BAB 3 BAHAN DAN METODE. imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumorinfiltrating

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 3 BAHAN DAN METODE. imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumorinfiltrating"

Transkripsi

1 BAB 3 BAHAN DAN METODE 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional, yang bertujuan untuk menganalisis hubungan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumorinfiltrating lymphocytes (TILs) dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring Tempat dan Waktu Penelitian Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan, terhitung sejak bulan Juni hingga November 2016 yang meliputi penelusuran kepustakaan, pembacaan proposal, pengumpulan data, pengolahan data, dan penulisan serta pembacaan hasil penelitian.

2 3.3. Subjek Penelitian Populasi Populasi pada penelitian ini adalah sediaan blok parafin yang berasal dari jaringan nasofaring yang didiagnosis sebagai karsinoma nasofaring di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan Sampel Sampel pada penelitian ini adalah sediaan blok parafin yang berasal dari jaringan nasofaring yang didiagnosis sebagai karsinoma nasofaring di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi Besar sampel Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan melihat proporsi yang digunakan berdasarkan hasil penelitan sebelumnya oleh Li et al., di mana dijumpai over ekspresi VEGF pada 57% kasus karsinoma nasofaring stadium lanjut. Tingkat kemaknaan yang digunakan pada penelitian ini adalah 0,05 dengan interval kepercayaan 95%. Dari tabel diperoleh nilai Zα = 1,96 Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus : Keterangan : n = jumlah sampel p = proporsi penelitian q = 100% - p d = tingkat kesalahan 15% Berdasarkan rumus di atas, diperoleh jumlah sampel: (1,96) 2 x 0,57 x 0,43 (0,15) 2 = 42

3 Besar sampel pada penelitian ini sebanyak 42 sampel 3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria Inklusi Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah semua blok parafin yang berasal dari jaringan nasofaring yang didiagnosis sebagai karsinoma nasofaring, dalam hal ini meliputi tipe histopatologi Nonkeratinizing carcinoma (differentiated dan undifferentiated subtype), Keratinizing squamous cell carcinoma, dan Basaloid squamous cell carcinoma, yang mencantumkan stadium klinis dalam rekam medik Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: Sediaan blok parafin dengan jaringan yang minimal sehingga tidak dapat dilakukan pewarnaan imunohistokimia VEGF. Data stadium klinis yang tidak lengkap untuk dapat dimasukkan dalam kriteria inklusi.

4 3.5. Variabel Penelitian Variabel pada penelitian ini adalah : a. Variabel tergantung (dependent) adalah ekspresi imunohistokimia VEGF dan TILs b. Variabel tidak tergantung (independent) adalah tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring

5 3.6. Kerangka Operasional Data rekam medik yang berasal dari jaringan nasofaring yang didiagnosis secara histopatologi sebagai karsinoma nasofaring di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan yang sesuai dengan kriteria inklusi Slaid dan blok parafin karsinoma nasofaring yang representatif Review slaid oleh peneliti didampingi pembimbing Pemotongan ulang blok parafin Tipe histopatologi karsinoma nasofaring dan TILs Imunohistokimia VEGF Ekspresi imunohistokimia VEGF dan TILs berdasarkan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring

6 3.7. Definisi Operasional Tipe histopatologi karsinoma nasofaring yaitu: Keratinizing squamous cell carcinoma, Nonkeratinizing carcinoma (differentiated dan undifferentiated subtype), dan Basaloid squamous cell carcinoma Stadium klinis karsinoma nasofaring pada penelitian ini terdiri dari: a. Stadium dini : mencakup stadium 0, I, IIA dan IIB b. Stadium lanjut : mencakup stadium III, IVA, IVB dan IVC Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) sering ditemukan pada tumor, yang mencerminkan respon imun terhadap tumor. Pada penelitian ini yang dinilai adalah TILs yang terdapat pada stroma (stromal TILs). Penilaiannya dibagi berdasarkan tiga kelompok, yaitu: a. Low: jika didapatkan infiltrasi limfosit pada stroma sebanyak 0-10% b. Intermediate: jika didapatkan infiltrasi limfosit pada stroma sebanyak 20-40% c. High: jika didapatkan infiltrasi limfosit pada stroma sebanyak 50-90% Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) merupakan suatu mitogen yang sangat spesifik untuk sel endotel pembuluh darah. Pemeriksaan imunohistokimia VEGF (concentrated monoclonal antibody, rabbit monoclonal, 1:50, Biocare Medical), dengan menggunakan kontrol: o Positif, menggunakan jaringan tonsil yang telah diketahui positif terhadap VEGF pada penelitian sebelumnya

7 o Negatif, menggunakan jaringan nasofaring dengan antibodi primer yang digantikan dengan serum normal Penilaian hasil pulasan imunohistokimia VEGF menurut Li et al. dinilai berdasarkan tertampilnya warna coklat pada membran dan/atau sitoplasma sel pada 10 lapangan pandang besar. Penilaian hasil pewarnaan berdasarkan persentase sel yang menampilkan warna coklat yang dikategorikan sebagai: a. (-) = <10% sel yang menampilkan warna coklat b. (+) = 11-20% sel yang menampilkan warna coklat c. (++) = 21-50% sel yang menampilkan warna coklat d. (+++) = >50% sel yang menampilkan warna coklat Pada penelitian ini, peneliti menilai hasil pulasan imunohistokimia VEGF berdasarkan tertampilnya warna coklat pada membran dan/atau sitoplasma sel pada 10 lapangan besar, yaitu: a. Negatif bila tidak ada sel tumor terwarnai b. Ekspresi lemah bila < 10% sel tumor terwarnai c. Ekspresi kuat bila > 10% sel tumor terwarnai 3.8. Alat dan Bahan Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah mikrotom, waterbath, hot plate, tissue processing (Leica), tissue embedding (Leica), epitope retrieval (PT. Link Dako), coated microscope slide, freezer, staining jar, pap pen, moist chamber, pipet

8 mikro, timbangan digital, stopwatch, gelas beker, aliquet, microtube, portex, kaca penutup, dan mikroskop cahaya Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : Blok parafin yang berasal dari jaringan nasofaring yang didiagnosis secara histopatologi sebagai karsinoma nasofaring dengan pewarnaan hematoxilineosin Pulasan imunohistokimia menggunakan metode indirect. Antibodi primer yang digunakan adalah Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) concentrated monoclonal antibody, rabbit monoclonal, Biocare Medical dengan pengenceran 1 : 50 Xylol. EZ-mount xylene base Ethanol absolute, 96%, 80%, 70%. Endogen peroksida 0,5%. Larutan TBS (Tris Buffered Saline) ph 7,4. Tissue Primer TM. Poly Vue Plus TM Enchanter. Poly Vue Plus TM HRP. Pap pen. Liquid DAB + substrat buffer chromogen solution dengan pengenceran 20 μl DAB : 1000 μl substrat

9 Larutan Counterstain Haematoxylin Mayer Slaid kontrol positif dan negatif untuk imunohistokimia VEGF 3.9. Cara Kerja Cara kerja pada penelitian ini: 1. Mengumpulkan slaid dan blok parafin jaringan nasofaring yang didiagnosis sebagai karsinoma nasofaring yang memenuhi kriteria inklusi. 2. Slaid direview oleh peneliti didampingi pembimbing kemudian ditentukan tipe histopatologinya dan menilai TILs. 3. TILs dinilai dengan cara: - Memilih daerah tumor - Menentukan daerah stroma - Menentukan tipe dari sel-sel radang - Menentukan persentase dari stromal TILs 4. Setelah itu dilakukan pemotongan ulang blok parafin dan dilakukan pewarnaan imunohistokimia VEGF, kemudian ditentukan ekspresi VEGF. 5. Hasil evaluasi dicatat, kemudian dianalisa secara statistik untuk melihat hubungan ekspresi imunohistokimia VEGF dan TILs dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring Pembuatan Sediaan Mikroskopis Sediaan mikroskopis dibuat dengan cara sebagai berikut :

10 Blok parafin yang telah dikumpulkan, disimpan dalam pendingin/freezer sampai cukup dingin, kemudian dipotong tipis dengan mikrotom dengan ketebalan 4 μm, setiap blok parafin dipotong ulang 1 kali untuk pewarnaan VEGF. Sampel blok parafin yang sudah dipotong ditempelkan pada object glass. Keringkan dan panaskan di atas hot plate. Disimpan dalam inkubator 38 o C sampai 40 o C satu malam agar lebih kuat melekat Prosedur Pewarnaan Hematoxilin-Eosin di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan Blok parafin dipotong setebal 2-4 μm dengan mikrotom. Potongan dimasukkan ke dalam waterbath dan diletakkan di atas object glass yang telah diolesi gliserin. Deparafinisasi memakai xylol 1,2 dan 3 masing-masing selama 5 menit. Rehidrasi dengan alkohol 96%, 80% dan 50% masing-masing selama 5 menit. Cuci dengan air mengalir selama 1-2 menit. Rendam dalam zat warna hematoxilin selama 5 menit. Cuci dengan air mengalir selama 1-2 menit. Celupkan ke dalam larutan acid alcohol 1%. Cuci dengan air mengalir. Dehidrasi dengan alkohol 80%, 90% dan alkohol absolut masing-masing selama 1 menit.

11 Masukkan ke dalam larutan eosin 1% selama 1 menit. Masukkan ke dalam larutan alkohol 96%, absolut 2 kali masing-masing selama 1 menit dan dikeringkan. Masukkan ke dalam larutan xylol 1,2 dan 3 masing-masing selama 1 menit. Tutup dengan deck glass dan EZ-mount xylene base Protokol Pulasan Imunohistokimia VEGF di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan 1. Deparafinisasi coated microscope slide (xylol 1, xylol 2, xylol 3) masingmasing selama 5 menit. 2. Rehidrasi (alkohol absolut, alkohol 96%, 80%,70%) masing-masing selama 5 menit. 3. Cuci dengan air mengalir selama 5 menit. 4. Masukkan slaid ke dalam PT Link Dako Epitope Retrieval : set up Preheat 65 0 C selama ± 1 jam, Running time 98 0 C selama 15 menit. 5. Pap pen. 6. Rendam dengan Tris Buffered Saline (TBS) ph 7,4/Tween 20 selama 15 menit. 7. Blocking dengan Tissue Primer TM selama 5-10 menit. 8. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) ph 7,4/Tween 20 selama 5 menit. 9. Blocking dengan Background blocker selama 5 menit.

12 10. Inkubasi dengan antibodi primer (VEGF) dengan pengenceran 1 : 50 selama 1 jam. 11. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) ph 7,4 / Tween 20 selama 5 menit. 12. Inkubasi dengan PolyVue TM Enchanter selama 10 menit. 13. Inkubasi dengan PolyVue TM HRP selama 10 menit. 14. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) ph 7,4 / Tween 20 selama 5-10 menit. 15. DAB + Substrat Chromogen solution dengan pengenceran 20µL DAB : 1000 µl substrat selama 5 menit. 16. Cuci dengan air mengalir selama 10 menit. 17. Counterstain dengan Hematoxilin selama 10 menit. 18. Cuci dengan air mengalir selama 5 menit. 19. Lithium carbonat (5% dalam aqua) selama 2 menit. 20. Cuci dengan air mengalir selama 5 menit. 21. Dehidrasi (alkohol 80%, 96%, absolut) masing-masing selama 5 menit. 22. Clearing (xylol 1, 2 dan 3) masing-masing selama 5 menit. 23. Tutup dengan enteline dan deck glass Analisa Data Untuk menganalisa hubungan ekspresi imunohistokimia VEGF dan TILs dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring secara statistik, maka peneliti menggunakan uji Kruskal-Walli

13 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap 42 sampel karsinoma nasofaring yang bertujuan untuk menganalisis hubungan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Frowth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring. Berikut ini adalah hasil penelitian yang diperoleh Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan usia penderita Pada penelitian ini, diketahui bahwa usia penderita karsinoma nasofaring terbanyak pada kelompok usia tahun, yaitu sebanyak 13 kasus (31,0%), dan paling sedikit dijumpai pada kelompok usia tahun sebanyak 1 kasus (2,4%). Usia rata-rata penderita karsinoma nasofaring yaitu 48,8 tahun, dengan simpangan baku 12,7 tahun. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan usia penderita dapat dilihat pada Tabel 4.1:

14 Tabel 4.1. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan usia penderita Usia penderita (tahun) Jumlah (n) Persentase (%) ,8 7,1 21,4 31,0 21,4 11,9 2,4 Jumlah Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin penderita Pada penelitian ini, diketahui bahwa penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah pada laki-laki, yaitu sebanyak 27 kasus (64,3%), dan selebihnya pada perempuan sebanyak 15 kasus (35,7%). Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin penderita dapat dilihat pada Tabel 4.2:

15 Tabel 4.2. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin penderita Jenis kelamin Jumlah (n) Persentase (%) Laki-laki Perempuan ,3 35,7 Jumlah Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan stadium klinis Pada penelitian ini, diketahui bahwa karsinoma nasofaring terbanyak dijumpai pada stadium lanjut, yaitu sebanyak 28 kasus (66,7%), dan selebihnya pada stadium dini sebanyak 14 kasus (33,3%). Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan stadium klinis dapat dilihat pada Tabel 4.3: Tabel 4.3. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan stadium klinis Stadium klinis Jumlah (n) Persentase (%) Stadium dini Stadium lanjut ,3 66,7 Jumlah Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan tipe histopatologi

16 Pada penelitian ini, diketahui bahwa tipe histopatologi karsinoma nasofaring terbanyak adalah tipe NKSCC (undifferentiated subtype), yaitu sebanyak 23 kasus (54,8%), diikuti dengan NKSCC (differentiated type) sebanyak 16 kasus (38,1%), dan yang paling sedikit adalah tipe KSCC yaitu sebanyak 3 kasus (7,1%). Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan tipe histopatologi dapat dilihat pada Tabel 4.4: Tabel 4.4. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan tipe histopatologi Stadium klinis Jumlah (n) Persentase (%) KSCC NKSCC (differentiated subtype) NKSCC (undifferentiated subtype) Basaloid squamous cell carcinoma ,1 38,1 54,8 0 Jumlah Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) Pada penelitian ini, diketahui bahwa Tumor-infiltrating lymphocytes pada stroma (stromal TILs) diperoleh hasil 9 kasus low TILs (21,4%), 14 kasus intermediate TILs (33,3%), dan 19 kasus high TILs (45,3%). Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan TILs dapat dilihat pada Tabel 4.5:

17 Tabel 4.5. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan Tumorinfiltrating lymphocytes (TILs) TILs Jumlah (n) Persentase (%) Low Intermediate High ,4 33,3 45,3 Jumlah Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Pada penelitian ini, diketahui bahwa ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) tertampil dengan ekspresi lemah pada 16 kasus karsinoma nasofaring (38,1%), ekspresi kuat pada 8 kasus karsinoma nasofaring (19,0%), dan selebihnya tidak tertampil (negatif) pada 18 kasus karsinoma nasofaring (42,9%). Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi imunohistokimia VEGF dapat dilihat pada Tabel 4.6:

18 Tabel 4.6. Distribusi kasus karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) VEGF Jumlah (n) Persentase (%) Negatif Ekspresi lemah Ekspresi kuat ,9 38,1 19,0 Jumlah Tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring Pada penelitian ini, setelah dilakukan tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring diperoleh hasil, yakni pada KSCC terdapat 1 kasus ekspresi VEGF tertampil negatif (33,3%), 1 kasus tertampil ekspresi lemah (33,3%), 1 kasus tertampil ekspresi kuat (33,3%); pada NKSCC (differentiated subtype) terdapat 7 kasus ekspresi VEGF tertampil negatif (43,7%), 5 kasus tertampil ekspresi lemah (31,3%), 4 kasus tertampil ekspresi kuat (25,0%); pada NKSCC (undifferentiated subtype) terdapat 10 kasus ekspresi

19 VEGF tertampil negatif (43,5%), 10 kasus tertampil ekspresi lemah (43,5%), 3 kasus tertampil ekspresi kuat (13,0%). Pada penelitian ini, setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,501 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring. Tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring dapat dilihat pada Tabel 4.7: Tabel Tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring Tipe Histopatologi VEGF KSCC NKSCC differentiated NKSCC undifferentiated p-value* n % n % n % Negatif 1 5,6 7 38, ,5 Ekspresi lemah 1 6,3 5 31, ,4 0,501 Ekspresi kuat 1 12,3 4 50,0 3 37,7 * Uji Kruskal-Wallis

20 Tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dengan stadium klinis karsinoma nasofaring Pada penelitian ini setelah dilakukan tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan stadium klinis karsinoma nasofaring diperoleh hasil yakni, pada stadium dini terdapat 7 kasus ekspresi VEGF tertampil negatif (50,0%), 5 kasus tertampil ekspresi lemah (31,7%), 2 kasus tertampil ekspresi kuat (14,3%); pada stadium lanjut terdapat 11 kasus ekspresi VEGF tertampil negatif (39,3%), 11 kasus tertampil ekspresi lemah (39,3%), 6 kasus tertampil ekspresi kuat (21,4%). Pada penelitian ini, setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan stadium klinis karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,772 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan stadium klinis karsinoma nasofaring. Tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan stadium klinis karsinoma nasofaring dapat dilihat pada Tabel 4.8: Tabel 4.8. Tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dengan stadium klinis karsinoma nasofaring Stadium Klinis VEGF Dini Lanjut p-value* n % n %

21 Negatif 7 38, ,1 Ekpresi lemah 5 31, ,7 0,772 Ekspresi kuat 2 25,0 6 75,0 * Uji Kruskal-Wallis Tabulasi silang hubungan antara Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring Pada penelitian ini, setelah dilakukan tabulasi silang hubungan antara TILs dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring diperoleh hasil yakni, pada KSCC terdapat 1 kasus low TILs (33,3%), tidak ditemukan kasus intermediate TILs (0%), dan 2 kasus high TILs (66,7%); pada NKSCC (differentiated subtype) terdapat 3 kasus low TILs (18,8%), 6 kasus intermediate TILs (37,5%), dan 7 kasus high TILs (43,7%); pada NKSCC (undifferentiated subtype) terdapat 5 kasus low TILs (21,7%), 8 kasus intermediate TILs (34,8%), dan 10 kasus high TILs (48,5%). Pada penelitian ini, setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara TILs dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,884 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara TILs dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring. Tabulasi silang hubungan antara TILs dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring dapat dilihat pada Tabel 4.9: Tabel 4.9. Tabulasi silang hubungan antara Tumor-infiltrating Lymphocytes (TILs) dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring

22 Tipe Histopatologi TILs KSCC NKSCC differentiated NKSCC undifferentiated p-value* n % n % n % Low 1 11,1 3 33,3 5 55,6 Intermediate ,9 8 57,1 0,884 High 2 10,5 7 36, ,7 * Uji Kruskal-Wallis Tabulasi silang hubungan antara Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan stadium klinis karsinoma nasofaring Pada penelitian ini, setelah dilakukan tabulasi silang hubungan antara TILs dengan stadium klinis karsinoma nasofaring diperoleh hasil yakni, pada stadium dini terdapat 3 kasus low TILs (21,4%), 4 kasus intermediate TILs (28,6%), dan 7 kasus high TILs (50,0%); pada stadium lanjut terdapat 6 kasus low TILs (21,4%), 10 kasus intermediate TILs (35,7%), dan 12 kasus high TILs (42,9%). Pada penelitian ini, setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara TILs dengan stadium klinis karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,886 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara TILs dengan stadium klinis karsinoma nasofaring. Tabulasi silang hubungan antara TILs dengan stadium klinis karsinoma nasofaring dapat dilihat pada Tabel 4.10:

23 Tabel Tabulasi silang hubungan antara Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan stadium klinis karsinoma nasofaring Stadium Klinis TILs Dini Lanjut p-value* n % n % Low 3 33,3 6 66,7 Intermediate 4 28, ,4 0,886 High 7 36, ,2 *Uji Kruskal-Wallis Tabulasi silang hubungan antara Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada karsinoma nasofaring Pada penelitian ini setelah dilakukan tabulasi silang hubungan antara Tumorinfiltrating lymphocytes (TILs) dengan ekspresi imunohistokimia VEGF pada karsinoma nasofaring, diperoleh hasil yakni low TILs menampilkan ekspresi imunohistokimia VEGF negatif pada 3 kasus (33,3%), ekspresi lemah pada 4 kasus (44,4%), dan ekspresi kuat pada 2 kasus (22,3%); intermediate TILS menampilkan ekspresi imunohistokimia VEGF negatif pada 7 kasus (50,0%), ekspresi lemah pada 6 kasus (42,9%), dan ekspresi kuat pada 1 kasus (7,1%); high TILS menampilkan ekspresi imunohistokimia VEGF negatif pada 8 kasus (42,1%), ekspresi lemah pada 6 kasus (31,6%), dan ekspresi kuat pada 5 kasus (26,3%).

24 Pada penelitian ini, setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara TILs dengan eskspresi imunohistokimia VEGF pada karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,609 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara TILs dengan ekspresi imunohistokimia VEGF pada karsinoma nasofaring. Tabulasi silang hubungan antara TILs dengan ekspresi imunohistokimia VEGF pada karsinoma nasofaring dapat dilihat pada Tabel 4.11: Tabel Tabulasi silang distribusi Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) berdasarkan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada karsinoma nasofaring VEGF TILs Negatif Ekspresi lemah Ekspresi kuat p-value* n % n % n % Low 3 33,3 4 44,4 2 22,3 Intermediate 7 50,0 6 42,9 1 7,1 0,609 High 8 42,1 6 31,6 5 26,3 *Uji Kruskal-Wallis

25 4.2. Pembahasan Pada penelitian ini penderita karsinoma nasofaring yang tercatat dalam rekam medik Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebanyak 42 sampel. Pada tabel 4.1 diketahui bahwa usia penderita karsinoma nasofaring terbanyak pada kelompok usia tahun, yaitu sebanyak 13 kasus (31,0%), dan hanya dijumpai 1 kasus (2,4%) pada kelompok usia tahun. Usia rata-rata penderita tumor nasofaring yaitu 48,8 tahun, dengan simpangan baku 12,7 tahun. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa prevalensi karsinoma nasofaring antara usia tahun. Penelitian Munir juga menemukan usia rata-rata penderita karsinoma nasofaring adalah 48,8 tahun. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Li et al. menyebutkan bahwa dari 188 kasus karsinoma nasofaring yang diteliti, 95 kasus (50,5%) dijumpai pada usia < 46 tahun, dan sebanyak 93 kasus (49,5%) dijumpai pada usia 46 tahun. Kecenderungan penderita karsinoma nasofaring terjadi pada usia yang lebih tua mungkin berhubungan dengan sistem imunitas yang menurun pada usia tersebut, sehingga baik antigen EBV sebagai penyebab maupun antigen tumor sendiri tidak dapat dieliminasi secara baik oleh sistem imun tubuh. 9,15 Pada tabel 4.2 diketahui bahwa penderita karsinoma nasofaring terbanyak dijumpai pada laki-laki, yaitu sebanyak 27 kasus (64%), dan selebihnya pada perempuan sebanyak 15 kasus (36%). Menurut literatur perbandingan insidensi karsinoma nasofaring pada laki-laki dan perempuan adalah 2 berbanding 1. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Li et al. menyebutkan bahwa dari 188 kasus karsinoma nasofaring yang diteliti, 147 kasus (78,2%) dijumpai pada laki-laki,

26 dan selebihnya sebanyak 41 kasus (21,8%) dijumpai pada perempuan. Tingginya insidensi pada laki-laki mungkin disebabkan perbedaan gaya hidup serta pekerjaan yang menyebabkan laki-laki lebih sering kontak dengan karsinogen penyebab karsinoma nasofaring. Merokok, paparan uap, asap debu, gas kimia dan formaldehid juga dapat meningkatkan risiko terjadinya karsinoma nasofaring. 9,35 Pada penelitian ini, peneliti mendefinisikan kasus-kasus stadium 0, I, IIA dan IIB sebagai stadium dini, dan stadium III, IVA, IVB dan IVC sebagai stadium lanjut. Pada tabel 4.3 diketahui bahwa karsinoma nasofaring terbanyak dijumpai pada stadium lanjut, yaitu sebanyak 28 kasus (66,7%), dan selebihnya pada stadium awal sebanyak 14 kasus (33,3%). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Li et al. yang menyebutkan bahwa dari 188 kasus karsinoma nasofaring yang diteliti, 146 kasus di antaranya (77,6%) adalah stadium III dan IV (stadium lanjut), dan selebihnya sebanyak 42 kasus (22,4%) adalah stadium I dan II (stadium dini). Karsinoma nasofaring sulit untuk didiagnosis pada stadium dini, kemungkinan karena nasofaring sulit untuk diperiksa karena letaknya tersembunyi di belakang rongga hidung dan gejala karsinoma nasofaring mirip dengan penyakit lain yang lebih umum sehingga pasien tidak datang berobat. Biasanya pasien baru datang berobat bila gejala telah mengganggu dan tumor tersebut telah mengadakan infiltrasi serta bermetastasis ke KGB leher, yang merupakan stadium lanjut dan biasanya dengan prognosis yang jelek. 5,9 Pada tabel 4.4 diketahui bahwa tipe histopatologi karsinoma nasofaring terbanyak adalah tipe NKSCC (undifferentiated subtype), yaitu sebanyak 23 kasus (54,8%), dan yang paling sedikit adalah tipe KSCC sebanyak 3 kasus (7,1%). Hasil

27 ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa tipe yang paling umum dijumpai pada karsinoma nasofaring adalah subtipe Nonkeratinizing carcinoma undifferentiated subtype. Subtipe ini dijumpai sekitar 92 % dari seluruh karsinoma nasofaring di Hongkong, sekitar 42% di Singapura, dan 76% di Tunisia. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Li et al. dari 188 kasus karsinoma nasofaring yang diteliti, 124 kasus (55,0%) di antaranya adalah tipe II (Nonkeratinizing carcinoma). 1,9 Pada penelitian ini, peneliti menilai Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan melihat infiltrasi sel-sel radang limfosit pada stroma (stromal TILs). Pada tabel 4.5 diketahui bahwa low TILs terdapat pada 9 kasus karsinoma nasofaring (21,4%), intermediate TILs 14 kasus (33,3%), high TILs 19 kasus (45,3%). Belum ditemukan literatur yang menilai TILs dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin pada karsinoma nasofaring, sehingga peneliti tidak dapat membandingkan hasil penelitian ini dengan literatur. Pada tabel 4.6 diketahui bahwa ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) tertampil lemah pada 16 kasus karsinoma nasofaring (38,1%), tertampil kuat pada 8 kasus (19,0%), dan selebihnya tidak tertampil (negatif) pada 18 kasus karsinoma nasofaring (42,9%). Penelitian Li et al. mendapatkan dari 188 kasus karsinoma nasofaring, ekspresi VEGF tertampil positif pada 86 kasus (45.7%), dan tidak tertampil (negatif) pada 102 kasus (54,3%). 9 Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya, dimana Soo et al. mendapatkan overekspresi VEGF pada seluruh sampel karsinoma nasofaring, Sha dan He mendapatkan overekspresi VEGF sebesar 66,9%, dan Khrisna et al. mendapatkan overekspresi VEGF sebesar 67% dari 103 penderita karsinoma nasofaring. 6,7,8

28 Pada Tabel 4.7, setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,501 (p>0,05), hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring, hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Li et al. dan Harahap. Pada Tabel 4.8 setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan stadium klinis karsinoma nasofaring, diperoleh p- value = 0,772 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi imunohistokimia VEGF dengan stadium klinis karsinoma nasofaring, hal ini sesuai dengan penelitain Li et al. dan Harahap. Hal ini mungkin disebabkan karena sitokin lebih teraktivasi pada stadium dini sehingga ekspresi imunohistokimia VEGF tertampil dengan ekspresi kuat, sedangkan pada stadium lanjut, sitokin kurang teraktivasi sehingga ekspresi imunohistokimia VEGF menjadi tertampil dengan ekspresi lemah. 9,35 Pada tabel 4.9. dan 4.10 setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara TILs dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring, diperoleh p-value = 0,884 dan 0,886 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara TILs dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Yu dan Fu, bahwa peran TILs sebagai faktor prognostik masih menjadi perdebatan. Salgado et al, juga menyatakan hal yang sama, dan menurut

29 mereka TILs tidak bisa mendefinisikan subtipe tumor tertentu, tetapi dapat digunakan untuk mengenali lymphocyte-rich tumors. 10,12 Pada tabel 4.11 setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis untuk menguji hubungan antara TILS dengan ekspresi imunohistokimia VEGF, diperoleh p-value = 0,609 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara TILs dengan ekspresi imunohistokimia VEGF. Belum ditemukan literatur yang menyebutkan hubungan antara TILs dengan ekspresi imunohistokimia VEGF, sehingga peneliti tidak dapat membandingkan hasil penelitian ini dengan literatur.

30 BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Setelah dilakukan penelitian terhadap 42 sampel karsinoma nasofaring yang bertujuan untuk melihat hubungan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam penelitian ini setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis didapati tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring. 2. Dalam penelitian ini setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis didapati tidak ada hubungan yang bermakna antara Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan tipe histopatologi dan stadium klinis karsinoma nasofaring. 3. Dalam penelitian ini setelah dilakukan uji statistik Kruskal-Wallis didapati tidak ada hubungan yang bermakna antara Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF).

31 5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti tidak merekomendasikan kepada klinisi untuk melakukan pemeriksaan imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) sebagai salah satu alat prognostik pada karsinoma nasofaring.

BAB 3 BAHAN DAN METODA

BAB 3 BAHAN DAN METODA BAB 3 BAHAN DAN METODA 3.1. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian berupa penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan secara cross sectional. 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Lebih terperinci

Susunan Penelitian. Peneliti 1. Nama lengkap : Melvin Pascamotan Togatorop 2. Fakultas : Kedokteran 3. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Susunan Penelitian. Peneliti 1. Nama lengkap : Melvin Pascamotan Togatorop 2. Fakultas : Kedokteran 3. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara Lampiran 1 Susunan Penelitian Peneliti 1. Nama lengkap : Melvin Pascamotan Togatorop 2. Fakultas : Kedokteran 3. Perguruan Tinggi : Pembimbing I 1. Nama lengkap : dr. Kamal Basri Siregar, Sp.B (K) Onk

Lebih terperinci

TESIS NANCY SARTIKA TAMBUNAN NIM :

TESIS NANCY SARTIKA TAMBUNAN NIM : HUBUNGAN EKSPRESI IMUNOHISTOKIMIA VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) DAN TUMOR-INFILTRATING LYMPHOCYTES (TILs) DENGAN TIPE HISTOPATOLOGI DAN STADIUM KLINIS KARSINOMA NASOFARING TESIS NANCY SARTIKA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif observasional. laboratoris dengan pendekatan potong lintang.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif observasional. laboratoris dengan pendekatan potong lintang. 28 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif observasional laboratoris dengan pendekatan potong lintang. 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 1. Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini secara observasional analitik. pertumbuhan janin terhambat dan kehamilan normal.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini secara observasional analitik. pertumbuhan janin terhambat dan kehamilan normal. 29 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini secara observasional analitik. 2. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah penelitian potong

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. B. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif deskriptif untuk melihat pola ekspresi dari Ki- 67 pada pasien KPDluminal A dan luminal B. 3.2 Tempat

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian sectional. Penelitian ini merupakan studi deskriptif-analitik dengan pendekatan cross 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1. Tempat Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Teori NF-KB Inti (+) Sitoplasma (+) Inti (+) Sitoplasma (+) RAF MEK ERK Progresi siklus sel Proliferasi sel Angiogenesis Grading WHO

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 23 BAB 3 METODE PENELITIAN 31 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat analitik dengan desain kuasi eksperimental Pada penelitian ini akan diperiksa ekspresi MMP-9 pada polip hidung sebelum dan sesudah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional dimana hanya diamati satu kali dan pengukuran

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional dimana hanya diamati satu kali dan pengukuran 30 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah observasional analitik. Observasi dilakukan dengan pendekatan cross sectional dimana hanya diamati satu kali dan pengukuran

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas Lampung dan pembuatan preparat histologi hati dilaksanakan di Balai Penyidikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan case control. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan ekspresi

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan case control. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan ekspresi BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional analitik dengan rancangan case control. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan ekspresi imunohistokimia

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi LAMPIRAN 38 Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Pembuatan preparat histologi terdiri dari beberapa proses yaitu dehidrasi (penarikan air dalam jaringan) dengan alkohol konsentrasi bertingkat,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai April 2011 bertempat di Kandang Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK LABORATORIUM HISTOTEKNIK TISSUE PROCESSING DAN PEWARNAAN

LAPORAN PRAKTEK LABORATORIUM HISTOTEKNIK TISSUE PROCESSING DAN PEWARNAAN LAPORAN PRAKTEK LABORATORIUM HISTOTEKNIK TISSUE PROCESSING DAN PEWARNAAN Nama : Yulia Fitri Djaribun NIM : 127008005 Tanggal : 22 September 2012 A.Tujuan Praktikum : 1. Agar mahasiswa mampu melakukan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan sekitar dan dapat bermetastasis atau menyebar ke organ lain (World Health

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM. : Histoteknik : Selly Oktaria Tanggal Praktikum : 14 September 2012

LAPORAN PRAKTIKUM. : Histoteknik : Selly Oktaria Tanggal Praktikum : 14 September 2012 LAPORAN PRAKTIKUM Judul : Histoteknik Nama : Selly Oktaria Tanggal Praktikum : 14 September 2012 Tujuan Praktikum : 1. Melihat demonstrasi pembuatan preparat histology mulai dari fiksasi jaringan hingga

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan disain

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan disain BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan disain Randomized post test only control group design. Sampel penelitian dibagi menjadi

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1 prosedur pewarnaan hematoksillin-eosin (HE)

LAMPIRAN. Lampiran 1 prosedur pewarnaan hematoksillin-eosin (HE) 51 LAMPIRAN Lampiran 1 prosedur pewarnaan hematoksillin-eosin (HE) Pewarnaan HE adalah pewarnaan standar yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai struktur umum sel dan jaringan normal serta perubahan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian Observasional analitik (Cross-sectional

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian Observasional analitik (Cross-sectional BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian Observasional analitik (Cross-sectional analitik) untuk menilai hubungan antara ekspresi protein Ki-67 dan ekspresi

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK DASAR

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK DASAR LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK DASAR Disusun Oleh: Nama : Juwita NIM : 127008003 Tanggal Praktikum: 22 September 2012 Tujuan praktikum: 1. Agar praktikan memahami dan mampu melaksanakan Tissue Processing.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 40 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan desain Post test only control group design. Kelompok penelitian dibagi menjadi 4 kelompok

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2007 sampai Juni 2008 di kandang percobaan Fakultas Peternakan dan di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan 37 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 ulangan, perlakuan yang digunakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. ETHICAL CLEARANCE

LAMPIRAN 1. ETHICAL CLEARANCE LAMPIRAN 1. ETHICAL CLEARANCE 59 LAMPIRAN 2. GAMBAR HASIL PEMERIKSAAN GRANZYME B 1. KONTROL (K) Gambar ekspresi granzyme B pada kelompok Kontrol (K) 2.KOMBINASI TRANSFER FACTOR+CYCLOPHOSPHAMIDE (P1) Gambar

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 27 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan studi potong lintang (cross sectional) untuk melihat gambaran ekspresi reseptor estrogen

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6.

METODE PENELITIAN. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6. METODE PENELITIAN Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6. Pengujian probiotik secara in vivo pada tikus percobaan yang dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dan 1 kontrol terhadap ikan nila (O. niloticus). bulan, berukuran 4-7 cm, dan berat gram.

BAB III METODE PENELITIAN. dan 1 kontrol terhadap ikan nila (O. niloticus). bulan, berukuran 4-7 cm, dan berat gram. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen menggunakan 1 faktor, yaitu perlakuan limbah cair nata de coco yang terdiri atas 5 variasi kadar dan 1 kontrol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul dari permukaan dinding lateral nasofaring (Zeng and Zeng, 2010; Tulalamba and Janvilisri,

Lebih terperinci

PROSEDUR TETAP PENGAMATAN EKSPRESI PROTEIN DENGAN METODE IMUNOSITOKIMIA

PROSEDUR TETAP PENGAMATAN EKSPRESI PROTEIN DENGAN METODE IMUNOSITOKIMIA Halaman 1 dari 7 FARMASI UGM Dokumen nomor : 0201200 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJUI OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Aditya Fitriasari

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK Disusun oleh: Jekson Martiar Siahaan

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK Disusun oleh: Jekson Martiar Siahaan LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK Disusun oleh: Jekson Martiar Siahaan I. Tujuan: 1. Mahasiswa mampu memahami dan melakukan teknik teknik histoteknik yang digunakan dalam pembuatan preparat jaringan 2. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian pada wanita setelah kanker payudara. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian pada wanita setelah kanker payudara. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker serviks uteri merupakan salah satu masalah penting pada wanita di dunia. Karsinoma serviks uteri adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi dan merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 ulangan, perlakuan yang digunakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini ialah cross sectional

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini ialah cross sectional 55 III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini ialah cross sectional dengan kekhususan pada penelitian uji diagnostik. Sumber data penelitian menggunakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2009 (sampling sampai dengan embedding), Februari 2010 (sectioning), dan bulan Juli 2010 (pewarnaan),

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5.

BAHAN DAN METODE. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5. BAHAN DAN METODE Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5. Pengujian Lactobacillus plantarum (BAL1) dan Lactobacillus fermentum (BAL2) pada tikus dengan perlakuan:

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

METODOLOGI PENELITIAN. Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan hewan coba berupa tikus putih betina galur Sprague dawley.

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan hewan coba berupa tikus putih betina galur Sprague dawley. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan menggunakan hewan coba berupa tikus putih betina galur Sprague dawley. 3.2. Tempat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows.

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows. 18 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Agustus 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di Fasilitas Kandang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Persiapan Kandang Penelitian

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Persiapan Kandang Penelitian 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai November 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di fasilitas kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris in vivo pada tikus putih wistar (Ratus Norvegicus)jantan dengan. rancangan post test only control group design.

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris in vivo pada tikus putih wistar (Ratus Norvegicus)jantan dengan. rancangan post test only control group design. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan eksperimental laboratoris in vivo pada tikus putih wistar (Ratus Norvegicus)jantan dengan rancangan post

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA 19 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker adalah penyakit tidak menular yang timbul akibat pertumbuhan tidak normal sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Pertumbuhan sel tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia BAB 4 HASIL 4.1 Pengambilan Data Data didapatkan dari rekam medik penderita kanker serviks Departemen Patologi Anatomi RSCM pada tahun 2007. Data yang didapatkan adalah sebanyak 675 kasus. Setelah disaring

Lebih terperinci

BAB IV. only control group design yang menggunakan binatang percobaan sebagai objek

BAB IV. only control group design yang menggunakan binatang percobaan sebagai objek BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Disain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, dengan pendekatan post test only control group design yang menggunakan binatang percobaan sebagai objek

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel.

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel. III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel. Menggunakan 20 ekor mencit (Mus musculus L.) jantan galur Balb/c yang dibagi menjadi 4 kelompok

Lebih terperinci

Lampiran 1. Surat Rekomendasi Persetujuan Kode Etik Penelitian Kesehatan

Lampiran 1. Surat Rekomendasi Persetujuan Kode Etik Penelitian Kesehatan 43 Lampiran 1. Surat Rekomendasi Persetujuan Kode Etik Penelitian Kesehatan 43 44 Lampiran 2. Data Berat Badan Mencit Setelah Dipaparkan Asap Rokok Total Rata-rata Berat Notasi Badan Mencit K 309.17 34.35±1.23

Lebih terperinci

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM Hal. 1 dari 7 Dokumen nomor : 0301201 Tanggal : Mengganti nomor : 0201200 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA 15 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN A. DESAIN PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental laboratoris

BAB IV METODE PENELITIAN A. DESAIN PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental laboratoris BAB IV METODE PENELITIAN A. DESAIN PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental laboratoris dengan menggunakan binatang coba tikus putih dengan strain Wistar. Desain penelitian yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan.hewan

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan.hewan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan.hewan coba yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan terdapat kasus baru kanker ovarium dan kasus meninggal

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan terdapat kasus baru kanker ovarium dan kasus meninggal BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan penyebab kematian ketujuh pada wanita di dunia. Diperkirakan terdapat 239.000 kasus baru kanker ovarium dan 152.000 kasus meninggal dunia

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan pada bulan Maret-Mei 2013. Pengambilan sampel ikan mas berasal dari ikan hasil budidaya dalam keramba jaring apung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian dan Farmakologi. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi, 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian a. Pemeliharaan dan perlakuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN METODE HASIL

PENDAHULUAN METODE HASIL PENDAHULUAN Karsinoma payudara merupakan karsinoma yang umum terjadi pada wanita dengan jumlah kasus lebih dari satu juta setiap tahunnya di seluruh dunia. Karsinoma payudara menduduki peringkat kedua

Lebih terperinci

METODE DASAR MIKROTEKNIK DAN PEWARNAAN HISTOLOGI

METODE DASAR MIKROTEKNIK DAN PEWARNAAN HISTOLOGI METODE DASAR MIKROTEKNIK DAN PEWARNAAN HISTOLOGI Nama : Kelompok I Kelas D MIKROTEKNIK Mikroteknik atau teknik histologi merupakan ilmu atau seni mempersiapkan organ, jaringan atau bagian jaringan untuk

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Histotehnik. Oleh: Lucia Aktalina. Jum at, 14 September WIB

Laporan Praktikum Histotehnik. Oleh: Lucia Aktalina. Jum at, 14 September WIB Laporan Praktikum Histotehnik Oleh: Lucia Aktalina Jum at, 14 September 2012 14.00 17.00 WIB Tujuan Praktikum: Melihat demo tehnik-tehnik Histotehnik,mulai dari pemotongan jaringan organ tikus sampai bloking,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang ilmu pediatri dan ilmu Genetika Dasar.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang ilmu pediatri dan ilmu Genetika Dasar. 27 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian ini mencakup bidang ilmu pediatri dan ilmu Genetika Dasar. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Pusat Penelitian Biomedik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada

Lebih terperinci

RPMI 1640 medium. Kanamisin 250 µg. Coomassie brilliant blue G-250

RPMI 1640 medium. Kanamisin 250 µg. Coomassie brilliant blue G-250 86 Lampiran 1. Larutan yang digunakan pada medium RPMI 1640 RPMI 1640 medium 10,4 g Penisilin G 100.000 IU Streptomisin 100 mg Gentamisin 5 mg Kanamisin 250 µg Semua bahan tersebut dilarutkan kedalam 1000

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT) divisi Alergi-Imunologi dan Patologi Anatomi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

Tampilan Pulasan Imunohistokimia Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) Pada Undifferentiated Carcinoma Nasofaring Tipe Regaud dan Tipe Schmincke

Tampilan Pulasan Imunohistokimia Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) Pada Undifferentiated Carcinoma Nasofaring Tipe Regaud dan Tipe Schmincke (MMP-9) Pada Undifferentiated Carcinoma Nasofaring Tipe dan Tipe ABSTRAK Departemen Patologi Anatomik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara Medan Latar belakang Pola pertumbuhan undifferentiated

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Hewan coba yang digunakan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang sering dijumpai pada anak-anak dan dewasa. Ketepatan diagnosis pada keganasan tulang sangat penting karena

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Acak Lengkap (RAL) dan dengan pendekatan Post Test Only Control Group

BAB III METODE PENELITIAN. Acak Lengkap (RAL) dan dengan pendekatan Post Test Only Control Group BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan dengan pendekatan Post Test Only Control Group Design. Menggunakan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK NAMA PRAKTIKAN : Ramadhan Bestari GRUP PRAKTIKAN : Grup Pagi (08.00-11.00) HARI/TGL. PRAKTIKUM : Rabu, 24 Oktober 2013 I. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Mahasiswa mampu memahami dan

Lebih terperinci

Nama, Spesifikasi dan Kegunaan Bahan Penelitian No. Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan 1. Larva ikan nilem hasil kejut panas

Nama, Spesifikasi dan Kegunaan Bahan Penelitian No. Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan 1. Larva ikan nilem hasil kejut panas Lampiran 1. Spesifikasi Bahan Nama, Spesifikasi dan Kegunaan Bahan Penelitian No. Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan 1. Larva ikan nilem hasil kejut panas Berumur 30, 60, 90, dan 120 hari Hewan uji 2. Pakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pemberian ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. pemberian ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana) terhadap BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan perlakuan pemberian ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana) terhadap gambaran histologik trakea

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental laboratorium posttest-only equivalent-group design dengan kelompok perlakuan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kanker yang paling sering ditemukan pada wanita, setelah kanker mulut

BAB I PENDAHULUAN. kanker yang paling sering ditemukan pada wanita, setelah kanker mulut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker payudara adalah keganasan pada jaringan payudara yang berasal dari epitel duktus atau lobulus. 1 Di Indonesia kanker payudara berada di urutan kedua sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat dan waktu pengambilan sampel Sampel diambil di Pantai Timur Surabaya, tepatnya di sebelah Timur Jembatan Suramadu (Gambar 3.1).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan yang digunakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan 22 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi Universitas Lampung untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Penghitungan Dosis Pemberian Kepel.

Lampiran 1. Penghitungan Dosis Pemberian Kepel. LAMPIRAN 30 31 Lampiran 1. Penghitungan Dosis Pemberian Kepel. Berat keseluruhan daging buah kepel yang masih basah:440 g, dan setelah dikeringkan diperoleh 60 g serbuk simplisia kering. Jadi rendemen

Lebih terperinci

Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan

Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan LAMPIRAN 30 Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan Dehidrasi merupakan proses mengeluarkan air dari dalam jaringan/organ dengan menggunkan bahan-bahan kimia tertentu. Dehidrasi jaringan dilakukan untuk mengikat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh pemberian ekstrak daun pegagan (Centella asiatica

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh pemberian ekstrak daun pegagan (Centella asiatica 1 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh pemberian ekstrak daun pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) terhadap perkembangan folikel ovarium mencit (Mus musculus) ini merupakan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan desain Post test only control group design. Kelompok penelitian dibagi menjadi 4

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan metode rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan metode rancangan 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan metode rancangan acak terkontrol dengan pola post test control group design. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Bahan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Bahan Alat 12 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2009 sampai dengan April 2010. Sampel diperoleh dari Kepulauan Seribu. Identifikasi cacing parasitik dilakukan di

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan 16 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan pengamatan. Proses

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Ilmu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Ilmu BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Ilmu Anatomi, Patologi Anatomi, dan Farmakologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan. metode post test only controlled group design.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan. metode post test only controlled group design. 21 III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan metode post test only controlled group design. B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. jantung dilaksanakan di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV)

III. METODE PENELITIAN. jantung dilaksanakan di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) 32 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi dan Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan pembuatan preparat histologi jantung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian ini objek yang diteliti diberi perlakuan dan adanya kontrol sebagai pembanding. B.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Acak Lengkap dengan pendekatan Post Test Only Control Group Design.

BAB III METODE PENELITIAN. Acak Lengkap dengan pendekatan Post Test Only Control Group Design. 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode Rancangan Acak Lengkap dengan pendekatan Post Test Only Control Group Design. Menggunakan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Sertifikat Kelaikan Etik

Lampiran 1 Sertifikat Kelaikan Etik Lampiran 1 Sertifikat Kelaikan Etik Lampiran 2.1 Surat Izin Melakukan Penelitian Pendahuluan Lampiran 2.2 Surat Izin Melakukan Penelitian Pendahuluan Lampiran 3.1 Surat Izin Melakukan Penelitian Lampiran

Lebih terperinci

TUJUAN : Latihan membuat preparat histologi jaringan masing-masing yang dapat dianalisa lanjut dengan mikroskop

TUJUAN : Latihan membuat preparat histologi jaringan masing-masing yang dapat dianalisa lanjut dengan mikroskop NAMA : HENNY ERINA SAURMAULI OMPUSUNGGU TANDA TANGAN : JUDUL : TISSUE PROCESSING (HISTOTEKNIK) TUJUAN : Latihan membuat preparat histologi jaringan masing-masing yang dapat dianalisa lanjut dengan mikroskop

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang jarang terjadi di sebagian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ulangan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Diagram alir pembuatan sediaan (preparat) histopatologi organ usus halus mencit percobaan

Lampiran 1 Diagram alir pembuatan sediaan (preparat) histopatologi organ usus halus mencit percobaan LAMPIRAN 69 70 Lampiran 1 Diagram alir pembuatan sediaan (preparat) histopatologi organ usus halus mencit percobaan Organ usus halus Dicuci dengan NaCl fisiologis 0.9% Difiksasi 24 jam Larutan Bovin Didehidrasi

Lebih terperinci

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE LAMPIRAN Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Medium kultur DMEM merupakan medium Dulbecco s Modified Eagle s Medium (DMEM; Sigma) yang telah dimodifikasi dengan penambahan asam amino non-esensial (AANE;

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN. Selama periode penelitian mulai Januari 2013 sampai September 2013

BAB V HASIL PENELITIAN. Selama periode penelitian mulai Januari 2013 sampai September 2013 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik subjek Selama periode penelitian mulai Januari 2013 sampai September 2013 berdasarkan data pasien yang sampelnya diperiksa di Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP

Lebih terperinci