BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DEMI TERSELENGGARANYA PROSES HUKUM YANG ADIL DI DENPASAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DEMI TERSELENGGARANYA PROSES HUKUM YANG ADIL DI DENPASAR"

Transkripsi

1 1 TESIS BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DEMI TERSELENGGARANYA PROSES HUKUM YANG ADIL DI DENPASAR DIAH RATNA SARI HARIYANTO PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

2 2 TESIS BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DEMI TERSELENGGARANYA PROSES HUKUM YANG ADIL DI DENPASAR DIAH RATNA SARI HARIYANTO NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

3 3 BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DEMI TERSELENGGARANYA PROSES HUKUM YANG ADIL DI DENPASAR Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana DIAH RATNA SARI HARIYANTO NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii

4 iii ii

5 iii Tesis Ini Telah Diuji Pada Hari Senin, Tanggal 24 Februari 2014 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor 1902/UN14.4/HK/2013, Tanggal 1 Oktober 2013 Ketua Sekretaris Anggota : Dr. I Gede Artha, S.H., M.H : Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., M.H : 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S 2. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, S.H., M.H 3. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum, L.L.M iv

6 v iv

7 v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, rahmat, dan karunia-nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DEMI TERSELENGGARANYA PROSES HUKUM YANG ADIL DI DENPASAR. Penyusunan tesis ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai rangkaian kegiatan akademis yang lain, untuk mendapatkan gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, dukungan, motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan tesis ini, sehingga, tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih tulus yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Dr. I Gede Artha, S.H., M.H., dosen pembimbing I dan sekaligus sebagai Pembimbing Akademik. 2. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., M.H., dosen pembimbing II. 3. Bapak Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D- K.E.M.D. 4. Ibu Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A Raka Sudewi, Sp. S. (K). vi

8 vi 5. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H. 6. Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, sekaligus dosen penguji III, Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., L.L.M. 7. Sekretaris Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa L., S.H., M.Hum. 8. Dosen penguji I, Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S. 9. Dosen penguji II, Bapak Dr. I Gusti Ketut Ariawan, S.H., M.H. 10. Bapak dan Ibu dosen pengajar serta pegawai atau tenaga kependidikan/administrasi (Bapak Made Mustiana, Ibu Agung, Ibu Gung Yun, Diva dan Dandy) di Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana. 11. Bapak I Nyoman Wiranata, S.H., Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik di Polresta Denpasar. 12. Bapak I Made Sujana, S.H., Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik Pembantu di Polresta Denpasar. 13. Bapak Gunawan Tri Budiono, S.H., Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar. 14. Bapak Hasoloan Sianturi, S.H., M.H., Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar. 15. Ibu Ni Luh Gede Yastini, S.H., Advokat dan Direktur YLBHI-LBH Bali di Denpasar. 16. Bapak Alit Sunarya, S.H., Advokat dan Kepala PBHI Wilayah Bali di Denpasar. vii

9 vii 17. Bapak Putu Suta Sadnyana, S.H., M.H., Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia Denpasar. 18. Bapak I Ketut Sadi, S.H., PLH Kepala Bidang Pelayanan Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali di Denpasar. 19. Bapak I Putu Gede Darmawan, S.H., M.H., advokat di Denpasar. 20. Bapak Agus Gunawan Putra, S.H., advokat di Denpasar. 21. Bapak A.A. Made Eka Dharmika, S.H., advokat di Denpasar. 22. Bapak Gede Parta Wijaya, S.H., advokat di Denpasar. 23. Bapak Didik Irawan, tersangka di Polresta Denpasar. 24. Bapak I Ketut Suarjana, tersangka di Polresta Denpasar. 25. Keluarga yang telah memberikan doa, semangat dan motivasi dalam penyusunan tesis ini. Khususnya keluarga besar penulis termasuk didalamnya keluarga besar I Made Ada, Pakuduwi Tegalalang Gianyar Bali : I Made Ada, Ni Luh Tui, Ni Luh Putu Inten, I Ketut Gede Sempurna Atmajaya, S.E., I Made Juliana Putra, S.E., Ni Nyoman Ayu Tri Martini, S.E., Ni Putu Mira Artati, S.E., dan I Nyoman Darmawan. 26. Teman-teman penulis, teman-teman terdekat yang selalu membantu dan memberikan doa, semangat dan motivasi dalam penyusunan tesis ini diantaranya : Ida Bagus Wirya Dharma, S.H., I Gusti Ayu Eviani Yuliantari, S.H., I Dewa Gede Dana Sugama, S.H., Rika Ekayanti, S.H., Any Rusty, S.H., Gusti Ayu Widnyani, S.H., I Dewa Gede Agung Adi Putra, S.S.N., Ni Luh Witari, S.Pd., I Wayan Sandra, S.Pd., Putu Eka Yulistiari, S.H., I Ketut Gede Wiladatika Kawit, S.H., Adi Wistara, S.H., beserta teman-teman di viii

10 viii Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana angkatan tahun 2010, 2011, dan 2012, serta teman-teman yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata, semoga budi baik dari Bapak/Ibu/Saudara/i akan mendapat imbalan yang sesuai dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, baik dari penyajiannya maupun dalam penyusunannya. Kekurangan semata-mata karena kemampuan dan pengetahuan penulis yang sangat terbatas, namun, besar harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan anugrahnya kepada kita semua. Denpasar, Februari 2014 Penulis ix

11 ix ABSTRAK Tersangka dan terdakwa memiliki hak untuk memperoleh bantuan hukum, khususnya bagi tersangka dan terdakwa yang tergolong sebagai orang atau kelompok orang miskin. Faktanya, ditemukan banyak penyimpanganpenyimpangan dalam pelaksanaannya, oleh sebab itu, perlu diketahui mengenai implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar dan faktor-faktor penghambat pelaksanaannya. Pelaksanaan bantuan hukum ini dikaji dalam kerangka penyelenggaraan proses hukum yang adil. Penelitian hukum ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian bersifat deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah teknik studi dokumen dan teknik wawancara. Penelitian ini menggunakan Teknik non-probabilitas/non- Random Sampling. Keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis data kualitatif. Implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar belum dapat diimplementasikan dengan baik karena adanya penyimpangan-penyimpangan dalam prakteknya. Penyimpanganpenyimpangan ini masih dapat ditemukan pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar, pada tahap pemeriksaan terdakwa di sidang Pengadilan Negeri Denpasar, dan di LBH (YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar). Faktor-faktor penghambat yang mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar dapat diklasifikasi dan dibedakan menjadi 3 faktor yakni, faktor substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Kata Kunci : Bantuan Hukum, Perkara Pidana, Orang/kelompok Orang Miskin, dan Proses Hukum yang Adil. x

12 x ABSTRACT The suspects and defendants has the right to legal aid, especially those who are classified as a poor person or a group of poor persons. However, as a matter of fact, there is a lot of deviation in the implementation of legal aid, therefore, it is necessary to know their implementation for a poor person or a group of poor persons in a criminal case in Denpasar and the inhibiting factors affecting their implementation. The implementation of legal aids is analyzed within a framework of the carrying out of a due process of law. This is legal empirical research. The research is descriptive. The data used for this research are primary and secondary data. The technique employed for data collecting was documentary research technique and interview. This research used non-probability/non-random Sampling technique. All of the data gathered both the primary and secondary data, were processed and analyzed using the qualitative analysis. The implementation of legal aid for a poor person or a group of poor persons in a criminal case in Denpasar cannot yet be well implemented because there is deviation in practicing them. The deviation was still faund in the examination stage of a suspects investigation level in the Polresta Denpasar, in an examination stage of a defendants in District Court of Denpasar, and in LBH (YLBHI-LBH of Bali and PBHI Regional Bali in Denpasar). Inhibiting factor that affected the implementation of legal aid for a poor person or a group of poor persons in a criminal case in Denpasar can be classified and differentiated into 3 factors. They are legal substance, legal structure, and legal culture. Key Word : Legal Aids, Criminal Cases, Poor Person or a Group of Poor Persons, and Due Process of Law. xi

13 xi RINGKASAN Tesis ini berjudul, Bantuan Hukum Bagi Orang atau Kelompok Orang Miskin Dalam Perkara Pidana Demi Terselenggaranya Proses Hukum yang Adil di Denpasar, yang terdiri dari 5 (lima) bab. Bab I Pendahuluan menguraikan tentang latar belakang masalah penelitian yang mengandung permasalahan dari fakta hukum, fenomena yang ada, kesenjangan das solen dan das sein, dan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Bab ini juga menguraikan pentingnya penelitian sehingga tesis ini penting dan menarik untuk diteliti. Bantuan hukum merupakan hak yang sangat penting yang dimiliki oleh tersangka dan terdakwa. Pemberian bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin merupakan upaya implementasi dari negara hukum yang mengakui, menjamin, dan melindungi Hak Asasi Manusia dan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan akses terhadap keadilan dan persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Faktanya, masih banyak ditemukan berbagai penyimpanganpenyimpangan dalam pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin, dengan adanya pembaharuan secara normatif tentang bantuan hukum, tentu membawa perubahan dalam implementasinya. Pembaharuan hukum ini menjadikan penelitian menarik untuk diteliti. Penelitian ini sangatlah penting, mengingat manfaat yang sangat besar yang akan didapatkan ketika pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar, dapat dilaksanakan secara efektif, selain itu, juga merupakan bentuk upaya reformasi hukum dalam aspek pemerataan keadilan. Bab II menguraikan tinjauan umum tentang bantuan hukum, pemberi dan penerima bantuan hukum, dan proses hukum yang adil (due process of law). Tinjauan umum mengenai bantuan hukum menguraikan mengenai pengertian bantuan hukum secara yuridis dan berdasarkan pendapat para ahli, selain itu, juga menguraikan mengenai konsep bantuan hukum dan perkembangannya. Bab ini juga diuraikan mengenai sejarah bantuan hukum di Indonesia mulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, pasca kemerdekaan sampai pada bantuan hukum pada zaman kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Tinjauan umum mengenai pemberi dan penerima bantuan hukum, diuraikan mengenai pemberi bantuan hukum yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan dan advokat, selanjutnya, diuraikan mengenai orang atau kelompok orang miskin sebagai penerima bantuan hukum. Tinjauan umum mengenai proses hukum yang adil (due process of law) diuraikan mengenai pengertian, pentingnya penyelenggaraan proses hukum yang adil (due process of law) dan juga unsur-unsur minimal dari proses hukum yang adil (due process of law) dari Tobias dan Petersen. Bab III membahas rumusan masalah pertama yang menguraikan tentang implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar, yang dikaji dari dua aspek, yakni dikaji dari pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar dan mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan xii

14 xii tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar dapat diketahui bahwa, berbagai penyimpangan yang terjadi tentu menunjukkan pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar belum dapat dilaksanakan dengan baik. Secara singkat penyimpangan-penyimpangan tersebut diantaranya yakni : a. Pelaksanaan bantuan hukum melalui pendampingan advokat baru dapat dinikmati tersangka pada saat pemeriksaan tambahan bukan pada saat pemeriksaan awal. Proses pemeriksaan tetap berlanjut walaupun tanpa hadirnya advokat. b. Tidak dilakukannya pemeriksaan ulang terhadap pemeriksaan awal yang telah dilakukan tanpa hadirnya advokat. c. Pelaksanaan hak untuk tidak menjawab dalam Miranda Warning dalam pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar belum dapat diterapkan dengan baik. d. Tidak adanya ketentuan untuk memberikan bantuan hukum kepada tersangka yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana di bawah 5 (lima) tahun. e. Pelaksanaan bantuan hukum yang dilaksanakan oleh advokat dinilai kurang profesional dan masih terlihat adanya pembedaan perlakuan antara klien yang didampingi karena haknya untuk mendapatkan bantuan hukum dengan klien yang didampingi karena pembayaran (fee). f. Masih bisa dijumpai tindakan advokat yang menolak memberikan bantuan hukum. g. Kondisi secara psikologis tersangka menunjukkan bahwa, penasihat hukum belum maksimal dalam menjalankan tugasnya, karena keadaan psikologis tersangka yang masih berada dibawah tekanan atau ketakutan dalam proses pemeriksaan dan wawancara dengan penulis. h. Adanya pesimisme dan sikap skeptis terhadap pelaksanaan bantuan hukum yang diberikan advokat, sehingga tersangka menolak menerima bantuan hukum atau menolak untuk didampingi penasihat hukum. Pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar, juga dapat dilihat dari data jumlah pemberian bantuan hukum di Polresta Denpasar, yang meliputi jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum dan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dari tahun Pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar, menunjukkan masih terlihat adanya penyimpangan-penyimpangan bahwa, kondisi bahwa bantuan hukum belum dapat diakses dengan kemudahan-kemudahan, sehingga tidak semua terdakwa yang membutuhkan bantuan hukum dapat menikmati haknya untuk memperoleh bantuan hukum, dan tidak adanya ketentuan dengan memberikan bantuan hukum kepada terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana dibawah 5 (lima) tahun. Penyimpangan-penyimpangan ini, tentu masih perlu dikaji dan diperbaiki dalam meningkatkan efektifitas dalam pelaksanaan bantuan hukum di Pengadilan Negeri Denpasar. xiii

15 xiii Mengenai pelaksanaan bantuan hukum di Lembaga Bantuan Hukum di Denpasar dapat diketahui bahwa, ditemukannya pembatasan-pembatasan dalam pemberian bantuan hukum yang tidak dapat diberikan kepada kasus-kasus korupsi, narkotika, kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang menunjukkan penyimpangan bahwa seharusnya advokat atau LBH tidak boleh menolak perkara atau menolak memberikan bantuan hukum. Mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana pada tingkat penyidikan di Polresta Denpasar dan pada tahap pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri Denpasar, telah dilaksanakan dengan baik dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan dan SOP yang berlaku. Mekanisme pemberian bantuan hukum di YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar, belum dapat dilaksanakan dengan baik, karena dilaksanakan tidak berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai bantuan hukum. Implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar, jika dikaji dari diagram dalam teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum dari Robert B. Seidman dapat diketahui bahwa, penyidik dan hakim sebagai pemegang peran (role accupant) dalam pelaksanaannya akan menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan bantuan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga terjadilah proses pelaksanaan hukum (law implementing processes), namun, tidak terdapat timbal balik (feedback) yang diberikan dari penyidik dan hakim kepada pembuat peraturan (badan legislatif). Implementasi di Lembaga Bantuan Hukum di Denpasar (YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar), peraturan yang mengatur mengenai bantuan hukum belum dapat dilaksanakan, sehingga pengimplementasian hukum dalam hal ini belum dapat dilaksanakan dan proses terputus pada tahap ini. Implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar, jika dikaji dari prinsip-prinsip keadilan dalam teori keadilan dari John Rawls dapat diketahui bahwa, pada prinsip pertama yang menyatakan bahwa, prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya institusi-institusi dan praktik-praktik institusional, menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar belum memenuhi keadilan karena adanya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Prinsip kedua telah terpenuhi. Bantuan hukum sebagai hak tersangka dan terdakwa telah diatur, diberikan, dijamin, dan dilindungi dalam Peraturan Perundang-undangan, sehingga telah ada upaya dalam penyelenggaraan proses hukum yang adil, namun keadilan belum tercapai. Pelaksanaan yang masih menunjukkan adanya penyimpangan-penyimpangan menunjukkan bahwa, pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar belum mencapai proses peradilan yang adil. Bab IV membahas rumusan masalah kedua yang menguraikan tentang faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar dapat diklasifikasi dan dibedakan menjadi 3 faktor yakni, faktor substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), xiv

16 xiv dan budaya hukum (legal culture). Substansi hukum (legal substance) telah menjadi salah satu faktor penghambat yang mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar, khususnya di Polresta Denpasar dan di YLBHI-LBH Bali dan PBHI Bali di Denpasar. Peraturan Perundang-perundangan yang mengatur mengenai bantuan hukum masih mengandung kelemahan-kelemahan yang kurang mengakomodir HAM dan menjunjung tinggi asas equality before the law dalam penegakan hak atas bantuan hukum yang seharusnya diberikan secara seluasluasnya (access to legal counsel), salah satunya yang diatur dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP. Tampak masih adanya tumpang tindih peraturan yang tentu menghambat pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Faktor struktur hukum (legal structure) meliputi faktor penegak hukum dari segi internal dan eksternal dan sarana atau fasilitas. Faktor penegak hukum dari segi internal, yang menghambat dan mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar adalah kurangnya integritas, moralitas, idealisme dan profesionalitas advokat, lemahnya kesadaran akan kewajiban profesi advokat dalam pemberian bantuan hukum, serta lemahnya kesadaran moril dan sosial advokat, kemampuan penegak hukum (pemahaman penegak hukum akan hukum/peraturan Perundang-undangan) yang masih kurang, yang menunjukkan kurangnya profesionalitas, integritas, moralitas, dan idealisme penyidik. Faktor penegak hukum dari segi eksternal dan sarana atau fasilitas yang menghambat dan mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar adalah kurangnya pendanaan atau anggaran, kurangnya kontrol dan pengawasan, mekanisme yang kurang efisien dalam hal permohonan bantuan hukum melalui surat permohonan bantuan hukum yang ditujukan kepada advokat, mekanisme administrasi yang tidak memberikan kemudahan-kemudahan akses untuk memperoleh bantuan hukum kepada terdakwa, mekanisme serta sistem untuk mendapatkan anggaran yang rumit yang harus melalui proses yang panjang yang harus dilalui oleh LBH, dan kurangnya koordinasi antara penyidik dengan advokat dan juga antara pengadilan dengan advokat dalam penunjukkan advokat sehingga penunjukkan advokat tidak merata. Faktor budaya hukum (legal culture) dalam pembahasan ini meliputi faktor budaya hukum atau kebudayaan dan masyarakat. Faktor budaya hukum atau kebudayaan dalam hal ini meliputi faktor budaya hukum atau kebudayaan dari masyarakat dan penegak hukum (penyidik dan advokat). Faktor budaya hukum atau kebudayaan masyarakat, yang menghambat dan mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar adalah nilai-nilai, opini-opini, cara bertindak dan berpikir masyarakat dengan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap hak atas bantuan hukum mengacu pada ketidakpercayaan, sikap pesimisme, serta sikap skeptis terhadap pelaksanaan bantuan hukum, serta nilai-nilai, opini atau pandangan masyarakat yang mengganggap jasa hukum advokat sebagai barang mewah dan mahal yang dalam prakteknya dapat menimbulkan sikap penolakan menggunakan bantuan hukum, tentu menjadi penghambat yang mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Faktor budaya hukum atau kebudayaan penegak hukum (advokat dan penyidik), yang menghambat dan mempengaruhi pelaksanaan xv

17 xv bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar adalah elemen sikap, nilainilai, cara bertindak dan berpikir advokat dan penyidik, yang terjadi secara berulang-ulang sehingga mengarah pada sikap atau tindakan penyimpangan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya tentu dapat menghambat pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Kurangnya kesadaran moral, profesionalitas, integritas, kesadaran dan ketaatan hukum dalam memenuhi tugas dan kewajibannya sebagai advokat, sehingga menimbulkan penyimpangan-penyimpangan berupa penolakan memberikan bantuan hukum dan tindakan advokat yang tidak profesional dan diskriminatif dalam pelaksanaan bantuan hukum tentu menghambat pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Kurangnya pemahaman, kesadaran hukum dan ketaatan hukum penyidik dalam pelaksanaan bantuan hukum juga dapat menghambat pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Faktor masyarakat yang menghambat dan mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar adalah anggapan, pendapat, opini, atau pandangan masyarakat yang negatif tentang pelaksanaan bantuan hukum serta kekhawatiran dalam menggunakan bantuan hukum. Bab V penutup menguraikan simpulan yang menyangkut pembahasan permasalahan yang diuraikan pada bab sebelumnya. Simpulan yang dapat ditarik bahwa, implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar belum dapat diimplementasikan dengan baik karena adanya penyimpangan-penyimpangan dalam prakteknya, baik di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar, di tingkat pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri Denpasar, dan di LBH (YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar). Faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar dapat diklasifikasi dan dibedakan menjadi 3 faktor yakni, faktor substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Faktor substansi hukum yang menghambat yakni, kekurangan atau kelemahan dalam substansi Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang mengatur mengenai pembatasan penerima bantuan hukum berdasarkan kwalifikasi ancaman hukuman. Berlakunya 3 dasar hukum yakni, Undang-undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum yang substansinya masih mengandung ketidakselarasan, kekaburan norma, dan tumpang tindih peraturan tentu menjadi faktor penghambat. Faktor struktur hukum yang menghambat yakni, faktor penegak hukum dari segi internal dan faktor penegak hukum dari segi eksternal yang juga meliputi sarana atau fasilitas. Faktor budaya hukum yang menghambat meliputi faktor budaya hukum atau faktor kebudayaan dan faktor masyarakat. xvi

18 xvi DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL DALAM. i HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER... ii HALAMAN PENGESAHAN TESIS... iii HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS... iv HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v UCAPAN TERIMA KASIH... HALAMAN ABSTRAK... vi x HALAMAN ABSTRACT... xi RINGKASAN... xii HALAMAN DAFTAR ISI... xvii HALAMAN DAFTAR GAMBAR... HALAMAN DAFTAR TABEL. HALAMAN DAFTAR LAMPIRAN... xxii xxiv xxv BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Ruang Lingkup Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus xvii

19 xvii 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Manfaat Praktis Orisinalitas Penelitan Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir Landasan Teoritis Kerangka Berpikir Metode Penelitian Jenis Penelitian Sifat Penelitian Data dan Sumber Data Teknik Pengumpulan Data Teknik Penentuan Sampel Penelitian Pengolahan dan Analisis Data BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANTUAN HUKUM, PEMBERI DAN PENERIMA BANTUAN HUKUM, DAN PROSES HUKUM YANG ADIL (DUE PROCESS OF LAW) Bantuan Hukum Pengertian Bantuan Hukum Konsep Bantuan Hukum dan Perkembangannya Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia Bantuan hukum di zaman penjajahan Belanda xviii

20 xviii Bantuan hukum di zaman penjajahan Jepang Bantuan hukum pasca kemerdekaan Bantuan hukum pada zaman kemerdekaan Pemberi Bantuan Hukum dan Penerima Bantuan Hukum Pemberi Bantuan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Atau Organisasi Kemasyarakatan Advokat Penerima Bantuan Hukum Proses Hukum yang Adil (Due Process of Law) BAB III IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DI DENPASAR Pelaksanaan Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di Denpasar Pelaksanaan Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tahap Pemeriksaan Tersangka di Tingkat Penyidikan di Polresta Denpasar Pelaksanaan Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tahap Pemeriksaan Terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar xix

21 xix Pelaksanaan Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di Lembaga Bantuan di Hukum Denpasar Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di Denpasar Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan di Polresta Denpasar Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Negeri Denpasar Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di Lembaga Bantuan Hukum di Denpasar BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DI DENPASAR Faktor Substansi Hukum (legal substance) Faktor Struktur Hukum (legal structure) Faktor Budaya Hukum (legal culture) Faktor Budaya Hukum Atau Faktor Kebudayaan Faktor Masyarakat BAB V PENUTUP Simpulan xx

22 xx 6.2 Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN DAN RESPONDEN LAMPIRAN xxi

23 xxi DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Teori Bekerjanya Hukum Atau Berlakunya Hukum dari Robert B. Seidman Gambar 2. Diagram Perkembangan Jumlah Tersangka yang Menerima Bantuan Hukum dan Jumlah Tersangka yang Menolak Menerima Bantuan Hukum dari Tahun Berdasarkan Berkas Perkara di Polresta Denpasar Gambar 3. Diagram Persentase (%) Jumlah Tersangka yang Menerima Bantuan Hukum dari Tahun Berdasarkan Berkas Perkara di Polresta Denpasar Gambar 4. Diagram Persentase (%) Jumlah Tersangka yang Menolak Menerima Bantuan Hukum dari Tahun Berdasarkan Berkas Perkara di Polresta Denpasar Gambar 5. Mekanisme Secara Teknis Pelaksanaan Bantuan Hukum Pada Pemeriksaan Tersangka di Tingkat Penyidikan Polresta Denpasar Gambar 6. Persyaratan Untuk Mendapatkan Bantuan Hukum di Pengadilan Negeri Gambar 7. Alur Pemberian Bantuan Hukum di Pengadilan Negeri Gambar 8. Alur Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di Pengadilan Negeri xxii

24 xxii Gambar 9. Mekanisme Secara Teknis Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Negeri Denpasar Gambar 10. Mekanisme Secara Teknis Pelaksanaan Bantuan Hukum di YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar xxiii

25 xxiii DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Data Jumlah Tersangka yang Menerima Bantuan Hukum dan Jumlah Tersangka yang Menolak Menerima Bantuan Hukum dari Tahun Berdasarkan Berkas Perkara di Polresta Denpasar Tabel 2. Lembaga Bantuan Hukum di Denpasar xxiv

26 xxiv DAFTAR LAMPIRAN 1. Surat Pemberitahuan Hak Tersangka dan Penunjukkan Penasehat Hukum, di Tingkat Penyidikan di Polresta Denpasar. 2. Surat Berita Acara Penolakan Didampingi Penasehat Hukum, di Tingkat Penyidikan di Polresta Denpasar. 3. Surat Permohonan Bantuan Penasehat Hukum, di Tingkat Penyidikan di Polresta Denpasar. 4. Surat Penetapan Penunjukkan Penasehat Hukum, Pada Tahap Pemeriksaan Terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar. 5. Formulir Isian Klien, YLBHI-LBH Bali (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum Bali) di Denpasar. 6. Formulir Isian Klien, PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) Wilayah Bali di Denpasar. 7. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. 8. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. 9. Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor : 1/dju/ot 01.3/viii/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum. 10. Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan Buku II. xxv

27 xxv 11. SOP yang berlaku di YLBHI-LBH Bali di Denpasar. 12. Data-Data dari Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Bali Terkait Dengan Pelaksanaan Bantuan Hukum. 13. Surat Keterangan Penelitian. 14. Surat Izin Rekomendasi Penelitian. xxvi

28 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yang secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Berbicara mengenai negara hukum, tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai Hak Asasi Manusia. Negara hukum dan Hak Asasi Manusia memiliki keterkaitan atau hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri suatu negara hukum yang mencerminkan esensi dari negara hukum itu sendiri. Ciri-ciri suatu negara hukum adalah : a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. b. Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain yang tidak memihak. c. Jaminan kepastian hukum, yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya. 1 Sebagai negara hukum, Indonesia juga telah memberikan pengakuan, jaminan, serta perlindungannya terhadap Hak Asasi Manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan, yang tertuang dalam konstitusi dan berbagai Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum bangsa Indonesia. Salah satunya yakni, tercantum di dalam Undangundang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut h Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta, 1

29 2 KUHAP). Dengan demikian, terdapat jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Sebelum dikeluarkan dan berlakunya KUHAP, peradilan pidana di Indonesia dilandaskan pada Het Herziene Inlandsch Reglement/HIR (Stbl No. 44). Setelah diundangkannya KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981, maka HIR sebagai satu-satunya landasan hukum bagi proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia dicabut. Berlakunya KUHAP telah menimbulkan perubahan fundamental terhadap Hukum Acara Pidana yang berlaku. Perubahan tersebut diantaranya adalah perubahan sistem/pola pemeriksaan dari sistem inkuisitur (inquisitoir) yang dianut pada masa HIR ke sistem akusatur (accusatoir) yang dianut oleh KUHAP, serta perubahan ke arah pemberian bantuan hukum sebagai upaya penegakan Hak Asasi Manusia. Pada saat berlakunya HIR, diterapkan asas inkuisitur (inquisitoir) yang menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan, dalam hal ini, tersangka kerap mendapat perlakuan yang tidak selayaknya atau dengan kata lain, tersangka sering mendapat perlakuan dengan kekerasan, penganiayaan, dan tekanan-tekanan hanya untuk memperoleh sebuah pengakuan yang dipandang menjadi alat bukti terpenting pada masa itu. Romli Atmasasmita menyatakan bahwa, Satu-satunya tujuan pemeriksaan pada masa itu adalah memperoleh pengakuan (confession) dari tersangka. 2 Berbeda halnya pada masa setelah berlakunya KUHAP. Setelah berlakunya KUHAP, sistem/pola pemeriksaan berubah menjadi sistem akusatur (accusatoir). Sistem/pola pemeriksaan dengan asas akusatur 2 Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra A. Bardin, Jakarta, h. 47.

30 3 menempatkan tersangka sebagai subyek pemeriksaan. M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa, Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat. Dia harus dinilai sebagai subyek, bukan sebagai objek. 3 Pengakuan tersangka tidak lagi menjadi hal yang terpenting, selain pengakuan tersangka juga masih diperlukan alat bukti lainnya. Hal lain yang menjadi perhatian adalah mengenai pemberian bantuan hukum pada masa HIR dan setelah diberlakukannya KUHAP. Terdapat pembatasan-pembatasan dalam pemberian bantuan hukum pada masa HIR, sehingga belum mampu memenuhi rasa keadilan serta memenuhi hakhak tersangka dan terdakwa. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa : Namun HIR hanya memperkenankan bantuan hukum kepada terdakwa di hadapan proses pemeriksaan persidangan pengadilan. Sedang kepada tersangka pada proses tingkat pemeriksaan penyidikan, HIR belum memberi hak untuk mendapat bantuan hukum. Dengan demikian, HIR belum memberi hak untuk mendapatkan dan berhubungan dengan seorang penasehat hukum pada semua tingkat pemeriksaan. Hanya terbatas sesudah memasuki taraf pemeriksaan di sidang pengadilan. 4 M. Yahya Harahap juga mengemukakan bahwa : Demikian juga kewajiban bagi pejabat peradilan untuk menunjuk penasehat hukum, hanya terbatas pada tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati. Di luar tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati, tidak ada kewajiban bagi pengadilan untuk menunjuk penasihat hukum memberi bantuan hukum kepada terdakwa. 5 Setelah berlakunya KUHAP, pembatasan-pembatasan tersebut tidak berlaku lagi. Pasal 54 KUHAP menyatakan bahwa, Guna kepentingan 3 M. Yahya Harahap, 2007, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan; Edisi ke dua, Sinar Grafika, Jakarta, h Ibid, h Ibid.

31 4 pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Bantuan hukum merupakan hak yang sangat penting yang dimiliki oleh tersangka dan terdakwa untuk kepentingan pembelaannya, dan sebagai penjaga agar terpenuhi hak-hak yang dimiliki tersangka dan terdakwa dalam peradilan pidana. Melalui pemberian bantuan hukum, sangat diharapkan tercapainya peradilan pidana yang mencerminkan peradilan yang adil dan tidak memihak (due process of law). M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa, bantuan hukum yang diberikan advokat dianggap merupakan komoditi atau barang mewah yang dapat dijangkau oleh orang kaya. Bagi orang miskin yang tidak memiliki uang, tidak mungkin didampingi advokat atau pengacara di dalam melindungi dan mempertahankan hak dan martabat kemanusiaannya. 6 Bambang Sunggono dan Aries Harianto juga mengemukakan bahwa : Kebutuhan akan keadilan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang senantiasa didambakan oleh setiap orang, baik yang kaya atau yang miskin. Akan tetapi kadangkala dapat terjadi di mana si kaya dengan kekayaannya dapat lebih mudah memperoleh keadilan itu, sehingga ia dapat menguasai mekanisme berjalannya hukum itu, bahkan celakanya dengan cara yang demikian itu akan menindas si miskin, yang pada gilirannya hanya akan menimbulkan kesan bahwa hukum itu hanya untuk si kaya dan tidak untuk si miskin. 7 Bambang Sunggono dan Aries Harianto juga mengemukakan bahwa, jika selama ini si kaya sudah cukup merasakan keadilan dan si miskin sudah cukup terjauh dari keadilan, maka sudah saatnya keadaan yang demikian tidak terjadi 6 Ibid, h Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 2009, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 62.

32 5 lagi. Program bantuan hukum, khususnya bagi si miskin, pada dasarnya merupakan pemerataan keadilan. 8 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, program bantuan hukum pada dasarnya adalah merupakan upaya pemerataan keadilan. Frans Hendra Winarta menyatakan bahwa, sering kali orang yang tergolong miskin (the have not) diperlakukan tidak adil dan tidak dapat memperoleh jasa hukum dan pembelaan (access to legal councel) yang memadai dari advokat (penasihat hukum). 9 Frans Hendra Winarta juga menegaskan bahwa, pada dasarnya bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum. 10 Faktanya, dalam penggunaan jasa advokat tentu membutuhkan biaya dan bagaimana mungkin orang yang untuk mencukupi kebutuhan pokok hidupnya saja tidak mampu, apalagi membayar jasa advokat, untuk mengatasi permasalahan ini, maka diberikanlah bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin. Pasal 1 angka 1 Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menyatakan bahwa, Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana 8 Ibid. 9 Frans Hendra Winarta, 2000, Bantuan Hukum; Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta (Selanjutnya disebut Frans Hendra Winarta I), h Ibid, h. vii.

33 6 Bantuan Hukum juga memberikan definisi yang sama mengenai bantuan hukum. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan secara cuma-cuma. Pengertian bantuan hukum secara cuma-cuma juga telah diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka 3 PP No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma yang menyatakan bahwa, Bantuan hukum secara cumacuma adalah jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin merupakan upaya implementasi dari negara hukum yang mengakui, menjamin, dan melindungi Hak Asasi Manusia. Bantuan hukum juga diberikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan akses terhadap keadilan dan persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Dalam pelaksanaan bantuan hukum, advokat sebagai orang yang memberi bantuan hukum tentu memiliki kewajiban dan peran yang sangat besar dalam hal ini. Ropaun Rambe menyatakan bahwa, profesi advokat dikenal sebagai profesi yang mulia (officium nobile), karena mewajibkan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama, budaya, sosial

34 7 ekonomi, kaya miskin, keyakinan politik, gender, dan idiologi. 11 Ropaun Rambe juga menyatakan bahwa : Profesi advokat merupakan profesi yang terhormat karena adanya profesionalisme di dalamnya. Di samping itu, profesi advokat bukan semata-mata hanya mencari nafkah, namun di dalamnya terdapat adanya idealisme (seperti nilai keadilan dan kebenaran) dan moralitas yang sangat dijunjung tinggi. 12 Sesuai dengan profesi yang mulia (officium nobile) tersebut, advokat wajib membela masyarakat dan kliennya tanpa diskriminasi dan pembedaan perlakuan sesuai dengan asas equality before the law. Advokat memiliki kedudukan yang penting sebagai pilar dalam penegakan hukum, dalam penegakan Hak Asasi Manusia, serta memiliki fungsi kontrol untuk menjaga peradilan agar tetap bersih, jujur, dan adil. Advokat dalam sistem peradilan pidana juga merupakan bagian atau sub sistem peradilan pidana dan juga merupakan penegak hukum. Advokat memiliki peranan yang penting dalam peradilan pidana. Ropaun Rambe menyatakan bahwa, profesi advokat merupakan profesi yang terhormat, namun, kondisi profesi advokat sekarang ini cukup memprihatinkan karena terjadinya penyimpangan. Advokat sekarang lebih banyak berperan sebagai calo perkara saja. 13 Kondisi ini tentu merupakan permasalahan yang serius, yang kini dihadapi oleh sistem peradilan pidana di Indonesia. 11 Ropaun Rambe, 2001, Teknik Praktek Advokat, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h Ibid, h Ibid, h. xiv.

35 8 Amir Syamsuddin juga mengemukakan bahwa, berkaitan dengan dunia kepengacaraan, uang dan kekuasaan secara tidak sadar telah mengkatagorikan para pengacara di dalam beberapa kelompok sesuai dengan perilaku mereka di dalam menangani suatu perkara. Pertama, golongan pengacara idealis yang tidak pernah mau menggunakan uang dan kekuasaan di dalam penanganan suatu kasus/perkara. Artinya, mereka tidak mau melakukan pendekatan di dalam upaya memenangkan suatu perkara atau menguntungkan kliennya dengan cara suapmenyuap. Kedua, kelompok pengacara yang tidak mau melakukan pendekatan uang dan kekuasaan, tetapi membiarkan kliennya melakukan sendiri. Termasuk dalam hal ini kelompok pengacara yang melakukan secara pasif artinya, akan melakukan pendekatan uang dan kekuasaan hanya bila diminta klien. Kelompok ketiga adalah pengacara yang mencari nafkah dari pekerjaan menggunakan uang dan kekuasaan. Bagi kelompok ini, uang dan kekusaan lebih penting dari pada pledoi ataupun dalil-dalil hukum di atas kertas. 14 Kini advokat telah mengalami penggeseran nilai. Saat ini, profesi advokat kerap dianggap tidak lagi profesi yang luhur yang menjungjung tinggi kebenaran dan keadilan. Oknum-oknum advokat yang membela kliennya dengan segala cara untuk mencapai kemenangan dengan penyuapan, penghilangan alat bukti, dan cara-cara negatif lainnya, tentu memunculkan berbagai asumsi menuju pesimisme serta sikap skeptis terhadap penegakan hukum di Indonesia. Bahkan, advokat sering dianggap sebagai mafia peradilan atau calo perkara, yang tentu saja merusak citra dari profesi luhur advokat itu sendiri. 14 Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegak Hukum; Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 30.

36 9 Penyimpangan serta pergeseran nilai advokat tersebut merupakan permasalahan yang serius, namun, di tengah pesimisme, serta sikap skeptis terhadap advokat, perlu diketahui bahwa advokat memiliki peranan yang sangat penting dalam mencapai due process of law. Tindakan-tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-oknum advokat yang merusak citra profesi advokat saat ini, tidak boleh menjadi batu penghalang yang menghentikan pelaksanaan profesi luhur advokat itu sendiri. Perlu disadari bahwa, pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin adalah salah satu bentuk tindakan dari profesi advokat yang sangat mulia dan merupakan gerakan moral yang memperjuangkan Hak Asasi Manusia. Faktanya, tidak semua advokat menyadari secara moral kewajibannya tersebut. Masih banyak ditemukan berbagai penyimpangan-penyimpangan dalam pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin. Kondisi ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai luhur dari profesi advokat itu sendiri, dengan adanya hal ini, yang menunjukkan masih bisa ditemukan penyimpanganpenyimpangan dalam prakteknya, maka perlu ditinjau kembali perkembangan pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia. Bantuan hukum telah diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan. Bantuan hukum selain merupakan Hak Asasi Manusia juga merupakan gerakan konstitusional, dengan demikian, bantuan hukum adalah hak konstitusional Warga Negara Indonesia. Terdapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang menjadi landasan dalam pemberian bantuan hukum, dan juga terkandung didalamnya asas

37 10 equality before the law, diantaranya yakni Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) UUD Pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin, dalam KUHAP, dapat dilihat dalam Pasal 56 KUHAP : (1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. (2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Pasal 22 ayat (1) Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menyatakan bahwa, Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cumacuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma juga menyatakan bahwa, Advokat wajib memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma kepada Pencari Keadilan. Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma selanjutnya juga menegaskan bahwa, Advokat dilarang menolak permohonan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Undang-undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum juga mengatur mengenai kewajiban advokat dalam memberikan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin, sebagaimana diatur dalam pasal 10 huruf e yang menyatakan bahwa Pemberi Bantuan Hukum berkewajiban untuk :

38 11 memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sampai perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum. Berdasarkan Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia No. 1 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma yang berlaku pada organisasi advokat menyatakan bahwa, Advokat PERADI dianjurkan melakukan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebanyak 50 jam/tahun. Ketentuanketentuan ini telah menunjukkan secara tegas bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin. Bantuan hukum merupakan hak bagi orang atau kelompok orang miskin yang telah diatur dalam berbagai instrumen internasional dan nasional. Sebagai hak yang diakui secara universal yang merupakan aktualisasi Hak Asasi Manusia dan equality before the law maka, hak atas bantuan hukum telah dikenal dan diberikan sejak lama. Secara historis, bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat barat sejak zaman romawi. Bantuan hukum baru dikenal di Indonesia sejak masuknya hukum barat di Indonesia. Berkembangnya bantuan hukum di Indonesia diawali oleh gerakan para advokat dengan mendirikan beberapa biro atau lembaga bantuan hukum dalam bentuk konsultasi, antara lain biro bantuan hukum di Rechtshoge Scool Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker, dengan tujuan untuk memberikan nasehat hukum kepada

39 12 mereka yang tidak mampu, namun, sayangnya biro yang terbentuk itu kurang berjalan dengan serius karena kurangnya pengalaman dalam praktek. 15 Frans Hendra Winarta memberikan pendapatnya mengenai pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia. Frans Hendra Winarta mengemukakan bahwa, dalam kurun waktu lebih kurang 5 tahun sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, sebagian besar advokat masih enggan memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. 16 Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), rakyat miskin masih sangat sulit mendapat akses bantuan hukum. Melalui hasil riset YLBHI, dari sekitar 170 orang narapidana hanya sekitar 10 persen yang baru mendapatkan bantuan hukum. Itu pun hanya orang-orang yang berduit saja. 17 Kondisi ini menunjukkan bahwa bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin belum dapat dilaksanakan dengan baik di Indonesia. Kondisi ini tentu bertentangan dengan peraturan yang melegitimasi kewajiban advokat dalam pemberian bantuan hukum. Sebelum tahun 2000, pemerintah Indonesia belum mengalokasikan dana bantuan hukum yang memadai dan masih ada persepsi yang salah tentang bantuan hukum. Sekitar 300 organisasi bantuan hukum di tahun 1980-an, yang tumbuh hanya tiga di tahun 1960-an. Bantuan hukum yang ada di Indonesia sebagian 15 Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana; Konsep, Komponen, & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, h Frans Hendra Winarta, 2011, Bantuan Hukum di Indonesia; Hak untuk Didampingi Penasihat Hukum Bagi Semua Warga Negara, PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia, Jakarta (Selanjutnya disebut Frans Hendra Winarta II), h Ibid, h. xiv.

40 13 besar berpraktik dan berfungsi seperti kantor advokat (penasihat hukum) serta menggalang dana dari klien atas jasa hukum yang diberikan, dengan tidak membedakan strata ekonomi mereka. Seharusnya, bantuan hukum itu sifatnya pro deo (demi Tuhan) tidak dipungut bayaran (fee) karena disediakan untuk orang miskin dan oleh karena itu bersifat non komersial, kecuali dipungut biaya untuk ongkos administratif. 18 Frans Hendra Winarta juga menyatakan bahwa, di Indonesia telah terjadi distorsi konsep bantuan hukum. Terdapat banyak sekali organisasi yang menamakan diri lembaga bantuan hukum namun mengenakan fee kepada kliennya bahkan kepada fakir miskin. 19 Sejak berlakunya Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat telah ditentukan bahwa, salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi advokat adalah tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat Negara, oleh sebab itu, dosen yang tergabung dalam biro bantuan hukum di Fakultas-fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri kini tidak lagi bisa menjadi advokat yang memberikan bantuan hukum. Seiring dengan ini, penyelenggaraan bantuan hukum tentu mengalami penurunan secara kuantitas advokat yang memberikan bantuan hukum. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dahulu pemerintah belum mengalokasikan dana bantuan hukum yang memadai, kini hal tersebut telah diatur secara tegas dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, yang menyebutkan bahwa, Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 18 Frans Hendra Winarta I, op.cit, h Frans Hendra Winarta II, op.cit, h. ix.

41 14 Faktanya, masih dapat ditemukan advokat yang enggan memberikan bantuan hukum dan rakyat miskin masih sulit untuk mendapatkan bantuan hukum, sebagaimana yang telah oleh Frans Hendra Winarta. Masih banyak ditemukan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan bantuan hukum yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan, baik pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan, pemeriksaan terdakwa di Pengadilan, dan di Lembaga Bantuan Hukum. Hal ini tentu merupakan permasalahan yang perlu dikaji dan dibenahi. Pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia, dengan mengacu pada uraian tersebut dapat diketahui bahwa, pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia belum dapat dilaksanakan dengan baik, sama halnya dengan kondisi penyelenggaraan bantuan hukum di Denpasar yang nampaknya belum dapat dilaksanakan dengan baik. Adanya pembaharuan secara normatif tentang bantuan hukum, tentu membawa perubahan dalam implementasinya, hal inilah yang menjadikan penelitian ini menarik untuk diteliti. Maka, perlu diketahui lebih lanjut mengenai implementasi bantuan hukum, khususnya di wilayah Denpasar saat ini. Masyarakat di Denpasar walaupun sudah maju dan semakin sejahtera, namun, berdasarkan data dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kota Denpasar menunjukkan bahwa masih ada penduduk miskin di Kota Denpasar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, jumlah penduduk di Kota Denpasar pada tahun 2012 adalah berjumlah jiwa. 20 Berdasarkan data dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa 20 dibuka pada tanggal 22 februari 2013, diakses pada pukul wita.

42 15 Kota Denpasar bahwa, jumlah penduduk miskin di Kota Denpasar pada tahun 2012 adalah berjumlah jiwa. Dapat diketahui bahwa, dari jumlah penduduk di Kota Denpasar, terdapat penduduk miskin yang perlu mendapat perhatian disegala bidang kehidupan, termasuk di bidang hukum, ada juga orang miskin yang berperkara pidana dan berhak mendapat bantuan hukum. Kota Denpasar yang terletak di tengah-tengah Pulau Bali, selain merupakan ibu kota Daerah Tingkat II, juga merupakan ibu kota Propinsi Bali sekaligus sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, dan perekonomian. Letak Kota Denpasar sangat strategis dan merupakan titik sentral berbagai kegiatan sekaligus sebagai penghubung dengan kabupaten lainnya. 21 Seiring dengan kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat di Kota Denpasar juga kerap menimbulkan permasalahan hukum, dengan kata lain bahwa, keunggulan-keunggulan tersebut telah membawa dampak terjadinya kejahatan atau kriminalitas dalam jumlah yang besar di wilayah tersebut. Data dari POLRESTA Denpasar menunjukkan bahwa jumlah perkara pidana yang masuk di POLRESTA Denpasar pada Tahun 2012 adalah berjumlah kasus. Data ini menunjukkan bahwa, dari segi kuantitas, Kota Denpasar memiliki tingkat kejahatan atau tingkat kriminalitas yang cukup tinggi. Berdasarkan besarnya jumlah perkara pidana yang masuk di POLRESTA Denpasar, serta dengan adanya penduduk miskin di Kota Denpasar, maka wilayah Kota Denpasar menarik untuk menjadi tempat penelitian mengenai 21 dibuka pada tanggal 22 februari 2013, diakses pada pukul wita.

43 16 bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana demi terselenggaranya proses hukum yang adil. Mengingat pentingnya bantuan hukum dalam menciptakan keadilan, menegakkan HAM, dan equality before the law, serta dalam mencapai due process of law, tentu menjadikan kewajiban pemberian bantuan hukum menjadi hal yang penting untuk dapat dilaksanakan secara efektif. Penelitian ini sangatlah penting, mengingat manfaat yang sangat besar yang akan didapatkan ketika pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar, dapat dilaksanakan secara efektif, selain itu, juga merupakan bentuk upaya reformasi hukum dalam aspek pemerataan keadilan. Berdasarkan hal-hal seperti yang telah diuraikan di atas, maka merupakan pendorong untuk menulis tesis dengan judul : Bantuan Hukum Bagi Orang atau Kelompok Orang Miskin Dalam Perkara Pidana Demi Terselenggaranya Proses Hukum yang Adil di Denpasar. 1.2 Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan dua permasalahan pokok yaitu : 1. Bagaimanakah implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar? 2. Apa saja faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar?

44 Ruang Lingkup Masalah Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan terdapat kesesuaian antara pembahasan dengan permasalahan, maka perlu diberikan batasan sebagai berikut : 1. Permasalahan pertama dibahas mengenai implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin, dalam perkara pidana di Denpasar, dikaji melalui data primer yang ada, yang menunjukkan pelaksanaan secara praktek pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin, dalam perkara pidana di Denpasar, juga ditinjau dari mekanisme berupa prosedur dan tahapantahapan dalam pemberian bantuan hukum yang telah dilakukan dalam praktek peradilan pidana, yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah dalam pelaksanaannya telah sesuai dengan tata cara yang berlaku atau tidak. Implementasi ini, dapat diketahui dari data-data dan hasil wawancara yang diperoleh dari penelitian di POLRESTA Denpasar, Pengadilan Negeri Denpasar, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Denpasar dan di kantor-kantor advokat di Denpasar. 2. Dalam permasalahan kedua, diidentifikasi dan diklasifikasi faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar. Hal ini, dikaji dari hasil wawancara yang dilakukan di POLRESTA Denpasar, Pengadilan Negeri Denpasar, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Denpasar dan di kantor-kantor advokat di Denpasar.

45 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : Tujuan Umum Untuk mengetahui dan memahami mengenai bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana demi terselenggaranya proses hukum yang adil di Denpasar Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Penelitian mengenai bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana demi terselenggaranya proses hukum yang adil di Denpasar, dapat memberikan manfaat pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai bantuan hukum. Penelitian ini dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan mengenai implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar, selain itu, juga dapat diketahui faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan

46 19 hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Penelitian ini, merupakan upaya reformasi hukum dalam aspek pemerataan keadilan dan diharapkan dapat memberikan inovasi baru dalam perbaikan sistem pemberian bantuan hukum untuk mewujudkan due process of law. Penelitian ini, juga bermanfaat untuk menambah khasanah keilmuan Manfaat Praktis Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini yakni, orang atau kelompok orang miskin dapat mengetahui haknya untuk mendapat bantuan hukum. Pengetahuan dan pemahaman mengenai mekanisme pemberian bantuan hukum juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengetahui prosedur atau tahapantahapan apa saja yang harus dilalui untuk dapat memperoleh bantuan hukum. Penelitian mengenai implementasi bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar dan juga faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaannya, juga bermanfaat bagi advokat dan aparat penegak hukum lainnya, khususnya dalam upaya untuk memperbaiki serta meningkatkan pelaksanaan sistem pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Penelitian ini juga bermanfaat dalam perbaikan serta peningkatan moralitas, profesionalitas, dan integritas advokat.

47 Orisinalitas Penelitian Bantuan hukum sebagai salah satu hak yang dimiliki tersangka dan terdakwa tentu selalu menarik untuk menjadi obyek penelitian, baik dari segi pengaturan secara normatif maupun dalam pelaksanaannya. Pemberian bantuan hukum, juga merupakan obyek penelitian yang menarik, mengingat pentingnya pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin. Bantuan hukum tentu pernah dikaji sebelumnya oleh peneliti lainnya. Tesis ini merupakan karya tulis asli, dengan tanpa adanya unsur plagiasi di dalam proses penulisan serta penelitian yang dilakukan, oleh sebab itu, tesis ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas saran dan kritik yang bersifat membangun. Orisinalitas penelitian dari tesis ini akan ditunjukkan dengan membandingkannya dengan tesis-tesis lainnya, dari lingkup Universitas Udayana maupun dari beberapa Universitas lainnya di Indonesia. Adapun tesis-tesis yang menyangkut bantuan hukum yakni : 1. Tesis yang ditulis pada tahun 2013 oleh Putu Sekarwangi Saraswati dari Universitas Udayana, dengan judul Implementasi Hak Tersangka Untuk Memperoleh Bantuan Hukum di Wilayah Hukum Polda Bali, dengan rumusan masalah dan kesimpulan sebagai berikut : Rumusan Masalah : 1. Bagaimanakah implementasi hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum pada tingkat penyidikan di wilayah hukum Polda Bali? 2. Usaha-usaha apakah yang dilakukan dalam memberikan bantuan hukum pada tingkat penyidikan di wilayah hukum Polda Bali?

48 21 Kesimpulan : 1. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, implementasi hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum pada tingkat penyidikan di wilayah hukum Polda Bali belum berjalan dengan baik, masih ada kasus tersangka yang tidak didampingi penasihat hukum dan haknya sebagai tersangka terabaikan. Karena koordinasi dari penyidik dan penasihat hukum kurang baik, hal ini dapat dilihat dari dilakukannya pemeriksaan tersangka sebelum dihadiri oleh penasihat hukum tersangka. Ini terjadi karena masyarakat banyak yang tidak mengetahui hak-haknya sebagai Warga Negara Indonesia khususnya hak untuk memperoleh bantuan hukum bagi yang tersangkut perkara atau kasus pidana dari sejak tahap penyidikan. 2. Usaha-usaha yang dilakukan dalam memberikan bantuan hukum pada tahap penyidikan dibedakan menjadi 2 metode yaitu, metode preventif dan metode represif, yang diwujudkan melalui penawaran dan pembinaan tersangka untuk memahami kedudukan penasihat hukum dalam pemeriksaan perkaranya serta mengajukan praperadilan apabila terbukti dalam proses penyidikan tersangka tidak di dampingi penasihat hukum tanpa alasan yang jelas. 2. Tesis yang ditulis pada tahun 2006 oleh I Made Sepud dari Universitas Udayana, dengan judul Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia, dengan rumusan masalah dan kesimpulan sebagai berikut :

49 22 Rumusan Masalah : 1. Apakah sistem bantuan hukum dengan berlakunya KUHAP sudah sesuai dengan konvensi internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM)? 2. Apakah konsekuensi terhadap adanya pelanggaran terhadap hak atas bantuan hukum dalam proses peradilan pidana? Kesimpulan : 1. Sistem bantuan hukum dengan berlakunya KUHAP tidak sesuai dengan konvensi internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM), baik yang tertuang dalam Deklarasi Universal HAM maupun dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik. 2. Pelanggaran atas bantuan hukum dalam proses peradilan pidana menurut KUHAP dapat berupa : tidak diberitahukan hak tersangka untuk mendapat bantuan hukum atau tidak dilaksanakannya kewajiban pemerintah untuk menyediakan penasihat hukum terhadap tersangka yang diancam pidana sesuai Pasal 56 ayat (1) KUHAP sehingga sebagai konsekuensi atas pelanggaran tersebut tidak bisa dilanjutkan karena secara hukum tidak diatur. 3. Tesis yang ditulis pada tahun 2005 oleh I Ketut Sulana dari Universitas Udayana, dengan judul Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Kasus Penyidikan di Kabupaten Buleleng, dengan rumusan masalah dan kesimpulan sebagai berikut : Rumusan Masalah :

50 23 Bagaimanakah perlindungan hak tersangka dalam proses penyidikan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)? Kesimpulan : 1. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) tersangka dalam proses penyidikan telah diatur secara eksplisit dalam KUHAP dari ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) tersangka dalam pelaksanaannya ada beberapa pelanggaran sesuai dengan hasil penelitian yaitu tidak terlaksananya dengan maksimal hak dari tersangka. 3. Terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tersangka dalam KUHAP tidak diatur mengenai sanksi yang dapat dikenakan sehingga perlindungan HAM belum sepenuhnya terpenuhi dalam pelaksanaannya. 4. Tesis yang ditulis pada tahun 2004 oleh Ketut Wetan Sastrawan dari Universitas Udayana, dengan judul Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Sistem Pemeriksaan KUHAP, dengan rumusan masalah dan kesimpulan sebagai berikut : Rumusan Masalah : 1. Apakah perlindungan hak-hak tersangka dalam sistem pemeriksaan menurut KUHAP secara normatif telah mencerminkan HAM? 2. Upaya hukum apa yang dapat ditempuh apabila hak-hak tersangka dilanggar? Kesimpulan :

51 24 1. Pada dasarnya perlindungan hak-hak tersangka dalam sistem pemeriksaan tersangka menurut KUHAP telah mengakomodasi perlindungan hak asasi manusia yang tertuang di dalam dokumen internasional baik di dalam Deklarasi Universal HAM maupun yang tertuang dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, yaitu dapat dilihat pada Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 yang mengatur tentang hak-hak tersangka. 2. Upaya hukum terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam perlindungan hak-hak tersangka dalam sistem pemeriksaan menurut KUHAP, dapat dilakukan melalui upaya hukum biasa (banding dan kasasi) dan upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali). Sesuai dengan yang diatur di dalam KUHAP. Tetapi upaya dalam hal terjadinya pelanggaranpelanggaran pada hak-hak tersangka sebagaimana pada pasal 50 sampai 68 KUHAP belum diatur secara jelas. 5. Tesis yang ditulis pada tahun 2008 oleh Rijal Yohanda, dari Universitas Andalas, dengan judul Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma Kepada Tersangka yang Tidak Mampu Pada Proses Penyidikan Perkana Pidana (Studi di Wilayah Hukum Poltabes Kota Padang), dengan rumusan masalah sebagai berikut : Rumusan Masalah : 1. Bagaimanakah prosedur mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma oleh tersangka yang tidak mampu pada proses penyidikan?

52 25 2. Bagaimanakah implementasi pemberian bantuan hukum secara cumacuma pada proses penyidikan? 3. Apakah kendala yang dihadapi oleh tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma pada proses penyidikan? Tesis yang ditulis oleh Teguh Triyanto, dari Universitas Sebelas Maret, dengan judul Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma- Cuma Bagi Terdakwa yang Tidak Mampu (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo), dengan rumusan masalah dan kesimpulan sebagai berikut : Rumusan Masalah : 1. Bagaimanakah cara pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma terhadap terdakwa yang tidak mampu yang melakukan Tindak Pidana dengan ancaman pidana 5 tahun penjara atau lebih di Pengadilan Negeri Sukoharjo? 2. Apa saja hambatan atau permasalahan yang ada dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum terhadap terdakwa yang tidak mampu yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana 5 tahun penjara atau lebih di pengadilan Negeri Sukoharjo dan solusi atau cara untuk memecahkan masalah tersebut? Kesimpulan : 22 dibuka pada tanggal 28 Januari 2013, diakses pada pukul wita.

53 26 1. Pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma bagi terdakwa yang tidak mampu yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara atau kurungan di pengadilan negeri Sukoharjo terlaksana sesuai dengan ketentuan-ketentuan Undang-undang yang mengatur, yakni ketentuan Undang-undang No. 4 tahun 2004, Ketentuan-Ketentuan Undang-undang No. 23 tahun Permasalahan yang ada dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun berupa penolakan penasehat hukum yang ditunjuk oleh tersangka atau terdakwa dengan berbagai alasan tersangka atau terdakwa. 23 Tesis ini dibandingkan dengan tesis-tesis lainnya sebagaimana yang telah diuraikan diatas, tentu terlihat perbedaannya dari segi fokus penelitian dan tempat penelitian. Tesis di lingkungan Universitas Udayana sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, tesis pertama memfokuskan penelitiannya pada implementasi hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum di tingkat penyidikan, sedangkan tesis ini memfokuskan penelitian pada pemberian bantuan hukum bagi tersangka dan terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan, terutama pada tingkat penyidikan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pemberian bantuan hukum di LBH. Tesis kedua, meneliti mengenai bantuan hukum yang lebih luas mulai dari sistem bantuan hukum di Indonesia, mengenai perlindungan 23 dibuka pada tanggal 28 Januari 2013, diakses pada pukul wita.

54 27 hak tersangka di tingkat penyidikan/pemeriksaan, dan konsekuensi terhadap adanya pelanggaran terhadap hak atas bantuan hukum dalam proses peradilan pidana, serta upaya hukum yang dapat ditempuh apabila hak-hak tersangka dilanggar. Tempat penelitiannyapun berbeda-beda. Perbandingan dengan tesis-tesis di lingkungan Universitas lainnya, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya dapat terlihat adanya kemiripan obyek, yang meneliti mengenai pelaksanaan atau implementasi bantuan hukum, namun terlihat adanya perbedaan fokus penelitian, selain itu juga terdapat perbedaan yang signifikan yakni adanya perbedaan tempat penelitian. Penelitian dalam tesis ini dilakukan di wilayah Kota Denpasar, sedangkan tesis dari luar Universitas Udayana yang diuraikan tersebut dilakukan di luar wilayah Denpasar Bali, sehingga hasilnya pun berbeda. Fokus pengkajian dalam tesis ini adalah meneliti implementasi bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar, dalam lingkup pemberian bantuan hukum bagi tersangka dan terdakwa yang tergolong sebagai orang atau kelompok orang miskin. Berdasarkan hal tersebut, dapat terlihat keorisinalitasan penelitian tesis ini. Banyaknya penelitian hukum yang ada, tentu memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum, serta dapat menambah khasanah keilmuan terhadap obyek yang diteliti. Begitu pula terhadap pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana. Orisinalitas penelitian ini menunjukkan bahwa, tesis ini belum pernah diteliti atau dikaji, oleh karena itu penelitian dalam tesis ini bersifat orisinal.

55 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir Landasan Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori-teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturanaturan hukum, norma hukum, dan lain-lain yang akan digunakan sebagai landasan untuk membahas masalah penelitian. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan. 24 Mengutip pendapat Gijssels, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, Kata teori dalam Teori Hukum dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat, dan pengertianpengertian yang sehubungan dengan kenyataan yang dirumuskan sedemikian, sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dapat dikaji. 25 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, teori hukum adalah teori-teori mengenai hukum yang merupakan suatu pernyataan atau pandangan yang untuk sementara ini disepakati kebenarannya dan merupakan suatu teori baku yang disepakati para ahli hukum. Konsep (concept) adalah kata yang merupakan abstraksi yang digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu. 26 Ilmu hukum memiliki banyak konsep hukum diberbagai bidangnya. Asas hukum adalah suatu pemikiran 24 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, h Ibid, h Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 47.

56 29 yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma hukum. 27 J. J. H Bruggink dalam terjemahan Arief Sidhartha menyatakan bahwa, Asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran (kriteria) nilai. 28 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, asas-asas hukum sangatlah penting yang menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu Peraturan Perundang-undangan. Landasan teoritis yang digunakan untuk membahas masalah penelitian dapat berupa teori-teori hukum, konsep hukum, asas-asas hukum, serta aturan-aturan hukum. Teori hukum yang digunakan untuk permasalahan pertama, yakni teori keadilan dari John Rawls, karena dalam proses hukum yang adil akan terkandung prinsip-prinsip keadilan di dalamnya. Mengingat bahwa, keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum, maka banyak tokoh atau pakar yang mengemukakan pandangannya mengenai keadilan ini, diantaranya yakni Aristoteles, Thomas Aquinas, John Rawls, Hari Cand, dan lain-lain. Penelitian ini menggunakan teori keadilan dari John Rawls karena, sependapat dengan Priyono bahwa uraian tentang keadilan yang berasal dari John Rawls ini dipandang sebagai teori yang paling komprehensif sampai saat ini, selain itu, teori keadilan dari John Rawls yang sangat terkait dengan permasalahan yang ada, sehingga, tepat dijadikan sebagai dasar analisis dari permasalahan pertama dalam tesis ini. 27 M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya, h J. J. H Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 123.

57 30 Menurut John Rawls perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. 29 John Rawls juga mengemukakan bahwa : Rawls melihat, dalam kenyataannya, distribusi beban dan keuntungan sosial, seperti pekerjaan, kekayaan, sandang, pangan, papan, dan hakhak asasi, ternyata belum dirasakan seimbang. Faktor-faktor seperti agama, ras, keturunan, kelas sosial, dan sebagainya, menghalangi tercapainya keadilan dalam distribusi itu. Rawls mengatakan, hal itu tidak lain karena struktur dasar masyarakat yang belum sehat. 30 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, faktor kelas sosial juga dapat mempengaruhi dan menghalangi distribusi pemenuhan hak-hak asasi manusia. Menurut John Rawls, jika bidang utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, problem utama keadilan adalah merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil. Prinsip-prinsip keadilan sosial tersebut harus mendistribusikan prospek barang-barang pokok. Menurut John Rawls, kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan, selanjutnya, jika diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan harus mengerjakan dua hal : 1. Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya institusi-institusi dan praktik-praktik institusional. 29 Darji Darmodiharjo dan Sidartha, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h Ibid, h. 162.

58 31 2. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam memperkembangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu. 31 Prinsip-prinsip inilah yang sangat terkait dengan implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana demi terselenggaranya proses hukum yang adil (due process of law). Menurut John Rawls, terdapat dua prinsip keadilan (two principles of justice). John Rawls menguraikan bahwa : The first statement of the two principles reads as follows. First : each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for other. Second : social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be everyone s advantage, and (b) attached to positions and offices open to all. 32 Berdasarkan pendapat ini dapat diketahui bahwa, ada dua prinsip keadilan yang dikemukan oleh John Rawls. Prinsip pertama ditentukan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Prinsip kedua ditentukan bahwa, ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan bagi semua orang, dan (b) semua posisi jabatan terbuka bagi semua orang. Prinsip-prinsip keadilan dari John Rawls : 31 Ibid, h John Rawls, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard of Harvard University Press, Cambridge Massachusetts, h. 60.

59 32 1. Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty). Menurut prinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat. 2. Prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity) dirumuskan dalam prinsip ketidaksamaan yang menyatakan bahwa, situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas). 33 Prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity) dalam pelaksanaannya, menunjukkan bahwa sesuai dengan prinsip ini, untuk mencapai keadilan maka perlu dibentuk perundang-undangan yang memberikan hak bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin. Penelitian ini juga dapat dikaitkan dengan teori keadilan prosedural dari John Rawls (perfect procedural justice). Permasalahan pertama juga digunakan teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum dari Robert B. Seidman. Teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum dari Robert B. Seidman dapat digunakan dalam mengkaji proses pengimplementasian hukum, sehingga tepat untuk dijadikan dasar analisis dari permasalahan pertama dalam tesis ini. Sebagaimana diuraikan 33 Darji Darmodiharjo dan Sidartha, op.cit, h. 165.

60 33 dalam bukunya yang berjudul The State, Law and Development pada bahasan mengenai a model of law and development, Robert B. Seidman telah mengajukan atau mengusulkan sebuah teori dalam model bekerjanya hukum. Teori ini lalu dikenal sebagai teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum dari Robert B. Seidman. Pada mulanya, Robert B. Seidman merujuk kepada model yang sebelumnya juga mempelajari tentang law-in-action, yakni perilaku, yang pada saat itu dikaji oleh para realis hukum Amerika, namun, model itu gagal karena lima alasan. Robert B. Seidman lalu menguraikan lima alasan kegagalan model tersebut, lalu kemudian memberikan pendapat-pendapat atau usulan-usulan demi penyempurnaan usulan model yang ia buat. Pendapat-pendapat atau usulan-usulan ini kemudian dikenal sebagai 4 proposisi yang diajukan Robert B. Seidman dalam teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum atau dengan kata lain bahwa, teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum dari Robert B. Seidman dapat dideskripsikan dalam empat proposisi. Empat proposisi dalam teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum dari Robert B. Seidman menyatakan bahwa : 1. We can meet that objection, however, by substituting for the judge the processes of government concerned with implementation, that is, with inducing desired activity (the bureaucracy, the police, state corporations and so fort).

61 34 2. Broaden the concept of the norm addressed to the role occupant to include exhortation or other sort of prescription, indicated by a wavy line. I indicate the role addressed to the role occupant by a straight line. I indicate the exhortation by a wavy line. 3. Any law, once passed, changes from the day of passage, either by format amendment, or by the way the bureaucracy acts. It changes because the arena of choice changes. Feedback constitutes the most important explanation of those changes. Citizens express their reactions to a particular law or programme to law-makers or to bereaucrats, who in turn communicate to law - makers. In addition, various sorts of formal and informal monitoring devices teach law makers and bereaucrats about the rule s relative success, thus affecting decisions about the law. 4. The categories law makers and judge must be replaced by law making processes and law-implementing processes. 34 Sebagaimana yang telah diuraikan dalam empat proposisi dalam teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum dari Robert B. Seidman di atas, dapat diketahui dan dipahami bahwa, ada empat proposisi yang menggambarkan teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum dari Robert B. Seidman, yakni : 1. Adanya proses dari pemerintah terkait dengan pelaksanaan atau penerapan hukum, yaitu, dengan mendorong atau mempengaruhi kegiatan atau aktivitas yang diinginkan (birokrasi, polisi, perusahaan 34 Robert B. Seidman, 1978, The State, Law, and Development, ST. Martin s Press, New York, h

62 35 negara, dan sebagainya). Peraturan hukum menjadi sebuah sarana dalam mendorong atau mempengaruhi kegiatan yang diinginkan. Dalam hal ini, setiap peraturan hukum akan memberitahu tentang bagaimana seseorang pemegang peran (Rule Occupant) itu diharapkan bertindak. 2. Memperluas konsep norma yang ditujukan kepada pemegang peran untuk memasukkan atau menyertakan peringatan/desakan/ketentuan petunjuk, ditunjukkan dengan garis bergelombang. Robert B. Seidman menunjukkan/mengusulkan peraturan ditujukan kepada pemegang peran dengan garis lurus dan desakan/peringatan dengan garis bergelombang. Hal ini menunjukkan bagaimana pemegang peran akan bertindak, sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan politik, sosial, dan lain-lainnya mengenai dirinya. 3. Perubahan hukum dapat terjadi karena arena pilihannya berubah. Timbal balik (feedback) merupakan penjelasan yang paling penting dari perubahan-perubahan tersebut. Masyarakat mengungkapkan reaksi mereka terhadap hukum tertentu atau program untuk pembuat hukum atau para birokrat, yang bergiliran berkomunikasi dengan pembuat hukum, selain itu, berbagai macam perangkat monitoring formal dan informal mengajarkan pembuat hukum dan birokrat tentang peraturan yang relatif berhasil, sehingga mempengaruhi keputusan-keputusan tentang hukum. Hal ini menunjukkan bagaimana lembaga pelaksana itu

63 36 akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan politik, sosial, dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran. 4. Kategori-kategori pembuat hukum dan hakim harus diganti dengan proses-proses pembuatan hukum dan proses-proses penerapan atau pelaksanaan hukum. Berdasarkan hal ini dapat diketahui mengenai bagaimana peran pembuat undang-undang itu akan bertindak yang merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, politik, ideologis, dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi. 35 Lebih lanjut, Robert B. Seidman juga mengemukakan bahwa Finally, conformity inducing measures may be aimed directly at the role occupant, at changing the constraints and resources of the environment, or at changing the perceptions of the role occupant through education or moral suasion. 36 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, dalam proposisi-proposisi itu perlu diperhatikan bahwa penyesuaian-ukuran dorongan/ukuran penyesuaian-dorongan dapat ditujukan langsung pada pemegang peran, untuk mengubah kendala dan sumber daya lingkungan, 35 Ibid, lihat juga Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, h Ibid, h. 75.

64 37 atau mengubah persepsi pemegang peran melalui pendidikan atau bujukan moral. Robert B. Seidman menggambarkan teori ini dengan sebuah diagram : Gambar 1 Teori Bekerjanya Hukum Atau Berlakunya Hukum dari Robert B. Seidman Arena of choice Law making processes Law implementing processes Conformityinducing measures Role Occupant Arena of choice Arena of choice Sumber : Robert B. Seidman:The State, Law, and Development Ibid.

65 38 Uraian empat proposisi yang digambarkan dalam diagram tersebut di atas merupakan model bekerjanya atau berlakunya hukum dalam the law in action yang menunjukkan law implementing processes yang melibatkan beberapa hubungan yang tergambar dalam diagram tersebut di atas. Dapat diketahui pula bahwa, hukum dapat mempengaruhi perilaku pemegang peran sebagaimana yang dinyatakan oleh Robert B. Seidman bahwa, Law as a device to structure choice expresses at once law s usual marginality in influencing behaviour, and its importance as the principal instrument that government has to influence behaviour. 38 Hukum adalah sarana yang penting, sebagai instrumen utama pemerintah untuk mempengaruhi perilaku. Pembahasan pada permasalahan kedua, digunakan teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman dan dilengkapi dengan konsep faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum hukum dari Soerjono Soekanto. Lawrence M. Friedman, mengemukakan bahwa, The legal system would be nothing more than all these subsystems put together. 39 Lawrence M. Friedman juga menyatakan bahwa, A legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance, and culture interest. 40 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, dalam sistem hukum terdapat sub sistem-sub sistem hukum sebagai satu kesatuan yang saling berinteraksi. 38 Ibid, h Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System; A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, h Ibid, h. 16.

66 39 Suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah organisme kompleks di mana struktur, substansi, dan kultur berinteraksi. Sub sistem hukum dalam hal ini adalah substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga sub sistem inilah yang sangat menentukan apakah suatu sistem dapat berjalan atau tidak. Menurut Lawrence M. Friedman, substansi hukum (legal substance) dan struktur hukum (legal structure) yakni : The structure of a system is its skeletal frame work; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the tought, rigid bones that keep the process flowing within bounds, we describe the structure of a judicial system when we talk about the number of judges, the jurisdiction of court, how higher courts are stacked on top of lower courts, what persons are attached to various court, and what their roles consist of. The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave. 41 Lawrence M. Friedman juga mengemukakan mengenai budaya hukum (legal culture) bahwa, It is the element of social attitude and value. 42 Lawrence M. Friedman juga menyatakan bahwa, Legal culture refers, then, to those parts of general culture-customs, opinions, ways of doing and thinking-that bend social forces toward or away from the law and in particular ways. 43 Dapat dipahami dari uraian dalam teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman bahwa, sistem hukum terdiri dari sub sistem-sub sistem hukum yang saling berinteraksi, yakni : 41 Ibid, h Ibid, h Ibid.

67 40 1. Substansi hukum (legal substance) Substansi hukum tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi-institusi itu harus berprilaku. 2. Struktur hukum (legal structure) Struktur sebuah sistem adalah kerangka badannya; ia adalah bentuk permanennya, tubuh institusional dari sistem tersebut, tulang-tulang keras yang kaku yang menjaga agar proses mengalir dalam batasbatasnya. Struktur sebuah sistem yudisial terbayang ketika kita berbicara tentang jumlah para hakim, yurisdiksi pengadilan, bagaimana pengadilan yang lebih tinggi berada di atas pengadilan yang lebih rendah, dan orang-orang yang terkait dengan berbagai jenis pengadilan. 3. Budaya hukum (legal culture) Budaya hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial, yang mengacu pada bagian-bagian yang ada pada kultur umum-adat kebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan berpikir yang mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju atau menjauh dari hukum dan dengan cara-cara tertentu. Soerjono Soekanto dalam konsep faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum mengemukakan bahwa, masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum : 1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.

68 41 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya dan merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. 44 Mengacu pada pendapat Lawrence Meir Friedman mengenai teori sistem hukum, Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa : Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajibankewajibannya, dan seterusnya. Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsikonsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). 45 Penelitian selain menggunakan teori-teori hukum juga dapat diidentifikasi konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, dan aturan hukum yang digunakan dalam membahas masalah penelitian. Konsep hukum yang digunakan adalah konsep negara hukum dari Friedrich Julius Stahl, konsep 44 Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h Soerjono Soekanto, op.cit, h. 59.

69 42 bantuan hukum dari Frans Frans Hendra Winarta, konsep bantuan hukum dari Adnan Buyung Nasution, konsep due process model dari Herbert L. Packer, dan konsep faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum hukum dari Soerjono Soekanto yang telah diuraikan sebelumnya. Konsep negara hukum dari Friedrich Julius Stahl merupakan konsep hukum sebagai dasar dan sebagai landasan teori yang paling universal atau umum. Konsep negara hukum ini selanjutnya menjadi fondasi atau sebagai landasan berpijak dalam pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana. Konsep negara hukum dari Friedrich Julius Stahl menjadi fondasi dalam pembahasan masalah pertama dan kedua dalam tesis ini. Negara hukum sering diterjemahkan dengan istilah rechtsstaat atau Rule of Law. Paham rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental, sedangkan paham Rule of Law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System. Paham rechtsstaat ini dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl, sedangkan paham Rule of Law mulai dikenal setelah Albert Vann Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya yang berjudul Introduction to Study of The Law of The Constitution. 46 Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, bahwa paham rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Penelitian ini, menggunakan konsep negara hukum dari Friedrich Julius Stahl, karena 46 Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 3.

70 43 Indonesia menganut sistem hukum yang sama yakni sistem hukum Eropa Kontinental, sehingga terdapat persesuaian atau persamaan-persamaan terkait dengan penerapan sistem hukum Eropa Kontinental. Pertimbangan atau alasan lainnya juga karena adanya kesesuaian unsur-unsur rechtsstaat dengan penelitian ini. Unsur-unsur rechtsstaat yang dikemukakan Friedrich Julius Stahl sesuai dengan konsep pemberian bantuan hukum yang mengandung adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia, pembagian kekuasaan, dan pemerintahan berdasarkan peraturan (wetmatigheid vanbestuur) sebagai bentuk adanya asas legalitas dalam negara hukum. Ciri-ciri atau unsur-unsur rechtsstaat yang klasik (formalrechtstaat) menurut Friedrich Julius Stahl adalah : 1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia. 2. Adanya pembagian kekuasaan. 3. Pemerintahan berdasarkan peraturan (wetmatigheid vanbestuur). 4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara. 47 Berdasarkan UUD RI Tahun 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa, berbicara mengenai negara hukum tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai Hak Asasi Manusia dan sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Friedrich Julius Stahl bahwa, hak-hak dasar manusia adalah salah satu unsur dari negara hukum. H.A Masyhur Efendi menyatakan bahwa : 47 Ibid, h. 18.

71 44 Hak asasi manusia dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan, justru berpikir secara hukum berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud. Dengan demikian, pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuan melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati dan dijungjung tinggi. 48 Berpedoman terhadap makna yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang di dalamnya, semua penggunaan kekuasaan harus selalu ada landasan hukumnya dan berada dalam kerangka batas-batas yang ditetapkan oleh hukum. Negara merupakan suatu organisasi, dari segenap lapisan masyarakat yang menata diri secara rasional, untuk secara bersama-sama berikhtiar, berusaha mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat dengan tetap mengacu pada nilai-nilai martabat manusia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 49 Indonesia menganut prinsip negara hukum yang dinamis atau welfare state (negara kesejahteraan), karena negara wajib menjamin kesejahteraan sosial atau kesejahteraan masyarakat. Mengacu pada prinsip ini maka, dengan sendirinya tugas pemerintahan begitu luas. Pemerintahan wajib memberikan perlindungan kepada masyarakat, yang salah satunya di bidang hukum H.A Masyhur Efendi, 1994, Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, h Bahder Johan Nasution, op.cit, h SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, h. 52.

72 45 Menurut Frans Hendra Winarta, pada dasarnya bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum. 51 Adnan Buyung Nasution menyebutkan bahwa, bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dapat diartikan sebagai pemberian jasa-jasa hukum (legal service) kepada orang yang tidak mampu secara ekonomis untuk menggunakan jasa-jasa advokat atau professional lawyers. Atas dasar perikemanusiaan, maka dibentuklah lembaga yang khusus memberikan bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin. 52 Berbicara mengenai due process of law tentu berkaitan dengan due process model sebagai salah satu model dalam pendekatan normatif yang dipelopori oleh Herbert L Packer. Due process of law sebagai proses hukum yang adil dan tidak memihak, dapat ditemukan dalam model penyelenggaraan pidana yang dikembangkan oleh Herbert L. Packer, yakni due process model. Dapat diketahui bahwa, nilai-nilai yang terkandung dalam due process model mencerminkan due process of law. Due process model sebagai salah satu model dalam pendekatan normatif yang dipelopori oleh H. L Packer ini pada dasarnya memiliki keterkaitan dengan pemberian bantuan hukum dalam penegakan equality before the law. Herbert L. Packer dalam bukunya yang berjudul The Limits of The Criminal Sanction, menyatakan bahwa : At its most gross, the norm of 51 Frans Hendra Winarta I, op.cit, h. vii. 52 Adnan Buyung Nasution, 1982, Bantuan Hukum di Indonesia, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta, h

73 46 equality would act to prevent situations in which financial inability form an absolute barrier to the assertion of a right that is in theory genelly available, as where there is a right to appeal that is, however, effectively conditional upon the filing of a trial transcripst obtained at the defendant s expence. 53 Herbert L. Packer juga menyatakan bahwa, Due Process Model. It is a basic right of free men-basic in the sense that his other rights depend upon it-not to be subject to physical restraint except for good cause. 54 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, salah satu nilai-nilai yang mendasari due process model adalah persamaan dimuka hukum/perlakuan yang sama dihadapan hukum yang merupakan asas dari pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin. Secara singkat, mengutip pendapat dalam konsep due process model dari Herbert L. Packer mengenai nilai-nilai yang mendasari due process model Romli Atmasasmita menyatakan bahwa, nilai-nilai yang mendasari due process model adalah : (1) Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi, atau human error menyebabkan model ini menolak informal fact-finding process sebagai cara untuk menetapkan secara definitif factual gulit seseorang. Model ini hanya mengutamakan, formal-adjudicative dan adversary fact-findings yang berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa 53 Herbert L. Packer, 1968, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University Press, California, h Ibid, h. 179.

74 47 sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya. (2) Model ini menekankan kepada pencegahan (preventive measures) dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan. (3) Model ini menempatkan individu secara utuh dan utama di dalam proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang formal sangat memperhatikan kombinasi stigma dan kehilangan kemerdekaan yang dianggap merupakan pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dapat dilakukan oleh negara. Proses peradilan dipandang sebagai coercive (menekan), restricting (membatasi), dan merendahkan martabat (demeaning). Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara. (4) Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan sehingga model ini memegang teguh doktrin : legal-guilt. Doktrin ini memiliki konsep pemikiran sebagai berikut : a. Seseorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas tersebut. b. Terkandung asas praduga tidak bersalah atau Presumption of innocence.

75 48 (5) Persamaan di muka hukum atau Equality before the law lebih diutamakan. Berarti pemerintah harus menyediakan sarana fasilitas yang sama untuk setiap orang yang berurusan dengan hukum. Kewajiban pemerintah ialah menjamin bahwa ketidakmampuan secara ekonomis seorang tersangka tidak akan menghalangi haknya untuk membela dirinya di muka pengadilan. Tujuan khusus due process model adalah sekurang-kurangnya melindungi mereka yang faktual tidak bersalah (factually innocent) sama halnya dengan menuntut mereka yang faktual bersalah (factually guilty). (6) Model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana (criminal sanction). 55 Due process model dari segi tipologinya merupakan tipe negative model, yang selalu menekankan pada batasan kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan model kekuasaan tersebut yang dominan dalam model ini adalah kekuasaan yudikatif dan selalu mengacu kepada konstitusi. Due process model memiliki 6 karakteristik yang membedakannya dengan crime control model, yakni : 1. Preventif. 2. Presumption of innocence. 3. Formal-adjudicative. 4. Legal guilt. 55 Romli Atmasasmita, op.cit, h. 20.

76 49 5. Efektivitas. 56 Nilai-nilai, ciri atau karakteristik yang mendasari due process model inilah yang nantinya dapat menjadi indikator yang mencerminkan penerapan due process model dalam pemberian bantuan hukum di Indonesia. Penelitian ini juga menggunakan konsep proses hukum yang adil dari Heri Tahir dan konsep tentang unsur minimal proses hukum yang adil dari Tobias dan Petersen. Heri Tahir menyatakan bahwa, dalam proses hukum yang adil ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa. 57 Hak-hak tersangka atau terdakwa yang terdapat dalam sistem peradilan pidana merupakan prasyarat terselenggaranya proses hukum yang adil. 58 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, bantuan hukum sebagai hak tersangka dan terdakwa adalah salah satu aspek dan prasyarat yang penting dan harus dipenuhi dalam proses hukum yang adil (due process of law). Bantuan hukum memberikan kontribusi yang penting dalam proses hukum yang adil (due process of law). Konsep unsur-unsur minimal dari proses hukum yang adil dari Tobias dan Petersen juga dapat dijadikan sebagai dasar analisis dalam pembahasan rumusan masalah pertama. Menurut Tobias dan Petersen, due process of law (yang berasal dari Inggris, dokumen Magna Charta, 1215) merupakan constitutional guaranty... that no person will be deprived of live, liberty of 56 Romli Atmasasmita, op.cit, h Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, h Ibid, h. 9.

77 50 property for reason that are arbitrary... protecs the citizen agints arbitrary actions of the government. Menurut Tobias dan Petersen, unsur-unsur minimal dari due process of law adalah hearing, counsel, defence, evidence and a fair and ampartil court. 59 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa counsel adalah salah satu unsur minimal dalam due process of law. Penelitian ini juga menggunakann asas-asas hukum, yakni meliputi asas-asas hukum yang selayaknya diperlukan untuk dapat mewujudkan proses hukum yang adil. Asas-asas hukum yang digunakan adalah asas legalitas, asas persamaan di muka hukum (equality before the law), asas due process of law, asas trilogi peradilan (peradilan sederhana, cepat, biaya ringan), asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan asas pemberian bantuan hukum seluas-luasnya (access to legal counsel). Dasar hukum yang mengatur mengenai pemberian bantuan hukum : a. KUHAP. b. Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. c. Undang-undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. d. Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. e. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. f. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. 59 Ibid, h

78 51 g. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Agustus 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum berikut dengan Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum dan beserta dengan petunjuk pelaksanaannya yakni Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor : 1/dju/ot 01.3/viii/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran A Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum. h. Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma- Cuma Kerangka Berpikir Kerangka berpikir berdasarkan landasan teori yang digunakan untuk membahas masalah penelitian, dapat disusun sebagai berikut :

79 52 52 Bantuan Hukum Bagi Orang atau Kelompok Orang Miskin Dalam Perkara Pidana Demi Terselenggaranya Proses Hukum yang Adil di Denpasar. 1. Bagaimanakah implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar? 2. Apa saja faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar? I. Teori keadilan dari John Rawls dan Teori bekerjanya hukum atau berlakunya Hukum dari Robert B. Seidman. II. Teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman dan dilengkapi dengan konsep faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum hukum dari Soerjono Soekanto. data data I. Bantuan hukum belum dapat dilaksanakan dengan baik. II. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum : faktor substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

80 Metode Penelitian Jenis Penelitian Penelitian hukum ini adalah penelitian hukum empiris, yang mengkaji mengenai bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana demi terselenggaranya proses hukum yang adil di Denpasar. Amiruddin dan Zainal Asikin menyatakan bahwa kegunaan penelitian hukum empiris adalah,... untuk mengetahui bagaimana hukum itu dilaksanakan termasuk proses penegakan hukum (law enforcement). 60 Penelitian akan bertumpu pada teori dan fakta yang ada dan dalam penelitian ini tetap berpijak pada disiplin ilmu hukum Sifat Penelitian Penelitian hukum empiris ini, merupakan penelitian yang sifatnya deskriptif. Amiruddin dan Zainal Asikin mengemukakan bahwa, Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. 61 Fakta atau keadaan yang ada lalu dikaji dari segi hukum melalui landasan teoritis yang ada, sehingga menunjukkan hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya, sehingga dapat dideskripsikan atau digambarkan mengenai bantuan hukum bagi orang 60 Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, h Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, h. 25.

81 54 atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana demi terselenggaranya proses hukum yang adil di Denpasar Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, sumber data primer diperoleh melalui hasil penelitian lapangan (field research) berupa informasi-informasi yang terkait dengan pokok permasalahan. 62 Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu baik dari responden maupun dari informan. Data primer dalam penelitian ini diperoleh di POLRESTA Denpasar, Pengadilan Negeri Denpasar, dan Lembaga Bantuan Hukum yakni YLBHI- LBH Bali (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum Bali) di Denpasar dan PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) Wilayah Bali di Denpasar, di lembaga/instansi inilah proses pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana itu dilaksanakan. Sebagai pelengkap data, juga dilakukan penelitian atau wawancara di Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Provinsi Bali, di Kantor Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), dan di empat kantor advokat (law office/law firm) yang ada di Denpasar. Pemilihan tempat penelitian tersebut dengan 62 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, h

82 55 pertimbangan bahwa, instansi atau lembaga ini merupakan instansi atau lembaga yang terlibat langsung dan erat kaitannya dengan pemberian bantuan hukum di Denpasar. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 63 Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahanbahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi : a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang dalam penelitian ini terdiri dari Peraturan Perundang-undangan : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun b. Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 76). c. Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165). d. Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49). 63 Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, h. 118.

83 56 e. Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157). f. Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104). g. Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82). h. Peraturan Pemerintah RI No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 214). i. Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 98). j. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan. k. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Agustus 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum berikut dengan Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum dan Lampiran B tentang Pedoman Pemberian Bantuan

84 57 Hukum di Lingkungan Peradilan Agama. Berikut dengan petunjuk pelaksanaannya yakni : Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor : 1/dju/ot 01.3/viii/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran A Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum. l. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. m. Yurisprudensi yakni Putusan MA No K/Pid/1991 (16 September 1993). Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma yang mengikat profesi advokat juga menjadi bahan hukum primer, selain itu juga dipergunakan instrumen internasional berupa The Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Kode Etik Advokat Indonesia juga menjadi bahan hukum primer dalam penelitian ini. b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : pendapat para pakar hukum (doktrin), buku-buku hukum (text book), dan artikel dari perkembangan informasi internet.

85 58 c) Bahan hukum tersier (tertier), yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya yaitu : a. Teknik Studi Dokumen. Amiruddin dan Zainal Asikin menyatakan bahwa, studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum. 64 Teknik studi dokumen ini dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data, dilakukan dengan menggunakan sistem kartu. Peneliti membuat kartu-kartu yang digunakan untuk mencatat data dari studi dokumen tersebut. b. Teknik Wawancara (interview). Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaanpertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian. 65 Teknik wawancara ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian 64 Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, h Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, h. 82.

86 59 kepada responden maupun informan. Penelitian ini dilakukan dengan wawancara berencana dalam bentuk wawancara terbuka. Amiruddin dan Zainal Asikin menyatakan bahwa, Wawancara berencana (standardized interview), yaitu suatu wawancara disertai dengan suatu daftar pertanyaan yang disusun sebelumnya. 66 Amiruddin dan Zainal Asikin menyatakan bahwa, dalam wawancara terbuka (open interview), pertanyaan yang diajukan sudah sedemikian rupa bentuknya, sehingga responden tidak saja terbatas pada jawaban ya atau tidak, tetapi dapat memberikan penjelasan-penjelasan mengapa ia menjawab ya atau tidak. 67 Teknik wawancara juga digunakan dengan menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau interview guide, untuk mencapai nilai validitas dan reabilitas dalam hasil wawancara. Masing-masing responden di instansi POLRESTA Denpasar, Pengadilan Negeri Denpasar, dan Lembaga Bantuan Hukum (di YLBHI- LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar) akan diwawancarai mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar, mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar, dan juga mengenai faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Sebagai pelengkap data, juga dilakukan penelitian atau wawancara di Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Provinsi Bali, untuk mengetahui jumlah Lembaga Bantuan Hukum di 66 Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, h Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, h. 85.

87 60 Kota Denpasar. Sebagai pelaksana fungsi pengawasan juga dilakukan penelitian atau wawancara di Kantor Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) untuk mengetahui pelaksanaan pengawasan terhadap kewajiban advokat dalam memberikan bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin. Penelitian juga dilakukan di empat kantor advokat yang ada di Denpasar. Advokat yang ada di kantor-kantor advokat (law office/law firm) tersebut akan diwawancarai mengenai pelaksanaan kewajiban advokat dalam pemberian bantuan hukum di Denpasar. Kepada tersangka-tersangka yang tergolong sebagai orang atau kelompok orang miskin (sebagai informan), akan diajukan pertanyaanpertanyaan mengenai alasan-alasan mengapa mereka bersedia menggunakan bantuan hukum dan mengapa tidak bersedia menggunakan bantuan hukum. Informan juga diajukan pertanyaan lainnya berkaitan dengan permasalahan yang diteliti Teknik Penentuan Sampel Penelitian Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama. Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati), kejadian, kasus-kasus, waktu, atau tempat, dengan sifat atau ciri yang sama. Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi. Umumnya dalam suatu penelitian, hanya menggunakan sebagian saja dari keseluruhan obyek penelitian, yang disebut dengan sampel. Pengambilan sampel untuk

88 61 penelitian disebut dengan sampling. Sampling merupakan salah satu langkah yang penting dalam penelitian, yang menentukan seberapa besar keberlakuan generalisasi hasil penelitian. 68 Penelitian ini menggunakan Teknik non-probabilitas/non-random Sampling. Bambang Sunggono menyatakan bahwa, Pada non-rendom sampling, kesempatan tiap unit atau individu populasi untuk menjadi sampling tidak sama, bahkan ada unit populasi yang nilai probabilitasnya untuk terpilih menjadi unit sampel adalah = 0 atau Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, dalam pengambilan sampel dengan menggunakan teknik non probability sampling/non-random Sampling tidak semua elemen dalam populasi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Teknik ini memberikan peran yang sangat besar pada peneliti untuk menentukan pengambilan sampelnya dan tidak ada ketentuan yang pasti berapa sampel yang harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya. Bentuk non-probability yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Amiruddin dan Zainal Asikin menyatakan bahwa, Dalam purposive sampling, pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. 70 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, dalam purposive 68 Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, h Ibid, h Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, h. 106.

89 62 sampling sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi ciri-ciri dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya Pengolahan dan Analisis Data Amiruddin dan Zainal Asikin menyatakan bahwa, Jika sifat data yang dikumpulkan hanya sedikit, bersifat monografis atau berwujud kasuskasus sehingga tidak dapat disusun ke dalam suatu struktur klasifikasi, analisis yang dipakai adalah kualitatif. 71 Keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis data kualitatif. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis. Keseluruhan data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis, diidentifikasi, diklasifikasi, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan verifikasi data, interprestasi, serta penafsiran dari perspektif peneliti dalam memaknai data. Keseluruhan hasil analisis, selanjutnya disajikan secara deskriptif, yaitu dengan memaparkan atau menggambarkan secara tepat dan lengkap mengenai hasil penelitian dari permasalahan yang diajukan. 71 Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, h

90 63 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANTUAN HUKUM, PEMBERI DAN PENERIMA BANTUAN HUKUM, DAN PROSES HUKUM YANG ADIL (DUE PROCESS OF LAW) 2.1 Bantuan Hukum Konsep bantuan hukum telah ada sejak lama, bahkan sejak berabad-abad yang lalu. Abdurrahman juga menyatakan bahwa, Konsepsi tentang bantuan hukum ini pada dasarnya adalah berasal dari negara-negara Barat yang sudah mempunyai sejarah cukup lama. 72 Seiring dengan perkembangan hukum dan pola pikir masyarakat, konsep bantuan hukumpun berkembang dengan berbagai pemikiran yang menimbulkan berbagai variasi atau jenis bantuan hukum yang diberikan kepada masyarakat yang tergolong miskin. Perkembangannya, konsep bantuan hukum semakin diperluas dan dipertegas. Dalam hal ini, banyak para ahli yang memberikan pandangannya, baik mengenai pengertian bantuan hukum dan juga mengenai konsep bantuan hukum Pengertian Bantuan Hukum Secara yuridis, pengertian bantuan hukum dapat dilihat dalam Undangundang RI No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Peraturan Pemerintah RI No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, Undang-undang RI No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dan Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata 72 Abdurrahman, 1980, Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Baru di Indonesia, Alumni, Bandung, h

91 64 Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Pasal 1 angka 9 Undang-undang RI No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menyatakan bahwa, Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu. Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya pengertian bantuan hukum secara cuma-cuma menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah RI No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu. Pengertian bantuan hukum berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang RI No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, juga memberikan definisi yang sama mengenai bantuan hukum seperti yang diatur dalam Undang-undang RI No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Pengertian bantuan hukum juga dapat dilihat dalam Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma,

92 65 menyatakan bahwa, Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan Pencari Keadilan yang Tidak Mampu. Pengertian bantuan hukum juga dapat dilihat dalam Black s Law Dictionary, The International Legal Aid, dan di dalam The Legal Aid Act, serta berbagai pandangan ahli/pakar hukum. Black s Law Dictionary mendefinisikan bantuan hukum sebagai berikut : Country wide system administered locally by legal services is rendered to those in financial need and who cannot offord private counsel. The International Legal Aid menyatakan bahwa : The legal aid work is an accepted plan under which the services of the legal profession are made available to ensure that no one is deprived of the right to receive legal advice or, where necessary legal representation before the courts or tribunals, especially by reason of his or her lack of financial resources. The Legal Aid Act (1974) di Inggris menyatakan bahwa, It gives persons of moderate disposable income and capital assistances and legal proceedings and domestic proceedings before justice and also legal aid and advice in non litigation matters. 73 Banyak ahli/pakar hukum yang menyatakan pandangannya mengenai pengertian bantuan hukum. Roberto Concepcion seorang advokat dari Filipina memberikan pandangannya mengenai bantuan hukum. Roberto Concepcion menyatakan bahwa bantuan hukum adalah pengungkapan yang biasanya 73 Frans Hendra Winarta, 2009, Pro Bono Publico; Hak Konstitusional fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (Selanjutnya disebut Frans Hendra Winarta III), h. 21.

93 66 digunakan untuk menunjuk kepada segala bentuk dari jasa hukum yang ditawarkan atau diberikan kepada masyarakat. Jasa hukum ini terdiri dari pemberian informasi atau pendapat yang diberikan mengenai hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam situasi tertentu, sengketa, litigasi, atau proses hukum, yang dapat berupa peradilan, semi peradilan administrasi, atau yang lainnya. 74 Adnan Buyung Nasution mengemukakan bahwa, Bantuan hukum dalam pengertiannya yang luas dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum. 75 Sebelumnya, Adnan Buyung Nasution juga telah menegaskan bahwa, bantuan hukum yang dimaksud adalah khusus bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah atau miskin. 76 Pengertian bantuan hukum dalam lingkup kegiatan yang lebih luas, juga dirumuskan oleh Lokakarya Bantuan Hukum Tingkat Nasional Tahun 1978 yang menyatakan bahwa, bantuan hukum merupakan kegiatan pelayanan hukum yang diberikan kepada golongan yang tidak mampu (miskin) baik secara perorangan maupun kepada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mampu secara kolektif. Lingkup kegiatannya, terdiri dari : pembelaan, perwakilan baik di luar maupun di dalam pengadilan, pendidikan, penelitian, dan penyebaran gagasan. Sementara itu, sebelumnya pada tahun 1976 Simposium Badan Kontak Profesi Hukum Lampung juga merumuskan pengertian bantuan hukum sebagai pemberian bantuan kepada seorang pencari keadilan yang tidak mampu yang 74 Ibid, h Adnan Buyung Nasution, op.cit, h Adnan Buyung Nasution, op.cit, h. 95.

94 67 sedang menghadapi kesulitan di bidang hukum di luar maupun di muka pengadilan tanpa imbalan jasa. 77 Pengertian bantuan hukum yang agak luas juga pernah disampaikan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yakni sebagai berikut : Pendidikan klinis sebenarnya tidak hanya terbatas untuk jurusan-jurusan pidana dan perdata untuk akhirnya tampil di muka pengadilan, tetapi juga untuk jurusan-jurusan lain seperti jurusan hukum tata negara, hukum administrasi pemerintahan, hukum internasional dan lain-lain, yang memungkinkan pemberian bantuan hukum di luar pengadilan misalnya, dalam soal-soal perumahan di Kantor Urusan Perumahan (KUP), bantuan di Imigrasi atau Departemen Kehakiman, bantuan hukum kepada seseorang yang menyangkut urusan internasioanl di Departemen Luar Negeri, bahkan memberikan bimbingan dan penyuluhan di bidang hukum termasuk sasaran bantuan hukum dan lain sebagainya. 78 Pengertian bantuan hukum yang lebih sempit juga pernah disampaikan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia yang menyatakan bahwa, bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seseorang terdakwa dari seorang penasehat hukum sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya di muka pengadilan. 79 Abdurrahman juga memberikan pandangannya mengenai bantuan hukum. Menurut Abdurrahman istilah legal aid biasanya digunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti sempit berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara atau gratis khususnya bagi mereka yang tidak mampu. 80 Frans Hendra Winarta juga memberikan 77 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, op.cit, h Bambang Sunggono dan Aries Harianto, op.cit, h Bambang Sunggono dan Aries Harianto, loc.cit. 80 Frans Hendra Winarta III, op.cit, h. 23.

95 68 pandangannya mengenai bantuan hukum. Frans Hendra Winarta menyatakan bahwa, bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum. 81 Ari Yusuf Amir juga menyatakan pandangannya mengenai bantuan hukum. Menurut Ari Yusuf Amir, bantuan hukum merupakan pelayanan hukum yang bersifat cuma-cuma. 82 Bantuan hukum pada dasarnya adalah terjemahan dari legal aid dan legal assistance, yang dalam prakteknya memiliki orientasi yang berbeda satu sama lainnya. Menurut Zulaidi istilah bantuan hukum berasal dari istilah legal asisstance dan legal aid. Legal aid biasanya digunakan untuk pengertian bantuan hukum dalam arti sempit berupa pemberian jasa di bidang hukum kepada orang yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma atau gratis bagi mereka yang tidak mampu (miskin). Legal assistance adalah istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum kepada mereka yang tidak mampu, yang menggunakan honorarium. 83 Clarence J. Dias memperkenalkan dan mempergunakan istilah legal service yang diartikan dengan pelayanan hukum, sehingga selain legal aid dan legal assistance juga terdapat istilah legal service. Menurut Clarence J. Dias, yang dimaksud legal service (pelayanan hukum) adalah langkah-langkah yang diambil untuk menjamin agar operasi sistem hukum di dalam kenyataannya tidak akan menjadi diskriminatif sebagai adanya perbedaan tingkat penghasilan, kekayaan, 81 Frans Hendra Winarta I, op.cit, h. vii. 82 Ishaq, 2010, Pendidikan Keadvokatan, Sinar Grafika, Jakarta, Yesmil Anwar dan Adang, op.cit, h. 246.

96 69 dan sumber daya lain yang dikuasai oleh individu dalam masyarakat. Clarence J. Dias menggunakan istilah pelayanan hukum karena pelayanan hukum akan mencakupi kegiatan seperti : pemberian bantuan hukum, pemberian bantuan untuk menekankan tuntutan agar sesuatu hak yang telah diakui oleh hukum akan tetapi selama ini tidak diimplementasikan, usaha agar kebijakan hukum dapat diimplementasikan. 84 Menurut Clarence J. Dias, yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah segala bentuk pemberian layanan oleh kaum profesi hukum kepada khalayak dimasyarakat dengan maksud untuk menjamin agar tidak ada seorangpun di dalam masyarakat yang terampas haknya untuk memperoleh nasehat-nasehat hukum yang diperlukan hanya oleh karena sebab tidak dimilikinya sumber daya finansial yang cukup. Menurut Clarence J. Dias, pelayanan hukum atau bantuan hukum akan mencakupi berbagai macam kegiatan, yang meliputi : a. Pemberian Bantuan hukum. b. Pemberian Bantuan hukum untuk menekankan tuntutan agar sesuatu hak yang telah diakuinya oleh hukum akan tetapi yang selama ini tidak pernah diimplementasikan tetapi tetap dihormati. c. Usaha-usaha agar kebijaksanaan-kebijaksanaan hukum (legal policy) yang menyangkut kepentingan orang-orang miskin, dapat diimplementasikan secara lebih positif dan simpatik. 84 Ibid.

97 70 d. Usaha-usaha untuk meningkatkan kejujuran serta kelayakan prosedur dipengadilan dan di aparat-aparat lainnya yang menyelesaikan sengketa melalui usaha perdamaian. e. Usaha-usaha untuk memudahkan pertumbuhan dan perkembangan hak-hak dibidang-bidang yang belum dilaksanakan atau diatur oleh hukum secara tegas. f. Pemberian bantuan hukum yang diperlukan untuk menciptakan hubunganhubungan kontraktual, badan-badan hukum atau organisasi-organisasi kemasyarakatan yang sengaja dirancang untuk memaksimumkan kesempatan dan kemanfaatan yang telah diberikan oleh hukum. 85 Legal service yang diartikan dengan pelayanan hukum sebagaimana yang telah diuraikan oleh Clarence J. Dias menunjukkan bahwa bantuan hukum adalah merupakan salah satu kegiatan dari pelayanan hukum. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat diketahui bahwa, di Negara Barat pada umumnya pengertian bantuan hukum memiliki ciri dan istilah yang berbeda sebagaimana yang terkandung dalam konsep legal aid, legal assistance, dan legal service. Terdapat pembagian atau pemisahan istilah dan konsep bantuan hukum menjadi tiga pola yakni legal aid, legal assistance, dan legal service. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa : 1) Legal aid, yang berarti pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara : a. Pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan cuma-cuma. 85 Ibid, h

98 71 b. Bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin; c. Motivasi utama dalam konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang miskin dan buta hukum. 2) Legal assistance, mengandung pengertian lebih luas dari legal aid, karena pada legal assistance, di samping mengandung makna dan tujuan memberi jasa bantuan hukum, lebih dekat dengan pengertian yang kita kenal dengan profesi advokat, yang memberi bantuan : a. Baik kepada mereka yang mampu membayar prestasi; b. Maupun pemberian bantuan kepada rakyat miskin secara cuma-cuma. 3) Legal service, diterjemahkan dengan istilah pelayanan hukum. Sebagian besar orang lebih cenderung memberi pengertian yang lebih luas kepada konsep dan makna legal service dibandingkan dengan konsep tujuan legal aid dan legal assistance, karena pada konsep dan ide legal service terkandung makna dan tujuan : a. Memberi bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan. b. Pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat mewujudkan kebenaran hukum oleh penegak hukum

99 72 dengan menghormati setiap hak yang dibenarkan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan kaya dan miskin. c. Legal service di dalam operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan menempuh cara perdamaian. 86 M. Yahya Harahap menyatakan bahwa, di Indonesia dalam prakteknya, jarang sekali membedakan bantuan hukum ke dalam ketiga istilah tersebut. Memang tampak sangat sulit memilih istilah bahasa hukum Indonesia bagi bentuk bantuan hukum tersebut, baik di kalangan profesi dan praktisi hukum dan apalagi bagi masyarakat awam hanya mempergunakan istilah bantuan hukum. 87 Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma atau tanpa menerima pembayaran honorarium, kepada penerima bantuan hukum yang tergolong sebagai orang atau kelompok orang miskin, baik di dalam maupun di luar pengadilan Konsep Bantuan Hukum dan Perkembangannya Sejalan dengan perkembangannya, nampaknya kini konsep bantuan hukum semakin diperluas dan dipertegas, serta lebih mengarah kepada pemberian bantuan hukum bagi orang atau kalangan orang yang tergolong miskin. Konsep bantuan hukum yang kini dikembangkan di Indonesia banyak dikemukakan oleh pakar/ahli hukum baik dari kalangan teoritisi maupun praktisi. Pembicaraan mengenai konsep bantuan hukum tentu tidak terlepas dari sejarah bantuan hukum 86 M. Yahya Harahap, op.cit, h M. Yahya Harahap, op.cit, h

100 73 itu sendiri, dari sejarah bantuan hukum dapat diketahui bahwa konsep bantuan hukum kini semakin berkembang, diperluas dan dipertegas. Bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat barat sejak zaman romawi, pada waktu itu bantuan hukum berada pada bidang moral dan lebih dianggap sebagai suatu perkerjaan mulia, khususnya untuk menolong orang tanpa imbalan dan honorarium, serta didorong oleh motivasi untuk mendapatkan pengaruh dari masyarakat. Keadaan tersebut relatif berubah pada abad pertengahan di mana bantuan hukum diberikan karena adanya sikap dermawan (charity) sekelompok elit gereja terhadap pengikutnya, pada masa itu, belum ada konsep bantuan hukum yang jelas. Bantuan hukum belum ditafsirkan sebagai hak yang memang harus diterima oleh semua orang. Bantuan hukum pada masa itu lebih banyak bergantung kepada konsep patron. Konsep patron berarti sebagai pola, suri (teladan). Konsep patron ini dapat diartikan sebagai seseorang dalam masyarakat yang dijadikan sebagai suri tauladan. 88 Sejak revolusi Perancis dan Amerika sampai di zaman modern sekarang ini, motivasi pemberian bantuan hukum bukan hanya charity atau rasa perikemanusiaan kepada orang yang tidak mampu, melainkan telah timbul aspek hak-hak politik atau hak warga negara yang berlandaskan kepada konstitusi modern. 89 Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, pada masa ini konsep bantuan hukum mulai diperluas dan dipertegas, karena bantuan hukum yang diberikan bukan karena charity, melainkan karena hak asasi manusia sebagai hak politik yang dimiliki oleh semua orang. Terjadilah pergeseran konsep bantuan 88 Yesmil Anwar dan Adang, op.cit, h Adnan Buyung Nasution, op.cit, h. 3-4.

101 74 hukum, yang semula didasari sikap kedermawanan (charity) dari Patron berubah menjadi hak yang dimiliki oleh setiap orang. Setelah meletusnya revolusi Perancis ini, bantuan hukum telah menjadi bagian dari kegiatan yuridik dari para pengacara atau advokat. Pada masa ini, bantuan hukum dianggap sebagai pekerjaan utama mereka dengan model komitmen profesi individual. Model komitmen profesi individual berarti bahwa, seorang advokat tidak harus melakukan sesuatu untuk kliennya, jika menurut pertimbangan advokat tersebut tindakan itu tidak fair, bertentangan dengan hati nurani, dan tidak adil. 90 Hingga kini, dalam perkembangannya, konsep bantuan hukum selalu dihubungkan dengan cita-cita negara kesejahteraan (welfare state). 91 Pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Bantuan hukum dimasukkan sebagai salah satu program peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama di bidang sosial politik dan hukum. 92 Pembicaraan mengenai konsep bantuan hukum pada dasarnya juga tidak terlepas dari pembicaraan mengenai konsep hukum modern. Bambang Sunggono dan Aries Harianto menyatakan bahwa, berbicara mengenai bantuan hukum sebenarnya tidak terlepas dari fenomena hukum itu sendiri. Sebagaimana yang telah kita ketahui, keberadaan program bantuan hukum adalah salah satu upaya pemerataan keadilan yang penting artinya bagi pembangunan hukum, khususnya 90 Yesmil Anwar dan Adang, op.cit, h Adnan Buyung Nasution, op.cit, h Binziad Kadafi, dkk, 2001, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi; Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta, h. 158.

102 75 di Indonesia, dengan demikian, konsep bantuan hukum dalam hal ini adalah termasuk konsep yang modern. Konsep modern ini, mengantarkan pada suatu penglihatan bahwa hukum tidak hanya merupakan sarana untuk pengendalian atau kontrol sosial, melainkan hukum dapat dijadikan sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. 93 Fenomena yang umum terjadi di negara-negara modern di antaranya adalah penggunaan hukum secara instrumental untuk menciptakan perubahan-perubahan melalui pengaturan perilaku warga masyarakat menuju kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki. Penggunaan peraturan perundang-undangan oleh pemerintah sebagai suatu sarana untuk menciptakan perubahan-perubahan melalui pengaturan perilaku warga masyarakat yang terorganisir. Perlu diketahui bahwa, hukum semakin menempati posisi yang penting dalam kerangka kehidupan sosial modern. Hukum tidak lagi hanya menampakkan nilai-nilai yang sudah mapan, melainkan lebih dari itu, hukum semakin banyak digunakan untuk menyalurkan kebijaksanaan pembangunan oleh negara. Hukum tidak hanya dikonstruksikan sebagai tindakan-tindakan mengeluarkan peraturan-peraturan hukum secara formal saja (ius constitum), melainkan kita juga akan melihat bagaimanakah hukum itu berkiprah di dalam masyarakatnya (ius operatum), dimana program bantuan hukum berada dalam kerangka ini. 94 Bantuan hukum dalam perkembangannya kini harus dilihat dalam konsep pemikiran hukum modern. Hal ikhwal tentang bantuan hukum tidak dapat dipandang sebelah mata dengan hanya bertumpu pada peraturan perundang-undangan belaka, tetapi harus 93 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, op.cit, h Bambang Sunggono dan Aries Harianto, op.cit, h. 22.

103 76 dilihat realitas sosialnya dari bantuan hukum itu. 95 Terdapat konsep bantuan hukum yang melihat bantuan hukum dari segi realitas sosialnya sebagai implikasi dari pemikiran hukum modern. Konsep bantuan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah konsep bantuan hukum tradisional, konsep bantuan hukum konstitusional, dan konsep bantuan hukum struktural. Bantuan hukum harus dilihat dalam realitas sosialnya, mengingat bantuan hukum yang tidak terlepas dari masyarakat dan sistem sosial sebagai basis sosial dari hukum yang memiliki pengaruh tersendiri dalam praktek pelaksanaan bantuan hukum. 96 Bantuan hukum dari segi realitas sosialnya dapat dilihat dalam tiga konsep bantuan hukum, yakni konsep bantuan hukum tradisional, konsep bantuan hukum konstitusional, dan konsep bantuan hukum struktural : 1) Konsep Bantuan Hukum Tradisional Konsep bantuan hukum tradisional adalah pelayanan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin secara individual. Sifat dari bantuan hukum ini pasif dan cara pendekatannya sangat formal-legal. Konsep ini juga berarti melihat segala permasalahan hukum dari kaum miskin semata-mata dari sudut hukum yang berlaku, yang disebut oleh Selnick adalah konsep yang normatif. Orientasi dalam konsep ini adalah untuk menegakkan keadilan untuk si miskin menurut hukum yang berlaku, yang didasarkan atas semangat untuk mendapatkan pengaruh dalam masyarakat. Konsep ini pada dasarnya adalah pemberian bantuan hukum terhadap kaum miskin yang tidak mampu dalam menyelesaikan sengketa di pengadilan. 95 Yesmil Anwar dan Adang, op.cit, h Yesmil Anwar dan Adang, op.cit, h. 251.

104 77 2) Konsep Bantuan Hukum Konstitusional Konsep Bantuan Hukum Konstitusional adalah bantuan hukum untuk rakyat miskin yang dilakukan dalam rangka usaha-usaha dan tujuan yang lebih luas seperti : menyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subjek hukum, penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama bagi tegaknya negara hukum. Sifat dan jenis dari bantuan hukum dalam konsep ini adalah lebih aktif artinya bantuan hukum ini diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat secara kolektif. 3) Konsep Bantuan Hukum Struktural Konsep Bantuan Hukum Struktural adalah kegiatan yang bertujuan menciptakan kondisi-kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur yang timpang menuju kearah struktural yang lebih adil, tempat peraturan hukum dan pelaksanaannya dapat menjamin persamaan kedudukan baik di lapangan hukum atau politik. Konsep bantuan hukum struktural ini erat kaitannya dengan kemiskinan struktural. Segala aktivitas dari pemberian bantuan hukum dalam konsep ini adalah semata-mata untuk membela kepentingan masyarakat atau hak hukum masyarakat yang tidak mampu dalam proses peradilan. 97 Konsep bantuan hukum tradisional, konsep bantuan hukum konstitusional, dan konsep bantuan hukum struktural ini didasari oleh latar belakang tersendiri. Konsep bantuan hukum tradisional memiliki latar belakang bahwa sistem kita menunjang sistem bantuan hukum tradisional yang individual, dan belum 97 Yesmil Anwar dan Adang, op.cit, h

105 78 memungkinkan suatu bantuan hukum kolektif dalam hukum acara kita yakni class action seperti di Amerika Serikat. Konsep bantuan hukum konstitusional dilatar belakangi oleh usaha untuk mewujudkan negara hukum yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Sifat dan jenis bantuan hukum dalam konsep bantuan hukum konstitusional lebih bersifat aktif karena tidak hanya diberikan secara individual akan tetapi juga pada kelompok masyarakat secara kolektif. Konsep bantuan hukum konstitusional ini, selain cara legal melalui juga jalan politik dan negosisasi, hal ini berarti usaha menyelesaikan masalah hukum tidak memakai jalur hukum yang berlaku. Konsep ini melingkupi kegiatan dan pelayanan hukum di luar pengadilan. Orientasi dan tujuannya adalah mewujudkan negara hukum yang berlandaskan pada prinsipprinsp demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan dalam konsep bantuan hukum struktural, dilatar belakangi oleh : a. Mengubah orientasi bantuan hukum dari perkotaan menjadi pedesaan. b. Membuat sifat bantuan hukum berubah menjadi aktif. c. Mendayagunakan lebih banyak metode pendekatan di luar hukum. d. Mengadakan kerja sama lebih banyak dengan lembaga-lembaga sosial lainnya. e. Menjadikan bantuan hukum sebagai gerakan yang melibatkan partisipasi rakyat banyak. f. Mengutamakan kasus-kasus yang sifatnya struktural. g. Mempercepat terciptanya hukum yang responsif (responsife law).

106 79 Cappelletti dan Gordley juga membagi bantuan hukum kedalam dua model, yakni bantuan hukum model yuridis-individual dan bantuan hukum model kesejahteraan. Binziad Kadafi, dkk menyebutkan bahwa : Cappelletti dan Gordley dalam artikel yang berjudul Legal Aid: Modern Themes and Variations, seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto membagi bantuan hukum kedalam dua model, yakni bantuan hukum model yuridis-individual dan bantuan hukum model kesejahteraan. Menurut Cappeletti dan Gordley, bantuan hukum yuridis-individual merupakan hak yang diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi kepentingankepentingan individualnya. Pelaksanan bantuan hukum ini tergantung pada peran aktif masyarakat yang membutuhkan di mana mereka dapat meminta bantuan pengacara dan kemudian jasa pengacara tersebut nantinya akan dibayar oleh negara. 98 Binziad Kadafi, dkk juga menyatakan bahwa : Bantuan hukum kesejahteraan diartikan sebagai suatu hak akan kesejahteraan yang menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial yang diberikan oleh suatu negara kesejahteraan (welfare state). Bantuan hukum kesejahteraan sebagai bagian dari haluan sosial diperlukan guna menetralisasi ketidakpastian dan kemiskinan. Karena itu pengembangan sosial atau perbaikan sosial selalu menjadi bagian dari pelaksanaan bantuan hukum kesejahteraan. Peran negara yang intensif diperlukan dalam merealisasikannya karena negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar warganya sehingga menimbulkan hak-hak yang dapat dituntut oleh mereka. 99 Binziad Kadafi, dkk juga mengemukakan bahwa, Pemenuhan hak-hak tersebut dapat dilakukan oleh negara melalui pemberian bantuan hukum kepada warganya. 100 Schuyt, Groenendijk dan Sloot juga mengemukakan pemikirannya mengenai konsep bantuan hukum yang dalam hal ini membedakan bantuan hukum ke dalam lima jenis, yaitu Bantuan Hukum Preventif, Bantuan Hukum 98 Binziad Kadafi, dkk, op.cit, h Binziad Kadafi, dkk, loc.cit. 100 Binziad Kadafi, dkk, loc.cit.

107 80 Diagnostik, Bantuan Hukum Pengendalian Konflik, Bantuan Hukum Pembentukan Hukum, dan Bantuan Hukum Pembaruan Hukum. Binziad Kadafi, dkk menyatakan bahwa, Schuyt, Groenendijk, dan Sloot (dikutip dari K. Schuyt et.al. 1976:63) membedakan bantuan hukum kedalam lima jenis, yaitu: 1. Bantuan Hukum Preventif : Bantuan hukum yang dilaksanakan dalam bentuk pemberian penerangan dan penyuluhan hukum kepada masyarakat sehingga mereka mengerti akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. 2. Bantuan Hukum Diagnostik : Bantuan hukum yang dilaksanakan dengan pemberian nasehat-nasehat atau biasa dikenal dengan konsultasi hukum. 3. Bantuan Hukum Pengendalian Konflik : Bantuan hukum yang lebih bertujuan mengatasi secara aktif permasalahan-permasalahan hukum konkret yang terjadi di masyarakat. Biasanya dilakukan dengan cara memberikan asistensi hukum kepada anggota masyarakat yang tidak mampu menyewa/menggunakan jasa advokat untuk memperjuangkan kepentingannya. 4. Bantuan Hukum Pembentukan Hukum : Bantuan hukum yang dimaksudkan atau bertujuan untuk memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas, dan benar. 5. Bantuan Hukum Pembaruan Hukum : Bantuan hukum yang lebih ditujukan bagi pembaruan hukum, baik itu melalui hakim atau melalui pembentuk undang-undang (dalam arti materil). 101 Binziad Kadafi, dkk menyatakan bahwa, di Indonesia sendiri berkembang konsep bantuan hukum lain yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep- 101 Binziad Kadafi, dkk, op.cit, h

108 81 konsep yang ada. Para ahli hukum dan praktisi hukum Indonesia membagi bantuan hukum ke dalam dua macam, yaitu bantuan hukum individual dan struktural. Bantuan hukum individual merupakan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu dalam bentuk pendampingan oleh advokat dalam proses penyelesaian sengketa yang dihadapi, baik dimuka pengadilan maupun melalui sebuah mekanisme penyelesaian sengketa lain seperti arbitrase, dalam rangka menjamin pemerataan pelayanan hukum kepada seluruh lapisan masyarakat. Segala aksi atau kegiatan yang dilakukan dalam konsep bantuan hukum struktural ini, tidak semata-mata ditujukan untuk membela kepentingan atau hak hukum masyarakat yang tidak mampu dalam proses peradilan. Lebih luas lagi, bantuan hukum struktural bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan pengertian masyarakat akan pentingnya hukum. Tujuan lainnya adalah pemberdayaan masyarakat dalam memperjuangkan kepentingannya terhadap penguasa yang kerap menindas mereka dengan legitimasi demi kepentingan pembangunan. 102 Binziad Kadafi, dkk juga menyatakan bahwa, perkembangan konsep bantuan hukum di Indonesia tersebut tercermin dalam pernyataan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, bahwa : Bantuan hukum bukan hanya menyangkut pendampingan di peradilan, tetapi juga mencakup proses yang muncul ketika orang banyak atau rakyat mengalami suatu masalah atau ketika hak mereka tidak dihormati oleh sekelompok orang atau penguasa. Bantuan hukum melalui pemberdayaan rakyat, penyadaran rakyat, dan pendidikan hukum kritis, 102 Binziad Kadafi, dkk, op.cit, h. 159.

109 82 ditujukan untuk membawa perubahan pada pemikiran dan motivasi rakyat untuk mampu berjuang bagi hak-hak mereka yang sudah dirampas. 103 Binziad Kadafi juga menyatakan bahwa : Hal serupa disampaikan Kepala Operasional LBH Surabaya yang menerjemahkan konsep bantuan hukum yang dijalankan lembaganya sebagai bantuan hukum yang memberdayakan, tidak menciptakan ketergantungan, dan dilakukan melalui pendidikan hukum kritis serta pengorganisasian. Konsep ini merupakan suatu pilihan yang didasari oleh keyakinan bahwa supremasi hukum yang diisyaratkan dalam membangun Indonesia sebagai negara hukum tidak mutlak dibenahi oleh kaum elit dan mereka yang berada dalam struktur kenegaraan. Supremasi hukum justru lebih dapat dijanjikan apabila dibenahi melalui potensi yang ada di masyarakat. 104 Mas Achmad Santosa (seorang aktivis) juga mengemukakan pendapatnya mengenai bantuan hukum struktural ini bahwa, bantuan hukum struktural dalam tahap selanjutnya dapat diturunkan ke dalam tiga aktivitas, yaitu: 1. Mengantarkan kesadaran hukum masyarakat bahwa mereka merupakan korban ketidakadilan, untuk kemudian mendorong masyarakat agar dapat merumuskan solusi-solusi dan mampu mengerjakannya sendiri. 2. Menggunakan jalur peradilan untuk mengkritisi peraturan perundangundangan positif yang ada. Aktivitas ini, forum pengadilan hanya dijadikan corong dengan persetujuan klien yang tentunya untuk menyampaikan pesan ketidakadilan, bahwa suatu ketentuan hukum tidak benar, sehingga harus dicabut atau diubah. 103 Binziad Kadafi, dkk, loc.cit. 104 Binziad Kadafi, dkk, op.cit, h. 160.

110 83 3. Melancarkan aktivitas policy reform dengan mengartikulasikan berbagai cacat dalam hukum positif dan kebijakan yang ada, lalu mencoba untuk mengkritisi dan memberikan alternatif-alternatif lainnya. 105 Perlu diketahui bahwa, bantuan hukum struktural dipopulerkan seiring dengan berkembangnya Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia. Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa, bantuan hukum pada hakekatnya adalah sebuah program yang tidak hanya merupakan aksi kultural akan tetapi juga aksi struktural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan mayoritas. Bantuan hukum merupakan rangkaian tindakan guna pembebasan masyarakat dari belenggu struktur POLEKSOS yang sarat dengan penindasan. 106 Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa, bantuan hukum struktural merupakan rangkaian program baik melalui jalan hukum maupun jalan halal lain yang diarahkan bagi perubahan pada hubungan yang menjadi dasar kehidupan sosial menuju pola hubungan yang lebih sejajar. Ini merupakan prasyarat bagi pengembangan hukum yang memberikan keadilan bagi mayoritas kaum miskin di Indonesia. Konsep bantuan hukum struktural ini dikembangkan dalam konteks pembangunan masyarakat yang adil dan makmur. 107 Terdapat berbagai konsep-konsep bantuan hukum lainnya, selain konsepkonsep bantuan hukum yang telah diuraikan sebelumnya. Perlu diperhatikan mengenai aktivitas penyelenggaraan bantuan hukum lainnya yang pada dasarnya 105 Binziad Kadafi, dkk, loc.cit. 106 Adnan Buyung Nasution, op.cit, h Adnan Buyung Nasution, op.cit, h. 127.

111 84 merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep bantuan hukum individual dan cukup banyak dijalankan oleh pihak-pihak lain yang pada tingkatan tertentu mengimbangi bahkan dapat dikatakan menutupi kelemahan yang ditemukan pada pola bantuan hukum struktural. Contohnya antara lain bantuan hukum yang bersifat charity (atas dasar kemanusiaan) dan instan (sekali selesai atau tidak berkelanjutan dengan menargetkan tujuan yang lebih besar), bantuan hukum yang bersifat paternalistik dalam artian memuat hubungan sub-ordinat antara pemberi dengan penerimanya, serta bantuan hukum partisan yang diberikan untuk kepentingan agama, kelompok atau etnis tertentu. 108 Konsep-konsep bantuan hukum juga merupakan konsep bantuan hukum yang berkembang seiring dengan penerapan konsep bantuan hukum individual dan bantuan hukum struktural di Indonesia. Binziad kadafi, dkk menyatakan bahwa : Pengembangan dari konsep individual tersebut perlu diperhitungkan karena dalam pola apapun, selama memenuhi karakteristik dasar, yaitu diberikan secara cuma-cuma (dalam arti setiap orang yang membutuhkannya tidak dibebani oleh prosedur yang berbelit-belit atau tidak membebani klien), dan tidak digantungkan pada besar kecilnya reward yang timbul dari hubungan tersebut, maka jasa hukum yang diberikan dapat dikatagorikan sebagai bantuan hukum. Walaupun disamping sifat cuma-cuma terdapat pula perbedaan pendekatan dalam melayani pencari keadilan. 109 Bantuan hukum memiliki karakteristik dasar, yaitu diberikan secara cuma-cuma dan tidak digantungkan pada besar kecilnya reward yang timbul dari hubungan tersebut. 108 Binziad Kadafi, dkk, op.cit, h Binziad Kadafi, dkk, op.cit, h. 161.

112 85 Terdapat pendekatan-pendekatan dalam pelayanan bagi pencari keadilan dalam pemberian bantuan hukum sebagaimana yang telah dikemukakan oleh T. Mulya Lubis. T. Mulya Lubis menyatakan bahwa pendekatan advokat dalam melayani pencari keadilan bercirikan : individual, urban (perkotaan), pasif, legalistik, gerakan hukum (legal movement), dan persamaan distribusi pelayanan (equal distribution of services). Pendekatan seorang pembela umum (aktivis legal aid ) adalah : struktural (kolektif), urban-rural, aktif, orientasi legal dan non-legal, gerakan sosial (social movement), dan perubahan sosial Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia Bantuan hukum di zaman penjajahan Belanda. Tanggal 1 Mei 1843 disahkan Inlandsch Reglemen (I.R.) sebagai hukum acara pidana dan hukum acara perdata bagi golongan Bumiputra, sedangkan untuk golongan Eropa berlaku hukum acara pidana Reglement op de Rechtsvordering. Pengadilan sehari-hari untuk orang-orang Bumiputra adalah landraad dan pengadilan sehari-hari untuk golongan Eropa adalah Raad van Justitie. Peraturan hukum di masa ini juga muncul Reglement op de Rechterlijke Organisatie 1848 (RO) yang mengatur mengenai susunan pengadilan. IR yang disusun oleh Mr. H.L. Wichers ini dalam perkembangannya terus mengalami perubahan. 111 Tahun 1900-an di zaman penjajahan Belanda, pembaharuan hukum siap dilaksanakan. Logika kemajemukan dan pemerintahan tidak langsung Hindia 110 Binziad Kadafi, dkk, loc.cit. 111 Ansori Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, 1990, Hukum Acara Pidana, Penerbit Angkasa Bandung, Bandung, h,

113 86 Belanda menuntut dilengkapinya dengan baik masyarakat Belanda dan Indonesia dengan lembaga-lembaga yang memainkan peranan yang ditentukan sebelumnya dengan pihak Indonesia yang tetap harus disiapkan menempati derajat yang lebih rendah dibandingkan Belanda. Hal ini berarti ada dua birokrasi yakni yang satu merupakan pihak bawahan dan yang lain sebagai pihak atasan. Termasuk juga adanya dua sistem peradilan yang hubungannya serupa. 112 Terdapat perbedaan serupa di bidang peradilan, bahwa tapal batas etnis diterobos ke satu arah, ke pihak Belanda yang jenjang peradilannya terdiri atas residentiegerecht untuk tingkat pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding, dan Mahkamah Agung (Hooggrechtshof) di Jakarta (Batavia). Tenaga bagi kedua pengadilan yang terakhir itu adalah para ahli hukum yang terlatih yang semakin dipererat kaitannya dengan rechsstaat negeri induknya melalui pendidikan, tradisi, pengetahuan turun temurun, gaya, dan ilmu hukum. Wewenang pengadilan Eropa ini diperluas untuk mengadili semua perselisihan dagang eksternal dan sebagian besar perselisihan dagang internal, hubungan-hubungan perdata dalam orang Eropa, dan perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang Eropa. Raad van Justitie yang pada akhirnya berjumlah enam buah untuk orang Indonesia. Dari Raad van Justitie pemeriksaan lebih lanjut dapat dimintakan kepada Hof (Mahkamah Agung). Penuntut umum untuk golongan Belanda (Openbar Ministerie) yang dikepalai oleh Procureur-Generaal di Batavia (Jakarta), yang juga membawahi polisi kolonial Frans Hendra Winarta II, op.cit, h Frans Hendra Winarta II, op.cit, h. 2-3.

114 87 Hanya Landgerecht-lah yang dibentuk pada tahun 1914, yang memiliki wewenang umum atas semua golongan penduduk, tetapi pengdilan jenis ini hanya memeriksa pelanggaran dan perbuatan pidana ringan, tidak lebih dari sekedar konsensi simbolis terhadap ambisi kesamaan liberal, landgerecht tidak banyak berarti. Saat itu, kebanyakan hakim dan semua notaris, serta para advokat adalah orang Belanda sampai pertengahan tahun 1920-an. Bagi orang Indonesia, cukup disediakan satu kitab undang-undang baik untuk perkara perdata dan pidana, yang menetapkan acara-acara pengadilan pangreh praja maupun landraad dan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah. Kitab undang-undang ini adalah Herziene Inlandsch Reglement (H.I.R). HIR kurang kompleks dan kurang terinci dari pada kitab undang-undang untuk orang Eropa, untuk melayani kebutuhan dan ukuran orang Indonesia yang lebih sederhana. HIR juga memuat ketentuan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah yang jauh lebih sedikit Bantuan hukum di zaman penjajahan Jepang. Terhadap Golongan Eropa dan Tionghoa diberlakukan Burgelijk Wetboek (B.W.) dan Wetboek van Koophandel (W.v.K), sedangkan untuk golongan Indonesia asli diberlakukan hukum adat. Bagi golongan lainnya berlaku hukum yang diberlakukan bagi mereka menurut aturan terdahulu. Wetboek van Strafrecht (W.v.S) tetap diberlakukan selain peraturan-peraturan pidana lainnya yang dibuat oleh Pemerintah Pendudukan Jepang. Peraturan-peraturan tersebut selain Osamu Gunrei No. 1 Tahun 1942 dan Undang-undang Nomor Istimewa Tahun 1942 juga 114 Frans Hendra Winarta II, op.cit, h. 3-4.

115 88 termasuk di dalamnya Osamu Seire No. 25 tahun 1944 tentang Gunzei Keizirei, walaupun Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini belaku, aturan W.v.S tetap berlaku juga dan daerah hukumnya meliputi Jawa dan Madura. 115 Orang-orang Jepang yang ada di Indonesia tetap diberlakukan undangundang dan peraturannya sendiri, sehingga pengusutan, penuntutan, dan pengadilannya dilakukan oleh opsir-opsir Jepang. Semenjak Pemerintahan Balatentara dijalankan di Indonesia, maka perkara perdata dan pidana untuk mengadili penduduk sipil diadili oleh Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara), di samping badan-badan pengadilan tersebut, diadakan pula Kensatu Kyoku (kejaksaan) dengan wewenang seperti sebelumnya. Jaksa berada langsung di bawah Saiko Kensatu Kyoku Tyo dan sesudah dihapuskannya Saikoo Hooin (Peradilan Agung) lalu ada di bawah Kootoo Kensatu Tyo. Pengawasan terhadap peradilan dan hakim dilakukan oleh Sihoobutyo (Kepala Depertemen Kehakiman). Dalam Sihoobu (Departemen Kehakiman) ini terdiri atas 3 (tiga) bagian, yaitu syomuka (perkara umum), minzika (perkara perdata) dan keizika (perkara pidana). 116 Undang-undang No. 40 pada tanggal 5 Oktober 1942, tentang Gunseirei atau undang-undang dan peraturan untuk menjalankan pemerintahan Balatentara di Jawa (Osamu Seirei) yang diumumkan oleh Gunsireikan (Panlima Besar Tentara Jepang) berlaku pada masa ini. Sehubungan dengan undang-undang ini maka dikeluarkan peraturan baru dalam rangka menjalankan pemerintahan yaitu : a. Osamu Seire 115 Frans Hendra Winarta II, op.cit, h Frans Hendra Winarta II, op.cit, h. 6-7.

116 89 Mengatur tentang segala hal untuk menjalankan pemerintahan Belantara di Jawa. b. Osamu Kanrei Peraturan untuk menjalankan Osamu Seire dan mengatur segala hal yang perlu untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Ada lima lingkungan peradilan yang dikenal pada masa itu, yakni : Gunritukaigi (Mahkamah Militer), Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara), Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri), Kootoo Hooin (Peradilan Agung), serta Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat, di samping lingkungan-lingkungan peradilan tersebut, juga terdapat Keizei Hooin (Hakim Kepolisian) Bantuan hukum pasca kemerdekaan. Sejak kemerdekaan Indonesia, pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan profesi advokat dan bantuan hukum. Peraturan Perundang-undangan tersebut yaitu : a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Undang-undang ini telah mengatur mengenai kedudukan advokat dan procureur dan orang-orang yang memberikan bantuan hukum. Pemerintah dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 ini, menetapkan bahwa untuk hukum pidana diberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada tanggal 8 Maret Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 merupakan perubahan-perubahan dan tambahan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie yang kemudian dikenal dengan nama

117 90 Wetboek van Strafrecht (KUHP), selanjutnya, berlaku pula Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 Juncto 486 Tentang Peraturan Cara Melakukan/Menjalankan Hukuman Dengan Syarat. Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditetapkan bahwa orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya boleh menyelidiki segala surat sebelum permulaan pemeriksaan itu. Aturan-aturan ini sekadar tentang Mahkamah Agung dan Pengadilan-Pengadilan Tinggi bagi advokat dan Procureur yang berpraktik di dalam daerah Indonesia. Pasal 4 ayat 4, Pasal 5 ayat 3, dan Pasal 6 ayat 2 dalam aturan ini juga bisa dilihat mengenai ketentuan lainnya mengenai bantuan hukum. Pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan dan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintahkan memberikan bantuan hukum ini ditetapkan dengan Undangundang (Staatsblad 1926 Nomor 487). Undang-undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura mulai berlaku sejak 24 Juni Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura hanya menyebutkan bahwa, Peminta atau Wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu Pembela atau Penasihat Hukum. 117 b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 Tentang Mahkamah Agung Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 1950 yang mengatur tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung 117 Frans Hendra Winarta II, op.cit, h

118 91 Indonesia. Pasal 42 memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata pembela. Istilah pemberi bantuan hukum juga bisa dilihat dalam Pasal 113 ayat 1, Pasal 122 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 Tentang Mahkamah Agung. Pengawasan tertinggi pada masa ini juga dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap para pemberi bantuan hukum atau para advokat/pengacara/notaris, hal ini diatur dalam Pasal 133 yang menyatakan bahwa, Pengawasan tertinggi atas para notaris dan para pengacara dilakukan oleh Mahkamah Agung. 118 c. Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Undang-undang ini mengatur mengenai tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan sipil. Undang-undang darurat ini menentukan kembali berlakunya HIR dalam negara RI yang pada waktu itu dipakai sebagai pedoman dalam hukum acara pidana sipil. 119 d. Herziene Inlandsch Reglement (H.I.R) Mengenai tugas dan kewajiban advokat, procureur, dan para pemberi bantuan hukum di muka persidangan diatur dalam beberapa pasal dalam H.I.R diantaranya yakni : 1. Pasal 83 h ayat 6 yang menyebutkan bahwa, Jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka jaksa menanyakan kepadanya, apakah ia berkehendak pada sidang pengadilan dibantu oleh seorang sarjana hukum 118 Frans Hendra Winarta II, op.cit, h Frans Hendra Winarta II, op.cit, h. 22.

119 92 atau, ahli hukum. Ketentuan dalam pasal ini lebih sempit karena hanya terbatas pada kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati Pasal 120 Rsv menegaskan bahwa, Tiap-tiap terdakwa berwenang untuk dibantu oleh seorang pembela di dalam pemeriksaan di muka hakim, jika terdakwa tidak mempunyai pembela, maka atas permohonannya hakim dapat menunjuk seorang advokat atau procureur yang diperbantukan kepada Raad van Justitie Pasal 250 Ayat 5 H.I.R Menegaskan bahwa bila si tertuduh diperintahkan menghadap hakim karena suatu kejahatan yang dapat dijatuhkan hukuman mati, dan si tertuduh, baik dalam pemeriksaan oleh jaksa yang ditetapkan dalam ayat enam pasal 83 h, baik kemudian hari menyatakan kehendaknya supaya ia pada waktu persidangan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau seorang ahli hukum maka untuk memberi bantuan itu ketua dalam surat ketetapannya menunjuk seorang anggota pengadilan negeri ahli hukum, atau seorang pegawai sarjana hukum atau orang ahli hukum yang lain yang menyatakan bersedia melakukan pekerjaan itu. Penunjukan itu masih dapat juga dilakukan dengan surat keputusan yang terasing selama pemeriksaan pada sidang belum selesai, jika tersangka menyatakan kehendak yang sedemikian itu juga. Penunjukan tidak terjadi bila pada pengadilan negeri itu tidak ada pegawai sarjana hukum atau ahli hukum yang diperbantukan pada ketua 120 Frans Hendra Winarta II, op.cit, h Frans Hendra Winarta II, loc.cit.

120 93 atau tidak ada sarjana hukum atau ahli hukum yang lain yang bersedia melakukan pekerjaan itu. Berdasarkan ketentuan ini, dapat diketahui bahwa kemungkinan tertuduh untuk mendapatkan pembela yang ditunjuk oleh hakim atas permohonan terdakwa di muka Raad van Justitie atau Pengadilan Negeri terbatas kepada perkara yang boleh menyebabkan hukuman mati saja, sepanjang ada advokat atau pembela lain yang bersedia Pasal 254 Ayat 1 H.I.R menyatakan bahwa, Dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya. Ketentuan ini menegaskan adanya hak-hak terdakwa untuk dibela perkaranya oleh seorang pembela pada sidang pengadilan. 5. Pasal 123 H.I.R : terdapat adanya penegasan bahwa apabila dikehendaki oleh para pihak yang berperkara maka para pihak tersebut boleh dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan untuk melakukan itu dengan surat kuasa istimewa kecuali orang yang memberi kuasa itu (ada) hadir tersendiri. 123 e. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 26 terdapat ketentuan yang mengatur mengenai bantuan hukum. Pasal 26 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ini menegaskan 122 Frans Hendra Winarta II, op.cit, h Frans Hendra Winarta II, op.cit, h. 25.

121 94 bahwa hak setiap orang yang mempunyai perkara untuk memperoleh bantuan hukum Bantuan hukum pada zaman kemerdekaan. Bantuan hukum pada zaman kemerdekaan tetap dilakukan oleh advokat dan procureur. Pelaksanaan bantuan hukum tetap berdasarkan HIR. Bantuan Hukum pada masa ini masih belum terorganisir dengan baik, dalam arti belum dalam bentuk suatu lembaga khusus untuk itu, yang ada hanya berbentuk organisasi sosial seperti Tjandra Naya di Jakarta dan fakultas-fakultas hukum negeri, serta biro-biro konsultasi hukum dalam bentuk yang sederhana. Bantuan hukum pada masa ini, sangat terbatas, yang diberikan kepada golongan keturunan saja, Group clients, ataupun terbatas pada pemberian nasihat hukum dan konsultasi hukum. Secara historis, pelopor advokat Indonesia yang sekaligus ikut serta sebagai perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia, pelopor dalam penegakan HAM dan cita-cita Negara Hukum Indonesia, diantaranya adalah Mr. Besar Mertokoesoemo, Mr. Soedjoedi, Mr. Mohammad Roem, Mr. Sastroamidjojo, Mr. Sartono, Mr. A.A. Maramis, Mr. Latuharhary, Mr. Mohammad Yamin, Mr. Kasman Singodimejo, dan lain-lain. Mereka adalah lulusan pertama advokat Indonesia yang menyelesaikan studinya di Universitas Utrecht dan Leiden. 125 Biro bantuan hukum pada masa ini, Jur Andi Hamzah menyatakan bahwa, di fakultas-fakultas hukum telah didirikan Biro Bantuan Hukum yang dipelopori oleh fakultas hukum Universitas Padjajaran pada tahun 124 Frans Hendra Winarta II, loc.cit. 125 Frans Hendra Winarta II, op.cit, h

122 Biro bantuan hukum ini dimaksudkan sebagai bantuan hukum bagi golongan rakyat miskin, kadang-kadang juga sampai golongan menengah. Dosendosen atas izin rektor masing-masing memberikan bantuan hukum sebagai pekerjaan sambilan. 126 Adnan Buyung Nasution mengemukakan bahwa, setelah Indonesia mencapai pengakuan kedaulatannya pada tahun 1950 maka sampai dengan pertengahan tahun 1959 keadaan tidak banyak berubah. Memang pada saat itu pluralisme di bidang peradilan dihapuskan, sehingga hanya ada satu sistem peradilan untuk seluruh penduduk (Pegadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung). Demikian pula, hanya ada satu hukum acara bagi penduduk yakni HIR. Sayang sekali yang dipilih sebagai warisan dari sistem peradilan dan perundang-undangan kolonial adalah justru bukan yang lebih maju melainkan yang lebih miskin, yaitu peradilannya bukan Raad van Justitie melainkan Landraad. Hukum acaranya bukannya Rechtsvordering melainkan HIR yang sangat sedikit menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum. 127 Periode jika dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya, yang harus diakui adalah periode ini masih lebih baik daripada periode-periode berikutnya di dalam hal bantuan hukum, hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya bahwa peradilan masih tinggi integritasnya. Para hakim, jaksa, dan advokat umumnya masih orang-orang yang sama dari periode kolonial yang terlatih dalam mengambil tempat dan peranannya masing-masing secara jujur dan dedicated untuk berfungsinya proses hukum dan peradilan secara efektif, selain 126 Jur Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h Adnan Buyung Nasution, op.cit, h. 28.

123 96 itu, karena berlakunya sistem politik demokrasi parlementer yang memungkinkan organ-organ yudikatif secara lebih bebas dan tidak berpihak. Kontrol masyarakat melalui parlemen masih kuat, sehingga campur tangan kekuatan-kekuatan lainnya ke dalam lembaga yudikatif dapat dicegah. 128 Berdasarkan hal ini, patut disadari bahwa pada periode ini atau pada masa zaman kemerdekaan, pemberian bantuan hukum memang masih lebih baik dibandingkan periode-periode sebelumnya, namun, bantuan hukum masih sangat sedikit diatur sebagai akibat diberlakukannya HIR. Adnan Buyung Nasution juga menyatakan bahwa, dalam periode tahun (Periode Orde Lama), bantuan hukum dan juga profesi advokat di Indonesia mengalami kemerosotan yang luar biasa jika tidak dikatakan hancur sama sekali. Peradilan pada masa ini tidak lagi bebas tapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim lebih berorientasi kepada pemerintah karena tekanan-tekanan. Akibatnya, tidak ada lagi kebebasan dan impartiality, sehingga dengan sendirinya kewibawaan pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Orang yang berperkara tidak melihat gunanya bantuan hukum dan profesi advokat yang sudah tidak berperan lagi. Orang-orang lebih suka meminta pertolongan kepada jaksa, hakim itu sendiri atau jika ada jalan kepada orang kuat lainnya. Banyak advokat yang meninggalkan profesinya. Periode ini kiranya merupakan periode yang pahit bagi sejarah bantuan hukum di Indonesia Adnan Buyung Nasution, op.cit, h Adnan Buyung Nasution, op.cit, h

124 97 Periode 1965 keatas (periode orde baru), independency pengadilan mulai dijalankan, dan perhatian kepada hukum tumbuh kembali. Puncak dari usaha ini adalah dengan dicabutnya Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang lama dan digantikannya dengan Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru. Melalui Undang-undang ini dijamin kembali kebebasan peradilan dan segala campur tangan ke dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman, yang sebelumnya dilarang. Selain itu, untuk pertama kalinya secara eksplisit juga diberikan jaminan atas adanya hak atas bantuan hukum, dalam satu bab khusus, terdapat ketentuan-ketentuan, bahwa seorang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Terdapat ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara pidana berhak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum sejak saat dilakukan penangkapan dan penahanan. 130 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru merupakan sebuah reformasi yang baik dalam perkembangan bantuan hukum dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Seiring dengan kemajuan dalam perkembangan bantuan hukum di Indonesia, sekitar tahun para advokat yang berasal dari Jawa tengah berkumpul di Semarang dan sepakat untuk mendirikan organisasi advokat yang dinamakan BALIE Jawa Tengah. Berkembang juga di daerah-daerah lain dan muncullah perkumpulan advokat seperti Balai Advokat di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Perkumpulan-perkumpulan ini belum dalam bentuk satu wadah kesatuan organisasi advokat Indonesia. Usaha pembentukan wadah 130 Adnan Buyung Nasution, op.cit, h. 30.

125 98 kesatuan yang sesungguhnya bagi advokat sebenarnya sudah lama direncanakan yakni semenjak Kongres I PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) pada tahun 1961 di Yogyakarta. Bertepatan dengan saat berlangsungnya seminar hukum nasional 1 pada tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta dan bertempat ruang dikafetaria Universitas Indonesia, tokoh-tokoh advokat sebanyak 14 orang mencetuskan berdirinya suatu organisasi advokat yang kemudian dinamakan Persatuan Advokat Indonesia (P.A.I). 131 Perkembangannya, di daerah-daerah dibentuk organisasi P.A.I. pada pertengahan tahun 1963 dan telah memiliki tujuh cabang di seluruh wilayah Indonesia, yang telah beranggotakan lebih kurang 150 advokat. Tanggal 29 Agustus 1964 diselenggarakan kongres I/Musyawarah Advokat yang berlangsung di hotel Dana Solo. Langkah berikutnya dalam pembentukan wadah organisasi advokat baru terealisir pada pertemuan advokat se-indonesia di Solo pada tanggal 30 Agustus Pada saat itulah diresmikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) yang semula dikenal dengan istilah P.A.I. Para advokat beriktiar untuk mempersatukan dirinya dalam suatu perkumpulan profesi yakni PERADIN berdasarkan Anggaran Dasar, Peraturan Rumah Tangga, Kode Etik, dan ketentuan acara penyelesaian pelanggaran kode etik advokat. 132 Berkaitan dengan bantuan hukum, sebagai realisasi dari ketentuan yang disebutkan dalam Anggaran Dasar sejak 1 November 1969, yang berkenaan dengan ketentuan Pasal 6 sub e dalam anggaran dasarnya, tentang bantuan hukum bagi mereka yang tidak mampu maka, oleh PERADIN dengan surat keputusannya 131 Frans Hendra Winarta II, op.cit, h Frans Hendra Winarta II, op.cit, h

126 99 tanggal 26 Oktober 1970 No. 001/Kep/DPP/10/1970 telah dibentuk Lembaga Bantuan Hukum atau lembaga pembelaan umum (legal aid/public defender) yang lebih dikenal dengan nama LBH. Proyek besar PERADIN pada masa itu adalah LBH Jakarta yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution penggerak LBH Jakarta yang didirikan pada tahun Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa, program bantuan hukum di Indonesia yang melembaga dan dengan ruang lingkup yang luas baru dimulai sejak berdirinya Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta yaitu pada tanggal 28 Oktober Muncul pernyataan dan kesepakatan pada masa ini bahwa PERADIN adalah satu-satunya organisasi dari para advokat Indonesia, namun, dalam perkembangannya PERADIN bukanlah satu-satunya organisasi advokat sebagaimana yang ditelah disepakati terdahulu. Muncullah organisasi advokat lainnya yang dikenal dengan nama Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) yang berdiri pada tanggal 10 November Para advokat tidak lagi tergabung dalam satu wadah organisasi advokat, dalam perkembangannya, muncul organisasi advokat lainnya seperti IKADIN. Begitu pula dalam perkembangan selanjutnya dan sampai saat ini terdapat berbagai organisasi advokat di Indonesia. Konfrensi yang ketiga dari Law Asia di Jakarta pada tanggal Juli menunjukkan adanya kecenderungan umum yang melihat bantuan hukum kepada fakir miskin hanyalah merupakan belas kasian tetapi bukan sebagai Hak Asasi Manusia, padahal, hak untuk dibela oleh advokat (access to legal councel) dan 133 Frans Hendra Winarta II, op.cit, h Adnan Buyung Nasution, op.cit, h Frans Hendra Winarta II, op.cit, h

127 100 perlakuan yang sama dihadapan hukum (equality before the law) adalah hak asasi manusia bagi semua orang, termasuk fakir miskin atau justice for all. 136 Perihal bantuan hukum yang di dalamnya mengandung prinsip equality before the law dan access to legal councel, dalam hukum positif Indonesia telah diatur secara jelas dan tegas dalam berbagai perundang-undangan. Bantuan hukum merupakan hak bagi orang atau kelompok orang miskin yang telah dilegitimasi baik dalam instrumen nasional maupun instrumen internasional. Instrumen nasional maupun instrumen internasional yang mengatur mengenai bantuan hukum, telah memberikan legitimasi serta pengakuan dan jaminan hak bantuan hukum yang lebih baik dibandingan masa-masa sebelumnya. Perkembangan yang paling penting pada masa ini yakni disahkannya KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981 yang telah membawa perubahan kearah pemberian bantuan hukum yang lebih baik dibandingkan pada masa sebelumnya, yakni pada masa berlakunya HIR. Berlakunya KUHAP menjadikan HIR sebagai landasan pemberian bantuan hukum terdahulu dicabut dan digantikan dengan KUHAP. Berlakunya KUHAP telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Menurut Romli Atmasasmita : UU No. 8 tahun 1981 dapat juga dikatakan merupakan landasan bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik dan berwibawa serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, tertuduh, atau terdakwa sebagai seorang manusia Frans Hendra Winarta II, op.cit, h Romli Atmasasmita, op.cit, h. 35.

128 101 UU No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah mengarahkan pada kebangkitan hukum nasional yang mengutamakan perlindungan Hak Asasi Manusia. KUHAP juga telah memberikan jaminan pemenuhan hak bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin yang tertuang dalam Pasal 54 dan 56 KUHAP. Setelah berlakunya KUHAP, pembatasan-pembatasan pemberian bantuan hukum yang diatur dalam HIR kini tidak berlaku lagi. Pasal 54 KUHAP menghilangkan pembasaan-pembatasan tersebut dengan memberikan hak kepada tersangka atau terdakwa untuk mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Tidak hanya terdakwa, tersangkapun berhak mendapatkan bantuan hukum dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dapat dilihat dalam Pasal 56 KUHAP yang mengatur bahwa bagi tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Penasihat hukum memberikan bantuannya dengan cuma- Cuma. Ketentuan ini menunjukkan adanya reformasi hukum yang memberikan perlindungan, dan jaminan pemenuhan HAM berupa pemberian bantuan hukum

129 102 bagi tersangka/terdakwa yang tergolong sebagai orang atau kelompok orang miskin. Pengaturan untuk memberikan bantuan hukum yang diatur KUHAP tentu merupakan perkembangan hukum yang baik karena bantuan hukum sangat erat kaitannya dengan penegakan HAM. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Djoko Prakoso yang menyatakan bahwa, Sesungguhnya bantuan hukum itu adalah merupakan salah satu perwujudan daripada jaminan dan perlindungan hak asasi manusia Pengaturan bantuan hukum dalam berbagai peraturan perundangundangan menunjukkan perkembangan yang lebih baik dari masa ke masa. 2.2 Pemberi Bantuan Hukum dan Penerima Bantuan Hukum Pemberi Bantuan Hukum Secara yuridis, Pasal 1 angka 3 Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menegaskan bahwa, Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa pemberi bantuan hukum adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan, dengan demikian, perlu diketahui lebih lanjut mengenai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan dan juga advokat sebagai pemberi bantuan hukum. 138 Djoko Prakoso, 1985, Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 44.

130 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Atau Organisasi Kemasyarakatan. Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pertama di Indonesia didirikan oleh Peradin pada bulan Oktober 1970 yang memberikan bantuan hukum bagi rakyat miskin dan buta hukum di dalam maupun di luar pengadilan. 139 Lembaga ini dimaksudkan sebagai pilot proyek, yang akan dijadikan sebagai model untuk perkembangan bantuan hukum di seluruh Indonesia. 140 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) adalah lembaga yang khusus dibentuk untuk memberikan bantuan hukum bagi rakyat miskin dan buta hukum di dalam maupun di luar pengadilan. Lembaga bantuan hukum juga sangat berperan dalam pengembangan gerakan bantuan hukum di Indonesia. Lembaga Bantuan Hukum atau yang sekarang dikenal juga dengan nama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), awalnya merupakan gagasan dari Adnan Buyung Nasution yang pada saat itu tergabung dalam PERADIN. Adnan Buyung Nasution yang tergerak untuk mewujudkan gagasannya kemudian mengusulkannya dalam Kongres Peradin pada tahun 1969 untuk mendirikan Lembaga Bantuan Hukum. Usulan tersebut akhirnya diterima dengan dukungan sejumlah advokat senior. Berdasarkan hasil kongres tersebut, pada tanggal 28 Oktober 1970, Peradin kemudian membentuk sebuah Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution. 141 Pengesahan gagasan pembentukan Lembaga Bantuan Hukum bagi kaum miskin di Indonesia ini tergolong sebagai usaha yang berani, karena usaha untuk 139 Adnan Buyung Nasution, op.cit, h Adnan Buyung Nasution, op.cit, h Binziad Kadafi, dkk, op.cit, h. 163.

131 104 melaksanakan program pelayanan hukum bagi kaum miskin bukanlah tugas sederhana dan ringan. Ia tidak saja menuntut kesediaan berkorban secara materi, akan tetapi mensyaratkan pula adanya kesadaran kemasyarakatan kita sebagai kelompok elite, khususnya dalam memandang golongan miskin penghuni lapisan bawah piramida masyarakat Indonesia. Kondisi ini mencerminkan adanya keinginan dari PERADIN untuk melepaskan sifat elitisme dan bersamaan dengan itu mengadakan gerakan yang lebih bersifat merakyat. 142 Tujuan pokok yang ingin dicapai oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meliputi tiga hal, yaitu : 1. Memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin yang buta hukum. 2. Menumbuhkan dan membina kesadaran warga masyarakat akan hakhaknya sebagai subjek hukum. 3. Mengadakan pembaharuan hukum (moderenisasi) sesuai dengan tuntutan zaman. Tujuan pertama dan kedua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta secara jelas menunjukkan kehendak PERADIN untuk mewujudkan program yang bersifat memassa dengan menjalankan pelayanan hukum bagi kaum miskin, sedangkan tujuan ketiga Lembaga Bantuan Hukum yang menyangkut pembaharuan hukum belumlah menegaskan sama sekali sikap masyarakat Indonesia di bidang ini. 143 Pembentukkan LBH di Jakarta ini malah memicu berdirinya organisasiorganisasi serupa di Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Tahun 1980 dalam pertemuan nasional LBH disepakati untuk menyamakan visi dan misi 142 Adnan Buyung Nasution, op.cit, h Adnan Buyung Nasution, op.cit, h. 110.

132 105 Lembaga Bantuan Hukum, kemudian membentuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sejalan dengan perkembangan pemikiran dan kesadaran masyarakat akan hak-hak sipil dan politiknya sebagai warga negara, kegiatan LBH dalam memberikan bantuan hukum turut mengalami pergeseran di mana pemberdayaan hak sipil dan politik rakyat telah menjadi inti dari kegiatan bantuan hukum LBH. 144 Inti dari pemberian bantuan hukum adalah sebagai upaya pemenuhan hak sipil dan politik masyarakat Indonesia. Kegiatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan berkembang sangat pesat di Indonesia, baik di Perguruan Tinggi Hukum; Fakultas Hukum/Syariah maupun yayasan-yayasan amal bantuan hukum. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan ini pada umumnya berperan dalam membantu orang-orang yang tidak mampu bea berperkara atau bea untuk membela dirinya dalam pidana. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) biasanya berperan sebagai Legal Aids (Pembelaan Cuma-Cuma), karena LBH didirikan bukan untuk nirlaba (non profit oriented), tetapi memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk memperoleh layanan bantuan hukum demi tegaknya keadilan. Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan ini juga merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat untuk menyadari hak-hak fundamental yang dimilikinya. 145 Perlu diketahui bahwa, sejak diberlakukannya Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, maka seorang dosen yang tergabung dalam Perguruan 144 Binziad Kadafi, dkk, op.cit, h H. A. Sukris Sarmadi, 2009, Advokat; Litigasi dan Non Litigasi Pengadilan, CV. Mandar Maju, Bandung, h

133 106 Tinggi Hukum; Fakultas Hukum/Syariah tidak lagi dapat memberikan bantuan hukum, karena berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan pada dasarnya merupakan lembaga swadaya masyarakat hukum dan harus tetap dipertahankan keberadaan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan dapat memberikan bantuan hukumnya kepada masyarakat kecil atau tidak mampu, dan buta hukum, disamping sebagai upaya pembinaan kesadaran warga masyarakat itu sendiri akan hak-hak mereka sebagai subyek hukum. 146 Sesuai dengan uraian tersebut dapat diketahui bahwa Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyaratan memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan bantuan hukum Advokat. Secara yuridis, dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menyebutkan bahwa, Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 1 angka 2 UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menegaskan bahwa, Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Banyak ahli yang memberikan pandangannya mengenai definisi advokat. Perlu diketahui 146 Ibid, h. 152.

134 107 sebelumnya bahwa, sebelum diundangkan dan diberlakukannya UU RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, advokat dikenal dengan berbagai istilah. Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril menyatakan bahwa, sebelumnya dikenal istilah-istilah, Pembela, Pengacara, Lawyer, Procereur, Pokrol, dan lain sebagainya. 147 Istilah ini, dalam perkembangannya juga dikenal dengan istilah penasihat hukum, pengacara praktik, konsultan hukum dan lain-lain. Kini, dengan berlakunya UU RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, istilah yang digunakan adalah istilah advokat. Secara etimologis, istilah advokat berasal dari bahasa latin advocare yang berarti to defend, to call to one s aid to vouch or warrant, sedangkan dalam bahasa Inggris advocate berarti to speak in favour or depend by argument, to support, indicate, or recommanded publicly. Istilah advokat dalam bahasa Inggris, sering disebut sebagai trial lawyer. Secara spesifik di Amerika dikenal sebagai attorny at law atau di Inggris dikenal sebagai barrister. 148 Ishaq juga menyatakan bahwa, istilah advokat bukan merupakan istilah asli bahasa Indonesia. Istilah advokat berasal dari bahasa Belanda yaitu advocaat, yang berarti orang yang berprofesi memberikan jasa hukum. Jasa hukum ini diberikan baik di dalam maupun di luar pengadilan. 149 Guru besar Ilmu Hukum Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa dalam bahasa Belanda, kata advocaat berarti procureur yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti 147 Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, 2003, Advokat dalam Perspektif Islam & Hukum Positif, Ghalia Indonesia, Jakarta, h Ishaq, op.cit, h. 2.

135 108 pengacara. Istilah advokat dalam bahasa Perancis, berarti barrister atau counsel. 150 Sartono dan Bhektin Suryani mengemukakan bahwa :... secara istilah, advokat diartikan sebagai seseorang yang melaksanakan kegiatan advokasi. Yaitu suatu kegiatan atau upaya yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang untuk memfasilitasi dan memperjuangkan hak maupun kewajiban klien/penerima jasa hukum, baik yang bersifat perseorangan maupun kelompok berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 151 Secara terminologi, menurut Black s Law Dictionary, pengertian advokat adalah to speak in favour for defend by argument (berbicara untuk keuntungan dari atau membela dengan argumentasi untuk seseorang). Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa, penasihat hukum adalah orang diberi kuasa untuk memberikan bantuan hukum dalam bidang hukum perdata maupun pidana kepada yang memerlukannya, baik berupa nasihat maupun bantuan aktif, baik di dalam maupun diluar pengadilan dengan jalan mewakili, mendampingi, atau membelanya. J.S.T Simonangkir, dkk menjelaskan bahwa penasihat hukum adalah seseorang yang bertindak dalam perkara perkara perdata untuk penggugat dan perkara pidana untuk terdakwa. Sudarsono menyatakan bahwa, penasihat hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan berdasarkan Undang-undang untuk memberikan bantuan hukum. Martiman Prodjohamidjojo berpendapat bahwa, penasihat hukum adalah mereka yang pekerjaannya (job) atau mereka yang karena profesinya memberikan jasa hukum, pelayanan hukum, bantuan hukum, serta nasihat hukum kepada pencari keadilan 150 H. A. Sukris Sarmadi, op.cit, h Sartono dan Bhektin Suryani, 2013, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat, Dunia Cerdas, Jakarta, h.2.

136 109 baik yang melalui pengadilan negeri, pengadilan agama, atau panitia penyelesaian perburuhan maupun yang di luar pengadilan. 152 Ishaq juga menyatakan pandangannya bahwa, Penasihat hukum adalah orang yang diberi kuasa untuk memberikan bantuan hukum, baik dalam perkara perdata, perkara pidana, maupun perkara tata usaha negara dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. 153 Ishaq juga menyatakan bahwa, Advokat adalah salah satu istilah yang sering digunakan untuk seseorang yang memberikan bantuan atau layanan hukum kepada pencari keadilan yang berperkara, dalam hal ini, advokat adalah penasihat hukum yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM. 154 Menurut Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, advokat adalah merupakan profesi yang memberikan jasa hukum kepada masyarakat atau kliennya, baik secara litigasi maupun non litigasi dengan mendapatkan atau tidak mendapatkan honorarium/fee. 155 Subekti membedakan istilah advokat dan procureur. Menurut Subekti, seorang advokat adalah seorang pembela dan penasihat. Procureur adalah seorang ahli hukum acara yang memberikan jasa-jasanya dalam mengajukan perkaraperkara ke Pengadilan dan mewakili orang-orang yang berperkara di pengadilan Ishaq, op.cit, h Ishaq, op.cit, h Ishaq, op.cit, h Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, op.cit, h H. A. Sukris Sarmadi, loc.cit.

137 110 Sidik Sunaryo berpendapat bahwa, berlakunya Undang-undang No. 18 tahun 2003 Tentang Advokat menjadi landasan filosofis yang penting dalam upaya mewujudkan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab. 157 Berlakunya Undang-undang No. 18 tahun 2003 Tentang Advokat menunjukkan adanya suatu pengakuan secara resmi (legitimate) terhadap profesi advokat sebagai bagian integral dari Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Undangundang ini juga memberikan kewajiban bagi advokat untuk memberikan bantuan hukum. Pasal 3 Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat secara tegas menentukan bahwa : (1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. warga negara Republik Indonesia; b. bertempat tinggal di Indonesia; c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat; h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi. Luhut M.P. Pangaribuan menyatakan bahwa, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menyatakan bahwa, advokat adalah Penegak Hukum. Artinya seluruh pelayanan, tindakan, dan bahkan tingkah laku advokat adalah dalam rangka atau sebagai 157 Sidik Sunaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, h. 242.

138 111 penegak hukum. 158 Rusli Muhammad juga menyatakan bahwa, dengan dikeluarkannya UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, maka jelaslah posisi advokat sebagai penegak hukum. 159 Pasal 5 ayat (1) UU RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat telah dilegitimasi bahwa advokat merupakan penegak hukum dan advokat memiliki kedudukan, fungsi dan peran yang penting dalam penegakan hukum. Posisi dan kedudukan advokat sejajar dengan penegak hukum lainnya. Todung Mulya Lubis juga menyatakan bahwa, Para advokat tidak boleh lagi merasa tidak sejajar dengan penegak hukum lainnya karena UU Advokat menjamin keberadaan advokat sebagai officer of the court seperti tertulis pada Pasal 5 UU Advokat yang beban tanggung jawabnya sama yaitu menegakkan hukum dan keadilan. 160 Kaitannya dengan pemberian bantuan hukum, Pasal 22 ayat (1) UU RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat juga telah memberikan kewajiban kepada advokat dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu, jika kewajiban ini dilanggar maka advokat dapat dikenakan penindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Pasal 6 UU RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menegaskan bahwa : Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan : a. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya; 158 Luhut M.P. Pangaribuan, 2013, Hukum Acara Pidana; Surat Resmi Advokat di Pengadilan, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, h Rusli Muhammad, 2012, Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Keputusan Kontroversial, UII Yogyakarta Press, Yogyakarta, Todung Mulya Lubis, 2005, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 101.

139 112 b. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya; c. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan; d. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya; e. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela; f. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat. Ketentuan dalam Pasal 6 huruf d UU RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat ini menunjukkan bahwa, advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan telah berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya maka advokat tersebut dakan dikenakan tindakan. Pasal 7 UU RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menentukan bahwa: (1) Jenis tindakan yang dikenakan terhadap Advokat dapat berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan; d. pemberhentian tetap dari profesinya. (2) Ketentuan tentang jenis dan tingkat perbuatan yang dapat dikenakan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. (3) Sebelum Advokat dikenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri. Advokat memiliki kedudukan, fungsi, dan peranan yang sangat penting dalam peradilan pidana. Kedudukan advokat dalam sistem peradilan pidana merupakan bagian/komponen atau sub sistem peradilan pidana. Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa :

140 113 Dikaji dari perspektif Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) maka di Indonesia dikenal 5 (lima) institusi yang merupakan sub Sistem Peradilan Pidana. Terminologi lima institusi tersebut dikenal sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. 161 Advokat dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana merupakan sub sistem peradilan pidana atau komponen sistem peradilan pidana. Syprianus Aristeus menyatakan bahwa : Dahulu, ada sementara pihak yang berpendapat bahwa komponen atau sub sistem peradilan pidana tidak meliputi advokat di dalamnya. Namun kini, mengingat kedudukan yang penting yang dimiliki advokat dalam peradilan dan advokat sebagai profesi hukum mempunyai tugas yang sama dalam proses penegakan hukum di Indonesia, maka advokat juga dapat dimasukkan sebagai sub sistem peradilan pidana. 162 Sidik Sunaryo mengemukakan bahwa, sebagai salah satu pilar (sub sistem), maka kehadiran advokat sangat penting dalam rangka mewujudkan peradilan yang jujur, adil, bersih, menjamin kepastian hukum dan kepastian keadilan dan jaminan HAM. 163 Sidik Sunaryo juga menyebutkan bahwa, fungsi advokat adalah melakukan pembelaan bagi klien, dan menjaga agar hak-hak klien dipenuhi dalam proses peradilan pidana. 164 Kehadiran pihak advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang mencari keadilan dan kepastian hukum. Advokat memiliki fungsi dan peran yang penting. Yesmil Anwar dan Adang berpendapat bahwa, fungsi advokat adalah sebagai orang atau lembaga yang 161 Lilik Mulyadi, 2010, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan, CV. Mandar Maju, Bandung, h Syprianus Aristeus, 2007, Penelitian Hukum Tentang Perbandingan Antara Penyelesaian Putusan Praperadilan Dengan Kehadiran Hakim Komisaris Dalam Peradilan Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, h Sidik Sunaryo, op.cit, h Sidik Sunaryo, op.cit, h. 220.

141 114 mewakili kepentingan warga Negara dalam hubungannya dengan pemerintah. Advokat dapat menjadi salah satu ujung tombak dalam program pembenahan peradilan di Indonesia ini, minimal sebagai pihak yang dapat memberikan kontrol yang kritis terhadap praktek penyelenggaraan dan kinerja penyelenggara peradilan. 165 Yesmil Anwar dan Adang mengemukakan bahwa : Advokat sebagai penegak hukum, harus mampu mengoreksi dan mengamati putusan dan tindakan para praktisi hukum lainnya. Advokat harus tanggap terhadap tegaknya hukum dan keadilan ditengah lapisan masyarakat, dengan menghilangkan rasa takut kepada siapapun dan tidak membeda-bedakan tempat, etnis, agama, kepercayaan, miskin, kaya, dan lain sebagainya untuk memberi bantuan hukum. 166 Binziad Kadafi, dkk, menyatakan bahwa, Peran advokat disini adalah untuk memastikan tidak adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam penggunaan upaya-upaya paksa oleh alat-alat Negara. 167 Ropaun Rambe mengemukakan bahwa, Advokat berfungsi membela kepentingan masyarakat (public defender) dan kliennya. Advokat dibutuhkan pada saat seseorang atau lebih menghadapi suatu masalah atau problem di bidang hukum. 168 Ropaun Rambe memberikan pointers-pointers fungsi dan peranan advokat yang menunjukkan pentingnya advokat sebagai profesi yang bebas, dan mandiri. Pointers fungsi dan peranan advokat ini yaitu : 1. Sebagai pengawal konstitusi dan Hak Asasi Manusia. 2. Memperjuangkan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Indonesia. 165 Sidik Sunaryo, loc.cit. 166 Sidik Sunaryo, loc.cit. 167 Binziad Kadafi, dkk, op.cit, h Ropaun Rambe, op.cit, 25.

142 Melaksanakan Kode Etik Advokat. 4. Memegang teguh sumpah Advokat dalam rangka menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran. 5. Menjungjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan dan kebenaran) dan moralitas. 6. Menjungjung tinggi citra Profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile). 7. Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat dan martabat advokat. 8. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat terhadap masyarakat. 9. Menangani perkara-perkara sesuai dengan Kode Etik Advokat. 10. Membela klien dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab. 11. Mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan masyarakat. 12. Memelihara Kepribadian advokat. 13. Menjaga hubungan baik dengan klien maupun dengan teman sejawat antara sesama advokat yang didasarkan pada kejujuran, kerahasiaan dan keterbukaan serta saling menghargai dan mempercayai. 14. Memelihara persatuan dan kesatuan advokat agar sesuai dengan wadah tunggal Organisasi Advokat. 15. Memberikan pelayanan hukum. 16. Memberikan nasehat hukum. 17. Memberikan konsultasi hukum.

143 Memberikan pendapat hukum 19. Menyusun kontrak-kontrak. 20. Memberikan informasi hukum. 21. Membela kepentingan klien. 22. Mewakili klien di muka pengadilan. 23. Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada rakyat yang lemah dan tidak mampu. 169 Moh Hatta juga menyatakan pendapatnya mengenai peranan dan fungsi advokat. Moh Hatta menyatakan bahwa, dalam mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya hukum dan keadilan untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamentalnya di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan pilar dalam menegakkan hukum dan hak asasi manusia. 170 Tolib Effendi menyatakan bahwa, seorang advokat memiliki kewenangan dan tugas di semua tingkatan dalam sistem peradilan pidana, dengan satu tujuan yakni memberikan bantuan hukum kepada tersangka/terdakwa Ropaun Rambe, op.cit, Moh.Hatta, 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum & Pidana Khusus, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, h Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Pidana; Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 165.

144 Penerima Bantuan Hukum Secara yudiris, berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum secara tegas menentukan bahwa, Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. Berdasarkan hal ini, maka dapat diketahui bahwa, penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menyatakan bahwa, Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah hukum. Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum juga menegaskan kriteria penerima hukum yang berhak mendapatkan bantuan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum : (1) Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. (2) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 5 Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, maka yang dimaksud dengan orang atau kelompok orang miskin adalah orang atau kelompok orang yang tidak dapat memenuhi hak dasarnya secara layak dan mandiri. Hak dasar ini meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan. Orang atau kelompok orang miskin juga dapat diartikan sebagai orang atau kelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu atau

145 118 memiliki kriteria miskin sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 5 Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Agustus 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum juga dapat menunjukkan pengertian dari orang atau kelompok orang miskin. Pasal 1 angka 2 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Agustus 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum menentukan bahwa : Pemohon Bantuan Hukum adalah pencari keadilan yang terdiri dari orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu atau memiliki kriteria miskin sebagaimana ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik atau penetapan upah minimum regional atau program jaring pengaman sosial lainnya, atau memenuhi syarat sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pedoman ini, yang memerlukan bantuan untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum di Pengadilan. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa, orang atau kelompok orang miskin adalah pencari keadilan yang terdiri dari orang atau kelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu, atau memiliki kriteria miskin sebagaimana ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik atau penetapan upah minimum regional atau program jaring pengaman sosial lainnya, atau memenuhi syarat sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pedoman ini, yang memerlukan bantuan untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum di Pengadilan. Kriteria miskin dapat ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik atau penetapan upah minimum regional atau program jaring pengaman sosial lainnya, selain itu, pemenuhan kriteria miskin juga dapat ditunjukkan dari Surat Keterangan Miskin yang diterbitkan oleh badan/lembaga pemerintahan yang berwenang.

146 119 Istilah miskin, memang sering diartikan sebagai suatu keadaan yang menunjukkan bahwa orang/kelompok orang tersebut tidak mampu secara ekonomis. Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa, Bantuan hukum di sini dimaksudkan adalah khusus bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah atau dalam bahasa populer adalah si miskin. 172 Miskin adalah orang atau golongan/kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah Proses Hukum yang Adil (Due Process of Law) Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa istilah due process of law dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai proses hukum yang adil. Lawan dari due process of law adalah arbitrary process atau proses yang sewenangwenang. Makna dari proses hukum yang adil (due process of law) menurut Mardjono Reksodiputro tidak saja berupa penerapan hukum atau Peraturan Perundang-undangan (yang dirumuskan adil) secara formal, tetapi juga mengandung jaminan hak atas kemerdekaan dari seorang warga negara. 173 A. Hamzah juga menguraikan pengertian peradilan yang jujur dan tidak memihak, hakim dalam menjalankan profesinya tidak membeda-bedakan orang. Mengandung makna bahwa, hakim harus selalu menjamin pemenuhan perlakuan sesuai dengan hak-hak asasi manusia terutama bagi tersangka dan terdakwa. 174 Mardjono Reksodiputro juga mengemukakan bahwa, seorang tersangka akan selalu mengalami berbagai pembatasan dalam kemerdekaannya dan sering pula 172 Adnan Buyung Nasution, op.cit, h Heri Tahir, op.cit, h Heri Tahir, op.cit, h. 30.

147 120 mengalami degradasi secara fisik dan moral. Adanya kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, padahal akibatnya akan membatasi pula kemampuannya membela diri atas persangkaan tersebut, menjadikan proses hukum yang adil sebagai sesuatu yang harus dilindungi oleh konstitusi negara yang bersangkutan. 175 Penyelenggaraan proses hukum yang adil sangatlah penting, terutama dalam melindungi tersangka dan terdakwa dari kesewenang-wenangan, oleh sebab itu setiap negara harus memberikan jaminan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak tersangka dan terdakwa sebagai upaya penyelenggaraan proses hukum yang adil. Hari Tahir juga menyatakan bahwa,... kebebasan peradilan itu sendiri merupakan salah satu unsur yang esensial dalam terlaksananya proses hukum yang adil. 176 Mengenai proses hukum yang adil (due process of law) dalam KUHAP, Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa, dalam KUHAP, proses hukum yang adil tercermin dalam asas-asas KUHAP yakni : Asas-asas hukum : 1. Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun; 2. Praduga tak bersalah; 3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; 4. Hak untuk mendapat bantuan hukum; 5. Hak kehadiran terdakwa di hadapan pengadilan; 6. Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat, dan sederhana; dan 7. Peradilan yang terbuka untuk umum. 175 Heri Tahir, loc.cit. 176 Heri Tahir, op.cit, h. 28.

148 121 Asas-asas khusus : 1. Pelanggaran hak-hak individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis). 2. Hak seorang tersangka untuk diberitahu persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; dan 3. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusanputusannya. 177 Menurut Mien Rukmini, proses hukum yang adil (due process of law) adalah merupakan tujuan dari hukum acara pidana. 178 Berbicara mengenai proses hukum yang adil (due process of law), juga harus diketahui unsur-unsur esensial yang harus ada dalam penyelenggaraannya. Tobias dan Petersen menulis bahwa due process of law (yang berasal dari Inggris, dokumen Magna Charta, 1215), merupakan constitutional guaranty... that no personwill be deprived of live, liberty of property for reason that are arbitrary... protecs the citizien agints arbitrary actions of the government. Menurut Tobias dan Petersen, unsur-unsur minimal dari proses hukum yang adil (due process of law) adalah hearing, counsel, defence, evidence and a fair and ampartil court (mendengar tersangka dan terdakwa, penasihat hukum, pembelaan, pembuktian dari pengadilan yang adil dan tidak memihak). 177 Heri Tahir, op.cit, h Mien Rukmini, 2003, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Peradilan Pidana Indonesia, PT Alumni, Bandung, h. 31.

149 122 Penjelasan Tobias dan Petersen ini, sejalan dengan prinsip dasar keadilan bagi pelaku kejahatan sebagaimana terdapat dalam Kongres PBB kesepuluh tentang prevention of crime and the treatment of offenders yang diselenggarakan di Wina April 2000 yang menyatakan bahwa : a. The right not to be subject to arbitrary arrest, detention, search or seizure. b. The right to know the nature of the charges and evidence. c. The right to councel. d. The presumption of innocence. e. The standart of proof (beyond a reasonable doubt). f. The right to a public trial by an independent court. g. The right to test the prosecution evidence (e.g. cross-examine witnesses). h. The right to give and call evidence. i. The right to appeal. 179 Baik Tobias dan Petersen dan Kongres PBB kesepuluh tentang prevention of crime and the treatment of offenders ini nampaknya memberi penekanan pada perlunya perlindungan terhadap HAM, khususnya hak tersangka dan terdakwa. Penegakan atau dalam penyelenggaraan due process of law, harus disediakan seperangkat hak yang dapat digunakan oleh tersangka dan terdakwa agar dapat terhindar dari tindakan sewenang-wenang pihak penguasa. Unsur minimal dari proses hukum yang adil sebagaimana yang telah ditemukan oleh Baik Tobias dan 179 Heri Tahir, op.cit, h

150 123 Petersen ataupun Kongres PBB kesepuluh tentang prevention of crime and the treatment of offenders, lebih berorientasi keadilan prosedural. 180 Keadilan prosedural ini berarti menempatkan konstitusi atau undang-undang sebagai basis pelaksanaan proses hukum yang adil. Keadilan prosedural dapat memberikan keuntungan bahwa dapat memberikan jaminan kepastian hukum pada setiap orang dan diperlakukan sama. Berkaitan dengan keadilan prosedural, John Rawls mengetengahkan tulisannya tentang pure procedural justice. John Rawls memperkenalkan dua macam keadilan prosedural yakni, perfect procedural justice dan imperfect procedural justice. 181 Pembicaraan mengenai proses hukum yang adil (due process of law) pada dasarnya, tentu tidak bisa lepas dengan sistem peradilan pidana, dan juga terkait dengan bantuan hukum. Heri Tahir menyatakan bahwa :... sistem peradilan pidana merupakan wadah dari proses hukum yang adil, sehingga tidak mungkin membicarakan proses hukum yang adil tanpa adanya sistem peradilan pidana. Demikian sebaliknya, proses hukum yang adil pada hakikatnya merupakan roh dari sistem peradilan pidana itu sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa. 182 Penyelenggaraan proses hukum yang adil harus mencerminkan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa, atau dengan kata lain dalam mencapai proses hukum yang adil (due process of law), peradilan pidana juga harus mencerminkan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa sebagai persyaratan terselenggaranya proses hukum yang adil. 180 Heri Tahir, op.cit, h Heri Tahir, loc.cit. 182 Heri Tahir, op.cit, h. 7.

151 124 Due process of law dapat diartikan sebagai proses hukum yang adil dan tidak memihak, layak, serta merupakan proses peradilan yang benar, yang telah melalui mekanisme atau prosedur-prosedur yang ada, sehingga dapat diperoleh keadilan substantif. Yesmil Anwar dan Adang mengemukakan bahwa : Due Process of Law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of law, akan tetapi merupakan unsur yang esensial dalam penyelanggaraan peradilan yang intinya adalah ia merupakan...a law which hears before it condemns, which proceeds upon inquiry, and reders judgement only after trial.... Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hakhak asasi individu terhadap arbitrary action of the government. 183 Due process of law mengandung adanya perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa, esensi dari due process of law adalah setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus mentaati hukum, oleh sebab itu, dalam due process of law tidak memperbolehkan adanya pelanggaran terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan hukum yang lain. 184 Penyelenggaraan peradilan pidana, harus sesuai dengan UU No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP sebagai hukum acara pidana yang meliputi tata cara peradilan pidana, juga harus menjadi pedoman yang mendasari penyelenggaraan peradilan pidana, dengan berdasarkan due process of law. Penyelenggaran peradilan pidana harus sesuai dengan KUHAP, serta melalui berbagai prosedur atau tahapan yang telah diatur dalam KUHAP untuk mencapai keadilan substantif. 183 Yesmil Anwar dan Adang, op.cit, h M. Yahya Harahap, op.cit, h. 95.

152 125 Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa, due process of law tentu berkaitan dengan due process model sebagai salah satu model dalam pendekatan normatif yang dipelopori oleh H. L Packer. Due process of law sebagai proses hukum yang adil dan tidak memihak, dapat ditemukan dalam model penyelenggaraan pidana yang dikembangkan oleh Herbert L. Packer, yakni due process model, karena nilai-nilai yang terkandung dalam due process model mencerminkan due process of law. Sebagai bentuk pelaksanaan dari due process of law, pemberian bantuan hukum merupakan salah satu bentuk perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia dan yang memberikan perlindungan terhadap arbitrary action of the government.

153 126 BAB III IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DI DENPASAR 3.1 Pelaksanaan Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di Denpasar Pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar sangat terkait dan dipengaruhi oleh Peraturan Perundang-undangan yang pernah atau sedang berlaku. Secara yuridis, pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana telah diatur dalam berbagai instrumen internasional dan nasional, sehingga telah memenuhi kepastian hukum dan asas legalitas sebagai salah satu ciri dari konsep Negara Hukum dari Friedrich Julius Stahl yang menyebutkan bahwa salah satu ciri dari negara hukum adalah pemerintahan berdasarkan peraturan. Telah ada landasan hukum yang kuat dalam pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana, namun, jika dikaji dan dianalisis, walaupun secara normatif pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana telah diatur, namun masih terdapat beberapa kekurangan atau kelemahan dalam substansinya. Kekurangan atau kelemahan ini tentu berpengaruh terhadap pelaksanaan pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana. Bantuan hukum sebagai implementasi dari asas equality before the law yang merupakan Hak Asasi Manusia, menjadikannya sebagai hak yang universal yang 126

154 127 telah diakui, dijamin, dan diberikan oleh negara-negara lainnya di dunia. Hak ini juga telah diatur dalam berbagai instrumen internasional yang juga menjadi pedoman dalam pemberian dan pelaksanaan Bantuan Hukum di Indonesia. Pengaturan bantuan hukum di tingkat internasional yang terdiri dari berbagai instrumen internasional, yang meliputi pengaturan mengenai bantuan hukum dan juga yang mencakup prinsip/asas equality before the law diantaranya yakni : 1. Article 5, 6, 7, and 10 The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia). 2. Article 14 sub 3d, 16, and 26 International Covenant on Civil and Political Rights (Konvenan Hak Sipil dan Politik). Landasan pemberian bantuan hukum dengan berdasarkan atas asas equality before the law juga dapat ditemukan dalam berbagai Kongres dan Konvensi Internasional, sebagai instrumen internasional yakni: 1. World Conference on the Independence of Justice c.q. Universal Declaration on the Independence of Justice. 2. Eight United Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders pada bagian b. Other instrumens adopted by the congress tepatnya pada bagian 3. Basic Principles on The Role of Lawyers tentang Access to Lawyers and Legal Service. 3. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment of Punishment pada tanggal 28 September 1998 yang berupa resolusi PBB Nomor 39/40 tanggal 10 Desember 1984.

155 128 Instrument internasional yang melandasi pemberian bantuan hukum jika dikaji dan dianalisis, menunjukkan pengaturan yang baik dengan menjungjung tinggi HAM dan asas equality before the law. Sejak Pasca Kemerdekaan Negara Republik Indonesia hingga kini, pengaturan bantuan hukum secara normatif memang menunjukkan perkembangan yang baik, jika dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Pengaturan mengenai bantuan hukum dalam perkembangannya, kini lebih menjamin dan melindungi hak-hak orang atau kelompok orang miskin yang berhak mendapat bantuan hukum. Pengaturan bantuan hukum mengalami peningkatan secara substansi yang lebih mengarah kepada hukum yang responsif dan komprehensif, namun, walaupun demikian, perangkat hukum yang mengatur mengenai bantuan hukum tentu masih terdapat kekurangan atau kelemahan-kelemahan yang perlu untuk dikaji dan dibenahi kearah perbaikan demi reformasi hukum yang lebih baik lagi. Pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dilandasi oleh Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan berbagai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, diantaranya yakni : 1. Pancasila : Sila kedua pancasila, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. 2. Pasal 27 ayat (1), 28 D ayat (1), 28 I ayat (2), dan 34 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). 3. Pasal 4, 17, dan 18 ayat (4) Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 4. Pasal 4 ayat (1), 56, dan 57 Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

156 Pasal 54 dan 56 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 6. Pasal 22 Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. 7. Pasal 10 huruf e Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. 8. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. 9. Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. 10. Pasal 3 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Agustus 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. 11. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. KUHAP memang telah mengatur mengenai pemberian bantuan hukum sebagai hak tersangka dan terdakwa, namun masih terdapat kekurangan atau kelemahan dalam substansinya, yakni dalam hal pembatasan penerima bantuan hukum. Sebagaimana yang telah diatur di dalam KUHAP, bantuan hukum wajib diberikan kepada tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, sehingga

157 130 bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu yang diancam dengan pidana di bawah lima tahun tidak berhak mendapat bantuan hukum atau dalam hal ini pejabat yang bersangkutan tidak wajib menunjuk penasihat hukum bagi golongan atau kelompok ini. Sebelum berlakunya Undang-undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, penyelenggaraan bantuan hukum diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, jika dibandingkan, ada persamaan serta perbedaan dalam pengaturannya. Perbedaannya yakni perbedaan penggunaan istilah. Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma menggunakan istilah Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, sedangkan Undang-undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menggunakan istilah Bantuan Hukum yang berarti sama dengan bantuan hukum secara cuma-cuma. Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma yang menentukan bahwa pemberi bantuan hukum adalah advokat dan Lembaga Bantuan Hukum/Organisasi Advokat, sedangkan Undang-undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menentukan pemberi bantuan hukum adalah Lembaga Bantuan Hukum dan Organisasi Kemasyarakatan. Pengaturan sanksi dalam kedua peraturan tersebut juga berbeda. Perbedaan-perbedaan pengaturan antara Undang-undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dengan Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-

158 131 Cuma merupakan suatu perubahan sebagai upaya penyempurnaan, dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif dan efektif. Adanya perbedaan ketentuan-ketentuan dalam kedua peraturan ini tentu merupakan suatu kelemahan yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum serta berpengaruh dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana. Tidak hanya perbedaan penggunaan istilah, jika dikaji juga terdapat kekaburan norma yang dapat menimbulkan multitafsir mengenai ukuran orang atau kelompok orang miskin sebagai penerima bantuan hukum, sehingga juga akan berdampak pada pelaksanaannya. Kini, dengan berlakunya Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum sebagai pelaksana Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, menjadikan adanya tiga dasar hukum dalam penyelenggaraan bantuan hukum di Indonesia. Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, maka Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum sejalan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Ketentuan penutup Pasal 42 Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum menyebutkan bahwa, Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang mengatur

159 132 mengenai Bantuan Hukum dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. Adanya tiga (3) dasar hukum penyelenggaraan bantuan hukum, yang mengandung perbedaan-perbedaaan dalam substansinya tentu menimbulkan ketidakpastian hukum dan adanya tumpang tindih peraturan yang tentu menghambat pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Mengingat adanya kondisi norma yang masih terdapat kelemahan-kelemahan dalam substansinya, maka perlu dikaji pelaksanaannya di dalam praktek pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana, khususnya di Kota Denpasar. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 54 KUHAP, dapat diketahui bahwa bantuan hukum diberikan dan dilaksanakan pada setiap tingkat pemeriksaan. Pemberian bantuan hukum dalam pelaksanaannya, sangat terkait atau sangat terlihat peranannya dalam proses pemeriksaan di tingkat penyidikan dan tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan. Selain itu, pemberian bantuan hukum juga dapat diberikan secara langsung dari seorang advokat melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau melalui organisasi kemasyarakatan Pelaksanaan Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tahap Pemeriksaan Tersangka di Tingkat Penyidikan di Polresta Denpasar Djoko Prakoso menyatakan bahwa, pemberian bantuan hukum dalam proses pidana adalah suatu prinsip negara hukum yang dalam taraf pemeriksaan pendahuluan diwujudkan dengan menentukan bahwa, untuk keperluan menyiapkan pembelaan, tersangka berhak menunjuk, menghubungi dan meminta

160 133 bantuan penasihat hukum. 185 Tersangka berhak memperoleh bantuan hukum pada saat pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa, Yang dimaksud pemeriksaan penyidikan adalah pemeriksaan di muka pejabat penyidik dengan jalan menghadirkan tersangka, saksi, atau ahli. Pemeriksaan berarti petugas penyidik berhadapan langsung dengan tersangka, para saksi atau ahli. 186 M. Yahya Harahap juga menyatakan bahwa : Salah satu tugas dari penyidik kepolisian adalah melakukan pemeriksaan terhadap tersangka. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik dalam rangka penyidikan merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). 187 Pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan merupakan serangkaian tindakan pemeriksaan tersangka yang akan dituangkan dalam sebuah Berita Acara Pemeriksaan (BAP). KUHAP telah mengatur secara tegas mengenai tata cara pemeriksaan tersangka. Berkaitan dengan pemberian bantuan hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam KUHAP dapat diketahui bahwa, sebelum penyidik melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka, maka penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapat bantuan hukum atau ia dalam perkara tersebut wajib didampingi oleh penasihat hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 185 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, h M. Yahya Harahap, op.cit, h M. Yahya Harahap, op.cit, h. 283.

161 KUHAP. Pasal 56 KUHAP menentukan bahwa, bantuan hukum diberikan kepada tersangka atau terdakwa dengan klasifikasi atau kriteria sebagai berikut : 1. Bantuan hukum wajib diberikan kepada tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan : a. Pidana mati atau 15 tahun atau lebih. b. Bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri. 2. Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa, jika telah memenuhi kriteria atau berdasarkan klasifikasi tersebut. 3. Sesuai dengan Pasal 56 KUHAP maka, tidak ada kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa yang tergolong sebagai orang atau kelompok orang miskin yang berhak mendapatkan bantuan hukum, jika tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun. P. A. F. Lamintang dan Theo Lamintang menyatakan bahwa, agar penyidik, penuntut umum, dan hakim tidak melanggar ketentuan dalam Pasal 56 KUHAP ini, maka setiap kali ia memulai suatu pemeriksaan tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, maka ia harus menanyakan kepada tersangka atau terdakwa apakah ia akan dibantu oleh penasihat hukum atau tidak. Penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib memberikan bantuan hukum dengan menunjuk penasihat

162 135 hukum, jika tersangka/terdakwa tidak memiliki penasihat hukum karena tidak mampu. 188 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 114 KUHAP. Pasal 114 KUHAP menentukan bahwa, dalam tahap pemeriksaan tersangka ditingkat penyidikan, penyidik harus memberitahukan kepada tersangka mengenai haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 KUHAP. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Made Sujana (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik Pembantu di Polresta Denpasar), yang dilakukan pada hari Selasa, tanggal 3 September 2013, mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar Bapak I Made Sujana menyatakan bahwa, Dalam pelaksanaannya, pada proses pembuatan BAP, penyidik akan selalu memberitahukan kepada tersangka akan haknya untuk mendapat bantuan hukum. Hal ini, sudah menjadi prosedur yang harus dilakukan oleh seorang penyidik. Ketentuan Pasal 114 KUHAP sudah dilaksanakan di Polresta Denpasar. Bapak I Made Sujana juga menyatakan bahwa, Dalam pelaksanaannya di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar, bantuan hukum diberikan kepada tersangka yang tidak mampu secara materi, berdasarkan jenis kasusnya. Jika tersangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih misalnya dalam kasus pembunuhan, dan lain-lain, maka wajib diberikan bantuan hukum. Penyidik wajib menyediakan penasihat hukum, sedangkan, jika tersangka melakukan tindak pidana yang diacam dengan pidana di bawah 5 (lima) 188 P. A. F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP; Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, h.199.

163 136 tahun misalnya dalam kasus pencurian, dan lain-lain maka, tersangka tidak wajib diberikan bantuan hukum atau tidak wajib didampingi penasihat hukum. Penyidik juga tidak wajib menyediakan penasihat hukum. Bapak I Nyoman Wiranata (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik di Polresta Denpasar) juga menyatakan pendapatnya mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Nyoman Wiranata (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik di Polresta Denpasar), yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 23 September 2013, Bapak I Nyoman Wiranata menyatakan bahwa, Jika tersangka disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana di bawah 5 (lima) tahun, penyidik tetap harus memberitahukan haknya untuk didampingi penasihat hukum, tetapi penyidik tidak menyediakan penasihat hukum. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar mengacu pada Pasal 56 KUHAP. Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Bapak I Nyoman Wiranata dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaannya bantuan hukum diberikan dengan mengacu pada Pasal 56 KUHAP, yang diberikan berdasarkan pada kwalifikasi ancaman pidana dalam tindak pidana yang disangka dilakukan oleh tersangka. Tersangka (yang tergolong sebagai orang miskin) yang disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih atau diancam dengan pidana mati maka, penyidik akan menyediakan penasihat

164 137 hukum. Tersangka dalam hal ini, wajib diberikan bantuan hukum, sedangkan, jika tersangka (yang tergolong sebagai orang miskin) diancam dengan ancaman pidana di bawah 5 (lima) tahun, maka penyidik tidak wajib memberikan bantuan hukum atau tidak menyediakan penasihat hukum. Pelaksanaan Pasal 55 KUHAP juga perlu dikaji dalam praktek pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar. Bapak I Made Sujana juga memberikan pendapatnya mengenai pelaksanaan Pasal 55 KUHAP ini. Bapak I Made Sujana (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik Pembantu di Polresta Denpasar), melalui wawancara yang dilakukan pada hari Selasa, tanggal 3 September 2013, menyatakan bahwa, Sesuai dengan Pasal 55 KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka berhak memilih sendiri penasihat hukumnya, maka penyidik wajib menyediakan penasihat hukum yang diinginkan tersangka. Tersangka yang meminta atau menerima bantuan hukum bisa memilih advokat yang akan mendampinginya. Bapak I Made Sujana juga menyatakan bahwa, Setelah penyidik menunjuk atau menentukan advokat untuk mendampingi tersangka, jika tersangka merasa tidak cocok atau tidak suka dengan advokat yang ditunjuk atau disediakan oleh penyidik, maka penyidik akan menunjuk advokat lainnya, sampai tersangka merasa cocok dengan advokat yang akan mendampinginya. Tersangka juga bisa menunjuk atau meminta advokat yang ingin digunakannya. Penyidik akan memenuhi permintaan tersangka dengan bersurat untuk meminta bantuan hukum kepada advokat yang diinginkan oleh tersangka. Berdasarkan hal ini, dapat

165 138 diketahui bahwa, Pasal 55 KUHAP telah dilaksanakan dengan baik pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar. Terkait dengan pemberian bantuan hukum secara probono publico, Bapak I Nyoman Wiranata juga menyatakan pendapatnya. Berdasarkan wawancara dengan Bapak I Nyoman Wiranata (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik di Polresta Denpasar), yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 23 September 2013, Bapak I Nyoman Wiranata menyatakan bahwa, Penasihat hukum sama sekali tidak meminta dan menerima pembayaran dari tersangka dan juga tidak meminta dan menerima pembayaran dari penyidik/polresta Denpasar atas bantuan hukum yang diberikan di tingkat penyidikan. Bapak I Made Sujana (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik Pembantu di Polresta Denpasar) juga menyatakan pandangannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Made Sujana (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik Pembantu di Polresta Denpasar), yang dilakukan pada hari Selasa, tanggal 3 September 2013, mengenai hal ini Bapak I Made Sujana menyatakan bahwa, Penasihat hukum sama sekali tidak menerima uang dari penyidik/polresta Denpasar atau dari tersangka. Hasil wawancara ini menunjukkan bahwa, terdapat adanya idealisme advokat dan kesadaran moril dalam memberikan bantuan hukum di tingkat penyidikan selain itu, juga menunjukkan makna dari konsep bantuan hukum telah dijalankan dengan baik. Bapak I Made Sujana (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik Pembantu di Polresta Denpasar) mengenai pelaksanaan bantuan hukum ini, menyatakan bahwa, Bantuan hukum diberikan pada saat pembuatan BAP dengan

166 139 pemberitahuan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum, tetapi bantuan hukum baru dapat dinikmati oleh tersangka pada saat pemeriksaan tambahan, karena harus melalui prosedur bersurat untuk mendapatkan bantuan hukum dari advokat. Saat tersangka di BAP, tersangka akan langsung dilakukan pemeriksaan walaupun tanpa adanya advokat, walaupun tanpa adanya atau tanpa hadirnya advokat dalam prakteknya, tersangka pasti mau menjalankan pemeriksaan. Proses BAP tetap berjalan walaupun tanpa kehadiran advokat. Bapak I Nyoman Wiranata juga menyatakan pendapatnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Nyoman Wiranata (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik di Polresta Denpasar), yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 23 September 2013, mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar Bapak I Nyoman Wiranata menyatakan bahwa, Dalam pelaksanaan bantuan hukum, pemeriksaan awal yang dilakukan sebelum hadirnya advokat dalam prakteknya tidak dilakukan pemeriksaan ulang lagi. Setelah penasihat hukum hadir, maka proses pemeriksaan tersangka dilanjutkan (pemeriksaan tambahan). Pelaksanaan bantuan hukum berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa, bantuan hukum memang diberikan pada saat pembuatan BAP melalui pemberitahuan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum, namun bantuan hukum baru bisa dinikmati oleh tersangka tidak pada saat awal pemeriksaan dalam proses BAP. Bantuan hukum melalui pendampingan advokat baru dapat dinikmati pada saat pemeriksaan tambahan, setelah pemeriksaan awal yang dilakukan oleh penyidik. Prakteknya, walaupun tanpa hadirnya advokat,

167 140 pemeriksaan tersangka dalam proses BAP tetap berjalan, jika dikaji hal ini tentu bertentangan dengan manfaat bantuan hukum dan manfaat kedudukan advokat dalam pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan. Bantuan hukum pada dasarnya diberikan kepada tersangka, yang tergolong sebagai orang atau kelompok orang miskin dengan atas dasar asas equality before the law. Bantuan hukum dalam hal ini bertujuan untuk menjamin hak-hak tersangka dalam proses peradilan. Pelaksanaannya di tingkat penyidikan, walaupun kedudukan seorang advokat hanya bersifat pasif, namun hadirnya advokat dalam pemeriksaan tersangka dalam proses pembuatan BAP sangatlah penting, bahkan, di tahap awal pemeriksaan tersangka inilah hadirnya seorang advokat sangat dibutuhkan dan penting bagi seorang tersangka. Advokat memiliki peranan dan kedudukan yang penting dalam pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan, walaupun peranan advokat dalam mendampingi tersangka di tingkat penyidikan hanya sebatas dapat melihat serta mendengar dan mengikuti jalannya proses pemeriksaan, namun, manfaatnya sangatlah besar bagi seorang tersangka. Hak-hak tersangka akan dilindungi dan dijamin dengan hadirnya seorang advokat. Kehadiran advokat akan menjadi fungsi pengawasan jalannya pemeriksaan dan menghindari terjadinya kekerasan terhadap tersangka, menghindari tekanan-tekanan dan paksaan-paksaan dalam proses pemeriksaan, menciptakan suasana yang lebih manusiawi, dan juga dapat memberikan perlindungan secara psikologis bagi tersangka pada tahap pemeriksaan ditingkat penyidikan. Kondisi bahwa, bantuan hukum melalui pendampingan penasihat hukum dimulai pada saat pemeriksaan tambahan, tidak pada pemeriksaan awal

168 141 maka tentu menunjukkan tidak maksimalnya pelaksanaan bantuan hukum dalam proses pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan, karena pada dasarnya pada tahap pemeriksaan awallah kehadiran advokat sangat dibutuhkan bagi seorang tersangka dalam melindungi hak-haknya atau dengan kata lain, pada saat pemeriksaan awallah bantuan hukum harus diberikan dan dinikmati oleh tersangka. Pelaksanaannya, jika pemeriksaan awal tidak didampingi penasihat hukum atau tidak dilakukannya pemeriksaan ulang terhadap pemeriksaan awal yang telah dilakukan tanpa hadirnya advokat, tentu menimbulkan pertentangan dalam penerapan Miranda Rule yang dapat berakibat pemeriksaan menjadi tidak sah atau illegal atau batal demi hukum (null and void) sebagaimana yang telah dinyatakan oleh M. Yahya Harahap yang menyatakan bahwa, Apabila pemeriksaan penyidikan, penuntutan, persidangan tersangka atau terdakwa tidak didampingi penasihat hukum maka sesuai dengan Miranda rule, pemeriksaan tidak sah atau (illegal) atau batal demi hukum (null and void). 189 M. Yahya Harahap juga menyatakan bahwa, Standar Miranda rule inilah yang ditegakkan dalam Putusan MA No K/Pid/1991 (16 September 1993) yang menyatakan : apabila syarat-syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima. 190 M. Yahya Harahap juga menyatakan bahwa, seorang tersangka pada dasarnya diberikan hak untuk diperingati hak konstitusionalnya (warning of his 189 M. Yahya Harahap, op.cit, h M. Yahya Harahap, loc.cit.

169 142 constitutional rights) atau disebut dengan Miranda Warning yang harus disampaikan oleh aparat penegak hukum kepadanya berupa : a. Hak untuk tidak menjawab (a right to remain in silent) dan b. Hak didampingi (menghadirkan) penasihat hukum (a right to the presence of an attorney or the right to counsil). Kedua hak ini hanya dapat dihapus atau dikesampingkan berdasarkan kemauan sadar dan sukarela dari tersangka. 191 Perlu diketahui bahwa, Miranda Rules pada dasarnya adalah suatu prinsip hukum acara pidana di Amerika Serikat yang berasal dari peristiwa atau kasus Miranda v. Arizona. Miranda Rules ini muncul dengan adanya kasus tindakan kriminal seorang pemuda yang bernama Ernesto Miranda yang ditangkap oleh pihak Kepolisian pada tahun 1963 di Arizona (Amerika Serikat) setelah dituduh melakukan perbuatan kriminal penculikan dan pemerkosaan terhadap seorang perempuan berusia 18 tahun. Setelah ditangkap kemudian Miranda di interogasi, ia akhirnya menandatangani surat pengakuan tertulis bahwa ia telah menculik dan memperkosa perempuan yang dimaksud, namun, ternyata sebelum itu Miranda tidak diberikan hak untuk diam dan hak untuk mendapatkan pengacara guna mendampinginya dalam pemeriksaan atau interogasi tersebut. Miranda dan pengacaranya, setelah itu mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung, akhirnya Hakim Agung dengan mempertimbangkan tiga kasus serupa, menyatakan pengakuan yang dibuat Miranda tidak sah, karena sebelumnya ia tidak diberikan 191 M. Yahya Harahap, op.cit, h

170 143 hak-haknya sebagai tersangka. Miranda akhirnya mendapatkan penangguhan hukuman. 192 Sejak adanya pernyataan dari Mahkamah Agung di Amerika Serikat pada tahun 1966 yang menyatakan pengakuan Miranda tidak sah, karena menurut prosedur hukum acara hak-hak tersangka tidak dipenuhi, maka sejak saat itulah hak-hak tersangka diperhatikan secara serius. 193 Peristiwa inilah yang kemudian dikenal sebagai tonggak adanya Miranda Rule. Sebelumnya, kasus-kasus serupa pernah terjadi dan mendapat perhatian menyangkut dengan perlindungan hak-hak tersangka dan HAM. Sebelum kasus Miranda ini, di Amerika Serikat juga telah terjadi kasus Gideon v. Wainwright, 372 U.S. 335 (1963), selain itu juga muncul kasus Escobedo v. Illinois, 378 U.S 478 (1964). Abraham S. Blumberg dalam buku George F. Cole yang berjudul Criminal Justice; Law and Politics menyatakan bahwa : On June 13, 1966, the Supreme Court in a 5-4 decision underscored the principle enunciated in Escobedo in the case Miranda v. Arizona. Police interrogation of any suspect in custody, without his consent, unless a defense attorney is present, is prohibited by the self incrimination provision of the Fitht Amandement. 194 Prinsip-prinsip dalam Miranda Rule mulai diperingati dan diakui setelah pernyataan Mahkamah Agung pada tahun 1966, yang pada akhirnya memunculkan amandemen ke-lima Bill of Rights. 192 Faisal, 2012, Menerobos Positivisme Hukum, Gramata Publishing, Jakarta, h Ibid George F. Cole, 1976, Criminal Justice; Law and Politics, Duxbury Press, California, h.

171 144 Prinsip-prinsip yang terdapat dalam Miranda Rule yang di dalamnya juga memuat Miranda Warning merupakan prinsip-prinsip yang penting, yang merupakan perwujudan dari perlindungan, jaminan, dan penegakan Hak Asasi Manusia atau penegakan hak-hak asasi yang dimiliki oleh tersangka yang sangat rentan diperlakukan secara diskriminatif, intimidasi, tekanan-tekanan, dan kekerasan dalam proses pemeriksaan tersangka. Miranda Rule dan Miranda Warning ini juga merupakan bentuk perlawanan pelanggaran HAM atau pencegahan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Prinsip-prinsip Miranda Rule menjadi prinsip yang mendunia karena menjungjung tinggi HAM dan memberikan jaminan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi tersangka. Miranda Rule ini kemudian diikuti, diterapkan, dianut, dan diadopsi di berbagai negara-negara di dunia yang menjungjung tinggi HAM, yang dalam penyelenggaraan peradilannya dituangkannya dalam hukum acara pidana yang berlaku di masing-masing negara tersebut. Indonesia sebagai negara hukum yang menjungjung tinggi HAM juga mengakui dan mengadaptasi prinsip-prinsip yang terkandung dalam Miranda Rule dengan memberikan hak untuk memperoleh bantuan hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 56 KUHAP. Pelaksanaannya, prinsip-prinsip Miranda Rule memang telah diatur dalam KUHAP sehingga telah ada upaya pemenuhan prinsip-prinsip Miranda Rule, namun prinsip-prinsip dalam Miranda Warning masih belum dapat diterapkan dengan baik di Indonesia. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa, Masalah penerapan Miranda Rule sampai saat sekarang sangat riskan sekali dalam pelaksanaan penegakan hukum di

172 145 Indonesia. Hampir 80 % perkara yang termasuk kategori yang disyaratkan Pasal 56 KUHAP, tersangkanya disidik tanpa didampingi penasihat hukum. 195 Faisal juga menyatakan bahwa, peristiwa pelanggaran HAM seperti dalam peristiwa Miranda Rule yang terjadi di Amerika Serikat juga pernah terjadi di Indonesia. Tercatat beberapa peristiwa terjadi yang mendapat perhatian publik, misalnya : kasus Sengkon dan Karta (1974), kasus Budi Harjono (2002), dan kasus Asrori (2007). 196 M. Yahya Harahap menyatakan bahwa, Pasal 56 KUHAP merupakan bagian yang tidak terpisah dari asas presumption of innocence serta berkaitan dengan pengembangan Miranda Rule yang diadaptasi oleh KUHAP, seperti : a) Melarang penyidik melakukan praktek pemaksaan yang kejam untuk memperoleh pengakuan. b) Melarang penyidik melakukan intimidasi kejiwaan. 197 Faisal menyatakan bahwa, Miranda Rule merupakan awal dari adanya komitmen penegak hukum untuk lebih memperhatikan prinsip-prinsip pada setiap dimensi hak-hak asasi manusia, terutama dalam hal menyangkut tersangka. 198 KUHAP sebagai hukum acara pidana di Indonesia juga mengadopsi prinsipprinsip dalam Miranda Rule ini. Prinsip-prinsip Miranda Rule yang menjungjung tinggi HAM tercermin dalam pemberian bantuan hukum dan hak untuk 195 M. Yahya Harahap, op.cit, h Faisal, op.cit, h M. Yahya Harahap, op.cit, h Faisal, op.cit, h. 126.

173 146 didampingi penasihat hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 54 dan 56 KUHAP. Pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar, dalam prakteknya sebagaimana yang telah diuraikan dalam hasil wawancara sebelumnya dapat diketahui bahwa, proses BAP tetap berjalan walaupun tanpa kehadiran advokat, dan walaupun tanpa adanya atau tanpa hadirnya advokat, tersangka pasti mau menjalankan pemeriksaan. Kondisi ini tentu perlu dikaji lebih lanjut dengan berpegangan pada Miranda Warning khususnya dalam hal hak untuk tidak menjawab. Apakah dalam hal ini, tersangka mengetahui hak ini atau tersangka benar-benar telah menggunakan hak dalam Miranda Warning ini atau tetap mau menjalankan pemeriksaan dalam pembuatan BAP karena atas dasar paksaan atau tekanan dari penyidik atau karena ketidaktahuan akan adanya hak untuk tidak menjawab sebelum hadirnya advokat. Prinsip-prinsip dalam Miranda Warning masih belum dapat diterapkan dengan baik di Indonesia, mengenai hal ini Bapak I Nyoman Wiranata (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik di Polresta Denpasar) juga menyatakan pendapatnya, dari wawancara yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 23 September 2013, Bapak I Nyoman Wiranata menyatakan bahwa, Pada umumnya tersangka tidak tahu mengenai hak untuk tidak menjawab, berbeda halnya seperti di negara-negara lainnya yang telah maju. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, pelaksanaan hak untuk tidak menjawab dalam Miranda Warning dalam pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar belum dapat diterapkan dengan baik.

174 147 Kelemahan dalam substansi Pasal 56 KUHAP, yakni dalam hal pembatasan penerima bantuan hukum juga berdampak dalam pelaksanaannya dengan tidak diberikan bantuan hukum kepada tersangka yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana di bawah 5 (lima) tahun, sehingga tidak terciptanya keadilan dalam penegakan equality before the law serta penegakan HAM dalam pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin. Pembatasan penerima bantuan hukum juga bertentangan dengan asas pemberian bantuan hukum seluasluasnya (access to legal counsel). Pelaksanaan bantuan hukum yang dilaksanakan oleh advokat juga dinilai kurang profesional dan masih terlihat adanya pembedaan perlakuan antara klien yang didampingi karena haknya untuk mendapatkan bantuan hukum dengan klien yang didampingi karena pembayaran (fee), hal ini tentu merupakan penyimpangan dalam pelaksanaan bantuan hukum. Bapak I Nyoman Wiranata (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik di Polresta Denpasar) juga menyatakan pendapatnya mengenai pelaksanaan bantuan hukum ini. Bapak I Nyoman Wiranata (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik di Polresta Denpasar), dari wawancara yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 23 September 2013, Bapak I Nyoman Wiranata menyatakan bahwa, Dalam pelaksanaan bantuan hukum, sesuai dengan amanat Peraturan Perundangundangan bahwa penasihat hukum harus secara profesional dan tanpa pembedaan perlakuan dalam memberikan bantuan hukum, namun, dalam prakteknya masih bisa dijumpai penasihat hukum yang memberikan bantuan hukum dengan tidak profesional atau tidak secara maksimal menjalankan tugasnya. Biasanya, penasihat hukum akan mengatakan kepada penyidik bahwa ia adalah penasihat

175 148 hukum yang mendampingi tersangka sebagai kliennya, namun, dalam proses pemeriksaan tersangka, penasihat hukum tidak mendampingi kliennya dengan baik. Bapak I Nyoman Wiranata juga menyatakan bahwa, Penasihat hukum tersebut tidak menunggu tersangka atau mengikuti jalannya pemeriksaan dari awal hingga selesai. Tersangka ditinggalkan tanpa didampingi, dan penasihat hukum tersebut hanya meminta BAP dari hasil pemeriksaan saja, serta menandatangani berkas/surat-surat dalam BAP tersebut, sedangkan, jika penasihat hukum tersebut adalah penasihat hukum baru yang baru-baru belajar menjadi seorang penasihat hukum, maka biasanya ia lebih serius dengan mengikuti jalannya pemeriksaan dari awal hingga akhir. Sesuai amanat Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya penasihat hukum tidak boleh menolak jika diminta untuk memberikan bantuan hukum, namun, dalam prakteknya masih ada penasihat hukum yang menolak memberikan bantuan hukum dengan alasan sibuk menangani perkara lainnya. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, pelaksanaan bantuan hukum yang dilaksanakan oleh advokat kurang profesional dan tindakan advokat yang menolak memberikan bantuan hukum tentu bertentangan dengan profesinya dan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan advokat dan bantuan hukum, hal ini juga menunjukkan pelaksanaan bantuan hukum pada tahap pemeriksaan tersangka, belum dapat dilaksanakan dengan baik oleh advokat. Pelaksanaan bantuan hukum ini juga dapat dilihat dari hasil wawancara dari dua orang tersangka di Polresta Denpasar. Mengacu pada Pasal 56 KUHAP, maka

176 149 dilakukan wawancara kepada dua orang tersangka yang diancam dengan pidana di atas 5 (lima) tahun yang menerima bantuan hukum dan yang menolak menerima bantuan hukum. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Didik Irawan alias Salim (Tersangka yang diancam dengan Pasal 338 KUHP di Polresta Denpasar), yang dilakukan pada hari Selasa, tanggal 24 September 2013, mengenai alasan mengapa ia mau menggunakan atau menerima bantuan hukum di Polresta Denpasar Bapak Didik Irawan alias Salim menyatakan bahwa, Saya mau menerima bantuan hukum dengan alasan karena membutuhkan, tidak paham dengan hukum yang mengganggap berperkara itu sulit. Merasa bersyukur ada yang mau membantu tanpa biaya. Bapak Didik Irawan alias Salim (Tersangka yang diancam dengan Pasal 338 KUHP di Polresta Denpasar) juga menyatakan bahwa, Penyidik sudah memberitahukan haknya untuk mendapat bantuan hukum pada saat proses pemeriksaan (dalam proses pembuatan BAP) dan saya mau diberikan bantuan hukum, setelah itu, penyidik menunjuk penasihat hukum dan saya menyetujui penasihat hukum yang ditunjuk atau yang disediakan oleh penyidik. Selanjutnya, saya menjalani pemeriksaan. Setelah hari itu, seminggu kemudian penasihat hukum tersebut hadir mendampingi saya. Penyidik menunjuk dua orang penasihat hukum yakni Bapak Edy Hartaka dan Bapak Gunajar. Mereka biasanya datang bergantian dan sering datang mendampingi dalam pemeriksaan. Bantuan hukum memang telah diberikan pada saat pemeriksaan awal dan dapat dinikmati oleh tersangka pada saat pemeriksaan tambahan.

177 150 Bapak Didik Irawan alias Salim (Tersangka yang diancam dengan Pasal 338 KUHP di Polresta Denpasar) juga menyatakan pendapatnya mengenai fakta bahwa masih bisa ditemukannya penasihat hukum yang kurang profesional dan tidak maksimal dalam memberikan bantuan hukum, Bapak Didik Irawan alias Salim menyatakan bahwa, Penasihat hukumnya datang, mendampingi, dan tanda tangan berkas yang diperlukan. Tersangka juga telah diajukan beberapa pertanyaan mengarah pada kondisi pemeriksaan dan peranan penasihat hukum dalam pemeriksaan yang telah dilakukan, namun terlihat adanya berbagai faktor yang mengakibatkan tersangka dalam keadaan tertekan karena adanya penyidik pada saat wawancara dan CCTV sehingga tersangka tidak dapat menjawab pertanyaan dengan leluasa dan terlihat keragu-raguan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Bapak Didik Irawan alias Salim (Tersangka yang diancam dengan Pasal 338 KUHP di Polresta Denpasar), menyatakan bahwa, Di sini (di Polresta Denpasar) banyak peraturannya, ditambah ada layar-layar sehingga kami tidak berani. Berdasarkan pernyataan ini dan kondisi pada saat itu terlihat sekali bahwa, tersangka berada di bawah tekanan karena pada saat itu, wawancara berlangsung dengan hadirnya penyidik dan pada saat wawancara sesekali penyidik berdiri disamping tersangka dan sesekali penyidik keluar ruangan. Kondisi secara psikologis tersangka menunjukkan bahwa, penasihat hukum belum maksimal dalam menjalankan tugasnya, karena keadaan psikologis tersangka yang masih berada di bawah tekanan atau ketakutan dalam proses pemeriksaan dan wawancara. Kondisi dan penyimpangan ini menunjukkan, bahwa pelaksanaan

178 151 bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar belum dapat dilaksanakan dengan baik. Kondisi ini juga dapat dikaitkan dengan sistem inkuisitur (inquisitoir) yang masih bisa dijumpai dalam proses pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan dalam peradilan pidana di Indonesia. C. Djisman Samosir menyatakan bahwa, Dalam sistem pemeriksaan inquisitoir ini ditempatkan atau diposisikan sebagai orang yang telah melakukan kesalahan dan dengan demikian bisa berakibat terjadinya pemukulan pada tersangka agar mengakui kesalahannya. 199 Indriyanto Seno Adji mengemukakan bahwa, polemik kinerja polisi yang mengutamakan non-sciencetific investigation ini seolah menjadi akar budaya pemeriksaan bagi polisi yang menemui jalan buntu. Pola pemeriksaan yang diperlukan bagi POLRI adalah pola pemeriksaan yang sciencetific investigation yang tentunya menghindari segala bentuk intimidasi, ancaman, kekerasan fisik maupun psikologis. 200 Frans Hendra Winarta menyatakan bahwa : Sering dalam pelaksanaannya tidak sedikit tersangka/terdakwa dipersulit dalam mencari penasihat hukumnya. Sehingga tidak jarang seorang tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan di hadapan pihak penyidik tidak didampingi oleh penasihat hukum. Bahkan ada tersangka/terdakwa atau kaum miskin yang diintimidasi oleh pihak penyidik. Termasuk adanya praktik-praktik pemaksaan/penyiksaan dan berbagai bentuk perlakuan tidak manusiawi lainnya dalam setiap pemeriksaan tersangka yang dilakukan oleh pihak penyidik, dan adalah cukup sulit untuk menghilangkan hal tersebut C. Djisman Samosir, 2013, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung, h Indriyanto Seno Adji, 2009, Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, h Frans Hendra Winarta II, op.cit, h. 43.

179 152 Sejak diberlakukannya KUHAP, walaupun pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan semakin menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik, namun sistem inkuisitur (inquisitoir) masih bisa ditemukan dalam praktek pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan. Pengaruh sistem inkuisitur (inquisitoir) cukup sulit dihilangkan dan dalam hal inilah peranan dan kehadiran penasihat hukum dalam setiap pemeriksaan sangat diperlukan. Henny Mono juga menyatakan pendapatnya. Henny Mono menyatakan bahwa, dari studi lapangan membuktikan adanya kebijakan yang diskriminatif dalam pelaksanaan penyidikan. Secara garis besar dapat dikategorikan menjadi empat model. Salah satunya yakni, bila tersangka adalah orang awam/buta hukum dan miskin maka tindakan penyidikannya cenderung penuh tekanan, baik secara fisik maupun psikis. Kebanyakan tersangka tidak didampingi advokat sebab tidak memiliki akses informasi. 202 Orang atau kelompok orang miskin sangat rentan diperlakukan secara diskriminatif oleh sebab itu peranan advokat sangat penting dalam proses pemeriksaan. Pelaksanaan bantuan hukum, selain dari wawancara tersangka yang mau menerima bantuan hukum juga dilakukan wawancara dengan tersangka yang tidak mau menerima bantuan hukum atau tersangka yang menolak menggunakan penasihat hukum. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Ketut Suarjana alias Agus Kembar (Tersangka dalam perkara tindak pidana pemerasan dan ancaman dan gabungan beberapa perbuatan kejahatan dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP jo. 65 KUHP di Polresta Denpasar), yang dilakukan pada hari Selasa, 202 Henny Mono, 2007, Praktik Beperkara Pidana, Bayumedia Publishing, Malang, h. 51.

180 153 tanggal 24 September 2013, mengenai alasan mengapa ia tidak mau menerima bantuan hukum atau menolak menggunakan penasihat hukum di Polresta Denpasar, Bapak I Ketut Suarjana alias Agus Kembar menyatakan bahwa, Jika menggunakan pengacara atau penasihat hukum, biasanya kasusnya menjadi semakin ruwet/rumit, selain itu, saya juga telah menyadari bahwa perbuatan saya melanggar hukum. Saya telah mengakui kesalahan saya, merasa bersalah, dan menyesalinya, karena hal itu, saya tidak mau didampingi penasihat hukum dan saya akan menjawab sendiri semua pertanyaan dalam pemeriksaan. Pernyataan dari Bapak I Ketut Suarjana alias Agus Kembar (Tersangka dalam perkara tindak pidana pemerasan dan ancaman dan gabungan beberapa perbuatan kejahatan dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP jo. 65 KUHP di Polresta Denpasar) menununjukkan bahwa, adanya pesimisme dan sikap skeptis terhadap pelaksanaan bantuan hukum yang diberikan advokat, walaupun telah disediakan advokat secara cuma-cuma atau tanpa mengeluarkan biaya, tersangka masih memiliki pandangan negatif bahwa dengan adanya advokat, perkaranya akan semakin sulit. Kondisi ini tentu menunjukkan masih ada paradigma yang kurang baik dalam pelaksanaan bantuan hukum dalam peradilan pidana di Indonesia. Secara keseluruhan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya mengenai pelaksanaan bantuan hukum, dapat diketahui bahwa, walaupun terdapat idealisme advokat serta kesadaran moril dalam memberikan bantuan hukum tanpa bayaran dan juga Pasal 114 dan Pasal 55 KUHAP telah dijalankan dengan baik pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan Polresta Denpasar. Berbagai penyimpangan yang telah diuraikan di atas tentu menunjukkan

181 154 pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar belum dapat dilaksanakan dengan baik. Secara singkat penyimpangan-penyimpangan tersebut diantaranya yakni : a. Pelaksanaan bantuan hukum melalui pendampingan advokat baru dapat dinikmati tersangka pada saat pemeriksaan tambahan bukan pada saat pemeriksaan awal. Proses pemeriksaan tetap berlanjut walaupun tanpa hadirnya advokat. b. Tidak dilakukannya pemeriksaan ulang terhadap pemeriksaan awal yang telah dilakukan tanpa hadirnya advokat. c. Pelaksanaan hak untuk tidak menjawab dalam Miranda Warning dalam pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar belum dapat diterapkan dengan baik. d. Tidak diberikannya bantuan hukum kepada tersangka yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana di bawah 5 (lima) tahun, walaupun KUHAP hanya mengatur pemberian bantuan hukum kepada tersangka/terdakwa yang disangka atau didakwa, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, namun seharusnya bantuan hukum sebagai bentuk aktualiasi HAM yang bersifat non derogable right diberikan tanpa pembatasan-pembatasan. Pembatasan ini menunjukkan lemahnya

182 155 penegakan HAM dan asas equality before the law, serta tidak sesuai dengan asas pemberian bantuan hukum seluas-luasnya (access to legal counsel). e. Pelaksanaan bantuan hukum yang dilaksanakan oleh advokat dinilai kurang profesional dan masih terlihat adanya pembedaan perlakuan antara klien yang didampingi karena haknya untuk mendapatkan bantuan hukum dengan klien yang didampingi karena pembayaran (fee). f. Masih bisa dijumpai tindakan advokat yang menolak memberikan bantuan hukum. g. Kondisi secara psikologis tersangka menunjukkan bahwa, penasihat hukum belum maksimal dalam menjalankan tugasnya, karena keadaan psikologis tersangka yang masih berada di bawah tekanan atau ketakutan dalam proses pemeriksaan dan wawancara yang dilakukan. h. Adanya pesimisme dan sikap skeptis terhadap pelaksanaan bantuan hukum yang diberikan advokat, sehingga tersangka menolak menerima bantuan hukum atau menolak untuk didampingi penasihat hukum. Kondisi ini tentu memunculkan paradigma bahwa, masih ada rasa ketidakpercayaan masyarakat pencari keadilan mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan. Pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar, selain berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan juga dapat dilihat dari data jumlah pemberian bantuan hukum di Polresta Denpasar, yang meliputi jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum dan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan

183 156 hukum dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dari tahun , yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 1. Data Jumlah Tersangka yang Menerima Bantuan Hukum dan Jumlah Tersangka yang Menolak Menerima Bantuan Hukum dari Tahun Berdasarkan Berkas Perkara di Polresta Denpasar Jumlah Jumlah Jumlah Tersangka yang Tersangka yang Berkas No. Tahun Menerima Bantuan Menolak Menerima Perkara Hukum Bantuan Hukum Sumber : Bagian Operasional Polresta Denpasar, Min. Reskrim Polresta Denpasar. Data jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum dan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum dari tahun berdasarkan berkas perkara di Polresta Denpasar, yang dapat dilihat dalam tabel 1 diatas menunjukkan bahwa, telah ada pelaksanaan bantuan hukum di Polresta Denpasar. Data dalam tabel 1 ini menunjukkan bahwa, jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum tidak menunjukkan peningkatan atau penurunan jumlah yang konsisten dari tahun ke tahun. Jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum dalam jangka waktu 5 (lima) tahun ini menunjukkan perkembangan yang tidak

184 157 stabil, sama halnya dengan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum di Polresta Denpasar. Adapun jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum pada tahun 2009 di Polresta Denpasar adalah berjumlah 14 tersangka, pada tahun 2010 jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum meningkat dari tahun sebelumnya yakni berjumlah 53 tersangka, dengan demikian terjadi peningkatan sebanyak 39 tersangka yang menerima bantuan hukum di tahun ini. Tahun 2011 terjadi penurunan jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum. Jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum pada tahun 2011 adalah berjumlah 26 tersangka, dengan demikian terjadi penurunan sebanyak 27 tersangka yang menerima bantuan hukum. Tahun 2012 kembali mengalami peningkatan. Jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum pada tahun 2012 adalah berjumlah 32 tersangka, di tahun ini terjadi peningkatan sebanyak 6 tersangka, namun di tahun 2013 kembali mengalami penurunan. Jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum pada tahun 2013 adalah berjumlah 23 tersangka, dengan demikian telah terjadi penurunan sebanyak 9 tersangka yang menerima bantuan hukum. Adapun jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum pada tahun 2009 adalah berjumlah 360 tersangka. Tahun selanjutnya yakni pada tahun 2010 terjadi penurunan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum, yakni berjumlah 200 tersangka, dengan demikian terdapat penurunan sebanyak 160 tersangka yang menolak menerima bantuan hukum. Tahun 2011, jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum kembali mengalami peningkatan sebanyak 50 tersangka, sehingga jumlah tersangka yang menolak

185 158 menerima bantuan hukum pada tahun 2011 adalah berjumlah 250 tersangka. Tahun 2012 kembali mengalami penurunan sebanyak 10 tersangka, sehingga jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum pada tahun 2012 adalah berjumlah 240 tersangka. Tahun 2013 terjadi penurunan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum dari tahun sebelumnya. Penurunan ini sebanyak 50 tersangka, dengan demikian jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum pada tahun 2013 adalah berjumlah 190 tersangka. Adapun jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum dan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum dari tahun berdasarkan berkas perkara di Polresta Denpasar yakni, jumlah jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum pada tahun 2009 adalah berjumlah 14 tersangka, jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum pada tahun 2009 adalah berjumlah 360 tersangka dalam 374 jumlah berkas perkara di tahun 2009 ini. Tahun 2010, jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum adalah 53 tersangka dan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum di tahun ini berjumlah 200 tersangka dengan jumlah berkas perkara sebanyak 253 berkas. Tahun 2011, jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum adalah 26 tersangka dan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum adalah 250 tersangka dalam jumlah berkas perkara sebanyak 276. Tahun selanjutnya, yakni pada tahun 2012 jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum adalah 32 tersangka dan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum adalah 240 tersangka dalam jumlah berkas perkara sebanyak 272 berkas. Tahun 2013, jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum adalah 23 tersangka dan

186 159 jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum adalah 190 tersangka dengan jumlah berkas perkara sebanyak 213 berkas perkara di tahun 2013 ini. Perkembangan jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum dan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum dari tahun berdasarkan berkas perkara di Polresta Denpasar juga dapat dilihat dalam diagram di bawah ini : Gambar 2. Diagram Perkembangan Jumlah Tersangka yang Menerima Bantuan Hukum dan Jumlah Tersangka yang Menolak Menerima Bantuan Hukum dari Tahun Berdasarkan Berkas Perkara di Polresta Denpasar tersangka yang menerima bantuan hukum tersangka yang menolak menerima bantuan hukum berkas perkara Diagram di atas menunjukkan bahwa, jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum atau dengan kata lain jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum. Sebagai pelengkap, untuk melihat dan memperjelas persentase jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum dan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum dari tahun

187 160 berdasarkan jumlah berkas perkara di Polresta Denpasar, dapat dilihat dari diagram di bawah ini : Gambar 3. Diagram Persentase (%) Jumlah Tersangka yang Menerima Bantuan Hukum dari Tahun Berdasarkan Berkas Perkara di Polresta Denpasar 23 tersangka yang menerima bantuan hukum dari 213 berkas perkara 14 tersangka yang menerima bantuan hukum dari 374 berkas perkara 32 tersangka yang menerima bantuan hukum dari 272 berkas perkara 11,76 % 10,80 % 3,74 % 20,95 % 53 tersangka yang menerima bantuan hukum dari 253 berkas perkara Tahun 2009 Tahun ,42 % Tahun 2011 Tahun tersangka yang menerima bantuan hukum dari 276 berkas perkara Tahun 2013 Gambar 4. Diagram Persentase (%) Jumlah Tersangka yang Menolak Menerima Bantuan Hukum dari Tahun Berdasarkan Berkas Perkara di Polresta Denpasar 190 tersangka yang menolak menerima bantuan hukum dari 213 berkas perkara 360 tersangka yang menolak menerima bantuan hukum dari 374 berkas perkara Tahun tersangka yang menolak menerima bantuan hukum dari 272 berkas perkara 88,23 % 89,20 % 90,58 % 96,26 % 79,05 % Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun tersangka yang menolak menerima bantuan hukum dari 276 berkas perkara 200 tersangka yang menolak menerima bantuan hukum dari 253 berkas perkara

188 161 Data dalam gambar 3 dan 4 menunjukkan persentase (%) jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum dan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum, dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dari tahun , berdasarkan berkas perkara di Polresta Denpasar. Persentase (%) jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum berdasarkan berkas perkara di Polresta Denpasar menunjukkan bahwa, persentase tertinggi terjadi pada tahun 2010, yakni sebesar 20,95 % tersangka yang mau menerima bantuan hukum. Presentase terendah terjadi pada tahun 2009 yakni hanya sebesar 3,74 % tersangka yang mau menerima bantuan hukum di Polresta Denpasar. Persentase (%) jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum berdasarkan berkas perkara di Polresta Denpasar menunjukkan bahwa, persentase tertinggi terjadi pada tahun 2009, yakni sebesar 96,26 % tersangka yang menolak menerima bantuan hukum. Presentase terendah terjadi pada tahun 2010 yakni sebesar 79,05 % tersangka yang menolak menerima bantuan hukum di Polresta Denpasar. Pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar, berdasarkan gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa, terjadi perkembangan yang baik di tahun 2010, dengan jumlah tersangka yang mau menerima bantuan hukum terbanyak jika dibandingkan dengan tahun yang lainnya, sedangnya di tahun 2009 merupakan tahun dengan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum terbanyak. Bantuan hukum merupakan hak yang sangat penting bagi tersangka. Mengukur keberhasilan pelaksanaan bantuan hukum, memang tidak bisa dengan

189 162 hanya melihat perbandingan jumlah tersangka yang menerima dan menolak menerima bantuan hukum, namun semakin banyak tersangka yang mau menerima bantuan hukum menunjukkan pelaksanaan pemberian bantuan hukum yang baik, begitu pula sebaliknya. Bantuan hukum merupakan hak yang sangat penting bagi tersangka, oleh sebab itu tersangka perlu didampingi advokat dalam proses pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar Pelaksanaan Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tahap Pemeriksaan Terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar Khusus dalam pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan, selain mengacu pada KUHAP, telah dikeluarkan pedoman bagi pengadilan dalam pelaksanaan bantuan hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Agustus 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum berikut dengan Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum dan Lampiran B tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama. Adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 ini, maka telah ada panduan pelaksanaan bantuan hukum pada tahap pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan negeri. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal

190 Agustus 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, dalam Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum, yang menyatakan bahwa, Penyelenggaraan dan penggunaan anggaran bantuan hukum di lingkungan Peradilan Umum adalah meliputi Pos Bantuan Hukum, Bantuan Jasa Advokat, Pembebasan Biaya Perkara baik Pidana maupun Perdata, dan Biaya Sidang di Tempat Sidang Tetap (Zitting Plaats). Terdapat 4 jenis bantuan hukum yang dapat diberikan dalam penyelenggaraan bantuan hukum yakni, Pos Bantuan Hukum, Bantuan Jasa Advokat, Pembebasan Biaya Perkara baik Pidana maupun Perdata, dan Biaya Sidang di Tempat Sidang Tetap (Zitting Plaats) atau persidangan di luar gedung pengadilan. Berbeda halnya pada pelaksanaan bantuan hukum pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan, pemberian bantuan hukum di Pengadilan Negeri diberikan dan dilaksanakan melalui sebuah Pos Bantuan Hukum (Pos bakum) yang berwenang dan bertugas memberikan layanan bantuan hukum. Pasal 1 angka 3 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Agustus 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, dalam Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum menyatakan bahwa : Pos Bantuan Hukum (Posbakum) adalah ruang yang disediakan oleh dan pada setiap Pengadilan Negeri bagi Advokat Piket dalam memberikan layanan bantuan hukum kepada Pemohon Bantuan Hukum untuk pengisian formulir permohonan bantuan hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum, advis atau konsultasi hukum, memberikan rujukan lebih lanjut tentang pembebasan biaya perkara, dan memberikan rujukan lebih lanjut tentang bantuan jasa Advokat.

191 164 Keberadaan Pos Bantuan Hukum ini, tentu menunjukkan peran Negara dalam memberikan sarana dan fasilitas dalam penyelenggaraan bantuan hukum di lingkungan pengadilan negeri. Hakim di pengadilan negeri dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum juga mengacu pada Pasal 56 KUHAP. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar), yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 9 September 2013, mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar Bapak Gunawan Tri Budiono menyatakan bahwa, Dalam pelaksanaannya tetap mengacu pada ketentuan Pasal 56 KUHAP yang menentukan bahwa, terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau 5 (lima) tahun atau lebih wajib diberikan bantuan hukum. Ketentuan ini secara imperatif harus dipenuhi, dengan demikian, jika terdakwa diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih, maka hakim wajib menyediakan penasihat hukum, jika hal ini tidak dipenuhi oleh hakim, maka akan batal demi hukum sehingga peradilan harus diulang kembali. Terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana di bawah 5 (lima) tahun tidak wajib diberikan bantuan hukum. Pemberian bantuan hukum pada tahap pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan pada dasarnya, sama dengan pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan yang diberikan berdasarkan Pasal 56 KUHAP dengan kwalifikasi ancaman pidana dari tindak pidana yang didakwa dilakukan terdakwa. Hakim juga tidak wajib memberikan bantuan hukum atau menyediakan penasihat

192 165 hukum bagi terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana di bawah 5 (lima) tahun. Sesuai dengan hasil wawancara tersebut juga dapat diketahui bahwa, jika hakim lalai tidak memberikan bantuan hukum atau tidak menyediakan penasihat hukum bagi terdakwa yang wajib mendapatkan bantuan hukum, maka akan berakibat batal demi hukum sehingga peradilan harus diulang kembali. Leden Marpaung menyatakan bahwa : Hakim wajib menunjuk penasihat hukum dalam hal terdakwa diancam 15 tahun atau lebih atau terdakwa yang tidak mampu yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih (Pasal 56 KUHAP). Hal ini bersifat imperatif, sehingga kalau tidak dipenuhi merupakan kelalaian dalam penerapan hukum acara yang dapat mengakibatkan Pengadilan Tinggi memerintahkan untuk diperbaiki atau diperbaiki sendiri oleh Pengadilan Tinggi (Pasal 240 KUHAP). 203 Menurut Lilik Mulyadi, Ketentuan ini dimaksudkan sebagai implementasi dijungjung tingginya Hak Asasi terdakwa sebagaimana dasar dikeluarkannya KUHAP, sehingga tidak diharapkan adanya kesewenang-wenangan dalam hal pemeriksaan tersangka/terdakwa. 204 Tidak wajibnya pemberian bantuan hukum bagi terdakwa yang diancam dengan pidana di bawah 5 (lima) tahun juga menunjukkan kelemahan dalam penegakan HAM dan asas equality before the law, serta tidak sesuai dengan asas pemberian bantuan hukum seluas-luasnya (access to legal counsel), sama halnya pada tingkat pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar. Pembatasan-pembatasan ini, walaupun dilakukan karena berdasarkan KUHAP sebagai hukum acara pidana di Indonesia, namun hal tersebut menunjukkan 203 Leden Marpaung, 2011, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan), Sinar Grafika, Jakarta, h Lilik Mulyadi, 1996, Hukum Acara Pidana; Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 30.

193 166 kelemahan substansi Pasal 56 KUHAP dan pelaksanaannya yang seharusnya lebih menjungjung tinggi HAM dan asas equality before the law. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar) dapat diketahui bahwa, Pasal 56 KUHAP telah dilaksanakan dan pemberitahuan hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum telah dilaksanakan dengan baik di Pengadilan Negeri Denpasar. Terkait dengan pelaksanaan Pasal 55 KUHAP di Pengadilan Negeri Denpasar, Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar) juga menyatakan pendapatnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar), yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 9 September 2013, mengenai hal ini Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar), menyatakan bahwa, Terdakwa boleh memilih sendiri penasihat hukum yang diinginkannya. Pasal 55 KUHAP telah dilaksanakan dengan baik di Pengadilan Negeri Denpasar. Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar) juga menyatakan pendapatnya mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar dalam wawancara yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 9 September Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar) menyatakan bahwa, Ketika terdakwa bersedia menerima bantuan hukum atau bersedia didampingi oleh penasihat hukum, maka sidang akan ditunda dan akan dilanjutkan pada sidang selanjutnya dengan didampingi oleh penasihat hukum yang telah disediakan oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Berdasarkan hal ini

194 167 dapat diketahui bahwa, pelaksanaan bantuan hukum di Pengadilan Negeri Denpasar telah dilaksanakan dengan baik yang melindungi hak terdakwa dengan tidak melakukan pemeriksaan sebelum hadirnya penasihat hukum. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, di Pengadilan Negeri Denpasar juga telah disediakan Pos Bantuan Hukum (Pos bakum) yang memberikan layanan bantuan hukum kepada masyarakat pencari keadilan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar), yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 9 September 2013, mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar Bapak Gunawan Tri Budiono menyatakan bahwa, Pengadilan Negeri Denpasar telah menyediakan ruangan Pos Bantuan Hukum (Pos bakum) dengan ruangan dan fasilitas yang bagus. Dalam pelaksanaannya, setiap hari selama jam kerja terdapat minimal seorang pengacara piket di Pos Bantuan Hukum Pengadilan Negeri Denpasar. Advokat piket ini merupakan advokat dari PERADI. Pelaksanaannya juga diserahkan kepada PERADI. Dalam hal ini, pengadilan tidak mengatur. Pengadilan hanya menyediakan ruangan atau tempat yang digunakan sebagai Pos Bantuan Hukum. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, pelaksanaan bantuan hukum di Pengadilan Negeri dengan menyediakan Pos Bantuan Hukum telah dilaksanakan dengan baik. Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar), juga menyatakan bahwa, Advokat sama sekali tidak meminta dan menerima pembayaran dari terdakwa. Pengadilan yang akan memberikan fee (bayaran)

195 168 kepada advokat atas bantuan hukum yang diberikan kepada terdakwa, dari pendanaan Pemerintah melalui Departemen Hukum dan HAM. Pemerintah telah memberikan sarana dan fasilitas berupa pendanaan dalam penyelenggaraan bantuan hukum, hal ini juga menunjukkan bahwa, makna dari konsep bantuan hukum telah dijalankan dengan baik karena terdakwa dapat memperoleh haknya untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa biaya atau secara cuma-cuma. Sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa, penyelenggaraan dan penggunaan anggaran bantuan hukum di lingkungan Peradilan Umum adalah meliputi Pos Bantuan Hukum, Bantuan Jasa Advokat, Pembebasan Biaya Perkara baik Pidana maupun Perdata, dan Biaya Sidang di Tempat Sidang Tetap (Zitting Plaats). Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar), dari wawancara yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 9 September 2013, mengenai Zitting Plaats ini Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar) menyatakan bahwa, Di Bali atau di Pengadilan Negeri Denpasar tidak memiliki Zitting Plaats atau pengadilan cabang. Belum dibutuhkan dan tidak terdapat Zitting Plaats di Pengadilan Negeri Denpasar, karena wilayah eksekutifnya meliputi Badung dan Denpasar. Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar) juga menyatakan pendapatnya mengenai profesionalitas advokat dalam pelaksanaan bantuan hukum di Pengadilan Negeri Denpasar. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar), yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 9 September 2013, mengenai hal ini Bapak Gunawan Tri Budiono menyatakan bahwa, Jika ada advokat yang tidak

196 169 profesional dalam menjalankan profesinya memberikan bantuan hukum, maka hakim akan mengadakan evaluasi dan kemudian advokat tersebut tidak ditunjuk lagi untuk memberikan bantuan hukum. Berdasarkan pengalaman selama ini di Pengadilan Negeri Denpasar, sebagai hakim saya belum pernah menemukan hal seperti itu. Berdasarkan hal tersebut, jika dibandingkan dengan pelaksanaan bantuan hukum di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar, profesionalisme advokat dalam pelaksanaan bantuan hukum pada tahap pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar dinilai lebih baik. Sama halnya pada pelaksanaan bantuan hukum pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan, ada berbagai alasan terdakwa menerima bantuan hukum atau menolak menggunakan penasihat hukum hukum di Pengadilan Negeri Denpasar. Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar) juga menyatakan pendapatnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar), yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 9 September 2013, mengenai hal ini Bapak Gunawan Tri Budiono menyatakan bahwa, Secara umum, terdakwa mau menerima bantuan hukum atau mau menggunakan penasihat hukum karena alasan terdakwa tidak memiliki biaya dan membutuhkan jasa penasihat hukum. Bapak Gunawan Tri Budiono (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar) juga menyatakan bahwa, Terdakwa yang tidak mau menerima bantuan hukum atau menolak menggunakan penasihat hukum, dikarenakan berbagai alasan diantaranya yakni, merasa kesulitan mengurus administrasi seperti misalnya jika terdakwa berasal dari luar Bali, maka terdakwa akan kesulitan untuk mengurus

197 170 surat keterangan tidak mampu/surat keterangan miskin, mengurus KTP dan suratsurat lainnya yang dibutuhkan untuk memperoleh bantuan hukum, sehingga terdakwa akan membela dirinya sendiri. Terdakwa juga sudah merasa atau mengaku bersalah sehingga akan menjawab sendiri. Kendala dalam hal persyaratan administrasi yang menghambat terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum menunjukkan bahwa, bantuan hukum belum dapat diakses dengan kemudahan-kemudahan, sehingga tidak semua terdakwa yang membutuhkan bantuan hukum dapat menikmati haknya untuk memperoleh bantuan hukum. Secara keseluruhan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, menunjukkan masih terlihat adanya penyimpangan-penyimpangan bahwa, kondisi bahwa bantuan hukum belum dapat diakses dengan kemudahan-kemudahan, sehingga tidak semua terdakwa yang membutuhkan bantuan hukum dapat menikmati haknya untuk memperoleh bantuan hukum dan tidak diberikannya bantuan hukum kepada terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana di bawah 5 (lima) tahun. Penyimpangan-penyimpangan ini, tentu masih perlu dikaji dan diperbaiki dalam meningkatkan efektifitas dalam pelaksanaan bantuan hukum di Pengadilan Negeri Denpasar, namun dalam penyelenggaraan bantuan hukum di Pengadilan Negeri Denpasar juga dapat terlihat pelaksanaan yang baik. Pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar telah dilaksanakan dengan lebih baik, jika dibandingkan dengan pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada

198 171 tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya dapat diketahui bahwa : a. Pasal 55 KUHAP telah dilaksanakan dengan baik di Pengadilan Negeri Denpasar. b. Pasal 56 KUHAP telah dilaksanakan dan pemberitahuan hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum telah dilaksanakan dengan baik di Pengadilan Negeri Denpasar. c. Tersedianya Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Negeri Denpasar juga telah menunjukkan keseriusan Pengadilan Negeri Denpasar dalam penyelenggaraan bantuan hukum dan menunjukkan telah dilaksanakannya bantuan hukum dengan baik dengan menerapkan Pasal 6 ayat (1) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Agustus 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum berikut dengan Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum. d. Pelaksanaan bantuan hukum di Pengadilan Negeri Denpasar juga telah dilaksanakan dengan baik yang melindungi hak terdakwa dengan tidak melakukan pemeriksaan sebelum hadirnya advokat. Sidang akan ditunda dan akan dilanjutkan pada sidang selanjutnya dengan didampingi oleh advokat. e. Profesionalisme advokat dalam pelaksanaan bantuan hukum pada tahap pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar juga dinilai lebih baik. f. Advokat sama sekali tidak meminta dan menerima pembayaran dari terdakwa. Terdakwa dapat memperoleh haknya untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa

199 172 biaya atau secara cuma-cuma karena, pemerintah telah memberikan sarana dan fasilitas berupa pendanaan yang akan diberikan kepada advokat dalam penyelenggaraan bantuan hukum melalui Departemen Hukum dan HAM Pelaksanaan Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di Lembaga Bantuan Hukum Denpasar Sebuah Lembaga Bantuan Hukum dibentuk untuk memberikan bantuan hukum kepada orang miskin dan buta hukum. Berbeda halnya dengan kantor advokat, pemberian bantuan hukum lebih didasarkan pada pencapaian visi dan misi lembaga sehingga terdapat kriteria kasus yang dapat diterima dan ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum. 205 Lembaga Bantuan Hukum adalah lembaga yang khusus dibentuk untuk menyediakan layanan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat pencari keadilan, dengan kriteria kasus yang dapat diterima dan ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum. Tidak banyak Lembaga Bantuan Hukum yang ada di Denpasar. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Ketut Sadi (PLH Kepala Bidang Pelayanan Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali di Denpasar), yang dilakukan pada hari Jumat, tanggal 23 Januari 2014, mengenai jumlah Lembaga Bantuan Hukum di Denpasar, Bapak I Ketut Sadi menyatakan bahwa, Jumlah Lembaga Bantuan Hukum di Denpasar ada 4 yaitu LBH Bali, LBH Apik, LBH Manikaya dan LBH PBHI. Secara lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: 205 Siti Aminah, 2009, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 48.

200 173 Tabel 2. Lembaga Bantuan Hukum di Denpasar No. Nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Denpasar 1. YLBHI-LBH Bali (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum Bali) 2. LBH Apik (Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan) 3. LBH Manikaya (Yayasan Manikaya Kauci) 4. PBHI Wilayah Bali di Denpasar Alamat Jalan Plawa Nomor 57 Denpasar Bali Jalan Kembang Matahari I/145 Denpasar Bali Jalan Noja Gang XXXVII No. 16 Denpasar Bali Jalan Kapten Tjok Agung Tresna No. 49 Renon Denpasar Nomor telepon (0361) (0361) (0361) (0361) Sumber : Bapak I Ketut Sadi (PLH Kepala Bidang Pelayanan Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali di Denpasar), dan Pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana juga dapat dilihat dari hasil wawancara di LBH-LBH di Denpasar, yang dalam penelitian ini dilakukan di YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ni Luh Gede Yastini (Advokat dan Direktur YLBHI-LBH Bali di Denpasar), yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 16 September 2013, mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di YLBHI-LBH Bali dibuka pada tanggal 9 Februari 2014, diakses pada pukul wita dan dibuka pada tanggal 9 Februari 2014, diakses pada pukul wita.

201 174 di Denpasar Ibu Ni Luh Gede Yastini menyatakan bahwa, Dalam pelaksanaannya bantuan hukum diberikan atas dasar permintaan bantuan hukum secara langsung dari pelaku tindak pidana atau dari seseorang yang diduga melakukan tindak pidana ataupun secara tidak langsung dari keluarga yang bersangkutan atau pihak lainnya. Bantuan hukum juga diberikan karena adanya permintaan dari pihak kepolisian dan pengadilan. Ibu Ni Luh Gede Yastini (Advokat dan Direktur YLBHI-LBH Bali di Denpasar), dalam wawancara yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 16 September 2013 juga menyatakan bahwa, Walaupun di lingkungan kepolisian dan pengadilan bantuan hukum dilaksanakan dengan mengacu pada pasal 56 KUHAP, dengan adanya pembatasan bahwa bagi tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun tidak wajib diberikan bantuan hukum atau tidak wajib disediakan penasihat hukum, namun tidak demikian halnya di YLBHI-LBH Bali di Denpasar ini. Di YLBHI-LBH Bali di Denpasar, walaupun ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun tetap dapat diberikan bantuan hukum, dengan melalui proses seleksi perkara yang bisa ditangani dan diterima di YLBHI-LBH Bali di Denpasar. YLBHI-LBH Bali di Denpasar dapat memberikan bantuan hukum walaupun ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun jika ada proses hukum yang tidak benar, ada hal-hal yang dilanggar, dan ditemukannya proses hukum yang tidak fair. Pemberian bantuan hukum kepada masyarakat pencari keadilan yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun juga diberikan di PBHI Wilayah Bali di

202 175 Denpasar, sebagaimana dari hasil wawancara dengan Bapak Dewa Alit Sunarya (Advokat dan kepala PBHI Wilayah Bali di Denpasar) pada tanggal 30 September Bapak Dewa Alit Sunarya (Advokat dan kepala PBHI Wilayah Bali di Denpasar) juga menambahkan bahwa, Walaupun ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun, tetapi jika pemohon atau yang meminta bantuan hukum adalah seseorang korban penjebakan, PBHI Wilayah Bali di Denpasar akan fait membela dan mendampinginya dengan serius, dalam hal ini tetap diberikan bantuan hukum. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, bantuan hukum di YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar diberikan berdasarkan permintaan bantuan hukum yang tidak hanya secara langsung dari pihak yang tersangkut perkara pidana, permintaan bantuan hukum juga dapat dilakukan dari pihak keluarga ataupun dari pihak lainnya. Bagi pemohon yang ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun tetap dapat diberikan bantuan hukum dengan menyeleksi perkara tersebut dapat diterima dan ditangani atau tidak. Pemberian bantuan hukum bagi pemohon atau tersangka/terdakwa yang ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun di LBH (YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar) tentu merupakan pelaksanaan bantuan hukum yang baik yang menjungjung tinggi HAM dan asas equality before the law, serta sesuai dengan asas pemberian bantuan hukum seluas-luasnya (access to legal counsel) sebagai akses pemenuhan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Pemberian bantuan hukum bagi pemohon atau tersangka/terdakwa yang ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun di LBH (YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar) juga diberikan atas dasar bahwa, bantuan hukum diberikan

203 176 kepada setiap orang yang membutuhkan, tanpa diskriminasi atau pembedaan perlakuan dan pembatasan-pembatasan termasuk karena kwalifikasi ancaman hukuman yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP. Terdapat perluasan penerima bantuan hukum dalam praktek pemberian bantuan hukum di LBH (YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar) dan walaupun bantuan hukum diberikan juga kepada masyarakat pencari keadilan yang membutuhkan, yang ancaman hukumannya di bawah 5 (lima) tahun namun masih terdapat pembatasan-pembatasan kasus yang dapat diberikan bantuan hukum di YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar. Ibu Ni Luh Gede Yastini (Advokat dan Direktur YLBHI-LBH Bali di Denpasar) menyatakan bahwa, Dalam pelaksanaannya di YLBHI-LBH Bali di Denpasar, bantuan hukum tidak hanya diberikan kepada orang atau kelompok orang miskin yang miskin secara ekonomi atau secara finansial namun juga diberikan kepada orang yang miskin akses hukum misalnya etnis tionghoa yang dimarginalkan oleh Peraturan Perundang-undangan, orang yang sering dipersulit oleh negara dan peraturan hukum, perempuan dan anak, dan lain-lain. YLBHI-LBH Bali di Denpasar juga menerima dan menangani kasus yang memiliki dimensi struktural atau berdampak luas bagi masyarakat. Perluasan penerima bantuan hukum ini juga berlaku di PBHI Wilayah Bali di Denpasar, sebagaimana dari hasil wawancara dengan Bapak Dewa Alit Sunarya (Advokat dan kepala PBHI Wilayah Bali di Denpasar) pada tanggal 30 September Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa, Lembaga Bantuan Hukum yakni YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar

204 177 dalam pelaksanaannya tidak sejalan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin saja, sedangkan dalam pelaksanaannya YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar telah diadakan perluasan penerima bantuan hukum. Perluasan penerima bantuan hukum ini merupakan aktualisasi dari peraturan internal yang tentu saja merupakan arah yang baik dalam pelaksanaan bantuan hukum, sehingga bantuan hukum dapat dinikmati lebih luas lagi bagi masyarakat pencari keadilan, namun juga terdapat pembatasan-pembatasan kasus yang dapat diberikan bantuan hukum. Ibu Ni Luh Gede Yastini (Advokat dan Direktur YLBHI-LBH Bali di Denpasar) juga menyatakan pendapatnya mengenai pembatasan-pembatasan kasus yang dapat diberikan bantuan hukum di YLBHI-LBH Bali di Denpasar dari wawancara yang dilakukan pada tanggal 30 September Ibu Ni Luh Gede Yastini (Advokat dan Direktur YLBHI-LBH Bali di Denpasar) menyatakan bahwa, YLBHI-LBH Bali di Denpasar tidak menerima atau memberikan bantuan hukum kepada pemohon bantuan hukum pada kasus-kasus narkotika/narkoba, KDRT, kesusilaan (pemerkosaan dan lain-lain) dan korupsi. Pembatasan-pembatasan kasus yang dapat diberikan bantuan hukum juga berlaku di PBHI Wilayah Bali di Denpasar. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dewa Alit Sunarya (Advokat dan kepala PBHI Wilayah Bali di Denpasar) pada tanggal 30 September 2013, mengenai pembatasan ini Bapak Dewa Alit Sunarya menyatakan bahwa, Memang pada dasarnya advokat tidak boleh

205 178 menolak perkara atau tidak boleh menolak dalam memberikan bantuan hukum namun, dalam pelaksanaannya berdasarkan kelembagaan di PBHI, PBHI Wilayah Bali di Denpasar tidak memberikan bantuan hukum pada kasus-kasus korupsi, narkotika, kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pembatasan ini merupakan peraturan dari lembaga atau kebijakan dari pimpinan pusat di Jakarta. Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan bahwa, terdapat pembatasan-pembatasan dalam pemberian bantuan hukum yang tentu mempersempit ruang pemberian bantuan hukum kepada masyarakat pencari keadilan yang membutuhkan. Pembatasan ini tentu tidak sejalan dengan asas pemberian bantuan hukum seluasluasnya (access to legal counsel), asas praduga tidak bersalah dan asas equality before the law, serta tidak sesuai dengan penegakan HAM. Pembatasan-pembatasan tersebut harus dikaji kembali mengingat pentingnya bantuan hukum bagi seluruh masyarakat pencari keadilan dalam lingkup penegakan asas equality before the law dan penegakan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Pembatasan-pembatasan tersebut walaupun bermaksud untuk menjaga image lembaga dalam pemberantasan atau penolakan terhadap kasus-kasus tersebut, namun tetap Hak Asasi Manusia harus ditegakkan. Hal ini mengingat karena adanya korban penjebakan yang bisa saja tersangkut kasus-kasus tersebut. Orang atau kelompok orang ini tentu sangat memerlukan dan membutuhkan bantuan hukum. Hal ini juga merupakan penyimpangan bahwa, seorang advokat atau LBH seharusnya tidak boleh menolak perkara atau menolak memberikan bantuan hukum dengan alasan-alasan seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

206 179 Ibu Ni Luh Gede Yastini (Advokat dan Direktur YLBHI-LBH Bali di Denpasar) juga menyatakan pendapatnya mengenai praktek pemberian bantuan hukum yang diberikan secara probono publico. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ni Luh Gede Yastini (Advokat dan Direktur YLBHI-LBH Bali di Denpasar), yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 16 September 2013, mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di YLBHI-LBH Bali di Denpasar Ibu Ni Luh Gede Yastini menyatakan bahwa, Dalam pelaksanaannya, YLBHI-LBH Bali di Denpasar sama sekali tidak meminta dan menerima pembayaran dari pemohon atau yang meminta bantuan hukum atas bantuan hukum yang diberikan. Hal tersebut juga berlaku di PBHI Wilayah Bali di Denpasar, sebagaimana dari hasil wawancara dengan Bapak Dewa Alit Sunarya (Advokat dan kepala PBHI Wilayah Bali di Denpasar) pada tanggal 30 September Pernyataan ini menunjukkan bahwa, makna dari konsep bantuan hukum telah dijalankan dengan baik. Secara keseluruhan berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa, selain ditemukannya pembatasan-pembatasan dalam pemberian bantuan hukum yang tidak dapat diberikan kepada kasus-kasus korupsi, narkotika, kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang menunjukkan penyimpangan bahwa seharusnya advokat atau LBH tidak boleh menolak perkara atau menolak memberikan bantuan hukum, pelaksanaan bantuan hukum di YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar sudah dapat dilaksanakan dengan baik. Pelaksanaan yang baik tersebut dapat dilihat dari adanya kemudahan akses dalam hal bantuan hukum dapat diberikan atas permintaan dari pemohon baik secara

207 180 langsung ataupun tidak langsung (melalui keluarga atau pihak lainnya). Bagi pemohon dalam perkara pidana yang ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun juga tetap dapat diberikan bantuan hukum dengan menyeleksi perkara tersebut dapat diterima atau tidak. Pelaksanaan bantuan hukum di YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar menunjukkan bahwa, bantuan hukum tidak hanya diberikan kepada orang atau kelompok orang miskin yang miskin secara ekonomi atau secara finansial namun juga diberikan kepada orang yang miskin akses hukum, selain itu, juga menerima dan menangani kasus yang memiliki dimensi struktural. Telah terjadi adanya perluasan penerima bantuan hukum, sehingga bantuan hukum dapat dinikmati lebih luas lagi bagi masyarakat pencari keadilan. YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar sama sekali tidak meminta dan menerima pembayaran dari pemohon atas bantuan hukum yang diberikan yang menunjukkan bahwa, makna dari konsep bantuan hukum telah dijalankan dengan baik. 3.2 Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di Denpasar Mekanisme pemberian bantuan hukum telah diatur dalam berbagai Peraturan perundang-undangan dan peraturan internal, atau Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagai petunjuk pelaksanaan teknis yang berlaku di masing-masing instansi dan LBH, yang menjadi pedoman, arahan, dan petunjuk dalam pelaksanaannya, yang meliputi :

208 181 a) KUHAP. b) Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. c) Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. d) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. e) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Agustus 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum berikut dengan Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum. Selain itu juga berdasarkan pada Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor : 1/dju/ot 01.3/viii/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran A. f) Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, yang berlaku dalam lingkungan advokat PERADIN. g) Standar Operasional Prosedur (SOP) 1. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang berlaku di tingkat kepolisian termasuk di Polresta Denpasar. 2. Sebagai SOP, selain Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum dan Keputusan

209 182 Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor : 1/dju/ot 01.3/viii/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum, hakim juga berpedoman pada Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan; Buku II). h) LBH telah menyusun SOP yang berlaku di LBH tersebut. YLBHI-LBH Bali di Denpasar memiliki SOP sedangkan di PBHI Wilayah Bali di Denpasar tidak memiliki SOP. Pelaksanaan bantuan hukum di Denpasar juga harus sesuai dengan mekanisme atau tata cara yang telah diatur oleh perangkat hukum tersebut Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan di Polresta Denpasar Mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana pada tingkat penyidikan di Polresta Denpasar berpedoman pada KUHAP sebagai hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. KUHAP telah mengatur mengenai proses pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan, yang di dalamnya termasuk ke dalam proses pemberian bantuan hukum bagi tersangka yang tidak mampu (miskin). Mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 54, 55, 56, 75, dan 114 KUHAP. Berdasarkan pasal-pasal ini dapat diketahui bahwa :

210 183 a. Pasal 54 KUHAP : Tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam KUHAP. b. Pasal 55 KUHAP : Tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya. c. Pasal 56 KUHAP : Bagi tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Dalam hal ini, penasihat hukum yang ditunjuk memberikan bantuannya dengan cumacuma. d. Pasal 75 KUHAP : (1) Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang: a. pemeriksaan tersangka; b. penangkapan; c. penahanan; d. penggeledahan; e. pemasukan rumah; f. penyitaan benda; g. pemeriksaan surat; h. pemeriksaan saksi; i. pemeriksaan di tempat kejadian; j. pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan; k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undangundang ini. (2) Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.

211 184 (3) Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2) ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut pada ayat (1). e. Pasal 114 KUHAP : Sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum. Sebagai SOP, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, juga menjadi landasan dalam pelaksanaan bantuan hukum di Polresta Denpasar. Pasal yang harus diperhatikan dalam peraturan ini yakni Pasal 66 ayat (3), (4), (8) dan (9) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana : 1) Pasal 66 ayat (3) : Tersangka yang tidak mampu dan tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, penyidik/penyidik pembantu wajib menunjuk penasihat hukum bagi tersangka yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. 2) Pasal 66 ayat (4) : Penyidik/penyidik pembantu dilarang menggunakan kekerasan, tekanan atau ancaman dalam bentuk apapun, dan harus berperilaku sebagai pihak yang akan menggali fakta-fakta dalam penegakan hukum. 3) Pasal 66 ayat (8) : Penyidik/penyidik pembantu wajib menuangkan keterangan yang diberikan Tersangka dalam berita acara pemeriksaan tersangka, dan turunannya dapat diberikan kepada tersangka/penasihat hukumnya.

212 185 4) Pasal 66 ayat (9) : Pada saat pemeriksaan tersangka, penasihat hukum tersangka dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat dan mendengar pemeriksaan, kecuali tersangka diduga melakukan kejahatan terhadap keamanan negara. Pasal-pasal tersebut merupakan ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan bantuan hukum. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Made Sujana (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik Pembantu di Polresta Denpasar), yang dilakukan pada hari Selasa, tanggal 3 September 2013, mengenai mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana pada tingkat penyidikan di Polresta Denpasar Bapak I Made Sujana menyatakan bahwa, Bantuan Hukum ditingkat penyidikan diberikan pada saat pemeriksaan tersangka, yakni dalam proses pembuatan BAP. Bantuan hukum diberikan pada saat pemberitahuan hak tersangka untuk didampingi oleh penasihat hukum. Bapak I Made Sujana (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik Pembantu di Polresta Denpasar) juga menyatakan bahwa, Penyidik memberitahukan kepada tersangka tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 56. Jika tersangka adalah orang miskin yang disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau yang ancaman pidananya 5 (lima) atau lebih, yang tidak memiliki penasihat hukum sendiri maka wajib diberikan bantuan hukum dan penyidik wajib menyediakan penasihat hukum. Sedangkan, jika tersangka yang termasuk orang miskin yang disangka melakukan tindak pidana

213 186 yang diacam dengan pidana di bawah 5 (lima) tahun maka, tersangka tidak wajib diberikan bantuan dan penyidik juga tidak wajib menyediakan penasihat hukum. Untuk dapat mengetahui tersangka termasuk orang miskin atau tidak, selain dari pernyataan tersangka itu sendiri, penyidik juga melihatnya dari awal interogasi melalui berbagai pertanyaan yakni mengenai identitas tersangka yang dalam hal ini meliputi pekerjaan tersangka dan lain-lain, identitas keluarga tersangka yang meliputi asal-usul, latar belakang keluarga, dan lain-lain, sehingga tidak perlu surat keterangan miskin atau persyaratan lainnya. Bapak I Made Sujana (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik Pembantu di Polresta Denpasar) juga menyatakan bahwa, Setelah pemberitahuan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum, tersangka akan menjawab mau menerima bantuan hukum/didampingi penasihat hukum atau menolak didampingi oleh penasihat hukum. Dalam pelaksanaannya, setelah pemberitahuan hak tersangka tersebut, penyidik akan membuat surat pemberitahuan hak tersangka dan penunjukkan penasihat hukum yang ditandatangani oleh tersangka dan penyidik. Jika tersangka mau menerima bantuan hukum/didampingi penasihat hukum maka penyidik akan menentukan dan menunjuk penasihat hukum yang akan mendampingi tersangka. Penyidik akan bertanya kepada tersangka apakah mau menerima atau menyetujui penasihat hukum yang ditunjuk oleh penyidik, jika setuju, maka penyidik akan menghubungi dan bersurat kepada penasihat hukum yang ditunjuk. Penyidik dalam hal ini membuat surat permohonan bantuan penasihat hukum yang ditujukan kepada penasihat hukum yang ditunjuk.

214 187 Bapak I Made Sujana (Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik Pembantu di Polresta Denpasar) juga menyatakan bahwa, Surat permohonan bantuan penasihat hukum dibuat oleh penyidik, dengan melampirkan laporan polisi, sprin sidik, dan nama tersangka. Surat permohonan bantuan penasihat hukum beserta lampiran surat rujukan tersebut oleh penyidik di sampaikan ke Kasat Reskrim untuk disetujui dan ditandatangani oleh Kasat Reskrim (Kepala Kesatuan Reserse Kriminal) atas nama Kepala Kepolisian Resor Kota Denpasar, sedangkan, jika tersangka tidak mau menerima bantuan hukum/didampingi penasihat hukum maka penyidik akan membuat surat berita acara penolakan didampingi penasihat hukum yang ditandatangani tersangka dan penyidik. Penyidik juga tetap membuat surat pemberitahuan hak tersangka dan penunjukkan penasihat hukum yang ditandatangani oleh tersangka dan penyidik, yang menyatakan bahwa hak tersangka untuk didampingi penasihat hukum telah diberitahukan. Proses selanjutnya, Bapak I Made Sujana juga menyatakan bahwa, Setelah pemberitahuan hak tersangka, pemeriksaan tetap dilanjutkan walau tanpa hadirnya penasihat hukum. Biasanya setelah bersurat, penasihat hukum akan datang sekitar seminggu setelah surat dikirimkan. Pemeriksaan awal tetap dilanjutkan. Setelah penasihat hukum hadir, maka tersangka akan didampingi oleh penasihat hukum tersebut dalam pemeriksaan tambahan. Berdasarkan hasil wawancara ini dapat diketahui bahwa, Pasal 54, 55, 56, 75, dan 114 KUHAP telah dilaksanakan dengan baik. Proses-proses tersebut adalah mekanisme secara teknis pelaksanaan bantuan hukum pada pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan Polresta Denpasar.

215 188 Secara singkat, berdasarkan hasil wawancara tersebut, mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana pada tingkat penyidikan di Polresta Denpasar dapat digambarkan dalam skema di bawah ini : Gambar 5 Mekanisme Secara Teknis Pelaksanaan Bantuan Hukum Pada Pemeriksaan Tersangka di Tingkat Penyidikan Polresta Denpasar Pemeriksaan Tersangka (Pemeriksaan Awal) BAP Pemberitahuan hak tersangka untuk didampingi oleh penasehat penasihat hukum Tersangka miskin berhak berhak mendapat mendapat bantuan bantuan hukum hukum Ancaman Pidana mati/ 5 (lima) tahun atau lebih dan tidak memiliki penasihat hukum sendiri Ancaman Pidana di bawah 5 (lima) tahun dan tidak memiliki penasihat hukum sendiri Wajib diberikan bantuan hukum dan penyidik wajib menyediakan penasihat hukum Tidak wajib diberikan bantuan hukum dan penyidik tidak wajib menyediakan penasihat hukum Surat pemberitahuan hak tersangka dan penunjukkan penasihat hukum Tersangka menerima bantuan hukum Tersangka menolak menerima bantuan hukum Surat berita acara penolakan didampingi penasihat hukum Surat permohonan bantuan penasihat hukum Penasihat hukum hadir (Pemeriksaan Tambahan) Melampirkan : - Laporan polisi. - Sprin sidik - Nama tersangka Surat ditandatangani Kasat Reskrim Surat dikirim ke Penasihat Hukum Tersangka didampingi oleh penasihat hukum

216 189 Skema dan uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa, mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan, telah dilaksanakan dengan mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku serta berpedoman pada SOP yang ada, walaupun dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, namun pada dasarnya dalam pelaksanaannya telah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berpedoman pada SOP yang ada Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Negeri Denpasar Mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan selain berpedoman pada KUHAP sebagai hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, juga secara khusus berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 30 Agustus 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum berikut dengan Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum. Mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan, juga diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor : 1/dju/ot 01.3/viii/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran A Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum. Hakim juga berpedoman

217 190 pada Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan; Buku II). Peraturan inilah yang wajib diperhatikan dalam mekanisme pemberian bantuan hukum pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Mekanisme pemberian bantuan hukum pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan dalam pelaksanaannya berdasarkan pada Pasal 54, 55, dan 56 KUHAP. Secara khusus atau secara lengkap mekanisme pemberian bantuan hukum dapat dilihat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum berikut dengan Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum beserta petunjuk pelaksanaannya. Persyaratan untuk mendapat bantuan hukum pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan telah diatur dalam Pasal 11 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum berikut dengan Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum, yang menyatakan bahwa : Pemohon Bantuan Hukum harus membuktikan bahwa ia tidak mampu dengan memperlihatkan : a. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Lurah/Kepala Desa setempat; atau b. Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT); atau c. Surat Pernyataan Tidak Mampu yang dibuat dan ditandatangani Pemohon Bantuan Hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. Penyelenggaraan dan penggunaan anggaran bantuan hukum dalam perkara pidana di lingkungan Peradilan Umum sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya adalah meliputi, Pos Bantuan Hukum, Bantuan Jasa Advokat,

218 191 Pembebasan Biaya Perkara, dan Biaya Sidang di Tempat Sidang Tetap (Zitting Plaats) atau persidangan di luar gedung pengadilan. Mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan juga meliputi tahapan-tahapan tersebut, kecuali Zitting Plaats yang tidak ada di Pengadilan Negeri Denpasar. Tahap awal, di Pos Bantuan Hukum akan diberikan layanan bantuan hukum oleh advokat piket (advokat yang bertugas di Pos Bantuan Hukum) kepada Pemohon Bantuan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum berikut dengan Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum, yang menyatakan bahwa : Advokat Piket di Pos Bantuan Hukum memberikan layanan berupa : a. Bantuan pengisian formulir permohonan bantuan hukum; b. Bantuan pembuatan dokumen hukum; c. Advis, konsultasi hukum dan bantuan hukum lainnya baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata; d. Rujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk Pembebasan Pembayaran Biaya Perkara sesuai syarat yang berlaku; e. Rujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapat Bantuan Jasa Advokat sesuai syarat yang berlaku. Tahap selanjutnya, yakni Bantuan Jasa Advokat. Pasal 10 ayat (1) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum berikut dengan Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum menyatakan bahwa : Berdasarkan rujukan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 butir e, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Advokat untuk menjalankan kuasa, yaitu : mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan Pemohon Bantuan Hukum yang memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

219 192 Pada tahap bantuan jasa advokat, Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk advokat yang memberikan bantuan hukum bagi pemohon bantuan hukum. Tahap Pembebasan Biaya Perkara. Pasal 16 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum berikut dengan Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum menyatakan bahwa : Berdasarkan rujukan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 butir c, biaya perkara bagi Pemohon Bantuan Hukum untuk semua jenis perkara pidana yang ditentukan peraturan perundang-undangan di tingkat pertama untuk kepentingan Pemohon Bantuan Hukum yang memenuhi syarat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 ditanggung oleh Negara. Layanan yang diberikan Pos Bantuan Hukum tentang rujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk Pembebasan Pembayaran Biaya Perkara, maka di tahap ini, dalam bantuan hukum juga diberikan Pembebasan Pembayaran Biaya Perkara yang kemudian biaya tersebut ditanggung oleh Negara. Tahap ini, penyelenggaraan Pembebasan Biaya Perkara dapat dilihat dalam Pasal 17 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum berikut dengan Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum menyatakan bahwa : (1) Ketua Pengadilan Negeri membuat Surat Penetapan Pembebasan Biaya Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (2) Panitera/Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran membuat Surat Keputusan pembebanan biaya perkara ke APBN. (3) Berdasarkan Surat Keputusan Panitera/Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bendahara pengeluaran membayar biaya saksi Ad de charge, ahli dan penerjemah yang diminta terdakwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Pengeluaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan biaya yang tersedia dalam DIPA.

220 193 (5) Bendahara pengeluaran menyimpan seluruh bukti-bukti pengeluaran sebagai bukti pertanggung jawaban keuangan. (6) Bendahara pengeluaran mencatat semua biaya yang telah dikeluarkan untuk penanganan proses perkara pidana, dalam pembukuan yang disediakan untuk itu. (7) Biaya Bantuan Hukum dalam perkara pidana dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri sesuai dengan anggaran yang tersedia pada DIPA dan ketentuan-ketentuannya. (8) Biaya Bantuan Hukum dalam perkara pidana pada tingkat pertama dibebankan kepada DIPA Pengadilan Negeri. Ketentuan ini menunjukkan bahwa, diberikannya pembebasan biaya perkara yang dapat meliputi pembebasan biaya saksi ad de charge, ahli, dan penerjemah yang diminta terdakwa. Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor : 1/dju/ot 01.3/viii/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran A Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum, juga telah diatur secara lebih jelasnya mengenai mekanisme penyelenggaraan bantuan hukum dalam perkara pidana yang diatur dalam bagian B yang menentukan bahwa : 1. Majelis Hakim menetapkan dan menunjuk Advokat untuk memberikan jasa bantuan hukum dan membuat surat kuasa khusus guna bertindak mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lainnya untuk kepentingan Terdakwa selaku Pemohon Bantuan Hukum. Penetapan dan penunjukan Advokat di atas wajib di lengkapi dengan : a. Surat Kuasa Khusus. b. Surat Keterangan Tidak Mampu dari Lurah atau Kepala Desa setempat atau Kartu Keluarga Miskin (KKM), atau Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), atau Kartu Keluarga Harapan (KKH), atau

221 194 Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Surat Pernyataan Tidak Mampu yang dibuat dan ditandatangani Pemohon Bantuan Hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. 2. Berdasarkan Penetapan Penunjukan Advokat untuk memberikan jasa bantuan hukum tersebut, selanjutnya dikeluarkan pula : a. Penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan Kuasa Pengguna Anggaran untuk membayar dana bantuan hukum kepada Advokat yang telah ditunjuk untuk memberikan jasa bantuan hukum kepada Terdakwa. b. Surat Keputusan Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri selaku Kuasa Pengguna Anggaran membuat Surat Keputusan Pembebanan Dana Bantuan Hukum ke dalam DIPA pengadilan. 3. Pencairan anggaran Bantuan Hukum kepada Advokat dilakukan setelah perkara diputus oleh Pengadilan Negeri dengan melampirkan : a. Surat Kuasa Khusus. b. Surat Keterangan Tidak Mampu dari Lurah atau Kepala Desa setempat atau Kartu Keluarga Miskin (KKM), atau Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), atau Kartu Keluarga Harapan (KKH), atau Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Surat Pernyataan Tidak Mampu yang dibuat dan ditandatangani Pemohon Bantuan Hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. c. Penetapan Majelis Hakim untuk Penunjukan Advokat yang menjalankan kuasa penerima bantuan hukum. d. Salinan/Petikan Putusan Perkara tersebut.

222 Komponen yang dibiayai dan dibayarkan dengan Anggaran Dana Bantuan Hukum untuk kepentingan Terdakwa (Pemohon Bantuan Hukum) dalam proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri terdiri dari : Advokat, Saksi, Saksi Ahli, dan Penerjemah. 5. Saksi yang dimaksud di dalam angka 4 adalah saksi yang meringankan Terdakwa (saksi ad de charge). 6. Anggaran Dana Bantuan Hukum yang dialokasikan untuk empat komponen di atas merupakan biaya transport. 7. Pengaturan pengeluaran dana Bantuan hukum sebesar Rp ,- (satu juta rupiah) untuk empat komponen tersebut diperinci masing-masing sebagai berikut: a. Advokat sebesar Rp ,- (enam ratus ribu rupiah) ; b. Saksi maksimal sebesar Rp ,- (dua ratus ribu rupiah) ; c. Saksi Ahli maksimal sebesar Rp ,- (seratus ribu rupiah) ; dan d. Penterjemah maksimal sebesar Rp ,- (seratus ribu rupiah). 8. Pengeluaran/pencairan uang oleh Bendahara Pengeluaran Pengadilan Negeri untuk biaya Saksi Ade charge, atau Saksi Ahli atau Penterjemah tersebut harus dilengkapi dengan Penetapan Majelis Hakim dan/atau berita acara persidangan Saksi ad de charge, atau Saksi Ahli, atau Penterjemah serta menanda tangani kwitansi tanda bukti pengeluaran. 9. Bendahara Pengeluaran mencatat dan membukukan semua pengeluaran dalam buku register khusus dan menyimpan bukti-bukti yang berkaitan.

223 196 Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan; Buku II juga menguraikan petunjuk teknis dalam pemberian bantuan hukum, diantaranya yang harus diperhatikan hakim dalam pelaksanaan bantuan hukum yakni : 1. Pasal 56 KUHAP mengatur mengenai kewajiban bagi pejabat untuk menunjuk penasihat hukum bagi terdakwa, yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 5 tahun atau lebih, juga bagi mereka yang tidak mampu. 2. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 56 KUHAP bersifat imperatif, jadi harus dipenuhi. 3. Apabila ketentuan tersebut tidak dipenuhi maka hal itu merupakan kelalaian dalam penerapan hukum acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (1) KUHAP. 4. Ketidakmampuan terdakwa harus dibuktikan dengan surat keterangan yang dibuat oleh kepala desa yang bersangkutan, surat keterangan tidak mampu itu harus diserahkan oleh terdakwa kepada majelis. Secara singkat, mekanisme pemberian bantuan hukum yang meliputi persyaratan dan alur pemberian bantuan hukum di pengadilan negeri dapat dilihat dalam skema di bawah ini :

224 197 Gambar 6 Persyaratan Untuk Mendapatkan Bantuan Hukum di Pengadilan Negeri Sumber : dibuka pada tanggal 1 Oktober 2013, diakses pada pukul wita.

225 198 Gambar 7 Alur Pemberian Bantuan Hukum di Pengadilan Negeri Sumber : Secara lebih lengkap, alur pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana di Pengadilan Negeri dapat dilihat dari skema di bawah ini : loc.cit.

226 199 Gambar 8 Alur Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di Pengadilan Negeri Sumber : dibuka pada tanggal 1 Oktober 2013, diakses pada pukul wita.

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Republik Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Berbicara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1945), di dalam Pembukaan alinea pertama menyatakan bahwa sesungguhnya

BAB I PENDAHULUAN. 1945), di dalam Pembukaan alinea pertama menyatakan bahwa sesungguhnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), di dalam Pembukaan alinea pertama menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak

Lebih terperinci

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN Oleh Maya Diah Safitri Ida Bagus Putu Sutama Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The right to obtain legal

Lebih terperinci

KEABSAHAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERSANGKA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI DAERAH BALI. Oleh : Dewa Gede Tedy Sukadana

KEABSAHAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERSANGKA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI DAERAH BALI. Oleh : Dewa Gede Tedy Sukadana KEABSAHAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERSANGKA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI DAERAH BALI Oleh : Dewa Gede Tedy Sukadana Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Skripsi ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip persamaan di hadapan hukum (Equality Before The Law), diatur

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip persamaan di hadapan hukum (Equality Before The Law), diatur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahnwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum. 1 Hukum dibentuk agar negara dapat

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum. 1 Hukum dibentuk agar negara dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum. 1 Hukum dibentuk agar negara dapat mengatur perilaku masyarakat dan menjatuhi sanksi bagi orang-orang yang bertindak

Lebih terperinci

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DENPASAR NOMOR 2/PID.SUS.ANAK/2015/PN DPS

PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DENPASAR NOMOR 2/PID.SUS.ANAK/2015/PN DPS TESIS PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DENPASAR NOMOR 2/PID.SUS.ANAK/2015/PN DPS WAYAN SANTOSO NIM. 1390561065 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI HAK TERSANGKA UNTUK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI WILAYAH HUKUM POLDA BALI

IMPLEMENTASI HAK TERSANGKA UNTUK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI WILAYAH HUKUM POLDA BALI TESIS IMPLEMENTASI HAK TERSANGKA UNTUK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI WILAYAH HUKUM POLDA BALI PUTU SEKARWANGI SARASWATI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 i TESIS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN ABSTRAK. Pengadilan Negeri Gorontalo. Hasil penelitian yang diperoleh adalah terhadap penerapan Pasal 56 KUHAP tentang

PENDAHULUAN ABSTRAK. Pengadilan Negeri Gorontalo. Hasil penelitian yang diperoleh adalah terhadap penerapan Pasal 56 KUHAP tentang ABSTRAK Ririn Yunus, Nim : 271409027. Hukum Pidana, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo. Penerapan Pasal 56 KUHAP Tentang Hak Terdakwa Untuk Mendapatkan Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA A. Buku ;

DAFTAR PUSTAKA A. Buku ; DAFTAR PUSTAKA A. Buku ; Abdurrahman, Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Baru di Indonesia, Alumni, Bandung, 1980, Adnan Buyung Nasution,Bantuan Hukum di Indonesia, Lembaga Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akses kepada keadilan (access to justice) dan kesamaan di

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akses kepada keadilan (access to justice) dan kesamaan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yang mana hal itu terdapat dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum 1. Dalam

Lebih terperinci

PEMBERIAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT MISKIN DI KOTA AMBON

PEMBERIAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT MISKIN DI KOTA AMBON PEMBERIAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT MISKIN DI KOTA AMBON Yonna Beatrix Salamor 1 1 Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Pattimura Email: yonnahukum@gmail.com ABSTRAK Mendapatkan jasa bantuan hukum

Lebih terperinci

KEDUDUKAN DAN FUNGSI LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT YANG KURANG MAMPU 1 Oleh: Ricko Mamahit 2

KEDUDUKAN DAN FUNGSI LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT YANG KURANG MAMPU 1 Oleh: Ricko Mamahit 2 KEDUDUKAN DAN FUNGSI LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT YANG KURANG MAMPU 1 Oleh: Ricko Mamahit 2 ABSTRAK Bantuan hukum adalah bagian dari profesi advokat yang merupakan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2009 TERKAIT DENGAN PROGRAM WAJIB BELAJAR 12 TAHUN

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2009 TERKAIT DENGAN PROGRAM WAJIB BELAJAR 12 TAHUN TESIS PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2009 TERKAIT DENGAN PROGRAM WAJIB BELAJAR 12 TAHUN I NYOMAN BUDI SENTANA NIM: 099 056 1043 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaats) yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

TESIS KEKUATAN EKSEKUTORIAL PERJANJIAN KREDIT DENGAN AKTA FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN (STUDI KASUS PADA KOPERASI DI WILAYAH KOTA DENPASAR)

TESIS KEKUATAN EKSEKUTORIAL PERJANJIAN KREDIT DENGAN AKTA FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN (STUDI KASUS PADA KOPERASI DI WILAYAH KOTA DENPASAR) TESIS KEKUATAN EKSEKUTORIAL PERJANJIAN KREDIT DENGAN AKTA FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN (STUDI KASUS PADA KOPERASI DI WILAYAH KOTA DENPASAR) PUTU HELENA EVIE OKTYAVINA SRIDANA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum guna menjamin adanya penegakan hukum. Bantuan hukum itu bersifat

BAB I PENDAHULUAN. hukum guna menjamin adanya penegakan hukum. Bantuan hukum itu bersifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bantuan hukum merupakan suatu media yang dapat digunakan oleh semua orang dalam rangka menuntut haknya atas adanya perlakuan yang tidak sesuai dengan kaedah

Lebih terperinci

IMPLEMENTATION OF PROVISION OF LEGAL ASSISTANCE FREE OF CHARGE TO DEFENDANT IN COURT KLAS IA PADANG.

IMPLEMENTATION OF PROVISION OF LEGAL ASSISTANCE FREE OF CHARGE TO DEFENDANT IN COURT KLAS IA PADANG. IMPLEMENTATION OF PROVISION OF LEGAL ASSISTANCE FREE OF CHARGE TO DEFENDANT IN COURT KLAS IA PADANG Mila Artika 1, Syafridatati 1, Yetisma Saini 1 1 Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS BERKENAAN DENGAN PENANDATANGANAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS) PERSEROAN TERBATAS MELALUI MEDIA TELEKONFERENSI

KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS BERKENAAN DENGAN PENANDATANGANAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS) PERSEROAN TERBATAS MELALUI MEDIA TELEKONFERENSI TESIS KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS BERKENAAN DENGAN PENANDATANGANAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS) PERSEROAN TERBATAS MELALUI MEDIA TELEKONFERENSI KOMANG FEBRINAYANTI DANTES 1292461007 PROGRAM MAGISTER

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PRINSIP KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK DALAM PENGASUHAN ANAK PASCA PERCERAIAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT PATRILINEAL DI BALI

IMPLEMENTASI PRINSIP KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK DALAM PENGASUHAN ANAK PASCA PERCERAIAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT PATRILINEAL DI BALI TESIS IMPLEMENTASI PRINSIP KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK DALAM PENGASUHAN ANAK PASCA PERCERAIAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT PATRILINEAL DI BALI RATIH ROSMAYUANI NIM: 0790561028 PROGRAM MAGISTER PROGRAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat.

BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat. BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)).

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sama oleh hakim tersebut (audi et alterampartem). Persamaan dihadapan

BAB I PENDAHULUAN. yang sama oleh hakim tersebut (audi et alterampartem). Persamaan dihadapan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Terdapat tiga prinsip dasar negara hukum yaitu: supremasi hukum, persamaan dihadapan

Lebih terperinci

SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA- CUMA BAGI TERDAKWA YANG TIDAK MAMPU DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA- CUMA BAGI TERDAKWA YANG TIDAK MAMPU DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA- CUMA BAGI TERDAKWA YANG TIDAK MAMPU DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang jabatannya atau profesinya disebut dengan nama officium nobile

BAB I PENDAHULUAN. yang jabatannya atau profesinya disebut dengan nama officium nobile BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara menjamin hak konstitusional

Lebih terperinci

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM FAKIR MISKIN

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM FAKIR MISKIN RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM FAKIR MISKIN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA Menimbang

Lebih terperinci

JURNAL ILMIAH PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA YANG DIBERIKAN OLEH ADVOKAT KEPADA MASYARAKAT YANG KURANG MAMPU

JURNAL ILMIAH PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA YANG DIBERIKAN OLEH ADVOKAT KEPADA MASYARAKAT YANG KURANG MAMPU JURNAL ILMIAH PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA YANG DIBERIKAN OLEH ADVOKAT KEPADA MASYARAKAT YANG KURANG MAMPU Disusun Oleh: Gabriella Bethsyeba N P M : 09 05 10052 Program Studi : Ilmu Hukum Program

Lebih terperinci

KEWENANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH(BLUD) DALAM HAL PENGAWASAN PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN

KEWENANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH(BLUD) DALAM HAL PENGAWASAN PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN TESIS KEWENANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH(BLUD) DALAM HAL PENGAWASAN PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN I GEDE PERDANA YOGA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2012 TESIS KEWENANGAN

Lebih terperinci

A. Penerapan Bantuan Hukum terhadap Anggota Kepolisian yang. Perkembangan masyarakat, menuntut kebutuhan kepastian akan

A. Penerapan Bantuan Hukum terhadap Anggota Kepolisian yang. Perkembangan masyarakat, menuntut kebutuhan kepastian akan BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERAPAN BANTUAN HUKUM DAN EFEKTIFITAS BANTUAN HUKUM BAGI ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA A. Penerapan Bantuan Hukum terhadap Anggota

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA PRINCESS INNEZ PRIMANTARA NIM : 1390561024 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlakuan yang sama didepan hukum atau disebut juga dengan asas Equality

BAB I PENDAHULUAN. perlakuan yang sama didepan hukum atau disebut juga dengan asas Equality BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah suatu negara hukum, yang mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu. Setiap individu mendapat perlakuan yang sama didepan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 105/PUU-XIV/2016 Kewajiban Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 105/PUU-XIV/2016 Kewajiban Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 105/PUU-XIV/2016 Kewajiban Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi I. PEMOHON Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI) Kuasa Hukum Zenuri Makhrodji, SH, DR. (can) Saiful Anam,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadilan (access to justice) bagi semua warga negaranya, sebab di dalam negara

BAB I PENDAHULUAN. keadilan (access to justice) bagi semua warga negaranya, sebab di dalam negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sebagai negara hukum, negara wajib memberikan akses terhadap keadilan (access to justice) bagi semua warga negaranya, sebab di dalam negara hukum semua warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam perjalanannya Kode Etik profesi Advokat dirasa masih berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam perjalanannya Kode Etik profesi Advokat dirasa masih berfungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perjalanannya Kode Etik profesi Advokat dirasa masih berfungsi kurang optimal dalam menjaga dan menegakkan martabat profesi Advokat di Indonesia, oleh

Lebih terperinci

TESIS KEWENANGAN MENGADILI SENGKETA KEPEGAWAIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

TESIS KEWENANGAN MENGADILI SENGKETA KEPEGAWAIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA TESIS KEWENANGAN MENGADILI SENGKETA KEPEGAWAIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PUTU AYU ANASTASIA WIERDARINI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 TESIS KEWENANGAN MENGADILI SENGKETA KEPEGAWAIAN

Lebih terperinci

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Akuntansi, Program Pascasarjana Universitas Udayana

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Akuntansi, Program Pascasarjana Universitas Udayana 1 TESIS PENGARUH PENGALAMAN, ORIENTASI ETIKA, KOMITMEN DAN BUDAYA ETIS ORGANISASI PADA SENSITIVITAS ETIKA AUDITOR BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN PERWAKILAN PROVINSI BALI PUTU PURNAMA DEWI PROGRAM

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA DALAM PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA SKRIPSI

PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA DALAM PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA DALAM PERKARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

Lebih terperinci

PERANAN KEJAKSAAN DALAM UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi kasus di Kejaksaan Negeri Singaraja)

PERANAN KEJAKSAAN DALAM UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi kasus di Kejaksaan Negeri Singaraja) SKRIPSI PERANAN KEJAKSAAN DALAM UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi kasus di Kejaksaan Negeri Singaraja) I GEDE KRISNATA NIM.1116051069 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara yang berlandaskan atas dasar hukum ( Recht Staat ), maka

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara yang berlandaskan atas dasar hukum ( Recht Staat ), maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan atas dasar hukum ( Recht Staat ), maka Negara Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sederajat dengan individu. Hak-hak individu selalu dilindungi Undang-Undang. Perlindungan

BAB I PENDAHULUAN. sederajat dengan individu. Hak-hak individu selalu dilindungi Undang-Undang. Perlindungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa indonesia adalah negara hukum dan fakir miskin adalah tanggung jawab negara. Dalam negara hukum (rechsstaat), negara

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 24

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 24 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 24 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 24 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI WARGA MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

MORALITAS INDIVIDU, MANAJEMEN LABA, SALAH SAJI, PENGUNGKAPAN, BIAYA DAN MANFAAT, SERTA TANGGUNG JAWAB DALAM ETIKA PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN

MORALITAS INDIVIDU, MANAJEMEN LABA, SALAH SAJI, PENGUNGKAPAN, BIAYA DAN MANFAAT, SERTA TANGGUNG JAWAB DALAM ETIKA PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN TESIS MORALITAS INDIVIDU, MANAJEMEN LABA, SALAH SAJI, PENGUNGKAPAN, BIAYA DAN MANFAAT, SERTA TANGGUNG JAWAB DALAM ETIKA PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN \ INGRID SARASWATI BAYUSENA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum merupakan salah satu persoalan serius bagi bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum merupakan salah satu persoalan serius bagi bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum merupakan salah satu persoalan serius bagi bangsa Indonesia. Penegakan hukum sabagai usaha semua kekuatan bangsa, menjadi kewajiban kolektif semua komponen.

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK MILIK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK MILIK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM TESIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK MILIK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM IDA BAGUS ADHI BHAWANA NIM 1392461016 PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERIAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT MISKIN

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERIAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT MISKIN BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERIAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip

BAB I PENDAHULUAN. menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut antara

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT MISKIN

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT MISKIN R GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR. TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR. TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR. TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN SKRIPSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN I GEDE MADE KRISNA DWI PUTRA NIM : 0803005200 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

Lebih terperinci

WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM

WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak atas perlindungan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENGKONSUMSI MAKANAN KADALUWARSA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENGKONSUMSI MAKANAN KADALUWARSA SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENGKONSUMSI MAKANAN KADALUWARSA AGUS FAHMI PRASETYA NIM. 1103005181 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Oleh : I Dewa Bagus Dhanan Aiswarya Putu Gede Arya Sumerthayasa Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum

Lebih terperinci

PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM

PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM 1 (satu) Hari Kerja ~ waktu paling lama, Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa kelengkapan persyaratan Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa kelengkapan persyaratan sebagaimana

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN Oleh : I Gusti Ngurah Ketut Triadi Yuliardana I Made Walesa Putra Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N KODE ETIK P O S B A K U M A D I N PEMBUKAAN Bahwa pemberian bantuan hukum kepada warga negara yang tidak mampu merupakan kewajiban negara (state obligation) untuk menjaminnya dan telah dijabarkan dalam

Lebih terperinci

PELAKSANAAN JAMINAN SOSIAL KECELAKAAN KERJA BAGI PEKERJA PADA PT. TARU SAKTI UTAMA DI KUTA BADUNG

PELAKSANAAN JAMINAN SOSIAL KECELAKAAN KERJA BAGI PEKERJA PADA PT. TARU SAKTI UTAMA DI KUTA BADUNG SKRIPSI PELAKSANAAN JAMINAN SOSIAL KECELAKAAN KERJA BAGI PEKERJA PADA PT. TARU SAKTI UTAMA DI KUTA BADUNG NI NYOMAN RISKA AGUSTINA NIM. 1216051045 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 i PELAKSANAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DAN PENYALURAN DANA BANTUAN HUKUM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DAN PENYALURAN DANA BANTUAN HUKUM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DAN PENYALURAN DANA BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS HAK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM BAGI TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 56 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981

BAB III ANALISIS HAK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM BAGI TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 56 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 BAB III ANALISIS HAK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM BAGI TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 56 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (STUDI KASUS

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 88/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 88/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA 1 PUTUSAN Nomor 88/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 tanggal 25 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dengan hormat

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KARYAWAN BANK SEBAGAI PIHAK YANG TERAFILIASI TERKAIT DILAKUKANNYA MERGER BANK PADA P.T.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KARYAWAN BANK SEBAGAI PIHAK YANG TERAFILIASI TERKAIT DILAKUKANNYA MERGER BANK PADA P.T. SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KARYAWAN BANK SEBAGAI PIHAK YANG TERAFILIASI TERKAIT DILAKUKANNYA MERGER BANK PADA P.T. BANK CIMB NIAGA I MADE HADI KUSUMA NIM. 1003005187 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK SATUAN RUMAH SUSUN DI ATAS TANAH BERSAMA YANG DIBEBANKAN HAK TANGGUNGAN

PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK SATUAN RUMAH SUSUN DI ATAS TANAH BERSAMA YANG DIBEBANKAN HAK TANGGUNGAN TESIS PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK SATUAN RUMAH SUSUN DI ATAS TANAH BERSAMA YANG DIBEBANKAN HAK TANGGUNGAN MADE ARI PARYADNYA NIM. 1392461029 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

RRANCANGA GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN

RRANCANGA GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN SALINAN RRANCANGA GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma

Lebih terperinci

TANGGUNGG JAWAB PERUSAHAAN TERHADAP PEKERJA DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN KERJA PADA CV. SINAR KAWI DI TAMPAKSIRING GIANYAR

TANGGUNGG JAWAB PERUSAHAAN TERHADAP PEKERJA DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN KERJA PADA CV. SINAR KAWI DI TAMPAKSIRING GIANYAR SKRIPSI TANGGUNGG JAWAB PERUSAHAAN TERHADAP PEKERJA DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN KERJA PADA CV. SINAR KAWI DI TAMPAKSIRING GIANYAR OLEH: I.B. PUTU WIRA ADITYA 1103005183 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT EUTROFIKASI DAN JENIS JENIS FITOPLANKTON DI DANAU BUYAN KABUPATEN BULELENG PROVINSI BALI

DAMPAK KEGIATAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT EUTROFIKASI DAN JENIS JENIS FITOPLANKTON DI DANAU BUYAN KABUPATEN BULELENG PROVINSI BALI TESIS DAMPAK KEGIATAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT EUTROFIKASI DAN JENIS JENIS FITOPLANKTON DI DANAU BUYAN KABUPATEN BULELENG PROVINSI BALI NI PUTU VIVIN NOPIANTARI NIM. 1191261003 PROGRAM MAGISTER PROGRAM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG ~ 1 ~ SALINAN BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. simpulkan menjadi tiga, legal aid yaitu bantuan hukum yang diberikan

BAB III PENUTUP. simpulkan menjadi tiga, legal aid yaitu bantuan hukum yang diberikan 46 BAB III PENUTUP A. kesimpulan Dari Uraian yang telah dijabarkan, maka dapat diambil kesimpulan dalam penulisan ini adalah : 1. Peran lembaga bantuan hukum dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum. Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum. Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum. Negara Indonesia sebagai Negara hukum mempunyai konsekuensi bahwa menempatkan hukum di tempat yang tertinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHAULUAN. Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang

BAB I PENDAHAULUAN. Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang BAB I PENDAHAULUAN A. Latar belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang berlandaskan pada Pancasila, oleh karena itu setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negaranya

Lebih terperinci

URGENSI PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

URGENSI PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA SKRIPSI URGENSI PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA NI MADE DESIKA ERMAWATI PUTRI NIM.1203005094 FAKULTAS

Lebih terperinci

TESIS I PUTU PANDE ARIAWAN NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI AKUNTANSI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

TESIS I PUTU PANDE ARIAWAN NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI AKUNTANSI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS KEADILAN PROSEDURAL DAN IKLIM KERJA ETIS SEBAGAI PEMODERASI PENGARUH PARTISIPASI PENGANGGARAN PADA SENJANGAN ANGGARAN (Studi Empiris pada Pemerintah Kabupaten Tabanan) I PUTU PANDE ARIAWAN NIM 1391661045

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum, untuk itu advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan

I. PENDAHULUAN. hukum, untuk itu advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama

Lebih terperinci

PENGARUH PENGAWASAN PIMPINAN,DISIPLIN DAN KOMPETENSI PEGAWAI PADA KINERJA PEGAWAI INSPEKTORAT KABUPATEN TABANAN

PENGARUH PENGAWASAN PIMPINAN,DISIPLIN DAN KOMPETENSI PEGAWAI PADA KINERJA PEGAWAI INSPEKTORAT KABUPATEN TABANAN TESIS PENGARUH PENGAWASAN PIMPINAN,DISIPLIN DAN KOMPETENSI PEGAWAI PADA KINERJA PEGAWAI INSPEKTORAT KABUPATEN TABANAN NI LUH MADE HERAWATI NIM 1391661043 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus I. PEMOHON Dahlan Pido II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang

Lebih terperinci

BANTUAN HUKUM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

BANTUAN HUKUM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA BANTUAN HUKUM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA Sapto Budoyo* Abstrak. Prinsip-prinsip dasar yang melandasi eksistensi bantuan hukum di Indonesia secara yuridis konstitusional

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA BAGI TERDAKWA YANG TIDAK MAMPU DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA BAGI TERDAKWA YANG TIDAK MAMPU DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA BAGI TERDAKWA YANG TIDAK MAMPU DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Sean Faddillah NIM : 201116149 Fakultas Hukum Universitas Surakarta seanfadd@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Bab ini berisi gambaran mengenai hasil penelitian dan analisis Penulis terhadap peraturan peraturan yang mengatur tentang Bantuan Hukum yang berlaku hingga saat ini

Lebih terperinci

PEDOMAN POKOK NILAI-NILAI PERJUANGAN YAYASAN LBH INDONESIA DAN KODE ETIK PENGABDI BANTUAN HUKUM INDONESIA

PEDOMAN POKOK NILAI-NILAI PERJUANGAN YAYASAN LBH INDONESIA DAN KODE ETIK PENGABDI BANTUAN HUKUM INDONESIA PEDOMAN POKOK NILAI-NILAI PERJUANGAN YAYASAN LBH INDONESIA DAN KODE ETIK PENGABDI BANTUAN HUKUM INDONESIA Diterbitkan oleh Yayasan LBH Indonesia Jakarta, 1986 KETETAPAN No. : TAP 01/V/1985/YLBHI T e n

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun nonlitigasi. Sejak dulu keberadaan advokat selalu ada semacam. penguasa, pejabat bahkan rakyat miskin sekalipun.

BAB I PENDAHULUAN. maupun nonlitigasi. Sejak dulu keberadaan advokat selalu ada semacam. penguasa, pejabat bahkan rakyat miskin sekalipun. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Advokat adalah setiap orang yang berprofesi memberi jasa hukum dan bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara litigasi maupun nonlitigasi. Sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Salah satunya dalam hal ini mengenai pengakuan, jaminan, perlindungan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG DAN MELALUI SISTEM PERWAKILAN

PERBANDINGAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG DAN MELALUI SISTEM PERWAKILAN TESIS PERBANDINGAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG DAN MELALUI SISTEM PERWAKILAN I NYOMAN RUTHA ADY NIM. 0790561062 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

Lebih terperinci

PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM BAP DI MUKA SIDANG PENGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)

PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM BAP DI MUKA SIDANG PENGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR) SKRIPSI PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM BAP DI MUKA SIDANG PENGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR) I MADE ADHI PARWATHA 0716051138 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 SKRIPSI

Lebih terperinci

PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN

PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN NAMA KELOMPOK : 1. I Gede Sudiarsa (26) 2. Putu Agus Adi Guna (16) 3. I Made Setiawan Jodi (27) 4. M Alfin Gustian morzan (09) 1 DAFTAR

Lebih terperinci