BAB III PEMBAHASAN. dan tujuan dilakukan hal tersebut agar menemukan ada tidaknya hal hal khusus dalam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PEMBAHASAN. dan tujuan dilakukan hal tersebut agar menemukan ada tidaknya hal hal khusus dalam"

Transkripsi

1 BAB III PEMBAHASAN Pada Bab III ini tulisan akan diawali dengan konsep pembuktian yang berlaku secara umum dalam hukum baik itu publik maupun privat kemudian merujuk pada konsep pembuktian yang khusus digunakan dalam hukum persaingan usaha. Maksud dan tujuan dilakukan hal tersebut agar menemukan ada tidaknya hal hal khusus dalam pembuktian yang berlaku dalam hukum persaingan usaha yang didasarkan pada sifat atau karakteristik dan jenis kasus yang diperkarakan dalam hukum persaingan usaha itu sendiri. Untuk melakukan hal tersebut maka pada pembahasan awal bab ini akan diawali dengan pembahasan mengenai parameter, asas dan relevansi pembuktian. Kemudian selanjutnya akan dibahas mengenai konsep pendekatan yang rule of reason dan illegal perse dan diikuti dengan pembahasan hukum positif mengenai alat bukti dalam hukum persaingan usaha di Indonesia. Hal hal yang telah disebutkan tadi penting untuk dibahas berkaitan dengan circumstantial evidence sebagai cara untuk membuktikan adanya kesepakatan kartel. Permasalahan yang paling mendasar dari penggunaan konsep circumstantial evidence adalah relevansi antara bukti komunikasi dan bukti ekonomi terhadap dugaan kartel. Pada bagian akhir Bab ini akan membahas pada analisa kasus atau perkara kartel minyak goreng curah dengan nomor perkara 24/KPPU-I/2009 dan kemudian dilanjutkan dengan kartel ban nomor perkara 08/KPPU- I/2014. Adapun alasan dari pemilihan kedua kasus tersebut adalah tim investigator dalam membuktikan dugaan 47

2 kartel yang dilakukan terlapor berdasarkan analisis komunikasi dan analisis ekonomi. Tujuan dari menganalisa kedua kasus tersebut adalah untuk menilai apakah bukti komunikasi dan bukti ekonomi dapat dijadikan salah satu cara untuk membuktikan dugaan kartel di Indonesia. A. Parameter, Asas dan Relevansi Pembuktian 1. Parameter Pembuktian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia parameter berarti ukuran seluruh populasi dalam penelitian yang harus diperkirakan dari yang terdapat di dalam percontoh. 71 Kemudian pembuktian adalah berbagai macam cara yang dilakukan oleh hakim untuk menilai kebenaran suatu peristiwa hukum dengan tujuan untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan tidak meragukan akan adanya akibat hukum. 72 Jadi parameter pembuktian dapat disimpulkan sebagai ukuran ataupun percontohan hakim dalam menilai kebenaran suatu peristiwa hukum dengan tujuan untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan tidak meragukan akan adanya akibat hukum. a. Bewijstheorie Bewijstheorie adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian oleh hakim di pengadilan yang terbagi lagi kedalam empat teori. Pertama adalah 71 Di unduh dari tanggal 20 agustus 2017 pukul Lihat kembali : kesimpulan penulis mengenai arti pembuktian dalam hukum pada Bab II 48

3 positief wettelijk bewijstheorie yang mana hakim terikat secara positif kepada alat bukti menurut undang undang. 73 Menurut ajaran ini cukup alat bukti yang diakui undangundang saja, ini positif dengan perkataan lain tidak dibutuhkan alat-alat bukti lain dalam hal ini keyakinan hakim. 74 Kedua, conviction intime yang berarti keyakinan hakim semata. 75 Artinya dalam menjatuhkan putusan, dasar pembuktiannya semata mata diserahkan pada keyakinan hakim. 76 Hakim tidak terikat pada alat bukti, namun atas dasar keyakinan yang timbul dari hati nuraninya dan sifat bijaksana seorang hakim, ia dapat menjatuhkan putusan. 77 Negara yang masih memakai konsep conviction intime adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat menggunakan sistem unus judex atau hakim tunggal untuk memutus perkara namun bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh juri. Hakim di Amerika memiliki hak veto. Hak veto tersebut dapat digunakan hakim apabila keyakinannya berbeda dengan juri. Ketiga adalah conviction raisonnee. Teori ini mempunyai konsep bahwa hakim dapat memutuskan suatu perkara kepada dasar dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut 73 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, h Latifah Amir, Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Dan Perkara Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, 2015, h dikunjungi pada tanggal 22 juli 2017 pukul Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., h Ibid. 77 Ibid. 49

4 pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan. 78 Dasar pembuktian menurut keyakinan hakim ini berada dalam batas batas tertentu dengan alasan yang logis, sehingga hakim diberi kebebasan untuk memakai alat alat bukti dengan alasan yang logis. 79 Teori ini sering disebut juga dengan teori pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan alasan keyakinannya (vrijs bewijstheorie) namun dengan batas batas yang rasional. Baik dalam conviction intime maupun conviction raisonnee keduanya mempunyai kesamaan yaitu menempatkan keyakinan hakim sebagai dasar utama dalam memutus suatu perkara. Namun yang menjadi pembeda dari kedua jenis pembuktian ini adalah ada atau tidaknya alasan yang logis sebagai dasar keyakinan seorang hakim. Dalam conviction raisonnee hakim wajib untuk memberikan alasan alasan rasional dalam putusannya, sedangkan conviction intime hakim tidak perlu memberikan alasan apapun cukup dengan keyakinan saja. Untuk menggunakan teori conviction raisonnee pada suatu perkara haruslah diimbangi dengan kemampuan akal sehat, ilmu pengetahuan serta kebijaksanaan dari hakim itu sendiri. Teori ini dapat digunakan untuk memeriksa serta mengadili perkara perkara khusus yang dianggap rumit. Sebagai salah satu contoh hakim yang bijaksana menggunakan keyakinannya dalam memutus suatu perkara yang rumit adalah Raja Salomo (Abad X SM) mengenai sengketa perebutan bayi oleh dua orang perempuan Wahyu Wiriadinata, Korupsi Dan Pembalikan Beban Pembuktian, Jurnal Bina Adhyaksa Vol. Iv No. 1 - November 2011, h. 54, dikunjungi pada tanggal 26 Juli 2017, pukul Eddy hiariej, Op. Cit, h Baca Alkitab, 1 Raja raja 3:

5 Ada dua perempuan yang tinggal serumah dan sama sama memiliki bayi yang baru lahir. Salah satu bayi dari perempuan tersebut mati dan ibu dari anak yang mati tersebut tersadar bahwa anak yang mati tersebut bukanlah anaknya dan ia merasa ditukar. Pertentangan antar kedua perempuan tersebut terus terjadi dan tidak ada seorang pun saksi yang mengetahui kejadian tersebut. Raja Salomo dengan hikmat yang ia miliki ia mencari jalan keluar untuk membelah bayi itu dengan pedang agar kedua perempuan tersebut memiliki setengah bagian dari anak itu. Namun ada seorang perempuan yang tidak menghendaki anak itu dibelah dan ia melerakan anak tersebut diserahkan kepada perempuan satunya lagi, namun perempuan yang satunya lagi berkehendak agar anak itu dibelah. Segera setelah itu berdasarkan keyakinannya Salomo menjatuhkan putusan bahwa ibu kandung dari bayi tersebut adalah perempuan yang mengalah. Alasan Salomo adalah ibu kandung dari anak tersebut tidak mungkin tega melihat anaknya mati, sehingga dengan demikian bayi yang dipersengketakan tersebut diserahkan pada salah satu perempuan yaitu perempuan yang tidak ingin anak itu dibelah. Keempat adalah negatief wetterlijk bewijstheorie. Negatief wetterlijk bewijstheorie merupakan dasar pembuktian menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat alat bukti dalam undang undang secara negatif. 81 Sebagai salah satu contoh norma hukum yang menganut pembuktian ini adalah pasal 183 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang berbunyi Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 81 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., h

6 ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya b. Bewijsmiddelen Bewijsmiddelen adalah alat alat bukti yang digunakan untuk membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa hukum. Alat alat bukti yang digunakan untuk membuktikan suatu peristiwa hukum biasanya telah termuat secara tegas dalam undang undang. Sebagai contoh dalam hukum acara perdata alat bukti yang digunakan termuat dalam Pasal 1865 Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata (selanjutnya disebut KUHPer), kemudian dalam hukum acara pidana alat bukti yang digunakan termuat dalam Pasal 184 Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). Alat bukti yang digunakan dalam hukum persaingan usaha di Indonesia termuat dalam pasal 42 UU Antimonopoli. Alat bukti dalam pasal 42 UU Antimomopoli tersebut lebih menyerupai atau mendekati dengan konsep alat bukti yang ada dalam KUHAP. Hal ini disebabkan perkara yang diajukan ke KPPU merupakan perbuatan perdata yang mempunyai sifat publik. Mengenai alat bukti akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub bab khusus dalam bab ini. c. Bewijsvoering Secara harafiah bewijsvoering diartikan sebagai penguraian bagaimana cara menyampaikan alat alat bukti pada hakim di pengadilan. 82 Parameter pembuktian ini 82 Eddy O.C. Hiariej, Op. Cit., h

7 mempunyai peranan yang penting dalam hukum acara pidana. Alat alat bukti yang digunakan untuk membuktikan kejahatan dalam persidangan harus didapatkan sah secara hukum. Herbert L. Parker menyatakan bahwa suatu bukti illegaly acquired evidence (perolehan bukti secara tidak sah) tidak patut untuk dijadikan bukti di pengadilan. 83 Tidak diterimanya alat bukti yang diperoleh secara tidak patut oleh majelis hakim dalam persidangan, merupakan konsekuensi dari parameter pembuktian ini walaupun sebenarnya alat bukti tersebut mempunyai peran yang penting. d. Bewijslast Bewijslaat atau burden of proof adalah pembagian beban pembuktian yang diwajibkan oleh Undang-undang untuk membuktikan suatu peristiwa hukum. Pada perkara bidang perdata pihak yang tergugat yang mendalihkan haknya dilanggar oleh tergugat maka pihak penggugat mempunyai kewajiban untuk membuktikan dalihnya (baca : pasal 1865 KUHPer). Hal tersebut diwajibkan berdasarkan asas actori incumbit probotio yang berarti yang menggugat dialah yang wajib membuktikan. Sebaliknya dari pihak tergugat wajib membuktikan bantahannya. Dalam ranah hukum pidana secara umum di seluruh negara kewajiban untuk membuktikan dakwaan yang didakwakan kepada tersangka adalah kewajiban jaksa penuntut umum. Namun pada delik khusus terdapat pengecualian terhadap parameter ini. Pada perkara pemberian (gratification) yang berkaitan dengan suap (bribery), pada pokoknya disebut bahwa pegawai pemerintah yang menerima, dibayarkan atau 83 Ibid,. h

8 diberikan dari dan atau oleh seseorang, maka pemberian harus dianggap korupsi, sampai sebaliknya dibuktikan. 84 e. Bewijskracht Bewijskracht dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing masing alat bukti dalam penilaian terbuktinya suatu dakwaan. 85 Kekuatan permbuktian terletak pada kesesuaian masing masing alat bukti dengan alat bukti lainnya serta relevansinya dengan perkara. Hakim mempunyai otoritas untuk menilai serta menentukan kesesuaian dan relevansi alat bukti dengan perkara yang sedang diperiksanya. Dalam hukum acara perdata alat bukti tertulis seperti surat, sertifikat atau akta authentic mempunyai kedudukan sangat kuat dalam pembuktian. Terlebih akta authentic adalah probation plena yang berarti mempunyai kekuatan pembuktian yang penuh dan sempurna yang kedudukannya, sangat kuat kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. 86 f. Bewijs minimum Bewijs minimum adalah bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat hakim. 87 Secara umum dalam hukum acara perdata maupun pidana di Indonesia mengadopsi asas ini. Hal ini dimaksudkan agar hakim memberi putusan 84 Wahyu Wiriadinata, Op. Cit Eddy O.C. Hiariej, Op. Cit,. h Ibid,. h Ibid. 54

9 tidak hanya dari keyakinanannya semata melainkan harus berdasarkan alat bukti yang diungkapkan dalam suatu pemeriksaan perkara. Mengenai keyakinan hakim itu sendiri akan dibahas sendiri dalam sub-bab tersendiri dalam Bab III. 2. Asas Asas yang Berkaitan dengan Pembuktian a. Asas audi et alteram partem Milton C. Jacobs mengatakan bahwa : General rules of evidence are the same in equity as law, 88 ungkapan tersebut merupakan istilah klasiknya dinamis asas audi et alteram partem atau Eines Manres Reide Ist Keines Mannes Rede yang apabila diartikan secara bebas makna dari ungkapan tersebut adalah pada prinsipnya pembuktian di muka pengadilan para pihak yang sedang berperkara mempunyai porsi yang sama untuk membuktikan sesuatu. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh memberi putusan dengan tidak memberi kesempatan untuk mendengar kedua belah pihak, dengan demikian hakim harus adil dalam memberikan kesempatan beban pembuktian yang sedang berperkara. 89 b. Asas ius curia novit Asas ius curia novit mempunyai pengertian bahwa setiap hakim itu harus dianggap tahu hukumnya perkara yang diperiksanya, sehingga hakim tidak boleh memutus sebuah perkara dengan alasan bahwa hakim tidak mengetahui hukumnya Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prena media Grup, Jakarta : 2012, h Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Ibid., h Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Ibid., h

10 Apabila perkara yang dihadapi oleh hakim ataupun majelis hakim belum ada undang undang atau Yurisprudensi yang mengatur maka hakim diharapkan dapat menciptakan hukumnya. c. Asas clear and convincing evidence Asas ini diartikan sebagai standar pembuktian antara standar preponderance of evidence dan beyond a reasonable doubt. Preponderance of evidence merupakan kecukupan bukti yang biasanya digunakan dalam perkara perdata, di sini akan diputuskan adalah pihak yang dapat membuktikan lebih banyak. 91 Sementara beyond reasonable doubt yang berarti di luar tingkat keraguan yang masuk akal, asas ini digunakan dalam pembuktian perkara pidana. 92 Demi menghindari terjadinya keraguan bagi hakim untuk memutus salah tidaknya seseorang, tidaklah cukup dengan alat bukti saja, tetapi harus diikuti dengan keyakinan hakim pula. 93 d. Unus testis nulum testis Secara harafiah unus testis nullus testis berarti seorang saksi bukanlah saksi. 94 Perihal mengenai satu saksi bukanlah saksi ini sudah dikenal sejak abad ke VII V sebelum masehi dari hukum Ibrani (Deuteronomion) yang dimana hal tersebut tercatat dalam dalam Kitab Ulangan Pasal 19 ayat 15 yang berbunyi sebagai berikut 95 : 91 Amir Ilyas dan Muhammad, Kumpulan Asas asas Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta 2016h Ibid. 93 Ibid. 94 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. h John Gilissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Refika Aditama, Jakarta: 2001, h

11 Satu orang saksi saja tidak dapat menggugat seseorang mengenai perkara kesalahan apapun atau dosa apapun yang mungkin dilakukannya; baru atas keterangan dua atau tiga orang saksi perkara itu tidak disangsikan. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas ini menghendaki akan adanya saksi yang lebih dari satu orang untuk memberikan kesaksian tentang apa yang saksi tersebut ketahui mengenai perkara yang sedang diperiksa. Mengenai maksud dari asas ini mempunyai hubungan dengan bewijs minimum yang merupakan parameter dari suatu pembuktian. e. Actori incumbit probation dan Actori incumbit onus probandi Asas Actori incumbit probation merupakan asas yang dikenal dalam hukum acara perdata, yang secara harafiah berarti siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan. 96 Sedangkan asas Actori incumbit onus probandi merupakan asas yang berlaku dalam hukum acara pidana yang mempunyai arti, siapa yang menuntut dialah yang membuktikan. 97 Dalam kaitannya dengan hukum persaingan usaha adalah apabila KPPU dalam memeriksa dugaan terjadinya pelanggaran terhadap UU Antimonopoli maka KPPU wajib untuk membuktikan kehadapan Majelis Komisi melalui alat bukti yang cukup dan meyakinkan. 96 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. h Ibid. h

12 3. Relevansi Alat Bukti dalam Pembuktian Suatu alat bukti yang dipakai dalam membuktikan suatu peristiwa haruslah relevan dengan perkara atau kasus yang sedang diperiksa oleh pengadilan, dan hakim yang harus menilai dan memutuskan bahwa alat bukti tersebut relevan atau tidak relevan dengan perkara tersebut. Untuk menentukan suatu alat bukti itu relevan maka hakim harus mempunyai pedoman pedoman umum sebagai tolak ukur dalam menentukan relevansinya suatu alat bukti. Pedoman pedoman umum tersebut adalah sebagai berikut : Seseorang membuktikan bahwa dia mempunyai hak (Pasal 163 HIR) 2. Seseorang membuktikan untuk menguatkan haknya (Pasal 163 HIR) 3. Seseorang membuktikan untuk membantah hak orang lain (Pasal 163 HIR) 4. Seseorang membuktikan adanya suatu peristiwa (Pasal 163 HIR) 5. Karena yang perlu dibuktikan adalah masalah yang dipersengketakan, yang tidak disangkal pihak lawan tidak perlu dibuktikan 6. Fakta fakta yang telah diketahui umum (fakta Notoir) tidak perlu dibuktikan (Pasal 184 ayat (2) KUHAP) 7. Karena membuktikan adalah untuk memberikan keyakinan hakim, segala sesuatu yang sudah dilihat sendiri oleh hakim dipersidangan tidak perlu dibuktikan lagi. Apa yang telah disebutkan diatas merupakan pedoman umum bagi hakim karena tindakan membuktikan mempunyai maksud untuk menumbuhkan atau 98 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, cetakan ke II, Citra Aditya Bakti, Jakarta: 2012, h

13 menambahkan keyakinan hakim. Akan tetapi untuk menumbuhkan atau menambahkan keyakinannya, seorang hakim haruslah kreatif dalam mencari pedoman lain misalnya dari teroi teori hukum pembuktian. Dengan begitu hakim dapat menentukan dengan tepat apakah suatu alat bukti relavan atau tidak dengan kasus yang sedang diperiksa oleh hakim tersebut. B. Pendekatan Per se illegal dan Rule of reason Untuk membuktikan serta memutus suatu perkara tentang adanya kegiatan monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat, hukum persaingan usaha mengenal dua hal prinsip atau pendekatan untuk digunakan, yaitu pendekatan per se illegal dan pendekatan rule of reason. Berikut ini penjelasan mengenai apa itu per se illegal dan pendekatan rule of reason dan bagaimana kedua pendekatan tersebut digunakan dalam menyelesaikan perkara perkara yang terjadi dalam hukum persaingan usaha. 1. Pendekatan Per se Illegal Per-se dapat dimaknai dengan sendirinya. 99 Kemudian dalam Black s Law Dictionary kata illegal berarti not authorized by law; unlawful; contrary to law atau bila terjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia berarti tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum. Per-se juga merupakan suatu terminologi berkenaan dengan keadaan yang tidak memerlukan bukti yang tidak berhubungan (extraneous 99 Henry Campbell Black Op. Cit., h

14 evidence) atau pendukung atas suatu kejadian. 100 Jadi secara etimologi dapat disimpulkan bahwa pendekatan per se illegal berarti dengan sendirinya telah bertentangan hukum. Selain itu ada beberapa pandangan mengenai pendekatan per se illegal yaitu sebagai berikut: a. Dr. A.M. Tri Aggraini, S.H. M.H., per se illegal adalah suatu pendekatan yang menyatakan setiap perjanjian usaha atau kegiatan usaha tertentu sebagai illegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. 101 b. Menurut Kissane dan Benerofe, per se rule adalah bahwa pengadilanlah yang memutuskan bahwa telah terjadi adanya tindakan anti persaingan dan tidak diperlukan lagi fakta fakta tertentu dari perkara tesebut untuk menyatakan bahwa tindakan tersebut telah melanggar hukum. 102 c. Susanti Adi Nugroho mendefinisikan per se rule adalah apabila suatu perbuatan itu dengan sendirinya telah melanggar ketentuan yang diatur jika perbuatan itu telah memenuhi rumusan undang undang tanpa alasan pembenaran dan tanpa perlu melihat akibat dari tindakan yang dilakukan Dr. Sutrisno Iwantono MA Anggota/Ketua KPPU , Perse Illegal dan Rule of Reason Dalam Hukum Persaingan Usaha 16 januari 2011, saha, dikunjungi pada tanggal 10 juni 2016 pukul 10 ; 30 WIB. 101 Dr. A.M. Tri Aggraini, S.H. M.H.. Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan illegal Per Se dalam hukum persaingan, dalam Jurnal ilmiah hukum bisnis volume 24 no.2, 2005, h L. Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, Laras, Sidoarjo, 2015, h Susanti Adi N, Op. Cit., h

15 Lebih lanjut Susanti mengatakan bahwa mengenai apa yang dimaksud dengan per-se illegal itu dapat juga diartikan sebagai suatu terminologi yang menyatakan bahwa suatu tindakan dinyatakan melanggar hukum dan dilarang secara mutlak, serta tidak perlu pembuktian, apakah pembuktian tersebut memiliki dampak negatif terhadap persaingan usaha. 104 Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa per se illegal adalah suatu perbuatan atau tindakan tertentu dari pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya akan dinyatakan melanggar hukum dan akan dikenakan sanksi tanpa harus dibuktikan lagi bahwa perbuatan tersebut mempunyai dampak buruk bagi pihak lain. Larangan bersifat per-se adalah larangan yang memang secara alamiah 105 dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak kegiatan tersebut pada persaingan karena pada dasarnya memang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Ilustrasi tentang pendekatan per-se illegal dapat dilihat dalam Gambar Dugaan atas Perbuatan yang dilarang Perbuatan Tersebut Terbukti Illegal dan dikenakan sanksi Gambar 3. Per-se Illegal Approach 104 Ibid. 105 Alamiah disini berarti dengan sendiri perbuatan itu mempunyai akibat hukum. 106 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta: 2002, h

16 2. Pendekatan Rule of Reason Pendekatan Rule of Reason adalah doktrin yang dibangun berdasarkan penafsiran atas ketentuan Sherman Antitrust Act oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat yang diterapkan dalam kasus Standard Oil Co. Of New Jersey v. United State pada tahun 1911, yang penerapan hukumnya mempertimbangkan alasan-alasan dilakukannya suatu tindakan oleh pelaku usaha. 107 Organisation For Economic Cooperation and Development (OECD) mengartikan Rule Of Reason sebagai berikut : 108 The Rule of reason is a legal approach by competition authorities or the courts where an attempt is made to evaluate the pro-competitive features of a restrictive business practice against its anticompetitive effects in order to decide whether or not the practice should be prohibited Pendekatan Rule of Reason dalam persaingan usaha ini merupakan kebalikan dan cakupannya lebih luas jika dibandingkan dengan pendekatan per-se illegal. 109 Pendekatan rule of reason adalah pendekatan yang menentukan meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan undang undang, namun jika ada alasan obyektif yang dapat membenarkan perbuatan tersebut maka perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran. 110 Dalam pendekatan rule of reason ada dua jenis teori pembuktian yang sering dipakai oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yaitu bright line evidence theory dan hard line evidence theory Hermansyah, Pokok Pokok Hukum Persaingan Indonesia, cetakan ke 2, Kencana, Jakarta :2009, h Glossary of Industrial Organisation Economics and Competition Law, compiled by R. S. Khemani and D. M. Shapiro, commissioned by the Directorate for Financial, Fiscal and Enterprise Affairs, OECD, Diunduh dari pukul 00:59 WIB, pada tanggal 21 Juni L. Budi Kagramanto, Op. Cit., h Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., h L. Budi Kagramanto, Op. Cit.,112 62

17 Penggunaan pembuktian dengan bright line evidence theory, adalah dengan menggunakan garis tipis atau sederhana, yaitu cukup dengan membuktikan tidak adanya kompetisi (tidak ada persaingan). 112 Salah satu contoh penggunaan bright line evidence theory terletak pada kasus tender, dimana dalam melakukan tender seharusnya diawali dengan adanya pengumuman lelang di media masa, apabila tidak adanya publikasi lelang tender di media masa maka penyelenggara tender tersebut dapat diputus bersalah karena menghilangkan persaingan. Metode pembuktian secara rule of reason melalalui hard line evidence theory harus menggunakan pembuktian dengan analisa ekonomi atau dengan analisa ekonomi terhadap hukum. 113 Contohnya adalah menangani kasus perkara predatory pricing (jual rugi). Predatory pricing mempunyai tujuan untuk mematikan usaha pesaingnya ataupun dengan tujuan menghambat pesaing baru untuk masuk ke dalam pasar bersangkutan. Sehingga dengan demikian diperlukan analisa bukti ekonomi yang dapat menilai kerugian yang dialami sementara oleh pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan yang akan diperoleh dikemudian hari karena tidak adanya pesaing. Ilustrasi tentang pendekatan rule of reason approach dapat dilihat dalam Gambar Tindakan Terbukti Faktor Lain Unreaonable Reaonable Illegal Legal Gambar 4. Rule Of Reason Approach 112 Ibid. 113 Ibid. h Arie Siswanto, Loc. Cit 63

18 Pada Tabel 1 dapat dilihat penggolongan pasal pasal mana saja yang termasuk per se illegal dan pasal pasal mana saja yang termasuk rule of reson dalam UU Antimonopoli. Tabel 1. Pendekatan Per se Illegal dan Rule of Reason di Dalam UU Antimonopoli Jenis Larangan Rule of Reason Per se Illegal Perjanjian dilarang Kegiatan dilarang Larangan dominan yang yang posisi - Pasal 4. Oligopoli - Pasal 6 S.D. Pasal 8. Penetapan Harga Dibawah Pasar. - Pasal 9. Pembagian Wilayah - Pasal 11 Kartel - Pasal 12 Trust - Pasal 13 Oligopsoni - Pasal 14. Integrasi Vertical - Pasal 16. Perjanjian dengan Luar Negeri. - Pasal 17. Monopili - Pasal 18. Monopsoni - Pasal 19 S.D 21 Penguasaan Pasar - Pasal 22 S.D. 23 Persekongkolan - Pasal 26 Jabatan Rangkap - Pasal 27 Kepemilikan Saham - Pasal 28 Merger - Pasal 5. Penetapan Harga - Pasal 10 Pemboikotan - Pasal 15 Perjanjian Tertutup - Pasal 24 Persekongkolan - Pasal 25 Posisi Dominan C. Alat Bukti dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Dalam proses pemeriksaan perkara terkait pelanggaran UU Antimonopoli, KKPU memerlukan adanya bukti bukti yang menunjukan bahwa terlapor telah melakukan perjanjian, kegiatan dan/atau posisi dominan yang dilarang oleh UU 64

19 Antimonopoli tersebut. Dalam rangka untuk membuktikan hal tersebut maka KPPU memerlukan alat bukti yang sah menurut hukum. Alat bukti yang dikenal dalam hukum persaingan usaha di Indonesia mengacu pada pasal 42 UU Antimonopoli Pasal 72 Peraturan Komisi nomor 1 tahun 2010 (selanjutnya disingkat Perkom KPPU no. 1/2010), terdiri lima jenis alat bukti yaitu ; saksi, keterangan/pendapat Ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk, keterangan pelaku usaha. 1. Saksi Saksi yang dihadirkan ke pengadilan adalah saksi fakta yang secara kebetulan melihat, mendengar, atau megalami sendiri suatu peristiwa, namun ada juga saksi yang dihadirkan dengan sengaja diminta untuk menyaksikan suatu peristiwa hukum pada saat peristiwa itu dilakukan dimasa lampau. 115 Saksi dalam hukum publik khususnya dalam acara pidana adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang perkara pidana yang ia dengar sendiri dan ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dengan demikian saksi tersebut merupakan saksi fakta. Tugas dari seorang saksi adalah memberikan kesaksian. Kesaksian yang dimaksud itu adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang suatu peristiwa atau kejadian yang tentu saja ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Hal tersebut juga dikuatkan oleh Sudikno Mertokusumo yang 115 Eddy O.C. Hiariej, Op. Cit., h.85. Lihat juga : Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, dalam Teori dan Prakteknya, Mandar Maju, Bandung, 2009, h

20 mengungkapkan bahwa keterangan yang diberikan oleh seorang saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir tidaklah merupakan kesaksian. 116 Didalam UU Antimonopoli tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai saksi. Namun penjelasan mengenai saksi dapat ditelusur dalam Pasal 1 angka 14 Perkom KPPU no.1/2010 menyebutkan bahwa, saksi adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya dalam Pasal 73 Perkom KPPU no.1 Tahun 2010 menyatakan bahwa keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terlapor dan atau pelapor, istri atau suami dari terlapor meskipun sudah bercerai, anak yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun atau orang sakit ingatan, tidak dapat di dengar keterangannya. Apabila Majelis Komisi menganggap perlu maka keterangan dari orang orang yang disebutkan dapat di dengar terkecuali orang sakit ingatan. 2. Keterangan / Pendapat Ahli Dalam UU Antimonopoli tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai siapa saja yang dapat dijadikan ahli dalam perkara persaingan usaha. Namun pengkualifikasian ahli dapat ditelusur pada Pasal 75 Perkom KPPU no.1/2010 yang menyatakan bahwa orang yang dapat menjadi ahli adalah orang yang wajib memiliki keahlian khusus yang dibuktikan dengan sertifikat; atau memiliki pengalaman yang sesuai dengan 116 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit.,, h

21 keahliannya. Pendapat ahli yang dianggap sebagai bukti merupakan pendapat yang dikemukakan dalam Sidang Majelis. Penentuan lama pengalaman sesuai dengan keyakinan Majelis Komisi. Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 tidak boleh memberikan pendapat sebagai ahli. Berbeda dengan saksi, ahli bukanlah orang yang dimintai keterangan mengenai fakta fakta tentang suatu perkara dalam persidangan. Seorang ahli dalam suatu persidangan, mempunyai tugas untuk memberikan penilaian terhadap suatu fakta yang diungkapkan kepada hakim berdasarkan keilmuannya untuk membantu hakim dalam menilai fakta fakta tersebut. Sudikno mengungkapkan bahwa bedanya keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dan ahli adalah seorang saksi dipanggil dimuka sidang untuk memberikan tambahan keterangan peristiwanya, sedangkan seorang ahli dipanggil untuk membantu hakim dalam menilai peristiwanya Surat dan/atau Dokumen Dalam UU Antimonopoli tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai bukti surat atau dokumen. Ketentuan mengenai alat bukti surat atau dokumen dapat dilihat dalam Pasal 76 Perkom no.1/2010 yang menyatakan bahwa surat atau dokumen sebagai alat bukti terdiri dari : a. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat 117 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit 67

22 surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya; b. Akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya; c. Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang; d. Data yang memuat mengenai kegiatan usaha Terlapor, antara lain, data produksi, data penjualan, data pembelian dan laporan keuangan; e. Surat-surat lain atau dokumen yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c yang ada kaitannya dengan perkara; f. Atas permintaan, Majelis Komisi dapat menyatakan data sebagaimana dimaksud dalam huruf e sebagai rahasia dan tidak diperlihatkan dalam pemeriksaan. Surat atau dokumen yang diajukan sebagai alat bukti merupakan surat atau dokumen asli atau bukan foto copy. Foto copy surat atau dokumen harus dinyatakan sesuai aslinya, diparaf oleh petugas yang berwenang, dengan dibubuhi materai cukup. 4. Petunjuk Alat bukti petunjuk merupakan salah satu jenis alat bukti yang digunakan untuk membuktikan adanya dugaan pelanggaran terhadap UU Antimonopoli, yang termuat 68

23 dalam pasal 42 ayat (1) huruf d UU Antimonopoli. Alat bukti petunjuk merupakan pengetahuan Majelis Komisi yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Penjelasan mengenai alat bukti petunjuk ini termuat dalam pasal 72 ayat (3) Perkom no.1/2010. Penjelasan alat bukti petunjuk yang termuat dalam Perkom KPPU ini mengakibatkan dua perspektif yaitu keyakinan hakim berdasarkan conviction in time dan keyakinan hakim conviction raisonnee. Penulis berpendapat bahwa sebaiknya dan seharusnya penjelasan mengenai alat bukti pertunjuk yang ada dalam Perkom no.1 tahun 2010 harus dimaknai sebagai conviction raisonnee. Jadi hakim dapat saja menerima bukti-bukti yang tidak tercantum dalam undang undang namun harus dibatasi dengan alasan yang logis dan dapat diterima oleh nalar secara umum. Hal ini dikarenakan sering kali undang undang atau peraturan peraturan lain yang mengatur mengenai persaingan usaha di Indonesia tidak up to date atau tidak mengikuti perkembangan pola perilaku pelaku usaha yang menggunakan berbagai macam cara atau teknik dalam hal unfair competition. Pada prakteknya Majelis komisi yang memeriksa dan memutus perkara persaingan usaha biasanya terdiri dari lima orang hakim yang merupakan campuran dari orang yang mempunyai kemampuan di bidang ilmu hukum dan ilmu ekonomi. Kolaborasi antara para hakim yang paham mengenai ilmu hukum dan ilmu ekonomi merupakan syarat yang mutlak dalam penyelesaian perkara persaingan usaha. Dengan demikian apabila pembuktian yang diajukan oleh penyidik KPPU berupa perhitungan analisis ekonomi dengan metode ekonomi maka para majelis komisi mempunyai pengetahuan yang cukup untuk menganalisa dan menilai metode yang digunakan 69

24 tersebut valid atau tidak. Dengan pemahaman alat bukti petunjuk dalam UU Antimonopoli secara convition raisonnee, maka hal ini tentu saja dapat mengakomodir penyelesian perkara-perkara yang rumit dikarenakan undang undang belum mengatur atau kurang jelas. Namun apabila ditelusur dengan interpretasi sistematis maka mengenai alat bukti petunjuk dapat ditemukan dalam KUHAP. Di dalam hukum pidana alat bukti petunjuk diatur dalam pasal 188 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut : (1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan terdakwa. (3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bidjaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang tercipta, berbeda dengan alat bukti yang lain (alat bukti saksi, alat bukti surat, alat bukti petunjuk) yang bernilai dan berkekuatan pembuktian atas hakikatnya sendiri, alat bukti petunjuk terwujud karena adanya persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan satu sama lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri , H Drs.Hendar Soetarna, S.H., Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, alumni, Bandung : 70

25 Apabila dibanding dengan alat bukti yang ada dalam hukum acara pidana yang berlaku di Belanda (wetboek van starfvordering) tidak dikenalnya alat bukti petunjuk, melainkan pengamatan atau pengetahuan hakim (eigen waarneming van de rechter). 119 Pengetahuan hakim tidak hanya menyangkut teknis hukum semata melainkan lebih dari itu, sehingga seorang hakim di Belanda harus mengikuti perkembangan jaman dalam memeriksa suatu perkara. 120 Hal tersebut tentu saja sangat berguna untuk menyelesaikan kasus yang rumit ataupun kasus yang dalam undang undang rumusannya tidak jelas. Otomatis dalam keadaan seperti itu penafsiran atau interpretasi hukum yang dipilih haruslah tepat dan sesuai dengan perkembangan jaman. Kemudian dalam Hukum Acara perdata dapat ditemukan pula alat bukti yang mempunyai makna serupa dengan alat bukti petunjuk yaitu alat bukti persangkaan. Perkataan persangkaan dalam pasal 163 H.I.R. oleh karenanya agak kurang tepat, seharusnya adalah persangkaan-persangkaan, persangkaan dalam hukum acara perdata menyerupai petunjuk dalam hukum acara pidana, kurang tepat untuk mencampur baurkan kedua pengertian ini sehingga dalam acara perdata harus memakai perkataan persangkaan dan tidak menggunakan kata petunjuk. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, lalu peristiwa yang dikenal ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti. 121 Pada umumnya jika hanya ada satu persangkaan saja, maka persangkaan tersebut tidaklah dianggap cukup untuk menganggap dalil yang bersangkutan itu 119 Eddy O.C. Hiariej, Op. Cit., h Ibid. 121 Ny. Retnowulan, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H., Hukum Acara Perdata: dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung : H.77 71

26 terbukti, dengan lain perkataan persangkaan hakim itu baru merupakan bukti lengkap, apabila saling berhubungan dengan persangkaan-persangkaan hakim yang lain yang terdapat dalam perkara itu Keterangan Pelaku Usaha atau Terlapor Dalam Pasal 1 angka 13 Perkom 2010, terlapor adalah pelaku usaha dan atau pihak lain yang diduga melakukan pelanggaran. Sehingga dengan demikian keterangan terlapor merupakan keterangan dari pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran UU Antimonopoli. Keterangan yang sudah diberikan oleh terlapor tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis Komisi. Alat bukti yang disebutkan diatas lebih mirip dengan alat bukti yang tertuang dalam Kitab Undang undang hukum acara pidana ketimbang yang ada dalam hukum acara perdata. Hal ini tentu saja terkait dengan sifat khas dari hukum persaingan usaha yang merupakan sub bidang dari hukum ekonomi yang memiliki substansial antar bidang hukum (hukum perdata dan publik). Salah satu contoh sifat khas substansi hukum persaingan adalah pada kasus persengkongkolan jahat (kartel), dimana dalam kartel terdapat unsur perdata yaitu adanya suatu perjanjian (kesepakatan) antar pelaku usaha yang merugikan masyarakat luas (pelaku usaha lain maupun konsumen). 122 Ibid H.78 72

27 D. Analisa Kartel Minyak Goreng Perkara Nomor 24/KPPU-I/ Kasus Posisi Tim investigator KPPU telah melakukan investigasi dugaan pelanggaran Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU Antimonopoli terhadap beberapa perusahaan produksi dan penjualan minyak goreng (minyak goreng kemasan maupun curah) di Indonesia yang terdiri dari: PT Multimas Nabati Asahan (Terlapor I) PT Sinar Alam Permai (Terlapor II), PT Wilmar Nabati Indonesia (Terlapor III), PT Multi Nabati Sulawesi (Terlapor IV), PT Agrindo Indah Persada (Terlapor V), PT Musim Mas (Terlapor VI), PT Intibenua Perkasatama (Terlapor VII), PT Megasurya Mas (Terlapor VIII), PT Agro Makmur Raya (Terlapor IX), PT Mikie Oleo Nabati Industri (Terlapor X), PT Indo Karya Internusa, PT (Terlapor XI), Permata Hijau Sawit (Terlapor XII), PT Nagamas Palmoil Lestari (Terlapor XIII), PT Nubika Jaya (Terlapor XIV), PT Smart (Terlapor XV), PT Salim Ivomas (Terlapor XVI), PT Bina Karya Prima (Terlapor XVII), PT Tunas Baru Lampung (Terlapor XIII), PT Berlian Eka Sakti Tangguh (Terlapor XIX), PT Pacific Palmindo Industri (Terlapor XX) dan PT Asian Agro Agung Jaya (Terlapor XXI). Minyak goreng curah biasanya dipasarkan oleh para produsen secara jual putus dalam bentuk bulk/drum/tangki karena produsen hanya melayani pembelian dalam jumlah atau volume yang besar. Kualitas minyak curah ini relatif cukup rendah karena dihasilkan dari CPO dengan komposisi 75% (tujuh puluh lima persen) sehingga karena memiliki kualitas rendah apabila dilihat dari sisi kejernihan produk relatif tidak sejernih minyak goreng kemasan (bermerek). Selain itu, ketahanan waktu penyimpanan minyak 73

28 curah ini tidak terlalu lama yaitu sekitar 1 (satu) minggu sehingga sebagian besar hanya melayani penjualan di gudang milik produsen. Selanjutnya, untuk minyak kemasan atau bermerek biasanya dipasarkan melalui distributor yang ditunjuk oleh produsen dengan sistem komisi yang besarannya berkisar 5% (lima persen). Secara umum, produsen mendistribusikan atau memasarkan dalam bentuk kemasan khusus dengan kantong plastik 1 liter, 2 liter atau dengan jerigen. Kualitas minyak goreng kemasan (bermerek) ini lebih tinggi dibandingkan minyak goreng curah karena dihasilkan dari CPO dengan komposisi 45% (empat puluh lima persen) hingga 65% (enam puluh lima persen) setelah melalui beberapa kali proses penyaringan sehingga menghasilkan minyak goreng yang lebih jernih dan kadar olein yang tinggi. Oleh karena itu, minyak goreng kemasan (bermerek) ini memiliki ketahanan waktu simpan yang cukup lama yaitu sekitar 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan. Pasar geografis, dimana pasar geografis ini direlevansikan dengan jangkauan atau daerah pemasaran minyak goreng baik curah maupun kemasan (bermerek). Secara umum pemasaran minyak goreng baik curah maupun kemasan (bermerek) mencakup seluruh wilayah Indonesia tanpa adanya hambatan regulasi. 2. Pertimbangan Majelis Komisi Dalam bagian pertimbangan Majelis Komisi terdapat 3 hal pokok yang diutarakan yaitu, price parallelism, indirect evidence dan kerugian konsumen. Ketiga pertimbangan Majelis Komisi tersebut kemudian akan digunakan untuk menjadi dasar pertimbangan pemenuhan unsur kartel yang dituduhkan kepada para terlapor. Dibawah ini akan diurai mengenai pertimbangan tentang price parallelism, tentang indirect 74

29 evidence dan tentang kerugian konsumen, kemudian dilanjutkan dengan pertimbangan Majelis Komisi tentang pemenuhan unsur pasal 11. a. Price paralelism Dalam menentukan ada atau tidaknya price paralelism dalam suatu industri dapat dilakukan dengan metode uji statistik yaitu Uji Homogenity of Varians. Uji statistik dilakukan untuk membandingkan varian dari harga minyak goreng masingmasing perusahaan, sehingga bisa mengetahui kesamaan pola pergerakan harga antar perusahaan. Apabila perubahan harga dari setiap pelaku usaha memiliki probabilitas dibawah 5%, maka Ho ditolak dan tidak ada price parallelism, namun sebaliknya jika nilai probabilitas lebih besar dari 5% maka perubahan variasi harga antar perusahaan sama atau ada price parallelism. Berdasarkan uji nilai probabilitas tersebut, Majelis Komisi berpendapat bahwa terdapat fakta adanya price parallelism pada pasar minyak goreng curah maupun kemasan (bermerek) karena nilai probabilitas lebih besar dari 5%. b. Tentang Indirect evidence Dalam perkara tersebut muncul pernyataan dari Terlapor XV yang menyatakan bahwa price parallelism belum cukup membuktikan tentang adanya penetapan harga atau kartel harga. Kemudian Majelis Komisi memberikan pendapat bahwa dalam pembuktian hukum persaingan, pembuktian adanya sebuah kartel dapat dilakukan dengan hanya menggunakan indirect evidence yang terdiri dari bukti komunikasi 75

30 dengan bukti ekonomi. Kemudian tentang indirect evidence Majelis Komisi mengulasnya sebagai berikut : 1) Bukti komunikasi dapat berupa fakta adanya pertemuan dan/atau komunikasi antar pesaing meskipun tidak terdapat substansi dari pertemuan dan/atau komunikasi tersebut. Dalam perkara ini, pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para Terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari Bahkan dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas antara lain mengenai harga, kapasitas produksi dan struktur biaya produksi; 2) Dalam perkara ini, pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari Bahkan dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas mengenai harga, kapasitas produksi dan struktur biaya produksi; 3) Facilitating practices yang dilakukan melalui price signaling dalam kegiatan promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta pertemuan - pertemuan atau komunikasi antar pesaing melalui asosiasi. Selanjutnya Majelis Komisi menjelaskan contoh praktek pembuktian adanya sebuah kartel dengan menggunakan indirect evidence tercermin dari kasus kartel baja dan kasus kartel Sao Paulo airlines di Brazil. Pada kasus kartel baja tersebut, Brazil s Council for Economic Defence (selanjutnya disebut CADE) memutuskan para pihak dinyatakan bersalah berdasarkan price parallelism dan faktor-faktor lainnya seperti penggunaan bukti pertemuan diantara perusahaan tersebut untuk membicarakan 76

31 permasalahan diantara mereka sebelum permasalahan tersebut disampaikan kepada pemerintah. Pada kasus kartel Sao Paulo airlines investigasi yang dilakukan oleh CADE terdapat 3 (tiga) faktor yang mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut melakukan penetapan harga yaitu price parallelism, pertemuan para pemimpin perusahaan, dan adanya media untuk melakukan koordinasi harga. c. Tentang kerugian konsumen Dalam pertimbangannya, Majelis komisi berpendapat bahwa tidak responsifnya pergerakan harga minyak goreng yang ditetapkan para terlapor terhadap penurunan harga CPO periode bulan April 2008 tersebut telah mengakibatkan terjadinya kerugian bagi konsumen untuk memperoleh harga minyak goreng yang lebih rendah, karena kontribusi CPO sebagai bahan baku utama adalah 87% dari total biaya produksi minyak goreng. Majelis Komisi dapat menghitung kerugian konsumen dengan cara menghitung selisih rata-rata harga penjualan minyak goreng dengan ratarata harga perolehan CPO masing-masing terlapor. Setelah perhitungan selisih harga rata-rata tersebut pada periode bulan Januari 2007 hingga bulan Maret 2008 dengan periode bulan April 2008 hingga Desember Berdasarkan hasil perhitungan, Majelis Komisi menemukan fakta kerugian konsumen selama periode bulan April 2008 hingga bulan Desember 2008 setidaktidaknya sebesar Rp ,00 (satu trilyun dua ratus tujuh puluh milyar dua ratus enam puluh tiga juta enam ratus tiga puluh dua ribu seratus tujuh puluh lima rupiah) untuk produk minyak goreng kemasan dan sebesar Rp ,00 77

32 (tiga ratus tujuh puluh empat milyar dua ratus sembilan puluh delapan juta tiga puluh empat ribu lima ratus dua puluh enam rupiah) untuk produk minyak goreng curah. d. Pertimbangan pemenuhan unsur Pasal 11 Menurut pendapat Majelis Komisi para terlapor merupakan pelaku usaha bergerak di bidang usaha produksi dan penjualan minyak goreng curah dan atau minyak goreng kemasan (bermerek) di wilayah Indonesia maka unsur pelaku usaha yang saling bersaing terpenuhi. Kemudian Majelis Komisi berpendapat bahwa perjanjian yang dilakukan oleh terlapor adalah perjanjian tidak tertulis yang didasarkan pada inidirect evidence. Bukti komunikasi didasarkan fakta adanya pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari Berkaitan dengan bukti ekonomi, Majelis Komisi menilai berdasarkan fakta-fakta terkait dengan struktur dan perilaku dimana secara struktur pasar merupakan oligopoli yang semakin terkonsentrasi dan perilaku para terlapor yang dapat dikategorikan sebagai price parallelism dan facilitating practices yang dilakukan melalui price signaling. Kemudian mengenai unsur monopoli atau persaingan usaha tidak sehat Majelis Komisi berpendapat bahwa dengan adanya perjanjian antar pesaing yang mempunyai dampak terhadap harga dan produksi maka hal tersebut dikategorikan sebagai tindakan yang tidak jujur dan/atau menghambat persaingan usaha. Oleh karena itu Majelis Komisi berpendapat bahwa unsur praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terpenuhi. 78

33 3. Putusan Majelis Komisi Kemudian Majelis Komisi yang memeriksa serta mengadili perkara aquo berdasarkan pertimbangannya yang telah menyatakan bahwa seluruh unsur yang ada pada Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU Antimonopoli maka Majelis Komisi memberikan putusan sebagai berikut : 1. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo Indah Persada, Terlapor VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT Intibenua Perkasatama, Terlapor VIII: PT Megasurya Mas, Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa, Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh, dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng curah. 2. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama, dan Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng kemasan (bermerek). 3. Menyatakan Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIII: PT Nagamas Palmoil Lestari, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya, Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk, dan Terlapor XX: PT Pacific Palmindo Industri tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam pasar minyak goreng curah; 79

34 4. Menyatakan Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk, dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam pasar minyak goreng kemasan (bermerek). 5. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar Alam Permai, Terlapor III: PT Wilmar Nabati Indonesia, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor V: PT Agrindo Indah Persada, Terlapor VI: PT Musim Mas, Terlapor VII: PT Intibenua Perkasatama, Terlapor VIII: PT Megasurya Mas, Terlapor IX: PT Agro Makmur Raya, Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XI: PT Indo Karya Internusa, Terlapor XII: PT Permata Hijau Sawit, Terlapor XIV: PT Nubika Jaya, Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk, Terlapor XIX: PT Berlian Eka Sakti Tangguh, Terlapor XX: PT Pacific Palmindo Industri dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng curah. 6. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama, dan Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima, Terlapor XVIII: PT Tunas Baru Lampung, Tbk dan Terlapor XXI: PT Asian Agro Agung Jaya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng kemasan (bermerek); 7. Menyatakan Terlapor XIII: PT Nagamas Palmoil Lestari tidak terbukti melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng curah. 8. Menyatakan Terlapor I: PT Multimas Nabati Asahan, Terlapor II: PT Sinar Alam Permai, Terlapor IV: PT Multi Nabati Sulawesi, Terlapor X: PT Mikie Oleo Nabati Industri, Terlapor XV: PT Smart, Tbk, Terlapor XVI: PT Salim Ivomas Pratama, dan Terlapor XVII: PT Bina Karya Prima, 80

I. PENDAHULUAN. masyarakat. Bila persaingan dipelihara secara konsisten, akan tercipta kemanfaatan

I. PENDAHULUAN. masyarakat. Bila persaingan dipelihara secara konsisten, akan tercipta kemanfaatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persaingan usaha merupakan ekspresi kebebasan 1 yang dimilki setiap individu dalam rangka bertindak untuk melakukan transaksi perdagangan dipasar. Persaingan usaha diyakini

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM TERHADAP KASUS KARTEL MINYAK GORENG DI INDONESIA (STUDI PUTUSAN KPPU NOMOR 24/KPPU-1/2009) JURNAL ILMIAH

KAJIAN HUKUM TERHADAP KASUS KARTEL MINYAK GORENG DI INDONESIA (STUDI PUTUSAN KPPU NOMOR 24/KPPU-1/2009) JURNAL ILMIAH KAJIAN HUKUM TERHADAP KASUS KARTEL MINYAK GORENG DI INDONESIA (STUDI PUTUSAN KPPU NOMOR 24/KPPU-1/2009) JURNAL ILMIAH Untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai derajat S-1 pada Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

Oleh : Ni Luh Gede Putu Dian Arya Patni I Made Sarjana Marwanto Bagian Hukum PerdataFakultasHukumUniversitasUdayana ABSTRACT

Oleh : Ni Luh Gede Putu Dian Arya Patni I Made Sarjana Marwanto Bagian Hukum PerdataFakultasHukumUniversitasUdayana ABSTRACT AKIBAT HUKUM PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 24/KPPU-I/2009TERHADAP PELAKU USAHA YANG TERGABUNG DALAM ORGANISASI INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA Oleh : Ni Luh Gede Putu Dian Arya

Lebih terperinci

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang- undang ditetapkan dapat dipakai membuktikan sesuatu.

Lebih terperinci

a. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam:

a. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam: A. Pendahuluan 1. Dasar Hukum a. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam: Pasal 162 177 HIR; Pasal 282 314 RBg; Pasal 1885 1945 BW; Pasal 74 76, 87 88 UU No 7 Thn 1989 jo UU No. 50 Thn

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. penting yang mempengaruhi ketersediaan (supply) minyak goreng di pasar

BAB I PENGANTAR. penting yang mempengaruhi ketersediaan (supply) minyak goreng di pasar BAB I PENGANTAR 1. Latar Belakang Minyak goreng merupakan salah satu dari barang kebutuhan pokok masyarakat di Indonesia 1. Sebagai salah satu dari barang kebutuhan pokok, ketersediaan (supply) minyak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan Usaha 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan adalah perlawanan dan atau upaya satu orang atau lebih untuk lebih unggul dari orang lain dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH MENARA Ilmu Vol. X Jilid 1 No.70 September 2016 KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH ABSTRAK Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan dan analisa dalam bab - bab sebelumnya, maka kesimpulan kesimpulan berikut ini dapat ditarik guna menjawab pertanyaan penelitian: a. Menurut

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan usaha 1. Dasar Hukum Persaingan Usaha Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perihal Saksi dan Petunjuk 1. Perihal Saksi Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Pengantar Hukum Persaingan Usaha Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Topics to be Discussed Manfaat Persaingan Asas & Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 104 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sesuai Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan maka jawaban atas permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 5.1.1 Bahwa perilaku concerted action

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BUKTI EKONOMI DALAM KARTEL BERDASARKAN HUKUM PESAINGAN USAHA

PENGGUNAAN BUKTI EKONOMI DALAM KARTEL BERDASARKAN HUKUM PESAINGAN USAHA PENGGUNAAN BUKTI EKONOMI DALAM KARTEL BERDASARKAN HUKUM PESAINGAN USAHA Anna Maria Tri Anggraini 1 ABSTRAK Kartel merupakan tindakan anti persaingan yang membawa dampak paling signifikan, baik terhadap

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia \ Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 01 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELAKSANAAN KEMITRAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam hukum perdata formil. Hukum perdata formil bertujuan memelihara dan mempertahankan hukum perdata materiil. Jadi, secara

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN A. Tinjauan Umum Pembuktian Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment

BAB I PENDAHULUAN. Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment dalam Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi di Indonesia mengingat topik tersebut belum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Persekongkolan Tender, Persaingan Usaha Tidak Sehat 56 LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

2 Indonesia dalam hal melakukan penyelesaian permasalahan di bidang hukum persaingan usaha, yang diharapkan terciptanya efektivitas dan efisiensi dala

2 Indonesia dalam hal melakukan penyelesaian permasalahan di bidang hukum persaingan usaha, yang diharapkan terciptanya efektivitas dan efisiensi dala 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hukum persaingan usaha sehat diperlukan dalam era dunia usaha yang berkembang dengan pesat. Globalisasi erat kaitannya dengan efisiensi dan daya saing dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

KARTEL LAYANAN PESAN SINGKAT (SMS off-net Antar Operator) SEBAGAI BAGIAN PRAKTEK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. Oleh. Ikarini Dani Widiyanti,SH,MH

KARTEL LAYANAN PESAN SINGKAT (SMS off-net Antar Operator) SEBAGAI BAGIAN PRAKTEK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. Oleh. Ikarini Dani Widiyanti,SH,MH KARTEL LAYANAN PESAN SINGKAT (SMS off-net Antar Operator) SEBAGAI BAGIAN PRAKTEK PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh. Ikarini Dani Widiyanti,SH,MH I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komisi Pengawas Persaingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena selalu terdapat kepentingan yang berbeda bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan keuntungan atau menimbulkan kerugian. Apabila

Lebih terperinci

PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh Ni Luh Putu Diah Rumika Dewi I Dewa Made Suartha Bagian Hukum

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan I. PEMOHON PT. Bandung Raya Indah Lestari.... selanjutnya

Lebih terperinci

HUKUM PERSAINGAN USAHA

HUKUM PERSAINGAN USAHA HUKUM PERSAINGAN USAHA Dosen Pengampu: Prof Dr Jamal Wiwoho, SH, MHum www.jamalwiwoho.com 081 2260 1681 -- Bahan Bacaan Abdulrahman: Ensiklopesi Ekonomi keuangan dan perdagangan, Jakarta, Pradnya Paramita,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Minyak goreng (cooking oil), sebagai salah satu dari 9 (sembilan) bahan pokok 1,

Bab I Pendahuluan. Minyak goreng (cooking oil), sebagai salah satu dari 9 (sembilan) bahan pokok 1, Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang Minyak goreng (cooking oil), sebagai salah satu dari 9 (sembilan) bahan pokok 1, merupakan komoditi yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia.

Lebih terperinci

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Sumber gambar http://timbul-lawfirm.com/yang-bisa-jadi-saksi-ahli-di-pengadilan/ I. PENDAHULUAN Kehadiran

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Intisari... Abstract... BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI. Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Intisari... Abstract... BAB I PENDAHULUAN... iv DAFTAR ISI Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar...... Daftar Isi... Intisari...... Abstract... i iv x xi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Permasalahan.. 1 B. Perumusan

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Kepada Toray Advanced Materials Korea Inc. Dalam suatu tindakan pengambilalihan saham

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( ) BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK (Email) 1. Pengertian Alat Bukti Dalam proses persidangan, alat bukti merupakan sesuatu yang sangat penting fungsi dan keberadaanya untuk menentukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 01 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELAKSANAAN KEMITRAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Asshiddiqie, Jimly Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Konpress. Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Asshiddiqie, Jimly Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Konpress. Jakarta. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ahmad, Yani dan Gunawan Widjaja. 2010. Seri Hukum Bisnis Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Anggraini, A.M. Tri. 2003. Larangan

Lebih terperinci

ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Artikel I. Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2004 Kekuasaan ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Magisster Akuntasi www.mercubuana.ac.id Undang-undang Terkait Dengan Industri Tertentu, Undangundang

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perlindungan Konsumen Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dan bukan Undang-Undang tentang Konsumen. menyebutkan pengertianpengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi persaingan merupakan satu karakteristik yang melekat dengan kehidupan manusia, dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI M. Afif Hasbullah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Darul Ulum Lamongan Jl. Airlangga 3 Sukodadi Lamongan ABSTRAK Metode pendekatan

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP MEKANISME PENANGANAN PERKARA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

TINJAUAN TERHADAP MEKANISME PENANGANAN PERKARA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TINJAUAN TERHADAP MEKANISME PENANGANAN PERKARA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh : Nina Herlina, S.H., M.H. *) Abstract The mechanism of handling unhealthy competition cases is carried out by the Commission

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di segala bidang

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN. telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Kemajuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang-

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang- 1 2 3 i I. PENDAHULUAN Di Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Tidak terkecuali terjadi terhadap anak-anak, hal ini disebabkan karena seorang anak masih rentan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Dasar Hukum dan Pengertian Hukum Persaingan Usaha. Dasar hukum pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Dasar Hukum dan Pengertian Hukum Persaingan Usaha. Dasar hukum pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan Usaha 1. Dasar Hukum dan Pengertian Hukum Persaingan Usaha Dasar hukum pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA DALAM PERSPEKTIF DUE PROCESS OF LAW

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA DALAM PERSPEKTIF DUE PROCESS OF LAW JOURNAL OF PRIVATE AND COMMERCIAL LAW VOLUME 1 NO. 1, NOVEMBER 2017 1 TINJAUAN HUKUM TERHADAP HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA DALAM PERSPEKTIF DUE PROCESS OF LAW Donny W. Tobing Advokat di Kantor Hukum JoAn

Lebih terperinci

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT I. Pendahuluan Pimpinan Komisi VI Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2 HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hak negara

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Perlindungan Usaha Deskripsi Mata Kuliah Standar Kompetensi SH HK 1201 2 V (lima) Muhammad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 11/PUU-XV/2017 Pembatasan Waktu Pengajuan Sengketa Pemilukada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 11/PUU-XV/2017 Pembatasan Waktu Pengajuan Sengketa Pemilukada RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 11/PUU-XV/2017 Pembatasan Waktu Pengajuan Sengketa Pemilukada I. PEMOHON 1. Heru Widodo, S.H., M.Hum. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Andi Syafrani, S.H.,

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DISUSUN OLEH : MOHAMMAD FANDRIAN HADISTIANTO Definisi Hukum Acara Hukum acara adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan atau

Lebih terperinci

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Ethics in Market Competition Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Monopoli Monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : ALAT BUKTI SURAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI TEMANGGUNG (Studi Kasus Putusan No. 45/Pdt.G/2013/PN Tmg) Abdurrahman Wahid*, Yunanto, Marjo Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014 HUKUM PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PERDATA 1 Oleh : Darliyanti Ussu 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana penentuan alat bukti oleh hakim dan bagaimana pembagian beban pembuktian untuk

Lebih terperinci

/ KERANGKA ACUAN KERJA SEMINAR PUBLIK

/ KERANGKA ACUAN KERJA SEMINAR PUBLIK TERMS OF REFERENCE / KERANGKA ACUAN KERJA SEMINAR PUBLIK Eksaminasi Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 08/KPPU- I/2014 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-undang No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1 Hal itu menegaskan bahwa pemerintah menjamin kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat,

Lebih terperinci