IKLH 9 DAS PRIORITAS JAWA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IKLH 9 DAS PRIORITAS JAWA"

Transkripsi

1 Dokumen Laporan 2013 IKLH 9 DAS PRIORITAS JAWA PUSAT PENGELOLAAN EKOREGION JAWA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP 2013

2 Daftar Isi I. Pendahuluan. I-1 1. Latar Belakang. I-1 2. Tujuan. I-4 3. Ruang Lingkup. I-4 II. Indikator dan Paramter IKLH berbasis DAS. II-1 1. Aspek Sumberdaya Air. II-1 a. Kualitas Air Sungai. II-1 b. Kekritisan Air. II-4 2. Aspek Udara. II-8 a. Kualitas Udara Ambien. II-8 b. Pengatur Kualitas Udara. II Aspek Vegetasi-Lahan. II-12 a. Kualitas Tutupan Vegetasi. II-12 b. Kekritisan Lahan. II Aspek Keamanan Kehati. II-25 III. Profil 9 DAS 1. DAS Bengawan Solo. III DAS Brantas. III DAS Ciliwung. III DAS Cisadane. III DAS Cimanuk. III DAS Citanduy. III DAS Citarum. III DAS Progo. III DAS Serayu. III - 67

3 IV. Hasil Analisis dan Pembahasan IV-1 1. Aspek Sumberdaya Air... IV-1 2. Aspek Udara... IV-3 3. Aspek Vegetasi-Lahan... IV-5 4. Aspek Keamanan Kehati... IV-7 5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 9 DAS... IV-9 6. IKLH dan Kependudukan.. IV-10 V. Kesimpulan dan Rekomendasi V-1 1. Kesimpulan V-1 2. Rekomendasi V-3

4 BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (PP No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1). Bagi keperluan Pengelolaan Lingkungan, DAS dapat dijadikan sebagai satuan pengelolaan, dengan demikian DAS dapat diukur secara mandiri kualitas lingkungannya. Selama ini untuk mengukur kualitas lingkungan umumnya dilakukan secara parsial berdasarkan media, yaitu air, udara, dan lahan sehingga sulit untuk menilai apakah kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah bertambah baik atau sebaliknya. Salah satu cara untuk mereduksi banyaknya data dan informasi tersebut adalah dengan menggunakan indeks. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2007 telah mengembangkan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) untuk 30 ibukota provinsi. Selain itu pada tahun 2009 Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bekerja sama dengan Dannish International Development Agency (DANIDA) juga mulai mengembangkan indeks lingkungan berbasis provinsi yang pada dasarnya merupakan modifikasi dari EPI. I - 1

5 Hingga saat ini Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) telah digunakan KLH untuk mengetahui kualitas lingkungan hidup pada tiaptiap wilayah dengan basis administrasi dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. IKLH yang dikembangkan KLH menggunakan tiga komponen sebagai penentu nilai, yaitu kualitas udara, kaulitas air, dan tutupan hutan. Mengacu kepada konsep yang digunakan oleh KLH, untuk kepentingan pelaksanaan koordinasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Ekoregion Jawa, Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa (PPE Jawa) melakukan pengukuran Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) berbasis Daerah Aliran Sungai. Ada beberapa pertimbangan yang menjadi latar belakang mengapa dilakukan kajian IKLH berbasis DAS ini; Pertimbangan pertama adalah IKLH berbasis administrasi mengandung kelemahan jika dibandingkan antara satu dengan yang lain. Pada umumnya kabupaten/kota yang berada di kawasan hulu cenderung memiliki nilai IKLH yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah hilir. Wilayah yang telah mengantongi nilai IKLH tinggi akan bertindak seolah acuh tak acuh terhadap tetangganya yang sedang kerepotan membenahi nilai IKLH yang rendah. Padahal rendahnya nilai IKLH kabupaten/kota wilayah hilir bisa jadi sebagai akibat dari aktivitas pembangunan di wilayah hulu. Oleh karena itu pendekatan IKLH berbasis DAS akan lebih konfrehensif, dapat menjadi perekat kerjasama antara hulu dan hilir, dengan berpegang pada satu dasar niali IKLH yang sama. I - 2

6 Pertimbangan berikutnya adalah, bahwa IKLH berbasis administrasi yang digunakan oleh KLH masih menggunakan aspek atau komponen yang sedikit, hanya tiga komponen. Jumlah komponen yang sedikit akan mengakibatkan bias yang besar. Oleh karena itu IKLH berbasis DAS yang dikembangkan oleh PPE Jawa ini menggunakan jumlah komponen yang lebih banyak, 7 (tujuh) komponen yaitu; - Untuk pengukuran indeks kualitas pada aspek sumberdaya air, tidak hanya kualitas air sungai yang dikaji, juga ditambahkan komponen kekritisan air. Kekritisan air ini menyangkut besarnya perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan akan sumberdaya air. - Pada pengukuran indeks kualitas pada aspek udara, selain kualitas udara ambien juga dihitung faktor pengatur kualitas udara yaitu perbandingan tutupan vegetasi dan jumlah penduduk. - Komponen yang berikutnya, dan ini sangat berbeda adalah penggunaan komponen tutupan vegetasi untuk pengukuran indeks kualitas vegetasi atau lahan, bukan menggunakan tutupan hutan saja. Selain dari itu juga ditambahkan komponen lainnya yaitu lahan kritis (kekritisan lahan). - Komponen yang terakhir yang menjadi faktor penentu IKLH berbasis DAS adalah keanekaragaman hayati. Dalam hal ini penekanan pada aspek keamanan ekosistem yang menjadi tempat mengamankan keanekaragaman hayati, flora dan fauna. Pertimbangan terakhir adalah perlunya indikator atau pengukur kinerja dalam pengelolaan lingkungan hidup. Setiap Instansi I - 3

7 Pemerintah (Pusat dan Daerah) atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mempunyai program dan kegiatan sendiri-sendiri yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kualitas lingkungan suatu DAS. Untuk melihat sejauh mana dampak yang terjadi atau pengaruh yang ditimbulkan oleh adanya Program dan Kegiatan tersebut terhadap lingkungan secara menyeluruh, diperlukan sebuah pengukur. Indeks kualitas lingkungan dapat dimanfaatkan untuk mengukur keberhasilan program-program atau kegiatan pembangunan dan/atau pengelolaan lingkungan tersebut. Selain sebagai sarana untuk mengevaluasi efektifitas program-program pengelolaan lingkungan, IKLH juga mempunyai peranan dalam hal membantu perumusan kebijakan, membantu dalam mendisain program-program lingkungan, serta mempermudah komunikasi dengan publik sehubungan dengan kondisi lingkungan. 2. Tujuan Memberikan informasi kepada para pengambil keputusan di tingkat pusat dan daerah tentang kondisi lingkungan di suatu wilayah tertentu -dalam hal ini DAS- dengan menampilkan nilai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), khususnya pada 9 (Sembilan) DAS prioritas yang ada di Pulau Jawa. 3. Ruang Lingkup IKLH berbasis DAS yang dikerjakan oleh PPE Jawa dasar teorinya menggunakan IKLH yang digunakan oleh KLH dengan sedikit modifikasi. Modifikasi yang dimaksud meliputi indikator tutupan I - 4

8 vegetasi, kualitas udara dan kualitas air serta penambahan komponen keanekaragaman hayati. Selain dari itu juga modifikasi dalam jumlah komponen yang diukur. Mengingat bahwa yang diukur adalah DAS maka pokok bahasan sumberdaya air menjadi fokusnya. Oleh karena itu tutupan vegetasi yang dimaksud adalah tutupan lahan oleh vegetasi dalam penggunaanya sebagai lahan hutan (hutan primer dan hutan sekunder), kebun campuran dan perkebunan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa hutan, kebun campuran dan perkebunan mempunyai fungsi optimal sebagai penyerap dan penyimpan air. Sebagai pembanding atau target untuk setiap indikator adalah standar atau ketentuan yang berlaku berdasarkan peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti ketentuan tentang baku mutu air dan baku mutu udara ambien. Sealin dari itu juga digunakan literatur yang didapat dari hasil-hasil penelitian ilmiah. Berdasarkan ketersediaan data untuk setiap indikator sebagaimana tersebut di atas, maka indeks yang dihasilkan adalah untuk 9 DAS prioritas yang ada di pulau Jawa yaitu; DAS Brantas, DAS Bengawan Solo, DAS Progo, DAS Serayu, DAS Citanduy, DAS Cimanuk, DAS Citarum, DAS Ciliwung dan DAS Cisadane. Data utama yang dihimpun untuk melakukan kajian ini adalah Data sekunder tahun 2011 s.d. 2012, dan paling rendah data tahun Hasil-hasil kajian ini ditetapkan sebagai baseline kajian untuk Tahun Jadi IKLH 9 DAS Prioritas Jawa yang dikeluarkan dari hasil kajian ini adalah IKLH Tahun I - 5

9 BAB II Indikator dan Paramter IKLH berbasis DAS 1. Aspek Sumberdaya Air Pada aspek sumberdaya air, ada dua indikator yang digunakan untuk mengukur indeks kualitas lingkungannya, yaitu; kualitas air sungai dan neraca air (water balance). Kualitas air yang diukur hanya pada air sungai utama saja dengan sebaran lokasi yang proporsional dari hulu hingga hilir, sedangkan air tanah untuk saat ini belum dilakukan pengukuran. Neraca air dapat diartikan pula sebagai evaluasi ketersediaan air, yang mempertimbangkan antara air yang tersedia (suplay) dan kebutuhan/permintaan (demand). a. Kualitas Air Sungai Air, terutama air sungai mempunyai peranan yang sangat strategis dalam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Air sungai menjadi sumber air baku untuk berbagai kebutuhan lainnya, seperti industri, pertanian dan pembangkit tenaga listrik. Di lain pihak sungai juga dijadikan tempat pembuangan berbagai macam limbah sehingga tercemar dan kualitasnya semakin menurun. Karena peranannya tersebut, maka sangat layak jika kualitas air sungai dijadikan indikator kualitas lingkungan hidup. Selain kualitasnya, sebenarnya ketersediaan air sungai juga perlu II - 1

10 dijadikan indikator. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan mengukur daya dukung air (ketersediaan air). Perhitungan indeks untuk indikator kualitas air sungai dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman tersebut dijelaskan antara lain mengenai penentuan status mutu air dengan metoda indeks pencemaran (Pollution Index PI). Menurut definisinya PI j adalah indeks pencemaran bagi peruntukan j yang merupakan fungsi dari C i /L ij, dimana C i menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i dan L ij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i yang dicantumkan dalam baku peruntukan air j. Dalam hal ini peruntukan yang akan digunakan adalah klasifikasi mutu air kelas II berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Formula penghitungan indeks pencemaran adalah: ( ) ( ) dimana: (C i /L ij ) M adalah nilai maksimum dari C i /L ij (C i /L ij ) R adalah nilai rata-rata dari C i /L ij Evaluasi terhadap PI j adalah sebagai berikut: Memenuhi baku mutu atau kondisi baik jika 0 PI j 1,0 II - 2

11 Tercemar ringan jika 1,0 < PI j Tercemar sedang jika 5,0 < PI j Tercemar berat jika PI j > 10,0. Pada prinsipnya nilai PI j > 1 mempunyai arti bahwa air sungai tersebut tidak memenuhi baku peruntukan air j, dalam hal ini mutu air kelas II. Penghitungan indeks kualitas air dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: Setiap lokasi dan waktu pemantauan kualitas air sungai dianggap sebagai satu sampel; Hitung indeks pencemaran setiap sampel untuk parameter TSS, DO, BOD, dan COD; Hitung persentase jumlah sampel yang mempunyai nilai PI j > 1, terhadap total jumlah sampel pada tahun yang bersangkutan. Melakukan normalisasi dari rentang nilai 0% - 100% (terbaik terburuk) jumlah sampel dengan nilai PI j > 1, menjadi nilai indeks dalam skala (terburuk terbaik). Setiap DAS diwakili oleh sungai utama dan beberapa sungai cabang (orde-1) yang dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut: Sungai tersebut ada di dalam wilayah suatu DAS. Sungai prioritas untuk dikendalikan pencemarannya. Keterwakilannya meliputi wilayah hulu, tengah dan hilir DAS. Pemantauan setiap sungai paling sedikit dilakukan tiga kali setahun pada tiga lokasi sehingga setidaknya ada sembilan sampel II - 3

12 (data) kualitas air sungai setiap tahunnya. Pemilihan parameter TSS, BOD, dan COD didasarkan pada ketersediaan data setiap tahunnya. b. Kekritisan Air Sub indeks kualitas lingkungan berikutnya adalah evaluasi kekritisan air, yaitu dengan membandingkan antara kebutuhan dan ketersediaan air. Perhitungan estimasi jumlah air yang tersedia dan jumlah kebutuhan air menggunakan metode yang dipakai dalam Permen-LH No. 17 Tahun Evaluasi keritisan air ini dapat disebut juga dengan penentuan daya dukung air. Indikator ini penting untuk diukur mengingat pentingnya ketersediaan air dalam sebuah DAS. Evaluasi ini dapat digambarkan secara skematis seperti pada gambar 2.1. di bawah ini. Gambar 2.1. Diagram Penentuan Daya Dukung Air Evaluasi kekritisan Air ditentukan dengan menggunakan metode koefisien limpasan berdasarkan informasi penggunaan lahan serta data curah hujan tahunan. Sementara itu, kebutuhan air dihitung dari hasil konversi terhadap kebutuhan hidup layak. Penghitungan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: II - 4

13 1) Penghitungan Ketersediaan (Supply) Air Perhitungan dengan menggunakan Metode Koefisien Limpasan yang dimodifikasi dari metode rasional. Keterangan: S A = ketersediaan air (m 3 /tahun) C = koefisien limpasan tertimbang Ci = Koefisien limpasan penggunaan lahan i (lihat Tabel 2.1) A i = luas penggunaan lahan i (ha) dari Peta Tutupan Lahan. R = rata-rata aljabar curah hujan tahunan wilayah (mm/tahunan) R i = curah hujan tahunan pada stasiun i m = jumlah stasiun pengamatan curah hujan A = luas wilayah (ha) 10 = faktor konversi dari mm.ha menjadi m 3 Tabel 2.1. Koefisien Limpasan II - 5

14 Sementara itu data mengenai penggunaan lahan diperoleh dari Peta Tutupan Lahan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dalam Program MIH. Berdasarkan peta tersebut, wilayah terbagi-bagi atas tutupan lahan untuk penggunaan; hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, perkebunan, tegalan/ladang, sawah, permukiman, lahan terbuka, semak belukar dan tubuh air. Dengan mengacu pada koefisien limpasan sebagaimana tabel di atas, maka ditetapkan koefisen limpasan untuk kajian ini adalah sebagaimana tabel 2.2 berikut ini. Tabel 2.2. Koefisien Limpasan (penyesuaian) No. Deskripsi Permukaan C i 1. Hutan primer 0,10 2. Hutan sekunder 0,18 3. Perkebunan 0,15 4. Kebun campuran 0,18 5. Permukiman 0,65 6. Sawah 0,30 7. Tegalan/ladang 0,25 8. Semak belukar 0,25 9. Tanah terbuka 0, Tubuh air 1,00 2) Penghitungan Kebutuhan (Demand) Air Setelah diukur ketersediaan air (permukaan), selanjutnya dilakukan pengukuran akan kebutuhan air, dengan rumus sebagai berikut: D A = N x KHL A Keterangan: D A = Total kebutuhan air (m 3 /tahun) II - 6

15 N = Jumlah penduduk (orang) KHL A = Kebutuhan air untuk hidup layak Besarnya kebutuhan air untuk hidup layak diperoleh dari tetapan yang sudah ada sebagaimana tabel 2.3 berikut ini. Tabel 2.3. Total Kebutuhan Air Sumber: Permen-LH No. 17 Tahun ) Penentuan Kekritisan Air Indeks kekritisan air merupakan perbandingan antara kebutuhan dengan ketersediaan air, yang dapat dirumuskan sebagai berikut : Indeks kekritisan = (kebutuhan air / ketersediaan air) x 100% Klasifikasi yang digunakan disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 2.4. Klasifikasi Kekritisan Air menurut Notohadiprodjo Indeks Klasifikasi < 50 % Belum kritis % Mendekati kritis % Keadaan kritis > 100 % Telah kritis Sumber : Notohadiprodjo, 1982 II - 7

16 Selanjutnya, untuk menentukan indeks kualitas air, faktor kualitas air sungai sama pentingnya dengan faktor kekritisan air, dengan demikian maka proporsi nilai kualitas air dan kekritisan air masing-masing ditetapkan sebesar 50%. 2. Aspek Kualitas Udara Pada aspek udara, ada dua indikator yang digunakan untuk mengukur indeks kualitas lingkungannya, yaitu; kualitas udara ambien dan pengatur kualitas udara. Berikut ini dijelaskan masingmasing indikator yang akan dievaluasi. a. Kualitas Udara Ambien Kualitas udara, terutama di kota-kota besar dan metropolitan, sangat dipengaruhi oleh kegiatan transportasi. Perhitungan indeks untuk indikator kualitas udara dilakukan berdasarkan Keputusan Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997 tentang Pedoman Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Nilai ISPU mempunyai rentang dari 0 (baik) sampai dengan 500 (berbahaya). Menurut pedoman tersebut di atas, parameterparameter dasar untuk ISPU adalah partikulat (PM10), sulfur dioksida (SO 2 ), karbon monoksida (CO), ozon (O 3 ), dan nitrogen dioksida (NO 2 ). Setiap nilai hasil pengukuran parameter-parameter tersebut dikonversikan menjadi nilai ISPU dengan berpedoman pada Tabel 2.4. II - 8

17 Tabel 2.4. Batas Indeks Pencemar Udara ISPU PM10 (24 jam) SO 2 (24 jam) CO (8 jam) O3 (1 jam) NO 2 (1 jam) (μg/m3) (μg/m3) (μg/m3) (μg/m3) (μg/m3) , Penentuan indeks kualitas udara diolah dari data-data kualitas udara dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh kabupaten atau kota-kota di seluruh Jawa. Di mana pada masing-masing kabupaten/kota dipilih tiga lokasi yang mewakili wilayah padat kendaraan bermotor (transportasi), wilayah industri, dan wilayah permukiman. Pengukuran kualitas udara dilakukan empat kali dalam setahun, masing-masing selama 12 hari dengan menggunakan metoda passive sampler. Mengingat keterbatasan data yang ada, maka parameter yang diukur adalah SO 2 dan NO2. Nilai ISPU dari kedua parameter tersebut, dapat dilihat pada Tabel 3 di atas. Sedangkan formula untuk menghitung indeks dari setiap parameter adalah sebagai berikut (KLH, 2010): IP NO2 = ( -0,2 x (0,177 x Konsentrasi NO2 )) IP SO2 = ( -0,2 x (0,625 x Konsentrasi SO2 )) Nilai indeks yang menggambarkan kualitas udara suatu wilayah adalah nilai maksimum dari indeks semua parameter pada semua lokasi pemantauan di wilayah tersebut. II - 9

18 b. Pengatur Kualitas Udara Pengatur kualitas udara yang utama adalah vegetasi. Pada dasarnya semakin banyak jumlah vegetasi, kualitas udara ambien semakin baik. Manusia, dalam keadaan istirahat, membutuhkan oksigen (O 2 ) sejumlah 1,8 2,4 gram per menit, atau sekitar 155,52 373,25 kg perhari (24 jam) (sumber: Wikipedia). Berdasarkan hitungan (penelitian) Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia-Jawa Barat, 1 hektare area yang dipenuhi pohon, perdu, semak, dan rumput akan menghasilkan kanopi seluas 5 hektare. Dalam 12 jam, kanopi ini dapat menarik kilogram karbon dioksida (CO 2 ) dan melepaskan kilogram oksigen (O 2 ). Dengan demikian untuk kebutuhan oksigen yang cukup, setiap 1 orang manusia membutuhkan sekitar 0,13 0,31 hektare (13 31 are) lahan bervegetasi rapat. Dalam banyak kasus yang terjadi, turunnya kualitas udara di suatu wilayah, selain karena makin tingginya emisi gas buang, di sisi lain juga karena makin berkurangnya lahan-lahan bervegetasi. Lahan-lahan bervegetasi semakin terdesak dan berkurang jumlahnya (luasnya) akibat dari pengalihan fungsi, terutama untuk kebutuhan perumahan, perkantoran dan industri. Pertumbuhan jumlah perumahan, perkantoran dan industri sangat berkorelasi positif terhadap pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu penting untuk dievaluasi sejauh mana perbandingan antara luas kawasan bervegetasi dan jumlah penduduk. Yang dimaksudkan sebagai kawasan bervegetasi di sini adalah kawasan (lahan) yang tertutup atau bisa tertutup vegetasi berupa; hutan (hutan primer dan II - 10

19 sekunder), perkebunan, kebun campuran, mangrove, sawah, semak belukar, tegalan/ladang dan lahan terbuka (dalam Peta Penggunaan Lahan). Untuk melakukan evaluasi pengatur kualitas udara, menggunakan formula sebagai berikut: Keterangan: PKU = pengendali kualitas udara Ltv = luas tutupan vegetasi (Ha) Pdd = jumlah penduduk (org) 100 = faktor konversi ke skala 100 Sebelum menjumlah luas semua tutupan vegetasi (Ltv), masingmasing penggunaan lahan diberi skor sebagai berikut: No. Penggunaan Lahan skor 1 Hutan primer 5 2 Hutan sekunder 4 3 Hutan mangrove 3 4 Kebun campuran 4 5 Perkebunan 3 6 Tegalan/ladang 2 7 Semak belukar 2 8 Sawah 2 9 Tanah/lahan terbuka 1 Luas tutupan vegetasi (Ltv) merupakan penjumlahan dari masingmasing penggunaan lahan setelah dikalikan dengan bobot. Untuk menentukan indeks kualitas udara, hasil pengukuran kualitas udara ambien lebih dipentingkan ketimbang faktor II - 11

20 pengatur kualitas udara, dengan demikian maka bobot kualitas udara ambien lebih besar. Dalam hal ini proporsi nilai kualitas udara ambien sebesar 60% dan pengatur kualitas udara diberikan proporsi sebesar 40%. 3. Aspek Vegetasi-Lahan Pada aspek vegetasi-lahan ada dua parameter yang digunakan untuk pengukuran indeks kualitas lingkungannya, yaitu; tutupan vegetasi dan lahan kritis. Metode perhitungan masingmasing dari kedua parameter tersebut dijelaskan sebagaimana uraian berikut ini. a. Tutupan Vegetasi Vegetasi atau tumbuhan merupakan salah satu komponen yang penting dalam ekosistem. Selain berfungsi sebagai penjaga tata air, vegetasi juga mempunyai fungsi mencegah terjadinya erosi tanah, mengatur iklim, tempat tinggal bagi berbagai jenis fauna, dan tempat tumbuhnya berbagai plasma nutfah yang sangat berharga bagi kehidupan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengukuran IKLH berbasis DAS, menggunakan tiga peta utama yang dikeluarkan oleh KLH, yaitu: Peta batas wilayah DAS; Peta Tutupan Lahan; dan Peta Ekoregion tingkat Pulau dan Kepulauan, yang masing-masing berskala 1 : Di dalam Peta Tutupan Lahan, ada 13 (tiga belas) kategori tutupan yaitu; hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, perekebunan, sawah, permukiman, semak belukar, rawa, tambak/empang, tanah II - 12

21 terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh air. Yang digunakan sebagai parameter penentu indeks tutupan vegetasi disepakati hanya menggunakan 4 (empat) macam saja yaitu: hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran dan perkebunan, dengan pertimbangan bahwa keempat jenis tutupan lahan tersebut cukup baik bagi kepentingan konservasi air. Sedangkan pada peta ekoregion terdapat 15 (lima belas) satuan yaitu; satuan dataran fluvial, dataran organik, dataran pantai, dataran struktural, dataran vulkanik, dataran solusional (krast), perbukitan denudasional, perbukitan organik/koral, perbukitan solusional (karst), perbukitan struktural, perbukitan vulkanik, pegunungan denudasional, pegunungan struktural, pegunungan vulkanik dan danau. Satuan ekoregion ini dipertimbangkan sebagai faktor koreksi bagi kepentingan konservasi lahan. Ada tujuh macam satuan ekoregion yang digunakan sebagai faktor koreksi tersebut yakni: perbukitan vulkanik, perbukitan struktural, perbukitan denudasional, perbukitan karst, pegunungan vulkanik, pegunungan denudasional, dan pegunungan struktural. Untuk menghitung indeks tutupan vegetasi, ada beberapa langkah yang harus dilakukan yaitu: Langkah-1. Menghitung luas (prosentase) tutupan vegetasi. Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa yang dimaksud tutupan vegetasi disini adalah tutupan lahan oleh hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran dan perkebunan. Tutupan II - 13

22 vegetasi diukur dalam satuan prosen, yaitu perbandingan luas tutupan vegetasi terhadap luas DAS. Keterangan: TV = tutupan vegetasi LHP = luas hutan primer LHS = luas hutan sekunder LKC = luas kebun campuran LP = luas perkebunan LDAS = luas total DAS Untuk menentukan indeks tutupan vegetasi, tidak cukup hanya dengan mempertimbangkan tutupan vegetasi saja, akan tetapi perlu dipertimbangkan faktor lain seperti; faktor kesesuaian dan faktor kemanfaatan (koservasi lahan). Ada banyak lahan yang karena kondisi/karakter lahannya semestinya harus tertutup oleh vegetasi (berhutan) akan tetapi pada kenyataannya justru terbuka. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (pasal 18) bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah berikutnya. Langkah-2. Menghitung prosentase kecukupan luas kawasan hutan. II - 14

23 Yang dimaksud kawasan hutan di sini adalah kawasan berhutan (secara kenampakan citra satelit mencirikan hutan), yang dikategorikan sebagai hutan primer dan hutan sekunder. Langkah kedua ini disebut dengan Faktor Pemenuhan Kecukupan (memenuhi syarat cukup sesuai dengan ketentuan UU 41/1999, bahwa luas hutan minimal 30%). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Keterangan: FCH = faktor kecukupan hutan LHP = luas hutan primer LHS = luas hutan sekunder Langkah-3. Menghitung Tutupan Vegetasi Konservasi Yang dimaksud sebagai tutupan vegetasi konservasi bagi keperluan pengukuran IKLH berbasis DAS ini adalah besarnya prosentase tutupan vegetasi pada satuan perbukitan dan pegunungan vulkanik, struktural, denudasional dan solusional/karst (berdasarkan peta ekoregion Pulau Jawa). Faktor ini dipertimbangkan dengan tujuan untuk melindungi lahan (konservasi lahan), dimana berdasarkan arahan pemanfaatan lahan, satuan-satuan ini merupakan kawasan yang harus dikonservasi untuk melindungi lahan/tanah dan sebagai resapan dan penyimpan II - 15

24 air. Selanjutnya faktor ini disebut sebagai faktor konservasi lahan. Rumus yang digunakan adalah: Keterangan: TVKi = tutupan vegetasi untuk konservasi lahan i TV i = tutupan vegetasi pada satuan ekoregion i LS i = luas satuan ekoregion i Selanjutnya dihitung faktor konservasi lahan dengan rumus sebagai berikut: Keterangan: FKL = faktor konservasi lahan TVK i = tutupan vegetasi konservasi lahan i BSE i = bobot penilaian untuk satuan ekoregion i Di bawah ini disajikan tabel nama untuk masing-masing satuan ekoregion dengan penjelasan karakteristiknya sebagai dasar penetapan skor. Besarnya skor ditentukan berdasarkan tutupan vegetasi dominan dan arahan penggunaan lahan terbaik pada masing-masing satuan ekoregion. II - 16

25 Secara prinsip satuan ekoregion vulkanik merupakan lahan yang penting untuk dikonservasi (dengan tutupan vegetasi yang maksimal), hal ini dengan pertimbangan bahwa; Kerapatan tutupan vegetasi sangat diperlukan sebagai pengaman (buffering) dari bahaya letusan gunung berapi. Tutupan vegetasi yang optimal juga penting artinya bagi konservasi tanah (mempertahankan kesuburan) dan konservasi air, mengingat kawasan ini merupakan satuan lahan yang sangat subur dan penyuplai air untuk kawasan bawahnya. Vegetasi vulkanik juga merupakan Bank KEHATI, sumber plasma nutfah yang sangat kaya, sehingga tutupan vegetasi harus dipertahankan secara maksimal. Demikian pula satuan ekoregion solusional (karst), juga merupakan bentangalam yang cukup penting untuk dikonservasi dengan tutupan vegetasi yang optimal, dengan pertimbangan bahwa; Tutupan vegetasi yang optimal penting artinya untuk mempertahankan sumberdaya air, berupa sungai-sungai bawah tanah, yang merupakan ciri khas satuan ekoregion ini. Kawasan ini juga sangat kaya dengan gua-guanya yang menarik, atraktif, yang berfungsi sebagai obyek wisata maupun obyek penelitian. II - 17

26 Secara ringkas, karakteristik dan kepentingan dari masingmasing satuan ekoregion tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.5. Penjelasan Karakteristik Satuan Ekoregion No. Satuan Ekoregion Karakteristik 1. Pegunungan Vulkanik 2. Pegunungan Struktural Topografi bergunung dengan lereng curam hingga sangat curam, dengan kemiringan lereng >30%. Pada umumnya mempunyai iklim basah (hujan tropis) dengan curah hujan tinggi (800 hingga >1.800 mm/tahun). Lereng curam hingga sangat curam, dan elevasi yang tinggi, maka tidak memungkinkan terdapatnya airtanah pada satuan ini. Namun lebih utama satuan ini berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan (cathment area) dan peresapan air hujan (recharge area). Batuan didominasi oleh material hasil proses vulkanik, yang dapat berupa bahan-bahan piroklastik akibat aliran lahar, atau batuan dasar yang keras dan kompak berupa aliran lava. Tanah sangat berkembang dengan baik, berwarna gelap yang menunjukkan kandungan air dan bahan-bahan organik tinggi sehingga menyebabkan tingkat kesuburan yang tinggi, yang sering disebut dengan tanah Andosol. Morfologi atau relief bergunung dengan lereng curam hingga sangat curam (40-65% atau >65%). Relatif beriklim kering dengan curah hujan rendah. Jalur utara tersusun atas material batugamping berselang-selang dengan lapisan lempung marin. Jalur selatan tersusun atas material volkanik tua yang terbentuk pada kala Oligosen yang membentuk pegunungan blok patahan zona selatan Jawa, dan pada beberapa lokasi terdapat sisipan batuan metamorfik berupa sekis, filit, gneis, kuarsit, dan marmer. relatif termasuk wilayah yang miskin airtanah. Sumberdaya air kemungkinan berupa mataair yang muncul pada tekuk lereng kaki perbukitan berupa mataair kontak, atau mataair struktur akibat patahan atau retakan batuan. Jasa ekosistem sebagai kawasan konservasi tanah (erosi, longsor, dan rayapan atanah), dan biologis (konservasi hayati). Perlindungan plasma nutfah melalui zonasi kawasan hutan produksi terbatas, kawasan konservasi dan penyangga. II - 18

27 3. Pegunungan Denudasional 4. Perbukitan Vulkanik 5. Perbukitan Denudasional Material dominan adalah batuan-batuan beku gunungapi tua yang telah mengalami pelapukan tingkat lanjut, dan batuan sedimen berupa batugamping napal. Morfologi bergunung dengan lereng curam (>40%), dengan proses utama berupa denudasional yang dicirikan oleh tingkat pelapukan batuan yang telah lanjut, erosi lereng dan gerakan massa batuan sangat potensial. Akibat proses erosional dan longsor lahan yang intensif, maka pola aliran sungai seperti cabang-cabang pohon (dendritik), dengan alur rapat sejajar menuruni lereng, dan bertemu di lembah perbukitan menyatu menjadi sungai yang lebih besar. Namun demikian sifat aliran sungai relatif epimeral atau perenial dengan fluktuasi debit aliran sangat tinggi antara musim penghujan dengan kemarau. Airtanah sulit didapatkan. Jasa ekosistem dapat sebagai penyedia bahan dasar mineral bangunan. Perlindungan plasma nutfah melalui zonasi kawasan lindung dan penyangga. Topografi berupa perbukitan, dengan kelerengan lebih dari 15% dengan amplitudo relief 0-300m. Terbentuk sebagai hasil proses erupsi (letusan) gunungapi yang penyebarannya dibantu oleh proses aliran sungai (fluvial). Secara umum berpotensi sebagai kawasan lindung terhadap mataair, tanah, dan lahan-lahan di bawahnya, dan secara orohidrologis berfungsi sebagai kawasan tangkapan dan resapan air hujan, banyak dijumpai mata-mata air dan air terjun. Proses perkembangan tanah sangat intensif, yang dapat membentuk jenis tanah Latosol dan Andosol. Jasa lingkungan sebagai penyedia lahan pertanian, sumber air bersih, perlindungan sumberdaya alam dan plasma nutfah. Material dominan adalah batuan-batuan beku gunungapi tua yang telah mengalami pelapukan tingkat lanjut, dan batuan sedimen berupa batugamping napal. Morfologi berbukit dengan lereng curam (30-40%), dengan proses utama berupa denudasional yang dicirikan oleh tingkat pelapukan batuan yang telah lanjut. Pola aliran sungai seperti cabang-cabang pohon (dendritik), dengan alur rapat sejajar menuruni lereng, dan bertemu di lembah perbukitan menyatu menjadi sungai yang lebih besar. Sifat aliran sungai relatif epimeral atau perenial dengan fluktuasi debit aliran sangat tinggi antara musim penghujan dengan kemarau. Airtanah relatif sulit didapatkan. Jasa ekosistem dapat sebagai penyedia bahan dasar mineral bangunan. II - 19

28 6. Perbukitan Struktural 7. Perbukitan Solusional (Karst) Topografi berupa perbukitan, dengan morfologi atau relief berbukit rendah (lereng 15-30%) hingga berbukit tinggi (lereng 30-40%). Relatif beriklim kering dengan curah hujan rendah. Terbentuk oleh proses pengangkatan tektonik yang membentuk struktur lipatan (antiklinal) pada zona utara Jawa akibat materialnya yang bersifat plastis; sedangkan pada zona selatan Jawa membentuk struktur blok patahan dengan bidang-bidang sesar (escarpment) yang tegak dan curam akibat material penyusunnya yang kompak dan keras. Relatif termasuk wilayah yang miskin airtanah. Sumberdaya air kemungkinan berupa mataair yang muncul pada tekuk lereng kaki perbukitan berupa mataair kontak. Umumnya terdapat tanah-tanah berlempung dengan indeks plastisitas yang tinggi berupa tanah Grumusol atau Vertisol. Kemiringan lereng rendah (15-30%) hingga curam (30-40%). Material dominan adalah batuan sedimen organik atau non klastik, berupa batugamping terumbu (limestone, CaCO 3 ), batugamping napal, atau batugamping dolomit. Menempati daerah dengan iklim basah bercurah hujan tinggi. Hidrologi permukaan berupa telaga-telaga karst (logva), dan sungai bawah tanah dengan potensi aliran yang besar. Umumnya bertanah merah (terrarosa atau mediteran), dan tanah bersolum tipis yang disebut tanah litosol (rendzina). Pemanfaatan lahan secara umum berupa ladang tadah hujan dan kebun campuran. Jasa ekosistem sebagai pengatur tata air, budaya dan wisata minat khusus, penelitian dan pendidikan. Sumber: Deskripsi Peta Ekoregion Pulau/Kepulauan Untuk menentukan bobot tutupan vegetasi masing-masing satuan ekoregion terlebih dahulu dilakukan analisis penggunaan lahan. Diambil tiga (3) macam penggunaan lahan eksisting yang paling dominan. Dari ketiga macam penggunaan lahan eksisting tersebut kemudian ditetapkan nilai bobotnya. Secara umum penentuan nilai bobot menggunakan tabel berikut ini (berdasarkan expert judgement). II - 20

29 No Satuan Ekoregion Bobot Penjelasan 1 Pegunungan Vulkanik 90 Umumnya berupa hutan dengan kerapatan 80-90%. 2 Pegunungan Struktural 80 Umumnya berupa kebun campuran, dengan kerapatan 80% atau lebih 3 Perbukitan Vulkanik 80 Minimal 80% kawasan tertutup vegetasi 4 Perbukitan Denudasional 70 Minimal 70% kawasan tertutup vegetasi 5 Perbukitan Struktural 70 Minimal 70% kawasan tertutup vegetasi 6 Perbukitan Karst 70 Minimal 70% kawasan tertutup vegetasi Penjelasan atas penentuan besarnya bobot di atas, adalah berdasarkan analisis penggunaan lahan eksisting. Penggunaan lahan (atau land cover) satuan ekoregion pegunungan vulkanik pada umumnya berupa hutan primer dan hutan sekunder dengan kerapatan tegakan mencapai 90% atau lebih. Pada umumnya juga, pegunungan vulkanik 90% atau lebih kawasannya tertutup oleh vegetasi, baik berupa hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, ataupun perkebunan. Penjelasan yang sama juga berlaku untuk satuan ekoregion yang lain, misal perbukitan karst. Hasil analisis penggunaan lahan eksisting, kawasan ini pada umumnya berupa perkebunan dan tegalan dengan kerapatan tegakan sekitar 70%, atau hanya sekitar seluas 70% dari total luas kawasan tertutup oleh vegetasi. Demikian juga untuk kawasan-kawasan perbukitan yang lainnya. II - 21

30 Dengan demikian, artinya bahwa jika 90% dari wilayah satuan ekoregion pegunungan vulkanik itu tertutup vegetasi, berarti dinyatakan baik. Atau jika seluruh wilayah tertutup vegetasi yang kerapatannya hanya 90% saja, sudah dianggap baik. Hal yang sama berlaku untuk satuan ekoregion yang lain. Kawasan perbukitan karst, yang memang merupakan daerah yang minim air permukaan, dianggap cukup baik jika hanya memiliki vegetasi penutup tanahnya hanya memiliki kerapatan tegakan 70%. Langkah-4. Menjumlah semua faktor koreksi Maksud dari Faktor Koreksi adalah menjumlahkan faktor kecukupan hutan dan faktor konservasi, kemudian membagi dengan banyaknya faktor tersebut, rumus yang digunakan adalah : Keterangan: FK = faktor koreksi FCH = faktor kecukupan hutan FKL= faktor konservasi lahan Langkah-5. Menghitung Indeks Tutupan Vegetasi Indeks tutupan vegetasi dihitung dengan cara mengalikan hasil perhitungan tutupan vegetasi dengan faktor koreksi. ITV = TV x FK Keterangan: II - 22

31 ITV= indeks tutupan vegetasi TV = tutupan vegetasi FK = faktor koreksi b. Kekritisan Lahan Data lahan kritis yang digunakan untuk pengukuran parameter kekritisan lahan adalah data-data lahan kritis yang dikeluarkan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS). Pembagian kekritisan lahan meliputi kategori; sangat kritis, kritis, agak kritis, potensial kritis dan tidak kritis. Untuk keperluan pengukuran indeks kualitas lingkungan DAS ini hanya digunakan kategori sangat kritis dan kritis saja. Pada prinsipnya pengukuran kekritisan lahan adalah mengkaji seberapa besar (proporsi) luas lahan yang terkategori kritis jika dibandingkan dengan luas DAS-nya. Metode yang digunakan dalam pengukuran parameter ini adalah dengan cara membandingkan luas lahan kritis (kategori sangat kritis dan kritis) dengan luas DAS. Rumus yang digunakan adalah: Keterangan: PLK = Porsi Lahan kritis LSK = luas lahan sangat kritis LK = luas lahan kritis LDAS= luas DAS II - 23

32 Asumsi dasarnya adalah bahwa semakin besar prosentase luas lahan kritis suatu DAS berarti semakin buruk, dan sebaliknya semakin kecil berarti semakin baik. Akan tetapi, tidaklah mungkin bisa ditolerir jika lahan kritis di suatu DAS bisa mencapai 100%, oleh karena itu perlu ditetapkan toleransi maksimal jumlah lahan kritis adalah 70%. Toleransi ini dipertimbangkan dengan asumsi bahwa minimal 30% luas lahan dalam suatu DAS yang harus dipertahankan sebagai hutan (sesuai amanat UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Oleh karena itu perhitungan IKL (indeks kekritisan lahan) diperoleh dengan rumus: IKL = {1 (PLK/70)} x 100 Dimana: IKL = Indeks Kekritisan Lahan PLK= Porsi Lahan Kritis Berdasarkan asumsi ini maka, jika suatu DAS terdapat 70% berupa lahan kritis artinya ia mendapatkan nilai kekritisan lahan 0. 70% lahan kritis sebagai batas paling buruk. Dan jika tidak terdapat lahan kritis (lahan kritis mendekati 0) maka nilainya 100. Terakhir, untuk menentukan indeks kualitas lahan, hasil pengukuran tutupan vegetasi lebih dipentingkan ketimbang faktor lahan kritis, dengan demikian maka proporsi nilai tutupan vegetasi lebih besar. Dalam hal ini nilai tutupan vegetasi diberi bobot sebesar 60%, dan kekritisan lahan diberi bobot sebesar 40%. II - 24

33 4. Aspek Keamanan Keanekaragaman Hayati Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas Kawasan Suaka Alam (KSA), yang terdiri dari Hutan Cagar Alam (CA), dan Hutan Suaka Margasatwa (SM); dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), yang terdiri dari Hutan Taman Nasional (TN), Hutan Taman Wisata Alam (TWA), dan Hutan Taman Hutan Raya (Tahura); serta Taman Buru (TB) (pasal 27 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Kawasan konservasi merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam suatu tipe ekosistem atau secara fisik masih asli dan belum terganggu, juga merupakan komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka dan/atau keberadaannya terancam punah. Kawasan ini sangat penting untuk dilindungi dan dipertahannkan keberadaannya. Selain kawasan konservasi, terdapat juga kawasan hutan yang memiliki arti yang sangat penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, yaitu hutan lindung. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Dari pengertian di atas tersirat bahwa hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan II - 25

34 hujan (catchment area), di sepanjang aliran sungai bilamana dianggap perlu, di tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau), dan tempat-tempat lain sesuai fungsi yang diharapkan. Oleh karena itu kawasan konservasi dan hutan lindung dipertimbangkan sebagai indikator bagi penentuan keanekaragaman hayati. Namun yang perlu diketahui adalah bahwa kawasan-kawasan ini pada kenyataannya tidak semuanya dalam kondisi berhutan yang masih baik. Bisa saja terdapat daerah yang berupa tegalan, semak belukar, kebun campuran, bahkan sawah dan permukiman. Mengingat kondisi yang demikian, maka metode yang digunakan untuk mengukur indeks kehati adalah dengan membandingkan luas hutan primer dan hutan sekunder (berdasarkan peta penggunaan lahan) yang berada di dalam kawasan koservasi dan hutan lindung dengan luas kawasan koservasi dan hutan lindung itu sendiri (berdasarkan TGHK). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Keterangan: IKH = indeks keanekaragaman hayati LHp = luas hutan primer (berdasar data Peta LC) LHs = luas hutan sekunder (berdasar data Peta LC) LKK = luas hutan konservasi (berdasar TGHK) LHL = luas hutan lindung (berdasar TGHK) II - 26

35 BAB III Profil Lingkungan 9 DAS 1. DAS Bengawan Solo Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo merupakan DAS terbesar di Pulau Jawa, terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan luas wilayah Ha. Lokasi DAS Bengawan Solo berada pada posisi 110 o 18 BT sampai 112 o 45 BT dan 6 o 49 LS sampai 8 o 08 LS. DAS Bengawan Solo dibagi ke dalam tigasub DAS, yang meliputi SubDAS Bengawan Solo Hulu, Sub DAS Kali Madiun dan Sub DAS Bengawan Solo Hilir. DAS Bengawan Solo berbatasan dengan: a. Bagian barat : berbatasan dengan DAS Serang dan DAS Progo b. Bagian selatan : berbatasan dengan DAS Grindulu dan DAS Lorong c. Bagian timur : berbatasan dengan DAS Brantas d. Bagian utara : berbatasasn dengan Laut Jawa Gambar 3.1. Peta DAS Bengawan Solo(Sumber: PPE Jawa, 2013) III - 1

36 1.1. Karakteristik Lingkungan a. Karatkeristik Fisik Karakteristik fisik lingkungan dapat digambarkan dari satuan-satuan ekoregion yang ada di dalamnya. Satuan ekoregion terluas di DAS Bengawan Solo yaitu dataran vulkanik jalur Gunung Karang - Merapi - Raungseluas 21.19%. Sebaran ekoregion DAS Bengawan Solo terlihat pada Gambar 3.2. berikut: Gambar 3.2. Peta Ekoregion DAS Bengawan Solo Secara lebih rinci, satuan-satuan ekoregion yang terdapat di dalam DAS Bengawan Solo dan luas masing-masingnya, dapat dilihat pada Tabel 3.1. berikut ini. Tabel 3.1. Luas masing-masing Ekoregion di DAS Bengawan Solo Ekoregion KODE Luas (ha) (%) Danau ,39% Dataran Fluvial Jawa F ,98% Dataran Struktural Blok Selatan Jawa S ,35% Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S ,69% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,19% III - 2

37 Ekoregion KODE Luas (ha) (%) Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,10% Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng - Rembang K ,34% Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - K ,71% Gunungsewu Blambangan Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S ,16% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S ,49% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,59% Jenis tanah terbesar berupa grumusol kelabu tua sebesar 23,45%. Sebaran jenis tanah yang terdapat di DAS Bengawan Solo dapat dilihat pada Gambar 3.3. Sedangkan besarnya luasan masing-masing jenis tanah, secara rinci disajikan pada Tabel 3.2. Gambar 3.3. Peta Jenis Tanah DAS Bengawan Solo Tabel 3.2. Luas Masing Masing Jenis Tanah di DAS Bengawan Solo MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Mediteran Coklat Kemerahan dan Grumusol Kelabu ,96% Aluvial Kelabu ,77% Aluvial Kelabu Tua ,17% Aluvial Coklat Kekelabuan ,08% III - 3

38 MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Hidromorf ,95% Aluvial Kelabu ,56% Aluvial Kelabu dan Aluvia Coklat Kekelabuan ,43% Andosol Coklat ,14% Andosol Coklat dan Latosol Coklat Kemerahan ,44% Andosol Coklat, Andosol Coklat Kekuningan, Litosol ,06% Asoiasi Andosol Kelabu dan Regosol Kelabu ,62% Asosiasi Aluvial Kelabu dan Coklat KekelabuanAsosi ,29% Asosiasi Litosol dan Grumusol Kelabu Tua ,09% Asosiasi Litosol dan Mediteran Coklat ,49% Asosiasi Litosol dan Mediteran Coklat Kemerahan 743 0,05% Asosiasi Mediteran Coklat Litosol ,00% Grumusol Coklat Kekelabuan dan Kelabu Kekuningan ,20% Grumusol Kelabu ,85% Grumusol Kelabu Tua ,23% Kompleks Andosol Kelabu Tua dan Litosol ,22% Kompleks Grumusol Hitam dan Litosol ,23% Kompleks Grumusol Kelabu dan Litosol ,80% Kompleks Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol ,69% Kompleks Litosol, Mediteran dan Renzina ,08% Kompleks Mediteran Coklat dan Litosol ,89% Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol ,94% Kompleks Mediteran Merah dan Litosol ,37% Kompleks Regosol Kelabu dan Grumusol Kelabu Tua ,59% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol ,63% Latosol Coklat ,69% Latosol Coklat Kemerahan ,25% Latosol Coklat dan Regosol Kelabu ,16% Latosol Merah Kekuningan ,25% Litisol ,31% Litosol ,75% Mediteran Coklat ,51% Mediteran Coklat Kemerahan ,68% Mediteran Merah Tua dan Regosol 9 0,00% Regosol Coklat Kekelabuan ,19% Regosol Kelabu ,38% Penggunaan lahan terbesar DAS Bengawan Solo berupa sawah. Berdasarkan data curah hujan, curah hujan rata-rata tahunan sebesar mm/tahun. Curah hujan minimum sebesar mm/tahun dan curah hujan maksimum III - 4

39 mm/tahun. Gambaran secara spasial penggunaan lahan di DAS Bengawan Solo dapat dilihat pada Gambar 3.4. sedangkan rincian luas masing-masing penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 3.3. Gambar 3.4. Peta Penggunaan Lahan DAS Bengawan Solo Tabel 3.3. Luas Penggunaan Lahan DAS Bengawan Solo PENGGUNAAN LAHAN LUAS (HA) (%) Hutan Primer 921 0,06% Hutan Sekunder ,80% Kebun Campuran ,65% Perkebunan ,54% Permukiman ,05% Rawa 144 0,01% Sawah ,59% Semak/Belukar ,57% Tambak/Empang ,09% Tanah Terbuka ,74% Tegalan/Ladang ,13% Tubuh Air ,77% III - 5

40 b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS BengawanSolo tahun 2012 sebesar jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan luas DAS sebesar Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Solo adalah 10,72 Jiwa/Ha atau sekitar Jiwa/Km 2. Tabel 3.4. Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Bengawan Solo Tahun 2012 Provinsi Kabupaten/ Kota % Luas Dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk 2012 DI Yogyakarta Gunung Kidul , ,505 DI Yogyakarta Sleman ,093, ,624 Jawa Tengah Blora , ,538 Jawa Tengah Boyolali , ,602 Jawa Tengah Grobogan ,308, ,643 Jawa Tengah Karanganyar , ,984 Jawa Tengah Klaten ,130, ,098,875 Jawa Tengah Kota Surakarta , ,136 Jawa Tengah Magelang , Jawa Tengah Rembang , ,129 Jawa Tengah Semarang , ,770 Jawa Tengah Sragen , ,598 Jawa Tengah Sukoharjo , ,667 Jawa Tengah Wonogiri , ,134 Jawa Timur Bojonegoro ,209, ,219,186 Jawa Timur Gresik ,177, ,063 Jawa Timur Kota Madiun , ,698 Jawa Timur Lamongan ,179, ,356 Jawa Timur Madiun , ,655 Jawa Timur Magetan , ,435 Jawa Timur Nganjuk ,017, ,208 Jawa Timur Ngawi , ,747 Jawa Timur Pacitan , ,001 Jawa Timur Ponorogo , ,718 Jawa Timur Trenggalek , ,553 Jawa Timur Tuban ,118, ,190 Jumlah Penduduk III - 6

41 1.2. Permasalahan Lingkungan Berbagai masalah lingkungan telah terjadi di DAS Bengawan Solo. Permasalahan tersebut berupa banjir, lahan kritis, pencemaran air, erosi, sedimentasi dan permasalahan sosial lainnya. a. Banjir Banjir besar di DAS Bengawan Solo Hulu pernah terjadi pada tahun Puncak banjir diperkirakan sebesar m 3 /det di Wonogiri, m 3 /det di Surakarta dan m 3 /det di Ngawi. Luas daerah genangan banjir di sebelah hulu Kota Surakarta sekitar ha dan di Sragen sekitar ha. Pemerintah telah banyak membangun fasilitas pengendali banjir. Fasilitas pengendalian banjir yang terutama dalam Wilayah DAS Bengawan Solo adalah Bendungan Serbaguna Wonogiri (Waduk Gajah Mungkur) yang terletak sekitar 55 km disebelah hulu Kota Surakarta. b. Erosi dan Sedimentasi Erosi lahan terutama terjadi di wilayah hulu DAS yaitu SubDAS Bengawan Solo Hulu dan SubDAS Madiun. Selanjutnya erosi akan mengakibatkan sedimentasi di daerah bawahnya hingga ke muara Sungai Bengawan Solo di Selat Madura. Besarnya laju erosi permukaan yang terjadi di tiap-tiap daerah aliran (catchment area) dalam wilayah DAS Bengawan Solo secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3.5.Produksi Sedimen Erosi Lahan Sub-DAS Bengawan Solo Hulu dan Kali Madiun No. Catchment Area Luas (km2) Volume Erosi Permukaan (m3/th) No. Catchment Area Luas (km2) Volume Erosi Permukaan (m3/th) 1 K. Keduang K. Ketonggo Waduk Wonogiri K. Gurdo K. Walikan K. Winongo K. Juranggempol K. Muneng K. Jlantah K. Kedung Hilir K.Dengkeng K. Jeroan Hulu K.Dengkeng K. Banjarsari K. Gawe K. Gandong K. Brambang K. Catur Hilir K. Samin K. Jati Hulu K. Samin K. Gede K. Jurug K. Gonggang K. Pepe K. Asin III - 7

42 14 K. Mungkung K. Tempuran K. Pondok K. Kenyang K. Sawur 1, K. Plapar Sumber:Pola Pengelolaan SDA Bengawan Solo, 2010 Untuk mengatasi masalah sedimentasi yang terjadi di Selat Madura, pemerintah Belanda telah membuat sudetan sungai kearah utara melalui daerah rawa menuju Laut Jawa, menghubungkan DAS Bengawan Solo dengan laut di sebelah timur perkampungan nelayan Ujung Pangkah pada tahun 1890-an. Sampai saat ini arah (alignment) saluran tersebut masih tetap seperti kondisi awal dikarenakan oleh material lempung padat yang terdapat di daerah rawa tersebut, tetapi telah terjadi perubahan di muara sungai. Perkembangan perubahan muara sungai menunjukkan perubahan memanjang sekitar 11 km kearah utara menuju Laut Jawa selama kurun waktu 110 tahun sejak dibangunnya saluran tersebut. Pada sekitar tahun 1922, telah terjadi perubahan muara sepanjang 9 km ke arah utara sepanjang saluran memotong endapan pasir dangkal sampai ke garis pantai. Pada tahun 2000, di muara telah terbentuk tiga alur ke arah samping, dan tidak terjadi perubahan pada saluran utama yang akhirnya tertutup. Ketika salah satu alur kearah samping berubah menjadi lebih panjang dari yang lainnya, ada kecenderungan akan tertutup akibat peningkatan endapan sedimen. Pada saat yang bersamaan, alur yang lain menjadi besar karena ada tambahan debit yang masuk. Muara tersebut telah berkembang membentuk beberapa alur melalui proses yang sama dan berulang seperti di atas. Proses tersebut di atas merupakan proses yang normal dimana terjadi gerusan dan endapan pada dasar sungai dan tidak terpengaruh oleh perubahan akibat proses yang terjadi di pantai. Tidak terjadi endapan pasir di muara sehingga tidak akan terjadi penyumbatan muara yang dapat menyebabkan banjir. Studi mengenai teknik pantai dalam studi CDMP menyimpulkan bahwa tidak akan terjadi pergerakan muara kearah utara, tetapi akan melebar kearah timur dan barat dan dengan volume angkutan sedimen pada kondisi saat ini, maka Selat Madura akan tertutup dalam waktu 200 tahun. c. Lahan Kritis Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan DAS III - 8

43 Bengawan Solo (tahun 2010) disebutkan bahwa lahan yang terkategori sangat kiritis mencapai luas 770,21 Ha dan lahan yang terkategori kritis mencapai luas ,47 Ha. Tabel berikut ini menjelaskan secara rinci proporsi masing-masing sesuai dengan tingkat kekritisannya. Tabel 3.6. Lahan Kritis di DAS Bengawan Solo No. Kategori Luas (Ha) (%) 1 Sangat Kritis 770,21 0,05 2 Kritis ,47 3,01 3 Agak Kritis ,89 30,02 4 Potensial Kritis ,36 29,02 5 Tidak Kritis ,67 37,90 Total ,59 100,00 Sumber : BPDAS Bengawan Solo, 2010 d. Pencemaran Selain menghadapi persoalan kerusakan lingkungan, DAS Bengawan Solo juga mengalami pencemaran air sungai-sungainya. Pencemaran lingkungan yang terjadi di Sungai Bengawan Solo disebabkan oleh limbah industri maupun limbah domestik. Adanya pencemaran oleh limbah cair ini telah mengakibatkan penurunan kualitas air sungai. Kualitas air terus menurun dari tahun ke tahun, hal ini tergambar dari hasil pengukuran beban pencemaran untuk BOD, COD dan NH3-N yang dilakukan dalam Prokasih Jawa Tengah. Berikut ini tertera tabel beban pencemaran Sungai Bengawan Solo, segmen Jawa Tengah. Tabel 3.7. Beban Pencemaran Sungai Bengawan Solo Parameter (kg/th) Tahun I (1989/90) Tahun II (1990/91) Tahun XV (2003) Tahun XVI (2004) Tahun XVII (2005) BOD , , , , ,27 COD , , , ,88 TSS 6.622, , , , ,30 NH3-N , , ,72 Sumber: PROKASIH Jawa Tengah, 2005 Sumber data lain juga memberikan gambaran bahwa kualitas air Sungai Bengawan Solo telah mengalami pencemaran lingkungan. Data hasil pengukuran kualitas air oleh Perum Jasa Tirta yang tercantum di dalam statistik lingkungan hidup berikut ini memberikan gambaran hal tersebut. Dari tabel tersebut tertulis bahwa parameter kunci (BOD, COD dan DO) di beberapa titik sampel telah melampaui baku mutu lingkungan. III - 9

44 Tabel 3.8. Kualitas Air Sungai Bengawan Solo, Segmen Jawa Tengah 1.3. Upaya yang Telah Dilakukan Sebagai upaya pengendali banjir telah dibangun waduk Gadjah Mungkur mencakup daerah seluas Ha. Waduk tersebut mempunyai kapasitas tampungan sebesar 220 juta m 3 untuk mereduksi puncak banjir sebesar m 3 /det menjadi 400 m 3 /det. Fasilitas lain yang berfungsi untuk mengurangi kerusakan akibat banjir adalah Flood Forecasting and Warning System (FFDAS). FFDAS yang berada di Bendungan Wonogiri adalah satu-satunya yang ada dalam wilayah studi. Sistim tersebut telah dipasang pada tahun 1982 sebagai peralatan tambahan bendungan untuk memantau dan memperkirakan banjir yang masuk ke dalam waduk dan memberikan peringatan dini di daerah disebelah hilir. Namun demikian, FFDAS dalam seluruh basin sungai yang akan memberikan peringatan dini dan informasi banjir kepada penduduk dan instansi terkait yang berwenang masih sangat dibutuhkan dalam BBDAS Bengawan Solo. Selebihnya, juga terdapat sejumlah bangunan-bangunan sungai yang lain seperti bendungan dan embung untuk penyediaan air irigasi dan keperluan lain. Berikut ini disajikan daftar waduk atau embung yang terdapat di DAS Bengawan Solo. III - 10

45 Tabel 3.9. Waduk atau Embung di DAS Bengawan Solo Kabupaten Waduk/Embung Kabupaten Waduk/Embung Sub DAS Bengawan Solo Hulu Sub DAS Bengawan Solo Hilir Wonogiri Nawangan Bojonegoro Pacal Ngancar Lamongan Prijetan Parangjoho Gondang Plumbon Blora Embung Jegong Song Putri Sub DAS Kali Madiun Wonogiri Magetan Telogo Pasir Kedungguling Embung Nglompang Klaten Jombor Embung Taman Arum Sukoharjo Mulur Embung Titang Krajan Karanganyar Lalung Ponorogo Telogo Ngebel Delingan Madiun Dawuhan Boyolali Cengklik Notopuro Ketro Ngawi Pondok Sragen Embung Pare Sangiran Embung Kedungsono 2. DAS Brantas DAS Brantas terletak di Provinsi Jawa Timur dan secara geografis berada pada BT BT dan 7 01 LS LS. DAS Brantas memiliki luas ha dengan panjang sungai utama 320 Km.DAS Brantas berbatasan dengan: DAS Bengawan Solo di bagian barat; DAS Lamongan dan Selat Madura di bagian utara; DAS Welang di bagian timur; dan DAS DAS kecil di bagian selatan. Secara spasial DAS Brantas dapat dilihat pada Gambar 3.5. Secara administrasi, DAS Brantas mencakup 16 Kabupaten dan 6 Kota dimana persentase luas kabupaten dan Kota dalam DAS paling besar berada pada Kabupaten Kediri, Kota Batu, Kota Blitar, Kota Kediri, Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten Sidoarjo dimana 100% wilayahnya berada pada DAS Brantas, menyusul Kabupaten Jombang yaitu 96,29 % dan Kabupaten Blitar yaitu 94,65% dan kabupaten/kota lainnya seperti terlihat pada tabel dan peta administrasi dapat dilihat pada Gambar 3.6. III - 11

46 Gambar 3.5. Peta Batas DAS Brantas Tabel Persentase Luas Kabupaten dalam DAS Brantas No Kabupaten Luas Kabupaten (Ha) Luas Kabupaten dalam DAS (Ha) % luas dalam DAS 1 Blitar ,44 94,65% 2 Bojonegoro ,18 0,30% 3 Gresik ,88 10,14% 4 Jombang ,39 96,29% 5 Kediri ,00% 6 Kota Batu ,00% 7 Kota Blitar ,00% 8 Kota Kediri ,00% 9 Kota Malang ,01 50,77% 10 Kota Mojokerto ,00% 11 Kota Surabaya ,84 77,47% 12 Lamongan ,03 0,11% 13 Lumajang ,18 0,26% 14 Madiun ,61 19,25% 15 Malang ,82 64,97% 16 Mojokerto ,00% 17 Nganjuk ,00% 18 Pasuruan ,55 27,92% 19 Ponorogo ,85 6,58% 20 Sidoarjo ,00% 21 Trenggalek ,08 85,17% 22 Tulungagung ,46 89,39% III - 12

47 Gambar 3.6. Peta Administrasi DAS Brantas 2.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik DAS Brantas terdiri dari 13 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa, Dataran Organik/Koral Jawa, Dataran Pantai Utara Jawa, Dataran Struktural Blok Selatan Jawa, Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - Gunungsewu Blambangan, Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang dan Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Brantas dapat dilihat pada Gambar peta ekoregion DAS Brantas. III - 13

48 Gambar 3.7. Peta Ekoregion DAS Brantas Satuan ekoregion terluas di DAS Brantas berupa Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung (V3) yaitu seluas Ha (38.18%) menyusul Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung (V2) seluas Ha (19.18%). Masing-masing luasan ekoregion dalam DAS Brantas dapat dilihat pada Tabel ekoregion DAS Brantas berikut. Tabel Luas Satuan Ekoregion DAS Brantas NAMA KODE LUAS (ha) (%) Danau ,21% Dataran Fluvial Jawa F ,12% Dataran Organik/Koral Jawa O2 28 0,00% Dataran Pantai Utara Jawa M ,70% Dataran Struktural Blok Selatan Jawa S ,09% Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S ,37% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,18% Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S ,18% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,04% Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng - Rembang K ,36% Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - K ,80% Gunungsewu - Blambangan Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S ,50% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S ,27% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,18% III - 14

49 Jenis tanah pada DAS Brantas sangat bervariasi yaitu terdiri dari 32 jenis tanah dimana jenis tanah Regosol Coklat Kekelabuan menempati luasan yang tertinggi yaitu ,15 Ha (14,01%) dan menyusul jenis tanah Aluvial Kelabu dengan luas ,83 Ha (11,30%). Untuk melihat sebaran jenis tanah pada DAS Brantas dapat dilihat pada gambar peta jenis tanah DAS Brantas. Gambar 3.8. Peta Jenis Tanah DAS Brantas Penggunaan lahan pada DAS Brantas dibagi ke dalam 11 penggunaan lahan yaitu Hutan Primer, Hutan Sekunder, Kebun Campuran, Perkebunan, Permukiman, Rawa, Sawah, Semak/Belukar, Tambak/Empang, Tanah Terbuka, Tegalan/Ladang. Sebaran penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar peta penggunaan lahan DAS Brantas. III - 15

50 Gambar 3.9. Peta Penggunaan Lahan DAS Brantas Penggunaan lahan untuk sawah menempati luasan terbesar yaitu ,12 Ha (30,90%) menyusul tegalan/ladang ,79 Ha (24,26%). Luasan tiap-tiap penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel penggunaan lahan DAS Brantas berikut. Tabel Luas Penggunaan Lahan DAS Brantas LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Primer ,03% Hutan Sekunder ,61% Kebun Campuran ,15% Mangrove 114 0,01% Perkebunan ,00% Permukiman ,88% Rawa 141 0,01% Sawah ,61% Semak/Belukar ,12% Tambak/Empang ,76% Tanah Terbuka ,52% Tegalan/Ladang ,93% Tubuh Air ,37% III - 16

51 b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Brantas tahun 2012 kurang lebih adalah jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk Provinsi JawaTimur. Dengan luas DAS sebesar Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Citarum adalah Jiwa/Ha atau sekitar Jiwa/Km 2. Pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk pada DAS Brantas dapat dilihat pada Tabel perkiraan jumlah penduduk DAS Brantas. Tabel Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Brantas Tahun 2012 Jumlah % luas Jumlah Pertumbuhan Penduduk No Provinsi Kabupaten dalam Penduduk Penduduk DAS Tahun DAS 2010 (%) Jawa Timur Blitar 94,65% , Jawa Timur Bojonegoro 0,30% , Jawa Timur Gresik 10,14% , Jawa Timur Jombang 96,29% , Jawa Timur Kediri 100,00% , Jawa Timur Kota Batu 100,00% , Jawa Timur Kota Blitar 100,00% , Jawa Timur Kota Kediri 100,00% , Jawa Timur Kota Malang 50,77% , Jawa Timur Kota Mojokerto 100,00% , Jawa Timur Kota Surabaya 77,47% , Jawa Timur Lamongan 0,11% , Jawa Timur Lumajang 0,26% , Jawa Timur Madiun 19,25% , Jawa Timur Malang 64,97% , Jawa Timur Mojokerto 100,00% , Jawa Timur Nganjuk 100,00% , Jawa Timur Pasuruan 27,92% , Jawa Timur Ponorogo 6,58% , Jawa Timur Sidoarjo 100,00% , Jawa Timur Trenggalek 85,17% , Jawa Timur Tulungagung 89,39% , Total Jumlah Penduduk III - 17

52 2.2. Permasalahan Lingkungan Permasalahan lingkungan di DAS Brantas dapat dilihat dari 2 kondisi yaitu kondisi DAS Brantas hulu dan kondisi DAS Brantas tengah-hilir. Penjabaran mengenai kondisi dan permasalahan lingkungan yang terdapat di DAS Brantas hulu adalah sebagai berikut: a. Kota Batu terdapat lahan kritis di dalam kawasan hutan Ha dan diluar kawasan hutan Ha; b. Kabupaten Malang lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas Ha dan diluar kawasan hutan sebesar Ha; c. DAS Brantas hulu erosi mencapai 2,268 ton/ha/tahun terjadi peningkatan 300%; d. Kondisi Mata Air terutama di enam gunung yang menjadi hulu mata air DAS Brantas telah hilang sebanyak 200 titik mata air dari 421 mata air, di Batu sebanyak 109 mata air atau tinggal 57 mata air; e. Alih fungsi lahan yang mempunyai kemiringan lereng lebih dari 45% seharusnya merupakan kawasan lindung saat ini sudah beralih fungsi dengan pola tanam tanaman semusim. Sedangkan permasalahan dan kondisi DAS Brantas bagian tengah-hilir digunakan untuk mencuci dan mandi walaupun dengan kondisi sungai sudah tercemar, drainase tersumbat oleh sampah, MCK langsung dialirkan ke sungai, industri terletak di sempadan sungai, jamban yang letaknya dibantaran sungai, serta pembuangan liar lumpur tinja Upaya yang Telah Dilakukan Upaya yang telah dilakukan dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan di DAS Brantas sebagai berikut : Sosialisasi dan pendampingan pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian pencemaran; Perencanaan dan pembangunan IPAL Komunal sistem Cluster; Bimbingan teknis program produksi bersih/ produktivitas ramah lingkungan dan demplot sarana pengolahan limbah; III - 18

53 Evaluasi kinerja sarana pengolahan limbah/ IPAL industri dan domestik serta pemanfaatannya untuk masyarakat; Penerapan audit lingkungan dan Sistem Manajemen Lingkungan bagi industri potensi pencemaran dan penegakan hukum lingkungan bagi industri; Program patroli air dan garda lingkungan wilayah DAS Brantas; Monitoring kualitas air, perhitungan daya tampung dan indeks biodiversitas DAS Brantas. Sebagai indikator terjadinya penurunan beban pencemaran air DAS Brantas adalah Hasil penelitian terhadap biodiversitas/keanekaragaman jenis biota air di DAS Brantas tahun 2012 semakin meningkat yang diperoleh jumlahspesies 42 jenis, Hasil pengamatan Tim Patroli Air pada kondisi saat ini, semakin meningkatnya masyarakat memanfaatkan air sungai Brantas sebagai sarana memancingan Hasil pengujian kandungan logam berat pada air badan air dan sedimen di Kali Surabaya pada 10 titik lokasi (stasiun Kedung klinter s/d Gunungsari) secara umum memenuhi Baku Mutu Lingkungan antara lain : pada ABA -Chrom (Cr)=0.02 mg/l; Tembaga (Cu) = 0,0169 mg/l; Air Raksa (Hg) = mg/l, Pada sedimen : Chrom (Cr)=0.02 mg/l; Tembaga (Cu)= 0,291 mg/l; Air Raksa (Hg) = mg/l. Sementara upaya yang telah dilakukan dalam rangka pengendalian kerusakan lingkungan di DAS Brantas sebagai berikut : Rencana tindak vegetatif dimana arahan lokasi kegiatan adalah sasaran lokasi hanya yang terdapat di dalam Sub-DAS prioritas. Dilakukan pada area dengan tingkat kelerengan kurang dari 40% atau area-area yang masih dapat dijangkau dalam operasional kegiatan vegetatif, sedangkan selebihnya dibiarkan terjadi suksesi secara alami. Tidak dilakukan di dalam taman nasional dan cagar alam. Di luar kawasan hutan hanya dilakukan di area lahan terbuka dan semak belukar, lainnya diharapkan muncul sebagai inisiatif masyarakat melalui kegiatan pendampingan yang mendorong untuk alih komoditas dari tanaman musiman ke tanaman tahunan terutama di area lahan kritis. Tidak hanya dilakukan di lahan kritis melainkan juga di areal-areal yang mempunyai tutupan III - 19

54 lahan terbuka dan semak belukar untuk di luar kawasan hutan dan ditambah dengan pertanian lahan kering untuk area kawasan hutan. Rencana tindak sipil teknis untuk DAM pengendali pada 59 lokasi di 9 kabupaten. DAM penahan 162 unit berada di dlm kawasan dan dan 243 di luar kawasan hutan. Embung ada 547 embung. Program sumur resapan dan biopori ada buah. 3. DAS Ciliwung DAS Ciliwung merupakan salah satu pemasok air yang penting bagi DKI Jakarta. Disisi lain, apabila DAS Ciliwung meluap dampak yang ditimbulkannya akan langsung mengenai jantung Ibukota dan pusat-pusat ekonomi yang penting di DKI Jakarta.Luas areal DAS Ciliwung sebesar Ha. Panjang sungai utamanya adalah kurang lebih 117 km.das Ciliwung berbatasan dengan: a. Bagian barat : berbatasan dengan DAS Angke dan DAS Krukut b. Bagian selatan : berbatasan dengan DAS Citarum dan DAS Citarik c. Bagian timur : berbatasan dengan DAS Bekasi dan DAS Sunter d. Bagian utara : berbatasasn dengan Laut Jawa Gambar Peta Batas DAS Ciliwung Gambar Peta Administrasi DAS Ciliwung III - 20

55 Berdasarkan wilayah administrasi, DAS Ciliwung mencakup dalam 2 provinsi yang terdiri dari 10 kota/kabupaten. Secara rinci, besarnya kota/kabupaten yang masuk dalam DAS Ciliwung dapat terlihat pada Tabel berikut: Tabel Persentase Luas Kota/Kabupaten dalam DAS Ciliwung Luas Kab. No. Kabname Luas (Ha) (%) (Ha) 1 Bogor ,53% 2 Cianjur ,10% 3 Kota Bogor ,89% 4 Kota Depok ,03% 5 Kota Jakarta Barat ,62% 6 Kota Jakarta Pusat ,74% 7 Kota Jakarta Selatan ,89% 8 Kota Jakarta Timur ,42% 9 Kota Jakarta Utara ,93% 10 Sukabumi ,01% 3.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik DAS Ciliwung terdiri dari 4 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa, Dataran vulkanik jalur Gunung Karang-Merapi-Raung, Perbukitan vulkanik jalur Gunung Karang-Merapi-Raung, dan Pegunungan vulkanik jalur Gunung Karang- Merapi-Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Ciliwung dapat dilihat pada Gambar peta ekoregion DAS Ciliwung. Tabel Luas Satuan Ekoregion DAS Ciliwung NAMA KODE LUAS (ha) (%) Dataran Fluvial Jawa F ,30% Dataran Vulkanik V ,93% Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung Pegunungan Vulkanik V ,85% Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,92% III - 21

56 Gambar Peta Ekoregion DAS Ciliwung Gambar Peta Tanah DAS Ciliwung Tanah yang terbentuk pada umumnya berasal dari bahan induk abu volkan dan batuan piroklastik. Berdasarkan Peta Tanah Semi Detil Tahun 1992 skala 1: yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian meliputi order Aluvial, Andosol, Regosol dan Latosol.Andisol terbentuk dari pelapukan bahan induk volkan yang menghasilkan bahan amorf. Bahan amorf terdiri dari alofan, ferrihidrit, dan senyawa kompleks humus-aluminium. Tanah ini berwarna hitam kelam, berbobot isi rendah (<0,85g/cm 3 ), dan dikenal terasa berminyak (smeary) bila diremas karena mengandung 36 bahan organik antara 8 hingga 30%. Andisol banyak ditemukan di daerah berelevasi tinggi seperti lereng atas dan sekitar puncak Gunung Mandalawangi, Gunung Joglog, Gunung Sumbul, dan Gunung Mas. Umumnya Andisol berada dalam bentuk Konsosiasi Typic Hapludands, dan Asosiasi Typic Hapludands dan TypicTropopsamments. Luas masing-masing jenis tanah DAS Ciliwung dan persebarannya dapat dilihat pada Tabel 3.16 dan Gambar III - 22

57 Tabel Luas Masing Masing Jenis Tanah DAS Ciliwung MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Hidromorf 936 2,15% Aluvial Kelabu Tua ,10% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat ,87% Asosiasi Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu 161 0,37% Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat ,80% Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan ,69% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 229 0,52% Latosol Coklat ,60% Latosol Coklat Tua Kemerahan ,84% Regosol Coklat 23 0,05% Tingkat penggunaan lahan (land cover) merupakan indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan DAS. Hal ini berkaitan dengan terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan serta pengendalian erosi saat musim penghujan dan mencegah kekeringan saat musim kemarau. Jenis dan luas penggunaan lahan yang terdapat di DAS Ciliwung dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel Penggunaan Lahan DAS Ciliwung LUAS LC_2011 (%) (ha) Hutan Primer 312 0,71% Hutan Sekunder ,94% Kebun Campuran ,59% Perkebunan ,06% Permukiman ,81% Rawa 45 0,10% Sawah 183 0,41% Semak/Belukar 106 0,24% Tanah Terbuka 20 0,05% Tegalan/Ladang ,89% Tubuh Air 85 0,19% Tabel Penggunaan Lahan DAS Ciliwung III - 23

58 Berdasarkan tabel diatas penggunaan lahan di DAS Ciliwung dibedakan menjadi 8 kelas penggunaan lahan yaitu; perkebunan, permukiman, rawa, sawah, semak/belukar, tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh air. Tutupan lahan di DAS Ciliwung sebagian besar merupakan permukiman yang mencakup kawasan seluas Ha atau meliputi 53.81%. Penggunaan lahan terbesar kedua adalah tegalan atau ladang seluas ha atau sebesar 6.89%. b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Ciliwung tahun 2012 kurang lebih adalah jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk masing-masing kabupaten/kota yang berada di dalam DAS. Dengan luas DAS sebesar Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Citarum adalah 168jiwa/ha. Pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk pada DAS Citarum dapat dilihat pada Tabel perkiraan jumlah penduduk DAS Citarum. Tabel Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Ciliwung Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 jumlah penduduk DAS 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2012 Bogor 0, , Cianjur 0, , Kota Bogor 0, , Kota Depok 0, , Sukabumi 0, , Kota Jakarta Barat 0, , Kota Jakarta Pusat 0, , Kota Jakarta Selatan 0, , Kota Jakarta Timur 1, , Kota Jakarta Utara 0, , Jumlah Penduduk Permasalahan Lingkungan Berdasarkan paparan BPLHD Prov. Jawa Barat permasalahan yang terdapat di DAS Ciliwung lebih disebabkan oleh adanya perubahan tata guna lahan sehingga menimbulkan degradasi DAS. Dampak dari adanya degradasi lahan terlihat pada menurunnya debit mata air, berkurangnya jumlah dan fungsi situ. III - 24

59 Permasalahan lain diangkat oleh BPLHD Prov. Jawa Barat di dalam DAS Ciliwung adalah adanya ketidaktaatan industri pada pengelolaan limbah B3 yang tidak sesuai. Hasil analisa permasalahan di DAS Ciliwung sebagaian besar dalam kondisi rusak dengan ditandai seringnya terjadi bencana alam banjir, longsor dan kekeringan sebagai konsekwensi dari penurunan kualitas lingkungan sehingga menyebabkan kerugian yang sangat luas bagi kepentingan hidup manusia baik yang hidup di daerah hulu maupun hilir DAS. Kejadian banjir yang diartikan sebagai luapan air hujan dari penampungan merupakan fenomena alam sebagai akibat hujan tidak tertampung oleh tanah dan penampungan permukaan baik dalam bentuk kolam, danau/situ, badan sungai dan saluran drainase. Faktor yang berpengaruh terhadap fenomena alam banjir ini dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu faktor bentukan alam, yang dipengaruhi tidak hanya oleh kondisi lokal tetapi juga kondisi global (iklim, pasang surut muka laut, morfologi) dan faktor bentukan manusia (penggunaan lahan, saluran drainase buatan). Permasalahan yang terjadi di DAS Ciliwung tidak hanya mengenai banjir tetapi juga kualitas air yang kurang baik. Hasil laporan tahun 2010 mengenai kualitas air sungai yang dilakukan oleh Badan pengelola lingkungan hidup daerah Provinsi DKI Jakarta secara umum diperoleh bahwa kondisi air sungai di DKI Jakarta dari hulu menuju ke hilir telah buruk kualitasnya, baik itu kualitas fisik, kualitas kimia maupun kualitas biologi. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengukuran di lapangan yang dilakukan oleh BPLHD Provinsi DKI Jakarta pada 13 sungai dengan pengambilan 45 titik pengambilah sempel yang meliputi; 3 peruntukan air baku air minum (golongan B), peruntukan perikanan dan peternakan (golongan C) serta peruntukan pertanian dan usaha perkotaan (golongan D). 13 sungai tersebut yaitu Sungai Ciliwung, Cipinang, Angke, Mookervart, Grogol, Sunter, Pesanggrahan, Krukut, Tarum Barat, Cengkareng, Kali Baru Timur, Buaran, Cakung Drain, Blencong, Petukangan dan Kamal. Dalam menentukan beban pencemar, pengelola lingkungan hidup daerah Provinsi DKI Jakarta menggunakan parameter yang sesuai dengan SK Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 582 tahun 1995 tentang penetapan III - 25

60 peruntukan dan baku mutu air sungai/ badan air serta baku mutu limbah cair di wilayah DKI Jakarta yang meliputi faktor fisik, kimia dan biologi. Parameter yang diukur meliputi; Parameter Fisik (DHL, TDS, TSS, Kekeruhan, DO, PH), Parameter Kimia (Hg, Fe, PB, Cl, NO3, SO4, BOD, COD, dll) dan Parameter Biologi (bakteri coli dan bakteri coli tinja). Dari seluruh parameter yang diukur, berdasarkan Indeks Pencemar Sungai, disimpulkan bahwa seluruh sungai di wilayah DAS Ciliwung (segmen hilir/wilayah Jakarta) berada dalam kisaran Cemar Sedang hingga Cemar Berat. Data selengkapnya mengenai kualitas air sungai-sungai di DAS Ciliwung, dilaporkan secara lengkap dalam Laporan Tahun 2010 Peningkatan Kualitas Air Sungai Provinsi DKI Jakarta. 4. DAS Cisadane DAS Cisadane secara geografis terletak pada posisi BT dan LS. Secara administratif DAS Cisadane terletak di 3 Kabupaten dan 2 Kota yaitu Kab. Bogor, Kab. Sukabumi, Kab. Tangerang, Kota Bogor dan Kota Tangerang dengan luasan areal DAS Cisadane sebesar ha. Persentase masingmasing luas kabupaten dan kota dalam DAS terlihat pada Tabel DAS Cisadane berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, DAS Citarik bagian selatan, DAS Ciliwung dan DAS Kali Angke di sebelah timur dan DAS Ciujung, DAS Cimanceri, DAS Cirarab dan DAS Ciasin dibagian baratnya (Gambar 3.14.). Tabel Presentase Luas Kabupaten dalam DAS KABNAME LUAS (ha) (%) Bogor ,98% Kota Bogor ,75% Kota Tangerang ,90% Sukabumi 930 0,67% Tangerang ,69% III - 26

61 Gambar Peta Batas DAS Cisadane Gambar Peta Administrasi DAS Cisadane 4.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik DAS Cisadane terdiri dari 5 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa, Dataran Pantai Utara Jawa, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung dan Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Cisadane dapat dilihat pada Gambar Sedangkan luas masing-masing Ekoregion dalam DAS Cisadane terlihat pada Tabel Tabel Satuan Ekoregion DAS Cisadane Nama Kode Luas (Ha) (%) Dataran Fluvial Jawa F ,66% Dataran Pantai Utara Jawa M ,76% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,46% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,29% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,82% III - 27

62 Gambar Peta Ekoregion DAS Cisadane Gambar Peta Tanah DAS Cisadane Berdasarkan jenis tanahnya, DAS Cisadane memiliki 15 jenis tanah. Data luasan masing-masing jenis tanah disajikan dalam Tabel Dominasi luas jenis tanah yang terbesar di DAS Cisadane adalah jenis Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan dengan luas ha. Persebaran jenis tanah ini berada disepanjang wilayah timur Sub-DAS Cisadane bagian hulu. Latosol coklat merupakan jenis tanah pegunungan yang berbahan induk Tuf Volkan Intermedier yang termasuk dalam golongan ultisol. Tabel Luas masing-masing Jenis Tanah DAS Cisadane MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Hidromorf 133 0,10% Aluvial Kelabu Tua 90 0,07% Andosol Coklat Kekuningan ,01% Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat ,80% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat ,52% Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Cokl ,01% Asosiasi Latosol Coklat dan Latosol Coklat Kekunin ,03% Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu ,57% Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan d ,98% Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat ,85% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol ,97% Latosol Coklat ,80% III - 28

63 MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Latosol Coklat Kekuningan ,52% Latosol Coklat Tua Kemerahan ,26% Podsolik Merah ,52% Penggunaan lahan di DAS Cisadane dibedakan 12 kelas penggunaan lahan yaitu hutan primer, sekunder, kebun campuran, perkebunan, permukiman, rawa, sawah, semak/belukar, tambak/empang, tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh air. Secara spasial penggunaan lahan DAS Cisadane terlihat pada Gambar Penggunaan lahan di DAS Cisadane sebagian besar merupakan kebun campuran yang mencakup kawasan seluas Ha atau meliputi 51.27%. Penggunaan lahan terbesar kedua adalah permukiman seluas atau %.Berikut ini disajikan tabel penggunaan lahan di DAS Cisadane. Tabel Penggunaan Lahan DAS Cisadane LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Primer ,36% Hutan Sekunder ,32% Kebun Campuran ,27% Perkebunan ,58% Permukiman ,81% Rawa 179 0,13% Sawah ,78% Semak/Belukar ,97% Tambak/Empang 972 0,70% Tanah Terbuka 277 0,20% Tegalan/Ladang ,30% Tubuh Air 808 0,58% Jumlah ,00% Gambar Peta Penggunaan Lahan DAS Cisadane b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah penduduk di DAS Cisadane tahun 2012 kurang lebih adalah jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk masing-masing III - 29

64 kabupaten/kota yang berada di dalam DAS. Dengan luas DAS sebesar Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Cisadane adalah 30jiwa/ha. Pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk pada DAS Cisadane dapat dilihat pada Tabel perkiraan jumlah penduduk DAS Cisadane. Tabel Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Cisadane Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 jumlah penduduk DAS 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2013 Kota Tangerang Tangerang Bogor Kota Bogor Sukabumi Jumlah Penduduk Permasalahan Lingkungan Kualitas air sungau Cisadane tidak semuanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan air domestik, peternakan, industri, perikanan, pemeliharaan sungai dan pertanian. Berdasarkan PP nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air maka sebagian besar sungai dilakukan pemantauan. Berdasarkan titik-titik pantau kualitas air DAS Cisadane diketahui bahwa Sungai Cisadane mengalami permasalahan kualitas air. Kualitasair sub-das Cisadane bagian hulu dipantau dari titik pantau air Pasir Buncir, Muara Jaya, Cimande Hilir, Batu beulah 1 dan Batu beulah 2. Kualitas air Sub-DAS Cisadane tengah dipantau dari titik pantau air Putat Nutug, Kerihkil, Pabuaran, PDAM, Gading Serpong dan Bendung Pasar. Sedangkan kualitas air Sub-DAS Cisadane hilir dipantau dari titik pantau air di Kali Baru. Tabel3.24. Permasalahan Kualitas Air di Sungai Cisadane No Titik Pantau BOD COD DO Koliform Fecal Coli Bulan Agustus Pasir Buncir IV ^ ^ Muara Jaya IV ^ ^ ++ III 3 Cimande Hilir ++ III ^ III ^ 4 Legok Muncang III ^ ^ ^ ^ 5 Batu beulah 1 ^ ^ ^ ^ 6 Batu beulah 2 IV ^ ^ ^ ^ 7 Karihkil IV ^ ^ III - 30

65 No Titik Pantau BOD COD DO Koliform Fecal Coli 8 Putat nutung IV ^ ^ Pabuaran ++ III ^ III ^ 10 Gunung sindur IV ^ ^ III ^ Bulan April 2005 & PDAM ^ III III ++ ^^ 12 Gading Serpong ^ III III ++ ^^ 13 Bendung Pasir Batu ^ III III ++ ^^ 14 Kali Baru ^ III ^ ^ v Bulan Desember Pasir Buncir IV ^ ^ Muara Jaya IV ^ ^ ++ III 3 Cimande Hilir ++ III ^ III III 4 Legok Muncang III ^ ^ ^ ^ 5 Batu beulah 1 III ^ ^ ^ ^ 6 Batu beulah 2 III III ^ ^ ^ 7 Karihkil IV - ^ Putat nutung IV - ^ Pabuaran ++ III ^ ++ ^ 10 Gunung sindur IV ^ ^ III ^ Bulan November 2005 & PDAM ^ ^ IV ^ ^^ 12 Gading Serpong ^ ^ IV ++ ^^ 13 Bendung Pasir Batu ^ ^ IV ++ ^^ 14 Kali Baru ^ ^ ^ III ^^ Sumber : Pramesti (2007) Keterangan Angka romawi : kualitas ke i (++) : Melebihi ambang batas (^) : Memenuhi syarat kualitas air 1 atau 2 (^^) : Tidak ada data Kualitas air sungai berdasarkan titik pantau Sub-DAS Cisadane bagian hulu mengalami permasalahan pencemaran karena BOD yang tinggi. Dimulai dari titik pantau awal kualitas air di Sb-DAS bagian hulu yaitu di Pasir Buncir, sudah mengalami pencemaran BOD, koliform dan fecal coli. Hal tersebut akan berdampak pada kualitas air sungai pada bagian bawahnya. Pencemaran disebabkan oleh beberapa sumber pencemar, diantaranya adalah penduduk, ternak, industri dan lahan kritis yang berupa erosi dan zat organik serta kegiatan pertanian. Secara umum permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Ketersediaan air di Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane secara umum telah sangat kritis, III - 31

66 2. Belum terkendalinya pemanfaatan ruang baik di sepanjang sempadan sungai maupun pengelolaan di badan sungainya, 3. Ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan semakin mahal dan langka baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga menimbulkan berbagai konflik antar sektor maupun antar wilayah, 4. Fluktuasi ketersediaan air permukaan sangat tinggi, sehingga sering terjadi kebanjiran di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Hal tersebut merupakan wujud dari hulu DAS yang fungsi konservasinya telah jauh berkurang, 5. Belum adanya kesinergian antar wilayah dalam bentuk role sharing antara Propinsi/Kabupaten/Kota Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah hilir dalam rangka penanganan hulu DAS. 6. Kondisi tersebut memberikan gambaran tentang telah terjadinya kerusakan DAS yang berdampak terhadap permasalahan surplus/defisit neraca air sepanjang tahun 5. DAS Cimanuk DAS Cimanuk memiliki panjang 337,67 km merupakan sungai terpanjang kedua di Jawa Barat yang mampu menyediakan 2,2 miliar m 3 air per tahun, yang sebagian besar di digunakan untuk irigasi lahan pertanian. DAS Cimanuk terbentang dari 9 Kabupaten yakni Bandung, Ciamis, Cirebon, Garut, Indramayu, Kuningan, Majalengka, Sumedang dan Tasikmalaya seperti terlihat pada Gambar DAS Cimanuk berbatasan dengan Laut Jawa di bagian utara, DAS Ciwulan dan DAS Cikandang bagian selatan, DAS Citanduy dan DAS Cisanggarung di sebelah timur dan DAS Citarum di sebelah baratnya.das Cimanuk merupakan penopang utama sumberdaya air di Jawa Barat (Gambar 3.21.). Luas DAS Cimanuk ha. III - 32

67 Gamba Peta Batas DAS Cimanuk Gambar Peta Administrasi DAS Cimanuk Tabel Presentase Luas Kabupaten/Kota dalam DAS Cimanuk KABNAME LUAS (ha) (%) Bandung ,41% Ciamis 854 0,23% Cirebon 141 0,04% Garut ,18% Indramayu ,52% Kuningan 234 0,06% Majalengka ,17% Sumedang ,25% Tasikmalaya 503 0,13% 5.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik DAS Cimanuk terdiri dari 8 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa, Dataran Organik/Koral Jawa, Dataran Pantai Utara Jawa, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang dan Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion DAS Cimanuk dapat III - 33

68 dilihat pada Gambar Sedangkan luas masing-masing Ekoregion dalam DAS Cisadane terlihat pada Tabel Gambar Peta Ekoregion DAS Cimanuk Gambar Peta Jenis Tanah DAS Cimanuk Tabel Satuan Ekoregion DAS Cimanuk NAMA KODE LUAS (ha) (%) Dataran Fluvial Jawa F ,10% Dataran Organik/Koral Jawa O2 18 0,00% Dataran Pantai Utara Jawa M ,60% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,64% Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S ,89% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,87% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S ,60% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,30% Jenis tanah DAS Cimanuk bagian hulu lebih kurang dari 32% adalah Regosol. Jenis tanah yang ada berupa Regosol Abu-abu hingga Regosol Coklat Abu-abu, yang memiliki kedalaman sedang hingga dalam dan bertekstur lempung (Loam) hingga lempung berpasir (Sandy Loam). Jenis tanah lain yang ada berupa Latosol (25%). Andosol merupakan jenis tanah lain yang banyak ditemui, dengan sebaran luasan 17%, berupa tanah coklat dengan kedalaman sangat dalam dan bertekstur lempung. III - 34

69 Pada ruas DAS bagian Tengah hampir 70% berupa tanah Latosol. Pada daerah sekitar sungai dan tributary, tanah yang ditemui adalah Aluvial dengan kedalaman agak dalam dan tekstur tanah liat berat berwarna keabu-abuan. Pada DAS Cimanuk bagian Hulu dan Tengah, jenis tanah yang banyak dijumpai adalah Latosol, Regosol, dan Andosol. Jenis tanah yang ada di bagian hilir pada umumnya adalah Tanah Gley (78%) dan Alluvial (18%) sedangkan sisanya berupa tanah Mediteran dan Podzolik. Tabel Luas masing-masing Jenis Tanah DAS Cimanuk MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Coklat Kelabu ,18% Aluvial Hidromorf ,98% Aluvial Kelabu Tua ,76% Andosol Coklat ,50% Andosol Coklat Kekuningan ,97% Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat ,30% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat ,63% Asosiasi Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu ,09% Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Cokl ,54% Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu ,23% Asosiasi Mediteran Coklat dan Litosol ,01% Asosiasi Podsolik Kuning dan Hidromorf Kelabu ,67% Asosiasi Podsolik Kuning dan Regosol 175 0,05% Grumusol Kelabu ,74% Kompleks Grumusol, Regosol dan Mediteran ,24% Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol ,66% Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kunin ,89% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol ,55% Kompleks Regosol dan Litosol ,58% Latosol Coklat ,62% Latosol Coklat Kekuningan 338 0,09% Latosol Coklat Kemerahan ,55% Latosol Coklat Tua Kemerahan ,03% Regosol Coklat ,05% Regosol Kelabu 319 0,09% Penggunaan lahan di DAS Cimanuk dibedakan 12 kelas penggunaan lahan yaitu hutan primer, sekunder, kebun campuran, perkebunan, permukiman, rawa, sawah, semak/belukar, tambak/empang, tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh III - 35

70 air. Secara spasial pemggunaan lahan yang terdapat di DAS Cimanuk terlihat pada Gambar Penggunaan lahan di DAS Cimanuk sebagian besar merupakan sawah yang mencakup kawasan seluas ha atau meliputi 32.72%. Penggunaan lahan terbesar kedua adalah Kebun Campuran seluas ha atau %. Berikut ini disajikan Tabel penggunaan lahan di DAS Cimanuk. Tabel Luas Penggunaan Lahan DAS Cimanuk LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Primer ,41% Hutan Sekunder ,84% Kebun Campuran ,91% Perkebunan ,30% Permukiman ,95% Rawa 6 0,00% Sawah ,72% Semak/Belukar ,69% Tambak/Empang ,43% Tanah Terbuka ,59% Tegalan/Ladang ,68% Tubuh Air ,48% Jumlah ,00% Gambar Peta Penggunaan Lahan DAS Cimanuk b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Cimanuk tahun 2012 sebesar jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk kabupaten/kota yang berada di DAS Cimanuk. Tabel Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Citanduy Tahun 2012 Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2012 Jawa Barat Bandung ,135 Jawa Barat Ciamis ,572 III - 36

71 Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2012 Jawa Barat Garut ,680 Jawa Barat Indramayu ,495 Jawa Barat Kuningan ,048 Jawa Barat Majalengka ,054,971 Jawa Barat Sumedang ,661 Jawa Barat Tasikmalaya ,684 Jumlah Penduduk 3,263, Permasalahan Lingkungan Degradasi kualitas lingkungan DAS Cimanuk ditengarai dengan tingginya prosentasi lahan kritis (di dalam maupun diluar kawasan hutan) sehinga laju erosi lahan dan sedimentasi disungai meningkat, yang selanjutnya akan mempercepat sedimentasi di danau, waduk dan saluran-saluran irigasi. Secara umum, permasalahan lingkungan yang terjadi di DAS Cimanuk berupa: 1. Salah satu indikator yang menjadikan DAS Cimanuk sebagai DAS yang paling kritis adalah fluktuasi debit pada saat musim kemarau dan musim hujan. Fluktuasi debit pada saat musim kemarau dan musim hujan terlihat pada Gambar berikut: (Sumber : Balai Data dan Informasi SDA, PSDA Jawa Barat) 2. Kekeringan sering terjadi di pantura Ciayu pada musim kemarau yang mengancam lahan pertanian. Disisi lain, banjir mengancam lahan pertanian dan perekonomian daerah pada saat musim hujan. Bencana kekeringan pada musim kemarau selalu melanda daerah Pantura Cirebon Indramayu. Di Kabupaten Indramayu terdapat 13 lokasi rawan banjir seluas ha yang perlu mendapat perhatian dan penanganan lebih lanjut. Sedang lokasi kritis sungai-sungai di III - 37

72 wilayah Indramayu mencapai 30 tempat. Di daerah hilir terutama di musim hujan S. Cimanuk sering meluap dan menggenangi lahan persawahan. 3. Neraca air pada periode bulan Januari - Oktober 2013 berdasarkan data menunjukkan neraca air maksimum tertinggi terjadi pada bulan Maret dengan nilai 523,93 dan neraca air minimum terendah terjadi pada bulan Oktober dengan nilai 17,36. Nilai Q rata-rata tertinggi pada bulan Januari yaitu 330,93 dan Q rata-rata minimum terendah pada bulan September yaitu 46, Daerah Tangkapan air sepanjang DAS Cimanuk banyak terdapat lahan kritis, disertai peningkatan erosi lahan. Kerusakan dan lahan kritis pada daerah aliran sungai atau DAS Cimanuk, yang melintas dari Kabupaten Garut hingga Indramayu, ternyata relatif parah. 5. Berdasarkan data BPDAS Cimanuk Citanduy terkait dengan perubahan tutupan lahan dianggap menjadi salah satu permasalahan yang benimbuklan dampak yang sangat besar terhadap kerusakan lingkungan. Gambar perubahan tutupan lahan tahun 1999, 2005 dan 2011 terlihat pada Gambar Berikut. 6. Data BPDAS Cimanuk Citanduy Menunjukkan bahwa kondisi lahan sangat kritis seluas 1.137,20 Ha dan luas lahan kritis seluas ,20 Ha yang seluruhnya menjadi prioritas untuk perbaikan tutupan vegetasi. Sedangkan data tahun 2013 menunjukkan perluasan lahan kritis yaitu luasan lahan sangat kritis 1.966,39 Ha, luas lahan kritis ,88 Ha. Namun terjadi penurunan luas lahan agak kritis yaitu ha. Beberapa program dan kegiatan terkait rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dilakukan pada DAS Cimanuk berupa; III - 38

73 reboisasi kawasan konservasi, rehabilitasi kawasan fungsi lindung, rehabilitasi hutan dan lahan melalui kebun bibit rakyat, rehabilitasi lahan melalui pembangunan hutan kota, rehabilitasi mangrove dan hutan pantai, pengembangan hutan kemitraan, pembangunan infrastruktur untuk konservasi tanah dan air. 7. Erosi di DAS Cimanuk menimbulkan sedimentasi di Sungai Cimanuk. Erosi banyak terjadi di bagian hulu sungai dan sedimentasi terjadi di bagian tengah maupun hilir sungai. Data BPDAS Cimanuk Citanduy menujukkan bahwa tingginya tingkat erosi pada DAS Cimanuk disebabkan akibat penggunaan lahan di wilayah hulu tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah. Juga akibat kawasan lindung yang dijadikan pertanian intensif. Selain erosi praktek ini juga menyebabkan sedimentasi dan banjir. 8. Kajian kebutuhan komposting untuk timbulan sampah 2,5 L/orang/hari dengan komposisi 60% sampah organik, pada segmen Majalengka diperlukan 164 unit, Garut 112 unit, Indramayu 21 unit, Sumedang 24 unit 9. Kualitas air di DAS Cimanuk dapat dikategorikan buruk karena hal-hal sebagai berikut: a) Hampir semua sungai membawa zat padat terlarut dalam alirannya, dengan kadar yang tinggi, sebagai indikasi adanya erosi lahan di DAS. b) Parameter COD dan BOD melebihi baku mutu yang disyaratkan. c) Parameter Phosfat (PO4) dan Chlorida (Cl) melebihi baku mutu yang disyaratkan, kemungkinan dari limbah pertanian dan perkebunan. III - 39

74 d) Hampir seluruh aliran sungai tercemar sulfat (SO4), sulfida (H2S), besi (Fe), mangaan (Mn) dan seng (Zn) secara berlebihan. Data BPLHD Jabar menunjukkan bahwa status mutu air rata-rata DAS Cimanuk pada tahun 2012 berdasarkan hasil evaluasi dengan menggunakan metode Storet berdasarkan BMA PP nomor 82 tahun 2001 pada kelas II menunjukkan bahwa seluruh lokasi tercemar berat. Segmentasi DAS Cimanuk terdiri segmen 1 yaitu bagian hulu meliputi kabupaten Garut, segmen 2 di kabupaten Sumedang, segmen 3 kabupaten Majalengka, segmen 4 atau bagian hilir di kabupaten Indramayu. Berdasarkan Pergub Jabar Nomor 12 tahun 2013 BMA DAS Cimanuk ditetapkan bahwa segmen 1 sampai segmen 3 ditetapkan sebagai klas II dan segmen 4 ditetapkan sebagai klas 3. Kondisi BMA DAS Cimanuk saat ini segmen 1 sampai segmen 4 adalah cemar berat atau masuk klas IV. Sedangkan telah ditetapkan mutu air sasaran DAS Cimanuk untuk segmen 1 dan 2 adalah klas II serta segmen 3 dan 4 adalah klas III. Berdasarkan hasil uji kualitas Air pada beberapa segmen, terdapat beberapa parameter yang melebihi baku mutu berdasar BMA PP 82/2001 yaitu BOD, COD, Nitrat, Sulfida, Koli Tinja dan Koli Total di lokasi Boyongbong, Sukaregang, Wado, Tomo, Jatibarang. Upaya mitigasi yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas air DAS Cimanuk akibat limbah domestik antara lain melalui intervensi pembangunan IPAL komunal dan komposting. Kajian terhadap kebutuhan IPAL untuk skala 250 orang atau 50 KK masing-masing 5 jiwa pada segmen Majalengka diperlukan 230 unit, segmen Garut 405 unit, Indramayu 120 unit, Sumedang 144 unit. 6. DAS Citanduy Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan luas wilayah Ha. DAS Citanduy mencakup 11 kabupaten/kota yaitu Kab. Banyumas, Kab. Brebes, Kab. Ciamis, Kab. Cilacap, Kab. Garut, Kota Banjar, Kota Tasikmalaya, Kab. Kuningan, Kab.Majalengka, Kab. Sumedang dan Kab. Tasikmalaya. DAS Citanduy berbatasan dengan Samudera Hindia dibagian selatan, dengan DAS Pemali dan DAS Cibeureum di bagian timur, DAS Cimanuk dan DAS Cisanggarung di bagian utara dan DAS Cimanuk di bagian barat. III - 40

75 Gambar Peta Batas DAS Citanduy Gambar Peta Administrasi DAS Citanduy III - 41

76 Tabel Presentasi Luas Kabupaten/Kota dalam DAS Citanduy KABNAME LUAS (ha) (%) Banyumas 332 0,09% Brebes 48 0,01% Ciamis ,00% Cilacap ,18% Garut ,54% Kota Banjar ,51% Kota Tasikmalaya ,66% Kuningan ,26% Majalengka 575 0,16% Sumedang 3 0,00% Tasikmalaya ,58% 6.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik Gambar Peta Ekoregion DAS Citanduy DAS Citanduy terdiri dari 11 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa, Dataran Pantai Selatan Jawa, Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa, Pegunungan Struktural Jalur Bogor - Kendeng III - 42

77 Rembang, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - Gunungsewu Blambangan, Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion DAS Citanduy dapat dilihat pada Gambar Sedangkan luas masing-masing Ekoregion dalam DAS Citanduy terlihat pada Tabel 3.31 berikut Tabel Satuan Ekoregion DAS Citanduy LUAS NAMA KODE (%) (ha) Dataran Fluvial Jawa F ,65% Dataran Pantai Selatan Jawa M2 36 0,01% Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S ,83% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,41% Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S ,48% Pegunungan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S ,21% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,63% Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - K ,12% Gunungsewu - Blambangan Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S ,99% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S ,47% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,22% Secara umum jenis tanah dominan yang terdapat di DAS Citanduy berupa latosol dengan bahan induk Tuff Vilkan yang sangat peka erosi. Jenis tanah ini mendominasi luasan Sub-DAS. Jenis tanah akan berbeda sejalan dengan relief atau topografi yang berbeda. Tanah pada lahan atas DAS Citanduy terdiri dari residu incesed yang terbentuk dari bahan vulkanis. Debu vulkanis dan debris dari hasil letusan Gunung Galunggung tercampur dengan tanah ini. Jenis tanahnya berupa kambisol, gleisol, latosol mediteran dan pedsolik merah kuning. Jenis tanah pada elevasi yang lebih tinggi adalah andosol, sedangkan pada elevasi yang lebih rendah berupa tanah latosol. Jenis tanah ini merupakan batuan induk yang selama ini tererosi dan terangkut oleh aliran sungai dan akhirnya terendapkan di Segara Anakan. Tanah latosol merupakan tanah dengan tingkat perkembangan sedang-lanjut (virile-senile stage), dicirikan oleh solum tanah yang dalam, berwarna coklat III - 43

78 kemerahan-coklat kekuningan, mempunyai horizon kambik atau oksik, bertekstur liat lempung berliat, kandungan aluminum dan besi oksida yang cukup tinggi dan kesuburannya relative rendah. Gambar Peta Jenis Tanah DAS Citanduy Tanah podsolik merupakan tanah dengan tingkat perkembangan lanjut, mempunyai horizon timbunan liat (argilik), kejenuhan basa yang rendah (< 30%), kandungan bahan organik dan unsur hara yang rendah sehingga tingkat kesuburannya rendah. Karena kesuburan tanahnya maka penggunaan tanah tersebut untuk lahan pertanian harus disertai dengan pemupukan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas tanaman yang diusahakan. Tanah alluvial merupakan tanah yang terbentuk akibat proses fluvial yang terbentuk pada wilayah tanggul sungai (kanan kiri sungai) dan dataran banjir. Karena terbentuk dari bahan yang baru diendapkan tanah ini biasanya mempunyai kesuburan tanah yang tinggi dan banyak dimanfaatkan untuk lahan persawahan. Tanah andosol terbentuk dari bahan abu volkan hasil letusan gunung api, bertekstur lempung berdebu lempung berpasir, dan terdapat pada wilayah dataran tinggi dan perbukitan. Tanah tersebut mempunyai kandungan mineral yang cukup baik, terletak pada wilayah dataran III - 44

79 tinggi, dan mempunyai tekstur tanah ideal untuk menunjang pertumbuhan dan produksi tanaman hortikultura. Tanah litosol merupakan tanah dengan solum yang dangkal (biasanya < 25 cm), sehingga tanah tersebut langsung duduk diatas bahan induk tanah atau batuan keras baik batu kapur, batu liat maupun batuan vulkanik. Grumusol adalah tanah yang berbentuk dari batuan kapur pada wilayah yang mempunyai curah hujan tidak terlalu tinggi dan memungkinkan terbentuk mineral montmorilonit (liat tipe 2:1). Tanah ini mempunyai kemampuan mengembang dan mengkerut yang tinggi sehingga akan retak pada musim kemarau. Organosol merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada kondisi tergenang (jenuh) air. Karena terbentuk dari bahan organik, tanah tersebut mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah dan kandungan unsur hara yang rendah. Tabel Luas masing-masing Jenis Tanah DAS Citanduy MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Kelabu Tua ,01% Aluvial Coklat Kekelabuan ,36% Aluvial Coklat Kelabu ,30% Aluvial Hidromorf ,23% Aluvial Kelabu Kekuningan ,52% Aluvial Kelabu dan Aluvia Coklat Kekelabuan ,43% Andosol Coklat Kekuningan ,09% Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat ,89% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat ,17% Asosiasi Glei Humus dan Aluvial Kelabu ,35% Asosiasi Podsolik Kuning dan Regosol ,19% Grumusol Hitam ,90% Grumusol Kelabu ,72% Grumusol Kelabu Tua ,67% Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat, ,04% Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol ,81% Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kunin ,08% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol ,19% Kompleks Regosol dan Litosol ,02% Kompleks Resina, Litosol Batukapur dan Brown Fores 86 0,02% Latosol Coklat ,27% Latosol Coklat Kemerahan ,10% Latosol Coklat Tua Kemerahan ,81% Mediteran Merah Tua dan Regosol ,25% Organosol ,57% III - 45

80 Penggunaan lahan di DAS Citanduy dibedakan 9 kelas penggunaan lahan yaitu Hutan Sekunder, Kebun Campuran, Perkebunan, Permukiman, Sawah, Semak/Belukar, Tanah Terbuka, Tegalan/Ladang dan Tubuh Air. Secara spasial penggunaan lahan yang terdapat di DAS Citanduy terlihat pada Gambar Penggunaan lahan di DAS Citanduy sebagian besar merupakan kebun campuran yang mencakup kawasan seluas ha atau meliputi 64,21%, selengkapnya penggunaan lahan di DAS Citanduy dapat dilihat pada Tabel Gambar Peta Penggunaan Lahan DAS Citanduy Tabel Luas Penggunaan Lahan DAS Citanduy LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Sekunder ,48% Kebun Campuran ,21% Perkebunan ,20% Permukiman ,34% Sawah ,50% Semak/Belukar ,12% Tanah Terbuka 76 0,02% Tegalan/Ladang ,95% Tubuh Air 650 0,18% III - 46

81 b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Citanduy tahun 2012 sebesar jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk kabupaten/kota yang berada di DAS Citanduy. Tabel Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Citanduy 2012 Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 jumlah penduduk DAS 2010 Laju Pertum buhan (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2013 Jawa Barat Ciamis 76,09% , Jawa Barat Garut 0,51% , Jawa Barat Kota Banjar 100,00% , Jawa Barat Kota Tasikmalaya 80,89% , Jawa Barat Kuningan 10,47% , Jawa Barat Majalengka 0,02% ,4 269 Jawa Barat Tasikmalaya 19,60% , Jawa Tengah Banyumas 0,15% , Jawa Tengah Brebes 0,18% , Jawa Tengah Cilacap 40,59% , Jumlah Penduduk Permasalahan Lingkungan Permasalahan lingkungan yang terjadi di DAS Citanduy salah satunya adalah penggunaan pupuk buatan yang mengandung nitrogen dan fosfat yang tinggi. Selain itu, adalah pencemaran air oleh limbah domestik dari rumah tangga. Berdasarkan pengamatan BBWS Citanduy tahun 2008 terhadap 3 lokasi yang berada di DAS Citanduy yaitu Pataruman, Tunggilis dan Panumbangan selama pemantauan, tidak satu lokasipun yang kualitas airnya memenuhi kriteria baku mutu air kelas II, karena tingginya kandungan koli tinja. Parameter lainnya yang tidak memenuhi kriteria umumnya adalah kadar BOD. Kualitas air yang sudah tidak sesuai untuk digunakan pada kelas 1 dan kelas 2. Berdasar data BPLHD Jawa Barat 2012, Status mutu air di DAS Citanduy dengan metode Storet berdasar BMA PP 82/2001 seluruh lokasi tercemar berat. Data kualitas air Citanduy berdasar PP 82/2001 Klas II yang tidak memenuhi baku mutu adalah TSS, BOD, COD, Nitrat, Sulfida, Koli tinja, Koli total. III - 47

82 Perubahan tata guna lahan di DAS terutama di daerah catchment area tidak diimbangi dengan usaha dan upaya konservasi menyebabkan erosi dan sedimentasi. Serta menambah jumlah kategori luas lahan kritis di DAS. Terjadinya lahan-lahan kritis di DAS tidak saja menyebabkan penurunan produktivitas tanah, tetapi juga menyebabkan rusaknya fungsi hidrologis DAS. Berdasarkan data BPDAS Citanduy tahun 2012 luas lahan sangat kritis terbesar berada di wilayah kabupaten Ciamis seluas 1.090,08 ha dan luas lahan kritis seluas 6.118,57 ha. Wilayah kedua terbesar adalah kabupaten Cilacap dengan luas lahan sangat kritis seluas 700,29 Ha dan lahan kritis seluas 7.571,99 Ha. Berdasar data BPDAS 2012, beberapa kawasan sepanjang DAS Citanduy yang merupakan daerah rawan banjir meliputi Kota Banjar terdiri dari Kecamatan Purwaharja seluas 210 Ha, Kecamatan Pataruman seluas10 Ha. Kabupaten Ciamis meliputi Kecamatan Pamarican seluas 400 Ha, Kecamatan Banjarsari seluas 450 Ha, Kecamatan Lakbok seluas 800 Ha, Kecamatan Padaherang seluas Ha, Kecamatan Kali pucang seluas 403 Ha. Di Kabupaten Cilacap meliputi Kecamatan Dayeuh luhur seluas 80 Ha,Kecamatan Wanareja seluas 750 Ha, Kecamatan Majenang seluas 300 Ha, Kecamatan Cipari seluas 260 Ha, Kecamatan Cimanggu seluas 20 Ha, Kecamatan Karangpucung seluas 10 Ha, Kecamatan Lumbir seluas 10 Ha, Kecamatan Kawunganten seluas 1.050Ha, Kecamatan Bantarsari seluas 700 Ha, Kecamatan Gandrungmangu seluas 500 Ha, Kecamatan Sidareja seluas 540 Ha, Kecamatan Kedungreja seluas 95 Ha, Kecamatan Patimuan seluas 300 Ha. III - 48

83 Berdasar data BPDAS Citanduy tahun 2012, akibat erosi dan sedimentasi menyebabkan terjadinya perubahan terhadap luasan Segara Anakan sebagai muara dari DAS Citanduy. Tahun 1903 luas Segara Anakan sebesar Ha, pada tahun 1939 menyusut menjadi Ha, tahun 1971 berkurang menjadi Ha, tahun 1986 terus menyusut menjadi Ha, tahun 1992 menjadi Ha, tahun 2000 menjadi 600 ha, dapat dipastikan luas segara anakan pada tahun 2013 lebih kecil dibandingkan luas tahun Berdasar data BBWS 2012Di Wilayah Sungai Citanduy sering terjadi krisis ketersediaan air di beberapa wilayah tertentu mengingat kondisi sarana dan prasarana yang ada tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Dimana pada saat debit maksimum dapat terjadi banjir untuk kondisi lokasi lokasi yang rawan banjir, dan pada saat debit minimum dapat terjadi kekeringan. Sehingga perlu adanya strategi dalam pengelolaan Sumber Daya Air untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi di Wilayah Sungai Citanduy. Beberapa kawasan DAS Citanduy yang merupakan daerah rawan kekeringan KABUPATEN KECAMATAN DESA Cilacap a. Kedungreja Sidanegara (40 Ha) Cisumur (131 Ha) Gandrungmangu (43 Ha) Bulusari (30 Ha) Gandrungmanis (76 Ha) b. Sidareja Tegalsari (19 Ha) Margasari (11 ha) Sidamulya (7 Ha) Sidareja (32 Ha) Kunci (32 ha) Tinggarjaya (52 Ha) Karanganyar (31 ha) c. Patimuan Bulu Payung (290 Ha) Patimuan (69 Ha) Rawa Apu (303 Ha) Purwodadi (35 Ha) Sidamukti (388 Ha) Cimrutu (15 Ha) d. Lakbok Selatan Paledah (404 Ha) Sindangwangi (241,84 Ha) Sukanegara (496 Ha) Ciganjeng (174,79 ha) e. Lakbok Utara Sindang Angin (209,76 Ha) Tambakreja (190 Ha) f. Rawa Onom Randegan II ( 40 Ha) Sumber: BBWS Citanduy 2012 III - 49

84 6.3. Upaya yang Telah Dilakukan Upaya mengatasi masalah telah dan akan dilakukan oleh instansi terkait seperti Dinas Kehutanan, BBWS, BPDAS, BLH. Secara umum strategi dan arah penanganan masalah-masalah tersebut dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu aspek ekologis melalui rehabilitasi dan konservasi hutan dan lahan, aspek sosial ekonomi antara lain melalui pemberdayaan kelompok masyarakat /kelompok tani dalam kegiatan rehabilitasi dan konservasi, meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan /penataan kawasan Lindung DAS Citanduy. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bagi masyarakat melalui kegiatan vegetatif yaitu Rehabilitasi Kawasan Hutan, Hutan Rakyat, Rehabilitasi areal bakau/ pesisir, Penghijauan Kota/ Penghijauan Lingkungan, Turus Jalan. Serta kegiatan sipil teknis yaitu pembangunan Dam Penahan/ Pengendali, Pengendali Jurang (Gully- Plug), Sumur Resapan, Embung. Rencana pengembangan infrastruktur sumberdaya air, meliputi: pembangunan waduk Cibatarua di Kabupaten Garut, pembangunan waduk Lapangan Gagah Jurit, waduk Sukahurip, waduk Hyang, waduk Cikembang dan waduk Leuwikeris di Kabupaten Ciamis, dan Waduk Ciwulan di Kabupaten Tasikmalaya; rencana revitalisasi dan optimalisasi fungsi waduk dan danau/situ; Pengembangan infrastruktur pengendali banjir; Pembangunan Daerah Irigasi, Leuwigoong di Kabupaten Garut; dan Peningkatan kondisi jaringan irigasi. 7. DAS Citarum Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar dan terpanjang di Provinsi Jawa Barat, secara geografis berada pada BT dan LS. Daerah Aliran Sungai Citarum memiliki luas Ha dengan panjang sungai utama 269 Km ini terdapat 12 Sub DAS yang terdiri dari Sub DAS Citarum Hilir, Sub DAS Cibeet, Sub DAS Cikaso, Sub DAS Cikundul, Sub DAS Cisokan, Sub DAS Cimeta, Sub DAS Cikapundung, Sub DAS Ciminyak, Sub DAS Ciwidei, Sub DAS Citarik/Cikeruh, Sub DAS Cisangkuy dan Sub DAS Citarum Hulu. DAS Citarum berbatasan dengan Laut Jawa dibagian utara, DAS Bekasi dan DAS Ciliwung dibagian barat, DAS Cibuni dan DAS Cimanuk di bagian selatan, DAS III - 50

85 Cimalaya dan DAS Cikarokrok di bagian timur seperti terlihat pada Gambar DAS Citarum mencakup 10 Kabupaten dan 2 Kota dimana persentase luas kabupaten dan Kota dalam DAS paling besar berada pada Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi yaitu 100% wilayahnya berada pada DAS Citarum, menyusul Kota Bandung pada 90,02% dan kabupaten/kota lainnya seperti terlihat pada tabel persentase luas kabupaten dalam DAS Ciatrum. Sedangkan kabupaten yang berpengaruh sangat besar dilihat dari luas daerah dalam DAS terbesar adalah Kabupaten Bandung yaitu sebanyak 40,10%. Gambar Peta Batas DAS Citarum Gambar Peta Administrasi DAS Citarum Tabel Presentase Luas Kabupaten/Kota dalam DAS Citarum KABNAME LUAS (ha) (%) Bandung ,10% Bekasi ,07% Bogor ,63% Cianjur ,71% Garut ,26% Karawang ,50% Kota Bandung ,28% Kota Cimahi ,61% Purwakarta ,86% Subang 77 0,01% Sukabumi 168 0,03% Sumedang ,93% III - 51

86 7.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik DAS Citarum terdiri dari 9 satuan ekoregion yaitu satuan Dataran Fluvial Jawa, Dataran Pantai Utara Jawa, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Citarum dapat dilihat pada Gambar peta ekoregion DAS Citarum. Gambar Peta Ekoregion DAS Citarum Gambar Peta Jenis Tanah DAS Citarum Ekoregion terluas terdapat pada Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung yaitu seluas Ha (23.99%) menyusul Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang yaitu seluas Ha (23.34%). Masingmasing luasan ekoregion dalam DAS Citarum dapat dilihat pada table ekoregion DAS Citarum. III - 52

87 Tabel Satuan Ekoregion DAS Citarum NAMA KODE LUAS (ha) (%) ,69% Dataran Fluvial Jawa F ,85% Dataran Pantai Utara Jawa M ,34% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,43% Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S ,26% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,34% Perbukitan Karst Jalur Bogor - Kendeng - Rembang K ,68% Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S ,08% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S ,34% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,99% Jenis tanah pada DAS Citarum sangat bervariasi yaitu terdiri dari 29 jenis tanah dimana jenis tanah Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat menempati luasan yang tertinggi yaitu Ha (12,57%) dan menyusul jenis tanah Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat dengan luas Ha (10,53%). Untuk melihat sebaran jenis tanah pada DAS Citarum dapat dilihat pada Gambar Tabel Luas Masing-Masing Jenis Tanah DAS Citarum MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Coklat Kelabu ,69% Aluvial Hidromorf ,57% Aluvial Kelabu Tua ,06% Andosol Coklat ,24% Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat ,53% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat ,57% Asosiasi Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu ,10% Asosiasi Glei Humus dan Aluvial Kelabu ,27% Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Cokl ,63% Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu ,42% Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan d ,91% Asosiasi Podsolik Kuning dan Hidromorf Kelabu ,36% Grumusol Kelabu 648 0,10% Grumusol Kelabu Tua ,86% Kompleks Grumusol, Regosol dan Mediteran ,38% Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat ,68% Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat, ,86% Kompleks Latosol Merah dan Latosol Coklat Kemeraha ,59% Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol ,49% III - 53

88 MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kunin ,00% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol ,76% Kompleks Regosol dan Litosol ,39% Kompleks Resina, Litosol Batukapur dan Brown Fores ,36% Latosol Coklat ,48% Latosol Coklat Kekuningan ,76% Latosol Coklat Kemerahan ,24% Latosol Coklat Tua Kemerahan ,89% Podsolik Kuning ,82% Regosol Kelabu 14 0,00% Penggunaan lahan pada DAS Citarum dibagi ke dalam 12 penggunaan lahan yaitu Hutan Primer, Hutan Sekunder, Kebun Campuran, Perkebunan, Permukiman, Rawa, Sawah, Semak/Belukar, Tambak/Empang, Tanah Terbuka, Tegalan/Ladang dan Tubuh Air. Penggunaan lahan untuk sawah menempati luasan terbesar yaitu Ha (34,26%) menyusul tegalan/ladang Ha (16,31%). Sebaran penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar sementara luasan tiap-tiap penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel Tabel Penggunaan Lahan di DAS Citarum LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Primer ,82% Hutan Sekunder ,61% Kebun Campuran ,24% Perkebunan ,43% Permukiman ,13% Rawa 428 0,06% Sawah ,26% Semak/Belukar ,79% Tambak/Empang ,74% Tanah Terbuka ,92% Tegalan/Ladang ,31% Tubuh Air ,67% Gambar Peta Penggunaan Lahan DAS Citarum III - 54

89 b. Karaktreistik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Citarum tahun 2012 kurang lebih adalah jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Barat. Dengan luas DAS sebesar Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Citarum adalah 16 Jiwa/Ha atau sekitar Jiwa/Km 2. Pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk pada DAS Citarum dapat dilihat pada table perkiraan jumlah penduduk DAS Citarum. Tabel Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Citarum Tahun 2012 Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS 2012 Jawa Barat Bandung 100,00% , Jawa Barat Bekasi 53,75% , Jawa Barat Bogor 12,84% , Jawa Barat Cianjur 34,23% , Jawa Barat Garut 1,32% , Jawa Barat Karawang 75,04% , Jawa Barat Kota Bandung 90,02% , Jawa Barat Kota Cimahi 100,00% , Jawa Barat Purwakarta 76,05% , Jawa Barat Subang 0,04% , Jawa Barat Sukabumi 0,10% , Jawa Barat Sumedang 7,84% , Total Permasalahan Lingkungan Permasalahan lingkungan DAS Citarum terbagi ke dalam 6 permasalahan yaitu sosial ekonomi, perubahan tata guna lahan, lahan kritis, pencemaran, banjir, kehati dan abrasi. Permasalahan yang terjadi di DAS Citarum pada dasarnya diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali yang berakibat pada meningkatnya eksploitasi ruang dan sumber daya alam. Penduduk di Cekungan Bandung tumbuh pada kisaran 3% pertahun, sebagai pengaruh migrasi ke daerah dengan pertumbuhan yang cepat. Berdasarkan Land-use change Urbanization (ADB-Package B) in JanJaap Brinckman, Deltares 2010, diprediksi pengembangan perkotaan tahun 2025 adalah 50% penduduk tinggal di urban. III - 55

90 Tingginya tekanan kependudukan ini menyebabkan terjadinya peningkatan lahan kritis akibat perubahan tata guna lahan sehingga Citarum termasuk DAS utama di Jawa Barat yang memiliki luasan lahan kritis yang tinggi. Dimana tahun telah terjadi laju penurunan luas hutan sebesar 86%, laju peningkatan kawasan permukiman sebesar 115 (Sumber : BPDAS CC dan BBWS) dan masih tersisa lahan kritis seluas ,52 ha Sumber : BPLHD, 2012). Lahan kritis DAS Citarum terdiri dari agak kritis dengan luas ,3 Ha, potensial kritis dengan luas ,6 Ha, kritis dengan luas ,07 Ha dan sangat kritis dengan luas 3.429,7 Ha (Sumber : BPLHD, 2012). Dampak dari lahan kritis adalah terjadinya sedimentasi dengan laju sedimentasi sebesar 112,3 juta ton/tahun dan mengendap di bendungan Saguling 2,8 juta ton/tahun (BPDAS CC, 2010). Untuk sumber pencemaran organik sungai Citarum adalah berasal dari limbah domestic, industry, pertanian dan peternakan dimana limbah domestic dan industry lebih mendominasi (Sumber : RIRW). Produksi sampah DAS Citarum tahun 2013 adalah m3 (BBWS Citarum,2013). Sementara hasil pemantauan tahun 2012, nilai coli dan COD rata-rata berada di atas Baku Mutu. Pencemaran limbah pertanian berasal dari petani yang cenderung menggunakan pestisida untuk membasmi hama dimana 76% petani menggunakan pestisida secara berlebihan dan 89,2% petani tidak membuang wadah pestisida secara benar (BPLHD 2004). Pencemaran limbah peternakan diakibatkan dari sekitar ton kotoran hewan berpotensi masuk ke sungai setiap hari (KPBS, 2010). Daerah banjir Citarum hulu berada pada daerah banjir Bandung Selatan yaitu daerah Ciputat, Citepus, Cieunteung dan Parung halang. Sementara daerah banjir Citarum hilir seperti terjadi pada banjir Karawang 2013 dimana rumah tergenang dan jiwa terdampak. Sementara permasalahan kehati dan abrasi berdampak kepada kerusakan mangrove, berkurangnya habitat burung, mamalia, dan ikan serta abrasi garis pantai.untuk memudahkan identifikasi terhadap semua permasalahan yang ada di Daerah Aliran Sungai Citarum tersebut, maka DAS Citarum dibagi menjadi 3 zona wilayah yaitu Zona Citarum Hulu (Hulu sungai di Gunung Wayang Ujung Saguling), Zona Citarum Tengah (Saguling Cirata Jatiluhur) dan Zona Citarum Hilir (Citarum Hilir Muara Citarum) III - 56

91 Permasalahan di Zona Citarum Hulu Permasalahan di daerah Citarum Hulu disebabkan oleh berkurangnya fungsi kawasan lindung (hutan dan non hutan), berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik, dan budi daya pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi yang menyebabkan banyaknya lahan kritis, kadar erosi yang semakin tinggi yang mengakibatkan sedimentasi di palung sungai, waduk, bahkan masuk ke jaringan prasarana air. Zona Citarum Hulu memiliki potensi erosi lahan sebesar 112,35 juta ton/tahun dimana wilayah yang sangat buruk berada pada Sub DAS Cirasea, Ciwidey dan Cisangkuy sementara wilayah yang buruk adalah pada Sub DAS Ciminyak, Cikapundung, Citarik, Cihaur dan Cikeruh (BPDAS CC). Sungai tercemar limbah permukiman, industri dan pertanian karena perilaku masyarakat. Baik industri ataupun rumah tangga yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan air limbah dikarenakan pengelolaan limbah belum tertata dengan baik sehingga sungai Citarum dominan akan genangan banjir, sampah, dan limbah industri dan domestik. Permasalahan utama lainnya di bagian hulu DAS Citarum meliputi degradasi fungsi konservasi sumber daya air seperti luas lahan kritis mencapai ,47 ha, yang mengakibatkan run off aliran permukaan sebesar 3.632,50 juta m 3 /tahun serta sedimentasi sebesar 7.898,59 ton/ha. III - 57

92 Permasalahan lainnya adalah tingkat pengambilan air tanah yang diluar kendali dimana sebagian besar pengambilan air tanah tidak teregistrasi. Diperkirakan pengambilan air tanah mencapai tiga kali lipat dari jumlah yang dilaporkan oleh pemerintah. Diperkirakan 90 % penduduk dan 98 % industri di Cekungan Bandung menggantungkan kebutuhan air sehari - hari pada air tanah. Pengambilan air tanah yang berlebih dan tidak terkendali dapat mengakibatkan penurunan muka tanah dan kerusakan struktur pada bangunan gedung serta memperbesar potensi daerah rawan banjir.semua permasalahan di Citarum Hulu tersebut berakibat hampir setiap tahun luapan Sungai Citarum menyebabkan banjir. Banjir-banjir besar di Bandung dan sekitarnya tercatat pada tahun 1931, 1945, 1977, 1982, 1984, 1986, 1998, 2005, 2010 dan akan tetap terjadi pada tahun berikutnya bila tidak segera dilakukan penanganan. Permasalahan di Zona Citarum Tengah Zona Citarum tengah juga masih terlihat potensi erosi lahan dimana terjadi pada daerah tangkapan air waduk Cirata dengan erosi lahan sebesar 16,5 juta ton/tahun. Erosi lahan sangat buruk banyak ditemukan di sekitar bantaran sungai Cimeta, bagian hulu Sub DAS Cimeta dan Cikundul (BPDAS CC). Tingginya pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung berdampak terhadap bertambahnya pembuangan limbah domestik tanpa pengolahan, pembuangan sampah dan limbah industri yang menambah beban pencemaran ke Sungai Citarum. Berdasarkan PD Kebersihan Kota Bandung rata-rata produksi sampah sebesar m3/hari, dimana1.500 m3 diantaranya tidak dikumpulkan dan dibuang secara benar. Dengan demikian sampah yang tidak terkumpul dengan benar akan masuk ke sistem drainase dan sungai sebesar m 3 pertahun. Berdasarkan kantor pengelola Waduk Saguling diperkirakan jumlah sampah yang masuk ke Waduk Saguling adalah sebesar m 3 per tahun.kualitas air yang masuk ke Waduk Saguling memiliki rata-rata kandungan BOD lebih dari 300 mg/liter. Pada tahun 2004 dilaporkan konsentrasi BOD sebanyak 55 mg/liter dan meningkat menjadi 130 mg/liter pada musim kemarau. Pencemaran waduk akibat sampah rumah tangga, sampah padat, dan industri, serta adanya penambangan pasir menyebabkan terjadinya pendangkalan waduk III - 58

93 akibat adanya sedimentasi. Selain itu, maraknya usaha keramba jaring apung memperburuk pencemaran air di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang disebabkan oleh pemberian makanan ikan jarring apung yang tidak tepat dan berlebihan sehingga menambah beban limbah yang menumpuk di dasar waduk serta membahayakan kelangsungan instalasi PLTA akibat korosif. Permasalahan di Zona Citarum Hilir Zona Citarum hilir juga masih terlihat potensi erosi lahan sebesar 112,85 juta ton/tahun. Potensi sangat jelek banyak ditemukan di bagian hulu Sub DAS Cikao dan Cibeet. Di Sub DAS Citarum hilir banyak terdapat lahan terbangun dan persawahan (Sumber : BPDAS CC). Permasalahan di Citarum Hilir dikarenakan banyaknya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi permukiman akibat berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik. Terjadinya degradasi prasarana pengendali banjir, menurunnya fungsi prasarana jaringan irigasi, kurangnya prasarana pengendali banjir di muara, dan terjadinya abrasi pantai di muara. Semua hal tersebut menyebabkan daerah Citarum Hilir pun merupakan daerah rawan banjir. Banjir terakhir yang terjadi di bagian hilir Sungai Citarum disebabkan oleh curah hujan tinggi yang berlangsung terus menerus, Waduk Jatiluhur tidak mampu menampung debit banjir sehingga limpas di pelimpah dengan tinggi maksimum 141 cm. akibatnya aliran keluar dari waduk mengalir ke Sungai Citarum adalah sebesar 700 m3 /detik. Bersamaan dengan meluapnya Sungai Cikao di Purwakarta mengakibatkan banjir Sungai Cibeet di Karawang yang mengalir ke Sungai Citarum, sehingga alur Sungai Citarum di Karawang tidak mampu lagi menampung debit banjir dari hulu, sehingga terjadi banjir di Teluk jambe, Karawang Kulon, Karawang Wetan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi Upaya yang Telah Dilakukan Solusi penanganan DAS Citarum dilakukan melalui pendekatan struktural dan non-struktural serta sosio-kultural simultan hulu-hilir dengan sinergi multi sector bersama masyarakat secara terintegrasi dalam wadah koordinasi badan strategis pengelolaan DAS Citarum. Pendekatan non-struktural meliputi manajemen hulu DAS, penataan ruang, pengendalian erosi dan alih fungsi lahan, III - 59

94 perijinan pemanfaatan lahan, pemberdayaan masyarakat kawasan hulu, manajemen daerah rawan banjir, sistem peringatan dini ancaman dan evakuasi banjir, peningkatan kapasitas kelembagaan dan partisipasi masyarakat untuk penanggulangan banjir, pengendalian penggunaan air tanah, pengelolaan dan perbaikan kualitas air sungai. Pendekatan struktural meliputi normalisasi sungai, tanggul penahan banjir, kolam penampungan banjir, sistem polder dan sumur-sumur resapan,pembangunan waduk dan embung, penyediaan prasarana air baku, pengembangan sistim penyediaan air minum dan air kotor, rehabilitasi jaringan irigasi, pengembangan pembangkitan tenaga listrik.sejak beberapa tahun lalu, sejumlah instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat berpartisipasi dalam serangkaian dialog yang menghasilkan Citarum Roadmap yaitu suatu rancangan strategis berisi hasil identifikasi program-program utama untuk meningkatkan sistem pengelolaan sumber daya air terpadu dan memperbaiki kondisi di sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum. 8. DAS Progo Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo merupakan kesatuan ekosistem yang meliputi wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas DAS Progo mencapai ha. DAS Progo terdiri dari 5 Sub DAS yaitu Sub DAS Krasak, Sub DAS Tingal, Sub DAS Tangsi, Sub DAS Elo dan Sub DAS Bedog. Secara geografis Das Progo terletak pada 109 o 59 ' BT o 291 ' BT dan 07 o 12 ' LS - 08 o 04 ' LS. Batas DAS Progo sebelah utara berbatasan dengan DAS Bodri, sebelah timur berbatasan dengan DAS Tuntang, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan sebelah barat berbatasan dengan DAS Bogowonto dan DAS Serang seperti terihat pada Gambar DAS Progo mencakup 11 Kabupaten/kota, diantaranya adalah Kab. Bantul, Kab. Boyolali, Kota Magelang, Kab. Kota Yogyakarta, Kab. Kulon Progo, Kab. Magelang, Kab. Purworejo, Kab. Semarang, Kab. Sleman, Kab. Temanggung dan Kab. Wonosobo seperti terlihat pada Gambar untuk lebih jelasnya, presentase luas masing-masing kabupaten/kota terhadap luas DAS tersaji pada Tabel III - 60

95 Gambar Peta Batas DAS Progo Gambar Peta Administrasi DAS Progo Tabel Presentase Masing-Masing Kabupaten/Kota dalam DAS Progo KABNAME LUAS (ha) (%) Bantul ,94% Boyolali ,28% Kota Magelang 963 0,39% Kota Yogyakarta 27 0,01% Kulon Progo ,25% Magelang ,49% Purworejo 188 0,08% Semarang ,86% Sleman ,73% Temanggung ,71% Wonosobo 647 0,26% 8.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik DAS Progo terdiri dari 10 satuan ekoregion yaitudataran Fluvial Jawa, Dataran Pantai Selatan Jawa, Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Perbukitan Denudasional Jawa, Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - Gunungsewu Blambangan, Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng III - 61

96 Rembang, Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Progo dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar Peta Ekoregion DAS Progo Gambar Peta Jenis Tanah DAS Progo Ekoregion terluas terdapat pada Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung yaitu seluas Ha (50.81%) menyusul Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung yaitu seluas Ha (16.23%). Masingmasing luasan ekoregion dalam DAS Progo dapat dilihat pada Tabel Tabel Satuan Ekoregion DAS Progo LUAS NAMA KODE (%) (ha) Dataran Fluvial Jawa F ,10% Dataran Pantai Selatan Jawa M ,56% Dataran Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,23% Pegunungan Struktural Blok Selatan Jawa S ,74% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,59% Perbukitan Denudasional Jawa D ,24% Perbukitan Karst Jalur Pangandaran - Karangbolong - K ,15% Gunungsewu - Blambangan Perbukitan Struktural Blok Selatan Jawa S ,27% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S ,31% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,81% III - 62

97 Jenis tanah pada DAS Progo sangat bervariasi yaitu terdiri dari 18 jenis tanah dimana jenis tanah Asosiasi Mediteran Coklat Litosol menempati luasan yang tertinggi yaitu Ha (29,33%) dan menyusul jenis tanah Regosol Coklat Kekelabuan dengan luas Ha (14,82%). Untuk melihat sebaran jenis tanah pada DAS Progo dapat dilihat pada gambar peta jenis tanah DAS Progo. Tabel Luas Jenis Tanah di DAS Progo MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Mediteran Coklat Kemerahan dan Grumusol Kelabu ,52% Aluvial Coklat Kekelabuan ,73% Aluvial Kelabu dan Aluvia Coklat Kekelabuan ,22% Andosol Coklat ,34% Andosol Coklat dan Latosol Coklat Kemerahan ,01% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 20 0,01% Asosiasi Mediteran Coklat Litosol ,33% Grumusol Kelabu ,54% Kompleks Andosol Kelabu Tua dan Litosol ,56% Kompleks Grumusol Hitam dan Litosol ,51% Kompleks Litosol, Mediteran dan Renzina ,11% Kompleks Regosol Kelabu dan Grumusol Kelabu Tua ,50% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol ,93% Kompleks Regosol dan Litosol ,56% Latosol Coklat ,79% Mediteran Merah Tua dan Regosol ,11% Regosol Coklat Kekelabuan ,82% Regosol Kelabu 975 0,40% Penggunaan lahan pada DAS Progo dibagi ke dalam 9 penggunaan lahan yaitu Hutan Sekunder, Kebun Campuran, Perkebunan, Permukiman, Sawah, Semak/Belukar, Tanah Terbuka, Tegalan/Ladang. Penggunaan lahan untuk tegalan/ladang menempati luasan terbesar yaitu Ha (33,97%) menyusul penggunan lahan untuk sawah yaitu Ha (28,98%). Sebaran penggunaan lahan dapat dilihat pada gambar peta penggunaan lahan, sementara luasan tiap-tiap penggunaan lahan dapat dilihat pada table penggunaan lahan DAS Progo. III - 63

98 Tabel Luas Penggunaan Lahan DAS Progo LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Sekunder ,05% Kebun Campuran ,06% Perkebunan ,75% Permukiman ,34% Sawah ,98% Semak/Belukar ,87% Tanah Terbuka ,61% Tegalan/Ladang ,97% Tubuh Air 940 0,38% Gambar Peta Penggunaan Lahan DAS Progo b. Karakteristik Sosial Perkiraan jumlah Penduduk di DAS Progo tahun 2012 kurang lebih adalah jiwa. Jumlah ini dihitung berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tahun 2010 dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan luas DAS sebesar Ha, maka kepadatan penduduk di DAS Progo adalah 14 Jiwa/Ha. Pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk pada DAS Progo dapat dilihat pada table perkiraan jumlah penduduk DAS Progo. Tabel Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Progo Tahun 2012 Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2012 DIY Bantul 48,19% , DIY Kota Yogyakarta 66,64% , DIY Kulon Progo 64,96% , DIY Sleman 52,19% , Jawa Tengah Boyolali 1,29% , Jawa Tengah Kota Magelang 59,96% , III - 64

99 Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) Jumlah Penduduk DAS Tahun 2012 Jawa Tengah Magelang 98,00% , Jawa Tengah Purworejo 0,65% , Jawa Tengah Semarang 1,21% , Jawa Tengah Temanggung 69,21% , Jawa Tengah Wonosobo 1,45% , Total Permasalahan Lingkungan Permasalahan lingkungan di DAS Progo meliputi: Permasalahan erosi : Tingkat erosi di DAS Progo terdiri dari tingkatan sedang, agak tingi, tinggi dan sangat tinggi. Tingkat erosi dengan kriteria agak tinggi menempati luasan tertinggi yaitu 372,66 km 2 tingkat erosi sedang dengan luas 116,35 km 2 (4,78%) (BPDAS). (15,30%) menyusul kriteria Permasalahan banjir : Banjir terjadi di 12 kecamatan, 23 Desa. Terutama di wilayah kab. Kulonprogo & kab. Bantul. Total genangan Ha (Dinas PU). Permasalahan kekeringan : Kekeringan terjadi di 14 Kecamatan, 47 Desa. Terutama di (Sumber : Dinas PU). wilayah Kabupaten Gunungkidul, Sleman, dan Kulon Progo Permasalahan lahan kritis : Lahan kritis di DAS Progo terdiri dari agak kritis, kritis dan sangat kritis. Untuk lahan sangat kritis terdapat di Kabupaten Boyolali dengan luas 88,33 Ha, Kabupaten Magelang dengan luas 335,77 Ha dan Kabupaten Sleman dengan luas 38,18 Ha. Sementara dari total luas lahan kritis, Kabupaten Magelang adalah yang menempati luasan lahan kritis yang terluas yaitu ,24 Ha, menyusul Kabupaten Temanggung yaitu ,10 Ha dan kabupaten Kulonprogo yaitu ,07 Ha (BPDAS). Pelanggaran terhadap sempadan sungai dan irigasi, Penambangan bahan mineral, Kemiskinan dan kerawanan pangan pada wilayah hulu, Pertumbuhan penduduk tinggi, Kontaminasi bahan organik dari pasar kota dan permukiman sepanjang sungai.limbah industri dari jenis industri pabrik gula, tepung tapioka, pabrik tekstil, pabrik susu, pabrik tahu dan kecap. Lahan pertanian yang menghasilkan sisa pupuk dan pestisida hanyut terbawa air ke sungai. III - 65

100 8.3. Upaya yang Telah Dilakukan Dalam pengendalian tata air DAS, upaya yang dilakukan dengan : Meningkatkan fungsi sarana dan prasarana konservasi sumber daya air untuk kelestarian air dan sumber air; Pengelolaan lahan kritis secara sipil teknis sederhana, gully plug, rorak, secara vegetatif serta sistem agronomi dan managemen lahan; Rehabilitasi Hutan dan Lahan; Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam. Dalam pengembangan kondisi lahan yang produktif sesuai daya dukung dan daya tampung secara berkelanjutan, upaya yang dilakukan dengan : Koordinasi dan fasilitasi dalam rangka sinkronisasi dan sinergitas antara RTRWN, RTRW Provinsi Jawa Tengah dan RTRW Kab/Kota (Jateng dan DIY) Pendekatan pengembangan dan pengelolaan wilayah sungai berbasis penataan ruang, yang sinergis antar sektor, antar daerah dan antar pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat dan swasta) Optimalisasi peningkatan kesadaran para pihak atas rencana tata ruang melalui pendekatan normatif dan partisipatif Meningkatkan kerjasama dan sinergitas perencanaan pembangunan antar daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi Mengembangkan perencanaan wilayah strategis dan cepat tumbuh Pengembangan komoditas pertanian dalam arti luas, penataan fisik lahan dan lingkungan sosial masyarakat Dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, upaya yang dilakukan dengan : Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan Peningkatan produksi hasil hutan non kayu untuk kesejahteraan masyarakat sekitar hutan Fasilitasi dan sosialisasi pengembangan Penyuluhan dalam paket teknologi pembangunan kehutanan III - 66

101 Mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia, membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk berperan aktif dalam penanganan dan melakukan kontrol sosial terhadap pengelolaan lingkungan Peningkatan dukungan swadaya masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup Peningkatan pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat Dalam pengembangan kelembagaan masyarakat, upaya yang dilakukan dengan Koordinasi lintas sektor dan dengan lembaga non formal lainnya Penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat pedesaan, perkotaan dalam basis sistem agrobisnis Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Mengendalikan kerusakan lingkungan melalui upaya pengawasan dan penegakan hukum lingkungan serta fasilitasi penanganan pemulihan kerusakan lingkungan Membangun kerjasama keterpaduan dengan stakeholders untuk menangani sumber penyebab permasalahan lingkungan 9. DAS Serayu DAS Serayu terletak dibagian selatan Jawa Tengah dengan luas sebesar ha. Secara geografis berada pada koordinat 07 o o 4 LS dan 108 o o 05 BT. DAS Serayu berbatasan dengan Rangkaian Gunung api Sumbing dan Gunung api Sindorodi sebelah timur, sebelah utara berbatasan dengan Pegunungan Besar, pegunungan Rogojembangan, Gunungapi Slamet, sebelah selatan berbatasan dengan Pegunungan Serayu Selatan dan sebelah barat berbatasan dengan Perbukitan yang melintang sepanjang perbatasan Banyumas dan Cilacap. DAS Serayu mencakup 13 kabupaten yang terdiri dari 5 kabupaten dengan persentase besar dan 8 kabupaten lain dengan persentasi luas yang lebih kecil. Secara lebih rinci, besarnya persentase luas kabupaten yang masuk dalam DAS Serayu terlihat pada Tabel berikut: III - 67

102 Tabel Persentase Luas Kabupaten dalam DAS Serayu No Provinsi Kabupaten Luas Kabupaten (Ha) Luas Kab. dalam DAS (Ha) % luas dalam DAS 1 Jawa tengah Banjarnegara ,00% 2 Jawa tengah Purbalingga ,00% 3 Jawa tengah Banyumas ,84% 4 Jawa tengah Wonosobo ,58% 5 Jawa tengah Cilacap ,45% 6 Jawa tengah Pemalang ,77% 7 Jawa tengah Brebes ,55% 8 Jawa tengah Kebumen ,34% 9 Jawa tengah Pekalongan ,25% 10 Jawa tengah Batang ,09% 11 Jawa tengah Temanggung ,03% 12 Jawa tengah Tegal ,01% 13 Jawa tengah Kendal ,01% Sumber : Analisis data PPE Jawa, 2013 Gambar Peta Admisnitrasi DAS Serayu III - 68

103 9.1. Karakteristik Lingkungan a. Karakteristik Fisik Gambar Peta Administrasi DAS Serayu DAS Serayu terdiri dari 7 satuan ekoregion yaitu Dataran Fluvial Jawa, Dataran Pantai Selatan Jawa, Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Pegunungan Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung, Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng Rembang, Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi Raung. Sebaran satuan ekoregion dalam DAS Serayu dapat dilihat pada Gambar peta ekoregion DAS Serayu. Tabel Satuan Ekoregion DAS Serayu NAMA KODE LUAS (ha) (%) Dataran Fluvial Jawa F ,83% Dataran Pantai Selatan Jawa M ,88% Dataran Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S ,29% Pegunungan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S ,58% Pegunungan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,51% Perbukitan Struktural Jalur Bogor - Kendeng - Rembang S ,16% Perbukitan Vulkanik Jalur Gunung Karang - Merapi - Raung V ,74% III - 69

104 Gambar Peta Ekoregion DAS Serayu Satuan-satuan tanah yang ada di DAS Serayu menurut Mangunsukardjo (1984) adalah sebagai berikut : a. Aluvialberasal dari proses pengendapan dengan periode yang berbeda. Macammacam tanah aluvial di DAS Serayu adalah Aluvial Hidromorf, Aluvial Kelabu Kekuningan dan Aluvial Coklat Kelabu Gelap. b. Regosol berasal dari bahan induk yang baru diendapkan atau karena ada prosesproses geomorfologi yang bekerja intensif sehingga proses pembentukan tanah tidak berlangsung. Regosol di DAS Serayu berkembang di tepian pantai dan di kerucut Gunung api Slamet, Sumbing, dan Sindoro. c. Litosol merupakan tanah yang tipis dengan solum < 50 cm dan mengalami kontak langsung dengan batuan induk yang keras yang ada di bawahnya. d. Andosols merupakan tanah yang terbentuk dari bahan induk abu gunung api. Tanah ini berwarna hitam kelam seperti arang sebagai akibat dari pelapukan dari material abu gunungapi yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan tingkat pelapukan ini adalah sebagai akibat dari suhu yang cenderung sejuk-dingin dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun. III - 70

105 e. Latosolmerupakan tanah yang telah berkembang dibawah pengaruh iklim yang basah dengan membetuk profil tanah yang dalam. Latosol terbentuk pada bahan induk volkanik yang terletak pada kondisi relief yang memungkinkan terbentuknya drainase baik. Latosol merupakan tanah yang potensial untuk pengembangan pertanian, namun juga menyimpan potensi erosi yang besar sebagai akibat dari posisinya pada lereng-lereng perbukitan dan pegunungan. f. Grumusol merupakan tanah lempungan yang mempunyai daya kembang kerut tinggi sebagai akibat dari adanya tipe lempung smectite. Lempung tipe ini adalah spesifik terbentuk di bawah iklim tropik. Persebaran Grumusol di daerah kajian terdapat di bagian hilir dari Sungai Klawing, Pekacangan dan Merawu. g. Podsolik Merah Kuning (PMK) merupakan tanah yang telah berkembang sangat lanjut dengan hanya menyisakan unsur-unsur resisten dan sedikit unsur besi yang memberikan warna merah kekuningan PMK merupakan tanah yang kurang produktif sebagai akibat dari miskinnya kandungan unsur hara dan tingkat kelolosan air yang tinggi. Sebaran jenis tanah berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Puslitbangtanak terlihat pada Gambar sedangkan luasan masing-masing jenis tanah disajikan pada tabel Gambar Peta Jenis Tanah DAS Serayu III - 71

106 Tabel Luas Masing-Masing Jenis Tanah DAS Serayu MACAM_TANA LUAS (ha) (%) Aluvial Coklat Kekelabuan ,63% Aluvial Hidromorf ,64% Aluvial Kelabu Kekuningan ,00% Aluvial Kelabu dan Aluvia Coklat Kekelabuan ,96% Andosol Coklat Kekuningan ,07% Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat ,83% Asosiasi Mediteran Coklat Litosol ,65% Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu 77 0,05% Glei Humus dan Aluvial Kelabu ,03% Grumusol Hitam ,83% Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol ,89% Kompleks Mediteran Merah dan Litosol ,81% Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol ,90% Kompleks Regosol dan Litosol 837 0,22% Latosol Coklat ,07% Latosol Coklat Kemerahan ,19% Litosol ,73% Mediteran Merah Tua dan Regosol ,00% Organosol Eutrop ,73% Regosol Coklat ,35% Regosol Kelabu ,40% Penggunaan lahanberdasarkan data Menuju Indonesia Hijau (MIH) 2011, DAS Serayu dibedakan menjadi10 kelas penggunaan lahan yaitu hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran, perkebunan, permukiman, sawah, semak/belukar, tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh air. Penggunaan lahan DAS Serayu sebagian besar merupakan tegalan/ladang yang mencakup kawasan seluas Ha atau meliputi 37.78%. Tutupan lahan terbesar kedua adalah sawah seluas Ha atau 20,92 %. Berikut ini disajikan Tabel penggunaan lahan di DAS Serayu serta Gambar sebaran penggunaan lahan DAS Serayu. Tabel Penggunaan Lahan DAS Serayu LC_2011 LUAS (ha) (%) Hutan Primer ,06% Hutan Sekunder ,59% Kebun Campuran ,22% Perkebunan ,50% Permukiman ,83% LC_2011 LUAS (ha) (%) Sawah ,92% Semak/Belukar ,33% Tanah Terbuka 162 0,04% Tegalan/Ladang ,78% Tubuh Air ,73% III - 72

107 Gambar Peta Penggunaan Lahan DAS Serayu b. Karakteristik Sosial Jumlah penduduk DAS Serayu pada tahun 2012 diperkirakan sebanyak jiwa. Jumlah tersebut dihitung dengan menggunakan data jumlah penduduk kabupaten/kota tahun 2010 yang diproyeksikan pada masing-masing kabupaten yang terdapat dalam DAS dengan mempertimbangkan luas kabupaten/kota dalam DAS tersebut. Banyaknya jumlah penduduk DAS di masing-masing kabupaten terdapat pada Tabel di bawah ini. Berdasarkan klasifikasi kepadatan penduduk dalam undang-undang nomor 56/PRP/1960 kepadatan penduduk DAS Serayu termasuk dalam kategori sangat padat yaitu sebesar 973 jiwa/km 2. Tabel Perkiraan Jumlah Penduduk DAS Serayu Tahun 2012 Provinsi Kabupaten % luas dalam DAS Jumlah Penduduk 2010 Pertumbuhan Penduduk (%) jumlah penduduk DAS 2012 JAWA TENGAH BANJARNEGARA 100,00% , JAWA TENGAH BANYUMAS 86,84% , JAWA TENGAH BATANG 0,09% , JAWA TENGAH BREBES 0,55% , III - 73

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar 3 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran.

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar 3 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran. 25 BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran (KST) terletak di Sub DAS Kali Madiun Hulu. Secara geografis Sub-sub DAS KST berada di antara 7º 48 14,1 8º 05 04,3 LS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

14/06/2013. Tujuan Penelitian Menganalisis pengaruh faktor utama penyebab banjir Membuat Model Pengendalian Banjir Terpadu

14/06/2013. Tujuan Penelitian Menganalisis pengaruh faktor utama penyebab banjir Membuat Model Pengendalian Banjir Terpadu Penyebab Banjir Indonesia: Iklim/curah hujan Gelobang pasang/rob Limpasan sungai OLEH: Alif Noor Anna Suharjo Yuli Priyana Rudiyanto Penyebab Utama Banjir di Surakarta: Iklim dengan curah hujan tinggi

Lebih terperinci

Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah 2013 BAB I PENDAHULUAN

Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah 2013 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Profil Daerah 1. Letak Geografis Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah Kabupaten Karanganyar ± 77.378,64 ha terletak antara

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN Oleh Yudo Asmoro, 0606071922 Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat pengaruh fisik dan sosial dalam mempengaruhi suatu daerah aliran sungai.

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan kemudian mengalirkan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI BAB II 2.1. Tinjauan Umum Sungai Beringin merupakan salah satu sungai yang mengalir di wilayah Semarang Barat, mulai dari Kecamatan Mijen dan Kecamatan Ngaliyan dan bermuara di Kecamatan Tugu (mengalir

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 26 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Kota Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta 4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Secara geografis DI. Yogyakarta terletak antara 7º 30' - 8º 15' lintang selatan dan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, antara lain untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri dan tenaga

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai Bengawan Solo adalah sungai terpanjang di Pulau Jawa, Indonesia dengan panjang sekitar 548,53 km. Wilayah Sungai Bengawan Solo terletak di Propinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN NGAWI

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN NGAWI Rencana Pola ruang adalah rencana distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Bentukan kawasan yang

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya LEMBAR KERJA SISWA KELOMPOK :. Nama Anggota / No. Abs 1. ALFINA ROSYIDA (01\8.6) 2.. 3. 4. 1. Diskusikan tabel berikut dengan anggota kelompok masing-masing! Petunjuk : a. Isilah kolom dibawah ini dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan terkait antara hubungan faktor abiotik, biotik dan sosial budaya pada lokasi tertentu, hal ini berkaitan dengan kawasan bentanglahan yang mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan 3 Nilai Tanah : a. Ricardian Rent (mencakup sifat kualitas dr tanah) b. Locational Rent (mencakup lokasi relatif dr tanah) c. Environmental Rent (mencakup sifat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

STUDI POTENSI BEBAN PENCEMARAN KUALITAS AIR DI DAS BENGAWAN SOLO. Oleh : Rhenny Ratnawati *)

STUDI POTENSI BEBAN PENCEMARAN KUALITAS AIR DI DAS BENGAWAN SOLO. Oleh : Rhenny Ratnawati *) STUDI POTENSI BEBAN PENCEMARAN KUALITAS AIR DI DAS BENGAWAN SOLO Oleh : Rhenny Ratnawati *) Abstrak Sumber air pada DAS Bengawan Solo ini berpotensi bagi usaha-usaha pengelolaan dan pengembangan sumber

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Curah Hujan Data curah hujan sangat diperlukan dalam setiap analisis hidrologi, terutama dalam menghitung debit aliran. Hal tersebut disebabkan karena data debit aliran untuk

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH Bab ini akan memberikan gambaran wilayah studi yang diambil yaitu meliputi batas wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu, kondisi fisik DAS, keadaan sosial dan ekonomi penduduk, serta

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan jumlah kepulauan terbesar didunia. Indonesia memiliki dua musim dalam setahunnya, yaitu musim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan hutan. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah berupaya memaksimalkan fungsi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Deskripsi Daerah Daerah hulu dan hilir dalam penelitian ini adalah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak pada 110 33 00

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Karakteristik Biofisik 4.1.1 Letak Geografis Lokasi penelitian terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, Kabupaten Bogor yang terletak antara 6⁰37 10

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DESEMBER, 2014 KATA PENGANTAR Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 21/PRT/M/2010

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Wilayah Bodetabek Sumber Daya Lahan Sumber Daya Manusia Jenis tanah Slope Curah Hujan Ketinggian Penggunaan lahan yang telah ada (Land Use Existing) Identifikasi Fisik Identifikasi

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM KECAMATAN GUNUNGPATI

BAB III GAMBARAN UMUM KECAMATAN GUNUNGPATI BAB III GAMBARAN UMUM KECAMATAN GUNUNGPATI Pada bab ini akan dijelaskan gambaran umum mengenai Kecamatan Gunungpati yang mencakup letak administratif Kecamatan Gunungpati, karakteristik fisik Kecamatan

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH

KEADAAN UMUM WILAYAH 40 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1 Biofisik Kawasan 4.1.1 Letak dan Luas Kabupaten Murung Raya memiliki luas 23.700 Km 2, secara geografis terletak di koordinat 113 o 20 115 o 55 BT dan antara 0 o 53 48 0

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1. No.247, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Penggunaan DAK. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi bidang

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI LINGKUNGAN HIDUP DAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP KALIMANTAN

PELAKSANAAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI LINGKUNGAN HIDUP DAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP KALIMANTAN PELAKSANAAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI LINGKUNGAN HIDUP DAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP KALIMANTAN Oleh : Susetio Nugroho (Kabid.Inventarisasi dan PSIL) Latar Belakang UUD 1945, Pasal 28 H (hak atas LH

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Daftar i ii iii vii Bab I Pendahuluan A. Kondisi Umum Daerah I- 1 B. Pemanfaatan Laporan Status LH Daerah I-10 C. Isu Prioritas Lingkungan Hidup Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KAWASAN / WILAYAH

BAB III TINJAUAN KAWASAN / WILAYAH BAB III TINJAUAN KAWASAN / WILAYAH 3.1 Kondisi Geografis Kabupaten Klaten Gambar 3.1 Peta Administrasi Kabupaten Klaten Sumber : http://penataanruangjateng.info/index.php/galeri-kab/25 /11/11/2015 Secara

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf Bagian luar bumi tertutupi oleh daratan dan lautan dimana bagian dari lautan lebih besar daripada bagian daratan. Akan tetapi karena daratan adalah bagian dari kulit bumi yang dapat kita amati langsung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan beberapa kota dan kabupaten seperti Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul dikatakan sebagai daerah miskin air dan bencana kekeringan menjadi permasalahan yang sering dihadapi oleh

mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul dikatakan sebagai daerah miskin air dan bencana kekeringan menjadi permasalahan yang sering dihadapi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memiliki ibukota Wonosari. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul sebesar

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

18 Media Bina Ilmiah ISSN No

18 Media Bina Ilmiah ISSN No 18 Media Bina Ilmiah ISSN No. 1978-3787 KARAKTERISTIK DAS DI WILAYAH DAS DODOKAN KOTA MATARAM KABUPATEN LOMBOK BARAT Oleh : Mareta Karlin Bonita Dosen Fakultas Ilmu Kehutanan UNTB, Mataram Abstrak : DAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani Abstrak Daerah penelitian adalah DAS Deli yang meliputi tujuh subdas dan mempunyai luas

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL KEMAMPUAN INFILTRASI SEBAGAI BAGIAN DARI INDIKASI BENCANA KEKERINGAN HIDROLOGIS DI DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI

ANALISIS SPASIAL KEMAMPUAN INFILTRASI SEBAGAI BAGIAN DARI INDIKASI BENCANA KEKERINGAN HIDROLOGIS DI DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 06 ISBN: 978-60-6-0-0 ANALISIS SPASIAL KEMAMPUAN INFILTRASI SEBAGAI BAGIAN DARI INDIKASI BENCANA KEKERINGAN HIDROLOGIS DI DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI Agus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

Implementasi dan Koordinasi Antar Lembaga Kegiatan RHL Dalam Rangka Penggulangan Banjir dan Tanah Longsor di Sub DAS Solo Bagian Hulu

Implementasi dan Koordinasi Antar Lembaga Kegiatan RHL Dalam Rangka Penggulangan Banjir dan Tanah Longsor di Sub DAS Solo Bagian Hulu Implementasi dan Koordinasi Antar Lembaga Kegiatan RHL Dalam Rangka Penggulangan Banjir dan Tanah Longsor di Sub DAS Solo Bagian Hulu Oleh : Dr. Nana Mulyana Arif Jaya, MS (IPB) Idung Risdiyanto, MSc (IPB)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan merupakan satu kesatuan

Lebih terperinci

BAB III ISU STRATEGIS

BAB III ISU STRATEGIS BAB III ISU STRATEGIS Berdasar kajian kondisi dan situasi Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2006 2010 (Renstra PLH 2006 2010), dan potensi maupun isu strategis yang ada di Provinsi Jawa Timur, dapat dirumuskan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci