Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 KATA PENGANTAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 KATA PENGANTAR"

Transkripsi

1 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan karunia-nya Laporan Hasil Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 telah dapat diselesaikan. Dalam laporan ini disampaikan gambaran pencapaian beberapa indikator kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan yang dapat diperoleh melalui survei. Persiapan Sirkesnas 2016 sudah dilakukan sejak tahun Pelaksanaan pengumpulan data Sirkesnas 2016 dilakukan pada Bulan Mei Juni 2016 di 34 provinsi dan 264 kabupaten/kota, melibatkan sekitar 1600 enumerator, serta para Penanggung Jawab Teknis (PJT) kabupaten/kota/provinsi yang terdiri dari peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, dosen Politeknik Kesehatan (Poltekkes), jajaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Perguruan Tinggi. Keseluruhan proses memerlukan waktu serta menguras tenaga dan pikiran dari segenap pihak terkait, sehingga pada kesempatan ini kami menyampaikan penghargaan yang tinggi serta terima kasih yang tulus atas semua kerja keras dan kerja cerdas yang penuh dedikasi dari seluruh peneliti, struktural, litkayasa dan staf Balitbangkes, mitra kerja dari unit utama di lingkungan Kementerian Kesehatan, dan Badan Pusat Statistik (BPS) baik di pusat maupun daerah, para pakar dari Perguruan Tinggi, Penanggung Jawab Operasional dari jajaran Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, seluruh enumerator serta semua pihak yang telah mensukseskan pelaksanaan Sirkesnas Secara khusus, kami dan keluarga besar Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan mengucapkan terima kasih kepada Ibu Menteri Kesehatan yang telah memberi kepercayaan kepada kami untuk dapat menunjukkan sumbangsih dalam pembangunan kesehatan khususnya melalui penyampaian data pencapaian indikator pembangunan kesehatan seperti yang ditunjukkan dalam hasil Sirkesnas Kendati upaya maksimal telah dilakukan, tentu masih ada kekurangan, kelemahan, dan kesalahan yang dilakukan. Kritik, masukan, dan saran yang konstruktif untuk penyempurnaan Sirkesnas maupun pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan lainnya sangat dinantikan dengan hati terbuka. Semoga hasil Sirkesnas 2016 dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Billahit taufiq walhidayah, wassalamu alaikum wr. wb. Jakarta, 30 November 2016 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dr. Siswanto, MHP, DTM i

2 RANGKUMAN EKSEKUTIF Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) tahun 2016 merupakan salah satu riset kesehatan nasional antar Riskesdas yang dilakukan oleh Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI. Survei ini dilaksanakan karena belum tersedianya sistem penilaian capaian Indikator Renstra dan RPJMN bidang Kesehatan yang komprehensif. Sistem pencatatan dan pelaporan rutin juga belum memenuhi seluruh indikator kesehatan, sehingga perlu penguatan dan dukungan survei. Sirkesnas 2016 melakukan pengukuran dan pengamatan data primer serta penelusuran data sekunder di fasilitas kesehatan dan komunitas untuk mengetahui situasi terkini gambaran status kesehatan masyarakat yang didapat dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, puskesmas, dan rumah tangga/individu. Data cakupan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan puskesmas merujuk pada catatan tahun Rancangan Sirkesnas 2016 adalah studi potong lintang (cross sectional). Pengumpulan data dilakukan di 34 provinsi, 264 kabupaten/kota, 400 kecamatan, 400 puskesmas, blok sensus, rumah tangga, dan individu. Pengumpul data adalah peneliti Badan Litbangkes, politeknik kesehatan (poltekkes), universitas (perguruan tinggi), organisasi profesi, ataupun institusi penelitian kesehatan lainnya yang memenuhi kriteria yang dipersyaratkan. Kegiatan yang dilakukan dalam Sirkesnas 2016 adalah : 1. Pembahasan indikator (desk) dengan masing masing unit terkait di lingkungan Kemenkes, 2. Pembahasan hasil desk bersama dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) dan Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Kesehatan, lokakarya bersama unit utama Kemenkes, 3. Pembahasan draft instrumen dan definisi operasional masing masing indikator dengan lintas program terkait, 4. Pertemuan pakar, 5. Penyusunan instrumen dan pedoman pengisiannya, 6. Ujicoba instrumen (2 kali), 7. Perbaikan instrumen dan pedomannya, 8. Rapat koordinasi teknis tingkat provinsi, 9. Pelatihan pengisian instrumen bagi penanggung jawab teknis (PJT) povinsi/kabupaten/kota, 10. Pembuatan program entry oleh Tim Laboratorium Manajemen Data Badan Litbangkes, 11. Pelatihan pengisian instrumen bagi enumerator, 12. Pengumpulan data di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota oleh PJT dan pengumpulan data di puskesmas dan rumah tangga oleh Tim Enumerator, sekaligus entry data di lapangan, 13. Proses validasi data oleh IAKMI yang dilakukan sejak Rakornis Provinsi hingga pengumpulan data lapangan, 14. Penyusunan dummy table oleh Tim Teknis, 15. Pengiriman data ke Laboratorium Manajemen Data, editing dan cleaning data, 16. Analisis data, 17. Penyusunan laporan, dan 18. Diseminasi. Pengorganisasian Sirkesnas 2016 meliputi tingkat Pusat, tingkat Koordinator Wilayah I sampai V (1 Korwil bertanggung jawab atas 6 7 provinsi), tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota. Susunan organisasi Sirkesnas 2016 tingkat Pusat terdiri dari Tim Pengarah, Tim Pakar, Penanggung Jawab, Tim Teknis, Tim Manajemen Data, serta Tim Manajemen dan Keuangan. Validasi studi ini dilaksanakan oleh organisasi profesi kesehatan masyarakat, yaitu IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia). Proses validasi dilaksanakan pada saat rapat koordinasi teknis provinsi, pelatihan PJT, pelatihan enumerator, serta beberapa hari setelah enumerator mengumpulkan data. ii

3 Hasil Sirkesnas 2016 memberikan informasi mengenai pencapaian 36 (tiga puluh enam) indikator kesehatan dalam RPJMN dan Renstra Kementerian Kesehatan , meliputi indikator : kesehatan ibu, kesehatan anak, gizi, kesehatan kerja dan olahraga, penyehatan pangan, pengendalian penyakit menular dan tidak menular, pelayanan kesehatan tradisional, dan pelayanan kefarmasian. Terdapat 4 (empat) indikator kesehatan ibu yang disurvei dalam Sirkesnas 2016, yaitu persentase ibu hamil yang mendapat pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4), persentase puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil, persentase puskesmas yang melakukan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), dan persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan. Hasil Sirkesnas menunjukkan bahwa persentase ibu hamil K4 adalah 72,5 persen (target 2015: 72%), persentase puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil 94 persen (target 2015: 78%), persentase puskesmas yang melakukan orientasi P4K adalah 88,8 persen (target 2015: 77%), dan persentase persalinan di fasyankes adalah 79,3 persen (target 2015: 75%). Persentase capaian ke-empat indikator kesehatan ibu dalam Sirkesnas ini lebih tinggi dari target Renstra Kemenkes tahun Indikator kesehatan anak meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), persentase kunjungan neonatus, persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas satu, persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas tujuh dan sepuluh, dan persentase puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR). Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan prevalensi BBLR sebesar 6,9 persen (target 2019: 8%), persentase KN1 sesuai standar sebesar 15,2 persen (target 2015: 75%), persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas satu sebesar 56,6 persen (target 2015: 50%), persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 7 dan 10 sebesar 34 persen (target 2015: 30%), dan persentase puskesmas yang menyelenggarakan PKPR sebesar 35 persen (target 2015: 25%). Secara nasional capaian indikator bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) pada Sirkesnas 2016 sebesar 11,2 persen, namun capaian ini tidak bisa dibandingkan dengan target indikator IMD tahun 2015 yang tertuang dalam Renstra tahun , karena berbeda definisi operasional dan cara perhitungannya. Secara nasional capaian indikator bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat Air Susu Ibu (ASI) eksklusif pada Sirkesnas 2016 sebesar 21,5 persen, capaian indikator ini juga tidak bisa dibandingkan dengan target indikator bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif tahun 2015 seperti yang tertuang dalam Renstra tahun karena berbeda definisi operasional dan cara perhitungannya. Secara nasional capaian ASI eksklusif pada umur 0 bulan hanya sebesar 50 persen dan cenderung terus menurun dengan semakin bertambahnya umur bayi. Hal ini tentunya menjadi salah satu point yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam upaya peningkatkan cakupan ASI eksklusif sampai umur 6 bulan. Secara nasional, capaian indikator persentase remaja putri (12-18 tahun) yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) dalam Sirkesnas 2016 sebesar 7,6 persen, lebih rendah dari target capaian indikator tahun 2015 seperti yang ditetapkan dalam Renstra Kemenkes tahun sebesar 10 persen. Menurut wilayah, capaian indikator persentase remaja putri (12-18 tahun) yang mendapat TTD di perkotaan adalah sedikit lebih tinggi (8,3%) dibandingkan dengan di perdesaan (7,1%). Persentase ibu hamil yang mendapat/membeli TTD baik yang berasal dari program ataupun mandiri minimal 90 tablet selama kehamilannya adalah 35,8 persen. iii

4 Dalam menentukan indikator kinerja terkait penurunan prevalensi anemia pada ibu hamil hendaknya tidak hanya mengukur yang mendapat TTD saja tetapi perlu juga mengukur berapa banyak TTD yang sudah diminum ibu selama kehamilan. Selain itu perlu adanya upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) agar ibu hamil mengetahui manfaat suplemen tambah darah dan mau mengonsumsi TTD selama kehamilannya. Secara nasional capaian indikator persentase ibu hamil yang mendapat Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada Sirkesnas 2016 adalah sebesar 14,7 persen, capaian indikator ini juga tidak bisa dibandingkan dengan indikator persentase ibu hamil KEK yang mendapat PMT tahun 2015 seperti yang tertuang dalam Renstra tahun , karena keterbatasan Sirkesnas 2016 tidak mempunyai data status gizi ibu hamil pada saat menerima PMT pada tahun 2015 termasuk risiko KEK atau tidak. Secara nasional capaian indikator persentase balita kurus yang mendapat PMT pada Sirkesnas 2016 sebesar 28,5 persen, capaian indikator ini juga tidak bisa dibandingkan dengan target indikator persentase balita kurus yang mendapat PMT tahun 2015 seperti yang tertuang dalam Renstra tahun , karena keterbatasan Sirkesnas 2016 tidak mempunyai status gizi balita pada saat menerima PMT pada tahun 2015 termasuk kategori kurus atau tidak. Indikator kesehatan kerja adalah persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar. Definisi operasional indikator kesehatan kerja dasar adalah puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja (K3) internal dan layanan kesehatan pada pekerja di wilayah kerjanya. Baseline indikator pada tahun 2014, yaitu sebanyak 1034 puskesmas telah menyelenggarakan kesehatan kerja dasar. Target capaian tahun 2015 sebesar 40 persen, dan pada tahun 2016 sebesar 50 persen. Puskesmas melaksanakan kesehatan kerja dasar ditentukan apabila (1) puskesmas memiliki dua komponen kesehatan kerja dan (2) puskesmas menyelenggarakan K3 internal minimal dan melaksanakan layanan kesehatan minimal pada pekerja di wilayah kerjanya. Berdasarkan hasil Sirkesnas, dari seluruh puskesmas (400) yang didata, persentase puskesmas yang melaksanakan kesehatan kerja dasar yaitu puskesmas yang melaksanakan kesehatan kerja internal minimal di puskesmas dan yang melaksanakan layanan K3 minimal sebanyak 43,3 persen, sedangkan yang tidak melaksanakan kesehatan kerja dasar sebanyak 56,8 persen. Puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga apabila menyelenggarakan upaya kesehatan olahraga melalui pembinaan kelompok olahraga dan pelayanan kesehatan olahraga di wilayah kerjanya. Indikator upaya kesehatan olahraga adalah persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya. Baseline indikator upaya kesehatan olahraga pada tahun 2014 yaitu sebanyak 671 puskesmas telah menyelenggarakan kesehatan olahraga. Target capaian tahun 2015 sebesar 20 persen, dan pada tahun 2016 sebesar 30 persen. Puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga minimal adalah apabila (1) ada komponen kesehatan olahraga yaitu puskesmas memiliki tenaga yang bertugas melaksanakan kesehatan olahraga dan puskesmas membuat laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan), dan (3) puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan olahraga minimal (melaksanakan satu pelayanan olahraga). Hasil Sirkesnas menunjukkan, dari 400 puskesmas, sebanyak 32,3 persen puskesmas (ada komponan tenaga dan membuat laporan) melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal dan melaksanakan pelayanan kesehatan olahraga minimal. iv

5 Terkait dengan penyehatan pangan, indikator Renstra yang diukur pada Sirkesnas 2016 adalah persentase Tempat Pengolahan Makanan (TPM) yang memenuhi syarat kesehatan dengan target capaian tahun 2015 sebesar 8 persen. Hasil Sirkesnas menunjukan bahwa persentase TPM yang memenuhi syarat sudah melebihi target Renstra yaitu sebesar 42,8 persen dan persentase TPM yang sudah memiliki sertifikat laik sehat adalah sebesar 13,9 persen. Indikator imunisasi dasar yang diukur pada Sirkesnas 2016 adalah persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi dan persentase anak usia 0 sampai 11 bulan mendapat imunisasi dasar lengkap. Target persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap pada bayi pada 2015 sebesar 75 persen, sedangkan target persentase anak usia 0 sampai 11 bulan mendapat imunisasi dasar lengkap pada tahun 2015 adalah sebesar 91 persen. Hasil Sirkesnas menunjukan bahwa capaian target persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap pada bayi sebesar 75 persen sudah tercapai (79,9%), dan persentase anak usia 0 sampai 11 bulan mendapat imunisasi dasar lengkap baru mencapai 65,3 persen. Jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007, Riskesdas 2010, dan Riskesdas 2013, cakupan imunisasi lengkap hasil penelitian ini lebih tinggi (2007 : 41,6%, 2010 : 53,8%, 2013 : 59,2% dan 2015 : 65,3%). Indikator Renstra deteksi dini Hepatitis B, yang diukur pada Sirkesnas 2016 adalah persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kegiatan deteksi dini Hepatitis B pada kelompok berisiko dengan target capaian tahun 2015 sebesar 5 persen. Hasil Sirkesnas menunjukan bahwa capaian indikator program ini sudah melebihi target Renstra yaitu sebesar 11 persen. Indikator tatalaksana pneumonia yang diukur pada Sirkesnas 2016 adalah persentase kabupaten/kota yang 50 persen puskesmasnya melakukan pemeriksaan dan tatalaksana pneumonia melalui program MTBS dengan target capaian tahun 2015 sebesar 20 persen. Hasil Sirkesnas menunjukan bahwa capaian program ini telah melebihi target yaitu 67,1 persen. Persentase kota yang telah melaksanakan program ini lebih tinggi (81,8%), dibandingkan dengan kabupaten (64,1%). Indikator Renstra Pengendalian Vektor Terpadu yang diukur pada Sirkesnas 2016 adalah persentase kabupaten/kota yang melakukan pengendalian vektor terpadu dengan target capaian tahun 2015 sebesar 40 persen. Hasil Sirkesnas menunjukkan bahwa dari empat jenis pengendalian penyakit tular vektor yang diamati masih belum mencapai target tersebut, masing-masing Malaria 13,3 persen, Filariasis 3,8 persen, Demam Berdarah Dengue (DBD) 30,7 persen, dan Chikungunya 13,6 persen. Ada 7 indikator dalam program penyakit tidak menular yang dikumpulkan dalam Sirkesnas Indikator persentase desa/kelurahan yang melaksanakan kegiatan Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) PTM sebesar 55 persen. Persentase puskesmas yang memiliki 10 persen desa melaksanakan pengendalian PTM sebanyak 80,5 persen. Kanker payudara dan kanker serviks merupakan 2 jenis kanker terbanyak pada perempuan baik di negara maju maupun berkembang. Proporsi perempuan umur tahun yang pernah melakukan deteksi dini kanker payudara dan serviks sebesar 1 persen sedangkan target capaian deteksi dini dalam Renstra pada tahun 2015 sebesar 10 persen. Persentase kabupaten/kota yang melakukan pemeriksaan kesehatan pengemudi di terminal utama sebesar 17,8 persen. Sebanyak 57,2 kabupaten/kota dengan sekolah melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), sedangkan kabupaten/kota dengan minimal 50 persen sekolah melaksanakan KTR sebesar 15,9 persen. Prevalensi merokok penduduk pada umur 18 tahun sebesar 8,8 persen dan prevalensi v

6 tekanan darah tinggi pada penduduk usia 18 tahun sebesar 32,4 persen. Sedangkan prevalensi obesitas sebesar 20,7 persen pada penduduk usia 18 tahun. Indikator Pelayanan kesehatan tradisional dan komplementer yang dinilai dalam riset ini adalah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan tradisional terhadap masyarakat di wilayah kerjanya, yang memenuhi salah satu kriteria berikut : Puskesmas yang memiliki tenaga kesehatan sudah dilatih bidang Kesehatan Tradisional (Kestrad), Puskesmas yang melaksanakan asuhan mandiri kestrad ramuan dan ketrampilan, dan Puskesmas yang melaksanakan kegiatan pembinaan meliputi pengumpulan data kesehatan tradisional, fasilitasi registrasi/perizinan dan bimbingan teknis serta pemantauan pelayanan kesehatan tradisional. Namun kriteria ketiga tidak dilibatkan dalam proses analisis data Sirkesnas 2016, karena pembinaan merupakan tanggung jawab dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Target indikator tersebut dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun adalah 15 persen pada tahun Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa puskesmas yang sudah melaksanakan program pelayanan kesehatan tradisional di Indonesia sebanyak 39,8 persen. Dalam Sirkesnas 2016 terdapat 3 indikator Rencana Strategis dalam hal pelayanan farmasi meliputi persentase ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas, persentase puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar, dan persentase penggunaan obat rasional di puskesmas. Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas yaitu tersedianya obat dan vaksin indikator di puskesmas untuk program pelayanan kesehatan dasar pada akhir November 2015 (ada 20 item obat dan vaksin yang digunakan sebagai indikator). Capaian indikator ketersediaan obat dan vaksin pada akhir tahun 2015 yaitu 69,1 persen dari target tahun 2015 sebesar 77 persen sedangkan pada pelaksanaan Sirkesnas 2016 (Mei 2016) diperoleh hasil sebesar 78,5 persen dari target tahun 2016 sebesar 80 persen. Persentase puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar yaitu persentase puskesmas yang melaksanakan pemberian informasi obat dan konseling. Capaian indikator dari Sirkesnas 2016 yaitu 19,8 persen puskesmas yang melakukan pemberian informasi obat dan konseling, sedangkan puskesmas yang melakukan pemberian informasi obat atau konseling sebesar 46,3 persen, sementara target capaian indicator program pada tahun 2015 adalah sebesar 40 persen. Penggunaan Obat Rasional (POR) adalah persentase penggunaan obat rasional di puskesmas yang diperoleh dari 4 indikator Peresepan yaitu persentase antibiotik pada ISPA non pneumonia, persentase antibiotik pada diare non spesifik, persentase injeksi pada myalgia dan rerata item obat per lembar resep. Capaian indikator POR berdasarkan Sirkesnas 2016 (Desember 2015) yaitu 64,4 persen dari target sebesar 62 persen pada tahun Persentase antibiotik pada ISPA non pneumonia yaitu 52,4 persen dengan batas toleransi 20 persen, persentase antibiotik pada diare non spesifik yaitu 48,9 persen dengan batas toleransi 8 persen, persentase injeksi pada myalgia 4,1 persen dengan batas toleransi 1 persen dan rerata item obat per lembar resep sebesar 3,4 dengan batas toleransi 2,6. Direkomendasikan untuk : 1). Melibatkan aspek kualitas dalam perhitungan pencapaian beberapa indikator kesehatan seperti : cakupan pelayanan kesehatan ibu saat hamil (ANC) agar hasil kuantitas berkorelasi dengan outcome yang ingin dicapai (penurunan AKI dan AKB), Kelas Ibu Hamil, orientasi P4K, persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), 2). Melakukan revisi terhadap baseline dan target, seperti Berat Badan Lahir Rendah vi

7 (BBLR), dan beberapa indikator Penyakit Tidak Menular (PTM), 3). Perbaikan definisi operasional (DO) terhadap indikator penjaringan kesehatan peserta didik kelas kelas 1, penjaringan kesehatan peserta didik kelas kelas 7 dan 10, indikator kesehatan kerja dan kesehatan olahraga, indikator pengendalian vektor terpadu, dan indikator pelayanan kesehatan tradisional, dan indikator ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas, 4). Perbaikan sistem pencatatan dan pelaporan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk dapat menjawab indikator Tempat Pengolahan Makanan (TPM), indikator status Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (khususnya imunisasi Polio), indikator deteksi dini Hepatitis B dengan Pemeriksaan HbsAg, tatalaksana pneumonia menggunakan MTBS, indikator Pengendalian Vektor Terpadu, serta indikator terkait Penyakit Tidak Menular (hipertensi, obesitas, merokok), 5). Peninjauan ulang perhitungan komposit 4 (empat) indikator Penggunaan Obat Rasional (POR) dengan formula yang ada, karena tidak relevan dan menimbulkan misinterpretasi rasionalitas. Penggunaan target penurunan persentase penggunaan antibiotik, injeksi dan rerata jumlah item per lembar resep merupakan alternatif yang baik mengingat setiap indikator mempunyai tujuan dan konteks masing-masing yang tidak bisa dibuat komposit. vii

8 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i RANGKUMAN EKSEKUTIF... ii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR SINGKATAN... xx BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Tujuan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) Ruang lingkup Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) Indikator yang diukur Kerangka dan alur pikir Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) Pengorganisasian Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) Proses pelaksanaan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) Persiapan Survei Penyusunan Instrumen Persiapan Lapangan...11 BAB 2 METODOLOGI Disain survei Populasi dan sampel Penentuan Puskesmas Lokasi Survei Penentuan dinas kesehatan Lokasi Survei Alat dan tata cara pengumpulan data Manajemen data Editing Entry Cleaning Analisis dan penyajian data Pengendalian mutu survei Penentuan Penanggungjawab Teknis (PJT) Rekrutmen tenaga enumerator Keterbatasan survei...31 BAB 3 HASIL SURVEI Perolehan Sampel Indikator Kesehatan Ibu...33 viii

9 3.2.1 Indikator persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4) Indikator pelaksanaan program Kelas Ibu Hamil oleh puskesmas Indikator pelaksanaan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) oleh puskesmas Indikator persentase persalinan di fasiltas pelayanan kesehatan Indikator Program Kesehatan Anak Berat dan panjang lahir Indikator kunjungan neonatal Penjaringan kesehatan peserta didik Indikator Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Indikator Program Gizi Indikator Persentase Bayi Baru Lahir Mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Indikator Persentase bayi usia kurang dari 6 Bulan mendapat ASI Eksklusif Indikator persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan Indikator persentase remaja puteri (12-18 tahun) mendapat Tablet Tambah Darah Indikator persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah Indikator persentase pemberian makanan tambahan (PMT) untuk ibu hamil Risiko Kurang Energi Kronis (KEK) Status Gizi Indikator Program Kesehatan Kerja dan Kesehatan Olahraga Indikator Program Kesehatan Kerja: persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar Indikator Kesehatan Olahraga Indikator Program Penyehatan Pangan Indikator Tempat Pengolahan Makanan (TPM) Memenuhi Syarat Kesehatan Indikator Program Surveilans, imunisasi karantina dan kesehatan matra Indikator Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) Indikator Deteksi Dini Hepatitis B dengan Pemeriksaan HBsAg Indikator Tatalaksana pneumonia menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Indikator Pengendalian Vektor Terpadu Indikator Program Penyakit Tidak Menular Indikator persentase desa/kelurahan yang melaksanakan kegiatan Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak menular (Posbindu PTM) ix

10 3.8.2 Indikator Puskesmas yang melaksanakan pengendalian PTM Terpadu Indikator Perempuan umur tahun yang dideteksi dini kanker serviks dan payudara Indikator Kabupaten/Kota yang Melakukan Pemeriksaan Kesehatan Pengemudi di Terminal Utama Indikator kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), minimal 50 persen sekolah Indikator prevalensi merokok penduduk pada umur 18 tahun (10-18 tahun) Indikator prevalensi tekanan darah tinggi pada penduduk usia 18 tahun Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional Capaian Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional di Puskesmas Capaian Kriteria Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional di Puskesmas Rekomendasi Perbaikan Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional Indikator Program Farmasi Indikator Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas Indikator puskesmas yang melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar Persentase Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas BAB 4 REKOMENDASI DAFTAR PUSTAKA x

11 DAFTAR TABEL Tabel Indikator Rencana Strategis Kementerian Kesehatan dan unit instansi, Sirkesnas Tabel Indikator RPJMN, Sirkesnas Tabel Pemetaaan indikator berdasarkan basis pengumpulan data, unit analisa dan sumber data, Sirkesnas Tabel Simulasi penghitungan besar sampel berdasarkan proporsi target dan besarnya toleransi margin of error, Sirkesnas Tabel Response Rate Sirkesnas Tabel Indikator dan target Kesehatan Ibu,...34 Tabel Persentase perempuan tahun yang melakukan pemeriksaan kesehatan ibu hamil (ANC) saat hamil anak terakhir menurut indikator pelayanan antenatal (ANC) berdasarkan karakteristik ibu, Sirkesnas Tabel a Persentase puskesmas yang memberikan layanan laboratorium menurut lokasi berdasarkan jenis pemeriksaan laboratorium, Sirkesnas Tabel b Persentase puskesmas yang memberikan layanan laboratorium menurut kecukupan pelayanan dan lokasi puskesmas berdasarkan jenis pemeriksaan laboratorium, Sirkesnas Tabel Persentase perempuan tahun yang tidak mengikuti kelas ibu hamil, berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase pelaksanaan Orientasi P4K di puskesmas menurut lokasi, Sirkesnas Tabel Distribusi persentase perempuan tahun yang pernah bersalin periode 1 Januari 2014 sampai dengan wawancara...52 Tabel Distribusi persentase ibu menurut tempat persalinan menurut karakteristik, Sirkesnas Tabel Distribusi persentase ibu yang mempunyai riwayat kehamilan anak terakhir menurut tenaga penolong persalinan pertama, terakhir dan tempat terakhir bersalin, Sirkesnas Tabel Distribusi persentase perempuan tahun yang bersalin di rumah/lainnya menurut alasan tidak melahirkan di fasyankes...56 Tabel Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) sesuai standar berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase kunjungan neonatal berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase kunjungan neonatal lengkap pada anak umur 0-59 bulan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase komponen pelayanan KN1 berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase alasan tidak melakukan pemeriksaan neonatal pada anak umur 0-59 bulan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas xi

12 Tabel Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1, Sirkesnas Tabel Kegiatan yang dilakukan dalam penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan 10, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja, Sirkesnas Tabel Persentase komponen utama Puskesmas PKPR, Tabel Persentase bayi baru lahir yang mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) menurut karakteristik keluarga, Sirkesnas Tabel Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI Eksklusif menurut kelompok umur 0-5 bulan, Sirkesnas Tabel Persentase bayi mendapat ASI Eksklusif 6 bulan menurut karakteristik keluarga, Sirkesnas Tabel Persentase anak balita (6-59 bulan) yang mendapatkan PMT berdasarkan karakteristik kepala keluarga dan tempat tinggal tahun 2015, Sirkesnas Tabel Distribusi Persentase Anak Balita (6-59 bulan) yang mendapatkan PMT menurut Karakteristik Ibu Tahun 2015, Sirkesnas Tabel Persentase Anak Balita (6-59 bulan) yang mendapat PMT pada tahun 2015 berdasarkan Status Gizi BB/TB tahun Tabel Persentase Anak Balita (6-59 bulan) berdasarkan bentuk PMT yang diperoleh dan Status Gizi BB/TB tahun Tabel Karakteristik remaja putri yang mendapat TTD, Sirkesnas Tabel Persentase ibu hamil yang mendapat/membeli TTD selama kehamilan berdasarkan karakteristik kepala keluarga dan tempat tinggal, Sirkesnas Tabel Persentase ibu hamil yang mengonsumsi TTD selama kehamilan menurut karakteristik kepala keluarga dan tempat tinggal, Sirkesnas Tabel Persentase Ibu Hamil yang mendapat Makanan Tambahan menurut karakteristik, Sirkesnas tahun Tabel Prevalensi obesitas (IMT 25) pada dewasa usia > 18 tahun menurut kelompok umur dan jenis kelamin, Sirkesnas Tabel Persentase anemia ibu hamil berdasarkan karakteristik tempat tinggal, Sirkesnas Tabel Persentase anemia ibu hamil menurut jenis anemia berdasarkan karakteristik tempat tinggal, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang melaksanakan komponen kesehatan kerja berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang memiliki Standard Operating Procedure (SOP) berdasarkan lokasi, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas dengan kewaspadaan universal di ruang KIA berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas dengan kewaspadaan universal di ruang tindakan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas xii

13 Tabel Persentase puskesmas dengan kewaspadaan universal di seluruh ruang pelayanan dan di dua ruang (KIA dan tindakan) berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang memiliki media KIE dan rambu/petunjuk K3 berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang mengidentifikasi faktor risiko ruang kerja, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas menurut pelaksanaan mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas menurut penggunaan alat pelindung diri berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas menurut pemilahan sampah medis dan non medis berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas menurut sterilisasi alat medis rutin berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas menurut kegiatan sanitasi ruangan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas menurut pelaksanaan K3 internal di puskesmas berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang melaksanakan penyuluhan K3 berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang melakukan deteksi dini penyakit pada pekerja berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang melakukan pencatatan jenis pekerjaan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang melakukan pembinaan Pos UKK berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas berdasarkan pelaksanaan layanan K3, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas berdasarkan K3 internal minimal dan layanan K3 minimal, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas menurut pelaksanaan K3 internal dan layanan K3 di 400 puskesmas berdasarkan karakteristik puskesmas, Sirkesnas Tabel Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di puskesmas di wilayahnya berdasarkan lokasi, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang melaksanakan komponen kesehatan olahraga, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas berdasarkan penyuluhan masyarakat dan pendataan kelompok olahraga, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas berdasarkan pelayanan kesehatan olahraga, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas berdasarkan indikator kesehatan olahraga, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas berdasarkan indikator kesehatan olahraga di 400 puskesmas, Sirkesnas xiii

14 Tabel Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di puskesmas berdasarkan lokasi dinas kesehatan, Sirkesnas Tabel Persentase TPM yang memenuhi syarat kesehatan menurut data dinas kesehatan kabupaten/kota, Sirkesnas Tabel Persentase bayi usia 0-11 bulan yang memperoleh imunisasi dasar lengkap berdasarkan karakteristik imunisasi, Sirkesnas Tabel Persentase imunisasi bayi usia 0-11 bulan yang tidak lengkap menurut catatan yang dimiliki responden berdasarkan jenis imunisasi, Sirkesnas Tabel Persentase imunisasi bayi usia bulan yang tidak lengkap menurut ingatan responden berdasarkan jenis imunisasi, Sirkesnas Tabel Persentase bayi usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap berdasarkan karakteristik responden, Sirkesnas Tabel Persentase dinas kesehatan yang melakukan deteksi dini melalui pemeriksaan HbsAG, Sirkesnas Tabel Persentase kabupaten/kota yang 50% puskesmasnya menjalankan program MTBS, Sirkesnas Tabel Persentase dinas kesehatan yang melaksanakan program MTBS pada 2015, Sirkesnas Tabel Persentase dinas kesehatan kabupaten/kota yang telah melakukan pengendalian vektor terpadu berdasarkan karakteristik tahun 2015, Sirkesnas Tabel Persentase dinas kesehatan yang melakukan pengendalian penyakit tular vektor berdasarkan jenis penyakit pada tahun 2015, Sirkesnas Tabel Pelaksanaan program pengendalian penyakit tular vektor menurut data dinas kesehatan kabupaten/kota tahun 2014 dan 2015, Sirkesnas Tabel Proporsi dinas kesehatan kabupaten/kota menurut ketersediaan elemen kunci penunjang strategi manajemen pengendalian vektor terpadu berdasarkan karakteristik dinas kesehatan tahun 2015, Sirkesnas Tabel Persentase desa/kelurahan melaksanakan posbindu PTM di Indonesia, Sirkesnas Tabel Proporsi puskesmas yang mempunyai posbindu PTM, Sirkesnas Tabel Proporsi Puskesmas yang mempunyai Posbindu PTM aktif, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang memiliki 10 persen desa melaksanakan pengendalian PTM berdasarkan lokasi dan jenis puskesmas, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas melaksanakan pelayanan PTM terpadu berdasarkan lokasi dan jenis puskesmas, Sirkesnas Tabel Perempuan umur 20 tahun yang melakukan deteksi dini kanker payudara dengan Sadari dan Sadanis berdasarkan tempat tinggal *), Sirkesnas xiv

15 Tabel Proporsi perempuan umur 20 tahun yang melakukan deteksi dini kanker serviks dengan IVA atau pap smear berdasarkan tempat tinggal *), Sirkesnas Tabel Proporsi perempuan umur tahun yang pernah melakukan deteksi dini kanker payudara dan serviks berdasarkan tempat tinggal, Sirkesnas Tabel Proporsi perempuan umur tahun yang pernah melakukan pemeriksaan Sadanis, IVA untuk deteksi dini berdasarkan tempat tinggal, Sirkesnas Tabel Proporsi kabupaten/kota yang sudah mempunyai program pemeriksaan kesehatan pengemudi berdasarkan lokasi, Sirkesnas Tabel Persentase (%) sekolah yang menerapkan peraturan KTR berdasarkan lokasi, Sirkesnas Tabel Prevalensi merokok pada populasi umur tahun berdasarkan jenis kelamin, Sirkesnas Tabel Puskesmas penyelenggara program pelayanan kesehatan tradisional berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Puskesmas penyelenggara program pelayanan kesehatan tradisional yang memenuhi salah satu kriteria indikator berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Puskesmas penyelenggara program yankestrad yang memiliki SDM sudah dilatih pelayanan kesehatan tradisional berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Puskesmas penyelenggara program yankestrad yang sudah menjalankan kegiatan asuhan mandiri bidang kesehatan tradisional berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Pelayanan kefarmasian sesuai standar di puskesmas (pemberian informasi obat dan konseling) berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar (informasi atau konseling) berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang melakukan Pemberian Informasi Obat Terdokumentasi berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Persentase puskesmas yang melakukan kegiatan pemberian minimal 4 jenis informasi obat berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Puskesmas yang melakukan pelayanan konseling terdokumentasi berdasarkan karakteristik, Sirkesnas Tabel Jumlah puskesmas yang membuat laporan dan dilakukan perhitungan POR, Sirkesnas Tabel Jumlah dan persentase puskesmas yang dihitung POR berdasarkan kriteria puskesmas, Sirkesnas xv

16 DAFTAR GAMBAR Gambar Tahapan pembangunan dan arahan kebijakan RPJPN Gambar Kerangka evaluasi RPJMN Gambar Keterkaitan program/kegiatan antar dokumen perencanaan... 5 Gambar Kerangka konsep Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) Gambar Perbedaan antara kondisi sampel saat Sensus Penduduk 2010 dengan kondisi saat Sirkesnas dilakukan...16 Gambar Alur analisis data hasil survei komunitas indikator kesehatan ibu, Sirkesnas Gambar Capaian indikator pelayanan ibu hamil K1, K1 ideal dan K4 menurut hasil Sirkesnas 2016 dibandingkan Riskesdas Gambar Persentase perempuan tahun pernah melahirkan menurut alasan tidak melakukan ANC*), Sirkesnas Gambar Persentase ibu yang melakukan ANC menurut jenis tenaga kesehatan pelayanan kesehatan...40 Gambar Persentase ibu yang melakukan ANC menurut jenis fasilitas pelayanan kesehatan...40 Gambar Persentase ibu menerima pelayanan kesehatan saat hamil anak terakhir menurut komponen ANC, Sirkesnas Gambar Persentase keikutsertaan dalam Kelas Ibu Hamil menurut laporan ibu saat hamil anak terakhir, Sirkesnas Gambar Persentase keikutsertaan dalam Kelas Ibu Hamil menurut frekuensi, Sirkesnas Gambar Persentase puskesmas yang pernah melakukan orientasi P4K...48 Gambar Persentase puskesmas yang melaksanakan Orientasi P4K, Sirkesnas Gambar Observasi stiker pada rumah responden, Sirkesnas Gambar Persentase penolong persalinan, Sirkesnas 2016*...51 Gambar Persentase persalinan menurut tempat bersalinan, Sirkesnas 2016*...51 Gambar Indikator kesehatan anak, Sirkesnas Gambar Algoritma balita dengan riwayat berat badan dan panjang badan lahir rendah...58 Gambar Algoritma kunjungan neonatal pada balita...61 Gambar Algoritma penjaringan peserta didik...70 Gambar Persentase penjaringan peserta didik kelas 1 menurut jumlah kegiatan,...73 Gambar Persentase penjaringan peserta didik kelas 7 dan 10 menurut jumlah kegiatan, Sirkesnas Gambar Persentase puskesmas tidak melaksanakan program PKPR dan alasannya, Sirkesnas Gambar Algoritma sampel bayi baru lahir yang mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD)...80 Gambar Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD)..80 xvi

17 Gambar Algoritma sampel anak usia 0-23 bulan yang mendapat ASI Eksklusif...83 Gambar Persentase bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan hanya mendapat ASI Eksklusif...84 Gambar Algoritma sampel balita yang mendapat PMT pada tahun Gambar Persentase balita yang mendapat PMT...88 Gambar Algoritma sampel Balita yang mendapat PMT tahun 2015 berdasarkan hasil pengukuran Status Gizi tahun Gambar Persentase Balita Kurus hasil pengukuran Status Gizi tahun 2016 yang mendapat PMT pada tahun Gambar Persentase remaja puteri mendapat TTD...92 Gambar Algoritma sampel ibu hamil yang mendapat TTD selama kehamilan, Sirkesnas Gambar Persentase ibu hamil yang mendapat/membeli suplemen tambah darah selama kehamilan, Sirkesnas Gambar Algoritma ibu hamil yang mendapat PMT pada Tahun Gambar Persentase ibu hamil yang mendapat PMT pada Tahun Gambar Algoritma perempuan dengan risiko KEK (tahun 2016) yang mendapat PMT pada Tahun Gambar Persentase Perempuan dengan risiko KEK di tahun 2016 yang mendapat PMT pada tahun Gambar Algoritma sampel penilaian status gizi Gambar Perbandingan status gizi balita menurut indeks BB/U Gambar Perbandingan status gizi Anak balita menurut indeks TB/U Gambar Perbandingan status gizi anak baduta menurut indeks TB/U Gambar Perbandingan Status Gizi Anak Balita menurut indeks BB/TB Gambar Persentase status gizi lebih dan Obese pada dewasa usia > 18 tahun Gambar Persentase kegemukan (IMT 25) pada dewasa usia > 18 tahun menurut tempat tinggal dan jenis kelamin Gambar Prevalensi Anemia pada Ibu Hamil menurut tempat tinggal Gambar Algoritma Komponen Kesehatan Kerja Gambar Algoritma Layanan Kesehatan Kerja Gambar Algoritma indikator kesehatan kerja Gambar Algoritma kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di puskesmasnya Gambar Algoritma komponen kesehatan olahraga Gambar Algoritma Pembinaan Kesehatan Olahraga Gambar Algoritma Pelayanan Kesehatan Olahraga Gambar Algoritma Indikator Kesehatan Olahraga Gambar Algoritma Kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di puskesmasnya Gambar Persentase tempat pengelolaan makanan yang sudah memenuhi syarat kesehatan, Sirkesnas Gambar Algoritma imunisasi dasar lengkap bayi 0-11 bulan, Sirkesnas xvii

18 Gambar Algoritma imunisasi dasar lengkap bayi usia 0-11 bulan menurut kabupaten/kota, Sirkesnas Gambar Kecenderungan persentase imunisasi dasar lengkap pada anak usia 0-11 bulan menurut hasil Riskesdas dan Sirkesnas Gambar Persentase capaian imunisasi dasar lengkap kabupaten/kota Gambar Proporsi dinas kesehatan kabupaten/kota yang sudah melaksanakan deteksi dini Hepatitis B menggunakan HbsAG, Sirkesnas Gambar Proporsi kabupaten/kota yang sudah melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG tahun 2015, Sirkesnas Gambar Algoritma dinas kesehatan dengan 50% puskesmas sudah menjalankan MTBS, Sirkesnas Gambar Algoritma pengendalian vektor terpadu menurut jenis penyakit tular vektor, Sirkesnas Gambar Prevalensi merokok pada populasi umur tahun pada Gambar Algoritma sampel responden hipertensi umur 18 tahun berdasarkan diagnosis nakes dan pengukuran serta kepatuhan minum obat, Sirkesnas Gambar Kecenderungan hipertensi berdasarkan pengukuran*, diagnosis nakes** dan kepatuhan minum obat**, Riskesdas 2007 dan 2013, Sirkesnas Gambar Prevalensi responden yang minum obat pada yang didiagnosis hipertensi oleh nakes, Sirkesnas Gambar Persentase ketersediaan item obat dan vaksin indikator di puskesmas dan dinkes, Sirkesnas Gambar Persentase ketersediaan item obat dan vaksin indikator di puskesmas perawatan (DTP) dan non perawatan (non DTP), Sirkesnas Gambar Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2015, Sirkesnas Gambar Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2015 di puskesmas perawatan (DTP) dan non perawatan (non DTP), Sirkesnas Gambar Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2016, Sirkesnas Gambar Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2016 di puskesmas perawatan (DTP) dan non perawatan (non DTP), Sirkesnas Gambar Persentase dinkes kabupaten/kota menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2015, Sirkesnas Gambar Persentase dinas kesehatan kabupaten/kota menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2016, Sirkesnas Gambar Target dan capaian indikator POR, Sirkesnas Gambar Persentase puskesmas yang membuat laporan POR dan tidak membuat laporan, Sirkesnas Gambar Persentase puskesmas menurut alasan tidak membuat laporan POR, Gambar Alur pengumpulan data POR, Sirkesnas xviii

19 Gambar Persentase antibiotik pada penatalaksanaan kasus ISPA non pneumonia, Gambar Persentase antibiotik pada penatalaksanaan kasus diare non spesifik, Gambar Persentase injeksi pada penatalaksanaan kasus myalgia, Sirkesnas Gambar Jumlah rerata item obat per lembar resep, Sirkesnas Gambar Persentase POR di puskesmas, Sirkesnas Gambar Persentase puskesmas yang memenuhi kriteria POR, Sirkesnas xix

20 DAFTAR SINGKATAN ANC APN ASI : Antenatal Care : Asuhan Persalinan Normal : Air Susu Ibu Balita Battra BBLR BCG Bimtek Binfar BLU BOK BS : Bawah Lima Tahun : Pengobat Tradisional : Berat Badan Lahir Rendah : Bacille Calmete Guerin : Bimbingan Teknis : Bina Farmasi : Badan Layanan Umum : Bantuan Operasional Kesehatan : Blok Sensus DIII D-IV DBD DHF Dinkes Ditjen DPT DTP : Diploma-3 : Diploma-4 : Demam Berdarah Dengue : Dengue Hemorrhagic Fever : Dinas Kesehatan : Direktorat Jenderal : Difteri Pertusis Tetanus : Dengan Tempat Perawatan FR-PTM Gakin : Electronic Mail : Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular : Keluarga Miskin Hattra HB HP : Penyehat Tradisional : Hepatitis B : Handphone IMD IPRT ISPA : Inisiasi Menyusu Dini : Industri Pangan Rumah Tangga : Infeksi Saluran Pernafasan Akut xx

21 IUD Jamkesda Jamkesmas Jampersal Jamsostek Juklak Juknis : Intrauterine Device : Jaminan Kesehatan Daerah : Jaminan Kesehatan Masyarakat : Jaminan Persalinan : Jaminan Sosial Tenaga Kerja : Petunjuk Pelaksanaan : Petunjuk Teknis KB Kemenkes Kepmenkes Kesling Kesmas KN Keswa KIA KIPI KLB KMS Korwil KTA : Keluarga Berencana : Kementerian Kesehatan : Keputusan Menteri Kesehatan : Kesehatan Lingkungan : Kesehatan Masyarakat : Kunjungan Neonatus : Kesehatan Jiwa : Kesehatan Ibu dan Anak : Kejadian Ikutan Paska Imunisasi : Kejadian Luar Biasa : Kartu Menuju Sehat : Koordinator Wilayah : Kekerasan Terhadap Anak Lansia LB Lokmin LP LPO LSM : Lanjut Usia : Laporan Bulanan : Lokakarya Mini : Laporan Penerimaan dan Lembar Permintaan Obat : Lembaga Swadaya Masyarakat Monev MP ASI MTBM MTBS Musrenbang Ormas : Monitoring dan Evaluasi : Makanan Pendamping Air Susu Ibu : Manajemen Terpadu Bayi Muda : Manajemen Terpadu Balita Sakit : Musyawarah Perencanaan Pembangunan : Organisasi Massa P2M P4K Komplikasi : Pengendalian Penyakit Menular : Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan xxi

22 PA PAH PAM PE Perkesmas Permenkes PHBS PHN PJO PJT PKPR PLN PMT PMK PNS POA POD Podes Polindes PONED PONEK Posbindu Poskesdes Poskestren Pos UKK Posyandu PPOK Promkes Protap PTT PUS Pusdatin Puskesmas Pusling Pustu PWS Renstra Rifaskes : Pembantu Administrasi : Penampungan Air Hujan : Perusahaan Air Minum : Penyelidikan Epidemiologis : Perawatan Kesehatan Masyarakat : Peraturan Menteri Kesehatan : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat : Public Health Nursing : Penanggungjawab Operasional : Penanggungjawab Teknis : Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja : Perusahaan Listrik Negara : Pemberian Makanan Tambahan : Pengembangan Manajemen Kinerja : Pegawai Negeri Sipil : Plan of Action : Pos Obat Desa : Potensi Desa : Pondok Bersalin Desa : Pelayanan Obstetric Neonatal Emergensi Dasar : Pelayanan Obstetric Neonatal Emergensi Komprehensif : Pos Pembinaan Terpadu : Pos Kesehatan Desa : Pos Kesehatan Pesantren : Pos Upaya Kesehatan Kerja : Pos Pelayanan Terpadu : Penyakit Paru Obstruktif Kronis : Promosi Kesehatan : Prosedur Tetap : Pegawai Tidak Tetap : Pasangan Usia Subur : Pusat Data dan Informasi : Pusat Kesehatan Masyarakat : Puskesmas Keliling : Puskesmas Pembantu : Pemantauan Wilayah Setempat : Rencana Strategis : Riset Fasilitas Kesehatan xxii

23 Rikhus Riskesdas RPJMN RPK RS RUK RW : Riset Khusus : Riset Kesehatan Dasar : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional : Rencana Pelaksanaan Kegiatan : Rumah Sakit : Rencana Usulan Kegiatan : Rukun Warga S1 Kes S2 Kes SAA SBH SD SDM SDIDTK SJSN SIMPUS SK SKp SLE SLTP SMD SMU SOP SP2TP SPAG SPAL SPK SPM SPM-BK SPPH SPR SPRG SPTP Susenas Tb THT TOGA : Sarjana Strata-1 Kesehatan : Sarjana Strata-2 Kesehatan : Sekolah Asisten Apoteker : Saka Bhakti Husada : Sekolah Dasar : Sumber Daya Manusia : Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang : Sistem Jaminan Sosial Nasional : Sistem Manajemen Puskesmas : Surat Keputusan : Sarjana Keperawatan : Sistemik Lupus Eritemasus : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : Survei Mawas Diri : Sekolah Menengah Umum : Standard Operational Procedures : Sistem Pencatatan dan PelaporanTerpadu Puskesmas : Sekolah Pembantu Ahli Gizi : Sistem Pembuangan Air Limbah : Sekolah Perawat Kesehatan : Standar Pelayanan Minimal : Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan : Sekolah Pembantu Penilik Hygiene : Sekolah Pengatur Rawat : Sekolah Pengatur Rawat Gigi : Surat Tanda Penyehat Tradisional : Survei Sosial Ekonomi Nasional : Tuberkulosis : Telinga, Hidung, Tenggorokan : Taman Obat Keluarga xxiii

24 TPA TPM TT TTU : Tempat Pemrosesan Akhir : Tempat Pengelolaan Makanan/Minuman : Tetanus Toksoid : Tempat-tempat Umum UCI UKBM UKGS UKK UKS UKP UKW USG Usila UU : Universal Child Immunization : Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat : Usaha Kesehatan Gigi Sekolah : Usaha Kesehatan Kerja : Usaha Kesehatan Sekolah : Upaya Kesehatan Pengembangan : Upaya Kesehatan Wajib : Ultrasonografi : Usia Lanjut : Undang-Undang VCCM VCT Vit-A VVM : Vaccine Cold Chain Monitor : Voluntary Counseling and Testing : Vitamin A : Vaccine Vial Monitor WOD : Warung Obat Desa Yankes Yankespro Yankestrad : Pelayanan Kesehatan : Pelayanan Kesehatan Reproduksi : Pelayanan Kesehatan Tradisional xxiv

25 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Undang-undang No 17 tahun 2007 menjabarkan tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun , sebagai upaya mewujudkan tujuan negara yang dilakukan secara bertahap. Tahapan pembangunan jangka panjang tersebut dirinci ke dalam 4 (empat) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada saat ini, Indonesia memasuki RPJMN yang ke-tiga ( ). Sebagai operasionalisasi pelaksanaan dari RPJMN tersebut disusun rencana strategis (Renstra) dari masing-masing kementerian. Dalam melaksanakan pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan menyusun Rencana Strategis (Renstra) di bidang kesehatan, yang berisi upayaupaya pembangunan kesehatan yang dijabarkan dalam bentuk program atau kegiatan, indikator, target, hingga pendanaan dan kerangka regulasinya. Renstra di bidang kesehatan ini menjadi dasar dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia. Renstra disusun untuk periode lima tahunan, dengan melibatkan seluruh stakeholders jajaran kesehatan baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah termasuk dukungan lintas sektor dan dunia usaha (Kemenkes, 2015). Memasuki awal RPJMN dan Renstra ke-tiga ( ), maka pada tahun 2016 diperlukan data yang dapat dijadikan dasar pemantauan pencapaian target indikator yang telah ditetapkan. Pemantauan terhadap pencapaian indikator pembangunan kesehatan dapat dilakukan baik melalui data rutin, pelaporan program atau melalui survei khusus. Pemantauan dilakukan untuk dapat melakukan koreksi terhadap program. Target indikator yang harus dicapai dalam Renstra sejumlah 174 indikator dan dalam RPJMN sebanyak 28 indikator, sehingga total terdapat 202 indikator kesehatan di dalam RPJMN dan Renstra Kementerian Kesehatan , namun ada 7 indikator yang sama sehingga total indikator yang harus diukur dan dipantau sebanyak 195 indikator. Dari 195 indikator tersebut, tidak semua data capaian indikator harus diperoleh melalui survei, karena sebagian besar data capaian indikator diperoleh melalui laporan pusat serta pencatatan dan pelaporan rutin. Dari beberapa kali hasil pertemuan bersama dengan lintas program di Kemenkes, akhirnya diputuskan bahwa terdapat 36 indikator yang datanya diperoleh melalui survei khusus. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan merupakan unit Eselon I di lingkungan Kemenkes, dengan salah satu misinya adalah menghasilkan data dan informasi sebagai opsi kebijakan dan perbaikan program, memiliki kapasitas melakukan survei khusus untuk dapat menyediakan data dan informasi pencapaian target indikator kinerja Kemenkes, dimana di tahun 2016 dilihat target pencapaian dari 36 indikator kesehatan. 1

26 1.2 Tujuan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 Secara umum tujuan dari Sirkesnas adalah mengetahui capaian indikator Renstra Kemenkes tahun yang tidak terdapat dalam laporan pusat, pencatatan dan pelaporan rutin, serta capaian indikator RPJMN bidang kesehatan tahun , dimana keduanya dilihat secara lingkup nasional. 1.3 Ruang lingkup Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 dilakukan dalam rangka menyediakan data ke-36 indikator yang sebaiknya didapat melalui survei. Ketiga puluh enam indikator tersebut menggambarkan pencapaian indikator di tingkat kabupaten/kota, puskesmas dan masyarakat, sehingga pengumpulan data dilakukan dengan berbasis data fasilitas kesehatan (Facillity Based) dan berbasis data masyarakat (Community Based). Untuk dapat memberikan gambaran pelaksanaan Renstra secara utuh, maka sebagian besar data pencapaian atau cakupan program atau kegiatan yang diambil adalah data tahun Sesuai dengan tujuan dari survei ini adalah untuk melihat capaian program tahun pertama pelaksanaan RPJMN ke-tiga, maka pengumpulan dan analisis data dilakukan secepat mungkin untuk dapat memberikan koreksi terhadap kegiatan yang dilakukan. Jumlah sampel yang dikumpulkan dalam Sirkesnas 2016 ini hanya dapat menggambarkan capaian indikator tingkat nasional, dan tidak dapat menggambarkan pencapaian di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. 1.4 Indikator yang diukur Terdapat 36 indikator yang disurvei dalam Sirkesnas 2016, baik di tingkat fasilitas (dinas kesehatan kabupaten/kota dan puskesmas) maupun komunitas (rumah tangga dan individu), dimana 30 indikator berasal dari Renstra dan 6 indikator dari RPJMN. Indikator yang disurvei dalam Sirkesnas 2016 adalah indikator yang terdapat dalam struktur organisasi Kemenkes sebelum adanya Restruktur Organisasi tahun Dari 36 indikator tersebut, 22 indikator berasal dari Ditjen GKIA, 11 indikator dari Ditjen. P2PL dan 3 indikator dari Ditjen. Binfar dan Alat Kesehatan. Adapun penjabaran dari masing-masing indikator dapat dilihat pada tabel dan tabel di bawah ini. Tabel Indikator Rencana Strategis Kementerian Kesehatan dan unit instansi, Sirkesnas 2016 No INDIKATOR 1. DITJEN BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU DAN ANAK 1.1. Direktorat Bina Kesehatan Ibu a. Persentase Puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil b. Persentase Puskesmas yang melakukan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) c. Persentase ibu hamil yang mendapat pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4) d. Persentase Persalinan di fasyankes 1.2. Direktorat Bina Kesehatan Anak a. Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) b. Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 c. Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 & 10 d. Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja 1.3. Direktorat Bina Gizi 2

27 No INDIKATOR a. Persentase bayi baru lahir mendapat IMD b. Persentase bayi kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI Eksklusif c. Persentase remaja puteri yang mendapat TTD d. Persentase ibu hamil yang mendapat TTD e. Persentase ibu hamil KEK yang mendapat makanan tambahan f. Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan 1.4. Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga a. Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar b. Persentase Puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya 1.5. Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Komplementer a. Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan tradisional 2. DITJEN PENGENDALIAN PENYAKIT & PENYEHATAN LINGKUNGAN 2.1 Direktorat Simkarkesma a. Persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap 2.2. Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung a. Persentase Kab/Kota yang melaksanakan kegiatan deteksi dini Hepatitis B pada kelompok berisiko b. Persentase Kab/Kota yang 50% Puskesmasnya melakukan pemeriksaan & tatalaksana Pneumonia melalui pendekatan MTBS 2.3. Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang a. Persentase Kab/Kota yang melakukan pengendalian vektor terpadu Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular a. Persentase Puskesmas yang melaksanakan pengendalian PTM terpadu. b. Persentase perempuan usia tahun yang dideteksi dini kanker serviks dan payudara c. Persentase Kab/Kota yang melakukan pemeriksaan kesehatan pengemudi di terminal utama d. Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia < 18 tahun e. Persentase Kab/Kota yang menerapkan KTR di tempat pendidikan 2.5. Direktorat Penyehatan Lingkungan a. Persentase Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) yang memenuhi syarat kesehatan 3. DITJEN BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN 3.1. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian a. Persentase Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar b. Persentase penggunaan obat rasional di Puskesmas 3.2. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan a. Persentase ketersedian obat dan vaksin di Puskesmas Tabel Indikator RPJMN, Sirkesnas 2016 No INDIKATOR 1 Menurunnya prevalensi anemia pada ibu hamil (persen) 2 Menurunnya bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (persen) 3 Menurunnya prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita (persen) 4 Menurunnya prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) anak baduta (persen) 5 Prevalensi tekanan darah tinggi (persen) 6 Prevalensi berat badan lebih dan obesitas penduduk usia > 18 tahun 1.5 Kerangka dan alur pikir Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 Undang-undang No 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), menjabarkan bahwa pembangunan jangka panjang di 3

28 Indonesia akan dicapai dalam 4 kali rencana pembangunan jangka menengah. Saat ini Indonesia memasuki tatanan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) ke 3 yang akan dicapai dalam kurun waktu Gambar Tahapan pembangunan dan arahan kebijakan RPJPN Sumber: Bappenas 2014 Hasil proyeksi penduduk menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi dengan menurunnya angka ketergantungan sebesar 50,5% pada tahun 2010 dan akan terus menurun pada titik terendah 46,9% pada tahun 2028 (BPS, 2013), sehingga kebijakan perlu disusun secara berkesinambungan dimulai dari RPJM 1 ( ) hingga RPJM 4 ( ). Pada gambar terlihat bahwa pada RPJM 3 yang sekarang sedang dilakukan, difokuskan pada pemantapan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing secara kompetitif, berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk dapat mewujudkan rencana pembangunan tersebut diperlukan suatu sistem yang berkesinambungan. Dimulai dari telaah masalah yang harus ditangani, kemudian disusun indikator yang harus dicapai dalam mengatasi masalah tersebut. Untuk mempermudah pelaksanaan upaya mencapai indikator tersebut diperlukan adanya suatu rencana strategis dan rencana kerja yang tepat. Setelah rencana strategis dan rencana kerja dilaksanakan, dibutuhkan evaluasi agar dapat menilai apakah perencanaan yang telah disusun dapat dilaksanakan dengan baik, sesuai target, efisien dan efektif. Penilaian kinerja dapat diperoleh melalui laporan rutin, survei maupun penelitian khusus, sehingga didapatkan informasi kesesuaian antara target dan realisasi kinerja, untuk kemudian dilakukan perbaikan yang lebih efisien dan efektif dan dapat dipertahankan secara berkesinambungan. 4

29 Gambar Kerangka evaluasi RPJMN Sumber: Bappenas 2014 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) diterjemahkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra), yang disusun oleh masing-masing kementerian atau lembaga, berdasarkan Peraturan Presiden selama periode pemerintahan terpilih sebagai wujud dukungan pencapaian prioritas presiden. RPJMN dan Renstra yang telah disusun akan diterjemahkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai dokumen perencanaan nasional, dan rencana kerja sebagai wujud pelaksanaan dari kebijakan masing-masing kementerian. Untuk lebih jelasnya keterkaitan antara RPJMN, Renstra, RKP dan Renja dapat dilihat pada gambar Gambar Keterkaitan program/kegiatan antar dokumen perencanaan Sumber: Bappenas

30 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merupakan Institusi Pemerintah yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaran pembangunan kesehatan, untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, ditetapkan beberapa indikator yang harus dicapai. Dalam RPJMN terdapat 28 Indikator dan dalam Renstra Kemenkes terdapat 174 indikator, sehingga total terdapat 202 indikator. Terdapat 7 indikator yang ada baik di RPJMN dan juga di Renstra Kementerian Kesehatan , sehingga secara keseluruhan ada 195 indikator yang diharapkan dapat menjadi tolok ukur dalam mewujudkan Indonesia Sehat, dengan meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat, melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan. Untuk lebih jelasnya lihat gambar Indikator Renstra Indikator Kesehatan Kemenkes RPJMN (174 Indikator) (28 Indikator) Indikator Kesehatan Indikator Kesehatan Kemenkes Kemenkes (195 indikator) dipantau melalui laporan pusat (172 indikator) Indikator Kesehatan Indikator Kesehatan SURVEI Kemenkes Kemenkes INDIKATOR Dipantau melalui survey dipantau melalui laporan rutin (36 Indikator) (35 Indikator PENGUATAN SISTEM PENCATATAN DAN PELAPORAN Pencapaian Indikator Kesehatan Kemenkes Gambar Kerangka konsep Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) Pengorganisasian Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 Sirkesnas dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dengan melibatkan berbagai pihak, diantaranya adalah Badan Pusat Statistik (BPS) dalam penentuan dan penghitungan sampel, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) dalam perekrutan enumerator, dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengumpulan data, Tim pakar dari kalangan akademisi dan organisasi profesi. Dengan mempertimbangkan luasnya wilayah pengumpulan data dan kompleksnya pengorganisasian di lapangan maka proses dan prosedur kerja terbagi dalam 5 koordinator wilayah: 6

31 1. Koordinator wilayah I : Tanggung jawab dipegang oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, yang meliputi Provinsi Aceh, Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogjakarta, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan 2. Koordinator wilayah II : Tanggung jawab dipegang oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Banten dan Maluku 3. Koordinator wilayah III : Tanggung jawab dipegang oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Humaniora dan Manajemen Kesehatan, yang meliputi Provinsi Sumatera Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Papua. 4. Koordinator wilayah IV : Tanggung jawab dipegang oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu, yang meliputi Provinsi Jambi, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Kalimantan Utara dan Sulawesi Barat. 5. Koordinator wilayah V : Tanggung jawab dipegang oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga yang meliputi Provinsi Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Papua Barat. 1.7 Proses pelaksanaan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) Persiapan Survei Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 dimulai dengan persiapan sejak tahun 2015, dengan penentuan Indikator yang akan dievaluasi. Pertemuan antara Badan Litbangkes, Biro Perencanaan dan Anggaran, Pusat Data dan Informasi, dan Pemangku Program lain dilakukan secara serial untuk menetapkan indikator yang akan dinilai melalui survei. Setelah indikator tersusun kemudian dilakukan konsolidasi di dalam Badan Litbangkes untuk menentukan masing-masing indikator dikumpulkan pada tingkatan mana dengan sumber data apa dan siapa sasaran populasi target, agar seluruh indikator yang telah ditentukan dapat tergambarkan dengan baik. Setelah tingkatan pengumpulan data telah ditentukan dan siapa sasaran populasi target, kemudian dilakukan penghitungan sampel secara seksama dengan mempertimbangkan Margin of Error. Badan Litbangkes berkoordinasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung besarnya sampel baik di tingkat masyarakat, puskesmas dan dinas kesehatan Penyusunan Instrumen Penyusunan instrumen dilakukan oleh masing-masing Blok (8 Blok) dengan menterjemahkan indikator yang telah ditentukan kedalam pertanyaan yang dapat diukur. Adapun 8 blok tersebut adalah: Blok Ibu, Blok Anak, Blok Gizi, Blok Kesehatan Kerja dan Olah Raga, Blok Surveilans, Imunisasi, Karantina, dan Kesehatan Matra (Simkarkesma), Blok Penyakit Tidak Menular (PTM), Blok Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) dan Blok Farmasi. Secara umum pertanyaan terbagi dalam dua garis besar, pertanyaan utama yang berkaitan secara langsung dengan indikator yang akan diukur, dan pertanyaan tambahan merupakan pertanyaan yang secara tidak langsung berkaitan dengan indikator yang akan diukur. Data dikumpulkan dengan menggunakan 4 instrumen yaitu: Kuesioner Individu, Kuesioner Rumah Tangga, Kuesioner Puskesmas dan Kuesioner Dinas 7

32 Kesehatan. Pada Tabel digambarkan pemetaan indikator berdasarkan basis pengumpulan data, unit analisa dan sumber data. Tabel Pemetaaan indikator berdasarkan basis pengumpulan data, unit analisa dan sumber data, Sirkesnas 2016 No Indikator Basis Unit Analisa Kuesioner Pertanyaan DITJEN BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU DAN ANAK Direktorat Bina Kesehatan Ibu 1. Persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan (PF) 2 Persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal min 4 kali (K4) Komunitas Ibu pernah bersalin Individu Blok E E08-E16 Fasilitas Puskesmas Blok IV Komunitas Ibu pernah Individu Blok E bersalin Persentase Puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil 4 Persentase Puskesmas yang melakukan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) Direktorat Bina Kesehatan Anak 5 Menurunnya bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) 6 Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) 7 Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 1 8 Persentase Puskesmas yang Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 7 dan 10 9 Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja Direktorat Bina Gizi 10 Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) 11 Menurunnya prevalensi anemia pada ibu hamil (persen) 12 Persentase ibu hamil KEK yang mendapat makanan tambahan Komunitas Ibu pernah bersalin Individu Blok E Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV Dinkes Dinas Blok VII Komunitas Ibu pernah Individu Blok E bersalin Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV 4-9 Dinkes Dinas Blok VII 3-10 Komunitas Balita Individu Blok F Komunitas Balita Individu Blok F Fasilitas Puskesmas Blok IVB 03 Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IVB Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IVB Komunitas WUS Individu Blok G G05 Komunitas Ibu hamil Individu Blok G G06-07 Komunitas WUS Individu Blok E

33 No Indikator Basis Unit Analisa Kuesioner Pertanyaan Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV Persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) 14 Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI ekslusif 15 Menurunnya prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita 16 Menurunnya prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta 17 Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan 18 Persentase remaja putri yang mendapat TTD 19 Prevalensi Berat Badan Lebih dan Obesitas penduduk usia 18 tahun Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olah Raga 20 Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar 21 Persentase Puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Koplementer 22 Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan tradisional Komunitas WUS Individu Blok E Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV Komunitas Bayi 0-11 bulan Individu Blok F Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV Komunitas Balita Individu Blok G 1-2 Komunitas Baduta Individu Blok G 1-2 Komunitas Balita Individu Blok F Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV Komunitas Remaja putri Individu Blok D tahun 1-5 Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV Komunitas Sampel 18 Individu Blok G tahun Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok VIII 3-14 Dinas Dinas Blok V A 3-5 Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IX 3-11 Dinas Dinas Blok V B 6-8 Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok VII 3-14 Dinas Dinas Blok IV 3-32 DITJEN PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN Direktorat Simkarkesma 23 Persentase anak usia 0-11 bulan Komunitas Bayi Individu Blok F yang mendapat imunisasi dasar bulan lengkap Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IVB Dinas Dinas Blok VIB 3 Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung 24 Persentase Kabupaten/Kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B pada kelompok berisiko Fasilitas 9 Dinkes Kab/Kota Dinas Blok VID 11-12

34 No Indikator Basis Unit Analisa Kuesioner Pertanyaan 25 Persentase Kabupaten/Kota yang Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IVB 50% Puskesmasnya melakukan pemeriksaan dan tatalaksana Dinas Dinas Blok VI D Pneumonia melalui pendekatan MTBS Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang 26 Persentase Kabupaten/Kota yang melakukan pengendalian vektor terpadu Fasilitas Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular 27 Persentase Puskesmas yang melaksanakan pengendalian PTM terpadu 28 Persentase perempuan usia tahun yang dideteksi dini kanker serviks dan payudara 29 Persentase Kabupaten/Kota yang melakukan pemeriksaan kesehatan pengemudi di terminal utama. 30 Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia < 18 tahun 31 Persentase Kabupaten/Kota yang menerapkan KTR di tempat pendidikan Fasilitas 10 Dinkes Kab/Kota Puskesmas+Di nkes Kab/Kota Komunitas WUS tahun Fasilitas Komunitas Fasilitas Dinkes Kab/Kota Penduduk usia > 5 tahun Dinkes Kab/Kota 32 Prevalensi Tekanan Darah Tinggi Komunitas Sampel 15 tahun Direktorat Penyehatan Lingkungan 33 Persentase Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) yang memenuhi syarat kesehatan DITJEN BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 34 Persentase Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar 35 Persentase penggunaan obat rasional di Puskesmas Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 36 Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas Dinas Puskesmas Dinas Individu Puskesmas Dinas Individu Dinas Individu Blok VI 3-10 Blok VI Blok VI E 6-9 Blok C Blok VI 7-14 Blok VI E Blok B Blok VI E 3-5 Blok G Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok V 3-5 Dinas Blok VI A 3 Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok X 1-15 Dinas Dinas Blok VIII 3 Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok X 1-15 Dinas Dinas Blok VIII 3 Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok X 1-15 Dinas Dinas Blok VIII 3

35 Setelah instrumen tersusun, selanjutnya dilakukan dua kali uji coba dan perbaikan agar apa yang ditanyakan dapat dimengerti oleh responden dan data yang dikumpulkan sesuai dengan indikator yang akan dievaluasi. Uji coba pertama dilakukan untuk melihat kesesuaian antara indikator dan pertanyaan, alur pertanyaan, serta tingkat kesulitan menjawab. Uji coba kedua dilakukan untuk melihat ketersediaan sumber data dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan wawancara. Hasil ujicoba dan draft terakhir instrumen disepakati bersama dengan program terkait melalui pertemuan koordinasi Persiapan Lapangan Tahapan yang dilakukan sebelum pengumpulan data meliputi: 1. Rekrutmen PJT provinsi dan PJT Kabupaten/Kota 2. Workshop PJT provinsi dan kabupaten/kota, merupakan pendalaman materi Sirkesnas yang ditujukan kepada PJT provinsi dan PJT kabupaten/kota yang akan memberikan pemahaman materi pada enumerator. 3. Rekrutmen enumerator 4. Sosialisasi Sirkesnas ke 34 provinsi, dengan tujuan untuk memberikan wacana pada pemerintah daerah tentang survey Sirkesnas Workshop enumerator, merupakan kegiatan pendalaman materi Sirkesnas yang ditujukan kepada enumerator, dilakukan oleh PJT provinsi dan PJT kabupaten. 11

36 BAB 2 METODOLOGI No 2.1 Disain survei Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 adalah survei yang dilakukan secara potong lintang. Pengumpulan data dilakukan baik di tingkat dinas kesehatan Kabupaten/Kota, di tingkat puskesmas dan di tingkat masyarakat. Disain dari Sirkesnas ditujukan untuk dapat menggambarkan pencapaian indikator yang telah disusun di tingkat nasional, sehingga diharapkan dapat membantu para pemegang kebijakan dalam melakukan evaluasi dan perbaikan program yang telah disusun apakah dapat mencapai target dan sasaran dengan tepat. 2.2 Populasi dan sampel Populasi dari Sirkesnas 2016 ini adalah seluruh rumah tangga yang berada di Indonesia, sedangkan sampel adalah rumah tangga yang mempunyai anak 0 59 bulan (rumah tangga eligible) terpilih. Sampel Sirkesnas 2016 didesain untuk penyajian pada level nasional. Jumlah sampel yang ditetapkan memperhitungkan populasi target, prevalensi kejadian terhadap target populasi, proporsi target populasi terhadap populasi dan margin of error. Tabel Simulasi penghitungan besar sampel berdasarkan proporsi target dan besarnya toleransi margin of error, Sirkesnas 2016 Indikator Populasi Target Prevalensi kejadian terhadap target populasi Proporsi target populasi terhadap populasi Jumlah Sampel Rumah Tangga Menurut Margin of Error 10% 15% 18% 20% (1) (2) (3) (4) (5) (6) (9) (10) (11) 1 Persentase persalinan di fasilitas Perempuan pelayanan kesehatan (PF) th 0,704 0, Persentase ibu hamil Kurang Perempuan Energi Kronik (KEK) th 0,242 0, Persentase ibu hamil yang Perempuan mendapat Tablet Tambah Darah th (TTD) 0,891 0, Persentase bayi < 6 bulan yang 4 mendapat ASI ekslusif (kategori Bayi 0,348 0, ) 5 Persentase bayi < 6 bulan yang mendapat ASI ekslusif (kategori Bayi 0,223 0, ) 6 Persentase bayi < 6 bulan yang mendapat ASI ekslusif (kategori Bayi 0,153 0, ) 7 Persentase balita kurus Balita 0,121 0, Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) Balita 0,713 0, Persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4) WUS 0,835 0, Dengan mempertimbangkan proporsi target terkecil (persentase bayi < 6 bulan) diharapkan mendapatkan sampel terbesar. Berdasarkan penghitungan 12

37 beberapa simulasi menggunakan Proporsi target populasi terhadap populasi pada bayi dibawah 6 bulan dan besarnya margin of error 18% maka diperoleh sampel terbesar adalah rumah tangga. Untuk dapat menyajikan data pada level nasional pembulatan sampel dilakukan hingga rumah tangga. Sampel sebanyak rumah tangga yang tersebar pada Blok Sensus (BS) dan 400 kecamatan terpilih di 34 provinsi seluruh Indonesia Metode Sampling Responden Individu dan Rumah Tangga Sirkesnas 2016 Penghitungan sampel dan penentuan lokasi penelitian dilakukan oleh BPS berdasarkan data Sensus Penduduk (SP) Primary Sampling Unit (PSU) adalah kecamatan yang dipilih secara Probability Proportional to Size (PPS) berdasarkan jumlah penduduk setiap kecamatan pada SP Jarak waktu berselang 6 tahun antara pelaksanaan Sirkesnas dan pelaksanaan Sensus Penduduk 2010 memungkinkan adanya perubahan data kependudukan. Oleh karena itu untuk mempermudah pengumpulan data di lapangan maka dilakukan updating data di Bulan November Pemutakhiran data (updating) bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan rumah tangga dan informasi keberadaan anak balita dalam rumah tangga. Sampel yang diambil dalam Sirkesnas ini adalah Keluarga Eligible yaitu keluarga yang memiliki anak berusia 0-59 bulan (Balita). Dari total rumah tangga eligible akan terbagi kedalam BS maka setiap BS diambil 25 rumah tangga eligible yang dipilih secara simple random sampling dari sejumlah rumah tangga eligible. Dalam Sirkesnas tidak disediakan sampel cadangan sehingga tim tidak dapat mengganti rumah tangga yang hilang, hal ini akan mempengaruhi respon rate dari perolehan sampel Kerangka Sampel Penarikan sampel dilakukan independen, untuk tiap provinsi melalui tiga tahapan penarikan sebagai berikut: Kerangka sampel pemilihan tahap pertama adalah daftar kecamatan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia yang dilengkapi informasi jumlah rumah tangga hasil SP2010. Jumlah primary sampling unit (PSU) yang terpilih adalah 400 kecamatan yang dipilih secara probability proportional to size (PPS) dengan jumlah rumah tangga hasil sensus penduduk (SP) PSU adalah gabungan dari beberapa blok sensus (BS) yang merupakan wilayah kerja tim pencacahan SP2010. Kerangka sampel pemilihan tahap kedua adalah memilih 3 Blok Sensus (BS) di tiap kecamatan terpilih secara PPS dengan size jumlah rumah tangga. Sebelum dilakukan penarikan sampel, blok sensus terlebih dahulu diurutkan berdasarkan klasifikasi urban/rural sehingga akan menjamin keterwakilan secara proporsional daerah urban dan rural dalam sampel terpilih. Kerangka sampel pemilihan tahap ketiga adalah memilih 25 rumah tangga secara sistematik dari rumah tangga hasil pemutakhiran yang mempunyai anggota rumah tangga usia balita. Pemutakhiran telah dilakukan oleh BPS pada bulan November Pemutakhiran rumah tangga bertujuan untuk mendapatkan daftar rumah tangga eligible yang lengkap dan mutakhir yang selanjutnya digunakan untuk kerangka pemilihan sampel rumah tangga. Rumah tangga eligible dalam Sirkesnas adalah rumah tangga yang di dalamnya mempunyai anggota rumah tangga usia balita (0-4 tahun). Oleh karena itu, pada saat pemutakhiran selain mengidentifikasi 13

38 keberadaan rumah tangga, juga menanyakan informasi keberadaan balita dalam rumah tangga-rumah tangga di blok sensus terpilih. Pemutahiran data dimulai dengan melakukan listing rumah tangga diwilayah Blok Sensus (BS) terpilih, jumlah rumah tangga dalam 1 BS pada umumnya 80 hingga 100 rumah tangga (ruta). Format Daftar Pemutahiran Data Rumah Tangga seperti dibawah ini: Di isi kode 1 sampai dengan 7 Pada daftar pemutahiran rumah tangga tersebut terdapat 8 kolom, kolom 1 hingga 6 merupakan indentitas setiap rumah tangga yang ada dibawah BS terpilih. Kolom 7 dan 8 merupakan kolom yang akan digunakan untuk dasar melakukan updating. Kolom 7 berisikan perubahan status keberadaan rumah tangga dari kondisi SP2010 hingga kahir tahun Dan kolom 8 berisikan status keberadaan balita dalam rumah tangga. Ada 7 status perubahan keberadaan rumah tangga: Kode 1: Ditemukan, adalah kondisi dimana nama kepala rumah tangga dan alamat pada saat pemutakhiran sama dengan nama kepala rumah tangga dan alamat pada saat pencacahan SP2010. Termasuk dalam kategori ini bila nama kepala rumah tangga berbeda karena nama yang tercantum adalah nama panggilan atau alias 14

39 dan kesalahan dalam penulisan nama atau alamat dalam pencacahan SP2010 (Tuliskan nama yang sebenarnya) Kode 2: Ganti Kepala Rumah Tangga, adalah kondisi dimana alamat pada saat pemutakhiran rumah tangga sama dengan alamat pada saat pencacahan SP2010, tetapi terjadi pergantian kepala rumah tangga karena kepala rumah tangga yang tercantum pada daftar ini telah pindah, meninggal, bercerai, atau sebab lain. Kode 3: Pindah Dalam Blok Sensus, adalah kondisi dimana alamat pada saat pemutakhiran rumah tangga berbeda dengan alamat rumah tangga pada saat pencacahan SP2010 sedangkan nama kepala rumah tangga tetap sama. Kode 4: Rumah Tangga Baru adalah kondisi dimana rumah tangga ditemukan pada saat pemutakhiran tetapi tidak tercantum dalam Daftar PEMUTAKHIRAN, pada umumnya adalah pada saat pencacahan SP2010 rumah tangga tersebut dicacah oleh petugas SP2010 di blok sensus lain tetapi pada saat pemutakhiran rumah tangga tersebut telah pindah ke blok sensus tersebut. Kode 5: Pindah Keluar Blok Sensus adalah kondisi dimana rumah tangga yang tercatat pada Daftar PEMUTAKHIRAN tidak ditemukan pada saat pemutakhiran, dan setelah dikonfirmasikan dengan tetangga disekitarnya diperoleh informasi bahwa rumah tangga tersebut telah pindah tempat tinggal di luar blok sensus Kode 6: Bergabung dengan Rumah Tangga Lain adalah kondisi dimana rumah tangga bergabung dengan rumah tangga lain, baik dalam blok sensus maupun di luar blok sensus. Kode 7: Tidak Ditemukan adalah kondisi dimana kepala rumah tangga pada saat pemutakhiran tidak dapat ditemukan (setelah dikonfirmasikan dengan tetangga disekitarnya memang tidak dikenal). Berikut ini adalah ilustrasi perubahan status keberadaan rumah tangga sampel: 15

40 Gambar Perbedaan antara kondisi sampel saat Sensus Penduduk 2010 dengan kondisi saat Sirkesnas dilakukan Contoh: 1. Rumah tangga Sunardi terdapat pada daftar PEMUTAKHIRAN. Pada saat pemutakhiran pada alamat tersebut, ternyata nama kepala rumah tangga yang benar adalah Suhardi. Maka nama kepala rumah tangga dicoret dan dituliskan nama yang benar, selanjutnya rumah tangga Suhardi dikatakan rumah tangga ditemukan (kode 1). 2. Hendrik Jamil meninggal dunia 2 bulan yang lalu. Pada saat pemutakhiran yang tinggal di rumah (alm) Hendrik Jamil adalah isterinya, Intan Itsnaini dan kedua anak laki-lakinya yang masih bersekolah di jenjang SMP dan SD. Maka rumah tangga Hendrik Jamil dikatakan sebagai rumah tangga ganti kepala rumah tangga (kode 2). 3. Yulianti tinggal bersama kedua anak laki-lakinya. Setahun yang lalu ia berpisah/ bercerai dengan suaminya yang bernama Mustofa, kemudian Mustofa pindah ke luar kota. Maka pada saat pemutakhiran nama kepala rumah tangga Mustofa di daftar PEMUTAKHIRAN dicoret dan dituliskan nama kepala rumah tangga sekarang Yulianti, selanjutnya rumah tangga Yulianti dikatakan sebagai rumah tangga ganti kepala rumah tangga (kode 2). 4. Rumah tangga Budi Akbar pindah rumah (hal ini ditandai dengan keberadaan tetangga pak Budi Akbar berbeda antara di pre-printed dengan kondisi lapangan) tetapi masih berada di blok sensus yang sama. Dia sehari-hari tinggal bersama isteri, seorang anak laki-laki, dan seorang anak perempuannya. Maka rumah tangga Budi Akbar dikatakan sebagai rumah tangga pindah dalam blok sensus (kode 3). 5. Blok sensus 001B terdiri dari 2 SLS, yaitu RT001/RW001 dan RT002/RW001. Setelah SP2010 Rumah tangga Supriadi pindah menempati rumah barunya 16

41 dari RT001/RW001 ke RT002/RW001. Maka rumah tangga Supriadi dikatakan sebagai rumah tangga pindah dalam blok sensus (kode 3). 6. Rumah tangga Sosro pada SP2010 terdiri dari Sosro (suami), Suswati (isteri), serta anak kandung: Suradi, Sutari, dan Sutardi. Pada waktu pemutakhiran Suradi sudah menikah dengan Rosa Angraini. Suradi dan istrinya menempati salah satu kamar rumah Sosro dan mengurus makan sendiri. Maka rumah tangga Suradi dikatakan sebagai rumah tangga baru (kode 4). 7. Pada saat pemutakhiran rumah tangga Saleh ternyata semenjak tahun 2008 tinggal di blok sensus tersebut, tetapi rumah tangga tersebut tidak terdaftar pada daftar PEMUTAKHIRAN. Maka rumah tangga Saleh dikatakan sebagai rumah tangga baru (kode 4). 8. Salman tinggal bersama Yuanita (istri) dan Nayla (anak), rumah tangga ini baru pindah di blok sensus tersebut sejak Januari Maka pada saat pemutakhiran rumah tangga Salman dikatakan sebagai rumah tangga baru (kode 4). 9. Rumah tangga Afrizal tinggal di blok sensus tersebut sejak tahun 2005 bersama mertua perempuan, isteri, dan 2 orang anak laki-lakinya. Pada bulan April 2014 Afrizal, isteri dan kedua anak laki-lakinya pindah ke Jakarta. Rumah nya dibeli Effendi dan ditempati bersama istrinya sejak Mei Maka pada saat pemutakhiran rumah tangga Afrizal dikatakan sebagai rumah tangga pindah keluar blok sensus (kode 5). 10. Busnir meninggal dunia sebulan yang lalu. Sebelum meninggal, dia tinggal seorang diri di rumahnya. Maka rumah tangga Busnir dikatakan sebagai rumah tangga pindah keluar blok sensus (kode 5). 11. Pada saat pemutakhiran rumah tangga Widodo didatangi oleh petugas Sirkesnas 2016 sesuai dengan daftar PEMUTAKHIRAN. Ternyata rumah tangga tersebut berada di luar wilayah blok sensus. Maka rumah tangga Widodo dikatakan sebagai rumah tangga pindah keluar blok sensus (kode 5). 12. Rohadi dan Rohana menikah pada bulan Januari 2014, mereka tinggal bersama orang tua Rohadi dan anak dari Rohana hasil perkawinannya yang pertama. Sebelum menikah dengan Rohadi, Rohana tinggal bersama anaknya tidak jauh dari rumah yang sekarang ia tinggali (satu blok sensus). Maka pada saat pemutakhiran rumah tangga Rohana dikatakan sebagai rumah tangga bergabung dengan rumah tangga lain (kode 6). 13. Pada SP2010 Suwardi tinggal bersama istrinya Maemunah, dan anak lakilakinya Rahmad Basuki tinggal istri dan anaknya di sebelah rumah Suwardi (satu blok sensus). Setahun yang lalu Suwardi meninggal dunia, kemudian Maemunah memilih untuk tinggal bersama anaknya Rahmad Basuki. Pada saat pemutakhiran rumah tangga Suwardi dikatakan sebagai rumah tangga bergabung dengan rumah tangga lain (kode 6). 14. Rumah Tangga Andi Lukman sesuai dengan yang tertera pada PEMUTAKHIRAN didatangi petugas Sirkesnas Ternyata rumah tangga Andi Lukman sudah tidak menempati rumah tinggal tersebut, dan yang menempati rumah tinggal sekarang adalah keluarga Budi Gumelar. Andi Lukman meninggal dunia 2 tahun yang lalu dan istrinya Aminah telah menikah lagi serta ikut suaminya di blok sensus lain. Maka rumah tangga Andi Lukman dikatakan sebagai rumah tangga pindah keluar blok sensus (kode 5). 15. Rumah tangga Bukhari terdaftar pada daftar PEMUTAKHIRAN. Pada saat pemutakhiran tidak seorang pun tetangga sekitar yang mengenal/mengetahui 17

42 keberadaan rumah tangga Bukhari. Maka rumah tangga Bukhari dikatakan sebagai rumah tangga tidak ditemukan (kode 7). Selain mengisi kolom 7 dalam pemutahiran rumah tangga juga mengisi kolom 8. Kolom 8 berisi tentang status kepemilikan anak balita dalam rumah tangga tersebut. Setelah kolom 7 dan kolom 8 terisi semua, tahap selanjutnya adalah memberi nomor urut berdasarkan kolom 7 berkode 1-4 dan kolom 8 memiliki balita. Setelah seluruh rumah tangga pada blok sensus terpilih selesai dimutakhirkan, berilah nomor urut eligible rumah tangga di samping kanan Kolom (8) jika Kolom (8) berkode tanda chek (V) mulai nomor urut 1 sampai dengan seluruh tanda check pada halaman terakhir. Kemudian pilih rumah tangga dengan kode 1-4 dan memiliki balita secara random sistematik. Cara pemilihan sistematik dilakukan dengan cara: 1. Bangkitkan angka random (AR) dengan menggunakan Ms. Excell, yaitu dengan menggunakan formula =rand(). Angka random yang muncul akan berada pada interval 0-1. Jika angka random yang dibangkitkan bernilai 0, maka ulangi langkah membangkitkan angka random. 2. Hitung interval (I) untuk penarikan sampel rumah tangga dengan rumus: N Nomor urut eligible rumah tangga terakhir pada kolom (8) I = -----= n 25 jumlah rumah tangga eligible yang dibutuhkan Interval sampel dihitung sampai dua angka dibelakang koma 3. Gunakan angka random yang telah dibangkitkan. Untuk menghitung no urut sampel rumah tangga pertama digunakan R 1=ARxI 18

43 CATATAN: apa bila R 1<1, maka R 1 adalah 1 4. Gunakan interval sampel untuk menentukan random penarikan sampel rumah tangga berikutnya, R2=R1+I R3=R Nomor urut rumah tangga terpilih diperolah dengan membulatkan hasil perhitungan sampai 0 angka dibelakang koma 6. Lingkari nomor urut pada kolom (8) sesuai dengan nomor urut sampel terpilih 7. Lingkari nomor urut bangunan fisik, bangunan sensus, dan rumah tangga sesuai dengan nomor urut pada kolom (8) yang dilingkari 8. Salin 25 rumah tangga terpilih ke Daftar Sampel Rumah Tangga (DSRT) 19

44 Contoh: Misal jumlah eligible rumah tangga hasil pemutakhiran rumah tangga Sirkesnas 2016 yang tercantum dalam Daftar Pemutakhiran adalah 56 rumah tangga yang mempunyai anggota rumah tangga berumur 0-4 tahun. Interval penarikan sampel rumah tangga adalah : Gunakan angka random (AR) yang terdapat di DSBS. Untuk mendapatkan nomor urut sampel rumah tangga pertama digunakan rumus berikut: Catatan: apabila, maka nya adalah 1 20

45 Contoh: Misalkan dari angka random yang tercantum di DSBS adalah 0.72 maka R 1=0.72 2,24 = 1,61 2 Selanjutnya gunakan interval sampel untuk menentukan angka random penarikan sampel rumah tangga berikutnya, yaitu R 2, R 3,..., R 25 sebagai berikut: Nomor urut rumah tangga terpilih diperoleh dengan membulatkan hasil perhitungan sampai 0 angka di belakang koma. Contoh: Dengan demikian, nomor urut eligible rumah tangga 2, 4, 6, 8,..., dst terpilih sebagai sampel Sirkesnas

46 Ada 2 dokumen penting yang diperlukan dalam pencarian sampel Sirkesnas 2016: a. DSRT b. Peta blok sensus A. Format DSRT Format DSRT terdiri atas dua blok dengan rincian sebagai berikut: a. Blok I. Identitas Blok Sensus DSRT Blok I telah diisi oleh BPS Kabupaten/Kota. Perlu dipastikan bahwa jumlah rumah tangga hasil pemutakhiran dan jumlah rumah tangga eligible terisi. Blok I. Identitas Blok Sensus: disalin dari Daftar Pemutakhiran Rumah Tangga (Blok I. Keterangan Tempat). Jumlah rumah tangga hasil pemutakhiran dan rumah tangga eligible diambil dari Blok II Form Updating. Daftar rumah tangga hasil pemutakhiran diambil dari kolom 7 dan rumah tangga eligible diambil dari kolom 8 Blok V. b. Blok II. Keterangan Rumah Tangga Terpilih PJT dan PJO Kabupaten/Kota wajib memastikan bahwa DSRT sudah terisi lengkap, yaitu sejumlah 25 rumah tangga eligible. Kolom (1): Nomor urut dalam daftar DSRT, no urut ini tidak selalu sama dengan nomor urut rumah tangga. Kolom (2): Nomor urut bangunan fisik: disalin dari Daftar Pemutakhiran Rumah Tangga (Blok V. Keterangan Rumah Tangga Kolom (2)). Kolom (3): Nomor urut bangunan sensus: disalin dari Daftar Pemutakhiran Rumah Tangga (Blok V. Keterangan Rumah Tangga Kolom (3)) Kolom (4): Nomor urut rumah tangga: disalin dari Daftar Pemutakhiran Rumah Tangga (Blok V. Keterangan Rumah Tangga Kolom (4)) Kolom (5): Nama kepala rumah tangga: disalin dari Daftar Pemutakhiran Rumah Tangga (Blok V. Keterangan Rumah Tangga Kolom (5)) Kolom (6): Alamat: disalin dari Daftar Pemutakhiran Rumah Tangga (Blok V. Keterangan Rumah Tangga Kolom (6)) 22

47 B. Peta Blok Sensus Peta blok sensus adalah peta yang berisikan letak setiap rumah tangga dalam 1 blok sensus (BS) Contoh bentuk peta blok sensus seperti dalam contoh berikut. Gambar Sketsa Peta Blok Sensus Sampel Sirkesnas 2016 Sirkesnas 2016 dilakukan di 34 provinsi dan 261 kabupaten serta 400 kecamatan. Jumlah total sampel sebanyak rumah tangga yang tersebar pada 1200 blok sensus. Sampel blok sensus dialokasikan menurut perkotaan dan pedesaan, Adapun rincian jumlah kabupaten, kecamatan, blok sensus dan rumah tangga di setiap provinsi tercantum sebagai berikut: 23

48 Jumlah sampel Kode Nama Provinsi Blok Rumah Kab Kec sensus tangga (1) (2) (3) (4) (5) (6) 11 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Baratr Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Untuk mengetahui desa, kecamatan, kabupaten disetiap provinsi yang terpilih dapat dilihat pada Daftar Sampel Blok Sensus (DSBS) yang telah dirinci hingga tingkat desa. Contoh DSBS dapat dilihat seperti dibawah ini: 24

49 Contoh DSBS Sirkesnas 2016 untuk provinsi Aceh: Prop Kab Kec Desa Nbs Nmprop Nmkab Nmkec Nmdesa B ACEH Simeuleu Simeuleu Timur Air Pinang B ACEH Simeuleu Simeuleu Timur Sinabang B ACEH Simeuleu Simeuleu Timur Suka Karya B ACEH Aceh Selatan Kluet Utara Pasi Kuala Bau B ACEH Aceh Selatan Kluet Utara Krueng Batu B ACEH Aceh Selatan Kluet Utara Alur Mas B ACEH Aceh Tengah Lut Tawar Asir Asir B ACEH Aceh Tengah Lut Tawar Takengon Timur B ACEH Aceh Tengah Luta Tawar Takengon Barat B ACEH Aceh Besar Darul Imarah Punie B ACEH Aceh Besar Darul Imarah Gue Gajah B ACEH Aceh Besar Darul Imarah Lamreung B ACEH Pidie Indrajaya Tuha Suwiek B ACEH Pidie Indrajaya Cot Suekee B ACEH Pidie Indrajaya Ulee Birah B ACEH Aceh Utara Syamtalira Baru Cut Neuheun B ACEH Aceh Utara Syamtalira Baru Cibrek B ACEH Aceh Utara Syamtalira Baru Bungong B ACEH Nagan Raya Seunagan Kulu B ACEH Nagan Raya Seunagan Latong B ACEH Nagan Raya Seunagan Alue Dodok B ACEH Aceh Jaya Setia Bakti Lhok Geulumpang B ACEH Aceh Jaya Setia Bakti Gampong Baro B ACEH Aceh Jaya Setia Bakti Sapek Kolom (1): Kode provinsi Kolom (2): Kode Kabupaten/Kota Kolom (3): Kode Kecamatan Kolom (4): Kode Desa/Kelurahan Kolom (5): Nomor Blok Sensus Kolom (6): Nama provinsi Kolom (7): Nama kabupaten Kolom (8): Nama kecamatan Kolom (9): Nama desa Kriteria Keberadaan Sampel Jumlah rumah tangga disetiap blok sensus terpilih pada Sirkesnas 2016 adalah 25 rumah tangga eligible (rumah tangga yang mempunyai balita). Kerangka sampel diambil dari hasil pemutahiran data yang dilakukan November 2015, dengan jarak lebih dari 5 bulan kemungkinan perubahan status keberadaan sampel dapat terjadi. Beberapa status keberadaan sampel yang mungkin dapat terjadi ketika pengumpulan data dilakukan, bagaimana status keberadaan sampel dan penanganannya seperti diuraikan dibawah ini: 1. Sampel hanya diambil dari DSRT yang telah disediakan, tidak di perkenankan untuk mengganti 2. Tidak ada cadangan sampel sehingga semaksimal mungkin sampel harus dapat diperoleh. 25

50 3. Rumah tangga sampel pindah kealamat lain: a. Masih terjangkau dalam 1 blok sensus wajib untuk diambil menjadi sampel b. Tidak terjangkau atau diluar blok sensus, tidak diambil menjadi sampel namun mintakan tanda pengesahan dari pamong setempat dan laporkan pada PJT kabupaten/kota. 4. Nama kepala rumah tangga tidak sesuai dengan daftar DSRT, setelah ditelusuri ternyata orang yang sama maka rumah tangga tersebut tetap diambil dengan nama sesungguhnya. 5. Alamat bukan tempat tinggal tapi toko atau tempat usaha (tidak ada yang tinggal disitu) tidak perlu diganti mintakan tanda tangan pengesahan dari pamong setempat 6. Rumah dari rumah tangga sampel tertutup dan tetangga mengetahui mereka pergi beberapa hari/minggu hingga melebihi batas waktu pengumpulan data berakhir di blok sensus tersebut (5 hari) diskusikan dengan tim dan PJT kabupaten/kota untuk menentukan apakah rumah tangga sampel diambil atau tidak, bila tidak mintakan tanda tangan bukti tetangga yang memberikan informasi dan pengesahan dari pamong setempat pada blok catatan di kuesioner rumah tangga 7. Pada alamat tidak ditemukan rumah tangga sampel dan tetangga mengatakan bangunan telah terbakar atau terkena bencana, bila keberadaan rumah tangga sampel tersebut terjangkau dan masih ada dalam blok sensus yang sama tetap diambil menjadi sampel, namun bila tidak terjangkau atau keluar blok sensus diskusikan dalam tim dan PJT kabupaten/kota, bila PJT kabupaten/kota memutuskan tidak diambil maka mintakan tanda pengesahan dari tetangga yang memberikan informasi, pamong setempat dan PJT kabupaten/kota di catatan kuesioner rumah tangga. 8. Untuk rumah tangga pada saat updating memiliki 1 balita dengan usia batas limit (59 bulan) pada saat pengumpulan data sudah berusia lebih dari 60 bulan tetap diambil menjadi sampel 9. Prinsip rumah tangga extended family (keluarga besar dimana tinggal lebih dari 1 keluarga di rumah tersebut) digunakan prinsip satu dapur yaitu biaya hidup (terutama pengeluaran untuk pangan sama satu sumber) sehingga keluargakeluarga akan diambil menjadi sampel dan dihitung menjadi satu keluarga 10. Untuk blok sensus yang memiliki rumah tangga tidak terjangkau atau pindah keluar blok sensus lebih dari 3 rumah tangga wajib di supervisi oleh PJT kabupaten/kota atau PJT provinsi untuk meyakinkan keluarnya rumah tangga dari daftar sampel Penentuan Puskesmas Lokasi Survei Puskesmas lokasi survei ditentukan berdasarkan lokasi desa dan lokasi Blok Sensus (BS) yang terpilih. Primary Sampling Unit (PSU) yang terpilih adalah 400 kecamatan yang dipilih secara probability proportional to size (PPS), dan terdapat 3 Blok Sensus (BS) di tiap kecamatan terpilih. Berdasarkan hal tersebut, maka penetapan puskesmas yang menjadi lokasi survei mengikuti lokasi desa terpilih atau BS terpilih. Puskesmas terpilih adalah puskesmas yang wilayah kerjanya mencakup desa terpilih atau BS terpilih tersebut berada. Dari 400 kecamatan terpilih akan diambil 400 puskesmas. Bila desa atau BS terpilih tersebar di 2 puskesmas berbeda maka pemilihan puskesmas dilakukan secara random. 26

51 Penanggungjawab teknis (PJT) kabupaten/kota dan Penanggungjawab operasional (PJO) kabupaten/kota menentukan puskesmas mana yang dijadikan sampel dari daftar yang tersedia. Khusus untuk puskesmas-puskesmas di kota besar yang memiliki puskesmas kelurahan, misalnya puskesmas-puskesmas di DKI Jakarta, maka data yang diambil cukup data Puskesmas Induk (Kecamatan) saja. Contoh cara pemilihan sampel puskesmas: Identifikasi kabupaten, kecamatan dan desa terpilih Dari Provinsi Aceh, Kabupaten Simeulue, Kecamatan Simeuleu Timur dan desa Suka Karya Lihat daftar puskesmas pada lampiran dimana alamat dari puskesmas yang mencakup desa tersebut. Puskesmas terpilih Dari pemilihan tersebut pada Provinsi Aceh, Kabupaten Simeulue, Kecamatan Simeuleu Timur terpilih Puskesmas Simeuleu Timur Penentuan dinas kesehatan Lokasi Survei Untuk penentuan sampel dinas kesehatan kabupaten/kota merujuk kabupaten/kota yang terpilih menjadi sampel sirkesnas Dari 507 kabupaten/kota di Indonesia 261 kabupaten/kota yang akan diambil menjadi sampel pada sirkesnas Contoh: Untuk Provinsi Aceh, salah satu kabupaten/kota terpilih adalah Simeuleu maka sampel dinas kesehatan-nya adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Simeuleu. 2.3 Alat dan tata cara pengumpulan data Pengumpulan data Sirkesnas 2016 dilakukan pada 3 tingkat sampel, yakni masyarakat, puskesmas, dan dinas kesehatan kabupaten/kota. Pengumpulan data dilakukan secara serentak pada bulan Mei-Juni 2016 di lokasi terpilih. Alat dalam pengumpulan data Sirkesnas 2016 di komunitas adalah kuesioner, alat ukur antropometeri untuk mengukur status gizi, HB meter untuk mengukur kadar HB, dan tensimeter untuk mengukur tekanan darah. Sedangkan di Puskesmas dan Dinas Kesehatan menggunakan kuesioner dengan metode wawancara dan penelusuran dokumen. 27

52 Pengumpulan data berupa pertanyaan, digunakan kuesioner yang telah disusun sesuai indikator yang akan diukur. Pada tingkat masyarakat, alat ukur yang digunakan adalah kuesioner SIKN16.IND disusun sesuai dengan segmen usia sampel, sebagai berikut : Usia 5-9 : pertanyaan menyangkut perilaku merokok Usia 15 tahun:pertanyaan tentang riwayat hipertensi Perempuan tahun pernah kawin: pertanyaan menyangkut kanker serviks Perempuan tahun belum pernah kawin: pertanyaan pemberian tablet tambah darah Perempuan 20 tahun: pertanyaan tentang kanker payudara Perempuan tahun pernah kawin: pertanyaan tentang kanker servik Perempuan tahun belum pernah kawin: pertanyaan pemberian tablet tambah darah Perempuan tahun belum pernah kawin: pertanyaan pemberian tablet tambah darah Perempuan tahun pernah kawin: pertanyaan tentang riwayat kehamilan, persalinan, hasil kehamilan dan pemberian makanan tambahan ART 0-59 bulan: pertanyaan tentang Berat Badan Lahir, riwayat pemeriksaan neonatus, imunisasi, pemberian makanan tambahan dan pemberian ASI dan MP- ASI Seluruh kelompok umur: pemeriksaan antropometri ART 15 tahun (kecuali wanita hamil:pengukuran lingkar perut Perempuan tahun atau perempuan sedang hamil: pengukuran lingkar lengan atas Perempuan hamil : pemeriksaan Hemoglobin ART 15 tahun: pengukuran tekanan darah. Kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data di puskesmas adalah kuesioner SIKN16.PKM. Kuesioner ini disusun dengan isi yang sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing petugas pemegang program. - Petugas program pelayanan kesehatan ibu : pertanyaan melingkupi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), kelas ibu hamil, pelayanan persalinan di wilayah puskesmas. - Petugas program pelayanan kesehatan anak : pertanyaan melingkupi program pelayanan KN1, Pemeriksaan tata laksana pneumonia melalui pendekatan MTBS, program imunisasi, Penjaringan kesehatan peserta didik, Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) - Petugas program pelayanan gizi : pertanyaan melingkupi program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita, pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil, program pemberian tablet tambah darah ibu hamil, program pemberian tablet tambah darah remaja putri, program pemberian ASI - Petugas program kesehatan lingkungan: pertanyaan melingkupi program pembinaan dan pengawasan Tempat Pengelolaan Makanan/Minuman (TPM) - Petugas program penyakit tidak menular: pertanyaan melingkupi program posbindu, pemeriksaan CBE/Sadanis - Petugas program pelayanan kesehatan tradisional (yankestrad): pertanyaan melingkupi pelatihan yankestrad, pelaksanaan yankestrad, dan pembinaan yankestrad - Petugas program kesehatan kerja : pertanyaan melingkupi program kegiatan Kesehatan dan Keselamatan Kesehatan (K3) di puskesmas, pengamatan kewaspadaan universal di puskesmas, pelaksanaan K3 di puskesmas. 28

53 - Petugas program kesehatan olah raga: pertanyaan melingkupi penyelenggaraan upaya kesehatan olah raga di wilayah kerja puskesmas. - Petugas program pelayanan farmasi : pertanyaan melingkupi pelatihan tenaga penanggung jawab farmasi, kepemilikan dokumen, system pencatatan dan ketersediaan obat dan vaksin serta penggunaan obat rasional. Kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data di dinas kesehatan adalah kuesioner SIKN16.DINKES. Kuesioner ini disusun sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing pemegang program dinas kesehatan. Khusus untuk pengumpulan data di dinas kesehatan dilakukan oleh Penanggungjwab Teknis (PJT) Kabupaten/kota. Responden di dinas kesehatan terdiri dari: - Pemegang program kesehatan tradisional: pertanyaan melingkupi pelatihan, ketersediaan tenaga dan pembinaan program kesehatan tradisional. - Pemegang program kesehatan kerja: pertanyan melingkupi kegiatan kesehatan kerja, pendanaan, tenaga dan monitoring evaluasi. - Pemegang program kesehatan olah raga: pertanyan melingkupi kegiatan kesehatan olah raga, pendanaan, tenaga dan monitoring evaluasi. - Pemegang program penyehatan lingkungan, imunisasi dan pemberantasan penyakit: pertanyaan melingkupi pengendalian vektor, pelaksanaan program pengendalian tular vektor, pelaksanaan program Hepatitis B. - Pemegang program penyakit tidak menular: pertanyaan melingkupi peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pelaksanaan Pos Pembinaan Terpadu (posbindu) Penyakit Tidak Menular (PTM), pengendalian PTM terpadu, program pemeriksaan kesehatan pengemudi. - Pemegang program kesehatan ibu: pertanyaan melingkupi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi, kelas ibu hamil, pelayanan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan. - Pemegang program kesehatan anak: pertanyaan melingkupi program pemeriksaan dan tata laksana pneumonia melalui Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), penjaringan kesehatan peserta didik, pelayanan kesehatan peduli remaja. - Pemegang program pelayanan kefarmasian: pertanyaan meliputi ketersediaan obat dan vaksin. 2.4 Manajemen data Manajemen data dilakukan oleh tim Manajemen Data Badan Litbangkes, dengan tahapan: Editing Editing dilakukan oleh enumerator sejak di lapangan dengan melihat kembali kelengkapan dan konsistensi jawaban responden. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan bila ditemukan adanya jawaban yang tidak konsisten dan tidak lengkap, enumerator dapat menelusuri kembali kepada responden untuk melengkapi atau memperbaiki jawaban. Enumerator bertanggung jawab melakukan editing seluruh kuesioner yang menjadi tanggung jawabnya. Proses editing ini tidak hanya dilakukan oleh enumerator akan tetapi dilakukan juga oleh ketua tim. Ketua tim melakukan editing seluruh kuesioner dari tim yang ada di bawah pengawasannya, kemudian diserahkan kepada PJT kabupaten/kota untuk dilakukan editing secara random. 29

54 2.4.2 Entry Proses entry data Sirkesnas 2016 dilakukan di lapangan oleh enumerator. Entry data dilakukan setelah selesai pengumpulan data 1 BS, untuk kemudian dikirim melalui ke tim Manajemen Data Pusat Cleaning Cleaning merupakan proses terakhir dari manajemen data. Setelah proses entry data dan seluruh data diterima tim Manajemen Data, kemudian dilakukan penggabungan data. Data yang telah tergabung dilakukan cleaning dengan cara melihat capaian yang diperoleh apakah menunjukkan angka yang tidak logis dibandingkan dengan baseline data ataupun target cakupan. Bila ditemukan data yang tidak logis, dilakukan penelusuran kuesioner untuk selanjutnya dilakukan perbaikan. 2.5 Analisis dan penyajian data Analisis data Sirkesnas 2016 dilakukan secara deskritif analitik, karena tidak dimaksudkan untuk melihat faktor penyebab dari indikator yang diukur. Penyajian data Sirkesnas 2016 berupa tabel dan grafik. Penyajian tabel dapat berupa distribusi frekuensi sederhana atau tabulasi silang dengan dimensi karakteristik yang telah ditetapkan, sedangkan grafik disajikan hanya pada beberapa yang perlu digambarkan lebih mendalam. 2.6 Pengendalian mutu survei Untuk menjaga kualitas dari hasil survei dilakukan beberapa kegiatan diantaranya : 1. Fokus penilaian terhadap indikator yang akan diukur. Dilakukan diskusi yang cukup panjang di dalam tim teknis serta melibatkan para pemegang program dimulai sejak penentuan indikator hingga kuesioner tersusun. 2. Menyelenggarakan workshop secara bertahap yaitu: a) workshop Penanggungjawab Teknis (PJT) Provinsi dan Kabupaten/Kota dimana pemateri adalah tim teknis dan peserta adalah para PJT, b) workshop enumerator dimana pemateri adalah para PJT dan peserta adalah enumerator (tim pengumpul data). Workshop ini dilakukan untuk memberikan kesamaan persepsi mengenai konsep Risnakes dan instrumen yang digunakan. 3. Melibatkan tim pakar dari Badan Litbangkes maupun dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia, untuk mendapatkan masukan atau saran agar pelaksanaan Risnakes dapat berjalan lebih baik. 4. Melakukan supervisi baik supervisi teknis maupun supervisi manajemen pelaksanaan di lapangan. Supervisi dilakukan baik oleh PJT, PJO (penanggung jawab operasional) maupun tim teknis untuk melihat permasalahan yang ditemukan di lapangan beserta solusinya. 5. Validasi eksternal. Seperti beberapa survei Badan Litbangkes berskala nasional lainnya, pada Sirkesnas 2016 juga dilakukan validasi eksternal. Untuk menjaga kenetralan, maka validasi dilakukan oleh IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) Penentuan Penanggungjawab Teknis (PJT) Dalam pelaksanaan pengumpulan data di lapangan dibentuk Penanggung Jawab Teknis (PJT) Provinsi dan Kabupaten/Kota. PJT provinsi bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan Rapat Koordinasi Teknis, workshop enumerator serta pengumpulan data di masing-masing provinsi. Persyaratan dari PJT provinsi adalah peneliti Badan Litbangkes berpendidikan minimal S2 kesehatan. 30

55 PJT kabupaten/kota bertanggungjawab terhadap pelaksanaan workshop enumerator, pelaksanaan pengumpulan data di kabupaten/kota, dan mengawasi jalannya pengumpulan data oleh enumerator. PJT Kabupaten/Kota adalah peneliti/calon peneliti Badan Litbangkes, peneliti balitbangda, lulusan poltekkes/universitas bidang kesehatan yang tidak sedang bekerja atau yang telah mendapatkan ijin atasan langsung, pendidikan minimal S1 kesehatan Rekrutmen tenaga enumerator Di dalam pengumpulan data di lapangan baik atau tidaknya data yang dikumpulkan sangat bergantung dari faktor enumerator. Menyadari hal tersebut dalam pelaksanaan Sirkesnas 2016 perekrutan enumerator diperketat, dimulai dari pengumuman perekrutan di Politeknik Kesehatan (Poltekkes) ataupun dinas kesehatan setempat, hingga penentuan enumerator terpilih. Pengujian rekrutmen tenaga dilakukan oleh Poltekkes setempat dan dinas kesehatan namun penentuan enumerator terpilih tetap dilakukan oleh tim dari Badan Litbangkes. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam rekrutmen tenaga enumerator adalah : 1. Latar belakang pendidikan minimal D3 kesehatan (dibuktikan dengan ijazah yang dilegalisir atau surat keterangan lulus) 2. Dalam tim terdiri dari 4 orang, dengan latar belakang pendidikan masing-masing: 1. Farmasi/Dokter umum/sarjana kedokteran, 2. Bidan/Perawat, 3. Gizi, 4. Kesehatan Masyarakat/Kesehatan Lingkungan/Analis Kesehatan 3. Khusus untuk tenaga farmasi, bagi daerah yang tidak memiliki institusi pendidikan D3 farmasi, diperbolehkan lulusan SMK Farmasi yang sudah berpengalaman kerja di bidang farmasi 4. Usia 35 tahun 5. Bukan PNS dinas kesehatan atau puskesmas 2.7 Keterbatasan survei Berikut ini adalah kendala dan keterbatasan yang ditemukan dalam proses persiapan maupun pengumpulan data : 1. Data sampel belum ter-update dengan baik. Mengingat updating data dilakukan November 2015 sedangkan pengumpulan data dilakukan berkisar antara Mei hingga Juni 2016, maka terdapat selang waktu 6 bulan yang memungkinkan data yang sudah ter-update berubah terutama pada daerah-daerah dengan mobilitas penduduk tinggi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dilakukan cek ulang daftar sampel yang diberikan oleh BPS, konfirmasi pada tetangga sekitar, pamong setempat dan Koordinator Statistik Kecamatan (KSK) mengenai kebenaran nama dan alamat sampel yang dimaksud. 2. Jeda waktu antara updating bulan November dan pengumpulan data di bulan Mei dan Juni yang berselang 6 bulan memungkinkan keluarga eligible (mempunyai anak 0-5 tahun) sudah tidak lagi masuk dalam kriteria balita. 31

56 BAB 3 HASIL SURVEI 3.1 Perolehan Sampel Selang waktu cukup lama antara updating dan pengumpulan data berdampak pada jumlah perolehan sampel. Banyak sampel ter-update di Bulan November 2015 namun ketika dikunjungi sudah pindah ketempat lain yang tidak terjangkau atau keluar dari blok sensus terpilih. Ditargetkan semula besar sampel Sirkesnas adalah rumah tangga yang tersebar pada 1200 blok sensus (BS). Pada saat pengumpulan data terdapat 2 blok sensus yang tidak memenuhi syarat, yakni 1 BS berupa asrama (dormitory) di Kepulauan Riau dan 1 BS lagi telah digusur di DKI Jakarta. Dengan demikian, sebanyak 1198 BS (99,83 %) yang dapat dicakup di dalam Sirkesnas Sampel rumah tangga yang terkumpul sebanyak rumah tangga (75,98%) dan rumah tangga yang eligible (memiliki balita) sebanyak rumah tangga (55,21%). Terdapat sebanyak individu, dan balita. Kondisi ini menunjukkan bahwa besar sampel Sirkesnas 2016 masih memenuhi besar sampel minimal berdasarkan perhitungan margin of error 20% (16475 rumah tangga), lebih sedikit dari besar sampel rumah tangga yang ditetapkan pada margin of error 18%. Tabel Response Rate Sirkesnas 2016 Blok Sensus Rumah tangga Ruta Balita Individu Kode Provinsi Target Capaian % Target Capaian % Jumah % Individu Balita 11 Aceh , , , Sumatera , , , Utara 13 Sumatera , , , Barat 14 Riau , , , Jambi , , , Sumatera , , Selatan 17 Bengkulu , , , Lampung , , , Kepupauan , , , Bangka Belitung 21 Kepulauan , , , Riau 31 DKI Jakarta , , , Jawa Barat , , , Jawa Tengah , , , DI Yogyakarta , , , Jawa Timur , , , Banten , , , Bali , , , NTB , , ,

57 Blok Sensus Rumah tangga Ruta Balita Individu Kode Provinsi Target Capaian % Target Capaian % Jumah % Individu Balita 53 NTT , , , Kalimantan , , , Barat 62 Kalimantan , , , Tengah 63 Kalimantan , , , Selatan 64 Kalimantan , , , Timur 65 Kalimantan , , , Utara 71 Sulawesi , , , Utara 72 Sulawesi , , , Tenggara 73 Sulawesi , , , Selatan 74 Sulawesi , , , Tenggara 75 Gorontalo , , , Sulawesi , , , Barat 81 Maluku , , , Maluku Utara , , , Papua Barat , , , Papua , , , Total , , , Indikator Kesehatan Ibu Program pembangunan kesehatan di Indonesia dewasa ini masih diprioritaskan pada upaya peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak, terutama pada kelompok yang paling rentan yaitu ibu hamil dan bersalin serta bayi pada masa perinatal. Capaian indikator utama terkait status kesehatan ibu dan anak yaitu Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih belum memenuhi target Millennium Development Goals (MDGs) Dalam upaya mempercepat penurunan kematian ibu, Kementerian Kesehatan menuangkan target program kesehatan ibu dalam Renstra Kemenkes. Sasaran Program Kesehatan Ibu dan Reproduksi dalam Renstra Kemenkes adalah meningkatnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi (Kementerian Kesehatan, 2015). Informasi Program Kesehatan Ibu yang dikumpulkan dalam Sirkesnas 2016 bertujuan untuk mengetahui capaian indikator kegiatan program Bina Kesehatan Ibu dalam Renstra Kemenkes Indikator program kesehatan ibu dalam Renstra yang ditelusuri dalam Sirkesnas 2016 dapat dilihat pada Tabel Capaian yang dicari melalui Sirkesnas adalah capaian tahun

58 Tabel Indikator dan target Kesehatan Ibu, Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Indikator Persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4) Baseline Target ,0 72,0 74,0 76,0 78,0 80,0 Persentase puskesmas yang pernah melaksanakan kelas ibu hamil 27,0 78,0 81,0 84,0 87,0 90,0 Persentase puskesmas yang melakukan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) Persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan (PF) (oleh tenaga kesehatan) 72,0 77,0 83,0 88,0 95,0 100,0 70,4 75,0 77,0 79,0 82,0 85,0 Informasi Program Kesehatan Ibu dikumpulkan melalui survei fasilitas (puskesmas) dan survei komunitas (rumah tangga) serta penelusuran data dukung di dinas kesehatan. Pengumpulan data blok kesehatan ibu dilaksanakan dengan merujuk pada sampel 400 puskesmas dari 264 dinas kesehatan kabupaten/kota dan rumah tangga. Blok Kesehatan Ibu pada survei fasilitas ditanyakan kepada Penanggung Jawab Kegiatan Kesehatan Ibu Anak (KIA) sebagai responden, sedangkan responden untuk survei komunitas ditanyakan kepada anggota keluarga perempuan tahun. Analisis data puskesmas dari survei fasilitas dilakukan terhadap sampel 400 puskesmas, sedangkan analisis data yang menggunakan data individu dari survei komunitas merujuk pada riwayat masa kehamilan, bersalin dan masa nifas dari riwayat kehamilan anak terakhir yang lahir pada periode 1 Januari 2014 sampai dengan saat wawancara. Gambar berikut merupakan bagan alur analisis data survei komunitas. ART Perempuan tahun (n = ) Belum kawin n = 7883 Pernah kawin (kawin, cerai hidup, cerai mati, hidup bersama, hidup terpisah) n = Belum pernah hamil n = 385 Pernah hamil n = Bersalin sebelum 1 Jan 2014 n = Bersalin 1 Januari 2014 sd wawancara n = Sedang hamil n =969 Anak terakhir Gambar Alur analisis data hasil survei komunitas indikator kesehatan ibu, Sirkesnas

59 Keterbatasan analisis data blok Kesehatan Ibu Sirkesnas 2016 adalah data dari survei komunitas untuk analisis data capaian indikator no 1 dan 4 tentang capaian pelayanan ibu hamil dan persalinan, menggunakan referensi waktu numerator dan denominator yang berbeda bila membandingkan perhitungan capaian antara definisi menurut Buku Renstra Kementerian Kesehatan dengan analisis data Sirkesnas. Pada Renstra angka baseline menggunakan sumber data hasil survei sehingga pada Sirkesnas 2016 perolehan kedua indikator ini dikumpulkan melalui survei komunitas. Namun terdapat perbedaan definisi operasional perhitungan cakupan indikator menurut Renstra dan analisis Sirkesnas. Perbedaan definisi operasional dan formula keempat indikator dirangkum dalam lampiran 2. Analisis data blok kesehatan ibu dari komunitas merujuk pada riwayat kehamilan anak terakhir sehingga bila ada dua kehamilan yang berakhir pada periode 1 Januari 2014 sampai dengan saat wawancara yang dianalisis hanya dari riwayat kehamilan anak terakhir. Periode referensi waktu informasi kesehatan ibu Sirkesnas ini memiliki persamaan referensi waktu dengan Riskesdas 2013 sehingga beberapa indikator yang sama memungkinkan untuk membandingkan antara Sirkesnas 2016 dengan Riskesdas Hasil Sirkesnas 2016 terkait dengan Indikator Program Kesehatan Ibu sesuai Renstra Kemenkes adalah sebagai berikut: 1. Persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4) sebesar 72,5 persen. 2. Persentase puskesmas yang melaksanakan program kelas ibu hamil adalah 94,3 persen 3. Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) adalah sebesar 88,8 persen 4. Persentase persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan (rumah sakit, rumah bersalin, klinik, praktek tenaga kesehatan, puskesmas, puskesmas pembantu, pondok bersalin desa dan pos kesehatan desa) adalah 79,3 persen Indikator persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4) Setiap kehamilan berisiko terhadap kejadian kematian ibu. Pemantauan dan perawatan kesehatan yang memadai selama kehamilan sampai masa nifas sangat penting untuk kelangsungan hidup ibu dan bayinya. Antenatal Care (ANC) adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama kehamilannya dan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan/SPK (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemenkes RI, 2010). Tujuan pemberian layanan ANC adalah untuk memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas sehingga mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat (Kemenkes, 2014). Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan meliputi dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat. Sirkesnas mengumpulkan informasi tentang pelayanan kesehatan ibu hamil yang diterima selama kehamilan anak terakhir. Selain indikator utama 35

60 Renstra tentang cakupan K4, juga diperoleh indikator pelayanan kesehatan ibu hamil lainnya yaitu cakupan ANC K1 dan ANC K1 ideal. a. Indikator persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal (K4) Setiap ibu hamil yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Hal ini tertuang dalam Permenkes No.97 Tahun 2014 (Kementerian Kesehatan, 2014). Pada Sirkesnas 2016, indikator pelayanan kesehatan ibu hamil dibedakan dalam K1 akses, K1 ideal dan K4. Definisi operasional masing-masing indikator ANC tersebut dapat lihat di boks berikut Definisi operasional indikator ANC: K1 atau ANC akses adalah proporsi ibu yang akses terhadap pelayanan kesehatan ibu hamil kepada tenaga kesehatan minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan kehamilan pertama kali K1 ideal adalah proporsi ibu yang akses terhadap pelayanan kesehatan ibu hamil kepada tenaga kesehatan pertama kali pada trimester 1. ANC minimal 4 kali (K4) adalah proporsi ibu yang akses terhadap pelayanan kesehatan ibu hamil kepada tenaga kesehatan minimal 4 kali dan memenuhi kriteria yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3. Tabel berikut adalah capaian indikator pelayanan kesehatan ibu hamil (K1, K1 ideal dan K4) menurut karakteristik ibu. Indikator ini merujuk pada frekuensi dan periode trimester saat dilakukan ANC. Secara nasional indikator cakupan K1 adalah 96,9 persen, namun ibu yang melakukan ANC sejak awal kehamilan (pertama kali ANC pada trimester 1/K1 ideal) adalah 81,4 persen. Diantara ibu yang ANC sejak trimester 1 tersebut, terdapat 72,5 persen yang melakukan ANC secara berkelanjutan pada trimester berikutnya. ANC minimal (K4) sesuai kriteria yaitu frekuensi ANC minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3 yang disebut dengan ANC K4. Indikator K4 ini menggambarkan keberlangsungan pelayanan kesehatan minimal yang diperoleh ibu hamil di Indonesia (continuum of care). Apabila merujuk target Renstra Kemenkes , maka pelaksanaan program kesehatan ibu hamil yang mendapat pelayanan ANC minimal 4 kali (K4) sebesar 72% telah tercapai menurut data Sirkesnas Di antara ibu hamil tersebut terdapat 3,1 persen yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan. Alasan mereka yang tidak melakukan ANC disajikan khusus pada Gambar Cakupan indikator ANC menurut karakteristik ibu yang terdiri dari kelompok umur saat bersalin, pendidikan ibu, pekerjaan Kepala Keluarga (KK) dan klasifikasi daerah tempat tinggal juga disajikan pada tabel Umur ibu saat bersalin merupakan proksi untuk mengidentifikasi umur saat hamil. Ibu yang hamil saat usia terlalu muda (<20 tahun) dan usia terlalu tua (>35 tahun) merupakan kelompok ibu hamil yang berisiko tinggi. Identifikasi ibu hamil yang berisiko tinggi bisa dilakukan saat ibu melakukan ANC sehingga ibu hamil kelompok risiko tinggi tersebut mendapat pelayanan kesehatan yang optimal untuk mencegah terjadi komplikasi dan kematian ibu. 36

61 Tabel Persentase perempuan tahun yang melakukan pemeriksaan kesehatan ibu hamil (ANC) saat hamil anak terakhir menurut indikator pelayanan antenatal (ANC) berdasarkan karakteristik ibu, Sirkesnas 2016 Karakteristik ibu Umur saat bersalin Jumlah perempuan tahun yang pernah bersalin* Melakukan ANC Ya (K1) 37 Tidak ANC Total Cakupan ANC K1 ideal K1 ideal Melakukan ANC Tidak K1 ideal Cakupan ANC K tahun 4 100,0 0,0 100,0 0,0 100,0 0,0 100, tahun ,9 7,1 100,0 67,1 25,8 57,3 35, tahun ,9 3,1 100,0 84,3 12,6 75,7 21, tahun ,3 2,7 100,0 83,5 13,8 74,6 22, tahun ,5 2,5 100,0 84,5 13,0 75,4 22, tahun ,4 3,6 100,0 77,7 18,7 69,2 27, tahun ,5 3,5 100,0 70,0 26,5 60,5 36, tahun 27 88,9 11,1 100,0 55,6 33,3 44,4 44, tahun 7 100,0 0,0 100,0 71,4 28,6 66,7 33,3 Pendidikan ibu Tidak/belum pernah sekolah ,7 28,3 100,0 53,3 18,4 40,1 31,6 Tidak tamat SD/MI ,1 9,9 100,0 70,1 20,0 56,6 33,5 ANC K4 ANC tidak K4 Tamat SD/MI ,9 4,1 100,0 75,2 20,7 66,2 29,7 Tamat SLTP/MTS ,3 1,7 100,0 81,6 16,7 72,6 25,8 Tamat SLTA/MA ,8 1,2 100,0 87,1 11,6 78,6 20,1 Tamat D1/D2/D ,7 0,3 100,0 90,4 9,3 87,0 12,7 Tamat PT ,3 0,7 100,0 93,0 6,4 85,2 14,1 Pekerjaan Kepala Keluarga PNS/TNI/Polri/BUMN/ BUMD ,2 1,8 100,0 88,3 9,9 77,5 20,7 Pegawai swasta ,8 1,2 100,0 90,4 8,4 81,2 17,6 Wiraswasta ,0 1,0 100,0 86,2 12,8 78,7 20,4 Petani ,6 7,4 100,0 69,3 23,3 59,6 33,0 Nelayan ,4 6,6 100,0 73,0 20,4 59,9 33,6 Buruh ,6 2,4 100,0 82,0 15,6 72,3 25,3 Lainnya ,0 5,0 100,0 77,4 17,6 70,4 24,6 Tidak bekerja ,5 2,5 100,0 80,7 16,8 73,6 23,9 Daerah tempat tinggal Perkotaan ,8 1,2 100,0 87,9 10,9 80,0 18,9 Perdesaan ,9 5,1 100,0 74,9 20,0 65,1 29,8 Indonesia ,9 3,1 100,0 81,4 15,5 72,5 24,4 *) periode rujukan (1 Januari 2014 sampai dengan survei) Kelompok umur ibu hamil berisiko yaitu <20 tahun dan >35 tahun menunjukkan persentase melakukan K1 ideal dan K4 cenderung lebih rendah (<80%) dibandingkan kelompok umur tidak berisiko (20-35 tahun) yang menunjukkan capaian rata-rata lebih dari 80 persen. Kelompok umur berisiko ini

62 seharusnya mendapat pelayanan kesehatan yang optimal untuk mencegah terjadinya komplikasi. Cakupan ANC berhubungan positif dengan pendidikan ibu, makin tinggi pendidikan ibu persentase ANC K1 ideal dan K4 semakin tinggi. Pola ANC menurut pekerjaan KK terlihat bahwa ibu dengan KK yang bekerja sebagai pegawai (pemerintah/pns, BUMN/BUMD maupun swasta) dan wiraswasta merupakan kelompok dengan persentase pelayanan ANC K1 ideal dan K4 lebih tinggi dibandingkan KK dengan pekerjaan buruh, nelayan, lainnya atau tidak bekerja. Ibu hamil yang tinggal di perkotaan (87,9% dan 80%) lebih mudah akses untuk mendapatkan pelayanan ANC dibandingkan ibu di perdesaan (74,9% dan 65,1%) untuk cakupan K1 ideal dan K4. Pada awal sub bab ini telah dijelaskan bahwa data indikator ANC Sirkesnas 2016 memungkinkan untuk dibandingkan dengan Riskesdas Gambar adalah perbandingan capaian program ANC menurut indikator K1, K1 ideal dan K4 dari Riskesdas 2013 dan Sirkesnas Gambar Capaian indikator pelayanan ibu hamil K1, K1 ideal dan K4 menurut hasil Sirkesnas 2016 dibandingkan Riskesdas 2013 Gambar menunjukkan bahwa secara umum persentase cakupan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4) yang dihasilkan oleh Sirkesnas 2016 cenderung tidak mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan data Riskesdas 2013, yaitu 96,9 persen. Begitu pula untuk persentase cakupan K1 dan K1 ideal dari data Sirkesnas 2016 yang tidak jauh berbeda dengan data Riskesdas 2013, yaitu masing-masing 81,4 persen dan 72,5 persen. Capaian program kesehatan ibu hamil K4 Renstra Kementerian Kesehatan menurut survei komunitas Sirkesnas adalah 72,5 persen. Target Renstra Kemenkes adalah 72 persen pada tahun 2015, dengan demikian target program kesehatan ibu untuk indikator ini telah tercapai. Tabel juga menunjukkan bahwa terdapat 3,1 persen ibu yang tidak melakukan ANC. Dilakukan identifikasi lebih lanjut alasan mereka yang tidak melakukan ANC saat hamil anak terakhir. Gambar menyajikan alasan ibu hamil tidak melakukan ANC, dimana tiga besar alasannya adalah tidak ada biaya (45,4%), jauh (42,1%) dan merasa tidak perlu periksa kehamilan (34,7%). 38

63 Gambar Persentase perempuan tahun pernah melahirkan menurut alasan tidak melakukan ANC*), Sirkesnas 2016 Keterangan *) alasan boleh lebih dari satu b. Pelayanan ANC menurut tenaga dan tempat fasilitas pelayanan kesehatan Pelayanan ANC diberikan oleh tenaga kesehatan dan tempat fasilitas pelayanan kesehatan. Sirkesnas 2016 mengumpulkan informasi ibu yang mendapat pelayanan ANC menurut jenis tenaga kesehatan yang memberi pelayanan dan tempat mendapat pelayanan ANC. Gambar dan Gambar berikut adalah persentase ibu yang mendapat pelayanan ANC menurut tenaga kesehatan yang memberi pelayanan ANC dan jenis tempat fasilitas pelayanan kesehatan. Dari Gambar terlihat bahwa sebagian besar ANC diberikan oleh bidan (82,4%), sedangkan fasilitas pelayanan kesehatan yang paling banyak dikunjungi oleh ibu untuk ANC adalah bidan praktek mandiri (40,5%) (Gambar 3.2.5). 39

64 Gambar Persentase ibu yang melakukan ANC menurut jenis tenaga kesehatan pelayanan kesehatan Gambar Persentase ibu yang melakukan ANC menurut jenis fasilitas pelayanan kesehatan Tabel lengkap pelayanan ANC menurut jenis tenaga kesehatan dan jenis fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan dapat dilihat pada Lampiran 3 Tabel 1 dan Tabel 2. c. Komponen ANC Peningkatan kualitas pelayanan ANC diupayakan oleh Kementerian Kesehatan dengan menetapkan standar pelayanan yang harus dilakukan bidan atau tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada ibu hamil yang diawali dengan komponen ANC 5T. Kemudian komponen ANC 5T tersebut berkembang menjadi komponen ANC 7T dan pada tahun 2009 menjadi Komponen ANC 10T sebagaimana tertuang dalam Permenkes No 97 Tahun Komponen ANC 10 T terdiri dari : 1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan 2. Ukur tekanan darah 3. Ukur tinggi fundus uteri 4. Skrining Status Imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila diperlukan 5. Beri tablet tambah darah (tablet besi) 6. Periksa laboratorium* (rutin dan khusus) 7. Temu wicara (konseling) 8. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas/lila) 9. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ) 10. Tata laksana/penanganan kasus *) tes protein urin, tes golongan darah dan pemeriksaan Hb **Komponen ANC 7T mencakup komponen ANC No 1 sampai 7 Data Sirkesnas 2016 mengenai komponen layanan ANC yang diterima oleh ibu hamil di Indonesia didasarkan dari survei komunitas. Responden ditanya tentang jenis item komponen ANC yang telah diterima selama hamil anak terakhir dan disajikan pada Gambar di bawah ini. Pada gambar tersebut 40

65 juga disajikan komposit dari ANC yang mendapat pelayanan item komponen ANC 7T dan 10T yang menunjukkan bahwa komponen ANC yang diterima untuk lengkap seluruh 10T masih rendah yaitu 2,7 persen. Adapun jenis pelayanan komponen ANC 7T dan 10T yang diterima menurut karakteristik disajikan pada Lampiran 3 Tabel 3. Gambar Persentase ibu menerima pelayanan kesehatan saat hamil anak terakhir menurut komponen ANC, Sirkesnas 2016 Rendahnya capaian 7T dan 10T dimungkinkan karena adanya komponen yang tidak bersifat umum seperti tata laksana kasus yang dilakukan terhadap ibu hamil dengan indikasi sehingga tidak semua ibu hamil menerima komponen ini. Secara umum pengukuran berat badan dan tekanan darah paling banyak dilaporkan oleh ibu yang mendapat layanan ANC. Pemeriksaan laboratorium yang bersifat rutin masih di bawah 50 persen. Terkait dengan informasi pemeriksaan laboratorium ini, pada survei fasilitas di puskesmas ditanyakan tentang penyediaan layanan pemeriksaan laboratorium terkait pelayanan KIA di puskesmas. Informasi yang dikumpulkan di puskesmas adalah ketersediaan jenis pelayanan pemeriksaan terkait ibu hamil di puskesmas yang di survei. Selanjutnya untuk puskesmas yang menjawab tersedia dilanjutkan dengan pertanyaan kecukupan dan tidak cukup. Hasil analisis data puskesmas terkait dengan pemeriksaan laboratorium tersebut disajikan pada Tabel

66 Tabel a Persentase puskesmas yang memberikan layanan laboratorium menurut lokasi berdasarkan jenis pemeriksaan laboratorium, Sirkesnas 2016 Pelayanan Laboratorium di Puskemas Tersedia Perkotaan Perdesaan Total Tidak tersedia Tersedia Tidak tersedia Tersedia Tidak tersedia Pemeriksaan Gol. Darah 89,4 10,6 69,4 30,6 80,3 19,8 Pemeriksaan Hb 92,6 7,4 82,0 18,0 87,8 12,3 Pemeriksaan protein dalam urin 89,4 0,6 70,5 29,5 80,8 19,3 Pemeriksanaan darah malaria 55,8 44,2 65,6 34,4 60,2 39,8 Pemeriksaan sifilis 37,3 62,7 11,5 88,5 25,5 74,5 Pemeriksaan HIV 60,4 39,6 23,0 77,0 43,3 56,8 Lainnya 46,1 53,9 22,4 77,6 35,3 64,8 Tabel b Persentase puskesmas yang memberikan layanan laboratorium menurut kecukupan pelayanan dan lokasi puskesmas berdasarkan jenis pemeriksaan laboratorium, Sirkesnas 2016 Pelayanan Laboratorium Di Puskemas Perkotaan Perdesaan Total Cukup Tidak cukup Cukup Tidak cukup Cukup Tidak cukup Pemeriksaan Gol. Darah 94,3 5,7 92,1 7,9 93,5 6,5 Pemeriksaan Hb 94,0 6,0 91,3 8,7 92,9 7,1 Pemeriksaan protein dalam urin 93,3 6,7 93,0 7,0 93,2 6,8 Pemeriksanaan darah malaria 90,1 9,9 91,7 8,3 90,9 9,1 Pemeriksaan sifilis 90,1 9,9 95,2 4,8 91,2 8,8 Pemeriksaan HIV 92,4 7,6 88,1 11,9 91,3 8,7 Lainnya 93,0 7,0 85,4 14,6 90,8 9,2 Tabel di atas menunjukkan bahwa di antara puskesmas yang memberikan layanan laboratorium, pemeriksaan Hb merupakan jenis pelayanan laboratorium yang paling besar ketersediaannya baik di wilayah perkotaan (92,6%) maupun perdesaan (82%). Dari puskesmas yang menyatakan tersedia pemeriksaan Hb, 94 persen (di puskesmas perkotaan) dan 91,3 persen (di puskesmas perdesaan) melaporkan kapasitas yang cukup untuk pelayanan pemeriksaan Hb, sebaliknya pemeriksaan sifilis atau penyakit PMS lainnya paling kecil ketersediaannya di puskesmas sampel Indikator pelaksanaan program Kelas Ibu Hamil oleh puskesmas Program Kelas Ibu Hamil merupakan salah satu program unggulan Kementerian Kesehatan. Buku Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil 42

67 menyebutkan bahwa Kelas Ibu Hamil adalah kelompok belajar ibu-ibu hamil dengan umur kehamilan antara 4 minggu sampai 36 minggu (menjelang persalinan) dengan jumlah peserta maksimal 10 orang (Kementerian Kesehatan, 2014). Program ini menjadi salah satu indikator yang ditetapkan dalam Renstra Kemenkes , yaitu persentase puskesmas yang telah melaksanakan program kelas ibu hamil. Indikator ini dikumpulkan melalui survei fasilitas yaitu pengumpulan data di puskesmas terpilih dengan wawancara kepada Penanggungjawab kegiatan KIA. Hasil analisis data Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa capaian puskesmas yang telah melaksanakan program kelas ibu hamil adalah 94,3 persen. Total puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil adalah 377 puskesmas (94,3%), dengan rincian di perkotaan sebanyak 210 puskesmas, dan di perdesaan 167 pukesmas. Terdapat 23 puskesmas (5,8%) yang tidak melaksanakan kelas ibu hamil, dengan rincian di perkotaan sebanyak 7 puskesmas (3,2%) dan di perdesaan 16 puskesmas (8,7%) (lihat Gambar 3.2.7). Gambar Persentase puskesmas yang melaksanakan program kelas ibu hamil berdasarkan lokasi puskesmas dan pelaksanaan program kelas ibu hamil, Sirkesnas 2016 Tabel menggambarkan pelaksanaan kelas ibu hamil di puskesmas perkotaan dan perdesaan berdasarkan fasilitator dalam kelas ibu hamil dan materi yang diberikan saat kelas ibu hamil. Fasilitator kelas ibu hamil sesuai buku Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil (Kementerian Kesehatan, 2014) adalah bidan atau tenaga kesehatan yang telah mendapat pelatihan fasilitator kelas ibu hamil atau melalui on the job training. Berdasarkan fasilitator dalam Kelas Ibu Hamil di puskesmas perkotaan, fasilitator yang paling banyak memberikan materi adalah bidan (99,0%), tenaga gizi (50,0%) dan dokter (33,3%). Fasilitator yang paling banyak memberikan materi di puskesmas perdesaan adalah bidan (100%), tenaga gizi (46,1 %) dan tenaga promosi kesehatan (31,7%). 43

68 Tabel Prosentase pelaksanaan program Kelas Ibu Hamil di puskesmas menurut lokasi, Sirkesnas 2016 Pelaksanaan Program Kelas Ibu Hamil Lokasi Puskesmas Perkotaan Perdesaan Total n % n % n % Puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil , , ,3 Fasilitator dalam kelas ibu hamil Dokter 70 33, , ,8 Bidan , , ,5 Perawat 35 16, , ,1 Tenaga Gizi , , ,3 Tenaga Promkes 60 28, , ,0 Ikatan Bidan Indonesia (IBI) 28 13, , ,1 Lainnya , ,7 Materi yang diberikan saat kelas ibu hamil Buku KIA , , ,1 Perubahan tubuh saat kehamilan , , ,8 Perawatan kehamilan , , ,7 Persalinan , , ,4 Perawatan nifas , , ,3 Pasca Persalinan , , ,1 Perawatan bayi baru lahir , , ,1 Penyakit menular , , ,5 Akte kelahiran , , ,0 Senam hamil , , ,5 Lainnya 70 33, , ,2 Berdasarkan Buku Pegangan Fasilitator Kelas Ibu Hamil (Kementerian Kesehatan, 2014) materi yang diberikan di kelas ibu hamil adalah pemeriksaan kehamilan, persalinan aman, nifas nyaman, pencegahan penyakit, komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas, perawatan bayi baru lahir, dan aktivitas fisik ibu hamil serta informasi buku KIA. Dari hasil Sirkesnas 2016, materi yang paling banyak diberikan saat kelas ibu hamil di puskesmas perkotaan adalah Buku KIA (98,6%), dan di puskesmas perdesaan adalah perawatan kehamilan (99,4%). Baseline indikator ini dalam Renstra Kemenkes adalah 27 persen dan target indikator persentase puskesmas yang melaksanakan program kelas ibu hamil sampai tahun 2015 adalah 78 persen dan pada tahun 2016 adalah 82 persen. Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan capaian 94 persen puskesmas sampel telah melaksanakan program Kelas Ibu Hamil. Dengan demikian target Kementerian Kesehatan untuk indikator ini telah tercapai. Hal ini dimungkinkan karena definisi operasional indikator ini yang menyatakan bahwa puskesmas yang menjalankan program kelas ibu hamil meskipun hanya ada satu kelas, dinilai telah melaksanakan program kelas ibu hamil. Definisi operasional tersebut memudahkan puskesmas untuk mencapai target indikator. Sirkesnas 2016 juga mengumpulkan informasi tentang pengalaman selama kehamilan anak terakhir, apakah saat hamil anak terakhir responden pernah mengikuti kelas ibu hamil dan berapa kali mengikuti kelas ibu hamil. Gambar berikut merupakan keikutsertaan ibu dalam kelas ibu hamil pada survei rumah tangga. 44

69 Gambar Persentase keikutsertaan dalam Kelas Ibu Hamil menurut laporan ibu saat hamil anak terakhir, Sirkesnas 2016 Gambar Persentase keikutsertaan dalam Kelas Ibu Hamil menurut frekuensi, Sirkesnas 2016 Tabel lengkap keikutsertaan ibu dalam Kelas Ibu Hamil menurut karakteristik disajikan pada Lampiran 3 Tabel 4 Capaian puskesmas yang melaksanakan program Kelas Ibu Hamil sebanyak 94,3 persen (Tabel 3.2.4), sementara hasil wawancara di masyarakat, ibu yang mengikuti Kelas Ibu Hamil hanya sebesar 19,2 persen (Gambar 3.2.8). Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar responden tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil dengan alasan tidak tahu tentang kelas ibu hamil sebanyak 49,8 persen (Tabel 3.2.5). Gambar 3.2.9, menunjukkan frekuensi keikutsertaan dalam kelas ibu hamil. Buku Panduan Kelas Ibu Hamil menyatakan bahwa Kelas Ibu Hamil minimal diikuti sebanyak empat kali selama kehamilan dengan topik-topik yang telah ditetapkan. Namun pada Sirkesnas ditemukan ibu yang mengikuti kelas ibu hamil lebih dari lima kali. Hal ini dimungkinkan karena terdapat daerah yang membagi tiap materi dalam dua kali pertemuan, sehingga materi Kelas Ibu Hamil dari empat kali pertemuan menjadi delapan kali pertemuan. Adapun tabel rinci frekuensi keikutsertaan ibu dalam kelas ibu hamil disajikan pada Lampiran 3 Tabel 5 Tabel menyajikan alasan ibu tidak mengikuti kelas ibu hamil. Dari perempuan tahun yang bersalin anak terakhir, yang tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil (KIH) sebanyak ibu (80,8%). Sebagai bahan evaluasi dan perencanaan program lebih lanjut, dari ibu yang tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil, ditanyakan alasan ibu tidak mengikuti kelas ibu hamil. 45

70 Tabel Persentase perempuan tahun yang tidak mengikuti kelas ibu hamil, berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik latar belakang Jumlah perempuan th yang bersalin anak terakhir Tidak mengikuti kelas ibu hamil N 46 Belum tahu Alasan tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil Umur ibu saat wawancara tahun 4 100, ,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0, tahun , ,7 5,9 1,8 0,0 10,1 2,4 32, tahun , ,3 8,9 4,0 1,3 7,8 2,3 37, tahun , ,7 8,6 2,8 1,4 11,0 4,7 42, tahun , ,7 8,9 4,0 1,5 10,0 2,9 45, tahun , ,5 7,5 2,8 1,2 12,9 4,1 39, tahun , ,7 9,5 3,5 3,0 14,4 3,9 48, tahun 48 80, ,7 5,1 5,1 0,0 10,3 5,1 41, tahun 11 90, ,0 20,0 10,0 0,0 0,0 0,0 30,0 Pendidikan Ibu Tidak/ belum pernah sekolah , ,6 13,6 11,6 2,0 10,2 4,7 48,6 Tidak tamat SD/MI , ,8 8,6 4,4 1,0 11,7 3,4 36,8 Tamat SD/MI , ,5 11,2 4,1 1,9 8,9 2,7 38,2 Tamat SLTP/MTS , ,5 7,3 3,5 1,3 8,2 2,5 38,8 Tamat SLTA/MA , ,5 8,3 2,6 1,5 12,3 3,9 43,3 Tamat D1/D2/D , ,1 3,0 1,3 0,7 13,7 2,3 57,0 Tamat PT , ,5 6,0 1,6 1,2 16,2 9,3 53,3 Pekerjaan Kepala Keluarga PNS/ TNI/Polri/BUMN/ BUMD , ,0 6,5 2,8 1,4 13,6 4,5 49,0 Pegawai swasta , ,8 9,6 4,1 1,8 15,1 5,7 44,6 Wiraswasta , ,8 7,4 2,5 2,1 11,3 4,1 39,6 Petani , ,7 8,3 4,2 1,0 7,9 2,8 44,2 Nelayan , ,7 6,1 4,4 1,8 8,8 1,8 28,9 Buruh , ,9 10,3 3,3 0,7 9,0 1,6 41,0 Lainnya , ,2 8,3 3,4 2,7 9,0 3,1 38,5 Tidak bekerja , ,6 8,6 2,1 0,7 11,5 3,8 40,4 Daerah tempat tinggal Perkotaan , ,2 7,2 2,4 1,6 14,3 4,7 41,7 Pedesaan , ,5 9,9 4,4 1,3 7,0 2,4 42,5 Jumlah , ,8 8,5 3,4 1,5 10,8 3,6 42,0 *jawaban dapat lebih dari 1 Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan alasan ibu tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil, sebagian besar menyatakan belum tahu adanya kelas ibu hamil (49,8%). Hal ini mengindikasikan perlunya sosialisasi dan penyuluhan pentingnya program Kelas Ibu Hamil bagi masyarakat. Alasan ibu tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil berdasarkan kelompok umur saat wawancara, pada umumnya karena ketidaktahuan, tertinggi pada kelompok umur remaja (10-19 tahun), dan terendah pada kelompok umur tahun. Mereka merupakan kelompok ibu hamil risiko tinggi yang memerlukan perhatian selama masa kehamilan sampai masa nifas. Dilihat berdasarkan pendidikan ibu, alasan ibu tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil karena ketidaktahuan, tertinggi pada Jauh Transportasi Dilarang Tidak tertarik Terlalu lama Lainnya

71 kelompok tamat SD/MI (55,5%) dan tidak tamat SD (54.8%). Berdasarkan karakteristik ibu menurut pekerjaan KK, alasan ibu tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil karena ketidaktahuan yang tertinggi pada kelompok nelayan (66,7%) dan terendah pada kelompok PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD sebesar 38,0 persen. Ibu yang tinggal di perdesaan lebih banyak yang tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil karena ketidaktahuan (51,5%) jika dibandingkan di perkotaan. Kondisi ini membuktikan bahwa sosialisasi tentang kelas ibu hamil belum maksimal Indikator pelaksanaan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) oleh puskesmas Indikator utama Renstra Kemenkes berikutnya adalah persentase puskesmas yang melaksanakan orientasi P4K. Program P4K dicanangkan tahun 2007, sebagai upaya terobosan dalam mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir melalui kegiatan peningkatan akses dan kualitas pelayanan. Orientasi P4K adalah sosialisasi kepada para kader/toma/toga di wilayah puskesmas tentang Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Salah satu kegiatan orientasi P4K adalah penempelan stiker di rumah ibu hamil (Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat-Kementerian Kesehatan RI, 2009). Program P4K dengan stiker yang ditempel di rumah ibu hamil diharapkan memudahkan untuk mengidentifikasi setiap ibu hamil yang akan bersalin dan sudah mempunyai perencanaan persalinan dan kesiagaan jika menjalani persalinan dan menghadapi kondisi kegawatdaruratan. Stiker P4K berisi data tentang: nama ibu hamil, taksiran persalinan, penolong persalinan, tempat persalinan, pendamping persalinan, transportasi yang digunakan dan calon donor darah. Data dalam stiker tersebut dapat dipantau secara intensif oleh suami, keluarga, kader dan bidan, sehingga diharapkan ibu mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar pada saat antenatal, persalinan, dan nifas. Tujuan dari program P4K ini adalah: a. Terdatanya sasaran ibu hamil dan terpasangnya stiker P4K di rumah ibu hamil b. Adanya perencanaan persalinan termasuk pemakaian metode KB pasca melahirkan yang sesuai dan disepakati ibu hamil, suami, keluarga, dan bidan. c. Adanya dukungan dari tokoh masyarakat, kader, dan dukun. Indikator ini dikumpulkan dalam Sirkesnas melalui survei fasilitas ke puskesmas terpilih. Analisis dilakukan pada 400 puskesmas. Baseline indikator ini adalah 72 persen dengan target tahun 2015 sebesar 77 persen dan 83 persen pada tahun Gambar menunjukkan jumlah puskesmas yang telah melaksanakan orientasi P4K yaitu sebanyak 355 puskesmas (88,8%). 47

72 Gambar Persentase puskesmas yang pernah melakukan orientasi P4K Hasil diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan orientasi P4K di puskesmas sudah mencapai target, sesuai dengan indikator Renstra Kemenkes Gambar Persentase puskesmas yang melaksanakan Orientasi P4K, Sirkesnas 2016 Pelaksanaan orientasi P4K berdasarkan klasifikasi daerah menunjukkan bahwa pelaksanaan orientasi P4K di perkotaan sebesar 91,2 persen, dan perdesaan 85,8 persen. Terdapat 45 puskesmas (12,2%) yang tidak pernah melakukan orientasi P4K (Gambar ). Tabel berikut menyajikan hasil survei fasilitas tentang pelaksanaan orientasi oleh puskesmas. Dalam pelaksanaan orientasi P4K terlihat bahwa peserta orientasi P4K yang terbanyak adalah kader (92,1%) dan bidan (85,3%). Kondisi ini menjelaskan bahwa bidan dan kader banyak berpartisipasi dalam pelayanan ibu dan anak di puskesmas, khususnya dalam pelaksanaan orientasi P4K. 48

73 Tabel Persentase pelaksanaan Orientasi P4K di puskesmas menurut lokasi, Sirkesnas 2016 Lokasi Puskesmas Orientasi P4K Perkotaan Perdesaan Total Puskesmas n % n % n % Peserta orientasi P4K Tim penggerak PKK , , ,6 Kader , , ,1 Bidan desa , , ,3 Toma/Toga , , ,3 Lainnya 80 40, , ,3 Materi yang diberikan dalam orientasi P4K Kehamilan dan persalinan , , ,2 Tanda bahaya kehamilan dan nifas , , ,9 Tanda bahaya pada bayi baru lahir , , ,8 Mekanisme P4K , , ,8 Lainnya 70 35, , ,7 Bukti daftar hadir pelaksanaan orientasi P4K Dapat menunjukkan 80 40, , ,5 Tidak dapat menunjukkan 84 42, , ,5 Tidak ada 33 16, , ,9 Total , , ,0 Materi yang diberikan dalam pelaksanaan orientasi P4K adalah kehamilan dan persalinan (97,2%), tanda bahaya kehamilan dan nifas (96,9%), tanda bahaya pada bayi baru lahir (91,8%), dan mekanisme P4K (91,8%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa materi yang sesuai dengan program sudah dilaksanakan oleh puskesmas. Idealnya informasi tentang puskesmas yang telah melaksanakan orientasi P4K didukung oleh bukti dokumen yang otentik seperti bukti daftar hadir. Pada Sirkesnas ditanyakan kepada responden tentang keberadaan bukti tersebut. Hasil observasi di lapangan melaporkan bahwa puskesmas yang mempunyai bukti pelaksanaan orientasi P4K berupa daftar hadir sebanyak 39,5 persen, yang tidak dapat menunjukkan 41,5 persen, dan yang tidak ada 18.9 persen. Secara keseluruhan, indikator puskesmas yang pernah melaksanakan orientasi P4K sudah tercapai. Hasil tersebut dievaluasi melalui implementasi program di masyarakat dalam bentuk stiker P4K, yang merupakan satu paket dan menempel pada buku KIA yang diberikan kepada setiap ibu hamil. Idealnya stiker P4K diisi sebagai komitmen antara keluarga, kader dan petugas kesehatan terkait persiapan persalinan dan pencegahan komplikasi dan kemudian ditempel pada pintu atau bagian depan rumah responden. Pada Sirkesnas 2016 dilakukan konfirmasi di masyarakat tentang program P4K dengan stiker melalui survei komunitas. Gambar menyajikan hasil identifikasi dan observasi terhadap stiker P4K pada rumah responden. Gambar tersebut menunjukkan bahwa meskipun dari segi kuantitas puskesmas mudah mencapai target indikator orientasi P4K namun terdapat variasi dari penerimaan dan penempelan stiker P4K di masyarakat. 49

74 Gambar Observasi stiker pada rumah responden, Sirkesnas 2016 Ibu hamil yang mendapat stiker sebesar 25,8 persen. Berdasarkan hasil observasi terlihat bahwa stiker P4K yang terisi lengkap hanya 18,2 persen. Stiker P4K yang tidak ditemukan atau tidak ditempel pada rumah ibu hamil cukup tinggi, yaitu sebesar 49,6 persen. Hasil temuan di lapangan membuktikan bahwa banyak puskesmas yang sudah melaksanakan orientasi P4K, namun penempelan stiker belum terlaksana dengan baik Indikator persentase persalinan di fasiltas pelayanan kesehatan Indikator persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan merupakan indikator Direktorat Jenderal Gizi dan KIA dalam Renstra Kemenkes dan merupakan indikator yang menggambarkan upaya Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan pelayanan ibu bersalin dalam rangka meningkatkan status kesehatan ibu. Definisi operasional indikator persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan menurut Renstra Kemenkes adalah jumlah ibu bersalin di wilayah kerja puskesmas yang mendapatkan pertolongan sesuai standar oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dalam kurun waktu satu tahun dibagi jumlah sasaran ibu bersalin yang ada di wilayah kerja puskesmas dalam kurun waktu satu tahun yang sama kali 100. Baseline yang digunakan pada Renstra adalah 70,2 persen, dengan target tahun 2015 adalah 75 persen dan tahun 2016 sebesar 77 persen. Data yang digunakan untuk baseline tersebut merujuk pada data Riskesdas Pada Sirkesnas 2016, kasus persalinan ditanyakan kepada perempuan berusia tahun tentang pengalaman persalinan anak terakhir yang lahir pada periode 1 Januari 2014 sampai dengan wawancara. Cakupan data yang disajikan Sirkesnas 2016 adalah hasil survei berbasis sampel dan tidak mencakup seluruh ibu bersalin hamil di wilayah kerja puskesmas, sehingga perlu kehati-hatian dalam membandingkan antara data rutin dan data survei. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum, bidan dan perawat. Fasilitas pelayanan kesehatan didefinisikan sebagai suatu tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif 50

75 yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/masyarakat (Permenkes 75 tahun 2014). Merujuk pada definisi tersebut maka yang dimaksud dengan fasilitas pelayanan kesehatan untuk bersalin meliputi rumah sakit (RS), klinik, rumah bersalin, puskesmas, puskesmas pembantu, praktek tenaga kesehatan, poskesdes dan polindes. Secara umum hasil Sirkesnas 2016 untuk penolong persalinan dan tempat persalinan adalah sebagai berikut: Gambar Persentase penolong persalinan, Sirkesnas 2016* Gambar Persentase persalinan menurut tempat bersalinan, Sirkesnas 2016* Terdapat keterkaitan erat antara penolong persalinan dan tempat persalinan. Gambar menunjukkan persalinan menurut penolong persalinan pertama dan terakhir, dan Gambar menunjukkan persalinan menurut jenis tempat bersalin. Gambar merupakan proses persalinan yang mungkin ditangani/ditolong oleh lebih dari 1 jenis tenaga dari saat pertama mulai proses persalinan hingga penolong terakhir yang mungkin berbeda. Hal ini antara lain dapat disebabkan karena adanya proses rujukan. Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa terdapat penurunan persentase penolong persalinan oleh tenaga non kesehatan dan peningkatan cakupan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan terutama dokter spesialis dari penolong persalinan pertama dan terakhir. Hal ini menunjukkan indikasi adanya rujukan. Sebagian besar persalinan di Indonesia dilakukan oleh bidan. Tidak banyak terjadi penurunan proporsi antara penolong persalinan pertama dan terakhir oleh bidan. Tabel merupakan gambaran capaian indikator utama Renstra Kementerian Kesehatan tentang persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa capaian persentase persalinan di fasyankes adalah 79,3 persen. Jika dibandingkan dengan target 75 persen pada tahun 2015 dan 76 persen pada tahun 2016 dalam Renstra Kemenkes (dari baseline tahun 2014 sebesar 70,4 persen), maka capaian persalinan di fasyankes berdasarkan hasil Sirkesnas 2016 telah melampaui target. Gambar menunjukkan bahwa terdapat 29,6 persen yang melahirkan di rumah sakit (pemerintah dan swasta) dan 22,6 persen melahirkan pada praktek tenaga kesehatan. Hal ini mengindikasikan masih perlu adanya pemantauan kualitas pelayanan persalinan dan penanganan kegawatdaruratan untuk institusi selain rumah sakit. Tabel dan Tabel merupakan pola penolong persalinan dan jenis tempat bersalin menurut karakteristik. 51

76 Karakteristik Tabel Distribusi persentase perempuan tahun yang pernah bersalin periode 1 Januari 2014 sampai dengan wawancara tentang penolong persalinan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 dokter kandungan dokter umum Penolong Pertama bidan Perawat dukun keluarga/ lainnya Nakes * Penolong Terakhir Jumlah perempuan tahun yang bersalin Pendidikan terakhir Tidak sekolah 11,2 0,7 35,5 0 27,6 25,0 47,7 13,1 2 42,5 0,7 26,1 15,7 57,5 152 Tidak tamat SD 6,8 0,2 55,7 0,4 24,1 12,9 63,2 12,9 1,9 59,7 0,6 20,7 4,2 74,9 474 Tamat SD 9,9 0,3 59,7 0,4 22,2 7,5 70,3 16,9 1,9 61,9 0,5 17,3 1,5 81, Tamat SLTP/ MTS 14,3 0,7 67,5 0,2 8,3 9,1 82,6 25,3 1 67,3 0,3 5,5 0,6 93, Tamat SLTA/ MA 21,6 0,7 65,6 0,8 3,7 7,7 88,7 32,3 2,2 62,5 0,3 2,3 0,4 97, Tamat D1/D2/D3 47,2 1,1 42,9 0,3 1,1 7,3 91,5 57,8 2,5 39,1 0 0,6 0 99,4 354 PT 47,6 0,4 43,8 0,4 1,8 5,9 92,3 56,6 2,2 39,6 0,2 1,1 0,2 98,7 454 Pekerjaan Tidak bekerja 22,5 0,6 58,7 0,2 7,6 10, ,3 1,6 55,1 0,4 7,3 1,4 91,2 511 PNS/BUMN 34,8 1,3 49,9 2,3 3,4 8,3 88,3 44,2 2,9 47,8 0,8 3,1 1,3 95,6 385 Pegawai swasta 27,6 0,3 60,4 0,3 4,2 7,2 88,6 37,4 2,1 56,8 0,2 2,9 0,6 96, Wiraswasta 21,3 0,5 64,2 0,5 5,2 8,5 86,4 30,8 1,2 63,6 0,1 4 0,2 95, Petani 8,9 0,7 62 0, ,1 71,9 17,2 1,5 63,9 0,5 13,7 3,1 83, Nelayan 11,8 0 55,1 0 19, ,9 19,9 1,5 57,4 3,7 14,7 2,9 82,4 136 Buruh 12,1 0,5 60,9 0,2 20,8 5,5 73,7 20,5 2,8 62,3 0,1 14,1 0,3 85, Lainnya 20,8 0,9 56,3 0,9 12,6 8,5 79,1 30,1 0,6 56,3 0,3 10 2,7 87,4 341 Tempat tinggal Perkotaan 24,9 0,4 61,5 0,5 4,4 8,3 87,3 35,6 1,9 58,1 0,2 3,9 0,3 95, Perdesaan 12,1 0,7 60,1 0,4 18 8,8 73,3 19,8 1,8 62,7 0,4 13,1 2,2 84, JUMLAH 18,4 0,6 60,8 0,5 11,2 8,6 80,2 27,6 1,8 60,4 0,3 8,6 1,3 90, dokter kandungan Dokter umum Bidan Perawat dukun keluarga/ lainnya Nakes* 52

77 Tabel Distribusi persentase ibu menurut tempat persalinan menurut karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik latar belakang RS Pemerintah RS Swasta Rumah Bersalin Puskesmas Tempat bersalin Pustu Klinik Praktik Nakes Polindes/ Poskesdes Rumah Lainnya Total Fasyankes 1) Jumlah perempuan tahun yang pernah bersalin 2) Umur saat bersalin tahun 0,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0, , tahun 13,3 8,6 8,6 8,1 0,5 3,8 21,0 10,5 24,8 1, , tahun 13,3 10,7 7,6 10,0 1,9 5,3 23,2 5,6 22,4 0, , tahun 10,9 17,5 9,6 7,0 1,2 5,9 24,7 4,0 19,0 0, , tahun 13,8 16,6 8,8 7,5 0,7 5,2 24,3 3,7 19,0 0, , tahun 15,7 17,8 8,1 7,8 1,1 4,1 17,1 6,1 22,1 0, , tahun 16,3 20,3 6,2 6,6 0,2 5,2 21,7 1,4 21,9 0, , tahun 25,5 21,3 0,0 2,1 2,1 6,4 17,0 2,1 23,4 0, , tahun 9,1 45,5 0,0 9,1 0,0 9,1 9,1 0,0 18,2 0, ,9 11 Pendidikan ibu Tidak/ belum 6,6 9,9 3,3 9,2 0,7 2,6 7,9 3,3 55,3 1, ,5 152 pernah sekolah Tidak tamat 11,4 4,6 4,6 8,8 2,1 2,3 22,5 5,3 38,3 0, ,6 475 SD/MI Tamat SD/MI 11,5 7,1 4,9 9,6 1,4 2,9 23,7 6,9 31,4 0, , Tamat 14,1 12,8 9,9 8,5 1,1 5,2 25,5 4,8 18,0 0, , SLTP/MTS Tamat 13,8 20,9 10,7 6,7 1,0 8,6 23,6 3,4 11,3 0, , SLTA/MA Tamat 21,0 36,8 13,0 3,4 0,6 3,7 12,2 1,7 7,6 0, ,4 353 D1/D2/D3 Tamat PT 16,1 42,5 8,4 3,7 0,2 3,7 14,1 1,8 9,3 0, ,5 454 Status Pekerjaan KK Tidak bekerja 17,9 18,5 8,2 7,0 2,1 4,1 19,5 2,7 19,7 0, ,0 513 PNS/TNI 18,2 30,6 8,6 4,9 0,5 7,8 14,8 2,1 12,2 0, ,5 385 Pegawai 14,3 25,6 10,1 5,1 0,3 8,9 23,9 5,0 6,7 0, , Swasta Wiraswasta 14,1 17,2 11,1 7,3 0,7 6,0 25,0 3,2 15,5 0, , Petani 10,0 8,6 6,0 10,9 2,3 3,3 17,4 7,6 33,6 0, , Nelayan 17,5 3,6 4,4 12,4 2,9 1,5 13,1 8,0 35,8 0, ,4 137 Buruh 12,0 11,2 7,2 7,3 0,5 3,8 30,8 2,7 23,7 0, , Lainnya 16,5 18,2 7,4 7,9 0,6 3,5 14,7 7,1 23,8 0, ,9 340 Daerah tempat tinggal Perkotaan 15,1 23,6 10,3 6,4 0,2 6,5 27,1 2,2 8,5 0, , Pedesaan 11,9 8,8 6,6 9,1 2,0 3,9 18,1 6,9 32,4 0, , Jumlah 13,5 16,1 8,4 7,8 1,1 5,2 22,6 4,6 20,5 0, , * Fasyankes = RS, (RS), klinik, rumah bersalin, puskesmas, puskesmas pembantu, praktek nakes, poskesdes dan polindes. Tabel menyajikan pola persalinan menurut penolong pertama dan terakhir menurut jenis tempat terakhir bersalin. Tabel ini mengindikasikan adanya kejadian rujukan, namun tidak sertamerta menunjukkan persentase tenaga penolong persalinan. Hati-hati dalam menginterpretasikan angka, karena perbedaan proses crosstabulasi saat analisis. 53

78 Tabel menunjukkan adanya pola pemilihan tempat persalinan menurut pendidikan ibu. Ibu yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi (diploma ke atas) cenderung bersalin di RS swasta dan Pemerintah, sebaliknya ibu berpendidikan rendah cenderung bersalin di rumah. Demikian pula dengan ibu yang tinggal di perkotaan cenderung ke RS (swasta 23,6% dan Pemerintah 15,1%) dibandingkan dengan ibu di perdesaan yang lebih cenderung bersalin di rumah (32,4%). 54

79 Tabel Distribusi persentase ibu yang mempunyai riwayat kehamilan anak terakhir menurut tenaga penolong persalinan pertama, terakhir dan tempat terakhir bersalin, Sirkesnas 2016 Tenaga Penolong Persalinan Tempat terakhir bersalin Penolong Pertama N % Penolong terakhir n % RS pemerintah RS swasta Rumah bersalin klinik praktek nakes Puskesmas Pustu polindes/ poskesdes Rumah Lainnya Total Dokter kandungan ,40 Dokter kandungan ,40 36,0 50,8 7,9 3,9 1,3 0,1 0,0 100,0 Dokter umum 41 0,56 Total 41 0,56 43,9 24,4 4,9 2,4 19,5 4,9 100,0 Dokter kandungan 23 0,31 30,6 21,7 8,7 4,3 30,4 4,3 100,0 Dokter umum 18 0,25 61,1 27,8 0,0 0,0 5,5 5,6 100,0 Bidan ,81 Total ,81 9,3 9,1 10,4 5,8 32,0 11,6 1,6 7,2 12,9 0,1 100,0 Dokter kandungan 529 7,23 33,1 48,0 10,0 4,0 1,6 1,5 0,4 0,8 0,6 0,0 100,0 Dokter umum 77 1,05 15,5 18,2 6,5 2,6 31,2 10,4 1,3 3,9 10,4 0,0 100,0 Bidan ,52 5,9 3,6 10,5 6,3 36,1 13,0 1,7 8,1 14,7 0,1 100,0 Perawat 32 0,44 Total 32 0,44 21,9 9,4 3,1 21,9 15,6 0,0 28,1 100,0 Dukun Anggota keluarga/ lainnya Penolong pertama Dokter kandungan 6 0,08 33,3 50,0 16,7 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 Dokter umum 1 0,01 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 Bidan 14 0,19 14,3 0,0 0,0 50,0 35,7 0,0 0,0 100,0 Perawat 11 0,15 18,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 81,8 100, ,24 Total ,24 1,5 0,5 1,2 0,6 9,1 1,7 0,2 0,2 83,4 1,6 100,0 Dokter kandungan 8 0,11 50,0 25,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 25,0 0,0 100,0 Dokter umum 25 0,34 4,0 0,0 0,0 0,0 84,0 4,0 0,0 0,0 8,0 0,0 100,0 Bidan 223 3,04 3,1 0,9 4,5 2,2 24,2 5,8 0,9 0,9 55,3 2,2 100,0 Perawat 4 0,05 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 0,0 100,0 Dukun 562 7,68 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 98,6 1,4 100, ,55 Total 625 8,55 8,2 11,4 5,8 8,8 19,8 5,3 1,3 1,9 37,2 0,3 100,0 Dokter kandungan 111 1,52 27,9 59,5 8,1 4,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 Dokter umum 9 0,12 0,0 11,1 66,7 0,0 0,0 11,1 0,0 0,0 11,1 0,0 100,0 Bidan 339 4,63 5,9 1,2 5,3 14,7 36,7 9,4 2,4 3,5 20,9 0,0 100,0 Perawat 10 0,14 0,0 0,0 30,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 70,0 0,0 100,0 Dukun 64 0,88 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 98,4 1,6 100,0 Ang kelg/lainnya 92 1,26 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 98,9 1,1 100, ,0 Penolong terakhir ,0 55

80 Tabel Distribusi persentase perempuan tahun yang bersalin di rumah/lainnya menurut alasan tidak melahirkan di fasyankes dan karakteristik ibu, Sirkesnas 2016 Karakteristik Melahir kan di non fasyankes (rumah/ lainnya Jauh Biaya Transportasi *Alasan tidak melahirkan di tempat fasilitas kesehatan (rumah/lainnya) (n=1519) Tidak ada faskes Tidak ada nakes Jalan sulit Faskes tidak memadai Nakes tidak bersahabat Daerah tempat tinggal Perkotaan ,2 38,4 38,4 10,8 2,2 3,1 6,9 3,3 1,9 37,0 29,0 29,0 10,6 10,8 Pedesaan ,9 32,3 32,3 9,0 5,1 6,7 12,7 4,2 1,9 30,5 24,2 24,2 6,7 9,5 Pendidikan Ibu Tidak/ belum pernah sekolah 86 35,0 55,0 32,0 27,0 11,0 17,0 26,0 14,0 4,0 42,0 27,0 56,0 17,0 12,0 Tidak tamat SD/MI ,6 45,2 21,3 7,6 8,1 10,0 17,6 4,8 1,9 25,1 37,1 46,2 4,3 6,6 Tamat SD/MI ,0 37,3 18,5 9,7 3,3 5,5 11,8 2,7 0,6 29,6 21,5 58,6 5,7 8,4 Tamat SLTP/MTS ,0 26,4 18,7 9,1 5,9 5,9 10,4 4,8 2,4 36,0 28,5 60,3 10,1 9,9 Tamat SLTA/MA ,8 24,6 12,3 5,3 1,8 2,1 4,9 2,8 2,8 33,2 18,7 58,0 6,7 14,1 Tamat D1/D2/D ,8 3,2 3,2 3,2 0,0 0,0 0,0 0,0 3,2 38,7 22,6 74,2 9,7 9,7 Tamat PT 43 20,0 14,0 8,0 6,0 4,0 0,0 4,0 2,0 6,0 30,0 36,0 38,8 12,0 14,0 Status Pekerjaan KK Tidak bekerja ,1 32,5 12,8 6,0 1,7 2,6 8,5 4,3 3,4 31,6 28,2 56,4 13,7 6,8 PNS/BUMN 48 12,5 7,3 5,5 7,1 3,6 1,8 3,6 3,6 3,6 28,6 30,4 58,9 3,6 23,2 Pegawai swasta 80 28,0 25,8 8,6 10,8 0,0 1,1 10,9 4,3 2,2 18,5 22,8 51,6 5,4 20,4 Wiraswasta ,8 30,2 10,5 9,8 7,0 6,6 7,9 3,8 3,5 32,9 26,7 60,6 8,9 9,8 Petani ,6 33,4 25,7 12,6 5,3 8,1 18,6 5,1 2,2 36,1 26,3 56,4 8,3 8,9 Nelayan 50 28,1 29,8 27,6 8,8 15,8 15,5 12,1 14,0 1,7 43,1 20,7 57,9 12,1 5,2 Buruh ,8 44,9 18,2 5,5 0,3 2,9 5,5 0,5 0,3 26,1 21,1 55,9 4,0 9,0 Lainnya 82 16,8 26,6 7,4 5,3 8,5 7,4 7,4 4,3 0,0 30,9 27,7 57,4 5,3 6,4 Persentase 20,7 27,3 33,6 18,0 9,4 4,5 6,0 11,5 4,1 1,9 31,8 25,2 57,0 7,5 9,8 Jumlah keterangan *) jawaban lebih dari 1. Tidak ada yang mengantar Kehamilan normal Tidak sempat ke faskes/ nakes Nyaman di rumah Tidak ada yang urus rumah Lainnya 56

81 Tabel menyajikan ibu yang bersalin di rumah/lainnya menurut karakteristik dan alasannya. Terdapat 1519 (20,7%) ibu yang melaporkan bersalin di rumah/lainnya. Terhadap responden ibu yang bersalin di non fasyankes ditanyakan lebih lanjut tentang alasan mereka melahirkan di rumah/lainnya. Berdasarkan tabel , lima alasan utama ibu bersalin di rumah/lainnya adalah nyaman di rumah (57%), biaya (33,6%), merasa kehamilan normal (31,8%), jauh (27,3%) dan tidak sempat ke tenaga kesehatan (25,2%). 3.3 Indikator Program Kesehatan Anak Pembangunan kesehatan anak mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan tahun Pada RPJMN tahun , salah satu indikator kesehatan anak adalah menurunnya prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Sedangkan indikator kesehatan anak pada Renstra Kementerian Kesehatan adalah persentase KN1, persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas satu, persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas tujuh dan sepuluh, dan persentase puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja (PKPR). Gambar menunjukkan indikator kesehatan anak bersumber baik di tingkat masyarakat maupun pelayanan kesehatan. Indikator kesehatan anak Sumber data RPJMN Renstra Menurunnya bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) Target capaian: 75% Komunitas Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 1 Target capaian 50% Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 7 dan 10 Target capaian 30% Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja; Target capaian 25% Gambar Indikator kesehatan anak, Sirkesnas 2016 Puskesmas Pertanyaan pada Blok Kesehatan Anak terkait indikator pada tingkat komunitas, ditanyakan kepada responden (ibu/pengasuh anak atau anggota rumah tangga lain) yang paling mengetahui tentang kesehatan anak ketika baru lahir yang terkait dengan berat badan lahir anak dan KN1. Pertanyaan pada Blok Kesehatan Anak terkait indikator pada tingkat pelayanan kesehatan ditanyakan kepada petugas puskesmas, yang meliputi kelengkapan essensial pelayanan 57

82 KN1, penjaringan kesehatan peserta didik, dan pelayanan kesehatan peduli remaja Berat dan panjang lahir Berat badan lahir didapatkan dari dokumen atau catatan yang dimiliki oleh balita, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya. Gambar menujukkan bahwa sebesar hanya 8876 (46,7%) balita memiliki catatan berat badan lahir dan 7345 (38,6%) balita yang memiliki catatan panjang badan lahir. Hasil menunjukkan bahwa dari balita yang memiliki catatan berat badan lahir terdapat 6,9 persen balita dengan BBLR (<2500gr). Sedangkan dari balita yang memiliki catatan panjang badan lahir, terdapat 22,4 persen balita dengan panjang lahir pendek (<48cm). Gambar Algoritma balita dengan riwayat berat badan dan panjang badan lahir rendah Tabel menyajikan persentase berat badan bayi baru lahir anak balita menurut karakteristik. Karakteristik pendidikan dan pekerjaan adalah gambaran dari kepala keluarga. Menurut kelompok umur, persentase BBLR pada berbagai kelompok umur menunjukkan variasi. Persentase BBLR lebih tinggi pada kelompok umur bulan (8,0%), sedangkan terendah terdapat pada kelompok umur 0-5 bulan (5,7 %). Persentase BBLR pada perempuan (7,6%) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (6,3%), dan sedikit lebih tinggi persentase BBLR di perdesaan (7,4%) dibandingkan dengan wilayah perkotaan (6,6%). Menurut karakteristik rumah tangga, persentase BBLR tertinggi pada kelompok keluarga dengan kepala keluarga berpendidikan tamat SD (8,2%), sedangkan persentase terendah tedapat pada balita dengan kepala keluarga berpendidikan tamat D1/D2/D3 (3,7%). Menurut status pekerjaan, persentase BBLR tertinggi terjadi pada balita dengan kepala keluarga dengan pekerjaan lainnya (10,5 % ), sedangkan persentase terendah terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD (4,1%) 58

83 Tabel Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik Ada catatan <2500 gr gr >4000 gr Kelompok umur (bulan) 0 5 5,7 88,4 5, ,4 87,4 5, ,1 89,0 4, ,0 88,2 3, ,4 88,1 5, ,4 87,7 5,0 Jenis kelamin Laki-laki 6,3 88,0 5,7 Perempuan 7,6 88,4 4,0 Pendidikan KK Tidak pernah sekolah 4,7 91,2 4,1 Tidak tamat SD 6,4 91,1 2,4 Tamat SD 8,2 87,3 4,5 Tamat SMP 7,8 87,2 5,0 Tamat SMA 5,9 88,4 5,7 Tamat D1/D2/D3 3,7 91,9 4,4 Tamat PT 7,4 87,5 5,1 Pekerjaan KK PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 4,1 88,6 7,3 Pegawai swasta 8,3 88,0 3,7 Wiraswasta 6,9 87,5 5,6 Petani 6,1 89,7 4,2 Nelayan 9,6 84,8 5,6 Buruh 7,1 88,7 4,2 Lainnya 10,5 82,0 7,5 Tidak bekerja 4,5 90,6 4,8 Tempat tinggal Perkotaan 6,6 89,0 4,4 Perdesaan 7,4 87,2 5,4 Nasional 6,9 88,2 4,8 Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu panjang lahir < 48 cm (pendek), panjang lahir cm, dan panjang lahir >52 cm. Tabel menyajikan persentase panjang badan bayi baru lahir anak balita menurut karakteristik. 59

84 Tabel Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik Ada catatan <48 cm cm >52 cm Kelompok umur (bulan) ,4 70,0 3, ,5 73,0 2, ,4 73,4 3, ,6 76,1 2, ,8 76,9 2, ,9 76,5 2,7 Jenis kelamin Laki-laki 20,2 76,6 3,2 Perempuan 24,7 73,2 2,1 Pendidikan KK Tidak pernah sekolah 23,0 75,3 1,7 Tidak tamat SD 21,9 75,5 2,6 Tamat SD 24,6 72,5 2,8 Tamat SMP 22,7 75,1 2,2 Tamat SMA 22,2 75,2 2,6 Tamat D1/D2/D3 19,6 77,4 3,0 Tamat PT 15,4 80,7 3,9 Pekerjaan KK PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 18,8 79,9 1,3 Pegawai swasta 23,7 72,8 3,5 Wiraswasta 19,0 78,6 2,4 Petani 23,2 73,9 2,9 Nelayan 16,3 82,6 1,1 Buruh 26,1 71,7 2,2 Lainnya 25,1 72,1 2,8 Tidak bekerja 22,1 74,8 3,2 Tempat tinggal Perkotaan 22,7 74,4 2,9 Perdesaan 22,0 75,7 2,3 Nasional 22,4 74,9 2,7 Menurut kelompok umur, hasil menunjukkan bahwa persentase bayi dengan panjang badan lahir pendek semakin meningkat dari waktu ke waktu. Terlihat bahwa persentase panjang badan lahir pendek tertinggi terjadi pada kelompok umur 0-5 bulan (26,4 %), semakin tua kelompok umur balita semakin rendah persentase panjang badan lahir rendah. Berdasarkan jenis kelamin, persentase panjang lahir pendek pada perempuan (24,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (20,2%), dan persentase BBLR di perkotaan (22,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah perdesaan (22,0%). Menurut karakteristik pendidikan KK, persentase panjang lahir pendek paling tinggi pada kelompok keluarga dengan kepala keluarga berpendidikan tamat SD (24,6%), sedangkan persentase terendah tedapat pada balita dengan kepala keluarga berpendidikan tamat Perguruan Tinggi (15,4 %). 60

85 3.3.2 Indikator kunjungan neonatal Kunjungan neonatal adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang di berikan oleh tenaga kesehatan kepada neonatus sedikitnya 3 kali, selama periode 0 sampai 28 hari setelah lahir, baik di fasilitas maupun melalui kunjungan rumah. Pelayanan neonatal terdiri dari KN1 (6-48 jam), KN2 (3-7 hari) dan KN3 (8-28 hari). Tujuan dari topik ini adalah untuk menjawab indikator kunjungan neonatal pertama (KN1) dalam Renstra dengan definisi operasional (DO) pelayanan kesehatan bayi baru lahir (umur 6 jam - 48 jam) yang memperoleh pelayanan sesuai standar meliputi: (1) pemeriksaan menggunakan pendekatan MTBM, (2) perawatan tali pusat, (3) konseling ASI dan tanda bahaya, (4) pemberian imunisasi HB 0 dan vitamin K, jika belum diberikan saat lahir. Pemeriksaan KN1 yang diperhitungkan di dalam Sirkesnas 2016 mencakup pengukuran berat badan, panjang badan, suhu tubuh, pemeriksaan riwayat sakit, riwayat diare, perawatan tali pusar, identifikasi permasalahan pemberian ASI, pemberian konseling ASI, konseling tanda bahaya, serta pemberian imunisasi HB-0 dan vitamin K jika belum diberikan saat lahir. Informasi kunjungan neonatal bersumber dari ibu balita sedangkan informasi tentang kelengkapan alat esensial pelayanan KN bersumber dari puskesmas. Berdasarkan Renstra Kementerian Kesehatan , target capaian KN1 pada tahun 2015 adalah 75 persen. Gambar menunjukkan algoritma kunjungan neonatal berdasarkan akses saja atau memperhitungkan definisi operasional sesuai standar jenis pelayanan yang seharusnya diterima ibu balita. Persentase balita yang melakukan kunjungan neonatal sebesar 82,9 persen (dari n=19003). Berdasarkan kunjungan neonatal saja tanpa memperhitungkan jenis pelayanan yang diterima, persentase KN1 sebesar 76,8 persen, KN2 (63,4%) dan KN3 (49,1%). Sedangkan jika memperhitungkan pelayanan standar sesuai dengan definisi operasional yang ada di dalam Renstra, persentase KN1 hanya sebesar 15,2 persen (Gambar 3.3.3). Dengan demikian, capaian KN1 jauh di bawah target Renstra Kementerian Kesehatan. Gambar Algoritma kunjungan neonatal pada balita 61

86 Tabel Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) sesuai standar berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik Kunjungan Neonatal pertama (KN1) sesuai standar Kelompok umur (bulan) , , , , , ,0 Jenis kelamin Laki-laki 14,9 Perempuan 15,4 Pendidikan KK Tidak pernah sekolah 13,8 Tidak tamat SD 10,3 Tamat SD 13,2 Tamat SMP 15,1 Tamat SMA 17,3 Tamat D1/D2/D3 20,3 Tamat PT 21,8 Pekerjaan KK PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 21,2 Pegawai swasta 18,4 Wiraswasta 16,3 Petani 11,4 Nelayan 12,3 Buruh 14,7 Lainnya 10,9 Tidak bekerja 17,1 Tempat tinggal Perkotaan 17,1 Perdesaan 13,3 Nasional 15,2 Tabel menunjukkan persentase KN1 dengan memperhitungkan pelayanan yang diterima dengan standar yang tertuang dalam definisi operasional di Renstra. Menurut kelompok umur, persentase KN1 berfluktuasi dari waktu ke waktu. Capaian KN1 rendah pada kurun waktu lima tahun lalu (tahun 2012) yaitu pada kelompok umur bulan (14,0%) kemudian sempat meningkat hingga awal 2015 mencapai angka tertinggi yaitu pada kelompok umur 6-11 bulan (17,7%) dan kembali rendah di akhir pertengahan tahun 2015 yaitu 14,9% pada kelompok umur 0-5 bulan. Persentase KN1 lebih tinggi pada anak perempuan (15,4%) dibandingkan anak laki-laki (14,9%). Berdasarkan wilayah, persentase KN1 lebih tinggi di wilayah perkotaan (17,1%) dibandingkan wilayah perdesaan (13,3%). 62

87 Menurut karakteristik rumah tangga, persentase kunjungan neonatal tertinggi KN1 pada kelompok keluarga dengan kepala keluarga berpendidikan tamat PT (21,8%) dan terendah pada kelompok keluarga dengan kepala keluarga tidak tamat SD (10,3%). Berdasarkan pekerjaan, persentase kunjungan KN1 tertinggi terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD (21,2%), sedangkan yang terendah terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang memiliki pekerjaan lainnya (10,9%) Tabel menunjukkan persentase kunjungan neonatal berdasarkan kunjungan neonatal saja tanpa memperhitungkan jenis pelayanan yang diterima. Hasil menunjukkan bahwa persentase nasional kunjungan pelayanan kunjungan neonatal tidak jauh berbeda antar kelompok umur baik pada KN1, KN2, KN3. Kendati demikian, persentase KN1 (76,8%) lebih tinggi dari kunjungan neonatal lainnya, yaitu KN2 (63,4%) dan KN3 (49,1%). Sedangkan persentase nasional kunjungan KN lengkap hanya sebesar 41,1 persen. Menurut kelompok umur, persentase kunjungan neonatal pertama terlihat meningkat pada kelompok umur 0-5 bulan sebesar 77,8 persen dibandingkan pada kelompok umur bulan (73,2%). Persentase kunjungan neonatal lebih tinggi dilakukan oleh anak laki-laki pada semua jenis kunjungan, yaitu masing-masing : KN1 (76,9%), KN2 (63,4%), KN3 (49,4%) dan KN lengkap (41,2%). Berdasarkan wilayah, persentase kunjungan neonatal lebih tinggi dilakukan di wilayah perkotaan pada semua jenis kunjungan, yaitu : KN1 (83,4%), KN2 (69,8%), KN3 (57,2%) dan KN lengkap (48,7%). Menurut karakteristik rumah tangga, persentase kunjungan neonatal tertinggi KN1 pada balita dengan kepala keluarga berpendidikan tamat D1/D2/D3 (88,3%), KN2 pada balita dengan kepala keluarga berpendidikan tamat perguruan tinggi (72,6%), KN3 dan KN lengkap pada balita dengan kepala keluarga berpendidikan tamat D1/D2/D3 masing-masing sebesar 58,5 persen dan 54,1 persen. Berdasarkan pekerjaan, persentase kunjungan KN1 tertinggi terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD (86,1%), sedangkan KN2, KN3 dan KN lengkap tertinggi terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang bekerja di sektor swasta yaitu masing-masing sebesar 74,1 persen, 63,4 persen dan 54,9 persen. 63

88 Tabel Persentase kunjungan neonatal berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik Kunjungan Neonatal 6-48 jam (KN1) 3-7 hari (KN2) 8-28 hari (KN3) KN Lengkap Kelompok umur (bulan) ,8 60,3 46,3 36, ,6 64,9 51,4 42, ,5 64,9 49,1 41, ,8 64,6 50,0 41, ,7 62,5 48,8 41, ,2 61,3 48,1 40,3 Jenis kelamin Laki-laki 76,9 63,4 49,4 41,2 Perempuan 76,7 63,3 48,9 40,9 Pendidikan KK Tidak pernah sekolah 51,8 42,5 33,6 26,7 Tidak tamat SD 66,9 52,5 42,3 32,1 Tamat SD 72,6 59,3 45,2 35,9 Tamat SMP 78,7 65,2 49,6 42,4 Tamat SMA 83,7 70,2 54,7 48,0 Tamat D1/D2/D3 88,3 70,3 58,5 54,1 Tamat PT 85,8 72,6 57,8 47,6 Pekerjaan KK PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 86,1 68,8 53,3 46,8 Pegawai swasta 84,5 74,1 63,4 54,9 Wiraswasta 81,1 68,1 50,3 43,2 Petani 67,0 53,4 38,4 30,5 Nelayan 68,1 54,5 38,1 32,9 Buruh 73,2 59,8 48,1 38,0 Lainnya 78,6 61,1 48,4 38,8 Tidak bekerja 81,6 65,5 52,3 45,9 Tempat tinggal Perkotaan 83,4 69,8 57,2 48,7 Perdesaan 70,6 57,2 41,5 33,8 Nasional 76,8 63,4 49,1 41,1 Tabel menyajikan persentase kunjungan neonatal yang dikategorikan lengkap, tidak lengkap dan tidak pernah. Kunjungan Neonatal lengkap jika ibu balita melakukan KN1, KN2 dan KN3. Kategori KN tidak lengkap bila ibu balita tidak melakukan lengkap seluruh kunjungan neonatal, sedangkan tidak pernah jika ibu balita tidak pernah melakukan kunjungan neonatal. Persentase nasional KN tidak lengkap (41,9%) sedikit lebih tinggi dari KN lengkap (41,1%), sedangkan persentase nasional tidak pernah KN sebesar 17,9 persen. Menurut kelompok umur, persentase balita yang tidak pernah KN tertinggi pada balita kelompok umur bulan (20,3%), sedangkan untuk KN lengkap tertinggi pada kelompok umur 6-11 bulan (42,9%). Jenis kelamin laki-laki (42,1%) lebih tinggi melakukan KN tidak lengkap dibandingkan perempuan (41,6%). Untuk kategori tidak pernah KN, proprosi perempuan (17,5%) lebih tinggi 64

89 dibandingkan laki-laki (16,7%). Berdasarkan wilayah, persentase KN tidak lengkap dan persentase tidak pernah KN lebih tinggi terjadi di wilayah perdesaan, yaitu masing-masing sebesar 43,8 persen dan 22,3 persen dibandingkan wilayah perkotaan yaitu masing-masing sebesar 39,8 persen dan 11,5 persen. Menurut karakteristik rumah tangga, persentase KN tidak lengkap tertinggi terdapat pada kelompok keluarga dengan kepala keluarga berpendidikan tamat SD dan tamat perguruan tinggi yaitu sebesar 44,6 persen, sedangkan persentase tidak pernah KN tertinggi pada kelompok keluarga dengan kepala keluarga yang tidak pernah sekolah (41,8%). Berdasarkan pekerjaan, persentase KN tidak lengkap tertinggi terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang memiliki pekerjaan kategori lainnya (45,7%), sedangkan tidak pernah KN tertinggi terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai nelayan (28,5%) Tabel Persentase kunjungan neonatal lengkap pada anak umur 0-59 bulan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik Waktu KN KN lengkap KN tidak lengkap Tidak pernah KN Kelompok umur (bulan) ,8 47,3 15, ,9 42,2 14, ,0 44,0 15, ,8 43,0 15, ,1 40,0 18, ,3 39,4 20,3 Jenis kelamin Laki-laki 41,2 42,1 16,7 Perempuan 40,9 41,6 17,5 Pendidikan KK Tidak pernah sekolah 26,7 31,4 41,8 Tidak tamat SD 32,1 41,8 26,1 Tamat SD 35,9 44,6 19,5 Tamat SMP 42,4 41,8 15,8 Tamat SMA 48,0 40,4 11,7 Tamat D1/D2/D3 54,1 35,5 10,4 Tamat PT 47,6 44,6 7,8 Pekerjaan KK PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 46,8 42,9 10,3 Pegawai swasta 54,9 35,6 9,6 Wiraswasta 43,2 43,2 13,5 Petani 30,5 43,5 26,0 Nelayan 32,9 38,7 28,5 Buruh 38,0 43,6 18,5 Lainnya 38,8 45,7 15,5 Tidak bekerja 45,9 38,9 15,2 Tempat tinggal Perkotaan 48,7 39,8 11,5 Perdesaan 33,8 43,8 22,3 Nasional 41,1 41,9 17,9 65

90 Karakteristik BB Tabel Persentase komponen pelayanan KN1 berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Komponen pelayanan KN1 Suhu Frekuensi Denyut Riwayat Bayi Tali Masalah Konseling PB Diare tubuh napas* jantung* sakit kuning* pusat ASI ASI 66 Konseling Tanda bahaya Kelompok umur (bulan) ,0 82,8 68,6 57,8 58,0 41,4 34,0 49,3 84,7 75,6 73,0 59,9 85,5 70, ,7 82,5 63,4 58,9 60,6 46,4 39,5 51,8 81,6 73,5 74,0 60,8 85,6 72, ,3 82,7 64,6 58,3 61,9 42,8 37,7 55,2 82,5 75,1 75,7 62,0 87,1 73, ,7 83,3 62,9 56,7 60,9 43,2 36,6 49,7 79,6 72,0 74,5 59,5 87,1 72, ,1 83,3 60,5 55,6 58,1 41,3 34,3 48,6 80,0 73,6 74,9 58,0 85,7 74, ,5 83,0 61,2 55,2 60,0 41,8 36,2 50,1 82,1 73,4 73,9 60,4 83,3 68,4 Jenis kelamin Laki-laki 90,1 83,1 62,0 56,6 59,7 41,9 35,9 51,1 81,6 73,2 74,3 59,4 85,4 71,8 Perempuan 89,2 82,8 63,5 57,1 60,6 43,6 37,1 50,9 80,8 74,0 74,9 60,8 86,3 73,0 Pendidikan KK Tidak/blmsekolah 90,4 83,2 64,1 60,5 62,6 49,7 41,4 52,3 82,7 71,9 74,6 62,0 87,1 74,2 TidaktamatSD/MI 87,0 75,3 53,2 48,5 55,2 42,1 34,7 48,6 80,4 71,2 71,6 57,2 83,8 72,8 Tamat SD/MI 86,2 78,9 60,9 53,6 56,4 40,6 35,2 47,5 78,3 69,5 71,1 54,8 83,7 71,2 TamatSMP/MTS 90,6 82,4 60,6 57,0 60,9 41,1 35,1 48,6 82,2 73,6 73,6 59,9 85,8 71,8 Tamat SMA/MA 93,0 88,0 66,0 58,9 61,4 43,8 37,6 52,9 82,1 76,0 77,0 62,9 87,3 72,7 Tamat D1-D3 89,7 85,7 67,3 64,3 69,5 45,1 41,1 59,0 83,1 79,6 80,0 68,2 85,5 75,7 Tamat PT 90,1 88,0 72,0 67,0 70,1 49,5 40,2 64,2 87,4 82,2 83,5 70,5 91,0 75,3 Pekerjaan KK PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 90,2 84,9 69,9 64,3 66,1 47,0 40,8 62,2 85,0 80,6 80,1 68,2 89,9 79,1 Swasta 91,8 89,5 68,0 62,3 64,8 46,4 40,7 56,4 82,9 78,4 78,7 64,0 88,6 71,6 Wiraswasta 90,9 84,5 64,3 57,8 60,6 41,7 35,1 48,8 82,4 73,2 75,0 59,4 86,2 72,8 Petani 88,1 75,5 55,6 49,0 52,1 41,0 35,1 43,3 79,7 70,1 71,3 55,4 82,2 69,1 Nelayan 82,8 72,8 55,6 51,0 52,8 47,2 39,2 51,6 85,6 74,0 77,2 66,0 78,0 66,0 Buruh 87,8 81,5 62,0 56,9 62,1 41,0 35,8 52,9 78,7 70,6 71,3 56,6 86,1 75,5 Lainnya 91,3 84,7 58,9 53,6 58,6 37,5 31,4 51,3 78,6 73,3 73,6 61,3 82,6 68,1 Tidak bekerja 89,7 85,8 65,0 60,0 64,4 45,2 36,4 53,6 81,4 75,8 76,2 65,8 88,4 73,4 Tempat tinggal Perkotaan 91,8 88,3 67,4 61,4 64,2 43,9 37,1 53,9 81,5 76,4 77,8 63,2 87,7 74,1 Perdesaan 87,3 77,0 57,5 51,6 55,6 41,3 35,8 47,7 80,9 70,5 71,0 56,6 83,6 70,5 Nasional 89,7 83,0 62,7 56,8 60,2 42,7 36,5 51,0 81,2 73,6 74,6 60,1 85,3 71,4 *komponen pelayanan tidak diperhitungkan dalam perhitungan indikator KN1 Imunisasi HB-0 Vit K

91 Tabel menyajikan persentase komponen pelayanan KN1 yang terdiri dari : pengukuran berat badan (BB), panjang badan (PB), pemeriksaan suhu tubuh, frekuensi nafas, denyut jantung, menanyakan pada ibu mengenai riwayat sakit, diare, pemeriksaan bayi kuning, perawatan tali pusat, menanyakan pada ibu mengenai masalah pemberian ASI, memberitahukan kepada ibu cara memberikan ASI, tanda bahaya, memberikan imunisasi HB-0 dan vitamin K. Jenis pelayanan KNI1 yang paling banyak diterima balita adalah pengukuran berat badan (89,7%), imunisasi HB-0 (85,3%), panjang badan (83,0%) danperawatan tali pusat (81,2%). Jenis pelayanan yang paling rendah yang diterima oleh balita adalah pemeriksaan riwayat diare (36,5%) dan riwayat sakit pada balita (42,7%). Menurut kelompok umur, terlihat bahwa persentase pelayanan yang diterima ibu balita tidak menunjukkan pola khusus. Balita dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak yang mendapatkan jenis pelayanan KN1 dibandingkan laki-laki. Presentase jenis pelayanan yang lebih banyak diterima balita perempuan adalah; pengukuran PB (82,8%), pemeriksaan suhu tubuh (63,5%), frekuensi nafas (57,1%), denyut jantung (60,6%), menanyakan pada ibu mengenai riwayat sakit (43,6%), diare (37,1%), menanyakan pada ibu mengenai masalah pemberian ASI (74,0%), memberitahukan kepada ibu cara memberikan ASI (74,9%), tanda bahaya (60,8%), memberikan imunisasi HB-0 (86,3%) dan vitamin K (73,0%). Sedangkan jenis pelayanan pengukuran BB (90,1%), pengukuran PB (83,1%) pada balita laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Balita yang tinggal di wilayah perkotaan lebih banyak yang mendapatkan jenis pelayanan KN1 dibanding balita yang tinggal di wilayah perdesaan. Presentase jenis pelayanan yang diterima balita di wilayah perkotaan adalah; pengukuran BB (91,8%), PB (88,3%), pemeriksaan suhu tubuh (67,4%), frekuensi nafas (61,4%), denyut jantung (64,2%), menanyakan pada ibu mengenai riwayat sakit (43,9%), diare (37,1%), pemeriksaan bayi kuning (53,9%), perawatan tali pusat (81,5%), menanyakan pada ibu mengenai masalah pemberian ASI (76,4%), memberitahukan kepada ibu cara memberikan ASI (77,8%), tanda bahaya (63,2%), memberikan imunisasi HB-0 (87,7%) dan vitamin K (74,1%). Menurut karakteristik rumah tangga, persentase sebagian besar komponen pelayanan KN1 cenderung lebih tinggi diterima oleh balita dengan KK tamat DI/D3 ataupun tamat perguruan tinggi dibandingkan dengan balita dengan KK tidak/belum sekolah seperti pemeriksaan suhu tubuh (72,0%), frekuensi nafas (67,0%), denyut jantung (70,1%), pemeriksaan bayi kuning (64,2%), perawatan tali pusat (87,4%), menanyakan pada ibu mengenai masalah pemberian ASI (82,2%), memberitahukan kepada ibu cara memberikan ASI (83,5%), tanda bahaya (70,5%), dan memberikan imunisasi HB-0 (91,0%) lebih tinggi pada balita dengan KK tamat PT dibanding balita dengan KK tidak/belum sekolah. Berdasarkan pekerjaan, tidak terdapat pola yang jelas antara persentase pelayanan KN1 dengan pekerjaan KK. Namun demikian, balita dengan KK bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD memperoleh persentase pelayanan KN1 tertinggi dibandingkan balita dengan KK dari kelompok pekerjaan lainnya 67

92 yaitu meliputi pemeriksaan suhu tubuh (69,9%), frekuensi nafas (64,3%), denyut jantung (66,1%), diare (40,8%), pemeriksaan bayi kuning (62,2%), menanyakan pada ibu mengenai masalah pemberian ASI (80,6%), memberitahukan kepada ibu cara memberikan ASI (80,1%), tanda bahaya (68,2%), memberikan imunisasi HB-0 (89,9%) dan vitamin K (79,1%). Tabel Persentase alasan tidak melakukan pemeriksaan neonatal pada anak umur 0-59 bulan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik Bayi tidak sakit Bayi tidak boleh dibawa pergi Alasan tidak melakukan KN Tempat pelayanan jauh Tidak punya biaya Lainnya Kelompok umur (bulan) ,9 12,4 9,7 12,4 18, ,3 7,1 7,1 8,2 23, ,9 5,7 10,7 6,1 19, ,6 5,5 12,5 8,1 20, ,4 9,2 11,3 6,9 14, ,9 6,1 11,9 6,5 21,6 Jenis kelamin Laki-laki 55,0 6,4 11,7 7,9 19,0 Perempuan 55,6 7,6 10,3 6,5 19,9 Pendidikan KK Tidak pernah sekolah 35,2 11,7 17,9 8,7 26,5 Tidak tamat SD 46,3 11,3 13,5 9,9 19,0 Tamat SD 56,6 5,1 12,6 7,2 18,6 Tamat SMP 63,6 6,1 6,9 7,8 15,6 Tamat SMA 59,9 6,8 6,0 5,0 22,2 Tamat D1/D2/D3 68,8 3,1 9,4 0,0 18,8 Tamat PT 63,3 3,3 11,7 0,0 21,7 Pekerjaan KK PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 55,1 2,9 2,9 5,8 33,3 Pegawai swasta 67,9 3,7 6,8 4,9 16,7 Wiraswasta 59,3 7,1 8,5 7,1 18,0 Petani 48,1 8,4 15,0 7,2 21,3 Nelayan 46,4 6,2 9,3 2,1 36,1 Buruh 63,0 7,7 7,7 10,9 10,7 Lainnya 48,5 5,0 16,8 4,0 25,7 Tidak bekerja 66,7 3,0 6,8 4,5 18,9 Tempat tinggal Perkotaan 69,4 4,3 5,8 4,0 16,4 Perdesaan 50,6 8,0 12,8 8,3 20,4 Nasional 55,4 7,0 11,0 7,2 19,4 68

93 Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan balita tidak melakukan pemeriksaan kesehatan pada masa neonatus. Tabel menyajikan persentase alasan tidak melakukan KN pada anak balita. Secara nasional persentase alasan tidak melakukan KN paling tinggi karena bayi tidak sakit (55,4%), diikuti karena alasan tempat pelayanan jauh (11,0%), tidak punya biaya (7,2%), bayi tidak boleh dibawa pergi (7,0%), dan alasan lainnya (19,4%). Menurut kelompok umur, alasan tidak KN karena bayi tidak boleh dibawa pergi (12,4%) dan tidak punya biaya (12,4%) paling banyak muncul pada kelompok umur bayi yang muda yaitu 0-5 bulan. Balita dengan jenis kelamin laki-laki tidak KN dengan alasan karena tempat pelayanan jauh (11,7%) dan tidak punya biaya (7,9%). Sedangkan alasan bayi tidak sakit (55,6%), bayi tidak boleh dibawa pergi (7,6%) dan alasan lainnya (19,9%) lebih banyak terjadi pada balita perempuan. Untuk wilayah perdesaan tidak KN dengan alasan paling tinggi karena bayi tidak sakit (50,6%), alasan lainnya (20,4%), dan tempat pelayanan jauh (12,8%). Balita di perkotaan tidak KN dengan alasan bayi tidak sakit (69,4%) lebih tinggi daripada balita di perdesaan (50,6%). Menurut karakteristik rumah tangga, balita dengan KK tidak pernah sekolah tidak KN karena bayi tidak boleh dibawa pergi (11,7%), tempat pelayanan jauh (17,9%) dan alasan lainnya (26,5%), alasan ini paling tinggi dibanding balita dengan pekerjaan KK lainnya. Alasan tidak punya biaya paling banyak berasal dari balita dengan kepala keluarga tidak tamat SD (9,9%), sedangkan alasan bayi tidak sakit paling banyak berasal dari balita dengan kepala keluarga dengan pendidikan D1/D2/D3 (68,8%). Berdasarkan pekerjaan, persentase balita tidak KN karena alasan bayi tidak sakit paling banyak berasal dari balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai swasta (67,9%). Sedangkan balita tidak KN dengan alasan tidak boleh dibawa pergi paling banyak berasal dari balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai petani (8,4%) dan alasan tidak punya biaya paling banyak berasal dari balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai buruh (10,9%) Penjaringan kesehatan peserta didik Penjaringan kesehatan peserta didik merupakan kegiatan pelayanan pemeriksaan kesehatan dasar pada peserta didik baru yang dilaksanakan oleh petugas puskesmas atau petugas lain dengan sasaran yaitu peserta didik kelas 1 untuk tingkat SD/MI/SDLB, kelas 7 untuk tingkat SMP/MTs/SMPLB dan kelas 10 untuk tingkat SMA/SMK/MA/SMALB baik negeri maupun swasta di wilayah kerja puskesmas. Penjaringan dilakukan satu tahun sekali pada awal tahun pelajaran. Diharapkan seratus persen dari sekolah yang ada dan seratus persen dari peserta didik sasaran ikut dan terlayani dalam kegiatan penjaringan peserta didik ini. Pada Rencana Strategis Kemenkes terdapat 2 indikator terkait penjaringan kesehatan peserta didik. Indikator pertama adalah persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 1 dengan target capaian tahun 2015 sebesar 50 persen, sedangkan indikator kedua 69

94 adalah persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 7 dan 10 dengan target capaian tahun 2015 sebesar 30 persen. Puskesmas dikatakan melaksanakan penjaringan kesehatan pada peserta didik kelas 7 dan 10, jika puskesmas melakukan penjaringan kesehatan kepada peserta didik kelas 7 dan kelas 10 di seluruh sekolah negeri dan swasta di wilayah kerja puskesmas dengan minimal melakukan lima kegiatan yaitu pengukuran tinggi badan, pengukuran berat badan, tekanan darah, tajam penglihatan, dan tajam pendengaran. Di dalam Sirkesnas 201, kegiatan penjaringan anak sekolah kelas 1, kelas 7 dan 10 yang diidentifikasi adalah kegiatan penjaringan peserta didik yang dilakukan oleh puskesmas pada tahun Informasi tentang penjaringan kesehatan peserta didik ditanyakan kepada petugas UKS di puskesmas. Kegiatan pelayanan penjaringan peserta didik berupa pemeriksaan kesehatan dasar adalah pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, pemeriksaan gigi dan mulut (khusus kelas 1), pemeriksaan tekanan darah (khusus kelas 7 dan 10), pemeriksaan tajam pendengaran, pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan kebersihan diri, pemeriksaan kebugaran jasmani, riwayat kesehatan anak, pemeriksaan status vital, riwayat kesehatan keluarga, pemakaian alat bantu, pemeriksaan kesehatan mental emosional dan intelegensia, pemeriksaan kesehatan reproduksi. Puskesmas N=400 Puskesmas yang melakukan penjaringan n=364 (91,2%) Penjaringan kelas 1 n=359 (89,8%) Penjaringan kelas 7 n=304 (76%) Penjaringan kelas 10 n=275 (68,8%) Penjaringan kelas 7 dan 10 n=274 (75,1%) Penjaringan kelas 1 di seluruh sekolah n=272 (68%) Penjaringan kelas 7 dan 10 di seluruh sekolah n=188 (47%) 5 kegiatan n=226 (56,6%) 7 kegiatan n=171 (42,8%) 13 kegiatan n=37 (9,3%) 5 kegiatan n=136 (34%) 7 kegiatan n=109 (27,3%) 13 kegiatan n=35 (8,8%) 70 Gambar Algoritma penjaringan peserta didik

95 Gambar menunjukkan algoritma puskesmas yang melaksanakan kegiatan penjaringan peserta didik baik peserta didik kelas 1, kelas 7, atau kelas 10. Hasil menunjukkan bahwa 91,2 persen puskesmas melakukan kegiatan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 SD/MI/SDLB, kelas 7 SMP/MTs/SMPLB ataupun kelas 10 SMA/SMK/MA/SMALB. Namun demikian, masih terdapat 8,8 persen puskesmas yang tidak melakukan pelayanan penjaringan peserta didik baik kelas 1, kelas 7, ataupun kelas 10. Selanjutnya analisis dijabarkan berdasarkan masing-masing sasaran dan jumlah kegiatan yang dilakukan pada saat penjaringan kesehatan perserta didik Indikator Penjaringan Kesehatan Peserta Didik Kelas 1 Kegiatan penjaringan kesehatan peserta didik SD/MI/SDLB kelas 1 dilakukan setahun sekali pada awal tahun pelajaran terhadap peserta didik kelas 1 SD/MI/SDLB. Kegiatan ini dilakukan oleh puskesmas terhadap seluruh sekolah SD/MI/SDLB di wilayah kerja puskesmas. Pemeriksaan kesehatan dilakukan kepada murid baru SD atau MI atau SDLB baik negeri maupun swasta. Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 disajikan dalam Tabel Sesuai dengan definisi operasional (DO) di dalam Renstra Kemenkes , puskesmas dikatakan melaksanakan penjaringan kesehatan pada peserta didik kelas 1 jika puskesmas melakukan penjaringan kesehatan kepada peserta didik kelas 1 di wilayah kerja puskesmas dengan minimal melakukan lima kegiatan yaitu pengukuran tinggi badan, pengukuran berat badan, gigi, tajam penglihatan, dan tajam pendengaran. Tabel menunjukkan bahwa terdapat 76,3 persen puskesmas yang melakukan penjaringan peserta didik kelas 1 dengan minimal melakukan 5 kegiatan. Puskesmas yang melaksanakan penjaringan peserta didik kelas 1 di seluruh sekolah dengan minimal melakukan 5 kegiatan adalah sebesar 56,5 persen. Dengan demikian maka target Renstra untuk tahun 2015 sebesar 50 persen berdasarkan hasil Sirkesnas 2016 telah terlampaui. Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan peserta didik kelas 1 dengan minimal melakukan 5 kegiatan tidak jauh berbeda antara di perkotaan (79,3%) maupun perdesaan (72,7%). Begitu pula dengan persentase puskesmas yang melakukan penjaringan peserta didik kelas 1 di seluruh sekolah dengan minimal melakukan 5 kegiatan tidak jauh berbeda antara di perkotaan (57,1%) maupun perdesaan (55,7%) Tabel Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1, Sirkesnas 2016 Karakteristik Total Puskesmas Penjaringan Kelas 1 Penjaringan Kelas 1 dengan 5 kegiatan Penjaringan Kelas 1 di seluruh sekolah dengan 5 kegiatan n % n % n % n % Lokasi Perkotaan , , , ,1 Perdesaan , , , ,7 Nasional , , ,5 71

96 Kegiatan yang dilakukan dalam penjaringan peserta didik kelas 1 adalah pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, tajam pendengaran, pemeriksaan gigi dan mulut, tajam penglihatan, riwayat kesehatan anak, riwayat kesehatan keluarga, kesehatan mental emosional, kesehatan intelegensia, pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan kebersihan diri, pemakaian alat bantu dan pemeriksaan kebugaran jasmani. Dalam konteks ini, yang dimaksud alat bantu disini misalnya tongkat, alat bantu dengar, tidak termasuk kacamata. Kegiatan pemeriksaan gigi dan mulut (89,3%), pengukuran berat badan (88,3%), dan pengukuran tinggi badan (87,8%) adalah tiga kegiatan yang paling banyak dilakukan dalam penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1. Pemeriksaan intelegensia merupakan kegiatan yang paling sedikit dilakukan puskesmas pada saat penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 yaitu hanya 26,3 persen. Jika dilihat dari lokasi, semua kegiatan penjaringan kelas 1 persentasenya lebih besar di perkotaan dibandingkan di perdesaan (Tabel 3.3.9). Kegiatan pemeriksaan gigi dan mulut, pengukuran berat badan, dan pengukuran tinggi badan adalah tiga kegiatan yang paling banyak dilakukan dalam penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 baik di perkotaan maupun di perdesaan. Pemeriksaan intelegensia merupakan kegiatan yang paling sedikit dilakukan puskesmas baik di perkotaan (30%) maupun perdesaan (21,9%) pada saat penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1. Tabel Kegiatan yang dilakukan dalam penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1, Sirkesnas 2016 Lokasi Nasional Kegiatan penjaringan kelas Perkotaan Perdesaan (N=400) 1 (n=217) (n=183) % % % Berat badan Tinggi badan Gigi dan Mulut Tajam pendengaran Tajam penglihatan Kebersihan diri Kebugaran Riwayat anak Tanda vital Riwayat keluarga Alat bantu* Mental emosional Intelegensia Total Puskesmas *alat bantu seperti alat bantu gerak, tongkat, alat bantu dengar tidak termasuk kacamata Gambar menunjukkan cakupan kegiatan yang dilakukan oleh puskesmas pada saat penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok sebagai berikut: (1) puskesmas yang melakukan minimal 5 kegiatan (sesuai standar) yaitu kegiatan pengukuran berat 72

97 badan, pengukuran tinggi badan, pemeriksaan gigi dan mulut, tajam pendengaran, dan tajam penglihatan; (2) puskesmas yang melakukan minimal 7 kegiatan yaitu kegiatan pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, pemeriksaan gigi dan mulut, tajam pendengaran, tajam penglihatan, kebersihan diri, dan kebugaran; (3) puskesmas yang melakukan 13 kegiatan yang mencakup seluruh kegiatan dalam penjaringan kesehatan yaitu kegiatan pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, pemeriksaan gigi dan mulut, tajam pendengaran, tajam penglihatan, kebersihan diri, kebugaran, riwayat anak, tanda vital, riwayat keluarga, pemakaian alat bantu, kesehatan mental emosional, dan intelegensia. Terdapat 76,3 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 5 kegiatan, 57,5 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 7 kegiatan, dan 13,3 persen puskesmas yang melaksanakan 13 kegiatan. Sedangkan pada puskesmas yang melakukan penjaringan di seluruh sekolah terdapat 56,5 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 5 kegiatan, 42,8 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 7 kegiatan, dan 9,3 persen puskesmas yang melaksanakan 13 kegiatan Kegiatan penjaringan siswa kelas 1 76,3 57,5 13,3 5 kegiatan 7 kegiatan 13 kegiatan Kegiatan penjaringan siswa kelas 1 di seluruh sekolah 56,5 42,8 9,3 5 kegiatan 7 kegiatan 13 kegiatan (a) (b) Gambar Persentase penjaringan peserta didik kelas 1 menurut jumlah kegiatan, Sirkesnas Indikator Penjaringan Kesehatan Peserta Didik Kelas 7 dan 10 Kegiatan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 SMP/MTs/SMPLB dan kelas 10 SMA/SMK/MA/SMALB dilakukan setahun sekali jika sekolah tersedia dalam wilayah kerja puskesmas. Pemeriksaan kesehatan dilakukan kepada murid baru baik negeri maupun swasta. Persentase puskesmas yang 73

98 melakukan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan 10 disajikan dalam Tabel Renstra Kemenkes menyatakan bahwa puskesmas dikatakan melaksanakan penjaringan kesehatan pada peserta didik kelas 7 dan 10 jika puskesmas melakukan penjaringan kesehatan kepada peserta didik kelas 7 SD/MI/SDLB dan kelas 10 SMA/SMK/MA/SMALB di wilayah kerja puskesmas dengan minimal melakukan lima kegiatan yaitu pengukuran tinggi badan, pengukuran berat badan, tekanan darah, tajam penglihatan, dan tajam pendengaran. Tabel menunjukkan bahwa terdapat 51,5 persen puskesmas yang melakukan penjaringan peserta didik kelas 7 dan 10 sesuai standar, sedangkan puskesmas yang melaksanakan penjaringan peserta didik kelas 7 dan 10 di seluruh sekolah sesuai dengan standar adalah sebesar 34,0 persen. Maka target Renstra tahun 2015 sebesar 30 persen berdasarkan hasil Sirkesnas 2016 telah tercapai. Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan peserta didik kelas 7 dan 10 sesuai standar lebih besar di perkotaan (56,2%) dibandingkan dengan perdesaan (45,9%). Hal ini juga terjadi pada persentase puskesmas yang melakukan penjaringan peserta didik kelas 7 dan 10 di seluruh sekolah sesuai standar dimana di perkotaan (36,9%) lebih besar dibandingkan dengan perdesaan (30,6%) Tabel Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan 10, Sirkesnas 2016 Penjaringan Kelas 7 Penjaringan Kelas 7 Penjaringan Kelas 7 dan 10 diseluruh Karakteristik Total Puskesmas dan 10 dengan 5 dan 10 sekolah dengan 5 kegiatan kegiatan n % n % n % n % Lokasi Puskesmas Perkotaan , , , ,9 Perdesaan , , , ,6 Nasional , , ,0 Gambar menunjukkan cakupan kegiatan yang dilakukan oleh puskesmas pada saat penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan 10 yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok sebagai berikut: (1) puskesmas yang melakukan minimal 5 kegiatan (sesuai standar) yaitu kegiatan pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, tekanan darah, tajam pendengaran, dan tajam penglihatan; (2) puskesmas yang melakukan minimal 7 kegiatan yaitu kegiatan pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, tekanan darah, tajam pendengaran, tajam penglihatan, kebersihan diri, dan kebugaran; (3) puskesmas yang melakukan 14 kegiatan yang mencakup seluruh kegiatan dalam penjaringan kesehatan yaitu kegiatan pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, pemeriksaan gigi dan mulut, tajam pendengaran, tajam penglihatan, kebersihan diri, kebugaran, riwayat anak, tanda vital, riwayat 74

99 keluarga, kesehatan reproduksi, pemakaian alat bantu, kesehatan mental emosional, dan intelegensia. Terdapat 51,5 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 5 kegiatan, 40,8 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 7 kegiatan, dan 13,5 persen puskesmas yang melaksanakan 14 kegiatan pada penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan 10. Sedangkan pada puskesmas yang melakukan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan 10 di seluruh sekolah terdapat 34,0 pesen puskesmas yang melaksanakan minimal 5 kegiatan, 27,3 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 7 kegiatan, dan 8,8 persen puskesmas yang melaksanakan 14 kegiatan Kegiatan penjaringan siswa kelas 7&10 51,5 40, Kegiatan penjaringan siswa kelas 7&10 di seluruh sekolah , , , kegiatan 7 kegiatan 14 kegiatan 5 kegiatan 7 kegiatan 14 kegiatan (a) (b) Gambar Persentase penjaringan peserta didik kelas 7 dan 10 menurut jumlah kegiatan, Sirkesnas Indikator Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) merupakan kegiatan kesehatan remaja yang dilaksanakan oleh petugas puskesmas atau petugas lain di institusi atau masyarakat dan meliputi kegiatan dalam gedung maupun luar gedung Puskesmas. Kegiatan kesehatan remaja di luar gedung termasuk Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren), kelompok remaja di sekolah dan luar sekolah (kelompok anak jalanan, karang taruna, remaja mesjid atau gereja, dan lain-lain). Jenis kegiatan PKPR meliputi penyuluhan, pelayanan klinis medis termasuk pemeriksaan penunjang, konseling, pendidikan keterampilan hidup sehat (PKHS), pelatihan pendidik sebaya (yang diberi pelatihan menjadi kader kesehatan remaja) dan konselor sebaya (pendidik sebaya yang diberi 75

100 tambahan pelatihan interpersonal relationship dan konseling), serta pelayanan rujukan. Salah satu indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Direktorat Bina Kesehatan Anak adalah persentase puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja. Berdasarkan definisi operasional, puskesmas dikatakan menyelenggarakan kesehatan remaja apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) Memiliki tenaga kesehatan terlatih pelayanan kesehatan peduli remaja; (2) Memiliki pedoman kesehatan remaja; dan (3) Melakukan pelayanan konseling pada remaja. Target capaian indikator ini adalah 25 persen di tahun Sebesar 71,5 persen Puskemas mengaku menyelenggarakan kegiatan PKPR (Tabel ). Hanya 35 persen Puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan PKPR sesuai dengan definisi operasional. Walaupun demikian, target capaian indikator untuk tahun 2015 telah terlampaui. Terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan PKPR sesuai dengan definisi operasional di Perkotaan sebesar 43,3 persen, lebih besar daripada persentase di wilayah Perdesaan (32,9%). Tabel Persentase puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja, Sirkesnas 2016 Karakteristik Total Sampel Puskesmas menyelenggarakan PKPR Puskesmas PKPR sesuai kriteria N % n % n % Lokasi Perkotaan , , ,3 Perdesaan , , ,9 Nasional , ,0 Tabel menyajikan persentase komponen utama Puskesmas PKPR sesuai dengan definisi operasional. Dari 400 Puskesmas yang menjadi sampel Sirkesnas 2016, hanya 37,0 persen yang memiliki tenaga terlatih baik pelatihan oleh Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi maupun Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Persentase Puskesmas yang memiliki tenaga terlatih di wilayah perkotaan sebesar 45,6 persen, hampir dua kali lipat bila dibandingkan persentase Puskesmas di wilayah perdesaan (26,7%). Hasil menunjukkan bahwa sebesar 54,3% puskesmas memiliki pedoman PKPR. Buku Pedoman PKPR antara lain Pedoman Pembentukan dan Pengembangan Puskesmas PKPR, Pedoman PKPR di Puskesmas, Pedoman Standar Nasional PKPR, Kurikulum Pelatihan PKPR, Teknik Konseling Kesehatan Remaja bagi Petugas Kesehatan, Teknik Konseling Kesehatan Remaja bagi Konselor Sebaya, Panduan Supervisi Fasilitatif PKPR Tingkat Puskesmas, Modul Pelatihan PKPR bagi Tenaga Kesehatan, dan Modul pelatihan PKPR bagi Konselor Sebaya. Puskesmas dinyatakan memiliki pedoman apabila memiliki dan dapat menunjukkan paling tidak satu dari buku pedoman tersebut. Hanya 43,5 persen puskesmas yang memberikan pelayanan konseling. Persentase puskesmas yang memberikan pelayanan konseling di wilayah 76

101 perkotaan sebesar 64,4 persen, sedangkan puskesmas yang memberikan pelayanan konseling di wilayah perdesaan sebesar 35,6 persen. Tabel Persentase komponen utama Puskesmas PKPR, 2016 Karakteristik Total PKM Tenaga terlatih Pedoman Konseling N % n % n % n % Lokasi Perkotaan , , , ,4 Perdesaan , , , ,6 Nasional , , ,5 Gambar menunjukkan puskesmas yang tidak melaksanakan program PKPR dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ( ) dan alasannya. Hasil menunjukkan bahwa sebesar 28,5 persen Puskesmas tidak melaksanakan program PKPR. Sebesar 23,5 persen puskesmas di perkotaan dan 34,3 persen puskesmas di perdesaan tidak melaksanakan program PKPR. Terdapat 46,5 persen Puskesmas menyebutkan tidak melaksanakan program PKPR karena tidak ada anggaran, sebesar 42,1 persen karena tidak ada tenaga dan 31,6 persen menyatakan karena bukan program prioritas. Puskesmas yang berlokasi di daerah perkotaan tidak melaksanakan program PKPR dengan alasan karena bukan program prioritas (35,3%), tidak ada anggaran (39,2%), tidak ada SDM (39,2%), dan alasan lainnya (52,9%). Sedangkan puskesmas yang berlokasi di daerah perdesaan tidak melaksanakan program PKPR dengan alasan terbesar karena tidak ada anggaran (52,4%). 77

102 Gambar Persentase puskesmas tidak melaksanakan program PKPR dan alasannya, Sirkesnas Indikator Program Gizi Saat ini perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks dan sudah mengarah terhadap terjadinya masalah gizi ganda. Selain masih banyak masalah gizi yang diakibatkan oleh kekurangan gizi seperti masih tingginya angka prevalensi bayi dengan berat lahir rendah (<2500 gram) sebesar 10,2 persen, bayi lahir pendek (<48 cm) sebesar 20,2 persen, stunting/pendek dan gizi kurang pada balita (37,2% dan 19,6%), ibu hamil risiko KEK (Lila < 23,5 cm) sebesar 24,2 persen, dan ibu hamil anemia sebesar 37,1 persen, di sisi lain juga sudah mulai meningkatnya masalah gizi akibat kelebihan gizi seperti prevalensi gizi lebih pada balita sudah mencapai 11,8 persen dan obesitas pada orang dewasa sebesar 15,4 persen (Riskesdas, 2013). Kekurangan gizi yang terjadi pada masa kehamilan dan usia dini dalam jangka pendek akan mengakibatkan terjadinya: 1) gangguan perkembangan sel-sel otak; 2) gangguan pertumbuhan fisik berupa IUGR dan BBLR; 3) terganggunya proses metabolik dari berbagai komponen seperti glukosa, lemak, protein, hormon, gen dan reseptor. Selanjutnya dalam jangka panjang, ketiga gangguan tersebut masing-masing dapat mengakibatkan :1) rendahnya kemampuan kognitif; 2) berisiko tetap stunting pada periode umur selanjutnya; serta 3) meningkatkan risiko untuk menderita penyakit kronis pada usia dewasa, seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, kanker, dan kegemukan. Ketiga gangguan tersebut terjadi pada waktu yang hampir 78

103 bersamaan dan prosesnya terus berlanjut sampai usia 2 tahun. Selain itu dampak yang ditimbulkan bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki pada periode umur selanjutnya (Rajagopalan, 2003). Berkaitan dengan pentingnya masalah gizi maka Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka perbaikan dan peningkatan gizi perseorangan dan masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan antara lain melalui perbaikan pola konsumsi makanan, perbaikan perilaku sadar gizi, peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi serta kesehatan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Selain itu pentingnya masalah gizi dalam upaya perbaikan dan peningkatan gizi masyarakat juga dapat dilihat dari RPJMN bidang kesehatan dimana gizi menjadi salah satu sasaran pokok yaitu meningkatnya status kesehatan, dan gizi ibu dan anak. Selanjutnya untuk mencapai sasaran RPJMN bidang kesehatan tersebut maka dalam Renstra Kemenkes ditetapkan sebanyak 6 indikator sasaran kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat, terdiri dari : 1) Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD); 2) Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif; 3) Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan; 4) Persentase remaja puteri yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD); 5) Persentase ibu hamil yang mendapatkan Tablet Tambah Darah selama kehamilan dan 6) Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK) yang mendapat makanan tambahan (Kemenkes, 2015). Selain itu terdapat empat indikator RPJMN bidang kesehatan yaitu :1). Menurunnya prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita; 2). Menurunnya prevalensi pendek (stunting) pada anak usia di bawah 2 tahun (Baduta); 3). Menurunnya prevalensi berat badan lebih dan obesitas pada penduduk usia > 18 tahun; 4) Menurunnya prevalensi anemia pada ibu hamil Indikator Persentase Bayi Baru Lahir Mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah proses menyusu secepatnya segera setelah lahir dengan cara meletakkan bayi diatas dada ibu sehingga terjadi kontak kulit ke kulit antara kulit bayi dengan kulit ibunya secara langsung tanpa adanya penghalang selama minimal 1 jam (Kemenkes, 2015 dan WHO, 2016). Manfaat dari IMD antara lain adalah memberikan pengaruh psikologis bagi ibu dan bayi sehingga membuat lebih tenang dan rileks, ikatan batin antara ibu dan bayi akan lebih terjamin, pada saat merangkak mencari payudara bayi menjilat-jilat kulit ibunya dan ia akan menelan bakteri baik dari kulit ibu yang akan berkembang membentuk koloni kulit di kulit usus bayi, memberikan kemungkinan besar untuk ASI eksklusif, dan memperoleh kolostrum (Roesli, 2008). Target capaian indikator bayi baru lahir mendapat IMD dalam Renstra Kemenkes tahun 2015 adalah sebesar 38% (Kemenkes, 2015). 79

104 Total Sampel (Ibu mempunyai anak usia 0-23 Bulan) N = 6789 Ya, IMD (sesuai WHO) n = 762 Ya, IMD (Tidak sesuai WHO) n = 3154 Tidak IMD n = 6027 Gambar Algoritma sampel bayi baru lahir yang mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai bayi umur 0-23 bulan. Total responden yang masuk sesuai kriteria sampel dan berhasil diwawancarai adalah sebanyak responden. Selanjutnya diantara sampel, terdapat sebanyak 762 sampel yang sudah melakukan IMD sesuai definisi WHO yaitu terjadinya proses penempelan kulit ibu dengan kulit bayi secara langsung tanpa ada penghalang, segera sesaat setelah lahir dan proses penempelan tersebut berlangsung minmal selama 1 jam. Namun demikian apabila hanya dilihat dari adanya proses penempelan kulit ibu dengan kulit bayi secara langsung tanpa adanya penghalang, segera sesaat setelah lahir tanpa memperhitungkan lamanya proses penempelan selama minimal 1 jam (IMD tidak sesuai definisi WHO) maka ada sebanyak 3154 sampel yang sudah melakukan IMD. Seperti yang ditunjukkan pada gambar Gambar Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Gambar menunjukkan bahwa pencapaian sasaran indikator bayi baru lahir yang mendapat IMD sesuai dengan definisi WHO adalah sebesar 11,2 persen, sedangkan yang telah mendapat IMD tetapi belum sesuai dengan definisi WHO adalah sebesar 46,5 persen. Capaian indikator IMD ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan target tahun 2015 (38%). Terjadinya 80

105 perbedaan yang cukup tinggi ini disebabkan adanya perbedaan dalam penggunaan definisi operasional terkait IMD antara Sirkesnas 2016 dengan dasar pada saat penetapan target Renstra tahun Penetapan target IMD pada Renstra tahun 2015 adalah rata-rata waktu inisiasi ASI pertama kali kepada bayi bukan terjadinya proses kontak kulit antara kulit ibu dengan kulit bayi segera sesaat setelah lahir yang berlangsung minimal selama 1 jam. Namun demikian jika menggunakan definisi operasional yang sama dengan Sirkesnas 2016, maka angka IMD menurut Riskesdas 2013 adalah sebesar 11,7 persen. Berdasarkan hasil Sirkesnas 2016 dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan IMD di masyarakat saat ini masih kurang optimal. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran ibu ataupun petugas kesehatan untuk mau melakukan IMD sesuai dengan standar WHO. Oleh karena itu perlu peningkatan penyuluhan pada ibu bahwa IMD tidak cukup hanya melakukan proses penempelan kulit ibu dan kulit bayi sesaat segera setelah lahir, tetapi proses penempelan tersebut harus dilakukan minimal selama satu jam agar manfaat dari IMD dapat tercapai secara maksimal (Roesli, 2008). 81

106 Tabel Persentase bayi baru lahir yang mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) menurut karakteristik keluarga, Sirkesnas 2016 Karakteristik Inisiasi Menyusu Dini N Ya (%) Tidak (%) Pendidikan KK Tidak/ belum pernah sekolah ,3 89,7 Tidak tamat SD/MI ,2 88,8 Tamat SD/MI ,9 90,1 Tamat SLTP/MTS ,4 86,6 Tamat SLTA/MA ,2 88,8 Tamat D1/D2/D ,1 87,9 Tamat PT 385 8,8 91,2 Pendidikan Ibu Tidak/ belum pernah sekolah ,0 89,7 Tidak tamat SD/MI ,4 88,8 Tamat SD/MI ,6 90,1 Tamat SLTP/MTS ,7 86,6 Tamat SLTA/MA ,7 88,8 Tamat D1/D2/D ,6 87,9 Tamat PT 351 8,0 91,2 Pekerjaan KK PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD 343 9,9 90,1 Pegawai swasta ,2 88,8 Wiraswasta ,0 91,0 Petani ,0 80,0 Nelayan ,6 87,4 Buruh ,1 87,9 Lainnya ,4 88,6 Tidak bekerja ,6 85,4 Tempat Tinggal Perkotaan ,7 88,3 Perdesaan ,7 89,3 Nasional ,2 88,8 Berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga tampak bahwa persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD, terbanyak pada kelompok pendidikan tamat SLTP/MTS (13,4%) sedangkan yang terendah pada kelompok pendidikan tamat PT (8,8%). Namun, jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan ibu maka justru terbanyak adalah pada kelompok pendidikan tidak/belum pernah sekolah (15,0%) dan terendah pada ibu dengan pendidikan tamat perguruan tinggi (8,0%). 82

107 Jika dilihat dari jenis pekerjaan kepala keluarga tampak bahwa persentase IMD lebih banyak pada kelompok kepala keluarga yang tidak bekerja (14,6%), paling sedikit pada kelompok kepala keluarga yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD (9,9%). Berdasarkan tempat tinggal terlihat bahwa proporsi IMD di daerah perkotaan sebesar 11,7 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan sebesar 10,7 persen Indikator Persentase bayi usia kurang dari 6 Bulan mendapat ASI Eksklusif Indikator persentase bayi usia kurang dari 6 bulan mendapat ASI Eksklusif mempunyai peranan penting dalam rangka meningkatkan status kesehatan dan status gizi balita karena memberikan beberapa manfaat baik untuk bayi maupun ibunya. Manfaat tersebut antara lain adalah ASI memiliki kandungan gizi yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan bayi untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi secara optimal, mudah dicerna dan diserap, mengandung lipase memecah trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol, mengandung zat kekebalan tubuh sehingga bayi jarang sakit, mendekatkan hubungan ibu dan bayi karena menimbulkan perasaan aman bagi bayi, mengurangi insiden karies dentis, mengurangi maloklusi rahang, dan lain sebagainya (Kemenkes, 2014) Sesuai dengan definisi WHO, yang dimaksud dengan ASI Eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja pada bayi baru lahir sampai umur 6 bulan tanpa diberikan cairan/minuman atau makanan lain kecuali obat, vitamin dan mineral. Target capaian indikator bayi kurang dari 6 bulan mendapat ASI Eksklusif dalam Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2015 adalah sebesar 39 persen (Kemenkes, 2015). Total Sampel ASI eksklusif (Ibu mempunyai anak usia 0-23 Bulan) N = ASI Eksklusif 6 bulan (Ibu mempunyai anak usia 6-23 Bulan) n=5.936 ASI Eksklusif 0-5 bulan (Ibu mempunyai anak usia 0-5 Bulan) n = 853 Gambar Algoritma sampel anak usia 0-23 bulan yang mendapat ASI Eksklusif Dalam Sirkesnas 2016, capaian indikator ASI eksklusif dihitung berdasarkan pada 2 (dua) pendekatan, yaitu pertama, capaian ASI eksklusif berdasarkan kriteria ASI eksklusif 6 bulan dan kedua, capaian ASI eksklusif 0-5 bulan. Selanjutnya kedua pendekatan tersebut masing-masing juga mempunyai cara perhitungan dan unit sampel yang berbeda. Untuk mengetahui berapa persentase bayi yang mendapat ASI Eksklusif 6 bulan yaitu sejak lahir sampai 83

108 usia 5 bulan 29 hari bayi hanya diberikan ASI saja maka yang dipilih sebagai sampel adalah ibu yang memiliki anak umur 6-23 bulan sedangkan untuk mengetahui berapa persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif 0-5 bulan maka yang dipilih sebagai sampel adalah ibu yang memiliki bayi usia 0-5 bulan. Adapun pertanyaan yang digunakan untuk mendapatkan capaian indikator ASI eksklusif 0-5 bulan antara lain adalah apakah dalam 24 jam terakhir bayi hanya diberikan ASI saja tanpa diberikan cairan/minuman dan makanan lain selain ASI. Selanjutnya jika responden menjawab ya, maka akan ditanyakan apakah sejak lahir sampai sebelum 24 jam terakhir bayi pernah diberikan makanan lain selain ASI serta makan kapan pertama kali mulai diberi cairan/minuman atau makanan lain selain ASI. Total responden berdasarkan kriteria yang memiliki anak 0-23 bulan adalah sebanyak ibu. Selanjutnya sampel yang digunakan untuk menghitung capaian indikator ASI eksklusif 6 bulan adalah sebanyak responden sedangkan untuk menghitung capaian ASI ekslusif umur 0-5 bulan adalah sebanyak 853 responden. Seperti yang ditunjukkan pada gambar Gambar Persentase bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan hanya mendapat ASI Eksklusif Gambar menunjukkan bahwa capaian indikator bayi mendapat ASI Eksklusif 6 bulan pada tahun 2015 adalah sebesar 21,5 persen. Hasil ini masih lebih rendah dibandingkan dengan target Renstra tahun 2015 sebesar 39 persen. Terjadinya perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan cara perhitungan dan sampel yang digunakan dalam menghitung ASI Eksklusif antara Sirkesnas 2016 dengan yang digunakan pada saat penetapan target Renstra tahun Adapun dasar penetapan target ASI eksklusif Renstra tahun 2015 adalah mengacu pada pertanyaan apakah dalam 24 jam terakhir bayi hanya diberi ASI saja tanpa diberikan cairan/minuman atau makanan lain selain ASI. Tabel menyajikan gambaran persentase ASI ekslusif umur 0-5 bulan berdasarkan 2 pertanyaan yang berbeda yaitu pertama, berdasarkan pada pertanyaan apakah dalam 24 jam terakhir bayi hanya mendapatkan ASI saja (kolom a) dan kedua, berdasarkan pada pertanyaan apakah sejak lahir sampai sebelum 24 jam terakhir bayi pernah diberikan minuman (cairan) dan atau makanan selain ASI (kolom b). Berdasarkan tabel tersebut 84

109 menunjukkan bahwa capaian ASI eksklusif pada bayi umur 0 bulan hanya sekitar 50 persen dan terdapat kecenderungan semakin bertambahnya umur maka persentase ASI eksklsuif semakin menurun. Namun demikian untuk menilai capaian ASI eksklusif 0-5 bulan sebaiknya didasarkan pada pertanyaan pada kolom (b) karena sudah dikontrol oleh pertanyaan apakah memang sejak lahir sampai pada saat wawancara bayi memang hanya diberikan ASI saja tanpa diberikan cairan/minuman atau makanan lain selain ASI. Tabel Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI Eksklusif menurut kelompok umur 0-5 bulan, Sirkesnas 2016 ASI Eksklusif Umur n a*(%) n b**(%) 0 Bulan , ,8 1 Bulan , ,4 2 Bulan , ,5 3 Bulan , ,7 4 Bulan , ,1 5 Bulan , ,8 a* Menggunakan kriteria dalam 24 jam terakhir hanya diberi ASI saja b** Menggunakan kriteria sejak lahir sampai sebelum 24 jam terakhir hanya diberi ASI saja Berdasarkan Tabel tampak persentase bayi yang mendapat ASI Eksklusif 6 bulan dilihat dari tingkat pendidikan kepala keluarga, terbanyak pada kelompok pendidikan tamat D1-D3 (31,5%) sedangkan yang terendah pada kelompok pendidikan tidak tamat SD (17,7%). Berdasarkan tingkat pendidikan ibu, ternyata terbanyak adalah pada kelompok pendidikan tamat SD/MI (23,4%) dan terendah pada kelompok ibu yang tidak pernah sekolah (16,4%). Jika dilihat berdasarkan jenis pekerjaan ibu tampak bahwa persentase tertinggi pada kelompok ibu yang bekerja sebagai nelayan (50%) dan pada kelompok ibu yang tidak bekerja serta wiraswasta sebesar 23,0 persen. Selanjutnya berdasarkan wilayah tempat tinggal terlihat bahwa persentase ASI Ekslusif di daerah perdesaan lebih tinggi (22,4%) dibanding dengan di daerah perkotaan (20,5%). 85

110 Tabel Persentase bayi mendapat ASI Eksklusif 6 bulan menurut karakteristik keluarga, Sirkesnas 2016 Karakteristik N ASI Eksklusif 6 bulan Ya(%) Tidak(%) Pendidikan KK Tidak/ belum pernah sekolah ,6 81,4 Tidak tamat SD/MI ,7 82,3 Tamat SD/MI ,2 78,8 Tamat SLTP/MTS ,4 74,6 Tamat SLTA/MA ,8 81,9 Tamat D1/D2/D ,5 68,6 Tamat PT ,1 78,9 Pendidikan Ibu Tidak/ belum pernah sekolah ,4 83,6 Tidak tamat SD/MI ,5 78,5 Tamat SD/MI ,4 76,6 Tamat SLTP/MTS ,9 78,1 Tamat SLTA/MA ,3 79,7 Tamat D1/D2/D ,6 77,4 Tamat PT ,1 77,9 Pekerjaan Ibu PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD ,7 80,3 Pegawai swasta ,5 84,5 Wiraswasta ,0 77,0 Petani ,1 82,9 Nelayan 4 50,0 50,0 Buruh ,6 80,4 Lainnya ,0 81,0 Tidak bekerja ,0 77,0 Tempat Tinggal Perkotaan ,5 79,5 Perdesaan ,4 77,6 Nasional ,5 78, Indikator persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan Indikator persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan merupakan indikator untuk mengukur capaian program pemberian makanan tambahan untuk balita kurus di Indonesia. Balita kurus terutama disebabkan karena kurangnya asupan makanan sehari-hari dan hal ini akan menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Dalam jangka panjang akan menurunkan kualitas sumberdaya manusia. 86

111 Pentingnya pemberian makanan tambahan ini karena usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Oleh karena itu kelompok usia balita perlu mendapat perhatian karena merupakan kelompok yang rawan terhadap kekurangan gizi. Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan gizi ini adalah adanya program pemberian makanan tambahan (PMT). Makanan tambahan adalah makanan bergizi sebagai tambahan selain makanan utama bagi kelompok sasaran guna memenuhi kebutuhan gizi yang dapat diberikan dalam bentuk makanan pabrikan dan atau makanan berbahan pangan lokal minimal selama 90 Hari Makan Anak (HMA) berturut-turut. Sasaran pemberian makanan tambahan balita adalah balita usia 6-59 bulan dengan status gizi kurus (BB/PB atau BB/TB = -3 SD sampai dengan <-2 SD) (Kemenkes RI, 2015b). Dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015 target capaian balita kurus yang mendapat makanan tambahan sebesar 70 persen. Namun demikian salah satu keterbatasan Sirkesnas 2016 adalah tidak mempunyai data terkait status gizi anak yang mendapat PMT pada tahun 2015 sehingga hal ini menyebabkan hasil capaian yang diperoleh tidak dapat secara langsung menggambarkan capaian indikator indikator balita kurus yang mendapat makanan tambahan. Terkait capaian indikator tersebut maka hasil Sirkesnas 2016 akan ditampilkan melalui 2 pendekatan yaitu : 1). Tidak dihubungkan dengan status gizi balita ; dan 2). Dihubungkan dengan status gizi balita saat wawancara. 1. Persentase Balita yang mendapat PMT Tahun 2015 tanpa dihubungkan dengan Status Gizi Balita 0-59 Bulan N = Sampel Balita 6-59 Bulan N = Mendapat PMT n = Tidak Mendapat PMT n = Mendapat PMT Biskuit n = Mendapat PMT Non Biskuit n = Gambar Algoritma sampel balita yang mendapat PMT pada tahun

112 Pada Sirkesnas 2016, jumlah balita usia 0-59 bulan adalah anak sedangkan yang menjadi sampel adalah anak balita usia 6-59 bulan sebanyak anak (Gambar 3.4.5). Berdasarkan Gambar tampak bahwa balita yang mendapat PMT ada sebanyak 5185 anak. Dari yang mendapat PMT ini ada sebanyak anak mendapat PMT berbentuk biskuit dan balita mendapat PMT berbentuk non biskuit (susu, bubur formula, dll). Informasi mengenai pemberian makanan tambahan anak balita diperoleh melalui wawancara. Berdasarkan hasil wawancara di masyarakat ditemukan bahwa anak balita (6-59 bulan) yang mendapatkan makanan tambahan pada kurun waktu bulan Januari Desember 2015 adalah hanya sebanyak 28,6 persen (Gambar 3.4.6). Sebenarnya hasil capaian ini tidak sepenuhnya tepat untuk dibandingkan dengan target Renstra tahun 2015 yang menetapkan sebanyak 70 persen balita kurus mendapat PMT karena pada Sirkesnas 2016 ini tidak mempunyai data status gizi responden pada saat menerima PMT di tahun Gambar Persentase balita yang mendapat PMT Bila dilihat berdasarkan karakteristik pada Tabel 3.4.4, maka persentase terbesar anak yang mendapatkan makanan tambahan adalah anak yang berasal dari keluarga dengan pendidikan KK tidak/belum pernah sekolah yaitu 30,5 persen dan terendah dengan pendidikan tamat D1/D2/D3 sebesar 22,8 persen. Berdasarkan pekerjaan KK, persentase tertinggi yang mendapat makanan tambahan adalah anak dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai buruh yaitu mencapai 34,7 persen dan terendah dengan pekerjaan sebagai PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD. Ditinjau dari wilayah tempat tinggal, daerah perkotaan mempunyai persentase yang sedikit lebih besar (29,2%) dibandingkan dengan daerah perdesaan (28,0%). 88

113 Tabel Persentase anak balita (6-59 bulan) yang mendapatkan PMT berdasarkan karakteristik kepala keluarga dan tempat tinggal tahun 2015, Sirkesnas 2016 Karakteristik N Mendapat PMT Ya(%) Tidak(%) Pendidikan KK Tidak/ belum pernah sekolah ,5 69,5 Tidak tamat SD/MI ,7 76,3 Tamat SD/MI ,3 69,7 Tamat SLTP/MTS ,4 71,6 Tamat SLTA/MA ,6 70,4 Tamat D1/D2/D ,8 77,2 Tamat PT ,1 75,9 Pekerjaan KK PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD ,9 76,1 Pegawai swasta ,9 68,1 Wiraswasta ,5 74,5 Petani ,9 74,1 Nelayan ,0 74,0 Buruh ,7 65,3 Lainnya ,6 70,4 Tidak bekerja ,9 72,1 Tempat Tinggal Perkotaan ,2 70,8 Pedesaan ,0 72,0 Nasional ,6 71,4 Tabel menunjukkan persentase anak balita yang mendapatkan PMT tertinggi pada pendidikan ibu tamat SLTA/MA (30,9%) dan terendah dengan tidak/belum pernah sekolah (18,9%). Bila dilihat dari pekerjaan ibu maka anak yang mendapatkan makanan tambahan lebih banyak pada ibu yang bekerja sebagai buruh yaitu sebesar 32,1 persen dan paling sedikit adalah dari ibu dengan pekerjaan lainnya (22,2%). 89

114 Tabel Distribusi Persentase Anak Balita (6-59 bulan) yang mendapatkan PMT menurut Karakteristik Ibu Tahun 2015, Sirkesnas 2016 Karakteristik N Mendapat PMT Ya(%) Tidak(%) Pendidikan ibu Tidak/ belum pernah sekolah ,9 81,1 Tidak tamat SD/MI ,8 79,2 Tamat SD/MI ,7 71,3 Tamat SLTP/MTS ,5 70,5 Tamat SLTA/MA ,9 69,1 Tamat D1/D2/D ,9 75,1 Tamat PT ,9 75,1 Pekerjaan ibu PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD ,7 75,3 Pegawai swasta ,6 68,4 Wiraswasta ,9 71,1 Petani ,3 75,7 Nelayan 24 29,2 70,8 Buruh ,1 67,9 Lainnya ,2 77,8 Tidak bekerja ,7 71,3 Nasional ,6 71,4 2. Persentase Balita yang mendapat PMT tahun 2015 dihubungkan dengan Status Gizi tahun 2016 Pengukuran status gizi yang dilakukan pada saat wawancara (tahun 2016) terhadap anak balita ditemukan sebanyak 1253 anak kurus (indeks BB/TB) -3 SD s/d <-2 SD standar WHO 2005 (Gambar 3.4.7). Selanjutnya dari sejumlah anak kurus tersebut yang menyatakan pernah mendapat PMT pada tahun 2015 hanya sekitar 28,5 persen (Gambar 3.4.8). Sampel balita 6-59 Bulan N = Sampel balita dengan status gizi N = Anak balita kurus n = 1253 Mendapat PMT n = 357 Tidak Mendapat PMT n = 896 Gambar Algoritma sampel Balita yang mendapat PMT tahun 2015 berdasarkan hasil pengukuran Status Gizi tahun

115 Gambar Persentase Balita Kurus hasil pengukuran Status Gizi tahun 2016 yang mendapat PMT pada tahun 2015 Tabel menunjukkan bahwa dari sebanyak anak balita yang diukur status gizinya pada saat wawancara, ternyata yang mengaku pernah mendapatkan PMT pada tahun 2015 tidak hanya berstatus gizi kurus saja tetapi termasuk yang sangat kurus, normal maupun gemuk. Diantara keempat kategori status gizi tersebut terlihat bahwa proporsi terbesar yang mendapatkan PMT adalah anak balita status gizi normal yaitu sebesar 85,1 persen, sedangkan kategori kurus hanya sebesar 7,2 persen. Tabel Persentase Anak Balita (6-59 bulan) yang mendapat PMT pada tahun 2015 berdasarkan Status Gizi BB/TB tahun 2016 Status Gizi berdasar BB/TB PMT N Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk n % n % n % n % Mendapat , , , ,3 Tidak mendapat PMT , , , ,1 Nasional , , , ,9 Pola yang sama juga terlihat pada persentase anak balita berdasarkan bentuk PMT yang diperoleh (Tabel 3.4.7), dari sebanyak anak balita ternyata yang mendapatkan PMT berbentuk biskuit tidak hanya berstatus gizi kurus saja tetapi termasuk juga yang sangat kurus, normal maupun gemuk. Diantara keempat kategori status gizi tersebut terlihat bahwa proporsi terbesar yang mendapatkan PMT berbentuk biskuit adalah anak balita status gizi normal yaitu sebesar 84,8 persen sedangkan kategori kurus hanya sebesar 7,4 persen. Tabel Persentase Anak Balita (6-59 bulan) berdasarkan bentuk PMT yang diperoleh dan Status Gizi BB/TB tahun 2016 Status Gizi berdasar BB/TB Bentuk PMT balita N Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk n % n % n % n % Biskuit , , , ,3 Non biskuit ,9 92 6, ,1 77 5,5 Tidak mendapat PMT , , , ,1 Nasional , , , ,9 91

116 3.4.4 Indikator persentase remaja puteri (12-18 tahun) mendapat Tablet Tambah Darah Tablet Tambah Darah (TTD) merupakan suplemen yang berbentuk tablet, mengandung zat besi untuk pencegahan anemia (kurang darah). Akibat anemia pada remaja puteri yaitu dapat menurunkan kosentrasi belajar, tingkat kehadiran di sekolah dan kemampuan bekerja. Pencegahannya sangat penting, dalam rangka persiapan remaja puteri sebagai calon ibu, agar dapat melahirkan bayi yang sehat. Secara nasional program TTD pada remaja puteri, dilakukan dengan distribusi TTD melalui sekolah atau puskesmas (Program PKPR). Dengan demikian diharapkan prevalensi anemia pada remaja puteri menurun. Indikator persentase remaja puteri mendapat TTD merupakan salah satu indikator luaran yang harus dicapai yang telah ditetapkan dalam Renstra Kemenkes Tahun Definisi operasional indikator ini adalah persentase remaja puteri usia tahun yang mendapat TTD. Kriteria remaja puteri yang menjadi responden dalam Sirkesnas 2016 selain berusia tahun adalah belum pernah menikah. Capaian target indikator ini ditetapkan tahun 2015 sebesar 10 persen, tahun 2016 dan 2019 sebesar 15 persen dan 30 persen. Belum ada dasar atau baseline dalam penetapan target indikator tahun Gambar Persentase remaja puteri mendapat TTD Berdasarkan wawancara terhadap total sampel remaja puteri sebanyak orang, ditemukan 7,6 persen yang mendapat TTD dan 92,4 persen tidak mendapat TTD (Gambar ). Artinya secara nasional capaian target indikator persentase remaja puteri (12-18 tahun) yang mendapat TTD adalah sebesar 7,6 persen dan masih besar persentase remaja puteri yang belum mendapat/membeli TTD. Menurut karakteristik tempat tinggal (tabel 3.4.8), remaja puteri yang mendapat TTD di perkotaan adalah sebesar 8,3 persen sedikit lebih besar dibandingkan di daerah perdesaan (7,1%) sedangkan menurut pendidikan, terbanyak remaja puteri yang mendapat TTD yang mempunyai pendidikan tamat SLTP/MTS (12,8%) dan terendah dengan pendidikan tidak tidak tamat SD/MI (1,9%). Bila dilihat persentase remaja puteri yang mendapat TTD tertinggi dengan pendidikan Kepala Keluarga mencapai D1 keatas (18,9%) dan terkecil dengan pendidikan tidak tamat SD/MI (6,3%). Berdasarkan pekerjaan kepala 92

117 keluarga, terbanyak persentase remaja putri yang mendapat TTD mempunyai kepala keluarga dengan pekerjaan sebagai pegawai swasta (12,6%), dan terendah bekerja sebagai petani (4,1%). Terlihat pola yang jelas, semakin tinggi pendidikan remaja putri semakin tinggi pula persentase remaja yang mendapat TTD. Namun pada pendidikan kepala keluarga dan pekerjaan kepala keluarga tidak terlihat pola yang jelas kaitannya dengan persentase remaja puteri yang mendapat TTD. Tabel Karakteristik remaja putri yang mendapat TTD, Sirkesnas 2016 Karakteristik N Mendapat/Membeli TTD Ya(%) Tidak(%) Pendidikan Remaja Putri Tidak/ belum pernah sekolah 200 3,5 96,5 Tidak tamat SD/MI 750 1,9 98,1 Tamat SD/MI ,9 94,1 Tamat SLTP/MTS ,8 87,2 Tamat SLTA/MA ,5 87,5 Pendidikan KK Tidak/ belum pernah sekolah 159 8,2 91,8 Tidak tamat SD/MI 536 6,3 93,7 Tamat SD/MI ,1 91,9 Tamat SLTP/MTS 869 6,8 93,2 Tamat SLTA/MA ,8 92,2 Tamat D1/D2/D ,4 88,6 Tamat PT 174 7,5 92,5 Pekerjaan KK PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD 221 6,8 93,2 Pegawai Swasta ,6 87,4 Wiraswasta ,3 92,7 Petani ,1 95,9 Nelayan 108 8,3 91,7 Buruh ,7 89,3 Lainnya 202 4,5 95,5 Tidak bekerja 310 9,0 91,0 Sedang Sekolah 39 5,1 94,9 Tempat Tinggal Perkotaan ,3 91,7 Perdesaan ,1 92,9 Nasional ,6 92,4 Tidak seluruh remaja puteri mengonsumsi TTD yang didapat/dibeli. Gambaran jumlah TTD yang dikonsumsi, dari mana sumber TTD diperoleh dapat dilihat pada Lampiran tabel 17 dan 18. Dibandingkan dengan target capaian indikator Renstra Kemenkes tahun 2015 remaja puteri (12-18 tahun) yang mendapat TTD sebesar 10 persen, maka 93

118 hasil Sirkesnas 2016 hanya 7,6 persen menunjukkan hasil capaian yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena program TTD remaja puteri (12-18 tahun) baru diluncurkan (launching) tahun 2015 yang terbatas hanya pada beberapa provinsi saja dan pengadaannyapun baru dilakukan pada akhir tahun Indikator persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah Persentase ibu hamil mendapat atau membeli secara mandiri suplemen tambah darah atau Tablet Tambah Darah (TTD) minimal 90 tablet selama kehamilan merupakan salah satu indikator program perbaikan gizi masyarakat di dalam Renstra Kemenkes Tahun Pemberian suplemen TTD bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya anemia gizi besi pada wanita usia subur dengan prioritas pada ibu hamil. Anemia gizi hingga saat ini masih perlu mendapat perhatian serius di Indonesia. Hasil Riskesdas 2013 prevalensi anemia pada ibu hamil masih tinggi yaitu sebesar 37,1 persen. Karena itu masalah anemia ibu hamil di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan kategori hampir berat (prevalensi anemia kategori berat 40%) (WHO 2001 dalam Kemenkes 2015). Prevalensi anemia di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata prevalensi anemia di negara-negara berkembang (Kemenkes, 2015).. Program suplementasi TTD telah dilaksanakan sejak tahun 1990-an sebagai salah satu upaya penanganan masalah anemia gizi selain pendidikan atau KIE gizi dan fortifikasi. Sampel ibu hamil N = 7313 Mendapat/Beli TTD n = 6376 Tidak mendapat/beli TTD n = 937 Mendapat/Beli TTD<90 n = 3755 Mendapat/Beli TTD 90 n = 2621 Tidak mendapat/beli n = 937 Rata-rata = 37 tablet Rata-rata = 131 tablet Gambar Algoritma sampel ibu hamil yang mendapat TTD selama kehamilan, Sirkesnas 2016 Target capaian indikator Renstra 2015 terkait persentase ibu hamil yang mendapat TTD minimal 90 tablet selama kehamilan baik dari program maupun mandiri adalah sebesar 82,0 persen. Responden pada survei ini adalah anggota rumah tangga (ART) khusus perempuan usia tahun dan pernah menikah (N=7313). Informasi yang dikumpulkan berdasarkan riwayat mendapat/membeli 94

119 suplemen tambah darah selama kehamilan pada persalinan terakhir periode 1 Januari 2014 sampai saat wawancara (sekitar bulan Mei - Juni awal 2016). Informasi yang diperoleh dapat memberikan gambaran persentase ibu hamil Indonesia yang mendapat/membeli suplemen TTD selama kehamilannya baik yang berasal dari program maupun mandiri. Responden yang mendapat/membeli lebih dari 90 tablet rata-rata adalah 131 dan yang kurang dari 90 tablet rata-rata sebanyak 37 tablet (Gambar ). Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa persentase ibu hamil yang mendapat/membeli TTD selama kehamilannya minimal 90 tablet adalah sebanyak 35,8 persen sedangkan ibu hamil yang mendapat/membeli TTD kurang 90 tablet selama kehamilan jumlahnya sebanyak 51,4 persen (Gambar ). Kondisi ini dengan catatan bahwa tahun 2015 terdapat kekosongan stok dan tidak ada droping TTD ibu hamil dari pusat ke daerah. Gambar Persentase ibu hamil yang mendapat/membeli suplemen tambah darah selama kehamilan, Sirkesnas 2016 Pada Tabel dapat dilihat bahwa secara nasional persentase ibu hamil yang mendapat/membeli suplemen TTD selama kehamilan tanpa melihat jumlahnya selama kehamilan adalah sebanyak 87,2 persen. Bila dilihat menurut pendidikan kepala keluarga terbanyak adalah tamat SLTP/MTS (91,2%) dan paling sedikit adalah tidak/belum pernah sekolah (57,9%). Bila dilihat menurut jenis pekerjaan kepala keluarga, persentase ibu hamil yang mendapat/membeli suplemen TTD selama kehamilan terbanyak sebagai pegawai swasta (90,1%) diikuti buruh (89,2%) dan terendah sebagai nelayan (83,9%). Menurut tempat tinggal, persentase ibu hamil yang mendapat/membeli TTD lebih banyak di perkotaan (88,3%) dibandingkan dengan di perdesaan (86,1%). 95

120 Tabel Persentase ibu hamil yang mendapat/membeli TTD selama kehamilan berdasarkan karakteristik kepala keluarga dan tempat tinggal, Sirkesnas 2016 Karakteristik N Mendapat/Membeli TTD Ya (%) Tidak (%) Pendidikan Tidak/belum pernah sekolah ,9 42,1 Tidak tamat SD/MI ,0 20,0 Tamat SD/MI ,8 13,2 Tamat SLTP/MTS ,2 8,8 Tamat SLTA/MA ,5 10,5 Tamat D1/D2/D ,0 15,0 Tamat PT ,3 13,7 Pekerjaan PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD ,4 15,6 Pegawai Swasta ,1 9,9 Wiraswasta ,0 11,0 Petani ,3 15,7 Nelayan ,9 16,1 Buruh ,2 10,8 Lainnya ,0 15,0 Tidak bekerja ,9 13,1 Tempat Tinggal Perkotaan ,3 12,7 Perdesaan ,1 12,9 Nasional ,2 12,8 Pada Tabel dapat dilihat secara nasional persentase ibu hamil yang mengonsumsi TTD lebih atau sama dengan 90 tablet selama kehamilannya baru mencapai 25,4 persen. Sebanyak 60,7 persen mengkonsumsi TTD kurang dari 90 tablet, ada pula yang sudah mendapat atau membeli TTD tapi tidak diminum (1,0%). Persentase ibu hamil yang mengonsumsi lebih atau sama dengan 90 tablet menurut pendidikan kepala keluarga terbanyak adalah tamat D1/D2/D3 (34,6%) diikuti dengan tamat SLTA/MA (28,5%). Bila dilihat menurut jenis pekerjaan kepala keluarga terbanyak adalah swasta (29,3%) dikuti dengan PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD (27,5%). Menurut tempat tinggal, persentase ibu hamil yang mengonsumsi lebih atau sama dengan 90 tablet di perkotaan lebih banyak (26,5%) dibandingkan dengan di perdesaan (24,3%). 96

121 Tabel Persentase ibu hamil yang mengonsumsi TTD selama kehamilan menurut karakteristik kepala keluarga dan tempat tinggal, Sirkesnas 2016 Mendapat TTD Konsumsi Mendapat/ Karakteristik N TTD membeli TTD Tidak 90 <90 tapi tdk minum tahu (%) (%) (%) (%) (%) Pendidikan Tidak/belum pernah sekolah ,8 40,1 2,0 0,0 42,1 Tidak tamat SD/MI ,2 55,4 0,6 0,8 20,0 Tamat SD/MI ,0 61,8 1,7 0,3 13,2 Tamat SLTP/MTS ,1 65,8 1,1 0,3 8,8 Tamat SLTA/MA ,5 59,9 0,5 0,6 10,5 Tamat D1/D2/D ,6 49,9 0,3 0,3 15,0 Tamat PT ,4 60,8 0,2 0,9 13,7 Pekerjaan PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD ,5 56,4 0,0 0,5 15,6 Pegawai Swasta ,3 59,1 1,0 0,7 9,9 Wiraswasta ,0 63,0 0,7 0,3 11,0 Petani ,9 57,7 1,4 0,2 15,7 Nelayan ,7 55,9 1,5 0,7 16,2 Buruh ,7 66,0 0,9 0,6 10,8 Lainnya ,6 62,5 1,2 0,3 14,5 Tidak bekerja ,0 62,6 1,0 0,4 13,1 Tempat tinggal Perkotaan ,5 60,9 0,6 0,5 11,4 Perdesaan ,3 60,6 1,3 0,4 13,5 Nasional ,4 60,7 1,0 0,4 12, Indikator persentase pemberian makanan tambahan (PMT) untuk ibu hamil Risiko Kurang Energi Kronis (KEK) Tidak Mendapat/ membeli TTD Indikator persentase pemberian makanan tambahan ibu hamil berisiko Kurang Energi Kronis (KEK) bertujuan untuk mengukur capaian program pemberian makanan tambahan ibu hamil KEK di Indonesia. Pemberian makanan tambahan ibu hamil dimaksudkan untuk meningkatkan asupan gizi ibu hamil sebagai upaya pencegahan bayi lahir dengan berat lahir rendah (BBLR). Sasaran pemberian makanan tambahan ibu hamil ialah ibu hamil yang berisiko Kurang Energi Kronis dengan lingkar lengan atas (LILA) < 23,5 cm. Kurang Energi Kronis pada ibu hamil berpengaruh terhadap kondisi bayi yang dilahirkan serta dapat berdampak terhadap kematian ibu dan bayi (Kemenkes, 2010). Makanan tambahan ialah makanan bergizi sebagai makanan tambahan di luar makanan utama (Kemenkes, 2010). Bentuk makanan tambahan ibu hamil yang didistribusikan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2015 berbentuk biskuit lapis (Kemenkes, 2009). Pada Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016, responden yang menjadi sampel untuk sub blok pemberian makanan tambahan ibu hamil ialah perempuan yang mulai hamil pada tahun Informasi mengenai pemberian 97

122 makanan tambahan ibu hamil diperoleh melalui wawancara. Salah satu keterbatasan pada Sirkesnas 2016 adalah tidak tersedianya data status gizi ibu hamil pada saat mendapat PMT tahun 2015 sehingga hasil capaian indikator ini tidak dapat secara langsung dibandingkan dengan target pemberian makanan tambahan ibu hamil risiko KEK pada Renstra Kemenkes tahun yaitu sebesar 13 persen. Berdasarkan kriteria sampel yang telah ditentukan maka diperoleh sebanyak ibu yang mulai hamil pada tahun Selanjutnya dari 275 responden yang mengaku pernah mendapat PMT pada tahun 2015 terdapat 185 responden yang pernah mendapat PMT dalam bentuk biskuit dan 90 responden menerima dalam bentuk non biskuit termasuk makanan lokal. (Gambar ). Sampel yang memenuhi kriteria N = Mendapat PMT n = 275 Tidak Mendapat PMT n = Mendapat PMT Biskuit n = 185 Mendapat PMT Non Biskuit n = 90 Gambar Algoritma ibu hamil yang mendapat PMT pada Tahun 2015 Terkait capaian indikator pemberian makanan tambahan pada ibu hamil dengan risiko KEK maka pada hasil Sirkesnas 2016 akan ditampilkan melalui 2 pendekatan, yaitu: 1). Tidak dihubungkan dengan status gizi risiko KEK; dan 2). Dihubungkan dengan status gizi risiko KEK saat wawancara. 1. Persentase ibu hamil yang mendapat PMT tanpa dihubungkan dengan Status Gizi risiko KEK Hasil Sirkesnas 2016, menunjukkan bahwa sebanyak 14,7 persen ibu yang hamil pada tahun 2015 mengaku pernah mendapatkan makanan tambahan (Gambar ) sedangkan gambaran ibu hamil yang mendapat makanan tambahan berdasarkan karakteristik dapat dilihat pada Tabel

123 Gambar Persentase ibu hamil yang mendapat PMT pada Tahun 2015 Tabel menunjukkan persentase ibu hamil yang mendapat makanan tambahan paling banyak berasal dari keluarga dengan Kepala Keluarga yang berpendidikan tamat SD/MI (17,0%) dan paling sedikit tamat D1/D2/D3 (10,4%) dan diikuti dengan tidak/belum pernah bersekolah (11,6%). Sedangkan menurut pekerjaan kepala keluarga, terlihat persentase ibu hamil menerima PMT tertinggi dengan pekerjaan lainnya (23,2%) kemudian diikuti sebagai petani (17,0%) dan terendah sebagai pegawai swasta (8,7%). Berdasarkan tempat tinggal, persentase ibu hamil yang menerima makanan tambahan lebih besar di pedesaan (17,5%) dibandingkan di perkotaan (11,8%). Adapun bentuk makanan tambahan yang diterima oleh responden berdasarkan karakteristik dapat dilihat pada lampiran. Tabel Persentase Ibu Hamil yang mendapat Makanan Tambahan menurut karakteristik, Sirkesnas tahun 2016 Karakteristik Mendapatkan PMT N Ya (%) Tidak (%) Pendidikan KK Tidak/ belum pernah sekolah 86 11,6 88,4 Tidak tamat SD/MI ,2 86,8 Tamat SD/MI ,0 83,0 Tamat SLTP/MTS ,1 83,9 Tamat SLTA/MA ,1 85,9 Tamat D1/D2/D ,4 89,6 Tamat PT ,0 88,0 Pekerjaan KK PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD ,1 83,9 Pegawai swasta 289 8,7 91,3 Wiraswasta ,4 84,6 Petani ,0 83,0 Nelayan 51 13,7 86,3 Buruh ,2 85,8 Lainnya 95 23,2 76,8 Tidak bekerja ,8 89,2 Tempat Tinggal Perkotaan ,8 88,2 Pedesaan ,5 82,5 Nasional ,7 85,3 99

124 2. Persentase ibu hamil dengan Status Gizi risiko KEK (LiLa < 23,5 cm) tahun 2016 yang mendapat makanan tambahan pada tahun 2015 Dari responden/perempuan yang masuk dalam kriteria sebagai sampel yaitu yang pernah hamil pada tahun 2015, dan pada saat wawancara (tahun 2016) dilakukan pengukuran lingkar lengan atas (LiLA), diketahui sebanyak 238 responden mengalami risiko KEK. Selanjutnya dari 238 responden tersebut diketahui sebanyak 51 orang mendapatkan PMT dan sebanyak 31 orang diantaranya mendapatkan PMT berupa biskuit. (Gambar ). Sampel yang memenuhi kriteria N = Risiko KEK n = 238 Tidak risiko KEK n = Mendapat PMT n = 51 Tidak Mendapat PMT n = 187 Mendapat PMT berupa biskuit n = 31 Mendapat PMT Non biskuit n = 20 Gambar Algoritma perempuan dengan risiko KEK (tahun 2016) yang mendapat PMT pada Tahun 2015 Target pemberian makanan tambahan ibu hamil risiko KEK pada Renstra Kemenkes tahun ialah sebesar 13 persen sedangkan hasil Sirkesnas 2016, menunjukkan bahwa sebanyak 21,4 persen perempuan dengan risiko KEK di tahun 2016 pernah mendapatkan makanan tambahan pada tahun 2015 (gambar ) dan sebanyak 31 responen (13 %) diantaranya mendapat PMT berupa biskuit (gambar ) 100

125 Gambar Persentase Perempuan dengan risiko KEK di tahun 2016 yang mendapat PMT pada tahun Status Gizi Status Gizi Anak Balita, dewasa dan Status Gizi ibu hamil merupakan salah satu indikator yang terdapat pada RPJMN Oleh karena itu pada Sirkesnas, 2016 akan disampaikan data terkait bagaimana gambaran status gizi Balita, dewasa dan ibu hamil. Jumlah responden yang dianalisis seperti skema berikut : Sampel Sirkesnas N= rumah tangga Sampel Ibu Hamil diperiksa kadar Hb N=946 Sampel Balita (0-59 Bulan) N= Sampel Dewasa (>18 tahun) N= Anak Balita dianalisis BB/U N= Anak Balita dianalisis TB/U N= Anak Balita dianalisis BB/TB N= Cara Penilaian Status Gizi Anak Balita Gambar Algoritma sampel penilaian status gizi Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan 101

126 TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB. Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi anak balita dengan batasan sebagai berikut : a. Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U : Gizi buruk : Zscore< -3,0 Gizi kurang : Zscore -3,0 s/d Zscore < -2,0 Gizi baik : Zscore -2,0 b. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U: Sangat pendek : Zscore <-3,0 Pendek : : Zscore - 3,0 s/d Zscore < -2,0 Normal : Zscore >-2,0 c. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB: Sangat kurus : Zscore < -3,0 Kurus : Zscore -3,0 s/d Zscore < -2,0 Normal : Zscore -2,0 s/d Zscore 2,0 Gemuk : Zscore > 2,0 Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut: Berdasarkan indikator BB/U: Prevalensi gizi buruk : ( Balita gizi buruk/ Balita) x 100% Prevalensi gizi kurang : ( Balita gizi kurang/ Balita) x100% Prevalensi gizi baik : ( Balita gizi baik/ Balita) x 100% Berdasarkan indikator TB/U Prevalensi sangat pendek : ( Balita sangat pendek/ Balita) x 100% Prevalensi pendek : ( Balita pendek/ Balita) x 100% Prevalensi normal : ( Balita normal/ Balita) x 100% Berdasarkan indikator BB/TB: Prevalensi sangat kurus : ( Balita sangat kurus/ Balita) x 100% Prevalensi kurus : ( Balita kurus/ Balita) x 100% Prevalensi normal : ( Balita normal/ Balita) x 100% Prevalensi gemuk : ( Balita gemuk/ Balita) x 100% 102

127 Status Gizi Anak Balita a. Status Gizi Anak Balita menurut indikator BB/U Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut). Berdasarkan gambar tampak bahwa prevalensi balita gizi kurang (gizi buruk dan gizi kurang) lebih tinggi sebesar 1,4 persen pada Sirkesnas 2016 dibandingkan dengan Riskesdas Namun demikian bila diperhatikan lebih lanjut terlihat bahwa meskipun prevalensi balita gizi kurang lebih tinggi sebesar 2,5 persen tetapi sebaliknya prevalensi gizi buruk lebih rendah sebesar 1,1 persen. % Gambar Perbandingan status gizi balita menurut indeks BB/U antara Riskesdas 2013 dengan Sirkesnas 2016 b. Status Gizi Anak Balita menurut indikator TB/U Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan asupan makanan kurang dalam jangka waktu lama sejak usia bayi sehingga mengakibatkan anak menjadi pendek. 103

128 % Gambar Perbandingan status gizi Anak balita menurut indeks TB/U antara Riskesdas 2013 dengan Sirkesnas 2016 Berdasarkan gambar , tampak bahwa prevalensi anak balita pendek (sangat pendek dan pendek) hasil Sirkesnas 2016 lebih rendah sebesar 3,6 persen dibandingkan Riskesdas tahun Hasil Sirkesnas menunjukkan prevalensi balita pendek sebesar 33,6 persen, sedangkan hasil Riskesdas 2013 sebesar 37,2%. Apabila dilihat lebih lanjut, tampak bahwa meskipun prevalensi anak balita pendek lebih tinggi sebesar 2,7 persen tetapi sebaliknya prevalensi balita sangat pendek lebih rendah sebesar 6,3 persen. Demikian halnya pada anak Baduta, prevalensi anak baduta pendek/stunting hasil Sirkesnas 2016 lebih rendah daripada hasil Riskesdas Data menunjukkan prevalensi anak balita pendek (sangat pendek dan pendek) hasil Sirkesnas 2016 lebih rendah sebesar 6,7 persen dibandingkan dengan Riskesdas tahun 2013 (gambar ). % Gambar Perbandingan status gizi anak baduta menurut indeks TB/U antara Riskesdas 2013 dengan Sirkesnas

129 c. Status Gizi anak Balita menurut indikator BB/TB Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa (Rajagopalan, 2003) % Gambar Perbandingan Status Gizi Anak Balita menurut indeks BB/TB antara Riskesdas 2013 dengan Sirkesnas 2016 Berdasarkan gambar tampak bahwa dibandingkan Riskesdas 2013, maka pada Sirkesnas 2016 prevalensi anak balita kurus (sangat kurus dan kurus) dan prevalensi gemuk masing-masing lebih rendah 2,2 persen dan 5,7 persen. Namun demikian, apabila dilihat lebih lanjut tampak bahwa meskipun prevalensi anak balita kurus lebih tinggi sebesar 0,5 persen tetapi prevalensi balita sangat kurus lebih rendah sebesar 2,7 persen Status Gizi Dewasa (>18 Tahun) Status gizi dewasa (>18 tahun) menurut IMT dinilai dengan rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut: IMT = BB/TB 2 (meter) Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi dewasa adalah sebagai berikut : Kategori kurus = IMT < 18,5 Kategori normal = IMT 18,5 - <25,0 Kategori BB lebih = IMT 25,0 - <27,0 105

130 Kategori obesitas = IMT 27,0 Tabel Prevalensi obesitas (IMT 25) pada dewasa usia > 18 tahun menurut kelompok umur dan jenis kelamin, Sirkesnas 2016 Kegemukan Kelompok Umur Total Laki-laki Perempuan (tahun) (%) (%) (%) 19 14,0 12,5 15, ,6 11,7 23, ,6 19,7 36, ,0 24,4 45, ,8 28,4 49, ,8 28,3 53, ,5 29,1 48, ,7 24,8 49, ,7 24,7 46, ,1 24,1 42, ,0 14,7 26,6 Nasional 33,5 24,0 41,6 Tabel menyajikan prevalensi kegemukan (IMT 25) menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Berdasarkan tabel tersebut tampak ada kecenderungan bahwa setelah umur 19 tahun prevalensi kegemukan semakin meningkat sampai umur dan selanjutnya menurun kembali sampai usia 65 tahun lebih. Selanjutnya jika dilihat dari jenis kelamin tampak bahwa prevalensi kegemukan secara nasional pada perempuan lebih tinggi (41,6%) dibandingkan pada laki-laki (24,0%). Persentase tertinggi pada jenis kelamin perempuan terdapat pada kelompok umur tahun sedangkan pada lakilaki tertinggi terdapat pada kelompok umur tahun. % Gambar Persentase status gizi lebih dan Obese pada dewasa usia > 18 tahun 106

131 Berdasarkan gambar tampak bahwa persentase status gizi lebih pada Sirkesnas 2016 sedikit lebih rendah dibandingkan Riskesdas 2013 dan sebaliknya prevalensi obese pada Sirkesnas 2016 (20,7%) lebih tinggi dibandingkan Riskesdas 2013 (15,4%). Namun demikian secara keseluruhan prevalensi kegemukan (lebih+obese) pada Sirkesnas 2016, 4,8 persen lebih tinggi dibandingkan Riskesdas % Gambar Persentase kegemukan (IMT 25) pada dewasa usia > 18 tahun menurut tempat tinggal dan jenis kelamin Apabila dibedakan menurut tempat tinggal dan jenis kelamin tampak bahwa persentase kegemukan baik di perdesaan maupun perkotaan pada perempuan lebih tinggi (46,4% dan 36,9%) dibandingkan pada laki-laki (Gambar ) Status Anemia pada Ibu Hamil WHO menetapkan nilai hemoglobin < 11 g/dl sebagai batas anemia ibu hamil, dan nilai hemoglobin < 7 g/dl sebagai anemia berat. The Center for Disease Control and Prevention, 1990, lebih jauh menyebutkan bahwa dikatakan mengalami anemia ibu hamil bila nilai hemoglobin di bawah 11 g/dl untuk kehamilan trimester 1 dan 3, serta nilai hemoglobin di bawah 10,5 g/dl untuk kehamilan trimester ke 2. Anemia ringan normal terjadi selama kehamilan seiring dengan peningkatan volume darah, namun anemia yang lebih berat dapat menempatkan bayi pada risiko yang lebih besar untuk menderita anemia. Apabila terjadi anemia secara signifikan selama 2 trimester maka meningkatkan risiko untuk memiliki bayi yang pre-term atau berat badan lahir rendah. 107

132 % Gambar Prevalensi Anemia pada Ibu Hamil menurut tempat tinggal Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan, dari 945 ibu hamil yang diperiksa terdapat 519 orang yang menderita anemia (54,9%) dan 426 orang (45,1%) yang tidak menderita anemia. Ibu hamil di perdesaan lebih banyak menderita anemia dibandingkan ibu hamil di perkotaan (tabel ). Berdasarkan gambar tampak bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil hasil Sirkesnas 2016 lebih tinggi sebesar 17,8 persen daripada hasil Riskedas Kondisi ini terjadi baik di daerah perdesaan maupun di daerah perkotaan. Tabel Persentase anemia ibu hamil berdasarkan karakteristik tempat tinggal, Sirkesnas 2016 Karakteristik Anemia (<11 g/dl) Tidak anemia ( 11g/dl) n % n % Tempat tinggal - Perkotaan , ,2 - Perdesaan , ,1 Total , ,1 Tingginya hasil Sirkesnas 2016 ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adalah ibu hamil yang mendapat tablet tambah darah (TTD) 90 tablet masih rendah yaitu sekitar 35,8 persen dan diantara yang mendapat TTD tersebut hanya sekitar 25,4 persen saja yang mengonsumsi TTD. Selain itu baru sekitar 55,6 persen ibu hamil yang mengonsumsi tablet tambah darah sejak trimester I. Satu hal yang kemungkinan besar menyebabkan rendahnya cakupan yang mendapat TTD dan perlu sebagai perhatian bagi pemerintah pusat adalah 108

133 bahwa pada tahun 2015 sempat terjadi kekosongan atau keterlambatan pengadaan dan pengiriman TTD dari pusat ke daerah. Hasil ini kurang lebih sejalan dengan estimasi WHO yang menyebutkan sekitar 56% wanita yang berada di negara berkembang menderita anemia (Sharma J.B and Shankar M, 2010). WHO, 2016, memperkirakan sekitar 50% wanita hamil mengalami anemia defisiensi besi. De Benoist B et al, 2008, menyebutkan prevalensi anemia pada ibu hamil adalah 41,8% (CI 95% : 39,9% - 43,8%). Sejalan dengan hal tersebut, Hasil National Family Health Survey di India pada tahun menunjukkan 54% wanita di perdesaan dan 46% wanita di perkotaan menderita anemia. Perbedaan prevalensi anemia ibu hamil hasil beberapa survei dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain lokasi ketinggian tempat tinggal, kebiasaan merokok, dan lokasi pengambilan darah sampel (arteri atau kapiler). WHO study group on nutritional anaemia, 1968, menetapkan batasan anemia pada ibu hamil sebagai berikut : non anemia Hb 11 gr/dl, anemia ringan (mild) Hb 10 10,9 gr/dl, anemia sedang (moderate) Hb 7 9,9 gr/dl, dan anemia berat (severe) Hb < 7 gr/dl (WHO, 2011). Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan, terdapat 13 orang dari 945 ibu hamil yang diperiksa yang menderita anemia berat (1,4%), 109 orang menderita anemia sedang (11,5%), 398 orang menderita anemia ringan (42,1%) dan 426 orang (45,1%) yang tidak menderita anemia. Ibu hamil di perdesaan lebih banyak menderita anemia dibandingkan ibu hamil di perkotaan (tabel ). Tabel Persentase anemia ibu hamil menurut jenis anemia berdasarkan karakteristik tempat tinggal, Sirkesnas 2016 Karakteristik Anemia berat (Hb < 7 gr/dl) Anemia sedang (Hb 7 9,9 gr/dl) Anemia ringan (Hb 10 10,9 gr/dl) Tidak anemia (Hb 11 gr/dl) N % n % n % n % Tempat tinggal - Perkotaan 6 1,3 35 7, , ,2 - Perdesaan 7 1, , , ,1 Total 13 1, , , ,1 3.5 Indikator Program Kesehatan Kerja dan Kesehatan Olahraga Indikator Program Kesehatan Kerja: persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar Indikator kesehatan kerja adalah persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar. Definisi operasional indikator kesehatan kerja adalah puskesmas yang menyelenggarakan K3 internal dan layanan kesehatan kerja pada pekerja di wilayah kerjanya. Baseline indikator kesehatan kerja ditentukan untuk tahun 2014 sebesar 1034 puskesmas. Target capaian tahun 2015 sebesar 40 persen dan tahun 2016 sebesar 50 persen. 109

134 Algoritma Indikator Kesehatan Kerja a. Sumber data dari Puskesmas Jumlah puskesmas (N=400, 217 puskesmas perkotaan dan 183 perdesaan) Puskesmas melaksanakan kesehatan kerja:komponen kesehatan kerja: ada tenaga dan laporan Ya, n=203 (Perkotaan 134; Perdesaan 69) Tidak, n=197(perkotaan 83; Perdesaan 114) Puskesmas melaksanakan kesehatan kerja: Komponen kesehatan kerja: ada tenaga dan laporan:n=203 1.Ada pedoman/standard operating procedure: cuci tangan dan penanganan limbah medis/benda tajam 2.Kewaspadaan universal di ruang KIA & ruang tindakan: (Ada air mengalir dan antiseptik, alat pelindung diri, sterilisator berfungsi, tempat sampah medis, safety box 3.Ada media KIE K3 di Puskesmas Ya, n=97 Tidak, n=106 Ya, n=69 Tidak, n=134 Ya, n=60 Tidak, n=143 4.Ada Rambu/petunjuk K3 di Puskesmas Ya, n=56 Tidak n=147 5.Mengidentifikasi risiko di ruang kerja puskesmas di seluruh ruangan kerja Ya, n=85 Tidak, n=118 6.Pelaksanaan kewaspadaan universal a.mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik sebelum/ sesudah menangani pasien Ya,seluruhnya n=69 Ya,tidak seluruhnya n=108 Tidak, n=20 Tidak dapat diamati n=6 b.menggunakan APD Ya,seluruhnya n=68 Ya,tidak seluruhnya n=121 Tidak, n=12 Tidak dapat diamati n=2 c.melakukan pemilahan sampah medis dan non medis Ya, n=171 Tidak, n=32 d. Melakukan sterilisasi alat medis secara rutin Ya, n=184 Tidak, n=19 e. Melakukan sanitasi ruangan Ya, n=134 Ya, tidak semua ruangan n=48 Tidak n=21 7. Melakukan kesehatan kerja internal minimal Ya, n=197 Tidak, n=6 Gambar Algoritma Komponen Kesehatan Kerja 110

135 Algoritma layanan kesehatan kerja Puskesmas yang melaksanakan kesehatan kerja: Komponen kesehatan kerja: ada tenaga dan laporan: n=203 Penyuluhan K3 di Puskesmas di dalam gedung dan luar gedung Deteksi dini kelompok pekerja Ya, n=60 Tidak n=143 Ya, n=99 Tidak n=104 Pencatatan jenis pekerjaan Ya, n=113 Tidak n=90 Pembinaan Pos UKK Ya, n=84 Tidak n=119 Layanan K3 minimal Ya n=178 Tidak n=25 Algoritma indikator kesehatan kerja Gambar Algoritma Layanan Kesehatan Kerja Melakukan kesehatan kerja internal minimal n=197 Layanan K3 minimal n=178 Dari 203 puskesmas memiliki komponen tenaga dan laporan, serta melaksanakan kesehatan kerja dasar minimal 173 Perkotaan 119; Perdesaan 54 Indikator K3: Dari 400 puskesmas sampel, yang ada komponen tenaga dan laporan, yang melaksanakan kesehatan kerja dasar minimal: 173 Perkotaan 119; Perdesaan 54 Gambar Algoritma indikator kesehatan kerja 111

136 b. Sumber data dinas kesehatan kabupaten/kota Jumlah kabupaten/kota yang didata: 264, kota 44, kabupaten 220 Persentase Kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di Puskesmas nya Ya, n=183 Tidak, n=81 Kota n=37 Kabupaten n=146 Gambar Algoritma kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di puskesmasnya Capaian indikator kesehatan kerja Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan upaya memberikan jaminan kesehatan, keselamatan dan peningkatan derajat kesehatan pekerja dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di puskesmas dilakukan melalui beberapa tahap yaitu: a. Perencanaan b. Pelaksanaan c. Pengawasan, pemantauan, dan evaluasi. Pendataan indikator kesehatan kerja puskesmas diperoleh dari puskesmas dan dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Cara pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, pemeriksaan dokumen dan atau observasi. Indikator kesehatan kerja adalah persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar. Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementerian Kesehatan mendefinisikan bahwa puskesmas melaksanakan kesehatan kerja dasar apabila menyelenggarakan K3 internal dan layanan kesehatan pada pekerja di wilayah kerjanya. Puskesmas melaksanakan kesehatan kerja dasar minimal adalah apabila (1) ada komponen kesehatan kerja yaitu puskesmas memiliki tenaga yang bertugas melaksanakan kesehatan kerja dan puskesmas membuat laporan kegiatan terkait kesehatan kerja dan (2) puskesmas menyelenggarakan K3 internal minimal (salah satu dari K3 internal) dan melaksanakan layanan 112

137 kesehatan minimal (salah satu dari layanan K3) pada pekerja di wilayah kerjanya Komponen kesehatan kerja di puskesmas Komponen kesehatan kerja di puskesmas yang di data pada Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 (Sirkesnas 2016) meliputi adanya: tenaga yang melaksanakan kegiatan kesehatan kerja di puskesmas, dana untuk penyelenggaraan kesehatan kerja di puskesmas, kegiatan penyuluhan/pembinaan di tempat kerja, dan laporan kegiatan kesehatan kerja. Puskesmas memiliki/melaksanakan upaya kesehatan kerja apabila sedikitnya ada tenaga/petugas yang ditugaskan untuk menangani kegiatan kesehatan kerja dan membuat laporan kesehatan kerja Kesehatan Kerja (K3) Internal di Puskesmas Puskesmas melaksanakan kegiatan kesehatan kerja internal apabila di puskesmas terdapat pedoman, sarana prasarana, media dan rambu K3, serta melaksanakan kegiatan kesehatan kerja (K3) internal sebagai berikut: 1. Pedoman/Standard operating prosedure (SOP): SOP cuci tangan dan penanganan limbah medis/benda tajam. 2. Sarana prasarana untuk menunjang kewaspadaan universal: ada air mengalir dilengkapi antiseptik, alat pelindung diri, sterilisator yang berfungsi, tempat sampah medis, dan safety box. 3. Media KIE untuk K3 dan Rambu/petunjuk K3 di puskesmas 4. Melakukan identifikasi risiko di ruang kerja Puskesmas 5. Melaksanakan kewaspadaan universal: - Mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik sebelum/sesudah menangani pasien - Menggunakan alat pelindung diri (APD) - Melakukan pemilahan sampah medis dan nonmedis - Melakukan sterilisasi alat medis secara rutin - Melakukan sanitasi ruangan Puskesmas dinyatakan sudah melaksanakan K3 internal minimal adalah apabila puskesmas melaksanakan salah satu dari komponen K3 internal Layanan Kesehatan Kerja Puskesmas melaksanakan layanan kesehatan kerja apabila: 1. Melakukan penyuluhan K3 di puskesmas baik di dalam gedung Puskesmas maupun di luar gedung puskesmas. 2. Melakukan deteksi dini penyakit pada kelompok pekerja. 3. Melakukan pencatatan jenis pekerjaan. 4. Melakukan pembinaan Pos UKK. Puskesmas dinyatakan sudah melaksanakan layanan kesehatan kerja (K3) minimal adalah apabila puskesmas melaksanakan salah satu komponen layanan K3. 113

138 Data kesehatan kerja dalam Sirkesnas 2016 juga diperoleh dari dinas kesehatan kabupaten/kota meliputi kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di Puskesmas yang berada di wilayah kerjanya Hasil indikator kesehatan kerja Komponen Kesehatan Kerja di Puskesmas Komponen kesehatan kerja di puskesmas yang didata pada Sirkesnas adalah 1) adanya petugas puskesmas yang ditugaskan oleh kepala puskesmas untuk menangani Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), 2) memiliki dana untuk penyelenggaraan K3, dana dapat berasal dari Pemda atau dari sumber dana lainnya 3) puskesmas menyusun laporan kegiatan K3, dan 4) petugas puskesmas yang melakukan penyuluhan atau pembinaan ke tempat kerja formal/ informal. Puskesmas dinyatakan melaksanakan seluruh komponen kesehatan kerja apabila puskesmas melaksanakan keempat komponen tersebut. Puskesmas dinyatakan melaksanakan kesehatan kerja apabila minimal memiliki tenaga yang menangani K3 dan menyusun laporan kegiatan K3. Tabel Persentase puskesmas yang melaksanakan komponen kesehatan kerja berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Tenaga Dana Penyuluhan/ pembinaan Komponen kesehatan kerja (%) Laporan Seluruh Komponen Ada tenaga dan laporan Lokasi Perkotaan ,8 35,9 52,5 65,9 25,8 61,8 Perdesaan ,8 19,7 36,6 41,0 15,3 37,7 Nasional ,5 28,5 45,3 54,5 21,0 50,8 Catatan : N = 400 Dari 400 puskesmas yang diambil datanya, persentase puskesmas yang memiliki tenaga untuk menangani K3 sebesar 65,5 persen, memiliki dana untuk penyelenggaraan K3 sebesar 28,5 persen, menyusun laporan kegiatan K3 sebesar 54,5 persen, dan yang melaksanakan penyuluhan/pembinaan ke tempat kerja kurang dari separuhnya. Persentase puskesmas yang melaksanakan seluruh (empat) komponen hanya 21 persen, sedangkan puskesmas yang memiliki tenaga dan menyusun laporan kesehatan kerja sebanyak 50,8 persen, puskesmas yang berlokasi di perdesaan lebih rendah dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan. Dari empat komponen puskesmas yang melaksanakan K3, komponen yang terendah adalah dana untuk penyelengaraan K3, yang hanya dimiliki oleh 28,5 persen puskesmas, khususnya pada puskesmas di perdesaan (19,7%). 114

139 Kesehatan Kerja Internal di Puskesmas a. Ketersediaan Standard Operating Procedure (SOP) Standard operating procedure (SOP) yang didata ketersediaannya pada Sirkesnas 2016 adalah SOP mencuci tangan, mencuci tangan sesuai standar WHO, penanganan emergensi/bencana, dan prosedur penanganan limbah medis/benda tajam. Di dalam SOP cuci tangan memuat langkah-langkah cuci tangan dengan menggunakan air mengalir dan antiseptik dengan benar. Ketersediaan SOP dapat dilihat dari pengamatan di puskesmas, bisa berbentuk gambar yang dipasang di dinding ruang puskesmas atau dekat tempat cuci tangan. Untuk SOP cuci tangan sesuai dengan standar WHO memuat langkah-langkah cuci tangan dengan menggunakan air mengalir dan antiseptik dengan benar sesuai dengan standar WHO. Ketersediaan SOP ini dapat dilihat dari pengamatan di puskesmas. Biasanya SOP tersebut berbentuk gambar yang di pasang di dinding ruang puskesmas atau dekat tempat cuci tangan. Standard operating procedure penanganan emergensi/bencana memuat langkah-langkah penanganan keadaan emergensi/bencana yang dapat disebabkan oleh antara lain kejadian kebakaran, kebanjiran, dan gempa bumi. Ketersediaan SOP ini dapat dilihat dari pengamatan di puskesmas. Standard operating procedure penanganan limbah medis/benda tajam memuat langkah-langkah penanganan limbah medis baik berupa limbah padat, limbah cair, atau benda tajam, dari pemilahan, penampungan, pengangkutan, dan pemusnahannya. Ketersediaan SOP dapat dilihat dengan pengamatan di puskesmas. SOP ini biasanya dipasang di dinding ruangan kerja. Tabel Persentase puskesmas yang memiliki Standard Operating Procedure (SOP) berdasarkan lokasi, Sirkesnas 2016 Karakteristik Puskesmas Jumlah puskesmas Standar Cuci tangan Standar cuci tangan (WHO) Standard Operating Procedure (SOP) (%) Penanganan Penanganan Seluruh emergensi/ limbah SOP Bencana medis/benda tajam Standar cuci tangan dan penanganan limbah/benda tajam Lokasi Perkotaan ,1 50,0 45,5 62,7 26,1 59,0 Perdesaan 69 69,6 31,9 31,9 30,4 10,1 26,1 Nasional ,9 43,8 40,9 51,7 20,7 47,8 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Sebagian besar puskesmas telah memiliki SOP standar cuci tangan (71,9%), tetapi yang memiliki SOP penanganan limbah medis/benda tajam hanya 51,7 persen dan yang memiliki SOP penanganan emergensi kurang dari setengahnya (40,9%). Persentase puskesmas yang memiliki seluruh SOP sebesar 20,7 persen. Persentase puskesmas di perkotaan memiliki seluruh SOP tersebut dua kali lebih banyak dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perdesaan. Puskesmas yang sudah memiliki dua SOP: cuci tangan (baik yang 115

140 cuci tangan atau cuci tangan menurut standar WHO) dan penanganan limbah medis/benda tajam adalah kurang dari separuhnya (47,8%). Puskesmas yang berlokasi di perdesaan memiliki kedua SOP tersebut separuh lebih rendah dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan. b. Sarana prasarana untuk kewaspadaan universal b.1. Kewaspadaan Universal di Ruang KIA Puskesmas Kewaspadaan universal dinilai dari ketersediaan sarana prasarana berikut di ruangan puskesmas, yaitu: fasilitas air mengalir yang dilengkapi dengan cairan antiseptik/sabun, alat pelindung diri bagi pekerja puskesmas, sterilisator yang masih berfungsi, tempat sampah medis, dan safety box. Air mengalir yang dimaksud dapat berasal dari kran yang bersumber dari pipa PAM atau dari tempat penampungan yang dilengkapi dengan kran untuk mengalirkan air. Alat pelindung diri meliputi masker/sarung tangan/baju pelindung bagi pekerja puskesmas. Sterilisator adalah peralatan yang digunakan untuk tujuan sterilisasi, dapat berupa sterilisasi basah atau sterilisasi kering. Contoh: autoclave, oven dan dengan cara boiling. Tempat sampah medis yang berguna untuk menampung limbah medis, antara lain kapas/kasa bekas pakai. Safety box merupakan kotak tempat menampung limbah benda tajam antara lain spuit bekas, ampul obat, pecahan ampul obat, yang berguna untuk mencegah potensi risiko tertusuk bagi petugas medis puskesmas, pengelola sampah, pengunjung puskesmas atau masyarakat. Karakteristik puskesmas Tabel Persentase puskesmas dengan kewaspadaan universal di ruang KIA berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Jumlah puskesmas Air mengalir dilengkapi antiseptik Kewaspadaan universal di ruang KIA puskesmas (%) Sterilisator Tempat Alat Safety yang sampah pelindung diri box berfungsi medis Seluruhnya Lokasi Perkotaan ,1 85,8 63,4 85,1 82,1 50,7 Perdesaan 69 63,8 73,9 52,2 71,0 71,0 29,0 Nasional ,9 81,8 59,6 80,3 78,3 43,3 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, lebih dari tigaperempat puskesmas tersedia air mengalir yang dilengkapi antiseptik, alat pelindung diri, tempat sampah medis, dan safety box (75,9%-81,8%). Namun puskesmas yang memiliki sterilisator berfungsi hanya 59,6 persen. Persentase puskesmas di perdesaan memiliki setiap sarana lebih rendah dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perkotaan. Persentase puskesmas yang memiliki kelima sarana di ruang KIA-nya (air mengalir yang dilengkapi antiseptik, alat pelindung diri, tempat sampah medis, sterilisator berfungsi dan safety box) hanya 43,3 persen. Puskesmas di 116

141 perdesaan lebih rendah memiliki kelima sarana di ruang KIA-nya dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perkotaan. b.2. Kewaspadaan universal di ruang tindakan Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, yang memiliki sarana untuk kewaspadaan universal di ruang tindakan antara 70,0%-87,7%. Persentase puskesmas di perdesaan yang memiliki sarana untuk kewaspadaan universal di ruang tindakan lebih rendah dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perkotaan. Tabel Persentase puskesmas dengan kewaspadaan universal di ruang tindakan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Kewaspadaan universal di ruang tindakan di puskesmas (%) Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Air mengalir dilengkapi antiseptik Alat pelindung diri Sterilisator yang berfungsi Tempat sampah medis Safety box Seluruhnya ada Lokasi Perkotaan ,3 90,3 74,6 88,8 81,3 58,2 Perdesaan 69 68,1 82,6 60,9 76,8 68,1 33,3 Nasional ,8 87,7 70,0 84,7 76,8 49,8 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Persentase puskesmas yang memiliki kelima sarana kewaspadaan universal di ruang tindakan adalah kurang dari separuhnya (49,8%). Persentase puskesmas di perdesaan memiliki kelima sarana kewaspadaan universal di ruang tindakan lebih rendah dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perkotaan. b.3. Kewaspadaan universal di seluruh ruang pelayanan dan di dua ruangan (KIA dan tindakan) Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, hanya 16,3 persen yang memiliki ke lima sarana untuk kewaspadaan universal di seluruh ruang pelayanan (KIA, BP umum, tindakan, laboratorium, dan BP gigi), persentase puskesmas di perdesaan lebih rendah setengahnya dibandingkan dengan puskesmas di perkotaan. Tabel Persentase puskesmas dengan kewaspadaan universal di seluruh ruang pelayanan dan di dua ruang (KIA dan tindakan) berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Kewaspadaan di seluruh ruangan dan di dua ruangan(%) Seluruh ruangan pelayanan Dua ruang (KIA dan tindakan) Lokasi - Perkotaan ,1 41,8 - Perdesaan 69 8,7 18,8 Nasional ,3 34,0 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%,N=203) 117

142 Puskesmas yang memiliki kelima sarana untuk kewaspadaan universal di dua ruang pelayanan (ruang KIA dan ruang tindakan) hanya sebesar 34,0 persen dan persentase puskesmas yang berlokasi di perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perkotaan. c. Media komunikasi informasi edukasi (KIE) dan rambu/petunjuk K3 di puskesmas Pedoman/media KIE terkait K3 di puskesmas merupakan pedoman/media KIE yang terkait kesehatan kerja antara lain dapat berupa buku, leaflet, brosur, dan poster. Rambu atau petunjuk K3 di puskesmas, merupakan rambu/petunjuk K3 yang diperoleh dari hasil pengamatan (terlihat/terpasang). Rambu/petunjuk K3 antara lain dapat berupa rambu evakuasi (tanda exit) keadaan darurat, rambu yang menunjukkan lokasi alat pemadam kebakaran. Tabel Persentase puskesmas yang memiliki media KIE dan rambu/petunjuk K3 berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Media KIE dan rambu K3 (%) Pedoman/ media KIE Rambu/ petunjuk K3 Lokasi - Perkotaan ,8 34,3 - Perdesaan 69 23,2 14,5 Nasional ,6 27,6 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, hanya 29,6 persen puskesmas memilliki pedoman/media KIE dan 27,6 persen memiliki rambu/petunjuk K3 di puskesmasnya. Dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan, persentase puskesmas yang berlokasi di perdesaan relatif lebih rendah dalam kepemilikan pedoman/media KIE dan rambu/petunjuk K3. d. Petugas puskesmas mengidentifikasi faktor risiko di setiap ruang kerja puskesmas Identifikasi faktor risiko merupakan upaya promotif untuk menginformasikan potensi bahaya yang ada di puskesmas kepada seluruh petugas puskesmas. 118

143 Tabel Persentase puskesmas yang mengidentifikasi faktor risiko ruang kerja, Sirkesnas 2016 Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Petugas puskesmas mengidentifikasi faktor risiko di setiap ruang kerja puskesmas (%) Ya, di seluruh ruangan Ya, tidak di seluruh ruangan Tidak Lokasi Perkotaan ,5 21,6 29,9 Perdesaan 69 29,0 30,4 40,6 Nasional ,9 24,6 33,5 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, sebagian besar (66,5%) petugas puskesmas mengidentifikasi faktor risiko di ruang kerja, namun hanya 41,9 persen yang mengidentifikasi di seluruh ruang kerja sedangkan 24,6 persen tidak di seluruh ruang kerja. Persentase puskesmas di perdesaan yang mengidentifikasi di seluruh ruangan lebih banyak apabila dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan, sebaliknya yang mengidentifikasi tidak di seluruh ruangan lebih tinggi pada puskesmas yang berlokasi di perdesaan dibandingkan yang berlokasi di perkotaan. Sebanyak 33,5 persen puskesmas tidak mengidentifikasi faktor risiko di ruang kerja dan puskesmas yang berlokasi di perdesaan relatif lebih banyak dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan. e. Pelaksanaan kewaspadaan universal e.1. Mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik Petugas puskesmas melaksanakan kewaspadaan universal mencuci tangan menggunakan air mengalir dan antiseptik pada saat sebelum dan setelah menangani setiap pasien atau setiap menangani limbah medis. Pasien merupakan pengunjung puskesmas yang datang untuk berobat. Limbah medis merupakan limbah yang mengandung bahan menular seperti darah, sekret vagina, air mani, cairan amnion, dan cairan tubuh lain; urin, keringat, dahak, ingus, air mata, muntahan tanpa campuran darah dari semua pasien sebagai sumber yang berpotensi menularkan infeksi tanpa memperhatikan diagnosis maupun risiko yang ada pada pasien tersebut. Petugas puskesmas yang diobservasi adalah petugas yang sedang bekerja di ruang pelayanan pada saat survei. Ruang pelayanan yang dimaksud pada survei ini adalah ruang KIA, BP umum, tindakan, laboratorium, dan BP gigi. Pada saat pengumpulan data di puskesmas, ada kemungkinan tidak dapat dilakukan observasi pelaksanaan kewaspadaan universal misalnya air PAM sedang mati pada saat survei. 119

144 Tabel Persentase puskesmas menurut pelaksanaan mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Petugas puskesmas mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik sebelum dan setelah menangani pasien (%) Ya, seluruh petugas Ya, sebagian petugas Tidak Tidak bisa diamati Lokasi - Perkotaan ,3 54,5 6,0 2,2 - Perdesaan 69 27,5 50,7 17,4 4,3 Nasional ,0 53,2 9,9 3,0 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Dari 203 puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan, yang dapat diamati untuk pelaksanaan mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik pada saat survei meliputi 197 puskesmas. Persentase puskesmas yang seluruh petugasnya mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik hanya 34,0 persen, dan lebih dari separuhnya (53,2%) hanya sebagian petugas yang melaksanakannya, sedangkan seluruh petugas yang diamati tidak melaksanakannya sebesar 9,9 persen. Persentase puskesmas yang seluruh atau hanya sebagian petugasnya mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik lebih rendah pada puskesmas di perdesaan dibandingkan yang berlokasi di perkotaan. Sebaliknya persentase puskesmas yang seluruh petugasnya tidak mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik lebih tinggi pada puskesmas di perdesaan dibandingkan di perkotaan. e.2. Penggunaan APD Petugas puskesmas menggunakan APD sarung tangan pada saat bekerja/kontak dengan pasien/limbah medis. Observasi dilakukan terhadap petugas yang sedang bekerja di pelayanan pada saat survei. Lokasi pelayanan yang dimaksud pada Sirkesnas 2016 adalah ruang: KIA, BP umum, tindakan, laboratorium, dan BP gigi. Tabel Persentase puskesmas menurut penggunaan alat pelindung diri berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Petugas puskesmas menggunakan APD (%) Ya, seluruh petugas Ya, sebagian petugas Tidak Tidak bisa diamati Lokasi - Perkotaan ,8 59,0 2,2 0,0 - Perdesaan 69 23,2 60,9 13,0 2,9 Nasional ,5 59,6 5,9 1,0 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%,N=203) Dari 203 puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan, yang dapat diamati pada saat survei untuk penggunaan APD pada saat kontak dengan 120

145 pasien/limbah medis meliputi 201 puskesmas. Persentase puskesmas yang seluruh petugasnya menggunakan APD/sarung tangan hanya 33,5 persen, dan lebih dari separuhnya (59,6%) hanya sebagian petugas yang melaksanakannya, sedangkan yang seluruh petugas yang diamati tidak melaksanakannya sebesar 5,9 persen. Persentase puskesmas yang seluruh petugasnya menggunakan APD/sarung tangan pada saat kontak dengan pasien/ limbah medis, lebih rendah di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Puskesmas yang sebagian petugas saja yang menggunakan APD, hampir sama banyaknya antara puskesmas di perkotaan dan di perdesaan. Sebaliknya, persentase puskesmas yang petugasnya tidak menggunakan APD pada saat kontak dengan pasien/ limbah medis lebih tinggi pada puskesmas di perdesaan dibandingkan di perkotaan. e.3. Pemilahan sampah medis dan non medis Pemilahan sampah medis dan non medis puskesmas merupakan tindakan memilah sampah terpisah berdasarkan jenis sampah ke dalam tempat khusus yang berbeda. Tabel Persentase puskesmas menurut pemilahan sampah medis dan non medis berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Petugas puskesmas melakukan pemilahan Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas sampah medis dan non medis (%) Ya Tidak Lokasi - Perkotaan ,6 10,4 - Perdesaan 69 73,9 26,1 Nasional ,2 15,8 Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, sebagian besar (84,2%) puskesmas yang petugasnya melakukan pemilahan sampah medis dan nonmedis. Proporsi puskesmas yang melakukan pemilahan sampah medis dan non medis di perkotaan lebih tinggi dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perdesaan. e.4. Sterilisasi alat medis Puskesmas yang melaksanakan sterilisasi alat medis adalah puskesmas yang melakukan sterilisasi alat medis sebelum/setelah digunakan agar alat menjadi bebas kuman. 121

146 Tabel Persentase puskesmas menurut sterilisasi alat medis rutin berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Petugas puskesmas melakukan sterilisasi alat Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas medis secara rutin (%) Ya Tidak Lokasi - Perkotaan ,8 5,2 - Perdesaan 69 82,6 17,4 Nasional ,6 9,4 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, sebagian besar (90,6%) melakukan sterilisasi alat medis secara rutin. Proporsi puskesmas melakukan sterilisasi alat medis secara rutin di perkotaan lebih tinggi dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perdesaan. e.5. Sanitasi ruangan Sanitasi ruangan yang dimaksud adalah membersihkan ruangan baik lantai maupun meja kerja dengan cairan antiseptik. Ruang pelayanan yang dimaksud adalah ruang KIA, tindakan, BP umum, laboratorium, dan BP gigi. Tabel Persentase puskesmas menurut kegiatan sanitasi ruangan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Petugas puskesmas melakukan sanitasi ruangan (%) Jumlah Karakteristik puskesmas puskesmas Ya, di seluruh Ya, tidak di seluruh Tidak ruangan ruangan Lokasi - Perkotaan ,1 17,9 9,0 - Perdesaan 69 52,2 34,8 13,0 Nasional ,0 23,6 10,3 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, sebanyak 89,6 persen puskesmas petugasnya melakukan sanitasi ruangan pelayanan. Lebih dari separuh (66,0%) puskesmas petugasnya melakukan sanitasi di seluruh ruangan, 23,6 persen puskesmas ada petugas yang melakukan sanitasi tetapi tidak di seluruh ruangan, dan 10 persen puskesmas yang petugasnya tidak melakukan sanitasi ruangan. Persentase puskesmas dengan petugas yang melakukan sanitasi di seluruh ruang pelayanan lebih tinggi pada puskesmas di perkotaan dibandingkan puskesmas di perdesaan. Sebaliknya, puskesmas dengan petugas yang melakukan sanitasi tetapi tidak di seluruh ruangan dan petugasnya tidak yang melakukan sanitasi, lebih tinggi pada puskesmas di perdesaan dibandingkan di perkotaan. 122

147 f. Pelaksanaan K3 internal Puskesmas yang melaksanakan semua K3 internal meliputi memiliki SOP cuci tangan dan SOP penanganan limbah medis/benda tajam, melaksanakan seluruh kewaspadaan universal di dua ruang pelayanan (ruang KIA dan ruang tindakan di puskesmas, menyediakan pedoman/kie, rambu K3 di puskesmas, mengidentifikasi faktor risiko ruang kerja), melaksanakan kewaspadaan universal (mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik, menggunakan APD saat kontak dengan pasien/limbah medis, melakukan sterilisasi secara rutin, dan melakukan sanitasi ruangan pelayanan). Puskesmas yang melaksanakan K3 internal minimal yaitu memiliki/melakukan satu dari komponen kesehatan kerja internal di puskesmas. Tabel Persentase puskesmas menurut pelaksanaan K3 internal di puskesmas berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Pelaksanaan K3 internal di puskesmas(%) Semua ada Minimal (salah satu ada) Lokasi - Perkotaan 134 5,2 99,3 - Perdesaan 69 1,4 92,8 Nasional 203 3,9 97,0 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, hanya 8 puskesmas (3,9%) yang melaksanakan seluruh K3 internal, sedangkan 97 persen puskesmas hanya melaksanakan K3 internal minimal (hanya satu dari K3 internal). Secara keseluruhan pelaksanaan K3 internal di Puskesmas, dari 203 puskesmas yang memiliki tenaga dan menyusun laporan kesehatan kerja, persentase puskesmas paling rendah adalah dalam hal kepemilikan rambu/ petunjuk K3 (27,6%). Puskesmas yang memiliki pedoman/media KIE (29,6%), menggunakan APD (33,5%), mencuci tangan (34,0%), sarana prasarana kewaspadaan universal pada dua ruangan (34,0%), mengidentifikasi faktor risiko di setiap ruang kerja puskesmas (41,9%), memiliki SOP standar cuci tangan dan penanganan limbah/benda tajam (47,8%). Untuk sarana prasarana kewaspadaan universal pada dua ruangan (KIA dan tindakan), dari 5 kelengkapan sarana prasarana (air mengalir dengan antiseptik, alat pelindung diri, sterilisator berfungsi, tempat sampah medis, safety box), persentase puskesmas yang memiliki sterilisator berfungsi di ruang tindakan adalah paling rendah (70%) dan di ruang KIA sebanyak 59,6 persen Pelaksanaan layanan K3 Layanan kesehatan kerja pada pekerja di wilayah kerja puskesmas meliputi pelaksanaan penyuluhan kesehatan pada kelompok pekerja di dalam gedung dan di luar gedung serta deteksi dini pada kelompok pekerja. 123

148 a. Penyuluhan di puskesmas Puskesmas melaksanakan penyuluhan kesehatan (KIA/KB/PTM/PM/Gizi/ PAK/kecelakaan kerja/kerja migran) pada kelompok pekerja di dalam gedung maupun di luar gedung, atau kedua-duanya. Tabel Persentase puskesmas yang melaksanakan penyuluhan K3 berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Penyuluhan K3 di puskesmas (%) Dalam gedung Luar gedung Seluruhnya Lokasi - Perkotaan ,0 78,4 31,3 - Perdesaan 69 44,9 79,7 26,1 Nasional ,3 78,8 29,6 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, sebagian besar puskesmas melaksanakan penyuluhan K3 di luar gedung (78,8%), sedangkan puskesmas yang melaksanakan penyuluhan K3 di dalam gedung sebesar 48,3 persen. Persentase puskesmas yang melaksanakan penyuluhan di dalam gedung, hampir sama banyak baik pada puskesmas di perkotaan maupun perdesaan. Namun untuk penyuluhan di luar gedung, puskesmas di perdesaan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan (79,7% berbanding 78,4%). Persentase puskesmas yang melaksanakan penyuluhan K3 di dalam gedung dan di luar gedung hanya 29,6 persen, dan puskesmas di perdesaan lebih rendah dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan. b. Deteksi dini penyakit pada pekerja Deteksi dini penyakit pada pekerja meliputi deteksi dini penyakit melalui pemeriksaan antenatal care, gizi, penyakit tidak menular (PTM), penyakit menular (PM), dan penyakit akibat kerja pada kelompok pekerja. Pemeriksaan kehamilan pada kelompok pekerja perempuan dilakukan untuk mendeteksi secara dini kelainan pada kehamilan/janin dan gangguan kesehatan lain. Sementara itu deteksi dini penyakit tidak menular berupa pemeriksaan tekanan darah, pengukuran lingkar pinggang, berat badan dan tinggi badan pada kelompok pekerja. Pemeriksaan fisik pada kelompok pekerja untuk mendeteksi penyakit menular. Tabel Persentase puskesmas yang melakukan deteksi dini penyakit pada pekerja berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Deteksi dini penyakit pada pekerja (%) Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Ya Tidak Lokasi - Perkotaan ,3 50,7 - Perdesaan 69 47,8 52,2 Nasional ,8 51,2 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) 124

149 Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, hanya 48,8 persen puskesmas yang melakukan deteksi dini penyakit pada kelompok pekerja, pada puskesmas di perkotaan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan puskesmas di perdesaan. c. Pencatatan jenis pekerjaan Pencatatan jenis pekerjaan meliputi pencatatan jenis pekerjaan pengunjung puskesmas baik dalam catatan medis atau dalam dokumen lainnya. Jenis pekerjaan yang dimaksud sebagai adalah pegawai/pegawai negeri sipil (PNS)/wiraswasta/petani, dan lainnya. Tabel Persentase puskesmas yang melakukan pencatatan jenis pekerjaan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Pencatatan jenis pekerjaan (%) Ya Tidak Lokasi - Perkotaan ,0 44,0 - Perdesaan 69 55,1 44,9 Nasional ,7 44,3 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, 55,7 persen puskesmas melakukan pencatatan jenis pekerjaan pengunjung puskesmas. Puskesmas di perkotaan hampir tidak berbeda dibandingkan dengan puskesmas di perdesaan. d. Pembinaan Pos UKK Pos UKK adalah bentuk pemberdayaan masyarakat di kelompok pekerja informal utamanya di dalam upaya promotif, preventif untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Beberapa kegiatan yang harus dilaksanakan oleh puskesmas dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam upaya kesehatan pengembangan antara lain adalah melakukan pembinaan terhadap Pos Upaya Kesehatan Kerja (Pos UKK). Tabel Persentase puskesmas yang melakukan pembinaan Pos UKK berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Jumlah puskesmas Pembinaan Pos UKK (%) Karakteristik puskesmas Ya Tidak Lokasi - Perkotaan ,0 53,0 - Perdesaan 69 30,4 69,6 Nasional ,4 58,6 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, 41,4 125

150 persen puskesmas melakukan pembinaan kepada Pos UKK yang ada di wilayahnya, persentase puskesmas di perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan puskesmas di perdesaan. e. Kesimpulan pelaksanakan layanan K3 Puskesmas Puskesmas yang melaksanakan seluruh layanan K3 adalah puskesmas yang melakukan penyuluhan kesehatan pada kelompok pekerja, mendeteksi dini penyakit pada kelompok pekerja, pencatatan jenis pekerjaan pada pengunjung puskesmas, dan melakukan pembinaan Pos UKK di wilayahnya. Puskesmas yang melaksanakan semua layanan K3 minimal adalah puskesmas yang melakukan salah satu dari layanan K3. Tabel Persentase puskesmas berdasarkan pelaksanaan layanan K3, Sirkesnas 2016 Pelaksanaan layanan K3 (%) Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Semua kegiatan layanan K3 Minimal (salah satu layanan K3) Lokasi - Perkotaan 134 6,7 88,8 - Perdesaan 69 4,3 85,5 Nasional 203 5,9 87,7 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Puskesmas yang melaksanakan seluruh layanan K3 (penyuluhan K3 bagi kelompok pekerja, deteksi dini risiko ruang kerja, pencatatan jenis pekerjaan, dan pembinaan Pos UKK) hanya 5,9 persen dan puskesmas di perdesaan lebih rendah dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan. Persentase puskesmas yang melaksanakan salah satu dari semua layanan K3 sebesar 87,7 persen dan puskesmas di perdesaan lebih rendah dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan. Dari 203 puskesmas yang memiliki tenaga dan menyusun laporan kesehatan kerja, persentase puskesmas yang melaksanakan layanan K3 kurang dari 56 persen, paling rendah dalam hal melaksanakan penyuluhan K3 di puskesmas di dalam dan luar gedung (29,6%), melakukan pembinaan Pos UKK (41,4%), dan melakukan deteksi dini penyakit pada kelompok pekerja (48,8%) Indikator kesehatan kerja a. Pelaksanaan kesehatan kerja dasar pada puskesmas yang memiliki dua komponen kesehatan kerja, dan melaksanakan K3 internal minimal dan melaksanakan layanan K3 minimal Puskesmas yang melaksanakan K3 internal di puskesmas dan melaksanakan layanan K3 pada pekerja di wilayah puskesmas adalah puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan kerja internal minimal di puskesmas dan melaksanakan layanan K3 minimal pada pekerja di wilayah puskesmas. 126

151 Tabel Persentase puskesmas berdasarkan K3 internal minimal dan layanan K3 minimal, Sirkesnas 2016 Karakteristik puskesmas - Lokasi Jumlah puskesmas K3 internal dan layanan K3 K3 internal minimal dan layanan K3 minimal (%) K3 internal saja Layanan K3 saja Tidak keduanya - Perkotaan ,8 10,4 0,0 0,7 - Perdesaan 69 78,3 14,5 7,2 0,0 Puskesmas ,2 11,8 2,5 0,5 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203) Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan menyusun laporan, puskesmas yang melaksanakan kesehatan kerja internal minimal di puskesmas dan layanan K3 minimal sebanyak 85,2 persen, sedangkan yang hanya melaksanakan K3 internal minimal saja sebesar 11,8 persen, puskesmas yang hanya melaksanakan layanan K3 minimal saja sebanyak 2,5 persen. Ada satu puskesmas di perkotaan yang tidak melakukan kesehatan kerja minimal dan layanan K3 minimal. b. Indikator kesehatan kerja pada seluruh puskesmas yang didata Indikator kesehatan kerja berdasarkan puskesmas yang memiliki dua komponen kesehatan kerja (ada tenaga dan membuat laporan) yang melaksanakan K3 internal minimal dan melaksanakan layanan K3 minimal. Tabel Persentase puskesmas menurut pelaksanaan K3 internal dan layanan K3 di 400 puskesmas berdasarkan karakteristik puskesmas, Sirkesnas 2016 Karakteristik puskesmas Lokasi Jumlah puskesmas K3 internal minimal dan layanan K3 minimal K3 internal minimal dan layanan K3 minimal (%) K3 internal minimal saja Layanan K3 minimal saja Tidak Keduanya Perkotaan ,8 6,5 0,0 38,7 Perdesaan ,5 5,5 2,7 62,3 Nasional ,3 6,0 1,2 49,5 Catatan: * Berdasarkan 100% puskesmas (N= 400) Dari seluruh puskesmas (400) yang didata, persentase puskesmas yang melaksanakan kesehatan kerja dasar yaitu puskesmas yang melaksanakan kesehatan kerja internal minimal di puskesmas dan yang melaksanakan layanan K3 minimal sebanyak 43,3 persen, sedangkan yang tidak melaksanakan kesehatan kerja dasar sebanyak 49,5 persen. Persentase puskesmas yang hanya melakukan K3 internal minimal saja 6,0 persen, sedangkan yang hanya melaksanakan layanan K3 minimal saja 1,2 persen. Puskesmas di perkotaan 127

152 yang melaksanakan kesehatan kerja dasar lebih banyak dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perdesaan Sumber data dari dinas kesehatan kabupaten/kota Data yang dapat diolah dari informasi yang disampaikan oleh dinas kesehatan antara lain data mengenai dinas kesehatan kabupaten/kota yang puskesmasnya melaksanakan program K3 di puskesmas. Dinas kesehatan kabupaten/kota yang melaksanakan program/kegiatan kesehatan kerja (K3) adalah dinas kesehatan yang memiliki program/kegiatan secara resmi tentang pelaksanaan kesehatan kerja (K3) di puskesmas. Program/kegiatan tentang pelaksanaan K3 di puskesmas tersebut dapat berupa kebijakan tertulis/surat keputusan/surat edaran yang ditandatangani oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota. Tabel Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di puskesmas di wilayahnya berdasarkan lokasi, Sirkesnas 2016 Lokasi Dinas Kesehatan Jumlah Kab/Kota Program K3 (%) Kota 44 84,1 Kabupaten ,4 Nasional ,3 Catatan : N = 264 Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di puskesmas sebanyak 69,3 persen. Dinas kesehatan kota lebih banyak (84%) melaksanakan program K3 dibandingkan kinas kesehatan kabupaten (66%) Indikator Kesehatan Olahraga Indikator Target Kesehatan Olahraga Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya. Definisi Operasional: Puskemas yang menyelenggarakan upaya kesehatan olahraga melalui pembinaan kelompok olahraga dan pelayanan kesehatan olahraga di wilayah kerjanya. Baseline indikator kesehatan olahraga tahun 2014 sebesar 671 puskesmas. Target capaian pada tahun 2015 sebesar 20 persen dan pada tahun 2016 sebesar 30 persen. 128

153 Algoritma Kesehatan Olahraga a. Sumber data dari Puskesmas Algoritma komponen kesehatan olahraga Jumlah Puskesmas (N=400, 217 Perkotaan; 183 Perdesaan ) Puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga: Komponen kesehatan olahraga: ada tenaga dan laporan Ya, n=196 Perkotaan 125, Perdesaan 71 Tidak, n=204, Perkotaan 92, Perdesaan 112 Gambar Algoritma komponen kesehatan olahraga Algoritma pembinaan kesehatan olahraga Puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga: Komponen kesehatan olahraga: ada tenaga dan laporan (n=196) Melakukan penyuluhan kesehatan olahraga pada kesehatan masyarakat Melakukan melakukan pendataan kelompok/ klub olahraga Ya, n= 131 Tidak, n=65 Ya, n=159 Tidak, n=37 Pembinaan: Penyuluhan atau Pendataan Ya, n= 135 Tidak, n= 61 \ Gambar Algoritma Pembinaan Kesehatan Olahraga 129

154 Algoritma pelayanan kesehatan olahraga Puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga: Komponen kesehatan olahraga: ada tenaga dan laporan (n=196) 1.Memiliki media informasi terkait olahraga Ya, n=110 Tidak, n=86 2.Pemeriksaan kesehatan:bb,tb,tensi,nadi Ya, n=152 Tidak, n=44 3.Pengukuran kebugaran jasmani 4.Layanan konsultasi 5.Tim medis P3K olahraga 6.Layanan cedera OR akut 7.Layanan kesehatan pada event OR 8.Layanan fisik &OR pemulihan Pelayanan minimal: satu dari (1-8) Ya, n=86 Tidak, n=110 Ya, n=109 Tidak, n=87 Ya, n=131 Tidak, n=65 Ya, n=112 Tidak, n=84 Ya, n=140 Tidak, n=56 Ya, n=74 Tidak, n=122 Ya, n=187 Tidak, n=9 Gambar Algoritma Pelayanan Kesehatan Olahraga Algoritma Indikator Kesehatan Olahraga : Pembinaan minimal: Penyuluhan atau Pendataan : Ya, n= 135 Pelayanan minimal Ya, n=187 Dari 196 puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan, yang melaksanakan pembinaan minimal dan pelayanan minimal 129 Gambar B. Sumber data dari Dinas Kesehatan Kabupaten/kota Algoritma Indikator Kesehatan Olahraga Indikator kesehatan olahraga Dari 400 puskesmas sampel, yang ada komponen tenaga dan laporan, yang melaksanakan pembinaan minimal dan pelayanan minimal 129, perkotaan 90, perdesaan

155 Algoritma Kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di puskesmasnya Jumlah kabupaten/kota yang menjadi sampel 264 (Kota 44, Kabupaten 220) Kabupaten/kota yang memiliki Program Kesehatan Olahraga di Puskesmas 156 (Kota 37, Kabupaten 119) Ya n=156 Tidak n=108 (40,9%) Kota n=37 Kabupaten n=119 Gambar Algoritma Kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di puskesmasnya Indikator Kesehatan Olahraga Pendataaan indikator kesehatan olahraga diperoleh di fasilitas kesehatan puskesmas dengan cara wawancara dan observasi dokumen. Selain itu, data kesehatan olahraga juga diperoleh dari dinas kesehatan kabupaten/kota Sumber data dari Puskesmas Indikator kesehatan olahraga adalah persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya. Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementerian Kesehatan mendefinisikan bahwa puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga apabila menyelenggarakan upaya kesehatan olahraga melalui pembinaan kelompok olahraga dan pelayanan kesehatan olahraga di wilayah kerjanya. Puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga minimal adalah apabila (1) ada komponen kesehatan olahraga yaitu puskesmas memiliki tenaga yang bertugas melaksanakan kesehatan olahraga dan puskesmas membuat laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan), dan (3) puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan olahraga minimal (melaksanakan satu pelayanan olahraga). 1). Komponen Kesehatan Olahraga Komponen kesehatan olahraga di puskesmas yang didata pada Survei Indikator Kesehatan Nasional meliputi adanya tenaga yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga di puskesmas, adanya dana untuk penyelenggaraan kesehatan olahraga di puskesmas, adanya kegiatan 131

156 penyuluhan/pembinaan kesehatan olahraga, dan adanya laporan kegiatan kesehatan olahraga. Puskesmas memiliki/melaksanakan kesehatan olahraga apabila sedikitnya memiliki tenaga/petugas yang ditugaskan untuk menangani kesehatan olahraga dan membuat laporan kesehatan olahraga. 2). Pembinaan kesehatan olahraga Pembinaan kesehatan olahraga meliputi penyuluhan masyarakat dan pendataan kelompok olahraga di wilayah puskesmas. Kesehatan olahraga adalah upaya kesehatan yang memanfaatkan olahraga atau latihan fisik untuk meningkatkan derajat kesehatan. Penyuluhan kesehatan olahraga dapat dilakukan di dalam puskesmas maupun di luar puskesmas, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku individu, keluarga, masyarakat dalam pelaksanaan kesehatan olahraga agar: Mengerti/paham tentang olahraga Mau dan mampu melaksanakan olahraga untuk kesehatan Berperan serta dalam mengembangkan upaya kesehatan olahraga. Pendataan kelompok olahraga merupakan pendataan kelompok olahraga yang ada di wilayah puskesmas. Kelompok olahraga merupakan sekumpulan orang yang melakukan latihan fisik atau olahraga secara terprogram dan teratur. Puskesmas melakukan pembinaan kesehatan olahraga minimal apabila melaksanakan penyuluhan tentang olahraga kepada masyarakat saja atau melakukan pendataan kelompok olahraga saja. 3) Pelayanan Kesehatan Olahraga Puskesmas melakukan pelayanan kesehatan olahraga adalah melakukan layanan kesehatan olahraga pada kegiatan olahraga dan pemanfaatan olahraga untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani diselenggarakan secara terpadu dan menyeluruh melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pelayanan kesehatan olahraga yang didata meliputi 8 hal yaitu: 1. Puskesmas memiliki media informasi terkait olahraga antara lain leaflet/brosur/poster/vcd. 2. Puskesmas melakukan pemeriksaan kesehatan: pengukuran berat badan/tinggi badan/tekanan darah/nadi pada kelompok olahraga. 3. Puskesmas melakukan pengukuran tingkat kebugaran jasmani pada kelompok masyarakat. 4. Puskesmas melakukan layanan konsultasi kesehatan olahraga pada masyarakat. 5. Puskesmas membentuk tim medis P3K untuk kegiatan olahraga. 6. Puskesmas melakukan layanan cedera olahraga akut (pada event olah raga/di puskesmas). 7. Puskesmas melakukan layanan kesehatan pada event olahraga. 8. Puskesmas melakukan pendekatan latihan fisik dan olahraga terhadap pemulihan kesehatan (rehabilitasi). 132

157 Puskesmas melakukan pelayanan kesehatan olahraga minimal apabila melaksanakan salah satu dari pelayanan olahraga tersebut di atas Sumber data dari dinas kesehatan kabupaten/kota Data kesehatan olahraga yang diperoleh dari sumber dinas kesehatan kabupaten/kota meliputi kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di puskesmas yang berada di wilayah kerjanya Hasil indikator kesehatan olahraga Sumber data dari puskesmas 1. Komponen kesehatan olahraga di puskesmas Komponen kesehatan olahraga di puskesmas yang didata pada Sirkesnas adalah 1) adanya petugas puskesmas yang ditugaskan oleh kepala puskesmas untuk menangani kesehatan olahraga, 2) memiliki dana untuk penyelenggaraan kesehatan olahraga dan dana dapat berasal dari Pemda atau dari sumber dana lainnya, 3) puskesmas menyusun laporan kegiatan kesehatan olahraga dan 4) petugas puskesmas yang melakukan penyuluhan atau pembinaan kesehatan olahraga. Puskesmas yang melaksanakan seluruh komponen kesehatan olahraga adalah apabila puskesmas melaksanakan keempat komponen tersebut di atas. Puskesmas melaksanakan komponen kesehatan olahraga minimal apabila puskesmas memiliki tenaga yang menangani kesehatan olahraga dan menyusun laporan kegiatan kesehatan olahraga. Tabel Persentase puskesmas yang melaksanakan komponen kesehatan olahraga, Sirkesnas 2016 Jumlah Komponen kesehatan olahraga (%) Karakteristik Puskesmas Tenaga Dana Laporan Penyuluhan/ Seluruh Ada tenaga Puskesmas pembinaan Komponen dan laporan Lokasi Perkotaan ,9 32,3 59,4 56,2 27,2 57,6 Perdesaan ,6 24,0 41,0 41,0 18,6 38,8 Nasional ,0 28,5 51,0 49,3 23,3 49,0 Catatan : N = 400 Dari 400 puskesmas yang didata, persentase puskesmas yang mempunyai tenaga yang bertugas menangani kesehatan olahraga sebanyak 64,0 persen, yang memiliki dana penyelenggaraan kesehatan olahraga 28,5 persen, yang menyusun laporan kegiatan kesehatan olahraga 51,0 persen, dan yang melaksanakan penyuluhan/pembinaan kesehatan olahraga 49,3 persen. Persentase puskesmas yang melaksanakan seluruh (empat) komponen hanya 23,3 persen. Dari 400 puskesmas yang didata, 196 puskesmas (49%) yang memenuhi syarat komponen kesehatan olahraga yaitu yang mempunyai tenaga kesehatan olahraga dan membuat laporan kesehatan olahraga. Dari setiap komponen 133

158 kesehatan olahraga, persentase puskesmas yang berlokasi di perkotaan lebih besar dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perdesaan. 2. Pembinaan kesehatan olahraga Puskesmas melakukan pembinaan kesehatan olahraga adalah apabila melaksanakan penyuluhan tentang olahraga kepada masyarakat dan melakukan pendataan kelompok olahraga. Puskesmas melakukan pembinaan kesehatan olahraga minimal apabila melaksanakan penyuluhan tentang olahraga kepada masyarakat saja atau melakukan pendataan kelompok olahraga saja. Tabel Persentase puskesmas berdasarkan penyuluhan masyarakat dan pendataan kelompok olahraga, Sirkesnas 2016 Penyuluhan masyarakat dan pendataan kelompok olahraga di Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Penyuluhan masyarakat puskesmas (%) Pendataan kelompok olahraga Keduanya Salah satu (Minimal) Lokasi Perkotaan ,2 86,4 17,6 75,2 Perdesaan 71 59,2 71,8 14,1 57,7 Nasional ,8 81,1 16,3 68,9 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang melakukan komponen kesehatan olahraga (49%, N=196) Dari 196 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan membuat laporan, persentase puskesmas yang melakukan penyuluhan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat 66,8 persen sedangkan yang melakukan pendataan kelompok/klub olahraga 81,1 persen. Persentase puskesmas yang melakukan pendataan kelompok/klub olahraga lebih besar dari pada yang melakukan penyuluhan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat. Persentase puskesmas yang melakukan penyuluhan kesehatan olahraga dan pendataan kelompok/klub olahraga 16,3 persen. Persentase puskesmas yang melakukan penyuluhan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat atau melakukan pendataan kelompok/klub olahraga 68,9 persen. Persentase puskesmas yang berlokasi di perkotaan relatif lebih tinggi melakukan penyuluhan kesehatan olahraga atau pendataan kelompok olahraga dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perdesaan. 3. Pelayanan kesehatan olahraga Pelayanan kesehatan olahraga meliputi 8 pelayanan kesehatan olahraga yang didata, sedangkan pelayanan kesehatan olahraga minimal meliputi pelayanan salah satu dari pelayanan kesehatan olahraga yang didata. 134

159 Tabel Persentase puskesmas berdasarkan pelayanan kesehatan olahraga, Sirkesnas 2016 Pelayanan kesehatan olahraga (%) Karak teristik puskes mas Jumlah puskes mas Keberadaan media informasi Pemeriksaan kesehatan Pengukur an kebugaran jasmani Layan an konsul tasi kesehatan olah raga Tim medis P3K olah raga Layan an cedera olah raga Akut Layan an kesehatan event olah raga Layan an pemulihan kesehatan Semua ada Salah satu Lokasi Perkotaan ,2 83,2 44,8 56,0 72,0 59,2 75,2 43,2 11,2 95,2 Perdesaan 71 43,7 67,6 42,3 54,9 57,7 53,5 64,8 28,2 7,0 95,8 Nasional ,1 77,6 43,9 55,6 66,8 57,1 71,4 37,8 9,7 95,4 Dari 196 puskesmas yang ada komponen tenaga dan membuat laporan, persentase puskesmas terbanyak melaksanakan pelayanan pemeriksaan kesehatan pengukuran berat badan/tinggi badan/tensi/nadi pada kelompok olahraga (77,6%) diikuti pelayanan kesehatan pada event olahraga (71,4%), paling sedikit melaksanakan pelayanan pemulihan kesehatan (37,8%) diikuti pengukuran kebugaran jasmani (43,9%). Sebanyak 95,4 persen puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan olahraga minimal, hampir sama besar antara puskesmas yang di perkotaan dan di perdesaan. 4. Indikator kesehatan olahraga Indikator kesehatan olahraga diperoleh dari melakukan salah satu dari pembinaan kesehatan olahraga (penyuluhan atau pembinaan) dan salah satu dari delapan pelayanan kesehatan olahraga. Tabel Persentase puskesmas berdasarkan indikator kesehatan olahraga, Sirkesnas 2016 Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Melakukan pembinaan dan pelayanan Indikator kesehatan olahraga (%) Melakukan Melakukan pembinaan pelayanan saja saja Tidak melakukan pembinaan atau pelayanan Lokasi Puskesmas Perkotaan ,0 3,2 23,2 1,6 Perdesaan 71 54,9 2,8 40,8 1,4 Nasional ,8 3,1 29,6 1,5 Dari 196 puskesmas yang ada komponen tenaga dan membuat laporan, 65,8 persen melakukan kegiatan pembinaan kesehatan olahraga minimal (satu 135

160 kegiatan pembinaan) dan pelayanan kesehatan olahraga minimal (satu kegiatan pelayanan). Persentase puskesmas yang hanya melakukan satu kegiatan pembinaan saja 3,1 persen, yang melakukan satu kegiatan pelayanan saja 29,6 persen, sedangkan yang tidak melakukan pembinaan atau pelayanan 1,5 persen. Tabel Persentase puskesmas berdasarkan indikator kesehatan olahraga di 400 puskesmas, Sirkesnas 2016 Karakteristik puskesmas Jumlah Puskesmas Pembinaan dan pelayanan Indikator kesehatan olahraga (%) Pembinaan saja Pelayanan saja Tidak keduanya Lokasi Perkotaan ,5 1,8 13,4 43,3 Perdesaan ,3 1,1 15,8 61,8 Nasional ,3 1,5 14,5 51,7 Catatan: * Berdasarkan 100% puskesmas (N 400) Dari 400 puskesmas yang didata, sebanyak 32,3 persen puskesmas yang ada komponen tenaga dan membuat laporan, melaksanakan kegiatan pembinaan kesehatan olahraga minimal (satu kegiatan pembinaan) dan melaksanakan pelayanan kesehatan olahraga minimal (satu kegiatan pelayanan) Sumber data dari dinas kesehatan kabupaten/kota Dinas kesehatan kabupaten/kota yang melaksanakan program/kegiatan kesehatan olahraga di puskesmas adalah dinas kesehatan yang memiliki program/kegiatan secara resmi tentang pelaksanaan kesehatan olahraga di puskesmas dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota. Program/kegiatan tentang pelaksanaan kesehatan olahraga di puskesmas dapat berupa kebijakan tertulis/surat keputusan/surat edaran yang ditandatangani oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota. Tabel Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di puskesmas berdasarkan lokasi dinas kesehatan, Sirkesnas 2016 Lokasi Dinas Kesehatan Jumlah Kab/Kota Program Kesehatan Olahraga n % - Kota ,1 - Kabupaten ,1 Nasional ,1 Catatan: N=

161 Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di puskesmas sebanyak 59,1 persen, dinas kesehatan kota lebih banyak (84,1%) melaksanakan program kesehatan olahraga dibandingkan dinas kesehatan kabupaten (54,1%). 3.6 Indikator Program Penyehatan Pangan Indikator Tempat Pengolahan Makanan (TPM) Memenuhi Syarat Kesehatan Tempat Pengolahan Makanan (TPM) memiliki potensi untuk menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit bahkan keracunan akibat dari makanan yang dihasilkannya. Perlindungan masyarakat terhadap produk makanan yang disediakan oleh TPM perlu dilakukan. Hal ini hanya dapat terwujud bila kualitas makanan yang dihasilkan, disajikan dan dijual oleh TPM memenuhi syarat-syarat kesehatan. Persyaratan higiene sanitasi meliputi ketentuan teknis yang ditetapkan terhadap produk rumah makan dan restoran, personel dan perlengkapannya, meliputi persyaratan bakteriologis, kimia dan fisika. Fasilitas sanitasi terdiri dari sarana fisik bangunan dan perlengkapan yang digunakan untuk memelihara kualitas lingkungan atau untuk mengendalikan faktor lingkungan yang dapat merugikan kesehatan manusia; antara lain sarana air bersih, jamban, peturasan, saluran limbah, tempat cuci tangan, bak sampah, kamar mandi, lemari pakaian kerja (locker), peralatan pencegahan terhadap lalat, tikus dan hewan lainnya serta peralatan kebersihan (Kemenkes RI, 2003). Indikator TPM dalam Renstra tahun mengukur persentase TPM yang memenuhi syarat kesehatan dengan target capaian pada tahun 2015 sebesar 8%. Indikator tersebut diukur sesuai Renstra Kemenkes (Kemenkes RI, 2003): Jumlah TPM yang memenuhi persyaratan hygiene sanitasi x 100% Jumlah TPM Terdaftar Pada Sirkesnas 2016 data cakupan TPM memenuhi syarat dan laik sehat diperoleh dari data pencatatan di dinas kesehatan dan puskesmas pada tahun Data dari dinas kesehatan kabupaten/kota meliputi jasaboga atau catering, rumah makan dan restoran, depot air minum, kantin sekolah, makanan jajanan, Industri Pangan Rumah Tangga (IPRT) (dinas kesehatan kabupaten/kota) dan data warung makan dari puskesmas. Kriteria TPM memenuhi syarat dan laik sehat mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes) nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang persyaratan hygiene sanitasi rumah makan dan restoran, Kepmenkes nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang persyaratan higiene sanitasi jasa boga dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) nomor 43 tahun 2014 tentang hygiene sanitasi depot air minum serta Peraturan (Kemenkes, 2003a, 2003b, 2014c), Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK tahun 2012 tentang cara produksi pangan yang baik untuk industri rumah tangga 137

162 (BPOM, 2012). Kriteria TPM makanan jajanan yang memenuhi syarat mengacu kepada Kepmenkes nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang pedoman persyaratan higiene sanitasi makanan jajanan (Kemenkes, 2003c) Algoritma indikator TPM memenuhi syarat kesehatan Pada gambar dibawah terlihat bahwa dari TPM yang terdaftar di 264 dinas kesehatan kabupaten/kota, hanya 42,8 persen yang telah memenuhi syarat kesehatan dan 31,2 persen belum memenuhi syarat kesehatan. Untuk TPM yang memenuhi syarat kesehatan tersebut, baru sebagian kecil yang memiliki sertifikat laik sehat (13,9%). Jenis TPM yang paling banyak memiliki sertifikat laik sehat adalah IPRT sebesar 70,6 persen. Jika diamati terjadi kesenjangan antara TPM memenuhi syarat dan TPM belum memenuhi syarat terlihat ada selisih sekitar 26 persen. Hal ini terjadi karena tidak semua TPM yang terdaftar masuk ke dalam kategori memenuhi syarat dan belum memenuhi syarat. Gambar Persentase tempat pengelolaan makanan yang sudah memenuhi syarat kesehatan, Sirkesnas Capaian Indikator TPM memenuhi syarat kesehatan Analisis dilakukan dengan cara menjumlahkan masing-masing jenis TPM di kabupaten/kota terpilih sehingga diperoleh angka absolut untuk masingmasing jenis TPM yang terdaftar, memenuhi syarat dan laik sehat. Data kemudian dianalisis sesuai formula Renstra Kemenkes Cara analisis yang sama dilakukan untuk data yang diperoleh di dinas kesehatan dan puskesmas. 138

163 Hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi jenis TPM yang memenuhi syarat kesehatan paling tinggi adalah IPRT (70,6%). Dari 70,6 persen TPM yang memenuhi syarat kesehatan hanya 58,96 persen TPM yang sudah memiliki sertifikat laik sehat. Dari seluruh TPM yang terdaftar, persentase yang sudah memenuhi syarat kesehatan 42,8 persen (Tabel 3.6.1). Capaian ini jauh di atas target Renstra 2015 yaitu 8%. Jenis TPM Tabel Persentase TPM yang memenuhi syarat kesehatan menurut data dinas kesehatan kabupaten/kota, Sirkesnas 2016 N Pembinaan Jumlah Terdaftar Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat Bersertifikat Laik Sehat Jasaboga , ,2 58,1 26,5 Rumah Makan dan Restoran , ,8 49,4 18,6 Depot Air Minum , ,0 59,9 29,9 Kantin Sekolah , ,9 43,6 Makanan Jajanan , ,0 29,7 Industri Pangan Rumah Tangga (IPRT) , ,9 70,6 58,9 Total , ,2 42,8 13, Data pendukung dan penjelasan Indikator TPM Memenuhi Syarat Kesehatan Capaian indikator TPM memenuhi syarat telah melebihi target Renstra 2015 (8%). Hal ini dimungkinkan karena jumlah TPM yang terdaftar belum merupakan jumlah keseluruhan TPM yang ada di wilayah kerja masing-masing dinas kesehatan dan hanya yang terdaftar saja, sehingga persentase jumlah TPM yang memenuhi syarat kesehatan pada survei ini dapat cenderung lebih tinggi dari kondisi sebenarnya dan pada akhirnya pencapaiannya lebih tinggi daripada target Renstra. Hasil survei juga memperlihatkan bahwa total TPM yang memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat adalah 74 persen. TPM yang memiliki sertifikat laik sehat adalah merupakan bagian dari TPM yang memenuhi syarat. Selisih jumlah TPM tersebut dimungkinkan karena belum seluruh TPM terdaftar di inspeksi oleh petugas, sehingga sebagian TPM yang telah terdaftar belum bisa dikategorikan memenuhi syarat atau belum memenuhi syarat (Tabel 3.6.1). 3.7 Indikator Program Surveilans, imunisasi karantina dan kesehatan matra Indikator Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami 139

164 sakit ringan. Imunisasi dasar rutin terdiri dari Bacillus Calmette Guerin (BCG), Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus Influenza type B (DPT-HB-Hib), Hepatitis B pada bayi baru lahir, Polio dan Campak (Kemenkes RI, 2013). Indikator imunisasi dasar lengkap yang diukur pada Sirkesnas 2016 ada dua, yaitu persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) pada bayi dan cakupan imunisasi dasar lengkap bayi usia 0-11 bulan. Formula perhitungan mengunakan Kepmenkes RI No. HK 02.02/Menkes/52/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun sebagai berikut: 1. Persentase Kabupaten/Kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi Jumlah kabupaten/kota yang mencapai IDL 80% x 100% Jumlah kabupaten/kota 2. Persentase bayi usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap. Sedangkan, cakupan imunisasi dasar lengkap dihitung dengan formula: Jumlah bayi yang mendapat 1 kali imunisasi Hepatitis B; 1 kali imunisasi BCG; 3 kali imunisasi DPT, HB dan Hib; 4 kali imunisasi polio; dan 1 kali imunisasi campak dalam kurun waktu satu tahun X 100% Jumlah seluruh bayi selama kurun waktu yang sama Target persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen IDL pada bayi tahun 2015 adalah sebesar 75 persen. Target persentase anak usia 0-11 bulan mendapat IDL pada tahun 2015 adalah sebesar 91 persen (Kemenkes, 2015). Cakupan IDL pada Sirkesnas 2016 diperoleh dari data dinas kesehatan kabupaten/kota tahun Data IDL pada komunitas diperoleh melalui wawancara terhadap responden (ibu balita/anggota rumah tangga lainnya) yang mempunyai balita usia 0-59 bulan. Informasi diperoleh dari pencatatan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS), Buku KIA, buku catatan kesehatan anak lainnya dan ingatan responden Algoritma Capaian Indikator Imunisasi Dasar Lengkap Sirkesnas 2016 a. Algoritma capaian indikator persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap Analisis IDL bayi usia 0-11 bulan data yang digunakan adalah anak yang sudah berusia bulan saat pengumpulan data dilakukan. Analisis dilakukan terhadap data anak usia bulan berdasarkan beberapa alasan yaitu: 1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan valid immunization, 2) kebanyakan survei menggunakan kelompok usia bulan untuk menilai cakupan imunisasi, 140

165 sehingga dapat dibandingkan dan; 3) menghindari bias recall pada ibu. Keterbatasan pada variabel survei ini adalah tidak semua balita diketahui status imunisasinya (missing). Hal ini disebabkan karena ibu lupa anaknya diimunisasi/ tidak, lupa frekuensi imunisasi, ibu tidak mengetahui jenis imunisasi, catatan dalam KMS/buku KIA tidak lengkap, ibu tidak dapat menunjukkan catatan karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu. Alasan lainnya karena responden yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu balita, ataupun ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan. Hampir seluruh anak kelompok usia ini (96%) pernah mendapat imunisasi. Berdasarkan catatan imunisasi dan ingatan responden, persentase anak yang pernah menerima IDL adalah sebesar 65,3 persen, imunisasi tidak lengkap sebanyak 12,5 persen dan masih ada anak usia 0 11 bulan yang tidak mendapat imunisasi (22,4%). Gambar 0.1 Algoritma imunisasi dasar lengkap bayi 0-11 bulan, Sirkesnas 2016 b. Algoritma Persentase Kabupaten/Kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi Hasil Sirkesnas menunjukan bahwa kabupaten/kota yang mencapai IDL > 80% adalah sebesar 79,9 persen. Kabupaten/kota dengan IDL persen adalah sebesar 17,8 persen, dan IDL yang kurang dari 50 persen adalah sebesar 2,3 persen (Gambar 3.7.2). Gambar 0.2 Algoritma imunisasi dasar lengkap bayi usia 0-11 bulan menurut kabupaten/kota, Sirkesnas

166 Capaian Indikator Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) a. Capaian indikator persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap Tabel menunjukkan bahwa sebesar 96,0 persen anak usia bulan yang pernah diimunisasi dan 3,5 persen mengaku anaknya tidak pernah diimunisasi. Berdasarkan data catatan imunisasi yang dimiliki responden (KMS, Buku KIA, dan catatan imunisasi lainnya) hanya 50,8 persen anak yang mendapatkan IDL. Berdasarkan data gabungan antara status imunisasi menurut catatan dan ingatan responden, cakupan IDL adalah sebesar 65,3 persen. Cakupan ini belum mencapai target Renstra 2015 yaitu sebesar 91 persen (Kemenkes RI, 2015). Masih terdapat bayi 0 11 bulan yang tidak mendapat imunisasi, yaitu sebesar 22,3 persen. Jika dibandingkan antara hasil Riskesdas tahun 2007, 2010, 2013 dengan Sirkesnas 2016, terlihat bahwa cakupan IDL pada bayi 0-11 bulan cenderung meningkat (Gambar 3.7.3). Tabel 0.1 Persentase bayi usia 0-11 bulan yang memperoleh imunisasi dasar lengkap berdasarkan karakteristik imunisasi, Sirkesnas Karakteristik Imunisasi N % Pernah mendapat imunisasi (N=3987) Ya ,0 Tidak pernah 139 3,5 Tidak tahu 19 0,5 Status imunisasi menurut catatan (N=3987) Lengkap ,8 Tidak lengkap ,8 Tidak diimunisasi/ Tidak Ingat ,3 Status Imunisasi menurut catatan dan ingatan (N=3987) Lengkap ,3 Tidak lengkap ,3 Tidak diimunisasi ,3 142

167 Gambar 0.3 Kecenderungan persentase imunisasi dasar lengkap pada anak usia 0-11 bulan menurut hasil Riskesdas dan Sirkesnas. b. Capaian indikator persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi Target persentase kabupaten/kota yang mencapai IDL>80 persen pada bayi tahun 2015 adalah sebesar 75 persen. Hasil survei menunjukan bahwa capaian target persentase kabupaten/kota sudah melebihi target tersebut yaitu 79,9 persen (Gambar 3.7.4). Gambar 0.4 Persentase capaian imunisasi dasar lengkap kabupaten/kota Data pendukung dan penjelasan indikator Imunisasi Dasar Lengkap Hasil survei menunjukkan capaian imunisasi dasar lengkap pada Sirkesnas 2016 lebih tinggi dari Riskesdas Khusus untuk DI Yogyakarta, 143

168 imunisasi polio dikategorikan lengkap jika telah mendapatkan imunisasi polio 1,2 dan 3. Tabel menyajikan proporsi bayi yang tidak lengkap memperoleh IDL berdasarkan pencatatan imunisasi responden. Persentase jenis imunisasi tertinggi yang tidak diperoleh responden adalah imunisasi HB-0 yaitu sebesar 53,4 persen dan terendah adalah DPT-HB-HIB 1 yaitu sebesar 8,6 persen. Pada uraian diatas telah disebutkan bahwa persentase bayi 0-11 bulan yang tidak lengkap mendapatkan imunisasi dasar adalah 12,3 persen, dan yang tidak diimunisasi 22,3 persen. Persentase bayi menurut jenis imunisasi yang tidak lengkap menurut catatan yang dimiliki responden, paling tinggi adalah imunisasi HB-0 (53,4%) dan terendah adalah DPT-HB-HIB 1 sebesar 8,6%. 144

169 Tabel 0.2 Persentase imunisasi bayi usia 0-11 bulan yang tidak lengkap menurut catatan yang dimiliki responden berdasarkan jenis imunisasi, Sirkesnas 2016 Pemberian Imunisasi (%) Jenis Imunisasi N (bobot) Ya Tidak HB-0 Perkotaan ,6 38,4 Pedesaan ,4 63,6 Total HB ,6 53,4 BCG Perkotaan ,8 10,2 Pedesaan ,5 10,5 Total BCG ,6 10,4 DPT-HB-HIB 1 Perkotaan ,5 8,5 Pedesaan ,3 8,7 Total DPT-HB-HIB ,4 8,6 DPT-HB-HIB 2 Perkotaan ,9 20,1 Pedesaan ,2 14,8 Total DPT-HB-HIB ,1 16,9 DPT-HB-HIB 3 Perkotaan ,9 39,1 Pedesaan ,4 23,6 Total DPT-HB-HIB ,1 29,9 Polio 1 Perkotaan ,2 9,8 Pedesaan ,8 10,2 Total Polio ,9 10,1 Polio 2 Perkotaan ,5 12,5 Pedesaan ,7 10,3 Total Polio ,8 11,2 Polio 3 Perkotaan ,4 23,6 Pedesaan ,1 16,9 Total Polio ,4 19,6 Polio 4 Perkotaan ,6 45,1 Pedesaan ,9 28,5 Total Polio ,9 35,2 Campak Perkotaan ,4 63,6 Pedesaan ,9 36,1 Total Campak ,8 47,2 Keterangan : Nilai bobot (N) yang dimaksud adalah nilai pengali untuk menyamakan peluang. Hal ini dilakukan karena pemilihan sampel secara multistage. 145

170 Berdasarkan ingatan responden, persentase jenis imunisasi yang tidak diperoleh responden, tertinggi adalah imunisasi DPT-HB-HIB 1 yaitu sebesar 92,1 persen dan terendah adalah BCG sebesar 9,3 persen (Tabel 3.7.3). Tabel 0.3 Persentase imunisasi bayi usia bulan yang tidak lengkap menurut ingatan responden berdasarkan jenis imunisasi, Sirkesnas 2016 Jenis Imunisasi N (bobot) Pemberian Imunisasi Ya Tidak Tidak tahu HB-0 - Perkotaan ,5 10,5 3,9 - Perdesaan ,4 28,5 7,1 - Total HB ,4 20,0 5,6 BCG - Perkotaan ,5 7,6 3,0 - Perdesaan ,5 10,9 3,6 - Total BCG ,4 9,3 3,3 DPT-HB-HIB 1 - Perkotaan 844 7,7 92,3 0 - Perdesaan 945 8,0 92,0 0 - Total DPT-HB-HIB ,9 92,1 0 DPT-HB-HIB 2 - Perkotaan ,7 87,3 0 - Perdesaan ,2 89,8 0 - Total DPT-HB-HIB ,4 88,6 0 DPT-HB-HIB 3 - Perkotaan ,9 38,1 0 - Perdesaan ,5 41,5 0 - Total DPT-HB-HIB ,1 39,9 0 Polio 1 - Perkotaan 844 6,8 93,2 0 - Perdesaan 944 9,1 90,9 0 - Total Polio ,0 92,0 0 Polio 2 - Perkotaan 844 9,5 90,5 0 - Perdesaan ,2 88,8 0 - Total Polio ,4 89,6 0 Polio 3 - Perkotaan ,6 87,4 0 - Perdesaan ,4 89,6 0 - Total Polio ,4 88,6 0 Polio 4 - Perkotaan ,2 36,8 0 - Perdesaan ,8 39,2 0 - Total Polio ,9 38,1 0 Campak - Perkotaan ,9 27,2 3,9 - Perdesaan ,2 20,1 3,7 - Total Campak ,8 23,4 3,8 146

171 Tabel 0.4 Persentase bayi usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap berdasarkan karakteristik responden, Sirkesnas 2016 Imunisasi Dasar Bayi Karakteristik Responden Total Tidak Lengkap Tidak lengkap Lupa pernah Lokasi Tempat Tinggal Perkotaan ,0 10,4 1,9 17,8 Perdesaan ,6 14,3 6,1 19,0 Jenis Kelamin Laki-laki ,6 12,8 3,9 17,8 Prempuan ,1 11,9 4,1 19,0 Pekerjaan KK PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD ,3 6,1 5,5 17,1 Pegawai swasta ,3 11,0 1,1 16,6 Wiraswasta ,1 12,6 2,9 17,3 Petani ,6 15,1 8,3 22,0 Nelayan 73 60,3 8,2 11,0 20,5 Buruh ,1 13,3 2,6 15,1 Lainnya ,0 8,6 2,5 17,9 Tidak bekerja ,2 9,9 2,6 24,3 Tingkat Pendidikan KK Tidak/ belum pernah sekolah ,0 6,1 12,1 34,8 Tidak tamat SD/MI ,8 14,5 6,2 23,6 Tamat SD/MI ,3 14,1 4,6 17,0 Tamat SLTP/MTS ,3 14,1 3,3 19,3 Tamat SLTA/MA ,1 10,0 2,4 17,6 Tamat D1/D2/D ,8 10,5 4,2 8,4 Tamat PT ,3 7,4 2,5 12,8 Tingkat Pendidikan Ibu Tidak/ belum pernah sekolah 79 24,1 6,3 21,5 48,1 Tidak tamat SD/MI ,3 16,9 9,3 28,4 Tamat SD/MI ,9 16,1 4,8 19,1 Tamat SLTP/MTS ,2 13,0 3,1 18,7 Tamat SLTA/MA ,5 10,1 2,3 13,1 Tamat D1/D2/D ,7 6,4 1,2 15,7 Tamat PT ,8 4,5 3,3 19,3 Pekerjaan Ibu PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD 99 69,7 4,0 2,0 24,2 Pegawai swasta ,2 11,1 1,3 13,4 Wiraswasta ,2 12,7 2,3 13,7 Petani ,8 15,6 12,6 24,9 Nelayan 4 25,0 0,0 25,0 50,0 Buruh ,5 2,4 1,6 14,5 Lainnya ,1 12,7 2,4 23,8 Tidak bekerja ,1 12,8 3,8 18,3 Menurut karakteristik reponden, cakupan IDL bayi 0 11 bulan yang tinggal di wilayah perkotaan lebih tinggi (70,0%) dibandingkan wilayah perdesaan (60,6%) (Tabel 3.7.4). Berdasarkan jenis kelamin, tidak menunjukkan 147

172 adanya perbedaan IDL. Berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga (KK) maupun ibu, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi cakupan jenis IDL bayi 0 11 bulan. Berdasarkan pekerjaan, cakupan IDL bayi 0 11 bulan paling tinggi pada kelompok kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai pemerintah (PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD) (71,3%), dan pegawai swasta (71,3%); sedangkan terendah kelompok kepala keluarga yang bekerja sebagai petani (54,6%). Pada kelompok pekerjaan ibu, cakupan IDL paling tinggi pada ibu rumah tangga yang bekerja sebagai buruh (81%), dan terendah pada yang bekerja sebagai nelayan (25%) (Tabel 3.7.4) Indikator Deteksi Dini Hepatitis B dengan Pemeriksaan HBsAg Indikator dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun adalah Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kegiatan deteksi dini hepatitis B pada kelompok berisiko dengan target tahun 2015 sebesar 5 persen Algoritma Indikator Deteksi Dini Hepatitis B dengan Pemeriksaan HBsAg Survei ini menemukan 11 persen dinas kesehatan kabupaten/kota telah melaksanakan program deteksi dini hepatitis B. Persentase kabupaten/kota yang telah melaksanakan program ini 7,1 persen dinas kota dan 12,4 persen dinas kesehatan kabupaten (gambar 3.7.5). Gambar 0.5 Proporsi dinas kesehatan kabupaten/kota yang sudah melaksanakan deteksi dini Hepatitis B menggunakan HbsAG, Sirkesnas

173 Capaian Indikator Deteksi Dini Hepatitis B dengan Pemeriksaan HBsAg Pada Tabel disajikan persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG. Capaian indikator program ini sudah melebihi target Renstra Pada tabel terlihat bahwa 29 kabupaten/kota sudah melaksanakan pemeriksaan hepatitis menggunakan HBsAG, yang terdiri dari kota sebesar 7,1 persen dan kabupaten sebesar 12,4 persen. Tabel 0.5 Persentase dinas kesehatan yang melakukan deteksi dini melalui pemeriksaan HbsAG, Sirkesnas 2016 Karakteristik Dinas Kesehatan N Deteksi dini menggunakan HBsAG Ya Tidak Kota 70 7,1 92,9 Kabupaten ,4 87,6 Total ,0 89,0 Hasil survei ini menunjukkan, bahwa sebanyak 29 kabupaten/kota sudah melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG (Tabel 3.7.5). Persentase kelompok masyarakat yang berisiko di kabupaten/kota yang sudah melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG pada tahun 2015 bisa dilihat pada Gambar Persentase antar kelompok masyarakat yang sudah melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG tidak jauh berbeda (sekitar 10%). Persentase tertinggi pada kelompok injection drug user (IDU) dan orang yang kontak serumah dengan penderita hepatitis B. Gambar 0.6 Proporsi kabupaten/kota yang sudah melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG tahun 2015, Sirkesnas

174 Data pendukung dan penjelasan indikator deteksi dini Hepatitis B Menurut keterangan seksi Hepatitis, pada tahun 2015 baru 22 Provinsi dengan 30 kabupaten/kota yang sudah melaksanakan pelatihan di tingkat provinsi. Selanjutnya dinas kesehatan provinsi melaksanakan pelatihan pada dinkes kabupaten/kota terpilih. Kriteria pemilihan dinas kesehatan kabupaten/kota adalah berdasarkan pertimbangan ketersediaan sumberdaya (dana, sumber daya manusia dan peralatan penunjang). Selanjutnya dinas kesehatan kabupaten/kota melatih lima orang petugas pada setiap puskesmas. Untuk pelaksanaan pelatihan di provinsi, anggaran yang digunakan adalah anggaran Pusat. Sedangkan untuk pelaksanaan pelatihan pada kabupaten/kota didukung dengan dana dekonsentrasi. Sasaran kelompok berisiko sampai tahun 2015 adalah Ibu Hamil (Bumil) dan tenaga kesehatan (nakes). Beberapa provinsi telah melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG terhadap kelompok berisiko selain bumil dan nakes, tetapi belum dilaporkan dalam pelaporan program. Oleh sebab itu di harapkan program mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan yang bisa menampung deteksi dini terhadap seluruh kelompok berisiko sebagaimana dijabarkan dalam Renstra Indikator Tatalaksana pneumonia menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu pendekatan terpadu dalam tatalaksana balita sakit (World Health Organization, 2005). Kemenkes RI (2014) menjelaskan bahwa MTBS adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak berusia 0-59 bulan secara menyeluruh di unit rawat jalan fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Tata laksana MTBS berfokus kepada penyakit yang menjadi penyebab utama kematian, antara lain pneumonia, diare, malaria, campak dan kondisi yang diperberat oleh masalah gizi (malnutrisi dan anemia) (World Health Organization, 2005). Langkah pendekatan pada MTBS adalah dengan menggunakan algoritma sederhana yang digunakan oleh perawat dan bidan untuk mengatasi masalah kesakitan pada Balita. MTBS merupakan intervensi yang cost effective untuk mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh Infeksi Pernapasan Akut (ISPA), diare, campak malaria, kurang gizi, yang sering merupakan kombinasi dari keadaan tersebut. Pada Sirkesnas 2016, indikator MTBS yang diukur adalah persentase kabupaten/kota yang 50 persen puskesmasnya melakukan pemeriksaan dan tatalaksana pneumonia melalui program MTBS dengan target pada tahun 2015 sebesar 20% persen Formula penghitungan capaian indikator ini adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2015) : 150

175 Algoritma Indikator Puskesmas yang Sudah Menjalankan MTBS Gambar 0.7 Algoritma dinas kesehatan dengan 50% puskesmas sudah menjalankan MTBS, Sirkesnas 2016 Hasil survei menunjukan bahwa dari 264 kabupaten/kota, 67,0 persen dinkes kabupaten/kota yang 50 persen puskesmas di wilayah kerjanya sudah menerapkan MTBS. Persentase kabupaten dengan dinas kesehatan kota yang sudah menerapkan MTBS (64,1%) lebih rendah dibanding kota (81,8%) Capaian indikator Puskesmas yang Sudah Menjalankan MTBS Capaian indikator ini diperoleh dari kuesioner dinas kesehatan yaitu, jumlah puskesmas yang melaksanakan MTBS. Pelaksanaan program ini di dinas kesehatan masih terintegrasi dengan pelaksanaan MTBS lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 264 dinkes kabupaten/kota yang disurvei, terdapat 177 (67,0%) dinas kesehatan kabupaten/kota dengan 50 persen puskesmasnya sudah melaksanakan MTBS. Persentase dinas kesehatan dengan 50 persen puskesmasnya sudah melaksanakan MTBS di perkotaan lebih tinggi (81,8%) dibandingkan dengan kabupaten (64,0%). Terdapat 17% kabupaten/kota yang belum melaksanakan program MTBS (Tabel 3.7.6). 151

176 Tabel 0.6 Persentase kabupaten/kota yang 50% puskesmasnya menjalankan program MTBS, Sirkesnas 2016 Karakteristik Dinas Kesehatan Jumlah kab/kota Ya Persentase kabupaten/kota dengan 50 % puskesmas melaksanakan MTBS Tidak Belum ada Program MTBS Kota 44 81,8 13,6 4,5 Kabupaten ,0 16,3 19,5 Total ,0 15,9 17, Pendukung dan Penjelasan Indikator Tatalaksana Pneumonia menggunakan pendekatan MTBS Secara nasional, proporsi dinas kesehatan dengan puskesmas yang telah melaksanakan program MTBS paling rendah adalah 3,2 persen dan paling tinggi 100 persen; dengan rerata 86,4 persen. Untuk tatalaksana pneumonia dengan pendekatan MTBS, masih terdapat kabupaten/kota dengan puskemas yang tidak melaksanakannya (0%) (Tabel 3.7.7). Tabel 0.7 Persentase dinas kesehatan yang melaksanakan program MTBS pada 2015, Sirkesnas 2016 Proporsi Dinas Kesehatan Pelaksanaan Kab/Kota Terendah Tertinggi Rerata MTBS 264 3, ,4 Tatalaksana pneumonia dengan pendekatan MTBS 264 0, , Indikator Pengendalian Vektor Terpadu Salah satu indikator untuk pengendalian vektor pada Renstra Kemenkes adalah Persentase Kabupaten/Kota yang melakukan pengendalian vektor terpadu. Target indikator ini untuk tahun 2015 sebesar 40 persen kabupaten/kota yang endemis melakukan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT). Formulasi Indikator di dalam Renstra adalah : Jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan pengendalian vektor X 100% Jumlah kabupaten/kota endemis penyakit tular vektor dan penyakit zoonotik lain Ada dua kebijakan yang menjelaskan tentang PVT yaitu : 1. Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) terhadap vektor dan binatang pembawa penyakit dilakukan dengan berbagai metode (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2014) yaitu: a. Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit dengan metode fisik yang dilakukan dengan cara paling sedikit mengubah salinitas dan/atau derajat keasaman (ph) air, memberikan radiasi, dan/atau pemasangan perangkap. 152

177 b. Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit dengan metode kimia dilakukan dengan menggunakan bahan kimia. c. Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit dengan metode biologi (paling sedikit) dilakukan dengan menggunakan protozoa, ikan dan/atau bakteri. 2. Upaya penyelenggaraan pengendalian vektor dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pihak swasta dengan menggunakan metode pendekatan PVT. Kemenkes RI (2010) menjelaskan bahwa PVT merupakan pendekatan pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan pertimbangan keamanan, rasionalitas, efektifitas pelaksanaan serta kesinambungannya. Upaya pengendalian vektor dilaksanakan berdasarkan data hasil kajian surveilans epidemiologi antara lain informasi tentang vektor dan dinamika penularan penyakit tular vektor Algoritma Indikator Pengendalian Vektor Terpadu Survei ini melakukan pengamatan terhadap 264 kabupaten/kota terpilih. Pengendalian penyakit tular vektor yang paling banyak dilakukan oleh kabupaten/kota terpilih tersebut adalah pengendalian penyakit tular vektor DBD yaitu sebesar 92,8 persen. Pengendalian penyakit tular vektor yang paling sedikit adalah pengendalian penyakit tular vektor filariasis yaitu 29,9 persen. Persentase tertinggi untuk kabupaten/kota yang telah melakukan pengendalian vektor terpadu adalah untuk penyakit tular vektor DBD yaitu sebesar 30,7 persen dan paling rendah filariasis sebesar 3,1 persen. Gambar 0.8 Algoritma pengendalian vektor terpadu menurut jenis penyakit tular vektor, Sirkesnas

178 Capaian indikator Pengendalian Vektor Terpadu Kriteria pengendalian vektor terpadu yang diacu pada survei ini adalah jika dalam pengendalian penyakit tular vektor menggunakan lebih dari satu metode pengendalian. Metode pengendalian tersebut adalah metode pengendalian kimia, biologis, dan fisik. Pada Tabel disajikan kabupaten/kota yang telah melakukan pengendalian vektor terpadu. Capaian indikator tertinggi adalah pada pengendalian penyakit tular vektor DBD yaitu 30,7 persen dan terendah pada pengendalian penyakit tular vektor filariasis yaitu 3,8 persen. Untuk target Kemenkes, pengendalian vektor terpadu tahun 2015 sebesar 40 persen belum ada kabupaten/kota yang dapat mencapai target tersebut. Tabel 0.8 Persentase dinas kesehatan kabupaten/kota yang telah melakukan pengendalian vektor terpadu berdasarkan karakteristik tahun 2015, Sirkesnas 2016 Karakteristik Jumlah Kab/Kota Belum terpadu Pengendalian Penyakit Tular Vektor Terpadu Tidak ada pengendalian Malaria Kabupaten ,5 13,2 37,3 Kota 44 29,5 13,6 56,8 Total ,2 13,3 40,5 Filariasis Kabupaten ,9 3,2 80,9 Kota 44 13,6 6,8 79,5 Total ,5 3,8 80,7 DBD Kabupaten ,1 25,9 10,0 Kota 44 45,5 54,5,0 Total ,0 30,7 8,3 Cikungunya Kabupaten ,8 11,8 66,4 Kota 44 18,2 22,7 59,1 Total ,2 13,6 65, Pendukung dan penjelasan Indikator Pengendalian Vektor Terpadu Pada Tabel disajikan persentase dinas kesehatan kabupaten/kota yang telah melaksanakan pengendalian penyakit tular vektor pada tahun Perlu dipahami bahwa pemilihan kabupaten/kota yang menjadi lokasi survei dilakukan secara acak, tidak mempertimbangkan daerah endemisitas penyakit tular vektor tertentu dan tanpa mempertimbangkan jenis penyakit tular vektor yang dikendalikan pada setiap kabupaten/kota terpilih. Denominator yang digunakan dalam formulasi Indikator PVT pada survei ini adalah kabupaten/kota yang melakukan pengendalian penyakit tular vektor pada tahun 2015, bukan berdasarkan endemisitas. Kabupaten/kota paling banyak melakukan pengendalian terhadap penyakit tular vektor DBD sebesar 92,8 persen dan terendah adalah pengendalian filariasis 29,9 persen. 154

179 Tabel 0.9 Persentase dinas kesehatan yang melakukan pengendalian penyakit tular vektor berdasarkan jenis penyakit pada tahun 2015, Sirkesnas 2016 Jenis Penyakit Jumlah kab/kota Pengendalian Penyakit Tular Vektor Ya Tidak Malaria Kota 44 50,0 50,0 Kabupaten ,0 30,0 Total ,7 33,3 Filariasis Kota 44 27,3 72,7 Kabupaten ,5 69,5 Total ,9 70,1 Demam Berdarah (DBD) Kota ,0 0,0 Kabupaten ,4 8,6 Total ,8 7,2 Cikungunya Kota 44 59,1 40,9 Kabupaten ,9 54,1 Total ,1 51,9 Tabel menyajikan persentase pelaksanaan program pengendalian penyakit tular vektor pada dinas kesehatan kabupaten/kota tahun 2014 dan Dibanding tahun 2014 dan 2015, hampir di seluruh dinas kesehatan kabupaten/kota mengalami peningkatan persentase pengendalian penyakit tular vektor. Peningkatan tertinggi terlihat pada program pengendalian filariasis pada tahun 2014 sebesar 46,6 persen meningkat menjadi 52,6 persen tahun Peningkatan terendah terlihat pada program pengendalian leptospirosis dari 15,5 persen tahun 2014 menjadi 15,9 persen tahun Pengendalian chikungunya mengalami penurunan dari 39,0 persen tahun menjadi 38,6 persen tahun Tabel 0.10 Pelaksanaan program pengendalian penyakit tular vektor menurut data dinas kesehatan kabupaten/kota tahun 2014 dan 2015, Sirkesnas 2016 Jenis Penyakit N Pelaksanaan Program Pengendalian Penyakit Menular Malaria ,5 89,8 DBD ,1 93,6 Cikungunya ,0 38,6 Filariasis ,6 52,7 Leptospirosis ,5 15,9 Japanese Encephalitis 264 8,3 8,7 Pada pengendalian vektor terpadu diperlukan beberapa elemen kunci dalam strategi manajemen menurut WHO (2012): 155

180 1. Advokasi, berupa sosialisasi dan pendekatan untuk membuat kebijakan dengan sektor terkait, organisasi dan masyarakat, penguatan kebijakan dan perundang-undangan terhadap kesehatan masyarakat serta pemberdayaan masyarakat. 2. Kolaborasi, berupa kerjasama dengan sektor kesehatan dan sektor lainnya, berupa kerjasama lintas program dan lintas sektor termasuk sektor swasta dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, memperkuat komunikasi antara pembuat kebijakan, penanggungjawab program pengendalian penyakit dan mitra lain PVT. 3. Pendekatan terpadu, dengan memastikan pemanfaatan sumber daya yang ada untuk mengatasi penyakit, mengintegrasikan metode kimia dan non kimia dengan metode lainnya dalam upaya pengendalian penyakit. 4. Berbasis bukti (Evidence base), berupa strategi adaptasi dan intervensi kondisi ekologi setempat, epidemiologi dan sumber daya, melalui operasional survei dan melakukan pengawasan dan evaluasi secara rutin. 5. Pengembangan kapasitas (Capacity building), berupa penyediaan infrastruktur yang diperlukan, sumber daya keuangan dan manusia di tingkat nasional dan lokal untuk mengelola PVT berdasarkan analisis situasi. Survei ini juga mengamati ketersediaan elemen kunci tersebut pada dinas kesehatan kabupaten/kota. Elemen Advokasi yang diamati adalah ketersediaan dokumen kebijakan daerah yang menunjang PVT yaitu ketersediaan peraturan daerah, surat keputusan gubernur/bupati/walikota, surat edaran gubernur/bupati/walikota dan kebijakan daerah lainnya. Elemen kolaborasi yang diamati adalah keterlibatan sektor lain dalam upaya pengendalian penyakit tular vektor. Elemen keterpaduan pengendalian yang diamati adalah penggunaan metode biologis, kimia, fisik dan peran serta masyarakat dalam upaya pengendalian penyakit tular vektor. Elemen Evidence base yang diamati dalam survei ini adalah penerapan survei sebagai salah satu pertimbangan dalam melaksanakan pengendalian penyakit tular vektor berupa adanya survei padat populasi jentik dan nyamuk, survei tempat perindukan, pemantauan resistensi jentik dan nyamuk serta suvei dinamika penularan. Elemen Capacity building yang diamati adalah ketersediaan sumber daya manusia dan peralatan penunjang pengendalian penyakit tular vektor. Hasil survei ini menunjukkan bahwa belum ada kabupaten/kota yang sudah memiliki lima elemen kunci penunjang manajemen PVT. Kabupaten/kota baru memiliki dua elemen kunci penunjang manajemen PVT di wilayahnya yaitu 29,5 persen (Tabel ) 156

181 Tabel 0.11 Proporsi dinas kesehatan kabupaten/kota menurut ketersediaan elemen kunci penunjang strategi manajemen pengendalian vektor terpadu berdasarkan karakteristik dinas kesehatan tahun 2015, Sirkesnas 2016 Karakteristik Dinas Kesehatan N Tersedia Elemen kunci Belum Tersedia Tidak Ada Pengendalian Vektor 5 elemen kunci Kota ,9 7,1 Kabupaten ,9 3,1 Total ,8 4,2 4 elemen kunci Kota 70 1,4 91,4 7,1 Kabupaten 194 0,5 96,4 3,1 Total 264 0,8 95,1 4,2 3 elemen kunci Kota 70 4,3 88,6 7,1 Kabupaten 194 6,7 90,2 3,1 Total 264 6,1 89,8 4,2 2 elemen kunci Kota 70 31,4 61,4 7,1 Kabupaten ,9 68,0 3,1 Total ,5 66,3 4,2 3.8 Indikator Program Penyakit Tidak Menular Indikator persentase desa/kelurahan yang melaksanakan kegiatan Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak menular (Posbindu PTM) Posbindu PTM merupakan kebijakan Pemerintah dalam kegiatan pelayanan kesehatan dengan memberdayakan peran serta masyarakat untuk mengurangi tingginya prevalensi penyakit tidak menular. Posbindu PTM meliputi kegiatan monitoring dan deteksi dini faktor risiko PTM terpadu (penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes, penyakit paru obstruktif akut dan kanker) serta gangguan akibat kecelakaan dan tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang dikelola oleh masyarakat melalui pembinaan terpadu. Posbindu PTM merupakan wujud peran serta masyarakat dalam melakukan kegiatan deteksi dini dan monitoring faktor risiko PTM serta tindak lanjutnya yang dilaksanakan secara terpadu, rutin dan periodik dibawah bimbingan puskesmas. Kegiatan posbindu PTM diharapkan dapat meningkatkan sikap mawas diri masyarakat terhadap faktor risiko PTM sehingga peningkatan kasus PTM dapat dicegah. Kegiatan ini dimulai dari tingkat desa/ kelurahan (Kementerian Kesehatan RI Dirjen PP&PL, 2012 dan 2013). 157

182 Definisi Operasional : Persentase desa/kelurahan yang melaksanakan kegiatan posbindu PTM yaitu deteksi dini dan monitoring faktor risiko PTM secara rutin minimal pada 10 persen penduduk umur 15 tahun di wilayah tersebut. Tabel Persentase desa/kelurahan melaksanakan posbindu PTM di Indonesia, Sirkesnas 2016 Lokasi N n desa memiliki Posbindu PTM % Perkotaan ,6 Perdesaan ,8 Total ,0 Cat: Sampel Dinkes dengan 264 kabupaten/kota tanpa memperhitungkan minimal 10% penduduk 15 tahun (tidak ada data penduduk di tingkat desa/kelurahan) Berdasarkan data yang dikumpulkan, dari 264 kabupaten/kota, terdapat desa/kelurahan. Desa/kelurahan yang telah mempunyai posbindu PTM di wilayahnya sebanyak (55,0%), tersebar 58,6 persen di perkotaan dan 51,8 persen di perdesaan. Data tersebut tanpa memperhitungkan minimal 10 persen penduduk 15 tahun, karena tidak ada data penduduk di tingkat desa/kelurahan. Hasil ini sudah melampaui target Renstra untuk 2015 sebesar 10 persen (Kementerian Kesehatan, 2015). Tabel Proporsi puskesmas yang mempunyai posbindu PTM, Sirkesnas 2016 Posbindu PTM Lokasi N Belum ada posbindu PTM Ada posbindu PTM Perkotaan ,2 89,8 Perdesaan ,1 83,9 Total ,7 87,3 158

183 Lokasi Tabel Proporsi Puskesmas yang mempunyai Posbindu PTM aktif, Sirkesnas 2016 Kategori proporsi posbindu PTM aktif (%) Tidak aktif <10 10-<20 20-<30 30-<40 40-<50 50 Perkotaan 3,6 0,5 3,6 5,6 4,6 2,6 69,4 Perdesaan 1,4 0,7 3,5 1,4 3,5 1,4 72 Total 2,7 0,6 3,5 3,8 4,1 2,1 70,5 Dari 296 posbindu PTM yang ada di bawah pengawasan puskesmas tersebut, memiliki keaktifan kegiatan yang bervariasi. Terdapat 70,5 persen puskesmas dengan posbindu PTM aktif 50 persen, sedangkan kegiatan posbindu aktif minimal 10 persen di wilayah kerjanya sebesar 84,0 persen. Sebanyak 2,7 persen puskesmas dengan Posbindu PTM yang tidak aktif dari total puskesmas 339 (Tabel 3.8.3) Indikator Puskesmas yang melaksanakan pengendalian PTM Terpadu Pengendalian PTM hendaknya dilakukan terpadu setidaknya untuk hipertensi dan diabetes. Pengendalian terpadu dapat dilakukan dengan pengorganisasian masyarakat melalui kegiatan posbindu PTM dan lain-lain seperti kelompok masyarakat dalam pengajian, lansia. PTM terpadu meliputi pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD) seperti hipertensi, stroke, penyakit jantung koroner; diabetes; penyakit paru menahun (PPOK, Asma); kanker (leher rahim, payudara dan anak), penyakit kronis lain (thalasemia, SLE, osteoporosis). Definisi Operasional: Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan deteksi dini faktor risiko PTM terpadu minimal melalui kegiatan posbindu PTM pada minimal 10 persen desa/kelurahan di wilayah kerjanya dan melaksanakan pengendalian hipertensi dan diabetes melitus terintegrasi (yang ditandai dengan adanya data tentang prediksi faktor risiko penyakit jantung dan stroke 10 tahun ke depan/diagram Carta). Target dalam Renstra pada tahun 2015 adalah 10 persen puskesmas yang telah melaksanakan PTM terpadu. 159

184 Tabel Persentase puskesmas yang memiliki 10 persen desa melaksanakan pengendalian PTM berdasarkan lokasi dan jenis puskesmas, Sirkesnas 2016 Puskesmas N >= 10% desa < 10% desa Tidak ada Posbindu Tidak ada data N % n % n % n % Lokasi PKM Perkotaan ,6 7 3,2 16 7,4 4 1,8 Perdesaan ,1 11 6, ,1 5 2,7 Jenis PKM Perawatan ,2 8 5, ,0 4 2,6 Non Perawatan ,1 10 4, ,8 5 2,0 Total ,5 18 4, ,8 9 2,3 Tabel menunjukkan bahwa sebanyak 80,5 persen puskesmas memiliki 10% desa yang melaksanakan pengendalian PTM terpadu. Hasil ini sudah melampaui target Renstra untuk tahun 2015 sebesar 10 persen. Namun demikian masih ditemukan 51 puskesmas (12,8%) yang tidak memiliki Posbindu PTM. Tabel Persentase puskesmas melaksanakan pelayanan PTM terpadu berdasarkan lokasi dan jenis puskesmas, Sirkesnas 2016 Pelatihan dan Pelayanan PTM Terpadu Puskesmas Jumlah tersedia Tenaga dilatih PTM Terpadu % Keberadaan Pelayanan PTM Terpadu Jumlah tersedia Lokasi Puskesmas Perkotaan , ,3 Perdesaan , ,3 Jenis Puskesmas Perawatan , ,2 Non Perawatan , ,4 Total , ,1 Pada Tabel di atas terlihat bahwa dari 400 puskesmas terdapat 210 puskesmas (52,5%) yang tenaga kesehatannya sudah dilatih PTM terpadu. Dari 210 puskesmas tersebut, 164 puskesmas diantaranya (78,1%) sudah melaksanakan pelayanan PTM terpadu. Hasil ini sudah melampaui target Renstra 2015, puskesmas yang melaksanakan pelayanan posbindu terpadu sebesar 10%. % 160

185 3.8.3 Indikator Perempuan umur tahun yang dideteksi dini kanker serviks dan payudara Kanker payudara dan kanker serviks merupakan 2 jenis kanker terbanyak pada perempuan baik di negara maju maupun berkembang. Demikian juga di Indonesia, berdasarkan hasil Riskesdas 2013, kanker payudara dan serviks merupakan kanker terbanyak pada perempuan. Kanker payudara merupakan keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar, dan jaringan penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara. Insiden kanker payudara meningkat di negara berkembang termasuk di Indonesia karena meningkatnya umur harapan hidup, urbanisasi dan adopsi gaya hidup Barat. Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah kanker payudara banyak didiagnosis sudah pada stadium lanjut. Oleh karena itu, deteksi dini kanker payudara sangat diperlukan untuk mengidentifikasi secara dini adanya kanker payudara sehingga diharapkan dapat diterapi dengan teknik yang dampak fisiknya kecil dan punya peluang lebih besar untuk sembuh (Kementerian Kesehatan RI Dirjen PP&PL, 2015). Deteksi dini kanker payudara dapat dilakukan dengan Periksa Payudara Sendiri (Sadari) dengan cara yang benar, Pemeriksaan Payudara Klinis (Sadanis), USG payudara maupun mammografi (PERABOI, 2003). Kanker serviks merupakan keganasan yang terjadi pada leher rahim, bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama. Insiden kanker serviks semakin tahun semakin bertambah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Divisi Onkologi Ginekologi, Departemen Obstetri Ginekologi FKUI di RS Dr. Cipto Mangunkusumo, sebagian besar insiden terjadi pada kelompok umur tahun (87,3%) dengan puncak pada kelompok umur tahun (71,3%) (Kementerian Kesehatan RI Dirjen PP&PL, 2015). Serupa dengan kanker payudara, pasien kanker serviks sering didiagnosis/datang ke fasilitas kesehatan sudah dalam kondisi stadium lanjut. Deteksi dini kanker serviks dapat dilakukan dengan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) dan pap smear. Inspeksi Visual asam asetat dilakukan oleh dokter/bidan terlatih, dilakukan dengan mengoleskan asam asetat pada Sambungan Skuamo Kolumnar (SSK). Pemeriksaan IVA dikatakan positif bila ditemukan bercak putih (acetowhite) pada serviks sebagai tanda lesi prakanker serviks (Nuranna L, Aziz M, Cornain S, 2012; Kementerian Kesehatan RI Dirjen PP&PL, 2015). Untuk menunjang hal tersebut, Pemerintah melakukan program penanggulangan kanker payudara dan kanker leher rahim yang tertuang dalam Permenkes No. 34 tahun Program pelayanan kesehatan masyarakat berkesinambungan dibidang penyakit kanker payudara dan kanker leher rahim yang mengutamakan aspek promotif dan preventif kepada masyarakat disertai pelayanan kesehatan perorangan secara kuratif dan rehabilitatif serta paliatif yang berasal dari masyarakat sasaran program maupun atas inisiatif perorangan itu sendiri yang dilaksanakan secara komprehensif, efektif, dan efisien. Renstra 2015 menargetkan 10 persen perempuan usia tahun yang dideteksi dini kanker serviks dan payudara. 161

186 Definisi Operasional: Persentase perempuan umur tahun dideteksi dini kanker serviks dan payudara adalah jumlah perempuan umur tahun yang dilakukan deteksi dini melalui metoda Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) atau papsmear untuk kanker leher rahim dan pemeriksaan payudara klinis (Sadanis) untuk kanker payudara Deteksi Dini Kanker Payudara Deteksi dini kanker payudara dalam Sirkesnas 2016 ditanyakan kepada responden perempuan umur 20 tahun apakah sudah pernah melakukan Sadanis dibantu dengan kartu peraga. Pada Tabel memperlihatkan proporsi perempuan umur 20 tahun yang melakukan Sadari 23,3 persen sedangkan Sadanis hanya 3,5 persen. Perempuan yang melakukan Sadari di perkotaan sebesar 32,4 persen dan di perdesaan 14,3 persen. Demikian juga halnya dengan pemeriksaan Sadanis, perempuan umur 20 tahun yang melakukannya di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (4,2 dan 2,8%). Hal ini dimungkinkan karena kebanyakan perempuan masih enggan datang ke fasilitas kesehatan untuk melakukan pemeriksaan Sadanis, lebih memilih pemeriksaan payudara sendiri. Perlunya edukasi yang lebih intensif mengenai kanker payudara dan deteksi dini yang dilakukan oleh petugas kesehatan kepada masyarakat. Tabel Perempuan umur 20 tahun yang melakukan deteksi dini kanker payudara dengan Sadari dan Sadanis berdasarkan tempat tinggal *), Sirkesnas 2016 Tempat tinggal N Sadari Deteksi dini kanker payudara Sadanis Ya Tidak Ya Tidak n % n % n % N % Perkotaan , , , ,8 Perdesaan , , , ,2 Total , , , ,5 *) data individu/komunitas Deteksi Dini Kanker Serviks Deteksi dini kanker payudara dalam Sirkesnas 2016 ditanyakan kepada responden perempuan yang sudah melakukan hubungan seksual apakah sudah pernah melakukan pemeriksaan IVA maupun pap smear dibantu dengan kartu peraga. Sebanyak 319 orang (2,5%) dari perempuan dengan status kawin, cerai hidup, hidup bersama atau hidup pisah melakukan pemeriksaan deteksi kanker serviks dalam 5 tahun terakhir. 162

187 Tabel Proporsi perempuan umur 20 tahun yang melakukan deteksi dini kanker serviks dengan IVA atau pap smear berdasarkan tempat tinggal *), Sirkesnas 2016 Deteksi dini kanker serviks Tempat tinggal N IVA Pap smear Ya Tidak Ya Tidak N % N % n % N % Perkotaan , , , ,5 Perdesaan , ,2 61 1, ,0 Total , , , ,3 *) data individu/komunitas Proporsi perempuan umur 20 tahun yang melakukan pemeriksaan IVA di Indonesia sebesar 2,5 persen. Di perkotaan sebesar 3,3 persen dan di perdesaan 1,8 persen. Sedangkan proporsi perempuan umur 20 tahun yang pernah melakukan pemeriksaan pap smear sebesar 2,7 persen, di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan (4,5 dan 1,0%). Hasil di atas juga menunjukkan bahwa pemeriksaan pap smear lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan IVA, padahal pemeriksaan IVA lebih terjangkau dari biaya maupun aksesnya (dapat dilakukan di puskesmas). Hal ini kemungkinan disebabkan karena masyarakat lebih mengetahui program pap smear dibandingkan IVA. Dari segi tenaga yang sudah dilatih, terdapat 264 dari 400 puskesmas (66,0%) yang tenaga kesehatannya sudah dilatih IVA (78,8% puskesmas perkotaan dan 50,8% perdesaan). Sebanyak 83,0% puskesmas yang tenaga kesehatannya sudah dilatih IVA tersebut sudah melaksanakan pelayanan pemeriksaan IVA. Hasil tersebut dapat dilihat pada lampiran Tabel Indikator Deteksi Dini Kanker Payudara dan Serviks Proporsi perempuan umur tahun yang telah melaksanakan deteksi dini kanker payudara dan serviks baru sebesar 1,0 persen. Hasil ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan target capaian deteksi dini dalam Renstra pada tahun 2015 sebesar 10 persen. Hal ini dapat dimungkinkan karena kurangnya sosialisasi deteksi dini kanker payudara dan kanker serviks sehingga perlu dilakukan sosialisasi yang lebih gencar di kalangan masyarakat, koordinasi terpadu dengan pengambil keputusan terkait (Tabel 3.8.8) 163

188 Tabel Proporsi perempuan umur tahun yang pernah melakukan deteksi dini kanker payudara dan serviks berdasarkan tempat tinggal, Sirkesnas 2016 Tempat tinggal N Deteksi dini kanker payudara dan serviks Ya Tidak n % N % Perkotaan , ,8 Perdesaan , ,3 Total , ,0 Proporsi deteksi dini kanker payudara atau serviks pada perempuan umur tahun, didapatkan sebesar 1,0 persen. Hal ini dilakukan mengingat, tidak semua responden yang melakukan pemeriksaan sadanis (belum menikah) dilakukan pemeriksaan IVA atau pap smear (Tabel 3.8.8). Hasil ini juga masih lebih rendah dibandingkan dengan target capaian deteksi dini dalam Renstra pada tahun 2015 (10%). Jadi masih tetap perlu dilakukan sosialisasi yang lebih gencar di masyarakat dan koordinasi terpadu dengan pengambil keputusan. Tabel Proporsi perempuan umur tahun yang pernah melakukan pemeriksaan Sadanis, IVA untuk deteksi dini berdasarkan tempat tinggal, Sirkesnas 2016 Pemeriksaan Tempat tinggal N IVA Sadanis Ya Tidak Ya Tidak N % n % n % n % Perkotaan , , , ,3 Perdesaan , , , ,2 Total , , , ,2 Tabel menunjukkan bahwa proporsi perempuan umur tahun yang melakukan pemeriksaan IVA di Indonesia sebesar 3,2 persen. Sedangkan proporsi perempuan umur tahun yang pernah melakukan Sadanis sebesar 3,8 persen, di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan (4,7 dan 2,8%). Hasil ini tidak terlalu jauh bila dibandingkan dengan data puskesmas, perempuan tahun yang pernah diperiksa IVA sebesar 3,8 persen dan Sadanis 4,0 persen (lampiran Tabel 65 dan 66). 164

189 3.8.4 Indikator Kabupaten/Kota yang Melakukan Pemeriksaan Kesehatan Pengemudi di Terminal Utama Adanya komitmen global dan nasional melalui Decade of Action (DoA) for Road Safety yang bertujuan untuk mengendalikan dan mengurangi tingkat fatalitas korban kecelakaan lalu lintas secara global, maka setiap negara anggota dituntut untuk meningkatkan kegiatan yang dijalankan pada skala nasional, regional dan global. Untuk itu Pemerintah melakukan pencatatan tentang kabupaten/kota yang melakukan pemeriksaan kesehatan pengemudi di terminal utama. Definisi Operasional : Persentase kabupaten/kota yang melakukan pemeriksaan kesehatan pengemudi di terminal utama. Dalam hal ini pengemudi adalah pengemudi bus Antar Kabupaten Antar Provinsi (AKAP), Pengemudi bus Antar Kabupaten Dalam Provinsi (AKDP) pengemudi Pariwisata dan pengemudi angkutan umum. Tabel Proporsi kabupaten/kota yang sudah mempunyai program pemeriksaan kesehatan pengemudi berdasarkan lokasi, Sirkesnas 2016 Lokasi N Di terminal utama Di PO Bus/travel/ angkot Tidak ada program pemeriksaan n % n % n % Kota ,4 7 15, ,7 Kabupaten ,1 20 9, ,8 Total , , ,0 Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan, proporsi kabupaten/kota yang mempunyai program pemeriksaan pengemudi di terminal utama sebanyak 47 (17,8%) dari 264 kabupaten/kota. Proporsi kota yang mempunyai program pemeriksaan kesehatan pengemudi lebih tinggi dibandingkan di kabupaten. Sebanyak 190 kabupaten/kota (72%) tidak mempunyai program pemeriksaan pengemudi di terminal utama (Tabel ). Hasil ini telah melampaui target Renstra pada tahun 2015 sebesar 10 persen Indikator kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), minimal 50 persen sekolah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap, dan/atau dihirup termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan. Kawasan Tanpa Rokok yang dimaksud sesuai dengan Pedoman Pengembangan KTR Kementerian Kesehatan RI adalah: 165

190 1. Tempat kerja yaitu tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya; 2. Tempat proses belajar mengajar yaitu gedung yang digunakan untuk kegiatan belajar, mengajar, pendidikan dan/atau pelatihan; 3. Fasilitas pelayanan kesehatan yaitu suatu tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat; 4. Tempat anak bermain yaitu area tertutup maupun terbuka yang digunakan untuk kegiatan bermain anak-anak; 5. Tempat ibadah yaitu bangunan atau ruang tertutup yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadah keluarga; 6. Tempat umum yaitu semua tempat tertutup yang dapat diakses oleh masyarakat umum dan/atau tempat yang dapat dimanfaatkan bersamasama untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat; 7. Angkutan umum yaitu alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan darat, air, dan udara biasanya dengan kompensasi. Definisi operasional: Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal 50 persen sekolah. Indikator Renstra untuk KTR: persentase kabupaten/kota yang memiliki peraturan dan kebijakan KTR dalam bentuk SE, SK, Instruksi, Peraturan Walikota/Peraturan Bupati/Peraturan Daerah dan telah menerapkan pada minimal 50 persen tempat proses belajar mengajar di sekolah. Yang dimaksud dengan menerapkan adalah: 1. Tidak ditemukan orang merokok di dalam gedung; 2. Tidak ditemukan ruang merokok di dalam gedung; 3. Tidak tercium bau rokok; 4. Tidak ditemukan puntung rokok; 5. Tidak ditemukan penjualan rokok; 6. Tidak ditemukan asbak atau korek api; 7. Tidak ditemukan iklan atau promosi rokok; 8. Ada tanda dilarang merokok. Data Sirkesnas 2016 untuk indikator ini, hanya berdasarkan catatan yang ada di dinas kesehatan kabupaten/kota, tanpa memperhatikan/melakukan observasi penerapan 8 syarat KTR yang tersebut di atas (dalam catatan dinas tidak dirinci 8 kegiatan tersebut). Sejumlah 264 sampel kabupaten/kota dalam Sirkesnas 2016, sebanyak 171 kabupaten/kota (64,8%) menyatakan menerapkan kebijakan KTR. Di daerah kota lebih banyak terdapat KTR dibandingkan kabupaten (90,9 dan 59,5%). 166

191 Bentuk peraturan KTR sangat bervariasi di kota maupun di kabupaten. Peraturan KTR dapat berupa Peraturan Daerah (51,5%), Peraturan Gubernur (33,9%), Peraturan Bupati (62,6%) dan Surat Edaran (34,5%). Hasil ini dapat dilihat di lampiran Tabel 68, sedangkan persentase kabupaten/kota yang menerapkan KTR menurut tempat penerapannya dapat dilihat pada lampiran Tabel 69. Dalam survei tercatat hanya 151 (57,2%) kabupaten/kota yang memiliki data tentang KTR. Lebih dari separuh (52,3%) kabupaten/kota dengan sekolah belum menerapkan KTR. Persentase kabupaten/kota dengan 50 persen sekolah yang menerapkan peraturan KTR adalah 15,9 persen. Hasil ini 5,9 persen melebihi target Renstra pada tahun 2015 sebesar 10 persen. Lokasi Tabel Persentase (%) sekolah yang menerapkan peraturan KTR berdasarkan lokasi, Sirkesnas 2016 N Kab/Kota dengan Sekolah memiliki KTR 50% menerapkan KTR % sekolah <50% menerapkan KTR Tidak menerapkan KTR Kota (65,9) 24,1 27,6 48,3 Kabupaten (55,5) 13,9 32,8 53,3 Total (57,2) 15,9 31,8 52,3 Catatatan: Sebanyak 113 ( ) kabupaten/kota tidak ada data KTR. Hanya 151 kab/kota dengan data KTR Indikator prevalensi merokok penduduk pada umur 18 tahun (10-18 tahun) Kebiasaan merokok pada remaja atau perokok pemula merupakan salah satu fokus masalah konsumsi tembakau yang menjadi program utama Kementerian Kesehatan. Kebiasaan merokok ditetapkan berdasarkan pengakuan responden melalui wawancara, meliputi kebiasan merokok saat ini, mantan perokok dan tidak merokok. Kebiasaan merokok saat ini meliputi merokok setiap hari dan kadang-kadang dalam satu bulan terakhir. Mantan perokok mencakup tidak pernah merokok dalam satu bulan terakhir tetapi pernah merokok sebelumnya baik setiap hari maupun kadang-kadang, sedangkan tidak merokok yaitu responden yang sama sekali tidak pernah merokok selama hidupnya. Populasi sampel laki-laki dan perempuan pada kelompok umur 18 tahun (10-18 tahun) adalah sebesar orang. Prevalensi kebiasaan merokok saat ini pada populasi umur muda (10-18 tahun) secara nasional adalah sebesar 8,8 persen dengan prevalensi 17,2 persen pada laki-laki serta 0,2 persen pada perempuan (Tabel ). Hasil ini justru lebih tinggi dari baseline RPJMN untuk indikator prevalensi merokok penduduk usia tahun sebesar 7,2 persen dan semakin menjauh dari target 2019 (5,4%). 167

192 Tabel Prevalensi merokok pada populasi umur tahun berdasarkan jenis kelamin, Sirkesnas 2016 Jenis Kelamin N Status merokok saat ini mantan perokok tidak merokok N % n % n % Laki-laki , , ,5 Perempuan ,2 25 0, ,4 Total , , ,9 Gambar Prevalensi merokok pada populasi umur tahun pada Riskesdas 2013 dan Sirkesnas 2016 Gambar menunjukkan bahwa prevalensi kebiasaan merokok pada umur muda hasil Sirkesnas 2016 lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2013 yang digunakan sebagai baseline RPJMN untuk indikator ini. Prevalensi merokok pada umur tahun pada tahun 2013 berdasarkan Riskesdas adalah sebesar 7,2 persen, prevalensi terbesar adalah pada remaja laki-laki (14% pada laki-laki dan 0,2% pada perempuan). 168

193 3.8.7 Indikator prevalensi tekanan darah tinggi pada penduduk usia 18 tahun Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dalam Sirkesnas 2016, hipertensi dinilai melalui 2 cara yaitu wawancara dan pengukuran. Melalui wawancara, ditanyakan mengenai riwayat didiagnosis hipertensi oleh nakes, dan kondisi sedang minum obat anti-hipertensi saat ini. Untuk hipertensi berdasarkan hasil pengukuran, dilakukan melalui pengukuran tekanan darah/tensi menggunakan alat pengukur/tensimeter digital. Setiap responden diukur tensinya minimal 2 kali. Jika hasil pengukuran kedua berbeda 10 mmhg dibanding pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ketiga. Dua data pengukuran dengan selisih terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung reratanya sebagai hasil ukur tensi (Paul A. James, MD; Suzanne Oparil, MD; Barry L. Carter, PharmD; et.al, 2014). Prevalensi hipertensi diperhitungkan pada kelompok umur 18 tahun. Hipertensi ditegakkan berdasarkan kriteria Joint National Committee (JNC VIII) 2014, apabila tekanan darah sistolik 140 mmhg atau tekanan darah distolik 90 mmhg. Sasaran RPJMN adalah prevalensi tekanan darah tinggi pada penduduk umur 18 tahun sebesar 25,8 persen pada tahun 2013 dengan target penurunan menjadi 23,4 persen pada tahun Responden umur 18 th N= Diagnosis nakes Pengukuran Tidak hipertensi n= (86,31%) Hipertensi n= (13,38%) Hipertensi n= (32,38%) Tidak hipertensi n= (67,62%) Laki-laki n=1.121 Perempuan n=2.254 Patuh minum obat n= 340 (30,0%) Tidak patuh minum obat n= 781 (70,0%) Patuh minum obat n= 693 (30,7%) Tidak patuh minum obat n= (69,3%) Gambar Algoritma sampel responden hipertensi umur 18 tahun berdasarkan diagnosis nakes dan pengukuran serta kepatuhan minum obat, Sirkesnas

194 Jumlah responden pada kelompok umur 18 tahun sebanyak orang, terdiri dari laki-laki sebanyak dan perempuan sebanyak orang. Prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran sebesar 32,38 persen (laki-laki 30%, sedangkan perempuan 34,4 %). Prevalensi kelompok umur 18 tahun yang pernah didiagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan menderita hipertensi yaitu 13,38 persen (laki-laki 9,9%, sedangkan perempuan 16,9%). Dari responden yang pernah didiagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan, ditanyakan lebih lanjut apakah saat ini minum obat antihipertensi. Pertanyaan ini bertujuan untuk mengetahui kepatuhan minum obat antihipertensi. Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan, hanya sekitar 30 persen responden yang pernah didiagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan, masih patuh minum obat antihipertensi. Hasil survei nasional selama kurun waktu 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa tidak ada kecenderungan perubahan prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pengukuran. Gambar menunjukkan hipertensi berdasarkan pengukuran pada Sirkesnas 2016 sebesar 32,4 persen, lebih tinggi dibandingkan Riskesdas 2013 (25,8%) dan relatif tidak berbeda dibandingkan Riskesdas 2007 (31,7%). Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosis nakes melalui wawancara pada tahun 2016 (12,9%) lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 dan 2007 (9,5 dan 7,6%). Proporsi minum obat antihipertensi menunjukkan kecenderungan lebih tinggi pada tahun 2016 (3,9%) dibandingkan tahun 2013 (0,7%) dan 2007 (0,4%). *) pengukuran pada kelompok umur 18 tahun **) diagnosis nakes dan minum obat berdasarkan wawancara ( 15tahun) Gambar Kecenderungan hipertensi berdasarkan pengukuran*, diagnosis nakes** dan kepatuhan minum obat**, Riskesdas 2007 dan 2013, Sirkesnas

195 Peningkatan hipertensi melalui diagnosis nakes dan minum obat antihipertensi pada tahun 2016, diperkirakan juga karena kesadaran masyarakat yang semakin membaik untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan dan kepatuhan minum obat. Meskipun demikian, keadaan ini belum diikuti oleh penurunan prevalensi hipertensi. Hasil ini menunjukkan bahwa target untuk terjadinya penurunan prevalensi hipertensi belum memenuhi target. Perlu edukasi yang lebih intensif kepada masyarakat sebagai upaya pencegahan terjadinya hipertensi. Gambar Prevalensi responden yang minum obat pada yang didiagnosis hipertensi oleh nakes, Sirkesnas 2016 Prevalensi responden yang minum obat anti hipertensi (OAH) pada yang didiagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan hanya sebesar 30,5 persen. Dari responden yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan minum OAH tersebut hanya 21,7 persen yang tekanan darah pada saat pengukuran menunjukkan tidak hipertensi/terkontrol sedangkan 78,3 persen tidak terkontrol (Gambar 3.8.4). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran responden untuk minum OAH masih rendah atau tata cara minum obat yang belum tepat. Perlu upaya edukasi yang lebih intensif tentang pentingnya minum obat dan tata cara minum obat yang tepat agar hipertensi dapat terkontrol. 3.9 Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan obat dan cara berdasarkan pengalaman dan keterampilan turun-temurun secara empiris, yang dapat dipertanggungjawabkan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Pelayanan kesehatan tradisional mencakup pelayanan kesehatan tradisional ramuan dan pelayanan kesehatan tradisional keterampilan. Data untuk menilai indikator program Direktorat Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Komplementer (Yankestradkom) diperoleh dari puskesmas dan 171

196 dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Oleh karena itu blok pelayanan kesehatan tradisional hanya terdapat peada 2 kuesioner, yaitu untuk dinas kesehatan kabupaten/kota dan puskesmas. Komunitas/masyarakat tidak diambil sebagai sumber data indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad). Indikator Direktorat Yankestradkom yang dinilai dalam survei ini adalah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan tradisional terhadap masyarakat di wilayah kerjanya, yang memenuhi salah satu kriteria di bawah ini: 1. Puskesmas yang memiliki tenaga kesehatan sudah dilatih bidang Kesehatan Tradisional (Kestrad). 2. Puskesmas yang melaksanakan asuhan mandiri kestrad ramuan dan keterampilan. 3. Puskesmas yang melaksanakan kegiatan pembinaan meliputi pengumpulan data kesehatan tradisional, fasilitasi registrasi/perizinan dan bimbingan teknis serta pemantauan pelayanan kesehatan tradisional. Kriteria ketiga tidak dilibatkan dalam proses analisis data Sirkesnas 2016, karena pembinaan merupakan tanggung jawab dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun , target indikator tersebut pada tahun 2015 adalah 15 persen puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan tradisional (Kemenkes, 2015) Capaian Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional di Puskesmas Puskesmas yang sudah melaksanakan program pelayanan kesehatan tradisional di Indonesia sebanyak 39,8 persen. Menurut lokasi, puskesmas perkotaan yang sudah melaksanakan program pelayanan kesehatan tradisional lebih banyak daripada puskesmas perdesaan (Tabel 3.9.1). Tabel Puskesmas penyelenggara program pelayanan kesehatan tradisional berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Puskesmas penyelenggara program yankestrad Karakteristik Puskesmas N Ya Tidak N % N % Lokasi - Perkotaan , ,7 - Perdesaan , ,6 Nasional , ,3 Sementara itu diantara puskesmas penyelenggara program pelayanan kesehatan tradisional, puskesmas yang memenuhi salah satu kriteria indikator yang telah ditetapkan adalah 78,6 persen (Tabel 3.9.2). Capaian tersebut telah melampaui target yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun (15%). 172

197 Tabel Puskesmas penyelenggara program pelayanan kesehatan tradisional yang memenuhi salah satu kriteria indikator berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Puskesmas penyeleggara program yankestrad yang memenuhi salah kriteria indikator Karakteristik Puskesmas N Ya Tidak n % n % Lokasi Perkotaan , ,6 Perdesaan , ,0 Nasional , ,4 Berdasarkan lokasi, puskesmas di perkotaan yang sudah melaksanakan program yankestrad bagi masyarakat lebih tinggi (80,4%) daripada perdesaan (75,0%) Capaian Kriteria Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional di Puskesmas Pada tabel terlihat bahwa diantara puskesmas penyelenggara pelayanan kesehatan tradisional, puskesmas yang telah memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan dilatih yankestrad periode tahun adalah sebanyak 58,5 persen. Persentase puskesmas perkotaan (61,7%) dengan SDM yang sudah dilatih yankestrad lebih tinggi daripada puskesmas perdesaan (51,9%). Tabel Puskesmas penyelenggara program yankestrad yang memiliki SDM sudah dilatih pelayanan kesehatan tradisional berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Puskesmas penyeleggara program yankestrad yang memiliki SDM sudah dilatih yankestrad Karakteristik Puskesmas N Ya Tidak n % n % Lokasi Perkotaan , ,3 Perdesaan , ,1 Nasional , ,5 173

198 Tabel menunjukkan bahwa 54,1 persen puskesmas penyelenggara program pelayanan kesehatan tradisional sudah melaksanakan asuhan mandiri bidang kesehatan tradisional. Persentase puskesmas di perkotaan (57,0%) lebih tinggi daripada persentase puskesmas di perdesaan (48,1%). Tabel Puskesmas penyelenggara program yankestrad yang sudah menjalankan kegiatan asuhan mandiri bidang kesehatan tradisional berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Puskesmas penyelenggara program yankestrad yang sudah menjalankan kegiatan asuhan mandiri bidang Karakteristik Puskesmas N kestrad Ya Tidak n % n % Lokasi - Perkotaan , ,0 - Perdesaan , ,9 Nasional , , Rekomendasi Perbaikan Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional Indikator pelayanan kesehatan tradisional yang sudah ada belum terlalu spesifik menggambarkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional bagi masyarakat di wilayah kerja puskesmas. Definisi operasional indikator yang hanya mensyaratkan salah satu dari kriteria indikator menyebabkan target indikator kinerja mudah untuk dicapai. Sebaiknya, definisi operasional indikator mensyaratkan terpenuhinya seluruh kriteria indikator yang telah ditetapkan, sehingga dapat menggambarkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional di masyarakat. Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa 34 persen puskesmas penyelenggara program yankestrad atau 13,5 persen puskesmas di seluruh Indonesia telah memenuhi seluruh kriteria indikator yang dianalisis (kriteria pertama dan kedua) Indikator Program Farmasi Terdapat 3 indikator yang harus dicapai Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam Renstra dan RPJMN tahun yang ditelusri dalam Sirkesnas Ketiga indikator tersebut adalah (1) Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas, (2) Persentase Puskesmas yang Melaksanakan Pelayanan Kefarmasian sesuai Standar, dan (3) Persentase Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas Indikator Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas Definisi operasional untuk indikator Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas adalah tersedianya obat dan vaksin indikator untuk program pelayanan kesehatan dasar di puskesmas. Terdapat 20 item obat dan vaksin 174

199 yang digunakan sebagai indikator di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Daftar obat dan vaksin indikator yaitu: No Nama obat No Nama obat 1. Tablet albendazol 11. Tablet kaptopril 2. Tablet amoksisilin 500 mg 12. Injeksi magnesium sulfas 3. Sirup amoksisilin 13. Injeksi metilergometrin 4. Tablet diazepam 5 mg 14. Obat anti tuberkulosis 5. Tablet deksametason 15. Injeksi oksitosin 6. Injeksi epinefrin (adrenalin) 16. Tablet parasetamol 500 mg 7. Injeksi fitomenadion 17. Tablet tambah darah 8. Tablet furosemid 40 mg 18. Vaksin BCG 9. Garam oralit 19. Vaksin DPT/DPT-HB 10. Tablet glibenklamid 20. Vaksin TT Pengumpulan data untuk mengukur indikator Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas dilakukan dengan 2 cara, yaitu: Data ketersediaan obat dan vaksin tahun 2015 ditentukan melalui analisis data sekunder atau Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk puskesmas dan rangkuman laporan akhir tahun untuk dinas kesehatan (dinkes) per 25 Nopember Bila di lapangan tidak tersedia laporan per 25 Nopember maka akan dilihat laporan akhir tahun yang ada di puskesmas atau di dinkes. Untuk data ketersediaan obat dan vaksin tahun 2016 ditentukan melalui observasi cross sectional pada saat survei, yaitu ketersediaan fisik obat dan vaksin pada bulan Mei dan Juni Oleh karena itu, persentase ketersediaan obat dan vaksin tahun 2015 dan tahun 2016, dalam laporan ini tidak dibandingkan, melainkan hanya disandingkan. Ketersediaan obat dan vaksin indikator dapat dilihat pada gambargambar di bawah ini. Gambar tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan obat indikator di 400 puskesmas masih di bawah target Renstra Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, yaitu 77,0 persen untuk tahun 2015 dan 80 persen untuk tahun 2016 (Gambar ). Akan tetapi ketersediaan obat indikator pada 264 sampel dinas kesehatan dimana puskesmas sampel berada, memperlihatkan persentase yang lebih tinggi dibandingkan target Renstra tingkat puskesmas, baik pada tahun 2015 yaitu 81,4 persen maupun pada tahun 2016 sebesar 81,0 persen. Hal ini mengindikasikan adanya permasalahan distribusi obat dari instalasi farmasi dinas kesehatan ke puskesmas atau kemungkinan puskesmas tidak mengajukan permintaan obat tertentu karena tidak dibutuhkan oleh puskesmas (gambar ). 175

200 Gambar Persentase ketersediaan item obat dan vaksin indikator di puskesmas dan dinkes, Sirkesnas 2016 Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa rerata ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas pada tahun 2015 adalah 69,1 persen (sekitar 14 item dari 20 item indikator) sedangkan tahun 2016 adalah 78,5 persen (sekitar 16 item dari 20 item indikator). Ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas pada tahun 2015 berdasarkan hasil Sirkesnas 2016 juga lebih kecil dibandingkan data dasar yang dimiliki Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan pada Renstra tahun 2014 yaitu 75,5 persen. Bila dilihat dari jenis puskesmas perawatan dan non perawatan, ketersediaan obat dan vaksin indikator di puskesmas perawatan (DTP) lebih tinggi dari puskesmas non perawatan (non DTP), baik pada tahun 2015 maupun Hasil ini dapat dilihat pada gambar

201 Gambar Persentase ketersediaan item obat dan vaksin indikator di puskesmas perawatan (DTP) dan non perawatan (non DTP), Sirkesnas 2016 Berdasarkan gambar sampai , sepuluh jenis obat yang persentase ketersediaannya tertinggi di puskesmas, baik pada tahun 2015 maupun tahun 2016, secara berurutan adalah tablet parasetamol 500 mg, tablet amoksisilin 500 mg, tablet deksametason, tablet kaptopril, sirup amoksisilin, garam oralit, tablet glibenklamid, vaksin BCG, tablet furosemid 40 mg, dan vaksin TT. Sedangkan ketersediaan obat terendah sebagian besar adalah obat untuk ibu hamil/persalinan, seperti injeksi oksitosin, injeksi epinefrin, injeksi metil ergometrin maleat, injeksi diazepam, injeksi magnesium sulfat serta obat kecacingan yaitu tablet albendazol. 177

202 Gambar Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2015, Sirkesnas 2016 Sebagaimana terlihat dari dari gambar dan bahwa obat-obat yang diperlukan untuk pelayanan persalinan khususnya bentuk sediaan injeksi seperti injeksi oksitosin, injeksi epinefrin, injeksi metil ergometrin maleat, injeksi diazepam, dan injeksi magnesium sulfat lebih banyak tersedia di puskesmas perawatan. Hal ini mungkin disebabkan sebagian besar puskesmas yang terambil sebagai sampel bukan merupakan puskesmas PONED. Saat ini obat kecacingan albendazol tidak banyak digunakan lagi oleh puskesmas, kemungkinan disebabkan sebagian besar puskesmas menggunakan jenis obat kecacingan lainnya, seperti pirantel pamoat. 178

203 Gambar Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2015 di puskesmas perawatan (DTP) dan non perawatan (non DTP), Sirkesnas

204 Gambar Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2016, Sirkesnas

205 Gambar Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2016 di puskesmas perawatan (DTP) dan non perawatan (non DTP), Sirkesnas

206 Gambar Persentase dinkes kabupaten/kota menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2015, Sirkesnas 2016 Bila dilihat berdasarkan jenis obatnya, terdapat perbedaan dalam hal ketersediaan obat dan vaksin indikator antara dinas kesehatan dan puskesmas. Peringkat ketersediaan obat dan vaksin di dinkes juga berbeda urutannya antara tahun 2015 dan Urutan sepuluh jenis obat yang persentase ketersediaannya tertinggi di dinkes pada tahun 2015 adalah tablet parasetamol 500 mg, tablet amoksisilin 500 mg, garam oralit, tablet kaptopril, tablet deksametason, sirup amoksisilin, tablet furosemid, vaksin BCG, dan vaksin TT. Sedangkan pola ketersediaan lima jenis obat terendah di dinas kesehatan pada tahun 2015 sama dengan pola ketersediaan di puskesmas, yaitu sebagian besar adalah obat untuk ibu hamil/persalinan seperti injeksi oksitosin, injeksi epinefrin, injeksi metil ergometrin maleat, injeksi diazepam, injeksi magnesium sulfat serta obat kecacingan albendazol (Gambar ). 182

207 Gambar Persentase dinas kesehatan kabupaten/kota menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2016, Sirkesnas 2016 % Sementara itu, urutan sepuluh jenis obat yang persentase ketersediaannya tertinggi di dinkes pada tahun 2016 berturut-turut adalah tablet parasetamol 500 mg, tablet amoksisilin 500 mg, tablet deksametason, tablet kaptopril, garam oralit, sirup amoksisilin, tablet glibenklamid, tablet furosemid 40 mg, injeksi fitomenadion dan injeksi epinefrin (adrenalin). Terdapat lima jenis obat/vaksin indikator dengan persentase ketersediaan terendah yang sama, pada tahun 2016 dan tahun 2015, yaitu injeksi oksitosin, injeksi metil ergometrin, injeksi diazepam, tablet albendazol, dan injeksi magnesium sulfat. Pemilihan 20 jenis obat dan vaksin sebagai indikator tidak harus sama antara puskesmas perawatan dan non perawatan, karena kebutuhan obat kedua jenis puskesmas tersebut juga berbeda; contohnya, injeksi magnesium sulfat dan injeksi oksitosin lebih dibutuhkan oleh puskesmas perawatan mampu PONED. Untuk dapat menjalankan program pelayanan kesehatan dasar maka semua obat indikator seharusnya tersedia 100 persen di puskesmas. Setelah dianalisis, hasil data Sirkesnas 2016 untuk mengukur indikator yang sesuai dengan definisi operasional ternyata tidak dapat menggambarkan persentase 183

208 puskesmas yang memiliki ketersediaan 20 jenis obat dan vaksin indikator. Oleh karena itu direkomendasikan agar definisi operasional indikator ketersediaan obat/vaksin direvisi menjadi presentase puskesmas yang memiliki ketersediaan seluruh (100%) obat dan vaksin indikator (20 item). Pelaporan permintaan dan penggunaan obat diharapkan secara seragam ditutup pada tanggal 25 November berdasarkan kesepakatan dengan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Akan tetapi ternyata masih cukup banyak ditemukan puskesmas yang menutup laporan tersebut tidak pada tanggal 25 November, misalnya ditutup pada tanggal 31 Desember. Disamping itu, masih ada data obat yang belum terdokumentasi dengan baik dalam LPLPO di beberapa puskesmas (LPLPO puskesmas kosong/tidak terisi). Oleh karena itu, perlu sosialisasi, pembinaan dan evaluasi yang intensif agar kesepakatan tersebut dapat dijalankan oleh seluruh puskesmas Indikator puskesmas yang melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar Cakupan pelayanan kefarmasian sesuai standar adalah persentase jumlah puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian dibandingkan dengan jumlah seluruh puskesmas, sedangkan yang dimaksud dengan pelayanan kefarmasian adalah puskesmas yang melaksanakan pemberian informasi obat dan konseling terdokumentasi. Pada Sirkesnas 2016, pelayanan kefarmasian sesuai standar merupakan komposit dari dua pertanyaan, yaitu pemberian informasi obat terdokumentasi dan pelayanan konseling terdokumentasi di puskesmas. Indikator pelayanan kefarmasian sesuai standar ini bertujuan untuk menggambarkan kualitas pelayanan kefarmasian di puskesmas sebagai cerminan kesiapan pelayanan kesehatan primer dalam rangka mendukung supply side Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Berdasarkan data dasar tahun 2014, cakupan puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar adalah sebesar 30 persen (sumber data laporan rutin). Pada tahun 2015, dengan menggunakan sumber data dari Sistem Pencatatan dan Pelaporan Tingkat Puskesmas (SP2TP), dilakukan sampling puskesmas; berdasarkan data tersebut Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menentukan target capaian indikator pelayanan kefarmasian sesuai standar adalah 40 persen untuk tahun 2015, dan 45 persen untuk tahun Sirkesnas 2016 dilakukan di 400 puskesmas yang tersebar di 264 kabupaten/kota yang berada di 34 provinsi Indonesia. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang ditanyakan di puskesmas, meliputi pemberian informasi obat dan konseling terdokumentasi berdasarkan data tahun Data pemberian informasi obat diperoleh dari dokumen pencatatan dan pelaporan informasi obat di puskesmas dan observasi terkait pemberian informasi obat oleh petugas apotik di puskesmas. Data pemberian informasi obat dan konseling diperoleh dari dokumen pencatatan dan pelaporan pelayanan kefarmasian di puskesmas. Informasi cakupan pelayanan kefarmasian sesuai standar hasil Sirkesnas 2016 dengan sampel 400 puskesmas yang tersebar di 264 kabupaten/kota dan 34 provinsi adalah 19,8 persen (tabel ). Cakupan ini 184

209 jauh di bawah data dasar tahun 2014 dan target capaian 2015 dan Hal ini dapat terjadi karena target yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian ditentukan berdasarkan laporan puskesmas yang telah mendapat pelatihan pelayanan kefarmasian sesuai standar, sementara cakupan Sirkesnas 2016 diperoleh dari pengumpulan data langsung tanpa mempertimbangkan apakah puskesmas telah mengkuti pelatihan pelayanan kefarmasian sesuai standar atau tidak. Tabel Pelayanan kefarmasian sesuai standar di puskesmas (pemberian informasi obat dan konseling) berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Pelayanan kefarmasian sesuai standar Karakteristik N Ya Tidak n % n % Puskesmas , ,3 Lokasi Puskesmas - Puskesmas Perkotaan , ,4 - Puskesmas Perdesaan , ,6 Penanggung Jawab Farmasi Apoteker , ,0 Pedoman Pelayanan Kefarmasian - Puskesmas memiliki pedoman , ,3 - Puskesmas tidak memiliki pedoman , ,9 Pelatihan pelayanan kefarmasian - Puskesmas mendapat Pelatihan , ,9 - Puskesmas belum mendapat pelatihan , ,5 Indikator puskesmas yang melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar diperoleh dari komposit dua pertanyaan dalam kuesioner yaitu pemberian informasi obat terdokumentasi dan pelayanan konseling terdokumentasi di puskesmas. Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar berdasarkan hasil Sirkesnas 2016 adalah sebesar 19,8 persen puskesmas (Tabel ). Berdasarkan Tabel diketahui bahwa puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar lebih banyak di puskesmas perkotaan, pada puskesmas yang memiliki pedoman pelayanan kefarmasian (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014) dan pada puskesmas yang telah mendapat pelatihan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian. Akan tetapi, secara keseluruhan masih lebih banyak puskesmas yang belum melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar walaupun penanggung jawab farmasi di puskesmas tersebut adalah seorang apoteker, tenaga puskesmas sudah mendapat pelatihan ataupun puskesmas sudah memiliki pedoman. Definisi operasional pelayanan kefarmasian sesuai standar menurut target kinerja Renstra Kemenkes Tahun adalah meliputi kegiatan pemberian informasi obat dan konseling. Kegiatan pemberian informasi obat 185

210 merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh petugas farmasi di puskesmas karena kegiatan ini tidak terlepas dari praktek pelayanan kefarmasian. Pemberian informasi obat merupakan satu kesatuan kegiatan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, menyerahkan sediaan farmasi disertai informasi yang memadai dan pendokumentasian. Tujuan kegiatan ini adalah agar pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi instruksi pengobatan. Sementara itu, konseling merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat oleh pasien beserta keluarga pasien. Tujuan konseling adalah memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien. Konseling dilakukan kepada pasien tertentu di ruangan khusus, disertai dokumentasi catatan konseling/kartu pasien (Permenkes No. 30 tahun 2014). Konseling tidak harus dilakukan pada semua pasien, tetapi hanya pada pasien tertentu yang membutuhkan, seperti pada pasien dengan penyakit kronis. Selain itu, konseling juga merupakan interaksi profesional antara apoteker dan pasien dalam menyelesaikan masalah penggunaan dan ketepatan penggunaan obat. Konseling merupakan kewenangan apoteker, sementara sampai saat ini, belum semua puskesmas memiliki apoteker sebagai penanggung jawab farmasi di puskesmas. Untuk melihat gambaran pelayanan kefarmasian tanpa melakukan komposit kegiatan pemberian informasi obat terdokumentasi dan konseling terdokumentasi, maka di lakukan analisis dengan melihat salah satu kegiatan, yaitu pemberian informasi obat terdokumentasi atau konseling terdokumentasi. Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan melakukan kegiatan pemberian informasi obat atau konseling saja adalah sebesar 46,3 persen. Jika hanya menggunakan salah satu pelayanan saja, yaitu pemberian informasi obat atau konseling, maka hasilnya sudah melebihi target Renstra Kemenkes (Tabel ). Jika dilihat berdasarkan lokasi, penanggung jawab farmasi di puskesmas, keberadaan pedoman pelayanan kefarmasian dan keikutsertaan dalam pelatihan, maka puskesmas yang sudah melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar di puskesmas perkotaan, atau puskesmas dengan penanggung jawab farmasi apoteker, atau memiliki pedoman atau telah mendapatkan pelatihan, sudah lebih dari 50 persen puskesmas. 186

211 Tabel Persentase puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar (informasi atau konseling) berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 puskesmas melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai Karakteristik N standar Ya Tidak n % n % Puskesmas , ,8 Lokasi Puskesmas - Puskesmas Perkotaan , ,6 - Puskesmas Perdesaan , ,4 Penanggung Jawab Farmasi di Puskesmas - PJ Farmasi Apoteker , ,5 - PJ Farmasi Tenaga Teknis Kefarmasian , ,7 - PJ Farmasi Nakes lain atau non Nakes , ,7 Pedoman Pelayanan Kefarmasian - Puskesmas memiliki pedoman , ,8 - Puskesmas tidak memiliki pedoman , ,2 Pelatihan pelayanan kefarmasian - Puskesmas mendapat Pelatihan , ,6 - Puskesmas belum mendapat pelatihan , ,5 Tabel sampai dengan tabel menunjukkan puskesmas yang melakukan pemberian informasi obat terdokumentasi dan puskesmas yang melakukan pelayanan konseling terdokumentasi. Tabel menunjukkan bahwa kegiatan pemberian informasi obat terdokumentasi hanya dilakukan oleh 35,8 persen puskesmas. Seperti halnya nilai indikator puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar, puskesmas yang melakukan pemberian informasi obat terdokumentasi lebih banyak ditemukan di puskesmas perkotaan, puskesmas yang memiliki apoteker sebagai penanggung jawab farmasi, puskesmas yang memiliki pedoman dan puskesmas yang mendapat pelatihan. Dalam Permenkes No.30 Tahun 2014 mengenai Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar di Puskesmas, dinyatakan bahwa pemberian informasi obat merupakan satu rangkaian kegiatan pada saat penyerahan obat. 187

212 Tabel Persentase puskesmas yang melakukan Pemberian Informasi Obat Terdokumentasi berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Karakteristik N Pemberian Informasi Obat Terdokumentasi Ya Tidak n % n % Puskesmas , ,3 Lokasi Puskesmas Puskesmas Perkotaan , ,9 Puskesmas Perdesaan , ,5 Penanggung Jawab Farmasi di Puskesmas PJ Farmasi Apoteker , ,4 PJ Farmasi Tenaga Teknis Kefarmasian , ,9 PJ Farmasi Nakes lain atau non Nakes , ,2 Pedoman Pelayanan Kefarmasian Puskesmas memiliki pedoman , ,7 Puskesmas tidak memiliki pedoman , ,2 Pelatihan pelayanan kefarmasian Puskesmas mendapat Pelatihan , ,4 Puskesmas belum mendapat pelatihan , ,8 Hasil Sirkesnas 2016 yang penting menjadi perhatian bagi pengelola program pelayanan kefarmasian adalah perlunya upaya peningkatan pemberian informasi obat di puskesmas. Hal ini karena persentase puskesmas yang melakukan kegiatan pemberian informasi obat terdokumentasi di puskesmas yang telah mendapatkan pelatihan ternyata masih rendah. Untuk melihat kegiatan pemberian informasi obat di puskesmas secara langsung, dilakukan observasi terhadap petugas puskesmas saat melakukan penyerahan obat kepada pasien. Observasi dilakukan terhadap pemberian 7 jenis informasi yang meliputi nama/jenis obat, aturan pakai, lama pengobatan, cara pemakaian, efek samping, cara penyimpanan obat dan interaksi obat. Dengan mempertimbangkan bahwa tidak semua informasi perlu disampaikan oleh karena tergantung pada jenis obat yang diserahkan, maka ditetapkan bahwa komponen observasi pemberian informasi obat yang dihitung adalah, puskesmas yang memberikan minimal 4 jenis informasi obat (Tabel ). 188

213 Tabel Persentase puskesmas yang melakukan kegiatan pemberian minimal 4 jenis informasi obat berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Pemberian minimal 4 jenis informasi obat Karakteristik N Ya Tidak n % n % Puskesmas , ,3 Lokasi Puskesmas - Puskesmas Perkotaan , ,2 - Puskesmas Perdesaan , ,9 Penanggung Jawab Farmasi di Puskesmas - PJ Farmasi Apoteker , ,1 - PJ Farmasi Tenaga Teknis Kefarmasian , ,2 - PJ Farmasi Nakes lain atau non Nakes , ,4 Pedoman Pelayanan Kefarmasian - Puskesmas memiliki pedoman , ,6 - Puskesmas tidak memiliki pedoman , ,1 Pelatihan pelayanan kefarmasian - Puskesmas mendapat Pelatihan , ,6 - Puskesmas belum mendapat pelatihan , ,2 Pada Tabel terlihat bahwa persentase puskesmas yang melaksanakan pemberian minimal 4 jenis informasi obat lebih tinggi dibandingkan persentase puskesmas yang melaksanakan pemberian informasi obat terdokumentasi (Tabel ). Kegiatan pemberian informasi obat sebenarnya sudah dilakukan oleh petugas farmasi, namun karena sistem dokumentasi yang belum baik atau sulit melakukan dokumentasi dan pencatatan langsung saat pelayanan, maka terlihat pemberian informasi obat terdokumentasi di puskesmas kurang berjalan baik. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pendokumentasian pelayanan kefarmasian. Kegiatan konseling merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan upaya penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat, baik pada pasien rawat jalan, rawat inap ataupun keluarga pasien. Konseling dilakukan oleh apoteker, bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien, seperti tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan obat. 189

214 Tabel Puskesmas yang melakukan pelayanan konseling terdokumentasi berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 Konseling terdokumentasi N Ya Tidak Karakteristik n % n % Puskesmas , ,8 Lokasi Puskesmas Puskesmas Perkotaan , ,1 Puskesmas Perdesaan , ,5 Penanggung Jawab Farmasi Apoteker , ,1 Pedoman Pelayanan Kefarmasian Puskesmas memiliki pedoman , ,4 Puskesmas tidak memiliki pedoman , ,9 Pelatihan pelayanan kefarmasian Puskesmas mendapat Pelatihan , ,0 Puskesmas belum mendapat pelatihan , ,3 Berbeda halnya dengan kegiatan pemberian informasi obat yang dilakukan pada saat penyerahan obat dan dapat dilakukan di loket penyerahan, maka kegiatan konseling membutuhkan pencatatan khusus bagi pasien serta ruangan khusus, agar didapatkan komunikasi yang efektif antara apoteker dengan pasien, pasien lebih terbuka dan leluasa untuk menanyakan hal-hal terkait obat, bagaimana cara pemakaian, apa efek obat yang diharapkan, dan lain-lain. Kegiatan konseling juga membutuhkan konfirmasi apakah pasien dapat memahami dan menerima dengan baik penjelasan yang diberikan, yakni dengan cara pasien diminta memperagakan dan menjelaskan kembali mengenai cara penggunaan obat dan melakukan verifikasi akhir dengan cara mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi. Hal-hal tersebut hanya dapat dicapai jika apoteker memiliki dokumentasi tertulis terkait kegiatan konseling yang telah dilakukan, sehingga keberadaan dokumentasi pada kegiatan konseling adalah hal yang utama, sebelum tahapan lanjutan yang perlu dilakukan setelah konseling. Setelah dilakukan konseling, pada pasien tertentu perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi obat (Kemenkes, 2015). Hal tersebut terutama diperlukan bagi pasien yang memiliki kemungkinan mendapatkan risiko masalah terkait obat, misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial tertentu, karakteristik obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan obat, kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan obat dan/atau alat kesehatan. 190

215 Persentase Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas Penggunaan obat dinyatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang paling murah untuk pasien dan masyarakat. Penggunaan obat dianggap rasional bila memenuhi kriteria tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, tepat lama pemberian, waspada terhadap efek samping, tepat penilaian kondisi pasien, pemberian obat yang efektif, aman, mutu terjamin serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau, tepat informasi, tepat tindak lanjut, tepat penyerahan obat dan pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan (Kemenkes, 2015). Indikator Kinerja Penggunaan Obat Rasional (POR) adalah persentase penggunaan obat rasional di sarana pelayanan kesehatan dasar pemerintah yaitu puskesmas. Persentase Penggunaan Obat Rasional (POR) di Puskesmas merupakan indikator dari Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. POR dihitung berdasarkan 3 penyakit indikator yaitu ISPA non pneumonia, diare non spesifik dan myalgia. Dari ketiga penyakit tersebut ditetapkan 4 parameter yaitu: (a) penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan kasus ISPA non pneumonia, (b) penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan kasus diare non spesifik, (c) penggunaan injeksi pada penatalaksanaan kasus myalgia dan (d) jumlah rerata item per lembar resep terhadap seluruh kasus ISPA non pneumonia, diare non spesifik dan myalgia di sarana yang sama. Dalam penentuan jumlah item obat ditetapkan kriteria bahwa obat dalam bentuk sediaan jadi dengan komponen yang terdiri dari berbagai jenis zat aktif tetap dianggap sebagai satu item obat, sedangkan bentuk sediaan puyer/racikan jumlah itemnya dihitung berdasarkan jumlah jenis komponen zat aktifnya. Batas toleransi yang ditetapkan sebagai rasional adalah sebagai berikut: a. Persentase antibiotik pada ISPA Non Pneumonia: 20 persen b. Persentase antibiotik pada Diare Non Spesifik: 8 persen c. Persentase injeksi pada myalgia: 1 persen d. Rerata item obat per lembar resep: 2,6 Target indikator POR yang ditetapkan oleh direktorat pelayanan kefarmasian ditentukan sebagai berikut : Data dasar 2014 = 60 persen. Target capaian 2015 = 62 persen dan 2016 = 64 persen. Persentase POR dihitung sebagai rata-rata dari capaian empat parameter dengan formula Indikator Kinerja Kegiatan Penggunaan Obat Rasional (IKK POR) yang dapat dilihat pada lampiran. Hasil perhitungan persentase POR berdasarkan formula IKK POR dapat dilihat pada Gambar berikut: 191

216 Gambar Target dan capaian indikator POR, Sirkesnas 2016 Berdasarkan gambar di atas bila dilihat per indikator dibandingkan dengan batas toleransinya maka setiap indikator masih melewati (diatas) batas toleransi yang ditetapkan terutama untuk peresepan antibiotik pada diare non spesifik. Akan tetapi secara keseluruhan sesuai formula yang digunakan Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, capaian indikator POR dari hasil Sirkesnas 2016 telah melampaui target yang ditetapkan yaitu mencapai 64,4 persen dibandingkan target sebesar 62 persen. Dalam Sirkesnas 2016 terpilih 400 puskesmas sampel di 34 provinsi dan 264 kabupaten/kota. Di setiap puskesmas sampel dilakukan pencatatan data POR bulan Desember 2015 berdasarkan laporan yang dibuat puskesmas (bila ada), tetapi tetap dilakukan perhitungan POR dengan melakukan sampling sesuai prosedur yang ditetapkan pada semua puskesmas, termasuk puskesmas yang sudah membuat laporan POR. Persentase puskesmas yang membuat laporan dan yang tidak membuat laporan dapat dilihat pada Gambar Gambar Persentase puskesmas yang membuat laporan POR dan tidak membuat laporan, Sirkesnas

217 Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa 64,50 persen puskesmas menyatakan membuat laporan POR, sedangkan 35,50 persen belum membuat. Dari 142 (35,5%) puskesmas yang tidak membuat laporan POR ditanyakan alasan tidak membuat laporan, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar berikut: Gambar Persentase puskesmas menurut alasan tidak membuat laporan POR, Sirkesnas 2016 Berdasarkan gambar di atas, tidak ada alasan yang dominan dari puskesmas yang tidak membuat laporan POR. Alasan yang cukup spesifik antara lain tidak ada SDM sebanyak 24 persen dan belum ada pelatihan 23 persen. Tidak ada SDM dapat berarti tidak ada SDM yang mempunyai kemampuan membuat laporan atau SDM yang sebelumnya pernah dilatih sudah pindah (mutasi). Alasan tidak ada keterangan berlaku pada puskesmas yang mengaku membuat laporan tapi tidak ada data/dokumennya, sedangkan alasan lainnya sebagian karena menyatakan belum diminta atau ditugaskan oleh dinkes setempat untuk membuat laporan POR. Dalam proses analisis data POR telah dilakukan tahap verifikasi data perhitungan POR terhadap sekitar 330 puskesmas dan dilakukan proses cleaning data berdasarkan pola-pola kesalahan yang umum terjadi, serta amputasi data outlier. Sebagai konsekuensi dari proses tersebut, maka jumlah puskesmas yang dianalisis berbeda-beda untuk setiap parameter POR (Tabel ). Data yang berasal dari hasil laporan POR puskesmas tidak dapat ditelusuri sehingga dihitung apa adanya. Hal ini menyebabkan data laporan POR yang outlier tidak diamputasi, konsekuensi logis yang menyertai adalah kemungkinan data tidak cleaned sehingga tidak bisa ditampilkan hasil perhitungannya. Data jumlah puskesmas yang melaporkan POR dan dilakukan perhitungan POR (berdasarkan sampling pada saat melakukan survei) untuk setiap parameter dapat dilihat pada Tabel berikut: 193

218 Tabel Jumlah puskesmas yang membuat laporan dan dilakukan perhitungan POR, Sirkesnas 2016 Parameter Laporan Perhitungan Jumlah % Jumlah % ISPA non pneumonia , ,5 Diare non spesifik , ,3 Myalgia , ,5 Rerata Item , ,0 Dalam tabel terlihat bahwa berdasarkan hasil perhitungan, parameter indikator ISPA non pneumonia merupakan parameter yang memiliki jumlah sampel puskesmas paling tinggi yaitu 97,5 persen sedangkan myalgia paling kecil yaitu 92,5 persen. Hal ini terjadi karena ada puskesmas yang tidak menemukan sampel kasus myalgia sehingga tidak dilakukan perhitungan myalgia, sedangkan kasus ISPA cenderung selalu ada. Kemungkinan kesalahan yang terjadi adalah perbedaan kode diagnosis yang tidak dipahami enumerator sehingga menganggap tidak ada kasus myalgia. Sebagai contoh, pada saat uji coba ditemukan adanya pemilihan resep untuk keluhan sakit kepala/pusing sebagai kelompok myalgia. Adapun jumlah puskesmas berdasarkan kriteria yang akan digunakan dalam analisis indikator POR dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel Jumlah dan persentase puskesmas yang dihitung POR berdasarkan kriteria puskesmas, Sirkesnas 2016 ISPA non Kriteria pneumonia Diare non spesifik Myalgia Rerata Item Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Lokasi Perkotaan , , , ,2 Perdesaan , , , ,8 Penanggung Jawab Apoteker , , , ,8 Tenaga Teknis Kefarmasian , , , ,3 Lainnya 74 19, , , ,0 Pedoman POR Ada , , , ,7 Tidak ada , , , ,3 Pelatihan POR Sudah , , , ,9 Belum , , , ,1 Total , , , ,0 Pemilihan sampel resep untuk perhitungan indikator POR merupakan titik kritis yang harus diperhatikan. Pada saat pelaksanaan uji coba dan pengumpulan data ditemukan bahwa ada perbedaan cara perhitungan POR pada laporan yang 194

219 dibuat oleh puskesmas, antara lain cara pemilihan resep yang beragam, misalnya ada yang purposif, ada yang diambil hanya dari poli umum saja, padahal di puskesmas tersebut terdapat beberapa poli. Dalam Sirkesnas 2016 dibuat standar pengambilan sampel yang diajarkan oleh tim teknis kepada enumerator; diharapkan hal ini akan meminimalkan variasi cara pengambilan sampel. Detail cara pengambilan sampel yang diadopsi dari Modul Penggerakan POR dapat dilihat pada Gambar berikut (Kemenkes, 2015) : Enum datang ke Kamar obat/apotek/depo Puskesmas menggunakan program SIMPUS Ya 1. Buka data SIMPUS berdasarkan tanggal/hari 2. Cari data pasien dengan kode diagnosis POR yang pertama kali muncul pada SIMPUS 3. Munculkan data lengkap pasien Tidak Resep puskesmas mencantumkan diagnosis Tidak Ya 1. Ambil resep berdasarkan tanggal/hari 2. Cari data resep dengan diagnosis POR yang pertama kali ditemukan di setiap hari Catat data di lembar bantu Register Penyakit di masingmasing poli (Poli umum, anak, remaja, lansia) Catat sesuai langkah-langkah Gambar Alur pengumpulan data POR, Sirkesnas 2016 Sebagian besar pengambilan sampel di puskesmas dalam Sirkesnas 2016 menggunakan langkah ketiga yaitu menggunakan register penyakit di masing-masing poli yang mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : 1. Cari dan catat data pasien pertama setiap hari untuk setiap diagnosis POR (ISPA non pneumonia, diare non spesifik, myalgia) yang ada di setiap register poli selama bulan Desember 2015 pada kertas/buku catatan sebagai calon sampel pasien POR. Bila pada hari tersebut tidak ada kasus dengan diagnosis ISPA non pneumonia, diare non spesifik, dan myalgia maka lanjut ke hari berikutnya. 195

220 2. Bila diagnosis berupa kode, tanyakan kode diagnosis untuk 3 penyakit indikator POR tersebut kepada petugas yang mencatat 3. Minta resep bulan Desember 2015 ke petugas apotek/kamar obat/depo obat 4. Cari dan ambil resep yang pertama ditemukan sesuai dengan catatan data pasien (poin 2). Bila satu hari lebih dari satu data pasien ambil resep yang berada di tumpukan teratas atau yang paling dahulu ditemukan 5. Salin semua data obat yang ada di resep terpilih ke dalam Lembar Bantu Pengisian Kuesioner Hasil perhitungan persentase penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan kasus ISPA non pneumonia dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar Persentase antibiotik pada penatalaksanaan kasus ISPA non pneumonia, Sirkesnas 2016 Dari gambar terlihat bahwa kondisi peresepan antibiotik pada kasus ISPA non pneumonia di puskesmas secara umum masih di atas batas toleransi yang ditetapkan, yaitu di atas 20 persen. Persentase rata-rata di puskesmas masih mencapai lebih dari 2 kali lipat yaitu 52,4 persen. Persentase peresepan antibiotik lebih rendah di puskesmas yang berada di perkotaan, memiliki PJ Farmasi Apoteker, memiliki pedoman POR dan sudah mendapat pelatihan POR. Hasil perhitungan persentase penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan kasus diare non spesifik dapat dilihat pada gambar berikut: 196

221 Gambar Persentase antibiotik pada penatalaksanaan kasus diare non spesifik, Sirkesnas 2016 Berdasarkan gambar terlihat bahwa persentase peresepan antibiotik pada kasus diare non spesifik masih tinggi, yaitu 48,9 persen yang jauh melewati batas toleransi yang diharapkan (8%). Persentase peresepan antibiotik lebih rendah di puskesmas yang berada di perkotaan, memiliki PJ Farmasi Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK), memiliki pedoman POR dan sudah mendapat pelatihan POR. Gambar Persentase injeksi pada penatalaksanaan kasus myalgia, Sirkesnas

222 Hasil perhitungan persentase penggunaan injeksi pada penatalaksanaan kasus myalgia dapat dilihat pada Gambar Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa persentase peresepan injeksi pada penatalaksanaan kasus myalgia juga masih melewati batas toleransi dengan rata-rata 4 kali lipat yaitu 4,1 persen. Hasil yang mendekati batas toleransi terlihat di puskesmas perkotaan dengan persentase 1,4 persen. Oleh karena itu perlu adanya intervensi di puskesmas daerah perdesaan yang masih sering meresepkan injeksi pada kasus myalgia. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengukur indikator injeksi pada myalgia sebagaimana yang ditemukan selama survey berlangsung yaitu peresepan injeksi kadang-kadang tidak tercatat karena dilakukan langsung oleh tenaga medis di ruang tindakan/kamar suntik dan tidak dicatat dalam resep. Untuk menelusuri hal ini perlu dilakukan pengecekan (konfirmasi) pada sumber data lainnya yaitu kartu berobat pasien dimana biasanya pemberian injeksi dituliskan/tertulis. Akan tetapi dalam Sirkesnas 2016 pengecekan tidak semuanya dapat dilakukan karena prosedur pengumpulan data tidak mengakomodir untuk melihat ke sumber data kartu berobat, dan kesulitan untuk mengakses kartu berobat yang disimpan oleh petugas rekam medis. Hasil perhitungan rerata item per lembar resep dapat dilihat pada gambar Gambar Jumlah rerata item obat per lembar resep, Sirkesnas 2016 Dari gambar terlihat bahwa jumlah rerata item obat per lembar resep masih melewati batas toleransi namun selisihnya hanya 0,8. Tidak terlihat perbedaan mencolok pada indikator jumlah rerata item dari berbagai kriteria puskesmas berdasarkan lokasi, PJ Farmasi, keberadaan pedoman POR dan pelatihan POR. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh terhadap jumlah 198

223 rerata item, dan jumlah rerata item obat per lembar resep sudah mendekati ideal. Berbagai penelitian di Indonesia juga menunjukkan hasil rerata item obat perlembar resep yang sama, yakni pada kisaran 3. Penelitian Hogerzeil tahun 1993 menunjukkan jumlah rerata item per lembar resep di Indonesia adalah 3,3, sementara penelitian Sari tahun 2010 di Puskesmas Kota Depok sebesar 3,79 (Hogerzeil et al., 1993, Sari, 2011). Hasil penelitian Yuniar dkk pada tahun 2014 menunjukkan rerata item obat di puskesmas adalah 3,31 (Yuniar et al., 2016). Batas toleransi 2,6 nampaknya sulit dicapai karena berbagai alasan yang perlu digali dari tenaga medis, antara lain pernyataan bahwa untuk satu diagnosis tunggal pun tidak bisa hanya memberikan satu atau dua jenis obat. Dengan berbagai pertimbangan hal tersebut di atas, indikator ini perlu ditinjau ulang apakah akan tetap digunakan atau tidak. Hasil perhitungan persentase POR secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar berikut Gambar Persentase POR di puskesmas, Sirkesnas 2016 Dari gambar terlihat bahwa dengan menggunakan formula yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, persentase POR di puskesmas telah mencapai target yang ditetapkan pada tahun 2015 yaitu 64,4 persen dari target tahun 2015 sebesar 62,0 persen. Formula perhitungan ini perlu ditinjau ulang karena bila dilihat dari hasil per parameter menunjukkan permasalahan tidak rasionalnya peresepan obat misalnya pada persentase antibiotik untuk diare non spesifik mencapai 6 kali lipat dari batas toleransi. Akan tetapi bila digabungkan sebagai satu indikator diperoleh hasil 64,4 persen yang melampaui target yang ditetapkan. Hal ini bisa menimbulkan kerancuan dan 199

PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017

PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017 PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil,

Lebih terperinci

PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 (PERUBAHAN ANGGARAN) PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 (PERUBAHAN ANGGARAN) PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 (PERUBAHAN ANGGARAN) PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan dan akuntabel

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI DINAS KESEHATAN Komplek Gelanggang Pemuda Cisaat Tel-Fax (0266) SUKABUMI

PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI DINAS KESEHATAN Komplek Gelanggang Pemuda Cisaat Tel-Fax (0266) SUKABUMI PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI DINAS KESEHATAN Komplek Gelanggang Pemuda Cisaat Tel-Fax (0266) 222061 SUKABUMI KEPUTUSAN KEPALA DINAS KESEHATAN KABUPATEN SUKABUMI NOMOR : 440/ 053 /DINKES/2016 TENTANG PENETAPAN

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 belum mendapat data dari BPS 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 Kabupaten 3 JUMLAH PENDUDUK 1 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB V SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN. tahun. Berikut data ketenagaan pegawai di Puskesmas Banguntapan III per 31

BAB V SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN. tahun. Berikut data ketenagaan pegawai di Puskesmas Banguntapan III per 31 BAB V SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN A. KETENAGAAN Situasi ketenagaan di Puskesmas Banguntapan III berubah dari tahun ke tahun. Berikut data ketenagaan pegawai di Puskesmas Banguntapan III per 31 Desember

Lebih terperinci

KATA SAMBUTAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3

KATA SAMBUTAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3 DAFTAR ISI hal. KATA SAMBUTAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN i ii iv v x BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3 A. KEADAAN PENDUDUK 3 B. KEADAAN EKONOMI 8 C. INDEKS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 167 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 151 3 JUMLAH PENDUDUK 1 1260565 1223412 2483977 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 1083136 1048577 2131713 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 203 K0TA TASIKMALAYA NO INDIKATOR TABEL A. GAMBARAN UMUM LUAS WILAYAH 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 3 JUMLAH PENDUDUK 4 PENDUDUK 0 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 5 PENDUDUK 0

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 4037,6 ha 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 15 3 JUMLAH PENDUDUK 1 558178 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 327536 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN TERTINGGI

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 1762,4 km2 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 desa 270+ kel 10 = 280 3 JUMLAH PENDUDUK 1 341700 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 2388161 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 27 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 27 TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 27 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 272 TAHUN 2008 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DI KABUPATEN SERDANG

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 203 KABUPATEN CIREBON NO INDIKATOR TABEL A. GAMBARAN UMUM LUAS WILAYAH 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 3 JUMLAH PENDUDUK 4 PENDUDUK 0 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 5 PENDUDUK 0

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM - 1 LUAS WILAYAH 1 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 381/ 5 3 JUMLAH PENDUDUK 1 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN TERTINGGI SMP+ 6 JUMLAH

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 972 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 192 3 JUMLAH PENDUDUK 1 852,799 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 682,447 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN TERTINGGI

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 343 3 JUMLAH PENDUDUK 1 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN TERTINGGI SMP+ 6 JUMLAH BAYI

Lebih terperinci

TUGAS POKOK : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi dan tugas

TUGAS POKOK : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi dan tugas Indikator Kinerja Utama Pemerintah Kota Tebing Tinggi 011-016 3 NAMA UNIT ORGANISASI : DINAS KESEHATAN TUGAS POKOK : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi

Lebih terperinci

Tabel 4.1 Keterkaitan Sasaran Strategi dan Arah Kebijakan dalam Pencapaian Misi Renstra Dinas Kesehatan

Tabel 4.1 Keterkaitan Sasaran Strategi dan Arah Kebijakan dalam Pencapaian Misi Renstra Dinas Kesehatan Tabel 4.1 Keterkaitan Sasaran Strategi dan Arah Kebijakan dalam Pencapaian Misi Renstra Dinas Kesehatan 2013 2018 No Sasaran Strategi Arah Kebijakan Misi I : Meningkatkan Pelayanan Kesehatan yang Bermutu

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM LUAS WILAYAH 8,5 Ha 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 68 3 JUMLAH PENDUDUK 50,884 493,947,004,83 4 PENDUDUK 0 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 407,97 382,66 790,533 5 PENDUDUK 0 TAHUN KE ATAS DENGAN

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 1118KM2 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 367 3 JUMLAH PENDUDUK 1 576,544 561,855 1,138,399 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 469,818 464,301 934,119.0 5 PENDUDUK 10 TAHUN

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 299,019 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 417 desa/17 kel 3 JUMLAH PENDUDUK 1 5,077,210 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 17,650 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 1.753,27 KM 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 309 3 JUMLAH PENDUDUK 1 2,244,772 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN TERTINGGI

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 20,994 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 DESA=309 KEL=8-3 JUMLAH PENDUDUK 1 869,767 819,995 1,689,232 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 673,079 551,261 1,224,340 5 PENDUDUK

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 305,519 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 442 3 JUMLAH PENDUDUK 1 1,277,610 1,247,873 2,525,483 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

RENCANA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANJAR TAHUN 2017

RENCANA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANJAR TAHUN 2017 RENCANA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANJAR TAHUN 2017 RENCANA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANJAR TAHUN 2017 I. PENDAHULUAN Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar sebagai unsur pelaksana Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 24 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

REVIEW INDIKATOR RENSTRA DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR

REVIEW INDIKATOR RENSTRA DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR REVIEW INDIKATOR DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR 2015-2019 MISI 1 : Menyediakan sarana dan masyarakat yang paripurna merata, bermutu, terjangkau, nyaman dan berkeadilan No Tujuan No Sasaran Indikator Sasaran

Lebih terperinci

Kegiatan Subdit Kesehatan Usia Reproduksi T.A 2017

Kegiatan Subdit Kesehatan Usia Reproduksi T.A 2017 Kegiatan Subdit Kesehatan Usia Reproduksi T.A 2017 Disampaikan Pada : Pertemuan Rapat Koordinasi Teknis Program Kesehatan Masyarakat Bekasi 14-17 Juni 2016 STATUS KESEHATAN PEREMPUAN Angka Kematian Ibu

Lebih terperinci

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAH, PEMERINTAH DAERAH PROPINSI DAN PEMERINTAH KAB/KOTA BIDANG KESEHATAN (GIZI DAN KIA)

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAH, PEMERINTAH DAERAH PROPINSI DAN PEMERINTAH KAB/KOTA BIDANG KESEHATAN (GIZI DAN KIA) PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAH, PEMERINTAH DAERAH PROPINSI DAN PEMERINTAH KAB/KOTA BIDANG KESEHATAN (GIZI DAN KIA) Disampaikan pada : SEMILOKA REVISI PP 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN DAN NSPK YOGYAKARTA,

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN KINERJA 1 BAB II PERENCANAAN KINERJA Dalam mencapai suatu tujuan organisasi diperlukan visi dan misi yang jelas serta strategi yang tepat. Agar lebih terarah dan fokus dalam melaksanakan rencana strategi diperlukan

Lebih terperinci

TARGET DAN PENDANAAN DALAM JUTAAN RUPIAH STRATEGI KEBIJAKAN PROGRAM 2017 Rp 2018 Rp 2019 Rp 2020 Rp 2021 Rp total Uraian

TARGET DAN PENDANAAN DALAM JUTAAN RUPIAH STRATEGI KEBIJAKAN PROGRAM 2017 Rp 2018 Rp 2019 Rp 2020 Rp 2021 Rp total Uraian BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN PENDANAAN INDIKATIF TAHUN 20172021 5.1 RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN PENDANAAN INDIKATIF TAHUN 20172021 URAIAN TUJUAN 1 Meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejak dini dengan memantau kesehatan ibu, dengan digunakan indicator

BAB I PENDAHULUAN. sejak dini dengan memantau kesehatan ibu, dengan digunakan indicator BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir merupakan suatu keadaan yang fisiologis namun dalam prosesnya terdapat kemungkinan suatu keadaan yang dapat mengancam

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH DINAS KESEHATAN

PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH DINAS KESEHATAN PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH DINAS KESEHATAN KANTOR PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH LANTAI V JL. JEND SUDIRMAN KM 12 CAMBAI KODE POS 31111 TELP. (0828) 81414200 Email: dinkespbm@yahoo.co.id KOTA PRABUMULIH Lampiran

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA DINAS KESEHATAN KAB. BOALEMO TAHUN 2016 KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN UNTUK MENCAPAI TARGET

EVALUASI KINERJA DINAS KESEHATAN KAB. BOALEMO TAHUN 2016 KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN UNTUK MENCAPAI TARGET EVALUASI KINERJA DINAS KESEHATAN KAB. BOALEMO TAHUN 06 TUJUAN SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA Meningkatkan Meningkatkan Upaya Upaya Kesehatan Kesehatan Masyarakat melalui program melalui Program Kesehatan

Lebih terperinci

SITUASI UPAYA KESEHATAN JAKARTA PUSAT

SITUASI UPAYA KESEHATAN JAKARTA PUSAT SITUASI UPAYA KESEHATAN JAKARTA PUSAT A.UPAYA KESEHATAN IBU DAN ANAK Salah satu komponen penting dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah pelayanan kesehatan dasar. UU no.3 tahun 2009 tentang

Lebih terperinci

URAIAN PROGRAM PUSKESMAS

URAIAN PROGRAM PUSKESMAS URAIAN PROGRAM PUSKESMAS Program Puskesmas Uraian 1 Manajemen Pelayanan Kesehatan Sistem kesehatan Nasional (SKN) sebagai acuan pelayanan kesehatan Penerapan fungsi manajemen di puskesmas Upaya pelayanan

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN IV.1. IV.2. VISI Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sebagai salah satu dari penyelenggara pembangunan kesehatan mempunyai visi: Masyarakat Jawa

Lebih terperinci

BAB VI INDIKATOR KINERJA PERANGKAT DAERAH YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD

BAB VI INDIKATOR KINERJA PERANGKAT DAERAH YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD BAB VI INDIKATOR KINERJA PERANGKAT DAERAH YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD Berdasarkan visi dan misi pembangunan jangka menengah, maka ditetapkan tujuan dan sasaran pembangunan pada masing-masing

Lebih terperinci

Kata Sambutan KEPALA DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN

Kata Sambutan KEPALA DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN Kata Sambutan KEPALA DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rakhmatnya sehingga buku Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Millennium Development Goals (MDGs) 4 menargetkan penurunan angka kematian balita (AKBa) hingga dua per tiganya di tahun 2015. Berdasarkan laporan terdapat penurunan

Lebih terperinci

Dinas Kesehatan Aceh 2016

Dinas Kesehatan Aceh 2016 Dinas Kesehatan Aceh 2016 ARAH KEBIJAKAN 2015-2019 Peningkatan surveilans gizi termasuk 1 pemantauan pertumbuhan Peningkatan promosi perilaku masyarakat tentang kesehatan, gizi, dll 2 PERBAIKAN GIZI Peningkatan

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN SITUBONDO

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN 2015

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN 2015 UNIT KERJA : DINAS KESEHATAN A. Tugas Pokok : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan serta melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh

Lebih terperinci

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas ijin dan. kehendak-nya sehingga Laporan Tahunan dan Profil Kesehatan Puskesmas

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas ijin dan. kehendak-nya sehingga Laporan Tahunan dan Profil Kesehatan Puskesmas Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas ijin dan kehendak-nya sehingga Laporan Tahunan dan Profil Kesehatan Puskesmas Kecamatan Matraman Tahun 2017 selesai disusun. Laporan Tahunan dan Profil

Lebih terperinci

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor DATA/INFORMASI KESEHATAN KABUPATEN LAMONGAN Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI 2012 Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN 2016

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN 2016 UNIT KERJA : DINAS KESEHATAN A. Tugas Pokok : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan serta melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rencana Kerja Dinas Kesehatan Kab. Purbalingga 2013 hal 1

BAB I PENDAHULUAN. Rencana Kerja Dinas Kesehatan Kab. Purbalingga 2013 hal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan Nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran,

Lebih terperinci

Tabel 4.1 INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN Formulasi Penghitungan Sumber Data

Tabel 4.1 INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN Formulasi Penghitungan Sumber Data Tabel 4.1 INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN 2017-2019 Lampiran 2 No Sasaran Strategis 1 Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan dengan masyarakat, lintas sektor, institusi

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA TINGKAT SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH INDIKATOR KINERJA UTAMA TARGET Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4

PERJANJIAN KINERJA TINGKAT SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH INDIKATOR KINERJA UTAMA TARGET Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4 SKPD : Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi Tahun Anggaran : 2015 PERJANJIAN KINERJA TINGKAT SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH INDIKATOR KINERJA UTAMA NO SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA UTAMA TARGET 2015

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bayi baru lahir merupakan proses fisiologis, namun dalam prosesnya

BAB 1 PENDAHULUAN. bayi baru lahir merupakan proses fisiologis, namun dalam prosesnya 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan pemilihan metode keluarga berencana merupakan suatu mata rantai yang berkesinambungan dan berhubungan dengan kesehatan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN DALAM AKSELERASI PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU

KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN DALAM AKSELERASI PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN DALAM AKSELERASI PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU dr. Budihardja, DTM&H, MPH Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Disampaikan pada Pertemuan Teknis Program Kesehatan Ibu Bandung,

Lebih terperinci

INDIKATOR DAN TARGET SPM. 1. Indikator dan Target Pelayanan Upaya Kesehatan Masyarakat Esensial dan Keperawatan Kesehatan Masyarakat

INDIKATOR DAN TARGET SPM. 1. Indikator dan Target Pelayanan Upaya Kesehatan Masyarakat Esensial dan Keperawatan Kesehatan Masyarakat LAMPIRAN I PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 1406 TAHUN 2015 TANGGAL 31-12 - 2015 INDIKATOR DAN TARGET SPM 1. Indikator dan Target Pelayanan Upaya Masyarakat Esensial dan Keperawatan Masyarakat 1 Pelayanan

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945,

Lebih terperinci

PROFIL KESEHATAN PROVINSI KEP. BANGKA BELITUNG TAHUN 2012

PROFIL KESEHATAN PROVINSI KEP. BANGKA BELITUNG TAHUN 2012 PROFIL KESEHATAN PROVINSI KEP. BANGKA BELITUNG TABEL 1 LUAS WILAYAH, DESA/KELURAHAN, PENDUDUK, RUMAH TANGGA, DAN KEPADATAN PENDUDUK MENURUT KECAMATAN NO KABUPATEN/KOTA LUAS RATA-RATA KEPADATAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Juknis Operasional SPM

Juknis Operasional SPM DIREKTORAT JENDERAL OTONOMI DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI Juknis Operasional SPM 1. KESEHATAN KABUPATEN/KOTA PROVINSI KABUPATEN : Jawa Timur : Tulungagung KEMENTERIAN KESEHATAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL

Lebih terperinci

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011 MATRIK 2.3 TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN KEMENTERIAN/ LEMBAGA : KEMENTERIAN KESEHATAN 1 Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Kementerian Kesehatan Meningkatnya koordinasi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SANGGAU DINAS KESEHATAN PUSKESMAS ENTIKONG KEPALA PUSKESMAS ENTIKONG,

PEMERINTAH KABUPATEN SANGGAU DINAS KESEHATAN PUSKESMAS ENTIKONG KEPALA PUSKESMAS ENTIKONG, PEMERINTAH KABUPATEN SANGGAU DINAS KESEHATAN PUSKESMAS ENTIKONG Jl. Lintas Malindo Entikong (78557) Telepon (0564) 31294 Email : puskesmasentikong46@gmail.com KEPUTUSAN KEPALA PUSKESMAS ENTIKONG NOMOR

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR dr. Hj. Rosmawati

KATA PENGANTAR dr. Hj. Rosmawati KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kami dapat menyelesaikan Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka ini dengan baik. Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asuhan Kebidanan Komprehensif..., Eka Fitriani, Kebidanan DIII UMP, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Asuhan Kebidanan Komprehensif..., Eka Fitriani, Kebidanan DIII UMP, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi juga merupakan target sasaran

Lebih terperinci

Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat.

Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat. Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat. Pada misi V yaitu Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat telah didukung dengan 8 sasaran sebagai

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA (PK) TAHUN 2015

PERJANJIAN KINERJA (PK) TAHUN 2015 PERJANJIAN KINERJA (PK) TAHUN 2015 Satuan Kerja Perangkat Daerah : Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Anggaran : 2015 SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET PROGRAM/KEGIATAN ANGGARAN 1

Lebih terperinci

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF Berdasarkan Visi, Misi, Tujuan, Strategi dan Sasaran Strategis sebagai diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat,

Lebih terperinci

Data Dasar bidang kesehatan

Data Dasar bidang kesehatan Data Dasar bidang kesehatan Gambaran Umum Sarana Pelayanan No. Jenis Sarana Jumlah 1 Jumlah Kecamatan 11 2 Jumlah Desa 113 3 Puskesmas Rawat Inap 9 4 Puskesmas Rawat Jalan 9 5 RSUD 1 6 Pustu 55 7 Poskesdes

Lebih terperinci

LAMPIRAN PENETAPAN KINERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013

LAMPIRAN PENETAPAN KINERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013 LAMPIRAN PENETAPAN KINERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013 NO SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA UTAMA TARGET PROGRAM /KEGIATAN (1) (2) (3) (4) (5) I Meningkatnya kualitas air 1 Persentase

Lebih terperinci

INDIKATOR RENCANA STRATEGIK TAHUN CARA MENCAPAI TUJUAN DAN SASARAN TARGET. 14 Angka kematian ibu

INDIKATOR RENCANA STRATEGIK TAHUN CARA MENCAPAI TUJUAN DAN SASARAN TARGET. 14 Angka kematian ibu INDIKATOR RENCANA STRATEGIK TAHUN 0-05 VISI : TERWUJUDNYA KARANGASEM SEHAT 0 MENUJU JAGADHITA YA CA ITI DHARMA MISI :Melindungi Kesehatan Masyarakat dengan Menjamin Tersedianya Upaya Kesehatan yang Paripurna,

Lebih terperinci

TANTANGAN PROGRAM GIZI DI INDONESIA. Doddy Izwardy Direktur Bina Gizi Kementerian Kesehatan

TANTANGAN PROGRAM GIZI DI INDONESIA. Doddy Izwardy Direktur Bina Gizi Kementerian Kesehatan TANTANGAN PROGRAM GIZI DI INDONESIA Doddy Izwardy Direktur Bina Gizi Kementerian Kesehatan Mengapa Terjadi Kurang Gizi di Indonesia? Hanya 36% balita 6-23 bulan yang mengkonsumsi asupan makanan berkecukupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah unit fungsional pelayanan kesehatan terdepan sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan kota atau kabupaten yang melaksanakan

Lebih terperinci

PROFIL KESEHATAN PROVINSI BENGKULU TAHUN 2012

PROFIL KESEHATAN PROVINSI BENGKULU TAHUN 2012 PROFIL KESEHATAN TABEL 1 LUAS WILAYAH, DESA/KELURAHAN, PENDUDUK, RUMAH TANGGA, DAN KEPADATAN PENDUDUK MENURUT KABUPATEN/KOTA LUAS RATA-RATA KEPADATAN KABUPATEN/KOTA WILAYAH RUMAH JIWA/RUMAH PENDUDUK DESA

Lebih terperinci

PENGUKURAN INDIKATOR KINERJA SASARAN

PENGUKURAN INDIKATOR KINERJA SASARAN Satuan Kerja Perangkat Daerah : DINAS KESEHATAN Tahun Anggaran : 2015 PENGUKURAN INDIKATOR KINERJA SASARAN No. SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA 1 Peningkatan Mutu Aktivitas Perkantoran Terselenggaranya

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN KABUPATEN / KOTA

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN KABUPATEN / KOTA GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN KABUPATEN / KOTA Dl JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR Menimbang : a. bahwa sesuai

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF DINAS KESEHATAN PROVINSI BANTEN

RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF DINAS KESEHATAN PROVINSI BANTEN RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF DINAS PROVINSI BANTEN 2012-2017 DATA CAPAIAN Persentase Balita Ditimbang Berat 1 2 1 PROGRAM BINA GIZI DAN Badannya

Lebih terperinci

Target Tahun. Kondisi Awal Kondisi Awal. 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12 Program pengadaan, peningkatan dan penduduk (tiap 1000 penduduk

Target Tahun. Kondisi Awal Kondisi Awal. 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12 Program pengadaan, peningkatan dan penduduk (tiap 1000 penduduk PEMERINTAH KOTA MALANG MATRIK RENCANA STRATEGIS DINAS KESEHATAN KOTA MALANG (PENYEMPURNAAN) TAHUN 2013-2018 Lampiran : KEPUTUSAN KEPALA DINAS KESEHATAN KOTA M Nomor : 188.47/ 92 / 35.73.306/ 2015 Tanggal

Lebih terperinci

DINAS KESEHATAN BUKU SAKU DINAS KESEHATAN P R O V I N S I K A L I M A N T A N T I M U R

DINAS KESEHATAN BUKU SAKU DINAS KESEHATAN P R O V I N S I K A L I M A N T A N T I M U R DINAS KESEHATAN BUKU SAKU DINAS KESEHATAN 2012-2016 P R O V I N S I K A L I M A N T A N T I M U R KATA PENGANTAR KEPALA DINAS KESEHATAN Assalamu alaikum Wr.Wb. Segala Puji Syukur kita panjatkan Kehadirat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA BANJARMASIN DINAS KESEHATAN KOTA PUSKESMAS PEKAUMAN Jl. KS. Tubun No. 1 Banjarmasin Telp (0511)

PEMERINTAH KOTA BANJARMASIN DINAS KESEHATAN KOTA PUSKESMAS PEKAUMAN Jl. KS. Tubun No. 1 Banjarmasin Telp (0511) PEMERINTAH KOTA BANJARMASIN DINAS KESEHATAN KOTA PUSKESMAS PEKAUMAN Jl. KS. Tubun No. 1 Banjarmasin Telp (0511) 3272105 HASIL IDENTIFIKASI MASALAH DAN HAMBATAN PELAKSANAAN KEGIATAN UKM KEGIATAN PHN No

Lebih terperinci

Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK

Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK Millennium Development Goals (MDGs) Komitmen Negara terhadap rakyat Indonesia dan global Komitmen Indonesia kepada masyarakat Suatu kesepakatan dan kemitraan global

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indicator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka Kematian Ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA DITJEN BINA GIZI DAN KIA TAHUN 2015

LAPORAN KINERJA DITJEN BINA GIZI DAN KIA TAHUN 2015 LAPORAN KINERJA DITJEN BINA GIZI DAN KIA TAHUN 2015 DIREKTORAT JENDERAL BINA GIZI DAN KIA KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2015 KATA PENGANTAR Setiap satuan kerja, unit organisasi dalam tingkat eselon I dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. xvi

BAB 1 PENDAHULUAN. xvi BAB 1 PENDAHULUAN 1.7. LATAR BELAKANG Cakupan imunisasi secara global pada anak meningkat 5% menjadi 80% dari sekitar 130 juta anak yang lahir setiap tahun sejak penetapan The Expanded Program on Immunization

Lebih terperinci

b. Tujuan Khusus Meningkatkan cakupan hasil kegiatan Bulan Penimbangan Balita (BPB) di Puskesmas Losarang.

b. Tujuan Khusus Meningkatkan cakupan hasil kegiatan Bulan Penimbangan Balita (BPB) di Puskesmas Losarang. KERANGKA ACUAN KEGIATAN SWEEPING PELAKSANAAN BPB, PENIMBANGAN BULANAN DI POSYANDU DAN PEMBERIAN KAPSUL VITAMIN A PADA BAYI DAN BALITA UPT PUSKESMAS LOSARANG TAHUN 2017 I. PENDAHULUAN Kegiatan Bulan Penimbangan

Lebih terperinci

EVALUASI DAN TINDAK LANJUT TERHADAP PELAKSANAAN KEGIATAN. No Program Indikator Kegiatan evaluasi Rencana Tindak lanjut 1 Kesehatan Ibu

EVALUASI DAN TINDAK LANJUT TERHADAP PELAKSANAAN KEGIATAN. No Program Indikator Kegiatan evaluasi Rencana Tindak lanjut 1 Kesehatan Ibu EVALUASI DAN TINDAK LANJUT TERHADAP PELAKSANAAN KEGIATAN No Program Indikator Kegiatan evaluasi Rencana Tindak lanjut 1 Kesehatan Ibu 1. Akses Pelayanan Antenatal Pelaksanaan kegiatan yang belum sesuai

Lebih terperinci

RENSTRA DINAS KESEHATAN PROVINSI BALI PERIODE intensitas upaya-upaya pencegahan. yang melaksanakan pembinaan petugas kab/puskesmas KH)

RENSTRA DINAS KESEHATAN PROVINSI BALI PERIODE intensitas upaya-upaya pencegahan. yang melaksanakan pembinaan petugas kab/puskesmas KH) RENSTRA DINAS KESEHATAN PROVINSI BALI PERIODE 2014-2018 VISI : " BALI SEHAT MENUJU BALI MANDARA " MISI : 1. MEMELIHARA, MENINGKATKAN DAN MENGEMBANGKAN UPAYA KESEHATAN YANG MERATA, BERMUTU DAN TERJANGKAU

Lebih terperinci

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 PRIORITAS 3 Tema Prioritas Penanggung Jawab Bekerjasama dengan PROGRAM AKSI BIDANG KESEHATAN Penitikberatan pembangunan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif, tidak

Lebih terperinci

kegiatan Direktorat Gizi Masyarakat. Berbagai hambatan dan kendala yang diidentifikasi, telah

kegiatan Direktorat Gizi Masyarakat. Berbagai hambatan dan kendala yang diidentifikasi, telah Pengantar D alam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019, meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak merupakan salah satu sasaran pokok pembangunan nasional. Untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LANDAK DINAS KESEHATAN PUSKESMAS KARANGAN Jalan Raya Karangan Kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Landak Kode Pos78363

PEMERINTAH KABUPATEN LANDAK DINAS KESEHATAN PUSKESMAS KARANGAN Jalan Raya Karangan Kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Landak Kode Pos78363 PEMERINTAH KABUPATEN LANDAK DINAS KESEHATAN PUSKESMAS KARANGAN Jalan Raya Karangan Kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Landak Kode Pos78363 SURAT KEPUTUSAN NOMOR 441 / 56 / III / 2016 TENTANG PENETAPAN DOKUMEN

Lebih terperinci

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : 255.461.686 Sumber : Pusdatin, 2015 ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 738 TAHUN : 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN SERANG Menimbang : DENGAN

Lebih terperinci

HASIL KEGIATAN PUSKESMAS BALARAJA

HASIL KEGIATAN PUSKESMAS BALARAJA HASIL KEGIATAN PUSKESMAS BALARAJA I.Upaya Promosi Kesehatan A. Penyuluhan Prilaku Hidup Bersih dan Sehat 1. Rumah Tangga : Rumah di Periksa : 1050 Target : 75 % x 1050 = 788 2. Institusi Pendidikan sekolah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan mempunyai visi mewujudkan masyarakat mandiri untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan mempunyai visi mewujudkan masyarakat mandiri untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan mempunyai visi mewujudkan masyarakat mandiri untuk hidup sehat. Visi ini dicapai dengan dukungan masyarakat dan pemerintah, oleh karena itu

Lebih terperinci

PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014

PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014 PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014 1 Jumlah kabupaten/kota 8 Tenaga Kesehatan di fasyankes Kabupaten 9 Dokter spesialis 134 Kota 2 Dokter umum 318 Jumlah 11 Dokter gigi 97 Perawat 2.645 2 Jumlah

Lebih terperinci

Seluruh isi dalam buku ini dapat dikutip tanpa izin, dengan menyebut sumber.

Seluruh isi dalam buku ini dapat dikutip tanpa izin, dengan menyebut sumber. Pelindung/ Penasehat : Dr. dr. H. Rachmat Latief, SpPD., M.Kes., FINASIM drg.hj. Susilih Ekowati, M.Si Pengarah : Hj. Asmah, SKM., M.Kes Penyusun : Mohamad Nur, SKM Syahrir, S.Kom Agusyanti, SKM Nurmiyati

Lebih terperinci

PEMANTAUAN WILAYAH SETEMPAT KESEHATAN IBU DAN ANAK (PWS-KIA) Tarwinah

PEMANTAUAN WILAYAH SETEMPAT KESEHATAN IBU DAN ANAK (PWS-KIA) Tarwinah PEMANTAUAN WILAYAH SETEMPAT KESEHATAN IBU DAN ANAK (PWS-KIA) Tarwinah Pengertian PWS KIA alat manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA di suatu wilayah kerja secara terus menerus, agar dapat dilakukan

Lebih terperinci

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : 255.461.686 Sumber : Pusdatin, 2015 ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK PROVINSI GORONTALO TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Gorontalo

Lebih terperinci

Tabel Target dan Capaian Kinerja Urusan Kesehatan Tahun No Indikator Target 2015

Tabel Target dan Capaian Kinerja Urusan Kesehatan Tahun No Indikator Target 2015 Capaian Kinerja Capaian Kinerja Urusan Kesehatan diukur melalui beberapa indikator yang telah ditetapkan targetnya dalam RPJMD Kabupaten Blitar Tahun 2011-2016 sebagai berikut : Tabel Target dan Capaian

Lebih terperinci

Tabel 2.1 REKAPITULASI HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RENJA DAN PENCAPAIAN RENSTRA S/D TAHUN 2014 DINAS KESEHATAN PROVINSI BANTEN

Tabel 2.1 REKAPITULASI HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RENJA DAN PENCAPAIAN RENSTRA S/D TAHUN 2014 DINAS KESEHATAN PROVINSI BANTEN Tabel 2. REKAPITULASI HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RENJA DAN PENCAPAIAN RENSTRA S/D TAHUN 204 DINAS KESEHATAN PROVINSI BANTEN Kode Urusan/Bidang Urusan Dan Program/Kegiatan Indikator Program (outcome) /Kegiatan

Lebih terperinci

BAB. III AKUNTABILITAS KINERJA

BAB. III AKUNTABILITAS KINERJA 1 BAB. III AKUNTABILITAS KINERJA Akuntabilitas kinerja pada Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar secara umum sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang terukur berdasar Rencana Strategis yang mengacu

Lebih terperinci

REVOLUSI KEBIJAKAN ONE DATA, RISKESDAS 2018 TAMPIL BEDA

REVOLUSI KEBIJAKAN ONE DATA, RISKESDAS 2018 TAMPIL BEDA 1/6 Artikel ini diambil dari : www.depkes.go.id REVOLUSI KEBIJAKAN ONE DATA, RISKESDAS 2018 TAMPIL BEDA DIPUBLIKASIKAN PADA : RABU, 21 MARET 2018 00:00:00, DIBACA : 879 KALI Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Staf Ahli Bid. Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 2. Staf Ahli Bid. Pembiayaan & Pemberdayaan Masyarakat; 3. Staf Ahli Bid. Perlindungan Faktor Resiko Kesehatan; 4. Staf Ahli Bid Peningkatan Kapasitas

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan; 2. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 3. Staf Ahli Bidang Desentralisasi Kesehatan; dan 4. Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan STAF AHLI STRUKTUR

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS BANTUAN SOSIAL (BANSOS) PROGRAM PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT DIREKTORAT BINA GIZI MASYARAKAT

PETUNJUK TEKNIS BANTUAN SOSIAL (BANSOS) PROGRAM PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT DIREKTORAT BINA GIZI MASYARAKAT PETUNJUK TEKNIS BANTUAN SOSIAL (BANSOS) PROGRAM PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT DIREKTORAT BINA GIZI MASYARAKAT DIREKTORAT JENDERAL BINA KESEHATAN MASYARAKAT DEPARTEMEN KESEHATAN R I TAHUN 2008 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci