ILMU KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER JILID I ( DASAR DASAR TEORI)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ILMU KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER JILID I ( DASAR DASAR TEORI)"

Transkripsi

1 BUKU PEDOMAN PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN (PPDH) ILMU KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER JILID I ( DASAR DASAR TEORI) OLEH : Drh. I Wayan Suardana, MSi Drh. Ida Bagus Ngurah Swacita, MP FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

2 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat rahmat-nya lah penyusunan Buku Pedoman Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan buku ini dimaksudkan sebagai acuan dasar bagi mahasiswa Sarjana Kedokteran Hewan yang bermaksud memperdalam profesinya melalui pendidikan profesi / koasistensi khususnya di laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, dengan harapan melalui buku pedoman ini dapat terpenuhinya Standar Minimal Kompetensi Lulusan Dokter Hewan yakni : memiliki ketrampilan dalam melakukan pemeriksaan antemortem dan postmortem, mampu melakukan pengawasan bahan makanan asal hewan dan produk olahannya, mampu melakukan pengukuran (assesment) dan penyeliaan kesejahteraan hewan serta memiliki kemampuan manajemen pengamanan hayati hewan (biosecurity), pengendalian lingkungan, serta pengendalian dan penolakan penyakit strategis dan zoonosis. Kami menyadari bahwa Buku Pedoman ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik sangat kami harapkan demi peningkatan kualitas lulusan dokter hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Denpasar, Agustus 2015 Tim Penyusun

3 BAB I GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) KOASISTENSI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER Program PPDH SKS Waktu Lokasi Koas : Koasistensi Kesmavet : 3 SKS : 3 minggu : RPH Mambal, RPH dan Unggas Pesanggaran, RPA Kediri Tabanan, Lab Kesmavet FKH Unud. Deskripsi Singkat : Koas kesmavet memperdalam pengetahuan dan keterampilan cara pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem pada ternak sapi dan babi; Pengawasan mutu dan kesehatan bahan asal hewan dan produk olahannya; Pengukuran dan penyeliaan kesejahteraan hewan, Penilaian kelayakan dan kesehatan lingkungan suatu RPH. Tujuan Instruksional Umum : Setelah koas kesmavet selama 3 minggu, mahasiswa program PPDH mampu : 1. Menilai dan terampil melakukan pemeriksaan kesehatan ante mortem dan post-mortem pada ternak sapi dan babi. 2. Menilai dan terampil melakukan pengawasan mutu dan kesehatan bahan makanan asal hewan (daging, susu, telur) dan produk olahannya 3. Menerapkan pengukuran (assesment) dan penyeliaan kesejahteraan hewan 4. Menilai kelayakan suatu Rumah Pemotongan Hewan (RPH). 5. Menilai kesehatan lingkungan terutama pada RPH dan Peternakan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 1

4 MINGGU/ HARI WAKTU MATERI PENANGGUNG JAWAB I Senin Pengarahan koas (tata tertib, materi, Tim Pengelola jadwal koas, pemilihan koordinator) Koas Review perundang-undangan yang berkaitan dengan Kesmavet : 1.PP RI No.23/1983 : Kesmavet. 2.PP RI No.15/1977 : Penolakan dan Pemberantasan Penyakit. 3.SK Mentan No.745/1992 : Pengawasan Daging dari Luar Negeri 4.SK Mentan No.445/2002 : Pelarangan Impor Ternak Ruminansia dari Negara Tertular BSE 5.SE Mentan No.TN 510/2001 : Penolakan Masuknya Penyakit PMK 6.SK Dirjenak No.254/1995 : NKV bagi RPH Unggas dan Tempat Pemotongan Daging 7.SK Dirjenak No.114/1996 : NKV Bagi Usaha Pengimpor Daging 8.SK Dirjen Produksi Ternak No.71 : Prosedur Baku Importasi Hewan dan Bahan Asal Hewan 9.SE Dirjen Produksi Peternakan No.TN 540/2002 : Penghentian Sementara Pemasukan Hewan Ruminansia dari Negara Tertular BSE I Selasa Tugas dan Fungsi Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner 2.Program Monitoring dan Surveilens Residu pada Produk Pangan Review Penyakit yang Ditularkan oleh Makanan (Food Borne Diseases) 2.Pedoman Teknis Sanling RPH/ Unggas Review Penyakit yang Ditularkan oleh Susu dan Produk Susu (Milk Borne Diseases) 2.Kebijakan Pemerintah dalam Me- Prof.Dr.IB Arka, GDFT. Drh. Wayan Bagiasih Wisna, MS Drh. I Ketut Suada, MSi Drh. I Made Sukada, MSi. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 2

5 ningkatkan Produksi Susu di Indo. I Rabu Pedoman Seleksi dan Penyembelihan Hewan Qurban 2.Pedoman Penyembelihan Halal Petunjuk Untuk Penanganan, Pengiriman dan Pemotongan yg Manusiawi 2.Review Pemeriksaan Kesehatan Ante-mortem dan Post-mortem serta Kualitas dan Kesehatan Daging Kebijakan mengenai Keamanan dan Kualitas Daging Indonesia 2.Peningkatan Peranan Pemerintah dalam Pengawasan Bahan Makan an Asal Hewan, Memperkenalkan Konsep HACCP I Kamis selesai selesai 1.Pemeriksaan Kualitas Daging dan Produknya (3 tempat pengambilan 2.Pemeriksaan Kesehatan AM-PM Sapi di RPH Mambal Drh. Mas Djoko Rudyanto, MS Drh.I.B. Ngurah Swacita, MP Drh. I Wayan Suardana, MSi Drh.I.B. Ngurah Swacita, MP I Jum at selesai 1.Pemeriksaan Kualitas Daging dan Produknya (ulangan dari 3 tempat Drh.I.B. Ngurah Swacita, MP I Sabtu selesai 1.Pemeriksaan Kualitas Susu Segar (3 tempat pengambilan) Drh. I Made Sukada, MSi II Senin selesai selesai 1.Pemeriksaan Pemalsuan Susu (air tajin, santan, dll) 2. Pemeriksaan Kesehatan AM-PM Sapi di RPH Mambal Ir. Martini Hartawan, MSi Drh. I Ketut Gunata II Selasa selesai 1.Pemeriksaan Kualitas Telur Ayam Ras (3 tempat pengambilan) Drh. I Wayan Suardana, MSi II Rabu selesai selesai 1.Pemeriksaan Kualitas Telur Ayam Ras (3 tempat pengambilan) 2.Ujian Praktek Pemeriksaan AM & PM Sapi di RPH Mambal Drh. I Wayan Suardana, MSi Drh.I.B. Ngurah Swacita, MP II Kamis selesai 1.Pemeriksaan Kualitas Air Limbah RPH/Peternakan Drh. I Ketut Suada, MSi II Jum at selesai selesai 1.Pemeriksaan Kualitas Air Limbah RPH/Peternakan 2.Pemeriksaan Kesehatan AM-PM Babi di RPH&Ungg. Pesanggaran Drh. I Ketut Suada, MSi Drh.I.B. Ngurah Swacita, MP II Sabtu selesai 1.Tabulasi data dan diskusi Pembimbing Koas III Senin selesai selesai 1.Kunjungan ke TPA PT Wonokoyo, Kediri, Tabanan 2.Pembuatan draft laporan Drh.I Wayan Suardana, MSi Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 3

6 3.Pemeriksaan Kesehatan AM dan PM Babi di RPH dan Unggas Pesanggaran III Selasa selesai 1.Kunjungan ke TPA PT Wonokoyo, Kediri, Tabanan 2.Pembuatan draft laporan III Rabu selesai 1.Kunjungan ke TPA PT Wonokoyo, Kediri, Tabanan selesai 2.Pembuatan draft laporan 3.Ujian Praktek Kesehatan AM dan PM Babi di RPH dan Unggas Pesanggaran Drh.Md. Ngurah Sugiri Drh.I Wayan Suardana, MSi Drh.Mas Djoko Rudyanto, MS Drh.I.B. Ngurah Swacita, MP III Kamis Pengumpulan Laporan Koas Pembimbing Koas 1 dan 2 III Jum at selesai 1. Ujian Koas Kesmavet Pembimbing Koas 1 III Sabtu selesai 1. Ujian Koas Kesmavet Pembimbing Koas 2 Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 4

7 BAB II 2.1 MATERI PERATURAN PERUNDANGAN KESMAVET PERATURAN PERUNDANGAN K E S M A V E T EDISI I DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PERTERNAKAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2002 Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 5

8 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan penting dalam mencegah penularan zoonosa dan pengamanan produksi bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan lainnya. Untuk kepentingan kesehatan masyarakat ; b. Bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 19 dan Pasal 21 Undang Undang No 6 Tahun 1967 dipandang perlu mengatur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Peraturan Pemerintah Mengingat : 1. Pasal 5 Ayat (2) Undang Undang Dasar 1945; 2. Undang Undang Nomor Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara tahun 1967 No 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824); 3. Undang Undang No 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara tahun 1974 nomor 3B, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037) 4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1973 tentang Pembuatan Persediaan, Peredaran dan Pemakaian Vaksin, Sera dan Bahan bahan Diagnostika Biologis untuk Hewan ( Lembaran Negara Tahun 1973 No 23 ); 5. Peraturan Pemerintah No 15 tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan, dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Tahun 1977 No 20, Tambahan Lembaran Negara No 3101); 6. Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan (Lembaran Negara Tahun 1977 No. 21, tambahan Lembaran Negara No 3102); Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 6

9 M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : a. Pengujian adalah kegiatan pemeriksaan kesehatan bahan makanan asal hewan dan bahan asala hewan untuk mengetahui bahwa bahan-bahan tersebut layak, sehat dan aman bagi manusia; b. Daging adalah bagian-bagian dari hewan yang disembelih atau dibunuh dan lazim dimakan manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan; c. Susu adalah cairan yang diperoleh dari ambing ternak perah sehat, dengan cara pemerahan yang benar, terus menerus dan tidak dikurangi sesuatu dan/atau ditambahkan kedalamnnya sesuatu bahan lain; d. Usaha pemotongan hewan adalah kegiatan kegitan yang dilakukan oleh perorangan dan/atau badan yang melaksanakan pemotongan hewan dirumah potong hewan milik sendiri atau milik pihak ketiga atau menjual jasa pemotongan hewan; e. Telur adalah telur unggas; f. Zoonosa adalah penyakit yang dapat berjangkit dari hewan kepada manusia atau sebaliknnya; g. Pengawetan adalah usaha atau kegiatan tertentu untuk mengendalikan, menghambat reaksi enzima oleh mikroorganisme pembusuk, sehingga bahan makanan tersebut dapat digunakan dengan aman dalam jangka waktu yang lebih lama; h. Menteri adalah mentri yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner. BAB II PENGAWASAN KESEHATAN MASYARAKAT VETRINER Pasal 2 1) Setiap hewan potong yang akan dipoktong harus sehat dan telah diperiksa kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang. 2) Jenis jenis hewan potong ditetapkan lebih lanjut oleh menteri. 3) Pemotongan hewan potong harus dilaksanakan di rumah potong hewan atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang. 4) Pemotongan hewan untuk keperluan keluarga, upacara adat dan keagamaan serta penyembelian hewan potong secara darurat dapat dilaksanakan menyimpang dari Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 7

10 ketentuan sebagaimana dari dimaksud dalam ayat (3) Pasal ini, dengan mendapat izin terlebih dahulu dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuknya. 5) Syarat syarat rumah potong hewan, pekerja, pelaksanaan pemotongan, dan cara pemeriksaan kesehatan dan pemotongan harus memenuhi ketentuan ketentuan yang ditetapkan oleh menteri Pasal 3 (1) Setiap orang atau badan yang melaksanakan : a. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar propinsi dan ekspor harus memperoleh surat ijin usaha pemotongan hewan dari menteri atau pejabat yang ditunjuknnya. b. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar Kabupaten/Kotamadya daerah Tingkat II dalam suatu daerah Tingkat I harus memperoleh surat ijin usaha pemotongan hewan dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. c. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II harus memperoleh surat izin usaha pemotongan hewan dari Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan. (2) Tata cara memperoleh surat ijin usaha pemotongan hewan ditetapkanb oleh : a. Menteri sepanjang mengenai usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar Propinsi dan ekspor b. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, sepanjang mengenai usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, dalam suatu Daerah Tingkat I yang bersangkutan. c. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sepanjang mengenai usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan suatu Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan Pasal 4 (1) Daging hewan yang telah selesai dipotong harus segera diperikasa kesehatannya oleh petugas pemeriksa berwenang (2) Daging yang lulus dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal ini, baru diedarkan setelah terlebih dahulu dibubuhi cap atau stempel oleh petugas pemeriksa yang berwenang (3) Ketentuan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) Pasal ini dan cara penanganan serta syarat kelayakan tempat penjualan daging diatur lebih lanjut oleh menteri. (4) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan daging yang tidak berasal dari rumah potong hewan sebagimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) Peraturan pemerintah ini, kecuali dari daging yang berasal dari pemotongan hewan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) peraturan pemerintah ini. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 8

11 (5) Setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat. Pasal 5 (1) Setiap perusahaan susu harus memenuhi persyaratan tentang kesehatan sapi perah, perkandangan, kesehatan lingkungan, kamar susu, tempat penampungan susu dan alat alat serta keadaan air yang dipergunakan dalam kaitannya dengan produksi susu. (2) Persyaratan usaha peternakan susu rakyat diatur tersendiri oleh Menteri. (3) Tenaga kerja yang menangani produksi susu harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut : a. berbadan sehat; b. berpakaian bersih; c. diperiksa kesehatannya secara berkala oleh dinas kesehatan setempat; d. tidak berbuat hal hal yang dapat mencemarkan susu; e. syarat syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 6 Pemerahan dan penanganan susu harus : a. Dilakuakn secara higienis; b. Mengikuti cara cara pemerahan yang baik; c. Memenuhi syarat syarat lain yang ditetapkan oleh menteri Pasal 7 (1) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan susu yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri (2) Setiap orang atau badan yang mengedarkan susu harus mengikuti cara penanganan, penyimpanan, pengangkutan dan penjualan susu kyang ditetapkan oleh Menteri (3) Menteri menetapkan syarat kelayakan tempat usaha dan tempat penjualan susu Pasal 8 Setiap usaha peternakan babi harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan masyarakat veteriner dari ternak babi, syarat syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. Pasal 9 Setiap usaha peternakan unggas harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan masyarakat veteriner dari ternak unggas,syarat syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 9

12 Pasal 10 (1) Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan telur yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri (2) Setiap orang atau badan yang mengedarkan telur harus mengikuti cara penyimpanan, dan pengangkutan yang ditetapkan oleh Menteri Pasal 11 Setiap usaha atau kegiatan pengawetan bahan makanan asal hewan dan hasil usaha atau kegiatan tersebut harus memenuhi syarat syarat kesehatan masyarakat veteriner yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 12 Menteri menetapkan batas maksimum kandungan residu bahan hayati, antibiotika, dan obat lainnya dalam bahan makanan asal hewan. Pasal 13 Setiap usaha pengumpulan, penampungan, penyimpanan dan pengawetan bahan asal hewan harus memenuhi ketentuan ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang ditetapkan oleh Menteri Pasal 14 (1) Pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner atas pemotongan hewan, perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi, daging, susu dan telur, pengawetan bahan makanan asal hewan yang diawetkan dan bahan asal hewan dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala daerah Tingkat II, kecuali usaha pemotongan hewan sebagimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah ini (2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menetapkan tata cara pelaksanaan pengawasan kesehatan masyaratkat veteriner dengan memperhatikan ketentuan Menteri. (3) Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner yang menyangkut bidang teknis higienis dan sanitasi dilakukan oleh Dokter Hewan Pemerintah (4) Dokter Hewan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Pasal ini ditunjuk oleh Menteri. Pasal 15 (1) Pengawasan atas pelaksanaan ketentuan ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang menyangkut kepentingan suatu Daerah Tingkat II dan antar Daerah Tingkat II Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 10

13 dalam suatu Daerah Tingkat I, dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuk olehnya. (2) Pengawasan atas pelaksanaan ketentuan ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang menyangkut kepentingan antar Propinsi atau Daerah Tingkat I dan keperluan ekspor dilakukan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya. BAB III PENGUJIAN Pasal 16 (1) Dalam rangka pengawasan daging, telur, bahan makanan asal hewan yang diawetkan, dan bahan asal hewan apabila dipandang perlu dapat dilakukan pengujian. (2) Dalam rangka pengawasan terhadap kesehatan susu, pengujiannya dapat dilakukan setiap waktu. Pasal 17 Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya menetapkan petunjuk teknis pengujian Pasal 18 (1) Pengujian daging, susu dan telur serta bahan asal hewan lainnya dilakukan oleh pemerintah daerah Tingkat II (2) Pemerintah daerah Tingkat II mengatur lebih lanjut pelaksanaan pengujian bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan yang beredar didaerah kewenangannya masing masing. (3) Dalam melakukan kewenangan tersebut pemerintah daerah harus mengindahkan petunjuk teknis pengujian yang dikeluarkan oleh Menteri. Pasal 19 Menteri mengatur pengujian bahan makanan yang berasal dari hewan yang diawetkan. Pasal 20 (1) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini, dilakukan dilaboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan Daerah Tingkat II setempat. (2) Apabila pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, tidak dapat dilaksanakan oleh laboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 11

14 Daerah Tingkat II setempat, Menteri menunjuk lembaga atau laboratorium yang berwenang melakukan pengujian. BAB IV PEMBERANTASAN RABIES Pasal 21 Menteri menetapkan daerah daerah tertentu didalam Wilayah Negara Republik Indonesia, sebagai daerah bebas rabies. Pasal 22 (1) Untuk mempertahankan daerah bebas rabies, setiap orang atau badan hukum dilarang memasukkan anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan rabies. a. dari Negara atau bagian Negara lain yang belum diakui sebagai Negara atau bagian Negara yang bebas rabies kedalam wilayah Negara Republik Indonesia yang telah dinyatakan sebagai daerah bebas rabies; b. dari daerah yang belum dinyatakan oleh Menteri sebagai daerah bebas rabies kedaerah lain di wilayah Negara Republik Indonesia yang telah dinyatakan sebagai daerah bebas rabies. (2) Menteri dapat memberikan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hanya untuk kepentingan umum, ketertiban umum dan mempertahankan keamanan. Pasal 23 Menteri mengatur syarat syarat dan tata cara tentang : a. pemasukan anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan rabies dari wilayah Negara Republik Indonesia b. pengeluaran anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan rabies dari wilayah Negara Republik Indonesia keluar negeri c. pemasukan dan pengeluaran anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan rabies antar daerah didalam wilayah Negara Republik Indonesia. Pasal 24 (1) Pencegahan dan pemberantasan rabies pada anjing kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga dapat menularkan rabies diatur lebih lanjut oleh Menteri (2) Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies diselenggarkan dengan kerjasama dengan instansi lain Pasal 25 Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 12

15 Dengan tidak mengurangi berlakunya Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Peraturan Pamerintah ini, pencegahan dan pemberantasan rabies pada anjing dibawah kewenangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dilakuakan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan. BAB V PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN ZOONOSA LAINNYA Pasal 26 Menteri menetapkan jenis jenis zoonosa yang harus diadakan pencegahan dan pem,berantasan, Pasal 27 (1) Pencegahan dan pemberantasan zoonosa sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 peraturan pemerintah ini merupakan kewajiban pemerintah dan dilaksanakan bersama antara instansi instansi yang langsung atau tidak langsung berkepentingan dengan kesejateraan dan kepentingan umum. (2) Menteri menetapkan petunjuk petunjuk pelaksanaan pemberantasan zoonosa. BAB VI KETENTUAN PIDANA Pasal 28 (1) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 5 (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13 Peraturan Pemerintah ini dipidana dengan pidana kurungan selama lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi tingginya Rp (lima puluh ribu). (2) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (5), Pasal 7 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini dipidana berdasarkan ketentuan perundang undangan yang berlaku. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 (1) Hal hal yang belum cukup diatur dalam peraturan pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh menteri. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 13

16 (2) Peraturan yang mengatur masalah kesehatan masyarakat veteriner yang sudah ada dan berlaku sebelum dikeluarkan peraturan pemerintah ini, masih tetap berlaku sebelum peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 Juli 1983 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ttd S O E H A R T O Diundang di Jakarta Pada tanggal 13 Juli 1983 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA Ttd SUDHARMONO, S.H LEMBARAN LEMBARAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 28 Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 14

17 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER A. UMUM Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Oleh karena itu kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan yang penting dalam mencegah penularan penyakit pada manusia baik melalui hewan maupun bahan makanan asal hewan atau bahan hewan lainnya, dan ikut serta memelihara dan mengamankan produksi bahan makanan asal hewan dari pencemaran dan kerusakan akibat penanganan yang kurang higienis. Fungsi kesehatan masyarakat veteriner sebagaimana diuraikan dalam peraturan pemerintah ini, antara lain untuk melindungi konsumen konsumen dari bahaya yang dapat mengganggu kesehatan ( Foodborne Disease ) akibat menggunakan baik untuk dipakai atau dimakan bahan makanan asal hewan, melindungi dan menjamin ketentraman bhatin masyarakat dari kemungkinan kemungkinan penularan zoonosa yang sumbernya berasal dari hewan serta melindungi petani atau peternak dari kerugian kerugian sebagai akibat penurunan nilai dan kualitas bahan makanan asal hewan yang diproduksi. Dengan demikian kiranya dapat dipahami tentang pentingnya kesehatan masyarakat veteriner, karena menyangkut aspek kesehatan dan secara tidak langsung mempengaruhi aspek ekonomi yang satu dengan lainnya mempunyai pengaruh timbal balik. Mengingat pengaruh pengaruh itu, maka perlu bidang kesehatan masyarakat veteriner ini diatur dengan sebaik baiknya. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 15

18 Peraturan dibidang kesehatan masyarakat veteriner di Indonesia pada saat sekarang yang meliputi atau mencakup usaha usaha yang berhubungan dengan bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan serta pencegahan atau pemberantasan atau zoonosa belum lengkap sebagaimana yang diharapkan Keadaan ini mempersulit dalam pembinaan teknis pelaksanaan yang dapat berakibat kurangnya pengawasan sehingga menyebabkan timbulnya kerugian baik pada konsumen maupun produsen Dalam usaha penanganan, pembinaan dan pengembangan bidang kesehatan masyarakat veteriner serta mengingat atau memperhatikan kemajuan teknologi di bidang lain maka bidang kesehatan masyarakat veteriner perlu mendapat perhatian bagi pengembangannya. Untuk maksud tersebut diperlukan adanya peraturan pemerintah tentang kesehatan masyarakt veteriner yang dapat memberikan kepastian dan jaminan hukum baik bagi pemerintah maupun masyarakat Sebagimana diketahui bahwa bahan makanan asal hewan atau bahan asal hewan lainnya berhubungan dengan sifatnya yang mudah rusak dan dapat menjadi sumber penularan penyakit hewan kepada manusia, maka setiap usaha yang bergerak dan berhubungan dengan bahan-bahan tersebut harus memenuhi syarat kesehatan masyarakat veteriner agar bahan-bahan tersebut tetap sehat dan dapat dikonsumsi manusia (memenuhi persyaratan kesehatan). Dalam pelaksanaannya diperlukan adanya pengawasan Pemerintah terhadap usaha-usaha tersebut agar syarat-syarat yang telah ditetapkan ditaati. Di samping itu diperlukan pula pengujian-pengujian terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat diketahui apakah bahanbahan tersebut benar-benar memenuhi persyaratan. Mengenai perusahaan susu, perusahaan unggas, dan perusahaan babi sehubungan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan di Indonesia yaitu dalam rangka usaha pembangunan dan pengembangan peternakan umumnya, maka dalam pembina dan penerapan peraturan mengenai bidang peternakan tersebut diatas, kepentingan-kepentingan/masalah kesehatan masyarakat veteriner wajib diperhatikan. Dengan demikian hal-hal yang menyangkut perizinan wajib diperhatikan. Dengan demikian hal-hal yang menyangkut perizinan usaha peternakan harus di syaratkan sebelumnya agar syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner dapat dipenuhi. Usaha pemotongan hewan juga termasuk ruang lingkup bidang kesehatan masyarakat veteriner dan dapat merupakan suatu unit usaha yang sifatnya terpadu dengan rumah potong hewan dan pengawetan daging atau bahan asal hewan. Keadaan ini sama halnya dengan usaha peternakan sapi perah atau perusahaan susu yang membutuhkan unit untuk pengerjaan atau penampungan susu (kamar susu). Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 16

19 Pengujian merupakan bagian dari pada kegiatan pengawasaan, baik pengujian terhadap bahan segar, bahan hasil pengawetan dan bahan asal hewan itu. Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pengujian ini diperlukan adanya tenaga-tenaga terampil, sarana dan peralatan yang memadai dan biaya operasional. Dengan melaksanakan pengawasan dan pengujian ini, maka semua produk bahan asal hewan yang disampaikan kepada pihak konsumen dapat dijamin kebersihan dan keamanannya, sehingga tidak menimbulkan bahaya-bahaya yang tidak diinginkan bila dikonsumsi atau digunakan oleh para konsumen. Bidang pengujian ini cukup luas, pada pokoknya akan mencakup pengujian secara fisis, khemis dan bakteriologis dan dapat diperinci lebih lanjut tergantung pada macam atau kondisi bahan yang akan diuji dan apa yang perlu diperiksa. Pengujian bahan makanan asal hewan (daging, susu, dan telur) dan bahan asal hewan lainya, menjadi tanggung jawab Pemerintah. Khusus mengenai rabies yang merupakan zoonosa terpenting yang berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia, perlu diatur usaha penolakan, pencegahan dan pemberantasannya di indonesia dengan sebaik-baiknya. Dalam rangka penolakan rabies ke dalam wilayah atau daerah-daerah di Indonesia makan diadakan larangan untuk memasukkan anjing, kucing atau kera, dan satwa liar lainnya ke dalam wilayah atau daerah-daerah tertentu. Pengecualian terhadap larangan tersebut dapat diberikan kepada rombongan sirkus atau badan lain yang sama sifatnya. Daerah-daerah tersebut di atas dikenal sebagai daerah bebas rabies. Daerah bebas rabies tersebut kita pertahankan agar tetap bebas. PASAL DEMI PASAL Pasal 2 Ayat (1) Pemeriksaan hewan sebelum dipotong adalah untuk daging sehat untuk konsumsi manusia. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Untuk memperoleh daging yang sehat pada dasarnya pemotongan hewan harus dilakukan di rumah pemotongan hewan. Namun demikian mengingat belum semua daerah mempunyai rumah pemotongan hewan maka pemotongan hewan dapat dilakukan ditempat pemotongan hewan lain yang ditunjuk oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II setempat. Ayat (4) Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 17

20 Pemotongan hewan yang dilakukan menyimpang dari ketentuan ayat (3) Pasal ini, semata-mata hanya untuk keperluan keluarga, agama, adat, dan bukan untuk mata pencaharian atau diperdagangkan. Ayat (5) Pekerja yang dimaksud dalam ayat ini adalah tenaga-tenaga yang langsung terlibat dalam pemotongan hewan (orang yang menyembelih, orang yang menguliti dan lain-lain). Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud penanganan dalam ayat ini antara lain pemotongan bagianbagian daging, pengangkutan, penyimpanan, dan manjanjakan daging pada saat penjualan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 18

21 Pasal 6 Yang dimaksud penanganan dalam pasal ini antara lain pendinginan, pasteurisasi, dan sterilisasi susu. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 8 Pasal 9 Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan timbulnya gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan terhadap masyarakat sekitarnya dan kesehatan ternak babinya sendiri. Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan mencegah kemungkinan timbulnya gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan terhadap masyarakat sekitarnya dan kesehatan ternak unggasnya sendiri. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Maksud dan tujuan pengawetan dalam pasal ini adalah semua usaha/kegiatan untuk mengendalikan, menghambat reksi enzyma dan mikroorganisme pembusuk. Sehingga bahan makanan tersebut dapat digunakan dengan aman dalam jangka waktu yang lebih lama. Dalam usaha/kegiatan pengawetan ini termasuk: penggunaan suhu rendah, suhu tinggi, proses pengeringan, dan bahan-bahan kimiawi dan zat tambahan lainya. Syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner dalam pasal ini adalah syarat-syarat kesehatan tentang: Bahan baku, bahan pengawet, bagan tambahan lainnya, sarana dan cara pengawetan serta cara pengepakan, penyimpanan dan pengangkutan hasil usaha/ kegiatan pengawetan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 19

22 Pasal 12 Penggunaan bahan hayati, antibiotika dan obat-obat lainnya pada hewan dapat meningkatkan residu dalam bahan makanan asal hewan yang bersangkutan, yang pada tingkat tertentu dapat membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu ditetapkan batas maksimum residu yang dapat diizinkan dalam bahan makanan asal hewan. Pasal 13 Syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner dalam pasal ini adalah syaratsyarat kesehatan tentang: Tempat atau lokasi pengumpulan dan penampungan serta lingkungannya Cara-cara pengawetan dan penyimpanan serta keterangan asal dari bahan asal hewan tersebut Pasal 14 Ayat (1) Bahwa tugas-tugas bidang kesehatan masyarakat veteriner sesuai dengan maksud Peraturan Pemerintah ini merupakan tugas pembantuan (medebewind) kepada Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II. Dengan demikian hanya pelaksanaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah sedangkan pembinaan dan hal-hal yang menyangkut masalah teknis tetap menjadi tanggung jawab dan sepenuhnya ditangan Pemerintah Pusat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Dalam hal pelaksanaan pengawasan yang nyata-nyata menyangkut bidang teknis higiene dan sanitasi akan dilakukan oleh dokter hewan ditunjuk dan dianggap cakap dalam bidang ini. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 20

23 Pasal 16 Ayat (1) Pengujian terhadap daging, telur, bahkan makanan asal hewan yang diawetkan dan bahan asal hewan dapat dilakukan bila hasil penentuan sebelumnya belum dapat memberikan keyakinan tentang kesehatan dari bahan-bahan tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Apabila laboratorium yang merupakan kelengkapan Dinas Peternakan Daerah Tingkat II setempat tidak tersedia perlengkapan yang memadai atau Dinas Peternakan setempat tidak memiliki laboratorium sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka pelaksanaan pengujian dapat dilakukan di laboratorium lain yang ditunjuk oleh Menteri. Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 21

24 Daerah bebas rabies dalam wilayah Negara Wilayah Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Untuk daerah tersebut dilarang memasukkan anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainya yang dapat menularkan rabies. Ayat (2) Izin pengecualian untuk memasukkan anjing, kucing, kera dari daerah rabies untuk keperluan umum dan pertahanan keamanan diberikan oleh Menteri atas dasar permohonan dari yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan kepentingan pertahanan dan keamanan misalnya anjing-anjing pelacak untuk pengamanan operasi/obyek militer, anjing pelacak untuk operasi kepolisian, dan petugas/instansi Bea dan Cukai misalnya operasi narkotika dll. Sedangkan anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainya untuk kepentingan pribadi dari anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tidak termasuk di dalam pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (2) ini. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies diselenggarakan dengan kerja sama dengan instansi lain, karena disamping rabies mempunyai akibat negatif terhadap manusia yang terjangkit dan masyarakat sekitarnya, juga pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies tersebut dapat disertai dengan suatu tindakan pemusnahan terhadap milik orang lain. Pasal 25 Anjing yang ada di bawah kewenangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia antara lain ialah anjing-anjing pelacak dalam satuan Brigade Anjing dalam Dinas Provost Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, anjing pelacak yang merupakan bagian dari Satuan Satwa POLRI. Untuk usaha pencegahan adanya rabies pada anjing tersebut termasuk pelaksanaan vaksinasi dilakukan oleh unsur Departemen Pertahanan dan Keamanan. Dalam hal-hal tertentu Departemen Pertahanan Keamanan dapat minta bantuan kepada Dinas Peternakan bilamana tenaga teknis untuk maksud tersebut belum dapat dipenuhi. Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 22

25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3253 Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 23

26 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUU 1977 TENTANG PENOLAKAN, PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN PENGOBATAN PENYAKIT HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MENIMBANG : a. Bahwa ternak sebagai sumber produksi untuk mencukupi kebutuhan manusia akan protein hewani merupakan salah satu bahan produksi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, kemakmuran serta kesejahteraan bangsa dan negara perlu dipelihara kelestariannya dan dikembangkan sebaik-baiknya; b. Bahwa usaha pemeliharaan dan peningkatan perkembangan hewan perlu dilindungi dari kerugian yang dapat ditimbulkan oleh berbagai macam penyakit hewan serta adanya penyakit yang dapat berpindah dari hewan kepada manusia; c. Bahwa atas dasar hal tersebut, maka usaha penolakan, pencegahan, pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan perlu dilakukan secara seksama dan diatur dengan sebaik-baiknya; MENGINGAT : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketentuan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis- Garis Besar Haluan Negara; 3. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok Peternakan Dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824); 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Di Daerah (Lembaga Negara Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah, Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomer 3037); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1973 tentang Perubahan, Persediaan, Peredaran Dan Pemakaian Vaksin, Sera Dan Bahan-Bahan Diagnostik Untuk Hewan (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 23); Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 24

27 MEMUTUSKAN : MENETAPKAN : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENOLAKAN, PENCEGAHAN, PEMBERATASAN, DAN PENGOBATAN PENYAKIT HEWAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Didalam peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia. 2. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang penolakan, pencegahan, pemberatasan dan pengobatan penyakit hewan. 3. Penolakan Penyakit Hewan adalah: a) Semua tindakan untuk mencegah masuknya sesuatu penyakit hewan dalam negeri ke dalam wilayah negara republik indonesia; b) Semua tindakan untuk mencegah masuknya penyakit hewan dari suatu wilayah pulau yang satu ke dalam wilayah/pulau yang lain dalam lingkungan negara republik indonesia. 4. Pencegahan penyakit hewan adalah semua tindakan untuk mencegah timbulnya, berjangkitnya dan menjalarnya panyakit hewan. 5. Pemberatasan penyakit hewan adalah semua tindakan untuk manghilangkan timbulnya/terjadinya, berjangkitnya dan menjalarnya kasus penyakit hewan. 6. Pengobatan penyakit hewan adalah semua tindakan untuk melaksanakan pemyembuhan penyakit hewan yang menular maupun yang tidak menular. 7. Pelabuhan hewan adalah pelabuhan laut, sungai, dan udara yang oleh Menteri ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan atau mengeluarkan hewan ternak bahkan asal hewan dan hasil bahan asal hewan. 8. Karantina hewan adalah tempat dan atau tindakan mengasingkan hewan ternak bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan agar supaya tidak menular kepada hewan/ternak yang sehat. 9. Pengawasan penyakit hewan adalah tindakan pemilihan dan pengawasan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau ahli pengawas yang ditunjuk oleh Menteri, untuk mendapatkan kepastian apakah seekor atau lebih hewan/ternak, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan bebas dari segala penyakit hewan. 10. Bahan asal hewan /ternak adalah bahan yang berasal dari hewan/ternak yang dapat diolah lebih lanjut. 11. Hasil bahan asal hewan / ternak adalah bahan asal hewan /ternak yang diolah dan dipergunakan untuk makan manusia, penyusunan makanan hewan dan bahan baku untuk industri dan farmasi. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 25

28 BAB II KEBIJAKSANAAN UMUM Pasal 2 Untuk menjamin wilayah Negara Republik Indonesia bebas secara lestari dari penyakit hewan, pemerintah mengambil tindakan-tindakan yang meliputi penolakan, pencegahan, pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan. Pasal 3 Dalam melaksanakan tindakan penolakan penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada pasal 2, maka setiap hewan/ternak, bahan asal hewan, hasil-hasil bahan asal hewan yang didatangkan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia harus disertai surat keterangan kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari negara asalnya. Pasal 4 1) Pemindahan hewan/ternak, bahkan asal hewan dan hasil bahan asal hewan dari suatu wilayah propinsi ke wilayah propinsi lainya dalam negara republik indonesia harus disertai surat keterangan kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu, dengan memenuhi tatacara karantina hewan. 2) Setiap orang harus mencegah timbulnya dan menjalarnya penyakit hewan yang dapat dibawa oleh hewan/ternak, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan dalam perjalanan atau pengangkutan antar pulau/wilayah sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 5 1) Setiap orang harus melaporkan adanya persangkaan atau adanya kasus kepada pejabat atau instansi yang berwenang. 2) Keharusan melapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan kewajiban bagi pemilik atau peternak, pejabat pamong praja, dan pejabat atau ahli yang karena tugasnya ada hubunganya dengan pengobatan dan perawatan penyakit hewan. BAB III WEWENANG PENGATURAN DAN PELAKSANAAN Pasal 6 1) Pelaksanaan tindakan-tindakan penolakan, pencegahan, pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan diatur lebih lanjut oleh menteri Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 26

29 2) Wewenang pengaturan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh menteri. 3) Wewenang pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilimpahkan oleh menteri kepada Gubernur kepala daerah. 4) Gubernur kepala daerah dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bertanggung jawab kepada Menteri. 5) Wewenang pelaksanaan atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap hewan/ternak milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia diserahkan kepada Menteri Pertahanan Keamanan. BAB IV PENGAWASAN Pasal 7 Menteri mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tindakan-tindakan penolakan, pencegahan, pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada pasal 6 dengan sebaik-baiknya. Pasal 8 1) Menteri menetapkan jenis-jenis penyakit hewan dan wilayah bebas. 2) Menteri menetapkan pelabuhan hewan setelah berkonsultasi dengan Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pelabuhan. Pasal 9 Menteri menunjuk ahli pengawas untuk diikutsertakan dalam tindakan-tindakan penolakan, pencegahan, pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan. BAB VI KATENTUAN PERALIHAN Pasal 11 1) Hal-hal yang belum cukup diatur di dalam peraturan pemerintah ini akan diatur lebih lanjut oleh Menteri atau bersama-sama dengan Menteri lain yang bersangkutan. 2) Selama ketentuan pelaksana peraturan pemerintah ini belum ditetapkan, maka ketentuan yang ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa peraturan pemerintah ini. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 27

30 BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Peraturan pemerintah ini disebut peraturan pemerintah tentang penyakit hewan. Pasal 13 Peraturan pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar supaya setiap orang mengetauhinya, memerintahkan pengudangan peraturan pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Diundangkan di Jakarta Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 Maret 1977 Pada Tanggal 16 Maret 1977 MENTERI/SEKERTARIS NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd ttd SUDHARMONO, S.H. S O E H A R T O LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1967 NOMOR 20 Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 28

31 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1977 TENTANG PENOLAKAN, PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN PENGOBATAN PENYAKIT HEWAN I. UMUM Pemerintah menyadari akan pentingnya hewan/ternak sebagai salah satu sumber kemakmuran, sehingga oleh karena itu adalah menjadi kewajiban pemerintah untuk memelihara dan megembangkan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat dicapai maksud penggunaan hewan/ternak secara lestari. Pada umumnya sampai saat ini, mengenai pemeliharaan hewan/ternak masih banyak dipergunakan peraturan-peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda, yang dalam beberapa hal sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dewasa ini, baik ditinjau dari segi teknis biologis, maupun dari segi sosial ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadakan pengaturan yang mengarah kepada kelestarian sumber kemakmuran yang berwujud hewan/ternak yang disesuaikan dengan perkembangan keadaan secara Nasional dan Internasional. Pengaturan tersebut meliputi penolakan masuknya penyakit hewan ke dalam wilayah negara republik indonesia, antar wilayah Indonesia, pencegahan timbulnya penyakit hewan, pemberantasan penyakit hewan dan pengobatan hewan/ternak yang menderita penyakit. Untuk keperluan pelaksanaan usaha-usaha tersebut diperlukan tenaga ahli, sarana, prasarana dan organisasi serta tatakerja yang sebaik-baiknya. Berhubungan penyakit hewan dapat cepat menular secara luas tanpa mengenal batas lokal, regional dan batas negara, yang disebabkan oleh sifatnya penyakit itu sendiri dan oleh perkembangan lalu-lintas perhubungan yang modern dan cepat, sehingga oleh karena itu pemerintah bertanggung jawab atas masalah penolakan, pencegahan, pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan/ternak dan apabila perlu untuk mempercepat pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut, dapat dilimpahkan wewenang pelaksanaannya kepada Pemerintah Daerah tingkat I II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 dan 2 Cukup jelas Angka 3 Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 29

32 Yang dimaksud dengan tindakan penolakan penyakit hewan, ialah mencegah penularan penyakit hewan, karena penularan itu dapat secara langsung dan tidak langsung yaitu melalui hewannya sendiri, oleh manusia, melalui bahan asal hewan, melalui hasil bahan asal hewan, melalui lalat yang diperlukan untuk menyertai hewan dan melalui bahan makanan hewan. Angka 4 sampai dengan 9 Cukup jelas Angka 10 Termasuk dalam pengertian bahan asal hewan ialah daging, susu, telur, bulu, tanduk, kuku, kulit, tulang, mani, madu, dan hasil dari ikan. Angka 11 Termasuk dalam pengertian hasil bahan asal hewan ialah: Bahan asal hewan yang untuk makanan manusia antara lain daging yang diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan, misalnya: daging rebus, dendeng, susu kental manis, krupuk kulit, telur dan madu. Bahan asal hewan guna keperluan industri seperti kulit, bulu hewan, kuku dan tanduk, tulang, darah, usus, dan pupuk hewan. Cukup jelas Cukup jelas Pasal 2 Pasal 3 Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kasus ialah suatu keadaan, dimana terdapat seekor atau lebih hewan/ternak yang terjangkit oleh suatu penyakit hewan. Ayat (2) Cukup jelas Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 30

33 Pasal 6 Ayat (1) Dalam hal ini Menteri akan mengatur lebih lanjut tentang: Pelaksanaan usaha pencegahan dan pengawasan timbulnya penyakit hewan, sehingga dapat terjamin keselamatan hewan secara lestari; Pelaksanaan pemberantasan penyakit hewan yang memuat penyakit dan caracara pencegahan, pemberantasan dan pemusnahan penyakit hewan; Pelaksanaan pengobatan dan penyakit hewan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Ayat (2) Pasal 8 Yang dimaksud dengan wilayah bebas (free zone) adalah suatu daerah terbatas yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan peraturan pemerintah ini, dimana hewan/ternak ada dibawah pengawasan instansi yang berwenang yang ditunjuk oleh menteri dan di dalam daerah tersebut selama waktu tertentu tidak terdapat sesuatu penyakit hewan. Cukup jelas Pasal 9 Yang dimaksud dengan ahli pengawas adalah dokter hewan, baik yang menjabat pegawai negeri maupun yang ditunjuk khusus untuk melakukan pengawanan kesehatan hewan. Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 31

34 Cukup jelas Cukup jelas Pasal 12 Pasal 13 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPULIK INDONESIA NOMOR 3101 Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 32

35 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 745/Kpts/TN.240/12/1992. TENTANG PERSYARATAN DAN PENGAWASAN PEMASUKAN DAGING DARI LUAR NEGERI MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencukupi kebutuhan daging di dalam negeri dan meningkatkan gizi masyarakat serta upaya menunjang kunjungan wisatawan mancanegara, dipandang perlu membuka peluang pemasukan daging dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia; b. bahwa untuk memperlancar arus daging dari luar negeri tersebut agar secepatnya sampai pada konsumen dalam keadaan mutu yang baik, dipandang perlu untuk menyederhanakan proses penanganan tindakan karantina dan pemeriksaan mutunya; c. bahwa untuk mengurangi resiko masuknya penyakit hewan karantina dan melindungi konsumen dari penyakit zoonosa serta menjamin kelayakan dan ketentraman batin masyarakat dalam mengkonsumsi daging yang berasal dari luar negeri, dipandang perlu melakukan pengaturan yang bersifat teknis terhadap pemasukan daging tersebut; d. bahwa atas dasar hal- hal tersebut diatas, dipandang perlu menetapkan ketentuan tentang persyaratan dan pengawasan pemasukan daging dari luar negeri dengan Surat Keputusan. Mengingat : 1. Undang-Udang Nomor 6 Tahun 1967; 2. Undang-Udang Nomor 16 Tahun 1992; 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1977; 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1983; 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 jo Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1990; Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 33

36 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 1986; 7. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 422/Kpts/LB.720/6/-1988: 8. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 560/Kpts/01.210/8/ Memperhatikan : 1. Intruksi Presiden Nomor 2 Tahun Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 200/Kp/VI/92; MEMUTUSKAN : Menetapkan : SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PERSYARATAN DAN PENGAWASAN PEMASUKAN DAGING DARI LUAR NEGERI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam surat keputusan ini yang dimaksud dengan: a. Daging adalah bagian-bagian dari hewan yang di dapat dengan cara menyembelih dan atau dibunuh yang lazim di makan oleh manusia, berupa karkas, setengah karkas, potongan daging bertulang lainya, daging tanpa tulang, perutan, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain dari pada pendinginan; b. Nomor kontrol veteriner adalah registrasi rumah pemotongan hewan; perusahaanperusahaan pengolahan atau usaha-usaha lainnya yang bergerak dalam bidang pengumpulan, penampungan, penyimpanan dan pengawetan bahan asal hewan yang diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner di suatu negara; c. Penyakit hewan menular utama adalah penyakit-penyakit yang mempunyai daya penularan cepat dan berdampak sosial ekonomi atau yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat yang serius serta merupakan penyakit yang penting di dalam perdagangan hewan serta bahan asal hewan secara internasional; d. Kesehatan masyarakat veteriner yang disingkat kesmavet adalah segala unsur yang berhubungan dengan hewan dan bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. e. Pemasukan daging adalah pemasukan daging dari luar negeri ke wilayah negara Republik Indonesia. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 34

37 f. Daging asal luar negeri adalah daging yang dimasukkan dari luar negeri ke wilayah negara Republik Indonesia. Pasal 2 1) Pemasukan daging dapat dilakukan oleh importir umum sepanjang memenuhi ketentuan mengenai jenis dan kualitas, persyaratan teknis penolakan penyakit hewan dan kesehatan mayarakat veteriner sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku, persyaratan keamanan dan ketentraman batin konsumen. 2) Importir dan/atau pengedar daging asal luar negeri, harus mencegah kemungkinan timbul dan menjalarnya penyakit hewan yang dapat ditularkan malalui daging yang diimpor dan/atau diedarkannya, serta ikut bertanggung jawab atas keamanan dan ketentraman batin konsumen. BAB II SYARAT PEMASUKAN DAGING Pasal 1 Pemasukan daging harus memenuhi persyaratan teknis yang terdiri dari persyaratan: a. Negara asal; b. Rumah potong asal daging; c. Kualitas daging; d. Cara pemotongan; e. Pengemasan; f. Pengangkutan; dan disertai surat keterangan kesehatan dan dokumen lainya dari negara asal. Pasal 4 Daging asal luar negeri, harus berasal dari suatu negara yang: a. Sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir dinyatakan bebas dari penyakit hewan menular utama Mulut Dan Kuku (Foot And Mouth Disease) dan Riderpest: b. Dalam waktu 3 (tiga) tahun terakhir secara berturut-turut, negara tersebut tidak melakukan vaksinasi terhadap penyakt hewan menular utama Mulut dan Kuku dan Riderpest. c. Telah memiliki sistem pengawasan kesehatan daging baik di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) maupun dalam peredaran sekurang-kurangnya memenuhi standart dan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku di Indonesia. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 35

38 Pasal 5 1) Pemasukan daging babi, disamping harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, negara asal daging yang bersangkutan harus: a. Sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir telah dinyatakan bebas dari penyakit Swine Vasicular Disease, Teschen Disease dan African Swine Fever; b. Berasal dari suatu peternakan yang sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir sudah dinyatakan bebas dari Transmible Gastro Enteritis (TGF), Trichinosis dan Cysticercosis. 2) Pemasukan daging unggas selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf c. Negara asal daging unggas yang bersangkutan harus sekurangkurangnya dalam waktu 90 hari terakhir dinyatakan tidak sedang mewabah. 3) Pemasukan daging itik, disamping harus memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut dalam ayat (2), daging itik yang bersangkutan harus berasal dari suatu peternakan yang dalam jangka waktu 90 hari terakhir telah dinyatakan bebas dari penyakit Duck Viral Hepatitis dan Duck Viral Enteritis. Pasal 6 Daging asal luar negeri harus berasal dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang berasal di bawah pengawasan dokter hewan yang berwenang di negara asal, dan RPH tersebut telah diakui oleh pemerintah Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya setara dengan standart RPH klas A di Indonesia. Pasal 7 Daging asal luar negeri harus disertai Surat Keterangan Kesehatan dari Dokter Hewan yang berwenang di negara asal, yang menyatakan bahwa: 1. situasi penyakit di negara asal dinyatakan bebas dari penyakit hewan menular utama yang dapat menulari jenis ternak asal daging yang bersangkutan; 2. daging tersebut berasal dari ternak yang lahir dan dipelihara atau telah berada di negar tersebut sekurang-kurangnya selama 4 (empat) bulan; 3. daging tersebut berasal dari ternak yang dipotong di RPH seperti tersebut pada pasal 6 serta telah lulus dari pemeriksaan ante mortem dan post mortem, serta diproses menurut persyaratan sanitasi sehingga layak untuk dikonsumsi manusia dan tidak berbahaya sebagai bahan penularan penyakit; 4. daging tersebut tidak mengandung pengawet atau bahan lain yang dapat membahayakan kesehatan manusia; 5. masa penyimpanan daging tersebut tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sejak pemotongan ternak hingga batas waktu pemberangkatan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 36

39 Pasal 8 1) Pemasukan daging untuk keperluan konsumsi umum atau diperdagangkan harus berasal dari ternak yang pemotonganya dilakukan menurut syarat Islam dan dinyatakan dalam sertifikal halal. 2) Ketentuan pada (1) tidak berlaku bagi pemasukan daging babi, daging untuk keperluan khusus dan terbatas, serta daging untuk pakan hewan yang dinyatakan secara tertulis oleh pemilik dan atau pengguna. Pasal 9 Daging asal luar negeri harus dikemas, dan kemasan daging tersebut harus: 1. asli dari negara asal dan diberi segel; 2. mencantumkan Nomor Kontrol Veteriner; 3. mencantumkan tanggal pemotongan. 4. mencantumkan jenis dan kualitas daging dan peruntukannya. Pasal 10 1) Daging asal negeri harus diangkut secara langsung dari negara asal ke pelabuhan tujuan pemasukan di Indonesia, dan tidak boleh diturunkan di negara transit. 2) Pemasukan daging dengan cara transit di atau reekspor melalui negara lain, dapat disetujui dengan pertimbangan khusus, setelah diadakan penilaian dan pengamatan terlebih dahulu, serta tidak bertentangan dengan pasal 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9 surat keputusan ini. Pasal 11 1) Daging asal luar negeri yang diangkut dengan kontainer, maka kontainer tersebut harus disegel oleh dokter hewan yang berwenang, dan segel tersebut hanya dapat dibuka oleh petugas Karantina Hewan pada tempat pemasukan. 2) Daging yang mempunyai Sertifikat Halal tidak boleh dicampur dalam satu wadah atau kontainer dengan daging yang tidak mempunyai Sertifikat Halal. 3) Selama dalam pengangkutan, temperatur dalam kontainer atau alat angkut harus dijaga stabil, untuk daging segar berkisar antara 0 0 C sampai dengan 4 0 C, dan untuk daging beku berkisar antara 18 0 C sampai dengan 22 0 C dibawah nol. Pasal 12 Daging asal luar negeri untuk keperluan pakan hewan harus: a) Diberi zat berwarna; b) Diberi tanda yang berbunyi tidak layak dikonsumsi manusia pada kemasannya; c) Diangkut dalam wadah atau kontainer yang terpisah dengan daging untuk konsumsi manusia. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 37

40 BAB III TATA CARA PEMASUKAN DAGING Pasal 13 1) Setiap orang atau badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai importir umum dapat melakukan pemasukan daging dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. 2) Direktur Jendral Peternakan melakukan penilaian terhadap situasi penyakit, sistem pengawasan kesehatan dan tata cara pemotongan daging, RPH dan Perusahaan Pengolahan Daging di negara atau bagian suatu negara asal daging, serta jenis, kwalitas, dan peruntukan daging yang akan dimasukkan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. 3) Penilaian oleh Direktur Peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan persyaratan teknis tersebut pada Bab II dan dapat disesuaikan menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat dilaksanakannya penilaian. 4) Untuk keperluan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pada importir mengajukan permohonan rencana pemasukan daging secara tertulis kepada Direktur Jendral Peternakan dengan mencantumkan Negara Asal, Nama, Alamat dan Nomor Kontrol Veteriner RPH atau Perusahaan Pengolahan Daging daerah pemasukan, jenis dan peruntukan, serta jumlah dan rencana pemasukan daging serta melampirkan data perusahaan dan data teknis yang dipersaratkan. Pasal 14 1) Direktur Jendral Peternakan setelah menerima permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (4), paling lama dalam waktu 14 (empat belas) hari telah memberikan jawaban berupa penolakan atau persetujuan. 2) Dalam hal Direktur Jendral Peternakan menyetujui permohonan pemasukan daging tersebut pada ayat (1), maka Direktur Jendral Peternakan menerbitkan surat persetujuan pemasukan berdasarkan permohonan yang ada dan rencana pemasukan dalam kurun waktu tertentu dan mencantumkan persyaratan kesehatan hewan atau kewajiban lain yang harus dipenuhi oleh importir. 3) Dalam hal Direktur Jendral Peternakan menolak permohonan pemasukan daging dari luar negeri, maka Direktur Jendral Peternakan menerbitkan surat penolakan pemasukan dengan mencantumkan alasan-alasan penolakannya. 4) Tembusan surat persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada Direktorat Jendral Perdagangan Luar Negeri, Direktorat Jendral Bea dan Cukai, Kepala Dinas Peternakan Propinsi Dati I setempat, Kepala Pusat Karantina Pertanian, dan Kepala Balai Karantina Hewan setempat. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 38

41 Pasal 15 Pemasukan daging dari negara-negara yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 4 dan Pasal 5 kedalam wilayah Indonesia yang berupa barang bawaan dan untuk keperluan sendiri serta jumlahnya tidak melebihi 10 kg untuk setiap orang, tidak perlu mengajukan permohonan kepada dan mendapat persetujuan dari Direktorat Jendral Peternakan, tetapi tetap dikenakan tindakan karantina dan pemeriksaan teknis lainya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pasal 16 1) Setiap pemasukan daging harus dilaporkan oleh pemiliknya kepada petugas Karantina Hewan pada tempat pemasukan untuk dikenakan tindakan karantina, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karantina yang berlaku. 2) Apabila tindakan karantina dilakukan diluar tempat pemasukan, maka Kepala Pusat Karantina Pertanian menetapkan tempat penyimpanan daging yang telah memenuhi persyaratan yang disediakan oleh importir, untuk ditetapkan sebagai instalasi karantina dalam melakukan tindakan karantina. 3) Tempat penyimpanan daging yang ditetapkan sebagai instalasi sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah mendapatkan ijin sebagai tempat penyimpanan daging dari Dinas Peternakan Daerah Tingkat I setempat. 4) Penetapan instalasi karantina sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memerlukan rekomendasi lagi dari Dinas Peternakan setempat. 5) Ketentuan tersebut pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga untuk pemasukan daging antar area di dalam wilayah negara Republik Indonesia. Pasal 17 Disamping dikenakan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam pasal 16, terhadap daging asal luar negeri dilakukan pemeriksaan sebagai berikut: 1. pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan dokumen, surat persetujuan pemasukan daging dan surat keterangan halal. 2. pemeriksaan nomor kontrol veteriner dan tanggal pemotongan; 3. pemeriksaan organoleptik dengan cara: a. mengambil contoh dengan metode pengambilan contoh acak sederhana (random sampling) yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan organoleptik maliputi: bau, warna, dan konsistensi dengan cara melihat, mencium, meraba dan apabila dianggap perlu dengan melakukan penyayatan dalam batas yang wajar, menurut prinsip-prinsip kesehatan masyarakat veteriner. b. Menutup kembali kemasan yang telah dibuka dan diberi segel setelah selesai pemeriksaan organoleptik sebagaimana dimaksud pada huruf a. 4. pengambilan contoh seperti butir a harus dilakukan langsung oleh Dokter Hewan Karantina. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 39

42 5. dilanjutkan dengan pengujian laborataris (pengukuran ph, kebusukan dan pencemaran mikrobiologi) apabila dalam pemeriksaan organoleptik terdapat kalainan, dan selama pengujian Dokter Hewan Karantina dapat menahan seluruh atau sebagian kontainer; 6. melaporkan hasil pengujian laboratorium kepada Direktur Jendral Peternakan dan Kepala Balai Karantina Hewan, apabila ditemukan adanya daging yang tidak layak dikonsumsi. Pasal 18 1) Daging asal luar negeri dibebaskan untuk dapat dikeluarkan dari instalasi Karantina Hewan, apabila semua tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, telah dilaksanakan serta tidak ditemukan hewan menular, serta dianggap layak untuk dikonsumsi manusia. 2) Pembebasan daging asal luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai sertifikat pelepasan (surat keterangan kesehatan daging) dengan menambahkan penjelasan bahwa daging tersebut telah dilakukan pemeriksaan ulang (herkeuring) sehingga layak untuk dikonsumsi manusia. 3) Sertifikat pelepasan daging (surat keterangan kesehatan daging) tersebut pada ayat (2) disamping kepada pemilik daging dan tembusannya dikirimkan kepada Kepala Dinas Peternakan Dati I yang bersangkutan. Pasal 19 Pemasukan daging yang tidak memenuhi ketentuan pasal 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 dan 16 ayat (1) harus segera ditolak atau dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. BAB IV PENGAWASAN PEREDARAN DAGING ASAL LUAR NEGERI Pasal 20 1) Pengawasan peredaran daging asal luar negeri yang telah dibebaskan dari tindakan karantina dilakukan oleh Dinas Peternakan Dati II di tempat-tempat penyimpanan, penjajaan, dan alat angkut dengan memperhatikan petunjuk Menteri. 2) Pengawasan peredaran daging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mengamankan kepentingan konsumen dan dilakukan secara berkala atau sewaktuwaktu apabila ditemui adanya kecurigaan terhadap penyimpangan persyaratan teknis yang telah ditetapkan. 3) Kegiatan pengawasan peredaran daging asal luar negeri meliputi pemeriksaan daging, dan pemeriksaan tempat penyimpanan, tempat penjajaan serta alat angkutnya. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 40

43 4) Pengawasan peredaran daging asal luar negeri dilakukan oleh Dokter Hewan Pemerintah yang ditunjuk oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas usul Kepala Dinas Peternakan Daerah Tingkat II yang bersangkutan. 5) Dokter hewan yang ditunjuk sebagai pengawas peredaran daging sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus memeliki sertifikat sebagai pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Pasal 21 1) Pemeriksaan daging asal luar negeri meliputi pemeriksaan kesehatan dan kelayakan serta pengujian laboratoris yang dilakukan 4 (empat) kali dalam setahun secara acak sederhana (random sampling) berdasarkan importirnya, negara asal, jenis daging dan merk dagang ditempat penyimpanan, pengangkutan, dan/atau penjajaan. 2) Pelaksanaan pemeriksaan kesehatan dan kelayakan daging dilakukan secara organoleptik sedangakan pengujian laborataris dilakukan terhadap ph daging, kebusukan, pencemaran, mikro-biologi, kandungan residu dan uji lainnya yang dianggap perlu. Pasal 22 1) Pemeriksaan terhadap tempat penyimpanan, penjajaan dan alat angkut daging asal luar negeri, meliputi pemeriksaan phisik, higiene, sanitasi dan persyaratan teknis serta administrasi lainnya, yang dilakukan sekali dalam setiap tahun. 2) Persyaratan teknis dan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : 1.Importir dan/atau pengedar daging asal luar negeri harus telah melaporkan fasilitas tempat penyimpanan, dan / atau tempat penjajaan, dan / atau alat angkut daging yang akan dipergunakan. 2.Suhu untuk daging segar dingin harus berkisar antara 0 0 C sampai dengan 4 0 C dan untuk daging beku antara 18 0 C sampai dengan 22 0 C dibawah nol. 3.Penyimapanan, pengangkutan dan penjajaan, daging asal luar negeri yang bersertifikat halal dan/atau yang untuk keperluan pakan hewan. Pasal 23 1) Pengawasan peredaran daging asal luar negeri melaporklan hasil pemeriksaan daging dan tempat penyimpanan, alat angkut dan penjajaan kepada Kepala Dinas Peternakan Daerah Tingkat II. 2) Dinas Peternakan melaporkan hasil pengawasan peredaran daging asal luar negeri kapada Direktur Jenderal Peternakan, Kepala Dinas Peternakan Daerah tingkat I dan Kepala Pusat Karantina Pertanian sekali setiap tahun. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 41

44 Pasal 24 Apabila di dalam wilayah Dearah Tingkat II tidak ada atau belum dibentuk Dinas Peternakan Daerah Tingkat II, maka pelaksanaan peredaran daging sebagaimana di maksud dalam Surat Keputusan ini dilakukan oleh Dinas Peternakan Daerah Tingkat I. BAB V PENUTUP Pasal 25 Dengan ditetapkannya surat keputusan ini tidak mengurangi : 1. Berlakunya ketentuan karantina hewan kecuali yang secara tegas diatur lain dalam surat keputusan ini; 2. Hak dan wewenang Pemerintah Daerah dalam mengatur dan memungut retribusi atas pemasukan daging asal luar negeri. Pasal 26 Dengan berlakunya surat keputusan ini maka segala ketentuan yang bertentangan dengan surat keputusan ini dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 Surat keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di J a k a r t a Pada tanggal 30 desember 1992 Menteri Pertanian, Ir. W a r d o j o SALINAN Surat Keputusan ini disampaikan Kepada Yth : 1. Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri dan Pengawasan Pembangunan; 2. Menteri Dalam Negeri; 3. Menteri Kesehatan; Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 42

45 4. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan; 5. Inspektur Jenderal Departemen Pertanian; 6. Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan; 7. Sekeretaris Jenderal Departemen Pertanian; 8. Para Direktur Jenderal dan Kepala Badan Lingkungan Departemen Pertanian; 9. Para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia; 10. Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian diseluruh Indonesia Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 43

46 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 471/Kpts/TN.530/7/2002 TENTANG PELARANGAN PENGGUNAAN TEPUNG DAGING, TEPUNG TULANG, TEPUNG DARAH, TEPUNG DAGING DAN TULANG (TDT) DAN BAHAN LAINNYA ASAL RUMINANSIA SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA MENTERI PERTANIAN Menimbang : a. bahwa berdasarkan bukti ilmiah telah dinyatakan adanya keterkaitan antara penyebab penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) dengan Creutzfelt Jacob Disease Varian baru (nv CJD) yang menyerang manusia; b. bahwa resiko ternak ruminansia menjadi tertular BSE adalah melalui pemberian pakan ternak tepung daging, tepung tulang, tepung darah, tepung daging dan tulang (TDT) atau Meat dan Bone Meal (MBM) serta bahan lainnya asal ruminansia atau penggunaan MBM sebagai pupuk tanaman yang mencemari lingkungan sekitarnya atau melalui embrio ternak ruminansia c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, untuk mencegah terjadinya resiko penularan BSE pada ternak ruminansia ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan sekalighus dalam rangka mempertahankan wilayah Indonesia tetap bebas dari BSE, maka dipandang perlu menetapkan pelarangan penggunaan tepung daging, tepung tulang, tepung darah, TDT/MBM serta bahan lainnya asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia dengan Keputusan Menteri Pertanian Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 44

47 Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang ketentuan ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan lembaran Negara Nomor Undang undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara nomor 3482) 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara nomor 3556) 4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentan Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara nomor 3817) 5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan, dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara nomor 3101) 6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara nomor 4002) 7. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Unit Pembentukan Kabinet Gotong Royong. 8. Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan Tugas, Fungsi kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen. 9. Keputusan Presiden Presiden Nomor 109 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Esalon I Departemen; 10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 284/Kpts/OP 1983 tentang penunjukan Pejabat Penerima Wewenang mengatur tindakan Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan; 11. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 01/Kpts/OT.210/1/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor 354 1/Kpts/OT.210/6/ Keputusan Menteri Pertanian Nomor 99/Kpts/OT 210/2/2001 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/Kpts/OT.210/7/2002; Memeperhatikan : 1. Surat Edrana Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No. TU.340/28/E/ tanggal 24 januari 2002 tentang Penghentian Sementara Pemasukan Ruminansia dan Produknya dari Negara Tertular BSE; 2. Notifikasi Kebijakan Darurat (Notification of Emergency Measures) ke World Trade Organization/WTO mengenai Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 45

48 penghentian sementara importasi hewan dan produk hewan termasuk TDT/MBM dari negara-negara tertular BSE ke Indonesia tanggal 12 Februari Keputusan Eropean Commission yang melarang penggunaan TDT/MBM dan protein hewan yang dipelihara didarat lainnya sebagai pakan ternak sesuai Council Decission 2000/766/EC dan 2001/9/EC tanggal 1 Januari International Animal Helth Code OIE tentang persyaratan lalu lintas hewan dan produk hewan yang terkait dengan BSE; 5. Hasil kesepakatan bersama antara negara-negara ASEAN pada pertemuan ke IX (ASEAN Working Group on Livestock/ASEAN WGL) yang diadakan di Laos pada tanggal 8-9 Agustus 2001 yang merekomendasikan pelarangan penggunaan TDT/MBM sebagai bahan makanan ternak ruminansia MEMUTUSKAN Menetapkan : KESATU KEDUA KETIGA : Melarang penggunaan tepung daging, tepung tulang, tepung darah, tepung daging, dan tulang (TDT/MBM) dan bahan lainnya asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia sesuai keputusan ketetapan Internasional Aniamal Health Code OIE. :Pelaksanaan pengawasan terhadap pelarangan penggunaan tepung daging, tepung tulang, tepung darah, tepung daging, dan tulang dan bahan lainnya asal ruminansia sebagai pakan ternak ruminansia dilakukan sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 oleh Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi peternakan/ Kesehatan Hewan di Kabupaten/ Kota setempat sesuai kewenangannya : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal yang ditetapkan Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 juli 2002 MENTERI PERTANIAN, PROF. DR. IR. BUNGARAN SARAGIH, M.Ec Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 46

49 Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth : 1. Menteri Perindustrian dan Perdagangan 2. Menteri Kesehatan; 3. KEPALA Badan Pengawasan Obat dan Makanan; 4. Para Pejabat Esalon I Lingkup Departemen Pertanian; 5. Para Gubernur Propinsi di seluruh Indonesia; 6. Para Kepala Dinas Perternakan atau Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi seluruh Indonesia 7. Kepala Balai Penyidik dan Pengujian Veteriner Wilayah I-VII; 8. Kepala Balai Pengujian Pakan Ternak; 9. Kepala Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 47

50 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 445/Kpts/TN.540/7/2002 TENTANG PELARANGAN PEMASUKAN TERNAK RUMINANSIA DAN PRODUKNYA DARI NEGARA TERTULAR PENYAKIT BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPHATY (BSE) MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan bukti ilmiah telah dinyatakan adanya keterkaitan antara penyebab penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) dengan Creutzfelt Jacob Disease Varian baru (nv CJD) yang menyerang manusia; b. bahwa berdasarkan data Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE); jumlah negara yang tertular BSE dilaporkan mengalami peningkatan disamping adanya penambahan jenis bahan beresiko yang dapat menularkan penyakit BSE. c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, untuk mencegah terjadinya resiko penularan BSE pada ternak ruminansia ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia (NKRI) dan sekaligus dalam rangka mempertahankan wilayah Indonesia tetap bebas dari BSE, maka dipandang perlu menetapkan pelarangan pemasukan ternak ruminansia dan produknya dari negara tertular kedalam wilayah NKRI denga Keputusan Menteri Pertanian. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 48

51 1. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang ketentuan ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan lembaran Negara Nomor Undang undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara nomor 3482) 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara nomor 3556) 4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentan Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara nomor 3817) 5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan, dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara nomor 3101) 6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara nomor 4002) 7. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Unit Pembentukan Kabinet Gotong Royong. 8. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 284/Kpts/OP 1983 tentang penunjukan Pejabat Penerima Wewenang mengatur tindakan Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan; 9. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 01/Kpts/OT.210/1/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor 354 1/Kpts/OT.210/6/ Keputusan Menteri Pertanian Nomor 99/Kpts/OT 210/2/2001 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian juncto Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/Kpts/OT.210/7/2002; Memeperhatikan : 1. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No. TU.340/28/E/ tanggal 24 januari 2002 tentang Penghentian Sementara Pemasukan Ruminansia dan Produknya dari Negara Tertular BSE; 2. International Animal Health Code OIE tentang persyaratan lalu lintas hewan dan produk hewan yang terkait dengan BSE. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 49

52 3. Notifikasi Kebijakan Darurat (Notification of Emergency Measures) ke World Trade Organization/WTO mengenai penghentian sementara importasi hewan dan produk hewan termasuk TDT/MBM dari negara-negara tertular BSE ke Indonesia tanggal 12 Februari 2001 MEMUTUSKAN Menetapkan : KESATU : Melarang pemasukan ternak ruminansia dan produknya dari negaranegara tertyular BSE. KEDUA : Jenis ternak ruminansia dari produknya yang dilarang untuk dimasukkan kewilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini. KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal yang ditetapkan Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 15 juli 2002 MENTERI PERTANIAN PROF. DR. IR BUNGARAN SARAGIH, M.Ec. Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth : 1. Menteri Perindustrian dan Perdagangan 2. Menteri Kesehatan; 3. KEPALA Bbadan Pengawasan Obat dan Makanan; 4. Para Pejabat Esalon I Lingkup Departemen Pertanian; 5. Para Gubernur Propinsi di seluruh Indonesia; 6. Para Kepala Dinas Perternakan atau Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi seluruh Indonesia 7. Kepala Balai Penyidik dan Pengujian Veteriner Wilayah I-VII; 8. Kepala Balai Pengujian Pakan Ternak; 9. Kepala Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 50

53 Lampiran Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 445/Kpts/TN.540/7/2002 Tanggal : 15 Juli 2002 Daftra ternak ruminansia dan Produknya yang dilarang masuk ke Indonesia : 1. Ruminansia a. Sapi b. Kambing c. Domba 2. Bahan asal Ruminansia a. Daging dan produk olahannya dari ruminansia. b. Tulang c. Offal d. SRM (Specified Risk Material : otak, mata, tonsil, syaraf tulang belakang, usus, kelenjar, limpa dan produk yang mengandung syaraf e. Embrio yang digunakan untuk perbibitan (breeding) f. Semen g. Fetal bovine serum h. Gut/bladder/stomach dari ruminansia untuk casing sosis i. Hati j. Ekstrak dan juice daging 3. Hasil bahan Ruminansia a. Meat and bone meal (MBM) yang berasal dari ruminansia b. Blood meal c. Protein meal d. Tankage e. Fat dan turunannya f. Gelatin yang terbuat dari tulang g. Collagen yang terbuat dari tulang h. Tallow yang mengandung protein i. Petfood yang terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari ruminansia MENTERI PERTANIAN PROF. DR. IR BUNGARAN SARAGIH, M.Ec Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 51

54 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN MENTERI PERTANIAN Nomor : TN.510/94/A/IV/2001 TENTANG TINDAKAN PENOLAKAN PENCEGAHAN MASUKNYA PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK) I. LANDASAN 1. Berdasarkan laporan dari Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office Internationale des Epizooties/OIE), bahwa sejak awal tahun 2000 sampai saat ini telah terjadi wabah penyakit hewan menular Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di beberapa negara Asia, Afrika, Amerika Serikat dan Uni Eropa. 2. Dengan berpedoman pada ketentuan dari OIE (OIE Animal Health Code) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu : a. Undang-undnag No.6 Tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. b. Undang-undnag No.16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. c. Undang-undng No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen d. Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1977 tentang Penolakan dan Pencegahan Penyakit Hewan e. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. f. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000 tentang Karatina Hewan g. Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1997 tentang Karantina Bahan Baku Kulit. h. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 487/Kpts/Um/6/1981 tentang Pencegahan Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan i. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 422/Kpts/LB.720/6/1988 tentang Peraturan Karantina Hewan. 3. Maka dalam rangka penolakan dan pencegahan masuknya PMK ke wilayah Indonesia telah ditetapkan tindakan pengamanannya. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 52

55 II. TINDAKAN PENGAMANAN A. PELANGGARAN MENYELURUH Mengingat saat ini beberapa negara Uni Eropa (Inggris, Irlandia, Perancis dan Belanda) serta di negara-negara Amerika Selatan (Uruguay, Peru, Brasil dan Argentina) telah terjadi wabah PMK, telah dietetapkan bahwa jeni-jenis komoditi hewan, bahan dan hasil hewan serta bahan-bahan ikutannya yang berasal dari seluruh Negara Uni Eropa dan negara-negara Uruguay, Peru, Brasil dab Argentina dilarang dimasukkan ke Indonesia. Komoditas hewan, bahan dan hasil hewan serta bahan ikutannya tersebut, sebagai berikut : 1. Hewan, bahan asal dan hasil hewan serta bahan ikutannya a. Hewan sejenis ruminansia, babi dan sebangsanya. b. Hewan kesayangan seperti anjing, kucing, kuda dan sebagainya juga hewan percobaan seperti cavia, kelinci, hamster dan mencit. c. Hewan jenis unggas termasuk burung. d. Bahan asal hewan yaitu daging, susu, semen, embrio dan telur. e. Bahan hasil hewan yaitu kulit, tulang, bulu, wol, tanduk dan kuku yang mentah atau sudah diolah f. Organ tubuh, kelenjar, protein dan ekstraks dari ruminansia dan babi g. Bahan ikutan hewan seperti kotoran hewan dan pupuk asal hewan. 2. Bahan baku pakan dan pakan hewan a. Bahan baku pakan berasal dari hewan yaitu tepung tulang, daging, darah dan tepung bulu b. Bahan baku pakan berasal dari biji-bijian jagung, kacang-kacangan, kedelai dan biji-bijian seperti bahan baku ternak lainnya. c. Pakan hijauan segar ataupun yang sudah diolah. d. Pakan jadi dan konsentrat untuk ruminansia dan babi. e. Pakan jadi yang mengandung bahan asal hewan untuk hewan kesayangan dan unggas. 3. Peralatan dan mesin serta obat-obatan a. Peralatan dan mesin peternakan dan pertanian bekas pakai. b. Obat dan obat hewan yang bahan bakunya berasal dari hewan serta olahannya dari hewan ruminansia dan babi c. Vaksin, antigen, serta, dan antisera yang berkaitan dengan virus Penyakit Mulut dan Kuku. 4. Pelarangan ini berlaku untuk semua komoditi hewan tersebut diatas baik yang diperdagangkan maupun sebagai tentengan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 53

56 B. PELARANGAN SEMENTARA 1. Tindakan pelarangan menyeluruh terhadap pemasukan komoditas hewan, bahan asal dan hasil hewan serta bahan ikutannya tersebut diatas, dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal yang ditetapkannya pelarangan tertanggal 27 Maret 2001 akan dilakukan evaluasi terhadap perkembangan situasi wabah penyakit dan upaya-upaya pengendaliannya dari masingmasing negara bersangkutan. 2. Apabila wabah penyakit dapat dikendalikan dan tidak menjalar kenegara lain, maka bagi negara-negara yang masih dalam kondisi bebas atau telah dinyatakan bebas PMK oleh OIE, maka ketentuan pelarangan menyeluruh akan segera dipertimbangkan untuk dibebaskan kembali selama tidak ada ketentuan yang menyangkut penyakit lainnya. Sedangkan bagi negara-negara yang wabahnya terkendali tetapi belum dinyatakan bebas penyakit oleh OIE, maka khusus untuk jenis-jenis produk hewan yang telah melalui pengelolahan tertentu dan beresiko untuk penularan penyakit serta sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku akan dipertimbangkan untuk dikeluarkan dari pelarangan, yaitu : a. Hewan, bahan asal dan hasil hewan 1. Unggas dan hasil produk unggas 2. Anjing, kucing dan sebangsanya 3. Kulit hewan sudah diolah (kulit wet blue, crust dan kulit jadi) 4. Bulu, wol dan bulu leher yang sudah diolah. b. Bahan baku dan pakan hewan 1. Biji-bijian untuk bahan baku pakan yang telah diolah 2. Pakan hewan untuk hewan kesayangan yang tidak mengandung bahan asal ternak ruminansia dan babi 3. Tepung bulu unggas yang sudah diolah c. Susu olahan Susu olahan berupa susu bubuk, skim, krim mentega, keju, yogurt dan susu UHT serta susu yang telah /diolah dengan bahan makanan seperti coklat dan biskuit yang tidak mengandung bahan asal hewan lainnya. d. Peralatan dan mesin serta obat-obatan 1. Alat-alat dan mesin peternakan dan pertanian 2. Obat dan vaksin yang tidak berkaitan dengan Penyakit Mulut dan Kuku yang dalam produksinya tidak berhubungan dengna hewan ruminansia dan babi. 3. Obat-obat dan keperluan Kedokteran Umum dan kepentingan penelitian yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknelogi. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 54

57 3. Pertimbanagn terhadap produk-produk tertentu sebagaimana tercantum dalam butir B1 dan B2 tersebut diatas yang dikeluarkan dari pelarangan, berlaku pula terhadap bahan-bahan yang berasal dari negara-negara yang tidak sedang terjangkit wabah. C. PEMBEBASAN MENYELURUH Hewan, bahan asal dan hasil hewan serta bahan ikutan seperti dimaksud pada butir A. Dapat dipertimbangkan pembebasannya secara menyeluruh dari pelarangan yaitu apabila negara-negara yang bersangkutan telah mendapat pernyataan resmi bebas Penyakit Mulut dan Kuku serta penyakit hewan menular lain (daftar A) dari Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office Internartional des Epizooties) III. HIMBAUAN Kepada lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta dan pihak-pihak yang berkaitan dengan surat edaran ini dihimbau untuk dapat mentaatinya dan dapat membantu dalam upaya penolakan dan pencegahan masuknya Penyakit Mulut dan Kuku ke wilayah Indonesia. Demikian surat ini dikeluarkan untuk dapat diketahui dan dimaklumi oleh semua yang berkepentingan. Jakarta 20 April 2001 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA (BUNGARAN SARAGIH) Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 55

58 DEPARTEMEN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN Jl Salemba Raya No.16 Kotak Pos 1402 Telp. (021)331859, , Jakarta Fax. (021) SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN Nomor : 254/TM.520/Kpts/DJP/Deptan/1995 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) RUMAH PEMOTONGAN HEWAN/UNGGAS DAN PEMPROSESAN DAGING Menimbang : a. bahwa untuk kepentinganpengawasan dalam rangka pendirian dan pengelolaan rumah potong hewan (RPH/RPU) serta tempat pemrosesan daging, maka setiap RPH/RPU dan tempat pemrosesan daging perlu diberikan penomoran yang disebut Nomor Kontrol Veteriner; b. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut maka dipandang perlu menetapkan pedoman pemberian Nomor Kontrol Veteriner RPH.RPU dan tempat Pemrosesan Daging. Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983; 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 83/M/1988; 3. SK. Menteri Pertanian No.55/ Kpts/TM.240/9/1986; 4. SK. Menteri Pertanian No.557/ Kpts/TM.520/9/1987; 5. SK. Menteri Pertanian No.295/ Kpts/TM.240/5/1989; 6. SK. Menteri Pertanian No.413/ Kpts/TM.310/7/1992; 7. SK. Menteri Pertanian No.745/ Kpts/TM.240/12/1992; 8. SK. Menteri Pertanian No.306/ Kpts/TM.330/4/1994; MEMUTUSKAN Menetapkan : Pedoman pemeberian Nomor Kontrol Veteriner Rumah Pemotongan Hewan / Unggas dan tempat Pemrosesan Daging sebagai berikut : PERTAMA : Setiap Rumah Pemotongan Hewan/Unggas dan tempat Pemrosesan Daging diberikan Nomor Kontrol Veteriner. Pemberian Nomor Kontrol Veteriner dimaksud mengikuti petunjuk teknis sebagai tersebut pada lampiran surat keputusan ini. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 56

59 KEDUA : Permohonan pemberian Nomor Kontrol Veteriner Rumah Pemotongan Hewan/Unggas dan tempat Pemrosesan Daging, disampaikan oleh pengelolah kepala Direktur Jenderal Peternakan atas rekomendasi/pertimbanagn kepala Dinas Peternakan Propinsi daerah tingakt I setempat. KETIGA : Nomor Kontrol Veteriner yang sudah ada saat dikeluarkannya surat keputusan ini dinyatakan tetap berlaku. KEEMPAT : Surat keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan bahwa apabila dikemudian hari terdapat kekurangan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan seperlunya. DITETAPKAN DI : J A K A R T A PADA TANGGAL : 29 JUNI 1995 DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN Dr Drh S O E H A D J I Nip : Tembusan Surat Keputusan ini disampaikan kepada Yth : 1. Sdr Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian; 2. Sdr Direktur Jenderal Pemerintah Umum dan Onotomi Daerah, Departemen Dalam Negeri; 3. Sdr Direktur Jenderal Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri; 4. Sdr para Gubernur KDH Tingkat I seluruh Indonesia; 5. Sdr para Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Dati I di seluruh Indonesia; 6. Sdr para Kepala Dinas Peternakan Propinsi Dati I di seluruh Indonesia; 7. Sdr para Kepala Dinas Petrenakan Kabupaten/Kotamadya Dati II di seluruh Indonesia. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 57

60 LAMPIRAN : SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN NOMOR : 254/TN.520/Kpts/DJP/Deptan/1995 PETUNJUK TEKNIS PEMBERIAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN/UNGGAS DAN TEMPAT PEMROSESAN DAGING SERTA HASIL IKUTANNYA. I. PENDAHULUAN Rumah Pemotongan Hewan/Unggas (RPH/RPU) dan atau tempat Pemrosesan Daging (Meat Processing Plant) adalah suatu kompleks bangunan dengan disain dan persyaratan-persyaratan teknis tertentu yang dipergunakan sebagai tempat memotong hewan/unggas dan penanganan serta pemrosesan dagingnya secara benar bagi konsumsi masyarakat luas. Pada dasarnya lokasi bangunan RPH/RPU dapat berdiri sendiri, akan tetapi berada dalam satu lokasi dengan bangunan tempat pemrosesan daging (TPD). Tempat pemrosesan daging adalah suatu bangunan atau komplek bangunan dengan disain dan persyaratan-persyaratan teknis tertentu yang dipergunakan sebagai tempat pemrosesan lebih lanjut yang berupa pemotongan bagian daging/pelepasan tulang, pengolahan/pemrosesan jadi produk, pembungkusan/pengepakan dan pemberian label serta penyimpanan hasil/produk hasil. Dengan demikian, maka RPH/RPU merupakan sarana pelayanan kepada masyarakat dalam penyediaan daging sehat dan berfungsi pokok sebagai (a) tempat pelaksanaan pemotongan hewan dan penanganan daging secara benar; (b) tempat pelaksanaan pemeriksaan hewan sebelum dipotong dan pemeriksaan daging untuk mencegah penularan penyakit hewan kepada manusia dan (c) tempat untuk menditeksi penyakit hewan yang ditemukan guna pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular didaerah asal serta (d) tempat pelaksanaan seleksi dan pengendalian pemotongan hewan besar betina bertanduk yang masih produktif. Sedangkan tempat pemrosesan daging (TPD) merupakan sarana penyediaan daging yang telah diolah secara benar serta memenuhi persyaratan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam rangka pembinaan RPH/RPU dan tempat pemrosesan daging (TPD) di Indonesian secara bertahap dan berkesinambungan dengan telah adanya landasan hukum yang kuat dan mantap maka pemerintah bermaksud : 1. Menata kembali fungsi, peranan dan citra RPH/RPU sebgai sarana pelayanan kepada masyarakat untuk menyediaan daging sehat, aman, murni dan halal; 2. Menetapkan setiap RPH/RPU dan tempat pemrosesan daging (TPD) harus memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV); 3. Menyeragamkan peraturan-peraturan daerah, khususnya yang menyangkut RPH/RPU dan usaha pemotongan hewan/unggas serta penanganan daging. 4. Memberikan kepastian dan jaminan hukum, baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 58

61 Yang dimaksud dengan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah registrasi Rumah Pemotongan Hewan/Unggas (RPH/RPU) tempat pemrosesan daging (TPD) atau usaha-usaha lainnya yang bergerak dalam bidang pengumpulan, penampungan, penyimpanan dan pengawetan bahan asal hewan yang diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner dengan dilakukan langkah-langkah penataan kembali masalah RPH/RPU ini antara lain dengan standarisasi dan akreditasi RPH/RPU, pengaturan/penggunaan jenis-jenis stempel sesuai dengan jenis hewan, pemberian label pada kemasan daging unggas dan pemberian Nomor Kontrol Veteriner pada setiap RPH/RPU dan tempat pemrosesan daging yang telah terakreditasi, maka RPH/RPU dan tempat pemrosesan daging yang telah memenuhi persyaratan tersebut dapat melaksanakan fungsinya secara maksimal. Dengan demikian terbuka kesempatan bagi RPH/RPU dan tempat pemrosesan daging tersebut untuk menyediakan daging sehat sesuai kemampuan baik untuk kebutuhan sendiri maupun kebutuhan wilayah lain dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. Dengan adanya tertib hukum dalam kegiatan pemotongan hewan/unggas akan mempermudah untuk melaksanakan pengawasan terhadap peredaran daging yang dilaksanakan oleh pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner dilapangan dan lebih banyak konsumen yang menerima pelayanan dari RPH/RPU dan tempat pemrosesan daging yang telah memenuhi persyaratan tersebut berupa daging yang sehat, aman, utuh/murni dan halal serta adanya kepastian hukum baik bagi pemerintah maupun masyarakat yang melaksanakan pemotongan hewan/unggas. II. TUJUAN Tujuan pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) pada setiap Rumah Pemotongan Hewan/Unggas (RPH/RPU) dan tempat Pemrosesan Daging : 1. Memberikan jaminan dan perlindungan kepada masyarakat, baik/yang melaksanakan kegiatan pemotongan hewan/ unggas dan pemrosesan/ pengelolaan daging maupun yang mengkonsumsi daging bahwa daging berasal dari hasil pemotongan hewan/unggas di RPH/RPU dan tempat pemrosesan daging yang telah memenuhi persyaratan. 2. Terlaksananya tertib hukum dan tertib administrasi dalam pendirian/ pengelolaan RPH/RPU dan tempat pemrosesan daging 3. Mempermudah dan memperlancar pelaksanaan sistem pengawasan pemotongan hewan/unggas dan peredaran daging 4. Meningkatkan daya guna dan produktivitas dalam mencapai mutu produk (daging) dan hasil olahannya serta jasa pemotongan hewan/unggas yang memenuhi syarat/standar III. LANDASAN HUKUM Dalam upaya memeperoleh daging yang memenuhi persyaratan kuantitatif (nilai gizi), persyaratan higieni dan persyaratan halal maka telah diterbitkan perangkat Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 59

62 pengawasan/pengamanan berupa ketentuan peraturan sehingga diperoleh daging yang aman (safe), sehat (sound),. utuh/murni (wholesome) dan halal. 1. Undang-undang No. 6 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan 2. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner 3. SK Menteri Pertanian No.555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat RPH dan Usaha Pemotongan Hewan. 4. SK Menteri Pertanian No.557/Kpts/TN.520/9/1986 tentang Syarat-Syarat RPU dan Usaha Pemotongan Hewan. 5. SK Menteri Pertanian No.259/Kpts/TN.240/5/1986 tentang Pemotongan Babi dan Penanganan Daging Babi dan Hasil Ikutannya 6. SK Menteri Pertanian No.413/Kpts/TN.310/7/1986 tentang Pemotongan Hewan Potong Penanganan Daging dan Hasil Ikutannya. 7. SK Menteri Pertanian No.745/Kpts/TN.240/12/1986 tentang Persyaratan dan Pengawasan Pemasukan Daging dari Luar Negeri 8. SK Menteri Pertanian No.306/Kpts/TN.330/4/1986 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya. IV. TATA CARA PEMEBERIAN NOMOR KONTROL VETERINER 1. Prinsip Dasar Penetapan program pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) terhadap RPH/RPU dan Tempat Pemrosesan Daging (Meat Processing Plant) dilakukan oleh Direktorat Jenderaal Peternakan cq. Direktorat Bina Kesehatan Hewan berdasarkan atas usulan dari Dinas Peternakan Daerah yang mendirikan / mengelola RPH/RPU maupun masyarakat/pihak swasta dan pihak lain yang melakukan Usaha Pemotongan Hewan/Unggas Kategori I dan Kategori II (yang memiliki RPH/RPU) dari semua kelas (A,B,C dan D) dan atau yang mendirikan Tempat Pemrosesan Daging setelah mendapatkan rekomendasi dari Dinas Peternakan Propinsi Dati I setempat Prinsip yang dianut dalam mempersiapkan pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah harus menjamin bahwa NKV yang ditetapkan sesuai dengan keadaan RPH/RPU dan Tempat Pemrosesan Daging tersebut dan memenuhi persyaratan minimal yang ditentukan peraturan perundangan sehingga kepentingan produsen/pengelola RPH/RPU dan atau Tempat Pemrosesan Daging serta konsumen dapat diperhatikan. Untuk itu selalu dilakukan peninjauan atau evaluasi secara periodik agar NKV yang diberikan dapat dilaksanakan dan dipertahankan atau bahkan apabila diperlukan dapat ditingkatkan. 2. Ruang Lingkup 2.1 Rumah Potong Hewan/Unggas Ruang lingkup pemberian Nomor Kontrol Veteriner mencakup semua aspek dan kegiatan di RPH/RPU yang dilakukan oleh pengelola sesuai Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 60

63 dengan Peraturan mengenai Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan/Unggas yang secara garis besar meliputi : (1) Lokasi yang meliputi posisi RPH/RPU dan atau Tempat Pemrosesan Daging tersebut beserta halaman dan pagar yang ada terhadap posisi kota (2) Bangunan utama yang meliputi ruangan-ruangan yang ada didalamnya, dinding dan lantai, pintu, jendela serta ventilasinya, penerangan yang ada serta air yang tersedia. (3) Peralatan Produksi dan Kebersihannya (4) Ruang-ruang lain dalam bangunan utama dan kondisinya yang meliputi ruang pelayuan daging, ruang pelepasan tulang, ruang pembungkusan dan ruang pendinginan /cold storage sebagai ruang penyimpanan daging. (5) Kandang dan kebersihannya termasuk kondisi kandang dan kapasitas kandang. (6) Laboratorium yang dimiliki, termasuk kemampuan pengujian, tenaga dan peralatan yang ada. (7) Sistem pembuangan dan kesehatan lingkungan yang ada termasuk tempat isolasi, tempat pemotongan darurat dan kamar mandi/wc untuk karyawan. (8) Karyawan dan kesehatannya termasuk tenaga Dokter Hewan penanggung jawab dan teknisi pemeriksa daging. (9) Ruangan-ruangan lain dalam kompleks, yangmeliputi ruang administrasi, ruang penyimpanan alat, ruang ganti karyawan, ruang istirahat,locker dan kantin. (10) Alat pengangkut /daging yang meliputi jenis angkutan, fasilitas yang ada pada alat angkutan, kapasitas dan kondisinya serta cara pengangkutan dagingnya (11) Lokasi tersebut dengan RPH babi dan tempat Pemrosesan Daging Babi, meliputi bentuk pembatas, ketinggian letak bangunan dengan bangunan lainnya, peralatan yang digunakan karyawannnya. (12) Langkah-langkah pemeliharaan/perawatannya. 2.2.Tempat Pemrosesan Daging Ruang lingkup Pemberian Nomor Kontrol Veteriner mencakup semua aspek dan kegiatan di Tempat Pemrosesan Daging (TPD) yang dilakukan oleh pengelola sesuai peraturan mengenai pemotongan hewan potong/unggas dan penanganan daging yang secara garis besar meliputi : (1) Lokasi yang meliputi posisi TPD tersebut, khususnya keadaan sekitar seperti jaraknya dengan sumber pencemaran (bau busuk, debu, asap) dan sumber pencemaran lainnya. (2) Bangunan dan fasilitasnya yang meliputi ruangan-ruangan berurutan sesuai tahapan kegiatan dengan konstruksi berupa dinding bagian dalam, lantai, langit, pintu, jendela, dan ventilasi dan penerangan serta air sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kontaminasi silang. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 61

64 (3) Fasilitas yang ada harus dapat menjamin dan memudahkan pengawasan kesehatan daging serta pelaksanaan pemeriksaan termasuk fasilitas sanitasi yang berupa air (panas, dingin), sistem saluran pembuangan, ruang ganti pakaian/toilet, fasilitas pencucian tangan diruangan dan fasilitas pembersih/desinfeksi. (4) Laboratorium yang dimiliki termasuk kemampuan penguji, tenaga dan peralatan yang ada. (5) Karyawan dan kesehatannya termasuk tenaga Dokter Hewan penanggung jawab dan tenaga teknisi lainnya. (6) Proses pengelolahan harus diawasi oleh penanggung jawab produksi dan seluruh tahap pemrosesan dilakukan dalam kondisi yang baik dan metoda yang benar untuk mencegah kemungkinan kontaminasi/tumbuh kembang mikroorganisme patogen/pembusuk (7) Pembungkus dan wadah produk akhir harus memenuhi persyaratan sebagai wadah/pembungkus makanan (food grade) dan ditangani secara higienis. (8) Ruangan-ruangan lain dalam kompleks, yang meliputi ruang administrasi, ruangan penyimpanan alat, ruang istirahat, locker, kantin dan ruangan lain. (9) Alat pengangkut produk akhir yang meliputi jenis angkutan, fasilitas yang ada pada alat angkut, kapasitas dan kondisinya. (10) Langkah-langkah pemeliharaan/perawatan, khususnya program pembersihan/desinfeksi, pengontrolan suhu / temperatur ruangan pengolahan maupun ruangan penyimpanan daging / produk akhir dan penyimpanan bahan berbahaya. 2.3.Alat/Kendaraan pengangkut daging (1) Kendaraan pengangkut daging dan atau hasil olahannya harus berupa kendaraan khusus pengangkut daging dan tidak digunakan untuk keperluan lain. (2) Ruang bagian dalam angkutan daging harus terbuat dari bahan anti karat, berlantai licin, bersudut antara pertemuan melengkung sehingga mudah dibersihkan dan dilengkapi lampu penerangan yang cukup, mempunyai pintu yang selalu tertutup dalam perjalanan. (3) Kendaraan angkutan daging harus mempunyai fasilitas sedemikian rupa sehingga daging dan atau hasil olahannya tidak kontak dengan lantai (tidak diletakkan langsung dilantai kendaraan angkutan) (4) Untuk dapat mempertahankan suhu daging selama pengangkutan, kendaraan angkutan daging yang mengangkut daging lebih dari 2 (dua) jam harus dilengkapi dengan pendingin dengan suhu setinggitingginya 10 0 C dan untuk pengangkutan daging/hasil olahannya dalam keadaan beku bersuhu setinggi-tingginya minus 15 0 C. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 62

65 3. Cara Penulisan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) (1) Pada prinsipnya Nomor Kontrol Veteriner terdiri dari tiga jenis huruf/angka yang menunjukkan kelas dan lokasi RPH/RPU serta nomor urut pemberian NKV : a. Kelas dari RPH/RPU dan atau Tempat Pemrosesan Daging dinyatakan dengan huruf A, B, C atau D b. Lokasi RPH/RPU dan atau Tempat Pemrosesan Daging yang dinyatakan dengan angka yang menunjukkan Propinsi, Kabupaten/ Kotamadya dan Kecamatan (sesuai standar BPS) c. Nomor urut pemberian NKV yang dinyatakan dengan angka. (2) Untuk membedakan NKV Rumah Pemotongan Hewan dan atau Tempat Pemrosesan Daging dengan NKV Rumah Potong Unggas dan Tempat Pemrosesan Daging Unggas, maka urutan penulisan NKV ditetapkan sebagai berikut : a. Bagi NKV RPH/Tempat Pemrosesan Daging, penulisan NKV dimulai dengan Kelas RPH/Tempat Pemrosesan Daging Lokasi RPH/Tempat Pemrosesan Daging Nomor Urut Pemberian NKV b. Bagi NKV RPU/Tempat Pemrosesan Daging Unggas, penulisan NKV dimulai dengan Nomor Urut NKV Lokasi RPU/Tempat Pemrosesan Daging Unggas Kelas RPU/Tempat Pemrosesan Daging Unggas (3) Berdasarkan usulan dari pengelola RPH/RPU dan atau Tempat Pemrosesan Daging yaitu Dinas Peternakan atau pihak swata atau pihak lainnya serta dari hasil peninjauan dan evaluasi Direktorat Jenderal Peternakan, maka akan dikeluarkan Nomor Kontrol Veteriner, yaitu berupa : a. Sertifikat pemberian Nomor Kontrol Veteriner bagi RPH/RPU yang berfungsi sebagai pelayanan pemotongan hewan/unggas untuk keperluan pembinaan Kesehatan Masyarakat Veteriner yang dikelola oleh Dinas Peternakan Daerah. b. Sertifikat pemberian Nomor Kontrol Veteriner dan surat Izin Usaha Pemotongan Hewan/Unggas, bagi RPH/RPU dan atau Tempat Pemrosesan Daging yang berfungsi sebagai kegiatan usaha pemotongan hewan/unggas yang dikelolah oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau swasta. (4) Sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang pemotongan hewan/unggas dan penanganan daging/unggas, maka NKV yang telah diberikan, harus dicantumkan pada : a. Stempel pada daging hewan potong yang bersangkutan, sebagai hasil keputusan pemeriksaan post mortem. b. Label pada kemasan daging unggas yang bersangkutan, sebagai hasil keputusan pemeriksaan post mortem dan label pada kemasan baru daging unggas, apabila dilakukan penggantian kemasan asli dari RPU oleh toko daging/pasar swalayan atau pihak lain. c. Label pada kemasan daging/bagian-bagian daging (parting) dan hasil olahannya sebagai hasil Produksi dari Tempat Pemrosesan Daging (TPD) Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 63

66 V. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN 1. Pembinaan Pembinaan mempunyai tujuan meningkatkan, mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan RPH/RPU, pelaksanaan pemotongan hewan/unggas dan pemrosesan daging dengan sasaran untuk mewujudkan agar pengelolahan dan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Pembinaan dilaksanakan oleh instansi teknis baik ditingkat Daerah maupun ditingkat Pusat bekerjasama dengan pihak terkait. 2. Pengawasan Pengawasan mempunyai tujuan untuk meningkatkan pelaksanaan penerapan/pemberian NKV dengan lebih konsisten, memberikan umpan balik dalam penyempurnaan sistem pemberian NKV yang sehat dan benar, mempermudah pendeteksian timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolahn RPH/RPU dan Tempat Pemrosesan Daging serta melindungi konsumen dari jasa pemotongan hewan/unggas dan peredaran daging yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan maupun kulitasnya rendah Maksud dari pengawasan adalah untuk menjamin bahwa pemberian dan penerapan NKV tetap memenuhi ketentuan yang berlaku dengan penuh tanggung jawab. Obyek yang diawasi adalah segala fasilitas dan kegiatan yang berkaitan dengan pemberian NKV sesuai dengan pedoman dan peraturan perundangan yang berlaku. 3. Sanksi Sanksi yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dikenakan kepada pengelola RPH/RPU dan tempat Pemrosesan Daging yang telah melakuakn penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan RPH/RPU dan penerapan NKV sesuai dengan kategori penyimpangan yang tertuang dalam ketentuan yag berlaku. Sanksi dalam pengelolaan RPH/RPU dan peredaran daging dikategorikan dalam 3 (tiga) jenis yaitu : (1) Sanksi Pidana, ayaitu sanksi yang dikenakan terhadap mereka yang melakuakn tindakan pidana atau pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, yaitu mengenai usaha pemotongan hewan. (2) Sanksi administratif bagi RPH/RPU yang dikelolah oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau swasta, yaitu sanksi dibidang administratif yang dikenakan terhadap pengelola RPH/RPU yang berupa pencabutan izin usaha pemotongan hewan/unggas dan penurunan kelas RPH/RPU dan tempat Pemrosesan Daging atau peninjauan kembali sertifikat NKV yang diberikan. (3) Sanksi administratif bagi RPH/RPU yang berfungsi sebagai pelayanan masyarakat, yaitu sanksi dibidang administratif yang dikenakan terhadap Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 64

67 pengelolah RPH/RPU dalam rangka kepentingan pembinaan kesehatan masyarakat veteriner yang berupa peninjauan ulang Sertifikat NKV yang telah diberikan. VI. PENUTUP Diharapkan melalui sistem pemberian/penerapan Nomor Kontrol Veteriner (NKV), yang merupakan dasar dan pedoman kegiatan pengelolahan RPH/RPU dan pemotongan hewan/unggas, keterpaduan derap langkah dalam standarisasi Rumah Potong Hewan/Unggas dan Usaha Pemotongan Hewan/Unggas untuk penyediaan daging yang aman, sehat, utuh/murni dan halal dapat lebih ditingkatkan. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 65

68 DEPARTEMEN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN Jl Salemba Raya No.16 Kotak Pos 1402 Telp. (021)331859, , Jakarta Fax. (021) SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN NOMOR : 144/TN.330/Kpts/DJP/Deptan/1996 TENTANG POEDOMAN PEMBERIAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) USAHA PENGIMPOR, PENGUMPUL/PENAMPUNG DAN PENGEDAR DAGING SERTA HASIL OLAHANNYA Menimbang : a.bahwa untuk kepentingan pengawasan dalam usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya, maka setiap usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya perlu diberikan penomoran yang disebut Nomor Kontrol Veteriner. b. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut maka dipandang perlu menetapkan pedoman pemberian Nomor Kontrol Veteriner Usaha Pengimpor, pengumpul/penampung dan Pengedar Daging serta Hasil Olahannya. Mengingat : 1. Undang-undang No. 6 Tahun Undang-undang No. 16 Tahun Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 83/M Tahun SK. Menteri Pertanian No. 295/Kpts/TN. 240/5/ SK. Menteri Pertanian No. 413/Kpts/TN. 310/7/ SK. Menteri Pertanian No. 745/Kpts/TN. 240/12/ SK. Menteri Pertanian No. 305/Kpts/TN. 330/4/1994 MEMUTUSKAN Menetapkan : Pedoman Pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) Usaha Pengimpor, Pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging serta hasil Olahannya sebagai berikut : PERTAMA : Setiap Usaha Pengimpor, Pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging serta Hasil Olahannya diberikan Nomor Kontrol Veteriner. Pemberian Nomor Kontrol Veteriner dimaksud Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 66

69 mengikuti petunjuk teknis sebagai tersebut dalam lampiran surat keputusan ini. KEDUA. : Permohonan untuk pemberian Nomor Kontrol Veteriner Usaha Pengimpor, Pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging serta Hasil Olahannya disampaikan oleh pengelolah kepada Direktur Jenderal Peternakan atas Rekomendasi/pertimbangan Kepala Dinas Peternakan Propinsi Daerah Tingkat I setempat KETIGA : Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal yang ditetapkan dengan ketentuan bahwa apabila dikemudian hari terdapat kekurangan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan seperlunya. DITETAPKAN DI : J A K A R T A PADA TANGGAL : 26 FEBRUARI 1995 DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN Dr Drh S O E H A D J I Nip : Tembusan Surat Keputusan ini disampaikan kepada Yth : 1. Sdr Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian; 2. Sdr para Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Dati I di seluruh Indonesia 3. Sdr para Kepala Dinas Peternakan Propinsi Dati I di seluruh Indonesia 4. Sdr para Kepala Dinas Peternakan Kabupaten/Kotamadya Dati II di seluruh Indonesia; 5. Sdr Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (ASPIDI); 6. Sdr Ketua Umum Asosiasi Distributor Daging Jakarta (AD2J) Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 67

70 LAMPIRAN : SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN NOMOR : 144/TN.330/Kpts/DJP/Deptan/1996 PETUNJUK TEKNIS PEMBERIAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) USAHA PENGIMPOR, PENGUMPUL/PENAMPUNG DAN PENGEDAR DAGING SERTA HASIL OLAHANNYA I. PENDAHULUAN Untuk pemenuhan bahan makanan asal hewan khususnya daging, serta disamping pemenuhan secara kuantitatif, diperlukan pula pemenuhan syarat syarat kualitatif (aspek nilai gizi), syarat-syarat kualitatif (aspek nilai gizi), syarat-syarat hygiene (aspek kehalalan) serta syarat-syarat dan keadaan yang menjamin ketentraman bathin masyarakat yang menggunakannya (aspek kehalalan). Sebagaimana diketahui bahwa bahan makanan asal hewan khususnya daging mempunyai sifat mudah sekali rusak dan dapat menjadi sumber penularan penyakit hewan kepada manusia. Dengan demikian setiap usaha yang bergerak dan berhubungan dengan bahan asal hewan tersebut harus memenuhi syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner agar bahan-bahan tersebut tetap aman (safe), sehat (sound), utuh/murni (wholesome) dan halal. Dengan demikian, maka usaha pengimpor, pengumpulan penampungan dan pengedar daging serta hasil olahannya merupakan sarana dalam penyediaan daging secara benar serta memenuhi persyaratan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam pelaksanaannya diperlukan adanya pengawasan pemerintah terhadap usaha tersebut agar syarat-syarat yang telah ditetapkan ditaati. Dalam rangka pembinaan usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya di Indonesia, maka dengan telah adannya landasan hukum yang kuat dan mantap, secara bertahap dan berkesinambungan pemerintah bermaksud: 1. Menata persyaratan kesehatan dan ketentuan teknis lain yang mengatur kegiatan usaha yang bergerak dan berhubungan dengan daging dan hasil olahannya; 2. Menetapkan setiap usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging dan hasil olahannya harus memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV); 3. Menyeragamkan Peraturan-Peraturan Daerah, khususnya yang menyangkut pengaturan usaha yang bergerak dalam penanganan daging dan hasil olahannya; 4. memberikan kepastian dan jaminan hukum, baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Yang dimaksud dengan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah registrasi Usaha Pengimpor, Pengumpul/Penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya yang diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner. Yang dimaksud dengan Usaha Pengimpor Daging/Hasil Olahanya adalah suatu usaha yang kegiatannya melakukan daging/hasil olahannya dari luar negeri ke wilayah negara Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan usaha Pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging/Hasil Olahannya adalah suatu usaha yang kegiatannya melakukan usaha distribusi Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 68

71 (mengumpulkan/menampung yang kemudian menjual/mengedarkan kembali) daging/hasil olahannya. Dengan dilakukannya langkah-langkah penataan ketentuan yang mengatur bidang kegiatan usaha yang bergerak dalam penanganan daging dan didukung telah adannya standarisasi dan akreditasi RPH/RPU, pengaturan/pengguna jenis-jenis stempel daging sesuai jenis hewan, pemberian label pada kemasan daging unggas dan pemberian Nomor Kontrol Veteriner pada setiap RPH/RPU dan Tempat Pemrosesan Daging yang telah diakreditasi, maka usaha pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya yang telah memenuhi persyaratan dapat melakukan usaha secara maksimal. Dengan demikian terbuka kesempatan bagi usaha pengimpor, pengumpul / penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya untuk menyediakan daging sehat sesuai kemampuan baik untuk kebutuhan diwilayahnya sendiri maupun kebutuhan wilayah lain dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. Dengan adannya tertib hukum dalam kegiatan usaha pengimpor, pengumpul / penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya, akan mempermudah untuk melaksanakan pengawasan terhadap peredaran daging dan hasil olahannya oleh para pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner di lapangan dan lebih banyak konsumen mendapat daging sehat, aman, utuh/murni dan halal serta adannya kepastian hukum baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat yang melaksanakan kegiatan usaha pengimpor, pengumpul / penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya. II. TUJUAN Tujuan pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) pada setiap usaha Pengimpor, Pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging serta hasil olahannya adalah: 1. Memberikan jaminan dan perlindungan kepada masyarakat, baik yang melaksanakan kegiatan usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya maupun masyarakat konsumen, bahwa daging yang dibeli/dikonsumsi berasal dari hasil usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging yang telah memenuhi persyaratan. 2. Terlaksananya tertib hukum dan tertib administrasi dalam pengelola usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya. 3. Mempermudah dan memperlancar pelaksanaan sistem pengawasan usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya. 4. Meningkatkan daya guna, hasil guna dan produktivitas dalam mencapai mutu produk (daging dan hasil olahannya) yang memenuhi syarat/standar. III. LANDASAN HUKUM Dalam upaya untuk memperoleh daging yang memenuhi persyaratan kualitatif (nilai gizi), persyaratan hygiene dan persyaratan kehalalan, maka telah diterbitkan perangkat pengawasan/pengamanan berupa ketentuan peraturan sehingga diperoleh daging yang aman (safe), sehat (sound), utuh/murni (wholesome) dan halal. 1. Undang-Undang No. 6 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2. Undang-Undang No. 16 Tahun 1992, tentang Karantina Hewan, ikatan dan Tumbuhan. 3. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983, tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 69

72 4. Instruktur Presiden RI No. 2 Tahun 1991, tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan. 5. SK. Menteri Pertanian No. 295/Kpst/TN.240/5/1989 tentang Pemotongan Babi dan Penanganan Daging Babi dan Hasil Ikutannya. 6. SK. Menteri Pertanian No. 413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya. 7. SK. Menteri Pertanian No. 745/Kpts/TN.240/12/1992 tentang Persyaratan dan Pengawasan Pemasukan Daging dari Luar Negeri. 8. SK. Menteri Pertanian No. 306/Kpts/TN.330/4/1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya. IV. TATA CARA PEMBERIAN NOMOR KONTROL VETERINER 1. Prinsip Dasar Penetapan program pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) terhadap Usaha Pengimpor, Pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging Serta Hasil Olahannya dilakukan oleh Direktorat Jendral Peternakan cq. Direktor Bina Kesehatan Hewan berdasarkan atas permohonan masyarakat/pihak swasta dan pihak lain yang melakukan usaha Pengimpor, Pengumpul/Penampung dan Pengedar Daging Serta Hasil Olahannya setelah mendapatkan rekomendasi dan Dinas Peternakan Propinsi Dati I setempat. Prinsip yang dianut dalam mempersiapkan pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah harus menjamin bahwa NKV yang ditetapkan sesuai dengan keadaan usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya dan memenuhi persyaratan minimal yang ditentukan peraturan perundangan yang ada sehingga kepentingan pengusaha/pengelola usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya dan kepentingan konsumen dapat diperhatikan. Untuk itu selalu dilakukan peninjauan dan evaluasi secara periodik agar NKV yang diberikan dapat dilaksanakan dan dipertahankan atau bahkan apabila di perlukan dapat ditingkatkan. 2. Ruang lingkup Ruang lingkup pemberian Nomor Kontrol Veteriner mencakup semua aspek dan kegiatan di tempat usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta daging hasil olahannya yang dilakukan oleh pengelola sesuai dengan peraturan mengenai Penanganan Daging/Daging Unggas serta Hasil Ikutannya yang secara garis besar meliputi: 1) Usaha Pengimpor, Pengumpulan/Penampungan dan Pengedar Daging serta Hasil Olahannya. a. Lokasi yang meliputi posisi Usaha Pengimpor, penngumpulan/penampungan dan pengedar daging serta hasil olahannya tersebut, khususnya dengan keadaan sekitar seperti jaraknya dengan sumber pencemaran (bau busuk, debu, asap) dan sumber pencemaran lain. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 70

73 b. Bangunan dan fasilitasnya yang meliputi ruangan-ruangan berurutan sesuai tahapan kegiatan dengan konstruksi berupa dinding bagian dalam, lantai, langitlangit, pintu, jendela, ventilasi, dan penerangan serta air yang tersedia sedemikian rupa sehingga dapat mencegah terjadinnya kontaminasi silang. c. Fasilitas yang ada harus dapat menjamin dan memudahkan pengawasan kesehatan daging beserta pelaksanaan pemeriksaannya termasuk fasilitas sanitasi yang berupa air (dingin, panas), sistem saluran pembuangan, ruang ganti pakaian/toilet, fasilitas cuci tangan di ruangan dan fasilitas pembersih/desinfeksi. d. Karyawan dan kesehatannya termasuk keharusan adannya dokter hewan sebagai penanggung jawab teknis dan tenaga teknis lainnya. e. Proses penanganan daging dan hasil olahannya harus diawasi oleh penanggung jawab teknis dan seluruh tahap penanganan daging dilakukan dalam kondisi yang baik dan metode yang benar untuk mencegah kemungkinan kontaminasi/tumbuh kembangnya mikroorganisme patogen/pembusuk. 2) Ruang/Sarana Penyimpanan dan Hasil Olahannya. a. Ruangan/sarana penyimpanan daging/hasil olahannya harus berupa ruangan khusus penyimpanan daging dan hasil olahnnya dan tidak digunakan untuk keperluan penyimpanan barang/komoditi lain. b. Dinding bagian dalam dari ruangan penyimpanan daging harus terbuat dari bahan anti karat, berlantai tidak licin, bersudut pertemuan antara dinding melengkung sehingga mudah dibersihkan dan dilengkapi lampu penerangan yang cukup. c. Ruangan/sarana penyimpanan daging/hasil olahannya mempunyai langit-langit yang bagian-bagiannya tidak mudah lepas. d. Ruangan/sarana penyimpanan daging / hasil olahannya dilengkapi dengan pintu pengaman dari bahan yang tidak mudah berkarat serta pengontrolan /pengatur suhu. e. Tata cara penyimpanan daging/hasil olahannya harus di atur sedemikian rupa sehingga daging/hasil olahannya yang disimpan terlebih dahulu akan dengan mudah untuk dikeluarkan lagi. f. Pembungkusan dan wadah produk akhir harus memenuhi persyaratan sebagai wadah/pembungkus makanan (food grade) dan ditangani secara higienis. g. Ruangan-ruangan lain dalam kompleks, yang meliputi ruang administrasi, ruang penyimpanan alat, ruang, istirahat, locker, kantin dan ruangan lain. h. Alat pengangkutan produk akhir yang meliputi jenis angkutan, fasilitas yang ada pada alat angkut, kapasitas dan kondisinya i. Langkah-langkah pemeliharaan / perawatan, khususnya program pembersihan / desinfeksi, pengontrolan suhu/temperatur ruangan penanganan maupun ruangan penyimpanan daging/ produk akhir dan penyimpanan bahan berbahaya. 3) Alat/kendaraan Pengangkut Daging dan Hasil Olahanya a. Kendaraan pengangkutan daging dan atau hasil olahannya harus berupa kendaraan khusus pengankut daging dan tidak digunakan untuk keperluan lain. b. Ruang bagian dalam angkutan daging harus dibuat dari bahan anti karat, berlantai tidak licin, bersudut pertemuan antar dinding melengkung sehingga mudah Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 71

74 dibersihkan dan dilengkapi lampu penerang yang cukup, mempunyai pintu yang selalu tertutup selama perjalanan. c. Kendaraan angkutan daging harus mempunyai fasilitas sedemikian rupa sehingga daging dan atau hasil olahannya tidak kontak dengan lantai (tidak diletakkan langsung dilantai kendaraan angkutan). d. Untuk dapat mempertahankan suhu daging selama pengangkutan, kendaraan angkutan daging yang mengangkut daging lebih dari 2 (dua) jam harus dilengkapi dengan alat pendingin dengan suhu setinggi-tingginya 10 0 C dan untuk pengangkutan daging/hasil olahannya dalam keadaan beku bersuhu antara minus 18 0 C sampai dengan minus 22 0 C. 4) Bahan Makanan Asal Hewan (Daging dan Hasil Olahannya) Untuk mencegah kemungkinan masuknya/menjalarnya penyakit hewan menular ke wilayah/antar wilayah Republik Indonesia yang dapat ditularkan melalui daging/hasil olahannya dan menjamin ketentraman batin masyarakat dalam mengkonsumsi daging/hasil olahannya, maka: a. Daging/hasil olahannya yang berasal dari luar negeri: a) Setiap pemasukan daging/hasil olahannya harus disertai Surat Keterangan Kesehatan (Health Certificate) yang dikeluarkan oleh dokter hewan pemerintah yang berwenang. b) Disertai dengan sertifikat halal, yang menyatakan bahwa daging tersebut berasal dari ternak yang pemotongannya dilakukan menurut syariat islam. c) Harus dikemas dengan baik sehingga tidak terjadi pencemaran. d) Dalam pengangkutan dan tempat penyimpanan daging babi dengan hewan lainnya harus terpisah. b. Daging/hasil olahannya yang berasal dari dalam negeri/luar daerah: a) Harus disertai Surat Keterangan Kesehatan dan Asal Daging (Certificate Of Health And Origin) yang dikeluarkan oleh dokter hewan yang berwewenang pada Dinas Peternakan daerah pengirim. b) Khusus daging yang berasal dari propinsi lain, selain kelengkapan dokumen diatas, harus disertai Surat Izin Pengeluaran Bahan Makanan Asal Hewan (daging/olahannya) dari Direktur Jendral Peternakan. c) Harus dikemas dengan baik sehingga tidak terjadi pencemaran. d) Dalam pengangkutan dan tempat/penyimpanan daging babi harus terpisah dengan daging hewan lainnya. 3. Cara Penulisan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) 1) Pada prinsipnya Nomor Kontrol Veteriner terdiri dari urutan 3 (tiga) jenis huruf/ angka yang menunjukkan jenis dan lokasi usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya serta nomor urut pemberian NKV: a. Jenis usaha yang dinyatakan dengan huruf, yaitu: I (import), D (distributor), P (pengenceran) atau gabungan diantaranya. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 72

75 b. Lokasi usaha pengimpor, pengumpul/ penampung dan pengedar daging serta hasil olahanya dinyatakan dengan angka yang menunjukkan propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan (sesuai standar BPS). c. Nomor urut pemberian NKV yang dinyatakan dengan angka. 2) Berdasarkan permohonan dari pengelola usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahanya atau pihak swasta lainnya serta dari hasil peninjauan dan evaluasi Direktorat Jendral Peternakan, maka akan dikeluarkan Nomor Kontrol Veteriner, yaitu Sertifikat Pemberian Nomor Kontrol Veteriner. 3) Sesuai dengan peraturan perudang-undangan tentang kesehatan masyarakat veteriner dan penanganan daging/daging unggas, maka NKV yang telah diberikan, harus dicantumkan pada label pembungkus dan kemasan daging/bagian-bagian daging/daging unggas (parting) dan hasil olahannya sebagai hasil produksi usaha pengimpor pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahannya. V. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN 1. Pembinaan Pembinaan mempunyai tujuan meningkatkan, mengarahkan dan menkoordinasi kegiatan usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahanya dengan sasaran untuk mewujudkan agar pengelola dan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Pembinaan dilaksanakan oleh instansi teknis baik ditingkat daerah maupun Pusat bekerjasama dengan pihak lain yang terkait. 2. Pengawasan Pengawasan mempunyai tujuan untuk meningkatkan pelaksanaan penerapan/pemberian NKV dengan lebih konsisten, memberikan umpan balik dalam penyempurnaan sistem pemberian NKV, menciptakan iklim standarisasi usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahanya dengan pemberian NKV yang sehat dan benar, mempermudah pendeteksian timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan usaha tersebut serta melindungi konsumen dari jasa penanganan dan peredaran daging / hasil olahannya yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan maupun yang kualitasnya rendah. Maksud dari pengawasan adalah untuk menjamin bahwa pemberian dan penerapan NKV tetap memenuhi ketentuan yang berlaku dengan penuh tanggung jawab. Obyek yang diawasi adalah segala fasilitas dan kegiatan yang berkaitan dengan pemberian NKV sesuai dengan janji pedoman dan peraturan perundangan yang berlaku. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 73

76 3. Sanksi Sanksi yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dikenal kepada pengelola usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahanya yang telah melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan usaha dan penerapan NKV sesuai dengan ketagori penyimpangan yang tertuang dalam ketentuan yang berlaku. Sanksi dalam pengelolaan usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahanya yang dikategorikan dalam 2 (dua) jenis yaitu: 1) Sanksi pidana, yaitu sanksi yang dikenakan terhadap mereka yang telah melakukan tindakan pidana atau pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal 5, 6, 7, 9, 21, dan 25 Undang-Undang NO. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, Tumbuhan. 2) Sanksi pidana, yaitu sanksi yang dikenal terhadap mereka yang telah melakukan tindakan pidana atau pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal 4 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, yaitu mengenai larangan mengedarkan daging yang tidak berasal dari RPH dan pasal 4 ayat (5) mengenai larangan menjual daging yang tidak sehat. 3) Sanksi administrasi, yaitu sanksi yang dikenakan dalam bidang administratif terhadap pengelola usaha pengimpor, pengumpul/penampung dan pengedar daging serta hasil olahanya perubahan pencabutan persetujuan impor/izin pengumpul/penampung dan pengedar daging dan peninjauan kembali sertifikat pemberian NKV yang telah diberikan. VI. PENUTUP Diharapkan melalui sistem pemberian/penerapan Nomor Kontrol Veteriner (NKV), yang merupakan dasar dan pedoman kegiatan pengelolaan usaha pengimpor, pengumpul / penampung dan pengedar daging serta hasil olahanya keterpaduan derap langkah dalam standarisasi usaha tersebut dan penanganan daging untuk penyediaan daging yang aman, sehat, utuh murni dan halal dapat lebih ditingkatkan. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 74

77 DEPARTEMEN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN Jl Salemba Raya No.16 Kotak Pos 1402 Telp. (021)331859, , Jakarta Fax. (021) SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDRAL PETERNAKAN NOMOR : 143/TN.520/KPT/DJP/Deptan/1996 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAWASAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DIREKTUR JENDRAL PETERNAKAN Menimbang : a. Bahwa dalam melindungi masyarakat dari bahaya yang dapat mengganggu kesehatan dan menjamin ketentraman batinnya akibat menggunakan bahan makanan asal hewan, serta melindungi peternak dari kerugian sebagai akibat penurunan nilai/kualitas bahan makanan asal hewan yang diproduksi, maka setiap usaha yang bergerak dan berhubungan dengan bahan tersebut harus memenuhi syarat kesehatan masyarakat veteriner; b. Bahwa dalam pelaksanaannya diperlukan adannya pengawasan terhadap usaha-usaha tersebut agar syarat-syarat yang ditetapkan ditaati; c. Bahwa untuk melaksanakan pengawasan dimaksud dipandang perlu menetapkan petunjuk pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner. Mengingat : 1. Undang-Undang No. 6 Tahun 1967; 2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974; 3. Peratuaran Pemerintah No. 15 Tahun 1977; 4. Peratuaran Pemerintah No. 22 Tahun 1983; 5. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/Kpts/Um/10/1982; 6. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 555/Kpts/Tn.240/9/1986; 7. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 557/Kpts/Tn.520/9/1987; 8. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 295/Kpts/Tn.240/5/1989; 9. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 413/Kpts/Tn.310/7/1992; 10. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 745/Kpts/Tn.240/12/1992; 11. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 306/Kpts/Tn.330/4/1994; 12. Surat Keputusan Direktur Jendral Peternakan No. 17/Kpts/DJP/Deptan/83; 13. Surat Keputusan Direktur Jendral Peternakan No. 77 /TN.120/ Kpts/ DJP/ deptan/1993. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 75

78 MEMUTUSKAN Menetapkan : Pertama :Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Kesehatan Masyarakat Vetriner terhadap kegiatan pemotongan hewan, perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi, pengawetan bahan makanan asal hewan beserta produknya (daging, susu, telur, bahan makanan asal hewan yang diawetkan) dan bahan asal sebagaimana tersebut pada Lampiran Keputusan ini; Kedua : Dalam melaksanakan pengawasan dimaksud, Pengawasan Kesehatan Masyarat Veteriner mengikuti petunjuk pelaksanaan pengawasan sebagai dimaksud AMAR PERTAMA; Ketiga : Dalam melaksanakan pengawasan dimaksud, Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner bertanggung jawab secara teknis kepada Direktur Jendral Peternakan. Keempat: Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal di tetapkan dengan ketentuan bahwa apabila di kemudian hari terdapat kekurangan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan. Tembusan disampaikan kepada Yth: 1. Sdr. Sekertaris Jendral Departemen Pertanian; 2. Sdr. Direktur Jendral Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri; 3. Sdr. Direktur Jendral Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri; 4. Sdr. Para Gubernur/KDH Tingkat I Seluruh Indonesia; 5. Sdr. Para Kepala Kantor Wilayah Depertemen Pertanian Propinsi Dati I diseluruh Indonesia; 6. Sdr. Para Kepala Dinas Peternakan Propinsi Dati I di seluruh Indonesia; 7. Sdr. Para Kepala Dinas Peternakan Kabupaten/Kotamadya Dati II di seluruh Indonesia; DITETAPKAN DI : J A K A R T A PADA TANGGAL : 26 FEBRUARI 1995 DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN Dr Drh S O E H A D J I Nip : Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 76

79 LAMPIRAN : SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDRAL PETERNAKAN NOMOR : 143/TN.520/KPTS/DJP/DEPTAN/1996 TANGGAL : 26 Februari 1996 TENTANG : PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAWASAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER I. PENDAHULUAN Peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner termasuk didalamnya pengawasan tentang usaha pemotongan hewan dan penanganan daging serta hasil ikutannya dan pengawasan kualitas susu produksi dalam negeri telah ditetapkan dalam beberapa ketentuan yaitu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Menteri Pertanian, Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian dan Menteri Pertanian serta Surat Keputusan Direktur Jendral Peternakan. Pelaksanaan pengaturan di bidang pengamanan hasil peternakan dan tata cara pengawasannya merupakan suatu upaya atau kegiatan yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan terpadu mengingat saat ini perkembangan penyediaan, pengolahan/pemrosesan, penyimpanan, peredaran dan pemanfaatan bahan makanan asal hewan dan hasil olahannya semakin meningkat dan beraneka ragam sering dengan makin meningkatnya populasi, produksi dan konsumsi hasil ternak. Tujuan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner antara lain untuk menjaga mutu atau kualitas bahan makanan asal hewan dan hasil olahannya, membina dan menerbitkan usaha penyediaan bahan makanan asal hewan dan mencegah terjadinya penyimpangan, pemalsuan terhadap bahan makanan asal hewan. Dalam kaitan tersebut agar pelaksanaan pengawasan dapat dilakukan secara efektif dan efisien, maka diperlukan adannya kesamaan persepsi tentang tata cara dan tindak pengawasan. Untuk itu dianggap perlu adannya Petunjuk Pelaksanaan yang dapat dijadikan pedoman dan pegangan bagi pengawas kesehatan masyarakat veteriner dan semua unsur yang terlibat dalam kegiatan pengawasan mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah. II. TUJUAN PENGAWASAN Tujuan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner adalah: 1. untuk mencegah terjadinya berbagai penyimpangan yang menyangkut keamanan dan mutu bahan makanan asal hewan dan hasil olahannya. 2. agar bahan makanan asal hewan dan hasil olahannya yang beredar dalam masyarakat layak untuk dikonsumsi dalam pengertian bahan tersebut aman, sehat, murni/utuh dan halal. 3. untuk menerbitkan usaha yang berkaitan dengan pengadaan bahan makanan asal hewan dan hasil olahannya, baik itu sebagai pengelola rumah pemotongan hewan/unggas, produsen/pengolah bahan makanan asal hewan dan hasil ikutannya, importir, distributor maupun bahan makanan asal hewan dan hasil olahannya. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 77

80 4. untuk mencegah terjadinnya penyalahgunaan hak, baik dalam hal penyediaan, pengolahan/pemrosesan, penyimpanan dan pengangkutan maupun dalam hal peredaran bahan makanan asal hewan dan hasil olahannya. 5. dalam rangaka pembinaan dan bimbingan usaha yang berkaitan dengan penyediaan bahan makanan asal hewan dan hasil olahannya. III. KETENTUAN-KETENTUAN PENGAWASAN MASYARAKAT VETERINER 1. Dasar Hukum Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner dilandasi dengan dasar hukum yang kuat karena mulai dari Ordonasio atau Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sampai kepada peraturan pelakasanaanya sudah ada. Dengan demikian segala tidakan yang menyangkut pengawasan kesehatan masyarakat veteriner dapat dibenarkan dan mendapat perlindungan hukum yang mantap dan bertanggung jawab. Sebagai landasan pokok yang mengatur pelaksanaan pengawasan masyarakat veteriner sudah ada yaitu Ordonasio 1912 No.432 dan No.435 yang dikenal dengan pengaturan tentang campur tangan pemerintah dalam bidang kehewanan beserta perubahan-perubahannya, antara lain Staatblad 1936 No. 714 dan No. 715 dan Staatblad No No. 512 yang secara khusus mengatur tentang campur tangan pemerintah dibidang kehewanan termasuk urusan Veteriner Hygine. Selanjutnya Undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun Pasal-pasal yang memperinci dan mengatur tata cara pelaksanaan pengawasan/ pemeriksaan yang termuat dalam landasan pokok dan landasan pelengkap dapat diutarakan sebagai berikut: 1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 Pasal 19 ayat 2 yang berbunyi : Urusan-urusan kesehatan masyarakat veteriner meliputi antara lain urusan-urusan kesehatan bahan makanan yang berasal dari hewan, dan urusan-urusan penyakit penyakit hewan yang termasuk anthropozoonosa. Pasal 21 ayat 1 dan 2 yang berbunyi : Untuk kepentingan permeliharaan kesehatan manusia dan ketentraman bathin masyarakat, sebagaimana termaksud pada Pasal 19 ayat 2, maka dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang: Ayat 1 a. Pengawasan pemotongan hewan; b. Pengawasan perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi; c. Pengawasan dan pengujian daging, susu dan telur; d. Pengawasan pengolahan bahan makanan yang berasal dari hewan; e. Pengawasan dan pengujian bahan makanan yang berasal dari hewan yang diolah; Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 78

81 f. Pengawasan terhadap "bahan-bahan hayati" yang ada sangkut pautnya dengan hewan, bahan-bahan pengawetan makanan dan lain-lain. Ayat 2 a. Pernberantasan rabies pada anjing, kucing dan kera dan lain-lain anthropozoonosa yang penting; b. Pengawasan terhadap bahan-bahan dari hewan yaitu: kulit, bulu, tulang, kuku, tanduk dan lain-lain; c. Dalam pengendalian anthropozoonosis diadakan kerjasama yang baik antara instansi-instansi yang langsung atau tidak langsung berkepentingan dengan kesehatan umum. 2) Peraturan Pernerintah No. 22 Tahun 1983 Pasal 2 ayat 1, 4 dan 5 yang berbunyi: Setiap hewan potong yang akan dipotong harus sehat dan telah diperiksa kesehatannya oleh petugas perneriksa yang berwenang. Pernotongan hewan potong harus dilaksanakan di rumah pemotongan hewan atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang. Pemotongan hewan potong untuk keperluan keluarga, upacara adat dan keagamaan serta penyembelihan hewan potong secara darurat dapat dilaksanakan menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud diatas, dengan mendapat izin terlebih dahulu dari Bupati/Walikotamadya Kapala Daerah Tingkat II yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuknya. Syarat-syarat rumah pemotongan hewan, pekerja, pelaksana pemotongan cara perneriksaan kesehatan dan pemotongan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan o!eh Menteri. Pasal 3 ayat 1 huruf a, b dan c yang berbunyi : a. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antar Propinsi dan ekspor harus memperoleh surat izin usaha pemotongan hewan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. b. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan atar Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam suatu Daerah Tingkat I harus memperoleh surat izin pemotongan hewan dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. c. Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II harus memperoleh surat izin usaha pemotongan hewan dari Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat yang bersangkutan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 79

82 Pasal 4 ayat 1, 2, 3, 4 dan 5 yang berbunyi : Daging hewan yang telah selesai dipotong harus segera diperiksa kesehatan oleh petugas pemeriksa yang berwenang. Daging yang lulus dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud, baru dapat diedarkan setelah terlebih dahulu dibubuhi cap atau setempel oleh petugas pemeriksa yang berwenang. Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dan cara penanganan serta syarat kelayakan tempat penjualan daging diatur lebih lanjut oleh Menteri. Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan daging yang tidak berasal dari rumah pemotongan hewan kecuali daging yang berasal dari pemotongan untuk keperluan keluarga, upacara adat, keagamaan dan penyembelihan darurat. Setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat. Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 yang berbunyi : Setiap perusahaan susu harus memenuhi persyaratan tentang kesehatan sapi perah. perkandangan, kesehatan lingkungan, kamar susu, tempat penampungan susu dan alat-alat serta keadaan air yang dipergunakan dalam kaitannya dengan produksi susu. Persyaratan usaha peternakan susu rakyat diatur tersendiri oleh Menteri. Tenaga kerja yang menangani produksi susu, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. berbadan sehat b. berpakaian bersih c. diperiksa kesehatannya secara berkala oleh Dinas Kesehatan setempat d. tidak berbuat hal-hal yang dapat mencemarkan susu e. syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri Pasal 6 yang berbunyi: Pemerahan dan penanganan susu harus: a. dilakukan secara hygienis b. mengikuti cara-cara pemerahan yang baik c. memenuhi syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri Pasal 7 ayat 1, 2 dan 3 yang berbunyi : Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan susu yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri. Setiap orang atau badan yang mengedarkan susu harus mengikuti cara penanganan, penyimpanan, pengangkutan dan penjualan susu yang ditetapkan oleh Menteri. Menteri menetapkan syarat kelayakan tempat usaha dan tempat penjualan susu. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 80

83 Pasal 8 yang berbunyi: Setiap usaha peternakan babi harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan masyarakat veteriner dari ternak babi, syarat-syarat kesehatan lingkungan dan perkandanganilya ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. Pasal 9 yang berbunyi: Setiap usaha peternakan unggas harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan masyarakat veteriner dari ternak uanggas, syarat-syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. Pasal 10 ayat 1 dan 2 yang berbunyi : Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan telur yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri. Setiap orang atau badan yang mengeluarkan telur harus mengikuti cara penyimpanan dan pengangkutan telur yang ditetapkan oleh Menteri Pasal 11 yang berbunyi : Setiap usaha atau kegiatan pengawetan bahan makanan asal hewan dan hasil usaha kegiatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat kesehatan masyarakat veteriner yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 12 yang berbunyi. Menteri menetapkan batas maksimum kandungan residu bahan hayati antibiotika dan obat lainnya dalam bahan makanan asal hewan. Pasal 13 yang berbunyi Setiap usaha pengumpulan, penampungan, penyimpanan dan pengawetan bahan asal hewan harus memenuhi ketentuan-ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 14 ayat 1 dan 3 yang berbunyi : pelaksanaan pengawasan kesehatan masyarakat veteriner atas pemotongan hewan, perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi, daging susu dan telur, pengawetan bahan makanan asal hewan, bahan makanan asal hewan yang diawetkan dan bahan asal hewan dilakukan oleh Bupati/Walikotamadaya Kepala Daerah Tingkat II, kecuali usaha pemotongan hewan untuk keperluan ekspordan antar Propinsi Dati I. Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner yang menyangkut bidang teknis higiene dan sanitasi dilakukan oleh Dokter Hewan Pernerintah. Dokter Hewan Pemerintah Pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner dimaksud ditunjuk oleh Menteri. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 81

84 2. Ketentuan Operasional Adapun peraturan pelaksanaannya yang menyangkut masalah pegawasan kesehatan masyarakat veteriner tersebut baik, berupa Surat Keputusan Menteri Pertanian maupun Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan adalah sebagai berikut : 1) Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 555/Kpts/TN.240/9/1986 tertanggal 9 September 1986 tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan hewan dan Usaha Pemotongan Hewan. Dalam Surat Keputusan ini diatur mengenai syarat-syarat rumah pemotongan hewan, usaha pemotongan hewan dan pelaporan kegiatan pemotongan hewan yang dilakukan. 2) Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 557/Kpts/TN.240/1987 tertanggal tentang Syarat-syarat Pemotongan Unggas dan Usaha Pernotongan Unggas. Dalam Surat Keputusan ini diatur mengenai syarat-syarat rumah pemotongan unggas, usaha pemotongan unggas dan pelaporan kegiatan pemotongan unggas yang dilakukan. 3) Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 295/Kpts/TN.240/5/1989 tertanggal 5 Mei 1989 tentang Pemotongan Babi dan Penanganan Daging Babi dan Hasil Ikutannya. Dalam Surat Keputusan ini diatur syarat pemotongan babi, pemeriksaan ante mortem dan post mortem, cara penyembelihan babi, cara penanganan daging babi dan hasil ikutannya, syarat-syarat pengangkutan daging babi, tempat penjualan daging babi serta kesehatan karyawan dan lingkungan. 4) Surat Keputusan Menteri Pertanian No.413/Kpts/TN.310/7/1992 tertanggal 25 Juli 1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya. Dalam Surat Keputusan ini diatur mengenai syarat dan tata cara pemotongan hewan potong, tata cara penanganan daging serta penanganan hasil ikutan dan limbah. Disamping itu diatur pula perlakuan yang harus dikenakan terhadap daging apabila menderita penyakit-penyakit tertentu serta tulisan tanda/stempel daging hewan potong. 5) Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 306/Kpts/TN.330/4/94 tertanggal 27 April 1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya. Dalam Surat Keputusan ini diatur mengenai syarat dan tata cara pemotongan unggas, tata cara penanganan daging unggas serta Penanganan hasil ikutan limbahnya. Disamping itu diatur pula perlakuan yang harus dikenakan terhadap Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 82

85 daging unggas apabila menderita penyakit-penyakit tertentu serta pemberian label pada kemasan daging unggas sebagai hasil pemeriksaan post mortem. 6) Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan No. 17/Kpts/DJP/Deptan tertanggal 19 Januari 1983 tentang Syarat-syarat, Tata Cara Pengawasan dan Pemeriksaan Kualitas Susu Produksi Dalam Negeri. Dalam Suat Keputusan ini diatur mengenai syarat-syarat kesehatan sapi perah dan kualitas susu yang diproduksikan, tata cara pengawasan dan pengujian kualitas susu serta hasil pemeriksaan dan pengujian kualitas susu. 7) Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan No.77 / TN.120 /Kpts/DJ P / Deptan / 1993 tertanggal 26 Pebruari 1993 tentang Pedoman Teknis Perusahaan Peternakan beserta penambahan lampirannya, yang tertuang dalarn SK. Direktur Jenderal Peternakan No. 92/TN.120/Kpts/DJP/Deptan/1994 tanggal 21 Pebruari ) Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan No. 254/TN.520/Kpts/DJ P/Deptan/1995 tertanggal 29 Juni 1995 tentang Pedoman Pemberian Nomor Kontrol Veterin (NKV) Rumah Pemotongan Hewan/Unggas dan Tempat Pemrosesan Daging. IV. OPERASIONALISASI PENGAWASAN 1. Syarat-syarat Pengawasan Kesmavet Syarat pengawas Kesmavet dinyatakan sebagai berikut: 1) Pengawas kesehatan masyarakat veteriner dilakukan oleh Pengawas Kesmavet yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Pertanian. Usulan Pengangkatan dan pemberhentian pengawas kesmavet diajukan oleh Kepala Dinas Peternakan Daerah Propinsi Tingkat I melalui Direktur Jenderal Peternakan 2) Syarat Pengawas Kesmavet yaitu harus beriijazah dokter yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan kesehatan masyarakat veteriner. 3) Penempatan dan penetapan wilayah kerja Pengawas Kesmavet ditetapkan dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan. Dalam melaksanakan tugasnya Pengawas Kesmavet harus Mengenakan kartu tanda pengenal yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan. 2. Tugas dan Wewenang Pengawas Kesmavet Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983, Pengawas Kesmavet mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap setiap usaha yang bergerak dan berhubungan dengan bahan makanan asal hewan atau bahan asa! hewan lainnya, agar syarat-syarat yang telah ditetapkan ditaati yaitu : Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 83

86 1) Melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan persyaratan dan perizinan usaha pemotongan hewan dan penanganan daging dan hasil ikutannya. 2) Melakukan pengawasan terhadap pemotongan hewan, perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi, pengawetan bahan makanan asal hewan/ produknya dan bahan asal hewan termasuk pekerja, sarana dan tempat penyimpanannya, alat serta cara pengangkutannya. 3) Melakukan pengawasan terhadap daging, susu dan telur serta hasil olahannya yang beredar ditempat-tempat penjualan dan tempat lainnya, termasuk bahanbahan hayati yang ada sangkut pautnya dengan hewan dan bahan-bahan pengawetan makanan. 4) Mengambil contoh sampel daging, susu dan telur/olahannya dan bahan asal hewan lainnya guna pengujian laboratorium terhadap keamanan dan kesehatannya. 5) Melakukan pengawasan terhadap pakan, bahan hayati, obat hewan dan pestisida yang diberikan khususnya pada ternak-ternak penghasil daging, susu dan telur. 6) Melakukan pengawasan terhadap bahan-bahan dari hewan yaitu kulit, bulu, tulang, tanduk, dan lain-lain. Apabila dalam pengawasan sebagaimana dimaksud diatas ditemukan penyimpangan, Menteri atau pejabat Pengawas Kesmavet dapat memerintahkan untuk: 1) Menghentikan sementara kegiatan pemotongan hewan, produksi susu, produksi telur, produksi babi dan pengawetan bahan, makanan asal hewan. 2) Melarang peredaran daging, susu, telur, bahan makanan asal hewan yang diawetkan dan bahan asal hewan. 3) Menarik dari peredaran terhadap daging, susu, telur, bahan makanan asal hewan yan diawetkan dan bahan asal hewan. 4) Menghentikan pemakaian pakan, bahan hayati, obat hewan pestisida yang tidak sesuai dengan ketentuan. 3. Mekanisme Pengawasan Kesmavet Tindak pengawasan merupakan kegiatan yang melibatkan beberapa istansi baik dalam lingkup Direktorat Jenderal Peternakan maupun istansi terkait diluar Direktorat Jenderal Peternakan. Dalam kaitan tersebut diperlukan adanya suatu sistem yang transparan yang dapat menjadi pedoman/pegangan dalam pelaksanaan tindak pengawasan kesmavet baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam sistim pengawsan Kesmavet antara lain : Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 84

87 1. Pengorganisasian Untuk memperlancar kegiatan pengawasan diperlukan adannya pengorganisasian yang mantap, dimana masing-masing disiplin mempunyai wewenang dan tugas yang jelas sesuai dengan fungsi yang dimiliki, Di dalam pengorganisasian kegiatan pengawasan kesmavet maka 3 (tiga) hal yang mendapat perhatian: a. Pengorganisasian yang menyangkut pembinaan. DirekturJenderal Peternakan cq. Direktorat Bina Kesehatan hewan adalah sebagai pembina tingkat nasional atau tingkat pusat selanjutnya pembinaan di tingkat propinsi maupun di Tingkat Kabupaten/kotamadya dilakukan oleh Dinas Peternakan Daerah Tingkat I dan II. b. Pengorganisasian dibidang pengawasan mutu bahan makan asal hewan. Dalam hal ini ada 2 (dua kelompok kegiatan yaitu yang menyangkut masalah penilaian administratif dan pengujian mutu : a) Penilaian administratiif. Pengorganisasian mengenai penilaian mutu secara administratif ditingkat pusat adalah Direktorat Bina Kesehatan Hewan pada tingkat propinsi maupun tingkat Kabupaten/Kotamadya adalah Peternakan Daerah Tingkat I dan II. b) Pengujian mutu Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 466 / Kpts / OT.210 / 6 / 94 tertanggal 9 Juni 1994 telah ditetapkan bahwa yang berwenang melakukan pengujian mutu bahan makanan asal hewan adalah Loka Pengujian Mutu Produk Peternakan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 110/Kpts/OT.210/2/93 tertanggal 19 Februari 1993 ditetapkan bahwa yang ditunjuk melakukan pengujian laboratoris bahan makanan asal hewan dari cemaran mikroba dan kandungan residu bahan hayati, kimia, logam berat. antibiotika, hormon dan obat lainnya adalah : Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) Wilayah I Medan, BPPH Wilayah II Bukit tinggi, BPPH Wilayah III Bandar Lampung, BPPH Wilayah IV Yogyakarta, BPPH Wilayah V Banjar Baru, BPPH Wilayah VI Denpasar, BPPH Wilayah V Maros dan Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH) Gunung sindur, Bogor. Pengujian mutu dapat dilakukan juga di laboratorium-laboratorium lainnya baik milik pemerintah maupun swasta apabila memenuhi persyaratan (diakreditasi dan disertifikasi) sebagai unit laboratorium pengujian mutu. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 85

88 c) Pengorganisasian di bidang pengawasan lapangan. Dalam hal ini telah diangkat Pengawasan Kesmavet berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian dan selanjutnya penetapan wilayah kerjanya ditetapkan oleh Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan. Pengawasan Kesmavet tersebut bertugas mengadakan pengawasan lapangan sesuai dengan tugas, wewenang dan wilayah kerjanya. 2. Tindakan preventif Dalam pelaksanaan tindak pengawasan perlu dipikirkan dan diperhitungkan kemungkinan timbulnya implikasi yang merupakan efek samping dari pada tindakan pengawasan tersebut. Seperti telah di singgung bahwa efek samping ini dapat terjadi juga pada bidang!aln. Namun yang penting kemungkinan efek samping tersebut diusahakan untuk diperkecil celah-celahnya. Untuk mencegah hal demikian perlu dipersiapkan metode pengawasan tertentu sehingga implikasi demikian tidak sempat dimanfaatkan oleh yang tidak bertanggung jawab. Pencegahan ini tidak saja terhadap pelaksana pengawasan di lapangan, tetapi juga dalam pelaksanaan pengawasan fungsi pada pengorganisasian lain. 4. Penyusunan Rencana Kerja Di dalam pelaksanaan tindak pengawasan perlu disusun suatu rencana kerja yang baik dengan menetapkan langkah-langkah yang akan diambil dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Setiap Pengawas Kesmanavet wajib menyusun rencana kerja tahunan yang dirinci dalam kegiatan bulanan. Dalam kegiatan tersebut mencakup kegiatan pengawasan terhadap seluruh usaha pemotongan hewan, perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi, perusahaan pengolahan dan Pengawetan bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan yang ada di wilayah kerjanya. 2) Pengawas Kesmavet yang kedudukan satuan administrasi pangkalnya berada pada Dinas Kabupaten/Kotamadya Dati II menyampaikan rencana kerja tahunan kepada Kepala Dinas Peternakan Kabupaten/Kotamadya Dati II, sedangkan Pengawas Kesmavet yang kedudukan satuan administrasi pangkalnya berada pada Dinas Peternakan Dati I menyampaikan rencana kerja tahunan kepada Kepala Dinas Peternakan Dati I setempat. 3) Kepala Dinas Peternakan Kabupaten/Kotamadya Dati II atau Kepala Dinas Peternakan Dati I menyampaikan rencana kerja tahunan kesmavet kepada Direktorat Jendral Peternakan cq. Direktorat Bina Kesehatan Hewan. 4) Rencana kerja tersebut selambat-selambatnya bulan Juli setiap tahun diterima oleh Direktorat Jendral Peternakan cq. Direktorat Bina Kesehatan Hewan untuk Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 86

89 dipergunakan sebagai bahan penyusunan anggaran pembiayaan pengawasan kesmavet. 5. Kegiatan Pengawasan Kesmavet Kegiatan pengawasan kesmavet sehubungan dengan peternakan meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Penertiban usaha Penertiban usaha pemotongan hewan dan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan bahan makanan asal hewan mulai dari tempat pemrosesan daging (TPD), sampai kepada yang bergerak dalam Pengadaan dan peredaran yaitu importir, distributor dan pengecer. Tindak penertiban disini menyangkut masalah perizinan atau persyaratan lain yang harus dipenuhi termasuk sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV) dari usaha yang ada hubungannya dengan pengamanan bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan. Mengenai perusahaan susu, perusahaan unggas dan perusahaan babi yang diatur tersendiri melalui Peraturan Pernerintah No. 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan, maka dalam pembinaan dan penerapan peraturan mengenai bidang peternakan tersebut, kepentingan kesehatan masyarakat veteriner wajib diperhatikan seperti kesehatan ternaknya, perkandangannya, kesehatan lingkungan alat serta air yang digunakan kamar susu dan tempat penampungan susunya. 2) Penertiban terhadap pengiriman, bahan makanan asal hewan. Penertiban pengiriman bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan termasuk penertiban terhadap perizinan impor/ekspor dan pengiriman antar propinsi yang diberikan kepada perusahaan tertentu. 3) Penertiban terhadap penanganan, penyimpanan, pengangkutan dan pengedaran bahan makanan asal hewan. Penertiban ini ditujukan terhadap sarana penanganan, penyimpanan, pengangkutan dan pengedaran bahan makanan asal hewan persyaratan khusus sesuai dengan ketentuan yang ber!aku. 4) Pengambilan sampel/contoh bahan makanan asal hewan dan/atau bahan asal hewan (termasuk yang telah diawetkan) serta hasil olahannya. Pengambilan ini dilakukan apabila ada kecurigaan atau ditemukan kemungkinan penyimpangan dari tata cara pemotongan, pemrosesan, penanganan, penyimpanan maupun pengangkutan sesuai ketentuan yang berlaku. Sampel/contoh dikirim ke laboratorium yang telah ditunjuk/diakreditasi guna pembuktian lebih lanjut. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 87

90 Pemeriksaan ditujukan terhadap kemungkinan pencemaran oleh mikroba dan residu dan atau kemungkinan pemalsuan. 5) Pengawasan pelaksanaan (verifikasi) upaya jaminan mutu (quality assurance) pada usaha pemotongan hewan, perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi dan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan bahan makanan asal hewan. Dalam upaya meningkatkan pengawasan bahan makanan asal hewan, Pengawas Kesmavet perlu memperhatikan titik-titik rawan/kritis terhadap kontaminasi pada setiap mata rantai mulai dari pra, proses dan pasca produksi. Salah satu metoda jaminan mutu yang menggunakan prinsip tersebut diatas dan diterapkan untuk bahan pangan termasuk bahan makanan asal hewan dikenal sebagai metoda analisa bahaya dengan mengendalikan titik-titik atau Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). HACCP dilakukan mengendalikan pencemaran baik yang bersifat fisik, kimiawi maupun mikrobiologik. Pada prinsipnya metode HACCP mencakup tiga hal berikut: (1) mengindentifikasi jenis-jenis pencemaran; (2) menentukan titik-titik pengendalian dan (3) melakukan pemantauan terhadap pengendalian titik kritis. Dengan menitik beratkan pada pengawasan faktor kunci tersebut yang mempengaruhi keamanan dan kualitas bahan pangan asal hewan, maka diharapkan kelemahan-kelemahan yang ditimbulkan dalam sistern pengawasan dapat dihindari dan diperkecil. 6. Tata Cara Pengawasan Dalam pelaksanaan tindak pengawasan kesmavet perlu diperhatikan tata cara sebagai berikut: 1) Setiap peiaksana tugas Pengawas Kesmavet yang menjalankan pekerjaan sebagai Pengawas Kesmavet harus mendapat surat perintah dari Kepala Dinas Peternakan Dati I dan Kepala Dinas Dati II/Kotamadya sesuai wilayah kerjanya. 2) Apabila petugas menemukan hal-hal yang men yimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada, maka petugas akan melakukan tindakan sebagai berikut : a. Pengawas Kesmavet membuat teguran tertulis dua kali berturut-turut selang waktu 1 (satu) bulan, dan memberikan laporan kepada Direktur Jenderal Peternakan dengan tembusan Kepala Dinas Peternakan Propinsi DatiI dan Kepala Dinas Peternakan Dati II/Kotamadya setempat; b. Pengawas Kesmavet memberikan laporan kepada pemberi izin untuk mengambil tindakan lebih lanjut dapat berupa mewajibkan yang bersangkutan memenuhi ketentuan perizinan. Mencabut izin atau menutup usaha yang bersangkutan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 88

91 3) Apabila Pengawas Kesmavet menemukan penyimpangan tentang syarat dan tata cara pemotongan hewan/unggas dan penanganan daging hewan potong/unggas, serta hasil ikutannya, sarana penanganan, penyimpanan, pengangkutan dan pengedaran bahan makanan asal hewan, maka Pengawas Kesmavet melakukan tindakan sebagai berikut: a. Dapat menghentikan sementara. kegiatan usaha pemotongan hewan, penyediaan dan peredaran bahan makanan asal hewan paling lama 5 (lima) hari; b. Membuat laporan penyimpangan dan tindakan penghentian sementara kepada Menteri Pertanian melalui DirekturJenderal Peternakan paling lama 2 hari kerja dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian setempat, Dinas Peternakan Dati I dan Dinas Peternakan Dati II/Kotamadya setempat; c. Apabila dalam jangka waktu 30 hari Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri Pertanian belum mengambil keputusan, maka Pengawas Kesmavet dapat mernperpanjang penghentian sementara; d. Berdasarkan laporan Pengawas Kesmavet, maka Direktorat Jenderal Peternakan atas nama Menteri Pertanian paling lambat 60 hari sejak diterimanya laporan tersebut mengambil keputusan yaitu: a) Mencabut tindakan penghentian sementara yang telah dilakukan Pengawas Kesmavet dan menyatakan kegiatan pemotongan hewan, penanganan, penyimpanan, pengangkutan dan peredaran bahan makanan asal hewan yang dilaporkan dapat dilanjutkan atau; b) Menghentikan pemotongan hewan, penanganan, penyimpanan, pengangkutan dan peredaran bahan makanan asal hewan serta melarang dan memerintahkan penaarikan peredaran bahan makana asal hewan dari pasaran; c) Keputusan DirekturJenderal Petemakan atas nama Menteri Pertanian pada butir (a) disampaikan kepada yang bersangkutan dengan tembusan kepada Kepala Dinas Peternakan Propinsi Dati I, Kepala Dinas Peternakan Dati II/Kotamadya setempat; d) Keputusan DirekturJenderal Petemakan atas nama Menteri Pertanian pada butir (b) disampaikan kepada yang bersangkutan dengan tembusan kepada Kepala Dinas Peternakan Propinsi Dati I, Kepala Dinas Peternakan Dati II/Kotamadya setempat. V. SASARAN PENGAWASAN Secara umum yang menjadi sasaran pengawasan adalah sernua jenis kegiatan yang menyangkut pengawasan keamaanan dan pengendalian mutu bahan makanan asal hewan dan aspek-aspeknya. Sesuai dengan ketentuan perundangan yang ada yang menjadi sasaran pengawasan adalah kegiatan pemotongan hewan, perusahaan susu perusahaan unggas, perusahaan babi, perusahaan pengawetan bahan makanan asal hewan kegiatan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 89

92 lainnya yang menyangkut penyimpanan, pengangkutan dan pengedaran bahan makanan asal hewan. Sasaran pengawasan yang menyangkut kegiatan pengadaan bahan makanan hewan baik untuk dalam negeri maupun luar negeri adalah Rumah Pemotongan Hewan Unggas (PPH/RPU) dan atau distributor maupun eksportir/importir itu sendiri, industri pengolahan susu (IPS) dan perusahaan/koperasi susu. Sedangkan untuk kegiatan penanganan, penyimpanan, pengangkutan dan peredaran terutama ditujukan kepada. tempat pemrosesan daging (TPD), distributor dan para pengecer (depo). Pada kegiatan pengawasan cemaran mikroba dan kandungan residu yang menjadi sasaran pengawasan disamping yang telah disebutkan diatas termasuk juga dalam sasaran pengawasan adalah perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi serta hotelhotel, pasar swalayan dan restauran yang bahan makanan utama yang dijual/dihidangkan mempergunakan bahan makanan asal hewan. Di dalam melaksanakan pengawasan, maka yang menjadi sasaran pengawasan yakni : 1. Rumah Pemotongan Hewan/Unggas (RPH/RPU) Hal-hal yang perlu ditertibkan dan diawasi antara lain : 1) Pelaksanaan ketentuan peraturan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian 555/1986 dan No. 557/1987 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan Unggas dan Usaha Pemotongan Hewan/Unggas berdasarkan kelas RPH/RPU dan luas peredaran daging/daging unggas yang dihasilkan. 2) Pelaksanaan kegiatan dalam usaha pemotongan hewan/unggas harus sesuai dengan ketentuan teknis yang tercanturn dalam izin usaha pemotongan pemotongan hewan/unggas dan sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV) yang telah diberkan bagi RPH/RPU yang dimiliki oleh swasta atau Badan Usarja Milik Daerah (BUMD). Bagi RPH rnilik pemerintah harus sesuai dengan ketentuan teknis yang tercantum dalam sertifikat NKV yang telah diberikan. 3) Pengawasan kesehatan hewan/unggas dan proses produksi daging yang meliputi: a. Pengawasan kesehatan hewan/unggas b. Proses pemotongan dan penanganan daging c. Proses pengangkutan Jenis kegiatan tersebut diatas meliputi: a) Kegiatan pemulihan kondisi dengan cara hewan diistirahatkan dahulu minimal selama 12 jam sebelum dipotong kecuali unggas. b) Kegiatan pemeriksaan kesehatan terhadap hewan/unggas yang akan dipotong (pemeriksaan ante mortem) dengan cara: i. Mengamati keadaan hewan/unggas dengan seksama; ii. Pengujian laboratorik apabila ada kecurigaan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 90

93 c) Khusus untuk sapi/kerbau betina dilakukan pemeriksaan dengan cara eksplorasi rektal untuk mengetahui bahwa sapi/kerbau betina dimaksud dalam "keadaan bunting atau merupakan sapi/kerbau yang masih produklif (bibit) sesuai peraturan yang berlaku. d) Kegiatan penyembelihan: i. Penyembelihan hewan/unggas dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan atau tanpa pemingsanan terlebih dahulu dan apabila hewan tersebut bukan babi, maka pemingsanannya dilakukan menurut cara yang sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). ii. Penyembelihan dilakukan oleh seorang Muslim menurut tata cara agama Islam dan dilakukan menurut cara yang sesuai dengan Fatwa MUI tanggal 23 Oktober 1976 yaitu dilakukan dengan pisau yang tajam memutuskan hulqum (tempat berjalan nafas), mari (tempat berjalan makanan) dan waldajain (dua urat nadi) hewan yang akan disembelih dengan terlebih dahulu membaca Basmallah. Bagi unggas dilakukan menurut cara yang sesuai dengan Fatwa MUI tanggal 2 Desember 1993 mengenai Fatwa halal atas sistim pemotongan unggas. e) Kegiatan pemeriksaan daging (post morlem) i. Setelah hewan/unggas yang disembelih tidak menunjukkan tanda-tanda bergerak dan darahnya berhenti mengalir, maka dilakukan penyelesaian penyembelihan dan setelah itu dilakukan pemeriksaan kesehatan daging dan bagiannya secara utuh oleh petugas pemeriksa yang berwenang. ii. Pengujian laboratorik apabila ada kecurigaan. iii. Hasil keputusan dari pemeriksaan tersebut dinyatakan dengan memberikan stempel/tanda pada daging yang bersangkutan dengan bentuk, model ukuran dan tulisannya sebagaimana tercantum dalam SK Menteri Pertanian No. 413/1992 dengan sekaligus mencantumkan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) yang telah diberikan. Khusus untuk daging unggas diberi label yang mencantumkan NKV pada kemasannya sesuai dengan petunjuk dalam SK Menteri Pertanian No. 306/1994. iv. Kegiatan pelayuan daging (kecuali daging unggas) Setelah pemeriksaan kesehatannya maka dilakukan penirisan diruang pelayuan dengan cara tetap menggantungnya selama 8 (delapan) jam sehingga darah yang masih tertinggal akan habis dan daging yang dihasilkan akan lebih sehat dan empuk. v. Kegiatan pengangkutan daging Alat pengangkutan daging harus memenuhi persyaratan teknis yang telah dipersyaratkan. Dalam memindahkan daging ke alat pengangkut dan atau dari alat pengangkut ke tempat penyimpanan/penampungan, maka tetap dihindarkan adanya pencemaran, baik terhadap mikro organisme maupun terhadap daging yang diharamkan oleh agama Islam. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 91

94 2. Peternakan sapi perah rakyat/perusahaan peternakan sapi perah (perusahaan susu) Hal-hal yang perlu ditertibkan dan diawasi antara lain: 1) Dokter Hewan atau tenaga teknis penanggung jawab yang melaksanakan terhadap kesehatan sapi perah dan susu yang dihasilkan. 2) Pengawasan lokasi usaha dan produksi susu yang meliputi: a. Pengawasan perkandangan dan lingkungannya; b. Pengawasan kandang/tempat pemerahan; c. Pengawasan peralatan penampungan susu; d. Pengawasan cara-cara pemerahan dan kebersihan sapi-sapi tersebut saat diperah; e. Pengawasan kamar susu; f. Pengawasan kesehatan dan kebersihan para karyawan perusahaan; g. Pengawasan penggunaan air di dalam produksi; h. Pengawasan peralatan dan botol-botol yang digunakan serta pembersihannya. 3) Pengawasan saat penyimpanan Segera setelah susu diproduksi, maka sebelum diedarkan lebih lanjut terlebih dahulu mengalami penyimpanan untuk beberapa saat lamanya. Waktu penyimpanan ini dapat lebih panjang bila perusahaan susu tersebut telah memiliki suatu "milk cooling unit". Dalam rangka pengawasan selama penyimpanan ini diperhatikan hal-hal yang menyangkut: a. Penyimpanan susu tanpa proses pendinginan; b. Penyimpanan susu dengan proses pendinginan (milk cooling unit). c. Pengawasan selama pengangkutan meliputi pengawasan kondisi alat angkut dan temperatur selama pengangkutan; d. Pengawasan pada saat pemasaran meliputi pengawasan penempatan susu pada saat di perusahaan, tindak penanganan pada saat perpindahan susu ke tangan konsumen serta temperatur penyimpanan selama menunggu pemasaran. 4) Tindakan pencegahan (vaksinasi) terhadap penyakit dan tertentu yang terdapat di daerah bersangkutan yang sesuai dengan kriteria dan ketentuan yang berlaku dalam bidang Kesehatan hewan. Setiap pelaksanaan vaksinasi hendaknya dicatat dalam kartu kesehatan ternak. 5) Peredaran susu yang berasal dari sapi perah selama pengobatan antibiotika atau hormon untuk dikonsurnsi manusia. Hendaknya susu dipergunakan kembali setelah 7 (tujuh) hari dari saat pernberian antibiotika atau 3 (tiga) hari dari saat pernberian hormon yang terakhir. 6) Peredaran daging yang berasai dari sapi perah yang dipotong selama pengobatan antibiotika atau hormon untuk konsumsi manusia, kecuali apabila ternak tersebut dipotong setelah 7 (tujuh) hari dari saat pernberian antibiotika atau 3 (tiga) hari dari saat pernberian hormon yang terakhir. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 92

95 3. Perusahaan unggas Hal-hal yang perlu ditertibkan dan diawasi antara lain: 1) Dokter Hewan atau tenaga teknis yang bertanggung jawab terhadap pengawasan usaha peternakan unggas terutama persyaratan kesehatan unggas, kesehatan lingkungan dan perkandangannya. 2) Tindakan pencegahan (vaksinasi) terhadap penyakit-penyakit unggas yang sesuai dengan kriteria dan ketentuan yang berlaku dalam bidang kesehatan hewan. Setiap pelaksanaan vaksinasi dicatat dalam kartu kesehatan ternak. 3) Peredaran daging yang berasal dari ayam petelur/pedaging/bibit selama pengobatan antibiotika atau hormon kecuali apabila ternak unggas tersebut dipotong setelah 7 (tujuh) hari dari saat pemberian antibiotika atau 3 (tiga) hari dari saat pemberian hormon yang terakhir. 4) Kesehatan telur yang beredar: a. Harus berasal dari peternakan ayam petelur yang bebas dari beberapa penyakit menular seperti pullorurn/salmonellosis dan lain sebagainya. b. Cara pewadahan dan pengangkutannya dapat menjamin bahwa telur tebaik, sehat dan aman sampai ke konsumen. 4. Perusahaan Babi Hal-hal yang perlu ditertibkan dan diawasi antara lain: 1) Dokter Hewan atau tenaga teknis yang bertanggung jawab terhadap pengawasan usaha peternakan babi terutama persyaratan kesehatan babi, kesehaian lingkungan dan perkandangannya. 2) Tindakan Pencegahan (vaksinasi) terhadap penyakit-penyakit babi yang sesuai dengan kriteria dan ketentuan yang berlaku dalam bidang kesehatan hewan. Setiap pelaksanaan vaksinasi dicatat dalam kartu kesehatan ternak. 3) Peredaran daging yang berasal dari ternak babi selama pengobatan antibiotik atau hormon kecuali apablila ternak babi tersebut dipotong setelah 7 (tujuh) hari saat pernberian antibiotika atau 3 (tiga) hari dari saat pemberian hormon yang terakhir. 5. Perusahaan yang bergerak dalam usaha pengadaan dan pemrosesan bahan makanan asal hewan (tempat pemrosesan daging, industri pengolah susu dan lain-lain). Hal-hal yang ditertibkan dan diawasi antara lain: 1) Pelaksanaan kegiatan dalam usaha penyediaan dan pemrosesan bahan makan asal hewan harus sesuai dengan ketentuan teknis yang tercanturn dalam izin usaha pengolahan bahan makanan asal hewan dan sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV) yang telah diberikan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 93

96 2) Bahan baku utama harus berasal dari daging yang memenuhi persyaratan baik dari segi kesehatan maupun kehalalan. 3) Bahan tambahan yang diberikan berupa "shortening, stabilizer atau emulsifier harus berasal dari lemak nabati atau lemak hewani (selain babi) yang telah dikaji secara kimiawi dan dijamin halal. 4) Tempat pemrosesan daging yang mengolah babi harus jelas terpisah sama sekali dengan tempat pemrosesan daging bukan babi. 6. Eksportir/Importir dan Distributor Hal-hal yang akan diawasi dan ditertibkan antara lain: 1) Pelaksanaan kegiatan dalam memasukkan bahan makanan asal hewan ke dalam negeri atau mengirimkan bahan makanan asal hewan keluar negeri harus memiliki persetujuan/izin impor/ekspor serta memenuhi tata cara karantina sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bagi pengiriman antar propinsi harus memiliki izin pengiriman bahan makanan asal hewan antar propinsi dari Direktur Jenderal Peternakan. 2) Khusus mengenai pengeluaran daging hasil oiahannya untuk tujuan antar Propinsi dan ekspor, maka dagingnya harus berasal dari RPH yang telah memenuhi persyaratan untuk keperluan tersebut. 3) Cara dan sarana penanganan serta pengangkutan bahan makanan asal hewan harus sesuai dengan persyaratan/ketentuan teknis yang tercanturn dalam sertifikat NKV. 4) Sanitasi dan suhu ruangan dimana bahan makanan asal hewan diletakkan atau disimpan. 5) Pengadaan air bersih dan sumber air yang digunakan dalam melakukan pemrosesan bahan makanan asal hewan. 7. Perusahaan dan perorangan (depot pengecer/toko daging/pasar swalayan) Hal-hal yang diawasi dan ditertibkan antara lain: 1) Dalam peredaran saat penjualan/penjajaan daging di depo pengecer/los pasar harus secara jelas dipisahkan sama sekali antara tempat/los penjualan daging bukan babi dengan tempat/los daging babi serta terpisah juga dengan tempat/los penjualan komoditi lainnya. Demikian juga dengan tempat penjualan daging di toko daging maupun pasar swalayan berupa lemari atau "show case" maupun ruang penyimpanan harus terpisah antara daging/hasil olahan yang berasal dari hewan bukan babi dengan daging/hasil olahan babi. 2) Apabila menjual daging dan hasil olahannya yang berasal dari Propinsi lain, maka harus menunjukan Surat lzin Pengeluaran/Pengiriman Daging dari Direktur Jenderal Peternakan yang dipunyai oleh pengirim. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 94

97 3) Sanitasi dan suhu ruangan penyimpanan serta peralatan yang digunakan untuk menjajakan bahan makanan asal hewan. 8. Bahan makanan hasil hewan (daging, susu, telur dan bahan makanan hewan yang diolah dan diawetkan). 1) Pengamatan mutu bahan makanan asal hewan (secara organoleptik) dan apabila kecurigaan dilakukan pengambilan sampel/contoh untuk pengujian di laboratorium yang ditunjuk/diakreditasi. 2) Stempel atau label pada bahan makanan asal hewan yang mencantumkan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) dan hasil pemeriksaan kesmavet. 3) Bahan pembungkus/pengepakan yang digunakan untuk membungkus/mengepak bahan makanan asal hewan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Bahan pembungkus/pengepakan harus disimpan dan digunakan dalam keadaan bersih dan sanitasi baik; b. Pembungkusan/pengepakan harus cukup aman untuk melindungi bahan rnakanan asal hewan dari kontaminasi/pencemaran; c. Bahan pembungkus/pengepakan harus non-toksik (tidak berbahaya) dan menimbulkan deposit (bahan tertinggal) apapun pada bahan makanan hewan. VI. SANKSI Para pengawas kesmavet diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan segala sesuatu yang berhubungan dengan bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan. Berwenang memasuki dan memeriksa halaman, bangunan, ruangan pemotongan, pelayuan, penyimpanan, tempat dan alat penyimpanan serta peredaran bahan makanan asal hewan dan lain-lainnya yang ada sangkut pautnya dengan penanganan bahan makanan hewan. Disamping itu bila dianggap perlu pengawas bahan makanan asal hewan dapat mengambil sampel bahan makanan asal hewan yang diproduksi, disimpan, diangkut dan diedarkan di tempat-tempat penjualan atau pasar setiap saat dan setiap contoh untuk bahan pengujian. Mengenai pembelian bahan makanan asal hewan yang dipergunakan sebagai sampel disediakan anggaran melalui APBN atau sumber lain. Apabila dalam pelaksanaan di lapangan ada hal-hal yang menyimpang baik berupa pelanggaran ataupun kejahatan, maka para pengawas memiliki wewenang untuk melakukan teguran, peringatan sampai dengan tindak penyegelan. Berat ringannya sanksi sangat tergantung kepada berat ringannya pelanggaran yang diperbuat. Sanksi yang dapat diberikan kepada yang melakukan pelanggaran ringan adalah sanksi administratif. Sedangkan apabila sifat perbuatan pelanggaran tersebut dapat mengakibatkan kerugian dan atau membahayakan konsumen dianggap sebagai perbuatan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 95

98 kejahatan yang dapat diancam dengan sanksi pidana yang berlaku umum, maka penyelesaiannya harus dilakukan oleh petugas yang berwenang. Sanksi yang dapat diberikan kepada yangmelakukan pelanggaran adalah sebagai berikut: 1. Sanksi Administratif 1) Teguran Setiap pelanggaran yang ditemukan Pengawas Kesmavet harus diberikan teguran secara tertulis dua kali berturut-turut selang 1 (satu) bulan. Apabila teguran tertulis tersebut tidak dihiraukan maka tindakan selanjutnya dapat dilakukan tindakan penyegelan sambil menunggu keputusan dan pemberi izin usaha. 2) Pemanggilan Pemanggilan penanggung jawab atau pimpinan perusahaan baik secara lisan maupun tertulis. Dalam melaksanakan teguran/pemanggilan Pengawas Kesmavet dapat melakukan pembinaan melalui pendekataan yang bersifat edukatif yaitu kegiatan penyuluhan. Kegiatan penyuluhan dapat diselenggarakan secara terpadu dengan instansi terkait lainnya untuk lebih menyadarkan akan pentingnya usaha pengawasan bahan makanan asal hewan agar memenuhi persyaratan kesehatan (higiene) dan menjamin ketentraman bathin masyarakat. Apabila dalam pembinaan tersebut masih terdapat pelanggaran peraturan yang berlaku, maka akan dikenakan sanksi pidana. 2. Sanksi Pidana 1) Ketentuan pidana dalam Peraturan Pernerintah Sebagai penjabaran dari Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 dalam kaitan penanganan bahan pagan hewan asal ternak ada 2(dua) Peraturan Pemerintah (PP) yang memuat ketentuan pidana bagi pelanggarnya yaitu PP No. 15 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan PP No. 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan. a. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 Ketentuan Pidana yang diatur dalam PP ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: a) Bagi pelanggar yang melakukan tindak pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal tertentu dalam Peraturan Pemerintah ini dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp ,- (lima puluh ribu rupiah). i. Pasal 2: Pemotongan hewan potong yang dilaksanakan di luar Rumah Pemotongan Hewan/RPH atau Tempat Pemotongan Hewan/TPH lainnya yang tidak ditunjuk oleh pejabat yang Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 96

99 berwenang (ayat 3); Memotong hewan untuk keperluan upacara adat/keluarga/keagamaan serta pemotongan hewan secara darurat tidak mempunyai Surat izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat li yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuknya (ayat 4); Persyaratan teknis RPH, pekerja, pelaksanaan pemotongan, cara pemeriksaan kesehatan dan pemotongan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetap oleh Menteri (ayat 5). ii. Pasal 3 ayat I : Bagi setiap badan/usaha yang melaksanakan usaha pemotongan hewan bagi kebutuhan: i) antar propinsi dan ekspor tidak mempunyai izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya; ii) antar Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam suatu Daerah Tingkat I tidak mempunyai Surat izin dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan; iii) lokal/wilayah Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat II tidak mempunyai Surat izin dari Bupati atau Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. iv) Pasal 4: Bagi petugas perneriksa berwenang yang tidak memeriksa kesehatan daging segera setelah hewan dipotong (ayat 1). Bagi setiap orang atau badan yang mengedarkan daging yang tidak berasal dari RPH (ayat 4). v) Pasal 5 : Bagi setiap pemeriksaan susu yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan (ayat 1). vi) Pasal 13: Bagi setiap usaha penampungan dan pengawetan bahan pangan asal hewan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan kesehatan masyarakat veteriner yang ditetapkan oleh Menteri. b) Bagi pelanggar pasal-pasal tertentu dari PP NO.22 Tahun l983 ini dipidana berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku dalam PP No. 15 Tahun Pasal-pasal dimaksud secara rinci dapat disebutkan sebagai berikut : i. Pasal 4 ayat 5 mengedarkan daging yang tidak sehat. ii. Pasal 7 ayat I mengedarkan susu yang tidak memenuhi persyarata. iii. Pasal 10 ayat I : mengedarkan telur yang tidak memenuhi persyaratan. b. Peraturan pemerintah No. 15 Tahun 1977 Ketentuan pidana yang diatur dalam PP No. 15 Tahun 1977 yang berkaitan dengan penanganan bahan hewani asal temak dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu tlndak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 97

100 a) Tindak pidana kejahatan adalah barang siapa yang dengan sengaia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana tersurat dalam pasal 4 ayat (5), pasal 7 (ayat), pasal 10 (ayat 1), PP No. 22 Tahun 1983, dalam PP No. 15 Tahun 1977 ini dikategorikan dapat menimbulkan dan menularnya penyakit hewan diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 2 tahun. b) Tindak pidana pelanggaran adalah barang siapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana tersurat dalam pasal 4 (ayat 5), pasal 7 (ayat 1), pasal 10 (ayat 1) dimaksud pada butir (a) diancam pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp ,- (satu juta rupiah). 2) Ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah. Ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah tidak seragam tergantung kepada kebutuhan/keperluan daerah masing-masing mengingat berdasarkan Staatblad Tahun 1936 No. 714 dan No. 715 serta Tahun 1937 No. 512 urusan "veteriner hygiene" diserahkan kepada Kotapraja/Kabupaten. Dengan adanya landasan hukum yang ada yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 beserta peraturan pelaksanaannya diharapkan masing-masing Pemerintah Daerah berdasarkan dengan kewenangannya menyesuaikan dengan Undang-Undang tersebut beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. VII. PELAPORAN 1. Laporan Pengawas Kesmavet Pengawas Kesmavet wajib membuat laporan kegiatan-kegiatan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Pengawas Kesmavet yang satuan administrasi pangkainya berada pada Dinas Peternakan Dati II/Kotamadya menyampaikan laporan kepada Dinas Peternakan Dati II, sedangkan Pengawas Kesmavet yang Kedudukan satuan administrasinya pada Dinas Peternakan Dati I menyampaikan laporan kepada Dinas Peternakan Dati I setempat. 2. Laporan Kepala Dinas Peternakan Dati I dan Dati II Kepala Dinas Peternakan Dati II selanjutnya mengolah laporan Pengawas Kesmavet yang berada diwilayahnya masing-masing, selanjutnya dikirim kepada Dinas Peternakan Dati II. Selanjutnya Dinas Peternakan Dati I menganalisa/mengevaluasi seluruh laporan Dati I. Hasil evaluasi laporan tersebut diteruskan kepada Direktur Jenderal Peternakan cq. Direktur Bina Kesehatan Hewan bersama-sama dengan Rencana Kerja Tahunan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 98

101 VII. PENUTUP Laporan dan Rencana Kerja Tahunan tersebut selambat-lambatnya bulan Juli setia tahunnya telah diterima oleh Direktur Jenderal Peternakan cq. Direktur Bina Kesehata Hewan. Bentuk formulir pelaporan akan disampaikan kemudian melalui Surat Edaran DirekturJenderal Peternakan. Dengan adanya Petunjuk Pelaksanaan Kesehatan Masyarakat Veteriner ini diharapkan kegiatan pengawasan terhadap bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan dapat dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Jakarta, 26 Februari 1996 An. DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN DIREKTUR BINA KESEHATAN HEWAN Ttd Drh SOFJAN SUDRAJAT, MS Nip : Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 99

102 DEPARTEMEN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN Jl Harsono RM No. 3 Gedung C Pasar Minggu, Jakarta Telp : (021) Kotak Pos 1108/JKS, Jakarta Fakx : (021) ; TENTANG PROSEDUR BAKU IMPORTASI HEWAN DAN BAHAN ASAL HEWAN DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN Menimbang: a. bahwa dalam upaya mempertahankan Indonesia dari Status Bebas Penyakit Hewan Menular Utama diperlukan langkah-langkah kebijakan strategis melalui pengawasan terhadap Lalu-Iintas pemasukan Hewan dan Bahan Asal Hewan dari Luar Negeri: b. bahwa dengan mengacu pada ketentuan Animal Health Code Office International des Epizooties (OIE), maka dalam rangka pengawasan terhadap lalu-lintas pemasukan Hewan dan Bahan Asal Hewan dari Luar Negeri tersebut dipandang perlu menetapkan Prosedur Baku Importasi Hewan dan Bahan Asal Hewan dengan Keputusan Direktur Jenderal Produksi Peternakan. Mengingat: a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Nomor 10, Tambahan Lembara Negara Nomor 2824); b. Undang-undang Republik indonesia Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, ikan dan tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3462); c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor Tambahan Lernbaran Negara Nomor 3101); d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 19 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3253); e. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 136 Tahun 19 tentang Kedudukan, tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan tata Kerja Departemen Pertanian; Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 100

103 f. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 284/Kpts/OP/1983 tentang Penunjukan Pejabat Penerima Wewenang Mengatur Tindakan Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan; g. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 422/Kpts/LB tentang Peraturan Karantina Hewan; h. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 745/Kpts/TN.240/12/1992 tentang Persyaratan dan Pengawasan Daging dari Luar Negeri; i. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 160/Kpts/OT210/3/2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian; Memperhatikan: international Animal Health Code -Office International des Epizooties (OIE) Tahun MEMUTUSKAN Menetapkan: PERTAMA : Menetapkan Prosedur Baku Importasi Hewan dan Bahan Asal Hewan sebagaimana tercantum pada Lampiran Keputusan ini. KEDUA : Prosedur Baku Importasi Hewan dan Bahan Asal Hewan sebagaimana dimaksud pada amar PERTAMA, merupakan pedoman bagi petugas pelaksana dan para pelaku Importasi Hewan dan Bahan Asal Hewan serta akan dilakukan peninjauan kembali berdasarkan ketentuanketentuan Nasional, Internasional dan menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal Ditetapkan Ditetapkan : di Jakarta Pada Tanggal : 30 Juni 2000 DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS Nip : Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 101

104 Tembusan Keputusan ini disampaikan kepada Yth. 1. Menteri Pertanian Republik Indonesia; 2. Para Pejabat Eselon I di lingkungan Departemen Pertanian; 3. Para Pejabat Eselon II Direktorat Jenderal Produksi Peternakan; 4. Para Gubernur Propinsi di seluruh Indonesia; 5. Para Kepa!a Kantor Wilayah Departemen Petanian di seluruh indonesia; 6. Para Bupati/Walikota di seluruh Indonesia; 7. Assosiasi Pengusaha Daging dan Feedloter Indonesia (APFINDO); 8. Assosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (ASPIDI); 9. Kelompok Kerja Importir Daging Unggas. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 102

105 LAMPIRAN I : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN NOMOR : 71/TN.690/Kpts/DJP/DEPTAN/2000 TANGGAL : 30 Juni 2000 PROSEDUR OPERASIONAL BAKU IMPORTASI HEWAN TERNAK 1. Kajian awal situasi penyakit hewan menular dilakukan berdasarkan laporan Office International des Epizooties (OIE) dari setiap negara pengekspor hewan/ternak. a. Importasi ternak ruminansia dan babi hanya dari negara yang bebas penyakit hewan menular utama daftar A OIE (lampiran iii). Penyakit Hewan daftar B OIE juga diperlukan sebagai bahan evaluasi Analisa resiko penyakit. b. Importasi ternak unggas hanya dari negara yang bebas penyakit menular A influenza. c. Informasi tentang kesehatan farm dan lingkungan area farm di negara pengekspor diperlukan untuk analisa resiko. 2. Kunjungan ke negara pengekspor dilakukan oleh suatu Tim Akreditasi untuk melakukan evaluasi (penilaian) situasi penyakit hewan menular dan sistem epidemiologi penyakit di negara pengekspor. 3. Dilakukan kesepakatan bilateral antara kedua negara dalam bentuk kerjasama "Memorandum of Understanding" (MOU) dan/atau Protokol Persyaratan Kesehatan Hewan. 4. Dilakukan penilaian tentang kemungkinan importasi hewan/ternak berdasar evalusi situasi penyakit hewan menular utama dan penetapan persyaratan teknis kesehatan hewan lainnya seperti perlakuan dan pengujian laboratorium. 5. Pengawasan Karantina didasarkan atas Certificate of Health memuat tentang persyaratan teknis kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh dokter hewan yang dikuasakan dan dokumen lainnya yang syah dari negara pengekspor. 6. Pengawasan penyebaran dan pemeliharaan dilakukan oleh Dinas Peternakan setempat. DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS Nip : Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 103

106 LAMPIRAN II : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN NOMOR NOMOR : 71/TN.690/Kpts/DJP/Deptan/2000 TANGGAL: 30 Juni 2000 PROSEDUR OPERASIONAL BAKU IMPORTASI BAHAN ASAL HEWAN 1. Kajian awal situasi penyakit calon negara pengekspor bahan asal hewan dilakukan berdasar laporan rutin Office International des Epizooties (OIE) atau Badan Internasional yang lain. a. Untuk ruminansia dan babi, importasi hanya dari negara yang bebas penyakit hewan menular utama daftar A OIE (Lampiran III). b. Untuk unggas, importasi hanya dari negara bebas pathogenic strain Avian Influenza (Fowl plaque). c. Informasi tentang kesehatan farm dan lingkungan juga diperlukan sebagai bahan evaluasi. 2. Kunjungan ke negara pengekspor dilakukan oleh suatu Tim untuk melakukan evaluasi epidemiologi penyakit di negara pengekspor. 3. Dilakukan kesepakatan bilateral antara kedua negara dalam bentuk kerjasama "Memorandum of Understanding" (MOU) dan/atau Protokol Persyaratan Kesehatan Hewan, berdasarkan pada keuntungan bersama. 4. Kemungkinan importasi dilaksanakan berdasarkan pada kesimpulan teknis dari evaluasi yang dilakukan oleh Tim Direktorat Jenderal Produksi Peternakan dan perlakuan halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). 5. Pengawasan Karantina di Indonesia berdasarkan Sertifikasi Kesehatan Hewan dan dokumen lain yang legal yang memuat tentang negara asal bahan asal hewan, keterangan kesehatan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan berwenang dan sertifikat halal dari Majelis Ulama negara pengekspor yang telah disetujui oleh MUI (Lampiran V). 6. Pengawasan distribusi dilakukan oleh Dinas Peternakan setempat. DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS Nip : Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 104

107 LAMPIRAN III : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN NOMOR : 71/TN.690/Kpts/DJP/Deptan/2000 TANGGAL : 30 Juni 2000 Tabel 1. DAFTAR NEGARA-NEGARA YANG BEBAS PENYAKIT HEWAN MENULAR UTAMA DAFTAR A OIE DAN BERPOTENS1 UNTUK PERDAGANGANGAN BILATERAL TERNAK DAN HASIL TERNAK DENGAN INDONESIA NO BENUA NEGERA KETERANGAN 1 AFRIKA TIDAK ADA 2 AMERIKA BARDABOS CANADA CHILE CUBA FAKLAND ISLANDS HAITI ARGENTINA URUGUAY USA KECUALI BABI KECUALI BABI KECUALI BABI DALAM PROSES 3 ASIA SINGAPURE KECUALI BABI 4 EROPA AUSTRIA BELGIA CROATA CHECHA REPUBLIC DENMARK FINLANDIA PERANCIS JERMAN ISLANDIA LATVIA LITHUANIA LUXEMBURG MACEDONIA MALTA BELANDA ROMANIA REPUBLIC SLOVAKIA SWEDIA SWITZERLAND INGGRIS YUGOSLAVIA KECUALI BABI KECUALI BABI KECUALI BABI KECUALI BABI KECUALI BABI KECUALI BABI KECUALI BABI 5 OCENIA AUSTRALIA NEW CALEDONIA NEW ZEALAND SAMOA VANUATU Keterangan : Daftar ini dapat berubah sesuai perubahan situas, penyakit. DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS Nip : Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 105

108 LAMPIRAN IV : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN NOMOR : 7/TN.690/Kpts/DJP/Deptan/2000 TANGGAL : 30 Juni 2000 Tabel 2. DAFTAR NEGARA-NEGARA YANG SUDAH MELAKSANAKAN KERJASAMA PERDAGANGAN BILATERAL TERNAK DAN HASIL TERNAK DENGAN INDONESIA NO JENIS KOMODITI NEGARA YANG SUDAH KERJASAMA 1 TERNAK : a. Ternak Ruminansia Australia, New Zaeland, USA, Kanada 2 b. Kuda c. DOC DAGING a. Sapi Australia, New Zaeland, Denmark USA, Belanda, Perancis, Inggris, Jerman, Australia, Thailand, Taiwan Australia, New Zaeland, USA, Kanada, Irlandia, Argentina, Jerman 3 b.unggas BAHAN BAKU PAKAN TERNAK ASAL HEWAN USA, Thailand USA, Australia, New Zaeland, Kanada, Italia DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS Nip : Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 106

109 LAMPIRAN V : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN NOMOR : 71/TN.690/Kpts/DJP/Deptan/2000 TANGGAL : 30 Juni 2000 DAFTAR ORGANISASI ISLAM DI NEGARA PENGEKSPOR YANG SERTIFIKASI HALAL TELAH DISETUJUI MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) I. DAGING UNGGAS 1. USA: 1). Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA) 2). Islamic Food Authority. 2. AUSTRALIA: 1). The Islamic Coordinating Council of Victoria (ICCV) 2). The Australian Federation of Islamic Council (AFIC) 3). Supreme Islamic Coun&il of Halal Meat. 3. NEWZEALAND: 1). The Federation of Islamic Associations. 2). Abu Baker Islamic Organization. 4. THAILAND: 1). Sheikul Islam Office. 5. CANADA: 1). The Islamic Food and Nutrition Council II. DAGING TERNAK RUMINANSIA 1. USA: 1). Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA) 2). Islamic Food Authority. 2. AUSTRALIA: 1). The Islamic Coordinating Council of Victoria (ICCV) 2). The Australian Federation of Islamic Council (AFIC) 3). Suprerve Islamic Council of Halal Meat. 3. NEW ZEALAND: 1). The Federation of Islamic Associations of New Zealand. 2). Abu Baker Islamic Organization. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 107

110 4. CANADA: 1). The Islamic Food and Nutrition'Council of America (IFANCA) 5. IRLANDIA: 1). Bray Islamic Society 2). Islamic Centre of Ireland 3). Waterford Islamic Centre Ireland 6. ARGENTINA: 1). Centro Islamico de la Republica Argentina DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS Nip : Catatan : Daftar akan diperbaharui sesuai dengan rekomendasi MUI Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 108

111 DEPARTEMEN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN Jl Harsono RM No. 3 Gedung C Pasar Minggu, Jakarta Telp : (021) Kotak Pos 1108/JKS, Jakarta Fakx : (021) ; Nomor : TN.540/196/E/06.02 Jakarta, 25 Juni 2002 Lampiran : 1(satu) Perihal : Penghentian sementara KEPADA Yth: Pemasukan Hewan Ruminansia Dan Produknya dari negara tertular BSE 1. Kepala Badan Pengawas Obat dan makanan; 2. Direktur Jenderal Kerjasama Lembaga Industri dan Perdagangan Internasional, Depperindag; 3. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Depkeu 4. Direktur Jenderal PPM & PL, Depkes; 5. Ketua ASFINDO 6. Ketua ASPIDI Di, TEMPAT S U R A T E D A R A N Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No. TN.310/28/E/ tanggal 24 Januari 2002 telah ditetapkan negara-negara yang tertular Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) serta jenis-jenis ternak dan produk ternak yang pemasukan dihentikan sementara. Berkenaan dengan itu, dalam perkembangan selanjutnya dapat kami sampaikan hal-hal berikut : 1. Berdasarkan laporang mingguan OIE tanggal 10 mei 2002, pad tanggal 2 mei 2002 telah dideteksi kasus BSE pertama kali di Polandia dan diteguhkan dengan pengujian laboratorium yang menunjukkan reaksi positif terhadap BSE 2. Berdasarkan laporan darurat (emergency report) OIE tanggal 4 Juni 2002, dilaporkan kasus BSE untuk pertama kalinya pada sapi di negara Israel sesuai dengan hasil pengujian laboratorium pendahuluan tanggal 28 mei 2002 dan 29 mei 2002 di Israel yang diteguhkan dengan hasil pemeriksaan laboratorium rujukan OIE 4 Juni 2002 Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan dalam rangka melindungi sumberdaya hayati nasional serta mencegah masuknya penyakit BSE ke Indonesia, derogan ini dinyatakan bahwa disamping negara-negara seperti yang telah ditetapkan dalarn Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No. TN.310/28/E/ , pemasukain hewan ruminansia dan produknya dari Polandia dan Israel ke Indonesia dihentikan sementara pemasukannya sebagaimana tercantum pada lampiran Surat Edaran Ini. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 109

112 Pernyatan terhadap penghentian sementara pemasukan hewan ruminainsia dan produknya dari negara yang terjangkit BSE akan dievaluasi kembali sesuai perkembangan status setiap negara terhadap BSE yang dinytakan oleh OIE. Khusus untuk Israel, negara tersebut belum bebas terhadap beberapa penyakit hewan daftara-oie, seperti Peste des Petilts Ruminants, Blue Tounge, Cacar Kambing dan Cacar Domba, sehingga berlaku juga penolakan pemasukan hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan karena penyakit tersebut. Dernikian Surat Edaran ini dikeluarkan untuk diketahui oleh berbagai pihak yang berkepentingan. DIREKTUR JENDERAL PRODUKSI PETERNAKAN Dr. Drh SOFJAN SUDRAJAT.D.MS Nip : Ternbusan Surat Edaran ini disampaikan kepala Yth. : 1. Menteri Pertanian RI; 2. Menteri Kesehatan RI; 3. Kepala Bagian Penguiian Obat dan Makanan; 4. Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian; 5. Inspektur Jenderal Departemen Pertanian; F. Sdr. Direktur Jenderal Bina Sarana Partanian, Deptan; 7. SK Direktur Jende.al Bina Produksi Tanamao Pangan, Deptan; 8. Sdr. Direktur Jencleral Bina Produlksi Holtikultura, Deptan; 9. Sdr. Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Deptan; 10. Sdr. Direktur Jencleral Bina Pengolahan dan Pernasaran Hasil Pertanian, Deptan; 11. Sdr. Kepala Badan Bimbingan Masal dan Ketahanan Pangan, Deptan; 12. Sdr. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perianian, Deptan; 13. Sdr. Kepala Baclan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, :Deptan; 14. Sdr. Kepala Baclan Karantina Pertanian, Deptan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 110

113 BAB III TUGAS DAN FUNGSI DIREKTORAT KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) mempunyai tugas Melaksanakan perumusan kebijakan Standarisasi dan bimbingan teknis Evaluasi di bidang Kesmavet Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud diatas, Direktorat Kesehatan Msyarakat Veteriner menyelenggarakan fungsi : 1. Menyiapkan rumusan kebijakan di bidang produk pangan hewan hewani, produk hewan non pangan dan higiene, sanitasi dan kesejahteraan hewan serta residu produk peternakan. 2. Menyiapkan rumusan standar, norma, kriteria di bidang produk pangan hewan, produk hewan non pangan dan higiene, sanitasi dan kesejahteraan hewan serta residu produk peternakan. 3. Melakukan bimbingan teknis di bidang produk pangan hewan hewani, produk hewan non pangan dan higiene, sanitasi dan kesejahteraan hewan serta residu produk peternakan. 4. Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang produk pangan hewan hewani, produk hewan non pangan dan hiygiene, sanitasi dan kesejahteraan hewan serta residu produk peternakan. 5.Melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat Direktorat Kesehatam Masyarakat Veteriner terdiri dari : 1. Sub Direktorat Produk Pangan Hewani; 2. Sub Direktorat Produk Hewan Non Pangan; Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 111

114 3. Sub Direktorat Higiene, Sanitasi dan Kesejahteraan Hewan; 4. Sub Direktorat Residu; 5. Sub Bagian Tata Usaha; 6. Kelompok Jabatan Fungsional. 1. Sub Direktorat Produk Pangan Hewani mempunyai tugas : Melaksanakan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang produk pangan hewani. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana diumaksud Sub Direktorat Produk Pangan Hewani menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, dan prosedur di bidang lalu lintas dan analisis resiko produk pangan hewani. b. Penyiapan bimbingan teknis di bidang lalu lintas dan analisis resiko produk pangan hewani. c. Penyiapan evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang lalu lintas dan analisis resiko produk pangan hewani. Sub Direktorat Produk Pangan Hewani terdiri dari : a. Seksi Lalu Lintas Produk Pangan Hewani b. Seksi Analisis Resiko a. Seksi Lalu Lintas Produk Pangan Hewani (PPH) mempunyai tugas : Melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman standar, norma, kriteria, prosedur, dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang lalu lintas PPH. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 112

115 Dalam melaksnakan tugas sebagaimana dimaksud Seksi Lalu Lintas Produk Pangan Hewani (PPH) menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan untuk penyusunan pedoman standar, norma, kriteria, prosedur, bimbingan teknis dan evaluasi lalu lintas ekspor/impor PPH; 2. Penyiapan kriteria dan prosedur eksportasi PPH serta melakukan kajian kelayakan persyaratan teknis dan sertifikasi kesehatan masyarakat veteriner (Vetyerinary Publich Health) importasi PPH; 3. Penyiapan bahan program standar PPH untuk melindungi kesehatan konsumen dan untuk menjamin terselenggaranya lalu lintas PPH; b. Seksi Analisis Resiko Produk Pangan Hewani (PPH) mempunyai tugas : melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang produk pangan hewan..dalam melaksnakan tugas sebagaimana dimaksud Seksi Analisis Resiko Produk Pangan Hewani (PPH) menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan dan bimbingan teknis analisis resiko keamanan PPH; 2. Penyiapan bahan identifikasi, situasi, status dan evaluasi kesehatan wilayah; 3. Penyiapan bahan-bahan persyaratan teknis kesmavet, harmonisasi peraturan dan kerja sama antar negara. 2.Sub Direktorat Produk Hewan Non Pangan (PHNP) mempunyai tugas : melaksanakan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang produk hewan non pangan. Dalam melaksnakan tugas sebagimana dimaksud Sub Direktorat Produk Hewan Non Pangan (PHNP) menyelenggarakan fungsi : Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 113

116 a. Penyiapan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, dan prosedur di bidang lalu lintas dan analisis resiko produk hewan non pangan. b. Penyiapan bimbingan teknis di bidang lalu lintas dan analisis resiko produk hewan non pangan. c. Penyiapan evaluasi pelaksanaan kegian di bidang lalu lintas dan analisis resiko produk hewan non pangan. Sub Direktorat Produk Hewan Non Pangan (PHNP) terdiri dari : a. Seksi Lalu Lintas Produk Hewan Non Pangan b.seksi Analisis Resiko. a. Seksi Lalu Lintas Produk Hewan Non Pangan (PHNP) mempunyai tugas : melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman standar, norma, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang lalu lintas produk hewan non pangan. Dalam melaksanakan tugas sebagimana dimaksud Seksi Lalu Lintas Produk Hewan Non Pangan (PHNP) menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan untuk penyusunan pedoman, norma, prosedur bimbingan teknis dan evaluasi lalu lintas ekspor/impor PHNP. 2. Penyiapan criteria dan prosedur eksportasi PHNP srta melakukan kajian kelayakan persyaratan teknis dan sertfikasi kesmavet importasi PHNP. 3. Penyiapan bahan program standar PHNP untuk melindungi keamanan konsumen dan menjamin terselenggaranya lalu lintas PHNP. b.seksi Analisis Resiko PHNP mempunyai tugas : melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman, standar, norma, criteria, prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang PHNP. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 114

117 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Seksi Analisis Resiko PHNP menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan dan bimbingan teknis analisa resiko keamanan PHNP; 2. Penyiapan bahan identifikasi, situasi, status dan evaluasi kesehatan wilayah; 3. Penyiapan bahan-bahan persyaratan teknis kesmavet, harmonisasi peraturan dan kerja sama antar negara. 3.Sub Direktorat Higiene, Sanitasi, dan Kesrawan (KSHK) mempunyai tugas : melaksanakan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang hygiene, sanitasi dan kesejahteraan hewan. Dalam melaksnakan tugas sebagimana dimaksud Sub Direktorat Higiene, Sanitasi, dan Kesejahteraan hewan (KSHK) menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, dan prosedur di bidang higiene, sanitasi dan kesejahteraan hewan. b. Penyiapan bimbingan teknis di bidang higiene, sanitasi dan kesejahteraan hewan. c. Penyiapan evaluasi pelaksanaan kegitan di bidang hygiene, sanitasi dan kesejahteraan hewan Sub Direktorat Higiene, Sanitasi, dan Kesejahteraan hewan (KSHK) terdiri dari : a. Seksi Higiene dan Sanitasi b. Seksi Kesejahteraan hewan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 115

118 a. Seksi Higiene dan Sanitasi mempunyai tugas : melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman, standar, kriteria, prosedur, bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang higiene dan sanitasi. Dalam melaksnakan tugas sebagimana dimaksud Seksi Higiene dan Sanitasi menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan untuk penyusunan pedoman, norma, prosedur, bimbingan teknis dan evaluasi pemotongan hewan dan penanganan daging, susu dan telur serta hasil ikutannya; 2. Penyiapan kriteria dan prosedur pengendalian pemotongan hewan betina serta melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatannya; 3. Penyiapan bahan kajian sistem sertifikasi jaminan keamanan produk pangan asal hewan. b.seksi Kesejahteraan Hewan mempunyai tugas : melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman, standar, kriteria, prosedur, dan bimbingan teknis serta evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang kesrawan. Dalam melaksnakan tugas sebagaimana dimaksud Seksi Kesejahteraan Hewan menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan untuk penyusunan pedoman, norma, prosedur, bimbingan teknis dan evaluasi kesejahteraan hewan. 2. Penyiapan criteria dan prosedur pemeliharaan, pengankutan serta pemotongan hewan yang sesuai dengan kesejahteraan hewan; 3. Penyiapan bahan program standar kesejahteraan hewan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 116

119 4. Sub Direktorat Residu mempunyai tugas : melaksanakan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, prosedur, dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang residu. Dalam melaksnakan tugas sebagimana dimaksud Sub Direktorat Residu menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria dan prosedur di bidang penetapan ambang residu dan bimbingan pengujian residu. b. Penyiapan bimbingan teknis di bidang penetapan ambang residu dan pengujian residu. c. Penyiapan evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang penetapan ambang residu dan bimbingan pengujian residu. Sub Direktorat Residu terdiri dari : a. Seksi Ambang Residu b. Seksi Bimbingan Pengujian a. Seksi Ambang Residu mempunyai tugas : melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman, standar, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang penetapan ambang residu. Dalam melaksnakan tugas sebaimana dimaksud Seksi Ambang Residu menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan penyusunan pedoman, standar, bimbingan teknis, penetapan batas maksimun residu, cemaran mikroba dan logam berat pada produk pangan asal hewan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 117

120 2. Penyiapan bahan kriteria dan prosedur serta melakukan kajian penerapan hasil pengujian residu, cemaran mikroba dan logam berat. 3. Penyiapan bahan kajian dan standar residu, cemaran mikroba dan logam berat serta mengevaluasi pelaksanaan kegiatannya. b.seksi Bimbingan Pengujian mempunyai tugas : melakukan penyiapan bahan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang pengujian residu. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Seksi Bimbingan Pengujian menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan penyusunan pedoman, standar, norma, criteria, prosedur dan bimbingan teknis pengujian laboratorium kesmavet. 2. Pengumpulan bahan bimbingan pengembangan laboratorium kesmavet 3. Pengumpulan dan pengolahan serta mengevaluasi hasil pengujian laboratorium kesmavet. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 118

121 BAGAN STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN SETDITJEN DIREKTORAT PEMBIBITAN DIREKTORAT BUDIDAYA PETERNAKAN DIREKTORAT PENGEMBA NGAN PETERNAKAN DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN DIREKTORAT KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER Gambar 1. Bagan Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 119

122 STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN DIREKTORAT KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER SUB BAGIAN TATA USAHA SUB-DIREKTORAT PRODUKSI PANGAN HEWANI SUB-DIREKTORAT PRODUK HEWAN NON PANGAN SUB-DIREKTORAT HIGIENE, SANITASI, DAN KESEJAHTERAAN HEWAN SUB-DIREKTORAT RESIDU SEKSI LALU LINTAS PRODUK PANGAN SEKSI LALU LINTAS PRODUK HEWAN SEKSI HIGIENE DAN SANITASI SEKSI AMBANG RESIDU SEKSI ANALISIS RESIKO SEKSI ANALISIS RESIKO SEKSI KESEJAHTERAAN HEWAN SEKSI BIMBINGAN PENGUJIAN KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL Gambar 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 120

123 BAB IV RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK ASAL HEWAN DI INDONESIA 4.1. PENDAHULUAN Dalam beberapa tahun terakhir sebagian besar negara-negara di dunia termasuk juga Indonesia telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap keamanan dan kemurnian makanan bagi kepentingan perlindungan dan kesehatan konsumen. Ketelitian pengamatan terhadap adanya kandungan residu dalam makanan merupakan salah satu upaya untuk menjaga agar makanan yang akan dikonsumsi manusia memiliki resiko membahayakan kesehatan sekecil mungkin. Kesadaran akan pentingnya pengawasan residu dalam makanan juga didorong oleh perkembangan yang begitu cepat dalam teknik-teknik pengujian residu dan diikuti pula dengan kemajuan - kemajuan dalam bidang biokimia, toksikologi dan fisiologi, sehingga makin banyak jenis-jenis residu yang dapat dideteksi serta potensinya dalam membahayakan kesehatan manusia dapat diungkapkan. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya peningkatan kepekaan konsumen terhadap adanya kandungan residu dalam makanan antara lain : 1. Konsumen makin tinggi pengetahuannya sehingga makin sadar dan makin kuat tuntutannya untuk memperoleh makanan yang aman. 2. Adanya peningkatan kejadian residu dan cemaran mikroba yang potensial membahayakan kesehatan masyarakat akibat kecenderungan meningkatnya pemakaian bahan - bahan kimiawi untuk pertanian Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 121

124 3. Makin tingginya kepekaan metoda pengujian yang mampu mendeteksi kandungan residu sampai batas yang cukup rendah sehingga memungkinkan residu dapat dideteksi sedini mungkin. Disamping itu adanya kecenderungan dari negara - negara pengimpor bahan asal ternak di era globalisasi untuk menjadikan residu kimia dalam makanan sebagai hambatan perdagangan bukan tarif (non-tarif trade barrier). Dengan semakin meningkatnya arus perdagangan domestik maupun internasional dan semakin ketatnya persaingan antar negara dalam menghasilkan produk - produk yang bermutu tinggi dan aman, maka makin ketat pula negara-negara pengimpor mengatur standar perdagangan yang memenuhi persyaratan teknis yang diinginkan. Adanya batas residu dan cemaran dalam makanan juga menyebabkan negara - negara pengimpor semakin proteksionis dalam menetapkan persyaratan - persyaratan teknis perdagangan bagi bahan asal hewan. Indonesia sebagai salah satu negara yang aktif mengekspor produk hewan misainya ekspor babi ke Singapura, daging ayam ke Jepang dan juga mengimpor daging bermutu dari Australia dan Selandia Baru dituntut untuk ikut aktif mengikuti kecenderungan pola perdagangan Internasional yang berkembang saat ini. Untuk itu baik pemerintah maupun industri peternakan di Indonesia harus mampu mengantisipasi situasi yang berkembang agar mampu bersaing di pasar global sekaligus melindungi produsen maupun konsumen didalam negeri. Usaha pencegahan berdasarkan prinsip "Quality Assurance" (QA) sudah harus dilaksanakan oleh pihak industri peternakan mulai dari tingkat pensuplai, produsen, sampai tingkat pengolah, sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi dan memperkuat daya saing dari bahan makanan asal hewan dengan tingkat kandungan residu yang masih-aman. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 122

125 Akhir - akhir ini setiap negara mulai menetapkan "Maximum Residue Level" (MRL) sebagai persyaratan yang sah dari produk - produk bahan makanan asal hewan yang akan diperdagangkan. Yang dimaksud dengan MRL atau batas toleransi adalah batas angka tertinggi residu yang masih diperbolehkan berada dalam makanan. Jumlah residu yang berasal dari segala sumber makanan untuk dikonsumsi manusia tidak boleh melampaui jumlah yang biasa terdapat dalam makanan sehari - hari atau "acceptable daily intake" (ADI). Batasan MRL ini masih bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya, sehingga perlu diperhatikan dengan cermat dalam perdagangan baik bagi negara pengimpor maupun pengekspor. Pada masa sekarang dimana persaingan pasar semakin ketat, industri pangan asal hewan harus mampu mempertahankan tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk yang aman dan memiliki kualitas nutrisi yang memenuhi persyaratan. Para produsen dan pengolah bahan pangan harus mampu menghasilkan dan memasarkan makanan asal hewan yang dapat bertahan terhadap pengujian dari konsumen yang kritis dan bahkan menghadapi pemeriksaan terhadap aturan pasar yang ketat. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah terus berusaha memberikan jaminan terhadap produk pangan asal hewan yaitu sejak tahun 1996 telah dilakukan monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba pada produk asal hewan dengan harapan dapat diantisipasi kemungkinan timbulnya hal-hal yang membahayakan konsumen serta dampaknya terhadap perdagangan produk asal hewan baik impor maupun ekspor. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 123

126 II. TUJUAN Tujuan dilaksanakannya monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba adalah : 1. Untuk mendapatkan gambaran secara garis besar kandungan residu yang ada dalam bahan makanan asal hewan maupun lingkungan peternakan di Indonesia dan sekaligus mengetahui tingkat cemarannya 2. Memperkenalkan konsep Quality Assurance" (OA) untuk pengawasan produk makanan asal hewan pada setiap tahap pemrosesan mulai dari bahan mentah sampai pada produk akhir. III. SASARAN Adapun sasaran yang dituju dari monitoring dan surveilans residu ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dalam aspek keamanan dan kesehatan masyarakat meliputi : 1. Jangka pendek : memberikan informasi kepada konsumen tentang produk pangan hewani yang sehat dan berkuaiitas (residu dibawah BMR). 2. Jangka menengah: meningkatkan kesadaran masyarakat akan produk pangan hewani yang sehat dan berkualitas (quality assurance) serta mendukung perdagangan global produk pangan hewani. 3. Jangka panjang : harmonisasi dengan peraturan internasional ( SPS, CAC, OIE). IV PENGENALAN TENTANG RESIDU DAN JENISNYA. Residu didefinisikan sebagai kandungan zat yang tidak diinginkan tertinggal dalam makanan ataupun lingkungan sekitar. Residu kimia dan obat hewan dalam makanan yang berasal dari hewan seperti daging, susu dan telur merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dari konsumen baik di negara maju maupun di negara berkembang. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 124

127 Tanggung jawab pengawasan terhadap kedua jenis residu ini bukan hanya terletak pada industri peternakan akan tetapi juga pada pemerintah yang memiliki wewenang untuk menjamin kualitas produk makanan yang aman dan murni dengan harga yang pantas baik untuk konsumsi domestik maupun tujuan ekspor. Penggunaan bahan kimiawi dalam upaya menangani penyakit yang ditularkan oleh insekta maupun penanganan hama sangat umum dalam pola peternakan intensif dan modern. Begitupun penggunaan bahan kimiawi untuk menjaga kesehatan ternak, meningkatkan efisiensi makanan dan merangsang pertumbuhan ternak. Dalam garis besarnya residu terdiri dari 3 (tiga) kelompok besar yaitu: 1. Residu alamiah Residu ini selalu didapatkan secara alamiah dalam lingkungan sekitar dan pada umumnya terdiri dari residu mineral dan mikrobiologik. Sebagian besar residu mineral adalah logam berat (timah, logam air raksa, cadmium dsb) dan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu : a. Geogenik yaitu : Logam yang secara alamiah terdapat dalam tanah dengan konsentrasi lebih tinggi dari normal. Mineral ini diabsorpsi oleh tanaman dan masuk kedalam rantai makanan. b. Anthropogenik yaitu : Logam yang mengkontaminasi tanah dan hewan lebih dari batas alamiahnya akibat perbuatan manusia. Contohnya tanah sekitar daerah pertambangan dan limbah industri sekunder atau pencemaran tanah akibat penggunaan pupuk phosphat yang berlebihan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 125

128 c. Biogenik yaitu : Residu biogenik selalu ada secara alamiah dalam makanan (mycotoxin, phytotoxin). Secara alamiah pula hewan dapat mencegah akumulasi residu dalam tubuh atau membentuk sistim pertahanan anti toksin. Akibat penerapan cara-cara pertanian modern serta adanya perubahan iklim mikro memungkinkan terjadinya wabah keracunan pada hewan. Oleh karena itu residu kadang-kadang didapatkan dalam konsentrasi tinggi pada hati, susu dan telur. 2. Residu yang disebabkan oleh manusia Residu ini tidak terdapat secara alamiah sebelum ada campur tangan manusia. Kandungan sintetis ini dapat menimbulkan residu pada hewan apabila diberikan oleh manusia atau terkontaminasi secara tidak sengaia. Contoh : senyawa dari hasil teknologi pertanian dan industri (dieldrin, dioxin, aldrin dan DDT); obat-obatan dan perangsang pertumbuhan (antibiotika, antimikroba, anabolik steroid) ; radioisotop sintetis (caesium -137) 3. Residu Sekunder Residu ini mencakup semua zat baik yang tidak diinginkan maupun diinginkan yang dihasilkan dalam jumlah berlebihan selama masa perlakuan dan pemrosesan lebih lanjut terhadap makanan atau selama masa pengawetan makanan. Kelompok ini termasuk nitrosamida yang dihasilkan akibat pencampuran antara nitrit dengan amina primer dalam daging selama masa pengasapan dan benzopyrenes yang timbul akibat proses rumah asap. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 126

129 Disamping itu residu dapat pula digolongkan dengan cara lain yaitu: 1. Homobiotik yaitu : Zat-zat yang terjadi secara alamiah dalam hewan sasaran (contoh : hormon dan vitamin). Zat - zat ini biasa digunakan untuk tujuan therapeutik, prophylaktik atau perangsang pertumbuhan. 2. Xenobiotik yaitu : Zat - zat yang tidak didapatkan secara alamiah dalam hewan sasaran (contoh: antibiotika, pestisida). Pada dasarnya residu berada dalam tubuh hewan melalui suatu proses absorpsi seperti misalnya dari tanah diabsorpsi oleh tanaman dan tanaman kemudian dimakan oleh hewan atau dari air yang diminum oleh hewan, kemudian diabsorpsi oleh jaringan tubuh. Cara lain residu berada dalam tubuh hewan melalui pernafasan atau kontak kulit. Cara lain lagi adalah melalui campur tangan manusia (injeksi). Setelah masuk tubuh hewan, residu diabsorpsi masuk kedalam sirkulasi darah untuk kemudian didistribusikan keberbagai bagian tubuh. Setelah itu residu diekskresikan melalui urine, empedu atau faeces dan pada hewan betina melalui air susu atau telur dengan lamanya waktu pengeluaran bervariasi mulai dari beberapa jam sampai dengan beberapa tahun. Residu cenderung untuk melekat pada jaringan tubuh yang berbeda - beda seperti organokhlorine pada lemak, tetracyclin pada tulang, cadmium pada ginjal. Resiko ancaman akibat residu. Sejumlah cara telah dicoba untuk membuat urutan resiko ancaman akibat bermacam - macam jenis residu ditinjau dari sifat toksikologinya maupun potensi bahayanya. Faktor - faktor yang dipertimbangkan antara lain : 1. Keracunan akut. 2. Akumulasi dalam jaringan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 127

130 3. Efek mutagenik 4. Efek karsinogenik 5. Induksi resisten 6. Penekanan terhadap daya tahan tubuh 7. Potensi alergi V. PELAKSANAAN 1. Monitoring dan surveilans residu dilaksanakan setiap bulan dengan cara mengumpulkan sampel secara acak dari lapangan. 2. Pelaksana program adalah Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan di Bogor, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner di 7 ( tujuh ) wilayah serta Laboratorium Kesmavet daerah. 3. Sampel diambii dari berbagai macam sumber yaitu : a. Rumah Potong Hewan / Unggas b. Pasar penjualan daging c. Tempat penampungan susu d. Depot/ agen penjualan susu e. Pasar penjualan telur f. Perusahaan pengawetan bahan makanan asal hewan g. Industri pengolahan susu h. Perusahaan peternakan i. Pasar swalayan 4. Sebagian jaringan tubuh maupun hasil eksresi dari tubuh hewan yang diambil dari karkas dapat berupa : a. Daging segar tanpa tulang (otot) b. Ginjal c. Hati Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 128

131 d. Thyroid e. Lemak f. Isi perut /usus g. Darah/serum h. Urine i. Faeces 5. Laporan mengenai pengambilan dan pengujian sampel dikirimkan setiap 3 bulan sekali ke Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Direktorat Jenderal Bina Produksl Peternakan Departemen Pertanian. Dengan demikian setiap tahun akan diterima laporan kwartal berturut - turut pada bulan Juli, Oktober, Januari, dan April. 6. Sub Direktorat Residu, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner bertanggung jawab untuk mengkompilasi dan menganalisa data laporan kwartal yang dikirim oleh BPMPP, BPPV dan Laboratorium Kesmavet. VI. METODOLOGI 1. Pengujian residu dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. 2. Pengujian secara kualitatif melalui metode skreening untuk pemeriksaan antibiotika, sedangkan pemeriksaan secara kuantitatif dengan menggunakan peralatan Kromatografi cair kinerja tinggi ( HPLC) untuk antibiotika dan hormon, Gas Chromatografi (GC) untuk pemeriksaan pestisida dan Atomic Absorbent Spectrophotometer (AAS) untuk pengujian logam berat. Pada saat ini yang dilakukan oleh laboratorium penguji adalah metode skreening dan HPLC. 3. Pengambilan sampel dilakukan secara random (acak) yang dilakukan pada rantai budidaya, pengolahan (RPH/RPU), pasar tradisional maupun supermarket dan tempat - tempat penampungan untuk komoditi peternakan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 129

132 VII. HASIL MONITORING DAN SURVEILANS 1. Jumlah sampel Jumlah sampel dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2002 bervariasi pada tiap laboratorium dengan total sampel pada tahun 1996 : sampel, tahun 1997 : sampel, tahun 1998: sampel, tahun 1999 : sampel, tahun 2000 : sampel, tahun 2001 : sampel dan tahun 2002 : sampel. Total sampel yang telah diperiksa dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2002 adalah sampel. Dilihat dari jumlah sampel yang diuji masih jauh dari persyaratan yang diharapkan untuk mendapatkan hasil monitoring yang baik sesuai dengan sampling plan yang baik yaitu lebih kurang 5 % dari jumlah produk yang beredar dalam pasaran atau berdasarkan populasi atau jumlah pemotongan ternak yang ada di Indonesia 2. Jenis sampel Jenis sampel yang diperiksa pada setiap laboratorium bervariasi dan pada umumnya sampel yang diperiksa adalah daging sapi, daging ayam, hati sapi, telur dan susu, 3. Asal sampel Sampel yang diperiksa pada saat ini umumnya berasal dari pasar tradisional, pasar swalayan, Rumah Potong Hewan, Rumah Potong Unggas, peternak dan importir daging. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 130

133 4. Hasil pengujian a. Hasil positif residu antibiotika: Tahun 1996: positip 363 dari total sampel (20,44 %) Tahun 1997 : positip 141 dari total sampel ( 5,68 %) Tahun 1998: positip 448 dari total sampel ( 32,74 %) Tahun 1999: positip 426 dari total sampel ( 22,78 %) Tahun 2000: positip 249 dari total sampel ( 15,80 %) Tahun 2001 : positip 159 dari total sampel (9,48%) Tahun 2002: positip 317 dari total sampel ( 17,51 %) Sedangkan residu antibiotika yang terdeteksi umumnya adalah antibiotika golongan aminoglikosida, penicillin, makrolida dan tetracyclin. No. Kelompok Antibiotika Jenis Antibiotika 1. Penicillin Penicillin, Cloxacillin, Dicloxacillin, Nafcillin, Ampicillin, Amoxicillin. 2. Makrolida Kitasamycin, spiramycin, Tyloclin, Josamycin. 3. Aminoglikosida Streptomycin, kanamycin, Neomycin, Gentamycin, Ampramycin, Spectinomycin. 4. Tetracyclin Oxytetracyclin, Tetracyclin, Doxysiclin, Chlortetracyclin. b. Hasil positip residu hormon Pemeriksaan residu hormon mulai dilaksanakan pada tahun 2000 dan laboratorium penguji yang telah melakukan pemeriksaan hormon adalah Balai pengujian Mutu Produk Peternakan di Bogor. Residu hormon yang diuji adalah zeranol dan trenbolon acetat. Pada tahun 2000 dilakukan pengujian pada 13 sampel yang terdiri dari 11 sampel daging sapi dan 2 sampel hati sapi yang semuanya merupakan daging dan hati sapi yang diimpor dari Australia. Dari 13 sampel yang diuji keseluruhan hasil ujinya negatip. Sedangkan pada tahun 2001 telah dilakukan pengujian pada 55 sampel daging sapi dan hati sapi impor dari Australia, New Zealand dan USA, 16 sampel ( 29 Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 131

134 %) menunjukkan hasil uji positip hormon Trenbolon Acetat dengan jumlah yang melebihi batas maksimum yang telah ditentukan dalam SNI tentang Batas Maksimum Residu dan Cemaran Mikroba. Pada tahun 2002 dilakukan pengujian daging sapi sejumlah 70 sampel dengan hasil uji positip trenbolon acetat sejumlah 5 sampel (7,14%). Mengingat hormon sintetik yang umumnya dipergunakan adalah zeranol dan trenbolon acetat, maka pengujian hormon khusus dilakukan terhadap kedua hormon tersebut. Dari UPT laboratorium Ditjen Bina Produksi Peternakan, BPPV belum dapat melakukan pengujian karena SDM dan peralatan yang belum mendukung serta bahan pengujian yang mahal. Untuk masa mendatang telah dipersiapkan agar BPPV dapat melakukan pengujian hormon melalui pelatihan dan penyediaan sarana. Dari data hasil pengujian yang dapat dianalisa diketahui bahwa produk peternakan di dalam negeri (baik produk lokal maupun impor) masih banyak mengandung residu antibiotika maupun hormon yang melampaui ambang batas. Hal ini dapat disebabkan oleh penggunaan antibiotika maupun hormon yang tidak sesuai dengan aturan dan takaran yang tepat, baik dalam pengobatan penyakit ataupun penggunaan tambahan pakan, khususnya menyangkut takaran (dosis), waktu henti obat dan pemilihan antibiotika sesuai diagnosa yang tepat serta akibat penggunaan hormon penggertak pertumbuhan. c. Hasil pemeriksaan cemaran mikroba Pemeriksaan cemaran mikroba dilakukan oleh seluruh laboratorium penguji. Cemaran mikroba yang diperiksa umumnya adalah TPC, Fecal.Coliform, E.coli, Salmonella dan Staphylococcus aureus. Dari hasil pemeriksaan cemaran mikroba, jumlah TPC yang melebihi batas maksimum seperti ditentukan dalam SNI Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 132

135 umumnya diperoleh dari sampel daging yang berasal dari pasar tradisional dan sampel susu pada peternak. Akan tetapi juga ditemukan pada sampel daging yang berasal dari beberapa pasar swalayan di Lampung dan Jawa Timur. Hal ini menunjukkan bahwa hygiene dan sanitasi di pasar swalayan juga masih perlu mendapatkan perhatian dan ditingkatkan sehingga tingkat cemaran mikrobanya dapat diperbaiki, sedangkan hasil uji untuk Salmonella hingga saat ini menunjukkan hasil negatip. Dari hasil pemeriksaan cemaran mikroba ditemukan jumlah TPC yang melebihi batas maksimum, hal ini dapat disebabkan oleh kontaminasi dari pekerja atau alat-alat yang kurang bersih, adanya kontaminasi dari lingkungan yang kurang memenuhi syarat sanitasi dan hygienis serta kurang diperhatikannya penanganan selama transportasi menuju laboratorium. Hasil monitoring dari masing-masing laboratorium seperti terlihat pada lampiran. VIII. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI 1. Belum semua laboratorium penguji dapat melakukan pengujian terhadap residu antibiotika dan hormon secara kuantitatif, pengujian terhadap residu hormon baru dapat dilakukan oleh Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP) di Bogor. Hal ini disebabkan karena peralatan HPLC untuk pengujian secara kuantitatif belum dapat dioperasionalkan pada laboratorium yang lain. 2. Belum adanya penyeragaman metode pengujian diantara laboratorium penguji dan adanya kesulitan dalam pengadaan bahan baku standar, khususnya untuk residu antibiotika. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 133

136 3. Dinas Peternakan belum secara aktif melakukan pengawasan residu dan cemaran mikroba sehingga hasil pengawasan hanya diperoleh dari pelaksanaan monitoring oleh laboratorium. 4. Biaya pengujian yang cukup mahal menyebabkan jumlah sampel belum sesuai dengan yang diharapkan untuk memperoleh hasil monitoring residu dan cemaran mikroba representatif secara nasional. 5. Kurangnya kesadaran dari perusahaan peternakan untuk dapat melaksanakan pengujian produknya secara rutin. IX. KAJIAN MASALAH 1. Optimalisasi peralatan HPLC serta peningkatan sumber daya manusia (SDM) untuk operasionalisasi HPLC sangat diperlukan, sehingga pengujian secara kuantitatif dapat dilakukan oleh semua laboratorium. 2. Data yang diterima dari laboratorium masih jauh dari lengkap untuk dapat dievaluasi secara lebih komprehensif karena jenis pengujian yang masih terbatas serta metode pengujian yang bervariasi, untuk itu perlu dilakukan pengkajian kembali terhadap penyeragaman pengujian (kualitatif dan kuantitatif) agar dapat diperoleh data yang lebih lengkap dan akurat. 3. Keterbatasan tenaga Dokter Hewan, khususnya dalam bidang pengawasan Kesmavet serta dengan adanya otonomi daerah dimana Dinas banyak mengalami perubahan struktur dan organisasi sehingga Dinas Peternakan belum dapat berperan aktif dalam pengawasan Kesmavet, khususnya pengawasan residu. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 134

137 4. Biaya pengujian residu dan cemaran mikroba relatif mahal sehingga Dinas Peternakan maupun laboratorium perlu mengalokasikan dana, baik dari APBD maupun APBN sebagaimana diatur dalam PP No. 49/2002 untuk dapat terealisasinya pengawasan residu di daerah. 5. Perusahaan peternakan saat ini hanya melakukan pengujian produknya apabila diperlukan sesuai dengan pemasaran produknya, misal untuk keperluan ekspor. Secara bertahap telah dimulai oleh beberapa perusahaan untuk melakukan pengujian secara rutin. X. UPAYA TINDAK LANJUT Dalam rangka meningkatkan hasil monitoring dan surveilans residu dan cemaran mikroba oleh laboratorium penguji perlu ditempuh beberapa langkah sebagai berikut : 1. Pengujian secara kualitatif dilakukan untuk 4 ( empat ) kelompok antibiotika yaitu Penicillin, Tetracyclin, Makrolida dan Aminoglikosida. Pengujian secara kuantitatif dilakukan untuk antibiotika Jenis Oxytetracyclin, sedangkan jenis antibiotika lainnya dilakukan pengujian secara kuantitatif sesuai kebutuhan dan ketersediaan bahan standar. 2. Pengujian residu hormon dilakukan oleh semua laboratorium penguji melalui optimalisasi HPLC dan SDM. 3. Metode pengujian terhadap residu akan diseragamkan melalui standarisasi metode pengujian. 4. Pengadaan bahan standar uji dikoordinasi oleh Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 5. Untuk optimalisasi dan akurasi hasil monitoring, diupayakan: Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 135

138 a. Pengujian cemaran mikroba terhadap Salmonella, E. coli, F. Coliform, Staphylococcus dan TPC. b. Untuk pengujian residu antibiotika dan pestisida sampel diambil dari perusahaan peternakan, tempat pengumpulan dan RPH/RPU, sedangkan pengujian cemaran mikroba, sampel diambil dari seluruh mata rantai produksi hingga ke konsumen. c. jumlah sampel ditetapkan 6-30 sampel dengan berat minimal 500 gram untuk setiap lot/batch suatu produk sesuai dengan standard Codex. d. Untuk tahun 2003 masing-masing laboratorium penguji mentargetkan pengambilan sampel sejumlah 200 sampel untuk pengujian residu dan 200 sampel untuk pemeriksaan cemaran mikroba. e. Pelatihan dalam rangka meningkatkan ketrampilan petugas laboratorium akan diadakan oleh Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan dalam bentuk magang maupun bentuk pelatihan. 6. Dinas Peternakan selain berperan aktif melakukan pengawasan residu (telah dimulai oleh Dinas Peternakan Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur) perlu pula melakukan pengawasan pemakaian obat-obatan dan tambahan pakan serta peningkatan hygiene pada segmen budidaya, khususnya kepada para peternak. XI. KESIMPULAN 1. Residu antibiotika dan hormon serta cemaran mikroba yang melampaui batas ambang masih ditemukan pada beberapa sampel produk asal hewan, khususnya residu antibiotika. Untuk itu penggunaan antibiotika dalam budidaya peternakan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 136

139 harus sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga kesehatan konsumen akan terjamin. 2. Dengan meningkatnya penggunaan obat hewan, perlu pula ditingkatkan pengawasan terhadap pemakaian obat-obatan pada pemilik ternak (peternak). 3. Kesadaran produsen untuk memproduksi produk asal hewan yang aman dan bebas residu perlu ditingkatkan melalui monitoring dan pengujian produknya terhadap residu dan cemaran mikroba secara rutin. 4. Kesadaran konsumen serta pengetahuan tentang produk yang aman dan bebas dari bahaya residu perlu ditingkatkan melalui sosialisasi yang berkesinambungan. 5. Secara bertahap perlu dilakukan tindakan koreksi (compliant action) sesuai dengan ketentuan yang berlaku terhadap produsen yang memproduksi produk asal hewan yang membahayakan konsumen. 6. Tindakan koreksi dapat dilakukan secara lisan, tertulis atau bahkan dengan publikasi melalui mass media dengan tujuan untuk mendidik produsen agar memproduksi produk yang aman. Tindakan koreksi ini dapat dilakukan oleh Dinas Peternakan, baik di Kabupaten/Kota, Dinas Propinsi maupun Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 137

140 Tabel 3. Hasil Monitoring dan Surveilans Residu (Jumlah Sampel dan Positif Residu) Masing-masing Lab.Kesmavet Tahun Tabel 4. Hasil Monitoring dan Surveilans Residu (Jenis Sampel yang Positif) Masingmasing Lab. Kesmavet Tahun Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 138

141 Tabel 5. Hasil Monitoring dan Surveilans Residu (Asal Sampel) Masing-masing Lab. Kesmavet Tahun Tabel 6. Hasil Positif Antibiotika Tahun Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 139

142 Tabel 7. Hasil Positif Hormon Tahun Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 140

143 BAB V PENYAKIT YANG DITULARKAN MELALUI MAKANAN (FOODBORNE DISEASE) I. PENDAHULUAN Foodborne disease adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan berupa gangguan pada saluran pencernaan makanan dengan gejala umum sakit perut, diare dan/atau muntah. Agen utama penyebab penyakit yang ditularkan melalui makanan adalah bakteri (microbial foodbome disease), yang sebetulnya secara alami terdapat di lingkungan sekitar manusia, dan ditularkan kepada manusia. melalui makanan. Terjadinya penyakit yang ditularkan melalui makanan o1eh bakteri sangat tergantung kepada beberapa faktor, yaitu: 1. Terdapatnya agen penyebab penyakit pada saat pengolahan makanan yang ditularkan melalui bahan makanan, pekerja atau hewan. 2. Kontaminasi silang melalui tangan, permukaan peralatan memasak atau pakaian. 3. Adanya makanan yang berperan sebagai media perantara. 4. Penyimpanan makanan pada suhu ruangan selama lebih dari 2 jam. 5. Adanya subjek (manusia) yang rentan. Beberapa. bakteri utama penyebab penyakit yang ditularkan melalui makanan ini adalah: Salmonella, Staphylococcus aureus, Closttridium perfringens, Clostridium botulinum, Listeria Monocytogenes, Yersinia enterocolitica dan Escherichia coli 0157:H7. Penyakit ini dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu: 1. Melalui infeksi yakni termakannya sel-sel bakteri dalam jumlah yang cukup untuk dapat menimbulkan penyakit. Contoh: Salmonella, Listeria monocytogenes,yersinia enterecolitiaca, campylobacter jejuni dan Escherichia coli 015 7:H7. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 141

144 2. Melalui intoksikasi dimana gejala sakit yang timbul disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri pada makanan yang dikontaminasinya (contohnya Staphylococcus aureus dan Clostridium hotulinum) atau toksin yang diproduksi di dalam usus induk semang (misalnva Clostridium perfringens). II. BEBERAPA BAKTERIAL FOODBORNE DISEASE 1. Salmonellosis Agen Penyebab Salmonellosis terjadl akibat infeksi bakteri Salmonella sp. yang terdiri dari beberapa ratus serotipe. Seluruh serotipe tersebut memiliki potensi yang sama besar sebagai agen penyebab penyakit. Masa inkubasi berkisar antara 6-48 jam dengan gejala sakit berupa sakit perut, diare, rasa mual, kedinginan, demam dan sakit kepala. Lamanya sakit dapat berkisar antara 3-5 hari. Bayi, anak-anak, orang sakit dan orang tua lebih rentan terhadap salmonellosis. Sumber Salmonella dapat berasal dari ekskreta manusia maupun hewan dan air yang terkontaminasi o1eh limbah. Salmonella sering ditemukan dalam bahan makanan asal hewan, terutama daging, daging unggas dan telur, yang belum atau masih setengah masak dan disebarkan ke makanan lain melalui kontaminasi silang (Diagram 1). Salmonella enteritidis dilaporkan sering ditemukan pada kulit telur dengan grade A. Sedangkan susu yang tidak dipasteurisasi juga dapat mengandung bakteri Salmonella. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 142

145 HEWAN (Daging, jerohan, susu segar, telur, daging unggas, ekskreta) Salmonella Tidak dimasak atau setengah masak Infeksi Keracunan makanan Gambar 3. Sumber Penularan Hewan (animal reservoir) bagi Organisme Salmonella Pencegahan Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya salmonellosis adalah : a) Seluruh jenis daging, ikan dan telur haruslah dimasak dengan baik dan benar, b) Hindarilah kontaminasi antara makanan yang telah dimasak dengan tetesan cairan (misalnya darah) yang berasal dari bahan mentah, dan c) Hindarilah meminum susu yang tidak dipasteurisasi 2. Intoksikasi Staphlococcus Agen penyebeb penyakit Intoksikasi Staphylococcus disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dalam makanan yang dikontaminasinya (Diagram 2) Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 143

146 Manusia (Hidung, luka di kulit) Staphylococci Tangan Makanan Penyimpanan dalam suhu ruangan Mendukung perkembang biakan Toksin Keracunan makanan Gambar 4. Sumber Penularan Manusia (human reservoir) bagi Organisme Staphylococcus Gejala intoksikasi staphylococcus tergantung pada kondisi kesehatan seseorang dan dapat meliputi mual, muntah dan diare. Masa inkubasi berkisar antara 30 menit-8 jam dan sakit dapat bertahan sekitar 1-2 hari. Toksin S. Aureus lebih tahan terhadap proses pemasakan, suhu dingin dan pembekuan dibandingkan bila berada dalam bentuk sel. Melalui pemasakan secara sempurna misalnya, toksin masih aktif dan diperlukan waktu sedikitnya 30 menit dengan jalan perebusan untuk pemusnahannya Sumber Habitat utama staphylococci adalah selaput membran hidung dan kulit manusia maupun hewan. Banyak orang memiliki kebiasaan kurang baik yaitu menyentuh bagian dalam hidungnya. Tanpa disadari tindakan ini dapat Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 144

147 memindahkan bakteri staphylococcus ke tangan dan selanjutnya disebarkan lagi ke makanan melalui penanganan yang tidak benar. Bakteri ini dapat pula ditemukan pada ;luka di kulit, melalui luka sayatan atau pori-pori, bakteri ini masuk ke bagian dalam kulit, tumbuh dan berkembang biak. Dalam kasus ini bakteri tetap dapat disebarkan walaupun tangan telah dicuci. Jenis makanan yang ideal sebagai media perantaranya adalah makanan dengan kandungan protein, gula dan garam yang tinggi. Pencegahan Tindakan pencegahan terdiri dari : a) Mencuci tangan dan mencuci seluruh peralatan dan perlengkapan memasak setiap kali hendak mempersiapkan atau akan menyajikan makanan, b) Penyimpanan makanan (terutama daging) segera setelah dimasak didalam lemari es didalam wadah tertutup, dan c) Orang berpenyakit kulit hendaknya tidak terlibat dalam proses produksi makanan. 3. Enteritis Clostridium perfringens Agen penyebab sakit Penyebab foodborne disease ini adalah bakteri Clostridium perfringens yang bersifat anaerobik, dapat tumbuh dan berkembang biak dengan sedikit atau tanpa kehadiran oksigen. Gejala sakit timbul akbat toksin yang dihasilkan bakteri didalam usus induk semang. Masa inkubasinya berkisar antara 9-15 jam dengan gejala meliputi diare dan sakit perut yang dapat bertahan selama 1 hari. Gejala sakit akan lebih parah pada orang lanjut usia dan penderita sakit lambung. C. perfringens dapat ditemukan dalam bentuk sel vegetatif atau bentuk spora. Relatif tahan terhadap proses pemanasan dan pengeringan, terutama bentuk Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 145

148 spora yang tetap berada dalam keadaan dormant (tidak aktif) dalam makanan, tanah dan debu hingga mencapai induk semang atau media perantara yang tepat. Sumber Di dalam usus besar manusia atau hewan, organisme ini berada dalam bentuk spora dan dikeluarkan bersama feses ke tanah atau ke sistem pembuangan. Melalui air dan tumbuhan dan serangga organisme ini mencapai induk semangnya kembali atau terlibat ke dalam sistem penyediaan pangan (Diagram 3). Karenanya selain ditemukan dalam ekskrete manusia maupun hewan, C. perfringens dapat pula dijumpai pada daging segar termasuk daging ayam, produk makanan yang dikeringkan, tanah dan limbah. Hewan Lalat Manusia Ekskreta Karkas Lalat, tanah, debu Tangan Daging mentah Spora yang bertahan dari pemasakan akan menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak selama pendinginan dan penyimpanan Daging dengan kontaminasi berat Keracunan makanan akibat toksin yang dihasilkan dalam usus induk semang Gambar 5. Sumber Penularan Manusia dan Hewan bagi Organisme C perfringens Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 146

149 Pencegahan Suhu internal makanan perlu selalu diperhatikan. Bagi makanan yang akan disajikan panas maka suhu internal dijaga agar suhu minimumnya 60 C, atau suhu maksimum 5,5 C bagi makanan yang akan disajikan dingin. 4. Campylobacteriosis Agen Penyebab Penyakit Campylobacteriosis disebabkan oleh Campylobacter jejuni dengan gejala berupa demem, sakit kepala dan pegal linu diikuti dengan diare (kadang-kadang disertai dengan darah), sakit perut dan merasa mual. Biasanya gejala timbul sekitar 2-10 hari setelah infeksi dan bertahan antara 1-10 hari Sumber Dapat ditemukan pada daging segar atau daging setengah masak, daging ayam atau kerang. Dapat juga ditemukan pada susu yang tidak dipasteurisasi, air minum yang tidak diolah atau hewan peliharaan yang terinfeksi. Pencegahan Masaklah secara sempurna semua jenis daging. Pencucian tangan, peralatan memasak dan seluruh permukaan yang menyentuh daging segar, termasuk daging unggas, hendaknya dilakukan dengan cermat dan seksama. Hidarilah minum susu yang tidak dipasteurisasi atau air mentah. 5. Botulismus Agen Penyebab Penyakit Botulismus disebabkan oleh toksin yang diproduksi oleh bakteri Clostridium botulinum dalam makanan yang terkontaminasi Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 147

150 Seperti halnya C. perfringens, C. botulinum juga termasuk kedalam golongan bakteri anaerobik dan dapat ditemukan dalam bentuk vegetatif atau spora. Bentuk vegetatif dapat menghasilkan toksin sebagai penyebab sakit. Toksin botulismus menyerang sistem syaraf dan dapat bersifat fatal bila penderita tidak mendapat pertolongan. Masa inkubasi berkisar antara jam dengan gejala berupa penglihatan kabur, kesulitan untuk berbicara, menelan dan benafas. Kematian akibat botulismus dapat dihindari dengan pemberian antitoksin. Akan tetapi efek samping yang diakibatkannya cukup berat berupa kerusakan syaraf yang sulit untuk diperbaiki kembali Sumber Dapat ditemukan di tanah atau air. Botulismus biasanya selalu diasosiasikan dengan makanan kaleng yang tidak mengalami proses pemanasan dengan temperatur yang cukup tinggi untuk dapat menghancurkan spora. Akan tetapi telah pula dilaporkan bahwa kejadian botulismus dapat juga diasosiasikan dengan makanan masak dalam kemasan hampa udara yang disimpan terlalu lama pada suhu ruangan. Pencegahan Untuk mencegah terjadinya botulismus, hindari makanan yang berasal dari: a) kemasan kaleng yang sudah bocor, menggembung atau sudah rusak, b) kemasan botol yang sudah retak, tidak rapat lagi tutupnya atau sudah menggelembung, c) kemasan yang menyemburkan air pada saat dibuka, dan d) kemasan kaleng yang sudah mengalami penyimpangan bau dan penampilan. Buang makanan dalam kemasan industri rumah tangga yang sudah tidak lagi memenuhi persyaratan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 148

151 6. Listeriosis Agen penyebab penyakit Listeriosis disebabkan oleh Listeria monocytogenes. Kasus ini jarang terjadi akan tetapi bersifat fatal. Kelompok beresiko tinggi adalah wanita hamil dan anak-anak. Gejala. pada orang dewasa menyerupai gejala influenza yang terjadi secara tiba-tiba meliputi demam, kedinginan, sakit kepala, nyeri punggung dan kadang-kadang disertai sakit perut dan diare. Pada bayi gejala sakit dapat berupa gangguan pernafasan, tidak mau minum dan muntah. Komplikasi listeriosis dapat berupa meningitis atau meningoenchepalitis yang menyebabkan kerusakan pada jaringan di sekitar otak atau tulang belakang dan septichemia. Sumber Biasa ditemukan dalam usus manusia dan hewan, dalam susu dan di lingkungan pengolahan makanan. Listeria. dapat tetap tumbuh (walaupun lambat) pada suhu lemari es (4-8 0 C). Pencegahan Untuk menghindari terjadinya listeriosis, terutama bagi mereka yang termasuk kelompok beresiko tinggi, hendaknya berhati-hati dalam memilih makanan dalam kemasan, terutama makanan berlabel "disimpan dalam. lemari es". Perhatikan cara penyimpanan di rumah, sesuaikan dengan petunjuk yang tercantum pada kemasan. Perlu pula diperhatikan tanggal kadaluwarsa. 7. Hemorrhagic colitis Agen penyebab penyakit Hemorrhagic colitis disebabkan oleh Escherichia coli O157:H7. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 149

152 Gejala meliputi kejang perut yang diikuti dengan diare (seringkali bercarnpur darah), mual, muntah, kadang-kadang demam yang ringan. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah hemolytic uremic syndrome (HUS), infeksi saluran kemih yang dapat menyebabkan gagal ginjal akut pada anak-anak. Gejala tersebut biasanya muncul 3-4 hari setelah mengkonsumsi makanan terkontaminasi dan bertahan hingga 10 hari. Seringkali pasien membutuhkan rawat inap di rumah sakit. Sumber Beberapa galur Escherchia coli seringkali diasosiasikan dengan air yang telah terkontaminasi oleh faeces dan sejak lama telah diketahui menjadi penyebab diare pada anak-anak. Salah satu serotipe bakteri ini, yaitu 0157: H7, memproduksi toksin yang dapat menyebabkan hemorragic colitis. Daging giling mentah dan susu yang tidak dipasteurisasi dilaporkan menjadi salah satu sumber makanan penyebab penyakit tersebut. Pencegahan Yang perlu diperhatikan untuk menghindari terjadinya hemorrhagic colitis adalah: 1) Pemasakan dan pemanasan makanan dengan seksama 2) Sanitasi yang baik 3) Penyimpanan makanan dalam lemari es (suhu maksimum 5,5 C) segera setelah dimasak hingga makanan tersebut akan dikonsumsi. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 150

153 8. Yersiniosis Agen penyebab penyakit Agen Penyebab yersiniosis adalah Yersinia enterocolitica. Masa inkubasi adalah 1-7 hari dengan lama sakit antara 1-2 hari. Gejala dapat berupa nyeri perut yang menyerupai radang appendix, demam, diare (seringkali bercampur darah), kadang-kadang disertai muntah. Sumber Bakteri ini biasa ditemukan pada babi dan limbahnya, akan tetapi dapat pula diisolasi dari hewan lain, baik liar maupun peliharaan, makanan laut, susu, buah-buahan dan sayuran. Yersinia dapat tumbuh dengan lambat pada temperatur lemari es. Pencegahan Selalu memasak atau memanaskan kembali makanan yang akan dikonsumsi dengan sempurna dan seksama. Disamping itu personal hygiene dan sanitasi yang baik sangat diperlukan untuk menghindari yersiniosis. Tabel 1 di bawah ini berisi rangkuman dari beberapa Bakterial Foodborne Disease yang mencantumkan masa inkubasi, lama sakit, gejala, cara penularan dan jenis makanan asal hewan sebagai sumber penularan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 151

154 Tabel 8. Reberapa jenis bakteri penyebab foodborne disease dan bahan makanan asal hewan sebagai makanan perantara. Jenis bakteri Salmonella Masa inkubasi 6-48 jam Lama sakit Gejala Cara penularan 3-5 hari Sakit perut, Infeksi diare, mual, kedinginan, demam, pusing Jenis makanan Daging, daging ayam dan produknya, telur, produk susu Staphylococcus aureus 0,5-8 jam 1-2 hari Muntah yang hebat, diare, sakit perut dan kejang Toksin dalam Makanan Daging ham, es krim, keju Clostridium perfringens 9-15 jam 1 hari Nyeri perut, diare, mual Toksin dalam usus Daging yang telah dimasak dan daging ayam Clostridium botolinum jam Kematian dalam 1-8 hari, atau periode penyembuhan lebih dari 6-8 bulan Pandangan kabur, kesulitan berbicara, menelan dan bernafas Toksin dalam makanan Susu segar dan daging ayam Campylobacter jejuni 2-10 hari 1-10 hari Demam, pusing, nyeri otot, diare, sakit perut, mual infeksi Daging III. EKOLOGI ORGANISME DALAM MAKANAN Bakteri penyebab penyakit yang ditularkan melalui makanan memerlukan suhu dan zat gizi yang terdapat pada induk semangnya (manusia atau hewan) untuk tumbuh dan berkembang biak. Akan tetapi mereka dapat dipindahkan ke induk semang lainnya secara langsung atau tidak langsung melalui makanan. Beberapa jenis makanan, dalam bentuk cair maupun padat, dapat bertindak sebagai media perantara tersebut dimana bakteri tersebut dapat tumbuh bahkan berkembang biak apabila komposisi bahan makanan dan lingkungan sekitarnya mendukung. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 152

155 Jumlah suatu organisme dalam suatu makanan akan ditentukan oleh 3 (tiga) hal pokok yaitu: a) sifat alamiah bahan makanan, b) suhu bahan makanan, dan c) lama penyimpanan bahan makanan tersebut. Sedangkan jumlah atau dosis organisme yang diperlukan untuk dapat menginfeksi atau menghasilkan toksin yang cukup untuk menimbulkan gejala sakit tergantung kepada: a) jenis organisme, dan b) kondisi kesehatan orang yang mengkonsumsi makanan terkontaminasi. Jenis makanan yang paling sering diasosiasikan dengan kejadian penyakit keracunan makanan adalah makanan yang berasal dari hewan terutama daging dan daging unggas, beserta hasil olahannya. Kasus penyakit yang ditularkan melalui makanan pada umumnya diawali oleh kontaminasi yang terjadi pada saat mempersiapkan makanan (daging dan daging unggas) dan lamanya penyimpanan makanan yang telah dimasak sebelum dikonsumsi. Beberapa jenis organisme. memiliki ekologi yang khas dan sering diasosiasikan dengan jenis makanan ini, yaitu : 1. Clostridiurn Kasus enteritis C. perfringens biasanya terjadi setelah mengkonsumsi makanan yang mengalami pemanasan ulang. Dalam proses pemasakan (misalnya direbus, dikukus atau dipanggang), suhu makanan biasanya tidak lebih dari 100 C. Pada suhu ini masih ada sebagian spora yang tetap bertahan dan dengan pemanasan kembali, bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif. Apabila makanan tersebut mengalami proses pen dinginan lambat (didinginkan pada suhu ruangan) sebelum dikonsumsi, maka pada saat suhu mencapai suhu ideal untuk berkernbang biak (dibawah 50 C) sel vegetatif akan menjadi aktif dan berkemang biak dengan cepat. Untuk dapat menimbulkan gejala sakit, diperlukan adanya sel vegetatif dalam jumlah banyak dalam makanan. Gejala sakit timbul akibat toksin yang dihasilkan di usus pada saat pembentukan spora karena C. perfringens tidak membentuk spora pada makanan yang dikontaminasinya. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 153

156 Spesies lain dari genus Costridium adalah C botulinum yang lebih bersifat fatal. Pembentukan toksin tejadi pada makanan. Beruntunglah bahwa toksin C. botulinum lebih sensitif terhadap panas. 2. Staphylococcus aureus Dalam intoksikasi staphylococcus, keracunan makanan umumnya dihubungkan dengan daging masak yang dikonsumsi dalam keadaan dingin. Diduga organisme tersebut berasal dari tangan orang yang terlibat dalam proses produksi, pengirisan atau penyajian. 3. Salmonella sp Hampir seluruh serotipe salmonella yang berhasil mencapai makanan berasal dari bahan mentah. Daging unggas dan daging, pada umumnya sudah terkontaminasi ketika masih di tempat pemrosesan karkas. Kontaminasi silang yang terjadi antara bahan mentah dengan makanan yang telah dimasak dapat terjadi melalui tangan, permukaan peralatan memasak dan peralatan lainnya serta pakaian pekerja. IV. PENGENDALIAN Penyakit yang ditularkan melalui makanan pada umumnya terjadi akibat kesalahan manusia dalam proses penanganan makanan yang menyebabkan terkontaminasinya makanan oleh bakteri. Mengingat titik-titik rawan yang memungkinkan terjadinya kontaminasi adalah a) saat mempersiapkan makanan, dan b) pada periode penyimpanan makanan sejak setelah dimasak hingga saat dikonsumsi, maka beberapa hal yang perlu mendapat perhatian adalah : 1. Saat mempersiapkan makanan Pemisahan antara bahan mentah dengan makanan yang telah dimasak yang perlu diterapkan dalam alur kerja secara umum di industri makanan. Untuk itu perlu adanya Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 154

157 pembagian area serta pemisahan pekerja dan peralatan yang dibedakan antara bahan mentah dan makanan yang telah masak. Bagi para pengolah makanan harus selalu mencuci tangan dan peralatan setiap kali selesai memegang/mengerjakan bahan mentah produk hewani terutama bila hendak menangani makanan matang. Penanganan produk hewani dalam bentuk segar atau belum dimasak perlu diperhatikan dengan seksama agar cairan yang berasal dari daging (drip) tidak mengkontaminasi makanan atau permukaan benda lain disekitarnya 2. Periode penyimpanan makanan sejak setelah dimasak hingga saat dikonsumsi. Penanganan makanan setelah dimasak. Pendinginan makanan secara cepat pada suhu 4-8 C (suhu lemari es) sangat penting untuk mencegah tumbuh dan berkembang biaknya bakteri kontaminan. Pemanasan kembali hanya dilakukan apabila makanan akan segera dikonsumsi. Mempertahankan suhu internal makanan Bagi makanan yang akan disajikan panas suhu minimum harus tetap 60 C. Sedangkan makanan yang disajikan dalam keadaan dingin suhu internal tidak lebih dari 5,5 F. Untuk mempermudah pengawasan suhu internal, sebaiknya makanan yang dimasak dalam jumlah besar (terutama daging sapi, daging kalkun) dibagi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 155

158 BAB VI PEDOMAN TEKNIS SANITASI LINGKUNGAN RUMAH PEMOTONGAN HEWAN/UNGGAS I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang. Rumah Pemotongan Hewan (RPH)/Rumah Pemotongan Unggas (RPU) adalah suatu bangunan atau komplek bangunan dengan disain tertentu yang dipergunakan sebagai tempat memotong hewan/unggas secara benar bagi konsumsi masyarakat luas serta harus memenuhi syarat tertentu. Dalam era pembangunan yang berwawasan lingkungan, Rumah Pemotongan Hewan/Unggas sebagai unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging sehat, aman serta halal harus memperhatikan faktor lingkungan. Di dalam kegiatannya RPH/RPU memberikan dampak penting berupa produk limbah organik yang dihasilkan dari proses pemotongan hewan/unggas dan apabila penanganan limbahnya tidak dikelola sesuai dengan aspek-aspek lingkungan dapat mengakibatkan dampak negatif yang membahayakan kesehatan masyarakat. Pada umumnya limbah yang dihasilkan RPH/RPU berupa limbah cair, limbah padat, limbah udara dan kebisingan. Limbah cair antara. lain dalam bentuk sisa-sisa darah, urine dan air kotor yang merupakan sisa penggunaan air pada proses produksi/pembersihan serta sisa-sisa pemakaian o1i pada peralatan pemotongan hewan atau generator listrik. Limbah padat antara lain dalam bentuk kotoran hewan, bagian-bagian/irisan karkas yang diafkir serta bangkai hewan mati akibat kasus-kasus tertentu. Sedangkan limbah udara dalam bentuk bau kotoran hewan serta asap yang berasal dari pembakaran hewan yang mati/bagian-bagian karkas yang diafkir. Kebisingan ditimbulkan oleh permakaian mesin disel pada saat-saat tertentu. Dalam penyelenggaraan kegiatan RPH/RPU diupayakan agar senantiasa ber-motto-kan Meningkatkan dampak positif kegiatan yang terkait dan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 156

159 menurunkan serendah mungkin dampak negatifnya adalah tindakan yang bijaksana dan ramah terhadap lingkungan",. Batasan-batasan teknis Rumah Potong Hewan Unggas dan Kesehatan Lingkungan. (1) Rumah Pemotongan Hewan/Unggas (RPH/RPU) adalah suatu bangunan dengan disain tertentu yang dipergunakan sebagai tempat memotong hewan/unggas secara benar bagi konsumsi masyarakat luas. (2) Usaha pemotongan hewan / unggas adalah kegiatan yang dilakukan Perorangan atau Badan Hukum yang melaksanakan pemotongan hewan / unggas di Rumah pemotongan Hewan / Unggas milik sendiri atau milik pihak lain atau menjual jasa pemotongan hewan / unggas. (3) Hygiene adalah kesehatan masyarakat yang khusus meliputi segala usaha untuk melindungi, memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan badan dan jiwa, baik untuk umum maupun untuk perorangan, dengan tujuan memberikan dasar-dasar kelanjutan hidup yang sehat serta mempertinggi kesejahteraan dan daya guna perikehidupan manusia. (4)Sanitasi adalah suatu. penataan, kebersihan yang, bertujuan meningkatkan / mempertahankan kejadian suatu tempat atau benda vang sehat sehingga tidak berpengaruh negatif terhadap lingkungan hidup sekitarnya. (5) Lingkungan hidup adalah suatu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. (6) Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan menusia dan oleh proses alam, sehingga kualitas Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 157

160 lingkungan harus sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. (7) Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan. pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup. (8) Dampak lingkungan adalah perubahan lingkungan yang dikaitkan oleh suatu kegiatan. (9)Pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana, dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan, mata hidup. (10)Pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi saat ini tanpa mengurangi, kemampuan generasi-geperasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasinya. (11)Limbah adalah buangan dari proses pemotongan hewan potong dan hasil ikutannya yang tidak dimanfaatkan. (12)BOD (Biological Oxigen Demand) adalah banyaknya oksigen dalam miligram perliter (mgr/liter) yang diperlukan untuk menguraikan benda organik oleh bakteri sehingga limbah tersebut menjadi jernih kembali. (13)COD (Chemical Oxigen Demand) adalah banyaknya oksigen dalam miligram perliter (mgr/liter) yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda organisme secara kimiawi. II. DASAR HUKUM 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok, Pemerintahan Di Daerah. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 158

161 3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. 4. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983, tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. 5. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1983, tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. 6. SK Menteri KLH No. Kep-12/MENKLH/l/1994, tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) 7. SK Menterl Pertanian No. 752/Kpts/OT.210/10/1994. tentang Pedoman Teknis Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) Rencana Usaha atau Kegiatan lingkup Pertanian. 8. SK Menteri Pertanian No. 555/Kpts/TN.240/9/1986, tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan. 9. SK Menteri Pertanian No. 557/Kpts/TN.520/9/1987, tentang Syarat-syarat Rumah Pemotongan Unggas (RPU) dan Usaha Pemotongan Unggas. 10. SK Menteri Pertanian No. 295/Kpts/TN 240/3/1989, tentang Pemotongan Babi dan Penanganan Daging Babi serta Hasil Ikutannya. 11. SK Menteri Pertanian No. 413/Kpts/TN 310/7/1992, tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya. 12. SK Menteri Pertanian No. 306/Kpts/TN.330/4/1994., tentang, Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta hasil ikutannya. III. MAKSUD DAN TUJUAN Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) ini dibuat untuk: Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 159

162 1. Memberikan petunjuk yang lebih rinci serta memberikan arahan kepada pemrakarsa atau konsultan di dalam menyusun dokumen UKL dan UPL suatu jenis rencana usaha atau kegiatan 2. Kepentingan pengelola/petugas dari suatu rencana usaha atau kegiatan di dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan Diharapkan dengan adanya pedoman teknis ini pemrakarsa dan atau konsultan ataupun pengelola dapat lebih mudah menyusun UKL dan UPL bagi rencana usaha atau kegiatan RPH/RPU agar memenuhi kriteria pembangunan yang berwawasan lingkungan. IV. PEDOMAN TEKNIS 1. Lokasi Lokasi Rencana Usaha atau Kegiatan pendirian RPH/RPU berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) bila ada atau Pola Dasar Pembangunan Daerah Tingkat II yang bersangkutan. 2. Lahan Untuk mencegah timbulnya masalah sosial terutama keresahan masyarakat maka status tanah harus jelas dan sesuai bagi kegiatannya / peruntukannya menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku 3. Bangunan (1) jenis bangunan Pada dasarnya jenis bangunan yang ada pada komplek RPH/RPU adalah a. bangunan utamarph/rpu. b. kandang peristirahatan yang sebagian dipergunakan untuk pemeriksaan antemortem. c. laboratorium sederhana untuk RPH/RPU tipe C dan D yang dapat dipergunakan untuk pemeriksaan kuman dengan pewarnaan cepat, parasit. ph, pemeriksaan permulaan pembusukan dan kesempurnaan pengeluaran Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 160

163 darah. Untuk RPH/RPU tipe A dan B perlu dilengkapi dengan peralatan unuk pencemaran mikroba dan residu. d. tempat memperlakukan hewan/unggas atau karkas yang ditolak berupa tungku pembakaran atau penguburan. e. tempat isolasi hewan yang ditunda penanganannya f. bak pengendap pada saluran buangan cairan menuju ke sungai/kali g. ruang administrasi, tempat penyimpanan alat, kamar mandi dan WC. h. halaman yang dapat dipergunakan sebagai tempat parkir kendaraan. i. tempat penampungan sementara kotoran padat belum diangkut keluar komplek RPH/RPU (2) Konstruksli bangunan. Konstruksi bangunan dibuat dari beton, semen atau besi anti karat. Pada tempat-tempat tertentu sesuai dengan syarat-syarat RPH/RPU: a. berdinding dalam kedap air terbuat dari semen porselin atau bahan yang sejenis setinggi 2m sehingga mudah untuk dibersihkan. b. berlantai kedap air, landai kearah saluran pembuangan, agar air mudah mengalir, tidak licin dan sedikit kasar. c. sudut pertemuan antar dinding dan dinding dengan lantai berbentuk melengkung. d. berventilasi yang cukup, untuk menjamin pertukaran udara, ventilasi harus dilengkapi dengan kawat kasa. (3) Tata letak bangunan Tata letak dan kondisi tempat serta struktur bangunan sangat menentukan tata lingkungan dari RPH yang merupakan salah satu parameter kebersihan lingkungan kota. Bentuk lahan, jenis tanah, pondasi agar sesuai untuk Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 161

164 bangunan permanen. Bentuk bangunan harus disesuaikan dengan tahapan proses pemotongan sehingga produk akhir tidak tercemar oleh penanganan yang tidak higienis. Komplek RPH/RPU dibatasi dengan dinding pagar atau pagar kawat untuk keamanan lalu lintas hewan ataupun manusia. Komplek RPH babi bila berada pada satu lokasi harus dipisahkan dengan tembok pembatas setinggi 4m. 4. Peralatan Peralatan yang diperlukan untuk RPH/RPU yang berwawasan lingkungan selain peralatan untuk operasional RPH/RPU, juga harus dilengkapi dengan peralatan pemantauan lingkungan. (1) Peralatan untuk operasional RPH/RPU: a. Alat-alat yang dipergunakan untuk persiapan sampai dengan penyelesaian proses permotongan termasuk alat penggerek dan penggantung karkas pada waktu pengulitan serta pakaian khusus untuk tukang sembelih dan pekerja lainnya harus dijaga kebersihannya. b. Peralatan yang lengkap untuk petugas pemeriksaan harus dijaga kebersihannya. c. Penyediaan air bersih yang cukup dan khusus untuk RPH babi/unggas tersedia air hangat yang dipakai untuk perontokan bulu. d. Penerangan yang cukup; e. Alat pemelihara kebersihan f. Kendaraan angkut daging yang memenuhi persyaratan. (2) Peralatan pemantauan lingkungan. Pernantauan lingkungan harus dilaksanakan secara berkala Beberapa contoh peralatan yang dipakai pemantau lingkungan, antara lain: a. Alat pengukur BOD/COD Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 162

165 b. Alat pengukur zat padat tersuspensi c. Alat pengukur ph d. Alat pengukur kebisingan e. Alat pengukur debu f. Alat pengukur kadar amoniak terlarut g. Alat lain-lain (yang dianggap per1u). Pemantauan rutin dilaksanakan bekerjasama dengan laboratorium lingkungan yang ada atau laboratorium- laboratorium yang diberi wewenang dan dapat melakukan pengujian tersebut. 5. Tenaga kerja Tenaga kerja pada RPH/RPU terbagi atas: 1) Karyawan resmi RPH/RPU umumnya terdiri dari tenaga teknis (dokter hewan/paramedis peternakan) dan tenaga non teknis. Untuk tenaga non teknis (misalnya penjaga keamanan, karyawan pembersih lingkungan) hendaknya dapat menggunakan tenaga yang berasal dari lokasi RPH/RPU setempat. Terhadap semua tenaga tersebut harus dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh Dokter yang berwenang secara berkala dan dinyatakan sehat dengan surat keterangan dokter. 2) Tenaga pengguna jasa Untuk kesehatan daging dan lingkungan semua yang terkait dengan kegiatan RPH/RPU harus berbadan sehat. 6. Ternak Ternak yang masuk pada komplek RPH/RPU harus sehat bebas dari penyakit hewan menular (dibuktikan dengan surat keterangan kesehatan hewan). Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 163

166 7. Makanan Ternak Makanan ternak yang berupa. hijauan makanan ternak harus berasal dari daerah yang bebas dari penyakit hewan menular serta dalam keadaan bersih dan segar, sedangkan makanan ternak yang berasal dari hasil olahan industri harus berasal dari industri yang mempunyai izin. Penempatan hijauan makanan ternak dan makanan olahan industri ditempatkan sedemikian rupa sehingga terjaga keutuhannya dan tidak merupakan tempat hama lainnya. 8. Air Air yang dipergunakan untuk RPH/RPU ada 2 golongan,yaitu : (1) Golongan B, yaitu air yang dapat dipergunakan sebagai air minum dan keperluan rumah tangga (termasuk air yang dipergunakan sejak awal sampai akhir memerosesan pemotongan sampai konsumen demikian pula untuk pencucian peralatan). (2) Golongan C, yaitu air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan. dan petemakan (minum temak, pencucian kandang). Penjelasan baku mutu air sebagaimana. dimaksud di atas dapat dilihat pada tabel 1). Sumber air dapat berasal dari PAM atau sumur bor (dengan izin). Bila. menggunakan sumur bor maka harus dibuat dengan jarak meter dari septic tank yang ada. 9. Perizinan Surat Izin Usaha Pemotongan Hewan/Unggas, baru dapat diberikan bila RPH/RPU telah membuat Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 164

167 10. Pengujian hasil Bila terjadi sengketa terhadap hasil uji laboratorium yang dilakukan maka. sebagai rujukan : (1) Terhadap hygiene daging dapat merujuk kepada Laboratorium Kesmavet Pemerintah yang ada atau ke Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan atau Balai Penyidikan Penyakit Hewan diwilayahnya dan Lokasi Pengujian Produk Peternakan. (2) Terhadap lingkungan dapat merujuk kepada Laboratorium Lingkungan Pemerintah atau laboratorium-laboratoriur lingkungan yang diberi wewenang untuk itu. 11.Organisasi Di dalam struktur organisasi RPH/RPU harus tergambar jelas bagian yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hygiene dan sanitasi lingkungan serta kaitan koordinasi dengan instansi yang terkait. 12. Interaksi komponen kegiatan RPH/RPU dcngan komponen lingkungan. Sejak awal pembuatan RPH/RPU beberapa kegiatan yang beriteraksi dengan komponen lingkungan yaitu, dengan: (1) Komponen Fisika dan Kimia. a. Air Parameter kegiatan RPH/RPU yang berinteraksi dengan air adalah kenaikan BOD/COD, warna, minyak dan lemak, amoniak, bau air, zat padat terlarut (kekeruhan) dan bakteri Coli serta perubahan ph. Pengujian mutu kualitas lingkungan air sebelun operasional dan pada saat operasional secara rutin perlu dilakukan, untuk mengetahui perubahan mutu kualitas akibat suatu kegiatan. Bila. perubahan yan terjadi melebihi ambang batas baku mutu maka di perkirakan telah Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 165

168 terjadi perusakan lingkungan. Titik pengambilan sampel air untuk pengujian baku mutu pada saat prakonstruksi dan pada saat operasional harus pada tempat yang sama dan harus diberi tanda. Baku mutu air pada titik pembuangan pada badan limbah tidak boleh melebihi baku mutu peruntukannya. b.udara Parameter komponen kegiatan RPH/RPU yang mempengaruhi udara adalah kebisingan akibat suara hewan/unggas dan generator listrik yang dipergunakan saatsaat tertentu (umumnya pada malam hari). Suara bising yang tidak menganggu adalah di bawah 80 desibel dengan jarak 200 meter dari pusat kebisingn, diambil dari titik arah berlawanan angin dominan. Parameter lain adalah Carbon monoksida. (CO) yang timbul akibat pembakaran sisa-sisa potongan karkas yang diafkir, bangkai hewan mati dan sisa-sisa makanan ternak. c.topographi Air buangan harus memperhatikan keadaan topographi lokasi agar tidak timbul erosi atau abrasi. (2) Komponen Biota Perairan. Kualitas lingkungan perairan dapat tercermin dengan adanya plankton, benthos dan ikan. Keberadaan biota perairan yang ada pada saat prakonstruksi perlu mendapat perhatian untuk tetap dipertahankan kelangsungan hidupnya dengan menghindari kondisi perairan yang tercemar. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 166

169 (3) Komponen Biota Darat Keberadaan biota darat pada saat prakonstruksi perlu diperhitungkan terutama pada biota darat yang dapat menyebarkan hama lalat. Kenaikan jumlah biota tersebut mencerminkan kurang baiknya penanganan limbah padat. (4) Komponen sosial budaya. Keberadaan RPH/RPU pada. suatu daerah hendaknya memberikan dampak positif bagi sosial budaya masyarakat di wilayah dimana RPH/RPU tersebut berada. 13. Limbah RPH/RPU Jenis potensi limbah yang berasal dari proses kegiatan RPU antara lain : (1) Limbah cair berupa sisa-sisa. darah, air kencing (urine hewan dan air kotor yang merupakan sisa-sisa. penggunaan air pada saat proses produksi / pembersihan, sisa-sisa pemakaian oli pada. peralatan pemotongan hewan atau mesin diesel serta air yang berasal dari pembersihan pada kandang peristirahatan / kandang isolasi dan yang berasal dari laboratorium. (2) Limbah padat dapat berupa. kotoran hewan, sisa-sisa kandang, bagian-bagian/irisan karkas yang diafkir serta bangkai hewan mati akibat kasus-kasus tertentu. (3) Limbah udara dapat berupa bau kotoran hewan, bau urine, kebisingan yang ditimbulkan oleh pemakaian mesin diesel pada. saat tertentu serta asap yang berasal dari pembakaran hewan mati/bagian-bagian karkas yang diafkir. Secara praktis; pengolahan limbah menurut kelas RPH/RPU dapat dilihat pada tabel 2. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 167

170 14. Upaya Pengelolaan Limbah RPH/RPU Yang dimaksud dengan upaya pengelolaan limbah adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pemulihan dan pengembangan limbah. (1)Pengelolaan limbah cair : Yang dimaksud limbah cair adalah limbah yang berbentuk cair atau fluida yang sering kali menimbulkan permasalahan lingkungan. Karakteristiknya mudah mengalir, banyak menimbulkan persoalan lingkungan karena efek yang ditimbulkannya mencakup area yang sangat luas. Limbah cair yang berasal dari RPH/RPU bersumber pada : a. Perkantoran dan laboratorium b. Pencucian jeroan, pencucian kamar potong dan pencucian ruang pencabut bulu. c. Pencucian kandang peristirahatan, kandang isolasi dan kotak pengangkut unggas. d. Alat generator listrik. e. Air bekas pendinginan karkas. Pengelolaan limbah cair. yang bersumber pada: a. Perkantoran dan laboratorium. Limbah cair yang berasal dari perkantoran dan laboratorium dialirkan pada septik tank dengan ukuran tertentu dengan memperhitungkan sifat kerembesan tanah, sehingga. tidak berpenggaruh negatif pada lingkungan, b. Darah, urine, air sisa pencucian-jeroan, pencucian ruang pemotongan, pencucian kandang / kotak pengangkut unggas serta kandang isolasi. Limbah cair yang dihasilkan dari tempat ini dialirkan pada saluran yang selalu terpelihara dan untuk selanjutnnya ditampung dalam kolam oksidasi sebelum dibuang pada kali/sungai yang ada. Air yang dibuang Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 168

171 pada badan kali/sungai, baku mutunya tidak boleh merobah baku mutu awal sungai sebelum ada kegiatan dimaksud atau peruntukan sungai/kali tersebut. c. alat generator listrik Oli untuk generator listrik tidak diperkenankan untuk dibuang dan sebaiknya ditampung untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pada tungku pembakaran. Beberapa metoda penanganan limbah cair antara lain : a. Metoda Sedimentasi atau klasifikasi adalah cara perlakuan yang paling sederhana, bermanfaat dan ekonomis untuk memisahkan cairan dan padatan. Pelaksanaannya yaitu dengan memakai bak dengan ukuran tertentu untuk menampung aliran sejumlah air limbah beberapa jam sampai beberapa hari. Kolam/bak tersebut terdiri dari : (a) Bak penyaringan untuk kotoran padat yang ukuran besar. (b) Bak stabilisasi untuk mengendapkan sisa kotoran padat yang tersuspensi dalam limbah cair. Limbah padat yang dihasilkan dari dalam bak untuk selanjutnya diproses menjadi pupuk atau biogas. (c) Bak indikator yang digunakan sebagal indikator kualitas limbah cair yang dihasilkan sebelum dialirkan ke sungai umum. b. Metoda Koagulasi dan Sedimentasi yaitu dengan menambah bahan perkoagulan (misalnya alum) berbentuk presipitat menggumpal. Campuran air presipitat diaduk perlahan-lahan untuk meningkatkan aglomerasi bahan tersuspensi dan presipitat. Kemudian diikuti dengan sedimentasi untuk menyingkirkan bahan yang mengendap dan selanjutnya dengan filtrasi untuk menyingkirkan yang halus. Koagulasi dan sedimentasi dipadukan dengan filtrasi menghasilkan afluen yang jernih. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 169

172 c.metoda Granular/metoda Filtrasi kurang dipakai untuk keperluan air limbah. Metoda ini menggunakan pasir, arang atau kombinasi keduanya sebagai filter. d.metoda Flow Equalization terdiri dari tangki penyimpanan dan alat pemompa untuk mengurangi fluktuasi dalam laju aliran limbah ke sistern perlakuan. Proses akan berjalan lebih baik jika jumlah air limbah yang ditambahkan bersifat konstan. e.metoda perlakuan biologik adalah proses anaerobik, laguna aerobik dan variasi serta proses activited Sludge dan high rate traciling filter. Dapat diterapkan pula rotaring biological contractor. Sistem anaerob memakai mikrobia anaerobik dan fakultatif yang bekerja pada ketiadaan DO untuk mengurai limbah organik. Sistem anaerobik memiliki daya menghilangkan sebagian besar BOD dan padatan tersuspensi dan sangat efektif pada limbah yang mempunyi kadar inisial BOD dan padatan organik yang tinggi. Proses ini ekonomik dan memerlukan lahan yang kecil. Sistem anaerobik memakai laguna (tanggul tanah) dan tangki beton yang berisi campuran mikroorganisme dan air limbah. Biasanya sistem ini dipakai pada tahap pertama yang kemudian diikuti dengan laguna aerobik. Sistem ini menurunkan initial organic yang tinggi ke konsentrasi yang lebih mudah diperlakukan dengan sistem aerobik. f. Variasi dari proses "activited sludge"' digunakan bila jumlah air limbah relatif kecil. Pada dasarnya proses ini merupakan suatu sistim yang memanfaatkan pertumbuhan mikroorganisme secara aktif untuk menguraikan limbah cair secara biologis. (2) Pengelolaan limbah padat. Yang dimaksud limbah padat pada setiap negara tidak sama, tergantung dari kondisi, jenis, bentuk dan komponen limbah. Klasifikasi secara umum sebagai berikut: Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 170

173 a. sampah organik mudah busuk (garbage), yatu limbah padat semi basah berupa bahan organik yang umumnya berasal dari sektor pertanian dan makanan. Limbah ini mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk. Limbah yang termasuk katagori ini pada RPH/RPU adalah: kotoran unggas. isi jeroan dan sisa-sisa makanan ternak. b. sampah organik yang tidak membusuk (rubbish) yang lebih padat, cukup kering dan sulit terurai oleh mikroorganisme sehingga sulit membusuk. Contoh limbah ini pada RPH/RPU antara lain: kertas, plastik, kaca, botol d1l. c. sampah bangkai binatang (dead animal) yaitu semua limbah yang berupa bangkai hewan, bagian karkas yang diafkir serta afkiran sampel organ sisa hasil pemeriksaan laboratorium. d. sampah abu (ashes) yaitu limbah yang mudah terbawa angin tetapi tidak mudah membusuk. Contoh: bulu (bulu halus dari kegiatan perontokan bulu). Penanganan (pengelolaan) limbah Padat di RPH/RPU: Umumnya limbah padat yang dihasilkan oleh RPH/RPU sebagian besar dapat diproses lebih lanjut sehingga. mempunyai nilai ekonomi. Cara penanganan limbah padat tersebut di atas ditangani sesuai dengan sifat limbah itu sendiri: a. Penanganan limbah padat mudah membusuk (garbage) Untuk penanganan limbah ini sebaiknya disediakan tempat penampungan yang berlantai semen bersudut miring sehingga mudah untuk dibersihkan, atau dalam keadaan kering dapat dimasukkan dalam karung plastik untuk diolah menjadi kompos lalu dijual sebagai pupuk kandang. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 171

174 b.penanganan limbah padat tidak membusuk (rubbish) dilakukan antara lain terhadap : (a) kertas dan plastik dapat dikumpulkan dan dijual untuk didaur ulang atau. dibakar. (b) botol obat-obatan setelah dibersihkan dapat dikumpulkan dan dijual atau dikubur (c) kuku dan tanduk dapat dikumpul untuk dijual sebagai bahan kerajinan tangan atau dibakar. c.penanganan limbah bangkai hewan (dead anirnal) Penanganannya dapat dilakukan dengan penguburan sedalam 4 meter dari permukaan tanah atau dibakar. pada tungku pembakaran. Bulu kasar dikumpulkan dikeringkan kemudian dimasukkan dalam karung plastik untuk diolah lebih lanjut sebagai bahan kerajinan rumah tangga. d.penanganan terhadap limbah abu (ashes) Penanganannya dilakukan pengumpulan dengan memasukkan pada kantong plastik warna hitam untuk kemudian dibakar pada tungku pembakaran. (3) Pengelolaan limbah udara Yang dimaksud limbah udara yang diihasilkan RPH/RPU adalah: a. Gas Carbon Monoksida (CO) dan Nitrogen oksida (NO) yang dihasilkan akibat pembakaran hewan, afkiran karkas dan lain-lain, gas-gas tersebut beracun bagi kehidupan manusia maupun biota darat. b. Bau timbul akibat kotoran maupun urine hewan yang tidak dikendalikan. c. Bising timbul akibat suara. hewan/unggas dan generator listrik yang digunakan sewaktu-waktu. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 172

175 Penanganan limbah udara. a. Hasil pembakaran bangkai, afkiran karkas dan lain-lain akan menghasilkan gas antara lain Carbon Monoksida (CO2) dan Nitrogen Monoksida (NO). Agar cemaran tersebut tidak membahayakan manusia dan biota yang ada, tungku pembakaran dibuat sedemikian rupa dengan ketinggian lebih tinggi dari pemukiman penduduk. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah gas-gas tersebut mengenai kehidupan penduduk dan biota darat akibat hembusan angin. b. Bising akibat suara generator listrik dapat diredam dengan menempatkan generator tersebut dalam ruangan kedap suara. Bising yang diperkenankan maximal 80 dba, atau dapat dibantu dengan penanaman pohon sekitar sumber suara serta upaya penempatan sumber suara pada lokasi yang berjauhan dengan pemukiman. Dari segi, kemesinan sebagai sumber suara dapat juga dipilih mesin-mesin dengan RPM (Rotation Per Minute) yang rendah sehingga tingkat kebisingannya rendah. Perawatan mesin yang teratur akan pula dapat memperbaiki dampak kebisingan. c. Bau yang menyengat dapat dikurangi dengan menjaga tempat tersebut selalu kering dan bersih, serta tidak membiarkan kotoran tersebut bertumpuk terlalu lama. 15.Upaya Pemantauan Lingkungan RPH/RPU Yang dimaksud dengan Upaya Pemantauan Lingkungan adalah suatu kegiatan pengawasan dan pengendalian terhadap suatu pelaksanaan kegiatan selama kegiatan itu masih berlangsung Upaya pemantauan dilakukan antara lain dengan: Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 173

176 (1) Membentuk struktur/unit kerja dalam RPH/RPU yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup yang melakukan monitoring dan evaluasi secara reguler dengan: a. Melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap limbah RPH/RPU secara priodik. b. Memantau keluhan masyarakat di sekitar lokasi RPH/RPU c. Mengadakan evaluasi terhadap hasil pemeriksaa laboratorium dan keluhan masyarakat untuk perbaikan penanganan limbah RPH/RPU. d. Membuat laporan secara priodik mengenai pengendalian limbah RPH/RPU kepada Direktorat Jenderal Peternakan c.q Direktur Bina Kesehatan Hewan. (2) Meningkatkan koordinasi hasil penanganan limbah dengan instansi terkait yaitu Dinas Peternakan, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum/Pengairan, Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup Propinsi / Bapedal dan dengan masyarakat. (3) Meningkatkan peran serta aktif masyarakat dengan meningkatkan kesadaran mereka melalui pembinaan dan bimbingan agar apabila terjadi pencemaran lingkungan segera melapor kepada aparat yang terkait untuk segera diambil langkah-langkah perbaikan. Untuk tidak terjadi kesimpangsiuran dalam tugas pemantauan kualitas lingkungan, dokumen UKL dan UPL dapat dijadikan pedoman untuk pemantauan berkesinambungan dan untuk itu titik tempat pemantauan awal serta metoda awal merupakan titik yang tetap dan selalu dipergunakan selama kegitan berlangsung, demikian pula metodenya. Untuk keperluan itu diperlukan buku khusus pencatatan perubahan kualitas lingkungan tiap bulannya. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 174

177 Metoda dan Analisa pemantauan limbah. a.metoda dan analisa komponen fisika-kimia. Untuk mengungkapkan kualitas kimia-fisik- komponen lingkungan diperlukan data kualitas kimia fisik. Data tersebut dapat diperoleh dari data sekunder yang berasal dari institusi yang bertanggungjawab terhadapdata tersebut, serta data primer yang berasal dari penelitian sendiri, Data-data tersebut harus memenuhi persyaratan. (a) Dapat dipertanggungjawabkan (b) dapat dipercaya (c) absah Untuk mernenuhi ketiga syarat tersebut, perlu diperhatikan : (a) Cara pengambilan sampel (sampling) (b) Metoda analisa (c) Cara mengevaluasi hasil analisa i. Cara pengambilan sampel ii.pengambilan sampel air Pengambilan sampel air, dengan memperhatikan,beberapa aspek antara lain: (a).lokasi sampling, perlu didasarkan pada batas wilayah studi yang bertitik tolak pada ruang rencana kegiatan serta diperluas ke ruang ekosistem serta ruang administrasi, sehingga dalam menentukan lokasi sampling perlu diperhatikan. i. Tata ruang di dalam wilayah studi. Tata ruang perlu diamati untuk melihat aktivitas-aktivitas kegiatan yang ada di wilayah tersebut, sifat, dan perilaku kegiatan, topograpi yang ada serta penggunaan lahan lainnya. ii.tata air di dalam wilayah studi. Tata air di dalam wilayah studi perlu diamati, untuk melihat sebaran/distribusi dari afluen dan emisi yang berasal dari kegiatan-kegiatan yang ada. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 175

178 Dari kedua hal tersebut di atas dianalisis lokas lokasi yang terpengaruh dan yang tidak terpengaruh oleh rencana kegiatan dengan mempertimbangkan: i. Tujuan pengambilan sample ii. Pengaruh limbah lainnya iii. Sifat limbah / jenis pencemaran yang akan disampling iv. Kemudahan dan keselamatan pengambilan sampling (b) Waktu dan frekuensi sampling untuk menentukan waktu dan frekuensi yang tepat, perilaku pembuangan limbah perlu di gambarkan dengan jelas terlebih dahulu. (c) Cara dan teknis sampling Dalam pengambilan sampel harus diperhatikan: i. Sampel yang diambil harus representative dan dapat dipercaya (reliable) ii. Volume sampel harus sesuai dengan yang akan dianalisa. iii. sampel harus diambil dengan menghilangkan pengaruh-pengaruh lain pada kondisi lapangan yang tidak mendukung. (d) Alat pengambilan sampel Beberapa jenis alat pengambilan sampel air digunakan berdasarkan metoda pengambilan sampel yang diinginkan antara lain: i. Alat pengambilan sampel setempat (point sampler). Selain botol biasa, ada pula alat khusus yang dapat mengambil sampel air pada kedalaman yang diinginkankan. Untuk sungai menggunakan tipe horizontal misalnya alat Wohlenberg. Untuk danau dan waduk menggunakan tipe vertikal misalnya Ruttner. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 176

179 ii. Alat pengambil sampel gabungan (integrated sampler). Misalnya menggunakan tabung USDH. iii. Alat pengambilan sampel automatik. Alat ini digunakan untuk memperoleh sampel-sampel pada serentetan waktu yang tepat. Biasanya digunakan untuk limbah industri atau instalasi pengolahan limbah. b. Metoda pengambilan sampel air ada 3 (tiga) yaitu: a) Sampel sesaat (grab sampel) Pengambilan sampel ini dilaksanakan apabila suatu sumber air mempunyai karakteristik yang tidak banyak berubah di dalam suatu periode atau di dalam batas jarak tertentu. Umumnya metoda ini dapat dipakai untuk sumber alamiah, tetapi tidak mewakili air buangan sumber air yang banyak dipengaruhi air buangan Untuk air buangan yang karakteristiknya banyak berubah, sampel sesaat diambil berturut-turut untuk jangka waktu tertentu dan pemeriksaanya dilakukan sendiri-sendiri. Jangka waktu, selang pengambilan sampel berkisar 3 menit sampai 1 jam atau lebih. Parameter yang dapat diukur dengan metode ini adalah: ph, kadar gas terlarut, oksigen terlarut, CO2, sulfida, sianida dan klorin. b) Sampel gabungan waktu (composite samples)adalah gabungan sampel-sampel sesaat yang diambil dari satu tempat yang sama pada waktu yang berbeda. Umumnya pengambilan sampel dilakukan terus-menerus selama 24 jam akan tetapi dalam beberapa hal dilakukan secara intensif untuk jangka waktu yang lebih pendek, misalnya selama periode beroperasinya kegiatan atau selama terjadinya proses pembuangan. Metoda ini tidak dapat dilakukan untuk pemeriksaan unsur-unsur yang memerlukan sampel sesaat. Volume akhir sampel gabungan adalah 3-5 liter. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 177

180 c) Sampel gabungan tempat (integrated samples). Adalah gabungan sampel-sampel sesaat yang dari tempat berbeda pada waktu yang sama. Hasil pemeriksaan menunjukkan keadaan rata-rata suatu daerah atau tempat pemeriksaan. Metoda ini berguna apabila diperlukan pemeriksaan kualitas air dari suatu penampang aliran sungai yang dalam atau lebar bagian-bagian pada penampang tersebut memiliki kualitas yang berbeda. Metoda ini tidak untuk pemeriksaan kualitas air danau atau waduk. d) Penyimpanan dan pengawetan sampel air. Sebaiknya analisa air dilakukan segera setelah pengambilan sampel. Apabila analisa akan di tangguhkan pada keesokan harinya usaha terbaik adalah pendinginan sampel sampai 4 0 C. Apabila tidak memungkinkan dapat menggunakan zat pengawet di bawah ini. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 178

181 Tabel 9. Karakteristik Tempat Penyimpanan, Jumlah Sampel dan Kondisi Penyimpanan Sampel Air Limbah Menurut Parameter yang Diukur PENETAPAN BOD TEMPAT PENYIMPANAN P,G KEPERLUAN SAMPEL (ml) 100 PENYIMPANAN TERLAMA dan PENGAWETAN 24 jam, pendinginan COD P,G 100 Analisa segera tambah H 2 SO 4, ph<2 (7 hari) Bau G Analisa segera pendinginan 4 0 C (7 hari) ph G - Analisa segera Suhu P,G - Analisa segera Residu Klorin G Analisa segera Warna Pendinginan 4 0 C 24 jam Minyak dan lemak G 1000 Tambah HCl atau H 2 SO 4 sampai, ph<2 (24 hari) Amonia P,G 500 Analisa segera atau diawetkan 7 hari dengan 0,8 ml H 2 SO 4 pekat/liter Kekeruhan P,G - Analisa pada hari yang sama simpan didalam tempat yang gelap untuk analisa sampai 7 hari Bakteri Coli Gelas steril 300 Segera, pendinginan Keterangan P : Plastik Polipropilen G : Gelas Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 179

182 c.pengambilan sample udara Didalam pengambilan sample udara dikenal 2 metoda yaitu : (a) metoda basah (wet method), pada prinsipnya adalah sampel udara diabsorbsi oleh suatu larutan kimia yang selektif terhadap jenis gas yang disampling, yang kemudian larutan dianalisis di laboratorium dengan metoda analisis tertentu. Peralatan terdiri dari serangkaian impinger, pompa penghisap udara dan selang penghubung. (b) Metoda kering (dry method), yaitu sample udara di analisis dengan menggunakan energi cahaya hasil reaksi kima secara langsung. Peralatan sampling terdiri dari peralatan yang langsung dapat menganalisis di lapangan. Untuk sampel udara, analisa harus capat dilaksanakan, pengawetan dilakukan dengan pendinginan pada 4 0 C dan tidak lebih dari 24 jam. d. Pengambilan sampel kebisingan udara. Peralatan sampling terdiri dari peralatan yang langsung dapat menganalisis di lapangan. Gambaran tingkat kebisingan pada beberapa kegiatan adalah sebagai berikut : (a) pembicaraan biasa 60 dba (b) Daerah pemukiman 65 dba (c) Daerah hutan dba (d) Kereta api 95 db Di Indonesia talah ditetapkan nilai ambang batas kebisingan kerja sebesar 85 dba. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 180

183 Tabel 10. Metode Analisis Baku Laboratorium NO PARAMETER METODA PERALATAN 1 Kekeruhan Photometri/Nephelometri Turbidimeter/Nephelometer 2 Warna Perbandingan visual Tabung Nessler dengan standar pt-co 3 Suhu Pengukuran langsung Thermometer 4 Amonia Nessler Spektrophotometer 5 PH Elektrometeri PH meter 6 Zat padat tersuspensi Photometri Photometer 7 Chlorida Titrasi 8 COD Reflux dichromat Titrimeter 9 BOD Pengenceran Inkubator 10 Minyak dan Lemak Ekstraksi Spektophotometer Trichloroetan e.metoda dan analisa komponen Biologi Komponen biologis, merupakan salah satu komponen lingkungan yang kemugkinan terkena dampak, sehingga perlu pula diketahui komponen biologi secara jelas terutama yang diperkirakan terkena dampak. Bentuk dampak tersebut antara lain dapat berupa: (a) berkurangnya luas habitat (b) turunnya kualitas habitat (c) eksploitasi dan perburuan yang berlebihan (d) pemanfaatan teknologi yang tidak bijaksana (e) penurunan populasi (f) penurunan keanekaan (g) peledakan populasi tertentu, dll Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 181

184 Metoda pengumpulan data biota darat: (a) Contoh metoda pengambilan data vegetasi. Metoda tanpa plot: - Buat garis utara sesuai dengan arah kompas. - Buat garis transek tegak lurus garis utama, pada ujung garis utama. - Tentukan sejumlah titik sepanjang garis transek - Ukur jarak dan diameter pohon terdekat. Buat garis-garis transek berikutnya sejajar garis pertama dan berselang-seling dikedua sisi garis utama. - Pada setiap garis transek dibuat atau dikerjakan seperti cara di atas. - Menghitung jarak rata-rata: = Total jarak 4 Jumlah titik -Kerapatan pohon per hektar: = rata rata jarak (b) Beberapa contoh pengumpulan data satwa i. Sensus. Adalah perhitungan semua jenis satwa yang meliputi suatu areal pada suatu waktu tertentu atau suatu interval waktu pada areal tertentu. ii.pendugaan populasi dengan perhitungan total: Wilayah jelajah satwa diketahui terlebih dahulu. - Areal cukup kecil. - Satwa mudah dilihat - Satwa relatif menetap - perlu diulang beberapa kali untuk menghindari perhitungan ulang iii. Pendugaan populasi dengan perkiraan Derajat kebenaran dipengaruhi oleh: Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 182

185 - Lama pejabat ditempat itu. - Aktifitas pejabat dalam mengetahui kawasannya. - Cara perkiraaan berdasarkan: jejak kaki, suara, lihat langsung, kombinasi langsung dan tidak langsung. iv. Pendugaan "Capture Recapture". - menangkap jumlah satwa dan menandai. - melepas jumlah satwa yang ditandai. - menangkap kembali sejumlah satwa. - Populasi terduga (N). H. n N= M H = jumlah satwa yang ditandai n = populasi yang tertanda dan tertangkap kembali M = jumlah satwa yang ditangkap e. Metoda analisa biota perairan. Kualitas lingkungan perairan parameternya ditentukan dengan-adanya ikan, plankton dan bentos. (a) Pengumpulan plankton. i. Pengumpulan kualitatif di kolam atau di danau dapat dilakukan dengan menggunakan jala plankton baik secara horizontal maupun vertikal. Pengambilan contoh plankton pada perairan yang banyak tumbuhan terapung dengan menggunakan jala plankton bertangkai. ii. Pengumpulan secara kualitatif, dengan cara air yang telah diketahui volumenya dituangkan pada jala plankton. Plankton yang terjaring dikumpulkan dan dihitung. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 183

186 (b) Pengumpulan bentos. i. Bentos pada air tergenang. Pengmpulan bentos dari dasar sungai, kolam atau sawah yang tergenang dapat dilaksanakan dengan alat Ekmandrege yang mempunyai luas 20 x 20 cm2. Contoh: lumpur yang mengandung komonikan bentos dimasukan kedalam ember kemudian dituangkan dalam kantung plastik dan diberi pengawet Formalin 40% secukupnya lalu dibawa ke laboratorium yang ditunjuk untuk dihitung. ii.bentos pada air mengalir. Pengumpulan bentos pada air mengalir, misalnya sungai dapat menggunakan jala Surber yang mempunyai luas 40 x 25 cm2. Jala tersebut harus diletakan pada dasar perairan dari sungai dengan arah menentang aliran arus. Caranya: area seluas 0,1 m2, kita aduk-aduk dengan hati-hati sehingga organisme bentos yang melekat di batu-batu, pasir, atau lumpur tercuci akan hanyut dan terapung dijala Surber, kemudian kita masukan dalam kantung plastik dan diberi formalin 40% untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dihitung. f. Metoda analisa komponen sosial budaya. Dampak yang timbul pada komponen sosial budaya pada tiap periode kegiatan berbeda-beda, sesuai dengan periode kegiatan tersebut. Dampak yang timbul pada: (a)periode Prakonstruksi. Pada periode ini umumnya dampak yang muncul adalah proses ganti rugi pemilikan tanah. Untuk mengatasi hasil ini tokoh masyarakat informal perlu diikutsertakan di dalam penentuan nilai rugi. Persepsi masyarakat terhadap rencana kegiatan usaha perlu dipertimbangkan, untuk merencanakan kegiatan masa akan datang dan untuk itu perlu diambil beberapa sampel pendapat masyarakat dengan metode quesioner. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 184

187 (b)periode Konstruksi. Dampak yang muncul pada periode ini adalah masalah ketenagakerjaan. Umumnya tenaga yang dapat diserap dari masyarakat setempat adalah tenaga kerja non teknis yang hanya dipekerjakan untuk sementara. Penggunaan tenaga kerja non teknis berasal dari masyarakat setempat hendaknya diperhitungkan jumlah penggunaannya tanpa harus memberi janji-janji pada masyarakat. (c)periode Pasca Konstruksi (Operasional). Dampak yang timbul pada periode ini antara lain i.pendapatan masyarakat. Untuk menambah pendapatan masyarakat, kerjasama dengan KUD di dalam pengolahan kotoran sebagai bahan pupuk kandang merupakan tindakan yang bijaksana dan melestarikan simpatik masyarakat. ii.kesehatan masyarakat. Tidak atau kurang memperhatikan sanitasi lingkungan RPH dapat menimbulkan penyakit pada masyarakat dan bahkan dapat menimbulkan wabah penyakit. Penyakit dimaksud dapat yang bersifat zoonosis maupun non zoonosis. iii. Keagamaan Faktor religius merupakan faktor sangat mendasar terutama pada RPH babi. Limbah buangan yang perlakuannya ceroboh dapat menimbulkan protes masyarakat. iv.budaya Keberadaan RPH hendaknya turut berpartisipasi melestarikan budaya yang ada. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 185

188 (d)penilaian Rona Awal lingkungan dan selama kegiatan. Berdasarkan hasil analisa yang didapat dengan metoda ilmiah yang dipilih dari cara-cara di atas maka dapat digambarkan/didiskripsikan keadaan awal komponen lingkungan dari satu kawasan. Keadaan awal kualitas lingkungan inilah yang menjadi tolak ukur dalam pengendalian dampak yang timbul akibat suatu kegiatan. Pendataan data awal dan data selama kegiatan dengan metoda dan analisa yang sama dapat mengambarkan atau dapat memperkirakan penurunan atau kenaikan angka-angka besaran yang berpengaruh pada rona lingkungan awal, sehingga bila terjadi kenaikan besaran dapat diketahui sedini mungkin. V. LAIN-LAIN 1. Saran penyempurnaan dokumen UKL dan UPL dari rencana usaha atau kegiatannya yang dibiayai baik oleh APBN atau swasta yang izin usahanya dikeluarkan oleh instansi berwenang tingkat pusat, BUMN lingkup Dep. Pertanian, dilakukan oleh Badan Agribisnis bersama-sama dengan Direktorat Jenderal yang membidangi dan membina rencana usaha atau kegiatan tersebut 2. Saran penyempurnaan dokumen UKL dan UPL dari rencana usaha atau kegiatan yang dibiayai oleh APBD atau APBN apabila penyelenggara rencana kegiatan tersebut diserahkan kepada daerah atau swasta yang izin usahanya dikeluarkan oleh instansi yang berwenang tingkat daerah, dilakukan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian setempat bersama-sama dengan Dinas Peternakan Dati I yang membidangi dan membina rencana usaha atau kegiatan tersebut. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 186

189 3. Saran penyermurnaan tertulis atas dokumen UKL dan UPL disampaikan kepada pemrakarsa oleh instansi yang disertai dokumen tersebut selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja terhitung dokumen diterima. 4. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ada saran penyempurnaan tertulis, maka dokumen UKL dan UPL tersebut anggap telah memenuhi persyaratan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 187

190 BAB VII PENYAKIT YANG DITULARKAN OLEH SUSU DAN PRODUK SUSU Susu dapat merupakan sumber penyakit bagi manusia, dan sebenarnya tanpa adanya perlakuan pasteurisasi banyak penyakit yang ditimbulkan sehubungan dengan konsumsi susu yang kurang higienis. Secara garis besar, penyakit yang dibawa oleh susu dapat berasal dari dua sumber : 1. Langsung dari sapi, karena banyak dari penyakit yang diderita sapi dapat juga mempengaruhi manusia. 2. Dengan penularan susu dari sumber luar selama pengangkutan dari sapi sampai ketangan konsumen. Beberapa penyakit yang dapat ditularkan langsung dari sapi adalah sebagai berikut : Tuberkulosis Dari semua penyakit yang ditularkan melalui susu, tuberkulosis adalah yang paling menonjol. Mycobacterium bovis adalah penyebab penyakit pada sapi dan dapat dipindahkan kedalam kedalam susu, terutama bila ambingnya kena infeksi. Sampai ditemukannya prosedur pasteuriasi yang efektif, susu adalah salah satu bahan pangan penyebab utama tuberculosis pada populasi sapi juga telah terbukti sangat efektif untuk mengurangi kasus kasus tuberkulosis yang ditularkan melalui susu. Salmonellosis Salmonella merupakan komponen mikroorganisme yang sangat sering sebagai penyebab keracunan makanan. Walaupun bakteri dapat dirusak oleh pasteurisasi, namun bakteri dapat berasal dari lingkungannya untuk selanjutnya mencemaris susu. Sumber utama kontaminasi bakteri ini biasanya berasal dari jenis burung dan binatang pengerat. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 188

191 Cara terbaik untuk memastikan bahwa produk terbebas dari Salmonella adalah dengan jalan kontrol yang ketat terhadap proses produksi dan higiene lingkungan. Brucellosis Brucellosis yang disebabkan karena infeksi pada sapi disebabkan oleh Brucella abortus, organisme yang menyebabkan terjadinya keguguran kandungan. Penyakit ini bersifat menular dan gejala-gejala infeksi pada manusia adalah demam yang berselangseling, banyak keringat, sakit kepala dan badan sakit semua. Leptospirosis Penyakit sapi ini disebabkan oleh jenis dari kelompok Leptospira dan pada manusia ditandai dengan influensa dan gejala-gejala jenis typhoid. Demam Q Demam Q adalah penyakit seperti radang paru-paru (pneumonia) yang berasal dari Rickettsia. Organisme penyebabnya adalah Coxiella burnetti yang dapat disebarkan melalui udara. Staphylococcus aureus Walaupun bakteri ini sendiri dapat dirusak oleh perlakuan pemanasan, Stapylococcus aureus dapat menghasilkan toksin yang bersifat tahan panas sehingga akan tetap bertahan dengan perlakuan pasteurisasi dan menyebabkan terjadinya keracunan. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun bakteri tidak ditemukan dalam bahan pangan (susu), namun tidak berarti bahwa bahan pangan tersebut bebas dari kemungkinan terjadinya keracunan. Toksin biasanya dihasilkan apabila jumlah mikroorganisme pencemar cukup tinggi yakni 10 6 /g. Organisme tidak dapat tumbuh dengan baik pada temperatur rendah. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 189

192 Higiene yang baik serta kontrol suhu merupakan tindakan yang mesti dilakukan untuk meminimalkan munculnya bahaya. Listeria monocytogenes Sebagian besar bakteri pattogen pada produk susu bersifat mesophilik sehingga tidak dapat tumbuh pada temperatur refrigerasi. Tetapi tidak sama halnya dengan bakteri Listeria monocytogenes yang dapat tumbuh pada suhu 0 0 C. L. monocytogenes bersifat peka terhadap panas dan dapat dirusak dengan suhu pasteurisasi. Terajadinya cemaran pada produk setelah perlakuan panas diduga akibat terjadinya cemaran setelah pasteurisasi. L.monocytogenes juga dapat tumbuh pada media yang mengandung 10% NaCl. Organismen lain yang Terdapat di dalam Susu Emerging pathogens Dua organisme yang menjadi perhatian akhir akhir ini didalam produk susu yaitu Bacillus cereus dan E.coli O157. Walaupun toksin yang dihasilkan oleh B.cereus sudah diketahui beberapa tahun yang lalu, namun belakangan ini, organisme ini mengalami peningkatan yang cukup nyata terutama pada produk susu sebagai akibat dari daya dukung lingkungan untuk pertumbuhannya. Pada temperatur refrigerasi B.cereus secara cepat berkembang dibandingkan dengan Gram negatif psychrotrophs. Apabila bakteri Gram negatif tidak ada, masa simpan dari produk yang didinginkan akan dapat diperpanjang, namun akan berdampak terhadap pertumbuhan bakteri B.cereus yang lebih cepat. Beberapa strain E.coli telah diketahui berkaitan dengan kejadian wabah keracunan makanan, namun strain E.coli O157 yang dianggap sebagai bakteri patogen yang sejati. Strain bakteri ini dapat menyebabkan terjadinya hemolytic colitis dan hemolytic uremic syndrome (HUS) terutama pada anak-anak. HUS merupakan penyakit ginjal yang meluas yang dapat mengawali terjadinya gagal ginjal dan berakhir dengan kematian. Organisme Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 190

193 telah dapat diisolasi dari sapi dan juga pada susu akibat adanya kontaminasi feces. Organisme ini bersifat tidak tahan panas dan tidak dapat tumbuh pada suhu pasteurisasi. Beberapa kelompok mikroorganisme yang kadang-kadang terkait dengan kejadian foodborne illness yaitu : Campylobacter spp dan Yersinia enterocolitica. Campylobacter spp dan Yersinia enterocolitica merupakan dua organisme yang dapat dirusak oleh suhu pasteurisasi, namun kehadiran mikroorganiosme ini pada susu dianggap sebagai akibat dari adanya kontaminasi dari lingkungan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 191

194 BAB VIII KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI SUSU DI INDONESIA I. PENDAHULUAN Sejalan dengan munculnya paradigma baru pembangunan sektor pertanian, pembangunan peternakan sebagai bagian dari pembangunan sektor pertanian harus pula menyesuaikan dengan paradigma baru tersebut. Dalam hal ini, maka peran pemerintah sesuai dengan perkembangan manajeman publik dan dikaitkan dengan Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, akan lebih banyak terkait dengan rumusan-rumusan kebijakan makro yang menciptakan insentif bagi pengembangan agribisnis sapi perah, pengembangan kelembagaan pelayanan dan kelembagaan pelaku agribisnis, sehingga peternak sapi perah tersebut mampu mengembangkan usahanya sendiri. Keberhasilan pembangunan peternakan melalui pemberdayaan perekonomian rakyat memerlukan dukungan 3 tiang penyangga meliputi : 1) tiang utama, yaitu pembangunan komoditi ternak yang berbasis sumber daya alam lokal (jenis ternak potong, kambing, domba ayam buras dan itik), 2) tiang pendukung adalah pembangunan komoditi ternak yang memerlukan investasi dan teknologi tinggi (komoditi ternak ayam ras petelur dan daging, babi dan sapi perah), dan 3) tiang pelengkap yaitu pembangunan komoditi ternak yang memiliki potensi baru (komoditi aneka ternak seperti kelinci, merpati, rusa, burung unta, dll). Pengembangan persusuan nasional telah dimuali secara intensif sejak tahun 1979 melalui usaha pengembangan usaha sapi perah yang berbasis pada peternakan rakyat. Beberapa upaya pendukung keberhasilan program tersebut telah memperlihatkan hasil yang cukup baik. Upaya tersebut melalui impor bibit sapi perah, penerapan teknologi IB, perkreditan, dan pembenahan secara sistematis usaha persusuan meliputi aspek produksi, kelembagaan serta pemasaran. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 192

195 Namun demikian, selama kurun waktu tersebut laju pertumbuhan produksi susu di Indonesia belum bisa mengimbangi laju konsumsi susu dalam negeri yang terus meningkat. Pada tahun 1979, konsumsi susu dalam negeri adalah sebesar 532,7 ribu ton sedangkan produksi susu segar dalam negeri (SSDN) dalam tahun yang sama adalah sebesar 72 ribu ton. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi SSDN terhadap konsumsi susu dalam negeri adalah sebesar 13,5%. Pada tahun 2001, seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, maka konsumsi susu meningkat menjadi ribu ton. Sementara itu produksi SSDN mencapai 505 ribu ton atau meningkat 26 kali lipat dalam kurun waktu 21 tahun. Jumlah ini hanya dapat memenuhi 30,8 % konsumsi susu nasional. Rendahnya produksi susu dalam negeri disebabkan oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan mutu bibit, belum berkembangnya manajemen sapi perah, kesehatan hewan, kualitas pakan dan penerapan praktek hygiene sanitasi pada rantai produk susu. Disamping itu, krisis ekonomi yang berkepanjangan telah pula mempengaruhi perkembangan persusuan nasional mengingat tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap agroinput dan teknologi luar. Upaya peningkatan produksi susu melalui pemberdayaan usaha peternakan rakyat merupakan upaya mengurangi ketergantungan impor sekaligus sebagai upaya dalam memperbaiki gizi masyarakat, terutama di pedesaan, untuk meningkatkan derajat kesehatan. Dengan tidak diberlakukannya lagi kebijakan rasio susu melalui Keputusan Presiden No. 4/1998, diperlukan upaya-upaya strategis yang terkait dengan peningkatan efisiensi dan produktivitas sapi perah rakyat melalui program yang terpadu, terfokus, terkonsentrasi dan berkelanjutan. II. SITUASI DAN KONDISI USAHA SAPI PERAH DI INDONESIA Sekitar 80% usaha peternakan sapi perah di Indonesia merupakan usaha keluarga di pedesaan dalam skala kecil dengan rata-rata kepemilikan kurang dari 4 ekor sapi laktasi / peternak. Sedangkan usaha sapi perah dalam skala besar masih sangat terbatas Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 193

196 dan umumnya merupakan unit usaha yang baru tumbuh. Dalam komposisi seperti ini, secara kasar diperkirakan 64% produksi SSDN berasal dari peternak skala kecil. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian yang dilakukan BPS, jumlah rumah tangga peternak sapi perah di Indonesia meningkat dari KK pada tahun 1973 menjadi KK pada tahun 1983 dan meningkat lagi menjadi KK pada tahun Peternakan sapi perah di Indonesia masih dicirikan dengan tingkat manajemen dan pemeliharaan yang sederhana. Bahkan di lokasi pemeliharaan baru, seringkali ditemukan kondisi ternak dan praktek pemeliharaannya jauh dibawah standar, sehingga tingkat produksi susunya masih sangat rendah dibandingkan dengan potensi genetik bibit yang mungkin dapat dihasilkan, disamping rendahnya kualitas susu akibat tingginya cemaran mikroba. Dari segi penyebaran usaha peternakan sapi perah di Indonesia, sekitar 97% populasi dan produksi susu sapi perah terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sedangkan penghasil susu diluar Jawa adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Sumatra Selatan dengan taraf kontribusi terhadap susu nasional sebesar 3%. Kondisi ini menimbulkan masalah pada penyediaan lahan sebagai basis ekologi budidaya sapi perah mengingat keterbatasan penyediaan lahan karena berbagai kepentingan lainnya. Penerapan teknologi Inseminasi Buatan (IB) pada sapi perah telah mulai diintroduksikan sejak tahun 1969, dan sejak tahun 1979 IB dilakukan secara terprogram dalam suatu paket kebijaksanaan untuk perbaikan mutu dan peningkatan populasi. Sejak tahun 1994 mulai diintroduksikan teknologi transfer embrio (ET). Tekonologi budidaya lain yang diterapkan pada usaha peternakan sapi perah adalah paket teknologi SAPTA USAHA, yaitu implementasinya dilaksanakan bersama oleh pemerintah dan masyarakat melalui Koperasi Persusuan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 194

197 III. PERMASALAHAN Permasalahan yang dihadapi dalam pembinaan dan pengembangan usaha sapi perah di Indonesia meliputi beberapa hal sebagai berikut : 1. Mutu Bibit Sapi Perah Pada saat dimulainya program persusuan nasional, bibit sapi perah yang berasal dari impor memiliki mutu yang baik. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, performans mereka kian menurun akibat perkawinan silang yang kurang memperhatikan pemilihan bibit yang baik, faktor agroklimat yang relatif kuarng mendukung serta penerapan manajemen peternakan yang relatif masih tradisional. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan rendahnya produksi dan produktivitas per satuan ternak. Dewasa ini, rata-rata produksi susu baru mencapai liter/ekor/hari, masih jauh dari kemampuan genetic mereka yang seharusnya dapat mencapai sekitar 20 liter/ekor/hari. Disamping itu jumlah sapi perah produktif juga menurun, hanya 42% dari total populasi sapi perah dan dari jumlah tersebut 70% yang laktasi. Relatif rendahnya produktivitas ditandai pula dengan calving interval yang cukup panjang, yaitu lebih dari 16 bulan. 2. Skala Kepemilikan Jumlah rata-rata pemilikan ternak relative rendah, yaitu sekitar 2-4 ekor/peternak. Padahal jumlah yang ideal pemilikan ternak berskala ekonomi atau yang cukup sebagai usaha pokok menunjang kehidupan peternak adalah ekor atau rata-rata 7 ekor sapi laktasi. Rendahnya skala kepemilikan mempunyai korelasi yang tinggi dengan kepemilikan lahan, terutama peternak sapi perah di pulau Jawa, yang rata-rata hanya memiliki sekitar 0,25 ha/petani. Dimasa mendatang, khususnya Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 195

198 pengembangan sapi perah di Pulau Jawa, akan dihadapkan kepada dimensidimensi tantangan baru yaitu kendala terbatasnya ketersediaan lahan. Sementara itu, pengembangan usaha peternakan sapi perah ternyata belum terpola sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR). Kondisi ini telah menimbulkan masalah yang cukup serius, khususnya disentra-sentra produksi susu sebagai akibat adanya konflik kepentingan diantara berbagai sektor dan sub sektor. 3. Teknologi Keterampilan sumber daya manusia yang masih rendah, terutama ditinjau dari asfek penerapan pengetahuan dan teknologi serta keterbatasan sarana dan prasarana pemeliharaan sapi perah menyebabkan tidak diterapkannya praktek higiene dengan baik dan benar. Hal tersebut tercermin dari masih tingginya jumlah cemaran mikroba, khususnya jumlah angka lempeng total (Total Plate Count). Ditingkat penampungan susu (Milk Collecting Center), sebagian besar susu segar yang disalurkan ke IPS memiliki TPC sekitar juta CFU/ml susu segar, jauh diatas Standar Nasional Indonesia Susu Segar (SNI ) yang menetapkan TPC maksimum adalah 1 juta CFU/ml susu segar. 4. Penyakit Hewan Menular Keterbatasan modal dan teknologi peternak menyebabkan mudahnya ternak terserang penyakit menular. Beberapa jenis penyakit yang sering ditemukan adalah mastitis, brucellosis, tuberculosis, prolapsus uteri dan kembung. Apabila penyakit-penyakit ini tidak dikendalikan dapat mempengaruhi produksi maupun produktivitas ternak sapi perah. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 196

199 Soedarwanto, dkk (1990), melaporkan bahwa lebih dari 80% sapi perah produktif positif terhadap mastitis subklinis yang menyebabkan penurunan produksi hingga 15-18%. 5. Pelayanan Koperasi Susu Koperasi persusuan hanya berkonsentrasi pada peroduksi dan pemasaran yang menciptakan ketergantungan koperasi kepada IPS. Sementara usaha penunjang seperti kegiatan pengadaan bibit, pakan dan pengolahan belum ditangani secara sungguh-sungguh sebagai kegiatan yang akan berdampak kepada peningkatan produktivitas, kualitas dan efisiensi usaha. Disamping itu, unit susu pada KUD banyak yang mendapat beban dari unit usaha lain dalam KUD tersebut seperti usaha sayuran, palawija dan sebagainya yang sering merugi. Hal tersebut menyebabkan banyaknya pungutan yang dibebankan kepada peternak anggota koperasi. 6. Ketergantungan Pasar Susu Segar Dalam Negeri kepada IPS Selama ini sekitar 85% produksi SSDN dijual ke IPS sebagai bahan baku industri. Dengan adanya reformasi ekonomi, melalui Inpres No. 4 tahun 1998, maka tata niaga susu dibebaskan sesuai mekanisme pasar, sehingga tidak ada lagi kewajiban bagi IPS untuk menyerap susu produksi dalam negeri sebagai bahan baku, dan produk SSDN dituntut untuk dapat bersaing dengan susu impor baik dari segi kualitas maupun harganya. Apalagi, beberapa IPS besar akan menerapkan sistem reward and penalty dalam penyerapan produksi SSDN. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 197

200 IV. PROGRAM PENGEMBANGAN 1. Sasaran Pengembangan Dengan terjadinya reformasi ekonomi, maka sasaran pengembangan persusuan nasional dalam upaya pembinaan meliputi : 1) Peningkatan produktivitas bibit sapi perah dalam negeri menjadi 15 liter/ekor/hari. 2) Pengembangan pembibitan sapi perah dalam negeri 3) Peningkatan skala usaha budidaya di peternak dan koperasi agar lebih ekonomis 4) Pengembangan GKSI agar mempunyai unit pengolahan sendiri 5) Peningkatan kemitraan IPS dalam membantu budidaya sapi perah 6) Efisiensi pemasaran susu di Indonesia 7) Promosi dan kampanye minum susu segar. 2. Upaya Jangka Pendek, Jangka Menengah dan Jangka Panjang Upaya-upaya yang diperlukan dalam rangka pengembangan persusuan nasional merupakan upaya yang terintegrasi. Mengingat besarnya tantangan dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi, maka program pengembangan tersebut dibagi kedalam upaya jangka pendek, upaya jangka menengah dan upaya jangka panjang. a. Jangka Pendek 1) Reorganisasi Fungsi KUD Dalam mewujudkan kesejahteraan peternak anggota koperasi, perlu diadakan reformasi manajemen KUD dengan paradigma baru sehingga peran koperasi dalam memberikan pelayanan kepada anggota menjadi lebih efisien dan efektif khususnya dalam hal efisiensi biaya penanganan susu, biaya operasional, dll. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 198

201 2) Restrukturisasi Kredit Peternak Untuk mengurangi beban peternak sapi perah terhadap kredit yang belum dapat dilunasi, perlu uapaya dari pemerintah untuk melakukan pemutihan kredit operasi sapi perah atau dengan melakukan penghapusan tunggakan yang masih ada menjadi beben pemerintah. 3) Peningkatan Kualitas Susu Upaya peningkatan kualitas susu melalui peningkatan penyediaan fasilitas infrastruktur dalam setiap tahap penanganan susu segar mulai dari tingkat peternak, koperasi susu sampai dengan IPS. b. Jangka Menengah 1) Mempercepat program Sapi Pengganti (replacement program) Untuk memperbaiki kualitas genetik sapi perah di Indonesia, perlu penyediaan dana untuk pembelian sedikitnya ekor sapi perah bibit impor. Sapi - sapi tersebut selanjutnya akan disebarkan secara selektif kepada anggota koperasi yang telah memenuhi persyaratan tenis yang ditetapkan. Disamping itu perlu penyediaan dana kredit murah (loan) untuk menghidupakan program pembesaran anak sapi sebanyak ekor (20% dari jumlah betina laktasi). 2). Meningkatkan Modal Peternak Perlu ditingkatkan akses petani peternak sapi perah kepada sumber permodalan melalui sistem kredit atau bantuan luar negeri sehingga Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 199

202 peternak dapat meningkatkan sekala usaha serta memperbaiki manajemen pemeliharaannya. 3). Meningkatkan Produktivitas dan Produksi Upaya-upaya untuk menaikkan produktivitas dan produksi ditempuh melalui perbaikan mutu bibit, penyediaan pakan yang bermutu, pemberantasan dan pengendalian penyakit hewan menular seperti mastitis klinis maupun sub-klinis dan brucellosis, serta meningkatkan paraktek higiene 4). Meningkatkan Keamanan dan Kualitas Produk SSDN Upaya untuk meningkatkan keamanan dan kualitas produk SSDN ditempuh melalui pengembangan sistem standarisasi pada setiap rantai kegiatan agribisnis sapi perah serta pengembangan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan. Dalam menerapkan kebijakan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan tersebut diperlukan langkah-langkah pembinaan yang meliputi : a) Pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) sebagai implementasi penerapan program praktek higiene seperti Good Manufacturing Practices, Good Handling Practices, dll, b) Penerapan labelisasi ASUH, dan c) Penerapan dan pengembangan sistem HACCP 5). Diversifikasi Pengembangan Upaya peningkatan produksi susu akan diusahakan juga melalui pemberdayaan ternak lain diluar sapi perah, seperti sapi potong yang Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 200

203 potensial menghasilkan susu untuk diperah dan juga ternak kambing perah. Sebagai tahap awal, akan dilakukan identifikasi lokasi uji coba di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Program ini sekaligus merupakan upaya membiasakan masyarakat untuk minum susu segar dan juga sebagai upaya transfer teknologi budidaya sapi perah kepada para peternak bukan sapi perah. c. Jangka Panjang 1). Relokasi Usaha Peternakan Sapi Perah Diperlukan penyediaan dana bantuan luar negeri (loan) untuk relokasi usaha sapi perah dari usaha rumah tangga ke Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) di pulau Jawa maupun diluar Jawa dengan mengintroduksikan jenis-jenis sapi perah yang cocok dengan iklim tropis 2). Pembangunan Unit Pengolahan Susu Untuk meningkatkan posisi tawar peternak serta memperluas segmen pasar, perlu diperkenalkan teknologi pengolahan susu sederhana sebagai upaya diversifikasi produk melalui pengembangan industri rumah tangga. Untuk itu perlu diupayakan pembangunan unit pengolahan susu (milk processing plant) di wilayah-wilayah sentra produksi sapi perah yang dikelola oleh koperasi susu setempat. 3). Meningkatkan Populasi Sapi Perah Upaya untuk meningkatkan populasi ternak sapi perah dilakukan melalui peningkatan manajemen reproduksi, sterility control, rearing Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 201

204 management dan menekan angka kematian pedet. Selain itu untuk meningkatkan populasi diusulkan untuk dilakukan importasi ternak sapi perah dari luar negeri yang secara bertahap dan teratur pelaksanaanya. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 202

205 BAB IX PEDOMAN SELEKSI DAN PENYEMBELIHAN HEWAN QURBAN Pedoman ini diperuntukkan Panitia Pelaksana Kegiatan Penyembelihan Hewan Qurban dan Masyarakat. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Qurban adalah sebagai berikut: I. SELEKSI HEWAN QURBAN 1. Jantan : - tidak dikastrasi/dikebiri - testis/buah zakar masih lengkap (2 buah), bentuk dan letaknya simetris. 2. Cukup Umur a. Kambing/Domba Umur lebih dari 1 (satu) tahun ditandai dengan timbulnya sepasang gigi tetap. b. Sapi/Kerbau Umur 2 (dua) tahun ditandai dengan tumbuhnya sepasang gigi tetap. c. Petunjuk untuk mengetahui umur hewan qurban : Gambar 6. Petunjuk Mengetahui Umur Hewan Qurban 3. Sehat : a. tidak cacat (pincang, mata buta/picak) telinga tidak rusak b. bulu bersih dan mengkilap Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 203

206 c. lincah d. muka cerah e. nafsu makan baik f. lubang kumlah (mulut, mata, hidung, telinga dan anus) bersih dan normal. g. Suhu badan normal (± 37 C, tidak demam). II. PENYEMBELIHAN HEWAN QURBAN 1. Persiapan a. Tempat penyembelihan hendaknya terpisah dari sarana umum serta tempat penjualan makanan dan minuman dan dibuatkan lubang yang cukup dalam (lebih dari 1 meter) untuk menampung darah hasil penyembelihan. b. Peralatan : Pisau/golok dan peralatan lain yang digunakan untuk memotong hendaknya diasah dengan tajam, bersih serta tidak berkarat. c. Hewan diistirahatkan/dikarantina minimal 3 hari. 2. Pemeriksaan Sebelum Penyembelihan (ante mortem) Dilakukan pemeriksaan sebelum pemotongan (ante mortem) agar hanya hewan sehat yang dipotong dengan memperhatikan ciri-ciri sehat seperti di atas. 3. Penyembelihan Penyembelihan dilakukan dengan tata cara agama Islam sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia antara lain : a. Membaca Basmallah (Bisimillahirrahmaanirrahim) dan mengumandangkan takbir saat mulai penyembelihan. b. Memutus jalan makanan (mari'). c. Memutus dua urat nadi (wadajain). d. Memutus jalan napas (hulqum). Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 204

207 e. Hewan dipotong dengan sekali tekan/potong tanpa mengangkat pisau dari leher (namun kepala tidak langsung dipisahkan). 4. Pemeriksaan setelah penyembelihan (post mortem) a. Pemeriksaan organoleptis adalah pemeriksaan terhadap bau, warna, konsisten/kekenyalan daging. b. Limpa normal, kenyal tidak terjadi pembengkakan atau hancur. 5. Petugas penyembelihan dan pemotongan daging setelah bekerja harus membersihkan dirinya dengan sabun dan sebaiknya dilanjutkan dengan menggunakan larutan pemati kuman (desinfektan). 6. Setelah digunakan alat-alat penyembelihan, dibersihkan dengan cara seperti di atas dan sisa-sisa penyembelihan dibuang, dibakar dan disucihamakan dengan baik. III. HIMBAUAN 1. Dalam menghadapi Idul Adha (Hari Raya Qurban) masyarakat tidak perlu cemas, sepanjang hewan yang akan disembelih tersebut telah diperiksa oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk atau mengikuti tata cara tersebut di atas atau menghubungi Dinas Peternakan setempat. 2. Daging hewan, termasuk daging hewan qurban agar dimasak dengan baik dan benar serta dihindari memakan daging yang dimasak setengah matang, 3. Kepada anggota masyarakat yang merasa ada sesuatu gejala, atau kelainan yang patut dihubungkan dengan penyakit Anthrax atau lainnya agar segera berkonsultasi kepada dokter atau Puskesmas terdekat. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 205

208 BAB X PEDOMAN PENYEMBELIHAN HALAL Dalam hukum Islam (Shari'ah) dikenal kesucian daging ternak untuk konsumsi manusia yang disebut dengan Zakah terdiri dari 3 jenis yaitu 1. Sembelih (Dhabh) 2. Dibunuh (Nahr) 3. Ditusuk A. DISEMBELIH (DHABH) Dhabh adalah bahasa Arab yang, artinya disembelih. Saat ternak disembelih dengan tata cara Islamik, maka daging yang diperoleh secara hukum Islam layak dikonsumsi (daging halal). Metode penyembelihan secara Islamik diperlukan persyaratan sebagai berikut : 1. Pemotongan/Penyembelihan Islam mengajarkan untuk menghargai kesucian hidup dan tidak menyukai kekejaman terhadap kehidupan. a. Ternak yang dipotong harus dilakukan dengan belas kasih dan kebaikan. Nabi Muhammad SAW bersabda : Allah memutuskan tentang apa yang harus dilakukan dengan sempurna.dan mulia. Oleh karena itu ketika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik; dan ketika kamu menyembelih., sembelihlah dengan baik; tajamkan pisaumu dan tangani dengan kebaikan disaat kamu menyembelih. (Muslim) Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 206

209 b. Ternak yang disembelih harus dilakukan dengan belas kasih, jangan badannya tertekan, tidak ketakutan pada waktu dipotong dengan pisau tajam yang ada. di hadapannya. Tidak boleh ada anggota tubuh yang dilepas sebelum sempurna kematiannya Abdullah bin Yazid menjelaskan : "Nabi Muhammad SAW melarang An-Nuhba (merampok, mengambil paksa) dan Al-Muthla (amputasi)". (Sahih Bukhari) c. Penyembelihan harus dilakukan tanpa merusak sistim syaraf, otak atau syaraf tulang belakang. Penembakan dengan peluru atau pemingsanan (stunning) tata cara sebelum dipotong masih menjadi pertanyaan dan merupakan subjek Ijtihad. Stunning di Indonesia dapat dibenarkan melalui Fatwa MUI. d. Ternak harus bebas penyakit dan bebas pengaruh pengobatan hormon anabolic seperti hormon kelamin betina dan DES (diethyl-stylbestrol). 2. Keyakinan Islam Muslim percaya bahwa Allah SWT memerintah atas kehidupan dari seluruh alam dan agar mempergunakan ternak yang sehat atas izin Allah. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Menjadi.tanggung jawabmu terhadap Allah di dalam menghargai kematian hewan. Kendarailah olehmu dalam kondisi baik dan bunuhlah olehmu serta makanlah dagingnya disaat ternak tersebut dalam keadaan baik". (Abu Dawud) Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 207

210 Islam mengajarkan Muslim untuk menghormati kehidupan dan karena itulah ternak boleh dibunuh dengan seizin Allah untuk keperluan dimakan. Nabi Muhammad SAW bersabda : "Barang siapa yang membunuh anak burung tanpa alasan yang jelas, maka ia akan mengadu kepada Allah pada hari pembalasan dan berkata Tuhanku, dia telah membunuhku dengan sia-sia dan telah membunuhku tanpa tujuan". (Nasa i dan Ibn Habban) a. Penyembelih harus seorang Muslim laki-laki atau perempuan yang sehat. Hal ini untuk menjamin berlakunya tujuan pengorbanan karena Allah. Penyembelih Islam yang patut adalah melaksanakan karena Allah. Dalam Islam untuk melaksanakan suatu pekerjaan diniatkan perbuatannya karena Allah. Tujuannya harus seiring dengan ketentuan dan maksud tujuannya. b. Ternak yang akan disembelih akan disukai bila menghadap Ka'bah (di Makkah, Saudi Arabia) sebelum disembelih. c. Nama Allah harus secara khusyuk dimohonkan pada ternak yang disembelih sebagai berikut: "Bismillah, Allahu Akbar" (Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). Dalam membaca do'a adalah termasuk "Tasmiya: nama Allah dan Takbir: rnengagungkan kebesaran Allah. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 208

211 "Makanlah olehmu dengan apa yang disebut nama Allah,.. (Al-Qur'an 6:118) dan jangan engkau makan dimana nama Allah tidak disebutkan, (Al-Qur'an 6:121). Harus dicatat bahwa sejak disembelih tidak menurut aturan belas kasih, belum dapat dikatakan jalan kasih sayang. Pada waktu disembelih hanya diucapkan "bismillah". Tidak perlu diikuti lanjutan "Ar-Rahman nir-rahim". 3. Peralatan Pemotongan Ternak yang akan disembelih harus menggunakan pisau tajam, sehingga ternak tidak terlalu menderita sakit saat disembelih. 4. Prosedur Penyembelihan Penyembelihan dilakukan dari muka leher. Kerongkongan (oesophagus/mirree), pipa udara (trachea/halkoom) dan kedua pembuluh darah balik (Vena jugularis dan arteri carotid/wadajain) dipotong sehingga ternak mati tanpa memotong syaraf belakang (spinal cord), Keempat saluran tersebut dinamakan dalam bahasa Arab Mirree, Halkoom dan dua Wajidan dipotong antara kerongkongan dan kepala dari tulang dada (Libba). Pemotongan beberapa pembuluh darah arteri yang menuju otak ternak dengan segera suplai darah ke otak berhenti. Oleh karena itu otak akan segera kehilangan fungsi seperti kelemahan yang disebabkan suplai oxygen berkurang (Cerebral ischaemia dengan anoxaemia). Inilah yang menyebabkan ternak tidak sadar dan ternak tidak menderita sakit. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 209

212 5. Kematian ternak melalui perdarahan Darah yang mengalir akan segera mengering, kematian ternak terjadi karena pengeluaran darah yang sempurna. Nabi Muhammad SAW bersabda : "Halal untukmu memakan daging dari ternak yang mengalir sempurna darahnya dan atasnya disebut nama Allah". (Sahih Bukhari) Dalam ritual Islamik metoda penyembelihan pada kedua pembuluh darah balik (Vena Jugularis) dan pembuluh darah carotid yang membawa, darah dari jantung ke otak terputus sehingga darah akan segera mengering sehingga aliran darah ke otak terhenti. Ketika syaraf tulang belakang (spinal cord) tidak putus, perintah otak ke jantung untuk mengalirkan darah lebih banyak lagi untuk segera keluar sehingga denyut nadi, pernapasan menurun serta pengeluaran darah yang terjadi akibat kontraksi otot. Tujuan pengeluaran darah segera mungkin dimaksudkan agar tidak menjadi medium tumbuhnya mikro-organisme yang dapat mempengaruhi kualitas daging karkas. Hasil penelitian laboratorium antara ternak yang disembelih dan pengeluaran darahnya sempurna dengan yang ditusuk diperlihatkan bahwa bakteri yang tumbuh 3 hingga 4 kali lebih sedikit dari pada ternak yang pengeluaran darahnya tidak sempurna. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 210

213 6. Penanganan setelah penyembelihan Setelah selesai penyembelihan ternak harus ditangani dengan hati-hati, kepala, kulit dan bagian lainnya dilepas hanya setelah benar-benar ternak telah mati dengan sempurna..saat setelah penyembelihan selesai makanlah dari padanya, (Al-Qur'an 22-36) Umar bin Khattab r.a. berkata : "Tinggalkan mereka (setelah ternak disembelih) dalam ketenangan hingga sempuma kematiannya". (Al-Muhalla oleh Ibn Hazm) Berkenaan hal tersebut, Ibn Hazm percaya bahwa, tidak halal makan bagian dari ternak yang dipotong sebelum kematiannya sempurna hingga. tubuhnya terasa dingin. B. DIBUNUH (NAHR) Nahr dalam bahasa Arab berarti melukai pembuluh darah balik (vena jugularis). Kata Nahr disebutkan dalam Al-Qur an 108:2. Dalam kasus ini terjadi pada ternak unta dan jerapah yang dilakukan pembunuhan dengan ditusuk dalam rongga kerongkongan lalu dipotong dengan pisau langsung ke atas bagian dada. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 211

214 Nabi Muhammad SAW menerima laporan dan ditanya oleh Badil Ibn Warga'a ketika berziarah ke Mina : "Termasuk zakahkah (dipotong atau dibunuh) yaitu dengan memotong kerongkongan ke bawah hingga bagian atas dada". [Authenthic Hadith, Al Fiqh Ala 9 Al Madahib Al Arba'ah (Kitab Al Sha'b), halaman 413 Hadith dinyatakan oleh AI-Daraqutni]. C. Ditusuk (Stabbing) Ini salah satu bentuk zakall yang terjadi dengan melukai hewan yang berakibat fatal dari tusukan seperti dipanah atau ditembak. Rafi bin Khadry menceritakan : "Kami bersama Rasulullah SAW saat seekor unta lari tersesat jauh, lalu kami pergi mengejar dengan beberapa kuda tetapi tidak berhasil. Akhimya seseorang dari kami membidik dengan panah dan mengenai bagian belakangnya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda "unta seperti itu dapat disamakan dengan binatang liar yang mana karena tidak dapat mengendalikannya lalu dilakukan penikaman untuk menguasainya" (Authentic Hadiths dalam Sahih Bukhari mengatakan diantara hewan dapat dikatakan liar apabila mereka lari dari kendalian). Prosedur Penyembelihan Halal pada Industri Rumah Potong Hewan. Berikut prosedur penyembelihan halal di bawah pengawasan agar pemotongan halal bonafide yang berlaku umum yaitu : 1. Hewan/unggas yang disembelih harus sehat, bebas dari penyakit dan cacat; Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 212

215 2. Hewan/unggas yang disembelih dengan cara belas kasih tanpa timbul rasa takut saat disembelih; 3. Tidak ada bagian tubuh ternak yang dilepas sebelum mati sempurna; 4. Apabila menggunakan metoda pengekangan atau mengurangi rasa sakit untuk mengendalikan ternak, maka harus yakin ternak masih hidup sebelum disembelih, karena dapat mengarah kepada haram bila mati sebelum disembelih; 5. Penyembelihan dilakukan oleh seorang muslim yang terlatih; a. Menyebut nama "Allah dan Maha Besar" harus dilisankan dengan khusyuk oleh pemotong muslim (sebelum disembelih) sebagai berikut "Bismillah, Allahu Akbar"; 7. Penyembelihan dilakukan dengan pisau yang tajam dan dilakukan dengan ayunan yang cepat sehingga hewan tidak menderita sakit saat disembelih. Dalam kasus belum sempurna sembelihnya, maka dapat diulang proses penyembelihan tersebut segera tanpa tertunda; 8. Pemotong harus mulai dari depan leher dengan memotong saluran makanan (oesophagus/mirree), saluran pernapasan (trachea/halkoom) dan 2 (dua) pembuluh darah (vena jugularis dan arteri carotid /wajidan) di leher tanpa terpotong kepalanya; 9. Darah harus mengalir keluar cepat dengan sempurna; 10. Setelah disembelih hewan unggas harus ditangani dengan hati-hati, kepala, kulit dan bagian-bagian tubuh lainnya tidak boleh dilepas sebelum yakin benar-benar sempurna kematiannya; 11. Setelah dilepas kulitnya, karkas harus dicap dengan cap resmi halal pemotongan untuk memudahkan identifikasi. Karkas harus ditangani dan diawasi secara teliti, terpisah dari karkas atau bagian daging yang non halal; 12. Perlakuan yang memadai mencegah sedemikian rupa sehingga dicegah kontaminasi dengan daging dan olahannya yang non halal; Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 213

216 13. Apabila daging dikemas harus dengan kemasan berlabel halal dan bersegel dan atau ditempatkan dalam kontainer tersendiri/terpisah, tersegel dan dikunci; 14. Pengangkutan daging halal dan non halal tidak boleh dicampur dalam satu, 15. kontainer meskipun dalam kemasan bersegel. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 214

217 BAB XI PENANGANAN, PENGIRIMAN DAN PEMOTONGAN YANG MANUSIAWI 9.1 Stress dan Rasa Sakit pada Binatang Reset ilmuwan telah menunjukan bahwa binatang berdarah hangat (termasuk didalamnya hewan-hewan ternak) dapat merasakan sakit dan memiliki emosi atau rasa takut. Pada khususnya binatang mamalia, termasuk ternak dalam kelompok ini, memiliki struktur otak yang membuat mereka merasakan rasa takut dan penderitaan atas rasa sakit, dan merasakan rasa sakit seperti halnya manusia. Rasa takut dan sakit adalah penyebab utama stres pada hewan ternak dan stres ini mempengaruhi kualitas daging tersebut. Bilamana binatang-binatang tersebut diperlakukan pada situasi-situasi yang tidak biasa atau pada keadaan-keadaan yang disebabkan oleh kesengajaan manusia, adalah tanggung jawab moral manusia untuk memastikan penanganan hewan-hewan ini dengan baik sehingga mereka tidak menderita secara berlebihan dan mereka tidak mengalami penanganan yang kasar, atau mendapatkan stres dan luka-luka. Penanganan ternak yang efisien, berpengalaman dan tepat, dengan memakai teknik dan fasilitas-fasilitas yang dianjurkan, dan mengambil langkah-langkah yang dapat mengurangi rasa sakit pada hewan dan kecelakaan yang mengakibatkan luka, akan mengurangi stes pada binatang dan menjaga kualitas pada daging dan produk sampingannya. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 215

218 9.2 Efek Stres dan Luka pada Kualitas Daging dan Produk Sampingan A. Kualitas Daging Energi yang dibutuhkan untuk aktivitas otot pada hewan hidup didapatkan dari gula (glikogen) yang terdapat pada urat. Pada binatang yang sehat dan cukup istirahatnya, kandungan glikogen pada susunan uratnya sangat tinggi. sesudah hewan dipotong atau dijagal, kandungan glikogen dalam urat berubah menjadi asam laktik dimana urat dalam daging akan mengeras (Rigor Mortis). Asam laktik dibutuhkan dalam pembentukan daging, dalam hal ini menjadi lezat dan empuk, menjaga kualitas daging yang baik dan memiliki warna daging yang baik juga. Bilamana hewan stres sebelumnya dan selama penjagalan, jumlah glikogon berkurang dan tingkat asam laktik yang berkembang pada daging menjadi berkurang sesudah penjagalan. Hal ini akan mengurangi kualitas daging. Daging Pucat Lembek Berair / Pale Soft Exudative (PSE) Meat (Gambar 1) PSE pada babi disebabkan oleh stres singkat beberapa saat sebelum penjagalan, sebagai contoh selama penurunan/bongkar muat, penangkapan, pengurungan dan proses pemingsanan. Dalam hal ini hewan mengalami kegelisahan dan ketakutan yang tinggi yang disebabkan oleh penanganan yang kurang baik, perkelahian pada pengurungan dan teknik pemingsanan yang buruk. Semua ini dapat mengakibatkan proses biokimia pada susunan urat khususnya penurunan drastis pada glikogen urat dan daging menjadi sangat pucat dengan pengerasan tingkat asam (tingkat keasaman 5,4 5,6 sesudah penjagalan) dan aroma yang buruk. Jenis daging ini sulit untuk dipakai dan sama sekali tidak dapat dipakai oleh pedagang daging atau produser daging dan hanya dibuang pada tingkat terburuk. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 216

219 Membiarkan babi-babi beristirahat selama satu jam sebelum dijagal dan penanganan yang baik akan sangat mengurangi resiko PSE. Daging Gelap Keras dan Kering / Dark Firm and Dry (DFD) Meat (Gambar 1) Kondisi ini dapat ditemui pada daging sapi atau biri-biri dan kadang-kadang pada daging babi dan burung unta sesaat sesudah penjagalan. Daging tampak lebih gelap dan kering dari batas normal dan memiliki tekstur yang lebih keras. Glikogen urat hilang pada saat penangkapan, pengiriman dan saat sebelum dijagal dan sebagai akibatnya pada saat sesudah hewan dipotong, terdapat sedikit produksi asam laktik, yang menyebabkan kondisi DFD pada daging. Daging pucat Daging Bagus Daging gelap keras Lembek berair dan kering (PSE) daging (DFD) daging Gambar 7. Perbandingan Daging PSE, Daging Bagus dan Daging DFD Daging ini berkualitas tidak baik karena memiliki rasa yang berkurang dan warna gelap. Daging tidak dapat diterima oleh para konsumen dan memiliki daya tahan tidak lama untuk disimpan karena memiliki tingkat keasaman (ph) yang tidak normal pada daging (6,4 6,8). DFD pada daging bersumber dari binatang yang stress, terluka, atau berpenyakit sebelum disembelih. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 217

220 Kerusakan Pada Daging Sangatlah penting bagi binatang untuk bebas dari stres dan luka dari proses penangkapan hingga pemotongan, sehingga tidaklah secara sia-sia menghilangkan persediaan glikogen para serat-serat urat. Juga sangatlah penting bagi binatang untuk dapat beristirahat selama 24 jam sebelum penjagalan. Hal ini berguna agar glikogen urat dalam tubuh diganti sebanyak-banyaknya (kecuali babi, yang harus dikirim dan dipotong seminim mungkin dari stres, tetapi tidak diistitahatkan terlalu lama sebelum dipotong). Sangatlah penting dimana tingkat glikogen pada urat daging yang dipotong setinggi-tingginya. Asam ini memberi tingkat keasaman (ph) yang ideal, diukur sesudah 24 jam sesudah penjagalan, pada level 6,2 atau lebih rendah. Tingkat 24 h (atau lebih) keasaman lebih dari 6,2 mengidentitaskan bahwa hewan telah stress, terluka atau terjangkit penyakit sebelum dipotong. Asam laktik pada susunan urat memiliki efek atas pertumbuhan bakteri yang telah mengkontaminasi daging selama proses pemotongan dan pengirisanpengirisan daging. Bakteria-bakteria ini menyebabkan rusaknya daging pada saat penyimpanan, khusunya didaerah-daerah yang bersuhu hangat, dan daging mulai bau, warna berubah, anyir dan kotor. Inilah yang disebut sebagai kerusakan daging, dan hal ini mengakibatkan daya tahan daging berkurang, yang mengakibatkan pemborosan terhadap bahan makanan yang sangat berharga. Bilamana kriteria yang mengkontaminasi bahan makanan ini adalah jenis yang beracun, konsuman daging ini bisa sakit yang mengakibatkan perawatan medis yang mahal dan hilangnya jam kerja manusia itu untuk ekonomi nasional. Oleh karena itu, daging dari binatang yang menderita stres atau luka-luka selama penangkapan, pengiriman dan pemotongan, tampaknya memiliki daya tahan yang lebih singkat yang disebabkan oleh kerusakan tersebut. Hal ini mungkin penyebab utama dari pemborosan daging selama proses produksi. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 218

221 Memar atau Luka (Gambar 2 dan 3) Memar adalah hilangnya darah dari saluran darah yang rusak kedalam serat urat-urat. Hal ini disebabkan oleh hentakan fisik dari tongkat atau batu, tanduk binatang, gesekan besi, atau binatang terjatuh dan dapat terjadi setiap saat selama proses penangkapan, pengiriman, pengurungan, atau pemingsanan. Memar dapat beragam ukurannya dari yang ringan (diameter sekitar 10cm) sampai dengan tingkat parah hingga lumpuh, kerusakan daging atau bisa juga kerusakan kesemua bagian tubuh hewan. Gambar 8. Memar Akut pada Daging Sapi Daging yang memar tidaklah baik untuk bahan makanan karena: - Tidak dapat diterima oleh para konsumen. - Tidak dapat dipakai untuk pemrosesan atau pabrik. - Cepat rusak, karena daging yang berdarah adalah tempat yang baik untuk berkembangnya bakteria. - Seharusnya dengan alasan-alasan diatas, hal-hal itu harus dicegah. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 219

222 Memar adalah penyabab umum penyia-nyiaan daging dan dapat secara drastis dikurangi dengan mengikuti teknk-teknik benar dalam penangkapan, pengiriman, dan pemotongan ternak. Luka-luka (Gambar 4) seperti tersobek, urat haemorrhagic dan patah tulang, yang terjadi selama proses penangkapan, pengiriman, dan pengurungan, sangatlah mengurangi nilai daging yang disebabkan oleh bagian-bagian yang terluka atau dalam kasus-kasus terburuk daging secara keseluruhan tidak dapat dipakai dan harus disingkirkan. Bilamana infeksi bakteri terjadi pada luka-luka tersebut, ini menyebabkan timbulnya bisul bernanah dan septicemia dan daging keseluruhan harus disingkirkan. Gambar 9. Memar Parah pada Kepala Sapi Gambar 10. Luka karena Transportasi Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 220

223 B. Kwalitas Lapisan Kulit dan Kulit Lapisan kulit dan kulit harus meliliki nilai tertinggi pada setiap produk dari hewan ternak, selain dari bagian dagingnya, khususnya untuk kulit sapi dan burung onta. Pada babi dan ayam, kulitnya adalah bagian dari daging yang dapat dimakan. Bahan kulit yang berguna hanyalah dapat dari kulit yang tidak rusak dan diproses dengan baik. Penanganan yang baik pada bahan ini sangatlah penting untuk mendapatkan komoditas yang bernilai tinggi. Penanganan yang ceroboh terhadap lapisan kulit dan kulit ini dapat merugikan perusahaan yang menanganinya. Gambar 11. Kerusakan Kulit, Pengecapan dan Luka Kulit dan hewan potong (gambar 11) dapat rusak karena penanganan yang buruk terhadap hewan ini seperti contoh-contoh berikut: 1. Sebelum pemotongan - Pengecapan yang buruk - Luka karena tanduk, pecut, tongkat, pagar berduri dan terluka - Fasilitas penangkaran yang tidak sesuai - Kendaraan pengiriman yang dirancang dan dibuat dengan buruk. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 221

224 2. Selama Pemotongan - Karena binatang panik sehingga melukai dirinya sendiri - Pemukulan atau mendorong paksa binatang - Menyeret binatang atau daging Pertimbangan atas penanganan hewan yang manusiawi selama perjalanan/pengiriman dan penangkaran akan meningkatkan kualitas daging dan produk sampingannya. 9.3 Prinsip-prinsip Tingkah Laku Binatang Hewan ternak bertingkah laku berbeda-beda tergantung situasi yang berbeda pula. Untuk tingkat yang lebih luas, tergantung spesies binatang tersebut. Pengetahuan dasar dari tingkah laku binatang pada suatu situasi dari daerah peternakan hingga tempat penjagalan, akan membantu orang-orang yang menanganinya pada manajemen hewan ternak untuk menghindari ternak dari rasa stress atau luka-luka. Sebagai contoh binatang-binatang yang tidak terbiasa berhubungan dengan manusia, seperti di peternakan ataupun di pelelangan yang sesak, tidak akan gampang didekati ataupun disentuh. Binatang-binatang ini membutuhkan tangga penurunan yang lebih baik sewaktu diturunkan dari truk, kurungan dan arena yang memadai dibandingkan binatang yang lebih jinak. Petugas yang menaikkan hewan tak jinak ke atas truk harus tahu psikologi binatang untuk menghindari luka baik bagi hewan tersebut ataupun untuk dirinya sendiri. Sedangkan binatang - binatang seperti lembu jantan, atau binatang penarik pedati lainnya atau hewan yang lebih terjinakkan atau yang sering diacsinfeksi (untuk menghilangkan kutu-kutu) dan binatang yang tinggal dekat manusia, seperti di pedesaan, umumnya jauh lebih jinak dan mudah dikendalikan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 222

225 Hubungan Penglihatan, Pendengaran dan Penciuman Binatang Berkaitan dengan Stres dan Luka Binatang pemamah biak dapat membedakan berbagai warna, warna binatang jenis ini sangatlah sensitif terhadap kuning, hijau dan biru. Pengalaman telah membuktikan bahwa hewan ternak, khususnya sapi dan babi, juga burung onta, sangatlah peka terhadap cahaya kontras. Hal ini membuat mereka ragu - ragu dan menghindar dari got, juga burung onta sangatlah peka terhadap cahaya kontras. Hal ini membuat mereka ragu-ragu dan menghindar dari got, pintu gerbang dan perubahan dari basah ke kering atau dari lantai semen ke lantai metal. Pencahayaan harus merata dan redup dan pencahayaan dari terang ke gelap haruslah dihindari. Cahaya ultraviolet dan sedikit remang-remang memiliki efek penenang terhadap unggas dan burung onta. Beberapa hewan ternak seperti sapi dan burung onta memiliki sudut pandang yang luas dan untuk menghindari mereka dari rasa takut dari lingkungan di sekitarnya, kurungan penangkar, arena penampungan, kandang pemingsanan dan pagar-pagar penyekat harus memiliki sisi-sisi yang kuat. Binatang juga takut terhadap benda bergerak dan juga ruang gelap dimana mereka bisa menolak masuk ke ruangan gelap. Binatang ini mempunyai kecenderungan untuk berpindah dari areal gelap ke daerah yang terang. Pencahayaan ekstra dan tidak langsung akan memudahkan pemindahan hewan-hewan itu dalam kandang-kandang pengurungan. Menambah lampu untuk menerangi pintu masuk area kandang dan menyingkirkan lampu. untuk menghindari cahaya yang berlebihan dapat mempengaruhi tingkah laku hewan-hewan tersebut. Semua spesies binatang akan ragu-ragu atau menolak untuk begerak bilamana mereka melihat sesuatu di area yang membuat mereka merasa takut. Seperti cahaya yang terang, rantai-rantai yang mengkilap, manusia atau peralatan yang bergerak, bayangan atau air yang menetes. Hewan yang jinak akan berhenti bergerak dan memandang gangguan itu yang telah membuat mereka takut. Jika angin berhembus ke arah mereka, hal ini harus dihindari atau dihilangkan. Bilamana binatang-binatang ini ragu-ragu, Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 223

226 gangguan penyebabnya harus disingkirkan, bukannya memaksa hewan-hewan itu untuk bergerak. Benda-benda yang bergerak dapat membuat hewan-hewan ini takut. Memaksa mereka untuk mendekati kendaraan secara tiba-tiba, atau masuk ke kurungan atau. bangunan membuat mereka panik. Sapi domba dan burung onta memiliki pendengaran yang sensitive khususnya terhadap suara dengan frekwensi tinggi. Suara yang tidak mempengaruhi pendengaran manusia, seperti kebisingan yang keras dan terputus-putus, menyakiti pendengaran binatang itu, mengurangi kebisingan yang terburuk tetapi paling mudah dikurangi. Walaupun dapat dikatakan bahwa di daerah pedesaan dimana hewan-hewan hidup dekat dengan manusia dimana mereka dikumpulkan setiap malam dan secara berkala didesinfeksi, beberapa dari suara-suara itu berguna untuk mengumpulkan hewan tersebut. Sebagai contoh di desa-desa dimana sapi-sapi terbiasa dengan teriakan dan suara keras untuk meningkatkan pergerakan mereka. Walaupun demikian, biasanya kebisingan meningkatkan kesetresan psikologi binatang. Hal inj juga terjadi pada saat peng' sebelum penjagalan itu sendiri. Penjagalan pada tempat yang kecil, tenang mengurangi hormon stres hewan dibandingkan tempat yang, dan bising. Dalam kaitannya dengan bau, bau yang menusuk khususnya yang aneh, bisa membuat hewan gelisah dan panik. Hal ini dapat dilihat dari binatang yang mana mereka tidak terbiasa satu dengan yang lain dan atau kondisi lingkungan baru dari satu sumber kepada sekelompok babi yang terkumpul akan mengurangi kegelisahan memudahkan pemindahan sapi - sapi itu ke area pemingsanan. Bilamana seekor menjadi gelisah dan hiruk pikuk selama proses penjagalan, hewan-hewan berikutnya biasanya akan gelisah juga dan hari penjagalan itu menjadi suatu rantai reaksi tak terputus dari binatang-binatang yang panik itu. Keesokan harinya, sesudah areal dan peralatan-peralatan telah dicuci hewan - hewan itu akan tenang. Bau stres pada darah hewan yang sangat stres dapat dicium oleh binatang lain dan dapat menimbulkan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 224

227 kepanikan. Darah dari binatang yang tidak begitu sress memiliki efek yang sedikit terhadap hewan lain. Riset terhadap sapi dan babi membuktikan bahwa hormon stress terdapat pada air ludah dan kencing mereka. Babi dan sapi biasanya menghindari benda atau tempat terkontaminasi oleh air kencing dari binatang yang stress. Cara Memperlakukan Prinsip Umum Prinsip pertama terhadap penggiringan hewan adalah menghindari kepanikan pada hewan-hewan tersebut. Dibutuhkan waktu sampai 30 menit bagi hewan untuk menjadi tenang dan membuat detak jantung mereka menjadi normal sesudah proses penggiringan yang sembrawut. Hewan yang tenang bergerak dengan mudah dan tidak susah memindahkan mereka dari kurungan mereka. Petugas harus bergerak dengan lambat tapi pasti dan menghindari teriakan-teriakan. Hewan akan gelisah bilamana mereka dipisahkan dari yang lain. Bilamana hewan yang dipisahkan menjadi gelisah, hewan lainnya harus digabungkan dengannya. Jolokan listrik (frods) harus dipakai seminimal mungkin atau hanya dipakai untuk hewan yang keras kepala saja. Adalah lebih manusiawi dan tidak menyakiti binatang bilamana diberikan kejutan listrik ringan dibandingkan pukulan dengan tongkat atau plintiran pada ekornya. Jolokan yang dijalankan dengan batere (gambar 6) lebih baik dari jolokan dengan sambungan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 225

228 Gambar 12: Jolokan yang Dijalankan dengan Batere. listrik langsung (gambar 12). Voltase yang dipakai seharusnya tidak melebihi 32 V dan tidak dipakai pada bagian-bagian sensitif hewan seperti mata, urat, anus atau vagina Ganbar 13. Jolokan yang Dijalankan dengan TeganganTtinggi (tidak disarankan) Selain penjolok (prods), alat penggiring lain dapat juga dipakai cambuk dengan ikatan (straps) (Gambar 13), kertas atau plastik yang digulung, tongkat dengan bendera atau panil. Panil untuk mengiring babi adalah lembaran yang terbut dari bahan yang keras, seperti kayu, plastik dan. lain-lain yang berukuran kurang lebih 1 M yang dipegang oleh penggiring untuk menghalangi pandangan dan gerakan babi sehingga bisa menuntun arah mereka. Tanpa panil ini, sangatlah sulit menggiring babi dengan cara Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 226

229 yang mudah, sebagaimana pemakaian bendera, kertas gulung, tangkai pohon atau halauan tangan sebagaimana menggiring domba atau sapi. Hewan yang ragu-ragu dapat digiring Gambar 14. Cambuk dengan Ikatan untuk Menggiring Ternak kekurungan atau kendaraan dengan jalan, hewan yang jinak diberi jalan terlebih dahulu sehingga binatang lainnya akan mengikutinya. Burung Onta sangatlah bersifat panik dan seharusnya ditangani dengan penuh perhatian. Mereka memiliki tendangan yang kuat. Burung yang jinak dapat dituntun dengan mudah dengan menggunakan penggiring (handlers)" (Gambar 9). Pengait penggembala (gambar 10) yang dikaitkan dengan di seputar leher adalah pembantu penggiring yang sangat berguna atau dengan menempatkan tutup kepala akan membuat burung ini lebih menurut. Gambar 15. Menggiring Burung Onta yang Jinak ke Areal Pemingsanan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 227

230 Gambar 16. Aitan Pengembala Dipakai untuk Menggiring Burung Onta Penggiringan (handling) di Kurungan dan Arena Hewan dengan Jumlah Banyak Menjejali kurungan dengan banyak hewan adalah kesalahan umum paling besar dalam proses penggiringan. Kurungan dan lorong dari areal halaman seharusnya diisi setengahnya. Penggiring harusnya juga tidak memaksakan masuk hewan ke area yang sesak. Hewan harus dituntun ke arena penampungan tanpa didorong paksa. Bilamana hewan-hewan itu didorong paksa ke pintu penampungan, proses penggiringan ini menjadi sangat sulit. Hewan yang berjubel - jubel tidak dapat berputar untuk masuk ke arena penampungan. Bilamana seekor hewan tidak mau masuk ke kurungan dengan satu jalur, ia. mungkin ragu-ragu karena kendala yang ada di depannya, seperti orang yang sedang bergerak. Zone Lari dan Titik Keseimbangan Zone lari seekor binatang adalah zone keselamatan binatang dan para penggiring harus bekerja berdasarkan sudut zone terbang ini. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 228

231 Bilamana seekor binatang menoleh atau hanya menatap seorang manusia, orang itu ada di luar zone lari binatang itu. Bila orang memasuki zone, binatang itu akan menghindar. Bila. seekor binatang dalam kurungan atau area pengumpulan menjadi gelisah karena seseorang terlalu dekat dengannya, hal ini menunjukkan bahwa orang itu ada pada zone lari hewan itu dan orang itu harus mundur menjauh. Pemasangan pagar kokoh pada kurungan (gambar 12) dan pemingsanan (gambar 25) membantu hewan menjadi tenang karena adanya batas antara mereka dengan orang-orang yang mendekat. Ukuran zone lari tergantung seberapa liar atau jinak binatang itu. Binatang dengan temperamen gerak yang tinggi akan memiliki zone lari yang lebih luas. Binatang yang hidup dekat manusia akan memiliki, zone lari yang lebih sempit dibandingkan dengan binatang yang jarang bertemu manusia. Binatang yang panik memiliki zone lari yang lebih besar dari yang sedang tenang. Binatang yang terlalu jinak tidak memiliki zone lari dan akan sangat susah untuk menggiringnya. Gambar 17: Zone Lari dan Titik Keseimbangan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 229

232 Gambar 18 : Tikungan Kurungan Sapi dengan Pagar Kokoh. Untuk membuat hewan maju ke depan, penggiring harus berada di belakang titik keseimbangan, yaitu di dekat pundak hewan. Untuk membuat hewan mundur, penggiring harus berada di depan titik keseimbangan hewan. Gambar 13 menggambarkan bentuk pergerakan penggiring, yang mana dapat mengurangi pemakaian penjolok listrik. Sapi, domba dan babi akan bergerak maju dalam area, bilamana seorang petugas berpapasan dengan hewan pada arah yang berlawanan dengan kemauan pergerakan hewan, petugas itu harus bergerak cepat untuk melampaui titik keseimbangan hewan dipundaknya untuk membuat hewan itu bergerak ke depan. Hewan itu tidak akan bergerak sampai petugas itu melewati pundaknya dan ada pada posisi pinggang hewan itu. Gambar 19: Bentuk Pergerakan Penggiring untuk Membuat Hewan Bergerak ke Arah Kurungan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 230

233 Sapi akan maju ke depan bilamana petugas lewat pada titik keseimbangan hewan dipundaknya. Petugas berjalan pada arah berlawanan sepanjang lorong satu jalur penggiringan. Rancangan Fasilitas Penggiringan Resiko luka pada stres selama proses penggiringan hewan bisa sangat tinggi, yang mengakibatkan kerugian finansial bagi produser, perusahaan. pengiriman dan penjagalan. Sebagai contoh pagar kurungan yang dibuat dengan. buruk (Garnbar 14) yang membuat hewan kepanasan terhadap terik matahari. Fasilitas-fasilitas pada peternakan, halaman pelelangan dan rumah-rumah penjagalan yang dirancang dan dibangun dengan baik (Gambar 15, 16, 17, 18, 20, 21) akan banyak memberikan sumbangan ke arah keselamatan penggiringan hewan, yang mana dapat mengurangi resiko luka-luka Gambar 20 : Pemagaran yang Buruk. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 231

234 Gambar 21: Kurungan yang Dibangun dengan. Baik untuk Menurunkan dan Menaikkan Hewan. Gambar 22: Lerengan untuk Babi dan Area untuk Menurunkan Muatan untuk Kendaraan Menuju Kurungan untuk Babi. Gambar 23: Kurungan Hewan Menunggu Saat Penjagalan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 232

235 Kurungan/Kandang: Kandang hewan pada peternakan, area makan, halaman pelelangan dan penjagalan harus memiliki ruang yang cukup untuk hewan untuk berbaring (Tabel 1, Gambar 17,18). Tabel 11. Kebutuhan Luas Tempat (m) untuk Ternak dengan Jenis yang Berbeda. Sapi Babi Lepas Terikat Kecil Besar Domba 0.7 Burung Onta 0.9 Kerbau dan babi hutan harus dikandangkan secara. individu, dan bilamana diikat mereka harus bisa berbaring. Air harus mudah dicapai. Bak minum dan mandi harus cukup tinggi atau aman untuk menghindari hewan dari jatuh atau tenggelam. Pada daerah dingin, kandang harus memiliki dinding dan atap untuk menghindari hewan dari stres terhadap cuaca buruk. Untuk daerah tropis, atap sangatlah penting untuk suatu kandang untuk melindungi hewan, khususnya babi, dari struk panas atau sengatan matahari Gambar 24: Pancuran Air untuk Mendinginkan Babi. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 233

236 Pada kandang terbuka tanda atap dan penuh, sapi-sapi yang bebas pun akan menderita (Gambar 14) kandang burung onta harus sebagian tertutup agar lebih gelap sehingga hewan menjadi nyaman. Gambar 25: Kandang Terbuka tanpa Peneduh. Gambar 26: Kandang Burung Onta yang Tertutup untuk Membuat Lebih Gelap. Pemisah : Pagar atau pemisah terbuat dari besi bulat (Gambar 20), kayu atau beton (Gambar 21, 22) harus halus dan tanpa tonjolan-tonjolan seperti engsel, ujung-ujung yang rusak atau kawat. Ruangan-ruangan harus terhindar dari resiko terperangkap atau luka bagi binatang-binatang. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 234

237 Gambar 27 : Pagar Bulat Licin untuk Pembatas Kandang-kandang. Tabel 12. Jarak Pagar dan Tinggi untuk Hewan-hewan yang Berbeda. Jarak Pagar Tinggi Pagar Sapi 20 cm 1,5 m Domba. / Kambing 15 cm 0,9 m Babi 15 cm 0,9 m Burung Onta 20 cm 1,5 m Lantai (Gambar 22, 23) Lantai kandang harus anti licin dan memiliki kecuraman tak lebih dari 1 : 10. Jika hewan tergelincir dapat menyebabkan memar, patah tulang, terkilir atau kerusakan kulit. Lantai beton harus memiliki ruas kasar ditutupi dengan celah-celah agar tidak licin, disamping untuk memudahkan membersihkannya. Menghindari pembuatan lantai yang licin sudah dianggap cukup. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 235

238 Gambar 28: Pagar Tube dan Dinding Semen untuk Dinding Pembatas Kandang dan Lantai Anti Licin. Gambar 29: Celah-celah pada Lantai Kandang Anti Licin. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 236

239 Lorong: jalur-jalur lorong sangat penting untung hewan untuk berjalan atau digiring keluar atau masuk kendaraan pengangkut atau menuju kandang-kandang atau area penjagalan. Lorong-lorong ini harus sempit sehingga hewan tidak bisa berbalik atau terjepit satu sama lainnya. Hal ini bisa melukai hewan, bilamana mereka panik atau ditangani dengan salah. Lebar lorong harus sekitar 76 cm, tergantungjenis hewan (Gambar 24, 25, 26, 27). Gambar 30: Lorong Jalur untuk Sapi dari Kandang Pengumpulan ke Area Pemingsanan. Bila bias, jalur lorong harus berkelok untuk memudahkan gerakan hewan (Gambar 12). Area penjagalan atau kandang sebelum pemingsanan harus memiliki sisi-sisi yang kokoh untuk menghindari amukan hewan-hewan itu. Gambar 31: Sapi yang Menunggu didepan Lorong Kotak Pemingsanan. Lerengan dan Panggung: Kedua struktur ini sangatlah penting untuk menaikkan dan menurunkan hewan dari kendaraan pengangkut atau menggiring mereka ke fasilitas penjagalan. Lerengan harus memiliki celah bersilang atau undakan-undakan (10 cm tinggi dan 30 cm dalamnya) untuk memudahkan berjalan dan menghindari tergelincir. Lerengan harus mempunyai kemiringan pada sudut 20 derajat atau kurang (Gambar 15,16) Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 237

240 Gambar 32 Babi - babi dari Kandang Pengumpulan Memasuki Jalur Gambar 33 Jalur-jalur untuk Babi Menuju Area Pemingsanan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 238

241 9.5 Transportasi Hewan Kebutuhan akan transportasi hewan ternak menjadi sangat penting, dalam perdagangan perternakan dan untuk tingkat yang lebih rendah pada daerah pedesaan atau sektor terkait lainnya. Hewan-hewan ini perlu dipindahkan untuk sejumlah alasan seperti penjualan, penjagalan, pengumpulan, pemindahan ke padang rumput atau pemindahan kepemilikan. Metoda pemindahan umumnya dengan berjalan kaki, dengan kendaraan bermotor, dengan kereta api, dengan kapal laut dan udara. Umumnya pada negara-negara berkembang kebanyakan ternak-ternak itu dipindahkan dengan berjalan kaki, melalui jalan atau dengan kereta api. Dalam sejarah hewan-hewan dikirim dengan berjalan kaki, tetapi dengan peningkatan urbanisasi penduduk dan perdagangan produksi hewan, pengiriman dengan kendaraan dan kereta mengalahkan cara ini. Pengiriman hewan tak dapat dipungkiri sangatlah stres hingga beresiko luka pada mata rantai operasi dari peternakan dan rumah jagal dan membuat penderitaan pada hewan itu dan kerugian produksi. Efek Transportasi Transportasi yang buruk dapat berdampak tak baik bagi hewan-hewan itu dan dapat mengakibatkan kerugian pada kualitas dan produksi yang lumayan banyak. Efek transportasi termasuk : a. Stres : Mengakibatkan DFD pada daging sapi dan PSE pada daging sapi (gambar 1); b. Memar : Barangkali yang paling buruk dan terbanyak tersia-siakan dalam industri daging (gambar 2); c. Terinjak : Terjadi bila hewan terjatuh di atas lantai licin penuh sesak (gambar 37,39); Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 239

242 d. Mati lemas : Biasanya terjadi sesudah terinjak-injak, e. Serangan jantung : Biasanya terjadi pada babi yang terlalu banyak makan sebelum dimuat dan dikirim; f. Struk karena panas : Babi sangat peka terhadap temperatur dan kelembaban; g. Terbakar matahari : Terik matahari sangat mempengaruhi babi; h. Bengkak : Pengekangan hewan atau mengikat kaki tanpa dibalik-balik menyebabkan hal ini; i. Keracunan : Binatang bisa mati karena makan tumbuhan beracun dalam perjalan kaki mereka; j. Serangan : Hewan yang tak dijaga dalam perjalanan mereka dapat diserang hewan lain; k. Dehidrasi : Hewan yang melakukan perjalan jauh tanpa air minum yang cukup dapat kehilangan berat badan mereka dan mungkin mati; l. Kelelahan : Dapat terjadi karena beberapa penyebab seperti hewan hamil tua atau kondisi lemah; m. Luka-luka : Patah tulang, kena tanduk dan lain-lain (Gambar 4); n. Perkelahian : Terjadi bila kendaraan penuh sesak dimuati babi atau di antara hewan bertanduk. Metode Pengiriman Sapi Metode yang paling tepat memindahkan sapi adalah dengan. berjalan kaki, dengan kendaraan. motor atau melalui kereta api. Memindahkan hewan dengan berjalan kaki atau yang disebut sebagai "trekking" (Gambar 28) hanya cocok bilamana tidak ada infrastruktur seperti jalan atau rel kereta api, atau bilamana jarak dari peternakan. dan tujuan dekat. Metode ini lambat dan beresiko bagi keselamatan hewan dan nilai dari hewan-hewan itu. Transportasi dengan kereta api sangat berguna untuk perjalanan singkat dimana lerengan penaikan hewan harus ada pada area dekat rel dan perjalanan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 240

243 Gambar 34: Memindahkan Sapi dengan Berjalan Kaki langsung ke tempat tujuan. Transportasi dengan kendaraan sangat jauh lebih baik dan adalah metode pilihan utama dan yang paling aman. Cara yang paling memuaskan. adalah mengirim hewan dengan memakai kendaran bermotor (Gambar 29, 30). Pengiriman melalui rel kereta (Gambar 31) membutuhkan manjamen yang lebih hati-hati dan trekking" hanya baik untuk jarak yang telah diperhitungkan. Gambar 35: Kendaraan Bermotor Melalui Jalan untuk Pengiriman Sapi -sapi (rusuk bersilang) untuk Lantai Menghindari Tergelincirnya Hewan) Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 241

244 Gambar 36 : Truk Besar untuk Sapi di Panggung Penurunan Muatan Gambar 37. Roli Kereta Api untuk Mengangkut Sapi Gambar 38. Truk dengan Kandang Susun Dua Pengiriman Domba/Kambing Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 242

245 Domba/Kambing Diantara. hewan pangan, domba/kambing paling mudah dikirim dan biasa dikirim baik melalui jalan kaki, rel atau kendaraan. Truk dengan. kendaraan susun dua. juga sesuai untuk hewan ini. Babi Babi paling sulit dikirim, dan metode paling baik adalah dengan kendaraan atau. rel kereta untuk situasi khusus. Unggas Ayam atau unggas lain seperti kalkun atau bebek dikirim paling baik dengan kendaraan. Kelompok-kelompok unggas harus dipilah-pilah dalam keranjang-keranjang dari plastik, yang bisa disusun. di atas satu dan yang lain dalam kendaraan dan dapat dengan mudah dicuci/bersihkan sesudah pemakaian. Tutup keranjang untuk memasukkan hewan dan pada sisinya untuk mengambil unggas-unggas itu. Burung Onta Kulit dan daging Burung Onta pada khususnya sangat berharga, sehingga pengiriman dengan. kendaraan adalah cara yang paling cocok. Sesudah memilih cara pengiriman yang sesuai untuk hewan-hewan potong tersebut, adalah penting untuk memperhitungkan faktor yang lain untuk menjaga kesehatan dan keselamatan. hewan-hewan tersebut. Jenis-jenis Kendaraan Setiap kendaraan yang dipakai untuk mengirim hewan potong haruslah berventilasi baik, memiliki lantai anti licin dengan selokan air yang baik dan peneduh dari matahari dan hujan, khususnya untuk babi. Ventilasi: Kendaraan pengangkut harus tidak tertutup penuh, kekurangan ventilasi membuat hewan stres bahkan mati lemas, khususnya bila udara panas. Sirkulasi udara Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 243

246 yang buruk membuat terkumpulnya gas kendaraan yang bisa membuat keracunan. Babi khususnya sangat sensitif terhadap panas, kelembaban. yang tinggi, dan stres akibat keringat berlebihan. Kendaraan dengan. ventilasi yang baik sangatlah penting (Gambar 29,30,34). Perputaran. udara bebas pada lantai kendaraan sangatlah penting untuk membantu hilangnya amonia dari air seni hewan. Gambar 39: Truk dengan Ventilasi yang Baik untuk Pengiriman. Babi. Lantai: Lantai anti-licin pada semua kendaraan penting untuk menghindari jatuhnya hewan. Jeruji silang yang terbuat dari kayu atau besi (Gambar 29) sangat cocok. Jenis bahan lain untuk menghindari terpeleset pada permukaan lantai kendaraan seperti rumput atau bubuk gergajian tidaklah sesuai. Penyeimbang tambahan untuk hewan, untuk pembatas-pembatas di dalam kendaraan yang boleh terbuat dari kayu atau besi bulat atau papan-papan. yang kuat. Lantai yang rusak bisa mematahkan kaki atau luka yang lainnya (Gambar 35). Lantai kendaraan harus tingginya sama dengan lerengan untuk menurunkan hewan-hewan itu. (Gambar 16) atau hewan bisa terluka bila meloncat dari kendaraan atau. diangkat dengan tenaga manusia pada saat memindahkan mereka. Luas Lantai: Hewan membutuhkan luas ruang lantai yang memadai sehingga mereka bisa berdiri dengan nyaman tanpa perlu berdesak-desakan. Kelebihan. muatan dapat mengakibatkan luka-luka ataupun kematian hewan (Tabel 37, 38, 39). Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 244

247 Gambar 40: Kaki Sapi Menjulur dari Lantai Truk yang Rusak. Gambar 41: Fasilitas Penaikan Hewan yang Buruk Gambar 42: Truk dengan Kelebihan Muatan Kambing. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 245

248 Gambar 43: Kambing yang Bertumpuk -tumpuk pada Bagian Belakang sebuah Truk. Gambar 44.Truk dengan Muatan Kerbau Berlebihan Tabel 13. Perkiraan Luas Lantai untuk Transportasi Berbagai Jenis Hewan Jenis Hewan Luas Lantai / Hewan (M-) Sapi Dewasa * Sapi Muda 0.3 Babi Kecil Sedang Besar Domba/Kambing 0.4 Burung Onta 0.8 * cm panjang kendaraan per ekor diangkut menyilang Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 246

249 Ukuran harus dibuat sesuai jenis hewan dan ukuran tubuh. Bila luas lantai terlalu luas untuk sejumlah binatang, pemisah harus dipasang agar binatang tidak terpental-pental. Sisi/pagar: Sisi-sisi kendaraan harus cukup tinggi untuk menjaga hewan-hewan itu, khususnya babi, untuk melompat keluar dan melukai mereka sendiri. Pada bagian dalam harus diberi pelapis pada bagian pinggang, sebagai contoh dengan ban tua untuk mengurangi memar pada sapi dan burung onta. Juga tidak ada celah yang membuat kaki mereka. keluar atau patah. Pintu masuk yang sempit juga bisa membuat memar pada pinggang hewan. Roli karena harus juga dipasang pelapis untuk menghindari memar. Atap: Atap tidaklah penting bagi kendaraan pengangkut untuk hewan-hewan yang tidak terjemur berjam-jam dalam perjalanan (Gambar 29, 30). Kendaraan untuk babi harus beratap untuk babi, kecuali jika babi-babi itu dikirim pagi-pagi sekali atau pada malam hari. Unggas harus dilindungi dari sengatan matahari dan hujan. Pengiriman dengan sangkar atau kurungan (Gambar 33) akan melindungi mereka dari luka-luka. Ukurannya harus cukup besar sehingga mereka bisa duduk dan memutar-mutar kepalanya. Ventilasi harus cukup. Pada ukuran kecil dengan kondisi yang primitif, hewan-hewan dengan cara yang sangat tidak sesuai, yang bisa menyebabkan sakit yang luar biasa, atau bisa juga kematian karena lemas, stres akibat panas, dehidrasi dan lain-lain (Gambar 40, 41, 42,71). Gambar 45 : Transportasi Babi yang Tidak Baik dalam Sebuah Keranjang. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 247

250 Gambar 46: Transportasi Bebek yang Terbaik di atas Sepeda Air. Gambar 47: Transportasi Ayam yang Tidak Baik di Atas Becak. Tindakan Pencegahan Sebelum Menaikan ke Kendaraan Pengangkut Berikut ini adalah sejumlah prosedur sederhana yang dapat diterapkan sebelum menaikan hewan ke dalam kendaraan, yang akan mengurangi resiko luka dan stres pada hewan: 1. Kumpulkan sesaat sapi-sapi atau babi-babi supaya kesal satu dengan yang lain sehingga mereka bisa berpejalanan lebih baik dibandingkan langsung berangkat dengan hewan lain yang mereka belum kenal. Sapi harus dikumpulkan dan didiamkan dalam kandang bersama-sama paling tidak selama 24 sebelum diangkut. Binatang yang menjadi korban atau masih liar harus disingkirkan pada saat itu perkelahian diantara babi yang tidak mengenal satu dengan yang lain adalah lumrah, yang bisa Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 248

251 menyebabkan luka pada kulit, luka lain dan stres. Campur babi-babi dari kandang-kandang yang berbeda sebelum dinaikkan ke dalam kendaraan, lulurkan babi-babi itu dengan kotoran. atau cairan dari kandang yang sama sehingga mereka berbau sama. 2. Kebanyakan hewan dapat diberi makan dan minum sebelum dikirim. Ini adalah efek penenang. Tetapi babi jangan diberi makan sebelum dikirim karena makanan akan meragi dan gas menyebabkan tekanan pada jantung yang berakhir ke serangan jantung dan kematian. 3. Jangan mencampur binatang yang bertanduk dan tak bertanduk pada kendaraan karena bisa menyebabkan memar atau luka-luka. Spesies binatang yang berbeda tidak boleh juga dicampur. Domba, kambing dan sapi muda di bawah 6 bulan dapat dicampur dan binatang per ekor dapat dikirim dalam keranjang longgar yang diikat pada lehernya. Kaki tidak boleh diikat dan binatang-binatang itu harus dibalik setiap kurang lebih 3 menit. Babi tidak boleh dikirim (dengan hewan jenis lain bila tidak dipisahkan dengan penyekat (Gambar 43). Kerbau tidak dibawa bersama-sama dengan ternak lain kalau tidak dipisahkan dengan penyekat yang kokoh. Gambar 48. Pengangkutan yang Salah dimana Babi, Kambing dan Domba Ada di Dalam Truk yang Sama Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 249

252 4. Hewan yang berpenyakit, terluka, kurus atau hamil tua tidak boleh dikirim dan hewan yang tidak sehat, kelebihan berat tidak dapat berperjalanan jauh karena mereka tidak tahan berdiri dalam guncangan mobil. 5. Kendaraan harus dilengkapi dengan lerengan yang dapat dilepas untuk membantu dalam situasi yang tak diharapkan seperti kerusakan kendaraan yang terlalu lama dimana hewan-hewan harus diturunkan. Pengoperasian Transportasi Beberapa faktor harus dipertimbangkan selama perjalanan agar hewan-hewan itu tidak menderita, terluka atau mati. 1. Trekking - Hanya sapi, domba dan kambing agar bisa berjalan kaki dengan lancar, dalam hal ini ada juga beberapa resiko. Perjalanan itu harus direncanakan, dengan memperhatikan jarak yang ada ditempuh, waktu untuk merumput, minum dan beristirahat pada malam hari. Hewan harus dijalankan pada saat sejuk sepanjang hari, dan bilamana berjalan hingga rel kereta api mereka harus diistirahatkan sejenak sebelum dinaikkan ke dalam kereta. Jarak maksimum yang harus ditempuh hewan-hewan ini tergantung dari beberapa faktor seperti cuaca, situasi badan, umur dan lain-lain, tetapi jarak yang tercantum pada Tabel 14 tidak boleh dilebihi untuk trekking. Tabel 14. Jarak Maksimum untuk Trekking Jenis Hewan Satu Hari Perjalanan lebih dari sehari Hari Pertama Hari Selanjutnya Sapi 30 krn 24 krn 22 krn Domba 24 krn 24 krn 16 krn Kambing 24 krn 24 km 16 km Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 250

253 2. Waktu - Lingkungan dengan temperatur tinggi akan meningkatkan resiko stres terhadap panas dan tingkat kematian selama perjalanan. Sangatlah penting untuk mengirim hewan pada pagi atau sore yang sejuk atau bahkan bisa pada malam hari. Khususnya untuk babi, kombinasi kelembaban dan suhu yang panas bisa mematikan untuk babi. Panas dapat meningkat pada kendaraan. Membasahi babi dengan air akan membantu mendinginkan mereka. 3. Lama Perjalanan - Bila bisa berjalanan harus singkat dan langsung, tanpa pemberhentian-pemberhentian. Jika kendaraan berhenti, babi berkecenderungan untuk berkelahi. Sapi dan domba/kambing tidak boleh berperjalanan lebih dari 36 jam dan harus diturunkan sesudah 24 jam untuk diberi makan dan minum, bila perjalanan lebih panjang dari itu. Babi harus dilengkapi dengan kesempatan minum yang lebih sering selama perjalanan yang lama, khususnya pada kondisi panas dan lembab. 4. Cara Menyetir - Kendaraan harus disetir dengan baik gas dan stop yang tiba-tiba. Tikungan-tikungan harus dilampaui dengan hati-hati dan tenang. Harus ada petugas kedua mengawasi bilamana ada hewan yang sakit sehingga kendaraan dapat dihentikan untuk merawatnya. Pengemudi kereta harus menghindari truk yang menyalip dengan muatan hewan. 5.Kedinginan - Angin bertiup pada hewan basah pada perjalanan musim dingin akan mengakibatkan kedinginan (Wind Chill) dimana temperatur badan akan menurun dengan drastis, mengakibatkan stress dan kematian Pemotongan Hewan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 251

254 Salah satu kewajiban dalam melakukan perubahan dari hewan ternak menjadi bahan makanan dan bahan sampingan lainnya adalah untuk memotong atau menjagal binatang itu dengan cara yang manusiawi serta memproses daging yang didapatkan dengan cara yang hygienis dan efisien. Menyiapkan Hewan untuk Dipotong Pada saat pemotongan, hewan harus berada pada kondisi sehat dan secara psikologi normal. Hewan jagalan harus telah beristirahat dengan baik sebelumnya. Hewan-hewan ini harus diistirahatkan, sebaiknya dalam satu malam, khususnya bila mereka telah menempuh perjalanan jauh. Tetapi, babi dan unggas biasanya dipotong pada saat mereka tiba dimana jarak perjalanan biasanya singkat dan penangkaran bisa membuat mereka stress. Hewan harus diberi cukup air selama penangkaran dan jika diperlukan dapat pula diberikan makan. Penangkaran diijinkan untuk hewan yang terluka atau menjadi korban hewan lain untuk diidentifikasi dan bagi hewan yang sakit dapat dikarantina dulu. Apabila siap untuk dijagal, hewan sebaiknya digiring menuju area pemingsanan dengan tenang dan tanpa kehebohan dan keributan. (Gambar 8, 9, 26). Penggiringan dapat dibantu dengan menggunakan tongkat kanvas (Gambar 8), kertas atau plastik yang digulung, dan dapat pula digunakan penjolok (Gambar 6) untuk hewan-hewan yang keras kepala atau susah untuk dijinakkan. Hewan tidak boleh dipukul atau dipelintir ekornya. Hewan-hewan itu harus digiring dalam barisan (Gambar 24, 25, 27) ke dalam area pemingsanan dimana mereka dimasukkan dalam pilah-pilah kandang sebelum dipingsankan. Kandang Penahanan Sangat penting kalau hewan jagal dikurung dalam pilah-pilah atau kotak penahanan khusus sebelum dipingsanan atau dipotong. Hal ini untuk menjaga stabilitas Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 252

255 atau gerak hewan sehingga saat pemingsanan dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Beberapa jenis kotak khusus ini disesuaikan untuk hewan-hewan yang berbeda seperti: Sapi Suatu kotak pemingsanan adalah metode umum untuk mengekang atau mengendalikan sapi (Gambar 25, 44). Lebar ukuran kotak harus secukupnya agar hewan tidak bisa berputar, agar mudah dipingsankan. Lantai kotak harus anti licin. Suatu cengkramaan leher yang biasa dipakai para petani untuk menahan gerakan hewan, sudah cukup baik untuk usaha sederhana (Gambar 45). Pengekangan sapi yang jinak diluar kotak pengekang cukup efektif apabila dilakukan dengan cara mengamankan kepalanya pada suatu haltar dan mengikat talinya dengan rantai besi yang ditanamkan ke lantai semen. Dianjurkan bagi petugas untuk berdiri di belakang pagar besi pengaman (Gambar 46). Gambar 49 : Kotak Pemingsanan untuk Sapi. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 253

256 Gambar 50 : Sederhana, Lorong yang Bermanfaat dan Lengkraman Leher untuk Mangendalikan Sapi. Gambar 51 : Skala Kecil Operasi. Posisi Petugas Sebelum Pemingsanan yang Berada di Belakang Pagar Besi Pengaman. Domba/Kambing Kurungan pemingsanan yang terbuat dari besi sangatlah tepat (Gambar 47). Tetapi, hewan-hewan itu dapat dipingsankan dengan cara manual dengan memuaskan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 254

257 Gambar 52: Kurungan Pemingsanan untuk Domba/ Kambing. Babi Kurungan pemingsanan sangat tepat untuk babi (Gambar 48). Mengumpulkan beberapa babi dalam suatu ruangan kecil sudah sesuai, tetapi hanya untuk pemingsanan dengan cara pemingsanan listrik (Gambar 57,58). Tidak perlu dipertimbangkan untuk melakukan secara manual. Unggas Ayam digantung pada kakinya di gantungan yang bergerak (Gambar 49). Harus dilakukan dengan baik untuk menghindari luka dan stress. Pada perusahaan penjagalan kecil, unggas dapat ditempatkan kepalanya pada pengekangan berbentuk kerucut (Gambar 30). Burung Onta Hewan ini bertemperamen tinggi, dan karena mereka bisa menendang, mereka harus dikekang dengan baik. Hal ini dapat dilakukan dengan menggiring mereka menuju kurungan yang berbentuk huruf V dan telah dilapisi pengempuk, dengan kepalanya menghadap ujung kurungan dan langsung dijepit sesudah pemingsanan listrik dimulai. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 255

258 Hewan-hewan tidak dapat didiamkan dalam kurungan pemingsanan dalam waktu yang lama dan seharusnya dipingsankan segera setelah diamankan. Petugas harus cukup dilatih dan diawasi dengan baik. Di beberapa negara, petugas yang menangani proses pemingsanan harus terlatih dan memiliki ijin resmi. Gambar 53 : Kurungan Pemingsanan untuk Babi. Gambar 54 : Unggas Digantung pada Kakinya pada Gantungan Berputar sebelum Pemingsanan Elektronik. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 256

259 Gambar 55 : Corong Berbentuk Kerucut untuk Pemingsanan/Pemotongan Unggas dalam Skala Usaha Kecil Metode Pengumpulan Baik sekali kalau membuat hewan pingsan dahulu sebelum mereka dijagal untuk mengurangi rasa sakit, ketidaknyamanan dan stres dari proses pemotongan ini. Kebanyakan negara maju dan negara berkembang memiliki aturan penjagalan, dengan perkecualian cara penjagalan keagamaan seperti kosher atau halal. Untuk situasi-situasi tertentu, pemotongan tradisional dapat mengecualikan pemingsanan sebelum penjagalan. Dalam metode pemotongan apapun, hewan harus dibuat tidak sadar dalam waktu yang cukup sehingga hasil darah yang keluar dapat membuat hewan ini mati dan kekurangan oksigen pada otak (cerebral anoxia). Dengan kata lain, kematian harus terjadi sebelum hewan sadarkan diri dari pingsannya bukan pada saat keluamya darah. Ada tiga cara untuk melaksanakan proses pemingsanan : pemukulan (percussian), listrik atau elektronik (electrical) dan gas (gas). Dua cara pertama umumnya dipakai di negara-negara berkembang. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 257

260 Pemingsanan Dengan Memukulan Metode ini dilaksanakan dengan hentakan fisik pada otak hewan (gambar 51). Captive Bolt Metode ini bekerja seperti pinsip senapan yang menembakkan peluru kosong dimana benda ini mementalkan semacam baut pendek (dari batang besi) dari laras bedil. Tembakan baut itu menghentakkan tulang otak dan akan membuat hewan pingsan karena telah merusak susunan otak atau meningkatkan tekanan yang membuat memar pada otak (Gambar 52). Cara penembakan baut ini mungkin merupakan alat pemingsanan yang paling serbaguna karena bisa dan cocok dipakai untuk sapi, babi, domba dan kambing dan bisa juga untuk kuda dan onta, dan dapat dipakai di seluruh belahan dunia (walaupun pemingsan listrik lebih baik dari pistol baut untuk memingsankan babi dan domba). Ada berbagai pabrik pistol baut ini, dan biaya untuk pemakainnya sangatlah minim setelah pengembalian modal untuk pembelian alat ini. Pemakai harus memiliki persediaan pelor yang memadai, yang mungkin dengan kaliber berbeda untuk pestol pemingsanan dari pabrik yang berbeda. Hal ini membuat alat ini sebagai suatu pilihan, khususnya di negara-negara berkembang. Ada dua jenis senapan ini. Satu memiliki pegangan dan pelatuk, dan satu lagi dengan laras yang langsung digenggam yang ditempelkan ke tulang otak dan akan langsung meletus pelurunya (Gambar 52, 53). Jenis lain memiliki ujung yang rata menyerupai jamur (Gambar 55). Pingsan terjadi melalui ketukan kuat pada kepala, otak tidak tertembus, karena hewan tidak terbunuh, dimana metode ini dapat diterima dikebanyakan negara yang menerapkan pemotongan halal. Bila dipakai, alat tembak ini diletakkan pada titik yang tepat pada kepala hewan (Gambar 51, 53, 54). Perawatan alat yang buruk membuat pemingsanan yang buruk juga dimana senapan harus dibersihkan dan diperbaiki secara berkala, sesuai dengan instruksi pabriknya. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 258

261 Gambar 56: Penempatan Senapan yang Benar untuk Pemingsanan Hewan yang Berbeda Seperti Kuda, Sapi, Kambing, Domba dan Babi Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 259

262 Gambar 57 : Pemakaian Captive Pistol/Captive Bolt Pistol (CBP) A. Bagian bawah dikeluarkan dari bagian utama CBP untuk memasukkan pelurunya. B. CBP pada posisi menembak (peluru paku dikeluarkan melalui pelatuk) C. CBP dengan baut yang dikeluarkan sesudah penembakan (cincin karet menghentikan hentakan dan baut sebagian keluar). Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 260

263 Gambar 58: Senapan dengan Laras yang Dipegang dengan Tangan. Gambar 59: Posisi Salah untuk Memegang Pistol. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 261

264 Gambar 60: Pistol dengan Penembak Berujung Seperti Jamur. Untuk pemingsanan yang efisien, sangatlah penting untuk pemakai dilatih dengan baik dalam pemakaian bedil pemingsanan ini. Bilamana pemakai tak terlatih, akuritas pemingsanan akan berkurang, rotasi dua penembak sangat disarankan. Pemingsanan untuk babi yang lebih besar dibutuhkan peluru yang lebih kuat karena rongga sinus pada tulang kepala lebih besar. Kerbau besar memiliki ujung bertulang pada kepala depannya dan membuat penembakan lebih susah. Penembakan seperti ini tidak sesuai untuk memingsankan burung onta. Otak mereka terlalu kecil untuk cara ini. Tembakan Senapan Dalam situasi dimana hewan terlalu bringas untuk ditangani dengan cara-cara umum, seperti misalnya bila mereka tidak mau masuk ke rumah jagal atau digiring kekurungan penjagalan, tembakan dengan peluru bermoncong bulat sangat efektif. Peluru berkaliber 22 sudah cukup untuk binatang. Menembak dengan peluru bebas berbahaya bagi penembak. Bilamana hewan ini akan dipotong, harus ditembak dengan tepat, pada saat hewan itu sedang berdiri atau berbaring di atas tanah yang empuk untuk menghindari pantulan peluru ke penembak. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 262

265 Pemingsanan Elektronik Metode pemingsanan ini sangat cocok untuk babi, domba atau kambing, unggas dan burung onta (pemakaian untuk sapi atau hewan yang lebih besar masih dalam tahap pengembangan, tetapi bilamana tidak dipakai dengan tepat hal ini bisa menyebabkan haemoorhage yang luar biasa pada urat-urat dan struktur tulang belakang.) Pemingsanan elektronik menyebabkan shok elektroplektik atau epilektik pada otak. Situasi ini harus berlangsung dalam waktu yang cukup untuk memotong hewan sehingga hewan ini mati dari cerebral anoxia. Aliran listrik voltase rendah dipasang dengan menerapkan dua elektroda, yang ditempat di kedua sisi otak dengan alat cepitan. Karena otak hewan berukuran kecil, elektroda-elektroda ini harus secara tepat dan kuat dipasangkan ke kedua sisi kepala hewan, seperti domba, kambing, babi atau burung onta (Gambar 56, 57, 58, 59). Gambar 61 : Cepitan untuk Pemingsanan Elektronik untuk Domba dan Kambing. Cara lain adalah menempatkan satu elektroda di bawah rahang dan yang satu lagi pada sisi leher di belakang telinga. Tipe pemingsanan kepala ini sangat baik dan hewan cepat pingsannya. Hewan harus dipotong sesegera mungkin sesudah pemingsanan ini. Pemingsanan yang kurang baik menyebabkan serangan atau gangguan pada jantung, Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 263

266 sehingga elektroda ketika dipasang pada bagian lain tubuh elektroda-elektroda disalurkan melalui jepitan atau tang. Alat ini tidak boleh dipasang pada daerah-daerah sensitif seperti mata, bagian dalam telinga atau rektum. Gambar 62: Jepitan Listrik untuk Memingsankan Babi. Gambar 63: Jepitan Listrik untuk Memingsankan Babi. Burung onta sebaiknya hanya dipingsankan dengan cara elektronik saja. Jepitan ditaruh pada kedua sisi kepala, di bawah dan di belakang mata atau atas dan di bawah Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 264

267 kepala (Gambar 54). Unggas dapat dipingsankan dengan cara elektronik dengan suatu alat yang dioperasikan secara manual (Gambar 60) atau dengan memakai mandi air atomatik (Gambar 61). Dalam hal ini unggas diseret melewati air yang dialiri listrik bertegangan rendah. Gambar 64: Jepitan Listrik untuk Memingsankan Burung Onta. Gambar 65 : Kotak Pemingsanan Listrik yang Dioperasikan Secara Manual untuk Pemotongan Unggas bagi Usaha Kecil. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 265

268 Gambar 66: Air Bermuatan Listrik untuk Pemingsanan Unggas. Kekuatan tegangan listrik adalah kombinasi antara ampere dan voltase yang sesuai dengan jenis hewannya. Alat ini dilengkapi dengan meteran yang mengukur tegangan listrik yang benar. Petunjuk tegangan listrik / waktu untuk hewan-hewan yang berbeda tercantum dalam tabel berikut. Tabel 15. Tegangan dan Waktu yang Dianjurkan untuk Pemingsanan Elektrik. Jenis Hewan M/Amps Amps Volts Waktu (detik) Babi min. 125 min. 1,25 mak. 123 mak. 10 (hingga EPS*) Domba/Kambing ,0-1, mak. 10 (hingga EPS*) Unggas kg broiler 200 2, Kalkun 200 2, Burung Onta ,5-2, * EPS adalah shok elektroplektik Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 266

269 Untuk domba, kambing, babi dan burung onta, selama proses ini kaki menghentak ke belakang, kepala lunglai dan mata tertutup. Sesudah 10 detik atau lebih, otot-otot mulai melemas yang diikuti dengan gerak-gerak seperti mengayuh. Elektroda harus dihentikan pada saat ini karena proses pemingsanan telah selesai (Gambar 58). Cara alternatif lain yang dipakai untuk memingsankan unggas adalah dengan memakai voltase tinggi ( volts) yang menyebabkan perhentian jantung yang seketika. Telah diakui bahwa melalui cara ini pemingsanan yang tak memadai, yang dapat terjadi dalam beberapa kasus kalau memakai voltase rendah, dapat dihindari. Elektroda-elektroda harus dalam kondisi baik dan tidak rusak, dan dibersihkan setiap hari. Pemakai harus mahir untuk menguasai posisi yang tepat dan pemakaian yang baik atas elektroda-elektroda ini. Pengaliran aliran listrik ke otak dibantu dengan memotong rambut di atas bagian yang akan dikenakan atau membasahi elektroda-elektroda itu. Jika semua bagian muka atau badan basah, aliran listrik akan konslet pada otak. Kesalahan operator dalam memasang alat pada titik yang salah pada kepala hewan, tidak akan membuat hewan itu pingsan, tetapi akan mengakibatkan shok gagal atau The Nighmore State or Leduc atau saat mimpi buruk Leduc. Hewan menjadi lumpuh dan tak bisa berbunyi tetapi belum pingsan. Alat pemingsanan walaupun sesederhana apapun harus memiliki transpormer atau sirkuit listrik lainnya yang mencantumkan minimum amper dan voltase yang disarankan, untuk mengatahui insenbilitas. Sayangnya dibanyak negara berkembang, alat pemingsan rakitan sendiri banyak dipakai.. Alat ini mungkin hanyalah kabel-kabel sederhana yang dipasang ke hewan atau jepitan buatan sendiri tetapi tanpa transformer yang bisa mencapai ukuran listrik yang tepat (Gambar 70). Alat pemingsan buatan sendiri yang sambung langsung ke sumber listrik sangat menyakitkan bagi hewan dan juga sangat berbahaya bagi pemakai karena mungkin terdapat kabel-kabel yang terbuka Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 267

270 Gambar 67: Pemingsanan Listrik untuk Sapi pada Rumah Penjagalan Besar. Alat Dihidupkan dengan Remote Control sesudah Hewan Masuk pada Kotak Pemingsanan. Biasanya pemingsanan listrik untuk sapi dan spesies besar lainnya dapat mengakibatkan haemorrhage berlebihan atau kerusakan tulang belakang karena pengembangan otot yang berlebihan. Hal ini khususnya terjadi jika teknologi yang tidak canggih yang dipakai. New Zealand dan beberapa negara lain telah mengembangkan metode-metode yang modern untuk memingsankan sapi untuk mengatasi masalah ini, khususnya untuk expor daging sapi ke berbagai negara muslim atau pendirian rumah - rumah penjagalan di negara - negara muslim dimana metode ini dapat diterima (Gambar 62,63). Tehnik New Zealand ini disebut sebagai 'The Ranguiru System 1 atau Wairoa Process 2 dan pemingsanan pada kepala saja. 1. The Ranguiry System adalah pemingsanan listrik yang telah dimodifikasi, yang diterapkan pada penjagalan sapi cara barat, dimana pemingsanan dilakukan pada otak dan jantung berhenti berdenyut, tidak dapat diterima sebagai halal bagi Muslim. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 268

271 2. The Wairoa Process adalah teknik yang dikembangkan di New Zealand, yang melibatkan pemingsanan listrik pada kepala saja. Tidak membuat hewan sakit walau akhirnya pemotongan dibatalkan. Jantung masih tetap berdenyut. Sistem ini manusiawi, aman untuk petugas dan umumnya dapat diterima sebagai halal bagi Muslim. Pemingsanan Gas Karbon Dioksida Pemakaian karbon dioksida (CO 2 ) dapat dikatakan cara baru dalam pemingsanan dan cocok untuk babi dan unggas. Tetpai hanya dapat dipakai pada perusahaan besar karena perlengkapan yang dipakai cukup mahal. Pada dasamya hewan dipingsankan dengan memakai beberapa konsentrasi CO 2 pada udara. Kohsentrasi CO 2 untuk memingsankan babi paling tidak 80% dalam udara selama 45 detik dan 65% untuk unggas selama 15 detik. Tetapi penerimaan cara ini dari sudut kemanusiaan masih dipertanyakan. Untuk beberapa tipe gen babi mungkin memuaskan, dan bisa membuat stres untuk gen-gen lainnya. Pada saat ini gas Argon sedang diuji untuk tujuan pemingsanan. Diperkirakan gas Argon memiliki beberapa kelebihan dibandingkan CO 2, tetapi harganya lebih mahal. Gambar 68 : Diagram Pemingsan Babi dengan CO 2. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 269

272 Proses masuknya babi pada terorongan (O 2 /a), diturunkan pada ruang dengan konsentrasi CO 2 yang tinggi dimana mereka akan pingsan (h), dinaikkan lagi c dan dikeluarkan dari terowongan (a). Gambar 69 : Jalur dan Pintu Masuk menuju Terowongan CO 2. Gambar 70 : Pemingsanan Kerbau dengan Pukulan Palu. Cara Salah Memingsankan Hewan Tujuan untuk memingsankan hewan sebelum dipotong pada rumah jagal yang baik dengan cara-cara seperti pemakaian alat penembak (captive bolt pistols), jepitan Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 270

273 listrik atau gas CO 2. Untuk memingsankan babi dengan memukul kepalanya dengan palu besar adalah metode yang lumrah khususnya di negara-negara berkembang. Metode ini hanya membutuhkan tenaga manual, tidak perlu perawatan alat-alat atau suku cadang seperti peluru, dan oleh karenanya menjadi murah (Gambar 66). Pukulan palu pasti disukai untuk alasan itu, tetapi dibutuhkan petugas yang terlatih. Sering kali pukulan tambahan dibutuhkan, bila hewan tidak dipukul pada sasaran yang tepat. Metode palu ini terbukti memiliki tingkat kesalahan yang tinggi dan harus digantikan dengan salah satu metode di atas. Khususnya cara salah dapat dilihat dari pemotongan babi, dimana beberapa babi digiring ke kandang pemingsanan dan secara sembrono dipukul dengan palu. Karena mereka bergerak kesana kemari, banyak hewan tidak dipukul dengan tepat dan dibutuhkan pukulan-pukulan tambahan atau sampai pada saat pemotongan dalam keadaan masih sadar (Gambar 66, 67). Pada banyak negara berkembang, pemingsanan hewan besar (sapi, kerbau) masih dilaksanakan dengan memakai pisau yang lancip dan tajam, yang kadang - kadang disebut sebagai puntilla atau Spanish pike atau belati (Gambar 68,69). Pisau dipakai untuk menusuk urat syarat tulang belakang (spinal cord) melalui daerah (foramen magnum) diantara tulang otak dan posisi leher tulang belakang. Pada saat menusukkan pisau dan mengenai urat syarat tulang belakang (spinal cord) melalui daerah (foramen magnum) diantara tulang otak dan posisi leher tulang belakang, hewan akan pingsan. la tetap tak bergerak yang memudahkan pemotong, tetapi hewan tetap hidup hingga darah habis keluar. Cara ini harus dihentikan karena tidak manusiawi. Cara tak manusiawi yang sama terhadap pemingsanan hewan ini dilaksanakan dengan menusuk tendon Achilles, yang membuat hewan tak sadarkan diri. Cara ini sering dilihat pada rumah jagal onta. Pada penjagalan onta sering juga dilihat dimana mengikat kaki-kaki mereka dengan kabel. Hal ini membuat hewan menderita dalam posisi duduk dan mereka dibiarkan seperti ini berjam-jam sebelum mereka dipotong. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 271

274 Cara salah juga dilaksanakan dalam pemakaian cara listrik pada penjagalan. Jepitan listrik tentu saja dapat dibuat oleh bengkel-bengkel lokal di negara-negara berkembang, tetapi pemasangan parameter sangat perlu untuk pemingsanan yang efisien dan manusiawi. Jepitan listrik tanpa parameter, memakai aliran listrik langsung tidak hanya menyebabkan penderitaan luar biasa tetapi juga dapat menurunkan kwalitas daging yang dihasilkan. Sangat tidak dapat diterima cara-cara dengan memakai kabel listrik yang dipasang ke tungkai kaki dan leher binatang dan membuat hewan mendapat shok listrik dengan menyambungkannya ke aliran listrik utama. Hal yang sama juga tak baik kalau pemakai penembak listrik yang langsung dipasang ke sumber listrik (Gambar 7) dengan memakai voltase tinggi untuk "memingsankan" sapi juga tidak manusiawi. Lebih lagi, hal ini dapat merusak kwalitas daging dan kulit. Satu cara menyiksa yang dipakai untuk memingsankan babi di beberapa negara Asia, babi-babi, pada saat dipindahkan dari peternakan ke rumah jagal, dipaksa masuk ke dalam kurungan yang terbuat dari best. Keranjang best ini hanya memuat satu ekor babi tapi babi sama sekali tidak bisa bergerak di dalamnya, keranjang-keranjang itu ditumpuktumpuk. Babi-babi didiamkan di dalam keranjang - keranjang tanpa air dan ventilasi. Sampai akhir dijagal tanpa proses pemingsanan di dalam masing-masing keranjang itu (Gambar 71). Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 272

275 Gambar 71 : Sekelompok Babi sesudah Dipalu dan Sedang Dibasahi sebelum Dipotong. Beberapa Babi Belum Sepenuhnya Pingsan. Gambar 72: Belati untuk membunuh hewan besar. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 273

276 Gambar 73: Pemotongan Babi dalam Keranjang Besi dengan Memakai Pisau dengan Pegangan Panjang. Gambar 74: Jepitan Listrik Rakitan Sendiri. Pemotongan Ritual atau Religius (Halal dan Kosher) Kebanyakan negara maju dan negara berkembang membutuhkan hukum yang mengatur pemingsanan hewan sebelum dipotong. Hal ini dibutuhkan untuk menghindari penderitaan selama pemotongan. Tetapi perkecualian berlaku untuk pemotongan cara Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 274

277 Yahudi (Kosher) dan Muslim (Halal), dimana pemingsanan biasanya tidak diijinkan dan binatang langsung ditusuk dengan memakai pisau tajam pada tenggorokannya dan memotong urat-urat darah. Hal ini menyebabkan kehilangan darah yang tiba-tiba dan sangatbanyak yang diiringi dengan kehilangan kesadaran dan kematian. Tetapi banyak autontas menganggapnya pemotongan ini tidak memuaskan dan hewan bisa tidak pingsan dan mengalami penderitaan selama proses pemotongan. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan sampai hal ini dapat diterima seperti: 1. Hewan yang akan dipotong dengan cara Kosher atau Halal harus benar-benar dikekang khususnya pada bagian kepala dan leher sebelum pemotongan kerongkongannya. Gerakan-gerakan hewan menyebabkan potongan yang tak baik, pendarahan yang buruk/ dan proses pingsan yang lambat (jika terjadi) dan rasa sakit. Ini adalah implikasi servis pada keadaan hewan. Pisau yang dipakai memotong leher dan urat darah harus setajam silet dan tanpa gerigi-gerigi dan kerusakan. Hal ini untuk memastikan potongan yang tepat dan halus pada leher disamping rahang dan terjadinya pemuncratan darah yang cepat dan banyak. Pengeluaran darah yang buruk menyebabkan pingsan yang lambat dan mengurangai kwalitas daging. 2. Hewan tidak boleh dibelenggu dan dibasahi sebelum pemotongan. Hal ini membuat mereka merasa tidak nyaman dan stres. Pembahasan harus dilaksanakan hanya sesudah hewan kehilangan kesadarannya. Kurungan hewan harus nyaman untuk hewan. 3. Keahlian petugas sangatlah penting dalam pelaksanaan pemotongan yang sesuai dengan agama, dan pemerintah harus mengeluarkan surat ijin untuk penjagal. Tehnik yang buruk mengakibatkan penderitaan dan kekejaman terhadap hewan. Pemotongan keagamaan harus dilaksanakan dengan memberikan perhatian pada detail dan memastikan bahwa metode, perlengkapan dari petugas yang tepat. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 275

278 Pemotongan dengan cara ini sangatlah lambat. Senapan yang sesuai untuk pemingsanan bila memakai baut yang berbentuk jamur (Gambar 55). Senapan ini adalah bentuk penyempurnaan dari baut baisa dimana baut ini tidak merusak otak dan menyebabkan kematian. Hal ini seharusnya lebih bisa diterima oleh pemuka-pemuka agama, dan pemakaian ini lebih mendorong cara pemotongan yang lebih manusiawi diantara Muslim di negara-negara berkembang, sehingga meningkatkan perhatian terhadap hewan. Untungnya, banyak autoritas Muslim menerima beberapa bentuk jenis pemingsanan sebelum hewan dijagal. Banyak autoritas Muslim menerima pemingsanan dengan listrik untuk sapi, domba dan unggas, dimana daging disiapkann untuk komunitas Muslim, karena binatang yang dipingsankan dapat hidup lagi bila pemotongan tidak dilaksanakan. Pemingsanan dengan listrik juga menjadi pilihan pada negara-negara pengeksport daging dimana pemingsanan diwajibkan hukum, untuk ekspor ke negaranegara Muslim. Hal yang sama terjadi pada negara-negara dengan minoritas Muslim dengan regulasi-regulasi kesejahteran hewan yang diijinkan memakai cara-cara pemotongan halal, tetapi dengan kombinasi pemingsanan listrik. Setiap jenis pemingsanan hewan yang akan dijagal tidak dapat diterima sesuai dengan aturan Kosher Yahudi. Pemotongan Pemotongan adalah salah satu bagian dari proses penjagalan dimana saluran darah utama pada laher dipotong yang membuat darah mengalir dari tubuh hewan yang menyebabkan kematian pada hewan. Pisau pemotong harus selalu diasah. Pisau tumpul akan melamakan proses ini dan ujung-ujung saluran darah tidak terpotong dengan baik. Hal ini akan menyebabkan penggumpalan darah prematur dan menyumbat saluran- Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 276

279 saluran darah, yang menyebabkan pelambatan pendarahan dan memperpanjang masa menuju pingsan dan insentivitas. Proses harus cepat dan tepat. Pada unggas, domba dan kambing dan burung onta, leher dipotong di sebelah rahang (Gambar 72, 73, 74). Gambar 75 : Pemotongan Unggas (Bebek). Hewan Dipingsankan Sesudah Melewati Siraman Air dengan Aliran Listrik untuk Dipingsankan. Gambar 76 : Tusukan untuk Memotong Domba. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 277

280 Gambar 77: Tusukan untuk Memotong Burung Onta Cara standar untuk memotong sapi adalah dengan menusuk kulit diantara dada dan geraham dengan potongan membujur sepanjang 30 cm. Lalu dengan alasan higieens, pisau bersih hams dipakai dan dimasukkan dengan kemiringan 45 untuk mencapai urat leher (Gambar 75) jugular dan carotid. Pada babi, tusukan membujur dibuat ke dalam dada untuk mencapai urat-urat darah paling dalam (Gambar 76). Untuk semua tusukan, urat-urat leher jugular dan carotid hams benar-benar tertembus. Jika semua urat darah tidak terpotong, pengeluaran darah mungkin belum berakhir, yang menyebabkan penggumpalan darah dalam jaringan tubuh, yang dapat mengakibatkan kerusakan cepat pada daging. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 278

281 Waktu minimum dibutuhkan diantara proses pemingsanan dan pemotongan karena dua alasan berikut: a. Kelambatan yang berkepanjangan bisa mengakibatkan tingkat kepingsanan khususnya bila hewan dipingsankan dengan cara elektrik. Sebagai contoh unggas yang dipingsankan dengan listrik akan sadarkan diri dalam waktu 1-3 menit. Umumnya, pemotongan unggas harus dilaksanakan dalam waktu 15 detik sesudah pemingsanan. Untuk hewan lain, interval antara pemingsanan dan penusukan harus dibuat sesingkat mungkin. Waktu di bawah satu menit sangat baik (Gambar 77). b. Kelambatan dalam pemotongan akan mengakibatkan bertambahnya tekanan darah, dan jaringan darah akan rusak dan menyebabkan haemorrhage pada urat. Darah berlebihan ini pada jaringan tubuh akan meningkatkan kerusakan pada daging yang akhirnya menyia-nyiakan daging itu sendiri. Gambar 78 : Tusukan pada pemotongan sapi. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 279

282 Gambar 79 : Tusukan pada Pemotongan Babi. Gambar 80: Pengaturan Pemingsanan yang Baik dan Pemotongan Langsung untuk Babi pada Rumah Jagal ukuran Menengah. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 280

283 Menentukan Tingkat Kepingsanan PadaPenjagalan Adalah penting untuk mengetahui bila seekor binatang telah tak sadar sesudah proses pemingsanan, karena pemotongan dan pengirisan tidak boleh dimulai hingga proses pemingsanan telah benar-benar selesai. Bila sapi, domba, kambing dan babi dipingsankan dengan captive bolt/senapan, hewan itu akan pingsan langsung. Hewan tetap bernafas seperti biasa. Tidak akan ada kedipan refiek bila matanya disentuh. Tanda-tanda belum pingsan harus diperhatikan sebelum proses pemotongan, biasanya pada saat tubuh hewan digantung pada rel pemotongan. Pada hewan domba, kambing, babi dan burung onta yang dipingsankan secara elektrik, serangan Grand Mal yang menyebabkan pingsan yang cepat. Hal ini menyebabkan kekejangan urat-uat yang berakhir sampai 30 detik. Hewan tidak boleh dikatakan pingsan selama 30 detik ini. Hewan tidak mengeluarkan suara, seperti mengembek dan lain lain. Bersuara bertanda bahwa hewan itu masih merasakan sakit. Tidaklah normal kalau hewan masih menendang-nendang sesudah proses pemingsanan dengan cara apapun. Bila hewan memiliki gerakan refleks menendang, kepalanya menganggung-nganguk. Bila hewan itu berusaha menggerak-gerakkan kepalanya, hal mi masih dapat dipakai sebagai ukuran bahwa mereka masih sadar. Seekor binatang yang menunjukkan gerakan-gerakan ini harus dipingsankan ulang. Petugas yang menilai tingkat kepingsanan ini harus berkonsentrasi dengan melihat ke kepala hewan. Hembusan napas dapat diijinkan, ini adalah tanda-tanda kematian otak. Bilamana lidah menjulur ke luar, lembek dan lunglai, hewan itu memang benar-benar pingsan. Kepala unggas yang telah dipingsankan dengan listrik harus lunglai sesudah pemingsanan. Unggas yang belum benar-benar pingsan akan menunjukkan gerakangerakan, refleks dan menaikkan kepalanya. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 281

284 Serangan tiba-tiba grand mat adalah suatu tingkat epilepsi yang berat yang ditunjukan oleh gangguan Paroxysmul pada aktifitas electrik pada otak. Hal ini mengakibatkan penderitaan penyakit sawan yang kadang-kadang datang atau Periodic convulsion pada tubuh atau epileptic fit. 1. Menjaga Standar Perlakuan terhadap Binatang Orang orang yang menangani beratus ratus penjagalan hewan akan menjadi tidak peka terhadap penderitaan dan memiliki kecenderungan menjadi kasar atau terhadap pekerjaannya maka mereka harus selalu dimonitor. Para manajer harus menjaga standar tinggi terhadap pengoperasian terhadap perlakuan binatang. Lima Titik Kontrol Utama Sangat dianjurkan untuk memakai sistem dengan tipe HACCP untuk mengukur dan memonitor efesiensi dan pelaksanaan petugas penanganan hewan dan pemotongannya. HACCP atau Hazard Analysis and Critial Control Points adalah suatu sistem yang secara mendasar dipakai pada perusahaan perusahaan yang berkaitan dengan hewan potong untuk memastikan keamanan bahan makanan. Dengan melaksanakan sistem ini dengan Critical Control Points (CCPs) pada proses ini, berbagai tahap tahap penting, yang dilaksanakan oleh petugas yang menangani dan memotong hewan, dapat dimonitor untuk meyakinkan bahwa hal ini dilaksanakan dengan baik, yang menuju perbaikan perbaikan yang pasti pada kualitas perlakuan terhadap binatang dan pengoperasiannya. System penilaian yang obyektif terhadap standar yang telah diterima dan juga antara penilai dapat juga dibuat. Lima kontrol utama dalam menangani dan pemotongan hewan secara singkat dijelaskan disini. Titik control yang dianjurkan dalam pengawasan dan evaluasi adalah : Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 282

285 2. Kebersihan Pemingsanan Persentasi pingsannya hewan pada usaha yang pertama (kebersihan dinilai sesuai kreteria pada halaman 84/85) a. pemingsanan captive bolt / senapan penembakan yang benar. b. pemingsanan jepitan listrik penempatan yang benar. 3. Tingkat Pingsan pada Rel Pemotongan Persentasi binatang yang masih pingsan sebelum dan sesudah pemotongan (memakai kreteria sama seperti nomor 1) 4. Suara Persentase sapi atau babi yang mengeluarkan selama proses pemingsanan seperti tembakan yang meleset, pemakaian jepitan listrik yang berlebihan, tekan yang berlebihan pada kotak pemingsanan yang tak berhasil, dan lain sebagainya. Setiap hewan diskor sebagai yang bersuara dan tak bersuara selama penanganan dan pemingsanan, tidak selama berada dalam penangkaran atau kurungan. Skor suara untuk domba tidak dipakai karema mereka biasanya berbunyi pada itu. 5. Terpeleset dan Terjatuh Persentase hewan yang terpeleset atau terjatuh selama penggirian atau memingsankan. Tempat tempat tertentu harus dipilih untuk penelitian. 6. Jepitan Listrik Persentase hewan yang membutuhkan pecutan dengan penghalau listrik Pengawasan dan audit terhadap CCPs ini harus dilaksanakan secara regular. Penilaian Objektif terhadap Pelaksanaan Standar pada Titik Kontrol Utama 1a. Captive Bolt / Senapan Ketepatan pemingsanan (skor setiap hari minimum 20 ekor atau 20 % pada perusahaan besar) - Luar Biasa : % langsung pingsan dengan satu tembakan. - Dapat diterima : 95 98% - Tak dapat diterima : 90 94% - Masalah serius : kurang dari 90% Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 283

286 Langkah : jika ketepatan satu tembakan berada dibawah 95% tindakan langsung harus dilaksanakan untuk meningkatkan persentase. 1b. Pemingsanan Elektrik Ketepatan penempatan jepitan. (skor semua babi, domba atau burung onta atau minimum 100 pada perusahaan besar) - Luar Biasa -99,5 100% pemasangan jepitan listrik yang benar. - Dapat diterima -99,4 99% - Tak dapat diterima 98 95% - Masalah serius 95% 7. Titik Pingsan Sesudah Pemingsanan (skor minimum 20 hewan atau 20% pada perusahaan besar) - bila hewan dibasahi /direndam langsung sesudah pemingsanan, perhatikan saat saat sesudah pembasahan (kecuali kalau memang benar benar terlihat hewan masih sadar) - jika hewan ditaruh diatas lantai, tunggu detik sebelum mengevaluasi untuk membiarkan kejangan kejangan berhenti (khususnya pada pemingsanan elektrik) - setiap hewan yang menunjukkan bahwa mereka masih sadar, harus segera dipingsankan lagi. - Luar biasa - sapi - kurang dari 1 per 1000 atau 0.01% - babi - kurang dari 1 per 200 atau 0,05% - Dapat diterima - sapi - kurang dari 1 per 500 atau 0,2% - babi - kurang dari 1 per 1000 atau 0,1% Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 284

287 3a. Kreteria Untuk Sapi Yang Bersuara 8. Dalam kandang atau areal pengumpulan, kotak pemingsanan atau krangkeng krangkeng. (skor minimum 20 hewan atau 20% pada perusahaan besar). Skor setiap hewan yang mengeluarkan suara sebagai YA dan yang tidak mengeluarkan suara sebagai TIDAK - luar biasa - 0,05% atau kurang dari sapi YA - dapat diterima - 3% atau kurang YA-nya - tak dapat diterima % YA - masalah serius - lebih dari 10% YA 3b. Kreteria Untuk Babi Yang Bersuara 9. Dalam krangkeng, kandang, pemingsanan, atau selama pemingsanan (Skor minimum 20 babi atau 10% pada perusahaan besar) Skor setiap hewan YA untuk yang bersuara dan TIDAK untuk yang tidak mengeluarkan suara. - Luar Biasa - 0% untuk babi YA - Dapat Diterima -1% atau kurang untuk babi YA untuk yang dikrangkeng, 0% karena salah menempatkan jepitan - Tidak dapat Diterima - 2% atau lebih YA dalam kurungan atau kandang Untuk mengurangi tingkat babi yang bersuara meningkatkan kwalitas daging babi dan meningkatkan PSE Jangan memakai skor ini untuk domba. 4. Terpeleset atau Terjatuh dalam Area Pemingsanan - Termasuk pintu masuk kurungan, area, kandang pengumpulan dan area penurunan hewan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 285

288 (Skor minimum 20 hewan atau 10% pada perusahaan besar) Skor YA untuk terpeleset dan TIDAK untuk yang tidak tergelincir. - Luar Biasa - tidak ada yang terpeleset atau terjatuh - tidak dapat diterima - 1% jatuh (atau badan menyentuh lantai) - Masalah Serius - 5% terjatuh atau 15% terpeleset 5. Pelaksanaan Pecutan Listrik Jika pecutan membuat hewan bersuara, aliran listrik berarti terlalu kuat. (Skor miminum 20 hewan atau 10% pada perusahaan besar) Skor YA untuk yang bersuara dan TIDAK untuk yang tidak bersuara (Tabel 16 dan 17) Tabel 16. Kreteria Skor Pecutan Listrik untuk Sapi Area pengumpulan ke kandang Pintu masuk ke krangkeng pemingsanan Jumlah % babi yang dipecut Luar Biasa Tidak ada YA 5% - kurang 5% - kurang Dapat diterima Tidak ada YA 10% - kurang 10% - kurang Tak dapat diterima - 20% - kurang 20% - kurang Masalah serius % - kurang Tabel 17. Kriteria Skor Pecut Listrik untuk Babi Area pengumpulan ke kandang Pintu masuk ke krangkeng Jumlah % babi yang dipecut Luar biasa Tidak ada YA 10% - kurang 10% - kurang Dapat diterima Tidak ada YA 15% - kurang 15% - kurang Tak dapat diterima % - kurang Masalah serius % - kurang Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 286

289 BAB XII PEMERIKSAAN KESEHATAN ANTE- MORTEM DAN POST-MORTEM I. PEMERIKSAAN KESEHATAN ANTE-MORTEM Pendahuluan Daging yang beredar di masyarakat hendaknya daging yang sehat dan berkualitas baik. Untuk pengadaan daging yang sehat dan berkualitas, memerlukan serangkaian pemeriksaan dan pengawasan, mulai dari penyediaan dari penyediaan ternak potong yang sehat melalui pemeriksaan hewan sebelum disembelih (pemeriksaan ante-mortem), tukang potong yang memenuhi syarat kesehatan dan memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip dasar pemotongan ternak, pemeriksaan setelah hewan dipotong (pemeriksaan post-mortem), penyediaan alat angkutan daging yang memadai, dan tersedianya kios daging yang memenuhi syarat kesehatan untuk pendistribusian daging kepada konsumen. Pengertian, Maksud dan Tujuan Pemeriksaan Ante-Mortem Pemeriksaan kesehatan ante-mortem adalah pemeriksaan ternak dan unggas potong sebelum disembelih. Adapun maksud pemeriksaan ante-mortem adalah agar teknak yang akan disembelih hanyalah ternak sehat, normal dan memenuhi syarat. Sedangkan ternak yang sakit hendaknya ditolak untuk dipotong. Tujuan dari pemeriksaan ante mortem agar daging yang akan dikonsumsi masyarakat adalah daging yang benar-benar sehat dan bermutu. Khusus untuk pemotongan ternak sapi, selain kondisinya harus sehat dan normal, juga harus memenuhi syarat. Memenuhi syarat disini dimaksudkan agar ternak sapi yang akan dipotong tidak melanggar peraturan yang telah ditentukan pemerintah. Peraturan yang mengatur tentang pemotongan ternak antara lain : 1) Staatsblad Nomor 614 tahun Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 287

290 1936 tentang Pemotongan Ternak Besar Betina Bertanduk. Inti dari peraturan ini adalah ternak besar betina bertanduk, yaitu sapi dan kerbau betina dilarang dipotong. Peraturan lainnya adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 18/1979 dan Nomor 05/Ins/Um/3/1979 tentang Pelarangan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau Betina Bibit, dan Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali tanggal 1 Oktober 1980 tentang Pelarangan dan Pencegahan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau Betina Bibit (Arka, dkk., 1983). Menurut Direktorat Kesmavet (2005) Tujuan pemeriksaan ante-mortem adalah : 1. Mencegah pemotongan hewan yang secara nyata menunjukkan gejala klinis penyakit hewan menular dab zoonosis atau tanda-tanda yang menyimpang. 2. Mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya untuk keperluan pemeriksaan post-mortem dan penelusuran penyakit di faerah asal ternak, 3. Mencegah kontaminasi dari hewan atau bagian dari hewan yang menderita penyakit kepada petugas, peralatan RPH dan lingkungan, 4. Menentukan status hewan dapat dipotong, difunda atau tidak boleh dipotong, 5. Mencegah pemotongan ternak betina bertanduk produktif. Pelaksana, Tempat dan Peralatan Pelaksana pemeriksaan ante-mortem hádala 1) dokter hewan berwenang yang ditunjuk, dan 2) Paramedik yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan yang berwenang. Pemeriksaan ante-mortem dilakukan di kandang penampungan hewan siap potong. Syarat kandang penampungan harus bersih, kering, terang (intensitas cahaya minimum 540 luks), terhindar dari panas matahari dan hujan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 288

291 Peralatan yang dibutuhkan dalam pemeriksaan ante-mortem adalah : 1) jas laboratorium yang bersih, 2) sepatu bot, 3) stempel/cap S Untuk dapat melakukan pemeriksaan kesehatan ternak ante-mortem, maka diperlukan fasilitas yang memadai. Fasilitas yang harus dimiliki selain kandang tempat pengumpulan ternak adalah kandang jepit (fixasi). Kandang untuk pengumpulan ternak harus cukup terang agar pemeriksa dapat bergerak dengan leluasa diantara ternak untuk mengadakan pengamatan dengan seksama terhadap ternak dalam keadaan diam/istirahat atau dalam keadaan bergerak. Kandang jepit diperlukan untuk pemeriksaan kesehatan seekor ternak dengan lebih seksama. Misalnya untuk eksplorasi rectal yang bertujuan untuk mendiagnosis kebuntingan, mengukur suhu tubuh, pemasangan identifikasi ternak yang meragukan kesehatannya, dan untuk memperkirakan umur ternak betina yang akan dipotong. Prosedur Pemeriksaan Kesehatan Ante-Mortem Adapun prosedur pemeriksaan ante-mortem adalah sebagai berikut : Pemeriksaan ante-mortem dilakukan maksimum 24 jam sebelum hewan disembelih. Jika melebihi waktu tersebut maka dilakukan pemeriksaan antemortem ulang. Hewan harus diistirahatkan minimum 12 jam sebelum penyembelihan. Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati gejala klinis dan patognomonis dengan cara : a) Mengamati (inspeksi) dengan cermat dan seksama terhadap sikap dan kondisi (status Gizi, sistem pernafasan, sistem pencernaan dan lainlain) hewan potong pada saat berdiri dan bergerak yang dilihat dari segala arah. Amati ternak tersebut dalam keadaan bergerak. Ternak dibangunkan, dan diperhatikan pada waktu bergerak. Ternak lumpuh Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 289

292 atau patah kaki, bergerak kaku dan lain-lain dipindahkan ke kandang khsusus untuk mendapat pemeriksaan yang lebih teliti. b) Mengamati dengan cermat dan seksama lubang-lubang kumlah (telinga, hidung, mulut, anus) dan kelenjar getah bening (limfoglandula superficial) pada ternak, apakah ada pembengkakan atau tidak. Demikian pula, catat jika ada kotoran pada mata, keluar cairan pada mata (lacrimasi) dan leleran pada hidung. c) Apabila dicurigai atau diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, hewan dipisahkan dan atau diberi tanda. Seluruh ternak yang abnormal dari hasil pengamatan ini, dipisahkan segera ke kandang penampungan lain yang dilengkapi dengan kandang jepit untuk pemeriksaan ternak secara individual yang lebih seksama. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan : a) Status Gizi dan keaktifan hewan, dengan melihat penampilan (performance) tubuh secara keseluruhan. Hewan dengan status Gizi jelek ditandai dengan kekurusan (cahexia), yakni ditunjukkan dengan pertulangan yang menonjol. b) Kulit dan keadaan bulu. Dilakukan dengan melihat kondisi kulit secara umum. Untuk pemeriksaan keadaan bulu, dilakukan dengan melihat kekusaman dan kebersihan bulu terutama bagian belakang. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 290

293 c) Selaput lendir. Melihat seluruh selaput lendir yang ada yaitu conjunctiva, mulut, hidung, preputium atau vulva dan rectum terhadap warna dan kebasahan/kelembaban. d) Mata dan telinga. Melihat adanya kelainan pada mata dan telinga. Amati gejala-gejala penyakit zoonosis dan penyakit menular lainnya. Ternak yang menderita penyakit, tidak boleh disembelih, karena dagingnya tidak layak untuk dikonsumsi dan dapat membahayakan kesehatan konsumen (Meat Borne Diseases). Konklusi (Kesimpulan) Akhir dari Pemeriksaan Ante-Mortem Konklusi akhir dari pemeriksaan kesehatan ante-mortem dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : Kelompok pertama adalah ternak yang dapat dipotong reguler, yaitu kelompok ternak yang sehat, normal dan memenuhi syarat (tidak melanggar peraturan pemotongan). Kelompok kedua, adalah ternak yang ditolok untuk dipotong, yaitu kelompok ternak yang menderita penyakit, abnormal dan melanggar peraturan pemotongan. Contoh untuk kelompok ini adalah ternak sakit, ternak cacat, ternak betina produktif, bibit, bunting dan pedet yang umurnya terlalu muda. Kelompok ketiaga, adalah ternak yang menderita kelainan lokal seperti patah kaki/fractur, luka, memar, abses, neoplasma/tumor, dan kondisi kesehatan ternak tersebut meragukan (suspected). Ternak kelompok ketiga ini dipisah- kan dari pemotongan reguler. Penyembelihannya dilakukan setelah pemotongan reguler. Pertimbangan kondisi ante-mortem dikaitkan dengan penemuan post-mortem untuk memberikan kesimpulan akhir terhadap disposisi daging dan organ-organ tubuhnya. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 291

294 Menurut Direktorat Kesmavet (2005), keputusan pemeriksaan antemortem dikelompokkan menjadi hewan boleh dipotong, ditunda, atau tidak boleh dipotong. Terhadap hewan yang boleh dipotong segera diberikan stempel/cap S di daerah pinggul. Gambar 81. Pemeriksaan Ante-Mortem Tabel 18. Keputusan Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Ante-Mortem Hasil Pemeriksaan * Hewan normal/sehat * Hewan dengan kelainan terlokasi, seperti tumor pada mata, pneumonia dll * Hewan lumpuh/ambruk karena kecelakaan namun tidak menunjukkan gejala penyakit * Hewan menderita atau menunjukkan gejala sakit, seperti pada lampiran 1 * Hewan tenderita gejala sakit yang belum dapat ditentukan gejala penyakitnya (menunggu hasil laboratorium) * Hewan tenderita atau menunjukkan gejala penyakit akut, seperti ántrax, tetanus, malleus, dll Keputusan 1. Diijinkan untuk dipotong 2. Harus segera dipotong 3. Dipotong dengan pengawasan dokter hewan 4. Ditunda pemotongan- Nya 5. Dilarang dipotong II PEMERIKSAAN KESEHATAN POST-MORTEM 2.1 Pengertian dan Tujuan Pemeriksaan Post-Mortem Yang dimaksud dengan pemeriksaan kesehatan post-mortem adalah pemeriksaan kesehatan ternak setelah disembelih. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 292

295 Tujuan pemeriksaan post-mortem adalah (Dirkesmavet, 2005) : 1) Memberikan jaminan bahwa karkas, daging dan jeroan yang dihasilkan aman dan layak dikonsumsi. 2) Mencegah beredarnya bagian/jaringan abnormal yang berasal dari pemotongan hewan sakit, misalnya pada kasus cacing hati, cysticercosis, tuberculosis, brucellosis, coryza ganggraenosa bovum, haemorrhagic septicemic, piroplasmosis, surra, arthritis, hernia, fracture, abcess, actinomycosis, actinobacillosis, mastitis, septichaemia, cachexia, hydrops, oedema, dan ephitelimia. 3) Memberikan informasi untuk penelusuran penyakit di daerah asal ternak. 2.2 Pelaksana, Tempat dan Peralatan Petugas yang dapat melakukan pemeriksaan post-mortem adalah 1) dokter hewan berwenang yang ditunjuk, dan 2) Keurmaster/juru uji daging yang ditunjuk dan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang. Untuk melakukan pemriksaan post-mortem diperlukan : a) Jas laboratorium putih yang bersih, apron dan sepatu bot b) Penerangan yang cukup (intensitas cahaya pada tempat pemeriksaan minimum 540 luks) atau pemeriksa dapat mengidentifikasi/melihat prubahan warna pada organ misalnya pucat atau kemerahan, c) Meja porselin/stainless steel d) Pengait kepala dan jeroan e) Pisau yang tajam dan pengasah pisau, f) Sarana air bersih dan saniter atau air panas (>82C) untuk mensucihamakan pisau, g) Tempat penampung bagian-bagian atau organ yang diafkir, Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 293

296 h) Plastik specimen untuk pengambilan sample organ yang dicurigai. Semua peralatan harus dibersihkan dan disuci-hamakan sebelum dan sesudah digunakan untuk pemeriksaan, serta jika tercemar van atau jeringan yang diduga mengandung bibit penyakit. Pemeriksaan kesehatan post-mortem dibagi dua, yaitu : 1) pemeriksaan rutin, dan 2) pemeriksaan khusus. Pemeriksaan rutin dilaksanakan dengan intensitas normal setiap hari meliputi pemeriksaan kesehatan kepala ternak, dan kelenjar getah bening (limfoglandula) yang terdapat di dalamnya, pemeriksaan limfoglandula praescapularis, limfoglandula praefemoralis, limfoglandula visceralis, pemeriksaan organ-organ tubuh, pemeriksaan permukaan karkas, pleura, dan potongan-potongan karkas. Sedangkan pemeriksaan khusus adalah pemeriksaan yang lebih seksama terhadap karkas dan organ-organ tubuh dari ternak yang lebih dicurigai pada pemeriksaan ante-mortem. Ternak-ternak yang mendapat pemeriksaan khusus ini termasuk kelompok ternak yang dipotong darurat (emergency slaughter), baik karena mengalami kelainan lokal atau karena kondisi kesehatannya meragukan, sehingga perlu mendapat pemeriksaan yang lebih teliti setelah disembelih. 2.3 Prosedur Pemeriksaan Post-Mortem Pemeriksaan post-mortem dilaksanakan segera sesudah selesai penyembelihan sampai dengan proses pembelahan karkas. Menurut Arka dkk. (1985), pemeriksaan kesehatan kepala ternak meliputi pemeriksaan pada permukaan luarnya, apakah ada kelainan (pembengkakan, abses) atau luka-luka. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap indicator Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 294

297 penyakit dan abnormalitas yang mungkin ditemukan. Indikator penyakit yang terdapat pada kepala ternak meliputi pemeriksaan limfoglandula mandibularis yang terletak pada pipi bagian bawah, dekat kelenjar liur, limfoglandula parotis yang terletak di atas otot pipi (musculus masetter) dan limfoglandula supra/retropharyngealis yang terletak di bagian atas (superior) pharynx. Untuk memastikan apakah bagian kepala ternak ini tidak mengalami penyakit infeksi, maka semua limfoglandula tersebut harus sehat, tidak mengalami pembengkakan/hipertrofi atau pengecilan/rudimenter, peradangan, pedarahan, atau pernanahan. Adakalanya pada bagian kepala ternak menderita infestasi parasit. Untuk memastikan ada tidaknya infestasi parasit pada bagian kepala ternak, dapat dilihat pada bagian mata (cacing Thelazia sp). Adanya cysticercus pada bagian kepala ternak dapat diperiksa secara teliti pada otot pipi, dan otot pangkal lidah. Otot pipi diiris bagian luar dan bagian dalamnya sejajar dengan tulang rahang bawah (os mandibula). Permukaan lidah diperiksa, apakah terdapat peradangan, abses dan lain-lain. Konsistensi jeringan masa lidah dipalpasi, apakah terdapat pengerasan, pembengkakan dan lain-lain. Jika bagian kepala terinfestasi oleh cacing gelembung/cysticercus maka akan terlihat adanya benjolan-benjolan kecil sebesar biji jagung/beras pada otot pipi dan otot lidah yang dikenal dengan istilah beberasan (Arka dkk., 1985). Menurut Dirkesmavet (2005), tahapan pemeriksaan post-mortem adalah sebagai berikut : (1) Pemeriksaan kepala dan lidah a. Kepala yang sudah dipisahkan dari badan hewan digantung dengan kait pada hidung dengan bagian rahang bawah menghadap ke arah Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 295

298 pemeriksa. Seluruh bagian kepala termasuk lubang hidung dan telinga diinspeksi dan dipalpasi. b. Lidah dikeluarkan dengan cara menyayat dengan bentuk huruf V dari dagu sejajar ke kedua siku mandibula. Lidah ditarik dan dilakukan penyayatan pada pangkal kedua sisi lidah kemudian ditarik ke bawah sehingga bagian pangkal lidah terlihat jelas. c. Lidah kemudian diinspeksi, dipalpasi, dan dikerok pada permukaan lidah untuk melihat kerapuhan papila lidah dan jika diperlukan dilakukan penyayatan di bagian bawah lidah untuk melihat adanya cysticercus bovis dan Actinobacillosis. Perhatikan selaput lendir dan palatum (langit-langit) dan bibir. d. Limfoglandula retropharyngealis, tonsil, lgl.parotideus, lgl.submaxillaris, dan lgl.mandibularis diinspeksi, dipalpasi dan jika perlu disayat melintang. Untuk melihat apakah limfoglandula normal (konsistensi kenyal, ukuran normal, lokasi tidak terfixir dan apabila disayat warna putih dikelingi zona coklat/hitam) atau terdapat kelainan. Gambar 82. Pemeriksaan Kepala e. Penyayatan otot masetter internus dan masetter externus sejajar tulanga rahang untuk memeriksa adanya kista cysticercus dan actinomycosis pada tulang mandibula. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 296

299 (2) Pemeriksaan Trachea dan Paru Pemeriksaan trachea dilakukan dengan inspeksi dan insisi pada bagian pertemuan cincin tulang rawan, untuk melihat kemungkinan kelainan pada mukosa, lumen, peradangan, buih, dan infestasi cacing. Paru harus digantungkan pada kait, kemudian dilakukan inspeksi dengan mengamati seluruh permukaan paru dan kemungkinan adanya perubahan warna. Selanjutnya dilakukan palpasi dan insisi pada kedua lobus paru untuk mendeteksi kemungkinan adanya sarang-sarang tuberculosis, cacing, tumor atau abses dan dan pemeriksaan lgl.mediastinalis cranialis dan lgl.mediastinalis caudatus dan lgl.bifurcatio trachealis dextra/sinistra (lgl.bronchialis). Paru yang sehat akan memperlihatkan warna merang terang (pink), konsistensi lunak dan terdapat suara krepitasi pada saat dipalpasi. Gambar 83. Pemeriksaan Paru-paru Menurut Arka dkk. (1985), organ paru-paru yang sehat pada pemeriksaan secara langsung/inspeksi terlihat berwarna merah muda/pink, bentuknya terdiri atas banyak lobus (multilobularis). Pada waktu dipalpasi, yaitu dipegang dan diremas-remas, konsistensinya terasa seperti spon atau bunga karang karena pada bagian alveoli banyak terdapat udara. Untuk memastikan apakah paru-paru tersebut benar-benar sehat, maka dilakukan irisan pada limfoglandula bronchialis yang terletak pada bagian bronchus kiri dan kanan dari paru-paru, dan limfoglandula mediastinalis yang terdapat Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 297

300 ditengah-tengah memanjang antara lobus kiri dan kanan dari paru-paru, bentuknya pipih. Jika kedua limfoglandula ini tidak menunjukkan adanya perubahan (tidak membesar/mengecil, meradang, berdarah, bernanah), maka ini menunjukkan bahwa paru-paru tersebut sehat/tidak mengalami infeksi. Irisan juga perla dilakukan dari dasar paru-paru sampai bagian ujungnya (apex) untuk melihat kemungkinan adanya aspirasi, misalnya darah atau sisa makanan yang masuk ke dalam paru-paru saat penyembelihan. (3) Pemeriksaan Jantung Dilakukan inspeksi dan palpasi untuk mengamati kemungkinan adanya peradangan selaput jantung (pericarditis). Selanjutnya dilakukan penyayatan pericardium untuk melihat adanya cairan pericardium. Kemudian dilakukan insisi otot jantung (myocardium) sejajar dengan sulcus coronarius (antara ventrikel kanan dan ventrikel kiri) untuk melihat degenerasi, peradangan dan infestasi cacing (Echinococcus dan Cysticercus). Gambar 84. Pemeriksaan Jantung Menurut Arka dkk. (1985), pemeriksaan jantung dapat dilakukan dengan pengamatan langsung, yaitu melihat warna dan bentuk dari jantung tersebut. Jantung yang sehat berwarna coklat sampai sawomateng, bentuknya, pada bagian apex-nya meruncing. Pada waktu dipegang dan diremas-remas, konsistensi jantung terasa sangat kenyal/liat karena otot jantung selalu berkontraksi sehingga mengalami hipertrofi (bertambah besar) dan hiperflasi (bertambah banyak). Untuk memastikan apakah jantung tersebut benar-benar Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 298

301 sehat, maka dilakukan irisan dari dari dasar sampai ke ujung jantung dengan arah tegak lurus terhadap bidang pemisah atrium dan ventrikel. Bekuan darah yang ada pada jantung dikeluarkan, karena merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan mikroba yang dapat memperpendek masa simpan jantung. Diperiksa bidang sayatan pada otot jantung (myocardium) apakah ada perdarahan berupa ptechiae atau echimosae, atau kelainan-kelainan misalnya cysticercosis, Echinococcosis dan lain-lain. Myocardium yang lembek, biasanya akibat ternak menderita sepsis. (4) Pemeriksaan Alat pencernaan dan Esofagus Usus dan lambung segera dikeluarkan setelah dilakukan pengulitan. Pemeriksaan dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya pembengkakan lgl.mesenterica. Usus disayat untuk melihat lumen dan mukosa usus terhadap kemungkinan perdarahan dan infestasi cacing. Pemeriksaan esofagus dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan insisi untuk melihat kemungkinan adanya cysticercus dan sarcosporidia pada lumen esofagus. Gambar 83. Pemeriksaan Rumen, Retikulum, Omasum dan Abomasum Menurut Arka dkk. (1985), lambung dan usus yang sehat, secara inspeksi terlihat selaput serosanya licin mengkilap. Limfoglandula mesentericus diamati dan disayat sebagai indikator adanya penyakit atau penyimpangan-penyimpangan lainnya. Limfoglandula ini terletak pada lemak mesenterium sepanjang curvatura Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 299

302 minor usus, merupakan rantai bersambung dari abomasum sampai caecum. Penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi pada saluran pencernaan dapat berupa bintik TBC, gastritis, enteritis dan lain-lainnya. Gambar 86. Pemeriksaan dan Penyayatan Lgl. Mesenterica (5) Pemeriksaan Hati Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada seluruh lobus hati untuk melihat warna, ukuran, konsistensi dan kelainan-kelainan. Jika perlu dilakukan penyayatan. Pemeriksaan kesehatan hati yang sehat dengan pengamatan langsung terlihat permukaannya rata, licin, mengkilat, tepi-tepinya tipis dan tajam, parenkimnya berwarna merah coklat sawomateng. Hati terdiri atas 5 (lima) lobus (multi lobularis) yang berwarna coklat sampai sawomateng. Hati dipalpasi untuk mengetahui konsistensi dan untuk mengetahui keadaan abnormal yang terdapat pada bagian luar dan bagian dalam hati.. Hati yang sehat, konsistensinya padat elastis. Sebagai indicator pada hati adalah limfoglandula portalis (jumlahnya 3-5 buah) terletak pada bagian dorsal hati, melekat pada jaringan lemak disekitar pembuluh darah (vena porta). Limfoglandula portalis disayat satu-persatu sebagai indicator kemungkinan adanya kelainan pada hati. Demikian pula pembuluh empedu besar disayat untuk memeriksa kemungkinan adanya infestasi cacing hati. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 300

303 Gambar 87. Pemeriksaan Hati (6) Pemeriksaan Limpa Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada seluruh permukaan limpa untuk melihat warna, ukuran limpa, dan konsistensi. Jika perlu dilakukan insisi. Kemungkinan yang diperlukan antara lain adanya pembengkakan, kerapuhan, kista hidatid dan anthrax. Gambar 88. Pemeriksaan Limpa Menurut Arka dkk. (1985), limpa yang sehat (normal) berbentuk pipih, tipis dan memanjang. Bila dipalpasi, konsistensinya terasa lembut elastis. Tepitepi tipis dan tajam, warnanya abu-abu kebiruan atau Madang-kadang sawomateng. Parenkimnya berwarna merah tua dengan konsistensi lembut elastis. Penyimpangan yang mungkin terjadi pada limpa antara lain limpa membesar/membengkak, kinsistensinya keras, tepi-tepinya tumpul, warnanya berubah, dan usapan pada parenkimnya rapuh. Irisan pada limpa dibuat ditengahtengah secara memanjang, pada limpa yang sehat, bidang irisannya terlihat kering. (7) Pemeriksaan Ambing dan Karkas Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 301

304 Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi dan palpasi untuk melihat adanya pembengkakan, lepuh-lepuh pada puting dan kulit ambing. Kemungkinan yang ditemukan antara lain adanya mastitis dan cacar. Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada seluruh permukaan bagian luar dan dalam karkas serta limfoglandula untuk mengetahui kondisi karkas (cachexia), hemoragi, memar, fraktura, ikterus (terutama dapat dilihat pada tendo dan mukosa), oedema, kista cacing dan pembengkakan limfoglandula. Jika perlu dilakukan penyayatan pada m.intercostalis dan diafragma untuk melihat kemungkinan adanya cysticercus. Limfoglandula yang diperiksa pada karkas antara lain : Gambar 89. Limfoglandula pada Karkas yang Diperiksa a) Lgl. Prescapularis superior (terletak diantara dada, leher dan kaki depan), b) Lgl. Supramammaria (terletak disekitar ambing), c) Lgl. Axillaris propius (terletak diketiak antara kaki depan dan dada), Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 302

305 d) Lgl. Popliteus (terletak di atas otot gastrocnemius, antara otot-otot daging biceps femoris dan semitendonosus (disekitar paha bagian belakang), e) Lgl, Ischiadicus (terletak disekitar daerah pinggul). Menurut Arka dkk. (1985), pemeriksaan kesehatan karkas dilakukan dengan mengamati bagian permukaannya, apakah terdapat lecet-lecet, luka-luka dan kelainan lainnya. Demikian pula pemeriksaan dilakukan pada rongga dada dan rongga perut. Dalam keadaan sehat, selaput serosa rongga dada dan rongga perut terlihat licin dan mengkilat. Bagian-bagian karmas yang mencurigakan dapat dipalpasi untuk mengetahi konsistensinya. Indikator adanya infeksi kuman (penyakit) pada karkas yaitu 1) limfoglandula praescapularis yang terletak sedikit di atas persendian pundak, agak tertanam ke dalam bantalan lemak, serta tertutup oleh otot brachicephalicus (berbentuk lonjong dan berukuran besar), 2) limfoglandula praefemoralis terletak sekitar cm di atas patella (tempurung lutut). Limfoglandula ini berbentuk lonjong, memanjang serta pipih, 3) limfoglandula ingualis superficiales yang terletak di leer scrotum disebelah penis, di depan cincin inguinal. Limfoglandula ini tertanam di dalam lemak scrotum pada ternak jantan yang dikastrasi (dikebrii). Pemeriksaan terhadap kemungkinan karmas terinfestasi oleh parasit (cacing gelembung/cisticercosis), dapat dibuktikan dengan mengiris pada otot antariga (intercostae) dan otot diafragma. (8) Pemeriksaan Ginjal Pemeriksan dilakukan dengan inspeksi dan palpasi untuk mengetahui adanya pembengkakan, oedema, dan peradangan. Jika perlu dilakukan penyayatan. Kemungknan yang ditemukan antara laian nefritis, tumor, kista dan calculi renalis. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 303

306 Menurut Arka dkk. (1985), secara inspeksi, ginjal yang sehat terlihat berwarna coklat, bentuknya menyerupai kacang. Jika dipalpasi konsistensinya terasa kenyal. Ginjal yang sehat, selaputnya mudah dikupas (tidak lengket). Irisan pada ginjal dilakukan di tengah-tengah secara memanjang, dan diperiksa bidang irisan ginjal, yaitu pada bagian cortex dan medullanya. Pada bagian medulla, kemungkinan terdapat batu ginjal, cacing atau timbunan lemak. Indikator adanya penyakit pada ginjal dapat dilihat pada limfoglandula renalis. Limfoglandula ini diiris untuk melihat apakah ada peradangan atau kelainan lainnya. 2.4 Keputusan Pemeriksaan Post-Mortem Keputusan akhir pemeriksaan post-mortem pa karkas dan bagian-bagiannya didasarkan atas hasil seluruh pengamatan (inspeksi) palpasi, dan pengirisan, membaui, tanda-tanda ante-mortem dan pemeriksaan laboratorium bila diperlukan. Bila tidak ditemukan adanya kelainan pada karkas dan jeroannya yang disebabkan oleh penyakit atau ketidak normalan lainnya, maka selanjutnya karkas lulus uji dan dianggap layak untuk dikonsumsi dan diberi cap. Formula tinta yang digunakan untuk stempel/cap pada daging yang dinyatakan lulus pemeriksaan adalah : alkohol absolut.. 50 cc Gliserin 250 cc Kristal violet...50 cc Akuades ad cc Pada kelainan yang dianggap lokal, karkas diijinkan untuk dikonsumsi bila kelainan tersebut telah dihilangkan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 304

307 Tabel 19. Keputusan Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Post-Mortem Hasil Pemeriksaan * Daging dari hewan yang tidak menderita penyakit * Daging dari hewan potong yang menderita penyakit bersifat local, setelah bagian yang tidak layak dibuang * Daging dari hewan potong yang menderita penyakit akut, seperti anthrax, malleus, rabies, tetanus, radang paha, blue tangue akut dll * Daging yang warna, baud an konsistensinya tidak normal, seperti kasus septichaemia, cahexia, hydrops dan oedema. *Daging dari hewan yang menderita trichenellosis, cysticercosis, babesiosis, surra, sarcosporidiosis, brucellosis, tuberculoais dan ingus jahat. Keputusan Baik untuk dikonsumsi manusia Ditolak untuk dikonsumsi manusia Dapat dikonsumsi manusia setelah bagian yang tidak layak dikonsumsi dibuang Dapat dikonsumsi manusia setelah mendapat perlakukan pemanasan sebelum diedarkan Menurut Arka dkk. (1985), konklusi/kesimpulan akhir dari hasil pemeriksaan post-mortem, dapat digolongkan atas : 1. Karkas dan organ-organ tubuh yang sehat dapat diteruskan ke pasaran umum untuk dikonsumsi masyarakat. 2. Karkas dan organ-organ tubuh yang mencurigakan ditahan untuk pemeriksaan final yang lebih seksama. 3. Bagian-bagian yang sakit dan abnormal secara local hendaknya disayat dan disingkirkan (sfkir), sedangkan selebihnya dapat diteruskan ke pasaran umum. 4. Karkas dan organ-organ tubuh yang sakit dan abnormal secara umum/ keseluruhan, maka karkas dan organ-organ tubuh tersebut disingkirkan (afkir) semuanya. 5. Karkas dan organ-organ tubuh yang sehat akan akan diteruskan ke pasaran umum diberi cap Baik. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 305

308 Untuk memperoleh daging yang sehat dan bermutu baik, maka semua proses sebelum pemotongan sampai rantai pemasarannya harus mendapatkan pengawasan dan pemeriksaan yang ketat. Prose tersebut dimulai dari : 1) Pemeriksaan kesehatan ternak sebelum disembelih (Ante-mortem) Ternak yang akan disembelih harus benar-benar sehat, normal dan memenuhi syarat (tidak melanggar peraturan pemotongan). 2) Tenaga personal Rumah potong, harus memeriksakan kesehatan secara berkala, dan harus memiliki keterampilan dalam memotong ternak. 3) Pemotong harus mengikuti prinsip-prinsip dasar dalam pemotongan ternak, seperti : a. ternak harus diistirahatkan sebelum dipotong b. ternak harus dipuasakan sebelum dipotong c. pemotongan humanis (animal welfare) d. penorehan leher sesingkat mungkin. e. Pengeluaran darah semaksimal mungkin. f. Pekerjaan dilakukan sebersih mungkin. g. Pekerjaan daging harus terpisah dengan pekerjaan kotor 4) Daging yang dihasilkan dari RPH harus diangkut dengan menggunakan alat angkutan daging khusus (Idealnya berupa bus tertutup yang dilengkapi dinding aluminium, kait penggantung karkas dan pendingin ruangan). 5) Daging tersebut hendaknya dijual dikios-kios daging khusus yang memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 306

309 Beberapa gambar kelainan pada karkas dan organ : Gambar 90 : Kista pada Otot Masseter (pada bagian dalam otot dapat ditemukan adanya pengerasan/benjolan) Gambar 91 : Pembengkakan Limpa (limpa lebih besar dan lebih berwarna gelap dibandingkan dengan limpa normal) Gambar 92: Pembengkakan Limfoglandula Mesenterica (Limfoglandula bengkak, keras dan terfiksir) Gambar 93 : Tubercullosis pada Peru-paru (Adanya bungkul-bungkul di paru-paru disertai bintik putih pada hati) Buku Pedoman PPDH-Kesmavet 307

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1977 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1977 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 1977 TENTANG PENOLAKAN, PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN, DAN PENGOBATAN PENYAKIT HEWAN PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa ternak sebagai sumber produksi untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

PENOLAKAN, PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN, DAN PENGOBATAN PENYAKIT HEWAN Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1977 tanggal 16 Maret 1977

PENOLAKAN, PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN, DAN PENGOBATAN PENYAKIT HEWAN Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1977 tanggal 16 Maret 1977 PENOLAKAN, PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN, DAN PENGOBATAN PENYAKIT HEWAN Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1977 tanggal 16 Maret 1977 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ternak sebagai sumber produksi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1977

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1977 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1977 TENTANG PENOLAKAN, PENCEGAHAN, PEMEBRANTASAN DAN PENGOBATAN PENYAKIT HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 65 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN RUMINANSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 102 TAHUN 2001 SERI D.99 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 27 TAHUN 2001 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 102 TAHUN 2001 SERI D.99 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 27 TAHUN 2001 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 102 TAHUN 2001 SERI D.99 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 27 TAHUN 2001 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS RUMAH POTONG HEWAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG RUMAH PEMOTONGAN HEWAN, UNGGAS DAN PELAYANAN TEKHNIS DIBIDANG PETERNAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA MAGELANG

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG RETRIBUSI RUMAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI Hasil Rapat Bersama DPRD Tanggal 21 Juli 2008 LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI Nomor : 12 Tahun 2008 Seri : B Nomor 06 PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG IZIN USAHA PETERNAKAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN DAN PENANGANAN DAGING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : a. b. c.

Lebih terperinci

WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH TINGKAT II YOGYAKARTA

WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH TINGKAT II YOGYAKARTA LEMBARAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II YOGYAKARTA (Berita Resmi Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta) Nomor : 4 Tahun 1999 Seri : D - ---------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH LAUT,

PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH LAUT, PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa dalam rangka optimalisasi pelaksanaan Peraturan daerah Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN YAPEN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN YAPEN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN YAPEN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PEREDARAN TERNAK/HEWAN, BAHAN ASAL TERNAK/HEWAN DAN HASIL BAHAN ASAL TERNAK/HEWAN DI WILAYAH KABUPATEN

Lebih terperinci

Klik Dibatalkan dan Ditindaklanjuti dgn Instruksi Bupati No 8 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG

Klik Dibatalkan dan Ditindaklanjuti dgn Instruksi Bupati No 8 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG Klik Dibatalkan dan Ditindaklanjuti dgn Instruksi Bupati No 8 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI IJIN PEMOTONGAN TERNAK DAN PENANGANAN DAGING SERTA HASIL

Lebih terperinci

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG BUPATI MALANG, BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS (UPTD) RUMAH POTONG HEWAN (RPH) PADA DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II SURAKARTA NOMOR : 10 TAHUN : 1996 SERI : D NO : 10 PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II SURAKARTA

LEMBARAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II SURAKARTA NOMOR : 10 TAHUN : 1996 SERI : D NO : 10 PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II SURAKARTA LEMBARAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II SURAKARTA NOMOR : 10 TAHUN : 1996 SERI : D NO : 10 PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II SURAKARTA NOMOR 3 TAHUN 1996 TENTANG PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN

Lebih terperinci

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF 1 GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PENGELOLAAN RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PENGELOLAAN RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PENGELOLAAN RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONE, Menimbang : a. bahwa untuk lebih meningkatkan penerimaan

Lebih terperinci

*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 82/2000, KARANTINA HEWAN *37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional maka peternakan yang merupakan salah satu faktor penunjang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 08 TAHUN 2009 BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN BONE PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 08 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 08 TAHUN 2009 BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN BONE PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 08 TAHUN 2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 08 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 08 TAHUN 2009 T E N T A N G RETRIBUSI PENGELOLAAN RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DISUSUN OLEH BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU UTARA

GUBERNUR MALUKU UTARA PERATURAN GUBERNUR MALUKU UTARA NOMOR : 17 TAHUN 2007 TENTANG PENGENDALIAN LALU LINTAS, PEMELIHARAAN DAN PEREDARAN UNGGAS DI WILAYAH PROPINSI MALUKU UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI Hasil Rapat Bersama DPRD Tanggal 21 Juli 2008 LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI Nomor : 10 Tahun 2008 Seri : D Nomor 06 PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMELIHARAAN TERNAK DAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK Ketentuan Retribusi dicabut dengan Perda Nomor 2Tahun 2012 PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH POTONG UNGGAS

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH POTONG UNGGAS WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH POTONG UNGGAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PENANGANAN DAGING DAN HEWAN POTONG SERTA HASIL IKUTANNYA DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Menimbang PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, : a. bahwa rabies merupakan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 1. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 6 TAHUN 2000 T E N T A N G RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 6 TAHUN 2000 T E N T A N G RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 6 TAHUN 2000 T E N T A N G RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG Menimbang : a. bahwa dengan telah ditetapkannya Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN, PENGANGKUTAN DAN PENJUALAN DAGING DALAM WILAYAH KOTA PONTIANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 17

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 17 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 17 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN HEWAN DAN BAHAN ASAL HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1977 TENTANG USAHA PETERNAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional maka peternakan yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 38 TAHUN 2000 TENTANG IZIN USAHA PEMOTONGAN HEWAN, PENJUALAN DAGING HEWAN DAN USAHA PEMOTONGAN UNGGAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 38 TAHUN 2000 TENTANG IZIN USAHA PEMOTONGAN HEWAN, PENJUALAN DAGING HEWAN DAN USAHA PEMOTONGAN UNGGAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 38 TAHUN 2000 TENTANG IZIN USAHA PEMOTONGAN HEWAN, PENJUALAN DAGING HEWAN DAN USAHA PEMOTONGAN UNGGAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, Menimbang :

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 06 TAHUN 2006 Menimbang Mengingat TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN MENULAR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN 1 PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 2 TAHUN 2011 T E N T A N G RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG, Menimbang :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan yang dilaksakan pada hakekatnya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 3 TAHUN 1994 SERI D NO. 1

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 3 TAHUN 1994 SERI D NO. 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 3 TAHUN 1994 SERI D NO. 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 1993 TENTANG RETRIBUSI SUSU TERNAK DENGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI Menimbang : a.

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN HEWAN DAN PENANGANAN DAGING

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN HEWAN DAN PENANGANAN DAGING 1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN HEWAN DAN PENANGANAN DAGING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 5 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN (DICABUT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 5 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN (DICABUT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 5 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN (DICABUT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan kebutuhan masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 1992 TENTANG OBAT HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 1992 TENTANG OBAT HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 1992 TENTANG OBAT HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Mengingat: a. bahwa untuk lebih meningkatkan kesehatan dan produksi peternakan diperlukan tersedianya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1984 TENTANG WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1984 TENTANG WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1984 TENTANG WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, enimbang: a. bahwa terwujudnya tingkat kesehatan yang setinggi-tingginya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 2 SERI C PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN DAN PEMOTONGAN HEWAN

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 2 SERI C PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN DAN PEMOTONGAN HEWAN LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 2 SERI C PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN DAN PEMOTONGAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BOGOR,

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PANGAN SEGAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG OTORITAS VETERINER KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG OTORITAS VETERINER KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, BUPATI BADUNG NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG OTORITAS VETERINER KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : Mengingat : a. b. c. d. 1. 2. 3. bahwa hewan merupakan karunia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, Menimbang : a.bahwa penyakit rabies merupakan penyakit

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS HEWAN DAN PRODUK HEWAN GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS HEWAN DAN PRODUK HEWAN GUBERNUR BANTEN, PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS HEWAN DAN PRODUK HEWAN GUBERNUR BANTEN, Menimbang: a. bahwa untuk menjamin perlindungan terhadap kesehatan hewan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK Pada umumnya sumber pangan asal ternak dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) macam, yaitu berupa daging (terdiri dari berbagai spesies hewan yang lazim dimanfaatkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PEMERINTAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 1997 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN PEMBERIAN IZIN DAN PENDAFTARAN USAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 06 TAHUN 2007 TENTANG USAHA PETERNAKAN DAN PENERTIBAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 06 TAHUN 2007 TENTANG USAHA PETERNAKAN DAN PENERTIBAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 06 TAHUN 2007 TENTANG USAHA PETERNAKAN DAN PENERTIBAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1.

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG - 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA BUPATI PASAMAN BARAT Menimbang : a. bahwa Rabies adalah merupakan

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR : 7 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU,

PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR : 7 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU, PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR : 7 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU, Menimbang : a. bahwa Rancangan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 50 TAHUN : 2005 SERI : C

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 50 TAHUN : 2005 SERI : C LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 50 TAHUN : 2005 SERI : C PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PELAYANAN DI BIDANG PETERNAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIMAHI Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES 1 WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PARIAMAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERANAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) SEBAGAI PERSYARATAN DASAR UNTUK PRODUKSI PANGAN HEWANI YANG AMAN, SEHAT, UTUH DAN HALAL (ASUH)**

PERANAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) SEBAGAI PERSYARATAN DASAR UNTUK PRODUKSI PANGAN HEWANI YANG AMAN, SEHAT, UTUH DAN HALAL (ASUH)** PERANAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) SEBAGAI PERSYARATAN DASAR UNTUK PRODUKSI PANGAN HEWANI YANG AMAN, SEHAT, UTUH DAN HALAL (ASUH)** Oleh : Dr.drh. I Wayan Suardana, MSi* *Dosen Bagan Kesmavet Fakultas

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH, BIBIT TERNAK, DAN TERNAK POTONG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN DAN PEREDARAN BAHAN BERBAHAYA YANG DISALAHGUNAKAN DALAM PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.20, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Otoritas Veteriner. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6019) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG IZIN USAHA PETERNAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa untuk menjamin kepastian berusaha

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang: a. bahwa ternak sapi dan kerbau

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR : 2 TAHUN 2000 SERI : B PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 22 TAHUN 2000 T E N T A N G

LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR : 2 TAHUN 2000 SERI : B PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 22 TAHUN 2000 T E N T A N G LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G SALINAN NOMOR : 2 TAHUN 2000 SERI : B PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 22 TAHUN 2000 T E N T A N G RETRIBUSI PEMERIKSAAN HEWAN TERNAK, HASIL TERNAK DAN HASIL

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN KANTOR SERTA SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KABUPATEN BENGKAYANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (PERDA DIY) NOMOR : 15 TAHUN 1987 (15/1987) TENTANG USAHA PETERNAKAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (PERDA DIY) NOMOR : 15 TAHUN 1987 (15/1987) TENTANG USAHA PETERNAKAN PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (PERDA DIY) NOMOR : 15 TAHUN 1987 (15/1987) TENTANG USAHA PETERNAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 8 TAHUN 2008 SERI : B NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 8 TAHUN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA,

Lebih terperinci

DINAS PETERNAKAN KABUPATEN KUPANG. Bagian Pertama. Dinas. Pasal 21

DINAS PETERNAKAN KABUPATEN KUPANG. Bagian Pertama. Dinas. Pasal 21 DINAS PETERNAKAN KABUPATEN KUPANG Bagian Pertama Dinas Pasal 21 Dinas Peternakan mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam melaksanakan sebagian urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa kesehatan hewan memiliki

Lebih terperinci

1 of 5 02/09/09 11:07

1 of 5 02/09/09 11:07 Home Galeri Foto Galeri Video klip Peraturan Daerah Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 06 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa rabies merupakan penyakit menular yang dapat menyerang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DAN LALU LINTAS TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DAN LALU LINTAS TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DAN LALU LINTAS TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa dalam upaya memberikan pelayanan

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 141 TAHUN 2009 TENTANG

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 141 TAHUN 2009 TENTANG WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 141 TAHUN 2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN DAN PENANGANAN DAGING WALIKOTA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG TINDAKAN KARANTINA HEWAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN HASIL BAHAN ASAL HEWAN KONSUMSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

USAHA PETERNAKAN DAN PEMELIHARAAN TERNAK

USAHA PETERNAKAN DAN PEMELIHARAAN TERNAK PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG USAHA PETERNAKAN DAN PEMELIHARAAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAREPARE, Menimbang : a. bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PEMERII{TAH KOTA DUMAI

PEMERII{TAH KOTA DUMAI Hasil Rapt kmma DPRD Tanggal21 Juli 2008 PEMERII{TAH KOTA DUMAI PEMTURAN DAEMH KOTA DUMAI NOMOR J2 TAHUN 2OOB TENTANG IZIN USAHA PETERNAKAN DENGAN RAHMATTUHAN YANG MAHA ESA WAUKOTA DUMAI, Menimbang :4.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 21 TAHUN 1994

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 21 TAHUN 1994 PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENGAWASAN PEMOTONGAN TERNAK DAN PENANGANAN DAGING SERTA HASIL IKUTANNYA DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG. Nomor : 3 Tahun 1985 Seri B No. 2 Pada tanggal 21 Januari 1985 S A L I N A N

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG. Nomor : 3 Tahun 1985 Seri B No. 2 Pada tanggal 21 Januari 1985 S A L I N A N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG Nomor : 3 Tahun 1985 Seri B No. 2 Pada tanggal 21 Januari 1985 S A L I N A N PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 4 TAHUN 1984 TENTANG

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 9 TAHUN 2007 SERI E.5 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2007

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 9 TAHUN 2007 SERI E.5 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2007 2 Menimbang : BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 9 TAHUN 2007 SERI E.5 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMELIHARAAN UNGGAS DI PEMUKIMAN MASYARAKAT BUPATI CIREBON a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi pembudidayaan perikanan

Lebih terperinci