakin berkembang dari tahun ke tahun seiring semakin banyaknya kejadian bencana. Berawal dengan kegiatan penanggulangan bencana mulai berkembang

Lebih terperinci

ANALISIS DAERAH RAWAN BENCANA TANAH LONGSOR BERDASARKAN ZONA WATER CONTENT DI DESA OLAK ALEN KECAMATAN SELOREJO, BLITAR

ANALISIS DAERAH RAWAN BENCANA TANAH LONGSOR BERDASARKAN ZONA WATER CONTENT DI DESA OLAK ALEN KECAMATAN SELOREJO, BLITAR Analisis Daerah Rawan ANALISIS DAERAH RAWAN BENCANA TANAH LONGSOR BERDASARKAN ZONA WATER CONTENT DI DESA OLAK ALEN KECAMATAN SELOREJO, BLITAR Maulidah Aisyah, Widya Utama, Wien Lestari Teknik Geofisika,

Lebih terperinci

KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL 20 APRIL 2008 DI KECAMATAN REMBON, KABUPATEN TANA TORAJA, PROVINSI SULAWESI SELATAN

KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL 20 APRIL 2008 DI KECAMATAN REMBON, KABUPATEN TANA TORAJA, PROVINSI SULAWESI SELATAN Kejadian gerakan tanah dan banjir bandang pada tanggal 20 April 2008 di Kecamatan Rembon, Kabupaten Tanatoraja, Provinsi Sulawesi Selatan (Suranta) KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Pada tahun 2016 di Bulan Juni bencana tanah longsor menimpa Kabupaten Purworejo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai 13.466 pulau dan mempunyai panjang garis pantai sebesar 99.093 km. Luasan daratan di Indonesia sebesar 1,91 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka pengembangan ekonomi, pemerintah Provinsi Jawa Tengah melakukan pembangunan infrastruktur jalan bebas hambatan atau sering disebut jalan tol yang menggabungkan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424, 021-5228371

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan teknologi komputer dari waktu ke waktu membawa dampak semakin banyaknya sarana-sarana yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Dampak perkembangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016), bencana tanah longsor

BAB I PENDAHULUAN. atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016), bencana tanah longsor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap bencana tanah longsor. Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) dari BNPB atau Badan Nasional

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH 3.1. Tinjauan Kondisi Umum Pegunungan Menoreh Kulonprogo 3.1.1. Tinjauan Kondisi Geografis dan Geologi Pegunungan Menoreh Pegunungan Menoreh yang terdapat pada Kabupaten

Lebih terperinci

Perancangan Perkuatan Longsoran Badan Jalan Pada Ruas Jalan Sumedang-Cijelag KM Menggunakan Tiang Bor Anna Apriliana

Perancangan Perkuatan Longsoran Badan Jalan Pada Ruas Jalan Sumedang-Cijelag KM Menggunakan Tiang Bor Anna Apriliana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jalan sebagai prasarana transportasi darat harus selalu dalam kondisi yang baik, hal ini adalah untuk kelancaran lalu lintas yang berada diatasnya, namun pada kenyataannya

Lebih terperinci