FAKTOR PENENTU ADOPSI SISTEM PERTANIAN SAYURAN ORGANIK DAN KEBERDAYAAN PETANI DI PROVINSI SUMATERA BARAT ZULVERA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAKTOR PENENTU ADOPSI SISTEM PERTANIAN SAYURAN ORGANIK DAN KEBERDAYAAN PETANI DI PROVINSI SUMATERA BARAT ZULVERA"

Transkripsi

1 i FAKTOR PENENTU ADOPSI SISTEM PERTANIAN SAYURAN ORGANIK DAN KEBERDAYAAN PETANI DI PROVINSI SUMATERA BARAT ZULVERA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2 ii

3 iii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Faktor Penentu Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani di Provinsi Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Zulvera NIM I

4 iv

5 v RINGKASAN ZULVERA. Faktor Penentu Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani di Provinsi Sumatera Barat. Dibimbing oleh SUMARDJO, MARGONO SLAMET, dan BASITA GINTING SUGIHEN. Pertanian berkelanjutan merupakan tantangan dalam dunia pertanian yang menuntut petani untuk memiliki perilaku yang berbeda dari pengetahuan, sikap dan praktek sistem usahatani yang terbangun selama ini. Salah satu sistem pertanian yang merupakan implementasi dari pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian organik. Pertanian organik merupakan salah satu sistem bertani yang ramah lingkungan dan mengoptimalkan penggunaan input lokal non kimiawi. Sistem pertanian organik diyakini dapat melepaskan petani dari ketergantungan terhadap faktor-faktor produksi yang merusak lingkungan. Hal ini diperkuat oleh hasil-hasil penelitian yang mengatakan bahwa pertanian organik dapat menjadi strategi pembangunan yang memberdayakan petani. Sejak dicanangkannya program Go Organic 2010 pada tahun 2001 oleh pemerintah, berbagai upaya telah dilakukan untuk pengembangan sistem pertanian organik di kalangan petani, baik oleh pemerintah pusat melalui Departemen Pertanian maupun pemerintah daerah. Provinsi Sumatera Barat sebagai salah satu daerah percontohan pertanian organik di Indonesia telah mengembangkan sistem pertanian organik secara intensif mulai tahun 2008, salah satu kegiatannya adalah pengembangan kawasan sayuran organik. Berdasarkan pengamatan lapangan dan informasi berbagai sumber ternyata perkembangan sistem pertanian sayuran organik di kalangan petani bervariasi dan berjalan lambat. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik, (2) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik, (3) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keberdayaan petani sayuran, dan (4) menganalisis faktor penentu dan merumuskan model peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik untuk mengembangkan keberdayaan petani sayuran di Provinsi Sumatera Barat. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan pengumpulan data menggunakan metode survei. Lokasi penelitian di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Populasi penelitian adalah petani sayuran yang pernah mengikuti program pengembangan pertanian sayuran organik di lokasi penelitian. Jumlah populasi penelitian terdiri dari 541 orang petani, tersebar sebanyak 303 orang di Kabupaten Agam dan 238 orang di Kabupaten Tanah Datar. Sampel penelitian ditetapkan sebanyak 300 orang, tersebar di Kabupaten Agam sebanyak 168 orang dan 132 orang di Kabupaten Tanah Datar. Penetapan jumlah sampel ditentukan secara proporsional berdasarkan sebaran populasi di daerah penelitian dan penentuan anggota sampel dilakukan secara simple random sampling. Penelitian dilaksanakan bulan September 2013 sampai Januari Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Analisis uji beda Man-Whitney digunakan untuk menganalisis perbandingan antara peubah penelitian di Kabupaten Agam dan Tanah Datar. Hubungan antar peubah penelitian dianalisis dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman, sedangkan analisis SEM (Struktural Equation Model) digunakan untuk mengkaji faktor

6 vi penentu dalam tingkat adopsi sistem pertanian organik dan keberdayaan petani serta melihat kecocokan model empirik. Sikap petani terhadap sistem pertanian sayuran organik tergolong baik, namun pengetahuan petani tentang sistem pertanian sayuran organik tergolong sedang dan diikuti oleh keterampilan petani yang rendah. Faktor-faktor yang berhubungan erat positif dengan perilaku petani melalui indikator pengetahuan, sikap dan keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik adalah: (1) karakteristik petani yang terdiri dari kekosmopolitan, keberanian menanggung resiko dan motivasi berusaha tani, (2) intensitas belajar petani yang terdiri dari kesesuaian materi belajar, intensitas interaksi dengan kelompok dan sumber belajar, dan (3) intensitas penyuluhan yang terdiri dari kesesuaian materi dan model komunikasi dalam penyuluhan, kompetensi penyuluh serta frekuensi penyuluhan. Perubahan perilaku petani kearah yang lebih baik dalam sistem pertanian sayuran organik dapat dilakukan dengan peningkatan intensitas belajar dan penyuluhan, serta mendorong kemauan petani untuk lebih terbuka terhadap sumber informasi. Tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik tergolong rendah, begitu juga halnya dengan tingkat keberdayaan petani juga rendah. Faktor-faktor yang berhubungan erat dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani terdiri dari: karakteristik internal petani, dukungan lingkungan, sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik, dan dukungan penyuluhan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keberdayaan petani sayuran adalah: karakteristik internal petani, dukungan penyuluhan, dan dukungan lingkungan. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa faktor penentu rendahnya tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani adalah perilaku petani berkaitan dengan sistem pertanian sayuran organik, dukungan lingkungan, sifat inovasi dan dukungan penyuluhan. Hasil uji persamaan struktural juga memperlihatkan bahwa rendahnya tingkat keberdayaan petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan dukungan lingkungan. Strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik untuk pengembangan keberdayaan petani sayuran dilakukan dengan pendekatan penguatan terhadap faktor-faktor penentu dalam adopsi sistem pertanian sayuran organik. Penguatan perilaku petani dapat dilakukan melalui penguatan dukungan penyuluhan dan fasilitasi intensitas belajar petani. Penguatan dukungan lingkungan dan sifat inovasi dapat dilakukan melalui penyusunan dan pelaksanaan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sistem pertanian sayuran organik, pengembangan lembaga-lembaga pertanian terkait usahatani organik serta pelaksanaan penelitian oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga-lembaga penelitian bersama petani berkaitan dengan teknologi pertanian organik. Kata kunci: Adopsi, penyuluhan pertanian, perilaku petani, sistem pertanian sayuran organik

7 vii SUMMARY ZULVERA. Determinants Factor of the Adoption of an Organic Vegetable Farming System and Farmer Empowerment in West Sumatra Province. Supervised by SUMARDJO, MARGONO SLAMET, and BASITA GINTING SUGIHEN. Sustainable agriculture is a challenge in the world of agriculture which requires farmers to have a different behavior from the knowledge, attitude and practice of the farming systems that have been built up all this time. One of the agricultural systems which is the implementation of sustainable agriculture is an organic farming system. It is an environmentally friendly farming system that optimizes the use of local non-chemical inputs and is believed to be able to release farmers from dependence on the factors of production that damage the environment. As confirmed by the results of researches, organic farming can be a development strategy to empower farmers. Since Go Organic program 2010 was launched by the government in 2001, various attempts have been made to develop the organic agriculture system among farmers, both by the central government through the Ministry of Agriculture and local governments. West Sumatra Province as one of the pilot areas for organic farming in Indonesia has developed a system of intensive organic farming since 2008, and one of the activities is to develop regional organic vegetables. However, based on field observations and various sources of information, the developments of the organic vegetable farming system among the farmers varied and went relatively slowly. This study aimed to: (1) analyze the behavior of farmers in the organic vegetable farming system, (2) to analyze the factors associated with the adoption level of the organic vegetable farming system, (3) analyze the factors associated with the level of vegetable farmer empowerment, and (4) analyze the determinants and formulate a model of adoption increase in the organic vegetable farming system to develop empowerment vegetable farmers in West Sumatra Province. The research used a quantitative approach and the data collection used a survey method. The study was conducted in the regencies of Agam and Tanah Datar in West Sumatra Province. The study population consisted of vegetable farmers who had attended a development program of organic vegetable farming in the study site. The research population consisted of 541 farmers--303 farmers in Agam and 238 farmers in Tanah Datar. The research sample was set to include 300 farmers, 168 from Agam and 132 from Datar. The number of the samples was proportionally determined based on the population distribution in the research area, and the population members were determined by simple random sampling. The study was carried out from September 2013 to January The data analysis was performed using descriptive statistics and inferential statistics. Analysis of Man-Whitney s test of difference was used to analyze the comparison between the study variables in Agam and in Tanah Datar. The relationship between the study variables was analyzed using Spearman Rank Correlation, whereas analysis of SEM (Structural Equation Model) was used to analyze the determinants in the adoption level of the organic farming system and farmer empowerment and to see the suitability of an empirical model.

8 viii The result of the research showed that the farmer attitude toward organic vegetable farming system was categorized as good although the farmer knowledge about the organic vegetable farming system was categorized as medium with low skills. The factors positively closely related with farmer behavior through such indicators as education, attitude, and farmer skills in organic vegetable farming system were: (1) farmer characteristics consisting of cosmopolitant oriented, the bravery to take risk and work motivation; (2) farming learning intensity consisting of the relevance of study material, interaction intensity with the group and learning sources; and (3) extension intensity including material suitability and communication model in extension activity, extension competency, extension frequency. The change in farmer behavior into a better one in the system of organic vegetable farming could be done by increasing learning intensity and extension, and by encouraging farmers to be more open to information sources. The adoption level of farmers toward the organic vegetable farming system was categorized as low. Similarly, farmer empowerment level was also low. The factors closely related to the adoption level of the organic vegetable farming system by farmers consisted of: farmer internal characteristics, external environment support, and extension support. The factors closely related to the empowement level of vegetable farmers were: farmer external characteristics, extension support, and external environment support. The SEM analysis result indicated that the factors determining the low adoption level of organic vegetable farming by the farmers were farmer behavior related to the organic vegetable farming system, external environment support, innovativeness, and extension support. The test result of structural equation also showed that the low empowerment level of farmers was significantly affected by the adoption level of the organic vegetable farming system and external environment support. The strategy of increasing the organic vegetable farming system to improve vegetable farmer empowerment was developed by a strengthening approach to determinants in the organic vegetable farming system. The strengthening of farmer behavior could be done through strengthening extension support and farmer learning intensity facility. The strengthening of external environment support and innovativeness could be carried out through the formulation and implementation of the regulations related to the organic vegetable farming system, the development of agricultural institutions involving organic farming and the researches by universities and research institutions together with the farmers related to organic farming technology. Keyword: adoption, agricultural extension, farmer behavior, organic vegetable farming system

9 ix Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

10 x

11 xi FAKTOR PENENTU ADOPSI SISTEM PERTANIAN SAYURAN ORGANIK DAN KEBERDAYAAN PETANI DI PROVINSI SUMATERA BARAT ZULVERA Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

12 xii Penguji Luar Komisi: Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof (R) Dr Ign Djoko Susanto, SKM Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB 2. Dr Lukman Effendy, MSi Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Bogor Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof (R) Dr Ign Djoko Susanto, SKM Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB 2. Dr Ir Ranny Mutiara Chaidirsyah Kepala Bidang Pemberdayaan Kelembagaan Petani dan Usahatani Pusat Penyuluhan Pertanian BPPSDMP Kementerian Pertanian

13 xiii Judul Disertasi Nama NIM : Faktor Penentu Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani di Provinsi Sumatera Barat : Zulvera : I Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Sumardjo, MS Ketua Prof Dr R Margono Slamet, MSc Anggota Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof Dr Ir Sumardjo, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 24 Juli 2014 Tanggal Lulus:

14 xiv PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah yang berjudul: Faktor Penentu Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani di Provinsi Sumatera Barat berhasil diselesaikan. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof Dr Ir Sumardjo, MS, Bapak Prof Dr R Margono Slamet, MSc dan Bapak Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA selaku Komisi Pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing penulis mulai dari penyusunan proposal penelitian hingga penyusunan disertasi ini. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB, Ketua Departemen Sain Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, dan Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB beserta dosen dan staf kependidikan. Kepada Bapak Prof (R) Dr Ign Djoko Susanto, SKM dan Bapak Dr Lukman Effendy, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup; Ibu Dr Ir Ranny Mutiara Chaidirsyah dan Bapak Prof (R) Dr Ign Djoko Susanto, SKM selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, penulis mengucapkan terimakasih. Terimakasih penulis sampaikan kepada pihak Dikti Kemendiknas sebagai pemberi dana beasiswa studi bagi penulis. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian serta seluruh responden dan enumerator yang telah membantu sehingga data penelitian dapat dikumpulkan. Kepada rekan-rekan seangkatan PPN 2009 terimakasih atas kebersamaan, dukungan dan semangatnya. Tak lupa buat rekan-rekan KMP dan PPN 2010, serta Pak Herry terimakasih atas motivasinya. Ayahanda Asgul terimakasih atas dukungan dan doa yang tiada lelah bagi keberhasilan penulis dan Ibunda (alm) Zuraida yang mendampingi separuh perjalanan studi penulis semoga Allah SWT menempatkan pada tempat yang sebaik-baiknya. Terimakasih tak hingga kepada semua saudara dan keluarga besar yang selalu mendoakan dan menyemangati penulis dalam penyelesaian studi. Kepada suami tercinta Dr Admi Nazra, MSc dan anakku Muhammad Hazim Vemi Khairy terimakasih atas kesabaran, pengertian, kesetiaan, dan doanya selama penulis menjalankan pendidikan S3. Penulis tetap membuka diri untuk semua saran dan kritik yang membangun untuk menambah makna disertasi ini. Harapan penulis, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2014 Zulvera

15 xv DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN TEORITIS DAN EMPIRIS Tinjauan pustaka Penelitian Terdahulu Kerangka Berpikir dan Hipotesis Metode Penelitian 3 PERILAKU PETANI DALAM MERESPON SISTEM PERTANIAN SAYURAN ORGANIK DI KABUPATEN AGAM DAN TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT Abstrak Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan 4 TINGKAT ADOPSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT ADOPSI SISTEM PERTANIAN SAYURAN ORGANIK DI KABUPATEN AGAM DAN TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT Abstrak Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan 5 TINGKAT KEBERDAYAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEBERDAYAAN PETANI SAYURAN DI KABUPATEN AGAM DAN TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT Abstrak Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan xiii xv xvi

16 xvi 6 FAKTOR PENENTU DAN MODEL PENINGKATAN ADOPSI SISTEM PERTANIAN SAYURAN ORGANIK MENUJU KEBERDAYAAN PETANI SAYURAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT Abstrak Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan PEMBAHASAN UMUM SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA 136 LAMPIRAN 143 RIWAYAT HIDUP 169 DAFTAR TABEL 1 Karakteristik dari Centralized Diffusion system dan Decentralized Diffusion System 2 Perkembangan Masyarakat ditinjau dari Perspektif Kemandirian (modern, efisien dan daya saing) 3 Hasil-hasil penelitian terkait dengan adopsi inovasi pertanian organik 39 4 Sebaran sampel penelitian 51 5 Indikator, definisi operasional, parameter peubah karakteristik petani ( X1) 6 Indikator, Definisi operasional, dan parameter peubah intensitas proses pembelajaran petani ( X2) 7 Indikator, definisi operasional, dan parameter peubah dukungan penyuluhan (X3) 8 Indikator, definisi operasional, dan parameter peubah perilaku petani 57 9 Indikator, definisi operasional, dan parameter peubah persepsi petani tentang sifat inovasi (X4) 10 Indikator, definisi operasional, dan parameter peubah lingkungan (X5) 11 Definisi operasional dan parameter peubah tingkat adopsi sistem pertanian organik (Y2)

17 xvii DAFTAR TABEL (lanjutan) 12 Definisi operasional, parameter dan pengukuran peubah tingkat keberdayaan petani (Y3) 13 Sebaran sampel berdasarkan karakteristik internal Sebaran sampel berdasarkan intensitas belajar Sebaran sampel berdasarkan dukungan penyuluhan Sebaran sampel berdasarkan perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik 17 Koefisien korelasi antara karakteristik individu petani dengan perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik 18 Koefisien korelasi antara intensitas belajar petani dengan perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik 19 Koefisien korelasi antara intensitas penyuluhan dengan perilaku petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik 20 Sebaran sampel berdasarkan rataan skor karakteristik internal Sebaran sampel berdasarkan rataan skor dukungan penyuluhan Sebaran sampel berdasarkan sifat inovasi Sebaran sampel berdasarkan dukungan lingkungan Sebaran sampel berdasarkan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik 25 Koefisien korelasi antara karakteristik individu petani dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik 26 Koefisien korelasi antara intensitas penyuluhan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik 27 Koefisien korelasi antara kompetensi penyuluh dengan metode, materi, model komunikasi dan intensitas penyuluhan 28 Koefisien korelasi antara sifat inovasi dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik 29 Koefisien korelasi antara dukungan lingkungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik 30 Sebaran sampel berdasarkan rataan skor peubah penelitian Sebaran sampel berdasarkan indikator tingkat keberdayaan petani

18 xviii DAFTAR TABEL (lanjutan) 32 Koefisien korelasi antara karakteristik internal petani dengan keberdayaan petani 33 Koefisien korelasi antara dukungan penyuluhan dengan keberdayaan petani 34 Koefisien korelasi antara dukungan lingkungan dengan keberdayaan 35 Dekomposisi pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung antar peubah penelitian 36 Rancangan strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik melalui penguatan dukungan penyuluhan pertanian 37 Deskripsi rancangan strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik dalam pengembangan keberdayaan petani DAFTAR GAMBAR 1 Model inovasi linear (diadopsi dari Leeuwis 2009) 10 2 Model inovasi non linear 11 3 Centralized diffusion systems (diadopsi dari Rogers 2003) 11 4 Decentralized diffusion system (diadopsi dari Rogers, 2003) 12 5 Tahapan proses keputusan inovasi (Rogers 2003) 15 6 Variabel-variabel yang menentukan kecepatan adopsi dari inovasi (Rogers, 2003) 7 Model variabel dasar yang relevan terhadap pemahaman praktek dan respon petani secara individu terhadap alternatif yang diusulkan (diadopsi dari Leeuwis,2009) 8 Alur berpikir penelitian faktor penentu dalam tingkat adopsi sistem pertanian organik 9 Hubungan antar variabel penelitian faktor penentu dalam tingkat adopsi sistem pertanian organik dan keberdayaan petani 10 Hubungan antara variabel penelitian perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik

19 xix DAFTAR GAMBAR (Lanjutan) 11 Hubungan antara peubah penelitian faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi 12 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keberdayaan 13 Kerangka hubungan antara peubah penelitian faktor penentu dalam tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani 14 Model struktural faktor penentu adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani 15 Model pengembangan keberdayaan petani sayuran melalui adopsi sistem pertanian sayuran organik 16 Rancangan strategi pengembangan adopsi sistem pertanian sayuran organik menuju keberdayaan petani DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta Provinsi Sumatera Barat Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Agam Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Tanah Datar Hasil Uji Validitas Reliabilitas Instrumen Diagram Jalur Model Hipotetik Persamaan Struktural Pengembangan Sistem Pertanian Organik Di Provinsi Sumatera Barat 7 Analisis SEM menggunakan LISREL

20

21 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan yang penting dalam pembangunan Negara Indonesia dari dulu dan pada masa yang akan datang. Arti penting pertanian dapat dilihat secara proporsional dan kontekstual (Krisnamurthi 2006). Secara proporsional pertanian memiliki arti penting dalam posisinya bersama dengan sektor lain dilihat dari perannya bagi kesejahteraan dan berbagai dimensi kehidupan manusia. Arti penting pertanian secara kontekstual sesuai dengan perkembangan masyarakat, bukan hanya karena pertimbangan masa lalu, namun berkaitan dengan pemahaman atas kondisi saat ini dan antisipasi masa depan dalam masyarakat yang mengglobal, semakin modern, dan menghadapi persaingan yang semakin ketat (Krisnamurthi 2006). Peran penting sektor pertanian tersebut menyebabkan pembangunan pertanian menjadi prioritas dalam setiap langkah pembangunan. Seiring dengan perkembangan lingkungan global yang dinamis, sektor pertanian dewasa ini dan masa yang akan datang menghadapi tantangan yang besar. Salah satu tantangan yang dihadapi petani dan dunia pertanian dewasa ini adalah berkaitan dengan keberlanjutan, ekosistem dan manajemen sumberdaya alam (Leeuwis 2009). Diseluruh dunia, pertanian mendapat kritik tajam karena aktivitas pertanian yang selama ini dilakukan sarat dengan penggunaan input kimia dalam jumlah yang relatif tinggi, sehingga telah mengakibatkan rusaknya lingkungan alam. Hal ini menimbulkan seruan terhadap dunia pertanian untuk tidak eksploitatif dan harus berkelanjutan, yang berarti bahwa pertanian harus dilakukan dengan cara-cara yang ramah lingkungan, memanfaatkan sumberdaya daya alam dan input yang tersedia dengan sebaik-baiknya (Leeuwis 2009). Sistem ini dikenal dengan sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras dengan lingkungan (Salikin 2003). Keberlanjutan atau sustainabilitas saat ini menjadi issu penting yang sangat diperhatikan dalam pembangunan pertanian di seluruh dunia. Pertanian dengan penggunaan input eksternal rendah telah menyebar secara cepat keberbagai belahan dunia sebagai alternatif yang menantang terhadap sistem revolusi hijau yang telah membuat petani terbiasa dengan penggunaan input luar tinggi. Revolusi hijau telah menjadikan petani tidak mandiri dan terjadinya pengabaian terhadap aspek lingkungan hidup. Kebergantungan petani pada input pertanian dari luar yang tinggi selama ini, menyebabkan hilangnya keberdayaan petani. Petani menjadi sangat rentan terhadap kondisi saprotan dari luar, padahal di sekitar lahan petani melimpah sumberdaya yang dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi langkanya sarana produksi (Sulaiman 2009). Pertanian berkelanjutan merupakan tantangan dalam dunia pertanian, yang menuntut petani untuk memiliki perilaku yang berbeda dari pengetahuan, sikap dan praktek usahatani yang terbangun selama ini (lebih kurang selama tiga puluh tahun praktek revolusi hijau). Paradigma pembangunan pertanian yang selama ini berjalan telah menimbulkan dampak menurunnya kreativitas petani, menumbuhkan sikap ketergantungan pada bantuan dari pemerintah, kurang berfungsi atau matinya kelembagaan lokal, lemahnya kemandirian petani, serta

22 2 dapat mengancam keberlanjutan pembangunan pertanian (Chambers 1993, Uphoff dalam Sadono 2008). Menurut Leeuwis (2009) praktek pertanian berkelanjutan menjadikan petani harus memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang situasi lokal, dan banyak pengetahuan yang harus dikembangkan atau diadaptasi sesuai dengan kondisi karena situasi ekologis yang berbeda dalam wilayah individu petani, dan ini harus ditunjang dengan kerjasama yang erat antara petani, peneliti dan pelaku penyuluhan pertanian. Tantangan dalam dunia pertanian ini hanya dapat ditangani jika pelaku pertanian mampu menggunakan pengetahuan dan informasi yang diadaptasikan dengan lebih baik. Salah satu sistem pertanian yang merupakan implementasi dari sistem pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian organik. Konsep sistem pertanian organik sudah sering dibahas pada berbagai pertemuan ilmiah, dan secara teoritis banyak pakar pertanian dan ekologi yang sepaham bahwa sistem pertanian organik merupakan salah satu alternatif solusi atas kegagalan sistem pertanian industrial (Salikin 2003). Hasil survei yang dilakukan di Negara-negara Eropa menunjukkan bahwa 94 persen responden membeli produk organik karena mereka sangat peduli dengan kesehatan pribadi dan anggota keluarganya. Permintaan konsumen terhadap produk organik terus meningkat, hingga dapat mencapai 20 sampai 30 persen pertahun, bahkan dibeberapa Negara dapat mencapai 50 persen pertahun (Pangan ). Peningkatan konsumsi produk organik juga diperkuat oleh Ketua Umum Masyarakat Pertanian Organik Indonesia yang menyatakan bahwa konsumsi produk organik secara nasional dan global mengalami peningkatan antara persen pertahun (Pangan ). Pertanian organik merupakan salah satu sistem bertani yang diyakini dapat melepaskan petani dari ketergantungan terhadap faktor-faktor produksi yang merusak lingkungan, sebagaimana yang dialami petani selama tiga dasawarsa ini (semenjak diterapkannya revolusi hijau di kalangan petani), senada dengan pernyataan Beban (2008) yang mengatakan bahwa pertanian organik dapat menjadi strategi pembangunan yang memberdayakan petani. Penerapan prinsipprinsip sistem pertanian organik yang kembali pada alam dan ramah lingkungan, akan membuat petani berdaya dalam arti mampu menyediakan input-input pertaniannya sendiri, yang selama ini merupakan biaya produksi yang harus dibayar tunai oleh petani. Biaya-biaya tunai yang dapat dikurangi oleh petani tersebut adalah penyediaan benih yang sifatnya lokal, pemberantasan hama secara alami, dan pemupukan secara organik atau non kimiawi yang selama ini menjadi beban biaya produksi yang memberatkan petani. Apabila biaya produksi dapat dikurangi, tentu harga produk yang dihasilkan akan lebih kompetitif, sehingga petani akan memiliki daya kompetisi yang lebih baik dengan produk-produk sejenis lainnya. Disamping hal itu, dengan dihasilkannya produk pertanian yang ramah lingkungan, sesuai dengan tuntutan dan selera konsumen, maka usaha petani akan mempunyai posisi tawar yang bagus, kondisi ini merupakan salah satu faktor yang akan membuat usahatani akan berkelanjutan. Kemampuan petani memenuhi sarana produksi, kompetitif dan berkelanjutan dalam berusahatani merupakan ciri yang menunjukkan keberdayaan petani. Penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2010) tentang Pemberdayaan Tenaga Kerja Perdesaan dalam Pengembangan Sistem Pertanian Organik di Sragen Jawa Tengah menunjukkan bahwa pengembangan pertanian organik padi

23 telah menyebabkan petani berdaya, mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia, petani menemukan cara pemupukan alami secara mandiri tanpa bantuan pemerintah. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa target pengembangan padi organik di Sragen secara ekonomi telah memberikan surplus pendapatan bagi daerah karena nilai jual padi organik lebih tinggi dibandingkan padi non organik, usaha tani padi organik mampu menyerap tenaga kerja terbesar dibandingkan dengan usaha komoditas pertanian lainnya. Penyediaan lapangan kerja usaha padi organik mulai dari hulu hingga hilir adalah berupa pengolahan limbah tanaman padi seperti, jerami, sekam padi, disertai pula makin berkembangnya pengolahan pupuk kandang dari hasil peternakan hewan. Petani menjadi berdaya, dan dapat memberi kesempatan kerja bagi penduduk di daerah tersebut, sehingga dapat mengurangi pengangguran (Widodo 2010). Indonesia sebagai negara agraris, memiliki potensi besar mengembangkan pertanian organik. Indonesia memiliki 17 juta hektar lahan kosong dan masih luasnya pertanian tradisional yang dikelola tanpa menggunakan bahan sisntetis, menjadi salah satu modal penting dalam mengembangkan pertanian organik (Pangan ). Pemerintah Indonesia mendukung trend pertanian organik dengan mengeluarkan kebijakan pemerintah yang disebut Go Organik Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan dan mengatur perkembangan pertanian organik. Pencanangan Program Go Organik 2010 oleh Departemen Pertanian sudah dilakukan sejak tahun 2001 dengan visi mewujudkan Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik terbesar di dunia. Pengembangan pertanian organik dirancang dalam enam tahapan mulai dari tahun 2001 hingga 2010 (Departemen Pertanian 2009). Dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk hayati dan Pembenah tanah menunjukkan pentingnya perhatian terhadap pertanian organik. Sayuran sebagai salah satu produk hortikultura merupakan salah satu subsektor non pangan utama yang sangat rentan dengan penggunaan zat kimia dan perlu mendapat perhatian. Koordinasi Pengembangan Sayuran Organik yang diadakan di Bali pada bulan Juli 2012, menyimpulkan bahwa masalah dan tantangan pengembangan sayuran dan tanaman obat saat ini diantaranya adalah : (1) Paradigma kegiatan budidaya dan produksi yang aman konsumsi, bermutu, ramah lingkungan dan berkelanjutan, (2) Gerakan gaya hidup sehat back to nature untuk sayuran, obat-obatan, kosmetika, keasrian dan kenyamanan lingkungan, dan (3) Impor sayuran cukup besar dan cenderung meningkat, atau ada upaya luar untuk meningkatkan dan membuat ketergantungan, termasuk sayuran organik. Produk yang sehat dan terhindar dari kandungan zat-zat kima serta ramah lingkungan merupakan selera konsumen dan tantangan pasar yang harus mampu dipenuhi oleh petani sayuran saat ini agar dapat bersaing di pasar. Peningkatan permintaan produk organik secara nasional yang mencapai angka persen pertahun merupakan gambaran semakin terbukanya peluang pasar bagi produsen sayuran organik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memasyarakatkan sistem pertanian organik pada petani sayuran, namun kenyataan di lapangan masih banyak petani yang belum menerapkan sistem pertanian organik tersebut. Standar penggunaan pupuk kimia dalam satu hektar lahan yang menurut petani adalah 250 kg, namun mereka menggunakan pupuk kimia sampai dengan 400 kg dalam satu hektarnya 3

24 4 (Bahan ). Rendahnya penerapan pertanian organik di Provinsi Sumatera Barat juga diperkuat oleh informasi dari Media Medan Bisnis (Pertanian ) yang mengutip pernyataan Gubernur Sumatera Barat yang menyatakan, Saat ini jumlah petani organik di Sumbar baru mencapai satu persen karena sebagian besar petani lainnya masih membutuhkan pupuk dan pestisida dalam menggarap lahan pertanian mereka,". Penelitian Reflinaldon et al. (2009) tentang Penggunaan Pestisida dan Dampaknya Terhadap Keanekaragaman Hayati serta Upaya Restorasi Agroekosistim di Kawasan Sentra Sayuran Kecamatan Lembah Gumanti Sumatera Barat menunjukkan bahwa ditemukan residu pestisida berbahan aktif diazinon, propenofos, dimetoat (organoposfat) dan sipermetrin (piretroid) pada bawang merah, kubis dan tomat. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kualitas lingkungan kawasan Lembah Gumanti (merupakan salah satu daerah sentra sayuran di Provinsi Sumatera Barat) masih rendah dan memerlukan perhatian untuk upaya restorasi melalui peningkatan kepedulian lingkungan dan pengetahuan tentang cara pertanian yang ramah lingkungan sehingga akan dapat menghasilkan komoditi sayuran berkualitas dan aman bagi konsumen (Reflinaldon et al. 2009). Keputusan petani untuk tidak menerapkan inovasi yang diperkenalkan dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Selama ini petani menjadi pihak yang selalu disalahkan dengan tidak berkembangnya suatu inovasi. Sikap petani yang menolak untuk mengadopsi inovasi dianggap semata-mata merupakan kesalahan petani. Namun terdapat hal lain yang dilupakan berkaitan dengan keputusan petani untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi suatu inovasi, yang berada diluar diri individu petani. Proses keputusan inovasi tidak sesederhana yang dibayangkan oleh berbagai pihak selama ini. Berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan fenomena perubahan perilaku menunjukkan bahwa proses perubahan perilaku petani tidaklah terjadi secara linear. Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang keputusan adopsi inovasi dapat disimpulkan mengenai fakta di tengah masyarakat menunjukkan bahwa apa yang disampaikan kepada petani tidak selalu didengar oleh petani, dan jika didengar tidak selalu dipahami petani, apabila mereka memahami belum tentu petani setuju dengan hal tersebut, dan meskipun mereka setuju dengan apa yang disampaikan, ternyata petani belum tentu melakukannya. Terakhir, jikalau mereka menerapkan apa yang disampaikan, dalam banyak kasus ternyata penerapan inovasi tersebut tidak selalu dipertahankan atau tidak berkelanjutan (Prager dan Posthumus 2010). Setiap tahapan dari proses penyebaran inovasi kepada petani sepertinya sering berjalan tidak sesuai dengan harapan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Slamet (2003) yang menyebutkan bahwa masalah pertanian bukan hanya masalah teknologi tapi juga bagaimana men-diseminasikan informasi sampai ke petani yang jumlahnya banyak dan tersebar luas, hingga petani berpartisipasi. Kondisi ini merupakan hal yang menarik untuk ditelusuri, yaitu yang berkaitan dengan faktor-faktor apa yang mempengaruhi petani untuk melakukan atau tidak melakukan inovasi. Kajian ini sejalan dengan lingkup ilmu penyuluhan pembangunan yang merupakan disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang berakibat kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi

25 5 lebih baik (Slamet 2003). Penyuluhan dapat menjalankan fungsinya dalam membantu petani melakukan perubahan jika terdapat pemahaman yang benar tentang peubah-peubah yang memainkan peran dalam pembentukan kebiasaan manusia. Tanpa adanya pemahaman yang benar tentang mengapa seseorang melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) pada waktu tertentu, maka tidak akan mungkin kita dapat memberikan bantuan untuk perubahan yang efektif (Leeuwis 2009). Perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu sistem sosial sebagai hasil dari penerapan suatu inovasi atau kebiasaan baru yang dilakukan oleh anggota sistem sosialnya merupakan konsekwensi dari suatu inovasi. Keberdayaan petani sayuran merupakan konsekwensi yang diharapkan setelah petani mengadopsi sistem pertanian sayuran organik di lahannya. Masalah Penelitian Sistem pertanian organik merupakan salah satu sistem bertani yang dapat menjawab tuntutan dan tantangan dunia pertanian saat ini. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menerapkan sistem pertanian organik, petani akan memperoleh manfaat, diantaranya mengurangi biaya produksi, mendapatkan harga yang lebih tinggi dari produk konvensional, meningkatkan pendapatan, menghindari ketergantungan dari pihak penyalur input dan meningkatkan keberlanjutan ekonomi petani serta meningkatkan kesehatan petani dan keluarganya (Beban 2008, Widodo 2010, Widiarta dan Adiwibowo 2011). Sistem pertanian organik telah mengalami perkembangan pesat di Negara-negara Eropah dan Amerika. Laju penjualan pangan organik di Negara-negara tersebut berkisar dari 20-25% pertahun selama dekade terakhir (Apriantono 2006). Permintaan pertanian organik di seluruh dunia juga tumbuh 20% per tahun (Damardjati 2006) Indonesia sebagai negara agraris juga diharapkan mampu menjadi salah satu produsen organik terkemuka di dunia sebagaimana yang dinyatakan dalam Program Go Organik Namun berdasarkan berbagai survei dan hasil pengamatan di lapangan, ternyata pertanian organik mengalami perkembangan yang lambat di tengah-tengah masyarakat petani. Perkembangan yang lambat tersebut juga diikuti dengan terjadinya penurunan luas area pertanian organik di Indonesia pada tahun 2010 sampai Berdasarkan data statisitik pertanian organik Indonesia 2012, total luas area pertanian organik Indonesia tahun 2012 adalah ,55 ha, menurun sekitar 10 persen dari tahun sebelumnya (Ariesusanty 2012). Kondisi ini tergambar juga di Provinsi Sumatera Barat sebagai salah satu daerah yang menjadi percontohan pertanian organik di Indonesia. Berbagai kegiatan yang bertujuan untuk mengubah perilaku petani agar menerapkan usahatani dengan sistem pertanian organik telah dilakukan oleh Pemerintah daerah Propinsi Sumatera Barat (Pemda Sumatera Barat). Untuk mendukung pengembangan sistem pertanian organik, Pemda Sumatera Barat menginisiasi pembentukan kelembagaan pendukung, seperti Satuan tugas (Satgas) Organik dan Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) yang berada di bawah naungan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sumatera Barat. Disamping lembaga resmi tersebut, Pemda Sumatera Barat juga membangun lembaga non pemerintah yaitu

26 6 Institut Pertanian Organik (IPO) yang saat ini dijadikan sebagai pusat magang para petugas dan petani serta TOT penggiat organik di Sumatera Barat. Upaya lain yang dilakukan Pemda Sumatera Barat adalah pembuatan leaflet, brosur, banner serta mengadakan pameran produk pertanian organik (Daniel 2011). Usaha untuk mengembangkan sistem pertanian organik dan merangsang semangat petani melakukan usahatani dengan sistem organik dari segi finansial juga diupayakan, Pemda Sumatera Barat melakukan pemberian insentif sebesar Rp 250,00 per kilogram dari setiap produk pertanian organik. Namun berdasarkan pengamatan ternyata perkembangan pertanian organik di Sumatera Barat ini lambat sekali, bahkan ada petani yang awalnya telah bertani secara organik, namun balik lagi ke sistem pertanian yang menggunakan zat kimia secara berlebihan (Daniel 2011). Setelah berjalan lebih kurang delapan tahun gerakan Go Organik 2010, hanya sekitar satu persen dari petani di Sumatera Barat yang menerapkan pertanian organik pada usaha taninya (Pertanian ). Petani sayuran merupakan pengguna pestisida kimia terbanyak dan tertinggi dibandingkan dengan petani tanaman pangan. Penggunaan pestisida kimia dijadikan sebagai tindakan preventif oleh petani, dengan cara melakukan penyemprotan 1-7 hari setelah tanam (Ameriana 2008). Hasil penelitian Ameriana (2008) menyatakan bahwa penggunaan pestisida pada usahatani sayuran menghabiskan persen dari total biaya produksi. Mengantisipasi tingginya resiko penggunaan pestisida kimia dalam usahatani sayuran menyebabkan Pemda Sumatera barat memberi perhatian cukup besar pada pengembangan sistem sayuran organik oleh petani. Berbagai upaya dilakukan untuk mengembangkan sistem pertanian sayuran organik (tersaji pada lampiran 6). Berkaitan dengan kondisi yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana perilaku petani dalam merespon inovasi sistem pertanian sayuran organik? Faktor penentu apakah yang menyebabkan petani mengadopsi sistem pertanian sayuran organik? Apakah sistem pertanian sayuran organik dapat meningkatkan keberdayaan petani dalam berusahatani dan bagaimana model yang efektif untuk mengembangkan dan meningkatkan adopsi inovasi sistem pertanian sayuran organik di tengah masyarakat? Semua itu merupakan fenomena yang harus dicarikan jawabannya. Berbagai permasaalahan tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan spesifik yang diidentifikasi sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perilaku petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik? 2. Sejauhmanakah tingkat adopsi dan faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani? 3. Sejauhmanakah tingkat keberdayaan petani dan faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan tingkat keberdayaan petani sayuran? 4. Apakah faktor penentu dan model yang efektif dalam meningkatkan adopsi sistem pertanian sayuran organik untuk mengembangkan keberdayaan petani di Provinsi Sumatera Barat?

27 7 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan : 1. Menganalisis perilaku petani dalam adopsi sistem pertanian sayuran organik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku petani. 2. Menganalisis tingkat adopsi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik. 3. Menganalisis tingkat keberdayaan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keberdayan petani sayuran. 4. Menganalisis faktor penentu dan merumuskan model yang efektif dalam meningkatkan adopsi sistem pertanian sayuran organik untuk mengembangkan keberdayaan petani sayuran di Provinsi Sumatera Barat Kebaruan Penelitian Penelitian tentang faktor penentu dalam tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani di Sumatera Barat ini menghasilkan kebaruan (novelty) sebagai berikut: 1. Dari aspek teoritis adopsi dan difusi inovasi, penelitian ini memasukkan faktor perilaku sebagai salah satu peubah yang mempengaruhi adopsi inovasi yang belum dikaji pada penelitian sebelumnya. 2. Mengungkapkan dan memperkuat pernyataan bahwa adopsi inovasi sistem pertanian sayuran organik dengan dukungan berbagai aspek pemberdayaan dapat mewujudkan keberdayaan petani dalam menjalankan usahataninya, sehingga sistem pertanian organik dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam pembangunan pertanian yang memberdayakan petani. 3. Model dan rancangan strategi yang efektif untuk mengembangkan keberdayaan petani melalui adopsi sistem pertanian sayuran organik di Provinsi Sumatera Barat. Hal ini diharapkan juga dapat meningkatkan konsumsi sayuran oleh masyarakat Sumatera Barat. Manfaat Penelitian Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan secara ilmiah dan secara praktis. Dari sisi ilmiah hasil penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya khasanah keilmuan khususnya ilmu penyuluhan pembangunan, yang berkaitan dengan konsep-konsep keputusan inovasi, difusi inovasi dan keberdayaan. Secara praktis, beberapa hasil penelitian ini harapannya dapat digunakan oleh berbagai pihak, antara lain: 1. Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat yang berkepentingan dengan kebijakan pertanian khususnya sistem pertanian organik, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam merumuskan suatu kebijakan pertanian yang berorientasi pada pengembangan keberdayaan petani dan peningkatan konsumsi sayuran daun hijau oleh masyarakat.

28 8 2. Bagi penyuluh pertanian (baik penyuluh pemerintah, swadaya atau swasta) hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan atau informasi dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran bersama petani 3. Bagi perguruan tinggi, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain yang tertarik untuk mengkaji topik-topik yang berkaitan dengan proses keputusan inovasi dan difusi inovasi serta pengembangan sumberdaya manusia petani organik. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini difokuskan pada kajian adopsi petani sayuran terhadap sistem pertanian sayuran organik dan tingkat keberdayaan petani sayuran serta faktor-faktor penentu dalam tingkat adopsi dan keberdayaan petani sayuran di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Dipilihnya sayuran sebagai komoditi yang dikembangkan untuk sistem pertanian organik pada penelitian ini disebabkan sayuran merupakan komoditi strategis yang bernilai ekonomis tinggi, rentan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga berpotensi tinggi dalam penggunaan pestisida kimia, dan hal ini sangat berbahaya bagi konsumen karena sayuran banyak yang dikonsumsi dalam keadaan mentah. Usahatani sayuran yang jauh dari sistem pertanian berkelanjutan ini dapat diperbaiki dengan penerapan sistem pertanian sayuran organik oleh petani. Hasil penelitian disusun dalam rangkaian penelitian yang terdiri dari (1) perilaku petani sayuran organik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku petani, (2) tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian organik, (3) tingkat keberdayaan petani dan faktor-faktor yang berhubungan dengan keberdayaan petani, dan (4) faktor penentu dalam tingkat adopsi dan keberdayaan petani sayuran serta model peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik dalam mengembangkan keberdayaan petani sayuran di Provinsi Sumatera Barat. Bagian pertama dari penelitian tentang perilaku petani sayuran organik memberikan gambaran tentang pengetahuan, sikap dan keterampilan petani sayuran dalam sistem pertanian sayuran organik serta faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Tujuan kedua dan ketiga penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani menggambarkan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani dan tingkat keberdayaan petani serta faktor-faktor yang menyebabkan petani mengadopsi dan tidak mengadopsi sistem pertanian sayuran organik di lahan usahataninya. Tujuan penelitian keempat tentang model peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik dalam mengembangkan keberdayaan petani menggambarkan tentang faktor-faktor penentu yang mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik dan faktor penentu keberdayaan petani serta model dan strategi untuk pengembangan adopsi sistem pertanian sayuran organik dalam mewujudkan keberdayaan petani sayuran di Kabupaten Agam dan Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat.

29 9 Konsep Inovasi 2 TINJAUAN TEORITIS DAN EMPIRIS Tinjauan Pustaka Inovasi menurut Rogers (2003) adalah ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau objek yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat. van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa inovasi adalah suatu gagasan, metode atau objek, yang dianggap sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir. Lionberger (1960) dan Mardikanto (2009) memperjelas bahwa inovasi tidak hanya sekedar sebagai sesuatu yang baru, akan tetapi lebih luas, yaitu sesuatu yang dimulai baru atau dapat mendorong pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu. Jadi pengertian baru mengandung makna bukan sekedar baru diketahui oleh pikiran (cognitif) akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh masyarakat dalam arti sikap dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan atau diterapkan oleh seluruh warga masyarakat. Leeuwis (2009) menyatakan bahwa inovasi dipahami sebagai keseluruhan kerja baru, yang dapat merupakan cara baru melakukan sesuatu atau melakukan hal-hal baru, dan hal tersebut baru dapat dianggap sebuah inovasi jika betul-betul dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh dikatakan bahwa melihat inovasi dengan cara ini akan membantu kita untuk memahami bahwa suatu inovasi tidak hanya terdiri atas peralatan teknis atau prosedur baru, namun juga praktek-praktek baru yang diadaptasi manusia, serta kondisi-kondisi yang mendukung terlaksananya praktek-praktek tersebut. Mardikanto (2009) menyatakan bahwa inovasi adalah sesuatu ide, produk, informasi teknologi, kelembagaan, perilaku nilai-nilai dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebahagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan disegala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan. Purnaningsih et al. (2006) dalam hasil penelitiannya tentang adopsi inovasi pola-pola kemitraan agribisnis sayuran, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pola kemitraan sebagai suatu inovasi adalah terkandung makna terjadinya proses pembaharuan terhadap pola kemitraan agribisnis sayuran, yang berarti bahwa pola kemitraan bukan sesuatu yang baru sama sekali didunia petani, namun telah mengalami perubahan. Menurut Leeuwis (2009) inovasi memiliki dimensi teknis dan sosial, serta dimensi kolektif yang memerlukan aksi yang terkoordinasi diantara para pelaku yang berbeda. Dimensi teknis mengacu pada artefak dan praktek-praktek biotik dan abiotik ( seperti bibit baru, pupuk baru, alsintan dan lain-lain). Sementara dimensi yang kedua berkaitan dengan pengaturan sosial baru, seperti pegaturan kelompok masyarakat, pengaturan pemasaran, kebijakan dan lain-lain. Dan berbagai kasus serta pengalaman menunjukkan bahwa kesuksesan penerapan

30 10 sebahagian besar inovasi ditingkat lahan petani juga sering tergantung pada faktor-faktor yang melampau tingkat lahan pertanian petani, misalnya pasokan input, pemasaran, dukungan masyarakat, transportasi dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang bersifat individu, namun memiliki dimensi kolektif, yang memerlukan bentuk-bentuk interaksi baru, pengorganisasian dan kesepakatan diantara banyak pelaku (Leeuwis 2009). Jika kita berbicara inovasi secara lengkap, berarti ada campuran dan keseimbangan yang cocok antara peralatan teknis baru dan pengorgansasian sosial baru. Dan jika melakukan penelitian tentang inovasi kita harus memperhatikan hal yang berkaitan dengan menciptakan jaringan pendukung dan menegosiasikan pengaturan baru diantara berbagai pemangku kepentingan. Permasaalahan yang yang diharapkan dapat dijawab oleh inovasi, menurut Leeuwis (2009) di antaranya adalah: (1) persepsi tentang realitas yang berubah, (2) aspirasi manusia yang berubah, (3) lingkungan sosial yang berubah, (4) sifat fisik yang berubah, dan (5) kesempatan teknis yang berubah. Berdasarkan beberapa pengertian tentang inovasi, dapat dikatakan bahwa inovasi terdiri dari : komponen idea atau gagasan, komponen metode atau praktek, dan komponen produk atau jasa. Komponen- komponen ini dapat dikatakan inovasi jika memiliki sifat baru, yang kebaruannya itu dipandang dari sisi masyarakat petani, bukan dari waktu kapan inovasi tersebut dihasilkan. Sistem pertanian sayuran organik dapat dianggap sebagai sesuatu inovasi dalam system pertanian, karena cara-cara atau komponen-komponen yang dikandung oleh pertanian organik sebahagiannya masih baru, dan belum bisa diterima dan diterapkan oleh sebahagian besar petani sayuran di provinsi Sumatera Barat, meskipun pertanian organik telah diperkenalkan pada masyarakat beberapa tahun belakangan ini. Difusi inovasi Difusi inovasi merupakan proses dimana inovasi disebarkan kepada anggota suatu sistem sosial (Rogers 2003). Selama ini dalam berbagai penelitian inovasi terdapat asumsi bahwa inovasi berasal dari ilmuwan, yang ditransfer oleh penyuluh atau perantara lain, dan kemudian diterapkan oleh pelaku utama pertanian, hal ini disebut dengan model inovasi linear (Kline dan Rosenberg dalam Leeuwis 2009). Model inovasi linear ini digambarkan sebagai berikut: Ilmu Fundamental Ilmu Terapan Pendidikan dan Penyuluhan Praktek pertanian Gambar 1. Model inovasi linear (diadopsi dari Leeuwis 2009) Namun berdasarkan perkembangan yang terjadi dan ketika ilmuwan mulai menganalisa tentang inovasi dalam prakteknya, ternyata mulai terdapat penyimpangan dari model linear ini. Beberapa fakta lapangan menunjukkan bahwa para peneliti sering mendapatkan ide-ide inovatif dari para praktisi, petani membuat adaptasi dari paket teknologi yang dibuat oleh ilmuwan (Leeuwis 2009).

31 11 Bahkan di lapangan juga ditemui bahwa inovasi sudah mulai dihasilkan oleh petani sendiri, kemudian disebarkan pada petani lain. Hal ini sejalan dengan pendapat van den Ban dan Hawkins (1999) yang menyatakan inovasi sering berkembang dari penelitian dan juga petani. Model inovasi diatas bisa menjadi seperti gambar berikut: Praktek Praktek Petani Praktek Praktek Praktek Gambar 2. Model inovasi non linear Rogers (2003) mengemukakan istilah centralized diffusion system untuk inovasi yang berasal dari peneliti, dan decentralized diffusion system untuk inovasi yang berkembang dari petani. Kedua system difusi inovasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Lembaga penelitian Agent perubahan Opinion Leaders Adopters Gambar 3. Centralized diffusion systems (diadopsi dari Rogers 2003) Gambar 3 menunjukkan bahwa inovasi dihasilkan oleh peneliti di lembaga-lembaga penelitian. Inovasi yang dihasilkan ini diteruskan kepada penyuluh pertanian sebagai agen perubahan dan selanjutnya penyuluh menyampaikan inovasi tersebut kepada petani. Sistem ini menggambarkan difusi inovasi yang bersifat top-down. Difusi inovasi yang berkembang dari petani ke petani menurut Rogers (2003) dilukiskan pada Gambar 4. Inovasi dihasilkan oleh petani-petani ahli yang berada di tengah-tengah masyarakat, kemudian disebarkan atau menyebar kepada petani-petani lain yang ada dalam sistem sosial.

32 12 Lokal innovator Lokal innovator Lokal innovator Gambar 4. Decentralized diffusion system (diadopsi dari Rogers 2003) Karakteristik masing-masing difusi dijelaskan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik dari Centralized Diffusion system dan Decentralized Diffusion System Karakteristik Sistem difusi Centralized diffusion system Decentralized diffusion System Derajat pembuatan keputusan dan kekuasaan -Beberapa keputusan oleh pemerintah pusat dan ahli pertanian -Berbagi kekuasaan dan control antara anggota system sosial. -Melalui jaringan yang horizontal Arah difusi -Top down dari ahli ke pengguna lokal Sumber inovasi -Ahli pertanian -Bukan dari ahli pertanian, tapi dari percobaan pelaku pertanian Pihak yang memutuskan inovasi yang didifusikan Tingkan re invention -Pemimpin formal dan Ahli pertanian -Tingkat adaptasi lokal dari inovasi rendah -Kelembagaan local berdasarkan evaluasi informal -Tingkat adaptasi lokal dari inovasi tinggi adopter Dibandingkan dengan sistem terpusat, inovasi yang disebarkan oleh sistem desentralisasi cenderung cocok dan lebih dekat dengan masalah dan kebutuhan pengguna. Pengguna merasakan kontrol atas sistem difusi desentralisasi ketika mereka berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang sangat penting, seperti dalam hal : menetapkan masalah mereka yang paling membutuhkan perhatian, inovasi terbaik yang memenuhi kebutuhan tersebut, bagaimana mencari informasi tentang inovasi dan dari sumber apa, dan berapa banyak kegiatan untuk memodifikasi suatu inovasi akibat mereka menerapkannya dalam lingkungan mereka. Tingginya tingkat kontrol pengguna atas keputusan-keputusan kunci berarti bahwa sistem difusi desentralisasi diarahkan erat dengan kebutuhan lokal. Meskipun terdapat keunggulan dari decentralized diffusion system, namun menurut Rogers (2003) terdapat kelemahan dari sistem difusi ini antara lain sebagai berikut. Pertama, ahli teknis sulit untuk membawa keputusan tentang inovasi dan proses adopsi, dan adalah mungkin bagi inovasi tidak efektif untuk menyebar melalui sistem desentralisasi karena kurangnya kontrol kualitas. Jadi,

33 13 ketika sebuah sistem difusi yang menyebarkan inovasi yang melibatkan keahlian tingkat tinggi, sistem difusi desentralisasi kurang tepat dari pada sistem difusi lebih terpusat. Kedua, tidak ada ahli dalam sistem difusi desentralisasi menyebabkan kurangnya pemahaman strategi difusi yang harus dimanfaatkan. Dan ketiga, kadang-kadang pemerintah nasional menginginkan inovasi disebarkan ditempat-tempat dimana orang tidak merasa memerlukannya. Dalam sistem yang sangat desentralisasi, inovasi seperti itu tidak akan menyebar. Berkaitan dengan hal di atas maka Rogers (2003) menyarankan: (1) Sistem difusi desentralisasi paling tepat digunakan dalam kondisi tertentu, seperti untuk menyebarkan inovasi yang tidak melibatkan tingkat keahlian teknis yang tinggi antara sekelompok pengguna dengan kondisi dan kebutuhan yang relatif homogen. (2) Unsur-unsur tertentu dari sistem difusi sentralisasi dan desentralisasi dapat dikombinasikan untuk membentuk sistem difusi yang unik sesuai situasi tertentu. Adopsi Inovasi Soekartawi (1988) menyatakan bahwa proses adopsi merupakan proses mental dalam diri seseorang melalui pertama kali mendengar tentang suatu inovasi sampai akhirnya mengadopsi. van den Ban dan Hawkins (1999), menyatakan bahwa adopsi merupakan suatu kondisi dimana petani mulai menerapkan inovasi pada skala yang besar setelah ia membandingkannya dengan metode atau cara-cara lama ataupun teknologi lama yang pernah diterapkan. Adopsi inovasi merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku baik berupa pengetahuan (cognitive), sikap (afektif) maupun keterampilan (psycomotorik) pada diri seseorang sejak ia mengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsi inovasi tersebut (Rogers 2003). Lebih lanjut Rogers (2003) menyatakan bahwa dalam pandangan tradisional proses keputusan inovasi disebut dengan proses adopsi. Proses adopsi merupakan serangkaian kegiatan dalam memutuskan untuk menerima atau menolak suatu inovasi selama periode waktu tertentu. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, Rogers (2003), menetapkan lima tahap proses adopsi inovasi, yaitu (1) pengenalan adanya inovasi atau sesuatu yang baru, (2) persuasi, seseorang membentuk sikap terhadap inovasi, (3) keputusan, (4) Implementasi, di mana seseorang mulai menerapkan inovasi dan (5) konfirmasi. Teori adopsi inovasi menyatakan bahwa adopsi inovasi merupakan suatu proses penerimaan/penerapan inovasi oleh individu. Penerimaan ini melewati beberapa tahap, yaitu mulai dari tahap pengetahuan (knowledge), persuasi (persuation), keputusan (decision), implementasi (implementation) dan konfirmasi (confirmation). Kelima proses keputusan inovasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Tahap pertama, pengetahuan (knowledge) terjadi pada saat seseorang diterpa informasi mengenai keberadaan sebuah inovasi dan memperoleh pemahaman mengenai bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Tahap kedua adalah bujukan (persuation), dimana saluran komunikasi tertentu (media) mempengaruhi sasaran untuk mengadopsi inovasi, Tahap ketiga adalah proses pembuatan keputusan (decisions), terjadi pada saat seseorang melakukan kegiatan yang mengarah pada sebuah pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Tahap

34 14 keempat adalah penggunaan (implementation) merupakan saat dimana seseorang menggunakan atau mengimplementasikan inovasi tersebut dalam kegiatan nyata. Tahap kelima adalah konfirmasi (confirmation) yang merupakan tahap dimana seseorang mencari penegasan kembali terhadap keputusan inovasi yang telah dibuat yang kemungkinan dapat mengubah keputusan yang telah dibuat jika ia diterpa informasi yang berlawanan terhadap inovasi (Rogers 2003, Purnaningsih et al. 2006, Mulyandari 2011a). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi individu atau seseorang dalam proses adopsi inovasi tersebut diatas, yaitu: dipengaruhi oleh saluran atau sumber informasi, kondisi awal sebelum masuknya inovasi, karakteristik dari unit pembuat keputusan, dan persepsi terhadap ciri inovasi itu sendiri. Disisi lain, Mardikanto (2009) menyatakan bahwa adopsi dalam proses penyuluhan pertanian, pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku, baik yang berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada masyarakat target penyuluhannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa, penerimaan artinya bukan hanya sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan benar, serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahanya. Penerimaan inovasi oleh petani ini biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai wujud dari adanya perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan. Dari beberapa literatur dan penelitian yang berkaitan dengan teori adopsi inovasi, dapat ditarik kesimpulan bahwa implemetasi keputusan adopsi adalah suatu kondisi dimana penerima inovasi memutuskan untuk menerima dan menerapkan suatu inovasi. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Adopsi Inovasi Rogers (2003) menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi, terdiri dari: (1) ciri-ciri inovasi, (2) tipe keputusan inovasi, (3) saluran komunikasi, (4) ciri-ciri sistem sosial, dan (5) kegiatan penyuluhan. masing-masing peubah yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi menurut Rogers (2003) ini dapat dilihat pada Gambar 6. Kecepatan diterimanya suatu inovasi tergantung pada keberadaan inovasi itu sendiri. Terdapat lima ciri-ciri inovasi menurut Rogers (2003). Pertama, keuntungan relatif (relative Advantage),merupakan tingkatan suatu ide baru dianggap lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya.

35 15 15 Kondisi awal 1. Praktek sebelumnya 2. Kebutuhan yang dirasakan 3. Innovativeness 4. System social I. Knowlegde II. Persuation III. Decision IV. Implementation V. Confirmation Karakteristik 1. Mengadopsi. - Melanjutkan adopsi Pengambilan Keputusan: - Mengadopsi kemudian Karakterisatik - Tidak melanjutkan sosial ekonomi 2. Menolak - Melanjutkan/menolak Peubah individu Perilaku komunikasi Persepsi mengenai karakteristik inovasi: Relative advantage Compatibility Complexity Trialability Gambar 5. Tahapan Proses Keputusan Inovasi (Rogers 2003)

36 16 Tingkat keuntungan relatif ini seringkali dinyatakan dalam bentuk keuntungan ekonomi (biaya lebih rendah atau lebih tinggi, keuntungan lebih rendah atau lebih tinggi dibanding dengan teknologi sebelumnya), teknis (produktivitas, tahan terhadap resiko kegagalan dan gangguan yang menyebabkan ketidakberhasilan), dan sosial psikologis pemenuhan kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Ciri-ciri inovasi yang kedua adalah kesesuaian (Compatibily) merupakan tingkat kesesuaian suatu inovasi dengan kebutuhan, pengalaman masa lalu, kepercayaan, sistem nilai dan norma penerima. Inovasi yang tidak sesuai dengan ciri-ciri sistem sosial tidak akan diadopsi secepat inovasi yang sesuai. Ketiga, yaitu kerumitan (complexity), merupakan tingkatan suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan jika dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Semakin rumit suatu inovasi bagi seseorang maka makin lambat proses adopsinya. Ciri keempat adalah dapat dicoba (triabilitiy), merupakan tingkat suatu inovasi dapat dicoba dalam skala kecil. Inovasi yang dapat dicoba biasanya lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dahulu, karena ketercobaan dalam skala kecil ini akan dapat memperkecil resiko kegagalan bagi adopter. Peubah-peubah yang Menentukan Kecepatan adopsi Peubah tak bebas yang diterangkan I. Atribut-atribut inovasi 1. Keuntungan relatif 2. Compatibility 3. Complexity 4. Trialability 5. Observability II. Tipe-tipe keputusan 1. optional 2. kolektif 3. otoritas Tingkat dari Adopsi Inovasi III. Saluran-saluran komunikasi. IV. System sosial. V. Penyebaran dari agen-agen perubahan usaha promosi Gambar 6. Peubah-peubah yang menentukan kecepatan adopsi dari inovasi (Rogers 2003) Sedangkan ciri inovasi yang kelima adalah dapat diamati (Observability), merupakan suatu tingkat di mana inovasi dapat diamati oleh orang lain. Semakin tinggi tingkat

37 suatu inovasi dapat diamati dan dikomunikasikan, maka semakin cepat proses adopsinya di tengah masyarakat. Menurut Rogers (2003) pola keputusan inovasi dapat dibagi atas tiga yaitu: (a) keputusan individual, yaitu keputusan yang dibuat dengan mengabaikan keputusan orang lain dalam masyarakat sekitarnya, (b) keputusan kolektif, yaitu keputusan yang dibuat oleh individu-individu dalam suatu masyarakat yang setuju dengan membuat keputusan bersama melalui suatu konsensus, dan (c) keputusan otoritas, yaitu keputusan yang dipaksakan terhadap individu oleh orang yang mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi. Keberadaan saluran komunikasi juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi, baik melalui saluran media massa ataupun saluran pribadi. Saluran pribadi yang umumnya digunakan dalam menyampaikan inovasi adalah penyuluh, dan pemimpin-pemimpin lokal. Dan berdasarkan beberapa penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sesama penerima inovasi, misal sesama petani, merupakan saluran yang efektif dalam menyampaikan informasi tentang inovasi. Keberadaan sistem sosial merupakan salah satu aspek yang cukup penting yang dapat mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi. Rogers (2003) menyatakan bahwa struktur sosial dapat merintangi atau mempermudah penyebaran dan pengadopsian suatu inovasi, karena mereka mendapat pengaruh dari sistem sosial yang telah mengadopsi inovasi tersebut lebih dahulu. Norma atau kebiasaan adalah pedoman tingkah laku yang telah mapan dan diakui bersama, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu sistem sosial. Norma-norma tersebut akan membatasi boleh tidaknya suatu prilaku dilakukan dalam suatu sistem sosial. Norma-norma ini akan dapat mempengaruhi perilaku seseorang atau masyarakat dalam mengadopsi suatu inovasi, yaitu dapat menunjang atau merintangi masuknya suatu inovasi kedalam suatu sistem sosial (Rogers 2003). Kegiatan penyuluhan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi di tengah masyarakat. Lebih lanjut Rogers (2003) menyatakan bahwa penyuluh bertugas untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani dalam mengadopsi inovasi. Penyuluh harus mampu menggunakan metode penyuluhan yang tepat untuk membantu petani membentuk pendapat dan mengambil keputusan yang benar. Slamet (Mardikanto 2009) menyatakan bahwa karakteritik individu sangat besar pengaruhnya terhadap cepat atau lambatnya proses adopsi inovasi, yaitu seperti umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan (lokalit/kosmopolit), keberanian mengambil resiko, sikap terhadap inovasi, motivasi berkarya, fatalism atau ketidakmampuan membaca masa depan, system kepercayaan yang tertutup. Menurut Bordenave (1985) mengadopsi suatu inovasi adalah keputusan manusiawi, dan keputusan itu didasarkan kepada empat komponen, yaitu; (1) kemauan untuk melakukan sesuatu, (2) tahu apa yang akan dilakukan, (3) tahu bagaimana melakukannya, dan (4) mempunyai sarana untuk melakukannya. Sejalan dengan pendapat diatas, Rolling dan Kuiper (Leeuwis 2009) menyatakan bahwa petani melakukan atau tidak melakukan sesuatu tergantung 17

38 18 kepada: (a) apa yang mereka yakini benar tentang dunia biofisik dan sosial ( apa yang mereka tahu), (b) apa yang mereka cita-citakan apa yang akan dicapai (apa yang mereka inginkan), (c) apa yang mereka pikir bahwa mereka mampu melakukannya, dan (d) apa yang mereka pikir bahwa mereka diperbolehkan atau diharapkan untuk melakukan. Peubah-peubah ini dikembangkan oleh Leeuwis (2009) secara terpisah, yang mengindikasikan pembentukan sosial dalam praktek pertanian. Dalam modelnya Leeuwis (2009) menggambarkan peubah-peubah; hubungan sosial dan tekanan sosial yang berhubungan dengan yang diperbolehkan dan atau yang diharapkan untuk, keefektifan yang dirasakan dari lingkungan sosial berhubungan dengan bisa untuk, keberhasilan diri yang dirasakan berhubungan dengan bisa untuk, dan kerangka acuan evaluatif memasukkan percaya dan bercita-cita. Secara lengkap model yang disampaikan Leeuwis (2009) berkaitan dengan peubah yang relevan terhadap pemahaman dan respon petani secara individu terhadap inovasi atau alternatif yang ditawarkan, terlihat pada Gambar 7. Kerangka acuan evaluatif, berkaitan dengan : (a) bagaimana persepsi petani tentang berbagai konsekuensi dari praktek suatu inovasi, (b) bagaimana kemungkinan yang dirasakan munculnya konsekuensi-konsekuensi tersebut, (c) bagaimana evaluasi petani tentang konsekuensi tersebut, hubungannya dengan aspirasi-aspirasi yang ada. Dapat disimpulkan bahwa kerangka acuan evaluative berhubungan dengan pengetahuan dan cara pemikiran petani terhadap alam, ekonomi dan sosial. Pengetahuan dan kepercayaan petani dapat berasal dari berbagai sumber, seperti pengalaman, percobaan sendiri, dan dari pengalaman dimana saja dan diperoleh dari siapa saja serta dari penelitian pertanian. Keefektifan lingkungan sosial yang dirasakan berkaitan dengan persepsi petani tentang apakah lingkungan sosial ekonomi mereka dapat mendukung praktek baru yang akan mereka lakukan nantinya. Hal ini disebabkan untuk aplikasi inovasi yang berhasil, petani sering tergantung pada pihak lainnya (Leeuwis 2009). Hubungan sosial dan tekanan sosial yang dirasakan berhubungan dengan keinginan dan harapan yang dirasakan dari pihak-pihak lain diluar individu petani, sumberdaya yang dirasakan yang akan mendorong praktek pertanian serta penilaian petani berkaitan dengan hubungan antara harapan dan sumberdaya tersebut. Keberhasilan diri yang dirasakan mengacu kepada kekuatan diri sendiri yang dirasakan oleh petani untuk melaksanakan inovasi. Merasakan kekuatan sendiri merupakan peubah yang berkaitan dengan kekuatan petani untuk memobilisir sumberdaya, ketersediaan keterampilan dan kompetensi yang dirasakan, keabsahan kerangka acuan evaluatif yang dirasakan, dan kemampuan untuk mengontrol atau mengakomodasi resiko yang dirasakan. Menurut Leeuwis (2009) pertanian merupakan bisnis yang beresiko, karena berhubungan dengan komponen-komponen yang hidup dan kondisi cuaca. Jadi dalam melakukan kegiatannya petani tidak dapat melarikan diri dari resiko-resiko tertentu, namun harus menerima resiko-resiko tertentu sebagai konsekuensi sebagai seorang petani. Memahami respon petani terhadap suatu teknologi, harus diperhatikan bagaimana persepsi petani terhadap pilihan mereka untuk mengontrol resiko. Berkaitan dengan hal ini Leeuwis (2009) menyebutkan ada lima dimensi yang harus diperhatikan yaitu: (1) kemampuan yang dirasakan petani untuk mencegah terjadinya

39 resiko, (2) kemampuan yang dirasakan petani untuk menyampaikan konsekuensi resiko atau berbagi dengan pihak lain, (3) kemampuan petani mengakomodasi resiko, (4) kemampuan yang dirasakan petani dalam mengurangi resiko, dan (5) kemampuan yang dirasakan petani dalam meramalkan resiko. Umpan balik yang dirasakan dari dunia ekologis dan sosial mengacu kepada hasil-hasil khusus atau akibat yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan dengan diterapkan inovasi. Pengadopsian suatu inovasi berarti petani akan melakukan praktek-praktek baru dalam usahataninya. Umpan balik dari dunia ekologis berkaitan dengan respon secara biofisik, seperti dalam hal praktek pertanian organik, akan mengurangi residu pestisida pada hasil panen, perubahan rasa pada tanaman, dan perubahan keseimbangan pada unsur hara tanah dan lain-lain. Sementara umpan balik sosial berkaitan dengan respon yang dialami manusia, seperti terjualnya produk dengan harga tinggi, berubahnya penghasilan dan lain-lain. 19

40 20 20 K O N T E K S H I Umpan balik yang dirasakan dari dunia ekologis dan sosial Hubungan sosial dan tekanan sosial yang dirasakan Keefektifan lingkungan yang dirasakan Kerangka acuan evaluatif Keberhasilan diri yang dirasakan M E N U J U M A S S A T O Praktek teknik dan sosial petani D E R P I A S N Gambar 7. Model peubah dasar yang relevan terhadap pemahaman praktek dan respon petani secara individu terhadap alternatif yang diusulkan (diadopsi dari Leeuwis 2009) 29

41 21 21 Leeuwis (2009) mengungkapkan beberapa faktor yang berkaitan dengan adopsi atau penerimaan inovasi oleh petani, yaitu: (1) berkaitan dengan penerimaan petani terhadap masalah yang mendasari lahirnya suatu inovasi, (2) faktor yang berhubungan dengan tekanan/intervensi sosial dari agen-agen luar yang dirasakan oleh petani, (3) penerimaan petani tentang kredibilitas dan kelayakan dari pihak yang melakukan penyebaran inovasi, (4) penerimaan petani terhadap berbagai konsekuensi dari inovasi dan (5) penerimaan petani terhadap resiko yang dirasakan dari adopsi inovasi. Faktor-faktor ini menggambarkan bahwa adopsi inovasi tidak hanya dibentuk oleh property yang kompleks dalam inovasi, namun juga oleh karakteristik dari dinamika sosial di sekitar inovasi tersebut disebarkan. Pemahaman terhadap karakteristik individu dan kapasitas diri petani akan menentukan tingkat potensi atau kesiapan petani dalam menerima teknologi yang dikenalkan kepadanya; sebaliknya dengan mengetahui potensi dan tingkat kesiapan petani dalam menerima teknologi pertanian, maka teknologi pertanian yang akan dikenalkan akan dapat disesuaikan dengan potensi dan kesiapan diri petani tersebut (Tjitropranoto 2005). Lebih lanjut dinyatakan bahwa dengan pendekatan ini, maka petani tidak hanya akan menerapkan teknologi baru secara berkelanjutan, tetapi juga akan mengembangkan usaha pertaniannya selalu dengan menerapkan teknologi baru. Hal ini menunjukkan pula bahwa teknologi pertanian yang diperkenalkan kepada petani harus disesuaikan dengan kapasitas diri dan kapasitas sumberdaya dan sarana yang dimilikinya. Penyesuaian dengan kapasitas petani, baik kapasitas diri maupun kapasitas sumberdaya dan sarana, akan menjamin keberlanjutan adopsi teknologi tersebut, bahkan akan dikembangkan sendiri oleh petani yang bersangkutan (Tjitropranoto, 2005). Menurut Purnaningsih et al. (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi inovasi adalah, kepastian pasar dari produk yang dihasilkan, tingkat kebutuhan akan inovasi, ketersediaan sarana transportasi dan telekomunikasi, ketersediaan sarana pembelajaran dan sarana kredit. Penelitian yang dilakukan oleh Bellaaj et al. (2008), menunjukkan bahwa persepsi penerima inovasi tentang karakteristik dari inovasi mempunyai pengaruh yang signifikant terhadap keputusan adopsi inovasi. Karakteristik inovasi tersebut terdiri dari tingkat relatif advantage, kompleksitas, kompatibilitas, keteramatan dan triability. Pandangan sasaran terhadap karakteristik ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap inovasi, dan sikap tersebut akan mempengaruhi niatnya untuk menerapkan inovasi. Faktor lain yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi inovasi pertanian organik adalah perhatiannya terhadap faktor lingkungan dan faktor untuk memperoleh produk yang sehat (Lopez et al. 2007). Berkaitan dengan sumber informasi tentang inovasi, kecenderungan petani untuk memperoleh informasi berasal dari sesama petani (Thapa dan Rattanasuteerakul 2010). Difusi inovasi lebih efektif dari kalangan petani ke petani, sementara peranan lembaga pertanian, ilmuwan, penyuluh kelihatan tidak begitu penting. Pertukaran informasi diantara sesama petani merupakan faktor yang utama dari difusi, setelah inovasi disebarkan oleh pemerintah. Difusi inovasi lebih efektif dari kalangan petani ke petani (Lopez et al. 2007). Mengacu beberapa penelitian yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi, dapat ditarik kesimpulan bahwa adopsi adalah suatu kondisi dimana penerima inovasi memutuskan untuk menerima suatu inovasi.

42 22 Proses pengambilan keputusan inovasi (memutuskan untuk menerima atau mengadopsi inovasi atau menolak inovasi) dipengaruhi berbagai peubah, yang dapat dikelompokkan atas: (a) peubah karakteristik penerima inovasi, seperti: pendidikan, umur, pengalaman usahatani, sikap terhadap inovasi, keterbukaan terhadap informasi, (b) peubah karakteristik inovasi, yang diukur berdasarkan persepsi penerima inovasi terhadap sifat inovasi, yaitu tingkat relatif advantage, kompleksitas, kompatibilitas, keteramatan dan triability,(c) peubah lingkungan, yang terdiri dari dukungan terhadap kegiatan usahatani, seperti ketersediaan sarana produksi, harga, jaminan pasar, sarana transportasi dan telekomunikasi, tersedianya kredit, pengaruh sistem sosial dimana penerima inovasi berada, (d) proses pembelajaran yang dilakukan penerima inovasi, seperti keikutsertaan dalam penyuluhan, pelatihan, tingkat komunikasi dengan berbagai sumber informasi, motivasi dari sumber-sumber informasi. Difusi atau penyebaran inovasi yang efektif adalah yang dilakukan diantara penerima inovasi dengan sasaran lainnya (contohnya penyebaran inovasi dari petani yang sudah mengadopsi pada petani lainnya yang belum mengadopsi). Sumber sumber informasi yang sering digunakan untuk mendapatkan informasi tentang inovasi adalah teman-teman sesama penerima inovasi (dari petani lain), media massa, agent perubahan, pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Konsep Pemberdayaan dan Keberdayaan Pemahaman tentang konsep-konsep pemberdayaan untuk mewujudkan keberdayaan masyarakat sangat penting, agar semua stakeholders penyuluhan terutama pihak yang melakukan aktivitas pemberdayaan, dapat menilai apakah penyuluhan yang dilakukan sudah mampu mewujudkan keberdayaan masyarakat. Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2002) keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat. Keberdayaan masyarakat merupakan unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat untuk bertahan dan dalam pengertian dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Sumber keberdayaan menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2002) adalah nilai-nilai fisik masyarakat yang meliputi masyarakat yang sehat fisik dan mental, terdidik dan inovatif, dan nilai-nilai intrinsik dalam masyarakat yaitu nilai kekeluargaan, dan kegotongroyongan. Keberdayaan merupakan hasil dari sebuah proses pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang bertujuan untuk memberikan daya-daya pada masyarakat atau kegiatan yang membuat masyarakat mampu membangun dirinya sendiri, dapat memanfaatkan peluang, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi (Slamet 2003). Menurut Sumodiningrat (1999) pemberdayaan merupakan upaya meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang dalam kondisi sekarang mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Lebih lanjut dikatakan bahwa arah pemberdayaan masyarakat adalah penciptaan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling), upaya memperkuat potensi yang dimiliki oleh masyarakat (empowering) dan perlindungan. Pemberdayaan masyarakat yang tertinggal tidak cukup hanya dengan meningkatkan produktivitas, memberikan kesempatan berusaha yang sama, dan memberikan modal, tapi juga dengan

43 menjamin adanya kerjasama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dan yang lemah atau belum berkembang (Sumodiningrat 1999). Page dan Czuba (1999) menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan proses yang multidimensi sosial yang membantu orang mendapatkan kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Pemberdayaan adalah proses menumbuhkan daya (kapasitas untuk melaksanakan) pada seseorang, untuk digunakan dalam kehidupan mereka sendiri, komunitas mereka dan untuk masyarakat mereka. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan dalam arti multidimensi adalah pemberdayaan terjadi dalam dimensi sosiologis, ekonomis, psikologis dan lainnya, serta terjadi dalam berbagai tingkatan; individu, kelompok dan masyarakat. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat mampu bertahan dan (dalam pengertian yang dinamis) mampu mengembangkan diri untuk mencapai tujuan-tujuannya (Mardikanto 2009). Menurut Chamala dan Shingi (1990) pemberdayaan dapat menjadi peranan baru penyuluhan, ia menyatakan bahwa memerintah orang dewasa untuk melakukan sesuatu akan membangkitkan reaksi, menunjukkan sesuatu akan membangkitkan imaginasi mereka, melibatkan mereka akan menimbulkan pemahaman, dan memberdayakan mereka akan menumbuhkan komitmen dan tindakan (Chamala dan Shingi 1990). Keberdayaan petani harus dilihat sebagai usaha untuk meningkatkan kemampuan internal petani sekaligus juga membuka akses dan kesempatan yang lebih bagi petani untuk mendapatkan dukungan sumber daya produktif maupun untuk mengembangkan usaha yang lebih mensejahterakan (Krisnamurthi 2006). Menurut Ife dan Tesoriero (2008) pemberdayaan berarti menyediakan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menentukan masa depan mereka sendiri, untuk berpartisipasi serta mempengaruhi kehidupan masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang mampu mengakses sumberdaya, memiliki kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk menentukan masa depannya. Strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai keberdayaan adalah melalui kebijakan dan perencanaan, aksi sosial dan politik, serta pendidikan dan penyadaran (Ife dan Tesoriero 2008). Pemberdayaan melalui kebijakan dan perencanaan dicapai dengan mengembangkan atau mengubah struktur-struktur dan lembaga-lembaga untuk mewujudkan akses yang lebih adil kepada sumberdaya atau berbagai layanan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Pemberdayaan melalui aksi sosial dan proses politik menekankan pentingnya perjuangan dan perubahan politik dalam meningkatkan kekuasaan yang efektif. Dan pemberdayaan melalui pendidikan dan penyadaran menekankan pentingnya suatu proses edukatif (dalam pengertian luas) dalam melengkapi masyarakat untuk meningkatkan keberdayaannya. Pemberdayaan melalui pendidikan berarti memberikan masyarakat pengetahuan dan keterampilan untuk bekerja menuju perubahan yang efektif. Pemberdayaan bertujuan untuk membangun kemandirian yang menunjukkan agar warga komunitas berusaha menggunakan sumberdaya lokal sendiri apabila memungkinkan dari pada menggantungkan diri pada bantuan luar, baik sumberdaya manusia, sumber daya alam, keuangan, dan teknik. Sementara itu menurut Craig and Mayo (1995) pemberdayaan merupakan jalan untuk menuju 23

44 24 partisipasi khususnya dalam proses pengambilan keputusan untuk menumbuhkan kemandirian sejalan dengan Sumodiningrat (2007), pemberdayaan masyarakat berarti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat. Kartasasmita (Tamba 2007) menyatakan bahwa memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi, karena tidak ada masyarakat yang tanpa daya sama sekali. Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu proses kapasitasi atau pengembangan kapasitas sumber daya manusia (Padmowihardjo 2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan kapasitas seseorang akan memiliki kemandirian, tahan uji, pintar, jujur, berkemampuan kreatif, produktif, emansipatif, tidak tergantung, pro aktif, dinamis, terbuka dan bertanggung jawab dalam mengatasi masalah dan menjawab tantangan untuk mencapai kemajuan. Menurut Padmowihardjo (2006) sumber daya manusia petani perlu diberdayakan agar dapat menjadi pelaku utama dalam pembangunan pertanian. Dengan pemberdayaan sumber daya manusia petani akan menjadi subyek pembangunan yang akan menentukan keberhasilan pembangunan. Sumardjo (2012) menempatkan masyarakat yang berdaya dalam posisi antara masyarakat apatis dan masyarakat yang mandiri. Menurut Sumardjo (2012) masyarakat tumbuh dari apatis, menjadi berdaya dan bermuara pada masyarakat yang mandiri. Kemandirian diukur dari tiga perspektif, yaitu modern, efisien dan daya saing. Modern berarti masyarakat mampu beradaptasi terhadap perubahan sosial dan fisikal di lingkungannya dengan perilaku aktual yang sesuai dan selaras dengan kondisi aktual, efisien mengandung arti masyarakat mencapai tujuannya dengan cara-cara yang tepat sehingga mencapai hasil yang setinggi-tingginya, dan daya saing artinya kemampuan memenuhi komitmen dan kebutuhan serta harapan pihak lain (Sumardjo 2012). Adapun kondisi masing-masing masyarakat tersebut dipandang dari tiga perspektif yang digambarkan Sumardjo (2012) seperti pada Tabel 2. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan petani menjelaskan bahwa pemberdayaan petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan petani untuk melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan kelembagaan petani. Pemberdayaan petani yang dilakukan menurut undang-undang pemberdayaan petani bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan pola pikir dan pola kerja petani, meningkatkan usaha tani, serta menumbuhkan dan menguatkan kelembagaan petani agar mampu mandiri dan berdaya saing tinggi.

45 25 Tabel 2 Perkembangan Masyarakat ditinjau dari Perspektif Kemandirian (modern, efisien dan daya saing) Perspektif Masyarakat Apatis Masyarakat berdaya Masyarakat mandiri kemandirian Modern Terjadi karena intervensi dominatif dan ketergantungan pada pihak lain. Terjadi karena pengaruh campur tangan (intervensi) pihak lain, namun tidak terjadi dominatif Terjadi karena kuatnya inisiatif dan kreatifitas internal dan interaksinya dengan pihak lain terjadi secara kolegial, egaliter. Efisien Daya saing Tercapai karena rekayasa pihak lain yang mendominasi Hampir tidak memiliki daya saing dan kurang berfikir kearah peningkatan daya saing Tercapai karena upayanya sendiri Sudah menyadari adanya daya saing, namun orientasi utamanya adalah keswadayaan Tercapai melalui inisiasi diri dan perilaku antisipatif secara proaktif terhadap berbagai perubahan yang mungkin dihadapi. Daya saing menjadi sesuatu yang sangat penting dan utama, orientasi utama adalah swasembada dan bermitra strategis. Sumber: Sumardjo (2012). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberdayaan Hakim dan Sugihen (2007) yang melakukan penelitian tentang pemberdayaan petani sayuran di Sulawesi Selatan menyatakan bahwa tingkat keberdayaan petani dilihat dari peningkatan produktivitas kerja tergolong rendah yang ditujukkan oleh rendahnya kemampuan petani mengembangkan usaha budidaya maupun kegiatan pasca panen dan pemasaran hasil produksi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produktivitas kerja petani dipengaruhi oleh faktor jaringan kerja, percaya diri, norma budaya, akurasi informasi dan pembinaan kelompok. Penelitian ini memberikan rekomendasi strategi pemberdayaan melalui pengembangan usaha, semangat kerja, keuletan, pengembangan jaringan kerja, percaya diri, dan pemanfaatan norma dan nilai budaya dalam suatu kelompok yang terorganisir. Penelitian yang dilakukan oleh Bustang et al. (2008) yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakan miskin di pedesaan, menyatakan bahwa strategi yang efektif dalam meningkatkan keberdayaan yaitu dengan peningkatan perhatian dan tanggungjawab sosial melalui peningkatan peran organisasi pemerintahan lokal/desa, melalui pendidikan non formal, dan peningkatan peran organisasi kemasyarakatan.

46 26 Hasil penelitian Mulyandari (2011a) yang mengukur keberdayaan petani berdasarkan kemampuan petani menentukan jenis komoditi, kemampuan mengatur input, memasarkan output, kemampuan menentukan harga produk, kemampuan bekerjasama, kemampuan mengelola informasi dan kemampuan mengakses teknologi, menyatakan bahwa keberdayaan petani dipengaruhi oleh faktor perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi, tingkat pemanfaatan cyber extension, karakteristik individu, persepsi terhadap cyber dan faktor lingkungan. Mengembangkan komunikasi dua tahap dan komunikasi media sesuai dengan karakteristik petani merupakan strategi konvergensi komunikasi melalui pemanfaatan cyber extension, dapat dilakukan dalam pemberdayaan petani sayuran. Sadono (2012) dalam penelitiannya tentang Model Pemberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usahatani padi di Kabupaten Karawang dan Cianjur provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa petani termasuk kategori kurang berdaya yang ditunjukkan oleh rendahnya kemampuan petani dalam mengakses informasi, rendahnya kemampuan dalam mengakses pasar, kemampuan bermitra dan kemampuan beradaptasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keberdayaan petani dalam penelitian ini adalah rendahnya tingkat partisipasi petani dalam kelompok, pola pemberdayaan yang kurang sesuai, kurangnya dukungan lingkungan fisik dan sosial ekonomi, rendahnya cirri kepribadian petani, dan kurang tersedianya informasi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani. Widodo (2010) dalam laporan penelitiannya tentang Pemberdayaan Tenaga Kerja Perdesaan dalam Pengembangan Sistem Pertanian Organik mengukur keberdayaan petani padi organik melalui aspek produktivitas (pendapatan, tenaga kerja, dan hasil produksi), sustainabilitas, stabilitas dan pembagian kerja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberdayaan petani adalah kapasitas petani yang terdiri dari ; lahan, kualitas sumber daya manusia, permodalan dan teknologi, faktor sosial kemasyarakatan yang terdiri dari kelembagaan tingkat desa,inovasi lokal dan jaringan pasar, faktor infrastruktur sosial yang terdiri dari kebijakan pusat, kebijakan Pemda, dan kelembagaan. Berdasarkan beberapa konsep tentang keberdayaan, maka untuk penelitian ini keberdayaan yang dimaksud adalah kondisi yang menunjukkan kemampuan petani untuk menetapkan yang terbaik untuk dirinya dalam melakukan kegiatan usaha tani sayuran organik sehingga dapat meningkatkan produktivitas usahatani, mampu akses terhadap lembaga-lembaga agribisnis yang mendukung dan menjamin keberlanjutan usahataninya. Kemampuan petani dalam melakukan aktivitas usahatani meliputi; kemampuan untuk memenuhi sarana produksi yang terdiri dari pengadaan bibit lokal, pengadaan pupuk organik, dan pengadaan bahan-bahan pengendali hama dan penyakit tanaman. Kemampuan petani dalam peningkatan produktivitas usahatani diamati dari aspek tingkat produktivitas lahan, produksi, pendapatan, dan keuntungan yang diperoleh petani pada setiap musim tanam. Kemampuan petani akses terhadap lembaga-lembaga agribisnis ditunjukkan oleh intensitas kerjasama yang dilakukan petani dengan lembaga yang mendukung usahatani, seperti kelompok tani, koperasi, perbankan, perusahaan yang bergerak dalam bisnis sayuran organik dan asosiasi sayuran organik Indonesia. Sementara itu kemampuan petani dalam menjamin

47 27 keberlanjutan usahataninya ditunjukkan oleh peningkatan skala usaha, peningkatan produktivitas usahatani, perluasan jaringan pemasaran, dan peningkatan dukungan lingkungan usahatani. Konsep Perilaku Perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsang yang mengenai individu atau organism tersebut (Walgito 2005). Perilaku merupakan respon terhadap stimulus yang mengenai individu atau organisme. Perilaku pada manusia dapat dibedakan atas perilaku yang refleksif dan perilaku yang non refleksif. Perilaku refleksif merupakan perilaku yang terjadi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai individu atau organism, sedangkan perilaku non refleksif merupakan perilaku yang dikendalikan oleh pusat kesadaran atau otak. Menurut Walgito (2005) perilaku non refleksif atau yang disebut dengan perilaku psikologis merupakan perilaku yang dominan pada diri manusia. Perilaku ini merupakan perilaku yang dibentuk, dapat dikendalikan, karena dapat berubah dari waktu ke waktu, sebagai hasil proses belajar. Terdapat beberapa pendekatan teoritis dalam psikologi sosial yang berkaitan dengan aspek penyebab perilaku yaitu pendekatan biologis, pendekatan belajar, pendekatan insentif, pendekatan kognitif (Sears et al. 1985). Pendekatan biologis yang dikemukakan oleh McDoughall, Freud, Lorenz dan kawan-kawan yang menyatakan bahwa perilaku disebabkan oleh karakteristik bawaan atau mekanisme fisiologis. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada dua aspek penyebab perbedaan perilaku yaitu faktor naluri dan perbedaan genetik akan menimbulkan perbedaan perilaku (Sears et al. 1985). Menurut McDoughall (Walgito 2005) perilaku disebabkan karena insting, di mana insting merupakan perilaku bawaan yang akan mengalami perubahan karena pengalaman. Pendekatan belajar menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh apa yang telah dipelajari individu pada masa lalu, jadi pendekatan ini menekankan pada pengalaman masa lalu seseorang. Terdapat tiga mekanisme umum yang terjadi dalam belajar, yaitu asosiasi, reinforcement dan imitasi (Sears et al. 1985). Mekanisme belajar dengan asosiasi atau classical conditioning maksudnya adalah kita belajar berperilaku dengan asosiasi atau kebiasaan. Mekanisme ini didasarkan atas teori belajar kondisioning yang dikemukakan oleh Pavlov (dikenal dengan kondisioning klasik) dan teori belajar kondisioning Thorndike dan Skinner yang dikenal dengan kondisioning operan (Walgito 2005)). Mekanisme belajar dengan reinforcement maksudnya adalah orang menampilkan perilaku tertentu karena perilaku itu disertai dengan sesuatu yang menyenangkan dan dapat memuaskan kebutuhan (seseorang belajar menghindari perilaku yang disertai akibat-akibat yang tidak menyenangkan). Mekanisme belajar imitasi bermakna seseorang berperilaku dengan meniru sikap dan perilaku yang menjadi model. Imitasi bisa terjadi tanpa adanya reinforcement eksternal hanya melalui observasi biasa terhadap model (Sears et al. 1985). Menurut Sears et al. (1985) terdapat tiga ciri khusus pendekatan belajar yang membedakannya dengan pokok pemikiran lain tentang perilaku dalam psikologi sosial, yaitu; (1) sebab-sebab perilaku diduga terletak terutama pada pengalaman belajar individu pada masa lampau, (2) pendekatan belajar cenderung

48 28 menempatkan penyebab perilaku terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengartian subjektif individu terhadap apa yang terjadi, (3) pendekatan belajar biasanya diarahkan untuk menjelaskan perilaku yang nyata dan bukan keadaan subjektif atau psikologis. Pendekatan insentif yang memandang perilaku sebagai sesuatu yang ditentukan oleh insentif yang tersedia bagi bermacam-macam tindakan (Sears et al. 1985). Terdapat tiga versi teori-teori insentif yang utama yaitu; (1) pilihan rasional, yaitu orang memperhitungkan keuntungan dan kerugian berbagai tindakan, dan secara rasional mengambil alternatif yang paling baik, (2) teori pertukaran, yaitu berkaitan dengan interaksi antara dua orang di mana perilaku seseorang terhadap orang lain dianggap berdasarkan pertimbangan untung rugi setiap pihak yang mungkin timbul dari berbagai kemungkinan akibat interaksi, (3) teori yang menekankan pada pemuasan kebutuhan, yaitu individu akan berperilaku sedemikian rupa untuk memuaskan kebutuhan atau motif spesifik yang dimilikinya (Sears et al. 1985). Menurut Sears et al. (1985) pendekatan insentif memiliki hal penting yang membedakannya dengan pendekatan belajar yaitu berkaitan dengan kerugian dan keuntungan dari kemungkinan tanggapan dalam situasi yang terjadi pada saat itu, bukan berupa kebiasaan yang dipelajari pada masa lalu. Hal-hal pokok lain dalam pandangan insentif adalah analisa ini lebih banyak berkaitan dengan keadaan internal, seperti; persepsi kita terhadap situasi, perasaan positif atau negatif terhadap sistuasi, dan ekspektasi kita tentang akibat setiap alternatif tindakan. Pendekatan dalam psikologi sosial yang berkaitan dengan perilaku berikutnya adalah pendekatan kognitif. Pendekatan kognitif memandang perilaku sebagai sesuatu yang ditentukan oleh persepsi seseorang terhadap situasi sosial (Sears et al. 1985). Pendekatan kognitif mempunyai tekanan yang berbeda dalam dua hal dengan pendekatan belajar, yaitu (1) pendekatan kognitif memusatkan diri pada interpretasi dan organisasi perceptual mengenai keadaan sekarang, bukan keadaan masa lalu, (2) pandangan kognitif mencari sebab-sebab perilaku pada persepsi atau interpretasi individu terhadap situasi dan tidak pada realitas situasinya sendiri (Sears et al. 1985). Effendy (2009) menyatakan bahwa dalam konteks Pengendalian Hama Terpadu (PHT), terdapat tiga pilar yang melandasi perilaku petani untuk dapat menerapkan PHT di lahan usaha taninya, yaitu: (1) pengetahuan; merupakan akumulasi hasil proses pendidikan baik yang diperoleh secara formal maupun non formal yang memberikan kontribusi pada seseorang dalam pemecahan masalah, daya cipta, termasuk dalam menyelesaikan pekerjaan, (2) keterampilan; yaitu kemampuan dan penguasaan teknis operasional mengenai bidang tertentu, yang bersifat kekaryaan yang diperoleh melalui proses belajar dan berlatih, (3) sikap; yang merupakan kebiasaan yang terpolakan. Asngari (2001) menyatakan bahwa perilaku seseorang dapat dikategorikan menjadi dua yaitu perilaku yang secara jelas dapat dilihat (overt behavior) dan perilaku yang tidak dapat dilihat secara nyata (covert behavior). Lebih lanjut dikatakan bahwa kedua perilaku tersebut dipengaruhi oleh unsur-unsur perilaku yang terdapat pada kawasan kognitif, afektif dan psikomotor. Tjitropranoto (2005) menyatakan bahwa kapasitas diri petani akan menentukan tingkat potensi atau kesiapan petani dalam menerima teknologi yang dikenalkan kepadanya. Adapun

49 29 kapasitas diri petani tersebut terdiri dari pengetahuan, keterampilan, sikap, percaya diri, komitmen dan kewirausahaan. Menurut Winkel (1991) terjadinya perubahan dalam pola perilaku individu menunjukkan telah terjadinya proses belajar, makin banyak kemampuan yang diperoleh sampai menjadi milik peribadi, makin banyak pula perubahan yang telah dialami. Untuk memudahkan maka kemampuan-kemampuan tersebut digolongkan menjadi kemampuan kognitif yang meliputi pengetahuan dan pemahaman, kemampuan sensorik-psikomotorik yang meliputi keterampilan melakukan rangkaian gerak-gerik dalam urutan tertentu, kemampuan dinamik afektif yang meliputi sikap dan nilai yang meresapi perilaku dan tindakan. Penggolongan ini sepadan dengan penggolongan atas bidang belajar kognitif, belajar sensorik-psikomotorik dan belajar dinamik afektif (Winkel 1991). Konsep Belajar Winkel (1991) merumuskan belajar pada manusia sebagai suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai sikap, perubahan tersebut bersifat secara relatif konstan dan berbekas. Jadi dapat dikatakan bahwa belajar akan menghasilkan perubahan, perubahan itu dapat berupa perubahan pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap. Proses belajar merupakan usaha aktif seseorang yang dilakukan secara sadar atau tidak untuk merubah perbuatannya, perilakunya atau kemampuannya baik pengetahuan, keterampilan, maupun perasaan, dimana hasilnya bisa benar atau salah (Padmowiharjo 1994). Ciri-ciri proses belajar adalah: (a) belajar adalah suatu proses aktif dari orang yang bersangkutan, (b) belajar hanya dapat dilakukan secara individual, (c) kemampuan belajar setiap individu berbeda-beda, (d) belajar dipengaruhi oleh pengalaman, (e) belajar melalui indera, (f) belajar dipengaruhi oleh kebutuhan para pelajar yang terasa (g) belajar didorong atau dihambat oleh hasil-hasil belajar, (h) belajar dipengaruhi oleh keadaan fisik orang yang belajar dan lingkungannya. Asngari (2001) menegaskan bahwa, ada tiga hal penting dalam proses belajar tersebut (1) ada keaktifan dari individu yang belajar, (2) terjadi proses internal atau proses mental, dan (3) terjadi perubahan perilaku, sebagai hasil dari aktifnya proses belajar tersebut. Terjadinya perubahan pada orang yang belajar dapat terjadi pada kawasan kognitif (pengetahuan, pengertian), kawasan psikomotorik (keterampilan), dan atau kawasan afektif (perasaan, sikap mental, minat). Perubahan tersebut dapat sendiri-sendiri atau gabungan dari kawasankawasan tersebut. Perubahan yang dihasilkan seorang individu dalam melakukan proses belajar yang sama dapat berbeda-beda, karena kemampuan setiap individu berbeda-beda. Terdapat beberapa faktor psikologi yang mempengaruhi proses belajar menurut Padmowiharjo (1994) yaitu; (a) tujuan belajar, yang merupakan sesuatu atau beberapa hasil tindakan yang ingin dicapai pada suatu saat, (b) tingkat aspirasi merupakan suatu tingkat perwujudan ataupun pencapaian sesuatu dimasa yang akan datang yang menentukan dan mempolakan usaha-usaha atau tindakan seseorang, (c) pengetahuan akan keberhasilan dan kegagalan yang

50 30 dialami, (d) pemahaman segala sesuatu yang dipelajari, (e) umur para pelajar, dan (6) kapasitas untuk belajar. Klausmeir dan Goodwin (1971) dalam bukunya yang berjudul Learning and Human Abilities: Educational Psychology menyatakan sembilan faktor yang mempengaruhi pembelajaran, yaitu (1) tujuan belajar yang menyangkut apa yang dihasilkan dan bagaimana menggunakan hasil belajar tersebut, (2) materi pembelajaran, yang berkaitan dengan jenisnya, dan bagaimana mengelola materi belajar, (3) media pembelajaran yang berkaitan dengan jenis, kualitas dan ketersediann material, (4) karakteristik orang yang belajar, berkaitan dengan level kemampuan intelektual, kematangan fisik, psikomotorik dan sikap, kesehatan, konsep diri, persepsi terhadap situasi, umur dan jenis kelamin (5) karakteristik dari pengajar yang meliputi kemampuan dalam menguasai materi, pengembangan pembelajaran dan keahlian mengajar, (6) interaksi dalam ruang belajar yang meliputi interaksi antara pelajar dengan pelajar, pelajar dengan pengajar, pengajar dengan pengajar dan pengajar dengan pengelola proses belajar, (7) organisasi, yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan dilingkungan sendiri maupun organisasi yang berkaitan dengan pengajaran dalam level yang lebih lanjut. (8) karakteristik fisik yang berkaitan dengan sarana dan fasilits pendukung pembelajaran, (9) hubungan antara rumah, sekolah dan komunitas yang meliputi hubungan antara orang tua murid dengan guru, sekolah dengan lingkungan dan sekolah dengan masyarakat. Sistem Pertanian Sayuran Organik Pertanian sebagai suatu Sistem Menurut Shaner et al. (Reijntjes et al. 1999) istilah sistem pertanian mengacu pada suatu susunan khusus dari kegiatan usaha tani (misalnya budi daya tanaman, peternakan, pengolahan hasil pertanian) yang dikelola berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis, dan sosioekonomis serta sesuai dengan tujuan, kemampuan, dan sumber daya yang dimiliki petani. Perbedaan sumber daya fisik, biologis dan manusia yang dimiliki oleh setiap usahatani perseorangan menyebabkan tiap-tiap usahatani mrupakan suatu sistem usaha tani yang unik. Teken (Hanafie 2010) menyatakan bahwa sistem pertanian merupakan suatu rangkaian aktivitas yang saling berkaitan, yang keberhasilan pengembangannya sangat ditentukan oleh tingkat keandalan dari setiap komponen yang menjadi subsistemnya. Mosher (1987) mengemukakan lima syarat pokok dan lima syarat pelancar pembangunan pertanian, tanpa salah satu dari masing-masing syarat tersebut maka tidak akan terjadi pembangunan pertanian. Lima syarat pokok untuk membangun pertanian menurut Mosher tersebut adalah: (1) pasar untuk hasil-hasil pertanian, (2) teknologi yang selalu berubah, (3) tersedianya sarana produksi dan perlatan secara lokal, (4) perangsang produksi bagi petani, dan (5) pengangkutan atau transportasi. Sedangkan syarat pelancar yang akan menggerakkan pembangunan pertanian adalah; pendidikan untuk pembangunan, kredit produksi, kegiatan kelompok untuk petani, perbaikan atau perluasan lahan untuk petani dan perencanaan nasional pembangunan pertanian. Dari komponen pokok dan pelancar untuk pembangunan pertanian yang disampaikan Mosher ini menunjukkan bahwa pertanian merupakan suatu sistem yang kompleks.

51 31 Analog dengan pertanian sebagai suatu sistem, maka sistem pertanian sayuran organik dapat dimaknai sebagai rangkaian aktivitas yang berkaitan dari semua prinsip-prinsip dan komponen-komponen usahatani sayuran mulai dari aspek pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk dan pengendali hama), budidaya, panen dan pasca panen sampai pemasaran hasil pertanian yang memenuhi standar pertanian organik. Dalam sistem pertanian sayuran organik terdapat aktivitasaktivitas; pengadaan sarana produksi yang meliputi pembuatan pupuk organik, menghasilkan benih lokal, dan pembuatan pengendali hama alami; aktivitas budidaya sayur, yang meliputi pengolahan lahan, pembenihan, pemupukan, pengendalian hama; penanganan panen dan pasca panen; dan pemasaran produk sayuran organik. Pertanian Organik Istilah pertanian organik dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan langsung dari istilah organic agriculture dan organic farming. Dan secara sederhana pertanian organik diartikan sebagai cara bertani atau mengolah hasil pertanian tanpa menggunakan bahan-bahan kimia buatan (Saragih 2008). Istilah pertanian organik menghimpun semua imajinasi petani dan konsumen yang secara serius bertanggung jawab menghindarkan bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat (Sutanto 2006). Pada prinsipnya, pertanian organik sejalan dengan pengembangan pertanian dengan masukan teknologi rendah dan upaya menuju pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Menurut Sutanto (2006) tujuan jangka pendek dari pertanian organik adalah: (1) membantu menyediakan pupuk pertanian bebas residu bahan kimia pertanian lainnya dalam rangka ikut meningkatkan kesehatan masyarakat, (2) mengembangkan dan meningkatkan minat petani pada kegiatan budidaya organik baik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan yang mampu meningkatkan pendapatan tanpa menimbulkan terjadinya kerusakan lingkungan, (3) mengembangkan agribisnis dengan jalan menjalin kemitraan antara petani sebagai produsen dan para pengusaha, dan (4) mempertahankan dan melestarikan produktivitas lahan, sehingga lahan mampu berproduksi secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan mendatang. Menurut Sudaryanto (2012), prinsip-prinsip pertanian organik adalah : (1) murah dan aman, (2) mandiri dan spesifik lokasi, (3) lestari dan berkelanjutan, dan (4) hidup dan ekonomis. Perkembangan pertanian organik di Indonesia Perkembangan pertanian organik, baik di tingkat global maupun nasional dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir sangatlah mengagumkan. Secara dramatis pemerintahan Indonesia juga mengalami perubahan. Pemerintahan pasca orde baru melalui Departemen Pertanian mendorong tumbuhnya pertanian organik dengan mencanangkan Program Nasional Go Organic 2010 pada tahun 2000 (Saragih 2008).

52 32 Kegiatan utama Go organik 2010 adalah: (1) Sosialisasi dan pengembangan sumberdaya manusia, dengan indikator keberhasilannya adalah; meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pertanian organik dan meningkatnya keterampilan pelaku usaha pertanian organik (tahun 2001) (2) Pengembangan regulasi, dengan indikator keberhasilan adalah; tersusunnya SNI pangan organik, tersusunnya buku pedoman usaha pertanian organik, dan tersusunnya sistem sertifikasi dan inspeksi pertanian organik (Tahun 2002) (3) Fasilitas bantuan teknis, dengan indikator keberhasilan; meningkatnya hasil-hasil penelitian tentang pertanian organik, terbangunnya infrastruktur pertanian organik dimasyarakat, baik fisik maupun kelembagaan, dan berkembangnya usaha pertanian organik di masyarakat (Tahun 2003) (4) Fasilitas sertifikasi dengan indikator keberhasilan; terbantunya pelaku usaha dalam pelaksanaan inspeksi pertanian organik dan terbantunya pelaku usaha kecil untuk mendapatkan sertifikasi pertanian organik (Tahun 2004) (5) Fasilitas akses pasar dengan indikator; terbantunya pelaku usaha dalam mempromosikan produk pertanian organik dipasar dalam dan luar negeri, berdirinya outlet-outlet pemasaran produk organik (Tahun 2005) (6) Industrialisasi dan perdagangan (tahun ). Pasar Produk Pertanian Organik Pada periode kelahirannya di awal tahun 1900-an, produk pertanian organik hanya dikonsumsi oleh kalangan terbatas. Kalangan tersebut sering kali berada di tengah-tengah masyarakat umum dan dianggap aneh sebab komunitas tersebut mengkonsumsi produk pertanian yang secara fisik bentuknya lebih jelek jika dibandingkan produk pertanian kimia (Saragih 2008). Jika dibandingkan dari awal kelahirannya, maka dari tahun ke tahun jumlah anggota masyarakat yang mengkonsumsi atau yang ingin mengkonsumsi produk pertanian organik semakin bertambah dan semakin meluas. Pertumbuhan permintaan akan produk-produk pertanian organik jauh meningkat dibandingkan dengan kemampuan petani organik memproduksi produk pertanian organik. Hasilnya adalah harga produk pertanian organik yang relatif lebih baik dibandingkan harga produk pertanian non organik. Menurut FAO, ditingkat pasar, harga produk pertanian organik rata-rata lebih tinggi % dibandingkan produk-produk nonorganik. Di Indonesia, menurut Saragih (2008), permintaan akan produk pertanian organik tumbuh sangat pesat. Model pemasaran produk organik tidak hanya secara langsung, tetapi juga pemasaran lewat toko khusus yang punya akses langsung ke produsen maupun konsumen. Jumlah outlet atau retailer organik juga meningkat, jika pada tahun 2005 hanya sekitar 10 buah, maka pada tahun 2007 sudah mencapai lebih dari 20 buah retailer. Perkembangan ini tentu membawa angin segar bagi petani yang mengembangkan sistem pertanian organik, karena produk yang dihasilkan mempunyai pasar yang cukup terjamin.

53 33 Pedoman Pertanian Organik di Indonesia Ketentuan mengenai kaidah-kaidah pertanian organik yang diterapkan di Indonesia adalah sesuai dengan Standar Nasional Indonesia untuk Sistem Pangan Organik yaitu SNI Sistem pangan organik (2002). Lahan Lahan yang digunakan untuk produksi pertanian organik harus bebas dari bahan kimia sintetis. Jika lahan yang akan digunakan untuk pertanian organik berasal dari lahan yang sebelumnya digunakan untuk produksi pertanian non organik, maka lahan tersebut harus dilakukan konversi dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Untuk tanaman semusim diperlukan masa konversi minimal 2 (dua) tahun, sedangkan untuk tanaman tahunan (tidak termasuk padang rumput) diperlukan masa konversi minimal 3 (tiga) tahun. Bergantung pada situasi dan kondisi yang ada, masa konversi bisa diperpanjang atau diperpendek, namun tidak boleh kurang dari 12 bulan. (2) Prinsip-prinsip budidaya pertanian organik seperti tercantum dalam SNI Sistem Pangan Organik harus telah diterapkan pada lahan yang sedang dalam periode konversi. Selama masa konversi tersebut dianjurkan tanah tetap diusahakan untuk budidaya tanaman. (3) Lahan yang telah atau sedang dikonversi ke lahan untuk produksi pertanian organik tidak diperbolehkan untuk diubah bolak-balik antara lahan pertanian organik dan non organik (konvensional). (4) Jika lahan pertanian tidak dapat dikonversi secara bersamaan, maka perlu adanya batas yang tegas dan cukup antara lahan yang dalam konversi dengan lahan lainnya sehingga terhindar dari kontaminasi, seperti yang dapat terjadi pada saat penyemprotan pestisida yang dilakukan pada lahan non organik atau rembesan air pada lahan organik dari lahan non organik. Terutama juga pada lahan budidaya non organik yang lokasinya berada di atas budidaya pertanian organik. (5) Perlu adanya batasan yang jelas mengenai lahan yang diusahakan secara organik dan lahan non organik (konvensional). Pengelolaan kesuburan tanah (1) Pengelolaan kesuburan tanah bertujuan untuk meningkatkan dan menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang, dengan prinsip memberikan masukan berbagai bahan alami dan meningkatkan serta menjaga aktivitas biologis tanah, jika perlu dengan melakukan pengolahan tanah serta pengelolaan air dalam rangka memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. (2) Kesuburan dan aktivitas biologis tanah harus dipelihara atau ditingkatkan dengan cara: (a) Penanaman kacang-kacangan (leguminoceae), pupuk hijau atau tanaman berperakaran dalam melalui rotasi tanaman yang sesuai.

54 34 (b) Mencampur bahan organik ke dalam tanah baik dalam bentuk kompos maupun lainnya, dari unit produksi yang sesuai dengan ketentuan SNI Sistem Pangan Organik. (c) Produk limbah peternakan, seperti kotoran hewan, dapat digunakan apabila berasal dari peternakan yang dilakukan sesuai dengan persyaratan dalam SNI Sistem Pangan Organik. (d) Bahan yang dapat digunakan hanya sepanjang dapat mencukupi nutrisi tanah. (e) Bahan-bahan biodinamik dari stone meal, kotoran hewan atau tanaman dapat digunakan untuk tujuan penyuburan dan aktivitas biologis tanah. (3) Aplikasi pemupukan dengan pupuk kandang atau pupuk organik lainnya harus pada tingkat yang tidak menyumbang terhadap kontaminasi air permukaan/air tanah. Saat dan cara aplikasi harus tidak meningkatkan potensi untuk limpasan permukaan ke dalam situ, sungai dan parit. Benih (1) Benih diupayakan berasal dari tanaman yang dibudidayakan secara organik sesuai SNI Sistem Pangan Organik. (2) Bila benih yang memenuhi persyaratan tersebut tidak tersedia maka pada tahap awal dapat digunakan benih atau bibit yang tanpa perlakuan, dan jika hal tersebut tidak memungkinkan maka benih atau bibit yang telah mendapat perlakuan dengan bahan-bahan yang diizinkan untuk pertanian organik dapat digunakan. (3) Dianjurkan menggunakan benih unggul lokal atau introduksi yang tahan terhadap cekaman iklim, rendah emisi gas-gas rumah kaca serta laju penyerapan CO 2 udara yang tinggi. Pengendalian Hama/Penyakit Tanaman dan Gulma (1) Hama, penyakit dan gulma dikendalikan dengan menerapkan salah satu atau kombinasi dari cara-cara sebagai berikut: (a) Pemilihan varietas tanaman yang sesuai (b) Rotasi/pergiliran tanaman yang sesuai (c) Pengolahan tanah secara mekanis (d) Penggunaan tanaman perangkap. (e) Penggunaan mulsa dan sisa potongan tanaman. (f) Pengendalian mekanis seperti penggunaan perangkap, penghalang, cahaya dan suara. (g) Pelestarian dan pemanfaatan musuh alami (parasit, predator dan patogen serangga) melalui pelepasan musuh alami dan penyediaan habitat yang cocok seperti pembuatan pagar hidup dan tempat berlindung musuh alami, zona penyangga ekologi yang menjaga vegetasi asli untuk pengembangan populasi musuh alami. (h) Ekosistem yang beragam. Hal ini akan bervariasi antar daerah. Sebagai contoh, zona penyangga untuk mengendalikan erosi, agroforestry, merotasikan tanaman dan sebagainya.

55 35 (i) Flame-weeding atau pengendalian gulma dengan pembakaran. (j) Penggembalaan ternak. (k) Penyiapan biodinamik dari stone meal, kotoran ternak atau tanaman. (2) Jika ada kasus yang membahayakan atau ancaman yang serius terhadap tanaman dan tindakan pencegahan seperti tersebut di atas tidak efektif, maka dapat digunakan bahan lain yang diizinkan sesuai SNI Sistem Pangan Organik. Pemanenan (1) Dalam penanganan pasca panen tidak digunakan bahan-bahan yang dapat merusak, seperti fumigasi, dan sejenisnya. (2) Pemanenan atau pemungutan hasil produksi pertanian harus dilakukan pada masa yang tepat dan sesuai dengan kaidah-kaidah untuk memperoleh mutu produk yang baik secara konsisten. (3) Pemanenan atau pemungutan hasil produksi pertanian harus dilakukan dengan cara/teknik yang tepat agar tidak menimbulkan kerusakan pada tanaman atau memungkinkan dapat timbul penyakit pada tanaman atau menimbulkan kerusakan pada produk yang dipanen atau membahayakan bagi pekerja yang melakukan pemanenan. (4) Untuk aktivasi kompos, penambahan mikroorganisme atau bahan-bahan lain yang berbasis tanaman yang sesuai dapat digunakan. (5) Teknologi pengolahan tanah minimum diterapkan dalam rangka memperoleh kondisi fisik tanah yang baik bagi aktivitas biologi tanah dan pertumbuhan tanaman yang diusahakan. (6) Pengelolaan air dilakukan dengan prinsip sebagai berikut: (a) Air irigasi yang digunakan tidak boleh yang terkontaminasi bahan kimia sintetis seperti pupuk, pestisida dan bahan cemaran pemukiman maupun industri. (b) Penggunaan air irigasi dibatasi sampai pada batas optimal yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. (c) Kelebihan air pada lahan harus didrainasi dengan upaya meminimalkan dampak negatif terhadap daerah aliran air yang bersangkutan. (d) Pada sistem budidaya pertanian lahan basah (sawah) dianjurkan menggunakan tata guna air selang-seling (intermitten) dan menghindari masa penggenangan yang berlebihan. Hal ini dimaksudkan dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca ke udara.

56 36 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu dan State of The Art Kallas et al. (2009) menyatakan bahwa berdasarkan beberapa hasil kajian tentang adopsi inovasi pertanian organik, terdapat beberapa faktor relevan yang dapat mempengaruhi keputusan petani berpindah dari berusahatani secara konvensional menjadi pertanian organik, yaitu (1) faktor karakteristik petani (gender, umur, pendidikan, pengalaman), (2) struktur usahatani (luas lahan, lokasi, type tanah, alsintan), (3) pengelolaan usahatani (rotasi tanaman, penggunaan input, diversifikasi tanaman), (4) faktor eksogen (harga input dan output pertanian, pasar, subsidi, akses terhadap informasi, kebijakan), dan (5) sikap dan opini petani (kepercayaan petani berkaitan dengan lingkungan, gaya hidup, tingkat kesehatan, within the rural community, and environmental preoccupations, etc. Penelitian Darnhofer et al. (2005) di Austria menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan petani tidak mengadopsi pertanian organik adalah tidak adanya pembayaran kompensasi terhadp pertanian organik, dan tidak adanya keinginan untuk mengorbankan keuntungan untuk memperoleh manfaat dari pertanian yang ramah lingkungan. Hasil penelitian Ryan (2006) di Australia menunjukkan bahwa struktur ekonomi, kebijakan dan motivasi petani merupakan faktor yang menyebabkan petani melakukan atau tidak melakukan pertanian organik. Hasil penelitian ini merekomendasikan kunci kesuksesan agar petani melakukan pertanian organik adalah keefektifan dalam memotivasi petani. Penelitian Pattanapant dan Shivakoti (2009) di Thailand, menunjukkan petani konvensional masih resisten terhadap sistem pertanian organik karena sebahagian mereka memiliki persepsi yang negatif terhadap sistem pertanian organik, yaitu meliputi kekhawatiran hasil dan kualitas yang rendah, biaya produksi yang tinggi, dan tertundanya penghasilan. Petani penyewa didaerah penelitian ini meyakini bahwa kebutuhan dasar keluarga mereka tidak bisa dipenuhi melalui praktek pertanian organik. Prager dan Posthumus (2010) dalam makalahnya yang bertujuan untuk meninjau studi tentang peran sosio-ekonomi dalam mempengaruhi adopsi inovasi, menunjukkan bahwa keputusan yang menyebabkan petani mengadopsi suatu teknik konservasi tidak hanya disebabkan oleh faktor pertanian dan manajemen, tetapi juga faktor kelembagaan dan sosial yang berada diluar petani. Penelitian ini menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi petani dalam menagadopsi suatu teknik konservasi adalah faktor lingkungan / teknis, karakteristik pribadi petani, ekonomi dan kelembagaan (Prager dan Posthumus 2010). Hasil penelitian Setiawan (2012) tentang pengadopsian System of Rice Intensification (SRI) oleh anggota Subak di Bali menunjukkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi pengadopsian SRI oleh petani adalah: karakteristik internal petani, kompetensi fasilitator, kompetensi pengurus subak, persepsi anggota Subak tentang SRI, dan kemandirian anggota subak dalam menerapkan metoda SRI. Model pengembangan SRI oleh petani yang sesuai berdasarkan hasil penelitian ini adalah model pengembangan kemandirian yang menekankan pada belajar mandiri dikalangan petani anggota Subak. Mulyadi et al. (2007) dalam penelitiannya tentang Pengadopsian Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak, menunjukkan beberapa hasil penelitian. (1) Tahap awal (tahap pengetahuan) proses adopsi inovasi sangat menentukan yaitu

57 mulai mengenal adanya inovasi dan memperoleh beberapa pengertian tentang cara inovasi tersebut berfungsi. Faktor yang sangat berperan adalah sikap mental yaitu keinginan besar untuk mengetahui dan menggunakan inovasi tersebut. (2) Secara nyata petani Arfak telah mengalami perubahan sosial, budaya, dan orientasi ekonomi (masa transisi) dari masyarakat tradisional ke modern. (3) Faktor-faktor nilai sosial pendorong pengembangan petani Arfak adalah kemampuan berempati. Kekuatan pengganggu menghambat proses adopsi inovasi yaitu pesimistis, irasional, dan tidak berani mengambil resiko. Penelitian dari Indraningsih (2011) menyatakan bahwa perubahan perilaku memerlukan waktu yang lama, sehingga penyuluhan yang berkelanjutan penting sekali dilaksanakan, dengan memperhatikan: a) target kementerian pertanian untuk menempatkan satu orang penyuluh pertanian dalam satu desa dapat tercapai bila merekrut ketua kelompok tani sebagai penyuluh swadaya, b) dalam penyusunan program penyuluhan pertanian dapat dilakukan melalui pendekatan perencanaan bersama: "join planning" atau "participatory planning", yakni kepentingan pemerintah pusat yang berupa kebijakan bersifat "top-down" dipadukan dengan kebutuhan petani yang bersifat " bottom-up", c) materi penyuluhan tidak lagi terbatas pada teknologi budidaya, namun perlu memperhatikan aspek lain, yakni unsur pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial, serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, managemen, hukum dan pelestarian lingkungan dan d) kelembagaan penyuluh pertanian yang tidak berubah-ubah. Penelitian yang dilakukan oleh Rezvanfar et al. (2011) terhadap petani di Ravansar County, Provinsi Kermanshah di Iran menunjukkan faktor-faktor yang menjadi penentu utama dari penerapan pertanian organik di kalangan petani kecil adalah motivasi petani, persepsi petani tentang pertanian organik, sikap sosial, sikap ekologis dan partisipasi petani dalam kegiatan penyuluhan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti memberikan rekomendasi agar sikap petani lebih positif terhadap pertanian organik, hendaknya menghubungkan petani dengan informasi dan pengetahuan tentang pertanian organik melalui jaringan, seperti media massa, koperasi, distributor pertanian organik, majalah, basis data dan informasi tentang laba pertanian organik dari distributor. Peneliti juga menyarankan agar terus meningkatkan kegiatan berbasis masyarakat melalui agent-agent pertanian organik, serta melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung petani untuk menghadapi kendala dalam konversi kepertanian organik. Penelitian yang dilakukan oleh Bustang et al. (2008) yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat miskin di pedesaan, menyatakan bahwa strategi yang efektif dalam meningkatkan keberdayaan yaitu dengan peningkatan perhatian dan tanggungjawab sosial melalui peningkatan peran organisasi pemerintahan lokal/desa, melalui pendidikan non formal, dan peningkatan peran organisasi kemasyarakatan. Hasil penelitian Mulyandari (2011a) yang mengukur keberdayaan petani berdasarkan kemampuan petani menentukan jenis komoditi, kemampuan mengatur input, memasarkan output, kemampuan menentukan harga produk, kemampuan bekerjasama, kemampuan mengelola informasi dan kemampuan mengakses teknologi, menyatakan bahwa keberdayaan petani dipengaruhi oleh faktor perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi, tingkat 37

58 38 pemanfaatan cyber extension, karakteristik individu, persepsi terhadap cyber dan faktor lingkungan. Mengembangkan komunikasi dua tahap dan komunikasi media sesuai dengan karakteristik petani merupakan strategi konvergensi komunikasi melalui pemanfaatan cyber extension, dapat dilakukan dalam pemberdayaan petani sayuran. Sadono (2012) dalam penelitiannya tentang Model Pemberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usahatani padi di Kabupaten Karawang dan Cianjur provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa petani termasuk kategori kurang berdaya yang ditunjukkan oleh rendahnya kemampuan petani dalam mengakses informasi, rendahnya kemampuan dalam mengakses pasar, kemampuan bermitra dan kemampuan beradaptasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keberdayaan petani dalam penelitian ini adalah rendahnya tingkat partisipasi petani dalam kelompok, pola pemberdayaan yang kurang sesuai, kurangnya dukungan lingkungan fisik dan sosial ekonomi, rendahnya ciri kepribadian petani, dan kurang tersedianya informasi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani. Hasil penelitian Beban (2008) yang membahas issu tentang pertanian organik sebagai sebuah strategi pembangunan untuk pemberdayaan petani skala kecil di Kamboja, menyatakan bahwa tujuan petani bergabung dengan inovasi sistem pertanian organik adalah terutama untuk meningkatkan kesehatan dan mengurangi biaya input pertanian. Penelitian ini juga menunjukkan manfaat yang diperoleh petani setelah ikut serta dalam pertanian organik adalah; petani merasa kesehatannya meningkat, ketahanan pangan meningkat, meningkatkan pendapatan, petani memiliki kontrol atas mata pencahariannya. Beban (2008) juga mengungkapkan faktor utama yang menentukan dampak dari inovasi pertanian organik adalah; tingkat sumberdaya individu, kekuatan kelompok tani, kebijakan dan nilai-nilai dari organisasi pendukung. Widodo (2010) dalam laporan penelitiannya tentang Pemberdayaan Tenaga Kerja Perdesaan dalam Pengembangan Sistem Pertanian Organik mengukur keberdayaan petani padi organik melalui aspek produktivitas (pendapatan, tenaga kerja, dan hasil produksi), sustainabilitas, stabilitas dan pembagian kerja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberdayaan petani adalah kapasitas petani yang terdiri dari ; lahan, kualitas sumber daya manusia, permodalan dan teknologi, faktor sosial kemasyarakatan yang terdiri dari kelembagaan tingkat desa, inovasi lokal dan jaringan pasar, faktor infrastruktur sosial yang terdiri dari kebijakan pusat, kebijakan Pemda, dan kelembagaan. Kajian tentang adopsi inovasi telah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan peneliti, baik yang berkaitan dengan adopsi inovasi teknologi pertanian maupun teknologi di luar sistem pertanian. Namun penelitian-penelitian tersebut pada umumnya hanya menganalisis peubah adopsi yang merupakan akhir dari suatu proses perubahan sosial karena adanya suatu inovasi, tanpa menelaah lebih lanjut bagaimana konsekuensi dari implementasi/penerapan inovasi tersebut. Penelitian ini selain mengungkapkan bagaimana perkembangan aplikasi dari teori keputusan inovasi dan difusi inovasi saat ini khususnya untuk daerah Sumatera Barat, juga mencoba untuk melakukan analisis secara komprehensif mulai dari penjelasan tentang implementasi keputusan adopsi inovasi oleh petani, faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi keputusan adopsi inovasi, dan diakhiri dengan analisis tentang konsekuensi dari inovasi pertanian organik yaitu

59 39 keberdayaan petani. Pengaruh adopsi sistem pertanian sayuran organik terhadap keberdayaan petani sayuran merupakan kajian yang belum di bahas peneliti adopsi sebelumnya. Faktor-faktor pembelajaran petani secara individu dan kelompok melalui penyuluhan pertanian dimasukkan sebagai peubah yang dianggap mempengaruhi adopsi, di mana sebelumnya tak disentuh dalam penelitian adopsi dan difusi inovasi. Penelitian ini juga menghasilkan suatu strategi yang efektif untuk meningkatkan implementasi keputusan adopsi sistem pertanian organik di kalangan petani sayuran di Provinsi Sumatera Barat dalam menuju keberdayaan petani. Kajian hasil-hasil penelitian terkait adopsi inovasi pertanian organik disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil-hasil Penelitian Terkait dengan Adopsi Inovasi Pertanian Organik Peneliti Topik Masalah Metode penelitian dan analisis data Temuan I Gede Setiawan Adi Putra Disertasi Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan Vol. 5 No. 2 Tahun 2012 Pengadopsian System of Rice Intensification (SRI) di Provinsi Bali Faktor apa saja yang memengaruhi pengadopsian SRI di kalangan petani anggota subak Faktor apa yang memengaruhi persepsi petani tentang SRI Faktor apa yang memengaruhi kemandirian petani dalam menerapkan SRI Ex post facto Menggunaka n Structural Equation Model (SEM Faktor-faktor yang memengaruhi pengadopsian SRI oleh petani adalah: karakteristik internal petani, kompetensi fasilitator, kompetensi pengurus subak, persepsi anggota subak tentang SRI, dan kemandirian anggota subak menerapkan SRI Persepsi petani tentang SRI dipengaruhi oleh karakteristik anggota subak, komptensi fasilitator, kompetensi pengurus subak. Sikap petani terhadap SRI dipengaruhi oleh persepsi petani tentang SRI, karakteristik anggota, komptensi fasilitator, kompetensi pengurus subak. Kemandirian petani menerapkan SRI dipengaruhi oleh sikap petani terhadap SRI, persepsi petani tentang SRI, karakteristik petani, kompetensi fasilitator dan kompetensi pengurus

60 40 Tabel 3 (Lanjutan) Peneliti Topik Masalah Metode penelitian dan analisis data Beban. A A Thesis at Massey University, Palmerston North, New Zealand. Widodo, Y B Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayas a LIPI. Pusat Penelitian kependudu kan LIPI. Jakarta. Pertanian organik sebagai sebuah strategi pembangunan untuk pemberdayaan petani skala kecil di Kamboja. Pemberdayaan tenaga kerja perdesaan dalam pengembangan system pertanian organik Kabupaten Sragen Jawa Tengah Bagaimanakah dampak pertanian organik terhadap kehidupan petani skala kecil. Faktor apa yang menentukan keberhasilan pertanian organik di Kamboja. Bagaimanakah pengembangan pertanian pangan di perdesaan melalui system pertanian organik dalam mendorong pemberdayaan tenaga kerja di perdesaan. Studi kasus pada petani padi di Kamboja Analisis Kualitatif Penelitian bersifat eksploratif. Teknik analisis deskriptif. Temuan Keterlibatan petani dalam pertanian organik telah dapat meningkatkan kesehatan, pendapatan dan ketahan pangan, serta petani merasa lebih memiliki control atas mata pencaharian mereka. Faktor yang menentukan dampak dari pertanian organik di Kamboja adalah: tingkat sumberdaya individu, kekuatan kelompok. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberdayaan petani adalah kapasitas petani yang terdiri dari ; lahan, kualitas sumber daya manusia, permodalan dan teknologi, faktor sosial kemasyarakatan yang terdiri dari kelembagaan tingkat desa,inovasi lokal dan jaringan pasar, faktor infrastruktur sosial yang terdiri dari kebijakan pusat, kebijakan Pemda, dan kelembagaan. Aero Widiarta, Soeryo Adiwibowo, Widodo Analisis Keberlanjutan Pertanian Organik di kalangan petani Bagaimana pengaruh praktek pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani Metode kuantitatif Bersifat eksploratory (menjelajah) Keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani masih rendah

61 41 Tabel 3 (Lanjutan) Peneliti Topik Masalah Metode penelitian dan analisis data Lokasi di Desa Katapang Semarang Jawa Tengah Jurnal Sodality, vol 5 No 1 tahun 2011 Altri M dan Irene Kartika E W Jurnal Soca Volume 9 Nomor 1 tahun 2009 Sikap wanita tani terhadap usahatani padi organik. Penelitian di Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas. Seberapa tinggi kompleksitas praktek pertanian organik dibandingkan dengan pertanian konvensional menurut petani. Mengapa praktik pertanian organik tidak banyak di adopsi oleh petani. Bagaimanakah sikap wanita tani terhadap usahatani padi organik, komponen apa saja yang merupakan pendukung terbentuknya sikap wanita tani dan komponen apa yang menjadi kendala dalam terbentuknya sikap. Termasuk jenis survai eksperimen tal. Metode survai. Analisis likert s summated ratig dan successive interval. Temuan organik terbukti berpengaruh positif terhadap keberlanjutan ekonomi petani. Terdapat perbedaan tingkat kompleksitas praktek pertanian organik secara signifikan dengan praktik pertanian konvensional menurut persepsi petani. Wanita tani yang sampai saat ini masih berusahatani padi anorganik bersikap tidak setuju dengan usahatani padi organik. Komponen pembentuk sikap tidak setuju didominasi oleh peubah yang bersifat financial, yaitu akses kredit modal usahatani, harga benih unggul, harga pupuk organik, ketersediaaan pestisida nabati, teknis pemasaran beras organik dan harga beras organik.

62 42 Kerangka Berpikir Kerangka Berpikir Dan Hipotesis Landasan berpikir penelitian tentang faktor penentu dalam tingkat adopsi inovasi sistem pertanian sayuran organik ini berawal dari tantangan yang dihadapi dunia pertanian saat ini dan masa yang akan datang, diantaranya adalah perubahan paradigma pembangunan pertanian dari paradigma modernisasi pertanian mengarah pada pembangunan pertanian berkelanjutan. Tantangan lain adalah terjadinya perubahan selera konsumen yang semakin menyadari pentingnya mengkonsumsi pangan yang tidak mengandung atau meminimalisir kandungan zat-zat kimia. Sementara yang terjadi saat ini, paradigma modernisasi pertanian yang bertujuan untuk mengubah sektor pertanian tradisional menjadi sektor pertanian modern yang mampu meningkatkan produksi sektor pertanian (dikenal dengan revolusi hijau) telah menimbulkan ketergantungan petani pada input-input modern, seperti pupuk kimia, pestisida, bibit non lokal dan lain-lain (Soetrisno 2002). Tingginya ketergantungan petani terhadap faktor-faktor produksi yang berasal dari luar menyebabkan rendahnya keberdayaan petani dalam melakukan kegiatan usahatani yang akan berimbas kepada rendahnya tingkat produktivitas dan keberlanjutan usahatani. Perubahan paradigma pembangunan pertanian menuju sistem pertanian yang berkelanjutan, tidak eksploratif dan ramah lingkungan ini berbeda sekali dengan sistem bertani yang telah dilakukan oleh petani-petani kita selama ini (selama ini petani telah terbiasa dengan sistem pertanian yang cenderung eksploratif, menggunakan input-input kimiawi yang tidak ramah lingkungan). Kondisi ini menonjol sekali pada subsektor hortikultura. Tingginya tingkat serangan hama pada tanaman sayuran menyebabkan petani bergantung pada pestisida kimia dalam melakukan pengendalian hama di lahannya. Untuk dapat menghadapi perubahan paradigma pembangunan pertanian dibutuhkan adanya perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan serta teknologi yang dapat diterapkan petani sebagai pelaku utama dalam sektor pertanian. Petani tidak hanya dituntut berubah pengetahuan, sikap dan keterampilannya, namun juga harus memutuskan untuk mengadopsi dan mengimplementasikan inovasi tersebut serta menyesuaikannnya dengan kondisi lingkungan usahataninya (kemampuan adaptasi). Perubahan perilaku petani yang meliputi ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan, merupakan hasil dari suatu proses pembelajaran yang dilakukan oleh individu petani. Aktivitas belajar petani ini dapat dilakukan secara individu maupun secara berkelompok, Proses belajar yang dilakukan dapat diperoleh melalui pendidikan informal, formal dan non formal. Penyuluhan merupakan salah satu proses pendidikan non formal yang dapat mendukung terjadinya perubahan perilaku petani. Keefektifan pelaksanaan kegiatan penyuluhan oleh tiga kelembagaan penyuluhan (penyuluh pemerintah, penyuluh swasta dan penyuluhan swadaya) harus didukung oleh metode dan materi yang sesuai, penyuluh yang kompeten dan ketersediaan sarana. Berbagai pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan pertanian berkelanjutan telah diperkenalkan. Inovasi ini dihasilkan oleh berbagai pihak, yaitu para ahli-ahli pertanian, petani sendiri, maupun oleh lembaga-lembaga

63 swadaya masyarakat yang peduli pada pertanian yang ramah lingkungan. Inovasi pertanian ramah lingkungan ini juga telah diupayakan disebarkan kepada petani oleh pemerintah, petani ke petani, maupun lembaga swadaya masyarakat. Salah satu model sistem pertanian yang sesuai dengan sistem pertanian berkelanjutan yang disepakati para ahli adalah sistem pertanian organik. Sistem pertanian organik merupakan suatu inovasi yang memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dengan sistem pertanian yang dilakukan petani saat ini. Sistem pertanian organik setidaknya memiliki prinsip; lokalita yang berarti berupaya mendayagunakan potensi lokal dengan memanfaatkan bahan baku atau input dari sekitar lahan usahatani, perbaikan tanah melalui tindakan yang bersifat merawat dan memperbaiki kualitas tanah, kualitas produk yang berarti pertanian organik menghasilkan produk yang berkualitas yang memenuhi standar mutu gizi, aman bagi lingkungan dan kesehatan, pemanfaatan energi dengan menghindari sejauh mungkin penggunaan energi yang berasal dari bahan bakar fosil berupa pupuk kimia dan pestisida, dan prinsip meredam polusi serta kesempatan kerja (IFOAM dalam Salikin 2003). Pemberian pengetahuan dan informasi kepada petani tentang sistem pertanian organik merupakan suatu cara agar petani mampu melakukan usahatani secara berdaya, sesuai dengan tuntutan konsumen atau pelanggan produk pertanian saat ini. Dengan kemauan dan kemampuan petani melakukan usahatani secara organik, diharapkan produk usahataninya memiliki daya saing dan dapat diterima pasar. Jika produk usahataninya memiliki daya saing dan dapat diterima pasar, berarti posisi tawar petani menjadi kuat, hingga petani dapat menentukan yang terbaik untuknya, tanpa tergantung pihak lain, inilah yang mencirikan bahwa petani berdaya. Penggunaan sarana produksi luar yang rendah dalam sistem pertanian organik (mengurangi pupuk dan pemberantas hama kimiawi) menyebabkan berkurangnya ketergantungan petani pada pihak penyedia sarana produksi. Kemampuan petani untuk menghasilkan produk usahatani secara organik, menjadikan petani punya daya saing, posisi tawar yang kuat, didukung oleh ketersediaan pasar dan sarana produksi serta kelembagaan pendukung menyebabkan kehidupan petani menjadi lebih baik. Sistem pertanian organik sebagai suatu inovasi, diharapkan dapat menjadikan petani sebagai petani yang berdaya dalam berusahatani, yaitu yang dimulai dari aspek kemampuan menyediakan sarana produksi (terutama pupuk, pestisida dan benih lokal), kemampuan berproduksi, kemampuan memasarkan hasil pertaniannya, kemampuan akses dan menjalin kerjasama dengan lembaga agribisnis, dan kemampuan untuk menjaga keberlanjutan usahataninya. Penerapan inovasi sistem pertanian organik secara tepat oleh petani juga diharapkan akan meningkatkan produktivitas usaha tani petani organik, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan pendapatan, peningkatan produktivitas lahan, dan terwujudnya kelestarian lingkungan/ekologi yang merupakan salah satu tuntutan dari pertanian berkelajutan. Alur berpikir penelitian ini disajikan pada Gambar 8. Penelitian tentang adopsi inovasi pertanian organik ini pada bagian awal merujuk pada teori pengambilan keputusan inovasi (Rogers 2003), kemudian dimodifikasi dan dikembangkan dengan merujuk pada konsep-konsep dan pendapat yang dikemukakan Leeuwis (2009) yang berkaitan dengan komunikasi inovasi, serta konsep perilaku dan pembelajaran orang dewasa dan didukung oleh 43

64 44 hasil-hasil penelitian yang terkait dengan adopsi inovasi serta pemberdayaan. Pengembangan konsep-konsep inovasi, adopsi, dan difusi inovasi muncul seiring dengan perkembangan, tantangan dan fenomena yang timbul dalam konteks perubahan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan beberapa waktu terakhir ini. Rogers (2003) menyatakan bahwa tindakan petani sebagai bentuk atau hasil dari keputusan yang telah diambilnya dikategorikan menjadi (1) mengadopsi teknologi, dan (2) menolak untuk mengadopsi teknologi. Keputusan petani untuk menerapkan suatu inovasi atau tidak menerapkan suatu inovasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa model yang ditawarkan oleh Rogers (2003), Leeuwis (2009), dan Tjitropranoto (2005) yang mengungkapkan peubah-peubah yang mendasari petani untuk menerapkan atau tidak menerapkan suatu alternatif baru juga dijadikan sebagai rujukan dalam penelitian ini. Penelitian ini ingin menjelaskan bahwa keputusan petani untuk mengadopsi pertanian organik dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang berasal dari diri petani sendiri maupun dari luar diri petani (faktor internal dan eksternal petani), dan keputusan tersebut merupakan keputusan yang rasional berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Namun, keputusan petani untuk mengadopsi inovasi, bukanlah tahap akhir dari perjalanan suatu proses inovasi, inovasi yang sudah diadopsi petani tersebut, akan efektif jika dilaksanakan sesuai dengan kondisi lingkungan di mana petani beraktivitas. Mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh Leeuwis (2009) yang menyatakan bahwa praktek pertanian berkelanjutan menjadikan petani harus memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang situasi lokal, dan banyak pengetahuan yang harus dikembangkan atau diadaptasi sesuai dengan kondisi, karena situasi ekologis yang berbeda dalam wilayah individu petani, dan ini harus ditunjang dengan kerjasama yang erat antara petani, peneliti dan pelaku penyuluhan pertanian. Merujuk kepada teori difusi inovasi yang dikemukakan Rogers (2003), konsep-konsep komunikasi inovasi dari Leeuwis (2009), pendekatan perilaku behavior, kognitif, teori belajar, dan berdasarkan beberapa hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan adopsi inovasi dan perubahan perilaku maka disusunlah kerangka pemikiran penelitian, yang menunjukkan kaitan antara beberapa peubah. Penelitian ini menjelaskan adopsi inovasi sistem pertanian organik secara komprehensif, yaitu mulai dari faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi oleh petani, sumber inovasi dan tingkat adopsi petani, sampai pada konsekuensi inovasi. Sebagaimana yang dijelaskan Rogers (2003) bahwa inovasi tidaklah berhenti sampai pada tahap diterapkannya inovasi oleh petani, namun sampai pada tahap bagaimana konsekuensi inovasi tersebut. Berdasarkan kajian literatur dan pedoman pelaksanaan pertanian organik, maka konsekuensi dari adopsi sistem pertanian organik oleh petani sayuran dalam penelitian ini diamati dari keberdayaan petani organik. Penerapan sistem pertanian organik secara tepat dan berkelanjutan oleh petani, didukung oleh pelaksanaan penyuluhan dan keberadaan lembaga-lembaga penunjang, serta proses belajar yang intensif oleh petani diharapkan akan meningkatkan keberdayaan petani dalam berusahatani yang ditunjukkan oleh kemampuan petani dalam melakukan semua aktivitas yang berkaitan dengan usahatani, mampu meningkatkan produktivitas usahatani, dan menjalin kerjasama

65 45 dengan berbagai lembaga yang berkaitan dengan sistem usahataninya serta dapat menjamin keberlanjutan usahatani. Beberapa peubah yang diduga mampu menjelaskan alasan yang menyebabkan petani mengadopsi atau tidak mengadopsi inovasi pertanian organik adalah perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani sebagai hasil proses belajar yang diperoleh petani, persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi pertanian organik (yang terdiri dari tingkat keuntungan relatif, kerumitan inovasi, tingkat kesesuaian, tingkat kemudahan untuk dicoba, tingkat keteramatan inovasi), dan faktor lingkungan yang meliputi kebijakan dalam pertanian, ketersediaan lembaga pendukung (keberadaan kelompok tani, penyedia modal, ketersediaan pasar, lembaga informasi), dukungan anggota sistem sosial serta dukungan sumberdaya lahan dan infrastruktur. Kaitan antar masing-masing peubah yang akan diamati dalam penelitian faktor penentu adopsi inovasi sistem pertanian organik oleh petani sayuran ini disajikan pada Gambar 9. Tingkat Adopsi Inovasi Sistem Pertanian Sayuran Organik Rogers (2003) menyatakan bahwa adopsi merupakan tahapan dari keputusan inovasi dimana petani mulai melaksanakan inovasi di lahannya, setelah memutuskan untuk mengadopsi inovasi. van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa adopsi merupakan suatu kondisi dimana petani mulai menerapkan inovasi pada skala yang besar setelah ia membandingkannya dengan metode atau cara-cara lama ataupun teknologi lama yang pernah diterapkan. Dalam penelitian ini inovasi yang dimaksud adalah sistem pertanian sayuran organik. Inovasi sistem pertanian sayuran organik merupakan suatu sistem pertanian yang memperhatikan aspek lingkungan dalam setiap proses produksinya. Untuk bisa menghadapi tantangan dan tuntutan dunia pertanian saat ini dan untuk masa yang akan datang, agar produk pertanian dapat bersaing di pasar serta memenuhi selera konsumen, dan menghindari ketergantungan petani pada input produksi dari luar, maka adopsi sistem pertanian organik oleh petani di lahan usahataninya menjadi aktivitas yang patut dilakukan. Tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani di lahan usahatanimya berkaitan erat dengan pengetahuan, sikap, keterampilan dan persepsi petani tentang sistem pertanian organik yang diperoleh petani melalui proses belajar yang telah dilaluinya. Keberadaan dan dukungan dari penyuluhan sebagai proses pendidikan non formal, dukungan kebijakan pemerintah, lembagalembaga penunjang kegiatan usahatani, dukungan sistem sosial akan mendorong petani untuk melaksanakan sistem pertanian organik dengan intensif. Keberdayaan Petani Organik Keberdayaan petani merupakan kemampuan yang memungkinkan petani untuk mampu mengembangkan diri untuk mencapai tujuan-tujuannya. Keberdayaan merupakan hasil dari sebuah proses pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang bertujuan untuk memberikan daya-daya pada masyarakat atau kegiatan yang membuat masyarakat mampu membangun dirinya sendiri, dapat memanfaatkan peluang, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu

66 46 mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi (Slamet 2003). Ife dan Tesoriero (2008) menyatakan bahwa keberdayaan merupakan tujuan dari pemberdayaan. Pemberdayaan berarti menyediakan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menentukan masa depan mereka sendiri, untuk berpartisipasi serta mempengaruhi kehidupan masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang mampu mengakses sumberdaya, memiliki kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk menentukan masa depannya. Pandangan tentang keberdayaan petani sayuran organik adalah kondisi yang menunjukkan kemampuan petani untuk menetapkan yang terbaik untuk dirinya dalam melakukan kegiatan usaha tani sayuran organik sehingga dapat meningkatkan produktivitas usahatani, mampu akses terhadap lembaga-lembaga agribisnis yang mendukung dan menjamin keberlanjutan usahataninya. Kemampuan petani dalam melakukan aktivitas usahatani meliputi; kemampuan untuk memenuhi sarana produksi yang terdiri dari pengadaan bibit lokal, pengadaan pupuk organik, dan pengadaan bahan-bahan pengendali hama dan penyakit tanaman. Kemampuan petani dalam peningkatan produktivitas usahatani diamati dari aspek tingkat produktivitas lahan, produksi, pendapatan, dan keuntungan yang diperoleh petani pada setiap musim tanam. Kemampuan petani akses terhadap lembaga-lembaga agribisnis ditunjukkan oleh intensitas kerjasama yang dilakukan petani dengan lembaga yang mendukung usahatani, seperti kelompok tani, koperasi, perbankan, perusahaan yang bergerak dalam bisnis sayuran organik dan asosiasi sayuran organik Indonesia. Sementara itu kemampuan petani dalam menjamin keberlanjutan usahataninya ditunjukkan oleh peningkatan skala usaha, peningkatan produktivitas usahatani, perluasan jaringan pemasaran, dan peningkatan dukungan lingkungan usahatani. Perilaku Petani Perilaku petani merupakan respon terhadap stimulus yang diterimanya, di mana perilaku ini merupakan perilaku yang dibentuk, dapat dikendalikan, karena dapat berubah dari waktu ke waktu, sebagai hasil proses belajar. Sebagai hasil belajar perilaku tersebut terdiri dari unsur-unsur perilaku yang terdapat pada kawasan pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotor). Ketiga kawasan ini akan mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan petani dalam hal penerapan sistem pertanian organik. Perilaku petani diamati dalam tiga ranah yaitu ranah kognitif yang merupakan tingkat pengetahuan petani tentang sistem pertanian sayuran organik, ranah afektif yang merupakan kecenderungan petani dalam bersikap berkaitan dengan sistem pertanian sayuran organik, dan ranah psikomotorik yang merupakan keterampilan petani dalam melakukan teknik-teknik sistem petanian sayuran organik. Dukungan Penyuluhan Penyuluhan pada hakekatnya merupakan suatu proses pendidikan non formal yang ditujukan pada orang dewasa yang bertujuan untuk mengubah perilaku manusia sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya

67 47 dengan perilaku baru yang berakibat kualitas kehidupan orang tersebut menjadi lebih baik. Menurut Sumardjo (2010) penyuluhan pada dasarnya merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas perilaku seseorang atau individu, yang meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik/konotif sehingga memiliki individualitas (human capital bukan individualistis) yang siap mewujudkan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya. Penyuluhan sebagai suatu pendidikan untuk petani dan keluarganya haruslah menggunakan falsafah kerja meningkatkan potensi dan kemampuan para petani dan keluarganya, sehingga mereka akan dapat mengatasi sendiri kekurangannya, dan dapat memenuhi sendiri kebutuhannya tanpa harus tergantung pada orang lain (Slamet 2003). Hipotesis Penelitian 1. Perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik internal petani, intensitas belajar petani dan dukungan penyuluhan. 2. Tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dipengaruhi secara nyata oleh perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik, dukungan penyuluhan, sifat inovasi pertanian organik, dan dukungan lingkungan. 3. Tingkat keberdayaan petani sayuran organik secara nyata dipengaruhi oleh karakteristik internal petani, tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik, dan dukungan lingkungan.

68 48 48 Faktor Internal petani Pembelajaran Proses belajar petani Penyuluhan PNS Penyuluhan Swasta Penyuluhan Swadaya Tantangan dunia pertanian 1. Perubahan paradigma pembangunan pertanian 2. Tuntutan pertanian yang ramah lingkungan 3. Ketergantungan petani pada saprodi dari luar 4. Perubahan selera konsumen Perubahan perilaku petani dalam berusaha tani (pengetahuan, sikap dan keterampilan) Adopsi inovasi pertanian ramah lingkungan (pertanian organik) Adaptasi inovasi Sifat inovasi pertanian sayuran organik Kebijakan pertanian Kelembagaan Ciri sistem sosial Sumber daya lahan Infrastruktur Petani yang berdaya Kemampuan dalam memenuhi sarana produksi sayuran organik Kemampuan dalam proses produksi sayuran organik Kemampuan dalam pemasaran produksi sayuran organik Kemampuan meningkatkan produktivitas usahatani sayuran organik Kemampuan akses dan menjalin kerjasama dgn lembaga agribisnis Keberlanjutan usahatani sayuran organik Gambar 8. Alur Berpikir Penelitian Faktor Penentu dalam Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Organik

69 49 51 X1. Karakteristik petani X11Umur X12 Pendidikan formal X13.Pddk Non Formal X14. Kepemilikan lahan X15.Pengalaman Usaha Tani X16. Kekosmopolitan X17. Keberanian mengambil resiko X18. Motivasi X4. Persepsi petani tentang sifat sistem Pertanian Organik X41.Keuntungan relatif X42.Kerumitan inovasi X43. Kesesuaian dgn kebiasaan X44.Kemudahan dicobakan di lahan X45. Kemudahan diamati hasilnya Y3.Tingkat Keberdayaan Petani X2. Intensitas belajar Petani X21. Kesesuaian Metode Belajar X22.Ketepatan Materi Belajar X23. Frekuensi belajar X24.Keterjangkauan sumber Informasi X25.Intensitas Interaksi dlm kelompok X26. Intensitas Interaksi dgn sumber belajar. X3. Dukungan Penyuluhan Y1. Perilaku Petani Y11. Pengetahuan tentang system pertanian organik Y12. Sikap terhadap sistem pertanian organic Y13. Ketrampilan dalam sistem pertanian organik Y2. Tingkat Adopsi Sistem sayuran Pertanian Organik Y21.Intensitas adopsi system Y22. Tingkat penggunaan sumberdaya lokal Y23. Tingkat adaptasi teknik pertanian organik Y24. Tingkat keberlanjutan adopsi inovasi X5. Lingkungan Eksternal X51. Dukungan kebijakan Y31. Kemampuan pengadaan saprodi Y32.Kemampuan pengambilan keputusan proses produksi Y33.Kemampuan pemasaran Y34.Kemampuan meningkatkan produktivitas usahatani Y35. Kemampuan akses dan kerjasama dgn lembaga agribisnis Y36. Keberlanjutan usahatani X31.Ketepatan Metode Penyuluhan X32. Kesesuaian Materi Penyuluhan X33. Kesesuaian Model komunikasi X34. Kompetensi penyuluh X35. Intensitas penyuluhan X52. Dukungan kelembagaan terkait usahatani X53. Dukungan sistem sosial X54. Dukungan sumberdaya lahan infrastruktur Gambar 9. Hubungan Antar Peubah Penelitian Faktor Penentu dalam Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Organik dan Keberdayaan Petani

70 50 Metode Penelitian Rancangan Penelitian Penelitian menggunakan paradigma kuantitatif dengan rancangan penelitian menerangkan (explanatory research). Penelitian eksplanatoris adalah penelitian survai yang bertujuan menjelaskan pengaruh atau hubungan antar peubah-peubah penelitian melalui pengujian hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya (Babbie 1992, Singarimbun dan Effendi 1995). Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sumatera Barat dengan mengambil lokasi di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar yang merupakan kawasan pertanian sayuran organik di Provinsi Sumatera Barat. Penetapan lokasi penelitian dilakukan secara purposive. Pemilihan Sumatera Barat sebagai lokasi penelitian disebabkan: (1) daerah ini merupakan salah satu provinsi yang menjadi percontohan pertanian organik di Indonesia, (2) Provinsi Sumatera Barat pernah mendapatkan penghargaan berkaitan dengan pengembangan pertanian organik, dan (3) di Provinsi Sumatera Barat terdapat Lembaga Sertifikasi Organik milik Pemerintah daerah. Berdasarkan informasi dari pejabat lingkup Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan BP4KP Kabupaten, dari setiap kabupaten dipilih kecamatankecamatan yang merupakan daerah pengembangan pertanian sayuran organik di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Kecamatan yang terpilih di Kabupaten Agam adalah kecamatan Baso, Canduang, Kamang Magek dan Banuhampu, sedangkan di Kabupaten Tanah Datar adalah Kecamatan X Koto, Pariangan, Tanjung Baru dan Salimpauang. Peta lokasi penelitian ditampilkan pada Lampiran 1, 2 dan 3. Populasi dan Sampel Populasi penelitian petani sayuran yang pernah mengikuti program pengembangan pertanian sayuran organik di lokasi penelitian. Jumlah populasi penelitian terdiri dari 541 orang petani, tersebar sebanyak 303 orang di Kabupaten Agam dan 238 orang di Kabupaten Tanah Datar. Untuk memenuhi aturan uji statistik dengan menggunakan Struktural Equation Modelling (SEM), sampel penelitian ditetapkan sebanyak 300 orang, tersebar di Kabupaten Agam sebanyak 168 orang dan 132 orang di Kabupaten Tanah Datar. Penetapan jumlah sampel ditentukan secara proporsional berdasarkan sebaran populasi di daerah penelitian dan penentuan anggota sampel dilakukan secara acak sederhana. Sebaran sampel penelitian disajikan pada Tabel 4.

71 51 Tabel 4 Sebaran responden penelitian Kabupaten Kecamatan Populasi Sampel Agam Baso Canduang Kamang Magek Banuhampu Total Tanah Datar X Koto Tanjung Baru Pariangan Salimpauang Total Jumlah total Data dan Instrumentasi Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan. Data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Lembaga Sertifikasi Organik Sumatera Barat, Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Barat, Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Ketahanan Pangan di setiap kecamatan yang termasuk lokasi penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa kuesioner yang berisi daftar pertanyaan dan pernyataan yang dibuat berdasarkan peubah penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Data primer yang dikumpulkan dari responden dibuat dalam bentuk skala likert. Alternatif jawaban dari responden di transformasikan ke dalam data kuantitatif dengan cara pemberian skor. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Uji validitas dan reliabilitas instrumen dilakukan pada 30 orang petani sayuran di kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar yang dianggap memiliki kemiripan dengan kondisi responden penelitian. Validitas adalah ukuran yang menunjukkan tingkat kesahihan suatu instrumen untuk mengukur apa yang diinginkan dan reliabilitas merujuk pada tingkat kepercayaan atau keterandalan suatu alat ukur (Arikunto 2010). Pengukuran validitas instrumen dilakukan dengan menggunakan analisis Korelasi Pearson, sedangkan reliabilitas instrumen diuji dengan metode Crobach-Alpha. Hasil uji coba instrumen menunjukkan bahwa kuesioner yang disusun layak untuk digunakan karena nilai r hitung yang berkisar dari 0,536 sampai 0,985. lebih besar dari nilai r tabel =0,361, dan nilai koefisien reliabilitas yang berada pada rentang 0,664 sampai dengan 0,884 menunjukkan instrumen reliabel. Hasil nilai uji validitas dan reliabilitas instrumen masing-masing peubah penelitian disajikan pada Lampiran 4.

72 52 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Untuk pengujian secara statistik, hasil pengukuran peubah-peubah penelitian yang menggunakan skala nominal dan ordinal ditransformasikan lebih dahulu dalam bentuk skala interval atau skala rasio (Sumardjo 1999). Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan sebaran responden pada setiap peubah penelitian, yang meliputi karakteristik responden, proses belajar petani, dukungan penyuluhan, perilaku petani, persepsi petani tentang inovasi pertanian organik, tingkat adopsi inovasi, tingkat keberdayaan petani. Pengolahan data untuk statistik deskriptif dilakukan dengan menggunakan program SPSS Statistik inferensial digunakan untuk mengetahui sejauhmana peubahpeubah saling berhubungan dan mempengaruhi serta menguji model hubungan antar peubah (Kusnendi 2008). Analisis statistik diferensial yang digunakan pada penelitian ini adalah korelasi Rank-Spearman dan Structural Equation Modelling (SEM). Korelasi Rank-Spearman digunakan untuk menjelaskan hubungan antara masing-masing indikator, dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi SEM digunakan untuk pengujian model hubungan antar peubah laten eksogen dan endogen dan mendapatkan model yang bermanfaat untuk prakiraan (Kusnendi 2008). Adapun peubah laten eksogen dalam penelitian ini adalah: karakteristik petani (X1), Intensitas belajar petani (X2), Dukungan penyuluhan (X3), Dukungan perilaku petani (Y1), Persepsi petani tentang sifat inovasi (X4), Lingkungan eksternal (X5). Dan peubah laten endogen, yaitu: Tingkat adopsi inovasi sistem pertanian sayuran organik (Y2), dan Tingkat keberdayaan petani (Y3). Pengolahan data SEM ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program Linear Structural Relation (LISREL) versi 8,30.

73 53 Definisi operasional dan parameter peubah penelitian Peubah dalam penelitian ini secara umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu peubah bebas atau X dan peubah terikat atau Y. Masing-masing peubah tersebut adalah sebagai berikut : Karakteristik petani (X1), Intensitas belajar petani (X2), Dukungan penyuluhan (X3), Perilaku petani dalam sistem pertanian organik (Y1), Persepsi petani tentang sifat inovasi (X4), Dukungan lingkungan eksternal (X5), Tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik (Y2), Tingkat keberdayaan petani (Y3). Karakteristik petani (X1) Karakteristik petani adalah ciri-ciri yang melekat pada diri petani sayuran yang membedakannya dengan orang lain dan diduga mempengaruhi perilaku petani. Indikator, definisi operasional dan parameter karaketristik petani disajikan pada Tabel 5. Intnsitas Belajar Petani (X2) Proses belajar petani adalah aktivitas yang dilakukan oleh petani untuk melakukan perubahan perilakunya, yang diamati dari aspek : metode belajar, materi belajar, intensitas belajar, sumber informasi, interaksi dalam kelompok dan interaksi dengan sumber belajar. Indikator, definisi operasional dan parameter inntensitas proses belajar petani disajikan pada Tabel 6. Dukungan Penyuluhan (X3) Dukungan penyuluhan adalah kegiatan pembelajarann tentang pertanian organik yang dilakukan oleh penyuluh. Dukungan penyuluhan pada penelitian ini diamati dari aspek : ketetapan metode penyuluhan, kesesuian materi penyuluhan, kesesuaian model komunikasi, kompetensi penyuluh, dan intensitas penyuluhan. Penyelenggaraan penyuluhan yang diamati adalah yang dilakukan oleh penyuluh PNS, penyuluh swadaya, dan penyuluh swasta. Indikator, definisi operasional dan parameter dukungan penyuluhan disajikan pada Tabel 7. Persepsi Petani tentang Sifat inovasi (X4) Sifat inovasi adalah ciri-ciri yang melekat pada inovasi berdasarkan persepsi dari petani sebagai pengguna inovasi tersebut. Indikator, definisi operasional dan parameter sifat inovasi berdasarkan persepsi petani disajikan pada Tabel 9. Dukungan Lingkungan (X5) Lingkungan eksternal adalah unsur-unsur yang berada diluar diri petani yang diduga mempengaruhi adopsi inovasi oleh petani. Lingkungan eksternal terdiri dari dukungan kebijakan pemerintah, dukungan kelembagaan, dukungan system sosial dan dukungan kondisi fisik di sekitar lahan usahatani. Indikator, definisi operasional dan pengukuran dukungan lingkungan disajikan pada Tabel 10.

74 54 Tabel 5 Indikator, definisi operasional, parameter peubah karakteristik petani(x1) Indikator Definisi operasional Parameter X1.1 Umur Usia responden saat diwawancarai X1.2 Tingkat Pendidikan formal X1.3 Pendidikan non formal X1.4 Kepemilikan lahan X1.5 Pengalaman berusahatani X1.6 Kekosmopolitan X1.7 Tingkat keberanian mengambil resiko Jenjang sekolah yang dicapai responden Pelatihan atau penyuluhan yang pernah diikuti responden Luas tanah yang diusahakan petani untuk berusahatani sayuran Lamanya petani telah melakukan kegiatan budidaya sayuran Tingkat keterbukaan petani terhadap informasi dari sistem sosial di luar lingkungannya Kemampuan petani menanggung akibat dari penerapan inovasi X1.8 Motivasi Alasan yang mendorong petani menerapkan pertanian organik Berdasarkan jumlah tahun usia petani sampai penelitian dilakukan Berdasarkan jumlah tahun petani mengikuti pendidikan formal sampai jenjang pendidikan terakhir Berdasarkan frekuensi dan jenis pendidikan non formal yang pernah diikuti petani Diukur dengan menjumlahkan semua lahan yang diusahakan petani untuk usahatani sayuran Diukur berdasarkan: (1)Jumlah tahun berusahatani sayuran (2) Jenis sayuran yang diusahakan (3) Metode usahatani yang dilakukan Diukur berdasarkan aktivitas petani dalam melakukan komunikasi dengan berbagai sumber di luar system sosialnya (1) Jenis sumber informasi (2) Frekuensi melakukan komunikasi dengan sumber Diukur berdasarkan persepsi petani Diukur berdasarkan pilihan alasan: (1) Meningkatkan pendapatan (2)Menjaga kelestarian lingkungan (3)Meningkatkan kesehatan (4)Ikut-ikutan

75 55 Perilaku petani (Y1) Perilaku petani adalah respon petani terhadap pengalaman belajar yang dialaminya yang diwujudkan dalam bentuk pengetahuan, sikap dan keterampilan petani tentang pertanian organik. Indikator, definisi operasional dan parameter perilaku petani disajikan pada Tabel 8. Tabel 6 Indikator, definisi operasional, dan parameter peubah intensitas belajar petani ( X2) Indikator Definisi operasional Parameter X2.1 Ragam Metode belajar X2.2 Materi Belajar X2.3 Intensitas Belajar X2.4 Sumber informasi dalam belajar X2.5 Interaksi dalam kelompok X2.6 Interaksi dengan sumber belajar Cara yang digunakan untuk merubah prilaku/membangkitkan pengetahuan Informasi yang digunakan petani untuk membangkitkan pengetahuan Jumlah waktu yang dihabiskan petani untuk membangkitkan pengetahuan Pihak yang menjadi rujukan petani dalam membangkitkan pengetahuan pertanian organik Hubungan yang dilakukan oleh petani dengan warga belajar dalam rangka mendukung proses belajar Hubungan petani dengan pihak yang menjadi rujukan dalam mendukung proses belajar. Diukur berdasarkan informasi dari petani berkaitan dengan cara belajarnya, yang dibagi atas: (1) Secara massal, (2) Berkelompok, (3) Individu Diukur berdasarkan jumlah jenis informasi yang dipelajari petani berkaitan dengan pertanian organik. Diukur berdasarkan jumlah frkuensi belajar petani tentang pertanian organik dalam 1 tahun terakhir Diukur berdasarkan jumlah jenis sumber informasi d belajar pertanian organik alam Diukur berdasarkan frekuensi hubungan, cara melakukan hubungan, hal-hal yang dibahas dalam berhubungan dan mafaat yang dirasakan dari melakukan hubungan Diukur berdasarkan frekuensi, cara melakukan interaksi, kemudahan dalam berhubungan dan manfaat berhubungan Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Organik (Y2) Tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik adalah sejauh mana petani menerapkan sistem pertanian organik dalam berusahatani sayuran, yang diamati dari aspek intensitas adopsi inovasi, kecepatan adopsi, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, tingkat adaptasi dan keberlanjutan adopsi inovasi. Indikator, definisi operasional dan pengukuran adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani disajikan pada Tabel 11.

76 56 Tabel 7 Indikator, definisi operasional, dan parameter peubah dukungan penyuluhan (X3) Indikator Definisi operasional Parameter X3.1 Ketepatan metode penyuluhan X3.2 Kesesuaian materi penyuluhan X3.3 Kesesuaian model komunikasi X3.4 Kompetensi Penyuluh X3.5 Intensitas Penyuluhan Cara yang digunakan untuk menyampaikan informasi pada petani Informasi / pesan yang disampaikan pada petani Pola penyampaian informasi kepada petani Kemampuan pihak yang memberikan informasi pada petani dalam menjalankan fungsinya Frekuensi proses pembelajar an pertanian organik kepada petani Diukur berdasarkan pendapat petani tentang kesesuaian metode penyuluhan dengan materi dan kebutuhan petani Diukur berdasarkan pendapat petani tentang kesesuaian materi penyuluhan dengan kebutuhan petani Diukur berdasarkan pendapat petani tentang keefektifan model komunikasi yang diterapkan penyuluh dalam menyampaikan pesan Diukur berdasarkan pendapat petani tentang kemampuan penyuluh dalam hal : (1) Kedisiplinan dan tanggungjawab dalam bekerja, (2)Penguasaan materi pertanian organik, (3) Keterampilan berkomunikasi, (4) Kemampuan mengorganisasikan kelompok tani, (5) Kemampuan dalam menerapkan metode pendidikan orang dewasa (6)Kemampuan melakukan kerjasama dan bermitra dengan pihak lain Diukur berdasarkan frekuensi kegiatan penyuluhan yang dilakukan penyuluh dalam satu tahun terakhir Tingkat Keberdayaan Petani (Y3) Keberdayaan petani adalah kondisi yang menunjukkan kemampuan petani untuk menetapkan yang terbaik untuk dirinya dalam melakukan kegiatan atau aktivitas usaha tani sayuran organik sehingga dapat meningkatkan produktivitas usahatani, mampu akses terhadap lembaga-lembaga agribisnis yang mendukung dan menjamin keberlanjutan usahataninya. Indikator, definisi operasional dan parameter tingkat keberdayaan petani disajikan pada Tabel 12.

77 57 Tabel 8 Indikator, definisi operasional, dan parameter peubah perilaku petani (Y1) Indikator Definisi operasional Parameter Y1.1 Pengetahuan Y1.2 Sikap Y1.3 Keterampilan Segala sesuatu yang dipahami petani tentang prinsipprinsip pertanian organik Yang meliputi input produksi, budidaya, panen/pasca panen, pemasaran, kelembagaan agribisnis Kecenderungan petani untuk bertindak, yng dinyatakan dengan setuju atau ketidaksetujuan terhadap inovasi pertanian organik. Kemampuan petani untuk melakukan sistem pertanian organik secara benar. Diukur berdasarkan skor total dari pengetahuan petani tentang: (1)Pengolahan tanah (2) Penggunaan benih secara organik (3) Pemupukan secara organik (4) Pemberantasan hama secara organik (5) Panen/pasca panen (6) Pemasaran (7) Kelembagaan agribisnis Diukur berdasarkan dari kesetujuan petani terhadap : (1)Pengolahan tanah secara organik (2) Penggunaan benih secara organik (3) Pemupukan secara organik (4) Pemberantasan hama secara organik (5)Panen/pasca panen (6) pemasaran (7) Kelembagaan agribisnis Diukur berdasarkan kemampuan petani dalam hal: (1)Pengolahan tanah secara organik (2) Penggunaan benih secara organik (3) Pemupukan secara organik (4) Pemberantasan hama secara organik (5) Panen/ pascapanen (6) Pemasaran (7) Kelembagaan agribisnis

78 58 Tabel 9 Indikator, definisi operasional, dan parameter peubah persepsi petani tentang sifat inovasi (X4) Indikator Definisi operasional Parameter X4.1 Tingkat keuntungan relatif X4.2 Tingkat kesesuaian inovasi X4.3 Tingkat kerumitan Inovasi X4.4 Tingkat kemudahan dicoba dalam skala kecil X4.5 Tingkat kemudahan diamati Penilaian petani tentang manfaat dari aspek ekonomi yang akan timbul jika menerapkan sistem pertanian oiganik di lahannya Penilaian petani tentang kecocokan sistem pertanian organik dengan kebutuhan dan nilainilai dalam sistem sosialnya Penilaian petani tentang mudah tidaknya menerapkan sistem pertanian organik Penilaian petani tentang bisa tidaknya pertanian organik diuji dalam skala kecil Penilaian petani tentang bisa tidaknya hasil pertanian organik dilihat dan disampaikan pada orang lain Diukur berdasarkan pendapat petani tentang: (1) Jumlah tenaga kerja yang digunakan dibandingkan dengan system non organik (2) Jumlah waktu yang diha-biskan dibandingkan de-ngan system non organik (3) Jumlah biaya yang dikeluarkan dibandingkan dengan system non organik (4) Jumlah produksi yang dihasilkan dibandingkan dengan system non organik (5) Harga produk organik yang dihasilkan dibandingkan Diukur berdasarkan pendapat petani tentang: (1) kesesuaian system pertanian organik dengan kebutuhannya (2) kesesuaian dengan nilai-nilai (3)kesesuaian dengan sumberdaya yang dimiliki (4) Kesesuaian dengan lingkungan Diukur berdasarkan pendapat petani tentang : (1) Kerumitan dalam memahami prinsip pertanian organik (2) Kerumitan dalam mempraktekkan pertanian organik (3) Kerumitan dalam memperoleh sumberdaya untuk penerapan pertanian organik Diukur berdasakan pendapat petani tentang: ketercobaan system pertanian orgnik dalam skala kecil sebelum di terapkan pada lahan usahataninya Diukur berdasarkan pendapat petani (1) Keteramatan hasil system pertanian organik (2) Kemudahan inovasi dikomunikasikan pada pihak lain

79 59 Tabel 10 Indikator, definisi operasional, dan parameter peubah lingkungan (X5) Indikator Definisi operasional Parameter X5.1 Kebijakan pertanian Segala aturan yang ditetapkan pemerintah yang berkaitan dengan pertanian organik dukungan Diukur berdasarkan pendapat petani tentang isi dan pelaksanaan peraturan yang berkaitan dengan pertanian organik X5.2 Dukungan kelembagaan Pasar Penyediasarana produksi Lembaga penyedia modal Penyedia informasi X5.3 Sistem Sosial X5.4 Sumberdaya alam dan infrastruktur Ketersediaan institusi yang menunjang usahatani sayuran organik Lingkungan dimana petani berada yang terdiri dari komponenkomponen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan Lingkungan alam dan keberadaan sarana prasarana penunjang usahatani sayuran organik Diukur berdasarkan ketersediaan lembaga, kesesuaian lembaga, kemudahan diakses petani dan kemanfaatan yang dirasakan petani. Diukur berdasarkan pendapat petani tentang dukungan dari komponenkomponen system sosial terhadap penerapan pertanian organik, yaitu: (1) Dukungan sesama petani (2) Tokoh masyarakat (3) Pemimpin lokal (4) Norma (5) Kearifan lokal Diukur berdasarkan kondisi topografi lahan yang terdapat di lahan usahatani

80 60 Tabel 11 Indikator, definisi operasional dan parameter peubah tingkat adopsi sistem pertanian organik (Y2) Indikator Definisi operasional Parameter Y2.1 Intensitas adopsi Y2.2 Tingkat penggunaan sumberdaya lokal Y2.3 Tingkat adaptasi Y2.4 Tingkat keberlanjutan adopsi inovasi Tingkat Penggunaan benih organik, pupuk organik,pengendali hama, penyakit dan gulma secara organik, dan penerapan pengolahan tanah secara organik dilahan petani Intensitas penggunaan bahan-bahan yang ada di sekitar lingkungan petani dalam pembuatan pupuk organik, pengendali hama, penyakit dan gulma Intensitas petani dalam menyesuaikan teknologi sistem pertanian organik dengan kondisi usahatani Penerapan system pertanian organik secara terus menerus di lahan petani Diukur berdasarkan cara pengolahan ta-nah yang dilakukan petani di lahannya, jenis benih yang digunakan, pupuk yang digunakan, pengendali hama, penyakit dan gulma yang digunakan petani. Diukur berdasarkan kuantitas penggunaan bahan-bahan lakal oleh petani dalam pembuatan pupuk organik dan pengendali hama, penyakit dan gulma Diukur berdasarkan tingkat upaya petani dalam menyesuaikan teknologi organik dengan kondisi usahatani Diukur berdasarkan intensitas penerapan pertanian organik beberapa musim tanam sebelum penelitian dan keinginan petani untuk menerapkn secara terus menerus sistem pertanian organik di lahannya

81 61 Tabel 12 Definisi operasional, parameter dan pengukuran peubah tingkat keberdayaan petani (Y3) Indikator Definisi operasional Parameter Y3.1 Kemampuan memenuhi sarana produksi Y3.2 Kemampuan dalam proses produksi Y3.3 Kemampuan dalam pemasaran Y34. Kemampuan meningkatkan produktivitas usahatani Kondisi yang menunjukkan kesanggupan petani memenuhi sendiri atau berkelompok input usahatani yang terdiri dari pupuk, benih, dan pengendali hama, penyakit dan gulma tanpa tergantung pada pihak lain Kondisi yang menunjukkan kesanggupan petani untuk memutuskan tindakan yang berkaitan dengan kegiatan usahatani, dengan memperhatikan aspek lingkungan. Kondisi yang menunjukkan kesanggupan petani untuk bersaing dengan produk sayuran lainnya Kondisi yang menunjukkan penambahan produk, produksi persatuan luas dan pendapatan dari sayuran organik dibandingkan dengan sebelum organik Diukur berdasarkan kebutuhan benih, pupuk, dan pengendali hama, penyakit dan gulma yang dapat dipenuhi petani dengan cara dibuat sendiri atau secara kelompok Diukur berdasarkan kemampuan petani dalam memutuskan: (1)Jenis tanaman (2)Waktu tanam (3)Jadwal pemupukan (4)Jenis pupuk (5)Jadwal pengendalian hama (6)Cara mengendalian hama (7)Panen dan cara panen (8)Tindakan pascapanen Diukur berdasarkan jumlah permintaan dan skala pasar sayuran organik yang diproduksi petani, dibandingkan dengan non organik, meliputi aspek: (1) Asal konsumen (2) Jangkauan pasar (3) Jumlah dan frekuensi permintaan produk (4) Harga yang diterima petani Diukur berdasarkan : (1) Produksi usahatani sayuran dibandingkan dengan non organik (2) Produktivitas sayuran organik dibandingkan non organik (3) Pendapatan petani dari sayuran organik dibandingkan non organik

82 62 Tabel 12 (lanjutan) Indikator Definisi operasional Parameter Y35. Kemampuan menjalin kerjasama dengan lembaga agribisnis Y36. Keberlanjutan usahatani Kondisi yang menunjukkan kesanggupan petani dalam berhubungan dengan pihak lain yang mendukung perkembangan usahatani sayuran organik Kondisi yang menunjukkan kemampuan petani untuk mempertahankan kegiatan usahatani sayuran organiknya pada masa yang akan datang Diukur berdasarkan pendapat petani tentang: (1) Jumlah pihak atau lembaga yang bekerjasama dengan petani (2) Frekuensi kerjasama (3) Manfaat yang diperoleh selama bekerjasama Diukur berdasarkan pendapat petani tentang faktor-faktor yang menjadi indikator keberlanjutan usahatani, yaitu: (1) Tingkat keuntungan (2) Tingkat produksi (3) Jaminan pasar (4) Tingkat Skala usaha (5) Dukungan lingkungan

83 63 3 PERILAKU PETANI DALAM MERESPON SISTEM PERTANIAN SAYURAN ORGANIK DI PROVINSI SUMATERA BARAT ABSTRACT This study aims to analyze the behavior of vegetable farmers in responding to information about the organic vegetable farming system and to analyze the factors related to the behavoir of farmer in responding to information of the organic vegetable farming system. This study was conducted in Agam and Tanah Datar districts of West Sumatra. The sample consists of 300 farmers who attended development programs of organic vegetable areas in the province of West Sumatra. Data collection was conducted from September 2013 untill January 2014, which consist of primary and secondary data. Data analysis was performed using descriptive statistics and correlation analysis. The results showed that the behavior of farmers reflected by the knowledge on the organic vegetable farming system are in the medium category, the attitude of farmers on the organic vegetable farming system are in the good category, and skills of farmers in practicing the organic farming system are in the low category. The factors associated with the behavior of farmers in responding to the organic vegetable farming system are internal characteristics of the farmers, the study intensity of the farmers and the agricultural extension support. Keywords: behavior, knowledge, attitudes, skills, organic vegetable farming system. PENDAHULUAN Sistem pertanian organik merupakan salah satu sistem pertanian yang mengimplementasikan sistem pertanian berkelanjutan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menerapkan sistem pertanian organik, petani akan memperoleh manfaat, diantaranya mengurangi biaya produksi, mendapatkan harga yang lebih tinggi dari produk konvensional, meningkatkan pendapatan, menghindari ketergantungan dari pihak penyalur input dan meningkatkan keberlanjutan ekonomi petani serta meningkatkan kesehatan petani dan keluarganya (Beban 2008, Widodo 2010, Widiarta dan Adiwibowo 2011). Berbagai upaya telah dilakukan untuk memasyarakatkan sistem pertanian organik pada petani, diantaranya adalah dengan program Go Organic 2010 yang dicanangkan oleh Departemen Pertanian, yang bertujuan untuk mengembangkan, membantu dan memfasilitasi masyarakat dalam menerapkan sistem pertanian organik. Pemerintah Daerah Sumatera Barat sebagai salah satu daerah yang menjadi percontohan untuk pertanian organik di Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk pengembangan pertanian organik di tengah masyarakat petani. Upaya pemasyarakatan pertanian organik tersebut diantaranya adalah dengan mengadakan Sekolah Lapang Pertanian Organik (SLAPO) bagi petani sayuran yang ada di kawasan-kawasan sentra sayuran di Sumatera Barat (Satuan

84 64 Tugas Pertanian Organik 2012). Kegiatan ini bertujuan untuk mengubah perilaku petani agar memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang lebih baik berkaitan dengan sistem pertanian sayuran organik. Kegiatan pemasyarakatan sistem pertanian sayuran organik secara intensif di Sumatera Barat ini telah berlangsung sejak tahun Pengembangan pertanian organik oleh Pemda Sumatera Barat disajikan pada Lampiran 7. Meskipun upaya pemasyarakatan sistem pertanian organik secara intensif sudah dilakukan dengan berbagai cara, namun sampai saat ini tingkat penerapan sistem pertanian sayuran organik oleh petani masih rendah. Rendahnya tingkat penerapan sistem pertanian sayuran organik di kalangan petani diduga berhubungan dengan perilaku petani yang direfleksikan oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Effendi (2009) menyatakan bahwa dalam konteks Pengendalian Hama Terpadu (PHT), terdapat tiga pilar yang melandasi perilaku petani untuk dapat menerapkan PHT di lahan usaha taninya yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap. Berkaitan dengan kondisi dan permasalahan pertanian organik tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis perilaku petani yang meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam sistem pertanian sayuran organik dan, (2) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian kuantitatif dengan pengumpulan data menggunakan metode survei. Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat. Dari dua Kabupaten tersebut dipilih kecamatan-kecamatan yang merupakan daerah pengembangan sayuran organik, dan dari masing-masing kecamatan terpilih diambil sampel secara acak. Populasi penelitian ini adalah petani sayuran yang pernah mengikuti program pengembangan kawasan sayuran organik di lokasi penelitian. Jumlah populasi penelitian terdiri dari 541 orang petani, yang terdiri dari 303 orang di Kabupaten Agam dan 238 orang di Kabupaten Tanah Datar. Sampel penelitian ditetapkan sebanyak 300 orang yang terdiri dari atas 168 orang di Kabupaten Agam dan 132 orang di Kabupaten Tanah Datar. Berdasarkan informasi dari pejabat lingkup Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan BP4KP Kabupaten, dari setiap Kabupaten dipilih kecamatankecamatan yang merupakan daerah pengembangan pertanian sayuran organik di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Kecamatan yang terpilih di Kabupaten Agam adalah Kecamatan Baso, Canduang, Kamang Magek dan Banuhampu, sedangkan di Kabupaten Tanah Datar adalah Kecamatan X Koto, Pariangan, Tanjung Baru dan Salimpauang. Penelitian dilaksanakan bulan September 2013 sampai Januari Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Lembaga Sertifikasi Organik Sumatera Barat, Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat, Balai penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Ketahanan Pangan di setiap Kecamatan yang termasuk lokasi penelitian. Analisis data dilakukan dengan menggunakan

85 65 statistik deskriptif dan statistik inferensial dengan analisis korelasi Rank Spearman. Kerangka hubungan antara peubah penelitian disajikan pada Gambar 10 X1 Karakteristik internal petani Y1 X2 Intensitas belajar petani Perilaku petani dalam Sistem Pertanian Sayuran Organik X3 Dukungan penyuluhan Gambar 10 Hubungan Antara Peubah Penelitian Perilaku Petani dalam Sistem Pertanian Sayuran Organik Karakteristik Internal Petani HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Peubah Penelitian Karakteristik internal petani merupakan ciri-ciri yang melekat pada diri petani sayuran yang membedakannya dengan orang lain. Karakteristik internal petani yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, luas lahan usahatani, pengalaman usaha tani, kekosmopolitan, keberanian menanggung resiko dan motivasi berusahatani. Hasil penelitian berkaitan dengan karakteristik individu petani menunjukkan bahwa rata-rata umur petani sayuran berada pada masa produktif yaitu 47,32 (umur produktif menurut BPS dalam kisaran tahun). Hal ini menunjukkan dari segi usia petani di lokasi penelitian potensial untuk mengembangkan pertanian sayuran organik. Pendidikan formal petani hampir merata di semua tingkat pendidikan yaitu 39 persen di level pendidikan dasar, 26 persen level pendidikan menengah pertama, dan 30 persen di level pendidikan menengah atas. Angka-angka ini menunjukkan keberagaman latar belakang pendidikan petani sayuran, namun kalau diamati secara umum rata-rata pendidikan petani berada pada kategori menengah atas dengan rataan skor lama pendidikan formal sebesar 8,9. Pendidikan non formal yang diikuti petani terdiri dari kegiatan penyuluhan dan pelatihan berada pada kategori sangat rendah, yaitu

86 66 lebih dari 50 persen petani hanya mengikuti kegiatan ini kurang dari 7 kali dalam setahun terakhir. Hampir sebahagian dari petani (40,33 %) petani memiliki lahan dengan luas 0-0,25 ha. Hal ini sangat jauh dari luas lahan ideal yang sebaiknya dimilki petani agar dapat hidup layak, yaitu seluas 2 ha (Perpu No 56 tahun 1960 tentang penetapan batas minimum luas lahan pertanian). Jenis komoditi sayuran yang diusahakan oleh petani di lahannya beragam, dan masing-masing petani pada umumnya menanam lebih dari satu jenis sayuran di lahannya. Jenis sayuran utama yang dibudidayakan petani secara organik terdiri dari: terung, cabe merah kriting, tomat, bawang daun, kubis, sawi, kembang kol, buncis dan wortel. Lebih dari 50 persen petani memiliki pengalaman usaha tani berkisar dari 1-13 tahun. Deskripsi sebaran sampel berdasarkan persentase masing-masing peubah penelitian disajikan pada Tabel 13. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kekosmopolitan petani tergolong sangat rendah dengan rataan 21,43 (kategori sangat rendah). Kekosmopolitan petani diukur dari tingkat keterbukaan petani terhadap informasi yang berasal dari luar sistem sosialnya. Temuan lapangan menunjukkan bahwa hampir semua petani jarang mengadakan perjalanan ke luar daerahnya untuk mendapatkan informasi tentang usahatani sayuran organik. Begitu juga halnya dengan mendapatkan informasi melalui media massa, kurang dari 10 persen petani yang memanfaatkan media massa untuk mendapatkan informasi tentang uasahatani sayuran organik. Pada umumnya petani mendapatkan informasi tentang usahataninya berasal dari orang tua secara turun temurun, melihat-lihat petani sekitarnya dan dari kegiatan kelompok serta penyuluhan pertanian. Keberanian petani dalam menanggung resiko dalam berusahatani tergolong rendah, yang ditunjukkan oleh sebaran petani dikategori rendah sampai sangat rendah sebanyak 56 persen. Rendahnya keberanian petani dalam menanggung resiko ditunjukkan oleh perilaku mereka saat mendapatkan informasi tentang teknologi baru terdiri atas: tetap bertahan dengan cara yang lama atau melihat orang lain dulu, jika sudah berhasil akan ikut mencobanya. Hal ini disebabkan petani sangat takut menderita kerugian atau ragu-ragu dengan hasil yang akan diperoleh nantinya dengan menerapkan inovasi tersebut. Motivasi petani dalam berusahatani tergolong sedang, yaitu lebih 80 persen petani berada pada kategori sedang. Hal ini ditunjukkan oleh lamanya petani menggeluti usahatani sayuran dan tetap bertahan dengan usahatani tersebut meskipun menurut petani hasil yang diperoleh turun naik. Temuan lapangan menunjukkan bahwa faktor pendorong petani melakukan usahatani sayuran secara berurutan adalah untuk meningkatkan produksi, meningkatkan pendapatan, mengurangi biaya produksi, menjaga kesehatan dan menjaga kelestarian lingkungan. Hanya sedikit petani yang menyatakan bahwa mereka berusahatani untuk menjaga kesehatan dan kelestarian lingkungan sebagai tujuan utama berusahatani. Dua motif terakhir merupakan unsur-unsur yang semestinya tertanam pada diri petani jika mereka memulai usahatani sayuran dengan sistem pertanian organik (hasil wawancara dengan responden).

87 67 Tabel 13 Sebaran sampel berdasarkan karakteristik internal petani Peubah/indikator Kategori % Uji beda Karakteristik individu Agam (n=168) T. Datar (n=132) Total (n=300) (nilai p) Umur ,2 44,1 29,2 3,6 21,9 34,9 30,1 2,9 22,7 40,0 33,7 3,7 Pendidikan formal >12 41,1 25,0 30,9 2,9 36,4 28,0 28,8 6,8 39,0 26,3 30,0 4,7 a Pendidikan non formal ,1 22,0 6,6 2,4 55,3 25,8 18,2 0,8 66,3 23,7 8,3 1,7 Luas Lahan 0 0,25 0,25 0,5 0,6 1 1,1 2 >2 47,6 25,6 17,3 7,1 2,4 31,1 19,7 40,9 6,2 1,2 40,3 23,0 27,7 7,0 2,0 0,000** Pengalaman usahatani >37 Kekosmopolitan Sangat rendah Rendah Sedang Keberanian mengambil resiko Motivasi Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi 53,4 33,1 13,7 1,8 53,0 37,5 7,1 2,4 14,3 40,5 23,2 22,0 1,2 79,2 19,6 Keterangan: *nyata pada p<0,05 dan **sangat nyata pada p<0,01 a Jumlah keikutsertaan dalam satu tahun terakhir 52,3 29,6 11,4 6,2 62,9 34,1 2,3 0,8 11,4 47,0 32,6 9,1-0,8 93,9 5,3 52,3 31,0 12,7 4,0 57,3 36,0 5,0 1,7 13,0 43,3 27,3 16,3 1,0 85,7 13,3 0,004*

88 68 Intensitas belajar Intensitas belajar merupakan gambaran dari aktivitas belajar yang dilakukan petani, diukur dengan indikator: ragam metode belajar, kesesuaian materi belajar, frekuensi belajar, ragam sumber informasi, intensitas interaksi dengan kelompok dan intensitas interaksi dengan sumber belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ragam metode belajar, ragam sumber informasi, dan intensitas interaksi dengan sumber belajar tergolong sangat rendah dengan frekuensi belajar yang tergolong rendah. Deskripsi sebaran sampel berdasarkan persentase masing-masing peubah penelitian disajikan di Tabel 14. Tabel 14 Sebaran sampel berdasarkan intensitas belajar Peubah/indikator Kategori % Uji beda Intensitas Belajar Agam T Datar Total (nilai p) (n=168) (n=132) (n=300) Ragam metode Belajar Kesesuaian materi belajar Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi 59,5 29,8 8,3 2,4 0,6 35,7 63,7 65,9 18,9 6,1 9,1 3,0 58,3 38,6 62,3 25,0 7,3 5,3-1,7 45,7 52,7 0,000* Frekuensi belajar Ragam sumber informasi Intensitas interaksi dalam kelompok Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi 50,0 45,8 4,2-74,4 19,6 3,0 3,0 5,4 83,3 11,3 43,2 34,1 12,1 10,6 80,3 9,1 6,1 4,5 3,0 78,8 18,2 47,0 40,7 7,7 4,7 77,0 15,0 4,3 3,6-4,3 81,3 14,3 0,045* Intensitas interaksi dengansumber belajar Keterangan: *nyata pada p<0,05 Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi 73,8 19,0 5,4 3,0 50,8 40,9 8,3 62,3 29,9 6,9 1,5 0,044*

89 69 Dukungan penyuluhan Dukungan penyuluhan tergolong sedang, namun indikator frekuensi penyuluhan dirasakan petani rendah dengan rataan skor 26,57 (kategori rendah). Rendahnya frekuensi penyuluhan menggambarkan rendahnya tingkat pertemuan petani dengan penyuluh dalam satu tahun terakhir. Deskripsi sebaran sampel berdasarkan persentase masing peubah penelitian disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran sampel berdasarkan dukungan penyuluhan Peubah/indikator Kategori % Uji beda Dukungan penyuluhan Agam T Datar Total (nilai p) (n=168) (n=132) (n=300) Ketepatan metode penyuluhan Kesesuaian materi penyuluhan Kesesuaian model komunikasi Kompetensi penyuluh intensitas penyuluhan Keterangan: *nyata pada p<0,05 Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi 0,6 16,1 80,4 3,0 0,6 28,6 69,0 1,8 0,6 13,7 81,0 4,8 20,2 69,0 10,7 98,2 1,2 0,6-16,7 74,2 9,1 40,2 50,0 9,8 12,1 77,3 10,6 33,3 56,8 9,8 83,3 13,6 0,8 2,3 0,3 16,3 77,7 5, ,7 60,7 5,3 0,3 13,0 79,3 7,7-26,0 63,7 10,3 91,7 6,7 0,7 1,0 0,03* Analisis uji beda dengan Mann-Whitney menunjukkan terdapat perbedaan antara karakteristik responden Kabupaten Agam dengan Kabupaten Tanah Datar dalam hal luas kepemilikan lahan usahatani dan motivasi berusahatani. Responden di Kabupaten Agam memiliki luas lahan rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan responden di Kabupaten Tanah Datar, namun mereka memiliki motivasi dalam berusahatani lebih tinggi dibandingkan responden Tanah Datar. Perbedaan responden di dua Kabupaten ini juga terlihat dalam hal kesesuaian materi belajar, frekuensi belajar dan intensitas interaksi dengan sumber belajar. Walaupun secara uji statistik berbeda, namun ketiga indikator intensitas belajar di dua daerah tersebut sama-sama tergolong dalam kategori tinggi untuk kesesuaian materi dan rendah untuk frekuensi belajar dan interaksi dengan sumber belajar. Persepsi

90 70 petani tentang dukungan penyuluhan di dua Kabupaten juga terdapat perbedaan dalam hal kesesuaian model komunikasi dan intensitas penyuluhan. Namun demikian, indikator kesesuaian model komunikasi dalam penyuluhan di Kabupaten Agam dan Tanah Datar sama-sama tergolong sedang dan rendah untuk indikator intensitas penyuluhan. Perilaku Petani Sayuran dalam Merespon Sistem Pertanian Sayuran Organik Perilaku petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik ditunjukkan oleh indikator: (1) tingkat pengetahuan petani tentang sistem pertanian sayuran organik, (2) sikap petani terhadap sistem pertanian sayuran organik dan (3) keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan petani tentang sistem pertanian organik tergolong sedang, sikap petani terhadap sistem pertanian organik berada pada kategori setuju (baik) dan keterampilan petani dalam mempraktekkan sistem pertanian sayuran organik berada pada kategori rendah. Sikap petani yang setuju dengan sistem pertanian sayuran organik, diikuti pengetahuan yang tergolong sedang namun tingkat keterampilan dalam sistem pertanian sayuran organik yang rendah menggambarkan bahwa ranah perilaku yang terdiri dari sikap, pengetahuan dan keterampilan tidak selalu bersifat linear. Hal ini sejalan dengan pendapat Prager dan Posthumus (2010) bahwa apa yang disampaikan kepada petani tidak selalu didengar oleh petani, dan jika didengar tidak selalu dipahami petani, apabila mereka memahami belum tentu petani setuju dengan hal tersebut, dan meskipun mereka setuju dengan apa yang disampaikan, ternyata petani belum tentu melakukannya. Dan terakhir jikalau mereka menerapkan apa yang disampaikan, dalam banyak kasus ternyata penerapan inovasi tersebut tidak selalu dipertahankan atau tidak berkelanjutan. Keterampilan petani dalam sistem pertanian organik diukur berdasarkan teknologi pertanian sayuran organik yang harus diterapkan petani jika berusaha tani secara organik. Teknik tersebut secara umum terdiri dari : (a) keterampilan menghasilkan benih lokal, (b) kemampuan menghasilkan pupuk organik, (c) kemampuan menghasilkan pestisida hayati, (d) kemampuan menghasilkan zat pengatur tumbuh, (e) kemampuan melakukan persiapan lahan sesuai standar pertanian sayuran organik, (f) kemampuan melakukan pengendalian hama, penyakit dan gulma secara organik, (g) kemampuan melakukan pemupukan secara organik, dan (h) kemampuan melakukan panen dan teknik pasca panen secara organik. Sebaran sampel berdasarkan persentase masing-masing indikator perilaku petani berkaitan dengan sistem pertanian sayuran organik disajikan pada Tabel 16.

91 71 Tabel 16 Sebaran sampel berdasarkan perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik Peubah/indikator Kategori % Uji beda Agam T Datar Total (nilai p) Perilaku Petani (n=168) (n=132) (n=300) Tingkat pengetahuan tentang sistem pertanian sayuran organik Sikap terhadap sistem pertanian sayuran organik Keterampilan petani dalam mempraktekkan sistem pertanian sayuran organik Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Keterangan: **sangat nyata pada p<0,01 0,6 16,7 80,4 2,4 20,2 79,8 8,9 59,5 29,8 1,8 0,8 43,9 50,0 5,3 8,3 0,8 21,2 69,7 4,5 59,8 31,8 3,8 0,7 28,7 68,7 2,0 4,2 0,4 20,7 74,8 7,0 59,7 30,7 2,7 0,000** Hasil analisis uji beda antara Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara tingkat pengetahuan petani tentang sistem sayuran organik di Kabupaten Agam dengan Kabupaten Tanah Datar. Rataan skor untuk Kabupaten Agam lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Tanah Datar, namun di kedua lokasi ini tingkat pengetahuan petani tentang sistem pertanian sayuran organik sama-sama berada pada kategori sedang. Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Petani dalam Merespon Sistem Pertanian Sayuran Organik Peubah-peubah yang berhubungan positif dan nyata dengan perilaku petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik adalah karakteristik individu petani yang terdiri dari; pendidikan formal, pendidikan non formal, kekosmopolitan, dan keberanian menanggung resiko, dukungan lingkungan eksternal, sifat inovasi dan dukungan penyuluhan, yang sejalan dengan hasil penelitian Mulyandari (2011b). Hal ini bermakna bahwa semakin tinggi pendidikan formal, semakin sering petani mengikuti kegiatan penyuluhan dan pelatihan, semakin kosmopolit petani, dan berani menanggung resiko dalam berusahatani terdapat kecenderungan semakin tinggi pengetahuan petani tentang sistem pertanian organik, semakin baik sikap petani terhadap sistem pertanian organik dan semakin trampil petani dalam menerapkan sistem pertanian organik. Keeratan hubungan antara karakteristik petani dengan perilaku petani dalam merespon sistem pertanian organik disajikan pada Tabel 17.

92 72 Tabel 17 Koefisien korelasi antara karakteristik individu petani dengan perilaku petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik (SPSO) Karakteristik internal Perilaku Petani Pengetahuan tentang SPSO Sikap terhadap SPSO Keterampilan praktek SPSO Umur - 0,120-0,164* - 0,131* Pendidikan formal 0,072 0,194* 0,240** Pendidikan non formal 0,163* 0,013 0,244** Luas lahan ,118* 0,046 Pengalaman Usahatani - 0,007-0,138* - 0,032 kekosmopolitan 0,277** 0,147* 0,320** Keber. menanggung resiko 0,187* 0,250** 0,209** Motivasi ,121* 0,118* Keterangan: *nyata pada p<0,05 dan **sangat nyata pada p<0,01 Faktor intensitas belajar yang berhubungan nyata positif dengan perilaku petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik dicerminkan oleh indikator ragam metode belajar, kesesuaian materi belajar, frekuensi belajar, ragam sumber informasi, intensitas interaksi dengan anggota kelompok dan intensitas interaksi dengan sumber belajar. Keeratan hubungan antara intensitas belajar petani dengan perilaku petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik disajikan pada Tabel 18. Hasil uji korelasi pada Tabel 18. Menunjukkan bahwa ragam metode belajar, kesesuaian materi belajar, intensitas interaksi dengan kelompok dan sumber belajar berhubungan secara positif dan nyata dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani dalam berorganik. Hal ini berarti bahwa semakin beragam metode belajar yang digunakan petani, semakin sesuai materi yang dipelajari dengan sistem pertanian organik, dan semakin tinggi tingkat interaksi petani dengan anggota kelompok dan sumber belajar, maka terdapat kecenderungan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani dalam sistem pertanian organik semakin baik. Pendekatan belajar merupakan salah satu pendekatan teoritis dalam psikologi sosial yang menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh apa yang telah dipelajari individu pada masa lalu (Sears et al. 1985).

93 73 Tabel 18 Koefisien korelasi antara intensitas belajar petani dengan perilaku petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik Intensitas belajar petani Perilaku Petani Pengetahuan tentang SPSO Sikap terhadap SPSO Keterampilan praktek SPSO Ragam metode belajar 0,271** 0,043 0,354** Kesesuaian materi belajar 0,497** 0,142* 0,315** Frekuensi belajar 0,275** 0,081 0,418** Ragam sumber informasi 0,283** 0,075 0,337** Intensitas interaksi dengan anggota kelompok Intensitas interaksi dengan sumber belajar 0,341** 0,201** 0,202** 0,185** 0,184** 0,265** Intensitas belajar petani 0,395** 0,224** 0,493** Keterangan: *nyata pada p<0,05 dan **sangat nyata pada p<0,01 Perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsang yang mengenai individu atau organisme tersebut (Walgito 2005). Perilaku merupakan respon terhadap stimulus yang mengenai individu atau organisme. Perilaku pada manusia dapat dibedakan atas perilaku yang refleksif dan perilaku yang non refleksif. Perilaku refleksif merupakan perilaku yang terjadi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai individu atau organism, sedangkan perilaku non refleksif merupakan perilaku yang dikendalikan oleh pusat kesadaran atau otak. Menurut Walgito (2005) perilaku non refleksif atau yang disebut dengan perilaku psikologis merupakan perilaku yang dominan pada diri manusia. Perilaku ini merupakan perilaku yang dibentuk, dapat dikendalikan, karena dapat berubah dari waktu ke waktu, sebagai hasil proses belajar. Intensitas penyuluhan yang direfleksikan oleh indikator ketepatan metode penyuluhan, kesesuaian materi penyuluhan, kesesuaian model komunikasi dalam penyuluhan, kompetensi penyuluh dan frekuensi penyuluhan berhubungan secara nyata positif dengan perilaku petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik. Keeratan hubungan antara intensitas penyuluhan dengan perilaku petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik disajikan pada Tabel 19.

94 74 Tabel 19 Koefisien korelasi antara intensitas penyuluhan dengan perilaku petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik. Dukungan penyuluhan Perilaku Petani pertanian Pengetahuan tentang SPSO Sikap terhadap SPSO Ketepatan metode penyuluhan 0,037 0,150** 0,023 Keterampilan praktek SPSO Kesesuaian materi penyuluhan 0,149** 0,345** 0,162** Kesesuaian model komunikasi 0,133* 0,166** 0,174** Kompetensi Penyuluh 0,222** 0,231** 0,252** Frekuensi Penyuluhan 0,235** 0,197** 0,342** Dukungan penyuluhan pertanian 0,180* 0,344** 0,268** Keterangan: *nyata pada p<0,05 dan **sangat nyata pada p<0,01 Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa kesesuaian materi penyuluhan, kesesuaian model penyuluhan, kompetensi penyuluh dan frekuensi penyuluhan berhubungan posif dan nyata dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Hubungan ini bermakna bahwa semakin sesuai materi penyuluhan dengan kebutuhan dan kemampuan petani, semakin sesuai model komunikasi dengan kemampuan petani, dan semakin tinggi kompetensi penyuluh serta frekuensi penyuluhan tentang sistem pertanian organik, maka terdapat kecenderungan semakin baik perilaku petani dalam berorganik, yang dicerminkan oleh indikator tingkat pengetahuan tentang sistem pertanian organik, sikap terhadap sistem pertanian sayuran organik dan keterampilan petani dalam praktek sistem pertanian organik. Sumardjo (2010) menyatakan bahwa penyuluhan pada dasarnya merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas perilaku seseorang atau individu, yang meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik/konotif sehingga memiliki individualitas (human capital bukan individualistis) yang siap mewujudkan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya.

95 75 SIMPULAN 1. Perilaku petani di Kabupaten Agam dan Tanah Datar dalam merespon sistem pertanian sayuran organik dicerminkan oleh tingkat pengetahuan tentang sistem pertanian sayuran organik yang sedang, sikap terhadap sistem pertanian sayuran organik yang positif dan tingkat keterampilan yang rendah dalam mempraktekkan sistem pertanian organik di lahan. 2. Faktor-faktor yang berhubungan nyata positif dengan perilaku petani sayuran dalam merespon sistem pertanian sayuran organik adalah; karakteristik internal petani yang terdiri dari pendidikan formal, pendidikan non formal, kekosmopolitan, dan keberanian menanggung resiko, intensitas belajar petani yang meliputi; indikator ragam metode belajar, kesesuaian materi belajar, frekuensi belajar, ragam sumber informasi, intensitas interaksi dengan anggota kelompok dan intensitas interaksi dengan sumber belajar; serta dukungan penyuluhan yang terdiri dari ketepatan metode penyuluhan, kesesuaian materi penyuluhan, kesesuaian model komunikasi dalam penyuluhan, kompetensi penyuluh dan frekuensi penyuluhan.

96 76 4 TINGKAT ADOPSI DAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT ADOPSI SISTEM PERTANIAN SAYURAN ORGANIK DI PROVINSI SUMATERA BARAT ABSTRACT This study aims to analyze the level of adoption of the organic vegetable farming system and to analyze factors associated with the adoption of the organic vegetable farming system. The study was conducted in Agam and Tanah Datar districts of West Sumatra. The sample is consisted of 300 farmers who attended development programs of organic vegetables areas in West Sumatra. Data collection was conducted from September 2013 until January 2014, which consists of primary and secondary data. Data analysis was performed using descriptive statistical analysis and correlation analysis. The results showed that the level of adoption of the organic vegetable farming system in Tanah Datar and Agam are in the low category. Factors associated with the level of the adoption of the organic vegetable farming system consists of the internal characteristics of farmers, the support the external environment, the nature of innovationsof the organic vegetable farming system, and extension support. Keywords: adoption, organic vegetable farming system. PENDAHULUAN Keberlanjutan atau sustainabilitas menjadi issu penting yang sangat diperhatikan dalam pembangunan pertanian di seluruh kawasan saat ini. Dunia pertanian mendapat kritik tajam karena aktivitas pertanian yang selama ini dilakukan sarat dengan penggunaan input kimia dalam jumlah yang relatif tinggi, sehingga telah mengakibatkan rusaknya lingkungan alam dan ekologi. Hal ini menimbulkan seruan terhadap dunia pertanian untuk tidak eksploitatif dan harus berkelanjutan, yang berarti bahwa pertanian harus dilakukan dengan cara-cara yang ramah lingkungan, memanfaatkan sumberdaya daya alam dan input yang tersedia dengan sebaik-baiknya (Leeuwis 2009). Pertanian dengan penggunaan input eksternal rendah telah menyebar secara cepat keberbagai belahan dunia sebagai alternatif yang menantang terhadap sistem revolusi hijau yang telah membuat petani terbiasa dengan penggunaan input luar tinggi (Sulaiman 2009). Pertanian berkelanjutan merupakan tantangan dalam dunia pertanian, yang menuntut petani untuk memiliki perilaku yang berbeda dari pengetahuan, sikap dan praktek usahatani yang terbangun selama ini. Paradigma pembangunan pertanian yang selama ini berjalan telah menimbulkan dampak menurunnya kreativitas petani, menumbuhkan sikap ketergantungan pada bantuan dari pemerintah, kurang berfungsi atau matinya kelembagaan lokal, lemahnya kemandirian petani, serta dapat mengancam keberlanjutan pembangunan pertanian (Chambers 1993, Uphoff 1986, Sadono 2008). Salah satu sistem pertanian yang merupakan implementasi dari sistem pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian organik. Beberapa hasil penelitian

97 77 menunjukkan bahwa dengan menerapkan sistem pertanian organik, petani akan memperoleh manfaat, diantaranya mengurangi biaya produksi, mendapatkan harga yang lebih tinggi dari produk konvensional, meningkatkan pendapatan, menghindari ketergantungan dari pihak penyalur input dan meningkatkan keberlanjutan ekonomi serta meningkatkan kesehatan petani dan keluarganya (Beban 2008, Widodo 2010, Widiarta dan Adiwibowo 2011). Sistem pertanian organik yang menerapkan prinsip penggunaan input luar yang rendah, lebih mengutamakan pengetahuan dan kearifan lokal dalam menggunakan faktor produksi, telah mengalami perkembangan pesat di Negara-negara Eropah dan Amerika. Laju penjualan pangan organik di Negara-negara tersebut berkisar dari 20-25% pertahun selama dekade terakhir (Apriantono 2006). Permintaan pertanian organik di seluruh dunia juga tumbuh 20% per tahun (Damardjati 2006). Pemerintah Indonesia mendukung trend pertanian organik dengan mengeluarkan kebijakan yang disebut Go Organik 2010 yang bertujuan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan dan mengatur perkembangan pertanian organik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memasyarakatkan sistem pertanian organik pada petani, namun berdasarkan berbagai survey dan hasil pengamatan di lapangan, ternyata pertanian organik mengalami perkembangan yang lambat di tengah-tengah masyarakat petani. Perkembangan yang lambat tersebut juga diikuti dengan terjadinya penurunan luas area pertanian organik di Indonesia pada tahun 2010 sampai Berdasarkan data statisitik pertanian organik Indonesia 2012, total luas area pertanian organik Indonesia tahun 2012 adalah ,55 ha, menurun 10 persen dari tahun sebelumnya (Ariesusanty et al. 2012). Di Sumatera Barat, sebagai salah satu daerah percontohan pertanian organik di Indonesia, juga menunjukkan penerapan sistem pertanian organik yang bervariasi dikalangan petani. Sampai saat ini gerakan dan perkembangan usahatani organik ditingkat petani sangat lambat (Daniel 2011). Berkaitan dengan kondisi dan permasalahan pertanian organik tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani, (2) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani. Kerangka Pemikiran Penelitian Merujuk kepada teori difusi inovasi yang dikemukakan Rogers (2003), konsep-konsep komunikasi inovasi dari Leeuwis (2009), pendekatan perilaku behavior, kognitif, teori belajar dari Klausmeier dan Goodwin (1971), dan berdasarkan beberapa hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan adopsi inovasi dan perubahan perilaku maka disusunlah kerangka pemikiran penelitian, yang menunjukkan kaitan antara beberapa peubah. Beberapa peubah yang diduga mampu menjelaskan alasan yang menyebabkan petani mengadopsi atau tidak mengadopsi inovasi pertanian organik adalah karakteristik individu petani,, intensitas penyuluhan, persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi pertanian organik (yang terdiri dari tingkat keuntungan relatif, kerumitan inovasi, tingkat kesesuaian, tingkat kemudahan untuk dicoba, tingkat keteramatan inovasi), dan faktor lingkungan yang meliputi kebijakan dalam pertanian, ketersediaan lembaga pendukung (keberadaan kelompok tani, penyedia modal, ketersediaan pasar,

98 78 lembaga informasi), dukungan anggota sistem sosial serta dukungan sumberdaya lahan dan infrastruktur. Kerangka pemikirian penelitian disajikan pada Gambar 11 X1 Karakteristik internal petani X2 Dukungan Penyuluhan X3 Sifat Inovasi Y1 Tingkat adopsi sistem pertanian sayuran Organik X4 Dukungan lingkungan eksternal Gambar 11 Hubungan antar peubah penelitian faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian kuantitatif dengan pengumpulan data menggunakan metode survei. Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat. Dari dua Kabupaten tersebut dipilih kecamatan-kecamatan yang merupakan daerah pengembangan sayuran organik, dan dari masing-masing kecamatan diambil sampel secara acak. Populasi penelitian ini adalah petani sayuran yang pernah mengikuti program pengembangan kawasan sayuran organik di lokasi penelitian pada tahun 2008 sampai tahun Jumlah populasi penelitian terdiri dari 541 orang petani, yang terdiri dari 303 orang di Kabupaten Agam dan 238 orang di Kabupaten Tanah Datar. Sampel penelitian ditetapkan sebanyak 300 orang, terbagi atas 168 orang di Kabupaten Agam dan 132 orang di Kabupaten Tanah Datar. Berdasarkan informasi dari pejabat lingkup Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan BP4KP Kabupaten, dari setiap Kabupaten dipilih kecamatankecamatan yang merupakan daerah pengembangan pertanian sayuran organik di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Kecamatan yang terpilih di Kabupaten Agam adalah Kecamatan Baso, Canduang,

99 79 Kamang Magek dan Banuhampu, sedangkan di Kabupaten Tanah Datar adalah Kecamatan X Koto, Pariangan, Tanjung Baru dan Salimpauang. Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2013 sampai Januari Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Lembaga Sertifikasi Organik Sumatera Barat, Badan Pusat statistik Sumatera Barat, Balai penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Ketahanan Pangan di setiap Kecamatan yang termasuk lokasi penelitian. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan analisis korelasi Rank Spearman. Karakteristik internal petani HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Peubah Penelitian Karakteristik internal petani merupakan ciri-ciri yang melekat pada diri petani yang meliputi: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, luas lahan yang dimilki, pengalaman usahatani, kekosmopolitan, keberanian menanggung resiko dan motivasi dalam berusahatani. Sebaran sampel berdasarkan rataan skor karakteristik internal di sajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Sebaran sampel berdasarkan rataan skor karakteristik internal Peubah/indikator Penguku ran Rataan Uji beda Agam T. Datar Total (nilai p) Karakteristik individu Umur Pendidikan formal Pendidikan non formal Luas lahan Pengalaman usahatani Kekosmopolitan Keberanian menanggung resiko Motivasi Tahun Tahun Kali a Ha Tahun Skor b Skor b Skor b 46,7 8,8 6,7 0,5 14, ,1 9,1 6,2 0,7 15, ,3 8,9 6,5 0,6 15, ,000** 0,004* Keterangan: *nyata pada p<0,05 dan **sangat nyata pada p<0,01 a Jumlah keikutsertaan dalam satu tahun terakhir b Skor: 0-25=sangat rendah, 26-50=rendah, 51-75=sedang, =tinggi Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur petani rata-rata 47 tahun yang merupakan kategori umur produktif. Pendidikan formal rata-rata 9 tahun dengan frekuensi mengikuti pendidikan non formal rata-rata 7 kali dalam setahun terakhir. Rata-rata luas lahan yang dimiliki petani adalah 0,6 ha, yang menunjukkan kecilnya luas lahan yang dikuasai petani dibandingkan dengan luas lahan ideal (2 ha) yang sejogyanya dimiliki seorang petani. Kekosmopolitan petani tergolong sangat rendah dengan keberanian menanggung resiko dalam berusahatani rendah, namun mereka memiliki motivasi yang cukup dalam

100 80 berusahatani. Deskripsi sebaran sampel berdasarkan persentase masing-masing indikator karakteristik internal telah disajikan pada Tabel 13 di bab Perilaku Petani dalam Sistem Pertanian Sayuran Organik. Dukungan Penyuluhan Dukungan penyuluhan pertanian diamati melalui indikator: (a) ketepatan metode penyuluhan, (b) kesesuaian materi penyuluhan, (c) kesesuaian model komunikasi dalam penyuluhan, (d) kompetensi penyuluh dan (e) intensitas penyuluhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor setiap indikator penyuluhan berada pada kategori sedang kecuali intensitas penyuluhan tergolong rendah dengan rataan skor 26,57 dari rentang skor Sebaran sampel berdasarkan rataan skor dukungan penyuluhan di sajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Sebaran sampel berdasarkan rataan skor dukungan penyuluhan Peubah/indikator Pengu kuran Rataan Uji beda Dukungan Penyuluhan Ketepatan metode penyuluhan Kesesuaian materi penyuluhan Kesesuaian model komununikasi Kompetensi penyuluh Intensitas penyuluhan Skor b Skor b Skor b Skor b Skor b Agam Tanah Datar Keterangan: *nyata pada p<0,05 b Skor: 0-25=sangat rendah, 26-50=rendah, 51-75=sedang, =tinggi Total (nilai p) ,05 0,03* Deskripsi sebaran sampel berdasarkan persentase masing-masing indikator dukungan penyuluhan telah disajikan pada Tabel 15 di bab Perilaku Petani dalam Sistem Pertanian Sayuran Organik. Sifat Inovasi Sistem Pertanian Sayuran Organik Sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik diukur berdasarkan persepsi petani terhadap sifat inovasi pertanian sayuran organik, yang terdiri dari: (a) keuntungan relatif jika melakukan usahatani dengan sistem pertanian sayuran organik (b) kemudahan sistem pertanian sayuran organik untuk dicobakan, (c) kesesuaian sistem pertanian sayuran organik dengan sistem sosial dan kebutuhan, (d) kerumitan sistem pertanian sayuran organik, (e) tingkat keteramatan sistem pertanian sayuran organik. Hasil penelitian menunjukkan persepsi petani terhadap keuntungan relatif, tingkat kesesuaian dan keteramatan sistem pertanian sayuran organik tergolong rendah, dengan tingkat kerumitan yang tergolong tinggi. Hasil uji beda dengan analisis Man-Whitney menunjukkan terdapat perbedaan persepsi petani dalam hal tingkat keteramatan inovasi sistem pertanian sayuran organik, namun persepsi petani tentang tingkat keteramatan inovasi pertanian organik sama-sama tergolong rendah. Sebaran sampel berdasarkan persepsi terhadap sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik disajikan pada Tabel 22.

101 81 Tabel 22 Sebaran sampel Berdasarkan Sifat Inovasi Peubah/indikator Kategori % Uji beda Sifat Inovasi Agam T Total (nilai p) Datar N=168 N=132 N=300 Keuntungan relatif Sangat rendah Rendah 9,5 63,7 5,3 86,4 7,7 73,7 Sedang 21,4 8,3 15,7 Tinggi 5,4 3,0 Kemudahan Kesesuaian kerumitan Keteramatan Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Keterangan: **sangat nyata pada p<0,01 7,7 31,5 60,7-4,2 64,9 29,2 1,8 0,6 6,0 69,6 23,8 11,3 57,7 28,6 2,4 7,6 36,4 51,5 4,5 9,8 63,6 24,2 2,3-12,9 59,1 28,0 14,4 75,0 10,6 7,7 33,7 56,7 2,3 6,7 64,3 27,0 2,0 0,3 9,0 65,0 25,7 12,7 65,3 20,7 1,2 0,000** Dukungan Lingkungan Lingkungan adalah faktor-faktor yang berada diluar diri petani yang diduga berhubungan dengan adopsi inovasi oleh petani. Dukungan lingkungan diamati dengan indikator: (a) dukungan kebijakan pemerintah, (b) dukungan kelembagaan, (c) dukungan system sosial dan (d) dukungan sumberdaya alam. Sebaran sampel berdasarkan persentase dan rataan skor indikator dukungan lingkungan eksternal disajikan pada Tabel 23.

102 82 Tabel 23 Sebaran sampel berdasarkan dukungan lingkungan Peubah/indikator Kategori % Uji beda Dukungan Lingkungan Agam T Datar Total (nilai p) n=168 n=132 n=300 Dukungan kebijakan pemerintah Dukungan kelembagaan usahatani Dukungan sistem sosial Dukungan sumberdaya alam Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Keterangan: **sangat nyata pada p<0,01 1,8 64,3 19,0 14,9 6,0 22,6 66,7 4,8 0,6 42,9 54,2 2,4 0,6 15,5 68,5 15,5 6,8 53,0 31,1 9,1 2,3 69,7 28,0-0,8 56,1 40,2 3,0 2,3 28,8 64,4 4,5 4,0 59,3 24,3 12,3 4,3 43,3 49,7 2,4 0,7 48, ,7 1,3 21,3 66,7 10,7 0,000** 0,000** Hasil penelitian menunjukkan lebih dari 50 persen petani merasakan kebijakan pemerintah yang mendukung usahatani sayuran organik masih rendah. Begitu juga halnya dengan dukungan kelembagaan yang berkaitan dengan usahatani sayuran organik berada pada kategori rendah dengan rataan skor 49,31 (kategori rendah). Hasil uji beda dukungan lingkungan terhadap pertanian sayuran organik di Kabupaten Agam dan Tanah Datar memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan dalam aspek dukungan kelembagaan usahatani dan dukungan sumberdaya alam. Petani di Kabupaten Agam merasakan dukungan kelembagaan terkait usahatani organik dan dukungan sumberdaya alam tergolong sedang, sementara petani di Kabupaten Tanah Datar merasakan dukungan kelembagaan usahatani masih lemah.

103 83 Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik Tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik direfleksikan oleh indikator intensitas adopsi, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, tingkat adaptasi dan tingkat keberlanjutan adopsi inovasi petanian sayuran organik. Intensitas adopsi sistem pertanian sayuran organik diukur berdasarkan tingkat penerapan teknologi sistem pertanian sayuran organik, yang terdiri dari penggunaan bibit organik, penggunaan pupuk organik, penggunaan pengendali hama dan penyakit secara organik, penggunaan pengendali gulma organik, pengolahan tanah dan pengairan secara organik. Sebaran sampel berdasarkan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Sebaran sampel berdasarkan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik Peubah/indikator Kategori % Uji beda Agam T Datar Total (nilai p) Tingkat adopsi SPSO n=168 n=132 n=300 Intensitas adopsi sistem pertanian sayuran organik Tingkat penggunaan sumberdaya lokal Tingkat adaptasi teknik pertanian sayuran organik Tingkat keberlanjutan adopsi sistem pertanian organik Keterangan: *nyata pada p<0,05 Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi 23,2 46,4 22,0 8,3 49,4 38,1 10,7 1,8 24,4 58,3 13,1 4,2 42,9 21,4 35,7 20,5 50,0 25,8 3,8 54,5 25,0 14,4 6,1 25,0 49,2 20,5 5,3 72,0 3,0 25,0 22,0 48,3 16,7 13,0 52,0 32,3 12,3 3,3 24,7 54,3 16,3 4,7 57,5 12,2 30,4 0,002* Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik berada pada kategori rendah, terlihat dari rata-rata skor intensitas adopsi, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, tingkat adaptasi yang semuanya rendah. Intensitas adopsi yang rendah dicirikan oleh penggunaan sarana produksi yang masih mengandung unsur kimia, seperti pupuk kimia, pembasmi dan pengendali hama kimia, serta proses produksi yang dilakukan petani tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pertanian organik yang ditetapkan oleh Lembaga Sertifikasi Organik Sumatera Barat. Prinsip dasar sistem pertanian sayuran organik yang dikembangkan oleh Pemerintah daerah Sumatera Barat, berbeda dengan daerah lain yaitu berkaitan dengan penggunaan sumberdaya lokal oleh petani dalam menerapkan sistem pertanian organik. Petani dianjurkan untuk menghasilkan sendiri sarana produksi, seperti: pupuk organik, nutrisi untuk tanaman, pestisida nabati, pengendali gulma, dan bibit sayuran. Kebiasaan yang dilakukan petani untuk memenuhi sarana produksinya selama ini adalah dengan cara membeli sarana produksi seperti:

104 84 pupuk kimia, pestisida, dan obat-obatan dalam bentuk siap pakai di kios-kios. Namun dalam sistem pertanian sayuran organik, sarana produksi harus dibuat sendiri oleh petani, dan ini merupakan sesuatu yang berat bagi petani. Hal ini dicerminkan oleh rendahnya skor rata-rata indikator tingkat penggunaan sumberdaya lokal. Tingkat adaptasi teknologi sistem pertanian sayuran organik yang rendah menunjukkan bahwa petani jarang sekali mencoba inovasi skala kecil dalam rangka menguji tingkat kesesuaian inovasi dengan kondisi lingkungan dimana petani berada. Praktek pertanian berkelanjutan menjadikan petani harus memiliki banyak pengetahuan dan harus diadaptasi sesuai dengan kondisi karena situasi ekologis yang berbeda dalam wilayah individu petani (Leeuwis 2009). Keberlanjutan adopsi sistem pertanian organik merupakan kondisi yang diharapkan setelah petani menerapkan sistem pertanian sayuran organik di lahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan adopsi sistem pertanian sayuran organik berada pada kategori sedang. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik Hubungan Karakteristik Internal dengan Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik Peubah-peubah yang berhubungan nyata dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik secara berturut-turut adalah karakteristik individu petani, dukungan lingkungan eksternal, sifat inovasi dan dukungan penyuluhan. Karaktristik petani yang berhubungan nyata positif dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik adalah; pendidikan formal, kekosmopolitan, tingkat keberanian menanggung resiko dan motivasi. Sedangkan karakteristik petani yang berhubungan nyata negatif dengan tingkat adopsi sistem pertanian organik terdiri dari indikator umur dan pengalaman usahatani. Keeratan hubungan masing-masing faktor disajikan pada Tabel 25. Hasil analisis korelasi memperlihatkan bahwa umur berhubungan nyata negatif dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik. Hal ini bermakna bahwa semkin tua umur petani maka terdapat kecenderungan semakin rendah tingkat adopsinya terhadap sistem pertanian sayuran organik. Kebiasaan bertani secara kimiawi yang sudah dijalankan petani bertahun-tahun lamanya menyebabkan petani yang berumur tua sulit untuk menerima perubahan cara bertani tanpa menggunakan zat kimia (sistem pertanian organik).

105 85 Tabel 25 Koefisien korelasi antara karakteristik individu petani dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik. Karakteristik individu Indikator tingkat adopsi inovasi sistem pertanian sayuran organic Intensitas adopsi Tingkat pengguna an sumber daya lokal Tingkat adaptasi teknologi Tingkat keberlanjut an adopsi Tingkat adopsi (total) Umur - 0,176** -0,128* -0,138* -0,153** -0,188** Pendidikan formal 0,274** 0,184** 0,243** 0,143* 0,225** Pendidikan non formal - 0,022 0,149** 0,055-0,021 0,133** Luas lahan 0,092 0,049 0,165** 0,060 0,031 Pengalaman usahatani - 0,181** -0,138* -0,080-0,135-0,190** kekosmopolitan 0,245** 0,163* 0,241** 0,276** 0,244** Keberanian menanggung resiko 0,336** 0,194* 0,279** 0,343** 0,318** Motivasi 0,193** 0,148* 0,191** 0,162** 0,193** Keterangan:*nyata pada p<0,05 dan **sangat nyata pada p<0,01 Hubungan Dukungan Penyuluhan Pertanian dengan Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik Dukungan penyuluhan diukur dengan indikator: ketepatan metode penyuluhan, kesesuaian materi penyuluhan, kesesuaian model komunikasi dalam penyuluhan, kompetensi penyuluh dan intensitas penyuluhan. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa indikator kesesuaian materi penyuluhan, kompetensi penyuluh dan intensitas penyuluhan berhubungan nyata positif dengan tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik. Hal ini bermakna bahwa terdapat kecenderungan semakin sesuai materi penyuluhan dengan kondisi petani, semakin tinggi kompetensi penyuluh, dan semakin sering dilakukan kegiatan penyuluhan, maka terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik. Nilai hubungan antara dukungan penyuluhan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik disajikan pada Tabel 26. Kompetensi penyuluh merupakan indikator yang memiliki nilai keeratan paling tinggi dari indikator lainnya yang berhubungan dengan tingkat adopsi. Menurut Sumardjo (2008) kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan (standar).

106 86 Tabel 26 Koefisien korelasi antara dukungan penyuluhan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik Dukungan penyuluhan Indikator tingkat adopsi inovasi sistem pertanian sayuran organik Tingkat adopsi (total) Intensitas adopsi Tingkat penggunaan sumberdaya lokal Tingkat adaptasi teknologi Tingkat keberlanjutan adopsi Ketepatan metode penyuluhan Kesesuaian materi penyuluhan Kesesuaian model komunikasi Kompetensi penyuluh Intensitas penyuluhan Dukungan penyuluhan 0,015 0,063 0,003 0,019-0,002 0,094 0,176* 0,151* 0,155* 0,133* -0,046 0,046 0,001 0,013-0,031 0,140* 0,188** 0,220** 0,173** 0,173** 0,075 0,199* 0,147* 0,058 0,124* 0,146* 0,198* 0,212** 0,164** 0,169** Keterangan: *nyata pada p<0,05 dan **sangat nyata pada p<0,01 Kebutuhan kompetensi bagi penyuluh setidaknya disusun berdasarkan dua hal yaitu: kebutuhan pembangunan masyarakat (content area) dan kebutuhan kompetensi berdasarkan tugas pokok dan fungsi (process area) (Sumardjo 2008). Temuan lapangan menunjukkan bahwa kompetensi penyuluh berada pada kategori sedang, dengan sebaran 63,7 persen petani berpendapat kompetensi penyuluh tergolong sedang, 26 persen petani menyatakan bahwa kompetensi penyuluh tergolong rendah dan hanya 10,3 persen petani yang berpendapat bahwa kompetensi penyuluh berada pada kategori tinggi. Hal ini memberikan gambaran bahwa petani sebagai pengguna jasa lembaga penyuluhan merasa belum puas dengan hasil kerja dari penyuluh yang merupakan ujung tombak dari lembaga penyuluhan. Implikasinya adalah kompetensi penyuluh harus menjadi perhatian lembaga penyuluhan agar penyuluhan dapat memuaskan kliennya. Hasil uji korelasi antara kompetensi penyuluh dengan unsur-unsur peyuluhan lainnya, yaitu metode penyuluhan yang digunakan, materi yang disampaikan, model komunikasi yang diterapkan dan intensitas penyuluhan menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata positif antara masing-masing unsur penyuluhan tersebut dengan kompetensi penyuluh. Nilai hasil uji korelasi antara kompetensi penyuluh dengan metode penyuluhan yang digunakan, materi penyuluhan yang disampaikan, model komunikasi yang diterapkan dan intensitas penyuluhan disajikan pada Tabel 27.

107 87 Tabel 27 Koefisien korelasi antara Kompetensi Penyuluh dengan Metode, Materi, Model Komunikasi dan Intensitas Penyuluhan Ketepatan metode penyuluhan Kesesuaian materi Kesesuaian model Intensitas penyuluhan Kompetensi penyuluh 0,280** 0,459** 0,466** 0,553** Keterangan:**sangat nyata pada p<0,01 Tabel 27 memperlihatkan bahwa kompetensi penyuluh berhubungan nyata positif dengan ketepatan metode penyuluhan dengan nilai korelasi sebesar 0,280. Hal ini bermakna bahwa semakin tinggi kompetensi penyuluh maka terdapat kecenderungan semakin tepat metode penyuluhan yang digunakan penyuluh di lapangan. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh hubungan antara kompetnsi penyuluh dengan kesesuaian materi dan model komunikasi dalam penyuluhan. Masing-masing peubah berhubungan nyata positif dengan kompetensi penyuluh yang ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,459 dan 0,466. Nilai korelasi tersebut berarti bahwa semakin tinggi kompetensi penyuluh maka terdapat kecenderungan semakin sesuai materi dan model komunikasi yang diterapkan penyuluh dalam kegiatan penyuluhan. Implikasi dari hasil analisis ini adalah kompetensi penyuluh merupakan kunci utama yang harus diperkuat agar kegiatan penyuluhan dapat diselanggarakan dengan metode yang tepat, materi yang sesuai dengan kondisi petani, dan model komunikasi yang efektif. Pelaksanaan penyuluhan dengan intensitas yang sesuai dengan harapan petani akan berlanjut ketika penyuluh telah menghayati dan sadar akan tugas pokoknya sebagai penyuluh. Hubungan Sifat Inovasi dengan Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik Sifat inovasi merupakan faktor berikutnya yang berkontribusi terhadap tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik. Sifat adopsi diukur berdasarkan persepsi petani terhadap keuntungan relatif dari inovasi, tingkat kemudahan inovasi dicobakan pada skala kecil, tingkat kesesuaian inovasi, tingkat kerumitan inovasi, dan tingkat keteramatan inovasi oleh petani dan orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keuntungan relatif, tingkat kemudahan inovasi dicobakan pada skala kecil, tingkat kesesuaian inovasi, dan keteramatan inovasi sistem pertanian sayuran organik berhubungan secara nyata positif dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik. Hal ini bermakna bahwa semakin tinggi persepsi petani terhadap keuntungan relatif dari inovasi sistem pertanian sayuran organik, semakin mudah inovasi dicobakan dalam skala kecil, semakin sesuai inovasi dengan kondisi petani dan semakin tinggi tingkat keteramatan inovasi maka terdapat kecenderungan semakin tinggi adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik. Keeratan hubungan antara sifat inovasi dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik disajikan pada Tabel 28.

108 88 Tabel 28 Koefisien korelasi antara sifat inovasi dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik Sifat inovasi Indikator tingkat adopsi inovasi sistem pertanian sayuran organik Intensitas adopsi Tingkat pengguna an sumberda ya lokal Tingkat adaptasi teknologi Tingkat keberlanjutan adopsi Tingkat adopsi (total) Tingkat keuntungan relatif 0,497** 0,345** 0,390** 0,403** 0,473** Tingkat kerumitan inovasi -0,202** -0,060-0,166* -0,102-0,162** Tingkat ketercobaan inovasi pada skala kecil 0,218** 0,301** 0,229** 0,298** 0,140* Tingkat kesesuaian inovasi 0.169* 0,207** 0,170* 0,132* 0,140* Tingkat keteramatan inovasi 0,275** 0,230** 0,297** 0,312** 0,346** Keterangan: *nyata pada p<0,05 dan **sangat nyata pada p<0,01 Tingkat kerumitan inovasi sistem pertanian sayuran organik berhubungan nyata negatif dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani. Hal ini bermakna bahwa semakin tinggi tingkat kerumitan inovasi sistem pertanian sayuran organik maka terdapat kecenderungan semakin rendah tingkat adopsi petani terhadap inovasi sistem pertanian sayuran organik. Temuan ini memperkuat pendapat Rogers dan Shoemakers (Hanafi 1986) yang menyatakan bahwa semakin rumit suatu inovasi bagi seseorang maka akan makin lambat pengadopsiannya. Keuntungan relatif sistem pertanian sayuran dirasakan rendah oleh petani yang meliputi jumlah waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk pertanian organik lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pertanian non organik, produksi diawal memulai usahatani organik dirasakan lebih rendah dari produksi sistem usahatani non organik, dan tidak adanya perbedaan harga antara produk organik dan non organik saat dijual ke pasar tradisional. Tingkat keteramatan inovasi sistem pertanian sayuran organik juga dirasakan rendah oleh petani. Rendahnya tingkat keteramatan inovasi pertanian organik, berkaitan dengan; tingginya resiko serangan hama pada tanaman sayuran, lambatnya proses pengendalian hama dan penyakit pada usahatani dengan sistem pertanian sayuran organik, serta lambatnya pertumbuhan tanaman jika diusahakan secara organik. Kondisi ini membuat petani tidak sabar untuk segera menyemprot tanaman sayurannya dengan pestisida kimia. Penelitian yang menghasilkan teknologi agar sistem pertanian sayuran organik dirasakan lebih mudah, murah, sederhana dan dapat diamati hasilnya oleh petani merupakan aksi yang harus dilakukan untuk mengatasi kondisi diatas.

109 89 Hubungan Dukungan Lingkungan dengan Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik Dukungan lingkungan yang direfleksikan oleh peubah dukungan kebijakan, ketersediaan lembaga yang terkait dengan usahatani, dukungan sistem sosial serta dukungan sumberdaya alam berhubungan nyata positif dengan tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik. Keeratan hubungan antara lingkungan eksternal dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Koefisien korelasi antara dukungan lingkungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik Dukungan Lingkungan Indikator tingkat adopsi inovasi sistem pertanian sayuran organik Tingkat adopsi (total) Intensitas adopsi Tingkat penggunaan sumberdaya lokal Tingkat adaptasi teknologi Tingkat keberlanjutan adopsi Dukungan kebijakan 0,429** 0,317** 0,382** 0,304** 0,411** Dukungan lembaga usahatani Dukungan sistem sosial Dukungan sumberdaya alam Dukungan Lingkungan 0,377** 0,328** 0,359** 0,351** 0,390** 0,135* ,168* 0,121* 0,138* 0,142* 0,137* 0,311** 0,226** 0,215** 0,446** 0,399** 0,309** 0427** 0,492** Keterangan: *nyata pada p<0,05 dan **sangat nyata pada p<0,01 Hasil analisis korelasi pada Tabel 29 menunjukkan bahwa tersedianya kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pertanian organik, dan kebijakan tersebut berjalan sesuai dengan ketentuan dapat meningkatkan adopsi sistem pertanian sayuran organik di kalangan petani. Begitu juga halnya dengan ketersediaan lembaga-lembaga yang mendukung usahatani organik, mulai dari hulu hingga hilir, yang meliputi lembaga penyedia sarana produksi, lembaga modal, pemasaran, lembaga informasi dan pembelajaran serta lembaga sertifikasi yang mendukung, serta dapat diakses oleh petani merupakan bagian dari faktor yang mempengaruhi keberlanjutan adopsi sistem pertanian organik oleh petani. Dukungan sistem sosial dan sumberdaya alam yang tersedia disekitar petani juga menjadi faktor yang berhubungan positif dengan tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik. Peran pemerintah melalui kerjasama antar lembaga-lembaga pemerintahan yang berkaitan dengan sektor pertanian sangat diperlukan untuk memperkuat dukungan lingkungan ini.

110 90 SIMPULAN 1. Tingkat adopsi sistem petanian sayuran organik di Kabupaten Agam dan Tanah Datar secara rata-rata berada pada kategori rendah, yang ditunjukkan oleh indikator intensitas adopsi, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, tingkat adaptasi teknologi sistem pertanian sayuran organik, dan tingkat keberlanjutan adopsi sistem pertanian organik tergolong rendah. 2. Faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik adalah: (1)karakteristik individu petani yang terdiri dari; umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman usahatani, kekosmopolitan, keberanian menanggung resiko dan motivasi dalam berusahatni (2) dukungan lingkungan, yang terdiri dari; dukungan kebijakan, dukungan kelembagaan usahatani, dukungan sistem sosial, dukungan sumberdaya alam, (3) sifat inovasi yang terdiri dari tingkat keuntungan relatif, kerumitan inovasi, tingkat ketercobaan inovasi dalam skala kecil, kesesuaian inovasi dengan kondisi petani, dan keteramatan inovasi sistem pertanian sayuran organik, (4) dukungan penyuluhan pertanian terdiri dari; kesesuaian materi penyuluhan, kompetensi penyuluh dan intensitas penyuluh.

111 91 5 TINGKAT KEBERDAYAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEBERDAYAAN PETANI SAYURAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT ABSTRACT This study aims to analyze the level of empowerment of vegetable farmers as well as factors related to the level of empowerment of vegetable farmers. The study was conducted in Agam and Tanah Datar districts of West Sumatra. The sample consisted of 300 vegetable farmers who have ever attended development programs of organic vegetable area in West Sumatra. Data collection was conducted from September 2013 until January 2014, which consist of primary data and secondary data. Data analysis was performed using the descriptive analysis and the Spearman Rank correlation. The results showed that the level of empowerment of organic vegetable farmers in Tanah Datar and Agam districts are in the low category. Factors associated with the level of empowerment of vegetable farmers are as follows: the internal characteristics of the farmer, the intensity of extension, and the support the environment. Keywords: empowerment, internal characteristics, intensity of extension, external environment PENDAHULUAN Perubahan paradigma pertanian yang berorientasi peningkatan produksi menjadi pertanian berkelanjutan menuntut sektor pertanian untuk melakukan aktivitas produksi dengan prinsip-prinsip yang ramah lingkungan. Proses pembangunan pertanian yang selama ini berjalan telah menimbulkan dampak menurunnya kreativitas petani, menumbuhkan sikap ketergantungan pada bantuan dari pemerintah, kurang berfungsi atau matinya kelembagaan lokal, lemahnya kemandirian petani, serta dapat mengancam keberlanjutan pembangunan pertanian (Sadono 2008). Pertanian dengan penggunaan input eksternal rendah telah menyebar secara cepat ke berbagai belahan dunia sebagai alternatif menantang terhadap sistem revolusi hijau yang telah membuat petani terbiasa dengan penggunaan input luar tinggi. Revolusi hijau telah menjadikan petani tidak mandiri dan terjadinya pengabaian terhadap aspek lingkungan hidup. Kebergantungan petani pada input pertanian dari luar yang tinggi selama ini, menyebabkan hilangnya keberdayaan petani. Petani menjadi sangat rentan terhadap kondisi sarana produksi dari luar, padahal di sekitar lahan petani melimpah sumberdaya yang dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi langkanya sarana produksi (Sulaiman 2009). Keberdayaan masyarakat adalah dimilikinya daya, kekuatan atau kemampuan oleh masyarakat untuk mengidentifikasi potensi dan masalah serta dapat menentukan alternatif pemecahannya secara mandiri (Widjajanti 2011). Keberdayaan merupakan hasil dari proses pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang bertujuan untuk memberikan daya-daya pada masyarakat atau kegiatan yang membuat masyarakat mampu membangun

112 92 dirinya sendiri, dapat memanfaatkan peluang, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi (Slamet 2003). Menurut Ife dan Tesoriero (2008) pemberdayaan bertujuan untuk membangun kemandirian agar warga komunitas berusaha menggunakan sumberdaya lokal sendiri jika memungkinkan, daripada menggantungkan diri pada bantuan luar, baik sumberdaya manusia, sumber daya alam, keuangan, dan teknik. Inovasi merupakan salah satu unsur pemberdayaan (Ningrum 2012) dan keinovatifan menjadi prasyarat berlangsungnya proses pemberdayaan. Pertanian organik merupakan salah satu inovasi dalam sistem bertani yang diyakini dapat melepaskan petani dari ketergantungan terhadap faktor-faktor produksi, sebagaimana yang dialami petani selama tiga dasawarsa ini. Hasil penelitian Beban (2008) menunjukkan bahwa pertanian organik dapat menjadi strategi pembangunan yang memberdayakan. Penerapan prinsip-prinsip sistem pertanian organik yang kembali pada alam dan ramah lingkungan, akan membuat petani berdaya dalam arti mampu menyediakan input-input pertaniannya sendiri, yang selama ini merupakan biaya produksi yang harus dibayar tunai oleh petani. Penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2010) tentang Pemberdayaan Tenaga Kerja Perdesaan dalam Pengembangan Sistem Pertanian Organik di Sragen Jawa Tengah menunjukkan bahwa pengembangan pertanian organik padi telah menyebabkan petani berdaya, mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia, petani menemukan cara pemupukan alami secara mandiri tanpa bantuan pemerintah. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa target pengembangan padi organik di Sragen secara ekonomi telah memberikan surplus pendapatan bagi daerah karena nilai jual padi organik lebih tinggi di banding padi non organik, usaha tani padi organik mampu menyerap tenaga kerja terbesar dibanding dengan usaha komoditas pertanian lainnya. Penyediaan lapangan kerja usaha padi organik mulai dari hulu hingga hilir (pasca panen) adalah berupa pengolahan limbah tanaman padi seperti, jerami, sekam padi, dan pengolahan pupuk kandang dari hasil peternakan hewan. Petani menjadi berdaya, dan dapat memberi kesempatan kerja bagi penduduk di daerah tersebut, sehingga dapat mengurangi pengangguran (Widodo 2010). Pemerintah melalui Departemen Pertanian telah melakukan upaya pengembangan pertanian organik melalui Program Go Organik Program yang dikembangkan sejak tahun 2001 ini terdiri dari sosialisasi dan pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan regulasi, fasilitas bantuan teknis dan sertifikasi, promosi pasar serta industrialisasi dan perdagangan (Ditjen BPPHP Deptan 2010). Sumatera Barat sebagai salah satu daerah percontohan pertanian organik di Indonesia juga telah merespon program pemerintah ini dengan menjadikan pertanian organik sebagai salah satu kebijakan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat yang tergambar dari Rencana Strategis Propinsi Sumatera Barat. Pengembangan pertanian organik di Provinsi Sumatera Barat sudah dimulai sejak tahun Berbagai kegiatan telah dilakukan sebagai upaya pengembangan sistem pertanian organik untuk usahatani padi maupun sayuran. Pengembangan sistem pertanian organik di Sumatera Barat menumbuhkan prinsip penggunaan sumberdaya lokal untuk memenuhi saran produksi. Sejalan dengan tujuan pengembangan pertanian organik sebagai salah satu alternatif untuk menghindari petani dari ketergantungan sarana produksi dari

113 93 pihak lain dan beberapa hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa pertanian organik dapat dijadikan sebagai suatu strategi pembangunan yang dapat memberdayakan petani, maka pertanyaan menarik untuk dijawab adalah : bagaimana tingkat keberdayaan petani sayuran yang telah mendapatkan program pengembangan sistem pertanian sayuran organik di Propinsi Sumatera Barat? Faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan tingkat keberdayaan petani sayuran yang telah mendapatkan program pengembangan sistem pertanian sayuran organik? Penelitian bertujuan untuk: (1) menganalisis tingkat keberdayaan petani sayuran (2) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keberdayaan petani sayuran. Kerangka Pemikiran Berdasarkan konsep-konsep pemberdayaan dan hasil-hasil penelitian tentang keberdayaan maka disusun kerangka berpikir penelitian yang disajikan pada Gambar 12 X2. Dukungan Penyuluhan X21.Ketepatan Metode Penyuluhan X22.Kesesuaian Materi Penyuluhan X23.Kesesuaian Model komunikasi X24.Kompetensi penyuluh X25.Intensitas penyuluhan X1.Karakteristik internal petani X12 Pendidikan formal X13.Pddk Non Formal X14. Kepemilikan lahan X15.Pengalaman UT X16. Kekosmopolitan X17. Keberanian mengambil resiko X18. Motivasi X3. Dukungan Lingkungan X31. Dukungan kebijakan X32. Dukungan kelembagaan X33. Dukungan sistem sosial X34. Dukungan sumberdaya alam Y1.Tingkat Keberdayaan Petani Y11. Kemampuan pengadaan saprod Y12. Kemampuan proses produksi Y13. Kemampuan pemasaran Y14. Kemampuan meningkatkan produktivitas usahatani Y15. Kemampuan akses dan kerjasama dgn lembaga agribis Gambar 12 Kerangka Pemikiran Faktor-faktor METODE PENELITIAN yang Berhubungan dengan Tingkat Keberdayaan

114 94 METODE PENELITIAN Penelitian dirancang dengan pendekatan kuantitatif dan pengumpulan data menggunakan metode survei. Lokasi penelitian adalah di kecamatan-kecamatan yang merupakan daerah pengembangan pertanian sayuran organik di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat. Populasi penelitian adalah petani sayuran yang pernah mengikuti program pengembangan pertanian sayuran organik di lokasi penelitian. Jumlah populasi penelitian terdiri dari 541 orang petani, tersebar sebanyak 303 orang di Kabupaten Agam dan 238 orang di Kabupaten Tanah Datar. Sampel penelitian ditetapkan sebanyak 300 orang, tersebar di Kabupaten Agam sebanyak 168 orang dan 132 orang di Kabupaten Tanah Datar. Penetapan jumlah sampel ditentukan secara proporsional berdasarkan sebaran populasi di daerah penelitian dan penentuan anggota sampel dilakukan secara simple random sampling. Berdasarkan informasi dari pejabat lingkup Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan BP4KP Kabupaten, dari setiap Kabupaten dipilih kecamatankecamatan yang merupakan daerah pengembangan pertanian sayuran organik di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Kecamatan yang terpilih di Kabupaten Agam adalah Kecamatan Baso, Canduang, Kamang Magek dan Banuhampu, sedangkan di Kabupaten Tanah Datar adalah Kecamatan X Koto, Pariangan, Tanjung Baru dan Salimpauang. Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2013 sampai bulan Januari Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Lembaga Sertifikasi Organik Sumatera Barat, Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Barat, Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Ketahanan Pangan di setiap Kecamatan yang termasuk lokasi penelitian. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial, yaitu analisis uji beda dengan menggunakan Mann-Whitney test, dan untuk analisis hubungan antar peubah menggunakan korelasi Rank Spearman. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Peubah-peubah Penelitian Karakteristik internal petani merupakan ciri-ciri yang melekat pada diri petani yang dalam penelitian ini meliputi: umur, tingkat pendidikan formal, pendidikan non formal, luas lahan, pengalaman usahatani, kekosmopolitan, keberanian menanggung resiko dan motivasi berusahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata umur responden berada pada kategori masih produktif yaitu 47 tahun, pendidikan formal rata-rata 8 tahun, berarti pendidikan rata-rata responden penelitian adalah tamatan SMA dengan pengalaman usahatani pada kisaran 15 tahun. Hasil penelitian menggambarkan bahwa tingkat kekosmopolitan responden penelitian tergolong sangat rendah dengan keberanian menanggung resiko yang rendah, namun responden memiliki motivasi yang cukup/sedang dalam berusahatani. Hasil uji beda dengan analisis statistik Man-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antra luas lahan dan motivasi petani di Kabupaten Agam dan Tanah Datar. Petani di

115 95 Kabupaten Agam memiliki luas lahan relatif lebih sempit dibandingkan dengan petani di Kabupaten Tanah Datar, namun petani di Agam memiliki motivasi yang lebih tinggi dalam berusahatani dibandingkan dengan petani di Kabupaten Tanah Datar. Dukungan penyuluhan pertanian tergolong pada kategori sedang. Dukungan penyuluhan pertanian yang sedang ditunjukkan oleh indikator ketepatan metode penyuluhan, kesesuaian materi dan model komunikasi serta kompetensi penyuluh tergolong sedang dengan intensitas penyuluhan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluhan pertanian dilokasi penelitian tidak berjalan efektif. Berdasarkan hasil analisis uji dengan Mann-Whitney Test diketahui bahwa intensitas penyuluhan di Kabupaten Agam lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas penyuluhan di Kabupaten Tanah Datar, namun dikedua daerah intensitas penyuluhan sama-sama tergolong rendah. Sebaran sampel berdasarkan rataan skor masing-masing peubah penelitian disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Sebaran sampel Berdasarkan Rataan Skor Peubah Penelitian Peubah/indikator Pengukuran Rataan Sig.(Mann- Whitney Test) Agam T. Datar Total (nilai p) Karakteristik individu Umur Pendidikan formal Pendidikan non formal Luas lahan Pengalaman usahatani Kekosmopolitan Tahun Tahun Kali a Ha Tahun Skor b 46,0 8,8 6,7 0,5 14, ,0 9,1 6,2 0,7 15, ,0 8,0 7,0 0, Keberanian menanggung Skor b resiko Motivasi Skor b Dukungan Penyuluhan Ketepatan metode penyuluhan Kesesuaian materi penyuluhan Kesesuaian model komununikasi Kompetensi penyuluh Intensitas penyuluhan Skor b Skor b Skor b Skor b Skor b Dukungan lingkungan Dukungan kebijakan Dukungan kelembagaan Dukungan sistem sosial Dukungan sumberdaya alam Skor b Skor b Skor b Skor b Keterangan: *nyata pada p<0,05 dan **sangat nyata pada p<0,01 a Jumlah keikutsertaan dalam satu tahun terakhir b Skor: 0-25=sangat rendah, 26-50=rendah, 51-75=sedang, =tinggi ,000** 0,004* ,03* 0,000** 0,000** Dukungan lingkungan merupakan komponen-komponen yang berada di di luar individu petani yang diduga berpengaruh terhadap terhadap pelaksanaan kegiatan usahatani. Untuk penelitian ini lingkungan eksternal dicirikan oleh indikator dukungan kebijakan pemerintah berkaitan dengan sistem pertanian organik, dukungan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan usahatani,

116 96 dukungan sistem sosial dan dukungan sumberdaya alam yang berkaitan dengan proses produksi usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sistem pertanian organik dan dukungan kelembagaan yang berkaitan dengan aktivitas usahatani organik berada pada kategori rendah, sedangkan dukungan sistem sosial dan sumberdaya alam berada pada kategori sedang. Hasil uji beda Man-Whitney dengan taraf nyata 0,01 terhadap dua lokasi penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara dukungan kelembagaan usahatani dan sumberdaya alam di Kabupaten Agam dengan Kabupaten Tanah Datar. Rataan skor memperlihatkan bahwa dukungan kelembagaan dan sumberdaya alam yang berkaitan dengan usahatani organik di Kabupaten Agam lebih tinggi dibandingkan dengan di Kabupaten Tanah Datar. Hal ini disebabkan Kabupaten Agam merupakan daerah yang lebih dulu dijadikan lokasi pengembangan sistem pertanian organik di Provinsi Sumatera Barat sehingga ketersediaan lembaga-lembaga yang mendukung usahatani organik sudah banyak dikembangkan di Kabupaten Agam. Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran Tingkat keberdayaan petani sayuran diukur berdasarkan kemampuan petani dalam pengadaan sarana produksi, kemampuan pengambilan keputusan dalam proses usahatani, kemampuan pemasaran, kemampuan meningkatkan produktivitas usahatani, serta kemampuan akses dan kerjasama dengan lembaga agribisnis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan petani berada dalam kategori rendah. Sebaran sampel berdasarkan persentase dari masing-masing aspek keberdayaan disajikan pada Tabel 31. Rendahnya tingkat keberdayaan petani sayuran digambarkan oleh rendahnya indikator keberdayaan, yaitu kemampuan dalam pengadaan sarana produksi dengan rataan skor total 34,92 (rendah), kemampuan pemasaran dengan rataan skor 43,86 (rendah), kemampuan meningkatkan produktivitas usahatani dengan rataan skor 44,86 (rendah) dan kemampuan akses dan kerjasama dengan lembaga agribisnis terkait usahatani juga rendah dengan rataan skor total sebesar 43,39. Indikator kemampuan pengambilan keputusan dalam proses usahatani bearada pada kategori tinggi.

117 97 Tabel 31 Sebaran sampel Berdasarkan Indikator Tingkat Keberdayaan Petani Peubah/indikator Kategori % Keberdayaan petani Agam T. Datar Total Kemampuan dalam pengadaan sarana produksi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi 15,5 73,8 10,7-34,8 47,7 17,4-24,0 62,3 13,7 - Kemampuan pengambilan keputusan dalam proses usahatani Kemampuan pemasaran Kemampuan meningkatkan produktivitas usahatani Kemampuan akses dan kerjasama dengan lembaga agribisnis Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi - 4,2 8,3 87,5 14,3 58,3 17,3 10,1 12,5 60,1 16,1 11,3 14,9 59,5 15,5 10,1-1,5 23,5 75,0 11,4 60,6 15,2 12,9 6,8 62,9 26,5 3,8 9,8 53,0 33,3 3,8-3,0 15,0 82,0 13,0 59,3 16,3 11,3 10,0 61,3 20,7 8,0 12,7 56,7 23,3 7,3 Tingginya kemampuan petani dalam pengambilan keputusan dalam proses produksi karena hampir semua petani responden adalah petani pemilik lahan sehingga mereka memiliki kebebasan dan hak untuk menentukan proses usahatani yang akan diterapkan di lahannya tanpa intervensi dari pihak lain. Rendahnya tingkat kemampuan petani dalam pengadaan sarana produksi menunjukkan bahwa petani sangat tergantung pada input dari luar, terutama pupuk kimia dan pengendali hama penyakit secara kimia. Ini juga menggambarkan rendahnya penggunaan sumberdaya lokal oleh petani dalam bentuk pupuk organik dan pengendali hama hayati. Kondisi ini memperkuat pendapat Sulaiman (2009) yang menyatakan bahwa revolusi hijau telah menjadikan petani sangat rentan terhadap kondisi saprotan dari luar, padahal disekitar lahan petani melimpah sumberdaya yang dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi langkanya sarana produksi. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Keberdayaan Petani Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa indikator karakteristik internal petani, dukungan penyuluhan pertanian, dukungan lingkungan berhubungan nyata positif dengan tingkat keberdayaan petani sayuran. Temuan penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan petani tergolong rendah, hal ini disebabkan karena rendahnya karakteristik petani, kurangnya dukungan penyuluhan dan rendahnya dukungan lingkungan.

118 98 Hubungan antara karakteristik internal petani dengan keberdayaan petani Karakteristik internal petani yang berhubungan nyata positif dengan tingkat keberdayaan petani adalah pendidikan formal, pendidikan non formal, kekosmopolitan, keberanian menanggung resiko dan motivasi dalam berusaha tani. Keeratan hubungan ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal petani, semakin sering petani mengikuti pendidikan non formal, semakin tinggi tingkat kekosmopolitan petani dan semakin berani petani menanggung resiko dalam berusahatani maka tingkat keberdayaan petani semakin tinggi. Sebaliknya semakin tua umur petani maka terdapat kecenderungan semakin rendah tingkat keberdayaannya. Nilai hubungan karakteristik internal petani dengan tingkat keberdayaan disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Koefisien korelasi antara Karakteristik Internal Petani dengan Keberdayaan Petani Karakteristik internal petani Keberdayaan petani Koefisien korelasi Umur -0,193** Pendidikan formal 0,190** Pendidikan non formal 0,193** Luas lahan 0,074 Pengalaman usahatani 0,110 kekosmopolitan 0,264** Keberanian menanggung resiko 0,345** Motivasi 0,205** Keterangan:**sangat nyata pada p<0,01 Kekosmopolitan, keberanian petani menanggung resiko dalam berusahatani dan motivasi petani merupakan tiga indikator karakteristik internal petani yang berhubungan nyata positif dengan tingkat keberdayaan petani. Kekosmopolitan merupakan keterbukaan petani terhadap sumber informasi. Hasil penelitian menggambarkan bahwa tingkat kekosmopolitan petani di Kabupaten Agam dan Tanah Datar tergolong sangat rendah, dengan rata-rata skor 21 (kategori sangat rendah). Rendahnya tingkat kekosmopolitan petani menunjukkan bahwa petani jarang sekali mencari informasi dari berbagai media massa atau sumber informasi dari luar sistem sosialnya. Temuan penelitian juga menunjukkan bahwa keberanian petani mengambil resiko dalam berusahatani tergolong rendah, dengan rataan skor 50 (kategori rendah). Hal ini menunjukkan bahwa petani takut untuk mencoba halhal baru dalam usahataninya dan lebih memilih bertahan dengan kebiasaan lama. Meskipun motivasi petani dalam berusahatani tergolong sedang, namun dengan rendahnya tingkat kekosmopolitan dan keberanian petani menanggung resiko menyebabkan kecenderungan rendahnya tingkat keberdayaan petani. Senada dengan hasil penelitian Mulyandari et al. (2012) yang menunjukkan bahwa karakteristik petani merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberdayaan petani. Menurut Dumasari dan Watemin (2013) pemberdayaan perlu disesuaikan dengan karakteristik petani miskin termasuk dari dimensi sosial ekonomi.

119 99 Pendidikan non formal yang diikuti petani juga berhubungan erat dengan tingkat keberdayaan petani, yang bermakna bahwa semakin sering petani mengikuti kegiatan penyuluhan atau pelatihan maka terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat keberdayaan petani. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan dari Bustang et al. (2008) yang menyatakan bahwa pendidikan non formal merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keberdayaan petani miskin pedesaan. Hubungan antara Dukungan Penyuluhan Pertanian dengan Keberdayaan Dukungan penyuluhan berhubungan nyata positif dengan tingkat keberdayaan. Indikator penyuluhan yang berhubungan nyata dengan tingkat keberdayaan petani adalah : kompetensi penyuluhan dan frekuensi penyuluhan. Nilai hubungan antara tingkat keberdayaan petani dengan intensitas penyuluhan disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Koefisien korelasi antara Dukungan Penyuluhan dengan Keberdayaan Petani Dukungan Penyuluhan Keberdayaan Petani Ketepatan metode penyuluhan 0,085 Kesesuaian Materi penyuluhan 0,073 Kesesuaian model komunikasi 0,080 Kompetensi penyuluh 0,255** Intensitas penyuluhan 0,233** Dukungan penyuluhan 0,237** Keterangan:**sangat nyata pada p<0,01 Hasil uji korelasi menunjukkan keeratan hubungan antara kompetensi penyuluh pertanian dan intensitas penyuluhan dengan tingkat keberdayaan petani sayuran. Hal ini bermakna bahwa semakin tinggi kompetensi penyuluh dan semakin tinggi intensitas penyuluhan terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat keberdayaan petani. Hasil penelitian menggambarkan bahwa kompetensi penyuluh pertanian tergolong sedang dengan rataan skor 59 (sedang). Kompetensi dapat digunakan untuk memprediksi bahwa seseorang akan mampu menyelesaikan pekerjaan dengan baik atau tidak (Malta 2011). Menurut Anwas (2011) kompetensi penyuluh pertanian adalah kemampuan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan, dan didukung oleh sikap yang dituntut dalam melaksanakan tugasnya untuk memberdayakan petani. Penyuluhan merupakan salah satu bentuk proses pemberdayaan melalui pendidikan, dan penyuluh adalah pelaku pemberdayaan. Hubungan antara kemampuan pelaku pemberdayaan dengan keberdayaan petani sejalan dengan hasil penelitian Widjajanti (2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas penyuluhan di dua lokasi penelitian tergolong rendah dengan rataan skor 27 (kategori rendah). Menurut Asngari (2008) penyuluhan adalah kegiatan pendidikan dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai dengan yang direncanakan dan ini merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu klien agar lebih berdaya

120 100 secara mandiri. Senada dengan Padmowiharjo (2006) yang menyatakan bahwa penyuluhan pertanian adalah proses pemberdayaan petani, bukan lagi sebagai proses transfer teknologi kepada petani seperti pada masa Revolusi Hijau yang lalu. Hubungan yang erat antara proses pemberdayaan dengan tingkat keberdayaan petani sejalan dengan hasil penelitian Widjajanti (2011) yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi dimana semakin tinggi proses pemberdayaan akan dapat menciptakan keberdayaan masyarakat. Hubungan antara Dukungan Lingkungan dengan Keberdayaan Dukungan lingkungan berhubungan nyata positif dengan tingkat keberdayaan petani sayuran. Indikator dukungan lingkungan yang berhubungan nyata dengan tingkat keberdayaan petani adalah: kebijakan pemerintah terkait dengan pertanian organik, dukungan kelembagaan yang berhubungan dengan usahatani yang terdiri dari; lembaga penyedia sarana produksi, lembaga pemasaran, lembaga penyedia modal, lembaga informasi dan pembelajaran serta lembaga sertifikasi, dan dukungan sumberdaya alam. Menurut Dariah (2009) pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu upaya untuk mempersiapkan masyarakat dengan memperkuat kelembagaan masyarakat agar mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial berkelanjutan. Nilai hubungan antara dukungan lingkungan dengan tingkat keberdayaan petani disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Koefisien korelasi antara dukungan lingkungan dengan keberdayaan Petani Dukungan lingkungan Keberdayaan Petani Dukungan kebijakan pemerintah 0,517** Dukungan kelembagaan 0,353** Dukungan sistem sosial 0,090 Dukungan sumberdaya alam 0,215** Dukungan lingkungan 0,435** Keterangan:**sangat nyata pada p<0,01 Hasil penelitian menggambarkan bahwa dukungan kebijakan dan kelembagaan yang terkait dengan usahatani tergolong rendah, yaitu dengan rataan skor masing-masingnya adalah 49 dan 50 (kategori rendah). Rendahnya dukungan kebijakan pemerintah berarti bahwa kebijakan pemerintah yang mendorong perkembangan kegiatan usahatani sayuran organik belum dirasakan perannya oleh petani. Begitu juga halnya dengan ketersediaan lembaga pendukung usahatani yang meliputi lembaga penyedia sarana produksi, lembaga penyedia modal, lembaga informasi, lembaga pembelajaran dan sertifikasi serta lembaga pemasaran masih belum menunjukkan perannya. Rendahnya peran dan ketersediaan kebijakan pemerintah yang mendorong usahatani serta tidak tersedianya lembaga pendukung usahatani yang memadai menyebabkan kecenderungan rendahnya tingkat keberdayaan petani. Menurut Ife

121 101 dan Tesoriero (2008) strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai keberdayaan adalah melalui kebijakan dan perencanaan, aksi sosial dan politik, pendidikan dan penyadaran. Pemberdayaan melalui kebijakan dan perencanaan dicapai dengan mengembangkan atau mengubah struktur-struktur dan lembaga-lembaga untuk mewujudkan akses yang lebih adil kepada sumberdaya atau berbagai layanan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan keberdayaan petani sayuran maka pengembangan keberdayaan petani dapat dilakukan dengan cara: pertama, penguatan karakteristik internal petani oleh lembaga penyuluhan dapat dilakukan melalui fasilitasi petani dengan kegiatan-kegiatan pelatihan dan penyuluhan, memperkenalkan petani dengan media-media dan sumber informasi yang dapat mendukung perkembangan usahatani. Kedua, penguatan dukungan penyuluhan melalui peningkatan kompetensi penyuluh dan kegiatan penyuluhan yang berkelanjutan. Dan ketiga, penguatan dukungan lingkungan oleh pemerintah, dengan menyusun kebijakan-kebijakan yang mendukung perkembangan usahatani, memfasilitasi pengembangan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan usahatani serta pengembangan penelitian oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi. SIMPULAN 1. Tingkat keberdayaan petani sayuran yang pernah mendapatkan program pengembangan sayuran organik di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar tergolong rendah. 2. Faktor-faktor yang berhubungan nyata dengan tingkat keberdayaan petani sayuran adalah : karakteristik internal petani terutama pendidikan formal, pendidikan non formal, kekosmopolitan, keberanian menanggung resiko dan motivasi berusahatani; dukungan penyuluhan pertanian terutama berkaitan dengan kompetensi penyuluh dan intensitas penyuluhan; dukungan lingkungan yang terdiri dari dukungan kebijakan pemerintah, dukungan kelembagaan yang berkaitan dengan usahatani sayuran organik; dan dukungan sumberdaya alam.

122 102 6 FAKTOR PENENTU DALAM TINGKAT ADOPSI SISTEM PERTANIAN SAYURAN ORGANIK DAN KEBERDAYAAN PETANI DI PROVINSI SUMATERA BARAT ABSTRACT This study aims to analyze the determinants factors in adoption of the organic vegetable farming system and empowerment of farmers, and to construct a model of the increased adoption of the organic vegetable farming system towards the empowerment of vegetable farmers. The study was conducted in Agam and Tanah Datar district of West Sumatra. The sample of study consists of 300 vegetables farmers who attended development programs of the organic vegetable areas in West Sumatra. Data collection was conducted from September 2013 until January 2014, which consists of primary and secondary data. Data analysis was performed using the structural equation models (SEM). The results showed that the level of adoption of the organic vegetable farming system and vegetable farmers empowerment in Tanah Datar and Agam district are in the low category. Factors that affect the rate of adoption of the organic vegetable farming system consist of support of external environment, attributes of innovations of the organic vegetable farming system, extension support and behavior of farmers reflected by the knowledge, attitudes and skills of farmers in the organic farming. The model of increased adoption of the organic vegetable farming system towards the empowerment of farmers is approached by the dominants factors that affect the level of adoption of the organic vegetable farming system. Keywords: determinants factors, adoption, organic vegetable farming system, empowerment. PENDAHULUAN Keberlanjutan dalam pembangunan pertanian menjadi masalah penting yang sangat diperhatikan di seluruh kawasan pertanian saat ini. Pembangunan pertanian mendapat kritik tajam karena aktivitas pertanian yang selama ini dilakukan sarat dengan penggunaan input kimia dalam jumlah yang relatif tinggi, sehingga mengakibatkan rusaknya lingkungan alam. Hal ini menimbulkan seruan terhadap sektor pertanian untuk tidak hanya mengeksploitasi namun sebaiknya pertanian harus dilakukan dengan cara-cara yang ramah lingkungan, memanfaatkan sumberdaya daya alam dan input lokal yang tersedia dengan sebaik-baiknya (Leeuwis 2009). Salah satu sistem pertanian yang merupakan implementasi dari sistem pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian organik. Pertanian organik merupakan sistem produksi holistik yang menghindari penggunaan pupuk sintetis, pestisida dan organisme yang dimodifikasi secara genetik, sehingga meminimalkan efek merusak terhadap lingkungan (Kambas et al. 2012). Beberapa hasil penelitian (Beban 2008, Widodo 2010, Widiarta dan Adiwibowo 2011) menunjukkan bahwa dengan menerapkan sistem pertanian organik, petani akan memperoleh manfaat, diantaranya mengurangi biaya produksi, mendapatkan harga yang lebih tinggi dari produk konvensional, meningkatkan pendapatan, menghindari ketergantungan dari pihak penyalur input dan meningkatkan

123 103 keberlanjutan ekonomi petani serta meningkatkan kesehatan petani dan keluarganya. Sistem pertanian organik telah mengalami perkembangan pesat pada dekade terakhir, ditandai dengan tumbuhnya permintaan pertanian organik di seluruh dunia sebesar 20% per tahun (Damardjati 2006). Pemerintah Indonesia mendukung kecenderungan pertanian organik dengan program Go Organik Program yang dikembangkan sejak tahun 2001 ini terdiri dari sosialisasi dan pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan regulasi, fasilitas bantuan teknis dan sertifikasi, promosi pasar serta industrialisasi dan perdagangan (Ditjen BPPHP Deptan 2010). Berbagai upaya telah dilakukan untuk memasyarakatkan sistem pertanian organik, namun berdasarkan berbagai survey dan hasil pengamatan di lapangan, ternyata pertanian organik mengalami perkembangan yang lambat di tengah-tengah masyarakat petani. Perkembangan yang lambat tersebut, juga diikuti dengan terjadinya penurunan luas area pertanian organik di Indonesia pada tahun 2010 sampai Berdasarkan data statisitik pertanian organik Indonesia 2012, total luas area pertanian organik Indonesia tahun 2010 adalah ,24 ha namun tahun 2012 luas lahan pertanian organik Indonesia tercatat ,55 ha yang berarti mengalami penurunan sekitar 10% (Ariesusanty 2012). Di Sumatera Barat, sebagai salah satu daerah percontohan pertanian organik di Indonesia, juga menunjukkan lambatnya perkembangan sistem pertanian organik di kalangan petani (Daniel 2011). Penelitian bertujuan untuk: (1) menganalisis faktor-faktor penentu yang mempengaruhi tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani, dan (2) merumuskan model dan strategi yang dapat meningkatkan adopsi sistem pertanian sayuran organik menuju keberdayaan petani sayuran di Provinsi Sumatera Barat. Kerangka Berpikir Merujuk kepada teori difusi inovasi yang dikemukakan Rogers (2003), konsep-konsep komunikasi inovasi dari Leeuwis (2009) pendekatan perilaku, teori belajar (Klausmeir dan Goodwin 1971) dan berdasarkan beberapa hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan adopsi inovasi dan perubahan perilaku maka disusunlah kerangka pemikiran penelitian, yang menunjukkan hubungan antara beberapa peubah yang diteliti. Penelitian berusaha menemukan penjelasan adopsi inovasi sistem pertanian organik secara komprehensif, yaitu mulai dari faktorfaktor yang mempengaruhi adopsi inovasi oleh petani, sumber inovasi dan tingkat adopsi petani, sampai pada konsekuensi inovasi. Menurut Rogers (2003) bahwa adopsi inovasi tidaklah berhenti sampai pada tahap diterapkannya inovasi oleh petani namun sampai pada tahap bagaimana konsekuensi adopsi inovasi tersebut. Beberapa peubah yang diduga mampu menjelaskan alasan yang menyebabkan petani mengadopsi atau tidak mengadopsi inovasi pertanian organik antara lain: 1) perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani sebagai hasil proses belajar yang diperoleh petani, 2) dukungan penyuluhan, 3) persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi pertanian organik (yang terdiri dari tingkat keuntungan relatif, kerumitan inovasi, tingkat kesesuaian, tingkat kemudahan untuk dicoba, tingkat keteramatan inovasi) dan 4) faktor lingkungan yang meliputi kebijakan dalam pertanian, ketersediaan lembaga pendukung (keberadaan

124 104 kelompok tani, penyedia modal, ketersediaan pasar, lembaga informasi), dukungan anggota sistem sosial serta dukungan sumberdaya lahan dan infrastruktur. Hubungan antara masing-masing peubah yang diamati dalam penelitian faktor penentu tingkat adopsi inovasi sistem pertanian organik oleh petani sayuran disajikan pada Gambar 13 Gambar 13 Kerangka Hubungan Antara Peubah Penelitian Faktor Penentu Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan pengumpulan data menggunakan metode survei. Lokasi penelitian adalah di kecamatan-kecamatan yang merupakan daerah pengembangan pertanian sayuran organik di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat. Populasi penelitian petani sayuran yang pernah mengikuti program pengembangan pertanian sayuran organik di lokasi penelitian. Jumlah populasi penelitian terdiri dari 541 orang petani, tersebar sebanyak 303 orang di Kabupaten Agam dan 238 orang di Kabupaten Tanah Datar. Sampel penelitian ditetapkan sebanyak 300 orang, tersebar di Kabupaten Agam sebanyak 168 orang dan 132 orang di Kabupaten Tanah Datar. Penetapan jumlah sampel ditentukan secara proporsional berdasarkan sebaran populasi di daerah penelitian dan penentuan anggota sampel dilakukan secara acak.

125 105 Berdasarkan informasi dari pejabat lingkup Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan BP4KP Kabupaten, dari setiap Kabupaten dipilih kecamatankecamatan yang merupakan daerah pengembangan pertanian sayuran organik di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Kecamatan yang terpilih di Kabupaten Agam adalah kecamatan Baso, Canduang, Kamang Magek dan Banuhampu, sedangkan di Kabupaten Tanah Datar adalah Kecamatan X Koto, Pariangan, Tanjung Baru dan Salimpauang. Penelitian dilaksanakan bulan September 2013 sampai Januari Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Lembaga Sertifikasi Organik Sumatera Barat, Badan Pusat Statistik Sumatera Barat, Balai penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Ketahanan Pangan di setiap Kecamatan yang termasuk lokasi penelitian. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial dengan analisis SEM (Struktural Equation Model) menggunakan program Lisrel Kerangka hipotetik model struktural peubah penelitian disajikan pada Lampiran 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor Penentu dalam Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani Analisis terhadap faktor penentu dalam tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani menggunakan SEM dengan bantuan program LISREL Hasil uji kesesuaian model menunjukkan bahwa hybrid model yang diperoleh (Gambar 14) telah fit dengan data yang ditunjukkan oleh lima ukuran Goodness of Fit, yaitu: nilai RMSEA =0,054 ( 0,08), nilai GFI= 0,95 ( 0,90), nilai AGFI = 0,95 ( 0,90), nilai CFI=0,98 ( 0,90), dan nilai NFI=0,96 ( 0,95) yang berarti model yang dihasilkan melalui penelitian ini dapat diberlakukan untuk populasi. Hasil analisis menghasilkan model struktural dalam bentuk diagram lintasan sebagaimana yang disajikan pada Gambar 14. Pengaruh langsung dan tidak langsung antar peubah penelitian disajikan dalam Tabel 35. Hasil analisis model struktural pada Gambar 14 memperlihatkan faktorfaktor penentu perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik, faktorfaktor penentu dalam tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani, dan faktor-faktor penentu tingkat keberdayaan petani sayuran. Gambar 14 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik adalah peubah: (1) intensitas belajar petani (X2) dan (2) dukungan penyuluhan (X3). Pengaruh kedua peubah ini bersifat langsung. Secara simultan pengaruh kedua peubah terhadap perilaku petani adalah sebesar 0,65. Hal ini mempunyai makna bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model tersebut sebesar 65 persen, sedangkan sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang belum terdapat dalam model. Model persamaan struktural faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik adalah: Y1 = 0,73*X2+0,16*X3, R 2 =0,65... (Persamaan 1)

126 106 RMSEA=0,054, GFI=0,97, AGFI=0,95, CFI=0,98, NFI=0,96 Gambar 14 Model Struktural Faktor Penentu Adopsi Sistem PertanianSayuran Organik dan Keberdayaan Petani Untuk menguji hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dan t- tabel untuk masing-masing peubah. Jika nilai t-hitung masing-masing peubah lebih besar dari t-tabel (1,96) pada taraf nyata 0,05, maka hipotesis 1 diterima. Mengacu pada persamaan 1, Gambar 14 dan Tabel 35 maka secara statistik intensitas belajar petani dan dukungan penyuluhan berpengaruh nyata terhadap perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik sebesar 0,73 dan 0,16. Dengan demikian hipotesis 1 penelitian yang berbunyi: Perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik internal petani, intensitas belajar petani dan dukungan penyuluhan, diterima untuk peubah intensitas belajar petani (X2) dan dukungan penyuluhan (X3) dan ditolak untuk peubah karakteristik internal petani (X1). Faktor yang paling besar mempengaruhi perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik adalah intensitas belajar petani dan diikuti oleh dukungan penyuluhan. Indikator yang merefleksikan intensitas belajar petani adalah: ragam metode belajar, kesesuaian materi belajar, frekuensi belajar, ragam

127 107 Tabel 35 Dekomposisi Pengaruh Langsung dan Pengaruh Tidak langsung antar Peubah Penelitian Pengaruh antar peubah Peubah Bebas Peubah Terikat Lang sung Koefisien Pengaruh Tidak langsung melalui Total Nilai t pada α = 0,05 Y1 Y2 Y1 dan Y2 X2 Y1 0,73 0,73 22,43 0,65 X3 0,16 0,16 5,21 X2-0,31 0,31 3,92 0,46 X3-0,27-0,27 4,46 X4 Y2 0,22 0,22 3,65 X5 0,31 0,31 3,92 Y1 0,42 0,42 5,35 X ,18 0,18 5,95 0,75 X3 Y ,04 0,04 2,97 X ,13-0,13 3,31 X5 0, ,42 21,37 Y ,24-0,24 4,83 Y2 0, ,58 16,48 Keterangan : X2=Intensitas belajar petani X3=Dukungan penyuluhan X4=Sifat inovasi X5= Dukungan lingkungan eksternal Y1=Perilaku petani dalam Sistem Pertanian Sayuran Organik Y2=Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Sayuran organik Y3=Tingkat keberdayaan petani sayuran sumber informasi, intensitas interaksi dengan anggota kelompok, dan intensitas interaksi dengan sumber belajar. Hasil penelitian Zulvera et al. (2014) menunjukkan bahwa intensitas belajar petani di Kabupaten Agam dan Tanah Datar tergolong rendah yang tercermin dari sangat rendahnya ragam metode belajar yang digunakan petani, rendahnya frekuensi belajar yang dilakukan petani, sangat rendahnya ragam sumber informasi serta intensitas interaksi dengan sumber belajar. Rendahnya intensitas belajar petani mempengaruhi perilaku petani yang tercermin dari rendahnya keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Peubah berikutnya yang mempengaruhi perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik adalah dukungan penyuluhan. Dukungan penyuluhan direfleksikan oleh peubah ketepatan metode penyuluhan, kesesuaian materi penyuluhan, kesesuaian model komunikasi, kompetensi penyuluh dan intensitas penyuluhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan penyuluhan tergolong sedang, yang tercermin dari semua indikator kecuali intensitas penyuluhan yang berada pada kategori rendah. Dukungan penyuluhan yang dirasakan sedang oleh petani ini mempengaruhi perilaku petani yang tercermin dari tingkat pengetahuan petani tentang sistem pertanian sayuran organik tergolong sedang, sikap petani terhadap sistem pertanian sayuran organik tergolong baik, namun keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran R 2

128 108 organik berada pada kategori rendah. Hal ini memperlihatkan bahwa penyuluhan sebagai proses pendidikan yang bertujuan untuk mengubah perilaku petani kearah yang lebih baik belum berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan. Slamet (2003) menyatakan bahwa untuk menguji apakah suatu kegiatan itu pendidikan atau bukan dapat dilihat dengan hasil kegiatan tersebut, apakah menghasilkan perubahan perilaku pada orang-orang yang terkena kegiatan. Perubahan perilaku biasanya berupa: (1) perubahan dalam pengetahuan atau hal yang diketahui, (2) perubahan dalam keterampilan atau kebiasaan dalam melakukan sesuatu, dan (3) perubahan dalam sikap mental atau segala sesuatu yang dirasakan (Slamet 2003). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi Sistem Pertanian sayuran Organik Hasil analisis SEM yang disajikan pada Gambar 14 menunjukkan bahwa peubah-peubah yang berpengaruh langsung terhadap tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik secara berturut-turut adalah: (1) perilaku petani berkaitan dengan sistem pertanian sayuran organik (Y1), (2) dukungan lingkungan eksternal (X5), (3) sifat inovasi (X4) dan (4) dukungan penyuluhan (X3). Secara simultan pengaruh keempat peubah terhadap tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik adalah sebesar 0,46. Hal ini mempunyai makna bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model tersebut sebesar 46 persen, sedangkan sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang belum terdapat dalam model. Dan peubah yang berpengaruh tidak langsung terhadap tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik adalah intensitas belajar petani. Model persamaan struktural faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik adalah: Y2 =0,42*Y1-0,27*X3+0,22*X4+0,31*X5, R 2 =0,46...(Persamaan 2) Untuk menguji hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dan t- tabel untuk masing-masing peubah. Jika nilai t-hitung masing-masing peubah lebih besar dari t-tabel (1,96) pada taraf nyata 0,05, maka hipotesis 2 diterima. Mengacu pada persamaan 2, Gambar 14 dan Tabel 35 maka secara statistik peubah dukungan perilaku petani, dukungan lingkungan, sifat inovasi dan dukungan penyuluhan berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik. Dengan demikian hipotesis 2 penelitian yang berbunyi: Tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dipengaruhi secara nyata oleh perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik, dukungan penyuluhan, sifat inovasi pertanian organik, dan dukungan lingkungan, diterima. Pengaruh keempat peubah tersebut bersifat langsung, dengan pengaruh terbesar secara berturut-turut adalah: perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik, dukungan lingkungan eksternal, dukungan penyuluhan dan persepsi petani tentang sifat inovasi. Tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik rendah. Rendahnya tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik disebabkan oleh lemahnya perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik terutama berkaitan dengan keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik, lemahnya dukungan lingkungan terutama dukungan kebijakan dan kelembagaan terkait usahatani sayuran organik,

129 109 rendahnya persepsi petani terhadap sifat-sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik terutama keuntungan relatif dan keteramatan inovasi, serta lemahnya intensitas penyuluhan. Pengaruh masing-masing faktor terhadap tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani diuraikan sebagai berikut. Perilaku Petani dalam Sistem Pertanian Sayuran Organik Perilaku petani merupakan faktor pertama yang memberikan pengaruh paling kuat terhadap tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani yang direfleksikan oleh indikator: (a) pengetahuan petani tentang sistem pertanian sayuran organik, (b) sikap petani terhadap sistem pertanian sayuran organik, dan (3) keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku petani dapat meningkatkan adopsi sistem pertanian sayuran organik. Semakin baik perilaku petani dalam merespon sistem pertanian sayuran organik maka akan semakin meningkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani. Indikator keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik merupakan indikator yang paling kuat merefleksikan perilaku petani (λ=0,82) diikuti oleh sikap (λ=0,68) dan pengetahuan petani tentang sistem pertanian sayuran organik (λ=0,61). Dengan demikian pengaruh keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik berpotensi paling besar untuk meningkatkan adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik. Hasil penelitian Zulvera et al. (2014) menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan petani tentang sistem pertanian sayuran organik tergolong sedang, sikap petani terhadap sistem pertanian sayuran organik tergolong baik, namun keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik tergolong rendah. Rendahnya keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik mempengaruhi tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani. Tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik di Kabupaten Agam dan Tanah Datar tergolong rendah. Dapat dikatakan rendahnya tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani salah satunya dipengaruhi oleh perilaku petani yang tercermin dari rendahnya keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Meskipun sikap petani terhadap sistem pertanian sayuran organik tergolong baik dan tingkat pengetahuannya berada pada kategori sedang, namun rendahnya keterampilan petani menyebabkan rendahnya tingkat adopsi petani. Hasil penelitian ini memperkuat apa yang disampaikan Rolling dan Kuiper (Leeuwis 2009) yang menyatakan bahwa petani melakukan atau tidak melakukan sesuatu tergantung kepada: (a) apa yang mereka yakini benar/apa yang mereka tahu, (b) apa yang mereka cita-citakan yang akan dicapai (c) apa yang mereka pikir bahwa mereka mampu melakukannya, dan (d) apa yang mereka pikir bahwa mereka diperbolehkan atau diharapkan untuk melakukan. Hal ini dikembangkan oleh Leeuwis (2009) yang menjelaskan bahwa respon individu petani terhadap inovasi yang ditawarkan salah satunya tergantung pada peubah yang berkaitan dengan kekuatan petani untuk memobilisir sumberdaya, ketersediaan keterampilan dan kompetensi yang dirasakan petani. Menurut Tjitropranoto (2005) kapasitas diri petani akan menentukan tingkat potensi atau kesiapan petani dalam menerima teknologi yang dikenalkan kepadanya. Adapun kapasitas diri petani tersebut terdiri dari pengetahuan, keterampilan, sikap, percaya diri, komitmen dan kewirausahaan.

130 110 Perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik merupakan respon petani terhadap informasi yang berkaitan dengan sistem pertanian sayuran organik yang diterima petani. Perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsang yang mengenai individu atau organisme tersebut (Walgito 2005). Berdasarkan hasil analisis SEM (Gambar 14) diketahui bahwa faktorfaktor yang berpengaruh nyata positif terhadap perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik adalah intensitas belajar petani dan dukungan penyuluhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas belajar petani merupakan faktor paling besar pengaruhnya terhadap perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Temuan penelitian mendukung pendekatan belajar yang menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh apa yang telah dipelajari individu pada masa lalu (Sears et al. 1985). Intensitas belajar petani direfleksikan oleh indikator ragam metode belajar, kesesuaian materi belajar, frekuensi belajar, ragam sumber informasi, intensitas interaksi dengan anggota kelompok, dan intensitas interaksi dengan sumber belajar. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat intensitas belajar petani maka semakin tinggi pengetahuan, sikap dan keterampilan petani. Kondisi ini berpengaruh secara tidak langsung terhadap tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani. Hasil penelitian yang berkaitan dengan perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik yang dilakukan Zulvera et al. (2014) menunjukkan bahwa intensitas belajar petani tergolong rendah dengan rataan skor 40,60 dengan rentang skor Rendahnya intensitas belajar petani terutama pada aspek ragam metode belajar, frekuensi belajar, ragam sumber informasi dan intensitas interaksi dengan sumber belajar mempengaruhi rendahnya perilaku petani dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap rendahnya tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani. Dukungan penyuluhan pertanian Dukungan penyuluhan pertanian merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku petani secara langsung dan mempengaruhi tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik secara tidak langsung. Dukungan penyuluhan mempengaruhi perilaku petani secara nyata dan positif, yang bermakna bahwa semakin kuat dukungan penyuluhan pertanian maka semakin tinggi pengetahuan, sikap dan keterampilan petani. Faktor dukungan penyuluhan direfleksikan oleh peubah: (a) ketepatan metode penyuluhan, (b) kesesuaian materi penyuluhan, (c) kesesuaian model komunikasi, (c) kompetensi penyuluh, dan (d) kompetensi penyuluh. Kompetensi penyuluh memiliki pengaruh dominan terhadap peningkatan perilaku petani melalui penyuluhan, diikuti oleh kesesuaian model komunikasi dan kesesuaian materi penyuluhan. Pengertian penyuluhan menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yaitu: Proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya,

131 111 serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian lingkungan hidup. Menurut Sumardjo (2010) penyuluhan pada dasarnya merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas perilaku seseorang atau individu, yang meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik/konotif sehingga memiliki individualitas (human capital bukan individualistis) yang siap mewujudkan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya. Dalam rangka mewujudkan tujuan penyuluhan maka lembaga penyuluhan harus didukung oleh tenaga-tenaga yang ahli, trampil dan kompeten. Kompetensi yang harus dimiliki oleh penyuluh menurut Sumardjo (2010) adalah; kompetensi personal, kompetensi sosial, kompetensi andragogik, kompetensi komunikasi inovatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kompetensi penyuluh tergolong sedang dengan rataan skor 59,17 dalam rentang skor 0 100, yang bermakna bahwa penyuluh belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan harapan. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di lapangan diperoleh informasi bahwa kompetensi penyuluh yang dirasakan rendah oleh petani adalah dalam hal pengetahuan tentang teknik sistem pertanian sayuran organik dan informasi tentang pasar produk sayuran organik. Analisis deskriptif data memperlihatkan bahwa 58,3 persen penyuluh memiliki pengetahuan tentang teknik pertanian sayuran organik dalam kategori sedang dan 34,7 persen penyuluh memiliki pengetahuan tentang teknik pertanian sayuran organik rendah. Pendapat petani tentang kemampuan penyuluh dalam menjalin kerjasama dengan lembaga agribisnis berkaitan dengan pertanian sayuran organik menunjukkan bahwa 65,7 persen penyuluh memiliki kemampuan yang rendah dan 25 persen memiliki kemampuan sedang dalam menjalin kerjasama dengan lembaga agribisnis. Dan hanya 9,3 persen penyuluh yang dirasakan petani memiliki kemampuan yang tinggi dalam menjalin kerjasama dengan lembaga agribisnis terkait pertanian organik. Meskipun dukungan penyuluhan secara total tergolong sedang, namun penyuluhan belum mampu meningkatkan keterampilan petani ke level yang lebih baik karena terdapatnya beberapa indikator kompetensi penyuluhan, model komunikasi dan kesesuaian materi dan intensitas penyuluhan yang berada dilevel rendah dengan persentase yang tinggi. Dukungan penyuluhan pertanian merupakan salah satu peubah yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik. Hasil analisis SEM memperlihatkan bahwa penyuluhan pertanian berpengaruh positif terhadap aspek perilaku petani yang meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam sistem pertanian organik, namun penyuluhan pertanian berpengaruh negatif terhadap tingkat adopsi sistem pertanian organik. Hubungan yang negatif ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Kegiatan penyuluhan adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mengubah perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan petani, kemudian petani akan mempergunakan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya tersebut untuk menerapkan inovasi pertanian organik. Jika penyuluhan langsung ditujukan agar petani segera mengadopsi inovasi yang diperkenalkan, hal itu berarti penyuluhan dilakukan dengan sistem pemaksaan, dan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip penyuluhan yang berakibat rendahnya tingkat adopsi petani terhadap inovasi. Hasil pengamatan dan wawancara dengan petani menunjukkan bahwa penyuluhan yang dilakukan di daerah penelitian cenderung bersifat linear. Hal ini terlihat dari materi penyuluhan yang ditetapkan oleh penyuluh bukan berasal dari

132 112 hasil diskusi dan interaksi antar petani. Kondisi ini menunjukkan bahwa penyuluhan di Kabupaten Agam dan Tanah Datar belum partisipatif masih berlaku paradigma linear. Hasil penelitian Sumardjo (1999) menunjukkan bahwa penyuluhan dengan pendekatan dialogis, humanis, dan dengan model komunikasi yang konvergen secara signifikan lebih efektif untuk meningkatkan kemandirian petani dibanding dengan model penyuluhan yang top-down dan dengan model komunikasi yang linier. Paradigma penyuluhan yang cenderung linear dan kurang terjadinya interaksi antar petani merupakan penyebab dukungan penyuluhan berpengaruh negatif terhadap tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani. Hubungan yang negatif antara penyuluhan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik juga disebabkan penyuluhan tentang pertanian organik hanya dilakukan secara intensif pada periode tertentu disaat ada program pengembangan sayuran organik. Setelah batas waktu program tersebut selesai, penyuluhan tentang organik tidak intensif dan berkelanjutan lagi. Walaupun program pertanian organik masih ada di lokasi tersebut, namun kelompok petani yang akan disentuh secara intensif oleh penyuluhan organik adalah kelompok yang baru lagi. Tidak berkelanjutannya kegiatan penyuluhan organik ini digambarkan petani seolah-olah mereka dilepaskan pada saat belum pandai berjalan sendiri, yang berakibat mereka tidak melanjutkan pengetahuan yang diperoleh dengan penerapan di lahan usahataninya. Merujuk pada pendapat Padmowiharjo (2006) bahwa penyuluhan pertanian adalah proses pemberdayaan petani, bukan lagi sebagai proses transfer teknologi kepada petani seperti pada masa Revolusi Hijau yang lalu dan penyuluhan adalah suatu sistem pendidikan (Slamet 2003), maka penyuluhan harus dilakukan dengan berpijak pada falsafah pendidikan yang salah satunya adalah kesinambungan. Sejalan dengan pendapat Pranadji (2003) penyebab kurang berhasilnya upaya pemberdayaan masyarakat masa lalu diantaranya adalah upaya pemberdayaan umumnya masih terlalu berorientasi pada target, jangka pendek dan tidak berlanjut. Rendahnya intensitas penyuluhan, dan tidak berkelanjutannya program penyuluhan menyebabkan lemahnya dukungan penyuluhan terhadap perubahan perilaku petani. dan secara tidak langsung mempengaruhi rendahnya tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik. Dukungan Lingkungan Dukungan lingkungan merupakan faktor berikutnya yang mempengaruhi tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani, yang direfleksikan oleh peubah: (a) dukungan kebijakan, (b) dukungan lembaga yang terkait dengan usahatani, (c) dukungan sistem sosial, dan (d) dukungan sumberdaya alam dan infrastruktur. Keempat peubah mempengaruhi tingkat adopsi secara nyata dan positif, yang bermakna bahwa semakin tinggi dukungan lingkungan eksternal maka akan semakin tinggi tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani. Hasil penelitian mmenunjukkan bahwa dukungan kebijakan dan kelembagaan terkait usahatani sayuran organik tergolong rendah dengan rataan skor 49,9 dan 49,31 dalam rentang skor Lemahnya dukungan kebijakan

133 113 pemerintah yang berkaitan dengan pertanian organik, menyebabkan rendahnya adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik. Begitu juga dengan ketersediaan lembaga-lembaga yang mendukung usahatani organik, mulai dari hulu hingga hilir, yang meliputi lembaga sarana produksi, lembaga modal, pemasaran, lembaga informasi, sertifikasi dan pembelajaran yang dapat diakses oleh petani merupakan bagian dari faktor yang mempengaruhi keberlanjutan adopsi sistem pertanian organik oleh petani. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Karki et al. (2011) dan Ismail et al. (2013). Rendahnya tingkat ketersediaan dari lembaga-lembaga yang mendukung usahatani sayuran organik menyebabkan rendahnya tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik. Menurut Purnaningsih et al. (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi inovasi adalah, kepastian pasar dari produk yang dihasilkan, ketersediaan sarana transportasi dan telekomunikasi, ketersediaan sarana pembelajaran dan sarana kredit. Hasil penelitian Pattanapant dan Shivakoti (2009) menunjukkan bahwa proses sertifikasi organik yang sulit menjadi salah satu faktor kendala dalam meningkatkan penerapan pertanian organik. Untuk kasus Provinsi Sumatera Barat, proses sertifikasi yang memberatkan bagi petani adalah berkaitan dengan penyusunan dokumen untuk sertifikasi. Dalam penyusunan dokumen ini petani harus mencatat semua aktivitas usahatani yang dilakukannya mulai dari penyiapan lahan sampai pemasaran hasil usahatani. Berkaitan dengan proses ini petani menyebutnya mencatat apa yang dikerjakan, dan mengerjakan apa yang dicatat. Jadi meskipun Lembaga Sertifikasi Organik Provinsi Sumatera Barat tidak memungut biaya pengurusan sertifikasi bagi petani organik, namun pekerjaan tulis menulis ini menjadi kendala bagi petani untuk mengajukan dokumen sertifikasi. Sifat Inovasi Sistem Pertanian Sayuran Organik Sifat inovasi adalah faktor keempat yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik, yang direfleksikan oleh: (a) tingkat keuntungan relatif dan (b) tingkat keteramatan inovasi sistem pertanian sayuran organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik berpengaruh secara nyata dan positif terhadap tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik. Hal ini mengandung makna bahwa semakin baik persepsi petani tentang sifat sistem pertanian sayuran organik maka semakin tinggi tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani di Kabupaten Agam dan Tanah Datar tergolong rendah. Rendahnya tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik dipengaruhi oleh rendahnya persepsi petani terhadap tingkat keuntungan relatif dan keteramatan inovasi sistem pertanian sayuran organik. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bellaaj et al. (2008) yang menunjukkan bahwa persepsi penerima inovasi tentang karakteristik dari inovasi mempunyai pengaruh yang nyatat terhadap keputusan adopsi inovasi. Karakteristik inovasi tersebut terdiri dari tingkat relatif advantage, kompleksitas, kompatibilitas, keteramatan dan triability. Pandangan sasaran terhadap karakteristik ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap inovasi, dan sikap tersebut akan mempengaruhi niatnya untuk menerapkan inovasi.

134 114 Keuntungan relatif sistem pertanian sayuran yang dirasakan rendah oleh petani meliputi jumlah waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk pertanian organik lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pertanian non organik, produksi diawal memulai usahatani organik dirasakan lebih rendah dari produksi sistem usahatani non organik, dan tidak adanya perbedaan harga antara produk organik dan non organik saat dijual ke pasar tradisional. Rendahnya tingkat keteramatan inovasi pertanian organik, berkaitan dengan; tingginya resiko serangan hama pada tanaman sayuran, lambatnya proses pengendalian hama dan penyakit pada usahatani dengan sistem pertanian sayuran organik, serta lambatnya pertumbuhan tanaman jika diusahakan secara organik. Pengaruh persepsi petani tentang sifat inovasi terhadap tingkat adopsi pertanian organik juga dinyatakan dalam hasil penelitian Ismail et al. (2013). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberdayaan petani sayuran adalah: (1) tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik dan (2) dukungan lingkungan. Persamaan struktural faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberdayaan petani sayuran adalah: Y3 = 0,58*Y2+0,42*X5, R 2 =0,75...( Persamaan 3 ) Persamaan 2 memperlihatkan bahwa secara simultan pengaruh peubah tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan dukungan lingkungan pada tingkat keberdayaan petani adalah sebesar 0,75. Hal ini bermakna bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model tersebut sebesar 75 persen, sedangkan sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang tidak terdapat dalam model. Untuk menguji hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dan t- tabel untuk masing-masing peubah. Jika nilai t-hitung masing-masing peubah lebih besar dari t-tabel (1,96) pada taraf nyata 0,05, maka hipotesis 3 diterima. Mengacu pada persamaan 3, Gambar 14 dan Tabel 35 maka secara statistik peubah tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan dukungan lingkungan berpengaruh secara nyata terhadap tingkat keberdayaan petani. Dengan demikian, hipotesis 3 yang berbunyi, Tingkat keberdayaan petani sayuran organik secara nyata dipengaruhi oleh karakteristik internal petani, tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik, dan dukungan lingkungan, tidak semuanya diterima, hanya dua peubah yang terbukti secara langsung mempengaruhi tingkat keberdayaan petani, yaitu tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik (Y2) dan dukungan lingkungan (X5). Jadi hipotesis 3 untuk peubah tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik (Y2) dan dukungan lingkungan (X5) diterima, sedangkan peubah karakteristik internal petani (X1) ditolak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani tergolong rendah. Rendahnya tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik berdampak terhadap tingkat keberdayaan petani sayuran yang juga tergolong rendah. Tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik direfleksikan oleh: (a) intensitas adopsi sistem pertanian sayuran organik, (b) tingkat penggunaan sumberdaya lokal, (c) tingkat adaptasi, dan (d) tingkat keberlanjutan adopsi sistem sayuran organik.

135 115 Rendahnya tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik tercermin dari rendahnya intensitas adopsi sistem pertanian sayuran organik, rendahnya penggunaan sumberdaya lokal, dan rendahnya tingkat adaptasi petani. Temuan lapangan menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan adopsi sistem pertanian sayuran organik berada pada kategori sedang, namun jika dilihat dari persentase sebaran petani, lebih dari 50 persen petani tergolong rendah tingkat keberlanjutan adopsinya. Hal ini menunjukkan bahwa sebahagian besar petani yang pernah menerapkan sistem pertanian sayuran organik di lahannya tidak melanjutkan lagi adopsi terhadap sistem pertanian sayuran organik pada saat penelitian berlangsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan lingkungan dirasakan petani masih belum memadai. Hal ini dicerminkan oleh: (a) rendahnya dukungan kebijakan pemerintah, (b) rendahnya dukungan kelembagaan terkait usahatani, dan (c) dukungan sistem sosial serta (d) dukungan sumberdaya alam dan infrastruktur yang tergolong cukup dalam mengembangkan keberdayaan petani sayuran. Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah belum maksimal dalam memberikan mendorong tumbuhnya kebardayaan petani, yang berujung pada rendahnya tingkat keberdayaan petani sayuran. Model dan Strategi Peningkatan Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik Menuju Keberdayaan Petani Sayuran di Propinsi Sumatera Barat Hasil analisis uji SEM menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dengan tingkat keberdayaan petani sayuran. Tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik yang direfleksikan oleh intensitas adopsi, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, tingkat adaptasi teknologi pertanian sayuran organik, dan tingkat keberlanjutan adopsi sistem pertanian sayuran organik secara nyata positif mempengaruhi tingkat keberdayaan petani sayuran. Merujuk pada hasil analisis SEM pada Gambar 14 maka dapat dikatakan bahwa adopsi sistem pertanian sayuran organik secara berkelanjutan oleh petani dengan didukung oleh lingkungan eksternal dapat meningkatkan keberdayaan petani sayuran. Model struktural pengembangan keberdayaan petani sayuran disederhanakan seperti pada Gambar 15.

136 116 Dukungan Penyuluhan Pertanian Perilaku Petani dalam Sistem Pertanian Sayurann Organik Intensitas Belajar Petani Sifat Inovasi Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik Dukungan Lingkungan Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran Keterangan: = Hubungan positif =Hubungan negatif Gambar 15 Model Pengembangan Keberdayaan Petani Sayuran melalui Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik Berdasarkan hasil analisis uji statistik terhadap peubah-peubah penelitian yang mempengaruhi tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani sayuran, serta hasil analisis kualitatif, dapat dirancang suatu model pengembangan keberdayaan petani sayuran melalui peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik dengan dukungan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani yang memadai, dukungan lingkungan yang memadai, dukungan sifat inovasi yang sesuai dengan persepsi petani dan dukungan penyuluhan pertanian yang berkelanjutan. Tingkat keberdayaan petani sayuran direfleksikan oleh indikator indikator: (1) kemampuan pengadaan sarana produksi, (2) kemampuan pemasaran, (3) kemampuan meningkatkan produktivitas usahatani, (4) kemampuan dalam akses dan kerjasama dengan lembaga agribisnis, dan (5) keberlanjutan usahatani. Model yang disajikan pada Gambar 15 menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan petani sayuran dipengaruhi oleh tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik dan dukungan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan petani sayuran tergolong rendah. Rendahnya tingkat keberdayaan petani sayuran disebabkan rendahnya tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan kurang memadainya dukungan lingkungan. Tingkat adopsi sistem pertanian sayuran dicerminkan oleh indikator: (1) intensitas adopsi, (2) tingkat penggunaan sumberdaya alam, (3) tingkat adaptasi teknik pertanian sayuran organik, dan (4) tingkat keberlanjutan adopsi sistem

137 117 pertanian sayuran organik. Model memperlihatkan bahwa tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani dipengaruhi oleh perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik, dukungan lingkungan, sifat inovasi dan dukungan penyuluhan. Temuan lapangan penelitian menunjukkan bahwa tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani tergolong rendah. Rendahnya tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik disebabkan rendahnya perilaku petani, terutama tingkat keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik, kurangnya dukungan lingkungan, lemahnya persepsi petani terhadap sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik dan kurangnya dukungan penyuluhan pertanian. Dukungan lingkungan dicerminkan oleh indikator: (a) dukungan kebijakan pemerintah, (b) dukungan kelembagaan, (c) dukungan sistem sosial, dan (d) dukungan sumberdaya alam. Sifat inovasi direfleksikan oleh indikator: (a) tingkat keuntungan relatif dan (b) tingkat keteramatan inovasi sistem pertanian sayuran organik. Perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik direfleksikan oleh indikator: (1) pengetahuan petani tentang sistem pertanian sayuran organik, (2) sikap petani terhadap sistem pertanian sayuran organik dan (3) keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Model yang disajikan pada Gambar 15 memperlihatkan bahwa perilaku petani dalam sistem sayuran organik dipengaruhi oleh intensitas belajar petani dan dukungan penyuluhan. Hal ini bermakna bahwa semakin baik intensitas belajar petani dan semakin baik dukungan penyuluhan maka semakin baik perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Intensitas belajar petani tercermin dari: (a) ragam metode belajar, (b) kesesuaian materi belajar, (c) frekuensi belajar, (d) ragam sumber informasi, (e) intensitas interaksi dalam kelompok, dan (f) intensitas interaksi dengan sumber belajar. Dukungan penyuluhan pertanian direfleksikan oleh indikator: (a) ketepatan metode penyuluhan, (b) kesesuaian materi penyuluhan, (c) kesesuaian model komunikasi, (d) kompetensi penyuluh, dan (e) intensitas penyuluhan. Strategi Pengembangan Keberdayaan Petani Sayuran Melalui Peningkatan Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik Model pada Gambar 15 menunjukkan bahwa keberdayaan petani sayuran dipengaruhi oleh tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan dukungan lingkungan; tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dipengaruhi oleh perilaku petani, dukungan lingkungan, sifat inovasi dan dukungan penyuluhan; perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik dipengaruhi oleh intensitas belajar petani dan dukungan penyuluhan pertanian. Berdasarkan faktorfaktor yang mempengaruhi dan dipengaruhi dalam model pengembangan keberdayaan petani melalui adopsi sistem pertanian sayuran organik, maka dirumuskan strategi yang merupakan jabaran operasional dari model. Strategi peningkatan adopsi untuk pengembangan keberdayaan petani merupakan rumusan rencana umum tindakan yang dirancang dari kajian deduktif dan pengujian empiris analisis sructural equation modeling (SEM) yaitu: berkaitan dengan rendahnya keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik (perilaku), rendahnya persepsi petani terhadap sisfat inovasi, kurangnya dukungan lingkungan dan kurangnya dukungan penyuluhan pertanian, berakibat

138 118 rendahnya tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik dan rendahnya tingkat keberdayaan petani sayuran. Dengan demikian, strategi yang dirancang untuk meningkatkan adopsi sistem pertanian sayuran organik dalam pengembangan keberdayaan petani sayuran adalah sebagai berikut: (1) Strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik melalui penguatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik. (2) Strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik melalui penguatan dukungan lingkungan. (3) Strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik melalui penguatan sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik (4) Strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik melalui penguatan dukungan penyuluhan. Rumusan strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik dalam mengembangkan keberdayaan petani sayuran dirancang dengan pendekatan masukan (input), proses (process), keluaran (output), dan impak (outcome). Analisis situasi dan penetapan skala perioritas merupakan langkah awal untuk memulai proses perancangan strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani. Rancangan strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik dengan pendekatan masukan, proses, dan keluaran disajikan pada Gambar 16. Masukan dalam strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik terdiri dari : (1) intensitas belajar petani, (2) dukungan penyuluhan, (3) sifat inovasi dan (4) dukungan lingkungan. Intensitas belajar petani yang perlu diperkuat adalah: (a) ragam metode belajar, (b) frekuensi belajar, (c) ragam sumber informasi, dan (d)intensitas interaksi dengan sumber belajar. Temuan lapangan memperlihatkan semua indikator ini tergolong rendah. Aspek dari dukungan penyuluhan yang perlu diperkuat adalah: (a) ketepatan metode penyuluhan, (b) kesesuaian materi penyuluhan, (c) kesesuaian model komunikasi dalam penyuluhan, (e) kompetensi penyuluh dan (f) intensitas penyuluhan. Hasil penelitian menunjukkan indikator ini berada pada kategori rendah sampai sedang. Sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik yang perlu diperkuat adalah : (a) tingkat keuntungan relatif, (b) tingkat kesesuaian inovasi, (c) tingkat kerumitan inovasi, dan (d) tingkat keteramatan inovasi sistem pertanian sayuran organik. Persepsi petani terhadap semua indikator ini tergolong rendah. Dukungan lingkungan merupakan faktor berikutnya yang harus diperkuat dalam rangka peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik. Indikator dukungan lingkungan yang harus diperkuat adalah: (a) dukungan kebijakan pemerintah terhadap sistem pertanian sayuran organik, (b) dukungan sistem sosial, (c) dukungan kelembagaan yang terkait dengan sistem pertanian sayuran organik, dan (d) dukungan sumberdaya alam dan infra struktur. Hasil penelitian memperlihatkan semua indikator ini berada pada kategori rendah sampai sedang. Tahapan selanjutnya dalam strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik adalah berbagai aktivitas yang dilakukan sebagai proses untuk mengembangkan keberdayaan petani sayuran. Setiap aktivitas dalam proses

139 119 pengembangan keberdayaan ini melibatkan berbagai pihak yang memainkan peran sesuai dengan kapasitasnya. Proses dalam strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik terdiri dari: (a) pembelajaran di tingkat petani dengan pendekatan farmer to farmer, (b) penyuluhan partisipatif yang berkelanjutan, (c) penelitian bersama petani, (d) perumusan, advokasi dan kontrol kebijakan, (e) Membangun, memperkuat lembaga terkait Usahatani pertanian organik, dan (f) fasilitasi petani dengan akses pasar, informasi dan sertifikasi. Keluaran yang diharapkan dari perumusan strategi terdiri dari: (1) untuk jangka pendek adalah meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik; dan (2) untuk jangka menengah meningkatnya tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik di kalangan petani kearah yang lebih tinggi.

140 Analisis Situasi: Keterampilan rendah, tingkat adopsi SPSO rendah, keberdayaan petani rendah Skala prioritas: Penguatan Intensitas belajar, intensitas penyuluhan,sifat inovasi,dan dukungan lingkungan MASUKAN PROSES KELUARAN DAMPAK Intensitas belajar petani Intensitas penyuluhan Persepsi petani terhadap sifat inovasi Dukungan lingkungan Aktivitas 1.Pembelajaran farmer to farmer 2.Penyuluhan partisipatif yang berkelanjutan 3. Penelitian bersama petani 4.Perumusan, pelaksanaan, kontrol dan advokasi kebijakan pro pertanian organik. 5. Membangun, memperkuat lembaga terkait UT pertanian organik. 6. Fasilitasi petani dengan akses pasar, informasi dan sertifikasi Partisipan Petani Petani ahli Kelompok tani/gapoktan Penyuluh pertanian Perguruan tinggi LIPI Lembaga Litbang Pertanian Lembaga Penyuluhan dari level Pusat sampai Kecamatan Dinas Pertanian Dinas Peternakan Dinas Kesehatan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Dewan Perwakilan Rakyat Lembaga Swadaya Masyarat Mitra Usaha Pengetahuan dan keterampilan petani dalam SPSO meningkat Adopsi sistem pertanian sayuran organik meningkat Keberdayaan petani sayuran meningkat E V A L U A S I Gambar 16 Rancangan Strategi Peningkatan Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik untuk Mengembangkan Keberdayaan Petani sayuran

141 Meningkatnya adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik yang didukung dengan dukungan lingkungan yang memadai diharapkan akan berdampak pada meningkatnya keberdayaan petani sayuran dalam hal: (1) kemampuan memenuhi sarana produksi, (2) kemampuan dalam pemasaran, (3) kemampuan dalam meningkatkan produktivitas usahatani, (4) kemampuan dalam mengakses dan kerjasama dengan lembaga agribisnis, dan (5) kemampuan dalam menjaga keberlanjutan usaha tani. Strategi yang dirumuskan dalam bentuk masukan, proses dan keluaran serta impact diatas dijabarkan sebagai berikut: (1) Strategi Peningkatan Adopsi Sistem Petanian Sayuran Organik Melalui Penguatan Perilaku Petani dalam Sistem Pertanian Sayuran Organik. Perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani. Perilaku petani direfleksikan oleh tingkat pengetahuan petani tentang sistem pertanian sayuran organik yang tergolong sedang, sikap berada pada kategori baik, dan keterampilan petani yang tergolong rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani adalah: (1) intensitas belajar petani dan (2) dukungan penyuluhan. Intensitas belajar petani merupakan faktor yang paling tinggi mempengaruhi perilaku petani. Intensitas belajar petani dicerminkan oleh (a) ragam metode belajar yang sangat rendah (b) frekuensi belajar yang rendah, (c) ragam sumber informasi yang sangat rendah, dan (d) intensitas interaksi dengan sumber informasi tergolong rendah. Langkah-langkah untuk memperkuat intensitas belajar petani dapat dilakukan dengan: (a) Memotivasi petani untuk melakukan pembelajaran dari petani ke petani (farmer to farmer). Terdapatnya petani ahli di lingkungan tempat tinggal petani dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan pendamping dalam pembelajaran. Interaksi petani dengan petani ahli akan menghasilkan pengaliran ilmu dan ajang pertukaran pengalaman antara petani ahli yang sudah berhasil menerapkan sistem pertanian sayuran organik dengan petani lain yang belum cukup mampu dalam berorganik. (b) Memfasilitasi wadah pelatihan yang dikelola petani. Wadah ini dapat berupa pusat pendidikan petani khusus tentang sistem pertanian sayuran organik yang diasuh oleh petani, dengan peserta pelatihan adalah petani, dan dilakukan langsung di lahan petani yang sudah berhasil dalam penerapan sistem pertanian sayuran organik. (c) Memfasilitasi petani untuk memperoleh berbagai informasi tentang sistem pertanian sayuran organik dari berbagai media, baik cetak, audio maupun audio visual. (d) Memperkuat kelompok tani yang sudah tumbuh. Melakukan proses belajar kelompok dengan pendekatan learning by doing yaitu proses belajar langsung disertai dengan praktek di lahan usahatani. Metode belajar lainnya yang dapat digunakan dalam kelompok tani adalah pendekatan discovery learning yaitu belajar yang melibatkan petani berpartisipasi aktif untuk menemukan jawaban terhadap masalah usahataninya dengan bimbingan dari penyuluh. Pendekatan belajar yang langsung melibatkan petani dalam setiap proses pembelajaran dapat membangkitkan semangat

142 122 petani untuk selalu ikut serta belajar di kelompoknya, karena mereka merasa diakui keberdaannya. Petani ahli, penyuluh swadaya, penyuluh pemerintah melalui Lembaga Penyuluhan Pertanian di tingkat kecamatan dapat mengambil peran dalam memperkuat kelompok tani. (e) Membawa petani mengunjungi lokasi yang telah berhasil dalam penerapan sistem pertanian sayuran organik. Kegiatan ini dapat dijadikan sebagai salah satu kegiatan rutin pada Dinas Pertanian, bukan bersifat sporadis seperti yang dilakukan selama ini. (f) Perguruan Tinggi, Lembaga penelitian dan Lembaga Swadaya Masyarakat dapat mengambil peran sebagai mitra dan sumber informasi bagi pembelajaran petani dalam mengembangkan sistem pertanian sayuran organik. Masing-masing pihak dapat melakukan proses belajar bersama petani sesuai dengan kapasitasnya. (2) Strategi Peningkatan Adopsi Sistem Petanian Sayuran Organik Melalui Penguatan Dukungan Lingkungan Dukungan lingkungan merupakan faktor berikutnya yang dominan mempengaruhi tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik. Dukungan lingkungan eksternal direfleksikan oleh: (a) dukungan kebijakan pemerintah terhadap sistem pertanian sayuran organik, (b) dukungan sistem sosial, (c) dukungan kelembagaan yang terkait dengan sistem pertanian sayuran organik, dan (d) dukungan sumberdaya alam dan infrastruktur. Hasil penelitian memperlihatkan semua indikator ini berada pada kategori rendah sampai sedang. Dukungan kebijakan pemerintah terhadap sistem pertanian sayuran organik dirasakan petani masih lemah, begitu juga halnya dengan keberadaan lembaga yang mendukung pengembangan sistem pertanian sayuran organik juga masih kurang. Langkah-langkah untuk memperkuat dukungan lingkungan eksternal dapat dilakukan dengan : (a) Merancang peraturan-peraturan yang mendukung pengembangan sistem pertanian sayuran organik mulai dari hulu sampai hilir. Peraturan yang telah dirancang harus dilaksanakan sesuai dengan ketetapan dan selalu dilakukan kontrol terhadap jalannya peraturan tersebut. Pengalihan subsidi pupuk kimia menjadi subsidi untuk pupuk organik merupakan salah satu kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah untuk mendorong berkembangnya sistem pertanian organik. Peran untuk merancang, melaksanakan dan mengawal jalannya kebijakan ini dapat dilakukan oleh pemerintah melalui instansi yang terkait dengan sektor pertanian, peternakan, perindustrian dan perdagangan, Dewan Perwakilan Rakyat, Lembaga Swadaya masyarakat (LSM), dan Perguruan Tinggi. (b) Memfasilitasi tumbuhnya lembaga-lembaga penghasil sarana produksi untuk usahatani sayuran organik melalui kelompok-kelompok tani atau gabungan kelompok tani. Lembaga ini seperti: kelompok penghasil pupuk organik, pestisida nabati dan benih lokal yang semuanya sesuai dengan standar Lembaga Sertifikasi Organik. Dinas Peternakan, Dinas Pertanian bekerjasama dengan lembaga penyuluhan dapat berperan dalam aktivitas ini.

143 123 (c) Mendampingi petani dalam proses sertifikasi produk organik. Khusus untuk Provinsi Sumatera Barat biaya sertifikasi bukanlah masalah bagi petani, karena di daerah ini terdapat Lembaga Sertifikasi milik Pemerintah Daerah yang membebaskan petani dari biaya pengurusan sertifikasi. Namun langkah-langkah untuk mendapatkan sertifikat organik sangat rumit dirasakan petani, sehingga membutuhkan pendampingan dari pihak lain. Pendampingan ini dapat dilakukan oleh penyuluh pertanian, Perguruan Tinggi maupun LSM. (d) Melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga usaha yang bergerak di sektor pertanian, khususnya hortikultura. Dinas Perindustrian dan Perdagangan berperan memfasilitasi kerjasama ini agar petani benarbenar dapat merasakan manfaat dari kerjasama tersebut. (3) Strategi Peningkatan Adopsi Sistem Petanian Sayuran Organik Melalui Penguatan Persepsi Petani Terhadap Sifat Inovasi Sistem Pertanian Sayuran Organik. Sifat inovasi direfleksikan oleh indikator: (a) keuntungan relatif sistem pertanian sayuran organik dibandingkan dengan sistem konvensional, dan (b) tingkat keteramatan sistem pertanian sayuran organik oleh petani. Hasil penelitian menggambarkan bahwa persepsi petani terhadap keuntungan relatif dan tingkat keteramatan (observable) sistem pertanian sayuran organik tergolong rendah. Rendahnya tingkat keuntungan relatif pertanian organik digambarkan dari jumlah waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk pertanian organik lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pertanian non organik, produksi diawal memulai usahatani organik dirasakan lebih rendah dari produksi sistem usahatani non organik, dan tidak adanya perbedaan harga antara produk organik dan non organik saat dijual ke pasar tradisional. Rendahnya tingkat keteramatan inovasi pertanian organik, berkaitan dengan; tingginya resiko serangan hama pada tanaman sayuran, lambatnya proses pengendalian hama dan penyakit pada usahatani dengan sistem pertanian sayuran organik, serta lambatnya pertumbuhan tanaman jika diusahakan secara organik. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memperkuat persepsi petani terhadap sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik adalah: (a) Melakukan penelitian berkaitan dengan teknologi yang dapat meningkatkan kemampuan pestisida nabati dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman sayuran organik. Penelitian ini dilakukan bersama petani dengan lembaga penelitian pertanian, LIPI, dan Perguruan Tinggi. (b) Penelitian dan pembelajaran bersama petani berkaitan dengan pengolahan pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan dan tanaman di lingkungan petani. Kegiatan ini difasilitasi oleh Dinas Peternakan yang bekerjasama dengan Dinas Pertanian, petani dan lembaga penelitian. (c) Memfasilitasi petani untuk mempromosikan produk organik kepada masyarakat. Peran ini dapat dilakukan oleh Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, lembaga-lembaga usaha yang bergerak di bidang jasa, seperti rumah sakit, rumah makan dan perhotelan.

144 124 (d) Memperbaiki sistem pada lembaga pemasaran produk organik yang telah dibangun pemerintah selama ini. Perbaikan sistem ini menuju pada berfungsinya lembaga pemasaran produk organik, dan dapat diakses oleh petani. Lembaga pemasaran yang sudah ada tersebut adalah Sub Terminal Agribisnis (STA) yang terdapat di Kabupaten Agam dan di Kabupaten Tanah Datar, namun belum berfungsi dengan baik. (4) Strategi Peningkatan Adopsi Sistem Petanian Sayuran Organik Melalui Penguatan Dukungan Penyuluhan Pertanian. Dukungan penyuluhan berpengaruh nyata dan positif terhadap perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Dukungan penyuluhan direfleksikan oleh: (a) kesesuaian materi penyuluhan yang tergolong sedang, (b) kesesuaian model komunikasi dalam penyuluhan yang tergolong sedang dan (c) kompetensi penyuluh yang juga sedang. Intensitas penyuluhan yang rendah juga dipertimbangkan dalam strategi ini. Walaupun indikator yang membangun dukungan penyuluhan berada pada kategori sedang, namun hal tersebut tidak cukup mendukung perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik, yang tergambar dari rendahnya tingkat keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Untuk itu penguatan dukungan penyuluhan perlu dilakukan. Langkah-langkah dalam peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik melalui penguatan penyuluhan pertanian disajikan pada Tabel 36. Kompetensi penyuluh merupakan faktor yang paling dominan merefleksikan dukungan penyuluhan terhadap perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Penyuluh sebagai ujung tombak penyuluhan diharapkan memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan tugasnya. Kompetensi penyuluh yang tinggi akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas penyuluh, diantaranya yaitu berkaitan dengan ketepatan metode penyuluhan yang digunakan, kesesuaian materi yang disampaikan, dan kesesuaian model komunikasi yang diterapkan. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis korelasi antara kompetensi penyuluh dengan ketepatan metode penyuluhan yang digunakan, hubungan kompetensi dengan kesesuaian materi yang disampaikan, dan hubungan kompetensi dengan kesesuaian model komunikasi yang diterapkan semuanya menunjukkan hubungan nyata positif ( Tabel 27). Menurut Sumardjo (2008) program sejenis pelatihan merupakan salah satu cara yang baik untuk mengembangkan kompetensi pengetahuan dan keahlian penyuluh. Sedangkan motif kompetensi yang merupakan bagian dari karakteristik kompetensi dapat diwujudkan pada saat proses seleksi atau rekruitmen tenaga penyuluh. Penyuluhan adalah suatu sistem pendidikan dan pendidikan merupakan usaha untuk menghasilkan perubahan perilaku manusia (Slamet 2003). Proses perubahan perilaku memerlukan waktu yang cukup panjang, sehingga penyuluhan hendaknya dilakukan secara berkelanjutan tanpa dibatasi jangka waktu tertentu sebagaimana yang terjadi selama ini. Temuan lapangan menunjukkan bahwa intensitas penyuluhan tergolong rendah dengan nilai rataan 27 (kategori rendah). Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi pertemuan penyuluh dengan petani relatif sedikit sekali, untuk itu perlu penguatan intensitas

145 125 penyuluhan dengan pendekatan penyuluhan partisipatif yang berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan Amanah (2014) yang menyatakan bahwa tiga aspek utama yang harus terintegrasi dalam penyuluhan sebagai proses pemberdayaan meliputi: (1) memadukan filosofi belajar melalui pengalaman dengan belajar untuk menjawab tantangan masa depan melalui pengembangan potensi sumberdaya yang ada, (2) masyarakat sebagai subjek, dan (3) keberlanjutan program (aspek kontinuitas). SIMPULAN (1) Tingkat adopsi petani terhadap sistem petanian sayuran organik di Kabupaten Agam dan Tanah Datar rendah, terefleksikan dari rendahnya intensitas adopsi, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, dan tingkat adaptasi teknologi sistem pertanian sayuran organik. (2) Faktor penentu rendahnya tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik adalah: lemahnya perilaku petani yang direfleksikan terutama oleh rendahnya keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik, lemahnya dukungan lingkungan eksternal, yang tercermin oleh lemahnya dukungan kebijakan, lemahnya dukungan kelembagaan usahatani dan lemahnya dukungan sumberdaya lahan, lemahnya persepsi petani tentang sifat inovasi yang tercermin dari dari rendahnya tingkat keuntungan relatif dan keteramatan inovasi sistem pertanian sayuran organik, serta kurangnya dukungan penyuluhan pertanian. (3) Tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik berhubungan erat dengan tingkat keberdayaan petani sayuran. Keberdayaan petani sayuran di Kabuaptem Agam dan Kabupaten Tanah Datar tergolong rendah. Rendahnya tingkat keberdayaan petani tersebut dipengaruhi oleh rendahnya tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik serta kurangnya dukungnya lingkungan eksternal yang tercermin dari rendahnya kebijakan pemerintah dan dukungan kelembagaan yang terkait dengan usahatani sayuran organik. (4) Pengembangan sistem pertanian sayuran organik menuju keberdayaan petani sayuran dirancang dengan pendekatan penguatan faktor-faktor penentu dalam adopsi sistem pertanian organik, yakni: perilaku petani, dukungan penyuluhan, dukungan lingkungan, dan sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik.

146 126 Tabel 36 Rancangan strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik melalui penguatan dukungan penyuluhan pertanian Apa yang diperkuat Bagaimana cara memperkuat Siapa yang berperan Kompetensi Penyuluh Kesesuaian model komunikasi dalam penyuluhan Kesesuaian materi penyuluhan Intensitas penyuluhan Pendidikan Pelatihan Magang Learning by doing Perbaikan dalam sistem rekrutmen penyuluh Pelatihan bagi penyuluh agar mampu menerapkan komunikasi partisipatif Fasilitasi penyuluh dengan sarana pendukung untuk komunikasi yang partisipatif dengan petani Pendekatan pembelajaran dengan discovery learning Pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh terkait aspek pedagogik Penelitian partisipatif Penyusunan programa penyuluhan partisipatif Pelaksanaan penyuluhan partisipatif yang berkelanjutan (a) Sub sistem penyuluhan yang berfungsi sebagai wadah pelatihan dan pendidikan bagi penyuluh. (b) Perguruan tinggi yang menyediakan program profesi penyuluh (c) Sub sistem penyuluhan yang berfungsi sebagai penyedia sumberdaya penyuluhan (d) Mitra /lembaga swasta yang bergerak dalam usahatani sayuran organik (a) Sub sistem penyuluhan yang berfungsi sebagai wadah pelatihan dan pendidikan bagi penyuluh. (b) Perguruan tinggi yang menyediakan program profesi penyuluh (c) Sub sistem penyuluhan yang berfungsi sebagai wadah penyediaan fasilitas pendukung penyuluhan (a) Sub sistem penyuluhan yang berfungsi sebagai wadah pelatihan dan pendidikan bagi penyuluh. (b) Perguruan tinggi yang menyediakan program profesi penyuluh (c) Sub sistem penyuluhan yang berfungsi sebagai penghasil inovasi (d) Litbang pertanian (e) Lembaga-lembaga penelitian (a) Lembaga penyuluhan yang berfungsi dalam menyusun aturan pelaksanaan program penyuluhan (b) Penyuluh dan Lembaga Penyuluh an Kecamatan

147 127 PEMBAHASAN UMUM Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Petani dalam Sistem Pertanian Sayuran Organik Perilaku petani berhubungan erat dengan karakteristik internal petani, intensitas belajar petani dan dukungan penyuluhan. Rendahnya keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik berhubungan dengan rendahnya karakteristik petani, rendahnya intensitas belajar petani serta rendahnya dukungan penyuluhan pertanian. Intensistas belajar petani dan dukungan penyuluhan berpengaruh secara tidak langsung terhadap tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik melalui perilaku petani. Peningkatan perilaku petani, khususnya keterampilan melalui peningkatan intensitas belajar dan intensitas penyuluhan akan dapat meningkatkan adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik. Peubah yang merefleksikan intensitas belajar petani terdiri dari ragam sumber informasi, kesesuaian materi belajar, frekuensi belajar, ragam sumber informasi, intensitas interaksi dengan kelompok dan sumber belajar. Rendahnya ragam metode yang digunakan petani dalam belajar, rendahnya frekuensi belajar dan rendahnya interaksi petani dengan sumber belajar dapat ditingkatkan dengan memfasilitasi pembentukan kelompok belajar petani ke petani (farmer to farmer). Melalui pendekatan belajar farmer to farmer ini petani dapat bertukar pengalaman sesama petani, berbagi pengalaman dari petani yang sudah maju dalam sistem pertanian sayuran organik kepada petani yang baru mulai mencoba sistem pertanian organik, dan mereka bisa melakukan praktek teknologi secara bersamasama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa petani lebih nyaman melakukan proses pembelajaran dengan sesama petani dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Temuan penelitian Thapa dan Rattanasuteerakul (2010), berkaitan dengan sumber informasi tentang inovasi, kecenderungan petani untuk memperoleh informasi adalah berasal dari sesama petani. Pertukaran informasi diantara sesama petani merupakan faktor yang utama dari difusi, setelah inovasi disebarkan oleh pemerintah. Difusi inovasi lebih efektif dari kalangan petani ke petani. (Lopez et al. 2007). Menurut Tjitropranoto (2005) sumber informasi lain yang paling dekat dengan petani selain petugas penyuluh pertanian adalah petani lain yang telah berhasil menerapkan teknologi atau memanfaatkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber informasi. Hal ini disebabkan karena petani tersebut memiliki kelebihan informasi, kedekatan, keakraban, dan kesamaan cara pandang mereka terhadap suatu masalah. Rogers dan Shoemaker (Hanafi, 1986) menyebutkan konsep homofili sebagai suatu tingkat dimana pasangan individu yang berinteraksi sepadan dalam beberapa aspek tertentu, dan hal ini menyebabkan komunikasi lebih efektif. Penyebaran ide atau inovasi dari petani ke petani merupakan salah satu cara yang efektif dalam perubahan perilaku petani. Penyuluhan pertanian dapat mengambil peran dalam melakukan fasilitasi dan mendorong tumbuhnya pembelajaran petani ke petani ini. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pembelajaran petani dapat dilakukan melalui kelompok tani. Terjadinya interaksi antar petani dalam

148 128 kelompok sangat penting sebab merupakan forum komunikasi yang demokratis di tingkat akar rumput dan melalui kelompok kepemimpinan di kalangan petani juga akan tumbuh dan berkembang dengan baik (Slamet 2003). Dukungan penyuluhan berhubungan erat dan berpegaruh nyata positif terhadap perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Temuan lapangan memperlihatkan bahwa intensitas penyuluhan tergolong rendah. Rendahnya intensitas penyuluhan yang dirasakan petani, memberikan gambaran rendahnya frekuensi dan kesinambungan kegiatan penyuluhan yang dilakukan lembaga penyuluhan. Merujuk pada pendapat Padmowiharjo (2003) yang menyatakan bahwa penyuluhan adalah sistem pendidikan orang dewasa yang dilakukan dengan melibatkan diri petani untuk melakukan discovery learning agar mendapatkan ilmu dan teknologi yang mereka butuhkan untuk dapat keluar dari masalahnya secara manusiawi dan mandiri, dapat disimpulkan bahwa penyuluhan adalah suatu suatu sistem pendidikan. Sebagai sistem pendidikan maka pelaksanaan penyuluhan didasarkan pada teori-teori dan pendekatan pendidikan (Slamet 2003). Salah satu falsafah pendidikan yang sebaiknya diterapkan dalam penyuluhan adalah falsafah kontinu. Kegiatan penyuluhan harus berkelanjutan, karena untuk mencapai perubahan perilaku membutuhkan proses dan waktu yang lebih panjang. Kegiatan penyuluhan yang dibatasi dengan jangka waktu tertentu, tidak akan menghasilkan perubahan perilaku yang sesuai dengan harapan. Keberlanjutan kegiatan penyuluhan merupakan syarat berhasilnya tujuan penyuluhan pertanian sayuran organik di kalangan petani. Selain kegiatan penyuluhan yang berkelanjutan, peningkatan kompetensi penyuluh menjadi faktor penting yang harus diperhatikan oleh lembaga penyuluhan. Ketepatan metode, kesesuaian materi dan model komunikasi dalam kegiatan penyuluhan merupakan bagian dari kompetensi yang harus dimiliki oleh penyuluh sebagai seorang yang profesional dalam kegiatan penyuluhan, disamping kemampuan dalam memahami materi yeng berkaitan dengan sistem pertanian sayuran organik. Menurut Slamet (2003) penyuluhan masa depan harus dilaksanakan secara profesional dan didukung oleh tenaga-tenaga ahli dan trampil yang telah disiapkan dengan baik. Kompetensi yang harus dimiliki oleh penyuluh menurut Sumardjo (2010) adalah: kompetensi personal, kompetensi sosial, kompetensi andragogik dan kompetensi komunikasi inovatif. Penyuluh pertanian yang profesional tidak cukup hanya sebagai penyedia atau penyampai teknologi dan informasi, tetapi lebih diperlukan sebagai motivator, dinamisator, fasilitator dan konsultan bagi petani (Tjitropranoto 2005). Untuk memenuhi kompetensi penyuluh tersebut harus dilakukan penataan dan peningkatan kompetensi dari lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan yang akan menangani penyuluh. Lebih lanjut Slamet (2003) menyatakan bahwa materi pelatihan yang diberikan oleh lembaga-lembaga pelatihan haruslah relevan dengan kebutuhan tugas-tugas penyuluh di lapangan.

149 129 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dan Keberdayaan Petani Sayuran Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyuluhan berpengaruh positif terhadap tingkat adopsi melalui peubah perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik, namun hubungan langsung penyuluhan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik menghasilkan hubungan yang negatif. Hubungan ini menggambarkan bahwa kegiatan penyuluhan adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mengubah perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan petani, kemudian petani akan mempergunakan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya tersebut untuk menerapkan inovasi pertanian organik. Namun jika penyuluhan langsung ditujukan agar petani segera mengadopsi inovasi yang diperkenalkan, hal itu berarti penyuluhan dilakukan dengan sistem pemaksaan, dan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip penyuluhan yang berakibat rendahnya tingkat adopsi petani terhadap inovasi. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penyuluhan akan mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik melalui perubahan perilaku. Penyuluhan berperan dalam mengubah pengetahuan, sikap dan keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik. Pengetahuan petani yang bagus tentang sistem pertanian sayuran organik, didukung oleh pemahaman benar dan setuju dengan sistem pertanian organik, dan ditunjang oleh keterampilan yang memadai untuk menerapkan teknik pertanian sayuran organik di lahannya, akan mendorong petani untuk mengadopsi sistem pertanian sayuran organik. Hal ini dibuktikan oleh hasil analisis struktural (Persamaan 2) yang memperlihatkan bahwa perilaku petani yang dicerminkan oleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik. Tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik menjadi salah satu faktor yang berhubungan dan penentu tingkat keberdayaan petani sayuran. Dukungan lingkungan berpengaruh nyata positif dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani. Dukungan lingkungan direfleksikan oleh dukungan sistem sosial dan sumberdaya alam yang berada pada kategori sedang, dukungan kebijakan dan kelembagaan terkait dengan sistem pertanian sayuran organik yang tergolong rendah. Rendahnya dukungan kebijakan dan kelembagaan menyebabkan rendahnya tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani. Dukungan kebijakan pemerintah berkaitan dengan sistem pertanian organik dirasakan rendah oleh petani. Analisis data kualitatif menunjukkan bahwa rendahnya dukungan ini terlihat dari semakin meningkatnya jumlah dan jenis pestisida kimia yang beredar di pasaran setiap tahunnya, tidak tersedianya pupuk organik subsidi oleh pemerintah, tidak tersedianya kebijakan yang berkaitan dengan harga produk pertanian organik, tidak adanya kebijakan insentif saat masa transisi petani dari pertanian konvensional ke organik, dan tidak berkelanjutannya program pemerintah berkaitan dengan sistem pertanian sayuran organik. Menurut Rasahan (1999) kebijakan pembangunan subsektor tanaman pangan dan hortikultura merupakan elemen kritikal dalam menentukan tingkat pertumbuhan dan pola dari pembangunan ekonomi. Kebijaksanaan yang langsung

150 130 mempengaruhi pengembangan komuditas dapat dibagi atas dua aspek yaitu: (1) aspek yang berkaitan dengan kebijakan yang memperkuat struktur sektor yaitu yang berkaitan dengan upaya-upaya : (a) peningkatan produktivitas lahan, (b) penumbuhan dan pengembangan kelembagaan penguat, seperti kelembagaan tani, pembenihan, perlindungan tanaman, pemasaran dan jasa pertanian. (c) peningkatan kualitas sumberdaya manusia sektor pertanian, (d) layanan penelitian dan penyuluhan dan (2) aspek yang berkaitan dengan peningkatan efisiensi dan daya saing komoditas pertanian, baik di pasar lokal maupun di pasar dunia, yang meliputi kebijakan yang berkaitan dengan perpajakan, subsidi, pengendalian terhadap input dan output, dan kebijakan yang mempengaruhi harga seperti bunga bank, upah buruh dan nilai tukar. Pemerintah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bagian legislatif harus berperan dalam merancang dan pelaksanaan serta kontrol terhadap aspek kebijakan ini. Undang-undang yang diharapkan dapat menjadi pendukung pengembangan sistem pertanian sayuran organik dalam mewujudkan keberdayaan petani adalah: (a) Undang-undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, (b) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, dan (c) Undangundang Nomor 19 tahun 2013 Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Rendahnya dukungan kelembagaan yang berkaitan dengan usahatani pertanian sayuran organik mempengaruhi rendahnya tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani. Dukungan kelembagaan yang dirasakan rendah oleh petani adalah lembaga penyedia sarana produksi, lembaga informasi dan pembelajaran, lembaga pemasaran, serta lembaga sertifikasi produk pertanian organik. Strategi Peningkatan Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik untuk Mengembangkan Keberdayaan Petani Sayuran Tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik oleh petani di Kabupaten Agam dan Tanah Datar tergolong rendah. Rendahnya tingkat adopsi disebabkan oleh faktor-faktor berikut. Pertama, perilaku petani yang tercermin dari rendahnya tingkat keterampilan petani. Kedua, faktor dukungan lingkungan eksternal yang terefleksi dari rendahnya dukungan kebijakan pemerintah, rendahnya dukungan lembaga-lembaga terkait dengan usahatani sistem pertanian sayuran organik, dan rendahnya dukungan sumberdaya lahan dan infrastruktur. Ketiga, faktor rendahnya persepsi petani terhadap sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik yang tercermin dari rendahnya persepsi petani terhadap tingkat keuntungan relatif dari sistem pertanian sayuran organik dan rendahnya tingkat keteramatan inovasi sistem pertanian sayuran organik. Dan keempat, dukungan penyuluhan yang berpengaruh negatif terhadap adopsi sistem pertanian sayuran organik. Strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik dalam pengembangan keberdayaan petani melibatkan berbagai pihak yang akan memainkan peran dalam rangkaian proses untuk peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik. Tabel 37 menyajikan gambaran umum komponen yang akan diperbaiki beserta pihak yang diharapkan berpartisipasi. Rancangan strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik untuk mengembangkan keberdayaan petani pada Tabel 37 memperlihatkan bahwa pengembangan sistem pertanian sayuran organik membutuhkan kerjasama dan

151 131 dukungan dari berbagai pihak yang berada di luar sektor pertanian. Strategi tersebut juga menunjukkan bahwa penyuluhan bukanlah panasea (obat mujarab) yang dapat menyelesaikan semua masalah yang berkaitan dengan pengembangan inovasi pertanian khususnya inovasi sistem pertanian sayuran organik di kalangan petani. Namun lembaga penyuluhan membutuhkan subsistem-subsistem pendukung agar dapat mewujukan tujuan penyuluhan yang efektif. Sintesis hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk memperkuat faktorfaktor penentu dalam tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani, sekurang-kurangnya dibutuhkan kerjasama antar lembagalembaga yang berfungsi sebagai lembaga penelitian, lembaga pendidikan tinggi, Tabel 37 Deskripsi Rancangan Strategi Peningkatan Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik dalam Pengembangan Keberdayaan Petani Apa yang dilakukan Bagaimana melakukan Siapa yang berperan Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik Peningkatan dukungan lingkungan (dukungan kebijakan, kelembagaan usahatani) Pembelajaran dalam kelompok tani dengan pendekatan belajar farmer to farmer, learning by doing dan discovery learning Penyuluhan Pelatihan Pendidikan formal Magang Merumuskan, melaksanakan dan kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan terkait pertanian sayuran organik Fasilitasi pengembangan kelembagaan terkait usahatani organik Penyuluh dan lembaga penyuluhan pertanian dari Kabupaten sampai Kecamatan Perguruan Tinggi LSM Petani ahli Kelom pok Tani/gapoktan DPRD Pemerintah melalui kerjasama antar instansi terkait Perguruan tinggi LSM Lembaga usaha Petani Peningkatan sifat inovasi (keuntungan relatif, keteramatan inovasi) Peningkatan dukungan penyuluhan (ketepatan metode, kesesuaian materi, kesesuaian model komunikasi, kompetensi penyuluh, dan intensitas penyuluhan) Penelitian bersama petani Uji coba teknologi di lahan petani Promosi produk organik Pendidikan dan latihan untuk penyuluh Magang Penyusunan programa penyuluhan partisipatif Perbaikan dalam sistem rekrutmen penyuluh Penyuluhan berkelanjutan Pemerintah melalui kerjasama antar instansi terkait Perguruan Tinggi Litbang Pertanian LIPI Petani Ahli LSM Sub sistem penyuluhan yang berfungsi sebagai Diklat, Litbang, penyedia informasi pertanian, Perguruan tinggi Kelompok tani Penyuluh

152 132 lembaga pengatur kebijakan, lembaga kontrol atau pengawasan, lembaga pelaksana kebijakan, lembaga independen yang mengawal kebijakan, lembaga petani sebagai pelaku usaha pertanian, dan lembaga usaha sebagai mitra petani. Temuan penelitian ini sejalan dan memperkuat hasil penelitian Sumardjo (1999) yang menyatakan pentingnya konsep keterpaduan antar lembaga (kelompok tani, lembaga bisnis, lembaga ilmiah, lembaga pendidikan tinggi, lembaga pengaturan, dan lembaga penyuluhan) dalam pengembangan kedinamisan penyuluh, memperkuat kualitas penyuluhan yang bermuara pada kemandirian petani. Pemerintah dengan semua instansi yang terkait dengan sektor pertanian, lembaga penelitian, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga usaha, petani dengan kelompok taninya, Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga penyuluhan pemerintah, lembaga penyuluhan swasta dan lembaga penyuluhan swadaya merupakan aktor-aktor yang diharapkan memainkan peran dalam strategi peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik untuk mengembangkan keberdayaan petani sayuran di Provinsi Sumatera Barat.

153 133 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan (1) Perilaku petani di Kabupaten Agam dan Tanah Datar dalam merespon sistem pertanian sayuran organik dicerminkan oleh tingkat pengetahuan petani tentang sistem pertanian sayuran organik yang tergolong sedang Sikap petani terhadap sistem pertanian sayuran organik tergolong baik, dan rendahnya keterampilan petani dalam sistem pertanian organik. (2) Faktor-faktor yang berhubungan nyata positif dengan perilaku petani sayuran dalam merespon sistem pertanian sayuran organik adalah; karakteristik internal petani yang terdiri dari pendidikan formal, pendidikan non formal, kekosmopolitan, dan keberanian menanggung resiko, intensitas belajar petani yang meliputi; indikator ragam metode belajar, kesesuaian materi belajar, frekuensi belajar, ragam sumber informasi, intensitas interaksi dengan anggota kelompok dan intensitas interaksi dengan sumber belajar, dan intensitas penyuluhan yang terdiri dari ketepatan metode penyuluhan, kesesuaian materi penyuluhan, kesesuaian model komunikasi dalam penyuluhan, kompetensi penyuluh dan frekuensi penyuluhan. (3) Tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik di Kabupaten Agam dan Tanah Datar rendah, terefleksikan dari rendahnya intensitas adopsi, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, dan tingkat adaptasi teknologi sistem pertanian sayuran organik. (4) Faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik adalah: (1) karakteristik individu petani yang ditunjukkan oleh umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman usaha tani, keberanian menanggung resiko dan motivasi, (2) dukungan lingkungan, yang direfleksikan oleh dukungan kebijakan, dukungan kelembagaan usahatani, dukungan sistem sosial, dukungan sumberdaya alam, (3) sifat inovasi yang terdiri dari tingkat keuntungan relatif dan keteramatan inovasi sistem pertanian sayuran organik, (4) dukungan penyuluhan pertanian. (5) Tingkat keberdayaan petani sayuran yang pernah mendapatkan program pengembangan sayuran organik di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kemampuan petani dalam pengadaan sarana produksi, rendahnya kemampuan petani dalam pemasaran hasil usahatani, rendahnya kemampuan petani dalam meningkatkan produktivitas usahatani serta rendahnya kemampuan petani dalam akses dan kerjasama dengan lembaga agribisnis sayuran organik. (6) Faktor-faktor yang berhubungan nyata dengan tingkat keberdayaan petani sayuran adalah : karakteristik internal petani terutama pendidikan formal, pendidikan non formal, kekosmopolitan, keberanian menanggung resiko dan motivasi berusahatani; dukungan penyuluhan pertanian terutama berkaitan dengan kompetensi penyuluh dan intensitas penyuluhan; dukungan lingkungan yang terdiri dari dukungan kebijakan pemerintah, dukungan kelembagaan yang berkaitan dengan usahatani sayuran organik; dan dukungan sumberdaya alam. (7) Faktor penentu rendahnya tingkat adopsi sistem pertanian sayuran organik dan keberdayaan petani adalah: lemahnya perilaku petani yang direfleksikan terutama oleh rendahnya keterampilan petani dalam sistem

154 134 pertanian sayuran organik, lemahnya dukungan lingkungan, yang tercermin oleh lemahnya dukungan kebijakan, lemahnya dukungan kelembagaan usahatani dan lemahnya dukungan sumberdaya lahan, lemahnya persepsi petani tentang sifat inovasi yang tercermin dari dari rendahnya tingkat keuntungan relatif dan keteramatan inovasi sistem pertanian sayuran organik, serta kurangnya dukungan penyuluhan pertanian. (8) Model pengembangan sistem pertanian sayuran organik menuju keberdayaan petani sayuran dirancang dengan pendekatan penguatan faktor-faktor penentu dalam adopsi sistem pertanian organik. Alternatif strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan adopsi sistem pertanian sayuran organik dalam mengembangkan keberdayaan petani sayuran organik adalah melalui: (a) penguatan perilaku petani dalam sistem pertanian sayuran organik, (b) penguatan dukungan lingkungan, yang terdiri dari dukungan kebijakan dan kelembagaan yang terkait usahatani sayuran organik, (c) penguatan persepsi petani terhadap sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik, dan (d) penguatan dukungan penyuluhan terhadap sistem pertanian sayuran organik. Saran (1) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dalam sistem pertanian sayuran organik perlu dilakukan dengan mengembangkan proses belajar farmer to farmer dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian partisipatif yang berkelanjutan. (2) Peningkatan kompetensi penyuluh perlu dilakukan dengan memperkuat subsistem penyuluhan yang berkaitan dengan pendidikan dan latihan tenaga penyuluh sehingga mampu mengembangkan penyuluh profesional. (3) Fasilitasi untuk peningkatan intensitas belajar petani dan peningkatan kualitas penyuluhan penting untuk dilakukan oleh pihak-pihak terkait sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam melakukan sistem pertanian sayuran organik, yang merupakan entry point menuju penerapan/adopsi sistem pertanian organik di lahan petani. (4) Peningkatan adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik untuk mengembangkan keberdayaan petani sayuran penting dilakukan agar petani dapat bersaing dan ambil bagian dalam era perdagangan bebas. Peningkatan adopsi sistem pertanian sayuran organik bukan hanya tanggung jawab pelaku dan lembaga penyuluhan pertanian semata, namun memerlukan kerjasama yang kuat antara berbagai stakholders, peningkatan peranan pemerintah dan kerjasama yang saling mendukung antara sektor petanian dan sektor lainnya di luar pertanian. (5) Untuk mengembangkan keberdayaan petani sayuran dapat dilakukan dengan meningkatkan adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik. Hal ini karena tingkat adopsi terhadap sistem pertanian sayuran organik berpengaruh signifikan dan positif terhadap tingkat keberdayaan petani sayuran dengan dukungan lingkungan. (6) Upaya peningkatan adopsi petani terhadap sistem pertanian sayuran organik perlu diperkuat dengan dukungan pengetahuan dan keterampilan

155 petani yang memadai, dukungan kebijakan dan ketersediaan lembaga terkait usahatani sayuran organik yang dapat diakses petani, sifat inovasi sistem pertanian sayuran organik yang memberikan keuntungan relatif dan tingkat keteramatan yang tinggi bagi petani, dukungan materi dan model komunikasi dalam penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan petani serta dukungan kompetensi penyuluh yang memadai. (7) Keterbatasan penelitian yang belum mengkaji aspek budaya masyarakat minang terkait dengan sayuran sebagai salah satu faktor yang diduga mempengaruhi adopsi sistem pertanian sayuran organik, maka dirasa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan pengaruh faktor budaya masyarakat Sumatera Barat dalam mengkonsumsi sayuran. (8) Terdapatnya pengaruh dukungan kelembagaan pemasaran terhadap adopsi sistem pertanian sayuran organik memerlukan kajian lebih lanjut terkait dengan permintaan terhadap sayuran organik dari dalam dan luar daerah Provinsi Sumatera Barat. 135

156 136 DAFTAR PUSTAKA Altri M, Irene Kartika E W Sikap Wanita Tani Terhadap Usahatani Padi Organik di Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas. Jurnal Soca. 9(1):7-9. Amanah S Paradigma Penyuluhan dan Pendekatan Pemberdayaan. Di dalam: Pemberdayaan Sosial Petani-nelayan, Keunikan Agroekosistem, dan Daya Saing. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Ameriana M Perilaku Petani Sayuran dalam Menggunakan Pestisida Kimia. Jurnal Hortikultura. 18(1): Anwas OM Kompetensi Penyuluhan Pertanian dalam Memberdayakan Petani. Jurnal Matematika, Saint dan Teknologi. 12(1): Apriantono A Pertanian Organik dan revitalisasi Pertanian. Di dalam: Sulaiman A, Mahdi A, Seta AK, Prihandarini R, Soedjais Z, editor. Menghantarkan Indonesia Menjadi Produsen Organik Terkemuka. Workshop Masyarakat Pertanian Organik Indonesia; 2005 Desember; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): MAPORINA.hlm 3-8. Arikunto S Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Ariesusanty L, Nuryati S, Wangsa R Statistik Pertanian Organik Indonesia. Aliansi Organik Indonesia Press. Bogor. Asngari PS Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Bogor:IPB. Asngari PS Pentingnya Memahami Falsafah Penyuluhan Pembangunan dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat.Sydex Plus. Babbie The Practice of Social Research. Belmont (US):Wadsworth. Bahan Kimia Mengancam Tanaman Sayuran Petani Marapi [Internet]. [diunduh 19 Jan 2012]. Tersedia pada: 2011/11/23/ /Bahan.Kimia.MengancamTanaman.Sayuran.Petani. Marapi. Beban A Organic Agriculture: An Empowering Development Strategy for Small-Scall Farmer? A Cambodian Case Study. A Thesis at Massey University, Palmerston North, New Zealand. [Internet]. [diunduh 23 Jan 2013]. Tersedia pada: hhtp/orgprints.org/ Bellaaj M, Bernard P, Plaisent M. Pascal P Organizational, Environmental, and Technological Factors Relating to Benefits of Website Adoption, International Journal of Global Business. 1(1): Bordenave J. D Komunikasi Inovasi Pertanian di Amerika Latin. Dalam Rogers, E. M, editor. Komunikasi dan Pembangunan Perspektif Kritis. Terjemahan dari Communication and Development Critical Perspectives. Jakarta: LP3S. [BPSa] Badan Pusat Statistik Agam dalam Angka Badan Pusat Statistik Kabupaten Agam. Agam (ID): BPS. [BPSb] Badan Pusat Statistik Sumatera Barat dalam Angka Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat. Sumatera Barat (ID): BPS.

157 137 [BPSc] Badan Pusat Statistik Perkembangan Sektor Pertanian Sumatera Barat Tahun Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat. Sumatera Barat (ID): BPS. [BPSd] Badan Pusat Statistik Tanah Datar dalam Angka Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Datar. Tanah Datar (ID): BPS. Bustang, Sugihen BG, Slamet M, Susanto D Potensi Masyarakat dan Kelembagaan Lokal dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin di Pedesaan (studi Kasus Kabupaten Bone). Jurnal Penyuluhan. 4(1): Chamala S, Shingi PM Establishing and Strengthening Farmer Organizations. dalam Improving Agricultural Extension: A Reference Manual. Disunting oleh Burton E. Swanson, Robert P. Bentz, dan Andrew J. Sofranko. Roma: FAO. Chambers R Challenging the Profession: Frontiers for Rural Development. London: Intermediate Technology Publications. Craig G, Mayo M Community Empowerment. A Reader in Participation and Development. London: Zed Books. Damardjati SD Kebijakan Operasional Pemerintah dalam Pengembangan Pertanian Indonesia. Di dalam: Sulaiman A, Mahdi A, Seta AK, Prihandarini R, Soedjais Z, editor. Menghantarkan Indonesia Menjadi Produsen Organik Terkemuka. Workshop Masyarakat Pertanian Organik Indonesia; 2005 Desember; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): MAPORINA.hlm 3-8. Daniel M Strategi Kebijakan Pertanian Organik. Harian Haluan 21 Desember [Internet]. [diunduh 22 Des 2011]. Tersedia pada: &id=3567. Dariah RA Peran Perguruan Tinggi dalam Aplikasi Variasi Model Pemberdayaan Masyarakat Desa di Jawa Barat. Jurnal Mimbar. 25(2): Darnhofer I, Schneeberger W, Freyer B Converting or not converting to organic farming in Austria: farmer types and their rationale, Agriculture and Human Values. [Internet]. [diunduh 23 Jan 2012]; 22: Tersedia pada: in=de&menue_id_in=205&id_in=&publikation_id_in= [Departemen Pertanian] Tahun Go Organik Ditjen BPPHP. [Internet]. [diunduh 19 Jan 2012]. Tersedia pada: Departemen-Pertanian. [Ditjen BPPHP Deptan] Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Tahun Go Organic 2010, Ditjen BPPHP Deptan, Jakarta. Dumasari, Watemin Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Miskin dalam Pengelolaan Usaha Mikro Tourism Souvenir Goods, Jurnal Mimbar. 29(2): Effendi L Kinerja Pemandu dalam Pengembangan PHT dan Dampaknya pada Perilaku Petani di Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

158 138 Hakim L Pemberdayaan Petani Sayuran: Kasus Petani Sayuran di Sulawesi Selatan. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Hakim L, Sugihen BG Pemberdayaan Petani Sayuran: Kasus Petani Sayuran di Sulawesi Selatan. Jurnal Penyuluhan. 3(1). Hanafi A Memasyarakatkan Ide-ide Baru. (terjemahan) dari Rogers dan Shoemaker ; Communication of Innovation. Surabaya: Usaha Nasional. Hanafie R Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Hubeis M, Widyastuti H, Wijaya HN Prospek Pangan Organik Bernilai Tambah Tinggi Berbasis Petani. IPB Press. Bogor. Ife J, Tesoriero F Community Development. Alternatif Pengembangan Masyarakat di era Globlisasi. Edisi 3. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Indraningsih SK Pengaruh Penyuluhan terhadap Keputusan Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu. Bahan Seminar Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. 11 Februari [Internet]. [diunduh 15 Feb 2011]. Tersedia pada: ind/index.php?option=com_content&task=view&id=727&itemid=65. Ismail M, Mohamed NB, Silvere T, Florent G, Guy SN, Simplice DV, Ulf L What happens between technico-institutional support and adoption of organic farming? A case study from Benin. Journal Organic Agriculture. 3(1):1-8. Kallas Z, Serra T, Gill JM Farmer s Objectives As Determinant Factors Of Organic Farming Adoption. Paper prepared for presentation at the 113th EAAE Seminar A resilient European food industry and food chain in a challenging world, Chania, Crete, Greece, date as in: September 3-6, Kambas KB, Afroz A, Sharad V, Humuman PD, Vinay S Organic farming history and Techniques. Journal Agroecology and strategies for climate change. 8: Karki L, Schleenbecker R, Hamm U Factors influencing a conversion to organic farming in Nepalese tea farms. Journal of Agriculture and rural Development in the tropics and subtropics. [Internet]. [diunduh 25 Agus 2012]; 112(2): Tersedia pada: article/ /s Klausmeir HJ, Goodwin W Learning and Human Abilities: Educational Psychology. Fourth Ed. New York: Harper & Row Publisher. Krisnamurthi B Revitalisasi Pertanian. Sebuah Konsekuensi Sejarah dan Tuntutan Masa Depan dalam Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Kusnendi Model-model Persamaan Struktural. Bandung: Alfabeta. Leeuwis C Komunikasi untuk Inovasi Pedesaan, Berpikir kembali tentang Penyuluhan Pertanian. Terjemahan dari: Communication for Rural Innovation, Rethinking Agricultural Extension. Yogyakarta: Kanisius. Lionberger HF Adoption of New Ideas and Practices. Iowa: The Iowa State University press. Lopez CP, Gimenez TDH, Requena JC Diffusion and Adoption of Organic Farming in the Southern Spanish Olive Groves. Journal of Sustainable Agriculture. 30(1).

159 139 Malta Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Petani Jagung di lahan Gambut. Jurnal Mimbar. 27(1): Mardikanto T Sistem Penyuluhan Pertanian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press. Mosher AT Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Penerbit CV Yosaguna. Jakarta. Mulyadi, Sugihen BG, Asngari PS, Susanto D Proses Adopsi Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak Di Kabupaten Manokwari Papua Barat. Jurnal Penyuluhan. 3(2). Mulyandari RSH. 2011a. Cyber Extension sebagai Media Komunikasi dalam Pemberdayaan Petani Sayuran. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor. Mulyandari RSH. 2011b. Perilaku Petani Sayuran dalam Memanfaatkan teknologi Informasi. Jurnal Perpustakaan Pertanian. 20(1): Mulyandari RSH, Sumardjo, Panjaitan NK, Lubis DP Cyber Extension as Communications Media for Vegetable Farmer Empowerment. Journal of Agricultural Extension and Rural Development. 4(3): Ningrum E Dinamika Masyarakat Tradisional Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Mimbar. 28(1): Padmowihardjo S Penyuluhan Pendampingan Partisipatif. Jurnal Penyuluhan. 2(1). Page N, Czuba E C Empowerment: What Is It?. Jurnal of Extension. [Internet]. [Diunduh 28 Juni 2013]; 37(5). Tersedia pada: Pangan Organik: Potensi dan Peluang Ekspor Jurnal Soca. 8(3). Pattanapant A, Shivakoti GP Opportunities And Constraints Of Organic Agriculture In Chiang Mai Province, Thailand. Asia-Pacific Development Journal. [Internet]. [diunduh 9 Nov 2011]; 16(1). Tersedia pada: hivakotipdf. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah. Pertanian Organik Sumbar Hasilkan 20 Komoditas [Internet]. [diunduh 19 Jan 2012]. Tersedia pada: medanbisnisdaily.com/ news/read/2011/07/27/47351/pertanian_organik_sumbar_hasilkan_20_kom oditas/#.txekyihyzy0. Prager K, Posthumus H Adopting sustainable soil management the role of socio-economic factors. Di dalam: Paper for the 16th Annual International Sustainable Development Research Conference. Track Sustainable Agriculture. [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan: Hong Kong, 30 May 1 June, 2010]. [diunduh 17 Sep 2011]. Tersedia pada: Pranadji T Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. Purnaningsih N, Sugihen BG, Slamet M, Saefuddin A, Padmowiharjo S Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan. 2(2).

160 140 Rasahan CA Perspektif Pembangunan Subsektor Tanaman Pangan dan Hortikultura dalam Refleksi Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Nusantara. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Reflinaldon, Oktanis M, Asril Penggunaan Pestisida dan Dampaknya Terhadap Keanekaragaman hayati serta Upaya restorasi Agroekosistem Kawasan Sentra Sayuran Kecamatan Lembah Gumanti Sumatera Barat. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional Universitas Andalas. Reijntjes C, Haverkot B, Bayer W Pertanian Masa Depan Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Sukoco Y SS, penerjemah: van de Fliert E dan Hidayat B, editor. Jakarta (ID): Penerbit Kanisius. Terjemahan dari Farming for the Future An Introduction to Low- External Input and Sustainable Agriculture. The Macmillan Press Ltd, Rezvanfar A, Eraktan G, Olhan E Determine Of Factors Associated With The Adoption Of Organic Agriculture Among Small Farmers In Iran. African Journal of Agricultural Research. [Internet]. [diunduh 25 Okt 2012]; 6(13): Tersedia pada: AJAR. Rogers EM Diffusion of Innovations. Fifth Edition. New York: The Free Press. Ryan L Decision modeling: Why farmers do or do not convert to organic farming. [Internet]. [diunduh 27 Mei 2011]. Tersedia pada: akses September Sadono D Pemberdayaan Petani: Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Jurnal Penyuluhan. 4(1). Sadono D Model Pemberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usahatani Padi di Kabupaten karawang dan Cianjur provinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor. Salikin KA Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius. Saragih ES Pertanian Organik, Solusi Hidup Harmoni dan Berkelanjutan. Penebar Swadaya: Jakarta. Satuan Tugas Pertanian Organik Laporan Pemasyarakatan Pertanian Organik. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sumatera Barat. Satuan Tugas Pertanian Organik Laporan Pemasyarakatan Pertanian Organik. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sumatera Barat. Sears DO, Freedman JL, Peplau LA Psikologi Sosial. Michael A dan Savitri S penerjemah. Penerbit Erlangga. Jakarta. Terjemahan dari Social Psichology. Prentice-Hall, Inc Setiawan I Pengadopsian System of Rice Intensification (SRI) di Provinsi Bali. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan. 5(2). Singarimbun M, Effendi S Metode Penelitian Survai. LP3S. Jakarta. SNI Sistem pangan organik Badan Standardisasi Nasional (BSN). Slamet M Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Penyunting: Ida Yustina dan Ajat Sudrajat, Bogor: IPB Press. Soekartawi Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit UI-Press. Jakarta.

161 141 Soetrisno L Paradigma Baru Pembangunan Pertanian, Sebuah Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Kanisius. Sudaryanto YP Prinsip-prinsip Dasar Pertanian Organik. Didalam: Pertanian Organis dan Kemandirian. Wacana ELSPPAT. [Internet] [diunduh 20 Maret 2012]. Edisi 3/VIII. hlm Tersedia pada: Sulaiman A Konsep dan Pemikiran untuk Menyonsong Revolusi hijau Kedua. Dalam Pemikiran Guru Besar IPB Peranan Iptek dalam Pengelolaan Pangan, Energi, SDM, dan Lingkungan yang Berkelanjutan. Bogor: IPB Press. Sumardjo Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani (Kasus di Propinsi Jawa Barat). [Disertasi]. PS Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Program Pascasarjana, Institute Pertanian Bogor. Bogor. Sumardjo Penyuluhan Pembangunan Pilar Pendukung Kemajuan dan kemandirian Masyarakat. Di dalam: Yustina I dan Sudradjat A, penyunting. Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Bogor: Sydex Plus. Sumardjo Penyuluhan menuju Pengembangan Kapital Manusia dan Kapital Sosial dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Orasi ilmiah Guru Besar IPB. Bogor. Sumardjo Review dan Refleksi Model penyuluhan dan Inovasi Penyuluhan Masa Depan.Seminar Nasional Penyuluhan Pembangunan, 22 Februari IPB Bogor. Sumodiningrat G Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sumodiningrat G Pemberdayaan Sosial: Kajian Ringkas tentang Pembangunan Manusia Indonesia. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Sutanto R Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius. Tamba M Kebutuhan Informasi Pertanian dan Aksesnya bagi Petani Sayuran: Pengembangan model Penyediaan Informasi pertanian dalam Pemberdayaan Petani, Kasus di provinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Thapa GB, Rattanasuteerakul K Adoption and Extend of Organic vegetatable Farming in Mahasarakhan Province, Thailand. Journal of Applied Geography. 30:1-9. Tjitropranoto P Pemahaman Diri, Potensi/Kesiapan Diri, Dan Pengenalan Inovasi. Jurnal Penyuluhan. 1(1). Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura. Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Uphoff N Local Institutional Development : An Analytical Sourcebook With Cases. Cornell University: Kumarian Press.

162 142 van den Ban AW, Hawkins HS Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta, Kanisius. Walgito B Pengantar Psikologi Umum. Penerbit ANDI. Yoyakarta. Widiarta A, Adiwibowo S Analisis Keberlanjutan Pertanian Organik di Kalangan Petani. Jurnal Sodality. 5(1): Widjajanti K Model Pemberdayaan Masyarakat, Jurnal Ekonomi Pembangunan. 12(1): Widodo YB Pemberdayaan Tenaga Kerja Perdesaan dalam pengembangan sistem Pertanian Organik : Dinamika Sosial Masyarakat Desa. Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI. Pusat Penelitian kependudukan LIPI. Jakarta. Winkel WS Psikologi Pengajaran. Penerbit PT Grasindo. Jakarta. Wrihatnolo RR, Dwidjowijoto RN Manajemen Pemberdayaan. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. Zulvera, Sumardjo, Slamet M, Sugihen BG The Behavior of Vegetable Farmers in Responding to the Organic Vegetable Farming System in Agam and Tanah Datar Districts of West Sumatra. International Journal of Sciences: Basic and Applied Research. 16(1):24-31.

163 143 LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Provinsi Sumatera Barat Lokasi penelitian Kabupaten Agam Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat terletak di pesisir barat bagian tengah pulau Sumatera dan sekaligus berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia, Provinsi Riau, Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Utara. Luas daerah provinsi Sumatera Barat adalah 42,2 Km2 yang setara dengan 2,21 persen dariluas Republik Indonesia. Provinsi Sumatera Barat terdiri dari 19 Kabupaten dan Kota, dengan Kota Padang sebagai ibukota Provinsi (BPSb 2013). Perekonomian Provinsi Sumatera Barat yang bercorak agraris dicerminkan oleh besarnya nilai tambah yang disumbangkan sektor pertanian terhadap pendapatan daerah (PDRB)yaitu sebesar 23,01 persen (BPSc 2012). Tanaman pangan dan hortikultura merupakan subsektor pertanian yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Sumatera Barat (menyumbang sebesar 12 persen pada tahun 2012). Tingginya kontribusi subsektor tanaman pangan dan hortikultura dalam pembentukan PDRB sektor pertanian menggambarkan bahwa pertanian tanaman pangan dan hortikultura masih merupakan andalan utama bagi Provinsi Sumatera Barat. Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar merupakan dua daerah sentra hortikultura khususnya produksi sayuran di Provinsi Sumatera Barat. Dan dua daerah ini juga termasuk lokasi pengembangan kawasan sayuran organik di Sumatera Barat.

164 144 Lampiran Lokasi penelitian 4 3 Keterangan: Lokasi Penelitian: Kabupaten Agam Terdiri dari Kecamatan: (1) Kecamatan Baso, (2) Kecamatan Kamang Magek, (3)Kecamatan Canduang, (4) Kecamatan Banuhampu. Kabupaten Agam merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Barat dengan ibukota Kabupaten Lubuk Basung. Secara geografis, Kabupaten Agam berada pada pada LS dan BT. Luas daerah Kabupaten Agam 2.232,30 Km 2 (5,29%) dari luas wilayah Provinsi Sumatera Barat. Kabupaten Agam mempunyai kondisi topografi yang cukup bervariasi, mulai dari dataran tinggi hingga dataran yang relatif rendah, dengan ketinggian berkisar antara meter dari permukaan laut. Menurut kondisi fisiografinya, ketinggian atau elevasi wilayah Kabupaten Agam, bervariasi antara 2 meter sampai meter (BPSa 2013). Kabupaten Agam terdiri dari 16 kecamatan dengan batas batas daerah: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Pasaman, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Tanah Datar, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten 50 Kota, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Kabupaten Agam adalah kawasan perbukitan/pegunungan dan pesisir yang didominasi oleh kawasan lindung dengan basis ekonomi pertanian yaitu: perkebunan lahan kering dan hortikultura. Jenis tanaman hortikultura utama yang banyak ditanam oleh petani di Kabupaten Agam adalah sayuran terung, bawang daun, cabe, kubis/kol, buncis, tomat, sawi, kembang kol, labu siam, dan wortel.

165 145 Lampiran Lokasi penelitian Keterangan: Lokasi Penelitian (a) : Kabupaten Tanah Datar Terdiri dari Kecamatan: (1) Kecamatan Tanjuang Baru, (2) Kecamatan Salimpauang, (3) Kecamatan Pariangan, (4) Kecamatan X Koto. Kabupaten Tanah Datar mempunyai luas 1336 Km 2 yang berada pada LS dan BT. Secara geografis wilayah Kabupaten Tanah Datar berada di sekitar kaki gunung Merapi, gunung Singgalang, dan gunung Sago, dan diperkaya pula dengan 25 sungai. Daerah Tanah Datar terletak pada ketinggian meter dari permukaan laut (BPSd 2013). Kabupaten Tanah Datar terdiri dari 14 kecamatan, dengan batas-batas daerah: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten 50 Kota, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Solok, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman, dan sebelah timur berbatasan dengan Kota Sawahlunto dan Kabupaten Sijunjung. Kabupaten Tanah Datar potensial untuk pengembangan produksi padi, palawija, dan sayuran. Hal ini karena didukung dengan potensi lahan yang cukup memadai serta keseuaian agroklimat (Tanah Datar dalam angka 2013). Produksi sayuran utama di Kabupaten Tanah Datar terdiri dari kol/kubis, bawang daun, cabe, tomat buncis, terung, sawi labu siam, kembang kol dan wortel.

166 146 Lampiran 4 Hasil Uji Validitas Reliabilitas Instrumen Hasil Uji Validitas Instrumen Peubah Kisaran Nilai Keterangan Validitas (koefisien r) Karakteristik Petani (X1) 0,536 0,935 Valid Intensitas Belajar Petani ( X2) 0,618 0,954 Valid Dukungan Penyuluhan (X3) 0,630 0,985 Valid Perilaku Petani (X4) 0,610 0,841 Valid Sifat Inovasi Sistem Pertanian Organik 0,736 0,902 Valid (X5) Dukungan Lingkungan Eksternal (X6) 0,643 0,908 Valid Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Organik 0,623 0,943 Valid (Y1) Tingkat Keberdayaan Petani (Y2) 0,606 0,857 Valid Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Peubah Nilai Keterangan Reliabilitas Karakteristik Petani (X1) 0,707-0,812 Reliabel Intensitas Belajar Petani ( X2) 0,804 0,810 Reliabel Dukungan Penyuluhan (X3) 0,777 0,854 Reliabel Perilaku Petani (X4) 0,685 0,776 Reliabel Sifat Inovasi Sistem Pertanian Organik 0,817 0,849 Reliabel (X5) Dukungan Lingkungan Eksternal (X6) 0,664 0,791 Reliabel Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Organik 0,794 0,884 Reliabel (Y1) Tingkat Keberdayaan Petani (Y2) 0,775 0,794 Reliabel

167 LAMPIRAN 5 Diagram Jalur Model Hipotetik Persamaan Struktural Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Petani sayuran, Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik, dan Tingkat Keberdayaan Petani 147

168 148 Lampiran 5 (Lanjutan) X1 γ 1.1 X2 γ 1.2 Y1 ξ 1 X3 γ 1.3 Y1 = γ 1.1 X 1 + γ 1.2 X 2 + γ 1.3 X 3 + ξ 1 Keterangan: X1= Karakteristik Petani X2= Proses belajar Petani X3= Dukungan penyuluhan X4= Perilaku Petani berkaitan dengan Sistem Pertanian Sayuran Organik Gambar Model Perilaku Petani berkaitan dengan Sistem Pertanian Sayuran Organik X3 γ 1.3 Y1 β 1.1 X4 X5 γ 1.5 γ 1.6 Y2 ξ 2 Y2 = γ 1.3 X 3 + γ 1.5 X 4 + γ 1.6 X 5 + β 1.4 y1 + ξ 2 Keterangan: X3= Dukungan penyuluhan X4= Perilaku Petani berkaitan dengan Sistem Pertanian Sayuran Organik X5= Persepsi Petani tentang Sifat Sistem Pertanian Sayuran organik X6= Dukungan Lingkungan Eksternal Y1= Tingkat Adopsi Sistem Pertanian sayuran Organik Gambar Model Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik

169 149 Lampiran 5 (Lanjutan) X1 γ 2.1 Y1 β 2.4 β 2.1 β 1.1 X2 γ 2.3 Y2 Y3 X3 γ 2.3 X5 γ 2.5 ξ 3 ξ 2 Y3 = γ 2.1 X 1 + γ 2.2 X 2 + γ 2.3 X 3 + γ 2.6 X 5 +β 2.4 y 1 + β 2.1 Y 2 + ξ 3 Keterangan: X1=Karakteristik Petani X2= Proses Belajar Petani X3= Dukungan penyuluhan X4= Perilaku Petani berkaitan dengan Sistem Pertanian Sayuran Organik X6= Dukungan Lingkungan Eksternal Y1= Tingkat Adopsi Sistem Pertanian Sayuran Organik Y2 = Tingkat Keberdayaan Petani Gambar Model Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran dalam Berusahatani

170 150 Lampiran 6 Pengembangan Sistem Pertanian Organik Di Provinsi Sumatera Barat Pemerintah Sumatera Barat cukup serius dalam mengembangkan pertanian organik. Beberapa program yang dilakukan Pemeritah Daerah dalam pengembangan pertanian organik di Sumatera Barat adalah: (a) Pengembangan dan pemasyarakatan teknologi, Pengembangan dan pemasyarakatan teknologi, dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti Diklat (Pendidikan dan Pelatihan) Pertanian Organik, TOT Pertanian Organik, Demplot Padi Organik, Gerakan Penggunaan Kompos Jerami, Penerapan Padi Tanam Sabatang (PTS), SLAPO Sayuran Organik, SLPHT Padi Organik, Pembinaan Pos IPAH, Pengkajian Pertanian Organik, Pendirian Pusat Studi Pertanian Organik, Pengadaan dan Penyebaran Bibit Pestisida Nabati, Pertemuan Koordinasi dan Sosialisasi PTS, Penumbuhan Penangkar Bibit Organik, Pembuatan Grading dan Packing House, Pengembangan Kawasan komoditas unggulan Organik, dan banyak lagi kegiatan lainnya yang tersebar di seluruh Dinas terkait di Kabupaten/Kota. (b) Inisiasi, pembinaan dan pengembangan kelembagaan, Pengembangan kelembagaan yang dilakukan Pemerintah Daerah adalah melalui pembentukan kelembagaan resmi atau institusi pemerintah antara lain Satgas Organik dan LSO. Satgas atau satuan tugas organik ini berkedudukan di Padang (ibu kota Provinsi) berada di bawah naungan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Sumatera Barat. Institusi ini bertugas menangani segala bentuk pelatihan, pembinaan, pengembangan serta evaluasi dan sertifikasi pertanian organik.sementara LSO (Lembaga Sertifikasi Organik) terintegrasi dengan Satgas Organik, bertugas mengevaluasi, mensosialisasikan serta mensertifikasi lahan dan usaha pertanian organik. Lembaga ini bekerja sama dengan lembaga resmi pemerintah dari pusat di bawah salah satu Eselon I Departemen Pertanian. Pemerintah Sumatera Barat juga telah membangun Lembaga non pemerintah (bukan lembaga resmi pemerintah) antara lain adalah IPO. Institut Pertanian Organik (IPO), bisa dikatakan sebagai sebuah lembaga pioneer yang sangat berperan dalam pengembangan pertanian organik di Sumatera Barat. Lembaga ini didirikan oleh salah satu penggagas dan penggerak serta sekaligus sebagai pelaksana pertanian organik di Sumatera Barat. Saat ini lembaga tersebut dijadikan sebagai pusat magang para petugas dan petani serta TOT para penggiat organik di Sumatera Barat. Bisa juga dikatakan bahwa semua penggiat organik di Sumatera Barat saat ini mayoritas merupakan lulusan IPO atau sudah pernah magang ataupun paling tidak pernah berkunjung serta belajar di IPO. Lembaga ini terletak di pinggang gunung Merapi dalam wilayah Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar.

171 151 (c) Kebijakan pendukung sistem pertanian sayuran organik. Kebijakan yang telah ditetapkan guna mendukung berkembangnya usaha pertanian organik, di antaranya adalah penyediaan insentif harga, dan penyediaan dana kompensasi tidak membakar jerami dalam pengembangan PTS (padi tanam sabatang). Pemerintah Daerah melalui Dinas Pertanian mengalokasikan anggaran sebesar Rp /ha untuk petani yang tidak membakar jerami di sawahnya. Selain kompensasi untuk tidak membakar jerami, Pemerintah Daerah juga memberikan insentif harga sebesar Rp 250,00 untuk setiap kilogram produk organik yang dihasilkan petani organik. Kebijakan insentif ini sudah dilakukan secara intensif sejak tahun Perkembangan Produksi Pertanian Organik di Provinsi Sumatera Barat (tahun ) Tahun Produksi (ton) Insentif (Rp.) Operator * (orang) , , , , *Petani yang memproduksi produk organik. Sumber: Satuan Tugas Pertanian Organik (2013).

172 152 Lampiran 7 Analisis SEM menggunakan LISREL 8.30 Standardized Loading Factor

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok) DIARSI EKA YANI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa pakar percaya penyuluhan merupakan ujung tombak pembangunan pertanian dengan membantu petani dan masyarakat disekitarnya dalam meningkatkan sumberdaya manusia

Lebih terperinci

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT M A L T A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Salah satu upaya pemerintah dalam memacu proses industrialisasi pertanian adalah dengan introduksi sistem pertanian yang mampu mendorong produksi dan produktivitas

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS (UPTD) PENYULUHAN DAN POS KESEHATAN HEWAN WILAYAH CISARUA KABUPATEN BOGOR

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS (UPTD) PENYULUHAN DAN POS KESEHATAN HEWAN WILAYAH CISARUA KABUPATEN BOGOR FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS (UPTD) PENYULUHAN DAN POS KESEHATAN HEWAN WILAYAH CISARUA KABUPATEN BOGOR SKRIPSI ERLI YUNEKANTARI PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan yang penting dalam pembangunan Negara Indonesia dari dulu dan pada masa yang akan datang. Arti penting pertanian dapat dilihat secara

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI (Kasus di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang NTT) IRIANUS REJEKI ROHI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN SIKAP KARYAWAN DALAM USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN SIKAP KARYAWAN DALAM USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN SIKAP KARYAWAN DALAM USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH (Kasus Perusahaan Peternakan Rian Puspita Jaya Jakarta Selatan) SKRIPSI EVA SUSANTI PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR

KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK YUSNIDAR. Keefektivan Komunikasi Masyarakat

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

KEMANDIRIAN PETANI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN USAHATANI: KASUS PETANI SAYURAN DI KABUPATEN BONDOWOSO DAN KABUPATEN PASURUAN ABDUL FARID

KEMANDIRIAN PETANI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN USAHATANI: KASUS PETANI SAYURAN DI KABUPATEN BONDOWOSO DAN KABUPATEN PASURUAN ABDUL FARID KEMANDIRIAN PETANI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN USAHATANI: KASUS PETANI SAYURAN DI KABUPATEN BONDOWOSO DAN KABUPATEN PASURUAN ABDUL FARID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Analisis Tataniaga Kubis (Brasica Olereacea) Organik Bersertifikat Di Nagari Koto Tinggi Kecamatan Baso Kabupaten Agam

Analisis Tataniaga Kubis (Brasica Olereacea) Organik Bersertifikat Di Nagari Koto Tinggi Kecamatan Baso Kabupaten Agam Analisis Tataniaga Kubis (Brasica Olereacea) Organik Bersertifikat Di Nagari Koto Tinggi Kecamatan Baso Kabupaten Agam Skripsi S1, Oleh: Afridha Rahman, Pembimbing: Dr.Ir. Nofialdi, M.Si dan Rina Sari,

Lebih terperinci

PERSEPSI DAN PARTISIPASI PETERNAK TENTANG PROGRAM PERGULIRAN TERNAK DOMBA

PERSEPSI DAN PARTISIPASI PETERNAK TENTANG PROGRAM PERGULIRAN TERNAK DOMBA PERSEPSI DAN PARTISIPASI PETERNAK TENTANG PROGRAM PERGULIRAN TERNAK DOMBA (Kasus Kelompok Tani Mandiri, Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor) SKRIPSI RENDY JUARSYAH PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

KONVERGENSI KEEFEKTIVAN KEPEMIMPINAN (Kasus Anggota Gabungan Kelompok Tani Pandan Wangi Desa Karehkel, Leuwiliang-Bogor) SKRIPSI FERRI FIRDAUS

KONVERGENSI KEEFEKTIVAN KEPEMIMPINAN (Kasus Anggota Gabungan Kelompok Tani Pandan Wangi Desa Karehkel, Leuwiliang-Bogor) SKRIPSI FERRI FIRDAUS KONVERGENSI KEEFEKTIVAN KEPEMIMPINAN (Kasus Anggota Gabungan Kelompok Tani Pandan Wangi Desa Karehkel, Leuwiliang-Bogor) SKRIPSI FERRI FIRDAUS PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peran pertanian antara lain adalah (1) sektor pertanian menyumbang sekitar 22,3 % dari

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH KABUPATEN ACEH BESAR TESIS

STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH KABUPATEN ACEH BESAR TESIS STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH KABUPATEN ACEH BESAR TESIS OLEH : SURYANI 107040002 PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN

Lebih terperinci

KOMPETENSI PENYULUH DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PROVINSI JAWA BARAT. Bambang Gatut Nuryanto

KOMPETENSI PENYULUH DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PROVINSI JAWA BARAT. Bambang Gatut Nuryanto KOMPETENSI PENYULUH DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PROVINSI JAWA BARAT Bambang Gatut Nuryanto SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS VIDEO INSTRUKSIONAL DALAM DISEMINASI INFORMASI PERTANIAN

EFEKTIVITAS VIDEO INSTRUKSIONAL DALAM DISEMINASI INFORMASI PERTANIAN EFEKTIVITAS VIDEO INSTRUKSIONAL DALAM DISEMINASI INFORMASI PERTANIAN (Eksperimen Lapangan : Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) pada Petani Kakao di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah) MUHAMMAD

Lebih terperinci

HUBUNGAN AKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN PETERNAK SAPI POTONG

HUBUNGAN AKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN PETERNAK SAPI POTONG HUBUNGAN AKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN PETERNAK SAPI POTONG Kasus pada Kelompok Ternak Lembu Jaya dan Bumi Mulyo Kabupaten Banjarnegara SKRIPSI TAUFIK BUDI PRASETIYONO PROGRAM

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERILAKU KOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KERJA KARYAWAN DIVISI PRODUKSI ( Studi Kasus di Divisi Produksi Susu Bubuk PT. Indomilk Jakarta )

HUBUNGAN PERILAKU KOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KERJA KARYAWAN DIVISI PRODUKSI ( Studi Kasus di Divisi Produksi Susu Bubuk PT. Indomilk Jakarta ) HUBUNGAN PERILAKU KOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KERJA KARYAWAN DIVISI PRODUKSI ( Studi Kasus di Divisi Produksi Susu Bubuk PT. Indomilk Jakarta ) SKRIPSI SETYO UTOMO PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN

Lebih terperinci

PERSEPSI PETANI TENTANG KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAYURAN

PERSEPSI PETANI TENTANG KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAYURAN JURNAL P ENYULUHAN ISSN: 1858-2664 Maret 2006,Vol. 2, No.1 PERSEPSI PETANI TENTANG KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAYURAN ( Kasus Petani Sayuran Peserta Program Kawasan

Lebih terperinci

MARIA BINUR FRANSISKA MANALU

MARIA BINUR FRANSISKA MANALU KOMPETENSI PEMILIK RUMAH MAKAN TRADISIONAL KELAS C DALAM PENGOLAHAN DAN PENYAJIAN MAKANAN DI DAERAH TUJUAN WISATA JAKARTA TIMUR MARIA BINUR FRANSISKA MANALU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

JARINGAN KOMUNIKASI PETANI DALAM ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN

JARINGAN KOMUNIKASI PETANI DALAM ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN JARINGAN KOMUNIKASI PETANI DALAM ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN (Kasus Adopsi Inovasi Traktor Tangan di Desa Neglasari, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat) PARLAUNGAN ADIL

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada abad 21 ini masyarakat mulai menyadari adanya bahaya penggunaan bahan kimia sintetis dalam bidang pertanian. Penggunaan bahan kimia sintesis tersebut telah menyebabkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA IMPLEMENTASI PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH

HUBUNGAN ANTARA IMPLEMENTASI PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH HUBUNGAN ANTARA IMPLEMENTASI PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH (Suatu Kasus pada Gapoktan Tahan Jaya di Desa Buahdua Kecamatan Buahdua Kabupaten

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI KLINIK AGRIBISNIS PADA PRIMA TANI DI KECAMATAN LEUWI SADENG BOGOR NIA RACHMAWATI

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI KLINIK AGRIBISNIS PADA PRIMA TANI DI KECAMATAN LEUWI SADENG BOGOR NIA RACHMAWATI EFEKTIVITAS KOMUNIKASI KLINIK AGRIBISNIS PADA PRIMA TANI DI KECAMATAN LEUWI SADENG BOGOR NIA RACHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 iii

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN TINGKAT PARTISIPASI PETANI PADI SAWAH DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PHT LUKI SANDI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN TINGKAT PARTISIPASI PETANI PADI SAWAH DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PHT LUKI SANDI HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN TINGKAT PARTISIPASI PETANI PADI SAWAH DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PHT (Kasus: Program PHT Desa Karangwangi, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon) LUKI SANDI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inovasi Rogers (2003) mengartikan inovasi sebagai ide, praktik atau objek yang dirasa baru oleh individu atau unit adopsi lain. Sifat dalam inovasi tidak hanya pengetahuan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS VIDEO INSTRUKSIONAL DALAM DISEMINASI INFORMASI PERTANIAN

EFEKTIVITAS VIDEO INSTRUKSIONAL DALAM DISEMINASI INFORMASI PERTANIAN EFEKTIVITAS VIDEO INSTRUKSIONAL DALAM DISEMINASI INFORMASI PERTANIAN (Eksperimen Lapangan : Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) pada Petani Kakao di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah) MUHAMMAD

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN

I PENDAHULUAN I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani. Hal ini perlu mendapat perhatian berbagai pihak, karena sektor pertanian

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI PETERNAK DALAM MENGEMBANGKAN USAHATERNAK DOMBA (Kasus : Desa Cigudeg Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI PETERNAK DALAM MENGEMBANGKAN USAHATERNAK DOMBA (Kasus : Desa Cigudeg Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI PETERNAK DALAM MENGEMBANGKAN USAHATERNAK DOMBA (Kasus : Desa Cigudeg Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) SKRIPSI MUKHAMAD FATHONI PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS KOMUNIKASI MODEL PRIMA TANI SEBAGAI DISEMINASI TEKNOLOGI PERTANIAN DI DESA CITARIK KABUPATEN KARAWANG JAWA BARAT

ANALISIS EFEKTIVITAS KOMUNIKASI MODEL PRIMA TANI SEBAGAI DISEMINASI TEKNOLOGI PERTANIAN DI DESA CITARIK KABUPATEN KARAWANG JAWA BARAT ANALISIS EFEKTIVITAS KOMUNIKASI MODEL PRIMA TANI SEBAGAI DISEMINASI TEKNOLOGI PERTANIAN DI DESA CITARIK KABUPATEN KARAWANG JAWA BARAT FIRMANTO NOVIAR SUWANDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TINGKAT ADOPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI PERTANIAN TERPADU USAHATANI PADI ORGANIK

TINGKAT ADOPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI PERTANIAN TERPADU USAHATANI PADI ORGANIK TINGKAT ADOPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI PERTANIAN TERPADU USAHATANI PADI ORGANIK (Studi Kasus : Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai ) Melfrianti Romauli *), Lily Fauzia **),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber matapencaharian dari mayoritas penduduknya, sehingga sebagian besar penduduknya menggantungkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH (Kasus Desa Waimital Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat) RISYAT ALBERTH FAR FAR SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan (food security) telah menjadi isu global selama dua dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan disebutkan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI MELON DI KABUPATEN NGAWI

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI MELON DI KABUPATEN NGAWI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI MELON DI KABUPATEN NGAWI TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan

Lebih terperinci

PARTISIPASI ANGGOTA KELOMPOK WANITA TANI DALAM KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN DI KOTA BOGOR PROVINSI JAWA BARAT TESIS

PARTISIPASI ANGGOTA KELOMPOK WANITA TANI DALAM KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN DI KOTA BOGOR PROVINSI JAWA BARAT TESIS PARTISIPASI ANGGOTA KELOMPOK WANITA TANI DALAM KEGIATAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN PEKARANGAN DI KOTA BOGOR PROVINSI JAWA BARAT TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A

ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A14104684 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENGARUH MEDIA KOMUNIKASI TERHADAP PEMBERDAYAAN PETANI PADA PROGRAM PRIMATANI LAHAN SAWAH IRIGASI DI KABUPATEN KARAWANG DAROJAT PRAWIRANEGARA

PENGARUH MEDIA KOMUNIKASI TERHADAP PEMBERDAYAAN PETANI PADA PROGRAM PRIMATANI LAHAN SAWAH IRIGASI DI KABUPATEN KARAWANG DAROJAT PRAWIRANEGARA PENGARUH MEDIA KOMUNIKASI TERHADAP PEMBERDAYAAN PETANI PADA PROGRAM PRIMATANI LAHAN SAWAH IRIGASI DI KABUPATEN KARAWANG DAROJAT PRAWIRANEGARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

RANI SURAYA NIM

RANI SURAYA NIM PENGARUH PENYULUHAN DENGAN METODE CERAMAH DAN LEAFLET TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TENTANG POLA PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP ASI) PADA ANAK 6-24 BULAN DI DESA PANTAI GEMI KECAMATAN STABAT

Lebih terperinci

INTERAKSI PARTISIPATIF ANTARA PENYULUH PERTANIAN DAN KELOMPOK TANI MENUJU KEMANDIRIAN PETANI

INTERAKSI PARTISIPATIF ANTARA PENYULUH PERTANIAN DAN KELOMPOK TANI MENUJU KEMANDIRIAN PETANI INTERAKSI PARTISIPATIF ANTARA PENYULUH PERTANIAN DAN KELOMPOK TANI MENUJU KEMANDIRIAN PETANI RINGKASAN Penyuluhan pertanian (PP) menjadi penting sebagai upaya menuju kemandirian petani. Dengan berlakunya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam struktur ekonomi nasional. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan

Lebih terperinci

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI DESA AJIBARANG WETAN, KECAMATAN AJIBARANG, KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI DESA AJIBARANG WETAN, KECAMATAN AJIBARANG, KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI DESA AJIBARANG WETAN, KECAMATAN AJIBARANG, KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana S1 Fakultas

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERILAKU PETUGAS KESEHATAN DI BAGIAN PENDAFTARAN PASIEN RAWAT JALAN DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN DI RSUD IDI KABUPATEN ACEH TIMUR TESIS

HUBUNGAN PERILAKU PETUGAS KESEHATAN DI BAGIAN PENDAFTARAN PASIEN RAWAT JALAN DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN DI RSUD IDI KABUPATEN ACEH TIMUR TESIS HUBUNGAN PERILAKU PETUGAS KESEHATAN DI BAGIAN PENDAFTARAN PASIEN RAWAT JALAN DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN DI RSUD IDI KABUPATEN ACEH TIMUR TESIS Oleh SYARIFAH RINA 127032016/IKM PROGRAM STUDI S2 ILMU

Lebih terperinci

PERSEPSI PETERNAK SAPI POTONG KEREMAN TERHADAP INOVASI TEKNOLOGI MESIN SILASE ONGGOK TAPIOKA

PERSEPSI PETERNAK SAPI POTONG KEREMAN TERHADAP INOVASI TEKNOLOGI MESIN SILASE ONGGOK TAPIOKA PERSEPSI PETERNAK SAPI POTONG KEREMAN TERHADAP INOVASI TEKNOLOGI MESIN SILASE ONGGOK TAPIOKA (Kasus Inovasi pada Kelompok Peternak Sapi Potong Kereman Margo Lestari di Desa Sidomukti Kecamatan Margoyoso

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI YANG MEMPENGARUHI PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT PADI SAWAH DITINJAU DARI SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI YANG MEMPENGARUHI PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT PADI SAWAH DITINJAU DARI SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI YANG MEMPENGARUHI PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT PADI SAWAH DITINJAU DARI SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN 1 Istiantoro, 2 Azis Nur Bambang dan 3 Tri Retnaningsih Soeprobowati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerawanan pangan saat ini benar-benar merupakan ancaman nyata dan bersifat laten. Beberapa hasil pengamatan beserta gambaran kondisi pangan dunia saat ini benar-benar mengindikasikan

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN PERILAKU KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG KAKILIMA (Kasus Pedagang Kakilima Pemakai gerobak Usaha Makanan Di Kota Bogor)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN PERILAKU KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG KAKILIMA (Kasus Pedagang Kakilima Pemakai gerobak Usaha Makanan Di Kota Bogor) JURNAL P ENYULUHAN ISSN: 1858-2664 Juni 2006, Vol. 2, No. 2 Abstract FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN PERILAKU KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG KAKILIMA (Kasus Pedagang Kakilima Pemakai gerobak Usaha Makanan

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Hak Cipta

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI

ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI (System of Rice Intensification) (Kasus: Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang, Jawa-Barat) Oleh : MUHAMMAD UBAYDILLAH

Lebih terperinci

HUBUNGAN PROFIL INDIVIDU, IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI DAN PERILAKU KOMUNIKASI APARATUR DENGAN PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE

HUBUNGAN PROFIL INDIVIDU, IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI DAN PERILAKU KOMUNIKASI APARATUR DENGAN PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE HUBUNGAN PROFIL INDIVIDU, IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI DAN PERILAKU KOMUNIKASI APARATUR DENGAN PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE (Kasus pada Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Perkebunan, Dinas Kelautan dan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS DEMAND MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN RAWAT INAP DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN DELI, PUSKESMAS BROMO DAN PUSKESMAS KEDAI DURIAN TAHUN 2013

ANALISIS DEMAND MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN RAWAT INAP DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN DELI, PUSKESMAS BROMO DAN PUSKESMAS KEDAI DURIAN TAHUN 2013 ANALISIS DEMAND MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN RAWAT INAP DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN DELI, PUSKESMAS BROMO DAN PUSKESMAS KEDAI DURIAN TAHUN 2013 SKRIPSI Oleh : SERLI NIM. 111021024 FAKULTAS KESEHATAN

Lebih terperinci

SKRIPSI KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI TERHADAP HAWAR PELEPAH DI LEMPONG JENAWI KARANGANYAR. Oleh MAYANG SARI H

SKRIPSI KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI TERHADAP HAWAR PELEPAH DI LEMPONG JENAWI KARANGANYAR. Oleh MAYANG SARI H SKRIPSI KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI TERHADAP HAWAR PELEPAH DI LEMPONG JENAWI KARANGANYAR Oleh MAYANG SARI H0708127 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

SKRIPSI RATU PUTRI RAMANTI PROGRAM STUD1 SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

SKRIPSI RATU PUTRI RAMANTI PROGRAM STUD1 SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 '@ PERILAKU WIRAUSAHA WANITA PETERNAK DALAM MENCARI DAN MENERAPKAN INFORMASI USAHATERNAK AYAM BURAS (Kasus Kelompok Tani-ternakWTanjung", Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor) SKRIPSI

Lebih terperinci

PEMANFAATAN MEDIA INTERNET SEBAGAI MEDIA INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM PEMBERDAYAAN PETANI DI DESA PONCOKUSUMO KECAMATAN PONCOKUSUMO

PEMANFAATAN MEDIA INTERNET SEBAGAI MEDIA INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM PEMBERDAYAAN PETANI DI DESA PONCOKUSUMO KECAMATAN PONCOKUSUMO PEMAFAATA MEDIA ITERET SEBAGAI MEDIA IFORMASI DA KOMUIKASI DALAM PEMBERDAYAA PETAI DI DESA POCOKUSUMO KECAMATA POCOKUSUMO Use Of The Internet As A Media Information And Communication In The Empowerment

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian modern (revolusi hijau) telah membawa kemajuan pesat bagi pembangunan pertanian khususnya dan kemajuan masyarakat pada umumnya. Hal ini tidak terlepas dari

Lebih terperinci

PERSEPSI PETANI TERHADAP PROGRAM GERAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN BERBASIS KORPORASI (GP3K) DI DESA JATI KECAMATAN JATEN KABUPATEN KARANGANYAR

PERSEPSI PETANI TERHADAP PROGRAM GERAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN BERBASIS KORPORASI (GP3K) DI DESA JATI KECAMATAN JATEN KABUPATEN KARANGANYAR PERSEPSI PETANI TERHADAP PROGRAM GERAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN BERBASIS KORPORASI (GP3K) DI DESA JATI KECAMATAN JATEN KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pola hidup sehat semakin

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pola hidup sehat semakin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pola hidup sehat semakin tinggi, hal tersebut diwujudkan dengan mengkonsumsi asupan-asupan makanan yang rendah zat kimiawi sebagai

Lebih terperinci

PENGARUH SISTEM PENGELOLAAN USAHATANI CABAI MERAH TERHADAP JUMLAH PRODUKSI DAN TINGKAT PENDAPATAN

PENGARUH SISTEM PENGELOLAAN USAHATANI CABAI MERAH TERHADAP JUMLAH PRODUKSI DAN TINGKAT PENDAPATAN PENGARUH SISTEM PENGELOLAAN USAHATANI CABAI MERAH TERHADAP JUMLAH PRODUKSI DAN TINGKAT PENDAPATAN David Hismanta Depari *), Salmiah **) dan Sinar Indra Kesuma **) *) Alumni Program Studi Agribisnis Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN

ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN digilib.uns.ac.id ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gaya hidup sehat atau kembali ke alam (Back to nature) telah menjadi trend baru masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat semakin menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM PENERAPAN PERTANIAN PADI ORGANIK (Studi Kasus: Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai )

PARTISIPASI PETANI DALAM PENERAPAN PERTANIAN PADI ORGANIK (Studi Kasus: Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai ) PARTISIPASI PETANI DALAM PENERAPAN PERTANIAN PADI ORGANIK (Studi Kasus: Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai ) SKRIPSI OLEH: RESLILA SITOPU 080309057 PKP PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK PETANI (Kasus di Provinsi Jawa Tengah)

PARTISIPASI PETANI DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK PETANI (Kasus di Provinsi Jawa Tengah) i PARTISIPASI PETANI DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK PETANI (Kasus di Provinsi Jawa Tengah) SAPJA ANANTANYU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 ii PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang pada tahun (Daryanto 2010). Daryanto (2009) mengatakan

I. PENDAHULUAN. orang pada tahun (Daryanto 2010). Daryanto (2009) mengatakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian di era global ini masih memainkan peran penting. Sektor pertanian dianggap mampu menghadapi berbagai kondisi instabilitas ekonomi karena sejatinya manusia memang

Lebih terperinci

HUBUNGAN PROFIL INDIVIDU, IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI DAN PERILAKU KOMUNIKASI APARATUR DENGAN PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE

HUBUNGAN PROFIL INDIVIDU, IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI DAN PERILAKU KOMUNIKASI APARATUR DENGAN PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE HUBUNGAN PROFIL INDIVIDU, IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI DAN PERILAKU KOMUNIKASI APARATUR DENGAN PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE (Kasus pada Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Perkebunan, Dinas Kelautan dan

Lebih terperinci

ANALISIS PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI PROGRAM FARMERS MANAGED EXTENSION ACTIVITIES

ANALISIS PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI PROGRAM FARMERS MANAGED EXTENSION ACTIVITIES ANALISIS PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI PROGRAM FARMERS MANAGED EXTENSION ACTIVITIES DI DESA SIDOMULYO KECAMATAN BAMBANGLIPURO KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SKRIPSI Disusun Oleh : AGNES EVI

Lebih terperinci

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN MAHASISWI USU TERHADAP PEMENUHAN KECUKUPAN KALSIUM HARIAN. Oleh: ESTER SIBUEA

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN MAHASISWI USU TERHADAP PEMENUHAN KECUKUPAN KALSIUM HARIAN. Oleh: ESTER SIBUEA PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN MAHASISWI USU TERHADAP PEMENUHAN KECUKUPAN KALSIUM HARIAN Oleh: ESTER SIBUEA 070100092 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PENGETAHUAN, SIKAP, DAN

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGAMBILAN KEPUTUSAN PETANI DALAM MENERAPKAN USAHA TANI PADI ORGANIK

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGAMBILAN KEPUTUSAN PETANI DALAM MENERAPKAN USAHA TANI PADI ORGANIK ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGAMBILAN KEPUTUSAN PETANI DALAM MENERAPKAN USAHA TANI PADI ORGANIK (Studi kasus di Desa Seletreng Kecamatan Kapongan Kabupaten Situbondo) Oleh : Gijayana Aprilia

Lebih terperinci

Pengembangan pertanian organik (kasus penerapan pupuk organik pada padi sawah di kecamatan arga makmur; Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu)

Pengembangan pertanian organik (kasus penerapan pupuk organik pada padi sawah di kecamatan arga makmur; Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu) Universitas Indonesia Library >> UI - Tesis (Membership) Pengembangan pertanian organik (kasus penerapan pupuk organik pada padi sawah di kecamatan arga makmur; Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu)

Lebih terperinci

PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN PEMANFAATAN MEDIA KOMUNIKASI PRIMA TANI DAN AKSESIBILITAS KELEMBAGAAN TANI DENGAN PERSEPSI PETANI TENTANG INTRODUKSI TEKNOLOGI AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN (Kasus di Jawa Barat dan Sulawesi

Lebih terperinci

M. Zulkarnain Yuliarso 1. Abstract

M. Zulkarnain Yuliarso 1. Abstract Partisipasi Petani Dalam Kegiatan Kelompok Tani (Studi pada kelompok tani tambak ikan air tawar Mitra Tani Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor) M. Zulkarnain Yuliarso 1 1) Staf Pengajar Jurusan

Lebih terperinci

PERILAKU KONSUMSI SUSU PADA KONSUMEN KELUARGA DI WILAYAH BABAKAN KECAMATAN DRAMAGA BOGOR SKRIPSI ABDIK DESTRIANA

PERILAKU KONSUMSI SUSU PADA KONSUMEN KELUARGA DI WILAYAH BABAKAN KECAMATAN DRAMAGA BOGOR SKRIPSI ABDIK DESTRIANA PERILAKU KONSUMSI SUSU PADA KONSUMEN KELUARGA DI WILAYAH BABAKAN KECAMATAN DRAMAGA BOGOR SKRIPSI ABDIK DESTRIANA PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI INDUSTRI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan sumber bahan makanan pokok bagi sebagian masyarakat Indonesia. Apalagi setelah adanya kebijakan pembangunan masa lalu, yang menyebabkan perubahan sosial

Lebih terperinci

PENGARUH PEMENUHAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA REMAJA TERHADAP PENCAPAIAN TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA. Lia Nurjanah

PENGARUH PEMENUHAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA REMAJA TERHADAP PENCAPAIAN TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA. Lia Nurjanah PENGARUH PEMENUHAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA REMAJA TERHADAP PENCAPAIAN TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA Lia Nurjanah DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENYEBARAN INFORMASI DI BIDANG PERTANIAN MELALUI PERPUSTAKAAN DIGITAL

EFEKTIVITAS PENYEBARAN INFORMASI DI BIDANG PERTANIAN MELALUI PERPUSTAKAAN DIGITAL EFEKTIVITAS PENYEBARAN INFORMASI DI BIDANG PERTANIAN MELALUI PERPUSTAKAAN DIGITAL (Kasus Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian) SITI MARYAM SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi (kg)

I. PENDAHULUAN. Produksi (kg) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan manusia, karena di dalam sayuran mengandung berbagai sumber vitamin,

Lebih terperinci

HUBUNGAN KETERDEDAHAN TERHADAP MEDIA MASSA DENGAN PENGETAHUAN TENTANG KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI FLU BURUNG

HUBUNGAN KETERDEDAHAN TERHADAP MEDIA MASSA DENGAN PENGETAHUAN TENTANG KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI FLU BURUNG HUBUNGAN KETERDEDAHAN TERHADAP MEDIA MASSA DENGAN PENGETAHUAN TENTANG KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI FLU BURUNG (Kasus pada Mahasiswa Fakultas Peternakan IPB) SKRIPSI JURIAN ANDIKA DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR

PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR Oleh: MARIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK TERHADAP MASYARAKAT LOKAL (Studi kasus di Desa Nambo, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

KAJIAN PRESTASI BELAJAR GEOGRAFI KELAS XI IPS ANTARA SISWA YANG TINGGAL DI DALAM PONDOK PESANTREN DAN DI LUAR PONDOK PESANTREN DI MAN PURWOKERTO 1

KAJIAN PRESTASI BELAJAR GEOGRAFI KELAS XI IPS ANTARA SISWA YANG TINGGAL DI DALAM PONDOK PESANTREN DAN DI LUAR PONDOK PESANTREN DI MAN PURWOKERTO 1 KAJIAN PRESTASI BELAJAR GEOGRAFI KELAS XI IPS ANTARA SISWA YANG TINGGAL DI DALAM PONDOK PESANTREN DAN DI LUAR PONDOK PESANTREN DI MAN PURWOKERTO 1 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh

Lebih terperinci