6 ANALISIS SISTEM. 6.1 Pemodelan Sistem Dinamik

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6 ANALISIS SISTEM. 6.1 Pemodelan Sistem Dinamik"

Transkripsi

1 6 ANALISIS SISTEM 6.1 Pemodelan Sistem Dinamik Pemodelan sistem merupakan gugus kegiatan pembuatan model yang akan menggambarkan sistem yang dikaji (Forrester 1968; HPS Inc. 1994; Eriyatno 1999). Model yang dibangun adalah model simbolik (model matematik) deterministik. Pemodelan sistem dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer Stella 7.r. dari HPS, Inc (2001) Sub-model Model terdiri dari tiga sub model, yaitu populasi, ekonomi, dan ketersediaan ruang. Ketiga sub-model saling terhubung dengan beberapa peubah, dengan beragam parameter dan nilai awal. Blok bangunan dasar dalam bahasa Stella adalah meliputi stocks, flows, dan converter, seperti telah diuraikan pada Sub-bab Sub-model populasi Sub-model populasi menggambarkan dinamika penduduk berikut peubah yang menentukan dan ditentukannya. Peubah yang terlibat dalam sub-model ini antara lain meliput i: jumlah populasi, kelahiran, imigrasi, kematian, emigrasi, angkatan kerja, pengangguran, dan pertambahan penduduk. Kesemua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, yang diformulasikan secara numerik. Sub-model populasi terhubung dengan sub-model aktivitas ekonomi melalui peubah lapangan kerja-pengangguran, dan kemudahan tenaga kerjapercepatan investasi; sedangkan terhadap sub-model ketersediaan ruang melalui peubah kendala ruang-percepatan emigrasi_emigrasi, serta pertambahan penduduk-kebutuhan permukiman dan prasarana. Sub-model populasi disajikan pada Gambar 30, sedangkan persamaan lengkap disajikan pada Lampiran 4. Sub-model aktivitas ekonomi Sub-model aktivitas ekonomi menggambarkan dinamika perekonomian berikut peubah yang menentukan dan ditentukannya. Peubah-peubah yang terlibat dalam sub-model ini antara lain meliputi: aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000), pertumbuhan ekonomi, angkutan laut, industri, investasi, perikanan,

2 140 pertanian, sektor lain, wisata, dan lapangan kerja. Kesemua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, yang diformulasikan secara numerik. Sub-model aktivitas ekonomi terhubung dengan sub-model populasi melalui peubah lapangan kerja-pengangguran, dan kemudahan tenaga kerjapercepatan investasi; sedangkan terhadap sub-model ketersediaan ruang melalui peubah percepatan investasi-kendala ruang. Secara singkat sub-model aktivitas ekonomi disajikan pada Gambar 31, sedangkan persamaan lengkap disajikan pada Lampiran 4. Sub-model ketersediaan ruang Sub-model ketersediaan ruang menggambarkan dinamika kebutuhan dan penggunaan ruang berikut peubah yang menentukan dan ditentukannya. Peubahpeubah yang terlibat dalam sub-model ini antara lain meliputi: kawasan lindung darat, kawasan lindung perairan, lahan budidaya pesisir, lahan bisnis dan industri, lahan permukiman, lahan pertanian, lahan prasarana, perairan budidaya laut, perairan ikan tangkap, perairan militer, perairan pelabuhan, terumbu karang, degradasi sumberdaya pesisir, dan kendala ruang. Kesemua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, yang diformulasikan secara numerik. Sub-model ketersediaan ruang terhubung dengan sub-model populasi melalui peubah kendala ruang-percepatan imigrasi emigrasi, serta pertambahan penduduk-kebutuhan permukiman dan prasarana.; sedangkan terhadap sub-model aktivitas ekonomi melalui peubah percepatan investasi-kendala ruang. Secara singkat sub-model aktivitas ekonomi disajikan pada Gambar 32, sedangkan persamaan lengkap disajikan pada Lampiran Nilai awal dan parameter Dalam model yang dibangun, terdapat banyak variabel (peubah), yang setiap atau sekelompok peubah mewakili komponen sistem. Setiap atau sekelompok peubah akan berinteraksi dengan satu atau sekelompok peubah lain, dan menggambarkan karakteristik sistem. Interaksi antar peubah berlangsung melalui persamaan-persamaan, yang meliputi: stock, flow, auxilary, dan delay, seperti telah diuraikan pada Bab 3. Untuk melengkapi persamaan-persamaan tersebut, yang dapat menggambarkan karakteristik dan pola interaksi antar peubah

3 141 dalam komponen sistem, maka dibutuhkan nilai awal untuk stock dan parameter untuk peubah lainnya. Oleh karena itu, sesuai dengan tujuan pemodelan yaitu untuk mempelajari dinamika sistem dalam jangka panjang, maka penentuan nilai awal dan parameter dari berbagai peubah, menjadi penting. Gambar 30 Sub-model populasi SubModel Aktivi tasekonomi PerstLai n Sektor Lai n PercpInvest FraksiPertLain Pert SektorLain LapanganKerjaAwal FraksiPertWisata LapKerj adariperekonomi an PercpInvest LapanganKerja PerstEkonomi Pertumbuhan Ekonomi KebNaker Investasi NakerPDRB Investasi AKTIVITAS EKONOMI FraksiPertAngkt Laut Naker perinvest Fraksipert i nvest Kebangkrutan PertInvestasi PercpInvest PertAngktLaut TgktKebangkrutan Kendal aruang PercpInvest Dampak Pengangur PerstWi sata Per t Wi sat a Wi sat a PerstIkan PercpInvest PertPertanian Angkutan Laut Ikanawal PerstAngkl aut PertPerikanan Pengrhangktlaut PercpInvest PerstIkan Fraksi Pert Industri PertIndustri Industri Pertanian Rasiolhntani PercpInvest PerstIndst Pengrhangktlaut PerstTani Fraksi Pert Pertanian Fraksi Pert Perikanan RasioPerai ran LDGBD Perikanan Gambar 31 Sub-model aktivitas ekonomi Penentuan nilai awal dan parameter, dilakukan berdasarkan data sekunder (empirik) yang telah dikumpulkan, serta interpretasi citra satelit dan analisis SIG. Dalam hal tidak ditemuinya data sekunder untuk nilai awal dan parameter, maka

4 142 dilakukan perkiraan dari pengolahan data yang tersedia, atau melalui simulasi model yang meliputi simulasi per sub-model (sektor) atau penggunaan fungsi grafik yang terdapat dalam perangkat lunak Stella. Beberapa nilai awal dan parameter model, disajikan pada Tabel 34, dan secara lengkap disajikan pada Tabel Lampiran 3. Mukim per kapita Keb Pemukiman Prasarana per Kapita Keb Prasarana Pert Industri Pertambahan Reklamasi Lahan Permukiman Pertambahan Penduduk Lahan Prasarana Ruang per Investasi Lahan Bisnis dan Industri LAHAN TOTAL Sub Model Ketersediaan Ruang Penambahan Lahan Penurunan Lhn Tani Penetapan Lindung Darat Penyedian Lhn tak ramah lingk Lahan BD Ideal Rasio Lhn LDG BD Penyediaan Lahan Lahan Tersedia Kawasan Lindung Darat Keb Pemukiman Lahan Militer Lahan Wisata Pantai Keb Prasarana Laju kebutuhan lahan Laju perb lhn wisata Laju perb BD Pesisir Keb Lahan Militer Laju perb lhn wisata Keb Bisnis dan Industri Keb Pelabuhan Peruntukan Lindung Darat Pert Lahan Militer Pert Lahan Wisata Penetapan Lindung Darat Sbr lind darat Penetapan status menjadi lindung Penetapan Lindung Darat LAHAN TOTAL Peruntukan Semp Sungai Peruntukan Lindung Darat Keb Pemukiman Peruntukan Semp Pantai Kecepatan Reklamasi Perambahan TK Keb Bisnis dan Industri Keb Pelabuhan Perluasan pelabuhan KEBIJAKAN Peruntukan Lindung Darat Lahan sisa Semp Sungai Semp Pantai Pertambahan Reklamasi Lahan Pelabuhan Tahapan Kw Lindung Landuse tak sesuai Konversi Semp Pantai Lahan BD Pesisir Kawasan Lindung Darat Konversi Semp Sungai Laju perb BD Pesisir Reklamasi Lahan BD Terpakai Peruntukan Lindung Darat Lahan BD Keb Bisnis dan Industri Terpakai Keb Prasarana Prtk Lindung Lahan Atas Lindung Lahan Atas Keb Pemukiman Penyedian Lhn tak ramah lingk Konversi Semp Sungai Laju perb BD Pesisir Pert BD Pesisir Terumbu Karang Kaw Lindung Perairan Konversi Lahan Atas KEBIJAKAN Prtk Kw Lindung Perairan Rasio Perairan LDG BD KEBIJAKAN Lahan Rawa Pantai Perairan BD Ideal Tahapan Kw Lindung LAHAN TOTAL Perairan Pelabuhan Rasio Perairan LDG BD Penurunan Lhn Tani Perairan Militer Rasio lhn tani Kaw Lindung Perairan Terumbu Karang Rasio Lhn LDG BD Lahan Pertanian Keb Pemukiman Perairan BD Laut Laju perb pertanian PERAIRAN TOTAL Perb Perairan Pel Perairan BD Terpakai KEBIJAKAN Pert Lhan Tani Pengurangan Perairan Total Pertambahan Reklamasi Laju penambahan perairan pel Perairan Ikan Tangkap Konversi kws lindung perairan Laju prb lhn lain Penggunaan Lahan Lain Penambahan perairan BD Laut Penetapan status menjadi lindung Fraksi Pert Perikanan Perambahan TK Landuse tak sesuai Inkonsistensi tata ruang Degradasi SD Pesisir Kendala Ruang Gap penggunaan ruang Penurunan Lhn Lain Penggunaan Lahan Lain Gambar 32 Sub-model ketersediaan ruang

5 Tabel 34 Ringkasan beberapa nilai awal dan parameter model No. Peubah Deskripsi Nilai Awal / Parameter 1 AKTIVITAS_ Digambarkan dari nilai besarnya PDRB harga konstan di wilayah penelitian Rp juta S EKONOMI 2 POPULASI Jumlah penduduk total orang S 3 Kawasan_ Lindung_Darat Merupakan luas total kawasan lindung yang ditetapkan sesuai dengan kriteria. 0 ha E 4 Kaw_Lindung_ Perairan Merupakan luas total kawasan lindung perairan. 0 ha E 5 Lahan_ Permukiman Lahan yang digunakan untuk pemukiman penduduk ha PS 6 Lahan_BD_ Pesisir Lahan yang digunakan untuk tambak ha PS 7 Lahan_Bisnis_ Lahan yang digunakan untuk bisnis dan industri. 880 ha PS dan_industri 8 Lahan_Militer Lahan yang digunakan untuk pangkalan TNI-AL di Teluk Ratai. 115 ha PS 9 Lahan_Pelabuhan Luas lahan areal pelabuhan. 210 ha PS 10 Lahan_Pertanian Ruang yang digunakan untuk pertanian ha PS 11 Lahan_Prasarana Lahan untuk prasarana, termasuk fasos dan fasum. 890 ha PS 12 Lahan_Wisata_ Pantai Lahan yang digunakan untuk areal wisata pantai. 60 ha PS 13 Perairan_BD_Laut Merupakan luas perairan yang digunakan untuk kegiatan budidaya perikanan ha S 14 Perairan_Ikan_ Tangkap Merupakan perairan yang secara tradisional untuk menangkap ikan ha S 15 Perairan_Militer Merupakan perairan yang ditetapkan untuk pelatihan tempur laut TNI-AL ha S 16 Perairan_Pelabuhan Merupakan perairan pelabuhan, dan alur pelayaran ha S 17 KEBIJAKAN Merupakan faktor pengali yang mewakili kebijakan penetapan kawasan lindung dan E budidaya darat dan perairan. 18 Kendala_Ruang Menunjukkan kendala pengembangan wilayah. graph - E 19 Degradasi_SD_ Pesisir Degradasi sumberdaya pesisir akibat terjadinya konversi kawasan lindung maksimum. graph - E Keterangan: S = data sekunder; PS = Pengolahan data sekunder, analisis citra satelit, dan SIG; E = simulasi model, graph = fungsi grafik dari Stella. Satuan Pendugaan 143

6 Validasi model Validasi model merupakan pembuktian bahwa suatu model dapat secara konsisten memenuhi kisaran akurasi sesuai dengan rancangannya, hal ini merupakan titik kritis dalam pengembangan model. Namun demikian, tidak ada uji tertentu yang tersedia untuk menilai kebenaran suatu model. Lebih jauh lagi, tidak tersedia suatu algoritma tertentu yang dapat digunakan untuk menentukan teknik atau prosedur apa yang sesuai untuk digunakan. Oleh karena itu, setiap pengembangan model akan menghadirkan tantangan tersendiri (Sargent 1998). Dalam penelitian ini, validasi dilakukan untuk mengetahui validitas model yang telah dibangun, sehingga dapat dianggap layak untuk digunakan. Proses validasi yang dilakukan melibatkan dua kategori (tahap) pengujian, yaitu pengujian struktur dan pengujian perilaku model. Kedua proses tersebut dapat dianggap layak dalam proses validasi (Sushil 1993; Sargent 1998). (1) Validasi struktur model Validasi struktur model merupakan pengujian apakah model tidak bertentangan dengan mekanisme yang terjadi di dalam sistem nyata. Oleh karena itu, validasi struktur berhubungan dengan informasi dari literatur mengenai mekanisme sistem nyata. Proses validasi struktur, meliputi uji kesesuaian struktur dan konsistensi dimensi (Sushil 1993; Qudrat-Ullah 2005). Kesesuaian struktur model Model yang menggambarkan interaksi antara komponen populasi, aktivitas ekonomi, dan ketersediaan ruang, haruslah bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Dalam sistem yang demikian, hubungan antar peubah populasi dan penggunaan ruang, aktivitas ekonomi dan penggunaan ruang, aktivitas ekonomi dan populasi (lapangan kerja), haruslah bersifat positif (Graham 1976 in HPS 1990; Oppenheim 1980). Dalam model yang dibangun, sifat hubungan antar peubah tersebut harus dapat dibuktikan bersesuaian dengan mekanisme sistem nyata di wilayah pesisir Teluk Lampung. Untuk itu, dilakukan pengoperasian model yang telah dibangun, dan hasilnya disajikan pada Gambar 33 sampai Gambar 35 (data selengkapnya disajikan pada Lampiran 8). Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang

7 145 dibangun dapat memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Berdasarkan uji tersebut, disimpulkan bahwa struktur model dapat digunakan untuk mewakili mekanisme kerja sistem nyata. 9 Ruang Permukiman dan Perkotaan ( ribu ha ) Populasi (ribu orang) Gambar 33 Hubungan antara populasi dan penggunaan ruang permukiman dan perkotaan di wilayah pesisir Teluk Lampung 9,0 Ruang Permukiman dan Perkotaan ( ribu ha ) 7,8 6,6 5,4 4,2 3, Aktivitas Ekonomi (Rp Milyar) Gambar 34 Hubungan antara aktivitas ekonomi dan penggunaan ruang permukiman dan perkotaan di wilayah pesisir Teluk Lampung

8 Lapanmgan Kerja ( ribu orang ) Aktivitas Ekonomi (Rp milyar) Gambar 35 Hubungan antara aktivitas ekonomi dan lapangan kerja di wilayah pesisir Teluk Lampung Konsistensi dimensi Uji konsistensi dimensi merupakan pemeriksanaan atas semua persamaan matematis yang dibuat di dalam model, agar tidak terdapat kesalahan antara kedua sisi pada masing-masing persamaan. Uji konsistensi dilakukan berulang-ulang, dan telah dilaksanakan secara simultan dalam proses pengembangan model. (2) Validasi perilaku model Validasi perilaku model merupakan pengujian apakah model mampu membangkitkan perilaku yang mendekati sistem nyata. Proses pengujian ini dilakukan dengan membandingkan data hasil pemodelan dengan dunia nyata (data empirik). Pengujian dilakukan pada beberapa peubah yang meliputi: Populasi, Angkatan Kerja, Aktivitas Ekonomi, Investasi, Sektor Industri, Sektor Pertanian, Sektor Perikanan, Sektor Angkutan Laut dan Penyeberangan, Sektor Pariwisata, Sektor Lain, Lahan Permukiman dan Perkotaan, serta Lahan Budidaya Pesisir (tambak). Hasil pemodelan dibandingkan dengan data historis yang tersedia (tahun 2003 sampai 2007), untuk mengetahui apakah kedua nilai tengahnya (mean)

9 147 berbeda. Pengujian perbedaan kedua nilai tengah data dilakukan dengan menggunakan uji-t dua arah (two tail) pada taraf nyata 5%. Hasil pengujian model menunjukkan bahwa nilai tengah antara data historis dan data pemodelan dari peubah yang diuji, tidak berbeda nyata. Ringkasan hasil pengujian, disajikan pada Tabel 35, sedangkan data lengkap disajikan pada Lampiran 8. Berdasarkan validasi struktur dan perilaku, dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun adalah valid. Dengan demikian, maka terdapat cukup alasan untuk dapat menggunakan model yang dibangun dalam menggambarkan dinamika wilayah pesisir Teluk Lampung. Tabel 35 Pengujian nilai tengah (mean) data historis dan data pemodelan No Peubah Satuan Mean Data Nilai-t Kesimpulan Historis Model Hitung Tabel 1 Populasi orang ,19 2,31 TB 2 Angkatan Kerja orang ,29 2,31 TB 3 Aktivitas Ekonomi Rp juta ,02 2,31 TB 4 Investasi Rp juta ,29 2,31 TB 5 Produk Sektor Industri Rp juta ,15 2,31 TB 6 Produk Sektor Pertanian Rp juta ,00 2,31 TB 7 Produk Sektor Perikanan Rp juta ,01 2,31 TB 8 Produk Sektor Angkutan Rp juta ,05 2,31 TB Laut dan Penyeberangan 9 Produk Sektor Pariwisata Rp juta ,28 2,31 TB 10 Produk Sektor Lain Rp juta ,09 2,31 TB 11 Lahan Permukiman dan ha ,21 2,31 TB Perkotaan 12 Lahan Budidaya Pesisir (Tambak) ha ,37 2,31 TB Keterangan: TB = tidak berbeda nyata menurut uji t-student dua arah, pada taraf nyata 5%. 6.2 Informasi Geografis Wilayah Penutupan lahan Luas lahan wilayah pesisir Teluk Lampung yang termasuk dalam wilayah penelitian adalah ha. Berdasarkan interpretasi citra satelit Landsat TM-7 tahun 2009, diketahui bahwa penutupan lahan yang dominan adalah pertanian lahan kering. Penutupan lahan terluas berupa campuran tanaman pangan, tanaman kebun, dan semak, meliputi 40,85% lahan; kemudian disusul oleh penutupan yang didominasi oleh tanaman kebun sebesar 33,68%. Penutupan lahan berupa bangunan yang meliputi permukiman, perkotaan, dan industri hanya sekitar 3,87%; dan pada areal yang berbatasan dengan perairan adalah tambak (4,88%).

10 148 Kondisi penutupan hutan di wilayah pesisir Teluk Lampung, sudah sangat sedikit. Hutan primer hanya tersisa sekitar ha (1,24%) yang terkonsentrasi di Lampung Selatan (Gunung Rajabasa di Kecamatan Rajabasa), dan hutan bekas tebangan seluas ha (7,78%) yang terkonsentrasi di Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran. Pada areal yang berbatasan dengan perairan, penutupan hutan mangrove sudah hampir habis, yaitu hanya tersisa sekitar 342 ha (0,27%), yang terdapat di Pesawaran. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penutupan lahan oleh vegetasi alami (hutan) di wilayah pesisir Teluk Lampung, sudah cukup kritis dan memerlukan tindakan penataan yang efektif. Informasi mengenai penutupan lahan, disajikan pada Tabel 36 dan Gambar Kemampuan lahan Pengelompokan kelas kemampuan lahan di wilayah pesisir Teluk Lampung dilakukan mengikuti sistem USDA (Klingibeel dan Montgomery 1961 diacu dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Dalam sistem tersebut, lahan dikelompokkan dalam delapan kelas yaitu kelas 1 sampai kelas 8, yang berturutturut mencirikan tingkat besarnya faktor penghambat penggunaan lahan yang bersangkutan. Deskripsi dari masing-masing kelas kemampuan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Lahan kelas 1, sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Lahannya datar, bersolum dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah, dan responsif terhadap pemupukan, tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan. 2) Lahan kelas 2, mempunyai beberapa penghambat yang memerlukan usaha pengawetan tanah tingkat sedang. Faktor penghambat adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat: lereng, kepekaan erosi atau erosi yang telah terjadi, kedalaman tanah, struktur tanah, sedikit gangguan salinitas atau Na tetapi mudah diperbaiki, kadang tergenang atau banjir, drainase buruk yang mudah diperbaiki, dan iklim sedikit menghambat. 3) Lahan kelas 3, mempunyai penghambat yang agak berat dan memerlukan usaha pengawetan tanah khusus. Faktor penghambat adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat: lereng agak curam, kepekaan erosi agak tinggi atau erosi yang telah terjadi cukup berat, sering tergenang banjir,

11 149 permeabilitas sangat lambat, masih sering tergenang meskipun drainase telah diperbaiki, dangkal, daya menahan air rendah, kesuburan rendah dan tidak mudah diperbaiki, salinitas atau kandungan Na sedang, dan penghambat iklim sedang. 4) Lahan kelas 3, mempunyai penghambat yang berat dan memerlukan pengelolaan. Penggunaan lahan sangat terbatas karena salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat: lereng curam, kepekaan erosi besar, erosi yang telah tejadi berat, tanah dangkal, daya menahan air rendah, sering tergenang banjir yang menimbulkan keru-sakan berat pada tanaman, drainase terhambat dan masih sering tergenang meskipun telah dibuat saluran drainase, salinitas atau kandungan Na agak tinggi, penghambat iklim sedang. 5) Lahan kelas 5 mempunyai sedikit atau tanpa bahaya erosi, tetapi mempunyai penghambat lain yang praktis sukar dihilangkan. Lahan ini datar, akan tetapi mempunyai salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat: drainase yang sangat buruk atau terhambat, sering kebanjiran, berbatubatu, dan penghambat iklim cukup besar. 6) Lahan kelas 6, mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian. Lahan ini mempunyai penghambat yang sulit sekali diperbaiki, yaitu salah satu atau lebih sifat-sifat: lereng sangat curam, bahaya erosi atau erosi yang telah terjadi sangat berat, berbatubatu, dangkal, drainase sangat buruk atau tergenang, daya menahan air rendah, salinitas atau kandungan Na tinggi, dan penghambat iklim besar. 7) Lahan kelas 7, memiliki faktor penghambat yang lebih besar, yaitu salah satu atau kombinasi sifat-sifat: lereng terjal, erosi sangat berat, tanah dangkal, berbatu-batu, drainase terhambat, salinitas atau kandungan Na sangat tinggi, dan iklim sangat menghambat. 8) Lahan kelas 8, memiliki faktor penghambat yang sangat besar dan tidak dapat diperbaiki, sehingga harus dibiarkan dalam keadaan alami atau dibawah vegetasi hutan. Penghambat dari lahan ini adalah salah satu atau lebih sifat-sifat: erosi atau bahaya erosi sangat berat, iklim sangat buruk, tanah selalu tergenang, berbatu-batu, kapasitas menahan air sangat rendah, salinitasnya atau kandungan Na sangat tinggi, dan sangat terjal.

12 Tabel 36 Penutupan lahan wilayah penelitian No Kecamatan Penutupan Lahan (ha) A B C D E F G H I J K L M Jumlah 1 Katibung Sidomulyo Kalianda Rajabasa Bakauheni Teluk Betung Barat Teluk Betung Selatan Panjang Padang Cermin Punduh Pidada Jumlah Keterangan: A = Hutan Primer; B = Hutan Bekas Tebangan; C= Mangrove; D = Semak belukar; E = Dominan Tanaman Pangan; F = Campuran Pangan, Kebun, dan Semak; G = Dominan Tanaman Kebun; H = Sawah; I = Tambak; J = Tanah Terbuka; K = Rawa; L = Tertutup Bangunan; M = Tertutup Awan. Tabel 37 Kelas kemampuan lahan wilayah penelitian No. Kecamatan Kemampuan Lahan (ha) Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6 Kelas 7 Kelas 8 Jumlah 1 Katibung Sidomulyo Kalianda Rajabasa Bakauheni Teluk Betung Barat Teluk Betung Selatan Panjang Padang Cermin Punduh Pidada Jumlah

13 Gambar 36 PETA PENUTUPAN LAHAN

14 Gambar 37 PETA KEMAMPUAN LAHAN 52

15 153 Berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan di atas, dan kondisi lahan yang ada, terutama sistem lahan dan kelerengan (seperti telah disajikan pada Sub-Bab 4.1.3), dilakukan analisis pengelompokan kelas lahan di wilayah studi. Hasil analisis kemampuan lahan, disajikan pada Tabel 37 dan Gambar 37. Dari analisis kelas kemampuan lahan, nampak bahwa wilayah pesisir Teluk Lampung memiliki lahan dengan faktor penghambat besar (kelas 6, 7, dan 8), seluas ha (sekitar 32% dari luas lahan total). Sebaran lahan dengan faktor penghambat besar tersebut, terutama terdapat di Kabupaten Pesawaran (Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada), yaitu mencapai ha. Sebaran lahan dengan faktor penghambat lebih kecil (kelas 1, 2, 3, dan 4) berjumlah ha (65,47%), dan terutama terdapat di Kabupaten Lampung Selatan yaitu seluas ha (41,70%). Adapun kelas lahan dengan penghambat khusus berupa genangan air dan drainase buruk (kelas 5), terdapat seluas ha (2,54%). Lahan kelas 5 terdapat pada pantai yang berlereng datar dan berawa, umumnya merupakan habitat vegetasi mangrove, namun pada saat ini sebagian besar telah telah dikonversi menjadi tambak. Dari sebaran kelas lahan, tampak bahwa wilayah pesisir Teluk Lampung, hanya mampu mendukung aktivitas budidaya daratan (pertanian dan nonpertanian) yang terbatas sekitar 65,47% dari luas lahan. Merujuk pada penutupan lahan saat ini, tampak bahwa sebagian aktivitas budidaya pertanian dan nonpertanian sudah mencapai luas sekitar ha (Tabel 36), sudah menunjukkan bahwa sebagian dari aktivitas budidaya telah menggunakan lahan yang berpenghambat besar. Jumlah tersebut belum lagi termasuk tutupan vegetasi hutan yang telah dirambah dan berubah menjadi hutan bekas tebangan dan semak belukar, yang mencapai luas ha. Penggunaan lahan berpenghambat besar untuk aktivitas budidaya, harus dikurangi dan dihentikan. Terdapat dua alasan bagi kepentingan tersebut, yaitu pertama lahan yang bersangkutan memiliki fungsi lindung dan selayaknya dijadikan kawasan lindung, dan kedua produktivitas lahan berpenghambat besar adalah rendah bagi aktivitas budidaya. Oleh karena itu, lahan berpenghambat besar selayaknya ditetapkan sebagai kawasan lindung, yang berfungsi melindungi kawasan di bawahnya.

16 Penggunaan perairan Luas total perairan di dalam wilayah studi yang dihitung dari analisis SIG adalah ha. Aktivitas utama pengguna ruang perairan adalah angkutan (perhubungan) laut, TNI-AL, dan perikanan, adapun aktivitas pengguna lainnya adalah pariwisata, permukiman dan perkotaan yang berbatasan dengan perairan. Hasil analisis SIG menunjukkan bahwa perikanan tangkap merupakan aktivitas yang paling banyak menggunakan ruang perairan sebagai wilayah tangkap (fishing ground), serta TNI-AL untuk area kepentingan latihan pertempuran laut. Informasi mengenai penggunaan ruang perairan disajikan pada Tabel 38, dan Gambar 38. Tabel 38 Penggunaan ruang perairan Teluk Lampung No. Penggunaan Perairan Luas (ha) 1. Kepentingan pelayaran Daerah latihan TNI AL Perairan wilayah tangkap Perairan perikanan budidaya Terumbu karang dan padang lamun Perairan yang telah direklamasi di Bandar Lampung Perairan yang telah direklamasi di Lampung Selatan dan Pesawaran 200 Sumber: Dishidros TNI-AL (1998), Pemerintah Provinsi Lampung (2006a, 2006b), Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung (2007), Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung (2007), Interpretasi Citra Landsat TM-7 (2009) Pada dasarnya penggunaan ruang perairan oleh berbagai aktivitas, tidaklah bersifat kaku, namun lebih bersifat temporal, kecuali untuk perikanan budidaya laut (terutama kerang mutiara) dan perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap statis. Oleh karena itu, terdapat banyak penggunaan ruang perairan yang tumpang tindih antar berbagai aktivitas, seperti kepentingan perikanan dengan TNI-AL, dan perikanan dengan perhubungan laut. Dari analisis SIG dapat dihitung luas tumpang tindih antara areal perikanan tangkap dengan daerah latihan TNI-AL mencapai ha, yaitu sekitar 45% dari daerah latihan merupakan wilayah tangkap bagi nelayan. Tumpang tindih antara daerah lingkungan kepentingan (DLKp) pelabuhan dengan wilayah tangkap adalah 291 ha, yaitu daerah banyak sero (alat tangkap statis). Alur pelayaran juga tumpang tindih dengan wilayah tangkap dan daerah latihan

17 155 TNI-AL. Di samping itu, kawasan terumbu karang dan padang lamun juga tumpang tindih dengan daerah perikanan budidaya laut (kerang mutiara dan keramba jaring apung) yang banyak terdapat di wilayah pantai atau dan pulaupulau kecil (Sebuku, Legundi, dan Lahu), serta wilayah tangkap. Kondisi yang perlu diperhatikan secara lebih baik adalah keberadaan terumbu karang yang semakin terancam dengan beragam aktivitas pengguna ruang perairan. Sebagai ekosistem pesisir, terumbu karang dengan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah satu kekayaan yang dapat menunjang produksi perikanan, bahan baku farmasi, obyek wisata bahari, bahan hiasan dan akuarium ikan laut, tempat pemijahan ikan, tempat mencari ikan, tempat asuhan dan pembesaran dan pelindung pantai dari hempasan ombak. Kerusakan ekosistem terumbu karang umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Kerusakan ini akan menyebabkan berkurangnya atau menghilangkan fungsi dan manfaat terumbu karang bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Ancaman terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang akan semakin meningkat, saat ini laju kerusakan terumbu karang mencapai 3% per tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007). Jika tidak mendapat perlindungan, maka keberadaan terumbu karang dapat mengalami kerusakan total dalam waktu beberapa tahun ke depan. Dengan demikian, perlindungan ekosistem perairan harus diperhatikan dalam penggunaan ruang Jaringan transportasi Transportasi di wilayah pesisir Teluk Lampung meliputi dua moda yaitu angkutan jalan serta angkutan laut dan penyeberangan. Secara hierarkis, kedua moda angkutan tersebut dapat dikelompokkan dalam dua tingkatan yaitu lokal/regional yang melayani kepentingan lokal antar wilayah kecamatan, atau wilayah kecamatan dari dan ke pusat perekonomian di Bandar Lampung; dan angkutan nasional/internasional yang melayani kepentingan antar wilayah atau pulau-pulau utama dan ekspor-impor antar negara. Informasi mengenai orientasi transportasi di wilayah pesisir Teluk Lampung, disajikan pada Gambar 39.

18 Gambar 38 PETA PENGGUNAAN RUANG PERAIRAN 56

19 157 Terdapat prasarana jalan nasional yaitu Lintas Tengah Sumatera yang menghubungkan wilayah Bandar Lampung (terutama Kecamatan Panjang) dengan Kabupaten Lampung Selatan. Jalan penghubung antara wilayah Kota Bandar Lampung dengan wilayah Kabupaten Pesawaran adalah jalan provinsi. Ruas jalan nasional dan provinsi tersebut terhubung dengan jalan kabupaten dan desa yang dapat menjangkau seluruh wilayah kecamatan di pesisir Teluk Lampung. Selain prsarana jalan, juga terdapat terminal penumpang tipe B di Kecamatan Panjang (Kota Bandar Lampung), serta tipe C di Kecamatan Teluk Betung Selatan (Kota Bandar Lampung), dan di Kalianda (Kabupaten Lampung Selatan). Prasarana angkutan laut dan penyeberangan yang meliputi pelabuhan dan dermaga di wilayah pesisir Teluk Lampung, lebih terkonsentrasi di wilayah Kota Bandar Lampung, seperti telah disajikan pada Bab 4. Pelabuhan, dermaga, dan DUKS di wilayah Teluk Lampung umumnya berfungsi sebagai angkutan laut untuk barang, baik lokal/regional maupun nasional/internasional. Adapun angkutan penumpang hanya berupa angkutan penyeberangan yang bersifat lokal/regional. Pada tingkat lokal/regional, angkutan jalan melayani kepentingan transportasi barang dan penumpang yang berasal dari satu kecamatan menuju kecamatan lain, atau dari dan menuju pusat perekonomian di Kota Bandar Lampung. Orientasi transportasi jalan lokal/regional adalah sebagai berikut: Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada di Kabupaten Pesawaran berorientasi ke Bandar Lampung (terutama Kecamatan Teluk Betung Barat dan Selatan), dan sebaliknya. Kecamatan Ketibung, Sidomulyo, Kalianda, Rajabasa, dan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan berorientasi ke Bandar Lampung (terutama Panjang), dan sebaliknya. Kecamatan Rajabasa dan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan, secara terbatas juga berorientasi ke Kalianda. Orientasi angkutan lokal/regional selalu bersimpul di wilayah Bandar Lampung, dan tidak terdapat hubungan angkutan jalan yang langsung antara wilayah Kabupaten Pesawaran dan Lampung Selatan Pada tingkat lokal/regional, angkutan laut dan penyeberangan melayani kepentingan transportasi barang dan penumpang yang berasal dari satu kecamatan

20 158 menuju kecamatan lain, atau dari dan menuju pusat perekonomian di Kota Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung Barat dan Teluk Betung Selatan). Orientasi transportasi laut dan penyeberangan lokal/regional, dapat dideskripsikan sebagai berikut: Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada (dengan Pulau Kecil terutama Legundi, Puhawang, dan Kelagian) di Kabupaten Pesawaran berorientasi ke Bandar Lampung (terutama Kecamatan Teluk Betung Barat dan Selatan), dan sebaliknya. Pulau kecil Sebuku dan Sebesi di Kabupaten Lampung Selatan berorientasi ke Kecamatan Kalianda, dan sebaliknya. Orientasi angkutan laut dan penyeberangan lokal/regional lebih berperan di wilayah Bandar Lampung dan Pesawaran, sedangkan di Lampug Selatan hanya sedikit sekali. Tidak terdapat hubungan angkutan laut dan penyeberangan yang langsung antara wilayah Kabupaten Pesawaran dan Lampung Selatan. Angkutan jalan pada tingkat nasional di wilayah pesisir Teluk Lampung, merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem angkutan jalan nasional. Wilayah ini memiliki fungsi ganda yaitu sebagai daerah asal, tujuan, dan perlintasan angkutan jalan antara Pulau Jawa dan Sumatera. Pergerakan barang dan penumpang angkutan jalan akan melalui wilayah pesisir Teluk Lampung (Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan), kemudian menerus pada lintas penyeberangan Merak-Bakauheni. Oleh karena itu, angkutan jalan yang ada merupakan penunjang perekonomian wilayah yang lebih luas yaitu Provinsi Lampung dan provinsi lain di Pulau Sumatera serta Pulau Jawa.. Orientasi transportasi jalan nasional adalah sebagai berikut: Penumpang dan barang dari Provinsi Lampung dan provinsi lain di Pulau Sumatera, melalui Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan, kemudian menerus pada lintas penyeberangan Merak-Bakauheni, dan sebaliknya. Penumpang dan barang dari daerah sekitar Kalianda di Kabupaten Lampung Selatan, kemudian menerus pada lintas penyeberangan Merak- Bakauheni, dan sebaliknya.

21 159 Wilayah Kota Bandar Lampung merupakan salah satu simpul angkutan jalan nasional. Angkutan laut nasional/internasional, hanya melayani kepentingan transportasi barang dan tidak melayani penumpang. Pada tahun 1980-an terdapat angkutan penumpang dari Srengsem menuju Jakarta, dan tahun 1990-an dari Sukaraja (Kecamatan Teluk Betung Selatan) dan Kecamatan Panjang di Kota Bandar Lampung menuju Jakarta, dan sebaliknya. Namun sejak tahun 2005 sampai saat ini, angkutan penumpang dari dan ke Pulau Jawa hanya menggunakan moda angkutan jalan dan menerus ke lintas penyeberangan Merak-Bakauheni. Komoditas yang menggunakan angkutan laut, antara lain meliputi hasil pertanian (terutama kopi) dan perikanan, crude palm oil (CPO), karet lembar dan crumb, nanas kaleng, udang beku, gula, batubara, pulp, semen, pupuk, bahan bakar minyak (BBM), alat berat dan permesinan, kayu dan produk olahannya, pakan ternak, dan ternak hidup. Orientasi transportasi laut nasional/internasional adalah sebagai berikut: Angkutan barang antar pulau dari dan ke luar Lampung yang melalui Laut Jawa dan Selat Malaka, akan melewati alur pelayaran di Pulau Sebuku (bagian timur mulut teluk); dan yang melalui Samudera Hindia, akan melewati alur pelayaran di Pulau Legundi (bagian barat mulut teluk). Angkutan barang internasional dari dan ke luar Lampung yang melalui Singapura dan Laut Jawa, akan melewati alur pelayaran di Pulau Sebuku (bagian timur mulut teluk); dan yang melalui Samudera Hindia, akan melewati alur pelayaran di Pulau Legundi (bagian barat mulut teluk). 6.3 Kecenderungan Sistem Analisis kecenderungan ditujukan untuk mengeksplorasi perilaku sistem dalam jangka panjang, melalui simulasi model (Forrester 1968, 1998; White dan Engelen 2000; Winz 2005; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005). Periode simulasi ditetapkan selama 20 tahun dihitung dari saat dilakukannya penelitian, yaitu tahun 2009; dan selama 26 tahun bila dihitung dari ketersediaan data historis, yaitu dari tahun Pemilihan kurun waktu tersebut disesuaikan dengan lingkup waktu perencanaan tata ruang yaitu 20 tahun.

22 Gambar 39 PETA ORIENTASI TRANSPORTASI 60

23 161 Simulasi model dilakukan dengan peubah kebijakan bernilai nol (0), yaitu tidak ada penegakan peraturan yang tegas untuk kawasan lindung baik darat maupun perairan. Pada kondisi tersebut, penggunaan ruang sepenuhnya hanya bergantung pada nilai finansial jangka pendek dan kebutuhan populasi dalam pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, tidak dipertimbangkan adanya kawasan lindung yang perlu dipertahankan di dalam wilayah pesisir Teluk Lampung. Dalam kurun waktu simulasi tersebut, diungkapkan perkembangan yang mungkin terjadi pada peubah-peubah yang dikaji. Peubah yang disimulasi meliputi peubah yang dianggap dapat mewakili gambaran dinamika wilayah pesisir Teluk Lampung, yaitu: 1) Populasi, angkatan kerja, dan lapangan kerja; 2) Aktivitas ekonomi (PDRB) dan investasi; 3) Sektor-sektor ekonomi di wilayah pesisir; 4) Penggunaan ruang budidaya daratan dan pemanfaatan umum perairan. Dari perkembangan peubah yang diamati, dapat dirumuskan kebijakan penataan ruang untuk perbaikan di masa depan. Dinamika beberapa peubah sistem dalam kurun waktu disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 40 sampai dengan Gambar 47, data tabulasi lengkap dari hasil simulasi disajikan pada Lampiran Populasi Simulasi menunjukkan bahwa populasi (penduduk) terus tumbuh dengan pola seperti yang didapatkan oleh White dan Engelen (2000), Aurambout et al. (2005), Winz (2005), dan Yufeng dan ShuSong (2005). Populasi dan angkatan kerja di wilayah Pesisir Teluk Lampung terus tumbuh dari orang pada tahun 2003 menjadi orang pada akhir tahun simulasi (Gambar 40). Laju pertumbuhan populasi antara tahun 2003 sampai 2007 relatif tinggi, namun menjadi lebih rendah di atas tahun Pola pertumbuhan penduduk diikuti secara relatif sama oleh pertumbuhan angkatan kerja, yang akan mencapai jumlah orang pada tahun Adapun lapangan kerja juga meningkat, dari tahun 2003 sebanyak orang, menjadi orang pada tahun Penyediaan lapangan kerja selalu berada

24 162 di bawah angkatan kerja sehingga selalu terdapat pengangguran, yang cenderung terus meningkat sampai akhir tahun simulasi, yaitu mencapai atau mencapai 10,38% dari angkatan kerja Ribu orang Populasi Angkatan Kerja Lapangan Kerja Gambar 40 Kecenderungan populasi, angkatan kerja, dan lapangan kerja di wilayah pesisir Teluk Lampung Aktivitas Ekonomi Aktivitas ekonomi wilayah pesisir Teluk Lampung digambarkan dari produk domestik regional bruto (PDRB harga konstan tahun 2000). Simulasi menunjukkan bahwa pertumbuhan aktivitas ekonomi merupakan akibat dari adanya aktivitas yang terkait dengan populasi dan investasi, serta dipengaruhi oleh kondisi sumberdaya dan lingkungan, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Deal dan Schunk (2004), Yufeng dan ShuSong (2005). Gangai dan Ramachandran (2010), Liangju el al. (2010). Hasil simulasi model pada Gambar 41, menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi meningkat cukup tajam antara tahun 2003 sampai 2008, serta 2016 sampai 2020, setelah tahun 2020 petumbuhan terus melambat. Pada akhir tahun simulasi, PDRB harga konstan mencapai Rp 7,41 triliun. Kondisi yang berbeda terjadi dengan investasi, pada awal simulasi pertumbuhannya relatif merata dari

25 163 awal sampai akhir tahun simulasi. Pada tahun 2029, investasi mencapai Rp 1,41 triliun. Gambar 42 menyajikan simulasi produk sektor-sektor ekonomi sebagai komponen PDRB harga konstan tahun Sektor industri mengalami pertumbuhan yang semakin meningkat, dan pada akhir simulasi telah mencapai nilai sebesar Rp 1,49 triliun. Sektor lain yang menunjukkan peningkatan adalah angkutan laut dan pariwisata, namun tidak setajam sektor industri Sektor yang menunjukkan pertumbuhan melambat dan kemudian terus menurun adalah perikanan dan pertanian Rp Milyar Aktivitas Ekonomi Investasi Gambar 41 Kecenderungan aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000) dan investasi di wilayah pesisir Teluk Lampung Pada akhir tahun simulasi nilai kontribusi sektor pariwisata terhadap aktivitas ekonomi Rp 0,14 triliun, yaitu meningkat dari nilai pada tahun 2003 hanya Rp 0,06 triliun. Sektor angkutan laut dapat tumbuh lebih pesat daripada sektor pariwisata, pada tahun 2003 hanya bernilai Rp 0,12 triliun, dan pada tahun 2029 meningkat menjadi Rp 0,47 triliun. Sektor pertanian meningkat pada awal simulasi, kemudian melambat dan terus menurun sampai akhir simulasi tahun Pada tahun 2003 nilai sektor

26 164 pertanian mencapai Rp 0,43 triliun, dan pada kahir tahun simulasi hanya meningkat menjadi Rp 0,79 triliun. Pelambatan kenaikan tersebut terkait dengan perubahan penggunaan ruang dan struktur ekonomi yang semakin cenderung kepada industri (sektor sekunder) dan permukiman. Di sisi lain ekstensifikasi penggunaan lahan untuk pertanian sudah tidak dimungkinkan lagi, karena lahan dengan daya dukung tinggi sudah tidak lagi tersedia Rp Milyar Pertanian Perikanan Industri Angkutan Laut Wisata Gambar 42 Dinamika produksi sektor-sektor ekonomi sebagai komponen PDRB harga konstan tahun 2000 di wilayah pesisir Teluk Lampung Sektor yang menunjukkan kesamaan dengan pertanian adalah perikanan, yang cenderung menurun sampai akhir simulasi. Pada tahun 2003, sektor perikanan bernilai Rp 0,38 triliun, dan pada tahun 2029 hanya meningkat menjadi Rp 0,56 triliun. Peningkatan yang semakin menurun tersebut, dikarenakan sektor perikanan di Teluk Lampung sangat bertumpu pada perikanan budidaya pesisir (tambak). Peningkatan pesat nilai produk sektor ini pada tahun 2008 berkorelasi erat dengan peningkatan luas tambak. Pada tahun 2003, luas tambak di Teluk Lampung hanya ha, lalu meningkat sangat cepat pada tahun 2007 hampir mencapai ha, atau meningkat dua kali lipat dalam empat tahun. Peningkatan luas tersebut telah menggunakan lahan budidaya pesisir secara maksimal, yaitu sudah mendekati luas lahan pesisir yang sesuai untuk tambak sekitar ha.

27 165 Oleh karena itu, peningkatan sektor perikanan menjadi relatif stagnan setelah tahun Di sisi lain, perikanan budidaya laut dan tangkap juga semakin tertekan dengan semakin berkurangnya kualitas lingkungan perairan Teluk Lampung (Yusuf 2005; Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007) Penggunaan Ruang Pertumbuhan populasi dan aktivitas ekonomi, secara langsung akan menyebabkan peningkatan kebutuhan ruang. Simulasi model menunjukkan pola yang sama dengan peningkatan penggunaan ruang oleh berbagai aktivitas, sebagaimana juga telah ditunjukkan oleh White dan Engelen (2000), Villa et al. (2002), Deal dan Schunk (2004), Yufeng dan ShuSong (2005). Gangai dan Ramachandran (2010), Liangju el al. (2010). Hasil simulasi model menunjukkan bahwa penggunaan ruang untuk bisnis dan industri akan meningkat melampaui penggunaan ruang untuk permukiman. Pada awal simulasi tahun 2003, luas ruang permukiman berjumlah ha, mengalami peningkatan yang tidak terlalu tajam sampai akhir tahun simulasi, dan akan mencapai luas ha pada tahun Penggunaan lahan untuk bisnis dan industri akan meningkat menjadi ha pada tahun 2029, dari luas pada tahun 2003 sebesar 880 ha. Penggunaan lahan prasarana pada tahun 2003 seluas 890 ha, meningkat pada tahun 2029 menjadi ha. Penggambaran dinamika penggunaan ruang untuk bisnis dan industri, prasarana wilayah, dan permukiman, disajikan pada Gambar 43. Penggunaan lahan untuk budidaya pertanian, relatif tetap dari awal simulasi sampai akhir tahun Padahal di sisi lain, terjadi konversi lahan pertanian menjadi budidaya bukan pertanian (permukiman, perkotaan, dan industri). Pada tahun 2003, lahan pertanian mencapai luas ha, dan pada akhir simulasi tahun 2029, luas lahan sedikit menurun menjadi ha (seperti disajikan pada Gambar 44). Penurunan yang sedikit tersebut dikarenakan pada simulasi model tidak dibatasi dengan ketentuan kawasan lindung, sehingga dapat terus terjadi pembukaan lahan pertanian baru yang berasal dari hutan sekunder bekas tebangan, atau dari penutupan lahan lainnya. Dengan demikian konversi lahan pertanian menjadi bukan pertanian, akan diimbangi oleh konversi lahan lain

28 166 yang tidak potensial untuk pertanian (hutan, semak belukar, dan lahan dengan kemampuan rendah lainnya) menjadi lahan pertanian. 3,7 3,1 Ribu hektar 2,4 1,8 1,1 0, Bisnis dan Industri Permukiman Prasarana Gambar 43 Kecenderungan penggunaan ruang perkotaan dan permukiman di wilayah pesisir Teluk Lampung Ribu hektar Gambar 44 Kecenderungan penggunaan lahan pertanian di wilayah pesisir Teluk Lampung

29 167 Pemanfaatan perairan bagi perikanan budidaya laut (budidaya mutiara dan keramba jaring apung), relatif tetap yaitu hanya meningkat dari ha pada tahun 2003, menjadi ha pada tahun Penggunaan lahan budidaya pesisir (tambak) meningkat tajam, yaitu menjadi lebih dari tiga kali lipat dalam kurun waktu simulasi. Luas tambak pada tahun 2003 hanya ha, dan meningkat menjadi ha pada tahun Peningkatan ini sangat berkaitan dengan komoditas udang yang bernilai tinggi. Di samping itu, pembukaan lahan untuk perikanan budidaya pesisir (tambak) di Teluk Lampung relatif mudah dilakukan, karena telah tesedia infrastruktur jalan yang secara relatif telah menjangkau seluruh wilayah pesisir. Kondisi tersebut memacu kalangan pengusaha dan masyarakat untuk terus mengembangkan lahan tambak. Penggambaran dinamika penggunaan ruang untuk lahan tambak dan pemanfaatan perairan perikanan budidaya laut, disajikan secara ringkas pada Gambar ,0 8,4 Ribu hektar 6,8 5,2 3,6 2, Budidaya Pesisir Perairan Perikanan Budidaya Gambar 45 Kecenderungan penggunaan ruang budidaya pesisir (tambak) dan perairan perikanan budidaya di wilayah pesisir Teluk Lampung Penggunaan lahan budidaya terus meningkat, dan menunjukkan kecenderungan semakin melebihi daya tampung lahan yang berkemampuan tinggi (lahan kelas 1 sampai dengan kelas 4, diuraikan pada sub-bab 6.2.2), yang hanya seluas ha. Lahan terpakai (budidaya) baik pertanian maupun bukan

30 168 pertanian, terus meningkat dari ha pada tahun 2003 menjadi ha pada tahun Sementara itu, luas lahan total sedikit bertambah akibat reklamasi pantai dari ha tahun 2003 menjadi ha tahun Dengan merujuk pada data kelas kemampuan lahan (Tabel 37), dapat diketahui bahwa sejak tahun 2003, sebagian dari lahan budidaya sudah merambah pada lahan berkemampuan rendah (lahan kelas 5 sampai dengan kelas 8), dengan luas sekitar ha pada tahun 2003 dan meningkat menjadi ha pada tahun Dengan demikian, luas lahan yang masih dapat dipergunakan untuk fungsi lindung hanya sekitar pada tahun 2003, dan ha pada tahun Kondisi ini harus diperbaiki melalui penetapan dan pengendalian kawasan lindung yang ideal dalam penataan ruang. Kecenderungan sistem untuk peubah lahan total dan lahan budidaya terpakai, disajikan pada Gambar Ribu hektar Lahan Total Lahan Budidaya Terpakai Gambar 46 Kecenderungan luas lahan total dan lahan budidaya di wilayah pesisir Teluk Lampung Berbeda dengan penggunaan lahan budidaya, luas pemanfaatan umum perairan (perikanan dan bukan perikanan) hanya sedikit berubah, yaitu dari ha pada tahun 2003 menjadi ha pada tahun Luas perairan total sedikit berkurang akibat reklamasi pantai, yaitu dari ha pada tahun

31 menjadi ha pada tahun Oleh karena itu, luas perairan yang belum terpakai masih cukup besar yaitu ha pada tahun 2003 dan ha pada tahun Namun demikian, penggunaan perairan tidaklah bersifat kaku seperti penggunaan lahan, dan lebih bersifat temporal (seperti alur pelayaran dan wilayah tangkap), di samping itu kecenderungan penggunaan ruang perairan adalah terkonsentrasi di perairan tepi dengan kedalaman 0-20 m. Oleh karena itu, penentuan kawasan konservasi perairan menjadi lebih sulit, karena pada perairan yang seharusnya dilindungi yaitu terumbu karang dan padang lamun, justru merupakan perairan yang cenderung digunakan oleh berbagai aktivitas seperti perikanan budidaya dan tangkap, serta wisata. Kecenderungan sistem untuk peubah perairan total dan pemanfaatan umum perairan, disajikan pada Gambar Ribu hektar Perairan Total Pemanfaatan Umum Perairan Gambar 47 Kecenderungan luas perairan total dan pemanfaatan umum perairan di wilayah pesisir Teluk Lampung

7 KEBIJAKAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR

7 KEBIJAKAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR 7 KEBIJAKAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR 7.1 Simulasi Skenario 7.1.1 Kebutuhan pemangku kepentingan dari analisis prospektif partisipatif Kebutuhan para pemangku kepentingan wilayah pesisir Teluk Lampung

Lebih terperinci

DINAMIKA KEBUTUHAN RUANG DI WILAYAH PESISIR TELUK LAMPUNG

DINAMIKA KEBUTUHAN RUANG DI WILAYAH PESISIR TELUK LAMPUNG DINAMIKA KEBUTUHAN RUANG DI WILAYAH PESISIR TELUK LAMPUNG 1 A.A. Damai, 2 M.Boer, 3 A.Damar, 3 Marimin, dan 4 E. Rustiadi 1 Program Studi SPL, Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor 2 Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1 Matriks karakteristik sistem perencanaan spasial yang umum dilakukan dan yang diajukan

Tabel Lampiran 1 Matriks karakteristik sistem perencanaan spasial yang umum dilakukan dan yang diajukan Lampiran 1 Perbedaan sistem perencanaan spasial Tabel Lampiran 1 Matriks karakteristik sistem perencanaan spasial yang umum dilakukan dan yang diajukan Karakteristik Pedoman Perencanaan Departemen Pedoman

Lebih terperinci

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Dalam memahami karakter sebuah wilayah, pemahaman akan potensi dan masalah yang ada merupakan hal yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2 SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI Pertemuan ke 2 Sumber daya habis terpakai yang dapat diperbaharui: memiliki titik kritis Ikan Hutan Tanah http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/148111-

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN 2016 Pembangunan Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional Bandar Lampung, 17 Mei 2016 DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini memiliki banyak wilayah pesisir dan lautan yang terdapat beragam sumberdaya alam. Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, terutama kondisi lahan pertanian yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON No. Potensi Data Tahun 2009 Data Tahun 2010*) 1. Luas lahan pertanian (Ha) 327 327

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Banten secara geografis terletak pada batas astronomis 105 o 1 11-106 o 7 12 BT dan 5 o 7 50-7 o 1 1 LS, mempunyai posisi strategis pada lintas

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Tata Guna Lahan Kabupaten Serang Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : a. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan pertanian lahan

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin 2.1 Tujuan Penataan Ruang Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kabupaten yang ingin dicapai pada masa yang akan datang (20 tahun). Dengan mempertimbangkan visi

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, persaingan yang kuat di pusat kota, terutama di kawasan yang paling

I. PENDAHULUAN. Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, persaingan yang kuat di pusat kota, terutama di kawasan yang paling 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, pemukiman semakin lama membutuhkan lahan yang semakin luas. Terjadi persaingan yang kuat di pusat kota,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayaran antar pulau di Indonesia merupakan salah satu sarana transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan pembangunan nasional yang berwawasan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Industri pariwisata di Indonesia merupakan salah satu penggerak perekonomian nasional yang potensial untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional di masa kini dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Oleh: Anny Mulyani, Fahmuddin Agus, dan Subagyo Penggunaan Lahan Pertanian Dari total luas lahan Indonesia, tidak terrnasuk Maluku dan Papua (tidak

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam rangka memberikan kontribusi untuk

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya laut yang menimpah baik dari

BAB I PENDAHULUAN km. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya laut yang menimpah baik dari BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terdiri dari 17,508 buah pulau yang besar dan yang kecil secara keseluruhan memiliki panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Negara Indonesia mempunyai wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 81.791

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki beragam masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki beragam masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki beragam masalah termasuk permasalahan lingkungan seperti kebersihan lingkungan. Hal ini disebabkan meningkatnya

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis Kota Makassar secara geografi terletak pada koordinat 119 o 24 17,38 BT dan 5 o 8 6,19 LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km, serta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu wilayah yang termasuk ke dalam pesisir laut di Sumatera Utara adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah 5.625 km 2. Posisinya sangat strategis

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH Lampiran I Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 2 TAHUN 2011 Tanggal : 4 Pebruari 2011 Tentang : Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Wilayah, Iklim dan Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat

IV. GAMBARAN UMUM Letak Wilayah, Iklim dan Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat 51 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Wilayah, Iklim dan Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat Sumatera Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pesisir barat Pulau Sumatera dengan ibukota

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu dari delapan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116-117

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, di mana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Wilayah Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Wilayah Joglosemar terdiri dari kota Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Secara geografis ketiga

Lebih terperinci

7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA PESISIR YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA PESISIR YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA PESISIR YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN Berdasarkan analisis data dan informasi yang telah dilakukan, analisis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai

PENDAHULUAN. karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain menempati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.504 pulau dengan 13.466 pulau bernama, dari total pulau bernama, 1.667 pulau diantaranya berpenduduk dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS Perencanaan pembangunan antara lain dimaksudkan agar Pemerintah Daerah senantiasa mampu menyelaraskan diri dengan lingkungan. Oleh karena itu, perhatian kepada mandat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sumber daya alam atau biasa disingkat SDA adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang

Lebih terperinci