ANALISA CURAH HUJAN DENGAN METODE HIDROGRAF SATUAN SINTETIK NAKAYASU TERHADAP TERJADINYA MIGRASI DEBRIS FLOW KALI PUTIH GUNUNG MERAPI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISA CURAH HUJAN DENGAN METODE HIDROGRAF SATUAN SINTETIK NAKAYASU TERHADAP TERJADINYA MIGRASI DEBRIS FLOW KALI PUTIH GUNUNG MERAPI"

Transkripsi

1 SKRIPSI ANALISA CURAH HUJAN DENGAN METODE HIDROGRAF SATUAN SINTETIK NAKAYASU TERHADAP TERJADINYA MIGRASI DEBRIS FLOW KALI PUTIH GUNUNG MERAPI Skripsi diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan Oleh Ginanjar Abdunnafi NIM JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016

2 ii

3 iii

4 iv

5 MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan.(qs. Ar Rahman : 11) Orang-orang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak. PERSEMBAHAN Allah SWT dan Nabi Muhammad atas segala nikmat-nya Almamater Universitas Negeri Semarang Balai Sabo Yogyakarta Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi Yogyakarta v

6 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat- Nya yang telah melimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikanskripsi denagn judul Analisa Curah Hujan dengan Metode Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu terhadap Terjadinya Migrasi Debris Flow Kali Putih Gunung Merapi,yang diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan, saran, dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh kareana itu, dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat, penulis menyampaikan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Fatur Rokhman, M.Hum, selaku Rektor Universitas Negeri Semarang. 2. Bapak Dr. Nur Qudus, M.T, selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang. 3. Ibu Dra. Sri Handayani, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Teknik Sipil dan Ketua Program Studi Pendidikan Teknik bangunan. 4. Bapak Drs. Lashari, M.T, selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dr. Rini Kusumawardani, S.T., M.T., M.Sc, selaku dosen pembimbing II yang penuh perhatian atas perkenaan memberi bimbingan dan dapat dihubungi sewaktuwaktu disertai kemudahan dalam memberikan bahan dan menunjukkan sumber-sumber yang relevan dalam membantu penulisan skripsi ini. 5. Bapak Untoro Nugroho, S.T.,M.T, selaku dosen penguji yang telah memberi masukan yang sangat berharga berupa saran, ralat, perbaikan, pertanyaan, komentar, tanggapan terhadap kualitas skripsi ini. 6. Dr. Ir. Muhammad Mukhlisin, M.T, selaku peneliti utama di bidang debris flow. 7. Seluruh dosen di Jurusan Teknik Sipil, yang telah menyalurkan ilmunya hingga penulis berhasil menyelesaikan studi. vi

7 8. Staf Balai Sabo Yogyakarta dan staf Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi Yogyakarta yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk memperoleh data penelitian. 9. Bapak Dul Muntolib, S.T, M.T, dan Ibu Dra. Maemunah yang telah memberikan dukungan materiil, pengorbanan yang tulus, kesabaran serta doa restunya yang selalu mengiringi setiap langkah penulis dalam penyusunan karya ini. 10. Sahabat-sahabatku terbaik dan teman mahasiswa Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan angkatan 2012 yang selalu memberikan motivasi, bantuan serta saran-saran dalam berbagai hal dan mendoakan penulis sampai selesainya penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna untuk itu penulis mohon kritik dan saran untuk penulis supaya bisa lebih baik dalam membuat laporan di lain kesempatan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan sebagai bekal untuk pengembangan di masa mendatang. Penulis, vii

8 ABSTRAK Gunung Merapi merupakan gunung api teraktif di dunia dengan karakteristiknya yang sangat khas. Gunung api ini sewaktu-waktu bisa mengalami fase erupsi sehingga menimbulkan letusan yang hebat. Material hasil erupsi dengan intensitas volume yang besar ini kemudian mengalir masuk ke sungaisungai di wilayah gunung tersebut. Air adalah salah satu media utama dalam proses angkutan sedimen. Dengan demikian intensitas hujan memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap fenomena migrasi sedimen material hasil erupsi serta besarnya daya rusak yang ditimbulkan. Campuran antara air (air hujan atau air yang lain) dengan sedimen konsentrasi tinggi yang meluncur ke bawah melalui lereng atau dasar alur berkemiringan tinggi disebut aliran debris. Salah satu cara dalam mendukung upaya peringatan dini bencana aliran debris pada Kali Putih Gunung Merapi yaitu dengan mencari hubungan parameter hujan (terkait durasi hujan dan intensitas hujan penyebab aliran debris) dan parameter yang dominan terhadap kejadian aliran debris dengan lokasi studi di lereng Gunung Merapi. Metode yang digunakan yaitu analisis data primer berupa material dasar sungai dan analisis data sekunder berupa data curah hujan yang disubstitusikan ke dalam Persamaan Takahashi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas hujan maksimum lebih besar dari 36 mm/jam akan menyebabkan terjadinya aliran debris. Parameter lain yang dominan mempengaruhi terjadinya aliran debris dari Persamaan Takahashi adalah kemiringan dasar sungai (θ) dan ketinggian air (h o ). Pada alur Kali Putih Gunung Merapi kejadian aliran debris terjadi pada kemiringan dasar minimum 8,5 derajat dan kedalaman air minimum 0,032 m.. Kata Kunci : Aliran Debris, Curah Hujan, Gunung Merapi, Metode Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu, Persamaan Takahashi. viii

9 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii PENGESAHAN... iii PERNYATAAN... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR... vi ABSTRAK... viii DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Identifikasi Masalah Perumusan Masalah Pembatasan Masalah Tujuan Manfaat... 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Debris Flow Klasifikasi dan Karakteristik Debris Flow Prediksi Waktu Kejadian Debris Flow Metoda Pengamatan Debris Flow Persamaan Takahashi Penentuan Diameter Endapan Aliran Debris Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu BAB III METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Jenis Metode Penelitian ix

10 3.3 Metode Pengumpulan Data Data Primer Data Sekunder Metode Analisis Data Analisa Penampang Memanjang Sungai Analisa Tanah Dasar Sungai Analisa Curah Hujan Analisa Persamaan Takahashi untuk Kondisi Nyata di Alur Sungai Metode Pendekatan Utama Perumusan Analisa Hipotesis Bagan Pelaksanaan Penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Lokasi Penelitian Analisa Data Hasil Pemeriksaan Uji Kadar Air Tanah Hasil Pemeriksaan Berat Jenis Tanah Hasil Pemeriksaan Soil Properties Hasil Pemeriksaan Analisa Butiran Hasil Analisa Uji Geser Langsung Hasil Analisa Penampang Memanjang Sungai Hasil Perhitungan Tinggi Air Minimum (H o ) Analisa Curah Hujan Pemilihan Stasiun Pemilihan Data Curah Hujan Perhitungan Parameter Curah Hujan Menarik Garis Kritik Analisa Penggunaan Persamaan Takahashi untuk Kondisi Nyata di Sungai Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu x

11 4.4.2 Analisa Persamaan Takahashi Analisa dalam Bentuk Grafik Pembahasan Curah Hujan Sensitifitas Persamaan Takahashi Penggunaan Persamaan takahashi BAB V PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xi

12 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Mekanisme terjadinya aliran debris Gambar 2.2 Susunan butiran tanah dasar Gambar 2.3 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian terhadap DAS Kali Putih Gambar 3.2 Sub DAS Kali Putih bagian hulu Gambar 3.3 Bagan pelaksanaan penelitian Gambar 4.1 Peta endapan piroklasik letusan Gunung Merapi tahun Gambar Kurva distribusi ukuran butiran PU-D2 titik Gambar Kurva distribusi ukuran butiran PU-D2 titik Gambar Kurva distribusi ukuran butiran PU-D2 titik Gambar 4.3 Morfologi Kali Putih Gambar 4.4 Perbandingan curah hujan maks/jam dengan curah hujan anteseden Gambar 4.5 Perbandingan durasi hujan dengan curah hujan kumulatif. 53 Gambar 4.7 Perbandingan durasi hujan dengan curah hujan maksimum Gambar 4.7 Perbandingan curah hujan kumulatif dengan curah hujan maksimum Gambar 4.8 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-C Gambar 4.9 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-C Gambar 4.10 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-C Gambar 4.11 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D Gambar 4.12 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D Gambar 4.13 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D Gambar 4.14 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D Gambar 4.15 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D Gambar 4.16 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D xii

13 DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Jumlah desa rawan terkena banjir lahar Tabel 4.2 Daerah terkena dampak banjir lahar DAS Kali Putih Tabel 4.3 Hasil perhitungan kadar air tanah Tabel 4.4 Hasil perhitungan berat jenis tanah Tabel 4.5 Nilai γ b, γ d, γ s, γ sat Tabel 4.6 Hasil nilai perhitungan S r, n, e, D r, R c Tabel 4.7 Sistem klasifikasi unified Tabel 4.8 Hasil pemeriksaan sudut geser tanah Tabel 4.9 Kedalaman air minimum penyebab terjadinya aliran debris.. 46 Tabel 4.10 Data Hujan yang Terjadi Aliran Debris Tabel 4.11 Data Hujan yang Tidak Terjadi Aliran Debris Tabel 4.12 Data curah hujan yang terjadi aliran debris Tabel 4.13 Data curah hujan yang terjadi aliran debris Tabel 4.14 Pembuktian Persamaan Takahashi dari data yang terjadi aliran debris dengan HSS Nakayasu Tabel 4.15 Pembuktian Persamaan Takahashi dari data yang tidak terjadi aliran debris dengan HSS Nakayasu xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian Lampiran 2 Foto Dokumentasi Lampiran 3 Data Hasil Pengujian Kadar Air Tanah Lampiran 4 Data Hasil Pengujian Berat Jenis Tanah Lampiran 5 Data Hasil Pengujian Soil Properties Lampiran 6 Data Kurva Distribusi Ukuran Butiran dan Analisa Perhitungannya Lampiran 7 Data Hasil Pengujian Sudut Geser Tanah Lampiran 8 Data Aliran Sungai (DAS) Kali Putih Lampiran 9 Data Hasil Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu xiv

15 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki banyak gunung berapi yang masih aktif. Gunung api ini sewaktu-waktu bisa mengalami fase erupsi sehingga menimbulkan letusan yang hebat. Material hasil erupsi dengan intensitas volume yang besar ini kemudian mengalir masuk ke sungai-sungai di wilayah gunung tersebut. Fenomena ini suatu saat dapat berubah menjadi aliran lahar yang kemudian membawa bencana di sepanjang alur sungai yang dilalui baik berupa kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana publik antara lain : transportasi, irigasi, kerusakan lahan pertanian dan perkebunan, bahkan korban jiwa. Selain kerugian di berbagai sektor, bencana yang ditimbulkan oleh aliran lahar dingin, atau aliran debris ini juga memberi tambahan beban keuangan negara terutama untuk merehabilitasi serta memulihkan fungsi sarana dan prasarana publik yang rusak. Gunung Merapi secara administratif termasuk di wilayah kabupaten Sleman Propinsi DIY, kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten, di Provinsi Jawa Tengah dengan ketinggian 2980 meter dari permukaan air laut. Gunung Merapi adalah gunung api tipe strato dengan kubah lava dan merupakan gunung api teraktif di dunia dengan karakteristiknya yang sangat khas.

16 2 Potensi bahaya vulkanik Gunung Merapi dapat dibedakan menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang ditimbulkan secara langsung saat terjadi erupsi atau letusan gunung api (Bronto, 2001). Bahaya tersebut berupa awan panas, lontaran atau hujan batu pijar, longsoran batuan gunung api, lahar letusan, aliran lava, hujan abu dan gas beracun. Bahaya sekunder adalah bahaya yang terjadi secara tidak langsung setelah aktivitas gunung api berlalu (Bronto, 2001). Bahaya ini berupa lahar dingin, banjir bandang, pencemaran air tanah, kekurangan air bersih dan kelaparan serta penyakit menular. Air adalah salah satu media utama dalam proses angkutan sedimen. Dengan demikian maka intensitas hujan memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap fenomena migrasi sedimen material hasil erupsi serta besarnya daya rusak yang ditimbulkan (Mananoma, 2007). Pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum, telah ditugaskan untuk mengendalikan bencana alam yang disebabkan oleh gunung berapi aktif, terutama untuk mengurangi kerugian karena bencana alam langsung (letusan gunung berapi) maupun bencana alam tidak langsung (proses transpor material dari hulu ke hilir). Sering dijumpai bahwa bencana alam tidak langsung seperti aliran lahar dingin cukup berbahaya pula sebab dapat merusak jaringan air minum, irigasi, dan transportasi, yang melayani suatu kota (Mukhlisin, 1998).

17 3 Sehubungan dengan timbunan material hasil erupsi yang menumpuk di puncak Gunung Merapi berpotensi mengalami luncuran turun berupa aliran debris / banjir lahar dingin akibat air hujan, serta bahaya dan dampak yang diakibatkan oleh aliran debris ini, sehingga penelitian mengenai Analisa Curah Hujan dengan Metode Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu terhadap Terjadinya Migrasi Debris Flow Kali Putih Gunung Merapi disusun guna memprediksi kejadian aliran debris hujan di lereng Gunung Merapi. 1.2 Identifikasi Masalah Adapun identifikasi masalah adalah sebagai berikut: a. Penimbunan material endapan hasil erupsi Gunung Merapi tahun 2010 di bagian hulu sungai. b. Hubungan antara intensitas hujan dengan debris flow. c. Hubungan antara morfologi sungai dan perilaku sedimen dengan debris flow. 1.3 Perumusan Masalah Perumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana pengaruh parameter hujan (terkait durasi hujan dan intensitas hujan penyebab aliran debris) terhadap kejadian debris flow? b. Bagaimana hubungan spasial hujan dengan kedalaman hujan pada saat terjadi debris flow di wilayah lereng Gunung Merapi? c. Bagaimana pengaruh parameter morfologi sungai dan perilaku sedimen terhadap kejadian debris flow.

18 4 1.4 Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Lokasi penelitian di wilayah lereng Gunung Merapi yang secara administrasi berada di Kabupaten Sleman di Daerah Istimewa Yogyakarta serta Kabupaten Magelang dan Kabupaten Klaten di Provinci Jawa Tengah. b. Data kejadian debris flow pada rentang waktu Desember 2010 hingga Februari 2012 di Kali Putih. c. Data pengujian sedimen tanah pada bangunan sabo diantaranya PU-D2 (Mranggen), PU-D1 (Mranggen), PU-C10 (Ngepos). d. Waktu yang diambil untuk diamati di setiap stasiun adalah dalam jangka waktu 7 hari terakhir dari waktu kejadian aliran debris. 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ini adalah sebagai berikut: a. Menganalisa curah hujan yang menyebabkan terjadinya aliran debris b. Mencari nilai persentase terjadinya aliran debris dengan Persamaan Takahashi pada Kali Putih Gunung Merapi. c. Mengetahui ketebalan muka air minimum dan kemiringan sungai yang menyebabkan terjadinya aliran debris pada Kali Putih Gunung Merapi. d. Menganalisa pengaruh curah hujan anteseden terhadap terjadinya aliran debris. e. Menjabarkan hasil penelitian sebagai masukan pengembangan sistem peringatan dini bencana sekunder Gunung Merapi.

19 5 1.6 Manfaat Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagi Bangsa dan Negara Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah pola spasial hujan untuk pengembangan system peringatan dini bencana aliran debris di wilayah lereng Gunung merapi dengan menggunakan nilai intensitas hujan (mm/jam) dan nilai working rainfall (mm) sebagai masukan bagi sistem peringatan dini bencana aliran debris khususnya di area Kali Putih. b. Bagi Ilmu Pengetahuan Inventarisasi ilmu pengetahuan potensi bahaya debris flow khususnya pengembangan early warning system di Kali Putih. c. Bagi Penulis Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan penulis dan dapat menerapkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh dari bangku kuliah serta dapat digunakan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Teknik Bangunan di Universitas Negeri Semarang

20 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Debris Flow Aliran debris (debris flow) adalah aliran campuran antara air (air hujan atau air yang lain) dengan sedimen konsentrasi tinggi yang meluncur ke bawah melalui lereng atau dasar alur berkemiringan tinggi. Aliran ini seringkali membawa batu-batu besar dan batang-batang pohon, meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi (biasanya masih di bawah kecepatan mudflow) dengan kemampuan daya rusak yang besar terhadap apa saja yang dilaluinya seperti bangunan rumah atau fasilitas lainnya sehingga mengancam kehidupan manusia. Aliran debris tidak terkait langsung dengan letusan gunung api, namun dapat terjadi di daerah vulkanik maupun nonvulkanik. Kusumobroto (2006), mengklasifikasikan aliran debris dalam dua karakteristik yang berbeda yaitu aliran debris tipe berbatuan (gravel type debris flow) merupakan aliran debris yang mengandung banyak batu-batu besar dan aliran debris tipe lumpur (mudflow type debris flow) merupakan aliran debris dengan kandungan batu besar sedikit dan lebih didominasi oleh kandungan pasir dan batu-batu kecil. Dari aspek teknik sipil aliran lahar atau yang disebut sebagai aliran debris ini membawa pengaruh yang signifikan terhadap perubahan morfologi sungai sehingga dengan demikian juga berpengaruh terhadap kelestarian fungsi sungai itu sendiri. Secara umum faktor-faktor yang

21 7 berpengaruh terhadap kejadian aliran debris pada wilayah gunung berapi adalah kemiringan lereng, jumlah material endapan, faktor topografi dan geologi tanah, luas Daerah Aliran Sungai, serta curah hujan (Mananoma, 2007). Terjadinya aliran debris pada sungai di daerah vulkanik dikarenakan kemiringan dasar sungai curam sehingga kecepatan aliran sangat tinggi dan daya rusaknya sangat besar. Dampak meluncurnya aliran debris dengan kecepatan tinggi dapat menerjang semua obyek yang dilaluinya antara lain bangunan sungai, jembatan, kawasan permukiman, lahan pertanian, dan infrastruktur lainnya. Aliran debris menyebabkan bencana berupa kerusakan lingkungan dan infrastruktur, serta kerugian harta benda, bahkan korban jiwa dan luka-luka dalam jumlah besar. 2.2 Klasifikasi dan Karakteristik Debris Flow Klasifikasi dan karakteristik debris flow tidak bisa terlepas dari pemahaman pengetahuan tentang debris flow itu sendiri, baik mengenai kriteria terjadinya maupun mekanisme alirannya. Dengan demikian karakter aliran, total migrasi sedimen, kecepatan aliran, dan besar serta kekuatan daya rusak akan dapat diprediksi. Aliran lumpur vulkanik (volcanic mud flow) adalah campuran antara air dengan material vulkanik hasil letusan gunungapi yang meluncur ke bawah melalui alur sungai atau alur-alur gunung. Temperatur aliran ini kurang dari 100º tetapi dapat mengandung blok-blok lava panas yang dapat membakar rumah atau apa saja yang tersentuh. Kecepatan aliran sangat

22 8 tinggi dapat mencapai 100 km/jam sehingga sulit untuk menghindar. Daya rusak aliran tinggi mengakibatkan kerusakan terhadap apa saja yang dilanggarnya. Di Indonesia aliran lahar dikenal sebagai aliran lahar hujan, karena biasanya aliran lahar terbentuk dari air hujan bercampur endapan material piroklastik hasil letusan gunungapi. Jika endapan piroklastik pembentuk aliran lahar masih panas yang terjadi adalah lahar hujan dengan temperatur tinggi disebut lahar panas, namun jika material piroklastiknya sudah dingin yang terbentuk adalah aliran lahar hujan yang tidak panas disebut sebagai lahar dingin (Kusumobroto, 2006). Lahar hujan terjadi akibat hujan yang terus menerus dalam jangka waktu tertentu di atas timbunan endapan material vulkanik di sekitar puncak dan lereng gunung berapi. Air hujan yang turun di atas endapan material vulkanik ini akan mengakibatkan endapan material menjadi jenuh dan mudah longsor atau runtuh. Longsoran campuran material vulkanik dengan air hujan ini mengalir menuju sungaisungai yang berhulu di sekitar endapan lereng dan puncak gunung berapi dalam bentuk aliran lumpur atau aliran debris (Kusumosubroto, 2010). 2.3 Prediksi Waktu Kejadian Debris Flow Watanabe, dalam Mukhlisin (1998) menyatakan bahwa untuk memprediksi terjadinya aliran debris dapat ditempuh dengan cara : 1. Memperkirakan hujan lebat yang dapat memicu terjadinya aliran debris, 2. Analisa statistik hubungan antara intensitas hujan dengan aliran debris pada kejadian yang telah lampau,

23 9 3. Memperkirakan deposit yang ada di dalam sungai sebagai aliran debris dalam hubungannya dengan hujan, 4. memperkirakan penambahan tingkat bahaya dari faktor pengendalian deposit. Takahashi (1991) mengulangi lagi pernyataannya bahwa biasanya aliran debris yang terjadi mempunyai korelasi yang baik dengan curah hujan. Ditegaskan lagi bahwa korelasi antara kejadian aliran debris dan curah hujan persepuluh menit adalah sangat baik dan lebih dari itu, aliran debris terjadi ketika intensitas hujan menaik dan tidak terjadi pada saat intensitas hujan menurun. 2.4 Metoda Pengamatan Debris Flow Takahashi, dalam Legono (1989), menyatakan bahwa ada dua metoda pengamatan yang perlu dilakukan berkaitan dengan fenomena kerusakan, yaitu metoda keras (hard method) dan metoda lunak (soft method). Metoda keras adalah usaha-usaha yang lebih ditekankan pada pengecekan akan daya perusak, bagaimana mengendalikannya, atau mengalihkannya ke daerah lain yang lebih aman, yaitu dengan cara membuat konstruksi penahan yang sesuai. Metoda lunak merupakan usaha-usaha untuk memindahkan penduduk sebelum terserang bencana,berikut fasilitas atau barang berharga lainnya. Tentu saja jalan keluar dengan satu metoda saja tidak cukup untuk usaha pencegahan bencana, dengan kata lain, dua metoda tersebut sebaiknya saling mengisi satu sama lain.

24 Persamaan Takahashi Mekanisme aliran dideskripsikan oleh Takahashi (1979) dengan mengasumsikan bahwa air dan material sedimen yang terangkut oleh aliran sebagai satu kesatuan yaitu aliran debris. Teori persamaan aliran debris selanjutnya dengan pertimbangan material-material debris, yaitu dengan menganggapnya sebagai benda yang terletak pada bidang miring (Gambar 2.1) Gambar 2.1 Mekanisme terjadinya aliran debris

25 11 Mukhlisin (1998), mengasumsikan bahwa dari suatu lapisan sedimen atau endapan dasar sungai yang berupa tanah non khesif, dengan kedalaman D dan kemiringan θ. Pada saat aliran dengan ketinggian ho lewat, ruang pori diantara endapan sedimen sudah menjadi jenuh dan aliran rembesan yang sejajar akan terjadi. Takahashi menjelaskan bahwa besarnya tegangan geser pada sungai memiliki 3 keadaan seperti terlihat pada Gambar 2.1. Tegangan geser τ merupakan tegangan tangensial yang bekerja, sedangkan τl merupakan tegangan yang menahannya. Jika lapisan dasar atau debrisnya sangat tebal, distribusi tegangan tersebut dapat terjadi seperti keadaan Gambar 2.1c dan Gambar 2.1b. jika tegangan geser yang bekerja lebih besar daripada tegangan yang menahan, maka material dasar sungai tersebut akan bergerak ke bawah atau ke hilir. Beberapa butiran material dasar akan bergerak apabila al lebih besar dari diameter butiran tunggalnya. Ruangan pori dari lapisan butiran dasar yang bergerak tersebut akan bertambah, jika ho relatif lebih dangkal dibandingkan al dan butiran selanjutnya akan terurai secara tidak teratur pada kedalaman air tersebut. Bertambahnya ruangan pori akan memungkinkan gerakan massa tersebut kearah hilir. Angkatan massa ini akan berupa aliran debris. Mekanisme aliran debris yang diajukan oleh Takahashi (1979) adalah sebagai berikut : τ = g sin θ [C*(γs - γw)a + γw (a + ho)] (2.1) dengan :

26 12 τ = tegangan geser yang bekerja (N/m 2 ), θ = sudut kemiringan dasar sungai (º), ho = kedalaman air minimum (m), C* = konsentrasi sedimen (material dasar), a = tebal lapisan sedimen yang diharapkan akan bergerak, g = percepatan gravitasi bumi (m/s 2 ), γs = berat jenis partikel butiran (gr/cm 3 ), γw = berat jenis air (gr/cm 3 ), Kemudian tegangan geser yang menahan bergeraknya material dasar, akan mempunyai persamaan : τl = g cos θ [C*( γs - γw)a] tan φ (2.2) dengan : τ L = tegangan geser yang menahan (N/m 2 ), φ = sudut gesek dalam material dasar sungai (º), Keadaan seperti pada Gambar 2.1a, akan terjadi bila dτ/da dτl/da. Selanjutnya gerakan aliran debris akan terjadi jika : an θ γ - γ γ - γ γ an θ (2.3) Kemiringan dasar sungai yang memenuhi persamaan (2.3) akan menyebabkan kelongsoran dasar sungai walaupun aliran rembesan belum mencapai permukaan. Dalam hal ini, kemungkinan bahwa τr akan lebih besar τ disekitar lapisan permukaan akan selalu ada, sehingga

27 13 dasar sungainya seolah-olah stabil. Fenomena ini lebih tepat jika disebut dengan kelongsoran tanah, yang sangat berbeda dengan fenomena aliran debris. Bencana tanah longsor yang berupa rusaknya struktur dasar sungai dapat terjadi tanpa adanya aliran air yang cukup atau terpenuhinya persyaratan. Dengan kata lain, aliran debris akan terjadi bila ada aliran air diatas akumulasi debris. Selanjutnya keadaan seperti pada Gambar 2.1b akan terjadi bila dτ/da < dτl/da dan al d, dengan d adalah diame er ra a- rata yang dianggap mewakili sedimen debris. Diameter yang digunakan adalah d 50 dari endapan debris tersebut. Keadaan terjadinya aliran debris ini akan dipenuhi jika : γ - γ γ - γ an θ an θ γ - γ γ - γ γ an θ (2.4) Apabila al lebih dangkal dari D, secara teoritis tidak akan ada lapisan butiran yang bergerak yang disebabkan oleh gaya-gaya statik tersebut. Namun, bila masih ada gerakan lapisan butiran, hal ini pasti disebabkan oleh adanya gaya-gaya drag and lift dari permukaan yang merupakan angkutan sedimen secara umumnya. Kemudian, kemiringan dasar kritis yang menybabkan aliran debris akan diberikan dalam bentuk persamaan: an θ γ - γ γ - γ γ an θ (2.5)

28 14 Dari persamaan (2.5) dapat dilihat bahwa semakin besar nilai ho maka akan semakin landailah kemiringan kritis yang akan menyebabkan aliran debris. Disini yang dimaksud dengan konsentrasi bahan dasar adalah nilai banding antara volume butiran padat dan volume keseluruhan bahan dasar, yaitu : C* = (2.6) dengan : V s = volume butiran padat (cm 3 ), V = volume total yaitu volume udara ditambah volume air dan volume butiran (cm 3 ). Gambar 2.2 Susunan butiran tanah dasar Prinsip yang harus dipahami adalah : W V = W w + W s = V s + V w + V a Vv = V a + V w

29 15 Keterangan Gambar 2.2 ditinjau dari struktur elemen tanah, adalah sebagai berikut : W s W w = berat butiran padat (gr), = berat air (gr), V s = volume butiran padat (cm 3 ), V w = volume air (cm 3 ), Gs = berat jenis butiran (gr/cm 3 ), e = angka pori, w = kadar air (%), S = derajat kejenuhan (%), Hubungan volume yang biasa digunakan dalam mekanika tanah yaitu angka pori (void ratio), porositas (porosity) dan derajat kejenuhan (degree of saturation). Angka pori : e = (2.7) Porositas : n = (2.8) Derajat kejenuhan : S = x 100% (2.9) Volume air : V w = S. V v = S. e (2.10) Berat air : W w = γ w. V w = ω. W s = ω. G s. γ w. V s atau γ w. S. e = ω. Gs. γ w. V s

30 16 Sedangkan hubungan berat yang biasa digunakan adalah kadar air (moisture content), dan berat volume (unit weight). Kadar air : w = x 100% (2.11) Berat volume basah : γb = (2.12) Berat volume kering : γb = (2.13) Jika berat volume butiran padat (γs) = Ws / Vs (gr/ ), maka perbandingan antara berat volume butiran padat (γs) dengan berat volume air (γw) pada temperatur tertentu adalah berat jenis (specific gravity) : Berat jenis butiran : Gs = (2.14) Takahashi menyebutkan bahwa awal terjadinya aliran debris terjadi pada kondisi jenuh, sedangkan pada saat jenuh nilai S = 1, sehingga : Angka pori : e = ω. G s (2.15) Sedangkan : C* = e (2.16) Sehingga jika nilai e dapat ditentukan akan diperoleh nilai konsentrasi bahan dasarnya (C*) Penentuan Diameter Endapan Aliran Debris Material dasar sungai yang ditinjau berupa campuran dari pasir, krikil, krakal, dan boulder. Dengan beragam jenis variasi besar butiran sedimen

31 17 maka teknik sampling material dasar dengan kedalam 1 meter sebagai standar ASTM. Untuk selanjutnya tebal air minimum (ho) yang menginisiasi aliran debris dapat ditentukan, bila kemiringan dasar sungai θ), berat jenis dasar (γ s ), berat jenis air (γ w ), berat volume kering (γd), angka pori (e) dan d 50 dapat diketahui Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu Hidrograf satuan sintetis Nakayasu dikembangkan berdasarkan beberapa sungai di Jepang (Soemarto, 1987). Penggunaan metode ini memerlukan beberapa karakteristik parameter daerah alirannya, seperti : a) Tenggang waktu dari permukaan hujan sampai puncak hidrograf b) Tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat hidrograf. c) Tenggang waktu hidrograf (time base of hydrograph) d) Luas daerah aliran sungai e) Panjang alur sungai utama terpanjang (length of the longest channel) Bentuk persamaan HSS Nakayasu adalah: dengan : CA. Ro Qp (2.17) 3,6(0,3Tp ) T 0,3 Q p R o T = debit puncak banjir (m 3 /dt) = hujan satuan (mm) = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)

32 18 T 0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari puncak sampai 30% dari debit puncak (jam) CA = luas daerah pengaliran sampai outlet (km 2 ) Untuk menentukan Tp dan T 0,3 digunakan pendekatan rumus sebagai berikut : T p = t g + 0,8 t r (2.18) T 0,3 = α g (2.19) t r = 0,5 t g sampai t g (2.20) tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir (jam). tg dihitung dengan ketentuan sebagai berikut : a) sungai dengan panjang alur L > 15 km : t g = 0,4 + 0,058 L b) sungai dengan panjang alur L < 15 km : t g = 0,21 L 0,7 Perhitungan T 0,3 menggunakan ketentuan: α = 2 α =,5 α = 3 pada daerah pengaliran biasa pada bagian naik hidrograf lambat, dan turun cepat pada bagian naik hidrograf cepat, dan turun lambat α = 4 A g (2.21) Bentuk hidrograf satuan diberikan oleh persamaan berikut : 1) Pada waktu naik : 0 < t < T p Q a = (t/t p ) 2,4 (2.22) dimana Qa adalah limpasan sebelum mencapai debit puncak (m 3 /dt) 2) Pada kurva turun (decreasing limb)

33 19 a. elang nilai : T p + T 0,3 ) Q d1 = Qp.0,3 0,3 t Tp T (2.23) b. selang nilai : (Tp + T 0,3 Tp T 0,3 + 1,5 T 0,3 ) Q d2 = Qp.0,3 t Tp 0,5T0,3 1,5T0,3 (2.24) c. selang nilai : t > (Tp + T 0,3 + 1,5 T 0,3 ) Q d3 = Qp.0,3 t Tp 1,5T0,3 2T0,3 (2.25) Dari hasil perhitungan hidrograf diperoleh debit puncak, untuk kemudian digunakan untuk mencari kedalaman air yang menyebabkan aliran debris. Debit Q pada suatu penampang saluran untuk sebaran aliran dinyatakan dengan : Q = V. A (2.26) Dengan : V = 1/n (2.27) Dimana : n R S = koefisien kekasaran manning, = jari-jari hidraulik (m), = kemiringan saluran, A = luas penampang saluran (. t r t 0,8 t r t g lengkung naik lengkung turun Q P 0,3Q 0,3 2 Q P

34 20 Gambar 2.3 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu (Triatmodjo, 2008) Suharyono (1993) menerangkan untuk mengetahui terjadinya lahar di daerah Gunung Merapi dilakukan secara grafis terhadap hubungan antara intensitas hujan, curah hujan komulatif, dan saat terjadinya lahar, mengacu pada Buku Pedoman Penentuan Curah Hujan Kritik untuk Peringatan Dini dan Perintah Pengungsian akan Terjadinya Lahar yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum Jepang, dimana untuk perhitungan parameter hujan menggunakan rumus berikut : = RWA = = (2.28) dimana : RWA α = curah hujan anteseden (mm), = koefisien reduksi, =, t = waktu (hari), d = tebal curah hujan 24 jam pada hari ke t, T = 0,5 (hari)

35 21 BAB III METODE PENELITIAN Penghitungan kedalaman air minimum sebagai faktor terjadinya aliran debris secara teoritik dilakukan dengan menggunakan Persamaan Takahashi. Dari Persamaan Takahashi ini dapat diketahui kedalaman aliran permukaan yang memicu terjadinya aliran debris. Namun hal ini perlu diuji dan dibuktikan dengan menghitung kedalaman aliran permukaan di lokasi yang sesungguhnya akibat intensitas dan durasi hujan dalam skala tertentu yang memang telah menimbulkan terjadinya aliran debris. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya aliran debris yaitu material endapan vulkanik yang masuk ke dalam alur sungai menjadi endapan debris yang berupa pasir dan agregat kasar. Bagian tanah tersebut mempunyai sifat permeable, jika terjadi hujan deras di sekitar puncak Gunung Merapi maka dapat mengakibatkan terjadinya aliran lahar atau aliran debris yang mengangkut material dengan ukuran dari batu-batu besar, kerikil, pasir, abu vulkanik, serta kayu-kayu yang tumbang. Akumulasi sedimen setelah banjir ini dapat menimbulkan perubahan pada morfologi sungai yang akan mempengaruhi arah aliran debris bila terjadi banjir berikutnya. Banjir yang disebabkan aliran debris ini dapat menyimpang dari alur dan melimpas

36 22 melanda daerah sekitar yang dilalui aliran ini, dan peristiwa tersebut sangat berbahaya, oleh sebab itu perlu mekanisme peringatan dini yang cepat. 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih adalah Kali Putih. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada pada sisi lereng barat dari Gunungapi Merapi yang sering terlanda bencana lahar, salah satunya adalah DAS Kali Putih. Pada letusan Gunung Merapi tahun 2010 menghasilkan endapan material vulkanik yang terakumulasi dalam jumlah besar di hulu Sungai Putih. Material endapan vulkanik tersebut akan masuk ke dalam alur sungai dan bila terjadi hujan deras di sekitar puncak Gunung Merapi maka dapat mengakibatkan terjadinya aliran lahar atau aliran debris yang mengangkut material dengan ukuran dari batu-batu besar, kerikil, pasir, abu vulkanik, serta kayu-kayu yang tumbang. Peta Lokasi Penelitian terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Putih dapat dilihat pada Gambar 3.1 dan fokus perhitungan kedalaman air minimum dalam penelitian ini mencakup Sub DAS Kali Putih bagian hulu pada Gambar 3.2.

37 23 Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian terhadap DAS Kali Putih Gambar 3.2 Sub DAS Kali Putih bagian hulu (Balai Sabo Yogyakarta, 2015) 3.3 Jenis Metode Penelitian Adapun metode dalam penelitian ini yaitu pengambilan sampel dengan populasi sampel catchment area pada Kali Putih dengan tahapan : 1) Penentuan nilai kedalaman air minimum yang menyebabkan terjadinya aliran debris dari persamaan Takahashi. Pada tahap ini idealnya pengambilan sampel dilakukan saat akan terjadinya aliran debris. Namun hal ini tidak bisa dilakukan karena belum adanya prediksi yang tepat untuk memperkirakan awal terjadinya aliran debris dan sangat berbahaya mengambil sampel di sungai dalam kondisi akan terjadi aliran debris. Data berupa endapan tanah dasar Kali Putih yang selanjutnya dilakukan pengujian di laboratorium, dihasilkan nilai-nilai parameter tanah yang digunakan dalam persamaan Takahashi.

38 24 2) Analisa curah hujan dengan menyeleksi data curah hujan yang menimbulkan aliran debris dan data curah hujan yang mempunyai besaran tertentu tetapi tidak menimbulkan aliran debris. 3) Analisa sensitifitas persamaan Takahashi. 3.4 Metode Pengumpulan Data Data Primer Pengambilan sampel tanah material dasar sungai pada tiga lokasi sepanjang Kali Putih, yaitu di desa Mranggen dengan kode bangunan sabo PU-D1 dan PU-D2 serta di desa Ngepos dengan kode bangunan sabo PU- C10. Ketiga lokasi tersebut dipilih karena mewakili jenis material dasar sungai, serta paling dekat dengan stasiun curah hujan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan selama penelitian dilaksanakan. Beberapa literatur yang berhubungan dengan topik penelitian dipilah-pilahkan untuk diseleksi mana saja yang ada beserta teknik-teknik penelitian yang dapat dimanfaatkan. Data yang dibutuhkan untuk mendapatkan kedalaman aliran air akibat curah hujan pada saat terjadinya aliran debris adalah data sekunder meliputi peta teristis sungai yang ditinjau, peta topografi serta data hirologi untuk daerah pengaliran sungai yang bersangkutan. Untuk data hidrologi diperlukan data curah hujan pada saat kejadian aliran debris berlangsung dan beberapa jam sebelumnya yang tercatat pada stasiun pemantau. Data-data lain yang menjadi parameter terjadinya aliran

39 25 debris yaitu data volume endapan vulkanik, geometri sungai, data curah hujan, data elevasi muka air, dan rekaman informasi kejadian banjir lahar. Data-data tersebut diperoleh dari Balai Sabo Yogyakarta dan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta. 3.4 Metode Analisa Data Analisa Penampang Memanjang Sungai Data pengukuran elevasi dan jarak Kali Putih yang dihitung dari muara yaitu pertemuan antara sungai tersebut dengan Sungai Apu, dalam penelitian ini diperoleh dari Balai Sabo Yogyakarta. Dari data tersebut kemudian dapat digambarkan grafik hubungan antara jarak dengan elevasinya Analisa Tanah Dasar Sungai Jenis-jenis pengujian dalam analisa material dasar sungai untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini yaitu: 1) Analisa kadar air tanah Tujuan dari analisis ini adalah untuk menentukan kadar air dari sampel agregat debris dengan perbandingan antara berat air yang dikandung agregat dengan berat keringnya. Selanjutnya dinyatakan dalam bentuk persen. Metode yang digunakan digunakan dalam analisa kadar air ini berpedoman pada ASTM D Adapun langkah pemeriksaan kadar air adalah sebagai beriku :

40 26 a) Timbang cawan yang akan dipakai berikut tutupnya lalu beri nomor/tanda. (=W1) b) Masukkan benda uji yang akan diperiksa kedalam cawan tersebut lalu tutup. c) Timbang cawan yang telah berisi benda uji tersebut. (=W2) d) Masukkan kedalam oven yang suhunya telah diatur 11OºC selama 24 jam sehingga beratnya konstan (tutup cawan dibuka). e) Setelah dikeringkan dalam oven, cawan tersebut lalu dimasukkan ke dalam desikator agar cepat dingin. f) Setelah dingin, timbang kembali cawan yang telah berisi tanah kering tersebut. (=W3) g) Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara duplo, artinya untuk satu hasil didapatkan dari dua benda uji. Hasilnya harus hampir sama, lalu dibagi dua. 2) Analisa berat jenis tanah Tujuan analisa ini adalah untuk menentukan berat jenis agregat debris yang merupakan penbandingan antara berat butir-butir tanah dengan berat air destilasi di udara pada volume dan temperatur yang sama. Biasanya diambil suhu temperatur 27,5 O C. Metode penelitian untuk analisa berat jenis ini berpedoman pada ASTM D Adapun langkah pemeriksaan berat jenis tanah sebagai berikut:

41 27 a) Siapkan benda uji secukupnya oven dengan temperatur 6O C sampai dapat digemburkan atau pengeringan dengan sinar matahari. b) Dinginkan dalam desicator, tumbuk bila menggumpal dengan mortar dan pastle, saring dengan sieve No.4. c) Piknometer beserta tutupnya bersih dan kering ditimbang. (=W1) d) Ambil sampel tanah sekitar gram, dimasukan piknometer kemudian ditimbang. (=W2) e) Ditambahkan aquades hingga dua per tiga volume pikno lalu direbus menggunakan kompor listrik sehingga gelembunggelembung udara keluar dan air menjani jernih, hal ini dilakukan selama ± 15 menit. f) Piknometer ditambang air destilasi sampai penuh, ditutup, dan ditimbang serta diukur suhunya t C. (=W3) g) Piknometer dikosongkan, diisi air destilasi sampai penuh, tutup, dan timbang. (=W4) h) Hitung nilai berat jenis (Gs) masing-masing percobaan. i) Sama seperti pemeriksaan kadar air. Analisis ini menggunakan teknik duplo. 3) Analisa distribusi sedimen Tujuan analisa ini adalah untuk menentukan distribusi butirbutir tanah yang tidak mengandung butir tertahan saringan No. 10 (tidak ada butir yang lebih besar dari 2 mm). Pemeriksaan dilakukan

42 28 dengan analisa sedimen dengan hydrometer, sedangkan untuk butirbutir yang tertahan saringan No. 200 (0.0075mm) dilakukan dengan menggunakan saringan. Metode penelitian untuk analisa distribusi sedimen berpedoman pada ASTM D & ASTM D Adapun langkah pemeriksaan analisa distribusi sedimen sebagai berikut: a) Menyiapkan set ayakan dengan susunan dari atas ke bawag berturut-turut: Tutup ayakan, saringan No. 10 (2,00 mm), No. 20 (0,850 mm), No. 40 (0,425 mm), No. 60 (0,250 mm), No 140 (0,106 mm), dan No. 200 (0.075 mm) serta alas tempat sisa. b) Menimbang sampel tanah sebanyak ± 500 gr yang sudah dioven terlebih dahulu. c) Menempatkan ayakan kedalam set ayakan dan digetarkan menggunakan alat vibrator. d) Massa tanah yang tertahan pada asing-masing ayakan ditimbang. e) Taruh sampel tanah dalam tabung gelas (beaker kapasitas 250 cc). Tuangkan sebanyak ± 125 cc larutkan air + reagent yang telah disiapkan campur dan aduk sampai seluruh tanah bercampur dengan air. Biarkan tanah terendam selama sekurang-kurangnya 16 jam. f) Tuangkan campuran tersebut dalam alat pengaduk (stirring apparatus). Jangan ada butir yang tertinggal atau hilang dengan membilas dengan air (air destilasi) dan tuangkan air bilasan ke

43 29 alat. Bila perlu tambahkan air, sehingga volumenya sekitar lebih dari separuh penuh. Putarkan alat pengaduk selama lebih dari 1 menit. g) Kemudian segera pindahkan suspensi ke gelas silinder pengendap. Jangan ada tanah tertinggal dengan membilas dan menuangkan air bilasan ke silinder. Tambahkan air destilasi sehigga volumenya mencapai 1000 cm³. h) Disamping silinder isi suspensi tersebut, sediakan gelas silinder kedua yang diisi hanya dengan air destilasi ditambah reagent sehingga berupa larutan yang keduanya sama seperti yang dipakai pada silinder pertama. Apungkan hydrometer dalam silinder kedua ini selama percobaan dilaksanakan. i) Tutup gelas isi suspensi dengan tutup karet (atau dengan telapak tangan). Kocok suspense dengan membolak-balik vertical keatas dan kebawah selama 1 menit, sehingga butir-butir tanah melayang merata dalam air. Gerakan membolak-balik gelas ini harus sekitar 60 kali. Langsung letakan silinder berdiri diatas meja dan bersama dengan berdirinya silinder, jalankan stop watch dan merupakan waktu permulaan pengendapan. j) Lakukan pembacaan hydrometer pada saat t = 2; 5; 15; 30; 60; 250 dan 1440 menit (setelah t = 0), dengan cara sebagai berikut : 1) Kira-kira 20 atau 25 detik sebelum setiap saat pelaksanaan pembacaan, ambil hydrometer dari silinder kedua, celupkan

44 30 secara hati-hati dan pelan-pelan dalamsuspensi sampai mencapai kedalaman sekitar taksiran skala yang akan terbaca, kemudian lepaskan (jangan sampai timbul goncangan). Kemudian pada saatnya bacalah skala yang ditunjuk oleh puncak meniscus muka air = R1 (pembacaan dalam koreksi). 2) Setelah dibaca, segera ambil hidrometer pelan-pelan, pindahkan kedalam silinder kedua. Dalam air silinder kedua, bacalah skala hydrometer = R2 (koreksi pembacaan). 3) Catatan : Apabila digunakan "water bath" dengan suhu konstan, taruhlah kedua silinder kedalam water bath dan lakukanlah ini sesudah pembacaan 2 menit dan sebelum pembacaan 5 menit. k) Setiap setelah pembacaan hidrometer, amati dan catat temperatur suspensi dengan mencelupkan thermometer. l) Setelah pembacaan hidrometer terakhir selesai dilaksanakan (t = 1440 menit), tuangkan suspensi ke atas saringan no. 200 seluruhnya, jangan sampai ada butir yang tertinggal. Cucilah dengan air (air bersih) sampai air yang mengalir di bawah saringan menjadi jernih dan tidak ada lagi butir halus yang tertinggal. m) Pindahkan butir-butir tanah yang tertinggal pada suatu tempat, kemudian keringkan dalam oven (dalam temperature C).

45 31 n) Kemudian dinginkan dan timbang serta catat berat tanah kering yang diperoleh = B1 gram. o) Saringlah tanah ini dengan menggunakan sejumlah saringan yang tersebut pada bagian Peralatan no. 2. p) Timbang dan catat berat bagian tanah yang tertinggal di atas tiap saringan. Periksalah bahwa seharusnya jumlah berat dari masingmasing bagian sama atau dekat dengan berat sebelum disaring. 4) Uji geser langsung tanah Kekuatan geser suatu masa tanah merupakan perlawanan internal tanah tersebut per satuan luas terhadap keruntuhan atau pergeseran sepangjang bidang geser tanah. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengerahui nilai sudut geser langsung karena sampel tanahnya berupa pasir. Metode penelitian untuk analisa uji geser langsung ini berpedoman pada ASTM D Khusus pengujian kali ini menggunakan alat merek Matest dengan kode alat S Pengolaan data selanjutnya menggunakan aplikasi bawaan dari alat tersebut. Adapun langkah pemerikasan uji geser langsung sebagai berikut: a) Menyiapkan benda uji untuk tiga kali percobaan tiap satu sampel material dasar sungai. Jadi dari ke-sembilan sampel dilakukan pengujian geser sebanyak 27 kali.

46 32 b) Menyusun kotak geser susuai pentunjuk manual dari alat ini. Kotak geser memiliki dimensi 25 x 60 x 60 dalam satuan millimeter. c) Kemudian masukan sampel kedalam kotak geser dan ditimbang berat sampelnya. Diharuskan pada tiap pegujian geser ke-1, ke-2, dan ke-3 miliki massa yang sama. d) Benda uji pertama diberikan tegangan 200 kpa. Benda uji kedua diberi tegangan 300 kpa. Benda uji ketiga diberi tegangan 400 kpa. e) Selanjutnya pengujian geser dalam kondisi jenuh. f) Setelah semua siap, alat matest dijalankan, dan diperiksa hasil pembacaan dari alat tersebut baru kemudian diolah menggunakan aplikasi bawaan dari alat tersebut Analisa Curah Hujan Data yang dibutuhkan untuk mendapatkan kedalaman aliran air akibat curah hujan pada saat terjadinya aliran debris adalah data sekunder meliputi peta teristis sungai yang ditinjau, peta topografi serta data hidrologi untuk pengaliran sungai yang bersangkutan. Untuk data hidrologi diperlukan data curah hujan pada saat kejadian aliran debris berlangsung. Data ini dianalisa dari sisi intensitas maksimum per jam, durasi hujan, waktu puncak curah hujan dan sebagainya. Data curah hujan ini diperoleh dari Balai Sabo Yogyakarta.

47 Analisa Persamaan Takahashi untuk Kondisi Nyata di Alur Sungai Dari hasil-hasil pemeriksaaan indeks properties tanah dan penentuan kemiringan dasar sungai (tan θ), serta kedalaman air akibat curah hujan (h o ) penyebab aliran debris sepanjang Kali Putih maka persamaan (2.5) yang dinyatakan dalam bentuk berikut ini akan dapat dibuktikan. γ - γ γ γ - γ 3.5 Metode Pendekatan Utama an θ an (3.1) Untuk menghindari kerumitan masalah karena banyaknya faktor lapangan yang mempengaruhi keandalan hasil penelitian, maka berikut ini disajikan anggapan-anggapan yang perlu diutarakan. 1. Kondisi awal aliran debris dianggap terjadi pada satu lokasi tertentu saja dan dapat terjadi disembarang lokasi, tergantung pada kondisi lapangan. 2. Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya aliran debris adalah karakteristik curah hujan 3. Karakteristik curah hujan dalam bentuk intensitas dan durasi hujan akan membentuk suatu korelasi spesifik dengan kejadian aliran debris, dan pada kondisi fenomena yang tersebut pada (1) sudah dilampaui. 4. Sampel yang diambil dari Kali Putih Jawa Tengah.

48 Perumusan Analisa Untuk memprediksi kejadian aliran debris dalam kaitannya dengan intensitas hujan dapat dilakukan analisa berikut ini. 1. Dibuat analisa mengenai besaran debit yang menyebabkan konsentrasi sedimen bergerak meluncur kebawah sungai. 2. Dibuat perbandingan antara hujan sebelum kejadian aliran debris (mm) dan intensitas hujan saat kejadian aliran debris (mm/jam). 3. Dibuat perbandingan antara durasi hujan dengan intensitas maksimum dalam satuan mm/jam pada kejadian hujan yang terjadi aliran debris. 4. Analisa dengan Unit Satuan Hidrograf. 3.7 Hipotesis 1. Pengaruh debit dan kecepatan aliran sungai akan memicu terjadinya aliran debris. 2. Karakteristik hujan dalam bentuk intensitas dan durasi hujan membentuk suatu korelasi spesifik dengan kejadian aliran debris. 3. Jika nilai kedalaman air akibat intensitas air hujan lebih besar dari kedalaman air minimum maka aliran debris akan terjadi.

49 Bagan Pelaksanaan Penelitian Mulai 1. Studi pustaka (karakteristik lokasi studi fenomena banjir lahar akibat banjir lahar) 2. Review kondisi eksisting sungai (kondisi geometri sungai pasca erupsi) 3. Inventarisasi dan identifikasi data sekunder (dart curah hujan, data geometri sungai, peta, catchment area, foto udara, rekaman kejadian banjir lahar) Konsisten Tidak 1. Analisis data geometri sungai (kapasitas tamping alur sungai pasca erupsi) 2. Analisis perilaku dan karakteristik banjir lahar / aliran debris (kecepatan aliran, kandungan material, serta daya rusak yang ditimbulkan) 3. Analisis intensitas hujan (hujan intensif dan hujan kumulatif) 4. Analisis rekaman kejadian banjir lahar (waktu kejadian, jangkauan jarak luncur, kerugian yang ditimbulkan) Ya 1. Hasil dan pembahasan (karakteristik hujan terhadap migrasi sedimen) 2. Kesimpulan dan saran (penetapan kriteria yang potensial terjadi aliran debris) Kesimpulan Pembuatan abstrak Selesai Gambar 3.3 Bagan pelaksanaan penelitian.

50 36 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian Gunung Merapi adalah salah satu gunung berapi paling aktif di dunia yang terlatak 2980 meter di atas permukaan laut di Provinsi Jawa Tengah. Hingga saat ini, Gunung Merapi telah menglami erupsi sebanyak 68 kali, erupsi terakhir yang terbesar terjadi pada tanggal 26 Oktober Erupsi ini merupakan yang terbesar bila dibandingkan dengan bencana serupa pada lima kejadian sebelumnya, yaitu kejadian erupsi pada tahun 1994, 1997, 1998, 2001 dan 2006 atau terbesar sejak 150 tahun tepatnya tahun 1872 (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2011). Suatu rangkaian erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 terdiri dari hujan abu, keluarnya awan panas, lava pijar, dan lahar panas. Salah satu potensi dampak yang berbahaya dari erupsi Gunung Merapi yaitu terjadinya aliran banjir lahar dari endapan material sedimen yang dipicu oleh curah hujan dengan intensitas tinggi. Terhitung pada tanggal 26 Oktober 2010 menghasilkan endapan material sebanyak 130 juta m 3 dan sedikitnya terdapat akumulasi 100 juta m 3 endapan material yang sangat berpotensi menjadi aliran banjir lahar. Distribusi endapan piroklastik kawasan Gunung Merapi pada tahun 2010 setidaknya tersebar pada tiga kali besar yakni Kali Pabelan dengan akumulasi sebesar 20,8 juta m 3, Kali Putih Sebesar 8,2 juta m 3, dan Kali Gendol sebesar 24 juta m 3 seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1.

51 Gambar 4.1 Peta endapan piroklastik letusan Gunung Merapi tahun 2010 (Balai Sabo Yogyakarta, 2015) 37

52 38 Berdasarkan data dari Balai Sabo Yogyakarta, daerah yang sering terkena dampak banjir lahar pasca erupsi Gunung Merapi yaitu wilayah disekitar Kali Putih. Kali Putih merupakan sungai yang memiliki potensi bahaya cukup besar dikarenakan lokasinya terletak cukup dekat dengan pemukiman penduduk. Gambaran selengkapnya mengenai sebaran area terkena dampak banjir lahar DAS Kali Putih dijelaskan pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2. Tabel 4.1 Jumlah desa rawan terkena banjir lahar No Nama Kali Desa Dusun 1 Kali Pabelan Kali Putih Kali Gendol Kali Opak Kali Gendol 2 13 Jumlah Tabel 4.2 Daerah terkena dampak banjir lahar DAS Kali Putih Luas terdampak lahar Luas desa No Kecamatan Desa (Ha) (Ha) 1 Blongkeng 22, Ngluwar 2 Plosogede 7, Gulon 29, Jumoyo 61, Salam 5 Seloboro 21, Sirahan 48, Jumlah 191, Untuk mengurangi potensi bahaya tersebut, dilakukan upaya pencegahan berupa analisa curah hujan sebagai peringatan dini (early warning system) bencana terjadinya aliran lahar dingin. Data-data yang

53 39 dibutuhkan adalah data hidrologi berupa data curah hujan harian maupun jam-jaman, data penyelidikan tanah, peta DAS Kali Putih, peta topografi dan peta geometri sungai. 4.2 Analisa Data Hasil Pemeriksaan Uji Kadar Air Tanah Nilai pengukuran kadar air tanah dari endapan material sedimen Kali Putih menyimpulkan bahwa adanya beberapa variasi nilai yang berkisar antara 11,96% sampai dengan 16,11%. Hasil penghitungan akhir kadar air tanah Kali Putih dapat dilihat pada Tabel 4.3, sedangkan data hasil proses perhitungan laboratorium selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 4.3 Hasil perhitungan kadar air tanah No Posisi Elevasi Satuan Kode w 1 C ,15% 2 C ,06% 3 C ,51% PU - C m Rata² C10 14,24% 4 D1 1 16,11% 5 D1 2 11,96% 6 D1 3 13,54% PU - D1 638 m Rata² D1 13,87% 7 D2 1 14,23% 8 D2 2 13,92% 9 D2 3 14,94% PU - D2 702 m Rata² D2 14,36% Hasil Pemeriksaan Berat Jenis Tanah Berat jenis tanah sangat penting diketahui yang selanjutnya digunakan dalam perhitungan-perhitungan mekanika tanah. Dalam peneitian ini

54 40 berpengaruh pada analisa persamaan Takahashi untuk mengetahui kedalaman air minimum terjadinya aliran debris. Hasil perhitungan berat jenis tanah berkisar antara 2,42 sampai dengan 2,91. Tabel 4.4 menunjukkan hasil akhir analisa berat jenis tanah Kali Putih, sedangkan proses perhitungan dengan data hasil laboratorium selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 4.4 Hasil perhitungan berat jenis tanah No Posisi Elevasi Satuan Kode Gs 27.5 C 1 C10 1 2,54 2 C10 2 2,42 3 C10 3 2,44 PU - C m Rata² C10 2,47 4 D1 1 2,91 5 D1 2 2,88 6 D1 3 2,78 PU - D1 638 m Rata² D1 2,85 7 D2 1 2,58 8 D2 2 2,74 9 D2 3 2,71 PU - D2 702 m Rata² D2 2, Hasil Pemeriksaan Soil Properties Hasil penelitian dapat dihubungkan antara berat volume, porositas, dan angka pori dengan tipe dari tanah ukuran butiran. Perbedaan nilai hasil pengujian laboratorium ditunjukkan pada Tabel 4.5 dan Tabel 4.6. proses perhitungan dengan data hasil laboratorium selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

55 41 Tabel 4.5 Nilai γ b, γ d, γ s, γ sat No Posisi Kode Γ w γ d γ s γ sat Satuan 1 C10 1 1,76 1,56 2,54 1,946 gr/cm³ 2 C10 2 1,69 1,47 2,42 1,862 gr/cm³ 3 C10 3 1,64 1,43 2,44 1,844 gr/cm³ PU - C10 Rata² C10 1,70 1,49 2,47 1,88 gr/cm³ 4 D1 1 1,80 1,55 2,91 2,018 gr/cm³ 5 D1 2 1,76 1,57 2,88 2,028 gr/cm³ 6 D1 3 1,67 1,48 2,78 1,944 gr/cm³ PU - D1 Rata² D1 1,75 1,53 2,86 2,00 gr/cm³ 7 D2 1 1,69 1,48 2,58 1,904 gr/cm³ 8 D2 2 1,75 1,54 2,74 1,975 gr/cm³ 9 D2 3 1,62 1,47 2,71 1,927 gr/cm³ PU - D2 Rata² D2 1,68 1,49 2,68 1,94 gr/cm³ Tabel 4.6 Hasil nilai perhitungan S r, n, e, D r, R c No Posisi Kode S r n e D r R c 1 C ,14% 38,59% 0,63 50,58% 0,78 2 C ,24% 39,31% 0,65 54,00% 0,73 3 C ,14% 41,39% 0,71 64,26% 0,72 PU - C10 Rata² C10 53,17% 39,76% 0,66 56,28% 0,74 4 D1 1 53,47% 46,71% 0,88 94,13% 0,78 5 D1 2 41,54% 45,32% 0,83 85,75% 0,74 6 D1 3 42,55% 46,94% 0,88 95,56% 0,74 PU - D1 Rata² D1 45,86% 46,32% 0,86 91,81% 0,75 7 D2 1 49,14% 42,76% 0,75 71,41% 0,74 8 D2 2 48,65% 43,95% 0,78 77,91% 0,77 9 D2 3 32,44% 45,79% 0,84 88,53% 0,73 PU - D2 Rata² D2 43,41% 44,17% 0,79 79,28% 0,75

56 Hasil Pemeriksaan Analisa Butiran Pengujian ini untuk menentukan distribusi ukuran butir-butir tanah untuk tanah yang tidak mengandung butir tertahan saringan no. 10 (tidak ada butir yang lebih besar dari 2 mm). Pemeriksaan dilakukan dengan analisa sedimen dengan hidrometer, sedangkan ukuran butir-butir yang tertahan saringan no. 200 (0,075 mm) dilakukan dengan menggunakan saringan. Berikut klasifikasi tanah hasil pengujian sampel dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Sistem klasifikasi unified No Posisi Kode Lempung Lanau Pasir Krikil 1 C10 1 3,38% 3,26% 74,65% 18,71% 2 C10 2 2,08% 9,11% 77,68% 11,13% 3 C10 3 1,37% 2,33% 71,19% 25,12% PU - C10 Rata² C10 2,27% 4,90% 74,51% 18,32% 4 D1 1 1,49% 0,70% 80,42% 17,39% 5 D1 2 0,91% 0,24% 90,49% 8,36% 6 D1 3 1,35% 1,75% 78,79% 18,11% PU - D1 Rata² D1 1,25% 0,90% 83,23% 14,62% 7 D2 1 0,96% 5,67% 83,97% 9,41% 8 D2 2 1,01% 0,42% 95,30% 3,28% 9 D2 3 1,24% 1,71% 89,40% 7,65% PU - D2 Rata² D2 1,07% 2,60% 89,55% 6,78% Hasil terpenting dari pengujian ini adalah dapat diketahuinya diameter endapan butiran yang sangat berpengaruh dalam gerakan sedimen. Hasil akhir analisa mekanik digambarkan dengan kurva distribusi ukuran butiran di titik PU-D2 yang dapat dilihat pada Gambar 4.2.1, Gambar 4.2.2, dan Gambar Analisa hasil penggabungan antara teknik ayakan dan teknik hidrometri dapat dilihat pada Lampiran 6.

57 Persentase butiran yang lolos, % Persentase butiran yang lolos, % Persentase butiran yang lolos, % DISTRIBUSI BUTIRAN TANAH Ukuran butiran, mm Gambar Kurva distribusi ukuran butiran PU-D2 titik DISTRIBUSI BUTIRAN TANAH Ukuran butiran, mm Gambar Kurva distribusi ukuran butiran PU-D2 titik 2 DISTRIBUSI BUTIRAN TANAH Ukuran butiran, mm Gambar Kurva distribusi ukuran butiran PU-D2 titik

58 Hasil Analisa Uji Geser Langsung Tegangan geser dihasilkan dari perbandingan antara gaya geser dengan luasan sampel tanah, begitu pula dengan tegangan normal. Dari titiktitik yang diplotkan pada grafik ditarik garis lurus terbaik sehingga didapatkan besarnya sudut geser intern (ø) berikut dengan nilai kohesi (C) tanahnya. Pada pengujian ini untuk menganalisis datanya digunakan program komputer mengingat begitu banyaknya sampel yang harus diuji. Penyajian hasil uji geser langsung ditampilkan dalam bentuk grafik hubungan antara tegangan geser sebagai ordinatnya dan tegangan normal sebagai absisnya. Hasil akhir analisa sudut geser tanah dapat dilihat pada Tabel 4.8, sedangkan data laboratorium dan proses perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Table 4.8 Hasil pemeriksaan sudut geser tanah No Posisi Kode c Satuan ɸ Satuan 1 C10 1 0,35 kg/cm 2 38,65 o 2 C10 2 0,29 kg/cm 2 37,00 o 3 C10 3 0,19 kg/cm 2 36,50 o PU - C10 Rata² C10 0,28 kg/cm 2 37,38 o 4 D1 1 0,29 kg/cm 2 40,95 o 5 D1 2 0,26 kg/cm 2 41,78 o 6 D1 3 0,09 kg/cm 2 45,13 o PU - D1 Rata² D1 0,21 kg/cm 2 42,62 o 7 D2 1 0,23 kg/cm 2 36,25 o 8 D2 2 0,24 kg/cm 2 34,39 o 9 D2 3 0,14 kg/cm 2 35,84 o PU - D2 Rata² D2 0,20 kg/cm 2 35,49 o

59 Hasil Analisa Penampang Memanjang Sungai Dari data morfologi Kali Putih yang didapat dari Balai Sabo Yogyakarta mencantumkan data elevasi dan jarak dapat diubah menjadi grafik yang menggambarkan hubungan antara jarak dan elevasi tersebut. Sumbu ordinat sebagai elevasi sungai dan sebagai absisnya adalah jarak tiap titik elevasi sepanjang sungai dari muara dapat dilihat pada Gambar 4.3. Gambar 4.3 Morfologi Kali Putih (Balai Sabo Yogyakarta, 2015) Hasil Perhitungan Tinggi Air Minimum (H o ) Dari hasil-hasil analisis kadar air tanah, berat jenis, analisis saringan, uji geser langsung, pengukuran penampang memanjang sungai, maka akan didapatkan variabel-variabel yang akan digunakan untuk menghitung h o dari Persamaan Takahashi sebagai ketinggian air minimum yang dapat memicu terjadinya aliran debris pada titik-titik yang ditinjau. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.9.

60 46 No Tabel 4.9 Kedalaman air minimum penyebab terjadinya aliran debris Titik Sabo Jarak (m) Elevasi (m) θ ( o ) d 50 (m) C* ɸ ( o ) h o (m) 1 PU - C ,1 0,006 0,614 38,65 0,007 2 PU - C ,6 0,006 0, ,007 3 PU - C ,0 0,006 0,586 36,5 0,007 4 PU - D ,9 0,007 0,533 40,95 0,006 5 PU - D ,2 0,007 0,547 41,78 0,006 6 PU - D ,6 0,007 0,531 45,13 0,006 7 PU - D ,4 0,004 0,572 36,25 0,006 8 PU - D ,1 0,004 0,561 34,39 0,006 9 PU - D ,9 0,004 0,558 35,84 0,006 Untuk mengetahui kedalaman air minimum penyebab terjadinya aliran debris secara menyeluruh disepanjang alur Kali Putih, maka data hasil pengamatan laboratorium harus ditentukan rata-ratanya seperti yang terlihat pada tabel-tabel yang tersebut di atas. Nilai rata-rata yang ada dari masingmasing parameter adalah sebagai berikut : Berat jenis tanah Gs = 2,67 Kadar air w = 14,15 (%) Angka pori e = 0,772 Konsentrasi sedimen C* = 0,564 Sudut geser tanah ɸ = 38,50 ( o ) Berat volume air γ b = 1,000 (t/m 3 ) Diemeter butiran d 50 = (m)

61 Analisa Curah Hujan Untuk mendapatkan garis kritik guna memperkirakan terjadinya aliran debris dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : Pemilihan Stasiun Stasiun penakar hujan dipilih yang paling mewakili yaitu stasiun penakar hujan yang paling dekat dengan daerah akumulasi bahan-bahan lepas, dalam hal ini digunakan data curah hujan dari stasiun penakar hujan telemetri di Ngepos, sebagai stasiun yang paling mewakili karena lokasinya yang dekat dari sumber material sedangkan data kejadian aliran debris digunakan stasiun pemantau tinggi muka air Kali Putih yang terletak di PU- C Pemilihan Data Curah Hujan Dengan menyeleksi data curah hujan yang menimbulkan aliran debris dan yang tidak menimbulkan. Data ini diperoleh dari : a) Data hasil pengamatan peristiwa kejadian aliran debris Balai Sabo Yogyakarta b) Pengecekan langsung dari data yang tercatat di stasiun pemantau tinggi muka air yang dilengkapi kawat sensor terletak di PU-C10 Kali Putih, c) Informasi terjadinya aliran debris dari sumber-sumber lain yang dapat dipercaya.

62 48 No Dari informasi ini diperoleh data kejadian aliran debris dari bulan Desember 2010 Desember 2012 hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.10 dan Tabel 4.11 Berikut ini. Tanggal Hujan Tabel 4.10 Data Hujan yang Terjadi Aliran Debris Waktu Hujan Durasi Hujan (jam) Waktu Banjir Durasi Debris (jam) Tinggi banjir (m) CH. Harian (mm) CH. Maks. (mm) 1 8-Des ,00 131,0 80, Des ,00 34,5 19, Des ,00 35,5 29,0 4 1-Jan ,00 42,5 30,5 5 3-Jan ,00 76,0 33,5 6 9-Jan ,50 35,0 20, Jan ,00 56,0 28, Jan ,00 93,5 66,5 9 2-Feb ,00 66,0 26, Feb ,50 92,5 42, Feb ,00 38,5 37, Apr ,00 26,5 19, May ,50 92,0 59, Feb ,0 40, Feb ,0 43, Mar ,0 31, Mar ,0 49, Apr ,0 39, Apr ,0 82, Apr ,0 31, Nov ,0 51, Nov ,0 31, Des ,0 74, Des ,0 43,0

63 49 Tabel 4.11 Data Hujan yang Tidak Terjadi Aliran Debris No Tanggal Hujan Waktu Hujan Durasi Hujan (jam) Waktu Banjir Durasi Debris (jam) Tinggi banjir (m) CH. Harian (mm) CH. Maks. (mm) 1 10-Des ,00 31,5 12, Des ,00 32,5 24, Des ,00 32,5 25, Des ,00 22,0 9,5 5 8-Jan ,00 22,5 14, Jan ,50 21,5 17, Jan ,00 25,0 12, Feb ,00 18,5 16, Mar ,50 71,5 40, Mar ,00 39,0 33, Mar ,50 30,5 28, Apr ,5 16, Jan ,0 32, Jan ,0 34, Feb ,0 8, Feb ,0 14, Feb ,0 14, Mar ,0 20, Apr ,0 28, Apr ,0 14, Nov ,0 28, Nov ,0 20, Des ,0 16, Des ,0 23,0

64 Perhitungan Parameter Curah Hujan Menghitung parameter curah hujan berdasarkan kurva massa hujan dengan menggunakan format yang sudah ada. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.12 dan Tabel 4.13 berikut ini. Tabel 4.12 Data curah hujan yang terjadi aliran debris No Tanggal Hujan Durasi Hujan (jam) CH. Harian (mm) CH. Maks. (mm) CH Anteseden (mm) Komulatif 1 8-Des ,0 80,0 0,25 125, Des ,5 19,0 4,04 34, Des ,5 29,0 8,43 35,5 4 1-Jan ,5 30,5 10,91 42,5 5 3-Jan ,0 33,5 20,98 76,0 6 9-Jan ,0 20,0 12,71 35, Jan ,0 28,5 3,24 56, Jan ,5 66,5 15,83 93,5 9 2-Feb ,0 26,0 1,70 66, Feb ,5 42,5 19,30 92, Feb ,5 37,0 2,26 38, Apr ,5 19,0 19,20 26, May ,0 59,0 NR 92, Feb ,0 40,0 5,41 45, Feb ,0 43,0 8,61 66, Mar ,0 31,0 24,16 48, Mar ,0 49,0 4,09 69, Apr ,0 39,0 23,45 45, Apr ,0 82,0 0,39 96, Apr ,0 31,0 0,53 51, Nov ,0 51,0 13,98 72, Nov ,0 31,0 25,05 60, Des ,0 74,0 11,14 112, Des ,0 43,0 32,52 75,0

65 51 Tabel 4.13 Data curah hujan yang terjadi aliran debris No Tanggal Hujan Durasi Hujan (jam) CH. Harian (mm) CH. Maks. (mm) CH Anteseden (mm) Komulatif 1 10-Dec ,5 12,5 34,31 31, Dec ,5 24,0 3,14 32, Dec ,5 25,0 4,73 32, Dec ,0 9,5 11,75 22,0 5 8-Jan ,5 14,0 3,26 22, Jan ,5 17,0 23,80 21, Jan ,0 12,5 54,64 25, Feb ,5 16,5 0,00 18, Mar ,5 40,0 7,38 71, Mar ,0 33,0 36,91 39, Mar ,5 28,5 21,44 30, Apr ,5 16,5 3,90 34, Jan ,0 32,0 21,45 39, Jan ,0 34,0 6,05 49, Feb ,0 8,0 11,86 30, Feb ,0 14,0 1,00 42, Feb ,0 14,0 4,50 49, Mar ,0 20,0 2,50 53, Apr ,0 28,0 8,81 41, Apr ,0 14,0 48,20 40, Nov ,0 28,0 3,09 57, Nov ,0 20,0 42,98 53, Dec ,0 16,0 2,81 42, Dec ,0 23,0 21,87 58,0

66 Curah hujan maksimum (mm/jam) Menarik Garis Kritik Hasil perhitungan pada Tabel 4.12 dan Tabel 4.13 diatas kemudian dibuat perbandingan antara curah hujan maksimum perjam (mm/jam) dengan curah hujan anteseden yaitu besar curah hujan pada beberapa hari sebelum kejadian sebagaimana yang ada pada Gambar 4.4 berikut, dari gambar ini dapat dianalisa perbandingan curah hujan yang menyebabkan terjadinya aliran debris Daerah dominan Daerah tidak dominan Curah hujan Anteseden Terjadi Debris Flow Tdk Terjadi Debris Flow Gambar 4.4 Perbandingan Curah hujan maks/jam dengan curah hujan anteseden Data Tabel 4.10 dan Tabel 4.11 menunjukkan tanggal kejadian hujan, curah hujan maksimum/jam (mm/jam), curah hujan harian (mm), durasi hujan (mm), dan waktu pada saat curah hujan maksimum baik data hujan yang menyebabkan aliran debris maupun data hujan yang dipilih pada saat tidak ada kejadian debris. Hasil analisa data ini dapat dilihat pada Gambar 4.5 sampai dengan Gambar 4.7 berikut ini.

67 Curah Hujan Maksimum (mm/jam) Curah Hujan Kumulatif (mm) Durasi Hujan (jam) Terjadi Debris Flow Tdk Terjadi Debris Flow Gambar 4.5 Perbandingan durasi hujan dengan curah hujan kumulatif Durasi Hujan (jam) Terjadi Debris Flow Tdk Terjadi Debris Flow Gambar 4.6 Perbandingan durasi hujan dengan curah hujan maksimum

68 Curah Hujan Maksimal (mm/jam) Curah Hujan Kumuatif (mm) Terjadi Debris Flow Tdk Terjadi Debris Flow Gambar 4.7 Perbandingan curah hujan kumulatif dengan curah hujan maksimum 4.4 Analisa Penggunaan Persamaan Takahashi untuk Kondisi Nyata di Sungai HSS. Nakayasu Parameter perhitungan dalam HSS. Nakayasu yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Putih yang meliputi luas DAS dan panjang sungai utama yang selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan (2.17). Data dan gambar daerah aliran sungai (DAS) Kali Putih dapat dilihat pada lampiran Analisa Persamaan Takahashi Data curah hujan yang ada baik yang menimbulkan aliran debris ataupun yang tidak menimbulkan aliran debris debit banjirmya dihitung dengan menggunakan HSS Nakayasu. Untuk lebih jelasnya proses

69 55 perhitungan hidrograf satuan sintetik ini dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari masing-masing hidrograf satuan sintetik yang ada diperoleh debit puncak (Qp) pada sembilan titik lokasi yaitu tiga titik di PU-C10, tiga titik di PU- D1, dan tiga titik di PU-D2 yang dapat dilihat pada Lampiran 9, untuk selanjutnya dihitung ketinggian air (h o ) yang melewati sembilan titik lokasi yaitu tiga titik di PU-C10, tiga titik di PU-D1, dan tiga titik di PU-D2 yang dapat dilihat pada Lampiran 9. Adapun data tampang PU-C10 adalah sebagai berikut : Bentuk tampang Lebar dasar : persegi panjang : 51 m Koefisian kekasaran manning (n) menurut Chow (1959), untuk saluran di pegunungan, tanpa tetumbuhan, disaluran tebing umumnya terjal, pohon dan semak-semak sepanjang tebing, dengan kondisi dasar terdiri dari kerikil, kerakal dan sedikit batu besar mempunyai nilai kekasaran manning antara 0,030-0,050. Penelitian ini menggunakan nilai kekasaran manning dengan trial and error 0,030. Hasil ketinggian air (h o ) bersama dengan data hasil analisa laboratorium, ɸ, γ w, γ s, θ, d 50 ), digunakan untuk membuktikan ketepatan Persamaan Takahashi untuk kondisi yang nyata ada di alur sungai, dalam hal ini Kali Putih. Hasil akhir dari analisa ini dapat dilihat pada Tabel 4.14 untuk data yang terjadi aliran debris dan tabel 4.15 untuk data yang tidak terjadi aliran debris.

70 56 Tabel 4.14 Pembuktian Persamaan Takahashi dari data yang terjadi aliran debris dengan HSS Nakayasu No Tanggal Persamaan Takahashi PU-C10 PU-D1 PU-D Des-10 6,859 8,474 9,214 6,164 6,157 6,159 16,206 17,157 16, Des-10 0,577 0,694 0,754 0,594 0,597 0,577 1,194 1,302 1, Des-10 1,117 1,362 1,480 1,073 1,074 1,056 2,483 2,664 2, Jan-11 1,225 1,496 1,626 1,169 1,170 1,152 2,742 2,937 2, Jan-11 1,458 1,785 1,940 1,376 1,377 1,360 3,299 3,526 3, Jan-11 0,615 0,741 0,804 0,628 0,630 0,610 1,284 1,397 1, Jan-11 1,082 1,319 1,434 1,042 1,044 1,026 2,401 2,577 2, Jan-11 5,055 6,240 6,784 4,564 4,560 4,556 11,895 12,603 12, Feb-11 0,920 1,119 1,215 0,898 0,900 0,881 2,013 2,167 2, Feb-11 2,277 2,799 3,043 2,101 2,101 2,087 5,256 5,592 5, Feb-11 1,757 2,155 2,343 1,641 1,641 1,625 4,014 4,280 4, Apr-11 0,577 0,694 0,754 0,594 0,597 0,577 1,194 1,302 1, May-11 4,116 5,077 5,520 3,732 3,729 3,722 9,651 10,234 10, Feb-12 2,034 2,498 2,715 1,886 1,886 1,871 4,675 4,978 4, Feb-12 2,327 2,861 3,110 2,146 2,146 2,132 5,375 5,719 5, Mar-12 1,262 1,542 1,676 1,202 1,203 1,185 2,831 3,031 2, Mar-12 2,958 3,642 3,960 2,705 2,704 2,692 6,883 7,310 7, Apr-12 1,940 2,381 2,589 1,802 1,803 1,788 4,450 4,741 4, Apr-12 7,136 8,818 9,588 6,410 6,403 6,406 16,869 17,858 17, Apr-12 1,262 1,542 1,676 1,202 1,203 1,185 2,831 3,031 2, Nov-12 3,179 3,917 4,258 2,901 2,900 2,889 7,413 7,870 7, Nov-12 1,262 1,542 1,676 1,202 1,203 1,185 2,831 3,031 2, Des-12 6,041 7,461 8,113 5,439 5,434 5,433 14,252 15,093 14, Des-12 2,327 2,861 3,110 2,146 2,146 2,132 5,375 5,719 5,633

71 57 Tabel 4.15 Pembuktian Persamaan Takahashi dari data yang tidak terjadi aliran debris dengan HSS Nakayasu No Tanggal Persamaan Takahashi PU-C10 PU-D1 PU-D Des-10 0,445 0,531 0,576 0,477 0,480 0,459 0,878 0,969 0, Des-10 0,804 0,975 1,059 0,796 0,798 0,779 1,736 1,875 1, Des-10 0,861 1,045 1,135 0,845 0,848 0,828 1,871 2,017 2, Des-10 0,444 0,529 0,575 0,476 0,479 0,459 0,876 0,967 0, Jan-11 0,457 0,545 0,591 0,488 0,490 0,470 0,906 0,998 1, Jan-11 0,515 0,617 0,670 0,539 0,542 0,521 1,045 1,145 1, Jan-11 0,445 0,531 0,576 0,477 0,480 0,459 0,878 0,969 0, Feb-11 0,502 0,601 0,653 0,528 0,530 0,510 1,014 1,113 1, Mar-11 2,034 2,498 2,715 1,886 1,886 1,871 4,675 4,978 4, Mar-11 1,418 1,735 1,886 1,340 1,341 1,324 3,203 3,424 3, Mar-11 1,082 1,319 1,434 1,042 1,044 1,026 2,401 2,577 2, Apr-11 0,502 0,601 0,653 0,528 0,530 0,510 1,014 1,113 1, Jan-12 1,339 1,637 1,779 1,270 1,271 1,254 3,014 3,224 3, Jan-12 1,499 1,836 1,996 1,412 1,413 1,396 3,397 3,629 3, Feb-12 0,444 0,529 0,575 0,476 0,479 0,459 0,876 0,967 0, Feb-12 0,457 0,545 0,591 0,488 0,490 0,470 0,906 0,998 1, Feb-12 0,457 0,545 0,591 0,488 0,490 0,470 0,906 0,998 1, Mar-12 0,615 0,741 0,804 0,628 0,630 0,610 1,284 1,397 1, Apr-12 1,048 1,277 1,388 1,012 1,014 0,995 2,320 2,491 2, Apr-12 0,457 0,545 0,591 0,488 0,490 0,470 0,906 0,998 1, Nov-12 1,048 1,277 1,388 1,012 1,014 0,995 2,320 2,491 2, Nov-12 0,615 0,741 0,804 0,628 0,630 0,610 1,284 1,397 1, Des-12 0,491 0,587 0,637 0,518 0,520 0,500 0,987 1,083 1, Des-12 0,751 0,910 0,988 0,749 0,751 0,732 1,610 1,742 1,731

72 8-Dec Dec-10 3-Jan Jan-11 2-Feb Feb-11 1-May Feb Mar Apr Nov Dec Dec Dec-10 8-Jan Jan Mar Mar Jan-12 4-Feb Feb-12 3-Apr Nov-12 2-Dec-12 Persamaan Takahashi Persamaan Takahashi Analisa dalam Bentuk Grafik Data hasil uji laboratorium dan kedalaman air minimum dari hasil HSS Nakayasu digunakan untuk menguji Persamaan (3.1), dimana persamaan ini menyatakan bila nilai yang ada lebih besar dari 1 (satu) akan memicu terjadinya aliran debris. Hasil analisa dalam bentuk grafik dari Persamaan Takahashi ini dapat dilihat pada Gambar 4.8 sampai dengan Gambar Persamaan Takahashi titik PU-C terjadi al. debris Persamaan Takahashi titik PU-C tdk terjadi al. debris Tanggal hujan Tanggal hujan Gambar 4.8 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-C10.1

73 8-Dec Dec-10 3-Jan Jan-11 2-Feb Feb-11 1-May Feb Mar Apr Nov Dec Dec Dec-10 8-Jan Jan Mar Mar Jan-12 4-Feb Feb-12 3-Apr Nov-12 2-Dec-12 Persamaan Takahashi Persamaan Takahashi 8-Dec Dec-10 3-Jan Jan-11 2-Feb Feb-11 1-May Feb Mar Apr Nov Dec Dec Dec-10 8-Jan Jan Mar Mar Jan-12 4-Feb Feb-12 3-Apr Nov-12 2-Dec-12 Persamaan Takahashi Persamaan Takahashi 59 Persamaan Takahashi titik PU-C10.2 terjadi al. debris Persamaan Takahashi titik PU-C10.2 tidak terjadi al. debris Tanggal hujan Tanggal hujan Gambar 4.9 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-C10.2 Persamaan Takahashi titik PU-C10.3 terjadi al. debris Persamaan Takahashi titik PU-C10.3 tidak terjadi al. debris Tanggal hujan Tanggal hujan Gambar 4.10 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-C10.3

74 8-Dec Dec-10 3-Jan Jan-11 2-Feb Feb-11 1-May Feb Mar Apr Nov Dec Dec Dec-10 8-Jan Jan Mar Mar Jan-12 4-Feb Feb-12 3-Apr Nov-12 2-Dec-12 Persamaan Takahashi Persamaan Takahashi 8-Dec Dec-10 3-Jan Jan-11 2-Feb Feb-11 1-May Feb Mar Apr Nov Dec Dec Dec-10 8-Jan Jan Mar Mar Jan-12 4-Feb Feb-12 3-Apr Nov-12 2-Dec-12 Persamaan Takahashi Persamaan Takahashi 60 Persamaan Takahashi titik PU-D terjadi al. debris Persamaan Takahashi titik PU-D tidak terjadi al. debris Tanggal hujan Tanggal hujan Gambar 4.11 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D1.1 Persamaan Takahashi titik PU-D terjadi al. debris Persamaan Takahashi titik PU-D tidak terjadi al. debris Tanggal hujan Tanggal hujan Gambar 4.12 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D1.2

75 8-Dec Dec-10 3-Jan Jan-11 2-Feb Feb-11 1-May Feb Mar Apr Nov Dec Dec Dec-10 8-Jan Jan Mar Mar Jan-12 4-Feb Feb-12 3-Apr Nov-12 2-Dec-12 Persamaan Takahashi Persamaan Takahashi 8-Dec Dec-10 3-Jan Jan-11 2-Feb Feb-11 1-May Feb Mar Apr Nov Dec Dec Dec-10 8-Jan Jan Mar Mar Jan-12 4-Feb Feb-12 3-Apr Nov-12 2-Dec-12 Persamaan Takahashi Persamaan Takahashi 61 Persamaan Takahashi titik PU-D terjadi al. debris Persamaan Takahashi titik PU-D tidak terjadi al. debris Tanggal hujan Tanggal hujan Gambar 4.13 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D1 Persamaan Takahashi titik PU-D terjadi al. debris Persamaan Takahashi titik PU-D tidak terjadi al. debris Tanggal hujan Tanggal hujan Gambar 4.14 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D2.1

76 8-Dec Dec-10 3-Jan Jan-11 2-Feb Feb-11 1-May Feb Mar Apr Nov Dec Dec Dec-10 8-Jan Jan Mar Mar Jan-12 4-Feb Feb-12 3-Apr Nov-12 2-Dec-12 Persamaan Takahashi Persamaan Takahashi 8-Dec Dec-10 3-Jan Jan-11 2-Feb Feb-11 1-May Feb Mar Apr Nov Dec Dec Dec-10 8-Jan Jan Mar Mar Jan-12 4-Feb Feb-12 3-Apr Nov-12 2-Dec-12 Persamaan Takahashi Persamaan Takahashi 62 Persamaan Takahashi titik PU-D2.2 terjadi al. debris Persamaan Takahashi titik PU-D2.2 tidak terjadi al. debris Tanggal hujan Tanggal hujan Gambar 4.15 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D2.2 Persamaan Takahashi titik PU-D2.3 terjadi al. debris Persamaan Takahashi titik PU-D2.3 tidak terjadi al. debris Tanggal hujan Tanggal hujan kejadian aliran debris Gambar 4.16 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D2.3

77 Pembahasan Uraian pembahasan yang disajikan meliputi curah hujan, sensitifitas Persamaan Takahashi, penggunaan Persamaan Takahashi, Pendekatan diameter yang mewakili dari Persamaan Takahashi Curah Hujan Berdasarkan hasil analisa di atas menunjukkan bahwa : a. Intensitas hujan maksimum lebih besar dari 36 mm/jam akan menyebabkan terjadinya aliran debris, b. Bila durasi hujannya cukup lama, dan waktu intensitas hujan maksimum terjadi pada jam ke -2 atau lebih dengan intensitas hujan maksimum lebih dari 30 mm/jam, kemungkinan terjadinya aliran debris adalah 77,78%, c. Pada kondisi intensitas hujan maksimum kurang dari 50 mm/jam, durasi hujannya cepat dan waktu intensitas hujan maksimum terjadi sebelum jam ke -2, kondisi ini sulit untuk diprediksi akan terjadi atau tidak terjadi aliran debris, d. Curah hujan anteseden yaitu curah hujan yang terjadi pada hari-hari sebelum kejadian aliran debris pengaruhnya cukup dominan, akan tetapi tidak dapat digunakan untuk memprediksi akan terjadinya aliran debris Sensitifitas Persamaan Takahashi Analisa sensitifitas Persamaan Takahashi memperlihatkan bahwa parameter yang paling utama mempengaruhi terjadinya aliran debris adalah

78 64 kemiringan dasar sungai (θ) dan ketinggian air minimum (h o ). Untuk parameter yang lain konsentrasi sedimen (C*), berat jenis tanah (γ s ), sudut geser tanah (ɸ), dan diameter butiran (d 50 ) nilainya tidak dominan untuk memicu terjadinya aliran debris Penggunaan Persamaan takahashi Ketinggian air (h o ) yang diturunkan dari HSS Nakayasu dan nilai dari parameter Persamaan Takahashi yang sampel materialnya diambil dari Kali Putih, dilakukan analisa untuk menguji Persamaan (3.1), dimana kalau hasilnya lebih besar dari 1 (satu) maka akan memicu terjadinya aliran debris dan sebaliknya bila hasilnya kurang dai 1 (satu) tidak mampu memicu terjadinya aliran debris. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa data yang menyebabkan aliran debris ataupun yang tidak menyebabkan aliran debris, setelah dimasukkan dalam Persamaan (3.1) ini hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4.8 sampai dengan Gambar Hasil yang diperoleh ternyata belum sesuai yang diharapkan, untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berikut ini: a. Parameter yang dominan mempengaruhi perbedaan hasil analisa sensitifitas Persamaan Takahashi pada Gambar 4.8 sampai dengan Gambar 4.16 yaitu kemiringan dasar sungai (θ) yang dapat dilihat pada Tabel 4.9 dan perhitungan ketinggian air (h o ) yang dapat dilihat pada Lampiran 9.

79 65 b. Pada alur Kali Putih kejadian aliran debris terjadi pada kemiringan dasar minimum 8,5 derajat dan kedalaman air minimum 0,032 m c. Proses perhitungan untuk mendapatkan nilai kedalaman air (h o ) dari Persamaan Takahashi dalam analisa ini masih mempunyai kelemahan antara lain: 1) Tidak sesuainya penggunaan HSS Nakayasu untuk daerah pegunungan, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan untuk mendapatkan nilai debit maksimum (Qp) yang terjadi, 2) Nilai koefisien manning (n) yang dibuat oleh Chow (1959), disarankan untuk saluran yang terawat baik, untuk kondisi tidak terawat nilainya harus diperbesar sesuai dengan situasi yang diperkirakan. Sedangkan sungai di pegunungan kondisinya tidak terawat sehingga memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam menentukan nilai koefisien manning (n). d. Sampel diambil pada saat tidak terjadi aliran debris, sedangkan kondisi yang ideal sampel diambil pada saat akan terjadi aliran debris, tapi hal ini sulit dilaksanakan karena disamping sulit memprediksi kapan terjadinya aliran debris juga faktor keamanan. e. Persamaan Takahashi diturunkan dalam kondisi ideal di laboratorium untuk bisa mendapatkan nilai sesuai (diandalkan) dengan kondisi yang nyata di lapangan perlu kecermatan dan ketelitian dalam pengambilan sampel di lapangan, khususnya dalam mendapatkan nilai kedalaman air (h o ).

80 66 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari data yang diperoleh melalui eksperimen, hasil analisa berdasarkan grafiik dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Intensitas hujan maksimum lebih besar dari 36 mm/jam akan menyebabkan terjadinya aliran debris. 2. Persentase estimasi mendasar terjadinya aliran debris terhadap Persamaan Takahashi tiap titik pada Kali Putih adalah: PU D2.2 sebesar 0,16%, PU D2.1 sebesar 8,31 %, PU D1.3 sebesar -14,1%, PU D1.2 sebesar 1.77%, PU D1.1 sebesar 0,16%, PU C10.3 sebesar 42,06%, PU C10.2 sebesar 8,56%, PU C10.1 sebesar 3,34%. 3. Parameter yang dominan mempengaruhi terjadinya aliran debris dari Persamaan Takahashi adalah kemiringan dasar sungai (θ) dan ketinggian air (h o ). Pada alur Kali Putih Gunung Merapi kejadian aliran debris terjadi pada kemiringan dasar minimum 8,5 derajat dan kedalaman air minimum 0,032 m. 4. Curah hujan anteseden memiliki pengaruh dominan terhadap terjadinya aliran debris. Akan tetapi tidak dapat digunakan sebagai parameter untuk memprediksi kejadian aliran debris

81 67 5. Persamaan Takahashi diturunkan dalam kondisi ideal di laboratorium, untuk penerapan Persamaan Takahashi dengan kondisi yang nyata di lapangan perlu kecermatan dan ketelitian dalam pengambilan sampel di lapangan, khususnya dalam menetapkan daerah yang di asumsikan sebagai tempat dimulainya aliran debris. 5.1 Saran 1. Dilakukan penelitian serupa dengan pengambilan sampel lebih disebelah hulu sungai dan dalam pengambilan sampel diperkirakan pada kondisi dimana curah hujan memungkinkan terjadinya aliran debris. 2. Di dalam satu sungai diharapkan mempunyai minimal dua lokasi sistem pantau yang digunakan untuk mendeteksi tempat awal kejadian aliran debris. 3. Dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pencarian nilai debit puncak menggunakan metode selain HSS Nakayasu. 4. Dalam satu DAS diharapkan memiliki minimal dua sistem pantau untuk mendeteksi terjadinya aliran debris. Dalam alur Kali Putih perlu dilakukan maintaining sistem pantau dan pengecakan secara intens pada titik PU-C10.3 sebagai titik rawan terjadi aliran debris.

82 68 DAFTAR PUSTAKA ASTM D , 2006, Standard Test Methods for Amount of Material in Soils Finer than No. 200 (75-μm) Sieve, ASTM International, West Conshohocken, PA, 2006, ASTM D , 1998, Standard Test Method for Laboratory Determination of Water (Moisture) Content of Soil and Rock by Mass, ASTM International, West Conshohocken, PA, 1998, ASTM D , 2004, Standard Test Method for Direct Shear Test of Soils Under Consolidated Drained Conditions, ASTM International, West Conshohocken, PA, 2004, ASTM D422-63, 2007, e2, Standard Test Method for Particle-Size Analysis of Soils (Withdrawn 2016), ASTM International, West Conshohocken, PA, 2007, ASTM D854-14, 2014, Standard Test Methods for Specific Gravity of Soil Solids by Water Pycnometer, ASTM International, West Conshohocken, PA, 2014, Balai Sabo, 2015, Penampang Memanjang Kali Putih, Yogyakarta. Balai Sabo, 2015, Peta Endapan Piroklastik Letusan Tahun 2010 Kawasan Merapi, Yogyakarta. Balai Sabo, 2015, Peta Sub DAS Kali Putih, Yogyakarta. BNPB, 2011, Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah Tahun Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Indonesia. Bronto, Sutikno, 2001, Volkanologi. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta. Chow, V.T., 1959, Open-Channel Hydraulics, McGraw-Hill, New York. Kusumobroto, H., 2006, Fenomena Aliran Debris dan Faktor Pembentuknya, Seminar Diseminasi Teknologi Sabo, Semarang.

83 69 Kusumosubroto, 2010, Fenomena Aliran Lahar (Debris Flow) Di Gunung Merapi dan Usaha Pembangunannya, Jurnal Sabo, Vol.1 No.1 November Legono, D., 1989, Pengukuran Angkutan Dasar Pada Sungai-Sungai Gunung Berapi, Seminar Hasil Penelitian Tahun 1987/1988, PAU IT UGM, Yogyakarta. Mananoma Tiny, Djoko Legono, 2007, Migrasi Sedimen Akibat Picuan Hujan (Kasus Kali Gendol Gunung Merapi Yogyakarta), Seminar, PIT XXII Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI), Makasar. Mukhlisin, M., 1998, Pengaruh Curah Hujan Terhadap Pembentukan Aliran Debris, Tesis UGM, Yogyakarta. Soemarto, C. D. 1987, Hidrologi Teknik, Usaha Nasional, Surabaya. Suharyono, 1993, Prakiraan Terjadinya Lahar untuk Keperluan Peringatan Dini di Daerah Gunung Merapi, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pengairan, No.27 TH.8-KW I,1993, hal Takahashi, T., 1979, Mechanical Characteristics of Debris Flow, Journal of Hydraulics Division, ASCE, Vol.104, No.HY8, p Takahashi, T., 1991, Debris Flow, A.A. Balkerna, Rotterdam. Triatmodjo, B., 2008, Hidrologi terapan, Beta Ofset, Yogyakarta.

84 70 LAMPIRAN 1 SURAT IJIN PENELITIAN HALAMAN 71-72

85 71

86 72

87 73 LAMPIRAN 2 FOTO DOKUMENTASI HALAMAN 74-78

88 Pengambilan sampel tanah dasar hulu Kali Putih 74

89 Pengujian analisa kadar air tanah 75

90 Pengujian analisa berat jenis tanah 76

91 Pengujian analisa butiran tanah 77

92 Pemeriksaan uji geser langsung tanah 78

PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006

PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006 PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006 Tiny Mananoma tmananoma@yahoo.com Mahasiswa S3 - Program Studi Teknik Sipil - Sekolah Pascasarjana - Fakultas

Lebih terperinci

Contents BAB I... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pokok Permasalahan Lingkup Pembahasan Maksud Dan Tujuan...

Contents BAB I... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pokok Permasalahan Lingkup Pembahasan Maksud Dan Tujuan... Contents BAB I... 1 PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2 Pokok Permasalahan... 2 1.3 Lingkup Pembahasan... 3 1.4 Maksud Dan Tujuan... 3 1.5 Lokasi... 4 1.6 Sistematika Penulisan... 4 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

MIGRASI SEDIMEN AKIBAT PICUAN HUJAN ( KASUS KALI GENDOL GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA )

MIGRASI SEDIMEN AKIBAT PICUAN HUJAN ( KASUS KALI GENDOL GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA ) 1 MIGRASI SEDIMEN AKIBAT PICUAN HUJAN ( KASUS KALI GENDOL GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA ) Tiny Mananoma Mahasiswa S3 Program Studi Teknik Sipil, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Djoko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Di Indonesia banyak sekali terdapat gunung berapi, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif. Gunung berapi teraktif di Indonesia sekarang ini adalah Gunung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia yang merupakan daerah katulistiwa mempunyai letak geografis pada 8 0 LU dan 11 0 LS, dimana hanya mempunyai dua musim saja yaitu musim hujan dan musim kemarau.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. yang berasal dari Sukarame, Bandar Lampung. Serta cornice adhesive atau

III. METODE PENELITIAN. yang berasal dari Sukarame, Bandar Lampung. Serta cornice adhesive atau III. METODE PENELITIAN A. Bahan Penelitian Pada penelitian ini sampel tanah yang digunakan adalah jenis tanah timbunan yang berasal dari Sukarame, Bandar Lampung. Serta cornice adhesive atau perekat gypsum

Lebih terperinci

UKURAN BUTIRAN TANAH DENGAN HIDROMETER (ASTM D )

UKURAN BUTIRAN TANAH DENGAN HIDROMETER (ASTM D ) VI. UKURAN BUTIRAN TANAH DENGAN HIDROMETER (ASTM D 1140-00) I. MAKSUD : Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk menentukan pembagian ukuran butir (gradasi) dari tanah yang lewat saringan no. 10. II. ALAT : 1.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aliran lahar atau banjir lahar dalam masyarakat Indonesia dipahami sebagai aliran material vulkanik yang biasanya berupa batuan, pasir dan kerikil akibat adanya aliran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang, Bendung Krapyak berada di Dusun Krapyak, Desa Seloboro, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada posisi 7 36 33 Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan memiliki kurang lebih 17.504 buah pulau, 9.634 pulau belum diberi nama dan 6.000 pulau tidak berpenghuni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang lalu adalah letusan terbesar jika dibandingkan dengan erupsi terbesar Gunung Merapi yang pernah ada dalam sejarah yaitu tahun 1872.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Soewarno (1991), proses sedimentasi meliputi proses erosi, transportasi (angkutan), pengendapan (deposition) dan pemadatan (compaction) dari sedimentasi itu sendiri. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia yang merupakan daerah katulistiwa mempunyai letak geografis pada 80 LU dan 110 LS, dimana hanya mempunyai dua musim saja yaitu musim hujan dan musim kemarau.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and Trans Asiatic Volcanic Belt dengan jajaran pegunungan yang cukup banyak dimana 129 gunungapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunungapi Merapi merupakan jenis gunungapi tipe strato dengan ketinggian 2.980 mdpal. Gunungapi ini merupakan salah satu gunungapi yang masih aktif di Indonesia. Aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT - 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai suatu negara kepulauan yang mempunyai banyak sekali gunungapi yang berderet sepanjang 7000 kilometer, mulai dari Sumatera, Jawa,

Lebih terperinci

PENGENDALIAN SEDIMEN. Aliran debris Banjir lahar Sabo works

PENGENDALIAN SEDIMEN. Aliran debris Banjir lahar Sabo works PENGENDALIAN SEDIMEN Aliran debris Banjir lahar Sabo works 29-May-13 Pengendalian Sedimen 2 Aliran Lahar (Kawasan G. Merapi) G. Merapi in action G. Merapi: bencana atau berkah? G. Merapi: sabo works 6-Jun-13

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI BAB III METODOLOGI

BAB III METODOLOGI BAB III METODOLOGI Contents BAB III... 48 METODOLOGI... 48 3.1 Lingkup Perencanaan... 48 3.2 Metode Pengumpulan Data... 49 3.3 Uraian Kegiatan... 50 3.4 Metode Perencanaan... 51 BAB III METODOLOGI 3.1 Lingkup Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alamiah aliran air, material yang dibawanya dari bagian hulu ke bagian hilir suatu daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Sungai merupakan torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alamiah aliran air,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Sungai merupakan torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alamiah aliran air,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara dengan gunung berapi terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah gunung berapi yang masih aktif

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel tanah Pasir ini berada di Kecamatan Pasir Sakti,

III. METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel tanah Pasir ini berada di Kecamatan Pasir Sakti, III. METODE PENELITIAN A. Metode Pengambilan Sampel Lokasi pengambilan sampel tanah Pasir ini berada di Kecamatan Pasir Sakti, Lampung Timur. Pengambilan sampel tanah pasir menggunakan tabung pipa paralon

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di daerah kawasan rawan bencana sub DAS Putih. Pemilihan lokasi sub DAS putih karena merupakan salah satu jalur yang terkena lahar

Lebih terperinci

Studi Pengaruh Lahar Dingin Pada Pemanfaatan Sumber Air Baku Di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi (Studi Kasus: Gunung Semeru)

Studi Pengaruh Lahar Dingin Pada Pemanfaatan Sumber Air Baku Di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi (Studi Kasus: Gunung Semeru) Studi Pengaruh Lahar Dingin Pada Pemanfaatan Sumber Air Baku Di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi (Studi Kasus: Gunung Semeru) Disusun oleh: Anita Megawati 3307 100 082 Dosen Pembimbing: Ir. Eddy S. Soedjono.,Dipl.SE.,MSc.,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Tinjauan Umum. B. Maksud dan Tujuan

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Tinjauan Umum. B. Maksud dan Tujuan BAB IV METODE PENELITIAN A. Tinjauan Umum Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui morfologi sungai Progo Hilir, porositas sedimen dasar sungai Progo Hilir pasca erupsi Gunung Merapi 2010, dan mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah satu bagian dari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Sampel tanah yang diambil meliputi tanah tidak terganggu (undistrub soil).

III. METODE PENELITIAN. Sampel tanah yang diambil meliputi tanah tidak terganggu (undistrub soil). III. METODE PENELITIAN A. Pekerjaan Lapangan Pekerjaan lapangan yang dilakukan adalah pengambilan sampel tanah. Sampel tanah yang diambil meliputi tanah tidak terganggu (undistrub soil). Sampel tanah diambil

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK i UCAPAN TERIMA KASIH ii DAFTAR ISI iii DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR TABEL viii BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 2 1.3 Tujuan Penelitian 3 1.4 Manfaat

Lebih terperinci

ANALISIS SEDIMENTASI DI MUARA SUNGAI PANASEN

ANALISIS SEDIMENTASI DI MUARA SUNGAI PANASEN ANALISIS SEDIMENTASI DI MUARA SUNGAI PANASEN Amelia Ester Sembiring T. Mananoma, F. Halim, E. M. Wuisan Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Sam Ratulangi Manado Email: ame910@gmail.com ABSTRAK Danau

Lebih terperinci

PERHITUNGAN DEBIT DAN LUAS GENANGAN BANJIR SUNGAI BABURA

PERHITUNGAN DEBIT DAN LUAS GENANGAN BANJIR SUNGAI BABURA PERHITUNGAN DEBIT DAN LUAS GENANGAN BANJIR SUNGAI BABURA TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi syarat penyelesaian pendidikan sarjana teknik sipil Disusun oleh : BENNY STEVEN 090424075 BIDANG STUDI TEKNIK

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. A. Lokasi penelitian

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. A. Lokasi penelitian BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di kawasan rawan bencana (KRB) Gunung Merapi di DAS Pabelan. Pemilihan lokasi DAS Pabelan karena merupakan salah satu jalur yang terkena

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERUSAKAN AKIBAT BANJIR BANDANG DI BAGIAN HULU SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LIMAU MANIS ABSTRAK

IDENTIFIKASI KERUSAKAN AKIBAT BANJIR BANDANG DI BAGIAN HULU SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LIMAU MANIS ABSTRAK VOLUME 9 NO.2, OKTOBER 2013 IDENTIFIKASI KERUSAKAN AKIBAT BANJIR BANDANG DI BAGIAN HULU SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LIMAU MANIS Farah Sahara 1, Bambang Istijono 2, dan Sunaryo 3 ABSTRAK Banjir bandang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Tinjauan Umum

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Tinjauan Umum BAB IV METODE PENELITIAN A. Tinjauan Umum Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui morfologi Sungai Progo bagian hilir, distribusi ukuran sedimen dan porositas sedimen dasar Sungai Progo pada tahun 2017.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunungapi Merapi merupakan gunung yang aktif, memiliki bentuk tipe stripe strato yang erupsinya telah mengalami perbedaan jenis erupsi, yaitu erupsi letusan dan leleran

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN digilib.uns.ac.id BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen yaitu metode yang dilakukan dengan mengadakan kegiatan pengujian

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

Titik pengukuran kecepatan aliran

Titik pengukuran kecepatan aliran BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Pengukuran Kecepatan Aliran Pengukuran kecepatan aliran diukur berdasarkan keadaan aliran pada saat pengambilan sampel sedimentasi.pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai letak sangat strategis, karena terletak di antara dua benua yaitu Asia dan Australia dan juga terletak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Umum Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Beton Fakultas Teknik Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara. Metode campuran beton yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini seperti mengumpulkan hasil dari penelitian terdahulu yang berkaitan

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini seperti mengumpulkan hasil dari penelitian terdahulu yang berkaitan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Pengumpulan Data Penelitian dimulai dari melakukan studi pustaka tentang embung dan megumpulkan data-data yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian ini seperti mengumpulkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik dan sesuai, maka diperlukan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik dan sesuai, maka diperlukan III. METODOLOGI PENELITIAN Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik dan sesuai, maka diperlukan langkah-langkah sistematis yang harus dilakukan diantaranya adalah : A. Populasi Populasi adalah subyek

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki 129 gunungapi yang tersebar luas mulai dari Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Banda, Kepulauan Halmahera dan Sulawesi

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Uraian Umum Penelitian ini meninjau kestabilan sebuah lereng yang terdapat Desa Tambakmerang, Kecamatan Girimarto, DAS Keduang, Wonogiri akibat adanya beban hujan 3 harian.

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH BANJIR LAHAR DINGIN TERHADAP PERUBAHAN KARAKTERISTIK MATERIAL DASAR SUNGAI

STUDI PENGARUH BANJIR LAHAR DINGIN TERHADAP PERUBAHAN KARAKTERISTIK MATERIAL DASAR SUNGAI STUDI PENGARUH BANJIR LAHAR DINGIN TERHADAP PERUBAHAN KARAKTERISTIK MATERIAL DASAR SUNGAI Jazaul Ikhsan 1, Arizal Arif Fahmi 2 1,2 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Salah satu fungsi pembangunan sabo dam adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Salah satu fungsi pembangunan sabo dam adalah untuk BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu fungsi pembangunan sabo dam adalah untuk mengendalikan aliran sedimen akibat erupsi gunung api. Daerah aliran sungai bagian hulu di sekitar gunung api aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara yang kaya akan gunung api dan merupakan salah satu negara yang terpenting dalam menghadapi masalah gunung api. Tidak kurang dari 30

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. 2. Air yang berasal dari Laboratorium Mekanika Tanah Fakultas Teknik

III. METODE PENELITIAN. 2. Air yang berasal dari Laboratorium Mekanika Tanah Fakultas Teknik 26 III. METODE PENELITIAN A. Bahan Bahan Penetilian 1. Sampel tanah yang digunakan pada penelitian ini yaitu berupa tanah lempung yang berasal dari Kecamatan Yosomulyo, Kota Metro, Provinsi Lampung. 2.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam dunia teknik sipil, teknologi mengenai beton merupakan hal yang wajib untuk dipahami secara teoritis maupun praktis mengingat bahwa beton merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di daerah kawasan rawan bencana DAS Krasak. Pemilihan lokasi DAS Krasak karena merupakan salah satu jalur/kawasan yang terkena lahar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Tempat yang akan dijadikan penelitian oleh penulis adalah di sungai Cikapundung tepatnya pada saluran Viaduct Bandung Kelurahan Braga Kecamatan Sumur

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Erosi Erosi adalah lepasnya material dasar dari tebing sungai, erosi yang dilakukan oleh air dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : a. Quarrying, yaitu pendongkelan batuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN BAHAN SUSUN BETON

PEMERIKSAAN BAHAN SUSUN BETON PEMERIKSAAN BAHAN SUSUN BETON 2.1. Umum Beton merupakan hasil campuran Semen Portland (PC), agregar halus (pasir), agregat kasar (krikil), dan air dengan atau tanpa bahan tambah (admixtures) dengan proporsi

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI 2.. Tinjauan Umum Untuk dapat merencanakan penanganan kelongsoran tebing pada suatu lokasi terlebih dahulu harus diketahui kondisi sebenarnya dari lokasi tersebut. Beberapa

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini sampel tanah yang digunakan adalah jenis tanah organik

III. METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini sampel tanah yang digunakan adalah jenis tanah organik III. METODE PENELITIAN A. Bahan Penelitian Pada penelitian ini sampel tanah yang digunakan adalah jenis tanah organik yang berasal dari Rawa Sragi, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur. Dan Cornice

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta merupakan gunung paling aktif di dunia. Gunung Merapi

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta merupakan gunung paling aktif di dunia. Gunung Merapi 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Gunung Merapi yang berada di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan gunung paling aktif di dunia. Gunung Merapi memiliki interval waktu erupsi

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI 2.1. Tinjauan Umum Untuk dapat merencanakan penanganan kelongsoran tebing pada suatu lokasi, terlebih dahulu harus diketahui kondisi existing dari lokasi tersebut. Beberapa

Lebih terperinci

KONDISI TANAH TAK JENUH DENGAN PENGUJIAN SOIL WATER CHARACTERISTIC CURVE

KONDISI TANAH TAK JENUH DENGAN PENGUJIAN SOIL WATER CHARACTERISTIC CURVE MENENTUKAN PARAMETER θ w, S r dan ( U a U w ) PADA KONDISI TANAH TAK JENUH DENGAN PENGUJIAN SOIL WATER CHARACTERISTIC CURVE Dian Afriani NRP : 0421064 Pembimbing : Ir. Ibrahim Surya, M. Eng FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA SURANTA Penyelidik Bumi Madya, pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Wilayah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bencana sedimen didefinisikan sebagai fenomena yang menyebabkan kerusakan baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kehidupan manusia dan kerusakan lingkungan, melalui suatu

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIKUM MATERIAL KONSTRUKSI

MODUL PRAKTIKUM MATERIAL KONSTRUKSI MODUL PRAKTIKUM MATERIAL KONSTRUKSI FERDINAND FASSA, S.T., M.T. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA 2016 1 I. PEMERIKSAAN KANDUNGAN LUMPUR DALAM PASIR A. Pendahuluan Pasir adalah butiran butiran mineral yang

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS SARINGAN

BAB VII ANALISIS SARINGAN BAB VII ANALISIS SARINGAN 7.1 ANALISIS SARINGAN 7.1.1 Referensi M Das, Braja.1993. Mekanika Tanah Jilid I. Jakarta: Erlangga. Bab 1 Tanah dan Batuan 17-24. 7.1.2 Tujuan Percobaan Menentukan gradasi atau

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sungai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sungai Sungai merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi. Air dalam sungai umumnya terkumpul dari presipitasi, seperti hujan, embun, mata air, limpasan bawah tanah, dan

Lebih terperinci

ANALISIS ANGKUTAN SEDIMEN TOTAL SUNGAI PERCUT KABUPATEN DELI SERDANG

ANALISIS ANGKUTAN SEDIMEN TOTAL SUNGAI PERCUT KABUPATEN DELI SERDANG ANALISIS ANGKUTAN SEDIMEN TOTAL SUNGAI PERCUT KABUPATEN DELI SERDANG TUGAS AKHIR Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil IKHWAN INDRAWAN 11 0404

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) (catchment, basin, watershed) merupakan daerah dimana seluruh airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksudkan. Daerah ini umumnya

Lebih terperinci

Himpunan mineral, bahan organik, dan endapan-endapan yg relatif lepas (loose) yg terletak di atas batuan dasar (bedrock) Proses pelapukan batuan atau

Himpunan mineral, bahan organik, dan endapan-endapan yg relatif lepas (loose) yg terletak di atas batuan dasar (bedrock) Proses pelapukan batuan atau Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dari bahan-bahan organik yang telah melapuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara periodik setiap tiga tahun, empat tahun atau lima tahun. Krisis Merapi yang berlangsung lebih dari

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PETA BENCANA LONGSORAN PADA RENCANA WADUK MANIKIN DI NUSA TENGGARA TIMUR

PENGEMBANGAN PETA BENCANA LONGSORAN PADA RENCANA WADUK MANIKIN DI NUSA TENGGARA TIMUR PENGEMBANGAN PETA BENCANA LONGSORAN PADA RENCANA WADUK MANIKIN DI NUSA TENGGARA TIMUR Hikmat NRP : 9021020 NIRM: 41077011900138 Pembimbing : Ir. Theo F. Najoan, M.Eng FAKULTAS TEKNIK JURUSAN SIPIL UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UJI BERAT JENIS TANAH ASTM D ERLENMEYER

UJI BERAT JENIS TANAH ASTM D ERLENMEYER UJI BERAT JENIS TANAH ASTM D-854-02 - ERLENMEYER 1. LINGKUP Percobaan ini mencakup penentuan berat jenis (specific gravity) tanah dengan menggunakan botol Erlenmeyer. Tanah yang diuji harus lolos saringan

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN HUBUNGAN ANTARA KADAR AIR DAN KEPADATAN PADA CAMPURAN TANAH SEMEN

METODE PENGUJIAN HUBUNGAN ANTARA KADAR AIR DAN KEPADATAN PADA CAMPURAN TANAH SEMEN METODE PENGUJIAN HUBUNGAN ANTARA KADAR AIR DAN KEPADATAN PADA CAMPURAN TANAH SEMEN 1. Ruang Lingkup a. Metode ini meliputi pengujian untuk mendapatkan hubungan antara kadar air dan kepadatan pada campuran

Lebih terperinci

Jenis Bahaya Geologi

Jenis Bahaya Geologi Jenis Bahaya Geologi Bahaya Geologi atau sering kita sebut bencana alam ada beberapa jenis diantaranya : Gempa Bumi Gempabumi adalah guncangan tiba-tiba yang terjadi akibat proses endogen pada kedalaman

Lebih terperinci

STUDI KAPASITAS INFILTRASI SEDIMEN DI KAWASAN RAWAN BENCANA PADA DAS PABELAN PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI TAHUN 2010

STUDI KAPASITAS INFILTRASI SEDIMEN DI KAWASAN RAWAN BENCANA PADA DAS PABELAN PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI TAHUN 2010 Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT) 5 217 ISSN : 2339-28X STUDI KAPASITAS INFILTRASI SEDIMEN DI KAWASAN RAWAN BENCANA PADA DAS PABELAN PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI TAHUN 2 Jazaul Ikhsan 1*, Puji

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lempung Rawa Sragi,

III. METODE PENELITIAN. Bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lempung Rawa Sragi, 30 III. METODE PENELITIAN A. Bahan Penelitian Bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lempung Rawa Sragi, Lampung Timur 2. Air yang berasal

Lebih terperinci

Cara uji kepadatan ringan untuk tanah

Cara uji kepadatan ringan untuk tanah Standar Nasional Indonesia Cara uji kepadatan ringan untuk tanah ICS 93.020 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Sampel tanah yang diuji menggunakan material tanah lempung yang disubtitusi

III. METODE PENELITIAN. Sampel tanah yang diuji menggunakan material tanah lempung yang disubtitusi III. METODE PENELITIAN A. Sampel Tanah Sampel tanah yang diuji menggunakan material tanah lempung yang disubtitusi dengan material pasir. Sampel tanah yang akan digunakan adalah dari daerah Belimbing Sari,

Lebih terperinci

Dosen pembimbing : Disusun Oleh : Dr. Ir. Ria Asih Aryani Soemitro,M.Eng. Aburizal Fathoni Trihanyndio Rendy Satrya, ST.

Dosen pembimbing : Disusun Oleh : Dr. Ir. Ria Asih Aryani Soemitro,M.Eng. Aburizal Fathoni Trihanyndio Rendy Satrya, ST. STUDI PERUBAHAN KARAKTERISTIK FISIK, MEKANIK, DAN DINAMIK TANAH TERHADAP SIKLUS PEMBASAHAN PADA TANAH LERENG DENGAN KEDALAMAN 5-20M DI NGANTANG- MALANG Disusun Oleh : Aburizal Fathoni 3110.1060.14 Abraham

Lebih terperinci

PERENCANAAN TUBUH EMBUNG ROBATAL, KECAMATAN ROBATAL, KABUPATEN SAMPANG

PERENCANAAN TUBUH EMBUNG ROBATAL, KECAMATAN ROBATAL, KABUPATEN SAMPANG PERENCANAAN TUBUH EMBUNG ROBATAL, KECAMATAN ROBATAL, KABUPATEN SAMPANG TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Program Studi Teknik Sipil Oleh : DONNY IRIAWAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Hidrologi Hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sistem kejadian air di atas pada permukaan dan di dalam tanah. Definisi tersebut terbatas pada hidrologi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

III. METODE PENELITIAN. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : III. METODE PENELITIAN A. Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Sampel tanah yang digunakan adalah tanah lempung yang terdapat yang terdapat di Kecamatan Kemiling,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Masyarakat Tangguh Bencana Berdasarkan PERKA BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, yang dimaksud dengan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 1. Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lempung yang berasal dari. daerah Karang Anyar, Lampung Selatan.

METODE PENELITIAN. 1. Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lempung yang berasal dari. daerah Karang Anyar, Lampung Selatan. III. METODE PENELITIAN A. Bahan Penelitian 1. Sampel tanah yang digunakan berupa tanah lempung yang berasal dari daerah Karang Anyar, Lampung Selatan. Gambar 5. Denah Lokasi Pengambilan Sampel Tanah Lempung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

Definisi dan Jenis Bencana

Definisi dan Jenis Bencana Definisi dan Jenis Bencana Definisi Bencana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai berikut: Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI. Gambar 4.1 Flow Chart Rencana Kerja Tugas Akhir

BAB IV METODOLOGI. Gambar 4.1 Flow Chart Rencana Kerja Tugas Akhir BAB IV METODOLOGI 4.1 Tinjauan Umum Penulisan laporan Tugas Akhir ini memerlukan adanya suatu metode atau cara yaitu tahapan tahapan dalam memulai penulisan sampai selesai, sehingga penulisan Tugas Akhir

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Lokasi Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium, Laboratorium yang digunakan pada penelitian ini adalah Laboratorium Teknologi Bahan, Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 1. Sampel tanah yang digunakan merupakan tanah lempung lunak yang

METODE PENELITIAN. 1. Sampel tanah yang digunakan merupakan tanah lempung lunak yang III. METODE PENELITIAN A. Bahan Penelitian 1. Sampel tanah yang digunakan merupakan tanah lempung lunak yang diambil dari Desa Sumber Agung, Kecamatan Seputih Mataram, Lampung Tengah. Gambar 3. Denah Lokasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Sampel tanah yang akan diuji adalah jenis tanah lempung yang diambil dari

III. METODE PENELITIAN. Sampel tanah yang akan diuji adalah jenis tanah lempung yang diambil dari III. METODE PENELITIAN A. Sampel Tanah Sampel tanah yang akan diuji adalah jenis tanah lempung yang diambil dari Desa Belimbing Sari, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur. B. Pelaksanaan Pengujian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Tanah longsor (landslide) merupakan salah satu bentuk bencana alam geologis yang sering terjadi di Indonesia.Hardiyatmo (2006), menyatakan bahwa longsoran adalah gerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lereng, hidrologi dan hidrogeologi perlu dilakukan untuk mendapatkan desain

BAB I PENDAHULUAN. lereng, hidrologi dan hidrogeologi perlu dilakukan untuk mendapatkan desain 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perencanaan sistem tambang terbuka, analisis kestabilan lereng, hidrologi dan hidrogeologi perlu dilakukan untuk mendapatkan desain tambang yang aman dan ekonomis.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Peristiwa banjir lahar dingin biasanya mengancam daerah-daerah di. yang lalu Gunung Merapi di Jawa Tengah meletus,

BAB 1 PENDAHULUAN. Peristiwa banjir lahar dingin biasanya mengancam daerah-daerah di. yang lalu Gunung Merapi di Jawa Tengah meletus, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peristiwa banjir lahar dingin biasanya mengancam daerah-daerah di sepanjang sungai yang dilalui material vulkanik hasil erupsi gunung berapi. Beberapa waktu yang lalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Sungai merupakan penampung dan penyalur alamiah aliran air, material yang di bawahnya dari bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan salah satu gunung teraktif di dunia, dan bencana Merapi merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi di Indonesia. Bahaya yang diakibatkan

Lebih terperinci

ANALISIS HIDROMETER ASTM D (98)

ANALISIS HIDROMETER ASTM D (98) ANALISIS HIDROMETER ASTM D-442-63 (98) 1. LINGKUP Metode ini mencakup penentuan dari distribusi ukuran butir tanah yang lolos saringan No. 200 2. DEFINISI Silt/lanau adalah tanah dengan ukuran butir antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan torehan di permukaan bumi yang merupakan penampungan dan penyalur alamiah aliran air, material yang dibawanya dari bagian hulu ke bagian hilir suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Definisi banjir ialah aliran air sungai yang tingginya melebih muka air normal, sehinga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel tanah lempung lunak ini berada di Rawa Seragi,

III. METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel tanah lempung lunak ini berada di Rawa Seragi, III. METODE PENELITIAN A. Metode Pengambilan Sampel Lokasi pengambilan sampel tanah lempung lunak ini berada di Rawa Seragi, Lampung Timur. Pengambilan sampel tanah menggunakan tabung pipa paralon sebanyak

Lebih terperinci

METODOLOGI BAB III III Tinjauan Umum

METODOLOGI BAB III III Tinjauan Umum III - 1 BAB III METODOLOGI 3.1 Tinjauan Umum Dalam suatu perencanaan embung, terlebih dahulu harus dilakukan survey dan investigasi dari derah atau lokasi yang bersangkutan guna memperoleh data yang berhubungan

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN NIP NIP Medan, Agustus 2015 Dosen Pembimbing

LEMBAR PENGESAHAN NIP NIP Medan, Agustus 2015 Dosen Pembimbing 0 LEMBAR PENGESAHAN Yang bertanda tangan dibawah ini, Pembimbing dan Pembanding pada seminar Tugas Akhir yang berjudul : Analisa Erosi dan Sedimentasi untuk Perkuatan Tebing dan Normalisasi Sungai Lawe

Lebih terperinci