PELATIHAN AHLI SUPERVISI KONSTRUKSI JARINGAN IRIGASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PELATIHAN AHLI SUPERVISI KONSTRUKSI JARINGAN IRIGASI"

Transkripsi

1 ICSE 07 : PERHITUNGAN DESAIN IRIGASI PELATIHAN AHLI SUPERVISI KONSTRUKSI JARINGAN IRIGASI DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI DAN SUMBER DAYA MANUSIA PUSAT PEMBINAAN KOMPETENSI DAN PELATIHAN KONSTRUKSI

2 KATA PENGANTAR Usaha dibidang Jasa konstruksi merupakan salah satu bidang usaha yang telah berkembang pesat di Indonesia, baik dalam bentuk usaha perorangan maupun sebagai badan usaha skala kecil, menengah dan besar. Untuk itu perlu diimbangi dengan kualitas pelayanannya. Pada kenyataannya saat ini bahwa mutu produk, ketepatan waktu penyelesaian, dan efisiensi pemanfaatan sumber daya relatif masih rendah dari yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah ketersediaan tenaga ahli/ terampil dan penguasaan manajemen yang efisien, kecukupan permodalan serta penguasaan teknologi. Masyarakat sebagai pemakai produk jasa konstruksi semakin sadar akan kebutuhan terhadap produk dengan kualitas yang memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan. Untuk memenuhi kebutuhan terhadap produk sesuai kualitas standar tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya, mulai dari peningkatan kualitas SDM, standar mutu, metode kerja dan lain-lain. Salah satu upaya untuk memperoleh produk konstruksi dengan kualitas yang diinginkan adalah dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang menggeluti perencanaan baik untuk bidang pekerjaan jalan dan jembatan, pekerjaan sumber daya air maupun untuk pekerjaan dibidang bangunan gedung. Kegiatan inventarisasi dan analisa jabatan kerja dibidang sumber daya air, telah menghasilkan sekitar 130 (seratus Tiga Puluh) Jabatan Kerja, dimana Jabatan Kerja Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi merupakan salah satu jabatan kerja yang diprioritaskan untuk disusun materi pelatihannya mengingat kebutuhan yang sangat mendesak dalam pembinaan tenaga kerja yang berkiprah dalam perencanaan konstruksi bidang sumber daya air. Materi pelatihan pada Jabatan Kerja Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi ini terdiri dari 1 (duabelas) modul yang merupakan satu kesatuan yang utuh yang diperlukan dalam melatih tenaga kerja yang menggeluti Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi. Namun penulis menyadari bahwa materi pelatihan ini masih banyak kekurangan khususnya untuk modul pekerjaan konstruksi Sumber Daya Air. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, kami mengharapkan kritik, saran dan masukan guna perbaikan dan penyempurnaan modul ini. Jakarta, Desember 005 Tim Penyusun i

3 LEMBAR TUJUAN JUDUL PELATIHAN : PELATIHAN AHLI SUPERVISI KONSTRUKSI JARINGAN IRIGASI TUJUAN PELATIHAN A. Tujuan Umum Pelatihan Mampu mengkoordinasi, mengarahkan pelaksanaan konstruksi jaringan irigasi oleh kontraktor dan melakukan pengawasan sesuai dengan gambar pelaksanaan, spesifikasi teknik, metode pelaksanaan, jangka waktu pelaksanaan yang tercantum dalam kontrak kontraktor dan jasa konsultan supervisi. B. Tujuan Khusus Pelatihan Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu : 1. Menguasai dokumen kontrak kontraktor dan kontrak konsultan supervisi.. Melakukan pertemuan awal pelaksanaan dengan kontraktor dan direksi pekerjaan. 3. Melakukan kunjungan lapangan diareal lokasi proyek, mengidentifikasi permasalahan teknis maupun non teknis. 4. Mengecek kesiapan kontraktor untuk mulai pelaksanaan pekerjaan, sesuai yang tercantum dalam RMK. 5. Melaksanakan pengawasan pelaksanaan konstruksi sesuai spesifikasi teknis, gambar pelaksanaan, metode pelaksanaan, K3 serta pencemaran lingkungan. 6. Mengadakan pertemuan periodik dan khusus dengan kontraktor dan direksi pekerjaan. 7. Memberikan petunjuk, saran pelaksanaan, teguran langsung kepada kontraktor atau melalui direksi pekerajan, tergantung sistem kontraknya. 8. Mengecek laporan-laporan dari kontraktor dan usulan perubahan desain. 9. Melakukan opname hasil kemajuan pekerjaan bersama kontraktor dan atau direksi pekerjaan sesuai penugasan. 10. Mengawasi uji coba fungsi jarinan irigasi yang selesai dilaksanakan oleh kontraktor. 11. Membantu direksi dalam mengevaluasi kinerja kontraktor. ii

4 NOMOR MODUL : ICSE. 07 JUDUL MODUL : PERHITUNGAN DESAIN IRIGASI TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Setelah selesai mempelajari modul ini, peserta mampu menjelaskan dan melakukan Perhitungan Perencanaan Irigasi TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK) Setelah modul ini diajarkan, peserta mampu : 1. Menerapkan hasil perhitungan hidrologi (ketersediaan air, kebutuhan air, water balance, debit rencana saluran dan debit banjir rencana). Menganalisis perhitungan hidrolika (dimensi saluran dan bangunan) 3. Menganalisis perhitungan struktur (perhitungan stabilitas dan beton/baja). iii

5 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... LEMBAR TUJUAN... DAFTAR ISI... DESKRIPSI SINGKAT PENGEMBANGAN MODUL PELATIHAN AHLI PERENCANA IRIGASI... DAFTAR MODUL... PANDUAN PEMBELAJARAN... MATERI SERAHAN... i ii iv xii xiii xiv xviii BAB 1 PENDAHULUAN BAB PERHITUNGAN HIDROLOGI Ketersediaan Air Contoh Perhitungan Ketersediaan Air (Cara Rational) Contoh Perhitungan Kebutuhan Air Pendahuluan Evaporasi Data-data Perhitungan Evaporation (Prosedure) Water Requirement Data-data Perhitungan Water Requirement (Prosedure) Water Balance (Keseimbangan Air) Debit Rencana Saluran Irigasi dan Pembuang Debit Rencana Saluran Irigasi Debit Rencana Saluran Pembuang Debit Banjir Rencana Periode Ulang (Return Period) Metode Perhitungan Bila Data yang ada Data Curah Hujan (tidak ada data debit) Stasiun Hujan Curah Hujan Rata-rata iv

6 Metode Melchior Metode Weduwen Contoh Perhitungan Debit Maksimum dengan Metode Melchior Contoh Perhitungan Design Flood dengan Metode Weduwen Kombinasi Melchior dan Gumbel Contoh Perhitungan Debit Banjir Rencana Kombinasi Untuk A > 100 km Contoh Perhitungan Debit Banjir Rencana Kombinasi Untuk A < 100 km Contoh Lain Perhitungan Debit Banjir Rencana Kombinasi Untuk A < 100 km Contoh Perhitungan Debit Banjir Rencana Dengan Unit Hidrograf (UH) BAB 3 PERHITUNGAN HIDROLIKA Dimensi Saluran Perhitungan Dimensi Saluran Tersier dan Kuarter Perhitungan Dimensi Saluran Sekunder dan Primer Perencanaan Profil Saluran Perhitungan Elevasi Muka Air Rencana Dimensi Bangunan Air Dimensi Bangunan Utama (Bendung) Dimensi Bangunan Bagi Sadap Dimensi Bangunan Ukur Pelimpah Kolam Olak BAB 4 PERHITUNGAN STRUKTUR Stabilitas Bendung Gaya-gaya Yang Bekerja Angapan-anggapan Dalam Stabilitas Syarat-syarat Stabilitas Contoh Perhitungan Stabilitas Weir (Bendung) Stabilitas Lereng Tanggul v

7 4.3 Pengenalan Hidromekanikal (Perencanaan Alat-alat Pengangkut) Pendahuluan Perhitungan Pekerjaan Stang dan Transmisi Contoh Perhitungan Perhitungan Beton Perhitungan Plat Beton Pelayan Perhitungan Plat Beton Pada Bangunan Gorong-gorong RANGKUMAN DAFTAR PUSTAKA vi

8 DESKRIPSI SINGKAT PENGEMBANGAN MODUL PELATIHAN AHLI PERENCANA IRIGASI 1. Kompetensi kerja yang disyaratkan untuk jabatan kerja Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi(Irrigation Construction Supervisor Engineer) dibakukan dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang didalamnya telah ditetapkan unit-unit kompetensi, elemen kompetensi, dan kriteria unjuk kerja sehingga dalam Pelatihan Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi unit-unit tersebut menjadi Tujuan Khusus Pelatihan.. Standar Latihan Kerja (SLK) disusun berdasarkan analisis dari masing-masing Unit Kompetensi, Elemen Kompetensi dan Kriteria Unjuk Kerja yang menghasilkan kebutuhan pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku dari setiap Elemen Kompetensi yang dituangkan dalam bentuk suatu susunan kurikulum dan silabus pelatihan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kompetensi tersebut. 3. Untuk mendukung tercapainya tujuan khusus pelatihan tersebut, maka berdasarkan Kurikulum dan Silabus yang ditetapkan dalam SLK, disusun seperangkat modul pelatihan (seperti tercantum dalam Daftar Modul) yang harus menjadi bahan pengajaran dalam pelatihan Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi. vii

9 DAFTAR MODUL MODUL NOMOR : ICSE. 07 JUDUL : PERHITUNGAN DESAIN IRIGASI Merupakan salah satu modul dari : NO. KODE JUDUL 1. ICSE. 01 Etika Profesi, Etos Kerja, UU Jasa Konstruksi Dan UU SDA. ICSE. 0 Sistem Manajemen K3, Pedoman Teknis K3, RKL dan RPL 3. ICSE. 03 Pengenalan Survai Dan Investigasi 4. ICSE. 04 Pengenalan Dokumen Tender Dan Dokumen Kontrak 5. ICSE. 05 Pengenalan Manual O & P 6. ICSE. 06 Kriteria Desain Irigasi 7. ICSE ICSE. 08 Pengetahuan Gambar Konstruksi/Pelaksanaan 9. ICSE. 09 Manajemen Konstruksi 10. ICSE. 10 Manejemen Mutu 11 ICSE. 11 Metode Pelaksanaan (Construction Method) dan Perhitungan Biaya Konstruksi 1. ICSE. 1 Admnistrasi Teknik PANDUAN PEMBELAJARAN viii

10 PELATIHAN : AHLI SUPERVISI KONSTRUKSI JARINGAN IRIGASI JUDUL MODUL : PERHITUNGAN DESAIN IRIGASI KETERANGAN KODE MODUL : ICSE. 07 DESKRIPSI : Materi ini terutama membahas : perhitungan desain irigasi pada pekerjaan desain di bidang sumber daya air, yang meliputi ; perhitungan hidrologi (ketersediaa air, kebutuhan air, water balance, debit rencana saluran pembawa dan pembuang, debit banjir rencana). Perhitungan hidrolika (dimensi saluran, elevasi saluran dan dimensi bangunan). Perhitungan standar (stabilitas air, beton dan hidro mekanika dan spesifikasi program komputer). TEMPAT KEGIATAN : Dalam ruang kelas lengkap dengan fasilitasnya WAKTU KEGIATAN : 8 jam pelajaran (1 JP = 45 menit) KEGIATAN INSTRUKTUR KEGIATAN PESERTA PENDUKUNG ix

11 1. CERAMAH : PEMBUKAAN Menjelaskan Tujuan Instruksional (TIU & TIK) Merangsang motivasi peserta dengan pertanyaan atau pengalamannya dalam penerapan Perhitungan Desain Irigasi Mengikuti penjelasan TIU dan TIK dengan tekun dan aktif Mengajukan pertanyaan apabila kurang jelas OHT No. 3 Waktu : 5 menit Bahan : Lembar tujuan. CERAMAH : PENDAHULUAN Gambaran perhitungan hidrologi, hidrolika dan struktur. Menjelaskan perhitungan hidrologi (ketersediaan air, water balance, debit rencana, debit banjir rencana) Menjelaskan perhitungan dimensi saluran dan bangunan Menjelaskan perhitungan stabilitas dan hidromekanikal Mengikuti penjelasan instruktur dengan tekun dan aktif Mencatat hal-hal yang perlu Mengajukan pertanyaan bila perlu OHT No. 4 s/d 5 Waktu : 10 menit Bahan : Materi serahan (Bab 1 Pendahuluan) KEGIATAN INSTRUKTUR KEGIATAN PESERTA PENDUKUNG x

12 3. CERAMAH : Perhitungan Hidrologi Ketersediaan air Kebutuhan air Water balance Debit rencana saluran Debit rencana banjir Menjelaskan perhitungan ketersediaan air, kebutuhan air, water balance, debit rencana saluran, debit rencana banjir. Mengikuti penjelasan instruktur dengan tekun dan aktif Mencatat hal-hal yang perlu Mengajukan pertanyaan bila perlu OHT No. 6 s/d 4 Waktu : 140 menit Bahan : Materi serahan (Bab Perhitungan Hidrologi) 4. CERAMAH : Perhitungan Hidrolika; Dimensi Saluran, Perhitungan Elevasi Muka Air dan Dimensi Bangunan Menjelaskan dimensi saluran Menjelaskan perhitungan elevasi muka air Menjelaskan perhitungan bangunan air Mengikuti penjelasan instruktur dengan tekun dan aktif Mencatat hal-hal yang perlu Mengajukan pertanyaan bila perlu OHT No. 43 s/d 64 Waktu : 15 menit Bahan : Materi serahan (Bab 3 Perhitungan Hidrolika) xi

13 KEGIATAN INSTRUKTUR KEGIATAN PESERTA PENDUKUNG 5. CERAMAH : Perhitungan Struktur; Stabilitas Bendung, Stabilitas Lereng dan Perhitungan Hidromekanikal Menjelaskan perhitungan stabilitas bendung, perhitungan stabilitas lereng tebing dan pengenalan hidromekanikal. Mengikuti penjelasan instruktur dengan tekun dan aktif Mencatat hal-hal yang perlu Mengajukan pertanyaan bila perlu OHT No. 65 s/d 83 Waktu : 80 menit Bahan : Materi serahan (Bab 4 Perhitungan Struktur) xii

14 MATERI SERAHAN xiii

15 BAB 1 PENDAHULUAN Perhitungan desain irigasi ini dimaksudkan untuk dipakai sebagai pedoman atau contoh dalam melaksanakan pekerjaan desain irigasi, khususnya dalam bagian perhitungannya. Tetapi tidak menutup kemungkinan contoh dari luar modul ini akan lebih baik. Perhitungan desain irigasi ini terdiri dari ; 1. Perhitungan hidrologi. Perhitungan hidrolika dan 3. Perhitungan struktur Perhitungan hidrologi ini dimaksudkan hanya sebagai pengetahuan tambahan yang mana akan dilakukan oleh ahli hidrologi tetapi sebagai Ahli Desain Irigasi juga harus mengetahui karena hasil perhitungan hidrologi ini dipakai sebagai dasar perhitungan hidrolika. Perhitungan hidrolika ini dimaksudkan untuk menghitung dimensi saluran dan bangunan irigasi dan pembuang. Sedangkan perhitungan struktur ini dimaksudkan hanya sebagai pengetahuan tambahan yang mana akan dilakukan oleh ahli struktur. 1-1

16 BAB PERHITUNGAN HIDROLOGI Dalam perencanaan irigasi perhitungan hidrologi yang sering dilakukan adalah perhitungan mengenai ; a. Ketersediaan Air b. Kebutuhan Air c. Water Balance d. Debit Rencana Saluran Irigasi e. Debit Banjir.1 Ketersediaan Air Dalam perhitungan jumlah air yang tersedia pada sungai yang menjadi sumber air untuk daerah irigasi, didapat dari taksiran berdasarkan data debit sungai bulanan yang didapat dari rata-rata debit selama bulan-bulan tersebut tertentu, dimana datanya diambil dari pengukuran debit sungai otomatik maupun manual. Bila tidak ada data debit, dapat menggunakan data hujan bulanan, kemudian besarnya debit dihitung dengan bermacam-macam metode antara lain rational, DR FJ Mock, dan lain-lain. Jumlah air yang tersedia penting sekali diketahui dengan sebaik mungkin karena akan menentukan luas areal yang dapat diairi. Berikut ini diberikan contoh perhitungan ketersediaan air dengan Metode Rational dan DR FJ Mock..1.1 Contoh Perhitungan Ketersediaan Air (Cara Rational) Dalam perhitungan jumlah air yang tersedia pada sungai yang menjadi sumber air untuk daerah irigasi, seharusnya ditaksir berdasarkan pada data debit sungai bulanan. Jumlah air yang tersedia penting sekali diketahui dengan sebaik mungkin karena akan menentukan luas areal yang dapat diairi. Data pengukuran debit sungai Langkeme tidak ada, oleh karena itu debit sungai di estimate dengan menggunakan perumusan hubungan antara curah hujan (rain fall) dengan debit sungai. Dalam hal ini dihitung dengan metode rasional yaitu suatu cara menentukan hubungan antara debit dengan intensitas curah hujan yang merupakan fungsi dari physical parameter. - 1

17 Q = c.i.a dimana : Q = debit i = intensitas curah hujan A = luas catchment area (DAS) c = koefesien run-off a). Analisa Curah Hujan Sebagai penyebab adanya aliran sungai adalah curah hujan. Oleh karena itu diperlukan adanya analisa curah hujan yang terjadi di daerah pengaliran. Seperti telah disebutkan bahwa stasiun pengukuran curah hujan yang dapat dianggap mempengaruhi daerah catchment adalah Waton Sopeng (407), Sumpang Binange (408). Besarnya curah hujan bulanan dari kedua stasiun curah hujan tersebut dapat dilihat dalam tabel.1 dalam menetapkan intensitas curah hujan yang mewakili catchment area dipertimbangkan menggunakan cara arithmatic. Data dan perhitungan analisa curah hujan dapat dilihat didepan, yang hasilnya adalah sebagai berikut; Tabel.1 Data curah hujan rata-rata Bulan S. Binange Waton Sopeng Rata-rata b). Catchment Area Catchment Area adalah daerah yang mempengaruhi debit sungai dalam kaitannya dengan curah hujan dengan kata lain curah hujan yang jatuh pada catchment area baik yang berupa direct run off maupun aliran di dalam tanah akan menentukan besarnya debit pada sungai. Penetapan batas daerah pengaliran (catchment area) untuk sungai Langkeme ini didasarkan pada peta skala 1: Luas catchment area adalah 95 km. -

18 c). Koefisien Run Off Dalam mengestimate debit pada sungai dengan menggunakan data-data curah hujan akan lebih baik apabila digunakan metode water balance (Dr. FJ Mock). Tetapi metode tersebut membutuhkan data-data tanah yang agak terperinci dimana data untuk daerah ini tidak ada. Sekalipun demikian run off dihitung dengan metode rational yang sangat sederhana dimana koefisien run off diambil 0,65. Dalam musim kemarau dimana curah hujan kecil sekali, debit sungai di estimate dengan memperhitungkan infiltrasi pada bulan sebelumnya. Infiltrasi setelah menjenuhkan top soil kemudian menjadi perkolasi ke ground water; Q dimana ; Q0. e n c d Q0 = debit bulanan untuk d = 0 n c d = 1 (konstanta) = suatu konstanta yang besarnya bertambah secara bertahap sebesar 0,5 = 1,,3 dan seterusnya. d). Perhitungan Debit Sungai Bulanan (Ketersediaan Air).1. Contoh Hasil perhitungan inflow bulanan dengan cara DR. F.J. MOCK dapat dilihat pada tabel.. - 3

19 -4 Tabel. Hasil Perhitungan Inflow Bulanan Dengan Cara DR. F. J. MOCK PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRATION DAN DEBIT SUNGAI LOKOJANGE ( Catchment Area =.05 km ) DENGAN METODE DR. F.J.MOCK No. Uraian Kode Jan Peb Mart Aprl Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des Tahunan Keterangan Keterangan : HIDROLOGICAL DATA 1 Catchment precipitation P mm / bulan (1) = data Catch rain days n hari () = data 3 Temperature T * C (3) = data 4 Sunshine S % (4) = data 5 Relatif Humidity h % (5) = data 6 Kecepatan angin W Mil / hari (6) = data POTENTIAL EVAPOTRANSPIRATION 7 F1 = f (T,S) F (7) = Lampiran 4 8 F = f (T,h) F (8) = Lampiran 5 9 F3 = f (T,h) F (9) = Lampiran 6 10 Latitude Q 7'. LS 7'. LS 7'. LS 7'. LS 7'. LS 7'. LS 7'. LS 7'. LS 7'. LS 7'. LS 7'. LS 7'. LS (10) = data 11 Roughness Coefficient k (11) = Lampiran 1 Solar Radiation R (1) = Lampiran 3 13 Reflection Coefficient r (13) = Lampiran 1 14 F1 ( 1 - r ) E (14) = Rumus 15 F ( 0,1 + 0,9 S ) E (15) = Rumus 16 F3 ( k + 0,01 W ) E (16) = Rumus 17 ( E1 - E + E3 ) Ep mm / hari (17) = (14)-(15)+(16) 18 Evapotranspiration Ep mm / bulan (18) = (17)x( hari/bulan) LIMITED EVAPOTRANSPIRATION 19 Exposed Surface m % (19) = Tabel 0 ( m/0 )( 18-n )% E/Ep % (0) = Rumus 1 (E/Ep)(Ep) E mm / bulan (1) = (0)x(17) ( Ep - E ) El mm / bulan () = (18)-(1) 3 Limit Evapotranspiration El mm / hari (3) = ()/( hari/bulan) Pelatihan Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi

20 -5 No. Uraian Kode Jan Peb Mart Aprl Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des Tahunan Keterangan 4 ( P - El ) mm / bulan (4) = (1)-() yang hasilnya positip 5 Soil Storage mm / bulan (5) = (1)-() yang hasilnya Negatip 6 Soil Moisture mm / bulan (6) = yang jenuh = 00 ; MK = 00 + (5) 7 Water Surplus mm / bulan (7) = (4)-(5) RUN OFF AND GROUND WATER 8 Infiltration I mm / bulan (8) = 0.4 x (7) 9 1/ ( 1 + k ) I mm / bulan (9) = Rumus 30 k ( Vn-1 ) mm / bulan (30)n = (11) x (31)n-1; (30)1= 0 31 Storage Volume Vn mm / bulan kemudian = (11) x (31)1 (1=Jan; 1=Des) 3 ( - Vn-1 + Vn ) Vm mm / bulan (31) = (9)+(30) 33 Base Flow = ( i - Vm ) mm / bulan (3)n = (31)n - (31)n-1 34 Direct Run Off mm / bulan (33) = (8)-(3) 35 Run off mm / bulan (34) = (7)-(8) (35) = (33)+(34) STORM RUN OFF 36 Storm Run Off mm / bulan (36) = 0.05 x (10) -- MK ; 0 -- MH 37 Soil Moisture mm / bulan (37) = (6)-(36)n-(36)n+1 38 Water Surplus mm / bulan (38) = 7 39 Base Flow mm / bulan (39) = Direct Run off mm / bulan (40) = (34)+(36) 41 Run off q mm / bulan (41) = (39)+(40) 4 Debit Q m 3 / dt (4) = (41)*A* /1000*30*4*60*60 43 Volume V m 3 (43) = (4) * 30*4*60*60 44 Komulatif KV m 3 (44)n+1 = (44)n+(43)n+1 = A = luas Catchment ( km ) =.05 km Pelatihan Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi

21 . Perhitungan Kebutuhan Air..1 Pendahuluan Perhitungan kebutuhan air untuk tanaman (Water Requirement) untuk daerah irigasi Langkeme ini didasarkan pada suatu kriteria keseimbangan air pada petak sawah, dimana faktor-faktor iklim diperhitungkan dengan rumus-rumus empiris yang telah biasa digunakan. Titik tolak perhitungan banyaknya air yang dibutuhkan terhadap macam tanaman telah ditentukan adalah padi karena merupakan bahan makanan pokok di negara kita, yaitu padi rendengan yang biasa ditanam pada musim hujan dan padi gadu pada musim kemarau. Data klimatologi diambil dari data iklim di Indonesia (Lembaga Meteorologi dan Geofisika) dari tahun 1971 sampai dengan tahun Stasiun klimatologi yang dianggap representatif untuk daerah pengairan ini adalah stasiun PG Bone (lokasi S) ketinggian 4 m. Yang selanjutnya merupakan dasar perhitungan Evapotranspiration dimana dipergunakan Cara Hargreaves. Data-data curah hujan diambil dari Regen Waarnemingen in Nederlandsch Indie dengan periode pengamatan dari tahun 1919 sampai dengan 1941 untuk stasiun-stasiun hujan Watan Sopeng (407) dan Sumpang Binangae (408). Perhitungan curah hujan effektif pada daerah irigasi yang akan mempengaruhi perhitungan requirement dipergunakan data-data curah hujan stasiun hujan Watan Sopeng dan Sumpang Binangae... Evaporation...1 Data-data Data yang digunakan untuk menghitung evaporation yaitu : koordinat di daerah irigasi relative humidity temperatur udara kecepatan angin, duration of sunshine dan elevation rata-rata di daerah irigasi. Data tersebut didapat dari station meteorologi daerah PG. Bone. a). Koordinat di Daerah Irigasi Dari top cart didapat bahwa koordinat di daerah irigasi Langkeme lebih kurang pada 4 30 S. - 6

22 b). Relative Humidity (H) Data relative humidity diambil dari stasiun meteorologi PG Bone dengan koordinat S dan dengan ketinggian lebih dari 4 m. Tabel.3 Kelembaban udara stasiun meteorologi PG Bone Rata-rata Kelembaban Udara dalam % Bulan Tahun Rata-rata c). Temperatur Udara (T) Tabel.4 Temperatur udara (T) stasiun meteorologi PG Bone Temperatur Udara Rata-rata dalam 0 C Bulan Tahun ,7 6,1 6,5 6, 6, ,5 6, 6,4 6,4-6, 5,5 5, 5,6 6,8 8,0 7, ,8 7,0 6,7 7,3 6,9-5,7 5,9 6, 7,1 6, ,5 6,7 6,5 6,5 6,8 6,1 5,7 6,0 6,9 7,5 6,7 6, ,4 6,6 4,4 6,4 6,1 5,4 5,7 6,1 7, 7,3 6,6 6,3 Rata-rata d). Kecepatan Angin (w) Tabel.5 Kecepatan angin (w) stasiun meteorologi PG Bone Kecepatan Angin Rata-rata dalam Knot Bulan Tahun Rata-rata - 7

23 e). Duration of Sunshine (S) Tabel.6 Duration of Sunshine (S) stasiun meteorologi PG Bone Rata-rata Penyinaran Matahari dalam % Bulan Tahun Rata-rata f). Elevation Rata-rata di Daerah Irigasi Elevasi daerah yang akan diairi lebih dari Perhitungan Evaporation (Prosedure) Untuk menghitung evaporation di DI Langkeme dipakai suatu perhitungan perkiraan dengan metode Hargreaves. Dalam hal ini yang perlu dihitung adalah ; a). Monthly Day Time Factor (D) Daerah Irigasi Langkeme terletak pada lintang 4 30 S. Dengan interpolasi akan didapat D. Hasil adalah sebagai berikut ; Tabel.7 Monthly Day Time Factor (D) di Langkeme Month ,0 1,0 1,0 0,99 1,0 0,99 1,0 1,0 0,99 1,0 0,99 1, ' 1,04 0,93 1,0 0,98 1,00 0,96 1,00 1,01 0,98 1,03 1,01 1, ' 1,04 0,93 1,0 0,98 1,00 0,96 1,00 1,01 0,98 1,03 1,01 1,04 b). Relative Humidity Factor (FH) Telah didapatkan relative humidity rata-rata (Hm) dari data yang telah dicantumkan diatas. Untuk menghitung FH diperlukan rumus sebagai berikut ; Hn = 0.4 Hm + 0,6 Hm FH = Hn - 8

24 Hasilnya adalah sebagai berikut ; Tabel.8 Relative Humidity Factor (FH) di Langkeme Month H m 0,80 0,79 0,79 0,83 0,83 0,8 0,81 0,81 0,78 0,79 0,79 0,79 H n 0,70 0,69 0,69 0,75 0,75 0,73 0,7 0,7 0,68 0,69 0,69 0,69 F H 0,31 0,38 0,38 0,81 0,81 0,97 0,305 0,305 0,336 0,38 0,38 0,38 c). Mean Monthly Temperatur (TC) Dari data temperatur bulanan rata-rata (TC) selama 5 tahun telah tercantum di atas, didapatkan temperatur rata-rata. Hasilnya adalah sebagai berikut ; Tabel.9 Mean Monthly Temperatur (TC) di Langkeme Month T C 6,3 6,6 6,5 6,7 6,6 5,9 5,6 5,8 6,4 7,0 6,8 6,0 d). Nd Velocity Factor (FW) Untuk mendapatkan FW dipakai rumus FW = W kh m sedangkan W khm = kecepatan angin pada ketinggian dua meter dari permukaan tanah dalam km/jam. Bila letak alat pengukuran kecepatan angin diketahui maka W khm = C x W kh sedangkan C = log 6.6 log h h = tinggi letak alat dari permukaan tanah dalam feet. Dalam hal ini h = 4 m. Catatan ; bila letak alat tidak diketahui maka untuk keamanan dianggap h = 0,50 m. Biasanya data dalam knot (Wk) atau meter/ detik (WMs) sehingga didapatkan ; WkH = 3,6 W MS = Wk Maka didapatkan hasil sebagai berikut ; - 9

25 Tabel.10 Nd Velocity Factor (FW) Month W k W kh 3,4 3,4 3,4,7,16 3,4 3,4 4,3 4,3 3,78 3,4 3,78 C 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 0,43 W kh m 1,399 1,399 1,399 1,166 0,933 1,399 1,399 1,866 1,866 1,633 1,399 1,633 F w 0,898 0,898 0,898 0,885 0,871 0,898 0,898 0,91 0,91 0,909 0,898 0,909 e). Duration of Sunshine Factor (Fs) Untuk mendapatkan Fs dipakai rumus Fs = s. Dimana S adalah duration of sunshine yang datanya telah dicantumkan diatas. Dengan menggunakan rumus tersebut didapatkan hasil sebagai berikut ; Tabel.11 Duration of Sunshine Factor (Fs) Month S 69, Fs 0,878 0,809 0,867 1,035 0,768 0,849 0,774 0,855 0,769 0,867 0,739 0,995 f). Elevation Factor (Fe) Untuk mendapatkan Fe dipakai rumus Fe = E, dimana E = elevation rata-rata dari daerah irigasi yang datanya telah dicantumkan diatas yaitu lebih dari 108. Dengan menggunakan rumus tersebut didapatkan hasil sebagai berikut ; Fe = g). Clas A Pan Evaporation (Ev) Untuk mendapatkan Ev dipakai rumus sebagai berikut ; E v = 17.4 x D X TC x FH x FW x FS x FE Dengan menggunakan rumus tersebut didapatkan hasil sebagai berikut ; - 10

26 Tabel.1 Calculation of Evaporation (Ev) E v = 17.4 x D X TC x FH x FW x FS x FE Unit Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept 1 D - 1,03 1,01 1,04 1,04 0,93 1,0 0,98 1 0,96 1 1,01 0,98 Tc 0 C 7 6,8 6,6 6,3 6,6 6,5 6,7 6,6 5,9 5,6 5,8 6,4 3 F H 0,38 0,38 0,38 0,31 0,38 0,38 0,81 0,97 0,97 0,305 0,336 0,38 4 Fw 0,909 0,898 0,909 0,898 0,898 0,898 0,885 0,871 0,898 0,898 0,91 0,91 5 Fs 0,867 0,739 0,995 0,878 0,809 0,867 1,035 0,769 0,849 0,774 0,855 0,768 6 F E 0,961 0,961 0,961 0,961 0,961 0,961 0,961 0,961 0,961 0,961 0,961 0,961 7 E V mm 10,1 88,5 137,3 115,75 98,57 115,4 11,6 83,61 94,14 90,75 115,9 100,37..3 Water Requirement..3.1 Data-Data Data-data yang digunakan untuk menghitung kebutuhan air yaitu ; Hasil perhitungan evaporation Hujan bulanan Crop consumptive use factor Percolation Puddling water requirement Irrigation efficiency a). Hasil Perhitungan Evaporation Evaporation telah didapat dengan menggunakan rumus ; E v = 17.4 x D X TC x FH x FW x FS x FE Tabel.13 Hasil perhitungan evaporasi Month E V 115,75 98,57 115,4 11,6 83,61 94,14 90,75 115,9 100,37 10,1 98,5 137,3-11

27 b). Hujan Bulanan Data hujan bulanan diambil dari stasiun hujan Watan Sopeng (407) dan Simpang Binange (408). Data tersebut adalah sebagai berikut ; Tabel.14 Curah hujan bulanan Stasiun Watan Sopeng (407) Elevasi : + 10 Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total Max

28 Tabel.15 Curah hujan bulanan Stasiun Sumpang Binange (408) Elevasi : + Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total Max c). Crop Consumption Use Factor Besar coefficient ini ditentukan oleh banyak faktor antara lain ; Jenis tanah persawahan Macam bibit padi Macam metode untuk perhitungan evapotranspiration Untuk standar perhitungan dibawah ini kami cantumkan crop consumption use coefficients by percent of growing season dari jenis tanaman padi. Tabel.16 Koefesien dari tanaman padi % k 0,80 0,95 1,05 1,15 1,0 1,30 1,30 1,0 1,10 0,90 0,50-13

29 d). Percolation Maksud percolation yaitu proses penjenuhan subsurfase, sebaiknya angka ini ditentukan dengan cara mengadakan pengukuran di lapangan. Angka perkolasi ini dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu jenis tanahnya, keadaan topografi sawah dan sebagainya. Mengingat hasil pengukuran dilapangan seperti dimaksudkan diatas belum ada, maka penetapan angka perkolasi tersebut pada saat ini hanya dengan cara perkiraan saja. Banyak cara untuk memperkirakan tersebut dan salah satu cara tersebut yaitu dengan mengambil angka-angka perkolasi harian sebagai berikut ; Tabel.17 Angka-angka perkolasi harian Bulan ke Percolation 6 mm/hari 5 mm/hari 4 mm/hari mm/hari e). Puddling Water Requirement (Pra Irigasi) Maksud pemberian air pada tanaman padi dengan nama pra irigasi ini yaitu untuk ; Pawinihan Meninggikan muka air tanah Melunakan tanah dipermukaan untuk mempermudah pengerjaannya Mengusir tikus dari lubang-lubang Dan lain sebagainya Banyak faktor yang mempengaruhi angka pra irigasi ini yaitu antara lain jenis tanahnya dan sebagainya. Untuk keperluan report ini angka tersebut diperkirakan saja sebesar 5,5 mm untuk bulan pertama dan 17,5 untuk bulan kedua. Bulan-bulan selanjutnya pra irigasi ini tidak diperlukan. f). Irrigation Efficiency Karena adanya kehilangan air pada saat air bergerak menuju ke sawah (conveyance loss) dan saat air berada di sawah (conveyance loss) maka perlu - 14

30 faktor yang memperhitungkan hal ini. Diperkirakan besarnya losses tersebut adalah sebagai berikut ; Conveyance losses pada saluran induk 10% Conveyance losses pada lain-lain saluran serta field losses 0% Maka besarnya irrigation efficiency 90% x 80% = 7 %...3. Perhitungan Water Requirement (Prosedure) Untuk menghitung kebutuhan air dari daerah irigasi Langkeme yang perlu dihitung adalah ; a). Consumptive Use Factor after Hargreaves (Ev) Lihat di..3.1 a) b). Effective Rain Fall (FE) Curah hujan efektif adalah curah hujan pada masa pertumbuhan tanaman yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Curah hujan yang dipergunakan adalah curah hujan yang diukur di stasiun Watan Sopeng (407) dan Simpang Binange (408) yang merupakan stasiun yang paling berdekatan dengan daerah rencana irigasi ini. Stasiun hujan tersebut dianggap cukup representatif untuk memperhitungkan curah hujan efektif pada daerah rencana irigasi. Cara yang dipergunakan untuk memperhitungkan curah hujan efektif ini adalah dasar perhitungan R80 x R80 dapat dihitung dengan rumus (80% n 1) dimana n = periode lamanya pengamantan. Hasilnya harga a = (80% n 1). Ini berarti bahwa curah hujan efektif adalah curah hujan yang ke a dari yang terbesar. Untuk ini n = 3 tahun dan a = (80% x 3 1 ) = 17 Hasil analisa perhitungan adalah sebagai berikut ; Tabel.18 Hasil analisa perhitungan curah hujan Bulan Rata-rata

31 Tabel.19 Analisa perhitungan curah hujan bulanan Stasiun Watan Sopeng (407) Elevasi : + 10 No. Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total Rata-rata

32 Tabel.0 Analisa perhitungan curah hujan bulanan Stasiun Sumpang Binange (408) Elevasi : + Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Total Rata-rata c). Monthly Consumptive use Factor (k) k didapat dengan membuat grafik dari tabel.16 yang telah dicantumkan pada..3.1 c). Umur padi yang ditanam di daerah Langkeme adalah ; Padi rendengan ( ) hari Padi gadu ( ) hari Dengan jalan mengeplot pada grafik maka didapatkan harga K bulanan. d). Consumptive use by Crop (Et) Et = k. Ev e). Percolation Lihat..3.1 d) - 17

33 f). Water Requirement by Crop Water requirement by crop = consumptive use by crop + percolation g). Puddling Water Requirement Lihat..3.1 e) h). Field Delivery Requirement Field delivery requirement = water requirement by crop + puddling water requirement effective rain fall. i). Irrigation Efficiency Seperti telah dijelaskan pada..3.1 f) maka irrigation efficiency = 7 %. j). Alternative Mulai tanam sebaiknya dijatuhkan pada saat mulainya musim hujan. Berdasarkan angka-angka hujan bulanan dan hari hujan dapatlah disimpulkan bahwa musim hujan jatuh pada bulan Nopember. Selanjutnya dengan angkaangka seperti tertera pada point..3. a) s/d..3. i) berikut ini dihitung besarnya water requirement (kebutuhan air) untuk empat alternatif mulai tanam ; Alternatif 1 ; mulai tanam bulan Nopember dan Mei (Tabel.0) Alternatif ; mulai tanam bulan Desember dan Juni (Tabel.1) Alternatif 3 ; mulai tanam bulan Januari dan Juli (Tabel.) Alternatif 4 ; mulai tanam bulan Desember dan Mei (Tabel.3) - 18

34 III. WATER REQUIREMENT II. CROPPING PATTERN I. CONDI TIONS Pelatihan Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi Tabel.1 Rencana Tata Tanam (Alternatif 1) NO. ITEM UNIT OCT NOV DEC JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP 1. Consumptive use factor after hargreaves mm Effective Rainfall mm Monthly crop consumptive use factor RENDENG (165) GADU (135) Percolation mm Puddling water requirement mm Ditto l/d/ha , Consumptive use by crop (1) x (3) Water Requirement by crop (4) + (5) Field delivery requirement (6) + (7) - () Diversion requirement (9) : 0,7) mm mm mm l/d/ha

35 III. WATER REQUIREMENT II. CROPPING PATTERN I. CONDI TIONS Pelatihan Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi Tabel. Rencana Tata Tanam (Alternatif ) NO. ITEM UNIT OCT NOV DEC JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP 1. Consumptive use factor after hargreaves mm Effective Rainfall mm Monthly crop consumptive use factor RENDENG (165) GADU (135) Percolation mm Puddling water requirement mm Consumptive use by crop (1) x (3) Water Requirement by crop (4) + (5) Field delivery requirement (6) + (7) - () 9. l/d/ha Diversion requirement (9) : 0,7) mm mm mm l/d/ha

36 III. WATER REQUIREMENT II. CROPPING PATTERN I. CONDI TIONS Pelatihan Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi Tabel.3 Rencana Tata Tanam (Alternatif 3) NO. ITEM UNIT OCT NOV DEC JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP 1. Consumptive use factor after hargreaves mm Effective Rainfall mm Monthly crop consumptive use factor RENDENG (165) GADU (135) Percolation mm Puddling water requirement mm Consumptive use by crop (1) x (3) Water Requirement by crop (4) + (5) Field delivery requirement (6) + (7) - () 9. Ditto l/d/ha Diversion requirement (9) : 0,7) mm mm mm l/d/ha

37 III. WATER REQUIREMENT II. CROPPING PATTERN I. CONDI TIONS Pelatihan Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi Tabel.4 Rencana Tata Tanam (Alternatif 4) NO. ITEM UNIT OCT NOV DEC JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP 1. Consumptive use factor after hargreaves mm Effective Rainfall mm Monthly crop consumptive use factor RENDENG (135) GADU (135) Percolation mm Puddling water requirement mm Consumptive use by crop (1) x (3) Water Requirement by crop (4) + (5) Field delivery requirement (6) + (7) - () Ditto l/d/ha Diversion requirement (9) : 0,7) mm mm mm l/d/ha

38 .3 Water Balance (Keseimbangan Air) Water balance atau keseimbangan air yang dimaksudkan adalah keseimbangan antara ketersediaan air dan kebutuhan air. Bila telah diketahui ketersediaan air (m 3 /dt) dan kebutuhan air irigasi (liter/det/ha) maka dengan keseimbangan air ini didapat luas yang dapat diairi. Luas areal sawah yang didapat diairi bergantung pada jumlah debit yang tersedia pada sumber dan kebutuhan air untuk tanaman (Irr). Secara umum dapat ditulis ; dimana ; A Q Irr A Q Irrx0.80 = luas areal yang dapat diairi = debit sungai = kebutuhan air untuk tanaman 0,8 = koefisien Seperti telah diperkirakan dalam perhitungan water requirement, bahwa Irr dihitung dengan cara cropping calender yaitu menggeser-geser waktu permulaan menanam padi. Juga Irr ini didasarkan pada perhitungan evapotranspiration yang dalam hal ini dipergunakan Metode Hargeaves. Perhitungan luas areal sawah yang dapat diairi dalam metode tersebut untuk setiap variasi dari cropping calender dapat dilihat pada halaman berikutnya. Kesimpulan yang dapat diambil dari perhitungan water requirement adalah sebagai berikut ; Dari hasil perhitungan water requirement, water availability yang selanjutnya dapat dihitung luas areal sawah yang dapat diairi untuk setiap alternatif sesuai dengan mulai tanamnya, dapat diambil kesimpulan bahwa cropping calender I yaitu mulai tanam padi rendengan pada bulan Nopember memberikan areal paling kecil, yaitu luas areal yang dapat diairi pada musim hujan 319 ha musim kemarau 1553 ha. Jumlah air yang dibutuhkan yang akan digunakan dalam memperkirakan kebutuhan air normal dari daerah irigasi Langkeme ini adalah sebagai berikut ; a). Musim kemarau : l/dt/ha b). Musim hujan : 0 1,650 l/dt/ha Dapat ditambahkan bahwa tidak terdapatnya jumlah air yang dibutuhkan pada bulan Februari, Maret dan April yang juga mengakibatkan tidak diketahui Irr dan A pada - 3

39 bulan tersebut, dipertimbangkan tidak terlalu menentukan perhitungan untuk hal-hal yang pokok. Karena dapat dilihat bahwa pada bulan-bulan tersebut curah hujan efektifnya adalah 180, mm yang relatif besar sehingga Irr pada bulanbulan tersebut tentu saja akan mengecil. Juga debit sungai yang tersedia adalah 5.96 m 3 /det, 5.67 m 3 /det dan 5,1 m 3 /det berturut-turut yang merupakan debit bulanbulan yang besar. Oleh karena itu perhitungan luas areal yang dapat diairi pada bulan-bulan tersebut akan luas sekali. Jadi mengingat penetapan cropping calender yang menentukan berdasarkan luas areal terkecil dari setiap musim pada setiap alternatif maka ketiadaan hasil kebutuhan air tanaman pada bulan-bulan tersebut tidak terlalu menentukan. - 4

40 Tabel.5 Perhitungan luas areal sawah yang dapat diairi DEBIT SUNGAI BULAN JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC m 3 /dt PADI RENDENGAN PADI GADU Cropping Irr l/dt/ha LUAS AREAL YANG DAPAT DIAIRI (HA) Calender I A Ha Cropping Irr l/dt/ha Calender II A Ha Cropping Irr l/dt/ha Calender III A Ha Cropping Irr l/dt/ha Calender IV A Ha

41 .4 Debit Rencana Saluran Irigasi Dan Pembuang.4.1 Debit Rencana Saluran Irigasi Yang dimaksud dengan Debit Rencana Saluran irigasi adalah debit maksimum yang direncanakan untuk melalui saluran kapasitas saluran = debit rencana saluran = Q Besarnya tergantung dari ; Luas daerah yang diairi = (A) Kebutuhan bersih air disawah = (NFR) Efisiensi (e) Koefisien pengurangan (c) C. NFR. A Q e a). Luas daerah yang diairi adalah sama dengan 0.90 x luas hasil planimeter dari petak tersier atau jumlah dari peta-petak tersier dengan satuan ha, b). Kebutuhan bersih air di sawah = NFR adalah didapat dari perhitungan kebutuhan air pada sub bab. dimana dipilih yang paling besar luasnya pada bulan masa pengolahan lahan dengan satuan l/d/ha. c). Efisiensi = e adalah angka akibat adanya kebocoran-kebocoran di saluran dan bangunan Untuk ; Tersier kebocoran (15 -,5) % et = ( ) Sekunder kebocoran ( )% es = ( ) Primer kebocoran ( )% ep = ( ) Q 1 C.NFR.A e t Q C.NFR.A e.e t s C.NFR.A Q3 e.e.e t s p - 6

42 Koefisien pengurangan = C adalah pengurangan debit akibat dari perbedaan menanam. Waktu menanam ada bermacam ; 1) Cara serentak yaitu dimana waktu pengolahan tanah dikerjakan pada waktu yang sama, ini baru bisa dilaksanakan bila tenaga penggarap banyak atau dengan menggunakan traktor. Dalam hal ini koefisien pengurangan C = 1 untuk saluran tersier calender maupun primer. ) Cara Golongan yaitu dimana waktu pengolahan tanah atau waktu tanam dilakukan secara teratur bergilir, biasanya berbeda waktu 0,5 bulan. Cara golongan ada 3 macam; a) Golongan pada daerah irigasi Saluran tersier C = 1 Saluran sekunder C = 1 Saluran Primer C < 1 C = 0,80 b) Golongan pada daerah sekunder Saluran tersier C = 1 Saluran sekunder C < 1 C = 0,80 Saluran Primer C < 1 C = 0,80 c) Golongan pada daerah tersier Saluran tersier C < 1 C = 0,80 Saluran sekunder C < 1 C = 0,80 Saluran Primer C < 1 C = 0,80-7

43 .4. Debit Rencana Saluran Pembuang a). Saluran Pembuang Biasanya tanaman padi tumbuh dalam keadaan tergenang dan dengan demikian, dapat bertahan dengan sedikit kelebihan air. Untuk varietas unggul, tinggi air 10 cm dianggap cukup dengan tinggi muka air antara 5 sampai 15 cm dapat diizinkan. Tinggi air yang lebih dari 15 cm harus dihindari, karena air yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lama akan mengurangi hasil panen. Varietas lokal unggul dan khususnya varietas lokal (biasa) kurang sensitif terhadap tinggi air. Walaupun demikian, tinggi air yang melibihi 0 cm tetap harus dihindari. Kelebihan air di petak tersier dapat diakibatkan oleh hujan deras, limpahan kelebihan air irigasi atau air buangan dari jaringan utama ke petak tersebut, serta limpahan air irigasi akibat kebutuhan air irigasi yang berkurang di petak tersier. Besar kecilnya penurunan hasil panen yang diakibatkan oleh air yang berlebihan bergantung kepada; Dalamnya kelebihan air Berapa lama genangan yang berlebihan itu berlangsung Tahap pertumbuhan tanaman Varietas padi Kekeruhan dan sedimen yang terkandung dalam genangan air Tahap-tahap pertumbuhan padi yang paling peka terhadap banyaknya air yang berlebihan adalah selama transplantasi (pemindahan bibit ke sawah), persemian dan permulaan masa berbunga. Merosotnya hasil panen serta tajam akan terjadi apabila dalamnya lapisan air di sawah melebihi separoh dari tinggi tanaman padi selama tiga hari atau lebih. Jika tanaman padi tergenang air seluruhnya jangka waktu lebih dari 3 hari, maka tidak akan ada panen. Jika pada masa penanaman, kedalaman air melebihi 0 cm selama jangka waktu 3 hari atau lebih maka tidak ada panen. - 8

44 b). Modulus Pembuang Jumlah kelebihan air yang harus dibuang per satuan luas per satuan waktu disebut modulus pembuang atau koefisien pembuang dan ini bergantung pada; Curah hujan selama periode tertentu Pemberian air irigasi pada waktu itu Kebutuhan air untuk tanaman Perkolasi tanah Genangan di sawah-sawah selama atau pada akhir periode yang bersangkutan Luasnya daerah Sumber-sumber kelebihan air yang lain Pembuang air permukaan untuk satuan luas dinyatakan sebagai ; D (n) = R (n)t + n (IR ET P) - s dimana ; n = jumlah hari berturut-turut D (n) = pengaliran air permukaan selama n hari, mm R(n)T = curah hujan dalam n hari berturut-turut dengan periode ulang T tahun mm IR = pemberian air irigasi, mm/hari ET = evapotranspirasi, mm. hari P = perkolasi, mm/hari s = tambahan genangan, mm untuk penghitungan modulus pembuang, komponennya dapat diambil sebagai berikut ; Dataran rendah 1) Irigasi IR = nol jika irigasi dihentikan, a * au ) Irigasi IR = evapotranspirasi ET jika irigasi diteruskan 3) Kadang-kadang irigasi mungkin dihentikan ke sawah, tetapi air dari jaringan irigasi utama dialirkan ke dalam jaringan pembuang melalui petak tersier. - 9

45 4) Tampungan tambahan di sawah pada 150 mm lapisan air maksimum, tampungan S pada akhir hari-hari berturutan n diambil maksiumum 50 mm 5) Perkolasi P sama dengan nol Daerah Terjal Seperti untuk kondisi dataran rendah, tetapi perkolasi P sama dengan 3 mm/hari. Untuk modulus pembuang rencana, dipilih curah hujan 3 hari dengan periode ulang 5 tahun. Kemudian modulus pembuang tersebut adalah ; D(3) D m l/dt/ha. 3x8.64 Pada gambar.1 rumus diatas disajikan dalam bentuk grafik sebagai contoh. Dengan mengambil harga-harga untuk R, ET, I dan S, modulus pembuang dapat dihitung. c). Debit Rencana Debit drainase rencana dari sawah di petak tersier dihitung sebagai berikut ; Q d f D m A dimana ; Qd f Dm A = debit rencana l/dt = faktor pengurangan (reduksi) daerah yang dibuang airnya, (satu petak tersier) = modulus pembuang l/dt/ha = luas daerah yang dibuang airnya, ha. - 30

46 Gambar.1 Contoh perhitungan modulus pembuang.5 Debit Banjir Rencana Yang dimaksud dengan debit banjir rencana (design flood) adalah besarnya debit yang direncanakan untuk melewati bendung atau spillway atau bisa juga bangunan pembuang/ drainase. Hal ini hendaknya dibedakan pengertiannya dengan banjir terbesar. Banjir terbesar akan terjadi kapan saja (tidak tertentu waktunya) dan tidak akan ada banjir yang lebih besar dari banjir terbesar ini. Debit banjir rencana (design flood) tidak sebesar banjir terbesar..5.1 Periode Ulang (Return Period) Debit banjir rencana (design flood) direncanakan sebagai debit banjir (flood) yang diharapkan akan terjadi pada waktu jangka waktu tertentu. Artinya pada suatu jangka waktu (periode) tersebut, banjir ini akan terjadi lagi. Misalnya banjir 50 tahun adalah banjir yang akan terjadi pada tiap-tiap 50 tahun sekali. Demikian pula banjir 100 tahun akan terjadi pada tiap 100 tahun sekali. Angka 50 tahun dan 100 tahun diatas disebut periode ulang (return period). Banjir dengan periode ulang 50 tahun disebut Q50, untuk periode ulang 100 tahun disebut Q100 dan seterusnya. Jadi kalau suatu bendung direncanakan dengan debit banjir rencana Q 50, artinya bendung itu akan mampu dilewati oleh banjir yang datangnya tiap 50 tahun sekali. - 31

47 Biasanya untuk bendung direncanakan dengan design flood antara Q50 sampai Q100, tergantung dari besar kecilnya bendung dan penting tidaknya bendung serta penting tidaknya daerah sebelah hilir bendung..5. Metode Perhitungan Untuk mencari besarnya design flood dengan return period tertentu, bisa menggunakan data-data debit sungai atau dapat pula data-data curah hujan. Analisis untuk mencari harga suatu besaran dengan suatu periode ulang tertentu disebut Frequency Analisis. Beberapa cara frequency analisis yang telah di kenal dan dipakai antara lain cara gumbel, cara huspers dan lain-lain. Disini hanya akan kita pelajari bagaimana penggunaan cara tersebut dan bukan teorinya. a). Cara Gumbel Data-data untuk metode ini yang harus tersedia adalah debit musiman tahunan atau curah hujan maksimum tahunan dengan pengamatan minimum 10 tahun. Xt = Xa + k. Sx dimana ; Xt T Xa = besaran yang diharapan terjadi dalam t tahun = return period = harga pengamatan rata-rata selama n tahun (automatic) selama n tahun k Sx = frequency factor = standar deviasi Harga frequency factor k tergantung dari banyaknya data yang teranalisis dan tergantung dari return period yang dikehendaki, sehingga didapat ; K Yt Yn Sn Xt Xa Yt Yn Sx Sn - 3

48 dimana ; Yt = reduced periode (untuk ini ada tabel hubungan antara Yt dan t (lihat tabel.31) Yn = reduced mean (ada tabel hubungan antara Yn dan n, dimana n adalah banyaknya pengamatan (lihat tabel.9) Sn = reduced standard deviation (ada berhubungan antara Sn dan n) lihat tabel.30) Harga standar deviasi = Sn ada dua rumus ; Xi Xa Sn atau n 1 dimana ; Xi = harga besaran pada pengamatan n = banyaknya data pengamatan Xa = harga besaran rata-rata Sn Xi Xa n 1 Xi b). Contoh Cara Gumbel Data debit maksimum tahunan suatu sungai dalam m 3 /det adalah sebagai berikut ; Tabel.6 Data debit maksimum tahunan Tahun Q (m 3 /dt) Harus dicari debit terbesar yang terjadi tiap 100 tahun sekali atau Q100. untuk menyelesaikan soal ini agar praktis dibuat daftar seperti dibawah ini ; - 33

49 Tabel. 7 Penentuan simpangan baku Tahun Xi (Xi) Xi-Xa (Xi-Xa) Total Xi Xa n Dari tabel.30 ; untuk n = 11 maka Sn = Dari tabel.9 ; untuk n = 11 maka Yn = 0,4996 Dari tabel.31 ; untuk t = 100 maka Yt = Sx Xi Xa n Xt Yt Yn Xa Sn Sx Xt x Jadi Q100 = 139 m 3 /det.5.3 Bila Data yang ada Data Curah Hujan (tidak ada data debit) Terlebih dahulu dibedakan antara curah hujan yang jatuh di daerah aliran dan yang jatuh di daerah yang akan diairi. Pengamatan curah hujan dari stasiun yang terletak di daerah aliran dipergunakan untuk mencari debit sungai. Sedangkan curah hujan dari stasiun di daerah yang - 34

50 akan diairi digunakan untuk menghitung banyaknya air sebagai sumbangan terhadap supply air dari saluran irigasi Stasiun Hujan Untuk mencari debit sungai, terlebih dahulu ditentukan stasiun hujan yang mewakili daerah alirannya, yakni stasiun yang terletak di dalam daerah aliran yang bersangkutan. Jika tidak ada stasiun yang dimaksud maka kita memakai stasiun hujan yang terdekat dengan daerah aliran tersebut. Hal ini sebetulnya tidak benar menurut prosedur yang semestinya. Tetapi dilakukan hanya sekedar daripada tidak ada data sama sekali, sedangkan kita harus mengerjakannya. Sudah barang tentu kwalitas data ini kurang baik. Jika kita memakai data semacam itu sebaiknya kita imbangi dengan faktor keamanan yang layak. Letak stasiun hujan yang telah dipilih kemudian diplot dalam gambar catchment areanya Curah Hujan Rata-rata a). Aritmatic Rata-rata aritmatic curah hujan adalah jumlah besarnya curah hujan dibagi banyaknya bilangan penjumlahan. Misalnya stasiun A = 00 mm, B = 300 mm dan C = 100 mm maka rata-ratanya = 1/3 ( ) = 00 mm b). Thiessen Metode Cara ini disebut pula thiessen polygon karena akan digunakan polygonpolygon. Setelah letak stasiun-stasiun hujan diplot dalam gambar catchment area, maka dibuatlah sumbu-sumbu garis-garis penghubung stasiun-stasiun hujan tersebut. Garis-garis sumbu ini akan membagi-bagi catchment area, yang akan diwakili oleh tiap-tiap stasiun. - 35

51 Gambar. Polygon Thiessen Stasiun A mewakili daerah antara catchment area dan sumbu 1 dan. Stasiun C antara catchment area, sumbu 3 dan 1. Jika Ra = curah hujan stasiun A dan La = luas daerah A, begitu pula Rb dan Lb untuk stasiun B, serta Rc dan Lc untuk stasiun C maka ; R rata rata Ra.La Rb.Lb Rc.Lc La Lb Lc Sudah barang tentu metode ini mempunyai batas-batas berlakunya, yakni pada kondisi bagaimana metode ini paling baik dipakai, atau sebaliknya. Hal ini lebih lanjut dapat dipelajari pada ilmu hidrologi. Juga cara-cara lain untuk mencari harga rata-rata dapat dipelajari pada ilmu hydrologi Metode Melchior Metode ini adalah metode yang sudah lama dipakai di Indonesia. Rumus yang dipakai adalah ; dimana ; Qmax Q max R max.a.q. 00 = debit max yang diharapkan terjadi (m 3 /det) = koefisien pengaliran - 36

52 A = luas catchment area (km ) q = debit tiap km (m 3 /det/km ) Rmax = curah hujan harian absolut max rata-rata dari stasiun yang mewakili (mm) Harga dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor antara lain ; kondisi tanah, kondisi tumbuh-tumbuhan, kemiringan terrain, kelembaban dan sebagainya. Pada tanah yang lebih porous harga makin kecil kondisi tumbuh-tumbuhan yang lebat harga kecil. Makin miring permukaan tanah, makin besar harga. Karena itu adalah sukar sekali untuk memastikan harga pada suatu kondisi tertentu sekalipun. Namun demikian secara praktis dapatlah harga diambil antara 0,6 dan 0,75. Demikianlah yang telah sering dipakai dan menghasilkan harga Qmax yang tidak jauh meleset. Apabila harga-harga, A dan Rmax telah ditentukan atau didapat dari data-data yang ada, maka tinggal harga Q yang perlu dicari. Untuk memudahkan perhitungan maka rumusnya telah dijadikan grafik dan tabel. Pada hakekatnya pencarian harga q ini adalah coba-coba. Prosedur pemakaian cara melchior adalah sebagai berikut ; a). Dibuat ellips pada gambar catchment area. Ellips ini bersifat meliputi catchment area dengan ketentuan ; a = /3.b, kalau a = sumbu pendek ellips b = sumbu panjang ellips Luas ellips = 1/4..a.b (km ).= A b). Miring sungai rata-rata, i H l Kalau l = panjang teoritis sungai H = perbedaan tinggi antara tempat rencana bendung dan tempat mulainya teoritis sungai L = 9/10.L, kalau L = panjang sungai c). Panjang sungai L yang diambil adalah panjang antara sumber anak sungai sampai ke tempat rencana bendung, harga L ini diambil yang terpanjang - 37

53 diantara anak-anak sungai yang ada. Apabila akan dihasilkan L yang sama diantara beberapa anak sungai, maka diambil anak sungai dengan sumber yang elevasinya tertinggi. d). Luas catchment area = A diukur dari gambar catchment area (dalam km ) e). Kita mulai mencoba dengan sesuatu harga q tertentu. Untuk percobaan ini supaya tidak terlalu jauh meleset hasilnya maka digunakan daftar 1 pada pada gambar.4. Untuk na tertentu akan didapat harga q (m 3 /dt/km ). Namakanlah q ini adalah q1. f). Dengan harga A.q1 dan i, dengan rumus ; v 1.31 Aqi, atau dengan grafik pada gambar.3 didapat harga v (m/dt). Perlu diperhatikan bahwa harga kemiringan dalam grafik tersebut adalah 10 4 i dan bukan i g). Time of concentration L T, T ini dinyatakan dalam menit. V h). Dengan harga T dan na maka dari grafik pada gambar.4 didapat harga q (m 3 /dt/km ). Pada grafik tersebut harga T dalam jam dan na dalam km. Harga q ini namakan sebagai q i). Apabila harga q ini tidak sama dengan harga q1 (yang dicoba tadi) maka prosedur f s/d h di atas diulang-ulang terus sampai didapatkan harga q yang sama. Namakanlah harga q yang telah sama ini sebagai q. j). Harga q ini harus ditambah dengan prosentase tertentu tergantung dari harga T yang bersangkutan, sebagai koreksi. Hubungan antara T dan prosentase ini bisa didapat pada daftar pada gambar.4. Harga q yang telah dikoreksi inilah yang akan dipakai pada rumus Q diatas. Dengan demikian harga Qmax akan didapat Metode Weduwen Metode ini digunakan untuk catchment area yang kurang dari 100 km. Weduwen mengembangkan metode ini di Jakarta dengan menggunakan data pengamatan hujan selama 70 tahun. Data hujan yang akan digunakan dalam cara Weduwen ini berbeda dengan data yang dipakai untuk cara Melchior. Sebagaimana diketahui untuk cara Melchior digunakan data curah hujan harian absolut maximum dan menghasilkan suatu debit tanpa return period tertentu. Sedangkan pada cara Weduwen dipakai cara curah hujan maksimum kedua selama masa pengamatan tertentu, dan menghasilkan suatu debit untuk return period tertentu. - 38

54 Curah hujan maksimum kedua adalah curah hujan setingkat dibawah absolut maksimum. Cara Weduwen menggunakan salah satu rumus dari ; Qn q x A x k atau R 70 Qn q x A x mn x 40 dimana ; Qn n = debit max. dalam suatu return period tertentu (m 3 /dt) = return period q = debit pada tiap km pada curah hujan harian 40 mm (m 3 /dt/km ) mn = koefisien (untuk suatu return period tertentu) R70 = curah hujan dengan return period 70 th. Data yang diperlukan dalam cara Weduwen ini adalah ; a). Data curah hujan harian maximum kedua (R) dan lama waktu pengamatanya (P) b). Luas catchment area (A) c). Kemiringan medan tebas (i) d). Return period yang kita kehendaki (n) Persamaan (a) a). Dengan harga A dan i, dari gambar.5 didapat harga q b). Dengan harga R dan P, dari nomogram dalam tabel.8 didapat harga R70. c). Dengan harga R70 dan return period yang kita kehendaki (n) dari tabel yang terdapat dalam tabel.8 didapat harga k d). Dengan persamaan (a) didapat harga Qn Persamaan (b) a). Dengan harga A dan i, dari gambar.5 didapat harga q. b). Dengan harga P, dari tabel.8 dalam halaman.43 didapat harga mp, yaitu suatu koefisien untuk R70 berhubungan dengan lamanya waktu pengamatan (P). R c). R70 = Mp tahun. dimana R adalah curah hujan max. kedua selama pengamatan N - 39

55 d). Dengan retun period yang kita kehendaki (n) dari tabel (seperti b) didapat harga mn, suatu koefisien berhubungan dengan return period. e). Dengan persamaan (b) didapat harga Qn. Pada hakekatnya mn dan mp adalah sama. Bedanya index n menunjukkan sebagai return period dan index p menunjukkan lamanya waktu pengamatan. Jika karena satu dan lain hal harga R (maksimum kedua) tidak diketahui tetapi harga absolut max. (M) diketahui, maka sebagai pendekatan dapat diambil ; 5 R M 6-40

56 Gambar.3 Grafik untuk menentukan V (dalam m/dt) - 41

57 Gambar.4 Grafik untuk menentukan nf - 4

58 Perhitungan curah hujan pada return period tertentu Contoh perhitungan cara Weduwen Tabel.8 Nilai mn/mp untuk return period tertentu n/p (tahun) m n /m p n/p (tahun) m n /m p 1/5 1/4 1/3 1/ m Rn m n p xr p dimana: p = lama pengamatan n = return period mp = koefesien faktor mn = koefesien faktor Rp = hujan max selama p tahun Rn = hujan max pada return period n tahun Contoh : Rp = 150 mm p = 15 tahun dari tabel.8 didapat mp = R x R x R x

59 Perhitungan Desain Banjir Metode Weduwen A = Luas daerah aliran =...km L = Panjang sungai =...km i = 9/10 L =...km =...m Elevasi dasar sungai di hulu +... Elevasi dasar sungai dekat bendung +... h = perbedaan elevasi =...m h i = = kemiringan sungai =... l Hubungan A dan i akan didapat nilai q =...(m 3 /det/km ) berdasarkan Gambar.5 R100 = R Q100 = q x A x 100 = 40 R...= Q.= q x A x R... = 40-44

60 A < 100 km A < 1 km dibulatkan = 1 km (untuk mendapatkan q) Gambar.5 Grafik hubungan luas daerah pengaliran dan debit - 45

61 Tabel.9 Reduced Mean Yn n Tabel.30 Reduced Standard Deviation Sn n Tabel.31 Reduced Variate Yt Return Period (year) = T Reduced Variate = Yt

62 Tabel.3 Koefisien Kekerasan (f) Material Batuan kompak, tak berurutan Batuan sedikit pecah-pecah Koral dan pasir kasar Pasir Lumpur dan Lempung Koefesien (f) (Perlu penyelidikan) Contoh Perhitungan Debit Maksimum dengan Metode Melchior Data-data ; a). Daerah aliran : sungai Cilangla b). Luas catchment area = A = 1 km c). Panjang seluruh sungai = L = km d). Peil di tempat 9/10 panjang sungai = e). Peil di tempat rencana bendung = + 5 f). Stasiun-stasiun hujan yang berpengaruh dan besarnya curah hujan absolut maximum adalah ; Tabel.33 Curah hujan absolute maksimum No. Stasiun Stasiun R. Absolut Max (mm) 1 Sodonghilir Cisegel Madur Cikancung Nagrak Ditanyakan ; debit maximum untuk sungai tersebut di tempat rencana bendung. Penyelesaian ; a). Stasiun hujan diplot pada catchment areanya, kemudian dibuat polygon thiessen. (gambar terlampir) b). Harga rata-rata curah hujan absolut maximum dicari sebagai berikut ; - 47

63 Tabel.34 Harga rata-rata curah hujan absolut maximum No. Stasiun Area Koefesien Thiessen Abs Max. R (4) x (5) b Sodonghilir 74,0 0, ,05 35 Cisegel 33,90 0, ,68 36 Madur 80,60 0, ,14 40 Cikancung 1,0 0, ,00 4 Nagrak,10 0, ,6 Jumlah 1,00 1, ,13 c). Dibuat ellips yang melingkupi catchment area dan didapatkan sumbu panjang ellips = a = 7.30 km. Sumbu pendek ellips = b = /3.a = 18.0 km. Luas ellips = na = 1/4 x x a x b = 390 km d). Miring sungai rata-rata = l 9 /10x37.50km 33.75km H ( 775) ( 5) 500m i l e). Percobaan (1) Daftar 1pada gambar.4 na = 390 km, didapat q1 = 3.0 m 3 /dt/km A x q1 = 1 x 3.0 = 680, i = Dari gambar.3 didapat v = 0.9 m/det T L menit V 60x0.9 jam T = 11,33 jam dan na = 390 km, dari gambar.4 didapat q = 3.10 m 3 /dt/km. q q1. f). Percobaan () A x q = 11 x 3.10 = 658 km dan i = dari gambar.3 didapat v = 0.91 m/det T L menit 11. jam V 60x

64 T = jam dan na = 390 km, dari gambar.4 didapat q3 = 3.10 m 3 /dt/km. q3 = q. g). Jadi didapat q = 3.10 m 3 /dt/km dan dengan T = 686 menit, dari daftar-daftar pada lembaran gambar.4 didapat harga p = 10%. Jadi q = = 3.41 m 3 /dt/km Daerah tersebut terletak di Jawa Barat dimana sudah banyak kampungkampung dan hutannya tidak lebat lagi, disamping itu daerahnya bergununggunung curam. Maka diambil = Q max = x A x q x = 0.75 x 1 x 3.41x 865 m / dt Contoh Perhitungan Design Flood dengan Metode Weduwen Data-data ; a). Daerah aliran sungai Cipalu b). Luas catchment area = A = km c). Panjang seluruh sungai = L = 1 km d). Peil ditempat 9/10 panjang sungai = + 70 e). Peil ditempat rencana bendung = + 70 f). Stasiun hujan yang berpengaruh, besarnya curah hujan maksimum kedua serta lamanya pengamatan adalah ; Tabel.35 Curah hujan maksimum dan lamanya pengamatan No Stasiun R Max. Kedua Pengawasan (th) 190a 1b Cikupa Sodonghilir Cisegel Bantankalong Ditanyakan ; debit maksimum untuk sungai tersebut ditempat rencana bendung yang terjadi sekali dalam 100 tahun. - 49

65 Penyelesaian ; l 9 /10 xl 9 /10 x 1km 18,90km ( 70) ( 70) 450 i l Stasiun-stasiun hujan diplot dalam catchment areanya, kemudian dibuat polygon thiessen dan dicari koefisiennya (lihat gambar terlampir). Dengan persamaan (a) Qn qxfxk ; Dengan A = km dan i = 0,04 dari gambar.5 didapat q 7.80m 3 / dt / km Untuk tiap-tiap stasiun, dengan harga R dan Pnya, dari nomogram pada tabel.8 didapat R70. Untuk tiap-tiap stasiun, dengan R70nya dan return period 100 tahun, dari tabel.8 didapat harga k Hasil-hasil dari No dan 3 diatas seperti tabel dibawah; Tabel.36 Nilai R, P dan jumlah koefesien (k) untuk R70 Stasiun R P R 70 k Koefesien Thiessen k (5) x (6) Cikupa Sodonghilir Cisegel Bantarkalong Jumlah 1.1 Jadi Qn = q x A x k 7.80 x x1.1 4 m 3 / dt Dengan persamaan (b) R 70 Qn q x A x mn 40 Dengan A = km dan i = 0,04 dari gambar.5 didapat q 7.80 m 3 / dt / km - 50

66 R70 Pada hakekatnya harga mnx disini adalah sama dengan harga k pada 40 R70 persamaan (a). Harga mnx untuk tiap-tiap stasiun dicari, kemudian dirataratakan dengan cara Thiessen. 40 Misalnya untuk stasiun Cikupa. Dengan P = 4 dapat dari Tabel.8, Mp = R 70 R Dengan return period (n) = 100, maka mn = 1.05 Mp Hasil-hasil untuk tiap-tiap stasiun seperti pada tabel dibawah ini ; Tabel.37 Nilai R, P dan R70 rata-rata Stasiun R P Mp R 70 Koefesien Thiessen R 70 (5) x (6) Cikupa Sodonghilir Cisegel Bantarkalong Jumlah Jadi R 70 Qn q x A x mn x x x1.05 x m 3 / dt.5.4 Kombinasi Melchior dan Gumbel Oleh karena dengan cara Melchior didapatkan debit tanpa suatu return period tertentu, maka sementara perencanaan mengadakan kombinasi antara cara Melchior dan Gumbel. R max Melchior : Q max = Fxqx 00 Harga R max disini diganti dengan harga Rn, yaitu curah hujan yang akan terjadi pada return period n tahun. Rn bisa dicari dengan metode Gumbel, dengan - 51

67 menganggap data-data curah hujan max tahunan sebagai rata-rata pengamatan (xi). Jadi data curah hujan yang dipakai disini bukan absolut maximum, tetapi data-data maximum tahunan. Dibawah ini diberikan contoh perhitungan kombinasi antara Melchior-Weduwen, Melchior Hoopers, Melchior-Gumbel, Rational Weduwen, Rational Haspers dan Rational Gumbel untuk luas catchment lebih besar dari 100 km. Sedangkan untuk luas catchment lebih kecil dari 100 km, kombinasi antara Weduwen- Weduwen, Weduwen Harpers, Weduwen Gumbel, Rational-Weduwen, Rational Haspers dan Rational Gumbel. Sebagai tambahan juga diberikan contoh perhitungan banjir dengan metode unit hydrograf. Gambar.6 Contoh perhitungan banjir dengan metode unit hidrograf - 5

68 Contoh Perhitungan Debit Banjir Rencana Kombinasi Untuk A > 100 km I. Perhitungan Debit Pengaliran tiap km dalam 4 jam (q) Luas daerah aliran sampai rencana bendung = A = 56 km A > 100 km dipakai metode Melchior Panjang sungai dari hulu sampai bendung = L = 33.0 km l = 9/10 x L = 9/10 x 33. = 9.88 km = 9880 m Sumbu ellips; a = km b = /3 a = /3 x = 1.00 km na = 1/4..a.b = 1/4 x 3.14 x x 1.00 = km Peil dasar sungai pada 1/10 L dari hulu = Peil dasar sungai pada rencana bendung = + 01 H = 1699 i = H/l = 1699/9880 = Daftar I pada gambar.4 na = 504 km q =.85 na = 576 km q =.65 na = 7 km q = Untuk na = km q.85 x q =.81 A.q = 56 x.84 = Untuk A.q = dan i = Menurut gambar.3 terdapat V = 1.54 T 1000L 60V menit untuk T = dan na = Menurut gambar.4 terdapat q = 4 A.q = 4 x 56 = jam Untuk A.q = 104 dan i = Menurut gambar.3 terdapat V = 1.66 T 1000L 60V menit untuk T = 5.56 jam dan na = jam - 53

69 Menurut gambar.4 terdapat q = 4.3 A.q = 4.3 x 56 = Untuk A.q = dan i = Menurut gambar.3 terdapat V = 1.67 T 1000L 60V menit untuk T = 5.5 jam dan na = Menurut gambar.4 terdapat q = 4.4 A.q = 4.4 x 56 = jam Untuk A.q = dan i = Menurut gambar.3 terdapat V = 1.67 T 1000L 60V menit untuk T = 5.5 jam dan na = Menurut gambar.4 terdapat q = 4.4 A.q = 4.4 x 56 = jam karena V dan T dalam percobaan ke 3 dan 4 sama maka didapat : q = 4.4 T = menit menurut daftar pada gambar.4 untuk T = terdapat P = 6 % q = q + 6% q = (6/100) x 4.4 = q = II. Perhitungan curah hujan (R) 1. Menghitung R50 dan R100 dari masing-masing stasiun hujan Dari poligon thiessen ternyata bahwa dari ke 5 stasiun hujan yang ada maka ada stasiun hujan yang mempengaruhi catchment area yaitu : - No. stasiun 38 Taripa - No. stasiun 384 Koekoe a. Cara Weduwen dengan Abs.Max. II - 54

70 Tabel.38 R50 dan R100 Cara Weduwen dengan Abs Max II untuk A > 100 km No. Stasiun 38 Nama Stasiun Taripa Lama Penyelidikan 7 Abs. Max II 159 R 50 R 100 (0.948/0.857) x 159 = (1.05/0.857) x 159 = Koekoe (0.948/0.845) x 187 = 09.8 (1.05/0.845) x 187 = 3.4 b. Cara Haspers - Stasiun Hujan Taripa (38) R abs max I = M1 = 161 R abs max II = M = 159 R rata-rata max = M = 140 Lama penyelidikan = 7 th = n Rain Fall R(M) 161 Rank m 1 Return Period T=(n+1)/m 8 Standard Variable Standar deviasi M M S M 1 M M S 1/ M /.19 1/ = M50 = R50 = M + S. 50 = x.75 = = M100 = R100 = M + S. 100 = x 3.43 = = Stasiun Hujan Koekoe (384) R abs max I = M1 = 187 R abs max II = M = 137 R rata-rata max = M = 14 Lama penyelidikan = 5 th = n - 55

71 Rain Fall R(M) 187 Rank m 1 Return Period T=(n+1)/m 6 Standard Variable Standar deviasi M M S M 1 M M S 1/ M /.13 1/ = M50 = R50 = M + S. 50 = x.75 = = M100 = R100 = M + S. 100 = x 3.43 = = c. Cara Gumbel Stasiun Hujan Taripa (38) Tabel.39 Analisis curah hujan untuk Stasiun Hujan Taripa Tahun x x Tahun x x

72 Diketahui : n = 4 ; Σx = 330 ; Σx = x x n untuk n = 4, maka didapat : Yn = (tabel.9) Sn = (tabel.30) YTR = , untuk periode 50 th (tabel.31) YTR = , untuk periode 100 th (tabel.31) Sehingga : Sx X TR x x( x) n 1 Y x TR Yn.Sx Sn R50 XTR x R100 XTR x Stasiun Hujan Koekoe (384) Tabel.40 Analisis curah hujan untuk Stasiun Hujan Koekoe Tahun x x Tahun x x

73 Diketahui : n = ; Σx = 01 ; Σx = x 01 x n untuk n =, maka didapat : Yn = (tabel.9) Sn = (tabel.30) YTR = , untuk periode 50 th (tabel.31) YTR = , untuk periode 100 th (tabel.31) Sehingga : Sx X TR x x n 1 Y x TR x Yn.Sx Sn R50 XTR x R100 XTR x Menghitung R50 dan R100 daerah pengaliran a. Cara Weduwen Thiessen Tabel.41 R50 dan R100 Cara Weduwen Thiessen No. St. Nama St. Luas (km ) R 50 R 100 (3) x (4) (3) x (5) Taripa Koekoe Jumlah R 50 R

74 b. Cara Haspers Thiessen Tabel.4 R50 dan R100 Cara Haspers Thiessen No. St. Nama St. Luas (km ) R 50 R 100 (3) x (4) (3) x (5) Taripa 11,5 169,8 177, 3591, , Koekoe 44,5 166,5 17,5 7409,5 7676,5 Jumlah ,3 349,7 4331, ,05 R 50 R c. Cara Gumbel Thiessen Tabel.43 R50 dan R100 Cara Gumbel Thiessen No. St. Nama St. Luas (km ) R 50 R 100 (3) x (4) (3) x (5) Taripa Koekoe Jumlah R 50 R III. Perhitungan Design Flood a. Melchior R Q A.q'. 00 A = 56 km q =

75 R Weduwen Thiessen : R50 = ; R100 = Haspers Thiessen : R50 = ; R100 = Gumbel Thiessen : R50 = ; R100 = Tabel.44 Perhitungan Debit Banjir (Qbanjir) Melchior Weduwen No. Periode Ulang A (km ) q' R R/00 Q (m 3 /det) (3) x (4) x (5) x (7) 1 Q Q Q Q Q Q Tabel.45 Perhitungan Debit Banjir (Qbanjir) Melchior Haspers No. Periode Ulang A (km ) q' R R/00 Q (m 3 /det) (3) x (4) x (5) x (7) 1 Q Q Q Q Q Q Tabel.46 Perhitungan Debit Banjir (Qbanjir) Melchior Gumbel No. Periode Ulang A (km ) q' R R/00 Q (m 3 /det) (3) x (4) x (5) x (7) 1 Q Q Q Q Q Q

76 b. Rasional metode dari Mononobe Mencari V dengan rumus Bayerr : V = 7 (H/L) 0.6 km/jam dimana : H = beda tinggi (km) L = 9/10 L (km) Dari metode Melchior sudah didapat : T H = 1699 m L = 33.0 km, sehingga L = 9/10 L = 9/10 x 33.0 = 9.88 km V = 7 (1.699/9.88) 0.6 = km/jam jam r R4 4 4 T / 3 a). Hasil Weduwen Thiessen R50 = ; R100 = 01.3 / Jadi r / r b). Hasil Haspers Thiesen R50 = 169. ; R100 = / Jadi r / r c). Hasil Gumbel Thiessen R50 = ; R100 = / Jadi r

77 / r Besarnya Design Flood Rumus Mononobe : Q dimana : A = 56 km..r.a Tabel.47 Perhitungan Debit Banjir (Qbanjir) Rasional Weduwen No. Periode Ulang r A (km ) Q (m 3 /det) (1/3.6) x (3) x (4) x (5) 1 Q Q Q Q Q Q Tabel.48 Perhitungan Debit Banjir (Qbanjir) Rasional Harpers No. Periode Ulang r A (km ) Q (m 3 /det) (1/3.6) x (3) x (4) x (5) 1 Q Q Q Q Q Q

78 Tabel.49 Perhitungan Debit Banjir (Qbanjir) Rasional Gumbel No. Periode Ulang r A (km ) Q (m 3 /det) (1/3.6) x (3) x (4) x (5) 1 Q Q Q Q Q Q Resume Tabel.50 Resume Debit Banjir (Qbanjir) dengan = 0.5 untuk A > 100 km No. Metode Q 50 (m 3 /det) Q 100 (m 3 /det) Melchior Weduwen Melchior Harpers Melchior Gumbel Rasional Weduwen Rasional Harpers Rasional Gumbel Tabel.51 Resume Debit Banjir (Qbanjir) dengan = 0.6 untuk A > 100 km No. Metode Q 50 (m 3 /det) Q 100 (m 3 /det) Melchior Weduwen Melchior Harpers Melchior Gumbel Rasional Weduwen Rasional Harpers Rasional Gumbel

79 Tabel.5 Resume Debit Banjir (Qbanjir) dengan = 0.75 untuk A > 100 km No. Metode Q 50 (m 3 /det) Q 100 (m 3 /det) Melchior Weduwen Melchior Harpers Melchior Gumbel Rasional Weduwen Rasional Harpers Rasional Gumbel

80 Gambar.7 Catchment area - 65

81 .5.4. Contoh Perhitungan Debit Banjir Rencana Kombinasi Untuk A < 100 km I. Perhitungan Debit Pengaliran tiap km dalam 4 jam (q) Luas daerah aliran sampai rencana bendung = A = 0 km A < 100 km dipakai metode Weduwen Panjang sungai dari hulu sampai bendung = L = 5.30 km l = 9/10 x L = 9/10 x 5.30 = 4.77 km = 4770 m Peil dasar sungai pada 1/10 L dari hulu = Peil dasar sungai pada rencana bendung = + 01 H = 649 i = H/l = 649/4770 = Untuk A = 0 km dan i = , maka didapat q = 16 pada gambar.5. II. Perhitungan Curah Hujan (R) 1. Menghitung R50 dan R100 dari masing-masing stasiun hujan Dari poligon thiessen ternyata bahwa dari ke 5 stasiun hujan yang ada maka ada stasiun hujan yang mempengaruhi catchment area yaitu : - No. stasiun 38 Taripa a. Cara Weduwen dengan hujan Abs.Max. II Tabel.53 R50 dan R100 Cara Weduwen dengan Abs Max II untuk F < 100 km No. Stasiun Nama Stasiun Lama Penyelidikan Abs. Max II 38 Taripa (0.948/0.857) x 159 = R 50 R 100 (1.05/0.857) x 159 = b. Cara Haspers - Stasiun Hujan Taripa (38) R abs max I = M1 = 161 R abs max II = M = 159 R rata-rata max = M = 140 Lama penyelidikan = 7 th = n Rain Fall R(M) 161 Rank m 1 Return Period T=(n+1)/m 8 Standard Variable

82 Standar deviasi M M S M 1 M M S 1/ M /.19 1/ = M50 = R50 = M + S. 50 = = = M100 = R100 = M + S. 100 = = = c. Cara Gumbel Stasiun Hujan Taripa (38) Tabel.54 Analisis curah hujan untuk Stasiun Hujan Taripa Tahun x x Tahun x x Diketahui : n = 4 ; Σx = 330 ; Σx = x x n untuk n = 4, maka didapat : Yn = (tabel.8) - 67

83 Sn = (tabel.9) YTR = , untuk periode 50 th (tabel.30) YTR = , untuk periode 100 th (tabel.30) Sehingga : Sx X TR x x( x) n 1 Y x TR Yn.Sx Sn R50 XTR x R100 XTR x Menghitung R50 dan R100 daerah pengaliran Berhubung hanya 1 stasiun yang berpengaruh terhadap catchment area maka hasilnya sama dengan di atas. a. Cara Weduwen Thiessen R50 = R100 = b. Cara Haspers Thiessen R50 = R100 = 177. c. Cara Gumbel Thiessen R50 = R100 = 05.6 III. Perhitungan Design Flood a. Weduwen R Q A.q'. 40 A = 0 km q = 16-68

84 R Weduwen Thiessen : R50 = ; R100 = Haspers Thiessen : R50 = ; R100 = 177. Gumbel Thiessen : R50 = ; R100 = 05.6 Tabel.55 Perhitungan Debit Banjir (Qbanjir) Weduwen Weduwen No. Periode Ulang A (km ) q' R R/40 Q (m 3 /det) (3) x (4) x (5) x (7) 1 Q Q Q Q Q Q Tabel.56 Perhitungan Debit Banjir (Qbanjir) Weduwen Haspers No. Periode Ulang A (km ) q' R R/40 Q (m 3 /det) (3) x (4) x (5) x (7) 1 Q Q Q Q Q Q Tabel.57 Perhitungan Debit Banjir (Qbanjir) Weduwen Gumbel No. Periode Ulang A (km ) q' R R/40 Q (m 3 /det) (3) x (4) x (5) x (7) 1 Q Q Q Q Q Q b. Rational Metode dari Mononobe Mencari V dengan rumus Bayerr : V = 7 (H/L) 0.6 km/jam - 69

85 dimana : H = beda tinggi (km) L = 9/10 L (km) Dari metode Melchior sudah didapat : T H = km L = 4.77 km V = 7 (0.649/4.77) 0.6 = km/jam jam r R4 4 4 T / 3 a). Hasil Weduwen Thiessen R50 = ; R100 = / Jadi r / r b). Hasil Haspers Thiesen R50 = ; R100 = 177. / Jadi r / r c). Hasil Gumbel Thiessen R50 = ; R100 = 05.6 / Jadi r / r

86 Besarnya Design Flood Rumus Mononobe : Q dimana : A = 0 km r.A Tabel.58 Perhitungan Debit Banjir (Qbanjir) Rasional Weduwen No. Periode Ulang r A (km ) Q (m 3 /det) (1/3.6) x (3) x (4) x (5) 1 Q Q Q Q Q Q Tabel.59 Perhitungan Debit Banjir (Qbanjir) Rasional Haspers No. Periode Ulang r A (km ) Q (m 3 /det) (1/3.6) x (3) x (4) x (5) 1 Q Q Q Q Q Q Tabel.60 Perhitungan Debit Banjir (Qbanjir) Rasional Gumbel No. Periode Ulang r A (km ) Q (m 3 /det) (1/3.6) x (3) x (4) x (5) 1 Q Q Q Q Q Q

87 Resume Tabel.61 Resume Debit Banjir (Qbanjir) dengan = 0.5 untuk A < 100 km No. Metode Q 50 (m 3 /det) Q 100 (m 3 /det) Weduwen Weduwen Weduwen Harpers Weduwen Gumbel Rasional Weduwen Rasional Harpers Rasional Gumbel Tabel.6 Resume Debit Banjir (Qbanjir) dengan = 0.6 untuk A < 100 km No. Metode Q 50 (m 3 /det) Q 100 (m 3 /det) Weduwen Weduwen Weduwen Harpers Weduwen Gumbel Rasional Weduwen Rasional Harpers Rasional Gumbel Tabel.63 Resume Debit Banjir (Qbanjir) dengan = 0.75 untuk A < 100 km No. Metode Q 50 (m 3 /det) Q 100 (m 3 /det) Weduwen Weduwen Weduwen Harpers Weduwen Gumbel Rasional Weduwen Rasional Harpers Rasional Gumbel

88 Contoh Lain Perhitungan Debit Banjir Rencana Kombinasi Untuk A < 100 km I. Perhitungan Debit Pengaliran tiap km dalam 4 jam (q) Luas daerah aliran sampai rencana bendung = A = 0 km A < 100 km dipakai metode Weduwen Panjang sungai dari hulu sampai bendung = L = 5.30 km l = 9/10 x L = 9/10 x 5.30 = 4.77 km = 4770 m Peil dasar sungai pada 1/10 L dari hulu = Peil dasar sungai pada rencana bendung = + 01 H = 649 i = H/l = 649/4770 = Untuk A = 0 km dan i = , maka didapat q = 16 pada gambar.5. II. Perhitungan Curah Hujan Cara Aritmatik Tabel.64 R100 Cara Aritmatik Nama Lama No. Sta Max I Max II Rata-rata Stasiun Penyelidikan 381 Tomata Taripa Tentena Koekoe Poso Jumlah Rata-rata mn Mp R

89 III. Perhitungan Debit Rumus Weduwen Q. A.q'. R 40 Tabel.65 Perhitungan Debit Banjir (Qbanjir) Weduwen No. R A (km ) q' R R/40 Q (m 3 /det) (3) x (4) x (5) x (7) R Max I rata-rata R Max II rata-rata R rata-rata R 100 rata-rata

90 Gambar.8 Catchment area - 75

91 .5.5 Contoh Perhitungan Debit Banjir Rencana Dengan Unit Hidrograf (UH) a). Perhitungan Unit Hidrograf Perhitungan Luas Catchment Panjang sungai Jarak titik berat dengan lokasi A L Lg =.05 km =. km = 1.1 km 4. tp = 1.4 (L x Lg) 0.3 = 1.85 jam 5. te = tp/ 5.5 = 0.33 jam 6. tr = lihat tabel = 1.1 jam Waktu banjir Cek Tp ( te < tr ) = tp x tr = ok =.375 jam Debit banjir/ maksimum cp qp Qp = lihat tabel = 75 x cp/tp = qp x (5.4/1000) x A = 0.69 = = m 3 /det W V = 1000 x 5.4 x A = Qp x Tp x 3600/ W = 5070 = Catchment Area tr Cp > Menghitung t dan Q X = tentukan V = Y = lihat tabel tergantung dari besarnya X dan V Tp =.375 jam t = X. Tp Qp = m 3 /dt Q = Y. Qp - 76

92 Tabel.66 Water Discharge in Proportion to Maximum Discharge V No X = T/Tp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp Y = q/qp

93 Tabel.67 Perhitungan unit hidrograf No. X=T/Tp V Y=q/qp Tp t=xxtp Qp Q=YxQp

94 Debit (m 3 /det) Pelatihan Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi Grafik Unit Hidrograf Waktu (jam) Gambar.9 Grafik Unit Hidrograf - 79

95 b). Hasil perhitungan hidrograf banjir Tabel.68 Hasil Perhitungan Hidrograf Banjir Q Unit Hydrograf ( 1 inchi ) Q Q Q Q Q Q Q Q Dari Jam Dari Jam Dari Jam Dari Jam Dari Jam Dari Jam Inflow Inflow No. Waktu Ke. 1 Ke. Ke. 3 Ke. 4 Ke. 5 Ke. 6 Hydrograf Hydrograf Jam Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi ( 6 jam ) ( 1 jam ) Run off Run off Run off Run off Run off Run off tersebar (5.4 mm) Distribusi Hujan 90 mm selama 6 jam (0 mm) (0 mm) (33 mm) (156 mm) (7 mm) (14 mm) (30 mm) (313 mm) % Hujan mm Hilang mm Run off mm (jam) (m 3 /dt) (m 3 /dt) (m 3 /dt) (m 3 /dt) (m 3 /dt) (m 3 /dt) (m 3 /dt) (m 3 /dt) (m 3 /dt)

96 BAB 3 PERHITUNGAN HIDROLIKA Dalam perencanaan irigasi perhitungan hidrolika yang sering dilakukan adalah perhitungan mengenai ; a. Dimensi saluran b. Perhitungan elevasi muka air di saluran c. Dimensi bangunan air 3.1 Dimensi Saluran Dalam perencanaan irigasi perhitungan dimensi saluran ada dua macam ; a). Perhitungan dimensi saluran untuk saluran tersier dan kuarter b). Perhitungan dimensi saluran untuk saluran sekunder dan primer Perhitungan Dimensi Saluran Tersier dan Kuarter Setelah debit rencana ditentukan dimensi saluran dapat dihitung dengan rumus strickler berikut ; V = k. R /3. I 1/ A R P A (b mh)h P b h Q VA n b h m 1 dimana ; Q = debit saluran m 3 /dt V = kecepatanaliran m/dt A = potongan melintang m (luas penampang) R = jari-jari hidrolis, m P = keliling basah, m b = lebar dasar, m h = tinggi air, m 3-1

97 n = perbandingan lebar dan dalam, b = nh I = kemiringan saluran k = koefisien kekerasan strickler, m 1/3 /dt m = kemiringan talut hor/vert (m : 1) Disini dianjurkan untuk merencanakan saluran irigasi dengan kriteria yang dirinci pada tabel 3.1. dalam lampiran 1 diberikan grafik dimana dimensi saluran dapat langsung dibaca dengan masukan (input) debit dan kemiringan rencana saluran. Karena digunakan saluran-saluran berukuran kecil nilai b/h adalah satu. Dalam grafik-grafik itu juga diberikan harga-harga kecepatan maksimum yang diizinkan. Untuk tujuan yang sama dalam buku petunjuk perencanaan jaringan irigasi tabeltabel dengan contoh-contoh perhitungan. Tabel 3.1 Kriteria perencanaan untuk saluran irigasi tanpa pasangan. Karakteristik Saluran Saluran Satuan Perencanaan Tersier Kuarter Kecepatan maksimum m/det sesuai dengan grafik perencanaan Kecepatan minimum m/det Harga k m 1/3 /det Lebar minimum dasar saluran m Kemiringan talud 1 : 1 1 : 1 Lebar minimum mercu m Tinggi minimum jagaan m Catatan ; Lebar dasar saluran akan sama dengan kedalaman air (b/h =1) Lebar tanggul akan lebih lebar daripada lebar minimum jika tanggul juga dipakai sebagai jalan petani atau inspeksi. 3 -

98 Gambar 3.1 Grafik Perencanaan untuk saluran tersier tanpa pasangan (k = 35, m = 1) Gambar 3. Grafik Perencanaan untuk saluran kuarter (k = 30, m = 1) 3-3

99 3.1. Perhitungan Dimensi Saluran Sekunder dan Primer 1. Langkah-langkah perhitungan dimensi saluran (setiap ruas saluran) a). Luas sawah dan kebutuhan air /ha Q =? (data) Medan (kemiringan) I =? (diperlukan tinggi muka air rencana) b). Plot Q dan I pada gambar 3.5 I R c). Keadaan sidemen < 1000 ppm atau > 0000 ppm Keadaan tanah : lempung CL simpul indek plastik PI nilai banding tangga jari jarilengkung * dalamair lebarpermu kaan Untuk mendapatkan nilai Vb maka menggunakan gambar 3.3, dan yang perlu diketahui adalah : - < 1000 ppm - PI - CL Untuk mendapatkan faktor koreksi maka menggunakan gambar 3.4, Faktor koreksi A, data yang perlu diketahui adalah : - CL - Nilai banding rongga Faktor koreksi B, data yang perlu diketahui adalah : - kedalaman air (h) Faktor koreksi C, data yang perlu diketahui adalah : Jari lengkung(p) P lebar permukaan (b mh) (b mh) d). Q menurun : - I R membesar dasar saluran tidak ada pengendapan - I R mengecil dasar saluran ada pengendapan e). Bila : - Vba > Vbd tidak ada erosi, - Vba < Vbd mudah tererosi dimana Vbd adalah kecepatan dasar rencana, Vbd =

100 f). Buat tabel : Q, n, k, I, h, b, V, I R dan Vbd Tentukan besarnya Q. Tentukan besarnya, m, n dan k (berdasarkan Tabel 3.5. Tentukan besarnya I berdasarkan Ploting Q dan I. Hitung h, b dan V dan I R dengan rumus Strickler. g). Hitung Vbd Dari data h didapat faktor koreksi B (gambar 3.4.c) V V V bd max ba V B V V b b x A xb x C x A dimana: V = kecepatan Vmax = kecepatan max yang diizikan Vb Vba Vbd = kecepatan dasar = kecepatan dasar yang diizinkan = kecepatan dasar rencana h). Menghitung Dimensi Saluran dengan dasar Vbd, Q, m, n, k, h, b dan I. Langkah-langkah Perhitungan Dimensi Saluran (setiap jenis tanah dasar) I. Kapasitas Saluran C. NFR. A Q e Effisien (e) : Tersier (15-) % = et = Sekunder (7.5-1,5) % = es = Primer (7.5-1,5) % = ep = sehingga : e = et x es x ep = ( ) %

101 C.NFR.A Q1 untuk saluran tersier e t t C.NFR.A Q untuk saluran sekunder e.e t s s C.NFR.A Q3 untuk saluran primer e.e.e p Koefisien Pengurangan (C) : Serentak C = 1 Golongan pada DI a. tersier C = 1 b. sekunder C = 1 c. primer C < 1 C = 0.80 Golongan pada sekunder a. tersier C = 1 b. sekunder C < 1 C = 0.80 c. primer C < 1 C = 0.80 Golongan pada tersier a. tersier C < 1 C = 0.80 b. sekunder C < 1 C = 0.80 c. primer C < 1 C = 0.80 Luas daerah yang diairi (A) : A = 0.90 x uas hasil planimeter Kebutuhan Bersih Air disawah (NFR) : NFR = kebutuhan air maksimum selama umur tanaman II. Perencanaan Dimensi Saluran Q = V.A R = A/P P = b+h 1 m V = k. R /3.I 1/ A = (b + mh) h ; b =nh ; d = h+w 3-6

102 Tabel 3. Nilai k berdasarkan jenis saluran dan atau Q rencana Jenis/Q Rencana 1. Saluran beton. Saluran pasangan 3. Saluran tanah dengan : Q > 10 m 3 /det 5 < Q < 10 1 < Q < 5 Q < 1 m 3 /det k k n / 3 P 1 k P i 1.5 i / 3 III. Kemiringan Saluran Diambil dari kemiringan medan yang dilalui as saluran. Hitung kemiringan medan setiap ruas saluran atau setiap penampang melintang. IV. Keadaan Sedimen Banyak sedimen yang dikandung oleh air yang mengalir ke saluran (sungai dekat rencana bendung) =. ppm. Grafik a) > ppm dan grafik b) < ppm V. Keadaan Tanah Dasar Saluran Nama jenis tanah : Simbol kelompok : (tabel 3.6) Batas cair Batas plastik = WL =... (5 x hentakan) pecah Indek plastis = PI = WL WP = Volume tanah jenuh = VJ = Volume air = Va = Nilai banding rongga = WP = (diameter 1/8 inchi) 4 cm (digiling) Va = a = Vj 3-7

103 VI. Kecepatan Dasar yang diizinkan (V ba ) Vba = Vb x A Nilai kecepatan dasar (Vb) didapat dari grafik 3.3 berdasarkan : Sedimen : ppm Simbol : PI : Nilai faktor koreksi (A) didapat dari grafik 3.4 berdasarkan : Simbol : Rongga : Kontrol : a). Pengendapan Q mengecil I R membesar tidak terjadi pengendapan b). Erosi Vbd < 0.70 m/dt (kecepatan dasar rencana) Vbd < Vba tidak terjadi erosi VII. Kemiringan Medan C.NFR. A Q e.e. e t s p dimana: NFR = kebutuhan air netto et es ep A C = efisiensi di saluran tersier = efisiensi di saluran sekunder = efisiensi di saluran primer = luas yang diairi = koefisien akibat golongan I = EL.hulu EL.hilir jarak 3-8

104 Tabel 3.3 Form Perhitungan Dimensi Saluran A Q EL. Hulu EL. Hilir Jarak No. Nama Saluran (ha) (m 3 I Keterangan /det) (m) (m) (m) A = ah = (n + m)h P = ph = (n + m 1 )h R = ch = 8 / 3 h a.c a h p Q / 3.k.I 1/ 3-9

105 Tabel 3.4 Data profil saluran garis A Q k a b c m n C /3 I I 1/ h 8/3 h b v I(R) 1/ B (bd) 1/ (ab) 1/ v bd < v ab (m 3 /dt) (m 1/3 /det) A = ah P = ph R =a/p h

106 Tabel 3.5 Data profil saluran garis B Q k a b c m n C /3 I I 1/ h 8/3 h b v I(R) 1/ B (bd) 1/ (ab) 1/ v bd < v ab (m 3 /dt) (m 1/3 /det) A = ah P = ph R =a/p h

107 Q = A. V V = k. R /3. I 1/ Q = ah. k. (ch) /3. I 1/ ah. (ch) /3 = Q 1/ k.i 6 / 3 / 3 h.h ac / 3 Q.k.I 1/ 3-1

108 Gunakan kurve ukuran butir dalam mengidentifikasi fraksi yang diberikan menurut identifikasi lapangan Tentukan persentase kerikil dan pasir dari kurve ukuran butir. Bergantung kepada persentase bahan halus (fraksi yang lebih kecil dari ayak no. 00), tanah berbutir kasar diklasifikasi sebagai berikut : Kurang dari 5% Lebih dari 1% 5% sampai 1% GW, GP, SW, SP GM, GC, SM, SC Yang terletak di garis batas memerlukan dua simbol Pelatihan Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi Tabel 3.6 Kriteria klasifikasi tanah secara laboratorium dari USBR/ USCE INFORMASI YANG DIPERLUKAN UNTUK MENJELASKAN TANAH Berikan nama jenis, tunjukkan perkiraan persentase pasir dan kerikil, ukuran maks; persikuan,kondisi permukaan dan kekasaran butir; nama setempat atau geologis dan informasi deskriptif yang relevan lainnya; dan simbol dalam tanda kurung ( ). Untuk tanah tak terganggu tambahkan informasi mengenai perlaisan, tingkat kepadatan, sementasi, kondisi kelembapan dan karakteristik pembuangan (drainase) Contoh : Pasir lanauan, kerikilan; kurang lebih 0% keras. Partikel kerikil bersiku, ukuran maks.1/ inci; partikel pasir bulat dan kasar sampai halus; sekitar 15% bahan halus nonplastis dengan kekuatan kering rendah; padat dan lembab di tempat; pasir aluvial; (SM) KRITERIA KLASIFIKASI LABORATORIS c c u D D lebih besar dari 4 D30 D x D antara satudan3 Tidak memenuhi semua pernyataan gradasi untuk GW Batas Atterberg di bawah garis "A" atau PI kurang dari 4 Batas Atterberg di atas garis "A" dengan PI lebih dari 7 c c c u c D60 lebihbesardari 6 D 10 D10 D x D antarasatudan3 Batas Atterberg di bawah garis "A" atau PI kurang dari A Batas Atterberg di atas garis "A" dengan PI lebih besar dari 7 Di atas garis "A" dengan PI antara 4 dan 7 berarti ada di garis batas dan memerlukan dua simbol. Tidak memenuhi semua persyaratan untuk SW Di atas garis "A" dengan PI antara 4 dan 7 berarti ada di garis batas dan memerlukan dua simbol. Berikan nama jenis; tunjukkan tingkat dan sifat besarnya plastisitas dan ukuran maks. butir kasar; warna dalam kondisi basah, bau (kalau berbau), nama setempat atau geologis, dan informasi deskriptif yang relevan lainnya; dan simbol dalam tanda kurung. Untuk tanah tidak terganggu, tambahkan informasi mengenai struktur, perlapisan konsistensi dalam keadaan tak terganggu, kondisi kelembapan dan drainase. Contoh : Lumpur lanauan coklat, agak plastis; persentase pasir halusnya rendah; terdapat lubnag-lubang akar vertikal; kuat dan kering di tempat, lus; (ML) 3-13

109 TANAH BERBUTIR HALUS Lebih dari separoh bahan lebih kecil dari ukuran ayak No. 00 TANAH BERBUTIR KASAR Lebih dari separoh bahan lebih besar dari ukuran ayak No. 00 (Ayak No. 00 sebesar kurang dari partikel terkecil yang bisa dilihat dengan mata telanjang) PASIR Lebih separoh dari fraksi kasar lebih kecil dari ukuran ayak No. 4 KERIKIL Lebih separoh dari fraksi kasar lebih besar dari ukuran ayak No. 4 (Untuk klasifikasi visual, ukuran 1/4 dapat dianggap sama dengan ukuran ayak No. 4) Pelatihan Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi Tabel 3.6 Kriteria klasifikasi tanah secara laboratoris dari USBR/ USCE (lanjutan) PROSEDUR IDENTIFIKASI LAPANGAN (Tidak termasuk partikel-partikel yang lebih besar dari 3 inci dan mendasarkan fraksi pada berat perkiraan) PROSEDUR IDENTIFIKASI BUTIR YANG LEBIH KECIL DARI UKURAN AYAK NO. 40 LANAU DAN LEMPUNG Batas cair kurang dari 50 LANAU DAN LEMPUNG Batas cair lebih dari 50 KERIKIL BERSIH (dengan sedikit/ tanpa bahan halus) KERIKIL DENGAN BAHAN HALUS (bahan halus cukup banyak) PASIR BERSIH (dengan sedikit/ tanpa bahan halus) PASIR DENGAN BAHAN HALUS (bahan halus cukup banyak) TANAH ORGANIK TINGGI Bermacam-macam ukuran butir dan partikel berukuran sedang dalam jumlah besar. Ada satu ukuran dominan, atau berbagai ukuran dengan beberapa ukuran sedang hilang. Bahan halus nonplastis (untuk prosedur identifikasi lihat ML di bawah ini). Bahan halus plastis (untuk prosedur identifikasi lihat CL di bawah ini) Bermacam-macam ukuran butir dan partikel berukuran sedang dalam jumlah besar. Ada satu ukuran dominan, atau berbagai ukuran dengan beberapa ukuran sedang hilang. Bahan halus nonplastis (untuk prosedur identifikasi lihat ML di bawah ini). Bahan halus plastis (untuk prosedur identifikasi lihat CL di bawah ini) KEKUATAN KERING (KARAKTERISTIK PECAH) Nol sampai rendah Sedang sampai tinggi Rendah sampai sedang Rendah sampai sedang Tinggi sampai sangat tinggi Sedang sampai tinggi DILANTASI (REAKSI TERHADAP GETARAN) Cepat sampai lambat Nol sampai sangat lambat KEKERASAN (KEKENTALAN MENDEKATI BATAS PLASTIS) Nol Sedang Lambat Rendah Lambat sampai Nol Nol Tinggi Nol sampai sangat lambat Rendah sampai sedang Rendah sampai sedang Mudah dikenali lewat warna, bau, empuk spt spon, dan sering lewat jaringannya yang tampak seperti serat SIMBOL KELOMPOK 1) GW Kerikil gradasi, baik campuran kerikil-pasir, dengan sedikit atau tanpa bahan halus GP kerikil gradasi jelek, campuran kerikil-pasir, dengan sedikit/ tak berbahan halus GM Kerikil lanauan, campuran kerikil-pasir lanau bergradasi jelek GC Kerikil lumpuran, campuran kerikil-pasir lanau bergradasi jelek SW Pasir gradasi baik, pasir kerikilan, dengan sedikit atau tanpa bahan halus SP Pasir gradasi jelek, pasir kerikilan; dengan sedikit/ tanpa bahan halus SM Pasir lanauan, campuran pasir-lanau bergradasi jelek SC Pasir lempungan, campuran pasir lempung bergradasi jelek ML Lanau inorganik dan pasir, batu tumbuk yang amat halus, pasir lanauan atau halus, plastisitas rendah CL Lempung liat inorganik dengan plastisitas rendah sampai sedang, lempung lanauan pasiran, kerikilan, dan lempung kurus OL Lanau organik dan lanau-lempung dengan plastisitas rendah MH Lanau inorganik, pasir halus bermika/ diatomea atau tanah lanauan, lanau elastis CH Lanau inorganik dengan plastisitas tinggi, lempung gemuk OH Lempung organik dengan plastisitas sedang sampai tinggi Pt Tanah gambut dan jenis-jenis tanah organik tinggi yang lain 1. Klasifikasi menurut kebulatan : tanah-tanah yang memiliki karakteristik dua kelompok ditunjukkan dengan dua simbol kelompok, misalnya GW - GC, campuran kerikil-pasir halus dengan pengikat lempung. Ukuran-ukuran ayak dalam tabel ini menurut standar Amerika. NAMA JENIS DISADUR OLEH US CORPS OF ENGINEER AND US BUREAU OF RECLAMATION, JANUARI

110 Gambar 3.3 Kecepatan-kecepatan dasar untuk tanah koheren (SCS) 3-15

111 Gambar 3.4 Faktor-faktor koreksi terhadap kecepatan dasar (SCS) V maks = Vb x A x B x C dimana ; Vmaks Vb A B C = kecepatan maksimum yang diizinkan m/dt = kecepatan dasar m/dt = faktor koreksi untuk angka pori permukaan saluran = faktor koreksi untuk kedalaman air = faktor koreksi untuk lengkung dan kecepatan dasar yagn diizinkan Vba = Vb x A 3-16

112 3-17

113 Tabel 3.7 Karakteristik saluran yang dipakai dengan gambar 3.5. Debit Kemiringan talud Perbandingan b/h Faktor (m 3 /dt) 1 : m n kekasaran k Perencanaan Profil Saluran Dalam merencanakan saluran, ikutilah langkah-langkah berikut ; a). Tentukan debit rencana serta kemiringan yang terbaik untuk tiap ruas saluran, berdasarkan kemiringan medan yang ada dan tinggi bangunan sadap tersier yang diperlukan. Ini menghasilkan titik dengan harga khusus Qd dan I. b). Plotlah titik-titik Qd I untuk masing-masing saluran berikutnya, mulai dari bangunan utama hingga ujung saluran sekunder dan tariklah garis melalui titiktitik ini. Dalam gambar 3.5 diberikan contoh dua garis untuk dua jaringan saluran yang berbeda. Perlu diingat bahwa garis-garis ini bisa berbeda untuk jaringan-jaringan saluran lainnya. c). Tentukan harga kecepatan dasar yang diizinkan Vba bagi setiap ruas saluran berdasarkan kondisi tanah dengan gambar 3.3b. Misalnya ; jaringan irigasi 3-18

114 akan dibangun pada bahan tanah yang terdiri dari lempung CL dengan harga indeks plastisitas PI di atas 16 dan kandungan sedimen dibawah ppm. Ini menghasilkan Vb-1 m/dt. Angka tanah tersebut lebih dari 0.8 dan oleh sebab itu, faktor koreksi A pada gambar 3.4a sekurang-kurangnya 1.0. Ini menghasilkan kecepatan dasar yang diizinkan Vba = Vb x A = 1.0 x 1.0 = 1.0 m/dt untuk seluruh daerah proyek. d). Garis-garis Qd I A dan B mempunyai harga-harga dengan menurunnya harga Qd. I R yang makin besar Hal ini berarti bahwa harga kapasitas angkutan sedimen di kedua jaringan saluran tersebut makin bertambah besar ke arah hilir. Diperkirakan sedimentasi tidak akan terjadi. e). Garis-garis Qd-I,menunjukkan bahwa kecepatan dasar rencana Vbd jelas di bawah 0,70 m/dt. Karena kecepatan dasar rencana yang diizinkan (langkah 3) dihitung 1.0 m/dt, maka diperkirakan tidak akan timbul masalah erosi. f). Potongan melintang dihitung dengan Qd-I kurve Gambar 3.5 sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.8 dan 3.9. Harga-harga untuk kolom,3 dan 4 diambil dari kriteria perencanaan. Harga-harga pada kolom 6,7,8 dan 9 dihitung dengan rumus strickler, sedangkan pada kolom 10 dihitung dengan cara membagi harga kecepatan rencana pada kolom 8 dengan faktor koreksi kedalaman B dari Gambar 3.4. g). Harga-harga kemiringan saluran mungkin harus dimodifikasi sebagai berikut ; Jika Vbd melampui Vba, maka harga kemiringan saluran diambil lebih rendah dan mungkin diperlukan bangunan terjun. Bila kemiringan saluran pada langkah 1 untuk suatu ruas ternyata lebih landai dari kemiringan yang dibutuhkan untuk garis I R yang baik, maka kemiringan tersebut akan ditambah dan sebagai akibatnya pelaksanaan dilakukan pada timbunan. Tabel 3.8 dan 3.9 memberikan potongan melintang untuk harga-harga debit rencana yang dipilih. Untuk harga Qd yang lain, potongan melintang dihitung dengan mengambil harga-harga m,n dan k dari kriteria perencanaan dan potongan memanjang diambil dari grafik perencanaan saluran. 3-19

115 Tabel 3.8 Data Profil saluran Garis A Q k I h b v I(R) 1/ v bd m n (m 3 /dt) (m 1/3 /det) (10-3 ) m m m/dt (10-4 ) m/dt Tabel 3.9 Data Profil saluran Garis B Q k I h b v I(R) 1/ v bd m n (m 3 /dt) (m 1/3 /det) (10-3 ) m m m/dt (10-4 ) m/dt

116 3-1

117 Cara I Untuk Saluran Tersier, Sekunder dan Primer Tabel 3.10 Perhitungan untuk saluran tersier, sekunder dan primer Q v (m/dt) b/h (m 3 /dt) utk lempung biasa Talud utk lempung biasa : : 1 Nilai K : : 1 50 Untuk saluran-saluran yang : 1 dipelihara baik, dengan debit : 1 diatas 10 m 3 /dt : dengan debit 5-10 m 3 /dt : dengan debit dibawah 5 m 3 /dt : untuk saluran muka : untuk saluran tersier : untuk saluran pasangan : : : : : Keterangan Bila B nh V = tabel Rumus yang dipakai : Caranya : Q Q = A x V R = P A V = k. R /3. I 1/ I = V k.r = diketahui / 3 V, k, n = b/h didapat dari tabel Q V A = m nh h b F H = didapat = n..h didapat dan dibulatkan = (b + mh)h dengan menggunakan rumus ini = dapat dicari lagi 3 -

118 P = b + (h R = R /3 A P = didapat 1 m ) I = V k.r / 3 Cara II Untuk Saluran Tersier, Sekunder dan Primer Tabel 3.11 Perhitungan untuk saluran tersier, sekunder dan primer Q v (m/dt) b/h (m 3 /dt) utk lempung biasa Talud utk lempung biasa : : 1 Nilai K : : 1 50 Untuk saluran-saluran yang : 1 dipelihara baik, dengan debit : 1 diatas 10 m 3 /dt : dengan debit 5-10 m 3 /dt : dengan debit dibawah 5 m 3 /dt : untuk saluran muka : untuk saluran tersier : untuk saluran pasangan : : : : : Keterangan Bila B nh V = tabel Rumus yang dipakai : Caranya : Q Q = A x V R = P A V = k. R /3. I 1/ I = V k.r = diketahui / 3 3-3

119 V, k, n = b/h didapat dari tabel Q V A = m n h h = didapat b = n..h didapat dan dibulatkan F = (b + mh)h dengan menggunakan rumus ini H = dapat dicari lagi P = b + (h 1 m ) Tabel 3.1 Nilai perbandingan antara P dan h m n P h h h h h h h h h h h h h R = R /3 A P = didapat V I = / 3 k.r 3-4

120 Cara III Urutan perhitungan dimensi saluran primer dan sekunder 1. Ambil skema saluran irigasi (hasil perencanaan). Tentukan saluran dari bendung sampai dengan saluran sekunder ruas terakhir, kemudian sekunder lainnya. 3. Hitung debit rencana saluran primer Qd = (A x NFR)/ (et x es x ep) 4. Hitung debit rencana saluran sekunder Qd = (A x NFR)/ (et x es x ep) 5. Tentukan kemiringan saluran I dari keadaan medan as saluran dengan tabel Tentukan n, m dan k dengan melihat Qd dan tabel Hitung lebar saluran b dan dalam air di saluran h dengan rumus di bawah ini dan tabel 3.4 dan 3.5 Q = A x V V = k.r /3.I 1/ A = (n + m)h = ah P = (n + 1 m )h = ph R = A/P = (a/p) h = ch Q = ah. k. (ch) /3. I 1/ ah. (ch) /3 = Q/k. I 1/ h 6/3. h /3 = Q/a. c /3. k. I 1/ h 8/3 = Q/a. c /3. k. I 1/ 8. Hitung lagi V = Qd/ (b.h + mh ) 9. Hitung I R 10. Dari data h tentukan faktor koreksi B denga melihat gambar Hitung Vbd = V/B 1. Lakukan pengecekan dasar recana Vbd dengan Vbd 13. Bila Vbd > Vba saluran akan tererosi jadi V harus dikurangi atau i dilandaikan 3-5

121 Kandungan sedimen Plastik Indek < 1000 ppm > ppm PI Lihat gambar 3.3 Kecepatan dasar Vb Jenis warna tanah dasar saluran Lempung CL Lihat gambar 3.4 Faktor koreksi A Kecepatan dasar yang diizinkan Nilai banding rongga Lihat gambar 3.4 Kecepatan max yang diizinkan Dalam air di saluran h Faktor koreksi B Jari-jari hidrolis Lebar permukaan air R = A/P R/(b+mh) (b+mh) Lihat gambar 3.4 Faktor koreksi C Kecepatan dasar rencana Qd/A V Bila Vbd > Vba maka kecepatan V dikurangi atau kemiringan I dilandaikan Gambar 3.7 Flowchart Pengecekan kecepatan Dasar Rencna Vbd Vba Vmax Vbd = Vb x A = Vb x A x B x C = V/B 3-6

122 3. Perhitungan Elevasi Muka Air Rencana Untuk menentukan muka air rencana saluran harus tersedia data-data topografi yang lengkap misalnya ; a). peta lay out skala 1:5000 b). peta trase saluran skala 1:000 c). potongan memanjang as saluran/ rencana saluran skala horisontal 1:000 dan vertikal 1:00 d). potongan melintang setiap jarak 50 m e). elevasi sawah 7.5 meter dari as saluran irigasi atau pembuang tersier atau kwarter harus diketahui. Hal ini penting karena ; a). saluran kwarter harus dapat memberikan air ke sawah-sawah yang direncanakan akan diairi b). pembuang kwarter dan tersier harus dapat menerima kelebihan air dari sawah di dekatnya c). jalan inspeksi atau jalan petani 0,5 m diatas permukaan sawah disekitarnya Pada waktu menentukan elevasi tanah sawah tertinggi di sawah dalam petak tersier hendaknya selalu diingat apakah daerah itu sudah diratakan atau akan diratakan dimasa yang akan datang. Kadang-kadang tidak diajukan untuk mengairi bagian petak tersier yang sangat tinggi, karena ini akan memerlukan muka air yang lebih tinggi di saluran tingkat sekunder dan primer. Biaya pelaksanaan yang amat besar akan diperlukan untuk ini. Sebagai contoh penentuan muka air disaluran induk (primer) atau sekunder dapat dilhat pada halaman berikut. Gambar 3.8 Elevasi bangunan sadap tersier yang diperlukan 3-7

123 Elevasi muka air yang diperlukan disaluran primer/ sekunder di hulu bangunan sadap tersier dapat ditentukan dengan rumus berikut ; P = A + a + b + n.c + d+ m.e + f + g + H + z dimana ; P = muka air yang dibutuhkan jaringan utama di hulu bangunan sadap tersier A = elevasi sawah yang menentukan di petak tersier a = kedalaman air disawah (~ 10 cm) b = kehilangan tinggi energi dari saluran kuarter sampai sawah (~ 10 cm) c = kehilangan tinggi energi di boks bagi kuarter (5 15 cm/boks) n = jumlah boks bagi kuarter pada saluran yang direncana d = kehilangan tinggi energi selama pengaliran di saluran tersier dan kuarter (I x L cm) e = kehilangan tinggi energi di boks bagi tersier (~ 10 cm/boks) m = jumlah boks tersier pada saluran yang direncana f = kehilangan tinggi energi di gorong-gorong (~ 5 cm per gorong-gorong) z = kehilangan tinggi energi bangunan-bangunan tersier yang lain g = kehilangan tinggi energi di pintu romijn (~ /3 H) H = variasi tinggi muka air di jaringan utama di hulu bangunan sadap tersier ( h100) h100 = kedalaman air rencana di saluran primer atau sekunder pada bangunan sadap 3.3 Dimensi Bangunan Air Dimensi Bangunan Utama (Bendung) a). Peil Mercu Bendung 1. Elevasi Peil mercu bendung ditentukan oleh beberapa macam faktor, antara lain elevasi sawah tertinggi yang akan diairi, tingginya air di sawah, kehilangan tekanan pada pemasukan kesaluran-saluran, pada alat-alat ukur, pada bangunan-bangunan lain yang terdapat di saluran dan sebagainya. 3-8

124 Pada umumnya angka-angka patokan dibawah ini dapat dipakai ; Tabel 3.13 Angka-angka acuan untuk penetapan kehilangan tekan Uraian Elevasi sawah tertinggi Tingginya air disawah Kehilangan tek. Dari tersier ke sawah Kehilangan tek. dari sekunder ke tersier Kehilangan tek. dari primer ke sekunder Kehilangan tek. karena miring saluran Kehilangan tek. di alat-alat ukur Kehilangan tek. dari sungai ke primer Persediaan tek. karena ekploitasi Persediaan untuk lain-lain bangunan Peil mercu bendung Elevasi + x X m (ini belum termasuk kehilangan air akibat jarak antara sawah dan bendung). Angka diatas hanyalah sekedar untuk acuan bila data-data yang lengkap tidak tersedia. Sudah barang tentu angka-angka tersebut akan berubah sesuai dengan kebutuhan. Perlu dijelaskan disini bahwa persediaan tekanan karena ekploitasi ini adalah perlu, sebab pada saat muka air di sungai mencapai peil normal, yaitu setinggi mercu bendung, maka karena kemungkinan adanya gelombang, sebagian airnya akan melimpasi mercu. Dalam hal ini berarti bahwa peil air normal sebenarnya tidak lagi setinggi mercu bendung, tetapi kurang dari itu, dan di taksir 10 cm di bawahnya. Karena itu dalam exploitasi dan dalam perhitungan pintu intake dianggap bahwa peil air normal sungai adalah 10 cm di bawah peil mercu.. Tinggi Bendung Yang dimaksud dengan tinggi bendung disini adalah jarak antara lantai muka bendung sampai puncak bendung (P). Dalam hal ini belum ada ketentuan yang tegas mengenai harga P. Tetapi dilihat dari segi stabilitas bendung maka dapatlah dianjurkan agar : P < 4 m dengan minimum P = 0,5 H. 3-9

125 Mengenai lantai muka bendung, jika bendung tersebut dibangun di palung sungai maka peilnya adalah peil dasar sungai ditempat rencana bendung, agar tidak merubah terlalu banyak sifat pengalirannya. Jika bendung dibangun di coupure sedapat mungkin peilnya sama dengan peil dasar sungai. Akan tetapi bila ternyata P > 4 m maka peil lantai muka dapat dipasang lebih tinggi sepanjang tidak mengganggu konstruksi pintu pemasukan. Dan dengan demikian maka penggalian coupure akan menjadi sedikit, tidak perlu dalam-dalam. b). Lebar Bendung Yang dimaksud dengan lebar bendung adalah jarak antara tembok pangkal disatu sisi dan tembok pangkal disisi yang lain. Untuk tidak terlalu banyak mengganggu aliran sungai setelah ada bendung maka yang paling ideal, lebar bendung adalah sama dengan lebar normal sungai. Jadi B = Bn. Akan tetapi oleh karena satu dan lain hal, bila ternyata dengan lebar yang sama dengan lebar normal sungai akan mengakibatkan tingginya air diatas mercu tinggi sekali, maka lebar bendung masih dapat dibesarkan samap 6/5 Bn. Jadi B < 6/5 Bn Jika B terlalu kecil maka tinggi air di atas mercu akan membesar dan ini menuntut tanggul di udik bendung yang tinggi, atau luas genangan di udik bendung bertambah. Sementara itu pasangan untuk tubuh bendung menjadi sedikit. Jika B terlalu besar maka pasangan untuk tubuh bendung menjadi besar dan karena adanya pelebaran profil sungai dari profil normalnya, akan terjadi pengendapan di depan bendung. Ini akan berakibat terjadinya aliran melintang yang tidak dikehendaki. Sebaliknya tanggul tidak usah terlalu tinggi. Hal-hal diatas hendaknya menjadi pertimbangan dalam menetapkan lebar bendung. 3-30

126 1. Lebar Efektif Tidak seluruh lebar bendung ini akan bermanfaat untuk melewatkan debit, oleh karena kemungkinan adanya pyler-pyler dan pintu-pintu penguras. Lebar bendung yang bermanfaat untuk melewatkan debit disebut lebar efektif. Sudah barang tentu lebar efektif ini kurang dari lebar seluruhnya atau paling besar adalah sama. Untuk menetapkan besarnya lebar efektif perlu diketahui mengenai ekploitasi bendung. Pada saat air banjir datang maka pintu bilas dan pintu-pintu lain harus tertutup. Hal ini untuk mencegah masuknya benda-benda hanyut yang akan menyumbat pintu bilas (bila pintu terbuka) dan masuknya air banjir ke saluran. Selain itu bila pintu bilas tertutup, ujung atas pintu tidak boleh lebih tinggi dari mercu bendung, sehingga air bisa lewat di atas pintu. Karena pengaliran air diatas pintu lebih sukar dari pada pengaliran diatas mercu bendung, maka kemampuan pintu bilas untuk mengalirkan air dianggap hanya 80 % saja. Atas penjelasan-penjelasan diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut ; B B ef ef B b t 0.80b B t 0.0b dimana ; Bef B t b = lebar efektif bendung = lebar seluruh bendung = jumlah tebal pilar-pilar = jumlah lebar pintu-pintu bilas. Tebal Pilar Pilar-pilar yang terdapat pada tubuh bendung kemungkinan adalah pilarpilar jembatan dan pilar-pilar pintu bilas. Tebal pilar jembatan ditentukan oleh beban yang akan ditanggungnya. Namun demikian sebagai pegangan untuk merencanakan bendungnya dapat diambil sebesar 3-31

127 antara m sampai 3 m untuk pasangan batu kali, dan antara 1 m sampai m untuk pasangan dari beton. Tebal pilar pintu bilas, tergantung ada atau tidaknya pengambilan lewat tubuh bendung dan tergantung dari lebar pintu bilas serta tingginya pilar itu sendiri. Jika ada pengambilan lewat tubuh bendung maka tentu harus ada pintu dan schotbalk pada pilar tersebut, sehingga pilar akan tebal. Demikian pula jika pintu bilas lebar, akan membutuhkan sponing perletakan yang dalam pada pilar dan pilar akan lebih tebal. Jika t = lebar coakan maka t t dengan minimum 1 m. 3. Lebar pintu penguras (bilas) Berhubung pintu penguras berfungsi untuk menguras bahan-bahan endapan dan pintunya sendiri harus diangkat pada waktu pengurasan, maka lebarnya tidak boleh terlalu kecil atau terlalu lebar. Jika lebar pintu terlalu kecil maka efek pengurasan akan kecil pula. Tetapi jika terlalu besar maka pintu akan menjadi berat dan sukar diangkat. Sebagai patokan lebar pintu penguras bisa diambil harga terbesar antara; 1/ lebar pintu intake, atau 1/10 lebar bendung B). Jika kita memiliki data-data yang cukup, maka rumus-rumus dibawah ini dapat pula dipakai; Vc 1,5C q V 3/ g Bp q / q d dimana ; Vc = kecepatan kritis yang diperlukan pengurasan (m/det) C = koefisien (tergantung dari bentuk endapan) harga C bergerak antara 3, dan 5.5. d = diameter terbesar dari endapatn (m) q = debit pengurasan per satuan lebar Q = debit pengurasan (m 3 /det) g = percepatan gravitasi Bp = lebar pintu penguras (m) 3-3

128 c). Muka Air Maksimum di Sungai Yang dimaksud adalah tinggi air banjir di sungai sebelum ada bendung. Ini akan sama dengan tingginya air banjir di hilir bendung setelah adanya bendung, karena profil sungai disitu tidak dirubah. 1. Miring sungai rata-rata Dari profil memanjang sungai dicari kemiringan sungai rata-rata. Garis miring sungai rata-rata digambar pada potongan memanjang sungai, sehingga bagian atas dan bagian bawah yang terpotong mempunyai jumlah luas yang kira-kira sama. Gambar 3.9 Sketsa kemiringan sungai. Profil melintang Dipilih beberapa profil melintang yang baik untuk mengetahui tingginya air untuk debit tertentu. Yang dimaksud dengan profil melintang yang baik adalah profil dititik potong antara garis miring sungai rata-rata dan garis profil memanjang. Pada profil-profil melintang ini digambarkan sesuatu tinggi air dan akan didapat luas penampang basah serta keliling basahnya. Harga-harga ini dirata-ratakan sehingga hanya didapat satu angka untuk luas penampang basah dan satu harga keliling basah. Minimum diambil 3 profil melintang, misalnya profil 1, dan 3 (gambar diatas). 3. Rumus pengaliran Rumus-rumus yang dipergunakan dalam perhitungan ini ialah ; De Chezy : V C RI Bazin : 87 C 1 R R = P A dan Q V. A 3-33

129 dimana ; Q = debit sungai (m 3 /det) V = kecepatan (m/det) A = luas penampang basah (m ) C = koef. kecepatan, (fungsi dari bentuk profil dan kekasarannya) R = jari-jari hydraulis (m) I = miring sungai rata-rata P = keliling basah (m) = koef. kekerasan Untuk sungai harga dapat diambil antara 1.50 dan Dari rumusrumus di atas dapat dilihat bahwa nilai-nilai R, C, A dan P adalah fungsi dari h (tinggi air di sungai). Jadi Q adalah fungsi dari h pula. Apa yang hendak kita ketahui adalah pada tinggi berapa atau pada peil muka air berapa Q desain terjadi. Karenanya setelah didapat hargaharga rata-rata dari A dan P pada profil melintang yang telah dipilih, berarti didapat pula harga R rata-rata maka dengan menggunakan rumus-rumus diatas akan kita ketahui harga Q pada tiap-tiap harga h tertentu. Dengan memilih harga-harga h akan didapatkan beberapa hubungan antara h dan Q. Titik-titik ini digambarkan dalam suatu grafik dan disebut grafik langsung debit. Dan dengan perantaraan grafik tersebut akan didapatkan harga h untuk pada P desain, cara ini dilakukan, karena dengan menggunakan secara langsung rumus-rumus diatas akan sukar, berhubung kita akan menjumpai persamaan pangkat 3/. 4. Sifat pengaliran Yang dimaksud disini adalah sifat pengaliran lewat bendung. Sifat pengaliran disebut sempurna, kalau debit-debit pengalirannya tidak dipengaruhi oleh tingginya air di belakang bendung. Dan sebaliknya adalah pengaliran tak sempurna. Syarat suatu pengaliran disebut sempurna adalah bila tingginya air dibelakang bendung, di atas mercu tidak melebihi /3 ho kalau ho adalah tinggi air diatas di udik mercu. Sudah barang tentu bahwa rumus-rumus pengaliran sempurna dan tidak sempurna adalah berbeda. Hal ini akan kita bicarakan berikut mengenai tingginya air banjir dipuncak bendung. 3-34

130 Jadi setelah peil mercu kita tetapkan dan muka air di hilir bendung kita ketahui, maka akan diketahui pula sifat pengalirannya. 5. Muka air maksimum diatas mercu Yang dimaksud dengan muka air diatas mercu adalah muka air sedikit di udik mercu, sebelum muka air itu merubah bentuknya menjadi melengkung ke bawah. Tinggi air maximum di atas mercu, sampai sekarang belum ada ketentuan yang pasti. Tetapi dilihat dari segi keamanan stabilitas bendung ukurang pintu-pintu, tinggi tanggul banjir dan sebagainya. Maka dianjurkan untuk tidak melebihi 4.50 meter. Untuk mencari tinggi air maximum di atas mercu bendung, tergantung dari sifat pengalirannya. Pengaliran Sempurna Rumus Bundschu : Q m. b. d d / 3H H h k q. d harga-harga dan m dicari dari rumus-rumus Verwoerd sebagai berikut; 3 1 k 4 / 7.m h h p h m 1,49 0,0185 r dimana ; Q = debit yang lewat diatas mercu (m 3 /dt) b = lebar efektif bendung (m) h = tinggi air (depan) diatas mercu (m) k = tinggi energy kecepatan (m) g = percepatan gravitasi (m/dt 1/ ) m = koefisien pengaliran p = tinggi bendung (m) r = jari-jari pembulatan puncak mercu (m) 3-35

131 Untuk menentukan harga r, dipakai cara Kregten (sebagai pendekatan) yaitu : dengan mengambil harga m = 1.34 harga yang baik untuk H/r adalah Jadi dipakai terlebih dahulu pendekatan ; Q mb.. d g. d dengan m = 1.34 Setelah didapat harga d maka H pun didapat dan selanjutnya harga r diketahui pula. Harga r sebaiknya dibulatkan keatas sampai ukuran yang baik (misalnya kelipatan perempat m). Setelah harga r ditetapkan maka dengan berbagai-bagai harga h akan didapat hargaharga Q. Dengan membuat lengkung debitnya, maka akan didapat harga h yang sesuai dengan Q desain. Pengaliran tak sempurna Untuk ini dipakai rumus ; V Q b0.43 z th1 g Tabel 3.14 Harga h1/h, t dan V g z g h 1 /h = t =.3 Gambar 3.10 Sketsa bendung dan potongan di hilir bendung 3-36

132 h 1/.P V Q/ A A B mh 1/.P Back Water Curve Yang dimaksud adalah kurva untuk mengetahui sampai dimana pengaruh kenaikan muka air setelah adanya pengempangan oleh bendung. Banyak teori yang mempelajari problema ini, antara lain dengan cara Bresse, Direct Method, Standard Method, Integration Method dan sebagainya. Akan tetapi untuk praktisnya dapat dipakai rumus sebagai berikut ; L = h/i dimana ; L = panjangnya pengaruh pengempangan kearah udik, dihitung dari titik bendung i = miring sungai h = tinggi kenaikan muka air di titik bendung, akibat pengempangan Gambar 3.11 Sketsa back water Jadi di sebelah udik titik A pengempangan sudah tidak mempunyai pengaruh lagi. Dan tinggi air disitu sudah sama seperti sebelum adanya bendung. Jadi peninggian tanggul sepanjang sungai itu diperlukan hanya antara titik A dan B saja. 3-37

133 6. Tipe Bendung Beberapa tipe bendung yang dikenal antara lain seperti gambar dibawah ini; Gambar 3.1 Tipe-tipe bendung Pemakaian Tipe-tipe ; Tipe A disebut pula sebagai tipe Vlugter. Dipakai pada tanah dasar aluvial dengan sungai yang tidak banyak membawa batubatu yang besar. Tipe ini adalah tipe yang banyak digunakan di Indonesia dan ternyata dari beberapa konstruksi yang telah dibangun menunjukkan hasil yang baik. Tipe A dikenal pula sebagai tipe Schoklistch tipe ini adalah sama sifatnya dengan tipe Vlugter, dan dipakai apabila pada tipe vlugter harga R atau D terlalu besar, sehingga penggalian untuk lantai ruang olakan beserta koperannya terlalu dalam. Apabila R kira-kira sekitar 8 m atau lebih, atau apabila H sekitar 4,50 m atau lebih, dipakailah tipe schoklitsch ini. 3-38

134 Tipe B tipe ini digunakan pada tanah dasar yang lebih baik daripada aluvial, dengan sungai yang membawa banyak batu-batuan. Agar tidak cepat tergerus, maka koperannya harus masuk kedalam tanah dasar dengan biasanya minimum 4 m. Jika nantinya setelah bendung tersebut dipakai dan ternyata terjadi gerusan sehingga koperan yang tinggal di dalam tanah hanya 1/3 nya, maka dibelakang koperan lama dibuat koperan baru sedalam 4 m lagi, dengan bidang kontak 1/ nya atau 1/3 nya. Gambar 3.13 Sketsa koperan pada bendung Tipe C tipe ini biasanya digunakan pada waktu-waktu sebagai spillway. Yakni spillway dari high-dam, dengan terjunan yang tinggi dan dengan air yang bersih. Disini kita hanya akan mempelajari tipe A saja, sebagai tipe yang sudah banyak dipakai di Indonesia. 7. Ukuran Hidrolis Bendung Yang dimaksud sebagai ukuran hidrolis bendung adalah dimensi bendung yang diakibatkan oleh sentuhan langsung karena pengaliran air. Untuk tipe Vlugter dipakai ketentuan-ketentuan seperti dibawah ini; 3-39

135 Gambar 3.14 Sketsa ukuran hidrolis bendung Jika : 4/3 < Z/H < 10 Maka : D = L = R = 1.1 Z + H a = 0.15 H H / S Jika : 1/3 < Z/H < 4/3 Maka : D = L = R = 0.6 H Z a = 0.0 H H / Z 8. Pintu Pintu-pintu yang terdapat dalam bendung adalah ; 1. Pintu pengambilan. Pintu penguras 1. Pintu Pengambilan Pintu pengambilan berfungsi mengatur banyaknya air yang masuk saluran dan mencegah masuknya benda-benda padat dan kasar kedalam saluran. Pada bendung, tempat pengambilan bisa terdiri dari dua buah yaitu kanan dan kiri, dan bisa juga hanya sebuah, tergantung dari letaknya daerah yang akan diairi. 3-40

136 Pelatihan Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi Kalau tempat pengambilan buah, menuntut adanya bangunan penguras buah pula. Kadang-kadang bila suatu pengambilan debitnya kecil, maka pengambilannya lewat suatu urung-urung yang dibangun dalam tubuh bendung. Dan dengan demikian tidak perlu lagi dibuat buah bangunan penguras, dan cukup satu saja. Gambar 3.15 Sketsa pintu pengambilan Sudut yang paling tepat ditentukan oleh laboratorium. Sudah barang tentu dalam penentuan sudut ini harus mengingat pula situasi di tempat rencana bendung. a) Tinggi Ambang Ini tergantung dari material yang terbawa oleh sungai. Ambang makin tinggi makin baik untuk mencegah masuknya bendabenda padat dan kasar ke saluran. Tetapi tinggi ini tentu saja dibatasi oleh ukuran pintu pengambilan nantinya. Kalau ambang tinggi, berarti tingginya air yang masuk pintu pengambilan menjadi kecil dan pada debit tertentu menuntut pintu yang lebar. Sebagai pegangan dapatlah diambil sebagai berikut; jika sungai mengandung lumpur, diambil 0,50 meter. Untuk pasir dan kerikil dapat diambil 0.75 m a 1,00 m. Dan jika mengandung batu-batu dapat diambil 1,00 m a 1.50m. Angka-angka tersebut adalah angka-angka minimum. b) Tinggi Pengempangan Pada waktu banjir, pintu pengambilan ditutup untuk mencegah masuknya benda-benda kasar ke saluran. Penutupnya pintu ini tidak akan berakibat apa-apa, karena saat banjir di sungai biasanya tidak lama. 3-41

137 Dengan demikian yang dianggap sebagai tinggi air normal di sungai adalah setinggi mercu. Pada tinggi air normal ini ada kemungkinan terjadi gelombang karena angin, dan air masih melimpas mercu. Karena itu khusus untuk keperluan pengambilan, tingginya pengempangan diambil 10 cm lebih rendah dari tingginya mercu. c) Rumus Pengaliran Air yang masuk saluran lewat ambang pengambilan ini dianggap sebagi pengaliran lewat ambang lebar dan sempurna. Kesempurnaan pengaliran ini diusahakan agar pada ukuran pintu yang tertentu, debitnya menjadi besar. Atau pada debit tertentu, ukuran pintu menjadi kecil. Q Q b.y b. / 3 g H b. / 3.H 0.385b.H Y g H / 3.H 1/ 3.H gh gh diambil antara 0.90 a Untuk amannya biasanya faktor kecepatan diabaikan sehingga H = h Jadi ; Q 0,385b. h gh d) Ukuran Pintu Ukuran pintu ditentukan selain oleh segi praktis, juga oleh segi estetika. Ukuran yang baik adalah antara ; B : h = 1:1 B : h = 1,5 :1 B : h = :1 Lebar pintu (b) antara a 50 meter untuk pintu-pintu dari kayu. Jika terdapat ukuran yang lebih besar lagi, harus dibuat lebih dari satu pintu dengan pilar-pilar diantaranya. 3-4

138 e) Pengambilan Lewat Pipa Pipa pengambilan ini dikonsruir dalam tubuh bendung dengan syarat-syarat ; a. T > D b. Kecepatan air dalam pipa dapat diambil antara 1,50 m/dt sampai.50 m/dt c. Untuk pipa-pia dengan D yang besar perlu diberi tulangan Karena syarat-syarat diatas, maka pengaliran dalam pipa akan bersifat sebagai shypon; L V 1 D g D antara 0.75 a Pintu Penguras Mengenai lebar pintu penguras sudah dibicarakan di muka. Oleh karena pada saat banjir pintu penguras ditutup, dan banjir lewat diatasnya, maka tingginya pintu penguras harus setinggi mercu bendung. Dan karena itu pula tebal pintu harus diperhitungkan untuk tinggi air setinggi air banjir. a) Ukuran Pintu Daun pintunya biasanya dibuat sebagai gabungan balok-balok kayu yang kuat (kayu jati) dan disatukan dengan kerangka dari besi. Karena itu balok yang menderita tekanan terbesar adalah yang terbawah. Tekanan yang diderita balok pintu ini sama dengan yang diderita oleh schotbalk. Perletakannya dianggap sebagai perletakan bebas, sedangkan P sebagai beban merata. Kalau panjang perletakan = L maka ; M = 1/8. P. L W = 1/6. b. a = M/W < (tegangan kayu yang diijinkan) 3-43

139 Gambar 3.16 Sketsa pintu pengambilan Harga P ini harap diperhitungkan sebagai akibat dari tekanan air setinggi air banjir ditambah tekanan lumpur setinggi ambang pengambilan. b) Onderspuier Untuk mencegah masuknya benda-benda padat dan kasar ke dalam saluran, dipakailah perlengkapan yang disebut onderspuier. Onderspuier ini adalah suatu plat beton yang diletakkan mendatar setinggi ambang intake, di depan ambang diantara pintu intake, pintu penguras dan pilar pintu penguras. Dengan adanya plat beton ini pusaran air yang sering terjadi di depan ambang intake akan ditiadakan. Dan dengan demikian benda-benda kasar tidak akan naik dan masuk ke dalam saluran. Sudah tentu benda-benda kecil yang berbentuk suspension kemungkinan masih akan masuk ke dalam saluran. Tetapi ini tidak akan membawa akibat yang besar, karena justru benda-benda macam ini dibutuhkan oleh tanaman sebagai pupuk, sepanjang tidak mengandung zat-zat yang membawa akibat jelek bagi tanaman. Disamping itu dengan adanya onderspuier ini efek pengurasan menjadi besar karena seolah-olah terbentuk suatu lorong sempit, dan dengan demikian memperbesar daya sedot air terhadap bahan-bahan endapan. 3-44

140 Jika exploitasi bendung terutama waktu-waktu pengurasan dijalankan sebagaimana disyaratkan, maka kecil kekawatirannya bahwa onderspuier tersebut akan tersumbat. Dengan menggunakan onderspuier ini dianjurkan agar tinggi ambang intake tidak lebih rendah dari 1,00 meter, agar kemungkinan tersumbat menjadi kecil. Peralatan onderspuier ini adalah ambang intake disatu sisi dan perpanjangan pilar pintu penguras disisi lain. Bila bentang perletakan ini terlalu panjang, dapat dibuat pilar (sebagai penyangga) diantara kedua perletakan tersebut. c) Pengurasan Menurut cara-cara exploitasi yang selama ini dilakukan, maka pengurasan dan waktunya diatur sebagai berikut ; Selama debit sungai masih memungkinkan, yaitu sepanjang tidak mengganggu kebutuhan air oleh tanaman maka pengurasan dilakukan dua kali sebulan pada saat air setinggi mercu bendung. Waktu pengurasan routine tersebut diadakan pada waktu siang hari antara jam sampai jam pada saat para petani pulang ke rumah. Sehabis banjir, pada saat air melimpah di atas mercu setinggi 0,50 meter atau 1,00 meter diadakan pengurasan. Bila bendung dilengkapi dengan onderspuier, selama pengurasan pintu pengambilan diturunkan (dibuka sedikit) bila dibutuhkan air ke saluran. Tetapi bila tidak mengganggu akan kebutuhan air, maka pintu pengambilan ditutup. Bila bendung tanpa onderspuier, maka selama pengurasan pintu pengambilan harus ditutup. d) Rumus Pengaliran Pengurasan yang membawa efek paling kecil adalah pengurasan rutin yaitu pada saat air setinggi mercu. Jika bendung dengan onderspuier, maka pengurasan bisa terjadi dua macam. Yaitu pintu dibuka setinggi onderspuier dan pintu dibuka penuh. 3-45

141 Pintu dibuka setinggi onderspuier A b. y Q F Q b.y V Q / A g.h dengan 0.6 g p 1/ y dimana ; b y p = lebar pintu penguras = tinggi bukaan (setinggi onderpsuier) = tinggi bendung Pintu dibuka penuh Z 1/ 3H h Q b.h Q b. / 3.H b.h dengan g 9.8 Q 1.31.b.H V / 3H Q / A g.z / dan / 3.g.H 3 /.g 1/ A b.h 3. Lantai Muka Pada saat air terbendung maka terjadi perbedaan tinggi air di depan dan di belakang bendung, yang akan menimbulkan perbedaan tekanan. Perbedaan tekanan ini mengakibatkan adanya aliran di bawah bendung, lebih-lebih bila tanah dasar bendung bersifat tiris (porous). Aliran air ini akan menimbulkan tekanan pada butir-butir tanah dibawah bendung. Bila tekanan ini cukup besar untuk mendesak butir-butir tanah maka lama kelamaan akan timbul penggerusan, terutama di ujung belakang bendung. 3-46

142 Sebaliknya selama pengalirannya air tersebut akan mendapat hambatan-hambatan karena geseran. a) Fungsi Lantai Muka Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa air tersebut akan mendapat hambatan-hambatan, maka sudah tentu air tersebut akan mencari jalan dengan hambatan yang paling kecil, yaitu pada bidang kontak antara bangunan dan tanah, yang disebut sebagai creep line. Makin pendek creep line ini makin kecil hambatannya dan makin besar tekanan yang ditimbulkan di ujung belakang bendung. Demikian pula sebaliknya. Untuk memperbesar hambatan, creep line tersebut harus diperpanjang, antara lain dengan memberi lantai muka dan atau suatu dinding vertikal (cut off wall). Jadi itulah fungsi dari lantai muka. H H Gambar 3.17 Sketsa lantai bendung b) Tekanan Aliran Air dibawah Bendung Sebagaimana kita ketahui tekanan air itu berarah ke segala jurusan. Demkikian pula air yang mengalir di bawah bendung. Gaya tekan yang menekan bendung ini disebut sebagai uplift pressure yang hakekatnya berusaha mencungkil ke atas terhadap bendung. H h 1 h h h 1 Gambar 3.18 Diagram tekanan 3-47

143 Tekanan pada titik A = h sebagai tekanan hydrostatis. Tekanan pada titik B, jika tidak ada tanah akan sebesar h1. tetapi karena ada tanah dan air ini harus melewati jalan sepanjang AB dan dengan sendirinya akan mengurangi energinya (untuk dirubah menjadi kecepatan) maka tekanan di B akan menjadi kecil, kurang dari h1. Jumlah pengurangan tekanan sebesar H di atas (gambar) akan terbagai pada seluruh creep linenya (ABCD). Banyak teori-teori untuk mencari pembagian besarnya pengurangan tekanan tersebut, antara lain ; Net flow analysis Theory Bligh Theory Lane New flow analysis adalah jaring-jaring bujur sangkar aliran antara garis-garis arus dan garis-garis equipotensial. Dan ini bersifat lebih teoritis daripada teori-teori yang lain. Karena itu tidak kita bicarakan disini. Kita akan mempelajari teori-teori Bligh dan Lane saja. c) Teori Bligh Bligh berpendapat bahwa besarnya perbedaan tekanan dijalur pengaliran adalah sebanding dengan panjangnya jalan air (creep line) dan dinyatakan sebagai ; h C dimana ; h = beda tekanan = panjang creep line C = creep ratio AB h AB ; C h BC BC C CD hcd dan seterusnya C Kalau kita ambil jumlah seluruh beda tekanan dan jumlah seluruh creep line, maka rumus diatas menjadi ; 3-48

144 L C h AB h CD h EF H Gambar 3.19 Sketsa pengaliran bligh Supaya konstruksi aman terhadap tekanan air ini maka ; L atau L xc C dan dengan ketentuan ini panjangnya lantai muka dapat ditentukan. Harga C tergantung dari material dasar dibawah bendung. Untuk ini ada daftar sebagai tabel 4.1. d) Hydraulic Gradient K K h=l/c Gambar 3.0 Garis-garis hidraulic gradient Apabila garis-garis yang menyatakan perbedaan tekana seperti pada teori Bligh itu disambungkan satu sama lain, maka terbentuklah sebuah garis yang disebut sebagai garis Hydraulic Gradient. 3-49

145 Sebagaimana dijelaskan di muka tentang fungsi lantai muka yakni menjaga jangan sampai pada ujung belakang bendung terjadi tekanan yang bisa membawa butir-butir tanah. Tekanan ini minimum adalah nol. Kalau tekanan pada titik di ujung belakang bendung besarnya nil, maka tentu tidak membahayakan bendung. Dengan memasang lantai muka ini bisa diusahakan agar tekanan dititik tersebut menjadi nol. Untuk itu kita dapat menggunakan garis hydraulic gradient. Garis hydraulic gradient ini kita gambar ke arah udik dengan titik ujung belakang bendung sebagai titik permulaan dengan tekanan sebesar nol. Miring garis hyraulic gradient ini disesuaikan dengan kemiringan yang diijinkan untuk sesuatu tanah dasar tertentu yaitu menggunakan creep ratio (C). L C atau l C tg L Jadi garis hydraulic gradient untuk bidang-bidang yang horizontal akan membentuk sudut dengan horisontal sebesar 1 dimana tg. C Untuk mencari panjangnya lantai muka, maka yang menentukan adalah H yang terbesar. H terbesar ini terjadi biasanya pada saat air di muka setinggi mercu bendung sedangkan dibelakang bendung adalah kosong. Sebagaimana pada teori Bligh maka prosedure mencari panjang lantai muka dengan hydraulic gradient ini kita akan menggunakan perbedaan tekanan. Tekanan titik A = 0 1 hab = garis A - 1 C hbc = garis 1- C 3 hcd = garis -3 C 3-50

146 4 hde = garis 3-4 demikian seterusnya C Kita tarik garis horisontal dari titik-titik : ; 3 ;4 dan seterusnya sampai memotong garis-garis vertikal dari titik yang bersangkutan di C, D, E dan seterusnya di titik-titik :, 3, 4 dan seterusnya. Jika titik 1,,3,4 dan seterusnya dihubungkan dengan garis, maka terbentuklah garis hydraulic gradient. Garis hydraulic gradient akan memotong garis permukaan a dititik 8. Jadi panjangnya lantai muka cukup hanya sampai titik K saja. Tetapi karena untuk keamanan, biasanya lantai muka dipas lebih panjang lagi, misalnya sampai K. e) Tebal Lantai Seperti telah diketahui maka setiap titik pada dasar bangunan akan menerima tekanan air (uplift pressure). Akan tetapi pada lantai muka karena di atas lantai selalu ada air yang akan menekan ke bawah, maka praktis tekanan ke atas akan tidak berbahaya. Dan ini berarti bahwa lantai muka tidak perlu tebal. Yang penting adalah bahwa lantai muka ini harus rapat air, supaya fungsinya untuk memperpanjang creep line masih dipenuhi. Untuk ini maka dibwah lantai muka dipasang suatu lapisan rapat air dari bahan tanah liat dipadatkan setebal antara 0.75 a 1,50 meter, yang disebut Puddel. Sebaliknya lantai belakang bendung akan menerima tekanan keatas yang besar, karena lapisan air diatasnya hanya tipis, lebih-lebih pada waktu air muka setinggi mercu (air normal) maka diatas lantai ini dianggap kosong. Untuk menentukan tebalnya lantai ini, sebagai patokan bisa digunakan garis hydraulic gradient, sebab hydraulic gradient juga menunjukkan besarnya tekanan keatas pada tiap-tiap titik didasar bendung. Tekanan titik A = A - A ; tentukan di B = B B. misalnya kita akan mencari tebal lantai dititik A. Tekanan keatas di titik A = A A = t + p 3-51

147 Tekanan kebawah di A = t x bd pasangan (untuk pasangan batu, bd = 1.80 ) Maka t + p < t x 1,80 atau t A A 1,80 f) Teori Lane Profesor Lane memberikan koreksi terhadap teori Bligh dengan menyatakan jalan yang vertikal lebih besar dari pada jalan yang horizontal, dengan perbandingan 3 : 1. Jadi dianggap bahwa Lv = 3 Lh untuk suatu panjang yang sama. Sehingga rumus menurut bligh dirubah menjadi ; L V 1 L 3 C H Dengan harga C yang berlainan dengan cara bligh seperti tertera pada tabel 4. Jadi syarat yang dikehendaki Lane adalah; L L V 1 3 L V Cx Dengan catatan bahwa untuk bidang-bidang yang bersudut dengan horizontal 45 atau lebih dianggap sebagai bidang vertikal. Dan untuk bidang-bidang yang bersudut dengan horizontal kurang dari 45 dianggap sebagai horizontal. Dengan demikian kita akan mendapatkan dua harga L yaitu menurut Lane dan menurut Bligh. Harga L yang terbesarlah yang kita ambil. 3-5

148 3.3. Dimensi Bangunan Bagi/Sadap Saluran Tersier ( C ) Saluran Induk (A) Saluran Sekunder ( B ) Saluran Tersier ( D ) Gambar 3.1 Skema bangunan sadap Dimensi saluran induk A, sekunder B, tersier C dan tersier D biasanya sudah didapat pada tahap perhitungan saluran. Sedangkan untuk pintu-pintu ; a). Dari saluran induk A ke sekunder B dipasang pintu pengatur atau balok sekat dengan rumus ; Q. b. h g. z dimana ; h = h saluran induk A z = 0.10 g = 9.81 = 1 sehingga b didapat = Q h. g Gambar 3. Sketsa pintu pengatur di saluran 3-53

149 Dari saluran induk A ke saluran tersier C dan D dipasang pintu. Perhitungan Romijn dapat dilihat pada b) Dimensi Bangunan Ukur Ada beberapa pintu ukur yang ada secara garis besar ada 3 macam yaitu lewat ambang Tajam, ambang lebar dan lewat lubang. Yang biasa dipakai yaitu pintu ukur Crump-de Gruyter dan Romijn. a). Pintu Ukur Crump De Gruyter Q max t 900 (dianjurkan) det Z = m Ymin 0.0 m (bila y min < 0.0 diperkecil) max = 0.63 H Tabel 3.15 Nilai, k dan k Gambar 3.3 Sketsa bangunan ukur di saluran Q = b. H 3/ dimana : k = Ymin/H = Z/H = Qmax/Qmin 3-54

150 Contoh ; Qmax = 1 m 3 /det Tentukan : Z = 0.31 Coba-coba = 5 k = Z H = 0.60 Ymin = k.h = x 0.50 = ok Ymax = 0.63 H = 0.63 x 0.50 = Qmax b H b 1.75 m 3 / / x b). Pintu Ukur Romijn Q b. H 3/ 450 Q 900l / det Gambar.4 Sketsa pintu ukur romijn Tabel 3.16 Debit bangunan ukur romijn H b cm m m m m m m m

151 Contoh ; Qmax = Qrencana = m 3 /det Tentukan b = 1.00 m Q H 171.b 1.71 * 1 Z 1/ 3H L H 0.68 t R 3H 0.94 r / 3 H / 3H / c). Pintu Ukur Ambang Tajam Cipoletti Q 0.4. b. h h Thomson Q 1,39. h 5 / Rehboch Q.953. b. h3 / h W Gambar.5 Sketsa pintu ukur ambang tajam 3-56

152 3.3.4 Pelimpah Tipe pelimpah yang dipilih tergantung dari beberapa faktor antara lain ; besarnya bangunan tersebut. Keadaan hidrolisnya misalnya pelimpah sempurna atau tidak sempurna, kemudian bentuk dari permukaan bulan atau tajam dan lain-lain. Perhitungan umumnya dengan coba-coba H dan h kemudian dibuat grafik. a). Tipe Ogee Tipe Ogee ini dimaksudkan untuk bangunan yang besar dimana permukaan pelimpah sesuaikan dengan bentuk aliran, perhitungan dan pelaksanaan lebih rumit; Puncak bendung bagian hulu (X 0.70H y 0.74 H d 0.85 d ) H d H d X 0.70H d Gambar.6 Sketsa permukaan pelimpah Puncak bendung bagian hilir X 1.85 H Q C.Le.H 0.85 d 3 /.Y Le L (Nkp ka)h dimana ; C =.1 N = jumlah pilar Kp = 0.0 pilar segi empat ( ) Kp = 0.01 pilar bulat runcing ( ) Kp = 0.01 pilar segi empat runcing ( ) Ka = 0. tembok segi empat ( ) Ka = 0.1 tembok segi empat ( ) d 3-57

153 b). Tipe Verwoerd Tipe Verwoerd, tipe sederhana, muka air di hilir lebih tinggi dari mercu. Gambar.7 Sketsa pelimpah tipe verwoerd Q mb.. d gd dimana ; d = /3 Ho m = r = 1/3.8 h0 k = 4/7 * m * h 3 p = ditentukan h0 r 1 p h Coba-coba buat grafik (h0, hs dan Q) c). Pelimpah Sempurna Dimana muka air di hilir lebih rendah dari elevasi mercu; Gambar.8 Sketsa pelimpah sempurna Q / 3.b.h gh 0.31 h r h p 3-58

154 Pelatihan Ahli Supervisi Konstruksi Jaringan Irigasi r dan p = ditentukan. Coba-coba buat grafik (h, hs dan Q) d). Pelimpah Tidak Sempurna Dimana muka air dihilir lebih tinggi dari elevasi mercu ; Z h 1 r Gambar.9 Sketsa pelimpah tidak sempurna Q.b.h 0.31 gh r dan p = ditentukan. h r Coba-coba buat grafik (h, hs dan Q) h p e). Ambang Lebar Dimana muka air di hilir lebih tinggi dari elevasi mercu ; Z y h1 Gambar.30 Sketsa ambang lebar V Q b 0.43 x k h g y = /3h c H 1 v g z x g 3-59

155 Tabel 3.17 Nilai h1/h, k dan h1/h k f). Pelimpah Sempurna Mercu Bulat Dimana muka air dihilir lebih rendah dari elevasi Mercu ; Gambar.31 Sketsa pelimpah sempurna mercu bulat Q Cd. 3 g.be.h 3 3 /.f dimana ; Cd = Cd.C0 Ambang lebar : Cd = C0 = 1 Ambang bulat : C0 = lihat grafik tergantung dari H/ (gambar 3.3) Cd = f = 1 Be = (B H) q = 9.81 H r = Tinggi air = ditentukan H coba-coba buat grafik (h, hs dan Q) 3-60

156 Contoh Perhitungan Dimensi Spillway/Pelimpah Rumus spillway Q = Cd. /3. Untuk f = 1, / 3. g. Be. H 3/. f maka : /3. / 3. g = /3. / 3(9,81) = Be = B 0,0H Q = Cd. 1,705 Be. H 3/ C0 = lihat grafik tergantung dari H/ (gambar 3.3) Cd = Ukuran spillway Tentukan H =.00 m Q = m 3 /det Q = 1.8 x Be x H 3/ Be = Q/(1.8H 3/ ) Be = 70/(1.8 x 3/ ) = m = m r = 3.00 m 3-61

157 Tabel 3.18 Perhitungan dimensi spillway No. H Be Cd H/r Co Cd* (B-0.0H) (Co x Cd*) Q (m) (m) m 3 /det

158 Gambar.3 Harga-harga koefesien C0 untuk bendung ambang bulat sebagai fungsi perbandingan H1/r Gambar.33 Grafik debit spillway 3-63

159 3.3.5 Kolam Olak Kolam olak adalah kolam untuk memecahkan energi agar bagian hilir tidak terjadi gerusan. Ada beberapa macam kolam olak, diantaranya adalah ; a). Vlugter Jika 4/3 < Z/H < 10, maka D = L = R = 1.1 Z + H a = 0.15 H H / Z Jika 1/3 < Z/H < 4/3, maka D = L = R = 0.6 H Z a = 0.0H H / Z Gambar.34 Sketsa kolam olak vlugter Untuk perhitungan ; H = telah didepan dari hasil perhitungan pelimpah Z = beda tinggi antara elevasi energi hulu dan hilir (sungai/sec) R = juga sudah ditentukan Hitung Z/H =.. 1. Bila 4/3 < Z/H < 10, maka D = L = R = 1.1 Z + H a = 0.15 H H / Z. Bila 1/3 < Z/H < 4/3, maka D = L = R = 0.6 H + 1.4Z a = 0.0 H H / Z b). Schoklitsch r1 r = ½ H = H 3-64

160 Gambar.35 Sketsa kolam olak schoklitsch r3 > 0.15 W W-Z =.4 hg Z Hg = 3 q / g g = 9.81 W = 1.4 Z +.4 hg Untuk perhitungan ; Q B = didapat = didapat H = didapat r1 = ½ H r =H q = Q/B = dapat dicari hg = 3 q / g = dapat dicari Z W = beda tinggi antara elevasi energi hilir dan elevasi mercu = 1.4 Z +.4 hg = dapat dicari r3 > 0.15 W = dapat dicari W = l = r3/ = dapat dicari (l > W) r / = 3 = dapat dicari W q dan W = didapat S = (dari nomogram) atau S = q 1/ (W/g) 1/4 = didapat =.(dari grafik) S dan B = didapat S = (dari nomogram) atau S =.q 1/ (W/g) 1/4 =S 0.5 < 1 : ditentukan L =.W = dapat dicari 3-65

161 Gambar.36 Bentuk Pola aliran pada kolam olak schoklitsch Gambar.37 Kolam olak tipe schoklitsch 3-66

162 Gambar.38 Nomogram 3-67

163 BAB 4 PERHITUNGAN STRUKTUR 4.1 Stabilitas Bendung Dalam peninjauan stabilitas bendung, maka potongan yang ditinjau terutama adalah potongan-potongan I I dan II II, karena potongan-potongan ini adalah yang terlemah. Potongan-potongan lain yang perlu ditinjau akan dijelaskan di belakang. I II I A II Gambar 4.1 Tinjauan stabilitas bendung Gaya-gaya Yang Bekerja Sebuah bendung akan mendapat tekanan-tekanan gaya seperti gaya berat, gaya gempa, tekanan lumpur, gaya hydrostatis dan gaya uplit-presure. a. Gaya berat Gaya berat ini adalah berat dari konstruksi, berarah vertikal ke bawah yang garis kerjanya melewati titik berat konstruksi. Untuk memudahkan perhitungan, biasanya dibagi-bagi dalam bagian-bagian yang berbentuk segitiga-segitiga, segi empat atau trapesium. Karena peninjauannya adalah tiap lebar 1 meter, maka gaya yang diperhitungan adalah luas bidang kali berat jenis konstruksi (untuk pasangan batu kali biasanya di ambil 1.80) G 1 G G 3 G 4 Gambar 4. Gaya berat 4-1

164 b. Gaya Gempa Untuk daerah-daerah yang banyak gunung merapinya seperti di Indonesia, maka gaya gempa harus diperhitungkan terhadap konstruksi; K = f.g dimana : K = gaya gempa f = koefisien gempa G = berat konstruksi Gaya gempa ini berarah horisontal, ke arah yang berbahaya (yang merugikan), dengan garis kerja yang melewati titik berat konstruksi. Sudah tentu juga ada komponen vertikal, tetapi ini relatif tidak berbahaya dibandingkan dengan komponen yang horizontal. Harga f tergantung dari lokasi tempat konstruksi sesuai dengan peta zone gempa. c. Tekanan Lumpur Apabila bendung sudah berexploitasi, maka akan tertimbun endapat didepan bendung. Endapan lumpur ini diperhitungkan sebagai setinggi mercu. h W L Gambar 4.3 Diagram tekanan lumpur W 1 1/..h 1 sin 1 sin dimana; s = b.d lumpur (biasanya diambil 1.60) = sudut geser alam dari silt (repose angle) untuk silt diambil = 30 1 sin / 3 1 sin 1 05 jadi W1 = 1/6.s h 4 -

165 d. Gaya Hydrostatis Sebagaimana akan tercantum dalam syarat-syarat stabilitas nanti, maka harus ditinjau pada waktu air banjir dan pada waktu air normal (air di muka setinggi mercu dan di belakang kosong). Disamping itu ditinjau pula terhadap pengaliran dimana mercu tenggelam dan mercu tidak tenggelam. Mercu tidak tenggelam ; (tidak ada air mengalir) a W 1 h W Gambar 4.4 Gaya hidrostasis pada mercu tidak tenggelam, tidak ada air mengalir W W 1 1/. a.h 1/..h Mercu tidak Tenggelam (ada air mengalir) a W 3 b h 1 h W 5 W 4 W 6 h Gambar 4.5 Gaya hidrostasis pada mercu tidak tenggelam, ada air mengalir W w W W /. 1/. a h 1/. b 1/..h h h.h 1 1 h h 4-3

166 untuk mercu tidak tenggelam pada saat air banjir sebenarnya ada lapisan air yang mengalir di atas mercu. Tetapi karena lapisan ini biasanya tidak tebal, dan disamping itu kecepatannya besar, maka untuk keamanan lapisan ini tidak diperhitungkan. Lain halnya dengan untuk mercu tenggelam, yang lapisannya lebih tebal. Mercu Tenggelam Pada saat air normal adalah sama dengan pada peritiwa mercu tidak tenggelam. Pada saat air banjir maka keadaanya adalah sebagai berikut ; a c b W 1 W 3 d h 1 h W 4 W 5 h W Gambar 4.6 Gaya hidrostasis pada mercu tenggelam W W W w W /. a 1/..h 1/. 1/. c h.(h h 1/..h h h 1.(h 1 h) 1 h) d h d e. Uplift Pressure Untuk ini harus dicari tekanan pada tiap-tiap titik sudut, baru kemudian bisa dicari besarnya gaya yang bekerja pada tiap-tiap bidang. DH H x A B C E h x X D Gambar 4.7 Uplift pressure 4-4

167 Secara umum besarnya tekanan pada titik X adalah ; U U x x dimana ; Ux Hx lx L DH l x D D h L l x D h x D l x Hx D L x = Uplift pressure titik X = Tingginya titik X terhadap air dimuka = Panjangnya creep line sampai ketitik X (ABCX) = Jumlah panjang creep line (ABCXDE) = Beda tekanan dengan demikian maka besarnya tekanan tiap-tiap titik akan dapat diketahui. Dilihat dari rumus diatas maka teoritis uplift pressure kemungkinan dapat bernilai positip maupun negatif. Dalam hal ini tekanan negatif kenyataannya tidak akan terjadi, oleh karena adanya liang-liang renik diantara butir-butir tanah, sehingga akan berhubungan dengan atmosphere. Jadi untuk tekanan negatip ini besarnya dianggap nol. Gaya uplift dibidang XD adalah ; X D U X UXD U D b U XD Gambar 4.8 Uplift pressure pada bidang XD 1 /. b U x U d dan bekerja pada titik berat transpesium. Untuk tanah dasar yang baik disertai dengan drain yang baik pula, maka uplift dapat dianggap bekerja 67 %nya. Jadi bekerjanya uplift pressure antara 67% dan 100%. 4-5

168 4.1. Anggapan-anggapan Dalam Stabilitas Untuk menyederhanakan perhitungan tanpa mengurangi hakekat dari perhitungan itu sendiri, maka diadakan anggapan-anggapan sebagai berikut ; a. Peninjauan potongan vertikal adalah pada potongan-potongan yang paling lemah (dalam hal ini potongan I-I dan II-II pada gambar 4.1) b. Lapisan puddel tetap berfungsi c. Titik guling pada peninjauan vertikal di atas adalah titik A d. Konstruksi bagian depan bendung akan penuh lumpur setinggi mercu bendung e. Harus diperhitungkan sekurang-kurangnya pada dua keadaan muka air, yaitu muka air banjir dan muka air normal f. Ditinjau pula potongan-potongan mendatar pada kedudukan-kedudukan ; Bagian di atas lantai muka, tiap 1 meter vertikal Bagian di bawah lantai muka, dua potongan pada tempat-tempat yang dianggap terlemah Syarat-Syarat Stabilitas a. Pada konstruksi dengan batu kali, maka tidak boleh terjadi tegangan tarik. Ini berarti bahwa resultante gaya-gaya yang bekerja pada tiap-tiap potongan harus masuk kern. V H R e e e = 1/6B B/ B/ Gambar 4.9 Uplift pressure pada bidang XD b. Momen tahanan (Mt) harus lebih besar dari pada momen guling (Mg). Faktor keamanan untuk ini dapat diambil antara 1,50 dan. M t R R = faktor keamanan M g 4-6

169 c. Konstruksi tidak boleh menggeser Faktor keamanan untukini dapat diambil antara 1.50 dan 1.0. V x f F H dimana: F = faktor keamanan f = koefisien geser antara konstruksi dan dasarnya Harga untuk f ini seperti pada tabel 4. d. Tegangan tanah yang terjadi tidak boleh melebihi tegangan tanah yang diijinkan. g g e. Setiap titik pada seluruh konstruksi harus tidak boleh terangkat oleh gaya keatas. (balance antara tekanan ke atas dan tekanan ke bawah). Tabel 4.1 Weighted Creep Ratio No. Macam Tanah Lane Bligh 1. Very fine sand or silt (pasir sangat halus atau waled) Fine sand (pasir halus) Medium sand (pasir sedang) Coarse sand (pasir kasar) Fine gravel (kerikil halus) Medium gravel (kerikil sedang) Gravel and sand (kerikil dan pasir) Coarse gravel (kerikil kasar) termasuk brankal Boulders with some cobales and gravel (batu-batu bongkah.5 - besar dengan beberapa brankal dan kerikil) 10. Boulders, gravel and sand (batu bongkah kerikil dan pasir) Soft clay (lempung lembek) - 1. Medium clay (lempung sedang) Hard clay (lempung keras) Very hard clay as hardpan (lempung sangat keras)

170 Tabel 4. Koefesien kekasaran (f) No. Material Koefesien (f) Batuan Kompak, tak beraturan Batuan sedikit pecah-pecah Koral dan pasir kasar Pasir Lumpur dan lempung Perlu penyelidikan Contoh Perhitungan Stabilitas Weir (Bendung) Gaya-gaya yang bekerja pada weir: 1. Berat sendiri (w). Gempa bumi (G) = c.w 3. Tekanan air (W) dan (Ha) 4. Tekanan walet (lumpur) 5. Gaya tanah pondasi 6. Uplift pressure Syarat-syarat yang harus dipenuhi : Momen tahan (MT ) Momen guling(m ). Resultante masuk Kern (inti) V tan f H G C.L 1.5 ( f = 3 ) 5. Perhitungan ditinjau dalam keadaan normal dan banjir 6. Yang ditinjau adalah tubuh bendung (tidak termasuk lantai depan dan belakang) 7. Dalam menghitung yang timbul uplift pressure dianggap tidak ada 4-8

171 Perhitungan gaya-gaya yang bekerja 1. Berat sendiri Tabel 4.3 Perhitungan berat sendiri Titik Uraian W Jarak Momen (tm) W x 3.05 x W x 0.50 x W x1.50 x W x1.50 x W x1.50 x W x x 3.00 x Jumlah Gempa bumi Koefisien gempa = 0.03 Tabel 4.4 Perhitungan gempa bumi Titik Uraian W Jarak Momen G x G 5.4 x G x G x G x G x Jumlah

172 3. Tekanan air Tabel 4.5 Perhitungan tekanan air keadaan normal Titik Horizontal, Vertikal W H a Jarak Momen W x Ha x Jumlah Tabel 4.6 Perhitungan tekanan air keadaan air banjir Titik Uraian Vert Horis Jarak Momen W x W 5 x1.10 x W x x W4 7.30x7.30 (7.30 x.66) + ( x Ha x3.05x Ha x x Jumlah Tekanan waled (lumpur) Pe = ½.H.e.k H = 3.05 m e = 1.6 ton/m 3 k = Pe = ½ x 3.05 x 1.6 x Pe = x Pe = ton Momen guling = 6.77 x = ton m 4-10

173 5. Uplift pressure U z H 3 V xh L H = m ; V = m L = V H = = m 3 a). Up titik 1). Keadaan normal H = (+16.40) (+10.40) = 6 m ). Keadaan normal H = (+1.) (+18.86) =.34 m Tabel 4.7 Perhitungan up titik keadaan air normal dan air banjir Titik Uraian U Titik Uraian U U x U x U x6.837 U x U x6.775 U x U x U x U x U x U x6.03 U x U x U x U x U x U x U x U x U x U x U x

174 b). Up bidang Tabel 4.8 Perhitungan up bidang keadaan air normal Titik Uraian Vert Horis Jarak Momen U x1.40 x U.837 x1.40 x U.837 x1.00 x U3.775x1.00 x U3 LV x1.60 x x U3 LH x1.60 x x U4 LV x1.60 x x U4 LH x1.60 x x U x.70 x U x.70 x U x1.50 x U6.03x1.50 x U6.03x1.50 x U7 1.99x1.50 x U7 1.99x1.50 x U x1.50 x U x1.50 x U x1.50 x U x.5 x

175 Tabel 4.8 Perhitungan up bidang keadaan air normal (lanjutan) Titik Uraian Vert Horis Jarak Momen U x.5 x U x3.00 x U x3.00 x Jumlah Tabel 4.9 Perhitungan up bidang keadaan air banjir Titik Uraian Vert Horis Jarak Momen U x1.40 x U 9.113x1.40 x U 9.113x1.00 x U x1.00 x U3 LV x1.60 x x U3 LH x1.60 x x U4 LV x1.60 x x U4 LH x1.60 x x U x.70 x U x.70 x U x1.50 x U x1.50 x U x1.50 x U x1.50 x U x1.50 x

176 Tabel 4.9 Perhitungan up bidang keadaan air banjir (lanjutan) Titik Uraian Vert Horis Jarak Momen U x1.50 x U x1.50 x U x1.50 x U x.5 x U x.5 x U x3.00 x U x3.00 x Jumlah Kontrol Stabilitas a). Stabilitas waktu air normal V (gaya vertikal) Akibat berat sendiri = Akibat air = Sub total = Akibat uplift bekerja 66.6 % = /3 x = V = ton H (gaya horizontal) Akibat gempa = Akibat air = Akibat Lumpur = Sub total = Akibat uplift bekerja 66.6 % = /3 x = H = ton 4-14

177 MT (momen tahan) Akibat berat sendiri = ton m = MT MG (momen guling) Akibat air = Akibat gempa = Akibat Lumpur = Sub total = Akibat uplift bekerja 66.6 % = /3 x = M G = ton.m Perbandingan momen M M T G Eksentrisitet M a e B T M V a G 10.0 Tegangan geser V = = 45 tan = 1 f = 3 H = V(Tg ) f H / B / b Tegangan tanah (tanpa uplift pressure) B = 10.0 I = a = e = = /6 =

178 g x ton / m kg/ cm g x ton / m kg/ cm b). Stabilitas waktu air banjir V (gaya vertikal) Akibat berat sendiri = Akibat air = Sub total = Akibat uplift bekerja 66.6 % = /3 x = V = ton H (gaya horizontal) Akibat gempa = Akibat air = Akibat Lumpur = Sub total = Akibat uplift bekerja 66.6 % = /3 x = H = ton MT (momen tahan) Akibat berat sendiri = ton m = MT MG (momen guling) Akibat air = Akibat gempa = Akibat Lumpur = Sub total = Akibat uplift bekerja 66.6 % = /3x = M G = ton.m 4-16

179 Perbandingan momen M M T G Eksentrisitet M a e B T M V a G 10.0 Tegangan geser V = = 45 tan = 1 f = 3 H = V(Tg) f H / B / 6 Tegangan tanah (tanpa uplift pressure) B = 10.0 I = a = e = = /6 = x(0.88) 9.94 ton / m 0.994kg cm g1 / x ton / m kg cm g / 4-17

180 Gambar 4.10 Gaya-gaya yang bekerja pada bendung 4-18

181 4. Stabilitas Lereng Tanggul Untuk menentukan lereng tanggul keseimbangan massa tanah yang cenderung slip harus diselidiki. Dengan melakukan beberapa kali penyelidikan pada permukaan yang rawan slip, permukaan tersebut akan ditemukan, yakni permukaan yang harga faktor keamanannya minimum. Dalam metode Bishop, irisan tebal satuan, yakni volume yang cenderung slip, dibagi-bagi menjadi irisan-irisan vertikal (lihat gambar 4.11.) Gambar 4.11 Metode irisan untuk perhitungan stabilitas lereng Masing-masing irigasi pada gambar 4.11 (a), dengan tinggi h dan lebar b adalah seimbang terhadap bekerjanya kelima gaya yang ditunjukkan pada gambar Gaya-gaya yang dimaksud ialah ; a. Berat irisan, W = h l cos ; dimana; W = berat irisan, kn = berat volume tanah kn/m 3 h = tinggi irisan, m 4-19

182 l = Lebar irisan, m (l = b/cos = b sec ) = sudut antara permukaan horisontal dan permukaan slip. b. Reaksi normal N pada permukaan slip, yang terdiri dari reaksi antara butir N ditambah dengan gaya U akibat tekanan pori. c. Gaya tangen T akibat perlawanan kohesif dan gesekan yang terjadi pada permukaan slip. T dimana ; c' l N' tan F c = tegangan kohesif efektif kn/m l = lebar irisan, m N = tegangan normal efektif pada muka slip, kn/m F = faktor keamanan = Sudut efektif gesekan dalam d. dan e. Reaksi-reaksi antar irisan En dan En+1 Dalam metode Bishopl, gaya-gaya antar irisan dianggap sebagai horizontal dan konon kesalahan yang ditimbulkan oleh asumsi sederhana ini tidak akan lebih dari satu persen. Untuk sembaran irigasi, dengan menguraikan gaya itu secara vertikal ; W = N cos + T sin dan T = s /F dimana ; S = tegangan geser, kn/m l = lebar irisan, m F = faktor keamanan Tekanan normal pada muka irisan adalah ; N W b s tan F 4-0

183 ini mengacu kepada persamaan berikut ; F 1 R W sin cb 1 W tan sec X tan tan / F R W sin Persamaan ini harus dikerjakan untuk F dengan beberapa perkiraan berturut-turut. Hasil perhitungan ini akan paling efektif jika dicantumkan dalam bentuk tabel (lihat tabel 4.10) Contoh ; Diketahui ; Tinggi tanggul 6.0 m dengan kemiringan 1:1.5 (gambar 4.1), terdiri dari dua lapisan dengan karakteristik tanah yang berbeda. Hitunglah ; Faktor keamanan untuk lingkaran slip dengan jari-jari R = 1,00 pada titik O. Jawab ; Ambil =10 untuk irisan n. 6 dan 0 untuk yang lain Andaikan F =.00 Hitung W sind dan X dengan tabel 4.10 Hitung F = X/W sin Gambar 4.1 Tanggul tanpa air tanah (tekanan pori = 0) 4-1

184 Tabel 4.10 Metode Bishop-tabel perhitungan (Capper, 1976) (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) Irisan Sin Tinggi kn Berat kn W Sin kn c.b + W tan 1 (tan.tan ) / F sec. x f g W Sin X = F X W sin 3.8 Ulangi lagi perhitungan tersebut untuk lingkaran-lingkaran slip yang lain (selain titik O) sampai diperoleh harga F terkecil. Inilah lingkaran slip kritis. 4.3 Pengenalan Hidromekanikal (Perencanaan Alat-alat Pengangkat) Pendahuluan Lampiran ini memberikan petunjuk perencanaan dan perhitungan pekerjaan transmisi yang dikerjakan dengan tangan untuk pintu sorong. Pekerjaan transmisi itu bisa berupa satu atau dua stang. Dasar perhitungannya adalah bahwa gaya dorong sama dengan gaya angkat ditambah dengan gaya geser di dalam komponen pekerjaan transmisi. Gaya angkat adalah jumlah : berat pintu (beban mati) gaya air yang mengalir tegak lurus pada pintu, dan gaya geser di dalam alur pengarah (beban statis). Untuk mendapatkan perhitungan kekuatan yang maksimal, pemblokiran gerak pintu selama terjadi gaya dorong penuh akan dianggap sebagai kondisi ekstrem. Hal ini bisa terjadi: 1. Di bawah kondisi normal, pada waktu pintu ditutup rapat sama sekali. harus disediakan longgaran agar supaya gaya-gaya yang ada pada stang tidak melebihi harga-harga kekuatan nominal. 4 -

185 . Di bawah kondisi luar biasa: a. dengan menarik ke luar bagian persegi pintu, gaya-gaya geser di dalam alur pengarah bisa ditambah sampai ketinggian tertentu sehingga pintu akan terblokir. b. adanya batu-batu, kayu atau benda-benda hanyut lainnya yang tersangkut dibawah pintu; c. korosi, tumbuhan atau pelumpuran yang berlebihan Perhitungan Pekerjaan Stang dan Transmisi A. Tegangan Yang Dizinkan Dalam penghitungan pekerjaan transmisi dan stang, kondisi-kondisi berikut harus dipertimbangkan: 1. Kondisi normal (tidak terblokir) harus dipakai tegangan yang diizinkan, persyaratan mengenai kekuatan berkenaan dengan pelenturan dan sudut geser oleh puntiran persatuan panjang harus dipenuhi. Kondisi luar biasa tegangan luluh (yield stress) bisa dipakai. B. Beban Maksimum Untuk pintu yang dioperasikan dengan tenaga manusia, harus dipakai faktor keamanan pada beban maksimum yang mungkin oleh satu orang. Satu orang dapat menggerakkan gaya/ tenaga 400 N selama waktu yang singkat. Ini berarti bahwa beban maksimum untuk perhitungan ini adalah X 400 N = 800 N. Beban yang dapat ditahan oleh seseorang dalam waktu yang lama, 30 menit atau lebih adalah 100 N. nilai banding antara beban maksimum yang mungkin dan beban minimal adalah 800 : 100 = 8 Diandaikan bahwa sebuah roda tangan dengan jari-jari 0.30 m dapat berputar sebanyak 15-0 kali putaran per menit. Jumlah putaran untuk roda tangan dengan as tegak atau datar sama saja. Seandainya ada dua orang atau lebih yang akan mengoperasikan pekerjaan transmisi itu, maka harga-harga beban yang telah disebutkan diatas menjadi 1.6 kali harga-harga untuk satu orang. 4-3

186 Apabila satu pintu mempunyai dua stang, maka masing-masing stang harus dihitung sedemikian sehingga bisa mengambil /3 dari beban maksimum yang mungkin, termasuk faktor keamanan yang telah disebutkan di atas. C. Koefisien Gesekan Perbandingan antara tinggi dan lebar pintu harus lebih kecil dari koefisien gesekan f antara sisi samping pintu akibat ditarik-keluarnya bagian segi empat (square). Apabila perbandingan h/b lebih kecil dari pada f, maka diperlukan dua stang. Harga-harga koefisien gesekan f disajikan pada tabel berikut Tabel 4.11 Harga-harga koefisien gesekan f Bahan yang dipakai kering Bergerak basah Koefisien gesekan f Sedikit dilumasi kering Tak bergerak basah Sedikit dilumasi Besi tuang pada besi tuang Besi tuang pada baja Besi tuang pada perunggu Baja pada baja Baja pada perunggu Perunggu pada perunggu Kayu pada logam Kayu pada kayu Baja pada batu Kayu pada batu Dengan mempertimbangkan pemeliharan yang jelek, kotoran, korosi dan sebagainya, maka dianjurkan untuk menambah koefisien gesekan untuk berbagai komponen pekerjaan transmisi dengan % dan untuk pengarah dengan 100%. Maksudnya, koefisen gesekan yang dianjurkan untuk gerakan baja pada perunggu adalah 0,15 bukannya 0.11 untuk perhitungan stang dan gir. Alur pengarah f=0.3 untuk baja pada perunggu, bukannya 0.13 (tak bergerak). 4-4

187 D. Perhitungan Untuk Stang Perhitungan pekerjaan transmisi dimulai dengan : 1. Menemukan beban tarik T pada stang. a). untuk kondisi normal, gaya tarik nominal T adalah : T = (G + W) b). untuk kondisi tidak normal, gaya maksimum T maks adalah : T maks = n.t = n(g + W) dimana: G = berat total pintu termasuk stangnya (berat mati) W = beban gesekan vertikal di dalam alur W = fh f = koefisien gesekan H = beban gesekan maksimum pada pintu n = faktor beban (= 8, perbandingan antara beban maksimum dan nominal ) Untuk dua stang, gaya tarik maksimum pada masing-masing adalah /3 dari nominal maupun dari vertikal maksimum.. Gaya tekan as pada stang: a). untuk kondisi normal, gaya tekan nominal P adalah : P = (W-G) b). untuk kondisi tidak normal gaya tekan maksimum Pmaks adalah : P maks tan n.(g W). tan maks min 3. Puntiran pada stang: Mw = (G+W).tan (max + ).rg dimana: Mw = puntiran, Nm d = diameter bagian luar stang, m dk = (d - t) diameter bagian tengah stang, m rg = jari-jari rata-rata stang, rg 1/4(d + dk), m s = ulir 4-5

188 = sudut ulir (tan = s d k ) = sudut gesekan maks = sudut gesekan (gerak) maksimum yang mungkin min = sudut gesekan minimum (diberi pelumas) Gambar 4.13 Tipe ulir 4. Penentuan puntiran maksimum pada stang untuk kondisi tidak normal : Mw = n.(g+w).tan ( max + ).rg 5. Diameter minimum teras stang yang diperlukan ditentukan dengan memperhitungkan tekukan stang untuk gaya tekan maksimum dan puntiran maksimum. Tegangan nominal untuk tegangan dan tekanan, tegangan maksimum dan sudut maksimum karena perubahan bentuk diperiksa dengan mengunakan diameter teras yang sudah dihitung. Untuk tekukan, ada tiga kondisi yang harus dipertimbangkan: a. Tekanan: P k b. Puntiran M k E.I : kondisi Pk P maks l k..ei : kondisi Mk Mw maks l k c. Kombinasi tekanan dan puntiran; penekukan puntiran : P * k P k Mw 1 M maks k 4-6

189 M * k dimana: Pmaks P Mk 1 Mk maks 1/ = gaya desak maksimim pada stang, N Mw maks = puntiran maksimum pada stang,nm lk = panjang tekukan, m E = modulus elastisitas, N/m I = 1/64 d 4 (momon lembam), m 4 dk = diameter teras stang, m E. Perencanaan Pekerjaan Transmisi a. Satu stang. Apabila digunakan satu stang, sebagaimana umumnya dipraktekkan untuk pintu-pintu yang lebih kecil dari 1.00 sampai 1.0 m, maka pekerjaan transmisi dapat direncana sebagai berikut : Gerak putar mur menyebabkan pintu bergerak vertikal. Untuk mengangkat pintu, momen-momen berikut harus dipecahkan: momen nominal untukmengangkat pintu: M1 = (G+W) tan ( max + ).rg momen gesekan antara mur dan dudukan : Mw = (G+W).tan *rn dimana: tan = koefisien gesekan antara mur dan dudukan rn = jarak antara as stang dan bagian tengah dudukan. Momen-momen ini harus dipecahkan dengan momen yang digunakan oleh operator pintu : M = P x R dimana: R = jari-jari roda tangan (m) P = gaya yang digunakan oleh operator pintu (Newton) Karena M = M1 + M, maka gaya P dapat dihitung jika ukuran-ukuran pekerjaan transmisi sudah diketahui. 4-7

190 b. Dua stang Momen nominal masing-masing stang untuk mengangkat pintu adalah : M1 = 1/(G+W) tan (max + ).rg Momen gesekan bergantung pada : Gaya tarik nominal Koefisien gesekan Jarak dari beban gesek ke as stang. Momen gesekan antara mur dan dudukan setiap stang adalah: Mw = ½.(G+W).tan *rn Jumlah momen untuk gerak ulir adalah Ms = M1+M Momen dorong adalah : M = x 0.9 x 0.9(x0.8) x R x P dimana : P = gaya maksimum 1 orang N R = jari-jari roda tangan dari roda kapstan m 0,9 = efisensi akibat kehilangan pada setiap transmisi 0.8 = pengurangan jika roda dioperasikan oleh orang Momen untuk gerak ulir sama dengan momen dorong kali nilai banding gir. Nilai banding i, adalah perbandingan antara r.p.m. atau antara diameter roda gigi. Untuk pintu-pintu yang dioperasikan dengan tangan, nilai banding gir harus lebih kecil dari 6 atau 7. n1 D1 i 6sampai 7 n D Jika digunakan lebih banyak lagi roda transmisi jumlah nilai banding gir menjadi : i = i1+ i Nilai banding gir itu didapat dari : jumlah momen ulir xms i kopel dorong M 4-8

191 Gambar 4.14 Gir pada pengangkat pintu c. Waktu Pengangkatan Setelah pekerjaan transmisi selesai direncana, waktu pengangkatan pintu bisa dihitung. Pada waktu pintu diangkat h dan puncak stang s, ulir membuat putaran h/s. Jumlah putaran roda tangan tergantung pada nilai banding gir i dan jumlahnya i x h/s. Sebuah roda tangan dengan jari-jari 0.30 m dapat membuat 15 0 kali putaran per menit yang memberikan kecepatan putaran 0.63 m/dt. Satu putaran roda tangan memerlukan.r s dan jumlah putaran per menit mencapai sekitar 0 Waktu angkat maksimum: t i x h 0 x s Contoh Perhitungan Berikut contoh perhitungan dimensi pekerjaan transmisi pintu sorong dengan lebar 1.80 dan tinggi 1.50 m. Tinggi maksimum muka air yang mungkin di atas dasar saluran peralihan adalah 1.80 m A. Perhitungan berat mati dan beban statis Beban yang harus diperhitungkan adalah: G = berat mati pintu H = beban horisontal maksimum pada pintu W = gaya gesek antara pintu dan alur-alur pengarah T = gaya tarik pada stang P = gaya tekan pada stang 4-9

192 Gambar 4.15 Pintu sorong Gaya-gaya maksimum dibawah kondisi tidak normal adalah 8 kali harga gayagaya dibawah kondisi normal. Andaikan ada dua stang Bj 50 (kualitas baja berdasarkan PPBBI 1984) dan mur perunggu, koefisien gesekan maksimum pada bagian pekerjaan transmisi ini ialah : fmaks = tan maks = 0.14 (maks = 8) dan koefisien gesekan minimum : fmin = tan min = 0.09 (min = 5) Andaikan diameter stang 5 mm dan ulir 8 mm, r = s/ = 4 mm dk = d - t = 5-8 = 44 mm rg = 1/4 (d + dk) = 1/4 (5 + 44) = 4 mm hilir tan =. rg dan 3. 0 x4 Andaikan bahwa koefisien gesekan gesekan f antara pintu dan alur pengarah adalah

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Kebutuhan Tanaman Padi UNIT JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGST SEPT OKT NOV DES Evapotranspirasi (Eto) mm/hr 3,53 3,42 3,55 3,42 3,46 2,91 2,94 3,33 3,57 3,75 3,51

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL 4.1. Analisis Curah Hujan 4.1.1. Ketersediaan Data Curah Hujan Untuk mendapatkan hasil yang memiliki akurasi tinggi, dibutuhkan ketersediaan data yang secara kuantitas dan kualitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Tangkapan Hujan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan stasiun curah hujan Jalaluddin dan stasiun Pohu Bongomeme. Perhitungan curah hujan rata-rata aljabar. Hasil perhitungan secara lengkap

Lebih terperinci

Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak

Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak 13 Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 1 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak TAHUN PERIODE JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER 25 I 11 46 38 72 188 116 144 16 217

Lebih terperinci

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PADA DAERAH IRIGASI BLANG KARAM KECAMATAN DARUSSALAM KEBUPATEN ACEH BESAR

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PADA DAERAH IRIGASI BLANG KARAM KECAMATAN DARUSSALAM KEBUPATEN ACEH BESAR ISSN 2407-733X E-ISSN 2407-9200 pp. 35-42 Jurnal Teknik Sipil Unaya ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PADA DAERAH IRIGASI BLANG KARAM KECAMATAN DARUSSALAM KEBUPATEN ACEH BESAR Ichsan Syahputra 1, Cut Rahmawati

Lebih terperinci

KAJIAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SALURAN SEKUNDER DAERAH IRIGASI BEGASING

KAJIAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SALURAN SEKUNDER DAERAH IRIGASI BEGASING KAJIAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SALURAN SEKUNDER DAERAH IRIGASI BEGASING Ivony Alamanda 1) Kartini 2)., Azwa Nirmala 2) Abstrak Daerah Irigasi Begasing terletak di desa Sedahan Jaya kecamatan Sukadana

Lebih terperinci

PRAKTIKUM VIII PERENCANAAN IRIGASI

PRAKTIKUM VIII PERENCANAAN IRIGASI PRAKTKUM V PERENCANAAN RGAS Kebutuhan air irigasi diperkirakan untuk menentukan keperluan irigasi perimbangan antara air yang dibutuhkan dan debit sungai dipelajari dengan cara menganalisis data yang tersedia

Lebih terperinci

DEFINISI IRIGASI TUJUAN IRIGASI 10/21/2013

DEFINISI IRIGASI TUJUAN IRIGASI 10/21/2013 DEFINISI IRIGASI Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian, meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi

Lebih terperinci

Dr. Ir. Robert J. Kodoatie, M. Eng 2012 BAB 3 PERHITUNGAN KEBUTUHAN AIR DAN KETERSEDIAAN AIR

Dr. Ir. Robert J. Kodoatie, M. Eng 2012 BAB 3 PERHITUNGAN KEBUTUHAN AIR DAN KETERSEDIAAN AIR 3.1. Kebutuhan Air Untuk Irigasi BAB 3 PERHITUNGAN KEBUTUHAN AIR DAN KETERSEDIAAN AIR Kebutuhan air irigasi adalah jumlah volume air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi, kehilangan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman JUDUL PENGESAHAN PERSEMBAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI. Halaman JUDUL PENGESAHAN PERSEMBAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR ix DAFTAR ISI Halaman JUDUL i PENGESAHAN iii MOTTO iv PERSEMBAHAN v ABSTRAK vi KATA PENGANTAR viii DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR xvi DAFTAR LAMPIRAN xvii DAFTAR NOTASI xviii BAB 1 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

PELATIHAN AHLI SUPERVISI KONSTRUKSI JARINGAN IRIGASI

PELATIHAN AHLI SUPERVISI KONSTRUKSI JARINGAN IRIGASI ICSE 06 : KRITERIA DESAIN IRIGASI PELATIHAN AHLI SUPERVISI KONSTRUKSI JARINGAN IRIGASI DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI DAN SUMBER DAYA MANUSIA PUSAT PEMBINAAN KOMPETENSI DAN PELATIHAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Daerah Irigasi Lambunu Daerah irigasi (D.I.) Lambunu merupakan salah satu daerah irigasi yang diunggulkan Propinsi Sulawesi Tengah dalam rangka mencapai target mengkontribusi

Lebih terperinci

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PULAU-PULAU KECIL DI DAERAH CAT DAN NON-CAT DENGAN CARA PERHITUNGAN METODE MOCK YANG DIMODIFIKASI.

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PULAU-PULAU KECIL DI DAERAH CAT DAN NON-CAT DENGAN CARA PERHITUNGAN METODE MOCK YANG DIMODIFIKASI. ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PULAU-PULAU KECIL DI DAERAH CAT DAN NON-CAT DENGAN CARA PERHITUNGAN METODE MOCK YANG DIMODIFIKASI Happy Mulya Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang,

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN AIR IRIGASI PADA DAERAH IRIGASI BANGBAYANG UPTD SDAP LELES DINAS SUMBER DAYA AIR DAN PERTAMBANGAN KABUPATEN GARUT

ANALISIS KEBUTUHAN AIR IRIGASI PADA DAERAH IRIGASI BANGBAYANG UPTD SDAP LELES DINAS SUMBER DAYA AIR DAN PERTAMBANGAN KABUPATEN GARUT ANALISIS KEBUTUHAN AIR IRIGASI PADA DAERAH IRIGASI BANGBAYANG UPTD SDAP LELES DINAS SUMBER DAYA AIR DAN PERTAMBANGAN KABUPATEN GARUT Endang Andi Juhana 1, Sulwan Permana 2, Ida Farida 3 Jurnal Konstruksi

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Penelitian ini menggunakan data curah hujan, data evapotranspirasi, dan peta DAS Bah Bolon. Data curah hujan yang digunakan yaitu data curah hujan tahun 2000-2012.

Lebih terperinci

BAB II METODOLOGI 2.1 Bagan Alir Perencanaan

BAB II METODOLOGI 2.1 Bagan Alir Perencanaan BAB II METODOLOGI 2.1 Bagan Alir Perencanaan Gambar 2.1. Gambar Bagan Alir Perencanaan 2.2 Penentuan Lokasi Embung Langkah awal yang harus dilaksanakan dalam merencanakan embung adalah menentukan lokasi

Lebih terperinci

Irigasi Dan Bangunan Air. By: Cut Suciatina Silvia

Irigasi Dan Bangunan Air. By: Cut Suciatina Silvia Irigasi Dan Bangunan Air By: Cut Suciatina Silvia DEBIT INTAKE UNTUK PADI Debit intake untuk padi adalah debit yang disadap dan kemudian dialirkan ke dalam saluran irigasi untuk memenuhi kebutuhan air

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Bab Metodologi III TINJAUAN UMUM

BAB III METODOLOGI. Bab Metodologi III TINJAUAN UMUM III 1 BAB III METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM Metodologi adalah suatu cara atau langkah yang ditempuh dalam memecahkan suatu persoalan dengan mempelajari, mengumpulkan, mencatat dan menganalisa semua data-data

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Diskripsi Lokasi Studi Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di wilayah Kabupaten Banyumas dengan luas areal potensial 1432 ha. Dengan sistem

Lebih terperinci

MODUL PERHITUNGAN NERACA AIR STUDI KASUS KOTA CIREBON

MODUL PERHITUNGAN NERACA AIR STUDI KASUS KOTA CIREBON STUDI KASUS KOTA CIREBON ARIS RINALDI 22715007 Program Magister Teknik Airtanah Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) Institut Teknologi Bandung DAFTAR ISI BAB I Pendahuluan... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

Studi Optimasi Pola Tanam pada Daerah Irigasi Warujayeng Kertosono dengan Program Linier

Studi Optimasi Pola Tanam pada Daerah Irigasi Warujayeng Kertosono dengan Program Linier JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 1, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) D-30 Studi Optimasi Pola Tanam pada Daerah Irigasi Warujayeng Kertosono dengan Program Linier Ahmad Wahyudi, Nadjadji Anwar

Lebih terperinci

DESAIN ULANG BENDUNG UNTUK PENINGKATAN DEBIT AIR IRIGASI DI WAEKOKAK KEC LELAK KAB MANGGARAI NTT

DESAIN ULANG BENDUNG UNTUK PENINGKATAN DEBIT AIR IRIGASI DI WAEKOKAK KEC LELAK KAB MANGGARAI NTT DESAIN ULANG BENDUNG UNTUK PENINGKATAN DEBIT AIR IRIGASI DI WAEKOKAK KEC LELAK KAB MANGGARAI NTT Gregorius Mayus Angi, Adi Prawito Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik, Universitas Narotama Email

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. BAB III METODOLOGI 3.1 Umum Metodologi merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI SUMBER AIR BERSIH PDAM JAYAPURA Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT Nohanamian Tambun 3306 100 018 Latar Belakang Pembangunan yang semakin berkembang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ariansyah Tinjauan Sistem Pipa Distribusi Air Bersih di Kelurahan Talang

DAFTAR PUSTAKA. Ariansyah Tinjauan Sistem Pipa Distribusi Air Bersih di Kelurahan Talang Daftar Pustaka DAFTAR PUSTAKA Ariansyah. 2009. Tinjauan Sistem Pipa Distribusi Air Bersih di Kelurahan Talang Betutu Palembang [Jurnal]. Palembang: Politeknik Negeri Sriwijaya. Badan Pusat Statistik [BPS].

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Studi Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah Utara ke arah Selatan dan bermuara pada sungai Serayu di daerah Patikraja dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA 90 BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Tinjauan Umum Dalam merencanakan jaringan irigasi tambak, analisis yang digunakan adalah analisis hidrologi dan analisis pasang surut. Analisis hidrologi yaitu perhitungan

Lebih terperinci

ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN

ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN Jonizar 1,Sri Martini 2 Dosen Fakultas Teknik UM Palembang Universitas Muhammadiyah Palembang Abstrak

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Hidrologi Curah hujan rata-rata DAS

BAB II DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Hidrologi Curah hujan rata-rata DAS BAB II DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Hidrologi 2.1.1 Curah hujan rata-rata DAS Beberapa cara perhitungan untuk mencari curah hujan rata-rata daerah aliran, yaitu : 1. Arithmatic Mean Method perhitungan curah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN ii PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI iii MOTTO iv DEDIKASI v KATA PENGANTAR vi DAFTAR ISI viii DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xiv DAFTAR

Lebih terperinci

EVALUASI SISTEM JARINGAN IRIGASI TERSIER SUMBER TALON DESA BATUAMPAR KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP.

EVALUASI SISTEM JARINGAN IRIGASI TERSIER SUMBER TALON DESA BATUAMPAR KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP. EVALUASI SISTEM JARINGAN IRIGASI TERSIER SUMBER TALON DESA BATUAMPAR KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP. Cholilul Chayati,Andri Sulistriyono. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Wiraraja

Lebih terperinci

TATA CARA PEMBUATAN RENCANA INDUK DRAINASE PERKOTAAN

TATA CARA PEMBUATAN RENCANA INDUK DRAINASE PERKOTAAN 1. PENDAHULUAN TATA CARA PEMBUATAN RENCANA INDUK DRAINASE PERKOTAAN Seiring dengan pertumbuhan perkotaan yang amat pesat di Indonesia, permasalahan drainase perkotaan semakin meningkat pula. Pada umumnya

Lebih terperinci

Penyusunan laporan dari pengumpulan data sampai pengambilan kesimpulan beserta saran diwujudkan dalam bagan alir sebagai berikut :

Penyusunan laporan dari pengumpulan data sampai pengambilan kesimpulan beserta saran diwujudkan dalam bagan alir sebagai berikut : III-1 BAB III 3.1 URAIAN UMUM Sebagai langkah awal sebelum menyusun Tugas Akhir terlebih dahulu harus disusun metodologi pelaksanaannya, untuk mengatur urutan pelaksanaan penyusunan Tugas Akhir itu sendiri.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hidrologi Siklus hidrologi menunjukkan gerakan air di permukaan bumi. Selama berlangsungnya Siklus hidrologi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Data 4.1.1 Analisis Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh didapat dari hasil survey di Saluran Umbul Kendat, Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 URAIAN UMUM

BAB III METODOLOGI 3.1 URAIAN UMUM BAB III METODOLOGI 3.1 URAIAN UMUM Metodologi adalah suatu cara atau langkah yang ditempuh dalam memecahkan suatu persoalan dengan mempelajari, mengumpulkan, mencatat dan menganalisa semua data-data yang

Lebih terperinci

ANALISIS KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DI WILAYAH KABUPATEN GARUT SELATAN

ANALISIS KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DI WILAYAH KABUPATEN GARUT SELATAN ANALISIS KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DI WILAYAH KABUPATEN GARUT SELATAN Dedi Mulyono 1 Jurnal Konstruksi Sekolah Tinggi Teknologi Garut Jl. Mayor Syamsu No. 1 Jayaraga Garut 44151 Indonesia Email : jurnal@sttgarut.ac.id

Lebih terperinci

TINJAUAN DEBIT ALIRAN PADA SALURAN UTAMA JARINGAN IRIGASI RIAM KANAN SUB AREA A UNTUK PERTANIAN, PERIKANAN dan PDAM

TINJAUAN DEBIT ALIRAN PADA SALURAN UTAMA JARINGAN IRIGASI RIAM KANAN SUB AREA A UNTUK PERTANIAN, PERIKANAN dan PDAM TINJAUAN DEBIT ALIRAN PADA SALURAN UTAMA JARINGAN IRIGASI RIAM KANAN SUB AREA A UNTUK PERTANIAN, PERIKANAN dan PDAM Chairil Fachrurazie 1 ABSTRACT Riam Kanan irrigation project is cosntucted for supporting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira.

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan air (dependable flow) suatu Daerah Pengaliran Sungai (DPS) relatif konstan, sebaliknya kebutuhan air bagi kepentingan manusia semakin meningkat, sehingga

Lebih terperinci

Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung)

Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) D-1 Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung) Anindita Hanalestari Setiawan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. 1.2 RUMUSAN MASALAH Error Bookmark not defined. 2.1 UMUM Error Bookmark not defined.

DAFTAR ISI. 1.2 RUMUSAN MASALAH Error Bookmark not defined. 2.1 UMUM Error Bookmark not defined. HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN MOTTO KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR NOTASI ABSTRAK BAB IPENDAHULUAN DAFTAR ISI halaman i ii iii iv v vii

Lebih terperinci

PERENCANAAN EMBUNG SEMAR KABUPATEN REMBANG. Muchammad Chusni Irfany, Satriyo Pandu Wicaksono, Suripin *), Sri Eko Wahyuni *)

PERENCANAAN EMBUNG SEMAR KABUPATEN REMBANG. Muchammad Chusni Irfany, Satriyo Pandu Wicaksono, Suripin *), Sri Eko Wahyuni *) JURNAL KARYA TEKNIK SIPIL, Volume 3, Nomor 3, Tahun 2014, Halaman 685 JURNAL KARYA TEKNIK SIPIL, Volume 3, Nomor 3, Tahun 2014, Halaman 685 694 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkts

Lebih terperinci

Perencanaan Embung Gunung Rancak 2, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang

Perencanaan Embung Gunung Rancak 2, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1, (Sept. 2012) ISSN: 2301-9271 D-82 Perencanaan Embung Gunung Rancak 2, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang Dika Aristia Prabowo dan Edijatno Jurusan Teknik Sipil, Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN 4.1. Perencanaan Pengelompokan Area Kelurahan Kedung Lumbu memiliki luasan wilayah sebesar 55 Ha. Secara administratif kelurahan terbagi dalam 7 wilayah Rukun Warga (RW) yang

Lebih terperinci

Optimalisasi Pemanfaatan Sungai Polimaan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Irigasi

Optimalisasi Pemanfaatan Sungai Polimaan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Irigasi Optimalisasi Pemanfaatan Sungai Polimaan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Irigasi Dave Steve Kandey Liany A. Hendratta, Jeffry S. F. Sumarauw Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Sam Ratulangi

Lebih terperinci

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR DAS ASAM-ASAM DENGAN MENGGUNAKAN DEBIT HASIL PERHITUNGAN METODE MOCK

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR DAS ASAM-ASAM DENGAN MENGGUNAKAN DEBIT HASIL PERHITUNGAN METODE MOCK Analisis Ketersediaan Air DAS Asam-Asam dengan Menggunakan Debit Metode Mock (Fakhrurrazi) ANALISIS KETERSEDIAAN AIR DAS ASAM-ASAM DENGAN MENGGUNAKAN DEBIT HASIL PERHITUNGAN METODE MOCK Fakhrurrazi (1)

Lebih terperinci

Perencanaan Embung Gunung Rancak 2, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang

Perencanaan Embung Gunung Rancak 2, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 1 Perencanaan Embung Gunung Rancak 2, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang Dika Aristia Prabowo, Abdullah Hidayat dan Edijatno Jurusan Teknik Sipil, Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS DEBIT ANDALAN

ANALISIS DEBIT ANDALAN ANALISIS DEBIT ANDALAN A. METODE FJ MOCK Dr. F.J. Mock dalam makalahnya Land Capability-Appraisal Indonesia Water Availability Appraisal, UNDP FAO, Bogor, memperkenalkan cara perhitungan aliran sungai

Lebih terperinci

ANALISA KETERSEDIAAN AIR

ANALISA KETERSEDIAAN AIR ANALISA KETERSEDIAAN AIR 3.1 UMUM Maksud dari kuliah ini adalah untuk mengkaji kondisi hidrologi suatu Wilayah Sungai yang yang berada dalam sauatu wilayah studi khususnya menyangkut ketersediaan airnya.

Lebih terperinci

RC MODUL 2 KEBUTUHAN AIR IRIGASI

RC MODUL 2 KEBUTUHAN AIR IRIGASI RC14-1361 MODUL 2 KEBUTUHAN AIR IRIGASI SISTEM PENGAMBILAN AIR Irigasi mempergunakan air yang diambil dari sumber yang berupa asal air irigasi dengan menggunakan cara pengangkutan yang paling memungkinkan

Lebih terperinci

Jurnal Rancang Bangun 3(1)

Jurnal Rancang Bangun 3(1) STUDI KELAYAKAN KAPASITAS TAMPUNG DRAINASE JALAN FRANS KAISEPO KELURAHAN MALAINGKEDI KOTA SORONG Ahmad Fauzan 1), Hendrik Pristianto ) 1) Mahasiswa Fakultas Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Sorong

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir III-1 BAB III METODOLOGI 3.1. Tinjauan Umum Metodologi yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir dapat dilihat pada Gambar 3.1. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir III-2 Metodologi dalam perencanaan

Lebih terperinci

ANALISA EFISIENSI DAN OPTIMALISASI POLA TANAM PADA DAERAH IRIGASI TIMBANG DELI KABUPATEN DELI SERDANG

ANALISA EFISIENSI DAN OPTIMALISASI POLA TANAM PADA DAERAH IRIGASI TIMBANG DELI KABUPATEN DELI SERDANG ANALISA EFISIENSI DAN OPTIMALISASI POLA TANAM PADA DAERAH IRIGASI TIMBANG DELI KABUPATEN DELI SERDANG Dina Novitasari Alhinduan 1, Ivan Indrawan 2 1 Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara,

Lebih terperinci

WATER BALANCE DAS KAITI SAMO KECAMATAN RAMBAH

WATER BALANCE DAS KAITI SAMO KECAMATAN RAMBAH WATER BALANCE DAS KAITI SAMO KECAMATAN RAMBAH Rismalinda Water Balance das Kaiti Samo Kecamatan Rambah Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan keseimbangan antara ketersediaan air dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Data 5.1.1 Analisis Curah Hujan Hasil pengolahan data curah hujan di lokasi penelitian Sub-DAS Cibengang sangat berfluktuasi dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember

Lebih terperinci

Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri

Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri 1 Evapotranspirasi adalah. Evaporasi (penguapan) didefinisikan sebagai peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan

Lebih terperinci

PERENCANAAN EMBUNG MANDIRADA KABUPATEN SUMENEP. Oleh : M YUNUS NRP :

PERENCANAAN EMBUNG MANDIRADA KABUPATEN SUMENEP. Oleh : M YUNUS NRP : PERENCANAAN EMBUNG MANDIRADA KABUPATEN SUMENEP Oleh : M YUNUS NRP : 3107100543 BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI BAB VII PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA METODOLOGI ANALISA HIDROLOGI ANALISA HIDROLIKA

Lebih terperinci

KAJIAN DIMENSI SALURAN PRIMER EKSISTING DAERAH IRIGASI SUNGAI TANANG KABUPATEN KAMPAR. Abstrak

KAJIAN DIMENSI SALURAN PRIMER EKSISTING DAERAH IRIGASI SUNGAI TANANG KABUPATEN KAMPAR. Abstrak Kajian Dimensi Saluran Primer Eksiting KAJIAN DIMENSI SALURAN PRIMER EKSISTING DAERAH IRIGASI SUNGAI TANANG KABUPATEN KAMPAR Djuang Panjaitan 1,SH Hasibuan 2 Abstrak Tujuan utama dari penelitian adalah

Lebih terperinci

KAJIAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SALURAN PRIMER DAERAH IRIGASI BEGASING KECAMATAN SUKADANA

KAJIAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SALURAN PRIMER DAERAH IRIGASI BEGASING KECAMATAN SUKADANA KAJIAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SALURAN PRIMER DAERAH IRIGASI BEGASING KECAMATAN SUKADANA Vika Febriyani 1) Kartini 2) Nasrullah 3) ABSTRAK Sukadana merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten

Lebih terperinci

KAJIAN DIMENSI SALURAN PRIMER EKSISTING DAERAH IRIGASI MUARA JALAI KABUPATEN KAMPAR. Abstrak

KAJIAN DIMENSI SALURAN PRIMER EKSISTING DAERAH IRIGASI MUARA JALAI KABUPATEN KAMPAR. Abstrak Kajian Dimensi Saluran Primer Eksiting Daerah Irigasi Muara Jalai KAJIAN DIMENSI SALURAN PRIMER EKSISTING DAERAH IRIGASI MUARA JALAI KABUPATEN KAMPAR SH. Hasibuan 1, Djuang Panjaitan 2 Abstrak Tujuan utama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. PDAM kota Subang terletak di jalan Dharmodiharjo No. 2. Kecamatan

BAB III METODE PENELITIAN. PDAM kota Subang terletak di jalan Dharmodiharjo No. 2. Kecamatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Gambaran Umum Lokasi Studi PDAM kota Subang terletak di jalan Dharmodiharjo No. 2. Kecamatan Subang, Kabupaten Subang. Untuk mencapai PDAM Subang dapat ditempuh melalui darat

Lebih terperinci

TUGAS KELOMPOK REKAYASA IRIGASI I ARTIKEL/MAKALAH /JURNAL TENTANG KEBUTUHAN AIR IRIGASI, KETERSEDIAAN AIR IRIGASI, DAN POLA TANAM

TUGAS KELOMPOK REKAYASA IRIGASI I ARTIKEL/MAKALAH /JURNAL TENTANG KEBUTUHAN AIR IRIGASI, KETERSEDIAAN AIR IRIGASI, DAN POLA TANAM TUGAS KELOMPOK REKAYASA IRIGASI I ARTIKEL/MAKALAH /JURNAL TENTANG KEBUTUHAN AIR IRIGASI, KETERSEDIAAN AIR IRIGASI, DAN POLA TANAM NAMA : ARIES FIRMAN HIDAYAT (H1A115603) SAIDATIL MUHIRAH (H1A115609) SAIFUL

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI Uraian Umum

BAB III METODOLOGI Uraian Umum BAB III METODOLOGI 3.1. Uraian Umum Metodologi adalah suatu cara atau langkah yang ditempuh dalam memecahkan suatu persoalan dengan mempelajari, mengumpulkan, mencatat dan menganalisa semua data-data yang

Lebih terperinci

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE Untuk merancang suatu sistem drainase, yang harus diketahui adalah jumlah air yang harus dibuang dari lahan dalam jangka waktu tertentu, hal ini dilakukan untuk menghindari

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI Bab II Kondisi Wilayah Studi 5 BAB II KONDISI WILAYAH STUDI 2.. Tinjauan Umum DAS Bendung Boro sebagian besar berada di kawasan kabupaten Purworejo, untuk data data yang diperlukan Peta Topografi, Survey

Lebih terperinci

Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det

Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det DEBIT ANDALAN Debit Andalan (dependable discharge) : debit yang berhubungan dgn probabilitas atau nilai kemungkinan terjadinya. Merupakan debit yg kemungkinan terjadinya sama atau melampaui dari yg diharapkan.

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG V-1 BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG 5.1. Analisis Sedimen dengan Metode USLE Untuk memperkirakan laju sedimentasi pada DAS S. Grubugan digunakan metode Wischmeier dan Smith

Lebih terperinci

RANCANGAN TEKNIS RINCI (DED) BANGUNAN UTAMA BENDUNG DAN JARINGAN IRIGASI D.I. SIDEY KABUPATEN MANOKWARI PAPUA TUGAS AKHIR

RANCANGAN TEKNIS RINCI (DED) BANGUNAN UTAMA BENDUNG DAN JARINGAN IRIGASI D.I. SIDEY KABUPATEN MANOKWARI PAPUA TUGAS AKHIR RANCANGAN TEKNIS RINCI (DED) BANGUNAN UTAMA BENDUNG DAN JARINGAN IRIGASI D.I. SIDEY KABUPATEN MANOKWARI PAPUA TUGAS AKHIR SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENYELESAIKAN PENDIDIKAN SARJANA TEKNIK DI PROGRAM

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. muka air di tempat tersebut turun atau berkurang sampai batas yang diinginkan.

BAB IV PEMBAHASAN. muka air di tempat tersebut turun atau berkurang sampai batas yang diinginkan. BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Analisis Data Curah Hujan Drainase adalah ilmu atau cara untuk mengalirkan air dari suatu tempat, baik yang ada dipermukaan tanah ataupun air yang berada di dalam lapisan tanah, sehingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 44 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Paninggahan Berdasarkan analisis penggunaan lahan tahun 1984, 1992, 22 dan 27 diketahui bahwa penurunan luas lahan terjadi pada penggunaan lahan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN IV.1 Menganalisa Hujan Rencana IV.1.1 Menghitung Curah Hujan Rata rata 1. Menghitung rata - rata curah hujan harian dengan metode aritmatik. Dalam studi ini dipakai data

Lebih terperinci

PRAKTIKUM RSDAL II PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL (ETo) DAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN (ETCrop)

PRAKTIKUM RSDAL II PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL (ETo) DAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN (ETCrop) PRAKTIKUM RSDAL II PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL (ETo) DAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN (ETCrop) Peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah dan permukaan air ke udara disebut

Lebih terperinci

Analisis Ketersediaan Air Sungai Talawaan Untuk Kebutuhan Irigasi Di Daerah Irigasi Talawaan Meras Dan Talawaan Atas

Analisis Ketersediaan Air Sungai Talawaan Untuk Kebutuhan Irigasi Di Daerah Irigasi Talawaan Meras Dan Talawaan Atas Analisis Ketersediaan Air Sungai Talawaan Untuk Kebutuhan Irigasi Di Daerah Irigasi Talawaan Meras Dan Talawaan Atas Viralsia Ivana Kundimang Liany A. Hendratta, Eveline M. Wuisan Fakultas Teknik, Jurusan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI. Pengumpulan Data: Pengolahan Data. Perencanaan. Gambar 4.1 Metodologi

BAB IV METODOLOGI. Pengumpulan Data: Pengolahan Data. Perencanaan. Gambar 4.1 Metodologi BAB IV METODOLOGI 4.1 UMUM Pengumpulan Data: Pengolahan Data - Hidrologi - Hidroklimatologi - Topografi - Geoteknik (Mekanika Tanah) - dll Analisis Water Balance - Evapotranspirasi - Curah Hujan Effektif

Lebih terperinci

METODOLOGI BAB III III Tinjauan Umum

METODOLOGI BAB III III Tinjauan Umum III - 1 BAB III METODOLOGI 3.1 Tinjauan Umum Dalam suatu perencanaan embung, terlebih dahulu harus dilakukan survey dan investigasi dari derah atau lokasi yang bersangkutan guna memperoleh data yang berhubungan

Lebih terperinci

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN AIR DAERAH IRIGASI NAMU SIRA-SIRA

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN AIR DAERAH IRIGASI NAMU SIRA-SIRA EVALUASI KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN AIR DAERAH IRIGASI NAMU SIRA-SIRA TUGAS AKHIR DIPLOMA III Disusun Oleh : IKHWAN EFFENDI LUBIS NIM : 101123003 NURRAHMAN H. NIM : 101123006 PROGRAM DIPLOMA III JURUSAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di wilayah Kabupaten Banyumas yang masuk

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di wilayah Kabupaten Banyumas yang masuk BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di wilayah Kabupaten Banyumas yang masuk Daerah Irigasi Banjaran meliputi Kecamatan Purwokerto Barat, Kecamatan Purwokerto Selatan,

Lebih terperinci

LAPORAN PRA-FEASIBILITY STUDY

LAPORAN PRA-FEASIBILITY STUDY LAPORAN PRA-FEASIBILITY STUDY HASIL SURVEY POTENSI PLTM/H SIKKA FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR Oleh, Tim Survey PLN PUSHARLIS OKTOBER, 2013 kajian teknis potensi energi & daya pltmh KATA PENGANTAR Puji syukur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1. Umum Kebutuhan air irigasi adalah jumlah volume air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan evapontranspirasi, kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman dengan memperhatikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. TINJAUAN UMUM Dalam suatu penelitian dibutuhkan pustaka yang dijadikan sebagai dasar penelitian agar terwujud spesifikasi yang menjadi acuan dalam analisis penelitian yang

Lebih terperinci

PENINGKATAN KINERJA OPERASI WADUK JEPARA LAMPUNG DENGAN CARA ROTASI PEMBERIAN AIR IRIGASI

PENINGKATAN KINERJA OPERASI WADUK JEPARA LAMPUNG DENGAN CARA ROTASI PEMBERIAN AIR IRIGASI Media Teknik Sipil, Volume IX, Januari 2009 ISSN 1412-0976 PENINGKATAN KINERJA OPERASI WADUK JEPARA LAMPUNG DENGAN CARA ROTASI PEMBERIAN AIR IRIGASI Rudi Azuan, Agus Hari Wahyudi dan Sobriyah Magister

Lebih terperinci

PENENTUAN KAPASITAS DAN TINGGI MERCU EMBUNG WONOBOYO UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN AIR DI DESA CEMORO

PENENTUAN KAPASITAS DAN TINGGI MERCU EMBUNG WONOBOYO UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN AIR DI DESA CEMORO JURNAL KARYA TEKNIK SIPIL, Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 512 518 JURNAL KARYA TEKNIK SIPIL, Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 512 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkts

Lebih terperinci

MODUL STEBC 07 : PERMASALAHAN PELAKSANAAN JEMBATAN

MODUL STEBC 07 : PERMASALAHAN PELAKSANAAN JEMBATAN PELATIHAN STRUCTURE ENGINEER OF BRIDGE CONSTRUCTION PEKERJAAN (AHLI STRUKTUR PEKERJAAN JEMBATAN) MODUL STEBC 07 : PERMASALAHAN PELAKSANAAN JEMBATAN 2006 DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI

Lebih terperinci

PERENCANAAN EMBUNG MEMANJANG DESA NGAWU KECAMATAN PLAYEN KABUPATEN GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA. Oleh : USFI ULA KALWA NPM :

PERENCANAAN EMBUNG MEMANJANG DESA NGAWU KECAMATAN PLAYEN KABUPATEN GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA. Oleh : USFI ULA KALWA NPM : PERENCANAAN EMBUNG MEMANJANG DESA NGAWU KECAMATAN PLAYEN KABUPATEN GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA Laporan Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Lebih terperinci

Oleh : I.D.S Anggraeni *), D.K. Kalsim **)

Oleh : I.D.S Anggraeni *), D.K. Kalsim **) PERBANDINGAN PERHITUNGAN KEBUTUHAN IRIGASI PADI METODA DENGAN CROPWAT-8.0 (CALCULATION OF PADDY IRRIGATION REQUIREMENT RATIO ON WITH CROPWAT-8.0 METHOD) Oleh : I.D.S Anggraeni *), D.K. Kalsim **) Departement

Lebih terperinci

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerentanan Produktifitas Tanaman Padi Analisis potensi kerentanan produksi tanaman padi dilakukan dengan pendekatan model neraca air tanaman dan analisis indeks kecukupan

Lebih terperinci

PERENCANAAN BENDUNGAN PAMUTIH KECAMATAN KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN BAB III METODOLOGI

PERENCANAAN BENDUNGAN PAMUTIH KECAMATAN KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN BAB III METODOLOGI BAB III METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM Dalam suatu perencanaan bendungan, terlebih dahulu harus dilakukan survey dan investigasi dari lokasi yang bersangkutan guna memperoleh data perencanaan yang lengkap

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA JARINGAN IRIGASI UJUNG GURAP UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PENGOLAHAN AIR IRIGASI

EVALUASI KINERJA JARINGAN IRIGASI UJUNG GURAP UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PENGOLAHAN AIR IRIGASI EVALUASI KINERJA JARINGAN IRIGASI UJUNG GURAP UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PENGOLAHAN AIR IRIGASI Mustapa Alihasmi Siregar 1, Ivan Indrawan 2 1 Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera

Lebih terperinci

Feasibility Study Pembangunan Embung Taman Sari dan Sumber Blimbing, Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi

Feasibility Study Pembangunan Embung Taman Sari dan Sumber Blimbing, Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi Feasibility Study Pembangunan Embung Taman Sari dan Sumber Blimbing, Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Banyuwangi adalah salah satu dari beberapa daerah

Lebih terperinci

Analisis Ketersediaan Air Embung Tambakboyo Sleman DIY

Analisis Ketersediaan Air Embung Tambakboyo Sleman DIY Analisis Ketersediaan Air Embung Tambakboyo Sleman DIY Agung Purwanto 1, Edy Sriyono 1, Sardi 2 Program Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Janabadra Yogyakarta 1 Jurusan Teknik Sipil,

Lebih terperinci

SISTEM PEMBERIAN AIR IRIGASI

SISTEM PEMBERIAN AIR IRIGASI SISTEM PEMBERIAN AIR IRIGASI 1) Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air disawah untuk tanaman padi ditentukan oleh beberapa faktor antara lain a. Penyiapan lahan b. Penggunaan konsumtif c. Perkolasi dan rembesan

Lebih terperinci

HALAMAN PENGESAHAN...

HALAMAN PENGESAHAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii BERITA ACARA BIMBINGAN TUGAS AKHIR/SKRIPSI... iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR TABEL...

Lebih terperinci

PERENCANAAN KEBUTUHAN AIR PADA AREAL IRIGASI BENDUNG WALAHAR. Universitas Gunadarma, Jakarta

PERENCANAAN KEBUTUHAN AIR PADA AREAL IRIGASI BENDUNG WALAHAR. Universitas Gunadarma, Jakarta PERENCANAAN KEBUTUHAN AIR PADA AREAL IRIGASI BENDUNG WALAHAR 1 Rika Sri Amalia (rika.amalia92@gmail.com) 2 Budi Santosa (bsantosa@staff.gunadarma.ac.id) 1,2 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI DAN PERHITUNGANNYA

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI DAN PERHITUNGANNYA BAB IV ANALISIS HIDROLOGI DAN PERHITUNGANNYA 4.1 Tinjauan Umum Dalam merencanakan normalisasi sungai, analisis yang penting perlu ditinjau adalah analisis hidrologi. Analisis hidrologi diperlukan untuk

Lebih terperinci

STUDI POTENSI IRIGASI SEI KEPAYANG KABUPATEN ASAHAN M. FAKHRU ROZI

STUDI POTENSI IRIGASI SEI KEPAYANG KABUPATEN ASAHAN M. FAKHRU ROZI STUDI POTENSI IRIGASI SEI KEPAYANG KABUPATEN ASAHAN TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi Syarat untuk menempuh Colloqium Doqtum/Ujian Sarjana Teknik Sipil M. FAKHRU ROZI 09 0404

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN AIR IRIGASI PADA DAERAH IRIGASI BENDUNG MRICAN1

ANALISIS KEBUTUHAN AIR IRIGASI PADA DAERAH IRIGASI BENDUNG MRICAN1 ANALISIS KEBUTUHAN AIR IRIGASI PADA DAERAH IRIGASI BENDUNG MRICAN1 Purwanto dan Jazaul Ikhsan Jurusan Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jl. Lingkar Barat, Tamantirto, Yogyakarta (0274)387656

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA. Hendra Kurniawan 1 ABSTRAK

OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA. Hendra Kurniawan 1 ABSTRAK OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA Hendra Kurniawan 1 1 Program Studi Magister Teknik Sipil, Universitas Trisakti, Jl. Kyai Tapa No. 1 Jakarta ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1. UMUM

BAB III METODOLOGI 3.1. UMUM BAB III METODOLOGI 3.1. UMUM Dalam rangka perencanaan suatu konstruksi bendung, langkah awal yang perlu dilakukan adalah meliputi berbagai kegiatan antara lain survey lapangan. Pengumpulan data-data serta

Lebih terperinci

KEANDALAN ANALISA METODE MOCK (STUDI KASUS: WADUK PLTA KOTO PANJANG) Trimaijon. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau, Pekanbaru

KEANDALAN ANALISA METODE MOCK (STUDI KASUS: WADUK PLTA KOTO PANJANG) Trimaijon. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau, Pekanbaru Jurnal Teknobiologi, 1(2) 2010: 70-83 ISSN: 208-5428 KEANDALAN ANALISA METODE MOCK (STUDI KASUS: WADUK PLTA KOTO PANJANG) Trimaijon Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau, Pekanbaru ABSTRAK

Lebih terperinci