BAB I PENDAHULUAN. terhadap kesehatan mental individu. Bullying bisa berupa berbagai bentuk dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. terhadap kesehatan mental individu. Bullying bisa berupa berbagai bentuk dan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena bullying banyak disorot dan merebak di media massa akhirakhir ini dan memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan mental individu. Bullying bisa berupa berbagai bentuk dan bisa terjadi pada anak-anak, remaja dan bahkan orang dewasa. Bullying bisa terjadi di dalam keluarga, sekolah (school bullying), tempat kerja (workplace bullying), di masyarakat bahkan sesuai dengan perkembangan teknologi dapat juga terjadi di dunia maya (cyberbullying). Fenomena bullying ini secara langsung maupun tidak langsung cukup berpengaruh terhadap aspek psikologis individu, terutama bagi remaja. Dalam kurun waktu kurang dari dasawarsa terakhir, bullying semakin disadari sebagai masalah yang sangat memprihatinkan. Bullying yang diberitakan dalam berbagai forum dan media dianggap semakin membahayakan. Berbagai macam bullying yang ditunjukkan akhir-akhir ini bahkan dapat berdampak pada usaha bunuh diri. Sebuah sekolah di Skandinavia tidak menganggap serius perilaku bullying sampai sebuah koran melaporkan bahwa pada tahun 1982, tiga orang remaja putra dari Norwegia melakukan bunuh diri karena kelompok yang melakukan bullying kepada mereka secara parah. Semenjak saat itu, Olweus mulai meneliti fenomena bullying dan penelitian Olweus pada tahun 1991 yang melibatkan orang siswa dari 715 sekolah menunjukkan bahwa 1

2 15% dari mereka terlibat perilaku bullying dari waktu ke waktu. 94% dari mereka diklasifikasikan sebagai korban, dan 6% sebagai pelaku (Beaty & Alexeyev, 2008). Sedangkan di Indonesia, Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan SEJIWA menunjukkan bahwa 30 kasus bunuh diri yang dilakukan anak-anak dan remaja pada tahun , umumnya memiliki kesamaan, yaitu sering diejek, disiksa, atau ditindas oleh teman-teman sekolahnya. Bullying diartikan sebagai serangan atau intimidasi baik secara fisik, verbal atau psikologis yang disertai keinginan untuk melukai, menekan, atau menakut-nakuti orang lain (Farrington, 1993). Pandangan lain menyatakan bahwa bullying merupakan bentuk perilaku yang melibatkan adanya pemaksaan secara psikologis atau fisik terhadap seseorang atau sekelompok orang yang lebih lemah oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat (Rigby, 1999; Ma, Stein & Mah, 2001; Olweus, 1991). Sehingga dapat disimpulkan bahwa Bullying berbeda dengan kekerasan (violence) karena bullying terjadi saat ada ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bullying (bully) dengan korban atau target. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku bullying banyak terjadi pada tahapan usia remaja, bahkan pada tahun-tahun terakhir ini di sekolah-sekolah makin sering terdengar adanya perilaku kekerasan baik fisik maupun secara non fisik, pengucilan terhadap siswa tertentu dan sebagainya. Tahap perkembangan remaja merupakan masa yang penuh krisis, karena pada masa ini pada umumnya remaja mengalami kesulitan dalam usahanya menyelesaikan masalah yang dihadapinya, karena belum berpengalaman menghadapi hidup (Hurlock, 2004). Masa remaja adalah masa 2

3 dimana individu mencari identitas. Grenville Stanley Hall menyebut masa ini sebagai masa storm & stress, frustrasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralienasi dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (dalam Mappiare, 1982). Remaja mengalami fase emosional puncak, disertai oleh pertumbuhan fisik yang dapat mempengaruhi perkembangan emosi atau perasaan-perasaan dan dorongan baru yang dialami sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, membuat remaja lebih mudah merasakan emosi yang negatif dan hal ini menjadikan mereka temperamental (mudah tersinggung atau marah), mudah murung atau sedih. Penelitian yang dilakukan oleh Royanto & Djuwita (2008) yang menunjukkan bahwa bullying memang terjadi baik di tingkat SMP dan SMA dengan frekuensi ringan, sedang dan tinggi dan terjadi di sekolah swasta maupun negeri. Bullying biasanya dirasakan oleh siswa kelas 10 dan 11, atau kelas 1 SMA dan kelas 2 SMA. Bentuk perilaku bullying yang muncul adalah verbal, dengan mengejek, menyindir, mengancam, menegur secara kasar, memarahi. Sedangkan bullying fisik oleh siswa adalah memukul, menendang dan oleh guru menyuruh anak berlari keliling lapangan. Bullying terjadi di kebanyakan sekolah, dan dilaporkan telah mempengaruhi 70% dari siswa. Siswa dari segala usia dan tingkatan pendidikan kemungkinan besar telah mengalami masalah yang diciptakan oleh perilaku bullying ini. Kemungkinan besar hal ini merupakan cara anak muda berinteraksi dalam lingkungan, namun dengan cara yang agresif, seperti perilaku penghinaan, pengucilan, gangguan, ancaman, perusakan properti, 3

4 pemukulan, dan lainnya (Beaty & Alexeyev, 2008). Bahkan dengan kemajuan teknologi, bullying semakin menjadi kreatif dimana remaja telah menjadikan teknologi sebagai sarana untuk menyiksa. Sepertiga dari remaja mengatakan bahwa mereka telah melakukan tindakan jahat terhadap orang lain melalui internet, 25% dari kelas 9-12 mengetahui seseorang yang bermaksud jahat di internet, dan 32% telah menjadi korban bullying melalui internet dari gosip, rumor, dan atau komentar yang negatif dan menyakitkan (McNamee, 2008). Survei oleh Plan Indonesia dan SEJIWA pada tahun 2008 yang melibatkan 1500 pelajar SMP, SMA dan Perguruan Tinggi di 3 kota besar yaitu Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta memperoleh hasil bahwa 67% pelajar SMP, SMA dan mahasiswa Perguruan Tinggi menunjukkan bahwa tindak bullying pernah terjadi di sekolah mereka. Pelakunya adalah teman, kakak kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah, dan preman yang berada di sekitar sekolah. Hasil survei ini tidak jauh berbeda dengan hasil survei yang dilakukan peneliti yang melibatkan 82 siswa kelas 7 SMP 08 Malang yang menunjukkan bahwa sebagian besar siswa pernah menjadi korban bullying di sekolah. Bullying fisik yang terjadi di sekolah pada siswa laki-laki mencapai 43,3 %, sedangkan pada siswa perempuan 38,5%. Bullying verbal yang terjadi di sekolah pada siswa laki-laki mencapai 46,7 %, sedangkan pada siswa perempuan 44,2%. Bullying non verbal yang terjadi di sekolah pada siswa laki-laki mencapai 36,7 %, sedangkan pada siswa perempuan 44,2 %. Selain itu bullying berupa perusakan barang atau properti yang terjadi di sekolah 4

5 pada siswa laki-laki mencapai 33,3 %, sedangkan pada siswa perempuan 11,5%. Bapak penemu fenomena bullying, Olweus (1993) mengatakan bahwa sebagian besar korban bullying dapat dinyatakan sebagai korban yang passive atau submissive. Mereka umumnya merasa tidak aman (insecure) dan non-asertif, dan bereaksi dengan menarik diri dan menangis ketika diserang oleh orang lain. Hal ini diukung oleh berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa karakteristik yang sering ditemukan pada anak yang sering menjadi korban bullying antara lain: secara fisik lebih lemah dari orang lain, kaku atau non asertif, tertutup, harga diri yang rendah, serta memiliki teman yang sedikit (Rigby, 2007). Selanjutnya, Coloroso (2007) menyatakan bahwa hampir semua orang pernah mengalami bullying dan bahwa para pelaku bullying belajar melakukan bullying dari perlakuan yang mereka terima dari orang-orang yang lebih besar dan berkuasa dalam hidup mereka. Sehingga, dapat disimpulkan mereka yang pernah menjadi korban bisa menjadi pelaku juga (bully victim). Kasus-kasus Penelitian lain menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran dan pemahaman akan tindak bullying yaitu sebagian besar siswa dan guru belum memahami mengenai perilaku bullying, lebih familiar dengan kekerasan di sekolah, yang mengarah pada kekerasan fisik. Perilaku yang termasuk social bullying dianggap sebagai candaan yang wajar. Bullying psikis dan fisik terjadi, dengan frekuensi bullying psikis yang lebih besar (Indira, 2010). 5

6 Kurangnya kesadaran dan pemahaman akan tindak bullying dipengaruhi oleh mitos bullying yaitu perilaku bullying hanya perilaku menggoda atau bermain-main; beberapa anak yang lemah pantas untuk diganggu dan mereka memang memintanya; bahwa hanya pria yang menjadi pelaku bullying;bahwa orang yang mengadu adalah bayi, yang mencari pertolongan adalah perengek, dan siswa harus belajar untuk mengatasi permasalahan mereka sendiri; bahwa bullying itu normal dan merupakan bagian bertambah dewasa;bahwa orang yang suka mengganggu itu akan pergi jika didiamkan; bahwa pelaku memiliki self esteem yang rendah; bahwa cara yang paling baik untuk menghadapi pelaku adalah dengan berkelahi; dan bahwa korban bullying harus ikhlas karena situasi tidak mungkin diubah (McNamee, 2008). Dr. Jorge Sebastian mengatakan bahwa baik korban maupun pelaku bullying memiliki resiko tinggi untuk medapat resiko kesehatan, keamanan dan pendidikan. Resiko lainnya termasuk kecenderungan perilaku bunuh diri, luka serius, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, melarikan diri dari rumah, membolos dan nilai yang buruk (Bailey, 2008). Bullying sangat berbahaya terutama bagi korban karena bisa menggiring pada kurangnya kepercayaan diri, perasaan ragu-ragu, harga diri yang rendah, kecemasan, Dampak fisik bullying dapat diobati, namun luka psikologis membutuhkan banyak waktu untuk sembuh, atau bahkan membekas selamanya. Ada korban bullying yang dapat tetap bertahan menghadapi perilaku bullying, ada yang lolos dengan luka psikologis yang dapat diabaikan, ada yang melewatinya dengan luka psikologis yang dalam 6

7 namun terus melanjutkan kehidupan, dan ada juga yang merasa begitu tidak berdaya, depresi dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian beberapa ahli antara lain penelitian Rigby (2003) yang menunjukkan bahwa anak-anak korban bullying memiliki kesejahtraan psikologis yang rendah. Berdasarkan gambaran tersebut, promosi kesehatan mental sangat penting dilakukan dimana seseorang menyadari kemampuannya, dapat menyelesaikan permasalahan hidup sehari-hari, produktif, dan dapat memberi kontribusi pada komunitas (World Health Organization, 2004). Sejalan dengan pemikiran tersebut, Royanto & Djuwita (2008) menyarankan adanya tindakan preventif dan kuratif dalam menghadapi bullying. Remaja perlu untuk meningkatkan ketrampilan sosial yang dimiliki. Berdasarkan asumsi tersebut dapat dikatakan bahwa salah satu pemecahan yang bersifat preventif untuk mengurangi kecenderungan remaja menjadi korban bullying adalah dengan meningkatkan asertivitas. Hal ini didukung oleh Studi Fox & Boulton (2003) menyatakan bahwa korban bullying yang kurang memiliki ketrampilan asertif, secara umum terlihat takut dan tidak bahagia. Ellis (dalam Lange dan Jakuboski, 1976) melihat bahwa cara untuk membantu individu untuk dapat mempertahankan dirinya dalam dunia yang sulit namun dalam bentuk yang lebih rileks, lebih menyenangkan dan lebih sehat adalah dengan tingkah laku asertif. Secara umum, tingkah laku asertif diartikan oleh Lange dan Jakubowski (1976) sebagai usaha untuk mengemukakan pendapat, keyakinan, kebutuhan atau perasaan secara langsung, jujur dengan cara yang sesuai, yaitu tidak menyakiti atau merugikan 7

8 diri sendiri maupun orang lain. Oleh karenanya, dalam tingkah laku asertif ini terdapat adanya unsur penghargaan, yaitu mengggambarkan usaha individu untuk menghargai kebutuhan dirinya namun sekaligus juga adanya penghargaan terhadap kebutuhan orang lain. Perilaku asertif memang perlu dipelajari karena seperti yang dikemukakan Willis dan Daiisley (1995), asertif merupakan suatu bentuk perilaku dan bukan sifat dari kepribadian (trait personality). Karena merupakan perilaku, maka dapat dipelajari dengan tidak mempedulikan bentuk kebiasaan yang telah dimiliki individu. Oleh karena itu, pemberian pelatihan asertivitas ini diberikan berdasarkan anggapan bahwa individu berada dalam 'masa belajar' dan bukan sebagai klien yang membutuhkan terapi dan bahwa yang dihadapi adalah seorang yang kekurangan dan kemampuan yang lemah, padahal kemampuan ini dibutuhkan untuk dapat hidup secara efektif dan memuaskan. Bower dan Bower (1976) juga mengatakan bahwa perilaku asertif merupakan hal dari serangkaian komunikasi dan sikap yang dipelajari, yang dapat diubah untuk menjadi lebih baik. Para psikolog meyakini bahwa perilaku dapat diubah, oleh karenanya, individu dapat mempelajari perilaku baru untuk menggantikan perilaku lama yang dianggap kurang produktif. Kemampuan dalam berbagai bentuk tingkah laku asertif akan dapat memberikan banyak manfaat positif pada hubungan interpersonal. Hal ini menurut Lange & Jakubowski (1976) karena tingkah laku asertif akan meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri, terhadap orang lain maupun dari orang lain, sehingga akan mempermudah individu dalam menyelesaikan 8

9 konflik dengan orang lain secara terbuka dan adil. Selain itu juga akan menghasilkan hubungan yang lebih memuaskan dengan orang lain, karena memperbesar kemungkinan kedua pihak setidaknya dapat mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhan mereka. Perilaku asertif akan membantu remaja untuk bersikap tepat dalam menghadapi situasi dimana hak-hak remaja dilanggar. Tetapi hal ini kurang disadari oleh remaja sehingga mereka takut untuk bersikap asertif atau tidak mau bersikap asertif. Banyak individu yang tidak berani bersikap asertif karena takut akan tidak disukai atau menyakiti perasaan orang lain. Remaja biasanya menghindari situasi tidak nyaman dengan berperilaku tidak asertif, jika remaja tidak berani mengemukakan keinginan dan pendapatnya sendiri yang mungkin terjadi adalah remaja tersebut akan dimanfaatkan atau dieksploitasi oleh orang lain. Van deer Meer pada tahun 1988 (dalam Tattum dkk, 1993) melakukan studi kasus pada anak yang menjadi korban bullying dan memberikan saran bagaimana mengelola masalah yang sama bagi guru, orang tua, pihak sekolah, konselor sekolah dan kebijakan pendidikan. Pertanyaan studi kasus yang muncul adalah bagaimana menangani bullies dan korban bullying dan bagaimana mengurangi perilaku bullying. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam studi tersebut adalah menyelenggarakan program pelatihan asertivitas untuk korban bullying agar bisa membantu korban bullying menghindari dan keluar dari situasi bullying. Tonge (dalam Rigby 2007) yang mengevaluasi pelatihan asertivitas pada korban bullying melaporkan bahwa ada peningkatan perilaku asertif dan 9

10 peningkatan kepercayaan diri pada siswa serta menurunnya pengalaman menjadi korban bullying. Siswa juga cenderung menunjukkan peningkatan dalam memberikan respon konstruktif dalam situasi bullying dan respon agresif menurun. Senada dengan itu penelitian yang dilakukan oleh Arora (dalam Rigby, 2007) yang memberikan pelatihan asertivitas pada korban bullying di SD menunjukkan bahwa pendekatan ini efektif, dimana korban menjadi lebih asertif dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa, mereka juga merasakan peningkatan harga diri (self esteem) dan kepercayaan diri dan laporan mengalami bullying menurun. Hasil penelitian Arora ini didukung oleh hasil penelitian Assertiveness Training Programme DFE Sheffield Bullying Project (Sharp & Cowie, 1994) yang meneliti efektifitas pelatihan perilaku pada korban bullying, menunjukkan bahwa korban bullying lebih asertif dalam merespon situasi bullying dan melaporkan pengurangan dalam mengalami bullying. Program ini didasarkan kesadaran bahwa perilaku korban bullying berkontribusi terhadap pengalaman menjadi korban bullying (misalnya: kurangnya ketrampilan sosial). Beberapa studi lain juga melaporkan hal yang sama (Fox and Boulton, 2003; Hodges et al., 1999; Hodges and Perry, 1999; Schwartz et al., 1999). Berdasarkan berbagai hasil penelitian pelatihan asertivitas yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa pelatihan asertivitas dapat digunakan untuk meningkatkan asertivitas korban bullying yang cenderung non asertif sehingga rentan mengalami tindakan bullying bahkan melakukan bullying. Pelatihan asertivitas dapat memberikan ketrampilan komunikasi yang baru dan penting serta merupakan satu cara yang lain untuk melihat diri kita 10

11 sendiri dan hubungan kita dengan orang lain (Galassi & Galassi, 1977). Pelatihan asertivitas juga dapat meningkatkan kesadaran diri, mengurangi kecemasan, memperbaiki dialog internal diri yang cacat serta meningkatkan pesan verbal dan non verbal (dalam Spence, 1983). Galassi & Galassi (1977) melaporkan bahwa individu yang mengikuti program pelatihan asertivitas mengalami peningkatan kepercayaan diri, bereaksi positif terhadap orang lain, mereduksi kecemasan pada situasi sosial, meningkatkan komunikasi interpersonal dan mengurangi keluhan somatik. Tujuan pelatihan asertif adalah untuk menyeimbangkan antara dua belah pihak dalam menyelesaikan konflik. Pelatihan asertif banyak menitikberatkan pada penyelesaian konflik interpersonal dan banyak digunakan dalam menyelesaikan masalah. Orang yang asertif dapat mengekspresikan perasaan dengan cara dimana kedua belah pihak terpuaskan dan secara sosial efektif (Bower & Bower, 1991). Willis dan Daiisley (1995) menyatakan bahwa kebanyakan individu cukup mengalami kesulitan untuk dapat berperilaku asertif. Walaupun secara umum setiap orang dapat melakukan perilaku asertif, namun biasanya harus dipelajari dengan penuh kesadaran. Bloom dkk (1975) mengemukakan bahwa pelatihan asertivitas memang didasarkan atas teori bahwa perilaku sosial adalah sesuatu yang dipelajari sehingga dapat pula dihilangkan dan digantikan oleh perilaku baru yang lebih menguntungkan. Pelatihan asertivitas sendiri merupakan usaha untuk membantu individu menghilangkan perilaku non asertif atau cara-cara agresif yang merugikan, dan menggantikannya dengan 11

12 bentuk perilaku asertif yang lebih sehat dan lebih meningkatkan harga diri individu. Sikap asertif merupakan salah satu bentuk social skill, yang pada dasarnya dapat dikembangkan melalui pelatihan asertivitas yang sengaja dirancang melalui prosedur yang sistematis. Cawood (1987) mengemukakan bahwa ketrampilan bertingkah laku asertif akan meningkatkan harga diri dan tingkat kepercayaan diri, serta meminimalkan sikap defensif dan reaksi agresif yang akan menghambat komunikasi dengan orang lain. Selain itu juga dapat memperkaya hubungan (enriched relationship) karena individu dapat membangun dasar adanya kepercayaan dan saling menghargai dengan siapa dirinya berhubungan. Hal ini sangat penting karena kepercayaan adalah bagian yang mendasar pada individu dalam bekerjasama dengan orang lain dan dalam kemampuan mengelola konflik. Berdasarkan penelitian Nota dan Soresi (2003) menemukan bahwa pelatihan asertivitas dapat meningkatkan kemampuan asertivitas pada kelompok siswa yang pasif. Intervensi pelatihan asertivitas ini juga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menentukan pilihan dan dapat mengurangi pengalaman sosial yang tidak menyenangkan karena partisipan dapat bersikap asertif pada situasi kritis. Penelitian mengenai pelatihan asertivitas juga dilakukan oleh Stewart dan Lewin (1986). Penelitian ini menemukan bahwa siswa yang mengikuti pelatihan asertivitas lebih mempunyai kemampuan asertivitas dibandingkan siswa yang tidak mengikuti pelatihan asertivitas. Asertivitas yang dimiliki oleh anggota kelompok eksperimen menjadi modeling bagi anggota kelompok 12

13 kontrol, sehingga beberapa anggota kelompok terpengaruh oleh asertivitas anggota kelompok eksperimen. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Pramadi & Setiono (2005) tentang efektifitas pelatihan asertivitas dan peningkatan perilaku asertif pada siswa-siswi SMP yang menunjukkan bahwa pelatihan asertivitasmemiliki pengaruh dalam meningkatkan perilaku asertif pada siswa-siswi SMP. Ahli yang telah mengembangkan suatu bentuk pelatihan asertif antara lain Arthur J.Lange dan Patricia Jakubowski, dengan konsepnya Responsible Assertive Behavior. Secara umum mereka menyatakan bahwa perilaku asertif seharusnya dilakukan secara bertanggung jawab. Secara umum, Lange dan Jakubowski (1976) mengatakan karena kebanyakan masalah psikologi yang melibatkan assertion memiliki komponen kognitif, afektif, dan perilaku, maka kombinasi pendekatan kognitif, afektif dan perilaku dalam pelatihan asertif dianggap tepat. Oleh karena itu, mereka kemudian mengembangkan suatu bentuk pelatihan asertif dengan menggunakan pendekatan perilaku-kognitif (cognitive-behavioral procedures). Pendekatan utama dalam pelatihan ini terutama ada dua yaitu prosedur restrukturisasi kognitif (cognitive restructuring procedures) dan prosedur pelatihan perilaku dan modeling (modeling and behavior rehearsal procedures). Dasar utama dari prosedur restrukturisasi kognitif adalah bahwa individu sering membuat asumsi mengenai diri mereka sendiri dan orang lain yang kadang tidak rasional sehingga mengarah pada kecemasan, kemarahan, rasa bersalah, menghindar, atau perilaku non asertif lainnya. Komponen restrukturisasi kognitif dalam pelatihan asertif dapat membantu partisipan 13

14 mengembangkan suatu kerangka kerja untuk menilai pemikiran mereka dan hubungannya dengan perasaan dan perilaku mereka. Adapun prosedur pelatihan perilaku berusaha mengembangkan ketrampilan berperilaku asertif melalui metode-metode praktik secara aktif, misalnya melalui modeling, roleplay, coaching, relaksasi dan sebagainya, sehingga terjadi perubahan perilaku yang diharapkan. Pelatihan asertivitas Laressa dikembangkan dari pelatihan asertivitas Lange dan Jakubowski (1976) dengan menambahkan aspek-aspek atau unsurunsur bullying. Pemberian pelatihan asertivitas Laressa, tidak hanya melatih korban bullying (bullied) dan individu yang rentan mengalami tindakan bullying untuk lebih asertif saat dihadapkan dengan perilaku bullying, namun juga dapat memberi pemahaman agar tidak menjadi bully-victim yaitu korban yang akhirnya juga menjadi pelaku bullying. Selain itu, pelatihan asertivitas Laressa diharapkan juga akan membentuk perilaku asertif peserta pelatihan sebagai bystander (saksi bullying) yang asertif untuk mencegah perilaku bullying di sekitar mereka. Pada akhirnya, diharapkan perilaku bullying dapat diturunkan. Berdasarkan pertimbangan beberapa alasan inilah dan banyaknya penelitian yang membuktikan keefektifan pelatihan asertivitas yang mendasari peneliti memandang perlu adanya penelitian mengenai Model Pelatihan Asertivitas Laressa untuk Meningkatkan Perilaku Asertif Korban Bullying 14

15 B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah model pelatihan asertivitas Laressa dapat meningkatkan perilaku asertif korban bullying? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelatihan asertivitas Laressa dapat meningkatkan perilaku asertif pada korban bullying. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam psikologi sosial terkait dengan bullying, psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan terkait dengan perkembangan remaja serta psikologi klinis khususnya yang berkaitan dengan masalah tingkah laku asertif dan pelatihan asertivitas dengan pendekatan kognitif-behavioral. b. Pengembangan pelatihan asertivitas Laressa ini diharapkan dapat melengkapi pelatihan asertivutas yang telah ada sebelumnya. 2. Manfaat praktis a. Dapat memberikan ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. 15

16 b. Dapat memberikan kontribusi positif bagi sekolah, yaitu dengan cara meningkatkan kesadaran tentang bullying di sekolah. c. Dapat meminimalisir remaja yang mengalami dan melakukan bullying dengan cara meningkatkan pemahaman tentang bullying dan meningkatkan ketrampilan mereka dalam bertingkah laku asertif dalam menghadapi situasi bullying. 16

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar, serta tempat menerima dan memberi pelajaran (http://www.sekolahdasar.net). Sekolah adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ukuran pencapaian sebuah bangsa yang diajukan oleh UNICEF adalah seberapa baik sebuah bangsa memelihara kesehatan dan keselamatan, kesejahteraan, pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Perubahan zaman yang semakin pesat membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan yang terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek bullying sudah merambah ke dalam dunia pendidikan, hal ini sangat memprihatinkan bagi pendidik, orang tua dan masyarakat. Komnas Perlindungan Anak (PA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap negara pasti memerlukan generasi penerus untuk menggantikan generasi lama. Bangsa yang memiliki generasi penerus akan tetap diakui keberadaannya, oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terselenggara apabila dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. terselenggara apabila dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat pada saat sekarang ini, telah membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan. Pendidikan

Lebih terperinci

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna menempuh derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun Oleh : AMALIA LUSI BUDHIARTI

Lebih terperinci

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING BAB I PENDAHULUAN Pokok bahasan yang dipaparkan pada Bab I meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi penelitian. A.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah saat ini sangat memprihatinkan bagi pendidik dan orangtua. Fenomena yang sering terjadi di sekolah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hari Minggu tanggal 29 April 2007 seorang siswa kelas 1 (sebut saja A) SMA swasta di bilangan Jakarta Selatan dianiaya oleh beberapa orang kakak kelasnya. Penganiayaan

Lebih terperinci

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Pedologi Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga Fakultas Psikologi Yenny, M.Psi. Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Tipe-tipe Penganiayaan terhadap Anak Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pada periode ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siswa SMA berada pada usia remaja yaitu masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis. Dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang ditandai dengan perubahan-perubahan didalam diri individu baik perubahan secara fisik, kognitif,

Lebih terperinci

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Self Esteem Korban Bullying 115 SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara) Stefi Gresia 1 Dr. Gantina Komalasari, M. Psi 2 Karsih, M. Pd 3 Abstrak Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini masalah kenakalan di kalangan pelajar sekolah sedang hangat dibicarakan. Perilaku agresif dan kekerasan yang dilakukan pelajar sudah di luar batas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap relasi dengan teman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti ini sering terjadi dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. seperti ini sering terjadi dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat, baik itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Tidak jarang dalam bersosialisasi tersebut banyak menimbulkn perbedaan yang sering kali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak dan masa dewasa. Dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis.

Lebih terperinci

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,. BAB I RENCANA PENELITIAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan sepanjang hayat (long life education), karena pada dasarnya pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dimana pada masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok. Pihak yang kuat disini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hal ini pendidikan bukan lagi diterjemahkan sebagai bentuk pelajaran formal semata yang ditujukan untuk mengasah kemampuan berpikir saja. Pendidikan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Emosi adalah respon yang dirasakan setiap individu dikarenakan rangsangan baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir-akhir ini, dunia pendidikan di Indonesia sedang dihadapkan dengan berbagai macam masalah yang menghadang di hadapannya.dari masalah yang ringan seperti mencontek

Lebih terperinci

2016 HUBUNGAN ANTARA CYBERBULLYING DENGAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA REMAJA

2016 HUBUNGAN ANTARA CYBERBULLYING DENGAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA REMAJA BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari skripsi yang akan membahas beberapa hal terkait penelitian, seperti latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang paling mendapat perhatian dalam rentang kehidupan manusia. Hal ini disebabkan banyak permasalahan yang terjadi dalam masa remaja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Kekerasan bukanlah fenomena baru yang mewarnai kehidupan sosial individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan siswa salah satunya adalah

Lebih terperinci

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk memberikan pengajaran kepada siswa atau murid di bawah pengawasan guru dan kepala sekolah. Di dalam sebuah institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini dibuktikan oleh pernyataan Amrullah, Child Protection Program

BAB I PENDAHULUAN. ini dibuktikan oleh pernyataan Amrullah, Child Protection Program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu tempat bagi anak untuk memperoleh pendidikan yang umumnya digunakan para orang tua. Selain memperoleh pengetahuan atau pelajaran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan berkembang pertama kalinya. Menurut Reiss (dalam Lestari, 2012;4), keluarga adalah suatu kelompok

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bullying merupakan fenomena yang marak terjadi dewasa ini terutama di lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya baik di

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan mental memiliki arti penting dalam kehidupan seseorang, dengan mental yang sehat maka seseorang dapat melakukan aktifitas sebagai mahluk hidup. Kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun. Pada usia ini anak mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak, dan mengabungkan diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan sekitar. Baik lingkungan keluarga, atau dengan cakupan yang lebih luas yaitu teman sebaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Masing-masing individu yang berinteraksi akan memberikan respon yang berbeda atas peristiwa-peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa. 12 BAB I Pendahuluan I.A Latar Belakang Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Remaja tidak termasuk golongan anak tetapi tidak pula golongan dewasa. Remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aksi-aksi kekerasan terhadap orang lain serta perusakan terhadap benda masih merupakan topik yang sering muncul baik di media massa maupun secara langsung kita temui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya mereka dapat menggantikan generasi terdahulu dengan sumber daya manusia, kinerja dan moral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkanperubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada siswa Sekolah Menengah Pertama berusia 12 tahun sampai 15 tahun, mereka membutuhkan bimbingan dan arahan dari pihak keluarga dan sekolah agar mereka dapat

Lebih terperinci

UKDW. Bab 1 Pendahuluan. 1. Latar Belakang

UKDW. Bab 1 Pendahuluan. 1. Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami oleh setiap individu sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Menurut Erik

Lebih terperinci

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 oleh: Dr. Rohmani Nur Indah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angket 1: Beri tanda berdasarkan pengalaman anda di masa kecil A. Apakah

Lebih terperinci

PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA AWAL MADE CHRISTINA NOVIANTI DR. AWALUDDIN TJALLA ABSTRAKSI

PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA AWAL MADE CHRISTINA NOVIANTI DR. AWALUDDIN TJALLA ABSTRAKSI PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA AWAL MADE CHRISTINA NOVIANTI DR. AWALUDDIN TJALLA ABSTRAKSI Masa awal remaja adalah masa dimana seorang anak memiliki keinginan untuk mengetahui berbagai macam hal serta ingin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resiko (secara psikologis), over energy dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN. resiko (secara psikologis), over energy dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ada stereotif yang umum berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh resiko (secara psikologis),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di Indonesia. Salah satunya yang cukup marak akhir-akhir ini adalah kasus kekerasan atau agresivitas baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bullying selalu terjadi bahkan sudah menjadi sebuah tradisi. Bullying

BAB I PENDAHULUAN. bullying selalu terjadi bahkan sudah menjadi sebuah tradisi. Bullying BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bullying sudah lama terjadi tetapi permasalahan ini tetap saja menjadi topik yang masih hangat diperbincangkan dan belum menemukan titik terang. Keberadaan bullying

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan kekerasan, terutama pada remaja. Sekolah seharusnya menjadi

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan kekerasan, terutama pada remaja. Sekolah seharusnya menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir, sekolah sering diberitakan dengan permasalahan kekerasan, terutama pada remaja. Sekolah seharusnya menjadi lingkungan aman, nyaman dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan kelompok yang sangat berpotensi untuk bertindak agresif. Remaja yang sedang berada dalam masa transisi yang banyak menimbulkan konflik, frustasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI Disusun guna memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Anak Anak a. Pengertian Anak adalah aset bagi suatu bangsa, negara dan juga sebagai generasi penerus yang akan memperjuangkan cita-cita bangsa dan menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian, BAB I PENDAHULUAN Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan, manfaat penelitian serta mengulas secara singkat mengenai prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain. Untuk mewujudkannya digunakanlah media

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain. Untuk mewujudkannya digunakanlah media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterikatan antarmanusia adalah wujud harfiah yang telah ditetapkan sebagai makhluk hidup. Hal demikian ditunjukkan dengan sifat ketergantungan antara satu individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying. 1. Pengertian bullying. Menurut Priyatna (2010), bullying merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku kepada korban yang terjadi secara berulang-ulang dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Sadar akan hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Sadar akan hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Sadar akan hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu berbuat untuk hal yang lebih baik. Untuk mengubah prilaku menuju ke hal yang lebih baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media massa, dimana sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah remaja merupakan suatu masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan membawa kehancuran bagi remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan, di pesantren bertujuan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan, di pesantren bertujuan membentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemahaman tentang pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang erat dalam proses sejarah kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam. Ia adalah

Lebih terperinci

TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling EFEKTIVITAS PENGGUNAAN KONSELING MODEL SEQUENTIALLY PLANNED INTEGRATIVE COUNSELING FOR CHILDREN (SPICC) UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF KORBAN BULLYING (Stusi Eksperimen Kuasi Pada Siswa Kelas IV SD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah dengan Assertif

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah dengan Assertif BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari pelaporan penelitian yang membahas tentang latar belakang penelitian yang dilakukan, adapun yang menjadi fokus garapan dalam penelitian ini adalah masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Nasional mengharapkan upaya pendidikan formal di sekolah mampu membentuk pribadi peserta didik menjadi manusia yang sehat dan produktif. Pribadi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KECENDERUNGAN BUNUH DIRI PADA REMAJA YANG BERSTATUS SOSIAL EKONOMI LEMAH

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KECENDERUNGAN BUNUH DIRI PADA REMAJA YANG BERSTATUS SOSIAL EKONOMI LEMAH HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KECENDERUNGAN BUNUH DIRI PADA REMAJA YANG BERSTATUS SOSIAL EKONOMI LEMAH SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak usia sekolah (6-12 tahun) disebut juga sebagai masa anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. Anak usia sekolah (6-12 tahun) disebut juga sebagai masa anak-anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia sekolah (6-12 tahun) disebut juga sebagai masa anak-anak pertengahan. Pada masa ini terjadi perubahan yang beragam pada pertumbuhan dan perkembangan anak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bullying juga didefinisikan sebagai kekerasan fisik dan psikologis jangka

BAB I PENDAHULUAN. Bullying juga didefinisikan sebagai kekerasan fisik dan psikologis jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan terjadi berulang-ulang untuk menyerang seorang target atau korban yang lemah, mudah dihina

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab pertama, akan terdapat pemaparan mengenai latar belakang permasalahan dan fenomena yang terkait. Berikutnya, rumusan masalah dalam bentuk petanyaan dan tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya pemberitaan di media massa terkait dengan tindak kekerasan terhadap anak di sekolah, nampaknya semakin melegitimasi tuduhan miring soal gagalnya sistem

Lebih terperinci

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut;

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut; Definisi bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia (Susanti,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Bullying 2.1.1. Pengertian Bullying Beberapa tokoh mengemukakan bullying dalam berbagai definisi yang beragam. Sullivan (2000) menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Hurlock (2004: 206) menyatakan bahwa Secara psikologis masa remaja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah penyesuaian diri lainnya Damon dkk (dalam Santrock, 2003). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. masalah penyesuaian diri lainnya Damon dkk (dalam Santrock, 2003). Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepercayaan diri merupakan kunci untuk meraih kesuksesan dalam kehidupan pribadi, pekerjaan dan sosial. Di dalam kehidupan setiap individu akan mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana pernyataan yang diungkap oleh Spencer (1993) bahwa self. dalam hidup manusia membutuhkan kepercayaan diri, namun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana pernyataan yang diungkap oleh Spencer (1993) bahwa self. dalam hidup manusia membutuhkan kepercayaan diri, namun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepercayaan diri merupakan salah satu unsur kepribadian yang memegang peranan penting bagi kehidupan manusia. Banyak ahli mengakui bahwa kepercayaan diri merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita serta mencapai peran sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan guru dalam proses belajar dan mengajarkan siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori usia remaja yang tidak pernah lepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Menghadapi lingkungan yang memiliki perbedaan pola pikir, kepribadian serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya dan sekolah merupakan salah satu tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari segi fisik maupun psikologis. Manusia mengalami perkembangan sejak bayi, masa kanak- kanak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Guna mencapai tujuan tersebut, diperlukan kondisi belajar yang kondusif

BAB I PENDAHULUAN. Guna mencapai tujuan tersebut, diperlukan kondisi belajar yang kondusif 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian bahwa: Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1) menegaskan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang sangat kompleks dimana individu baik laki-laki maupun perempuan mengalami berbagai masalah seperti perubahan fisik, perubahan emosi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. remaja dihadapkan pada konflik dan tuntutan social yang baru, termasuk. dirinya sesuai dengan perkembangannya masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. remaja dihadapkan pada konflik dan tuntutan social yang baru, termasuk. dirinya sesuai dengan perkembangannya masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Masa remaja merupakan tahap perkembangan individu yang ditandai dengan transisi atau peralihan antara masa anak dan dewasa, meliputi perubahan biologis, kognitif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan secara luas dapat diinterpretasikan sejak manusia dilahirkan dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian menjadikannya sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena akhir-akhir ini sangatlah memprihatinkan, karena kecenderungan merosotnya moral bangsa hampir diseluruh dunia. Krisis moral ini dilanjutkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya dengan wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, dan sumberdaya alam yang melimpah. Namun dengan ketiga potensi yang dimilikinya tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang secara sadar berupaya melakukan perbaikan perilaku, pengalaman dan pengetahuan peserta didik. Banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dasarnya, manusia berkembang dari masa oral, masa kanak-kanak, masa

I. PENDAHULUAN. dasarnya, manusia berkembang dari masa oral, masa kanak-kanak, masa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Pada dasarnya, manusia berkembang dari masa oral, masa kanak-kanak,

Lebih terperinci