TOKSISTAS AKUT EKSTRAK DIETIL ETER DAN EKSTRAK METANOL- AIR DARI HERBA PEGAGAN EMBUN (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.) TERHADAP Artemia salina Leach

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TOKSISTAS AKUT EKSTRAK DIETIL ETER DAN EKSTRAK METANOL- AIR DARI HERBA PEGAGAN EMBUN (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.) TERHADAP Artemia salina Leach"

Transkripsi

1 TOKSISTAS AKUT EKSTRAK DIETIL ETER DAN EKSTRAK METANOL- AIR DARI HERBA PEGAGAN EMBUN (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.) TERHADAP Artemia salina Leach SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) Program Studi Ilmu Farmasi Oleh: Maria Rosa Irma Budi Cahyani NIM : FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007

2 TOKSDTAS AKUT EKSTRAK DIETII, ETER DAII EKSTRAK METAIiOL AIR DARI mraa PDGAGAN E,MIIJN dmt4tp nnalntl\ lebeltdal A.tznl, talltu la.n Yeg dt:ajutea ol! : Mada Ros lr6a Budi Cdhyei NlM i YolEB Dwialu4a lvlsi Td98E1...,.,,

3 Psg6.l& strip6i Berjtdul ToKSIST/\S ATUT f,kstrai( DIETIL EITR DAN EKSITAK MDTANOI. ArR DARI EEnAA PEGAGAN ttmhatod.,l&l, TLSADAP -rrraiia Iach OI h: Mdir Ro$ Im Budi c.ltdi NIM 03El DiFtutatar di h!d4.n rditi! Penglji skip6i Uliv Eitar SMta Dh.m! Pad! tanggd l5 Agushts 2007 Yohr! s Dwidirla M.Si L Yot aesdwiarn t4 M.si.,w" 4\ 2. Chrisrim P.launi M.Si., Apt lp.ng DjtdErto, S.Si, Apt

4 iv Belajarlah pada-ku Karna Aku lembut dan rendah hati Dan jiwa-ku akan diam dalam damai abadi Kupersembahkan karya sederhana ini untuk: Tuhan Yang Maha Esa yang selalu memberkati kehidupanku Bapak, Ibu dan Kakakku yang senantiasa mendoakan dan mendukungku Frederikus Adi Prasetyo yang selalu menyiramiku dengan cinta kasih Serta almamaterku

5 TXf,NTATAAN I<EASI-IAN T(ARIA S!y. menyltata d6ngd sadeguhn bahw skipsi ydg sy. tulis ti.lal neiet t&ya a&! b{gim oarg bia t cuali }ug telrh diebutt! dabn tft'p.! do dan. post kr" sebaeri@ bylkirya kary. itdiab. Mnir Rosa Ima Bldi Crb@i

6 vi PRAKATA Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-nya yang berlimpah kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul TOKSISTAS AKUT EKSTRAK DIETIL ETER dan EKSTRAK METANOL-AIR dari HERBA PEGAGAN EMBUN (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.) terhadap Artemia salina Leach, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) pada Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, baik berupa moril, materiil maupun spirituil. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku pembimbing dan dosen penguji. Terima kasih atas bimbingan, masukan, waktu dan perhatiannya selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, perhatian, kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. 4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, perhatian, kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

7 vii 5. Bapak, Ibu, kakakku Indah, beserta keluarga FX. Sulistyono, S.Pd., MM yang telah memberikan dukungan baik material maupun spiritual. 6. Frederikus Adi Prasetyo, atas segala cinta dan semangat yang mampu membuatku bertahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Alm. Damianus Bramantyo Idaman, semoga kau berbahagia di sisi-nya. Terima kasih atas segala kebersamaan yang pernah terjalin walau hanya sebentar, namun akan selalu terkenang. 8. Devi, Komank, Titien, Ratna, Anien, terima kasih atas persahabatan dan kebersamaan dalam suka maupun duka. 9. Mbak Sinta, Lia, Mbak Dika, Mas Wondo, Apri, Novi, Hartono, kkn_merry dan kkn_iin terima kasih kerjasama, bantuan dan dukungannya. 10. Karyawan dan laboran Laboratorium (Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Andre, Mas Parlan, Mas Kunto dan Pak Mukmin) yang telah banyak membantu selama penelitian ini. 11. Semua angkatan 03 terlebih kelas B dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu selama penyelesaian skripsi ini. Semoga Tuhan senanatiasa melimpahkan berkat dan Rahmat-Nya atas segala kebaikan dan ketulusan yang telah diberikan.

8 viii Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan berbagai pihak. Yogyakarta, Penyusun

9 ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v PRAKATA... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv INTISARI... ABSTRACT... xv xvi BAB I. PENGANTAR... 1 A. Latar Belakang Perumusan masalah Keaslian penelitian Manfaat penelitian B. Tujuan Penelitian BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA A. Pegagan Embun Keterangan botani

10 x 2. Nama lokal Uraian tanaman Kandungan kimia... 6 B. Artemia salina Leach Keterangan zoologi Morfologi Lingkungan hidup Perkembangan dan siklus hidup Metode BST C. Apoptosis D. Penyarian E. Senyawa yang Diidentifikasi Terpenoid Flavonoid F. Kromatografi Lapis Tipis G. Keterangan Empiris BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel penelitian Definisi operasional C. Bahan dan Alat Penelitian... 23

11 xi 1. Bahan penelitian Alat Penelitian D. Tatacara Penelitian Determinasi herba pegagan embun Pengumpulan bahan Pembuatan simplisia Penyarian Pembuatan Air Laut Buatan (ALB) Penetasan telur Pembuatan larutan uji Uji toksisitas akut dengan metode BST Uji KLT ekstrak aktif pegagan embun Analisis hasil BAB IV. HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN A. Identifikasi Tanaman B. Pengumpulan Bahan C. Pembuatan Simplisia D. Penyarian Herba Pegagan Embun Menggunakan Pelarut Dietil Eter dan Metanol E. Air Laut Buatan (ALB) E. Penetasan Siste F. Toksisitas Akut dengan Metode BST... 39

12 xii G. Uji Kualitatif Ekstrak aktif dengan KLT BAB V. KESIMPULAN dan SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIOGRAFI PENULIS

13 xiii DAFTAR TABEL Tabel I. Kriteria ketoksikan akut Tabel II. Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak Dietil eter herba pegagan embun Tabel III. Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak metanol-air herba pegagan embun Tabel IV. Hasil KLT pemeriksaan terpenoid dalam ekstrak dietil eter herba pegagan embun Tabel V. Hasil KLT pemeriksaan flavonoid dalam ekstrak dietil eter herba pegagan embun... 53

14 xiv DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Bagian-bagian tubuh artemia dewasa... 7 Gambar 2. Siklus hidup artemia biseksual... 9 Gambar 3. Siklus sel Gambar 4. Bagan mekanisme terjadinya apoptosis Gambar 5. Mekanisme monoterpenoid menginduksi apoptosis Gambar 6. Mekanisme flavonoid menginduksi apoptosis Gambar 7. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak dietil eter herba pegagan embun Gambar 8. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak metanol-air herba pegagan embun Gambar 9. Reaksi vanilin asam sulfat untuk pemeriksaan senyawa terpenoid Gambar 10. Reaksi dengan uap amonia untuk pemeriksaan senyawa flavonoid... 54

15 xv INTISARI Penyakit kanker merupakan salah satu ancaman yang utama terhadap kesehatan. Kanker termasuk urutan kelima terbanyak sebagai penyebab kematian. Sedangkan sediaan antikanker hingga saat ini sangat terbatas, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian terhadap senyawa-senyawa antikanker yang baru. Herba pegagan embun (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.) diduga mengandung senyawa yang berkhasiat sebagai antikanker namun sampai saat ini belum ada penelitian mengenai hal ini. Untuk mengetahui aktivitas herba pegagan embun sebagai obat antikanker maka dilakukan uji pendahuluan dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethalithy Test (BST), yang dinyatakan dengan harga Median Lethal Concentration 50 (LC 50 ). Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan rancangan penelitian Posttest Only Control Group Design. Penelitian dilakukan dengan menggunakan ekstrak metanol-air dan ekstrak dietil eter herba pegagan embun. Ekstrak diperoleh dengan metode perkolasi. Sampel uji dibuat seri konsentrasi 125, 250, 500, 1000, dan 2000 µg/ml. Kontrol menggunakan air laut buatan, replikasi dilakukan 5 kali. Jumlah larva Artemia salina Leach yang mati pada tiap konsentrasi dihitung setelah 24 jam perlakuan. Nilai LC 50 dihitung dengan analisis probit. Ekstrak dikatakan toksik apabila harga LC µg/ml. Dari ekstrak yang paling toksik ( paling aktif ) dilakukan identifikasi menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung di dalamnya. Hasil penelitian menunjukkan harga LC 50 ekstrak metanol-air sebesar 769 µg/ml dan ekstrak dietil eter 229 µg/ml, sehingga ekstrak dietil eter lebih toksik dibandingkan ekstrak metanol-air. Identifikasi kandungan golongan senyawa dengan KLT menunjukkan bahwa ekstrak dietil eter mengandung flavonoid dan terpenoid. Kata kunci : Herba pegagan embun (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.), BST, Artemia, LC 50, KLT, flavonoid, terpenoid.

16 xvi ABSTRACT Cancer disease is one of the main threats for health. Cancer is included in the four biggest deathly causes. Meanwhile, the dosage of anti cancer is very limited nowadays, therefore it is necessary to find out some new anti cancer compounds. Pagagan embun herbs (Hydrcotyle sibthorpiodes Lmk.) is considered contains merit compounds as the anti cancer, but there is no research about it until now. For knowing the activity of Pegagan embun herbs as anti cancer medicine, it needs to do a preliminary examination using Brine Shrimp Lethality Test (BST) method, which is presented with the value Median Lethal Concentration 50 (LC50). This research is pure experimental with Posttest Only Control Group Design as the research design. This research is elaborated using water methanol extract and pegagan herbs diethyl ether extract. The extracts are gained through percolation method. Concentration serials of examination sample made are 125, 250, 500, 1000, and 2000 µg/ml. Control for the research used is artificial sea water and the replication is made 5 times. Number of Artemia salina larva Leach that dies in every concentration is counted after 24 hours of treatment. LC50 is counted using probit analysis. Extract is said to be toxic if the rate of LC µg/ml. From the most toxic extract (most active) is being identified using thin layer chromatography (TLC) to know the compounds type contained in it. The result of the research shows the LC 50 rate of water methanol extract as mush as 769 µg/ml and diethyl ether extract as much as 229 µg/ml, so that diethyl ether extract is more toxic than water methanol extract. The identification of compounds type using TLC shows that diethyl ether extract contains flavonoid and terpenoid. Keywords: Pegagan embun herbs (Hydrocotyle sibthorpodes Lmk), BST, Artemia, LC50, TLC, flavonoida, terpenoid.

17 1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Kanker adalah suatu penyakit sel dengan ciri atau gangguan atau kegagalan mekanisme pengatur multiplikasi dan fungsi homeostatis lainnya pada organisme multiseluler dan bersifat metastatis (Tanu, 1998). Sampai saat ini penyakit kanker masih menjadi salah satu penyakit yang ditakuti masyarakat. Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000) sampai saat ini masih sedikit sekali obat antikanker yang bekerja secara selektif untuk pengobatan jenis kanker tertentu. Berbagai usaha penganggulangan terhadap penyakit ini telah dilakukan namun hasil yang didapat belum maksimal, seperti pembedahan, terapi radiasi dan kemoterapi. Cara lain yang dipilih sebagian masyarakat adalah dengan memanfaatkan bahan alam. Salah satu penelitiannya dilakukan terhadap herba pegagan embun. Herba pegagan embun diduga mengandung senyawa yang berkhasiat sebagai antikanker (Anonim, 2002). Herba pegagan embun mengandung beberapa senyawa antara lain terpenoid minyak atsiri (trans-β-farnesene, β-pinene, α- pinene, β-caryophyllene, α-humulene, camphene, dan ocimene yang keberadaannya dinyatakan dalam monoterpenoid dan sesquiterpenoid) dan flavonoid. Aktivitas sitotoksik herba pegagan embun disebabkan karena adanya kandungan senyawa terpenoid (khususnya monoterpenoid dan sesquiterpenoid) dan flavonoid yang mampu menginduksi terjadinya apoptosis. Apoptosis adalah

18 2 program kematian sel. Terpenoid menginduksi apoptosis melalui jalur Fas/Fas ligand (Rajesh, Rachele, Stenzel and Howard, 2003) dan flavonoid menginduksi apoptosis dengan mencegah terjadinya mutasi p53 (Albert, Johnson, Lewis, Raff, Roberts and Walter, 2002). Kelarutan senyawa monoterpenoid dan sesquiterpenoid sangat besar dalam pelarut dietil eter (Harborne, 1987), sedangkan flavonoid sangat larut dalam metanol dan air. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air herba pegagan embun. Skrining aktivitas sitotoksik dari ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air herba pegagan embun dilakukan dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST). Prinsip metode ini adalah uji toksisitas akut terhadap larva Artemia salina L. dengan penentuan nilai LC 50 setelah perlakuan 24 jam (Meyer, Ferrigni, Putnam, Jacobsen, Nichols, and McLaughlin, 1982). Suatu senyawa dikatakan mempunyai potensi toksik jika nilai LC 50 < 1000 μg/ml. Keberadaan senyawa monoterpenoid dan sesquiterpenoid serta flavonoid di dalam ekstrak toksik herba pegagan embun dipastikan melalui profil Kromatografi Lapis Tipis. 1. Perumusan masalah a. Apakah ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air herba pegagan embun mempunyai potensi toksik terhadap larva artemia? b. Ekstrak manakah yang mempunyai potensi toksik lebih tinggi terhadap larva artemia? c. Golongan senyawa apakah yang terkandung dalam ekstrak toksik herba pegagan embun?

19 3 2. Keaslian penelitian Penelitian yang pernah dilakukan terhadap herba pegagan embun adalah isolasi dan identifikasi beberapa senyawa seperti monoterpenoid, sesquiterpenoid, fenol dan minyak atsiri menggunakan metode Gas Liquid Chromatography (GLC) oleh Anonim (2002). Telah diketahui bahwa kandungan dari herba pegagan embun berkhasiat sebagai antitumor (Anonim, 2002). Tetapi sejauh penelusuran pustaka, belum pernah dilakukan penelitian mengenai toksisitas akut ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air herba pegagan embun terhadap larva artemia. 3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang farmasi mengenai seberapa besar aktivitas ketoksikan dari ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air herba pegagan embun dengan metode BST. b. Manfaat praktis Ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air herba pegagan embun dapat digunakan sebagai bahan dalam skrining awal terhadap senyawa yang berpotensi sebagai antikanker dengan metode BST.

20 4 B. Tujuan Penelitian 1. Menetapkan nilai LC 50 ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air herba pegagan embun. 2. Mengetahui ekstrak mana yang mempunyai efek toksik lebih tinggi terhadap larva artemia. 3. Mengetahui golongan senyawa yang terkandung pada ekstrak toksik herba pegagan embun melalui profil kromatografi lapis tipis.

21 5 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Pegagan Embun 1. Keterangan botani Pegagan embun (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.) mempunyai sinonim Hydrocotyle rotundifolia, Roxb. dan Hydrocotyle formosana Masamune yang termasuk dalam familia Umbelliferae (Apiaceae) (Anonim, 2002). 2. Nama lokal Pegagan embun, antanan beurit, antanan lembut (Sunda); Andem, katepa n, rending, semanggi (Jawa); Salatun: take cena (Madura), tikim, patikim; Tian husui (Cina) (Anonim, 2002). 3. Uraian tanaman Pegagan embun merupakan tanaman yang tumbuh merayap dengan ramping, dapat tumbuh subur di tempat yang lembab, terbuka maupun teduh, di pinggir jalan, pinggir selokan, lapangan rumput dan di tempat lain sampai setinggi kira-kira m dari permukaan laut. Tanaman pegagan embun mempunyai batang yang lunak dan berongga dengan panjang 45 cm/lebih, berdaun tunggal berseling, mempunyai tangkai panjang berbentuk bulat atau reniform dengan pinggir terbagi menjadi 5-7 lekukan dangkal, serta berwarna hijau. Bunga tanaman pegagan embun merupakan bunga majemuk berbentuk bongkol yang keluar dari ketiak daun dan berwarna kuning (Anonim,2002).

22 6 4. Kandungan kimia Herba pegagan embun yang berkhasiat untuk mengobati tumor, reumatik, infeksi saluran nafas, gangguan pencernaan, dan masalah kulit mempunyai kandungan kimiawi yang antara lain terdiri dari: terpenoid minyak atsiri (trans-βfarnesene, β-pinene, α-pinene, β-caryophyllene, α-humulene, camphene, dan ocimene yang keberadaannya dinyatakan dalam monoterpenoid dan sesquiterpenoid) dan flavonoid (quersetin 3-galaktosid) (Anonim, 2002). B. Artemia salina Leach 1. Keterangan zoologi Artemia (Artemia salina Leach) yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam familia Artemidae (Oemarjati dan Wardhana, 1990). 1. Morfologi a. Telur Istilah untuk telur artemia yang benar adalah siste, yaitu telur yang telah berkembang lebih lanjut menjadi embrio dan kemudian, diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan mempermudah penguapan, sehingga ia sangat tahan terhadap keadaan lingkungan yang buruk (Mudjiman, 1989). b. Burayak Apabila telur-telur artemia direndam dalam air laut yang bersuhu 25ºC, akan menetas dalam waktu jam. Dari dalam cangkang keluar beruyak

23 7 (larva) yang dikenal dengan istilah nauplius. Dalam perkembangan selanjutnya burayak akan mengalami 15 kali perubahan bentuk (metamorfosis) setelah itu berubah menjadi artemia dewasa. c. Artemia dewasa Bentuk artemia dewasa lebih sempurna, dengan ukuran panjang sekitar 1 cm dan beratnya 10 mg. Bentuk artemia dewasa menyerupai udang kecil, bagian kepala berukuran lebih besar kemudian mengecil pada bagian ekor. Panjang ekor kurang lebih sepertiga dari total panjang tubuh. Dibagian kepala terdapat sepasang mata dan sepasang antenula (sungut). Pada bagian tubuh terdapat sebelas pasang kaki atau secara khusus disebut torakopoda, antara ekor dan pasangan kaki belakang terdapat sepasang alat kelamin, penis pada jantan dan ovarium pada betina (Mudjiman, 1989). Gambar 1. Bagian-bagian tubuh artemia dewasa (Mudjiman, 1989) 3. Lingkungan hidup

24 8 Artemia tidak dapat bertahan hidup pada suhu kurang dari 6ºC atau lebih dari 35ºC. Akan tetapi, hal ini sangat jelas tergantung pada ras dan kebiasaan tempat hidup mereka. Suhu yang baik untuk pertumbuhan artemia berkisar antara 25-30º C. Telur artemia yang kering akan bertahan pada suhu -273ºC dan 100ºC. Daya tahan artemia terhadap perubahan kandungan ion-ion kimia dalam air ternyata juga sangat tinggi. Untuk perkembangan artemia yang baik, mereka membutuhkan kadar garam yang tinggi. Sebab pada kadar garam yang tinggi dapat terhindar dari musuh-musuh yang tidak dapat hidup pada kadar garam yang tinggi. Sedangkan untuk pertumbuhan telur (siste) dibutuhkan kadar garam yang lebih rendah daripada batas tertentu. Batas ini berlainan untuk setiap jenis artemia (Mudjiman, 1989). Agar artemia dapat hidup lebih baik, kadar oksigen terlarutnya harus mendekati titik kejenuhan, yaitu sekitar 3 ppm (bagian per juta). Terhadap perubahan-perubahan kadar oksigen terlarut ini, sebenarnya artemia sangat pandai menyesuaikan diri. Pada kadar oksigen yang hanya 1 ppm, artemia masih juga dapat bertahan. Sebaliknya, merekapun dapat hidup pada kejenuhan oksigen lebih dari 1,5 x 10 6 ppm (Mudjiman, 1989). Pengaruh ph terhadap kehidupan artemia muda dan dewasa belum jelas namun berpengaruh terhadap penetasan telur. Apabila ph untuk penetasan kurang dari 8, maka efisiensi penetasan akan menurun. Siste banyak yang tidak menetas atau waktu penetasannya menjadi lebih panjang (Mudjiman,1989). 4. Perkembangan dan siklus hidup

25 9 Ditinjau dari segi cara berkembang biaknya, ada dua jenis artemia yaitu jenis biseksual dan jenis partenogenetik. Jenis biseksual tidak dapat berkembang biak secara parthenogenesis, dan sebaliknya jenis partenogenetik tidak dapat berkembang biak secara biseksual (Mudjiman, 1989). Pada perkembangbiakan biseksual maupun parthenogenesis dapat terjadi secara ovovivipar maupun ovipar. Cara ovovivipar yang keluar dari induknya sudah berupa burayak atau larva (nauplis), sedangkan cara ovipar yang keluar dari induknya berupa telur bercangkang. Sebutan yang tepat untuk telur ini yaitu siste karena berisi embrio. Apabila telur artemia berada dalam lingkungan yang sesuai misalnya kadar garam, suhu, dan ph yang sesuai maka telur dapat memetas menjadi nauplis dalam waktu 14 hari menjadi artemia dewasa (Mudjiman, 1989). Gambar 2. Siklus hidup artemia biseksual (Mudjiman, 1989) 5. Metode BST

26 10 a. Penggunaan artemia pada metode BST Artemia digunakan sebagai hewan coba dalam praskrining aktivitas antikanker di National Cancer Institute (NCI), Amerika Serikat. Metode ini sering digunakan untuk skrining awal terhadap senyawa aktif yang terdapat di dalam ekstrak tanaman karena murah, cepat, mudah (tidak memerlukan kondisi aseptis), dan dapat dipercaya. Metode BST juga memiliki kekurangan karena artemia tidak mampu mendeteksi senyawa yang dalam aktivitas fisiologinya memerlukan aktivasi di dalam tubuh mamalia seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamida (Meyer et al., 1982). Meskipun pengujian ini tidak dapat mendeteksi senyawa yang dibutuhkan untuk aktivasi metabolik pada mamalia, tetapi uji BST ini dapat dipercaya sebagai detektor aktivitas biologik (Solis, Wright, Gupta, and Phillipson 1992). Uji larva udang ini juga dapat digunakan untuk skrining awal terhadap senyawa-senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antitumor karena uji ini sering sekali mempunyai korelasi yang positif dengan potensinya sebagai antitumor (Anderson, Goets, and Mc Laughin, 1991). Penggunaan larva artemia memang tidak spesifik untuk antitumor, namun dapat menunjukkan kemampuannya untuk memonitor kemungkinan adanya efek toksik secara lebih cepat dibandingkan dengan prosedur pengujian sitotoksitas menggunakan biakan sel kanker (Meyer et al., 1982). Kemampuan artemia untuk mendeteksi efek sitotoksik sangat dimungkinkan karena artemia mempunyai kesamaan sistem enzim dengan sistem enzim pada mamalia, yaitu tipe DNA-dependent RNA polymerase dan oubaine

27 11 sensitive Na + dan K + dependent ATPase (Solis et al., 1993), sehingga senyawa maupun ekstrak yang mempunyai aktivitas pada sistem tersebut dapat terdeteksi. DNA-dependent RNA polymerase merupakan sistem enzim yang berperan dalam sistesis protein (polinukleotida). RNA polymerase akan berikatan dengan DNA pada tahap transkripsi di dalam nukleus. Dalam hal ini DNA berperan sebagai cetakan dalam pembuatan nukleotida RNA yang baru. RNA, khususnya RNA messenger (mrna) inilah yang membawa pesan genetik, yang kemudian akan diterjemahkan RNA translasi (trna) dalam proses sintesis protein (Campbell, Recee, and Mitchell, 2002). Na + -K + ATPase ditemukan dalam semua bagian tubuh manusia. Na + -K + ATPase mengkatalisis hidrolisis ATP menjadi ADP serta menggunakan tenaga untuk menggerakkan 3 Na + keluar dari sel dalam pertukaran bagi tiap 2 K + yang digerakkan ke dalam sel bagi tiap mol ATP yang dihidrolisis. Ouabain merupakan penghambat Na + -K + ATPase yang paling aktif, di mana tempatnya berikatan yaitu pada subunit terkecil dari suatu kompleks enzim dan letaknya tak jauh dari tempat berikatannya ATP. Suatu penghambat (inhibitor) dalam darah manusia akan bersaing dengan ikatan ouabain dan memungkinkan mengontrol transport Na + -K +. Na + -K + ATPase secara tidak langsung mempengaruhi transport Ca 2+ di dalam jantung. Jika kerja Na + -K + ATPase dihambat oleh ouabain maka Ca 2+ akan meningkat, keadaan ini sangat bermanfaat dalam terapi payah jantung karena akan memudahkan kontraksi otot jantung. Pada hewan, pemeliharaan tekanan dan volume sel yang normal tergantung atas pompa Na + dan K +. Tanpa pompa ini, Cl - dan Na + akan memasuki sel menuruni perbedaan konsentrasinya, serta air akan

28 12 mengikuti sepanjang perbedaan osmotik yang diciptakan sehingga sel membengkak (Ganong, 1995). Sel yang membengkak selanjutnya dapat mengalami lisis sehingga sel tersebut mati. Artemia dinilai sukup akurat mewakili model sel kanker, hal ini telah dibuktikan oleh Meyer (1982) lewat penelitiannya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa suatu ekstrak yang berpotensi toksik dan bersifat sitotoksik, ketika diujikan pada artemia juga memberikan hasil yang sama. b. Parameter toksisitas Toksisitas merupakan suatu istilah relatif yang biasa digunakan untuk membandingkan apakah zat kimia yang satu lebih toksik dari yang lain. Uji toksisitas tidak khas yaitu uji toksisitas yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan potensi toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk dalam uji toksisitas tidak khas ialah uji toksisitas akut. Uji toksisitas akut merupakan uji toksisitas dengan pemberian suatu senyawa yang diberikan dengan dosis tunggal pada hewan uji tertentu dan pengamatan dilakukan selama 24 jam. Maksud uji toksisitas akut adalah untuk menentukan gejala toksik sebagai akibat pemberian suatu senyawa dan untuk menentukan tingkat letalitasnya (Loomis, 1978). Selain uji toksisitas akut, di dalam uji toksisitas tidak khas termasuk pula uji toksisitas subkronis dan uji toksisitas kronis. Uji toksisitas yang khas yaitu uji toksisitas yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci potensi toksik yang spesifik suatu senyawa pada aneka ragam hewan uji. Termasuk dalam uji ini ialah uji potensial, uji kekarsinogenikan, uji kemutagenikan, uji keteratogenikan, uji mata dan uji kulit.

29 13 Tolok ukur pengamatan potensi ketoksikan meliputi tolok ukur kualitatif dan kuantitatif. Tolok ukur kualitatif terdiri dari mekanisme efek toksik, wujud efek toksik, sifat efek toksik dan gejala klinis. Tolok ukur kuantitatif berupa LC 50, yaitu konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian pada 50% hewan uji. Dalam tolok ukur kuantitatif ini terdapat hubungan antara konsentrasi dengan ketoksikan suatu senyawa. Hubungan antara konsentrasi-respon lebih banyak digunakan dalam evaluasi ketoksikan suatu senyawa karena tujuannya lebih ditujukan pada resiko (ukuran kemungkinan timbulnya potensi toksik pada sekelompok hewan uji). Uji toksisitas akut digunakan untuk menentukan harga LD 50 atau LC 50 suatu senyawa bilamana lama pengamatan tidak ditunjukkan, maka dianggap bahwa pengamatan dilakukan selama 24 jam (Donatus, 2001). Parameter LC 50 digunakan dalam metode BST dan bukan LD 50 karena dalam hal ini larva artemia terpejani senyawa toksik yang ada pada media hidupnya, yaitu Air Laut Buatan (ALB). Uji toksisitas akut dengan hewan uji Artemia salina Leach digunakan sebagai uji pendahuluan pada penelitian yang mengarah pada uji sitotoksik. Suatu senyawa disebut toksik jika harga LC 50 dari uji toksisitas akut < 1000 µg/ml (Meyer et al., 1982). Parameter yang digunakan untuk menunjukkan adanya aktivitas biologis suatu senyawa pada artemia adalah kematian. Keuntungan penggunaan arrtemia sebagai hewan uji adalah kesederhanaan dalam pelaksanaan, waktu relatif singkat, dan konsentrasi kecil sudah dapat menimbulkan aktivitas biologis (Meyer et al., 1982)

30 14 Tabel I. Kriteria ketoksikan akut (Loomis, 1978) KRITERIA Luar biasa toksik LC 50 (µg/ml) 1 atau kurang Sangat toksik 1 50 Cukup toksik Sedikit toksik Praktis tidak toksik Relatif kurang berbahaya C. Apoptosis Kematian sel (apoptosis) meruoakan bagian penting dalam perkembangan manusia, yang terjadi selama proses oogenesis, perkembangan otak dan pada pembentukan kaki serta tangan. Apoptosis melibatkan gen-gen khusus dan jalur pemberi signal yang mendasari program kematian sel. Apoptosis dapat terjadi pada suatu sel tanpa menyebabkan kerusakan pada sel dan jaringan di sekitarnya (Rajesh, et al., 2003). Karakteristik apoptosis bila ditinjau dari segi morfologi : 1. penyusutan sel : sel menjadi lebih kecil dan kehilangan kontak dengan selsel yang berada di sekelilingnya. 2. terjadi blebbing yaitu adanya tonjolan-tonjolan kecil di permukaan membran sel.

31 15 3. pemecahan sel membentuk badan apoptotik dan terjadi fagositosis dari pecahan-pecahan sel ini oleh makrofag. Apoptosis diatur oleh berbagai jalur pemberi signal yang kesemuanya itu melibatkan caspase. Caspase merupakan kelompok dari sistein protease, yaitu suatu enzim yang bertugas mencerna protein. Dalam tubuh manusia, kebanyakan caspase berada dalam bentuk inaktif yang kemudian akan diaktivasi melalui proses proteolisis menjadi bentuk yang lebih aktif. Monoterpenoid/sesquiterpenoid berpotensi menginduksi apoptosis melalui jalur Fas/Fas ligand. Potensi monoterpenoid/sesquiterpenoid dalam menginduksi apoptosis disebabkan karena monoterpenoid/sesquiterpenoid dapat menghambat peralihan fase G 2 /M dalam siklus sel (Rajesh, et al 2003). Flavonoid menginduksi apoptosis dengan mencegah terjadinya mutasi p53 (Albert et al., 2002). D. Penyarian Kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair disebut dengan istilah penyarian. Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat yang dapat larut melalui lapisanlapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang mengandung zat tersebut. Untuk melakukan penyarian harus diketahui zat aktif yang dikandungnya sehingga mempermudah pemilihan cairan penyari serta cara penyarian yang tepat. Secara umum ada 4 metode penyarian yaitu maserasi, infundasi, perkolasi dan destilasi uap (Anonim, 1986).

32 16 Perkolasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyarian melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Metode perkolasi digunakan dalam penelitian ini karena dapat menyari zat aktif lebih optimal dibandingkan dengan menggunakan metode maserasi. Hal tersebut dikarenakan: 1. aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi. 2. ruangan diantara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan penyari. Oleh karena kecilnya cairan kapiler tersebut, maka kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan atas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi (Anonim, 1986). Selain itu, perkolasi lebih efisien bila dibandingkan dengan maserasi karena prosesnya yang berkesinambungan di mana cairan penyari yang telah jenuh akan digantikan dengan cairan penyari yang lebih segar terus-menerus (Silva, Lee, Kinghorn, 1998) Prinsip perkolasi adalah sebagai berikut : serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dapat dilalui sampai mencapai keadaan jenuh, gerak ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan di atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan. Kekuatan yang berperan dalam perkolasi antara lain : gaya berat, kekentalan, daya larut,

33 17 tegangan permukaan, difusi osmosa, adhesi, daya kapiler dan daya geseran (Anonim, 1986). Alat yang digunakan untuk perkolasi adalah perkolator, cairan yang digunakan untuk menyari yang disebut cairan penyari atau menstrum, larutan zat aktif yang keluar dari perkolator disebut sari atau perkolat, sedang sisa setelah dilakukan penyarian disebut ampas atau sisa perkolasi (Anonim, 1986). E. Senyawa Yang Diidentifikasi 1. Terpenoid Senyawa terpenoid pada umumnya terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan serta berperan penting baik dalam pertumbuhan dan metabolisme maupun pada ekologi tumbuhan. Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpena dan sesquiterpena, diterpena, triterpena, sterol serta pigmen karotenoid. Semua senyawa terpenoid berasal dari molekul isoprena CH 2 =C(CH 3 )-CH=CH 2. Terpenoid biasanya dapat diekstraksi dari jaringan tumbuhan dengan menggunakan petroleum eter, dietil eter atau kloroform (Harborne, 1987). Senyawa terpenoid berpotensi sebagai agen antikanker karena mempunyai sifat sitotoksik yaitu dengan menahan peralihan fase G 2 /M dalam siklus sel(rajesh et al., 2003).

34 18 Gambar 3. Siklus sel (Katzung and Trevor. 1993) Menurut (Mursyidi, 1990), senyawa terpenoid dapat dipisahkan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Fase gerak yang digunakan yaitu toluen-etil asetat (93:7 v/v). Sedangkan fase diam yang digunakan adalah silika gel GF 254 atau selulosa. Terpenoid dideteksi dengan menggunakan pereaksi vanilin asam sulfat. 2. Flavonoid Senyawa fenol alam, flavonoid terdapat dalam hampir semua tumbuhan dari bangsa algae hingga Gymnospermae. Di dalam tumbuhan, flavonoid biasanya berikatan dengan gula sebagai glikosida. Molekul yang berikatan dengan gula disebut aglikon. Aglikon flavonoid adalah polifenol sehingga flavonoid mempunyai sifat kimia fenol (Mursyidi,1990). Golongan senyawa flavonoid bersifat polar karena mempunyai gugus hidroksil yang tidak tersulih atau mempunyai suatu gula, sehingga pada umumnya flavonoid cukup larut dalam pelarut polar. Golongan senyawa flavonoid bersifat polar sehingga pada umumnya flavonoid cukup larut dalam pelarut polar seperti etanol (EtOH), metanol

35 19 (MeOH), butanol (BuOH), aseton, dimetilsulfoksida (DMSO) serta air. Gula yang terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air, dengan demikian campuran pelarut dengan air merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Efek flavonoid terhadap macam-macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional (Mursyidi, 1990). Menurut Anonim (2006), flavonoid merupakan salah satu jenis metabolit sekunder yang diduga menunjukkan adanya aktivitas sebagai antikanker. Flavonoid sebagai senyawa antikanker pada prinsipnya bersifat sitotoksik, antimetabolit, antimitotik/mitostatik, menghambat salah satu atau beberapa fase siklus metabolisme sel (Colis, 1874 cit Santa, 1998). Adanya senyawa flavonoid dalam suatu bahan dapat dianalisis dengan KLT. Biasanya digunakan fase diam selulosa dan fase gerak seperti n-butanolasam asetat-air (4:1:5 v/v) diambil lapisan atas, kloroform-etil asetat (60:40 v/v), dan kloroform-aseton-asam format (75:16,5:8,5 v/v). Deteksi terhadap bercak yang timbul setelah pengembangan dapat menggunakan sinar UV, pereaksi semprot seperti sitroborat, pereaksi alumunium klorida, dan antimoni triklorida (Wagner, Brady, dan Zgainski, 1984). F. Kromatografi Lapis Tipis Metode pemisahan fisikokimia yang banyak digunakan dalam berbagai penelitian adalah Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Campuran senyawa yang akan

36 20 dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita pada lempeng kromatografi, selanjutnya dikembangkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (Stahl, 1985). Fase diam (lapisan penjerap) dibuat dari salah satu penjerap yang khusus digunakan untuk KLT. Penjerap yang umum digunakan adalah silika gel, alumunium oksida, kieselgur, selulosa dan lain-lain. Fase gerak ialah medium yang terdiri dari satu atau beberapa pelarut, bergerak di dalam fase diam yang merupakan lapisan berpori, yang dipengaruhi oleh gaya kapiler. Pelarut yang digunakan memiliki tingkat mutu analitik dan jika perlu dapat digunakan campuran pelarut yang terdiri dari 3 jenis pelarut (Stahl, 1985). Deteksi senyawa pada plat KLT paling sederhana adalah jika senyawa yang menunjukkan penyerapan di daerah UV dengan panjang gelombang 254 nm (gelombang pendek) atau gelombang 365 nm (gelombang panjang) (Stahl, 1985). Deteksi senyawa pada plat KLT biasanya juga dilakukan dengan penyemprotan dan karena permukaan lebih sempit, maka penyemprotannya merupakan prosedur nisbi yang sederhana (Harborne, 1987). Harga Rf yang diperoleh pada KLT tidak tetap, berkisar antara 0,00-1,00 dan ditentukan hanya dua desimal. Bilangan hrf merupakan angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berkisar antara Harga Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan harga-harga standar (Stahl, 1985). Jarak pengembangan senyawa pada kromatografi biasanya dapat digunakan untuk identifikasi senyawa yang dianalisa.

37 21 Jarak titik pusat bercak dari titik awal Rf = Jarak garis depan dari titik awal Kelebihan khas KLT adalah keserbagunaan, kecepatan, dan kepekannya. Keserbagunaan KLT disebabkan oleh kenyataan bahwa di samping selulosa, sejumlah penjerap yang berbeda-beda dapat disaputkan pada plat kaca atau penyangga lain dan digunakan untuk kromatografi. Kecepatan KLT yang lebih besar disebabkan oleh sifat penjerap yang lebih padat bila disaputkan pada plat dan merupakan keuntungan bila digunakan untuk menelaah senyawa labil. Kepekaan KLT sedemikian rupa sehingga bila diperlukan dapat dipisahkan bahan yang jumlahnya kurang dari ukuran µg (Harborne, 1987). G. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data empiris tentang potensi toksik ekstrak metanol-air dan ekstrak dietil eter herba pegagan embun terhadap larva artemia dengan metode BST yang dinyatakan dalam LC 50, serta untuk memperoleh profil kromatografi lapis tipis ekstrak aktif herba pegagan embun. Data empiris yang diperoleh melalui uji toksisitas akut ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air herba pegagan embun ini memungkinkan untuk dilakukan eksplorasi guna mendapatkan senyawa toksik yang dapat dilanjutkan dengan uji sitotoksisitas untuk mendapatkan senyawa antikanker.

38 22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan Posttest Only Control Group Design. B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian a. Variabel bebas Jenis ekstrak yang digunakan yaitu ekstrak dietil eter dan ekstrak metanolair herba pegagan embun dengan berbagai seri konsentrasi. b. Variabel tergantung Nilai LC 50 ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air herba pegagan embun yang diperoleh dari analisis probit. c. Variabel pengacau terkendali 1) Lingkungan tempat percobaan: sinar lampu 5 watt, suhu penetasan sebesar 25º C, serta ph air laut buatan antara 7-8 dengan kadar garam 5 permil 2) Umur larva artemia adalah 48 jam. 2. Definisi operasional a. Herba pegagan embun yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh bagian tanaman yang berada di atas tanah meliputi bunga, daun, dan batang.

39 23 b. Konsentrasi ekstrak dietil eter herba pegagan embun yaitu 10, 32, 102, 328 dan 1049 µg/ml dan konsentrasi ekstrak metanol- air herba pegagan embun yaitu 250; 500; 1000; 2000 dan 4000 µg/ml c. Ekstrak dietil eter merupakan sari yang diperoleh dari hasil perkolasi serbuk herba pegagan embun menggunakan penyari dietil eter d. Ekstrak metanol-air merupakan sari yang diperoleh dari hasil perkolasi serbuk herba pegagan embun menggunakan penyari metanol-air e. Jumlah kematian larva artemia setelah diberi perlakuan selama 24 jam. f. Kematian artemia ditunjukkan dengan keadaan dimana tidak ada lagi pergerakkan dari artemia, baik itu tenggelam, melayang maupun mengapung. C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan penelitian Bahan utama penelitian ini adalah herba pegagan embun yang telah dibudidayakan dari bibit liar di lingkungan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, telur artemia, ragi Saccharomyces cerevisae, aquadest, selulosa, pereaksi semprot AlCl 3 dan amonia, natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium klorida, kalsium klorida, natrium hidrokarbonat, n-butanol, asam asetat, serta bahan kimia yang bila tidak disebutkan lain berderajat pro analisys meliputi: dietil eter dan metanol. 2. Alat penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi perkolator, waterbath (Memmert), oven (Mettler), bak penetasan artemia, flakon, aerator, lampu 5 watt,

40 24 mikropipet, pipet volume 5 ml (Pyrex), pipet tetes, bejana kromatografi, kertas saring, alat semprot, lampu UV 254 nm dan 365 nm, gelas ukur (Pyrex), Erlenmeyer (Pyrex), cawan porselen, batang pengaduk, sendok, blender (Retch bv), pengayak, neraca analitik (Mettler Toledo AB 204). D. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi herba pegagan embun Determinasi dilakukan terhadap tanaman pegagan embun dengan menggunakan buku acuan (Backer and Bakhuizen van den Brink, 1965) dengan tujuan untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan adalah Hydrocotyle sibthorpioides Lmk. Hasil determinasi berupa nama jenis (spesies) tanaman yang digunakan dalam penelitian ini. 2. Pengumpulan bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah herba pegagan embun yang telah dibudidayakan dari bibit liar di lingkungan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan dikumpulkan pada bulan Januari, sedangkan hewan uji yang digunakan berupa telur Artemia salina Leach (Ocean Star International, Inc.). 3. Pembuatan simplisia Herba pegagan embun yang sudah diambil dicuci dengan air bersih yang mengalir, kemudian diangin-anginkan. Apabila sudah bersih daun herba pegagan dikeringkan di bawah sinar matahari secara tidak langsung dengan ditutup kain hitam. Pengeringan dapat dilanjutkan dengan menggunakan oven agar diperoleh

41 25 simplisia yang benar-benar kering. Simplisia dapat diasumsikan kering apabila diremas dapat hancur. Setelah kering dipotong kecil-kecil dan dibuat menjadi serbuk dengan menggunakan blender kering dan kemudian diayak menggunakan ayakan tepung. Serbuk diayak sampai seluruhnya dapat melewati ayakan sehingga diperoleh serbuk yang halus. 4. Penyarian Metode penyarian yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan metode perkolasi menggunakan alat perkolator. Cairan penyari yang digunakan yaitu dietil eter dan campuran metanol-air (1:1 v/v). a. Penyarian untuk mendapatkan ekstrak dietil eter Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 200 gram. Kemudian dilakukan maserasi pendahuluan terlebih dahulu selama 3 jam menggunakan pelarut dietil eter. Sebelum serbuk yang telah dimaserasi dimasukkan ke dalam perkolator, bagian leher perkolator diberi saringan yang dibalut dengan kapas dan kertas saring. Saringan dengan lubang yang kasar diletakkan paling atas kemudian di bawahnya saringan yang lebih halus dengan tujuan agar kotoran dan serbuk dapat tersaring sehingga tidak menyumbat aliran perkolat serta tidak masuk ke dalam perkolat. Serbuk dimasukkan sedikit demi sedikit sambil ditekan-tekan. Selanjutnya dietil eter dituangkan secukupnya sampai di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari. Perkolator ditutup dan dibiarkan selama 24 jam. Selanjutnya perkolat dibiarkan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit (Anonim, 1986) dan ditambahkan berulang-ulang dietil eter secukupnya sehingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia. Penyarian dihentikan jika

42 26 pada perkolat yang terakhir hasilnya negatif yang ditandai dengan tetesan terakhir yang jernih. Zat aktif diperoleh setelah perkolat diuapkan menggunakan vaccum rotary evaporator sampai kental. Agar proses penguapan dietil eter sempurna maka setelah divaccum, diuapkan di atas waterbath sampai bau dietil eter hilang menggunakan cawan porselen. b. Penyarian untuk mendapatkan ekstrak metanol-air Setelah didapatkan ekstrak dietil eter, serbuk (ampas) dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven. Setelah serbuk benar-benar kering, penyarian dilanjutkan dengan menggunakan pelarut metanol-air (1:1 v/v). Sebelumnya dilakukan maserasi pendahuluan terlebih dahulu selama 3 jam menggunakan pelarut metanol-air (1:1 v/v). Selanjutnya serbuk dimasukkan ke dalam perkolator sedikit demi sedikit sambil ditekan-tekan, lalu dituangkan campuran pelarut metanol-air (1:1 v/v) secukupnya sampai di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari. Perkolator ditutup dan dibiarkan selama 24 jam. Selanjutnya perkolat dibiarkan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit (Anonim, 1986) dan ditambahkan berulang-ulang campuran pelarut metanol-air (1:1 v/v) secukupnya sehingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia. Penyarian dihentikan jika pada perkolat yang terakhir hasilnya negatif yang ditandai dengan tetesan terakhir yang jernih. Zat aktif diperoleh setelah perkolat diuapkan menggunakan vaccum rotary evaporator sampai kental. Agar proses penguapan campuran pelarut metanol-air sempurna maka setelah divaccum, diuapkan di atas waterbath sampai didapatkan ekstrak kental menggunakan cawan porselen.

43 27 5. Pembuatan Air Laut Buatan (ALB) Komposisi bahan yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan berkadar garam 5 permil adalah 5 gram natrium klorida (NaCl); 1,3 gram magnesium sulfat (MgSO 4 ); 1 gram magnesium klorida (MgCl 2 ); 0,3 gram kalsium klorida (CaCl 2 ); 0,2 gram kalium klorida (KCl), dan 2 gram natrium hidrokarbonat (NaHCO 3 ) dicampur dalam 1 liter aquadest. Bahan-bahan sebagian dilarutkan dalam sebagian aquadest dalam labu takar 1 liter. Khusus untuk magnesium sulfat dilarutkan dalam air panas, sedangkan natrium hidrokarbonat dilarutkan dengan air bebas CO 2. Kemudian ditambahkan aquadest sampai volume tepat 1 liter. Air laut buatan berkadar garam 5 permil dan ph antara 7,3-8,4 (Mudjiman, 1989). 6. Penetasan telur artemia Artemia diteteskan dari telurnya dengan media ALB berkadar 5 permil. ALB yang akan digunakan untuk menetaskan telur artemia diaerasi terlebih dahulu selama 2 jam. Telur artemia diteteskan dalam aquarium yang disekat menjadi dua bagian, bagian gelap dan bagian terang, dengan sekat berlubang. Bagian gelap merupakan telur artemia ditaburkan. Telur menetas kira-kira jam kemudian menjadi nauplius (Mudjiman, 1991). Nauplius yang aktif akan bergerak menuju tempat yang terang melalui lubang pada sekat. Setelah 48 jam, nauplius diambil dari bagian yang terang menggunakan pipet dan digunakan sebagai hewan uji (Meyer et al., 1982).

44 28 7. Pembuatan larutan uji a. Pembuatan larutan stok Larutan stok ekstrak dietil eter juga dipersiapkan sebagai larutan A dan larutan B. Larutan A dibuat dengan menimbang 100 mg ekstrak kental dietil eter menggunakan cawan porselen yang telah ditara, kemudian dilarutkan dengan 10 ml dietil eter p.a. Larutan B dibuat dengan mengencerkan 1 ml larutan A dengan 10 ml dietil eter p.a. Larutan stok ekstrak metanol-air dipersiapkan sebagai larutan A dan larutan B. Larutan A dibuat dengan menimbang 100 mg ekstrak kental metanol-air menggunakan cawan porselen yang telah ditara, kemudian dilarutkan dengan 10 ml metanol p.a. Larutan B dibuat dengan mengencerkan 1 ml larutan A dengan 10 ml metanol p.a. b. Pembuatan larutan sampel Dari larutan stok tersebut dibuat seri konsentrasi 10, 100, dan 1000 µg/ml sebagai uji awal BST (Meyer et al., 1982). Kelompok kontrol dan kelompok perlakuan masing-masing dibuat dalam tiga kali replikasi. Setelah dilakukan uji awal BST dan diperoleh hasil yang baik kemudian dibuat menjadi lima seri konsentrasi. Ekstrak dietil eter dibuat dalam seri konsentrasi 10, 32, 102, 328 dan 1049 µg/ml serta untuk ekstrak metanol-air dibuat dalam seri konsentrasi 250, 500, 1000, 2000 dan 4000 µg/ml Kelompok kontrol dan kelompok perlakuan masing-masing dibuat dalam lima kali replikasi. 9. Toksisitas akut dengan BST Uji toksisitas akut dengan dilakukan BST menggunakan larva artemia yang berumur 48 jam (Meyer et al., 1982). Flakon yang telah berisi sampel,yaitu

45 29 masing-masing berupe ekstrak metanol-air dan ekstrak dietil eter dengan berbagai seri konsentrasi terlebih dahulu dikeringuapkan di atas waterbath. Hal ini bertujuan supaya pelarut menguap dan diharapkan hanya ekstrak herba pegagan embun yang tertinggal. Ditambahkan ± 3 ml ALB, kemudian divortex. Sepuluh ekor larva artemia yang berumur 48 jam, diambil secara acak dan dimasukkan ke dalam flakon. Kemudian ditambah ALB hingga volumenya mencapai 5 ml dan diberi 1 tetes ragi (3mg/5ml) sebagai makanan. Setiap pengujian selalu disertai dengan kontrol dan masing-masing konsentrasi dibuat dalam 5 kali replikasi. Flakon dijaga agar selalu mendapat penerangan. Setelah 24 jam, jumlah larva artemia yang mati dihitung dan dianalisis untuk mengetahui harga LC 50. Larva udang dikatakan mati bila larva tersebut tidak dapat menunjukkan gerakan aktif lagi (Carballo et al., 2002). 10. KLT ekstrak aktif herba pegagan embun Uji kualitatif ekstrak yang aktif herba pegagan dengan KLT ini bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa terpenoid dan flavonoid yang terdapat dalam ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air daun pegagan embun. a. Identifikasi terpenoid Dalam identifikasi senyawa terpenoid menggunakan fase diam silika gel GF 254 dan fase gerak toluen-etil asetat (93:7 v/v). Deteksi bercak terpenoid dilakukan menggunakan pereaksi semprot vanilin asam sulfat. Lempeng KLT yang sudah disemprot dengan pereaksi vanilin asam sulfat, dipanaskan di dalam oven pada suhu 110 C selama 10 menit hingga muncul warna ungu keabu-abuan. Pengamatan dilakukan pada sinar tampak (secara visibel).

46 30 b. Identifikasi flavonoid Dalam identifikasi senyawa flavonoid dilakukan dengan menggunakan fase diam selulosa, sedangkan fase geraknya n-butanol:asam asetat:air (4:1:5 v/v). Pembanding yang digunakan yaitu rutin. Lempeng KLT dimasukkan dalam bejana berisi fase gerak yang telah jenuh lalu dielusi sampai jarak rambat 10 cm. Pengamatan bercak dilakukan di bawah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 365 nm. Deteksi juga dilakukan dengan menggunakan uap amonia untuk memastikan keberadaan senyawa flavonoid. Caranya adalah dengan meletakkan lempeng KLT yang telah selesai dielusi dalam sebuah chamber yang di dalamnya sudah diletakkan larutan amonia. Lempeng KLT dibiarkan terkena uap dari amonia tersebut selama beberapa saat hingga muncul warna kuning. 11. Analisis hasil Presentase kematian larva artemia dapat dihitung menggunakan rumus Abott, hal ini dilakukan karena terdapat kematian larva artemia pada kontrol (Negara, 2003). Jml. kematian pada tes uji Jml. Kematian pada kontrol % kematian = X 100% Jml. hewan uji Jml. kematian pada kontrol Data persentase kematian larva artemia yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisis probit menggunakan program SPSS dengan memplotkan antara log konsentrasi vs respon (nilai probit) untuk menetapkan harga LC 50. Adanya kandungan senyawa monoterpenoid dan sesquiterpenoid serta senyawa flavonoid dalam ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air dipastikan melalui uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

47 31 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Tanaman Identifikasi tanaman menjadi langkah awal dalam penelitian yang menggunakan herba pegagan embun. Identifikasi tanaman dilakukan untuk memastikan kebenaran identitas tanaman menggunakan kunci determinasi menurut Backer and Bakhuizen van den Brink Jr (1965). Berdasarkan identifikasi tanaman yang telah dilakukan (lampiran 1), diperoleh kesimpulan bahwa tanaman yang digunakan adalah benar-benar herba pegagan embun (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.). B. Pengumpulan Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah herba pegagan embun yang telah dibudidayakan dari bibit liar di lingkungan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan dikumpulkan pada bulan Januari. Herba pegagan embun yang digunakan meliputi seluruh bagian tanaman yang berada di atas tanah yaitu bunga, daun, dan batang. Herba pegagan embun ini dibudidayakan dengan tujuan untuk menghindari variasi kandungan kimia tanaman yang terlalu besar karena perbedaan kondisi lingkungan. Umur tanaman (± 2 bulan) yang digunakan dalam penelitian ini diupayakan seragam, supaya kadar senyawa aktif di dalam herba

48 32 pegagan embun tidak berbeda secara bermakna, begitu pula dengan bagian tanaman yang digunakan dalam penelitian ini. C. Pembuatan Simplisia Herba pegagan embun yang telah dikumpulkan dibersihkan dan dicuci dengan air yang mengalir dengan tujuan agar kotoran yang melekat pada daun dapat terlepas serta tidak menempel lagi. Herba dikeringkan di bawah sinar matahari secara tidak langsung dengan ditutup kain hitam sehingga senyawa aktif yang terdapat di dalam herba pegagan embun tidak rusak. Pengeringan ini menurut Anonim (1986) dimaksudkan untuk menurunkan kadar air sehingga tidak ditumbuhi jamur, mempermudah pembuatan serbuk, dan menjamin agar kualitasnya tetap baik sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Reaksi enzimatis serta perubahan kimiawi dapat juga diminimalkan, sehingga senyawa aktif yang terkandung dalam herba pegagan embun tidak hilang terurai. Pengeringan dihentikan apabila apabila kadar air yang terkandung dalam simplisia kurang dari 10% karena reaksi enzimatis yang dapat menguraikan senyawa aktif sudah tidak berlangsung (Anonim, 1986). Untuk mengetahui kapan proses pengeringan dihentikan adalah dengan meremas herba sampai hancur. Jika kadar air masih tinggi, maka herba tersebut masih lembab dan tidak hancur jika diremas. Simplisia kering dibuat menjadi serbuk dengan tujuan untuk memperluas permukaan serbuk yang kontak dengan cairan penyari sehingga kandungan kimia yang terlarut dalam proses penyarian lebih banyak dan penyarian dapat berlangsung lebih sempurna (Anonim, 1986). Pada umumnya penyarian akan

49 33 bertambah baik bila permukaan serbuk yang bersentuhan dengan cairan penyari semakin luas, sehingga semakin halus serbuk yang dihasilkan maka akan semakin baik pula penyariannya. Namun menurut Anonim (1986) pada metode perkolasi, serbuk yang terlalu halus menyebabkan cairan penyari tidak dapat mengalir sehingga mengakibatkan penyarian tidak optimal. Pada penelitian ini serbuk yang dihasilkan halus, namun tidak menyumbat perkolator sehingga cairan penyari dapat menembus pori-pori serbuk dan penyarian berlangsung dengan sempurna. D. Penyarian Herba Pegagan Embun Menggunakan Pelarut Dietil Eter dan Metanol Penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga di dalam cairan penyari terdapat zat aktif. Perkolasi merupakan suatu metode penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi (Anonim, 1986). Perkolasi dipilih sebagai metode penyarian dalam penelitian ini karena lebih efisien bila dibandingkan dengan metode maserasi, hal ini dikarenakan prosesnya yang berkesinambungan dimana cairan penyari yang telah jenuh akan digantikan dengan cairan penyari yang lebih segar terus-menerus (Silva, Lee, Kinghorn, 1998). Cairan penyari yang digunakan yaitu dietil eter dan campuran metanol-air (1:1 v/v). Dietil eter merupakan pelarut organik yang bersifat non polar dibandingkan dengan metanol. Dalam penelitian ini penggunaan dietil eter dimaksudkan untuk menarik senyawa atau zat aktif yang terkandung dalam herba pegagan embun terutama yang bersifat non polar seperti

50 34 senyawa terpenoid. Sedangkan penggunaan metanol yang bersifat lebih polar dibandingkan dietil eter dimaksudkan untuk menarik senyawa ataupun zat aktif yang terkandung dalam herba pegagan embun yang bersifat polar seperti flavonoid. Maserasi pendahuluan dilakukan sekurang-kurangnya 3 jam untuk membuka pori-pori serbuk sehingga cairan penyari dapat menembus sel dan melarutkan zat aktif dengan sempurna. Serbuk simplisia yang sebelumnya telah dibasahi dengan cairan penyari yang cukup untuk mengembangkan sel dengan sempurna, maka aliran cairan penyarinya tidak akan mengalami hambatan. Perendaman dengan dietil eter selama 24 jam pada proses perkolasi dimaksudkan supaya serbuk simplisia menjadi terbasahi dan serbuk menjadi lebih mengembang sehingga dapat tersusun dengan baik. Penyusunan dikatakan baik apabila tidak ada rongga udara dalam serbuk simplisia dan kondisi simplisia tidak terlalu padat sehingga cairan penyari dapat membasahi seluruh serbuk simplisia dengan sempurna dan dapat menyari dengan optimal. Pada penelitian ini penyusunan serbuk simplisia telah diusahakan sebaik mungkin sehingga tidak lagi terdapat rongga udara. Perkolat dibiarkan menetes dengan kecepatan 1 ml/menit atau 20 tetes/menit. Jika tetesan terlalu cepat yaitu lebih dari 20 tetes/menit maka penyarian berjalan tidak sempurna. Sedangkan jika tetesan terlalu lambat yaitu kurang dari 20 tetes/menit maka besar kemungkinan cairan penyari untuk menguap sehingga akan terjadi pemborosan cairan penyari dan juga pemborosan waktu. Pada penelitian ini kecepatan penetesan perkolat 1 ml/menit atau 20

51 35 tetes/menit sehingga penyarian berlangsung sempurna. Kecepatan penetesan dietil eter harus sama dengan kecepatan menetesnya perkolat, supaya permukaan serbuk tidak menjadi kering sehingga penyarian zat aktif optimal. Perkolat yang dihasilkan pertama kali merupakan cairan yang berwarna sangat pekat, hal ini menandakan bahwa banyak zat aktif yang terlarut dalam dietil eter. Perkolasi dihentikan setelah perkolat terakhir yang menetes sudah tidak berwarna (jernih), hal ini menandakan bahwa sudah tidak ada lagi zat aktif yang terlarut dalam dietil eter. Sari dietil eter diuapkan di atas waterbath untuk mendapatkan ekstrak kental menggunakan cawan porselen. Penguapan dilakukan pada suhu 60º C. Suhu 60º C merupakan suhu optimal untuk penguapan di atas waterbath karena suhu yang lebih tinggi dapat menyebabkan rusaknya zat aktif. Karena penguapan tidak selesai dalam satu hari maka sari dietil eter disimpan di kulkas untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme. Hasil yang diperoleh berupa ekstrak kental. Ekstrak metanol-air diperoleh dengan mengeringkan terlebih dahulu serbuk simplisia yang telah disari dengan dietil eter. Pengeringan serbuk simplisia dilakukan dengan cara dioven sampai sisa dietil eter benar-benar hilang, kemudian dilakukan maserasi pendahuluan dengan penyari metanol-air (1:1 v/v) selama sekurang-kurangnya 3 jam untuk membuka pori-pori serbuk sehingga cairan penyari dapat menembus sel dan melarutkan zat aktif dengan sempurna. Untuk mendapatkan ekstrak kental metanol, maka sari metanol diuapkan di atas

52 36 waterbath pada suhu 60º C menggunakan cawan porselen. Untuk ekstrak metanol, hasil yang didapat berupa ekstrak kental. Ekstrak yang telah diperoleh kemudian disimpan di dalam eksikator. Dalam eksikator tidak ada lagi air dan udara yang dapat masuk, yang memungkinkan terjadinya perubahan senyawa dalam ekstrak tersebut atau dapat merusak senyawa oleh adanya bakteri atau cendawan. E. Air Laut Buatan (ALB) Pembuatan ALB dimaksudkan untuk menyesuaikan lingkungan hidup artemia sehingga sama seperti air laut alami. Bahan yang digunakan untuk membuat air laut buatan terdiri dari natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium klorida, kalisum klorida dan natrium hidrokarbonat. Bahan-bahan tersebut secara keseluruhan berbentuk padat dan bersifat higroskopis. Khusus untuk magnesium klorida sebelum dicampur dengan bahan lain terlebih dahulu dilarutkan dalam air panas untuk mempermudah proses pelarutannya, sedangkan untuk natrium hidrokarbonat terlebih dahulu dilarutkan dengan air bebas karbondioksida untuk mempertahankan kebasaan atau agar ph ALB stabil (antara 8-9). Pemecahan cangkang siste dibantu oleh kegiatan enzim penetasan yang membutuhkan ph lebih dari 8, sehingga ph berpengaruh terhadap penetasan siste. Apabila ph kurang dari 8 maka efisiensi penetasannya akan menurun, siste yang tidak menetas banyak atau waktu penetasannya menjadi lebih lama. Air laut buatan tersebut mempunyai kadar garam 5 permil yang artinya dalam 1 ml aquadest mengandung 5 mg natrium klorida. Air laut yang digunakan

53 37 dalam penelitian ini berkadar garam 5 permil supaya telur artemia menetas secara optimal (Mudjiman, 1989). Dalam penelitian ini, selama penetasan siste maupun pelaksanaan uji BST selalu digunakan ALB dengan kadar garam yang sama yaitu 5 permil supaya artemia hidup dalam kondisi yang sama. Dalam kondisi lingkungan hidup yang sama diharapkan siste dapat menetas dengan sempurna dan pada waktu digunakan dalam uji BST dapat memberikan hasil yang optimal, yiatu berupa kematian artemia yang harus terjadi akibat zat aktif yang terkandung dalam ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air.. F. Penetasan Siste Siste yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk kering. Siste kering memiliki kadar air kurang dari 10% yang berisi embrio dalam keadaan diapauze (metabolisme terhenti sementara). Untuk menetaskan siste kering, terlebih dahulu diperlukan perendaman dalam aquadest selama 1 jam yang bertujuan agar siste menyerap sejumlah air dan diperkirakan dalam waktu 1 jam kadar air di dalam siste sudah mencapai lebih dari 65%, sehingga embrio yang semula berada dalam keadaan diapauze metabolismenya dapat aktif kembali. Proses penyerapan air ke dalam telur berlangsung secara hiperosmotik (tekanan osmose di dalam telur yang lebih tinggi daripada di luarnya). ALB yang akan digunakan untuk menetaskan siste diaerasi selama 2 jam. Aerasi ini bertujuan untuk memberikan oksigen yang cukup bagi kelangsungan hidup artemia. Kekuatan aerasi sedang, tidak terlalu kuat dan tidak terlalu lemah. Siste ditetaskan dalam bak penetasan bersekat. Bak penetasan tersebut terdiri dari

54 38 dua bagian yaitu bagian gelap dan bagian terang yang dipisahkan oleh sebuah sekat yang bercelah. ALB yang telah diaerasi dituangkan ke dalam bak penetasan pada bagian gelap dengan ketinggian melebihi bagian terbawah dari sekat. Hal ini dimaksudkan agar ketika siste ditebarkan tidak mengalir ke bagian terang. Siste ditebarkan ke bagian yang gelap. Suhu ALB selama penetasan perlu dipertahankan antara C untuk mempercepat pemisahan cangkang siste dengan nauplius. Hal ini dapat dicapai dengan bantuan lampu 5 watt yang digantungkan di atas bak penetasan pada bagian yang terang. Penetasan siste menjadi nauplius berlangsung selama jam. Nauplius akan menuju ke bagian terang karena artemia memiliki sifat fototropik positif (tertarik pada cahaya). Nauplius yang berada pada bagian terang inilah yang akan digunakan untuk BST, karena nauplius yang mampu bergerak menuju bagian yang terang menandakan bahwa nauplius tersebut sehat. Nauplius dapat bertahan selama ± 2 hari setelah menetas tanpa diberi makanan. Nauplius yang baru menetas berwarna kemerah-merahan karena masih mengandung makanan cadangan, namun setelah 24 jam cadangan makanan larva habis bersamaan dengan terbentuknya mulut, saluran pencernaan dan dubur. Dengan demikian maka nauplius mulai membutuhkan lebih banyak makanan demi kelangsungan hidupnya. Suspensi ragi Saccharomyces cerevisae diberikan sebagai sumber makanan bagi larva artemia. Sebelum dibuat suspensi, ragi dipanaskan terlebih dahulu dengan oven pada suhu 100 C selama 10 menit untuk menghindari tumbuhnya jamur dan bakteri pada ragi yang dapat mengganggu jalannya

55 39 penelitian. Hal ini perlu diperhatikan supaya kematian artemia benar- benar disebabkan karena bahan uji, yaitu ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air herba pegagan embun, bukan karena jamur atau bakteri. G. Toksisitas Akut dengan Metode BST Uji toksisitas akut berdasarkan metode BST dilakukan dengan menggunakan larva artemia yang berumur 48 jam, karena pada umur tersebut larva artemia masih sangat peka. Hal ini disebabkan karena pada umur 48 jam membran yang menyelubungi tubuh artemia masih tipis sehingga senyawa monoterpenoid/sesquiterpenoid dan flavonoid yang terkandung dalam ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air bisa berdifusi masuk ke dalam tubuh artemia, sehingga kematian artemia benar-benar disebabkan karena keberadaan senyawa tersebut di dalam tubuh artemia. Bila artemia yang digunakan dalam uji BST berumur lebih dari 48 jam dikhawatirkan membran yang menyelubungi tubuh artemia sudah mengeras (terbentuk karapak) sehingga monoterpenoid/sesquiterpenoid dan flavonoid yang terkandung dalam ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air tidak bisa berdifusi masuk ke dalam tubuh artemia dan tidak dapat menimbulkan kematian. Bila artemia yang digunakan dalam uji BST berumur kurang dari 48 jam dikhawatirkan organ-organ belum terbentuk dengan sempurna, sehingga kematian artemia bukan disebabkan keberadaan monoterpenoid/sesquiterpenoid dan flavonoid yang terkandung dalam ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air.

56 40 Selain itu, penggunaan larva artemia dalam mendeteksi senyawa yang memiliki aktivitas sitotoksik berdasarkan pada adanya kesamaan sistem enzim antara artemia dengan mamalia. Sistem enzim tersebut adalah tipe DNAdependent RNA polymerase dan oubaine sensitive Na + and K + dependent ATPase (Solis et all., 1993), sehingga jika suatu senyawa antikanker berefek toksik terhadap larva artemia maka senyawa tersebut dapat digunakan pada mamalia. Tetapi perkembangan larva artemia tidak dapat dikaitkan dengan perkembangan sel kanker karena memang tidak ada penelitian yang menegaskan hal tersebut. Senyawa yang diduga mempunyai aktivitas sitotoksik dalam herba pegagan embun adalah senyawa monoterpenoid/esquiterpenoid dan flavonoid. Namun mekanisme kedua senyawa tersebut dalam membunuh sel kanker belum diketahui secara terperinci. Mekanisme sitotoksisitas dari monoterpenoid/sesquiterpenoid yaitu dengan menginduksi terjadinya apoptosis. Sel akan mendapatkan signal terlebih dahulu sebelum melakukan apoptosis. Signal untuk melakukan apoptosis ini diatur oleh protein sel. Protein sel akan mempengaruhi mitokondria untuk meningkatkan permeabilitas membrannya, sehingga mengakibatkan keluarnya faktor-faktor pemicu terjadinya apoptosis, seperti sitokrom c dan Apaf 1. Sitokrom c dilepaskan seiring dengan meningkatnya permeabilitas membran mitokondria, berikatan dengan Apaf 1 dan ATP. Kemudian akan mengikat procaspase 9 membentuk kompleks apoptosome. Kompleks ini akan memotong procaspase 9 menjadi bentuk yang lebih aktif yaitu caspase 9, yang kemudian akan mengaktivasi caspase 3 dan terjadi apoptosis.

57 41 Gambar 6. Bagan mekanisme terjadinya apoptosis (Rajesh et al., 2003) Monoterpenoid/sesquiterpenoid menginduksi apoptosis melalui jalur ekstrinsik dengan jalur Fas/Fas ligand. Dalam menjalankan tugasnya suatu Fas reseptor harus berinteraksi dengan Fas ligand. Interaksi antara Fas reseptor dan Fas ligand membentuk death-induced signaling complex (DISC). DISC terdiri dari berbagai protein di antaranya FADD, caspase 8 dan caspase 10. DISC merupakan kompleks protein yang akan memberikan sinyal untuk melakukan apoptosis. Monoterpenoid, khususnya dapat menghambat peralihan fase G2/M dalam siklus sel dan selama penghambatan ini tidak dihasilkan FADD. FADD dapat mempercepat terjadinya apoptosis di dalam sel, akan tetapi FADD dapat pula melindungi sel dari radiasi yang dimaksudkan untuk menghancurkan sel kanker. Dalam hal ini, monoterpenoid akan menggantikan kedudukan FADD sehingga proses apoptosis dapat tetap berlangsung dan sel kanker dapat dimatikan.

58 42 Gambar 7. Mekanisme monoterpenoid menginduksi apoptosis (Rajesh, et al., 2003) Senyawa flavonoid banyak disebut-sebut berpotensi sebagai antitumor atau antikanker. Flavonoid dapat menginduksi terjadinya apoptosis (mekanisme kematian sel yang terprogram) pada sel kanker dengan mencegah terjadinya mutasi protein 53 (p53). Pada sel normal, jika suatu sel terpapar radiasi ionisasi atau promoter-promoter lain yang dapat menyebabkan kerusakan DNA maka protein 53 bekerja dengan memutus siklus sel tersebut. Langkah selanjutnya ada dua kemungkinan yaitu sel ini akan memperbaiki kerusakan DNA sehingga menjadi sel normal kembali yang kemudian dapat membelah menghasilkan sel-sel normal atau kemungkinan kedua yaitu jika kerusakan DNA sangat parah dan tidak dapat diperbaiki lagi, maka akan terjadi kematian sel yang terprogram atau yang lebih dikenal dengan apoptosis (Albert, Johnson, Lewis, Raff, Roberts and Walter, 2002). Namun pada sel yang kekurangan atau tidak mempunyai p53, salah satunya akibat terjadinya mutasi p53, jika sel tersebut terkena radiasi ionisasi atau promotor-promotor lain dan menyebabkan kerusakan DNA, maka tidak terjadi pemutusan siklus sel tersebut. Langkah selanjutnya juga ada dua kemungkinan yaitu pembelahan sel dengan kerusakan kromosom terus berlangsung menyebabkan kegagalan mitosis dan sel mati sehingga tumor menjadi jinak atau

59 43 kemungkinan kedua yaitu sel tumor mengalami mutasi, seleksi dan evolusi yang berkepanjangan yang menyebabkan terjadinya kanker. Gambar 8. Mekanisme flavonoid menginduksi apoptosis (Albert, et al., 2002) Monoterpenoid/sesquiterpenoid dan flavonoid seperti sudah dijelaskan di atas, diketahui dapat menyebabkan kematian sel. Kematian sel dapat terjadi apabila monoterpenoid/sesquiterpenoid dan flavonoid berada di dalam tubuh artemia. Monoterpenoid/sesquiterpenoid dan flavonoid dapat masuk ke dalam tubuh artemia melalui kulit artemia yang belum terselubungi karapak (pada umur 48 jam). Monoterpenoid/sesquiterpenoid dan flavonoid dapat masuk ke dalam tubuh artemia melalui mekanisme difusi pasif. Artemia diibaratkan sebagai sebuah sel yang dilapisi membran semipermeabel, kemudian molekul-molekul monoterpenoid/sesquiterpenoid dan flavonoid akan bergerak melewatinya. Molekul-molekul tersebut bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi menuju sisi lain yang kadarnya lebih rendah. Di dalam sel, molekul-molekul itu akan

60 44 merusak sistem enzim yang ada (DNA-dependent RNA polymerase atau Na + -K + ATPase) sehingga dapat mengakibatkan kematian sel. Sampel yang digunakan adalah ekstrak ekstrak dietil eter dengan konsentrasi 10, 32, 102, 328 dan 1049 µg/ml dan metanol dengan konsentrasi 250, 500, 1000, 2000 dan 4000 µg/ml. Konsentrasi tersebut didapatkan setelah melakukan uji BST awal dengan konsentrasi 10, 100, dan 1000 µg/ml. Setelah dilakukan pengujian dengan masing-masing ekstrak pada konsentrasi 10, 100, dan 1000 µg/ml, diperoleh jumlah larva yang mati dan kemudian digunakan untuk menghitung persentase kematian larva tersebut. Dari data persentase kematian ini diambil konsentrasi yang memberikan harga persentase kematian larva antara 20%-80% sebagai konsentrasi terendah dan konsentrasi tertinggi. Digunakan persentase kematian larva antara 20%-80% karena dengan persentase kematian tersebut sudah dapat memberikan kurva yang lebih linier, sehingga LC 50 yang didapatkan pada uji BST ini lebih dapat menggambarkan hasil yang sebenarnya. Flakon-flakon yang telah berisi larutan uji dikeringuapkan diatas waterbath pada suhu 60ºC. Hal ini dimaksudkan untuk menguapkan pelarut, sehingga yang tertinggal di dalam flakon hanya ekstrak yang berisi zat aktif dan jika terdapat kematian pada artemia bukan disebabkan oleh adanya pelarut. ALB yang digunakan untuk uji toksisitas akut ini juga diaerasi selama 2 jam untuk memberikan oksigen yang cukup bagi kelangsungan hidup artemia, sehingga bila terdapat artemia yang mati bukan disebabkan karena kekurangan oksigen. Dalam uji toksisitas ini juga digunakan kelompok kontrol yang berfungsi sebagai faktor koreksi akan kematian larva yang bukan disebabkan oleh pengaruh ekstrak herba

61 45 pegagan embun. Pembuatan kontrol sama dengan pembuatan sampel uji, hanya saja pada kontrol tidak berisi sampel (ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air). Suspensi ragi diberikan sebagai sumber makanan bagi larva artemia. Suspensi ragi ini dibuat dengan melarutkan 3 mg ragi dalam 5 ml ALB. Pemberian makanan pada larva artemia ini tidak boleh berlebihan cukup setetes saja pada tiap flakonnya. Hal ini dikarenakan artemia merupakan filter feeder, yaitu makan dengan cara menyaring makanannya. Sebagai filter feeder, artemia menelan apa saja yang ukurannya kecil (kurang dari 50 µm). Artemia tidak bisa membedakan mana makanan dan mana yang bukan makanan. Apabila makanan baru masuk ke dalam tubuh artemia secara terus-menerus dalam jumlah yang berlebihan, maka akan mendesak makanan yang sudah ada sebelumnya yang belum sempat dicerna dengan sempurna. Bila terjadi demikian, maka makanan yang belum sempat dicerna dengan sempurna tersebut akan keluar lagi dari usus. Keadaan seperti ini akan membuat artemia menjadi kelaparan dalam timbunan makanan dan dapat menyebabkan kematian. Hal tersebut dapat mengacaukan pengambilan data karena larva mati bukan karena pemberian perlakuan melainkan karena pemberian makanan yang berlebihan. Flakon-flakon tersebut diletakkan dalam suatu kotak yang ditutupi dengan kain supaya terhindar dari serangga dan diberi penerangan dengan lampu 5 watt supaya suhu pada waktu penelitian sama dengan suhu pada waktu penetasan siste. Jumlah larva artemia yang hidup dihitung setelah 24 jam. Larva dikatakan masih hidup jika masih menunjukkan pergerakan yang aktif. Pergerakan pada larva dilakukan oleh sungut besar atau antena II-nya. Sungut tersebut akan terus-

62 46 menerus bergerak selama larva masih hidup karena selain berfungsi sebagai alat gerak, sungut tersebut berfungsi juga sebagai alat pernafasan. Dengan menghitung larva artemia yang hidup, maka besarnya kematian larva bisa ditentukan. Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Abbot data yang diperoleh berupa besarnya persen kematian dikarenakan ada kontrol yang mati. Kontrol digunakan untuk mengoreksi kematian larva yang bukan disebabkan oleh pengaruh ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air herba pegagan embun. Tabel II. Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak dietil eter herba pegagan embun Konsentrasi ekstrak dietil eter (µg/ml) Kematian (%) 10 19, , , , ,9 Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya konsentrasi senyawa uji berbanding lurus dengan persen kematian artemia (Tabel II dan III), semakin tinggi konsentrasi maka semakin tinggi persen kematian artemia. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis probit menggunakan program SPSS 10.0 dengan taraf kepercayaan 95% untuk menentukan nilai LC 50. Analisis probit digunakan dalam penentuan LC 50, karena analisis probit dapat mengamati efek yang terjadi akibat pemberian suatu konsentrasi, selain itu dapat memberikan nilai regresi yang menghasilkan garis linear sehingga memudahkan dalam penentuan nilai LC 50. Pada analisis probit, konsentrasi sampel ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma konsentrasi sebagai variabel tetap

63 47 (nilai x), sedangkan nilai probit dari prosentase kematian ditetapkan menjadi variabel tergantung (nilai y). Persamaan garis linear untuk ekstrak dietil eter yang diperoleh dari hasil analisis probit yaitu y = 0,83893x 1,98107 (lampiran 4). Nilai LC 50 yang diperoleh sebesar 229 µg/ml. Kurva hubungan antara nilai probit dengan log konsentrasi ekstrak dietil eter dapat dilihat pada gambar 3.,8,6 Probit Transformed Responses,4,2,0 -,2 -,4 -,6 Probit -,8-1,0 Rsq = 0,8566,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 Log of KONS Gambar 4. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak dietil eter herba pegagan embun Konsentrasi ekstrak dietil eter herba pegagan embun dimana dapat membunuh 50% hewan uji (LC 50 ) juga dapat diketahui dengan menggunakan kurva di atas, yaitu dengan menarik garis lurus pada probit 0,0 ke arah kanan sampai pada garis, lalu ditarik garis ke arah bawah, didapatkan log konsentrasi sebesar 2,36 sehingga konsentrasinya sebesar 229 μg/ml. Berdasarkan kurva (Gambar 3) diperoleh pula nilai Rsq yang merupakan koefisien determinasi. Nilai Rsq mengukur tingkat ketepatan/kecocokan dari

64 48 regresi linier sederhana, yaitu merupakan proporsi/presentase sumbangan x terhadap variasi (naik dan turunnya) y. Nilai Rsq yang diperoleh sebesar 0,8566, berarti bahwa presentase sumbangan x yaitu konsentrasi ekstrak dietil eter herba pegagan embun terhadap variasi yaitu respon (jumlah kematian artemia) sebesar 85,66%. Berdasarkan kurva hubungan antara nilai probit dengan log konsentrasi ekstrak dietil eter yang dihasilkan, terdapat korelasi yang diharapkan antara konsentrasi dengan respon (nilai probit). Korelasi yang positif ditunjukkan dengan meningkatnya nilai probit seiring dengan meningkatnya log konsentrasi serta nilai koefisien korelasi yang mendekati 1 (r = 0,9255). Nilai r menggambarkan hubungan yang kuat antara variabel x dan y, yang diperoleh dengan mengambil akar dari Rsq. Pada tabel nilai r dengan taraf kepercayaan 95% didapatkan nilai r sebesar 0,88 sehingga nilai r hitung lebih besar daripada nilai r tabel. Hal ini menunjukkan adanya korelasi yang linier antara konsentrasi dengan nilai probit. Tabel III. Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak metanol-air herba pegagan embun Konsentrasi ekstrak metanol-air (µg/ml) Kematian (%) , , , , ,5 Persamaan garis linear untuk ekstrak metanol-air diperoleh persamaan garis linear y = 1,82781x 5,27533 (lampiran 5). Nilai LC 50 yang diperoleh

65 49 sebesar 769 µg/ml. Kurva hubungan antara nilai probit dengan log konsentrasi ekstrak dietil eter dapat dilihat pada gambar 4. 1,5 Probit Transformed Responses 1,0,5 0,0 -,5 Probit -1,0 Rsq = 0,9975 2,2 2,4 2,6 2,8 3,0 3,2 3,4 3,6 3,8 Log of KONS Gambar 5. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak metanol-air herba pegagan embun Menurut Meyer et all. (1982), suatu bahan uji dikatakan bersifat toksik terhadap larva artemia jika mempunyai nilai LC 50 < 1000 µg/ml, semakin kecil nilai LC 50 berarti toksisitasnya semakin besar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai LC 50 dari kedua ekstrak < 1000 µg/ml yaitu untuk ekstrak dietil eter sebesar 229 µg/ml dan ekstrak metanol-air sebesar 769 µg/ml. Dari hasil tersebut diketahui bahwa ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air sama-sama bersifat toksik terhadap larva artemia karena mempunyai nilai LC 50 < 1000 µg/ml, namun ekstrak yang bersifat lebih toksik adalah ekstrak dietil eter. Menurut kriteria ketoksikan akut (Loomis, 1978), ekstrak dietil eter dengan nilai LC µg/ml bersifat cukup toksik dan ekstrak metanol-air dengan nilai LC µg/ml bersifat sedikit toksik.

66 50 H. Uji Kualitatif Ekstrak Aktif dengan KLT Uji kromatografi lapis tipis dilakukan terhadap ekstrak toksik herba pegagan embun yaitu ekstrak dietil eter dan ekstrak metanol-air. Metode KLT dipilih karena memiliki banyak kelebihan dibandingkan kromatografi lain, diantaranya yaitu membutuhkan waktu yang singkat, memerlukan jumlah cuplikan yang sedikit serta pengerjaan yang sederhana. Pemeriksaan kandungan kimia secara KLT ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai kandungan senyawa terpenoid dan flavonoid dalam ekstrak aktif herba pegagan embun. Pereaksi-pereaksi yang digunakan dalam KLT mampu memberikan hasil berupa informasi umum mengenai golongan senyawa terpenoid dan flavonoid yang terkandung dalam ekstrak dietil eter herba pegagan embun namun belum dapat memberikan informasi mengenai senyawa yang lebih terperinci. 1. Identifikasi terpenoid Fase diam yang digunakan untuk mendeteksi adanya senyawa terpenoid adalah silika gel GF 254. Silika gel GF 254 merupakan silika gel yang mengandung gypsum (CaSO 4 ) yang berfungsi sebagai perekat agar silika gel lebih terikat pada lempeng pendukungnya yang mengandung indikator fluoresensi pada panjang gelombang 254 nm. Jika senyawa pada bercak memiliki ikatan rangkap terkonjugasi atau cincin aromatik maka bercak akan meredam pada panjang gelombang 254 nm, sedangkan pada panjang gelombang 365 nm bercak akan berfluoresensi. Fase gerak yang digunakan toluene-etil asetat (93:7 v/v) (Stahl, 1985). Deteksi yang digunakan untuk mengidentifikasi senyawa golongan

67 51 terpenoid yaitu pereaksi vanilin asam sulfat. Pada pemeriksaan senyawa terpenoid pada ekstrak dietil eter tidak digunakan pembanding karena pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui keberadaan senyawa terpenoid, khususnya monoterpenoid dan sesquiterpenoid. Tabel IV. Hasil KLT pemeriksaan terpenoid dalam ekstrak dietil eter herba pegagan embun Bercak Vanillin asam sulfat Rf Warna 1. Sampel 1. 0,17 Ungu 2. 0,41 Ungu keabu-abuan 3. 0,87 Ungu Gambar 10. Kromatogram ekstrak dietil eter herba pegagan embun untuk pemeriksaan senyawa terpenoid Keterangan : Fase diam : Silika gel GF 254 Fase gerak : Toluene-etil asetat (97:3 v/v) Sampel : ekstrak dietil eter herba pegagan embun Deteksi : vanillin asam sulfat (110 C, 10 menit) Berdasarkan deteksi menggunakan pereaksi semprot vanilin asam sulfat terdapat bercak berwarna ungu keabu-abuan dengan nilai Rf 0,41. Secara umum,

68 52 pemeriksaan senyawa terpenoid menggunakan peraksi vanilin asam sulfat menghasilkan bercak berwarna biru keabu-abuan, sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam ekstrak dietil eter herba pegagan embun terdapat senyawa terpenoid, khususnya monoterpenoid atau sesquiterpenoid. Keberadaan monoterpenoid/sesquiterpenoid ini dalam ekstrak dietil eter yang memungkinkan adanya khasiat antitumor pada herba pegagan embun, karena monoterpenoid/sesquiterpenoid telah diketahui dapat mematikan sel. O CH 3 + O C H + H 2 SO 4 HO CH 2 OH Terpenoid Vanilin CH 3 O OH O kompleks ungu keabu-abuan Gambar 9. Reaksi vanilin asam sulfat untuk pemeriksaan senyawa terpenoid

69 53 2. Identifikasi flavonoid Pemeriksaan senyawa flavonoid terhadap ekstrak metanol-air menggunakan fase diam selulosa. Selulosa digunakan dalam identifikasi flavonoid karena tidak mengandung logam pengotor bila dibandingkan dengan fase diam silika gel yang mengandung logam Si dan gugus hidroksil. Semakin besar jumlah gugus hidroksil pada senyawa maka akan semakin kuat senyawa itu ditahan oleh fase diam (Johnson, 1991) sehingga menyebabkan flavonoid tidak dapat ikut terelusi bersama fase gerak. Fase gerak yang digunakan yaitu n-butanol : asam asetat : air (4:1:5 v/v) diambil fase atasnya, sedangkan pembanding yang digunakan adalah rutin. Rutin merupakan suatu glikosida flavonol. Menurut Harborne (1987), kebanyakan senyawa fenol terutama flavonoid dapat dideteksi pada kromatogram berdasarkan warna atau fluoresensi di bawah sinar UV. Deteksi bercak dengan pereaksi uap ammonia menghasilkan bercak berwarna kuning (Wagner et al.,1984). Tabel V. Hasil KLT pemeriksaan flavonoid dalam ekstrak metanol air herba pegagan embun Bercak UV 365 nm Uap ammonia Rf Warna Rf Warna 1. Sampel 1. 0,86 Ungu 1. 0,86 Kuning 2. Rutin 1. 0,68 Ungu 1. 0,68 Kuning Hasil deteksi pada sinar UV 365 nm menunjukkan bahwa bercak-bercak sampel berfluoresensi menghasilkan warna ungu (lembayung gelap) dan setelah diuapi dengan ammonia berubah menjadi warna kuning dengan nilai Rf 0,86. Pada pembanding rutin juga ditemui warna bercak ungu (lembayung gelap) dan

70 54 setelah diuapi dengan ammonia berubah menjadi warna kuning dengan nilai Rf 0,68. Menurut Mursyidi (1990), glikosida flavonoid biasanya memberikan warna khas ungu tua yang kemudian berubah menjadi hijau kekuningan bila diuapi ammonia dengan nilai Rf 0,6-0,8. OH O - O + NH3 -NH 4 + O O O O O O - kompleks warna kuning Gambar 9. Reaksi dengan uap amonia untukpemeriksaan senyawa flavonoid Hasil uji KLT menunjukkan adanya kemiripan warna bercak dan nilai Rf antara sampel (ekstrak metanol-air) dengan pembanding rutin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ekstrak metanol-air mengandung flavonoid. Jenis flavonoid yang terdapat dalam ekstrak metanol-air yaitu glikosida flavonoid. Glikosida flavonoid mudah larut dalam pelarut dan campuran pelarut dengan air akan meningkatkan kelarutannya. Hal ini sesuai dengan pemilihan cairan penyari yang digunakan dan diharapkan kandungan flavonoid ini menunjukkan potensi sitotoksik karena mampu mematikan sel.

71 55 A B Gambar 11. Kromatogram ekstrak metanol-air herba pegagan embun untuk pemeriksaan senyawa flavonoid Keterangan : Fase diam : Selulosa Fase gerak : n-butanol : asam asetat : air (4 : 1 : 5) a. Pembanding : rutin b. Sampel : ekstrak metanol-air herba pegagan embun A. Deteksi sinar UV 365 nm. B. Deteksi uap amonia

72 56 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Potensi toksik ekstrak dietil eter yang dinyatakan dengan nilai LC 50 sebesar 229 μg/ml dan ekstrak metanol-air sebesar 769 μg/ml. 2. Ekstrak dietil eter mempunyai potensi toksik lebih tinggi daripada ekstrak metanol-air (Meyer et al, 1982). Menurut Loomis (1978), ekstrak dietil eter bersifat cukup toksik & ekstrak metanol-air bersifat sedikit toksik. 3. Ekstrak dietil eter mengandung senyawa terpenoid (khususnya mono- & sesquiterpenoid) dan ekstrak metanol-air mengandung senyawa flavonoid B. Saran Perlu dilakukan fraksinasi terhadap ekstrak dietil eter. Kemudian dari fraksi yang diperoleh dapat dilakukan uji sitotoksisitas menggunakan biakan sel kanker untuk mengetahui kemungkinannya sebagai senyawa antikanker.

73 57 DAFTAR PUSTAKA Albert, B., Johnson, A., Lewis, J., Raff, M., Roberts, K., and Walter. P., 2002, Molecular Biology of The Cell, Fourth Edition, Garland Science, Taylor and Francis Group, New York. Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 1-17, Departemen Kesehatan Replubik Indonesia, Jakarta. Anonim, 2002, Chemical compotition of two species of Hydrocotyle (Apiaceae), File : minijaj@usa.net. Diakses pada tanggal 22 Maret Anonim, 2006, Flavonoid, File : diakses pada tanggal 4 Mei Anonim, 2007, Kapsul Sarang Semut, File : diakses pada tanggal 14 April 2007 Backer, C.A., and Bakhuizen van den Brink, R.C., 1963, Flora of Java, Vol. II, 172, Noodoff, GGroningen, The Netherlands. Campbell, N.A., Recee, J.B., and Mitchell, L.G., 2002, BIOLOGY, diterjemahkan oleh Rahayu Lestari, Edisi 5, , Penerbit Erlangga, Jakarta. Carballo, J. Luis, Zaira, L.H., Perez, P., Garcia Gravalos, M.D., 2002, A comparison between two brine shrimp assay to detect in vitro cytoxicity in marine natural product, Diakses pada tanggal 10 Agustus Colis, B.M., Chemotheraphy of Cancer, Asian J Mod Med., 1874, 10; Dwiatmaka, Y., 2000, Skrining Tanaman Berkhasiat Antikanker dengan Metode BST dalam Yuswanto, (Eds), kanker, , Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta. Harborne, J.B., 1987, Phytochemical Methods, Alih bahasa Padmawinata, K., Soediro, I., 13, , Institut Tehnologi Bandung, Bandung. Ganong, W.F., 1995, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, diterjemahkan oleh dr. Petrus Andrianto, Edisi 14, 22-29, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Johnson. L., Stevenson, 1991, Basic Liquid Chromatography, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, 56-57, Penerbit ITB, Bandung.

74 58 Katzung, B. E., Trevor, A. J., 1993, Pharmacology, Examination and Board Review, 4 th ed, 371, Prentice-Hall International Inc, USA. Loomis, T.A., 1978, Essential of Toxicology, Edisi III, diterjemahkan oleh Imono Argo Donatus, , IKIP Semarang, Semarang. Marby, T.J., Markham, K.R., and Thomas, M.B., 1970, The Systematic Identification of Flavonoid, 13, Springer Verlag, Berlin. Markham, K.R., 1988, Techniques of Flavonoid Identification, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, 15-17, Penerbit ITB, Bandung. Meyer, B.N., Ferrigni, N.R., Putnam, J.E., Jacobsen, L.B., Nichols, D.E., and McLaughlin, J.L., 1982, Brine Shrimp : A Convinient General Bioassay Active Constituent, Planta Medica Volume 45, Mudjiman, A., 1989, Udang Renik Air Asin, 15-18, Bathara, Jakarta. Mudjiman, A., 1991, Makanan Ikan, 72-88, Penebar Swadaya, Jakarta. Mursyidi, A., 1990, Analisis Metabolit Sekunder, , Penerbit UGM, Yogyakarta. Negara, A., 2003, Penggunaan Analisis Probit Untuk Pendugaan Tingkat Kepekaan Populasi Spodoptera Exigua Terhadap Deltametrin Di Daerah Istimewa Yogyakarta Diakses pada tanggal 12 Januari 2007 Oemarjati, B.S., dan Wardhana, W., 1990, Taksonomi Avertebrata, , Universitas Indonesia Press, Jakarta. Rajesh, D., Rachelle, A., Stenzel, and Howard, S.P., 2003, Perillyl Alcohol as a Radio/Chemosensitizer in Malignant Glioma Diakses pada tanggal 28 Juli 2007 Robinson, T., 1995, The Organic Constituent of Higher Plants, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, 71-71, , edisi VII, Penerbit ITB, Bandung. Silva, G.L., Lee, I.S., Kinghorn, A.D., 1998, Special Problem with the Extraction of Plants, in Cannel, R.J.R. (Ed), Natural Products Isolation, Humana Press Inc., Totowa, New Jersey,

75 59 Sirait, A.M., Soetiarto, F., Oemiati, R., 2003, Ketahanan Hidup Penderita Kanker Serviks di Rumah Sakit Dharmais Jakarta, Buletin Penelitian Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, DepKes RI, Jakarta, Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Edisi kedua, Airlangga Univercity Press, Surabaya. Solis, P.N., Wright, C.Q., Anderson, M.M., Gupta, M.P., and Phillipson, J.D., 1993, A Microwell Cytotoxicity Assay using Artemia salina (Brine Shrimp), Planta Medica Volume 59, Stahl, E., 1985, Drug Analysis by Chromatography and Microscopy, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, 3-6, edisi VII, Penerbit ITB, Bandung. Tanu, I., 1998, Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, Wagner, H., Brady, S., dan Zgainski, E.M., 1984, Plant Drug Analysis A Thin Layer Chromatography Atlas, 8, 40-41, Springer Verlag, Berlin.

76 c.' fi*t L&dF4 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHAIIMA (bpus!r)r hi4a4 rdp. lo274j , 333e63 Fd (0274) 336s2e-r.rcsrm : sd sn yocya SURAT PENGESAHAN DETERMINASI No:!r /LKTO/Iai-USD/ d / 07 Laboralor ium Kc bun Tananra tr O bot Fak u lbs Famlsi Un ive6 ilrs S.nara Dhalma, ncntrhkd batrsa telah melakukan dcrcminasile adrp saru contoh ranaman. denge uma:!.lruc a 1t I e t i b t ha rp i o i.te s Lft k. (Pcsae.n Embun) Detcminasi lelah dilakukanecda benasesuai Backer,C.A..dd Backiruizen Vdn de Brink Jr., R.c't96J, ;lotu of Joa, vol. r,3-9, 25-26, N v.p. Nod.dho crcn ingen, Thc Nedolands. aacko.c.a,,md Backhuizen Vm dc Brirk lr., R.C.,t965,,rlrfa o/jo.4 Vot., l7t-t22, N.V.p. NNrdholi 6 ron insen, 'thc Ncdftands. Hins$ lclaeorir jenis Gpesies) Tar:man te^cbut dipak i drlam peneliri.n: ToksGibs Akut Ek$ok Mchnot Air dln Eksrak DiclilErcr Heda P.gdur [mbun(/trro.,,]/g sibltorpkides Lnk.) tcthtdtp /14euia satina Leaoi. Meia l{osa ImaBudi Cahyani Fakulbs Famasi UniveNiras Sanab Dhdma Hdbariur disimdon Laboanoium Biologi umun, F.&uliis F.m6i UnivcNilas Demikian su?t penbeentu deteminasi inidibu unruk dapat dipequnakm seblgoi t d'-*"on r.a,l

77 Lampiran 2. Foto tanaman pegagan embun

78 Lampiran 3. Foto aquarium untuk uji BST

79 Lampiran 4. Foto KLT untuk pemeriksaan terpenoid ekstrak dietil eter herba pegagan embun Keterangan : Fase diam : Silika gel GF 254 Fase gerak : Toluene-etil asetat (97:3 v/v) Sampel : ekstrak dietil eter herba pegagan embun Deteksi : vanillin asam sulfat (110 C, 10 menit)

80 Lampiran 5. Foto KLT untuk pemeriksaan flavonoid ekstrak metanol-air herba pegagan embun A B Keterangan : Fase diam : Selulosa Fase gerak : n-butanol : asam asetat : air (4 : 1 : 5) a. Pembanding : rutin b. Sampel : ekstrak metanol-air herba pegagan embun A. Deteksi sinar UV 365 nm. B. Deteksi uap amonia

81 Lampiran 6. Analisis probit ekstrak dietil eter * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * DATA Information 5 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested. * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * Parameter estimates converged after 11 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. KONS,83893, ,00486 Intercept Standard Error Intercept/S.E. -1,98107, ,23635 Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = 1,510 DF = 3 P =,680 Since Goodness-of-Fit Chi square is NOT significant, no heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits. * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Prob Number of Observed Expected KONS Subjects Responses Responses Residual, ,00 10,0 1,9 1,267,643 \, ,51 10,0 2,1 2,363 -,233, ,01 10,0 2,4 3,842-1,452, ,52 10,0 6,2 5,514,656, ,02 10,0 7,4 7,099,291

82 * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * Confidence Limits for Effective KONS 95% Confidence Limits Prob KONS Lower Upper,01,38764, ,30391,02,81916, ,90867,03 1,31684, ,35950,04 1,88201, ,78833,05 2,51637, ,24839,06 3,22218, ,76978,07 4,00218, ,37345,08 4,85953, ,07618,09 5,79774, ,89297,10 6,82071, ,83819,15 13,36626, ,03134,20 22,81528, ,21474,25 36, , ,68699,30 54, , ,45863,35 79, , ,14254,40 114, , ,30665,45 162, , ,26392,50 229, , ,32013,55 324, , ,30345,60 460, , ,34154,65 661, , ,64785,70 969, , ,18065, , , ,85099, , , ,33494, , , ,55573, , , ,8097, , , ,1125, , , ,7548, , , ,026, , , ,289, , , ,575, , , ,652, , , ,34, , , ,08, , , ,4

83 Probit Transformed Responses,8,6,4,2,0 -,2 -,4 -,6 Probit -,8-1,0 Rsq = 0,8566,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 Log of KONS

84 Lampiran 7. Analisis probit ekstrak metanol-air * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * DATA Information 5 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested. * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * Parameter estimates converged after 12 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. KONS 1,82781, ,59785 Intercept Standard Error Intercept/S.E. -5, , ,48413 Pearson Goodness-of-Fit Chi Square =,037 DF = 3 P =,998 Since Goodness-of-Fit Chi square is NOT significant, no heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits. * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * Observed and Expected Frequencies Prob Number of Observed Expected KONS Subjects Responses Responses Residual, ,40 10,0 1,8 1,861 -,021, ,70 10,0 3,8 3,661,139, ,00 10,0 5,7 5,824 -,084, ,30 10,0 7,6 7,759 -,149, ,60 10,0 9,2 9,047,103

85 * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * Confidence Limits for Effective KONS 95% Confidence Limits Prob KONS Lower Upper,01 41,05819, ,84696,02 57, , ,80507,03 71, , ,00096,04 84, , ,57399,05 96, , ,02072,06 108, , ,07727,07 119, , ,16915,08 131, , ,56897,09 142, , ,46459,10 153, , ,99291,15 208, , ,14275,20 266, , ,01691,25 328, , ,28681,30 397, , ,32588,35 473, , ,59996,40 559, , ,97956,45 656, , ,57345,50 769, , ,50655,55 901, , ,12049, , , ,66731, , , ,78230, , , ,48621, , , ,00235, , , ,02268, , , ,67747, , , ,73272, , , ,94437, , , ,71175, , , ,11172, , , ,29420, , , ,09251, , , ,83596, , , ,31315, , , ,50432, , , ,56126

86 Probit Transformed Responses 1,5 1,0,5 0,0 -,5 Probit -1,0 Rsq = 0,9975 2,2 2,4 2,6 2,8 3,0 3,2 3,4 3,6 3,8 Log of KONS

87 Lampiran 8. Cara perhitungan pembuatan seri konsentrasi larutan sampel herba pegagan embun a. Pembuatan larutan stok Larutan stok ekstrak metanol-air dipersiapkan sebagai larutan A dan larutan B. Larutan A dibuat dengan menimbang 100 mg ekstrak kental metanolair yang kemudian dilarutkan dengan 10 ml metanol pa. Larutan B dibuat dengan mengencerkan 1 ml larutan A dengan 10 ml metanol pa. Larutan stok ekstrak dietil eter juga dipersiapkan sebagai larutan A dan larutan B. Larutan A dibuat dengan menimbang 100 mg ekstrak kental dietil eter yang kemudian dilarutkan dengan 10 ml dietil eter pa. Larutan B dibuat dengan mengencerkan 1 ml larutan A dengan 10 ml dietil eter pa. b. Pembuatan seri konsentrasi untuk ekstrak metanol-air Untuk konsentrasi 250 µg/ml (0,25 mg/ml): Diambil dari larutan A V 1 x C 1 = V 2 x C 2 V 1 x 10 mg/ml = 5 ml x 0,25 mg/ml 5 ml x 0,25 mg/ml V 1 = mg/ml V 1 = 0,125 ml Untuk konsentrasi 500 µg/ml (0,50 mg/ml): Diambil dari larutan A V 1 x C 1 = V 2 x C 2 V 1 x 10 mg/ml = 5 ml x 0,50 mg/ml 5 ml x 0,50 mg/ml V 1 = mg/ml = 0,25 ml V 1

88 Untuk konsentrasi 1000 µg/ml (1 mg/ml): Diambil dari larutan A V 1 x C 1 = V 2 x C 2 V 1 x 10 mg/ml = 5 ml x 1 mg/ml 5 ml x 1 mg/ml V 1 = mg/ml V 1 = 0,5 ml Untuk konsentrasi 2000 µg/ml (2 mg/ml): Diambil dari larutan A V 1 x C 1 = V 2 x C 2 V 1 x 10 mg/ml = 5 ml x 2 mg/ml 5 ml x 2 mg/ml V 1 = mg/ml V 1 = 1 ml Untuk konsentrasi 4000 µg/ml (4 mg/ml): Diambil dari larutan A V 1 x C 1 = V 2 x C 2 V 1 x 10 mg/ml = 5 ml x 4 mg/ml 5 ml x 4 mg/ml V 1 = mg/ml V 1 = 2 ml c. Pembuatan seri konsentrasi untuk ekstrak dietil eter Untuk konsentrasi 10 µg/ml (0,01 mg/ml): Diambil dari larutan B V 1 x C 1 = V 2 x C 2 V 1 x 1 mg/ml = 5 ml x 0,01 mg/ml 5 ml x 0,01 mg/ml V 1 = mg/ml V 1 = 0,05 ml

89 Untuk konsentrasi 32 µg/ml (0,032 mg/ml): Diambil dari larutan B V 1 x C 1 = V 2 x C 2 V 1 x 1 mg/ml = 5 ml x 0,032 mg/ml 5 ml x 0,032 mg/ml V 1 = mg/ml V 1 = 0,16 ml Untuk konsentrasi 102 µg/ml (0,102 mg/ml): Diambil dari larutan B V 1 x C 1 = V 2 x C 2 V 1 x 1 mg/ml = 5 ml x 0,102 mg/ml 5 ml x 0,102 mg/ml V 1 = mg/ml V 1 = 0,5 ml Untuk konsentrasi 328 µg/ml (0,328 mg/ml): Diambil dari larutan A V 1 x C 1 = V 2 x C 2 V 1 x 10 mg/ml = 5 ml x 0,328 mg/ml 5 ml x 0,328 mg/ml V 1 = mg/ml V 1 = 0,16 ml Untuk konsentrasi 1049 µg/ml (1,049 mg/ml): Diambil dari larutan A V 1 x C 1 = V 2 x C 2 V 1 x 10 mg/ml = 5 ml x 1,049 mg/ml 5 ml x 1,049 mg/ml V 1 = mg/ml V 1 = 0,52 ml

90 BIOGRAFI PENULIS Maria Rosa Irma Budi Cahyani dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 2 Oktober 1984 sebagai putri kedua dari pasangan YB. Sudono dan Lea Budiningsih. Penulis menempuh pendidikan di Taman Kanak-Kanak St. Theresia Muntilan pada tahun , dan pada tahun 1997 menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Marsudirini Mater Dei Muntilan. Pada tahun , penulis menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negri I Muntilan, dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Stella Duce II Yogyakarta pada Pada tahun 2003, penulis,melanjutkan pendidikan ke jenjang Strata Satu (S1) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung Lawu. Sedangkan pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Biologi dan Kimia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental laboratorium. Metode yang digunakan untuk mengekstraksi kandungan kimia dalam daun ciplukan (Physalis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama lima bulan dari bulan Mei hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Bengkel Teknologi Peningkatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan III. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan preparasi sampel, bahan, alat dan prosedur kerja yang dilakukan, yaitu : A. Sampel Uji Penelitian Tanaman Ara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan November 2015. Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk. dilakukan di daerah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Muhammadiyah Semarang di Jalan Wonodri Sendang Raya 2A Semarang.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Muhammadiyah Semarang di Jalan Wonodri Sendang Raya 2A Semarang. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium kimia program studi

Lebih terperinci

Analisis Hayati UJI TOKSISITAS. Oleh : Dr. Harmita

Analisis Hayati UJI TOKSISITAS. Oleh : Dr. Harmita Analisis Hayati UJI TOKSISITAS Oleh : Dr. Harmita Pendahuluan Sebelum percobaan toksisitas dilakukan sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat dan rencana penggunaannya Pengujian toksisitas

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2015 di Laboratorium Kimia Universitas Medan Area. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental di laboratorium untuk memperoleh data.data yang dikumpulkan adalah data primer. Pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji

BAB III METODOLOGI. Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji 19 BAB III METODOLOGI Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji pendahuluan golongan senyawa kimia, pembuatan ekstrak, dan analisis kandungan golongan senyawa kimia secara

Lebih terperinci

TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL KULIT UMBI KETELA GENDRUWO

TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL KULIT UMBI KETELA GENDRUWO TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL KULIT UMBI KETELA GENDRUWO (Manihot utilissima Pohl) DENGAN BRINE SHRIMP LETHALITY TEST Susan Retnowati, 2011 Pembimbing : (I) Sajekti Palupi, (II) Elisawati Wonohadi ABSTRAK

Lebih terperinci

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: Jenny Virganita NIM. M 0405033 BAB III METODE

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Latar dan Waktu Penelitian Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun dari tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kering, dengan hasil sebagai berikut: Table 2. Hasil Uji Pendahuluan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kering, dengan hasil sebagai berikut: Table 2. Hasil Uji Pendahuluan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Uji Flavonoid Dari 100 g serbuk lamtoro diperoleh ekstrak metanol sebanyak 8,76 g. Untuk uji pendahuluan masih menggunakan serbuk lamtoro kering,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat 47 LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat Biji Alpukat - Dicuci dibersihkan dari kotoran - Di potong menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di dua tempat yang berbeda, yaitu: 1. Tempat pengambilan sampel dan preparasi sampel dilakukan di desa Sembung Harjo Genuk Semarang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Molekuler dan Laboratorium Botani Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas

III. METODE PENELITIAN. Molekuler dan Laboratorium Botani Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni 2013 di laboratorium Biologi Molekuler dan Laboratorium Botani Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di 30 III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 - Januari 2013, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Januari 2010. Daun gamal diperoleh dari Kebun Percobaan Natar, Lampung Selatan

Lebih terperinci

PHARMACY, Vol.06 No. 02 Agustus 2009 ISSN ANALISIS KUALITATIF PARASETAMOL PADA SEDIAAN JAMU SERBUK PEGAL LINU YANG BEREDAR DI PURWOKERTO

PHARMACY, Vol.06 No. 02 Agustus 2009 ISSN ANALISIS KUALITATIF PARASETAMOL PADA SEDIAAN JAMU SERBUK PEGAL LINU YANG BEREDAR DI PURWOKERTO ANALISIS KUALITATIF PARASETAMOL PADA SEDIAAN JAMU SERBUK PEGAL LINU YANG BEREDAR DI PURWOKERTO Muhammad Irfan Firdaus*, Pri Iswati Utami * Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Jl. Raya

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN A. Kategori Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni untuk mengetahui aktivitas penangkap radikal dari isolat fraksi etil asetat ekstrak etanol herba

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. (1965). Hasil determinasi tanaman. Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. (1965). Hasil determinasi tanaman. Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Determinasi Tanaman Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kandungan rhodamin

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kandungan rhodamin digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kandungan rhodamin B pada pemerah pipi (blush on) yang beredar di Surakarta dan untuk mengetahui berapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemeriksaan kandungan kimia kulit batang asam kandis ( Garcinia cowa. steroid, saponin, dan fenolik.(lampiran 1, Hal.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemeriksaan kandungan kimia kulit batang asam kandis ( Garcinia cowa. steroid, saponin, dan fenolik.(lampiran 1, Hal. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 1. Pemeriksaan kandungan kimia kulit batang asam kandis ( Garcinia cowa Roxb.) menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoid, terpenoid, steroid, saponin, dan fenolik.(lampiran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Determinasi Tanaman Determinasi dari suatu tanaman bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorium, mengenai uji potensi antibakteri ekstrak etilasetat dan n-heksan

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorium, mengenai uji potensi antibakteri ekstrak etilasetat dan n-heksan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan menggunakan metode eksperimental laboratorium, mengenai uji potensi antibakteri ekstrak etilasetat dan n-heksan daun J. curcas terhadap

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Alat-alat 1. Alat Destilasi 2. Batang Pengaduk 3. Beaker Glass Pyrex 4. Botol Vial 5. Chamber 6. Corong Kaca 7. Corong Pisah 500 ml Pyrex 8. Ekstraktor 5000 ml Schoot/ Duran

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN BAB IV PROSEDUR PENELITIAN 4.1. Pengumpulan Bahan Tumbuhan yang digunakan sebagai bahan penelitian ini adalah daun steril Stenochlaena palustris. Bahan penelitian dalam bentuk simplisia, diperoleh dari

Lebih terperinci

UJI TOKSISITAS TERHADAP FRAKSI-FRAKSI DARI EKSTRAK DIKLORMETANA BUAH BUNI

UJI TOKSISITAS TERHADAP FRAKSI-FRAKSI DARI EKSTRAK DIKLORMETANA BUAH BUNI UJI TOKSISITAS TERHADAP FRAKSI-FRAKSI DARI EKSTRAK DIKLORMETANA BUAH BUNI (Antidesma bunius (L). Spreng) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BST) SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini, jumlah penderita kanker di Indonesia belum diketahui secara pasti, tetapi peningkatannya dari tahun ke tahun dapat dibuktikan sebagai salah satu penyebab

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat 1. Bahan Bahan yang digunakan adalah daun tapak liman (E. scaber) diperoleh dari lapangan Dukuhwaluh, Purwokerto; untuk uji aktivitas anti virus digunakan telur

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Jawa Barat. Identifikasi dari sampel

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Juli 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Perairan Lampung Selatan, analisis aktivitas antioksidan dilakukan di

Lebih terperinci

BIOAKTIVITAS EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI N-HEKSANA DAUN SUNGKAI (PERONEMA CANESCENS JACK) TERHADAP LARVA UDANG (ARTEMIA SALINA LEACH)

BIOAKTIVITAS EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI N-HEKSANA DAUN SUNGKAI (PERONEMA CANESCENS JACK) TERHADAP LARVA UDANG (ARTEMIA SALINA LEACH) BIOAKTIVITAS EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI N-HEKSANA DAUN SUNGKAI (PERONEMA CANESCENS JACK) TERHADAP LARVA UDANG (ARTEMIA SALINA LEACH) Islamudin Ahmad dan Arsyik Ibrahim Laboratorium Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

UJI TOKSISITAS FRAKSI DARI SPONGS LAUT Xestospongia DENGAN METODE BRINE SHRIMP TEST (BST)

UJI TOKSISITAS FRAKSI DARI SPONGS LAUT Xestospongia DENGAN METODE BRINE SHRIMP TEST (BST) UJI TOKSISITAS FRAKSI DARI SPONGS LAUT Xestospongia DENGAN METODE BRINE SHRIMP TEST (BST) Oleh: FRANSISCHA GALUH KARTIKASARI 15060002 Dosen Pembimbing: Awik Puji Dyah Nurhayati S.Si, M.Si Drs. Agus Wahyudi

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 2 dalam menurunkan kadar glukosa dalam darah, selain itu daun anggrek merpati juga memiliki kandungan flavonoid yang tinggi, kandungan flavonoid yang tinggi ini selain bermanfaat sebagai antidiabetes juga

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. salam dan uji antioksidan sediaan SNEDDS daun salam. Dalam penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. salam dan uji antioksidan sediaan SNEDDS daun salam. Dalam penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah eksperimental laboratorium untuk memperoleh data hasil. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pembuatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform, BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN 1. Standar DHA murni (Sigma-Aldrich) 2. Standar DHA oil (Tama Biochemical Co., Ltd.) 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform, metanol,

Lebih terperinci

UJI TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL : BUAH, BIJI, DAUN MAKUTADEWA

UJI TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL : BUAH, BIJI, DAUN MAKUTADEWA Majalah Farmasi Indonesia, (),, 00 UJI TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL : BUAH, BIJI, DAUN MAKUTADEWA (Phaleria macrocarpa (Scheff.)Boerl.) TERHADAP Artemia salina Leach DAN PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS EKSTRAK

Lebih terperinci

Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan.

Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan. Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan. 43 Lampiran 2. Gambar tumbuhan eceng gondok, daun, dan serbuk simplisia Eichhornia crassipes (Mart.) Solms. Gambar tumbuhan eceng gondok segar Daun eceng gondok 44 Lampiran

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS KANDUNGAN TUMBUHAN OBAT. ANALISIS Etil p-metoksi sinamat DARI RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.)

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS KANDUNGAN TUMBUHAN OBAT. ANALISIS Etil p-metoksi sinamat DARI RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.) LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS KANDUNGAN TUMBUHAN OBAT ANALISIS Etil p-metoksi sinamat DARI RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.) Disusun oleh: Nama : Eky Sulistyawati FA/08708 Putri Kharisma FA/08715 Gol./Kel.

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1.

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1. BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pada awal penelitian dilakukan determinasi tanaman yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran identitas botani dari tanaman yang digunakan. Hasil determinasi menyatakan

Lebih terperinci

POTENSI SITOTOKSIK EKSTRAK AIR DAUN SIRIH HITAM (Piper sp.) ABSTRAK

POTENSI SITOTOKSIK EKSTRAK AIR DAUN SIRIH HITAM (Piper sp.) ABSTRAK POTENSI SITOTOKSIK EKSTRAK AIR DAUN SIRIH HITAM (Piper sp.) Nadia Rahma Kusuma Dewi*, Hadi Kuncoro, Laode Rijai Laboratorium Penelitian dan Pengembangan FARMAKA TROPIS, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu penyakit yang menempati peringkat tertinggi

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu penyakit yang menempati peringkat tertinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang menempati peringkat tertinggi sebagai penyebab kematian di dunia, khususnya di negara-negara berkembang (Anderson et al., 2001;

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Lampung.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kandungan fenolik total, kandungan flavonoid total, nilai IC 50 serta nilai SPF

BAB III METODE PENELITIAN. kandungan fenolik total, kandungan flavonoid total, nilai IC 50 serta nilai SPF BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional laboratorik untuk mengetahui kandungan fenolik total, kandungan flavonoid total, nilai IC 50 serta nilai SPF pada

Lebih terperinci

AKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK ETANOL DAUN INGGU

AKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK ETANOL DAUN INGGU AKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK ETANOL DAUN INGGU (Ruta angustifolia L.) TERHADAP LARVA NYAMUK Anopheles aconitus DAN Anopheles maculatus BESERTA PROFIL KROMATOGRAFINYA SKRIPSI Oleh : HARDINA RAKHMANY K 100

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat-alat - Beaker glass 1000 ml Pyrex - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex - Maserator - Labu didih 1000 ml Buchi - Labu rotap 1000 ml Buchi - Rotaryevaporator Buchi R 210 - Kain

Lebih terperinci

BAB III. eksperimental komputasi. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yang

BAB III. eksperimental komputasi. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yang BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian yang termasuk gabungan dari penelitian jenis eksperimental laboratorik dan eksperimental

Lebih terperinci

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MINYAK ATSIRI DARI SIMPLISIA BASAH DAN SIMPLISIA KERING DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) Tiara Mega Kusuma, Nurul Uswatun

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MINYAK ATSIRI DARI SIMPLISIA BASAH DAN SIMPLISIA KERING DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) Tiara Mega Kusuma, Nurul Uswatun ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MINYAK ATSIRI DARI SIMPLISIA BASAH DAN SIMPLISIA KERING DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) Tiara Mega Kusuma, Nurul Uswatun Program Studi Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas

Lebih terperinci

PINGKAN MARSEL

PINGKAN MARSEL UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL DAN SENYAWA ALKALOID HASIL FRAKSINASI EKSTRAK ETANOL DAUN SENGGUGU (CLERODENDRON SERRATUM L.) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY TEST PINGKAN MARSEL 2443010160 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 6 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman Determinasi tanaman uji dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi UMS dengan cara mencocokkan tanaman pada kunci-kunci determinasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian 19 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab Bandung Barat. Sampel yang diambil berupa tanaman KPD. Penelitian berlangsung sekitar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara Lampiran 1 Lampiran 2 Gambar 12: Tumbuhan Patikan kebo (Euphorbia hirta L.) Gambar 13: Simplisia Herba Patikan kebo (Euphorbiae hirtae herba) Lampiran 3 Herba Patikan kebo Dicuci Ditiriskan lalu disebarkan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODA

III. BAHAN DAN METODA III. BAHAN DAN METODA 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1. Alat-alat yang digunakan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :peralatan distilasi, neraca analitik, rotary evaporator (Rotavapor

Lebih terperinci

Tamarindus indica L. banyak digunakan masyarakat dalam pengobatan

Tamarindus indica L. banyak digunakan masyarakat dalam pengobatan UJI TOKSISITAS EKSTRAK DAUN Tamarindus indica L. DENGAN METODE BRINE SHRIMPS LETHALITY TEST TOKSISITAS EXTRACT TEST ON Tamarindus Indica LEAF BY USING BRINE SHRIMPS LETHALITY TEST METHOD Maryati dan Erindyah

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan Rambut jagung (Zea mays L.), n-heksana, etil asetat, etanol, metanol, gliserin, larutan kloral hidrat 70%, air, aqua destilata, asam hidroklorida, toluena, kloroform, amonia,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimental laboratoris dan dengan desain penelitian post-test only control group. B. Sampel Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Garut, Jawa Barat serta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Fraksinasi Sampel buah mahkota dewa yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari kebun percobaan Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel Zat warna sebagai bahan tambahan dalam kosmetika dekoratif berada dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Paye dkk (2006) menyebutkan,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daun pohon suren (Toona sinensis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daun pohon suren (Toona sinensis 22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daun pohon suren (Toona sinensis Roem) yang diperoleh dari daerah Tegalpanjang, Garut dan digunakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014, III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci

2 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Determinasi Tanaman Preparasi Sampel dan Ekstraksi

2 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Determinasi Tanaman Preparasi Sampel dan Ekstraksi 3 2 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Alam, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong dan Badan Tenaga Atom

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian Eksperimental laboratoris. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradaban manusia, tumbuhan telah digunakan sebagai bahan pangan, sandang maupun obat

BAB I PENDAHULUAN. peradaban manusia, tumbuhan telah digunakan sebagai bahan pangan, sandang maupun obat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Sejak peradaban manusia, tumbuhan telah digunakan sebagai bahan pangan, sandang maupun obat

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2006 sampai Juli 2007, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang bertempat di jalan Dr. Setiabudhi No.229

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia) BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia) yang diperoleh dari Kampung Pamahan, Jati Asih, Bekasi Determinasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia L.) yang diperoleh dari Kampung Pipisan, Indramayu. Dan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan metode rancangan eksperimental sederhana (posttest only control group design)

Lebih terperinci

UJI EFEK TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL AKAR AWAR-AWAR (Ficus septica Burm.F) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT)

UJI EFEK TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL AKAR AWAR-AWAR (Ficus septica Burm.F) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT) UJI EFEK TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL AKAR AWAR-AWAR (Ficus septica Burm.F) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT) Suryanita Program Studi D3 Farmasi STIKES Nani Hasanuddin Makassar (Suryanita_noth@yahoo.com)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Analisis Universitas Muhammadiyah Purwokerto selama 4 bulan. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret

Lebih terperinci

AKTIVITAS LARVASIDA FRAKSI POLAR EKSTRAK ETANOL DAUN INGGU

AKTIVITAS LARVASIDA FRAKSI POLAR EKSTRAK ETANOL DAUN INGGU AKTIVITAS LARVASIDA FRAKSI POLAR EKSTRAK ETANOL DAUN INGGU (Ruta angustifolia L.) TERHADAP LARVA NYAMUK Anopheles aconitus DAN Anopheles maculatus BESERTA PROFIL KROMATOGRAFINYA SKRIPSI Oleh : RATNA AINUN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. viii. PDF created with pdffactory Pro trial version

DAFTAR ISI. Halaman. viii. PDF created with pdffactory Pro trial version DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN. iii HALAMAN PERSEMBAHAN. iv HALAMAN DEKLARASI.... v KATA PENGANTAR.... vi DAFTAR ISI.. viii DAFTAR GAMBAR.. x DAFTAR TABEL.. xi DAFTAR LAMPIRAN..

Lebih terperinci

Metoda-Metoda Ekstraksi

Metoda-Metoda Ekstraksi METODE EKSTRAKSI Pendahuluan Ekstraksi proses pemisahan suatu zat atau beberapa dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut Pemisahan terjadi atas dasar kemampuan larutan yang berbeda dari komponen-komponen

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 sampai dengan Mei 2011 di Laboratorium Kimia Organik, Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor (IPB),

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN A. Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah tanaman dengan kode AGF yang diperoleh dari daerah Cihideng-Bandung. Penelitian berlangsung

Lebih terperinci

Sri Mulyani M. Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRAK

Sri Mulyani M. Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRAK Majalah Farmasi Indonesia, 12(4), 211-216, 2001 TOKSISITAS AKUT SENYAWA BARU 12,13-DIHIDRO- -AMIRIN- 20,30-en-3-ASETAT ; SENYAWA 12,13-DIHIDRO- -AMIRIN-20, 30- en-3-ol DAN -SITOSTAN-20,30-en-3-ol, PADA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan Juli 2010 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahan-bahan alam tersebut untuk mengobati berbagai macam penyakit dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahan-bahan alam tersebut untuk mengobati berbagai macam penyakit dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia telah menggunakan bahan-bahan alam dari tumbuh-tumbuhan untuk digunakan sebagai bahan obat guna mengobati penyakit yang dideritanya. Demikian pula di Indonesia,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Persiapan Media Bakteri dan Jamur. diaduk hingga larut dan homogen dengan menggunakan batang pengaduk,

Lampiran 1. Persiapan Media Bakteri dan Jamur. diaduk hingga larut dan homogen dengan menggunakan batang pengaduk, Lampiran. Persiapan Media Bakteri dan Jamur Media Trypticase Soy Agar (TSA) Sebanyak g bubuk TSA dilarutkan dalam ml akuades yang ditempatkan dalam Erlenmeyer liter dan dipanaskan pada penangas air sambil

Lebih terperinci

ETIL ASETAT DAN EKSTRAK METANOL

ETIL ASETAT DAN EKSTRAK METANOL AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK n-heksan, EKSTRAK ETIL ASETAT DAN EKSTRAK METANOL Sargassum echinocarpum DENGAN METODE DPPH DAN IDENTIFIKASI KANDUNGAN FUKOSANTIN SKRIPSI Oleh : Kunni Aliyah 105010583 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 32 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman Determinasi dilakukan untuk mengetahui kebenaran identitas sampel daun yang digunakan apakah benar merupakan daun ciplukan (Physalis angulatal), daun

Lebih terperinci

ISOLASI SENYAWA GOLONGAN TRITERPENOID DAN UJI TOKSISITAS EKSTRAK N-HEKSANA BATANG PRANAJIWA

ISOLASI SENYAWA GOLONGAN TRITERPENOID DAN UJI TOKSISITAS EKSTRAK N-HEKSANA BATANG PRANAJIWA ISOLASI SENYAWA GOLONGAN TRITERPENOID DAN UJI TOKSISITAS EKSTRAK N-HEKSANA BATANG PRANAJIWA (Euchresta horsfieldii (Lesch) Benn) TERHADAP LARVA UDANG (Artemia salina Leach) YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTIKANKER

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar tumbuhan gambas (Luffa cutangula L. Roxb.)

Lampiran 1. Gambar tumbuhan gambas (Luffa cutangula L. Roxb.) Lampiran 1. Gambar tumbuhan gambas (Luffa cutangula L. Roxb.) Gambar 1. Tumbuhan gambas (Luffa acutangula L. Roxb.) Gambar 2. Biji Tumbuhan Gambas (Luffa acutangula L. Roxb.) Lampiran 2. Gambar Mikroskopik

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. glukosa darah mencit yang diinduksi aloksan dengan metode uji toleransi glukosa.

BAB IV METODE PENELITIAN. glukosa darah mencit yang diinduksi aloksan dengan metode uji toleransi glukosa. 33 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriftif dan eksperimental, dilakukan pengujian langsung efek hipoglikemik ekstrak kulit batang bungur terhadap glukosa darah

Lebih terperinci