SKRIPSI KARAKTERISASI TAPIOKA DAN PENENTUAN FORMULASI PREMIX SEBAGAI BAHAN PENYALUT UNTUK PRODUK FRIED SNACK. Oleh : JUANDA REPUTRA F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI KARAKTERISASI TAPIOKA DAN PENENTUAN FORMULASI PREMIX SEBAGAI BAHAN PENYALUT UNTUK PRODUK FRIED SNACK. Oleh : JUANDA REPUTRA F"

Transkripsi

1 SKRIPSI KARAKTERISASI TAPIOKA DAN PENENTUAN FORMULASI PREMIX SEBAGAI BAHAN PENYALUT UNTUK PRODUK FRIED SNACK Oleh : JUANDA REPUTRA F DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 KARAKTERISASI TAPIOKA DAN PENENTUAN FORMULASI PREMIX SEBAGAI BAHAN PENYALUT UNTUK PRODUK FRIED SNACK SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : JUANDA REPUTRA F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

3 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KARAKTERISASI TAPIOKA DAN PENENTUAN FORMULASI PREMIX SEBAGAI BAHAN PENYALUT UNTUK PRODUK FRIED SNACK SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : JUANDA REPUTRA F Dilahirkan pada tanggal 07 November 1987 Di Bukittinggi Tanggal Lulus : 28 Agustus 2009 Bogor, Menyetujui, Dr.Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. Pembimbing Akademik Wati, S.TP Pembimbing Lapang Mengetahui, Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

4 Juanda Reputra. F Karakterisasi Tapioka dan Penentuan Formulasi Premix sebagai Bahan Penyalut untuk Produk Fried Snack. Dibawah bimbingan Feri Kusnandar dan Wati RINGKASAN Produk fried snack merupakan jenis produk makanan ringan yang diolah melalui proses penggorengan. Salah satu jenis produk ini yang cukup digemari oleh masyarakat Indonesia yaitu kacang salut, yang dikenal juga dengan sebutan kacang atom. Produk-produk pangan yang digoreng memiliki karakteristik tekstur yang renyah, rasa matang yang gurih, warna yang lebih menarik, dan bau goreng yang khas. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis tepung sebagai bahan penyalut dan minyak yang terserap oleh produk selama penggorengan. Jenis tepung yang digunakan sebagai bahan penyalut pada produk kacang salut adalah tepung tapioka. Tepung tapioka yang diperoleh produsen kacang salut adalah berupa tapioka alami (tapioka tanpa modifikasi). Tapioka alami yang diperoleh dari beberapa pemasok memiliki karakteristik yang berbeda sehingga dapat menghasilkan tekstur produk yang tidak seragam. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu melalui penggunaan premix tapioka sebagai bahan penyalut. Premix tapioka merupakan campuran beberapa jenis tapioka yang memiliki karakteristik berbeda. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, karakterisasi sifat kimia dan fungsional beberapa jenis tepung tapioka. Tepung tapioka yang digunakan adalah tapioka alami, tapioka modifikasi dan premix kontrol. Karakteristik kimia dan fungsional yang dianalisis meliputi kadar air, kadar pati, nilai ph, kadar amilosa dan amilopektin, pola gelatinisasi pati, serta daya pengembangan dan kelarutan pati. Karateristik ini kemudian dikorelasikan dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan bagian penyalut pada kacang salut. Sifat kimia dan fungsional yang memiliki korelasi paling kuat terhadap pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut akan digunakan sebagai dasar penentuan formulasi premix tapioka. Formulasi premix tersebut ditentukan melalui pendekatan karakteristik premix kontrol. Tahap selanjutnya yaitu melakukan pemilihan formulasi premix untuk memperoleh formulasi terbaik. Disamping itu, pada penelitian ini juga dilakukan variasi substitusi tapioka modifikasi terhadap formulasi premix terpilih dengan konsentrasi 2%, 4%, dan 6%. Tapioka alami yang dianalisis meliputi empat jenis tepung tapioka yang diperoleh dari pemasok yang berbeda. Tapioka modifikasi yang digunakan adalah tapioka yang dimodifikasi dengan teknik pregelatinisasi dan juga diperoleh dari pemasok. Sampel tapioka alami dan premix kontrol yang dianalisis memiliki kisaran kadar air antara %, kadar pati berkisar antara %bk, nilai ph antara , kadar amilosa berkisar antara %, dan amilopektin berkisar antara %. Sifat amilografi tapioka alami dan premix kontrol (suspensi 10%bb) yaitu suhu awal gelatinisasi berkisar antara o C, viskositas puncak berkisar antara BU, suhu viskositas puncak berkisar antara C, viskositas breakdown berkisar antara BU, viskositas setback berkisar antara BU dan stabilitas fase pemanasan berkisar antara BU. Nilai daya pengembangan tapioka alami dan premix

5 kontrol cenderung mengalami kenaikan dengan peningkatan suhu, akan tetapi mengalami penurunan setelah mencapai suhu C, kecuali tapioka A. Sementara itu nilai kelarutan meningkat dengan peningkatan suhu pengukuran. Sampel tapioka modifikasi memiliki nilai kadar air 4.95%, kadar pati 93.86%bk, kadar amilosa 32.69%, kadar amilopektin 67.31%, dan ph Beberapa sifat amilografi tapioka modifikasi tidak dapat ditentukan karena sampel ini sudah tergelatinisasi pada awal proses pengukuran. Sifat amilografi yang dapat diketahui yaitu nilai stabilitas fase pemanasannya sebesar 65 BU. Nilai daya pengembangan dan kelarutan sampel tapioka modifikasi memiliki pola yang berbeda dan lebih besar daripada sampel tapioka alami. Sifat kimia dan fungsional tapioka yang paling berkorelasi kuat terhadap pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut adalah rasio amilosa dan amilopektin. Dengan demikian formulasi premix alternatif ditentukan berdasarkan pendekatan karakteristik rasio amilosa dan amilopektin. Disamping itu, penentuan formulasi juga dilakukan berdasarkan pendekatan tingkat pengembangan papatan. Setelah melalui tahap pemilihan formulasi dan variasi substitusi tapioka modifikasi, maka diperoleh dua formulasi alternatif utama yaitu, formulasi F3 yang terdiri dari 4%bk tapioka modifikasi, 10%bk tapioka A, 18.37%bk tapioka B, dan 67.63%bk tapioka D serta formulasi F11 yang terdiri dari 2%bb tapioka modifikasi,10%bb tapioka A, 6.23%bb tapioka C, dan 81.77%bb tapioka D. Beberapa karakteristik kimia premix alternatif yang diperoleh tidak berbeda nyata dengan karakteristik premix kontrol pada taraf signifikansi Karakteristik kimia premix alternatif F3 yaitu, kadar air 11.40%, ph 4.81, kadar pati 92.42%bk, kadar amilosa 32.87%, dan kadar amilopektin 67.13%. Sedangkan karakteristik kimia premix alternatif F11 yaitu, kadar air 11.44%, ph 4.83, kadar pati 91.12%bk, kadar amilosa 32.84%, dan kadar amilopektin 67.16%. Tingkat pengembangan papatan yang dibuat dengan menggunakan premix alternatif F3 adalah sebesar 311.6% dan F11 sebesar %. Respon panelis terlatih terhadap kerenyahan penyalut yang dihasilkan oleh premix alternatif tidak berbeda nyata dengan produk kontrol pada taraf signifikansi Sebagian besar panelis terlatih menilai formulasi F3 lebih renyah dibandingkan formulasi premix kontrol. Dengan demikian, Premix alternatif yang diperoleh pada penelititan ini (F3 dan F11) telah dapat digunakan sebagai pengganti premix kontrol.

6 RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 07 November Penulis merupakan anak ke-2 dari enam bersaudara pasangan Jafril dan Rasmita. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di TK Masyitah Bukittinggi pada tahun , SD Negeri 37 PGRM Agam pada tahun , dilanjutkan ke SLTP Negeri 3 Tilatang Kamang Agam pada tahun , serta SMA Negeri 1 Bukittinggi pada tahun Pada tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan (Himitepa) divisi Information Technologi (IT) pada tahun 2008, dan pengurus Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang (IPMM) Bogor divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) pada tahun Kepanitiaan yang pernah diikuti penulis antara lain kepanitiaan Wisuda tahun 2007, Penyambutan Mahasiswa Baru tahun 2006 dan 2007, Seminar dan Pelatihan HACCP tahun 2007, Seminar dan Pelatihan ISO 9001 dan tahun 2008, Workshop mahasiswa teknologi pangan se-indonesia tahun 2008 dan Seminar Prospek Pengembangan Kakao Indonesia pada tahun Penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Kimia Dasar I, Departemen Kimia, Fakultas MIPA, IPB (2006), dan asisten praktikum mata kuliah Evaluasi Sensori, Departemen ITP, FATETA, IPB (2008). Selama masa kuliah, penulis mendapatkan beasiswa PPA pada tahun dan Tanoto Foundation pada tahun Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian berupa magang di suatu perusahaan pangan di wilayah Jabotabek dengan judul Karakterisasi Tapioka dan Penentuan Formulasi Premix sebagai Bahan Penyalut untuk Produk Fried Snack, di bawah bimbingan Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. sebagai pembimbing akademik dan Wati, S.TP sebagai pembimbing lapang.

7 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil alamin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia, hidayah, dan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Karakterisasi Tapioka dan Penentuan Formulasi Premix sebagai Bahan Penyalut untuk Produk Fried Snack. Skripsi ini disusun oleh penulis dibawah bimbingan Dr.Ir. Feri Kusnandar, M.Sc dan Wati, STP. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang senantiasa membimbing, membantu, dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan kegiatan magang dan penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada: 1. Mama, Papa, Kakakku Erick, Adikku Egi, Zaki, Alvi, dan Intan yang telah memberikan begitu banyak dukungan baik secara moril maupun materil. Terima kasih atas semua kesabaran, doa, dan dorongannya sehingga penulis tetap bersemangat dan dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Dr.Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan bimbingan sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan. 3. Iwan Surjawan, Ph.D selaku pembimbing lapang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan kegiatan magang. 4. Wati, S.TP selaku pembimbing lapang yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan saran kepada penulis selama kegiatan magang. 5. Bpk Rahadi, mba Ocid, mba cimung, dan Bu Mike yang telah memberikan arahan dan bantuan selama kegiatan magang. 6. Teman-teman kosan Bogor: Nanda, Haris, Aji, dan Fuad. Hidup bersama kalian penuh suka dan duka. 7. Teman-teman satu tempat magang: Melisa, Wita, Resna, Reriel, Cani, dan Glenn, terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya selama magang. 8. Teman-teman kosan Jakarta: Mas Nizar dan Kak Farid, terima kasih atas bantuan dan kebaikannya selama saya kos disana.

8 9. Teman-teman satu divisi Snack: Mba Nita (Terima kasih banyak mba), Eni, Mba Herlina, Mba Lince, Mas Haris, dan Mas Novi. Teman-teman lab sentral : Bu Ratih, Mba Tri, Mas Wili, Mba Susan, Ahmad, dan Vio. Teman-teman SE : Mba Sesil, Mba Lia, Kristin, dan Ranto. Terima kasih atas semua bantuan dan ilmu yang telah diberikan selama magang. 10. Teman-teman kantor: Mas Nizar, Kak Farid, Kak Qia, Mas Trisno, Mba Ichi, Nanda DIB, Pak Molid, dll. Terima kasih atas semua dukungan dan kebersamaannya selama magang. 11. Teman-teman satu angkatan ITP 42 yang telah memberikan kebersamaan dan kehangatan selama menjalani kuliah. 12. Teman-teman organisasi HIMITEPA yang telah bekerjasama dalam beberapa kegiatan HIMITEPA. 13. Teman-teman organisasi daerah Sumatera Barat (IPMM) yang telah bekerjasama dalam beberapa kegiatan yang diadakan oleh organisasi daerah ini. 14. Terima kasih kepada Da Ji yang telah membimbing dan membantu penulis pada awal penulis diterima di IPB dan dukungannya sampai saat ini. 15. Terima kasih kepada Reni Setiawati atas semua hiburan dan dorongannya kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis memohon saran dan kritik demi perbaikan dan perkembangan selanjutnya. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi, khususnya di bidang teknologi pangan. Bogor, September 2009 Penulis

9 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN... 2 C. MANFAAT... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. KACANG SALUT... 4 B. TEKSTUR PRODUK FRIED SNACK... 4 C. PATI... 6 i. Granula Pati... 6 ii. Amilosa dan Amilopektin... 7 iii. Daya Pengembangan (Swelling Power) dan Kelarutan Pati... 9 iv. Gelatinisasi Pati D. TAPIOKA i. Proses Pembuatan Tapioka ii. Karakteristik Tapioka E. PATI PREGELATINISASI III. KEGIATAN MAGANG A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG B. RUMUSAN PERMASALAHAN C. METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH i. Bahan dan Alat ii. Metode Penelitian Karakterisasi Tapioka a. Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka... 22

10 b. Analisis Tingkat Pengembangan Papatan c. Analisis Kerenyahan Produk Kacang Salut Penentuan Formulasi Premix Alternatif a. Rancangan Formulasi Premix b. Pemilihan Formulasi Premix c. Variasi Substitusi Tapioka Modifikasi Uji Ranking Kerenyahan Karakterisasi Premix Alternatif iii. Metode Analisis a. Kadar Air (AOAC, 1995) b. Kadar Pati (SNI ) c. Kadar Amilosa dan Amilopektin (Apriyantono et al., 1998).. 28 d. Nilai ph (AOAC 1995) e. Daya Pengembangan dan Kelarutan Pati (Li dan Yeh, 2001). 30 f. Pola Gelatinisasi g. Volume Papatan dan Kacang Salut h. Analisis Tekstur Secara Obyektif i. Analisis Tekstur Secara Subyektif j. Analisis Statistik IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TAPIOKA i. Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka Kadar Air Nilai ph Kadar Pati Kadar Amilosa dan Amilopektin Pola Gelatinisasi Daya Pengembangan dan Kelarutan ii. Tingkat Pengembangan Papatan iii. Kerenyahan Produk Kacang Salut B. PENENTUAN FORMULASI PREMIX ALTERNATIF i. Rancangan Formulasi Premix... 52

11 ii. Pemilihan Formulasi Premix Pemilihan Formulasi Tahap Pemilihan Formulasi Tahap iii. Variasi Substitusi Tapioka Modifikasi C. UJI RANKING KERENYAHAN D. KARAKTERISASI PREMIX ALTERNATIF V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 69

12 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi kimia tepung tapioka Tabel 2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI Tabel 3. Kadar air sampel tapioka Tabel 4. Nilai ph sampel tapioka Tabel 5. Kadar pati sampel tapioka Tabel 6. Kadar amilosa dan amilopektin sampel tapioka Tabel 7. Sifat amilografi sampel tepung tapioka (10%bb) Tabel 8. Tingkat pengembangan papatan sampel tapioka Tabel 9. Hasil pengukuran gaya (gf) dan jarak (mm), serta skor kerenyahan penyalut pada produk kacang salut Tabel 10. Formulasi premix alternatif berdasarkan pendekatan rasio amilisa dan amilopektin (basis 100 gram bk) Tabel 11. Formulasi premix alternatif berdasarkan pendekatan pengembangan papatan (basis 100 gram bb) Tabel 12. Hasil pengukuran gaya (gf) dan jarak (mm) terhadap penyalut masing-masing formulasi Tabel 13. Hasil uji rating kerenyahan penyalut hasil pemilihan formulasi tahap Tabel 14. Formulasi premix dengan variasi konsentrasi TM Tabel 15. Hasil uji rating kerenyahan penyalut dengan variasi TM Tabel 16. Hasil uji preferensi dan komentar panelis terhadap penyalut dengan variasi TM Tabel 17. Hasil uji ranking kerenyahan dan penampakan pori-pori penyalut Tabel 18. Karakteristik premix alternatif dan kontrol... 59

13 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur amilosa (Chaplin, 2006)... 8 Gambar 2. Struktur amilopektin (Chaplin, 2006)... 8 Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan tapioka pabrik modern Gambar 4. Granula tapioka (Anonim, 2008) Gambar 5. Granula pati pregelatinisasi (500x) metode spray cooked dan drum dried Gambar 6. Diagram alir metode penelitian Gambar 7. Diagram alir pembuatan lem berbumbu Gambar 8. Diagram alir pembuatan kacang salut Gambar 9. Pola gelatinisasi sampel tepung tapioka (10%bb) Gambar 10. Pola daya pengembangan sampel tepung tapioka Gambar 11. Pola kelarutan sampel tepung tapioka Gambar 12. Proses pencampuran sampel tapioka Gambar 13. Diagram karakterisasi premix tapioka... 60

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Rekapitulasi karakteristik kimia dan fungsional sampel tapioka Lampiran 2. Pengukuran kadar air sampel tapioka Lampiran 3. Pengukuran kadar pati sampel tapioka Lampiran 4. Pengukuran kadar amilosa dan amilopektin sampel tapioka Lampiran 5. Pengukuran nilai ph sampel tapioka Lampiran 6. Pengukuran sifat amilografi sampel tapioka Lampiran 7. Pengembangan papatan penyalut dari sampel tapioka Lampiran 8. Kerenyahan penyalut dari sampel tapioka Lampiran 9. Uji korelasi sifat amilografi dengan kadar amilosa, rasio amilosa-amilopektin, pengembangan papatan, dan kerenyahan Lampiran 10a. Uji korelasi rasio amilosa-amilopektin, kadar pati, ph, daya pengembangan dan kelarutan dengan pengembangan papatan dan kerenyahan Lampiran 10b. Uji korelasi pengembangan papatan dan kerenyahan Lampiran 11 Penentuan formulasi berdasarkan pendekatan rasio amilosaamilopektin Lampiran 12. Uji kerenyahan obyektif penyalut formulasi awal Lampiran 13. Uji kerenyahan subyektif (rating kerenyahan) penyalut hasil pemilihan formulasi tahap Lampiran 14. Kerenyahan subyektif (rating kerenyahan) penyalut hasil variasi substitusi tapioka modifikasi Lampiran 15. Uji subyektif (ranking kerenyahan dan penampakan poripori) penyalut hasil pemilihan formulasi tahap 2 dan premix kontrol Lampiran 16. Pengukuran karakteristik premix alternatif : kadar air dan nilai ph... 91

15 Lampiran 17. Pengukuran karakteristik premix alternatif : kadar pati, kadar amilosa-amilopektin, dan pengembangan papatan Lampiran 18. Analisis statistik karakteristik kimia premix alternatif dan premix kontrol Lampiran 19. Analisis statistik pengembangan papatan premix alternatif dan premix kontrol Lampiran 20. Quisioner uji organoleptik Lampiran 21. Setting alat texture analyser... 98

16 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Produk fried snack merupakan jenis produk snack yang diolah melalui proses penggorengan. Produk ini cukup digemari oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu pilihan makanan ringan. Menurut survey CIC (Corinthian Infopharma Corpora) tahun 2005, market size snack modern mencapai 59,5 ribu ton pada tahun 2004 atau naik dari tahun 2003 sebesar 53,6 ribu ton. Sementara, nilai bisnisnya pun pada tahun 2004 sebesar Rp1,9 triliun, sedangkan tahun 2003 Rp 1,7 triliun (Hidayat, 2006). Salah satu jenis produk fried snack yang telah dikenal oleh masyarakat secara luas adalah kacang salut. Produk ini dibuat dengan menyalut kacang tanah dengan lapisan batter, yang terbuat dari tepung dan lem berbumbu, kemudian digoreng dengan metode deep fat frying. Proses penyalutan kacang oleh batter dilakukan secara bertahap sehingga diperoleh lapisan penyalut yang kompak. Sedangkan proses penggorengan diikuti dengan pengadukan secara konsisten. Produk-produk pangan yang digoreng, termasuk diantaranya kacang salut, umumnya memiliki karakteristik tekstur yang renyah, rasa matang yang gurih, warna yang lebih menarik, dan bau goreng yang khas (Fellow, 1992). Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis tepung sebagai bahan penyalut dan minyak yang terserap produk selama penggorengan. Menurut Balagopalan et al. (1988), tekstur pada produk berbahan dasar pati diperoleh dari hasil perubahan pati selama dan setelah pemasakan. Jenis tepung yang digunakan sebagai lapisan bahan penyalut pada produk kacang salut adalah tepung tapioka. Karakteristik tepung tapioka yang digunakan diharapkan memiliki tingkat pengembangan dan kerenyahan yang baik pada produk kacang salut. Namun dalam aplikasinya, produsen kacang salut harus memasok tepung tapioka dari beberapa pemasok untuk menjamin ketersediaan bahan baku kacang salut. Penggunaan jenis tepung tapioka yang berbeda akan menghasilkan ketidakseragaman tekstur produk, sehingga dapat mempengaruhi preferensi konsumen. Bagi produsen, hal ini perlu diperhatikan

17 karena dapat memberikan dampak yang negatif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh tekstur produk yang diinginkan adalah melalui penyeragaman bahan penyalut. Proses penyeragaman bahan penyalut dapat dilakukan dengan proses pencampuran antar tapioka alami dan substitusi dengan tapioka modifikasi melalui formulasi yang tepat. Substitusi dengan tapioka modifikasi diharapkan dapat meningkatkan tingkat kerenyahan produk kacang salut. Dalam penentuan formulasi pencampuran, diperlukan karakteristik semua jenis tepung tapioka alami yang diterima oleh produsen kacang salut dan mengetahui karakteristik kimia atau fungsional yang memiliki hubungan paling kuat terhadap kerenyahan produk. Karakteristik ini dapat digunakan sebagai dasar penentuan formulasi pencampuran untuk memperoleh tekstur produk yang diinginkan. Proses pencampuran tapioka akan menghasilkan suatu premix tapioka. Karakteristik premix tapioka yang diperoleh dapat digunakan oleh produsen sebagai standar mutu dalam menentukan jenis tapioka yang disuplai dari pemasok. Dengan demikian, melalui penelitian ini diharapkan dapat mengetahui karakteristik tapioka yang baik digunakan sebagai bahan penyalut pada produk kacang salut dan menghasilkan produk akhir yang lebih renyah. B. TUJUAN Secara umum tujuan dari kegiatan magang ini adalah untuk melatih mahasiswa terjun ke dalam dunia kerja dan diharapkan mampu menerapkan ilmu pengetahuan yang dipelajari dalam kuliah untuk memecahkan masalah yang mungkin timbul di lapangan. Secara khusus magang ini dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan karakteristik beberapa jenis tapioka, menentukan formulasi premix tapioka alternatif, serta mengetahui karakteristik premix tapioka yang dapat menghasilkan kerenyahan yang tepat dan penampakan pori-pori yang seragam pada penyalut produk kacang salut.

18 C. MANFAAT Hasil yang diperoleh dari magang ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perusahaan dalam menentukan alternatif formulasi premix tapioka dan mengetahui karakteristik bahan penyalut yang dapat menghasilkan kerenyahan serta penampakan pori-pori yang optimal pada produk kacang salut.

19 II. TINJAUAN PUSTAKA A. KACANG SALUT Kacang salut merupakan makanan ringan berupa kacang tanah yang dibalut dengan adonan tepung kemudian digoreng dengan suhu tertentu sampai kacang tanahnya matang dan balutan tepungnya renyah (Wati, 2007). Kacang salut memiliki berbagai macam varian bentuk dan rasa. Di Indonesia, kacang salut sering dikenal dengan sebutan kacang atom. Kacang atom adalah kacang tanah yang dibalut dengan adonan tapioka kemudian digoreng sampai kering dan garing (Hasbullah, 2001). Citarasa kacang salut berasal dari penggunaan bumbu. Bumbu yang lazim digunakan antara lain garam, bawang putih, penyedap rasa dan gula. Bumbu-bumbu tersebut dimasukkan pada saat pembuatan adonan bumbu yang merupakan campuran bumbu, tepung, dan air. Proses pembuatan kacang salut cukup sederhana. Pertama, lem dibuat terlebih dahulu dengan mencampurkan tapioka dengan air, lalu dimasak sampai agak matang dan dicampurkan dengan bumbu-bumbu yang terdiri dari bawang, garam, dan bumbu lainnya. Kacang tanah dicampur dengan sedikit lem berbumbu dan diaduk hingga semua kacang terbalut oleh lapisan tipis lem berbumbu. Sedikit tapioka dan kacang tanah yang telah dilapisi lemberbumbu tersebut dimasukkan ke dalam mesin coating pan yang sedang berputar. Setelah semua tapioka melapisi kacang, kemudian dimasukkan sedikit lem. Setelah semua lem melapisi kacang, dimasukkan lagi tapioka. Demikian dilakukan seterusnya sampai lapisan dianggap sudah mencukupi tebal tertentu. Hasil yang diperoleh disebut dengan kacang atom mentah. Kacang atom mentah digoreng di dalam banyak minyak panas (suhu 170 C) sambil diaduk pelan-pelan sampai matang (Hasbullah, 2001). B. TEKSTUR PRODUK FRIED SNACK Penerimaan konsumen terhadap suatu produk dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor organoleptik seperti tekstur, rasa, warna, dan aroma. Tekstur merupakan salah satu parameter yang sering digunakan dalam menganalisis produk pangan. Terdapat beberapa jenis parameter tekstur yang penting dan

20 sering digunakan yaitu kekerasan, kekenyalan, elastisitas, kelengketan, kerenyahan, kerapuhan dan sebagainya yang dapat diidentifikasi dengan indera manusia. Pada produk fried snack, seperti kacang salut, parameter tekstur yang penting yaitu kerenyahan. Produk kacang salut termasuk ke dalam golongan produk berbasis pati. Pembentukan tekstur penyalut pada produk berbasis pati terjadi selama pengolahannya. Menurut Balagopalan et al. (1988), tekstur pada produk berbahan dasar pati diperoleh dari hasil perubahan pati selama dan setelah pemasakan. Pengolahan dari bahan berpati dapat dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu bahan-bahan dicampur, diaduk, dan disiapkan. Variabel proses dari operasi pencampuran adalah kombinasi dari suhu, shear/stress, waktu, dan komposisi bahan. Bahan mentah dihidrasi dan komponen-komponen berinteraksi dalam pembentukan struktur. Struktur dapat dibentuk oleh beberapa pendekatan yang berbeda (Rosenthal, 1999). Karakteristik tepung tapioka yang digunakan sebagai bahan penyalut pada kacang salut mempengaruhi kerenyahan pada produk akhirnya. Menurut Matz (1992), tingkat pengembangan dan tekstur dari makanan ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi cenderung memberikan karakter produk yang fragile (mudah pecah), sedangkan amilosa akan memberikan tekstur yang lebih tahan terhadap kemudahan untuk pecah. Rasio amilosa dan amilopektin tertentu akan menghasilkan tingkat kerenyahan yang optimal pada tekstur produk. Kerenyahan produk kacang salut juga berkaitan dengan tingkat pengembangan produk tersebut. Rahman (2007) melaporkan bahwa adanya korelasi positif dan nyata antara tingkat pengembangan papatan dengan skor kerenyahan penyalut produk kacang salut, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pengembangan papatan, maka kerenyahan penyalut pada produk kacang salut akan semakin tinggi. Perubahan struktural pada tekstur produk snack timbul pada tingkat mikroskopik. Perubahan ini melibatkan peleburan biopolimer atau gelatinisasi pati secara spesifik, denaturasi protein, dan pembentukan kompleks dari komponen fungsional utama tersebut, serta dengan gula dan lemak. Perubahan

21 ini juga disertai dengan sifat reologi. Penguapan air dan pengembangan termal dari gas yang terperangkap juga terjadi selama proses. Interaksi matriks dan proses pelepasan gas adalah kompleks, tetapi penting untuk struktur produk (Rosenthal, 1999). Kerenyahan kacang salut dapat dianalisis secara obyektif dengan menggunakan instrumen Texture Analyser dan secara subyektif menggunakan indera manusia (uji organoleptik). Indera manusia dapat merasakan kerenyahan produk snack yang sebenarnya berkaitan dengan sifat kerapuhan (fracturability) produk akibat gaya tekan. Analisis secara obyektif ditentukan dengan melihat gaya (force) pada puncak pertama di mana sampel mulai berubah bentuk (Faridah et al., 2009). Menurut Anonim (2005) diacu dalam Rahman (2007), untuk mengukur kerenyahan tidak hanya dilihat dari gaya (force) untuk mendeformasi sampel tetapi juga dilihat jarak saat gaya mulai menekan sampel (distance). Jika hasil pengukuran sampel memiliki gaya yang sama dengan jarak yang berbeda-beda, maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan jarak yang terdekat. Sebaliknya, jika hasil pengukuran sampel memiliki jarak yang sama, dengan gaya yang berbeda-beda, maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan gaya terendah. Untuk membandingkan kerenyahan antara dua sampel yang memiliki gaya dan jarak yang berbeda, uji organoleptik dapat digunakan untuk mengetahui sampel yang memiliki kerenyahan lebih tinggi. C. PATI 1. Granula Pati Pati merupakan polisakarida yang dibentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Oleh karena itu, pati dapat disebut sebagai karbohidrat kompleks (Brithis Nutrition Foundation, 2005). Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Winarno (2002) menyatakan bahwa granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam putih. Sifat inilah yang disebut birefringent. Pada saat granula mulai pecah, sifat birefringent ini akan menghilang. Granula pati tidak larut dalam air dingin

22 tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat (Greenwood, 1979). Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan menjadi tidak bolak-balik jika telah mencapai suhu gelatinisasi. Secara alami granula pati bersifat semi kristal yang terdiri dari bagian kristal dan bagian amorpus. Level kristalisasi pada pati bervariasi tergantung dari sumbernya. Bagian kristal pada granula pati dipengaruhi oleh komponen amilopektin sedangkan bagian amorpus dipengaruhi oleh komponen amilosa (Zobel,1988). Bagian amorpus tidak tahan terhadap serangan enzim dan asam. Granula pati dari tanaman yang berbeda memiliki karakteristik ukuran dan bentuk yang berbeda (Charley, 1982). Menurut Whister dan Bemiller (1997), struktur granula pati berbeda antara sereal, terigu, jagung dan umbi-umbian. 2. Amilosa dan Amilopektin Granula pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 2002). Misela merupakan bagian molekul linier yang berikatan dengan rantai molekul terluar molekul cabang (Pomeranz, 1991). Ikatan ini terjadi apabila bagian-bagian linier molekul pati berada paralel satu sama lain, sehingga gaya ikatan hidrogen akan menarik rantai ini bersatu (Swinkels, 1985). Di antara misela terdapat daerah yang renggang atau amorf (Pomeranz, 1991). Daerah amorf ini kurang padat, sehingga mudah dimasuki air. Amilosa tersusun dari molekul D-glukopiranosa yang berikatan α- (1,4) dalam struktur rantai lurus. Molekul amilosa lengkap dapat terdiri dari 3000 unit D-glukopiranosa. Panjang polimer dipengaruhi oleh sumber pati dan akan mempengaruhi berat molekul amilosa. Menurut Taggart (2004), amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekular yang kuat. Interaksi ini terjadi pada gugus

23 hidroksil molekul amilosa. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada amilopektin. Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Struktur amilosa (Chaplin, 2006) Amilopektin terdiri dari molekul D-glukosa yang berikatan α-(1,4) dan mengandung ikatan α-(1,6) pada percabangan rantainya. Ikatan ini menyebabkan penampilan molekul amilopektin bercabang-cabang, biasanya terdiri dari unit D-glukosa berada di titik percabangan amilopektin (Wilbrahan dan Matta, 1992). Amilopektin juga dapat membentuk kristal, tetapi tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart, 2004). Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Struktur amilopektin (Chaplin, 2006)

24 3. Daya Pengembangan (Swelling Power) dan Kelarutan Pati Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Ketika molekul pati dipanaskan dalam air, struktur kristalin rusak dan molekul air akan terikat oleh ikatan hidrogen pada gugus hidroksil amilosa dan amilopektin yang menyebabkan pengembangan dan kelarutan pada granula. Perbedaan nilai daya pengembangan dan kelarutan pada beberapa macam pati dari sumber yang berbeda disebabkan oleh perbedaan struktur morfologi pada granula pati (Singh et al., 2002). Menurut Balagopalan et. al. (1988), daya pengembangan merupakan pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air. Pengembangan terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan terus mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati (Swinkels, 1985). Faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya menentukan daya pengembangan dan kelarutan pati (Moorthy, 2004). Pengembangan granula pati merupakan sifat yang dipengaruhi oleh amilopektin (Li dan Yeh, 2001). Proporsi yang tinggi pada rantai cabang amilopektin memiliki kontribusi dalam peningkatan nilai pengembangan. Selain itu, terdapat korelasi yang negatif antara daya pengembangan pati dengan kadar amilosa (Sasaki dan Matsuki, 1998 diacu dalam Li dan Yeh, 2001). Amilosa dapat membentuk kompleks dengan lipida pada pati sehingga dapat menghambat pengembangan granula (Charles et al. 2005). Kandungan protein dan monogliserida menghambat tingkat pengembangan pada granula pati (Wang dan Seib, 1996; Roach dan Hoseney, 1995 diacu dalam Li dan Yeh, 2001).

25 Menurut Pomeranz (1991), daya pengembangan pati dapat diukur pada interval suhu 5 C pada kisaran suhu gelatinisasi sampai 100 C. Sementara itu, Li dan Yeh (2001) mengukur daya pengembangan dan kelarutan pati dengan interval 10 C yaitu pada suhu 55 C, 65 C, 75 C, 85 C, dan 95 C. Pengukuran daya pengembangan pati dapat dilakukan dengan membuat suspensi pati dalam botol sentrifusa lalu dipanaskan selama 30 menit pada suhu yang telah ditentukan. Kemudian bagian yang cair (supernatan) dipisahkan dari endapan. Daya pengembangan diukur sebagai berat pati yang mengembang (endapan) per berat pati kering. Ketika pati dipanaskan dalam air, sebagian molekul amilosa akan keluar dari granula pati dan larut dalam air. Persentase pati yang larut dalam air ini dapat diukur dengan mengeringkan supernatan yang dihasilkan saat pengukuran daya pengembangan. Menurut Fleche (1985), ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa (Mulyandari, 1992). Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Menurut Pomeranz (1991), kelarutan pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati. 4. Gelatinisasi Pati Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Gelatinisasi diawali dengan pembengkakan granula, bersifat irreversible (tidak dapat kembali), dipengaruhi oleh suhu dan kadar air, menghasilkan peningkatan viskositas, serta dipengaruhi oleh kondisi pemanasan dan tipe granula pati (Huang dan Rooney, 2001). Moorthy (2004) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan fenomena kompleks yang bergantung dari ukuran granula, persentase

26 amilosa, bobot molekul, dan derajat kristalisasi dari molekul pati di dalam granula. Pada umumnya granula yang kecil membentuk gel lebih lambat sehingga mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi daripada granula yang besar. Makin besar bobot molekul dan derajat kristalisasi dari granula pati, pembentukkan gel semakin lambat. Proses gelatinisasi melibatkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut: (1) hidrasi dan swelling (pengembangan) granula; (2) hilangnya sifat birefringent; (3) peningkatan kejernihan; (4) peningkatan konsistensi dan pencapaian viskositas puncak; (5) pemutusan molekul-molekul linier dan penyebarannya dari granula yang telah pecah. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses gelatinisasi pati diantaranya yaitu konsentrasi larutan pati, ph, dan karakteristik granula pati. Menurut Winarno (2002), Makin kental larutan, suhu gelatinisasi makin sulit tercapai dan bila ph terlalu tinggi, pembentukan gel semakin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi. Pembentukan gel optimum pada ph 4-7. Selain itu, penambahan gula juga berpengaruh terhadap kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan menurunkan kekentalan, hal ini disebabkan karena gula dapat mengikat air, sehingga pembengkakan butir-butir pati menjadi lebih lambat, akibatnya suhu gelatinisasi akan lebih tinggi. Adanya gula akan menyebabkan gel lebih tahan terhadap kerusakan mekanik. Sedangkan Charles et al. (2005) melaporkan bahwa suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk melihat sifat gelatinisasi pati yaitu dengan melihat profil gelatinisasinya. Profil gelatinisasi dapat ditentukan dengan menggunakan alat Brabender Amilograph. Brabender Amilograph merupakan alat viscometer yang dirancang untuk dapat mengukur viskositas pasta pati secara kontinu selama pemanasan dan pendinginan (Wurzburg, 1989). Beberapa sifat anilografi yang dapat diperoleh yaitu diantaranya, waktu gelatinisasi, suhu gelatinisasi, waktu granula pecah, viskositas puncak, suhu granula pecah, viskositas pada suhu 95 C, viskositas pada suhu 95 C setelah holding, viskositas breakdown, kestabilan viskositas pasta selama pemanasan,

27 viskositas pada suhu 50 C, viskositas setback, dan kestabilan viskositas pasta terhadap proses pengadukan. D. TAPIOKA 1. Proses Pembuatan Tapioka Pabrik pembuatan tapioka digolongkan dalam tiga tipe, yaitu pabrik tradisional (kecil), semimodern (medium), dan modern (besar). Menurut Radley (1976), pada pabrik kecil pembuatan tapioka dilakukan oleh sebuah keluarga secara tradisional dan dapat memproduksi tapioka maksimal 200 kg per hari. Sedangkan pabrik medium menggunakan peralatan yang lebih efisien dan memproduksi 5000 kg per hari. Sementara itu, pabrik besar mampu memproduksi kg tapioka kering per hari serta menggunakan singkong dengan varietas tertentu untuk mengontrol kualitas tapioka yang diproduksi. Jadi perbedaan diantara ketiga tipe pabrik tapioka tersebut diantaranya adalah peralatan yang digunakan, kapasitas produksi, dan kualitas tapioka yang dihasilkan. Secara umum, proses pembuatan tapioka dibagi dalam empat tahap yaitu, pertama pembersihan, pengelupasan kulit, pemarutan dan penyaringan ampas dengan penambahan air. Kedua, pengendapan, pembersihan pati di dalam tangki, dan pemisahan endapan atau melalui sentrifugasi. Ketiga, proses pengeringan dan keempat, penggilingan (Radley, 1976). Perbedaan peralatan yang digunakan untuk memproduksi tapioka oleh masing-masing jenis pabrik diantaranya adalah proses pemisahan pati pada industri modern menggunakan alat sentirfus sedangkan pada industri tradisional pemisahan pati dilakukan dengan proses pengendapan beberapa jam. Proses pengendapan ini akan mempengaruhi kualitas pati yang dihasilkan seperti nilai ph menjadi lebih rendah karena terbentuknya asam organik akibat fermentasi oleh bakteri (Radley, 1976). Proses pengeringan pada pabrik modern umumnya menggunakan alat pengering seperti oven dan flash drier, sedangkan pada pabrik tradisional menggunakan sinar matahari. Perbedaan proses pengeringan ini dapat mempengaruhi nilai

28 kadar air tapioka yang dihasilkan. Salah satu contoh alur proses pembuatan tapioka pada pabrik modern dapat dilihat pada Gambar 3. Umbi Singkong Air Penampungan Umbi Penghilangan Kulit dantanah Kulit dan Tanah Air Air bersulfur Pencucian Pemarutan Ekstraksi Kasar Ampas Penampungan Air Udara Panas Air Ekstraksi Halus Pemisahan Pengeringan Ekstraksi Ampas Ampas Tapioka Pendinginan Pengayakan Pengemasan Pati Tapioka Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan tapioka pabrik modern

29 2. Karakteristik Tapioka Tapioka merupakan pati yang diekstrak dari umbi singkong. Juliana (2007) melaporkan rendemen pati singkong (tapioka) adalah 11.79% dengan kadar air 6.15% dari berat kering. Nilai pati pada singkong dipengaruhi oleh usia atau kematangan dari tanaman singkong. Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia tepung tapioka Komposisi Jumlah Serat (%) 0.5 Air (%) 15 Karbohidrat (%) 85 Protein (%) Lemak (%) 0.2 Energi (kalori/100 gram) 307 Sumber: Grace (1977) Kadar pati tepung tapioka tidak dipersyaratkan dalam SNI. Rahman (2007) melaporkan kadar pati pada tepung tapioka berkisar antara 72-81%bb dan kadar abu pada tapioka berkisar antara %bb. Menurut Moorthy (2004), kadar amilosa tepung tapioka berada pada kisaran 20-27% dari kadar patinya dan kadar lipid pada tapioka sangat rendah (<0.1%). The Tapioca Institute of America (TIA) menetapkan standar ph tepung tapioka adalah (Radley, 1976), sedangkan nilai keasaman tapioka berdasarkan SNI ditetapkan dalam bentuk derajat asam, yaitu maksimal sebesar 3 NaOH 1N/100g. Syarat mutu tepung tapioka sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 2.

30 Tabel 2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI Persyaratan No Jenis uji Satuan Mutu I Mutu II Mutu III 1. Kadar air % Maks.15.0 Maks.15.0 Maks Kadar abu % Maks Maks Maks Serat dan benda asing 4. Derajat putih (BaSO4=100%) 5. Derajat asam 6. Cemaran logam - Timbal - Tembaga - Seng - Raksa - Arsen 7. Cemaran mikroba - Angka lempeng total - E. coli - Kapang % Maks Maks Maks % Min Min <92 Volume NaOH 1N/100g mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks. 3 Maks. 3 Maks. 3 Maks. 1.0 Maks Maks Maks Maks. 0,5 Koloni/g Maks. 1.0 x 10 6 Koloni/g - Koloni/g Maks. 1.0 x 10 4 Maks. 1.0 Maks Maks Maks Maks. 0,5 Maks. 1.0 x Maks. 1.0 x 10 4 Maks. 1.0 Maks Maks Maks Maks. 0,5 Maks. 1.0 x Maks. 1.0 x 10 4 Menurut Moorthy (2004), ukuran granula tapioka menunjukan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 µm dengan bentuk bulat dan oval. Variasi tersebut dipengaruhi oleh varietas tanaman singkong dan periode pertumbuhan pada musim yang berbeda. Sedangkan Charley (1982) menyebutkan bahwa diameter granula pati tapioka berkisar antara µm. Granula tapioka berbentuk mangkuk (cup) dan sangat kompak, tetapi selama pengolahan granula tersebut akan pecah menjadi komponenkomponen yang tidak teratur bentuknya (Swinkels, 1985). Contoh bentuk granula tapioka dapat dilihat pada Gambar 4.

31 Gambar 4. Granula tapioka (Anonim, 2008) Pati singkong atau tapioka memiliki suhu gelatinisasi yang sangat rendah, lebih rendah dari pati umbi-umbian yang lain maupun pati sereal. Menurut Grosch dan Belitz (1987), pati dari akar dan umbi lebih mudah dan cepat mengembang dibandingkan dengan pati serealia karena pati serealia strukturnya lebih kompak. Suhu gelatinisasi tepung tapioka berada pada kisaran C. Sedangkan Wurzburg (1989) melaporkan bahwa suhu gelatinisasi tepung tapioka berkisar antara C. Tepung tapioka memiliki daya pengembangan yang besar (Balagopalan et al., 1988). E. PATI PREGELATINISASI Pati modifikasi merupakan pati yang diberi perlakuan tertentu agar dihasilkan sifat yang lebih baik dari sifat sebelumnya, terutama sifat fisikokimia dan fungsionalnya atau untuk mengubah beberapa sifat lainnya. Menurut Munarso (2004), pati modifikasi merupakan pati yang diberi perlakuan sedemikian rupa baik secara fisik maupun kimia sehingga mempunyai sifat reologi dan fungsional yang berbeda dari pati aslinya. Modifikasi pati dirancang untuk mengubah karakteristik gelatinisasi, hubungan padatan dan kekentalan, kecenderungan pembentukan gel pada dispersi pati, sifat hidrofilik, kekuatan menahan air pada dispersi pati saat suhu rendah, ketahanan dispersi terhadap penurunan kekentalan oleh asam, maupun perusakan secara fisik dan memasukkan sifat ionisasi pati asal (Erungan, 1991).

32 Beberapa metode modifikasi pati antara lain modifikasi dengan pemuliaan tanaman, konversi dengan hidrolisis (asam atau oksidator), cross linking, derivatisasi secara kimia (esterifikasi dan eterifikasi), serta perlakuan fisik yang akan menghasilkan perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati (Bao dan Bergman, 2004). Sedangkan menurut Tjokroadikoesoemo (1986), pati dapat dimodifikasi melalui cara hidrolisis, oksidasi, cross-linking atau cross bonding dan substitusi. Hasil modifikasi tersebut antara lain thin-boiling starch, pati teroksidasi, pati pregelatinisasi, cross linked atau cross bonding starch, pati termodifikasi asam, dan pati termodifikasi α-amilase. Modifikasi pati secara fisik melibatkan beberapa faktor yaitu suhu, tekanan, pemotongan, dan kadar air pati. Bila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi fisik cenderung lebih aman karena tidak menggunakan berbagai pereaksi kimia. Perlakuan modifikasi secara fisik yaitu ekstrusi, praboiling (pregelatinisasi), steam-cooking, iradiasi microwave, pemanggangan, hydrotermal treatment, dan autoclaving (Bao dan Bergman 2004). Pregelatinisasi merupakan teknik modifikasi pati secara fisik paling sederhana yang dilakukan dengan cara memasak pati di dalam air sehingga tergelatinisasi sempurna, kemudian mengeringkan pasta pati yang dihasilkan dengan menggunakan spray dryer atau drum dryer (Kusnandar, 2006). Menurut Light (1990), pregelatinisasi pati digunakan pada peningkatan viskositas dalam sistem instan, pengembangan pati pada air dingin untuk sistem instan yang membutuhkan ketahanan terhadap proses lain, dan penyesuaian ukuran partikel untuk mengontrol kemampuan dispersi dan hidrasi. Pregelatinisasi menyebabkan kerusakan struktur granula dan ikatan hidrogen sehingga sifat alami pati tidak dapat dipertahankan. Modifikasi ini banyak digunakan untuk proses instan, agen penstabil koloid dan pengikat air pada makanan bayi, es krim, premix pada produk dry baking dan lainnya (Davidek et al.,1990). Menurut Grosch dan Belitz (1987), beberapa tepung pregelatinisasi dicampur dengan tepung guar atau dengan alginat. Contoh bentuk granula pati pregelatinisasi dapat dilihat pada Gambar 5.

33 (a) (b) Gambar 5. Granula pati pregelatinisasi (500x) metode spray cooked (a) dan drum dried (b) (Mitolo, 2006)

34 III. KEGIATAN MAGANG A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG Kegiatan magang dilaksanakan di sebuah perusahaan snack di wilayah Jabotabek selama empat bulan. Kegiatan magang ini dimulai pada tanggal 10 Maret sampai dengan 10 Juli 2009 yang dilakukan setiap hari kerja dengan jam kerja WIB sampai dengan WIB. Kegiatan selama melakukan magang meliputi karakterisasi tapioka dan penentuan formulasi premix tapioka sebagai bahan penyalut untuk produk fried snack. Pada minggu pertama, kegiatan yang dilakukan adalah orientasi, penyediaan alat dan bahan penelitian yang akan digunakan. Kemudian pada minggu-minggu selanjutnya dilakukan penelitian terhadap topik magang. Hasil magang yang dilaporkan dalam skripsi ini adalah berupa data karakteritik tapioka, formulasi dan karakteristik premix tapioka alternatif terbaik. B. RUMUSAN PERMASALAHAN Tepung tapioka sebagai salah satu bahan baku utama dalam pembuatan kacang salut tentu mempengaruhi kualitas kacang salut yang dihasilkan. Tepung tapioka yang digunakan oleh perusahaan merupakan tepung tapioka yang dipasok dari beberapa produsen tapioka. Tepung tapioka yang diperoleh tersebut memiliki karakteristik yang tidak seragam. Pada produk kacang salut, tepung tapioka digunakan sebagai bahan penyalut. Penggunaan tepung tapioka yang tidak seragam akan menghasilkan kualitas tekstur produk kacang salut yang beragam pula. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh tekstur produk yang diinginkan adalah melalui penyeragaman bahan penyalut. Proses penyeragaman dapat dilakukan dengan cara pembuatan premix tapioka yang merupakan campuran beberapa jenis tapioka. Formulasi pencampuran diharapkan dapat menghasilkan tekstur produk kacang salut yang optimal. Pada kegiatan magang ini dilakukan penelitian mengenai karakteristik beberapa jenis tapioka. Melalui karakteristik tersebut, dapat ditentukan formulasi premix yang cocok sebagai bahan penyalut pada produk kacang salut serta karakteristik bahan penyalut yang baik digunakan untuk produk

35 kacang salut. Karakteristik bahan penyalut yang baik digunakan pada produk kacang salut adalah bahan penyalut yang dapat menghasilkan tingkat kerenyahan yang optimal dan penampakan pori-pori yang seragam pada produk. Disamping itu, usaha peningkatan kerenyahan kacang salut dapat juga dilakukan dengan melakukan substitusi tapioka modifikasi pada bahan penyalut. C. METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH 1. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan untuk pembuatan kacang salut adalah kacang tanah, tepung tapioka, bumbu, air, minyak goreng. Sampel tapioka yang dianalisis ini terdiri dari tapioka alami, tapioka modifikasi dan premix kontrol. Sampel tapioka alami terdiri dari empat jenis tapioka yaitu Tapioka A, Tapioka B, Tapioka C, dan Tapioka D, yang diperoleh dari pemasok yang berbeda. Pati modifikasi yang digunakan adalah pati pregelatinisasi yang juga diperoleh dari pemasok. Premix kontrol merupakan premix tapioka yang biasa digunakan oleh perusahaan sebagai bahan penyalut pada produk kacang salut. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah amilosa murni, etanol 95%, NaOH 1 N, asam asetat 1N, larutan Iod (0.2 gram iod dan 2 gram KI dalam 100 ml air), HCl 3% dan 25%, NaOH 3% dan 30%, buffer ph 4, buffer ph 7, Na 2 CO 3 anhidarat, asam sitrat, CuSO 4.5H 2 O, indikator PP, H 2 SO 4 25%, KI 20%, Na 2 S 2 O 3 0.1N, K 2 Cr 2 O 7, KI, indikator kanji dan akuades. Alat yang digunakan adalah mesin coating pan, mixer, kompor, neraca analitik, neraca teknis, penggorengan, kertas saring, corong, oven, cawan alumunium, gelas piala, labu takar, desikator, pipet, erlenmeyer asah, erlenmeyer biasa, hot plate magnetic stirrer, buret, Spektrofotometer, waterbath, vortex, ph-meter, Texture Analyser, Brabender Amylograph, sentrifus, dan alat-alat gelas lainnya.

36 2. Metode Penelitian Tahapan penelitian yang dilakukan penulis selama kegiatan magang yaitu pertama, karakterisasi sampel tapioka (tapioka alami, tapioka modifikasi dan premix kontrol). Karakterisasi yang dilakukan meliputi sifat kimia dan fungsional, tingkat pengembangan papatan, serta analisis secara subyektif dan obyektif terhadap kerenyahan tekstur penyalut yang dihasilkan oleh masing-masing sampel tapioka. Selanjutnya dilakukan analisis korelasi untuk menentukan karakteristik yang paling berpengaruh terhadap pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut. Tahap berikutnya adalah penentuan formulasi premix alternatif melalui rancangan formulasi, pemilihan formulasi terbaik dan variasi substitusi pati modifikasi. Formulasi terbaik yang diperoleh, kemudian dibandingkan dengan premix kontrol. Parameter yang dibandingkan berupa karakteristik, kerenyahan dan penampakan pori-pori penyalut yang dihasilkan oleh premix tersebut. Gambaran umum metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Karakterisasi sampel tapioka Analisis korelasi Rancangan Formulasi premix alternatif Pemilihan formulasi premix Variasi konsentrasi tapioka modifikasi Uji ranking premix alternatif terhadap premix kontrol Karakterisasi formulasi premix terpilih Gambar 6. Diagram alir metode penelitian

37 a. Karakterisasi Tapioka 1) Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka Pada tahap ini dilakukan analisis beberapa sifat kimia dan fungsional sampel tapioka alami, tapioka modifikasi dan premix kontrol. Sifat kimia dan fungsional yang diuji meliputi kadar air, nilai ph, kadar pati, kadar amilosa dan amilopektin, daya pengembangan dan kelarutan, serta pola gelatinisasi. 2) Analisis Tingkat Pengembangan Papatan Kacang Salut Papatan merupakan istilah yang digunakan untuk bagian penyalut produk kacang salut sebelum dilakukan proses penggorengan. Papatan ini terdiri dari lapisan lem berbumbu dan tepung tapioka yang menyalut kacang tanah dengan menggunakan mesin coating pan. Analisis tingkat pengembangan papatan dilakukan pada sampel tapioka alami dan premix kontrol. Tingkat pengembangan papatan dipelajari dengan mengukur persentasi rasio volume spesifik kacang salut setelah digoreng terhadap volume spesifiknya sebelum digoreng. Diagram alir proses pembuatan lem berbumbu dapat dilihat pada Gambar 7 dan Diagram alir proses pembuatan kacang salut dapat dilihat pada Gambar 8. Bumbu Air Pencampuran Pemanasan Lem berbumbu Gambar 7. Diagram alir pembuatan lem berbumbu

38 Kacang Tanah Lem berbumbu Penyalutan di dalam coating pan Sampel tapioka Kacang yang telah disalut papatan Penggorengan Volume I (V1) Penirisan Kacang Salut Volume II (V2) Gambar 8. Diagram alir pembuatan kacang salut Tingkat pengembangan papatan = 100% Keterangan : V1 = volume kacang salut sebelum digoreng (cm 3 ) V2 = volume kacang salut setelah digoreng (cm 3 ) 3) Analisis Kerenyahan Produk Kacang Salut Analisis kerenyahan tekstur produk dilakukan secara obyektif dan subyektif. Analisis ini dilakukan pada produk kacang salut yang menggunakan sampel tapioka alami dan premix kontrol sebagai bahan penyalutnya. Analisis obyektif kerenyahan kacang salut dilakukan dengan menggunakan instrumen Texture Analyser. Nilai kerenyahan obyektif ditentukan sebagai nilai kerapuhan (fracturability) yaitu berdasarkan besarnya gaya yang diperlukan untuk mendeformasi bagian salutan kacang salut. Semakin besar gaya yang diperlukan maka semakin rendah nilai kerenyahan

39 sampel. Sedangkan analisis subyektif terhadap produk berupa analisis tekstur kerenyahan dengan pengujian organoleptik. Uji organoleptik yang digunakan pada tahap karakterisasi tapioka ini adalah uji rating intensitas kerenyahan produk dengan menggunakan 10 orang panelis terlatih. b. Penentuan Formulasi Premix Alternatif 1) Rancangan Formulasi Premix Premix merupakan campuran beberapa tapioka alami yang dilakukan melalui proses pencampuran kering dengan atau tanpa substitusi tapioka modifikasi. Rancangan formulasi pencampuran didasarkan pada pendekatan nilai parameter kimia atau fungsional premix kontrol melalui prinsip kesetimbangan massa. Parameter yang digunakan adalah sifat kimia atau fungsional yang paling berhubungan terhadap pengembangan papatan dan tekstur (kerenyahan) produk. Disamping itu, masing-masing formulasi premix disubstitusikan dengan tapioka modifikasi sebesar 4%. 2) Pemilihan Formulasi Premix Pemilihan formulasi premix merupakan tahapan yang dilakukan untuk menyeleksi formulasi premix yang telah ditentukan. Proses penyeleksian dilakukan dengan mengaplikasikan formulasi premix sebagai bahan penyalut pada produk kacang salut. Karakteristik yang dinilai adalah kerenyahan bagian penyalut. Pemilihan formulasi ini dilakukan dalam dua tahap. Pemilihan formulasi tahap I dilakukan secara obyektif menggunakan instrumen Texture Analyser. Formulasi premix yang lolos tahap ini adalah formulasi yang menghasilkan nilai kerenyahan mendekati kerenyahan produk kontrol. Produk kontrol merupakan produk kacang salut yang menggunakan premix kontrol sebagai bahan penyalut.

40 Pemilihan formulasi tahap II dilakukan secara subyektif yaitu menggunakan uji rating terhadap atribut kerenyahan penyalut dengan menggunakan 10 orang panelis terlatih. Formulasi yang dipilih adalah formulasi yang menghasilkan penyalut dengan skor kerenyahan tertinggi. 3) Variasi Substitusi Tapioka Modifikasi Variasi substitusi tapioka modifikasi dilakukan pada formulasi premix alternatif yang diperoleh melalui tahap pemilihan formulasi. Variasi konsentrasi yang dilakukan adalah 2, 4, dan 6%. Selanjutnya dilakukan uji rating kerenyahan penyalut yang dibuat dari beberapa konsentrasi tersebut dengan menggunakan 10 orang panelis terlatih. c. Uji Ranking Kerenyahan Uji ranking dilakukan untuk membandingkan kerenyahan produk yang menggunakan premix alternatif sebagai bahan penyalut dengan produk kontrol. Melalui uji ini, dapat diketahui apakah premix alternatif yang diperoleh pada penelitian ini telah dapat digunakan sebagai bahan penyalut pada produk kacang salut. d. Karakterisasi Premix Alternatif Karakterisasi premix alternatif dilakukan untuk mengetahui karakteristik bahan penyalut yang tepat digunakan sebagai bahan penyalut pada produk kacang salut. Parameter yang dianalisis adalah sifat kimia dan pengembangan papatan. Sifat kimia yang dianalisis adalah kadar air, ph, kadar pati, kadar amilosa dan kadar amilopektin. 3. Metode Analisis a. Kadar Air (AOAC, 1995) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C selama 15 menit, lalu didinginkan di dalam desikator selama 10 menit.

41 Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik (A). Sampel sebanyak 5 gram (W) dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C selama 6 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (Y). Setelah itu, cawan berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air diukur dengan cara sebagai berikut: Keterangan : W = bobot sampel awal (g) Y = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g) A = bobot cawan kosong (g) b. Kadar Pati (SNI ) 1) Pembuatan Larutan Luff Schrool Sebanyak 71.9 g Na 2 CO 3 anhidrat dilarutkan dalam 300 ml akuades yang dipanaskan. Setelah larut,kemudian ditambahkan 25 g asam sitrat yang telah dilarutkan dengan 25 ml akuades sedikit demi sedikit. Kemudian di tambahkan 8 g CuSO 4. 5H 2 O dalam 100 ml akuades sedikit demi sedikit. Setelah semua bercampur, kemudian penangas diturunkan suhunya dan dibiarkan selama 30 menit, setelah itu larutan ditera sampai 500 ml dan dibiarkan selama satu malam di tempat gelap. 2) Analisis sampel Sebanyak 1 gram sampel tepung dilarutkan dalam 40 ml HCl 3%, dan di refluks selama 3 jam dengan suhu sekitar C. Sampel didinginkan dan kemudian dinetralkan dengan menambahkan beberapa tetes NaOH 3% dengan bantuan indikator

42 PP sampai berwarna merah muda dan diasamkan sedikit dengan menggunakan HCl 3% sampai ph nya sedikit asam yaitu sekitar 6, kemudian ditera dalam labu takar 100 ml dengan menggunakan akuades lalu disaring menggunakan kertas saring. Sebanyak 5 ml filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer asah dan ditambahkan 25 ml larutan Luff Schrool dan 20 ml akuades dan direfluks kembali selama 10 menit (dihitung pada saat mulai mendidih). Setelah mendidih, kemudian didinginkan dalam boks es selama beberapa menit. Kemudian sampel yang telah dingin ditambahkan 25 ml H2SO4 25% dan 15 ml larutan KI 20% lalu segera dititrasi dengan Na 2 S 2 O N yang telah distandarisasi. Penambahan indikator kanji 0.5% dilakukan pada saat titrasi berlangsung yaitu pada saat larutan berubah warna menjadi kuning muda. Titrasi dihentikan pada saat larutan berubah warna dari ungu menjadi putih keruh. Penentuan blanko dilakukan dengan mencampurkan 25 ml larutan Luff Schrool dan 25 ml akuades (tanpa sampel). Kemudian direfluks selama 10 menit (dihitung pada saat mulai mendidih ), lalu didinginkan dalam boks es selama beberapa menit. Kemudian ditambahkan 25 ml H 2 SO 4 25% dan 10 ml larutan KI 20%, dan segera dititrasi dengan larutan Na 2 S 2 O 3 0.1N yang telah distandarisasi. Penambahan indikator kanji 0.5% di lakukan pada saat titrasi berlangsung yaitu pada saat larutan berubah warna menjadi kuning muda. Titrasi dihentikann pada saat larutan berubah warna dari ungu menjadi putih keruh. Kadar pati basis kering pada sampel diukur dengan cara sebagai berikut:

43 Keterangan : G = mg glukosa dari tabel glukosa Luff-Schoorl Fp = faktor pengenceran W = bobot sampel (mg) Ka = kadar air sampel c. Kadar Amilosa dan Amilopektin (Apriyantono et al., 1998) 1) Pembuatan kurva standar Sebanyak 40 mg amilosa standar dilarutkan dalam 10 ml NaOH alkoholik (1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N). Campuran ini dipanaskan dalam air mendidih selama kurang lebih 10 menit sampai semua bahan terlarut, lalu didinginkan. Kemudian campuran tadi (larutan amilosa) dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan air suling sampai tanda tera. Setelah itu, dipipet masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan amilosa, masingmasing dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Larutan diasamkan dengan asam asetat 1 N masing-masing sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml. Lalu ditambahkan 2.0 ml larutan iodine (0.2 gram iod dan 2 gram KI dalam 100 ml air) dan kemudian diencerkan dengan akuades sampai tanda tera, dikocok dan dibiarkan selama 20 menit. Larutan dianalisa dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva amilosa standar dibuat dengan menghubungkan nilai kadar amilosa pada sumbu X dan absorbansi pada sumbu Y. Kemudian dihitung persamaan linear yang menggambarkan hubungan antar keduanya. 2) Analisis sampel Sebanyak 100 mg sampel ditimbang dan dimasukkan dalam labu ukur 100 ml, kemudian 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N ditambahkan ke dalam sampel. Larutan dipanaskan dalam water bath (air mendidih) selama 10 menit (sampai pati tergelatinisasi). Setelah itu, labu ukur yang berisi sampel didinginkan selama 1 jam dan ditambahkan akuades sampai tanda tera, kemudian dikocok.

44 Sebanyak 5 ml larutan sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml yang telah diisi 40 ml akuades. Sebanyak 1 ml asam asetet 1 N dan 2 ml larutan, kemudian ditambahkan air sampai tanda tera. Larutan sampel dikocok dan dibiarkan selama 20 menit, kemudian warna biru yang terbentuk diukur intensitas dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Selain itu, dibuat juga larutan blanko dengan cara mencampurkan semua bahan kecuali sampel. Konsentrasi amilosa sampel (mg/ml) dihitung dengan menggunakan persamaan linear yang diperoleh dari kurva standar amilosa. Sedangkan persentase basis kering amilosa pada sampel dihitung dengan cara sebagai berikut : Kadar amilosa bk (%) = x 100% Keterangan : A = konsentrasi amilosa dari kurva standar (mg/ml) Fp = faktor pengenceran V = volume awal (ml) W = bobot awal (mg) Ka = kadar air sampel (%) Kadar amilopektin ditentukan melalui selisih antara kadar pati dengan kadar amilosa sampel. d. Nilai ph (AOAC 1995) Nilai ph diukur dengan menggunakan ph-meter. Sebelum digunakan, ph meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan buffer ph 4 dan ph 7. Nilai ph sampel tapioka diukur dengan terlebih dahulu membuat suspensi tapioka 10%, yaitu 10 gram tepung tapioka dilarutkan dengan aquades bebas CO 2 hingga mencapai volume 100 ml. Aquades bebas CO 2 diperoleh dengan mendidihkan aquades selama 15 menit lalu didinginkan.

45 e. Daya Pengembangan dan Kelarutan Pati (Li dan Yeh, 2001) Li dan Yeh (2001) mengukur daya pengembangan dan kelarutan pati dengan interval 10 C yaitu pada suhu 55, 65, 75, 85, dan 95 C. Pati dengan konsentrasi 1%bb dipanaskan pada waterbath dengan suhu 55, 65, 75, 85, dan 95 selama 30 menit, kemudian disentrifusi dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit, lalu supernatan dipisahkan dari endapan. Nilai daya pengembangan diukur dengan membagi berat endapan dengan berat pati kering sebelum dipanaskan (g/g). Kelarutan diukur dengan mengeringkan supernatan hasil pemisahan sampai beratnya konstan. Kelarutan dinyatakan sebagai persen berat pati yang larut dalam air. daya pengembangan dan kelarutan diukur dengan cara sebagai berikut: Keterangan : W = berat sampel (g) x = berat cawan kosong (g) y = berat cawan dan endapan (g) ka = kadar air sampel (%) Keterangan : DP = daya pengembangan (g/g) W = berat sampel (g) X = berat tabung kosong (g) Y = berat tabung dan endapan (g) ka = kadar air sampel (%) K = kelarutan (%)

46 f. Pola Gelatinisasi Pola gelatinisasi dipelajari dengan mengukur sifat-sifat amilografi sampel dengan menggunakan alat Brabender Amylograph. Sampel ditimbang sebanyak 45 gram, lalu dimasukkan ke dalam botol gelas yang volumenya 500 ml dan ditambah akuades sebanyak 450 ml. Kemudian campuran air dan pati tersebut dipindahkan ke dalam mangkuk amilograf yang telah terpasang pada alat. Mangkuk amilograf yang berisi sampel diputar pada kecepatan 75 rpm sambil suhunya dinaikkan dengan cara mengatur switch pada termoregulator dari 30 o C menjadi 95 o C dengan kenaikkan 1.5 o C. Setelah itu, suhu dipertahankan pada suhu 95ºC selama 15 menit. Kemudian suhu diturunkan dengan mengatur switch pada suhu 50ºC dengan laju penurunan yang sama. Kemudian suhu juga dipertahankan pada 50 o C selama 15 menit. Perubahan viskositas pasta dicatat secara otomatis pada kertas grafik dalam satuan BU (Brabender Unit). Sifat amilografi yang diamati yaitu suhu gelatinisasi, viskositas puncak, suhu viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas setback, dan stabilitas fase pemanasan. Suhu gelatinisasi ditentukan pada saat alat Brabender Amilograph mulai dapat membaca nilai viskositas suspensi pati sebesar 10 BU. Viskositas puncak merupakan viskositas tertinggi yang terukur selama proses pemanasan (Lusas dan Rooney, 2001). Suhu saat tercapainya viskositas puncak disebut sebagai suhu viskositas puncak. Viskositas breakdown diperoleh sebagai selisih antara viskositas puncak dengan viskositas pasta pati setelah holding pada suhu 95 C pada tahap pemanasan. Viskositas setback diperoleh sebagai selisih viskositas pada akhir pendinginan (setelah holding pada suhu 50 C) dengan viskositas awal pendinginan (setelah holding pada suhu 95 C). Stabilitas fase pemanasan merupakan nilai selisih viskositas sebelum dan setelah holding pada suhu 95 C.

47 g. Volume Papatan dan Kacang Salut Pengukuran volume papatan dilakukan dengan menggunakan 20 buah sampel kacang salut sebelum dan setelah digoreng. Prosedur analisis yang dilakukan yaitu, sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml atau 250 ml, kemudian ditambahkan tepung tapioka hingga menutupi semua sampel dan dicatat volume yang dihasilkan. Tepung tapioka yang ditambahkan tersebut dicatat beratnya (w). Kemudian diukur volume tepung tapioka dengan berat tersebut (w). Maka volume 20 sampel kacang salut diperoleh dengan rumus : Keterangan : Vk = Volume sampel kacang salut (ml) V1 = Volume sampel ditambah tapioka (ml) V2 = Volume tapioka tanpa kacang salut (ml) h. Analisis Tekstur Secara Obyektif Tekstur dianalisis secara obyektif dengan menggunakan instrumen Texture Analyser. Prinsipnya adalah dengan memberikan gaya tekan pada sampel, kemudian akan dihasilkan profil tekstur berupa grafik yang menghubungkan antara gaya (force) dengan jarak (distance). Pertama-tama dilakukan pemasangan probe dan kalibrasi ketinggian probe. Sebelum pengukuran dilakukan setting alat sesuai dengan sampel yang akan dianalisis. Sampel diletakkan di atas wadah yang tersedia, kemudian pengukuran dilakukan dengan memberikan gaya tekan pada sampel. Pada layar komputer akan ditampilkan profil tekstur dari sampel yang dianalisis. Data yang dicatat berupa gaya (gf) dan jarak (mm) pada puncak profil tekstur yang dihasilkan. Nilai ini menunjukkan besarnya gaya dan jarak yang dibutuhkan untuk mendestruksi bagian penyalut kacang salut. Semakin besar gaya maka semakin rendah nilai kerenyahan sampel. Setting alat yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 21.

48 i. Analisis Tekstur Secara Subyektif Tekstur dianalisis secara subyektif melalui uji organoleptik yang dilakukan dengan metode uji rating dan ranking terhadap atribut kerenyahan pada salutan kacang salut. Untuk uji rating, skala kerenyahan yang digunakan yaitu pada skala 1 sampai 5, dengan 1 sangat tidak renyah, 2 tidak renyah, 3 netral, 4 renyah, 5 sangat renyah. Kemudian data skor yang diperoleh diolah secara statistik dengan uji ANOVA dan diuji lebih lanjut menggunakan uji Duncan, sedangkan pengolahan data untuk uji ranking menggunakan Friedman Test melalui software SPSS Panelis yang digunakan terdiri dari 10 orang panelis terlatih. j. Analisis Statistik Analisis statistik yang digunakan adalah uji ANOVA, uji lanjut Duncan, Friedment Test, dan uji korelasi dengan menggunakan software SPSS. Uji ANOVA dan uji lanjut Duncan digunakan untuk pengolahan data karakterisasi tapioka dan uji organoleptik rating kerenyahan, sedangkan Friedment Test digunakan untuk pengolahan data uji ranking kerenyahan. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui tingkat hubungan antara sifat kimia dan fungsional tapioka dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan produk. Namun, analisis korelasi hanya dilakukan antara sifat atau parameter yang diperkirakan memiliki kaitan. Untuk daya pengembangan, nilai yang dikorelasikan adalah daya pengembangan maksimum masingmasing sampel dan untuk kelarutan, nilai yang dikorelasikan adalah kemiringan kurva yang dibentuk oleh pola kelarutan. Analisis korelasi antara sifat kimia dan fungsional dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan hanya dilakukan pada sampel tapioka alami. Analisis korelasi merupakan analisis yang digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua peubah melalui sebuah bilangan yang disebut koefisien korelasi (r). Menururt Hasan (2005), koefisien korelasi merupakan indeks atau bilangan yang digunakan

49 untuk mengukur keeratan (kuat, lemah, atau tidak ada) hubungan antar variable. Koefisien korelasi ini memiliki nilai antara -1 dan +1. Semakin dekat nilai koefisien korelasi ke +1 atau -1, maka semakin kuat korelasinya. Korelasi positif artinya kedua peubah memiliki hubungan berbanding lurus, sedangkan korelasi negatif artinya kedua peubah berbanding terbalik. Keeratan korelasi dapat dikelompokan sebagai berikut: (1) bila r = berarti korelasi sangat lemah; (2) bila r = berarti korelasi lemah; (3) bila r = berarti korelasi yang cukup berarti; (4) bila r = berarti korelasi kuat; (5) bila r = berarti korelasi kuat sekali; (6) bila r = 1 berarti korelasi sempurna.

50 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TAPIOKA 1. Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka a. Kadar Air Kadar air merupakan parameter yang sangat penting dalam penyimpanan tepung. Kadar air sampel tepung tapioka alami yang dianalisis berada pada kisaran % (Tabel 3). Sampel tepung tapioka yang dianalisis memiliki nilai kadar air yang berbeda nyata pada taraf signifikansi Kadar air sampel tapioka A, tapioka B, tapioka C, dan tapioka D tidak berbeda nyata. Kadar air tertinggi dimiliki oleh tapioka A yaitu sebesar 13.03%. Rahman (2007) melaporkan bahwa kadar air tepung tapioka berada pada kisaran %. Tabel 3. Kadar air sampel tapioka No. Sampel Kadar Air (%) 1. Tapioka A c 2. Tapioka B b,c 3. Tapioka C b,c 4. Tapioka D b,c 5. TM 4.95 a 6. Premix Kontrol b Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (p>0.05) Kadar air pada sampel tapioka alami dipengaruhi oleh proses pengolahan, khususnya pada saat pengeringan. Pada industri rumah tangga, biasanya pengeringan dilakukan secara tradisional yaitu dengan penjemuran di bawah sinar matahari. Sedangkan pada industri besar, pengeringan biasanya dilakukan dengan menggunakan alat pengering (oven). Berdasarkan klasifikasi mutu tapioka oleh The Tapioca Institute of America, tapioka B dan tapioka D termasuk dalam grade A (Ka<12.5%), sedangkan tapioka A dan tapioka C termasuk dalam grade B (Ka<13.5%) (Radley, 1976). Sedangkan berdasarkan SNI tentang Syarat Mutu Tepung Tapioka, kadar air

51 keempat sampel tapioka alami tersebut telah memenuhi standar yang ditetapkan yaitu maksimal 15% (Tabel 2). Kadar air sampel tapioka modifikasi (TM) sangat kecil dan berbeda nyata dengan sampel lainnya. Hal ini disebabkan oleh proses modifikasi secara pregelatinisasi dapat mengganggu ikatan hidrogen pada struktur pati sehingga pada saat proses pengeringan, air bebas lebih mudah terlepas. Menurut Didek et al., (1990), pregelatinisasi menyebabkan kerusakan struktur granula dan ikatan hidrogen sehingga sifat alami pati tidak dapat dipertahankan. Sementara itu, kadar air pada sampel premix kontrol (11.72%) dipengaruhi oleh kadar air single tapioca awal penyusunnya. Disamping itu, sampel premix kontrol ini juga telah disubstitusi dengan tapioka modifikasi, oleh karena itu kadar airnya lebih kecil dibandingkan sampel tapioka alami. b. Nilai ph Nilai ph merupakan salah satu indikator penerimaan terhadap produk tepung. Nilai ph tepung tapioka dapat mempengaruhi sifat fungsional tepung, diantaranya sifat gelatinisasi. Nilai ph sampel tapioka yang dianalisis berada pada kisaran Nilai ph tertinggi terdapat pada sampel tapioka A yaitu 5.68 dan terendah terdapat pada sampel tapioka B yaitu Nilai ph sampel B dan C tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi sementara itu, Rahman (2007) melaporkan bahwa nilai ph tepung tapioka berada pada kisaran Tabel 4. Nilai ph sampel tapioka No. Sampel Nilai ph 1. Tapioka A 5.68 e 2. Tapioka B 4.27 a 3. Tapioka C 4.32 a 4. Tapioka D 4.85 d 5. TM 4.51 b 6. Premix Kontrol 4.58 c Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (p>0.05)

52 Perbedaan nilai ph pada tepung tapioka dapat dipengaruhi oleh proses pengolahan, terutama pada saat proses ekstraksi. Pada industri kecil, proses ekstraksi pati dilakukan melalui pengendapan berjamjam. Hal ini memungkinkan terjadinya proses fermentasi alami oleh mikroba sehingga membentuk asam organik terutama asam butirat (Radley, 1976). Sedangkan pada industri besar, ekstraksi pati dilakukan dengan menggunakan alat yang lebih canggih, sehingga proses pemisahan pati dengan air menjadi lebih cepat. Proses pemisahan yang cepat ini dapat menghambat terjadinya proses fermentasi alami oleh mikroba. Disamping itu, nilai ph juga dipengaruhi oleh proses pengeringan. Menurut Radley (1976), pengeringan dapat menurunkan kadar HCN dari singkong. Pengeringan menggunakan oven dapat menurunkan kadar HCN menjadi %, sedangkan pengeringan dengan sinar matahari dapat menurunkan kadar HCN menjadi %. Berdasarkan klasifikasi mutu tapioka oleh The Tapioca Institute of America nilai ph sampel tapioka A termasuk dalam grade A ( ). Sedangkan tapioka B, tapioka C, dan tapioka D termasuk dalam grade B ( ) (Radley (1976). Nilai ph premix kontrol dan TM juga dapat diterima karena nilai ph-nya lebih besar dari 4.0. Nilai ph TM dan premix kontrol berbeda nyata dengan sampel tapioka alami pada taraf signifikansi Pada sampel TM, nilai ph dapat dipengaruhi oleh ph awal tapioka alami dan proses modifikasi yang dilakukan. c. Kadar Pati Kadar pati merupakan parameter kimia yang dapat digunakan sebagai tingkat kemurnian tepung tapioka. Namun, Kadar pati tepung tapioka tidak dipersyaratkan dalam SNI. Pada penelitian ini, sampel tapioka alami memiliki kadar pati pada kisaran %bk (Tabel 5).

53 Tabel 5. Kadar pati sampel tapioka No. Sampel Kadar Pati (%bk) 1. Tapioka A a 2. Tapioka B a 3. Tapioka C a 4. Tapioka D a 5. TM a 6. Premix Kontrol a Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (p>0.05) Perbedaan nilai kadar pati pada sampel tapioka alami dapat terjadi karena perbedaan varietas singkong dan waktu panen singkong. Radley (1976) menyatakan bahwa kandungan pati singkong meningkat seiring dengan waktu panen. Waktu yang dibutuhkan umbi singkong untuk mencapai kematangan berbeda tergantung iklim dan lokasi penanamannya. Menurut Grace (1977), dalam memperoleh pati dari singkong harus dipertimbangkan usia atau kematangan dari tanaman singkong. Ketika umbi singkong dibiarkan di tanah, jumlah pati akan meningkat sampai pada titik tertentu, lalu umbi akan mejadi keras dan menyerupai kayu, sehingga umbi akan sulit untuk ditangani ataupun diolah. Disamping itu, perbedaan kadar pati juga dapat terjadi karena proses pengolahan. Proses penggilingan kering pada pembuatan tepung tapioka dapat menghilangkan kadar pati sebesar 13-20%. Pada proses penyaringan basah, kehilangan jumlah pati juga dapat terjadi karena adanya partikel-partikel pati yang tidak lolos saringan (Abera dan Rakshit, 2003). Kadar pati sampel premix kontrol dan tapioka modifikasi (TM) tidak berbeda nyata dengan sampel tapioka alami pada taraf signifikansi Kadar pati pada sampel premix kontrol dipengaruhi oleh kadar pati tapioka penyusunnya. Sedangkan pada sampel TM, kadar patinya dipengaruhi oleh kadar pati tapioka alami awal sebelum dilakukan modifikasi dan efisiensi proses modifikasi yang digunakan.

54 d. Kadar Amilosa dan Amilopektin Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama penyusun granula tapioka. Komposisi amilosa dan amilopektin mempengaruhi sifat fungsional tapioka. Pada penelitian ini, nilai kadar amilosa dikonversi berdasarkan bobot pati basis kering yang terukur. Kadar amilosa sampel tapioka alami yang dianalisis berada pada kisaran % (Tabel 6). Sedangkan Rahman (2007) melaporkan bahwa kadar amilosa pada tapioka berada pada kisaran 15-24% dari bobot patinya. Tabel 6. Kadar amilosa dan amilopektin sampel tapioka No. Sampel Amilosa (%) Amilopektin (%) 1 Tapioka A a a 2 Tapioka B a a 3 Tapioka C a a 4 Tapioka D a a 5 TM a a 6 Premix kontrol a a Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (p>0.05) Variasi kadar amilosa tergantung dari varietas singkong yang digunakan sebagai bahan pembuatan tapioka. Kadar amilosa juga dipengaruhi oleh waktu panen singkong. Sriroth et al. (1999) menyatakan bahwa kadar amilosa dan pati singkong pada umumnya akan lebih rendah pada tanaman yang masih dalam fase pertumbuhan (belum siap panen). e. Pola Gelatinisasi Pola gelatinisasi memperlihatkan sifat amilografi pati. Sifat amilografi mempertimbangkan karakteristik pati berdasarkan perubahan viskositas selama pemanasan dan pendinginan (Mulyandari, 1992). Sifat amilografi pati diantaranya adalah suhu gelatinisasi (SG), viskositas puncak (VP), suhu viskositas puncak (SVP), viskositas breakdown (VB), viskositas setback (VS) dan stabilitas fase

55 pemanasan (SFP). Hasil pengukuran sifat amilografi sampel tapioka dapat dilihat pada Tabel 6, dan pola gelatinisasi sampel tapioka dapat dilihat pada Gambar C 95 C 50 C 50 C viskositas (BU) tapioka A tapioka B tapioka C tapioka D MTM premix ktrl waktu (menit) Gambar 9. Pola gelatinisasi sampel tepung tapioka (10%bb) Tabel 7. Sifat amilografi sampel tepung tapioka (10%bb) SG VP SVP VB VS SFP SAMPEL ( o C) (BU) ( o C) (BU) (BU) (BU) Tapioka A Tapioka B Tapioka C Tapioka D TM ND ND ND ND Premix *ND = not detected *SG=suhu gelatinisasi, VP=viskositas puncak, SVP=suhu viskositas puncak, VS=viskositas setback, VB=viskositas breakdown, SFP=stabilitas fase pemanasan Secara umum, sampel tapioka alami C dan D memiliki pola gelatinisasi yang mendekati pola gelatinisasi premix kontrol (Gambar 9). Pola gelatinisasi yang berbeda pada masing-masing sampel tapioka alami dapat terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al.

56 (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang berbeda, antara lain suhu gelatinisasi dan viskositas. 1) Suhu Gelatinisasi Suhu gelatinisasi adalah kisaran suhu pada saat granula pati mulai mengembang, kehilangan sifat kristalinitas, dan meningkatkan viskositas medium (Lusas dan Rooney, 2001). Suhu gelatinisasi ditentukan pada saat alat Brabender Amilograph mulai dapat membaca nilai viskositas suspensi pati yaitu saat kurva mulai naik. Menurut Wurzburg (1989), suhu gelatinisasi tapioka dengan konsentrasi pati 5.4% adalah berkisar antara ºC. Sedangkan Rahman (2007) melaporkan bahwa suhu gelatinisasi 10%bb suspensi tapioka berkisar antara 62 68ºC. Sementara itu, suhu gelatinisasi sampel tapioka alami yang diperoleh pada penelitian ini (suspensi tapioka 10%bb) berkisar antara ºC. Suhu gelatinisasi yang lebih rendah menunjukkan bahwa hidrasi atau pengikatan air lebih mudah terjadi, sehingga pada suhu yang lebih rendah, granula pati sudah mulai tergelatinisasi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi suhu awal gelatinisasi. Menurut Zobel (1984), suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh tipe pati, adanya modifikasi terhadap pati dan penggunaan zat aditiv. Sedangkan Charles et al. (2005) melaporkan bahwa suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa. Struktur amilosa yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekular yang kuat dengan air, sehingga pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa (Taggart, 2004). 2) Viskositas Puncak dan Suhu Viskositas Puncak Viskositas puncak merupakan viskositas tertinggi yang terukur selama proses pemanasan (Lusas dan Rooney, 2001). Suhu saat tercapainya viskositas puncak disebut sebagai suhu viskositas puncak. Viskositas pati tapioka tergantung pada varietas tanaman,

57 area pertumbuhan, waktu panen, umur singkong, kesuburan tanah, curah hujan, serta proses pembuatan tapioka yang digunakan (Whistler et al., 1984). Menurut Zobel (1984), viskositas puncak tapioka dengan suspensi sebesar 7%bb adalah 1400 BU. Sedangkan Rahman (2007) melaporkan viskositas puncak 10%bb suspensi tapioka berkisar antara BU dengan suhu viskositas puncak ºC. Pada penelitian ini diperoleh viskositas puncak sampel tapioka alami (10%bb suspensi tapioka) sebesar BU dan suhu viskositas puncak ºC. Viskositas puncak terbesar pada sampel tapioka alami dimiliki oleh sampel tapioka A yaitu 1750 BU, yang berarti kemampuan granula patinya dalam menghidrasi air lebih besar dibandingkan sampel lainnya. Menurut Ulyarti (1997), viskositas puncak berkaitan erat dengan pembengkakan granula dimana semakin tinggi pembengkakan granula maka semakin tinggi pula viskositas puncaknya. Sementara itu, viskositas puncak terendah dimiliki oleh sampel tapioka B yaitu 1100 BU. 3) Viskositas Breakdown Viskositas breakdown menggambarkan tingkat kestabilan pasta pati terhadap proses pemanasan. Viskositas breakdown (VB) ini diperoleh sebagai selisih antara viskositas puncak dengan viskositas pasta pati setelah holding pada suhu 95 C pada tahap pemanasan (Aryee et al., 2003). Berdasarkan hasil pengukuran, pasta panas tapioka B cenderung lebih stabil dibandingkan sampel lainnya karena memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mempertahankan viskositasnya selama pemanasan. Hal ini ditunjukan dengan rendahnya nilai VB sampel tersebut yaitu 690 BU. Sampel yang paling tidak stabil terhadap proses pemanasan adalah tapioka A karena memiliki nilai VB yang paling tinggi yaitu

58 1232 BU (Tabel 7). Nilai VB yang besar selama pemasakan menunjukan bahwa granula pati yang telah membengkak secara keseluruhan memiliki sifat lebih rapuh, artinya granula tidak tahan terhadap proses pemanasan dan pengadukan. Pengadukan yang kontinu menyebabkan granula pati yang rapuh akan pecah sehingga viskositas turun secara tajam (Pomeranz, 1991). Menurut Debet dan Gidley (2007) diacu dalam Copeland (2009), tingkat pengembangan dan breakdown dipengaruhi oleh tipe dan jumlah pati, gradient suhu, shear force, serta adanya lipid dan protein. 4) Viskositas Setback Copeland et al,. (2009) melaporkan nilai setback sebagai peningkatan viskositas dari nilai minimum hingga nilai akhir viskositas selama pengukuran. Dengan demikian nilai viskositas setback merupakan selisih antara viskositas akhir pendinginan dengan viskositas awal pendinginan. Viskositas setback menggambarkan stabilitas gel dan tingkat kecenderungan proses retrogradasi dan sineresis pasta pati. Retrogradasi merupakan proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi (Winarno, 2002). Proses retrogradasi ditunjukkan dengan peningkatan viskositas setelah pendinginan. Berdasarkan hasil pengukuran, tapioka A memiliki kecenderungan yang paling besar untuk beretrogradasi, hal ini ditunjukkan dengan tingginya nilai viskositas setback tapioka A yaitu 262 BU. Sementara itu, tapioka C memiliki kemampuan yang paling rendah untuk beretrogradasi karena viskositas setback-nya paling kecil (Tabel 7). Perbedaan kemampuan retrogradasi tepung tapioka dipengaruhi oleh tipe pati, konsentrasi pati, suhu, ph, dan adanya komponen lain. Molekul amilosa merupakan komponen yang paling berperan dalam proses retrogradasi (Swinkels, 1985).

59 5) Stabilitas Fase Pemanasan Stabilitas fase pemanasan merupakan nilai selisih viskositas sebelum dan setelah holding pada suhu 95 C. Semakin kecil nilainya maka semakin tinggi stabilitas fase pemanasannya. Menurut Mulyandari (1992), stabilitas pasta adalah perbedaan viskositas pada akhir pemanasan dengan viskositas diawal pemanasan pada suhu yang sama. Berdasarkan hasil pengukuran, tapioka D memiliki stabilitas fase pemanasan yang paling tinggi dan tapioka B memiliki stabilitas fase pemanasan yang paling rendah (Tabel 7). Sifat amilografi pada sampel TM (tapioka modifikasi) berupa suhu gelatinisasi, viskositas puncak, suhu viskositas puncak, dan viskositas breakdown belum dapat ditentukan karena suspensi TM langsung mengalami gelatinisasi pada suhu awal proses yaitu 30 C. Hal ini dikarenakan molekul pati TM dapat menyerap air pada suhu dingin. Berdasarkan grafik pola gelatinisasinya, viskositas sampel TM cenderung lebih rendah daripada sampel tapioka alami. Sampel ini juga memiliki kecenderungan untuk beretrogradasi yaitu memiliki nilai vikositas setback sebesar 90 BU. Sampel TM merupakan pati tapioka yang dimodifikasi dengan teknik pregelatinisasi, sehingga menghasilkan pati yang dapat terdispersi dalam air dingin (bersifat instan). Nilai viskositas TM lebih rendah dibandingkan sampel tapioka lainnya. Hal ini juga diungkapkan oleh Kusnandar (2006) yang menyebutkan bahwa pati pregelatinisasi memiliki viskositas yang lebih rendah dibanding pati yang tidak dipregelatinisasi. Menurut Elliasson (2004), modifikasi pregelatinisasi pati yang menggunakan proses drum drying, menghasilkan viskositas yang lebih rendah dari pati alaminya. Hal ini disebabkan oleh kerusakan terus menerus pada granula ketika penyesuaian jarak dinding drum-dryer untuk memperoleh ukuran partikel pati yang diinginkan. Semakin halus partikel yang diinginkan maka semakin besar kerusakan yang terjadi.

60 f. Daya pengembangan dan Kelarutan 1) Daya Pengembangan Menurut Zobel (1984), daya pengembangan merupakan pengukuran terhadap kapasitas hidrasi (penyerapan air) oleh granula pati. Nilai daya pengembangan dipengaruhi oleh kadar amilosa dan amilopektin pada pati. Sasaki dan Matsuki (1998) diacu dalam Li dan Yeh (2001) melaporkan bahwa pengembangan merupakan sifat yang ditunjukkan oleh amilopektin. Proporsi yang tinggi pada rantai cabang amilopektin berkontribusi dalam peningkatan nilai pengembangan. Daya pengembangan berkorelasi negatif dengan kadar amilosa dan berkorelasi positif dengan suhu gelatinisasi. Amilosa dapat membentuk kompleks dengan lipida dalam pati, sehingga dapat menghambat pengembangan granula. Pola daya pengembangan yang berbeda dihasilkan oleh masing-masing sampel tapioka (Gambar 10). Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang berbeda, antara lain daya pengembangan dan kelarutan. Nilai daya pengembangan (DP) sampel tapioka pada suhu 55, 65, 75, 85, dan 95 C dapat dilihat pada Lampiran daya pengembangan (g/g) suhu ( C) tapioka A tapioka B tapioka C tapioka D TM MT premix kontrol Gambar 10. Pola daya pengembangan sampel tepung tapioka

61 Berdasarkan pola DP pada sampel tapioka alami dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan nilai DP seiring dengan peningkatan suhu pemanasan, namun mengalami penurunan setelah suhu 75 atau 85 C, kecuali pada sampel tapioka A. Pola yang sama juga dilaporkan oleh Li dan Yeh (2001), yaitu maksimum DP pada tapioka terdapat pada suhu 80 C dan selanjutnya mengalami penurunan. Penurunan DP ini dapat disebabkan oleh kerusakan granula pati diatas suhu gelatinisasinya, sehingga mengakibatkan menurunnya kemampuan pati untuk mengikat air. Perbedaan pola daya pengembangan pada sampel tapioka A bisa disebabkan oleh karakteristik granula, ph dan proses pembuatan tapioka yang digunakan. Sementara itu, sampel tapioka modifikasi memiliki nilai DP yang tinggi pada suhu 55 C dan nilainya relatif konstan pada suhu selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh kemampuan granula pati TM dalam menyerap air dan mengembang pada suhu rendah. 2) Kelarutan Kelarutan pati akan meningkat dengan meningkatnya suhu dan kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati (Pomeranz, 1991). Menurut Elliason (2004), Pati singkong (tapioka) memiliki nilai kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan pati umbi-umbian lainnya yaitu sebesar %. Rahman (2007) melaporkan bahwa korelasi positif terjadi antara amilosa dengan kelarutan pati. Nilai kelarutan sampel tapioka pada suhu 55, 65, 75, 85, dan 95 C dapat dilihat pada Lampiran 1. dan pola kelarutan pada suhu tersebut ditampilkan pada Gambar 11.

62 60 50 nilai kelarutan (%) tapioka A tapioka B tapioka C tapioka D MT TM premix kontrol Gambar 11. Pola kelarutan sampel tepung tapioka Berdasarkan pola kelarutan sampel tapioka di atas, nilai kelarutan berbanding lurus dengan suhu pemanasan. Hal ini juga dilaporkan oleh Li dan Yeh (2001), bahwa kelarutan meningkat seiring dengan peningkatan suhu untuk semua jenis pati. Semakin tinggi suhu pemanasan maka ikatan hidrogen antar molekul semakin lemah, sehingga molekul amilosa semakin banyak lepas dari granula dan larut dalam suspensi pati. Pola kelarutan yang terdapat pada sampel tapioka alami jauh berbeda dengan pola yang ditunjukkan oleh sampel tapioka modifikasi (TM). Hal ini disebabkan oleh karakteristik granula TM berbeda dengan tapioka alami. Struktur granula yang rapuh pada sampel TM menyebabkan amilosa lebih mudah lepas dan tersebar di dalam suspensi pati. 2. Tingkat Pengembangan Papatan Analisis tingkat pengembangan papatan dilakukan untuk mengetahui tingkat pengembangan yang dihasilkan oleh masing-masing sampel tapioka, kecuali tapioka modifikasi, sebagai bahan penyalut pada produk kacang salut. Tingkat pengembangan papatan dapat dijadikan sebagai parameter penerimaan terhadap produk kacang salut. Rahman (2007) melaporkan bahwa semakin tinggi tingkat pengembangan papatan maka penyalut yang dihasilkan akan semakin renyah. Namun sampel

63 tapioka yang menghasilkan tingkat pengembangan papatan yang terlalu tinggi juga tidak diinginkan, karena akan menghasilkan karakteristik penyalut yang kurang dapat diterima yaitu produk lebih greasy (berminyak) dan pori-pori penyalut yang dihasilkan besar. Tingkat pengembangan papatan yang dihasilkan oleh sampel tapioka dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Tingkat pengembangan papatan sampel tapioka No. Sampel Tingkat Pengembangan (%) 1 Tapioka A b 2 Tapioka B a 3 Tapioka C c 4 Tapioka D c 5 Premix kontrol c Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (p>0.05) Tingkat pengembangan papatan yang dihasilkan oleh masingmasing sampel berbeda nyata pada taraf signifikansi Tingkat pengembangan papatan tertinggi pada sampel tapioka alami dimiliki oleh tapioka C yaitu %, sedangkan tingkat pengembangan papatan terendah dimiliki oleh tapioka B yaitu %. Menurut Matz (1992), tingkat pengembangan dan tekstur dari makanan ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi cenderung memberikan karakter produk yang fragile (mudah pecah), sedangkan amilosa akan memberikan tekstur yang lebih tahan terhadap kemudahan untuk pecah. Rahman (2007) melaporkan bahwa semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin maka papatan yang dihasilkan akan semakin mengembang. Berdasarkan hasil analisis korelasi, ternyata diperoleh korelasi yang sangat kuat antara pengembangan papatan dengan rasio amilosa dan amilopektin (r=-0.908) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi Nilai negatif menunjukkan bahwa semakin besar rasio amilosa dan amilopektin maka semakin kecil pengembangan papatan-nya. Nilai pengembangan papatan memiliki korelasi yang sangat lemah terhadap ph

64 sampel tapioka (r=0.027). Hal ini juga dilaporkan oleh Rahman (2007) yang menyebutkan bahwa korelasi antara ph dengan pengembangan papatan sangat lemah. Kadar pati memiliki korelasi yang cukup berarti dengan pengembangan papatan (r=0.487), dan beberapa sifat amilografi juga memiliki korelasi yang cukup berarti terhadap pengembangan papatan yaitu suhu gelatinisasi (r=-0.593), suhu viskositas puncak (r=-0.718) dan viskositas setback (r=0.448), namun tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi Hal ini juga dilaporkan oleh Rahman (2007) bahwa, korelasi antara tingkat pengembangan papatan dengan sifat amilografi cukup erat tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi Korelasi pengembangan papatan dengan daya pengembangan maksimum lemah (r=-0.342), sedangkan korelasinya dengan pola kelarutan kuat yaitu nilai koefisien korelasinya 0.716, tapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi Rahman (2007) menambahkan bahwa kemampuan pati dalam menyerap air (daya pengembangan) dan kelarutannya tidak dapat menunjukan kemampuan pati untuk mengembang ketika dipanaskan dalam media minyak (penggorengan). 3. Kerenyahan Produk Kacang Salut Pengukuran kerenyahan dilakukan secara obyektif dan subyektif pada bagian penyalut produk. Pengukuran kerenyahan secara obyektif menggunakan instrumen Texture Analyser. Nilai kerenyahan obyektif dinyatakan dengan besarnya gaya pada puncak pertama saat sampel mulai mengalami perubahan bentuk (deformasi), dengan satuan gram force (gf). Nilai gaya dan jarak berbanding terbalik dengan tingkat kerenyahan sampel. Semakin tinggi nilai gaya yang dihasilkan maka semakin rendah nilai kerenyahan sampel. Sementara itu, pengukuran kerenyahan produk kacang atom secara subyektif dilakukan dengan uji organoleptik terhadap intensitas kerenyahan. Skor kerenyahan menunjukkan tingkat kerenyahan pada sampel. Semakin tinggi skor kerenyahan maka sampel semakin

65 renyah. Nilai kerenyahan produk kacang salut yang dibuat dari beberapa sampel tapioka dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil pengukuran gaya (gf) dan jarak (mm), serta skor kerenyahan penyalut pada produk kacang salut Sampel Gaya (gf) Jarak (mm) Skor Kerenyahan Tapioka A c a Tapioka B c a Tapioka C a b Tapioka D b b Premix Kontrol b b Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.01 (p>0.01) Nilai gaya dan skor kerenyahan yang dihasilkan oleh masingmasing sampel berbeda nyata pada taraf signifikansi Ini menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan sampel tapioka yang berbeda sebagai bahan penyalut menghasilkan tingkat kerenyahan yang berbeda nyata. Secara obyektif dapat dilihat bahwa gaya dan jarak paling rendah dihasilkan pada penyalut yang dibuat dari tapioka C. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyalut yang dibuat dari tapioka C memiliki kerenyahan yang paling tinggi. Demikian juga dengan skor kerenyahan, yaitu tapioka C memiliki skor kerenyahan yang paling tinggi diantara tapioka yang lainnya. Sedangkan tapioka B menghasilkan penyalut yang nilai kerenyahannya paling rendah baik secara obyektif maupun subyektif. Berdasarkan analisis korelasi, nilai kerenyahan secara obyektif (gaya) berkorelasi amat sangat kuat dengan kerenyahan secara subyektif (skor kerenyahan) dengan nilai koefisien korelasinya (r) = dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 10b). Sifat kimia tapioka yang digunakan sebagai penyalut memiliki hubungan yang erat dengan nilai kerenyahannya. Menurut Rahman (2007), korelasi antara skor kerenyahan dengan rasio amilosa dan amilopektin menunjukan hubungan yang erat antar keduanya Hal ini juga ditunjukan dengan koefisien korelasi (r) yang cukup berarti antara skor kerenyahan dengan rasio amilosa dan amilopektin pada sampel yang dianalisis yaitu , tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikasni 0.05 (Lampiran

66 10a). Korelasi antara nilai kerenyahan secara obyektif (gaya) dengan rasio amilosa dan amilopektin juga kuat yaitu r = Hubungan antara dua variable yang tidak berbeda nyata tersebut dapat disebabkan oleh proses pembuatan kacang salut, sehingga mempengaruhi kerenyahan penyalut yang dihasilkan. Matz (1992) menyatakan bahwa tekstur dari makanan ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi cenderung memberikan karakter produk yang fragile (mudah pecah), sedangkan amilosa akan memberikan tekstur yang lebih tahan terhadap kemudahan untuk pecah. Korelasi antara kerenyahan secara subyektif maupun obyektif dengan daya pengembangan maksimum menunjukan hubungan yang cukup kuat, yaitu koefisien korelasinya dan 0.560, akan tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi Sementara itu, Korelasi antara kerenyahan dengan slop kelarutan, ph dan sebagian besar sifat amilografi menunjukan hubungan yang lemah (Lampiran 9; Lampiran 10a). Hal ini juga dilaporkan oleh Rahman (2007) bahwa kerenyahan tidak secara langsung dipengaruhi oleh daya pengembangan dan kelarutan, ph, maupun sifat amilografi sampel tepung tapioka. Korelasi antara kerenyahan dan tingkat pengembangan papatan menunjukan hubungan yang sangat erat. Hal ini ditunjukan dengan besarnya koefisien korelasi (r) antara skor kerenyahan dan nilai gaya dengan pengembangan papatan yaitu masing-masing sebesar dan serta berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 10b). Maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pengembangan papatan, penyalut yang dihasilkan akan semakin renyah. Berdasarkan hasil analisis korelasi ini dapat disimpulkan bahwa karakteristik tepung tapioka yang memiliki hubungan yang paling erat terhadap tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut adalah rasio amilosa dan amilopektin. Semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin maka semakin tinggi tingkat pengembangan papatan dan nilai kerenyahannya. Sementara itu karakteristik tepung tapioka yang lainnya, seperti ph, daya pengembangan dan kelarutan, sifat amilografi

67 (viskositas puncak, viskositas setback, viskositas brakdown, dan stabilitas fase pemanasan) masih memiliki korelasi dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut produk kacang salut, tetapi secara tidak langsung terhadap produk, karena nilai koefisien korelasinya kecil. B. PENENTUAN FORMULASI PREMIX ALTERNATIF 1. Rancangan Formulasi Premix Berdasarkan analisis korelasi antara karakteristik kimia dan fungsional tepung tapioka dengan pengembangan papatan dan kerenyahan, maka karakteristik yang digunakan sebagai dasar penentuan formulasi premix alternatif adalah rasio amilosa dan amilopektin. Karakteristik ini digunakan karena korelasinya dengan pengembangan papatan dan kerenyahan salutan produk paling kuat dibandingkan karakteristik kimia dan fungsional lainnya. Penentuan komposisi tapioka alami pada formulasi premix alternatif dilakukan melalui pendekatan nilai rasio amilosa dan amilopektin pada premix kontrol. Komposisi masing-masing tapioka alami yang digunakan diperoleh melalui prinsip kesetimbangan massa basis kering. Formulasi premix yang dibentuk tersebut diharapkan memiilki nilai rasio amilosa dan amilopektin mendekati rasio amilosa dan amilopektin premix kontrol dan dengan asumsi tidak terjadi kerusakan dan interaksi antar komponen. Secara umum proses pencampuran dapat dilihat pada Gambar 12. Sampel Tapioka I Sampel Tapioka II Proses Pencampuran Premix Alternatif Tapioka Modifikasi Gambar 12. Proses pencampuran sampel tapioka Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh beberapa rancangan formulasi premix yang ditentukan melalui pendekatan parameter rasio

68 amilosa dan amilopektin. Contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 10. Tabel 10. Formulasi premix alternatif berdasarkan pendekatan rasio amilosa dan amilopektin (basis 100 gram bk) FORMULASI TAPIOKA w bk (gram) w bb (gram) F1 A B C TM F2 B C TM F3 D B A TM F4 D B TM F5 A B TM Semua formulasi premix disubstitusi dengan tapioka modifikasi (TM) sebesar 4%. Ini dilakukan supaya karakteristik penyalut yang dihasilkan oleh masing-masing formulasi dapat mendekati karakteristik penyalut yang dihasilkan oleh premix kontrol. Sampel premix kontrol pada penelitian ini diperoleh dari pabrik dan telah disubstitusi dengan TM. Formulasi 1 (F1) dan formulasi 3 (F3) menggunakan tiga jenis tapioka alami. Tapioka A yang dicampurkan pada kedua formulasi tersebut ditetapkan nilainya sebesar 10%. Hal ini dilakukan karena tapioka A memiliki karakeristik kimia yang cukup berbeda dengan tapioka alami lainnya. Disamping itu, kacang salut yang dihasilkan dari tapioka A memiliki derajat pengembangan yang kurang baik meskipun rasio amilosa dan amilopektinnya cukup rendah. Disamping menggunakan parameter rasio amilosa dan amilopektin, formulasi premix alternatif juga ditentukan melalui pendekatan parameter tingkat pengembangan papatan. Hal ini dilakukan karena tingkat pengembangan papatan memiliki korelasi yang amat sangat kuat dengan

69 kerenyahan produk secara obyektif maupun subyektif. Pada formulasi ini juga dilakukan substitusi tapioka modifikasi sebesar 4% dan penetapan penggunaan tapioka A sebesar 10%. Formulasi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Formulasi premix alternatif berdasarkan pendekatan pengembangan papatan (basis 100 gram bb) FORMULASI TAPIOKA w bb (gram) F6 A 6.88 D TM 4 F7 B 2.97 D TM 4 F8 A C TM 4 F9 B C TM 4 F10 A 10 B C TM 4 F11 C 6.53 D A 10 TM 4 2. Pemilihan Formulasi Premix a. Pemilihan Formulasi Tahap 1 Pemilihan formulasi tahap 1 merupakan tahap awal penyeleksian sebelas formulasi diatas. Tahap ini dilakukan melalui pendekatan analisis tingkat kerenyahan penyalut yang dihasilkan oleh tiap formulasi dengan penyalut yang dihasilkan oleh premix kontrol. Analisis kerenyahan yang digunakan pada tahap ini adalah kerenyahan secara obyektif. Formulasi yang dipilih adalah formulasi yang memiliki nilai gaya mendekati nilai gaya premix kontrol. Nilai

70 kerenyahan secara obyektif pada masing-masing formulasi dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil pengukuran gaya (gf) dan jarak (mm) terhadap penyalut masing-masing formulasi FORMULASI GAYA (gf) JARAK (mm) F b,c F b,c F b,c F b F a F b,c F b,c F d,e F e F d,e F c,d Premix kontrol b,c,d Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (p>0.05) Perlakuan penggunaan formulasi premix yang berbeda akan menghasilkan kerenyahan penyalut yang berbeda nyata pada taraf signifikansi Uji lanjut Duncan membagi tingkat kerenyahan penyalut dalam lima subset (Lampiran 11). Berdasarkan hasil uji tersebut, formulasi yang menghasilkan kerenyahan penyalut yang tidak berbeda nyata dengan premix kontrol adalah F1, F2, F3, F4, F6, F7, F8, F10, dan F11. Namun untuk tahap selanjutnya, dipilih lima formulasi yang memiliki nilai kerenyahan paling dekat dengan premix kontrol. Dengan demikian, pada pemilihanformulasi tahap 1 ini dipilih lima formulasi premix terbaik yaitu F1, F2, F3, F6, dan F11. b. Pemilihan Formulasi Tahap 2 Pemilihan formulasi tahap 2 ini dilakukan melalui analisis kerenyahan secara subyektif. Uji organoleptik yang digunakan adalah

71 uji rating kerenyahan dan menggunakan 10 orang panelis terlatih. Formulasi yang dipilih adalah formulasi yang memiliki skor kerenyahan tertinggi, sehingga diperoleh formulasi premix alternatif terbaik. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil uji rating kerenyahan penyalut hasil pemilihan formulasi tahap 1 No. Formulasi Rata-Rata Skor Kerenyahan 1 F a,b 2 F a 3 F a,b 4 F a,b 5 F b Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.01 (p>0.01) Berdasarkan pengolahan data menggunakan ANOVA, penggunaan formulasi premix yang berbeda menghasilkan skor kerenyahan yang berbeda nyata pada taraf signifikansi Uji lanjut Duncan mengelompokkan skor kerenyahan dalam dua subset (Lampiran 12). Berdasarkan uji tersebut, F1 memiliki skor kerenyahan yang tidak berbeda nyata dengan F3 dan F6, serta mendekati skor kerenyahan F2 dan F11. Sementara itu, skor kerenyahan F11 lebih tinggi dari para F2 dan berbeda nyata pada taraf signifikansi Dengan demikian, terdapat empat formulasi terbaik yang dapat dijadikan sebagai premix alternatif yaitu F1, F3, F6, dan F11. Untuk tahap selanjutnya, formulasi yang digunakan adalah dua formulasi yang memiliki skor kerenyahan tertinggi yaitu F3 dan F Variasi Substitusi Tapioka Modifikasi Variasi substitusi tapioka modifikasi dilakukan pada formulasi 3 (F3) dan formulasi 11 (F11). Variasi konsentrasi yang dilakukan adalah 2%, 4%, dan 6%. Konsentrasi tapioka modifikasi terbaik ditentukan melalui uji rating kerenyahan penyalut dengan menggunakan 10 orang panelis terlatih. Formulasi premix variasi substitusi tapioka modifikasi dapat dilihat pada Tabel 14.

72 Tabel 14. Formulasi premix dengan variasi konsentrasi TM Formulasi % TM Tapioka W bb (gram) F3 D B % A TM 2.10 D B % A TM 4.21 D B % A TM 6.31 F11 C 6.23 D % A 10 TM 2 C 6.53 D % A 10 TM 4 C 6.83 D % A 10 TM 6 Berdasarkan formulasi tersebut, kemudian dilakukan uji organoleptik terhadap tingkat kerenyahan penyalut yang dihasilkan oleh masing-masing formulasi. Hasil uji organoleptik ini dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil uji rating kerenyahan penyalut dengan variasi TM Skor Kerenyahan % TM F3 F a 3.30 a a 3.35 a a 3.65 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.01 (p>0.01)

73 Berdasarkan pengolahan data menggunakan ANOVA, perlakuan variasi substitusi tapioka modifikasi pada formulasi premix alternatif menghasilkan tingkat kerenyahan penyalut yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi Dengan demikian substitusi TM pada konsentrasi 2, 4, dan 6% menghasilkan tingkat kerenyahan yang tidak berbeda nyata. Namun untuk memilih konsentrasi TM yang paling tepat digunakan oleh kedua formulasi premix (F3 dan F11), maka ditentukan berdasarkan uji preferensi panelis dan komentar yang diberikan oleh panelis terlatih terhadap karakteristik penyalut yang dihasilkan. Uji preferensi memaksa panelis memilih satu sampel dari beberapa sampel (Meilgaard et al. 1999). Nilai uji preferensi sampel menunjukkan banyaknya panelis yang memilih sampel tersebut. Hasil uji preferensi dan komentar yang diberikan pada tiap formulasi dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil uji preferensi dan komentar panelis terhadap penyalut dengan variasi TM Formulasi TM Preferensi Komentar F3 2% 3 padat 4 % 5 Ok 6 % 2 Lebih oily F11 2 % 4 Renyah, padat, ok 4 % 3 Kopong, agak oily 6 % 3 Kurang ada body, oily Dengan demikian, konsentrasi TM yang paling tepat digunakan untuk F3 adalah 4% dan untuk F11 2%, karena memiliki nilai preferensi yang paling tinggi dan komentar yang paling baik. C. UJI RANKING KERENYAHAN Analisis ini dilakukan untuk membandingkan kerenyahan dan penampakan pori-pori penyalut yang menggunakan premix alternatif terpilih dengan produk kontrol. Premix alternatif yang diujikan adalah F3 dengan MS 4% dan F11 dengan MS 2%. Hasil uji ini dapat dilihat pada Tabel 17.

74 Tabel 17. Hasil uji ranking kerenyahan dan penampakan pori-pori penyalut Formulasi Rata-Rata Rata-Rata Ranking Kerenyahan Ranking Pori-Pori F3 1.3 a 1.3 a F a 2.1 a kontrol 2.3 a 2.6 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.01 (p>0.01) Berdasarkan nilai rata-rata respon panelis terhadap kerenyahan, F3 lebih tinggi nilai kerenyahannya daripada kontrol. Namun, berdasarkan pengolahan data menggunakan ANOVA, formulasi F3 dan F11 yang digunakan sebagai bahan penyalut, memiliki kerenyahan dan pori-pori yang tidak berbeda nyata dengan produk kontrol pada taraf signifikansi Dengan demikian formulasi F3 dan F11 telah dapat digunakan sebagai formulasi premix alternatif untuk bahan penyalut pada produk kacang salut. D. KARAKTERISASI PREMIX ALTERNATIF Karakterisasi premix alternatif dilakukan untuk mengetahui karakteristik bahan penyalut yang tepat digunakan sebagai bahan penyalut pada produk kacang salut. Karakteristik ini dapat digunakan sebagai standar oleh produsen kacang atom untuk menentukan jenis tapioka yang ingin dipasok. Hasil analisis karakterisasi premix alternatif dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Karakteristik premix alternatif dan kontrol No Karakteristik Formulasi Premix F3 F11 kontrol 1 Kadar Air (%) a a a 2 ph 4.81 b 4.83 b 4.58 c 3 Kadar Pati (%bk) e d e 4 Kadar Amilosa (%) f f f 5 Kadar Amilopektin (%) g g g 6 Pengembangan Papatan (%) h h i Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (p>0.05)

75 Formulasi Premix F3 Formulasi Premix F11 Formulasi Premix kontrol Gambar 13. Diagram karakterisasi premix tapioka Berdasarkan hasil analisis tersebut, karakteristik kadar air, kadar amilosa dan amilopektin formulasi premix alternatif (F3 dan F11) tidak berbeda nyata dengan premix kontrol pada taraf signifikansi Sedangkan karakteristik ph, kadar pati, dan pengembangan papatan berbeda nyata pada taraf signifikansi Perbedaan karakteristik ini bisa disebabkan oleh faktor karakteristik tapioka awal yang digunakan dan proses pencampuran. Nilai kadar air premix alternatif memenuhi nilai kadar air yang disyaratkan oleh SNI yaitu kecil dari 15%. Sementara itu, nilai ph premix alternatif termasuk dalam grade B ( ) berdasarkan klasifikasi mutu oleh The Tapioca Institute of America.

B. TEKSTUR PRODUK FRIED SNACK

B. TEKSTUR PRODUK FRIED SNACK II. TINJAUAN PUSTAKA A. KACANG SALUT Kacang salut merupakan makanan ringan berupa kacang tanah yang dibalut dengan adonan tepung kemudian digoreng dengan suhu tertentu sampai kacang tanahnya matang dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TAPIOKA 1. Sifat Kimia dan Fungsional Tepung Tapioka a. Kadar Air Kadar air merupakan parameter yang sangat penting dalam penyimpanan tepung. Kadar air sampel

Lebih terperinci

A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG

A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG III. KEGIATAN MAGANG A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG Kegiatan magang dilaksanakan di sebuah perusahaan snack di wilayah Jabotabek selama empat bulan. Kegiatan magang ini dimulai pada tanggal 10 Maret sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tapioka Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung tapioka mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT 3.1.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung sukun, dan air distilata. Tepung sukun yang digunakan diperoleh dari Badan Litbang Kehutanan,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan-bahan untuk persiapan bahan, bahan untuk pembuatan tepung nanas dan bahan-bahan analisis. Bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan tanaman yang termasuk ke dalam famili Convolvulaceae. Ubi jalar termasuk tanaman tropis, tumbuh baik di daerah yang memenuhi persyaratan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan pengembangan produk olahan dengan penyajian yang cepat dan mudah diperoleh, salah

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : bahan baku pembuatan pati termoplastis yang terdiri dari tapioka dan onggok hasil produksi masyarakat

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu 4.1.1. Cooking Time Salah satu parameter terpenting dari mi adalah cooking time yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi atau proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut karena terjadi peningkatan jumlah industri makanan dan nonmakanan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dan

Lebih terperinci

SKRIPSI MEMPELAJARI PENGARUH UKURAN PARTIKEL DAN KADAR AIR TEPUNG JAGUNG SERTA KECEPATAN ULIR EKSTRUDER TERHADAP KARAKTERISTIK SNACK EKSTRUSI

SKRIPSI MEMPELAJARI PENGARUH UKURAN PARTIKEL DAN KADAR AIR TEPUNG JAGUNG SERTA KECEPATAN ULIR EKSTRUDER TERHADAP KARAKTERISTIK SNACK EKSTRUSI SKRIPSI MEMPELAJARI PENGARUH UKURAN PARTIKEL DAN KADAR AIR TEPUNG JAGUNG SERTA KECEPATAN ULIR EKSTRUDER TERHADAP KARAKTERISTIK SNACK EKSTRUSI Oleh : RESNA NUR APRIANI F24051138 2009 FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

SKRIPSI MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT

SKRIPSI MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT SKRIPSI MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT Oleh: ADIE MUHAMMAD RAHMAN F24103077 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin yang mempunyai sifat alami berbeda-beda.

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori 4. PEMBAHASAN Sorbet merupakan frozen dessert yang tersusun atas sari buah segar, air,gula, bahan penstabil yang dapat ditambahkan pewarna dan asam (Marth & James, 2001). Pada umumnya, frozen dessert ini

Lebih terperinci

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan adalah tepung tapioka, bumbu, air, whey, metilselulosa (MC), hidroksipropil metilselulosa (HPMC), minyak goreng baru, petroleum eter, asam asetat glasial,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan

BAB III MATERI DAN METODE. putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan 14 BAB III MATERI DAN METODE 3.1 Materi Penelitian Penelitian substitusi tepung suweg terhadap mie kering ditinjau dari daya putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. Sekitar 30 % ubi kayu dihasilkan di Lampung. Produksi tanaman ubi kayu di Lampung terus meningkat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN PUFFING Menurut Sulaeman (1995), teknik puffing merupakan teknik pengolahan bahan pangan dimana bahan pangan tersebut mengalami pengembangan sebagai akibat pengaruh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g Kacang hijau (tanpa kulit) ± 1

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Bagan alir produksi kerupuk terfortifikasi tepung belut adalah sebagai berikut : Belut 3 Kg dibersihkan dari pengotornya

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun Analisis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Terigu Standar Nasional Indonesia 01-3751-2006 mendefinisikan tepung terigu sebagai tepung yang berasal dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L.(Club wheat) dan

Lebih terperinci

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat 18 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Mei 2010 di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center IPB, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Rekayasa Proses

Lebih terperinci

SKRIPSI PEMETAAN TEKSTUR DAN KARAKTERISTIK GEL HASIL KOMBINASI KARAGENAN DAN KONJAK. Oleh : VERAWATY F

SKRIPSI PEMETAAN TEKSTUR DAN KARAKTERISTIK GEL HASIL KOMBINASI KARAGENAN DAN KONJAK. Oleh : VERAWATY F SKRIPSI PEMETAAN TEKSTUR DAN KARAKTERISTIK GEL HASIL KOMBINASI KARAGENAN DAN KONJAK Oleh : VERAWATY F24104109 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Verawaty. F24104109. Pemetaan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Air air merupakan parameter yang penting pada produk ekstrusi. air secara tidak langsung akan ikut serta menentukan sifat fisik dari produk seperti kerenyahan produk dan hal

Lebih terperinci

METODE. Bahan dan Alat

METODE. Bahan dan Alat 22 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai April 2016 di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan dan Hasil Pertanian, Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti makanan pokok karena mengandung karbohidrat sebesar 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015. III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015. 3.2 Alat Alat

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA Agus Budiyanto, Abdullah bin Arif dan Nur Richana Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian n Disampaikan Pada Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional 2016

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kue Bolu. Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kue Bolu. Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kue Bolu Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula, lemak, dan telur. Menurut Donald (2013), kue bolu merupakan produk yang di hasilkan dari tepung terigu

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER

PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER Suhardi dan Bonimin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Jagung adalah salah satu bahan pangan

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat 14 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung pada bulan Juni sampai September 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan, Laboratorium Percobaan Makanan, dan Laboratorium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis) Kluwih merupakan kerabat dari sukun yang dikenal pula dengan nama timbul atau kulur. Kluwih dianggap sama dengan buah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Industri Rumah Tangga Produksi Kelanting MT,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Industri Rumah Tangga Produksi Kelanting MT, III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Industri Rumah Tangga Produksi Kelanting MT, Gantiwarno, Pekalongan, Lampung Timur, dan Laboratorium Politeknik Negeri

Lebih terperinci

Pati ubi kayu (tapioka)

Pati ubi kayu (tapioka) Pengaruh Heat Moisture Treatment (HMT) Pada Karakteristik Fisikokimia Tapioka Lima Varietas Ubi Kayu Berasal dari Daerah Lampung Elvira Syamsir, Purwiyatno Hariyadi, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan, Feri

Lebih terperinci

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT 1. Kadar Air Salah satu parameter yang dijadikan standard syarat mutu dari suatu bahan atau produk pangan adalah kadar air. Kadar air merupakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Polimer Polimer (poly = banyak, meros = bagian) merupakan molekul besar yang terbentuk dari susunan unit ulang kimia yang terikat melalui ikatan kovalen. Unit ulang pada polimer,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk susu kedelai bubuk komersial, isolat protein kedelai, glucono delta lactone (GDL), sodium trpolifosfat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Hasil pembuatan pati dari beberapa tanaman menghasilkan massa (g) yaitu ubi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Percobaan Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan penelitian utama dilaksanakan bulan Maret Juni 2017 di Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering dengan varietas Pioneer 13 dan varietas Srikandi (QPM) serta bahanbahan kimia yang

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat 18 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan, yaitu mulai Februari 2011 sampai dengan Juli 2011 di Kampus IPB Darmaga Bogor. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Snack atau makanan ringan adalah makanan yang dikonsumsi di sela-sela waktu makan dan bukan merupakan makanan pokok yang harus dikonsumsi setiap hari secara teratur.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rempah basah (bawang putih, bawang merah, lengkuas, kunyit, dan jahe) serta rempah kering (kemiri, merica,

Lebih terperinci

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cookies Cookies (kue kering) adalah makanan ringan yang terbuat dari tepung protein rendah. Proses pembuatan cookies dengan cara dipanggang hingga keras namun masih renyah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN 1. Bahan Bahan baku pembuatan pati terdiri atas tapioka dan pati sagu yang diperoleh dari pengolahan masyarakat secara tradisional dari daerah Cimahpar (Kabupaten

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TEPUNG BERAS DAN TEPUNG BERAS KETAN 1. Penepungan Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan Penelitian ini menggunakan bahan baku beras IR64 dan beras ketan Ciasem yang

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia dan Laboratorium Biondustri TIN IPB, Laboratorium Bangsal Percontohan Pengolahan Hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar 123 kalori per 100 g bahan (Rukmana, 1997). Berdasarkan kandungan tersebut, ubi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pangan dan Gizi, Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI PATI UBI JALAR Ubi jalar putih varietas Sukuh yang digunakan pada penelitian ini memiliki umur panen berkisar empat bulan. Penampakan ubi jalar putih varietas Sukuh

Lebih terperinci

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Produksi Kopi Biji Salak dengan Penambahan Jahe Merah dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016 di Laboratorium Rekayasa Proses dan

Lebih terperinci

SKRIPSI. STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT. Oleh NANDA HADITTAMA F

SKRIPSI. STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT. Oleh NANDA HADITTAMA F SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT Oleh NANDA HADITTAMA F24050806 2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG Qanytah Tepung jagung merupakan butiran-butiran halus yang berasal dari jagung kering yang dihancurkan. Pengolahan jagung menjadi bentuk tepung lebih dianjurkan dibanding produk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen laboratorium. Faktor perlakuan meliputi penambahan pengembang dan pengenyal pada pembuatan kerupuk puli menggunakan

Lebih terperinci

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis. 1. Kadar Air (AOAC, 1999) Sebanyak 3 gram sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot keringnya. tersebut selanjutnya dikeringkan dalam oven

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR. Oleh : Ismiwarti C

PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR. Oleh : Ismiwarti C PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR Oleh : Ismiwarti C34101018 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 RINGKASAN

Lebih terperinci

SKRIPSI MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT

SKRIPSI MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT SKRIPSI MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT Oleh: ADIE MUHAMMAD RAHMAN F24103077 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas segar yang dibeli di Bogor (Pasar Gunung Batu, Jalan Perumahan Taman Yasmin, Pasar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

(Colocasia esculenta) Wardatun Najifah

(Colocasia esculenta) Wardatun Najifah KAJIAN KONSENTRASI FIRMING AGENT DAN METODE PEMASAKAN TERHADAP KARAKTERISTIK FRENCH FRIES TARO (Colocasia esculenta) Wardatun Najifah 123020443 Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping Ir. Hervelly, MP.,

Lebih terperinci