BAB I PENDAHULUAN. identik dengan penyeragaman. Ibarat suatu benda, hal, atau produk yang bisa

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Globalisasi merupakan sebuah fenomena yang saat ini sedang terjadi di hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat dunia. Fenomena globalisasi sangat identik dengan penyeragaman. Ibarat suatu benda, hal, atau produk yang bisa ditemukan di mana saja di seluruh belahan dunia. Menurut ensiklopedia elektronik Wikipedia, globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarabangsa dan anatramanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas atau negara menjadi sempit. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia semakin terkait satu sama lain, mewujudkan satu kehidupan tatanan baru atau kesatuan koeksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat ( diakses 11 Juni 2012). Globalisasi harus dipahami sebagai suatu gelombang yang melanda dunia dalam hal interaksi yang menghubungkan aktivitas manusia satu dengan lainnya. Meningkatnya interdependensi (saling ketergantungan) tidak lagi dibatasi oleh batas-batas wilayah negara, sebagai hasil dari hilangnya penghalang ruang dan waktu (Brunsvick & Danzin, 2005:15). 1

2 Hal ini disebabkan oleh lajunya perkembangan teknologi, baik transportasi maupun informasi sehingga manusia semakin mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Informasi pun semakin cepat menyebar dari suatu tempat ke segala penjuru dunia. Ini memungkinkan suatu penyeragaman di segala aspek kehidupan manusia, baik ideologi, ekonomi, sosial, maupun budaya (Juliawati, 20012:2). Budaya baru yang telah mengglobal tersebut bisa saja dianggap lebih menarik dan lebih maju daripada budaya lokal yang telah ada sebelumnya. Hal ini bisa dilihat bagaimana gaya hidup ala barat, tren busana Korea, makanan fast food Amerika, dan berbagai jenis musik asing yang mulai mengambil hati sebagian generasi muda di Indonesia pada umumnya dan generasi etnik Culambacu pada khususnya. Masalah di atas juga terjadi di sebagian negara di belahan bumi lainnya. Pada suatu saat hal itu dikhawatirkan akan menenggelamkan budaya lokal yang dimiliki tiap-tiap daerah sehingga tidak akan ada budaya atau tradisi lokal yang akan diwariskan ke generasi penerus karena semua sudah sama atau homogen. Budaya global telah membersihkan hampir semua jenis tantangan sosial tradisional dan budaya lokal. Di samping itu, juga menggiring umat manusia pada pola kesamaan budaya atau homogenitas budaya yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Konsep ini menekankan pertumbuhan kesamaan dan dugaan akan hilangnya otonomi budaya, yang biasanya dikonsepsikan sebagai bentuk imperialisme budaya. Argumentasi ini berkisar antara dominasi suatu kebudayaan atas kebudayaan lainnya, yang biasanya disebut dalam konteks 2

3 nasional sebagai agen prinsipil sinkronisasi budaya adalah perusahaan transnasional (Hamelink, 1983:21). Fenomena di atas mengancam eksistensi budaya lokal, bahkan mengantarkan budaya lokal menuju kepunahan akibat diserap oleh budaya global yang masuk. Globalisasi yang bergerak sekarang ini ditentukan oleh kekuatan yang mengendarainya, seperti kekuatan ekonomi, kekuatan budaya yang dominan, kekuatan nilai-nilai ideologi yang populer di dunia ini yang di dapatkan, baik melalui media informasi dan teknologi maupun melalui pendidikan. Oleh sebab itu, untuk dapat bertahan di dalam terpaan globalisasi yang inhuman maka pribadi, kelompok, atau bangsa tentu perlu mempunyai identitasnya sendiri (Tilaar, 2007:1--2). Selanjutnya Giddens (2003:37) mengatakan sebagai berikut. Globalisasi yang bergerak sekarang ini membawa prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan berbagai permasalahan sosial dan mengancam peradaban manusia. Melalui ideologi budaya konsumerisme, ideologi agama yang dibawa budaya globalisasi telah banyak menimbulkan konflik, kesenjangan, dan bentuk-bentuk stratifikasi baru di dalam masyarakat. Di Indonesia, budaya globalisasi telah membawa dua arus besar yang saling bertentangan ke dalam struktur sosial masyarakat. Satu arus menarik bangsa Indonesia ke norma dunia, sementara arus yang lain justru melahirkan penguatan kelompok etnis. Dalam konteks penguatan kelompok etnis ini, manusia dapat menemukan kembali jati diri bangsanya yang sedang mengalami tantangan dan kekaburan jati diri. Pandangan globalisasi tampaknya menghendaki peranan etnisitas semakin berkurang di dalam kehidupan bersama yang semakin menyatu. Batas-batas negara menjadi semakin renggang dan komunikasi antarmanusia semakin cepat dan intens. Dunia berubah dengan cepat sehingga kemungkinan besar tidak ada 3

4 lagi budaya yang dianggap dominan. Pertukaran antarbudaya semakin mudah dan terbuka. Kerena pendidikan dan komunikasi, hubungan antarmanusia semakin erat dan menghilangkan berbagai jenis prejudice. Bisa-bisa keanggotaan seseorang di dalam suatu etnis tertentu sekadar sebagai lambang dan sukarela. Dunia tanpa batas dan dunia rata menunjukkan gejala-gejala melunturnya peranan etnisitas di dalam kehidupan global. Gelombang dehumanisasi dari proses globalisasi telah menimbulkan kembali kecenderungan untuk ikatan kemanusiaan yang erat yang diperolehnya melalui ikatan etnis, tribalisme. Penegasan identitas tersebut membuat manusia sadar bila planet bumi ini ternyata dihuni oleh berjenis-jenis etnis, jenis-jenis kebudayaan, dan tidak ada satu kebudayaan pun yang mempunyai hak untuk mendominasi kebudayaan lainnya. Tiap-tiap budaya yang dimiliki oleh suatu komunitas atau etnis mempunyai nilainya sendiri yang dapat disumbangkan kepada budaya kemanusiaan. Dalam rangka mengantisipasi dampak dari pergulatan budaya tersebut di atas, maka bangsa Indonesia harus menegaskan kembali kebinekaannya. Kebinekaan merupakan kenyataan sosial budaya masyarakat yang menjadi modal pertama bagi manusia untuk melangkah ke masyarakat yang lebih berbahagia. Rasa keterikatan terhadap tribalisme harus menjadi suatu mekanisme defensif dari suatu kelompok atau bangsa yang tertindas atau dibatasi kemerdekaannya dalam berbudaya (Tilaar, 2007:13--14). Kebudayaan merupakan elemen yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Di satu sisi manusia menciptakan budaya, tetapi di sisi lain manusia merupakan produk budaya di mana tempat dia hidup. Manusia dikatakan sebagai produk budaya karena dia menciptakan simbol-simbol dan setelah itu manusia terikat oleh simbol yang dibuatnya. Keterkaitan yang erat dari kedua hal tersebut 4

5 memberikan bukti bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa budaya betapapun primitifnya. Oleh karena itu, kehidupan berbudaya merupakan ciri khas manusia dan akan terus hidup sepanjang zaman. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural dan berbudaya. Hal ini ditandai adanya, keragaman budaya yang berfungsi sebagai perekat dan pembentuk karakter setiap kelompok budaya, yang patut dijaga dan dilestarikan melalui pewarisan budaya. Pewarisan budaya di atas harus berjalan secara efektif agar budaya dimaksud dapat terwarisi, tumbuh, dan berkembang di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Pewarisan budaya dalam suatu bangsa sangat penting berperan, khususnya pada etnik Culambacu yang telah mewarisi budayanya sejak zaman leluhurnya hingga saat ini. Bentuk pewarisan budaya pada etnik Culambacu dilakukan dengan cara lisan dari generasi-ke generasi. Saat ini proses pewarisan secara lisan dalam budaya etnik Culambacu masih berlangsung dan diwarisi secara alami oleh kelompok pendukungnya. Pewarisan secara lisan di atas terjadi karena budaya etnik Culambacu hingga belum pernah diteliti dan diangkat dalam berbagai studi ilmiah. Oleh sebab itu, berbagai tradisi yang terdapat dalam etnik Culambacu, hanya dapat diwariskan dari generasi tua ke generasi muda secara lisan. Untuk itu, budaya etnik Culambacu pada era modern ini menjadi penting diangkat dalam berbagai studi ilmiah sebagai salah satu budaya lokal yang dimiliki bangsa Indonesia. Di samping itu, hasil penelitian tersebut dapat menjadi pedoman bagi generasi muda etnik Culambacu dalam mewariskan tradisi leluhurnya. Mutoyib (1994:3--4) berpendapat bahwa pada masa kehidupan tradisional generasi tua dengan generasi muda akan dapat mewariskan nilai-nilai budaya 5

6 yang dimilikinya kepada generasi berikutnya dan generasi muda akan belajar dari generasi yang lebih tua sehingga terwujud kolektivitas karena adanya solidaritas di antara mereka. Seperti halnya masyarakat etnik Culambacu di Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara, provinsi Sulawesi Tenggara melakukan pewarisan budaya melalui ritual monsehe dalam kehidupannya. Satu hal yang perlu diketahui bahwa ada beberapa masalah yang terkadang muncul dalam proses pewarisan nilai-nilai budaya pada era globalisasi. Bourdieu (dalam Rusdfarti, 2003:36) menyatakan bahwa dalam proses pewarisan budaya dimaksud, akan muncul pertarungan antara orthodoxa (wacana yang mempertahankan doxa) dan heterodoxa (wacana yang menentang doxa) untuk mempertahankan doxa (wacana yang dianggap sebagai kebenaran). Pertentangan ini akan menimbulkan hegemoni generasi tua terhadap generasi muda atau sebaliknya. Hubungan keterkaitan ritual monsehe pada etnik Culambacu dengan pertarungan antara doxa yang dimaksud adalah adanya pertentangan yang terlihat antara kelompok yang mempertahankan ritual monsehe dan kelompok penentangnya. Dalam budaya etnik Culambacu terdapat hal dimaksud, yakni adanya dominasi ideologi mayoritas atas ideologi minoritas. Asumsi yang dikemukakan oleh kelompok yang menolak ideologi minoritas bahwa ideologi ritual monsehe yang selama ini dipraktikkan masyarakat tidak sejalan dengan prinsipprinsip agama Islam yang dianut masyarakat setempat. Asumsi tersebut menjadi alasan penolakan yang dilakukan oleh kalangan da i/penceramah, selain melalui ceramah agama di mesjid juga di tempat-tempat formal seperti sekolah. 6

7 Majid (1998: 29) memberikan sebuah jalan keluar bagi pembaruan Islam. Gerakan yang harus dilakukan oleh para dai adalah mengembalikan Islam pada prinsip pokoknya, yakni sebagai rahmat bagi manusia dan alam semesta. Upaya menyiarkan Islam merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Namun, pendekatan yang harus digunakan dalam pembaruan Islam dimaksud tetap mendasarkan pada konsepsi-konsepsi ilmiah dan tidak ekstrem. Majid menyatakan sebagai berikut. Pembaruan Islam adalah sekularisasi Islam, tetapi lanjut Majid, apa yang dimaksud sekularisasi itu bukanlah westernisasi (pem-baratan); bukan pulah sekularisme yang ditolak oleh kaum muslim selama ini. Akan tetapi, apa yang dimaksudkan Majid mengenai modernisasi itu atau sekularisasi adalah bentuk pengembangan cara berpikir ilmiah untuk memahami pesan-pesan Al-qur an dan hadits. Dengan kata lain, sekularisasi adalah proses pemberdayaan bukan pemisahan manusia dari agama. Merujuk pada pandangan Majid tersebut, maka pemberdayaan terhadap tradisi lokal penting dilakukan sebagai bentuk pengembangan studi kebudayaan serta kemajuan ilmu pengetahuan. Sebagai budaya, ritual monsehe hadir sebagai pengetahuan lokal etnik Culambacu yang di dalam sistem pengobatannya melibatkan penutur ( pansehe) dalam proses penyembuhannya. Oleh sebab itu, ritual monsehe memiliki peranan penting sebagai sistem pengetahuan lokal masyarakat, yang bertujuan sebagai salah satu pengobatan alternatif berbasis kearifan lokal yang diyakini ampuh dan manjur untuk penyakit-penyakit nonmedis. Bagi masyarakat etnik Culambacu, keberadaan ritual monsehe sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Ritual monsehe adalah upacara penyucian diri yang dipimpin oleh seorang penutur (pansehe) yang bertugas sebagai mediator sekaligus komunikator dengan alam gaib serta makhluk lainnya yang keberadaannya tidak terlihat secara kasat mata. Etnik Culambacu percaya bahwa 7

8 ritual monsehe memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh setiap orang serta suku-suku yang ada di Indonesia. Meskipun pengobatan modern sudah diterima etnik Culambacu, pengobatan tradisonal melalui ritual monsehe masih bertahan dan dipraktikkan di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, melalui ritual monsehe peneliti menganggap penting untuk mengungkap berbagai nilai magis yang terkandung di dalam ritual tersebut dengan harapan hasil penelitian ini bisa bermanfaat bagi masyarakat yang membutuhkan alternatif penyembuhan. Selain itu, juga bermanfaat bagi pengembangan budaya dan pewarisnya. Ritual monsehe sebagai ajaran hidup dan mainstrem etnik Culambacu era modern memberikan warna tersendiri dalam ranah budaya bangsa masa kini. Tujuan lain dari pelestarian ritual monsehe adalah untuk mendorong kebudayaankebudayaan lokal menjadi penyangga kebudayaan nasional sebagai puncak kebudayaan bangsa Indonesia. Proses untuk mendorong penguatan budaya lokal di atas tidaklah mudah, kerena pada era modernisasi, perkembangan dan majunya ilmu pengetahuan serta teknologi begitu pesat, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan berakibat pada bergesernya tradisi dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Pergeseran budaya dan tradisi yang dimaksud di atas mencakup adat-istiadat, agama, seni dan berbagai ragam budaya yang ada. Dengan demikian, sebagai budaya serta tradisi yang telah menjadi kekayaan bangsa Indonesia, penting untuk mendorong dan mengupayakan penelitian budaya di samping pengkajian tradisi lokal agar terhindar dari kemerosotan nilai dan ancaman kepunahan. 8

9 Sebagai bagian dari kebudayaan, tradisi monsehe dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak boleh ditinggalkan. Apabila itu terjadi, maka nilai, makna, dan fungsi-fungsi yang ada di dalam ritual monsehe akan hilang bersama dengan seluruh aspek adat istiadatnya. Belum lagi pengaruh negatif dari pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan budaya global yang semakin tinggi intesitasnya sering kali menyebabkan sistem nilai budaya lokal yang selama ini menjadi panutan masyarakat pendukungnya mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global yang mengarah pada persamaan budaya Guna menjaga eksistensi ritual monsehe dalam etnik Culambacu, dipandang penting untuk diangkat dalam suatu penelitian ilmiah sebagai bentuk pembelaan atas kelompok tradisi lokal dan pelestarian budaya bangsa. Berdasarkan latar belakang di atas, maka ritual monsehe pada etnik Culambacu diangkat dalam penelitian disertasi ini dengan judul Ritual Monsehe pada Etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk ritual monsehe pada etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara? 2. Ideologi apa yang ada di balik ritual monsehe pada etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara? 3. Apa makna ritual monsehe pada etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara? 9

10 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Berdasarkan rumusan masalah yang dimaksud, maka penelitian ini secara umum bertujuan sebagai instrumen penting dalam memberikan ruang bagi tradisi lokal atas dominasi kelompok mayoritas. Ruang ini sangat penting bagi penganut tradisi lokal agar mereka dapat berkembang di tengah-tengah masyarakat pendukungnya Tujuan Khusus Secara khusus tujuan penelitian ini adalah seperti berikut. 1. Untuk memahami bentuk ritual monsehe pada etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. 2. Untuk memahami ideologi yang terkandung dalam ritual monsehe pada etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. 3. Untuk memahami makna yang terkandung dalam ritual monsehe pada etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis. 10

11 1.4.1 Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan dan bermanfaat bagi pengembangan kajian budaya, terutama dalam hal yang berhubungan dengan ritual monsehe. Selain bermanfaat bagi perkembangan kajian budaya, hasil penelitian ini juga secara teoretis dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi perkembangan studi tradisi lisan. Di samping itu, juga dapat menambah khazanah pengetahuan tentang ritual monsehe pada etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat (1) memberikan masukan khususnya kepada pemerintah daerah Kabupaten Konawe Utara agar dalam menetapkan kebijakan tentang pelestarian budaya ke depannya, ritual monsehe mendapat ruang; (2) hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya dan menjadi salah satu informasi yang berkaitan dengan budaya etnik Culambacu yang berhubungan dengan ritual monsehe; (3) peneliti lain yang ingin meneliti dan mengkaji ritual monsehe secara umum diharapkan dapat memberikan informasi, pengetahuan, dan pemahaman tentang tradisi lisan. 11

12 12

13 13

14 14